makalah 1 ai-da

40
BAYI PEREMPUAN USIA 6 BULAN YANG DATANG PERTAMA KALI UNTUK DIIMUNISASI 030.06. Viky Adrian 030.08. Kartika S. 030.07. Novi E.K 030. 08. Maryam 030.08. Alberto 030. 08. Nicolas Redly 030.08. Aqsha 030.08. Puspita K 030.08. Bayu Aulia 030.08 Sartika R. 030.08. Dewi S 030.08 Vilma 030.08. Farid Afdal 030.08 Yurike 030.08. Henny 030.08 M. Haikal

Upload: dewi-setyowati-w

Post on 02-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

autoimun

TRANSCRIPT

BAYI PEREMPUAN USIA 6 BULAN YANG DATANG PERTAMA KALI UNTUK DIIMUNISASI

BAYI PEREMPUAN USIA 6 BULAN YANG DATANG PERTAMA KALI UNTUK DIIMUNISASI

030.06. Viky Adrian

030.08. KartikaS.030.07. Novi E.K

030. 08. Maryam030.08. Alberto

030. 08. Nicolas Redly030.08. Aqsha

030.08. Puspita K030.08. Bayu Aulia

030.08 Sartika R.030.08. Dewi S

030.08 Vilma030.08. Farid Afdal

030.08 Yurike030.08. Henny

030.08 M. Haikal

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Jakarta, 26 JULI 2010PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. Penyakit ini sering terkait dengan abnormalitas-abnormalitas fungsi skin barrier dan pemekaan (sensitisasi) alergen. Tidak ada satu ciri khusus atau uji laboratorium diagnostik yang dapat membedakan A.Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.

Sejak tahun 1960an, terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik lebih dari tiga kali lipat. Disamping itu, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak mencapai 10 persen hingga 20 persen di Amerika Serikat, Eropa utara dan barat, Afrika perkotaan, Jepang, dan negara-negara maju. Prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sekitar 1 persen sampai 3 persen. Menariknya, prevalensi dermatitis atopik jauh lebih rendah di negara-negara pertanian seperti Cina dan di Eropa Timur, Afrika Pedesaan, dan Asia Tengah. Juga terdapat kecenderungan pada wanita, dengan rasio 1,3:1,0.

LAPORAN KASUSSeorang bayi perempuan usia 6 bulan dibawa kepada anda sebagai GP untuk mengikuti program pengembangan imunisasi. Bayi ini baru sekarang dijadwalkan untuk imunisasi, karena ibunya khawatir, sebab si bayi sering menderita kemerahan di pipi dan siku. Ia sering menggaruk-garuk efloresensi tersebut. Dari temannya, si ibu mendengar bahwa akan timbul masalah bila anaknya divaksinasi.

PEMBAHASAN

Masalah-masalah yang dIhadapi oleh pasien adalah :

1. samapai usia 6 bulan belum divaksin ( karena terdapat miskonsepsi

2. kemerahan pada pipi dan siku

3. hanya mendapat ASI selama 3 bulan, dimana seharusnya pemberian ASI eksklusif diberikan selama 6 bulan

4. Setelah usia 3 bulan, pasien diberi susu formula

5. pasien diberi makanan tambahan berupa makanan semi solid dan telur ( dapat berperan sebagai alergen bagi pasien

6. kakak pasien menderita nut allergy ( merupakan faktor genetik/atopi Hipotesis penyebab dari masalah-masalah yang didhadapi pasien antara lain :1. Hipersensitivitas tipe I ( merupakan reaksi IgE 2. Dermatitis atopik ( karena terdapat faktor genetik/riwayat atopi dari kakak pasien yang memungkinkan pasien juga menderita alergi yang mungkin disebabkan oleh protein pada susu sapi formula yang dikonsumsinya atau kondisi lingkungan dan pendidikan orang tua pasien3. Alergi protein susu sapi

4. Miskonsepsi

5. Suhu yang panas dan lembab

Mekanisme yang dapat mendasari terjadinya masalah-masalah pasien adalah reaksi alergi/hipersensitivitas tipe I, dimana pajanan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FcRI(sel mast tersensitisasi). Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu penglepasan mediator farmakologis amin(amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Interaksi silang antara FcRI dan IgE pada permukaan sel mast memacu aktivasi spleen tyrosine kinase (Syk). Sinyal dari Syk dengan cepat ditransduksi dan menimbulkan degranulasi, produksi Leukotrin dan transkripsi gen sitokin/kemokin. Penglepasan gen inflamasi tersebut berperan pada gejala akut dan kronis penyakit alergi. Degranulasi dapat terjadi melalui 3 jalur sinyal:1. eksositosis granul yang akan melepaskan amin vasoaktif dan protease

2. sekresi mediator lipid seperti Prostaglandin dan Leeukotrin yang dihasilkan dari hasil modifikasi enzimatik asam arakhidonat

3. sekresi sitokin seperti TNF yang merupakan hasil dari aktivasi transkripsional gen sitokin

Atopi sebagai faktor predisposisi dibagi menjdai 2 kelompok besar :1. genes local respon inflamasi (sl target)

2. Genes IgE control

Status Penderita

1. Identitas

1.1 Nama

: An.X1.2 Kelamin

: perempuan1.3 Umur

: 6 bulan

1.4 Agama

: Islam1.5 Orang tua

:

Jenis variabelIbuAyah

NamaNy ETN. E

Umur--

Suku bangsaIndonesiaIndonesia

AgamaIslamIslam

Pendidikan--

Pekerjaan--

Penghasilan/bulan--

AlamatCondet Jakara TimurCondet Jakarta Timur

Riwayat hubungan anak dan orang tua : Anak kandung/angkat/tiri/asuh

2. Auto anamnesis dan anmnesis tambahan

2.1 Keluhan utama

: sering menderita kemerahan pada pipi dan siku sehingga ibu pasien khawatir untuk memvaksinasi anaknya2.2 Riwayat Penyakit sekarang:

- Kapan gejala gatal dan kemerahan muncul ?Apakah gejala muncul setelah

makan makanan tertentu atau menggunakan produk topikal tertentu?

- apakah ada keluhan lain yang dirasakan/ditemukan pada pasien ?

2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu : apakah ada riwayat penyakit kulit sebelumnya?

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga: apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa, misalnya ayah, ibu, atau saudara kandung?

2.5 Riwayat Pengobatan: apakah pasien sudah pernah berobat sebelumnya? Obat apa yang di berikan?

2.6 Riwayat Kebiasaan:

- makanan apa sering dikonsumsi?

- bagaimana higiene pasien dan lingkungan?

- apakah pasien menggunakan produk kosmetik seperti lotion atau produk topikal lainnya?2.7. Anamnesa tambahan :

- apakah di lingkungan sekitar pasien ada yang menderita penyakit yang sama atau serupa?

- bagaimana riwayat pendidikan dan pekerjaan orang tua pasien?

3. Pemeriksaan fisik

:

3.1 Status generalis:

Keadaan Umum

:Baik

Kesadaran

:Compos mentis

Tanda vital

: normal Tekanan darah

: normal Pernapasan

: normal Berat Badan

: normal3.2 Status Dermatologis/venerologis :

Lokasi: pipi dan siku Penyebaran:regional

Bentuk

:-

Ukuran

:-

Batas

:-

Efloresensi:-4. Pemeriksaan Lab: IgE seru (IgE spesifik dan IgE total)5. Pemeriksaan anjuran : uji eliminasi dan provokasi 6. Resume: bayi berusia 6 bulan datang pertama kali untuk imunisasi. Pasien sering menderita kemerahan di pipi dan siku, mendapat tambahan makanan berupa makanan semi solid dan telur, dan kakak pasien menderita nut allargy7. Diagnosis Kerja: Dermatitis atopi8. Diagnosis Banding:

- Dermatitis kontak alergika

9. Penatalaksanaan:

# Umum: Non medikamentosa

- Edukasi

1. menghindari alergen ( Jika pasien terbukti alergi terhadap makanan atau alergen lain

2. melanjutkan pemberian ASI

3. menghindari penggunaan sarung tangan

4. menjaga higiene pasien

# Khusus: Medikamentosa

Topikal :

- antihistamin topikal

- kortikosteroid topikal ( seperti hidrokortison 1%

- memberi pelembab kulit

10. Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad kosmetikum : ad bonamTINJAUAN PUSTAKA

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.

Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.

Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagaiallergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis.ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik. Multifaktor: DA mempunyai penyebab multi faktorial antara lain faktor genetik, emosi, trauma, keringat, imunologik

Respon Imun Sistemik :Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.

Imunopatologi Kulit: Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan proteinextracellular matrix(ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukanupregulation Faspada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinocyte diinduksi olehFas ligandyang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada dimicroenvironment Respon imun kulit: Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi inilifespandari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.

Genetik : Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%.

1. Reaksi imunologis DASekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

- Antigen Presenting CellsKulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memoriTh2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.

- Sitokin dan ChemokinInflamasi kulit atopik ditandai dengan ekspresi sitokin dan chemokin pro-inflammatory lokal. Sitokin seperti TNF- dan IL-1 dari sel-sel residen (keratinosit, sel mast, sel dendritus) terikat ke reseptor-reseptor pada endotelium vaskular, mengaktivasi jalur-jalur sinyal seluler, yang mengarah pada induksi molekul adhesi sel endotelium. Kejadian-kejadian ini memulai proses pelekatan, aktivasi, dan adhesi ke endotelium vaskular diikuti dengan ekstravasi sel-sel inflammatory ke dlm kulit. Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.

Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA.

Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokinpro inflammatorylainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksemaChemokin yang spesifik kulit, chemokin yang menarik sel T kutaneous [CTACK; ligan chemokin CC 27 (CCL27)], sangat meningkat pada dermatitis atopik dan secara spesifik menyerang kulit yang memiliki reseptor chemokin CC (CLA)+ antigen limfoid kutaneous 10+ (CCR10+) sel T ke dalam kulit. CCR4 diekspresikan pada kulit yang mengandung sel-sel T CLA+ dan juga bisa terikat ke CCL17 pada endotelium vaskular venula kutaneous. Perekrutan selektif sel-sel Th2 yang mengekspresikan CCF4 diperantarai oleh chemokin asal makrofage dan timus dan sitokin teregulasi aktivasi, keduanya meningkat pada dermatitis atopik. Keparahan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan besarnya timus dan kadar sitokin teregulasi teraktivasi. Disamping itu, chemokin seperti fraktalkin, protein 10 terinduksi IFN-, dan monokin yang diinduksi oleh IFN- sangat meningkat dalam keratinosit dan menghasilkan migrasi sel Th1 ke dalam epidermis, khususnya pada dermatitis atopik kronis. Ekspresi yang meningkat dari chemokin CC, makrofage, protein-4 kemoatraktan, eotaksin, dan RANTES (yang diregulasi pada sel-T normal aktivasi diekspresikan dan disekresikan) berkontribusi bagi infiltrasi makrofage, eosinofil, dan sel-sel T menjadi lesi kulit dermatitis atopik akut dan kronik.

Sel-se penampil antigen. Kulit dermatitis atopik mengandung dua tipe sel dendritus myeloid pembawa reseptor Ig-E yang berafinitas tinggi: (1) LC dan (2) sel epidermal dendritus inflammatory (IDEC), LC pembawa IgE yang tampak memegang peranan penting dalam presentasi alergen kutaneous ke sel-sel Th2 penghasil TL-4. Dalam hal ini, LC yang membawa IgE dari lesi kulit dermatitis atopik (bukan LC yang kekurangan IgE permukaan) mampu pempresentasikan alergen-alergen hirupan ke sel T. Ini menunjukkan bahwa IgE terikat-sel pada LC mempermudah penangkapan dan internalisasi alergen ke dalam LC sebelum pemrosesannya dan presentasi antigen ke sel-sel T. LC pembawa IgE yang telah menangkap alergen kemungkinan mengaktivasi sel Th2 memori pada kulit atopik, tetapi mereka juga bisa bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk menstimulasi sel-sel T naif disana untuk lebih lanjut memperluas kelompok sel Th2 sistemik. Stimulasi FcRI pada permukaan LC oleh alergen menginduksi pelepasan sinyal-sinyal kemotaktis dan perekrutan sel-sel prekursor IDEC dan sel T secara in vitro. Stimulasi FcR pada IDEC mengarah pada pelepasan jumlah sinyal pro-inflammatory yang tinggi, yang berkontribusi bagi amplifikasi respons imun alergik.

Berbeda dengan penyakit kulit inflammatory, seperti dermatitis kontak alergi atau psoriasis vulgaris, jumlah sel dendritus plasmasitoid (pDC) yang sangat rendah, yang memegang peranan penting dalam pertahanan host terhadap infeksi virus, bisa dideteksi dalam lesi kulit AD. pDC dalam daerah perifer pasien yang mengalami dermatitis atopik telah ditunjukkan mengandung varian trimerik dari FcRI pada permukaan selnya, yang ditempati oleh molekul-molekul IgE. Fungsi imun termodifikasi dari pDC pada pasien dengan dermatitis atopik setelah stimulasi alergen berperantara FcEI bisa berkontribusi bagi defisiensi lokal IFN tipe I, sehingga berkontribusi bagi kerentanan yang meningkat dari pasien dermatitis atopik terhadap infeksi kulit yang ditimbulkan virus seperti ekzema herpeticum. Sel T. Kulit yang mengandung sel T memori memegang peranan penting dalam patogenesis dermatitis atopik, khususnya selama fase penyakit akut. Konsep ini didukung oleh pengamatan bahwa gangguan-gangguan imunodefisiensi sel-T primer sering terkait dengan lesi-lesi kulit ekzematosa yang bersih setelah transplantasi sumsum tulang dilakukan dengan sukses. Lebih lanjut, pada model dermatitis atopik hewan, ruam ekzematosa tidak terjadi tanpa adanya sel T. Disamping itu, pengobatan dengan inhibitor kalsineurin topikal, yang secara spesifik menargetkan sel T, secara signifikan mengurangi ruam kulit klinis dari dermatitis atopik.

Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya sel T mirip Th2 pada dermatitis atopik akut yang menghasilkan sitokin-sitokin yang meningkatkan inflamasi kulit alergik. Selama fase kronis dari dermatitis atopik, terjadi perubahan sel-sel mirip Th1 yang sebagian besar menghasilkan IFN-. Sel-sel mirip Th2 ini menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel-sel regulatory T (Treg) telah dilaporkan sebagai sebuah subtipe lain dari sel T yang memiliki fungsi imunosupresif dan profil sitokinnya berbeda dari sel Th1 dan Th2. Sel Treg mampu menghambat terjadinya respons Th1 dan Th2. Mutasi pada faktor nuklear yang diekspresikan pada sel Treg, FoxP3, menghasilkan sindrom IPEX (immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked) yang ditandai dengan IgE serum yang meningkat, alergi makanan, dan ekzema. Menariknya, superantigen staphylococcal menghilangkan fungsi sel Treg dan bisa memperparah inflamasi kulit.

Keratinosit. Keratinosit memegang peranan penting dalam augmentasi inflamasi kulit atopik. Keratinosit dermatitis atopik mensekresikan profil chemokin dan sitokin yang unik setelah keterpaparan terhadap sitokin pro-inflammatory. Ini mencakup kadar RANTES yang tinggi setelah stimulasi dengan TNF- dan IFN. Ini juga merupakan sumber limfoproietin stromal thymic yang penting (TSLP), yang mengaktivasi sel dendritus untuk melengkapi sel-sel T naif agar dapat menghasilkan IL-4 dan IL-13 (yakni, diferensiasi sel Th2). Peranan TSLP dalam patogenesis dermatitis atopik didukung oleh pengamatan bahwa mencit yang direkayasa genetika untuk mengekspresikan TSLP secara berlebih pada kulit mengalami inflamasi kulit yang mirip dengan dermatitis atopik.

Keratinosit juga memegang peranan penting dalam respons imun alami kulit melalui ekspresi reseptor-reseptor Toll-like, produksi sitokin pro-inflammatory dan peptida-peptida antimikroba (seperti defensi manusia dan cathelicidins) sebagai respons terhadap cedera jaringan atau mikroba yang menginvasi. Beberapa penelitian sekarang ini telah menunjukkan bahwa keratinosit dermatitis atopik menghasilkan pengurangan jumlah peptida antimikroba dan ini bisa menyebabkan individu seperti ini rentan terhadap kolonisasi kulit dan infeksi dengan S. aureus, virus, dan jamur. Akan tetapi, gangguan ini tampaknya didapatkan sebagai akibat dari inhibisi pembentukan peptida antimikroba imbas TNF- dan IFN- yang berperantara sitokin Th2 (IL-4, IL-10, dan IL-13).2. Faktor non imunologisFaktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.

Dermatiatis atopik juga disebabkan oleh adanya interaksi kompleks antara gen-gen kerentanan genetik yang menghasilkan gangguan skin barrier dalam sistem imun alami dan respons imunologi yang meningkat terhadap alergen dan antigen mikroba. Penurunan fungsi skin barrier yang signifikan akibat berkurangnya gen cornified envelope (falggrin dan loricrin), kadar ceramida yang berkurang, kada enzim proteolitik yang meningkat, dan kehilangan air trans-epidermal yang meningkat dapat menimbulkan DAGenetika Dermatitis atopik diwariskan dengan pengaruh ibu yang kuat. Mutasi kehilangan fungsi dari protein barier epidermal, filaggrin, telah ditunjukkan sebagai faktor predisposisi utama untuk dermatitis atopik serta ichthyosis vulgaris, sebuah gangguan keratinisasi umum yang terkait dengan dermatitis atopik. Yang perlu diperhatikan, gen filaggrin ditemukan pada kromosom 1q21 yang mengandung gen-gen (termasuk loricrin dan protein pengikat kalsium S100) dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang diketahui diekspresikan selama diferensiasi terminal dari epidermis. Analisis microarray telah menunjukkan penambahan protein pengikat kalsium S100 dan penurunan loricrin dan filaggrin pada dermatitis atopik. Pendekatan-pendekatan gen kandidat juga telah berdampak pada varian-varian dalam gen SPINK5, yang diekspresikan pada epidermis teratas, dimana produknya, PEKT1, menghambat dua protease serin yang terlibat dalam deskuamasi dan inflamasi (enzim tryptic stratum korneum dan enzim cymotryptik stratum korneum). Enzim tryptic stratum korneum dan ekspresi enzim tryptic stratum korneum meningkat pada dermatitis atopik, sehingga menunjukkan bahwa ketidakseimbangan protease dan aktivitas inhibitor protase bisa berkontribusi bagi inflamasi kulit atopik. Fakta-fakta ini memiliki peranan penting untuk fungsi skin barrier yang terganggu dalam patogenesis dermatitis atopik, karena pembentukan skin barrier yang terganggu memungkinkan peningkatan kehilangan air transepidermal dan, yang lebih penting, meningkatkan masuknya alergen, antigen, dan bahan kimia dari lingkungan yang menghasilkan respons inflammatory kulit. Penting untuk ditekankan bahwa mutasi-mutasi filaggrin ini, dan kemungkinan mutasi-mutasi lain yang mengenai skin barrier, bisa terjadi pada orang-orang yang tidak terkena, pasien dengan ichtyosis vulgaris yang tidak mengalami dermatitis atopik, dan sehingga kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik meningkat penyakit kulit inflamasinya. Sehingga, produk-produk gen lain juga harus terlibat dalam patologi dermatitis atopik. Kromosom 5q31-33 mengandung famili gen sitokin terkait (IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan faktor penstimulasi koloni makrofage granulosit) yang diekspresikan oleh sel-sel Th2. Sebuah perbandingan kasus kontrol telah menunjukkan adanya hubungan genotip antara alel T dari polimorfisme 590C/T pada daerah promoter gen IL-4 yang mengalami dermatitis atopik. Karena alel T terkait dengan aktivitas promoter gen IL-4 yang meningkat ketika dibandingkan dengan alel C, ini menunjukkan bahwa perbedaan genetis untuk aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi dermatitis atopik. Disamping itu, hubungan antara dermatitis atopik dengan mutasi penambahan-fungsi (gain-of-function) pada subunit dari reseptor IL-4 telah dilaporkan, sehingga memberikan dukungan lebih lanjut tentang konsep bahwa ekspresi gen IL-4 memegang peranan dalam dermatitis atopik. Mutasi-mutasi fungsional dalam daerah promoter dari chemokin C-C, RANTES dan eotaksin, serta varian pada IL-13, subunit dari reseptor permukaan sel berafinitas tinggi untuk IgE (FcR1) yang ditemukan pada basofil dan sel-sel mast, menunjukkan basis genetika yang mirip dengan penyakit atopik lainnya. Keterlibatan imunoglobulin sel-T dan gen IL-18 dan molekul-1 yang mengandung domain mucin mendukung peranan sel T CD4+ dan disregulasi gen Th1 dalam patofisiologi dermatitis atopik. Demikian juga, laporan-laporan tentang hubungan antara dermatitis atopik dengan polimorfisme gen NOD1, yang mengkodekan reseptor pengenal patogen dan reseptor Toll-like dalam sitosol, menunjukkan sebuah peranan penting bagi gen pertahanan host dalam patogenesis dermatitis atopik.

PERANAN PRURITUS DALAM DERMATITIS ATOPIKPruritus merupakan sebuah ciri utama dari dermatitis atopik, yang dimanifestasikan sebagai hipersensitifitas kutaneous dan penggarukan setelah keterpaparan terhadap alergen, perubahan kelembaban, keringat berlebih, dan pengiritasi dalam konsentrasi rendah. Pengendalian pruritus penting karena cedera mekanis akibat penggarukan bisa menimbulkan pelepasan chemokin dan sitokin pro-inflammatory, yang menghasilkan gatal-gatal sehingga ruam kulit dermatitis atopik tetap terjadi. Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik belum dipahami dengan baik. Pelepasan histamin dari sel mast kulit yang dipengaruhi oleh alergen bukan merupakan penyebab satu-satunya untuk pruritus pada dermatitis atopik, karena antihistamin tidak efektif dalam mengontrol gatal-gatal dermatitis atopik. Penemuan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin efektif dalam mengurangi pruritus menunjukkan bahwa sel-sel inflammatory memegang peranan penting dalam pruritus. Molekul-molekul yang telah diketahui terlibat dalam pruritus mencakup sitokin-sitokin asal sel-T seperti IL-31, neuropeptida imbas stress, protease seperti protease yang bisa beraksi pada reseptor-reseptor teraktivasi-protease, eikosanoid, dan protein-protein asal eosinofil.FAKTOR-FAKTOR PENCETUS1. MakananBerdasarkan hasilDouble Blind Placebo Controlled Food Challenge(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya.

2. Alergen hirupAlergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita DA mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42% pada penderita asma di Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atauragweeddi negara-negara dengan 4 musim.

3. Infeksi kulitPenderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh kuman umumnyaStaphylococcus aureus, virus dan jamur. Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah koloni bisa mencapai 107koloni/cm2pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen,mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal.

4. Variasi musimMekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan berpengaruh baik pada kulit penderita DA.GAMBARAN KLINIS

Umumnya gejala DA timbul sebelum bayi berumur 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit dermatitis atopik sukar diramalkan.

Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu :1. Bentuk infantilSecara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sel sudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur.

2. Bentuk anakSeringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun diantaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.

3. Bentuk dewasaDA bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi.Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:

1. White dermatographism( Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.

2. Reaksi vaskular paradoksal ( Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.3. Lipatan telapak tangan ( Terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk DA.4. Garis Morgan atau Dennie ( Terdapat lipatan ekstra di kulit bawah mata.5. Sindrom buffed-nail( Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangal gatal.6. Allergic shiner( Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.7. Hiperpigmentasi( Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.8. Kulit kering( Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.9. Delayed blanch(Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengandelayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.10. Keringat berlebihan(Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.11. Gatal dan garukan berlebihan(Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA gatal dapat bertahan selama 45 menit.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tes Laboratorium

- Imunoglobulin

Tes laboratorium tidak diperlukan dalam pemeriksaan dan perawatan rutin dermatitis atopik yang tidak parah. IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA serum yang rendah, dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE serum meningkat pada 70-80% penderita DA dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan rinitis alergika. Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannya penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat pengobatan prednison atau azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi. 20-30% persen pasien dermatitis atopik memiliki kadar IgE serum yang normal. Sub-tipe dermatitis atopik ini memiliki pemekaan IgE yang kurang terhadap alergen makanan atau pernapasan. Akan tetapi, beberapa dari pasien ini bisa memiliki pemekaan IgE terhadap antigen-antigen mikroba seperti toksin S. aureus, dan Candida albicans atau Malassezia sympodialis. Demikian juga, beberapa dari pasien ini menunjukkan reaksi positif dengan menggunakan uji tempel atopik meskipun negatif untuk uji kulit langsung.

Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik juga memiliki eosinofilia darah perifer. Pasien dengan dermatitis atopik memiliki pelepasan histamin spontan yang meningkat dari basofil. Temuan-temuan ini kemungkinan mencerminkan sebuah respons imun Th2 sistemik pada dermatitis atopik khususnya pasien-pasien yang memiliki kadar IgE serum meningkat. Yang lebih penting, darah perifer kulit yang membawa sel CLA+ T pada dermatitis atopik yang tidak mengekspresikan CD4 atau CD8 secara spontan mensekresikan IL-5 dan IL-13, yang secara fungsional memperpanjang kelangsungan eosinofil dan menginduksi sintesis IgE.- LimfositJumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada asma, rinitis alergilk, maupun pada DA Walaupun demikian pada beberapa penderita DA berat. dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B- Eosinofil

Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit.

- Leukosit polimorfonuklear (PMN)Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT) ternyata jumlah PMN biasanya dalam batas normal.- KomplemenPada penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat.

- BakteriologiKulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, sepertiStaphylococcus aureus. walaupun tanpa gejala klinis infeksi.

2. Uji kulit dan provokasiDiagnosis DA ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Untuk mencari penyebab timbulnya DA harus disertai anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan uji kulit serta uji eliminasi dan provokasi. Korelasi uji kulit hanya baik hasilnya bila penyebabnya alergen hirup. Untuk makanan dianjurkan dengan uji eliminasi dan provokasi. Reaksi pustula terhadap 5% nikel sulfat yang diberikan dengan uji tempel dianggap karakteristik untuk DA oleh beberapa pengamat. Patogenesis reaksi pustula nikel fosfat ini belum diketahui walaupun data menunjukkan reaksi iritan primer.

DIAGNOSIS

Hanifin dan Lobitz (1977) menyusun petunjuk yang sekarang diterima sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis DA Mereka mengajukan berbagai macam kriteria yang dibagi dalam kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosa DA meliputi pruritus dan kecenderungan dermatitis untuk menjadi kronik atau kronik residif dengan gambaran morfologi dan distribusi yang khas.

Dermatitis atopik dikenal sebagai gatal yang menimbulkan kelainan kulit, bukan kelainan kulit yang menimbulkan gatal. Tetapi belum ada kesepakatan pendapat mengenai hal ini, karena pada pengamatan, lesi di muka dan punggung bukan diakibatkan oleh garukan, selain itu dermatitis juga terjadi pada bayi yang belum mempunyai mekanisme gatal-garuk.

Kriteria diagnosis dermatitis atopikdari Hanifin dan Lobitz (1977)Kriteria mayor ( > 3)Pruritus

Morfologi dan distribusi khas :

dewasa : likenifikasi fleksura

bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor

Dermatitis bersifat kronik residif

Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Kriteria minor ( > 3)Xerosis

Iktiosis/pertambahan garis di palmar/keatosis pilaris

Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat

Peningkatan kadar IgE

Kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular

Dermatitis pada areola mammae

Keilitis

Konjungtivitis berulang

Lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita

Keratokonus

Katarak subskapular anterior

Hiperpigmentasi daerah orbita

Kepucatan/eritema daerah muka

Pitiriasis alba

Lipatan leher anterior

Gatal bila berkeringat

Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven

Gambaran perifolikular lebih nyata

Intoleransi makanan

Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi

White dermographism/delayed blanch

DIAGNOSIS BANDING Dermatitis Kontak Alergi

Dermatophytosisataur dermatophytids

Sindrom defesiensi imun

Sindrom Wiskott-Aldrich

Sindrom Hyper-IgE

Penyakit Neoplastik

Langerhans cell histiocytosis

Penyakit Hodgkin

Dermatitis Numularis

Skabies

Dermatitis Seborrheic

Skabies ( Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dariscraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap pengobatan dengan -benzen heksaklorida.

Dermatitis seboroik infantil( Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.

Dermatitis kontak (Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena sepatu.

KOMPLIKASI

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia.Molluscum contagiosumdan herpes).

Infeksi virus umumnya disebabkan olehHerpes simplexatau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureusTERAPI.

Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia. Langkah yang penting adalah menjalin hubungan baik dengan orang tua penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara rinci, termasuk perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinip penatalaksanaan. Langkah pertama dalam penatalaksanaan penderita DA adalah menghindari atau sedikitnya mengurangi faktor penyebab, misalnya eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus sel Walaupun masih kontroversial ternyata bayi yang memperoleh air susu ibu lebih jarang menderita DA dibandingkan bayi yang memperoleh pengganti air susu ibu. enghindaran faktor alergen pada bayi berumur kurang dari l tahun akan mengurangi beratnya gejala. DA. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga alergi memperoleh hanya ASI sediIkitnya 3 bulan, bila mungkin 6 bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi. Susu sapi diduga merupakan alergen kuat pada bayi dan anak, maka bagi mereka yang jelas alergi terhadap susu dapat dipergunakanbangkan untuk menggantinya dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap susu kedelai masih ada. 60% penderita DA di bawah usia 2 tahun memberikan reaksi positif pada uji kulit terhadap telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi positif ini akan menghilang dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif terhadap antigen makanan tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala klinisnya. Demikian pula hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak selalu berhasil untuk mengatasi penyakitnya. Membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputihidrasi kulit, terapi topikal, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dan pencetus dan bila perlu terapi sistemik.

Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan.

Perawatan KulitHidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun denganmoisturizersdisarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari denganwater-in-oil moisturizerssediaanlactic acid.

Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%.Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik.

Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuklotiondansprayuntuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi,steroid acnedan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi darihypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.

Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula menolong.

Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas,folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureusyang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dariflareakut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.

Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasiSabun dan baju yang bersifat

iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu rumah. Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.

Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Langeland : I. Luasnya lesi kulit

fase anak/dewasa

< 9% luas tubuh 1

9-36% luas tubuh 2

> 36 % luas tubuh 3

fase infantil

< 18% luas tubuh 1

18-54% luas tubuh 2

> 54% luas tubuh 3

II. Perjalanan penyakit

remisi > 3 bulan/tahun 1

remisi < 3 bulan/tahun 2

Kambuhan3

III. Intensitas penyakit

gatal ringan, gangguan tidur + 1

gatal sedang, gangguan tidur + 2

gatal berat, gangguan tidur + 3

Penilaian skor

3-4 : ringan

5-7 : sedang

8-9 : berat

KESIMPULANPasien datang untuk mengikuti pengembangan imunisasi, sebelumnya belum pernah diimunisasi karena ibu pasien khawatir karena pasien sering mengalami kemerahan pada pipi dan siku yang sering digaruk karena gatal. Pasien sejak usia 3 bulan pasien mengkonsumsi susu formula dan sekarang diberi makanan tambahan berupa makanan semi solid dan telur.

Pasien didiagnosis menderita Dermatitia Atopik dengan diagnosis banding dermatitis kontak alergika. Dan perlu dilakukan pemeriksaan tambahan seperti uji eliminasi dan provokasi atau pemeriksaan imunoglobulin serum untuk menunjang diagnosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Braunwald, Kasper,Harrisons.Principles of Internal Medicine. Ed 17. Singapore. 2008. Pg 2504-2512, 2602-2606.

2. Price Sylvia A,Wilson Lorraine M. Patofisiologi. Ed 6. Jakarta: EGC, 2006.

3. Djuanda Adhi, Hamzah Moch, Aisah Siti, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin cetakan kelima. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010.

4. Harahap Mawali. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta. 2000.

5. Bag/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK.Unair. Atlas penyakit kulit dan kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2008.