materi cerai

33
Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari’atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami? Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari’at? Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain? Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal : Pertama : Syarat-syarat sah nikah Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai. Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma’ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa ‘iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll) Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya. Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang

Upload: ikmal-muntadhor

Post on 05-Dec-2014

76 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MATERI CERAI

Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari’atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?

Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari’at?

Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?

Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :

Pertama : Syarat-syarat sah nikah

Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.

Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma’ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa ‘iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)

Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.

Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam ‘akad-’akad, baik ‘akad (transaksi) jual beli maupun ‘akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-’Qowaa’id An-Nuurooniyah.

Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?

Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:

Madzhab Hanafi

Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang

Page 2: MATERI CERAI

semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-’Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)

Madzhab Malikiah

Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

-         Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.

-         Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami

-         Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, “Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami” lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

-         Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, “Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku”, kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : “Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya” (lhat Al-Mudawwanah 2/75)

Madzhab As-Syafii

Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar’i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.

Page 3: MATERI CERAI

Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:

-         Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

-         Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau  ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).

-         Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

-         Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi’i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)

Madzhab Hanbali

Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa’ad bin Abi Waqqoosh, Mu’aawiyah, dan ‘Amr bin Al-’Aash radhiallahu ‘anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Page 4: MATERI CERAI

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut’ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, “Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju”. (lihat Al-Mughni 7/449)

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki  memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.

Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah

�ع�ق�ود� �ال ب و�ف�وا� أ �وا آم�ن �ذ�ين� ال �ه�ا ي

� أ �ا ي

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

و�ج� �ف�ر� ال �ه� ب �م� �ت �ل ل �ح� ت اس� م�ا �ه� ب �و�ف�و�ا ت ن�� أ و�ط� ر� الش� ح�ق�

� أ

“Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)” (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

ام)ا ح�ر� ح�ل�� أ و�� أ ( �ال ح�ال م� ح�ر� ط)ا ر� ش� � �ال إ و�ط�ه�م� ر� ش� ع�ل�ى �م�و�ن� ل �م�س� و�ال

Page 5: MATERI CERAI

“Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram” (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari’at.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

ط4 ر� ش� �ة� م�ائ ط� �ر� ت اش� �ن� و�إ �اط�ل7 ب ف�ه�و� الله� �اب� �ت ك ف�ي �ي�س� ل ط)ا ر� ش� ط� �ر� ت اش� م�ن�

“Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan” (HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :

�ك� : �ه�ل أ �ح�ب� أ �ن� إ ف�ق�ل�ت� �ي، �ن �ي �ن ي ع�� ف�أ �ة و�ق�ي 4 ع�ام Dل� ك ف�ي و�اق4

� أ ع� �س� ت ع�ل�ى ه�ل�ي� أ �ت� �ب �ات ك ف�ق�ال�ت� ة� �ر� �ر�ي ب �ي �ن اء�ت ج�

. اء�ت� ف�ج� �ه�ا، �ي ع�ل ذ�ل�ك� �و�ا ب� ف�أ �ه�م� ل ف�ق�ال�ت� �ه�ا ه�ل

� أ �ل�ى إ ة� �ر� �ر�ي ب �ت� ف�ذ�ه�ب ف�ع�ل�ت� ل�ي �ؤ�ك� و�ال �و�ن� �ك و�ي �ه�م� ل ع�د�ه�ا� أ �ن� أ

�ن� : أ � �ال إ �و�ا ب� ف�أ �ه�م� �ي ع�ل ذ�ل�ك� ض�ت� ع�ر� ق�د� Sي �ن إ ف�ق�ال�ت� ج�ال�س7 �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى الله� و�ل س� و�ر� �د�ه�م� ن ع� م�ن�

. �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� �Xى ص�ل �ي� �ب الن ة� �ش� ع�ائ ت� �ر� ب خ�� ف�أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي� �ب الن م�ع� ف�س� �ه�م� ل �ء� �و�ال ال �و�ن� �ك ي

ص�ل�ى : الله� و�ل� س� ر� ق�ام� �م� ث ة� �ش� ع�ائ ف�ف�ع�ل�ت� �ق�، ع�ت� أ �م�ن� ل �ء� �و�ال ال �م�ا �ن ف�إ �ء� �و�ال ال �ه�م� ل �ر�ط�ي ت و�اش� �ه�ا خ�ذي ف�ق�ال�

و�ط)ا : ر� ش� �ر�ط�و�ن� ت �ش� ي ر�ج�ال4 �ال� ب م�ا �ع�د�، ب م�ا� أ ق�ال� �م� ث �ه� �ي ع�ل �ى �ن ث

� و�أ الله� ف�ح�م�د� �اس� الن ف�ي �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله�ق�ض�اء� ط4، ر� ش� �ة م�ائ �ان� ك �ن� و�إ �اط�ل7 ب ف�ه�و� الله� �اب� �ت ك ف�ي �ي�س� ل ط4 ر� ش� م�ن� �ان� ك م�ا الله� �اب� �ت ك ف�ي �س�ت� �ي ل

�ق� ع�ت� أ �م�ن� ل �ء� �و�ال ال �م�ا �ن و�إ �ق� و�ث

� أ الله� ط� ر� و�ش� ح�ق�� أ الله�

“Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, “Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, “Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala’mu pindah kepadaku”. Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa’nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, “Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa’ku tetap pada mereka. Maka Nabi

Page 6: MATERI CERAI

shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, “Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa’nya, karena walaa’ adalah kepada orang yang membebaskan”. Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, “Amma Ba’du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur’an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa’ hanyalah kepada orang yang membebaskan” (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur’an. Karena permasalahan “Walaa’ itu hanya kepada orang yang membebaskan” sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur’an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari’atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)

Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A’lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti’ 12/164, 167)

Kesimpulan :

Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

-                     Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.

-                     Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl

Page 7: MATERI CERAI

-                     Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

-                     Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.

Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :

-         Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.

-         Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.

-         Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari’at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari’atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

-         Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

-         Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

Kajian Utama ” Warna -Warni di Balik Poligami “

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 085

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq

Page 8: MATERI CERAI

Poligami disyariatkan dalam Islam bukan untuk menghancurkan rumah tangga yang sudah dibina sebelumnya atau untuk menggagalkan rumah tangga kedua yang baru dibangun. Jadi, sangatlah tidak diharapkan ketika seorang suami menikah lagi ternyata berisiko perceraian dengan istri yang pertama atau berpisah dengan istri yang baru.

Memang dibutuhkan kesiapan, keteguhan, kesungguhan, dan kebesaran jiwa seorang lelaki untuk menjalankannya. Sebagai lelaki, ia dituntut menjadi pemimpin dan pengatur bagi perempuan, karena Allah l yang menetapkan demikian,

�نف�ق�وا أ �م�ا و�ب �ع�ض4 �ى_ب �ع�ض�ه�م�ع�ل ب �ه� الل �م�اف�ض�ل� ب Dس�اء� ع�ل�ىالن الرDج�ال�ق�و�ام�ون�

�ه�م� م�و�ال� أ م�ن�

 “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) di atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa: 34)

Bukan sebaliknya, ia diatur oleh istrinya sehingga terkadang tidak berdaya dan tidak berkutik di hadapan istrinya. Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi pada rumah tangga yang dikepalai oleh suami yang nurut pada istri saat ia menjalani kehidupan berpoligami dalam keadaan istrinya tidak suka.

Tidak Ada Hak bagi Istri dalam Urusan Ini

Poligami adalah hak suami yang dianugerahkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang dengan hikmah-Nya yang agung. Dengan demikian, tidak ada hak sama sekali bagi istri untuk mencegah suaminya menikah lagi, walaupun si istri beralasan bahwa dirinya telah mencukupi semua yang diinginkan oleh suaminya dan tidak ada yang kurang dari dirinya sehingga suami tidak butuh mencari istri yang lain.

Mengapa? Bisa jadi, suaminya ingin menikah lagi karena ingin memperbanyak keturunan, ingin menjaga kemuliaan si perempuan dengan menikahinya, atau ia merasa tidak cukup dengan seorang istri, dan hal ini sangat manusiawi. Allah Subhanahu wata’ala telah membolehkan pria untuk memperistri sampai empat wanita.

Tentu tidak pantas bagi seorang istri untuk marah, protes, dan tidak terima terhadap hukum Allah Subhanahu wata’ala yang diridhai- Nya atas para hamba-Nya. Bahkan, ia seharusnya bersabar dan mengharapkan pahala ketika menjalani semuanya. Sebab, bila ia berketetapan hati untuk sabar, niscaya urusannya akan mudah baginya. Demikian di antara nasihat yang disampaikan oleh al-Imam asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam fatwa beliau di kitab ad-Da’wah (1/106) dan FatawaNurun ‘alad Darb (2/165—166).

Page 9: MATERI CERAI

Beliau rahimahullah juga menekankan, apabila seorang lelaki mampu secara materi dan sanggup berbuat adil, lebih afdal/utama baginya untuk menikah lagi baik yang kedua, ketiga, maupun keempat. Sebab, semakin banyak istri akan memperbanyak lahirnya generasi baru Islam dan lebih banyak memberikan penjagaan terhadap kemaluan para perempuan, yang kalau tidak ada lelaki yang menikahinya, mereka akan hidup membujang di rumah tanpa pasangan hidup dan dikhawatirkan akan jatuh pada kejelekan.

Dimaklumi, dalam urusan ini memang biasanya istri pertama akan menentang dan marah. Namun, lelaki yang cerdas /bijak akan bisa menerangkan kepada si istri bahwa hal itu dibolehkan baginya dan ia berusaha menyenangkan hati si istri dengan segala yang mungkin dilakukannya. Demikian pula apabila ada penentangan dari pihak keluarga, misalnya dari ibu, si lelaki hendaknya berusaha menerangkan dengan cara yang baik tentang keputusannya berpoligami dan sisi pandangannya. (Fatawa Nurun‘alad Darb, 2/163)

Lebih Utama Bermusyawarah dengan Istri

Seorang suami yang ingin menikah lagi tidak diharuskan mengajak bicara istrinya dan meminta izin tentang niatannya tersebut. Namun, apabila ia mengajak bicara, bermusyawarah, dan meminta izin, hal itu tentu lebih baik dan terpandang dalam ‘urf (adat kebiasaan), khususnya di negeri kita. Agama pun memandang berlakunya ‘urf apabila tidak bertentangan dengan syariat.

Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa seandainya suami meminta izin kepada istrinya, biasanya istri akan menolak. Dalam hal ini, suami tetap melangkah, sama saja apakah ia telah minta izin atau belum kepada istri pertamanya, sama saja apakah setelah minta izin ternyata si istri menolak memberi izin (ataukah menerima).

Namun, menurut beliau, seharusnya suami mengajak bicara istrinya, memberikan penjelasan sampai si istri merasa cukup dengan penjelasannya dan merasa tenang. Ia terangkan kepada istrinya hikmah poligami dan ia sampaikan alasan keinginan menikah lagi. Apabila hal ini dilakukan suami, kemudian ia mendatangkan istri barunya kepada istripertamanya, niscaya istri pertama akan bisa menerima dengan lebih tenang, tanpa curiga istri yang baru ini akan merebut suaminya karena ia telah mendapatkan penjelasan. Ia mengetahui pernikahan suaminya dengan si madu dan telah rela (walau mungkin kerelaannya harus dipaksakan).

Dengan cara seperti ini, diharapkan kedua istri (istri pertama dan madunya) dapat hidup secara damai, tenteram, tidak saling menjauh, dan saling membenci. Karena memerhatikan kemaslahatan ini, sepantasnya suami meminta izin kepada istri pertamanya dan memberitahukannya, walaupun tidak wajib. Andaipun si suami menikah diam-diam dan merahasiakannya dari istrinya, tidak ada dosa bagi si suami. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, 1/334— 335)

Tidak Dibenarkan Meminta Cerai Ketika Suami Menikah Lagi

Apabila suami menikah lagi sedangkan istri pertamanya belum siap dimadu atau tidak bisa menerima kenyataan dimadu, apakah tidak berdosa ia meminta cerai dari suaminya?

Page 10: MATERI CERAI

Sebagaimana si istri tidak boleh menuntut suaminya untuk menceraikan madunya, tidak halal pula baginya menuntut cerai dari suaminya.

Sang suami tidak harus meluluskan permintaan cerai istrinya. Ada ancaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap istri yang bermudahmudah menuntut cerai dari suaminya, padahal suaminya telah “berbaik-baik” kepadanya. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, 2/165, 166) Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

�ة� �ج�ن �ح�ة�ال �ه�ار�ائ �ي ع�ل س4ف�ح�رام7� �أ �ر�ب �ق)ام�ن�غ�ي ط�ال ز�و�ج�ه�ا ل�ت�

� ة4س�أ� �م�اام�ر�أ ي

� أ“Istri mana saja yang menuntut cerai dari suaminya padahal tidak ada kesulitan yang mendesak1, maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. at-Tirmidzi no. 1187, Ibnu Majah no. 2055, dll, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)

Tidak Ada Istilah “Habis Manis Sepah Dibuang”

Pepatah di atas mungkin terpikir di benak istri saat suaminya menikah lagi. Padahal bila suaminya adalah suami yang baik, saleh, dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, serta melangkah menuju poligami dengan memerhatikan syarat-syaratnya, si istri tidak perlu mengkhawatirkan dirinya menjadi sepah yang dicampakkan. Sebab, istri tetaplah istri, walau istri tua atau istri lama, toh istri baru dengan berjalannya waktu akan menjadi istrilama pula.

Berbeda halnya apabila suaminya seorang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, maka bisa saja ia menelantarkan istri pertamanya karena telah mendapatkan istri muda. Apalagi ketika istri mudanya turut memprovokasi dan terlalu banyak menuntut. Oleh karena itu, kita ingatkan suami yang sampai berlaku demikian, hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan takut akan siksa-Nya. Telah datang ancaman Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada suami yang berlaku curang atau tidak adil di antara istri-istrinya;

orang itu akan datang pada hari kiamat dalamkeadaan sebelah tubuhnya miring.

Kepada istri muda pun kita ingatkan, hendaklah bertakwa kepada Allah l dan takutlah akan siksa-Nya. Janganlah merusak apa yang sudah dibina. Jika engkau memiliki perasaan sebagai perempuan, istri tua pun punya perasaan yang sama. Jika engkau cemburu, dia pun begitu. Jika engkau ingin disayang, dia pun demikian.

Terkadang istri pertama khawatir, cinta suami akan beralih kepada istri yang baru. Padahal, sebenarnya cinta adalah urusan Allah Subhanahu wata’ala. Hamba tidak mampu menguasainya. Cinta suami bisa saja luntur kepada istrinya walaupun si suami tidak memiliki istri yang lain. Bisa jadi sebaliknya, cinta suami bertambahtambah kepada istrinya padahal si suami telah memiliki istri selainnya. Jadi, urusan cinta adalah urusan hati, Allah Subhanahu wata’ala lah yang mengaturnya. Seorang istri sebatas berusaha mereguk cinta suami.

Page 11: MATERI CERAI

Sebenarnya, kerelaan seorang istri, ketulusannya, pengertian, dan tidak banyak tuntutannya, justru menjadi salah satu pendorong terbesar berseminya kasih sayang di hati suaminya. Suami yang baik tentu pandai memberikan apresiasi. Suami menikah lagi pun bukan tanda suami tidak cinta lagi. Lihatlah Ummul Mukminin, ibunda orang-orang yang beriman, Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Betapa suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mencintainya lebih dari yang lain. Namun, cinta itu tidaklah menghalangi beliau n untuk menikahi sekian wanita setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebab, menikah lagi memang tidak berarti melupakan cinta yang lama. Tentu kita masih ingat pula berita dalam sirah  Alasan sangat mendesak yang memaksanya untuk minta berpisah. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab ath-Thalaq, bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)

hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, betapa sering beliau menyebut-nyebut Khadijah radhiyallahu ‘anha—istri pertama beliau yang telah lama wafat—, memuji, menyanjung, dan mengenang kebaikannya sampai membuat Aisyah radhiyallahu ‘anha cemburu. Inilah kesetiaan kepada cinta yang lama, yang tidak luntur dengan datangnya cinta yang baru.

Terkadang juga para istri keberatan suami menikah lagi karena merasa dihinakan serta dijatuhkan harkat dan martabatnya. Dengan kata lain, gengsinya terusik.

Sebenarnya kekhawatiran seperti ini pun mudah terjawab. Mengapa harus gengsi jika suami mempunyai istri yang lain—yang jauh berlipat-lipat kali lebih mulia daripada ia memiliki kekasih gelap atau selingkuh dengan wanita yang tidak halal, atau na’udzubillah, jatuh dalam zina—sementara wanita salehah ahlul jannah setingkat Aisyah2 yang kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Keutamaan

Aisyah dibanding wanita-wanita lain seperti kelebihan tsarid (makanan yang istimewa dari campuran gandum dengan daging) dibandingkan dengan makanan yang lain”,

juga ditinggal menikah oleh suaminya dan tidak merasa dihinakan atau dijatuhkan harkat martabatnya. Padahal yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan wanita sembarangan, melainkan para wanita berparas jelita, berbudi mulia, dari keturunan yang mulia, seperti Zainab bintu Jahsy, Juwairiyah bintu al-Harits, Shafiyah bintu Huyai, dan yang lainnya.

Menolak Tinggal Berdekatan dengan Madu

Apabila seorang suami menginginkan istri-istrinya tinggal berdekatan di satu kompleks misalnya, yang setiap istri memiliki rumah tersendiri, tidak ada hak bagi istri untuk menolak keinginan suami tersebut. Misalnya, ia menuntut agar jangan didekatkan dengan madunya, ia ingin tinggal berjauhan, dan sebagainya.

Walaupun cemburunya mencapai puncak, itu bukanlah alasan penolakan terhadap keinginan suami. Justru yang wajib baginya adalah mendahulukan syariat dan menaati suaminya daripada rasa cemburunya. Tidak pantas seorang istri yang mukminah memperturutkan rasa cemburunya dan membiarkan perasaan itu menguasainya. (Fatawa ManarulIslam, al-Imam Ibnu Utsaimin, 3/116)

Page 12: MATERI CERAI

Yang Terjadi di Antara Madu

Cemburu memang perasaan yang pasti terselip di antara para madu. Ini adalah perasaan yang wajar selama tidak melampaui batas sampai pada tingkat melakukan kedustaan atau menuduh serampangan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah mengatakan, “Asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha wanita, sebab wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, apabila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, jadilah tercela. Ketika seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).

Dengan syarat, hal itu pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Jika cemburu itu hanya didasari sangkaan tanpa bukti, tidak diperkenankan. Adapun bila suami adalah orang yang adil dan telah menunaikan hak setiap istrinya, tetapi masih tersulut juga kecemburuan, ada uzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) apabila cemburunya sebatas tabiat perempuan yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik ucapan maupun perbuatan.” (FathulBari, 9/404)

Ada di antara wanita yang sifat cemburunya melampaui batas sehingga berangan-angan poligami tidak dibolehkan dalam syariat ini. Bahkan, ada yang membenci syariat karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian suaminya apabila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tetapi lisannya digunakan untuk mencaci maki madunya, meng-ghibah, dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadi’iyah, hlm. 158—159)

Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas perempuan merasa mendapatkan musibah yang sangat besar ketika suaminya menikah lagi. Semestinya, apa pun kenyataan yang dihadapi, seorang mukminah semestinya sadar bahwa semua itu adalah ketentuan takdir Allah Subhanahu wata’ala. Segala musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatanagama yang diperolehnya.

Gejolak cemburu ini juga muncul dalam rumah tangga yang paling mulia dari manusia termulia Shallallahu ‘alaihi wasallam. Istri-istri beliau saling cemburu dan berusaha mengundang cinta beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. Sebagian kisah-kisah cemburu dalam rumah tangga manusia terbaik tersebut di antaranya sebagai berikut. Aisyah radhiyallahu ‘anha bertutur tentang cemburunya,

Page 13: MATERI CERAI

الله �ر�س�و�ل� ة4ل� ع�ل�ىام�ر�أ �م�اغ�ر�ت�  م�اغ�ر�ت� �ر�ر�س�و�ل�  ك �ر�ة�ذ�ك �ث �ك ل �ج�ة� ع�ل�ىخ�د�ي

�اه�ا  الله� �ي �ه�ا  إ �ي ع�ل �ه� �ائ �ن و�ث“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku kepada Khadijah, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebut dan menyanjungnya.” (HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha,

: �ان� و�ك �ت� �ان و�ك �ت� �ان �ه�اك �ن إ �ق�و�ل� �ج�ة�؟ف�ي خ�د�ي � �ال إ ة7� �اام�ر�أ �ي ف�يالد�ن �ن� �ك �م�ي �ه�ل ن

� �أ ك

�د7 و�ل �ه�ا م�ن ل�ي“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu3, dan aku mendapatkan anak darinya.” (HR. al-Bukhari no. 3818)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sebab cemburu Aisyah adalah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebut Khadijah meskipun telah tiada. Aisyah sebenarnya aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebutnya, Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah, meletuplah emosi Aisyah dan mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya berkata kepada suaminya, “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.”

Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah, karena Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabia wanita.” (Fathul Bari, 9/405)

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi n sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut, hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan belahan piring tersebut, kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan, lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring

Page 14: MATERI CERAI

yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (HR. al-Bukhari no. 5225)

Hadits ini menunjukkan, perempuan yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Sebab, dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/403)

Namun, apabila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti ghibah, Rasulullah n tidak membiarkannya. Suatu saat Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukuplah bagimu Shafiyah,dia itu begini dan begitu.”

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud Aisyah adalah Shafiyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Aisyah,

�ه� �م�ز�ج�ت �ح�ر�ل �ب �م�اء�ال ب �و�م�ز�ج�ت� �م�ة)ل �ل ك �ق�د�ق�ل�ت� ل“Sungguh, engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya.” (HR. Abu Dawud no. 4875, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Ada lagi kisah lainnya. Ketika sampai berita kepada Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha bahwa Hafshah bintu Umar radhiyallahu ‘anhuma mencelanya dengan mengatakan bahwa dirinya putri Yahudi, ia menangis. Bersamaan dengan itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Beliau pun bertanya,

“Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Bagaimana bisa dia membanggakan dirinya di hadapanmu?” Kemudian beliau menasihati Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, wahai Hafshah!” (HR. at-Tirmidzi no. 3894, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan al-Misykat no. 3894)

Suatu ketika, di malam giliran ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan selendangnya, melepas kedua sandalnya, dan meletakkannya di sisi kedua kakinya. Beliau lalu membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya. Setelah itu, beliau pun berbaring. Tidak berapa lama, beliau bangkit dan mengambil selendangnya dengan perlahan, lalu mengenakan sandalnya dengan perlahan agar tidak mengusik tidur ‘Aisyah.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar ‘Aisyah. Setelah itu, pintu ditutup kembali dengan perlahan. ‘Aisyah yang ketika itu disangka telah lelap dalam tidurnya, ternyata melihat apa yang diperbuat oleh suaminya. Ia pun bangki mengenakan pakaian dan kerudungnya.

Page 15: MATERI CERAI

Untuk selanjutnya, kita dengar penuturan ‘Aisyah, “Kemudian aku mengikuti beliau hingga beliau sampai di permakaman Baqi’. Beliau berdiri lama, lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berbalik, aku pun berbalik. Beliau bersegera, aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, aku pun berlari kecil. Beliau berlari lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku membaringkan tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau pun berkata, “Ada apa dengan dirimu wahai’Aisyah, kulihat napasmu memburu?” Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa.” Beliau berkata, “Beri tahu aku, atau Allah Subhanahu wata’alayang akan mengabarkan kepadaku.” Aku pun menceritakan apa yang baru berlangsung. Mendengar ceritaku, beliau berkata, “Berarti engkau adalah sosok yang akulihat di hadapanku tadi?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda, “Apakah engkau menyangka Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu4?”

‘Aisyah berkata, “Bagaimana pun manusia menyembunyikannya, niscaya Allah mengetahuinya. Memang, semula aku menyangka demikian.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, “Jibril datang menemuiku saat  itu. Dia memanggilku, aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya. Jibril tidak mungkin masuk ke kamar ini, sedangkan engkau telah membuka pakaianmu. Tadi aku menyangka engkau sudah tidur sehingga aku tidak ingin membangunkan tidurmu, karena khawatir engkau  akan merasa sendirian (dalam sepi) dalam kegelapan malam.

Jibril berkata kepadaku saat itu, ‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi permakaman Baqi’ guna memintakan ampun bagi penghuninya’….” (HR. Muslim no. 974)

Pernah juga suatu malam, Aisyah x merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia pun kemudian meraba-raba mencari beliau. Ia menyangka beliau pergi ke rumah istri yang lain. Ternyata ‘Aisyah mendapatkan beliau sedang ruku’ atau sujud seraya berdoa,

�ت� ن� �أ �ال إ �له� �إ ال �ح�م�د�ك� �ك�و�ب �ح�ان س�ب

“Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu.”

‘Aisyah pun berkata, “Sungguh, aku berada dalam satu keadaan, sementara engkau berada dalam keadaan yang lain.” (HR. Muslim no. 485)

Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak bepergian (safar) adalah mengundi di antara istri-istrinya, siapa yang diajak dalam safar tersebut. Suatu ketika, jatuhlah undian kepada ‘Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anha. Keduanya pun dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam safar tersebut, apabila malam telah menjelang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan bersisian dengan unta yang ditunggangi ‘Aisyah x (yang berada di dalam sekedup/semacam tandu yang

Page 16: MATERI CERAI

diletakkan di atas unta, sehingga tidak terlihat orang-orang di sekitarnya) dan beliau berbincang bersamanya. Suatu ketika, Hafshah radhiyallahu ‘anha berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Tidakkah engkau mau menaiki untaku malam ini dan aku menaiki untamu, hingga engkau bisa melihat dan aku bisa melihat?” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Iya.” Lalu ia pun menaiki unta Hafshah dan Hafshah menaiki untanya.

Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju unta yang biasa dinaiki oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tanpa mengetahui bahwa yang ada di dalam sekedupnya adalah Hafshah, bukan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhs. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, kemudian berjalan bersisian dengan unta tersebut hingga mereka singgah di suatu tempat.

‘Aisyah merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam itu. Ia pun cemburu, hingga ketika mereka berhenti dan singgah di suatu tempat, ‘Aisyah memasukkan kakinya ke dalam rumputrumputan seraya berkata, “Ya Rabbku, biarkanlah seekor kalajengking atau ular menyengatku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa kepada Rasul-Mu.” (HR. al- Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2445)

Cemburu Tidak Membuat Ibunda Kita Buta

Kisah-kisah cemburu di atas kitabawakan bukan untuk mencela istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah perempuanperempuan yang paling mulia. Cukuplah bagi mereka kemuliaan dengan Allah Subhanahu wata’ala memilih mereka menjadi pendamping hidup Rasul-Nya yang mulia.

Jangan pula kisah mereka dijadikan dalil oleh para perempuan sekarang untuk membenarkan tindakan salah mereka dengan dalih cemburu, atau untuk menolak ucapan baik dari suami  mereka yang menasihati mereka dalammasalah cemburu dengan mengatakan, “Istri-istri Rasulullah juga cemburu dan berbuat ini dan itu karena dorongan cemburunya.” Memang benar mereka (istri-istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam) cemburu dan engkau pun cemburu, namun kebaikan yang ada pada diri mereka tidak didapatkan pada dirimu….

Ketahuilah, bagaimanapun cemburu yang ada di tengah mereka, tidaklah membuat mereka menutup mata dari kebaikan yang ada pada madu mereka dan tidak mengantarkan mereka untuk membuat kedustaan guna menjatuhkan madu mereka.

Satu contoh, ketika peristiwa Ifk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pendapat Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha salah seorang istri beliau, tentang diri ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Zainab radhiyallahu ‘anha, “Apa yang engkau ketahui tentang Aisyah dan apa pendapatmu?” Zainab radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai Rasulullah,aku menjaga pendengaranku danpenglihatanku. Demi Allah, aku tidakmengetahui darinya selain kebaikan.” (HR. al-Bukhari no. 4141)

Lihatlah kejujuran Zainab! Cemburunya kepada ‘Aisyah tidak membuatnya lupa akan kebaikan dan keutamaan ‘Aisyah. Demikian pula sebaliknya pada diri ‘Aisyah, ia pernah memuji Zainab, “Aku belum pernah melihat seorang perempuan pun yang paling baik agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, paling jujur dalam

Page 17: MATERI CERAI

ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi, paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan dan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala.”

Padahal, Zainab inilah yang menyamai kedudukannya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengarkan pula pujian ‘Aisyah terhadap Juwairiyah, salah seorang ummahatul mukminin, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorang perempuan yang lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah.” (al-Isti’ab, 4/1805)

Pujian ini dilontarkan oleh ‘Aisyah ketika bani Mushthaliq, kaum Juwairiyah, dibebaskan oleh kaum muslimin dari penawanan karena pernikahan Rasulullah n dengan Juwairiyah. Pujian ini dengan jujur diucapkan ‘Aisyah. Padahal sebelumnya, ‘Aisyah cemburu pada Juwairiyah. ‘Aisyah mengatakan, “Juwairiyah adalah perempuan yang berparas elok dan manis. Setiap orang yang memandangnya pasti akan terpikat. Aku melihatnya dari balik pintu saat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta tolong dalam hal pembebasan dirinya dari status tawanan perang. Ketika itu aku tidak menyukainya, karena aku tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat keelokannya sebagaimana yang aku lihat.” (al-Isti’ab, 4/1804)

Demikian sedikit contoh dari kehidupan rumah tangga para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa kecemburuan tidaklah membutakan mereka dari kebenaran dan melihat kenyataan. Semoga shalawat, salam, dan berkah Allah Subhanahu wata’ala tercurahkan selalu bagi panutan umat dan kekasih-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai istri-istri beliau yang mulia yang menjadi teladan terbaik bagi para wanita umat ini.

Sekarang, coba kita lihat apa yang ada pada diri para perempuan yang cemburu pada hari ini—selain yang dirahmati dan diselamatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala! Sungguh, cemburu telah membuat mereka buta. Mereka menjatuhkan kehormatan perempuan yang mereka cemburui di hadapan suami mereka dan orang lain.  Bahkan, mereka menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama guna “menyingkirkan” perempuan yang membuat panas hatinya karena cemburu. Wallahul musta’an.

Rekaman sejarah yurisprudensi Islam sebenarnya telah lama mematahkan argumen yang sering diyakini kalangan propoligami bahwa "poligami itu merupakan sunah Rasulullah SAW". Usaha mencari justifikasi teologis poligami sering dipaksakan, meski QS an-Nisa: 3 jelas menunjukkan kemustahilan berlaku adil ketika berpoligami.

Anehnya, kalangan propoligami malah mengaitkan poligami sebagai tolok ukur keislaman seseorang. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Faqihuddin Abdul Kodir MA, dosen STAIN Cirebon dan alumnus Fakultas Syariah, Universitas Damaskus, Suriah, pada 29 Mei 2003.

Anda cukup mempunyai perhatian terhadap masalah perempuan pada umumnya

Page 18: MATERI CERAI

dan poligami khususnya. Seserius apakah masalah poligami itu di masyarakat? Cukup serius. Kalangan propoligami sering menyandarkan argumennya pada pemahaman yang salah atas nash Alquran dan hadis. Slogan-slogan seperti "poligami itu sunah" dan "poligami itu membawa berkah" sering mereka pakai. Sebetulnya, tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa Islam mempunyai dalil untuk memperbolehkan poligami. Sebaliknya, kita juga mempunyai dalil -dalam arti teks- yang membicarakan masalah itu.

Dalam tulisan saya di Kompas (13 Mei 2003) yang berjudul Benarkah Poligami Sunah...?, saya menyatakan bahwa poligami dan monogami merupakan persoalan parsial atau persoalan konteks belaka. Sementara itu, dalam fikih, ada beragam padangan soal tersebut.

Selama ini, orang yang berpoligami mengambil landasan dari ayat Alquran. Bagaimana menjawab argumen seperti itu? Sebenarnya, kalau mau jujur, dalam Alquran ada tiga poin yang terkait dengan poligami. Yang pertama anggaplah semacam memberikan kesempatan untuk berpoligami. Kedua adalah peringatan atau warning agar berlaku adil: fain khiftum allâ ta'dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah!, Red).

Ketiga, ada ayat yang menyatakan, walan tashtatî'û 'an ta'dilî bainan nisâ' wain harashtum. Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara istri-istrimu, sekalipun engkau berusaha keras.

Artinya, kalau kita melakukan komparasi atas berbagai ayat, kesimpulannya adalah satu ayat memperbolehkan poligami, sedangkan yang dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami: masalah keadilan. Intinya, dua ayat justru mengekang poligami.

Kalau kita menggunakan proporsi seperti itu, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Dan, ingat, satu-satunya ayat yang seakan memperbolehkan poligami adalah QS an-Nisa: 2-3. Konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Bagaimana dengan dalih meneladani praktik Rasulullah SAW? Kalau kita berbicara tentang praktik Rasulullah, ketahuilah, Rasulullah itu menjalani bahtera rumah tangga lebih dari 30 tahun. Tapi, selama 28 tahun, Rasulullah setia dengan praktik monogami. Dan, hanya delapan

Page 19: MATERI CERAI

tahun dia melakukan poligami. Kalau kita menggunakan proporsi waktu juga, anggapan bahwa poligami adalah sunah itu lucu juga.

Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Rasulullah tidak melakukannya sejak pertama berumah tangga? Bahkan, praktik monogami Rasulullah yang sangat lama itu dilakukan di tengah situasi sosial masyarakat Arab yang menganggap bahwa poligami tersebut adalah lumrah.

Jadi, jelas Rasulullah lebih bahagia dan sukses ketika menjalani kehidupan monogami. Ingat, betapa berdukanya Rasulullah setelah Khadijah, istri beliau satu-satunya dalam praktik monogami, wafat. Bahkan, tahun itu (kesepuluh kenabian) juga disebut sebagai amul huzn (tahun duka cita, Red). Baru dua tahun sepeninggal Khadijah, Rasulullah berpoligami. Itu pun dijalani hanya sebentar.

Selain itu, perlu diingat soal kasus Rasulullah melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami yang berarti memadu putrinya, Fatimah. Hal tersebut dikisahkan dalam hadis sahih dan diriwayatkan, antara lain, oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka. Hal itu juga diriwayatkan oleh ulama hadis terkemuka seperti Turmudzi dan Ibn Majah.

Artinya, secara subjektif, Rasulullah tidak suka anaknya dimadu? Ya, Rasulullah marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah, akan dipoligami Ali. Rasulullah pun langsung masuk masjid, naik mimbar, dan berkhotbah di depan banyak orang: Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Sabda Rasulullah: "innî lâ 'âdzan, (saya tidak akan mengizinkan), tsumma lâ 'âdzan (sama sekali, saya tidak akan izinkan), tsumma lâ âdzan illâ an ahabba 'ibn Abî Thâlib an yuthalliq 'ibnatî, (sama sekali, saya tidak akan izinkan, kecuali bila anak Abi Thalib (Ali) menceraikan anakku dulu).

Rasulullah melanjutkan, Fâthimah bidh'atun minnî, yurîbunî mâ 'arâbahâ wa yu'dzînî mâ 'adzâhâ, Fatimah adalah bagian dari diriku. Apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026). Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap bermonogami sampai Fatimah wafat.

Hadis tersebut sangat jarang disiarkan? Ya. Itulah ironisnya. Ada distorsi yang dilakukan kalangan propoligami. Ketika kita membuka kitab-kitab hadis semacam Majâmi' Al-Ushûl,

Page 20: MATERI CERAI

kumpulan enam kitab hadis terbesar -misalnya-, akan ditemukan tiga klasifikasi tentang poligami. Pertama, ada pembatasan.

Alkisah, ada sahabat yang kawin dengan sepuluh orang. Lantas, Rasulullah menganjurkan untuk menceraikan selain empat orang. Itulah yang dilakukan Rasulullah pada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Kedua, ada hadis tentang moralitas poligami. Dalam hadits itu, disebutkan bahwa orang yang berpraktik poligami harus adil, tidak berlaku aniaya atas dua istri. Kalau berbuat aniaya, mereka diancam siksa neraka.

Ketiga adalah perilaku Rasulullah dalam berpoligami. Coba lihat kitab Imam Ibn al-Atsir (544-606H). Kita temukan bukti bahwa poligami Rasulullah adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Sebagian besar yang dinikahi Rasulullah adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya ketika berjihad, kecuali Aisyah binti Abu Bakr.

Jadi, anjuran -baik dari Alquran atau hadis- yang menyebut poligami sebagai sesuatu yang baik itu tidak ada sama sekali. Karena itu, pandangan yang beredar di masyarakat seperti kasus Puspowardoyo atau Drs Muhammad Thalib yang menulis buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya adalah kurang tepat.

Mereka jelas-jelas menganjurkan bahkan menganggapnya sebagai perintah. Menurut pandangan mereka, orang yang berpoligami lebih baik daripada yang monogami (Rhoma Irama yang berpoligami juga berpendapat demikian, Red). Bahkan, disebutkan bahwa poligami akan menambah rezeki dan memberikan peluang masuk surga yang lebih besar. Ini lucu sekali!

Apa isi buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya itu? Poin paling utama dari buku itu bahwa poligami adalah anjuran Islam. Dan, orang yang berpoligami lebih baik daripada orang yang monogami. Sebetulnya, perkataan ini bukan berdasarkan Alquran dan hadis. Tapi, garis besarnya berasal dari perkataan Ibn Abbas yang berbunyi, tazawwaj fainna khaira hâdzi al-ummah aktsaruhâ nisâ'an.

Dia menyatakan hal itu kepada temannya, Said bin Zubeir: "Kawinlah! Karena, sungguh sebaik-baiknya umat Islam adalah yang banyak istrinya". Hal tersebut sesuai dengan terjemahan buku itu. Padahal, kalau kita membahas artinya, akan banyak sekali terjemahan yang tidak pas.

Page 21: MATERI CERAI

Tapi, taruhlah terjemahan dia benar, masalah (yang tersisa) itu adalah perkataan Ibnu Abbas, seorang sahabat. Tidak semua ulama menyatakan perkataan sahabat sebagai hujjah atau sesuatu yang bisa dijadikan argumen agama yang valid.

Tapi, dalam literatur fikih kita selama ini, soal poligami dianggap sebagai praktik agama yang legal dan sah-sah saja. Mengapa formulasi fikih bisa seperti itu? Kita harus memahami bahwa fikih ditulis pada masa lalu. Saat itu, posisi perempuan dan daya tawarnya sangat lemah. Tak banyak orang yang menyuarakan kepentingan perempuan. Jadi, ketika mereka berbicara tentang keadilan, sangat jarang yang berbicara dari perspektif kaum perempuan.

Kitab-kitab fikih juga kebanyakan ditulis oleh laki-laki? Itu merupakan salah satu poin juga. Tapi, ada suatu masa di mana ada sekitar 9.900 ahli hadis perempuan. Tapi, begitu masanya makin ke belakang, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka tinggal beberapa orang, bahkan kita tidak mengenal seorang ulama perempuan dalam bidang fikih. Kalau tasawuf kita mengenal Rabiah al-Adawiyah, tapi dalam hal fikih, kita tidak mengenal satu orang pun. Ini merupakan salah satu persoalan mengapa faktor advokasi perempuan kurang banyak dilakukan.

Pengaruhnya sampai kini juga masih terasa. Apakah jumlah juru dakwah, ulama, atau cendekiawan dari kalangan perempuan juga sangat sedikit? Itulah kenyataannya. Selama ini, yang mengalami ketidakadilan adalah perempuan. Karena itu, monogami atau poligami merupakan persoalan parsial atau partikular saja. Analoginya, kita boleh mencatat atau tidak mencatat utang-piutang. Itu persoalan pilihan saja. Sedangkan yang prinsip dalam Islam adalah nilai keadilan. Artinya, masing-masing pihak, baik perempuan maupun laki-laki, memperoleh hak mereka secara proporsional. Nah, ketika kita berbicara prinsip, tentu kita harus mengembalikannya pada realitas.

Masalah poligami itu terkait antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya, sejauh mana keadilan diwujudkan melalui poligami? Kalau tidak terwujud, poligami bisa dilarang. Keadilan itu tidak hanya diterjemahkan oleh persepsi laki-laki. Selama ini, makna keadilan sering diterjemahkan satu arah saja. Itu tidak tepat. Agar tahu tentang keadilan, banyak yang perlu dilibatkan, terutama perempuan sebagai

Page 22: MATERI CERAI

korban poligami. Lembaga penelitian/advokasi yang mencermati kasus-kasus poligami juga bisa dimintai pendapat.

Bagaimana bila ada perempuan yang menganggap bahwa poligami itu adil bagi dirinya? Kalau secara kasuistik, mungkin ada perempuan yang merasa adil. Tapi, kita berbicara secara sosial. Artinya, bicara fikih. Kita berbicara tentang hal yang bersifat umum, bukan sesuatu yang bersifat kasuistik. Sifat umum itu berarti sesuatu yang bisa diaplikasikan dan dirasakan banyak orang. Nah, dalam kaitannya dengan orang per orang, tentu harus dilakukan penelitian lebih dulu.

Saya kira, kalau kita berbicara statistik secara sosial, praktik poligami akan lebih banyak mendatangkan bahaya. Itu sebetulnya sudah ditegaskan oleh banyak penulis yang menurut saya lebih jujur dibandingkan teman-teman kita yang mempromosikan poligami itu.

Kalau perempuan tidak mau dimadu, bagaimana status mereka dalam kacamata fikih? Dari sisi fikih, perempuan yang tidak ingin dimadu mempunyai hak. Dalam fikih, ada syarat-syarat bagi laki-laki yang ingin berpoligami. Istri boleh mengajukan syarat kepada suaminya agar jangan sampai dimadu. Memang, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat seperti itu tidak sah.

Tapi, ulama Hanafi dan Hanbali menyatakan bahwa perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan agar tidak dimadu. Nah, ketika dia akhirnya dimadu, ada yang menyatakan bahwa dia bisa cerai langsung atau mengajukan gugatan cerai. Karena itu, tidak tepat kalau ada yang menyatakan bahwa istri yang menghalangi suaminya untuk berpoligami dilarang oleh agama seperti yang dikatakan Drs Muhammad Thalib.

Saya mengatakan dalam artikel saya, poligami adalah proses dehumanisasi perempuan. Perempuan yang dimadu banyak yang mengalami self-depreciation, penderitaan lahir batin luar biasa. Kasihan sekali, bukan?

Jadi, ada reduksi atas ajaran Islam dengan menganggap bahwa ayat poligami adalah pengesah (poligami) dengan sendirinya sembari mengabaikan kenyataan sosial dan pendapat ulama yang beragam dalam menafsirkan ayat tersebut. Bagaimana menurut Anda? Ya. Inilah salah satu hal yang mendistorsi pemikiran atau perkembangan

Page 23: MATERI CERAI

pemikiran fikih kita: fikih dilihat dari satu pendapat saja dan yang lainnya tidak dianggap. Jadi, sangat naif kalau fikih hanya meladeni satu pandangan.

Kita tahu, Rasulullah beristri sembilan. Tapi, dalam kaidah fikih, ada hal yang tidak boleh diikuti dari Rasulullah. Bisa dijelaskan lebih lanjut? Itulah yang dinamakan khushûsiyyât atau spesifikasi yang dimiliki Rasulullah dan tidak dimiliki serta tidak boleh dituruti orang lain. Mungkin dalam hal ini termasuk masalah poligami juga. Tentang klaim bahwa poligami berguna untuk proteksi bagi mereka yang janda -misalnya sebagaimana Rasulullah-, mestinya mereka yang ingin berpoligami melirik ke janda. Tapi, sayangnya, daun mudalah yang, tampaknya, lebih disukai.

Hadis yang saya sebutkan itu membuktikan bahwa poligami tersebut menyakitkan, baik bagi anak yang dimadu maupun orang tua yang anaknya dimadu. Atas pertimbangan semacam itu, poligami nanti bisa saja ditekan, bahkan dilarang. Dalam konteks personal, poligami tersebut dilarang karena menyakiti.

Mungkin, di masa Rasulullah terjadi proses graduasi hukum. Suatu ketika, yang diidealkan hukum Islam adalah monogami. Dan, poligami malah dianggap haram. Bagaimana tanggapan Anda? Bisa saja. Itu merupakan salah satu bentuk transformasi. Kebanyakan istri-istri Rasulullah itu janda. Jadi, masalah proteksi tersebut betul-betul terwujud. Ini berbeda dengan praktik-praktik poligami di sini yang tidak seperti yang dilakukan Rasulullah, sehingga proses proteksi dan transformasi terhadap perempuan tidak lagi kelihatan.

Karena itu, beberapa ulama seperti Muhammad Abduh bahkan berani menyatakan bahwa pada zaman kini, hukum poligami adalah haram. Poligami, tampaknya, menimbulkan persoalan. Misalnya, anak telantar dan pertengkaran. Jadi, praktik di Mesir saat itu menginspirasi Abduh untuk menyatakan bahwa pada masa sekarang, poligami bisa haram. Apalagi, Islam amat menekankan masalah keadilan [.]http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2005-08/msg00348.html