maqamat dan ahwal
DESCRIPTION
maqam dan ahwalTRANSCRIPT
Makalah
MAQAMAT DAN AHWAL
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Barizi, MA
Disusun oleh :
1. Anis Fathona Himda (09610112)
2. Zahrotul Mufidah (09610113)
3. Dian Alvy Pratiwi (09610115)
4. Sukris Tri Handayani (09610116)
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Maqamat dan ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf.
Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu
yang ada di jagad raya ini. Bahkan menurut Khaja Khan, dua term tersebut
berfungsi untuk mematahkan ketergantungan kepada sesuatu selain Dzat Allah
dan untuk mencapai kebersatuan dengan sang Khalik.
Dengan itu maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal
para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar
kembali pada cahaya Tuhan. Dalam konterks ini, Abu Yazid al-Bustami (874-947
M) dalam suatu kesempatan pernah bertanya kepada Tuhan tentang jalan menuju
kehadirat-Nya. Tuhan menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah”. Tinggalkan
diri sendiri berarti seseorang mesti terbebas dari keinginan dan hawa nafsu
pribadinya dan datang memiliki pengertian bahwa seorang sufi mengikuti
keinginan dan iradah Tuhan. Maka dari itu, para sufi telah menciptakan jalan
spiritual untuk merangkai hubungan dengan sang Tuhan yang disebut maqamat.
Pada sisi lain ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di
tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu.
Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik
dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya. Selain itu, mereka juga pasti
akan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat (qurb), rasa
cinta (muhabbah), harap-harap cemas (raja’), tentram (tuma’ninah) dan rasa
yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut dinamakan ahwal.
B. RUMUSAN MASALAH
Runusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Apakah pengertian maqamat?
2. Apakah pengertian ahwal?
3. Apakah ada keterkaitan antara maqamat dan ahwal?
C. TUJUAN PEMBUATAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian maqamat
2. Mengetahui pengertian ahwal
3. Mengetahui keterkaitan antara maqamat dan ahwal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAQAMAT
a) PENGERTIAN MAQAMAT
Maqam yang arti dasarnya “tempat berdiri”, dalam terminologi sufis
berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri
menghadap-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup
kerohanian (riyadlah), memerangi hawa nafsu (mujahaddah) dan melepaskan
kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan
pendapat al-Qusairi (376-465 H) pada hamba Allah berkat ketinggian adab sopan
santunnya yang dihasilkan dengan kerja keras.
Menurut Al-Thusi (1200-1273 M), “ Kedudukan hamba di hadapan Allah
yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa
nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga
semata-mata untuk berbakti kepada-Nya”.
b) URUTAN MAQAMAT MENURUT BEBERAPA SUFI
a. Al-Qusyairi (376-465 H)
Al-Qusyairi dalam bukunya Ar Risalah Al Qusyairiyah, urutan maqom adalah
sebagai berikut1:
1. Taubah 4. Syukur
2. Mujahadah 5. Sabar
3. Khalwat
1 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia , 2008), hlm. 76.
b. Al-Thusi (1200-1273 M)
Menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam kitabnya al-Luma` menyebutkan
jumlah maqamat ada tujuh2, yaitu:
1. Al-Taubah
2. Al-Wara’
3. Al-Zuhud
4. Al-Faqr
5. Sabar
6. Al-Tawakkal
7. Al-Ridha
c. Al-Ghazali (450-505 H)
Bagi al-Ghazali, seluruh dari tingkatan-tingkatan keagamaan (maqamat
ad-din) terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu pengetahuan (ma’rifat), keadaan
(ahwal), dan tindakan (a’mal). Ilmu pengetahuan merupakan basis dari keadaan
yang keadaan tersebut mengantarkan seseorang untuk berbuat dalam tindakan.
Maqamat menurut Al-Ghazali ada sepuluh, urutannya sebagai berikut3:
1. Taubah 6. Zuhud
2. Sabar 7. Al-‘isyq
3. Syukur 8. Mahabbah
4. Raja’ 9. Al-Uns
5. Khauf 10. Ridha
2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 194.3 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), hlm. 47.
d. Al-Kalabadzi ( wafat 390 H)
Menurut Al-Kalabadzi dalam bukunya At Ta’rif Limadzhab At Tasawuf.
Menjadikan Taubat sebagai kunci ketaatan yang disusul dengan zuhud, sabar,
faqr, tawadhu’, khauf, taqwa, ikhlash, syukur, tawakkal, ridha, yakin, dzikir, uns,
qarrub, dan mahabbah4.
c) URUTAN MAQAMAT SECARA UMUM
Secara umum maqamat yang dijalani oleh para sufi antara lain taubat,
wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha.
Penjelasan maqamat di atas adalah:
1. Taubat
Taubat secara umum diartikan memohon ampun atas segala dosa dan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan, serta berjanji secara sungguh-sungguh untuk
tidak mengulanginya dan disertai dengan melaksanakan amal-amal shomaksudleh.
Dua macam taubat dalam tasawuf menurut Dzu al-Nun al-Mishri (180-246 H),
keduanya yaitu taubat orang awam dan taubat orang khawash5.
Bagi orang awam taubat merupakan perbuatan penyesalan atas dosa yang
telam mereka lakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, dan
dikemudian harinya diisi dengan hal-hal terpuji dan amal shaleh. Dalam konteks
ini, dosa diartikan sebagai pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah dan
larangan Tuhan.
Bagi kehidupan para sufi atau khawash, taubat merupakan penyesalan atas
dosa-dosa yang mereka lakukan berupa kelalaian mengingat Tuhan (ghaflah).
Karena mereka berpandangan bahwa seseorang tidak akan melakukan
kemaksiatan jika ia benar-benar mengingat Tuhan.
4 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS , (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 76.
5 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), hlm. 48.
Syarat-syarat taubat adalah sebagai berikut:
1) Bersungguh-sungguh
2) Berhenti sejenak
3) Berjanji untuk tidak mengulangi
Dalam surat An-Nur yang artinya: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur:31).
2. Zuhud
Istialah ini dapat diartikan sebagai meninggalkan kehidupan dunia dan
sepenuhnya berkonsentrasi pada urusan akhirat. Seorang yang menjalani zuhud
disebut zahid.
Al-Ghazali (450-505 H) mengartikan zuhud sebagai kelakuan di mana
seseorang itu menjauhi urusan dunia, mengurangi keterikatannya terhadap dunia
dan hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh dan didasarkan kerena
kecintaannya kepada Allah semata6. Sedangkan Al-Qusyairi (376-465 H)
mengartikan zuhud sebagai sikap dimana menerima segala kenikmatan yang telah
diterimanya7.
Berdasarkan maksud dari pengertiannya tersebut, zuhud dibagi atas tiga
tingkatan, diantaranya yaitu (mulai dari terendah ke yang tertinggi) 8:
1. Menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.
2. Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.
3. Mengucilkan dunia bukan karena takut terhadap Allah tetapi karena
cinta kepada Allah.
6 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS , (Bandung: Pustaka Setia, 2008) , hlm. 79.
7 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 79.
8 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 79.
3. Faqr (butuh akan akhirat)
Faqr dapat diartikan sebagai rasa puas terhadap apa yang telah didapat dan
tidak sekalipun menuntut lebih atas apa yang telah didapatnya.Tidak meminta
walau tidak mempunyai apa-apa, namun tidak juga menolak jika diberi. Dengan
sikap ini akan terhindar dari sifat serakah.
4. Wara’
Wara’ secara lughah berarti hati-hati. Berhati-hati dalam menentukan
suatu hukum, terhindar dari syubhat dan menjauhkan diri dari perkara yang
haram.
Menurut ulama sufi, wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu keragu-
raguan antara halal dan haram yaitu syubhat. Karena suatu perbuatan yang haram
akan dapat mematikan hati sehingga jauh dari Allah.
Ibrahim bin Adham (wafat, 777 M) mengatakan wara’ adalah
meninggalkan setiap yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu,
yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan. Dalam artian bukan hanya
kesyubhatan saja yang harus ditinggalkan namun suatu hal apapun yang berupa
kenikmatan yang halal yang dianggap tidak bermanfaat.
Sabda Rasul SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
را من ا ستبر ا فقد الشبهات من اتقى فمن م حلا
Artinya:
“Maka siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia terbebas dari
yang haram”. (HR. Bukhori)
5. Sabar
Sabar merupakan sifat yang tidak dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu. Di
mana seseorang tersebut tidak tergoda oleh apa pun yang diperintahkan oleh hawa
nafsu. Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H), sabar adalah tetap tegaknya
dorongan agama yang berhadapan dengan dorongan hawa nafsu.
Sabda Rasulullah, sabar adalah cahaya. Cahaya di sini adalah cahaya hati
yang tidak terkontaminasi oleh suatu apapun, yang bisa membedakan mana jalan
yang sesat dan mana jalan yang benar, dan ini merupakan hidayah atau petunjuk
Allah.
Sabar ada tiga macam, yang pertama sabar terhadap maksiat, kedua sabar
terhadap musibah, ke tiga sabar dalam menjalankan ibadah.
6. Tawakkal
Tawakkal adalah sikap pasrah terhadap keputusan yang diputuskan oleh
Allah. Menurut Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981 M), tawakkal itu menyerahkan
segala keputusan dan persoalan, ikhtiar dan usaha kepada Allah Ta’ala yang kuat
dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya. Tawakkal merupakan salah satu
sikap muslim yang merupakan hasil dari keyakinan hati yang kuat terhadap Allah.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, dalam segi bahasanya, tawakkal berarti
perwakilan9. Dalam menjalani kehidupan yang fana ini kita seorang muslim
hendaknya bertawakkal kepada Allah. Semua urusan dunia maupun akhirat
harusnya kita pasrahkan kepada Allah. Sebagaimana kata-kata yang dipegang
manusia, manusia yang berusaha dan Allah yang menentukan. Namun jika belum
berikhtiar sama sekali dan langsung bertawakkal, maka itu sama dengan kosong10.
Tidak pada tempatnya.
9 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 118.10 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, ( Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 118.
Pada Surah Al-Muzammil ayat 9, yang artinya:
“Dialah Tuhan masyrik dan maghrib, Tuhan hanya Dia. Maka ambillah
(jadikanlah) Dia sebagai pelindung.”
Hatim Al-Hasan11, meyakini empat bekal untuk bertawakkal kepada
Allah12, yaitu:
1. Keyakinanku bahwa dunia dan seisinya adalah milik Allah.
2. Semua makhluk akan ku anggap hambanya.
3. Segala daya dan upaya hanyalah penyebab saja, sedangkan rejeki
urusannya di tangan Tuhan.
4. “Aku yakin: Ketentuan-Nya pasti berlaku bagi setiap makhluk”.
Sabda Rasulullah, “ Apabila kalian berserah diri kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan rizki kepadamu, seperti Dia
memberikan rizki kepada burung. Pada waktu fajar brung-burung keluar dari
sarangnya dengan perut lapar. Senja hari ketika mereka kembali ke sarangnya
dengan perut kenyang.”
Sebagaimana Luqman Al-Hakim13, berpesan kepada anaknya, tentang
enam perkara, diantaranya yaitu14:
1. Janganterlalu sibuk dengan urusan duniawi, kecuali sekedar mencukupi
kebutuhanmu untuk menyambung sisa umurmu.
2. Sembahlah Tuahanmu menurut hajatmu kepada-Nya.
3. Kerjakanlah sesuatu untuk akhirat sesuai dengan keinginanmu, untuk
bermukin disana.
11 Seorang ulama sufi yang hidup pada periode Madzhab Arba’ah.
12 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 120.13 Beliau bukan nabi dan juga bukan rasul, orang yang dimuliakan oleh Allah dan diabadikan
namanya dalam Al-Qur’an.
14 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 121.
4. Berusahalah untuk membebaskan dirimu dari api neraka, selama engkau
masih ragu jika engkau tak bebas dari neraka.
5. Jika engkau kuat menghadapi siksa Allah maka berbuatlah maksiat.
6. Berbuatlah maksiat jika engkau mampu mencari tempat yang ama dari
pengelihatan Allah dan malaikat-Nya.
Dunia yang hanya sementara jangan sampai dijadian tujuan utama dalam
menjalani hidup yang hanya singkat ini, Kita harus bertawakkal kepada-Nya.
7. Ridha
Jika seseorang sudah sampai pada tingkatan ini maka dia akan selalu
merasa senang dan menerima pada semua yang diputuskan oleh Allah. Ketika
manusia ridha, maka mereka akan dapat mengambil hikmah dan sisi kebaikan
dibalik semua permasalahan yang diberikan oleh Allah. Bahkan mereka mampu
melihat keagungan , kekuatan, kekuasaan dan keMahabesaran Allah.
Dan hanya orang yang ahli makrifat dan mahabbah yang mampu bersikap
seperti ini15, karena mereka merasakan musibah dan cobaan sebagai suatu nikmat,
sebagai media pertemuan mereka dengan sang Khaliq yang dirindukannya.
Jika telah sampai pada Ridha maka dia akan sampai pada mahabbah orang
biasa.
B. AHWAL
1. PENGERTIAN AHWAL
Ahwal yaitu keadaan yang meyentuh hati, berlangsung sekejap dan tidak
menetap. Menurut al-Jurjani (400-471 H), ahwal dapat berarti sebagai berikut.
“Ahwal ialah makna atau kesan yang menyentuh hati begitu saja tanpa dibuat-
15 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 82.
buat, tanpa penyebab, dan tanpa diusahakan. Sentuhannya mengakibatkan
perasaan-perasaan seperti haru, bahagia, sedih, senang, sesak, pengap, resah,
segan dan sebagainya. Perasaan tersebut segera menghilang apabila sifat-sifat jiwa
muncul. Sifat-sifat yang kemudian terbentuk, akibatnya silih bergantinya perasaan
yang disebabkan oleh kesan yang menyentuh hati dan menjadi bagian kemampuan
diri, dinamakan maqam. Dengan demikian, maqamat adalah hasil usaha dan
ahwal adalah anugerah atau ahwal berasal dari Sang Sumber Kedermawanan dan
maqamat terjadi atas upaya yang dilakukan.”
Dapat dikatakan pula Hal merupakan keadaan seorang sufi ketika
menapaki maqamat.
2. MACAM AHWAL DALAM PERJALANAN SUFI
Hal-hal atau ahwal yang sering dilaksanakan oleh seorang sufi adalah
muhasabah dan muraqabah, qarb, mahabbah, khouf, raja’, syauq, uns,
thuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
a. Muhasabah dan muraqabah
Menurut arti lughawinya muhasabah dan muraqabah adalah waspada dan
mawas diri. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Dalam hal
ini manusia harus menanamkan keyakinan dimana Allah Sang Khaliq selalu ada
mengawasi tingkah polah yang dilakukan oleh manusia, dari segi lahir maupun
batin. Menurut Imam Qusyairi (376-465 H) muraqabah adalah hamba Allah yakin
seyakin-yakinnya bahwa Tuhan selalu melihatnya16.
Muraqabah dibagi menjadi tiga tingkatan17, yaitu:
a) Muraqabah Al-qalbi, yaitu kewaspadan dan peringatan terhadap hati, agar
tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah.
b) Muraqabah Al-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar
selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
16 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 102.17 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998), hlm. 218.
c) Muraqabah Al-sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap sirr
(rahasia) agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki
adabnya.
b. Qarb
Istilah ini berarti mendekat. Dalam hal ini mendekat kepada Allah. Lebih
agresif unutk mencapai pendekatan sedekat-dekatnya kepada Allah.
c. Mahabbah
Berasal dari kata, ahabba, yuhibbu, mahabbatan. Secara harfiah berarti
rasa cinta yang mendalam. Dapat diartikan pula –dalam Mu’jam al-Falsafi, oleh
Jamil Shaliba18- yang sangat kasih atau penyayang19. Mahabbah ini bertujuan
memperoleh kebutuhan yang bersifat material juga spiritual, sebagaimana rasa
kasmaran yang dialami oleh manusia seperti biasanya.
d. Khauf
Menurut arti harfiahnya berarti takut. Dapat diartikan pula takut terhadap
siksa Allah.
Khauf ini dapat dijadikan sebagai penggiringan perbuatan manusia menuju
kepada amal shaleh agar para hamba dapat mendekat kepada Tuhannya. Khauf
juga merupakan sarana untuk mendorong diri agar lebih tekun dalam menjalankan
perintah-Nya. Juga dapat mencegah terjadinya perbuatan maksiat yang dapat
dilakukan oleh hamba-Nya.
Rasulullah bersabda, yang artinya:
“Orang beriman itu berada di antara dua ketakutan, yaitu antara ajal terdahulu,
tidak tahu persis apa tindakan Allah baginya. Dan ajal mendatang, juga tidak tahu
persis bagamana keputusan Allah terhadapnya. Oleh sebab itu seseorang wajib
berbekal amal shaleh demi keselamatan dirinya, dan dari dunia untuk akhirat, dari
hidup untuk matinya. Maka demi Allah yang jiwa Muhammad di bawah tangan-
18 Penulis buku Al-Falsafah Al-Arabiyah
19 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 207.
Nya: sesudah mati, tiada kesempatran istighfar dari dosa, dan tiada tempat di sana
kecuali surga dan neraka”. (HR. Hasan Basri dari Jabir RA)
Menurut Imam Alghazali (450-505 H) khauf terbagi menjadi dua macam20,
yaitu khauf karena khawatir kehilangan nikmat yang membuat orang untuk
memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut pada tempatnya. Kedua, khauf
kepada siksaan karena kemaksiatan yang dilakukan. Hal inilah yang mendorong
manusia untuk bertaqwa kepada Tuhannya.
e. Raja’
Raja’ secara umum berarti berharap atau optimisme. Yaitu perasaan yang
senantiasa berharap sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja’ akan
mendorong seseorang untuk ta’at kepada Tuhannya serta mencegah dari
kemaksiatan.
Raja’ menuntut tiga perkara21,diantaranya yaitu:
1. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
2. Takut harapannya itu hilang.
3. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ tanpa dibarengi dengan tiga perkara di atas maka semua hal yang dia
harapkan akan menjadi sebuah ilusi dan khayalan belaka.
f. Syauq (rindu)
Di sini diartikan sebagai rindu akan pertemuan dengan Allah, sebagai yang
dicinta. Selama masih ada kata-kata cinta dalam hatinya, maka masih tersimpan
pula yang namanya Syauq.
20 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), hlm. 60.21 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan
PTAIS , (Bandung:Pustaka Setia , 2008), hlm. 85.
Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H), rindu kepada Allah dapat
dijelaskan melalui pendefinisian cinta yang sebenarnya kepada Allah22. Ketika
belum bertemu dengan yang dicntainya dan yang dicintainya belum berada di
hadapannya, maka rindi itu akan memabukkannya. Pasti selalu merindukan yang
dicintainya.
g. Uns
Menurut para kaum sufi uns diartikan sebagai selalu berteman dan tak
pernah merasa sepi23. Seperti halnya ketika berada di tempat yang ramai tetapi
jiwa mereasa sepi, sebab selalu memikirkan yang dicintanya. Da ketika berada di
kesepian yang dirasakan adalah keramaian, sebab selalu memikrkan rencana-
rencana untuk bertemu dengan yang dicintainya.
Ini menunjukkan keakraban dan nilai kedekatan dengan Tuhan yang selalu
dicintanya. Seseorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan,
kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang begitu dalam. Kondisi kejiwaan
seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan sedekat-dekatnya
dengan Allah. Hati dan perasaannya diselubungi oleh cinta yang begitu
mendalam. Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi misalnya ketika
menikmati keindahan panorama alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan
suara. Pengalaman yang seperti ini akan berbeda antar individu sufi.
h. Thuma’ninah
Dalam sholat thuma’ninah berarti berhenti sejenak. Dalam konteks ini
thuma’ninah berarti keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang merusak
hati itu sendiri.
22 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 86.
23 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung:Pustaka Setia , 2008), hlm. 86.
Di dasarkan atas firman Allah SWT, yang artinya: “Wahai jiwa yang
tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridlai-Nya.
Masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”
(QS Al-Fajr: 27-30).
Ibnu Qayim (691 H/1292 M – 751 H/1350 M) membagi tuma’ninah dalam
tiga tingkatan:
1. Ketenangan hati dengan mengingat Allah.
2. Ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas
penantian.
3. Ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya.
i. Musyahadah
Musyahadah berarti bersaksi. Bersaksi atas keberadan Allah dan Rasul-
Nya. Dengan berucap dua kalimat syahadah disertai dengan iman. Dalam hal ini
musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan. Orang yang
berada pada puncak musyahadah hatinya senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya
ketuhanan, ibarat cahaya matahari yang tiada hentinya menyinari bumi.
j. Yaqin
Menurut arti bahasanya, yaqin bermakna mempercayai. Dalam konteks ini
yaqin adalah, mempercayai terhadap segala sesuatu yang diberi oleh Allah
merupakan anugrah yang tak ternilai harganya. Meyakini keberadaan Allah
sebagai wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Lebih tegasnya yakin
adalah memantapkan hati kepada yang Maha Pencinta.
C. KETERKAITAN MAQAMAT DAN AHWAL
Menurut Ibn ‘Arabi (560-638 H), kesan yang bersifat temporal adalah ciri
khusus ahwal, sedang potensi yang menjelma menjadi sifat adalah ciri khusus
maqamat. Hakikat keduanya ditentukan oleh niat dan istiqamah dalam
mempraktikkan keutamaan. Allah Swt menganugerahkan maqamat kepada jiwa
melalui praktik keutamaan, meski Dia sesungguhnya Mahakuasa menentukan
apakah akan memberi (atau tidak) anugerah yang dapat memungkinkan hamba
melakukan perbuatan baik.
Keterkaitan maqamat dan ahwal bersifat integral sehingga gejala ahwal
yang terlihat pada sebagian orang terkadang dinilai sebagai gejala maqamat dalam
pandangan orang lain. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa ahwal itu sendiri
dapat dapat berkembang menjadi maqamat. Dinamakan ahwal karena fungsinya
mentransformasikan hamba dari posisi jauh dari Tuhan untuk dekat kepada-Nya,
sedangkan maqamat pada dasarnya adalah cara yang ditempuh untuk
mendapatkan anugerah-anugerah Ilahi tersebut.
Secara historis konsep muqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali
pada abad pertama Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua term tersebut
adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib ketika
ditanya, “Apa makna iman?” Beliau menjawab,”Iman dibangun atas empat pilar,
yaitu ketabahan, keyakina, keadilan, dan perjuangan.” Kemudian ‘Ali bin Abi
Thalib menguraikan makna masing-masing hingga membentuk sepuluh bentuk
kedudukan hamba.
Maqamat dan ahwal, menurut kaum sufi, masing-masing, memiliki
peringkat tertentu dan setiap peringkat didasarkan kepada Al-quran dan Sunnah.
Kenyataan ini membuktikan bahwa sumber-sumber disiplin tasawuf yang satu ini
adalah bersifat murni dari Islam. Dengan demikian, setiap pandangan yang
berupaya mencarikan sumber-sumber lain kiranya tidak beralasan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Maqamat dan ahwal tidak dapat terpisahkan, keduanya memiliki
hubungan yang erat. Jika sedang bermaqamat maka akan merasakan yang
namanya ahwal.
2. Perjalanan maqamat dan ahwal para sufi pada zaaman dahulu dengan
sekarang sangatlah berbeda. Mereka menjalankan unsur yang terdapat
dalam maqamat dan ahwal tidak secara kontekstual, namun tersesuaikan
dengan keadaan sekarang. Mereka lebih memilih kepada sosialitas.
3. Kehidupan sufi sekarang banyak yang lebih tercurahkan pada soal-soal
keimanan, akhlaq dan aspek-aspek sosial. Bukan hanya soal-soal ritual
muamalah dan ibadah mudhah secara tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Ali. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Surbaya: Visi 7.
Jamil, M.. 2004. Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas.
Jakarta: Gaung Persada Press.
Muhayya, Abdul, dkk. 2001. Tasawuf dan Krisis. Semarang : Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun.. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam.:.
Natta, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
Shihab, Alwi. 2009. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf di
Indonesia. Depok : Pustaka IIMaN.
Solohin, M., Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu.