laporan pendahuluan pneumonia.docx

35
LAPORAN PENDAHULUAN “PNEUMONIA” Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Pedatrik di Ruang HCU Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Disusun Oleh: DEWI FARIDA VIVTYASARI 140070300011096 PSIK A UB KELOMPOK 14 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Upload: kelompok14rssa

Post on 09-Apr-2016

48 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

LAPORAN PENDAHULUAN

“PNEUMONIA”

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Pedatrik

di Ruang HCU Rumah Sakit Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh:

DEWI FARIDA VIVTYASARI

140070300011096

PSIK A UB

KELOMPOK 14

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

Page 2: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

1. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat

konsolidasi dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan

oleh bakteri, virus, dan benda-benda asing (Muttaqin, 2008).

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang

mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak

dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis

(bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).

Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan

dimana alveoli( mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang

bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi

radang dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh

berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri,virus,jamur

atau parasit (Reevers, 2000).

2. Etiologi Pneumonia

Bakteri

Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut.

Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S.

aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti

Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.

Virus

Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi

droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab

utama pneumonia virus.

Jamur

Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar

melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya

ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos. Contoh jamur

yang dapat menjadi penyebab antara lain Candida, Histoplasma,

Aspergilus

Page 3: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Protozoa

Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC).

Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi.

Bahan kimia

Minyak tanah, bensin

Aspirasi (cairan amnion, makanan, cairan lambung, susu) (Reevers,

2000; Sectish, 2003).

3. Faktor resiko Pneumonia

Faktor-faktor risiko kesakitan (morbiditas) pneumonia adalah antara

lain umur, jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang

kurang memadai, defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara,

kepadatan rumah tangga, ventilasi rumah, dan pemberian makanan yang

terlalu dini (Depkes RI, 2004). Selain itu, dari sebuah hasil penelitian

diketahui faktor-faktor risiko lain yang dapat meningkatkan insidens

pneumonia yaitu perilaku ibu dalam pengobatan, lamanya waktu anak

berada di dapur, riwayat ke Posyandu dalam 3 bulan terakhir, serta

pendapatan rumah tangga. Jika diklasifikasikan, maka faktor-faktor risiko

pneumonia dapat dibedakan atas faktor anak, faktor orang tua, dan faktor

lingkungan.

Faktor Anak

a. Umur

Umur merupakan salah satu faktor risiko utama pada

beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena umur dapat

memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang

berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia

dibandingkan anak-anak yang berumur di atas 2 tahun. Hal ini

disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang pernapasan

yang masih relatif sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Umur

yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan menderita

pneumonia yang lebih berat (Ewig dalam Machmud, 2006 ).

Penelitian Tuparsi di Filipina telah membuktikan bahwa morbiditas

Page 4: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

pneumonia berhubungan dengan status sosial ekonomi yang rendah

serta umur balita yang kurang dari 1 tahun. Hasil surveilans pada

tahun 1998/1999 juga memperlihatkan bahwa proporsi pneumonia

pada bayi 14,1% lebih tinggi daripada pada balita (Herman, 2002).

Balita juga rentan terhadap risiko kematian akibat pneumonia.

Semakin muda umur seorang balita penderita ISPA/pneumonia,

maka semakin besar risiko untuk meninggal daripada usia yang

lebih tua (Sutrisna dalam Tantry, 2008 ).

b. Jenis Kelamin

Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa laki-

laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia

(Depkes RI, 2004). Penelitian di Srilanka memperlihatkan bahwa

balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko 2,19 kali

lebih tinggi dibandingkan perempuan (Dharmage et al dalam

Herman, 2002 ). Penelitian di Uruguay juga menunjukkan bahwa

pada tahun 1997-1998, 56% penderita pneumonia yang dirawat di

rumah sakit adalah laki- laki (Pirez dalam Machmud: 2006 ).

c. Riwayat BBLR

BBLR atau bayi berat lahir rendah adalah bayi (neonatus)

yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. Bayi dan balita

dengan BBLR umumnya lebih berisiko terhadap kematian, bahkan

sejak masa-masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan karena zat

anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux

dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa

bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih

besar untuk menderita pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008).

d. Pemberian ASI

ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang alami diproduksi

oleh ibu dan merupakan sumber gizi yang sangat ideal dan

berkomposisi seimbang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan

bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah makanan yang paling

sempurna bagi bayi, baik kuantitas maupun kualitasnya (Menteri

Page 5: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Negara Pemberdayaan Perempuan, 2000). ASI mengandung nutrisi

dan zat-zat penting yang berguna terhadap kekebalan tubuh bayi.

Zat-zat yang bersifat protektif tersebut dapat melindungi bayi dari

berbagai penyakit infeksi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi bayi

untuk segera diberikan ASI sejak lahir karena pada saat itu bayi

belum dapat memproduksi zat kekebalannya sendiri.

Pemberian ASI ternyata dapat menurunkan risiko pneumonia

pada bayi dan balita. Penelitian Widiawati di Klapa Nunggal,

Bogor menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI

lebih berisiko 4,59 kali menderita pneumonia dibandingkan yang

telah mendapatkan ASI (Tantry, 2008). Penelitian di Rwanda juga

melaporkan hal yang sama. Bayi yang dirawat di rumah sakit

karena pneumonia lebih berisiko meninggal dengan Case Fatality

Ratenya dua kali lebih besar pada bayi yang tidak memperoleh ASI

(Victora dalam Machmud, 2006).

e. Status Gizi

Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan

derajat kesehatan, khususnya kesehatan anak. Status gizi pada anak

dapat dinilai dari pengukuran rasio berat badan dan tinggi

(panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari asupan

gizi yang tentu saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi

(malnutrisi) dapat terjadi pada bayi dan anak dan akan

menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang

apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa.

Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan

yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas

sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila

pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai

untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006).

f. Status Imunisasi

Pada dasarnya beberapa penyakit-penyakit infeksi yang

terjadi pada anak-anak dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I),

Page 6: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

yaitu antara lain difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, tuberkulosis,

campak dan polio. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa

pneumonia juga merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui

pemberian imunisasi, yaitu dengan imunisasi campak dan pertusis

(Kanra dalam Machmud, 2006). Penyakit pertusis berat dapat

menyebabkan infeksi saluran napas berat seperti pneumonia. Oleh

karena itu, pemberian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan

Tetanus) dapat mencegah pneumonia.

Akan tetapi, kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin

yang penggunaannya dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi

pneumokokus (IPD) pada bayi dan anak-anak. Pemberian vaksin

ini merupakan tindakan pencegahan yang dipercaya sebagai

langkah protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi kuman

terhadap antibiotik semakin meningkat. Setelah divaksinasi, bayi

dan anak-anak akan memperoleh Herd Immunity atau kekebalan

populasi. WHO telah merekomendasikan penggunaan vaksin

pneumokokus konjugasi (PCV-7) ini di setiap negara dalam

program imunisasi nasional, khususnya pada negara dengan

mortalitas anak usia <5 tahun mencapai lebih dari 50 kematian per

1000 kelahiran atau mencapai lebih dari 50.000 kematian per

tahunnya (WHO dalam Weekly Epid, 2006). Meskipun telah

memperoleh izin edar dari Badan POM, Menteri Kesehatan RI

menyebutkan bahwa vaksin pneumokokus konjugasi belum

ditetapkan sebagai Program Imunisasi Nasional di Indonesia (Pusat

Komunikasi Publik, Depkes RI, 2009).

g. Defisiensi Vitamin A

Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya

hubungan antara kejadian pneumonia dengan pemberian vitamin A.

Penelitian Herman (2002) menunjukkan bahwa balita yang tidak

mendapat vitamin A dosis tinggi secara lengkap 4,1 kali berisiko

terhadap kejadian pneumonia.

Akan tetapi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa

Page 7: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

pemberian vitamin A berguna dalam mengurangi beratnya penyakit

dan mencegah terjadinya kematian akibat pneumonia. Pemberian

vitamin A dikhususkan pada balita berumur 6 bulan sampai 2 tahun

yang dirawat di rumah sakit karena campak dan komplikasi

pneumonia (Kanra dalam Machmud, 2006). Oleh karena itu, jika

anak menderita pneumonia tetapi telah memperoleh vitamin A

sebelumnya dalam jangka waktu tertentu, maka anak tersebut tidak

akan menderita pneumonia berat dan dapat mencegah mortalitas.

Penelitian Sutrisna pada tahun 1993 menunjukkan balita yang tidak

memperoleh suplementasi vitamin A berisiko 14,8 kali untuk

meninggal dibandingkan dengan yang telah disuplementasi

(Herman, 2002).

h. Pemberian Makanan Terlalu Dini

Pemberian makanan terlalu dini kepada bayi dapat

mengakibatkan bayi terkena pneumonia (Depkes RI, 2004). Pada

bulan-bulan pertama kehidupannya, belum mampu menerima

makanan. Hal ini disebabkan karena saluran pencernaannya yang

belum sempurna. Kekebalan tubuh pada bayi juga belum

sepenuhnya terbentuk. Oleh karena itu diperlukan asupan dari ibu

yang diberikan kepada bayi melalui ASI. Pada dasarnya, makanan

mulai diperkenalkan ketika bayi sudah mencapai usia 6 bulan.

Makanan juga sangat rentan untuk tercemar oleh kuman.Pemberian

makanan terlalu dini berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi

karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika

ada kuman yang masuk melalui makanan, bayi akan mudah

terinfeksi penyakit.

Faktor Orang Tua

a. Pendidikan Ibu

Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh

melalui jenjang pendidikan. Di negara-negara berkembang,

terdapat petunjuk yang jelas tentang adanya perbedaan tingkat

kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu

Page 8: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

(Ware dalam Machmud, 2006). Pendidikan ibu adalah salah satu

faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian

pneumonia pada bayi dan balita (Sukar dalam Tantry, 2008).

b. Pengetahuan Ibu

Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian

pneumonia balita. Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam

memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya

serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan lebih

jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek pelayanan yang

benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan

angka kesakitan dan kematian pneumonia (Machmud, 2006).

c. Sosial Ekonomi

Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor

utama dalam penyakit pernapasan. Terdapat hubungan korelasi

negatif antara status sosial ekonomi dengan morbiditas infeksi

saluran napas (Purwana dalam Machmud, 2006). Pada umumnya,

status ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia

diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan

banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Foster dalam

Machmud, 2006). Masyarakat miskin juga identik dengan

ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Balita

yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah

cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup sehingga

lebih rentan terkena penyakit.

Sosial ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi upaya pencarian

pengobatan. Salah satu program yang telah dilakukan oleh Amerika

Serikat dalam upaya menurunkan kematian akibat pneumonia

balita tahun 1972 adalah dengan meningkatkan akses penduduk

miskin ke fasilitas pelayanan kesehatan (Dowell dalam Machmud,

2006).

Faktor Lingkungan

a. Polusi Udara di dalam Rumah

Page 9: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Polusi udara dapat terjadi baik di dalam rumah maupun di

luar rumah. Polusi udara di dalam rumah dihasilkan dari

pembuangan asap seperti asap rokok dan asap pembakaran kompor

tungku atau kayu bakar. Asap tersebut berpotensi besar

menimbulkan pajanan partikulat seperti PM10 (Partikulat Matter

10 Mikron). Jika terhirup, asap tersebut dapat mengganggu

pernapasan. Pemajanan oleh partikulat lebih berpotensial terjadi

jika dapur berada dekat dengan kamar tidur atau kamar tamu.

Anak-anak yang lebih sering berada di dapur atau kamar tidur yang

berdekatan dengan dapur lebih berisiko untuk mengalami gangguan

pernapasan.

Sementara itu, adanya perokok di dalam rumah dapat

meningkatkan pajanan asap rokok kepada anggota keluarga

lainnya. Konsumsi perokok di dalam rumah merupakan faktor

risiko gangguan pernapasan pada anak balita (Purwana dalam

Machmud, 2006).

b. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10

m2/orang. Jika suatu rumah memiliki kepadatan hunian yang tinggi

maka akan mempengaruhi pertukaran udara di dalam rumah. Foster

menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam rumah berhubungan

dengan kejadian pneumonia pada balita (Machmud, 2006). Herman

(2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara

kepadatan hunian dengan insidens pneumonia.

c. Ventilasi Rumah

Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan

pengeluaran udara ke dan atau dari suatu ruang secara alamiah

maupun mekanis. Pertukaran udara secara mekanis dilakukan

melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam rumah. Pada

dasarnya luas lubang tersebut minimal 5% dari luas lantai. Akan

tetapi, jika ditambah dengan lubang udara lain seperti celah pintu

atau jendela, maka luas minimal lubang ventilasi menjadi 10% dari

Page 10: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

luas lantai.

Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang

tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki

risiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena pneumonia dibandingkan

yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.

d. Kondisi Fisik Rumah

Rumah yang sehat adalah bangunan rumah tinggal yang telah

memenuhi syarat kesehatan dengan beberapa kriterianya antara lain

memenuhi kebutuhan fisik (suhu, iluminasi dan ventilasi),

memenuhi kebutuhan kejiwaan (privasi dan hubungan antar

anggota keluarga), memenuhi kriteria keselamatan (bangunan yang

kokoh dan terhindar dari gas beracun), serta mampu melindungi

penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit (Budiarti,

2006). Oleh sebab itu, sangatlah penting memikirkan hal-hal

tersebut di atas agar seluruh anggota keluarga dapat merasa sehat

dan nyaman berada di rumah.

Rumah yang tidak sehat dapat memudahkan penularan

penyakit, terutama penyakit pernapasan. Contohnya saja jika

ventilasi udara dan pencahayaan di rumah yang tidak baik. Kuman-

kuman akan cepat berkembang biak jika rumah dibiarkan lembab

dan tidak terawat. Penelitian Yulianti menemukan ada pengaruh

antara dinding rumah dan jenis lantai dengan kejadian pneumonia

(Tantry 2008).

Selain faktor- faktor risiko di atas juga ada faktor risiko lainnya, antara lain:

Pasien stroke

Pasien dengan keadaan yang tidak sadarkan diri atau mengalami

kelumpuhan misalnya stroke, pneumonia sering terjadi dalam 42-72

jam pertama pasca stroke iskemik dan mengakibatkan sekitar 15-25%

kematian terkait stroke. Pneumonia pasca stroke merupakan akibat

dari aspirasi yang disebabkan oleh deficit neurologis seperti

penurunan kesadaran, gangguan reflek protektif atau disfagia.

Orang-oarang yang memiliki daya tahan tubuh lemah

Page 11: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Seperti penderita HIV/AIDS, para penderita penyakit kronik sperti

sakit jantung, DM. Begitu pula bagi mereka yang pernah/rutin

menjalani chemoterapi dan meminum obat golongan

immunosupresant dalam waktu lama dimana pada umumnya memiliki

daya tahan tubuh yang lemah.

Pasien yang berada di dalam ruang perawatan intensive (ICU/ICCU)

Pasien yang dilakukan tindakan ventilator “endotrakeal tube” sangat

berisiko terkena pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan

tekanan balik isi lambung kea rah kerongkongan, bila hal itu

mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka

akan berpotensialtinggi terkena pneumonia

Pasien yang lama mengalami tirah baring

Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkan

bermasalah dalam hal mobilisasi, dan merupakan salah satu risiko

tinggi terkena penyakit pneumonia dimana dengan tidur berbaring

statis memungkinkan mucus berkumpul di rongga paru dan menjadi

media berkembangnya bakteri (Soeparman, 2002).

4. Epidemiologi Pneumonia

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas

yang terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian

hampir diseluruh dunia. Di AS pneumonia mencapai 13% darisemua

penyakit infeksi pada anak dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian

insiden pada pneumonia didapat 4 kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus

dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100 anak umur

9-15 tahun. Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12

kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang

dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup

tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara

berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah

sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar

30-40% (Sajinadiyasa, 2011).

Page 12: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi

di atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada

Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan

Balita 15,5%. Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan

imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang

menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang

mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensirelative terhadap

mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika

infeksi tersebut didapat. Selain itu factor iklim dan letak geografik

mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini (Kartasasmita,

2010).

5. Klasifikasi Pneumonia

Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang

dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, menyebutkan 3

klaisfikasi pneumonia, yaitu:

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a. Pneumonia komuniti ( Community-Acquired Pneumonia/ CAP)

Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi

di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48

jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah

dirawat di rumah sakit selama > 14 hari.

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial)

pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah

masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di

rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang

dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam

perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang

dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia.

c. Pneumonia aspirasi

Page 13: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi

orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa

didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun

pasien dengan gangguan refleks menelan. Stroke, penyakit

Parkinson, kesulitan menelan, dapat menyebabkan aspiration

pneumonia.

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised/ oportunistik

Pneumonia jenis ini menyerang mereka yang lemah sistem

kekebalan tubuhnya. Misalnya penderita AIDS atau yang pernah

melakukan transplantasi organ tertentu. Kemoterapi dan

penanganan corticosteroid juga dapat memicu penyakit ini.

Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal.

Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella

pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca

infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal

Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus

Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza (bedakan

dengan bakteri hemofilus influenza yang bukan penyebab

penyakit influenza, tetapi bias menyebabkan pneumonia juga).

Gejala wala dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala

influenza, yaitu demam, batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, dan

kelemahan. Dalam 12-36 jam penderita menjadi sesak, batuk

lebih parah, dan sedikit berlendir. Terdapat panas tinggi yang

disertai membirunya bibir.

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder.

Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah

(immunocompromised).

Berdasarkan predileksi infeksi

Page 14: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

a. Pneumonia lobaris

Pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan bsar dari

pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.

b. Pneumonia bronkopneumonia

Pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada berbagai

tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus

atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang tua.

6. Patofisiologi Pneumonia

Etiologi (virus, bakteri, jamur)

Droplet terhirup

Masuk pada alveoli

Reaksi peradangan

PMN (leukosit & makrofag meningkat)

Mengaktifasi cytokine

Ekstravasasi cairan ke alveoli

transportasi O2 terganggu

HR meningkat, kelelahan, kelemahan

MK: intoleransi aktivitas

Merangsang IL-1

Merangsang IL-1

Zat endogen pyrogen

prostaglandin

Berdistribusi ke hipotalamus

Menggeser setpoint anterior

Suhu tubuh meningkat

Konsolidasi-penumpukkan eksudat di alveoli

Gangguan difusi O2

BGA abnormal

Konfusi, iritabilitas, sianosis, dispneu, pernafasan cuping hidung

MK: gangguan pertukaran gas

Obstuksi saluran nafas

Sesak, ronkhi

MK: ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Kurang pengetahuan, informasi

MK: defisiensi pengetahuan

Page 15: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

(Mansjoer, 2000; Price, 2003).

7. Manifestasi klinis Pneumonia

Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas : 

Gejala umum infeksi : demam, sakit kepala, lesu, dll.gejala umum

penyakit saluran pernapasan bawah : seperti takipneu, dispneu,

retraksi atau napas cuping hidung, sianosis.

Tanda pneumonia : perkusi pekak pada pneumonia lobaris, ronki

basah halus nyaring pada bronkopneumonia dan bronkofoni positif.

Batuk disertai dengan napas cepat (usia < 2 bulan > 60 x/menit, 2

bulan – 1 tahun > 50 x/menit, 1-5 tahun > 40 x/menit)

Batuk yang mungkin kering atau berdahak mukopurulen, purulen,

bahkan mungkin berdarah.

Tanda di ekstrapulmonal

Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum dapat

dibiak kuman penyebabnya (Muttaqin, 2008).

Demam, berkeringat

Cairan tubuh <<

Respon batuk

Penggunaan otot bantu abdomen

Refluk fagal

Mual, muntah

Peningkatan pemecahan cadangan makanan

MK: ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

MK: resiko tinggi kekurangan volume cairan

Page 16: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

8. Pemeriksaan Diagnostik Pneumonia

Sinar X

Mengidentifikasi distribusi structural (mis, lobar, bronkial); dapat

juga menyatakan abses luas/ infiltrate, ampiema (stapilococcus);

infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran/

perluasan infiltrate nodul (lebih sering virus).

GDA/ nadi oksimentari

Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang

terlibat dan penyakit paru yang ada.

Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah

Diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi

fiberoptik, atau biopsi pembukaan baru untuk mengatasi organisme

penyebab. Lebih dari 1 tipe organisme ada: bakteri yang umum

meliputi Diplococcus pneumonia, stpilococcus aereus, A-

hemolitik strepcoccus, Haemopilus influenza; CMV. Catatan:

Kultur sputum dapat tak mengidentifikasi semua organism yang

ada. Kultur darah dapat menunjukkan baktremia sementara.

JDL

Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi

pada infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS,

memungkinkan berkembangnya pneumonia bacterial

LED: meningkat

Pemeriksaan fungsi paru

Volume mungkin menurun (kogesti dan kolaps alveolar): tekanan

jalan nafas mungkin meningkat dan complain menurun. Mungkin

terjadi pembebasan (hipoksemia).

Elektrolit: Natrium dan kalorida mungkin rendah

Bilirubin: mungkin meningkat

Aspirasi perkutan/ biopsy jaringan paru terbuka

Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik

(CMV); karaktristik sel raksasa (rubeolla) (Misnadiarly, 2008).

Page 17: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

9. Penatalaksanaan Pneumonia

Penatalaksanaan pneumonia dilakukan berdasarkan penentuan klasifikasi

pada anak, yaitu :

Pneumonia Barat

Tanda : tarikan dinidng dada ke dalam

Penderita pneumonia berat juga mungkin disertaii tanda lain, seperti :

- Nafas cuping hidung

- Suara rintihan

- Sianosis

Tindakan : cepat dirujuk ke rumah sakit ( diberikan satu kali dosis

antibiotika dan kalau ada demam atau wheezing diobati

lebih dahulu)

Pneumonia

Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat

Tindakan :

1. Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah

2. Beri antibiotik selama 5 hari

3. Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan

memburuk

4. Bila demam, obati

5. Bila ada wheezing , obati

WHO menganjurkan penggunaan antibiotika untuk pengobatan

pneumonia yakni dalam bentuk tablet atau sirup ( kortimoksazol,

amoksisilin, ampisilisn ) atau dalam bentuk suntikan intra muskuler

( prokain penisilin )

Bukan Pneumonia

Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada nafas cepat

Tindakan :

1. Bila batuk > 30 hari, rujuk

2. Obati penyakit lain bila ada

3. Nasehati ibunya untuk perawatan di rumah

Page 18: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

4. Bila demam, obati

5. Bila ada wheezing , obati

Selain penatalaksanaan diatas ada beberapa penatalaksaan pada penderita

pneumonia, diantaranya:

Oksigen 1-2L/menit

Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100mmhg atau saturasi 95-96%

berdasarkan pemeriksaan AGD

Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak

Fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak , khususnya dengan

clapping dan vibrasi

Pemberian kortikosteroid , diberikan pada fase sepsis

Ventilasi mekananis , indikasi intubasi dan pemasangan ventilator

dilakukan bila terjadi hipoksemia persisten, gagal nafas yang disertai

peningkatan respiratory distress dan respiratory arrest

IVFD Dextrose 10% : NaCl 0,9%=3:1,+KCl 10 mEq/500 ml cairan.

Jumlah cairan sesuai BB, kenaikan suhu, dan status hidrasi.

 Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat di mulai makanan enteral bertahap

melalui selang nasogastrik dengan feeding drip.

 Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin

normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.

Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

 Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :

Untuk kasus pneumonia Community base :

- Ampisilin 100mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian

- Kloramfenikol 75mg/Kg BB/hari dalam 4 kali pemberian

Untuk kasus pneumonia Hospital base :

- Sefotaksim 100mg/Kg BB/hari dalam 2 kali pemberian

- Amikasin 10-15mg/Kg BB/hari dalam 2 kali pemberian

Tabel Pemilihan Antibiotika berdasarkan Etiologi

Mikroorganisme Antibiotika

Streptokokus dan Penisilin G 50.000 unit/hari IV atau

Page 19: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Stafilokokus Penisilin Prokain 600.000U/kali/hari IM atau

Ampisilin 100mg/Kg BB/hari atau

Seftriakson 75-200 mg/Kg BB/hari

M.Pnemoniae Eritromisin 15mg/Kg BB/hari atau derivatnya

H.Influenzae Kloramfenikol 100mg/Kg BB/hari atau

Klebsiella Sefalosforin

(Misnadiarly, 2008; Effendy, 2001).

10. Pencegahan Pneumonia

Pencegahan primer

Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia, antara lain:

a. Perawatan selama masa kehamilan

Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu

gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi

yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam

kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan

terkenanya infeksi selama kehamilan.

b. Perbaikan gizi balita

Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan

karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI

pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin

kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-

faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan

ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita

yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding

balita yang tidak mendapatkannya.

c. Memberikan imunisasi lengkap pada anak

Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian

imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak

umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak

3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.

Page 20: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

d. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.

Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang

sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa

menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.

Pencegahan sekunder

Tujuannya adalah untuk menyembuhkan orang yang sudah menderita

pneumonia, pencegahan sekunder antara lain:

a. Pneumonia berat: dibawa ke rumah sakit dan diberi antibiotik

b. Pneumonia: diberi antibiotic kortimoksasol oral dan ampisilin

c. Bukian pneumonia:bisa perawatan di rumah, tidak diberikan

antibiotic. Cukup diberikan paracetamol jika panas, bila pilek

diberikan kapas yang ditetesi air garam, bila nyeri tenggorokan beri

penicillin dan dipantau selama 10 hari

Pencegahan tersier

Tujuannya adalah untuk mencegah munculnya komplikasi/keadaan

yang semakin parah

a. Beri antibiotic selama 5 hari dan jika semakin parah konsul ke

dokter (Soeparman, 2002).

11. Komplikasi Pneumonia

Bakteremia

Bakteremia adalah suatu kondisi di mana ada sejumlah besar bakteri

hadir dalam aliran darah. Indikasi bakteri dalam darah terdeteksi oleh

pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan fisik. Bakteremia biasanya

dicurigai jika pasien menunjukkan tanda-tanda dan gejala seperti

demam tinggi, batuk lendir hijau atau kuning, kelemahan ekstrim dan

timbulnya syok septik. Bakteremia harus ditangani dengan cepat atau

infeksi dapat menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dan

menyebabkan organ utama mati.

Efusi pleura

Efusi pleura terjadi ketika penumpukan kelebihan cairan dan dahak

pada lapisan dinding dada, alveoulus dan ruang-ruang di antaranya.

Page 21: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

Ini adalah komplikasi umum yang muncul dari pneumonia dan

mungkin salah satu tanda-tanda pertama pada X-Ray dada. Jika cairan

luas di paru-paru, thoracentesis mungkin harus dilakukan.

Endokarditis

Endokarditis adalah infeksi lapisan dalam jantung. Ini merupakan

komplikasi dari pneumonia diobati jangka panjang atau pneumonia

berulang. Karena gejala dapat mirip pneumonia itu sendiri, seperti

sesak napas, batuk atau nyeri, sering kali tidak terdeteksi. Endokarditis

yang tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan ireversibel katup

atau gagal jantung.

Kegagalan ventilasi

Kegagalan ventilasi adalah nama lain umum untuk hiperkapnia. Otot-

otot di paru-paru, atau otot ventilator, bekerja keras untuk

memungkinkan paru-paru naik dan turun dan bekerja pada

menyelesaikan fungsi tubuh yang tepat. Dalam beberapa kasus

pneumonia, pasien mungkin tidak dapat bernapas dengan adekuat.

Sebuah ventilator harus ditempatkan pada pasien sehingga mereka

dapat bernapas dengan benar dan mengisi aliran darah dan oksigen ke

seluruh organ tubuh.

Kegagalan Pernafasan hipoksemia

Kondisi ini terjadi ketika ada peradangan parah di dinding paru-paru

menyebabkan aliran udara menutup atau menyempitkan darah dan

aliran udara. Pengobatan awal adalah untuk mengurangi peradangan.

Hal ini dilakukan dengan antibiotik untuk menghilangkan infeksi dan

thoracentesis untuk menghapus cairan untuk meringankan tekanan

udara dan aliran kembali (Price, 2003; Sectish, 2003).

Page 22: LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA.docx

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Tulus, Y, 2008.Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan

dengan kejadian pneumonia pada anak balita. http://eprints

.undip.ac.id/18058/1 /tulus-aji-Yuwono.pdf. Diakses tanggal 2 Maret

2013.

Effendy, Nur. 2001. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:

EGC.

Johnson M, Maas M, Moorhead S., Swanson, E. 2008. IOWA Outcome Project:

Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Missouri: Mosby, Inc.

Kartasasmita, CB. 2010. Pneumonia Pembunuh Balita dalam Buletin Jendela

Epidemiologi; 3; 22-26.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

Aesculapius.

Mc Closkey, JC., Butcher, HK.,  Bulechek GM. 2008. IOWA Outcome Project:

Nursing Interventions Classification (NIC). 5h ed.Missouri: Mosby, Inc.

Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak, Orang

Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik, & Pneumonia Atypik

Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Muttaqin, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan System

Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

North American Nursing Diagnosis Association. 2010. Nursing Diagnoses:

Definition & Classification 2012-2014. Philadelphia.

Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC

Reevers, Charlene J, et all. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba

Medica.

Riskianti, Annisa, 2009. Faktor-faktor yang menyebabkan pneumonia.

http://www. lontar .ui. ac .id/ file ? file = digital / 1 2 6 5 6 0-s-5 738-

faktor-faktor%20yang – literature.pdf. Diakses tanggal 3 Maret 2013.

Sectish TC, Prober CG. 2003. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM,

Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17.

Philadelphia : WB Saunders, 1432-5.