laporan p2 kusta-save
DESCRIPTION
jyfjgjjhgTRANSCRIPT
Laporan kunjungan Dinas Kesehatan
LAPORAN ORIENTASI PROGRAM P2 KUSTA
Oleh :
Stephanus K I Pangaila - 14014101034
Maichel Yorgen – 14014101014
Kasman Ibrahim – 14014101105
Shinta Siahaan – 14014101028
Kurniawan K Patambo – 14014101064
Christine Nussy – 14014101056
Albert Soumokil – 000111282
BAGIAN KULIT DAN KELAMIN RSUP PROF. R.D KANDOU MANADO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,
dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari
bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit lainnya.
Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur apabila
dibandingkan dengan kusta yang kita kenal saat ini.1
Kusta merupakan penyakit menular yang bersifat menahun dan disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat, dengan saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,2
Penyakit kusta terdiri dari dua tipe yaitu Pa ucibasillary (PB) dan Multibacillary
(MB). Sumber penularan penyakit kusta adalah penderita kusta tipe MB. Penyakit
kusta ditularkan melalui kontak langsung melalui kulit dan saluran pernapasan secara
berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama.2
Tanda-tanda utama penyakit kusta yaitu terjadi kelainan kulit dan mati rasa,
terjadi penebalan saraf tepi dan adanya kuman tahan asam. Faktor risiko penyakit
kusta diantaranya yaitu kontak serumah dengan penderita penyakit kusta, terdapat
penderita kusta di lingkungan rumahnya/kontak tetangga, dan kondisi personal
hygiene yang buruk.2
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan sangat ditakuti oleh
karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Oleh sebab itu penderita kusta
bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dikucilkan masyarakat
disekitarnya akibat cacat pada wajah dan anggota tubuh.2
Insiden rate penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncaknya terjadi
pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai
dengan umur dan puncaknya pada umur 30-50 tahun dan kemudian perlahan-lahan
menurun.3
2
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda
beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menduduki
urutan ke-4. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia,
tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.3
Penyakit kusta di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
perlu mendapatkan perhatian karena penyakit kusta merupakan penyakit menular
yang dapat menimbulkan masalah yang komplek. Prevalensi penyakit kusta di
Indonesia telah mengalami penurunan dari enam menjadi tiga per 10.000 penduduk
pada tahun 1999, namun masih terdapat beberapa daerah yang terdapat kasus kusta.
Pada tahun 2003 jumlah penderita kusta yang terdaftar sebanyak 18.312 penderita
yang terdiri dari 2.814 PB dan 15.498 MB dengan prevalency rate 0,86 per 10.000
penduduk. Kasus tersebut terdapat di 10 propinsi yaitu: Jawa Timur, Jawa barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara
dan Nusa Tenggara Timur. Jumlah penderita kusta pada tahun 2004 sebanyak 16.549
penderita sedangkan pada tahun 2005 sebanyak 19.695 penderita. Penderita kusta di
Jawa Tengah pada tahun 2005 sebanyak 1.839 orang yang terdiri dari 342 penderita
tipe PB dan 1.497 orang penderita tipe MB.2
Di tingkat provinsi sampai tahun 2005, baru lebih dari 60% wilayah (18
provinsi dan 329 kabupaten/kota) yang sudah mencapai eliminasi. Situasi kusta di
Sulawesi Utara pada tahun 2006 ditinjau dari beberapa indicator menunjukkan
keadaan sebagai berikut : angka penemuan penderita baru (Case Detection Rate) 20,3
per 100.000 penduduk, angka prevalensi 2,2 per 10.000 penduduk, angka cacat
tingkat II 4,7% dan angka penderita anak usia < 15 tahun 7,8%. Indikator ini
menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan termasuk daerah yang high endemic.3
Strategi global pemberantas penyakit kusta saat ini tidak lagi menitik beratkan
pada percepatan program untuk mencapai target eliminasi (angka prevalensi
<1/10.000 penduduk) tetapi lebih ditekankan pada kesinambungan (sustainable)
pelayanan kusta yang berkualitas, yang didefinisikan oleh WHO dengan3:
- bisa diakses siapa saja yang membutuhkan
- pengobatan MDT harus disediakan oleh semua UPK
3
- tidak ada halangan: geografis, ekonomi dan jenis kelamin
- berpusat pada kepentingan dan hak pasien, termasuk hak untuk
mendapatkan pengobatan tepat waktu dan memadai dengan
memperhatikan kerahasiaan penderita
- setiap aspek dalam management kasus haus berdasarkan bukti ilmiah
Untuk menekan penyebaran kusta di Indonesia, telah dibuat suatu rancangan
pemberantasan yaitu :3
1.Kegiatan pokok :
a.Tata laksana penderita
-Penemuan penderita
-Diagnosis dan klasifikasi
-Pengobatan dan pengendalian pengobatan
-Pencegahan cacat dan perawatan diri
-Rehabilitasi medik
b.Tata laksana program
-Perencanaan
-Pelatihan
-Penyuluhan dan advokasi
-Supervisi
-Pencatatan dan pelaporan
-Monitoring dan evaluasi
-Pengelolaan logistic
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang masih banyak
menimbulkan masalah kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu
pemahaman yang benar tentang kusta sangat diperlukan, agar penderita dapat
4
didiagnosis dini dan diberikan pengobatan yang tepat, sehingga tidak membuat
kesalahan yang merugikan penderita.3
Berdasarkan berbagai latar belakang dan tujuan di atas, Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi /
Rumah Sakit Umum Prof. dr. R. D. Kandou Manado, telah melakukan kerja sama
dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara untuk mengadakan suatu Orientasi
Program Pemberantasan Penyakit Kusta bagi para Dokter Muda yang sedang belajar
secara praktis dan menjadi professional untuk menjadi seorang Dokter.
Berikut ini akan akan kami laporkan kegiatan orientasi tersebut, yang
dilaksanakan selama sehari yakni pada Kamis, 8 Januari 2015 yang dilaksanakan di
Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara dan Puskesmas Kombos, Kel.
Kombos Timur, Kec. Singkil, Manado.
5
BAB II
LAPORAN DAN HASIL KEGIATAN
A. LAPORAN KEGIATAN
Waktu Pelaksanaan :
Rabu, 2 September 2015, Jam 08.00 – 17.00 WITA
Tempat Pelaksanaan :
-Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara
-Puskesmas Paniki, Kec. Mapanget, Manado
Jenis Kegiatan :
1. Pre test
2. Pemberian materi
3. Post test
4. Praktek lapangan
1. Pre test : dilakukan penilaian awal, untuk mengetahui tingkat pengetahuan
Coass tentang penyakit kusta sebelum pemberian materi. Pre test dilakukan
secara tertulis dan berlangsung selama 10 menit.
2. Pemberian materi :
Materi I : Epidemiologi dan Program Kusta
Pembawa Materi : Rein Tampi
Tujuan : Setelah menyelesaikan modul ini, Co-Ass/Dokter
Muda diharapkan dapat menjelaskan tentang
epidemiologi penyakit kusta dan program
pemberantasan penyakit kusta di Indonesia.
6
Materi II :Diagnosis dan Klasifikasi, Pengobatan Penyakit
Kusta
Pembawa Materi : dr. Ch. Meilany Korompis, MKes
Tujuan : Setelah menyelesaikan modul ini, Co-Ass/Dokter
Muda diharapkan dapat:
Memahami tentang patogenesis dari penyakit kusta
Melaksanakan pemeriksaan kulit secara lengkap
dan benar
Melakukan tes mati rasa sesuai prosedur
Menegakkan diagnosis penyakit kusta
Menetapkan klasifikasi penyakit kusta
Memberikan pengobatan penyakit kusta sesuai
rekomendasi WHO
Materi III : Reaksi Kusta
Pembawa Materi : dr. Ch. Meilany Korompis, MKes
Tujuan : Setelah menyelesaikan modul ini, Co-Ass/Dokter
Muda diharapkan mampu mengelola reaksi kusta
dengan :
Mengenal penderita reaksi
Mengobati penderita reaksi
Materi IV : Pencegahan Cacat dan Perawatan Diri
Pembawa Materi : Rein Tampi
Tujuan : Setelah menyelesaikan modul ini, Co-Ass/Dokter
Muda diharapkan mampu memahami pencegahan
cacat dan perawatan diri, dan secara khusus mampu :
1. Menyebutkan pengertian cacat kusta
2. Menjelaskan proses terjadinya cacat kusta
7
3. Menunjukkan letak saraf tepi yang dapat
mengakibatkan cacat
4. Melakukan perabaan saraf dengan benar
5. Melakukan tes fungsi sensorik (ST) dan tes fungsi
motorik (VMT) sesuai format Prevention Of
Disability (POD)
6. Mengisi format pencegahan cacat dengan lengkap
dan benar
7. Melakukan perawatan diri pada mata, tangan, dan
kaki
Materi V : Penjelasan singkat tentang Pengisian Data Pasien
Puskesmas dan Latihan charting.
Pembawa Materi : Rein Tampi
3. Post Test : untuk menilai tingkat pengetahuan para Coass setelah diberikan
materi mengenai penyakit kusta. Post test dilakukan secara tertulis selama 10
menit.
4. Praktek Lapangan
Praktek Lapangan dilakukan di Puskesmas Kombos dan dibimbing oleh
petugas P2 Kusta Dinkes (Rein Tampi).
o Anamnesis, pemeriksaan fisik, charting, diagnosis dan pengisian format
POD (Prevention Of Disability) pada pasien kusta. Ada 2 orang pasien.
Berikut laporan salah satu pasien yang diperiksa :
Identitas
Nama : Ny. RA
Umur : 26 tahun
8
Pekerjaan : Swasta
Tempat tinggal : Paniki
Status perkawinan : belum menikah
Pendidikan : SMA ( tamat)
Agama : Islam
Anamnesis :
Keluhan utama : timbul bercak kemerahan mati rasa di tangan dan kaki,
Riwayat penyakit sekarang : timbul bercak kemerahan mati rasa sejak ±4 bulan yang
lalu. Awalnya bercak berada di daerah siku tangan kanan kemudian lama kelamaan
menyebar ke kaki. Bercak merah tersebut tidak nyeri dan jika terkena sesuatu pasien
tidak merakan apa-apa pada daerah tersebut.
Pada tahun 2010 pasien pernah tinggal dan bekerja bersama temannya yang
juga mempunyai keluhan yang sama. Teman pasien sudah mempunyai keluhan
tersebut sejak ± 3 tahun yang lalu dan tidak diobati.
Sebelumnya pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini dan tidak
pernah mengobati penyakitnya ini.
Di keluarga, hanya pasien yang mempunyai keluhan seperti ini.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sehat
Kesadaran : kompos mentis
Tensi : 120/80mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu :36,8C
Dilakukan pemeriksaan sensoris dan motoris (pencacatan pencegahan cacat)
(dilampirkan)
Status dermatologis: R. brachi dextra et sinistra eritematous, batas tegas, uk numuler-
plakat, multiple.
9
Pemeriksaan penunjang :
Pewarnaan Ziel Nelson :BTA(+)
Diagnosis :
Morbus Hansen Multibasiler
Diagnosis banding :
Tinea korporis
Tatalaksana :
- Medikamentosa :
rifampisin 600mg /bulan
DDS 100/hari
Clofazimine (Lampren) 300mg/bulan
Clofazimine (Lampren) 50 mg/hari
- nonmedikamentosa :
Pengobatan dilakukan selama 12-18 bulan, jadi diperlukan kepatuhan dan
kerjasama dari pasien dan keluarga untuk itu. Rajinlah kontol tiap bulan.
Efek samping dari obat yaitu kencing berwarna merah untuk beberapa hari tapi
tidak bertahan lama, sehingga pasien tidak usah kawatir, selain itu kulit akan
mengalami perubahan warna menjadi sedikit berwarna gelap.
Memperhatikan bagian tubuh yang timbul bercak kemerahan dan mati rasa agar
jangan sampai luka dan jika timbul luka agar merawat lukanya .
Tidak perlu diskriminasi atau pembatasan ruang lingkup terhadap pasien, pasien
dapat beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain selayaknya orang normal
pada umumnya.
10
B.HASIL KEGIATAN
Dari kegiatan Orientasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta bagi para
Dokter Muda, bisa disimpulkan :
1. Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah penyakit kulit di Indonesia dan
khususnya di Sulawesi Utara yang perlu diberantas untuk mencapai visi Indonesia
sehat.
2. Berdasarkan data epidemiologis, penyakit kusta di Sulawesi Utara terbanyak
didapatkan di kota Bitung, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kecamatan
Airmadidi desa kasaar dan Kota Manado.
3. Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas ditemukannya salah satu dari 3 cardinal
sign, yaitu bercak yang mati rasa, penebalan saraf disertai gangguan fungsi, dan
pemeriksaan BTA positif. Bila tidak menemukan satupun cardinal sign,
penderita hanya bisa di diagnosis sebagai tersangka (suspect) kusta, dan perlu
diamati serta diperiksa ulang setelah 3 – 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.
4. Pengobatan termutakhir bagi penderita kusta saat ini ialah dengan Multi Drugs
Treatment (MDT) yang diberikan berdasarkan klasifikasi kusta menurut WHO,
yaitu : kusta dengan tipe Pausibasiler (PB) diberikan Rifampicin 600 mg/bulan
(dosis supervisi), Dapsone (Diamino Diphenyl Sulfone/DDS) 100 mg/hari
(diminum di rumah). Kedua paket obat itu disebut 1 Blister, dan harus
diselesaikan 6 Blister, dalam jangka waktu 6 – 9 bulan. Setelah itu penderita
dinyatakan Release From Therapy (RFT) atau selesai berobat. Untuk kusta
dengan tipe Multibasiler (MB) diberikan terapi Rifampicin 600 mg/bulan (dosis
supervisi), Dapsone (Diamino Diphenyl Sulfone/DDS) 100 mg/hari (diminum di
rumah), dan clofazimine (Lamprene) 300 mg/bulan (dosis supervisi) + 50 mg/hari
(diminum di rumah). Ketiga paket obat itu disebut 1 blister, dan harus
diselesaikan 12 blister, selama 12 – 18 bulan. Setelah itu pasien dinyatakan
selesai berobat atau Release From Therapy (RFT).
5. Reaksi kusta merupakan suatu reaksi kekebalan (respon seluler) dan atau reaksi
antigen antibody (respon humoral), yang dapat timbul sebelum pengobatan,
11
sementara pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi pada 6
bulan sampai setahun sesudah pengobatan. Reaksi ini di bagi dua tipe :
a. Reaksi tipe 1 (Reaksi Reversal; Reaksi Up Grading; Reaksi Borderline)
b. Reaksi tipe 2 (Reaksi ENL = Eritema Nodosum Leprosum)
Kedua reaksi tersebut dapat bersifat ringan atau berat, yang harus segera ditangani
agar tidak terjadi kecacatan dan berbagai komplikasi lainnya.
6. Pencegahan cacat sangat penting bagi pasien kusta untuk mempertahankan
kualitas hidup dan fungsi-fungsi motorik, sensorik, maupun otonom. Cacat terjadi
apabila telah timbul gangguan saraf pada mata, tangan dan kaki penderita, yang
disebabkan karena bebebrapa hal seperti terlambat berobat MDT, terjadi reaksi
berat dan tidak ditangani, penderita dengan banyak tanda/bercak di kulit, serta
penderita dengan nyeri saraf tepi atau ada penebalan/pembesaran saraf. Untuk
mengontrol keberhasilan pencegahan cacat, dilakukan pengisian format POD
(Prevention Of Disability) yang di dalamnya terdapat tes fungsi motorik (ST dan
VMT).
7. Perawatan dini dilakukan dengan tujuan agar cacat yang sudah terlanjur ada, tidak
akan bertambah berat. Contoh, menghindari terjadinya luka pada tangan/kaki
yang sudah mati rasa dengan menyarankan agar senantiasa menggunakan alas
kaki serta memeriksa apakah ada luka di tangan dan kaki setiap malam hari, dan
menghindari kekakuan sendi jari- jari dan pergelangan yang lumpuh dengan
latihan teratur, atau melindungi mata yang mengalami lagoftalmus agar tidak
terjadi kebutaan
12
BAB III
PENUTUP
Demikianlah laporan kegiatan Orientasi Program Pemberantasan Penyakit
Kusta bagi para Dokter Muda yang telah dilaksanakan selama sehari, yakni pada hari
Kamis, 8 Januari 2015, di Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara dan dilanjutkan
dengan praktek lapangan di Puskesmas Kombos Kel. Kombos Timur, Kec. Singkil,
Manado.
Semoga program pemberantasan penyakit kusta ini dapat dilaksanakan secara
berkesinambungan khususnya bagi para Dokter Muda juga para petugas kesehatan,
pemerintah, dan masyarakat pada umumnya sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai dalam rangka menuju visi Indonesia sehat.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Indonesia: 2011. h. 73-88.
2. Muharry A. Faktor Risiko Kejadian Kusta. Kesmas. 2014; 9(2): 174-82.
3. Subdin Surveilans dan Penanggulangan Wabah. Modul Orientasi Program P2
Kusta bagi Coass. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara. 2007
14