kumpulan kisah haji abdul malik karim amrullah (hamka) rahimahullah

79
1 KUMPULAN KISAH HAMKA Kami mengumpulkan beberapa kisah Haji Abdul Malik Karim Amrullah Rahimahullah dari internet. Semoga kita semua dapat mengambil manfaat yang banyak dari kisah beliau. Malang, 26 Rajab 1435

Upload: yudistira-adi-nugraha

Post on 28-Dec-2015

223 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

beberapa artikel yang kami dapat di internet, kami gabungkan. semoga kita semua dapat mengambil pelajaran. Amin

TRANSCRIPT

1

KUMPULAN KISAH HAMKA

Kami mengumpulkan beberapa kisah Haji Abdul

Malik Karim Amrullah Rahimahullah dari

internet. Semoga kita semua dapat mengambil

manfaat yang banyak dari kisah beliau.

Malang, 26 Rajab 1435

1

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1

Mengenang 100 Tahun HAMKA – Dan Aku pun Masukkan dalam

Daftarmu 2

Cinta Adalah Kehormatan, Kisah Perjuangan Istri Buya Hamka 42

Biografi Ulama Besar: HAMKA 46

Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~ 52

Kisah Buya Hamka dan Si Damir 64

Pertemuan Terakhir Buya Hamka Dengan Soekarno 68

Di Balik Pertemuan Terakhir Daud Beureuh & Buya Hamka 73

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dan Aku pun

Masukkan dalam

Daftarmu

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau,

Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkanKarim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalahnama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.

Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelarkehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalamtradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatahMinang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaristidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusakaturun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garisketurunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.

Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulamabesar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat denganjabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamkamemperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar“Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir,pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari UniversitasKebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, TunAbdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagaiPerdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus ProfessorDoctor Hamka”.

Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenaldengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti

2

namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim binAmrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) diMinangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M diKepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau,Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulamaberpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayahNagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.

Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelarTuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin ThariqatNaqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yangdiberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yangmewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannyasebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasulyang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalampemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesralantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikianhormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.

Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itusebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengandimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori HajiMiskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan“Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhikemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikanoleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembaliagama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernahdiajarkan Rasulullah S.A.W.

Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orangulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak LimaPuluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) padamasa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakanpembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama

3

Mengenang 100 Tahun HAMKA

lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijulukiHarimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yangkemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalamsejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulamapemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalamberdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mulamengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.

Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekahyang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembalidari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapaipuncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib.

Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlahdiuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranyaHaji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaandi dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada TuankuPariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaankeluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakatMinangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknyadi masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidupHamka kemudian.

Nenek moyang hamka

DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANGTUANKU IMAM BONJOLTuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di

masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi”(1821-1837). Dia seorang ulama dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arifyang datang ke Minangkabau dan bergiat dalam dakwah di “Ampat Koto Agam”yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan Guguk. Tuanku Pariaman semulatidak tertarik melibatkan diri dalam konflik melawan Belanda yang telahdikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan Renceh. Beliaumenghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan memilih bergiatdalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Harimau

4

nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak herankalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidakmendapat sambutan.

Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan AlamMinangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkanperlawanan di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakan-gerakan dakwah terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjunke garis depan peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalamsemangat anti penjajahan.

Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi (ulama) terjadisetelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April 1821. Setelah itupeperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjolyang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusatpertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkaudan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas.Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga daerah yangpertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman.

Karena kalah dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotanmembuat beberapa kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda.Matur pun kemudian ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukanpengepungan ketat pada Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperanganberkecamuk. Tuanku Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahandengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas karena medanyang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari Jawa yangmerupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima perangPangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yangberakhir pada 1820.

Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di bawahpimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah danbenteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komandoTuanku Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya,kekuatan sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnyaditangkap dan sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.

5

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu menaklukkanCubadak Lilin, Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasilmenangkap panglima perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi.Tertangkapnya Tuanku Nan Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Kotomenyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Termasuk di antara yangmenyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan, ulama tua paling berpengaruhyang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda karena dianggap sebagai biangpembakar semangat perlawanan para ulama.

Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang pertamamenghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir,sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangandengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan KaumPaderi. Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping.

Karena banyak pimpinan Paderi yang datang menyerahkan diri, Belandadengan mudah menaklukkan Bonjol. Dari sana, Belanda mengirim pasukanmenjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping. Kolonel Elout yang menjadipemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkantampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda mengingatusia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk menguasaisepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah tundukkepada mereka.

Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam Bonjolmenyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regen (setingkatBupati) Alahan Panjang (Bonjol). Di luar sepengetahuan Belanda, peralihankekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku Imam Bonjol. Begitu Belandamelanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah lainnya, Bonjol punkembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen mati dibunuhTuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuanganKaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahunsetelah penaklukkan pertama.

Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadapResiden di Bukit Tinggi. Ini adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belandasaat mengundang Pangeran Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian

6

melucuti senjata dan menangkap Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku ImamBonjol tidak mendapai Residen, melainkan satu kompi tentara Belanda yangtelah bersiaga dan langsung menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang,lalu dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon.Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama pemimpinKaum Paderi yang harum namanya itu meninggal.

Sedangkan Tuanku Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudiandibebaskan setelah terjadi perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang.Pemimpin-pemimpin Paderi banyak yang mendapat jabatan baru dari Belandasebagai Regen atau Laras, jabatan adat buatan Belanda setingkat Camat dimasa sekarang. Tawaran serupa diberikan kepada Tuanku Pariaman tetapidijawab bahwa beliau akan kembali saja ke kampung-kampung yang pernahdikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.

HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARADi antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama terkenal

asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian menjadipenguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur.Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama SitiSaerah. Buah perkawinan mereka adalah Amrullah dan Bayanullah.

Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M). Sejak kecil dia dididiksecara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku Guguk Katur. Kemudiansejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman ke Koto Tuo untukdididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup, pada 1864 Amrullahkembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama yakni Fakih Kisa-i. Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu menghafal AlQur’an mendapat gelar Fakih. Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh,kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil dari nama salah seorang di antaratujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang mahsyur di masa Rasulullah.

Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkanThariqat Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudianbergelar ulama tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwahmatrilineal Minangkabau, Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh

7

Mengenang 100 Tahun HAMKA

untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat. Seiring namanya yang kianharum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu agamanya, sehinggakemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i menetap di Mekahdan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh MuhammadHasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya yanglebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwiyang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-iyaitu Abdul Karim bin Amrullah.

Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan berpengaruhsehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar kakeknya ituyang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau kisah-kisah ituberasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan berlebihkarena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul KarimAmrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. 2)

Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang yang dipandang sebagai ulamabesar akan menarik suku-suku adat untuk “menjemput” sang ulama. Artinya,ulama tersebut diminta menikahi salah seorang anak gadis dari suku yangmenjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang beberapa kali“dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai beberapaistri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang, TuankuKisa-i memiliki tujuh anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ketiga pada 10 Februari 1879 yang diberi nama Muhammad Rasul.

Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan.Orangtuanya pun mendidik secara ketat dalam kehidupan beragama karena dipundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i. Sejak usiatujuh tahun, Muhammad Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasapada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, paman beliau yangbernama Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan, untukbelajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Setahunkemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu belajar menulis dalam hurufArab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama Tuanku Said. TuankuSaid adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol.

Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf

8

dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai Rotan,Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.Empat tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.Pada 1894, saat berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekahuntuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurutcatatan Hamka, guru utama Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad KhatibMinangkabauwi. Beliau juga berguru kepada Syeikh Abdullah Jamidin, SyeikhUtsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, SyeikhHamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham pembaharuanIslam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin.

Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji. Sesuaitradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah.Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senangmemperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilahanakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnyaHaji Rasul.

Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh besar,Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarangkitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepadaSyeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalanganulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”3)

Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal daridunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah SyeikhAhmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dariMinangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd ShaghirAbdullah, ulama Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara”menyebut juga dari sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulama-ulama Melayu lain yang terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalahSyeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan SyeikhAhmad al-Fathani yang merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4)

Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan HidupManuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebutbahwa Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar

9

Mengenang 100 Tahun HAMKA

penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirutyang tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah,“Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhanidi Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literaturlain mengenai hal ini.”5)

Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara 1312H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulanganbeliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwaHaji Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agakberdekatan tahun kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang samadi Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji AbuBakar Hasan Muar, dari Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dariMinangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, dan banyak lagi.

Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh golongan -menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah sekarangIslam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan yangluar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang beliauke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalanpemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharapputeranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapatidi dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yangbertentangan dengan tradisi Islam di Minangkabau.

Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang saja guru HajiRasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini kitamenyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian jugakitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in,Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”.

Namun telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama SyeikhMuhammad Nur al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja ImamSambas) adalah murid-murid utama Muhammad Abduh dan Sayid RasyidRidha, pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanyasangat mempengaruhi pemahaman agama Muhammad Rasul. Haji Rasul sangatmengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai

10

jalan pemikirannya, melebihi pendalaman ilmu dari kitab-kitab karangan IbnuTaimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad Abdul Wahhab. Dari sana,Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan Syeikh MuhammadAbduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya.

Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentanganpemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya.Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak seganmenyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darahdagingnya sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaanHamka kuat tercermin dengan tidak menggambarkan pertentangan TuanKisa-i dengan Muhammad Rasul secara personal. Hamka hanya menguraimasalah perbedaan pemahaman agama yang memang harus disampaikansebagai pelajaran untuk umat.

Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung disambut dengangembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalanganninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh AhmadKhatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui caratarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah(Tuan Kisa-i) sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6)

Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarangpraktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (danhal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang keMinangkabau), tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatibyang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenalialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yangmenyusun kitab “Miftah al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama SyeikhSulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasulbanyak mendapat tentangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling kerasmenentang adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh AhmadKhatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah.Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuahkitab yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh

11

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu dibantah dengan menulis kitab tandinganyang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi sangat marahmembaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagisebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyahyang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwapenentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar.Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menuliskitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasulrajin menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka,karya-karya ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama,adalah kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah15 judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. MenurutHamka, “Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’dalam zamannya.”

Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang dianggap“ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan masyarakatMinang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang sangatawal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di Malaysiabuku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga buku-buku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan,Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!”.

Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai puncaknyaketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al Munir”.Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji AbdullahAhmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji Rasulmengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran beliauyang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam tradisionalsehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik tanyajawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari namanyasetelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah.

Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat

12

luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah.Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanyapenghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada KonferensiKhilafah di Kairo, tahun 1926.7)

Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan pemerintahan kolonialBelanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, dia terang-terangan menolak kewajiban seikerei (hormat bendera yang dilambangkan dengandewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’ dalam Islam sebagai bentukpenghormatan kepada Kaisar Jepang.

Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudiandiaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakanpembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanyaterasa di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi,Kalimantan, Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepadaHaji Abdul Karim, “Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH.Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan, tokoh gerakan pembaharuan Islam diJawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi pelajaran bagi murid-muridnyadalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912.

Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. AhmadDahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhamiberdirinya perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh murid-murid H.A.K.A. pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulanmurid (thawalib) di berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing.Di “Sumatera Thawalib” yang mengadopsi model sekolah modern alaMuhammadiyah, H.A.K.A. mengajar sebagai guru kelas VII.

Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islam yangditerbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalammasa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbitperdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang darisetahun dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit.

Sayid Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya,Muhammad Abduh telah mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir. RasyidRidha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke Mesir kemudian

13

Mengenang 100 Tahun HAMKA

menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar” pada 1898sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937 setelahRasyid Ridha wafat pada tahun yang sama.

Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura bernamaMuhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher binMuhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan MajalahIslam “Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah HajiAbdul Karim bin Tuanku Kisa-i. Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudianterbitnya “Al Munir” di Padang.

Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dankepiawaiannya berdakwah melalui dunia jurnalistik ini kelak menurun kepadaHamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus tahun setelahHamka dilahirkan.

KELUARGA HAJI RASULKetika pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad

Khatib Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun(1894-1901). Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “puteramahkota” Tuanku Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo.Bersamaan dengan itu, ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo.

Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul dinikahkan dengan Raihanahbinti Haji Zakaria dari suku Tanjung. Pernikahan ini berlangsung ataspermintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan gelora anakmuda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya, siasatayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengangadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar dihati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guruyang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorangputeri yang dinamai Fathimah.

Sedang hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembalimengutus Haji Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana.Maka Haji Rasul pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkanFathimah dalam asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek

14

Fathimah) keberatan jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah.Di Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib

Minangkabauwi untuk kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi SyeikhAhmad Khatib menolak maksud Haji Rasul karena dinilainya anak murid itusudah cukup memiliki ilmu untuk menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasimengajar ilmu agama dan hanya diijinkan menemui gurunya jika menemukanpersolan yang tak mampu dijawab sendiri oleh Haji Rasul.

Demikian gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannyasebagai pengakuan bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekadmenetap lebih lama lagi di Mekah.

Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namundi tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi laki-laki yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu,Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga limabulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T.

Haji Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliaupun memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau danmelanjutkan tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelahmengerjakan haji pada 1906 dan memakai mengganti namanya dengan AbdulKarim, beliau pulang.

Pembesar-pembesar suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungandengan keluarga Amrullah meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinyayang bernama Siti Syafiah Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiahtelah ditunangkan dengan anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko,pertunangan itu dibatalkan keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatandengan keluarga Amrullah. Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah.

Sebelumnya Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun,mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal di masa kecil. Hanya anakbungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang. Sedangkanpernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau memperolehempat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu AbdulKudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama AbdulMu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan

15

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasulmemperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernamaAbdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang,dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang).

Haji Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah.Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu yang lama. Pada tahun1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihakBelanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggappotensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu.Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelumproklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya,Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.

Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan

Jejak Ayah

Abdul Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi istimewa jika dikaitkan denganmeninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik) pada Senin, 2 Rabi’ulAkh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9 bulan 10 hari setelahkakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri Tuanku Kisa-i yangberusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata kepada Abdul Malikbahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku Kisa-i daripadaHaji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu sebagai mahluk-Nyayang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi terasa istimewa,sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.

Masa Kecil

Di masa kecilnya Abdul Malik yang biasa dipanggil Malik, hidup di kampungbersama ayah bundanya. Dia merupakan anak kesayangan Haji Rasul karenasebagai anak lelaki tertua, Malik menjadi tumpuan untuk melanjutkankepemimpinan umat. Tetapi metode dakwah Syeikh Abdul Karim yangcenderung keras dan tak kenal kompromi terbawa pula dalam cara beliaumendidik anak-anaknya. Hal itu rupanya tidak begitu berkenan di hati Malik.

16

Ia tumbuh menjadi anak dengan jiwa pemberontak.Sebagaimana umumnya anak-anak di Minangkabau, dia belajar mengaji

dan tidur di surau selain belajar pencak silat. Dia juga masuk sekolah desasampai kelas 2 tingkat dasar. Sore harinya ia belajar agama di Sekolah Diniyah(sekolah agama-madrasah) yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labai El-Yunusi ulama yang sepaham dengan Haji Rasul.8)

Oleh Hamka dilukiskan pada masa itu merupakan zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi pergi ke sekolah dengan bergegas, supaya dapatbermain sebelum bersekolah, sampai pukul sepuluh tengah hari. Kemudianbermain-main lagi, bercari-carian (petak umpet), main galah, bergelut, bertinju,main banting-bantingan, seperti layaknya anak-anak lainnya bermain.

Tapi kemudian masa kecilnya yang indah itu berakhir. Malik mengikutiayahandanya yang mengajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang dantinggal di sana. Ia berkesempatan belajar di perguruan Thawalib yang dipimpinoleh ayahnya selama beberapa waktu, namun tak sampai tamat. Selama belajardi Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai. Malik sangat malas belajardan seringkali meninggalkan sekolahnya selama beberapa hari.

Malik berpembawaan romantis. Salah satu kesukaannya ialah mengembaramengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan Kaba, yaitukisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dansaluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain ialah menontonfilm, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yangmerupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton. Melaluihobbi itulah seringkali ia mendapat inspirasi untuk menulis.

Mengenai sifat pemberontak dan kesenangannya mengembara, Hamka dalamsalah satu bukunya berjudul “Falsafah Hidup” menulis, “Tetapi entah bagaimana,dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau.... Jiwa beliau adalahjiwa diktator.... Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang,menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak maumengaji, saya bosan mendengar kitab Fiqh yang diajarkan di Thawalib.”

Selain sifat keras Haji Rasul dalam mendidik anak-anaknya, kerengganganhubungan itu bisa juga dipahami oleh karena kesibukan ayahnya sebagai da’ikelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Haji Rasul kerap meninggalkan

17

Mengenang 100 Tahun HAMKA

rumah dalam waktu lama untuk memenuhi panggilan dakwah, sehingga Malikkecil lebih dekat kepada salah seorang pamannya.

Saat Malik berusia 12 tahun, kedua orangtuanya bercerai. Hal ini berakibatterhadap perkembangan kejiwaannya. Malik merasa kurang mendapatkan kasihsayang yang sewajarnya dari kedua orangtuanya. Apalagi ibunya pun kemudianmenikah lagi dengan orang lain. Perceraian itu juga mengakibatkan keretakanhubungan keluarga besar ayah-ibunya.

Malik yang kemudian mengikuti ayahnya pindah ke Padang Panjang, harusmenghadapi cemoohan dari keluarga ayahnya sendiri. Menurut adat Minang,seorang anak lelaki dianggap tidak pantas tinggal bersama ayahnya yang tidaklagi beristrikan ibu kandungnya. Sebaliknya, untuk tinggal bersama ibunya punMalik tidak merasa nyaman, karena ada bapak tiri. Beruntung neneknya begitumenyayangi Malik sejak bocah itu dilahirkan. Malik pun tinggal dan lebihbanyak menghabiskan masa kecil bersama Neneknya.

Kondisi Malik menimbulkan kekhawatiran yang mendalam pada ayahnya,sebab seperti diutarakan sebelumnya, dia adalah tumpuan harapan Haji Rasuluntuk melanjutkan kepemimpinan umat. Haji Rasul pun mengirim Malik belajarpada Syeikh Ibrahim Musa di Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi. Saatitulah minat baca Malik mulai nampak. Ia rajin menyimak karya-karya sastrabaik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab. Kegemarannya membacaserta mengembara sambil menikmati sekaligus mengagumi keindahan panoramaalam Minangkabau yang memiliki bukit-bukit, gunung-gunung dan danauditambah lingkungan keluarga yang taat beragama, telah menjadi dasar pertamabagi pertumbuhan jiwa seorang Abdul Malik di masa mudanya.9)

Menemukan Jati Diri

Sepanjang abad ke-19, pembaharuan Islam merupakan wacana dominandi Mekah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini meluassampai ke Ranah Minang, dibawa oleh banyak ulama negara-negara Melayuyang mengkaji langsung ilmu agama di pusatnya, Mekah. Keadaan itumengancam posisi adat dan thareqat yang menjamur di Sumatera Barat sejakabad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan.

Serangan pertama terhadap adat-thareqat datang bersama kepulangan tiga

18

ulama (Haji Miskin dan kawan-kawan) pada 1802. Penetrasi ajaran merekamengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledakmenyusul kepulangan ayah Abdul Malik dari Mekkah (1901 dan 1906), yangmengibarkan bendera “Kaum Muda”, berhadapan dengan “Kaum Tua”, bahkanayahnya sendiri, Syekh Amrullah (Tuanku Kisa-i) yang menjadi pemimpinthareqat Naqsabandiyah di Sumatera Barat.

Pada masa-masa seperti itulah Abdul Malik mulai menapaki dunia ilmupengetahuan (agama). Dia menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah.Jejak-jejak Islam thareqat masih tersisa yang berhadap-hadapan dengan wacanabaru pembaharuan Islam. Kondisi demikian sangat mempengaruhiperkembangan pribadi Abdul Malik karena pelaku-pelaku sentral sejarahperkembangan Islam di Nusantara, khususnya Sumatera Barat, itu tak lainkakek dan ayah kandungnya sendiri.

Pergesekan antara dunia kakek dan ayah mendorong Abdul Malik untukmelampauinya. Walau hanya berbekal pendidikan formal yang minim, yakniantara 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan SekolahDiniyah di Parabek, kemudian dilanjutkan belajar di Sumatera Thawalib di PadangPanjang yang didirikan murid-murid ayahnya, Abdul Malik memiliki kecerdasanalami yang menojol. Kemampuan baca tulis (Arab, Latin, dan Jawi)-nya di atasrata-rata. Dipicu keberjarakan dengan ayah dan etos perantauan Minangkabau,mendorong Abdul Malik mengembara mencari jati diri.

Memasuki abad 20, di pulau Jawa mulai timbul gerakan-gerakan politikdan keagamaan, seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Omar SaidTjokroaminoto. Juga Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji AhmadDahlan di Yogyakarta, yang alirannya sejalan dengan paham pemikiran HajiRasul. Selain itu gerakan-gerakan nasionalis juga mulai timbul, kesemuanyabertujuan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinanSoekarno. Bahkan aliran komunis juga muncul di Jawa dipelopori oleh Alimin,Tan Malaka dan lain-lain. Berita-berita sekitar kebangkitan partai politik itutelah sampai juga ke Minangkabau dan menjadi buah pembicaraan khalayak disana. Ini menjadi dorongan kuat bagi Abdul Malik sehingga pada 1924 iamerantau ke Jawa dengan Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Abdul Malik menumpang di rumah pamannya Jakfar

19

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Amrullah, seorang pedagang batik. Selama bermukim di sana, dia aktifmengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Organisasi Sarekat Islam, bahkanmasuk menjadi anggota organisasi yang kemudian menjadi partai politik itu.

Dalam beberapa hal ia belajar langsung pada H.O.S. Tjokroaminoto,pimpinan Sarekat Islam. Abdul Malik juga mereguk pengetahuan sosiologi dariSoerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari K.H. Mas Mansur, dan tafsirdari Ki Bagus Hadikusumo. Di Jawa, Abdul Malik juga sempat mengembarake Bandung, bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yangmemberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah “Pembela Islam”.

Di luar PSI, Abdul malik aktif sebagai anggota Muhammadiyah, syarikatkeIslaman yang memiliki kesesuaian paham dengannya. Dia pun berkenalandan rajin mengikuti pengajian yang diberikan pemimpin-pemimpinMuhammadiyah seperti K.H.Mochtar, K.H.Fachruddin, dan lain-lain.

Beberapa lama di Yogyakarta, Abdul Malik menemui A.R.Sutan Mansur,suami kakak tirinya Fatimah (anak Haji Rasul dari isteri pertama) di Pekalongan.Abdul Malik pun berguru pada A.R.Sutan Mansur yang waktu itu menjabatsebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan.

Keterlibatan Abdul Malik dalam jaringan organisasi dan penambahanpengetahuan yang demikian luas membentuknya menjadi ulama muda berjiwakosmopolitan. Namun, sebagai putera Minang, Abdul Malik tetap memilikietos puritan dalam keluwesan pergaulan disertai kelapangan jiwa yangmengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap tolerandan estetik dalam usia yang masih belia.

Pada 1925, Abdul Malik kembali ke Minang. Walau masih dalam usia 17tahun, ia telah menjadi ulama muda yang disegani. Keterpikatannya pada senidakwah di atas panggung yang ditemuinya pada orator-orator ulung di Jawa,membuatnya merintis kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya. AbdulMalik rajin mencatat dan merangkum pidato kawan-kawannya, kemudianditerbitkan menjadi buku. Dia sendiri yang menjadi editor buku yang diberi judul“Khatib ul-Ummah”. Inilah karya perdana Abdul Malik sebagai seorang penulis.

Melihat perkembangan buah hatinya yang demikian hebat dalam hal tulismenulis dan pidato, Haji Rasul sangat gembira. Namun menuruti adatnyayang keras, yang tercetus justru sebuah kritik tajam, “Pidato-pidato saja adalah

20

percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu”.10)

Dua tahun di kampung halaman, pada 1927 Abdul Malik pergi tanpa pamitkepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalampengetahuan (Islam) pada ulama-ulama di sana. Dia sengaja kabur dari rumahsebagai jawaban atas kritik ayahnya. Dari Mekah, dia pun berkirim surat kepadaayahnya, memberitahukan bahwa dia telah menunaikan ibadah haji.

Di Mekah, Abdul Malik sempat bekerja di perusahaan percetakan-penerbitan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi yang merupakan mertuaSyeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam dan Khatib Masjidil Haram,guru besar ayahnya.

Di tempatnya bekerja itu, “kegilaan” Abdul Malik dalam membaca kitabterpenuhi dengan melimpahnya kitab-kitab klasik, buku-buku dan majalah–buletin Islam dalam Bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.Tujuannya bekerja, selain agar bisa menumpang hidup adalah untuk menyerapilmu Syeikh Ahmad Khatib yang begitu diidolakan ayahnya.

Setelah menunaikan haji (sejak saat itu menyandang nama Haji Abdul MalikKarim Amrullah - Hamka), dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, iaberjumpa H. Agus Salim. Tokoh Muhammadiyah itu menyarankan agar Hamkasegera pulang ke Tanah Air. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkutpergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebihbaik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri,” kata Agus Salim.11)

Kata-kata pemimpin besar itu oleh Hamka dianggap sebagai suatu“titah”. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukimdi Mekah. Tetapi bukannya pulang ke Padang Panjang di mana ayahnyatinggal, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuh kapal yangmembawanya pulang.

Produktif Menulis

Di Medan Hamka mulai mengirimkan tulisan-tulisannya untuk Surat kabarPembela Islam di Bandung dan berkorespondensi dengan M. Natsir, A. Hassan,dan tokoh pembaruan Islam lainnya. Hamka juga bekerja di Harian Pelita Andalasdan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekah.

21

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Tulisannya diminati banyak orang, di antaranya adalah Muhammad Ismail Lubis,pemilik majalah Seruan Islam. Hamka pun diminta menuliskan karangan lainnyadi majalah tersebut. Selain itu Hamka kerap mengirimkan tulisannya ke SuaraMuhammadiyah yang dipimpin H.Fakhruddin di Yogyakarta.

Walau sangat produktif, namun penghargaan atas karya tulis pada masa itumasih demikian kecil, tak cukup untuk menutup biaya hidup. Hamka bernasibbaik, ia diminta oleh pedagang-pedagang kecil yang umumnya para perantaudari Sumatera Barat untuk menjadi guru agama. Dari pekerjaannya sebagaiguru ini ia mendapatkan honor yang cukup untuk membiayai hidupnya.

Pada tahun 1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasaMinangkabau “Si Sabariyah”. Di tahun yang sama ia pun memimpin majalahKemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Kemudian setahunberikutnya, 1929 terbit pula buku-bukunya yang lain; “Agama dan Perempuan”,“Pembela Islam”, “Adat Minangkabau”, “Agama Islam” (buku ini disita polisipenjajah karena dianggap berbahaya bagi pemerintah jajahan), “KepentinganTabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj”, dan berbagai karya lainnya.

“Si Sabariyah” laris di pasaran. Kenyataan ini membuat semangat Hamkadalam berdakwah melalui tulisan menyala-nyala karena karya-karyanyamendapat apresiasi luas. Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa dalammelaksanakan kewajiban dakwah, Hamka memiliki kualitas tersendiri karenamenguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.

Karya Hamka yang menjadi tonggak kepujanggaannya adalah “LailaMajnun” yang diilhami sebuah cerita pendek berjudul “Majdulin” yang dibacanyadalam sebuah majalah Arab. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbitutama pada waktu itu. Hal ini sangat membesarkan hati Hamka yang masihberusia muda dan semakin memacunya untuk lebih giat lagi menulis danmengarang. Dari karya-karyanya yang kemudian diterbitkan Balai Pustaka,nama Hamka pun dalam khasanah sastra nasional tercatat sebagai salah satupujangga angkatan Balai Pustaka.

Rujuk, lalu Kembali Merantau

Nama besar keluarga Amrullah, serta tradisi setempat yang selalumenyambut kepulangan seorang Haji dari Mekah untuk diserap ilmunya,

22

membuat keputusan Hamka tidak langsung pulang ke Padang Panjang menuaikecaman. Orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim suratmemintanya pulang. Namun Hamka membangkang, bahkan ia membalas surat-surat itu dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya Hamka kembali kekampung. Surat Hamka itu pun diadukan kepada Haji Rasul.

Tak kalah cerdik, ulama tua itu mengirim A.R.Sutan Mansur untuk menjemputHamka. Karisma dan pribadi lembut guru sekaligus kakak iparnya itu membuatHamka luluh. Akhirnya ia pulang ke kampung dan diterima ayahnya dengan rasaharu yang dalam. Kata Haji Rasul, “Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitumulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itumaksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.”

Hamka berurai air mendapat sambutan sehangat itu dari seorang ayah yangsepanjang masa mudanya terasa begitu jauh dari kehidupannya. Hapus sudahfigur seorang ayah yang keras dan dingin. Terbuka pula tabir kasih sayang yangselama itu digunakan Haji Rasul untuk mendidik anak kesayangannya itu.Hubungan Hamka yang oleh ayahnya kerap disebut sebagai “Si Bujang Jauh”yang penuh warna dengan Haji Rasul, kelak melahirkan sebuah karya biografiyang demikian kuat yang oleh Hamka diberi judul “Ayahku”. Buku ini adalahkarya apresiatif sebagai simbol cintanya pada Sang Ayah.

Hamka kembali terlibat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Pada 1928,Hamka diangkat menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.Di sana, Hamka mendirikan sekolah-madrasah “Kulliyatul Muballighin” bersama-sama pengurus Muhammadiyah lainnya. Dia ditunjuk sebagai “Kepala Sekolah”sekaligus pengajarnya. Pada 1929, saat berusia 21 tahun Hamka dinikahkandengan seorang gadis bernama Siti Raham.

Keterlibatannya dalam pengurus Muhammadiyah membuat hubungannyadengan tokoh-tokoh organisasi semakin erat. Hamka kerap berdiskusi danbelajar pada Agus Salim mengenai tauhid, filsafat, tasauf, dan politik. HajiAgus Salim adalah seorang ulama yang begitu luas penguasaan bidangpengetahuan sehingga pantas menyandang gelar pujangga, filosof, jurnalis,orator, politikus, sekaligus pemimpin rakyat. Di mata Hamka, beliau adalahseorang manusia yang nilainya lebih dari sejuta manusia. Sehingga menurutnya,guru besarnya itu adalah seorang pembaharu Islam yang kedudukannya sama

23

Mengenang 100 Tahun HAMKA

dengan Muhammad Abduh di Mesir.Pada 1930, Konggres Muhammadiyah ke XIX dilaksanakan di Bukittinggi.

Pada saat itulah Hamka menunjukkan kepiawaiannya berorasi dalam pidatoyang berjudul “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Pidato memikat dalamkonggres nasional yang dihadiri ribuan utusan Muhammadiyah dari daerah-daerah lain itu secara tidak resmi telah menempatkan Hamka sebagai SingaPodium baru.

Setahun kemudian Hamka diutus ke Makassar untuk berdakwah di sanaoleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Selain itu, Hamkamengemban tugas khusus mempersiapkan Konggres Muhammadiyah ke 21(Mei 1932) di Makassar. Di sana Hamka menetap selama tiga tahun. Selamadi Makassar, selain menjadi muballigh, Hamka tetap rajin menulis artikeluntuk dikirim ke beberapa surat kabar di Jakarta dan Medan. Hamka jugamenerbitkan jurnal pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan berjudul“al-Mahdi” yang redaksi sekaligus dan administrasinya diurus sendiri. Jurnalitu sayangnya hanya bertahan 9 kali penerbitan. Selain “al-Mahdi” Hamkajuga menerbitkan majalah “Tentera” periode waktu dan tempat yang samayang terbit 4 edisi.

Di Muhammadiyah, karir Hamka terus berlanjut hingga pada KonferensiMuhammadiyah Sumatera Barat (1946), Hamka terpilih menjadi ketua MajlisPimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, menggantikan S.Y. SutanMangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Jabatan itu diembannyasampai 1949.

Pada Konggres-konggres Muhammadiyah berikutnya, Hamka diangkatsebagai anggota Pimpinan Pusat. Tetapi pada Konggres tahun 1971 yangkembali diadakan di Makassar, Hamka tidak lagi bersedia duduk dalamPimpinan Pusat Muhammadiyah mengingat faktor usia. Sejak saat itu, beliauditetapkan sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terusmelekat padanya sampai akhir hayatnya.

Pujangga, Pejuang

Pada tahun 1936 tugasnya di Makassar berakhir. Hamka pun diminta olehteman-temannya ke Medan untuk memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”.

24

Saat itu, tiras majalah Islam yang terbit bulanan itu baru 500 eksemplar. Dibawah kepemimpinannya (1936-1942) “Pedoman Masyarakat” berkembangdengan pesat, tiras majalah mencapai 4.000 eksemplar. Jumlah terbitan yangpada masa itu tergolong sangat besar. Di “Pedoman Masyarakat” inilah HajiAbdul Malik Karim Amrullah pertama kali menggunakan nama pena Hamka(akronim namanya) yang kemudian menjadi nama populernya.

Melalui majalah ini lahirlah karya-karya besar dalam lapangan agama,filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang dimuat di Pedoman Masyarakat ada pulayang ditulis lepas. Dalam bidang agama dan filsafat, karya Hamka antara lain“Tentang Bahagia” (yang dikemudian hari diterbitkan dengan judul; TasaufModeren), “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, dan “Lembaga Budi”.

Melalui rubrik cerita bersambung di majalah yang dipimpinnya, Hamkamelahirkan karya-karya sastra jempolan. Di antaranya empat judul karya yangditulisnya bersamaan dalam rentang waktu tiga tahun (1937-1940), yakni “DiBawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck”, “Merantau keDeli”, dan “Di dalam Lembah Kehidupan”. Judul terakhir adalah sebuah kumpulancerita pendek. Selain keempat judul itu, Hamka juga menuliskan beberapakarya sastra lain, di antaranya “Terusir”, “Keadilan Illahi”, dan banyak lagi.

Baik Majalah “Pedoman Masyarakat” maupun buku-buku agama dan karyasastra Hamka kemudian tersebar dan dibaca luas di seluruh Indonesia, jugadibaca banyak orang di Malaysia.

Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia. Pada tahun itu pula “PedomanMasyarakat” berhenti penerbitannya.

Seperti ayahnya, Hamka adalah sosok ulama yang konsisten (istiqomah)dalam beragama. Namun sebagai cucu buyut Tuanku Pariaman, panglimaperang Tuanku Imam Bonjol semasa Perang Paderi, darah nasionalis jugamengalir kental di tubuhnya. Hal itu dibuktikannya dengan terjun langsung kegaris depan Laskar Gerilya Kemerdekaan yang menentang kembalinya penjajahBelanda ke Indonesia di Medan pada 1945. Masa-masa konflik ini, pidato-pidato Hamka yang garang berhasil membakar semangat para pejuang laiknyamotivator perjuangan ulung Bung Tomo yang berhasil membakar api perlawanansemesta terhadap tentara NICA di Surabaya. Pada 1947, Hamka diangkatmenjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.

25

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Pada 1950, Hamka memulai karir sebagai Pegawai Kementrian Agama.Beliau bertugas sebagai dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, yakni diPerguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas IslamJakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Universitas IslamSumatera Utara, dan bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum dan FalsafahMuhammadiyah di Padang Panjang.

Di tahun itu juga Hamka menunaikan ibadah haji ke dua dan melanjtkanlawatan ke beberapa negara Arab. Ibadah haji ke dua dan kenang-kenanganatas perjalanan ini dituliskannya menjadi tiga buah buku: “Mandi Cahaya diTanah Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”.

Dua tahun kemudian Hamka diundang Departemen Luar Negeri AmerikaSerikat untuk berkunjung ke negara itu. Hamka melawat selama empat bulandi Amerika Serikat. Beliau berangkat melalui Eropa dan pulangnya singgahsebentar di Australia. Dari lawatannya ini, kembali Hamka menghasilkan bukuberjudul “4 Bulan di Amerika” sebagai buah tangan.

Pada 1958 Hamka menjadi anggota delegasi Indonesia untuk SimposiumIslam di Lahore. Dari sana Hamka melanjutkan lawatan ke Mesir. Perjalanankali ini merupakan penggal sejarah yang sangat penting dalam kehidupan Hamkaseperti yang akan diuraikan pada bagian berikut.

Tahun 1959 Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat”.Majalah yang didirikannya bersama K.H. Fakih Usman itu dibreidel olehSoekarno pada 17 Agustus 1960 karena memuat artikel berjudul “DemokrasiKita” tulisan Muhammad Hatta yang mengkritik tajam konsep DemokrasiTerpimpin Soekarno.

Al-Azhar, Pusaka Peninggalan Buya Hamka

Pada 1956, Hamka selesai membangun sebuah rumah kediaman di bilanganKebayoran Baru. Di depan rumah itu terdapat sebuah lapangan luas yangdisediakan pemerintah untuk membangun sebuah masjid agung. Rencanapembangunan masjid agung itu membuat Hamka begitu gembira karena baginyaapabila sebuah masjid berada di depan rumah, maka akan mudah mendidikanak-anak dalam kehidupan Islami.

Dua tahun kemudian, sebuah peristiwa penting terjadi dalam hidup Hamka.

26

Dia diundang oleh Universitas Punjab di Lahore, Pakistan, untuk menghadirisebuah seminar Islam. Di sanalah Hamka berkenalan dengan seorang pemikirbesar Islam Dr. Muhammad al-Bahay.

Usai mengikuti seminar, Hamka melanjutakan lawatan ke Mesir atasundangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat,salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi Mesir” di samping PresidenJamal Abdel Nasser. Kedudukan Hamka sebagai anggota PimpinanMuhammadiyah, rupanya telah membuat beliau begitu dikenal oleh masyarakatMesir, terutama di kalangan akademisi Universitas Al-Azhar. Namanya jugaharum di lingkungan “As-Syubbanul Muslimun”, organisasi Islam yang berhaluansama dengan Muhammadiyah. Hal ini tak terlepas dari peran Duta Besar Mesirdi Indonesia pada waktu itu, Sayyid Ali Fahmi al-Amrousi dan AtaseKebudayaan Indonesia di Mesir, Raden Hidayat, yang memperkenalkan Hamkakepada masyarakat Mesir. Lawatan Hamka ke Mesir kebetulan bertepatandengan kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke sana sehingga Saiyid AliFahmi al-Amrousi pun tengah berada di negerinya.

Maka, terjadilah kesepakatan antara Mu’tamar Islamy dan “As-SyubbanulMuslimun” dengan Universitas Al-Azhar untuk mengundang Hamkamengadakan suatu muhadharah (ceramah) di gedung As-Syubbanul Muslimun gunamemperkenalkan lebih jauh pandangan hidup Hamka kepada masyarakatakademisi dan pergerakan di Mesir. Buya menyambut hangat undangan tersebutdan menyiapkan sebuah makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduhdi Indonesia dan Malaya”.

Ceramah Hamka beroleh sambutan luar biasa. Dari sebuah acara yangsemula direncanakan sederhana saja, ceramah itu telah berubah menjadi sebuahstudium generale (kuliah umum) yang dihadiri sarjana-sarjana dan ulama kenamaanMesir. Di antara yang hadir, tercatat nama-nama seperti Prof. Dr. Osman Amin,Dr. Muhammad Al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Ketua Umum As-SyubbanulMuslimun, dan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar (kala itu) Syeikh MahmoudSyaltout. Mereka memberikan apresiasi begitu tinggi kepada orang Indonesiayang ternyata lebih mendalami dan memahami pemikiran Muhammad Abduhdaripada kebanyakan orang Mesir sendiri.

Usai kuliah umum yang menghebohkan itu, Hamka melanjutkan lawatanke Saudi Arabia memenuhi undangan Raja Saud. Kesempatan itu digunakan

27

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Hamka untuk berziarah ke makam Rasulullah di Madinah dalam kapasitassebagai tamu negara.

Beberapa hari di Madinah, Raja Saud mengundang Buya sebagai tamu pribadiRaja Arab Saudi itu. Sedang menjadi tamu raja, tiba-tiba datang pula kawatdari Mesir yang disampaikan oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi al-Amrousi yang berisi rencana Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelarilmiah tertinggi kepada Buya Hamka, yakni gelar Ustadzyyah Fakhriyah (DoctorHonoris Causa).

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah itu merupakan penghargaan kehormatanakademis pertama yang diberikan Universitas Al-Azhar kepada orang yangdianggap patut menerimanya. Penghargaan itu terwujud atas usulan KepadaDepartemen Kebudayaan Al-Azhar, Dr. Muhammad Al Bahay. Namun upacarapemberian gelar kehormatan itu tidak bisa segera dilaksanakan meskipunHamka telah kembali ke Mesir dari kunjungannya ke Saudi Arabia disebabkanpanitia perlu menyusun protokol pelantikan yang sebelumnya belum pernahdilakukan. Bahkan rencananya, pemberian gelar Doctor Honoris Causa ituakan disahkan oleh Jamal Abdel Nasser, Presiden Mesir waktu itu. Al-Bahaymeminta Buya Hamka agar bersabar tinggal lebih lama di Mesir karena segalapersiapan pelantikan itu butuh waktu satu hingga dua minggu.

Minggu-minggu akhir bulan Februari 1958 itu, suhu politik di Mesirmenghangat dengan penggabungan Republik Mesir dengan Republik Suriah.Suasana gegap gempita dan kesibukan luar biasa mewarnai hari-hari yang dipenuhidemonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Kesibukan itu melanda juga ke dalamUniversitas Al-Azhar sehingga rencana penganugerahan gelar Ustadzyyah Fakhriyahkepada Hamka terhambat. Pada akhirnya, disampaikan kepada Hamka untukmenunggu hingga akhir bulan Ramadhan 1378 H (awal bulan April 1958).

Walau tak mudah bagi seorang Hamka untuk melakukan perjalanan ke luarnegeri, tetapi pada waktu itu beliau memutuskan untuk kembali lebih dahulu keTanah Air karena krisis politik tengah terjadi di dalam negeri. Hamka mendapatkabar kalau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telahmelakukan pemberontakan di Sumatera. Dan pada penghujung bulan Febriari1958 itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah membom Painan yang terletakdi pesisir selatan Sumatera Barat. Mendapati Minangkabau, bumi kelahirannya

28

dalam bahaya besar, Hamka yang memiliki jiwa pejuang memutuskan pulangdan menunda urusan penganugerahan gelar kehormatan itu.

Sekembali ke Tanah Air, Hamka mendapati pembangunan Masjid Agungdi depan rumah tinggalnya telah selesai tetapi belum boleh digunakan untukberibadah. Menurut Syamsurrijal, Walikota Jakarta Raya pada waktu itu yangmenjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Agung Kebayoran, masjid barubisa digunakan beribadah setelah diresmikan oleh Presiden Soekarno. Hamkagusar. Beliau mendesak Syamsurrijal agar diperbolehkan menggunakan MasjidAgung sambil menunggu kesediaan Presiden Soekarno meresmikannya.Menurutnya, ruh masjid barulah menyala apabila dipakai guna beribadah.Apalagi pada waktu itu telah datang bulan Ramadhan.

Demikianlah Hamka mulai melaksanakan shalat di Masjid AgungKebayoran Baru. Berangsur jamaah mulai ramai setelah pada awalnya hanyadiikuti 5 sampai 6 orang saja. Hamka pun secara tidak resmi telah diangkatmenjadi Imam Masjid Agung Kebayoran Baru. Selain memimpin shalat limawaktu, setiap usai shalat Shubuh, Beliau mulai memberikan penjelasanmengenai ayat-ayat Al Qur’an selama 45 menit kepada jamaah. Inilah cikalbakal tersusunnya magnum opus Buya Hamka yang kelak dikenali sebagai kitabTafsir Al-Azhar.

Barangkali sejauh ini khalayak menilai kitab tafsir itulah puncak karya ulamamulti dimensi itu. Tetapi dalam pengantar yang dituliskan sendiri oleh Hamkamengenai alasan di balik pemberian judul “Al-Azhar” pada kitab tafsirnya,jelas tersirat bahwa terdapat suatu gagasan besar yang layak disebut sebagairuh perjuangan Buya Hamka dalam perjuangan Islam yang tidak akan pernahberhenti sampai pada tersusunnya sebuah kitab tafsir lengkap belaka. Ruhperjuangan itu tak lain sebuah institusi pergerakan Islam yang berpusat di MasjidAgung Kebayoran yang kelak sama kita kenal sebagai Masjid Agung Al-Azhar.Untuk lebih jelasnya, baik kita simak fragmen penting dalam kehidupan beliauberikutnya.

Maret 1959 datang undangan dari Duta Besar Mesir yang baru, ialah SayyidAli Fahmi kepada Hamka. Rupanya pemberian gelar Doctor Honoris Causaoleh Universitas Al-Azhar kepada Hamka telah dilakukan dan bel (tabungijazah) berwarna biru pun disampaikan kepada Hamka dalam sebuah upacara

29

Mengenang 100 Tahun HAMKA

yang penuh khidmad di kantor Kedutaan Besar Mesir. Pada ijazah itutercantum keterangan “Raqam I”, artinya penghargaan gelar akademis itumerupakan penghargaan pertama sejak Al-Azhar menetapkan peraturanmengenainya. Hamka adalah orang pertama yang mendapat gelar H.C. dariUniversitas Al-Azhar, Kairo.

Inilah momentum penting dalam sejarah perjuangan Hamka. Dalampengantar Tafsir Al-Azhar, mengenai hal itu Hamka menulis, “Ijazah yang amatpenting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh keharuan. Sebabdia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syeikh Jami’Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilangselama dalam pimpinan beliau. Itulah Syeikh Mahmoud Syaltout, (beluai meninggalpada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung“asy-Syubbanul Muslimun” itu.”12)

Hamka menulis surat kepada Mahdoud Syaltout berisi pernyataanterimakasih kepada Al-Azhar dan semua orang yang telah membantunyamemperoleh penghargaan itu. Surat itu dibalas oleh Syaikh Jami’ Al-Azhardengan menambahkan pujian, “Sesungguhnya tatkala Al-Azhar memutuskan hendakmemberikan penghargaan itu, ialah karena dia telah mengetahui betapa perjuangan tuanselama ini dalam usaha menegakkan kesatuan kaum Muslimin di Asia Timur, dansebagaimana pula tuan telah memancangkan tonggak-tonggak untuk kekokohan Islam.Maka Al-Azhar sangatlah merasa berbahagia karena telah meletakkan kepercayaanitu ke atas diri tuan dan dianggapnyalah tuan sebagai puteranya yang setia kepadanyadan kepada pokok-pokok pendirian Islam, yang Al-Azhar telah berjuang selama iniuntuk mengibarkan benderanya.”13)

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah beserta surat Mahmoud Syaltout itu begitumemotivasi Hamka untuk melanjutkan syiar Islam yang berpusat di MasjidAgung Kebayoran Baru. Hamka semakin sering menyampaikan pelajaran tafsirusai shalat Shubuh. Disebabkan oleh bermacam kegiatan pengajian dankhutbah-khutbah Jum’at Hamka yang memukau, Masjid Agung KebayoranBaru pun mulai dipadati jama’ah.

Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. MuhammadAl-Bahay (sosok yang diyakini Hamka berada di balik sukses Mahmoud Syaltoutmemajukan Al-Azhar) berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah

30

satu agenda kunjungan adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru.Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, MahmoudSyaltout dalam sambutannya antara lain menyatakan, “Bahwa mulai hari ini,saya sebagai Syeikh (Rektor) dari Jami’ Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama“Al-Azhar”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo.” Sejak saat itu, semua orang sepakat melekatkan nama MasjidAgung Al- Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran Baru.

Diluar segala macam kesibukannya yang luar biasa, Hamka terusmelanjutkan memberikan pelajaran tafsir di Masjid Agung Al -Azhar. Januari1962, Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya,menerbitkan sebuah majalah bernama “Gema Islam” di mana Hamka menjadipemimpin redaksinya. Segala kegiatan Masjid Agung, terutama pelajaran tafsiroleh Hamka dimuat secara berkala di dalam majalah itu. Luasnya peredaran“Gema Islam” membuat kegiatan menyampaikan tafsir ba’da shalat Shubuhdiikuti oleh takmir-takmir masjid lain di Indonesia. Rangkaian pelajaran tafsirba’da shubuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberi judulTafsir Al-Azhar, merujuk kepada tempat di mana tafsir itu diberikan sekaliguspenghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir). Tulis Hamka, “Atas usuldari tata usaha majalah di waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran“Tafsir” waktu Shubuh itu dimuatlah di dalam majalah Gema Islam tersebut. Langsungsaya berikan nama baginya Tafsir Al-Azhar, sebab “Tafsir” ini timbul di dalam MasjidAgung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syeikh Jami’ Al-Azhar sendiri.Merangkaplah dia sebagai alamat terimakasih saya atas penghargaan yang diberikanoleh Al-Azhar kepada diri saya.”14)

Terbetik dalam benak Hamka ketika mulai menyusun Tafsir Al-Azhar untukmenjadikannya sebagai peninggalan pusaka bagi bangsa dan ummat musliminIndonesia sepeninggalnya kelak dari alam fana ini. Terlebih lagi, begitu besardorongan di hatinya untuk mempersembahkan Tafsir Al-Azhar sebagai “balasan”atas penghargaan yang telah diterimanya dari Universitas Al-Azhar, Kairo.Penghargaan, yang menurut Hamka, disebabkan oleh rasa cinta orang Mesirkepada seorang ulamanya (Muhammad Abduh) yang dipandang sebagai peloporpembaharuan Islam di Mesir. Oleh karenanya, penghargaan tertinggi pantasdiberikan kepada orang yang memuliakan dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran

31

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Muhammad Abduh, yaitu kepada Haji Abdul Malik Karim Amrullah.Jika disimak sedemikian dalam rasa syukur Hamka atas gelar Ustadzyyah

Fakhriyah yang diterimanya dari Universitas Al-Azhar tidak aenh kalau kerjakerasnya menyusun Tafsir pun didedikasikan kepada Universitas Al-Azhar.Dan jika diingat kembali pesan Syaikh Mahmoud Syaltout agar Masjid AgungKebayoran Baru kelak menjadi pusat gerakan pembaharuan Islam seperti halnyaAl-Azhar di Mesir, maka ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamkadari Masjid Agung Al-Azhar merupakan pusaka peninggalan Hamka yangnilainya sama besar dengan kitab Tafsir Al-Azhar itu sendiri.

Tafsir Al-Azhar, yang diakui sebagai karya terbesar Hamka telah selesaidisusun melalui berbagai rintangan yang tidak mudah sebagaimana akan diuraikanselanjutnya. Tetapi ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka belumdan tidak akan pernah selesai. Menjadi kewajiban generasi selanjutnyalah untuktidak sekadar mewarisi kebesaran Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tetapimelanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan Islam di bumi Indonesia danmenjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat pergerakannya.

Tafsir Al-Azhar, Hikmah di Balik Fitnah

Sejak menjadi Imam Masjid, Buya Hamka memulai memberikan pelajarantafsir Al Qur’an tiap selesai memimpin shalat subuh. Surat yang pertama kalidikaji adalah surat Al-Kahfi, juzu XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya, yangdimulai sejak akhir 1958, kemudian dimuat secara berkala di Majalah GemaIslam terbitan Perpustakaan Al Azhar mulai Januari 1962 hingga Januari 1964.

Mulai saat itu terbetik di hati Hamka untuk menyusun tafsir dalam kitab-kitab yang kemudian diberi judul Tafsir Al Azhar. Pemberian judul kitabtafsirnya itu tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Agung Al Azhar sepertidiuraikan sebelumnya. Tetapi, meski telah berjalan selama enam tahun, belumjuga seluruh ayat-ayat Al Qur’an selesai ditafsirkan.

27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang oleh Hamka dikiaskandengan kalimat, “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisamenahannya.”15) Siang itu, usai memberikan pengajian mingguan di MasjidAgung, Buya “dijemput” empat orang polisi berpakaian preman, lengkapdengan Surat Perintah Penahanan Sementara. Di dalamnya disebutkan bahwa

32

Hamka diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963. Tanpaketerangan lebih jelas, Hamka digelandang ke Departemen AngkatanKepolisian (DEPAK), ditahan selama 2 jam, kemudian dibawa ke Cimacan,Puncak, Bogor. Empat hari Hamka ditahan di sebuah bungalow Polisi diCimacan. Pada 31 Januari 1964, beliau dipindahan ke Sekolah KepolisianSukabumi setelah sebelumnya sempat mampir di sebuah bu-ngalow lain diPuncak di mana beliau bersua tokoh Masyumi H. Kasman Singodimedjoyang telah dua bulan ditahan rejim Soekarno.

Di tahanan Sukabumi Hamka diinterogasi secara maraton denganbermacam cara, baik dengan bujukan lembut maupun dengan paksaan,sindiran, ejekan, hingga hinaan agar mengakui tuduhan yang dialamatkankepadanya. Masa-masa yang tak pernah terbayangkan bakal menimpa seorangulama yang “lurus-lurus saja” itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tapiwalau berat ujian yang harus ditanggung, Hamka tak putus menjalani ibadahwajib puasa Ramadhan!

Tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah melakukan rapat-rapat gelap,menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno danPemerintah Republik Indonesia yang sah.16) Salah satu biang tuduhan adalahkuliahnya pada Oktober 1963 di Institut Agama Islam Negeri (sekarangUniversitas Islam Negeri) Ciputat yang dianggap menghasut mahasiswa untukmelanjutkan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureuh, M. Natsir danSyafruddin Prawiranegara. Rupanya, di antara segelintir saja mahasiswa yangmengikuti kuliah Ilmu Tasauf yang disampaikan Hamka, terdapat intel rejimSoekarno.17)

Berbagai tuduhan lain, di antaranya menjalin kontak dengan kaki tanganTengku Abdul Rahman dalam lawatan beliau ke Pontianak pada September1963, mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 untukmerencanakan pembunuhan terhadap Menteri Agama waktu itu H. SaifuddinZuhri dan melakukan kudeta, dan sebagainya. Intinya, aktivitas dakwah BuyaHamka di tengah masyarakat dianggap sebagai gerakan kontra revolusi yangketentuan hukum bagi pelakunya ditetapkan melalui surat PenetapanPresiden.

Dari Sukabumi, Hamka kembali dipindah ke Cimacan bersama seorang

33

Mengenang 100 Tahun HAMKA

tahanan lain bernama Ghazali Sahlan (dituduh sebagai komplotan makar Hamkadan kawan-kawan) pada 8 April 1964. Tiga bulan Buya Hamka ditahan di sana,lalu atas permintaan beliau karena cuaca Puncak yang dingin mengganggukesehatannya, Hamka dipindahkan ke Megamendung pada 15 Juni. Hamka barudibebaskan setelah terjadi peristiwa pemberontakan PKI, 30 September 1965.

Keseluruhan, Hamka ditahan selama dua tahun empat bulan, hanya karenaperbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenaiPancasila sebagai dasar/falsafah negara. Mengenai peristiwa kelam ini, Hamkamenulis, “Melihat tanggal mulai Pen.Pres. itu diundangkan, beratlah persangkaansaya bahwa Pen.Pres. ini yang terutama ditujukan ialah kepada diri saya sendiri. Sebabsaya dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 14 Oktober 1963, sedangPen.Pres. itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.” 18)

Fitnah keji disusul dengan penahanan tanpa peradilan itu tak pelak adalahpuncak ketegangan hubungan antara Buya Hampa dengan Presiden Soekarno.Padahal, sesuai sifat Buya Hamka yang romantis, secara pribadi PresidenSoekarno adalah sosok yang dikaguminya dan pernah pula disanjungsedemikian tingginya oleh Hamka. Petikan kisah kunjungan PresidenSoekarno ke Sumatera (Barat) pada Juni 1948 ketika seluruh rakyat Sumateramengangkat senjata menentang kembalinya penjajah Belanda di mana Hamkaterjun ke garis depan, sangat pas melukiskan romantika hubungan pribadiHamka-Soekarno.19)

Dalam ziarah Presiden ke Sumatera itulah Hamka yang telah lama mengenaldan saling mengagumi dengan Soekarno memiliki kesempatan bertatap mukalangsung tatkala Presiden RI itu menginspeksi pasukan TNI dan LaskarKemerdekaan Sumatera.

Usai inspeksi, dilangsungkan acara ramah tamah, dilanjutkan pemberiantanda mata oleh tokoh-tokoh Sumatera kepada Soekarno. Beragam cenderamata, mulai keris, selendang, tongkat bergagang emas, dan sebagainya, telahbertumpuk di meja sebagai hadiah kepada Soekarno. Bahkan GubernurSumatera waktu itu, Mr. Teuku Mohd. Daud atas nama Propinsi Sumateramenghadiahkan sebuah kapal terbang. Setelah itu acara hendak ditutup, namunHamka menghampiri MC dan menyatakan akan memberikan hadiah pula.

Mutahar, sang MC, buru-buru berseru, “Paduka yang mulia, penutup dari

34

pertemuan ini adalah Pujangga Hamka hendak memberikan hadiahnya!”Maka tampillah Hamka ke depan berhadapan dengan Soekarno. Beliau lalu

berkata dengan lantang, “Paduka yang mulia, saya pun akan memberikan hadiah,tetapi bukan barang, bukan tongkat emas, bukan kapal terbang! Itu semuanya tak adapadaku. Tapi aku akan memberikan hadiah yang lebih mahal dari itu semua. Dansemua orang tak sanggup memberikannya. Hanya aku yang sanggup. Yang akankuhadiahkan adalah rangkuman kata-kata!”

Hamka melanjutkan bahwa rangkuman kata-kata itu adalah ungkapanperasaan TNI dan Barisan-barisan Laskar Kemerdekaan kepada Presidennyayang tak sanggup mereka ungkapkan. Dan hanya Hamka lah yang sanggupmewakili mereka semua untuk mengungkapkannya, maka Hamka punmembacakan puisi tanpa teks berikut:

Sansai Jua Aku Sudahnya

Sahabatku Amat

Adakah engkau masih teringat

Tatkala kita berdiri rapat

Berbaris-baris memberi hormat,

Kupegang teguh gagang bedilku

Pandang tenang hadap ke muka

Tidak bergerik tidak bergerak

Tidak melengong ke kiri kanan

Laksana patung tegak di taman

Kecil rasanya bumi Allah

Entah di mana aku berdiri

Entah di langit entah di bumi

Kuingat diri

Kurangkah lagi

Beliau pun lalu di depan kita

Memeriksa barisan kita

Hening bening, renap gema

Tenang tegap ia melangkah

Terdengar rumput terpijak

Aku pun tak tahu lagi

Apa yang akan terjadi

Tiba-tiba tak kusangka

Ditentang aku beliau tegak

Matanya tenang jernih dalam

Dilindung alis hitam lebat

Menembus jantung menimbul cinta

Dipegangnya daguku

Diperbaikinya hadapku

35

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dilekatkannya kancing bajuku

Dan beliaupun pergi

Terdengar rumput terpijak

....................................

Amat, Oh Amat!

Hilang segala kepayahan

Hilang segala kepenatan

Lupa segala penderitaan

Amat-Amat!

Kalau begini naga-naganya

Hanyut juga aku sudahnya

Sansai juga aku sudahnya

Matanya. lidahnya, telunjuknya

Mengerahkan daku menentang tofan

Memandang murah harga maut

Oh, Amat!

Jika kutewas sekali ini

Di medan perang di garis depan

Hanya sebuah pesan harapku

Kuburkan aku dengan bajuku

Bekas dijamah tangan beliau.

Puisi itu telah mengungkap seberapa besar kekaguman dan kemesraanhubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Namun perbedaan pandanganpolitik, juga perbedaan tajam kedua pribadi besar itu dalam pemahaman agamaIslam di kemudian hari, telah membawa Hamka tertimpa fitnah besar dalamsejarah hidupnya. Fitnah yang di baliknya ternyata tersemayam sebuah hikmah!

Selama dua tahun lebih dalam tahanan, Hamka yang terkucil dari duniaramai justru merasakan kedekatan yang demikian intim dengan Sang Khalik.Seluruh waktunya tercurah untuk menjalankan ibadah, mendekatkan dirikepada Sumber dari Segala Sumber Kehidupan. Dalam suasana yang demikiantransendental, Buya Hamka melanjutkan penafsiran Al Qur’an hingga berhasilmenyusunnya menjadi sebuah kitab lengkap 30 Juz Tafsir Al-Azhar.

Dengan rendah hati Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atasdirinya, rasa-rasanya sulit bagi beliau menyelesaikan pekerjaan besar itumengingat faktor usia dan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah.

Salah seorang putera beliau pernah mengusulkan agar pada pengantar kitabtafsirnya, Hamka menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telahmenjatuhkan fitnah kepadanya. Sebab, lantaran fitnah itu beliau ditahan, dan

36

karena penahanan itu Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Hamkamenolak. Beliau menegaskan untuk tetap berpegang pada pendirian tauhid;hanya mengucap syukur dan puji-pujian bagi Allah semata.

Rasa syukur yang demikian besar telah menghapus segala sakit hati. Sejarahmencatat, ketika Soekarno wafat, Buya Hamkalah yang memimpin shalat jenazahPresiden pertama RI, kawan sekaligus lawan dalam kehidupannya itu.

Masukkan Daftarmu

Konsistensi Ulama yang Mampu

Melahirkan Umat

Hamka dikenal sebagai ulama yang memegang teguh prinsip beragama.Sikap istiqamah sebagai mahluk Allah ini menempati kedudukan tertinggi dijiwanya, melebihi segala kedudukan di dunia. Hal ini tercermin dalam karirpolitik dan kepegawaian beliau.

Sarekat Islam, organisasi yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam (PSI)di mana Hamka menjadi salah satu anggotanya, sejak 1925 berafiliasi denganorganisasi Islam lainnya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)pada 1950. Karier politiknya berpuncak ketika bergabung menjadi JuruKampanye Masyumi. Melalui pemilu 1955 yang dinilai sebagai pemilu palingdemokratis sepanjang sejarah Republik Indonesia, Hamka terpilih menjadi salahseorang anggota konstituante dari Masyumi.

Sebagai anggota konstitante, pada sidang di Bandung (1957) Hamkamenyampaikan pidato menolak gagasan Presiden Soekarno yang inginmenerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Dewan Konstituante kemudiandibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian jugamembubarkan Masyumi dan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960.

Sebelum Masyumi dibubarkan, Hamka yang sejak 1950 berstatus sebagaipegawai negeri di Kementrian Agama, terlebih dahulu berhadapan dengan rejimSoekarno yang melarang pegawai negeri gologan “F” merangkap sebagaianggota partai. Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri(yang pada waktu itu gajinya merupakan tulang punggung keluarga) danmelanjutkan karir politiknya di Masyumi. Sebelum mengundurkan diri, Hamka

37

Mengenang 100 Tahun HAMKA

bertanya kepada istrinya, pilihan mana yang hendak diambil: tetap menjadiPNS dan menikmati pendapatan yang pasti atau melanjutkan perjuangan untukumat melalui parpol. Dengan ketabahan seorang istri pejuang, pendampinghidupnya menjawab tegas, “Jadi Hamka sajalah!”

Perseteruannya dengan Presiden Soekarno terus berlanjut. Pada 17Agustus 1960, majalah “Panji Masyarakat” yang diterbitkannya sebagai corongdakwah Islam dibreidel. Puncaknya pada 1964 Hamka ditangkap dengantuduhan melanggar Penetapan Presiden Anti Subversi seperti diuraikan padabagian sebelumnya.

Tahun 1966 rejim Soekarno tumbang, digantikan rejim Orde Baru di bawahPresiden Soeharto. Hamka bebas dan kembali menerbitkan “Panji Masyarakat”pada 1967. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota BadanMusyawarah Kebajikan Nasional, Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia,dan Anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Karismanya sebagai ulama mengantarnya terpilih sebagai Ketua MajlisUlama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada 1981, jabatan itu diletakkannyasetelah fatwa larangan mengahadiri Natal Bersama bagi umat Islam ditentangrejim Soeharto. Soeharto mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara, MenteriAgama, agar Hamka mencabut fatwa tersebut. Tetapi kepada Alamsyah,Hamka menegaskan kembali prinsipnya yang menempatkan kebenaran agamadi atas segala kepentingan dunia dan memilih meletakkan jabatan demimempertahankan keyakinan bahwa fatwa yang dikeluarkannya adalah haq.

Sejak saat itu Hamka lebih banyak mengabdikan hidupnya untukmembangun umat yang berpusat di Masjid Agung Al-Azhar. Melalui Al-Azhar,Hamka yang acap disebut dengan panggilan Buya (Abuya=ayah) Hamkaberhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas Islam moderen. OlehH. Syuhada Bachri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hamka disebutsebagai ulama yang mampu melahirkan ummat dengan empat karakteristikutama: memiliki iman yang bisa melahirkan keikhlasan, memiliki ilmu yangbisa melahirkan amal, memili akhlak yang bisa melahirkan keteladanan, danmemiliki wawasan kekinian yang bisa melahirkan semangat dakwah. Empatkarakteristik itulah yang melekat pada sosok Buya Hamka sebagai ulama.

Karakteristik Buya Hamka itu terekam dengan sangat jelas pada puisi yang

38

dituliskannya secara khusus untuk Muhammad Natsir. Puisi ini ditulis BuyaHamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsiryang mengurai kelemahan sistem kehidupan buatan manusia dan dengan tegasmenawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasarnegara RI.

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu .......!

H. Hussein Umar, Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yangtelah mangkat pada 19 April 2007, adalah salah seorang pengagum Buya Hamka

39

Mengenang 100 Tahun HAMKA

dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Prof. Kasman Singodimedjo.Sebagaimana Hamka dan Kasman Singodimedjo, Hussein Umar juga seorangorator ulung yang tak hanya cakap berpidato di atas panggung, namun seluruhwaktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan untuk dakwah.

Dua jam sebelum dibawa ke rumah sakit sehari sebelum beliau dipanggilpulang ke haribaan Allah, Hussein Umar bercerita tentang tokoh-tokoh yangdikaguminya itu kepada Adian Husaini, aktifis muda Dewan Dakwah. Adianmencatat, salah satu hal yang ditekankan Hussein Umar adalah puisi Hamkayang ditulis untuk M. Natsir di atas. Berikut catatan Adian Husaini yangdipublikasikannya melalui situs www.hidayatullah.com.

Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,”Sudah baca puisi Hamkayang ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante?”

Saya jawab, “Belum!”Ia lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah buku berjudul

“Islam Sebagai Dasar Negara”, karya Moh. Natsir, terbitan Dewan DakwahIslamiyah Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai orang yangrajin dan telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting.

“Ini bacalah!,” ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang tertera dalambagian depan buku “Islam sebagai Dasar Negara”.

Saya pun terpana membaca puisi tersebut, kata demi kata, baris demi baris.Inilah puisi gubahan Hamka yang diberi judul “Kepada Saudaraku M. Natsir”.Puisi ini ditulis Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957,setelah mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante.

Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang bergetar, BangHussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka: Dan aku punmasukkan, dalam Daftarmu!

Ulama istimewa itu kembali menemui Sang Khaliq sewaktu berusia 73tahun lima bulan, bertepatan dengan tanggal 24 Juli 1981 pukul 10.41.08 w.i.b.Beliau wafat dengan tenang disksikan oleh segenap keluarga, sahabat, dankawan-kawan seperjuangan.

40

notes

1)Kebudayaan Minangkabau berpusat di Pagarruyung yang wilayah-wilayahnya dibagi kedalam tiga luhak (Agam, Tanah Datar, dan Luhak Limapuluh), sekarang setara kabupaten. Didalam luhak terdapat nagari-nagari dan koto-koto yang pada masa berkembangnya Islammemiliki hak otonomi untuk menetapkan hukum adat tersendiri bagi nagari-nagari itu. Dibawah pengaruh ulama-ulama yang usai menimba ilmu di Mekah, hukum adat telah dijiwai olehSyari’ah walau tetap mempertahankan corak dari dua arus besar adat Minang yakni adat KotoPiliang dan adat Budi Caniago. (Hamka; Ayahku, Pustaka Panjimas, cet. IV, 1982, hal. 5-10)

2)Hamka menyinggung-nyinggung masalah kisah-kisah menakjubkan seputar kakeknya,Tuanku Kisa-i, namun dengan bijak tidak memberi komentar apapun atas kisah-kisah tersebutmelainkan hanya menekankan komentar yang sampai kepadanya bahwa “doa Tuanku Kisa-imustajab”. (Ibid, hal.47)

3)(Ibid, hal.47)4)Wan Muhammad Shaghir Abdullah (1945-2006), lahir di Pulau Midai, Riau, Indonesia,

kemudian menetap di Taman Melewar, Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia. Ia berasal darikeluarga ulama. Kakeknya adalah Syeikh Ahmad al-Fathani (1856-1908), ulama kenamaanyang menetap di Mekah dan menjadi salah seorang guru Haji Rasul, sedangkan ibunyaketurunan keluarga besar Syeikh Daud Abdullah al-Fathani. Shagir Abdullah menekuni duniamanuksrip klasik Melayu dan banyak menghabiskan hidupnya untuk menggali teks klasiktulisan ulama Nusantara. Pada usia 12 tahun beliau mengembara ke seluruh Asia Tenggarauntuk menghimpun khazanah itu selama empat dekade. Shagir Abdullah berhasil menghimpunberatus-ratus manuskrip asli baik dalam tulisan Jawi (Melayu) atau Arab. Di antaranya adayang berusia lebih dari 500 tahun. Sepanjang hidupnya, beliau telah menghasilkan 100 judulkarya asli yang memaparkan biografi ulama, karya, pemikiran, dan sejarah perjuangan, dananalisis serta kritik terhadap tokoh yang ditulisnya. Karya-karyanya menjadi rujukan kalanganakademisi, di antaranya yang menyangkut rekam jejak ulama Nusantara adalah WawasanPemikiran Islam Ulama Asia Tenggara Jilid 1- Jilid 7. (www.ulama-nusantara-baru.com)

5)Wan Mohd. Shagir Abdullah, Haji Abdul Karim Amrullah - Tokoh Tajdid Nusantara,(www.ulama-nusantara-baru.com)

6)(Hamka, Ayahku, ibid, hal. 61)7)(Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan

Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta 1985, hal. 41).8)(Rusydi Hamka, Makalah Seminar Pemikiran Hamka di Tanah Melayu, 2000, hal. 5)9)(Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 68-72).10)(Hamka, Kenang-kenangan..., ibid, hal. 105).11)(Hamka, Kenang-kenangan..., ibid, hal. 111)12)(Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu I-II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, hal.46)13)(Ibid, hal.47)14)(Ibid, hal.48)15)(Ibid, hal.52)16)(Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas, cet. II,

Jakarta, 1983, hal. 238)17)(Hamka, Tafsir..., Ibid, hal.51)18)(Hamka, Tafsir..., Ibid, hal.52)19)(Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Pustaka Antara, Kuala Lumpur, cet. II, 1982, hal. 432-

442)

41

42

CINTA ADALAH KEHORMATAN, KISAH

PERJUANGAN ISTRI BUYA HAMKA1

Jumat 26 Jamadilawal 1435 / 28 Maret 2014 08:41

Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk

memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak

disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar

dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!” pekik massa.

Buya Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar

itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa

besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti

1 http://www.islampos.com/cinta-adalah-kehormatan-kisah-perjuangan-istri-

buya-hamka-103647/

“SAYA diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu

dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya

tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato

seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah

mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan

makanan hingga menjaga kesehatannya.”

43

Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya

Hamka.

Kisah cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham

berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak

itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia

dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan

menenggak kemaksiatan.

Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru.

Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal

pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang

berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku

itulah Buya membiayai pernikahannya.

Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut

rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti

Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai

motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gulana.

“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa

berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka

dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka”

karangan Rusydi Hamka.

Puncak kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu

Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul

Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama

Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun.

Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat

Hamka harus memutar otak untuk membiayai anak-anaknya.

Dalam kondisi diliputi kemiskinan, pergilah Hamka ke Medan untuk

bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di kota yang kini menjadi

ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas tahun.

Menurut penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan

mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik

tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa

bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya

Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di

kala Buya tiada bersamanya.

44

Dengan kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah

tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa

kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat

Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan

dan saudara perempuannya.

Rusydi mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja.

Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya

Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga

bukanlah orang yang makan gaji dari pemerintah.

“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas

tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,”

terang Rusydi Hamka.

Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka

kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu kerap

dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan

selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah.

Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering

diutarakan Buya Hamka adalah: Apakah anak-anak (bisa) makan?

Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk

mengetahui apakah buah hatinya lapar atau kenyang.

Di sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar

anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta

simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai

makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan keluarga.

Maka Kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di

Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan

membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal

perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan

pendidikan.

Kerapa kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya

untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak

tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak

mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang

istri mencegahnya.

45

“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku

Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan

sebagai orang miskin,” ujarnya.

Demikianlah dalam keadaan sederhana Siti Raham masih

mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya

agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat.

Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila

Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah kehormatan.

Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar

pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi

pidatokan itu kenyataannya saja.”

[Pz/Islampos]

46

Biografi Ulama Besar: HAMKA2

AMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar

Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah

seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat

terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17

Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia

Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah

atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah

(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau

sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya

telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ

Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga

pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang

diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad

Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di

Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang

Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di

Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang

Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau

2 http://www.sangpencerah.com/2013/09/biografi-ulama-besar-hamka.html

H

47

diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor

Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960,

beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama

Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya

memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam

politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik

Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,

beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur

Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa

al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau

meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert

Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul

Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan

bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta

seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto,

Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil

mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi

Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun

1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di

Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang

Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka

mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun

kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.

Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan

Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,

menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun

kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31

di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat

Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof.

Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama

Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981

karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

48

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau

menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau

membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke

Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam

hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua

Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota

Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan

Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh

pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun

1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-

Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir

al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari

penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah

Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji

Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan

seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an,

Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita

Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.

Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.

Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-

Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah

Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti

novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5

jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan

menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah

dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional

dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa,

Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas

Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran

Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

49

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan

pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama

Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan

sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam

Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai

Daftar Karya Buya Hamka

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.

2. Si Sabariah. (1928)

3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.

4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).

6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).

7. Hikmat Isra' dan Mikraj.

8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.

9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

10. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.

11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

13. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai

Pustaka.

14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman

Masyarakat, Balai Pustaka.

15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai

Pustaka.

16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku

Syarkawi.

17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

18. Tuan Direktur 1939.

19. Dijemput mamaknya,1939.

20. Keadilan Ilahy 1939.

21. Tashawwuf Modern 1939.

22. Falsafah Hidup 1939.

23. Lembaga Hidup 1940.

24. Lembaga Budi 1940.

25. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943).

26. Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah

revolusi 1946.

50

27. Negara Islam (1946).

28. Islam dan Demokrasi,1946.

29. Revolusi Pikiran,1946.

30. Revolusi Agama,1946.

31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.

32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

33. Didalam Lembah cita-cita,1946.

34. Sesudah naskah Renville,1947.

35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang

Konperansi Meja Bundar.

37. Ayahku,1950 di Jakarta.

38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.

39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.

40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai

pd tahun 1950.

42. Kenangan-kenangan hidup 2.

43. Kenangan-kenangan hidup 3.

44. Kenangan-kenangan hidup 4.

45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai

1950.

46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.

48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun

1950.

50. Pribadi,1950.

51. Agama dan perempuan,1939.

52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat,

dibukukan 1950).

54. Pelajaran Agama Islam,1956.

55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.

56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.

57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.

58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di

Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.

51

59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah

GEMA ISLAM.

60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan;

dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.

62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.

67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).

68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di

Universiti Keristan 1970.

70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

71. Himpunan Khutbah-khutbah.

72. Urat Tunggang Pancasila.

73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.

74. Sejarah Islam di Sumatera.

75. Bohong di Dunia.

76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres

Muhammadiyah di Padang).

77. Pandangan Hidup Muslim,1960.

78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

Aktivitas lainnya

• Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942

• Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956

• Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-

1953

Rujukan

• Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan

Nurul Islam, cetakan kedua 1979.

• Wikipedia

http://malang.muhammadiyah.or.id

52

Buya Hamka ~ketika ulama tak

bisa dibeli~3

urat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri

Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal

21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan

ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan

pimpinan MUI pada 23

April, Hamka telah

meletakkan jabatan

sebagai Ketua Umum

Majelis Ulama

Indonesia (MUI).

Buat banyak orang

pengunduran diri Hamka

sebagai Ketua Umum

MUI mengagetkan.

Timbul bermacam

dugaan tentang alasan

dan latar belakangnya.

Agaknya sadar akan

kemungkinan percik

gelombang yang

ditimbulkannya,

pemerintah dalam

pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai

dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan

bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.”

3 http://serbasejarah.wordpress.com/2011/07/19/buya-hamka-ketika-

ulama-tak-bisa-dibeli/

S

53

Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri mengungkapkan

pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret

1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya

mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun

tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M.

Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya

dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal

umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,”

katanya.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di

daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa

tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April

1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada

mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah

tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya

fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu

ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko

selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.

Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar

agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain

Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada

halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati

undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial,

bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya

“bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan

Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam

pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April,

Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri.

Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya

di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas

permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi

54

memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu

dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri

akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien,

salah satu Ketua MUI.

Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat

keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata,

menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang

harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.” Kemudian inilah

yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila

Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas

beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata

Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat

majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya

“kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena

tersiarnya fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran

fatwa itu dicabut.“Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya.

Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di

luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini,

bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam

Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu.

Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu

“tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan

hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA

juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa

MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-

lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI,

Majelis Dakwah Islam Golkar.

Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975.

Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang

menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka

55

berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden

Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang

’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka

juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu

itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh

Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah

dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang

berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan

tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung

Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-

hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-

Azhar, Jakarta Selatan.

Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota

Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan

mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya

dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem,

dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut

masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi

pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini, menurut Roem,

kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“.

Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian,

kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.

******

TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di

Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang serak itu

lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh

lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu

akan tak ada lagi. Selama-lamanya.

Ulama sangat penting itu berpulang “di hari baik bulan baik”, hari

Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika bulan puasa masuk tahap

56

ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian orang santri.

Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring

jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan,

boleh dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun

dari sembahyang Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka itu:

dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran

(meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul –

14.30), ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan

kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah

Kusir.

Hamka memang sudah hampir tidak berarti “golongan” agama. Juga

tidak hanya seorang “kiai”. Barangkali memang inilah ulama pertama

yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham “hidup di luar masjid”. .

Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di

Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau

yang molek di tanah Minangkabau. “Nama ibuku Shafiyah,” katanya

dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. “Beliau meninggal pada usia

masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang

putra. Lima dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang

kedua. Ibuku cantik! . . . ” la sangat memuja ibunya — sebagaimana

juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia

kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup

intelektualnya –meski dengan pengaruh sangat kuat.

Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang

mendapat gelar doktor honoris causa — dari Universitas Al Azhar,

Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat gelar yang sama di

tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang masyhur

di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi

siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk

jiwa anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang

jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa

57

dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut

pergerakan, lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak

dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini

juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia

sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang

tersinggung dan perajuk, “juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis” . . .

Memang sangat manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang

dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya sebagai ulama,

seperti juga neneknya dan ayah neneknya.

Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya

kepada poligami: Hamka termasuk ulama yang tidak merestuinya.

Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah keluarga yang pecah,

yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah

jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan

penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal

pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di Bawah Lindungan

Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput

Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam

Lembah Kehidupan.

Hamka bukan sekedar “ulama yang bersastra”. Ia ulama, dan ia

pengarang. Hanya segi sastra itu makin mundur ke belakang sejalan

dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya yang menjadi

makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur’annya yang 30 jilid,

yang diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar,

kemampuan kepengarangan itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang

disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa caranya bertutur

betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim

Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‘.

Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada

terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. “mudah

memaafkan dan menyesuaikan diri”, terlihat dari misalnya

58

pergaulannya dengan keluarga Bung Karno — Nyonya Fatmawati

terutama — yang sangat baik sampai akhir hayat.

Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling

pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-

katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu selesai dicetak,

merupakan salah satu firasat. “Nampaknya, tugas yang menjadi beban

selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ”

Dan panggilan itu pun datang kini.

“Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang

pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, ” komentar

Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di

pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama

Indonesia sekarang ini mengakui: “Akhir-akhir ini beban Buya Hamka

memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi

memikul beban itu.”

*****

Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah

mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system

kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada

Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.

KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

59

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu……!

(dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”)

Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir

pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir

yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”.

DAFTAR

Saudaraku Hamka,

Lama, suaramu tak kudengar lagi

Lama…

Kadang-kadang,

Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,

Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,

Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,

Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.

Tiba-tiba,

Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,

Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,

Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,

Yang biasa bersenandung itu,

Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,

Darahku berdebar,

60

Air mataku menyenak,

Girang, diliputi syukur

Pancangkan !

Pancangkan olehmu, wahai Bilal !

Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,

Walau karihal kafirun…

Berjuta kawan sefaham bersiap masuk

Kedalam ”daftarmu” … *

Saudaramu,

Tempat, 23 Mei 1959

*****

Update 7 Oktober 2011 ( Masalah Fatwa Haram Mengikuti Upacara

Natal)

Update tulisan ini sehubungan dengan ada komentar dari sahabat

tentang tulisan : “Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut

pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal,

meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa” … kata

“mengharapkan” mungkin maksudnya “mengharamkan” … tetapi saya

tidak meralat tulisan itu karena sesuai dengan sumber yang ada

di Majalah Tempo. Saya coba cari dan telusuri seputar tulisan diatas

ternyata di Majalah Tempo edisi sebelumnya 16 Mei 1981 memuat

berita seputar fatwa haram itu. Berikut urainnya :

Fatwa dan Kebocoran (Konon) (ref)

ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI)

yangmengharamkan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam.

Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu, berasal dari buletin

Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri Ghozali dan

Drs. H. Mas’udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI.

Yang menarik: hanya satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula ‘surat

pencabutannya — kali ini dari pimpinan pucuk, yakni Prof. Dr. Hamka

61

dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum dan sekretaris

umum MUI.

Dalam surat keputusan itu praktis difatwakan pula soal yang sama tapi

dengan tekanan berbeda. “Pada dasarnya,” disebut sebagai diktum

kedua dari empat diktum, ” menghadiri perayaan antaragama adalah

wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . ” Yang juga menarik:

bunyi “fatwa” terakhir itu sejalan benar dengan isi pidato Menteri

Agama Alamsyah sebelumnya — dalam acara ‘Kegiatan Bersama

Antar Umat Beragama’ di Jambi, 6 Maret. Tapi yang barangkali paling

menarik Prof. Hamka kemudian, secara pribadi, menulis di salah satu

harian yang memuat berita fatwa itu, Kompas.

Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI tersebut “tidaklah

mempengaruhi sedikit juga kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa

tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” Apa maksudnya sebenarnya?

Apa yang terjadi? Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya

koordinasi? Ataukah surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan

karena ada “tekanan “? Tak ada satu sumber pun yang bersedia

menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara tuntas. Tapi ada

penjelasan tentang sebuah “kebocoran”.

Semua tokoh MUI menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk

“kalangan dalam”: para pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang

dikirimkan kepada mereka dengan surat nomor sekian-sekian

tertanggal 27 Maret –jadi sudah lama — untuk menjadi pedoman para

ulama itu. Tapi mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak

hanya oleh para pengurus MU, kalau begitu? “Itu untuk informasi

intern saja,” jawab KH Hasan Basri, salah seorang ketua MUI. Agak

aneh barangkali — namun buletin itu memang dicetak hanya sekitar

300 eksemplar.

Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7

Maret) untuk “bahan menentukan langkah bagi Departemen Agama

62

dalam hal umat Islam.” Jadi seharusnya memang “tidak perlu bocor

keluar.” Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen Bimas

Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, “kebocoran” itu

sebenarnya dipandang dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh

Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian.

Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak kurang

dari 0% — lebih dari 50 orang. Burhani sendiri berhalangan datang

waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum itu memang belum

membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu sudah sah rupanya

(berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa ke Menteri Agama.

Sebab, kata para pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin

atas desakan umat — antara lain yang menulis berbagai surat ke

Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang

diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari Departemen

Agama, meminta agar dikeluarkan fatwa tentang itu.

Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan

Menteri Agama sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri

menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum pindah — dari Masjid Al

Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30 surat

yang meminta MUI mengeluarkan pedoman. Tetap Ditakutkan Itu

memang bisa mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal untuk

gelandangan, yang pernah diprakarsai Pendeta Lumy di Senayan dulu.

Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa sendiri, kasus-kasus

“kekurang mengertian” umat Islam sendiri di daerah-daerah. Pokoknya

segala hal yang menyangkut soal ‘kristenisasi’, yang rupanya tetap

ditakutkan.

Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang kaku

dan merepotkan. Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya,

dengan fatwa tersebut bisa tak dibenarkan datang ke perayaan Natal.

luga ketua RT, misalnya. “Maklum, yang bikin memang para ulama

yang dalam soal hukum letterlijk saja,” kata Kiai Hasan Basri

63

membenarkan kekakuan itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan itu

bermanfaat, katanya. Fungsinya, dalam soal fatwanya sendiri,

“menerangkan yang mujmal, ” yang masih umum. Yakni: apa yang

dimaksud “mengikuti upacara Natal” dalam fatwa tadi. O, ternyata:

mengikuti peribadatan. Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang

bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka, sambil tertawa. Apa

pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan

mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat

Beragama di Jakarta 25 Mei. Pembicaraannya yang terpenting memang

soal “perayaan apa saja yang dapat dihadiri pemeluk agama lain,”

seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers.

64

Kisah Buya Hamka dan Si Damir4

Kamis 24 Ramadhan 1434 / 1 Agustus 2013 12:37

ETIKA kami dalam perjalanan dari Suliki iyitu tempat

domisilinya Gabenor Militer dan Pusat Pemerintahan darurat,

menuju Maninjau, kami lalu disebuah desa yang namanya

Palembayan. Orang kampung menyambut kedatangan Buya Hamka.

Kami tinggal beberapa malam, ayah memberikan penerangan dan

mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda. kebetulan

kedatangan kami bertepatan dengan saat mereka menuai padi. Nah ini

dia kesempatan kami mahu makan seperti ‘engku lebai’, pikir saya dan

memang kami pun menikmati hidangan-hidangan enak, hidangan

orang pulang padi.

Waktu pulang orang kampung memberikan kepada kami beberapa liter

beras untuk dibawa pulang. Masing-masing kami dibebani dengan

beras yang meskipun mengangkat pertama terasa enteng, namun bila

dipikul terus dalam perjalanan yang memerlukan waktu sehari penuh,

tentu sangat menyeksa kami.

Saya sangat segan membawanya, tetapi ayah memelototkan matanya

kerana berdosa menolak pemberian orang. Kami pun berangkat bertiga

dengan Ihsanuddin Ilyas. Belum lima ratus meter, kami sudah berhenti

istirehat, apalagi bila mendaki gunung. Kami berhenti sejenak

4 http://www.islampos.com/kisah-buya-hamka-dan-si-damir-71965/

K

65

memandang tingginya pendakian yang bakal ditempuh. Dalam saat

itulah seorang laki-laki yang belum kami kenal muncul diantara kami.

“Apa khabar Buya, mahu kemana buya, dari mana Buya?” tanyanya

bertubi-tubi menyebut Buya, Buya, Buya. “Namo ambo Damir dari

kampung anu. Mari saya bantu membawakan beban Buya,” katanya

menawarkan pertolongannya.

Si Damir orang memang agak lucu, kulitnya putih dengan wajah

kemerah-merahan dan pendek kurus. Ketawanya mengakak lengking

dan pecinya sedikit kebesaran.

“Terima kasih atas bantuan sutan”, jawab ayah seraya memberikan

bebannya. Kami pun melangkah mendaki bukit yang cukup tinggi dan

Damir yang rupa-rupanya sudah mengenali situasi medan dengan

lincah mendahului kami. Makin lama, Damir makin jauh lalu saya

berteriak kuat-kuat; “Mak Damiiiiirrrr!” Dari jauh kedengaran jawab;

“Ooooooiiii.”

Kami berjalan terus, makin lama beras dibahu saya semakin menekan,

lalu kami berhenti membahagi dua beban itu, setengahnya dimasukkan

ke dalam bungkusan ayah dan setengahnya lagi saya bawa, sedang

beras yang tadi dibawa ayah telah diambil oleh Damir yang baik itu.

Tak lama kami tiba disuatu pondok tempat orang mengilang tebu,

untuk dijadikan gula model Lawang yang berwarna coklat kemerahan.

Damir telah lebih dulu menunggu. Dan dia lebih dulu pula melepaskan

dahaganya. Kami pun duduk istirehat sambil memperhatikan jalannya

kilangan tebu yang ditarik oleh seekor kerbau itu. Sewaktu akan

berangkat, ayah bertanya kepada tukang kilang itu berapa harga air

tebu yang kami minum. orang itu menghitung hasilnya; ayah, Ihsan

dan saya minum dua mangkuk, mangkuknya dari tempurung kelapa.

Tapi Damir minum 5 mangkuk. Ayah menyeluk kantungnya. Dan

kami pun melanjutkan perjalanan.

“Lah litak Buya?” tanya Damir menanyakan apakah ayah sudah lapar.

“Benar,” jawab ayah, dan saya serta Ihsan pun merasakan hal yang

sama. Hari itu kira-kira pukul 12 siang, Damir memberikan keterangan

bahawa tak jauh dari situ ada warung yang enak, gulai ayamnya selalu

panas dan nasinya pun nikmat kerana selalu memasak beras baru.

Mendengar cerita Damir, perut pun semakin litak.

66

Kami sampai di warung itu dan dengan agak kurang sabar memesan

makan dan minum. Damir yang punya pengalaman dengan suara keras

memesan makanan. Tapi lebih dahulu ia bertanya pada ayah;”Kopi

Buya,” tanyanya dan ayah mengangguk. “Hei kopi dua,” kata Damir

kepada yang punya warung, satu untuk ayah dan satu lagi untuknya.

“Tambah nasinya Buya,”, ayah mengangguk lalu Damir berteriak lagi,

“Tambah dua,” dua piring tambah itu, satu untuk ayah dan satu lagi

untuk Damir. Damir melihat pada saya dan Ihsan, rupanya kami berdua

dilihatnya kurang banyak mengambil gulai, maklum kami tahu wang

yang ada dalam poket ayah adalah untuk diberikan pada ummi yang

menanti. “Hei, kenapa tidak pakai gulai, tambah gulainya ya,” kata

Damir, sebelum saya menjawab, Damir telah berteriak “Tambah

gulai,” gulai yang diminta pun datang tapi lebih dahulu Damir mengisi

piringnya.

Saya dan Ihsan, juga ayah diam saja menyaksikan gerak geri Damir

yang serba cepat makannya. Dan mulutnya tak berhenti berteriak-

teriak sambil mengunyah nasi. Sekali-sekali dia berdiri menjangkau

petai yang tergantung dan menyambar sambal yang memang selalu

berpindah-pindah tempat.

Selesai makan, Damir masih sempat meminta pisang dan berteriak lagi

tambah dua gelas kopi, satu untuk ayah dan satu lagi untuk dirinya

sendiri, “kopi dua.” Perut kami memang lapar hari itu dan makan pun

seperti kata Damir memang nikmat sekali, oleh sebab itulah saya dan

Ihsan membiarkan saja berbagai-bagai permintaan Damir.

“Berapa semua?” tanya Damir kepada yang punya warung sambil

berdiri siap-siap hendak berangkat. Saya lupa berapa harga makanan

yang masuk perut Damir. Yang punya warung menghitung lama sekali

dan kemudian menyebut sesuatu jumlah yang terasa agak mahal.

Tapi kami semua tenang saja karena Damir sudah berdiri lebih dahulu,

kami kira dialah yang akan membayar.

“Seratus semua,” jawab orang warung. Damir tahu-tahu memandang

kepada ayah dan meneruskan ucapan pemilik warung itu: “Seratus

semua, Buya,” dia lalu mengangkat bebannya dan terus melangkah

mendahului kami.

67

Saya lihat ayah menghitung-hitung kembali wang yang harus

dikeluarkannya, yang barangkali menimbulkan penyesalan dalam

hatinya. Saya ingat ummi dan adik-adik menyesal kerana makan lupa

pada nasib mereka yang barangkali makan ubi sekali sehari selama

kami tinggalkan. Ketika meninggalkan warung itu, ayah, ihsan dan

saya tak banyak lagi berbicara.

Cerita tentang Damir belum selesai atau kalau diselesaikan cukup

membikin hati sangat sedih. Sebelum kami menurun kampung

Maninjau, Damir yang telah mendahului kami kelihatan duduk di

sebuah pondok dekat sungai yang banyak batu-batunya. “Ada apa

Damir?” tanya ayah. “Sakit perut,” jawabnya. Dia kemudian

mempersilakan kami berjalan duluan. Katanya dia akan membongkar

isi perutnya disungai itu.

Kami pun berjalan menurut kehendak Damir. Setelah lama berjalan,

Damir belum juga kelihatan menyusul, berkali-kali kami melihat ke

belakang, Damir tak kunjung nampak. Tapi perjalanan diteruskan,

langkah kami pun semakin kencang ingin cepat sampai dirumah kerana

kampung telah kelihatan.

Setiba kami di kampung, anak-anak kecil berteriak: “Buya Hamka

pulang, Buya Hamka pulang,” dan orang-orang kampung keluar

menyambut kedatangan kami. Beban-beban kami dibantu

membawakan. Ummi berdiri didepan pintu dengan senyum bahagia.

Dalam suasana gembira itu kami lupa pada Damir. Barulah setelah

segala beban yang dibawa dibuka bersama, ayah teringat pada Damir,

Ihsan disuruh menyusul kalau-kalau tak tahu letak rumah kami. Tapi

Damir tak kelihatan. Sampai matahari tenggelam Damir tak juga

datang. Besok paginya pun Damir masih belum sampai-sampai juga.

Adapun beras yang dibawanya tak kurang dari 40 liter, bererti kami

boleh makan selama sepuluh hari. Orang yang tak punya “Damir” (hati

nurani) itu lambat laun kami lupakan atau terlupakan.

[Sumber : Hamka Pujangga Islam Kebanggan Rumpun Melayu

Menatap Peribadi Dan martabatnya Oleh H. Rusydi Hamka m/s 98-

103]

68

Pertemuan Terakhir Buya Hamka Dengan

Soekarno 5

Sabtu 2 Jamadilakhir 1434 / 13 April 2013 06:28

asih ada lagi bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan

pemaafnya ayahku (Buya Hamka – pen.). Susah kita

mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa sebesar

ayahku, Hamka.

Dalam tulisan yang kusiapkan, penulis ini berusaha menghindari

penilaian yang subyektif karena aku anak beliau. Kucoba merangkai

bagaimana sifat pemaaf yang begitu ikhlas diberikan ayah kepada

orang-orang yang membencinya. menzalimi dan memfitnah.

Tahun 1955 sampai 1957, sebagai seorang anggota Konstituante dari

Fraksi Partai Masyumi, ayah cukup aktif dalam sidang merumuskan

Dasar Negara Rl. Ada 2 pilihan untuk dasar negara

kita; pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD

1945/ dengan dasar negara Pancasila

Untuk kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua front yang sama

kuat. Front pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai

pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. Front

kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia ingin negara

berdasarkan Pancasila.

Dalam suatu acara persidangan ayah menyampaikan pidato politiknya,

dengan beraninya menyampaikan isi pidatonya:

5 http://www.islampos.com/pertemuan-terakhir-buya-hamka-dengan-

soekarno-1-52583/ dan http://www.islampos.com/pertemuan-terakhir-

buya-hamka-dengan-soekarno-2-habis-52847/

M

Penggalan kisah di bawah ini memaparkan pertemuan

terakhir antara Buya Hamka dengan Soekarno, orang yang

menjebloskannya ke penjara. Diceritakan dari sudut pandang

anak Buya.

69

“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila,

sama saja kita menuju jalan ke neraka …”

Tentu saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu

terkejut mendengar pernyataan ayah. Tidak saja pihak pendukung

Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut.

Mr. Moh. Yamin sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi

PNI turut terkejut atas pernyataan ayah itu. Tokoh PNI itu tidak saja

marah, berlanjut menjadi benci. Walaupun kedua tokoh yang

berseberangan sama-sama dari Sumbar. Moh Yamin tidak dapat

menahan kebencian- nya kepada ayah. Baik bertemu dalam acara

resmi, seminar kebudayaan dan sama-sama menghadiri sidang

Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat dihilangkannya. Akibat dari

pidato ayah, bahwa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sama

saja merintis jalan ke neraka, sedangkan Mr. Moh. Yamin sangat

percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu Soekarno.

Penulis masih ingat ketika rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa

Anshari. Ulama sekampung dengan kampung kami Maninjau, beliau

sudah lama bermukim di Kota Bandung Dalam acara makan siang,

Buya KH. Isa Anshari bertanya kepada ayah; “Apa masih tetap Yamin

bersitegang dengan Hamka ?”

Ayah menjawab, “Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan

kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya.”

Bertahun-tahun setelah dekrit di mana Soekarno kemudian

membubarkan Konstituante, parlemen dan menetapkan UUD ’45 dan

Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang luar biasa.

Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah

Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah mengetahuinya dari berita

koran dan radio. Ayah menerima telepon dari Bapak Chairul Saleh,

salah seorang menteri pada waktu itu. Menteri ini ingin datang

bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan perihal sakit Mr. Moh.

Yamin.

Chaerul Saleh datang menemui ayah di rumah. Kepada ayah, menteri

di era Soekarno ini menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin.

“Buya, saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit sangat

parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui

70

Buya. Ada pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir.

“Apa pesannya?” tanya ayah.

“Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit.

Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya,

sekarang Pak Yamin dalam sekarat.”

Ayah agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat

kembali sikap bermusuhan dan membencinya.

“Apalagi pesan Pak Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri

yang ditugaskan Pak Yamin itu.

“Begini Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila

wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama

tidak dikunjungi. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi tidak

berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan di Sumatara

Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisah-an wilayah dari NKRI.

Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke

dekat liang lahatnya.” (sumber: voa-islam)

----

HANYA sebentar ayah termenung. Banyak pengalaman pahit yang

dirasa oleh ayah selama beberapa tahun ini dengan tokoh yang

mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu.

”Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau.”

Sore itu juga ayah dan Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam

ruangan VIP, banyak pengunjung. Ada Pendeta, Biksu Budha dan

pengunjung yang lain. Pak Yamin terbaring di tempat tidur dengan

slang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat kedatangan ayah

tampak wajahnya agak berseri. Dengan lemah Pak Yamin menggapai

ayah untuk mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan sebuah

kursi untuk ayah duduk di dekat tempat tidur. Ayah menjabat tangan

Pak Yamin dan mencium kening tokoh yang bertahun-tahun membenci

ayah.

71

Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia berkata: “Terima kasih

Buya sudi datang.”

Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.

“Dampingi saya,” bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus

digenggamnya.

Mula-mula ayah membisikkan surat Al Fatihah. Kemudian kalimat La

ilaha illallah Muhammadan Rasalullah. Dengan lemah Pak Yamin

mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah mengulang kembali membaca

dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak Yamin mengikuti,

hanya dia mem-beri isyarat dengan mengencangkan genggaman

tangannya ke tangan ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat “tiada

Tuhan selain Allah” ke telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah

merasa genggaman Pak Yamin mengendur dan terasa dingin dan

terlepas dari genggaman ayah.

Seorang dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin

sudah tidak ada lagi.

“Innalillahi wa inna lillaihi rajiun.”

Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci ayah, diakhir hayatnya

meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan ayah.

Dari rumah sakit ayah diajak Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara.

Waperdam III (Wakil Perdana Menteri III) ini ingin melapor atas

wafatnya Pak Yamin kepada Presiden Soekarno. Pemerintah telah

mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata,

Jakarta.

Karena wasiat terakhir Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung

halaman Talawi, Sawah Lunto. Presiden memerintahkan Gubernur

Sumatera Barat Drs. Harun Zen untuk mempersiapkan upacara

kenegaraan.

Sebelum meninggalkan istana, Presiden Soekarno menyalami ayah

sambil berucap: “Terima kasih atas kebesaran jiwa Bung turut

mendampingi Yamin menjelang wafatnya dan bersedia mengantarnya

72

ke Talawi. Atas nama pribadi dan pemerintah saya ucapkan terima

kasih.”

(Ini adalah pertemuan terakhir antara ayah dan Presiden Soekarno, 2

tahun kemudian ayah dicebloskan ke penjara atas perintah Soekarno).

Keesokan harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum Pak Yamin,

agar ayah bersedia menemani jenazahnya dimakamkan di Kampung

Talawi, Sawah Lunto Sumatera Barat dikabulkan ayah.

Proses pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur

upacaranya bapak Menteri Chaerul Saleh. Siang itu juga ayah kembali

ke Jakarta.

(Cerita dengan Pak Yamin ini penulis mendengar dari ayah sendiri dan

terakhir dari saudara Syakir Rasyid putra Buya St. Mansur yang ikut

mendengar Iaporan ayah kepada guru beliau A.R. St. Mansyur

sepulang dari Talawi di rumah Buya St. Mansyur). [sumber: voa-

islam]

73

Di Balik Pertemuan Terakhir Daud

Beureuh & Buya Hamka6 Ahad 5 Jamadilawal 1434 / 17 Maret 2013 17:52

AHUN 1968 sekitar bulan September, Menteri Sosial

Mintaredja SH (alm), mengunjungi Buya Hamka

menyampaikan pesan penting dari Presiden Soeharto. Hanya

sepuluh menit, Mintaredja datang tergesa-gesa, meninggalkan Buya

Hamka juga dengan

langkah tergesa-gesa.

Penulis yang lagi asik

membaca koran,

dipanggil oleh Buya

dan diberitahu pesan

presiden yang baru

diterimanya itu.

Isi pesan itu ialah,

Presiden Soeharto

merasa amat terkesan

pada Khutbah Idhul

Fitri Buya Hamka di

Komplek Istana Baitul

Rahim, terutama

pandangan Buya

tentang Pancasila.

Khutbah itu berjudul

“Pancasila akan hampa tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa…”, dimana

Buya menguraikan makna sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha

Esa, yang tak lain artinya adalah Tauhid, sama seperti isi risalah yang

berjudul “Urat Tunggang Pancasila” yang ditulisnya sekitar tahun 50-

an.

6 http://www.islampos.com/di-balik-pertemuan-terakhir-daud-beureuh-

buya-hamka-1-48235/ dan http://www.islampos.com/di-balik-pertemuan-

terakhir-daud-beureuh-buya-hamka-2-habis-48239/

T

74

Pada bagian lain khutbah Buya yang menarik perhatian Pak Harto

seperti yang disampaikan oleh Mintaredja ialah ketika membantah

penggolongan Islam Abangan, dan Islam Putihan, semuanya itu adalah

bikinan orang saja yang bertujuan hendak memecah umat Islam.

Presiden meminta Buya Hamka menyampaikan pandangan Buya

tentang Pancasila itu pada Tengku Daud Beureueh, pemimpin dari

Ulama Aceh yang terkenal. Untuk itu, sekiranya Buya tidak keberatan,

Presiden meminta Buya menemui Tengku Daud Beureueh langsung

dikediamannya di Aceh dalam waktu dekat.

Beberapa hari sesudah itu, Mintaredja berulangkali berkunjung ke

kediaman Buya, melanjutkan pembicaraan, sampai saat keberangkatan

beliau ke Aceh. Sebagai sekretaris, saya menyertai penerbangan dari

Jakarta ke Banda Aceh, dan ke Beureunuen, desanya Tengku Daud

Beureueh.

Dalam perjalanan itulah, saya mengetahui lebih jelas tentang misi

Buya menemui Daud Beureueh itu.

“Ini adalah tanggung jawab berat…,” ujar Buya.

Dari Buya saya mendengar tentang kebesarannya Daud Beureueh

sebagai pimpinan rakyat, dan hubungan beliau-beliau sejak lama.

Beratnya tugas itu, ialah karena pada waktu itu di Jakarta tersebar

fitnah tentang terjadinya pengusiran orang Kristen di pulau Banyak

wilayah Aceh, yang dihubung-hubungkan dengan nama Daud

Beureueh, tokoh pemberontakan DI.

Presiden sendiri dalam waktu dekat akan berkunjung ke Aceh. Oleh

sebab itu, segala isu yang mengurangi keberhasilan kunjungan

Presiden itu agar dijauhkan.

Kami tiba di Aceh, dan disambut oleh Staf Gubernur Muzakir Walad,

kemudian ditempatkan disebuah guest-house milik pemda. Keesokan

harinya, sehabis subuh kami naik mobil juga milik pemda, menuju

Beureunun yang jauhnya kira-kira setengah hari perjalanan dari Banda

Aceh.

Daud Beureuh menanti dipondoknya, yang terketak di depan mesjid

yang belum selesai dibangun. Kedua orang itu berangkulan, karena

sudah lama tak bertemu.

75

Setelah berbincang-bincang tentang kesehatan masing-masing. Buya

memulai dengan menyampaikan pandangan Beliau tentang Pancasila

dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, persis seperti isi buku beliau

“Urat Tunggang Pancasila”, dan isi khutbah di Istana.

“Betul, betul memang begitu” ujar Daud Beureueh yang memanggil

Buya Hamka dengan sebutan “tuan”.

Kemudian ganti Daud Beureueh yang berbicara tentang Pancasila.

“Yang jadi masalah bagi saya ialah keadaan sehari-hari yang jauh

berbeda dengan ucapan-ucapan para pemimpin”, tegas Abu Beureu’eh.

“Kita percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita membiarkan

berlakunya perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api,

bahkan ada pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga

perjudian yang semakin meluas. Bukankah itu namanya kita main-

main dengan Ketuhanan Yang Maha Esa”…?, lugas Abu.

Menyinggung perikemanusiaan dan keadilan sosial, Tengku Daud

menunjuk kenyataan-kenyataan yang jauh berbeda.

Dengan wajah serius dan suara berat, Daud waktu itu berumur sekitar

70 tahun, kemudian menyatakan kekhawatirannya come back-nya PKI,

yang sulit dihindarkan akibat kesenjangan-kesenjangan antara

segelintir orang dengan mayoritas rakyat yang hidup di bawah garis

kemiskinan.

“Tolonglah hal ini, tuan sampaikan kepada Presiden”, Pinta Daud.

Buya Hamka menyatakan keyakinan beliau, Bahwa Presiden Soeharto

seorang yang benar-benar anti-komunis.

Sehubungan dengan itu, Buya Hamka menyatakan, “Ulama perlu

bekerjasama dengan Pemerintah. Bila tidak, orang lain yang

masuk…”. Ujar Buya.

Pembicaraan pun sampai pada kemungkinan pihak ketiga yang selalu

memfitnah mengadu domba umat Islam dengan pemerintah.

Penulis yang selama pembicaraan duduk menyandar di sudut ruangan,

tidak mengingat lagi seluruh pembicaraan, yang masih tampak ialah

76

pembicaraan itu berjalan lama, dan diselingi dengan makan siang dan

shalat dzuhur.

Ketika sedang makan, penulis menanyakan tentang kasus “Pulau

Banyak” pada Abu Daud, bagaimana keadaanya.

“Jelas itu fitnah,” jawab Daud Beureueh.

Antara orang Aceh dan Nias yang beragama Kristen sejak dulu hidup

rukun. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka menyerbu ke Pulau

Banyak, mau mendirikan gereja dan menyiarkan agamanya di tengah-

tengah orang Aceh. Daud menyebut nama beberapa media Kristen di

Medan yang membesar-besarkan berita itu, seolah-olah rakyat Aceh

anti-Pancasila dan akan memberontak melawan pemerintah orde baru.

“Fitnah itu ke itu saja diulang-ulang. dikiranya kita takut digertak…,”

kata Abu lagi dengan suara yang serak dan berat.

Pembicaraan pun beralih pada pekerjaan yang sedang dihadapi oleh

Daud Deureueh saat itu, yang sedang membangun proyek irigasi guna

mengairi ratusan hektar sawah rakyat.

----

“KECUALI hari ini, berhubung karena kedatangan Tuan Hamka, biasa

saya berada di Paya Rao…,” ceritanya. Setiap hari dia turut bergotong

royong bersama rakyat di proyek itu.

Sambil tertawa dia kemudian bertanya “Masih dituduh juga saya anti

pembangunan?….” Pembicaraan yang tadinya berjalan serius

kemudian, berakhir dengan suasana penuh gelak tawa.

Beberapa orang pembantu Daud dan orang-orang Pemda yang

mengiringi Buya Hamka dari Banda Aceh yang tadinya menunggu di

luar, ketika waktu makan dan sholat dzuhur ikut bersama kami sampai

pertemuan berakhir.

Para pejabat itu memberikan penjelasan tentang proyek irigasi yang

sedang dibangun ayah Daud itu. Saya memperhatikan kulit muka dan

tangan beliau yang berwarna hitam terkena sinar matahari.

77

Beberapa waktu kemudian saya menyaksikan orang-orang datang

bergantian, membawa bata atau apa saja untuk membangun mesjid -

yang waktu itu belum ada dinding dan lantainya. Ada juga wanita-

wanita membawa makanan untuk yang bekerja di mesjid itu. Jelaslah

bagi saya kesibukan Daud Beureueh saat itu, membangun irigasi dan

mesjid.

Buya Hamka memberi isarat dan mohon diri untuk kembali ke Banda

Aceh. Sebelum berpisah, kedua orang itu kembali berangkulan seperti

ketika datang tadi.

“Insya Allah saya akan datang menjemput Presiden Soeharto, ke

lapangan udara Blang Bintang, bila Beliau tiba di Aceh”, ujar Daud

Beureueh.

Sekitar jam 9 atau jam 10 malam kami tiba di tempat penginapan.

Keesokan harinya, Buya Hamka dijemput oleh Wakil Gubernur,

memenuhi undangan makan siang di rumah Pak Gubernur. Janji Ayah

Daud akan menjemput Presiden di Blang Bintang, rupanya telah lebih

dahulu di dengar orang-orang Gubernur sebelum Buya datang, rupanya

yang amat diharapkan.

Beberapa hari setelah kami tiba di Jakarta, dibeberapa koran

terpampang foto Presiden Soeharto berjabat tangan dengan Daud

Deureueh di lapangan udara ketika beliau berkunjung ke Aceh untuk

pertama kalinya.

Demikianlah pengalaman penulis mengikuti Buya Hamka bertemu

dengan Ulama Besar, yang sebelumnya penulis kenal namanya di

koran-koran. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan.

Setelah itu beberapa kali penulis baca tentang Daud Beureuh, misalnya

tentang lawatan beliau ke luar negeri menjelang pemilu tahun 1971

atas biaya pemerintah. Kemenangan Parmusi tahun 1971 kemudian

PPP dalam pemilu tangun 1977 dan sesudahnya, akibat sikap ayah

Daud yang konsisten memihak partai Islam itu.

Sekitar tahun 78 Tengku Daud dibawa ke Jakarta untuk beberapa

waktu, konon untuk menjauhkannya dari Gerakan Aceh Merdeka.

78

Terakhir berita-berita tentang sikap beliau yang berubah memihak

Golkar dalam usia menjelang 90 tahun pada pemilu baru lalu (1987-

red).

Pada koran-koran yang terbit, dimuat foto beliau dalam keadaan

berbaring dan tak berdaya, waktu itu konon ayah Daud menyatakan

restunya agar Golkar menang di Aceh dengan kata-katanya “Get,

get…”.

Percaya atau tidak, konon berkat restu itu, pada pemilu 87 untuk

pertama kalinya Golkar berhasil meraih kemenangan di daerah

Istimewa Aceh.

Hari Rabu tanggal 10 Juni (1987) Tengku Daud Beureueh berpulang

ke Rahmatullah di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, akibat

mengidap penyakit komplikasi beberapa jenis penyakit lanjut usia :

Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Rakyat Aceh dan segenap kaum Muslimin Indonesia, berduka cita

ditinggalkan seorang ulama dan pemimpin yang tiada gantinya.

Nampaknya untuk kurun waktu yang akan datang, sangat sulit umat

Islam mengharap hadirnya seorang Ulama yang memiliki wibawa yang

begitu kuat, pendirian teguh dan keberanian seperti dimiliki Teungku

Daud Beureueh tatkala semasa hidupnya.

Namun kita percaya, jejak yang ditinggalkanya tidak akan terhapus

begitu saja oleh perkembangan Zaman. Jejak itu terbentang terus bagi

generasi muda Aceh pewaris cita-cita beliau.

Penulis artikel ini (tidak menyebutkan namanya) adalah sekretaris

Buya Hamka, yang menyertai kunjungan Buya ke Aceh untuk menemui

Daud Beurueh (di Beureunuen), Sesuai amanat yang diberikan oleh

Presiden. Penulis menceritakan apa-apa saja yang penulis dengar dan

lihat selama pertemuan tersebut berlangsung.

Ditulis ulang dari Majalah Panji Masyarakat No. 543.