maqamat dan ahwal

27
Makalah MAQAMAT DAN AHWAL Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Barizi, MA Disusun oleh : 1. Anis Fathona Himda (09610112) 2. Zahrotul Mufidah (09610113) 3. Dian Alvy Pratiwi (09610115) 4. Sukris Tri Handayani (09610116) JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

Upload: anis-fathona-himda

Post on 29-Dec-2014

193 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

maqam dan ahwal

TRANSCRIPT

Page 1: Maqamat Dan Ahwal

Makalah

MAQAMAT DAN AHWAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf

Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Barizi, MA

Disusun oleh :

1. Anis Fathona Himda (09610112)

2. Zahrotul Mufidah (09610113)

3. Dian Alvy Pratiwi (09610115)

4. Sukris Tri Handayani (09610116)

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2010

Page 2: Maqamat Dan Ahwal

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Maqamat dan ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf.

Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam

berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu

yang ada di jagad raya ini. Bahkan menurut Khaja Khan, dua term tersebut

berfungsi untuk mematahkan ketergantungan kepada sesuatu selain Dzat Allah

dan untuk mencapai kebersatuan dengan sang Khalik.

Dengan itu maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal

para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar

kembali pada cahaya Tuhan. Dalam konterks ini, Abu Yazid al-Bustami (874-947

M) dalam suatu kesempatan pernah bertanya kepada Tuhan tentang jalan menuju

kehadirat-Nya. Tuhan menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah”. Tinggalkan

diri sendiri berarti seseorang mesti terbebas dari keinginan dan hawa nafsu

pribadinya dan datang memiliki pengertian bahwa seorang sufi mengikuti

keinginan dan iradah Tuhan. Maka dari itu, para sufi telah menciptakan jalan

spiritual untuk merangkai hubungan dengan sang Tuhan yang disebut maqamat.

Pada sisi lain ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di

tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu.

Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik

dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya. Selain itu, mereka juga pasti

akan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat (qurb), rasa

cinta (muhabbah), harap-harap cemas (raja’), tentram (tuma’ninah) dan rasa

yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut dinamakan ahwal.

B. RUMUSAN MASALAH

Runusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah :

1. Apakah pengertian maqamat?

2. Apakah pengertian ahwal?

3. Apakah ada keterkaitan antara maqamat dan ahwal?

Page 3: Maqamat Dan Ahwal

C. TUJUAN PEMBUATAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Mengetahui pengertian maqamat

2. Mengetahui pengertian ahwal

3. Mengetahui keterkaitan antara maqamat dan ahwal.

Page 4: Maqamat Dan Ahwal

BAB II

PEMBAHASAN

A. MAQAMAT

a) PENGERTIAN MAQAMAT

Maqam yang arti dasarnya “tempat berdiri”, dalam terminologi sufis

berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri

menghadap-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup

kerohanian (riyadlah), memerangi hawa nafsu (mujahaddah) dan melepaskan

kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan

pendapat al-Qusairi (376-465 H) pada hamba Allah berkat ketinggian adab sopan

santunnya yang dihasilkan dengan kerja keras.

Menurut Al-Thusi (1200-1273 M), “ Kedudukan hamba di hadapan Allah

yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa

nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga

semata-mata untuk berbakti kepada-Nya”.

b) URUTAN MAQAMAT MENURUT BEBERAPA SUFI

a. Al-Qusyairi (376-465 H)

Al-Qusyairi dalam bukunya Ar Risalah Al Qusyairiyah, urutan maqom adalah

sebagai berikut1:

1. Taubah 4. Syukur

2. Mujahadah 5. Sabar

3. Khalwat

1 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia , 2008), hlm. 76.

Page 5: Maqamat Dan Ahwal

b. Al-Thusi (1200-1273 M)

Menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam kitabnya al-Luma` menyebutkan

jumlah maqamat ada tujuh2, yaitu:

1. Al-Taubah

2. Al-Wara’

3. Al-Zuhud

4. Al-Faqr

5. Sabar

6. Al-Tawakkal

7. Al-Ridha

c. Al-Ghazali (450-505 H)

Bagi al-Ghazali, seluruh dari tingkatan-tingkatan keagamaan (maqamat

ad-din) terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu pengetahuan (ma’rifat), keadaan

(ahwal), dan tindakan (a’mal). Ilmu pengetahuan merupakan basis dari keadaan

yang keadaan tersebut mengantarkan seseorang untuk berbuat dalam tindakan.

Maqamat menurut Al-Ghazali ada sepuluh, urutannya sebagai berikut3:

1. Taubah 6. Zuhud

2. Sabar 7. Al-‘isyq

3. Syukur 8. Mahabbah

4. Raja’ 9. Al-Uns

5. Khauf 10. Ridha

2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 194.3 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), hlm. 47.

Page 6: Maqamat Dan Ahwal

d. Al-Kalabadzi ( wafat 390 H)

Menurut Al-Kalabadzi dalam bukunya At Ta’rif Limadzhab At Tasawuf.

Menjadikan Taubat sebagai kunci ketaatan yang disusul dengan zuhud, sabar,

faqr, tawadhu’, khauf, taqwa, ikhlash, syukur, tawakkal, ridha, yakin, dzikir, uns,

qarrub, dan mahabbah4.

c) URUTAN MAQAMAT SECARA UMUM

Secara umum maqamat yang dijalani oleh para sufi antara lain taubat,

wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha.

Penjelasan maqamat di atas adalah:

1. Taubat

Taubat secara umum diartikan memohon ampun atas segala dosa dan

kesalahan-kesalahan yang dilakukan, serta berjanji secara sungguh-sungguh untuk

tidak mengulanginya dan disertai dengan melaksanakan amal-amal shomaksudleh.

Dua macam taubat dalam tasawuf menurut Dzu al-Nun al-Mishri (180-246 H),

keduanya yaitu taubat orang awam dan taubat orang khawash5.

Bagi orang awam taubat merupakan perbuatan penyesalan atas dosa yang

telam mereka lakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, dan

dikemudian harinya diisi dengan hal-hal terpuji dan amal shaleh. Dalam konteks

ini, dosa diartikan sebagai pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah dan

larangan Tuhan.

Bagi kehidupan para sufi atau khawash, taubat merupakan penyesalan atas

dosa-dosa yang mereka lakukan berupa kelalaian mengingat Tuhan (ghaflah).

Karena mereka berpandangan bahwa seseorang tidak akan melakukan

kemaksiatan jika ia benar-benar mengingat Tuhan.

4 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS , (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 76.

5 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), hlm. 48.

Page 7: Maqamat Dan Ahwal

Syarat-syarat taubat adalah sebagai berikut:

1) Bersungguh-sungguh

2) Berhenti sejenak

3) Berjanji untuk tidak mengulangi

Dalam surat An-Nur yang artinya: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai

orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur:31).

2. Zuhud

Istialah ini dapat diartikan sebagai meninggalkan kehidupan dunia dan

sepenuhnya berkonsentrasi pada urusan akhirat. Seorang yang menjalani zuhud

disebut zahid.

Al-Ghazali (450-505 H) mengartikan zuhud sebagai kelakuan di mana

seseorang itu menjauhi urusan dunia, mengurangi keterikatannya terhadap dunia

dan hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh dan didasarkan kerena

kecintaannya kepada Allah semata6. Sedangkan Al-Qusyairi (376-465 H)

mengartikan zuhud sebagai sikap dimana menerima segala kenikmatan yang telah

diterimanya7.

Berdasarkan maksud dari pengertiannya tersebut, zuhud dibagi atas tiga

tingkatan, diantaranya yaitu (mulai dari terendah ke yang tertinggi) 8:

1. Menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.

2. Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.

3. Mengucilkan dunia bukan karena takut terhadap Allah tetapi karena

cinta kepada Allah.

6 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS , (Bandung: Pustaka Setia, 2008) , hlm. 79.

7 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 79.

8 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 79.

Page 8: Maqamat Dan Ahwal

3. Faqr (butuh akan akhirat)

Faqr dapat diartikan sebagai rasa puas terhadap apa yang telah didapat dan

tidak sekalipun menuntut lebih atas apa yang telah didapatnya.Tidak meminta

walau tidak mempunyai apa-apa, namun tidak juga menolak jika diberi. Dengan

sikap ini akan terhindar dari sifat serakah.

4. Wara’

Wara’ secara lughah berarti hati-hati. Berhati-hati dalam menentukan

suatu hukum, terhindar dari syubhat dan menjauhkan diri dari perkara yang

haram.

Menurut ulama sufi, wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu keragu-

raguan antara halal dan haram yaitu syubhat. Karena suatu perbuatan yang haram

akan dapat mematikan hati sehingga jauh dari Allah.

Ibrahim bin Adham (wafat, 777 M) mengatakan wara’ adalah

meninggalkan setiap yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu,

yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan. Dalam artian bukan hanya

kesyubhatan saja yang harus ditinggalkan namun suatu hal apapun yang berupa

kenikmatan yang halal yang dianggap tidak bermanfaat.

Sabda Rasul SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

را من ا ستبر ا فقد الشبهات من اتقى فمن م حلا

Artinya:

“Maka siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia terbebas dari

yang haram”. (HR. Bukhori)

Page 9: Maqamat Dan Ahwal

5. Sabar

Sabar merupakan sifat yang tidak dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu. Di

mana seseorang tersebut tidak tergoda oleh apa pun yang diperintahkan oleh hawa

nafsu. Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H), sabar adalah tetap tegaknya

dorongan agama yang berhadapan dengan dorongan hawa nafsu.

Sabda Rasulullah, sabar adalah cahaya. Cahaya di sini adalah cahaya hati

yang tidak terkontaminasi oleh suatu apapun, yang bisa membedakan mana jalan

yang sesat dan mana jalan yang benar, dan ini merupakan hidayah atau petunjuk

Allah.

Sabar ada tiga macam, yang pertama sabar terhadap maksiat, kedua sabar

terhadap musibah, ke tiga sabar dalam menjalankan ibadah.

6. Tawakkal

Tawakkal adalah sikap pasrah terhadap keputusan yang diputuskan oleh

Allah. Menurut Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981 M), tawakkal itu menyerahkan

segala keputusan dan persoalan, ikhtiar dan usaha kepada Allah Ta’ala yang kuat

dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya. Tawakkal merupakan salah satu

sikap muslim yang merupakan hasil dari keyakinan hati yang kuat terhadap Allah.

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, dalam segi bahasanya, tawakkal berarti

perwakilan9. Dalam menjalani kehidupan yang fana ini kita seorang muslim

hendaknya bertawakkal kepada Allah. Semua urusan dunia maupun akhirat

harusnya kita pasrahkan kepada Allah. Sebagaimana kata-kata yang dipegang

manusia, manusia yang berusaha dan Allah yang menentukan. Namun jika belum

berikhtiar sama sekali dan langsung bertawakkal, maka itu sama dengan kosong10.

Tidak pada tempatnya.

9 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 118.10 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, ( Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 118.

Page 10: Maqamat Dan Ahwal

Pada Surah Al-Muzammil ayat 9, yang artinya:

“Dialah Tuhan masyrik dan maghrib, Tuhan hanya Dia. Maka ambillah

(jadikanlah) Dia sebagai pelindung.”

Hatim Al-Hasan11, meyakini empat bekal untuk bertawakkal kepada

Allah12, yaitu:

1. Keyakinanku bahwa dunia dan seisinya adalah milik Allah.

2. Semua makhluk akan ku anggap hambanya.

3. Segala daya dan upaya hanyalah penyebab saja, sedangkan rejeki

urusannya di tangan Tuhan.

4. “Aku yakin: Ketentuan-Nya pasti berlaku bagi setiap makhluk”.

Sabda Rasulullah, “ Apabila kalian berserah diri kepada Allah dengan

sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan rizki kepadamu, seperti Dia

memberikan rizki kepada burung. Pada waktu fajar brung-burung keluar dari

sarangnya dengan perut lapar. Senja hari ketika mereka kembali ke sarangnya

dengan perut kenyang.”

Sebagaimana Luqman Al-Hakim13, berpesan kepada anaknya, tentang

enam perkara, diantaranya yaitu14:

1. Janganterlalu sibuk dengan urusan duniawi, kecuali sekedar mencukupi

kebutuhanmu untuk menyambung sisa umurmu.

2. Sembahlah Tuahanmu menurut hajatmu kepada-Nya.

3. Kerjakanlah sesuatu untuk akhirat sesuai dengan keinginanmu, untuk

bermukin disana.

11 Seorang ulama sufi yang hidup pada periode Madzhab Arba’ah.

12 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 120.13 Beliau bukan nabi dan juga bukan rasul, orang yang dimuliakan oleh Allah dan diabadikan

namanya dalam Al-Qur’an.

14 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 121.

Page 11: Maqamat Dan Ahwal

4. Berusahalah untuk membebaskan dirimu dari api neraka, selama engkau

masih ragu jika engkau tak bebas dari neraka.

5. Jika engkau kuat menghadapi siksa Allah maka berbuatlah maksiat.

6. Berbuatlah maksiat jika engkau mampu mencari tempat yang ama dari

pengelihatan Allah dan malaikat-Nya.

Dunia yang hanya sementara jangan sampai dijadian tujuan utama dalam

menjalani hidup yang hanya singkat ini, Kita harus bertawakkal kepada-Nya.

7. Ridha

Jika seseorang sudah sampai pada tingkatan ini maka dia akan selalu

merasa senang dan menerima pada semua yang diputuskan oleh Allah. Ketika

manusia ridha, maka mereka akan dapat mengambil hikmah dan sisi kebaikan

dibalik semua permasalahan yang diberikan oleh Allah. Bahkan mereka mampu

melihat keagungan , kekuatan, kekuasaan dan keMahabesaran Allah.

Dan hanya orang yang ahli makrifat dan mahabbah yang mampu bersikap

seperti ini15, karena mereka merasakan musibah dan cobaan sebagai suatu nikmat,

sebagai media pertemuan mereka dengan sang Khaliq yang dirindukannya.

Jika telah sampai pada Ridha maka dia akan sampai pada mahabbah orang

biasa.

B. AHWAL

1. PENGERTIAN AHWAL

Ahwal yaitu keadaan yang meyentuh hati, berlangsung sekejap dan tidak

menetap. Menurut al-Jurjani (400-471 H), ahwal dapat berarti sebagai berikut.

“Ahwal ialah makna atau kesan yang menyentuh hati begitu saja tanpa dibuat-

15 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 82.

Page 12: Maqamat Dan Ahwal

buat, tanpa penyebab, dan tanpa diusahakan. Sentuhannya mengakibatkan

perasaan-perasaan seperti haru, bahagia, sedih, senang, sesak, pengap, resah,

segan dan sebagainya. Perasaan tersebut segera menghilang apabila sifat-sifat jiwa

muncul. Sifat-sifat yang kemudian terbentuk, akibatnya silih bergantinya perasaan

yang disebabkan oleh kesan yang menyentuh hati dan menjadi bagian kemampuan

diri, dinamakan maqam. Dengan demikian, maqamat adalah hasil usaha dan

ahwal adalah anugerah atau ahwal berasal dari Sang Sumber Kedermawanan dan

maqamat terjadi atas upaya yang dilakukan.”

Dapat dikatakan pula Hal merupakan keadaan seorang sufi ketika

menapaki maqamat.

2. MACAM AHWAL DALAM PERJALANAN SUFI

Hal-hal atau ahwal yang sering dilaksanakan oleh seorang sufi adalah

muhasabah dan muraqabah, qarb, mahabbah, khouf, raja’, syauq, uns,

thuma’ninah, musyahadah dan yaqin.

a. Muhasabah dan muraqabah

Menurut arti lughawinya muhasabah dan muraqabah adalah waspada dan

mawas diri. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Dalam hal

ini manusia harus menanamkan keyakinan dimana Allah Sang Khaliq selalu ada

mengawasi tingkah polah yang dilakukan oleh manusia, dari segi lahir maupun

batin. Menurut Imam Qusyairi (376-465 H) muraqabah adalah hamba Allah yakin

seyakin-yakinnya bahwa Tuhan selalu melihatnya16.

Muraqabah dibagi menjadi tiga tingkatan17, yaitu:

a) Muraqabah Al-qalbi, yaitu kewaspadan dan peringatan terhadap hati, agar

tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah.

b) Muraqabah Al-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar

selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.

16 Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 102.17 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998), hlm. 218.

Page 13: Maqamat Dan Ahwal

c) Muraqabah Al-sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap sirr

(rahasia) agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki

adabnya.

b. Qarb

Istilah ini berarti mendekat. Dalam hal ini mendekat kepada Allah. Lebih

agresif unutk mencapai pendekatan sedekat-dekatnya kepada Allah.

c. Mahabbah

Berasal dari kata, ahabba, yuhibbu, mahabbatan. Secara harfiah berarti

rasa cinta yang mendalam. Dapat diartikan pula –dalam Mu’jam al-Falsafi, oleh

Jamil Shaliba18- yang sangat kasih atau penyayang19. Mahabbah ini bertujuan

memperoleh kebutuhan yang bersifat material juga spiritual, sebagaimana rasa

kasmaran yang dialami oleh manusia seperti biasanya.

d. Khauf

Menurut arti harfiahnya berarti takut. Dapat diartikan pula takut terhadap

siksa Allah.

Khauf ini dapat dijadikan sebagai penggiringan perbuatan manusia menuju

kepada amal shaleh agar para hamba dapat mendekat kepada Tuhannya. Khauf

juga merupakan sarana untuk mendorong diri agar lebih tekun dalam menjalankan

perintah-Nya. Juga dapat mencegah terjadinya perbuatan maksiat yang dapat

dilakukan oleh hamba-Nya.

Rasulullah bersabda, yang artinya:

“Orang beriman itu berada di antara dua ketakutan, yaitu antara ajal terdahulu,

tidak tahu persis apa tindakan Allah baginya. Dan ajal mendatang, juga tidak tahu

persis bagamana keputusan Allah terhadapnya. Oleh sebab itu seseorang wajib

berbekal amal shaleh demi keselamatan dirinya, dan dari dunia untuk akhirat, dari

hidup untuk matinya. Maka demi Allah yang jiwa Muhammad di bawah tangan-

18 Penulis buku Al-Falsafah Al-Arabiyah

19 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 207.

Page 14: Maqamat Dan Ahwal

Nya: sesudah mati, tiada kesempatran istighfar dari dosa, dan tiada tempat di sana

kecuali surga dan neraka”. (HR. Hasan Basri dari Jabir RA)

Menurut Imam Alghazali (450-505 H) khauf terbagi menjadi dua macam20,

yaitu khauf karena khawatir kehilangan nikmat yang membuat orang untuk

memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut pada tempatnya. Kedua, khauf

kepada siksaan karena kemaksiatan yang dilakukan. Hal inilah yang mendorong

manusia untuk bertaqwa kepada Tuhannya.

e. Raja’

Raja’ secara umum berarti berharap atau optimisme. Yaitu perasaan yang

senantiasa berharap sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja’ akan

mendorong seseorang untuk ta’at kepada Tuhannya serta mencegah dari

kemaksiatan.

Raja’ menuntut tiga perkara21,diantaranya yaitu:

1. Cinta kepada apa yang diharapkannya.

2. Takut harapannya itu hilang.

3. Berusaha untuk mencapainya.

Raja’ tanpa dibarengi dengan tiga perkara di atas maka semua hal yang dia

harapkan akan menjadi sebuah ilusi dan khayalan belaka.

f. Syauq (rindu)

Di sini diartikan sebagai rindu akan pertemuan dengan Allah, sebagai yang

dicinta. Selama masih ada kata-kata cinta dalam hatinya, maka masih tersimpan

pula yang namanya Syauq.

20 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), hlm. 60.21 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan

PTAIS , (Bandung:Pustaka Setia , 2008), hlm. 85.

Page 15: Maqamat Dan Ahwal

Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H), rindu kepada Allah dapat

dijelaskan melalui pendefinisian cinta yang sebenarnya kepada Allah22. Ketika

belum bertemu dengan yang dicntainya dan yang dicintainya belum berada di

hadapannya, maka rindi itu akan memabukkannya. Pasti selalu merindukan yang

dicintainya.

g. Uns

Menurut para kaum sufi uns diartikan sebagai selalu berteman dan tak

pernah merasa sepi23. Seperti halnya ketika berada di tempat yang ramai tetapi

jiwa mereasa sepi, sebab selalu memikirkan yang dicintanya. Da ketika berada di

kesepian yang dirasakan adalah keramaian, sebab selalu memikrkan rencana-

rencana untuk bertemu dengan yang dicintainya.

Ini menunjukkan keakraban dan nilai kedekatan dengan Tuhan yang selalu

dicintanya. Seseorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan,

kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang begitu dalam. Kondisi kejiwaan

seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan sedekat-dekatnya

dengan Allah. Hati dan perasaannya diselubungi oleh cinta yang begitu

mendalam. Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi misalnya ketika

menikmati keindahan panorama alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan

suara. Pengalaman yang seperti ini akan berbeda antar individu sufi.

h. Thuma’ninah

Dalam sholat thuma’ninah berarti berhenti sejenak. Dalam konteks ini

thuma’ninah berarti keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang merusak

hati itu sendiri.

22 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 86.

23 M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS, (Bandung:Pustaka Setia , 2008), hlm. 86.

Page 16: Maqamat Dan Ahwal

Di dasarkan atas firman Allah SWT, yang artinya: “Wahai jiwa yang

tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridlai-Nya.

Masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”

(QS Al-Fajr: 27-30).

Ibnu Qayim (691 H/1292 M – 751 H/1350 M) membagi tuma’ninah dalam

tiga tingkatan:

1. Ketenangan hati dengan mengingat Allah.

2. Ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas

penantian.

3. Ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya.

i. Musyahadah

Musyahadah berarti bersaksi. Bersaksi atas keberadan Allah dan Rasul-

Nya. Dengan berucap dua kalimat syahadah disertai dengan iman. Dalam hal ini

musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan. Orang yang

berada pada puncak musyahadah hatinya senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya

ketuhanan, ibarat cahaya matahari yang tiada hentinya menyinari bumi.

j. Yaqin

Menurut arti bahasanya, yaqin bermakna mempercayai. Dalam konteks ini

yaqin adalah, mempercayai terhadap segala sesuatu yang diberi oleh Allah

merupakan anugrah yang tak ternilai harganya. Meyakini keberadaan Allah

sebagai wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Lebih tegasnya yakin

adalah memantapkan hati kepada yang Maha Pencinta.

C. KETERKAITAN MAQAMAT DAN AHWAL

Menurut Ibn ‘Arabi (560-638 H), kesan yang bersifat temporal adalah ciri

khusus ahwal, sedang potensi yang menjelma menjadi sifat adalah ciri khusus

maqamat. Hakikat keduanya ditentukan oleh niat dan istiqamah dalam

Page 17: Maqamat Dan Ahwal

mempraktikkan keutamaan. Allah Swt menganugerahkan maqamat kepada jiwa

melalui praktik keutamaan, meski Dia sesungguhnya Mahakuasa menentukan

apakah akan memberi (atau tidak) anugerah yang dapat memungkinkan hamba

melakukan perbuatan baik.

Keterkaitan maqamat dan ahwal bersifat integral sehingga gejala ahwal

yang terlihat pada sebagian orang terkadang dinilai sebagai gejala maqamat dalam

pandangan orang lain. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa ahwal itu sendiri

dapat dapat berkembang menjadi maqamat. Dinamakan ahwal karena fungsinya

mentransformasikan hamba dari posisi jauh dari Tuhan untuk dekat kepada-Nya,

sedangkan maqamat pada dasarnya adalah cara yang ditempuh untuk

mendapatkan anugerah-anugerah Ilahi tersebut.

Secara historis konsep muqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali

pada abad pertama Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua term tersebut

adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib ketika

ditanya, “Apa makna iman?” Beliau menjawab,”Iman dibangun atas empat pilar,

yaitu ketabahan, keyakina, keadilan, dan perjuangan.” Kemudian ‘Ali bin Abi

Thalib menguraikan makna masing-masing hingga membentuk sepuluh bentuk

kedudukan hamba.

Maqamat dan ahwal, menurut kaum sufi, masing-masing, memiliki

peringkat tertentu dan setiap peringkat didasarkan kepada Al-quran dan Sunnah.

Kenyataan ini membuktikan bahwa sumber-sumber disiplin tasawuf yang satu ini

adalah bersifat murni dari Islam. Dengan demikian, setiap pandangan yang

berupaya mencarikan sumber-sumber lain kiranya tidak beralasan.

Page 18: Maqamat Dan Ahwal

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Maqamat dan ahwal tidak dapat terpisahkan, keduanya memiliki

hubungan yang erat. Jika sedang bermaqamat maka akan merasakan yang

namanya ahwal.

2. Perjalanan maqamat dan ahwal para sufi pada zaaman dahulu dengan

sekarang sangatlah berbeda. Mereka menjalankan unsur yang terdapat

dalam maqamat dan ahwal tidak secara kontekstual, namun tersesuaikan

dengan keadaan sekarang. Mereka lebih memilih kepada sosialitas.

3. Kehidupan sufi sekarang banyak yang lebih tercurahkan pada soal-soal

keimanan, akhlaq dan aspek-aspek sosial. Bukan hanya soal-soal ritual

muamalah dan ibadah mudhah secara tradisional.

Page 19: Maqamat Dan Ahwal

DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Ali. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Surbaya: Visi 7.

Jamil, M.. 2004. Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas.

Jakarta: Gaung Persada Press.

Muhayya, Abdul, dkk. 2001. Tasawuf dan Krisis. Semarang : Pustaka Pelajar.

Nasution, Harun.. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam.:.

Natta, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.

Shihab, Alwi. 2009. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf di

Indonesia. Depok : Pustaka IIMaN.

Solohin, M., Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.

Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu.