laporan skenario 3

15
I. ISI A. Petunjuk Diskusi 1. Diskusikan apa agen virus penyebab infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bagaimana sifat virus, mekanisme infeksi dan patogenesisnya? 2. Diskusikan bagaimana perubahan patologis dan patologi klinis sapi yang mengalami IBR, bagaimana menginterpretasikan data laboratorik untuk diagnosis dan prognosis penyakit? 3. Diskusikan bagaimana cara pengobatan dan pengendalian penyakit ini? 4. Diskusikan apakah ada cara pencegahan penyakit ini dengan program vaksinasi? B. Bahasan Herpesvirus Merupakan family virus yang terbilang penting karena banyak menginfeksi manusia dan hewan. Terdapat tiga sub- famili yang dikenali: Alphaherpesvirinae (tumbuh dengan cepat, virus sitolitik), Betaherpervirinae (tumbuh lambat yang sering memproduksi sel yang diperbesar, sehingga disebut cytomegalovirus), dan Gammaherpesvirinae (bereplikasi di limfosit dan dapat menyebabkan transformasi sel yang terinfeksi). Infeksi herpervirus biasanya berjangka panjang, dalam bentuk laten, yang nampak pulih namun bisa mengalami reaktivasi (Quinn et al, 1999). Virion herpesvirus merupakan virus yang beramplop (enveloped) berdiameter 200-250 nm. Genom herpesvirus adalah double-stranded DNA dengan kapsid icosahedral yang

Upload: wahyu-pertiwi

Post on 17-Feb-2016

281 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

..

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan skenario 3

I. ISI

A. Petunjuk Diskusi

1. Diskusikan apa agen virus penyebab infectious bovine rhinotracheitis (IBR),

bagaimana sifat virus, mekanisme infeksi dan patogenesisnya?

2. Diskusikan bagaimana perubahan patologis dan patologi klinis sapi yang

mengalami IBR, bagaimana menginterpretasikan data laboratorik untuk diagnosis

dan prognosis penyakit?

3. Diskusikan bagaimana cara pengobatan dan pengendalian penyakit ini?

4. Diskusikan apakah ada cara pencegahan penyakit ini dengan program vaksinasi?

B. Bahasan

Herpesvirus

Merupakan family virus yang terbilang penting karena banyak menginfeksi

manusia dan hewan. Terdapat tiga sub-famili yang dikenali: Alphaherpesvirinae

(tumbuh dengan cepat, virus sitolitik), Betaherpervirinae (tumbuh lambat yang

sering memproduksi sel yang diperbesar, sehingga disebut cytomegalovirus), dan

Gammaherpesvirinae (bereplikasi di limfosit dan dapat menyebabkan transformasi

sel yang terinfeksi). Infeksi herpervirus biasanya berjangka panjang, dalam bentuk

laten, yang nampak pulih namun bisa mengalami reaktivasi (Quinn et al, 1999).

Virion herpesvirus merupakan virus yang beramplop (enveloped) berdiameter

200-250 nm. Genom herpesvirus adalah double-stranded DNA dengan kapsid

icosahedral yang berdiameter 125 nm. Herpesvirus memasuki sel hospes melalui fusi

dengan membran plasma, lalu bereplikasi di nukleus sel. Virion herpesvirus rentan

dan sensitive dengan detegen dan pelarut lemak. Oleh karena itu, virion herpesvirus

tidak stabil jika berada di lingkungan (Quinn et al, 2006).

Page 2: Laporan skenario 3

Gambar 1. Gambaran partikel herpesvirus (Quinn et al, 2006).

Alphaherpesvirus bereplikasi dan menyebar dengan cepat, menghancurkan sel

hospes dan sering menyebabkan infeksi laten di neuron yang berada di ganglia

sensoris. Betaherpesvirus yang bereplikasi dan menyebar dengan lambat,

menyebabkan sel yang terinfeksi membesar, sehingga sering disebut

cytomegalovirus. Sub-famili ini dapat menjadi laten di sel-sel monosit.

Gammaherpesvirus yang menginfeksi limfosit dapan memproduksi infeksi laten di

dalam sel. Saat limfosit terinfeksi, terdapan ekspresi minimal dari antigen viral. Sub-

famili ini juga bereplikasi di sel-sel epithelial dan fibroblast menyebabkan sitolisis

sehingga beberapa berimplikasi pada transformasi neoplastik limfosit (Quinn et al,

2006).

Terdapat enam genus herpesvirus: Simplexvirus dan Varicellovirus

(Alphaherpesvirinae); Cytomegalovirus dan Muromegalovirus (Betaherpersvirinae);

Lymphocryptovirus dan Rhadinovirus (Gammaherpesvirinae) (Quinn et al, 1999).

Page 3: Laporan skenario 3

Gambar 2. Klasifikasi herpesvirus (Markey et al, 2013).

Infectious Bovine Rhinotracheitis/Infectious Pustular Vulvovaginitis

Disebabkan oleh herpesvirus 1 (BoHV-1) yang menginfeksi sapi ternak maupun

sapi liar. Terdapat satu antigen BoHV-1 namun terdiri dari tiga subtipe: 1.1, 1.2a dan

1.2b yang ditemukan. Subtipe 1.1 berasosiasi dengan gangguan respirasi dan banyak

digunakan sebagai basis banyak vaksin. Subtipe 1.2a dan 1.2b berasosiasi dengan

gangguan respirasi subklinis dan infeksi genital, balanoposthitis dan pustular

vulvovaginitis. Kedua subtipe 1.1 dan 1.2a dapat menyebabkan abortus, sementara

subtipe 1.2b yang kurang virulen tidak dapat menyebabkan abortus (Markey et al,

2013).

Ketika terjadi infeksi, dapat menginisiasi terjadinya wabah karena herpesvirus

terlokalisir di lokasi diikuti dengan transmisi. Konjunctivitis umumnya ditemukan

bersamaan dengan infeksi respirasi (Markey et al, 2013).

Page 4: Laporan skenario 3

Gambar 3. Elektromikrograf herpesvirus (Markey et al, 2013).

Mekanisme Infeksi dan Patogenesis

Transmisi virus biasanya terjadi melalui sekresi respirasi atau genital dan

difasilitasi oleh hewan yang berkelompok dan berdekatan. Transmisi aerosol

mungkin terjadi pada jarak dekat. Semen dari pejantan yang terinfeksi dapat

mengandung herpesvirus dan infeksi genital dapat terjadi setelah kawin alam

maupun inseminasi buatan. Fetus abostus juga dapan menjadi agen infeksi (Markey

et al, 2013).

Masa inkubasi adalah dua hingga empat hari baik untuk infeksi respirasi

maupun genital. Infeksi terjadi ketika agen penyakit masuk melalui hidung dan

bereplikasi di membran mukosa saluran respirasi bagian atas atau masuk melalui

organ genital dan bereplikasi di membran mukosa vagina atau preputium . Di sana

sejumlah besar virus diproduksi dan diekskresikan. Virus juga masuk ke axon sel

saraf dan bermigrasi intra-axonal ke ganglion trigeminal tempat terjadinya latensi.

Pada infeksi melalui saluran genital infeksi laten terjadi di ganglia sacralis (Markey

et al, 2013).

Pada banyak kasus, infeksi berada di bawah control respon imun dalam 1-2

minggu. Kondisi rusaknya jaringan dapat memfasilitasi infeksi sekunder sehingga

terjadi efek sistemik yang cukup parah hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi

selanjutnya dapat diikuti dengan viremia yang menyebabkan infeksi fetus atau

abortus. Namun, infeksi melalui saluran genital tidak terjadi viremia dan jarang

terjasi abortus (Quinn et al, 2006; Markey et al, 2013).

Page 5: Laporan skenario 3

Reaktivasi dari virus laten dan terjadi setelah kejadian yang menyebabkan

ternak stress seperti parturisi dan transportasi. Proses reaktivasi terjadi dangan

sintesis virus di area latensi lalu ditransportasikan intra-axonal ke lokasi infeksi awal

virus (Markey et al, 2013).

Gejala Klinis dan Perubahan Patologis

Banyak infeksi BoHV-1 merupakan infeksi subklinis. BoHV-1 menyebabkan

abortus, balanoposthitis, konjunctivitis, dan gangguan fatal pada pedet (Markey et al,

2013). Namun pada saat terjadi wabah, gejala respirasi dan genital akan nampak.

Tingkat keparahan gejala klinis pada saluran respirasi dipengaruhi oleh infeksi

sekunder. Hewan yang terinfeksi akan mengalami suhu tubuh yang meningkat dan

memproduksi buangan nasal berupa cairan hidung bening yang disertai anoreksia.

Mukosa cungur hiperemis, dengan berkembangnya penyakit eksudat menjadi

purulen dan berwarna kuning keputihan, terbentuk membran dipterik yang menutupi

mukosa hidung dana beberapa kasus cungur hidung kering dan berkerak. Bila kerak

terlepas kulit cungur telihat kemerahan sehingga disebut rednose. Terjadi

konjunctivitis, pengeluaran cairan lakrimal, dan opasitas kornea. Jika infeksi tidak

rumit, hewan akan sembuh dalam satu minggu. Jika infeksi bacteria bertahan, hewan

berkembang mengalami dyspnoea, batuk, dan bernapas melalui mulut yang terbuka

(Sudarisman, 2003; Quinn et al, 2006).

Gambar 4. Leleran ingus dan hiperlakrimasi (Sudarisman, 2003).

Page 6: Laporan skenario 3

Gambar 5. Rednose

Sapi dengan pustular vulvovaginitis mengeluarkan cairan vaginal dan secara

teratur urinasi. Pada infeksi ini hewan biasanya sembuh dalam dua minggu. Namun,

infeksi sekunder dapat menyebabkan metritis, infertilitas sementara, dan cairan

vaginal purulen, pada pejantan terjadi lesi di penile dan mukosa preputial (Quinn et

al, 2006).

Pada kondisi parah, terjadi demam, cairan oculonasal, diare, inkoordinasi, dan

kelumpuhan yang terjadi pada pedet. Pedet yang berhasil dilahirkan dari induk IBR

akan mengalami meningoencephalitis yaitu terjadi inkoordinasi gerakan dan

berkembang menjadi ataksia. Pedet seperti buta, koma dan kematian terjadi 3-4 hari

setelah onset gejala tersebut. Beberapa kembali sembuh tetapi biasanya buta

(Sudarisman, 2003; Quinn et al, 2006).

Lesi primer, yang dihasilkan dari efek sitopatik (cytophatic effect/CPE) virus,

merupakan nekrosis di mukosa saluran respirasi bagian atas dan saluran genital. Lesi

focal dari pustular nekrosis dapat bersatu membentuk area ulserasi yang lebih besar

yang tertutupi oleh membrane diphtheritic. Infeksi sekunder dapat menimbulkan

pneumonia dan endometritis. Foci nekrosis juga dapat terdapar pada liver fetus yang

telah abortus (Markey et al, 2013).

Page 7: Laporan skenario 3

Gambar 6. Fetus abortus (Sudarisman, 2003).

Balanopostitis, terjadi pada sapi jantan yang terinfeksi, merupakan radang pada

penis. Pada penis terbentuk pustula. Vulvovaginitis, terjadi pada sapi betina yang

terinfeksi herpesvirus, merupakan radang pada vagina dan vulva yang juga

memproduksi pustula.

Gambar 7. Balanopostitis.

Page 8: Laporan skenario 3

Gambar 8. Pustula pada vagina.

Patologi Klinis

Pemeriksaan labolatorik dapat dilakukan dengan sampel swab mukosa hidung,

swab mukosa sinus, swab mukosa mulut, swab mukosa vagina, semen, susu,

otak/ganglia, serta organ primer (ginjal, pulmo, testis) fetus hewan abortus. Sampel

tersebut lalu dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi dan isolasi gen. Pemeriksaan

histopatologi akan menunjukkan perubahan patologis secara mikroskopik. Isolasi

gen dilakukan dengan: uji serum netralisasi, enzyme linked immunosorbent assay

(ELISA), radioactive immuno assay (RIA), indirect fluorescent antibody technique

(IFAT), tuberculin type skin test, passive haemaglutinasi, PCR, dan hybridization

(Sudarisman, 2003).

Isolasi agen penyakit pada biakan sel akan memberikan perubahan berupa

cytophatic effect (CPE). BoHV-1 akan memperlihatkan perubahan biakan sel dari

bentuk pipih memanjang menjadi bundar serta membentuk buah anggur yang

akhirnya akan mengelupas, sehingga lapisan sel akan menjadi berlubang (Sudariman,

2003).

Page 9: Laporan skenario 3

Gambar 9. Awal pembentukan CPE (Sudarisman, 2003).

Pada penelitian Devanita et al (2012) ditemukan tiga ekor sapi dari 12 sampel

yang positif IBR melalui PCR. Dengan menggunakan sampel yang sama dilakukan

juga pemeriksaan darah. Sampel yang positif IBR menunjukkan tingkat hemoglobin

dan sel darah merah yang rendah. Sel darah putih cenderung rata-rata. Namun,

MCHC hewan yang terinfeksi lebih rendah.

Diagnosis dan Prognosis

Diagnosis diambil berdasar gejala klinis yang nampak dan dilanjutkan dengan

penyimpulan hasil pengujian laboratorik. Pengujian labolatorik perlu dilakukan

untuk diagnosis virus yang menginfeksi karena sebagian besar infeksi virus tidak

memberikan gejala klinis yang spesifik.

Pada infeksi yang sudah parah, perlu pula dilakukan diagnosis pembanding

yang berasal dari infeksi sekunder. Karena infeksi sekunder muncul setelah infeksi

virus cukup parah dan akan menambah gejala klinis yang timbul.

Kasus infectious bovine rhinotracheitis (IBR) dapat sembuh dalam beberapa

hari. Namun, pada infeksi laten kesembuhan hanya berupa hilangnya gejala klinis.

Pada infeksi laten, virus dapat aktif kembali dan gejala klinis akan timbul kembali.

Pada beberapa kasus yang sudah parah, mungkin terjadi kematian.

Page 10: Laporan skenario 3

Pengobatan, Pengendalian dan Pencegahan

Belum ada obat yang khusus untuk menyembuhkan infeksi BoHV-1, IBR.

Pengobatan yang diberikan berupa pengobatan suportif untuk meningkatkan atau

menjaga kekebalan tubuh sehingga antobodi yang terbentuk dapat bertahan dari

antigen yang masuk.

Karena IBR merupakan penyakit infeksi yang menular, karantina atau isolasi

hewan yang terinfeksi dari koloninya sangat diperlukan. Untuk mencegah penularan

melalui saluran genital, pemeriksaan pada pejantan perlu dilakukan. Pemeriksaan

betina pun perlu dilakukan untuk menegah infeksi ke pejantan saat kawin alam serta

mencegah abortus.

Contoh pengendalian dan pencegahan penyakit di negara bebas IBR adalah

dengan penggunaan vaksin. Pengidentifikasian hewan yang sakit IBR juga

dilakukan, hewan positif IBR dimusnahkan. Berdasarkan efektifitas, dari imunisasi

aktif setelah terinfeksi secara alami, vaksin digunakan untuk kontrol IBR. Vaksin

yang digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus vaccines” dan ”inactivated

vaccines”. Kedua vaksin sama-sama menghasilkan antibodi humoral (Sudarisman,

2003).

Terdapat kekurangan pemberian vaksin. Vaksin yang diberikan intranasal akan

menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal. Subunit vaksin ini tidak dapat

mencegah infeksi klinis IBR. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya

keguguran/abortus dan dapat menyebabkan endometritis. Untuk menghindari hal

tersebut, beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal. Vaksin inaktif

banyak dilaporkan membentuk kekebalan yang tidak tinggi kecuali jika

menggunakan adjuvant yang baik (Sudarisman, 2003).

Page 11: Laporan skenario 3

II. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi yang kami laksanakan, diperoleh kesimpulan-kesimpulan:

1. Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) disebabkan oleh herpesvirus tipe 1.

2. Infeksi melalui masuknya agen penyakit ke mukosa hidung atau mukosa vagina.

3. Infeksi ditunjukkan dengan keluarnya cairan dari hidung dan vagina.

4. IBR juga menyebabkan pustular vulvovaginitis, balantopostitis, dan abortus.

5. Pemeriksaan laboratorik IBR salah satunya kultur sel sehingga diperoleh

cytophatic effect (CPE).

B. Referensi

MacLachlan, N. J., Dubovi, E. J.. 2011. Fenner’s Veterinary Virology fourth

edition. China: Academic Press.

Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A., Clark, D.P.. 2012. Brock Biology of

Microorganisms. Netherlands: Benjamin Cummings.

Markey, B., Leonard, F., Archambault, M., Cullinane, A., Maguire, D.. 2013.

Clinical Veterinary Microbiology second edition. China: Mosby Elsevier.

Quinn, P.J., Carter, M.E., Markey, B.M., Carter, G.R.. 1999. Clinical Veterinary

Microbiology. Spain. Mosby Elsevier Limited.

Quinn, P.J., Markey, B.K., Leonard, F.C., FitzPatrick, E.S., Fanning, S., Hartigan,

P.J.. 2006. Veterinary Microbiology and Microbial Disease second edition.

Rosenfeld, A.J., Dial, S.M.. 2010. Clinical Pathology for the Veterinary Team.

Singapore: Wiley-Blackwell.

Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi Di

Lembaga-Lembaga Pembibitan Ternak Di Indonesia. Wartazoa vol.13 no.3,

108-118.