lapkas bp risa maulida
DESCRIPTION
adasfasfasfaTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Bronkopneumonia ini
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
kepaniteraan klinik stase Pediatri tahun 2015. Dan juga untuk memperdalam pemahaman
tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan kasus ini dr. Ommy
Ariansih, Sp. A yang telah membimbing dalam penyusunan laporan kasus. Terima kasih juga
pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi
dan penyusunan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSIJ Cempaka Putih pada umumnya.
Jakarta, Juni 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUANIstilah pneumoni mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa seluruh
alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Pneumoia hingga saat ini masih tercatat sebagai
masalah kesehatan utama pada anak-anak dinegara berkembang. Pneumonia merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah 5 tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak didunia , lebih kurang 2 juta anak balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi diafrika dan asia tenggara.
Insiden pneumonia dinegara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibaawah usia 5
tahun, 16-22% per 1000 anak pada usai 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada anak yang
lebih tua.
Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Di Indonesia,
pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan
tuberculosis. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan
22,8% kematian balita Indonesia disebabkan oleh penyakit system pernafasan, terutama
pneumonia menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat
pertahun. Angka kematian pneumonia yang dirawat inap berkisar antara 20-35%.
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernafasan yang terjadi pada
bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumoni lebih sering dijumpai pada anak
kecil dan bayi dan biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan
Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan
data WHO, kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20%
pertahun.
BAB II
LAPORAN KASUSA. Identitas Pasien
Nama : An. HKL
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 1 tahun 7 bulan
Alamat : Jl. Kramat Pulo Gundul RT/RW 10/13 no.217
No RM : 00922304
Tgl Masuk : 14 Agustus 2015
Ruang perawatan : Badar (kelas III)
No Kamar : 13
Dokter Anak : dr. Ommy, Sp.A
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan orangtua pasien di bangsal
anak ruangan badar kelas III, pada tanggal 14 Agustus 2015.
a. Keluhan Utama
Sesak sejak 1 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
± 1 minggu SMRS
Ot Os mengeluh Os batuk berhadak dan sulit untuk dikeluarkan, pilek dengan
cairan berwarna putih/bening dan demam. Demam terus menerus naik dan turun jika
diberikan obat paracetamol tapi tidak lama kemudian demam timbul kembali. Ot os
mengaku os sudah berobat dan di uap tetapi keluhan tidak membaik. Demam semakin
tinggi ketika 1 hari SMRS. Kejang (-)
± 1 hari SMRS
Ot Os mengatakan os sesak nafas. Sesak yang dirasakan pasien terus menerus,
dan memberat ketika berbaring, nafas menjadi cepat, saat bernafas terdengar suara
‘grok-grok’ seperti adanya cairan di dalam saluran nafas. Os menjadi sulit tidur dan
gelisah karena keluhan sesak yang dialaminya. tidak terlihat kebiruan dibagian ujung-
ujung jari kaki. Saat ini os menjadi sulit untuk makan. Muntah (-), BAB konsistensi
cair, ampas (-), berlendir (-), darah (-) dengan frekuensi kurang dari 3 kali dalam 1
hari. BAK seperti biasanya dengan warna urin jernih, tidak pekat.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Os sering batuk pilek dan demam sebelumnya tapi tidak pernah sesak napas
d. Riwayat Penyakit keluarga
Di keluarga tidak sedang ada yang mengalami keluhan yang sama seperti os dan
riwayat penyakit atopik di keluarga tidak ada.
e. Riwayat pengobatan
Os sering batuk pilek dan demam sebelumnya tapi tidak pernah sesak napas.
f. Riwayat Alergi
Os Tidak mempunyai riwayat alergi sebelumnya. Tidak ada alergi obat, makanan,
cuaca maupun debu.
g. Riwayat Psikososial
Os tinggal dirumah bersama kedua orang tuanya. Os merupakan anak pertama
dan dirawat oleh ibunya tidak pernah dititipkan ke orang lain. Ayah os adalah perokok
berat tetapi tidak pernah lagi merokok di dalam rumah ketika os sering menderita
batuk dan pilek. Dirumah Ot Os memiliki usaha warnet. Pengguna warnet sering
merokok dan asapnya masuk ke lingkungan rumah os karena warnetnya menyatu
dengan rumah os. Sumber air bersih tersedia, mempunyai jamban keluarga, untuk
keseharian meminum menggunakan air galon.
h. Riwayat kehamilan
Orang Tua Os rutin memeriksakan kandungannya ke bidan.
• Perawatan antenatal: Ibu kontrol secara teratur ke bidan setiap bulan. Tidak ada
masalah selama kehamilan dan janin di dalam kandungan dinyatakan sehat.
• Penyakit selama kehamilan: Riwayat masalah dan penyakit selama masa
kehamilan tidak ada.
• Obat-obatan yang diminum: Ibu mendapatkan vitamin setiap kali melakukan
pemeriksaan kehamilan, dan rutin untuk meminum vitamin yang diberikan.
i. Riwayat persalinan
Penolong persalinan : bidan
Cara persalinan : normal
Masa gestasi : 38 minggu
Keadaan bayi
Berat lahir : 3100 gr
Panjang badan : 49 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Menurut Ibu, bayinya ketika lahir langsung menangis dan kulit bayi berwarna
merah merata. Tidak ada cacat.
j. Riwayat Nutrisi
Os tidak pernah minum ASI ekslusif sejak lahir karena ASI tidak keluar sehingga os
hanya minum susu formula. Usia 6 bulan os diberikan makanan pendamping berupa
nasi tim, bubur atau biskuit yang dilumatkan.
KESAN : Os tidak mendapatkan asi eksklusif
k. Riwayat perkembangan
Motorik kasar : Belum mampu berdiri berpegangan dan berjalan
Motorik halus : Mampu memasukan dan memindahkan barang
Komunikasi : Mampu Memanggil papa, mama
Interaksi sosial : Belum mampu Minum dari gelas
KESAN : perkembangan terjadi perlambatan (Delay development)
l. Riwayat Imunisasi
BCG : 1x saat usia 2 bulan
Polio : 3x saat usia lahir, 2, 4 bulan
DPT : 2x saat usia 2, 4 bulan
Campak : belum dilakukan
Hepatitis B : 2x saat usia lahir, 1 bulan
Kesan : imunisasi belum lengkap.
C. Pemeriksaan fisis
Status Generalisata pada tanggal 14 Agustus 2015
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda Vital :
Nadi : 120 kali/menit,
Laju Pernapasan : 45 kali/menit
Suhu Tubuh : 38,8⁰CAntropometri:
BB : 11,7 kg
PB : 80 cm
Lingkar Kepala : 45 cm
Status Gizi
• BB/U = 11,7/9,4 x 100% = 124% (gizi baik)
• TB/U = 80/74 x 100% = 108% (normal)
• BB/TB= 11,7/11 x 100% = 106% (gizi baik)
• Kesan : Gizi baik
Kepala :
Bentuk dan ukuran : Normochepal, Ubun-ubun tidak cekung, Tidak terdapat tanda
peradangan
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak cekung, Konjungtiva Anemis (-/-) ,Sklera Ikterik
(-/-), Refleks Cahaya (+/+), Edema palpebra (-/-)
Hidung : Normonasi, Nafas cuping hidung (+/+) Epitaksis (-/-), Bekas
trauma (-/-), Sekret (+/+)
Mulut : sianosis (-), Mukosa bibir tidak kering
Lidah : Tidak kotor
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 tidak hiperemis.
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Thorax :
Jantung
Inspeksi: : iktus kordis kuat angkat tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis kuat angkat teraba.
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung murni I dan II, tidak ditemukan gallop atau murmur.
Paru-paru
Inspeksi : simetris kanan dan kiri, terlihat retraksi subcostal, bantuan otot nafas
(+)
Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri normal.
Perkusi : sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : vesikuler normal, Ronkhi +/+ (basah halus), wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada benjolan.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani dikeempat kuadran abdomen.
Ekstremitas superior
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Ekstremitas inferior
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal : 14 Agustus 2015
TANGGAL JAM PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
14/08/15 15.09 Hb 10,3 g/dL 10,8-12,8
Jumlah Leukosit 16,41 103 6,00-17,00
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 2-4
Netrofil batang 5 % 3-5
Netrofil segmen 48 % 25-60
Limfosit 40 % 25-50
Monosit 7 % 1-6
LED 50 Mm 0-20
Hematokrit 29 % 35-43
Jumlah trombosit 362 229-553
Eritrosit 3,54 3,60-5,2
Jumlah retikulosit
Absolut 55 25-75
Persen 1,17 % 0,50-2,00
MCV/VER 83 Fl 73-101
MCH/HER 29 Pg 23-31
MCHC/KHER 35 g/dL 26-34
Na darah 136 mEq/L 135-147
K darah 3,4 mEq/L 3,5-5,0
Cl darah 101 mEq/L 94-111
E. Resume
An. Perempuan, usia 1 tahun 7 bulan dengan keluhan batuk berdahak sulit
dikeluarkan, pilek dan demam sejak 7 hari SMRS, sifat demam terus menerus dan hilang jika
diberikan obat. Os sesak 1 hari SMRS memberat tapi tidak terlihat kebiruan tidak bisa tidur
dan gelisah. BAB cair frekuensi <3x/hari.BAK (+) jernih tidak keruh.
Pada pemeriksaan fisik: Suhu 38°C, RR: 40x/ menit, HR 120x/menit. Cuping hidung (+),
sekret pada hidung (+), Retraksi Subcostal (+), Otot bantu nafas (+), Ronki (+/+).
Pada pemeriksaan laboratorium : penurunan Hb, eosinofil, K darah
peningkatan monosit
F. Assesment :
Febris H7
Dispneu
Batuk pilek
Delay development
G. Rencana Pemeriksaan penunjang :
- Foto rontgen PA
H. Diagnosis
Diagnosis Klinis : Bronkopneumonia berat
Diagnosis Gizi : Gizi baik
Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar belum lengkap
Diagnosis Tum-Bang : Delay development
I. Penatalaksanaan
Medikamentosa:
IVFD RL maintenence:
Kebutuhan cairan :10x100= (1000+(1,7x50))= 1085 cc
Perhitungan TPM : 1085x 20/24 x 60 = 15tpm (makro)
• Antibiotik Ceftriaxon
Dosis terapi : 50-100mg/kgBB/hari
50 x 11,7 = 585 mg
100 x 11,7 = 1170 mg
Range Dose : 585 – 1170mg/ hari
Injeksi : 1 x 1000mg/ 1x 1gr
• Antipiretik Paracetamol
Dosis terapi : 10-15mg/KgBB/kali (waktu paruh 8 jam)
10 x 11,7 = 117mg
15 x 11,7 = 175,5mg
Range Dose :117 – 175,5mg/ kali (3x sehari)
Drop : 3 x 1,5 cc (mengandung 150 mg)
• Mucolitic Ambroksol
Dosis terapi : 0,5mg/KgBB/x (waktu paruh 8 jam)
0,5x11,7 = 5,85mg
Syrup (15mg/5cc) = 3 x1/2 sendok obat
Inhalasi Nebulizer: Salbutamol 2,5mg + Ipartropium bromida 0,25%sol + NaCl
FOLLOW UP PASIEN SELAMA DI RAWAT
Follow up Tanggal 14 Agustus 2014
FOLLOW UP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BRONKOPNEUMONIAA. DEFINISI
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus /
bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh
bakteri,virus, jamur dan benda asing.
B. ETIOLOGI
Usia pasien merupakan factor yang memegang peranan penting pada perbedaan
dan kekhasna bronkopneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi,
gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spectrum mikrooranisme penyebab
pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar . Etiologi pada
neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negative
E.colli, pseudomonas sp, atau klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak
nalita, bronkopneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza tipe B dan Staphylococcus aureus.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara maju
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarangLahir – 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerobStreptococcus group B Streptococcus group DListeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniaeUreaplasma urealyticum
VirusVirus SitomegaloVirus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan
Bakteri BakteriChlamydia trachomatis Bordetella pertussisStreptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe BVirus Moraxella catharalisVirus Adeno Staphylococcus aureusVirus Influenza Ureaplasma urealyticumVirus Parainfluenza VirusRespiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 tahun
Bakteri BakteriChlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe BMycoplasma pneumoniae Moraxella catharalisStreptococcus pneumoniae Neisseria meningitidisVirus Staphylococcus aureusVirus Adeno VirusVirus InfluenzaVirus Parainfluenza 1, 2, 3Virus RinoRespiratory Syncytial virus
5 tahun – remaja
Bakteri BakteriChlamydia pneumoniae Haemophillus influenzaeMycoplasma pneumoniae Legionella spStreptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VirusVirus AdenoVirus Epstein-BarrVirus InfluenzaVirus ParainfluenzaVirus RinoRespiratory Syncytial VirusVirus Varisela-Zoster
Sumber : Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired Pneumonia in infants and children. Am Fam Physician 2004;70 : 899-90 .
C. PATOLOGI DAN PATOGENESIS
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
D. MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis bronkopneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis bronkopneumonia pada anak
adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala
klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan
prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor
patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang
menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan
dalam tatalaksananya.
Gambaran klinis pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
A. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare ; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
B. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perfusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
bronkopneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan
auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
E. BRONKOPNEUMONIA PADA NEONATUS DAN BAYI KECIL
Bronkoneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu anak
yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan
sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari
serviks ibu. Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS
(hospital-acquired pneumonia), misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain ; atau dari
alat kedokteran, misalnya penggunaan ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi
akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari masyarakat (community-acquired
pneumonia).
Spektrum etiologi bronkopneumonia neonatus meliputi Streptococcus group B,
Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E.colli, Pseudomonas,
atau Klebsiela ; disamping bakteri utama penyebab yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylloccus aureus. Oleh karena itu,
pengobatannya meliputi antibiotik yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri
tersebut, misalnya kombinasi antibiotik beta-laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai
adanya infeksi Chlamydia trachomatis yang tidak responsif terhadap antibiotik beta-
laktam.
Gambaran klinis bronkopneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas,
mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi,
muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada
bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan
sepsis atau meningitis. Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan
20-50 %.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
DARAH PERIFER LENGKAP
Pada penyebab virus dan juga pada mikroplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada penyebab bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan
PMN. Leukopenia (< 5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat
(> 30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan
pada keadaan bakteremi, dan resiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi
Chlamydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan
cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan
glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia
ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan
darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi
bakteri secara pasti.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Gambaran radiologi mempunyai bentuk difus bilateral dengan corak infiltrat kecil dan
halus yang tersebar di pinggir lapang paru .
G. PENATALAKSANAAN
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis,
distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis bronkopneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana rawat inap
adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.
Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap
gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik.. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan
adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.
.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya
uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman
empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan etiologi
penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidemiologi.
1. Pneumococcus
a. Penatalaksanaan
Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan
pneumococcus sangat peka terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak,
pengobatan awal dimulai dengan pemberian penisilin G dengan dosis 50.000
unit/kgBB/hari secara intramuskular tanpa penyulit. Terapi ini dilanjutkan sampai
10 hari atau paling tidak sampai 2 hari setelah suhu badan pasien normal. Bila
didapatkan penderita alergi penisilin maka diberikan sefalosporin dengan dosis 50
mg/kgBB/hari.
Asupan cairan per oral secara bebas dan pemberian aspirin untuk
mengatasi demam tinggi, merupakan tambahan utama untuk pengobatan penyakit
ini. Pemberian oksigen segera untuk penderita kesukaran bernafas sebelum
menjadi sianosis.
b. Prognosis
Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini
pada perjalanan penyakit tersebut, maka mortalitas bronkopneumonia akibat
bakteri pneumococcus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi
kurang dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi
rendah.
2. Staphylococcus aureus
a. Penatalaksanaan
Penisilin G dengan dosis 25.000-50.000 unit/kgBB/6 jam secara
intravena. Cefuroxime diberikan sebagai obat tunggal efektif untuk
bronkopneumonia dengan dosis 75 mg/kgBB/hari.
Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian
oksigen disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis dan
kecemasan. Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa-pipa drainase bisa
dilepaskan. Hal ini dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di dalam
rongga toraks lebih dari 5-7 hari.
b. Prognosis
Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan
penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10-30% dan bervariasi
dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita,
pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai.
3. Streptococcus hemolyticus
a. Penatalaksanaan
Obat pilihan yang diberikan adalah penisilin G dengan dosis 100.000
unit/kgBB/hari. Awal pemberiannya secara parenteral, kemudian disempurnakan
dengan pemberian oral selama 2-3 minggu setelah terlihat adanya kemajuan
klinis. Cefuroxime bisa diberikan sebelum kultur bakteri dilakukan dengan dosis
75 mg/kgBB/hari, ini merupakan terapi yang efektif dan sebaiknya dilanjutkan
selama 10 hari.
Bila pada penderita sudah terjadi empiema, maka harus dilakukan
torasentesis untuk tujuan penegakan diagnosa dan mengeluarkan cairan supaya
paru-paru dapat kembali mengembang secara optimal.
b. Prognosis
Angka mortalitas dan morbiditas menurun setelah pengobatan dengan
antibiotika yang sesuai segera diberikan. Selebihnya penyebaran penyakit
selanjutnya jarang terjadi.
4. Haemophilus influenzae
a. Penatalaksanaan
Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol dengan dosis 100
mg/kgBB/hari. Pemberian kloramfenikol ini dikatakan efektif karena obat sangat
aktif mengatasi hasil produksi bakteri ini yaitu berupa beta laktamase dan tidak
menimbulkan efek pada cairan serebrospinal serta memberikan efek bakterisidal
yang lebih bagus dibanding dengan ampicillin.
b. Prognosis
Bila respon awal terhadap pengobatan baik maka diharapkan bakteri
penyebab akan melemah dan tidak mampu lagi menyebar terlalu jauh. Namun
apabila terdapat penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema maka hal tersebut
akan memperburuk prognosisnya.
5. Klebsiella pneumoniae
Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat
dianjurkan karena obat ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini. Terapi yang
diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas paru.
Bila sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi
pengembangan parunya.
F. PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
G. PENCEGAHAN
• Menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini
• Pola hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, istirahat
yang cukup
• Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain: Vaksinasi Pneumokokus, Vaksinasi H. influenza, Vaksinasi Varisela yang
dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, Vaksin influenza yang
diberikan pada anak sebelum sakit.
ENSEFALITIS
A. DEFINISI
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada otak, yang biasanya disebabkan oleh
berbagaimacam mikroorganisme yaitu seperti virus, bakteri, jamur, protozoa atau
parasit. Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai jenis virus dapat
menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang sama.
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya
disebabkan oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga
menyebabkan masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.
B. EPIDEMIOLOGI
Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya ialah
anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%)
yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis
primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer
dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para-infeksiosa masing-masing
mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki.
Virus japanese ensefalitis adalah abovirus yang paling umum didunia (virus yang
ditularkan oleh nyamuk penghisap atau kutu) dan bertanggungn jawab untuk 50.000
kasus dan 15.000 kematian pertahun disebagian besar dari Cina, Asia tenggara, dan
anak benua india.
Kejadian terbesar adalah pada anak-anak dibawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.Untuk Indonesia perlu dipikirkan virus
Rabies, Mumps (penyebab parotitis) dan mungkin Herpes Simpleks. Penyebab dari
ensefalitis adalah paling sering infeksi virus beberapa contoh termasuk virus herpes;
arbovirus diperantarai oleh nyamuk, dan serangga lain dan rabies
C. ETIOLOGI
Penyebab ensefalitis yang paling sering adalah infeksi karena virus. Beberapa contoh
termasuk:
a. Herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2)
b. Selain virus herpes: varicella zoster virus (VZV), cytomegalovirus (CMV),
Epstein-Barr (EBV), virus herpes manusia 6 (HHV6)
c. Adenovirus
d. Influenza A
e. Enterovirus c, virus polio
f. Campak, gondongan dan virus rubella
g. Rabies
h. Arbovirus misalnya, Ensefalitis Jepang B, St Louis Ensefalitis virus, West Nile
ensefalitis virus, Timur, Barat, dan Virus ensefalitis equine Venezuela,
i. Bunyaviruses misalnya, La Crosse strain virus California
j. Reoviruses misalnya, Colorado tick fever virus
k. Arenaviruses misalnya, virus choriomeningitis limfositik.
l. Retrovirus misalnya Human Immunodeficiency Virus. 7
Tabel 1. Etologi ensefalitis virus.10
Tabel 2 . Etologi ensefalitis virus.
Penyebab ensefalitis yang lainnya adalah :
a. Bakteri
b. Parasit
c. Fungus
d. Riketsia.
D. PATOFISIOLOGI
Infeksi virus pada sistem saraf pusat dapat melalui beberapa cara:
1. Invasi langsung melalui barier anatomi.
Scalp, tengkorak dan duramater membentuk barrier yang efektif terhadap
infeksi yang langsung dari lingkungan sekitar. Infeksi dengan jalan langsung
biasanya karena trauma atau akibat luka operasi.
2. Transport axonal oleh neuron dari perifer.
Neuron dapat menjadi jalan lalu lintas dari dan ke “Cell Body” dan sistem
transpor antegrade dan retrograde, misalnya transpor retrograde yang cepat rata-
rata 200-300 mm/hari, misalnya pada virus herpes simpleks dan varisela zozter
ditransportasinya dari replikasi di kulit dan mukosa oleh serabut sensorik ke akar
saraf dorsalis.
3. Jalan masuk dari traktus respiratorius melewati epitel olfaktorius.
Cara masuk organism pada mukosa olfaktorius melalui proses apical dari
sel reseptor saraf yang menonjol keluar di tepi epitel sebagai “olfactory rads”,
sehingga partikel diletakkan pada mukosa olfaktorius dapat diambil oleh vesikel
pinositik dan ditransportasikan ke bulbus olfaktorius.
4. Infeksi melalui pembuluh darah melewati endothelium kapiler atau epitel pleksus
choroideus.
Bila kuman patogen masuk ke sistem saraf akan terjadi perlawanan unik. Otak
tidak memiliki sistem intrinsik untuk menghasilkan antibodi, tidak mempunyai sistem
limfatik yang baik, dan hanya mempunyai sedikit sel fagosit. Sawar darah otak (BBB)
yang mencegah masuknya kuman, juga menghambat masuknya leukosit dan bahan-
bahan terapeutik. Kurangnya antigen “Histocompatibility complex” membatasi
keefektifan dari respon imun seluler. Hal-hal tersebut membuat system saraf pusat
menjadi tempat untuk infeksi yang bersifat laten. Organisme yang masuk ke otak
tidak semua dapat mempengaruhi SSP. Virus dapat mengenai hampir semua sel
neuron, tepai tergantung pula pada macam virusnya. Beberapa virus hanya menyerang
sel-sel neurogen yang menyebabkan nyeri kepala, panas, dan kaku kuduk. Sedangkan
virus yang lain menyerang neuron dan sel glia yang menyababkan fokal infeksi di
otak, seperti halnya Herpes Simpleks ensefalitis pada orang dewasa.
Infeksi yang disebabkan oleh virus menyebabkan respon sel moninuklear.
Komponen dasar dari reaksi imunologis terdiri dari sel T, sel B dan antigen presenting
cells (sel seperti makrofag dan sel dendritik) yang berada di jaringan limfoid perifer.
Fase awal aktifasi sel T terjadi di perifer, mungkin di limfo nodi di dekat tempat
masuknya virus dan replikasi virus. Di dalam SSP, sel T dapat menstimulais untuk
menghasilkan sitokin. Sitokin akan merangsang proliferasi sel dan diferensiasi dan
melepaskannya ke SSP selama terjadinya keradangan. Kemampuan sel T di dalam
SSP yang berinteraksi dengan antigen presenting cell menyebabkan munculnya
antigen MMC kelas II (CD4-T) atau di dalam sel yang terinfeksi timbul pula antigen
MMC kelas I (CD8+ T). baik antigen kelas I dan II secara normal ada di SSP.
Keduanya dapat timbul pada microglia dana kadang-kadang di sel endothelial,
oligodendrosit, dan artrosit pada waktu terjadinya infeksi virus. Pada minggu ke-2
dari peradangan sel B menjadi komponen yang penting dari peradangan lokal karena
sel B menghasilkan immunoglobulin. Antiibodi yang terdapat pada SSP normal
berasal dari serum dan kadar dari IgA dan IgG yang berada di cairan serebrospinal
berkisar 0,2-0,4% dari kadar dalam plasma. IgM juga dijumpai meskipun kadarnya
lebih rendah karena masuknya protein ke dalam cairan serebrospinal tergantung dari
ukuran dan muatannya. Produksi intratekal antibodi terhadap organisme yang
menyebabkan radang adalah keadaan umum yang dijumpai pada infeksi virus pada
SSP.
Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi intraceluler
inclusion bodies, peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak. Juga
terdapat peradangan pada pembuluh-pambuluh darah kecil, thrombosis dan proliferasi
astrosit dan microglia. Neuron-neuron yang rusak dimakan oleh makrofag atau
mikroglia, disebut sebagai neuronofagia yaitu sesuatu yang khas bagi ensefalitis
primer. Didalam medulla spinalis, virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang
intersisial pada saraf-saraf seperti yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks. Pada
ensefalitis sel-sel neuron dan glia mengalami kerusakan.
E. MANISFESTASI KLINIS
Ensefalitis dapat merupakan bagian dari penyakit sistemik seperti varisela atau
measles dengan sendirinya manifestasi awalnya adalah gejala dari penyakit awalnya.
Bila ensefalitis tidak merupakan bagian dari penyakit virus yang sistemik maka
kemungkinan dapat dijumpai keluhan yang mendahului sindroma neurologi yang
berupa nyeri kepala, kelemahan atau malaise, mialgia, keluhan gangguan saluran
nafas bagian atas dan demam. Dapat dijumpai adanya mual, muntah dan kaku kuduk.
Pengaruh langsung pada otak ditandai dengan letargi, kebingungan, atau stupor yang
dapat menjurus ke koma. Bila penderita tidak mengalami gangguan tingkat kesadaran
dapat dijumpai kebingungan, halusinasi dan disorientasi dan dapat pula terjadi kejang,
baik fokal maupun kejang umum, dan gejala-gejala/tanda-tanda gangguan neurologi
lain seperti hemiplegic, nistagmus, ataksia, anisokoria, disfasia, diplopia, disartria dan
hemianopsia.
Gejala-gejala tersebut dapat disebabkann oleh karena kenaikan intracranial
yang meningkat dan atau akibat herniasi serebri dari pada akibat pengaruh langsing
dari virus. Karena terutama menyerang bangtang otak, maka dapat terjadi gangguan
dapa reflek pupil dan oculovestibular. Gangguan pada pernafasan dan saraf cranial
dapat pula terjadi. Terjadinya ataksia, tremor, dan gangguan koordinasi dapat
disebabkan oleh karena disfungsi pada jaras penghubung serebelum. Bila infeksi
terjadi pada mielum , terjadi pula paraplegia, gangguan rasa raba dan juga gangguan
spingter. Sedangkan gangguan pada sel cornu anterior dapat menyebabkan
kelumpuhan flaksid, hipotonia dan hilangnya reflek tendon tanpa adanya gangguan
sensorik.
Gejala trias ensefalitis adalah demam, kejang dan kesadaran menurun. Gejala-
gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-masing kasus,
epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat 4 jenis bentuk manifestasi
kliniknya yaitu :
a) Bentuk asimtomatik: gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala ringan atau
demam tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan parestesi juga
berlangsung sepintas saja. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.
b) Bentuk abortif: Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi dan
kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran
pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.
c) Bentuk fulminan: bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir
dengan kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri kepala difus yang
hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan dalam waktu singkat
masuk ke dalam koma yang dalam. Kematian biasanya terjadi dalam 2-4 hari
akibat kelainan bulbar atau jantung
d) Bentuk khas ensefalitis: bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal nyeri kepala
ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari. muncul
tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah dan sukar
tidur). Defisit neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan.
Penurunan kesadaran menyebabkan koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum,
hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan
bicara, dan gangguan mental.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Biakan: Dari darah ; viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar
untuk mendapatkan hasil yang positif. Dari likuor serebrospinalis atau jaringan
otak (hasil nekropsi), akan didapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas
terhadap antibiotika. • Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil
yang positif • Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif
Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji
neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibodi tubuh.
IgM dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.
Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan angka leukosit.
Punksi lumbal Likuor serebospinalis sering dalam batas normal, kadang-kadang
ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
EEG/ Electroencephalography EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang
merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya kejang, koma, tumor,
infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan
aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan kecepatan.
Brain Imaging Menunjukkan gambaran oedema otak. pada ensefalitis herpes
simplex pemeriksaan CT scan hari ke-3 menunjukkan gambaran hipodens pada
daerah fronto temporal. Computerized Tomography (CT) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) scan bisa swelling dari otak atau ini dengan kondisi
lain dengan tanda dan gejala mirip encephalitis seperti geger otak . Jika ensefalitis
dicurigai, brain imaging adalah sering sebelum spinal tap dan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. CT scan Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil
normal, tetapi bisa pula didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti
Ensefalitis herpes simplex, ada kerusakan selektif pada lobus inferomedial
temporal dan lobus frontal.
Biopsi Otak Paling sering digunakan untuk diagnosis dari herpes simplex
ensefalitis bila tidak mungkin menggunakan metode DNA atau CT atau MRI scan.
Dokter boleh mengambil sample kecil dari jaringan otak. Sampel ini dianalysis
dilaboratorium untuk melihat virus yang ada.
G. PENATALAKSANAAN
Terapi Umum:
1. Tirah baring total.
2. Bila diperkirakan infeksi akibat enterovirus hendaknya hygiene perorangan
diperhatikan.
3. Nyeri kepala dan panas yang tinggi perlu penanganan dengan pemberian
antipiretik untuk dapat diberikan parasetamol.
4. Jika terdapat kenaikan intracranial dapat dilakukan:
i. Kepala penderita dielevasi ± 300
ii. Batasi pemberian cairan
iii. Lakukan hiperventilasi sampai PCO2 mencapai 25 mmHg
iv. Berikan:
a) Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama
30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliserol, melalui pipa
nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk,
dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama
b) Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
5. Bila kejang, dapat diberikan:
i. Phenytoin
ii. Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu
diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3
menit
6. Perbaiki homeostasis dan pemberian oksigen
Pengobatan khusus.
1. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan
antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes
simplek adalah Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari
selama 10 hari.
2. Interferon
Zat ini menghambat replikasi virus. Dapat diberikan secara intravena, intratekhal
atau intraventrikuler pada rabies.
Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative
2. Makanan tinggi kalori protein
H. PENCEGAHAN
1. Imunisasi, seperti MMR atau HiB
2. Status gizi juga harus baik
3. Melindungi diri dari organisme vektor. Vektor utama nyamuk Culex dengan
memusnahkan nyamuk dewasa dan tempat pembiakannya. Operasi Seksio sesaria
pada ibu dengan infeksi HSV
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2009.
2. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2002.
3. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.
4. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta. 2000
5. Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712.
6. Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi 12, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 617-628.
7. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.8. Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Indonesia. 20009. Poerwadi, Troboes. 1992. Encephalitis. Surabaya, Aksona VI: 3-19.10. Mardjono, Mahar, Prof, dr. 2004. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakya.11. IDAI. Standar pelayanan medis kesehatan anak.edisi 1.200412. Mansjoer, arif,Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek setiowulan ,editor. Kapita
selekta Kedokteran edisi ketiga jilid kedua.media aesculapius. FKUI. Jakarta 2000.13. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu
Kesehatan Anak ed. 15 vol 2. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC. 1996