mei 2015issn 2088-6527 vol. 6 no. 1 gema bnpb gema mei 2015... · terpanggil untuk turut memberikan...

78
GEMA BNPB MEI 2015 VOL. 6 NO. 1 ISSN 2088-6527 Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana World Conference on DRR (WCDRR) Fokus Berita Menghitung Masyarakat Indonesia yang Terpapar Bencana Liputan Khusus Mitigasi Struktural Menara Kawah Timbang Laporan Utama Peran Penting Delegasi RI dalam 3 rd WCDRR Sendai

Upload: buitruc

Post on 01-May-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GEMA BNPBMEI 2015 VOL. 6 NO. 1ISSN 2088-6527

Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana

WorldConference

on DRR (WCDRR)

Fokus BeritaMenghitungMasyarakat Indonesiayang Terpapar Bencana

Liputan KhususMitigasi StrukturalMenara Kawah Timbang

Laporan UtamaPeran Penting Delegasi RI dalam 3rd WCDRR Sendai

GEMA BNPBVol. 6 No. 1 - Mei 2014

Daftar Isi

3 Pengantar Redaksi

Laporan Utama 4 Peran Penting Delegasi RI dalam 3rd

WCDRR Sendai: Komitmen Mengusung Semangat Pengurangan Risiko Bencana untuk Masa Mendatang

12 Capaian Indonesia di 3rd WCDRR Sendai: Mengelola Risiko Berbasis Negara Kepulauan Nusantara

Fokus Berita18 Menghitung Masyarakat Indonesia

yang Terpapar Bencana24 Rakornas BNPB dan BPBD se Indonesia

BNPB Hadir di Tengah Rakyat

Liputan Khusus27 Mitigasi Struktural Menara Kawah

Timbang30 Misi Kemanusiaan Indonesia di Nepal

Kegembiraan dalam Bencana 36 Kebhinekaan Di Negeri Seribu Gunung40 Dalam Suka dan Duka Vanuatu adalah

Sahabat Kita44 Menuju Kehidupan Baru Warga Sinabung di Siosar48 Menyentuh Manusia dalam Bencana

Teropong54 Kepemimpinan Handal Dukung

“One ASEAN One Response” dalam Penanggulangan Bencana ASEAN

58 Kilasan Bencana Indonesia Triwulan Pertama 2015 64 40,9 Juta Jiwa Penduduk Indonesia

Terpapar Ancaman Longsor 66 Forum Komunikasi Wartawan

Tingkatkan Informasi Bencana

Profil70 Deputi Bidang Rehab dan Rekon Ir. Harmensyah, Dipl. S.E, M.M.

Snapshot

27

54

70

4

18

Pengantar Redaksi

Solidaritas terhadap masyarakat yang terkena bencana merupakan nilai yang penting dalam membangun tatanan dunia yang lebih bermartabat. Rasa kemanusiaan mendorong

solidaritas tersebut dengan aksi untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat yang menderita. Bangsa Indonesa merasa terpanggil untuk turut memberikan bantuan terhadap masyarakat Vanuatu dan Nepal yang baru saja terdampak bencana. Di sisi lain, solidaritas juga tumbuh di saat delegasi Indonesia hadir di antara komunitas internasional dan berkontribusi dalam penanggulangan bencana. Topik tersebut mewarnai majalah GEMA BNPB kali ini.

Edisi pertama tahun 2015, majalah GEMA BNPB menampilkan Laporan Utama mengenai Konferensi Dunia ketiga Pengurangan Risiko Bencana atau 3rd World Conference on Disaster Risk Reduction yang berlangsung pada Maret tahun ini. Konferensi yang terselenggara setiap sepuluh tahunan ini untuk menyepakati hasil evaluasi capaian pengurangan risiko bencana (PRB). Indonesia memiliki andil dalam memberikan kontribusi pemikiran dan pengetahuan dalam konteks PRB. Acara yang dihadiri oleh lebih 100 negara dan berlangsung di Sendai, Jepang merupakan ajang dalam menyusun strategi ke depan dalam PRB.

Fokus Berita memuat dua artikel, yaitu mengenai masyarakat Indonesia yang terpapar bencana dan kegiatan rapat kerja nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) se-Indonesia. Sementara itu pada Liputan Khusus, dua artikel memuat mengenai misi kemanusiaan sebagai wujud solidaritas bangsa Indonesia kepada masyarakat Vanuatu dan Nepal.

Berbagai topik terkait PRB dan bencana termuat pada edisi kali ini, seperti mitigasi struktura menara Kawah Timbang, Kepemimpinan Handal Dukung “One ASEAN One Response” dalam penanggulangan bencana ASEAN, dan Forum Komunikasi Wartawan Tingkatkan Informasi Bencana. Pada bagian profil, berbagi kisah dan pengalaman dari Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB menghiasi akhir majalah GEMA BNPB.

Demikian sekilas pengantar redaksi untuk majalah GEMA BNPB volume 6 nomor 1 Edisi Mei 2015. Semoga majalah ini memberikan manfaat dalam pengetahuan penanggulangan bencana di Indonesia. Salam tangguh!!

Dr. Sutopo Purwo Nugroho, APU

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB

Penanggung Jawab Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas

Editor I Gusti Ayu Arlita NK, Ario Akbar Lomban, Theophilus Yanuarto, Rusnadi Suyatman Putra, Slamet Riyadi

Fotografer Andri Cipto Utomo

Desain Grafis Ignatius Toto Satrio

Alamat Redaksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pusat Data, Informasi dan Humas, Gedung GRAHA BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta 13120Telp & Fax : 021-21281200 Email : [email protected]

GEMA BNPBMEI 2015 VOL. 6 NO. 1ISSN 2088-6527

Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana

WorldConference

on DRR (WCDRR)

Fokus BeritaMenghitungMasyarakat Indonesiayang Terpapar Bencana

Liputan KhususMitigasi StrukturalMenara Kawah Timbang

Laporan UtamaPeran Penting Delegasi RI dalam 3rd WCDRR Sendai

Laporan Utama

Peran Penting Delegasi RI dalam 3rd WCDRR Sendai :

Komitmen Mengusung Semangat Pengurangan Risiko Bencana untuk Masa MendatangOleh Raditya Jati

Pada tanggal 14-18 Maret 2015 yang lalu telah diselenggarakan konferensi tingkat tinggi di dunia oleh PBB terkait dengan isu pengurangan risiko bencana. Agenda UN World Conference on Disaster Risk Reduction (UN WCDRR) merupakan kegiatan sepuluh tahunan untuk menyepakati hasil evaluasi capaian Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan juga strategi yang akan dilakukan ke depan dalam rangka upaya PRB. Forum ini juga merupakan ajang untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan dalam melaksanakan kelima prioritas aksi HFA di tingkat nasional dan daerah. Rangkaian WCDRR sebelumnya adalah 1st WCDRR (1994) di Yokohama yang menghasilkan the Yokohama Strategy and Plan of Action for a Safer World serta 2nd WCDRR di Kobe-Jepang yang menghasilkan Hyogo Framework for Action: Building the Resilience of Countries and Communities to Disasters (HFA).

Sum

ber

: bnp

b

4 Gema BNPB Vol 6 No 1

Penyelenggaraan 3rd WCDRR dimaksudkan untuk melanjutkan momentum yang telah dibangun

dari tahun 2005 melalui 2nd WCDRR yang melahirkan Kerangka Aksi Hyogo, agar upaya berkesinambungan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama berperan dan bertanggung jawab dalam mengurangi risiko dan meningkatkan ketangguhan masyarakat. Indonesia, sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi Kerangka Aksi Hyogo juga telah melaksanakan upaya-upaya pengurangan risiko bencana dan capaiannya telah mendapat penghargaan di tingkat internasional, dengan penganugerahan “Global Champion for DRR” yang diberikan oleh Sekjen PBB, Ban Ki-moon kepada Presiden Republik Indonesia pada AMCDRR ke-3 Mei 2011. Hal ini menjadi suatu kebanggaan bagi Indonesia, tetapi sekaligus tantangan untuk semakin meningkatkan pengurangan risiko bencana yang berdampak nyata dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh. Oleh karena itu, Indonesia perlu berpartisipasi aktif dalam 3rd WCDRR ini.

Konferensi tingkat global ini telah dihadiri oleh 14 kepala negara/pemerintahan, 7 Wakil Presiden, 6 Deputi Perdana Menteri dan sejumlah pejabat tinggi pemerintah setingkat menteri dan organisasi antarpemerintah. Delegasi RI dipimpin oleh Wakil Presiden RI Bapak Jusuf Kalla, serta turut ikut bersama adalah Menteri Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Ibu Puan Maharani dan Kepala BNPB Prof. Dr. Syamsul Maarif. Delegasi RI terdiri dari unsur-unsur Kemenko PMK, Kemenlu, BNPB, Kemdikbud, Platform Nasional PRB, PTRI Jenewa, KBRI Tokyo dan kalangan masyarakat madani. Keikutsertaan aktif dalam 3rd WCDRR di Sendai bertujuan untuk: 1) Mewakili Indonesia dalam proses dialog, kesepakatan dan pengambilan

keputusan di bidang pengurangan risiko bencana di tingkat global, 2) Bertukar pengalaman, pengetahuan dan pembelajaran mengenai capaian dan upaya-upaya yang telah dilakukan Indonesia terkait dengan topik-topik yang diangkat dalam 3rd WCDRR, dengan pemangku kepentingan dari berbagai negara dan organisasi, 3) Mensosialisasikan dan mendorong implementasi Deklarasi Yogyakarta, hasil dari AMCDRR ke-5, 4) Membawa pembelajaran yang didapatkan dari 3rd WCDRR untuk memperkuat atau meningkatkan implementasi pengurangan risiko bencana di Indonesia, dan 5) Meningkatkan kemitraan dengan para pemangku kepentingan PRB dari berbagai negara dan organisasi, terutama lembaga usaha, kelompok masyarakat dan pemerintah daerah.

Konferensi ini telah membahas dan menyepakati dua buah outcome documents utama, yaitu: kerangka aksi PRB Paska-2015 yang diberi nama “Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030” dan deklarasi politik “Sendai Declaration” yang berisi komitmen negara-negara peserta konferensi untuk mengimplementasikan kerangka aksi PRB baru sebagai pedoman dalam memajukan upaya-upaya PRB di masa mendatang. Dalam agenda 3rd WCDRR ini telah berlangsung pula secara paralel sejumlah kegiatan yang terbagi ke dalam tiga segmen utama, yaitu sesi “Intergovernmental” yang terdiri dari 5 diskusi tingkat tinggi – Ministerial roundtable dan 3 High level partnership dialog, “Multi-Stakeholders Discussions” dengan 33 topik utama dan “Public Forum” yang terdiri dari 370 side events, pameran, dan ignite stage.Pada country statement yang telah disampaikan oleh Wakil Presiden Indonesia M. Jusuf Kalla dalam sambutan resminya kepada para peserta Konferensi

Mei 2015 5

Dunia Ketiga untuk Pengurangan Risiko Bencana (The Third UN World Conference on Disaster Risk Reduction/UNWCDRR) di Sendai, Jepang, Sabtu (14/3) sore waktu setempat, menyatakan kesiapan Indonesia untuk berbagi pengalaman, praktik terbaik dan pelajaran dalam penanganan bencana dengan komunitas internasional melalui Indonesian Disaster Relief Training Ground (INA-DRTG). Jusuf Kalla pada kesempatan tersebut juga menekankan mengenai pentingnya memasukkan elemen pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan pengetahuan dan kearifan lokal, serta pelibatan berbagai kelompok masyarakat dalam penyusunan kebijakan pengurangan risiko bencana pada kerangka kerja Pengurangan Risiko Bencana Paska-2015.

“Indonesia akan memberikan kontribusi positif terhadap proses penyusunan

kerangka kerja pengurangan risiko bencana paska-2015 yang saat ini sedang berlangsung, sebagai pedoman ke depan bagi upaya pengurangan risiko bencana global,” ucap Jusuf Kalla mengakhiri sambutannya.

Pada kesempatan ini, Indonesia telah berperan dalam 2 Ministerial Roundtable yang semestinya hanya diperbolehkan 1 negara berperan dalam 1 topik saja. Keistimewaan ini menjadi kesempatan yang baik untuk Indonesia berbagi dalam memberikan pernyataan kenegaraan dengan topik “Disaster Risk Reduction on Urban Setting” dan “Governing Disaster Risk: Overcoming Challenges”. Peran tersebut semua telah disampaikan oleh Kepala BNPB, Prof. Dr. Syamsul Maarif dengan pernyataannya untuk ikut mendukung upaya pengurangan risiko bencana di masa mendatang.

Pernyataan Indonesia dalam Ministerial Roundtable

a) Disaster Risk Reduction on Urban Setting

Indonesia telah menyampaikan laju urbanisasi yang kian meningkat dan akan terus meningkat hingga tahun 2025. Meskipun urbanisasi akan membawa pembangunan ekonomi yang lebih baik, namun tantangannya adalah peningkatan risiko yang lebih tinggi pada pertumbuhan jumlah penduduk yang terkonsentrasi khususnya di perkotaan. Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan menjadi tantangan bagi kota-kota yang terletak di kawasan pesisir dengan risiko yang lebih tinggi dan multi ancaman yang ada. Kejadian bencana yang terjadi dapat menyebabkan pola kemiskinan yang meningkat, hanya karena suatu bencana yang cukup besar berdampak pada ekonomi sosial masyarakatnya.

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup dengan program peningkatan kapasitas masyarakat di Indonesia dari skala desa hingga kota. Selain itu, pemerintah telah melakukan rehabilitasi sekolah-sekolah dalam perbaikan bangunan yang lebih aman dengan pola desentralisasi sesuai dengan kewilayahannya. Upaya yang dilakukan tidak hanya membutuhkan skema pendanaan, namun diperlukan bimbingan teknis terkait dengan konstruksi bangunan yang lebih aman. Berdasarkan pada pola urbanisasi yang sangat cepat di wilayah perkotaan, maka pemerintah menyatakan untuk membangun perkotaan yang tangguh dengan memperhatikan sekolah yang aman, rumah sakit, permukiman dan penghidupan masyarakat. Investasi dan alokasi sumberdaya menjadi penting dalam membangun kota yang tangguh yang disertai dengan keterlibatan kerjasama internasional dan penguatan kapasitas lokal. Semua progres tersebut akan menjadi bahan untuk dapat diukur capaiannya dan disampaikan dalam laporan-laporan sebagai komitmen dalam melaksanakan pemantauan.

b. Governing Disaster Risk: Overcoming Challenges

Indonesia menyampaikan tantangan ke depan terkait dengan tata kelola dalam kebencanaan dengan semakin meningkatnya berbagai permasalahan pembangunan di era saat ini.

6 Gema BNPB Vol 6 No 1

Tantangan berupa upaya pengurangan kemiskinan, kerusakan lingkungan, urbanisasi, air bersih, serta terkait dengan isu perubahan iklim dengan kejadian kebencanaan yang semakin meningkat. Namun demikian, Indonesia telah berupaya dengan meletakkan peraturan perundangan terkait dengan bencana, kelembagaan kebencanaan dari tingkat nasional hingga daerah, perencanaan kebencanaan, menjalin kemitraan dengan berbagai multipihak di bidang bencana, dan membangun kertangguhan dari kepemimpinan dan keterlibatan secara inklusif untuk tata kelola kebencanaan di Indonesia.

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan Nusantara, pemanfaatan modal budaya dan sosial menjadi penting dalam tata kelola kebencanaan. Pemahaman pengetahuan lokal dan tradisional menjadi modal penting dalam kepimpinan yang berbasis pada 3 prinsip dasar, yaitu: Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Komitmen sebagai tindak lanjut PRB dalam pembangunan nasional telah diwujudkan dalam RPJMN 2015-2019 dengan memuat esensi investasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Perwujudan yang mendasar adalah membangun kemitraan dan kerjasama oleh semua pihak untuk mewujudkan ketangguhan di tingkat masyarakat dengan memperhatikan dimensi degradasi lingkungan dan perubahan iklim.

Pada kesempatan agenda di Working Session, Indonesia telah berperan untuk memberikan komitmen dalam sekolah aman. Topik yang diangkat adalah “Indonesia Menuju Sekolah Aman Bencana Tahun 2020”. Indonesia menyampaikan komitmennya dalam mewujudkan Sekolah Aman Bencana melalui pembentukan Cetak Biru Sekolah Aman Bencana tahun 2015-2020. Hal tersebut disampaikan pada forum diskusi bertemakan “Commitment to Safe Schools”. Delegasi Indonesia pada pertemuan working session ini diwakili oleh Deputi Bidang Koordinasi Lingkungan Hidup dan Kerawanan Sosial Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Bapak William Rapangilei, yang telah menjadi salah satu panelis dari acara tersebut.

Pertemuan diawali dengan sambutan yang disampaikan oleh Deputi PM Turki, Muman Kurtulmus, Ratu Belanda Margaret, dan Mantan Presiden Finlandia Tarja Halonen. Secara umum ketiganya menyampaikan pentingnya komitmen Negara-negara untuk mengimplementasikan program-program World Initiative on Safe School (WISS) guna mewujudkan ketangguhan terhadap bencana. Dalam intervensinya, Delegasi Indonesia menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia telah menempatkan Sekolah Aman Bencana

sebagai prioritas dan menjadi bagian dalam agenda pembangunan nasional. Di samping itu, berbagai upaya juga telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan tiga pilar utama dalam inisiatif dunia Sekolah Aman, yaitu: Tempat Belajar Aman; Penanggulangan Bencana Sekolah; dan Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana dan Ketangguhan Bencana. Pada tahun 2014 sejumlah Negara, termasuk Indonesia, berpartisipasi dalam pertemuan Sekolah Aman di Istanbul, Turki. Pertemuan tersebut mempertemukan berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan penanggulangan bencana guna merumuskan inisiatif global mewujudkan sekolah yang tangguh terhadap bencana sebagai bagian dari agenda Pengurangan Risiko Bencana.

Selain itu, Indonesia berperan sebagai moderator dalam working session ini dan menyampaikan beberapa peristiwa bencana yang besar dan bersejarah, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, termasuk kejadian bencana yang baru saja terjadi. Sesi ini diawali dengan welcome remarks dari H.E. Mr. Akihiro Nishimura, State Minister of Land, Infrastructure, Transport and Tourism of the Government of Japan dan dilanjutkan dengan 5 pembicara yaitu: 1) Mr. Vladimir Ryabinin, Executive Secretary of UNESCO/

Mei 2015 7

IOC; 2) Mr. Noritake Nishide, Director-General of the Japan Meteorological Agency, Japan; 3) Mr. Eduardo Mesina, Deputy Director, Port Works Division Ministry of Public Works, Republic of Chile; 4) Mr. Shi Peijun, Deputy Director, Expert Board of the China National Commission on Disaster Reduction, China; dan 5) Mr. Ismail Gunduz, District Governor of Adapazari-Sakarya, Turkey. Berperan sebagai moderator pada sesi ini adalah Prof. Dr. Syamsul Maarif, Kepala BNPB.

Beberapa catatan penting dari sesi ini adalah: a) pengaruh dari perubahan iklim perlu dipahami oleh pemerintah daerah serta masyarakatnya terkait dengan dampak dan penghidupan (livelihood) masyarakat yang terjadi, b) efektifitas kesiapsiagaan pada tataran komunitas perlu dibarengi dengan sistem peringatan dini, simulasi, serta rencana dan pola evakuasi, c) keterlibatan para multipihak secara substansional baik pada tataran nasional dan daera dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi, komunitas sains, akademisi, institusi riset dan teknologi, pihak swasta, dan media, d) kejadian mega disasters akan berdampak pada ekonomi global secara umum, e) berbagi pengalaman dalam menangani mega disaster perlu dilakukan antar negara untuk mendapatkan pendekatan yang efektif, f) membangun sain dan teknologi dalam upaya meningkatkan ketangguhan masyarakat, g) peta risiko untuk memahami scara spasial wilayah yang potensialakan terjadi mega disaster, h) peraturan dan perundagan yang komprehensif terkait dengan mega disaster, serta i) peran pihak swasta dalam keterlibatannya pada pasca mega disaster menjadi penting.

Acara khusus yang telah diinisiasi oleh UNISDR dan menjadi permintaan khusus dari Margareta Wahlström, UN Special Representative of the Secretary-General for Disaster Risk Reduction (DRR) adalah “Peer Reviews for Effective Implementation of National Disaster Risk Reduction Actions”

Tujuan dari agenda ini adalah untuk memantau dan memberikan evaluasi pada capaian implementasi HFA maupun SFDRR ke depan. Sesi ini telah memberikan nilai tambah dalam pembelajaran yang telah dilakukan serta dapat meningkatkan kontribusi pada tata kelola risiko bencana pada pasca HFA 2015. Acara ini dipandu oleh Ms. Helena Lindberg, Director General, Civil Contingencies Agency (MSB), Sweden yang terdiri dari para pembicara Mr. Jack Radisch, Section Manager, High Level Risk Forum, OECD, Mr. Campbell McCafferty, Director of the Civil Contingencies Secretariat, Cabinet Office, UK, Mr. José Donderis, Director of the National Civil Protection System (SINAPROC), Panama, Mr. James Chiusiwa, Director of Disaster Risk Reduction Department of Disaster Management Affairs (DoDMA), Malawi, Mr. Claus Sorensen, Director General of the Directorate General Humanitarian Aid and Civil Protection, EC, dan Mr. Wisnu Widjaja, Deputy Minister for Prevention and Preparedness, the National Authority for Disaster Management (BNPB), Indonesia.

Dalam acara Peer-Review HFA (dan pelaksanaan PRB secara umum), narasumber dari beberapa negara Eropa, Amerika Latin dan Afrika, serta para expert reviewer dari ODI, berbagi tentang pengalaman mereka mengadakan peer-review. Proses ini dilaksanakan melalui mutual agreement antar pihak yang terlibat, dengan difasilitasi oleh beberapa lembaga pendukung. Pengalaman menarik datang dari Perancis, yang mengadakan peer-review spesifik untuk penanganan banjir kota Paris. Dari hasil peer-review yang melibatkan banyak pakar dari beberapa negara, beberapa perbaikan diadakan dalam sistem mitigasi banjir kota Paris. Hasilnya sangat baik, terbukti dalam banjir besar terakhir yang dialami Paris, kerusakan hanya minim dan dapat segera diatasi dengan baik.

Indonesia yang mewakili Asia menyatakan bahwa mekanisme peer-sreview di Asia belum terbentuk secara sistematik, namun

8 Gema BNPB Vol 6 No 1

upaya itu telah diinisiasi setelah AMCDRR ke 4, namun perlu mekanisme yang lebih baik lagi untuk memantau implementasi pasca HFA 2015 ke depan. Mekanisme ini dapat dilakukan dengan meminta negara atau organisasi regional untuk menilai implementasi pengurangan risiko bencana dengan kesepakatan indikator, jenis bencana, mekanisme dan sistematikanya, serta alangkah lebih baik bila negara yang melakukan review mempunya ancaman bencana yang sama, sehingga pelaksanaan peer-review akan menjadi pembelajaran dan berbagi pengalaman antar negara.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, menyatakan menyambut baik upaya semacam peer-review ini untuk memberikan masukan dan menyempurnakan upaya-upaya negara dalam membangun bangsa yang tangguh. Hanya saja, pemerintah Indonesia menggarisbawahi pentingnya proses yang

tidak mengikat/non-binding, sukarela, atas permintaan sendiri, dan aspek-aspek yang direview perlu disepakati bersama sebelum kegiatan review dilaksanakan. Indonesia juga mengungkapkan pentingnya isu pendanaan. Upaya semacam ini diselesaikan di muka agar tidak memberatkan pihak yang direview maupun reviewer, terutama terkait kesepakatan tentang lingkup review, agar fokus dan mendalam.

Pada akhir pertemuan, wakil dari OECD menawarkan kepada BNPB untuk memberikan dukungan bila Indonesia siap untuk melaksanakan peer-review. BNPB menyambut baik tawaran ini, dan OECD akan menindaklanjuti melalui perwakilan mereka di Indonesia dalam waktu dekat. Indonesia juga menyatakan siap untuk melakukan peer-review untuk implementasi pasca HFA 2015 ke depan dengan tantangan kewilayahan dan sistem desentralisasi pemeritahan.

Sum

ber

: bnp

b

Mei 2015 9

Pada acara 3rd WCDRR juga telah terlaksana pertemuan regional yang penting, yaitu Asia Leaders Meeting, ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management, dan Asian Conference on Disaster Reduction 2015

a) Asia Leaders Meeting

Pada Asia Leaders Meeting, ini merupakan tindak lanjut dari berbagai konferensi AMCDRR yang telah diselenggarakan hingga yang ke 6 di Bangkok. Kolaborasi yang baik dari negara-negara Asia ini membangun platform dalam pengurangan risiko bencana serta implementasi dari HFA yang lalu. Tujuan dari pertemuan ini adalah mendapatkan pembelajaran mekanisme kerjasama dalam AMCDRR maupun bentuk regional yang lain untuk meningkatkan ketangguhan di negara-negara Asia, mendefinisikan pedoman kebijakan dalam implementasi pasca HFA 2015 dalam pengurangan risiko bencan untuk risk sensitive dan resilient development. Memberikan arahan pada mekanisme kolaborasi pada tataran regional maupun sub regional dalam instrumentasi implementasi pasca HFA 2015. Acara ini dipandu oleh H.E. Mr. Rajnath Singh, Minister of Home Affairs of India sebagai penyelenggara 2nd AMCDRR dan penyelenggara pada AMCDRR di tahun 2016.

Bapak Kepala BNPB menekankan pentingnya peningkatan program-program konkret terkait PRB yang mendukung kegiatan ekonomi, yang juga dapat mengurangi potensi penciptaan risiko baru di antara negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Negara-negara di kawasan tersebut terutama diharapkan memberi peluang bagi kerjasama langsung antar pemerintah daerah di Kawasan Asia Pasific, terutama yang saling berbatasan langsung (border areas).

PRB yang berhasil seharusnya tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga penghidupan (livelihood) dan mata pencaharian, pekerjaan, tempat tinggal dan infrastruktur publik yang penting seperti sekolah, rumah sakit dan jalan raya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang dapat mengarahkan pembangunan agar mengurangi risiko dan sekaligus meningkatkan ketangguhan masyarakat dan bangsa terhadap bencana.

Implementasi kerangka PRB ke depan perlu diarahkan atau difokuskan pada tingkat masyarakat, terutama untuk mengurangi kerentanan dan keterpaparan warga masyarakat miskin dari berbagai krisis dan bencana sebagai bagian dari tujuan besar untuk mengurangi kemiskinan dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Perhatian juga perlu diberikan pada risiko ekstensif akibat bencana berskala kecil yang "slow onset" dan tidak terlihat nyata seperti kekeringan yang berkepanjangan, karena para petani kecil, bisnis kecil dan rumah tangga miskinlah yang paling menanggung dampak bencana-bencana semacam ini di negara-negara berkembang. Perlunya dikembangkan Warning system yang terkait dengan perubahan iklim (salah satu bentuk antisipasi terhadap ancaman bencana slow on set akibat perubahan iklim).

b) ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management

AMMDM ini bertujuan untuk membangun kerjasama dan institusionalisasi kebencanaan dan perubahan iklim menuju ketangguhan di negara-negara regional ASEAN serta untuk memberikan pernyataan bersama (joint statement) dari negara ASEAN untuk 3rd WCDRR. Agenda ini diorganisir oleh Asean Secretariat dan dipimpin oleh Brunei Darussalam dan Kamboja sebagai Chair dan Vice-Chair dari ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management (AMMDM). Dalam agenda ini telah berhasil untuk menyepakati draft untuk ASEAN Declaration on Institutionalising the Resilience of ASEAN and its Communities and Peoples to Disasters and Climate Change, sebagai bahan masukan pada acara the 26th ASEAN Summit in April 2015. Semua negara ASEAN telah hadir terwakili dalam agenda pertemuan ini.

Indonesia menyatakan dalam pertemuan ini dengan komitmen dan aksi yang telah dilakukan selama ini. Program jalinan kerjasama regional dalam upaya pengurangan risiko bencana

10 Gema BNPB Vol 6 No 1

dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana serta upaya kebijakan dalam perencanaan dan mekanisme pendanaan terkait dengan pasca bencana terus dikembangkan. MM DiREx (Mentawai Megathrust Disaster Relief Exercise) Tahun 2014 merupakan salah satu kegiatan yang terpadu dengan melibatkan berbagai multipihak serta negara ASEAN dalam pelatihan dan simulasi bencana skala besar. Selain itu terbangunnya sistem informasi dan sistem peringatan dini di tataran regional ini juga menjadikan komitmen Indonesia tetap menjaga kemitraan bersama negara ASEAN (AHA Center, ARDEX, Admeer). Indonesia juga menyampaikan modalitas INA DRTG sebagai pusat pengetahuan dan pelatihan yang siap dimanfaatkan oleh negara ASEAN untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, serta pembelajaran ke depan. Dukungan sepenuhnya juga diberikan Indonesia dalam kesepakatan membangun komunitas ASEAN dalam PRB serta berkomitmen sepenuhnya dalam membangun ketangguhan negara ASEAN untuk masyarakat dalam kebencanaan dan perubahan iklim. Indonesia juga mendukung sepenuhnya deklarasi yang telah dihasilkan dari pertemuan ini.

c) Asian Conference on Disaster Reduction 2015

ACDR yang telah diselenggarakan sejak 2003 dan diorganisir oleh Sekretaris Kabinet Jepang, ADRC, dan UNISDR ini merupakan upaya berbagi informasi, kegiatan dan program antar negara-negara anggota ADRC yang saat ini berjumlah 30 negara di Asia. Tujuan dari penyelenggaraan ini adalah mendapatkan capaian dari HFA yang telah diimplementasikan dalam platform ADRC dan mendukung implementasi pasca HFA 2015 ke depan dengan penguatan jejaring dan prioritas aktivitas dalam anggota negara ADRC. Acara steering committee yang dihadiri para wakil negara anggota ADRC telah disampaikan laporan kegiatan dan keuangan dari ADRC pusat serta dibuka peluang untuk mengajukan program aktivitas untuk tahun mendatang.

Indonesia telah memberikan masukan untuk meningkatkan pengetahuan dan riset dibidang kebencanaan, INA DRTG merupakan modalitas dalam melaksanakan pelatihan dan pendidikan di bidang kebencanaan. Pengembangan Knowlegde Management di Indonesia telah dimulai dan menjadikan sebagai Center of Excellence dalam bidang kebencanaan. Indonesia menawarkan tempat sebagai pusat pelatihan dan pendidikan untuk negara-negara ADRC untuk saling berbagi informasi, pengalaman, serta pembelajaran di bidang kebencanaan. Ikatan keahlian di bidang kebencanaan juga sudah dibangun di Indonesia dan siap mendukung exchange of experts di bidang kebencanaan dengan negara-negara anggota ADRC ke depan.

Dalam menyusun Road Map PRB 2015-2030 untuk masa mendatang, Indonesia perlu membuat rancangan visi dan misi yang terkait dengan turunan penting hasil dari dokumen SFDRR 2015-2030. Pertama, perlunya memahami konsep risiko bencana yang tentunya memerlukan investasi yang besar dan optimalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menerapkan di tataran praxis. Kedua, tata kelola pengurangan risiko kebencanaan sebaiknya melibatkan pada semua tataran kewilayahan dengan disesuaikan tanggung jawab dan tugas masing-masing tingkatan. Ketiga, investasi menjadi ranah kebijakan yang sebaiknya diperbaiki dalam investasi pembangunan wilayah di Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah dari segala sektor, pihak swasta, dan lainnya. Keempat, keterkaitan pengurangan risiko bencana dengan berbagai isu, seperti halnya pengurangan kemiskinan, agenda besar SDGs yang akan dibahas juga dalam agenda global tahun ini, adaptasi perubahan iklim yang akan dibahas dalam UNFCC tahun ini, serta pembangunan wilayah pada umumnya perlu menjadi perhatian khusus dengan berkoordinasi dengan sektor terkait. Sehingga dapat mendorong pengurangan risiko bencana yang lebih terintegarasi dan komprehensif, baik dimensi para pelaku, dimensi permasalahan, serta dimensi pengelolaannya. Sesuai dengan siklus pra dan pasca bencana yang terinterasi dalam suatu proses yang berkelanjutan.

Mei 2015 11

Laporan Utama

Sumber : www.wcdrr.org

Laporan Utama

Capaian Indonesia di 3rd WCDRR Sendai : Mengelola Risiko Berbasis Negara Kepulauan NusantaraOleh Raditya Jati

Sum

ber

: bnp

b

12 Gema BNPB Vol 6 No 1

Terkait dengan manajemen risiko bencana pada kerangka HFA yang lalu, proses perencanaan,

pelaksanaan dan monitoring evaluasi perlu upaya yang lebih spesifik untuk menyelesaikan sesuai dengan kualifikasi standar PRB di tingkat nasional. Instrumen kebijakan yang tidak dapat diterapkan di daerah merupakan salah satu kesejangan ilmu pengetahuan serta strategi program pembangunan yang disebabkan oleh ketimpangan spasial. Kurangnya pengelolaan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan berbagai risiko di negara ini, menjadi tantangan bagi Negara Kepulauan Indonesia untuk menerapkan PRB langsung di tingkat lokal.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah yang pengaruh antropogenik terkait dengan proses pembangunan, kepentingan politik, kepemimpinan, pembangunan infrastruktur, permasalahan lingkungan, tata pemerintahan yang baik, korupsi, pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum. Proses pembangunan bisa berdampak pada kerusakan lingkungan yang juga dapat menyebabkan bencana. Proses pembangunan juga akan menyiratkan pada perubahan penggunaan lahan, konversi lahan, penurunan daya dukung lingkungan, ketimpangan spasial, konflik tata ruang, risiko berbasis spasial, kualitas perubahan lansekap, dan kerusakan kawasan cagar budaya.

Dampak intangible lainnya dapat berupa budaya dan sosial, ekonomi, dan degradasi mentalitas dalam menghadapi globalisasi.

Dalam upaya ikut berparitisipasi untuk memasukan beberapa konsep kerangka mengenai pengurangan risiko bencana dari Indonesia dalam dokumen PBB, Indonesia yang dikoordinasikan oleh BNPB telah beberapa kali melaksanakan diskusi bersama para multipihak terkait dengan PRB. Proses tersebut akhirnya secara aktif disampaikan dalam negosiasi dan persidangan di tataran global yang dikawal bersama oleh Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan Tetap di Jenewa. Ada 9 hal yang pada dasarnya menjadi isu besarnya yang didetailkan dalam masukan per paragraf. Semangat kepulauan nusantara tetap menjadi dasar pemikiran dari Indonesia sebagai upaya pengelolaan risiko berbasis pada karakteristik geografis spasialnya.

Bagian pertama adalah, mengintegrasikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke dalam kebijakan pemerintah yang desentralisasi, dengan melibatkan pemerintahan daerah dan pembangunan yang partisipatif. Melibatkan Platform Nasional PRB dalam jaringan koordinasi antar pemangku kepentingan di Indonesia (pemerintah, akademisi, LSM, sektor swasta, dan media) untuk memberikan wewenang dan tanggung jawab kebijakan

Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah karakteristik kewilayahan secara geografis, wilayah negara kepulauan Nusantara yang tersebar luas terdiri dari ribuan pulau memiliki risiko bencana yang lebih tinggi daripada negara-negara kontinental. Indonesia memiliki wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam, dan budaya yang sangat kaya beragam. Tersebarnya wilayah kepulauan ini menyebabkan tantangan dalam memenuhi aksesibilitas sumber daya, data dan informasi, serta kapasitas sumberdaya manusia untuk mengelola risikonya.

Mei 2015 13

nasional PRB ke pemerintah daerah. Mendukung program PRB ke dalam tataran yang implementatif di daerah, yang langsung dapat memberikan dampak pada masyarakat dan pembangunan infrastruktur mengingat wilayah Nusantara tersebar luas dengan karakteristik yang spesifik.

Kedua, mengembangkan pendekatan penghidupan (livelihood) untuk membangun strategi ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Komponen penghidupan yang terkait dengan aset, akses, dan aktivitas masyarakat menjadi aspek yang penting pada membangun strategi ketangguhan mereka. Pendekatan penghidupan dapat digunakan sebagai alat pengkajian untuk menentukan data informasi demografik secara kualitatif dan kuantitatif untuk meningkatkan ketangguhan mereka.

Ketiga, ilmu pengetahuan, pendidikan, sains dan teknologi untuk mendukung pembuatan kebijakan dan meningkatkan ketangguhan masyarakat. Keterpaduan antara para profesional peneliti, akademisi, ilmuwan, dan para ahli

dengan dasar pendekatan berbasis pada PRB mempertahankan pembangunan berkelanjutan untuk mendukung pembuatan kebijakan, meningkatkan kapasitas, membangun tingkat kesadaran untuk meningkatkan hak asasi manusia.

Keempat, pendekatan PRB yang Transdiciplinary (terintegratif dan lintas dimensi) meliputi upaya dalam dimensi mitigasi bencana, perencanaan tata ruang, pengelolaan lingkungan hidup, dan penghidupan masyarakat. Menggabungkan permasalahan untuk mengintegrasikan PRB dengan banyak dimensi. Program kolaborasi bersama ini sebaiknya dilaksanakan berbasis pada aspek spasial dan temporal. Hal ini dapat juga menjadi interalasi dan integrasi antara Perubahan Iklim, Penanggulangan Bencana, dan Manajemen Lingkungan.

Kelima, membangun ketangguhan dengan memperkuat hubungan antara desa-kota (urban and rural lingkages). Hubungan keterkaitan antar desa-kota akan meningkatkan kegiatan di bidang ekonomi, meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan keterkaitan ini akan

Sum

ber

: bnp

b

14 Gema BNPB Vol 6 No 1

mendukung upaya pembangunan wilayah dengan pendekatan PRB. Misalnya, ketahanan pangan, infrastruktur, sektor industri dan keterlibatan swasta, pemuda dan pendidikan, hubungan sosial, dll dapat mendukung pengurangan risiko bencana pada suatu wilayah dan menjadikan wilayah tersebut tangguh terhadap bencana.

Keenam, peningkatan penganggaran keuangan dan investasi untuk PRB di semua tataran. Penganggaran keuangan merupakan hal yang sangat penting dalam program dan kegiatan PRB yang sebaiknya langsung dikoordinasikan oleh pemerintah dengan melibatkan peran sektor swasta dan lembaga lain yang diatur dalam instrumen kebijakan pemerintah yang jelas. Mengkaitkan antara isu permasalahan di bidang lingkungan hidup dan PRB ke dalam instrumen kebijakan insentif dan desinsentif. Memasukan aspek investasi dalam PRB menjadikan bisnis mereka ikut mendukung ekonomi kerakyatan. Meningkatkan potensi ekonomi lokal pada mekanisme pembiayaan ikut mendukung ekonomi kerakyatan di wilayah tersebut. Penerapannya dapat dalam konsep mekanisme pendanaan untuk bencana, bantuan dana untuk PRB, Indonesian Disaster Fund-IDF, keterlibatan sektor swasta, Business Continuity (BCP), Business Continuity Management (BCM), Keputusan dari Presiden, respon darurat untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi.

Ketujuh, pengetahuan tradisional, spiritual sosial-budaya, lansekap warisan budaya, agama, dan pemahaman masyarakat adat merupakan aset sumberdaya yang kuat dan menjadikan suatu bentuk investasi dalam PRB untuk ketangguhan masyarakat di masa depan. Memperkuat kemitraan (pemerintah di tingkat nasional dan daerah, masyarakat, lembaga donor, akademisi, insitutsi, para ahli) dalam melestarikan pengetahuan tradisional, budaya, lansekap warisan budaya, sosial budaya dalam manajemen risiko bencana dan menjadi dasar yang kuat

dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat terhadap bencana.

Kedelapan, nasionalisme dan pendekatan kerakyatan dalam PRB merupakan bagian dari hak asasi manusia. Reformasi struktur dan berfungsi dengan bereaucracy kebijakan publik berdasarkan karakteristik masyarakat dan kebangsaan kebanggaan. Ketahanan nasional akan berkembang melalui revolusi mental dan semangat dengan partisipasi semua. Melibatkan instansi pemerintah dengan semua pihak yang berkepentingan untuk menciptakan konsensus dan dukungan masyarakat sipil.

Kesembilan, optimalisasi jaringan pada isu-isu internasional dan lintas batas untuk pembangunan berkelanjutan yang lebih baik. Untuk memperkuat kerjasama internasional untuk menghadapi tantangan presistence PRB untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Kolaborasi ini harus di antara para pemangku kepentingan dengan semua level dan berhubungan juga dengan kerjasama lintas batas spasial.

Dari hasil proses negosiasi politik dalam 3rd WCDRR, banyak konsep yang telah diusulkan dari Indonesia tersebut dapat terakomodasi dalam dokumen penting di PBB. Catatan penting dari Kementerian Luar Negeri adalah sesuai mandat yang diberikan di bawah Resolusi SMU PBB No. A/68/211, fokus utama dari WCDRR adalah perumusan Kerangka Aksi Pengurangan Risiko Bencana menggantikan Hyogo Framework for DRR (SFDRR) 2005-2015. Dengan disahkannya Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, maka masyarakat internasional telah memiliki kerangka aksi baru terkait pengurangan risiko bencana yang akan menjadi panduan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana hingga tahun 2030. Sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya, proses finalisasi SFDRR tidak dapat dilakukan secara cepat mengingat para delegasi terus menemui kesulitan untuk menyepakati

Mei 2015 15

berbagai pending paragraph yang telah mulai dibahas sejak Proses Preparatory Committee Meeting di Jenewa periode Juli 2014-Februari 2015.

Namun demikian perlu dicatat bahwa berbagai isu yang bersifat contentious tersebut relatif merupakan isu-isu yang berada di luar core business dari isu DRR atau bahkan tidak terkait dengan aspek teknis penanganan DRR, antara lain : linkage dengan UN Process lainnya (SDGs, Climate Change dan Financing for Development); isu conflict and foreign occupation; masalah kesehatan khususnya sexual and reproductive health; serta penetapan bentuk dan target khusus yang terukur mengenai bantuan pendanaan dari negara maju kepada negara berkembang untuk membantu penanganan bencana.

Bagi Indonesia, salah satu kepentingan utama yang saat ini terdapat di dalam SFDRR 2015-2030 adalah adanya pengakuan terhadap konsep “disaster-prone countries with specific characteristic, such as archipelagic countries, as well as countries with extensive coastlines” yang selama ini tidak terdapat di dalam berbagai dokumen utama PBB dan hanya terdapat di dalam UNCLOS. Dengan pengakuan tersebut, masyarakat internasional mengakui perlunya perhatian khusus dan bantuan yang tepat bagi negara-negara dengan karakteristik khusus tersebut dalam hal kapasitas penanggulangan bencana dan pemulihan pasca bencana. Masyarakat internasional mengakui bahwa karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kawasan pesisir pantai yang sangat panjang, yang terletak di antara beberapa lempengan bumi serta memiliki jumlah gunung berapi yang sangat banyak, menjadikan Indonesia sebagai negara yang semakin rawan terhadap terjadinya berbagai macam bencana.

Di lihat dari sudut pandang lain, keberhasilan Indonesia memasukan rujuan tersebut semakin menunjukkan

kepemimpinan Indonesia dalam isu PRB serta menunjukkan kesiapan Indonesia untuk keluar dari kotak-kotak pembedaan yang bersifat tradisional yang hanya dikategorikan sebagai pertentangan antara negara maju dan negara berkembang. Dengan adanya pengakuan konsep ini, Indonesia dapat menunjukkan bahwa negara-negara kepulauan dan berpesisir pantai panjang memerlukan perhatian ataupun bantuan internasional khusus, dan di saat yang sama juga membuka peluang bagi peran yang besar bagi negara berkembang dari negara disaster prone untuk menjadi pihak yang memberikan expertise kepada negara maju.

Isu lain yang juga menjadi prioritas Delegasi Indonesia pada sidang WCDRR kali ini adalah penekanan terhadap pentingnya pengembangan kapasitas lokal dalam menghadapi bencana. Hal tersebut perlu dilakukan seluruh negara di dunia, mengingat penanganan bencana harus dilakukan secara sinergi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Indonesia juga turut mendukung pentingnya pengakuan serta pengembangan traditional knowledge di dalam kegiatan DRR, mengingat berbagai pengetahuan tradisional tersebut telah terbukti dapat mengurangi jumlah korban jiwa pada saat terjadinya bencana.

Berbagai hal yang menjadi prioritas Delegasi Indonesia tersebut telah tertuang di dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, yaitu kerangka aksi baru pengurangan risiko bencana yang akan menjadi panduan masyarakat internasional dalam kegiatan pengurangan risiko bencana hingga tahun 2030. Di samping itu, sidang juga telah menghasilkan sebuah deklarasi politik yang diberi nama Sendai Declaration yang menegaskan komitmen masyarakat internasional untuk terus memjukan isu DRR. Kedua dokumen tersebut merupakan dokumen akhir yang disahkan pada saat penutupan WCDRR tanggal 18 Maret 2015.

16 Gema BNPB Vol 6 No 1

Dalam menyiasati upaya pengurangan risiko bencana terkait dengan agenda pembangunan yang berkelanjutan maka Pemerintah Indonesia akan membangun sumber daya yang berkelanjutan alam dan lingkungan, dan manajemen bencana, disebutkan bahwa sasaran pembangunan dalam manajemen bencana dan pengurangan risiko bencana merupakan penurunan Indeks Risiko Bencana di pusat-pusat pertumbuhan yang berada di daerah rawan bahaya, melalui (1) Pengarusutamaan pengurangan resiko bencana ke dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional dan lokal, (2) mengurangi kerentanan terhadap bencana, dan (3) Peningkatan kapasitas pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh masyarakat dalam penanggulangan bencana. Belajar dari pengalaman pengurangan risiko bencana dalam kurun waktu tahun terkahir, Indonesia menyadari bahwa perlu upaya lebih untuk memperkuat dan mengkonsolidasikan pengembangan risk sensitive. PRB perlu diperkuat dan dikoordinasikan di tingkat pemerintah daerah serta berdampak langsung pada masyarakat. Upaya pengurangan risiko bencana untuk masa depan perlu difokuskan pada pengarusutamaan PRB ke dalam rencana pembangunan di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota dan tingkat desa. Pendekatan bottom-up perlu diintegrasikan dengan inisiatif PRB dari pemerintah pusat yang menggunakan pendekatan top-down untuk membangun ketangguhan. Seluruh proses akan melibatkan multi-pihak untuk bergerak berdasarkan justifikasi ilmu pengetahuan untuk membangun PRB dan ketangguhan.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aset di wilayah pesisir yang padat penduduk dan wilayah risiko yang tinggi, dampak ekonomi dari bencana juga dapat meningkat. Indonesia perlu mengatasi tantangan dan risiko yang berkembang untuk membangun kota dan pusat-pusat perkotaan yang tangguh terhadap bencana. Pemerintah perlu memperkuat pengelolaan risiko bencana

dan ketangguhan pusat-pusat perkotaan. Hal ini harus dimulai melalui penguatan kerangka peraturan dalam pengembangan dan pengelolaan investasi risk sensitive. Capaian perjuangan Indonesia dalam kerangka besar pengurangan risiko bencana yang tertuang dalam dokumen PBB ini menjadi kesuksesan yang patut kita syukuri. Namun menjadi tantangan yang berat tentunya dalam implementasi program-program serta mewujudkan pengurangan risiko bencana menjadi suatu prioritas aksi dalam pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia untuk masa mendatang. Pengelolaan kebencanaan dengan karakteristik “Kepulauan Nusantara” dengan keanekaragaman budaya dan sumberdaya alam, tentunya akan menjadi tanggungjawab bersama bagi seluruh Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh.

Bagi Indonesia, salah satu kepentingan utama yang saat ini terdapat di dalam SFDRR 2015-2030 adalah

adanya pengakuan terhadap konsep “disaster-prone countries with specific characteristic, such as archipelagic countries,

as well as countries with extensive coastlines” yang

selama ini tidak terdapat di dalam berbagai dokumen

utama PBB dan hanya terdapat di dalam UNCLOS.

Mei 2015 17

Fokus Berita

MenghitungMasyarakat Indonesiayang Terpapar Bencana

18 Gema BNPB Vol 6 No 1

Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dilanda bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam. Pencatatan data bencana (http://dibi.bnb.go.id) menunjukkan bahwa rata-rata kejadian bencana dari tahun 2000-2014 lebih dari 1000 bencana. Data ini membuktikan bahwa bencana merupakan ancaman yang sangat nyata bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Kesiapsiagaan menjadi isu yang sangat penting dikembangkan ke depannya, sehingga semua masyarakat sadar akan bencana disekitarnya dan mampu untuk mengurangi risikonya. Investasi dalam kesiasiagaan diharapkan mampu untuk mengurangi jumlah korban dan kerusakan apabila terjadi bencana. Rata-rata korban meninggal akibat bencana selama tahun 200-2014 lebih dari sepuluh ribu jiwa, angka ini cukup besar karena pada tahun 2004 terjadi gempabumi dan tsunami Aceh yang menelan lebih dari 100 ribu jiwa.

Sum

ber

: bnp

b

Mei 2015 19

Laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2035 yang

mencapai 305,6 juta jiwa menunjukkan bahwa permintaan akan lahan semakin meningkat sehingga tidak menutup kemungkinan daerah rawan bencana menjadi kawasan terbangun. Sehingga perlu kiranya menghitung jumlah penduduk Indonesia yang terpapar bencana sebagai bahan masukkan dan pertimbangan pembangunan ke depannya. Perhitungan ini menggunakan data hasil sensus penduduk 2010 yang telah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.

Salah satu jenis bencana yang cukup membahayakan bagi masyarakat Indonesia adalah gempabumi. Pergerakan lempeng tektonik yang terjadi di sepanjang pantai barat pulau Sumatera merupakan tempat pertemuan lempeng Asia dan lempeng Samudera India, sedangkan di pantai selatan Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara merupakan tempat pertemuan lempeng Australia dan lempeng Asia. Sulawesi dan Maluku sebagai tempat pertemuan lempeng Asia dan lempeng Samudera Pasifik. Hal tersebut ditunjukkan pada gambar 9 yang menunjukkan jalur tektonik di Indonesia. Pusat pertemuan antar lempeng tersebut menjadikan Indonesia sebagai daerah yang sering dilanda gempabumi dengan ribuan episentrum yang tersebar di sepanjang pertemuan lempeng. Gempabumi bawah laut merupakan pemicu terjadinya tsunami, terutama gempabumi yang terjadi di bawah laut yang diikuti oleh deformasi lantai samudera, seperti yang terjadi di pantai barat Sumatera dan pantai utara Papua.

Jumlah total penduduk yang terpapar bahaya kelas sedang dan tinggi adalah 148,4 juta jiwa atau 62,4% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut dapat dibedakan berdasarkan kelas yaitu 6,6 juta jiwa atau 2,79% terpapar bahaya kelas tinggi dan 141,8 juta jiwa atau 59,69% terpapar bahaya kelas sedang.

Besarnya jumlah penduduk yang terpapar bahaya kelas sedang menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah yang padat penduduk berada pada kelas ini, seperti di wilayah sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, sebagian pantai barat Pulau Sumatera, dan wilayah utara Pulau Sulawesi. Dari total jumlah penduduk terpapar tersebut 74,6 juta jiwa merupakan penduduk laki-laki dan 73,8 juta jiwa penduduk perempuan. Selain jumlah penduduk secara keseluruhan, variabel lain yang juga perlu mendapat perhatian khusus adalah besarnya jumlah kelompok rentan yang terpapar bahaya ini. Jumlah totalkelompok rentan yang terpapar bahaya gempabumi kelas tinggi dan sedang sejumlah 27,2 juta jiwa, dari jumlah tersebut 51,8% merupakan balita, 44,09% lansia, dan 4,02% penyandang disabilitas.

Gempabumi yang terjadi di dasar laut mampu untuk menciptakan bencana susulan seperti tsunami. Penduduk Indonesia yang terpapar bahaya tsunami sebagian besar mereka yang tinggal di wilayah pesisir pantai. Penduduk Indonesia yang terpapar bahaya tsunami kelas tinggi berjumlah 2,9 juta jiwa yang terbagi menjadi 1,5 juta jiwa laki-laki dan 1,4 juta jiwa perempuan, jumlah inimerupakan 1,24% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah terbesar penduduk terpapar tsunami kelas tinggi berada di Provinsi Sulawesi Selatan yang mencapai 706 ribu jiwa atau 8,79% dari total penduduknya. Provinsi lain yang memiliki jumlah penduduk terpapar yang cukup besar adalah Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat, Aceh, Banten, Bali, dan Maluku.

Sekitar 3,8 juta penduduk Indonesia terpapar bahaya tsunami, yang terdiri dari 2,9 juta pada kelas bahaya tinggi dan 900 ribu pada kelas bahaya sedang. Hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 adalah 237 juta jiwa, ini berarti bahwa 1,63% penduduk Indonesia terpapar bahaya tsunami. Provinsi yang memiliki penduduk paling banyak terpapar bahaya

20 Gema BNPB Vol 6 No 1

tsunami kelas tinggi adalah Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah.

Indonesia memiliki 129 (13% dari jumlah gunung aktif dunia) gunung aktif yang dapat meletus dan menimbulkan kerugian dan dampak baik secara langusng maupun tidak. Letusan Gunung Kelud tahun 2014 telah menyebabkan lebih dari 82 ribu penduduk mnegungsi. Pada sisi yang lain kesuburan lereng pegunungan menjadi minat penduduk untuk tinggal karena mampu memberikan penghasilan dari segi pertanian dan peternakan. Jumlah total penduduk terpapar bahaya kelas tinggi sebanyak 261 ribu jiwa, sedangkan total jiwa terpapar bahaya kelas sedang adalah 935 ribu jiwa.

Perhitungan penduduk terpapar untuk kelompok rentan (balita, lansia, dan penyandang disabilitas) menunjukkan jumlah 56 ribu jiwa pada bahaya kelas tinggi. Angka tersebut terdiri atas

kelompok balita 23 ribu jiwa, lansia 30 ribu, dan penyandang disabilitas 2 ribu jiwa. Jumlah total kelompok rentan terpapar dengan bahaya kelas sedang sebanyak 189 ribu jiwa. Dari dua wilayah bahaya kelas tinggi dan sedang didapat total kelompok rentan sebanyak 245 ribu jiwa, atau 0,58% dari jumlah jiwa terpapar.

Provinsi-provinsi yang mempunyai persentase penduduk terpapar terbanyak bahaya gunungapi Kelas tinggi dan sedang adalah Provinsi Aceh, Maluku, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTT, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, dan DI Yogyakarta. Provinsi Jawa Tengah adalah provinsi tertinggi dengan persentase 25,85% penduduknya terpapar bahaya gunungapi, diikuti oleh Jawa Barat dengan 15,8%, Jawa Timur dengan 14,9%. Tingginya persentase tingkat keterpaparan gunungapi di wilayah yang padat penduduk ini perlu diantisipasi kedepannya untuk

Sum

ber

: bnp

b

Mei 2015 21

meminimalkan kerugian, kerusakan, dan ancaman bahaya gunungapi. Hasil perhitungan Kajian Risiko Bencana BNPB tahun 2011 jumlah penduduk kelompok rentan yang terpapar bahaya gunungapi kelas tinggi sejumlah 56 ribu jiwa atau 0,13% dari total jumlah penduduk terpapar. Dari jumlah tersebut kelompok lansia memiliki proporsi yang paling besar yaitu sejumlah 30 ribu, kemudian kelompok balita (0-5) sejumlah 23 ribu, dan penyandang disabilitas sejumlah 2 ribu jiwa.

Pada awal musim penghujan dan memasuki awal musim kemarau atau yang lebih sering disebut musim pancaroba, intensitas bencana tanah longsor, banjir dan puting beliung cenderung meningkat. Ketiga bencana ini juga merupakan kejadian yang dominan setiap tahunnya terjadi di Indonesia. Secara umum ada beberapa wilayah yang menjadi langganan banjir seperti

Jakarta, Daeyuhkolot dan bantaran sungai Bengawan Solo. Bencana tanah longsor umumnya terjadi pada wilayah dengan topografi berbukit hingga bergunung. Selain topografi, jenis tanah, tutupan vegetasi, kondisi curah hujan di wilayah tertentu, dan perubahan fungsi lahan memicu kejadian tanah longsor yang dapat terjadi setiap waktu. Berdasarkan hasil pengolahan peta bahaya tanah longsor dengan data sensus penduduk tahun 2010, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terpapar dan kelompok rentan pada kelas tinggi dan sedang terbesar se-Indonesia.

Tingkat penduduk terpapar bahaya Tanah Longsor dihitung dari peta bahaya gerakan tanah dengan panduan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM, yang ditampalkan dengan peta kepadatan penduduk hasil pengolahan data sensus penduduk tahun 2010. Jumlah total

Sumber : bnpb

22 Gema BNPB Vol 6 No 1

terpapar bahaya tinggi sebanyak 4,8 juta jiwa (2,4 juta jiwa penduduk laki dan 2,4 juta jiwa penduduk perempuan), sedangkan total jiwa terpapar bahaya sedang adalah 36 juta jiwa (18,1 juta jiwa penduduk laki dan 17,9 juta jiwa penduduk perempuan). Hal yang tidak dapat dilepaskan adalah terkait penduduk kelompok rentan menyangkut lansia, balita, dan penyandang disabilitas. Perhitungan secara nasional untuk kelompok rentan terpapar bahaya longsor kelas tinggi adalah 914 ribu jiwa, dengan Kelompok balita sebanyak 488 ribu jiwa, lansia sebanyak 386 ribu, dan kelompok penyandang disabilitas sebanyak 39 ribu jiwa. Untuk bahaya kelas sedang, jumlah total kelompok rentan yang terpapar sebanyak 6,8 juta jiwa (3,6 juta jiwa kelompok balita, 2,9 juta jiwa lansia, dan 284 ribu jiwa penyandang disabiliitas). Dari dua wilayah bahaya kelas tinggi dan sedang didapat total kelompok rentan sebanyak 7,7 juta jiwa, atau 18,2% dari jumlah jiwa terpapar.

Banjir merupakan peristiwa dimana suatu daerah atau daratan terendam karena volume air yang meningkat. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya banjir. Namun secara umum penyebab banjir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu banjir yang disebabkan oleh faktor alam dan banjir akibat ulah manusia. Lebih dari seperempat jumlah penduduk di Indonesia tinggal di lokasi yang masuk dalam kategori bahaya tingkat sedang sampai tinggi untuk bencana banjir. Sekitar 63,7 juta jiwa atau 26,8 % dari total penduduk Indonesia setiap tahunnya mengalami risiko untuk terpapar bencana banjir. Perhitungan secara nasional untuk kelompok rentan terpapar bahaya Banjir untuk kelas tinggi adalah 8,7 juta jiwa, lansia sebanyak 3,8 juta jiwa, dan penyandang disabilitas sebanyak 0,3 juta jiwa. Untuk kelas bahaya sedang, jumlah total kelompok rentan yang terpapar mencapai 2,3 juta jiwa. Dari dua wilayah kelas bahaya tinggi dan sedang didapatkan total kelompok rentan terpapar sebanyak 11 juta jiwa,

atau 26% dari jumlah jiwa terpapar bahaya banjir.

Gelombang ekstrim dan abrasi merupakan ancaman bahaya (hazard) yang sangat berkaitan. Beberapa indikator menjadi tolak ukur kedua ancaman bahaya tersebut, seperti tinggi gelombang, arus (current), tutupan lahan atau vegetasi pesisir, dan bentuk garis pantai. Indonesia memiliki penduduk terpapar pada gelombang ekstrim dan abrasi pada berbagai kelas. Berdasarkan pada peta bahaya dan jumlah penduduk (Sensus BP S 2010), lebih dari tiga juta populasi penduduk terpapar (1,35%) dengan kelas tinggi dan sekitar delapan juta pada kelas sedang (3,34%). Hal yang tidak dapat dilepaskan adalah terkait penduduk kelompok rentan menyangkut penduduk lanjut usia (di atas 60 tahun), balita (0 – 4 tahun), dan penyandang disabilitas. Perhitungan secara nasional untuk kelompok rentan terpapar bahaya gelombang ekstrim dan abrasi kelas tinggi adalah 523 ribu jiwa, dengan rincian kelompok balita 309 ribu jiwa, lansia 214 ribu jiwa, dan kelompok penyandang disabilitas 21 ribu jiwa. Pada kelas sedang, jumlah kelompok rentan terpapar sejumlah 1,3 juta jiwa, dengan rincian balita 755 ribu jiwa, lansia 572 ribu, dan penyandang disabilitas 53 ribu jiwa. Total terpapar bahaya ekstrim dan abrasi untuk kelompok rentan tersebut berjumlah 1,9 juta jiwa atau 4,5% dari total jumlah terpapar bahaya ini. Ditinjau dari kepadatan penduduk, Pulau Jawa menempatkan beberapa provinsi dengan jumlah penduduk terpapar pada kelas tinggi seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah. Sementara untuk provinsi luar Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kalimantan Barat pada kelas ini. Hal tersebut tergambar secara jelas pada peta di atas. Dilihat pada kelas sedang, tiga wilayah di Pulau Jawa masuk pada kategori ini, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat; sedangkan wilayah di luar Jawa yaitu Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau dan Aceh. (PHI)

Mei 2015 23

Fokus Berita

Rapat koordinasi BNPB dan BPBD seluruh Indonesia, tahun ini dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Bidakara, Jakarta (10/3). Selain itu rakornas ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Mensos Khofifah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Kasum TNI Dede Rusamsi, Undangan NGO asing dan dalam negeri, pejabat eselon I dan II lembaga terkait, dan Kalaksa BPBD seluruh Indonesia.

Rakornas BNPB dan BPBD se Indonesia

BNPB Hadir di Tengah Rakyat

24 Gema BNPB Vol 6 No 1

Kepala BNPB menyampaikan respon masalah secara realtime oleh BPBD. "Saat ini sudah terbentuk 468 BPBD,

34 BPBD Provinsi, 363 BPBD Kabupaten dan 71 BPBD Kota" ucap Syamsul Maarif.

Penghargaan Adi Tangguh adalah penghargaan yang diberikan atas pengabdian dan kepemimpinan atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam penanggulangan bencana di daerahnya. Penghargaan diberikan langsung oleh Wapres kepada Gubernur Jawa Tengah H. Ganjar Pranowo, SH, M.IP, dan Bupati Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan Pangeran Khairul Saleh.

Dalam sambutannya Wapres, Jusuf Kalla mengatakan bagaimana mendidik masyarakat bersama pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam menghadapi bencana. Jusuf Kalla

menantang BNPB dan BPBD dalam penanganan bencana di Indonesia menjadi lebih baik. “Jika ada bencana, BNPB atau BPBD 3 jam sampai di lokasi” ucapnya. “Disamping itu faktor kecepatan, kecermatan dan keikhlasan demi kemanusiaan juga menjadi prioritas” tambahnya.

Pada acara tersebut, BNPB juga melakukan MOU bersama Kementerian/Lembaga terkait dalam penanggulangan bencana, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Universitas Indonesia, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, STIKes Binawan Jakarta, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Yayasan Artha Graha Peduli, PT HM Sampoerna Tbk, Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia, Yayasan Rumah Pandai dan Seketariat Nasional Jokowi. (ACU)

Sumber : BNPB

Jika ada bencana, BNPB atau

BPBD 3 jam sampai di lokasi.

Disamping itu faktor kecepatan, kecermatan dan keikhlasan demi

kemanusiaan juga menjadi prioritas.

Mei 2015 25

Pemenang PenghargaanBidang Administrasi Umum,Keuangan dan Perencanaan

Tingkat Provinsi

Juara 1 Provinsi Jawa TengahJuara 2 Provinsi Kalimantan TimurJuara 3 Provinsi Jawa Timur

Tingkat Kabupaten/Kota

Juara 1 Kabupaten Kutai KartanegaraJuara 2 Kota TernateJuara 3 Kabupaten Cilacap

Pemenang PenghargaanBidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Tingkat Provinsi

Juara 1 Provinsi Jawa TengahJuara 2 Provinsi Kalimantan TimurJuara 3 Provinsi D. I. Yogyakarta

Tingkat Kabupaten/Kota

Juara 1 Kabupaten CilacapJuara 2 Kabupaten Kutai KartanegaraJuara 3 Kabupaten Bantul

Pemenang PenghargaanBidang Akuntabilitas

Tingkat Provinsi

Juara 1 Provinsi Sulawesi SelatanJuara 2 Provinsi Kalimantan TimurJuara 3 Provinsi Banten

Tingkat Kabupaten/Kota

Juara 1 Kabupaten MinahasaJuara 2 Kabupaten TabananJuara 3 Kabupaten Banjar (Provinsi Kalimantan Selatan)

Pemenang Penghargaan Bidang Penanganan Darurat

Tingkat Provinsi

Juara 1 Provinsi Jawa TengahJuara 2 Provinsi Sulawesi UtaraJuara 3 Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tingkat Kabupaten/Kota

Juara 1 Kabupaten GresikJuara 2 Kabupaten Pesisir SelatanJuara 3 Kabupaten Manokwari

Pemenang PenghargaanBidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Tingkat Provinsi

Juara 1 Provinsi Jawa TengahJuara 2 Provinsi D. I. YogyakartaJuara 3 Provinsi Gorontalo

Tingkat Kabupaten/Kota

Juara 1 Kabupaten PurworejoJuara 2 Kabupaten BarruJuara 3 Kabupaten Bungo

Pemenang PenghargaanBidang Logistik dan Peralatan

Tingkat Provinsi

Juara 1 Provinsi Jawa TengahJuara 2 Provinsi Kalimantan TimurJuara 3 Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tingkat Kabupaten/Kota

Juara 1 Kabupaten Banjar (Provinsi Kalimantan Selatan)Juara 2 Kabupaten CilacapJuara 3 Kota Bengkulu

Penghargaan Juara Umum BPBDTingkat Provinsi Tahun 2015

BPBD Provinsi Jawa Tengah

Penghargaan Juara Umum BPBDTingkat Kabupaten/Kota Tahun 2015

BPBD Kabupaten Cilacap

26 Gema BNPB Vol 6 No 1

Mitigasi Struktural Menara Kawah Timbang

Liputan Khusus

Sum

ber

: BN

PB

Meningkatnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap gas beracun di sekitar Kawah Timbang, Desa Sumberejo, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah (12/2). BNPB bersama Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, PVMBG, BPBD Kabupaten Banjarnegara meresmikan menara peringatan dini Kawah Timbang, Kabupaten Banjarnegara yang diresmikan oleh Kepala BNPB. "Aktivitas terakhir Kawah Timbang pada tahun 2011 dan 2013 juga mengharuskan kita untuk mengamankan penduduk dalam radius 1 km" ucap Syamsul Maarif.

Mei 2015 27

Pembangunan menara ini merupakan permintaan Komisi VIII DPR RI dan Bupati Banjarnegara saat Kunjungan

Kerja 2013 lalu. Namun, karena hal administrasi baru dapat terwujud saat ini. Menara ini terdiri dari 3 lantai, Lantai 1 berfungsi sebagai pos forum relawan penanggulangan bencana kawah timbang dengan pembina dari BPBD Banjarnegara dan Petugas PVMBG. Lantai 2 Pengendalian informasi komunikasi peringatan dini atau EWS dengan operator petugas PVMBG dibantu forum PB Kawah Timbang. Lantai 3 sebagai tempat memantau visual aktivitas vulkanik kawah timbang dengan operator Petugas PVMBG.

Berdasarkan tingginya tremor dan gempa-gempa vulkanik yang terjadi, menambah tekanan gas dalam rekahan

sehingga keluar lebih banyak. Kawah Timbang merupakan kawah yang terletak di dekat Sinila dan beraktivitas sedang dan kawah ini merupakan sumber gas CO2 berkonsentrasi tinggi yang berdampak pada 149 korban pada tahun 1979.

Antisipasi dan pemberdayaan masyarakat sudah dilakukan, antara lain memetakan ancaman Kawah Timbang dan rekahan yang dilakukan PVMBG. Deteksi gas beracun oleh BPPTKG, BPPT, Informasi Peringatan Dini yang dilakukan secara berkala. Kemudian pemberdayaan relawan penanggulangan bencana Kawah Timbang hasil pembinaan BPBD Banjarnegara dan PVMBG.

Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno, menyambut baik pembangunan Menara

Sumber : BNPB

28 Gema BNPB Vol 6 No 1

Peringatan Dini. "Harap Kepala Desa beserta masyarakat memelihara dan menjaga menara ini untuk kebaikan bersama, baik informasi evaluasi dan sebagainya" ucapnya.

Khoirul Munar, Anggota DPR Komisi VIII dalam sambutan juga mengatakan sangat mendukung sistem deteksi peringatan dini. "Kita akan mendorong pendanaan untuk pembuatan sistem peringatan dini tahun 2016" ungkapnya.

Pembangunan menara peringatan dini dilaksanakan oleh BPBD Kabupaten Banjarnegara yang difasilitasi oleh BNPB berdasarkan Perjanjian Kerjasama Operasional antara BNPB dengan BPBD Provinsi Jawa Tengah dan BPBD Kabupaten Banjarnegara nomor: PKS.29/BNPB/D1/05/2014, 368/1761/2014

Sumber : BNPB

dan 368/121.a/2014 tanggal 12 Mei 2014.

Kepemilikan tanah pada lokasi pembangunan menara peringatan dini adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara, berdasarkan surat hibah dari Kepala desa Sumber Rejo di atas lahan 64 meter persegi. Menara setinggi 12,9 meter ini, nantinya akan menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Banjarnegara dalam pemeliharaan menara dan peralatannya.

Sementara itu, BNPB juga menyerahkan peralatan dan kendaraan kepada BPBD Banjarnegara, yakni motor traill 1 unit, genset 10 KVA 1 unit, RIG 3 unit, handy talky 6 unit, velbed 5 unit, lampu senter HD 1 unit. (ACU)

Mei 2015 29

Misi Kemanusiaan Indonesia di NepalKegembiraan dalam Bencana

Liputan Khusus

Sum

ber

: bnp

b

Mengunjungi sebuah negeri yang baru dan asing pastilah tidak selalu menyenangkan bagi kebanyakan orang. Apalagi bila perjalanan ke negeri itu merupakan yang pertama dan melakukan tugas yang belum pasti akan apa yang harus dikerjakan. Belum lagi ketika tugas khusus yang diemban adalah masuk ke daerah terdampak bencana gempabumi dahsyat 25 April di Nepal. Informasi media yang berseliweran perihal meningkatnya jumlah korban dan hancurnya sebagian besar infrastruktur menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi tim kemanusiaan Indonesia untuk Nepal.

Oleh Victor Rembeth

30 Gema BNPB Vol 6 No 1

Ketidakpastian pertama hadir ketika diumumkan bahwa tim evakuasi/SAR tidak lagi diperlukan hanya pada hari

ketiga setelah kejadian. Ketika koordinasi dilanjutkan untuk mengganti personil dengan tim kesehatan, kembali informasi baru menyeruak yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan sudah mencukupi dan tidak lagi memerlukan bantuan medis Negara asing. Puncak keraguan pra keberangkatan adalah ketika burung besi yang mengangkut anggota tim pertama dan kedua harus menunggu lama menanti ijin mendarat di bandara Kathmandu karena padatnya lalu lintas udara.

Latarbelakang ketidakpastian itu bukan saja membuat para koordinator pemberangkatan tim menjadi cukup bingung, namun dirasakan juga menyebar kepada kebanyakan anggota yang harus melakukan tugas perintah langsung Presiden Indonesia untuk membawa nama baik Merah Putih. Sungguh bukan sebuah tugas mudah untuk melakukan perencanaaan di tengah ketidakpastian dan perubahan dalam hitungan jam. Kendati semua upaya telah diberdayakan, namun pada akhirnya kondisi lapangan bencanalah yang menentukan tindakan-tindakan aksi strategis yang dilakukan.

Walaupun ada rasa bangga yang terselip ketika pesawat “Flag carrier” Indonesia mendarat di Kathmandu, namun kejadian penerimaan barang bantuan yang belum jelas prosedur penyerahan dan distribusinya cukup merepotkan dan memakan waktu sampai 5 jam di pagi hari buta. Ketidakpastian selanjutnya adalah penempatan pelayanan tim Indonesia yang belum jelas karena mekanisme penerimaan tim medis sebagai “program mahkota” Indonesia di Nepal harus melewati berbagai prosedur yang rumit baik di koordinasi PBB maupun otoritas pemerintah setempat.

Kendati ada harapan ketika tim Indonesia diputuskan melayani di Rumah Sakit Kantipur, namun dari kajian awal bukanlah tempat yang strategis untuk bisa menjangkau lebih banyak warga dengan peralatan rumah sakit lapangan yang disiapkan dari Jakarta. Keputusan cepat dilakukan untuk tetap memakai rumah sakit Kantipur sebagai base para dokter spesialis melakukan karyanya, sementara usaha keras dilakukan untuk mencari tempat lain yang lebih sesuai. Paling tidak tenaga medis sudah mendapatkan tempat dan mulai berkarya dengan 9 pasien pertama di Nepal.

Usaha lanjutan dilakukan sekeras mungkin untuk mencari tempat yang sesuai dan dekat dengan masyarakat terdampak. Tim koordinasi dan kaji cepat dikerahkan untuk melakukan pendekatan atas bawah. Kajian lapangan yang mendekat kenyataan diperlukan agar perijinan di tingkat otoritas bisa dikeluarkan. Kerja komando simultan menentukan tempat dan memastikan ijin diusahakan agar tim Indonesia tidak lama lagi dalam situasi menunggu. Pengambilan keputusan desa Satunggal dilakukan setelah data didapat dan tanpa rapat briokratis tetapi dengan kemudahan sosial media yang ada.

Harapan mulai tersembul, ketika di aras bawah penerimaan warga Satunggal dipastikan dengan komitmen para pimpinan desa dan surat formal meminta tim untuk berkarya. Pada saat yang hampir bersamaan berita baik diterima bahwa pihak otoritas telah mengkonfirmasi desa Satungal sebagai tempat pelaksanaan rumah sakit lapangan. Tiba-tiba ada irama kegembiraan mulai terpancar di semua anggota tim. Semua rasa akibat ketidakpastian dan kelelahan fisik seakan mendapat obat pamungkas ketika pada hari ketiga akhirnya ada kepastian yang membawa semangat baru.

Mei 2015 31

Seluruh anggota tim tanpa melihat latar belakang kelembagaan masuk dalam sebuah kegembiraan yang baru. Rasa yang hebat ini menghadirkan optimisme bagi semua. Doa syukur dipanjatkan oleh semua melintasi sekat agama dan kepercayaan. Bahkan rasa rindu yang dialami seorang anggota tim yang pengantin baru dan hanya sempat menghabiskan dua hari bersama dengan sang istri tercinta seakan terbalas dengan manis. Ketegangan sedikit demi sedikit menipis dan senyuman manis tersungging bukan hanya di bibir para pimpinan tim tetapi juga pada semua.

Selanjutnya semua bersiap untuk berkarya habis-habisan demi sebuah nawaitu baik yang menemukan muara amal kebaikan yang ditunggu-tunggu. Jauh-jauh dari Indonesia mewakili bangsa dan negara saatnya berkarya nyata bagi saudara-saudara Nepal yang terdampak bencana. Kendati tidak semua peserta tim anggota Muhhamdiyah, namun semangat sang pencerah “Fastabiqul khoirot” yang berlomba-lomba berbuat kebaikan tertebar dengan pas dalam sanubari. Sipil atau militer, tua maupun muda, perempuan dan laki-laki, birokat maupun aktifis semua menjadi satu untuk karya baik.

Terik matahari Nepal tidak mengurangi kegembiraan yang merasuk anggota tim. Candaan dan tertawa renyah tiada henti mulai dari pemasangan tenda-tenda rumah sakit sampai pada saat saat melayani pasien yang tidak tanggung-tanggung mencapai 425 orang pada hari pertama. Kegembiraan ini juga menyebar bagai virus baik kepada anggota Nepal Armed Police yang membantu dan tim dokter gigi Kantipur yang bermitra. Wajah-wajah cantik dan ganteng mereka dan para relawan lokal seakan ikut merayakan kegembiraan penuh optimisme tim Indonesia.

“Malai Khusi laagyo” atau kami merasa gembira dalam bahasa Nepali, dikatakan

bukan saja oleh satu dua orang lokal, tetapi hampir semua yang berkarya bersama dengan tim Indonesia. Ucapan yang sama juga dikatakan oleh kepala polisi sub-distrik Chitlang ketika tim di bawah pimpinan Duta Besar Indonesia membawa barang bantuan ke desa yang sangat terpencil dan susah dijangkau itu. Kegembiraan adalah sebuah “merek dagang” baru yang bukan saja dirasakan oleh tim Indonesia tetapi juga diperagakan baik kepada sesama anggota tetapi terlebih kepada semua yang dilayani.

Pepatah kuno yang mengatakan “Hati gembira adalah obat” menemukan wujudnya melalui dan dalam orang-orang baik Indonesia yang memperoleh ridho ilahi untuk melayani sesamanya di Nepal. Tidak salah kalau tim ini bisa diberikan nama baru sebagai Tim Kegembiraan Kemanusiaan Indonesia. Di negeri Nepal yang indeks pembangunan manusia (HDI)-nya rendah di peringkat 145 ini, ada orang-orang baik yang berbeda bisa membawa kegembiraan. Sudah tentu bukan hanya Indonesia yang melayani di ranah bencana ini, namun kegembiraan yang ada pastilah merupakan investasi berharga bagi proses pemulihan yang pelahan tapi pasti.

Kegembiraan yang didapat setelah ketidakpastian yang menggantung adalah rasa yang bukan saja dirasakan oleh tim Indonesia, tetapi sudah tertularkan dengan baik kepada mereka yang sedang menggeliat menuju kepada pemulihan berkelanjuitan di Nepal. Adalah apik bila rasa ini kegembiraan diatas ketidakpastian, bisa dibawa sebagai oleh-oleh untuk bangsa tercinta Indonesia. Revolusi mental hanya bisa diisi dengan niatan baik untuk menggembirakan orang lain. Ayo Tim Kegembiraan Kemanusiaan Indonesia untuk Nepal, kita gembirakan Indonesia untuk menjadi lebih baik!

Thamel, Kathmandu 7 Mei 2015

32 Gema BNPB Vol 6 No 1

Bahasa Kemanusiaan Tanpa Kata

Raju, Captain Big Yan, Upendra, Farooq, Muhammad, para sopir yang tidak kenal lelah, perawat dan dokter di Kantipur serta orang-orang yang tidak bernama

Dalam setiap bencana, orang lokallah yang memberikan kontribusi terbesar dalam menentukan kecepatan respon, ketepatan dalam menentukan lokasi serta dukungan terhadap berbagai aktifitas. Mereka yang paling tahu kondisi, sistem sosial dan politik serta bahasa dan budaya daerahnya.

Sejak mendarat di bandara Nepal yang senyap pada tanggal 2 Mei jam 1 dini hari sudah terlihat bagaimana 3 LO, Upendra, Raju, dan Captain Big Yan, yang disediakan oleh konselor kehormatan dan militer membantu memperlancar handling barang bantuan. Mereka harus datang jam 12 tengah malam setekah malam-malam sebelumnya juga harus menerima tim evakuasi WNI Indonesia di Nepal, tim I yang datang tanggal 29 Mei, serta tim ke dua yang datang menggunakan pesawat charter pada tanggal 2 Mei.

Tanpa letih ketiga orang berbagi tugas untuk menjelaskan ke otoritas bandara siapa saja anggota tim Indonesia, barang apa saja yg dibawa dan mengawal serta meminta tim militer Nepal dan kru bandara membongkar barang. Hampir lima jam Upendra, Raju dan Captain Bigyan menemani serta menerjemahkan pesan kepada militer Nepal, kru bandara serta militer Indonesia yang bersama-sama melakukan bongkar muat 37 ton barang, jumlah yang tidak sedikit. Ketiga orang tersebut mendampingi hingga selesai proses pemilahan barang untuk field hospital dan barang untuk donasi serta mengawal agar barang yang lebih dari 7 truk tersebut dapat aman sampai di gudang militer maupun warehouse yang disediakan oleh konselor untuk tim Indonesia. Dengan tidak tidur, mereka masih meneruskan mencarikan transportasi untuk tim kedua yang berjumlah 33 orang, mengantar dan menjamin sampai di hotel dengan selamat.

Tanggal 2 Mei, tim kesehatan memperoleh ijin kegiatan FMT (Foreign Medical Team), setelah diurus di MOHA mulai dari jam 9 hingga jam 17 sore karena file yang sehari sebelumnya sudah diserahkan tidak masuk ke dalam sistem serta kelengkapan persyaratan yang belum dipenuhi. Tim kesehatan Indonesia diberikan ijin untuk melakukan misi di rumah sakit lokal Kantipur Hospital. Namun demikian, misi dianggap belum berhasil karena tujuan utama misi adalah mendirikan rumah sakit lapangan. Lagi- lagi orang lokal lah yang membantu. Jaringan NGO regional (ADRRN) yang memiliki kerja dengan orang NGO lokal di Nepal membantu mengkontak semua network yang dimiliki. Beberapa tempat dijajagi, tapi belum menemukan lokasi yang tepat untuk Rumah sakit Lapangan dengan 3 tenda (gawat darurat, operasi, dan tenda post recovery) yang satu tendanya berukuran 6x6 meter serta tenda posko untuk petugas kesehatan dan logistik obat dan alat kesehatan jika diperlukan. Kemudian Raju mengontak Sagar penduduk Satungal yang 75% daerahnya terkena dampak gempabumi. Sore itu, didampingi 5 penduduk lokal melakukan pre assessment, menemui penduduk, perangkat desa dan melihat lokasi yang mungkin dijadikan tempat antuk area Rumah Sakit Lapangan. Akhirnya dari pre assessment lokasi ditentukan karena memenuhi kriterita RS lapangan yang ditentukan dan penduduknya meminta dan mendukung tim Indonesia.

Setelah melihat ketepatan lokasi di Satungal, dan dilakukan assessment kedua, pada tanggal 3 Mei, Raju - lulusan master ekonomi, yang dibebas tugaskan dari bank tempat kerja oleh bosnya, konselor Indonesia untuk Nepal untuk membantu tim hingga tuntas -- dengan bahasa Nepalnya membantu menguatkan permohonan ke MOHA untuk merubah surat perijinan agar penunjukan Tim Kesehatan tidak hanya di Rumah Sakit Kantipur tetapi juga di Desa Satungal. Akhirnya, surat perubahan perijinan yang ditulis dengan bahasa Nepal didapat dan mulai tanggal 4 tim Indonesia dapat mendirikan RS Lapangan. Sementara, versi Inggrinya tidak selesai dan harus dibuat esok harinya dengan melalui prosedur pula.

Selain membantu mencarikan lokasi, Raju juga membantu memastikan logistik aman di warehouse, siap diambil tim medis jika diperluka dan dengan tak kenal lelah membantu mengkoordinir truck, petugas yang mengangkat dan menurunkan bantuan serta mencari kontak lokasi distribusi bantuan karena bantuan sebenarnya bantuan tidak dapat diserahkan langsung.

Mei 2015 33

Sementara, Upendra – master di bidang hubungan internasional yang bekerja di konselor kehormatan – membantu memuluskan dengan menelpon pihak militer dan MOHA karena tim Indonesia yang spesifik yang beranggotakan Militer dan Sipil, yang di Republik Nepal susah diterima, karena militer memiliki prosedur sendiri. Captain Big Yan, membantu kami bolak-balik ke MMNC – Posko Militer untuk menemani kami menjelaskan komposisi tim, logistik dan personil yang kita punyai.

Jumlah tim Indonesia yang besar membuat mobilisasi personil tidak mudah dan membutuhkan transportasi yang tidak sedikit. Kebutuhan transportasi ini dapat dipenuhi dengan bantuan Brother Farooq untuk mencarikan sarana angkutan selama misi Indonesia berlangsung. Brother Farooq adalah teman di madrasah kenalan salah satu anggota MDMC yang menjadi pengurus masjid di Kathmandu yang juga terdampak gempabumi. Dia bahkan menyediakan keponakannya, Muhammad, lulusan keperawatan, yang kebetulan belum bekerja formal, untuk membantu menjadi LO tim Indonesia, khususnya transportasi.

Muhammad setiap hari mendampingi 4 mobil, siap ditelpon dan menjadi penghubung dengan sopir yang hampir semuanya hanya berbicara bahasa lokal. Muhammad pula yang mengantar ke warung halal dan menikmati makanan Nepal/Asia Selatan. Dari pertemuan ini, Muhammad membantu memesankan “catering” paket makanan halal untuk seluruh anggota Tim yang setiap hari membutuhkan makan nasi serta dengan lauk kari ayamnya. Sementara itu, para sopir dengan setia menerima perintah untuk diajak bolak-balik, serta siap sedia kapanpun dibutuhkan.

Orang-orang yang tidak masuk anggota tim Indonesia, namun bersama tim Indonesia bekerja atas nama kemanusiaan untuk Nepal -- Dharai-Dharai Dhanyabaad – Terimakasih banyak

Bahasa Kemanusiaan Tanpa Kata

Ucapan "Namaste" menjadi sesuatu yang familiar bagi sekelompok kecil pendatang baru ke desa Satungal di Distrik Kathmandu pada 2 hari terakhir ini. Sebuah kata yang kerap diartikan “hai” atau “halo” bagi para tamu bukan saja diucapkan tetapi disertai senyuman pelengkap yang menyejukkan. Desa Satungal adalah tempat yang diputuskan bagi bantuan kemanusiaan bangsa dan Negara Indonesia dalam penanganan gempa Nepal 25 April 2015. Disitulah jejak-jejak kemanusiaan Indonesia yang kerap dibantu ketika terdampak bencana dipertaruhkan.

Pilihan menentukan daerah untuk dibantu bukan saja sulit dalam hal perijinan, namun yang membuat harus berhati-hati adalah untuk tidak salah melakukan "rapid need assessment" atau kaji cepat kebutuhan yang tepat agar tidak salah langkah. Secara faktual lapangan memang desa Satungal layak untuk ditolong karena sampai hari ke enam belum ada bantuan kemanusiaan terstruktur yang menghampiri. Penduduk dan para pemimpin desa juga sudah berusaha menghubungi banyak pihak, tetapi karena kesibukan yang luar biasa pemerintah Nepal, maka seakan terabaikan dan tanpa harapan.

Desa tua yang dikelilingi bukit pegunungan Himalaya ini seharusnya indah karena hadirnya bangunan tua yang artistik dan landscape persawahan dan gunung yang eksotis. Namun gempa dashyat meluluh lantakkan desa ini. Sekitar 70 % desa ini hancur dimana terdapat 228 rumah rusak berat, 157 rusak sedang dan 148 rusak ringan. Celakanya tiap rumah bukanlah ditempat satu keluarga, tapi secara acak rata dihuni 6 sampai 7 keluarga, sehingga desa yang dihuni 35-40 ribu jiwa ini mengalami “pengungsi bencana” yang massif.

Dalam segala kerentanan karena mimimnya data kependudukan karena banyaknya penduduk pendatang yang menyewa rumah tanpa identitas yang jelas, desa ini mencatat korban meninggal sebanyak 20 orang dan 200 orang lain terluka berat, selain ratusan lain yang cedera ringan. 3 bangunan sekolah negeri menambah lumpuhnya kegiatan anak-anak di kota ini dan ratusan lain yang terkena depresi ringan karena hancurnya rumah dan hilangnya harta benda yang dimiliki.

Dalam segala kerentanan karena mimimnya data kependudukan karena banyaknya penduduk pendatang yang menyewa rumah tanpa identitas yang jelas, desa ini mencatat korban meninggal

34 Gema BNPB Vol 6 No 1

sebanyak 20 orang dan 200 orang lain terluka berat, selain ratusan lain yang cedera ringan. 3 bangunan sekolah negeri menambah lumpuhnya kegiatan anak-anak di kota ini dan ratusan lain yang terkena depresi ringan karena hancurnya rumah dan hilangnya harta benda yang dimiliki.

Pasti tidak mudah memulai dengan menjanjikan upaya kemanusiaan yang berujung pada harapan agar desa ini akan bisa melakukan pemulihan kembali dengan sempurna. Kendati kebanyakan penduduknya adalah kelompok kelas sosial ekonomi bawah, maka upaya kemanusiaan harusnya tidak menjadikan mereka hanya sebagai obyek proyek kemanusiaan agar sebuah rencana besar dan nama baik bangsa atau organisasi terjaga. Proses selanjutnya adalah menemukan kapasitas masyarat yang ada dan diperkuat dengan upaya-upaya kemanusiaan yang memartabatkan manusia lain.

Permintaan hadirnya bantuan kesehatan yang menjadikan tim kemanusiaan Indonesia memilih karena kesepakatan seluruh pemangku kepentingan masyarakat, pimpinan desa, komisi kesehatan desa dan kepala Puskesmas semuanya ingin di”wongke”. Bantuan sporadis yang selama ini diterima lebih sifatnya “hit and run”. Bahkan kepercayaan mulai menurun karena pernah diminta data oleh beberapa tim kesehatan, tetapi hanya menjadi obyek jualan kemanusiaan dengan beberapa pemuliaan diri melalui adegan-adegan foto yang diambil untuk masuk dalam etalase kebaikan para tim terdahulu.

Ketika kesepakatan diambil, maka permintaan untuk menjadikan upaya kemanusiaan ini sebagai kolaborasi ditegaskan dari awal. Masyarakat harus memiliki pelayanan kesehatan dalam bentuk rumah sakit lapangan ini. Kelompok pemuda, ibu-ibu dan semua bagian masyarakat diharapkan terlibat mulai dari penurunan barang yang berat, sampai pada berbagai persiapan yang memerlukan bantuan tenaga yang banyak. Sejatinya karya kemanusiaan yang hanya menjadikan masyarakat sebagai hanya penerima manfaat pasif adalah awal ketergantungan, yang menjadikan banyak kasus di paska Tsunami Aceh Nias 2014 menjadi pembelajaran berarti tentang rusaknya kesetiakawanan kemanusiaan.

Ketika harinya tiba, tidak dinyana ratusan masyakat mengerubung dan memancarkan wajah-wajah sumringah melihat hadirnya truk-truk pengangkut perangkat rumah sakit lapangan. Di tengah naiknya matahari yang semakin terik seorang pemimpin berteriak, "Aawunu hosh ra uni haru lai madad garnu hosh!" yang berarti 'Ayo kumpul, bantu mereka untuk kita'. Selanjutnya adalah peragaan manusia-manusia yang tegar dan tidak mau dikalahkan oleh bencana yang dahsyat. Dengan kegembiraan, masyarakat desa Satungal membantu, tua-muda, perempuan-laki laki dan bahkan anak-anak melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menolong.

Alhasil, pembangunan rumah sakit yang dengan tingkat kesulitan tinggi bisa diresmikan dengan cepat oleh yang Mulia Duta Besar Indonesia pada saat yang tepat dan dalam waktu yang singkat. Pemerintah dan rakyat Indonesia senang untuk mewujudnya bantuan kemanusiaan yang massif ini. Sejatinya cerita kemanusiaan yang indah telah terjadi di desa dengan ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut ini. Manusia Nepal ternyata tidaklah berbeda dengan manusia Indonesia. Ada jalinan rasa yang mampu melampaui sekat-sekat perbedaan, ketika manusia yang satu mau menjadi teman bagi manusia yang lain dengan tulus.

Etika pemberdayaan manusia bukanlah sebuah bagian dari teknis kebijakan yang kadang rumit untuk diterjemahkan. Bahasa kita untuk memartabatkan manusia lain adalah bahasa hati, yang dalam dan sejuk , mampu menyatukan ketika yang satu membutuhkan sementara yang lain diberkati untuk menjadi berkat. Bahasa kemanusiaan itulah yang hadir di desa Satungal. Indahnya Satungal berarti “menjadi satu”, manusia disatukan dalam bencana yang seharusnya menyedihkan. Semangat kemanusiaan itu dimiliki oleh semua, ketika Indonesia hadir, bahasa yang digunakan adalah bahasa kemanusiaan dan ditanggapi oleh masyarakat Nepal dengan bahasa yang sama, kendati berbeda kata-kata.

Revolusi mental telah terjadi melampaui batas-batas geopolitik Negara Indonesia. Di tanah Nepal yang berduka, segelintir orang Indonesia diajarkan oleh sesamanya manusia makna indahnya memakai bahasa yang sama, bahasa kemanusiaan.

Thamel, Kathmandu 5 Mei 2015

Mei 2015 35

Liputan Khusus

Sum

ber

: wik

iped

ia.o

rg

KebhinekaanDi Negeri Seribu Gunung

Oleh Victor Rembeth

36 Gema BNPB Vol 6 No 1

Mengelola sekelompok manusia, apalagi bangsa bukanlah sebuah hal mudah. Hal tersebut karena berbagai kepentingan dalam pengelolaan. Yang akan jadi apik apabila bisa disatukan namun celaka bila berpendar kemana-mana. Ben Andreson seorang Indonesianis asal Amerika memunculkan teori bangsa sebagai sebuah “imagined community” atau komunitas yang terbayangkan. Artinya menjadi bangsa adalah upaya membangun kesatuan dan persatuan berdasarkan mitos yang satu ke mitos yang lain yang sulit untuk menjadi riil, karena begitu tidak mewujudnya bayangan-bayangan yang ada.

Sum

ber

: wik

iped

ia.o

rg

Mei 2015 37

Hal yang sama terjadi ketika memberangkatkan Tim Kemanusiaan Indonesia untuk

Nepal yang dengan terpaksa hanya memakan waktu sesegera mungkin. Pemilihan personil yang beragam tidak bisa dipisahkan dengan keinginan ideal untuk mengikutsertakan semua pemangku kepentingan bangsa. Alhasil kebanyakan anggota tim baru bisa berkenalan hanya kurang dari sehari sebelum keberangkatan. Pembentukan tim ini adalah sebuah proyek besar bangsa yang berusaha menghadirkan “imagined community”, bayangan dan impian akan hebatnya bangsa di luar negeri ketika justru dimulai dalam keterbatasan dan kesegeraan yang mendesak.

Kemajemukan grup tidak bisa dihindarkan, sama seperti takdir Indonesia yang harus menerima kenyataan ini sejak ia diproklamasikan oleh para bapa bangsa. Berbagai faktor pembeda seperti usia, agama, suku, jenis kelamin, pendidikan, pangkat dan berbagai identitas lain, menjadikan tim ini bukanlah sebuah kelompok yang mudah untuk dikelola. Kendati memiliki tujuan yang sama, ada juga dirasakan suasana yang agak canggung pada saat saat awal karena masing-masing bukan hanya memiliki pribadi yang berbeda, namun juga belum bisa melakukan penyesuaian yang cukup antara satu dengan yang lain.

Dalam konsep pengurangan risiko bencana yang mendasar dikenal rumus kapasitas bila disandingkan dengan kerentanan akan menentukan risiko. Demikian juga yang terjadi dalam dinamika kelompok manapun. Ketiadaan semangat “esprite de corps” bisa menjadi kerentanan karena kemungkinan faktor egoisme pribadi maupun ego sektoral yang bisa muncul setiap saat. Perbedaanpun bisa menjadi kerentanan bila kemudian tidak dikelola dengan baik sehingga menambah risiko tidak tercapainya tujuan tim, yang sejatinya adalah bencana bagi nama baik bangsa.

Dalam segala kecanggungan karena minimnya pengenalan satu dengan yang lain tim ini meninggalkan tanah air dengan satu modal awal, yaitu semangat merah putih untuk kebaikan bagi mereka yang menderita di Nepal. Perlahan secara bertahap dan alamiah, pribadi lepas pribadi memulai eksplorasi pengenalan satu dengan yang lain. Proses penguatan “chemistry“ dalam tim mulai mewujud ketika ada keterkaitan satu dengan yang lain dalam keinginan masing-masing pribadi untuk bisa melakukan tugas dan tanggungjawabnya.

KeIndonesiaan mulai dirasakan ketika mendarat di Kathmandu dalam kegelapan pagi buta yang dingin. Negeri seribu gunung menyambut dalam keterbatasan yang sudah diantisipasi sebelumnya karena masih dalam keadaan penuh tantangan menghadapi kejutan akibat gempa. Di sinilah para putra-putri bangsa mulai menunjukkan kebersamaan yang mencerminkan semangat asli budaya bangsa, kemauan untuk gotong royong memecahkan tantangan rumit di lapangan. Semangat “holopis kuntul baris” mulai terpantik ketika berada di negeri asing untuk tujuan yang mulia.

Proses”unloading” dan segregasi barang bantuan menjadi eksperimen penguatan niatan baik dalam kebersamaan itu. Perlahan namun pasti perbedaan perbedaan yang ada mencair menjadi kebersamaan dalam tujuan bersama yaitu melancarkan misi kemanusiaan yang diemban. Semua tidak terkecuali terlibat dalam hal-hal yang kelihatannya kecil namun membawa efek dinamika kelompok yang efektif, yaitu penguatan kebersamaan sebagai sesama bangsa. Tantangan untuk menurunkan barang secara bersama mulai menyatukan, namun ternyata belumlah menjadi tantangan yang terbesar.

Tantangan selanjutnya adalah ketika upaya melakukan kebaikan seakan menabrak tembok besar. Upaya tim pertama untuk mendapatkan ijin praktek medis dimentahkan oleh otoritas yang

38 Gema BNPB Vol 6 No 1

ada sehingga menimbulkan kegalauan yang cukup berarti. Ketika proses ijin ini dilanjutkan pada hari selanjutnya ternyata tantanganpun bukan mengecil malah semakin membesar. Di sinilah terjadi proses “nation building” yang luar biasa terpapar dengan jelas. Semua tidak terkecuali masuk dalam sebuah upaya keras membawa nama baik ibu pertiwi untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam proses menuju kepada tujuan inilah, setiap anggota kelompok seakan menjadi satu dalam perahu besar yang menghadapi badai tanpa tahu akan mencapai tujuan atau tidak. Secara pasti tidak bisa dihitung berapa banyak doa yang dipanjatkan, namun baik ditunjukkan maupun dalam hati manusia-manusia Indonesia yang menghadapi tantangan ini menjadi satu dalam sebuah spiritualitas kebangsaan yang mendekati ideal. Siapapun dalam tim menyatu untuk melakukan apapun demi nama baik bangsa.

Konsep Persatuan Indonesia tiba-tiba dirasakan dan dipraktekkan dengan elegan ketika berada di tanah asing. Makna bersatunya Indonesia untuk satu tujuan yang mulia untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bukan lagi sebuah kata-kata kosong yang sekedar dihafalkan tanpa makna. Perbedaan justru disyukuri sebagai warna-warni yang diberikan sang pencipta bagi umatNya. Semua dengan bekal relijiusme masing-masing disandingkan dengan kapasitas dan ketrampilan berbeda menjadi sebuah tim yang habis-habisan

memperjuangkan martabat bangsa yang “one for all and all for one”.

Puncaknya adalah ketika sang saka dwi warna akhirnya bisa berkibar di tanah Nepal dengan penuh kebanggaan. Ketika tiang bambu mengerek pusaka kebanggaan bangsa itu di depan rumah sakit lapangan Republik Indonesia di Nepal, keharuan tak dapat dibendung. Tantangan yang dirasa sangat berat untuk mencapai tujuan bersama ternyata bisa diatasi dengan modal bangsa yang kuat “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam keberagaman dan perbedaan Indonesia mampu disatukan dengan ketulusan mereka yang masih percaya bahwa Indonesia itu ada dan harus diperjuangkan.

Perbedaan jelas bukan merupakan faktor kerentanan dalam kisah anak-anak bangsa di Nepal ini, tetapi ia telah menjelma menjadi kapasitas, sebagai sesuatu yang menguatkan semangat ketangguhan yang diperlukan bangsa meghadapai berbagai tantangan ke depan. Indonesia harus terus diperjuangkan di mana saja, apakah di negeri asing ataupun di tanah air, namun yang terpenting Indonesia harus ada di sanubari setiap anak bangsa. Di tanah Nepal, di negeri asing, keIndonesiaan tiba-tiba dirasakan secara nikmat bukan dalam keseragaman yang dipaksakan, tetapi dalam kepelbagian yang bermartabat.

AKU CINTA INDONESIA.

(Thamel, Kathmandu, 8 Februari 2015)

Sum

ber

: bnp

b

Mei 2015 39

Dalam Suka dan DukaVanuatu adalah Sahabat Kita

Liputan Khusus

Sum

ber

: BN

PB

Indonesia memberikan bantuan kemanusiaan untuk Negara Republik Vanuatu yang dilanda Angin Topan Pam Republika Vanuatu adalah negara kepulauan di Samudera pasifik bagian selatan yang terletak di sebelah timur Ausralia, sebelah timur laut Kaledonia Baru, sebelah barat Fiji dan sebelah selatan Kepulauan Solomon. Negara dengan enam provinsi ini memliki luas wilayah 12.189 km persegi dengan jumlah penduduk 266.937 jiwa. Dahulu negara ini bernama Hebrides Baru semasa penjajahan Inggris yang terdiri dari 83 pulau.

40 Gema BNPB Vol 6 No 1

Angin Topan dahsyat yang menimbulkan korban jiwa dan materi warga Vanuatu diperkirakan

berkecepatan 320 Km/jam itu telah menghancurkan sekitar 70% kehidupan di Vanuatu. Sampai saat ini telah dilaporkan 24 korban jiwa yang telah meninggal akibat topan tersebut. Pemerintah Indonesia melalui BNPB, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, PMI serta Kementerian Luar Negeri akan memberikan bantuan ke Vanuatu.

Menurut Deputi Penanganan Darurata, Tri Budiarto total bantuan Indonesia senilai 2 juta dollar Amerika yang meliputi uang sejumlah 450.000 dollar Amerika, tenaga personil dan barang yang terdiri dari :

Barang tersebut akan dibawa dua pesawat yakni Cardig Boeing 737 dengan muatan 14 ton dan Garuda Indonesia Airbus 330 dengan muatan 35 ton.

Tim misi kemanusiaan ini berjumlah 19 orang, yang terdiri dari :

Keberangkatan Tim Misi Kemanusiaan Republik Indonesia Korban Topan Pam ke Republik Vanuatu, upacara pelepasannya oleh ibu Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi bersama Kepala BNPB di Gudang Cargo Export 510, Garuda Cargo Center, Area kargo Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, pada 4 April 2015, pukul 07.00 WIB. “Dalam suka dan duka Vanuatu adalah sahabat kita” ucap ibu menteri saat arahan sebagai inspektur upacara.

Acara tersebut dihadiri Ketua Komisi VIII DPR RI, Dirut Garuda Indonesia, Dirut Cardig Air, Sekjen Kemenlu, Pejabat eselon I dan II BNPB serta pejabat K/L terkait.

Tim Tiba di VanuatuSetelah perjalanan selama 12 jam, tim misi kemanusiaan Indonesia transit di Fiji untuk loading barang bantuan dari pesawat Garuda ke pesawat Cargo.

Tiba di Vanuatu, 06 April 2015 pada pukul 17.00 waktu Vanuatu. Tim sudah bertemu sudah bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema. Pemberian bantuan Indonesia akan dilakukan besok, 07 April

No. Barang Jumlah1 Lauk pauk 1.000 paket

2 Makanan tambahan gizi 6.000 paket

3 Makanan siap saji 6.000 paket

4 Makanan biscuit 2.000 paket

5 MP-ASI 149 dus

6 PMT ibu hamil 333 dus

7 Kids ware 500 paket

8 Tenda posko 1 paket

9 Tenda pengungsi 1 paket

10 Solar sel 26 dus

11 Tenda keluarga 200 unit

12 Alas tenda 2 unit

13 Velbed 20 unit

14 Genset 2 unit

15 Selimut 7.500 lembar

16 Polybag, penjernih air cepat, desinfektan, repelan, sarung tangan, hygiene kit dan terfaulin.

No. Instansi Jumlah1 BNPB 5 orang

2 Kalak BPBD Papua & Papua Barat

2 orang

3 Kementerian Pembangunan Manusia dan Budaya

1 orang

4 Kementerian Luar Negeri 2 orang

5 Kementerian Kesehatan 1 orang

6 Kementerian Sosial 1 orang

7 SRC Wilayah Barat 3 orang

8 PMI Pusat 1 orang

9 Wartawan Media Nasional 3 orang

Mei 2015 41

Sum

ber

: BN

PB

2015, pukul 11.00 yang akan langsung diserahkan kepada Menteri Perubahan Iklim dan Bencana Alam.

Nadjib mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada tim Indonesia yang membawa bantuan, serta menjelaskan kejadian bencana yang telah terjadi di Vanuatu.

Penyerahan Bantuan Indonesia kepada VanuatuPihak kedutaan bersama Ketua Delegasi Indonesia, Ir. Taufik Kartiko, M.Si melakukan pertemuan dengan beberapa pejabat Pemerintah Vanuatu, diantaranya Menteri Luar Negeri Vanuatu Sato Kilman dan Perdana Menteri Hon Joe Yhakowaie Natuman (7/4). Pada kunjungan singkat tersebut, Perdana Menteri Vanuatu mengucapkan terima kasih atas kedatangan dan bantuan Indonesia kepada korban angin top pam. “Saat ini kami membutuhkan pembangunan sekolah, penanaman pohon yang tumbang akibat topan pam dan pemulihan pasca bencana”ucapnya.

Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema juga menyampaikan salam dari Presiden Indonesia dan turut berduka atas terjadinya korban bencana. "Kami datang dan diterima sebagai sahabat, ini adalah misi kemanusiaan,” ucapnya.

Penyerahan BantuanMenteri Perubahan Iklim dan Bencana Alam, James Bule menerima bantuan secara simbolis yang diberikan langsung oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema di kantor National Disaster Management Office (NDMO) di Vanuatu.

Setelah penyerahan secara simbolis, tim misi kemanusiaan Indonesia untuk Vanuatu mendengar penjelasan secara langsung dari pemerintah Vanuatu yang diwakili Direktur NDMO, Shadrack Welegtegit tentang penanganan darurat yang telah dilakukan oleh pemerintah, serta bertukar pikiran mengenai penanganan bencana yang berhasil dilakukan di Indonesia. Shadrack Welegtegit mengatakan penduduk Vanuatu saat ini membutuhkan bahan pokok makanan untuk 3 bulan ke depan. “Sampai masa panen tiba, bahan pokok stabil kembali’ katanya.

Pemerintah Indonesia juga mengundang Vanuatu untuk menghadiri kongres Asia Afrika di Bandung, Indonesia. Diharapkan kedepannya kerjasama Indonesia dengan Vanuatu dapat berkembang, "Tidak hanya bantuan sosial, tetapi juga dapat bekerjasama dalam bidang pendidikan, ekonomi, pertanian dan sebagainya”kata Nadjib. (ACU)

42 Gema BNPB Vol 6 No 1

Bantuan Bencana BNPB Indonesia Ke Luar Negeri

No. Tahun Negara Nominal Keterangan1 2010 Chile USD 1 juta Bantuan bencana gempa

2 2010 Pakistan USD 3.3 Juta Bantuan bencana banjir

3 2011 Turki USD 1.000.000 (Rp. 9.040.000.000) Bantuan untuk gempa Turki

4 2011 Myanmar USD 400000 (Rp. 3.588.000.000) Bantuan darurat bencana banjir

5 2011 Vietnam USD 500000 (Rp. 4.485.000.000) Bantuan darurat bencana banjir

6 2011 Laos $400,000.00

7 2011 Philipina $400,000.00 Bantuan bencana banjir dan longsor

8 Thailand $ 1.000.000 Bantuan bencana banjir

9 Haiti Bantuan gempabumi 7 SR

10 Kamboja $400,000.00 Bantuan bencana banjir

11 Jepang USD. 2.000.000 (Rp.17.190.000.000) Bantuan bencana gempa dan tsunami

12 China Bantuan gempa Sichuan

13 2011 Australia USD 1 Juta (Rp. 8.930.000.000,-) Bantuan banjir di Queensland

14 2012 Korea Utara USD 2 juta Bencana krisis rawan pangan

15 2012 Philipina USD 1 juta Transfer pada tanggal 10 Desember 2012 ke KBRI untuk diserahkan ke NDRMC untuk bencana topan bopha (pablo)

16 2013 Filipina Rp. 11.510.000.000,- Bantuan topan haiyan

17 2014 Filipina Rp. 2.490.577.760,-

Total barang kemanusiaan 203.885 Kg Total relawan dengan pesawat hercules TNI AU C-130/A-1323 : 94 orang. Wilayah distribusi: Roxas, Tacloban, Iloilo.

18 2015 Vanuatu USD. 2.000.000 Bantuan bencana angin topan pam

Sumber : Biro Hukum dan Kerjasama, BNPB

Sum

ber

: BN

PB

Mei 2015 43

Menuju Kehidupan Baru Warga Sinabungdi Siosar

Liputan Khusus

Warga sekitar lereng Sinabung tidak akan pernah menyangka Gunung Sinabung kembali aktif. Setelah 1.000 tahun tertidur, Sinabung yang sebelumnya bertipe B berubah menjadi A setelah aktivitas yang tidak henti sejak 2013. Warga pun sontak terkejut karena gemuruh dan letusan abu vukanik dua tahun lalu. Hampir satu tahun berselang, gejolak energi di dalam Gunung Sinabung tidak berhenti. Erupsi Sinabung menyebabkan warga di sekitar lereng mengungsi.

44 Gema BNPB Vol 6 No 1

Sum

ber

: BN

PB

Masyarakat sangat tidak siap dengan peristiwa itu, begitu juga dengan pemerintah daerah. Masyarakat

terpaksa mengungsi di fasilitas umum seperti masjid, gereja, gedung pemerintah, atau pun jambur. Jambur merupakan bangunan luas yang dipergunakan sebagai ruang serba guna bagi masyarakat setempat. Jambur biasanya digunakan untuk pesta-pesta adat Karo, seperti pesta adat pernikahan dan acara kematian.

Pasca erupsi 2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Karo tidak segera membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kondisi ini memberikan dinamika tersendiri terhadap upaya pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat.

Namun kemudian BPBD dapat berhasil dibentuk dengan beberapa personil dari lintas satuan perangkat daerah. BPDB pun memulai aktivitasnya bersama dinas-dinas terkait, TNI, Polri dan pelaku penanggulangan bencana di daerah.

Relokasi WargaAktivitas Sinabung yang tinggi setahun lalu memaksa masyarakat lereng gunung untuk mengungsi. Sekitar dari 17 ribu warga mengungsi selama lebih empat bulan. Selama di pengungsian, Pemerintah Kabupaten Karo dengan dukungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memperhatikan dan menyediakan kebutuhan dasar. Kebutuhan tersebut

Mei 2015 45

seperti makan dan minum yang dikelola oleh masyarakat yang mengungsi serta lapangan pekerjaan atau cash for work bagi kepala keluarga. Sementara itu pos kesehatan beroperasi di setiap jambur atau fasilitas lain yang dihuni para pengungsi. Tidak hanya itu, pendidikan bagi Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas difasilitasi oleh Dinas Pendidikan setempat.

Setelah Sinabung menunjukkan aktivitas yang menurun, sebagian besar warga kembali ke rumah mereka masing-masing. Pemerintah bersama TNI, Polri, dan unsur terkait membantu masyarakat untuk membersihkan kampung-kampung. Abu vulkanik yang menutupi atap rumah, jalanan, serta perkebunan disiram secara bergotongroyong. Ketika mereka telah kembali dan merasakan kembali letusan Sinabung, mereka mulai terbiasa dengan geliat yang memberikan kesuburan tanah bagi perkebunan dan pertanian mereka. Namun warga yang berada di zona merah atau radius 3 km dari puncak gunung tetap berada di pengungsian. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merekomendasikan mereka untuk meninggalkan zona bahaya.

Sinabung tidak lagi tidur dan aktivitas vulkanik hingga kini tergolong tinggi. Berdasarkan rekomendasi PVMBG tersebut,

solusi pemerintah terhadap warga adalah relokasi. Namun program relokasi merupakan pilihan yang tidak sederhana dan melalui proses kajian. Keberhasilan program ini apabila didukung dan melibatkan secara aktif warga yang akan direlokasi serta berbagai pihak, seperti dinas-dinas serta kementerian/lembaga.

Berdasarkan rekomendasi PVMBG, tiga desa yang berada pada zona bahaya adalah Desa Simacem, Bekerah dan Sukameriah. Total keluarga dari tiga desa ini sekitar 370 KK atau sekitar … jiwa. Mayoritas kepala keluarga bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.

Tanah Harapan BaruKepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif mengecek langsung pembangunan relokasi perumahan warga tiga desa korban erupsi Gunung Sinabung di kawasan Siosar, Kabupaten Karo, Selasa (17/2).

Kedatangan Syamsul didampingi Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Tri Budiarto, Direktur Bantuan Darurat BNPB Hermansyah, Danrem 023/KS, Kolonel (Inf) Santos Gunawan Matondang. Lalu, Sekdakab Karo Saberina MARS, Dandim 0205/TK Letkol (Inf) Asep Sukarna. Syamsul Maarif

Sum

ber

: BN

PB

46 Gema BNPB Vol 6 No 1

menyatakan kebanggaannya atas pekerjaan yang sudah dilaksanakan para prajurit TNI dalam membangun rumah bagi para pengungsi korban erupsi Sinabung. Rumah yang dibangun bagus. Tertata dengan baik, lokasinya juga asri dan sejuk dilengkapi dengan taman dan fasilitas lainnya, ujar Syamsul. Lebih lanjut dikatakan pada tahap pertama pembangunan 50 unit rumah untuk para pengungsi telah selesai dilaksanakan. Bahkan sudah disertai fasilitas listrik serta air. Pekerjaan perbaikan dan pengerasan jalan sepanjang 9,2 kilometer juga telah selesai sesuai dengan rencana.

Untuk tahap kedua akan dibangun 320 unit rumah dan dananya akan segera diberikan. Terkait dengan sudah selesainya 50 unit rumah yang dibangun, dia mengimbau Pemkab Karo agar rumah-rumah yang sudah selesai dibangun untuk ditempati oleh para pengungsi tiga desa yaitu Desa Simacem, Desa Bakerah dan Desa Suka Meriah. Menurut Syamsul, apa yang dikerjakan prajurit TNI itu merupakan karya bhakti TNI skala besar.

TNI telah melaksanakan tugas dengan maksimal sehingga pembangunan perumahan ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Usai meninjau pembangunan perumahan untuk para pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung, Samsyul Marif beserta rombongan meninjau lokasi pengungsian di GBKP Jalan Kotacane yang dihuni 697 jiwa.

Mereka sebagian besar berasal dari Desa Sukanalu dan Sigarang-garang. Pada kesempatan tersebut Syamsul mengimbau para pengungsi mau segera dipulangkan ke desanya masing-masing. Pihaknya segera menyiapkan dana untuk kepulangan pengungsi.

Para pengungsi dapat segera kembali ke desanya dan memulai kehidupan seperti biasanya, sebut Syamsul. Sejauh ini keterlambatan pemulangan para pengungsi ini dikarenakan dana pemulangan pengungsi belum dapat dicairkan. Nak, sebutnya, dalam waktu secepatnya akan diberikan untuk biaya mereka memulai aktivitas di desa. (PHI)

Sumber : BNPB

Mei 2015 47

Menyentuh Manusiadalam Bencana

Liputan Khusus

Oleh Kwan Men Yon

Pembaca yang budiman mungkin pernah mendengar seseorang berkata begini mengenai orang- orang di suatu tempat yang baru saja ditimpa bencana: “Orang-orang sana berbeda dengan orang-orang di anu. Orang-orang sana susah diatur, keras kepala, suka seenaknya sendiri. Budayanya itu beda banget.” Di lain kesempatan, pembaca juga mungkin pernah mendengar pernyataan yang kurang lebih seperti berikut: “Orang-orang itu sudah kita beritahu berulang kali, tetapi masih saja menolak dievakuasi. Memang mereka orang-orang yang sulit.”

Sum

ber

: BN

PB

48 Gema BNPB Vol 6 No 1

Pandangan-pandangan itu pada dasarnya berbicara tentang manusia dalam bencana. Di dalamnya

terkandung pengandaian tentang manusia. Biasanya, itu dinyatakan oleh mereka yang bukan orang-orang yang (sedang) mengalami bencana, namun ada untuk membantu menangani bencana. Di sisi lain, yang dinyatakan dalam pandangan tersebut adalah mereka yang (sedang) mengalami bencana. Dua kondisi itu penting disebutkan di sini sebab memiliki implikasi yang tidak sederhana.

Implikasi pertama, adalah bahwa manusia memang ternyata sungguh sentral dalam penanganan bencana. Bila tidak demikian, tidak mungkin yang dijadikan subjek penilaian (keluhan!) dalam penanganan bencana adalah manusia. Implikasi kedua, adalah bahwa justru karena posisi yang sentral itu, pernyataan mengenai manusia dalam bencana memiliki nilai dan sebab itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena ia bernilai—ini implikasi ketiga—maka harus diandaikan bahwa pandangan itu dengan satu dan lain cara akan berdampak terhadap bagaimana penanganan bencana dilakukan. Dengan kata lain, corak penanganan bencana merupakan wujud dari pandangan tentang manusia dalam bencana.

Tulisan ini mencoba mengangkat problem pengandaian manusia dalam bencana. Pada bagian pertama, disajikan berbagai pengandaian tentang manusia dalam bencana. Akan ditunjukkan bahwa cukup banyak pengandaian itu yang tidak dapat diterima dengan akal sehat dan karena itu seharusnya ditolak. Setelah itu, dibahas alternatif pandangan tentang manusia yang menurut akal sehat dan secara etis lebih memadai. Di bagian akhir ditampilkan implikasinya bagi penanganan bencana di Indonesia.

Pengandaian yang tidak memadaiKiranya cukup pasti bahwa sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—untuk menemukan corak penanganan bencana yang tidak memiliki pengandaian tertentu

tentang manusia. Maka, cukup wajar bahwa terdapat berbagai pandangan mengenai manusia dalam bencana. Karena tempat yang terbatas, tulisan ini hanya akan menyajikan enam pandangan yang menurut pengalaman penulis cukup sering dinyatakan oleh mereka yang bekerja dalam bidang penanganan bencana.

Enam pandangan itu adalah:

1 Bahwa orang di daerah tertentu lebih sulit dihadapi atau dilayani dalam penanganan bencana dibanding daerah lain.

2 Bahwa sikap keras kepala atau penolakan terhadap kebijakan penanganan bencana (paling sering dalam kasus evakuasi dan relokasi) disebabkan latar belakang sosio-kultural tertentu.

3 Bahwa orang terkena bencana karena kesalahannya sendiri, terutama karena sikap abai dalam menjaga lingkungan atau justru menyebabkan kerusakan lingkungan.

4 Bahwa pemberian insentif berupa uang atau lainnya akan membuat orang lebih bersedia bekerjasama termasuk untuk membangun kembali tempat tinggal mereka.

5 Bahwa orang akan mengikuti sebuah keputusan apabila disertai ancaman sanksi.

6 Bahwa korban bencana perlu diminta memenuhi syarat tertentu (ikut membayar harga) sebelum menerima bantuan lebih lanjut (khususnya pada fase pascabencana).

Berikut ini kita akan memeriksa pengandaian dari pandangan-pandangan itu. Pandangan (1) bahwa orang di daerah tertentu lebih sulit dilayani mungkin ada benarnya apabila kita berempati pada pengalaman konkrit dari mereka yang menangani bencana di saat dan tempat tertentu. Persoalannya, pandangan ini mengandaikan bahwa semua orang di daerah yang dimaksud itu sama adanya. Maka, apa yang mungkin hanya benar secara parsial, diuniversalkan. Persoalan yang lebih gawat adalah, pandangan

Mei 2015 49

itu juga hanya mungkin diyakini secara sungguh-sungguh jika orang menerima pengandaian bahwa ada kelompok manusia yang kodratnya lebih baik dibanding yang lain. Pengandaian ini sendiri, kita tahu, dalam sejarah telah menjadi alasan terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia.

Pandangan (2) bahwa sikap keras kepala atau penolakan disebabkan latar belakang sosio-kultural juga mungkin ada benarnya, tetapi sebenarnya sangat sulit diterima oleh akal sehat, sebab pandangan itu dilandasi oleh pengandaian bahwa aspek sosio-kultural mendeterminasikan perilaku manusia. Dalam arti itu, manusia tidak bisa lain kecuali mengikuti saja determinasi sosio-kulturalnya. Manusia dilihat sebagai hasil dari penentuan sosio-kultural. Pengandaian ini bermasalah sebab manusia hanya dilihat sebagai makhluk satu dimensi yang juga tidak memiliki kehendak bebas untuk dapat menentukan dirinya sendiri, terlepas dari determinasi faktor sosio-kultural.

Pandangan (3) bahwa orang terkena bencana karena kesalahannya sendiri juga bisa benar, tetapi hanya sampai batas tertentu yang sangat spesifik. Sama seperti pada pandangan (1), pengandaian pada pandangan (3) menjadi problematik karena diuniversalkan. Pandangan ini juga menutup kemungkinan bahwa manusia yang terkena bencana tersebut adalah korban dari perbuatan orang lain, yaitu sesuatu yang secara faktual cukup banyak terjadi.

Sementara itu, pandangan (4) bahwa pemberian insentif berupa uang atau materi lainnya akan membuat orang lebih bersedia bekerjasama, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pengandaian manusia sebagai makhluk ekonomi. Program seperti cash for work yang tidak hanya dilakukan dalam penanganan bencana, tetapi juga dalam banyak bidang lain, jelas memiliki asumsi manusia ekonomi tersebut. Bahwa orang akan, bahkan hanya akan, bertindak karena keinginan untuk memperoleh materi. Ada semangat pertukaran di sana antara tenaga

Sum

ber

: Pau

lus

Dia

rtok

o (b

uku

Stor

y fo

rm T

he E

ast)

50 Gema BNPB Vol 6 No 1

manusia dengan materi, yang amat khas pada ilmu ekonomi. Pandangan ini juga terjerumus dalam pengandaian manusia satu dimensi, yaitu hanya sebagai makhluk ekonomi.

Selanjutnya, pandangan (5) bahwa orang akan mengikuti sebuah keputusan apabila ada ancaman sanksi, tampaknya menyembunyikan pengandaian tentang manusia yang bisa dibuat takut atau menyerah kepada ketakutan. Orang patuh karena takut. Pada sejumlah kasus, pengandaian ini bisa saja diterima terutama untuk perihal yang menyangkut kemungkinan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penegakan hukum itu sendiri, hanya mungkin jika diandaikan bahwa manusia adalah makhluk yang bisa patuh karena takut. Tetapi, manusia jelas lebih dari itu. Manusia juga bisa patuh secara sukarela. Dalam tidak sedikit kasus, manusia bahkan bisa merelakan haknya kepada orang lain.

Adapun pandangan (6) bahwa korban bencana perlu diminta memenuhi syarat tertentu (ikut membayar harga), misalnya menyediakan sendiri semen dan pasir dalam kegiatan pembangunan kembali rumah dan lingkungannya, harus dikatakan mengandaikan bahwa manusia umumnya tidak bersedia memikul tanggung jawab, termasuk atas sesuatu yang sebenarnya menyangkut dirinya sendiri. Dengan mudah kita melihat bahwa pandangan ini terlalu pesimis terhadap manusia. Dalam kenyataannya, manusia justru merupakan makhluk yang kodratnya sebagai makhluk dengan kehendak bebas menuntut adanya tanggung jawab. Telah terbukti lagi dan lagi bahwa manusia tidak selalu mengejar kepentingan diri dan dengan senang hati bisa menerima tanggung jawab.

Secara terbatas karena disampaikan dengan sangat hemat, kita telah melihat bahwa sejumlah pengandaian yang dibangun mengenai manusia dalam bencana tidak memadai. Yang menjadi soal adalah bahwa pengandaian-pengandaian itu mewarnai penanganan bencana—

entah disadari atau tidak—dan pada akhirnya berdampak terhadap mereka yang mengalami bencana. Bagaimana dari pengandaian tentang manusia bisa timbul dampak terhadap manusia dalam penanganan bencana?

Dampak itu bisa timbul karena sejak semula tidak ada kebijakan maupun program (juga dalam penanganan bencana) yang tidak memiliki pengandaian atau asumsi. Pengandaian itu bisa disadari atau bisa juga tidak. Dalam arti itu, asumsi yang tidak memadai tentang manusia tentu saja akan membuat kebijakan atau program juga menjadi tidak memadai.

Pada pandangan (1), misalnya, pengandaian tentang manusia semacam itu sangat mungkin menyebabkan adanya perlakuan berbeda terhadap daerah-daerah yang mengalami bencana. Orang tentu lebih suka berurusan dengan orang-orang yang dianggap lebih baik dan mudah diajak bekerjasama. Padahal, bukan itu persoalannya. Persoalannya adalah bagaimana semua daerah diperlakukan sama baiknya dan sama manusiawinya, terlepas dari bagaimana sikap orang-orang di daerah bersangkutan.

Contoh lain, pada pandangan (4), pengandaian manusia sebagai makhluk ekonomi sangat mungkin membuat—dan kita mungkin telah melihat faktanya—penanganan bencana tergelincir menjadi transaksional. Orang hanya diberi jika memberi. Betapa pandangan manusia ekonomi ini telah cukup merasuk dalam penanganan bencana dewasa ini bisa kita lihat dari adanya orang-orang, termasuk korban bencana, yang akhirnya memang hanya bersedia bekerja jika diberi imbalan tertentu. Dalam hal itu, manusia ekonomi dalam bencana yang mungkin semula hanya pengandaian malah menjadi kenyataan.

Melihat secara holistikPengandaian tentang manusia dalam bencana pasti bermasalah apabila manusia dilihat secara satu dimensi saja dan

Mei 2015 51

sebagai dideterminasikan. Dengan kata lain, menggunakan cara pandang mekanis, yaitu manusia diserupakan dengan mesin otomat, yang tak ubahnya robot atau benda-benda material, yang dapat diarahkan untuk menghasilkan reaksi tertentu sejauh diberi impuls-impuls yang sesuai. Manusia menjadi tak lain dari percobaan dalam laboratorium. Bisa direkayasa dan dapat dimanipulasi.

Faktanya, manusia sama sekali lain. Manusia merupakan makhluk multidimensi yang sekaligus penuh dengan paradoks. Ia bersifat jasmani, tetapi juga rohani. Ia imanen, tetapi sekaligus transenden. Ia bergerak dalam ruang dan waktu, namun dengan kesadarannya dapat melampauinya. Ia berkehendak bebas. Ia mempunyai daya afeksi. Ia pelaku moral sebab dikaruniai dengan hati nurani. Semua itu khas manusia karena tidak ditemukan pada makhluk lain di dunia ini. Berbagai kekhasan dan dimensi itu membuat manusia pada suatu saat dapat bertindak sebagai makhluk ekonomi, tetapi pada waktu yang sama atau lain juga bisa berpikir dan bertindak sebagai makhluk sejarah, makhluk sosial, makhluk politik, makhluk kultural, dan terutama makhluk moral. Melihat manusia barulah memadai jika kita melihatnya dengan cara lain daripada cara pandang mekanis.

Cara pandang yang lebih memadai adalah melihat manusia secara holistik. Manusia dilihat sebagai keseluruhannya, sedangkan dimensi-dimensinya atau bagian-bagiannya hanya masuk akal sebagai kebersatuan dari keseluruhannya. Dalam hal itu, manusia diperlakukan seutuhnya sebagai manusia dengan segala kekhasannya. Ia dihadapi dengan penghormatan kepada harkat dan martabatnya yang tidak lebih tinggi dari manusia lain, tetapi juga tidak lebih rendah. Bagaimana idealitas ini bisa diterapkan?

Yang kiranya sangat kunci adalah menghidupkan kesadaran terus-menerus bahwa manusia tidak menjadi lebih lemah dan karena itu berkurang kemanusiaannya ketika ia mengalami bencana. Manusia dalam bencana sangat mungkin kehilangan banyak hal yang penting bagi kehidupannya. Manusia itu mungkin menjadi sakit atau menyandang disabilitas tertentu akibat bencana. Ia mungkin kehilangan harta benda hingga tak tersisa apa-apa lagi. Ia bisa saja kemudian menderita secara psikologis. Namun, apapun yang terjadi kepada manusia itu, ia tidak menjadi kehilangan kemanusiaannya. Harkat dan martabatnya sebagai makhluk yang sama dan setara dengan manusia lain, termasuk mereka yang datang sebagai penolong, tetap

Sum

ber

: BN

PB

52 Gema BNPB Vol 6 No 1

melekat pada keberadaannya sebagai manusia. Ia tak sedikit pun menjadi kurang manusia karena bencana.

Kesadaran bahwa manusia dalam bencana tetap secara hakiki adalah manusia kerapkali dilupakan. Apa buktinya? Buktinya dapat kita lihat pada perlakuan kepada korban bencana sebagai makhluk yang tidak berdaya dan selalu bergantung kepada orang lain. Tidak ada manusia yang senang diperlakukan sebagai tidak berdaya dan melulu bergantung. Situasi itu jelas mengusik harkat dan martabatnya.

Dalam kesadaran itu, lalu dapat diciptakan ruang yang selalu terbuka bagi adanya komunikasi antara mereka yang menjadi korban bencana dengan mereka yang datang untuk membantu. Komunikasi tidak pernah menjadi tujuan pada dirinya sendiri, melainkan ada untuk tujuan lain. Dalam hal ini, yang perlu ada bukanlah komunikasi yang terarah kepada tujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Komunikasi semacam ini masih sangat mudah kita temukan pada berbagai konteks bidang kehidupan. Komunikasi untuk menguasai ini justru merupakan kondisionalitas yang paling subur bagi pelestarian pengandaian-pengandaian yang tidak memadai tentang manusia.

Sama sekali lain dari itu, komunikasi yang perlu ada adalah komunikasi untuk saling memahami untuk mencapai kemanusiaan yang hakiki. Memahami selalu merupakan bentuk kerendahan hati. Maka, memahami hanya mungkin jika orang bersedia menyelami realitas pihak lain sedemikian rupa sehingga melahirkan solidaritas. Kesusahan orang yang terkena bencana itu menjadi kesusahan kita. Penderitaannya menjadi penderitaan kita. Lukanya menjadi luka kita. Maka, kebahagiaannya juga adalah kebahagiaan kita. Pada titik ini, orang tidak bisa lain kecuali bertindak bagi kebaikan hakiki orang lain.

Betapa solidaritas semacam itu kita butuhkan ada dalam penanganan bencana kini dan selama- lamanya. Penanganan

bencana adalah kesempatan untuk bertindak manusiawi kepada sesama manusia. Siapakah sesama manusia itu? Sesama manusia adalah dia yang darinya dan kepadanya kemanusiaan kita mewujud. Maka, hanya manusia memang yang dapat terlibat dalam penanganan bencana. Hewan tidak mengalami bencana sebagai bencana. Bencana hanya sebuah peristiwa alam tanpa makna bagi hewan. Wajarlah bahwa hewan dalam situasi „bencana pun tetap bisa menjadi pemangsa bagi hewan lainnya. Bagi kita manusia, keterlibatan dalam bencana itu hanya mungkin menunjukkan karakter kemanusiaan jika kita bertindak layaknya manusia, bukan seperti hewan.

PenutupSetiap corak penanganan bencana cukup pasti memiliki pengandaian tertentu tentang manusia. Pengandaian ini bisa keliru. Kekeliruan itu dapat berdampak terhadap manusia yang mengalami bencana sebab pengandaian atau asumsi itu mewarnai bagaimana penanganan bencana dilakukan. Sayangnya, harus diakui bahwa cukup banyak pengandaian tentang manusia dalam bencana tidak memadai karena manusia dilihat secara mekanis. Manusia dalam cara pandang mekanis itu bersifat satu dimensi dan dideterminasikan.

Lebih dari saat apapun, dibutuhkan sikap yang kritis terhadap berbagai pengandaian tentang manusia dalam penanganan bencana. Cara pandang holistik sebagai yang lebih memadai tentang manusia dalam bencana perlu terus-menerus didorong agar mewarnai penanganan bencana di Indonesia. Cara pandang itu akan mengarahkan kepada kebutuhan untuk selalu membuka ruang komunikasi untuk mencapai pemahaman dengan mereka yang mengalami bencana sebagai manusia yang setara dan tidak kurang kemanusiaannya dari mereka yang membantu menangani bencana.

Penulis adalah konsultan CDSP-AIFDR, tinggal di Jakarta.

Mei 2015 53

Teropong

Sum

ber

: BN

PB

Kepemimpinan Handal Dukung“One ASEAN One Response”dalam Penanggulangan Bencana ASEAN

54 Gema BNPB Vol 6 No 1

Asia Tenggara merupakan kawasan yang rawan bencana. Kurun waktu sepuluh tahun terakhir bencana dahsyat terjadi di kawasan ini, seperti tsunami di Aceh 2004, siklon Nargis 2008, dan siklon Haiyan 2013. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana 2010 dari Maplecroft menyebutkan Indonesia, Filipina dan Myanmar termasuk dalam kategori risiko ekstrim terhadap bencana. Ketiga negara tersebut menduduki peringkat 2, 9, dan 14. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) memandang pentingnya kerjasama dalam penanggulangan bencana. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN mengusung One ASEAN One Response untuk menunjukkan bahwa ASEAN Member State (AMS) memprakarsai solidaritas dan dukungan kemanusiaan terhadap negara yang terdampak bencana.

Deklarasi “One ASEAN One Response” bermakna bahwa respon ASEAN terhadap bencana sebagai

suatu kesatuan, baik di dalam dan luar kawasan ASEAN. Tujuannya adalah untuk memperkuat mekanisme respon ASEAN terhadap bencana alam dan mengukuhkan peran ASEAN yang tertuang di dalam dokumen Agreement in Disaster Management and Emergency Response (AADMER), sebagai platform untuk isu Humanitarian Assitance and Disaster Relief (HADR).

Sehubungan dengan kerjasama di bidang bantuan kemanusiaan di dalam kawasan, ASEAN memiliki organisasi ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance on Disaster Mangement atau AHA Centre. AHA Centre merupakan organisasi di bawah ASEAN yang bertujuan untuk memfasilitasi kerjasama di antara negara-negara ASEAN, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional dalam kerangka penanggulangan bencana. Selain itu, AHA Centre juga sebagai satu-satunya badan koordinasi operasional bidang penanggulangan bencana di kawasan ASEAN. Besarnya potensi ancaman bencana mendorong AHA Centre untuk mendapatkan dukungan informasi dan masukan dari lembaga pemerintah dari negara ASEAN atau National Disaster

Management Office (NDMO) yang bergerak di bidang penanggulangan bencana. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan karakteristik bencana yang ada, patut berbangga hati dengan dipilihnya Jakarta sebagai kantor operasional AHA Centre.

LeadershipDapat dibayangkan ketika suatu wilayah terkena dampak bencana. Pada fase awal kepanikan selalu terjadi. Kita tidak tahu apa yang akan dihadapi di depan kita. Pada saat inilah masyarakat membutuhkan seorang yang mampu untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan pasca bencana atau di saat krisis. Pada saat panik atau chaos seorang dengan kepemimpinan atau leadership yang dimiliki dapat melakukan penanggulangan bencana secara professional.

Konteks tersebut melengkapi latar belakang AHA Centre yang berdiri sejak 17 November 2011 mendesain program pelatihan yang memfokuskan tema kepemimpinan. Program pelatihan tersebut bernama AHA Centre Executive Programme atau Program ACE. Program ACE yang berlangsung enam bulan ini mencakup pelatihan tentang peningkatan kapasitas, termasuk ketrampilan teknis dan non teknis. Materi pembelajaran

Mei 2015 55

pemerintah dari negara ASEAN, yang bergerak di penanggulangan bencana, Sekretariat ASEAN, Pemerintah Australia, Pemerintah Selandia Baru, Pemerintah Amerika Serikat, lembaga PBB (UNOCHA dan UNWFP, UNHRD), International Organization of Migration (IOM), Universitas Canterbury, Universitas Syah Kuala, Departemen Kehutanan Pemerintah Amerika Serikat, London School Academy, AADMER Partnership Group (APG), Komando Pasifik Amerika Serikat, Palang Merah Indonesia (PMI), Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, RedR UK, RedR Australia, DHL dan Civic Force Japan.

Program ACE Angkatan KeduaProgram ACE pada 2015 merupakan penyelenggaraan angkatan kedua (second batch). Program berlangsung pada 9 Februari – 7 Agustus 2015 diikuti oleh perwakilan dari delapan negara, yaitu Kamboja, Indonesia, Filipina, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Viet Nam. Perwakilan dari dua negera tidak mengikuti program eksklusif, yaitu Brunei Darussalam dan Singapura. Pelatihan Program ACE berlokasi di kantor AHA Centre, Jakarta Pusat. Pemerintah Indonesia mengirimkan perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai focal point penanggulangan bencana. Setiap perwakilan lembaga pemerintah mengirimkan dua pegawai untuk mengikuti program yang mengutamakan aspek kepemimpinan.

Program ACE memiliki lebih dari 1.000 jam dengan kombinasi kegiatan magang di AHA Centre, training dengan berbagai topik dalam penanggulangan bencana, study visit, dan deployment. Program yang diikuti oleh enam belas dari 10 negara ASEAN ini sebagai investasi masa depan dalam mempersiapkan pemimpin, khususnya penanggulangan bencana di kawasan Asia Tenggara. Sumber daya yang profesional menjadi modal setiap lembaga pemerintah yang bergerak di penanggulangan bencana untuk membantu bangsa lain sebagai saudara, rasa solidaritas, dan rasa kemanusiaan, khususnya di negara-negara ASEAN, dengan mengangkat slogan “One ASEAN One Response”.

Program ini bertujuan untuk peningkatan kapasitas dalam penanggulangan bencana. Peserta berasal dari perwakilan lembaga pemerintah dari negara ASEAN. Penyelenggaraan Program ACE memberikan kesempatan bagi peserta untuk pengalaman professional dalam kerangka kerjasama regional. Tujuan utama program ini adalah untuk memberikan pemahaman dan peningkatan kapasitas penanggulangan bencana, khususnya sistem logistik pada saat tanggap darurat.

Program yang berlangsung selama enam bulan ini terselenggara atas dukungan berbagai pihak. Dukungan utama diberikan oleh Pemerintah Jepang melalui Dana Integrasi Jepang-ASEAN (JAIF). Beberapa organisasi yang mendukung program ACE antara lain lembaga

Sumber : BNPB

56 Gema BNPB Vol 6 No 1

ACE Program mengharuskan peserta untuk berkomitmen untuk mengikuti program pelatihan selama enam bulan. Program meliputi berbagai kegiatan terkait penanggulangan bencana dan kepemimpinan. Pelatihan ini menggabungkan on job training, workshop dengan berbagai topik, kunjungan lapangan. Kunjungan lapangan tidak hanya di lembaga pemerintah tetapi juga pengalaman internasional seperti kunjungan ke Selandia Baru, Jepang, dan Malaysia. Kunjungan di dalam negeri antara lain Yogyakarta, Padang, dan Aceh. Sementara itu, kunjungan di lembaga pemerintah antara lain Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan BNPB.

Acara pembukaan Program ACE berlangsung pada 20 Februari 2015 dan dihadiri oleh Pejabat tinggi di lingkungan ASEAN Sekretariat dan lembaga-lembaga yang mendukung program ACE. Sekretaris Jenderal ASEAN, Le Luong Minh, menegaskan pentingnya Program ACE. “Melalui Program ACE, ASEAN berupaya untuk meningkatkan kapasitas lembaga pemerintah yang bergerak di bidang penanggulangan bencana. Peningkatan kapasitas tersebut dicapai dengan mengembangkan keterampilan dan kompetensi peserta dan mempersiapkan kompetensi guna menghadapi tantangan masa depan,” kata Sekretaris Jenderal yang berasal dari Viet Nam.

Direktur Eksekutif AHA Centre Said Faisal menyebutkan bahwa Program ACE didesain untuk mempersiapkan pemimpin masa depan dalam penanggulangan bencana di ASEAN.

“Kami benar-benar bangga bahwa Program ACE telah memasuki angkatan kedua. Program ACE merupakan bukti kerjasama antar pemerintah. Apabila bencana terjadi di negara mereka, merekalah yang merespon pertama kali. Kami di AHA Centre bangga dapat membantu dalam mempersiapkan pemimpin masa depan penanggulangan bencana, yang tidak

hanya akan membantu negara-negara mereka, tetapi juga ASEAN dan dunia, “kata Said Faisal dalam sambutan pembukaan.

Peserta dari Lao PDR Sombath Dousavanh sangat antusias mengikuti pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan oleh AHA Centre. “Program ACE tidak hanya memberikan pengetahuan tentang penanggulangan bencana tetapi juga memotivasi saya untuk lebih percaya diri dan dapat bekerjasama dengan orang lain dari berbagai budaya dan latar belakang sebagai upaya bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Kerjasama yang kuat harus membuahkan hasil,” jelas Sombath dari Divisi Penanggulangan Bencana, Kementerian Kesejahteraan Sosial.

Sementara itu, perwakilan peserta dari Indonesia, Theophilus Yanuarto, program ACE sangat strategis dalam membangun kapasitas, baik pengetahuan dan keterampilan, yang didukung nilai-nilai kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Program ini juga memfasilitasi untuk membangun jaringan komunikasi dan kerjasama antar NDMO di kawasan ASEAN.

Hadir pada acara pembukaan antara lain Duta Besar Pemerintah Jepang, Koichi Aiboshi, Direktur Pusat Penanggulangan Bencana Pemerintah Brunei Darussalam Kolonel Pengiran Dato Paduka Hj Rosli bin Pengiran Hj Chucu yang sekaligus Ketua ASEAN Committee on Disaster Mangement (ACDM), serta mitra dialog ASEAN dan lembaga-lembaga mitra. (PHI)

Sumber : BNPB

Mei 2015 57

Kilasan Bencana IndonesiaTriwulan Pertama 2015Sudah 600 kejadian bencana alam yang terjadi pada tiga bulan pertama tahun 2015. Sebanyak 97,8 persen diantaranya adalah bencana tanah longsor, banjir, dan puting beliung. Dari segi frekuensi terjadinya, tanah longsor berada di urutan pertama.

Teropong

Sum

ber

: BN

PB

58 Gema BNPB Vol 6 No 1

Seperti tahun-tahun sebelumnya, jumlah kejadian bencana pada bulan Januari sangat banyak, bahkan

biasanya merupakan yang terbanyak dalam setahun. Januari 2015 ini jumlah kejadian bencana yang terjadi sebanyak 285 kejadian dengan jenis kejadian yang paling banyak terjadi adalah tanah longsor. Sedangkan bulan Februari dan Maret masing-masing sebanyak 240 dan 75 kejadian dengan jenis kejadian yang paling banyak adalah puting beliung dan tanah longsor. Tanah longsor menjadi bencana paling mematikan karena paling banyak menimbulkan korban meninggal dan hilang. Sedangkan puting beliung menjadi bencana yang paling merusak karena paling banyak menimbulkan kerusakan rumah.

Kejadian Bencana Bulan Januari 2015Biasanya musim penghujan mengalami puncaknya pada akhir hingga awal tahun (pergantian tahun). Pada bulan Januari 2015 ini hujan turun hampir setiap hari.

Akibatnya seluruh wilayah tanah air tak luput dari terpaan hujan. Tidak sedikit diantaranya yang berujung pada bencana banjir. Sebanyak 98 kabupaten/kota di 25 provinsi di Indonesia mengalami bencana banjir pada bulan Januari 2015.

Provinsi Aceh yang merupakan wilayah paling barat di Indonesia dilanda banjir sekitar minggu kedua bulan Januari. Wilayah yang dilalui 15 daerah aliran sungai (DAS) ini kerap dilanda bencana banjir ketika musim penghujan tiba. Pada bulan Januari 2015, 5 kabupaten/kota di Aceh terendam banjir. Kabupaten/kota yang dilanda banjir tersebut adalah Kabupaten Aceh Tenggara, Pidie, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Kota Subulussalam.

Korban terdampak di Aceh Tamiang adalah yang terbanyak dibandingkan kabupaten lain, yaitu 13.731 jiwa dalam 6 kecamatan. Permukiman penduduk paling banyak terendam di Kabupaten

Tabel 1. Jumlah Kejadian Bencana dan Dampaknya Bulan Januari-Maret 2015 Berdasarkan Jenis Kejadian

Jenis Bencana

Jumlah Kejadian

Korban (Jiwa) Kerusakan (Unit)

Meninggal & Hilang

Luka-luka

Menderita &

Mengungsi

Rumah Rusak Berat

Rumah Rusak

Sedang

Rumah Rusak

Ringan

Rumah Terendam

Fasilitas Pendidikan

Fasilitas Peribadatan

Fasilitas Kesehatan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)

Tanah Longsor 208 42 34 24.092 258 154 350 271 7 1 -

Banjir 191 12 2 442.844 183 88 836 84.726 122 24 11

Puting Beliung 188 16 52 2.662 401 725 3.120 31 19 14 1

Banjir & Tanah Longsor

7 2 - 2.793 12 23 15 1.039 - - -

Gelombang Pasang/Abrasi

3 1 - - 2 5 - - - - -

Gempabumi 2 - - 144 11 10 34 - 1 1 -

Kebakaran Hutan dan Lahan

1 - - - - - - - - - -

Total 600 73 88 472.535 867 1.005 4.355 86.067 149 40 12

Sumber: www.dibi.bnpb.go.id

Mei 2015 59

Pidie, dengan jumlah tidak kurang dari 4.000 unit.

Seperti halnya Aceh, Jakarta juga merupakan provinsi yang rutin mengalami banjir pada awal tahun. Namun dampak yang ditimbulkan bencana banjir pada tahun 2015 ini tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Selain curah hujan yang tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini semua pihak terkait telah melakukan berbagai upaya pencegahan. Upaya tersebut diantaranya adalah rapat koordinasi instansi terkait untuk menentukan berbagai skenario penanggulangan banjir Jakarta. Rapat koordinasi ini sudah dilakukan sejak akhir tahun 2014.

Personil gabungan untuk membantu penanganan banjir Jakarta juga sudah disiagakan. Kekuatan personel gabungan yang disiapkan mencapai lebih dari 5.000 orang termasuk 2.000 anggota satgas banjir Komando Armada Maritim Barat DKI Jakarta, 2 batalyon Zeni Marinir untuk pembersihan sungai, 4 satgas banjir Kodam Jaya untuk 5 wilayah berkekuatan lebih dari 1.000 personel. Selain itu, BNPB juga melakukan pendirian pos perkuatan

di sejumlah titik rawan banjir di Jakarta dan wilayah sekitar. Pos perkuatan yang didirikan sebanyak 28 titik, dimana 25 titik terletak di Jakarta, sedangkan 2 titik lainnya di Bekasi dan 1 titik di Tangerang. Setiap pos perkuatan beranggotakan tim dari BNPB, TNI, Polri, dan resimen mahasiswa.

Bencana banjir juga melanda Provinsi Banten pada bulan Januari 2015. Banjir menggenangi beberapa wilayah di 12 desa di Kecamatan Panimbang dan Cikesik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Wilayah ini memang berada pada daerah rawan banjir dan hampir setiap tahun terendam banjir. Banjir terjadi akibat meluapnya Sungai Cilember. Tercatat 13.054 rumah terendam banjir dan 21.528 jiwa terdampak. Selain Pandeglang, Kabupaten Lebak juga mengalami banjir. Di wilayah ini banjir disebabkan karena meluapnya sungai Ciliman, Cimoyan, Ciberang, Ciujung, Cibinuangen serta 189 anak sungai lainya yang membelah Kabupaten Lebak. BPBD Kabupaten Lebak telah menetapkan status siaga darurat sejak tanggal 20 Desember - 20 Maret 2015. Sebanyak 5.355 jiwa terdampak dan lebih dari 2.200 rumah terendam.

Gambar 1. Grafik Jumlah Kejadian Bencana Januari-Maret 2015

60 Gema BNPB Vol 6 No 1

Wilayah timur Indonesia juga tidak luput dari bencana banjir pada awal tahun 2015. Banjir yang cukup besar terjadi di Kota Manado, Sulawesi Utara; Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan; dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Banjir di Kota Manado terjadi sejak dini hari tanggal 11 Januari 2015. Banjir disebabkan karena hujan deras yang terjadi sejak tanggal 10 Januari sore hingga pukul 02.00 WITA keesokan harinya. Akibat hujan deras tersebut, Sungai Tendanau meluap dan merendam permukiman warga. Sebanyak 7 kecamatan terdampak, yaitu Bunaken, Singkil, Paal Dua, Tikala, Wenang, Sario, dan Wanea. Tidak kurang dari 2.000 rumah warga terendam banjir dan lebih dari 4.000 jiwa terpaksa mengungsi.

Minggu ketiga bulan Januari terjadi banjir yang cukup besar di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Banjir terjadi sejak tanggal 23 Januari 2015 dikarenakan hujan dengan intensitas tinggi. Kecamatan yang terdampak adalah Kecamatan Barru, Tanete Rilau, Tanete Riaja, Balusu, Soppeng Riaja, dan Mallusetasi. Sebanyak 6.129 jiwa terdampak di 6 kecamatan tersebut.

Di penghujung Januari 2015 banjir melanda Dompu, Nusa Tengggara Barat. Bencana banjir ini disebabkan karena hujan lebat dan meluapnya beberapa sungai, yaitu Sungai Laju, Sungai Silo, Sungai Soa, Sungai Raba Baka, dan Sungai Toi. Banjir melanda 10 kelurahan di Kecamatan Dompu dan Kecamatan Woja. Akibatnya, sekitar 20.000 jiwa terdampak, 4.200 rumah terendam, dan 23 rumah mengalami rusak berat. Ketinggian banjir mencapai 4 meter. Masyarakat diungsikan ke masjid-masjid, sekolah dan tempat tempat yang tidak terdampak banjir.

Kejadian Bencana Bulan Februari 2015Pada bulan ini sebagian besar wilayah Indonesia masih mengalami musim penghujan. Hujan dengan intensitas ringan hingga lebat terjadi di berbagai wilayah. Banyak wilayah dilaporkan mengalami bencana banjir, tanah longsor dan puting beliung. Namun, jika dibandingkan dengan bulan Januari 2015, jumlah kejadian bencana mengalami penurunan, begitu juga dengan jumlah korban meninggal dan hilang.

Gambar 2. Grafik Jumlah Kejadian Bencana, Jumlah Korban Meninggal dan Hilang, dan Jumlah Rumah Rusak Januari-Maret 2015

Mei 2015 61

Awal bulan Februari 2015 hujan deras kembali mengguyur wilayah Ibukota Jakarta dan mengakibatkan sejumlah wilayah tergenang. Hingga Senin, 9 Februari 2015 pukul 16.00 WIB, ada 93 titik genangan di Jakarta. Titik genangan tersebut tersebar di 35 titik di Jakarta Pusat, 28 titik di Jakarta Barat, 17 titik di Jakarta Utara, 8 titik di Jakarta Timur, dan 5 titik di Jakarta Selatan. Tinggi banjir bervariasi antara 10-80 cm. Dampaknya kemacetan parah terjadi di banyak tempat.

Sementara itu, pada hari yang sama tinggi muka air sebagian besar sistem sungai

di Jakarta telah naik menjadi Siaga III, yaitu Bendung Katulampa 80 cm (Siaga III), pintu air Depok 210 cm (Siaga III), Manggarai 820 cm (Siaga III), Krukut Hulu 165 cm (Siaga III), Pesanggarahan 190 cm (Siaga III), Angke Hulu 190 cm (Siaga III), Pulo Gadung 675 cm (Siaga III). Sedangkan pintu air Karet 650 cm (Siaga I). Kondisi ini menyebabkan daerah-daerah bantaran sungai terendam banjir.

Selain bencana hidrometeorologi, pada bulan Januari 2015 juga terjadi gempabumi yang menimbulkan kerusakan. BMKG melaporkan terjadi gempabumi 7,1 SR pada Jumat, 27

Sumber : BNPB

62 Gema BNPB Vol 6 No 1

Februari 2015 pukul 20.45 WIB. Pusat gempa di laut dengan kedalaman 572 km berada pada 104 km barat laut Flores Timur atau 129 km Timur Laut Sikka, Nusa Tenggara Timur. Gempa tersebut tidak berpotensi tsunami.

Berdasarkan peta guncangan, gempa dirasakan di beberapa wilayah Flores Timur bagian utara dengan intensitas IV-V (sedang). Guncangan gempa juga dirasakan sedang di Sikka dan Kupang. Masyarakat di Kabupaten Flores Timur, Kota Mataram dan sebagian Bali merasakan guncangan gempa lemah. Gempa 7,1 SR termasuk gempa berintensitas cukup besar, namun pusat gempa yang dalam yaitu 572 km menyebabkan dampak yang terjadi tidak terlalu menyebabkan kerusakan. Dilaporkan sebanyak 19 rumah warga mengalami kerusakan dengan intensitas ringan, 1 fasilitas pendidikan rusak sedang, dan 1 fasilitas peribadatan rusak ringan.

Lokasi gempa merupakan zona sesar aktif yang berada di sebelah utara Pulau Flores. Sesar tersebut mengalami perpanjangan hingga di sebelah timur laut Bali yang dikenal sebagai Flores back arc thrust (sesar naik belakang busur kepulauan Flores). Aktivitas dari sesar ini juga menyebabkan gempabumi banyak terjadi di utara kepulauan Sumbawa hingga Flores. Distribusi gempabumi yang terjadi di selatan Sumbawa dan sekitarnya merupakan akibat aktivitas di zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah lempeng Eurasia. Sedangkan di bagian utara adalah gempa dari aktivitas sesar aktif Flores back arc thrust.

Kejadian Bencana Bulan Maret 2015Pada bulan Maret 2015, bencana tanah longsor merupakan yang paling mendominasi diantara bencana lainnya. Hampir setiap hari dilaporkan terjadi bencana tanah longsor. Sebagian besar bencana tanah longsor dilaporkan terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Korban meninggal dan hilang akibat tanah longsor pada bulan Maret 2015 mencapai 20 orang, 12 diantaranya disebabkan karena bencana longsor di Sukabumi tanggal 28 Maret 2015. Sebelumnya, pada tanggal 10 Maret 2015 juga sempat terjadi bencana longsor di Sukabumi yang menyebabkan 3 korban meninggal. Bencana tanah longsor lain yang menyebabkan korban meninggal dan hilang terjadi di Brebes, Jawa Tengah (12 Maret 2015), Sumedang, Jawa Barat (20 Maret 2015), dan Purworejo, Jawa Tengah (28 Maret 2015) .

Di Purworejo, bencana tanah longsor yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2015 diiringi juga dengan bencana banjir. Selain itu, banjir yang cukup besar pada bulan Maret 2015 juga terjadi di Indramayu, Jawa Barat pada tanggal 16 Maret 2015. Banjir di Indramayu ini sempat berimbas pada lalu lintas Pantura.

Selain itu, pada bulan Maret 2015 juga terjadi gempabumi di Maluku Utara. Gempa berkekuatan 6,2 SR dengan kedalaman 10 km di dasar laut terjadi pada Rabu, 18 Maret 2015 pukul 05.12 WIB. Pusat gempa berada pada 115 km barat laut Halmahera Barat, Maluku Utara. Walaupun gempa ini tidak memicu timbulnya tsunami, namun guncangan gempa sempat membuat warga di Halmahera Barat terkejut. Penyebab gempabumi karena adanya aktivitas sesar dan pergeseran lempeng sehingga ada patahan di laut Maluku.

Gempa dirasakan kuat di Halmahera Barat selama 5 detik. Masyarakat di Kota Ternate juga merasakan guncangan cukup kuat selama 3-5 detik. Bahkan di Kota Manado, masyarakat juga merasakan gempa. Tidak ada kepanikan karena masyarakat sudah sering mengalami gempa. Sebagian masyarakat merespon dengan keluar dari rumah. Laporan yang diterima oleh BNPB menyebutkan bahwa terjadi kerusakan pada rumah penduduk sebanyak 11 unit rusak berat, 10 unit rusak sedang dan 15 unit rusak ringan. (SPT/RTH)

Mei 2015 63

Teropong

64 Gema BNPB Vol 6 No 1

Terpapar Ancaman Longsor

Sum

ber

: BN

PB

Dua belas korban tewas akibat longsor di Kampung Cimerak, Desa Tegal Panjang, Kecamatan

Cireunghas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Sabtu (28-3-2105) telah dievakuasi. Di Indonesia terdapat 40,9 juta jiwa (17,2% dari penduduk nasional) yang terpapar langsung oleh bahaya longsor sedang-tinggi. Dari total jumlah tersebut terdapat 4,28 juta jiwa balita; 323 ribu jiwa disabilitas, dan 3,2 juta jiwa lansia. Semua terpapar dari longsor pada saat musim penghujan.

Sebagian besar mereka tidak memiliki kemampuan menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya longsor. Mitigasi bencana, baik struktural maupun non struktural masih sangat minim sehingga setiap musim penghujan longsor mengancam jiwa dan harta milik masyarakat. Bahkan pada tahun 2014, longsor adalah bencana yang paling banyak menimbulkan korban yaitu 408 jiwa tewas, 79.341 jiwa mengungsi, dan 5.814 rumah rusak. Daerah rawan longsor sesungguhnya sudah dipetakan. Jabar, Jateng, dan Jatim

adalah daerah yang paling banyak terjadi longsor. Selama 2005-2014 daerah yang paling banyak kejadian longsor adalah Kab. Wonogiri, Bogor, Wonosobo, Bandung, Garut, Banyumas, Semarang, Sukabumi, Cilacap, Cianjur, Temanggung, Ponorogo, Kebumen dan Purbalingga.

Badan Geologi telah mendistribusikan peta tersebut ke seluruh Pemda. Bahkan BNPB juga telah mengembangkan peta risiko bencana longsor yang memuat peta bahaya, kerentanan dan kapasitas. Namun demikian peta tersebut sebagian besar belum menjadi dasar dalam penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah. Longsor dapat diantisipasi sebelumnya. Tidak mungkin semua wilayah di Indonesia harus dipasang sistem peringatan dini longsor. Sebab memerlukan ratusan ribu unit dan biaya yang sangat besar. Kuncinya adalah rencana tata ruang wilayah perlu ditegakkan. Sosialisasi dan peningkatan kapasitas pemda dan masyarakat terus ditingkatkan agar masyarakat tangguh menghadapi longsor. (STP)

40,9 Juta JiwaPendudukIndonesia

Teropong

Sum

ber

: BN

PB

Pers atau wartawan, baik media cetak maupun media elektronik merupakan garda terdepan dalam penyebaran informasi kejadian bencana dan perkembangannya. Eksistensi wartawan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Fungsi wartawan sebagai media informasi, unsur pendidikan kepada masyarakat, hiburan dan sebagai alat kontrol sosial harus diakui keberadaannya dan sangat penting dalam penyebaran informasi terjadinya bencana. Wartawan berperan besar dalam diseminasi informasi dan alur komunikasi tentang kejadian bencana. Masyarakat sangat tergantung kepada wartawan untuk mendapatkan informasi-informasi tentang situasi bencana. Pemerintah dan lembaga-lembaga pemberi bantuan juga sangat tergantung kepada media massa untuk mendapatkan gambaran tentang skala kerusakan yang terjadi, kondisi korban dan jenis-jenis bantuan yang diharapkan.

Forum Komunikasi WartawanTingkatkan Informasi Bencana

66 Gema BNPB Vol 6 No 1

Informasi bencana tidak hanya pada saat kejadian bencana tetapi juga pada pra dan pasca bencana. Di sisi lain,

paradigma pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan prioritas dalam strategi penanggulangan bencana. Media memiliki akses yang luas dalam memberikan informasi, pengetahuan dan berita bencana kepada masyarakat. Mengedukasi masyarakat di bidang bencana tidak hanya dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian di bidang kebencanaan, media juga memiliki peran yang sangat strategis untuk mengedukasi dan mendiseminasikan berita kebencanaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berupaya terus meningkatkan kemitraan yang harmonis antara wartawan dengan pejabat di lingkungan BNPB. Sebagai upaya peningkatan kemitraan tersebut, BNPB menyelenggarakan Forum Komunikasi Wartawan. Kegiatan Forum Komunikasi Wartawan berlangsung pada tanggal 7 sampai dengan 9 April 2015 dengan tema “Selalu Hadir di Tengah Rakyat”. Kegiatan ini berlokasi di Hotel Lorin-Solo dan Waduk Cengklik. Peserta yang mengikuti kegiatan ini berjumlah 50 orang, terdiri dari wartawan media cetak dan elektronik di sekitar wilayah Semarang dan Solo, Jawa Tengah. Kegiatan Forum Komunikasi Wartawan secara resmi dibuka oleh Deputi Penanganan Darurat BNPB. Dalam sambutan, Ir. Tri Budiarto, M.Si. mengatakan bahwa Indonesia merupakan negeri rawan bencana. Mengantisipasi dampak bencana dan kerugian, Tri Budiarto menjelaskan bahwa kiranya masyarakat perlu diberikan edukasi dalam mitigasi bencana dan penanganan bencana. Terkait tema ini, “Selalu Hadir di Tengah Rakyat”, menurut Deputi bahwa apapun bentuk aktivitas, rakyat selalu menilai kinerja pada penanganan bencana. Oleh

Indonesia merupakan negara rawan bencana.

Perlunya juga masyarakat diedukasi

dalam penanganan bencana, agar

terwujudnya partisipasi masyarakat dalam

penanganan bencana.

Mei 2015 67

karena itu, perlu perhatian dan kontribusi dari pemerintah terhadap rakyat. Wujud dari pelayanan tersebut, baik dari BNPB maupun BPBD adalah rasa aman di tengah masyarakat. “Pada perkembangan, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan seperti penanganan bencana Gunung Sinabung yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat, perlu dicarikan solusinya, “ tambah Tri Budiarto.

Sementara Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jawa Tengah, Sarwa Pramana, S.H., M.Si. mengatakan, terima kasih kepada BNPB atas dukungan kepada BPBD Provinsi Jawa Tengah sehingga menjadi BPBD terbaik dalam penanganan bencana semua itu karena kerja keras dari pegawai BPBD Jawa Tengah, dan dukungan semua pihak terutama dukungan fasilitas sarana dan prasarana dari BNPB. Saat terjadi bencana, BPBD Provinsi Jawa Tengah tidak bersikap apatis namun senantiasa selalu sigap menangani bencana dan mendistribusikan informasi perkembangan bencana kepada instansi pemerintah dan masyarakat. Kami

juga mengapresiasi kepada Wartawan Pemerhati Bencana (Wapena) baru saja ada di Jawa Tengah. Wapena ini mempunyai jaringan yang baik terutama dalam penyebaran informasi bencana. Untuk itu Wapena sangat membantu BPBD dalam menyebarkan informasi perkembangan bencana. Gubernur Jawa Tengah sangat mendukung atas terbentuknya Wapena karena penanganan bencana dan kejadian bencana perlu selalu di informasikan kepada masyarakat. Lasimin selaku Ketua Wartawan Peduli Bencana (Wapena) mengatakan dengan adanya Forum Komunikasi Wartawan di Solo ini diharapkan dapat memperkuat jaringan Wapena. “Dengan adanya wadah Wapena agar lebih memudahkan penyebaran informasi perkembangan bencana kepada masyarakat, selain itu forum Wapena dapat menjalin koordinasi dan kerjasama antar anggota yang tergabung pada Wapena,” kata Lasimin. Sebagai contoh edukasi pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana

Sum

ber

: BN

PB

68 Gema BNPB Vol 6 No 1

yaitu informasi pengurangan risiko bencana tersebut sampai pada masyarakat terpencil atau masyarakat yang masih belum tahu banyak tentang pengurangan risiko bencana. Dari penyampaian informasi tersebut dapat terserap informasi tentang mitigasi bencana dan penanganan bencana kepada masyarakat.

Materi yang diberikan pada forum komunikasi wartawan ini berupa teori dan pengetahuan bencana berlokasi di Hotel Lorin. Materi-materi ini diberikan sebagai pengetahuan wartawan dalam peliputan bencana dan menambah wawasan untuk pra bencana, terjadi bencana dan pasca bencana. Hadir narasumber dari beberapa pakar dan ahli dalam penanggulangan bencana, seperti Ir. Tri Budiarto M.Si. (Deputi Penanganan Darurat BNPB), DR. Sutopo Purwo Nugroho (Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB), Sarwa Pramana, S.H., M.Si. (Kepala Pelaksana BPBD Jateng), Prof. Dr. Sudibyakto, MS (Dosen UGM Yogyakarta) dan Parni Hadi (Jurnalis Senior)

Peserta yang mengikuti praktek lapangan terlihat sangat antusias, hal ini terlihat saat hujan deras menguyur waduk Cengklik peserta tetap bersemangat. Di samping mendapatkan pengetahuan teori tentang kebencanaan, peserta belajar materi praktik seperti dapur umum, pertolongan pertama, dan penggunaan Global Position System (GPS), evakuasi dengan perahu karet. Joko, salah satu peserta mengatakan, “saya sangat tertarik pada praktek di lapangan terutama pada evakuasi korban dengan perahu karet”. Hal senada diungkapkan oleh Edi, mengatakan “kegiatan ini sangat memotivasi kami lebih bersemangat dalam meliput bencana, karena selain memperoleh teori, dan pengetahuan tentang bencana juga praktek di lapangan seperti pendirian tenda, dapur umum, penggunaan GPS, water treatment dan evakuasi menggunakan perahu karet yang menambah pengetahuan bagi kami untuk meliput saat bencana.” (ADI)

Sumber : BNPB

Mei 2015 69

Profil

Rehab-Rekon PentingPerkuat Ketahanan Masyarakat Pascabencana

Ir. Harmensyah, Dipl. S.E, M.M.Deputi Bidang Rehab dan Rekon

Harmensyah yang pernah mengenyam pendidikan pascasarjana dari Negeri Kincir Angin tidak pernah

membayangkan bahwa kemudian hari akan bergelut di bidang penanggulangan bencana. Latar belakang pendidikan S1 Teknik Sipil dan S2 Magister Manajemen serta berbagai pelatihan dalam dan luar negeri memberi bekal kepemimpinan sebagai Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB.

Berikut ini petikan wawancara beliau terkait rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Indonesia.

Bagaimana persepektif Bapak dalam rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah dilakukan BNPB?

Dalam dua tahun terakhir, tepatnya tahun 2012 dan 2014 tidak adanya alokasi anggaran untuk kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (rehab-rekon) pascabencana. Pada tahun-tahun sebelumnya

Pemerintah Pusat pernah memberikan anggaran kepada pemerintah daerah yang terdampak bencana. Apabila tidak ada bantuan, hal ini menyebabkan kerusakan dan kerugian di daerah terdampak akan semakin besar dan penderitaan masyarakat korban bencana juga akan semakin besar.

Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana harus dilakukan secara cepat, tepat, terencana, terpadu dan terkoordinir dengan baik. Bertindak cepat dan tepat bukan hanya pada saat terjadinya bencana akan tetapi juga pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.

Ketika tahap penanganan darurat selesai, kondisi korban dan wilayah bencana harus segera dipulihkan, yang masih sakit atau luka-luka harus dilanjutkan pengobatannya, mata pencaharian yang hilang harus dibantu untuk bangkit kembali, sarana dan prasarana yang rusak harus segera dibangun kembali.

Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, menjabat sebagai Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak Oktober 2014 lalu. Ir. H. Harmensyah, Dipl., S.E., MM pernah menjabat di berbagai dinas di lingkungan Pemerintah Kotamadya maupun Provinsi Sumatera Barat. Kemudian beliau ditugaskan untuk menjabat sebagai Direktur Bantuan Darurat BNPB pada Februari 2012.

Sum

ber

: BN

PB

Mei 2015 71

Prinsip dasarnya adalah upaya mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat dan lingkungan terkena bencana kepada situasi yang lebih baik dan lebih aman dari sebelum terjadi bencana (build back better and build back safer).

Sasaran utama, berjalannya secara wajar berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat, tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi, sosial budaya, dibangunnya kembali perbaikan

Prinsip dasarnya adalah upaya

mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat dan lingkungan terkena

bencana kepada situasi yang lebih baik

dan lebih aman dari sebelum terjadi bencana

(build back better and build back safer).

Sum

ber

: bnp

b

dan pemulihan semua aspek layanan publik dan pembangunan kembali sarana prasarana serta kelembagaan di wilayah pascabencana.

Tantangan apa yang dihadapi pada saat melakukan implementasi program rehabilitasi dan rekonstruksi, bagaimana solusinya?

Kegiatan rehab-rekon yang selama ini mendapat alokasi dana bantuan sosial berpola hibah tersendat karena

72 Gema BNPB Vol 6 No 1

adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, masih terdapat perbedaan persepsi atas ketentuan yang ada menyangkut penganggaran dan pelaksanaan anggaran sebagaimana terdapat dalam peraturan yang ada yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 dan PMK 105 tahun 2013 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Rehabiltasi dan Rekonstruksi. DBSBH ini beberapa tahun sebelumnya telah pernah diberikan namun dalam Undang-Undang APBN hanya mengenai dana sosial dan dana hibah sehingga PP Nomor 22/2008 dan PMK 204 perlu direvisi.

Pendekatan demi pendekatan terus kita lakukan dalam rangka menyatukan pemahaman tentang bisnis proses dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Saat ini sedang dilaksanakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008, khususnya yang menyangkut nomenklatur dana bantuan sosial berpola hibah, alasannya dalam Undang-Undang APBN disebutkan bahwa pendanaan RR dilakukan melalui hibah sehingga pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 DBSBH perlu direvisi menjadi dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Atas pendekatan dan beberapa kali pertemuan bersama Dirjen Anggaran

dan para direktur di Ditjen Anggaran telah dilakukan pembahasan dari revisi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 dan revisi PMK 204 yang berkaitan dengan penganggaran/hibah bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

Insya Allah, dana rehabilitasi dan rekonstruksi akan lancar setiap tahunnya setelah revisi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 dari PMK 204 yang berkaitan dengan bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi selesai ditandatangani.

Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di daerah pascabencana?

Setiap tahap pada penanggulangan bencana bukan merupakan tahapan yang terputus, baik antara tahap pra bencana, saat bencana maupun pada pascabencana.

Pada tahap pra bencana, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi juga harus dilakukan seperti melakukan pemetaan dan updated baseline data, penguatan kelembagaan BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam melakukan Jitu Pasna, penyusunan rencana aksi (renaksi) dan pedoman-

Sum

ber

: bnp

b

Mei 2015 73

pedoman terkait dengan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Pada tahap tanggap darurat, tim rehab-rekon juga sudah harus segera turun ke daerah bencana untuk melakukan pemetaan wilayah dan penilaian terhadap aset yang terdampak bencana dalam rangka melakukan assesment awal untuk rehabilitasi dan rekonstruksi yang dikenal dengan A2R2 (Analisa Awal Rehabilitasi dan Rekonstruksi). Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kaji kebutuhan pascabencana (Jitu Pasna) dan penyusunan rencana aksi. Jitu Pasna dan renaksi disusun bersama kementerian/lembaga, pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota terkait dengan pendekatan tugas fungsi serta kewenangan masing-masing.

Jitu Pasna merupakan kajian terhadap akibat bencana berupa kerusakan, kerugian, gangguan askes, gangguan fungsi, dan peningkatan risiko atas seluruh sektor terdampak, selanjutnya atas komponen akibat bencana tersebut

dilakukan analisis dan identifikasi kebutuhan akan rehabilitasi dan rekonstruksi berupa pembangunan kembali, penggantian atas kerugian berupa stimulant, penyediaan bantuan untuk kelancaran akses dalam proses kehidupan masyarakat, memulihkan segera fungsi-fungsi layanan publik yang terhenti serta upaya mengurangi risiko bencana.

Dari hasil identifikasi kebutuhan pascabencana dilakukan pembahasan untuk menetapkan prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan, strategi pelaksanaan dan identifikasi pendanaannya sesuai dengan kewenangan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.

Alokasi anggaran pascabencana didasari oleh Rencana Aksi yang disusun dan disepakati bersama. Kewenangan kementerian/lembaga tetap dilaksanakan kementerian/lembaga, BNPB hanya mengisi gap yang tidak dapat dinai APBD dengan prioritas pada sektor permukiman (perumahan dan prasarana lingkungan).

Sum

ber

: bnp

b

74 Gema BNPB Vol 6 No 1

Apa rencana Bapak ke depan dalam pengembangan program rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana?

Kebijakan di sektor permukiman menempati prioritas yang paling atas, rumah atau tempat tinggal adalah yang paling utama dapat diselesaikan sebab sangat berpengaruh kepada ketenangan (psiko sosial), privasi dan sebagainya. Kemudian prioritas kedua adalah di sektor sosial, budaya, ekonomi dan lintas sektor.

Ruang lingkup rehabilitasi dan rekonstruksi tetap untuk lima sektor terdampak bencana, yaitu sektor permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi produktif dan lintas sektor.

Dalam rangka percepatan penanganan pemulihan rehab-rekon pascabencana perlu adanya jaminan penganggaran sebagaimana jaminan penganggaran untuk kegiatan penanganan darurat bencana.

Perlu revisi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 6 huruf f yang berbunyi “Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana adalah bentuk dana siap pakai dan dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.”

Dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun2007, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 serta revisi PMK 204 tentang mekanisme hibah ke pemerintah daerah, insya Allah kegiatan rehab-rekon pascabencana di Indonesia akan dapat berjalan lancar.

Harapan Bapak mengenai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan BNPB?

Kegiatan rehab-rekon harus dilaksanakan segera setelah kegiatan tanggap darurat berakhir agar kerusakan dan kerugian tidak akan semakin besar termasuk penderitaan masyarakat korban bencana.

Rencana aksi yang sudah disusun dan disepakati bersama betul-betul menjadi pedoman dalam penganggaran oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam pengalokasian dana.

Kegiatan rehab-rekon merupakan bagian penting dalam rangka memperkuat ketahanan masyarakat terdampak bencana dan harus menjadi prioritas untuk segera dipulihkan untuk hidup dan penghidupannya.

Revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 agar bisa segera dituntaskan terutama memasukkan pada pasal 6 bukan hanya dana siap pakai tapi harus dibunyikan pengalokasian dana untuk kegiatan RR pascabencana. Dengan demikian tidak ada keraguan lagi bahwa dana bantuan rehab rekon pascabencana akan terkendala. (ADI)

Sumber : bnpb

Mei 2015 75

Snapshot

Mou BNPB dengan BNSP di INA DRTG Sentul

Bakohumas di INA DRTG Sentul Seleksi Psikotes Unsur Pengarah BNPB 2015-2019

Rapat Siaga Banjir D2 bersama TNI Kunjungan Wimar Witoelar ke INA DRTG Sentul

76 Gema BNPB Vol 6 No 1