laporan tutorial hipersensitivitas.docx

18
Laporan Individu 3 Oktober 2012 PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN TINEA PEDIS LAPORAN TUTORIAL MODUL 1 ” HIPERSENSITIF ” BLOK IMUNOLOGI DISUSUN OLEH : NAMA : Andry Aulia Zulkarnaen NO. STAMBUK : 11 777 024

Upload: abdrachmad

Post on 17-Jul-2016

128 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

Laporan Individu 3 Oktober 2012

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN TINEA PEDIS

LAPORAN TUTORIALMODUL 1

” HIPERSENSITIF ” BLOK IMUNOLOGI

DISUSUN OLEH :

NAMA : Andry Aulia Zulkarnaen

NO. STAMBUK : 11 777 024

KELOMPOK : VI ( enam )

PEMBIMBING : 1. dr. Seniwaty Ismail, Sp.KK 2. dr. Rhyzqa

Page 2: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ALKHAIRAAT

PALU2012BAB I

PENDAHULUAN

A. SKENARIO 1 :

Seorang pria 20 tahun datang ke puskemas Birobuli dengan

keluhan mata berwarna kuning, demikian pula kulit seluruh tubuh.

Keadaan ini sudah berlangsung 1 minggu, disertai badan terasa lemah.

Penderita juga mengeluh nafsu makan menurun dan kencing berwarna teh

tua.

B. KATA KUNCI

Ibu rumah tangga umur 20 tahun

Keluhan bercak kemerahan berbatas tegas

Muncul 4 hari yang lalu

Hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak nyeri pada penekanan

Sifatnya kambuhan, terutama setelah mencuci

Disela-sela jari tangan atau jari-jari kaki

PERTANYAAN

1. Bagaimana struktur anatomi, histologi, dan fisiologi kulit ?

2. Pengertian hipersensitivitas, serta klasifikasinya menurut Gell Combs ?

3. Bagaimana patomekanisme hipersensitivitas ?

4. Bagaimana Diagnosis diferensialnya ?

5. Bagaimana Etiologi dari diagnosis ?

6. Bagaimana Epidemiologi dari diagnosis ?

Seorang wanita berumur 20 tahun datang ke Dokter Praktek Swasta dengan

keluhan bercak kemerahan pada kulit yang gatal, muncul 4 hari yang lalu. Kelainan

ini sifatnya kambuhan dan lokasinya kadang-kadang disela-sela jari tangan atau

disela jari kaki. Pada pemeriksaan ditemukan bercak berbatas tegas melingkar di

pergelangan tangan pasien, agak hangat pada perabaan, dan tidak ada nyeri tekan.

Temperatur : 36,3 derajat celcius

Page 3: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

7. Bagaimana Diagnosis pada skenario ?

8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ?

9. Bagaimana Penatalaksanaan dari diagnosis, baik pengobatan maupun

terapi ?

BAB II

PEMBAHASAN

Patofisiologi

Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi

jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinarultraviolet, variasi suhu dan

kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan

sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora

harus tumbuh dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat

daripada proses  proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi

proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma

dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru

muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk

kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan

pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat

tergantung pada aktivasi sistem kekebalan tubuh.

Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam

pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari

merupakan faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80%

dari seluruh penderita dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat

onikomikosis dan/atau tinea pedis. Jamur penyebab ada di mana-mana dan

sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan di lingkungan sekitar manusia

seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi dan karpet.

         Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada

infeksi dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan

jamur dan merusak stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora

bakteri secara serentak mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti

Page 4: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

tambahan bahwa selama beberapa episode simtomatik pada tinea pedis kronik,

bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai ko-patogenesis penting, tetapi

apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih belum diketahui.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.

Pemeriksaaan laboratorium berupa:

a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan hifa

yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang

dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung

hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong.

Page 5: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

b) Kultur ditemukan dermatofit. 

c)   Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea

manum adalah adanya akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi

perivaskuler superfisialis kronik pada dermis).

 

Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan

tipenya.

Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya 

Tipe Organisme Penyebab

Gejala Klinis Pengobatan

Moccasin Trichophyton rubrumEpidermophyton floccosumScytalidium

Hiperkeratosis yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki; pada umumnya sifatnya kronik dan

Antifungal topikal disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan asam laktat untuk mengurangi hiperkeratosis; dapat

Gambar : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia

Gambar : Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari epidermis

Page 6: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

hyalinumS. dimidiatum

sulit disembuhkan; berhubungan dengan defisiensi Cell Mediated Immunity (CMI)

juga ditambahkan dengan obat-obatan oral

Interdigital T. mentagrophytes(var. interdigitale)T. rubrumE. floccosumS. hyalinumS. dimidiatumCandida spp.

Tipe yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela jari kaki,

Obat-obatan topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan pemberian antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida hexahidrate 20 %

Inflamasi / Vesikobulosa

T. mentagrophytes(var. mentagrophytes)

Vesikel dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi dermatofit

Obat-obatan topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan berat maka indikasi pemberian glukokortikoid

Ulseratif T. rubrumT. mentagrophytesE. floccosum

Eksaserbasi pada daerah interdigital; Ulserasi dan erosi; biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat pada pasien imunokompromais dan pasien diabetes

Obat-obatan topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder

A.    ANTIFUNGAL TOPIKALObat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang

terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi

dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang

lain.

a.     Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok

pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan

kandida.

Page 7: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

-          Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas  dengan menghambat

pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan

sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,

eritema, edema dan gatal.

-          Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas

golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel

yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan

selama 2-4 minggu.

-          Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat

biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan

keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %

bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka

waktu 2-6 minggu.

b.   Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar

dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali

sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang

rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat

sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.

c.   Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan

antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam

berbagai jenis jamur.

-     Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis

dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang

dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang

terjadi.

d.   Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna

pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik).

Page 8: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

-     Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan

kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama

dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang

lebih kecil dan lebih aman. 

e.   Antijamur Topikal Lainnya. 

-     Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat

dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep

Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat

memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka

penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi

terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga

ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini

berlemak.

-     Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik

tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek

fungisidal. Obat  ini tersedia dalam bentuk salep campuran  yang mengangung 5

% undesilenat dan 20% seng undesilenat.

-     Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal

kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia

dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

B. ANTIFUNGAL SISTEMIK

Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal

dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan

pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :

1.   Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik.

Page 9: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

Griseofulvin dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5

– 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-

25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,

penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis

dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan

dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis

tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar

penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan

klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan

keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek

samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea,

vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat

mengganggu fungsi hepar.

2.   Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu

ketokonazole yang bersifat fungistatik. 

Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat

tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi

hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk

penderita kelainan hepar.

3.   Itrakonazole.

Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai

pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan

lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat

pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan

dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela

membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput

lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam

selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida

(dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat

Page 10: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko

hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis

tipe moccasion. 

4.     Terbinafin.

Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai

pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg

sehari bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu

menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek

samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang

tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri

lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping

lainnya dapat berupa gangguan

pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang

sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan

bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi

hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. Terbinafin baik digunakan pada

pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu

penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan

terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin. 

BAB III

PENUTUP

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai

sela jari dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia

dewasa dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat

pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah

tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.Jamur

Page 11: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling

sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton

floccosum.

Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe

interdigitalis, moccasion foot, lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan Histopatologi

untuk meliohat apakah ada hifa atau tidak.

Pengobatan dapat berupa antifungal topikal maupun oral dan apabila

ditemukan infeksi sekunder maka indikasi penggunaan antibiotik. Salah satu

pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar kaki tetap dalam

keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu

yang terlalu lama

DAFTAR PUSTAKA

Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,

Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta:

Fakultas Kedokteran UI; 2004. p. 560-70.

MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections: dermatophytosis,

onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf K,

Page 12: LAPORAN TUTORIAL HIPERSENSITIVITAS.docx

Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in

general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. p.

Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence

and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population

in Spain. J Clin Microbiol 2000;38:3226-30.

Price, A Sylvia dan Wilson, M Lorraine. Patofisiologi. Volume I. Edisi 6. 2005.

Jakarta : EGC.  

Prof. J.-H. Saurat, MD. International League of Dermatological Societies

A non-Governemental Organisation in official Relations with the World

Health Organisation.

Ratna, Dian. 2006. Faktor – factor yang berhubungan dengan kejadian Tinea

Pedis pada pemulung di TPA Jatibarang Semarang. Semarang : UNDIP.

Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit

kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89-

104.

World Health Organization. Claire J. Carlo, MD. Patricia MacWilliams Bowe,

RN, MS. Journal Tinea Pedis (Athlete’s Foot).