laporan skenario d blok 25
DESCRIPTION
blok ikmTRANSCRIPT
Skenario D Blok 25
Di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa, dr. Bagus bersama timnya tidak
melakukan surveilan epidemiologi secara rutin, sehingga mereka tidak memahami riwayat
alamiah penyakit dan tahap perjalanan penyakit yang berpotensi KLB. Pada bulan Januari s/d
Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru disadari setelah terjadi
peningkatan jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah, karena perawatan darurat yang
disiapkan di puskesmas tidak bisa lagi menampung pasien yang indikasi dirawat. Puskesmas
Maju sebenarnya belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap. Setelah mengalami
peristiwa tersebut, dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari bahwa stafnya belum
memiliki pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans. Dr. Bagus mulai menyusun
perencanaan supaya kegiatan surveilans bisa dilakukan secara rutin, dan melatih tenaga
perawat dan bidannya memahami keterampilan penyelidikan wabah, studi epidemiologi, dan
kegiatan statistika terkait dengan surveilans dan penyelidikan wabah.
A. Klarifikasi Istilah
1. Surveilans: Upaya/ system/ mekanisme yang dilakukan secara terus menerus dari
suatu kegiatan pengumpulan, anilisis, interpretasi, dari suatu data spesifik yang
digunakan untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
2. Surveilans epidemiologi: Pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang digunakan
sebagai dasar dalam kegiatan-kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit.
3. Riwayat alamiah penyakit: Deskripsi tentang perjalanan waktu dan perkembangan
penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga
terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh
suatu intervensi preventif maupun terapeutik.
4. KLB (Kejadian Luar Biasa): Salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.
5. Wabah: Kejadian penyakit pada angota-anggota suatu populasi tertentu yang
jumlahnya melebihi kasus yang biasanya ditemukan pada populasi tersebut.
6. Statistika: Disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengumpulan, analisis, dan
interpretasi data numeris menggunakan teori probabilitas.
7. Studi epidemiologi: Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan factor-faktor yang
menentukan atau mempengaruhi frekuensi dan distribusi suatu penyakit, cedera, dan
1
kejadian terkait kesehatan lainnya dan penyebabnya pada suatu populasi manusia
yang sudah jelas.
B. Identifikasi Masalah
1. Di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa, dr. Bagus bersama timnya tidak
melakukan surveilan epidemiologi secara rutin, sehingga mereka tidak memahami
riwayat alamiah penyakit dan tahap perjalanan penyakit yang berpotensi KLB.
2. Pada bulan Januari s/d Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru
disadari setelah terjadi peningkatan jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah,
karena perawatan darurat yang disiapkan di puskesmas tidak bisa lagi menampung
pasien yang indikasi dirawatPuskesmas tidak memiliki fasilitas rawat inap.
3. Puskesmas Maju belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap.
4. Setelah mengalami peristiwa tersebut, dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari
bahwa stafnya belum memiliki pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans.
C. Analisis Masalah
1. Apa tujuan dari survailans epidemiologi secara rutin?
Tujuan dan Kegunaan Epidemiologi
a. Menggambarkan dan menganalisa kejadian penyakit dan distribusi berhubungan
dengan berbagai variabel seperti umur, ras, jenis kelamin, pekerjaan, frekuensi
kejadian temporal, fluktuasi periodik, tren jangka panjang dan distribusi geografis,
untuk membuat diagnosis komunitas dan memperkirakan risiko morbiditas dan
mortalitas.
b. Untuk menganalisa secara teliti karakteristik dan interaksi agen, host, dan faktor
lingkungan dalam rangka mencari kausa, menentukan seluruh detail asal usul
penyakit dan pencegahan serta ukuran kontrol, dan menyingkap kesenjangan dalam
ilmu pengetahuan.
c. Untuk meningkatkan pelayanan kedokteran dan menyediakan panduan administratif
untuk pelayanan kesehatan komunitas.
d. Merangsang penggunaan pendekatan sistemik dari riset ilmiah untuk mempelajari
masalah-masalah lain dalam kesehatan masyarakat bekerjasama dengan lapangan
ilmu lainnya seperti kedokteran gigi, kesejahteraan masyarakat, pendidikan,
administrasi, dan bidang-bidang ilmu penting lainnya.
2
Tujuan Surveilans Epidemiologi (WHO, 2002)
a. Memprediksi dan mendeteksi dini epidemi (outbreak).
b. Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan dan pengendalian
penyakit.
c. Sebagai sumber informasi untuk penentuan prioritas pengambilan kebijakan,
perencanaan, implementasi, dan alokasi sumber daya kesehatan.
d. Monitoring kecendrungan penyakit endemis dan mengestimasi dampak penyakit di
masa mendatang.
e. Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
Manfaat surveilans epidemiologi
- Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya
- Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit
- Identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat
- Identifikasi faktor risiko dan penyebab lainnya
- Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi
- Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis
- Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya
- Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan
di masa depan
- Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program
pada tahap perencanaan.
2. Apa landasan hukum dilakukan surveilans epidemiologi?
- UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
- UU Kesehatan No. 36 tahun 2009
- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116/MenKes/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan
(mewajibkan setiap instansi kesehatan pemerintah dan swasta
untuk melaksanakan kegiatan surveilans epidemiologi).
- SK MenKes No. 1479/MenKes/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Surveilans Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu
3
3. Apa akibatnya bila surveilans epidemiologi tidak dilakukan secara rutin?
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan yang terus menerus berupa pengumpulan
data, analisis dan interpretasi data kesehatan yang digunakan untuk perencanaan,
implementasi dan evaluasi aktivitas kesehatan, dan kemudian diseminasi sehingga langkah
efektif pencegahan penyakit bisa dilakukan. (WHO)
Surveilans Epidemiologi dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang
sistematis dan berkesinambungan dalam pengumpulan, analisis, interpretasi data dan
penyampaian informasi dalam upaya menguraikan dan memantau suatu penyakit/peristiwa
kesehatan. Kaitannya dengan penyakit menular, kegiatan surveilans epidemiologi bertujuan
untuk mengidentifikasi kelompok risiko tinggi dalam masyarakat, memahami cara penularan
penyakit serta berusaha memutuskan rantai penularan. Dalam hal ini setiap penyakit harus
dilaporkan secara lengkap dan tepat, yang meliputi keterangan mengenai orang (person),
tempat (place) dan waktu (time) (Budioro, 1997).
Akibat jika suveilans epidemiologi tidak dilakukan secara rutin
Kurangnya informasi tentang faktor kausal suatu penyakit dan juga faktor resiko suatu
penyakit, sehingga deteksi dini suatu penyakit tidak dapa dilakukan
Kurangnya informasi tentang masalah kesehatan populasi di suatu daerah, sehingga
tidak bisa dilakukannya deteksi dini suatu penyakit.
Tidak dilakukannya monitoring kecenderungan penyakit endemis dan mengestimasi
dampak penyakit di masa mendatang
Terlambatnya tindakan preventif dalam pencegahan suatu penyakit dan rantai
penularan penyakit tersebut.
Terlambatnya pengambilan kebijakan pemberantasan penyakit dan perencanaan serta
penyediaan pelayanan kesehatan.
Terjadinya wabah penyakit menular di suatu daerah
Terjadinya kejadian luar biasa (KLB) dari suatu penyakit
Respon pelayanan kesehatan menjadi tidak efektif.
4. Apa saja keterampilan yang diperlukan oleh staf Puskesmas untuk melakukan
surveilans epidemiologi?
Keterampilan yang harus dimiliki dan terus dilatih oleh para staf puskesmas untuk melakukan
surveilans epidemiologi adalah keterampilan pengolahan dan analisis data surveilans, serta
penyajiannya dalam bentuk statistik. Selain itu staf Puskesmas juga harus mampu
4
mendeskripsikan, menganalisis dan memvisualisasikan data menjadi informasi sebagai bahan
rekomendasi kepada penentu kebijakan untuk mendapat tindak lanjut
Masalah yang sering dihadapi pada staf surveilans epidemiologi adalah:
1. Tidak tahu bagaimana penggunaan data
2. Tidak melihat surveillans sebagai hal yang dapat memenuhi kebutuhan manajerial dan
program
3. Data hanya ditabulasi, jarang dianalisis atau diinterpretasikan untuk tujuan spesifik
penyediaan informasi yang diperlukan bagi kepentingan kesehatan masyarakat
Karena itu, petugas surveilans perlu dilatih untuk melakukan surveilans dengan baik, mulai
dari mengumpulkan data sampai mengolah data yang sudah ada dan menginterpretasikannya,
sehingga pihak puskesmas dapat mengetahui dengan jelas kondisi daerah di bawah
wewenang mereka. Selain itu, akurasi surveilans juga dipengaruhi beberapa faktor: (1)
kemampuan petugas; (2) infrastruktur laboratorium. Untuk itu, staf surveilans dapat dilatih
tidak hanya hal yang sudah didalaminya, tapi juga hal lain yang mendukung surveilans.
Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang
teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami
kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar di setiap tingkat
operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
5. Bagaimana teknis pelaksanaan survailans epidemiologi?
1. Pengumpulan Data Surveilans Epidemiologi
Pengumpulan Data adalah pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit,
puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan,
laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain. Survei khusus, dan pencatatan jumlah
populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang diamati.Tehnik pengumpulan data dapat
dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan.Tujuan pengumpulan data adalah menentukan
kelompok high risk. Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya).Menentukan reservoir
Transmisi Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.
A. Sumber Data Surveilans
Salah satu system pengumpulan data yang dilakukan secara terus menerus dalam
epidemiologi dikenal dengan surveilans. Sebagai sumber data surveilans, WHO
merekomendasikan 10 macam sumber data yang dapat dipakai :
1. Data mortalitas
5
2. Data morbiditas
3. Data pemeriksaan laboratorium
4. Laporan penyakit
5. Penyelidikan peristiwa penyakit
6. Laporan wabah
7. Laporan penyelidikan wabah
8. Survey penyakit, vektor dan reservoir
9. Pengunaan obat, vaksin dan serum
10. Demografi dan lingkungan
B. Macam-macam sumber data menurut (Kepmenkes RI No.1116/Menkes/SK/VIII/2003):
1. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
2. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan
kantor pemerintah dan masyarakat.
3. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat
4. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan geofisika
5. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat.
6. Data kondisi lingkungan
7. Laporan wabah
8. Laporan penyelidikan wabah/KLB
9. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
10. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
11. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
12. Laporan kondisi pangan
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam surveilans, data dikumpul melalui sistem pelaporan yang ada.Berdasarkan
keperluannya, pengumpulan data untuk surveilans dibedakan menurut sumber data yaitu
primer dan sekunder.Data primer dikumpulkan secara langsung dari penderita di lokasi dan
sarana kejadian penyakit. Data sekunder dikumpulkan dari sumber data laporan rutin yang
ada atau sumber khusus tambahan lain sesuai variabel yang diperlukan. Surveilans secara
rutin sering menggunakan cara ini. Ada data tersier yaitu data yang diambil dari hasil kajian,
6
analisis data atau makalah yang telah dipublikasikan.Besarnya sumber data sangat tergantung
pada populasi, yaitu data yang diambil dari semua penduduk merupakan data yang diamati
atau yang berisiko terkena penyakit (reference population) di suatu wilayah dimana penyakit
terjadi (desa, kecamatan, kebupaten, provinsi atau negara).
Sistem surveilans rutin di kabupaten menggunakan cara ini melalui laporan sarana
kesehatan (Puskesmas) yang menjangkau seluruh wilayah kabupaten. Dalam survei khusus,
cara ini jarang dilakukan karena mahal dan membutuhkan waktu lama. Untuk data sampel,
yaitu data yang diambil dari sebagian penduduk atau sebagian puskesmas yang dianggap
mewakili seluruh penduduk atau wilayah dimana kejadian penyakit berlangsung atau berisiko
terkena penyakit. Dalam survei khusus cara ini sering dilakukan karena lebih cepat dan
murah. Bila menggunakan sampel, pemilihan sampel basanya dilakukan mengikuti ketentuan
statistik. Pertama, perlu menentukan unit sampel yang akan dipilih yaitu sampel perorangan
atau kelompok (kluster), sehingga langkah selanjutnya dapat membuat daftar unit sampel
secara berurutan, dan menetapkan besar atau jumlah sampel.
Besar sampel ditentukan oleh populasi penduduk yang akan diwakili dan perkiraan
besarnya prevalensi dari penyakit yang dipantau. Umumnya makin besar jumlah sampel,
maikin baik informasi yang dihasilkan tentang penduduk yang diwakilinya.Bandingkan besar
sampel dan ketepatan hasil (lebar range prevalensi yang dihasilkan) pada tabel tertentu.
Kemudian unit sampel dipilih sesuai jumlah yang ditentukan, yang bisa dilakukan secara aak
(random), sistematik (pilihan berselang seling) atau kombinasi cara tersebut. Cara ini
memberikan sampel yang dapat mewakili semua populasi yang diamati.Kadang-kadang
sampel terpaksa dipilih sesuai kepentingan pengamatan (selektif, purposive), biasanya bila
penyakit sangat jarang terjadi.Cara ini mewakili populasi yang diamati.
Sampel dapat berganti setiap waktu dan setiap pengamatan, atau dapat berupa sampel
tetap untuk diikuti terus selama periode pengamatan (sentinel, kohort).Data dapat
dikumpulkan sesaat, yaitu data tentang kejadian penyakit atau kematian yang dikumpul pada
tempat dan saat kejadian penyakit sedang berlangsung (cross sectional).Data penyakit sesaat
tersebut (prevalens) dapat dikumpul dalam suatu periode waktu yang singkat (misalnya 1
hari, disebut point prevalence) atau periode yang lebih panjang (minggu, bula, tahun, disebut
period prevalence).Data kejadian di waktu lalu, yaitu data yang dikumpul tentang kejadian
penyakit atau kematian yang sudah terjadi pada waktu lalu (restrospective).
Untuk mencari faktor risiko penyebab penyakit atau kematian sedangkan data
kejadian di waktu mendatang, yaitu data yang dikumpul tentang kejadian penyakit atau
kematian yang sedang berlangsung dan akan terjadi pada waktu mendatang yang periodenya
7
telah ditetapkan sebelumnya (prospective). Tujuannya adalah memantau besarnya pengaruh
suatu faktor risiko atau intervensi program tertentu timbulnya penyakit atau kematian.Sifat
kejadian penyakit yang dipantau berdasarkan data kasus lama, yaitu penderita yang sudah
menderita sakit (dan saat ini masih sakit, sudah sembuh atau sudah meniggal) sejak sebelum
pengumpulan data dilakukan.Penemuan kasus lama dapat dipakai untuk menialai efektivitas
pengobatan, pelaksanaan pengobatan standar, resistensi, adanya pengaruh faktor risiko
lingkungan dan perilaku sehingga sakit berlangsung lama. Sedangkan kasus baru, yaitu
penderita yang baru menderita sakit pada saat peiode pengumpulan data dilakukan
selanjutnya cara penemuan kasus baru, terutama bila terjadi dalam waktu singkat. Dipakai
untuk menilai adanya KLB atau wabah di suatu tempat, yang memerlukan tindak lanjut.
D. Alat pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data surveilans diprlukan alat bantu yang harus disiapkan lebih
dulu. Alat bantu pengumpulan data dapat berupa daftar register penderita, kuesioner,
formulir, tabel atau cheklist yang memuat variabel yang berkaitan dengan penyakit yang
diamati. Alat bantu baku disediakan untuk pengumpulan data rutin. Pada KLB/ wabah perlu
dibuatkan alat bantu baru tentang faktor penyebab dan faktor risiko penularan yang berkaitan
dengan penyakit pada KLB/wabah tersebut.
Pengumpulan data membutuhkan serangkaian kegiatan pengelolaan tersendiri oleh
tim surveilans meliputi perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pembiayaan dan
penjadwalan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi hasil pengumpulan data. Pengumpulan
data pada Surveilans Epidemilogi Terpadu pada unit surveilans Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota menyimpulkan data dari :
1. Laporan bulanan Puskesmas (form 4, STP.Plus)
2. Laporan bulanan rumah sakit (form 5a dan 5b, STP.RS)
3. Laporan bulanan laboratorium (form 6a. STP.Lab 1 dan form 6b. STP.Lab 2)
4. Laporan mingguan PWS-KLB (form 3. PWS-KLB).
Pada Puskesmas dan rumah sakit sentinel melaporkan laporan bulanan dari pelayanan
kesehatan swasta. Praktik pengumpulan data dari laporan puskesmas, meringkas dalam
bentuk tabel.Dari penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan tujuan dari pengumpulan data
adalah menentukan kelompok/golongan populasi yang berisiko (umur, sex, bangsa, pekerjaan
dan lainnya), menentukan jenis agent dan karakteristiknya, menentukan reservoir infeksi,
memastikan penyebab trasmisi, dan mencatat kejadian penyakit.
8
E. Waktu Pengumpulan Data
Waktu pengumpulan data pada sistem surveilans meliputi :
1. Rutin bulanan. Laporan yang berkaitan dengan perencanaan dan evaluasi program
dari sumber data yang dilakukan oleh Puskesmas yaitu SP2TP (Sistem Pencatatan dan
Pelaporan Terpadu Puskesmas).
2. Rutin harian dan mingguan. Laporan tersebut berkaitan dengan Sistem Kewaspadaan
Dini (SKD) dari kejadian Luar Biasa (KLB).
3. Insidensitil adalah laporan sewaktu-waktu seperti laporan W1 untuk Kejadian Luar
Biasa (KLB).
4. Laporan berdasarkan hasil survei.
2. Pengolahan Data Surveilans Epidemiologi
1. Langkah-Langkah Pengolahan Data
a. Penyusunan data
Data yang sudah ada perlu dikumpulkan semua agar mudah untuk mengecek apakah
semua data yang dibutuhkan sudah terekap semua.Kegiatan ini dimaksudkan untuk
menguji hipotesis penelitian.Penyusunan data harus dipilih data yang ada hubungannya
dengan penelitian, dan benar-benar otentik.Adapun data yang diambil melalui wawancara
harus dipisahkan antara pendapat responden dan pendapat interviwer.
b. Klasifikasi data
Klasifikasi data merupakan usaha menggolongkan, mengelompokkan, dan memilah data
berdasarkan pada klasifikasi tertentu yang telah dibuat dan ditentukan oleh peneliti.
Keuntungan klasifikasi data ini adalah untuk memudahkan pengujian hipotesis.
c. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Hipotesis
yang akan diuji harus berkaitan dan berhubungan dengan permasalahan yang akan
diajukan. Semua jenis penelitian tidak harus berhipotesis akan tetapi semua jenis
penelitian wajib merumuskan masalahnya, sedangkan penelitian yang menggunakan
hipotesis adalah metode eksperimen. Jenis data akan menentukan apakah peneliti akan
menggunakan teknik kualitatif atau kuantitatif. Data kualitatif diolah dengan
menggunakan teknik statistika baik statistika non parametrik maupun statistika
parametrik. Statistika non parametrik tidak menguji parameter populasi akan tetapi yang
diuji adalah distribusi yang menggunakan asumsi bahwa data yang akan dianalisis tidak
terikat dengan adanya distribusi normal atau tidak harus berdistribusi normal dan data
9
yang banyak digunakan untuk statistika non parametrik adalah data nominal atau data
ordinal.
d. Interpretasi hasil pengolahan data
Tahap ini menerangkan setelah peneliti menyelesaikan analisis datanya dengan cermat.
Kemudian langkah selanjutnya peneliti menginterpretasikan hasil analisis akhirnya
peneliti menarik suatu kesimpulan yang berisikan intisari dari seluruh rangkaian kegiatan
penelitian dan membuat rekomendasinya. Menginterpretasikan hasil analisis perlu
diperhatikan hal-hal antara lain: interpretasi tidak melenceng dari hasil analisis,
interpretasi harus masih dalam batas kerangka penelitian, dan secara etis peneliti rela
mengemukakan kesulitan dan hambatan-hambatan sewaktu dalam penelitian.
3. Analisis Deskriptif Data Surveilans Epidemiologi
Analisis Deskriptif merupakan bentuk analisis data penelitian untuk menguji
generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu sample.
4. Interpretasi secara Deskriptif dan Interferensial
Interpretasi Data merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan hasil analisis
dengan pernyataan,kriteria ,atau standar tertentu untuk menemukan makna dari data yang
dikumpulkan untuk menjawab permasalahan pembelajaran yang sedang diperbaiki.
Interpretasi data perlu dilakukan peneliti untuk memberikan arti mengenai bagaimana
tindakan yang dilakukan mempengaruhi peserta didik.
Interpretasi data juga penting untuk menantang guru agar mengecek kebenaran asumsi
atau keyakinan yang dimilikinya
A. Teknik Dalam Melakukan Interpretasi Data
1. Menghubungkan data dengan pengalaman diri guru atau peneliti
2. Mengaitkan temuan (data) dengan hasil kajian pustaka atau teori terkait.
3. Memperluas analisis dengan mengajukan pertanyaan mengenai penelitian dan
implikasi hasil penelitian.
4. Meminta nasihat teman sejawat jika mengalami kesulitan
5. Diseminasi Data Surveilans Epidemiologi
Menurut Depkes RI (2003), diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada
kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran,
menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut. Dan diseminasi data Surveilans
10
Cross sectional
Case Report
Korelasi
Case Series
Observasi
Intervensi
Studi Ekologi
Case Control
Kohort
Prospektif
Retrospektif
Historical prospectifClinical Trial
Intervensi Komunitas
Studi Epidemiologi
Studi Deskriptif
Studi Analitik
adalah penyebar luasan informasi, yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah
dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya
pengendalian serta evaluasi program,contohnya:
1. Membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan
2. Membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan
3. Membuat suatu tulisan di majalah rutin
4. Memanfaatkan media internet
6. Apa macam-macam desain/studi epidemiologi?
Dalam Epidemiologi terdapat dua jenis desain penelitian epidemiologi, yaitu studi deskriptif
dan studi analitik. Desain studi ini digunakan untuk mempermudah dalam penelitian yang
terkait dengan berbagai faktor penyebab, akibat, serta hubungan antar berbagai faktor.
Berikut adalah kerangka garis besar beberapa desain study epidemiologi :
11
STUDI DESKRIPTIF
Untuk mempelajari distribusi dan frekuensi penyakit di populasi dipakai desain studi
epidemiologi deskriptif. Desain studi ini memiliki variant lebih dari 1 dan berupa presentase.
Cross Sectional
Digunakan untuk membedakan dua kelompok. Unit pengamatan merupakan
individual dan populasinya merupakan populasi yang umum serta samplenya random.
Pengukuran variable independent (exposure) dan variable dependent (outcome) dilakukan
secara bersamaan sehingga sulit untuk mengetahui hubungan antara exposure dan outcome.
Case Report
Merupakan study pada satu kasus yang sama atau kasus baru yang menggambarkan
suatu riwayat penyakit dan pengalaman klinis dari masing-masing kasus. Unit pengamatan
atau analisisnya individual. Desain study ini digunakan untuk melihat distribusi suatu
penyakit atau masalah kesehatan yang diteliti, memperoleh informasi tentang kelompok
resiko tinggi dan membuat hipotesis baru. Karena merupakan pengumpulan dari beberapa
kasus-kasus yang dilaporkan maka study ini tidak bisa digunakan untuk menggambarkan
suatu populasi. Study ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk meneliti serta dapat
menjembatani antara penelitian klinis dengan penelitian epidemiologi.
Case Series
Studi ini merupakan studi lanjutan dari case report. case report hanya terdiri dari satu
kasus saja, tetapi case series terdiri lebih dari satu kasus dan kurang dari sepuluh kasus. Studi
ini juga terkait pada sindrom atau penyakit baru. Unit pengamatannya juga individual.
Studi Kolerasi
Disebut juga studi ekologi. Merupakan studi observasional dengan unti
analisis/pengamatannya agregat. Populasi merupakan beberapa kumpulan dari unit
pengamatan. contohnya unit pengamatan untuk angka kepadatan jentik, dan insidens DHF
diukur berdasarkan area kerja puskesmas, maka populasi studi terdiri dari kumpulan
puskesmas - puskesmas.
12
STUDI ANALITIK
Untuk mempelajari determinan suatu penyakit di populasi dipakai desain studi
epidemiologi analitik. Desain studi ini dapat digunakan untuk mencari faktor-faktor yang
mempengaruhi dan membandingkan antara dua kelompok.
Case Control
Digunakan untuk meneliti faktor risiko/determinan dari suatu penyakit yang 'outcome'
jarang terjadi. penelitian dimulai dari pengukuran status keterpaparan pada subjek-subjek
yang diteliti kemudian dikelompokan. Bersifat retrospektif yang berarti melihat pengamatan
dengan cara mundur. terdiri dari dua kelompok yaitu sakit dan tidak sakit. D --> E (macam-
macam).
Kohort
Penelitian bersifat observasional tanpa intervensi. Penelitian dilakukan pada subjek-
subjek yang masih bebas dari outcome (Disease) tapi berisiko untuk dapat mengalaminya.
Pada studi ini dapat terlihat jelas hubungan antar exposure dengan outcome. Biasanya studi
ini dilakukan pada dua kelompok yaitu kelompok terpapar dan tidak terpapar. Studi ini dapat
bersifat prospektif, retrospektif ataupun historical prospektif. Sample yang dipilih merupakan
sample yang tidak random sehingga hanya beberapa sample yang terkait dengan penelitian
saja.
Intervensi
Biasanya dilakukan secara randomisasi. Peneliti melakukan intervensi terhadap status
"exposure" pada subjek-subjek yang diteliti. Pada studi ini dilakukan pengecekan ulang
dalam kurun waktu tertentu. Jenis intervensi ini ada dua yaitu intervensi secara klinik atau
individual dan intervensi secara komunitas misalnya pada komunitas pemabuk, perokok dan
sebagainya.
7. Apa saja kriteria KLB?
7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah :
Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah
13
Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam
jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun
sebelumnya
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
per bulan pada tahun sebelumnya
Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama
Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama
Adapun dalam kasus ini (KLB DBD), standar dalam menentukan terjadinya KLB DBD
diantaranya:
a. Terdapat satu kasus DBD atau lebih yang selama 3 bulan terakhir didaerah
kabupaten/kota bersangkutan tidak ditemukan penderita DBD tetapi HI jentik Aedes
aegypti desa atau kelurahan tersebut lebih dari 5 persen.
b. Terdapat peningkatan bermakna jumlah kasus DBD dibandingkan keadaan
sebelumnya
c. Terdapat peningkatan bermakna dibandingkan dengan keadaan tahun sebelumnya
pada periode yang sama.
8. Apa saja macam-macam penyakit yang tergolong dalam KLB?
Karakteristik Penyakit yang berpotensi KLB
1. Penyakit yang terindikasi mengalami peningkatan kasus secara cepat.
2. Merupakan penyakit menular dan termasuk juga kejadian keracunan.
3. Mempunyai masa inkubasi yang cepat.
14
4. Terjadi di daerah dengan padat hunian.
Penyakit-Penyakit Berpotensi Wabah/KLB
Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kolera, Pes, Yellow Fever.
1. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai
mortalitas tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan
memerlukan tindakan segera : DHF,Campak,Rabies, Tetanus neonatorum, Diare,
Pertusis, Poliomyelitis.
2. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria,
Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis,
Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
3. Tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi Penyakit-penyakit menular yang masuk
program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dll.
Penggolongan KLB berdasarkan sumber
1. Sumber dari manusia: jalan nafas, tenggorokan, tinja, tangan, urine, dan muntahan.
Seperti: Salmonella, Shigela, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus
Hepatitis.
2. Sumber dari kegiatan manusia: penyemprotan (penyemprotan pestisida), pencemaran
lingkungan,penangkapan ikan dengan racun, toxin biologis dan kimia.
3. Sumber dari binatang: binatang piaraan, ikan dan binatang pengerat.
4. Sumber dari serangga: lalat (pada makanan) dan kecoa. Misalnya : Salmonella,
Staphylococus, Streptoccocus.
5. Sumber dari udara, air, makanan atau minuman (keracunan). Dari udara, misalnya
Staphylococus, Streptoccocus, Virus, Pencemaran Udara. Pada air, misalnya Vibrio
cholerae, Salmonella. Sedangkan pada makanan, misalnya keracunan singkong,
jamur, makan dalam kaleng.
9. Bagaimana tahapan perjalanan penyakit secara umum?
Proses perjalanan penyakit secara umum dapat dibedakan atas:
Tahap Pre Patogenesis (Stage of Susceptibility)
Tahap Inkubasi (Stage of Presymtomatic Disease)
Tahap Penyakit Dini (Stage of Clinical Disease)
Tahap Penyakit Lanjut
Tahap Akhir Penyakit
15
1. Tahap Pre Patogenesis (Stage of Susceptibility)
Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi
interaksi ini terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum ditemukan adanya
tanda-tanda penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih kuat dan dapat menolak
penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
2. Tahap Inkubasi (Stage of Presymtomatic Disease)
Pada tahap ini biit penyakit masuk ke tubuh penjamu, tetapi gejala-gejala penyakit
belum nampak.
3. Tahap Penyakit Dini (Stage of Clinical Disease)
Tahap ini mulai dihitung dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap ini
penjamu sudah jatuh sakit tetapi masih ringan dan masih bisa melakukan aktifitas sehari-
hari. Bila penyakit segera diobati, mungkin bisa sembuh, tetapi jika tidak, bisa bertambah
parah. Hal ini terganting daya tahan tubuh manusia itu sendiri, seperti gizi, istirahat dan
perawatan yang baik di rumah (self care).
4. Tahap Penyakit Lanjut
Bila penyakit penjamu bertambah parah, karena tidak diobati/tidak terturn atau
tidak memperhatikan anjuran-anjuran yang diberikan pada penyakit dini, maka penyakit
masuk pada tahap lanjut. Penjamu terlihat tak berdaya dan tak sanggup lagi melakukan
aktifitas. Tahap ini penjamu memerlukan perawatan dan pengobatan yang intensif.
5. Tahap Akhir Penyakit
Tahap akhir dibagi menjadi 5 keadaan :
Sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi
seperti keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit)
Sembuh tapi cacat ; penyakit penjamu berakhir/bebas dari penyakit, tapi
kesembuhannya tak sempurna, karena terjadi cacat (fisik, mental maupun
sosial) dan sangat tergantung dari serangan penyakit terhadap organ-organ
tubuh penjamu.
Karier : pada karier perjalanan penyakit seolah terhenti, karena gejala penyakit
tak tampak lagi, tetapi dalam tubuh penjamu masih terdapat bibit penyakit,
yang pada suatu saat bila daya tahan tubuh penjamu menurun akan dapat
kembuh kembali. Keadaan ini tak hanya membahayakan penjamu sendiri, tapi
dapat berbahaya terhadap orang lain/masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan penyakit (human reservoir)
16
Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-gejala
penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat maupun
ringan. Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan sakit.
Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat diobati
lagi, sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu meninggal
dunia. Keadaan ini bukanlah keadaan yang diinginkan.
10. Apa pentingnya memahami riwayat alamiah penyakit dan tahap perjalanan
penyakit dan hubungannya dengan KLB?
Alasan mengapa memahami riwayat alamiah penyakit dan tahap perjalanan penyakit begitu
penting diantaranya:
a. Untuk diagnostik, masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman penentuan jenis
penyakit, misal dalam KLB
b. Untuk pencegahan, dengan mengetahui rantai perjalanan penyakit, dapat dengan
mudah dicari titik potong yang penting dalam upaya pencegahan penyakit
c. Untuk terapi, terapi biasanya diarahkan ke fase yang paling awal. Pada tahap
perjalanan awal penyakit, adalah waktu yang tepat untuk pemberian terapi, lebih awal
terapi akan lebih baik hasil yang diharapkan.
Kasus luar biasa dapat terjadi karena tidak terkontrolnya suatu penyakit akibat
kegagalan intervensi puskesmas dan ketidakpahaman warga mengenai riwayat alamiah
penyakit dan patogenesis pernyakit tersebut. Untuk dapat mencegah terjadinya kasus luar
biasa perlu diadakan penanggulangan dini dan adekuat yang dapat dilakukan dengan
diperlukannya pemahaman mengenai riwayat penyakit serta patogenesisnya.
11. Bagaimana teknik pecegahan dan penanggulangan KLB?
Teknik Pencegahan KLB
Hal-Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah KLB adalah dengan jalan sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Konfirmasi informasi
Informasi yang didapat kadang-kadang tidak lengkap bahkan tidak jelas, untuk itu
diperlukan upaya konfirmasi tentang kejelasan informasi.
- Sumber informasi dapat diperoleh dari masyarakat baik lisan maupun tulisan dan
fasilitas kesehatan.
17
- Gambaran tentang kasus meliputi gejala, pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis
dan hasil konfirmasi ada tidaknya komplikasi, kecacatan, kelumpuhan bahkan
kematian.
- Situasi geografi dan sarana transportasi yang ada.
b. Pembuatan rencana kerja
Kegiatan ini meliputi;
Definisi kasus
Definisi kasus sangat berguna untuk mengarahkan pencarian kasus, paling
baik ditentukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium. Perumusan
diagnosis kasus dalam kalimat yang jelas merupakan hal yang penting oleh
karena itu akan menjadi pedoman bagi tim penyelidikan lapangan dalam
penemuan kasus.
Hipotesis mengenai penyakit, penyebab, sumber dan cara penularan.
Data /informasi yang diperlukan misalnya jumlah kasus, jumlah penduduk,
kebiasaan penduduk, data lingkungan.
Cara memperoleh data/ informasi
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengunakan data fasilitas pelayanan
kesehatan, mencari informasi di instansi non kesehatan, dan melalui survey di
masyarakat.
Tim dan sarana yang diperlukan sesuai dengan jenis KLB, misal sanitasi,
entomolog, analis dll
2. Pelaksanaan
a. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara menghitung distribusi frekuensi dari
tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus dengan membuat daftar gejala yang ada
pada kasus dan menghitung persentasenya. Susunan berdasarkan pada frekuensi
gejala dan tanda penderita kemudian dicocokan dengan tanda dan gejala klinis
penderita penyakit tertentu, sehingga kejadian ini dapat dikelompokan menjadi kasus
atau bukan. Penentuan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan
menentukan type prganisme penyebab sakit serta pengobatan yang cepat dan tepat.
b. Penentuan KLB
18
Penentuan KLB bertujuan menetapkan apakah kejadian tesebut merupakan KLB
atau bukan, dilakukan dengan membandingkan insiden penyakit yang telah berjalan
dengan insiden penyakit dalam keadaan biasa pada populasi yang berisiko pada
tempat dan waktu tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pola maksimum
dan minimum 5 tahunan atan 3 tahunan, membandingkan penyakit pada
minggu.bulan/tahun sebelumya. Untuk memastikan KLB sebaiknya dilakukan pola
analisis secara komperhensif tidak hanya kasus tetapi termasuk informasi vektor,
lingkungan dan prilaku penduduk.
c. Identifikasi kasus dan paparan
Identifikasi kasus yang paling baik adalah berdasarkan hasil konfirmasi
laboratorium, namun demikian berdasarkan gejala klinis dapat dipakai sebagai
identifikasi kasus di lapangan saat penyidikakan. Identifikasi paparan dapat
ditentukan melalui analisis kurva epidemic sehingga dapat diperkirakan indeks kasus
(siapa yang pertama kali terkena) dan waktu paparan (kapan penularan itu terjadi).
Informasi yang penting adalah landasan teori tentang cara penularan penyakit.
Identifikasi paparan akan membantu mengidentifikasi penularan serta membantu
mendiagnosa dengan lebih baik.
d. Deskripsi menurut orang, tempat, dan waktu
Dari hasil pengumpulan data penderita kemudian dikelompokan. Pengelompokan
menurut tempat mengambarkan dimana mereka terkena, yang perlu mengelompokan
tidak harus tempat tinggal, bisa sekolah, tempat kerja, desa atau kota, gunung dan
pantai dll. Pengelompokan berdasarkan orang seperti umur, sex, jenis kelamin, jenis
pekerjaan, perilaku.
e. Merumuskan hipotesis
Setelah diketahui adanya laporan kemudian diambil hipotesis dengan merujuk
teori yang telah ada.
Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani
penderita, mencegah perluasan kejadian dan timbulnya penderita atau kematian baru pada
suatu kejadian luar biasa yang sedang terjadi. Dalam penanggulangan KLB dikenal juga
istilah Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB) yang dapat diartikan sebagai kewaspadaan
terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan
19
menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap
tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan kejadian luar
biasa yang cepat dan tepat.
Upaya penanggulangan KLB
1. Penyelidikan epidemiologis.
2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina.
3. Pencegahan dan pengendalian.
4. Pemusnahan penyebab penyakit.
5. Penanganan jenazah akibat wabah.
6. Penyuluhan kepada masyarakat.
7. Upaya penanggulangan lainnya.
Prosedur Penanggulangan KLB/Wabah.
Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB/wabah adalah dengan melaksanakan
Sistem Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukan langkah-langkah lainnya:
1. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistic
2. Membentuk dan melatih Tim Gerak Cepat puskesmas.
3. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4. Memperbaiki kerja laboratorium
5. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain
Tim Gerak Cepat (TGC): Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan
pengamatan dan penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas
atau data penyelidikan epideomologis.
Pada kasus ini, bila terjadi KLB/wabah, dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus dengan
interval 1 minggu), PSN DBD, larvasidasi, penyuluhan di seluruh wilayah terjangkit, dan
kegiatan penanggulangan lainnya yang diperlukan, seperti: pembentukan posko pengobatan
dan posko penangggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan pemeriksaan spesimen
serta peningkatan kegiatan surveilans kasus dan vektor, dan lain-lain.
a. Pengobatan dan Perawatan Penderita
Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat dirawat puskesmas yang mempunyai fasilitas
perawatan, sedangkan DBD derajat 3 dan 4 harus segera dirujuk ke Rumah Sakit.
20
b. Pemberantasan Vektor
1) Penyemprotan insektisida (pengasapan / pengabutan)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas, dan tenaga lain yang
telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
Alat : hot fogger/mesin pengabut atau ULV
Cara : Fogging/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu minggu (petunjuk
fogging terlampir)
2) Pemberantasan sarang jentik/nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD)
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya yang merupakan
satu kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk: tempat penampungan
air,barang bekas ( botol aqua, pecahan gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang
pagar/pelepah pisang, tempat minum burung, alas pot, dispenser, tempat
penampungan air di bawah kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/bangunan dan
tempat umum
Cara : Melakukan kegiatan 3 M plus.
Contoh :
- Menguras dan menyikat TPA
- Menutup TPA
- Memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menjadi TPA
PLUS :
- Menaburkan bubuk larvasida
- Memelihara ikan pemakan jentik
- Menanam pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia, lavender, geranium)
- Memakai obat anti nyamuk(semprot, bakar maupun oles),
- Menggunakan kelambu, pasang kawat kasa, dll.
- Menggunakan cara lain disesuaikan dengan kearifan lokal.
3) Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas puskesmas/dinas
kesehatan kabupaten/kota
21
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan
Tempat-Tempat Umum (TTU)
Larvasida : Sesuai dengan dosis
Cara : larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB
c. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama Puskesmas.
12. Apa perbedaan wabah dan KLB?
Di Indonesia definisi wabah dan KLB diaplikasikan dalam Undang-undang Wabah sebagai
berikut:
Wabah
- Peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas secara cepat baik
dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan
malapetaka.
- Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka
(Permenkes No.949 tahun 2004)
Kejadian Luar Biasa (KLB)
Timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok
penduduk dalam kurun waktu tertentu (Undang-undang Wabah, 1984).
Terlihat adanya perbedaan definisi antara Wabah dan KLB. Wabah harus mencakup:
- Jumlah kasus yang besar.
- Daerah yang luas .
- Waktu yang lebih lama.
- Dampak yang timbulkan lebih berat.
13. Apa kegiatan statistika yang terkait dengan survailans dan penyelidikan wabah?
Banyak kegiatan statistika yang bisa di lakukan oleh dokter dalam surveilans dan
penyelidikan wabah. Statistik yg dapat di lakukan adalah statistik Deskriptif yaitu statistik
untuk mendeskripsikan keadaan yang di temukan pada obyek yang di hadapi, yang kedua
22
adalah statistik inferensi yaitu menganalisis data dan menginterpretasikan hasil analisis yang
kemudian mengeneralisasi hasilnya kepada pupolasi.
Pengumpulan data bisa dengan cara, observasi, wawancara, pemeriksaan klinis dan
lab deangan tujuan menggetahui masalah apa yg sedang di hadapi, seberapa parah masalh itu
dan perencannaan program.
Setelah data di dapatkan, data kemudian di olah dengan cara analisis statistic,
penyajian data dan interpretasi. Cara penyajian data bisa dalam bentuk teks, grafik dan tabel
dengan tujuan untuk membandingkan 2 kondisi atau lebih. Menunjjukka distribusi subjek
menurut nilai atau kategori variabel tertentu, menampilkan perubahan nilai dan menunjukkan
adanya hubungan antara 2 variable.
Ketika proses ini telah slesai maka seorang dokter dalam puskesmas suatu wilayah
dapat mengetahui masalah apa yang sedang ia hadapi dan dengan bantuan data data ini juga
ia bisa merancang program program untuk memecahkan masalah yang ia hadapi dan
meningkatkan kualitas kesehatan di lingkungannya.
14. Bagaimana cara menyelidiki wabah?
PENYELIDIKAN WABAH
Pengungkapan adanya wabah yang sering dilakukan atau didapatkan adalah dengan
deteksi dari analisis data surveilans rutin atau adanya laporan petugas, pamong, atau warga
yang cukup peduli. Alasan dilakukannya penyelidikan adanya kemungkinan wabah adalah :
1. Mengadakan penanggulangan dan pencegahan
2. Kesempatan mengadakan penelitian dan pelatihan
3. Pertimbangan Program
4. Kepentingan Umum, Politik dan Hukum
Kegiatan penyelidikan wabah meliputi :
1. Menetapkan Terjangkitnya Keadaan Wabah
Informasi tentang terjadinya wabah biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat,
yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi
informasi tentang terjadinya wabah bisa juga berasal dari petugas kesehatan, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan
televisi). Pada dasarnya wabah merupakan penyimpangan dari keadaan normal karena itu
23
wabah ditentukan dengan cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata
jumlah kasus dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan, tahun).
Terjadinya wabah dan teridentifikasinya sumber dan penyebab wabah perlu ditanggapi
dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah kasus sehingga disebut wabah, maka
pihak dinas kesehatan yang berwewenang harus membuat keputusan apakah akan
melakukan investigasi wabah. Pada penerapannya, pada sistem kesehatan perlu
ddilakukan investigasi wabah dan mengambil langkah-langkah segera dan tepat untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut penyakit tersebut..
2. Melakukan Investigasi Wabah
Pada langkah investigasi yang pertama dilakukan penegakan dagnosa dari penyakit yang
menjadi wabah tersebut dengan mendefinisikan kasus. Pada investigasi kasus, peneliti
melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah didiagnosis dengan benar
(valid). Penegakan diagnose yang utam dengan dilakukan pemeriksaan labolatorium.
Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami penyakit
akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus.
Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan menjadi:
(1) kasus suspek (suspected case, syndromic case),
(2) kasus mungkin (probable case, presumptive case), dan
(3) kasus pasti (confirmed case, definite case).
Klasifikasi kasus (yang berbeda tingkat kepastiannya tersebut) memungkinkan
dilakukannya upaya untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pelaporan. Kasus
suspek bersifat sensitive tetapi kurang spesifik, dengan tujuan mengurangi negatif palsu.
Kasus mungkin dan kasus pasti bersifat lebih sensitif dan lebih spesifik daripada kasus
suspek, dengan tujuan mengurangi positif palsu.
Langkah selanjutnya dengan dilakukan penentuan apakah peristiwa tersebut suatu letusan
wabah atau bukan. Hal ini dilihat berdasarkan penyebab terjadinya wabah. Pada
investigasi penyebab terjadinya wabah dapat dilakukan dengan wawancara dan
epidemiologi deskriptif. Pada wawancara intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan
nara sumber terkait kasus adalah untuk menemukan penyebab terjadinya wabah.
Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku, peneliti mengunjungi pasien (kasus),
dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan dokumentasi untuk memperoleh
informasi berikut:
(1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada);
(2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan);
24
(3) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa;
(4) Faktor-faktor risiko;
(5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala untuk
membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit);
(6) Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil
investigasi).
Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak
didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium).
Informasi tersebut dugunakan untuk membandingkan informasi yang didapat dengan
definisi yang sudah ditentukan tentang KLB dan membandingkan dengan incidende
penyakit itu pada minggu/bulan/tahun sebelumnya. Inti dari pertanyaan yang diajukan
adalah mengenai waktu (kapan mulai sakit), tempat (dimana penderita mendapatkan
infeksi), orang (siapa yang terkena, informasi yang diambil adalah gender, umur,
imunisasi).
Dengan menghitung jumlah kasus, menganalisis waktu, incidence rate, dan risiko, peneliti
wabah mendeskripsikan distribusi kasus menurut orang, tempat, dan waktu, menggambar
kurva epidemi, mendeskripsikan kecenderungan (trends) kasus sepanjang waktu, luasnya
daerah wabah, dan populasi yang terkena wabah. Dengan epidemiologi deskriptif wabah
bisa mendapatkan hipotesa penyebab dan sumber wabah, distribusi penderita.
Hipotesa digunakan untuk mengarahkan pada penelitian lebih lanjut.
Hipotesis yang diterima, dapat menerangkan pola penyakit :
(a) Sesuai dengan sifat penyebab penyakit,
(b)Sumber infeksi,
(c) Cara penularan,
(d)Faktor lain yang berperan.
3. Melaksanakan Penanganan Wabah
Setelah data mengenai investigasi kasus dan penyebab telah memberikan fakta tentang
penyebab, sumber, dan cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera
dilakukan. Makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang keberhasilan
pengendalian. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan cara penanggulangan
yang paling efektif dan melakukan surveilence terhadap faktor lain yang berhubungan..
Prinsip intervensi untuk menghentikan wabah sebagai berikut:
(1) Mengeliminasi sumber patogen;
(2) Memblokade proses transmisi;
25
(3) Mengeliminasi erentanan.
Eliminasi sumber patogen mencakup:
(1) Eliminasi atau inaktivasi patogen;
(2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction);
(3) Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan sebagainya);
(4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak daging
dengan benar, dan sebagainya);
(5) Pengobatan kasus.
Blokade proses transmisi mencakup:
(1) Penggunaan peralatan pelindung perseorangan (masker, kacamata, jas, sarung tangan,
respirator);
(2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet;
(3) Pertukaran udara/ dilusi;
(4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara;
(5) Pengendalian vektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan
nyamuk Aedes aegypti, penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).
Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup:
(1) Vaksinasi;
(2) Pengobatan (profilaksis, presumtif);
(3) Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (“reverse isolation”);
(4) Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
Hal terkhir dan merupakan hal terpenting dalam penanganan wabah adalah menentukan
cara pencegahan di masa yang akan datang.
4. Menetapkan Berakhirnya Wabah
Penetapan berakhirnya wabah berdasarkan informasi tentang terjadinya wabah dari
laporan pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Informasi juga
bisa berasal dari petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi). Hal ini untuk menganalisis
apakah program penanganan wabah dapat menurunkan kasus yang terjadi. Jika kasus
yang terjadi menurun maka dapat dikatakan bahwa penanganan wabah berhasil dan dapat
segera dilakukan penetapan berkahirnya wabah.
5. Pelaporan Wabah
26
Pada akhir kegiatan dilakukan pelaporan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan tentang penyelidikan epidemiologi, dengan format yang terdiri dari:
(1) Pendahuluan,
(2) Latar belakang,
(3) Uraian tentang penelitian yang telah dilakukan,
(4) Hasil penelitian,
(5) Pembahasan,
(6) Kesimpulan,
(7) Tindakan penanggulangan,
(8) Dampak-dampak Penting,
(9) Rekomendasi.
15. Apa saja fasilitas yang harus dimiliki puskesmas untuk menangani wabah?
Jenis Pelayanan : LOKET
Sarana prasarana :
1. Seperangkat Komputer
2. Lemari arsip
3. Meja pendaftaran
4. Nomer antrian
5. Buku regester
6. Kipas angin
7. Kartu pasien
8. Status pasien
9. Family folder
10. Luas 2 x 5 m
11. Ruang tunggu
12. TV hiburan
13. VCD Penyuluhan
14. Media Informasi Kesehatan
Jenis Pelayanan : Balai Pengobatan / Poli Umum
27
Sarana Prasarana :
1. Tensimeter dan Stetoscope.
Obat obatan emergensi dan pendukungnya.
Obat obatan injeksi tertentu , Alkohol , Kapas , Kasa Seteril.
Spuit Disposibel ( 1 ml, 3m1, 5m1 dan 10 ml).
Protap penyakit dan Prosedur penangan Shock Anafilaktik.
Thermometer, Senter.
Reflex Hammer.
Oksigen
Paket alat-alat tindakan.
Kayu blok setinggi 15 Cm.
Timbangan dewasa.
Pengukur tinggi badan
Snellen card
Stirisator
2. Poster
3. Luas ruangan 5 x 5 m2
4. Tempat tidur lengkap
5. Meja kursi
6. Lemari instrumen
7. Ruang tunggu
8. TV hiburan
9. VCD Penyuluhan
10. Media Informasi Kesehatan
Jenis Pelayanan :KIA dan KB
Sarana prasarana :
1. Tensimeter
Stetoskope
Funandoskope / dopler
Metlin
Timbangan injak dan pengukur tinggi badan
28
Pita lila
2. Prasarana
Luas ruangan 5 x 5 m2
Tempat tidur periksa
Meja kursi
Almari instrumen
3. Fasilitas
Ruang tunggu
Leaflet
Jenis Pelayanan :Poli Gigi
Sarana prasarana :
1. Obat obat emergensi dan pendukungnya
2. Obat tambal gigi
3. Bahan habis pakai
4. Obat – obatan injeksi tertentu, Alkohol, Kapas, Kasa Setril, Betahadine
5. Tensi Meter
6. Stetoscope
7. Luas ruangan 4 x 5 m2
8. Dental Kit
9. Meja kursi
10. Ruang tunggu
11. TV hiburan
12. VCD Penyuluhan
13. Media Informasi Kesehatan
14. Ruang ber-AC / kipas angin
16. Apakah tindakan yang dilakukan dr. Bagus sudah tepat?
Tindakan yang dilakukan dr. Bagus sudah tepat, namun cukup disayangkan bahwa
tindakan tersebut seharusnya dilakukan jauh sebelum terjadinya KLB DBD. Dan patut dicatat
bahwa tindakan dr. Bagus sebenarnya belum cukup hanya dengan membangkitkan kegiatan
29
surveilans saja, namun juga upaya lainnya terutama peningkatan fasilitas puskesmas dengan
menyediakan fasilitas rawat inap di Puskesmas Maju dan upaya untuk membina masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas tersebut untuk mengantisipasi KLB selanjutnya.
D. Hipotesis
Di Puskesmas Maju terjadi peningkatan kasus DBD karena dr. Bagus dan timnya tidak
melakukan surveilans epidemiologi secara rutin.
E. Learning Issue
1. Surveilans Epidemilogi
Pengertian
Surveilans adalah upaya/ sistem/ mekanisme yang dilakukan secara terus menerus
dari suatu kegiatan pengumpulan, analisi, interpretasi,dari suatu data spesifik yang digunakan
untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program ( Manajemen program kesehatan).
Istilah surveilans digunakan untuk dua hal yang berbeda.
Pertama, surveilans dapat diartikan sebagai pengawasan secara terus-menerus
terhadap faktor penyebab kejadian dan sebaran penyakit, dan yang berkaitan dengan keadaan
sehat atau sakit. Surveilans ini meliputi pengumpulan, analisis, penafsiran, dan penyebaran
data yang terkait, dan dianggap sangat berguna untuk penanggulangan dan pencegahan secara
efektif. Definisi yang demikian luas itu mirip dengan surveilans pada sistem informasi
kesehatan rutin, dan karena itu keduanya dapat dianggap berperan bersama-sama.
Kedua yaitu menyangkut sistem pelaporan khusus yang diadakan untuk
menanggulangi masalah kesehatan utama atau penyakit, misalnya penyebaran penyakit
menahun suatu bencana alam. Sistem surveilans ini sering dikelola dalam jangka waktu yang
terbatas dan terintegrasi secara erat dengan pengelolaan program intervensi kesehatan. Bila
informasi tentang insidens sangat dibutuhkan dengan segera, sedangkan sistem informasi
rutin tidak dapat diandalkan maka sistem ini dapat digunakan. (Vaughan, 1993).
a. Menurut WHO :
Surveilans adalah : Pengumpulan, pengolahan, analisis data kesehatan secara
sistematis dan terus menerus, serta desiminasi informasi tepat waktu kepada pihak – pihak
yang perlu mengetahui sehingga dapat diambil tindakan
yang tepat.(Last, 2001 dalam Bhisma Murti, 2003 )
b. Menurut Centers for Disease Control ( CDC ), 1996.
30
Surveilans adalah : Pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara
sistematis dan terus menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi
upaya kesehatan masyarakat, dipadukan dengan desiminasi data secara tepat waktu kepada
pihak – pihak yang perlu mengetahuinya.
Epidemiologi menurut WHO (World Health Organization) yaitu Epidemiology is the
study of the distribution and determinants of health-related states or events (including
disease), and the application of this study to the control of diseases and other health
problems. Various methods can be used to carry out epidemiological investigations:
surveillance and descriptive studies can be used to study distribution; analytical studies are
used to study determinants atau Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan
negara yang berhubungan dengan kesehatan atau kejadian (termasuk penyakit), dan aplikasi
penelitian ini untuk pengendalian penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Berbagai metode
dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan epidemiologi pengawasan dan deskriptif
studi dapat digunakan untuk mempelajari distribusi, studi analitis digunakan untuk
mempelajari faktor-faktor penentu.
Definisi Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara
sistematik berkesinambungan, analisa dan interprestasi data kesehatan dalam proses
menjelaskan dan memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi
merupakan kegiatan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek
kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun
penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan
penanggulangan. (Noor,1997). Surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang terus
menerus atas distribusi, dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data yang
sistematis agar dapat ditentukan penanggulangannya yang secepat-cepatnya (Gunawan,
2000).
Surveilans Epidemiologi adalah pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang
akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan
penanggulangan penyakit yang meliputi kegiatan :
1. Perencanaan Program Pemberantasan Penyakit.
Mengenal Epidemiologi Penyakit berarti mengenal apa yang kita hadapi dan mengenal
perencanaan program yang baik.
2. Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit.
Bagaimana keadaan sebelum dan sesudah dan sesudah program dilaksanakan sehingga
dapat diukur keberhasilannya menggunakan data sueveilans epidemiologi.
31
3. Penanggulangan wabah Kejadian Luar Biasa.
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib dilakukan oleh setiap
instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan Propinsi, instansi kesehatan
kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional atau struktural.
Mekanisme kegiatan Surveilans epidemiologi Kesehatan merupakan kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus. Surveilans beralasan untuk dilakukan jika
dilatari oleh kondisi – kondisi berikut (WHO, 2002 ) :
1. Beban Penyakit ( Burden of Disease ) tinggi, sehingga merupakan masalah penting
kesehatan masyarakat.
2. Terdapat tindakan masyarakat yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
3. Data yang relevan mudah diperoleh
4. Hasil yang diperoleh sepadan dengan upaya yang dilakukan ( pertimbangan efisiensi ).
Dengan sistem surveilans yang peka terhadap perubahan-perubahan pola penyakit di
suatu daerah tertentu dapat mengantisipasi kecenderungan penyakit di suatu daerah.
Fungsi
1. Menjelaskan pola penyakit yang sedang berlangsung.
2. Melakukan monitoring kecendrungan penyakit endemis.
3. Mempelajari riwayat alamiah penyakit.
4. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi yayasan kesehatan dimasa yang
akan dating.
5. Memantau pelaksanaan dan daya guna program pengendalian.
6. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas (frekuensi kejadian : kegawatan,
biaya, dapat dicegah, dapat dikomukasikan, public intrest).
7. Dapat mengidentifikasi kelompok resiko tinggi.
Perbedaan Survei , Surveilans, dan Monitoring
1. Surveilans :
A. Penilaian status kesehatan
B. Mengumpulkan, interprestasi data untuk mendeteksi kemungkinan alternative
penyelesain masalah kesehatan.
C. Tidak spesifik pada penyakit tapi beberapa factor yang menyebabkan timbulnya
penyakit.
2. Monitoring :
32
A. Penilaianstatuskesehatan
B. Evaluasi intervensi (tindakan)
C. Penilaiansecara terusmenerusprogrampelayanan
D. Penilaian secara terus menerus pada program pelayanan kesehatan profesi
kesehatan
3. Survei :
Kegiatan pengumpulan informasi yang berasal dari populasi dan sampel
A. Survei pemeriksaan atau penilitian secara komprehensif.
B. Survei yang dilakukan dalam melakukan penelitian biasanya dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner atau wawancara, dengan tujuan untuk mengetahui:
siapa mereka, apa yang mereka pikir, rasakan, atau kecenderungan suatu
tindakan. Mereka pikir, rasakan, atau kecenderungan suatu tindakan.
C. Survei lazim dilakukan dalam penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam
penelitian kuantitatif, survei lebih merupakan pertanyaan tertutup, sementara
dalam penelitian kualitatif berupa wawancara mendalam dengan pertanyaan
terbuka.
Prinsip
a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana
pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan masyarakat, dan
petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap
penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara
dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk;
Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi;
Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.
b. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang masih
perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah
dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data
tersebut harus dapat memberikan keterangan yang berarti.
c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
33
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam
masyarakat.
d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup jelas
dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada
semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana
mestinya.
e. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak
lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan
pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.
Hambatan
Ada beberapa hambatan surveillans epidemiologi, dintaranya:
1) Kerjasama lintas sektoral
Surveillens epidemiologi harus bekerjasama dengan berbagai sektor yang berkaitan
dengan kesehatan, kerjasama tersebut membutuhkan partisipasi yang penuh untuk tecapainya
pemecahan masalah kesehatan, kadang kala sektor yang lain mempunyai pertisipasi yang
rendah dalam kerjasama lintas sektoral tersebut.
2) Partisipasi masyarkat rendah
Surveillens epidemiologi yang memang menangani masalah kesehatan masyrakat
eharusnya benar-benar menggali informasi dari masyarakat dan penanganannyapun hasrus
dengan masyarakat, sering dijumpai partsipasi masyarakat dalam pengambilan informasi dari
petugas kesehatan berbelitbelit dan cenderung enutup-nutupi.
3) Sumber daya
Hambatan yang paling menonjol dari hasil penelitian ini adalah sumber daya
manusia. Hambatan yang berhasil di identifikasi berdasarkan persepsi renponden adlah
sebagai berikut ;
- Jumlah tenaga yang kurang untuk mengcover kegiatan PE
- Banyaknya tugas rangkap.
- Sarana Komputer, biasanya komputer bergantian untuk menyelesaikan tugas lain.
4) Ilmu pengetahuan dan teknologi
34
Surveillans epidemiologi membutuhkan teknologi teknologi untuk mempercepat
deteksi din, analisis penanggulangan dan penanggulangan masalah kesehaatan, kondisi di
lapangan seringkali tenologi di laboratorium sering lambat sehingga mengganggu tahap
deteksi dini dan penanganan kasus akan terlambat.
5) Kebijakan
Seringkali kebijakan dari pemerintah dirasa masih menghambat dalam pelaksanaan
surveilans. Contohnya saja baru ditangani apabila memang sudah menjadi KLB. Birokrasi
pemerintahan yang rumit sering menjadi kendala dalam melakukan surveilans. Kebijakan
yang belum dipahami petugas juga menjadi kendala dalam pelaksanaan surveilans.
6) Dana
Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali
permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.
7) Jarak dan Transportasi
Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan
surveilans terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari
karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.
Ruang Lingkup
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh beberapa sebab, oleh karena itu secara
operasional diperlukan tatalaksana secara integratif dengan ruang lingkup permasalahan
sebagai berikut :
a. Surveilans epidemiologi penyakit menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular dan
faktor resiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular.
b. Surveilans epidemiologi penyakit tidak menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan
faktor resiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular.
c. Surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan perilaku
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor resiko
untuk mendukung program penyehatan lingkungan.
d. Surveilans epidemiologi masalah kesehatan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan
factor resiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.
e. Surveilans epidemiologi kesehatan matra
35
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan
faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra (Depkes RI, 2003).
Jenis
Penerapan metode surveilans epidemiologi, tentu disesuaikan dengan kajian atau
dasar kejadian yang memerlukan kegiatan surveilans itu sendiri. Sedikitnya ada 6 jenis
surveilans dalam epidemiologi yang sering digunakan, diantaranya sebagai berikut:
a. Surveilans Individu (individual surveillance) yaitu jenis surveilans epidemiologi
yang mendeteksi dan memonitor individu individu yang mengalami kontak
dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning,
sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan.
b. Surveilans Penyakit (disease surveillance) yaitu jenis surveilans epidemiologi
yang melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan
kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi,
evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
c. Surveilans Sindromik (syndromic /multiple disease surveillance) yaitu kegiatan
yang melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala)
penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan
deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa
diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati
indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau
temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
d. Surveilans Laboratorium, jenis surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk
mendeteksi dan memonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah
laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan
deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
e. Surveilans Terpadu (integrated surveillance) yaitu menata dan memadukan
semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
36
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.
Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu.
f. Surveilans Global, yang terakhir adalah surveilans yang dilakukan secara
serempak di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti,
pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Kegiatannya ditujukan
untuk mengawasi ancaman aneka penyakit menular yang menyebar pada skala
global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases),
maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti
HIV/AIDS, flu burung, dan SARS.
Syarat-syarat sistem surveilans yang baik
Syarat-syarat sistem surveilans yang baik, hendaknya memenuhi karakteristik sebagai
berikut:
a. Kesederhanaan (simplicity); mencakup kesederhanaan dalah hal struktur dan
pengorganisasian sistem. Kesederhanaan erat kaitannya dengan Ketepatan waktu dan jumlah
sumber daya/ sumber dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan sistem tersebut.
b. Fleksibilitas (flexibility); sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan tanpa disertai peningkatan
yang berarti akan kebutuhan biaya, tenaga dan waktu. Fleksibilitas dapat ditentukan secara
retrospektif, dengan mengamati bagaimana suatu sistem dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan baru.
c. Akseptabilitas (acceptability); menggambarkan kemauan seseorang dan organisasi untuk
berpartisipasi melaksanakan sistem surveilans guna menyediakan data yang akurat, konsisten,
lengkap dan tepat waktu. Untuk menilai akseptabilitas, harus mempertimbangkan titik-titik
interaksi antara sistem dan partisipasinya termasuk orang-orang yang mengalami suatu
masalah kesehatan/ sakit dan mereka yang melaporkan kasus.
Indikator kuantitatif akseptabilitas sistem surveilans adalah:
i. Angka keikut-sertaan dari perorangan atau instansi/ organisasi
37
ii. Jika angka keikut-sertaan tinggi, seberapa cepat angka tersebut tercapai
iii. Angka Kelengkapan wawancara dan angka penolakan pertanyaan (jika sistem
menggunakan wawancara untuk mengumpulkan data)
iv. Kelengkapan formulir pelaporan
v. Angka pelapor dari dokter, laboratorium atau rumah sakit/ fasilitas kesehatan
vi. Ketepatan waktu dari pelaporan
d. Sensitivitas (sensitivity)
Sensitivitas dari sistem surveilans dapat dilihat pada dua tingkatan yaitu pertama, pada
tingkat pengumpulan data, proporsi kasus dari suatu penyakit/ masalah kesehatan yang
dideteksi oleh sistem surveilans, dan kedua sistem dapat dinilai akan kemampuannya untuk
mendeteksi kejadian luar biasa (KLB). Sensitivitas dari sistem surveilans dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
1) Orang-orang dengan penyakit/ masalah kesehatan tertentu yang mencari pelayanan
kesehatan.
2) Keadaan atau penyakit yang didiagnosis di setiap unit pelayanan kesehatan seperti
puskesmas, RS dan klinik akan menggambarkan keterampilan petugas kesehatan dan
sensitivitas dari tes diagnostic.
3) Keakuratan data yang dilaporkan
e. Nilai prediktif positif (predictive value positive), adalah proporsi dari populasi yang
diidentifikasikan sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan kenyataannya benar-benar
kasus. Nilai prediktif positif (NPP) menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas kasus serta
prevalensi dari suatu keadaan yang terjadi dalm masyarakat. NPP akan meningkat seiring
dengan meningkatnya spesifisitas dan prevalensi.
f. Kerepresentatifan (representativeness)
Sistem surveilans yang representative akan mendeskripsikan, secara akurat kejadian dari
suatu penyakit/ masalah kesehatan dalam periode waktu tertentu dan distribusi penyakit/
masalah kesehatan dalam masyarakat menurut orang, waktu dan tempat. Kualitas data
merupakan bagian yang penting dari kerepresentatifan, dimana informasi yang dikumpulkan
harus mencerminkan karakteristik demografi dari penduduk yang terserang penyakit, rincian
dari masalah kesehatan dan laporan mengenai ada/ tidaknya faktor risiko.
38
g. Ketepatan waktu (timeliness)
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh kecepatan dan ketepatan dalam
pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi.
Hal tersebut dapat dinilai dari tersedianya informasi tentang upaya penanggulangan/
pencegahan penyakit, baik dalah hal tindakan penanggulangan yang segera maupun upaya
jangka panjang.
Faktor yang dapat mendukung ketepatan waktu penyediaan informasi dari sistem surveilans
adalah teknologi komputer.
Indikator Kinerja Surveilans
Indikator kinerja surveilans merupakan ukuran kualitas suatu sistem kerja. Secara
operasional, suatu unit program apabila menyatakan besarnya masalah program, maka wajib
didukung oleh sistem kerja informasi yang baik. Baik atau tidak baiknya sistem kerja
informasi ini, dinyatakan dengan ukuran atau indikator kinerja surveilans.
Misalnya, angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) di Jakarta adalah sebesar
225 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2010. Penyataan besarnya angka kesakitan DBD
ini, diperoleh dari pengumpulan data dari semua rumah sakit atau hanya sebagian rumah sakit
(kelengkapan laporan) ?, seberapa akurat kasus DBD itu sesuai dengan definisi yang telah
ditetapkan (keakuratan pengisian variabel) ?, dsb. Kelengkapan laporan dan tingkat
keakuratan pengisian variabel DBD tersebut diatas merupakan indikator kinerja untuk
mengukur mutu laporan angka kesakitan DBD di Jakarta. Indikator kinerja ini yang disebut
“indikator kinerja surveilans DBD”
Indikator kinerja surveilans dapat digunakan sebagai bagian dari monitoring dan
evaluasi penyelenggaraan sistem surveilans. Data indikator kinerja surveilans menurut
karakteristik waktu dan tempat, dapat menuntun kepada sumber data yang perlu mendapat
pembinaan dan dukungan dalam penyelenggaraan sistem surveilans yang lebih baik
Indikator kinerja surveilans ini sering rancu dengan tujuan surveilans, dan indikator
kinerja program. Kerancuan ini dapat mengakibatkan timbulnya kelemahan manajemen
penyelenggaraan sistem surveilans, terutama penyelenggaraan sistem surveilans yang berada
dalam satu paket dengan penyelenggaraan intervensi program.
Sumber Data Surveilans dan Sumber Daya Surveilans
39
1. Sumber Data Surveilans
Secara umum dalam sistem surveilans ada 10 elemen sumber data, yaitu :
a. Laporan Kematian
b. Laporan Penyakit
c. Laporan Wabah
d. Laporan Hasil Pemeriksaan Laboratorium
e. Laporan Penyelidikan Peristiwa Penyakit
f. Laporan penyelidikan Wabah
g. Laporan Survey
h. Laporan Penyelidikan Dstribusi Vektor dan Reservoir Penyakit pada Hewan
i. Laporan Penggunaan Obat Vaksin
j. Laporan Penduduk dan Lingkungan
2. Sumber Daya Surveilans
1. Sumber Daya Surveilans
Sumber daya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan
meliputi:
a. Tenaga ahli epidemiologi (S1,S2,S3).
b. Tenaga pelaksana surveilans epidemiologi terlatih asisten epidemiologi
lapangan, dan petugas puskesmas terlatih surveilans epidemiologi.
c. Manajer unit kesehatan yang mendapat orientasi epidemiologi
d. Jabatan fungsional epidemiologi.
e. Jabatan fungsional entomologi
f. Jabatan fungsional sanitarian
g. Jabatan fungsional statistisi
h. Sumber daya manusia laboratorium
i. Sumber daya manusia lainnya yang terkait
2. Sumber Daya Manusia
Sarana yang Diperlukan untuk Melaksanakan Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi
1. Administrasi Sarana Pusat
a. Jaringanelektromedia
b. Komunikasi(telepon,faksimili,SSBdantelekomunikasi lainnya)
c. Komputer dan perlengkapannya
40
d. Referensisurveilansepidemiologi,penelitiandankajian kesehatan
e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer
f. Peralatan kegiatan surveilans
g. Sarana transportasi
2. Administrasi Sarana Propinsi
a. Jaringan elektromedia
b. Komputerdanperlengkapannya
c. Komunikasi (telepon, faksimili, SSB dantelekomunikasi lainnya)
d. Referensi surveilans epidemiologi,penelitian dan kajian kesehatan
e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi computer
f. Peralatan pelaksanaan surveilans
g. Sarana transportasi
3. Administrasi Sarana Kabupaten / Kota
a. Jaringan elektromedia
b. Komunikasi (telepon, faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya)
c. Komputer dan perlengkapannya
d. Referensi surveilans epidemiologi,penelitian dan kajian kesehatan
e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer
f. Formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman
g. Peralatan pelaksanaan surveilans
h. Sarana transportasi
4. Administrasi Sarana Puskesmas dan Rumah Sakit
a. Komputer dan perlengkapannya
b. Komunikasi (telepon, faksimili dan SSB)
c. Referensi surveilans epidemiologi, penelitian dan kajian kesehatan
d. Pedoman pelaksnaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer
e. Formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman
f. Peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi diPuskesmas dan Rumah Sakit
g. Sarana transportasi
5. Pembiayaan
Sumber biaya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan terdiri
sumber dana APBN, APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi, Bantuan Luar Negeri,
Bantuan Nasional dan Daerah, dan swadaya masyarakat.
41
Jejaring Surveilans Epidemiologi
Jejaring Kerja Surveilans Epidemiologi adalah pertukaran data dan informasi epidemiologi,
analisis dan peningkatan kemampuan surveilans epidemiologi yang terdiri dari :
a. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara pelayanan
kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.
b. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan pusat-pusat
penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit surveilans lainnya.
c. Jaringan kerjasama unit-unit surveilans epidemiologi antara kabupaten/kota, provinsi
dan nasional.
d. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sector terkait nasional, bilateral
Negara, regional dan internasional.
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi
Berdasarkan Metode Pelaksanaan
a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi terhadap beberapa kejadian,
permasalahan,dan ataufaktor risiko kesehatan.
b. Surveilans Epidemiologi Khusus
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi terhadap suatukejadian, permasalahan,
faktor risiko atau situasikhusus kesehatan.
c. Surveilans Epidemiologi Sentinel
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi padapopulasi dan wilayah terbatas untuk
mendapatkan signal adanyamasalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah
yglebih luas.
d. Studi Epidemiologi
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi untuk mengetahui gambaran epidemiologi
penyakit.
Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi, dimana unit surveilans mengumpulkan
data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber
datalainnya.
b. Surveilans Pasif
42
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi, dimana unit surveilans
mengumpulkandata dengan cara menerima data tersebut dari unit pelayanan
kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola kedaruratan
Kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk
penanggulangan KLB dan atau wabahdan atau bencanadan atau bencana
b. Pola selain kedaruratan
Kegiatansurveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar
KLB dan atau wabah dan atau bencana
Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan
Kegiatan surveilans dimana data diperolehberdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak
menggunakan peralatan pendukungpemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus
Kegiatan surveilans dimana data diperolehberdasarkan pemeriksaan laboratorium atau
peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.
Surveilans Penyakit DBD
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular
yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai
perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Prediksi kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini
dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimal−minimal dan siklus 3−5 tahun
sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Cara prediksi ini terdapat kelemahan karena
berubahnya data menjelang musim penularan DBD dan belum adanya data faktor risiko
terkini, sehingga prediksi sering tidak tepat. Data faktor risiko DBD dapat digunakan untuk
menentukan jenis intervensi, sehingga kejadian DBD dapat dicegah sesuai konsep
kewaspadaan dini.
Data surveilans epidemiologi yang dihasilkan, sebagian masih diolah secara manual
dan semi otomatis dengan penyajian masih terbatas dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan
penyajian dalam bentuk peta belum dilakukan. Berdasarkan kenyataan tersebut,
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi DBD untuk kewaspadaan dini berbasis Sistem
Informasi Geografis (SIG).
43
Pada sistem ini, dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada
saat menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis
intervensi. Dengan SIG, dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain,
dan dengan teknik overlayer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program
pemberantasan DBD.
Dalam masalah penyakit DBD, surveilans penyakit mencakup empat aspek yaitu
(1)surveilans kasus, (2) vektor (termasuk ekologinya), (3) peran serta masyarakat dan (4)
tindakan pengendalian. Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit
yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan
serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah
yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini
biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan
lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain. Kegiatan di atas
dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di
sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka
Bebas Jentik (ABJ). Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting
dalam upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan
dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas
tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik
Berkala (PJB).
Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan dan
penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada kaitannya dengan beberapa hal berikut:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi
System surveilans penyakit DBD adalah pengamatan penyakit DBD di Puskesmas
meliputi kegiatan pencatatan , pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk
pemantauan mingguan , laporan mingguan wabah,laporan bulanan program P2DBD,
penentuan desa atau kelurahan rawan , mengetahui distribusi kasus DBD/ kasus tersangka
DBD per RW/ dusun, menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan
penyakit. (ditjen P2M dan PLP.1992).
44
Kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial program
penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dari
program kesehatan yang ada.
Pengumpulan data merupakan tahap awal dari rangkaian kegiatan surveilans yang
paling penting untuk proses selanjutnya. Dalam pengumpulan data surveilans dapat dilakukan
melalui surveilans aktif dan pasif. Pengumpulan data tersebut harus mengumpulkan data-data
dari bebagai sumber data. Sumber data dalam surveilans epidemologi merupakan sumber
data/ subyek dari mana data dapat diperoleh yang digunakan untuk kegiatan surveilans
epidemologi.
Macam-macam sumber data dalam surveilans epidemiologi (Kepmenkes RI
No.1116/Menkes/SK/VIII/2003) :
1. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
2. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor
pemerintah dan masyarakat.
3. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat
4. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan geofisika
5. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
6. Data kondisi lingkungan
7. Laporan wabah
8. Laporan penyelidikan wabah/KLB
9. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
10. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
11. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan
kesehatan dan masyarakat.
12. Laporan kondisi pangan
Metode pengumpulan data penyelidikan wabah / KLB (Contoh Wabah DBD) :
1. Pengamatan / Observasi : mengamati dan mencatat fenomena social dan gejala fisik secara
disengaja dan sistematik
Alat observasi :
• check list
• skala penilaian
• alat-alat mekanik / elektronik
45
Contoh : observasi mengenai keadaan tempat-tempat genangan air, tempat penampungan
air, kebersihan lingkungan, timbunan sampah dan barang-barang bekas, dan lain-lain.
2. Wawancara / Interview : kegiatan tanya jawab guna memperoleh informasi secara lisan
dari sasaran penelitian (responden) untuk memperoleh kesan langsung dari responden dan
menilai kebenaran yang dikatakan responden
Alat wawancara :
• alat catat
• daftar pertanyaan
• recording
Contoh : wawancara kepada kepala dinas setempat mengenai angka kejadian penyakit
DBD, wawancara dengan tokoh masyarakat mengenai kondisi social budaya masyarakat,
wawancara dengan penderita atau anggota keluarga penderita mengenai kebiasaan
penderita sebelm terserang DBD, dan lain-lain.
3. Angket : cara pengumpulan data mengenai suatu masalah yang umumnya banyak
menyangkut kepentingan umum dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan berupa
formulir-formulir.
Alat :
• alat catat
• daftar pertanyaan
Contoh : angket yang ditujukan kepada tiap kepala keluarga mengenai perilaku hidup
bersih dan sehat yang diterapkan keluarga, angket yang ditujukan kepada penderita /
anggota keluarga penderita mengenai kebiasaan penderita sebelum terserang DBD, dan
lain-lain.
4. Dokumentasi: cara pengumpulan data dengan melihat/mengacu pada dokumentasi atau
catatan masalah kesehatan serta data hasil penelitian.
Alat:
• Alat catatan
• Pustaka atau referensi
Contoh: dokumen dari pusat pelayanan kesehatan tentang kejadian suatu masalah
kesehatan yang terjadi diwilayahnya.
Analisis data yang biasa digunakan dalam surveilans DBD meliputi langkah langkah
sebagai berikut:
1) Survey,
2) Analisa system,
46
3) Desain , mengimlementasikan model yang diinginkan pemakai
4) Implementasi , mempresentasikan hasil desain kedalam pemograman
5) Uji coba desain
6) Testing akhir
7) Deskripsi pengoprasian
8) Konversi database
9) Instalasi
Kendala yang dialami selama ini dalam analisis data adalah penyampaian informasi
hasil PE oleh Puskesmas ke DKK. Kendala tersebut yaitu keterlambatan penyampaian hasil
PE (lebih dari satu minggu). Tindak lanjut dari PE yang dilakukan oleh DKK , yaitu fogging
atau pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Laporan kasus DBD seharusnya dilakukan dalam
kurun waktu 1x 24 jam, namun pada kenyataannya lebih dari itu. alur pelaporan kasus DBD
dimulai dari masyarakat dan dari petugas kesehatan / RS ataupun klinik lainnya kemudian
dilanjutkan pelaporan ke puskesmas , dari puskesmas akan diteruskan laporannya ke Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Berdasarkan survey kebutuhan dan analisis system terhadap system surveilans dan
cara pencatatan dan pelaporan penyakit demam berdarah mulai dari masyarakat , Puskesmas
dan kemudian ke Dinas Kesehatan maka sitem yang dikembangkan adalah suatu system
informasi surveilans epidemiologi yang bersifat multi user dengan model modular. Adapun
model tersebut mencakup modul pemasukan kasus, modul pemasukan pengamatan, modul
masukan pengamatan jentik berkala, modul penyelidikan Epidemiologi (PE), modul
pencatatan fogging, modul Pokja DBD, modul pemasukan data jumlah penduduk dan modul
pelaporan.
Hasil pemasukan data dari modul modul diatas akan menghasilkan laporan laporan
yaitu: angka bebas jentik(ABJ), proporsi penyakit DBD per jenis kelamin, proporsi penyakit
DBD per golongan umur, laporan House indek, laporan incidency rate DBD, laporan case
fatality rate, laporan pelaksanaan PSN, laporan hasil PE dan laporan pelaksanaan fogging.
2. Epidemiologi
Dalam pengertian modern saat ini Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang frekuensi dan distribusi (penyebaran) serta determinat masalah kesehatan pada
sekelompok orang/masyarakat (faktor – faktor yang mempengaruhinya).
Suatu ilmu yang awalnya mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan pada
penyakit infeksi menular. Tapi dalam perkembangannya hingga saat ini masalah yang
47
dihadapi penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak
menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Oleh karena itu, epidemiologi yang sekarang telah menjangkau semua hal tersebut.
Jadi kesimpulannya, menurut kami epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari
distribusi dan determinan dari peristiwa kesehatan dan yang berkaitan dengan kesehatan yang
menimpa masyarakat, serta menerapkan ilmu tersebut untuk memecahkan masalah kesehatan.
Biasanya bahasan yang dipelajari di epidemiologi mengenai penyakit, faktor-faktor yang
menyebabkannya dan wilayah penyebarannya.
Karakter Epidemiologi :
• Epidemiologi mempelajari kelompok individu bukan individu beda dengan ilmu
kedokteran yang mempelajari individu.
• Epidemiologi membandingkan antara kelompok satu dengan yang lain. Dalam hal ini
epidemiologi lebih bersifat kualitatif.
• Epidemiologi menyangkut pertanyaan apakah mereka dengan kondisi tertentu lebih
sering mempunyai karakteristik atau faktor tertentu dari pada mereka yang tak punya
faktor itu.
TRIAS Epidemiologi :
Merupakan konsep dasar epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan
antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatannya
lainnya. Tiga faktor itu antara lain, host, agent, environment. Ketiganya merupakan kesatuan
yang dinamis dan berada dalam keseimbangan, apabila keseimbangan tersebut terganggu
maka akan menimbulkan status sakit.
Tujuan mempelajari epidemiologi adalah untuk memperoleh data frekuensi distribusi
dan determinan penyakit atau fenomena lain yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat
agar selanjutnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah kesehatan masyarakat tersebut.
Manfaat Epidemiologi :
Peranan dan Manfaat epidemiologi
1. Membantu pekerjaan Administrasi Kesehatan ->POAC masalah Kesehatan
2. Dapat menerangkan penyebab suatu masalah kesehatan -> langkah
penanggulangan( preventif dan kuratif).
3. Dapat menerangkan perkembangan alamaiah suatu penyakit -> guna menghentikan
perjalanan penyakit supaya dapat dicegah efek berkelanjutan.
4. Dapat menerangkan keadaan suatu masalah kesehatan menurut PPT.
48
Epidemi -> msl kesehatan(penyakit) pada daerah ttt, waktu singkat frekuensi
meningkat.
Pandemi -> epidemi + penyebarannya meluas.
Endemi -> keadaan dimana masalah kesehatan frekuensinya pada suatu wilayah ttt
menetap dlm waktu lama.
sporadik : Maslah kesehatan pada wil ttt -> frekuensi berubah-ubah menurut
perubahan waktu.
Wabah : kejadian berjangkitnya suatu penyakit dalam masyarakat dengan jumlah
penderita meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka.
Peranan epidemiologi dalam memecahkan masalah kesehatan masyarakat :
Epidemiologi dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang sedang dihadapi
masyarakat.
Mengetahui faktor2 yang berperan dalam terjadinya masalah kesehatan atau penyakit
di masyarakat.
Menyediakan data yang diperlukan untuk perencanaan kesehatan dan pengambilan
keputusan.
Membantu melakukan evaluasi terhadap program kesehatan yang sedang atau telah
dilakukan.
Mengembangkan metodologi untuk menganalisis keadaan suatu penyakit dlm upaya
utk mengatasinya.
Mengarahkan intervensi yang diperlukan untuk menanggulangi masalah yang perlu
diatasi.
Pengetahuan epidemiologi itu penting untuk petugas kesehatan karena :
Pendekatan epidemiologis merupakan cara yg paling efektif dan efisien untuk
mengungkap faktor penyebab, dan faktor resiko penyakit.
Semua percobaan di lab, harus diuji coba di masyarakat
Frekuensi dan distribusi penyakit yg ditemukan di yankes, harus disesuaikan
keadaannya dengan di masyarakat
Semua kejadian penyakit harus diinformasikan ke masyarakat dan pihak lain yg
memerlukannya
Upaya pencegahan dan skreening sangat diperlukan dalam upaya penanggulangan
penyakit.
49
DESAIN STUDI EPIDEMIOLOGI (paling sering digunakan)
A. Croos Sectional / Potong Lintang
Studi cross sectional merupakan desain penelitian yang mempelajari hubungan
penyakit (Outcome) dan Pajanan(exposure) dengan cara mengamati status pajanan dan
penyakit secara serentak/ dalam waktu yang brsamaan pada populasi tunggal.
Penelitian ini mengukur prevalensi(data yang dihasilkan adalah prevalensi bukan
isidensi) keluaran status kesehatan dan determinan atau keduanya dalam populasi pada satu
titik waktu atau periode waktu yang singkat sehingga penelitian in akan “memotret” frekuensi
dan karakter penyakit serta pajanan factor penelitiam pada suatu populasi tertentu.
Tujuan studi ini adalah untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan
determinannya pada populasi sasaran. Manfaat yang diperoleh gambaran pola pnyakit dan
determinannya pada populasi sasaran. Manfaat yang diperoleh dari studi ini adalah dapat
menentukan besarnya masalah penyakit (Dengan ukuran prevalens)
Kelebihan:
Penyelesaian pengumpulan data sangat cepat dan efisien karena pengambilan
data eksposure dan outcome dilakukan pada waktu yang bersamaan
Untuk mempelajari factor resiko penyakit yang mempunyai onset yang
lamadan lama sakit yang panjang.
Kelemahan:
Penelitian cross sectional sangat lemah bila digunakan untuk menganalisis
hubungan kausal(sebab-akibat) antara pajanan dan penyakit.
B. Kasus control (Case Control)
Penelitian kasus control adalah rancangan penelitian epidemiologi yang mempelajari
hubungan antara pajanan dengan penyakit,dengan cara membandingkan kelompok kasus dan
kelompok control berdasarkan status pajanannya. Penelitian kasus control merupakan
penelitan epidemiologi longitudinal retrospektif:
Dimulai dari outcome (akibat/efek) kemudian di ikuti sampai ketemu sebab/eksposure
Arahnya mundur
Kelebihan Rancangan Case Control
Relatif lebih murah dan cepat memperoleh hasil dan cepat dalam persiapan survey
Baik dilaksanakan untuk penyakit yang jarang / langka atau penyakit yang masa
inkubasinya lama
Dapat melihat hubungan beberapa penyebab terhadap satu akibat
50
Kekurangan Rancangan Case Control
Sulit dalam menentukn kelompok control yang tepat
Karena waktu proses sudah berlalu, maka sulit untuk mendapatkan informasi yang
akurat (Recall Bias)
Adanya pengaruh factor luar dan tidak dapat dketahui lebih mendalam mekanisme
hubungan sebab akibat
Tidak dapat menentukan Relative Risk secara langsung
Sulit menentukan apakah causa/ penyebab mendahului effect(efek)
Sulit melihat pada effect dganda dari suatu causa tertentu.
C. Studi Cohort
Penelitian cohort merupakan penelitian yang mempeljari hubungan antara pajanan
dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan
berdasarkan status penyakit. Pada umum nya rancangan kohor merupakan penelitian
epidemiologi longitudinal retrospektif, yaitu:
Dimulai dari status keterpajanan
Arahnya selalu maju (prospektif)
Artinya penelitian dimulai dari mengidentifikasi status pajanan factor resiko. Pada
saat mengidentifikasi status pajanan factor resiko, semua subjek penelitian harus (kelompok
terpajan factor resiko dan kelompok tidk terpajan factor resiko ) harus bebas dari penyakit/
efek yang diteliti. Setelah itu subjek-subjek dengan maupun tanpa pajanan actor resiko di
ikuti secara terus menerus secara prospektif samapai timbul efek (penyakit tertentu).
Kelebihan Rancangan Kohort:
Mendapatkan insiden risk dan relative risk secara langsung
Dapat melihat hubungan satu penyebab terhadap beberapa akibat
Dapat mengikuti secara langsung kelompo yang di pelajari
Dpat menentukan mana lebih dulu causa atau efek
Bias nya lebih kecil
Kekurangan rancangan kohort:
Membutuhkan biaya yang relative mahal
Lama dalam persiapan dan hasil yang diperoleh
Hanya bisa mengamati satu factor penyebab
Kurang efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang langka dan jarang
51
Mempunyai riksiko untuk untuk hilangnya subjek atau drop out selama penelitian
mungkin karena migrasi, mati, tingkat partisipasi rendah.
3. Wabah
Definisi
1. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989)
Wabah berarti penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang
sejumlah besar orang di daerah yang luas.
2. Menurut UU : 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular
Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan
malapetaka.
3. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (1981)
Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang telah
meluas secara cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah terjangkit
4. Benenson, 1985
Wabah adalah terdapatnya penderita suatu penyakit tertentu pada penduduk
suatu daerah, yang nyata-nyata melebihi jumlah yang biasa .
5. Last 1981
Wabah adalah timbulnya kejadian dalam suatu masyarakat, dapat berupa
penderita penyakit, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, atau kejadian lain
yang berhubungan dengan kesehatan, yang jumlahnya lebih banyak dari keadaan
biasa.
Penyelidikan Wabah
Pengungkapan adanya wabah yang sering dilakukan atau didapatkan adalah dengan
deteksi dari analisis data surveilans rutin atau adanya laporan petugas, pamong, atau warga
yang cukup peduli. Alasan dilakukannya penyelidikan adanya kemungkinan wabah adalah :
1. Mengadakan penanggulangan dan pencegahan
2. Kesempatan mengadakan penelitian dan pelatihan
3. Pertimbangan Program
4. Kepentingan Umum, Politik dan Hukum
52
Kegiatan penyelidikan wabah meliputi :
1. Menetapkan Terjangkitnya Keadaan Wabah
Informasi tentang terjadinya wabah biasanya datang dari sumber-sumber
masyarakat, yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga
masyarakat. Tetapi informasi tentang terjadinya wabah bisa juga berasal dari petugas
kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media
lokal (suratkabar dan televisi). Pada dasarnya wabah merupakan penyimpangan dari
keadaan normal karena itu wabah ditentukan dengan cara membandingkan jumlah
kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu (minggu,
bulan, tahun).
Terjadinya wabah dan teridentifikasinya sumber dan penyebab wabah perlu
ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah kasus sehingga
disebut wabah, maka pihak dinas kesehatan yang berwewenang harus membuat
keputusan apakah akan melakukan investigasi wabah. Pada penerapannya, pada
sistem kesehatan perlu ddilakukan investigasi wabah dan mengambil langkah-langkah
segera dan tepat untuk mencegah penyebaran lebih lanjut penyakit tersebut..
2. Melakukan Investigasi Wabah
Pada langkah investigasi yang pertama dilakukan penegakan dagnosa dari
penyakit yang menjadi wabah tersebut dengan mendefinisikan kasus. Pada investigasi
kasus, peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah
didiagnosis dengan benar (valid). Penegakan diagnose yang utam dengan dilakukan
pemeriksaan labolatorium. Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang
diduga mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus.
Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan
menjadi:
a. kasus suspek (suspected case, syndromic case),
b. kasus mungkin (probable case, presumptive case), dan
c. kasus pasti (confirmed case, definite case).
Klasifikasi kasus (yang berbeda tingkat kepastiannya tersebut) memungkinkan
dilakukannya upaya untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pelaporan.
Kasus suspek bersifat sensitive tetapi kurang spesifik, dengan tujuan mengurangi
negatif palsu. Kasus mungkin dan kasus pasti bersifat lebih sensitif dan lebih spesifik
daripada kasus suspek, dengan tujuan mengurangi positif palsu.
53
Langkah selanjutnya dengan dilakukan penentuan apakah peristiwa tersebut
suatu letusan wabah atau bukan. Hal ini dilihat berdasarkan penyebab terjadinya
wabah. Pada investigasi penyebab terjadinya wabah dapat dilakukan dengan
wawancara dan epidemiologi deskriptif. Pada wawancara intinya, tujuan wawancara
dengan kasus dan nara sumber terkait kasus adalah untuk menemukan penyebab
terjadinya wabah.
Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku, peneliti mengunjungi
pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan dokumentasi untuk
memperoleh informasi berikut:
a. Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada);
b. Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan);
c. Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa;
d. Faktor-faktor risiko;
e. Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala
untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat
penyakit);
f. Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil
investigasi).
Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau
tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan pemeriksaan
laboratorium). Informasi tersebut dugunakan untuk membandingkan informasi yang
didapat dengan definisi yang sudah ditentukan tentang KLB dan membandingkan
dengan incidende penyakit itu pada minggu/bulan/tahun sebelumnya. Inti dari
pertanyaan yang diajukan adalah mengenai waktu (kapan mulai sakit), tempat
(dimana penderita mendapatkan infeksi), orang (siapa yang terkena, informasi yang
diambil adalah gender, umur, imunisasi).
Dengan menghitung jumlah kasus, menganalisis waktu, incidence rate, dan
risiko, peneliti wabah mendeskripsikan distribusi kasus menurut orang, tempat, dan
waktu, menggambar kurva epidemi, mendeskripsikan kecenderungan (trends) kasus
sepanjang waktu, luasnya daerah wabah, dan populasi yang terkena wabah. Dengan
epidemiologi deskriptif wabah bisa mendapatkan hipotesa penyebab dan sumber
wabah, distribusi penderita.
Hipotesa digunakan untuk mengarahkan pada penelitian lebih lanjut. Hipotesis
yang diterima, dapat menerangkan pola penyakit :
54
a. Sesuai dengan sifat penyebab penyakit,
b. Sumber infeksi,
c. Cara penularan,
d. Faktor lain yang berperan.
3. Melaksanakan Penanganan Wabah
Setelah data mengenai investigasi kasus dan penyebab telah memberikan fakta
tentang penyebab, sumber, dan cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya
segera dilakukan. Makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang
keberhasilan pengendalian. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan cara
penanggulangan yang paling efektif dan melakukan surveilence terhadap faktor lain
yang berhubungan..
Prinsip intervensi untuk menghentikan wabah sebagai berikut:
a. Mengeliminasi sumber patogen;
b. Memblokade proses transmisi;
c. Mengeliminasi erentanan.
Eliminasi sumber patogen mencakup:
a. Eliminasi atau inaktivasi patogen;
b. Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction);
c. Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan sebagainya);
d. Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak
daging dengan benar, dan sebagainya);
e. Pengobatan kasus.
Blokade proses transmisi mencakup:
a. Penggunaan peralatan pelindung perseorangan (masker, kacamata, jas, sarung
tangan, respirator);
b. Disinfeksi/ sinar ultraviolet;
c. Pertukaran udara/ dilusi;
d. Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara;
e. Pengendalian vektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles,
pengasapan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan kelambu berinsektisida,
larvasida, dan sebagainya).
Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup:
55
a. Vaksinasi;
b. Pengobatan (profilaksis, presumtif);
c. Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (“reverse isolation”);
d. Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
Hal terkhir dan merupakan hal terpenting dalam penanganan wabah adalah
menentukan cara pencegahan di masa yang akan datang.
4. Menetapkan Berakhirnya Wabah
Penetapan berakhirnya wabah berdasarkan informasi tentang terjadinya wabah
dari laporan pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat.
Informasi juga bisa berasal dari petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil
pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi). Hal ini untuk
menganalisis apakah program penanganan wabah dapat menurunkan kasus yang
terjadi. Jika kasus yang terjadi menurun maka dapat dikatakan bahwa penanganan
wabah berhasil dan dapat segera dilakukan penetapan berkahirnya wabah.
5. Pelaporan Wabah
Pada akhir kegiatan dilakukan pelaporan berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan tentang penyelidikan epidemiologi, dengan format yang terdiri dari:
a. Pendahuluan,
b. Latar belakang,
c. Uraian tentang penelitian yang telah dilakukan,
d. Hasil penelitian,
e. pembahasan,
f. kesimpulan, dan
g. Tindakan penanggulangan,
h. Dampak-dampak Penting,
i. rekomendasi.
Laporan tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan
kinerja sistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang
berguna jika terjadi situasi serupa di masa mendatang. Selain itu juga berguna untuk
perencanaan-perencanaan program, pelaksanaan rencana penanggulangan wabah itu
sendiri.
4. Kejadian Luar Biasa (KLB)
56
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia
untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Untuk penyakit-
penyakit endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa), maka KLB didefinisikan
sebagai suatu peningkatan jumlah kasus yang melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah
tertentu.
Menurut Departemen Kesehatan tahun 2000 Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis
dalam kurun waktu dan daerah tertentu.
Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah :
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam
jam,hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam
tahunsebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan
dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu
yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
Karakteristik Penyakit yang berpotensi KLB
57
1. Penyakit yang terindikasi mengalami peningkatan kasus secara cepat.
2. Merupakan penyakit menular dan termasuk juga kejadian keracunan.
3. Mempunyai masa inkubasi yang cepat.
4. Terjadi di daerah dengan padat hunian.
Penyakit-Penyakit Berpotensi Wabah/KLB
Berdasarkan Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 Bab II pasal 2 penyakit
tertentu yang menimbulkan KLB :
a) Kholera
b) Pes
c) Demam berdarah
d) Campak
e) Polio
f) Difteri
g) Pertusis
h) Rabies
i) Malaria
j) Avian Influenza H5N1
k) Antraks
l) Leptospirosis
m) Hepatitis
n) Influenza H1N1
o) Meningitis
p) Yellow Fever
q) Chikungunya
Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kolera, Pes, Yellow Fever.
1. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai
mortalitas tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan
memerlukan tindakan segera : DHF,Campak,Rabies, Tetanus neonatorum, Diare,
Pertusis, Poliomyelitis.
2. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria,
Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis,
Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
3. tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi Penyakit-penyakit menular yang masuk
program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dll.
Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Berdasarkan klasifikasinya Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan
sumbernya, yakni sebagai berikut :
1. Berdasarkan Penyebab
a. Toxin: Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus,Vibrio,
Kholera, Eschorichia, Shigella. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan
oleh Clostridium botulinum,Clostridium perfringens. Endotoxin
b. Infeksi (virus, bakteri, protozoa, dan cacing)
58
c. Toxin Biologis (Racun jamur, Alfatoxin, Plankton, Racun ikan, Racun tumbuh-
tumbuhan)
d. Toxin Kimia: Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-
logam lain cyanida, nitrit, pestisida. Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan
sebagainya
2. Berdasarkan Sumber
a. Sumber dari manusia : jalan nafas, tenggorokan, tinja, tangan, urine, dan
muntahan. Seperti : Salmonella, Shigela, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa,
Virus Hepatitis.
b. Sumber dari kegiatan manusia : penyemprotan (penyemprotan pestisida),
pencemaran lingkungan,penangkapan ikan dengan racun, toxin biologis dan
kimia.
c. Sumber dari binatang : binatang piaraan, ikan dan binatang pengerat.
d. Sumber dari serangga : lalat (pada makanan) dan kecoa. Misalnya : Salmonella,
Staphylococus, Streptoccocus.
e. Sumber dari udara, air, makanan atau minuman (keracunan). Dari udara, misalnya
Staphylococus, Streptoccocus, Virus, Pencemaran Udara. Pada air, misalnya
Vibrio cholerae, Salmonella. Sedangkan pada makanan, misalnya keracunan
singkong, jamur, makan dalam kaleng.
Faktor Penyebab Terjadinya KLB
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) antara lain:
Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/Wabah
adalah Herd Immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah
kekebalan yang dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi
penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat kekebalan individu yaitu makin
tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena penyakit tersebut. Demikian
pula dengan herd immunity, makin banyak proporsi penduduk yang kebal berarti
makin tinggi tingkat herd immunity-nya hingga penyebaran penyakit menjadi
semakin sulit.
Kemampuan mengadakan perlingangan atau tingginya herd immunity untuk
menghindari terjadi epidemi bervariasi untuk tiap penyakit tergantung pada:
o Proporsi penduduk yang kebal,
59
o Kemampuan penyebaran penyakit oleh kasus atau karier, dan
o Kebiasaan hidup penduduk.
Pengetahuan tentang herd immunity bermanfaat untuk mengetahui bahwa
menghindarkan terjadinya epidemi tidak perlu semua penduduk yang rentan tidak
dapat dipastikan, tetapi tergantung dari jenis penyakitnya, misalnya variola
dibutuhkan 90%-95% penduduk kebal.
Patogenesitas
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga
timbul sakit.
Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi
kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut.
Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani penderita,
mencegah perluasan KLB, mencegah timbulnya penderita atau kematian baru pada suatu
KLB yang sedang terjadi.
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB), yang
dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara dini
dengan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa
pengamatan yang sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada
yang cepat dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat.
Penyidikan KLB
Penyidikan KLB (Kejadian Luar Biasa)
1. Dilaksanakan pada saat pertama kali mendapatkan informasi adanya KLB atau
dugaan KLB.
2. Penyelidikan perkembangan KLB atau penyelidikan KLB lanjutan.
3. Penyelidikan KLB untuk mendapatkan data epidemiologi KLB atau penelitian lainnya
yang dilaksanakan sesudah KLB berakhir.
Tujuan umum Penyidikan KLB yaitu mencegah meluasnya kejadian (penanggulangan) dan
mencegah terulangnya KLB dimasa yang akan datang (pengendalian). Sedangkan tujuan
khusus Penyidikan KLB yaitu diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab
60
penyakit, memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB, mengidentifikasi sumber
dan cara penularan, mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB, dan mengidentifikasi
populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi KLB.
Langkah-langkah Penyidikan KLB :
1. Persiapan penelitian lapangan.
2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
3. Memastikan diagnosis Etiologis.
4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan.
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat.
6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan).
7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran.
8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB.
9. Merencanakan penelitian lain yang sistematis.
10. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.
11. Menetapkan sistem penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikan.
12. Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepala sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan
dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit
berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis)
dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit).
Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS.Setiap peningkatan jumlah
penderita-penderita penyakit tersebut dia dua di suatu daerah endemis. Serta terdapatnya satu
atau lebih penderita atau kematian karena suatu penyakit, pada suatu kecamatan yang telah
bebas dari penyakit-penyakit, paling sedikit bebas selama 4 minggu berturut-turut.
Cara pelaporan KLB
1. Dilaporkan dalam 24 jam
Laporan kewaspadaan adalah laporan adanya penderita atau tersangka
penderita penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Yang diharuskan menyampaikan
laporan adalah :
61
a. Orang tua penderita atau tersangka penderita yang tinggal serumah dengan
penderita kepada kepala RT/RW/kepala dusun
b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita
c. Kepala unit pemerintah atau swasta
d. Nahkoda kendaraan air atau udara
e. Laporan kewaspadaan disampaikan kepada lurah atau unit kesehatan terdekat
selambat-lambatnya 24 jam sejak mengetahui adanya penderita baik dengan
cara lisan maupun tulisan. Kemudian laporan tersebut harus diteruskan kepada
kepala puskesmas setempat. Isi laporan kewaspadaan adalah :
a. nama penderita /penderita yang meninggal
b. golongan umur
c. tempat dan alamat kejadian
d. jumlah yang sakit dan meninggal
2. Laporan kejadian luar biasa (W1) dilaporkan dalam waktu 24 jam
Merupakan salah satu laporan kewaspadaan yang dibuat unit kesehatan,segera
setelah mengetahui adanya KLB penyakit tertentu/keracunan makanan. Laporan ini
digunakan untuk melaporakan KLB sebagai laporan pengamatan dini kepada pihak-
pihak yang menerima laporan akan adanya KLB penyakit tertentu disuatu wilayah
tertentu. Laporan ini harus memperhatikan asan dini, tepat, cepat, dapat dipercaya dan
bertanggung jawab yang dapat dilakukan dengan lisan dan tulisan. Unit kesehatan
yang membuat laporan adalah puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota dan dinas
kesehatan provinsi dengan berpedoman pada laporan KLB W1.
3. Dilaporkan mingguan
Laporan mingguan wabah (W2) merupakan bagian dari sistem kewaspadaan
dini KLB yang dilaksanakan oleh unit kesehatan terdepan (puskesmas). Sumber data
laporan mingguan adalah data rawat jalan dan rawat inap dari puskesmas, puskesmas
pembantu, puskesmas keliling, posyandu dan masyarakat dan rumah sakit pemerintas
atau swasta. Sikap waspada terhadap penyakit potensial KLB ini juga diikuti oleh
siaga TIM professional logistik dan cara penanggulangan termasuk sarana komunikasi
dan administrasi.
Sepuluh langkah penyelidikan KLB :
a. Persiapan investigasi di lapangan
Tiga kategori:
1. Investigasi (pengetahuan ilmiah yang sesuai, penrlengkapan, dan alat)
62
2. Administrasi (prosedur)
3. Konsultasi (peran masing-masing petugas yang turun ke lapangan)
b. Memastikan adanya wabah
Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang
diharapkan. Dilakukan dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan
jumlahnya beberapa minggu atau bulan sebelumnya, atau dengan jumlah yang ada
pada periode waktu yang sama di tahun-tahun sebelumnya.
c. Memastikan diagnosa
Tujuan:
1. Untuk memastikan bahwa masalah tersebut telah di diagnosa dengan patut
2. Untuk menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium yang menyebabkan
3. peningkatan kasus yang dilaporkan
4. Semua temuan klinis harus disimpulkan dalam distribusi frekuensi.
5. Distribusi penting untuk mengambarkan spectrum penyakit, menentukan
6. diagnosis, dan mengembangkan definisi kasus.
7. Kunjungan terhadap satu atau dua penderita.
d. Membuat definisi kasus, Menemukan dan menghitung kasus
a. Definisi kasus meliputi kriteria klinis dan terutama dalam penyelidikan wabah
dibatasi pleh waktu, tempat, dan orang
b. Menemukan dan menghitung kasus Dikumpulkan informasi berikut ini dari
setiap kasus:
- Data identifikasi nama, alamat, nomor telepon
- Data demografi umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan
- Data klinis
- Factor risiko harus dibuat untuk setiap penyakit
- Informasi pelapor mencari informasi tambahan atau memberikan
umpan balik
e. Epidemiologi deskriptif (waktu, tempat, orang)
- Kurva dari survelans menanjak : jumlah kasus terus bertambah , wabah sedang
memuncak, aka nada kasus-kasus baru
- Puncak kurve sudah dilalui : kasus yang terjadi semakin berkurang, wabah akan
segera berakhir
- Bila penyakit dan massa inkubasi diketahui, kurve epidemic dapat digunakan
untuk mencari periode pemaparan, penting mencari sumber letusan
63
f. Membuat hipotesis
Formulasikan hipotesis
- Meliputi sumber agen penyakit
- Cara penularan (dan alat penularan atau vector)
- Dan pemaparan yang mengakibatkan sakit
g. Menilai hipotesis (penelitian kohort dan penelitian kasus-kontrol)
Dalam penyelidikan lapangan, hipotesis dapat dinilai dengan salah satu dari
dua cara ini :
1. Dengan membandingkan hipotesis dengan fakta yang ada, atau
2. Dengan analisis epidemiologi untuk mengkuantifikasi hubungan dan menyelidiki
peran kebetulan
h. Memperbaiki hipotesis dan mengadakan penelitian tambahan
1) Penelitian epidemiologi
- Epidemiologi analitik
2) Penelitian laboratorium dan lingkungan
- Pemeriksaan serum
- Pemeriksaan tempat pembungan tinja
i. Melaksanakan pengendalian dan pencegahan
- Pengendalian seharusnya dilaksanakan secepat mungkin
- Upaya penanggulangan biasanya hanya dapat diterapkan setelah sumber wabah
diketahui
- Pada umumnya, upaya pengendalian diarahkan pada mata rantai yang terlemah
dalam penularan penyakit
- Upaya pengendalian mungkin diarahkan pada agen penyakit, sumbernya, dan
reservoirnya.
j. Menyampaikan hasil penyelidikan
Penyampaian dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Laporan lisan pada pejabat setempat
Dilakukan dihadapan pejabat setempat dan mereka yang bertugas
mengadakan pengendalian dan pencegahan
2. Laporan tertulis
Upaya penanggulangan KLB
1. Penyelidikan epidemiologis.
64
2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina.
3. Pencegahan dan pengendalian.
4. Pemusnahan penyebab penyakit.
5. Penanganan jenazah akibat wabah.
6. Penyuluhan kepada masyarakat.
7. Upaya penanggulangan lainnya.
Indikator keberhasilan penanggulangan KLB
1. Menurunnya frekuensi KLB.
2. Menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB.
3. Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB.
4. Memendeknya periode KLB.
5. Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB.
Tim penanggulangan KLB
1. Terdiri dari multi disiplin atau multi lintas sektor, bekerjasama dalam penanggulangan
KLB.
2. Salah satu anggota tim kesehatan adalah perawat (sebagai anggota masyarakat
maupun sebagai petugas disarana kesehatan).
3. Perawat dapat terlibat langsung di Puskesmas atau Rumah sakit.
Prosedur Penanggulangan KLB/Wabah.
1. Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah dengan melaksanakan Sistem
Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukakukan langkah-langkh lainnya :
1. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistic
2. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4. Memperbaiki kerja laboratorium
5. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain
Tim Gerak Cepat (TGC) : Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan
pengamatan dan penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas
atau data penyelidikan epideomologis.
65
Pengendalian KLB
Tindakan pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya KLB pada populasi, tempat dan
waktu yang berisiko (Bres, 1986). Dengan demikian untuk pengendalian KLB selain
diketahuinya etiologi, sumber dan cara penularan penyakit masih diperlukan informasi lain.
Informasi tersebut meliputi :
1. Keadaan penyebab KLB
2. Kecenderungan jangka panjang penyakit
3. Daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat)
4. Populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas)
Penyusunan laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang baik
secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi kesehatan setempat
berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat
dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan
epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan mereapkan teknik-teknik sistim
surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta
dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB.
F. Kerangka Konsep
66
Dr. Bagus bersama timnya tidak melakukan surveilans epidemiologi
secara rutin di Puskesmas Maju
G. Kesimpulan
Dr. Bagus dan timnya di Puskesmas Maju tidak melakukan surveilans epidemiologi
secara rutin sehingga berakibat terjadinya peningkatan kasus DBD yang berpotensi menjadi
KLB.
DAFTAR PUSTAKA
Beaglehole, R., R. Bonita, and T. Kjellstrom. Basic epidemiology. Geneva: World Health
Organization, 2011.
Budiarto, Eko, Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC.
67
Peningkatan kasus DBD
Dr. Bagus melatih tenaga perawat dan bidannya
Keterampilan penyelidikan wabah
Studi epidemiologi
Kegiatan statistika terkait surveilans dan penyelidikan
wabah
Chandra, Budiman. 2006. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC
Damayanti, Apsari. 2013. Kejadian Luar Biasa (KLB) (dalam http://pramana-d-t-
fkm11.web.unair.ac.id/, diakses pada 3 Juni 2014).
Depkes RI. 2005. Buku Pencegahan dan Pemberantasan DBD; Subdit Arbovirosis Dit
PPBB, Ditjen PP&PL. Jakarta.
Depkes RI. 2003. Buku Pencegahan Dan Penanggulangan Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue (Terjemahan WHO Regional Publication SEARO No. 29). Jakarta.
Depkes RI. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan
Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD). Jakarta.
Depkes RI. 1981. Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Wabah Demam Berdarah.
Direktorat Jenderal P3M. Jakarta.
Depkes RI. 1990. Petunjuk Penggunaan, Pemeliharaan & Perbaikan Mesin ULV, Direktorat
Jenderal PPM & PLP. Jakarta.
Depkes RI.1983. Petunjuk Penilaian Operasional Dalam Rangka Abatisasi Massal.
Direktorat Jenderal P3M. Jakarta.
Depkes RI.1990. Petunjuk Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Fokus Demam
Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Jakarta.
Giesecke. 2002. Modern Infectious Disease Epidemiology. London: Arnold
Gordis, Leon. 2008. Epidemiology Third Edition. Philadelpia: Elsevier Saunders.
Friedman, Gary. 1986. Prinsip-Prinsip Epidemiologi. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan
Penyakit Tidak Menular Terpadu.
Last, JM. 2001. A Dictionary of Epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Macam – Macam Sumber Data. Diambil dari : Kepmenkes RI Nomor :
1116/Menkes/SK/VIII/2003.
68
Murti, Bhisma. 2010. Prisnsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Murti, Bhisma. 2011. Surveilans Kesehatan Masyarakat. FK UNS .
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka cipta : Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004
RH.Epidemiology 101.Sudbury, MA: Jones and Bartlett Publisher; 2009
Rismwari, Elva. 2013. Wabah, Penyelidikan Epidemiologi, Surveilans Epidemiologi,
Penyelidikan Wabah, Survey Epidemiologi.
(http://edelweissgreen.wordpress.com/2013/03/11/wabah-penyelidikan-epid-
surveilans-epid-penyelidikan-wabah-survey-epid/, diakses 3 Juni 2014)
Schlesselman, James J. Case-Control Studies. New York: Oxford University Press, 2009.
Susanto, Nugroho.2009.Modul Epidemiologi Prodi Rekam Medik Semester 3. Borneo, Banjar
baru.: STIKES HUSADA Borneo
Tjekyan, R. M. Suryadi. 2013. Pengantar Epidemiologi. Palembang: Unsri Press.
WHO. 2010. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. Jakarta.
69