laporan presentasi askep sistem pernapasan kelompok 1,2,3

Upload: hikmahtika-corleone

Post on 15-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Sistep pernapasan

TRANSCRIPT

Laporan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Diagnosa Medis Kanker Paru-Paru

Kelompok 1A. Definisi Kanker Paru

Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel bronkus.Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.

B. PatofisiologiAsap rokok mengandung sekitar 60 macam karsinogenik (termasuk benzen, nitrosamin (NNK), dan oksidan) yang dapat menyebabkan mutasi DNA (Gbr 8-1).

Ditemukan bahwa kanker paru terjadi pada perokok yang tidak memiliki kemampuan metabolis untuk mendetoksifikasi karsinogenik tersebut secara adekuat. Tumor paru terjadi pada banyak pajanan karsinogenik dan bukan kerena satu kejadian pencetus (serangan berulang); diperkirakan perlu antara 10 sampai 30 mutasi genetik untuk menciptakan sebuah tumor. Beberapa mutasi yang lebih sering yang telah teridentifikasi meliputi:

1. Penghilangan lengan pendek kromosom #3

2. Aktivitas onkogen (jun, fos, ras, dan myc)

3. Inaktivasi gen supresor tumor (p53, RB, DKN2)

Dalam bronkus yang terpajan karsinogen, sel-sel diplastik menjadi karsinoma in situ, kemudian karsinoma bronkogenik. Sel-sel kanker memproduksi faktor pertumbuhan autokrin (mis., faktor pertumbuhan epitel, faktor pertumbuhan jaringan, peptida pelepas gastrin, faktor pertumbuhan menyerupai insulin) yang mendorong perumbuhan tumor.

C. Klasifikasi Kanker Paru

Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC).Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya.1. Karsinoma paru non small cell (NSCL) :

a. Adenokarsinoma muncul dari sel kelenjar dalam epitel bronkus yang lokasinya sering kali perifer; bermetastasis sejak dini. Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala. Tipe kanker paru tersering, terutama pada wanita. Meliputi karsinoma bronkiolar-alveolar yang muncul dari bronkiolus terkecil dan septum alveolus, sering tampak sebagai infiltrat dan bukan massa pada foto ronsent, tidak berhubungan dengan merokok.b. Skuamosa muncul dari epitel skuamosa bronkus dan sering berlokasi sentral, sering menyebabkan kanker okulta dan bermetasis dengan lambat. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (Wilson, 2005).c. Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh (Wilson, 2005). Sel besar (large cell) kemunkinan berasal dari adenokarsinoma maupun skuamosa, tetapi kanker jenis ini sangat anapilaksis ( tumbuh tanpa bentuk atau struktur) sehingga asal selnya tidak bisa teridentifikasi, tumor agrasif dengan metastasis awal.

d. Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.

2. Karsinoma paru small cell (SCLC) muncul dari sel neuro endokrin di dalam bronkus, tumor ini merupakan tumor yang sangat agresif dan biasanya sudah bermetastasis saat terdiagnosis. Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan crush artifact pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007).

D. Etiologi Dan Faktor Resiko

Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006). Dibawah ini akan diuraikan mengenai faktor risiko penyebab terjadinya kanker paru :a. MerokokMenurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus ( Wilson, 2005). Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok (Stoppler,2010).b. Perokok Pasif

Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali (Wilson, 2005).

c. Polusi udara

Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).

d. Paparan zat karsinogenBeberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.

e. Diet

Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker paru (Amin, 2006).

f. Genetik

Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar terkena penyakit ini.Penelitian sitogenik dan genetik molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc) dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson, 2005).

g. Penyakit paru

Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru.Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).

E. Stadium Klinis Kanker Paru

Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM menurut International Union Against (IUAC) / The American Joint Comittee on Cancer (AJCC) 1997 adalah sebagai berikut:

STADIUMTNM

Karsinoma tersembunyiTx, N0, M0

Stadium 0Tis, N0, M0

Stadium IAT1, N0, M0

Stadium IBT2, N0, M0

Stadium IIAT1, N1, M0

Stadium IIBT2, N1, M0

T3, N0, M0

Stadium IIIAT3, N1, M0

T1-3, N2, M0

Stadium IIIBT berapa pun, N3, M0

T4, N berapa pun, M0

Stadium IVT berapa pun, N berapa pun, M1

Keterangan :

Status Tumor Primer (T)1. T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer.

2. Tx : Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus, tetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi.

3. Tis : Karsinoma in situ.

4. T1 : Tumor berdiameter 3 cm dikelilingi paru atau pleura viseralis yang normal.

5. T2 : Tumor berdiameter > 3 cm atau ukuran berapa pun yang sudah menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan ateletaksis yang meluas ke hilus; harus berjarak > 2 cm distal dari karina.

6. T3 : Tumor ukuran berapa saja yang langsung meluas ke dinding dada, diafragma, pleura mediastinalis, dan perikardium parietal atau tumor di bronkus utama yang terletak 2 cm dari distal karina, tetapi tidak melibatkan karina, tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, atau korpus vertebra.

7. T4 : Tumor ukuran berapa saja dan meluas ke mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, rongga pleura/perikardium yang disertai efusi pleura/perikardium, satelit nodul ipsilateral pada lobus yang sama pada tumor primer.

Keterlibatan Kelenjar Getah Bening Regional (N)1. N0 : Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar getah bening regional.

2. N1 : Metastasis pada peribronkial dan/atau kelenjar hilus ipsilateral.

3. N2 : Metastasis pada mediastinal ipsilateral atau kelenjar getah bening subkarina.

4. N3 : Metastasis pada mediastinal atau kelenjar getah bening hilus kontralateral; kelenjar getah bening skalenus atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.

Metastasis Jauh (M)1. M0 : Tidak diketahui adanya metastasis jauh.

2. M1 : Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu misalnya otak (Huq, 2010).F. Gejala Klinis Dan Penyakit Metastasis

1. Gejala KlinisPada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis.Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat :a. Lokal (tumor tumbuh setempat) b. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis

c. Hemoptisis

d. Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas

e. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru

f. Ateletaksis

g. Invasi lokal : Nyeri dada

h. Dispnea karena efusi pleura

i. Invasi ke perikardium , terjadi tamponade atau aritmia

j. Sindrom vena cava superior

k. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)

l. Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrentm. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis servikalisGejala Penyakit Metastasisa. Pada otak, tulang, hati, adrenal

b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)

c. Sindrom Paraneoplastik : terdapat 10% kanker paru dengan gejala :

d. Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam

e. Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi

f. Hipertrofi osteoartropati

g. Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer

h. Neuromiopati

i. Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)

j. Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh

k. Renal : syndrome of inappropriate antidiuretic hormonel. Asimtomatik dengan kelainan radiologis

m. Sering terdapat pada perokok dengan COPD yang terdeteksi secara radiologis.

n. Kelainan berupa nodul soliter (Amin, 2006).G. Diagnosis Dan Penatalaksanaan

1. Diagnosisa. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci untuk diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-kadang bercampur darah, sesak nafas dengan suara pernafasan nyaring (wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru adalah faktor usia, jenis kelamin, keniasaan merokok, dan terpapar zat karsinogen yang dapat menyebabkan nodul soliter paru.b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura.c. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium ditujukan untuk :

Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru. Kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis gas.

Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organ-organ lainnya.

Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada jaringan tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena metastasis.

d. RadiologiPemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama dipergunakan untuk mendiagnosa kanker paru.Kanker paru memiliki gambaran radiologi yang bervariasi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain.

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer.Pada pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan kanker paru dengan dinding toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas.Keuntungan tomografi komputer tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi juga struktur di sekitar lesi serta invasi tumor ke dinding toraks.Tomografi komputer juga mempunyai resolusi yang lebih tinggi, dapat mendeteksi lesi kecil dan tumor yang tersembunyi oleh struktur normal yang berdekatan.

e. SitologiSitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah.Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada jaringan.Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker. Selain itu dapat juga menunjukkan proses dan sebab peradangan. Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan yang dipakai untuk mendapatkan bahan sitologik.Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang paling sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru stadium preinvasif maupun invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang baik terutama untuk kanker paru yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga sering digunakan untuk skrining terhadap kanker paru pada golongan risiko tinggi.

f. BronkoskopiSetiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi untuk bronkoskopi.Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop.

g. Biopsi TranstorakalBiopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini diperlukan peranan radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga menuntun jarum mencapai massa tumor. Penentuan letak tumor bertujuan untuk memilih titik insersi jarum di dinding kulit toraks yang berdekatan dengan tumor.

h. TorakoskopiTorakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak.Pengambilan jaringan dapat juga dilakukan secara langsung ke dalam paru dengan menusukkan jarum yang lebih panjang dari jarum suntik biasa kemudian dilakukan pengisapan jaringan tumor yang ada (Soeroso, 1992).2. Penatalaksanaana. PembedahanPembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2 N0 M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLC.Luas reseksi atau pembedahan tergantung pada luasnya pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga dilakukan pada stadium lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita kanker paru dapat menjadi lebih baik.Pembedahan untuk mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara :a) Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor, bersamaan dengan margin jaringan normal.

b) Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru.

c) Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan jika diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan satu paru.b. RadioterapiRadioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru.Radioterapi dapat dilakukan pada NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan pembedahan.Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker.Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh (eksternal). Tetapi ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara meletakkan senyawa radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter dimasukkan ke dalam atau dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan pembedahan atau kemoterapi.c. KemoterapiKemoterapi pada kanker paru merupakan terapi yang paling umum diberikan pada SCLC atau pada kanker paru stadium lanjut yang telah bermetastasis ke luar paru seperti otak, ginjal, dan hati. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil sel kanker, memperlambat pertumbuhan, dan mencegah penyebaran sel kanker ke organ lain. Kadang-kadang kemoterapi diberikan sebagai kombinasi pada terapi pembedahan atau radioterapi.Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan (sitostatika) untuk membunuh sel kanker.Kombinasi pengobatan ini biasanya diberikan dalam satu seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih (ASCO, 2010).d. PrognosisYang terpenting pada prognosis kanker paru adalah menentukan stadium penyakit.Pada kasus kanker paru jenis NSCLC yang dilakukan tindakan pembedahan, kemungkinan hidup 5 tahun adalah 30%. Pada karsinoma in situ, kemampuan hidup setelah dilakukan pembedahan adalah 70%, pada stadium I, sebesar 35-40% pada stadium II, sebesar 10-15% pada stadium III, dan kurang dari 10% pada stadium IV. Kemungkinan hidup rata-rata tumor metastasis bervariasi dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun.Hal ini tergantung pada status penderita dan luasnya tumor.Sedangkan untuk kasus SCLC, kemungkinan hidup rata-rata adalah 1-2 tahun pasca pengobatan.Sedangkan ketahanan hidup SCLC tanpa terapi hanya 3-5 bulan (Wilson, 2005). Angka harapan hidup 1 tahun untuk kanker paru sedikit meningkat dari 35 % pada tahun 1975-1979 menjadi 41% di tahun 2000-2003. Walaupun begitu, angka harapan hidup 5 tahun untuk semua stadium hanya 15%. Angka ketahanan sebesar 49% untuk kasus yang dideteksi ketika penyakit masih bersifat lokal, tetapi hanya 16% kanker paru yang didiagnosis pada stadium dini (American Cancer Society, 2008). PENGKAJIANBapak Z (56 tahun) mendatangi sebuah klinik dengan keluhan batuk yang terus-menerus disertai sputum yang bercampur darah, nyeri dada, mudah lelah dan sesak napas.Suara beliau terdengar serak dan leher terlihat membengkak.Bapak Z juga mengatakan bahwa nafsu makannya menurun dan berat badannya turun drastis sebanyak 4 kg dalam satu bulan.Sampai saat ini Bapak Z masih menjadi perokok aktif. Setelah dilakukan pemeriksaan foto thorax PA/Lateral terlihat massa tumor dengan ukuran 2 cm serta ditemukan invasi ke dinding dada dan efusi pleura. Di klinik direncanakan dilakukan radioterapi dan kemoterapi untuk Bapak Z.Data Objektif :Data Subjektif :

a. Suara serak,

b. Leher membengkak,

c. Batuk yang terus-menerus disertai sputum yang bercampur darah

d. Berat badan turun sebanyak 4 Kg dalam kurun waktu satu bulan

e. Massa tumor dengan ukuran 2 cm

f. Invasi ke dinding dada

g. Efusi pleura

a. Nyeri dada,

b. Mudah lelah,

c. Sesak napas.

d. Nafsu makan turun

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : mudah lelah

b. Makanan atau cairan

Gejala : penurunan berat badan, nafsu makan turun, merokok

c. Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri dada, leher membengkak

d. Pernapasan

Gejala : Batuk yang terus-menerus disertai sputum yang bercampur darah, sesak nafas

A. Diagnosa Keperawatan

1. Diagnosa : nyeri akut

Domain 12: KenyamananKelas1: Kenyamanan FisikDefinisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akiat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-iba atau lambat dari intensitas ringan hinga berat dengan akhir yag dapat diantisipasi atau diprediks dan berangsung 600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktivitas bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

E. Uji Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada COPD dapat dilakukan dengan cara,

1. Riwayat pribadi dan medis

Pengkajian riwayat dapat digunakan untuk mengkaji faktor risiko penyakit COPD pada pasien. Pengkajian riwayat dapat berupa riwayat merokok terdahulu dan sekarang, paparan terhadap polusi industri, riwayat keluarga terkait defisiensi 1-antitrypsin, kapasitas melakukan aktivitas fisik, dan riwayat asma, alergi sinusitis atau infeksi paru-paru.

2. Pemeriksaan fisik

Tidak terdapat perubahan fisik yang nampak pada pasien dengan COPD tingkat rendah hingga sedang. Namun pada COPD tingkat lanjut, pasien dengan emfisema akan nampat kurus dan ceking dengan warna kulit yang masih normal. Pada pasien dengan bronkitis kronik akan terdapat kebiru-biruan pada bibir dan jari tangannya, tubuh nampak obesitas, dan terjadi pembengkakan pada kaki dan tungkai. Pernapasancepat dan dangkal, dilakukan dengan mengerutkan bibir, dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk ekspirasi. Pasien juga akan dikaji mengenai dahak dan adanya sputum.

Pemeriksaan dada dilakukan untuk mengetahui gambaran rongga dada dan baik dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada auskultasi dapat didengarkan suara krepitasi, suara napas yang jauh, tanda hipertensi pulmoner, wheezing atau suara gurgling. Penemuan lain yang dapat ditemukan adalah sesak napas ketika berbaring dan peningkatan tekanan dalam vena.

3. Pemeriksaan rutin

a) Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP

( % ).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

b) Darah rutin : Hb, Ht, dan leukosit

c) Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

Pada emfisema terlihat gambaran :

Hiperinflasi

Hiperlusen

Ruang retrosternal melebar

Diafragma mendatar

Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :

Normal

Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

4. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

a) Faal paru

Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

DLCO menurun pada emfisema

Raw meningkat pada bronkitis kronik

Sgaw meningkat

Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

b) Uji latih kardiopulmoner

Sepeda statis (ergocycle)

Jentera (treadmill)

Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

c) Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan

d) Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau

metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

e) Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

Gagal napas kronik stabil

Gagal napas akut pada gagal napas kronik

f) Radiologi

CT - Scan resolusi tinggi

Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru

g) Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

h) Ekokardiografi

Menilai fungsi jantung kanan

i) Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

j) Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.F. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan umum COPD

a. Tujuan penatalaksanaan :

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kualiti hidup penderita

b. Penatalaksanaan secara umum COPD meliputi :

Edukasi

Obat obatan

Terapi oksigen

Ventilasi mekanik

Nutrisi

Rehabilitasi

COPD merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan COPD terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada COPD stabil. Edukasi pada COPD berbeda dengan edukasi pada asma. Karena COPD adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien COPD :

Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

Melaksanakan pengobatan yang maksimal

Mencapai aktivitas optimal

Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi COPD diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

Pengetahuan dasar tentang COPD

Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

Cara pencegahan perburukan penyakit

Menghindari pencetus (berhenti merokok)

Penyesuaian aktivitas

2. Obat-obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( longacting ).

Macam - macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut dan, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang, sedangkan bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan apabila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

Lini I : amoksisilin, makrolid

Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru

3. Terapi Oksigen

Pada COPD terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untukmempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.

Manfaat terapi oksigen :

Mengurangi sesak

Memperbaiki aktivitas

Mengurangi hipertensi pulmonal

Mengurangi vasokonstriksi

Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

Meningkatkan kualitas hidup

Indikasi :

Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :

Pemberian oksigen jangka panjang

Pemberian oksigen saat melakukan aktivitas

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada COPD digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien COPD derajat berat dengan napas kronik.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

1. Ventilasi mekanik dengan intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada COPD dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :

Volume control Pressure control Bilevel positive airway pressure (BiPAP) Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :

Analisis gas darah Kualiti dan kuantiti tidur Kualitas hidup Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV

Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35 Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

2. Ventilasi mekanik dengan intubasi

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :

Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal Frekuensi napas > 35 permenit Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHg) Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (PaO2 < 60 mmHg) Henti napas Samnolen, gangguan kesadaran Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung) Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif) Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien COPD dengan kondisi sebagai berikut : PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya Terdapat edema paru atau keganasan

5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada COPD kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.

6. Rehabilitasi

Rehabilitasi paru pada penderita COPD merupakan pengobatan standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala dan meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal. Tujuan utama adalah mengembalikan tubuh untuk hidup mandiri. Rehabilitasi paru mencakup usaha yang holistik untuk memulihkan keadaan pasien untuk mencapai fungsi yang optimal. Committee of the American College of Chest Physician mendefinisikan rehabilitasi paru sebagai suatu seni dari ilmu kedokteran praktis yang disesuaikan secara individu, multidisiplin yang diformula berdasarkan diagnosis yang tepat, terapi, emosional atau pemulihan baik secara fisiopatologi maupun psikopatologi dari penyakit paru dan usaha pemulihan pasien mencapai kapasitas fungsional tertinggi sesuai dengan kelemahan dan kondisi secara keseluruhan. Menurut National Institute of Health (NIH) dan European Respiratory Society (ERS) adalah pelayanan multidimensi terus menerus langsung terhadapa pasien dengan penyakit paru dan keluarganya bisa secara interdisiplin tim ahli dengan tujuan mencapai dan mempertahankan tingkat maksimal individu serta fungsinya dalam masyarakat. Penderita yang dianjurkan untuk mendapatkan rehabilitasi paru adalah penderita dengan penyakit paru kronik, stabil dengan pengobatan standar, dapat dijangkau dengan pelayanan kesehatan primer, dapat dimotivasi secara aktif dan terdapat keterbatasan faal paru. Lamanya program rehabilitasi paru antara 4-12 minggu.

ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS

Tn. M (65 tahun) hari ini datang ke RSS dengan keluhan sering sesak napas dengan napas pendek dan ada suara (wheezing) pada napasnya. Tn. M mengatakan sudah 4 bulan ini mengalami batuk berdahak yang susah dikeluarkan. Tn. M juga mengakui bahwa beliau merupakan perokok berat semenjak masih muda dan juga malas untuk berolahraga. Beliau dapat menghabiskan 2 bungkus rokok dalam sehari. Disamping itu Tn. M tinggal di daerah perkotaan yang banyak polusi udaranya. Saat dilakukan pengkajian didapatkan hasil data TD : 170/100 mmHg, nadi 110x/menit, RR : 28x / menit, suhu : 38,20C, dengan BB/TB : 46 kg / 167 cm sehingga IMT Tn. M : 17,6. Hasil asukultasi yang dilakukan oleh Ns. R terdengar suara ronkhi kasar dan wheezing pada suara napas. Sedangkan pada hasil perkusi terdapat suara hipersonor di seluruh lapang paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Tn. M terdiagnosa COPD (Chronic Obstruktive Pulmonary Disease).

A. PengkajianDO ( Data Objektif)DS (Data Subjektif)

Nama : Tn. M

Usia : 65 tahun

TD : 170/100 mmHg

Nadi : 110x/menit

RR : 28x/menit

Suhu : 38,20C

BB : 46 kg

TB : 167 cm

IMT : 17,6

Hasil auskultasi : suara ronkhi kasar (+), wheezing (+)

Hasil perkusi : suara hipersonor di seluruh lapang paru Tn. M mengeluhkan sesak napas dan

batuk bedahak yang susah

dikeluarkan selama 4 bulan

Tn. M mengeluhkan napas pendek

dan napasnya menghasilkan suara

(wheezing)

Tn. M adalah perokok berat

semenjak masih muda dan malas

berolahraga

Tn. M menghabisan 2 bungkus rokok

dalam sehari

Tn. M tinggal di daerah perkotaan

yang banyak polusi udaranya

B. Diagnosa Keperawatan

1. Diagnosa 1 : Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas (00031)

Domain 11: Keamanan / Perlindungan

Kelas 2: Cedera Fisik

Definisi : Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas. Batasan Karakteristik :

suara napas tambahan : ronkhi kasar dan wheezing

frekuensi napas meningkat menjadi 28x / menit

dispnea

sputum dalam jumlah yang berlebihan yang susah dikeluarkan selama 4 bulan

Faktor yang berhubungan :

penyakit paru obstruktif kronis

NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan hasil yang didapat berupa :1. Respiratory Status : Airway patency (0410)

Definisi

: Keterbukaan bersihan jalan trakheobronkial untuk pertukaran

Indikator

:

frekuensi napas normal dari 28x/menit menjadi kurang lebih 20x /menit

suara tambahan paru seperti wheezing dan ronkhi berkurang

produksi sekret menurun dan dapat dikeluarkan dengan cara yang benar

berkurangnya rasa sesak napasNIC

1. Airway management

Definisi : memfasilitasi patensi jalan napas

Aktivitas :

melakukan teknik fisioterapi dada mulai dari pernapasan diafragma, postural drainage, perkusi, vibrasi, dan batuk efektif

membersihkan sekret dengan mengajarkan pasien teknik batuk efektif atau dilakukan suction

mengauskultasi bunyi napas, catat adanya bunyu napas tambahan jika masih ada seperti ronkhi dan wheezing

memposisikan pasien pada posisi yang nyaman dan mendukung memaksimalkan pernapasan misalnya dengan posisi semi-fowler

mengatur asupan cairan untuk mempertahankan keseimbagan cairan tubuh

memonitor pernapasan dan status oksigenasi

memberikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, epinefrin

2. Respiratory monitoring

Definisi : Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk memastikan keadaan jalan napas dan keadekuatan pertukaran gas

Aktivitas :

memonitor kecepatan, irama, dan kedalaman respirasi

memonitor pergerakan dada, amati kesimetrisan dada, penggunaan otot bantu pernapasan dan ada tidaknya retraksi

melakukan perkusi dada anterior dan posterior dari apex ke baris bilateral

mencatat onset, karakteristik dan durasi batuk

memonitor sekresi pernapasan pasien

memonitor dispnea pada pasien

mengauskultasi suara paru setelah dilakukan terapi farmakologi

3. Vital sign monitoring

Definisi : mengumpulkan dan menganalisis data mengenai sistem kardiovaskuler, respirasi, dan suhu tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi

Aktivitas :

memonitor TD, nadi, suhu, dan status respirasi

memonitor bunyi paru

memonitor TD saat pasien berbaring, duduk dan berdiri, sebelum dan setelah perubahan posisi dan beraktivitas

2. Diagnosa 2 : Sedentary Lifestyle

Domain 1

: Promosi kesehatan

Kelas 1

: Kesadaran kesehatan

Definisi

: Menyatakan suatu kebiasaan gaya hidup dengan tingkat aktivitas fisik yang rendah.

Batasan Karakteristik :

menunjukkan kurangnya aktivitas fisik

Faktor yang berhubungan :

kurang minat / malas berolahragaNOCSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien dapat : meningkatkan aktivitas fisik seperti olahraga

mengurangi perliaku tidak sehat contohnya merokok

NIC

1. Health Education

Definisi : mengembangkan dan menyediakan instruksi dan pengalaman pembelajaran untuk memfasilitasi adaptasi gaya hidup yang sehat da kondusif di dalam individu, keluarga, grup / komunitas.

Aktivitas :

mengidentifikasi faktor internal / eksternal yang mungkin dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi dalam bergaya hidup sehat

menentukan pengetahuan kesehatan dan gaya hidup sehat terkini yang sesuai pada indivisu, keluarga, atau komunitas

mengajarkan strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi gaya hidup yang tidak sehat atau memberikan saran untuk menghindari perilaku tidak sehat dibandingkan mengambil resiko

mengupayakan dukungan dari sesama, keluarga atau komunitas untuk membina lingkungan yang sehat dan kondusif melalui modifikasi lingkungan

C. Evaluasi Keperawatan

Subjektif :

Tn. M sudah tidak mengeluhkan adanya sesak napas dan napas pendek

Tn. M berkeinginan untuk meningkatkan aktivitas berolahraga

Tn. M mampu menahan keinginan untuk merokok

Objektif :

Tn. M mampu mengeluarkan dahak secara mandiri dan optimal

Tn. M menunjukkan tidak adanya tanda tanda sesak napas dan napas pendek

Suara napas tambahan seperti ronkhi dan wheezing sudah berkurang

Achievement :

TD menurun menjadi 150/100 mmHg

RR normal : 20x/menit

Nadi normal : 90x/menit

Tn. M mampu melakukan batuk efektif mandiri

Frekuensi batuk sudah berkurang

Planning :

Memberikan alternatf lain untuk mengganti kebiasaan merokok

Memonitor cara Tn. M melakukan batuk efektif

Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan : Kanker NasofaringKelompok 3

A. DEFINISI

Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009). Karsinoma nasofaring berasal dari epitel yang menutupi permukaan nasofaring, kebanyakan mulai tumbuh di fossa Rossenmuller. Tumor ganas ini memiliki tingkat keganasan tinggi, bersifat sangat invasif, sehingga sangat mudah metastasis. Meskipun tumor primer masih kecil, namun sudah bisa menyebabkan penyebaran pada kelenjar limfe disekitarnya (Supriatna, 2012).

B. ETIOLOGITerjadinya kanker nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait adalah:

1. Kerentanan Genetik

Walaupun kanker nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar kanker nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009)

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara kanker nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan kanker nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA), dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat kanker nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan kanker nasofaring tidak berdiferensiasi (undifferentiated) dan kanker nasofaring non-keratinisasi (non- keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer Institute, 2009).

3. Faktor Lingkungan Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya kanker nasofaring yaitu golongan Nitrosamin, diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009). C. PATOFISIOLOGI

Infeksi virus Eipstein-Barr dapat menyebabkan kanker nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita kanker nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa kanker nasofaring, yaitu EBNA- 1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP 2B. Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana(2006) terhadap suku indian asli bahwa EBV DNA didalam serum penderita kanker nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada kanker nasofaring primer.D. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala DiniKanker nasofaring bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009 ).

2. Gejala LanjutPembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).

Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

E. STADIUM

Ilustrasi gambar stadium kanker nasofaringGambar A : Stadium 0

Gambar B : Stadium I

Gambar C : Stadium II A

Gambar D : Stadium II B

Gambar E : Stadium III

Gambar F : Stadium IV A

Gambar G : Stadium IV B

Gambar F : Stadium IV CF. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC

1. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateterPemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

2. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

3. Endoskopi

a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70 derajat dengan tang biopsi. Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara: Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut (Wei,2006).b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy) Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung (Wei, 2006).

4. Biopsi Nasofaring a. Dengan anestesi lokal Obat anestesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui tuntunan rinoskopi posterior dan dapat juga dibantu dengan kateter, massa tumor diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku (Wei, 2006).

b. Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu: Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif, sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri kanker nasofaring. Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau faringnya terlalu sensitif, trismus, dan anak-anak.

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001).

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal. Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru (Wei dan Sham, 2005).

CT Scan Nasofaring, pada kanker nasofaring yang tumbuh secaraendofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan (Her, 2001). Pemeriksaan ini dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT Scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah (Wei dan Sham, 2005).

Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya (Wei dan Sham, 2005).

Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan Sham,2005).

6. Pemeriksaan patologi anatomi, yang dapat dilakukan berupa:

a. Sitologi

Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis kanker nasofaring.

b. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Sebagian besar kanker nasofaring ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikannya merupakan metastase kanker nasofaring dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring (Wei dan Sham, 2005).

c. Histopatologi

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi.

d. Pemeriksaan Imunohistokimia

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuia. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis rekasi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).

e. Pemeriksaan Serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya kanker nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita kanker nasofaring meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005).

Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk kanker nasofaring tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada kanker nasofaring stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator kanker nasofaring. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002).

f. Polimerase Chain Reaction (PCR)Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999).G. TERAPI

Terapi standar kanker nasofaring adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian datang dengan keadaan yang sudah jelek (Lin et al, 2003). Disamping itu kanker nasofaring dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan (Mulyarjo, 2002).

1. RadioterapiRadioterapi sebagai terapi standar kanker nasofaring sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930an). Hasil radioterapi untuk kanker nasofaring stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100% (Kentjono,2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 40-80%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005).

2. Brachytherapy (Radiasi Internal)Radiasi interna pada kanker nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh (Marzaini, 2002).

3. KemoterapiAlternatif lain untuk mengobati penderita kanker sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai terapi standar terapi kanker nasofaring stadium lanjut (Lin et al, 2003). Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk kanker nasofaring dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif (Zakifman dan Harryanto, 2002). Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan kanker nasofaring (Wei dan Sham, 2005). Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai (Graf et al, 2006).

Menurut Agulnik dan Siu (2005), dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan.

4. ImunoterapiImunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein-Barr pada populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein-Barr untuk mencegah terjadinya kanker nasofaring (Mauer, 2005).

5. Pembedahan

a. Diseksi leher radikalHal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006).

b. NasofaringektomiKetika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakit-penyakit terlokalisir. Berbagai pendekatan pernah digunakan untuk mencapai nasofaring. Posisi otak dan korda vertebralis membuat pendekatan secara posterior dan superior menjadi tidak dapat dilakukan. Pendekatan-pendekatan anterior seperti ini, meskipun mengikutsertakan pematahan palatum durum hanya dapat memperlihatkan dinding posterior nasofaring sedangkan dinding lateral tidak terlihat. Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006).

c. Terapi GenTujuan terapi gen adalah untuk mengenalkan materi genetik baru ke dalam sel kanker yang akan secara selektif membunuh sel kanker tanpa menyebabkan toksik pada sel-sel yang normal. Terapi gen digunakan untuk mengantar sekuensi DNA ke dalam sel dan kemudian DNA bergabung sendiri di dalam gen seluler dan menghasilkan protein yang mempunyai efek terapeutik. H. KOMPLIKASI

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009). I. PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan- kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan kanker nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).

ASUHAN KEPERAWATANA. KASUS

Tn. S 60 tahun dirawat di RS dengan keluhan telinga kiri terasa buntu dan nyeri dileher kanan dan kiri sejak 2 bulan yang lalu. Tn. S didiagnosa Ca nasofaring. Saat dilakukan pengkajian oleh Ns. Tita,Tn.S mengeluhkan rasa nyeri pada bagian kepala, pilek terus menerus dengan lendir berlebih disertai nanah dan bau yang tidak sedap, hidung terasa buntu dan pusing. Beberapa hari terakhir ini, Tn.S mengeluhkan tidak nafsu makan karena terasa pahit sehingga badannya terlihat kurus dan lemas. Tn. S terlihat gelisah dan kesulitan saat berbicara serta wajahnya meringis menahan sakit. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat, didapatkan data bahwa suhu: 37 C, RR: 26 x per menit, TD: 140/90 mmHg, nadi: 115 x per menit, BB: 44 kg, dan TB: 162 cm. Dari keterangan keluarga Tn.S merupakan perokok aktif sejak usia remaja.

B. PENGKAJIAN

a. Data Obyektif:

Nama: Tn. S

Umur: 60 tahun

Badan terlihat kurus dan lemas

Gelisah

Kesulitan saat berbicara serta wajahnya meringis menahan sakit

Suhu: 37 C, RR: 26 x per menit, TD: 140/90 mmHg, nadi: 115 x per menit, BB: 44 kg, dan TB: 162 cm

b. Data Subyektif:

Telinga kiri terasa buntu

Nyeri di leher kanan dan kiri sejak 2 bulan yang lalu

Nyeri di bagian kepala

Pilek terus menerus dengan lendir berlebih disertai nanah dan bau yang tidak sedap, hidung terasa buntu, dan pusing

tidak nafsu makan karena terasa pahit

c. Riwayat kesehatan

Didiagnosa Ca nasofaring

Perokok aktif sejak usia remaja C. DIAGNOSA, NOC, NIC, DAN EVALUASI

NoDiagnosaNOCNIC

1Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)

Domain11: Keamanan/Perlindungan

Kelas 2 : Cedera Fisik

Definisi : Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.

Batasan Karakteristik :

Perubahan frekuensi napas (frekuensi napas mengalami peningkatan yaitu 26 kali per menit)

Kesulitan berbicara/mengeluarkan suara

Sputum dalam jumlah yang berlebihan (lendir berlebih disertai nanah dan bau yang tidak sedap)

Gelisah

Faktor yang berhubungan:

Lingkungan : merokok

Respiratory Status: Airway Patency

Definisi: Keterbukaan bersihan jalan napas trakeobronkhial untuk pertukaran

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam klien mampu:

a. Frekuensi pernafasan klien normal (dari 26x per menit menjadi 20x per menit)

b. Ritme pernafasan klien normal.

c. Klien mampu membersihkan sekret Airway management

Definisi: memfasilitasi patensi jalan nafas

Aktivitas:

a. Membuka jalan nafas menggunakan tehnik chin lift

b. Memposisikan klien supaya mendapatjkan ventilasi yang maksimal

c. Memasukkan jalan nafas secara oral atau pharyngeal

d. Menginstruksikan klien bagaimana cara batuk yang efektif (dengan cara duduk tegak dan menghirup nafas dalam melalui hidung kemudian dihembuskan perlahan atau dibatukkan untuk membantu memecah sekret sehingga lendir dapat dikeluarkan)

e. Melakukan auskultasi bunyi nafas dan catat area yang mengalami penurunan atau tidak adanya ventilasi serta pantau adanya suara-suara abnormal (misal: wheezing)

f. Mengajarkan kepada klien bagaimana cara menggunakan inhaler sesuai yang sesuai

g. Monitoring status respiratory dan oksigenasi klien

Airway suctioning

Definisi: Menghilangkan sekresi dengan memasukkan suction cateter dalam mulut klien, nasofaring, dan saluran trakea.

Aktivitas:

a. Menjelaskan akan kebutuhan suction mulut dan trakeal

b. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suctioning

c. Menginformasikan klien dan keluarga tentang suctioning

d. Aspirasi nasofaring dengan menggunakan syringe atau alat suction yang lain yang sesuai

e. Berikan obat bius yang sesuai

f. Instruksikan klien untuk menarik napas dalam sebelum dilakukan suction pada nasotrakeal dan menggunakan suplai oksigen yang tepat

g. Menginstruksikan klien untuk napas dalam selama pemasukan suction cateter melalui saluran nasotrakeal

h. Gunakan jumlah yang rendah pada wall suction untuk menghilangkan sekret (pada klien dewasa: 80-120 mmHg)

i. Monitor adanya nyeri pada klien

j. Monitor status oksigenasi, status neurologis (status mental, tekanan perfusi cerebral), status hemodinamik segera, sebelum, selama, dan sesudah suction.

k. Gunakan durasi tertentu pada setiap suction trakeal sesuai dengan kebutuhan untuk menghilangkan sekret dan pantau respon pasien

l. Lakukan suction oropharynx setelah suction tracheal selesai.

m. Bersihkan area sekitar mulut tracheal setelah suction trachealnya selesai dengan tepat.

n. Hentikan suction dan berikan suplai oksigen jika klien mengalami bradikardi, desaturasi.

o. Memonitor dan catat warna, jumlah, konsistensi sekret

EVALUASI

S : klien mengatakan dapat bernafas dengan lebih lega dan tidak kesulitan dalam berbicara

O : klien tampak :

memiliki frekuensi dan ritme pernafasan yang normal.

mampu mengeluarkan sekret,

tidak terlihat gelisah dan mampu berbicara dengan mudah

A : masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi yaitu frekuensi nafas, ritme pernafasan normal, dan klien mampu mengeluarkan sekret.

P : memonitor keefektifan bersihan jalan nafas dan mendampingi klien saat mengalami kesulitan dalam menjaga keefektifan bersihan jalan nafas.

2Nyeri Akut (00132)

Domain 12: Kenyamanan

Kelas 1: Kenyamanan fisik

Definisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensits ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.

Batasan Karakteristik:

Perubahan selera makan

Perubahan frekuensi jantung (nadi : 115 x per menit)

Perubahan frekuensi pernapasan (26 x per menit)

Ekspresi wajah (meringis)

Melaporkan nyeri secara verbal

Faktor yang berhubungan: Agen cidera (fisik) Pain Level

Definisi: tingkat keparahan nyeri yang diobservasi atau dilaporkan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien mampu:

Melaporkan nyeri berkurang

Lama nyeri berkurang

Ekspresi nyeri pada wajah tidak ada

Respiratory rate dan nadi normal (nadi menjadi 90 x per menit dan pernafasannya 20 x per menit)

Pain Management

Definisi: pengurangan nyeri untuk level nyaman yang dapat diterima oleh klien

Aktivitas:

Mengkaji tingkat nyeri klien meliputi: lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan faktor presipitasi nyeri

Mengobservasi ketidaknyamanan secara non verbal terutama dalam ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif

Mengkaji pengetahuan dan kepercayaan klien mengenai nyeri

Menjelaskan dampak dari pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (misal: tidur, aktivitas, nafsu makan, kognitif, mood, responsibilitas)

Mengkaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan nyeri klien

Mendampingi klien dan keluarga untuk mencari dan memberikan dukungan

Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, lamanya nyeri dan prosedur antisipasi ketidaknyamanan

Mengontrol faktor lingkungan yang mungkin dapat mempengaruhi respon ketidaknyaman klien (seperi: temperatur ruangan, cahaya, bau)

Mengurangi atau menghilangkan faktor presipitasi atau penambah peningkatan rasa nyeri (seperti: ketakutan, kelelahan)

Mengajarkan penggunaan teknik non farmakologi (sepeti biofeedback, TENS, relaksasi, hipnosis, guided imagery, massage) sebelum, setelah dan jika memungkinkan selama nyeri sebelum nyeri terjadi atau bertambah

Kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan yang lain untuk memilih dan mengimplementasikan terapi farmakologi dan non farmakologi yang sesuai

Memonitor tingkat keberhasilan setelah dilakukan manajemen nyeri dengan intervensi yang spesifik

EVALUASI

S: Klien mengatakan bahwa tingkat nyerinya berkurang

O: Klien mengekpresikan wajah yang tidak menggambarkan nyeri.

A: Masalah Nyeri klien teratasi:

Klien tidak menunjukkan ekspresi nyeri ( meringis )

Tanda-tanda vital ( Pernafasan dan denyut nadi normal )

P: Memonitor tingkat kenyamanan klien dan mempersiapkan manajemen nyeri spesifik yang sesuai ketika klien mengalami nyeri

3Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002)

Domain 2: Nutrisi

Kelas 1: Makan

Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.

Batasan karakteristik:

Berat badan 20% atau lebih di bawah berat badan ideal (Badan terlihat kurus dan lemas)

Kurang minat pada makanan (tidak nafsu makan)

Tonus otot menurun (klien merasa lemas)

Mengeluh gangguan sensasi rasa (terasa pahit )

Faktor yang berhubungan:

Faktor biologis

Nutritional Status

Definisi: meningkatkan nutrisi sehingga sesuai dengan kebutuhan metabolik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien mampu:

Intake nutrisi klien tercukupi

Tingkat energi klien baik

Berat badan klien meningkat (dilihat dari IMT nya > 18,5)

Kekuatan otot klien meningkat

Nutrition Management

Definisi: membantu atau menyediakan intake makanan dan cairan yang seimbang

Aktivitas:

Menanyakan kepada klien apakah klien mempunyai alergi makanan atau tidak

Memastikan makanan kesukaan klien

Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jumlah kalori dan tipe kalori yang dibutuhkan sesuai kebutuhan klien

Mendorong klien untuk meningkatkan intake protein

Berikan pilihan makanan kepada klien

Mengatur diet klien dengan gaya hidupnya

Monitor catatan intake untuk masukan nutrisi dan kalori klien

EVALUASI

S: Klien mengatakan nafsu makan dan kekuatan (energi) bertambah

O: Intake nutrisi dan energi klien tampak tercukupi

A: Masalah Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi:

Nafsu makan meningkat

Berat badan meningkat

Kebutuhan energi klien cukup

P: Memonitor intake nutrisi klien tetap terjaga.

Obstruksi jalan napas

Udara terjebak

Dyspnea

Sering terkena infeksi

Keabnormalan rasio ventilasi perfusi

Hipoksemia

Hipoventilasi

Kebocoran paru-paru

Merokok

Polusi udara

Defisiensi

1-antitrypsin

Iritasi dan inflamasi bronkus yang berlanjut

Pemecahan elastin dalam jaringan ikat paru-paru

Bronkitis kronis

Edema bronkus,

Hipersekresi mukus,

Batuk kronis,

bronkospasme

Emfisema

Kerusakan septum alveolar, ketidakstabilan jalan napas