laporan akhir hibah bersaing (aphb)

40
1 KODE/ NAMA RUMPUN ILMU :112/ KIMIA LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB) PEMANFAATAN KITOSAN-ALGINAT MIKROSPERIS SEBAGAI PENG-ENCAPSULASI PADA PEMBUATAN OBAT ANTI TUBERCULOSIS (OAT) SISTEM LEPAS TERKENDALI MELALUI TEKNIK ENCAPSULASI Tahun ke 3 dari rencana 3 tahun TIM PENGUSUL DR. SARI EDI CAHYANINGRUM, M.Si (NIDN:0029127002) DR. NUNIEK HERDYASTUTI, M.Si (NIDN:0010117004) UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA DESEMBER 2015

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

1

KODE/ NAMA RUMPUN ILMU :112/ KIMIA

LAPORAN AKHIR

HIBAH BERSAING

(APHB)

PEMANFAATAN KITOSAN-ALGINAT MIKROSPERIS

SEBAGAI PENG-ENCAPSULASI PADA PEMBUATAN

OBAT ANTI TUBERCULOSIS (OAT) SISTEM LEPAS TERKENDALI

MELALUI TEKNIK ENCAPSULASI

Tahun ke 3 dari rencana 3 tahun

TIM PENGUSUL

DR. SARI EDI CAHYANINGRUM, M.Si (NIDN:0029127002)

DR. NUNIEK HERDYASTUTI, M.Si (NIDN:0010117004)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

DESEMBER 2015

Page 2: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

2

Page 3: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

3

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan 2

Daftar Isi 3

Ringkasan 4

Kata Pengantar 5

Bab I Pendahuluan 6

Bab II Tinjauan Pustaka 10

Bab III Metode Penelitian 14

Bab IV Jadwal Pelaksanaan 18

Bab V Hasil pembahasan 21

Bab VI Simpulan dan Saran 36

Daftar Pustaka 37

Lampiran 1: Artikel dan paten

Page 4: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

4

RINGKASAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di Indonesia,

utamanya menggerogoti paru-paru dan merupakan penyakit menular. Berdasarkan

hasil survie diketahui bahwa sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang

paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB

dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Oleh karena

ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang murah, berkualitas dan

berkesimbungan akan berdampak positif bagi perekonomian, kesehatan dan

masyarakat Indonesia. Tujuan penelitian ini secara keseluruhan (3 tahun) adalah

membuat OAT sistem lepas terkendali dengan memanfaatkan kitosan-alginat

mikrosperis sebagai bahan peng-encapsulasi, sehingga akan dihasilkan OAT dengan

kualitas yang lebih baik daripada OAT yang sudah ada selama ini. OAT yang

diencapsulasi adalah isoniazid yang merupakan obat primer bagi penderita TBC.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun kedua dimana hasil penelitian

menunjukkan bahwa penambahan surfactan tween 80 memperbaiki Morfologi dan

strukut permukaan isoniazid terencapsulasi, permukaannya lebih halus tidak ada

agregat, ukuran porinya tersebar lebih homogen sehingga lebih aman dan tidak

melukai bagi lsistem pencernaan khusunya bagian lambung dan usus. Analisa ukuran

ukuran partikel menunjukkan bahwa jumlah partikel berukuran nano lebih banyak

dibandingkan isoniazid yang dalam proses enkapsulasinya tidak menggunakan tween

80. Banyaknya jumlah partikel yang berukuran nano akan menyebabkan jumlah

isoniazid yang tennekapsulasi banyak, sehingga efisiensinya terenkapsulasi juga

meningkat. Data ini menunjukkan bahwa penambahan tween 80 akan meningkatkan

efisiensi enkapsulasi isoniazid pada matriks dibandingkan yang tidak terencapsulasi.

Hasil uji disolusi di analisis dengan persamaan kinetika model orde nol, orde satu,

Higuchi & Korsmeyer-Peppas. Kinetika release isoniazid secara in vitro pada

medium lambung dan usus menunjukkan isoniazid pelepasan/release itu adalah

dominan Korsmsyer-Peppas.Berdasarkan Harga n yang diperoleh, semua rumusan

mempunyai n antar 0.45 dan 0.89 menunjukkan bahwa pelepasan/release obat

mengikuti kombinasi mekanisme erosi dan difusi.

Pada tahun ketiga OAT isoniasid terencapsulasi akan dikarakterisasi lebih

lanjut yang meliputi uji in vivo menggunakan Mycobacterium Tuberculosis dan

hewan uji yang terinfeksi bakteri menentukan uji histopatologi dan toksisitas pada

jaringan hati dan paru-paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isoniazid

terenkapsulasi mempunyai efek positif terhadap Mycobacterium Tuberculosis. OAT

yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu solusi dalam

menyelesaikan permasalahan penyediaan OAT yang berkesinambungan, murah dan

berkualitas yaitu obat dengan efikasi dan efektifitas terapi yang tinggi. Hal ini akan

memberi efek positif bagi industri farmasi, ekonomi dan masyarakat Indonesia

khususnya penderita TB. Selain itu pada akhir program telah dihasilkan 1 paten, 2

publikasi pada jurnal internasional, 1 artikel pada seminar internasional dan 2 artikel

pada seminar nasional

Kata kunci: kitosan-alginat, Obat Anti Tuberculosis, sistem lepas terkendali,

Page 5: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

5

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh Yang Maha Kuasa , yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia – Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan

program pengabdian pada masyarakat ini.

Program pengabdian pada masyarakat ini memperoleh dana dari Proyek

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Direktorat Pembinaan Penelitian Dan

Pengabdian Pada Masyarakat Dirjen Dikti Depdiknas Tahun Anggaran 2015 melalui

program IbM. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada : Ketua DP2M,

Rektor Unesa, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Unesa,

Kepala Laboratorium Kimia UNESA, Pimpinan, para mitra, mahasiswa kimia yang

membantu sehingga terwujud laporan PPM ini.

Akhirnya rasa syukur kami Panjatkan Kehadirat Illahi yang telah memberi

hidup dan kesempatan berkarya. Semoga laporan ini bermanfaat.

Surabaya, Nopember 2015

Tim Peneliti

Page 6: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di

Indonesia, utamanya menggerogoti paru-paru yang merupakan penyakit menular.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia untuk penanggulangan TBC di

Indonesia melalui program implementasi strategis DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse) yang meliputi lima komponen, 2 dintaranya adalah:

pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan ketersediaan OAT yang tidak

terputus akan tercapai.

Berdasarkan hasil survie diketahui bahwa sekitar 75% pasien TB adalah

kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan

seorang seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai

4 bulan. Ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang murah, berkualitas dan

berkesimbungan akan berdampak positif bagi perekonomian, kesehatan dan

masyarakat Indonesia.

Pasien yang positif mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis (kuman

TB), diharuskan menjalani pengobatan selama 6 hingga 9 bulan secara terus menerus

tanpa terputus (Tsabitha, 2010). Berarti diperlukan biaya dan jumlah obat yang relatif

banyak untuk proses penyembuhan. Ketersediaan obat dengan efikasi obat dan

efektifitas terapi meningkat tentu sangat diperlukan. Sedangkan OAT yang telah ada

selama ini adalah OAT dalam bentuk tablet,OAT ini kurang efektif karena akan larut

sebelum sampai pada sasaran, untuk itu diperlukan OAT bentuk lain untuk lebih

menyempurnakannya yaitu OAT system lepas terkendali, yaitu OAT yang

terencapsulasi pada bahan yang aman dan bisa melindungi obat dari pengaruh

lingkungan yang kurang menguntungkan.

Berbagai bahan dapat digunakan untuk peng-encapsulasi sediaan farmasi

sistem lepas terkendali seperti CMC, gelatin, selulosa asetat ftalat, polivinil alcohol,

alginat dan kitosan. Bahan-bahan tersebut mempunyai kelemahan bila digunakan

sendiri-sendiri, karena itu para peneliti menggabungkan beberapa bahan untuk

digunakan sabagai matriks. Misalnya Huang (2007) menggunakan kitosan-Ntrimetil

klorida nanopartikel untuk obat asma, cisplatin-kitosan glycol untuk antitumor telah

diteliti oleh Park (2008). Kitosan merupakan polisakarida alami yang dapat diisolasi

Page 7: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

7

dari cangkang berbagai nematoda. Kitosan mempunyai sifat yang menguntungkan

antara lain nontoksik, hydrophilicity, biocompatibility, biodegradability, dan sifat anti

bakteri (Wang, 2011). Kitosan dapat digunakan sebagai matriks penghantaran insulin

(Yin, 2009; Makhlof, 2010). Penelitian Huo (2010) menunjukkan bahwa kitosan

dapat digunakan sebagai pembawa obat antitumor. Kombinasi kitosan dengan bahan-

bahan yang menghasilkan efek sinergis akan yang menguntungkan untuk digunakan

sebagai matriks pada enkapsulasi OAT khususnya rifamicin, isoniazid dan

pirazinamid. Pada penelitian ini akan dipelajari bagaimana kualitas mikrosperis yang

dibuat dari paduan kitosan-alginat. Selanjutnya OAT yang sudah diencapsulasi

menjadi OAT system lepas terkendali akan diujicoba aktivitasnya secara in in vivo

serta toksisitasnya apabila OAT ini digunakan secara terus-menerus. Untuk

mengantarkan arah penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dari

penelitian ini yaitu:.

Permasalahan utama dalam penelitian tahun ketiga ini adalah:

Uji in vivo menggunakan Mycobacterium Tuberculosis dan hewan uji yang

terinfeksi bakteri, uji farmakinetik untuk mengetahui bioavailabilitas dengan

menentukan harga Cmax dan Tmax dan uji histopatologi dan toksisitas pada jaringan

limpa, hati, paru-paru.

1. Bagaimana aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis

2. Bagaimana aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis yang

diinfeksikan pada hewan uji?

3. Berapakah harga Cmax dan Vmax dari OAT ?

4. Bagaimana hasil uji histopatologi OAT pada liver?

5. Bagaimana hasil uji histopatologi OAT pada limpha?

6. Bagaimana hasil uji histopatologi OAT pada paru-paru

7. Bagaimana toksisitas OAT apabila digunakan secara terus-menerus selama

waktu pemberian 1,2,3,4,5 dan 6?

B. Urgensi (keutamaan ) Penelitian

Dewasa ini, teknologi pembuatan sediaan obat yang bersistem lepas

terkendali (control release system) mendapat perhatian besar pada bidang

pengembangan formula obat terutama untuk formulasi obat-obatan yang memiliki

stabilitas rendah, bioavailabilitas kecil atau toksisitas tinggi. Pendekatan yang saat ini

dipandang paling prospektif untuk pembuatan sediaan lepas terkendali ini adalah

Page 8: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

8

dengan menggunakan teknik enkapsulasi. Penyalutan bahan aktif dalam suatu partikel

spheris berukuran sangat kecil (mikro hingga nanometer) akan memungkinkan untuk

menghantarkan obat pada area target dan melepaskannya secara terkendali sehingga

efikasi obat dan efektifitas terapi meningkat.

Berdasarkan analisis farmasi sediaan obat dalam bentuk kapsul akan lebih

efektif dibandingkan bentuk tablet, karena obat akan langsung diserap usus sehingga

obat akan lebih efektif terdistribusi ke dalam sasaran (Wang, 2011).Obat anti

tuberculosis yang telah ada selama ini adalah dalam bentuk tablet, bentuk ini akan

langsung berinteraksi dengan cairan tubuh mulai mulut sampai lambung, sehingga

banyak yang terlarut sebelum sampai lambung. Hal ini menyebabkan efikasi obat

menurun. Untuk itu perlu dilakukan upaya membuat obat sistem lepas terkendali yang

mengatur obat supaya tepat sasaran. Prospek penelitian tentang pengembangan

bionanopartikel berbasis kitosan untuk matriks sediaan farmasi khususnya OAT

sangat strategis karena akan menghasilkan teknologi baru dan berkualitas khususnya

OAT. Hal tersebut akan memberikan efek bagi industri farmasi dalam negeri, produk

sediaan obat sistem lepas terkendali untuk OAT yang inovatif ini adalah sangat

berdampak positif. Berarti hasil penelitian akan mampu membuat produk farmasi

yang mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding OAT yang sekarang

tersedia di pasaran yaitu bentuk tablet.

Ketersediaan bahan baku kitosan dan alginate yang merupakan produk alami

Indonesia serta proses sintesisnya yang tidak rumit dan biaya yang relatif murah

merupakan potensi yang menjanjikan bagi industri farmasi. Industri ini dapat

memproduksi sediaan OAT dengan harga yang murah dan berkualitas sehingga

ketersediaan obat secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi akan terpenuhi. Hal

tersebut sangat diperlukan karena bagi pasien yang positif mengandung kuman

Mycobacterium tuberculosis (kuman TB), diharuskan menjalani pengobatan selama 6

hingga 9 bulan tanpa terputus. Berarti diperlukan biaya dan jumlah obat yang relatif

banyak untuk proses penyembuhan.

C. Temuan/inovasi yang ditargetkan serta penerapannya

Pengembangan teknologi enkapsulasi dengan bahan biomaterial kitosan-

alginat dalam penelitian ini merupakan teknologi terkini dibidang farmasi. Hal ini

merupakan upaya peneliti untuk ambil bagian dalam penguatan Sistem Inovasi

Nasional (SINas) agar Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia.

Page 9: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

9

Formula tentang enkapsulasi obat yang telah dipatenkan sudah kedaluarsa, yaitu paten

kedaluarsa dari USA 20080233200 tentang nanoparticles for protein drugs delivery

yang mengkombinasikan kitosan-poli asam glutamate. Inovasi penelitian ini dengan

mengkombinasi kitosan-alginat sebagai peng-encapsulasi OAT akan ikut mewarnai

teknologi kesehatan dan obat yang akan diproduksi dan sekaligus dipatenkan.

Inovasi yang diunggulkan peneliti adalah dengan memanfaatkan potensi alam

Indonesia yaitu kitosan yang berasal dari cangkang udang yang tersedia melimpah,

alginate yang bisa diisolasi dari alga yang juga melimpah di Indonesia, mudah dan

murah harganya sedemikian rupa sehingga sifat unggul dari material dapat

terekspresikan dalam produk yang bermutu. Hasil penelitian ini akan menghasilkan

teknologi baru dalam bidang kesehatan dan obat yang tentunya menjadi bahan kajian

dan layak untuk dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi maupun

internasional. Selain itu kajian tentang pengembangan partikel mikrosperis berbasis

kitosan ini merupakan kajian terkini sehingga dapat dibuat buku rujukan untuk

pengembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan dan obat. Paten internasional

tentang hal tersebut sudah kedaluarsa yang memungkinkan hasil penelitian ini untuk

dipatenkan. Adapun paten nasional belum ditemukan terkait dengan pemanfaatan

mikrosperis berbasis kitosan untuk matriks sediaan Obat Anti Tuberculosis, sehingga

hasil penelitian ini akan berpeluang besar untuk mendapatkan paten.

Page 10: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi Kitosan Sebagai Sediaan Farmasi

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang sudah dilakukan

oleh peneliti tentang potensi kitosan dalam berbagai bidang. Penelitian Disertasi

(2009) tentang pembuatan kitosan bead (speris) untuk imobilisasi papain, Hibah

Stranas (2010) serta penelitian hibah Kompetensi Dikti (2011) telah menghasilkan

kitosan nanopartikel yang dimanfaatkan untuk matriks imobilisasi glukosa isomerase

dan kitosan nanofiber untuk imobilisasi papain. Pada penelitian tersebut kitosan tidak

dikombinasi dengan bahan lain, dan setelah dievaluasi hal tersebut kurang

menguntungkan. Untuk itu pada penelitian ini kitosan disinergiskan dengan alginat

untuk membuat mikrosperis yang bisa digunakan sebagai peng-encapsulasi obat anti

tuberculosis.

Kitosan dengan rumus molekul (1-4) 2-Amino 2-deoksi D-glukosamin

adalah kitin yang telah mengalami deasetilasi. Kitin merupakan polimer alami dengan

kelimpahan terbesar kedua setelah selulosa. Adanya gugus amina dari hasil

deasetilasi tersebut menyebabkan kitosan lebih banyak pemanfaatannya dibanding

kitin. Dewasa ini kitosan banyak dimanfaatkan pada industri makanan, kesehatan,

obat-obat pertanian, pengolahan limbah dan industri lainnya. Melihat potensi kitosan

tersebut maka kitosan mempunyai peluang yang besar untuk dipakai sebagai matriks

encapsulasi obat. Kitosan mempunyai sifat yang menguntungkan antara lain

nontoksik, hydrophilicity, biocompatibility, biodegradability, dan sifat anti bakteri

(Wang, 2011). Kitosan dapat digunakan sebagai matriks penghantaran insulin (Yin,

2009; Makhlof, 2010). Penelitian Huo (2010) menunjukkan bahwa kitosan dapat

digunakan sebagai pembawa obat antitumor. Kombinasi kitosan dengan bahan-bahan

yang menghasilkan efek sinergis akan yang menguntungkan untuk digunakan sebagai

matriks pada mikroenkapsulasi OAT khususnya, isoniazid . Berbagai bahan dapat

digunakan untuk matriks sediaan farmasi sistem lepas terkendali seperti CMC,

gelatin, selulosa asetat ftalat, polivinil alcohol, alginat dan kitosan. Bahan-bahan

tersebut mempunyai kelemahan bila digunakan sendiri-sendiri, karena itu para peneliti

menggabungkan beberapa bahan untuk digunakan sabagai matriks. Pada penelitian

ini akan dipelajari bagaimana kualitas mikrosperis yang dibuat dari paduan kitosan-

Page 11: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

11

alginat, selanjutnya diujicobakan untuk peng-encapsulasi sediaan OAT isoniasid

sehingga pada akhir program akan dihasilkan obat anti TB dengan kualitas yang

bagus.

B. TBC dan Penanganannya

Penyakit TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat :Tahun 1995,

hasil survei kesehatan Rumah Tangga(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TBC

merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah Penyakitkardiovaskuler dan

penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari

golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus

baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan

setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita Baru TBC paru BTA

positif. Penyakit TBC menyerang sebagian besar kelompok usia kerja belum dapat

menjangkau seluruh Puskesmas. Demikian juga Rumah Sakit Pemerintah, Swasta dan

unit pelayanan kesehatan lainnya. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat

yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga telah menimbulkan

kekebalan ganda kuman TBC terhadap obat Anti–tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug

Resistance (MDR).

Dalam rangka menyukseskan pelaksanaan penanggulangan TBC, Prioritas

ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan penggunaan obat yang rasional dan

paduan obat yang sesuai dengan strategi DOTS. Ketersediaan OAT bagi semua

penderita TBC yang ditemukan. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara

berkala dan terus menerus. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh

Pengawas Menelan Obat (PMO) keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung

jawab petugas kesehatan.

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk

kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan

sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang

digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC

akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan

penderita menelan obot , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung

(DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO )

Page 12: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

12

Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Selain itu

ketersediaaan OAT yang berkualitas sangat diperlukan tentunya dengan biaya yang

murah, karena penderita TB harus mengkonsumsi OAT secara rutin selama 6-9 bulan.

C. Isoniasid sebagai Obat Tuberculosis

Tuberkulosis (TBC) dapat menyerang berbagai organ tubuh tetapi yang akan

dibahas adalah obat TBC untuk paru-paru. Tujuan pengobatan TBC ialah

memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya

pengobatan dengan obat TBC dapat menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik

pada uji dahak maupun biakan kuman dan hasil ini tetap negatif selamanya.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,

Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat

ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,

Kapreomisin dan Kanamisin.

Meskipun demikian, pengobatan TBC paru-paru hampir selalu menggunakan tiga

obat yaitu INH, rifampisin dan pirazinamid pada bulan pertama selama tidak ada

resistensi terhadap satu atau lebih obat TBC primer ini. Isoniazid atau isonikotinil

hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik

(menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri). Dikenal

dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam

beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam

keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang, Dosis harian yang

dianjurkan 5 mg/kk BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu

diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam

nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat

(mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid

menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh

metanol dari mikobakterium.

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar

puncak diperoleh dalam waktu 1–2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid

Page 13: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

13

mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh

faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma.

Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas dan atau toksisitas

isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari.

Efek samping pemakaian isoniasid adalah mual, muntah, anoreksia, letih,

malaise, lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus,

reaksi hipersensitivitas, demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit

kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6,

penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik, ginekomastia, gejala reumatik,

gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus.

Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC

dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan

cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat kurangnya

kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu antara

6–9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obatselama menjalani

terapi. Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua

tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga

untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin (vitamin B6).

Adapun Roadmap penelitian ini adalah :

Tahun 2001-2005 2005-2008 2009-11 2013-2015 2016-2020

Bahan

Dasar Kitosan dari limbah cangkang

udang

Kitosan dari

limbah udang

Kitosan dari

limbah udang ,

ion logam

Kitosan-

alginat

Kitosan –

alginat,

TPP, Gum

Proses

Isolasi

kitin

dan

deaseti

lasi

kitin

Preparasi

kitosan

terimpreg

nasi

Prepara

si

kitosan

cair

Preparasi

nano beads

Preparasi nano

beads kitosan

dg crosslink

ion logam

Preparasi

kitosan-alginat

mikrosperis

Preparasi

nanopartik

el

Teknologi

Batch batch Batch encapsulasi encapsulasi encapsulasi encapsulas

i

Produk Kitosa

n

serbuk

Kitosan

serbuk

terimpreg

nasi

Kitosan

cair

Kitosan

nanobeads

Matriks

imobilisasi

enzim

Kitosan –

alginat

mikrosperis

Kitosan

alginate,

TPP

nanopartik

el

Aplikasi/

Penerapan

Adsorb

en ion

Adsorben

ion logam

Aditif

pada

Adsorben Imobilisasi

enzim

Penghantaran

obat

Penghanta

ran Obat

Page 14: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

14

logam produk

makana

n

Penelitian

Adsorpsi ion logam pada

kitosan serbuk terimpregnasi

Kitosan sebagai pengenyal

tahu, bakso dan mi

Adsorpsi ion

logam

dengan

kitosan

nanobeads

Imobilisasi

enzim pada

kitosan dg

crosslink ion

logam

Pemanfaatan

kitosan-

alginate pada

pembuatan

OAT

Terencapsulasi

Pemanfaat

an kitosan

pada

berbagai

bidang

farmasi

Page 15: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

15

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A.Tujuan dari penelitian ini

Tahun pertama:

1. Mendapatkan komposisi terbaik isoniasid-kitosan-alginat (OAT system lepas

terkendali)

2. Mendapatkan karakteristik fisika dan kimia isoniasid terencapsulasi pada

kitosan-alginat mikrosperis

3. Mendapatkan data kemampuan swelling isoniasid terencapsulasi

dibandingkan isoniasid tablet.

4. Publikasi pada jurnal ilmiah terakreditasi dan /atau interasional

Tahun kedua:

1. Mendapatkan isoniasid terencapsulasi yang telah teruji:

a.fotostabilitasnya

b. kenetika releasenya pada larutan fisiologis usus dan lambung

c. aktivitasnya secara in vitro

d. Publikasi pada jurnal internasional

e. paten

Tahun ketiga

1. Mendapatkan isoniasid terencapsulasi yang telah teruji

a. Sifat farmakinetiknya

b. Aktivitasnya secara in vivo

c. Efek toksisitasnya apabila digunakan secara terus menerus

2. Publikasi pada jurnal internasional/nasional

B. Manfaat Penelitian ini :

Hasil penelitian berupa OAT terencapsulasi yang dihasilkan dari penelitian ini

diharapkan menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan penyediaan

OAT yang berkesinambungan, murah dan berkualitas yaitu obat dengan efikasi dan

efektifitas terapi yang tinggi. Hal ini akan memberi efek positif bagi industri farmasi,

ekonomi dan masyarakat Indonesia khususnya penderita TB.

Page 16: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

16

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Sasaran Penelitian

Sasaran dari penelitian ini adalah Isoniasid terencapsulasi kitosan-alginat.

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan sebagai berikut:

1. Uji in vivo isoniazid terenkapsulasi

Rancangan penelitian eksperimental ini mengikuti rancangan ”The Post-Test

Only Control Group Design” yang dioperasionalkan seperti Gambar di bawah ini.

Gambar 3.1. Rancangan Proses uji in vivo dan

Uji toksisitas isoniasid

Keterangan:

I = isoniasid tanpa encapsulasi

II = isoniasid terencapsulasi

Data 1 merupakan data yang diperoleh dari uji in vivo OAT tanpa encapsulasi,

sedangkan data 2 merupakan data yang diperoleh dari uji in vivo OAT terencapsulasi.

C. Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium kimia biokimia Jurusan

Kimia FMIPA UNESA. Beberapa analisa dilakukan di Laboratorium MIPA Terpadu

dan di farmasi Unair

D. Waktu penelitian

Penelitian ini direncanakan selama 3 tahun (2013-2015), pada tahun ketiga penelitian

berlangsung direncanakan selama 8 bulan dimulai bulan Mei 2015 sampai Nopember

2015

Tanpa encapsulasi

R

II

I

encapsulasi

Uji in vivo

Iuji invivo

Karakterisasi

Karakterisasi

Data 1

Data 2

Page 17: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

17

E. Luaran Penelitian Penelitian:

Secara keseluruhan luaran penelitian selama 3 tahun ini adalah:

1. Dihasilkannya obat anti tuberculosis sistem lepas terkendali, yaitu Isoniasid

yang terencapsulasi pada kitosan-alginat mikrosperis yang sudah

terkarakterisasi dan teruji sesuai standar farmasi.

2. Publikasi pada jurnal terakreditasi/internasional

3. Paten

Luaran Tahun ketiga:

1. Mendapatkan isoniasid terencapsulasi yang telah teruji:

a. Kinetika control release

b. aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis

c. aktivitas OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis yang

diinfeksikan pada hewan uji diamati toksisitas OAT apabila digunakan

secara terus-menerus selama waktu pemberian 1,2,3,4,,5 dan 6.

2. Publikasi pada jurnal nasional/ internasional

Page 18: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

18

Adapun metode pencapaian sasaran meliputi beberapa tahap kegiatan yang akan

secara keseluruhan dilakukan selama 3 tahun. Bagan Alirnya

Fish Bone kegiatan penelitian

OAT Terenkapsulasi dengan

berbagai data karakteritiknya

-Komposisi, pH, waktu

,kecepatan pengadukan

-Karakteristik fisika kimia

Uji swelling

Uji in vitro

Uji kinetika

control release

uJi in vivo

Uji toksisistas

TAHUN ke-1:

pembuatan OAT

TAHUN ke-2

: karakterisasi

TAHUN ke-3 :

uji aktivitas

Enzim papain

(terimobilisasi pada

bionanopartikel Kitosan

(2009)

Bionanopartikel

kitosan-alginat

Enzim glukosa

isomerase

(terimobilisasi pada

bionanopartikel

Kitosan (2009)

Page 19: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

19

F. Metodologi Penelitian Pada Tahun III

1. Alat dan Bahan

Bahan

Kitosan diisolasi dari cangkang udang windu dengan metode Hong(1989).

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini alginat, HCl, buffer pH 2-7,

isoniazid, NaOH, akuades, air bebas mineral, membran cellopan, kultur

mycobacterium tuberculosis, hewan uji, bahan untuk uji in vivo, bahan untuk uji

toksisitas, bahan untuk uji Cmax, Vmax.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) peralatan gelas seperti

labu takar, tabung reaksi, gelas pengaduk, pipet volume, corong gelas. (2) peralatan

analisis seperti Spektrofotometer UV-vis Lamda bio 20, Perkin Elmer. (3) peralatan

penunjang seperti: shaker berpenangas, tabung sentrifus, sentrifus merk Fischer

scientific dengan kecepatan maksimum 3500 RPM, botol film, pH-meter merk Orion

model 710A, kertas saring Whatman 42, neraca analitik Mettler, furnace, kurs

porselin. OAT isoniazid terencapsulasi yang dihasilkan pada tahun kedua

selanjutnya dilakukan berbagai macam uji untuk melengkapi karakterisasi yang

sudah dilakukan pada tahun kedua

Page 20: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

20

2. Metodologi Penelitian

Uji in vivo dengan menggunakan M. tuberculosis

Langkah-langkah pengujian aktivitas bakteri:

Melarutkan obat TB yang tidak dienkapsulasi, dienkapsulasi alginat-kitosan

dan dienkapsulasi alginat-kitosan-tween sebanyak 0,0004 g dalam 1 mL akuades.

Larutan divorteks agar larut sempurna. Larutan difilter dahulu agar terbebas dari

bakteri kontaminasi. Larutan dan bakteri Mycobacterium tuberculosis diinjekkan

dalam media .Larutan dan bakteri diinkubasi selama 3 hari. Diamati perkembangan

bakteri TB.

Uji Control release (Farmakope, 2010)

Uji control release dilakukan dengan mengikuti prosedur farmakope yaitu uji release

obat TBC selama 45 menit dengan menggunakan larutan fisiologis lambung dan usus

pada interval waktu, kadar isoniasid setiap interval waktu dianalisis dengan UV-vis.

Data yang diperoleh dianalisa kinetikanya untuk menentukan farmakinetika obat.

Hal yang sama dilakukan pada isoniasid tablet dan datanya dibandingkan.

Uji in vivo menggunakan hewan uji (Pandey, 2004)

Hewan uji dinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Hewan uji yang

digunakan adalah mencit. Mencit diinfeksi dengan menggunakan M. Tuberculosis

selama 40 hari. Mencit yang terinfeksi diberi perlakuan pemberian OAT selama 1-6

hari. Dose pengobatan TBC menggunakan Isoniazid adalah 10 mg/kg berat badan

tiga kali sehari. Mencit yang digunakan pada penelitian ini mempunyai berat badan 30

gr, sehingga dosis obat yang diberikan adalah 0,3 mg per kali injeksi. Diamati

toksisitasnya pada jaringan paru dan limpha.

Page 21: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

21

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Control Release

Data hasil uji control release untuk obat TBC sesuai prosedur standar Farmakope

dilakukan bahwa kemampuan release dari obat TBC tablet (generik) dilakukan uji

selama 45 menit. OAT terenkapsulasi dimasukkan dalam chamber yang berisi larutan

fisiologis lambung dan usus diamati kemampuan releasenya selama 45 menit. Kadar

pirazinamid yang terlarut dalam medium larutan buffer selama rentang waktu 45

menit dapat disajikan dalam bentuk kurva seperti Gambar 1. Kurva yang berbanding

lurus menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah obat yang terdisolusi seiring

dengan bertambahnya waktu. Pelepasan obat secara perlahan dan terkontrol

ditunjukkan oleh peningkatan jumlah pirazinamid yang terlarut terjadi secara

bertahap.

Peningkatan konsentrasi obat disebabkan oleh mekanisme swelling patch.

Keberadaan Tween 80 yang bersifat higroskopis dapat meningkatkan pembasahan dan

swelling patch. Pori-pori yang terbentuk pada polimer inilah yang berkontribusi pada

pelepasan obat melalui sediaan sehingga meningkatkan konsentrasi obat yang

dilepaskan.

Gambar 1. Kurva Hubungan % Massa OAT terenkapsulasi terhadap Waktu interaksi

Pada Gambar 1 terlihat bahwa sampai 45 menit waktu interaksi pada medium

fisiologis buffer pH 1,2 jumlah OAT terenkapsulasi yang terlepas adalah sekitar 30%

sedangkan pada pH 7,4 yang menggambarkan pH larutan usus halus sekitar 80%

Page 22: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

22

OAT terlepas, sedangkan obat yang tidak dienkapsulasi, pada saat dilarutkan dalam

air OAT tersebut langsung air. Berdasarkan hal tersebut dapat diamati bahwa proses

enkapsulasi menambah waktu release suatu obat. Matriks mempunyai peranan yang

sangat penting pada kemampuan release suatu obat. Pada OAT terenkapsulasi, pada

pH 1,2 yaitu pH larutan lambung, OAT yang terlepas sedikit karena pada pH tersebut

kitosan dan tween 80 yang melapisi OAT akan mulai terkikis dan terlarut, sedangkan

pada pH 7,4 yang menggambarkan pH larutan usus jumlah obat yang release

prosentasenya besar. Hal ini menunjukkan bahwa obat baru terlepas dalam jumlah

besar pada larutan usus halus, yang berarti bahwa proses enkapsulasi dapat

diharapkan meningkatkan efektifitas kinerja obat TBC. Kinerja OAT terenkapsulasi

sangat dipengaruhi oleh porositas dari OAT terenkapsulasi. Data hasil analisis

mofologi menunjukkan bahwa OAT terenkapsulasi lebih porous dibanding yang tidak

terenkapsulasi.

Gambar 2. Morfologi permukaan isoniazid terenkapsulasi

Gambar 3. Morfologi permukaan isoniazid serbuk

Page 23: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

23

Gambar 2 dan 3 menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan, pada Gambar 3

tampak partikel isoniazid serbuk sangat rapat dan tidak berongga, sedangkan Gambar

1 menunjukkan bahwa permukaan isoniazid terenkapsulasi berongga, bentuknya

homogen dan permukaannya halus. Kondisi ini memberikan keuntungan bahwa

partikel isoniazid dapat keluar dari pori dan terlepas dari matriks dengan terkontrol.

Permukaan yang halus memungkinkan dapat menurunkan iritasi pada saluran

pencernaan bila penderita TB mengkonsumsi obat ini secara terus menerus.

Permukaan yang halus ini dsebabkan oleh peran tween 80 yang dapat menurunkan

tegangan permukaan dan mengunrangi terjadinya penggumpalan atau aglomerasi pada

permukaan partikel.

B. Uji In Vivo

Hasil uji aktivitas isoniazid serbuk dan isoniazid terenkapsulasi ditunjukkan

pada Gambar 4-6. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa hasil uji aktivitas

antituberkulosis pada pada konsentrasi 400 μg/mL menunjukkan adanya

penghambatan bakteri TB walaupun tidak terhambat semua. Berdasarkan uraian di

atas maka disimpulkan bahwa isoniazid dan isoniazid terenkapsulasi aktif secara

efektif terhadap M.tuberkulosis pada konsentrasi diatas sebesar 400 μg/mL

Gambar 4. Kontrol negatif: media tanpa M.tuberculosis

Page 24: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

24

Gambar 5. Kontol positif: media yang ditumbuhi M. tuberculosis

Gambar 6. Pertumbuhan M.tuberculosis setelah diberi isoniazid serbuk

Gambar 7. Pertumbuhan M.tuberculosis setelah diberi isoniazid terenkapsulasi

Uji T secara in vivo dilakukan pada hewan mencit dengan berat 20- 30 gr. Pada

mencit yang akan digunakan uji coba, diinfeksi dengan M.tuberculosis selama 40 hari

dengan konsentrasi 104

sell/mL. Waktu yang digunakan untuk infeksi sangat lama

karena konsentrasi dari bakteri TBC yang digunakan sangat kecil sehingga masa

Page 25: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

25

inkubasinya juga lama. Setelah diinkubasi maka mencit yang diperkirakan sudah

terinfeksi bakteri TBC disembelih untuk diperiksa organ paru, limpha dan livernya.

Data hasil uji histopatologinya ditunjukkan pada Gambar berikut.

PARU 1 : Tampak subukan sel – sel radang lymphosit, histiosit,

tampak pula kelompok sel2 epitelioid membentuk granuloma

Gambar8. Pembesaran paru-paru 100x,panah kuning:sebukan sel2 radang, merah:

alveoli

Gambar 9. Pembesaran paru-paru 400x,panah hijau: sel lymphosit, merah: epitelioid

yang berkelompok membentuk granuloma,kuning:sel histiosit

Page 26: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

26

PARU 2 : Tampak subukan sel – sel radang lymphosit,histiosit dan epitelioid

Gambar 10. Hasil pembesaran paru-paru 100x,panah kuning:sebukan sel2 radang,

merah: alveoli

Gambar mikroskopik pembesaran 400x,panah hijau: sel lymphosit, merah: sel

epitelioid,kuning:sel histiosit

Gambar 11. Hasil pembesaran paru-paru 400x,panah hijau: sel lymphosit, merah: sel

epitelioid,kuning:sel histiosit

Page 27: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

27

LIMPA 1 : Pada pulpa merah tampak sebukan sel2 radang,sel lymphosiy,histiosit dan

multinuklieted giant cell

Gambar mikroskopik pembesaran 100x,panah kuning:PULPA PUTIH, merah:

PULPA MERAH

Gambar 12. Hasil pembesaran limpa 100x,panah kuning:PULPA PUTIH, merah:

PULPA MERAH

Gambar 13. Hasil pembesaran limpa 400x,panah hijau: multinukleited giant cell,

merah: sel lymphosit,kuning:sel histiosit

Page 28: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

28

LIMPA 2 : Pada pulpa merah tampak sebukan sel2 radang PMN,sel

lymphosiy,histiosit dan multinuklieted giant cell

Gambar mikroskopik pembesaran 100x,panah kuning:PULPA PUTIH, merah:

PULPA MERAH

Gambar 14. Hasil pembesaran limpa 400x,panah hijau: multinukleited giant cell,

merah: sel lymphosit,kuning:sel histiosit

Page 29: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

29

HEPAR 1 : Dalam keadaan normal

HEPAR 2 : Pada portal trek tampak sel2 radang lymphosit

Gambar mikroskopik pembesaran 100x,panah hijau sebukan sel lymphosit

pada portal trek

Gambar 15. Hasil pembesaran hepar 100x,panah hijau sebukan sel lymphosit pada

portal trek

Page 30: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

30

Gambar 16 . Hasil pembesaran hepar 400x,panah hijau sel lymphosit pada portal trek

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang

terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh

mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB

dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada

sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman

akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus

berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi

pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus

primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer

terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah

kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran

limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12

Page 31: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

31

minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-

104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi

terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya

kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut

ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu

timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji

tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh

terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang

berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB

terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan

segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami

komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar

limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis

atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan

mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru

(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat

terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat

menyebabkan teletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan

dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi

komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis,

yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,

sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan

hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional

Page 32: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

32

membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran

hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di

seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai

vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru

atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan

membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi

pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.

Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi

untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus

SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB

ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya

meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang

disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB

yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi

karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,

misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized

hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang

dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih

milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-

padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning

berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran

hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk

Page 33: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

33

penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di

dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.

Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute

generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Page 34: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

34

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil karakterisasi Isoniasid terencapsulasi secara uji in vivo menggunakan

Mycobacterium Tuberculosis dan hewan uji yang terinfeksi bakteri menentukan uji

histopatologi dan toksisitas pada jaringan hati dan paru-paru menunjukkan bahwa

isoniazid terenkapsulasi mempunyai efek positif terhadap Mycobacterium

Tuberculosis. Hasil tersebut memberikan peluang bahwa enkapsulasi isoniazid dapat

menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan penyediaan OAT yang

berkesinambungan, murah dan berkualitas yaitu obat dengan efikasi dan efektifitas

terapi yang tinggi.

Page 35: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

35

DAFTAR PUSTAKA

.

1. Cahyaningrum,S.E, Narsito, Santoso, S.J, Agustini, R,2010, Removal Cu(II) on

Membran Chitosan Alginat, Journal of Coastal Devalopment. 14.5 234-238

2. Departemen Kesehatan Nasional, 2002, Penanganan Tuberculosis secara

Nasional.

3. Huo M, Zhang Y and Zhou, 2010, Synthesis and Characterization of Low-

Toxic Amphiphilic Chitosan Derivatives and Their Apllication as Micelle

Carrier for Antitumor Drugs. IntJ Pharm 394.1-2

4. Makhlof A, Tozuko Y and Takeuchi, 2010, Design and Evalution of Novel pH

Sensitive Chitosan Nanoparticles for Oral Insulin Delivery. Eur J Pharm Sci

10.1016

5. Muhammed Rafeeq P E, Junise V, Saraswathi R. krishnan P.N, Dilip.C, 2010,

Development and characterization of chitosan nanoparticles loaded with

Rifamicin for the treatment of Tuberculoses. Research Journal of

Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 1 (4).383-390

6. Park, Kim JH, and Kim YS, 2008, Antitumor Efficacy of Cisplatin-loaded

Glycol Chitosan Nanopaticles in Tumor Bearing Mice. J. control Release

127:41-49

7. Tsabitha and Ratna Vijaya, 2010, Design and Evaluation Control Release

Calsium Alginate Microcapsule of Anti Tbercular Drugs For Oral Use. J.of

ChemTech, Voi 2. No.1 pp 88-98

8. Wang Jie Jun and Xiao Wu Zhao, 2011, Recent Advances of Chitosan

Nanoparticles as Drug Carriers, Int. J. of Nanomedicine, 6. 765-774

9. Yin L, Ding J, and He C, 2009, Drug Permeability and Mucoadhesion

Properties of Thiolate Thrimetyl Chitosan Nanoparticles For Oral Insulin

Delivery. Biomaterials 30.(29)703-70

Page 36: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

36

Page 37: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

37

Page 38: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

38

Page 39: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

39

Page 40: LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING (APHB)

40