laporan fitokimia biji labu kuning

34
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA IDENTIFIKASI KOMPONEN SENYAWA PADA BIJI LABU KUNING (Cucurbita moschata Semen) Oleh : Kelompok I Transfer 2014 Nama : Sitti Farah Diba Hamid Fitri Tri Putri Sri Reski Ananda Kerolina Seba Riza Rosita Nurwulan Halubangga Tutut Purnama Sari Erfina Marjulyati Irene marlin Zainal Abidin Jabal Rahman

Upload: rizarosyitayustinianus

Post on 26-Dec-2015

405 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIAIDENTIFIKASI KOMPONEN SENYAWA PADA

BIJI LABU KUNING(Cucurbita moschata Semen)

Oleh :

Kelompok ITransfer 2014

Nama :

Sitti Farah Diba Hamid Fitri Tri PutriSri Reski Ananda Kerolina SebaRiza Rosita Nurwulan HalubanggaTutut Purnama Sari ErfinaMarjulyati Irene marlinZainal Abidin Jabal Rahman

Asisten : Reny Syahruni S.Farm., Msc.

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASISEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

MAKASSAR2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia terkenal dengan kekayaan alam yang memiliki berbagai jenis

tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Obat tradisional Indonesia telah dikenal

dan dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menjaga kesehataan dan mengobati

penyakit yang diderita. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan

banyak obat- obatan yang telah teruji khasiatnya dan tetap lestari hingga saat ini

dengan didukung oleh pembuktian ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik.

Penggunaan obat tradisional dimasyrakat memiliki kecenderungan untuk kembali

ke alam dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat (Hendri Wasito, 2011)

Sebagai mahasiswa farmasi yang menekuni obat-obatan maka mengenal

asal, habitat, spesies dan sifat spesifikasinya hal yang penting. Pengetahuan yang

cukup mengenai berbagai macam tumbuhan yang berkhasiat obat, baik bentuk

simplisia, morfologi secara umum, kegunaan, cara ekstraksi, dan identifikasi

komponen kimia yang terdapat dalam suatu simplisia merupakan hal yang harus

diketahui oleh seorang mahasiswa farmasi. Pengetahuan ini dapat digunakan

sebagai salah satu jalan untuk memberikan penjelasan masyarakat sebagai

informasi obat bahan alam.

Salah satu simplisia nabati yang digunakan dalam praktikum ini adalah biji

labu kuning (Cucurbita moschata Durch) . Biji labu kuning ini memiliki khasiat

sebagai obat cacing, antikanker, antihipertensi, antidiabetes. Biji labu kuning

(Cucurbita moschata Durch) mengandung senyawa kimia steroid, mineral, asam

amino. Pada praktikum ini dilakukan identifikasi komponen kimia pada biji labu

kuning secara kualitatif.

1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

1.2.1 Maksud Percobaan

Mengidentifikasi komponen senyawa kimia yang terdapat pada biji labu

kuning (Cucurbita moschata Durch).

1.2.2 Tujuan Praktikum

Mengidentifikasi komponen senyawa kimia yang terdapat pada biji labu

kuning (Cucurbita moschata Durch) secara kualitatif dengan menggunakan

pereaksi warna dan teknikk KLT.

I.3 Prinsip Percobaan

Simplisia biji labu kuning diektraksi dengan metode refluks. Selanjutnya

ekstrak yang diperoleh diidentifikasi komponen kimianya secara kualitatif dengan

menggunakan pereaksi warna dan teknik KLT.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Morfologi Tanaman

II.1.1 Sistematika Tanaman

Divisi              : Spermatophyta

Sub divisi       : Angiospermae

Kelas              : Dicotyledonae

Ordo               : Cucurbitales

Familia           : Cucurbitaceae

Genus             : Cucurbita

Spesies           : Cucurbita moschata Durch (Hutapea, J.R, et al., 1994)

Biji Labu Kuning (Cucurbita moschata Durch)

II.1.2 Nama Daerah

Tanaman Cucurbita moschata Durch. ini memiliki beberapa nama daerah,

yaitu Labu parang ( Melayu), Waluh (Sunda), Waluh (Jawa Tengah).

II.1.3 Ciri Morfologi

Tanaman labu kuning berasal dari Ambon (Indonesia). Ada lima spesies

labu yang umum dikenal, yaitu Cucurbita maxima Duchenes, Cucurbita ficifolia

Bouche, Cucurbita mixta, Cucurbita moschata Duchenes, dan Cucurbita pipo L.

Kelima spesies cucurbita tersebut di Indonesia disebut labu kuning (waluh),

karena mempunyai ciri-ciri yang hampir sama.

Waluh (Cucurbita) mencakup sekelompok tumbuhan merambat anggota

suku labu-labuan (Cucurbitaceae) penghasil buah konsumsi berukuran besar

bernama sama. Tumbuhan ini berasal dari benua Amerika, tetapi sekarang

menyebar di banyak tempat yang memiliki iklim hangat.

Waluh mencakup beberapa spesies anggota genus Cucurbita, yaitu C.

argyrosperma, C. maxima, C. moschata, dan C. pepo. Dalam beberapa pengertian

setempat di Indonesia, waluh disebut sebagai "labu" saja, meskipun sebenarnya

labu mencakup kelompok tanaman yang lebih luas, seperti labu air, labu ular, labu

siam, dan beligo. Waluh dibedakan dari labu lainnya karena buahnya dimakan

yang telah masak (biasanya berwarna jingga), berukuran relatif besar, berbentuk

bulat sampai bulat telur dengan lekukan daun buah yang tampak jelas, dan

berkulit keras. Pengertian waluh agak bermiripan dengan gabungan pumpkin dan

beberapa squash dalam bahasa Inggris.

Buah waluh berwarna oranye karena mengandung beta-karotena (salah

satu provitamin A dan juga sebagai antioksidan). Jika dipotong, buah ini

mempunyai penampang yang mirip bintang, berbiji besar dan berwarna coklat

atau putih. Daging buahnya renyah, rasanya manis dan sedikit asam. Daun muda

waluh juga dapat dibuat sebagai sayur.

Buah labu kuning berbentuk bulat pipih, lonjong, atau panjang dengan

banyak alur (15-30 alur). Ukuran pertumbuhannya cepat sekali, mencapai 350

gram per hari. Seperti daun tumbuhan pada umumnnya, warna daun labu adalah

hijau, tapi pada daun labu pada pemukaaannya kasar. Labu tumbuh merambat atau

menjalar dengan kait pada batangnya dan jarang berkayu. Kait pada batang labu

berbentuk melingkar seperti spiral. Batang tumbuhan ini berwarna hijau muda dan

berbulu halus serta berakar lekat. Panjang batangnya mencapai lebih dari 5 meter.

Labu umumnya memiliki banyak biji yang berbentuk pipih, bundar telur,

sampai bundar memanjang. Bagian ujung membulat, sedangkan bagian pangkal

meruncing. Permukaan biji buram, licin. Biji terdapat bagian tegah-tengah buah.

II.1.4 Ciri Fisiologi

Cucurbita moschata Durch. termasuk tumbuhan C3, karena fiksasi karbon

organik pertama ialah senyawa berkarbon tiga, 3-fofogliserat. Tumbuhan C3 yaitu

tumbuhan yang fiksasi karbon awal terjadi melalui rubisco, enzim siklus Calvin

yang menambahkan CO2  pada ribulosa bifosfat. Tumbuhan ini memproduksi

sedikit makanan apabila stomata tertutup pada hari yang panas dan kering.

II.1.5 Ciri Mikroskopik

Bagian yang diamati pada mikroskop adalah rambut halus pada

permukaan daun. Pembesaran yang digunakan 10 x 40. Bagian tersebut

memperlihatkan adanya sel-sel yang berbentuk jarum atau lebih dikenal dengan

trikoma jarum. Pada penampang melintang biji, tampak kulit biji, terdiri dari

lapisan kutikula tebal, jernih, di bawahnya terdapat lapian sel berbentuk silindris

berupa jaringan palisade dengan dinding berkelok-kelok dan parenkim termampat,

di bawahnya terdapat lapisan sel batu, lumen jelas dan tersusun tegak, jaringan

berikutnya terdiri dari sel parenkim yang bentuknya tidak beraturan, dinding sel

tebal, warna jernih.

Keping biji terdiri dari epidermis keping biji berbentuk segi empat

memanjang, parenkim keping biji berdinding tebal berisi aleuron dan minyak.

Serbuk warna putih kecoklatan. Fragmen pengenal adalah fragmen kulit biji

serupa jaringan palisade, sel batu parenkim, parenkim keping biji dan tetes

minyak dan butir aleuron.

II.1.6 Kandungan Kimia Dan Produksi

Kandungan senyawa kimia dalam biji labu kuning antara lain jenis asam

amino yang langka (seperti m-karboksifenilalanina, pirazoalanina, asam

aminobutirat, etilasparagina, dan sitrulina) dan sejumlah asam amino lain yang

diperlukan kelenjar prostat (semisal alanina, glisina, dan asam glutamat). Biji

labu kuning juga mengandung unsur mineral Zn (seng) dan Mg  (magnesium)

yang sangat penting bagi kesehatan organ reproduksi, termasuk kelenjar prostat.

Kandungan lainnya berupa asam lemak utama, yaitu asam linoleat, asam oleat,

dan sedikit asam linolenat. Selain itu vitamin E (tokoferol) dan karotenoid, yakni

lutein dan beta-karoten juga ada di dalam daging bijinya. Hormon beta-sitosterol

itulah yang menyimpan khasiat menghambat atau menekan kerja enzim 5-alfa-

reduktase. Enzim ini akan mengurangi terbentuknya hormon dihidrotestosteron

dari hormon testosteron. Dengan begitu, membesarnya kelenjar prostat dapat

dicegah. Selain itu, zat gizi dalam labu, diantaranya:

a Vitamin A dan beta karoten

Beta karoten adalah pigmen warna kuning-oranye yang jika dicerna di dalam

tubuh kita, akan berubah menjadi vitamin A. fungsi vitamin A dan beta

karoten antara lain berguna bagai kesehatan mata dan kulit, kekebalan tubuh

serta reproduksi. Selain itu, zat gizi ini mempunyai manfaat sebagai

antioksidan sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kanker dan penyakit

jantung.

b Vitamin C

Salah satu jenis vitamin yang larut dalam air ini, sangat diperlukan untuk

metabolisme tubuh. Vitamin C juga berperan pada fungsi kekebalan tubuh

dan sebagai antioksidan.

c Zat besi

Zat gizi ini terutam diperlukan dalam pembentukan darah, khususnya

hemoglobin (Hb). Makanan yang mengandung zat besi perlu, karena belak

zat besi dari ibu saat bayi dilahirkan akan berangsur-angsur habis.

d Kalium

Fungsi utama kalium adalah menunjang kelancaran metabolisme tubuh. Hal

ini penting dalam menjaga keseimbangan air dfan elektrolit (asam-basa) di

dalam sel tubuh.

II.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif

yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan

minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa

aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara

ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Pemabagian metode ekstraksi menurut

Ditjen POM (2000) yaitu :

A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka

larutan terpekat didesak keluar (Ditjen POM, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri

dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Cara perkolasi lebih baik

dibandingkan dengan cara maserasi karena:

- Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi

dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan

derajat perbedaan konsentrasi.

- Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat

mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka

kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat

meningkatkan perbedaan konsentrasi (Ditjen POM, 2000).

B. Cara Panas

1. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak

kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur

yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40-50 0C.

3. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk

menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.

Proses ini dilakukan pada suhu 90 0C selama 15 menit.

4. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-100 0C (Ditjen POM, 2000).

5. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel

dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu

dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola

menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu

alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas bulat,

demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian

sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat

yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan.

Skema alat refluks. pemanasan suhu tinggi tanpa ada zat yang dilepaskan.

Tabung kondensor dihubungkan dengan selang berisi air dingin. Selang air

masuk ada di bagian bawah dan selang air keluar di bagian atas. Prinsip

kerjanya adalah pada rangkaian refluks ini terjadi empat proses, yaitu proses

heating, evaporating, kondensasi dan coolong. Heating terjadi pada saat feed

dipanaskan di labu didih, evaporating (penguapan) terjadi ketika feed mencapai

titik didih dan berubah fase menjadi uap yang kemudian uap tersebut masuk ke

kondensor dalam. Cooling terjadi di dalam ember, di dalam ember kita

masukkan batu es dan air , sehingga ketika kita menghidupkan pompa, air

dingin akan mengalir dari bawah menuju kondensor luar, air harus dialirkan

dari bawah kondensor bukan dari atas agar tidak ada turbulensi udara yang

menghalangi dan agar air terisi penuh. Proses yang terakhir adalah kondensasi

(Pengembunan), proses ini terjadi di kondensor, jadi terjadi perbedaan suhu

antara kondensor dalam yang berisi uap panas dengan kondensor luar yang

berisikan air dingin, hal ini menyebabkan penurunan suhu dan perubahan fase

dari steam tersebut untuk menjadi liquid kembali (Sediaan galenik, 1986).

Gambar rangkaian alat refluks

II.3 Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu ecampuran

secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu

sesempurna mungkin. Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu

ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk ke

dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini bahan

ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit).

Agar terjadi perpindahan massa yang baik berarti performasi ekstraksi yang besar

haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin diantara

kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan didistribusikan menjadi tetes-

tetes kecil (misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk).

Tentu saja pendistribusian ini tidak boleh terlalu jauh karena akan

menyebabkan terbentuknya emulsi  yang tidak dapat lagi atau sukar

sekali dipisah. Turbulensi pada saat mencampur tidak perlu terlalu besar. Yang

penting perbedaan konsentrasi sebagai gaya penggerak pada bidang batas tetap

ada. Hal ini berarti bahwa bahan yang telah terlarutkan sedapat mungkin segera

disingkirkan dari bidang batas. Pada saat pemisahan, cairan yang telah

terdistribusi menjadi tetes-tetes hanis menyatu kembali menjadi sebuah fasa

homogen dan berdasarkan perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat

dipisahkan dari cairan yang lain (Khamidinal, 2009).

Pada metode ekstraksi cair-cair, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara

bertahap (batch) atau dengan cara kontinyu. Cara paling sederhana dan banyak

dilakukan adalah ekstraksi bertahap. Tekniknya cukup dengan menambahkan

pelarut pengekstrak yang tidak bercampur dengan pelarut pertama melalui corong

pemisah, kemudian dilakukan pengocokan sampai terjadi kesetimbangan

konsentrasi solut pada kedua pelarut. Setelah didiamkan beberapa saat akan

terbentuk dua lapisan dan lapisan yang berada di bawah dengan kerapatan lebih

besar dapat dipisahkan untuk dilakukan analisis selanjutnya (Khamidinal, 2009).

Diantara berbagai jenis metode pemisahan, ekstraksi pelarut atau dise but

juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer.

Alasan utamanya adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat

makro maupun mikro. Seseorang tidak memerlukan alat yang khusus atau canggih

kecuali corong pemisah. Prinsip metode ini didasarkan padsa distribusi zat terlarut

dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidang saling bercampur,

seperti benzen, karbon tetraklorida, atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut

dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut. Teknik ini

dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, pemurnian, memperkaya, pemisahan

serta analisis pada semua skala kerja. Mula-mula metode ini dikenal dalam kimia

analisis, kemudian berkembang menjadi metode yang baik, sederhana, cepat dan

dapat digunakan untuk ion-ion logamyang bertindak sebagai trace (pengotor) dan

ion-ion logam dalam jumlah makro gram (Khopkar, 2010).

Cara ini digunakan jika harga D cukup besar (˃ 1000). Bila hal ini terjadi,

maka satu kali ekstraksi sudah cukup untuk memperoleh solut secara kuantitatif.

Nmaun demikian, ekstraksi akan semakin efektif jika dilakukan berulangkali

menggunakan pelarut dengan volume sedikit demi sedikit (Estien Yazid, 2005).

II.4 Skrining Fitokimia

Pendekatan skrining fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia

dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, buah, bunga, biji),

terutama kandungan metabolit sekunder yang bioaktif, yaitu alkaloid, antrakinon,

flavonoid, glikosida jantung, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid), tanin

(polifenolat), minyak atsiri (terpenoid), dan sebagainya. Adapun tujuan

pendekatan skrining fitokimia adalah mengetahui kandungan bioaktif atau

kandungan yang berguna untuk pengobatan dalam tumbuhan (Farnsworth, 1966).

Metode yang digunakan atau dipilih untuk melakukan skrining fitokimia

harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain sederhana, cepat, dapat

dilakukan dengan peralatan minimal, bersifat semikuantitatif yaitu memiliki batas

kepekaan untuk senyawa yang bersangkutan, selektif terhadap golongan senyawa

yang dipelajari, dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya

senyawa tertentu dalam dari golongan senyawa yang dipelajari.

Analisis kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa dapat dilakukan

dengan uji tabung dan atau dengan uji penegasan KLT. Uji tabung dilakukan

terhadap golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Misalnya, sari dalam

petroleum eter mengandung zat-zat kimia yang larut dalam minyak (lemak dan

asam lemak tinggi, steroid, terpenoid dan karotenoid). Sari dalam eter

mengandung senyawa alkaloid, senyawa-senyawa fenolik (fenol-fenol, asam

fenolat, fenil propanoid, flavonoid, antrakinon), komponen minyak atsiri tertentu,

dan asam lemak. Sedangkan sari etanol-air mengandung zat-zat kimia seperti

garam alkaloid, antosian, glikosida, saponin, tanin, dan flavonoid. Uji penegasan

dengan KLT hanya dilakukan terhadap senyawa yang memberikan hasil positif

pada uji tabung (Stahl, 1985).

II.5 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi cair-padat dan

merupakan metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang

terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa

pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok (Sastrohamidjojo, 1973).

Fase diam tersebut dapat berupa lapisan tipis alumina, silika gel atau

bahan serbuk lainnya. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan

berupa bercak atau pita. Setelah pelat ditempatkan dalam larutan pengembang

yang cocok (fase gerak), pemisahan yang terjadi adalah adsorbsi. Kekuatan

adsorbsi tergantung pada kuat lemahnya interaksi antara senyawa, pelarut, dan

adsorben (Padmawinata, 1991).

Fase gerak untuk KLT terdiri dari campuran dua atau tiga sistem pelarut

yang berbeda kepolarannya. Sistem fase gerak yang biasa digunakan antara lain,

n-heksana/etil asetat, eter/n-heksana, diklorometan/n-heksana,

diklorometan/metanol (Still, 1978).

Pemisahan dengan KLT dengan mudah diamati jika semua senyawa yang

dipisahkan berwarna. Namun, jika beberapa atau semua senyawa tidak berwarna

harus dilakukan penampakan bercak. Bercak yang terbentuk berdasarkan hasil

pengembangan diamati dibawah sinar tampak dan sinar UV. Jika senyawa yang

diteliti mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatik, bercak

akan tampak gelap dengan latar belakang bersinar pada UV 254 nm. Pada UV 365

nm, bercak yang sama akan nampak berpendar. Jika pengamatan di bawah sinar

UV tidak dapat mendeteksi suatu senyawa, perlu dilakukan pengujian reaksi

dengan penyemprotan atau penguapan suatu reagen. Pengujian berdasarkan warna

dilakukan untuk uji kualitatif. KLT sering digunakan untuk mencari sistem eluen

untuk pemisahan campuran senyawa dengan kromatografi kolom. Identifikasi dari

senyawa yang terpisah pada lapis tipis diperoleh dari harga faktor retensi (Rf),

yaitu dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dengan

jarak tempuh pelarut.

Harga Rf = Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal

Jarak yang ditempuh pelarut dari titik asal

(Padmawinata, 1985).

Kelebihan KLT adalah dapat melakukan pemisahan senyawa yang sangat

berbeda seperti senyawa organik alam dan organik sintetik, kompleks

anorganikorganik, dan bahkan ion anorganik dapat dilakukan dalam beberapa

menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, KLT hanya

memerlukan pelarut dan cuplikan dalam jumlah sedikit (beberapa mikrogram

sampai lima gram).

Prinsip Penampakan Noda

a. Pada UV 254 nm

Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.

b. Pada UV 366 nmPada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna

gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm.

c. Pereaksi Semprot H2SO4 10%Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO410% adalah berdasarkan

kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi VIS) sehingga noda menjadi tampak oleh mata.

BAB III

METODE PERCOBAAN

III.1 Tempat Percobaan

Percobaan dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi

Ilmu Farmasi (STIFA) Makassar.

III.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah: Alat-alat gelas,

timbangan analitik, tabung reaksi dan rak tabung, batang pengaduk, bunsen, plat

tetes, pipet tetes, corong pisah, lampu UV 254 nm dan 366 nm, dan seperangkat

alat kromatografi lapis tipis (KLT).

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah: Sampel biji Labu

Kuning (Cucurbita moschata Durch), n-Heksan, etil asetat, butanol, metanol,

etanol, eter, FeCl3, Serbuk Mg, kloroform, aquadest, pereaksi Mayer, pereaksi

Dragendorf, pereaksi Wagner, pereaksi H2SO4, dan lempeng KLT.

III.3 Metode Kerja

III.3.1 Pengambilan sampel

Sampel biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diperoleh dari Desa

Pakabba’ Dusun Jalumata, Kec. Galesong Utara, Kab. Takalar-Makassar.

III.3.2 Pengolahan sampel

Biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) yang telah dikumpulkan

disortasi basah lalu dicuci. Sampel kemudian dikeringkan dan dirajang (dipotong

kecil-kecil) kemudian dilakukan sortasi kering lalu diserbukkan (serbuk kasar).

III.3.3 Pembuatan Ekstrak

Simplisia biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diekstraksi

sebanyak 200 gram dengan metode refluks menggunakan 1 liter pelarut etanol

selama 2-3 jam. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan cara diangin-anginkan

hingga diperoleh ekstrak kental.

III.3.4 Proses Pemisahan

III.3.4.1 Ekstraksi Cair-Cair

Ekstrak sebanyak 5 g dilarutkan dengan 50 ml klorofom dan dimasukkan

kedalam corong pisah kemudian ditambahkan 50 ml aquadest, dimasukkan

kedalam corong pisah tersebut. Setelah itu, dikocok dan didiamkan hingga

terbentuk 2 lapisan. Dipisahkan lapisan yang larut kloroform dan lapisan yang

larut air, lalu lapisan yang larut kloroform dimasukkan kembali ke dalam corong

pisah dan ditambahkan 50 ml etil asetat. Dikocok dan didiamkan hingga terbentuk

2 lapisan. Masing-masing lapisan kloroform dan etil asetat kemudian dipisahkan

dan ditampung dalam vial berupa fraksi. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya

diuapkan.

III.3.4.2 Kromatografi Lapis Tipis

Lempeng diberi batas atas 0,5 cm dan batas bawah 1 cm. Lempeng yang

telah diberi garis diaktifkan dalam oven dengan suhu 115°C selama 15 menit.

Selanjutnya fraksi dilarutkan dengan masing-masing pelarut yg sesuai dan

ditotolkan pada lempeng yang telah diaktifkan.

Dibuat eluen yang sesuai, yaitu kloroform : metanol (9 : 1). Kemudian

masing-masing eluen dimasukkan ke dalam chamber, setelah itu dijenuhkan

dengan kertas saring. Dimasukan lempeng yang telah ditotolkan kedalam chamber

dan kemudian dielusi. Dilakukan pengamatan pada penampakan noda dengan

menggunakan UV 254 nm dan 366 nm.

III.3.5 Uji Identifikasi Senyawa

1. Uji Saponim

Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan alkohol

70%, kemudian ditambahkan 10 ml air hangat/panas lalu dikocok selama 30

menit. Dilihat busanya dan diukur berapa cm busa yang terbentuk. Dibiarkan

selama 10 menit dan jika busanya tidak hilang ditambahkan HCl. Apabila masih

terdapat busa yang konstan maka menunjukan hasil yang positif.

2. Uji Flavonoid

Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,

kemudian ditambahkan serbuk Magnesium sebanyak 0,5 mg lalu ditambahkan

HCl pekat 3 tetes. Endapan merah menunjukan senyawa flavon, endapan merah

tua menunjukan senyawa flavonol/flavonon dan endapan hijau menunjukan

senyawa glikosida/aglikon.

3. Uji Alkaloid

Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,

kemudian ditambahkan 5 tetes HCl 2 N dan dipanaskan. Setelah itu ditambahkan

NaCl dan disaring lalu ditambahkan 5 tetes HCl 2 N. Dipipet 1 ml dan dimasukan

dalam tabung reaksi, dimana masing-masing tabung reaksi ditambahkan pereaksi

Dragendorf, pereaksi Mayer dan pereaksi Wagner. Untuk pereaksi Dragendorf

endapan merah/jingga menunjukan positif senyawa alkaloid, pada pereaksi Mayer

endapan putih menunjukan positif senyawa alkaloid dan pada pereaksi Wagner

endapan coklat menujukan hasil yang positif.

4. Uji Terpenoid/Steroid

Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,

kemudian ditambahkan eter sebanyak 5 tetes hingga terbentuk 2 lapisan antara

larutan air dan etanol. Lapisan bagian atas (larut etanol) dipisahkan dan diuapkan

dalam plat tetes lalu ditambahkan H2SO4. Endapan warna hijau menunjukan hasil

yang positif.

5. Uji Tanin

Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,

kemudian ditambahkan 2 mL air. Setelah itu ditambahkan 3 tetes FeCl3. Endapan

warna hijau kehitaman menunjukan hasil yang positif.

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa

ekstrak etanol Biji Labu Kuning mengandung steroid, alkaloid, flavonoid, dan

tanin.

V.2 Saran

Sebaiknya dilakukan orientasi pemilihan eluan secara gradien hingga

diperoleh komposisi yang baik, yang dapat menarik senyawa aktif pada lempeng

silika gel. Jika noda yang terbetuk berekor

DAFTAR PUSTAKA

Anomim, 1995, Materia Medika Indonesia VI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Anonim, 1997, Ensiklopedia Nasional Indonesia, P.T. Delta Pamungkas.

Anonim, 2004. Wuluh, http://id.wikipedia.org/wiki/Waluh. Diakses tanggal 19 Desember 2014.

Anonim, 2014. Kromatografi Lapis Tipis.http://id.wikipedia.org/wiki/Kromatografi_lapis_tipis. Diakses tanggal 19 Desember 2014.

Anonim,2011. Labu Kuning. http://riyanpharmacy.blogspot.com/2011/01/labu-kuning-cucurbitae-moschata.html. Di akses tanggal19 Desember 2014.

Byrd Graft, Alfred, 1992, Tropica, Roehrs Company, East Rutherford.

Campbell, N. A., 2000, Biologi, Edisi Kelima, Jilid I, 196, Jakarta: Erlangga.

Ditjen POM, 1986, Sediaan Galenik , Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Estien Yazid, 2005, Kimia Fisika untuk Paramedis, Yogyakarta: Andi.

Heyne, K., 1987, Tumbuhan berguna Indonesia III, Jakarta: Badan Litbang Departemen Kehutanan Indonesia.

Khamidinal, 2009, Teknik Laboratorium Kimia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khopkar, 2010, Konsep Dasar kimia Analitik, Jakarta: UI-PRESS.

Padmawinata, K. dan I. Soediro, 1985, Analisis Obat secara Kromatografi danMikroskopi, Penerbit ITB, Bandung. Terjemahan : Drugs Analisis by Chromatography and Microscopy, Stahl, E., Michigan

Sastrohamidjojo, H., 2005. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty.

Stahl, Egon. 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB.

Still, Clark., Kahn, M., and Mitra, A., 1978. Rapid Chromatographic Techniquefor Preparatives Separations with Moderate Resolution. Journal of Organic Chemistry. Vol. 43. No. 14.

Sudjadi, Drs., 1986. Metode Pemisahan, Yogyakarta: UGM Press.

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

Gambar Buah dan Biji Labu Kuning

Lampiran 2

Gambar Hasil Kromatografi Pada Panjang Gelombang UV 366 nm

Kloroform : Metanol Kloroform : Metanol

Kloroform : Metanol

(0,5 : 9,5) (9,5 : 0,5) ( 9 : 1)

LAMPIRAN 3

Gambar Hasil Kromatografi Pada Panjang Gelombang UV 254 nm

Kloroform : Metanol Kloroform : Metanol Kloroform : Metanol

(0,5 : 9,5) (9,5 : 0,5) ( 9 : 1)

LAMPIRAN 4

Gambar Lempeng yang telah di semprot dengan H2SO4

Kloroform : Metanol

Kloroform : Metanol

(9,5 : 0,5) ( 9 : 1)

LAMPIRAN 5 IDENTIFIKASI KOMPONEN SENYAWA

1. Uji Alkaloid

Pereaksi Mayer Pereaksi Dragendorf Pereaksi Wagner

(+) Endapan Putih (+) Endapan Orange (+) Endapan Coklat

2. Tanin

(+) Endapan Hijau Hitam

3. Uji Saponin

(-) Saponin