mahkamah konstitusi.docx
TRANSCRIPT
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
1/33
Mahkamah Konstitusi (MK)
(Constitutional court)
Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd
Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan (Asshiddiqie,2009;301). Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai special
Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus merupakan
konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern ( modern nation-
state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma
hukum yang lebih tinggi (Siahaan dalam Santika,2012;172-173). Pengujian ini biasanya disebut
judicial review (Mahmud MD,2009;257). Yudicial review adalah fenomena yang beriringan
dengan perkembangan ide negara demokratis (Isra,2010;294). Sejarah modern judicial review,
yang merupakan ciri kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat oleh Mahkamah
Agung, dapat dilihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250 tahun, dengan rasa
kebencian sampai penerimaan yang luas (Siahaan,2010;3). Kendati pada saat itu konstitusi
Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan yudicial review
kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskannya untuk senantiasa
menegakan konstitusi, Marshal menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-
undang bertentangan dengan konstitusi (Mahkamah Konstitusi,2010;1). Argumentasi yang
mendasari kewenangan pengadilan untuk melakukan pengawasan konstitusi tersebut
memberikan dorongan bagi Mahkamah Agung untuk melaksanakan judicial review
(Fatmawati,2005;75). Sudah selayaknya menjadi wewenang para hakim untuk memutuskan apaarti hukum (Wheare,2005;152). Yudicial riview itu lahir ke dalam tatanan hukum Amerika
Serikat lewat putusan hakim (Yusdiansah,2010;65). Dapatlah katakan kemudian bahwa yudicial
riview merupakan konvensi ketatanegaraan tidak lain, karena kebutuhan akan ketentuan-
ketentuan untuk pelengkap (supplement) rangka hukum konstitusi (Suny,1986;37). Akan tetapi
para pendiri pasti memahami bahwa pengadilanlah yang akan melakukan wewenang itu
(Rodee,2011;305). Sehingga secara implisit Undang-Undang Dasar menetapkan adanya suatu
pengadilan federal yang berhak mengadili semua persoalan konstitusional (Budiardjo,2010;278).
Lagi pula dengan tiadanya kontrol undang-undang dasar sama sekali akan kehilangan azasnya
(Soehino,1983;269). Dengan hak yudicial review ini Mahkamah Agung Amerika Serikat
berhak untuk menguji apakah suatu peraturan, baik negara bagian maupun federal, bertentangandengan Undang-Undang Dasar Amerika Serikat atau tidak (Anthony,1984;5). Kekuasaan
dimaksudkan agar konstitusi merupakan perjanjian antara negara-negara yang bergabung ini
tidak digerogoti baik melalui Undang-Undang Federal maupun melalui Undang-Undang Negara
bagian (Soemantri,2006;119). Hal mana akan mengakibatkan tidak dapat dijalankannya undang-
undang atau kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan (Hartono,1982;26). Karena sesuai
dengan pendapat Montesquieu (2011;363) yang menyatakan jika terdapat undang-undang yang
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
2/33
tak bermanfaat, lebih baik disingkirkan saja karena hanya akan memperlemah hukum. Pengaruh
Mahkamah Agung demikian besar sehingga pernyataan tidak konstitusional dianggap mengikat
pada badan legislatif dan badan eksekutif (Anwar,1998;125). Di Amerika Serikat kedudukan
lembaga yudikatif terhadap lembaga legislatif adalah kuat dengan wewenang supreme courtdi
sana menyatakan suatu undang-undang tidak sah dan tidak berlaku karena dianggap bertentangan
dengan konstitusi (Prodjodikoro,1981;91). Tidak lain dikarenakan bahwa undang-undang Dasar
modern juga memuat gronrechten, scheiding van machtenagar terdapat een system van checks
and balances (Djokosoetono,2006;89). Memang, hakim federal tidak dapat menghapuskan
undang-undang tersebut tetapi dia harus menyatakan undang-undang itu tidak sah secara legal di
hadapan pengadilan untuk semua kasus yang timbul karenanya (Strong,2005;386). Dengan
demkian dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung federal merupakan pengadilan tertinggi
untuk menyelesaikan persoalan konstitusional (Budiardjo,2008;278). Dengan tradisi yang
demikian, Mahkamah Agung Amerika Serikat telah menciptakan dasar-dasar bagi terbentuknya
satu sistem, mekanisme, atau institusi baru dalam praktek, yaitu perlindungan hukum atas
konstitusionalitas (judicial protection of constitutionality) (Asshiddiqie,2010;26). Olehkarenanya dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki peranan yang sangat penting
dalam sistem ketatanegaraan modern, bahkan menjadi dasar daripada terbentuknya Mahkamah
Konstitusi, yang juga memiliki tugas yang sama dengan Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Pada hakekatnya, fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi
dijalankan dengan konsisten (the guardion of the constitutions) (Tutik,2008;260). Mengapa
sistem pengujian undang-undang di Amerika Serikat bukannya diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi yang karena itu diberikan sebuah hak untuk melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD Federal? Di dalam tradisi common law dan sistem konstitusi Amerika Serikat
(AS), lembaga MK yang tersendiri tidak dikenal, tetapi fungsinya langsung menjadi kewenangan
Mahkamah Agung (supreme court) yang disebut the guardion of American Constitution
(Latif,2009;183). Sedangkan Asshiddiqie (tt;193) menyatakan bahwa sebagian besar negara
demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri
sendiri.
Perkembangan selanjutnya adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) yang terpisah dengan Mahkamah Agung yang diprakarsai oleh Hans Kelsen, guru besar
kenamaan dari Universitas Wina (Vina) di Austria yang mengusulkan dibentuknya sebuah badan
yang diberi nama Verfassungsgerichtshoff sehingga oleh para sarjana menyebut Mahkamah
Konstitusi Austria disebut sebagai The Kelsenian Model(Asshiddiqie,2010). Sebaliknya justru
bangsa Amerika Serikatlah yang pertama mengembangkan mekanisme judicial Riview atas
undang-undang buatan Konggres, dimulai dengan putusan atas kasus Marbury versus Madison
pada tahun 1803 (Asshiddiqie,2006;3). Walaupun dalam kenyataannya bahwa fungsi dan
mekanisme (constitutional riview of laws) telah lama diterapkan dalam praktek (Latif,2009).
Pada hakekatnya, fungsi utama MK adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan
konsisten (the guardian of the constitution) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the
interpreter of the constitution) (Asshiddiqie, 2004;5-6). Bahkan, dapat dikatakan, sejak umat
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
3/33
manusia berkenalan dengan gagasan Mahkamah Konstitusi pada tahun 1920-an, luas sekali
pengaruhnya terhadap perkembangan teori dan praktik dalam hukum tata negara seluruh dunia
(Asshiddiqie,2006;322).
Berbeda dengan keadaan di Belanda, yang menurut Soepomo (1988;71) bahwa pengujian
sahnya undang-undang (materiele toetsingsrecht) tidak diizinkan kepada pengadilan,
berdasarkan ketentuan-ketentuan dari Pasal 124 (2) UUD Belanda, bahwa undang-undang itu
tidak dapat diganggu gugat. Sebaliknya pengadilan berhak menguji sahnya semua peraturan yang
lain. Menurut Kansil dan Christine (2002;152) bahwa ketentuan ini mengandung larangan bagi
hakim maupun bagi administrasi negara. Sekalipun hakim atau administrasi negara yakin bahwa
isi dan tujuan sesuatu undang-undang bertentangan dengan isi dan tujuan undang-undang dasar,
masih juga mereka tidak berwenang menyatakan tidak-berlakunya undang-undang itu. Oleh
sebab itu, dapat dikatakan bahwa hakim maupun administrasi negara tidak boleh menguji isi
undang-undang itu pada undang-undang dasar. Menurut Aziz (2010;114) bahwa hal ini
menggambarkan bahwa UU merupakan cerminan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan ada
parlemen (supremasi parlementer). Pembentuk undang-undang sendiri adalah satu-satunya yangberhak untuk menentukan, adakah peraturan yang dikehendaki sesuai dengan Undang-Undang
Dasar (Apeldoorn,2011;83). Belajar dari pengalaman masa lalu, kalau hanya mengandalkan
legislative review hasilnya tidak begitumenggembirakan karena tidak menampung derasnya
aspirasi keadilan yang hidup dan berkembang di tengah aspirasi masyarakat (Yasabari,1984;62).
Dasar pemikiran tersebut tidak lain dikarenakan bahwa kecil kemungkinan suatu lembaga untuk
menghapus suatu produk yang dibuatnya sendiri dengan dalih bertentangan dengan UUD.
Terkait dengan pengujian undang-undang dapat dinyatakan, dengan adanya MK ini yang
dulunya merupakan pandangan klasik Montesquieu yang menyatakan bahwa hakim hanyalah
corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang
(Mertokusumo dan Pitlo,1993;6), hal ini mengandung arti bahwa tugas kekuasaan yudisial
adalah untuk melaksanakan perintah undang-undang terhadap suatu kasus atau peristiwa konkret
(Sibuea,2010; 111), namun untuk sekarang hakim konstitusi dapat membatalkan undang-undang,
jika dipandang bertentangan dengan undang-undang dasar. Karena itu, di samping berfungsi
sebagai pengawal UUD, Mahkamah Konstitusi juga biasa disebut sebagai the sole interpreter of
the constitution(Asshiddiqie,2006;153).
Dibentuk lembaga pengadilan untuk melakukan pengujian UU adalah dalam rangka
mengimbangi kekuasaan legislatif dalam pembuatan UU agar tidak bertentangan dengan UUD.
Sehingga dengan demikian, menurut Isra (2010;121-122) bahwa sebagai hasil dari sebuah proses
politik, John Agresto mengemukakan, tidak tertutup kemungkinan munculnya undang-undang
yang opresif dan atau despotik. Bahkan, Rozali (2009) menyatakan bahwa undang-undang yang
dihasilkan sering tidak memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Dalam hal ini tentunya akan
merugikan daripada rakyat, yang sebenarnya oleh konstitusi ditentukan sebagai pemilik
kedaulatan yang sesungguhnya, sehingga tindakan wakil rakyat seharusnya selaras dengan
kehendak yang diwakilinya, namun ternyata bisa saja terjadi sebaliknya. Untuk menjamin hal
tersebut, maka keberadaan MK merupakan suatu keniscayaan, Asshiddiqie dan Safaat
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
4/33
(2006;139) menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara
efektif dijamin hanya jika organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah
suatu hukum itu konstitusional atau tidak dan tidak memberlakukannya jika sesuai dengan
pendapat organ ini tidak konstitusional. Dengan demkian, hendaknya bermaksud untuk
meletakan konstitusi sebagai aturan paling tinggi, yang tidak boleh di simpangi oleh peraturan
yang kedudukannya lebih rendah. Untuk itu kemudian dibutuhkanlah sebuah lembaga negara
yang bertugas untuk menjamin tegaknya konstitusi, hal ini dikarenakan konstitusi tidak akan
dapat ditegakan, jika tidak terdapat lembaga negara yang ditunjuk secara langsung oleh
konstitusi, untuk menjamin agar tidak dilanggarnya kaidah-kaidah konstitusi. Lembaga yang
dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional court), yang bertugas menyesuaikan
undang-undang dengan konstitusi agar selaras, yang mana dikarenakan bahwa undang-undang
sendiri merupakan sebuah produk politik. Lebih tegas lagi berkaitan UU sebagai produk politik,
yang karena dibuat oleh badan politik, Marzuki(2007;5) berpendapat bahwa:
Tatkala suatu undang-undang dipahami selaku produk politik karena di desain, dirancang
oleh body politics, seperti halnya dengan DPR dan Presiden maka kadangkala dalam
undang-undang terdapat kepentingan para politik (de wet gevers) di kala proses
pembentukan undang-undang, yang bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat
banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Undang-undang semacamnya kelak ternyata
ditemukan pada muatan substansi undang-undang yang dipandang bertentangan dengan
konstitusi.
Dengan demkian, tidak tertutup kemungkinan adanya suatu undang-undang yang dibuat
oleh lembaga politik namun dalam kenyataan ternyata semangatnya bertentangan dengan jiwa
konstitusi, yang sebenarnya memberikan atribusi berupa kewenangan untuk mengaturnya lebih
lanjut, dengan ataupun dalam bentuk undang-undang. Bahkan, jika hukum dalam arti undang-
undang yang dibuat oleh legislatif sudah bertentangan dengan UUD 1945, maka dapat dipastikan
kemudian bahwa undang-undang tersebut akan jadi merugikan rakyat banyak pula. Tidak lain
disebabkan, bahwa konstitusi itu sendiri merupakan perjanjian rakyat yang kedudukannya
tertinggi, bahkan hak-hak rakyat telah diletakan di dalamnya sebagai wujud perlindungan, yang
nantinya akan diberikan konstitusi, untuk kemudian diatur dengan peraturan di bawahnya lebih
lanjut baik dalam/dengan bentuk undang-undang. Untuk itu menurut, Safaat (2011;42) bahwa
hukum yang dibuat sebagai dasar keberadaan negara tersebut harus demokratis, yaitu sesuai
dengan tuntutan masyarakat. Namun, tidak seperti keadaan normatifnya, jika dilihat dari sisi
kenyataannya (sein) maka undang-undang sebagaimana dimaksud di atas, adalah merupakansebuah produk politik. Undang-undang adalah produk politik, sebagai produk politik banyak
kepentingan-kepentingan politik yang terdapat di dalamnya, kepentingan-kepentingan itu
bergulat agar dapat menjadi sebuah kebijakan, yang pada akhirnya mengikat rakyat dan juga
tentunya bersifat memaksa. Yang berbahaya adalah jika suatu kepentingan politik yang tertanam
di dalamnya ternyata kemudian bertentangan dengan konstitusi yang pada dasarnya menjamin
hak-hak konstitusional rakyat, untuk itulah perlu kembali mengidentifikasikan suatu undang-
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
5/33
undang yang nantinya akan merugikan rakyat, dengan lebih cermat lagi. Analisis kritis terhadap
produk perundang-undangan (critical legal analisys) tidak hanya berusaha untuk menelaah
muatan materiil dari produk perundang-undangan melainkan juga bertujuan untuk
mengidentifikasikan kepentingan yang tersembunyi (intention political hidden)
(Rahayu,2007;289). Mungkin saja kepentingan-kepentingan tersembunyi tersebut, berpotensi
untuk merugikan kepentingan banyak orang, yang pada dasarnya jelas-jelas dijamin dalam
konstitusi. Dengan demikian, jelaslah bahwa posisi Peradilan Konstitusi (constitutional
judiciary) dalam struktur masyarakat normatif menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari
(Stefanus,2009;19). Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya peradilan konstitusi, produk
politik berupa undang-undang dapat dihasilkan dengan lebih memihak kepada rakyat, sehingga
tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang hanya menguntungkan antara pihak eksekutif dan
legislatif, selaku organ yang membuatnya. Lebih lanjut terkait dengan hukum yang berbentuk
undang-undang, yang dibentuk oleh eksekutif dan juga legislatif, Cassese (2005;29) menyatakan
dengan tegas bahwa:
Jika ada yang bertanya bagaimana semuanya itu dapat berfungsi dalam praktik maka kita
langsung menyadari bahwa teks-teks itu semuanya sangat mungkin dimanipulasi, karena
teks-teks memberikan sejumlah peluang dan jalan keluar bagi badan-badan kekuasaan
politik. Yang disebut kemudian ini berhak menentukan batas-batas kebebasan, menentukan
apa yang dapat membahayakan masyarakat, bila saatnya tatanan umum secara absah
dapat membatasi kebebasan, dan seterusnya. Satu-satunya pembatasan kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan politik adalah Hukum. Kenyataan bahwa semua putusan
seperti itu bukan diambil oleh kekuasaan eksekutif tetapi oleh badan badan legislatif,
dianggap merupakan penjagaan terhadap kesewenang-wenangan. Namun apabila kita teliti
secara lebih mendalam, kita menyadari bahwa itu tidak memperlihatkan bagaimanahukum itu akan dibuat: meskipun semuanya menekankan bahwa semua warga negara harus
ikut serta dalam pembuatan undang-undang, baik secara langsung maupun dengan
perantaraan wakil-wakil mereka, namun semuanya tidak menjelaskan syarat-syarat
minimum yang harus dipenuhi agar hukum itu benar-benar menjadi kehendak rakyat
sesungguhnya(kursi penulis).
Dari sudut pandang teori kelompok, pengesahan undang-undang melalui badan legislatif
melulu dilihat sebagai perebutan pengaruh antar kelompok yang berkompetisi, yang masing-
masingnya berusaha memajukan kepentingan sendiri (Rodee dkk,2011;15). Hal ini membuktikan
bahwa produk hukum yang dibuat oleh badan legislatif, bukanlah sepenuhnya mewakilikehendak rakyat, bahkan bisa jadi berlawanan dengan kehendak rakyat itu sendiri yang
seharusnya diwakili. Dengan demikian akan berpotensi melanggar hak-hak rakyat yang
ditetapkan oleh konstitusi, padahal konstitusi itu sendirilah yang merupakan kehendak rakyat
dalam arti yang sesungguhnya. Bukan undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif
dengan eksekutif, karena nilai konstitusi lebih tinggi kedudukannya daripada undang-undang.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga negara yang diberikan tugas untuk melindungi hak-
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
6/33
hak rakyat dengan menjungjung tinggi supremasi konstitusi dari tindakan penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga-lembaga politik, yang diberikan mandat oleh rakyat itu sendiri. Bahkan
hendaknya undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif harus mendasarkan diri kepada
keadilan, tentunya juga berdasarkan nilai-nilai konstitusi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Prodjodikoro (1981;33) yang menyatakan bahwa badan legislatif dalam merancangkan dan
membikin undang-undang harus memperhatikan keadilan. Jangan sampai, suatu undang-undang
mengandung peraturan yang bersifat diskriminatif dan menguntungkan satu pihak saja yang
tidak seimbang dengan apa yang dibagikan kepada pihak lain.
Dari segi konsepsinya, apa yang terkandung dalam perkataan constitutional review itu
jelas berkaitan erat dengan prinsip supremasi konstitusi (supremacy of the constitution). Prinsip
ini dalam perkembangan sejarahnya berhadap-hadapan dengan doktrin kedaulatan parlemen
(sovereignity parliament) atau prinsip supremasi parleman yang berdaulat. Dalam sistem
pengujian konstitusionalitas (constitutional review), terkandung pengertian bahwa yang
supremeitu adalah konstitusi (the idea of the supremacy of the Constitution), bukan parlemen.
Untuk menjamin supremasi hukum tertinggi tersebut atau the supreme law of the land,
diperlukan lembaga tersendiri yang terbebas dari pengaruh cabang kekuasaan legislatif ataupun
eksekutif (Asshiddiqie,2010;30). Dapat dikatakan bahwa perkembangan ke arah terbentuknya
Mahkamah Konstitusi, merupakan kelanjutan dari perkembangan kedaulatan rakyat yang
kemudian terwujud dalam bentuk lembaga legislatif, dimana diawali daripada berpindahnya
sebagian kekuasaan raja ke tangan parlemen dalam pembuatan peraturan yang mengikat,
kemudian disusul pula dengan berpindahnya kekuasaan untuk mengadili ke tangan yudisial, yang
kedudukannya berdiri sendiri serta kemudian membalutnya dengan kedaulatan hukum.
Diadopsinya prinsip pengujian konstitusional (constitutional review) tersebut berkaitan
pula dengan pengertian bahwa kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan secara horizontal
(horizontal separation of power) antar berbagai lembaga negara (state organs) yang sederajat
satu sama lain bersifat saling mengendalikan (Asshiddiqie,2006). Adanya Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu bentuk upaya dalam mengimbangi atas kekuasaan legislatif maupun kekuasaan
eksekutif (Hamidi dan Lutfi,2010;31). Prinsip inilah yang biasa disebut cheks and balances. Di
samping itu, pengujian konstitusional (constitutional review) juga dikaitkan dengan berlakunya
prinsip pemisahan kekuasaan secara vertical (vertical separation of power) sebagaimana
dimaksud di atas.
Selain itu, dianutnya sistem pengujian undang-undang adalah merupakan suatu
konsekuensi bagi negara yang menganut prinsip hierarki norma, seperti teori dari Hans Kelsen
dan Hans Nawiasky. Mengenai norma dalam sistem norma yang dinamik, Hans kelsen
mengajarkan, bahwa suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, norma ini dibentuk
oleh norma lebih tinggi, dan demikian hal itu seterusnya sampai berhenti pada norma yang
tertinggi lagi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi melainkan diperkirakan
(Presupposed, voorondersteld) atau ditetapkan terlebih dahulu voraugezetztkeberadaannya oleh
masyarakat atau rakyat sendiri. Kelsen menamakan norma tertinggi ini Grunorm, Basic Norm
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
7/33
(Norma Dasar). Hans Nawiasky mengatakan, norma tertinggi dalam negara sebaiknya tidak
disebut Staatgrunorm melainkan Staatfundamentalnorm, norma fundamental negara.
Pertimbangannya ialah karena Grunormdari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-
ubah, sedang norma tertinggi suatu negara mungkin berubah-ubah oleh pemberontakan, coup
detat,putsch, anschluss, dan lain sebagainya (Atammimi, 1990;358-359, Indrati,2007;48).
Oleh karena itu, dapatlah dikatakan kemudian bahwa peraturan itu mempunyai hierarchis
(tingkatan), dan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi tingkatnya (Soemitro,1992;35). Hal mana adalah sesuai dengan adagium lex superior
derogate legi inferiori, jika dua (norma) hukum bertentangan yakni antara hukum yang
kedudukannya lebih rendah dengan hukum yang kedudukannya lebih tinggi, maka hukum yang
kedudukannya lebih tinggi mengalahkan hukum yang kedudukannya lebih rendah. Adanya
ketentuan tersebut merupakan asas hukum yang terjelma di belakang setiap sistem hukum
peraturan perundang-undangan. Jadi, asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkrit,
melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak
(Mertokusumo,1996;33). Bahkan, dikatakan bahwa azas hukum merupakan jantungnya
hukum, dengan adanya azas hukum dimungkinkan adanya peyimpangan-penyimpangan hukum
dikarenakan terjadinya bentrokan antara peraturan-peraturan hukum yang konkrit, sehingga
membuat hukum semakin luwes. Fungsi daripada asas hukum setidaknya untuk menjaga
ketaatan asas, menyelesaikan pertentangan yang terjadi dalam sistem hukum, dan sebagai
rekayasa sosial baik dalam sistem hukum mupun dalam sistem peradilan. Selain itu, sebenarnya
masih ada asas-asas yang berlaku lainnya dalam ilmu hukum seperti lex posteriori derogate legi
priori (aturan hukum yang baru menyampingkan aturan hukum yang lama, dalam mengatur
mengenai hal yang sama), asas legalitas (nulum delicticum nulla poena sine pravea lege poenali
(Pasal 1 ayat KUHP), asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), hakim tidak bolehmenolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukum atau hukumnya
kurang jelas (ius curia novit), ketentraman masyarakat harus dipulihkan kembali (restutio in
integrum), eidereen wordt geacht de wette kennen, gogattionis poenam nemo patitur, lex dura
sed temen/lex dura secta mante scripta, lex minimum cogit ad imposibiliadll.
Untuk lebih jauh lagi mengetahui tentang lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi,
khususnya di Indonesia, maka perlulah diceritakan kembali sedikit terkait dengan sejarah pada
awal mulanya perdebatan, pada saat pembahasan konstitusi pertama, yang berkaitan dengan
perdebatan tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi. Kemudian dilanjutkan kembali dalam
sejarah perjalanannya yang ternyata lembaga ini sangat dibutuhkan oleh republik ini, namunkarena kekuasaan yang sifatnya otoritarian sehingga pada akhirnya pemikiran terkait dengan
dibentuknya Mahkamah Konstitusi terhenti untuk waktu sejenak. Kemudian kesempatan untuk
membentuk lembaga negara yang bernama Mahkamah Konstitusi (constitutionalcourt) datang
kembali, bahkan mewarnai perdebatan di MPR, hingga akhirnya kemudian benar-benar di
adopsinya Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan pelindung konstitusi. Untuk itu, baiklah
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
8/33
telusuri sedikit sejarah berkaitan dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi yang akan
diuraikan di bawah ini.
Untuk di Indonesia, sejarah terkait keberadaan hak untuk menguji UU terhadap UUD di
Indonesia sebenarnya dapat telusuri lebih jauh dengan adanya pendapat yang diusulkan oleh
Moh.Yamin dalam sidang BPUPK yang menyatakan bahwa Balai Agung janganlah sajamelaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding (kursif
penulis), apakah Undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak melanggar
Undang-Undang Dasar republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah
tidak bertentangan dengan syariah agama Islam (Setneg,1995;299). Namun, dalam perjalanannya
ternyata pendapat berupa usul yang diusulkan oleh Yamin tersebut tidak disetujui oleh Soepomo
dengan alasan sebagai berikut.
Kecuali itu tuan Paduka Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan, bahwa para ahli
hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan Tuan
Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Ceko-Slowakia dan Jerman waktu Weimerbukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan special, constitutioneel-hof, suatu
pengadilanspesifiek- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa
tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli
tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya, mengerjakan
persoalan ini (kursif penulis) (Setneg,1995;306).
Selain masih minimnya tenaga ahli sebagaimana dimaksudkan di atas oleh Sopomo, bahwa
Undang-Undang 1945 juga tidaklah sama dengan negara yang menganut sistem pemerintahan
yang memisahkan lembaga-lembaga negara (separation of power). Dikarenakan menurut
Soepomo bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah menganut pembagian kekuasaan(distribution of power), bukan pemisahan kekuasaan secara prinsipil di antara ketiga lembaga
negara sebagaimana dimaksud oleh Montesquieu. Asshiddiqie dalam Arifin dan Wardi (2002;22)
menyatakan bahwa kalau kita simak perdebatan para foundingfatherskita dulu, mengapa MA
tidak mempunyai kewenangan menguji UU, alasannya karena tidak ada separation of power,
sehingga yang berhak menguji UU adalah lembaga yang membuatnya sendiri. Lembaga yang
dimaksud dalam hal ini adalah legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden), dalam arti yang
dimaksud adalah review yang dilakukan kemudian oleh lembaga politik (political review or
legislative riview), bukan yudicial review) yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Hal inilah
yang kemudian terjadi di Belanda yang menganut konsep kedaulatan rakyat, dengan
menempatkan kedudukan lembaga legislatif (parlemen) sebagai lembaga yang diberikan
kedaulatan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, pengadilan
tentunya tidak dapat menguji produk yang dibuat oleh lembaga yang memegang kedaulatan
rakyat. Menurut Asshiddiqie (2012) pernyataan Soepomo dikarenakan dalam sistem Hukum
Belanda ada doktrin bahwa undang-undang memang tidak dapat diganggu gugat. Atas dasar
itulah, Soepomo tidak menerima ide untuk menguji undang-undang oleh Mahkamah Agung.
Dalam sejarah perjalanannya ternyata kebutuhan akan adanya pelembagaan yudicial review
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
9/33
sebenarnya sudah mulai nampak, terutama setelah jatuhnya Orde Lama dari tampuk
kekuasaannya, yang pada saat pemerintahannya telah banyak melakukan tindakan-tindakan yang
pada dasarnya bertentangan dengan UUD 1945, terutama dalam kaitannya dengan berbagai
peraturan berupa penetapan-penetapan Presiden yang dibuat kemudian, dengan melabrak
peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di atasnya, namun pada akhirnya
tindakan-tindakan tersebut berakhir setelah kejatuhannya, yang ditandai dengan adanya
Supersemar dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Pada awal Orde Baru, ketika sistem politik berjalan dengan langgam yang agak demokratis
atau libertarian, masalah hak menguji materiil telah mulai diperdebatkan. Panitia ad hoc di
MPRS pada tahun 1967-1969 telah merekomendasaikan beberapa hal termasuk diberikannya hak
menguji materiil atas undang-undang kepada Mahkamah Agung. Rekomendasi yang
disampaikan oleh panitia ad hoc II (membidangi reorganisasi pemerintahan ini) ditolak oleh
pemerintah, seperti yang dialami oleh panitia ad hoc IV (yang membidangi dan menyusun
Rancangan UU tentang Hak Asasi Manusia). Melalui Menteri Kehakiman, Oemar Seno Adji,
pemerintah menolak hampir setiap premis dan kesimpulan panitia ad hoc II dengan menyatakan
bahwa hanya MPR yang dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi dan MPR telah melakukan
fungsi itu ketika memerintahkan kepada Presiden dan parlemen untuk mencabut beberapa
produk peraturan perundang-undangan yang diwariskan oleh demokrasi terpimpin(Mahmud
MD,2011;350).
Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulan muncul setelah era reformasi,
yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang memberikan kepada
MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Sebelum ini, prosedur
pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya dibatasi pada objek peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dengan demikian,
pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas,
melainkan hanya pengujian legalitas peraturan perundang-undangan. Pengujian aktif (active
review) yang seyogianya akan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan
TAP MPR. No. III/MPR/2000 tersebut, sampai masa berlakunya ketetapan MPR tersebut
berakhir, tidak pernah dilaksanakan, karena memang tidak ada mekanisme yang
memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan. Sekiranya pun hal itu dapat dilaksanakan,
maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat disebut dengan istilah judicial review,
melainkan merupakan legislative review karena organ MPR itu sendiri termasuk cabang
kekuasaan legislatif (Asshiddiqie,2010;ix-x)
Dengan demikian, dalam sejarahnya perjalanan berkaitan dengan pengujian peraturan
perundang-undangan di Indonesia telah diperdebatkan dalam waktu yang cukup panjang.
Sepanjang perjalanannya memang terlihat bahwa yang menjadi bahan perdebatan adalah masalah
pengujian peraturan perundang-undangan, maupun lembaga yang nantinya berwenang untuk
melakukan pengujian peraturan perundang-undangan. Maka, yang baru menjadi kesepakatan
pada waktu itu adalah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
10/33
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Ternyata pengujian terhadap undang-undang barulah dapat
dilaksanakan setelah era reformasi, namun dalam pelaksanaan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, bukanlah dilakukan oleh Mahkamah Agung melainkan dilakukan oleh
Mahkamah konstitusi sebagai lembaga tersendiri yang kedudukannya terlepas dari struktural
Mahkamah Agung, bahkan memiliki kedudukan yang sejajar sebagai lembaga negara yang
sama-sama merdeka untuk menyelenggarakan peradilan.
Terkait dengan di Indonesia, maka untuk pembentukan Mahkamah Konstitusi
(constitutional court) tidak terlepas dari adanya perubahan sistem ketatanegaran (constitutional
system) yang terjadi dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR pada
tahun 1999 hingga 2002. Menurut Jundiani (2010;2) bahwa perubahan tersebut juga
mempertegas pembagian tugas antar lembaga negara dengan sistem saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances). Terkait dengan pembentukan MK, Ginting (2006;63)
menyatakan bahwa ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang
membentuk lembaga ini.
Perubahan tersebut dilatar belakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan
yang demokratis dengan checks and balancesyang setara dan seimbang di antara cabang-cabang
kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak
asasi manusia (Ashiddiqie,2004;3). Apa yang dinyatakan di atas adalah merupakan bahan yang
kemudian melatar belakangi serta membidani kelahiran MK di Indonesia. Supremasi hukum
(supremacy of law) yang berpuncak pada konstitusi, yang dalam hal ini adalah UUD 1945
sebagai konstitusi negara Indonesia, yang juga berkedudukan sebagai hukum dasar (basiclaw).
Dalam hal tersebut haruslah pula diperhatikan oleh para pembentuk peraturan perundang-
undangan dengan menjadikan UUD 1945 sebagai dasar hukumnya. Bahkan, dalam Pasal 3 UU
No. 12 Tahun 2011 menyatakan dengan tegas bahwa : Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasardalam Peraturan Perundang-undangan (kursif
penulis). Dengan begitu, dapat dikatakan kemudian bahwa UUD 1945 adalah untuk peraturan
perundang-undangan tertinggi yang pada gilirannya menjadi dasar dan sumber peraturan
perundang-undangan bawahannya (Prakoso dan Murtika,1987;78). Dengan demikian, sebagai
hukum dasar tentunya memiliki kekuatan yang lebih utama, dibandingkan dengan sumber hukum
lainnya seperti undang-undang, yang merupakan perintah konstitusi untuk mengatur hal-hal yang
memang tidak diatur di dalam konstitusi, untuk kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan
yang kedudukannya lebih rendah. Namun, kemudian jika dibandingkan dengan kedudukanPancasila, maka dapatlah dikatakan bahwa UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih rendah.
Hal mana sebenarnya dapat kita ketahui dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus terkait
dengan hubungan antara Pancasila dan UUD 1945. Apabila pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut mencerminkan Pancasila yang menciptakan
pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945, dengan demikian Pancasila merupakan Norma
Fundamental Negara (Staatfundamentalnorm) yang menjadi dasar dan sumber bagi Aturan Dasar
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
11/33
Negara/Aturan Pokok Negara (Verfassungnorm) yaitu batang tubuh (Indrati,2007;58-59). Tidak
lain, dikarenakan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum hukum (Pasal
2 UU No. 12 Tahun 2011). Bahkan kata sumber hukum sering pula digunakan dala m beberapa
arti, yaitu.
a. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnyakehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya.
b. Menunjukan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yangsekarang berlaku : hukum Perancis, hukum Romawi.
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepadaperaturan hukum (penguasa masyarakat).
d. Sebaga sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu tertulis dan sebagainya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum : sumber yang menimbulkan hukum (Zavergendalam Mertokusumo,1996;69, Ridwan HR,2011;55).
Dalam kaitannya dengan sumber hukum, Apeldoorn (2011,73-78) menyatakan bahwa
sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat dan formil.
a. Sumber hukum dalam arti sejarah1. Dalam arti sumber pengenalan hukum, yakni semua tulisan, dokumen, inskripsi,
dsb., darimana kita dapat belajar mengenal hukum sesuatu bangsa pada sesuatu
waktu.
2. Dalam arti sumber-sumber darimana pembentuk undang-undang memperoleh bahandalam membentuk undang-undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum, darimana
tumbuh hukum positif suatu negara.b. Sumber hukum dalam artisosiologis
Sumber hukum ialah faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya
keadaan-keadaan ekonomi, pandangan agama, saat psikologis.
c. Sumber hukum dalam artifilsafat1. Sebagai sumber hukum untuk isi hukum, dalam hal mana kita mengingat
pertanyaan : apabilakah isi hukum itu dapat dikatakan tepat sebagaimana mestinya,
atau dengan perkataan lain, apakah yang dipakai ukuran untuk menguji hukum agar
dapat mengetahui adakah ia ,,hukum yang baik?.
2. Sebagai sumber untuk kekuatan mengikatdari hukumd. Sumber Hukum dalam artiformil
Hal-hal ini kita sebut sumber hukum dalam arti formil, karena kita semata-mata
mengingat cara dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak
menanyakan asal-usul isi peraturan-peraturan hukum.
Selanjutnya kini kita memakai perkataan sumber hukum dalam arti formil.
1. Sumber hukum dalam arti formil;2. undang-undang;
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
12/33
3. Kebiasaan;4. Traktat.
Dengan berdasarkan pada pembagian sumber hukum sebagaimana tersebut di atas, maka
dapatlah kemudian dikatakan bahwa undang-undang termasuk ke dalam sumber hukum yang
dikatagorikan dalam arti formil. Hal ini dikarenakan sumber hukum formil merupakan tempatatau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk dan cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Tentunya berbeda
dengan sumber hukum dalam arti materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil.
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya :
hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan
keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu lintas) perkembangan
internasional, keadaan geografis (Mertokusumo,1996;70). Dengan demikian, Pancasila
merupakan sumber hukum dalam arti materiil, yang menentukan isi hukum bahkan dalam
kaitannya dengan hal ini, bahwa Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee), sebagai cita
hukum dalam kaitan dengan ini, tentunya Pancasila memiliki dua fungsi, yaitu. (a) fungsi
regulatif, artinya cita hukum menguji apakah hukum yang dibuat adil atau tidak bagi masyarakat;
(b) fungsi konstitutif, artinya fungsi yang menentukan bahwa tanpa dasar cita hukum maka
hukum yang dibuat akan kehilangan maknanya sebagai hukum (Attamimi,1992). Dengan
demikian, menurut Mahmud MD (2009;61) bahwa peraturan perundang-undangan yang tertinggi
(UUD) harus bersumber dan berdasar pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UU
harus berdasar dan bersumber pada UUD.
Berkaitan dengan diberikannya sebuah lembaga kehakiman, untuk menguji sebuah produk
politik menurut UUD 1945 merupakan suatu perkembangan yang baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Bahwa undang-undang tersebut dibuat dua lembaga (dalam hal ini
DPR dan Presiden) yang mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Sebenarnya lebih elegan,
jika suatu undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif, jika kemudian
ternyata bertentangan dengan UUD 1945 seharusnya segera ditinjau pula oleh kedua lembaga
yang membuat tersebut (political review or legislative review). Namun, bisa saja memang dalam
kenyataaan ada kesengajaan dari para pembentuk undang-undang, untuk membuat suatu
peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 yang jiwanya bertentangan dengan UUD
1945, sehingga tentunya akan mustahil, untuk suatu lembaga negara yang membuat undang-
undang tersebut, kemudian meninjau produknya sendiri. Belajar dari pengalaman masa lalu,
kalau hanya mengandalkan legislative review hasilnya tidak begitu menggembirakan karenatidak menampung derasnya aspirasi keadilan yang hidup dan berkembang di tengah aspirasi
masyarakat (Yasabari,1984;62). Lagi pula lembaga legislatif sendiri bukanlah sebuah lembaga
yang dipandang cocok untuk menguji undang-undang, dikarenakan undang-undang sendiri
merupakan hukum karena sudah diundangkan dalam lembaran negara. Sedangkan bilaman yang
menguji undang-undang tersebut adalah lembaga politik, tentunya yang menjadi pertimbangan
utama adalah politis. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan pengujian undang-undang
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
13/33
terhadap UUD 1945, terutama mengeluarkan putusan dalam bentuk pembatalan undang-undang
tersebut, melainkan hanya dapat melakukan perubahan melalui hak amandemennya
(amandement) ataupun menggantinya dengan undang-undang yang baru, sehingga ketentuan
undang-undang tersebut kemudian menjadi tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Yang
tentunya berbeda kemudian dengan lembaga Mahkamah Konstitusi yang memang dari awalnya
bertugas untuk mengawal supaya konstitusi tersebut dijalankan dengan konsisten (the guardian
of constitution) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitution). Sehingga,
jika ternyata ada undang-undang yang kemudian benar-benar bertentangan dengan UUD 1945,
maka lembaga ini kemudian dapat menyatakan untuk tidak memberlakukan undang-undang
tersebut, dengan cara membatalkannya lewat putusan yang dinyatakan kemudian. Dari sisi
hukum dapatlah kemudian dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah kelanjutan
dari perubahan supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi (supremacy of law). Di samping
itu, Mahkamah Konstitusi dalam mengawal (guardian), mengontrol (control) dan mengimbangi
prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang sering kali hanya mengandalkan kekuatan
politik,dapat dikendalikan dan diimbangi dengan prinsip demokrasi itu sendiri dan prinsipkonstitusionalisme atau negara hukum (Constitutional democracy or rule of law or rechtsstaat).
Untuk lebih jelasnya, terkait dengan adanya perubahan terhadap kekuasaan kehakiman
setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, dapat kita lihat mulai dari ketentuan Pasal 24
UUD 1945 tepatnya dalam Bab IX, bunyi pasal tersebut, yaitu.
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakanperadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilanyang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalamundang-undang (kursif penulis).
Terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka Azhary (2006;97) memberikan
pengertian kemerdekaan yudisial adalah kemerdekaan dari segala macam bentuk pengaruh dan
campur tangan kekuasaan lembaga lain, baik eksekutif maupun legislatif. Dalam melaksanakan
seluruh tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim diwajibkan untuk tetap mempertahankan
kemandirian sistem peradilan. Ini artinya bahwa asas imparsial dan bebas merdeka itu tidak
boleh digunakan sebagai perisai dalam melindungi anasir-anasir negatif yang mungkin sajabermain ketika peradilan memutus perkara (Asshiddiqie dan Syahrizal,2012;91). Bahkan, dengan
adanya doktrin kebebasan kekuasaan peradilan, kemudian Soepomo (2005;67) berpendapat
dengan menyatakan bahwa dimana undang-undang memberi peraturan, hakim adalah bebas di
dalam menentukan keputusannya. Asas kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa.
Yang dimaksudkan dengan kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan
bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil(Mertokusumo,2006;46). Kemerdekaan dan
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
14/33
kebebasan hakim dalam arti luas yaitu bebas dari pengaruh pemerintah maupun kekuatan di luar
pemerintah (pendapat umum, pers dan sebagainya) (Manan dan Magnar,1997;91). Hal ini
dikarenakan menurut Basah (1985;28) bahwa peradilan merupakan suatu kekuasaan (dalam arti
functie), yang berdiri sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya. Dalam hal ini berarti
tidak dibenarkan untuk mempengaruhi hakim baik dengan melalui tekanan, paksaan maupun
karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga hakim merasa tidak bebas dalam memberikan
keputusan (Afandi,1981;65). Agar pengadilan benar-benar dapat menjadi benteng terakhir
tegaknya hukum dan keadilan (Nasution,2007;6). Sehingga, menurut Supriyanto (2004;10)
dengan pendapatnya menyatakan bahwa the Independence of Judiciary is core element of
supremacy of law and democracy) yang sangat didambakan, dapat terwujud. Maka, seharusnya
dalam hal ini, hakim memutuskan sendiri, memberi intepretasi sendiri atas kewenangannya
sendiri dan dia terikat pada hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Seorang hakim tidak hanya
tergantung kepada siapapun, namun dia juga harus tidak memihak
(Hadjon,dkk,2005;289).Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap
siapapun. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang(Pasal4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009). Bahkan, para pencari keadilan dapat mengawasi peradilan,
karena memiliki hak ingkar, sehingga hakim menjadi lebih objektif dalam memeriksa kasus
(lihat Pasal 17 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Tidak lain agar tugas yang dilakukan badan ini
mencerminkan keadilan yang objektif (Azhary,1986;61). Dengan perkataan lain bahwa yang
wajib ditegakan oleh hakim itu bukan hanya hukum akan tetapi secara sekaligus juga keadilan
(Kuffal,2004;39). Karena keadilan adalah unsur dari hukum (Mertokusumo,2005;9).
Mahmud MD (2010;87) menyatakan bahwa kebebasan lembaga peradilan dari campur
tangan kekuatan di luarnya merupakan masalah esensial dalam penegakan hukum. Terkait
dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Mertokusumo (2006;19) kemudian berpendapatbahwa kebebasan kekuasaan kehakiman, yang penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-
badan peradilan, merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Pada hakekatnya kebebasan ini
merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan. Hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi
oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Namun, campur tangan akan
menyebabkan hakim tidak bebas dalam menegakan hukum dan keadilan. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali kepada kebenaran dan keadilan
(Najih,2008;8). Hakim harus mengadili menurut hukum dan menjalankan dengan kesadaran akan
kedudukan, fungsi dan sifat hukum (Setiyono,2008;33). Dengan demikian, maka Utama
(2007;34) berpendapat dengan tegas bahwa badan peradilan di negara hukum, merupakan sub
sistem hukum yang paling kentara sekaligus, menjadi wujud nyata bekerjanya hukum. Hal ini
tidak lain dikarenakan menurut Huijbers (2011;87) bahwa prinsip kedaulatan kekuasaan
yudikatif sangat mendorong perkembangan negara hukum. Peran Lembaga Peradilan yaitu untuk
menjamin penerapan hukum dalam masyarakat dapat berlangsung dengan baik dan mencapai
sasaran (Perwita dan Yani,2011;114). Harahap (2005;59-60), menyatakan bahwa tujuan utama
amanat kemerdekaan yang diberikan kepada peradilan, agar para pejabat fungsional yakni para
hakim yang memeriksa dan memutus perkara benar-benar menegakan hukum dan keadilan
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
15/33
berdasarkan hukum dan kebenaran sesuai dengan hati nurani. Hanya peradilan yang bebas dan
merdeka yang dapat menegakan hukum dan keadilan hakiki (to the ultimate truth and justice).
Dengan demikian, seperti pernyataan tersebut di atas yang pada dasarnya menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, maka Mahkamah Konstitusi
tentunya juga merdeka dalam menjalankan tugas. Hal ini tidak lain dikarenakan MahkamahKonstitusi sendiri merupakan salah satu lembaga yang berutagas untuk menjalankan kekuasaan
kehakiman, di samping adanya Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya
Mahkamah Konstitusi tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun, sehingga diharapkan
putusan yang diambilnya kemudian adalah berdasarkan kebenaran dan keadilan, yang tentunya
selalu menjungjung tinggi konstitusi sebagai pedomannya. Kalau larangan campur tangan dari
kekuasaan extra-judissiil ke dalam bidang peradilan itu pada umumnya diakui sebagai salah satu
aspek dari peradilan bebas, sebaliknya campur tangan kekuasaan yudikatif ke dalam bidang
eksekutif dan legislatif dalam bentuk judicial review belumlah ada pemecahannya yang
memuaskan (Mertokusoumo,2011;129).
Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, yang
berdampingan dengan Mahkamah Agung, yang juga merupakan pelaku kekuasaan kehakiman.
Keduanya tidak memiliki hubungan secara vertical namun memiliki hubungan secara horizontal
sebagai lembaga negara. Dan juga dijelaskan dalam ketentuan Pasal 24 bahwa Mahkamah
Agung memiliki empat peradilan yang ada dibawahnya, yang pada akhirnya semua keputusan
berpuncak kepada Mahkamah Agung. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung serta keempat badan peradilan di bawahnya,
keempat peradilan yang dimaksud adalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara, selain itu juga diakui adanya Mahkamah Konstitusi, yang
berdiri di luar Mahkamah Agung (supreme court) sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman. Dengan demikian, kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sejajar dengan
Mahkamah Agung, yang dinyatakan sama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
merdeka sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Keduanya adalah
penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa
dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksana
kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat
Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai pelaksanan kekuasaan kehakiman,
namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan MA (Latif,2009;50).
Selanjutnya, berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan
pula dalam UUD 1945, maka dapatlah kemudian dilihat dari ketentuan Pasal 24C UUD 1945,
yang mengatur hal-hal berkaitan dengan kedudukan, tugas,fungsi dan kewenangan dari
Mahkamah Konstitusi. Untuk itu marilah kemudian kita simak ketentuan dari Pasal 24C UUD
1945, yaitu sebagai berikut.
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
16/33
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkatpertama dan terakhir yangputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan PerwakilanRakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
3. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yangditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilihdaridanolehhakim konstitusi.5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara.6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnyatentang Mahkamah Konstitusi diaturdenganundang-undang (kursif penulis).
Dalam 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diatur kembali
berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu.
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadilipada tingkat pertama dan terakhir yangputusannyabersifatfinaluntuk:
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikanoleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Memutuspembubaran partai politik; dan Memutusperselisihan tentang hasilpemilihan umum (kursif penulis).
Berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
memiliki kewenangan untuk menjaga konstitusi, dengan jalan menguji undang-undang yang
dibuat oleh lembaga legislatif yang memang diperintahkan oleh konstitusi yaitu DPR dan
Presiden. Ternyata Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban lainnya seperti apa yang telah
ditentukan dalam UUD 1945 tentang kewajiban MK untuk memutuskan pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Presiden menurut UUD 1945. Dalam
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 merupakan kewenangan daripada Mahkamah Konstitusi
untuk memutuskannya, bahkan dinyatakan bahwa putusannya final sejak diucapkan, dan tidak
ada upaya hukum lagi untuk melawan putusan tersebut. Pernyataan tersebut kemudian juga dapat
diketahui dari Penjelasan 10 UU No. 8 Tahun 2011 yang pada dasarnya telah mengubah bunyi
penjelasan pada pasal yang sama dalam UU No. 24 Tahun 2003, bunyi penjelasan tersebut
adalah Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
17/33
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifatfinal dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini
mencakuppulakekuatanhukummengikat (final and binding)(kursif penulis).Juga ditentukan
kembali dalam ketentuan ayat (2) Pasal 24C UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki
kewajiban untuk memutuskan pendapat DPR terkait dugaan pelanggaraan hukum oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Bahkan banyak yang kemudian mengatakan
bahwa adanya ketentuan ayat (2) dari Pasal 24 UUD 1945 tersebut bukanlah kewenangan
Mahkamah Konstitusi, melainkan hanyalah merupakan kewajibanhukum, hal mana dikarenakan
bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidaklah bersifat final dan mengikat
sebagaimana dimaksudkan di atas. Karena dalam UUD 1945 sendiri masih diperlukan proses
politik, terutama setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi, yang mana semuanya
memang telah ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Berkenaan dengan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka kemudian dapatlah dikemukakan terlebih
dahulu tentang teori yang berkenaan dengan pengertian hak uji pada umumnya, dengan tujuan
untuk lebih memahami apa maksudnya. Mengenai istilah atau pengertian hak uji atau
totsingrecht (bahasa Belanda) ini, oleh Jimly Asshiddiqie dibedakan antara toetsingsrecht,
judicial review, judicial preview, legislative review, executive review, constitutional
review.
Menurut Asshiddiqie dalam Said (2011;79-80) bahwa hak atau kewenangan menguji atau
hak menguji atau hak uji dalam bahasa Belandanya disebut toetsingsrecht itu diberikan kepada
hakim, maka namanya adalah judicial review atau review oleh lembaga peradilan. Jika
kewenangan menguji diberikan lembaga legislative, maka namanya bukan judicial rivew
melainkan legislative review. Jika yang melakukan pengujian itu adalah pemerintah, maka
namanya tidak lain adalah executive review, bukan yudicial review. Dalam Blacks Law,
Judicialreviewdiartikan sebagai power court to review decision of another department or level
government(Fatmawati,2005;8).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka menurut pendapat Ranggawidjaja yang
kemudian menyatakan ada tiga katagori besar tentang pengujian peraturan perudang-undangan,
yaitu.
1. Pengujian oleh badan peradilan(yudicial review),2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review)
(Ranggawidjaja,1998;101).
Sedangkan, jika pengujian dilakukan kemudian terhadap norma hukum yang bersifat
abstrak dan umum (general and abstract norm) secara a posteriori maka pengujiannya dapat
disebut judicial review, tetapi jika pengujian itu bersifat apriori yaitu terhadap rancangan
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
18/33
undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana
mestinya, maka namanya bukan judicial review, melainkan judicial preview. Jika ukuran
pengujian itu dilakukan dengan dengan menggunakan Konstitusi sebagai alatpengukur, maka
pengujian semacam itu disebut sebagai constitutional review atau pengujian konstitusional,
yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial
review on the constitutionality of law) (Asshiddiqie,2010;6). Apabila norma yang diuji itu
menggunakan undang-undang sebagai batu ujinya (maksudnya alat pengukur), seperti hak uji
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berwenang
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, maka pengujian itu tidak dapat
disebut constitutional review, melainkan judicial review on the legality of regulation.
Namun, dalam sejarah perjalanannya semenjak di bentuk ternyata MK telah menuai
berbagai pujian maupun kritikan terutama dalam menjalankan wewenangnya berdasarkan UUD
1945. Bahkan dengan berbagai argumen yang mencoba untuk memberikan dukungan ataupun
yang memang tidak menyetujui daripada keberadaan lembaga ini. Berikut ini, merupakan
argumen yang dinyatakan oleh M. Dimyati Hartono (2009;69) tentang ketidaksetujuannya
terhadap keberadaan daripada lembaga Mahkamah Konstitusi tersebut dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia (constitutionalsystem), yang tentu menurutnya telah menimbulkan
suatu permasalahan tersendiri, menurutnya bahwa:
Undang-Undang adalah Produk Politik yang berdasar keputusan politik, dalam bentuk
yuridisnya, adalah sebuah undang-undang. Apakah layak Mahkamah Konstitusi, sebagai
sebuah lembaga yang ada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman dan tidak mendapat
delegasi kewenangan politik dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat (kursif
penulis), mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang yang merupakan produk
politik yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang mempunyai delegasi politik dari rakyat
(MPR/DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat)? Di sinilah kontradiksi dan
problematik dan konseptual yang timbul dari amandemen yang melahirkan Mahkamah
Konstitusi.
Jangan lupa bahwa undang-undang yang merupakan hukum adalah produk politik, sebagai
produk politik ada kepentingan-kepentingan politik yang mendorong lahirnya suatu undang-
undang.Terkait dengan undang-undang sebagai produk politik, maka dapatlah dirujuk kemudian
daripada pendapat Mahmud MD (2011;5) menurutnya pernyataan bahwa hukum adalah produk
politik adalah benar jika di dasarkan pada das sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai
undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat
oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk
politik sebab ia merupakan kristialisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh
kekuatan politik yang terbesar. Kemudian masih berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
menurut Sri Soematri dalam Halim (2000;18) yang mengkonstatasikan hubungan antara hukum
dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
19/33
hukum diibaratkan rel, maka politik sebagai lokomotifnya, maka sering terlihat lokomotif itu
keluar dari rel yang semestinya dilalui. Oleh karena itu, undang-undang yang dibentuk oleh
legislatif adalah merupakan produk politik, yang tentunya hasil daripada pilihan-pilihan politik
yang ada pada saat kebijakan itu akan dibuat, yang tentunya juga pilihan tersebut sangat
berpengaruh terhadap produknya (hasilnya). Dengan demikian hukum bukan gejala yang bebas
nilai, tetapi di dalamnya terdapat perkaitan atau hubungan erat sekali dengan politik. Hukum
selalu merupakan produk dari proses politik (Latif dan Ali,2010;29). Tanpa adanya kekuatan
politik yang mendorongnya, maka tidak akan ada suatu undang-undang yang lahir, oleh karena
itu kekuatan politik merupakan latar belakang, yang kemudian sangat menentukan dalam
pembentukan undang-undang. Di samping itu, pergulatan-pergulatan kepentingan yang
mewarnai pada saat perumusan undang-undang dan dengan adanya pandangan berbeda tersebut
pada akhirnya kemudian dapat membuat undang-undang tersebut banyak menampung beragam
kepentingan yang berbeda, yang pada akhirnya kompromistis sifatnya. Soekanto dkk, (1981;20)
menyatakan bahwa terjadi pergulatan-pergulatan kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik
yang saling bersaing tersebut dengan tujuan untuk menghasilkan produk politik, yang kemudianditetapkan sebagai produk hukum. Dengan adanya pergulatan politik, maka kekuatan politik
terbesarlah yang akan selalu memenangkannya, tanpa adanya kekuatan politik mayoritas yang
memang mendukungnya, maka kepentingan politik tersebut tidak akan dapat dijadikan sebuah
kebijakan dalam bentuk undang-undang. Oleh karenanya, dapatlah dinyatakan bahwa undang-
undang merupakan hasil suatu proses pembentukan yang berbelit (Iver,1988;25). Berkaitan
dengan undang-undang yang dibuat oleh parlemen bersama pemerintah, Mahmud MD (2011;10)
kemudian berpendapat dengan menyatakan bahwa sidang parlemen bersama pemerintah untuk
membuat undang-undang (UU) sebagai produk hukum pada hakekatnya merupakan adegan
kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam
keputusan politik dan menjadi UU. Undang-undang sebenarnya hanya syarat-syarat yang
ditetapkan asosiasi politis (Rousseau,1989;40). Dengan demikian, jika dalam kenyataannya
sudah ada lembaga yang diberikan kewenangan untuk membentuk undang-undang, kemudian
lembaga inilah yang akan menetapkan undang-undang, sesuai dengan apa yang kemudian
dipersyaratkan oleh konstitusi agar produknya itu dapat disebut sebagai undang-undang
(formal). Namun, karena banyaknya jumlah kepentingan yang ada dalam badan tersebut,
tentunya tidak sedikit aspirasi politik yang dibawa oleh anggota-anggota dalam badan tersebut,
selaku pelaku politik agar dapat meloloskan kepentingannya. Tentunya kepentingan-kepentingan
dalam badan legislatif, yang dibawa oleh anggota-anggota badan tersebut, sangatlah berpengaruh
terhadap produk hukum yang kemudian akan dilahirkannya. Bahkan, anggota-anggota dalam
badan tersebut ternyata bukanlah satu-satunya sebagai penyebab yang kemudian membentuk
karakter hukum, karena dapat saja pengaruh tersebut datang rezim yang berkuasa pada saat itu.
Pernyataan tersebut dinyatakan karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahmud MD
dalam Syaukani dan Thohari (2010;5-6) bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim
tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian
dilahirkan. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
20/33
responsif atau populistik, sedangkan untuk di negara yang konfigurasinya politiknya otoriter,
produk hukumnya berkarakter ortodoks dan konservatif atau elitis. Hal ini dapatlah diambil
berdasarkan kesimpulan dari pendapat Fuadi (2011;8) yang menyatakan bahwa ketika suatu
undang-undang dibuat oleh parlemen, atau ketika suatu aturan hukum diterapkan baik oleh
parlemen ataupun oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka hukum yang dibuat tersebut tidak
memperhatikan adanya aneka ragam persepsi masyarakat. Maka, produk hukum yang dilahirkan
adalah produk hukum yang elitis, konserfatif dan ortodok, yang mementingkan penguasa.
Dengan demikian, dapat dikatakan kegiatan lembaga legislatif merupakan pekerjaan, yang
mengolah berbagai kepentingan politik agar dapat disatukan, kemudian menjelma menjadi
sebuah bentuk aturan yang bersifat mengatur, mengikat dan bahkan memaksa rakyat, yakni
dalam bentuk undang-undang. Mahmud MD (2010;65) menyatakan bahwa dalam kenyataannya,
kegiatan legislatif (pembuatan undang-undang) memang lebih banyak memuat keputusan-
keputusan politik ketimbang menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya
sehingga lembaga legislatif lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum. Sedangkan
terkait dengan tranparansi dalam proses legislasi, Munti (2008;12) menggambarkan proseslegislasi yang harus disadari sebagai hal yang kompleks karena tidak transparan sehingga hanya
dimengerti dan diakses oleh sebagian kecil masyarakat. Bahkan, karena ketidak transparanan
dalam pembentukan undang-undang, sehingga di dalam suatu undang-undang ternyataa terdapat
motif-motif tertentu daripada maksud dari pembentuk undang-undang, bahkan Atkinson dalam
Martaniah (1984;13) menganggap motif sebagai suatu diposisi laten yang berusaha dengan kuat
untuk menuju ke tujuan tertentu; tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi, ataupun kekuasaan.
Kesemua hal di atas menandakan bahwa kebijakan-kebijakan publik terlahir melalui proses-
proses politik yang tidak sederhana (Rohman,2009;94). Keputusan politik di dalam demokrasi
pada akhirnya menjadi suatu pilihan dari alternatif kebijakan yang ada (Maab dan
Fauzan,2012;6). Untuk itu diperlukan suatu pedoman yang wajib diikuti oleh setiap pembentuk
hukum di negara Republik Indonesia (Wijaya,2008;400). Apalagi sejak semula, seperti halnya
di Indonesia ini, prosedur pembuatannya haruslah demokratis (Rahardjo,1980;22). Bahkan dapat
dikatakan kemudian bahwa karakteristik hukum (undang-undang) yang baik adalah diterima oleh
masyarakat, tidak lain karena hukum itu sendiri bersifat terbuka, memberitahu terlebih dahulu,
tujuannya jelas, mengatasi goncangan. Bahkan dapat saja UU yang dibuat ternyata bertentangan
dengan moral dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, kualitas hukum
harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti
(Setiadi,2010;143). Karenanya, merupakan ukuran tambahan bagi Mahkamah Konsitusi untuk
menilai lebih lanjut terkait dengan suatu produk undang-undang yang bertentangan atau tidak
dengan UUD 1945.
Kemudian sesuai dengan badan yang membuat (menetapkan) undang-undang mempunyai
derajat di bawah Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusiderajattinggi (supreme
constitution). Ini berarti bahwa isi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar (Busroh,1994;122). Maka berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan
karena Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
21/33
Yang artinya memakai konstitusi sebagai alat pengukurnya (batu uji), sehingga dapat disebut
dengan constitutional review. Dengan konsekuensi itu juga MK berfungsi sebagai penafsir
final konstitusi (the final interpreter of the constitution) (Mahkamah Konstitusi,2010;1-2).
Terkait dengan pengujian norma hukum, Soemantri (1986;5) menyatakan pendapatnya,
yang mengadakan pembedaan adanya dua macam hak menguji, yaitu sebagai berikut:
a. Hak menguji formal (formale toetsingsrecht), danb. Hak menguji Material (materiele toetsingsrecht).Perkembangan dari kedua hal tersebut di atas, dikarenakan perkembangan atau perubahan
pengaturan pokok yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (Soehino,2007;1). Hak menguji
formal terhadap undang-undang adalah berkenan prosedur dalam pembuatan undang-undang
yang bersangkutan apakah sesuai dengan Undang-Undang Dasarnya. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku
(Mertokusumo,1996;70). Dengan kata lain, menurut Sanusi (1984;71) bahwa Undang-undang
dalam arti ini ditinjau darisudut pembentukannya. Dengan nada yang sama, Huijbers (2010;42)
menyatakan bahwa terkait dengan keabsahan hukum jika ditinjau secara formal adalah lazim
diterima bahwa hukum adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang ditentukan
oleh suatu instansi yang berwenang, yakni pemerintah yang sah, dan ditentukan menurut criteria
yang berlaku. Karena kita semata-mata mengingat caradan bentukdalam mana timbul hukum
positif, dengan tidak menanyakan asal-usul isi peraturan hukum (Apeldoorn,2011). Dengan
demkian, ini berkaitan dengan dengan bentukatau carayang menyebabkan peraturan hukum itu
formal berlaku (Ridwan HR,2011;61). Bentuk hukum tertulis macam ini dinamakan undang-
undangdalamartiformal, yakni hukum tertulis produksuatubadanlegislatifyangmelibatkan
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (Kusumaatmadja dan Sidharta,999;60). Menurut
Kansil dan Christine (2002;157) bahwa hak uji formil, yaitu hak untuk menyelediki apakahundang-undang tersebut pada saat dibentuknya adalahsesuai dengan acara yang sah. Mahkamah
Konstitusi merupakan organ penjaga konstitusi, misalnya dapat diberikan wewenang untuk
hanya menyelidiki apakah norma yang harus diterapkan kepada suatu kasus konkret itu benar-
benar telah dibuat oleh organ legislatif; atau apakah norma itu telah dibuat oleh suatu organ
legislatif atau eksekutif yang kompeten untuk menerbitkan norma-norma umum
(Kelsen,2011;378). Dapatlah dikatakan kemudian bahwa berkaitan dengan pengujian undang-
undang secara formal oleh MK adalah untuk menyediki UU yang dikaitkan dengan cara
terjadinya dan lembaga(Mahmud MD dan Marbun,2000;25). Lembaga yang dimaksud tersebut
adalah lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan tersebut. Dengan demikian,
pendapat tersebut adalah sesuai dengan ketentun Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011, yang
berkaitan dengan adanya asas kelembagaan dan pejabat pembentuk yang tepat. Dalam Penjelasan
Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011, dinyatakan bahwa Yang dimaksud dengan asas
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
22/33
berwenang(kursif penulis). Berkaitan dengan pengertian dibatalkan dan batal demi hukum,
Mahmud MD (2010;235) menyatakan bahwa dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak
tanggal ada pembatalan; sedangkan batal demi hukum berarti ketidakabsahannya mulai berlaku
sejak peraturan itu ditetapkan (yang berarti membatalkan pula akibat-akibat hukum yang timbul
sebelum ada pembatalan).
Dapat dikatakan bahwa menguji secara material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki
dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya (Soemantri,1986;8). Dan jika
terbukti maka bagian itu sajayang akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat(Isra,2010;9). Kualitas materi UU berkaitan dengan apakah
pasal-pasaldalam sebuah UU sudah mencerminkan aspirasi masyarakat dan dapat menjadi titik
masuk bagi upaya perbaikan kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya (Hasan,2007; 58).
Hal ini dilakukan, apabila ada peraturan yang isinya benar-benar bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi(Soemantri,1993;55). Dengan adanya ketentuan ini maka peraturan
hukum yang dibuat harus sesuai dengan jenis, hierarki dan muatan dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam Penjelasan Pasal 5 hurf c UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa Yang
dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan (kursif
penulis).
Pada inti dasar dari adanya pembedaan antara pengujian secara formal dan materiil adalah
akibat dari putusanMahkamah Konstitusi yang kemudian pada akhirnya membatalkan undang-
undang tersebut. Jika pengujian yang dilakukan secara formal, berakibat daripada Mahkamah
Konstitusi untuk membatalkan daripada keseluruhan undang-undang yang dimintakan
pengujian. Hal ini dapat dilihat kemudian dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2) UU No. 8 Tahun
2011 yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat(kursif
penulis).Tentunya berbeda dengan pengujian undang-undang secara material, yang hanya
mengakibatkan beberapa pasalatau bagiantertentusaja dari undang-undang tersebut kemudian
dinyatakan batal, dalam arti tidak terhadap pasal bagian lain dari undang-undang yang tidak
dimintakan pengujian. Akibat putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil dapatpula dilihat kemudian dalam ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yang menyatakan
bahwa. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (kursif penulis).
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
23/33
Dapat dikatakan, apabila suatu undang-undang dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang dasar yang dilihat dari segi isinya, maka isi atau bagian tertentu yang dimintakan
pengujian dalam undang-undang tersebut, harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Yang berarti diuji hanya ayat, pasal tertentu atau bagian undang-undang saja dengan konsekuensi
hanya bagian, ayat, dan pasal tertentu saja yang kemudian dianggap bertentangan dengan
konstitusi, sehingga dapat dinyatakan batal serta tentunya tidaklah memiliki kekuatan untuk
mengikat. Bahkan putusan MK ini merupakan putusan final menurut UUD 1945 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni
putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi
dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Bahkan putusan Mahkamah Konstitusi ada yang menyatakan satu pasal bertentangan
dengan UUD 1945, tetapi dengan membuang kata yang merupakan bagian kalimat dalam pasal
tersebut makna pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan demikian tidak
bertentangan dengan UUD 1945 (Siahaan, 2010;21). Dapatlah kemudian dikatakan bahwadengan adanya MK ini yang dulunya merupakan pandangan klasik Montesquieu yang pada
dasarnya menyatakan bahwa hakim hanyalah corong dari undang-undang yang tidak dapat
mengubah atau menambah undang-undang (Mertokusumo dan Pitlo,1993;6). Konsep kuno yang
menempatkan hakim hanya sekedar terompet undang-undang yang bersumber dari kalimat
yang pernah dikumandangkan oleh Baron de Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755)
empat abad silam : the jugde as la bouche de la looi, as the mouthpiece of the
law(Ali,2012;477-488), namun untuk sekarang nampaknya konsep tersebut tidaklah bisa lagi
diterapkan, dikarenakan bahwa hakim konstitusi ternyata dapat membatalkan undang-undang
atau beberapa bagian daripada undang-undang, jika dipandang bertentangan dengan undang-
undang dasar.
Berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka dalam UU No. 24
Tahun 2003 telah diatur berkaitan dengan siapa saja kemudian yang dapat menjadi pemohon
untuk mengajukan undang-undang ke Mahkamah Konstitusi agar dapat dibatalkan. Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik
atau privat; atau lembaga negara. Selanjutnya berkaitan dengan pengujian undang-undang, apa
saja yang perlu diuraikan oleh pemohon, agar Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan
permohon pemohon berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pemohon
wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya terkait dengan kerugian yang timbul akibat berlakunya undang-undang
tersebut. Dalam permohonan tersebut, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau materimuatan dalam ayat, pasal, dan/atau
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
24/33
bagianundang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Namun, dalam menjalankan tugasnya berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 tentunya diperlukan pula rambu-rambu yang jelas, agar apa yang kemudian menjadi
kewenangannya tidak melampui batas daripada UUD 1945, yang sejatinya telah memberikan
kewenangan kepadanya. Dalam Pasal 45A UU No. 8 Tahun 2011 menyatakan bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak dimintaoleh pemohon atau
melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok
Permohonan(kursif penulis). Pasal tersebut, merupakan ketentuan mengenai pembatasan dalam
pengaturan di bidang pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Mirip sekali dengan
ketentuan tersebut, ternyata dalam hukum perdata terdapat ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3)
HIR, 189 ayat (2) dan (3) Rbg, yang menyatakan Hakim wajib mengadiliseluruh gugatan dan
dilarang menjatuh putusanatas perkara yang tidakdituntut atau mengabulkan lebihdaripada
yang dituntut (Mertokusumo,2006;12). Adanya ketentuan tentang larangan MK, untuk
membuat putusan yang tidak diminta ataupun melebihi permohonan pemohon, terkait denganbeberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang besifat ultra petita (tidak diminta, atau lebih
daripada yang diminta) yang tentunya akan mengarah intervensi ke dalam bidang legislasi. Pada
umumnya pembatasan tugas yang demikian, dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan
pemerintah, adalah positive legislator (pembuat norma) sedangkan MK adalah negative
legislature (penghapus atau pembatal norma). Dengan begitu, hampir tidak dapat dielakan
adanya suatu antagonisme di antara dua lembaga pembuat undang-undang, yakni pembuat
undang-undang dalam arti positif dan pembuat undang-undang dalam arti negatif
(Kelsen,2011;379).
Ini penting ditekankan karena secara historis dan filosofis UUD Negara Republik
Indonesia 1945 tidak membolehkan MK mengintervensi ranah legislatif dengan ikut menjadi
positive legislator (memberlakukan norma). Yang boleh dilakukan oleh MK hanyalah menjadi
negative legislator (membatalkan norma) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh
lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original inten UUD 1945 sebagai tolok
ukurnya (Mahmud MD,2009;280).
Selain adanya pembatasan sebagaimana dimaksud di atas, juga ditentukan pembatasan
lainnya dalam Pasal 50A UU No. 8 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa : Mahkamah Konstitusi
dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan
hukum(kursif penulis). Jika, kemudian Mahkamah Konstitusi ternyata menggunakan undang-
undang lainnya sebagai dasar pertimbangan hukum, dalam membatalkan suatu undang-undang
maka Mahkamah Konstitusi tentunya telah melanggar ketentuan Pasal 24C UUD 1945, yang
pada dasarnya telah menggariskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang
dengan menggunakan UUD 1945 sebagai batu ujinya (constitutionalreview), bukannya undang-
undang yang kedudukannya berada pada hierarki yang sama dengan diujinya, yang pada
dasarnya merupakan kewenangan lembaga legislatif untuk mengaturnya (legislative review,
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
25/33
political riview). Selain itu, letak kewenangan untuk mengatur pertentangan antara undang-
undang yang satu dengan yang lain, tentunya bukanlah tugas dari pada Mahkamah Konstitusi,
melainkan dalam hal ini adalah tugas daripada lembaga legislatif melalui kewenangan legislative
reviewyang dimilikinya. Dengan demikian, tidak diperbolehkannya Mahkamah Konstitusi yang
mendasarkan putusannya berdasarkan adanya pertentangan antara undang-undang yang diuji
dengan undang-undang yang lainnya, adalah benar-benar tidak sesuai dengan ketentuan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945. Sekaligus sebenarnya juga menghindarkan Mahkamah Konstitusi,
untuk mencampuri urusan yang seharusnya dilakukan oleh lembaga legislatif, karena
kewenangan tersebut berada pada ranah legislatif, bukan lembaga yudikatif. Ini merupakan suatu
konsekuensi dengan dianutnya sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) di antara
lembaga-lembaga negara, dengan demikian tidak diperkenankan untuk mencampuri urusan yang
berada di luar kompetensi masing-masing lembaga negara, yang memang telah digariskan oleh
UUD 1945.
Dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU No. 8 Tahun 2011 terdapat pula larangan lain
terhadap Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusannya yang tidak boleh memuat.a. .b. Perintah kepada pembuat undang-undang; danc. Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(kursif penulis).
Dalam melakukan tugasnya berupa pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi tidak boleh membuat putusan yang mengatur; atau dengan kata lain bahwa
Mahkamah Konstitusi, dalam memutuskan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, tidak
boleh disertai dengan pengaturan misalnya cara dan lembaga mana yang harus mengatur
kembali, isi undang-undang yang dibatalkan tersebut. Tidak lain yang menjadi dasar adanya
pengaturan seperti ini ialah karena UUD 1945 pada dasarnya telah menggariskan hubungan,
antara satu lembaga dengan lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Konsep yang dianut oleh UUD 1945 tidak lagi menempatkan satu lembaga sebagai lembaga
yang tertinggi kedudukannya, dengan menempatkan lembaga-lembaga negara lainnya berada di
bawah kedudukannya. Kesimpulannya jika Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan undang-
undang dengan disertai perintah untuk pengaturan serta lembaga negara mana yang bertugas
mengaturnya atau melakukan tindakan untuk memperbaiki undang-undang yang bersangkutan,
maka Mahkamah Konstitusi telah menyimpangi konsep hubungan kelembagaan negara, yang
kedudukan antara lembaga negara satu dengan lainnya adalah sejajar, walaupun saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dilarang memuat rumusan norma sebagai pengganti
norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Jika Mahkamah
Konstitusi memuat suatu putusan, yang di dalamnya terdapat rumusan norma sebagai pengganti
norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tentunya
Mahkamah Konstitusi bukan lagi sebagai lembaga yudisial melainkan sebagai lembaga legislatif.
-
5/28/2018 Mahkamah Konstitusi.docx
26/33
Karena dalam pembagian ataupun pemisahan kekuasaan (distribution or separation of power),
sudah ditentukan kompetensi masing-masing lembaga negara berkaitan dengan fungsi dan
kewenangannya masing-masing, seperti halnya dalam teori Montesquieu yang kemudian
memisahkan ketiga lembaga negara yaitu legislatif sebagai lembaga pembentuk norma, eksekutif
sebagai pelaksana norma, dan yudikatif sebagai mengadili pelanggaran norma (bahkan untuk
sekarang dapat membatalkan norma). Selain, larangan sebagaimana dimaksud tersebut di atas,
maka untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan,
dan kenegarawanan hakim konstitusi telah ditentukan pula dalam ketentuan Pasal 27B hurub b
angka 3 UU No, 8 Tahun 2011 yang pada dasarnya menyatakan bahwa hakim konstitusi
dilarang mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang
sedang ditanganinya mendahului putusan. Kalau ditafsirkan secara berkebalikan (contrario)
terhadap ketentuan tersebut, maka hakim konstitusi tentunya dapat mengeluarkan pendapatnya
diluar persidangan, asalkan terkait dengan kasus tersebut sudah diputuskan terlebih dahulu.
Misalnya pendapat-pendapat tersebut disampaikan pada seminar-seminar, kegiatan ilmiah,
maupun dalam kegiatan lainnya.Berkaitan dengan rambu-rambu Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan kewenangannya
dalam bidang pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, agar tidak melampaui batas atau
tentunya tidak masuk dalam ranah kekuasaan lain dan menjadi politis, maka ada sepuluh dalam
rumusan negatif (pelarangan) menurut Mahmud MD (2009;281-284) yang perlu diperhatikan,
yaitu.
1. Dalam melakukan pengujian konstitusionalitas UU, MK tidak boleh membuat putusanyang bersifat mengatur; pembatalan undang-undang tidak boleh disertai pengaturan,
misalnya dengan putusan pembatalan yang disertai isi, cara, dan lembaga yang harus
mengatur kembali isi UU yang dibatalkan tersebut. Ini harus ditekankan karena bidang
pengaturan adalah ranah legislatif. Jadi MK hanya boleh mengatakan suatu UU atau
isinya konstitusional atau inkonstitusional yang disertai pernyataan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengika