lapkas bp risa maulida

44
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Bronkopneumonia ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan kepaniteraan klinik stase Pediatri tahun 2015. Dan juga untuk memperdalam pemahaman tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya. Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya. Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan kasus ini dr. Ommy Ariansih, Sp. A yang telah membimbing dalam penyusunan laporan kasus. Terima kasih juga pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi dan penyusunan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSIJ Cempaka Putih pada umumnya.

Upload: risa-maulida-widjaya

Post on 11-Feb-2016

237 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

adasfasfasfa

TRANSCRIPT

Page 1: Lapkas Bp Risa Maulida

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada

penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Bronkopneumonia ini

tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan

kepaniteraan klinik stase Pediatri tahun 2015. Dan juga untuk memperdalam pemahaman

tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.

Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.

Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan kasus ini dr. Ommy

Ariansih, Sp. A yang telah membimbing dalam penyusunan laporan kasus. Terima kasih juga

pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi

dan penyusunan laporan kasus ini.

Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi

kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSIJ Cempaka Putih pada umumnya.

Jakarta, Juni 2015

Penulis

Page 2: Lapkas Bp Risa Maulida

BAB I

PENDAHULUANIstilah pneumoni mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa seluruh

alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Pneumoia hingga saat ini masih tercatat sebagai

masalah kesehatan utama pada anak-anak dinegara berkembang. Pneumonia merupakan

penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah 5 tahun (balita).

Diperkirakan hampir seperlima kematian anak didunia , lebih kurang 2 juta anak balita

meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi diafrika dan asia tenggara.

Insiden pneumonia dinegara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibaawah usia 5

tahun, 16-22% per 1000 anak pada usai 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada anak yang

lebih tua.

Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Di Indonesia,

pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan

tuberculosis. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan

22,8% kematian balita Indonesia disebabkan oleh penyakit system pernafasan, terutama

pneumonia menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat

pertahun. Angka kematian pneumonia yang dirawat inap berkisar antara 20-35%.

Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernafasan yang terjadi pada

bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumoni lebih sering dijumpai pada anak

kecil dan bayi dan biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan

Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan

data WHO, kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20%

pertahun.

BAB II

Page 3: Lapkas Bp Risa Maulida

LAPORAN KASUSA. Identitas Pasien

Nama : An. HKL

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 1 tahun 7 bulan

Alamat : Jl. Kramat Pulo Gundul RT/RW 10/13 no.217

No RM : 00922304

Tgl Masuk : 14 Agustus 2015

Ruang perawatan : Badar (kelas III)

No Kamar : 13

Dokter Anak : dr. Ommy, Sp.A

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan orangtua pasien di bangsal

anak ruangan badar kelas III, pada tanggal 14 Agustus 2015.

a. Keluhan Utama

Sesak sejak 1 hari SMRS

b. Riwayat Penyakit Sekarang

± 1 minggu SMRS

Ot Os mengeluh Os batuk berhadak dan sulit untuk dikeluarkan, pilek dengan

cairan berwarna putih/bening dan demam. Demam terus menerus naik dan turun jika

diberikan obat paracetamol tapi tidak lama kemudian demam timbul kembali. Ot os

mengaku os sudah berobat dan di uap tetapi keluhan tidak membaik. Demam semakin

tinggi ketika 1 hari SMRS. Kejang (-)

± 1 hari SMRS

Ot Os mengatakan os sesak nafas. Sesak yang dirasakan pasien terus menerus,

dan memberat ketika berbaring, nafas menjadi cepat, saat bernafas terdengar suara

‘grok-grok’ seperti adanya cairan di dalam saluran nafas. Os menjadi sulit tidur dan

gelisah karena keluhan sesak yang dialaminya. tidak terlihat kebiruan dibagian ujung-

ujung jari kaki. Saat ini os menjadi sulit untuk makan. Muntah (-), BAB konsistensi

cair, ampas (-), berlendir (-), darah (-) dengan frekuensi kurang dari 3 kali dalam 1

hari. BAK seperti biasanya dengan warna urin jernih, tidak pekat.

Page 4: Lapkas Bp Risa Maulida

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Os sering batuk pilek dan demam sebelumnya tapi tidak pernah sesak napas

d. Riwayat Penyakit keluarga

Di keluarga tidak sedang ada yang mengalami keluhan yang sama seperti os dan

riwayat penyakit atopik di keluarga tidak ada.

e. Riwayat pengobatan

Os sering batuk pilek dan demam sebelumnya tapi tidak pernah sesak napas.

f. Riwayat Alergi

Os Tidak mempunyai riwayat alergi sebelumnya. Tidak ada alergi obat, makanan,

cuaca maupun debu.

g. Riwayat Psikososial

Os tinggal dirumah bersama kedua orang tuanya. Os merupakan anak pertama

dan dirawat oleh ibunya tidak pernah dititipkan ke orang lain. Ayah os adalah perokok

berat tetapi tidak pernah lagi merokok di dalam rumah ketika os sering menderita

batuk dan pilek. Dirumah Ot Os memiliki usaha warnet. Pengguna warnet sering

merokok dan asapnya masuk ke lingkungan rumah os karena warnetnya menyatu

dengan rumah os. Sumber air bersih tersedia, mempunyai jamban keluarga, untuk

keseharian meminum menggunakan air galon.

h. Riwayat kehamilan

Orang Tua Os rutin memeriksakan kandungannya ke bidan.

• Perawatan antenatal: Ibu kontrol secara teratur ke bidan setiap bulan. Tidak ada

masalah selama kehamilan dan janin di dalam kandungan dinyatakan sehat.

• Penyakit selama kehamilan: Riwayat masalah dan penyakit selama masa

kehamilan tidak ada.

• Obat-obatan yang diminum: Ibu mendapatkan vitamin setiap kali melakukan

pemeriksaan kehamilan, dan rutin untuk meminum vitamin yang diberikan.

i. Riwayat persalinan

Page 5: Lapkas Bp Risa Maulida

Penolong persalinan : bidan

Cara persalinan : normal

Masa gestasi : 38 minggu

Keadaan bayi

Berat lahir : 3100 gr

Panjang badan : 49 cm

Lingkar kepala : Ibu tidak tahu

Menurut Ibu, bayinya ketika lahir langsung menangis dan kulit bayi berwarna

merah merata. Tidak ada cacat.

j. Riwayat Nutrisi

Os tidak pernah minum ASI ekslusif sejak lahir karena ASI tidak keluar sehingga os

hanya minum susu formula. Usia 6 bulan os diberikan makanan pendamping berupa

nasi tim, bubur atau biskuit yang dilumatkan.

KESAN : Os tidak mendapatkan asi eksklusif

k. Riwayat perkembangan

Motorik kasar : Belum mampu berdiri berpegangan dan berjalan

Motorik halus : Mampu memasukan dan memindahkan barang

Komunikasi : Mampu Memanggil papa, mama

Interaksi sosial : Belum mampu Minum dari gelas

KESAN : perkembangan terjadi perlambatan (Delay development)

l. Riwayat Imunisasi

Page 6: Lapkas Bp Risa Maulida

BCG : 1x saat usia 2 bulan

Polio : 3x saat usia lahir, 2, 4 bulan

DPT : 2x saat usia 2, 4 bulan

Campak : belum dilakukan

Hepatitis B : 2x saat usia lahir, 1 bulan

Kesan : imunisasi belum lengkap.

C. Pemeriksaan fisis

Status Generalisata pada tanggal 14 Agustus 2015

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Tanda-tanda Vital :

Nadi : 120 kali/menit,

Laju Pernapasan : 45 kali/menit

Suhu Tubuh : 38,8⁰CAntropometri:

BB : 11,7 kg

PB : 80 cm

Lingkar Kepala : 45 cm

Status Gizi

• BB/U = 11,7/9,4 x 100% = 124% (gizi baik)

• TB/U = 80/74 x 100% = 108% (normal)

• BB/TB= 11,7/11 x 100% = 106% (gizi baik)

• Kesan : Gizi baik

Kepala :

Bentuk dan ukuran : Normochepal, Ubun-ubun tidak cekung, Tidak terdapat tanda

peradangan

Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : Mata tidak cekung, Konjungtiva Anemis (-/-) ,Sklera Ikterik

(-/-), Refleks Cahaya (+/+), Edema palpebra (-/-)

Hidung : Normonasi, Nafas cuping hidung (+/+) Epitaksis (-/-), Bekas

trauma (-/-), Sekret (+/+)

Mulut : sianosis (-), Mukosa bibir tidak kering

Page 7: Lapkas Bp Risa Maulida

Lidah : Tidak kotor

Tenggorokan : Tonsil T1/T1 tidak hiperemis.

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB

Thorax :

Jantung

Inspeksi: : iktus kordis kuat angkat tidak terlihat.

Palpasi : iktus kordis kuat angkat teraba.

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : bunyi jantung murni I dan II, tidak ditemukan gallop atau murmur.

Paru-paru

Inspeksi : simetris kanan dan kiri, terlihat retraksi subcostal, bantuan otot nafas

(+)

Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri normal.

Perkusi : sonor di kedua lapang paru.

Auskultasi : vesikuler normal, Ronkhi +/+ (basah halus), wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : datar, tidak ada benjolan.

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani dikeempat kuadran abdomen.

Ekstremitas superior

Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

Ekstremitas inferior

Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

D. Pemeriksaan Penunjang

Tanggal : 14 Agustus 2015

TANGGAL JAM PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI

NORMAL

14/08/15 15.09 Hb 10,3 g/dL 10,8-12,8

Jumlah Leukosit 16,41 103 6,00-17,00

Page 8: Lapkas Bp Risa Maulida

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 0 % 2-4

Netrofil batang 5 % 3-5

Netrofil segmen 48 % 25-60

Limfosit 40 % 25-50

Monosit 7 % 1-6

LED 50 Mm 0-20

Hematokrit 29 % 35-43

Jumlah trombosit 362 229-553

Eritrosit 3,54 3,60-5,2

Jumlah retikulosit

Absolut 55 25-75

Persen 1,17 % 0,50-2,00

MCV/VER 83 Fl 73-101

MCH/HER 29 Pg 23-31

MCHC/KHER 35 g/dL 26-34

Na darah 136 mEq/L 135-147

K darah 3,4 mEq/L 3,5-5,0

Cl darah 101 mEq/L 94-111

E. Resume

An. Perempuan, usia 1 tahun 7 bulan dengan keluhan batuk berdahak sulit

dikeluarkan, pilek dan demam sejak 7 hari SMRS, sifat demam terus menerus dan hilang jika

diberikan obat. Os sesak 1 hari SMRS memberat tapi tidak terlihat kebiruan tidak bisa tidur

dan gelisah. BAB cair frekuensi <3x/hari.BAK (+) jernih tidak keruh.

Page 9: Lapkas Bp Risa Maulida

Pada pemeriksaan fisik: Suhu 38°C, RR: 40x/ menit, HR 120x/menit. Cuping hidung (+),

sekret pada hidung (+), Retraksi Subcostal (+), Otot bantu nafas (+), Ronki (+/+).

Pada pemeriksaan laboratorium : penurunan Hb, eosinofil, K darah

peningkatan monosit

F. Assesment :

Febris H7

Dispneu

Batuk pilek

Delay development

G. Rencana Pemeriksaan penunjang :

- Foto rontgen PA

H. Diagnosis

Diagnosis Klinis : Bronkopneumonia berat

Diagnosis Gizi : Gizi baik

Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar belum lengkap

Diagnosis Tum-Bang : Delay development

I. Penatalaksanaan

Medikamentosa:

IVFD RL maintenence:

Kebutuhan cairan :10x100= (1000+(1,7x50))= 1085 cc

Perhitungan TPM : 1085x 20/24 x 60 = 15tpm (makro)

• Antibiotik Ceftriaxon

Dosis terapi : 50-100mg/kgBB/hari

50 x 11,7 = 585 mg

100 x 11,7 = 1170 mg

Range Dose : 585 – 1170mg/ hari

Injeksi : 1 x 1000mg/ 1x 1gr

• Antipiretik Paracetamol

Dosis terapi : 10-15mg/KgBB/kali (waktu paruh 8 jam)

10 x 11,7 = 117mg

Page 10: Lapkas Bp Risa Maulida

15 x 11,7 = 175,5mg

Range Dose :117 – 175,5mg/ kali (3x sehari)

Drop : 3 x 1,5 cc (mengandung 150 mg)

• Mucolitic Ambroksol

Dosis terapi : 0,5mg/KgBB/x (waktu paruh 8 jam)

0,5x11,7 = 5,85mg

Syrup (15mg/5cc) = 3 x1/2 sendok obat

Inhalasi Nebulizer: Salbutamol 2,5mg + Ipartropium bromida 0,25%sol + NaCl

FOLLOW UP PASIEN SELAMA DI RAWAT

Follow up Tanggal 14 Agustus 2014

FOLLOW UP

Page 11: Lapkas Bp Risa Maulida

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BRONKOPNEUMONIAA. DEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus /

bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus

paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh

bakteri,virus, jamur dan benda asing.

B. ETIOLOGI

Usia pasien merupakan factor yang memegang peranan penting pada perbedaan

dan kekhasna bronkopneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi,

gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spectrum mikrooranisme penyebab

pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar . Etiologi pada

neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negative

E.colli, pseudomonas sp, atau klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak

nalita, bronkopneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus

pneumonia, Haemophilus influenza tipe B dan Staphylococcus aureus.

Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara maju

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarangLahir – 20 hari Bakteri Bakteri

E. colli Bakteri anaerobStreptococcus group B Streptococcus group DListeria monocytogenes Haemophillus influenzae

Streptococcus pneumoniaeUreaplasma urealyticum

Page 12: Lapkas Bp Risa Maulida

VirusVirus SitomegaloVirus Herpes simpleks

3 minggu – 3 bulan

Bakteri BakteriChlamydia trachomatis Bordetella pertussisStreptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe BVirus Moraxella catharalisVirus Adeno Staphylococcus aureusVirus Influenza Ureaplasma urealyticumVirus Parainfluenza VirusRespiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo

4 bulan – 5 tahun

Bakteri BakteriChlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe BMycoplasma pneumoniae Moraxella catharalisStreptococcus pneumoniae Neisseria meningitidisVirus Staphylococcus aureusVirus Adeno VirusVirus InfluenzaVirus Parainfluenza 1, 2, 3Virus RinoRespiratory Syncytial virus

5 tahun – remaja

Bakteri BakteriChlamydia pneumoniae Haemophillus influenzaeMycoplasma pneumoniae Legionella spStreptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus

VirusVirus AdenoVirus Epstein-BarrVirus InfluenzaVirus ParainfluenzaVirus RinoRespiratory Syncytial VirusVirus Varisela-Zoster

Sumber : Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired Pneumonia in infants and children. Am Fam Physician 2004;70 : 899-90 .

C. PATOLOGI DAN PATOGENESIS

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan

aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat

pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel

imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan

Page 13: Lapkas Bp Risa Maulida

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen

bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi

pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara

kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering

mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.    Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari

reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya

penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan

pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat

minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,

yaitu selama 48 jam.

3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi

di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini

eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti.

4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag

sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

D. MANIFESTASI KLINIS

Page 14: Lapkas Bp Risa Maulida

Sebagian besar gambaran klinis bronkopneumonia pada anak berkisar antara

ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,

mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan

perawatan di RS.

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis bronkopneumonia pada anak

adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala

klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan

prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor

patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang

menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan

dalam tatalaksananya.

Gambaran klinis pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi,

tetapi secara umum adalah sebagai berikut :

A. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu

makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare ; kadang-kadang

ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

B. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas

cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perfusi, suara

napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda

bronkopneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan

auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

E. BRONKOPNEUMONIA PADA NEONATUS DAN BAYI KECIL

Page 15: Lapkas Bp Risa Maulida

Bronkoneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu anak

yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan

sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari

serviks ibu. Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS

(hospital-acquired pneumonia), misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain ; atau dari

alat kedokteran, misalnya penggunaan ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi

akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari masyarakat (community-acquired

pneumonia).

Spektrum etiologi bronkopneumonia neonatus meliputi Streptococcus group B,

Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E.colli, Pseudomonas,

atau Klebsiela ; disamping bakteri utama penyebab yaitu Streptococcus pneumoniae,

Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylloccus aureus. Oleh karena itu,

pengobatannya meliputi antibiotik yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri

tersebut, misalnya kombinasi antibiotik beta-laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai

adanya infeksi Chlamydia trachomatis yang tidak responsif terhadap antibiotik beta-

laktam.

Gambaran klinis bronkopneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas,

mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi,

muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada

bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan

sepsis atau meningitis. Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan

20-50 %.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

DARAH PERIFER LENGKAP

Page 16: Lapkas Bp Risa Maulida

Pada penyebab virus dan juga pada mikroplasma umumnya ditemukan leukosit

dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada penyebab bakteri

didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan

PMN. Leukopenia (< 5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat

(> 30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan

pada keadaan bakteremi, dan resiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi

Chlamydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan

cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan

glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia

ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan

darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi

bakteri secara pasti.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologi mempunyai bentuk difus bilateral dengan corak infiltrat kecil dan

halus yang tersebar di pinggir lapang paru .

G. PENATALAKSANAAN

Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis,

distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,

komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan

kemungkinan klinis bronkopneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana rawat inap

adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.

Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap

gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam

dapat diberikan analgetik/antipiretik.. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan

adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.

Page 17: Lapkas Bp Risa Maulida

.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.

Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya

uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman

empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan etiologi

penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor

epidemiologi.

1. Pneumococcus

a. Penatalaksanaan

Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan

pneumococcus sangat peka terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak,

pengobatan awal dimulai dengan pemberian penisilin G dengan dosis 50.000

unit/kgBB/hari secara intramuskular tanpa penyulit. Terapi ini dilanjutkan sampai

10 hari atau paling tidak sampai 2 hari setelah suhu badan pasien normal. Bila

didapatkan penderita alergi penisilin maka diberikan sefalosporin dengan dosis 50

mg/kgBB/hari.

Asupan cairan per oral secara bebas dan pemberian aspirin untuk

mengatasi demam tinggi, merupakan tambahan utama untuk pengobatan penyakit

ini. Pemberian oksigen segera untuk penderita kesukaran bernafas sebelum

menjadi sianosis.

b. Prognosis

Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini

pada perjalanan penyakit tersebut, maka mortalitas bronkopneumonia akibat

bakteri pneumococcus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi

kurang dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi

rendah.

2. Staphylococcus aureus

a. Penatalaksanaan

Penisilin G dengan dosis 25.000-50.000 unit/kgBB/6 jam secara

intravena. Cefuroxime diberikan sebagai obat tunggal efektif untuk

bronkopneumonia dengan dosis 75 mg/kgBB/hari.

Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian

oksigen disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis dan

kecemasan. Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa-pipa drainase bisa

Page 18: Lapkas Bp Risa Maulida

dilepaskan. Hal ini dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di dalam

rongga toraks lebih dari 5-7 hari.

b. Prognosis

Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan

penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10-30% dan bervariasi

dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita,

pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai.

3. Streptococcus hemolyticus

a. Penatalaksanaan

Obat pilihan yang diberikan adalah penisilin G dengan dosis 100.000

unit/kgBB/hari. Awal pemberiannya secara parenteral, kemudian disempurnakan

dengan pemberian oral selama 2-3 minggu setelah terlihat adanya kemajuan

klinis. Cefuroxime bisa diberikan sebelum kultur bakteri dilakukan dengan dosis

75 mg/kgBB/hari, ini merupakan terapi yang efektif dan sebaiknya dilanjutkan

selama 10 hari.

Bila pada penderita sudah terjadi empiema, maka harus dilakukan

torasentesis untuk tujuan penegakan diagnosa dan mengeluarkan cairan supaya

paru-paru dapat kembali mengembang secara optimal.

b. Prognosis

Angka mortalitas dan morbiditas menurun setelah pengobatan dengan

antibiotika yang sesuai segera diberikan. Selebihnya penyebaran penyakit

selanjutnya jarang terjadi.

4. Haemophilus influenzae

a. Penatalaksanaan

Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol dengan dosis 100

mg/kgBB/hari. Pemberian kloramfenikol ini dikatakan efektif karena obat sangat

aktif mengatasi hasil produksi bakteri ini yaitu berupa beta laktamase dan tidak

menimbulkan efek pada cairan serebrospinal serta memberikan efek bakterisidal

yang lebih bagus dibanding dengan ampicillin.

b. Prognosis

Bila respon awal terhadap pengobatan baik maka diharapkan bakteri

penyebab akan melemah dan tidak mampu lagi menyebar terlalu jauh. Namun

apabila terdapat penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema maka hal tersebut

akan memperburuk prognosisnya.

Page 19: Lapkas Bp Risa Maulida

5. Klebsiella pneumoniae

Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat

dianjurkan karena obat ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini. Terapi yang

diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas paru.

Bila sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi

pengembangan parunya.

F. PROGNOSIS

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan

sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang

terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

G. PENCEGAHAN

• Menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini

• Pola hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, istirahat

yang cukup

• Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi

antara lain: Vaksinasi Pneumokokus, Vaksinasi H. influenza, Vaksinasi Varisela yang

dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, Vaksin influenza yang

diberikan pada anak sebelum sakit.

ENSEFALITIS

A. DEFINISI

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada otak, yang biasanya disebabkan oleh

berbagaimacam mikroorganisme yaitu seperti virus, bakteri, jamur, protozoa atau

parasit. Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai jenis virus dapat

menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang sama.

Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya

disebabkan oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga

menyebabkan masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya

perubahan kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.

Page 20: Lapkas Bp Risa Maulida

B. EPIDEMIOLOGI

Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya ialah

anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%)

yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis

primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer

dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para-infeksiosa masing-masing

mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki.

Virus japanese ensefalitis adalah abovirus yang paling umum didunia (virus yang

ditularkan oleh nyamuk penghisap atau kutu) dan bertanggungn jawab untuk 50.000

kasus dan 15.000 kematian pertahun disebagian besar dari Cina, Asia tenggara, dan

anak benua india.

Kejadian terbesar adalah pada anak-anak dibawah 4 tahun dengan kejadian

tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.Untuk Indonesia perlu dipikirkan virus

Rabies, Mumps (penyebab parotitis) dan mungkin Herpes Simpleks. Penyebab dari

ensefalitis adalah paling sering infeksi virus beberapa contoh termasuk virus herpes;

arbovirus diperantarai oleh nyamuk, dan serangga lain dan rabies

C. ETIOLOGI

Penyebab ensefalitis yang paling sering adalah infeksi karena virus. Beberapa contoh

termasuk:

a. Herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2)

b. Selain virus herpes: varicella zoster virus (VZV), cytomegalovirus (CMV),

Epstein-Barr (EBV), virus herpes manusia 6 (HHV6)

c. Adenovirus

d. Influenza A

e. Enterovirus c, virus polio

f. Campak, gondongan dan virus rubella

g. Rabies

h. Arbovirus misalnya, Ensefalitis Jepang B, St Louis Ensefalitis virus, West Nile

ensefalitis virus, Timur, Barat, dan Virus ensefalitis equine Venezuela,

i. Bunyaviruses misalnya, La Crosse strain virus California

j. Reoviruses misalnya, Colorado tick fever virus

k. Arenaviruses misalnya, virus choriomeningitis limfositik.

Page 21: Lapkas Bp Risa Maulida

l. Retrovirus misalnya Human Immunodeficiency Virus. 7

Tabel 1. Etologi ensefalitis virus.10

Page 22: Lapkas Bp Risa Maulida

Tabel 2 . Etologi ensefalitis virus.

Penyebab ensefalitis yang lainnya adalah :

a. Bakteri

b. Parasit

c. Fungus

d. Riketsia.

D. PATOFISIOLOGI

Infeksi virus pada sistem saraf pusat dapat melalui beberapa cara:

1. Invasi langsung melalui barier anatomi.

Scalp, tengkorak dan duramater membentuk barrier yang efektif terhadap

infeksi yang langsung dari lingkungan sekitar. Infeksi dengan jalan langsung

biasanya karena trauma atau akibat luka operasi.

2. Transport axonal oleh neuron dari perifer.

Page 23: Lapkas Bp Risa Maulida

Neuron dapat menjadi jalan lalu lintas dari dan ke “Cell Body” dan sistem

transpor antegrade dan retrograde, misalnya transpor retrograde yang cepat rata-

rata 200-300 mm/hari, misalnya pada virus herpes simpleks dan varisela zozter

ditransportasinya dari replikasi di kulit dan mukosa oleh serabut sensorik ke akar

saraf dorsalis.

3. Jalan masuk dari traktus respiratorius melewati epitel olfaktorius.

Cara masuk organism pada mukosa olfaktorius melalui proses apical dari

sel reseptor saraf yang menonjol keluar di tepi epitel sebagai “olfactory rads”,

sehingga partikel diletakkan pada mukosa olfaktorius dapat diambil oleh vesikel

pinositik dan ditransportasikan ke bulbus olfaktorius.

4. Infeksi melalui pembuluh darah melewati endothelium kapiler atau epitel pleksus

choroideus.

Bila kuman patogen masuk ke sistem saraf akan terjadi perlawanan unik. Otak

tidak memiliki sistem intrinsik untuk menghasilkan antibodi, tidak mempunyai sistem

limfatik yang baik, dan hanya mempunyai sedikit sel fagosit. Sawar darah otak (BBB)

yang mencegah masuknya kuman, juga menghambat masuknya leukosit dan bahan-

bahan terapeutik. Kurangnya antigen “Histocompatibility complex” membatasi

keefektifan dari respon imun seluler. Hal-hal tersebut membuat system saraf pusat

menjadi tempat untuk infeksi yang bersifat laten. Organisme yang masuk ke otak

tidak semua dapat mempengaruhi SSP. Virus dapat mengenai hampir semua sel

neuron, tepai tergantung pula pada macam virusnya. Beberapa virus hanya menyerang

sel-sel neurogen yang menyebabkan nyeri kepala, panas, dan kaku kuduk. Sedangkan

virus yang lain menyerang neuron dan sel glia yang menyababkan fokal infeksi di

otak, seperti halnya Herpes Simpleks ensefalitis pada orang dewasa.

Infeksi yang disebabkan oleh virus menyebabkan respon sel moninuklear.

Komponen dasar dari reaksi imunologis terdiri dari sel T, sel B dan antigen presenting

cells (sel seperti makrofag dan sel dendritik) yang berada di jaringan limfoid perifer.

Fase awal aktifasi sel T terjadi di perifer, mungkin di limfo nodi di dekat tempat

masuknya virus dan replikasi virus. Di dalam SSP, sel T dapat menstimulais untuk

menghasilkan sitokin. Sitokin akan merangsang proliferasi sel dan diferensiasi dan

melepaskannya ke SSP selama terjadinya keradangan. Kemampuan sel T di dalam

SSP yang berinteraksi dengan antigen presenting cell menyebabkan munculnya

antigen MMC kelas II (CD4-T) atau di dalam sel yang terinfeksi timbul pula antigen

Page 24: Lapkas Bp Risa Maulida

MMC kelas I (CD8+ T). baik antigen kelas I dan II secara normal ada di SSP.

Keduanya dapat timbul pada microglia dana kadang-kadang di sel endothelial,

oligodendrosit, dan artrosit pada waktu terjadinya infeksi virus. Pada minggu ke-2

dari peradangan sel B menjadi komponen yang penting dari peradangan lokal karena

sel B menghasilkan immunoglobulin. Antiibodi yang terdapat pada SSP normal

berasal dari serum dan kadar dari IgA dan IgG yang berada di cairan serebrospinal

berkisar 0,2-0,4% dari kadar dalam plasma. IgM juga dijumpai meskipun kadarnya

lebih rendah karena masuknya protein ke dalam cairan serebrospinal tergantung dari

ukuran dan muatannya. Produksi intratekal antibodi terhadap organisme yang

menyebabkan radang adalah keadaan umum yang dijumpai pada infeksi virus pada

SSP.

Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi intraceluler

inclusion bodies, peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak. Juga

terdapat peradangan pada pembuluh-pambuluh darah kecil, thrombosis dan proliferasi

astrosit dan microglia. Neuron-neuron yang rusak dimakan oleh makrofag atau

mikroglia, disebut sebagai neuronofagia yaitu sesuatu yang khas bagi ensefalitis

primer. Didalam medulla spinalis, virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang

intersisial pada saraf-saraf seperti yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks. Pada

ensefalitis sel-sel neuron dan glia mengalami kerusakan.

E. MANISFESTASI KLINIS

Ensefalitis dapat merupakan bagian dari penyakit sistemik seperti varisela atau

measles dengan sendirinya manifestasi awalnya adalah gejala dari penyakit awalnya.

Bila ensefalitis tidak merupakan bagian dari penyakit virus yang sistemik maka

kemungkinan dapat dijumpai keluhan yang mendahului sindroma neurologi yang

berupa nyeri kepala, kelemahan atau malaise, mialgia, keluhan gangguan saluran

nafas bagian atas dan demam. Dapat dijumpai adanya mual, muntah dan kaku kuduk.

Pengaruh langsung pada otak ditandai dengan letargi, kebingungan, atau stupor yang

dapat menjurus ke koma. Bila penderita tidak mengalami gangguan tingkat kesadaran

dapat dijumpai kebingungan, halusinasi dan disorientasi dan dapat pula terjadi kejang,

baik fokal maupun kejang umum, dan gejala-gejala/tanda-tanda gangguan neurologi

lain seperti hemiplegic, nistagmus, ataksia, anisokoria, disfasia, diplopia, disartria dan

hemianopsia.

Page 25: Lapkas Bp Risa Maulida

Gejala-gejala tersebut dapat disebabkann oleh karena kenaikan intracranial

yang meningkat dan atau akibat herniasi serebri dari pada akibat pengaruh langsing

dari virus. Karena terutama menyerang bangtang otak, maka dapat terjadi gangguan

dapa reflek pupil dan oculovestibular. Gangguan pada pernafasan dan saraf cranial

dapat pula terjadi. Terjadinya ataksia, tremor, dan gangguan koordinasi dapat

disebabkan oleh karena disfungsi pada jaras penghubung serebelum. Bila infeksi

terjadi pada mielum , terjadi pula paraplegia, gangguan rasa raba dan juga gangguan

spingter. Sedangkan gangguan pada sel cornu anterior dapat menyebabkan

kelumpuhan flaksid, hipotonia dan hilangnya reflek tendon tanpa adanya gangguan

sensorik.

Gejala trias ensefalitis adalah demam, kejang dan kesadaran menurun. Gejala-

gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-masing kasus,

epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat 4 jenis bentuk manifestasi

kliniknya yaitu :

a) Bentuk asimtomatik: gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala ringan atau

demam tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan parestesi juga

berlangsung sepintas saja. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.

b) Bentuk abortif: Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi dan

kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran

pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.

c) Bentuk fulminan: bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir

dengan kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri kepala difus yang

hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan dalam waktu singkat

masuk ke dalam koma yang dalam. Kematian biasanya terjadi dalam 2-4 hari

akibat kelainan bulbar atau jantung

d) Bentuk khas ensefalitis: bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal nyeri kepala

ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari. muncul

tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah dan sukar

tidur). Defisit neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan.

Penurunan kesadaran menyebabkan koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum,

hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan

bicara, dan gangguan mental.

Page 26: Lapkas Bp Risa Maulida

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Biakan: Dari darah ; viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar

untuk mendapatkan hasil yang positif. Dari likuor serebrospinalis atau jaringan

otak (hasil nekropsi), akan didapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas

terhadap antibiotika. • Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil

yang positif • Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif

Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji

neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibodi tubuh.

IgM dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.

Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan angka leukosit.

Punksi lumbal Likuor serebospinalis sering dalam batas normal, kadang-kadang

ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.

EEG/ Electroencephalography EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang

merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya kejang, koma, tumor,

infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan

aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan kecepatan.

Brain Imaging Menunjukkan gambaran oedema otak. pada ensefalitis herpes

simplex pemeriksaan CT scan hari ke-3 menunjukkan gambaran hipodens pada

daerah fronto temporal. Computerized Tomography (CT) atau Magnetic

Resonance Imaging (MRI) scan bisa swelling dari otak atau ini dengan kondisi

lain dengan tanda dan gejala mirip encephalitis seperti geger otak . Jika ensefalitis

dicurigai, brain imaging adalah sering sebelum spinal tap dan adanya peningkatan

tekanan intrakranial. CT scan Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil

normal, tetapi bisa pula didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti

Ensefalitis herpes simplex, ada kerusakan selektif pada lobus inferomedial

temporal dan lobus frontal.

Biopsi Otak Paling sering digunakan untuk diagnosis dari herpes simplex

ensefalitis bila tidak mungkin menggunakan metode DNA atau CT atau MRI scan.

Dokter boleh mengambil sample kecil dari jaringan otak. Sampel ini dianalysis

dilaboratorium untuk melihat virus yang ada.

G. PENATALAKSANAAN

Page 27: Lapkas Bp Risa Maulida

Terapi Umum:

1. Tirah baring total.

2. Bila diperkirakan infeksi akibat enterovirus hendaknya hygiene perorangan

diperhatikan.

3. Nyeri kepala dan panas yang tinggi perlu penanganan dengan pemberian

antipiretik untuk dapat diberikan parasetamol.

4. Jika terdapat kenaikan intracranial dapat dilakukan:

i. Kepala penderita dielevasi ± 300

ii. Batasi pemberian cairan

iii. Lakukan hiperventilasi sampai PCO2 mencapai 25 mmHg

iv. Berikan:

a) Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama

30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliserol, melalui pipa

nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk,

dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama

b) Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.

5. Bila kejang, dapat diberikan:

i. Phenytoin

ii. Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu

diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3

menit

6. Perbaiki homeostasis dan pemberian oksigen

Pengobatan khusus.

1. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan

antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes

simplek adalah Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari

selama 10 hari.

2. Interferon

Zat ini menghambat replikasi virus. Dapat diberikan secara intravena, intratekhal

atau intraventrikuler pada rabies.

Non farmakologis

1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative

2. Makanan tinggi kalori protein

H. PENCEGAHAN

Page 28: Lapkas Bp Risa Maulida

1. Imunisasi, seperti MMR atau HiB

2. Status gizi juga harus baik

3. Melindungi diri dari organisme vektor. Vektor utama nyamuk Culex dengan

memusnahkan nyamuk dewasa dan tempat pembiakannya. Operasi Seksio sesaria

pada ibu dengan infeksi HSV

DAFTAR PUSTAKA

Page 29: Lapkas Bp Risa Maulida

1. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2009.

2. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2002.

3. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.

4. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta. 2000

5. Price SA, Wilson LM, 1995,  Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712.

6. Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi 12, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 617-628.

7. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.8. Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.

Cetakan ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Indonesia. 20009. Poerwadi, Troboes. 1992. Encephalitis. Surabaya, Aksona VI: 3-19.10. Mardjono, Mahar, Prof, dr. 2004. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakya.11. IDAI. Standar pelayanan medis kesehatan anak.edisi 1.200412. Mansjoer, arif,Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek setiowulan ,editor. Kapita

selekta Kedokteran edisi ketiga jilid kedua.media aesculapius. FKUI. Jakarta 2000.13. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu

Kesehatan Anak ed. 15 vol 2. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC. 1996