makalah pengayaan jurnal pengendalian hama …€¦ · makalah pengayaan jurnal pengendalian hama...
TRANSCRIPT
MAKALAH PENGAYAAN JURNAL
PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO
DENGAN PESTISIDA NABATI, AGENS HAYATI (Beauvaria
basssiana), DAN FEROMON SEKS
OLEH:
BABY IVORY CH SIREGAR
(01.4.3.16.0382)
JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN (POLBANGTAN) MEDAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt atas limpahan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao Dengan Pestisida Nabati, Agens Hayati
(Beauvaria Basssiana), Dan Feromon Seks. Makalah ini berisi pengendalian hama
penggerek buah kakao tanpa menggunakan pestisida sintetik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak DR. Iman Arman,SP, MM
selaku dosen pengampu dan ibu Yenny Laura Butarbutar, SP, MP selaku asisten
dosen mata kuliah Teknologi Informasi Penyuluhan Pertanian yang telah banyak
memberikan ilmu, keterampilan, dan wawasan selama proses pembelajaran.
Penulis pun menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan penulis
buat di masa mendatang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh para pembaca. Penulis
mohon maaf jika terdapat kata – kata yang kurang berkenan.
Medan, Maret 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Tujuan .......................................................................................................... 2
C. Manfaat ........................................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hama Penggerek Buah Kakao ..................................................................... 4
B. Pestisida Nabati ............................................................................................ 5
C. Agen Hayati (Beauvaria basssiana) ............................................................ 6
D. Feromon Seks............................................................................................... 9
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao dengan Pestisida Nabati ....... 11
B. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao dengan Beauvaria bassiana .... 14
C. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao dengan Feromon Seks .................... 20
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................................... 24
B. Saran ............................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Rata-rata persentase buah yang terserang hama PBK ( % ) .......................... 11
2. Rata-rata intensitas kerusakan pada biji kakao (%) ...................................... 13
3. Rata-rata intensitas kerusakan pada biji kakao (%) ...................................... 17
4. Pengaruh konsentrasi B.bassiana terhadap presentase penurunanan buah
terserang penggerek buah kakao pada berbagai interval waktu aplikasi ...... 18
5. Pengaruh konsentrasi B.bassiana terhadap presentase penurunan intensitas
serangan penggerek buah kakao pada berbagai interval waktu aplikasi ....... 19
6. Pengaruh konsentrasi B.bassiana terhadap selisih presentase penurunan berat
biji buah kakao pada berbagai interval waktu aplikasi ................................. 20
7. Pengamatan tangkapan serangga PBK .......................................................... 21
8. Kategori serangan kerusakan buah panen pertama ....................................... 22
9. Kategori serangan kerusakan buah panen kedua........................................... 23
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kakao (Theobromma cacao L.) merupakan salah satu tanaman komoditas
perkebunan yang peranannya cukup penting bagi Indonesia. Kakao berasal dari
daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di Indonesia, kakao merupakan salah
satu komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan
devisa Indonesia. Indonesia sendiri merupakan produsen utama kakao dunia. Lahan
kakao tersebar di berbagai wilayah. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2015),
data statistik perkebunan Indonesia komoditas kakao tahun 2014 menunjukan jumlah
luas areal kakao sebesar 1.722.437 Ha dengan jumlah produksi kakao sebesar
728.414 ton.
Produksi kakao di Indonesia diharapkan terus meningkat. Namun, dalam
budidayanya banyak faktor yang dapat menghambat produksi kakao salah satunya
ialah permasalahan serangan organisme pengganggu tanaman. Permasalahan utama
pada tanaman kakao salah satunya ialah hama penggerek buah kakao
(Conopomorpha cramerella). C.cramerella merupakan salah satu penyebab utama
penurunan produksi dan mutu biji kakao Indonesia, bahkan di seluruh negara
penghasil kakao. Kerusakan yang ditimbulkannya buah menjadi tidak berkembang,
berubah warna menjadi kuning kecoklatan, dan akhirnya biji saling melekat di
dalamnya mengakibatkan penurunan jumlah dan mutu hasil. Serangan hama tersebut
mengakibatkan penurunan produktivitas biji kakao karena mutu biji kakao kurang
baik mencapai 90%, sekitar 60.000 ton per tahun (Anshary, 2009).
PBK ini sangat sulit dikendalikan karena larva masuk kedalam buah kakao buah
kakao dan merusak plasenta dalam buah sehingga biji kakao menjadi hampa dan
mengeras. Menurut Posada et al (2010) hama PBK C.cramerella Selain menyerang
tanaman kakao, juga menyerang tanaman rambutan (Nephelium lappaceum), pulasan
(Nephelium mutabile), kasai (Potemia pinnata),cola(Cola nitida, C. acuminate), dan
namnam (Cynometracauliflora). Upaya penanggulangan akibat serangan serangga C.
cramerella telah banyak dilakukan, seperti penggunaan pestisida (Saenong 2007).
2
Perkebunan di Indonesia telah berupaya melakukan tindakan pengendalian
penggerek buah kakao. Tindakan yang telah dilakukan oleh perkebunan ialah
menggunakan insektisida sintetik sebagai upaya pengendalian hama penggerek buah
kakao. Namun, penggunaan insektisida sintetik secara terus-menerus dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada lahan dan terjadinya resistensi
hama. Hama yang telah resisten terhadap insektisida sintetik akan lebih tahan
terhadap petisida sehingga menyebabkan terjadinya peledakan populasi hama.
Pemerintah pun telah memberikan peraturan untuk meminimalkan penggunaan
insektisida sintetik sintesis di masyarakat melalui Peraturan Menteri Pertanian No.
24/Pemertan/SR. 140/4/2011 pada tanggal 8 april 2011 tentang larangan penggunaan
42 jenis pestisida jenis bahan aktif pestisida sintesis termasuk dieldrin, endosulfan,
dan klordan (Ditjen Prasarana dan Sarana Pertaian, 2012).
Penggunaan pestisida organik sintetik tersebut telah terbukti menimbulkan
berbagai dampak negatif seperti : resistensi, resurgensi, terbunuhnya musuh alami
(agen pengendali hayati) dan pencemaran lingkungan. Adanya residu pestisida pada
produk pertanian termasuk biji kakao akan menyebabkan keracunan pada manusia
dan hewan piaraan dan terjadinya bahaya lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
antara lain yang mendorong para ahli untuk kembali kepada pemanfaatan pestisida
nabati (Saxena, 1982).
Pengendalian penggerek buah kakao juga dapat menggunakan agens hayati. Agens
hayati tersebut telah banyak dilaporkan efektif mengendalikan serangga hama pada
beberapa tingkat perkembangan serangga mulai dari telur, larva, pupa, hingga imago
(Trizelia dkk., 2007). Selain itu, pemanfaatan agens hayati tidak memberikan dampak
buruk bagi lingkungan dan tidak menyebabkan resistensi terhadap serangga hama.
Namun, pemberian agens hayati tersebut harus tepat dosis dan tepat waktu agar di
dapat hasil yang baik untuk pengendalian hama penggerek buah kakao. Agens hayati
telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatasi permasalahan gangguan
tanaman akibat serangan organisme pengganggu tanaman. Hal tersebut berkaitan
dengan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan dan dampak negatif
penggunaan bahan aktif berbahaya di lingkungan. Tindakan pengendalian organisme
2
pengganggu tanaman secara hayati berkembang dengan adanya faktor pendorong
akibat semakin tingginya harga insektisida sintetik. Adanya kesadaran masyarakat
tersebut saat ini telah banyak dimanfaatkan sebagai tindakan pengendalian yang
efektif dan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Agen hayati yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat ialah Beauveria bassiana (Bals.) (Sukamto dkk,
2006).
Salah satu pengendalian hama PBK yang lain yaitu pengendalian dengan
feromon seks yang aman terhadap lingkungan. Menurut Witjaksono (2007) Feromon
seks yang pernah digunakan dan berhasil diidentifikasi sebagai (E.Z.Z)-4,6,10
hexadecatrienylacetale dan E.Z.Z. isomemya beserta alkohol dan hexadecyl alcohol.
Teknologi pengendalian PBK dengan feromon seks merupakan pengendalian dengan
pendekatan ramah lingkungan dan mudah dilakukan petani, sehingga penggunaan
insektisida yang berlebihan ditingkat petani dapat dihindari. Teknologi ini terdiri dari
komponen rumah perangkap, lem perangkap dan feromon seks. Teknologi ini
termasuk komponen pengendalian yang sederhana, efektif serta dapat dipadukan
dengan komponen pengendalian PBK lainnya.
B. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah pengayaan jurnal ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Informasi Pertanian.
2. Untuk mengetahui teknologi pengendalian hama penggerek buah kakao.
3. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dengan pemberian pestisida nabati, agens
hayati, dan feromon seks terhadap intensitas serangan oleh hama penggerek buah
kakao
4. Untuk mengetahui teknologi yang paling baik antara penggunaan pestisida
nabati, agens hayati, dan feromon seks dalam pengendalian hama penggerek
buah kakao.
3
C. Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah pengayaan jurnal ini adalah:
1. Agar mengetahui teknologi pengendalian hama penggerek buah kakao.
2. Agar mengetahui pengaruh perlakuan dengan pemberian pestisida nabati, agens
hayati, dan feromon seks terhadap intensitas serangan oleh hama penggerek buah
kakao
3. Agar mengetahui teknologi yang paling baik antara penggunaan instektisida
nabati, agens hayati, dan feromon seks dalam pengendalian hama penggerek
buah kakao.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hama Penggerek Buah Kakao
Komoditas perkebunan yang menjadi agroindustri salah satunya ialah kakao.
Kakao memiliki nilai ekonomi karena bijinya yang diolah menjadi coklat. Biji kakao
inilah yang diperdagangkan baik lintas negara maupun dalam negeri. Permintaan biji
kakao dalam negeri maupun ekspor semakin meningkat. Peningkatan permintaan
konsumen ini diimbangi dengan pengembangan budidaya kakao di Indonesia.
Pengembangan dilakukan untuk terus memperbaiki kondisi pertanaman kakao.
Kondisi tersebut mencakup kegiatan budidaya kakao mulai dari hulu hingga hilir. Biji
kakao berkualitas baik diekspor ke berbagai negara misalnya Brazil, Perancis,
Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat (Departemen Perindustrian, 2007).
Kualitas ekspor biji kakao dipengaruhi oleh cara pengolahan kakao pasca
panen maupun budidaya kakao di lahan. Budidaya kakao di lahan, kegiatan yang
perlu diperhatikan sebagai pendukung keberhasilan produksi biji ialah kegiatan
pengendalian tanaman dari serangan OPT. Kegiatan tersebut dilakukan untuk
melindungi tanaman kakao dari serangan OPT. Serangan OPT yang sering
menggangu dan dapat menurunkan hasil produksi kakao ialah hama C.cramerella
atau yang sering disebut dengan penggerek buah kakao (PBK ). Hama tersebut
menurunkan produksi kakao hingga 90%. Hal tersebut mengakibatkan kerugian atau
kehilangan hasil produksi kakao 60.000 ton per tahun (Anshary, 2009).
Serangan hama C.cramerella sangat merugikan produksi biji kakao karena
serangan hama tersebut menggerek buah kakao hingga menuju biji. akibatnya pulp,
plasenta, maupun saluran makanan yang menuju biji tidak dapat berfungsi dengan
baik. Terutama kerusakan pada plasenta mengakibatkan kerusakan seluruh biji pada
kolven sehingga tidak dapat berkembang. Sedangkan kerusakan pada pulp
menyebabkan biji kakao saling melekat satu sama lain dan melekat pada dinding
dalam buah kakao (Depparaba,2002).
5
Hama C.cramerella disebut sebagai serangga endemik, karena selalu berhasil
beradatasi pada kakao kemudian menyebar dan tetap hidup di sekitar wilayah
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa serangga C.cramerella ada di berbagai daerah.
Setelah penggerek mampu beradaptasi, penggerek berkembang biak. Siklus hidup
C.cramerella terdiri dari stadium telur, larva, pupa, dan imago dengan perkiraan
siklus telur3-7 hari, larva 15-18 hari, pupa 6-8 hari, dan imago (ngengat) 3-7 hari.
Telur berbentuk oval dn berwarna kuning oranye pada saat baru diletakkan. Panjang
telur 0,45-0,50mm dan lebar 0,25-0,30 mm. Larva yang baru saja keluar dari telur
berwarna putih transparan dengan panjang 1 mm hingga 12 mm berwarna hijau
muda. Pupa berwarna kecoklatan dengan panjang 7-8 mm lebar 1 mm. Serangga
dewasa (ngengat) memiiki panjang tubuh 7 mm dan lebar 2 mm. Rentang sayap
depan 12 mm. Warna dasar ngengat kecoklatan dengan warna pola zig-zag berwarna
putih sepanjang sayap depan dan spot oranye pada ujung sayap. Staidum serangga
C.cramerella ynag menyebabkan kerusakan berat ialah stadium larva atau ulat. Larva
tersebut masuk ke dalam buah kakao. Apabila buah dibelah, telihat alur bekas
gerekan larva. (Siswanto dan Karmawati, 2012).
B. Pestisida Nabati
Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan karena terbuat dari bahan-bahan alami, maka jenis pestisida ini mudah
terurai di alam sehingga residunya mudah hilang sehingga relatif aman bagi manusia.
Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisidan antara lain mimba,
tembakau, mindi, srikaya, mahoni, sirsak, tuba, dan juga berbagai jenis gulma seperti
babadotan (Samsudin, 2008 dalam Sinaga R,2009)
Pestisida nabati bersifat non persisten di alam sehingga diharapkan
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida
nabati dapat dipadukan dengan teknik pengendalian lainnya yang relatif aman
terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan (Chin, 1989).
Saat ini telah diketahui lebih kurang 2.400 jenis tumbuhan di dunia yang
mengandung bahan pestisida dan 100 jenis lainnya mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai pestisida nabati (Secoy and Smith. 1983). Sebagai negara
6
yang terletak di daerah tropika, Indonesia mempunyai sumber daya hayati yang
melimpah termasuk di dalamnya jenis-jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif
pestisida nabati (Heyne, 1987).
Hasil penelitian survei menunjukkan bahwa terdapat sumberdaya hayati
berupa jenis tumbuhan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pestisida
nabati di tingkat petani, sebagai contoh umbi gadung (Dioscorea hispida), Brotowali
(Tinospora crispa), jeringau (Acorus calamus), Rumput kapal (Eupatorium
odoratum), daun srikaya (Annona muricata) (Sulistywati et al., 1997).
Kelebihan dan kekurangan pestisida nabati adalah sebagai berikut:
a) Kelebihan
1. Degradasi yang cepat oleh sinar matahari.
2. Pengaruh terhadap hama cepat, dengan menghentikan nafsu makan
serangga.
3. Toksisitas umumnya rendah terhadap hewan dan relatif aman bagi manusia
dan lingkungan.
4. Memiliki spektrum pengendalian yang luas dan bersifat selektif.
b) Kekurangan :
1. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya lebih
sering
2. Daya racunnya rendah, tidak langsung mematikan
3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena keterbatasan
bahan baku
4. Kurang praktis Tidak tahan disimpan (Gapoktan, 2009).
C. Agens Hayati (Beauvaria basssiana)
Keefektifan B.bassiana sudah banyak dilaporkan. Cendawan tersebut dikenal
sebagai jamur entomopatogen, dan bertugas sebagai agens hayati dalam
mengendalikan serangga hama. B.bassiana ini juga dapat digunakan untuk
mengendalikan berbagai tingkat perkembangan serangga hama mulai dari telur, larva,
pupa, dan imago. Kontak antara konidium dapat terjadi pada kulit telur dengan bagian
ventral tubuh larva, kaki, dan alat mulut sewaktu larva keluar dari telur. Keberhasilan
7
proses tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan konidium dari masing-
masing isolat yang di dapat (Trizelia dkk., 2007). B.bassiana melakukan kontak
dengan serangga hama. B.bassiana akan menempel pada tubuh serangga hama.
Kemudian konidia cendawan menginfeksi serangga hama jika kondisi mendukung.
Pada kondisi yang sesuai, cendawan akan berkecambah dan miselia jamur akan
menyelimuti tubuh serangga (Wicaksono dkk., 2015). Selain secara kontak,
B.bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi dan kontaminasi
pakan. Misalnya pemberian B.bassiana pada makanan serangga hama. Setelah itu
pencernaan serangga akan terganggu. Serangga akan berhenti makan sehingga
tubuhnya melemah. Apabila perkecambahan cendawan meluas, maka serangga akan
mengalami kematian lebih cepat (Pramesti, 2015).
Banyak faktor yang dapat menjadi parameter kefektifan cendawan
B.bassiana, salah satunya ialah kepekatan konidia. Kepekatan konidia tergantung dari
tinggi rendahnya konsentrasi cendawan yang diberikan. Apabila konsentrasi
cendawan semakin tinggi maka kepekatan konidia juga semakin tinggi. Tetapi, pada
kondisi tertentu, konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan berkurangnya
efesiensi aplikasi karena jumlah konidida yang masuk ke tubuh serangga memiliki
kapasitas tertentu untuk menghasilkan toksin dari cendwan tersebut yang
menyebabkan serangga mati. Namun, waktu yang diberikan untuk cendawan mampu
bekerja menginfeksi serangga cukup lama dan berbeda-beda. B.bassiana
membutuhkan proses beberapa tahap untuk dapat menginfeksi serangga dan
mematikan serangga. B.bassiana membutuhkan proses penempelan konidia pada
tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi kolonisasi dalam hemosel, jaringan
dan organ (Rahayu dan Umrah, 2012).
Proses infeksi jamur B.bassiana terbagi 2 yaitu proses mekanis dan kimiawi.
Proses mekanis unfeksi jamur melalui integumen di antara rusa-ruas tubuh dan
konidia B.bassiana yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah
selanjutnya menembus integumen untuk terus masuk ke dalam homosel. Terjadilah
proses penetrasi integumen oleh hifa B.bassiana. B.bassiana mengeluarkan enzim
seperti protease, lipase, enterase, dan kitinase serta toksin seperti beauverisin,
8
beauverolid, bassianolid, isarolid, dan asam oksalat yang membantu
menghancurkan kutikula serangga. Setelah masuk ke dalam homosel, B.bassiana
membentuk tubuh hifa atau blastospora yang kemudian ikut beredar dalam hemolinfa
dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak,
sistem saraf, trakea, dan saluran pencernaan. Akibatnya serangga mengalami
gangguan pencernaan dan pergerakannya tidak stabil. Proses pengeluaran enzim
inilah yang disebut proses kimiawi pada B.bassiana karena sekaligus mengeluarkan
toksin atau racun (Taufik dan Rahayu, 2007).
Suhu yang paling optimal untuk pengembangan jamur B.bassiana ialah 26’C.
B.bassiana mampu menghasilkan racun atau toksin yang dapat menyebabkan
paralisis secara agresif pada larva dan imago serangga. Media beras merupakan
subtrat yang baik sebagai media tumbuh jamur. Subtrat beras mengandung amilosa
tinggi sehingga dapat meningkatkan viabilitas konidia jamur. Viabilitas spora
mempengaruhi kerapatan konidia. Semakin baik viabilitas jamur maka kerapatan
konidia semakin tinggi pula. Kerapatan spora yang tinggi dapat mengahasilkan
konsentrasi enzim dan toksin yang tinggi sehingga mampu mengurai dan
menghancurkan struktur tubuh serangga (Adhi dkk., 2013). Kelembaban yang
dikehendaki berkisar 80%-94%. Kelembaban yang tinggi dapat merangsang
pertumbuhan miselium cendawan B.bassiana pada permukaan tubuh serangga.
Miselia akan cepat tumbuh dan menyelubungi tubung serangga. Akibat tumbuhnya
miselia ini, tubuh serangga terihat berwarna putih. Kemudian struktur tubuh serangga
mengeras dan berwarna coklat kehitaman yang lama-kelamaan berubah menjadi
putih. Perubahan warna juga diikuti oleh perkembangan cendawan B.bassiana. Pada
masa vegetatif cendawan semua koloni dari beberapa isolat awalnya berwarna putih,
kemudian memasuki fase generatif atau fase sporulasi cendawan berwarna putih
kekuningan (Rosmini dan Nasir, 2013).
Konsentrasi B.bassiana mempengaruhi daya bunuh terhadap serangga hama.
Semakin tinggi konsentrasinya maka semakin besar pula daya bunuh cendawan. Pada
konsentrasi tersebut mengandung enzim salah satunya ialah enzim proteinase dan
lifase yang berfungsi membentuk konidia dan berkecambah pada tubuh serangga
9
yang menjadi inang B.bassiana. Terhadap mortalitas serangga, konsentrasi juga akan
mempengaruhi besarnya presentase mortalitas serangga. Konsentrasi yang
diaplikasikan dapat mempengaruhi kematian serangga karena kandungan bahan
aktifnya juga bertambah apabila konsentrasi yang diberikan tinggi (Tarigan dkk.,
2013). Tingginya konsentrasi B.bassiana juga mengandung spora yang akan
menginfeksi, dan miselium-miseliumnya akan menghasilkan toksin yang disebut
detruxin. Serangga hama yang hampir mati akan menjauhi media makananya dan
habitatnya. Serangga juga akan meletakkan diri di permukaan atas tanaman. Beberapa
pakar menyatakan bahwa perilaku tersebut sebagai tindakan antisipasi penyebaran
infeksi cendawan ke populasi yang sehat lainnya (Sugianto dkk., 2013).
D. Feromon Seks
Feromon merupakan senyawa yang dilepas oleh salah satu jenis serangga
yang dapat mempengaruhi serangga lain yang sejenis dengan adanya tanggapan
fisiologi tertentu. Feromon serangga dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan serangga
hama baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu digunakan dalam hal:
pemantauan serangga hama, perangkap massal, pengganggu perkawinan, maupun
kombinasi antara feromon sebagai atraktan dengan insektisida atau patogen serangga
sebagai pembunuh (Balitbangtan, 2007).
Feromon seks adalah jenis feromon yang umumnya dimiliki oleh serangga.
Feromon seks ini berguna untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya perkawinan.
Feromon dapat diproduksi oleh serangga betina maupun serangga jantan, tergantung
dari jenis serangganya. Dalam beberapa kasus baik yang jantan maupun betina sama-
sama menyumbangkan komunikasi kimia tersebut dalam perkawinan (Harahap,
2008).
Pusat penelitian di India (Pest Control India) bekerjasama dengan Cocoa
Research Institute (ICCRI), mengembangkan suatu feromon sex untuk hama PBK
yang disebut CPB-lureyang dihasilkan oleh imago betina pada saat dewasa atau
menjelang musim kawin untuk menarik perhatian imago jantan ( Pest Control India,
2008).
10
Lembaga Koko Malaysia (LKM) telah menguji feromon seks serangga PBK
sebagai salah satu kaedah untuk mengawali pengendalian dan mengurangi
penggunaan pestisida. Sehingga diharapkan dengan banyaknya serangga jantan yang
tertangkap maka perkawinan tidak terjadi sehingga betina tidak meletakkan telur serta
serangan pada buah dapat menurun (Navies, 2004).
11
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao dengan Pestisida Nabati
Bahan yang digunakan dalam pembuatan pestisida nabati pada Ramuan I
adalah : Umbi Gadung, Brotowali, Daun sirsak dan Deterjen. Ramuan II: Umbi
Gadung, Rumput kapal, Brotowali dan Detergen sedangkan. Ramuan III bahannya
terdiri dari: Umbi Gadung, Jeringau, Brotowali dan Detergen. Dalam
pengaplikasiannya masing-masing cairan perasan tersebut disemprotkan pada buah
pada bagian bawah dari cabang-cabang yang letaknya rendah (< 1/2 dari tinggi
tanaman) diulang setiap 5 hari dan 10 hari sesuai dengan perlakuan.
Ro : Kontrol ( tanpa perlakuan )
R1 : Ramuan I dengan penyemprotan tiap 5 hari
R2 : Ramuan I dengan penyemprotan tiap 10 hari
R3 : Ramuan II dengan penyemprotan tiap 5 hari
R4 : Ramuan II dengan penyemprotan tiap 10 hari
R5 : Ramuan III dengan penyemprotan tiap 5 hari
R6 : Ramuan III dengan penyemprotan 10 hari.
Tabel 1. Rata-rata persentase buah yang terserang hama PBK ( % ).
Perlakuan Rata-Rata P UJBD 0,05
R0 100,00 e (2) 9,61
R1 54,23 b (3) 10,08
R2 85,37 d (4) 10,39
R3 62,47 c (5) 10,48
R4 83,42 d (6) 10,61
R5 24,78 a (7) 10,67
R6 78,21 d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf UJBD 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan yang dicobakan
memberikan pengaruh nyata terhadap persentase buah terserang hama penggerek
buah kakao.
12
Rata-rata penekanan persentase buah terserang penggerek buah kakao setelah
aplikasi ramuan pestisida nabati tertinggi diperoleh pada ramuan dua dengan
penyemprotan tiap 10 hari yaitu persentase serangan 83,42 % yang berbeda nyata
dengan kontrol dan tidak berbeda nyata dengan ramuan satu dan ramuan tiga dengan
penyemprotan tiap 10 hari yaitu persentase serangan sebesar 85,37 % dan 78,21 %,
sedangkan rata-rata penekenan persentase buah terserang penggerek buah kakao yang
terendah diperoleh pada ramuan tiga dengan penyemprotan tiap 5 hari sebesar 24,78
% , yang berbeda nyata dengan kontrol dan ramuan satu dengan penyemprotan tiap 5
hari yaitu sebesar 54,23 %. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya aplikasi
ramuan pestisida nabati tiap 5 hari memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap
penekanan persentase serangan penggerek buah kakao.
Rendahnya persentase serangan dan intensitas serangan hama penggerek buah
kakao disebabkan karena penyemprotan ramuan pestisida nabati dapat mempengaruhi
peletakan telur dan penetasan telur penggerek buah kakao serta aktivitas makan larva
yang disebabkan oleh adanya kandungan racun dan bau dari bahan yang digunakan
(Ahmad and Grainge, 1988). Bahan ramuan yang digunakan telah diketahui bahwa
ekstrak kasar jeringau mengandung asarone yang baunya tidak disenangi oleh hama
untuk meletakkan telur. Demikian pula brotowali mengandung zat pahit pikroretin,
alkaloid, berberin dan kolomein serta thioporan yang berupa kristal jarum yang terasa
pahit sehingga tidak disenangi oleh larva hama penggerek buah kakao. Umbi gadung
mengandung dioskorin dan sianida yang bersifat menyerang langsung dan
penghambat sistem antara ruang sel yaitu menghambat sistem sitokrom oksidase.
Daun sirsak mengandung senyawa annonain dan polifenol yang telah diketahui dapat
menyebabkan aktivitas biologi yaitu menghambat makan dan merusak jaringan
serangga (Smith and Secoy, 1981).
13
Tabel 2. Rata-rata intensitas kerusakan pada biji kakao (%)
Perlakuan Rata – Rata P UJBD
0,05
R0 92,56 f (2) 4,77
R1 13,53 ab (3) 5,01
R2 22,31 de (4) 5,16
R3 18,00 bc (5) 5,21
R4 26,00 e (6) 5,27
R5 11,25 a (7) 5,30
R6 21,73cd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf UJBD 0,05.
Rata-rata intensitas serangan hama PBK yang terendah pada perlakuan R5
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R1 dan intensitas serangan tertinggi pada
perlakuan R0 yang berbeda nyata dengan semua perlakuan yang dicobakan,
sedangkan rata–rata intensitas serangan penggerek buah kakao setelah aplikasi
ramuan aplikasi pestisida nabati memberikan pengaruh sangat nyata dengan tingkat
kerusakan 10 – 30 % berarti tingkat kerusakan tergolong ringan sampai sedang. Dari
data awal intensitas serangan hama penggerek buah kakao yang diperoleh sebelum
penelitian yaitu sebesar 93 %.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa intensitas kerusakan hama PBK pada biji
tertinggi pada kontrol sebesar 92,56 %. Intensitas serangan terendah ditemukan pada
ramuan 3 dengan penyemprotan tiap 5 hari sebesar 11,25 % yang tidak berbeda nyata
dengan perlakuan ramuan satu dengan penyemprotan tiap 5 hari dengan intensitas
serangan 13,53 %. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian ramuan pestisida
nabati tiap 5 hari memberi pengaruh yang lebih baik terhadap intensitas kerusakan
hama PBK pada biji dibandingkan dengan aplikasi setiap 10 hari, hal ini
menggambarkan bahwa interval waktu penyemprotan sangat berperan dalam
pengendalian hama penggerek buah kakao.
Proses penekanan persentase buah terserang dan intensitas serangan serangan
penggerek buah kakao akibat aplikasi ramuan pestisida nabati disebabkan terjadi pada
saat tahap peletakan telur, penetasan telur hingga pada tingkat aktivitas makan larva
14
dalam buah. Bau dari ramuan yang digunakan mempengaruhi ngengat penggerek
buah kakao dalam meletakkan telurnya. Telur–telur yang sempat diletakkan pada
buah kakao mengalamai proses penghambatan perkembangan jaringan sel sehingga
telur penggerek buah kakao tidak dapat menetas. Akibatnya tingkat kerusakan yang
ditimbulkan kecil. Selain itu proses penekanan dapat terjadi karena ramuan pestisida
nabati yang disemprotkan dapat mencapai daging buah melalui inti sel pada buah,
yang telah diketahui kandungan racun bahan ramuan dapat menghambat aktivitas
makan. Dengan terhambatnya aktivitas makan larva penggerek buah kakao dapat
mengakibatkan tingkat kerusakan tidak bertambah (Soekandar, 1993).
Kandungan racun yang dapat menghambat penetasan telur disebabkan oleh
dioscorine dan asarone yang terdapat pada umbi gadung dan rumput kapal, sedangkan
yang berpengaruh terhadap aktivitas makan disebabkan oleh racun dari daun sirsak,
brotowali dan jeringau.
Ramuan yang sangat berpengaruh terhadap penekanan persentase buah
terserang dan intensitas serangan adalah ramuan tiga (umbi gadung, jeringau dan
brotowali). Hal ini disebabkan karena dari semua ramuan yang digunakan jeringau
adalah bahan yang mengeluarkan bau yang menyengat dan dapat bertahan lama pada
buah kakao sehingga ngengat hama penggerek buah kakao tidak senang untuk
meletakkan telur pada buah tersebut.
B. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao dengan Beauvaria bassiana
Metode dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan diantaranya: 1)
Persiapan penelitian, 2) Persiapan agens hayati B.bassiana dalam konsentrasi sesuai
perlakuan, 3) Penyemprotan B.bassiana pada tanaman kakao, 4) Panen buah.
Percobaan yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
faktorial. Faktor perlakuan yang diamati ialah faktor pertama merupakan konsentrasi
B.bassiana dengan 4 taraf sebagai berikut:
K0: Kontrol (perlakuan kebun)
K1: B.bassiana 2 gram/10 L air
K2: B.bassiana 4 gram/10 L air
K3: B.bassiana 6 gram/10 L air
15
Faktor kedua ialah faktor interval waktu aplikasi dengan 4 taraf sebagai berikut:
T0: Kontrol (perlakuan kebun)
T1: Penyemprotan interval 5 hari
T2: Penyemprotan interval 10 hari
T3: Penyemprotan interval 15 hari
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan diambil 5 buah percobaan
sehingga di perlukan 48 pohon percobaan serta total buah percobaan 240 buah. Denah
percobaan disesuaikan dengan arah angin pada lahan dan intensitas penyinaran
matahari. Denah percobaan tersusun sebagai berikut:
U Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
K0T3 K2T0 K3T3
K2T1 K2T3 K2T2
K2T3 K0T0 K3T1
K1T3
K3T0
K1T1
K3T1 2 meter K2T1 2 meter K1T3
2 meter K0T1 K1T2 K0T3
K1T2 K3T2 K2T0
K2T0 K0T1 K3T0
K2T2 K1T1 K1T0
K0T2 K3T3 K1T2
K1T1 K0T3 K0T2
K1T0 K3T1 K3T2
K3T3 K0T2 K0T1
K0T0 K1T0 K2T3
K3T0 K1T3 K0T0
K3T2 K2T2 K2T1
16
Pelaksanaan penelitian diawali dengan melakukan pemanenan 1. Buah kakao
yang matang dipanen sebanyak 5 buah percobaan untuk dihitung sesuai dengan
parameter pengamatan. Pemanenan buah tersebut bertujuan untuk mengetahui hasil
pengamatan pada masing-masing parameter sebelum dilakukan aplikasi B.bassiana
sesuai konsentrasi dan interval waktu aplikasi.
Pada pohon kakao yang sama dipilih 5 buah percobaan berukuran ±10cm
(buah yang masih berukuran pentil). Buah tersebut diberi tanda berupa tali agar
memudahkan peneliti saat dilakukan pemanenan buah percobaan.
B.bassiana didapat dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember berupa
tepung dengan kerapatan . B.bassiana ditimbang sebanyak 2 gram, 4 gram, dan 6
gram. Masing-masing diletakkan dalam kain saring kemudian perlahan diremas-
remas diatas permukaan air (10 liter) dalam ember hingga air berubah menjadi putih
susu. Kemudian dipindah ke dalam alat semprot knapsack sprayer.
Sebelum digunakan, alat semprot dibersihkan dari sisa insektisida sintetik
sebelumnya menggunakan air. Kemudian memastikan lubang nozel tidak tersumbat
oleh benda lain. Untuk pengamanan, saat menyemprot menggunakan masker dan
sarung tangan agar tidak terhirup. Arah menyemprot ditentukan mengikuti arah angin
serta waktu penyemprotan ialah sore hari antara pukul 14.00-17.00 WIB atau 3 jam
sebelum turun hujan. Apabila kurang dari 3 jam turun hujan, maka penyemprotan
diulang kembali.
Buah yang telah masak sempurna dipetik (panen 2) menggunakan gunting
khusus panen. Kemudian dibelah untuk memastikan adanya gejala serangan dalam
buah tersebut dan melihat bekas gerekan yang ada pada buah. Masing-masing
perlakuan diletakkan dalam karung goni. Kemudian dilakukan pengamatan. Setelah
pengamatan selesai, sisa kulit buah dibenamkan dalam tanah sedangkan biji kakao di
diserahkan ke bagian fermentasi.
Dari hasil penilitian ini di dapat gejala yang ditimbulkan akibat serangan
hama penggerek buah kakao dapat ditinjau dari kulit buah kakao dan biji kakao. Pada
kulit buah terlihat warna belang hijau kekuningan tidak merata. Gejala tersebut
menunjukkan bahwa buah kakao terserang penggerek buah kakao. Apabila
17
dibandingkan dengan buah kakao yang sehat, warna belang hijau kekuningan tampak
merata. Warna tersebut menandakan bahwa buah akan segera matang. Saat buah
kakao dibelah, buah yang sehat menunjukkan biji kakao tersusun rapi dan warnanya
putih. Pada kulit bagian dalam tidak terlihat warna hitam bekas gerekan. Buah kakao
yang terserang penggerek, bijinya saling melekat, berwarna hitam, dan terdapat bekas
gerekan pada kulit bagian dalam serta terdapat larva penggerek buah kakao berwarna
putih kehijauan dengan panjang ±1mm.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi B.bassiana memberikan hasil berbeda sangat nyata pada parameter
pengamatan presentase buah terserang dan parameter penurunan berat biji kakao serta
berbeda nyata pada parameter intensitas serangan penggerek buah kakao. Sedangkan
perlakuan interval waktu tidak berbeda nyata pada parameter presentase buah
terserang, intensitas serangan, maupun penurunan berat biji. Interaksi antara pelakuan
antara konsentrasi B.bassiana yang diberikan dengan interval waktu pemberian
B.bassiana tidak berbeda nyata pada parameter pengamatan presentase buah
terserang, intensitas serangan, dan penurunan berat biji.
Tabel 3. Rangkuman Nilai F-Hitung Pada Berbagai Parameter Pengamatan
NO Variabel
Pengamatan
F-Hitung
Konsentrasi (K) Interval Waktu
(T) Interaksi (KxT)
1
Presentase
Buah
Terserang
2 Intensitas
Serangan
3 Penurunan
Berat Biji
Keterangan : ** berbeda nyata, * berbeda nyata, ns
berbeda tidak nyata
18
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi B.bassiana terhadap presentase penurunanan
buah terserang penggerek buah kakao pada berbagai interval
waktu aplikasi
Perlakuan Rata-rata
Kontrol/perlakuan kebun (K0) 13,89 c
2 gram/10 L air (K1) 33,75 b
4 gram/10 L air (K2) 41,81 ab
6 gram/10 L air (K3) 61,81 a
Keterangan : Angka yang di ikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak
nyata pada Uji Duncan 5%.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pemberian konsentrasi B.bassiana
mampu menurunkan presentase buah kakao yang terserang sebelum aplikasi hingga
setelah aplikasi di lapang pada berbagai interval waktu aplikasi. Konsentrasi
B.bassiana sebanyak 6 gram/10 L air mampu menurunkan presentase buah terserang
hingga 61,81%. Berdasarkan gambar tabel 4.2 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 gram/10 L air (K1). Perlakuan 2 gram/10 L
air (K2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 4 gram/10 L air. Sedangkan perlakuan
6 gram/10 L air (K1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 4 gram/10 L air dan
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol maupun 2 gram/10 L air. Perlakuan kontrol
memberikan nilai presentase penurunan buah kakao terserang penggerek paling
rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Sedangkan presentase buah kakao terserang
paling tinggi ialah perlakuan 6 gram/10 L air (K3). Sehingga perlakuan yang terbaik
ialah 6 gram/10 L air (K3).
19
Tabel 5. Pengaruh konsentrasi B.bassiana terhadap presentase penurunan
intensitas serangan penggerek buah kakao pada berbagai interval
waktu aplikasi
Perlakuan Rata-rata
Kontrol/perlakuan kebun (K0) 33,61 b
2 gram/10 L air (K1) 33,94 b
4 gram/10 L air (K2) 41,02 b
6 gram/10 L air (K3) 65,37 a
Keterangan : Angka yang di ikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak
nyata pada Uji Duncan 5%.
Tabel di atas menunjukkan bahwa konsentrasi B.bassiana memberikan
pengaruh pula terhadap intensitas serangan penggerek buah kakao di lapang.
Konsentrasi B.bassiana tersebut mampu menurunkan presentase intesitas serangan
pada berbagai interval waktu aplikasi hingga sebesar 65,37%. Berdasarkan tabel 4.3
menunjukkan bahwa perlakuan kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2
gram/10 L air dan 4 gram/10 L air. Sedangkan Perlakuan konsentrasi 6 gram/10 L air
(K3) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pemberian konsentrasi 6 gram/10L air
(K3) memberikan nilai rata-rata selisih intenistas serangan tertinggi diantara
pemberian konsentrasi lainnya. Sedangkan nilai intensitas serangan terendah terdapat
pada perlakuan kontrol. Sehingga, perlakuan 6 gram/10 L air (K3) merupakan
perlakuan terbaik untuk menurunkan intensitas serangan penggerek buah kakao di
lapang.
20
Tabel 6. Pengaruh konsentrasi B.bassiana terhadap selisih presentase
penurunan berat biji buah kakao pada berbagai interval waktu
aplikasi
Perlakuan Rata-rata
Kontrol/perlakuan kebun (K0) 26,70 c
2 gram/10 L air (K1) 30,88 b
4 gram/10 L air (K2) 40,51 b
6 gram/10 L air (K3) 68,12 a
Keterangan : Angka yang di ikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak
nyata pada Uji Duncan 5%.
Tabel di atas menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi B.bassiana di
lapang mampu menurunkan presentase penurunan berat biji akibat serangan
penggerek buah kakao hingga 68,12%. Berdasarkan tabel 4.4 presentase penurunan
berat biji, perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 2 gram/10 L
air. Sedangkan perlakuan konsentrasi 2 gram/10 L air (K1) tidak berbeda nyata
dengan perlakuan konsentrasi 4 gram/10 L air (K2). Perlakuan konsentrasi 6 gram/10
L air (K3) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Presentase penurunan berat biji
terbaik ialah perlakuan konsentrasi 6 gram/10 L air (K3).
C. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao dengan Feromon Seks
Dilakukan pemasangan pemasangan satu unit perangkap feromon seks pada
setiap pohon perlakuan sebanyak delapan pohon dengan delapan blok ulangan.
Pengamatan meliputi menghitung hasil tangkapan serangga jantan yang tertangkap
setiap dua minggu hingga panen pertama dan panen 3 bulan akhir. Pengamatan
dilakukan tingkat kerusakan buah pada saat panen dengan mengskoring gejala
kerusakan akibat serangan PBK. Pengamatan dalam penelitian ini yaitu menghitung
hasil tangkapan serangga jantan yang tertangkap setiap dua minggu hingga panen
pertama dan panen kedua. Pengamatan juga dilakukan tingkat kerusakan buah pada
panen pertama dan panen kedua.
21
Tabel 7. Pengamatan tangkapan serangga PBK
Pengamatan
tangkapan
serangga PBK
Tahun 2013/2014
Jumlah 17 1 15 29 12 26 9 23
Nop Des Des Des Jan Jan Peb Peb
Blok I 0 1 0 5 9 8 1 1 20
Blok II 1 1 2 3 7 12 3 2 33
Blok III 1 3 1 16 14 15 0 1 50
Blok IV 1 4 5 12 8 29 1 0 60
Blok V 3 2 2 5 11 4 2 2 31
Blok VI 1 0 2 10 11 6 2 1 33
Blok VII 1 2 1 0 16 11 0 1 22
Blok VIII 1 1 1 8 3 3 1 1 19
Jumlah 9 14 14 59 79 88 10 10 283
Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah serangga PBK tertangkap dengan pada
masing-masing blok yakni: Blok I 20 ekor, Blok II 33 ekor, Blok III 50 ekor, Blok IV
60 ekor, Blok V 31 ekor, Blok VI 33 ekor, Blok VII 22 ekor dan Blok VIII 19 ekor
dengan total tangkapan semua Blok 283 ekor. Jumlah ini dikatergorikan banyak
dengan harapan dapat mengurangi populasi hama PBK pada perkebunan petani
didesa ini. Pemasangan perangakap feromon seks ini dipasang setelah petani panen,
dengan perlakuan pemasangan feromon seks dengan harapan buah pucuk yang
tertinggal akan dipanen pada panen berikutnya setelah pemasangan perangkap agar
dapat diketahui tingkat serangan setelah perlakuan. Tabel 1 menunjukkan pula Blok
IV lebih banyak tertangkap 60 ekor serangga jantan tertangkap ekor dibandingkan
blok lainnya, hal ini dimungkinkan pada Blok IV lebih banyak buahnya dibanding
Blok lainnya. Banyaknya serangga jantan yang tertangkap karena nalurinya mencari
serangga betina untuk kawin akhirnya terperangkap karena feromon seks sintetik
yang dipasang adalah menguluarkan aroma serangga betina yang sedang birahi.
Melihat meningkatnya tangkapanserangga PBK dapat dikatakan feromon seks yang
terpasang sangat efektif digunakan petani untuk mengendalikan hama PBK pada
lahannya. Jumlah tangkapan pada setiap blok percobaan bervariasi yang terendah 19
ekor pada Blok VIII dan yang tertinggi 60 ekor pada Blok IV. Perbedaan tangkapan
dimungkinkan akibat adanya perbedaan kelebatan buah pada setiap pohon per Blok
sehingga pohon yang terbanyak buahnya lebih banyak serangga Hama PBK yang
22
hinggap pada buah tersebut untuk peletakan telur, tentunya dengan harapan dapat
mengurangi populasi hama PBK pada perkebunan petani di desa ini. Pemasangan
feromon seks ini perbandingan penangkapan pada pengamatan ke-6 dengan jumlah
tangkapan 79 ekor dan pengamatan ke-7 jumlah tangkapan 88 ekor cenderung lebih
banyak dari segi jumlah tangkapan, tentunya intensitas serangan dapat terkendali
dibanding tanpa perlakuan sama sekali oleh petani. Kebiasaan petani setempat untuk
menaggulangi serangan PBK dilahannya pada umunya menggunakan insektisida
kontak, tanpa mengetahui prilaku hama tersebut.
Tabel 8. Kategori serangan kerusakan buah panen pertama
Pohon
sampel
Buah
panen
Kategori serangan
0 1 2 3 %
1 19 5 3 0 11 63
2 45 1 20 7 17 62
3 30 2 8 3 17 72
4 7 0 1 0 6 90
5 52 6 21 13 12 53
6 35 3 3 9 20 77
7 24 3 4 1 16 75
8 75 15 17 11 32 60
Jumlah 287 35 77 44 131 552
Rerata 35,88 4,38 9,623 5,50 16,38 69
Tabel 8 menunjukkan bahwa kategori serangan pada panen pertama 287 buah
yang terpanen bervariasi. Kategori serangan 0 dan 1 lebih sedikit 35 buah dan 77
buah jika dibanding kategori serangan 2 dan 3 yakni 44 buah dan 131 buah yang
termasuk dalam kategor ini serangan sedang dan berat dimana biji sulit terlepas dari
kulitnya dengan intensitas serangan rerata 69%. Pengujian terhadap penggunaan
feromon seks sebagai umpan perangkap serangga telah dilakukan pada beberapa
tanaman, seperti feromon seks C. cramerella untuk tanaman kakao (Beevor et al.
1985). Feromon seks Cameraria ohridella untuk perlindungan tanaman chestnut
(Svatos et al. 2001). Feromon seks Spodoptera exigua untuk perlindungan tanaman
bawang merah (Hartati dan Nurawan 2009.) dan feromon seks Argyrotanenia
sphaleropa pada tanaman karet (Legrand et al. 2004).
23
Tabel 9. Kategori serangan kerusakan buah panen kedua
Pohon
sampel
Buah
panen
Kategori serangan
0 1 2 3 %
1 24 20 4 0 0 0,06
2 47 35 6 5 1 0,13
3 37 28 7 2 0 0,10
4 70 63 6 1 0 0,04
5 8 8 0 0 0 0,0
6 20 19 1 0 0 0,02
7 27 20 7 0 0 0,09
8 32 29 1 2 0 0,16
Jumlah 265 222 32 8 1 0,60
Rerata 33,11 27,75 4,00 1,00 0,11 0,08
Tabel 9 menunjukkan bahwa kaegori serangan pada panen kedua 265 buah
yang terpanen bervariasi. Kategori serangan 0 dan 1 yakni 222 buah dan 32 buah
lebih besar jika dibanding kategori serangan 2 dan 3 yakni 8 buah dan 1 buah yang
termasuk kategori serangan sedang dan berat dimana biji kakao sulit lepas dari
kulitnya sehingga jika dibandingkan dengan panen buah pertama. Pada panen kedua
rerata intensitas serangan 0,08% menurun dibandingkan nintensitas serangan panen
pertama yaitu rerata 69%. Melihat perbedaan ini dimungkinkan karena serangga
hama PBK yang terperangkap mulai pemasangan awal sebelum panen pertama sudah
banyak tertangkap, dilanjutkan pada panen kedua sehingga intensitas serangan pada
panen kedua menurun.
24
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari ketiga jurnal yang telah dibahas didapatlah beberapa kesimpulan di
bawah ini:
1. Ramuan pestisida nabati yang memberikan pengaruh lebih baik adalah Ramuan 3
dengan komposisi bahan ramuan Umbi Gadung, Jeringau dan Brotowali dengan
interval penyemprotan 5 hari dapat menekan persentase buah terserang dari 100,
00 % menjadi 27,78 % dan menekan intensitas kerurasakan biji kakao dari 91,33
% menjadi 11,33 %.
2. Konsentrasi B.bassiana 6 gram/10 L (K3) merupakan konsentrasi terbaik untuk
menurunkan tingkat presentase buah terserang penggerek buah kakao sebanyak
61,81% di lapang.
3. Konsentrasi B.bassiana 6 gram/10 L air (K3) mampu menurunkan intensitas
serangan penggerek buah kakao sebanyak 65,37% di lapang.
4. Konsentrasi B.bassiana 6 gram/10 L air (K3) mampu menurunkan penurunan
berat biji akibat serangan penggerek buah kakao sebanyak 68,12% di lapang.
5. Perbedaan tangkapan hama dengan menggunakan feromon seks dimungkinkan
akibat adanya perbedaan kelebatan buah pada setiap pohon per Blok sehingga
pohon yang terbanyak buahnya lebih banyak serangga Hama PBK yang hinggap
pada buah tersebut untuk peletakan telur.
6. Dilihat dari hasil dua kali pemanenan dapat diketahui bahwa serangan hama yang
menyebabkan kerusakan buah panen sangat menurun bahkan hingga 0%. Hal ini
mungkin terjadi karena serangga hama PBK yang terperangkap mulai
pemasangan awal sebelum panen pertama sudah banyak tertangkap, dilanjutkan
pada panen kedua sehingga intensitas serangan pada panen kedua menurun.
7. Dari ketiga metode yang digunakan dalam pengendalian hama penggerek buah
kakao penggunaan feromon seks adalah yang paling efektif, diikuti oleh
penggunaan pestisida nabati dan agens hayati.
25
8. Penggunaan ketiga metode tersebut adalah teknologi yang bisa dianjurkan untuk
digunakan, karena selain efektif dalam pengendalian hama, juga aman untuk
tanaman, lingkungan, dan konsumen.
B. Saran
Agar lebih mudah bagi petani untuk menggunakan bahan-bahan alami
tersebut, saran penulis adalah agar bahan tersebut diproduksi secara masal. Dan juga
agar kualitas dan kuantitas hasil produksi kakao di Indonesia baik, sebaiknya
informasi tentang metode dan bahan alami untuk pengendalian hama penggerek buah
kakao ini disebar dan di demonstrasikan kepada petani kakao di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi Negara, 2015, Tanggapan hama penggerek buah kakao Conopomorpha
cramerellaterhadap feromon seks dan intensitas serangannya di Kabupaten
Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, PROS SEM NAS MASY BIODIV
INDON, volume 1 (7), Hal: 1654-1657,
http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/M0107/M010720.pdf (diakses 4 Maret
2019)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BB Biogen). 2007. Laporan Hasil Kegiatan Penggunaan
Feromon Exi untuk Mengendalikan Hama Ulat Bawang
Gapoktan, 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan Pestisida Nabati
http://gapoktantanimaju.blogspot.com/2009/01/pestisida-nabati.html
(diakses pada 4 Maret 2019)
Herawati, Yusnita, 2017, UJI EFEKTIVITAS Beauvaria bassiana DENGAN
PERBANDINGAN WAKTU DAN DOSIS APLIKASI PADA
PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella SNELLEN)
DI PERKEBUNAN KAKAO, Trunojoyo,
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&
cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwivzse-
7ujgAhWHQ48KHSIJBVMQFjAGegQIBRAC&url=http%3A%2F%2Fjour
nal.trunojoyo.ac.id%2Fagrovigor%2Farticle%2FdownloadSuppFile%2F295
6%2F340&usg=AOvVaw01Vk-ect9Ok_PDw5wjLAoR (diakses 4 Maret
2019)
Nuriadi, Gusnawaty Hs, 2013, KAJI TINDAK PENGENDALIAN HAMA
PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella Snellen)
DENGAN PESTISIDA NABATI, JURNAL AGROTEKNOS,
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd
=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjHn-
P9quvgAhXs73MBHSvvBeMQFjAAegQIChAC&url=http%3A%2F%2Ffap
erta.uho.ac.id%2Fagroteknos%2FDaftar_Jurnal%2F2013%2F2013-1-
03-NURIADI.pdf&usg=AOvVaw0v8Aae1Lu5sZGRiZHDdn_0 (diakses
pada 4 Maret 2019)
Samsudin. 2008. Pengendalian Hama dengan Insektisida Botani. Lembaga
Pertanian Sehat. www.pertaniansehat.or.id (diakses pada 4 Maret 2019)
Z.A. Harahap, 2008, Pengendalian Kumbang Tanduk Oryctes Rhinoceros pada
Tumpukan Tandan Kosong Kelapa Sawit, Pertemuan Teknis Kelapa Sawit,
Medan, oktober 2000.