laporan fgd pengarusutamaan gender di dalam sektor energi di...

21
Institute for Essential Services Reform (IESR) Jl. Mampang Prapatan VIII No. R-13 +62-21-7992945 +62-21-7996160 Institute for Essential Services Reform (IESR) FGD ini dilaksanakan atas kerja sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan IESR, yang dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2016. FGD ini merupakan bagian dari kajian mengenai pengarusutamaan gender di dalam sektor energi di Indonesia. Laporan FGD Pengarusutamaan Gender di dalam sektor Energi di Indonesia

Upload: duongtram

Post on 02-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

0

I n s t i t u t e f o r E s s e n t i a l

S e r v i c e s R e f o r m ( I E S R )

J l . M a m p a n g P r a p a t a n

V I I I N o . R - 1 3

+ 6 2 - 2 1 - 7 9 9 2 9 4 5

+ 6 2 - 2 1 - 7 9 9 6 1 6 0

Institute for Essential Services

Reform (IESR)

FGD ini dilaksanakan atas kerja sama Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)

dan IESR, yang dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2016.

FGD ini merupakan bagian dari kajian mengenai

pengarusutamaan gender di dalam sektor energi di

Indonesia.

Laporan FGD Pengarusutamaan Gender di dalam sektor Energi di Indonesia

1

1 Pendahuluan FGD ini diadakan untuk menajamkan kajian yang saat ini sedang disusun oleh IESR, terkait dengan

bagaimana mengarusutamakan gender di dalam energi terbarukan di Indonesia. Walaupun sebenarnya

isu ini sudah cukup lama, namun, perkembangannya di Indonesia sangat lambat. Melalui FGD ini, IESR

bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA),

berupaya untuk mendapatkan masukan dari peserta FGD, terutama yang terkait dengan hal-hal

mengenai pengarusutamaan gender; apa yang harus dilakukan, apa yang bisa dipakai, sehingga tidak lagi

menggunakan teori. Harapannya adalah kajian ini dapat dikembangkan menjadi sebuah pedoman yang

doable, yang bisa dipakai dan dilaksanakan. Harapan lainnya adalah bagaimana mendorong

pengarusutamaan gender di setiap lembaga, yang merupakan tugas dari KPPPA.

Kajian ini belum membedah secara rinci perihal pengarusutamaan gender dan energi terbarukan. Saat

ini lingkup kajian ini masih dalam tahap scoping, untuk menemukan inti masalah, peluang yang bisa

dilakukan ke depan, agar dapat melakukan pengarusutamaan gender di dalam energi terbarukan.

2 Energi dan Gender: Gambaran di Indonesia Tujuan dari kajian yang dilakukan oleh IESR adalah: (i) untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi

dan kualitas pengarusutamaan gender dalam kebijakan, program, dan kegiatan di sektor energi

terbarukan di Indonesia; sehingga dapat diketahui bagaimana kondisi dan kualitas pengarusutamaan

gender di tingkat program, kegiatan, dan kebijakan, serta apa yang menjadi gap dari dokumen-dokumen

kebijakan terkait dengan energi terbarukan, terutama dalam aspek gender; (ii) kajian ini juga bermaksud

untuk memuat model-model terbaik dalam praktek penyediaan energi terbarukan, yang telah

mempertimbangkan aspek gender dalam pelaksanaannya.

Metode yang digunakan untuk menyusun kajian ini adalah studi literatur, dimana kajian-kajian yang

pernah dilakukan oleh berbagai pihak, dikumpulkan dan diambil sarinya. Kemudian, melihat referensi

dari dokumen-dokumen resmi Pemerintah yang terkait dengan energi terbarukan, yang kemudian

didiskusikan, dan kemudian menemukan berbagai macam celah untuk intervensi kegiatan tersebut.

Hasilnya adalah sebuah dokumen, yang akan menjadi referensi bagi berbagai pihak.

2

Gambar 1 Proses penyusunan laporan studi Energi dan Gender di Indonesia

Gambar 1 menunjukkan proses yang telah dilakukan hingga FGD tanggal 3 Oktober 2016 yang lalu,

diselenggarakan. Kick-off study telah dilakukan di bulan Mei 2016, di mana pertemuan KPPPA dan

EBTKE, dilangsungkan. Pertemuan tersebut ditujukan untuk mencari tahu, kira-kira ruang apa yang bisa

digunakan bersama dalam kaitan pengarusutamaan gender di dalam sektor energi. Hal ini dilakukan

untuk melihat bagaimana sinergi dapat dilakukan, karena masing-masing kementerian memiliki KPI-nya

sendiri. Pertemuan tersebut menyepakati untuk meneruskan proses yang sudah berlangsung.

Draft dari kajian ini memuat empat bab: (i) latar belakang, yang menjelaskan mengenai persoalan

konteks energi dalam pembangunan; (ii) terkait dengan situasi energi di Indonesia; (iii) mengupas isu

gender di Indonesia, dan juga yang terkait dengan kegiatan energi terbarukan; dan (iv) kesimpulan dan

rekomendasi.

2.1 Peran energi di dalam pembangunan Energi memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan. Terdapat 1,2 miliar manusia di dunia ini

yang belum mendapatkan akses ke energi modern, baik itu energi listrik, maupun untuk memasak,

bahkan sampai ke teknologi kompor.

Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 30 juta masyarakat yang belum mendapatkan akses pada energi.

Kalau dilihat dari sisi kabupaten dan sisi desa tertinggal, masih terdapat sekitar 43% dari seluruh

kawasan di Indonesia, yang masuk dalam golongan kawasan tertinggal di Indonesia. Itu sebabnya, akses

pada energi yang harus dipenuhi masih cukup banyak. UN di tahun 2005, menyatakan bahwa energi

adalah sarana penting untuk mendukung pembangunan sosial dan ekonomi manusia. Energi juga

merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Penting juga untuk

3

diingat bahwa ketersediaan infrastruktur energi akan mendorong kualitas pemenuhan berbagai

kebutuhan dasar masyarakat dan bisa menjadi stimulus untuk meningkatkan produktivitas perkonomian

desa atau daerah yang memiliki energi tersebut.

Hal yang juga sangat relevan adalah mengenai kemiskinan energi. Kemiskinan sebenarnya bukan hanya

kemiskinan dalam bentuk uang, namun ada juga kemiskinan dalam bentuk energi, yang disampaikan

berulang kali oleh UNEP dan UNDP, hingga ke World Economy Forum (WEF). Menurut UNDP,

kemiskinan energi adalah ketidakmampuan individu atau suatu kelompok masyarakat, untuk memasak

dengan menggunakan bahan bakar memasak yang modern, serta kurangnya kebutuhan penerangan

minimum yang memungkinkan manusia dalam rumah tangga melakukan kegiatan membaca atau

kegiatan rumah tangga lainnya saat matahari terbenam. Bicara mengenai energi, maka yang harus

diingat adalah energi mencakup dua hal: energi untuk memasak, dan yang kedua adalah listrik untuk

penerangan. Jika salah satunya tidak terpenuhi dengan semestinya, maka kondisi tersebut dikatakan

sebagai kemiskinan energi.

Ciri-ciri terjadinya kemiskinan energi ada 4: affordability, accessability, availability, dan acceptability.

Affordability menandai kemampuan masyarakat di dalam mengakses energi karena harganya yang

terjangkau. Accessability ditandai dengan kemampuan masyarakat mengakses energi karena

infrastruktur energi yang lengkap dan memadai. Ada kemungkinan bahwa suatu kelompok masyarakat

mampu secara ekonomi, namun tidak dapat mengakses energi, dikarenakan masalah jaringan, sarana

dan prasarana, sehingga masyarakat tidak bisa mengakses energi tersebut. Availability ditandai dengan

situasi di mana masyarakat tidak mampu mengakses energi, karena energi itu tidak tersedia. Energi

sama sekali tidak tersedia; tidak ada energi yang dibangkitkan oleh air, dan kondisinya tidak

memungkinkan untuk membangkitkan energi. Menggunakan batu bara, sumbernya terlalu jauh;

menggunakan energi fosil, bahan bakar fosilnya sama sekali tidak bisa diakses, menyebabkan energi

tersebut tidak available. Pengadaan energi harus disesuaikan dengan kondisi desa tersebut. Terakhir

adalah acceptability, yang ditandai dengan kemampuan masyarakat untuk menggunakan energi yang

tersedia, dinilai dari berbagai macam aspek; ada aspek sosial, aspek budaya, agama, misalnya. Aspek-

aspek itu lah yang disebut dengan acceptability.

2.2 Situasi energi di Indonesia Situasi energi di Indonesia yang akan dibahas di dalam kajian IESR meliputi akses energi untuk memasak

dan akses energi untuk listrik. Terkait dengan akses listrik, terdapat dua indikator yang selalu dilihat oleh

ESDM: rasio elektrifikasi dan besarnya listrik yang dapat dibangkitkan.

Rasio elektrifikasi menggambarkan berapa banyak rumah tangga yang mendapatkan akses listrik. Saat

ini Indonesia memiliki rasio elektrifikasi sebesar 87% (2016). Pertumbuhan rasio elektrifikasi di Indonesia

meningkat secara eksponensial semenjak Indonesia merdeka, namun saat ini, pertumbuhan rasio

elektrifikasi semakin lambat. Hal ini disebabkan karena desa-desa yang perlu dilistriki memiliki geografis

yang semakin sulit, dan memakan biaya yang semakin mahal. Perjalanan untuk meningkatkan rasio

elektrifikasi dari 70% ke 80% membutuhkan waktu yang cukup lama, hingga beberapa kali pergantian

kekuasaan di Indonesia. Sekarang, tantangan bagi Indonesia untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga

100% di tahun 2025, menjadi lebih berat lagi.

4

Tantangan-tantangan tersebut adalah pertama dari sisi akses, dimana desa-desa dengan geografi

tersulit pada umumnya sangat jauh. Kedua dari sisi kapital. Letak desa-desa dengan geografi yang sulit

akan mengakibatkan pembangunan modal biaya untuk pembangunan fasilitas tersebut menjadi mahal.

Ini menyebabkan dibutuhkannya investasi yang lebih besar untuk memberikan akses listrik untuk

mencapai target 100% rasio elektrifikasi.

Terkait dengan akses listrik, tingkat kemiskinan juga erat kaitannya dengan akses listrik. IESR mencoba

untuk melakukan overlay antara rasio elektrifikasi persentase penduduk miskin.

Gambar 2 Korelasi antara rasio elektrifikasi dengan persentase penduduk miskin

Gambar 2 menunjukkan korelasi antara rasio elektrifikasi dengan persentase penduduk miskin. Gambar

ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio elektrifikasi, persentase penduduk miskin ternyata

menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini memberikan hipotesis bahwa saat akses listrik diberikan,

maka wilayah yang mendapatkan akses listrik memiliki persentase penduduk miskin yang rendah.

Terkait dengan energi untuk memasak, Indonesia masih memiliki penduduk atau rumah tangga yang

memasak dengan menggunakan tungku tiga batu. Teknologi ini tidak ramah secara teknik dan tidak baik

secara kesehatan. Hal ini disebabkan karena asap yang ditimbulkan dapat menimbulkan penyakit bagi

penggunanya; baik untuk yang memasak, maupun bagi penghuni rumah tersebut. Ini yang

menyebabkan berbagai macam kasus penyakit timbul dan memakan cukup banyak korban. Rumah-

rumah yang masih menggunakan tungku 3 batu, dengan ventilasi yang terbatas, menjadi penyebab

utama dari timbulnya penyakit ISPA di masyarakat, baik yang diderita oleh ibu-ibu, maupun dari anak-

anak yang tinggal di rumah tersebut.

Isu gender dan konteks kesetaraan gender di dalam pemanfaatan energi, dapat dilihat dari pengguna

energi. Hampir 40% dari konsumsi energi primer dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, yang

5

didominasi oleh kebutuhan energi untuk memasak, penerangan dan mencuci, di mana aktor utama

penggunanya adalah perempuan. Di lain pihak, posisi perempuan dalam pengambilan keputusan di

dalam sektor energi, cukup terbatas aksesnya. Studi yang dilakukan oleh Cecelski (1995) terkait dengan

sistim energi terbarukan yang terdesentralisasi, memiliki potensi yang baik untuk penghematan tenaga

kerja dan peningkatan pendapatan daerah perdesaan, jika perempuan juga mendapatkan kesempatan

yang sama dengan pria.

Sebuah studi terkait dengan isu gender dan energi di Indonesia, juga pernah dilakukan dan

dipublikasikan oleh May Oeling, di kisaran tahun 1980-1990. Studi ini menyatakan bahwa penyediaan

akses energi dapat meningkatkan kualitas serta mengatasi kesenjangan gender yang ada di masyarakat,

melalui sistem energi terbarukan yang terdesentralisasi. Sistem energi terbarukan yang terdesentralisasi

memiliki potensi untuk berkontribusi pada penghematan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan di

daerah tersebut, yang tentunya itu dapat dimanfaatkan baik oleh pria atau pun wanita.

Mekanisme pengambilan keputusan pada umumnya memang dilakukan secara partisipatif, di mana

seluruh orang yang terkait di lokasi akan dilibatkan. Namun, sering kali keputusan, pada prakteknya di

lapangan akan dilakukan melalui konsultasi dengan para laki-laki. Walaupun pada proses konsultasi akan

melibatkan kaum perempuan, namun dalam pengambilan keputusan, pada umumnya laki-laki yang akan

memutuskan. Apabila proses pengambilan keputusan menggunakan proses yang benar, maka

pemanfaatannya bisa sangat bermanfaat untuk perempuan dan laki-laki.

Tabel 1 memperlihatkan bentuk kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh perempuan, dapat diarahkan

untuk menjadi lebih strategis dan produktif. Tabel tersebut memperlihatkan 3 bentuk energi yang

berupa listrik, bentuk energi yang dihasilkan oleh biomassa, dan yang dihasilkan oleh tenaga mekanik.

Ketiga bentuk energi ini dapat digunakan untuk keperluan praktis, produktif, dan strategis. Untuk

keperluan praktis, pada umumnya perempuan menggunakan energi untuk mengurangi beban angkut,

misalnya untuk mengambil air. Pompa air dapat meringankan beban perempuan dalam mengambil air,

karena biasanya perempuan yang memiliki tugas untuk mengambil air. Penggunaan praktis juga

digunakan untuk penggilingan hasil panen, serta penerangan untuk meningkatkan kualitas pencahayaan

di rumah.

Kebutuhan produktif perempuan dengan adanya energi, dapat memampukan perempuan untuk

meningkatkan peluang kerja di malam hari. Listrik juga dapat digunakan untuk mengawetkan bahan

baku paska panen, sehingga dapat dijual sebagai barang ekonomis. Energi juga dapat menciptakan

upaya-upaya wiraswasta, kegiatan-kegiatan lainnya, misalnya untuk dijadikan salon atau warung

internet, kegiatan menjahit dan berbagai pilihan lainnya.

6

Tabel 1 Kebutuhan kaum perempuan dan energi1

Untuk kebutuhan perempuan yang strategis, energi memberikan penerangan di jalan umum, sehingga

memungkinkan perempuan untuk bisa beraktivitas di malam hari. Misalnya, dengan adanya pertemuan

di lokasi A,maka kesempatan untuk perempuan mengikuti pertemuan-pertemuan tersebut di malam

hari, menjadi lebih terbuka. Unsur strategis lainnya adalah meningkatkan akses informasi, karena

adanya keterbukaan akses pada televisi, internet dan radio.

Untuk memasak, beberapa kebutuhan praktis untuk perempuan adalah memungkinkannya untuk

memperbaiki kualitas kesehatan melalui tungku biomassa yang bersih dan ramah perempuan, misalnya

dengan menggunakan biogas. Kebutuhan praktis lainnya adalah berkurangnya waktu pengumpulan

bahan bakar, sehingga perempuan dapat memiliki waktu lebih banyak untuk melakukan hal lain. Hal ini,

tentu saja, menimbulkan pertanyaan lainnya, terkait dengan apa yang dapat dilakukan oleh perempuan

dengan adanya sisa waktu ini? Apa pun kegiatan yang dilakukan oleh perempuan di dalam

menggunakan sisa waktu ini, sebaiknya tidak menambahkan beban pekerjaan kepada perempuan.

Bagaimana untuk memastikan bahwa perempuan tidak lagi dibebankan karena adanya kemudahan dan

keterjangkauan dalam mengakses teknologi, sehingga waktu luang yang tersedia, tidak diperuntukkan

bagi perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memberikan keuntungan bagi 'kepentingan

kelompok kaum pria', yang sebelumnya mungkin tidak pernah dilakukan.

1 IESR, "Pengarusutamaan gender dalam energi terbarukan di Indonesia", disampaikan pada FGD Gender dan

Energi yang dilaksanakan oleh IESR pada tanggal 3 Oktober 2016

7

Kontrol strategis yang dapat dilakukan oleh perempuan adalah bagaimana mereka mengontrol sumber

daya hutan, jika memang ada kaitannya dengan pengumpulan kayu bakar, sehingga perempuan dapat

melakukan kontrol.

2.3 Mengarusutamakan gender di dalam kebijakan energi terbarukan Bab 3 dari kajian ini menyoroti bagaimana isu gender diterapkan di dalam kebijakan energi terbarukan.

Inisiatif kegiatan yang dilakukan hal ini sebenarnya sudah cukup banyak. EBTKE, misalnya, semenjak

masih berbentuk DJLPE, sudah memiliki kelompok kerja sendiri dan memiliki program gender dan

energi, bahkan UU No. 30 tahun 2007 telah mengamanatkan hal tersebut. Di mana azas pengelolaan

energi yang mencakup azas pemanfaatan nasional, efisiensi, peningkatan keberlanjutan, kesejahteraan

masyarakat, seluruh aspek yang bukan hanya kepentingan satu orang, tapi kepentingan banyak orang,

karena setiap orang berhak untuk memperoleh energi.

Di desa, peran perempuan dalam penyediaan energi sangat signifikan, di antaranya adalah peran

perempuan dalam mencari kayu bakar. Peran perempuan di dalam memanfaatkan energi untuk

kebutuhan industri rumah tangga dan keluarga, juga dinilai tinggi. Kajian yang dilakukan oleh Bappenas,

misalnya, kerangka evaluasi gender sudah disusun dan dilakukan, dan terdapat tiga hal yang menjadi

catatan. Pertama, terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi di dalam

pembangunan serta penguasaan sumber daya, terutama di tingkat propinsi, antar kabupaten dan kota.

Kedua, rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan politik dan di

bidang ekonomi. Hal ketiga adalah rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak

perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit.

Penyediaan energi terbarukan di perdesaan akan memberikan dampak yang signifikan. Pertama,

penyediaan energi terbarukan di perdesaan akan meringankan beban waktu perempuan. Kedua, fasilitas

energi terbarukan dapat meningkatkan kesejahteraan masayarakatnya menjadi lebih baik,

meningkatkan kesehatan, dan menambah produktivitas. Perangkat regulasi, UU, sebagai payung gender

untuk melakukan pengarusutamaan gender di dalam kebijakan energi, juga sudah tersedia.

Payung tertinggi untuk mengarusutamakan gender di dalam energi, tercermin di dalam UU No. 7 tahun

1984, di mana konvensinya sudah tersedia. Saat ini, di PerMen P3A, No. 9 tahun 2015, memuat Indikator

Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak, sudah tersedia. Indikator ini dapat digunakan untuk mengevaluasi semua kegiatan K/L, terkait

dengan InPres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,

maupun dari Surat Edaran Bersama 3 Menteri, Menteri Bappenas, KP3A, dan juga Kementerian

Keuangan, mengenai strategi nasional percepatan pengarusutamaan gender.

Mandatnya sudah tersedia, bahwa di tahun 2000, seluruh K/L sudah harus mengarusutamakan gender.

Tahun 2012 mandat tersebut kembali ditekankan, terkait dengan adanya upaya untuk menyusun

strategi nasional pengarusutamaan gender.

Terkait dengan siklus perencanaan, kementerian dan lembaga sebenarnya sudah paham mengenai

bagaimana mengarusutamakan gender di dalam perencanaan masing-masing. Pengarusutamaan gender

dimulai dari tahapan pertama, yaitu technical meeting. Sebelum K/L menyusun DIPA, hal ini sudah

8

dibahas. Pada saat K/L menyusun renja, sudah ada masukan terkait dengan kegiatan yang akan

dilakukan. Namun, levelnya seperti apa, apakah di level program atau kebijakan, tetap harus diajukan

oleh kementerian masing-masing.

Gambar 3 Siklus Perencanaan dan Penganggaran K/L

Tahapan kedua adalah penyusunan rencana kerja pemerintah, atau RKP. Setelah Renja, maka K/L akan

menyusun RKP-nya, yang akan ditandai dengan dihasilkannya RKA dan RKL-nya. Jadi sebenarnya,

tahapan-tahapan untuk menyusun unsur aspek gender dalam kebijakan maupun di program, sudah ada.

Petunjuk untuk melakukan hal ini sudah tersedia.

Salah satu masalah dalam melakukan pengarusutamaan gender adalah bahwa pengambil keputusan

tidak menyadari bahwa keputusan atau kebijakan yang diambil atau proses pengambilan keputusan

seringkali bersifat netral gender. Misalnya, melistriki sebuah desa atau propinsi, dengan menggunakan

sebanyak 30 mikrohidro dan 40 biogas. Ini sebenarnya hal yang netral, karena dilakukan baik untuk

perempuan maupun laki-laki. Di level program hal ini juga terjadi, tidak ada pemilihanan terkait dengan

peruntukan biogas tersebut. Apakah untuk kegiatan produktif, apakah spesifik diberikan kepada kaum

perempuan, misalnya, itu tidak ada. Bagaimana perencanaan yang dilakukan dapat memenuhi keadilan

kesetaraan laki-laki dan perempuan, apa saja yang menjadi aspeknya? Terdapat 4 aspek yang dapat

ditinjau, yaitu apa yang disebut dengan APKM: akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat, untuk

pembangunan. Petunjuk untuk evaluasi pengarusutamaan gender yang terakhir dikeluarkan oleh

9

kementerian PPPA, adalah dokumen No. 9 tahun 2015, mengenai indikator pemantauan dan evaluasi

pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Pasal 2 dari dokumen

tersebut menyebutkan indikator-indikator yang digunakan. Pasal 4 menyatakan bahwa terdapat 3

indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pengarusutamaan gender: indikator prasyarat,

indikator dasar, dan indikator utama.

Kajian yang dilakukan oleh IESR juga melakukan analisis terhadap rencana strategis dari EBTKE. Hasil dari

analisis yang dilakukan menyatakan bahwa pengarusutamaan gender khususnya untuk bidang energi,

belum terinternalisasi dengan kuat. Contohnya, pada level kegiatan di tingkat ESDM, aspek gender

belum dilakukan secara terstruktur. Ini merupakan tantangan yang harus dicari jalan keluarnya.

IESR mengambil contoh bagaimana pengarusutamaan gender dilakukan di dalam Peraturan Menteri

ESDM No. 3 tahun 2016, terkait dengan penyediaan energi terbarukan skala kecil untuk pedesaan

dengan pendanaan melalui dana alokasi khusus. PerMen tersebut belum memasukkan aspek gender ke

dalam pemanfaatan energi. PerMen ESDM No. 3 ini, merupakan ketentuan mengenai dana alokasi

khusus yang dapat diakses oleh pemda untuk melakukan pembangunan energi terbarukan, baik itu pada

tahapan pre-FS maupun FS. Untuk mengakses dana tersebut, terdapat berbagai prasyarat yang harus

dipenuhi oleh Pemerintah Daerah, dan dokumen tersebut juga memuat petunjuk teknisnya. Namun, di

dalam petunjuk teknis tersebut, aspek gender tidak dibahas. Jika aspek gender tidak digunakan sebagai

prasyarat, maka kontraktor dan konsultan, tidak akan memasukkan gender di dalam proposalnya,

karena itu tidak diwajibkan. Itu sebabnya, penting untuk membuat analisis gender sebagai kewajiban

saat pengajuan proposal untuk DAK. Panduan teknis yang dapat digunakan oleh para konsultan maupun

kontraktornya terkait hal ini, tentu saja harus disediakan. Panduan teknis tersebut hendaknya

memasukkan aspek-aspek seperti data terpilah, pengguna fasilitas energi terbarukan yang akan

dibangun, perempuan atau laki-laki, dan bagaimana mereka memanfaatkannya.

Saat ini, terdapat dua indikator yang dituliskan di dalam renstra: pertama adalah jumlah kepala keluarga

yang terlistrik, dan yang kedua adalah jumlah listrik yang dihasilkan atau dibangkitkan dalam satuan

MW, atau juta kL BBM dan lain sebagainya. Tidak ada informasi di dalam renstra EBT maupun ESDM,

mengenai kondisi dari rumah tangga yang terlistriki atau keluarga yang terdistribusi listrik, berapa

jumlah perempuannya.

Sebagai contoh pengarusutamaan gender di dalam energi bukanlah merupakan hal yang baru, kajian

IESR juga mengambil contoh proyek E7 yang berlangsung di sekitar tahun 2000. Pada waktu proyek

dilakukan, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari E7, melalui ESDM. Dana ini merupakan dana yang

dikumpulkan oleh para donor terkait dengan pembangunan pembangkit listrik skala besar di seluruh

dunia. Salah satu syarat konstruksinya adalah memastikan adanya keterlibatan publik, sebagai salah

satu aspek keberlanjutan. Keterlibatan publik dalam hal ini mencakup perempuan, sehingga melalui

kegiatan ini, isu gender menjadi penting dalam tahap pengambilan keputusan di dalam siklus proyek

tersebut. Pada saat proyek tersebut dilakukan, fakta menyatakan bahwa hampir seluruh instalasi listrik

di rumah tangga digunakan oleh perempuan. Itu sebabnya, dalam mengidentifikasi kebutuhan listrik di

dapur dan berbagai area di rumah, penting untuk melibatkan langsung penggunanya yang dominan,

yaitu perempuan dan bukan laki-laki. Perempuan akan menyatakan bahwa mereka membutuhkan listrik

10

di wilayah-wilayah tertentu di dalam rumah, atau perempuan yang akan menentukan di mana listrik

dibutuhkan untuk kebutuhan apa.

Kegiatan E7 memberikan rekomendasi yang positif terkait dengan pengarusutamaan gender di dalam

kebijakan energi. Itu sebabnya, pada tahun 2002, semua kegiatan energi terbarukan di Indonesia selalu

'bicara soal gender', walaupun implementasi di lapangannya berbeda. Perbedaan yang terjadi saat

implementasi di lapangan dapat disebabkan karena pelaksana di lapangan belum dilatih mengenai isu

gender dan hal-hal lainnya yang relevan.

Kajian IESR juga mengambil contoh MCAI yang saat ini sedang berlangsung. MCAI sudah mewajibkan

para penerima hibahnya untuk melakukan analisis gender. MCAI menggunakan perangkat analisis yang

disebut dengan SGIP atau Social and Gender Integration Plan. SGIP harus disediakan oleh para penerima

hibah sebelum proyek berjalan, dan MCAI membuat panduan terkait dengan hal ini. HIVOS juga

melakukan hal yang sama. Sebelum melakukan kegiatan, analisis gender harus dilakukan, walaupun

dengan perangkat yang berbeda.

Kementerian sendiri telah memiliki perangkat yang sudah sering digunakan, yang disebut dengan GAP:

Gender Analysis Pathway. GAP terdiri dari 9 langkah, sebagaimana tercantum di dalam Tabel 2. Terlepas

dari metode apa yang digunakan, analisis gender akan membutuhkan data terpilah.

Tabel 2 Langkah-langkah di dalam Gender Analysis Pathway (GAP)

2.4 Kesimpulan dan rekomendasi sementara dari kajian Kajian IESR memberikan dua buah kesimpulan.

11

Pertama, regulasi yang terkait dengan pengarusutamaan gender sebenarnya sudah ada di Indonesia di

tingkat Kebijakan dan Program, namun belum ada perangkat yang lengkap untuk dapat melakukan

implementasi dari regulasi ini dalam tingkatan kegiatan di K/L. Hanya saja, indikator spesifik mengenai

pengarusutamaan gender dalam energi terbarukan masih belum tersedia. Itu sebabnya, tidak perlu ada

regulasi lagi untuk melakukan pengarusutamaan gender di energi terbarukan, yang perlu dilakukan

adalah enforcement dari regulasi yang sudah ada.

Kedua, hal yang sebenarnya harus dilihat di tingkat kegiatan adalah dampak suatu kegiatan terhadap isu

gender yang sudah ada. Jadi yang perlu dilihat adalah dampak kegiatan terhadap isu gender. Dampak

program dan kebijakan terhadap isu gender sebenarnya sudah ada, karena itu menjadi kewajiban dalam

menyusun RKA maupun RKL, dan tercermin di dalam DIPA.

Ketiga, terkait dengan pengumpulan data terpilah. Hal ini juga menjadi penting, dan dapat menjadi

sarana pengumpulan informasi. Hal ini termasuk hal yang baru, dan penting untuk diketahui oleh rekan-

rekan pengembang energi terbarukan untuk mengetahui petanya, misalnya apakah ada data mengenai

keluarga di mana perempuan adalah kepala keluarganya, di mana letak kegiatan, bagaimana

penghasilannya, serta beban kerja yang ada dan apa yang akan dilakukan. Data terpilah ini nantinya

akan menunjukkan bukan hanya sekedar kepala rumah tangga, atau jumlah biogas yang diperlukan 2m3

misalnya, atau listrik yang dibutuhkan 450 Watt, tapi ada keterangan lebih lanjut, terkait dengan

kebutuhan energi tersebut, akan digunakan untuk apa saja. Jika hal ini dapat dibiasakan, maka informasi

ini akan dapat digunakan untuk mempermudah analisis GAP.

Kajian ini juga memberikan beberapa rekomendasi.

Pertama, kegiatan ini tidak bisa sendiri, Kemen PPPA perlu mengajak pihak yang lebih luas, bukan hanya

sektor EBTKE saja, namun juga penting untuk mengajak dari Bappenas, dan Keuangan, serta

Kementerian Dalam Negeri, bahkan juga dengan pemerintah daerah. Hal ini juga terkait dengan dana

alokasi khusus, DAK.

Kedua, indikator spesifik yang dapat mengukur pengarusutamaan gender harus dikembangkan,

terutama yang berhubungan dengan sektor terkait. Karena ini untuk EBTKE, maka indikator yang disusun

harus lebih rinci, terkait dengan 4 hal: akses, partisipasi, kontrol dan monitoring.

Ketiga, perlu ditinjau juga apakah petunjuk yang disusun dapat diterapkan (applicable) dan dapat

digunakan (usable) oleh para pemain atau pengembang energi terbarukan. Misalnya, apakah ini menjadi

suatu peluang untuk memperbaiki kualitas penyedia energi terbarukan. Jika kemudian menjadi peluang,

peluang seperti apa, dan jika menjadi hambatan, hambatan yang seperti apa.

3 Pengalaman MCAI dalam menerapkan indikator untuk gender MCA Indonesia adalah sebuah lembaga perwalian untuk mengelola dana MCA dari Amerika Serikat.

Energi terbarukan menjadi salah satu portfolio dari MCA Indonesia, dan saat ini terdapat kurang lebih,

40 proyek yang terkait dengan energi terbarukan dari berbagai tipologi mulai dari PV solar tenaga

matahari. Namun, yang banyak adalah mini dan mikrohidro, biogas dan biomassa. Tantangan terbesar

12

adalah bagaimana mengintegrasikan gender di dalam energi terbarukan, yang sebenarnya sudah

menjadi isu sejak lama. Gender analysis pathway juga sudah digunakan sejak lama dan mengalami

pengurangan langkah dari awalnya 12 langkah, menjadi 9 langkah, dan ada wacana untuk mengurangi

jumlah langkah melakukan analisis menjadi 7 langkah.

Indonesia saat ini juga telah memiliki gender budget statement, yang kemudian menjadi bagian dari RKA

untuk K/L, dan yang menjadi inti dari 9 langkah gender analysis pathway. Jadi memang how to untuk

melakukan pengarusutamaan gender di dalam kebijakan energi sebenarnya sudah sangat jelas. Regulasi

sudah sangat jelas, namun belum turun sampai ke program. Bahkan untuk energi terbarukan,

pengarusutamaan gender di level kebijakan belum terlihat.

MCAI mewajibkan seluruh penerima hibahnya untuk menyusun PLSIGP - Project Level Social Gender

Integration Plan. PLSIGP adalah gender analysis pathway dengan jumlah langkah yang lebih sedikit.

Pertama yang harus dilakukan adalah melakukan gender assessment, di mana GAP memiliki data

pembuka wawasan. Kedua yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi apa yang menjadi isunya.

Ketiga, apakah, isu, faktor kesenjangan, sebab, faktor internal dan eksternal, dapat digabungkan menjadi

isu gender di dalam proyek yang akan ditangani oleh penerima hibah. Hal ini dapat dilakukan dengan

melakukan kegiatan yang dapat merespon kesenjangan tersebut, yang merupakan perencanaan

kebijakan ke depan. Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah monitoring indikator. Seluruh

penerima hibah harus mengalokasikan anggaran untuk semua kegiatan-kegiatan pengarusutamaan

gender yang telah disusun. Meski sudah jelas, namun isu teknis tetap menjadi tantangan.

Tidak semua penerima hibah memiliki in-house gender expertise, sehingga konsultan menjadi jalan

keluar dari para penerima hibah. Untuk kegiatan-kegiatan energi terbarukan seperti minihidro,

feasibility study-nya bisa sangat tebal. Namun, pada saat analisis gender, analisisnya menurun menjadi 7

halaman. Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana dapat menegaskan relevansi kajian atau

assessment ini ke dalam energi terbarukan, ke dalam supply dan demand, masalah accessability,

availability, acceptability dan affordability. Misalnya sebuah pembangkit minihidro perlu untuk

membuat infrastruktur minihidro, tanahnya sudah cukup, konturnya sudah tepat, konsep

penyusunannya juga sudah disusun. Namun, setelah ditanya apakah harga listriknya akan terjangkau

bagi masyarakat sekitar, ketika sudah dibangkitkan, maka kontraktor pada umumnya akan menyatakan

bahwa hal tersebut tidak berada dalam wewenang mereka. Maka, setelah listrik tersebut dijual ke PLN,

akan menjadi kewenangan PLN untuk menentukan harga listrik tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa seberapa besarnya upaya untuk mengintegrasikan gender, apabila masih

terdapat pintu-pintu dimana social gender tidak dapat masuk, maka isu gender tidak akan masuk

sepenuhnya. Hal yang sama berlaku untuk perangkat-perangkat gender lainnya yang sudah ada selama

ini. Itu sebabnya, penting untuk membuat isu gender sebagai isu yang relevan, dan dibuat agar

kontribusinya menjadi sangat signifikan.

Kedua, banyak sekali proyek energi terbarukan yang tidak memiliki perspektif gender, kebanyakan

analisis gender yang dilakukan hanya mengutamakan akses dan manfaat saja, tidak mencakup kontrol

dan partisipasi. Contohnya terjadi di daerah Lombok Utara, di salah satu desa yang paling miskin,

13

terdapat sepasang suami-istri yang mengelola mikrohidro, PLTMH. Akses listrik ini dinikmati oleh sekitar

400 rumah tangga. Peran yang dilakukan oleh pasangan ini adalah merawat fasilitas minihidro. Bahkan

ketika mati lampu terjadi pun, sang istri ikut melihat kondisi dari fasilitas energi terbarukan tersebut.

Namun, setelah diputuskan untuk mendirikan institusi guna mengelola minihidro tersebut, sang istri

tidak diikutsertakan di dalam kepengurusannya. Belajar dari pengalaman ini, perlu dipastikan bahwa isu

partisipasi di dalam pembangunan fasilitas minihidro, seharusnya tidak hanya diterapkan pada saat

konstruksi proyek saja, tapi juga saat operasional dan pemeliharaan. Hal ini menjadi kendala dari

beberapa proyek terbarukan, dan jika diperlukan untuk meninjau lebih jauh lagi, maka kemungkinan

sebuah fasilitas energi terbarukan untuk mangkrak menjadi kecil, dikarenakan pelibatan perempuan

dalam operasional dan perawatan, di mana perempuan lebih telaten. Namun, perlu diperhatikan juga

isu mengenai double burden, di mana perempuan jangan menjadi terbeban oleh pekerjaan-pekerjaan

yang sifatnya komunitas.

Terkait dengan data pilah, perlu ada kehati-hatian saat mengumpulkan dan menyediakan data tersebut.

Dalam sebuah feasibility study terdapat satu bab khusus mengenai sosial ekonomi, di mana pada saat

pembangunan mikrohidro, data pilah yang seharusnya diberikan. Terdapat 2 jenis data yang responsif

gender: (i) data terpilah yang digunakan untuk melihat GAP; (ii) data spesifik gender, misalnya data

kematian maternal bukanlah data terpilah, tapi data ini menunjukkan kesenjangan. Komponen sosial

ekonomi yang ada di sini merupakan peluang yang belum dilihat dari energi terbarukan, misalnya

bagaimana penyediaan energi dari energi terbarukan dapat meningkatkan perekonomian perempuan.

Seringkali gender assessment diterjemahkan lain oleh beberapa konsultan. Itu sebabnya, isu yang terkait

harus dibuat relevan. Misalnya, kalau dari sisi energi terbarukan di Indonesia, yang relevan adalah

bagaimana mengatasi kemiskinan energi. Relevansi lainnya yang bisa digunakan adalah dengan

memaparkan korelasi yang ditunjukkan di Gambar 2 di atas, di mana keberadaan listrik dapat membuat

persentase penduduk miskin menurun. Integrasi gender dapat dilihat pada saat: (i) ketika infrastruktur

energi terbarukan dibangun; (ii) pada saat implementasi, misalnya pada pembangkitan dan O&M

(operational and maintenance)-nya; (iii) impact dari penyediaan listrik tersebut.

4 Pengalaman HIVOS dalam pengarusutamaan gender di bidang energi HIVOS saat ini telah melakukan beberapa proyek energi terbarukan, yang terbesar adalah Sumba Iconic

Island (SII), yang juga menjadi tempat pembelajaran untuk memastikan apakah energi terbarukan dapat

digunakan oleh masyarakat Indonesia. Perspektif terbesar yang dipegang oleh HIVOS terkait dengan

energi adalah bahwa energi merupakan hak, dan tidak seharusnya ada masyarakat yang tertinggal

dalam hal akses energi. Indonesia sebenarnya negara yang kaya akan sumber energi terbarukan, dan itu

adalah modalitas yang seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. HIVOS memulai

pekerjaannya di bidang biogas sejak tahun 2009, dan saat ini sudah mencakup 16 propinsi, hingga

sekarang HIVOS membentuk institusi yang disebut dengan Rumah Energi.

Sumba Iconic Island (SII) merupakan inisiatif yang dimulai dari tahun 2011, dengan target untuk

mencapai 100% energi terbarukan, di mana Sumba menjadi pilot-nya. Sumba dipilih karena potensi

energi terbarukannya yang besar, sehingga seharusnya dapat digunakan oleh semua orang, mengingat

14

bahwa energi terbarukan merupakan hak bagi seluruh masyarakat. Isu gender masuk ke dalamnya,

karena adanya fakta bahwa pengguna energi terbesar adalah kaum perempuan, dan pada saat yang

bersamaan, perempuan juga merupakan pihak yang paling terkena dampak. Contoh dari dampaknya

adalah masalah kesehatan (seperti ISPA dan kesehatan ibu saat melahirkan), memasak, atau pun rumah

sakit (tanpa listrik,tidak mungkin ada rumah sakit). Masalah penerangan untuk pendidikan dan

kelangsungan sekolah, juga berhubungan dengan akses pada energi. Itu sebabnya inklusivitas perlu

untuk diterapkan, untuk mewujudkan prinsip tidak ada satu pun orang yang tertinggal (no one's left

behind), yang juga merupakan prinsip dari Sustainable Development Goals (SDGs).

Prinsip ini seharusnya dapat memudahkan dalam menyusun indikator, karena menggunakan hak sebagai

basis berpikir. Memasukkan indikator gender sebenarnya tidak sulit, jika panduan akses, partisipasi,

kontrol dan manfaat, sudah ada. Menggunakan basis hak akan membantu bagaimana hak seseorang di

dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Apabila hal ini diterapkan, maka tidak akan ada lagi

persoalan di mana perempuan tidak dapat mengikuti musrembang dalam bidang energi, atau dalam

pengambilan keputusan untuk isu-isu terkait dengan energi. Selama ini perempuan selalu mengambil

manfaat di belakang, namun tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan, misalnya.

Seluruh regulasi dan kebijakan yang ada sebenarnya harus diperiksa kembali, karena RPJMN 2015-2019

Indonesia sebenarnya masih buta gender. RPJMN diturunkan dari SDGs, sehingga harus melihat juga apa

yang menjadi goal-goal dari SDGs. Misalnya, ada goal 5, kesetaraan gender, ada goal 7 energi bersih,

goal 10 mengenai bagaimana mengurangi ketimpangan. Ketimpangan dan kesenjangan untuk energi di

Indonesia sangat besar. Indonesia barat dengan Indonesia timur, yang paling senjang itu adalah

Indonesia timur.

Goal 17 dari SGDs adalah kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan, yang formulasinya masih

sangat sederhana sekali. Kemitraan yang seharusnya tidak hanya kemitraan di dalam, tapi juga

kemitraan di luar.

Terkait dengan monitoring, gender analysis pathway tidak hanya sekedar ditaruh saat project akan

dilakukan. Tanpa pathway pun, sebenarnya bisa menggunakan metode yang berbeda. HIVOS

menggunakan metode GALS, Gender Analysis Learning System. GALS menuntut para partisipan untuk

menggambar. Metode ini menggabungkan laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama memikirkan

visi, apa yang menjadi visi bersama untuk energi, sehingga tidak hanya berhenti di kegiatan saja, tapi

memiliki keberlanjutan setelah kegiatan tersebut selesai.

Misalnya perangkat seperti Harvard model, yang merupakan perangkat sederhana untuk mengetahui

apakah adil gender terjadi di rumah. Keadilan gender di bidang energi sebenarnya berawal dari keadilan

gender di rumah. Ini adalah tantangan, karena keadilan gender sebenarnya bukan hanya tentang

perempuan. Proyek HIVOS di Sumba juga mendorong ibu-ibu untuk melakukan tenun. Jika listrik

tersedia, maka pekerjaan menenun akan dilakukan sampai malam misalnya. Namun, di lain pihak juga

diperiksa apakah pekerjaan menenun dilakukan sampai malam, jangan sampai kita mendorong

perempuan untuk tereksploitasi. Jangan sampai ibu-ibu yang melakukan pekerjaan tenun hingga tengah

malam, kemudian yang menjual adalah suami, di mana suami dapat menentukan harga sesuka hatinya.

15

Itu sebabnya, proses pengambilan keputusan seharusnya tidak hanya terjadi di awal, tapi bagaimana

kita bisa mendorong laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama mengambil keputusan ketika

menjual hasil tenunan. Harus bisa dipastikan bahwa para ibu juga mendapatkan keuntungan lebih dari

penjualan tersebut.

Keadilan gender tidak bisa hanya berhenti pada saat melakukan pelatihan gender, namun juga harus

diperiksa setelahnya pada saat melakukan implementasi. Oleh karena itu, HIVOS sangat mendorong

pengorganisasian perempuan dan laki-laki.

5 Pertanyaan yang muncul dari diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di dalam diskusi, adalah:

1. Terkait dengan indikator. Kegiatan yang terkait dengan energi terbarukan memang harus responsif

gender, dan memang ada poin-poin yang melibatkan informasi dan partisipasi di dalam pengambilan

keputusan, namun bagaimana perihal perempuan dan informasi? Ada kekhawatiran bahwa yang disebut

sebagai akses informasi hanyalah sebatas sosialisasi dan satu arah. Perlu juga dipikirkan bagaimana

peran teknologi di dalam distribusi informasi, karena perempuan tidak selalu melek teknologi. Jadi,

kalau informasinya hanya dipaparkan melalui website saja, misalnya, ada kemungkinan bahwa

perempuan tidak akan dapat mengakses informasi tersebut.

2. Terkait dengan partisipasi. Hal ini juga berkaitan erat dengan akses informasi. Jika perempuan tidak

mendapatkan pengetahuan yang tepat pada kadar yang cukup, maka perempuan tidak akan bisa terlibat

banyak. Untuk dapat meningkatkan partisipasi perempuan, sepertinya perlu untuk dibuat semacam

zona aman bagi perempuan dapat berpartisipasi, karena pada umumnya perempuan tidak percaya diri

jika harus digabung dengan laki-laki untuk diskusi. Ruang khusus bagi perempuan untuk dapat bertukar

pikiran dengan sesamanya, perlu untuk dibuat.

3. Terkait dengan gender budget. Ini bisa digunakan untuk capacity building bagi perempuan untuk

mendapatkan informasi, juga perlu diadakan capacity building untuk K/L, agar K/L bisa mengerti perihal

gender.

4. Perlunya dibuat sebuah mekanisme komplen, yang dapat digunakan. Misalnya ada satu kegiatan di

mana perempuan tidak merasakan dampak seperti yang dijanjikan sebelumnya, maka, keberadaan

suatu mekanisme komplen yang aman akan sangat bermanfaat di mana perempuan tidak akan merasa

terintimidasi pada saat terlibat dalam ruang-ruang pengambilan keputusan mengenai berbagai macam

hal.

5. Terkait dengan kinerja K/L dalam implementasi rencana aksi untuk gender. KPPPA sebenarnya

sudah memiliki beberapa MoU dengan kementerian lain. Apakah ada semacam sangsi jika K/L tidak

melakukan apa yang menjadi rencana aksinya? Bagaimana membuat strategi terkait untuk membuat

gender menjadi perhatian bagi K/L yang lain, menjadi cukup penting.

16

6. Terkait dengan teknologi energi terbarukan. Teknologi energi terbarukan menjadi kurang dekat

dengan perempuan, mulai dari sisi perencanaan dan sebagainya. Hal ini jelas terlihat, karena

kebanyakan teknologi energi terbarukan tidak dekat dengan perempuan, mulai dari perencanaan hingga

implementasinya. Saat ini misalnya yang terkait dengan teknologi biogas, penggunaan energi air, hal

tersebut dinyatakan kurang dekat dengan perempuan. Dalam beberapa hal, di beberapa tempat,

walaupun fasilitas biogas sudah dibuat, namun tidak digunakan, dan sebagian besar pengguna energi di

daerah tersebut adalah perempuan. Perempuan juga kebanyakan tidak dilatih atau diikutsertakan dari

awal, misalnya penggunaan biogas seharusnya untuk energi rumah tangga di dapur misalnya untuk

masak. Mulai dari awal perencanaan, perempuan jarang sekali diikutsertakan dalam partisipasi sehingga

energi yang sebenarnya cocok untuk perempuan, tidak didiskusikan.

Kemudian juga untuk pemeliharaan, perempuan seringkali hanya menerima saja. Misalnya untuk biogas,

kompornya sudah tersedia dan langsung dipakai, namun perempuan tidak dilatih mengenai bagaimana

memelihara teknologi tersebut, sehingga pada saat peralatan biogasnya mengalami masalah teknis, para

perempuan tidak tahu bagaimana caranya memperbaikinya.

Salah satu wilayah kerja PEKKA di Sulawesi Tenggara, merupakan penghasil mete, yang sebenarnya bisa

digunakan sebagai bahan baku energi, namun karena belum ada penelitiannya, potensi ini menjadi tidak

terpakai. Apakah daerah lain tidak melakukan pengembangan biogas menjadi bentuk yang lebih

sederhana lagi, sehingga tidak menciptakan kerumitan bagi perempuan?

Memang pada prakteknya adalah relevansi dari teknologi energi terbarukan belum tertangkap oleh para

pelaku energi terbarukan, karena bagi para pelaku, yang penting adalah adanya peluang bisnis, dan ada

peluang untuk menyediakan kemudahan pelaksanaan di lapangan. Diskusi mengenai juknis untuk DAK di

tahun 2017 pun belum menyentuh hal ini, hanya masalah teknis. Jadi, masalahnya adalah memang

relevansi isu gender tidak sampai ke lapangan. Kalau dijelaskan mengenai relevansinya di lapangan di

awal, dan bagaimana praktisnya di lapangan, sebenarnya akan menjadi pengurangan biaya dari pihak

pelaku, yang artinya memberikan keuntungan.

Masyarakat biogas Indonesia saat ini juga masih mengembangkan teknologi biogas, dan bekerja sama

dengan kampus, asosiasi-asosiasi dan praktisi yang lain. Terkait dengan proyek MCAI, saat ini

Masyarakat Biogas Indonesia sedang mengembangkan lembaga sertifikasi teknologi energi terbarukan.

Tapi sebenarnya manfaatnya atau solusi yang dicapai adalah bagaimana energi terbarukan yang

terpasang di lapangan, memiliki operator dan ada pemeliharaan. Jika sudah ada informasi mengenai

skala ketelatenan, di mana perempuan memiliki skala yang lebih tinggi dari laki-laki, maka para

pengembang akan menyasar perempuan untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi biaya.

Terkait dengan kemudahan teknologi, sebenarnya bisa saja dilakukan. Hal ini disebabkan karena sebagai

pengembang, yang harus dicapai adalah target-target yang sudah ditetapkan. Bagaimana teknologi yang

diinginkan? Apalagi bentuk dari teknologi itu akan banyak tergantung dari permintaan.

Pemikiran lainnya yang muncul di dalam diskusi adalah yang terkait dengan isu teknologi energi biogas

dari sampah. Hal ini sebenarnya berangkat dari kegiatan sosial, kegiatan kemasyarakatan, berangkat dari

kegiatan tingkat RW. Sampah dapat menjadi kegiatan yang dapat ditinjau, karena di dalam rumah

17

tangga, adalah ibu-ibu yang mengurus sampah. Intervensi yang dapat dilakukan terkait dengan teknologi

adalah bagaimana mengurangi aktivitas ibu-ibu yang berat mengurusi sampah, menjadi ringan.

Teknologi energi terbarukan untuk biogas memang memiliki design yang gender netral, dan pada

pengembangan biogas di awal-awal, akan selalu melekat dengan tempat pengguna beraktivitas.

Pengalaman salah satu peserta FGD dalam membangun biogas, adalah bagaimana pemilihan lokasi

untuk biogas yang dekat dengan kandang sapi, karena petani yang memiliki sapi, pada umumnya akan

bekerja di lokasi tersebut. Pagi-pagi akan memerah sapi, sehingga kalau melihat design-design biogas

yang bagus, pasti akan diupayakan untuk pengurangan beban kerja, dengan cara membangunnya di

dekat kandang. Misalkan design untuk input bahan baku, maka input akan dibuat sesederhana mungkin.

Jika kandang sapi yang terbuat dari semen, hanya tinggal mengguyur air, dan didorong saja agar kotoran

sapi dapat masuk ke tempat pemrosesan, tanpa perlu diangkut. Dalam perjalanannya, kebanyakan

design-design yang dilakukan seringkali tidak memperhitungkan aspek itu. Biogasnya kadang dibuat jauh

dari kandang, yang menyebabkan kotoran sapi harus diangkut kemudian dimasukkan sebagai bahan

baku. Hal tersebut tidaklah praktis, namun hal ini tidak pernah diperhitungkan di dalam design teknis.

Berbicara mengenai DAK, seluruh aspek design-nya merupakan aspek teknis, mencakup ukuran dome,

lebar mulut masuk, lebar pipa, dan tidak pernah berbicara mengenai bagaimana teknologi ini dapat

mengurangi waktu untuk masuk sebagai bahan baku, bahkan pengurangan waktu untuk menggunakan

tenaga yang lancar.

Kementerian ESDM, yang memiliki peran untuk memberikan panduan teknis, dapat mempertimbangkan

untuk memasukkan aspek ini. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan KPPPA, untuk

mengembangkan panduan teknis untuk pembangunan pembangkit listrik yang berbasis komunitas, atau

biogas yang berbasis komunitas, yang sensitif dan responsif gender. Harus diperhatikan juga bahwa

sensitif dan responsif gender adalah dua hal yang berbeda, namun tetap harus dituangkan ke dalam

aturan teknis, yang harus memiliki dasar evaluasi.

7. Untuk dapat mengevaluasi keberhasilan PUG, perlu dilihat kualitas PPRG-nya. Kajian yang dilakukan

oleh IESR masih bersifat sangat umum, tapi belum memberikan rekomendasi mengenai apa yang harus

diperbaiki secara detail ke depannya, agar kualitas pelaksanaan PPRG meningkat. Misalnya, apakah

PPRG dilakukan dari awal sampai akhir? Jika tidak dilaksanakan, apa penyebabnya? Hal-hal tersebut

yang harus diidentifikasi dan dicari jalan keluarnya. Saat ini terdapat 7 prasyarat sebelum pelaksanaan

PUG. Perlu dilihat apakah prasyarat-prasyarat ini dipenuhi atau tidak oleh K/L-K/L? Kajian IESR juga

seharusnya memuat gambaran dari pelaksanaan pengarusutamaan gender di sektor energi. Hambatan

apa yang dihadapi, baik dari sisi komitmen, kemampuan SDM, ketersediaan data dan lainnya.

EBTKE sudah menyatakan bahwa tidak ada indikator gender dalam energi terbarukan secara spesifik. Itu

sebabnya kajian ini juga melibatkan para pelaku dari energi terbarukan, dan bagaimana kemungkinan

untuk para konsultan dalam melakukan gender assessment, karena sudah teridentifikasi bahwa banyak

konsultan yang belum memahami isu gender secara baik.

18

8. Pemahaman mengenai gender. Melakukan pengarusutamaan gender dapat diawali dari kegiatan

kemasyarakatan dan dapat juga menggunakan lembaga atau forum, seperti pembelajaran dari Sumba

Iconic Island.

9. Visi penggunaan energi. Pemikiran yang muncul terkait dengan visi adalah apa yang ingin dilihat dari

190 kabupaten kota, yang belum memiliki akses energi. GAP bisa memberikan analisis terkait dengan

kebijakan yang sudah ada, tadi juga data pembukanya ada 190 KK, kesenjangannya apa, kesenjangan

internal, itu bisa dimasukkan. Jadi nanti untuk rekomendasi ke asdep, untuk 3 tahun ke depan itu,

melaksanakan yang tahun 190 KK itu belum terakses energi terbarukannya itu.

10. Terkait dengan data. Untuk ke depannya, perlu rekomendasi terkait dengan 190 KK yang belum

mendapatkan akses pada energi tersebut, di mana saja propinsinya, ada berapa propinsi, kemudian,

dibuat roadmap-nya untuk 3 tahun mendatang. Berapa yang dapat dicapai di tahun pertama, dan

seterusnya, hingga seluruh kabupaten/kota tersebut dapat dijangkau.

Saat ini mungkin ada persoalan dengan data BPS yang tidak tidak menyediakan data terpilah, baik yang

terkait dengan gender, jenis kelamin, atau yang lainnya. Data terkait dengan kemampuan, disabilitas,

maternity untuk yang perempuan, jenis kelamin, juga tidak kelihatan. Sementara GAP membutuhkan

pemilahan data. Sebuah pemikiran muncul terkait dengan kesesuaian penggunaan GAP dengan situasi

yang ada di Pemerintah. Apa yang harus diperbaiki, apakah datanya yang harus dipilah, termasuk soal

maternity khusus, kebutuhan khusus perempuan, atau juga usia, disabilitas, dan juga kelompok

termarginalkan lainnya. Atau mungkin, harus menambahkan alat analisis lain, yang lebih spesifik

menyasar dan melihat bagaimana mengkaji kebutuhan tersebut lebih dalam, mulai dari unsur analisis

pemberdayaan yang melihat dari kesejahteraan, kesadaran, hingga pemberdayaannya seperti apa.

11. Terkait dengan implementasi GAP. Walaupun sudah ada panduan dari Bappenas, namun GAP yang

disusun masih belum terlihat. Langkah pertama, dari GAP merupakan program yang sudah dilakukan

atau yang akan dilakukan, yang artinya sudah ada program yang direncanakan. Artinya adalah ada

proses sinkronisasi yang harus dilakukan untuk mensinkronkan dengan proses untuk penyusunan

program kerja pemerintah. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tapi juga oleh

pemerintah daerah. Jadi sebenarnya, GAP merupakan tahap berikutnya dan bukan tahap awal; APKM-

lah yang merupakan tahap awal. APKM sebenarnya dibutuhkan sebagai input untuk mengisi GAP. Hal ini

tidak teridentifikasi di dalam panduan yang disusun oleh Bappenas. Pertanyaannya adalah jika APKM

akan dimasukkan, akan dimasukkan pada proses yang mana dari perencanaan pembangunan?

GAP di Indonesia disusun ketika gender belum dipelajari, namun, pada saat itu, situasinya adalah

Indonesia sudah memiliki program dan kegiatan. Oleh karena itu, tahapan yang harus dilalui harus

dipilih, apakah di-gender-sensitif-kan atau di-gender-responsif-kan. Jadi, tanpa mengidentifikasi APKM,

yang penting adalah bagaimana melihat kegiatan tersebut sebagai kegiatan yang prioritas. Saat ini yang

diinginkan adalah bagaimana membuat kegiatan yang responsif gender. Itu sebabnya keluar perangkat

GAP, yang harus dijawab di tahap RKP. Hal ini tercantum di pedoman PPRG yang telah disiapkan oleh

kementerian PPN Bappenas.

19

Gender analysis yang dilakukan di tahapan pertama, di tahapan makro, dan akan dilihat di masing-

masing bidang pembangunan, misalnya di bidang energi, bagaimana analisis situasinya. Di tahapan

trilateral meeting, ketika ada usulan kegiatan tematik ARG dari K/L, akan dilihat hubungannya apakah

kegiatan yang diajukan tersebut memang layak atau tidak, dan apakah kegiatan ini berhubungan atau

tidak dengan isu gender yang di tingkat makro, baru setelah itu dapat dinilai apakah kegiatan tersebut

dapat diterima atau tidak. Setelah hal ini selesai, maka akan dilanjutkan dengan melakukan GAP di

tahapan ini. APKM sendiri dapat digunakan baik makro maupun mikro, karena APKM sebenarnya adalah

indikator. Gender sensitif bukan hanya terkait dengan masalah perencanaan, namun bagaimana setelah

hal tersebut dilaksanakan, tetap dapat dimanfaatkan oleh masing-masing keluarga.

12. Terkait dengan gender budget sensitif. Bagaimana mengaitkan antara GAP dengan gender budget

sensitif? Hal ini perlu diselaraskan karena Kementerian Keuangan memiliki prosesnya sendiri, dan harus

dilihat bagaimana sinergitasnya dengan perangkat analisis yang lain.

13. Terkait dengan safeguard. Pada saat perencanaan proyek energi terbarukan, harus pula

memperhitungkan dampak dari dibangunnya energi terbarukan tersebut, jadi tidak hanya dilihat dari

manfaatnya, namun juga implikasi setelah proyek tersebut berjalan. Contohnya, dalam kasus proyek

biomassa dengan menggunakan bambu sebagai bahan bakar. Namun, untuk pengadaannya, diperlukan

lahan untuk ditanam. Artinya, diperlukan konsultasi partisipatif antara laki-laki dan perempuan, untuk

menentukan penggunaan lahan dari proyek tersebut. Misalnya, menggunakan lahan 'tidur', yang banyak

digunakan oleh keluarga miskin di Indonesia, sebagai subsisten mereka, dan bagi kaum perempuan,

lahan tersebut merupakan lahan yang ditanami pisang, yang dapat dijual saat musim panen.

Contoh kedua adalah pembangunan mini-hidro. Pada umumnya, yang akan dilihat adalah debit air, serta

kebutuhan petani untuk pengairan, namun, ada livelihood tertentu, yang hanya dilakukan oleh

perempuan, misalnya untuk menangkap ikan-ikan kecil, yang mungkin tidak diperhatikan sebelumnya

pada saat mengajukan rancangan teknis.

Itu sebabnya, safeguard ini perlu dicantumkan pada panduan teknis untuk energi terbarukan, untuk

memastikan bahwa energi terbarukan untuk feedstock supply itu tidak akan menganggu harkat hidup

perempuan atau kelompok yang terpinggirkan.

14. Pentingnya kerjasama antar kementerian, dalam hal ini KESDM dan KPPPA. Adanya pembagian

peran dari KESDM dan KPPPA, karena hal ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh KESDM sendirian.

Aspek gender merupakan aspek yang sangat sosial, yang sangat mendukung pembangkitan yang

dibangun oleh KESDM. Keterlibatan KPPPA akan menjadi sangat signifikan, terutama di dalam

memberikan sosialisasi atau capacity building, bukan hanya kepada Kementerian, namun juga kepada

Pemda, mengingat DAK merupakan usulan dari Pemda, dan akan dikerjakan oleh Pemda.

KESDM telah memiliki panduan untuk menyusun FS, namun untuk aspek sosial, informasi yang

dikumpulkan sampai dengan saat ini, hanya sejauh jumlah rumah tangga, mata pencaharian, dan

penghasilan rata-rata, dan belum sampai kepada bagaimana keterlibatan masing-masing perempuan di

dalam masing-masing proyek, yang tentunya akan sangat berbeda di tiap-tiap lokasi.

20

15. Mekanisme PPRG harus dilakukan di seluruh level, baik di level pusat maupun di level propinsi

bahkan di level distrik, terutama karena mekanisme dan sistemnya sudah ada. Hal yang sama berlaku

untuk technical guidance-nya, sehingga di level pusat dan di level propinsi, ada yang bertanggung jawab,

mengingat di level birokrasi, orang seringkali tidak tahu kemana harus melapor.