laporan akhir hibah bersaing (aphb)
TRANSCRIPT
1
KODE/ NAMA RUMPUN ILMU :112/ KIMIA
LAPORAN AKHIR
HIBAH BERSAING
(APHB)
PEMANFAATAN KITOSAN-ALGINAT MIKROSPERIS
SEBAGAI PENG-ENCAPSULASI PADA PEMBUATAN
OBAT ANTI TUBERCULOSIS (OAT) SISTEM LEPAS TERKENDALI
MELALUI TEKNIK ENCAPSULASI
Tahun ke 3 dari rencana 3 tahun
TIM PENGUSUL
DR. SARI EDI CAHYANINGRUM, M.Si (NIDN:0029127002)
DR. NUNIEK HERDYASTUTI, M.Si (NIDN:0010117004)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
DESEMBER 2015
2
3
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan 2
Daftar Isi 3
Ringkasan 4
Kata Pengantar 5
Bab I Pendahuluan 6
Bab II Tinjauan Pustaka 10
Bab III Metode Penelitian 14
Bab IV Jadwal Pelaksanaan 18
Bab V Hasil pembahasan 21
Bab VI Simpulan dan Saran 36
Daftar Pustaka 37
Lampiran 1: Artikel dan paten
4
RINGKASAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di Indonesia,
utamanya menggerogoti paru-paru dan merupakan penyakit menular. Berdasarkan
hasil survie diketahui bahwa sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Oleh karena
ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang murah, berkualitas dan
berkesimbungan akan berdampak positif bagi perekonomian, kesehatan dan
masyarakat Indonesia. Tujuan penelitian ini secara keseluruhan (3 tahun) adalah
membuat OAT sistem lepas terkendali dengan memanfaatkan kitosan-alginat
mikrosperis sebagai bahan peng-encapsulasi, sehingga akan dihasilkan OAT dengan
kualitas yang lebih baik daripada OAT yang sudah ada selama ini. OAT yang
diencapsulasi adalah isoniazid yang merupakan obat primer bagi penderita TBC.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun kedua dimana hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan surfactan tween 80 memperbaiki Morfologi dan
strukut permukaan isoniazid terencapsulasi, permukaannya lebih halus tidak ada
agregat, ukuran porinya tersebar lebih homogen sehingga lebih aman dan tidak
melukai bagi lsistem pencernaan khusunya bagian lambung dan usus. Analisa ukuran
ukuran partikel menunjukkan bahwa jumlah partikel berukuran nano lebih banyak
dibandingkan isoniazid yang dalam proses enkapsulasinya tidak menggunakan tween
80. Banyaknya jumlah partikel yang berukuran nano akan menyebabkan jumlah
isoniazid yang tennekapsulasi banyak, sehingga efisiensinya terenkapsulasi juga
meningkat. Data ini menunjukkan bahwa penambahan tween 80 akan meningkatkan
efisiensi enkapsulasi isoniazid pada matriks dibandingkan yang tidak terencapsulasi.
Hasil uji disolusi di analisis dengan persamaan kinetika model orde nol, orde satu,
Higuchi & Korsmeyer-Peppas. Kinetika release isoniazid secara in vitro pada
medium lambung dan usus menunjukkan isoniazid pelepasan/release itu adalah
dominan Korsmsyer-Peppas.Berdasarkan Harga n yang diperoleh, semua rumusan
mempunyai n antar 0.45 dan 0.89 menunjukkan bahwa pelepasan/release obat
mengikuti kombinasi mekanisme erosi dan difusi.
Pada tahun ketiga OAT isoniasid terencapsulasi akan dikarakterisasi lebih
lanjut yang meliputi uji in vivo menggunakan Mycobacterium Tuberculosis dan
hewan uji yang terinfeksi bakteri menentukan uji histopatologi dan toksisitas pada
jaringan hati dan paru-paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isoniazid
terenkapsulasi mempunyai efek positif terhadap Mycobacterium Tuberculosis. OAT
yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu solusi dalam
menyelesaikan permasalahan penyediaan OAT yang berkesinambungan, murah dan
berkualitas yaitu obat dengan efikasi dan efektifitas terapi yang tinggi. Hal ini akan
memberi efek positif bagi industri farmasi, ekonomi dan masyarakat Indonesia
khususnya penderita TB. Selain itu pada akhir program telah dihasilkan 1 paten, 2
publikasi pada jurnal internasional, 1 artikel pada seminar internasional dan 2 artikel
pada seminar nasional
Kata kunci: kitosan-alginat, Obat Anti Tuberculosis, sistem lepas terkendali,
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh Yang Maha Kuasa , yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia – Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan
program pengabdian pada masyarakat ini.
Program pengabdian pada masyarakat ini memperoleh dana dari Proyek
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Direktorat Pembinaan Penelitian Dan
Pengabdian Pada Masyarakat Dirjen Dikti Depdiknas Tahun Anggaran 2015 melalui
program IbM. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada : Ketua DP2M,
Rektor Unesa, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Unesa,
Kepala Laboratorium Kimia UNESA, Pimpinan, para mitra, mahasiswa kimia yang
membantu sehingga terwujud laporan PPM ini.
Akhirnya rasa syukur kami Panjatkan Kehadirat Illahi yang telah memberi
hidup dan kesempatan berkarya. Semoga laporan ini bermanfaat.
Surabaya, Nopember 2015
Tim Peneliti
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di
Indonesia, utamanya menggerogoti paru-paru yang merupakan penyakit menular.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia untuk penanggulangan TBC di
Indonesia melalui program implementasi strategis DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) yang meliputi lima komponen, 2 dintaranya adalah:
pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan ketersediaan OAT yang tidak
terputus akan tercapai.
Berdasarkan hasil survie diketahui bahwa sekitar 75% pasien TB adalah
kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan
seorang seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai
4 bulan. Ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang murah, berkualitas dan
berkesimbungan akan berdampak positif bagi perekonomian, kesehatan dan
masyarakat Indonesia.
Pasien yang positif mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis (kuman
TB), diharuskan menjalani pengobatan selama 6 hingga 9 bulan secara terus menerus
tanpa terputus (Tsabitha, 2010). Berarti diperlukan biaya dan jumlah obat yang relatif
banyak untuk proses penyembuhan. Ketersediaan obat dengan efikasi obat dan
efektifitas terapi meningkat tentu sangat diperlukan. Sedangkan OAT yang telah ada
selama ini adalah OAT dalam bentuk tablet,OAT ini kurang efektif karena akan larut
sebelum sampai pada sasaran, untuk itu diperlukan OAT bentuk lain untuk lebih
menyempurnakannya yaitu OAT system lepas terkendali, yaitu OAT yang
terencapsulasi pada bahan yang aman dan bisa melindungi obat dari pengaruh
lingkungan yang kurang menguntungkan.
Berbagai bahan dapat digunakan untuk peng-encapsulasi sediaan farmasi
sistem lepas terkendali seperti CMC, gelatin, selulosa asetat ftalat, polivinil alcohol,
alginat dan kitosan. Bahan-bahan tersebut mempunyai kelemahan bila digunakan
sendiri-sendiri, karena itu para peneliti menggabungkan beberapa bahan untuk
digunakan sabagai matriks. Misalnya Huang (2007) menggunakan kitosan-Ntrimetil
klorida nanopartikel untuk obat asma, cisplatin-kitosan glycol untuk antitumor telah
diteliti oleh Park (2008). Kitosan merupakan polisakarida alami yang dapat diisolasi
7
dari cangkang berbagai nematoda. Kitosan mempunyai sifat yang menguntungkan
antara lain nontoksik, hydrophilicity, biocompatibility, biodegradability, dan sifat anti
bakteri (Wang, 2011). Kitosan dapat digunakan sebagai matriks penghantaran insulin
(Yin, 2009; Makhlof, 2010). Penelitian Huo (2010) menunjukkan bahwa kitosan
dapat digunakan sebagai pembawa obat antitumor. Kombinasi kitosan dengan bahan-
bahan yang menghasilkan efek sinergis akan yang menguntungkan untuk digunakan
sebagai matriks pada enkapsulasi OAT khususnya rifamicin, isoniazid dan
pirazinamid. Pada penelitian ini akan dipelajari bagaimana kualitas mikrosperis yang
dibuat dari paduan kitosan-alginat. Selanjutnya OAT yang sudah diencapsulasi
menjadi OAT system lepas terkendali akan diujicoba aktivitasnya secara in in vivo
serta toksisitasnya apabila OAT ini digunakan secara terus-menerus. Untuk
mengantarkan arah penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dari
penelitian ini yaitu:.
Permasalahan utama dalam penelitian tahun ketiga ini adalah:
Uji in vivo menggunakan Mycobacterium Tuberculosis dan hewan uji yang
terinfeksi bakteri, uji farmakinetik untuk mengetahui bioavailabilitas dengan
menentukan harga Cmax dan Tmax dan uji histopatologi dan toksisitas pada jaringan
limpa, hati, paru-paru.
1. Bagaimana aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis
2. Bagaimana aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis yang
diinfeksikan pada hewan uji?
3. Berapakah harga Cmax dan Vmax dari OAT ?
4. Bagaimana hasil uji histopatologi OAT pada liver?
5. Bagaimana hasil uji histopatologi OAT pada limpha?
6. Bagaimana hasil uji histopatologi OAT pada paru-paru
7. Bagaimana toksisitas OAT apabila digunakan secara terus-menerus selama
waktu pemberian 1,2,3,4,5 dan 6?
B. Urgensi (keutamaan ) Penelitian
Dewasa ini, teknologi pembuatan sediaan obat yang bersistem lepas
terkendali (control release system) mendapat perhatian besar pada bidang
pengembangan formula obat terutama untuk formulasi obat-obatan yang memiliki
stabilitas rendah, bioavailabilitas kecil atau toksisitas tinggi. Pendekatan yang saat ini
dipandang paling prospektif untuk pembuatan sediaan lepas terkendali ini adalah
8
dengan menggunakan teknik enkapsulasi. Penyalutan bahan aktif dalam suatu partikel
spheris berukuran sangat kecil (mikro hingga nanometer) akan memungkinkan untuk
menghantarkan obat pada area target dan melepaskannya secara terkendali sehingga
efikasi obat dan efektifitas terapi meningkat.
Berdasarkan analisis farmasi sediaan obat dalam bentuk kapsul akan lebih
efektif dibandingkan bentuk tablet, karena obat akan langsung diserap usus sehingga
obat akan lebih efektif terdistribusi ke dalam sasaran (Wang, 2011).Obat anti
tuberculosis yang telah ada selama ini adalah dalam bentuk tablet, bentuk ini akan
langsung berinteraksi dengan cairan tubuh mulai mulut sampai lambung, sehingga
banyak yang terlarut sebelum sampai lambung. Hal ini menyebabkan efikasi obat
menurun. Untuk itu perlu dilakukan upaya membuat obat sistem lepas terkendali yang
mengatur obat supaya tepat sasaran. Prospek penelitian tentang pengembangan
bionanopartikel berbasis kitosan untuk matriks sediaan farmasi khususnya OAT
sangat strategis karena akan menghasilkan teknologi baru dan berkualitas khususnya
OAT. Hal tersebut akan memberikan efek bagi industri farmasi dalam negeri, produk
sediaan obat sistem lepas terkendali untuk OAT yang inovatif ini adalah sangat
berdampak positif. Berarti hasil penelitian akan mampu membuat produk farmasi
yang mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding OAT yang sekarang
tersedia di pasaran yaitu bentuk tablet.
Ketersediaan bahan baku kitosan dan alginate yang merupakan produk alami
Indonesia serta proses sintesisnya yang tidak rumit dan biaya yang relatif murah
merupakan potensi yang menjanjikan bagi industri farmasi. Industri ini dapat
memproduksi sediaan OAT dengan harga yang murah dan berkualitas sehingga
ketersediaan obat secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi akan terpenuhi. Hal
tersebut sangat diperlukan karena bagi pasien yang positif mengandung kuman
Mycobacterium tuberculosis (kuman TB), diharuskan menjalani pengobatan selama 6
hingga 9 bulan tanpa terputus. Berarti diperlukan biaya dan jumlah obat yang relatif
banyak untuk proses penyembuhan.
C. Temuan/inovasi yang ditargetkan serta penerapannya
Pengembangan teknologi enkapsulasi dengan bahan biomaterial kitosan-
alginat dalam penelitian ini merupakan teknologi terkini dibidang farmasi. Hal ini
merupakan upaya peneliti untuk ambil bagian dalam penguatan Sistem Inovasi
Nasional (SINas) agar Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia.
9
Formula tentang enkapsulasi obat yang telah dipatenkan sudah kedaluarsa, yaitu paten
kedaluarsa dari USA 20080233200 tentang nanoparticles for protein drugs delivery
yang mengkombinasikan kitosan-poli asam glutamate. Inovasi penelitian ini dengan
mengkombinasi kitosan-alginat sebagai peng-encapsulasi OAT akan ikut mewarnai
teknologi kesehatan dan obat yang akan diproduksi dan sekaligus dipatenkan.
Inovasi yang diunggulkan peneliti adalah dengan memanfaatkan potensi alam
Indonesia yaitu kitosan yang berasal dari cangkang udang yang tersedia melimpah,
alginate yang bisa diisolasi dari alga yang juga melimpah di Indonesia, mudah dan
murah harganya sedemikian rupa sehingga sifat unggul dari material dapat
terekspresikan dalam produk yang bermutu. Hasil penelitian ini akan menghasilkan
teknologi baru dalam bidang kesehatan dan obat yang tentunya menjadi bahan kajian
dan layak untuk dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi maupun
internasional. Selain itu kajian tentang pengembangan partikel mikrosperis berbasis
kitosan ini merupakan kajian terkini sehingga dapat dibuat buku rujukan untuk
pengembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan dan obat. Paten internasional
tentang hal tersebut sudah kedaluarsa yang memungkinkan hasil penelitian ini untuk
dipatenkan. Adapun paten nasional belum ditemukan terkait dengan pemanfaatan
mikrosperis berbasis kitosan untuk matriks sediaan Obat Anti Tuberculosis, sehingga
hasil penelitian ini akan berpeluang besar untuk mendapatkan paten.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Potensi Kitosan Sebagai Sediaan Farmasi
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang sudah dilakukan
oleh peneliti tentang potensi kitosan dalam berbagai bidang. Penelitian Disertasi
(2009) tentang pembuatan kitosan bead (speris) untuk imobilisasi papain, Hibah
Stranas (2010) serta penelitian hibah Kompetensi Dikti (2011) telah menghasilkan
kitosan nanopartikel yang dimanfaatkan untuk matriks imobilisasi glukosa isomerase
dan kitosan nanofiber untuk imobilisasi papain. Pada penelitian tersebut kitosan tidak
dikombinasi dengan bahan lain, dan setelah dievaluasi hal tersebut kurang
menguntungkan. Untuk itu pada penelitian ini kitosan disinergiskan dengan alginat
untuk membuat mikrosperis yang bisa digunakan sebagai peng-encapsulasi obat anti
tuberculosis.
Kitosan dengan rumus molekul (1-4) 2-Amino 2-deoksi D-glukosamin
adalah kitin yang telah mengalami deasetilasi. Kitin merupakan polimer alami dengan
kelimpahan terbesar kedua setelah selulosa. Adanya gugus amina dari hasil
deasetilasi tersebut menyebabkan kitosan lebih banyak pemanfaatannya dibanding
kitin. Dewasa ini kitosan banyak dimanfaatkan pada industri makanan, kesehatan,
obat-obat pertanian, pengolahan limbah dan industri lainnya. Melihat potensi kitosan
tersebut maka kitosan mempunyai peluang yang besar untuk dipakai sebagai matriks
encapsulasi obat. Kitosan mempunyai sifat yang menguntungkan antara lain
nontoksik, hydrophilicity, biocompatibility, biodegradability, dan sifat anti bakteri
(Wang, 2011). Kitosan dapat digunakan sebagai matriks penghantaran insulin (Yin,
2009; Makhlof, 2010). Penelitian Huo (2010) menunjukkan bahwa kitosan dapat
digunakan sebagai pembawa obat antitumor. Kombinasi kitosan dengan bahan-bahan
yang menghasilkan efek sinergis akan yang menguntungkan untuk digunakan sebagai
matriks pada mikroenkapsulasi OAT khususnya, isoniazid . Berbagai bahan dapat
digunakan untuk matriks sediaan farmasi sistem lepas terkendali seperti CMC,
gelatin, selulosa asetat ftalat, polivinil alcohol, alginat dan kitosan. Bahan-bahan
tersebut mempunyai kelemahan bila digunakan sendiri-sendiri, karena itu para peneliti
menggabungkan beberapa bahan untuk digunakan sabagai matriks. Pada penelitian
ini akan dipelajari bagaimana kualitas mikrosperis yang dibuat dari paduan kitosan-
11
alginat, selanjutnya diujicobakan untuk peng-encapsulasi sediaan OAT isoniasid
sehingga pada akhir program akan dihasilkan obat anti TB dengan kualitas yang
bagus.
B. TBC dan Penanganannya
Penyakit TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat :Tahun 1995,
hasil survei kesehatan Rumah Tangga(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TBC
merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah Penyakitkardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari
golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus
baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan
setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita Baru TBC paru BTA
positif. Penyakit TBC menyerang sebagian besar kelompok usia kerja belum dapat
menjangkau seluruh Puskesmas. Demikian juga Rumah Sakit Pemerintah, Swasta dan
unit pelayanan kesehatan lainnya. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat
yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga telah menimbulkan
kekebalan ganda kuman TBC terhadap obat Anti–tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug
Resistance (MDR).
Dalam rangka menyukseskan pelaksanaan penanggulangan TBC, Prioritas
ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan penggunaan obat yang rasional dan
paduan obat yang sesuai dengan strategi DOTS. Ketersediaan OAT bagi semua
penderita TBC yang ditemukan. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara
berkala dan terus menerus. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO) keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung
jawab petugas kesehatan.
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan
sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang
digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC
akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan
penderita menelan obot , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung
(DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO )
12
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Selain itu
ketersediaaan OAT yang berkualitas sangat diperlukan tentunya dengan biaya yang
murah, karena penderita TB harus mengkonsumsi OAT secara rutin selama 6-9 bulan.
C. Isoniasid sebagai Obat Tuberculosis
Tuberkulosis (TBC) dapat menyerang berbagai organ tubuh tetapi yang akan
dibahas adalah obat TBC untuk paru-paru. Tujuan pengobatan TBC ialah
memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya
pengobatan dengan obat TBC dapat menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik
pada uji dahak maupun biakan kuman dan hasil ini tetap negatif selamanya.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,
Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat
ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.
Meskipun demikian, pengobatan TBC paru-paru hampir selalu menggunakan tiga
obat yaitu INH, rifampisin dan pirazinamid pada bulan pertama selama tidak ada
resistensi terhadap satu atau lebih obat TBC primer ini. Isoniazid atau isonikotinil
hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik
(menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri). Dikenal
dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang, Dosis harian yang
dianjurkan 5 mg/kk BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam
nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat
(mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid
menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh
metanol dari mikobakterium.
Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar
puncak diperoleh dalam waktu 1–2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid
13
mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh
faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma.
Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas dan atau toksisitas
isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari.
Efek samping pemakaian isoniasid adalah mual, muntah, anoreksia, letih,
malaise, lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus,
reaksi hipersensitivitas, demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit
kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6,
penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik, ginekomastia, gejala reumatik,
gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus.
Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC
dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan
cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat kurangnya
kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu antara
6–9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obatselama menjalani
terapi. Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua
tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga
untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin (vitamin B6).
Adapun Roadmap penelitian ini adalah :
Tahun 2001-2005 2005-2008 2009-11 2013-2015 2016-2020
Bahan
Dasar Kitosan dari limbah cangkang
udang
Kitosan dari
limbah udang
Kitosan dari
limbah udang ,
ion logam
Kitosan-
alginat
Kitosan –
alginat,
TPP, Gum
Proses
Isolasi
kitin
dan
deaseti
lasi
kitin
Preparasi
kitosan
terimpreg
nasi
Prepara
si
kitosan
cair
Preparasi
nano beads
Preparasi nano
beads kitosan
dg crosslink
ion logam
Preparasi
kitosan-alginat
mikrosperis
Preparasi
nanopartik
el
Teknologi
Batch batch Batch encapsulasi encapsulasi encapsulasi encapsulas
i
Produk Kitosa
n
serbuk
Kitosan
serbuk
terimpreg
nasi
Kitosan
cair
Kitosan
nanobeads
Matriks
imobilisasi
enzim
Kitosan –
alginat
mikrosperis
Kitosan
alginate,
TPP
nanopartik
el
Aplikasi/
Penerapan
Adsorb
en ion
Adsorben
ion logam
Aditif
pada
Adsorben Imobilisasi
enzim
Penghantaran
obat
Penghanta
ran Obat
14
logam produk
makana
n
Penelitian
Adsorpsi ion logam pada
kitosan serbuk terimpregnasi
Kitosan sebagai pengenyal
tahu, bakso dan mi
Adsorpsi ion
logam
dengan
kitosan
nanobeads
Imobilisasi
enzim pada
kitosan dg
crosslink ion
logam
Pemanfaatan
kitosan-
alginate pada
pembuatan
OAT
Terencapsulasi
Pemanfaat
an kitosan
pada
berbagai
bidang
farmasi
15
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A.Tujuan dari penelitian ini
Tahun pertama:
1. Mendapatkan komposisi terbaik isoniasid-kitosan-alginat (OAT system lepas
terkendali)
2. Mendapatkan karakteristik fisika dan kimia isoniasid terencapsulasi pada
kitosan-alginat mikrosperis
3. Mendapatkan data kemampuan swelling isoniasid terencapsulasi
dibandingkan isoniasid tablet.
4. Publikasi pada jurnal ilmiah terakreditasi dan /atau interasional
Tahun kedua:
1. Mendapatkan isoniasid terencapsulasi yang telah teruji:
a.fotostabilitasnya
b. kenetika releasenya pada larutan fisiologis usus dan lambung
c. aktivitasnya secara in vitro
d. Publikasi pada jurnal internasional
e. paten
Tahun ketiga
1. Mendapatkan isoniasid terencapsulasi yang telah teruji
a. Sifat farmakinetiknya
b. Aktivitasnya secara in vivo
c. Efek toksisitasnya apabila digunakan secara terus menerus
2. Publikasi pada jurnal internasional/nasional
B. Manfaat Penelitian ini :
Hasil penelitian berupa OAT terencapsulasi yang dihasilkan dari penelitian ini
diharapkan menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan penyediaan
OAT yang berkesinambungan, murah dan berkualitas yaitu obat dengan efikasi dan
efektifitas terapi yang tinggi. Hal ini akan memberi efek positif bagi industri farmasi,
ekonomi dan masyarakat Indonesia khususnya penderita TB.
16
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Sasaran Penelitian
Sasaran dari penelitian ini adalah Isoniasid terencapsulasi kitosan-alginat.
B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan sebagai berikut:
1. Uji in vivo isoniazid terenkapsulasi
Rancangan penelitian eksperimental ini mengikuti rancangan ”The Post-Test
Only Control Group Design” yang dioperasionalkan seperti Gambar di bawah ini.
Gambar 3.1. Rancangan Proses uji in vivo dan
Uji toksisitas isoniasid
Keterangan:
I = isoniasid tanpa encapsulasi
II = isoniasid terencapsulasi
Data 1 merupakan data yang diperoleh dari uji in vivo OAT tanpa encapsulasi,
sedangkan data 2 merupakan data yang diperoleh dari uji in vivo OAT terencapsulasi.
C. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium kimia biokimia Jurusan
Kimia FMIPA UNESA. Beberapa analisa dilakukan di Laboratorium MIPA Terpadu
dan di farmasi Unair
D. Waktu penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 tahun (2013-2015), pada tahun ketiga penelitian
berlangsung direncanakan selama 8 bulan dimulai bulan Mei 2015 sampai Nopember
2015
Tanpa encapsulasi
R
II
I
encapsulasi
Uji in vivo
Iuji invivo
Karakterisasi
Karakterisasi
Data 1
Data 2
17
E. Luaran Penelitian Penelitian:
Secara keseluruhan luaran penelitian selama 3 tahun ini adalah:
1. Dihasilkannya obat anti tuberculosis sistem lepas terkendali, yaitu Isoniasid
yang terencapsulasi pada kitosan-alginat mikrosperis yang sudah
terkarakterisasi dan teruji sesuai standar farmasi.
2. Publikasi pada jurnal terakreditasi/internasional
3. Paten
Luaran Tahun ketiga:
1. Mendapatkan isoniasid terencapsulasi yang telah teruji:
a. Kinetika control release
b. aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis
c. aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis yang
diinfeksikan pada hewan uji diamati toksisitas OAT apabila digunakan
secara terus-menerus selama waktu pemberian 1,2,3,4,,5 dan 6.
2. Publikasi pada jurnal nasional/ internasional
18
Adapun metode pencapaian sasaran meliputi beberapa tahap kegiatan yang akan
secara keseluruhan dilakukan selama 3 tahun. Bagan Alirnya
Fish Bone kegiatan penelitian
OAT Terenkapsulasi dengan
berbagai data karakteritiknya
-Komposisi, pH, waktu
,kecepatan pengadukan
-Karakteristik fisika kimia
Uji swelling
Uji in vitro
Uji kinetika
control release
uJi in vivo
Uji toksisistas
TAHUN ke-1:
pembuatan OAT
TAHUN ke-2
: karakterisasi
TAHUN ke-3 :
uji aktivitas
Enzim papain
(terimobilisasi pada
bionanopartikel Kitosan
(2009)
Bionanopartikel
kitosan-alginat
Enzim glukosa
isomerase
(terimobilisasi pada
bionanopartikel
Kitosan (2009)
19
F. Metodologi Penelitian Pada Tahun III
1. Alat dan Bahan
Bahan
Kitosan diisolasi dari cangkang udang windu dengan metode Hong(1989).
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini alginat, HCl, buffer pH 2-7,
isoniazid, NaOH, akuades, air bebas mineral, membran cellopan, kultur
mycobacterium tuberculosis, hewan uji, bahan untuk uji in vivo, bahan untuk uji
toksisitas, bahan untuk uji Cmax, Vmax.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) peralatan gelas seperti
labu takar, tabung reaksi, gelas pengaduk, pipet volume, corong gelas. (2) peralatan
analisis seperti Spektrofotometer UV-vis Lamda bio 20, Perkin Elmer. (3) peralatan
penunjang seperti: shaker berpenangas, tabung sentrifus, sentrifus merk Fischer
scientific dengan kecepatan maksimum 3500 RPM, botol film, pH-meter merk Orion
model 710A, kertas saring Whatman 42, neraca analitik Mettler, furnace, kurs
porselin. OAT isoniazid terencapsulasi yang dihasilkan pada tahun kedua
selanjutnya dilakukan berbagai macam uji untuk melengkapi karakterisasi yang
sudah dilakukan pada tahun kedua
20
2. Metodologi Penelitian
Uji in vivo dengan menggunakan M. tuberculosis
Langkah-langkah pengujian aktivitas bakteri:
Melarutkan obat TB yang tidak dienkapsulasi, dienkapsulasi alginat-kitosan
dan dienkapsulasi alginat-kitosan-tween sebanyak 0,0004 g dalam 1 mL akuades.
Larutan divorteks agar larut sempurna. Larutan difilter dahulu agar terbebas dari
bakteri kontaminasi. Larutan dan bakteri Mycobacterium tuberculosis diinjekkan
dalam media .Larutan dan bakteri diinkubasi selama 3 hari. Diamati perkembangan
bakteri TB.
Uji Control release (Farmakope, 2010)
Uji control release dilakukan dengan mengikuti prosedur farmakope yaitu uji release
obat TBC selama 45 menit dengan menggunakan larutan fisiologis lambung dan usus
pada interval waktu, kadar isoniasid setiap interval waktu dianalisis dengan UV-vis.
Data yang diperoleh dianalisa kinetikanya untuk menentukan farmakinetika obat.
Hal yang sama dilakukan pada isoniasid tablet dan datanya dibandingkan.
Uji in vivo menggunakan hewan uji (Pandey, 2004)
Hewan uji dinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Hewan uji yang
digunakan adalah mencit. Mencit diinfeksi dengan menggunakan M. Tuberculosis
selama 40 hari. Mencit yang terinfeksi diberi perlakuan pemberian OAT selama 1-6
hari. Dose pengobatan TBC menggunakan Isoniazid adalah 10 mg/kg berat badan
tiga kali sehari. Mencit yang digunakan pada penelitian ini mempunyai berat badan 30
gr, sehingga dosis obat yang diberikan adalah 0,3 mg per kali injeksi. Diamati
toksisitasnya pada jaringan paru dan limpha.
21
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Control Release
Data hasil uji control release untuk obat TBC sesuai prosedur standar Farmakope
dilakukan bahwa kemampuan release dari obat TBC tablet (generik) dilakukan uji
selama 45 menit. OAT terenkapsulasi dimasukkan dalam chamber yang berisi larutan
fisiologis lambung dan usus diamati kemampuan releasenya selama 45 menit. Kadar
pirazinamid yang terlarut dalam medium larutan buffer selama rentang waktu 45
menit dapat disajikan dalam bentuk kurva seperti Gambar 1. Kurva yang berbanding
lurus menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah obat yang terdisolusi seiring
dengan bertambahnya waktu. Pelepasan obat secara perlahan dan terkontrol
ditunjukkan oleh peningkatan jumlah pirazinamid yang terlarut terjadi secara
bertahap.
Peningkatan konsentrasi obat disebabkan oleh mekanisme swelling patch.
Keberadaan Tween 80 yang bersifat higroskopis dapat meningkatkan pembasahan dan
swelling patch. Pori-pori yang terbentuk pada polimer inilah yang berkontribusi pada
pelepasan obat melalui sediaan sehingga meningkatkan konsentrasi obat yang
dilepaskan.
Gambar 1. Kurva Hubungan % Massa OAT terenkapsulasi terhadap Waktu interaksi
Pada Gambar 1 terlihat bahwa sampai 45 menit waktu interaksi pada medium
fisiologis buffer pH 1,2 jumlah OAT terenkapsulasi yang terlepas adalah sekitar 30%
sedangkan pada pH 7,4 yang menggambarkan pH larutan usus halus sekitar 80%
22
OAT terlepas, sedangkan obat yang tidak dienkapsulasi, pada saat dilarutkan dalam
air OAT tersebut langsung air. Berdasarkan hal tersebut dapat diamati bahwa proses
enkapsulasi menambah waktu release suatu obat. Matriks mempunyai peranan yang
sangat penting pada kemampuan release suatu obat. Pada OAT terenkapsulasi, pada
pH 1,2 yaitu pH larutan lambung, OAT yang terlepas sedikit karena pada pH tersebut
kitosan dan tween 80 yang melapisi OAT akan mulai terkikis dan terlarut, sedangkan
pada pH 7,4 yang menggambarkan pH larutan usus jumlah obat yang release
prosentasenya besar. Hal ini menunjukkan bahwa obat baru terlepas dalam jumlah
besar pada larutan usus halus, yang berarti bahwa proses enkapsulasi dapat
diharapkan meningkatkan efektifitas kinerja obat TBC. Kinerja OAT terenkapsulasi
sangat dipengaruhi oleh porositas dari OAT terenkapsulasi. Data hasil analisis
mofologi menunjukkan bahwa OAT terenkapsulasi lebih porous dibanding yang tidak
terenkapsulasi.
Gambar 2. Morfologi permukaan isoniazid terenkapsulasi
Gambar 3. Morfologi permukaan isoniazid serbuk
23
Gambar 2 dan 3 menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan, pada Gambar 3
tampak partikel isoniazid serbuk sangat rapat dan tidak berongga, sedangkan Gambar
1 menunjukkan bahwa permukaan isoniazid terenkapsulasi berongga, bentuknya
homogen dan permukaannya halus. Kondisi ini memberikan keuntungan bahwa
partikel isoniazid dapat keluar dari pori dan terlepas dari matriks dengan terkontrol.
Permukaan yang halus memungkinkan dapat menurunkan iritasi pada saluran
pencernaan bila penderita TB mengkonsumsi obat ini secara terus menerus.
Permukaan yang halus ini dsebabkan oleh peran tween 80 yang dapat menurunkan
tegangan permukaan dan mengunrangi terjadinya penggumpalan atau aglomerasi pada
permukaan partikel.
B. Uji In Vivo
Hasil uji aktivitas isoniazid serbuk dan isoniazid terenkapsulasi ditunjukkan
pada Gambar 4-6. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa hasil uji aktivitas
antituberkulosis pada pada konsentrasi 400 μg/mL menunjukkan adanya
penghambatan bakteri TB walaupun tidak terhambat semua. Berdasarkan uraian di
atas maka disimpulkan bahwa isoniazid dan isoniazid terenkapsulasi aktif secara
efektif terhadap M.tuberkulosis pada konsentrasi diatas sebesar 400 μg/mL
Gambar 4. Kontrol negatif: media tanpa M.tuberculosis
24
Gambar 5. Kontol positif: media yang ditumbuhi M. tuberculosis
Gambar 6. Pertumbuhan M.tuberculosis setelah diberi isoniazid serbuk
Gambar 7. Pertumbuhan M.tuberculosis setelah diberi isoniazid terenkapsulasi
Uji T secara in vivo dilakukan pada hewan mencit dengan berat 20- 30 gr. Pada
mencit yang akan digunakan uji coba, diinfeksi dengan M.tuberculosis selama 40 hari
dengan konsentrasi 104
sell/mL. Waktu yang digunakan untuk infeksi sangat lama
karena konsentrasi dari bakteri TBC yang digunakan sangat kecil sehingga masa
25
inkubasinya juga lama. Setelah diinkubasi maka mencit yang diperkirakan sudah
terinfeksi bakteri TBC disembelih untuk diperiksa organ paru, limpha dan livernya.
Data hasil uji histopatologinya ditunjukkan pada Gambar berikut.
PARU 1 : Tampak subukan sel – sel radang lymphosit, histiosit,
tampak pula kelompok sel2 epitelioid membentuk granuloma
Gambar8. Pembesaran paru-paru 100x,panah kuning:sebukan sel2 radang, merah:
alveoli
Gambar 9. Pembesaran paru-paru 400x,panah hijau: sel lymphosit, merah: epitelioid
yang berkelompok membentuk granuloma,kuning:sel histiosit
26
PARU 2 : Tampak subukan sel – sel radang lymphosit,histiosit dan epitelioid
Gambar 10. Hasil pembesaran paru-paru 100x,panah kuning:sebukan sel2 radang,
merah: alveoli
Gambar mikroskopik pembesaran 400x,panah hijau: sel lymphosit, merah: sel
epitelioid,kuning:sel histiosit
Gambar 11. Hasil pembesaran paru-paru 400x,panah hijau: sel lymphosit, merah: sel
epitelioid,kuning:sel histiosit
27
LIMPA 1 : Pada pulpa merah tampak sebukan sel2 radang,sel lymphosiy,histiosit dan
multinuklieted giant cell
Gambar mikroskopik pembesaran 100x,panah kuning:PULPA PUTIH, merah:
PULPA MERAH
Gambar 12. Hasil pembesaran limpa 100x,panah kuning:PULPA PUTIH, merah:
PULPA MERAH
Gambar 13. Hasil pembesaran limpa 400x,panah hijau: multinukleited giant cell,
merah: sel lymphosit,kuning:sel histiosit
28
LIMPA 2 : Pada pulpa merah tampak sebukan sel2 radang PMN,sel
lymphosiy,histiosit dan multinuklieted giant cell
Gambar mikroskopik pembesaran 100x,panah kuning:PULPA PUTIH, merah:
PULPA MERAH
Gambar 14. Hasil pembesaran limpa 400x,panah hijau: multinukleited giant cell,
merah: sel lymphosit,kuning:sel histiosit
29
HEPAR 1 : Dalam keadaan normal
HEPAR 2 : Pada portal trek tampak sel2 radang lymphosit
Gambar mikroskopik pembesaran 100x,panah hijau sebukan sel lymphosit
pada portal trek
Gambar 15. Hasil pembesaran hepar 100x,panah hijau sebukan sel lymphosit pada
portal trek
30
Gambar 16 . Hasil pembesaran hepar 400x,panah hijau sel lymphosit pada portal trek
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
31
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji
tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang
berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami
komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan teletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
32
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih
milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning
berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran
hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
33
penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
34
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil karakterisasi Isoniasid terencapsulasi secara uji in vivo menggunakan
Mycobacterium Tuberculosis dan hewan uji yang terinfeksi bakteri menentukan uji
histopatologi dan toksisitas pada jaringan hati dan paru-paru menunjukkan bahwa
isoniazid terenkapsulasi mempunyai efek positif terhadap Mycobacterium
Tuberculosis. Hasil tersebut memberikan peluang bahwa enkapsulasi isoniazid dapat
menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan penyediaan OAT yang
berkesinambungan, murah dan berkualitas yaitu obat dengan efikasi dan efektifitas
terapi yang tinggi.
35
DAFTAR PUSTAKA
.
1. Cahyaningrum,S.E, Narsito, Santoso, S.J, Agustini, R,2010, Removal Cu(II) on
Membran Chitosan Alginat, Journal of Coastal Devalopment. 14.5 234-238
2. Departemen Kesehatan Nasional, 2002, Penanganan Tuberculosis secara
Nasional.
3. Huo M, Zhang Y and Zhou, 2010, Synthesis and Characterization of Low-
Toxic Amphiphilic Chitosan Derivatives and Their Apllication as Micelle
Carrier for Antitumor Drugs. IntJ Pharm 394.1-2
4. Makhlof A, Tozuko Y and Takeuchi, 2010, Design and Evalution of Novel pH
Sensitive Chitosan Nanoparticles for Oral Insulin Delivery. Eur J Pharm Sci
10.1016
5. Muhammed Rafeeq P E, Junise V, Saraswathi R. krishnan P.N, Dilip.C, 2010,
Development and characterization of chitosan nanoparticles loaded with
Rifamicin for the treatment of Tuberculoses. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 1 (4).383-390
6. Park, Kim JH, and Kim YS, 2008, Antitumor Efficacy of Cisplatin-loaded
Glycol Chitosan Nanopaticles in Tumor Bearing Mice. J. control Release
127:41-49
7. Tsabitha and Ratna Vijaya, 2010, Design and Evaluation Control Release
Calsium Alginate Microcapsule of Anti Tbercular Drugs For Oral Use. J.of
ChemTech, Voi 2. No.1 pp 88-98
8. Wang Jie Jun and Xiao Wu Zhao, 2011, Recent Advances of Chitosan
Nanoparticles as Drug Carriers, Int. J. of Nanomedicine, 6. 765-774
9. Yin L, Ding J, and He C, 2009, Drug Permeability and Mucoadhesion
Properties of Thiolate Thrimetyl Chitosan Nanoparticles For Oral Insulin
Delivery. Biomaterials 30.(29)703-70
36
37
38
39
40