kumpulan abstrak - universitas udayana · sistem blue code and resusitasi pada rumah sakit...

130

Upload: others

Post on 16-Nov-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KUMPULAN ABSTRAK

SUSUNAN PANITIA

1 Penanggung Jawab

a dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KNA KIC b Prof Dr dr Eddy Rahardjo SpAn KICc dr I Made Subagiartha SpAn KAKV SH

2 Ketua Panitia Dr dr I Putu Pramana Suarjaya SpAn KMN KNA MKes

3 Sekretaris dr I Made Agus Kresna Sucandra SpAn

4 Bendahara dr I Wayan Aryabiantara SpAn KIC

Sie Acara amp Ilmiah

Sie Publikasi amp Humas

Sie Akomodasi amp Transportasi

Sie Fundrising amp Pameran

Sie Kesekretariatan

dr IGN Mahaalit Aribawa SpAn KAR

Dr dr Tjok Gde Agung Senapathi SpAn KAR

dr IMG Widnyana SpAn KAR MKes

dr I Putu Agus Surya Panji SpAn KIC

dr Asmaya Ahadi Permana Duarsa SpAn

dr Kadek Agus Heryana Putra SpAn

dr IGAG Utara Hartawan SpAn MARS

dr Tjahya Aryasa EM SpAn

dr I Ketut Wibawa Nada SpAn KAKV

dr I Gusti Eko Tisna SpAn

dr Putu Kurniyanta SpAn

dr Pontisomaya Parami SpAn MARS

dr I Gede Budiarta SpAn KMN

dr Ida Ayu Manik Manuaba SpAn

dr I Nyoman Widhiartawa SpAn

dr Komang Adi Kusumajaya SpAn

dr IB Krisnajaya Sutawan SpAn MKes

KPPIAKursus Penyegar dan Penambah I lmu Anes thes ia

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

DENPASAR - BALI10 - 13 JUNI 2015

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

SUSUNAN PANITIA

1 Penanggung Jawab

a dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KNA KIC b Prof Dr dr Eddy Rahardjo SpAn KICc dr I Made Subagiartha SpAn KAKV SH

2 Ketua Panitia Dr dr I Putu Pramana Suarjaya SpAn KMN KNA MKes

3 Sekretaris dr I Made Agus Kresna Sucandra SpAn

4 Bendahara dr I Wayan Aryabiantara SpAn KIC

Sie Acara amp Ilmiah

Sie Publikasi amp Humas

Sie Akomodasi amp Transportasi

Sie Fundrising amp Pameran

Sie Kesekretariatan

dr IGN Mahaalit Aribawa SpAn KAR

Dr dr Tjok Gde Agung Senapathi SpAn KAR

dr IMG Widnyana SpAn KAR MKes

dr I Putu Agus Surya Panji SpAn KIC

dr Asmaya Ahadi Permana Duarsa SpAn

dr Kadek Agus Heryana Putra SpAn

dr IGAG Utara Hartawan SpAn MARS

dr Tjahya Aryasa EM SpAn

dr I Ketut Wibawa Nada SpAn KAKV

dr I Gusti Eko Tisna SpAn

dr Putu Kurniyanta SpAn

dr Pontisomaya Parami SpAn MARS

dr I Gede Budiarta SpAn KMN

dr Ida Ayu Manik Manuaba SpAn

dr I Nyoman Widhiartawa SpAn

dr Komang Adi Kusumajaya SpAn

dr IB Krisnajaya Sutawan SpAn MKes

KPPIAKursus Penyegar dan Penambah I lmu Anes thes ia

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KATA PENGANTAR

Buku abstrak ini merangkum semua abstrak topik yang dipresentasikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) 10 - 13 Juni 2015 yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) di Bali Adapun pembicara berasal dari seluruh pusat pendidikan Anestesi di Indonesia serta beberapa tempat pelayanan anestesi rujukan

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) adalah acara tiga tahunan Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia dan kali ini merupakan penyelenggaraan KPPIA yang ketiga KPPIA meliputi simposium dan kursus Continuing Professional Development (CPD)

KPPIA 2015 mengambil tema ldquoTantangan Profesi Mandiri Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masyarakat Ekonomi ASEANrdquo yang memiliki makna dokter spesialis Anestesiologi harus siap berpartisipasi dan mengambil peran dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan siap untuk berkompetisi global dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN

Simposium dalam KPPIA 2015 ini terdiri 18 sesi yang meliputi topik kebijakan pelayanan kesehatan anestesi bedah jantung anestesi bedah saraf anestesi pediatrik anestesi regional anestesi obstetrik manajemen nyeri kedokteran gawat darurat pengelolaan perioperatif etika kedokteran dan hukum serta perawatan intensif

Atas nama KPPIA 2015 saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh peserta pembicara moderator dan panitia yang telah berpartisipasi mensukseskan pertemuan KPPIA 2015 ini

Ketua Panitia

I Putu Pramana Suarjaya

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

SAMBUTAN

Assalamualaikum wr wb

Selamat datang dan selamat bertemu lagi kepada para teman sejawat diajang Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia (KPPIA) tahun 2015 Kita tidak lupa selalu memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena ijinnya kita diberi kesehatan kesempatan dan berdiskusi diacara ini

Saya mengharapkan ajang ilmiah seperti KPPIA ini diikuti dan dipergunakan seoptimal mungkin untuk sharing dan mendapat informasi tentang pelayanan anestesi di Indonesia

Sebagai seorang dokter anestesi kita harus selalu meningkatkan kompetensi melalui pertemuan ilmiah CPD baik didalam maupun diluar negeri untuk dipergunakan dalam pelayanan anestesi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan keamanan serta kenyamanan bagi pasien di rumah sakit

Tentunya dalam melakukan pelayanan anestesi bukan saja ilmu yang harus ditingkatkan tetapi fasilitaspun harus terstandarisasi oleh karena itu dihimbau kepada seluruh dokter anestesi untuk selalu memberikan masukan kepada manejemen rumah sakit atau pemilik rumah sakit Selain hal tersebut juga saya ingatkan setiap pelayanan anestesi harus membuat standar pelayanan operasional sesuai kemampuan rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang kita layani

Demikian beberapa hal yang saya ingatkan untuk kenyamanan keamanan teman sejawat dalam melakukan pelayanan anestesi dan pelayanan intensive care dimasing-masing tempat bekerja Semoga Allah SWT selalu melindungi dan menuntun kita dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat

Wassalamualaikum wr wb

Bali Juni 2015Ketua PERDATIN

Dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KIC MARS

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiSambutan vDaftar Isi vii

PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas 1

PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko 2

PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko 2

PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha 3

SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientAMTakdir Musba 4

S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa 4

S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H Nasution 5

S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki Eddy Rahardjo 6

S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno 9

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-06 Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarksChristrijogo SW 11

S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biayaDedi Fitri Yadi 12

S-08 The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R Basuki 12

S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo 13

S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs IndividualHimendra W 14

S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta 15

S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja 16

S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana 18

S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta 18

S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya 19

S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara 20

S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 21

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 22

S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana 23

S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana 27

S-21 Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 31

S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 32

S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaIGNgurah Rai Artika 33

S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsIMG Widnyana 36

S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan 37

S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat 38

S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra 38

S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja 39

S-29 Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied EnoughI Made Wiryana 41

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh Sofyan Harahap 42

S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad 42

S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar 43

S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji 44

S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga 44

S-35 Chronic Pain Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma 45

S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa 46

S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso 46

S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra 47

S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri 51

S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta 55

S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo 56

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-42 Sepsis in obstetricYusmein 57

S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli 58

S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif HMMarsaban 58

S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto 60

POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demamAde Irna 61

P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta Pt 61

P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma I Wayan Aryabiantara 62

P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa 63

P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias Dadik WW 64

P-06 Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra Syamsul Bahri Siregar Hasanul Arifin 65

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho 66

P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W 67

P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko 68

P-10 Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono 69

P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid Pryambodho 71

P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono 73

P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana 73

P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja 74

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus 75

P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana 76

P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan 77

P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM 78

P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan 79

P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial KasusIhsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah Lestari Fredi Heru Irwanto 80

P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus 81

P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 82

P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung 84

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin 85

P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja 86

P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus 87

P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto 88

P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad 89

P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono 90

P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani Ketut Wibawa Nada IMG Widnyana 90

P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra 92

P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli 93

P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta 94

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36 Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan UltrasonografindashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit 95

P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo 96

P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif 97

P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah Hasanul Arifin 97

P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede Budiarta I Gede 99

P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif 100

P-42 Laporan Kasus Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik Abraham Taofik Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 101

P-43 Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik Musa Taofik Senapathi Tjok GA PAS Panji 102

P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak 103

P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi 104

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan NasionalTommy N Tanumihardja Grace Alvina 105

P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N Tanumihardja Clementine Natalie 106

P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto M Andy Prihartono 107

P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah 108

P-50Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati 109

P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan 110

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-01

RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional Development

Andi Wahyuningsih Attas

Ketua PERDATIN

Abstrak

Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban) Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment)

Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut

1 Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas CB dan A

2 Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP) serta penerapan remunerasi

3 Investasi Fisik dan Peralatan di RS pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit

4 Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi

Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan ndash Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-02

Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia hipnosis relaksasi dan supresi refleks saja tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain

Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien

Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg al terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien

PL-03

Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan al untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama dan saling membantu Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya

Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015 MEA mempunyai 4 karakteristik yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang jasa investasi modal dan tenaga kerja

Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

karena al disparitas standar pelayanannya Arus bebas tenaga kerja termasuk dokter belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan

Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN al persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan tetapi belum mencapai hasil yang konkrit dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi

PL-04

Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

Made Subagiartha

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

kita jumpai dalam kehidupan sehari hari dalam rumah tangga antar negara atau di dalam pekerjaan kita Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya

Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan ldquoSengketa Medikrdquo yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-01

Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

AMTakdir Musba

Department of Anesthesiology Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine Hasanuddin University

Abstract

Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur but opioid-tolerance in acute pain especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately particularly in opioid-based general anesthesia

The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences especially on chronic use but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia

Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period Generally opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients

Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol NSAIDs GabapentinPregabalin α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre- intra- and postoperatively

Keywords opioid-tolerance perioperative analgesia multimodal analgesia

S-02

Fast Track Neuroanesthesia

Agus Baratha Suyasa

Abstrak

Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990 untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya faktor pasien faktor pembedahan dan faktor anestesi Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan pelepasan katekolamin minimal dan menurunkan biaya perawatan ICU Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi control suhu control gula status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri kontrol mual muntah suplemen nutrisi Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual

Kata Kunci Fast Track Neuroanesthesia

S-03

Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

Akhyar H Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USURSUP Adam Malik Medan

Abstract

Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations requiring continuous adjustment of drug dosing Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profilesThe future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment monitoring for adequate anesthesia and so for the anesthesia machine The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment including the high technology robotic anesthesia machinesldquothe da vincirdquo For these developments physician especially anesthesiologist will work safer minimal invasive and provide a good monitoring during the operation

Keywords novel drugs future technology anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-04

The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

April Poerwanto Basoeki

Eddy Rahardjo

Departemen Anestesiologi amp ReanimasiFK Unair ndash RSUD dr Soetomo Surabaya

Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik lahir ketika Dr William TG Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan menjadi dapat dilakukan dengan lancar mudah dan berhasil baik Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau menulis pada batu nisan monumen Dr William TG Morton ldquoBefore whom in all time surgery was agony By whom pain in surgery was averted and annulated Since whom science has controlled of painrdquo Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 121924 ndash Agust 2 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work knowledge and duty to serve the public beyond the hospital wall Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite) diruang pulih sadar (Recovery Room) ruang rawat intensif (ICU HCU) bahkan sejak ditempat kejadian pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster) Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care) juga merupakan gagasan Peter Safar

Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian Time saving is life saving Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

tersebut Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan ldquoMany techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients for example those with severe head injuries asthma tetanus or neonatal asphyxia Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients control of airway endotrachel intubation and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia but are now recognized as essential for all doctorsrdquo Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care Anestesi di-OK Anestesi di-luar OK Recovery Room Resusitasi Emergency Medicine ICU Pain Management Pain Clinic Labor Analgesia hingga musibah masal dan bencana Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi

Emergency Medical Service in Indonesia where are we now Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban Dengan melihat sejarah kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat dulu UGD) IGD memerlukan tempat alat obat dokter perawat Lokasi atau tempat alat obat sudah tersedia Dokter Umum Indonesia masih kurang apalagi Dokter Spesialis Emergensi Perawat juga masih kurang apalagi Perawat mahir D3-D4 Gawat Darurat Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya atau kondisi-kondisi lain Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD GELS ATLS ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar Hasil survei Kemenkes RI (1995 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai Untuk menangani kasus gawatdarurat berat kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter Survey Depkes (2005) di ndash 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20 pasien yang datang di UGD adalah trauma sisanya kasus non trauma Di Inggris dari semua kasus trauma di IGD hanya 56 memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65-nya Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood Park Trauma Care Vol 10 No 2 2000 p76) Di-RSUD dr Soetomo Surabaya selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat Departemen SMF Anestesiologi amp Reanimasi memiliki rdquomarkasrdquo Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi Ruang Resusitasi (RES) Ruang Observasi Intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

(ROI) PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim terjadilah apa yang Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC sebut sebagai rdquoshifting leadershiprdquo Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr Soetomo adalah rdquoteaching Hospitalrdquo FK Unair

Kondisi sekarang selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS Swasta Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1) bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni plusmn 30 orang Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar) atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70 materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50 Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20 Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang

Kepustakaan

1 Baskett PJ Peter J Safar 2001 The early years 1924-1961 the birth of CPR Resuscitation 2001 50 17ndash22

2 Baskett PJ Peter J Safar 2002 Part two The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002 Resuscitation 2002553ndash7

3 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik rdquoSistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadurdquo 2009 Cetakan - 4Cetakan - 4

4 Koeshartono ldquoAnestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencanardquo Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya Sabtu Tanggal 8 September 2007

5 Michael B Dobson ldquoAnaesthesia at the Distric Hospitalrdquo World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies 198968 424-30)

6 Sitasi tgl 12 Agustus 2013 woodlibrarymuseumorglibrarypdfS_AYBpdf Morton TG William Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR William TG Morton Printed by Rand Avery amp Frye 3 Cornhill 1871

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-05

Update in DIC Management

Bambang Wahjuprajitno

Dept anestesiologi dan ReanimasiFK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr Soetomo

Surabaya

Abstrak

Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut yang jika cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ

Aktivasi koagulasi yang masif berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh

DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat

Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin supresi anticoagulant pathways gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi

Penyebab DIC tersering adalah sepsis neoplasma trauma penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta preeclampsiaeclampsia emboli air ketuban aborsi septik kematian foetus intrauterine) gigitan ular

Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan tempat tusukan jarum perdarahan gastrointestinal SSP hematuria atau ecchymosis Trombosis dapat berupa purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit) acral dingin dengan nadi yang sulit teraba kehilangan penglihatan oliguria gangguan mental kejang-kejang

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT peningkatan D-dimer dan FDP penurunan trombosit dan fibrinogen Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUNkreatinin dan enzim-enzim jantung Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC

Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH) Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH) dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET) Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization CommitteeInternational Society of Thrombosis and Haemostasis (SSCISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini

Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama ndashsama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik

Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol karena itu jenis DIC bisa berupa

1 DIC tipe perdarahan (bleeding) bila hiperfibrinolisis lebih dominan Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia seperti acute promyelocytic leukemia (APL) penyakit-penyakit obstetrik atau aneurisma aortae

2 DIC tipe gagal organ bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi terutama sepsis

3 DIC tipe perdarahan masif bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik

4 DIC tipe asimptomatik bila kedua faktor sama-sama lemahnyaPada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium Disebut juga dengan tipe pre-DIC Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lainPengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa

bull Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnyabull Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya

meliputi o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma FFP

thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC) recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI) recombinant human thrombomodulin (rhTM) dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

o memanipulasi sistim fibrinolitik misalnya dengan tranexamic acid

Sayang sekali berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan

Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain

S-06

Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarks

Christrijogo SW

Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University Soetomo Hospital

Abstract

Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient

Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients eg avoiding airway manipulation and systemic application of opioids Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances with a lower rate of complications Anesthesiologists are increasingly faced with obesity regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patientsrsquo safety and perioperative outcomes in obese patients

Keywords Regional anesthesia Obesitas landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-07

ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya

Dedi Fitri Yadi

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi Mesin anestesi obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 Lmenit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor inspired oxygen concentration minute ventilation airway pressure Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya

Kata kunci Low flow anesthesia anesthesia cost reduction

S-08

The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

Djudjuk R Basuki

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Latar Belakang Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering yaitui meliputi 38 dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16 dari semua infeksi hospital-acquired SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian waktu MRS dan biaya RS

Tinjauan Pustaka Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif normotermia perioperatif hiperoksia normoglikemia transfusi darah dan mencuci tangan Hipotermia Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien Hiperoksia Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel faktor penting dalam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

penyembuhan luka Manajemen Cairan Peioperatif Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen Selain penghantaran oksigen yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia Hiperglikemia Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi termasuk SSI Transfusi Darah Saat ini tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi Profilaksis Antimikroba Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan

Kesimpulan Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis

S-09

Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

Gatut Dwidjo PrijambodoDept Anestesiologi dan Reanimasi

FK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr SoetomoSurabaya

Abstract

Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi 1 Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM )2 Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM)

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY ada empat kriteria antara lain bull Kegagalan jantung pada periode enam bulan bulan akhir kehamilan sampai lima

bulan pasca persalinanbull Tidak ada penyebab yang ditemukanbull Tidak ada penyakit jantung sebelumnyabull Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri Ejection Fraction lt 45 dan LV

end diastolic dimension gt 27 cmm2

Penyebab PPCM tidak diketahui Mortalitas 15 - 50 PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel

Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung antara lain Restriksi cairan Pemberian Diuretika dan obat Inotropik Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural Anestesi General digunakan obat yang cardiostable Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHYHOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun Pada kehamilan HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak Dapat asimtomatik simtomatik ringan Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif

Prinsip manajemen pasien HOCM Perlu monitoring invasif dan intensif Hindari penurunan preload Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat Hindari penururnan mendadak SVR Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi

S-10

Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs Individual

Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan

Harapan pasien sudah berubah Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi

Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif misalnya dibayar sesuai performa Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien

Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku

Dalam praktik anestesia di perkotaan terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan entah itu rumah sakit umum rumah sakit bersalin ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan Adapun di lain pihak praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati

Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006) standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku

S-11

Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

I Gede Budiarta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID infiltrasi blok perifer teknik regional analgesia hipnoterapi radiofrekuensi stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif

Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif neurologi rehabilitasi medik maupun hematoonkologi Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut

Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik penanganan konsul nyeri yang seksama serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit

Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama

S-12

Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

I Ketut Sinardja

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak Banyak hal seperti kebijakan wilayah politis serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam

Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 665 dan 326 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri Berdasarkan kesepakatan umum angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada defibrilasi atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi) Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus

Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3 angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004 dengan angka ketahanan hidupnya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27 versus 18) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif

Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA ditemukan bahwa sekitar 66 kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) 52 masih hidup dalam 1 tahun dan 3 masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64 pada anak-anak dan 75 pada orang dewasa Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 159 namun hanya sebesar 39 pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari)

Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian prearrest intra-arrest dan postarrest Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan aspek struktural dari sistem (personel pelatihan peralatan) care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini serta penanganan postarrest yang komprehensif) serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan)

Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi monitor ECG DC-Shock suction oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat

Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest) Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar menurunkan angka kejadian henti nafas danatau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait

Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku Kebijakan mulai dari awal penerimaan pihak yang melakukan bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah atau sampai

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code

S-13

Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

I Made Adi Parmana

RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Abstract

Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s its popularityhas steadily increased Although not as well established as for cardiac surgery the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40 to 80 of patients respectively In over one-third of patients intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy including treatment of myocardial ischemia valvular pathology andor right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure Based upon these findings intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery

TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise patients with unexplained persistent hypotension or unexplained persistent hypoxemia as well as patients with major thoracic or abdominal trauma

However as with any tool the risks and benefits need to be carefully evaluated Although the complication rate from TEE placement is low it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal esophageal or gastric pathology that will preclude its use Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting

S-14

Spinal Anesthesia In Neonates

I Putu Kurniyanta

Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University Sanglah Hospital Denpasar

Abstract

Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers It is usually practiced on preterm infants (lt60 weeks post-

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA) SA sometimes combined with general anesthesia It is most successful as a single shot technique limited to surgery lasting less than ninety minutes Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia providers However there is safety and efficacy for suitable procedures in older children as well SA in neonates has many advantages as in adults with an advantage of minimal cardio-respiratory disturbance This may further increase the utility of SA in neonates and children as it provides all components of balanced anesthesia technique To overcome this several additives like epinephrine clonidine fentanyl morphine neostigmine etc have been used and found to be effective even in neonates But the developing spinal cord may also be vulnerable to drug-related toxicity though this has not been systematically evaluated in neonates Despite its widespread use incidence of side-effects is low and permanent neurological sequalae have not been reported with SA Literature yields encouraging results regarding its safety and efficacy Technical skills and constant vigilance of experienced anesthesia providers is indispensable to achieve good results with this technique

Keywords neonates spinal anesthesia surgery

S-15

Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and Surgery

I Putu Pramana Suarjaya

Department of Anesthesiology amp Intensive CareSanglah General Hospital Medical School University of Udayana Denpas

Abstract

Cognitive changes after major surgery have received increased attention in recent years Increased elderly population in surgical patients as well as advances in anesthesia and surgical techniques and the impact of postoperative cognitive complications on patientrsquos quality of life after recovery make cognitive dysfunction play a significant role in prolonged recovery after major surgery

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) is diagnosed using cognitive test scores to detect changes developing postoperatively compared with each individual patientrsquos preoperative cognitive level of functioning POCD affects a wide range of cognitive domains such as memory attention orientation and concentration and some patients experience difficulties for months postoperatively POCD has been described after both cardiac and noncardiac surgery and can occur in all age groups although the elderly are more at risk

The pathogenic mechanisms behind the development of POCD are unclear partly due to the variation in patient population diagnostic tools and analysis of cognitive test results making firm conclusions on the pathogenic mechanisms difficult However most agree that increasing age reduced preoperative cognitive reserve and low educational level are risk factors for POCD A distinction between acute and elective surgery as well as cardiac versus noncardiac surgery is necessary when evaluating cognitive changes

An optimized perioperative approach with short length of stay multimodal opioid-sparing analgesia early mobilization and discharge to home environment (the fasttrack approach) would impact the occurrence of cognitive changes after major surgery

Keywords perioperative care postoperative cognitive dysfunction

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-16

Transfusion practice vs patient blood management

I Wayan Aryabiantara

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin jelas bahwa transfusi RBC (red blood cell) alogenik mengakibatkan banyak efek samping serius dan angka mortalitas meningkat Faktor risiko utama untuk transfusi adalah anemia preoperatif hilangnya darah intraoperatif dan trigger transfusi yang liberal Manajemen darah pasien (Patient Blood Management) dengan bundel terapi anemia preoperatif serta perhitungan untuk menurunkan hilangnya darah perioperatif dan mengoptimalkan toleransi terhadap anemia bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi RBC dan meningkatkan outcome klinis PBM telah dijadikan WHO sebagai standar terapi dan semua negara anggota diharapkan melaksanakan konsep ini Adapun negara tetangga kita Australia adalah yang dianggap paling maju di dunia dalam melaksanakan konsep PBM

Di masa lalu transfusi RBC sangat digembar-gemborkan dan dianggap sebagai sumber yang murah aman dan cepat tersedia Belakangan semakin jelas bahwa pasien yang mendapat transfusi RBC mempunyai outcome lebih buruk dibandingkan pasien serupa yang tidak ditransfusi dan banyak ahli setuju bahwa pasien tanpa perdarahan aktif dengan kadar hemoglobin gt8 grdL atau lebih tidak memperoleh manfaat apapun dari transfusi RBC Akibatnya dokter mulai mencari cara untuk menyiapkan pasien agar pembedahan yang direncanakan dapat dilakukan tanpa transfusi sehingga outcome-nya membaik

National Bank Authority (NBA) di Australia merupakan badan pemerintah yang mendirikan dan mendanai ulasan mengenai Clinical Practice Guidelines for the Use of Blood Components oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) dan Australian Society for Blood Transfusion (ASBT) pada tahun 2010 Mereka menyimpulkan bahwa panduan lama yang berfokus pada produk darah harus diganti dengan yang berfokus pasien Dampaknya adalah mulai dikembangkan enam modul panduan yang komprehensif dan evidence-based Isi modulnya meliputi PBM pada perdarahan masif pembedahan medikal rawat intensif obstetri dan ginekologi pediatrik dan neonatologi

Sebagian besar negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa kecuali Belanda masih mengalami hambatan dalam pengamalan PBM pada level nasional Meskipun masih kurangnya inisiatif menyeluruh beberapa rumah sakit telah mengenalkan PBM pada berbagai divisi dan departemennya Hal yang menarik adalah program ini tidak saja membuat transfusi RBC lebih sedikit tapi juga outcome lebih baik dengan mortalitas lebih rendah lama rawat lebih pendek komplikasi lebih sedikit readmisi lebih rendah dan biaya juga lebih ditekan

Anemia preoperatif dapat diterapi lebih baik sehingga meminimalkan tranfusi RBC perioperatif infeksi lebih rendah dan komplikasi lebih sedikit Sangat sulit untuk menentukan nilai target terapi untuk anemia sebelum pembedahan mayor Di sisi lain skrining preoperatif anemia secara mendetil justru sangat menunda tindakan pembedahan yang sudah direncanakan karena bisa memakan waktu kurang lebih 3-4 minggu Namun dengan perencanaan yang tepat hal ini dapat diminimalkan Skrining dan terapi anemia tersebut juga secara ekonomis lebih menguntungkan karena lebih unggul dalam hasil outcome yang lebih baik komplikasi lebih rendah dan lama rawat lebih singkat Meminimalkan kehilangan darah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

intra dan pascaoperasi juga sangat bermanfaat yang dapat dicapai dengan teknik pembedahan dan hemostasis yang adekuat

Ternyata keengganan adalah faktor penghambat utama untuk mengubah budaya transfusi Namun dokter diharapkan dapat mengubah cara praktiknya apabila sudah memperoleh limpahan bukti efek samping yang dapat dihindari dengan teknik PBM demi kesejahteraan dan kemaslahatan pasien

S-17

Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Banyaknya tindakan medis invasif serta perawatan canggih di ruang Intensive Care Unit (ICU) menyebabkan perlunya penggunaan sedatif sebagai komponen terapi mutlak untuk meningkatkan outcome Pada keadaan-keadaan akut berat sedasi bahkan diperlukan dalam jangka panjang yang berisiko efek samping over sedasi dengan berbagai kerugiannya Untuk itu diperlukan jenis sedatif alternatif lainnya yang menghasilkan sedasi adekuat dengan efek samping minimal Dalam beberapa tahun terakhir dexmedetomidine telah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sedatif alternatif melalui mekanisme simpatolitiknya sebagai agonis α2 Dexmedetomidine telah dibandingkan dengan midazolam dan propofol pada pasien-pasien ICU dengan ventilator jangka panjang Efek sedasinya terbutki setara dan lebih menguntungkan pada pemakaian jangka panjang dalam hal menghindari beberapa efek negatif sedatif pada umumnya Studi meta-analisis menyangkut pemakaian dexmedetomidine ini telah membuktikan bahwa sedatif ini aman dan bermanfaat dalam pemakaian jangka panjang dan dapat memperbaiki outcome populasi pasien-pasien di ICU Penelitian berkelanjutan tentu tetap diperlukan dalam mengkaji berbagai keuntungan lainnya dari penggunaan dexmedetomidine jangka panjang di ICU

Sumber bacaan1 Cavallazzi R Saad M Marik PE Delirium in the ICU an overview Annals of Intensive

Care 20122 Weinert CR et al Epidemiology of sedation and sedation adequacy for mechanically

ventilated patients in a medical and surgical intensive care unit Crit Care Med 2007 3 Afonso J Reis F Dexmedetomidine current role in anesthesia and intensive care Rev

Bras Anestesiol vol62 no1 Campinas JanFeb 20124 Anger KE Dexmedetomidine A Review of its Use for the Management of Pain

Agitation and Delirium in the Intensive Care Unit Current Pharmaceutical Design 2013

5 Riker RR Shehabi Y Bokesch PM et al SEDCOM (Safety and Efficacy of Dexmedetomidine Compared With Midazolam) Study Group Dexmedetomidine vs midazolam for sedation of critically ill patients a randomized trial JAMA 2009

6 Tan JA Ho KM Use of dexmedetomidine as a sedative and analgesic agent in critically ill adult patients a meta-analysis Intensive Care Med 2010

7 Jakob SM et al Dexmedetomidine vs Midazolam or Propofol for Sedation During Prolonged Mechanical VentilationTwo Randomized Controlled Trials JAMA 2012

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18

Tight Glucose Control in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Hiperglikemia sering menjadi komplikasi pada kasus-kasus dengan sepsis luka bakar trauma dan kasus-kasus bedah besar lainnya yang memperburuk outcome Efek samping ini pada pasien-pasien sakit kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan respon stres akut yang meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan pemakaiannya dalam tubuh Penyebab lainnya adalah intervensi nutrisi dengan kandungan karbohidrat berlebihan dan saat memulai jenis nutrisi yang kurang tepat

Strategi mengendalikan glukosa secara ketat pada pasien-pasien sakit kritis di ICU dapat dilakukan melalui beberapa langkah Menetapkan waktu memulai nutrisi yang tepat memilih jalur nutrisi enteral serta menghindarkan pemakaian nutrisi parenteral Hindarkan overfeeding dan batasi sumber kalori dari karbohidrat serta tidak melebihi 4 mgkgmenit Gunakan teknik pemberian insulin intensif melalui infus kontinyu Lakukan verifikasi rutin dan seksama serta penyesuaian laju metabolisme pengukuran berat badan penetapan BEE dan faktor-faktor koreksinya Cegah dan koreksi keadaan yang meningkatkan laju metabolisme seperti demam takikardia agitasi delirium kejang-kejang dan kondisi overaktifitas lainnya

Sumber bacaan1 Furnary AP Wu Y amp Bookin SO Effect of hyperglycemia and continuous intravenous

insulin infusions on outcomes of cardiac surgical procedures the Portland Diabetic Project Endocrine Practice 2004 10(Suppl 2) 21ndash33

2 van den Berghe G Wouters P Weekers F et al Intensive insulin therapy in critically ill patients N Engl J Med 20013451359-67

3 Montori VM Bistrian BR McMahon MM Hyperglycemia in acutely ill patients JAMA 20022882167ndash9

4 Klein CJ Stanek GS Wiles CE Overfeeding macronutrients to critically ill adults metabolic complications J Am Diet Assoc 199898795-806

5 Preiser JC Devos P van den Berghe G Tight control of glycaemia in critically ill patients Curr Opin Clin Nutr Metab Care 20025 533ndash7

6 Krinsley JS Blood glucose control in critically ill patients the impact of diabetes Critical Care Medicine 2009 37(1) 382ndash3

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-19

Management of local anaesthetic systemic toxicity

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Abstract

As classic neuronal Na+ channel inhibitors these drugs have a particular high level of activity in the central nervous system and the cardiovascular system and their side effect profile remains remarkably consistent differing only quantitatively between the agents in their doses (and blood and relevant tissue concentration) Local anaesthetic agents exist in both ionised acid-and non-ionised base forms in the tissue after injection The non-ionised form crosses the barrier of the myelin sheath and the axon membrane Here it will dissociate to the ionised acid form due to the lower pH inside the cell The ionised fraction binds to the activated Na+ channel and produce blockade of the channel in the inactivated state The development of symptoms and signs related to local anaesthetic toxicity relates directly to the concentration of the drug in the plasma The plasma concentration will depend on the rate of absorption from the injected site as well as inadvertent intravascular injectionIt is appropriate to first review the physiology of the ion channels implicated in local anaesthetic toxicity

Sodium channel blockadeAs local anaesthetics act as Na+ channel-blocking agents they slow down the initial

depolarisation phase by blocking the inactivated channel The clinical consequence of this is slowed cardiac conduction widening of the QRS complex prolongation of the PR interval AV block and eventually ventricular fibrillation due to the unidirectional blockade and re-entry phenomenon

Potassium channel blockadeK+ channels are tetramer ion channels and are organised into three superfamilies

according to the subunit membrane topology (1) subunits with six membrane-spanning segments and onepore domain (2) subunits with two membrane-spanning segmentsand one pore domain and (3) subunits with four membrane-spanning segments and two pore domains arranged in tandemThe first and third group are of interest where local anaesthetic toxicity is concernedAs noted the first group of channels are tetramers with fourfoldsymmetry around a central pore in the form of an inverted teepeeBoth the N terminal and the C terminal are located intracellularlyThe amino acids of the N terminal are shaped like a ball and chain and conformational changes causes this ball to close the channel from inside the cell These channels are known as the inward outward and transient rectifier K+ channels and their resultant effect is partly responsible for the K+ efflux during phases 2 and 3 of the cardiac muscle action potentialA blockade ofthese channels will prolong the action potential (phase 2) delayrepolarisation (phase 3) and shift the resting membrane potential more positive (phase 4) to increase automaticity The second group of K+ channels of interest is the two pore domain K+ channels (K2p) Previously known as the delayed rectifier channels these channels are believed to be responsible for the background or ldquoleakrdquo K+ currents In this setting they control the resting membrane potential A blockade of these channels shifts the resting membrane potential towards spontaneous depolarisation K2p channels are wide spread in the body In

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

the CNS they are mainly located in the thalamo-cortical and striatal neurons where blockade leads to increased neuroexitabilityThey are also present in high concentrations in the cerebral blood vessels where blockade leads to vasoconstriction and decreased cerebral blood flow K2p channels are also present in neurons of the auditory system where blockade leads to tinnitusK2p channels are thought to mediate the stimulating effect of local anaesthetics on ventilationThey are located in the brainstem where they modulate the respiratory response to carbon dioxide via chemo sensing of the pH They are also found in the carotid body where they are expressed in the oxygen-sensing cells of the glomus body K2p channels are sensitive to changes in O2 tension and extracellular pH and are potentiated by volatile anaesthetic In the CVS K2p channels are spread throughout the conduction system of the heart where blockade predisposes the patient to re-entry dysrhythmias It is well known that hyperkalemia exacerbates local anaesthetic toxicity and that K+ATP openers (which effectively lowers intracellular K+ levels) attenuate the toxic effects of bupivacaine

Ca++ channel blockadeThe latest research shows that all voltage-gated Ca++ channels are comprised of two

subunits The α-subunit consists of atetramer that comprises four membrane-spanning domainsDomains I III and IV are critical in the opening of the channelThis α-subunit is the main pore-forming element of the channeland its chemical structure remains fairly consistent for all voltagegatedCa++ channels The second unit has a highly variablestructure that depends on the location and function of thechannel In cardiac conduction tissue it is the β1 subunit thatcompletes the ion channel structure The role of the β1 subunitseems to be the modulation of channel opening and membraneion traffickingIn terms of their physiological effect the hearthas two distinct types of channels namely the T-type (transient)and L-type (long lasting) channels The T-type channel (alsoknown as the low voltage activated channel -LVA) is mainlylocated in the pacemaker cells of the sino-atrial node and theopening of these channels completes the prepotential requiredfor the pacemaker potential L-type channels (known as highvoltage activated channels -HVA) are present on the surface ofthe myocytes of both atrium and ventricle and are closelyassociated with the T-tubules The opening of these L-typechannels produces the impulse seen as the plateau phase (phase2) of the cardiac muscle action potential Local anaesthetic drugs bind to the L-type Ca++ channels predisposing them to aninactivated state The consequence of this is prolongation of theaction potential (phase 2) and depressed contractility

Central nervous system toxicityCentral nervous system toxicity is presumed to be a two-stage process Initial blockade of

Na+ channels in the inhibitory neurons entering the limbs allows the excitatory neurons to act unopposed thereby creating an excitatory state This culminates in generalized convulsions Higher concentrations of local anaesthetic affect all neurons leading to global CNS depression slowing and ultimately silence on EEG clinically seen as coma and the eventual collapse of the cardiovascular system In most cases convulsions although an impressive clinical entity can be handled safely without permanent damage

Cardivascular system toxicityAll of the clinical effects due to local anaesthetic overdose are the result of the blockade

of various ion channels The normal pharmacological effects of local anaesthetic drugs are produced via their blockade of sodium (Na+) channels However these drugs also have

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

the ability to block potassium (K+) as well as calcium (Ca++) channels The whole picture of cardiovascular toxicity is the effect of the blockade of all these ion channels Ion channel blockade displays enantiomeric selectivity with the R-isomer having twice the potency at the Na+ channels seventy times the potency at K+ channels and three times the potency at Ca++ channels Furthermore channel blockade is dependent on the state of the channel Levo-bupivacaine and ropivacaine interacts with both the activated and inactivated Na+ channels where as R-bupivacaine is a more potent blocking agent of the inactivated Na+channels

The mechanism of cardiovascular toxicity relies on the direct as well as indirect effects of the local anaesthetic drugs on the myocardium Direct effects include negative inotropy and delayed conduction of the impulse through the cardiac conduction tissue Indirect effects have to do with the local anaesthetic effect on the autonomic outflow and the direct effect on the cardiac centre in the midbrain Negative inotropy due to local anesthetic overdose is the result of four main mechanisms Firstly local anaesthetics (LA) cause decreased Ca++ release from the sarcoplasmic reticulum in the cardiac myocyte This in turn decreases excitation-contraction coupling and thus decreases contractility Secondly there is disturbance of the membrane Na+Ca++ pump function This also decreases Ca++ levels in the cytosol and decreases contractility Thirdly LA alters mitochondrial energy transduction By binding to the inner mitochondrial membrane LA agents cause the uncoupling of oxidative phosphorylation at complexes II and I This leads to decreased levels of ATP and a low energy state in the myocyte The binding of LA to the inner membrane further inhibits the function of L-carnitine acyl transferase This enzyme is important in the transfer of long free fatty acids (FFA) across the cell-and mitochondrial membrane The decreased availability of FFAs as substrate for oxidation leads to decreased ATP levels Fourthly LA causes decreased cAMP production This impairs second messenger function in the myocyte and disrupts cell homeostasis

The second direct cardiovascular effect is perhaps the more well known LA by their nature cause blockade of the ion channels therefore causing conduction blockade of the impulse generated in the SA node Abnormal conduction predisposes to re-entry phenomena and unidirectional conduction dysrhythmias The indirect effects on the cardiovascular system are due to the blockade of impulse outflow from the nucleus tractus solitaries (NTS) located in the medulla oblongata Afferent fibres from the baroreceptors in the carotid body and aortic arch reach the NTS via N glossopharyngeus (XI) and N vagus (X) where they secrete glutamate as neurotransmitter From the NTS projections reach the caudal and intermediate ventrolateral medulla where they stimulate GABA-secreting neurons These in turn project to the rostral ventrolateral medulla from where they course down the thoracic cord to eventually become the preganglionic sympathetic neurons that form the cardiac sympathetic innervation Excitatory projections from the NTS also reach the vagal motor neurons the nucleus ambiguus and dorsal motor neurons Baroreceptor stimulation thus inhibits tonic discharge to the vasoconstrictor nerves and excites vagal innervation of the heart with its sequelae LA alters the spontaneous impulse production in the NTS and depresses cardiac outputThe blockade also leaves the sympathetic outflow relatively unopposed which in turn leads to increased automaticity and dysrhythmias The overall effect of the conduction block and CNS- mediated effects is the refractory ventricular fibrillation for which bupivacaine is well known

Management of local anaesthetic systemic toxicity

Recommendations for Treatment of Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)bull If signs and symptoms of LAST occur prompt and effective airway management is

crucial to preventing hypoxia and acidosis which areknown to potentiate LAST (I B)

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

bull If seizures occur they should be rapidly halted with benzodiazepines If benzodiazepines are not readily available small doses of propofolor thiopental are acceptable Future data may support the early use of lipid emulsion for treating seizures (I B)

bull Although propofol can stop seizures large doses further depress cardiac function propofol should be avoided when there are signs ofcardiovascular compromise (III B) If seizures persist despite benzodiazepines small doses of succinylcholine or similar neuromuscularblocker should be considered to minimize acidosis and hypoxemia (I C)

bull If cardiac arrest occurs we recommend standard advanced cardiac life support with the following modifications- If epinephrine is used small initial doses (10- to 100-ug boluses in adults) are

preferred (IIa C)- Vasopressin is not recommended (IIB B) - Avoid calcium channel blockers and beta-adrenergic receptor blockers (III C)- If ventricular arrhythmias develop amiodarone is preferred (IIa B) treatment with

local anesthetics (lidocaine or procainamide) is not recommended (III C)

bull Lipid emulsion therapy (IIa B)- Consider administering at the first signs of LAST after airway management- Dosing- 15 mLkg 20 lipid emulsion bolus- Infusion of 025 mLkg per minute continued for at least 10 mins after circulatory

stability is attained- If circulatory stability is not attained consider giving another bolus and increasing

infusion to 05 mLkg per minute- Approximately 10 mLkg lipid emulsion over 30 mins is recommended as the

upper limit for initial dosing

bull Propofol is not a substitute for lipid emulsion (III C)bull Failure to respond to lipid emulsion and vasopressor therapy should prompt institution

of cardiopulmonary bypass (IIa C) Because therecan be considerable lag in beginning cardiopulmonary bypass it is reasonable to notify the closest facility capable of providing it whencardiovascular compromise is first identified during an episode of LAST

Lipid emulsion theraphyLipid was successfully used for resuscitation the mean total (bolus plus infusion) lipid

dose over the first 30 mins was 38 mLkg (range 12-60 mLkg) Most important no overt complications related to use of lipid emulsion for resuscitation have been reported to date Based on the available information we recommend an initial bolus of 20 lipid emulsion using 15 mLkg (of lean body mass) followed by an infusion at 025 mLkg per minute until circulatory stability is achieved The bolus could be repeated for failure to restore circulation and the infusion could be increased to 05 mLkg per minute for recurring hypotension after initial recovery However volume overload is certainly a risk and lipid overdose might also carry as yet unknown risks Defining the maximal safe dose for acutely administered 20 lipid emulsion for this novel use is important and will require appropriate (large) animal studies and possibly experiments with volunteers receiving subtoxic doses of bupivacaine We currently recommend an upper limit of approximately 10 mLkg over the first 30 mins This would allow for 2 boluses plus a continued infusion at 025 mLkg per minute

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-20

Radiofrequency In Knee Osteoarthritic Patients

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Introduction

Osteoarthritis (OA) is the most common rheumatic disease in the general population and its prevalence increases with age Genetic mechanical and several other factors have been implicated in its originOA symptoms such as joint pain reduced mobility crepitus and swelling result from articular cartilage loss subchondral bone proliferation bone misalignment and synovitis The management of patients with OA includes a number of pharmacologic and non-pharmacological recommendations tailored in accordance to the joints involved

The economic costs of OA are high including those related to treatment for those individuals and their families who must adapt their lives and homes to the disease and those due to lost work productivity Patients with OA are at a higher risk of death compared with the general population History of diabetes cancer or cardiovascular disease and the presence of walking disability are major risk factors Pain and other symptoms of OA may have a profound effect on quality of life affecting both physical function and psychological parameters Knee OA is not a localized disease of cartilage alone but is considered as a chronic disease of the whole joint including articular cartilage meniscus ligament and peri-articular muscle that may result from multiple pathophysiological mechanisms It is painful and disabling disease that affects millions of patientsThe pain in the OA knee is attributed to cartilage degenerationreduced joint space osteophytes loose bodies Pain intensity disability and its psychological impact correlate poorly with the peripheral joint damage assessed by the Kellgren-Lawrence scale (K-L scale) Recent evidence emphasizes the role of central sensitivity in the pathogenesis of the OA knee

Chronic osteoarthritis pain of the knee is often not effectively managed with non-pharmacological or pharmacological treatments Radiofrequency (RF) neurotomy when applied to articular nerve branches (genicular nerves) provides a therapeutic alternative for effective management of chronic pain associated with osteoarthritis of the knee

Although surgery is generally effective for patients with advanced disease some older individuals with comorbidities may not be appropriate surgical candidates In addition some patients do not wish to consider surgery and prefer non-surgical options In these patients radiofrequency (RF) neurotomy of the genicular nerves might be a successful alternative to surgery This procedure is based on the theory that cutting the nerve supply to a painful structure may alleviate pain and restore function

DiagnosisThe american College of Rheumatology criteria for the diagnosis of knee osteoarthritis Using history and clinical examinationPain in the knee and three of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

4- Bony tenderness 5- Bony enlargement 6- No palpable warmth of synovium

Using history and clinical examination and radiographic findings Pain in the knee and one of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt 30 minutes 3- Crepitus on active motions and osteophyte

Using history and clinical examination and laboratory findings Pain in the knee and 5 of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions 4- Bony enlargement 5- No palpable warmth of synovium6- Rheumatoid Factor lt140 7- Synovial fluid signs of osteoarthritis

AnatomyThe knee joint is innervated by the articular branches of various nerves including the

femoral common peroneal saphenous tibial and obturator nerves These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic guidance

Nerve supply of the knee joint

These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves

Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic

guidance

Nerve supply of the knee joint

Genicular branches of the knee joint

Genicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM)

inferior lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The

targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas

connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to

the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee

joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee

joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency

neurotomy

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Genicular branches of the knee jointGenicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM) inferior

lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency neurotomy

Radiofrequency Genicular NervesRF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of the six

genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocksbull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritisbull Patients with failed knee replacementbull Patients unfit for knee replacementbull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocksThese injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral (SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following injection

Radiofrequency Genicular Nerves

RF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of

the six genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and

can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two

lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local

anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocks

bull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritis

bull Patients with failed knee replacement

bull Patients unfit for knee replacement

bull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocks

These injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral

(SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is

considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following

injection

Radiofrequency of genicular nerves

Patients with a positive response are offered either cooled or conventional

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Radiofrequency of genicular nervesPatients with a positive response are offered either cooled or conventional radiofrequency

neurotomy for a more sustained response The procedure is usually done on an outpatient basis The procedure is performed under fluoroscopic guidance to ensure accuracy of needle placement Patients need to be aware that the outcome of the procedure is variable and they may not receive the desired benefits Similarly they must be aware of the transient nature of the therapeutic benefits and that there may need repeated injections

Radiofrequency treatment is a two-step procedure The first step is diagnostic involving injection of local anaesthetic around the genicular branches innervating the knee joint as described above Patients who experience good pain relief following diagnostic injections are offered radiofrequency denervation treatment This involves creating a heat lesion around the genicular nerves carrying painful impulses from the knee joint Successful treatment can result in pain relief lasting several months

Either conventional radiofrequency treatment or pulsed radiofrequency treatment can be used

PRF at 42degC was aimed at avoiding any neurological deficits that could lead to Charcotrsquos joint RF creates an alternating electric field with an oscillating frequency of 500000 Hz to elicit heat production around the percutaneously introduced needle tip by the body tissue acting as the resistor The output of the generator is interrupted to give 2 cyclessecond each of 20-msec bursts followed by silent phases of 480 millisecond in PRF The interval between the cycles allow for the dissipation of the heat maintaining the tissue temperature at 42degC far below the irreversible tissue damage threshold range of 45 ndash 50degC Thus PRF has no incidence of sensory or motor complications unlike conventional RF ablation which creates tissues temperatures of 70degC and above PRF has been used successfully to treat myofascial trigger points knee pain by intraarticular application and various peripheral neuropathic pains PRF appears to have genuine biological effects in cell morphology synaptic transmission and pain signalling which are likely to be temperature independent

ComplicationsComplications are rare particularly if injections are performed using a precise needle-

positioning technique Septic arthritis can be avoided with appropriate aseptic precautions Severe allergic reactions to local anaesthetics are uncommon Post-procedural pain flare-up is not uncommon and may be treated with painkillers Neurological complications including paraesthesias and numbness have been described but are extremely rare Radiofrequency treatment can cause patchy numbness of the over lying skin Incidence of infection is low as the procedure is performed under strict aseptic conditions and the injections are extra articular

ConclusionPRF of peripheral nerves and plexuses supplying the knee joint appeared to be a safe

effective and minimally invasive new technique that addresses the sensory motor and autonomic nerves to provide sustained relief of pain stiffness swelling and the peripheral and central sensitivity in response to chronic pain in both knees from long-standing osteoarthritis patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-21

Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia Intravena

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Denpasar-Bali

Sekitar 19 juta orang di dunia mengalami nyeri akibat kanker setiap tahunnya Dari jumlah tersebut 40-80 menderita nyeri sedang sampai berat Nyeri dapat berasal karena lesi kanker itu sendiri metastasenya komplikasi seperti kompresi saraf atau infeksi terapi atau faktor lain seperti psikologis dan lingkungan Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi masih mengalami nyeri paskaoperasi akibat penanganan nyeri yang kurang adekuat

American society of Anesthesiologis (ASA) mengeluarkan pedoman teknik yang direkomendasikan untuk penanganan nyeri akut paskaoperasi salah satunya dengan menggunakan teknik PCA ( patient controlled analgesia )

Patient Controlled Analgesia merupakan suatu metode penanganan nyeri di mana pasien dapat mengadministrasikan dosis kecil obat analgesik secara mandiri Adapun nyeri kankerkronik dan nyeri akut merupakan salah satu indikasi untuk penggunaan PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan memakai opioid kuat sesuai pendekatan dari WHO atau WFSA Rute administrasi PCA bervariasi Rute PCA yang paling umum adalah melalui jalur intravena Di luar negeri PCA iv (intravena) sudah merupakan salah satu standar penanganan nyeri sedangkan di Indonesia masih belum terlalu luas pemakaiannya Rute lainnya adalah melalui jalur epidural lebih dikenal sebagai PCEA (patient controlled epidural analgesia) sering digunakan pada teknik painless labour ataupun nyeri akut paskaoperasi mayor PCRA (patient controlled regional analgesia) merupakan teknik yang terbilang baru seiring perkembangan regional anestesi dengan menggunakan kateter kontinyu pada blok saraf tepi PCRA terutama digunakan pada nyeri akut paskaoperasi extremitas Teknik terakhir adalah PCA SC (subcutaneous) Berdasarkan beberapa penelitian ternyata PCA subkutan tidak berbeda signifikan dalam absorbsi obat efikasi serta efek sampingnya dibandingkan dengan PCA intravena serta PCA subkutan mampu untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal untuk pasien PCA SC merupakan alternative penanganan nyeri untuk pasien kanker apabila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi opioid secara oral ataupun bila akses vena sudah rusak akibat kemoterapi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-22

TCI in Obese Patient

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Obesitas adalah kelainan keseimbangan energi Berasal dari bahasa Latin obesus yang berarti gemuk karena makan Pasien dikatakan obese bila berdasarkan perhitungan BMI (Body Mass Index) didapatkan hasil lebih dari 30 Adapun peningkatan berat badan terkait dengan BMI ini juga membawa akibat perubahan fisiologis sistem organ pasien obese

Pada pasien obese akan terjadi kelebihan jaringan adiposa dan loading jaringan otot dan tulang yang meningkatkan metabolic demand Di samping itu pasien dengan obesitas sangat terkait dengan penurunan komplians sistem respirasi Terdapat pula abnormalitas metabolisme lemak yang menyebabkan infiltrasi jaringan lemak pada hepar Sedangkan pada sistem renal terjadi sklerosis glomerulus dan hilangnya nefron akibat peningkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang akan menimbulkan gagal ginjal kronik

Pada orang dengan obesitas terdapat akumulasi lemak yang dapat mengganggu farmakokinetik dan farmakodinamik obat Berdasarkan hal tersebut penyesuaian dosis obat pada orang obesitas dapat menggunakan beberapa strategi penyesuaian dosis contohnya penggunaan berat badan aktual (TBW) LBM (Lean Body Mass) atau IBW yang berdasarkan tinggi badan Penyesuian dosis obat tersebut didasarkan pertimbangan perubahan volume distribusi (Vd) clearance (CI) dan protein binding beberapa obat

Walaupun propofol bersifat lipofilik kuat propofol tidak berakumulasi pada pasien obesitas Untuk itu dosis maintenance propofol pasien obese dapat diperhitungkan sama seperti pasien dengan berat badan normal yaitu menggunakan berat badan aktual Tetapi hal tersebut memerlukan dosis jumlah besar dan menimbulkan efek hemodinamik yang nyata

Dari beberapa penelitian diperoleh simpulan tidak terdapat perbedaan clearance yang signifikan antara pasien berat badan normal dengan pasien obesitas dengan menggunakan perhitungan TBW pada TCI propofol Didapatkan pula bahwa TBW merupakan deskripsi berat badan paling tepat untuk pasien obesitas Penggunaan LBM untuk TCI propofol tidak sesuai pada pasien obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya overestimasi clearance metabolik Sehingga lebih direkomendasikan untuk memakai perhitungan TBW dalam pemakaian TCI untuk pasien obese

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-23Hightoracic And Cervical Epidural Anaesthesia

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2

bull Respiratory problems bull Cardiac problems bull Myocadial ischemia neuro-vascular problems bull History of a difficult postoperative period in the past bull Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural

space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine bull the thoracic spinous processes are oblique bull a mechanical lesion of the medulla is possible bull ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive)

There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

bull median approach bull paramedian approach bull lateral approach

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes

HIGHTORACIC AND CERVICAL EPIDURAL ANAESTHESIA

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP Sardjito

Yogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the

perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective

analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation

ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and

improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2 Respiratory problems Cardiac problems Myocadial ischemia neuro-vascular problems History of a difficult postoperative period in the past Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine the thoracic spinous processes are oblique a mechanical lesion of the medulla is possible ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive) There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

median approach paramedian approach lateral approach

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

MORPHOLOGICAL LANDMARKS bull C7 - protuberant cervical process bull T3 - origin of the spine of the scapula bull T7 - tip of the scapula bull L1 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

bull CARDIOVASCULAR EFFECTThoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial

arteries and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

bull RESPIRATORY EFFECTSTEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity through the analgesia produced which permits a better spontaneous ventilation Analgesia without sedation helps for a more rapid mobilization and for an active rehabilitation

bull STRESS RESPONSETEA with local anesthetics or opioids inhibits the neuro-endrocrine response to surgery

Opioids and local anesthetics produce different effects due to their differents sites of action

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes MORPHOLOGICAL LANDMARKS

992256 - protuberant cervical process 992256 - origin of the spine of the scapula 992256 - tip of the scapula 992256 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

CARDIOVASCULAR EFFECT Thoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial arteries

and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

RESPIRATORY EFFECTS TEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Opioids produce analgesia through modulation of nociceptive pathways whereas local anesthetic block both the nociceptive and the non-nociceptive pathways

bull GASTRO-INTESTINAL MOBILITY Digestive transit is faster to recover when the block level is over T12 Many mechanisms

can explain why thoracic epidural anesthesia can favor a more rapid digestive transit recovery Blockade of nociceptive afferents influx and of sympathetic lumbar and thoracic afferents Non-antogonism of parasympathetic efferents influx Increase of G-I blood circulation Systemic Absorption of local anestheticsReduction of postoperative opioids consumption

APPLICATIONSubtotal gastrectomy has been successfully performed using thoracic epidural anaesthesia

alonein two high-risk surgical patients They received thoracicepidural anaesthesia alone An

18-gauge Tuohy needle was introduced at T8T9 intervertebral space and thetip of the catheter was advanced 3 cm cephalad beyond the tip of the needle (T7T6)4

Epidural anaesthesia wasestablished with 05 levobupivacaine and sufentanil The used doses were calculated according to the formula

x mg=(n of dermatomes+6) ∙ mgsegmentThoracic epidural anaesthesia provides optimal perioperative anaesthesia and analgesia

afterthoracic and major abdominal surgery and decreases postoperative morbidity and mortality mainly by blockingsympathetic nerve fibers4

Cervical Epidural Anesthesia (CEA)Cervical epidural anaesthesia has been used mainlyfor hand upper limb shoulder and

upper thoracicwall surgery including mastectomyIt has also beenused for carotid artery surgery parathyroid surgeryneck dissection for head and neck cancers and for thetreatment of complex regional pain syndromes of theupper limb5

CEA as an anaesthetic for mastectomies breast reconstruction in elderly females and in patients with pulmonary diseases has been reported for better acceptance and safety over GACEA was given at C6-C7 or C7-T1 level in the midline using18 gauge Tuohyrsquos needle with bevel facing cranially at an angle of 30 degrees and by loss of resistance method to identify the epidural space An epidural catheterwas placed 3cm craniallyIn experienced hands sole use of CEA for various neck and chest surgeries is documented highlighting the advantages like stable cardio-respiratory status by avoiding airway instrumentation less blood loss and post operative morbidityCEA blocks the cervical plexus (C1-C4) phrenic nerve (C3-C5) brachial plexus C5-T1) and upper thoracic dermatomes along with sympathetic fibers that are responsible for the stress induced neuro- hormonal reactions Major concerns with CEA are the hemodynamic and respiratory complications Different concentrations of bupivacaine are used and studied for the hemodynamic respiratory effects following CEARopivacaine 05-075 reported to have favorable effect on hemodynamic variables by blocking the sympathetic innervations of the heartDominguez F et al conducted shoulder surgeries in three patients with 075 ropivacaine under CEA and concluded that ropivacaine provides an effective sensory block and a restricted motor blockade reducing the probability of the restrictive pulmonary syndrome associated with cervical epidural anesthesia CEA significantly decreases the blood loss due to blockade of cardiac sympathetic fibers leading to decrease in cardiac output blood pressure reduction in airway and thoracic pressures5

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

For thyroid surgery regionalanaesthetic techniques have neither been adequatelydescribed nor practiced widelyCervical epidural anaesthesia aims to anesthetise theskin in front of the neck where the incision would beplaced The front of the neck is supplied by 2nd and3rd cervical rami which form the transverse cutaneousnerve of the neck The lower part of the neck and thepart lateral to sternocleidomastoid muscle is suppliedby supraclavicular nerves which arise from the 3rdand 4th cervical ventral rami For delivering CEA weintroduced the epidural catheter in the C7 ndashT1 vertebrainterspace and guided it upwards by keeping the bevelof the Tuohy needle facing cranially By using thetechnique described above the upper level of sensoryblock obtained was at C2 level and the lower levelvaried from T5 to T106

Keywords HTE ACEA Indication Risk and Benefit

Reference 1 LenaP et al 2007 Epidural Anaesthesia in Cardio Thoracic Surgery Handbook Of Regional

Anesthesia European Society of Regional Anesthesia and Pain Therapy P502 Hadzic A 2007 Text Book Of Regional Anesthesia and Acute Pain Management The New

York School of Regional AnesthesiaPart III Clinical Practice of Regional Anesthesia gt Section Two Neuraxial Anesthesia gt Chapter 14 Epidural Blockade

3 CarliClemente 2008 The physiological effects of thoracic epidural anesthesia and analgesia on cardiovascular respiratory and gastrointestinal system Minerva Anestesiol 74-549-63

4 Van Haken AK UpDate on Toracic Epidurals Are The Benefits Worth The Risk International Anesthesia Research Society Canada

5 Kulkarni K Namazi IJ Deshpande S Goel R Cervical Epidural Anaesthesia with Ropivacaine for Modified Radical Mastectomy Kathmandu University Medical Journal 2013 vol11 no 2 issue 42

6 Khanna R Singh DK Cervical Epidural anasesthesia for thyroid surgery Kathmandu University Medical Journal2009Vol 7 No 3 Issue 27 242-24

S-24

Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill Patients

IMG Widnyana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Recently the practice of locoregional anesthesia and analgesia has become widespread and is already supported by numerous publications that have demonstrated its feasibility and effectiveness It already takes important parts in surgical and post surgical patients And now it also plays an important role in multimodal pain management especially in critically ill patients Indications for locoregional anesthesia are not limited to surgical and postsurgical analgesia but extend to the management of painful procedures for the critical ill patients (in ICU) patients with trauma-related issues and also another medical conditions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

As we know that critically ill patients frequently come with coexisting diseases that present wicked challenges to us the anesthesiologist including coagulopathies infections immuno compromised states sedation- and ventilation-associated problems and factors potentially increasing the risk for systemic toxicity There are techniques of loco-regional anesthesia and analgesia that we can choose and use in critically ill patients And we want to present a review of Loco-regional anesthesia and analgesia techniques in critically ill patients focusing on the main advantages and limitations of its use in critically ill patients and describe the most commonly used locoregional techniques and its applicability for critically ill patients

Keywords Locoregional anesthesia peripheral nerve blocks Critically ill patients ultrasonography guiding

S-25

Enhance Recovery After Surgery in Abdominal Surgery

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Rekomendasi dari komunitas ERAS (Enhance Recovery After Surgery) adalah suatu guideline yang dibuat oleh komunitas ERAS bekerja sama dengan IASMEN (Surgical Metabolism and Nutrition) dan ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) untuk memberikan pelayanan perioperatif yang optimal Guideline ini pertama kali dibuat untuk operasi colon pada tahun 2012 dan selanjutnya berkembang untuk operasi-operasi abdominal besar lainnya

Tujuan pembuatan guideline ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perioperatif dengan menurunkan stres pembedahan memelihara fungsi fisiologis postoperatif dan meningkatkan mobilisasi setelah pembedahan Guideline ini dibuat dengan jalan mereview dan menganalisis penelitian-penelitian meta-analysis randomised control trials dan prospective cohort yang sesuai dengan komponen-komponendari guideline ERAS yang selanjutnya di gradasi berdasarkan sistim Grading of Recommendations Assessment Development and Evaluation (GRADE)

Komponen-komponen yang termasuk dalam guideline ERAS diantaranya Preoperatif informasi pendidikan dan konseling preoperatif optimalisasi properatif bowel preperation puasa dan pemberian karbohidrat preoperatif premedikasi dari anestesi pencegahan terhadap thromboemboli antibiotik pencegahan dan pesiapan kulit protokol anestesi standar PONV(postoperative nausea vomiting) laparoskopi dan modifikasi dari akses bedah pemasangan NGT (nasogatric tube) mencegah hipotermia intraoperatif penanganan cairan perioperatif drainase dari peritoneal cavity setelah anastomosis colon drainase dari urine pencegahan ileus post postoperatif analgesi postoperatif penanganan nutrisi perioperatif kontrol glukosa postoperatif dan mobilisasi dini

Kata Kunci Enhanced Recovery After Surgery ERAS ERAS society reomendation

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-26

Anesthesia in Major Vascular Surgery

Jefferson Hidayat

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UIRSUPN Cipto MangunkusumoJakarta

Abstract

Anesthesia in major vascular surgery is generally considered as a high risk procedure due to patientrsquos systernic vascular disease comorbidities and the high surgical risk In elective major vascular procedures (open or endovascular) thorough preoperative management is mandatory lncreased risk of various comorbidities such as diabetes hypertension coronary artery diseasevalvular heart disease renal respiratory and cerebral diseased requires optimalization

General anaesthesia combined with epidural block is commonly chosen for open vascular surgery One should know hemodynamic changes and metabolic changes in aortic cross-clamping declamping to manage the problem intraoperatively Organ preservation such as spinal cord preservation using cerebrospinal fluid drainage renal preservation lungs and cardiac preservation especially in patient with any history of CAD must be performed accordingly

Endovascular aortic repair (EVAR) can be performed uncer local anaesthesia with monitored anaesthesia care (MAC) regional anaesthesia (spinaliepidural) and general anesthesia The choice old anaesthesia technique is discussed and choosen according to length of procedure complexity and whether hybrid or open surgical procedure is planned Regardless of which anaesthesia technique is planned invasive hemodynamic monitoring should be invasive and similar to the open repair Challenges during EVAR procedure includes bleeding dissection rupture endoleak migration distal organ ischaemia injures due to branch blockade or thrombus and hypothermia during long procedure A good haemodynamic monitoring and management will shortened hospital length of stay and mortality rate

Keywords Anesthesia Vascular surgery aortic cross clampingdeclamping organ preservation EVAR

S-27

Pediatric Ambulatory Anesthesia

Kadek Agus Heryana Putra

Department of Anesthesiology and Intensive TherapySanglah General Hospital

University of Udayana Medical Faculty

Abstract

Ambulatory (or outpatient) anesthesia and surgery is common in pediatric practice and has many benefits for patients parents and health care Anesthesia for pediatric ambulatory surgery remains to be a challengeAppropriate patient selection is important for the success of ambulatory anesthesia Exclusion criteria include patient-related factors surgical anesthetic

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

and social factorsRoutine preoperative preparation and evaluation are the same as for inpatients and includes a history and physical examination with special attention to past surgical or anesthetic experiences Choosing one anesthetic technique over the other is based on patient and procedure-specificWide variety agents that enable rapid induction maintenance emergence with minimal adverse effectsand techniques are currently available to anesthesiologists in order to administer safe and efficacious anesthesia Multimodal approach is useful for pain management and postoperative nausea and vomiting Discharging a postoperative patient to the environment with less skilled nursing care is considered to be unique in ambulatory anesthesia Parents are provided with verbal and written postoperative instructions about wound care analgesia diet mobilization and resumption of normal activityEvery ambulatory surgical unit have several mechanisms to evaluate its performance and patientrsquos satisfaction

Keywords ambulatory anesthesia preoperative preparation multimodal analgesia postoperative instructions

S-28

Anesthesia in High Risk Pediatric Patients

HU Kaswiyan Adipradja

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Prinsip dasar pada manajemen anestesi pediatrik yang sudah diketahui secara umum adalah bahwa pasien pediatrik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini sehingga manajemen anestesinya pun berbeda dan memerlukan perhatian yang seksama

Pasien pediatrik memiliki keistimewaan yang terletak pada berbagai segi anatomis dan fisiologis Jalan napas pasien pediatri sangat rentan mengalami obstruksi oedem mukosa serta kecenderungan intubasi endobronkial Dari segi kardiovaskuler yakni denyut jantung kontraktilitas compliance serta kerentanan untuk terjadinya afterload yang tidak seimbang saling ketergantungan antar ventrikel dan respon terhadap katekolamin Dari segi respirasi pasien pediatri rentan berisiko mengalami kegagalan respirasi karena sangat tergantung dari pergerakan diafragma Hipotermi juga menjadi salah satu bahaya berat yang dapat mengancam pasien pediatrik karena ketiadaan lemak subkutis dan ketidakmampuan pasien untuk menggigil (shivering)

Pasien pediatri juga memiliki beberapa kondisi yang dianggap berisiko tinggi Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa semua pasien pediatri harus diperhatikan secara seksama bukan tidak mungkin bahwa pasien pediatri yang permasalahan preoperatifnya biasa saja ternyata mengalami masalah intraoperatif maupun pascaoperatif seperti laringospasme croup serangan asma akut bahkan vagal refleks sampai cardiac arrest Tanpa memandang sebelah mata pada kasus-kasus pediatri rutin perlu dilakukan persiapan seksama dan pemantauan secara kontinyu dan ketat untuk kasus-kasus pediatri berisiko tinggi seperti kasus ambulatory anesthesia pada pasien pediatri dengan OSA pasien pediatri yang prematur dengan rencana operasi cito atau urgent serta pasien pediatrik yang mengalami syok sehingga perlu penggantian volume cairan maupun komponen darah sesegera mungkin

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Manajemen jalan napas yang tepat pertimbangan pemberian obat-obatan induksi baik intravena maupun inhalasi yang adekuat namun tidak merangsang jalan napas fasilitasi intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot maupun tanpa pelumpuh otot pertimbangan kapan melakukan suctioning pertimbangan melakukan ekstubasi sadar ataupun dalam sampai manajemen pascaoperasi seperti penggunaan skoring PADSS untuk periode pemulihan monitoring ketat pasca operasi yang perlu diwaspadai ketika 6-24 jam pasca operasi sampai take home message yang wajib diketahui keluarga pasien untuk membantu dalam pengawasan pasien di rumah menjadi hal-hal pokok yang penting diketahui oleh seorang ahli anestesi

Di rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak baik di daerah maupun pusat kota sering dijumpai pasien pediatri baru lahir (newborn) yang berasal dari persalinan prematur kurang bulan maupun dari kondisi kehamilan yang kurang baik Pasien-pasien tersebut sudah memiliki kondisi preoperatif yang kurang memadai untuk tindakan operasi dengan permasalahan fisiologis prematur dengan segala ketidaksempurnaan fungsi organ ditambah lagi dengan minimnya data dasar yang dimiliki untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen anestesi pasien tersebut

Perbedaan cara pandang dalam hal pemberian opiat untuk suplemen analgesia dan induksi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien prematur serta teknik intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot akan menjadi hal yang menarik untuk dijadikan titik perhatian Selain itu ketersediaan sarana airway kit alat-alat resusitasi untuk pasien pediatrik yang memadai alat monitoring di kamar operasi yang dapat digunakan untuk usia prematur serta variasi kasus dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh ahli anestesi yang bersangkutan akan menjadi nilai tambah untuk dapat meningkatkan keberhasilan tindakan Peran komunikasi dan diskusi dengan sejawat lain tidak saja dari satu bidang namun juga dari sejawat operator dan pediatri gawat darurat sangat diperlukan dalam kasus-kasus berat tersebut

Pasien pediatri tidak memiliki kompensasi yang cukup untuk mempertahankan kondisi hemodinamik terutama apabila mereka sebelumnya sudah terpapar dalam kondisi dehidrasi perdarahan maupun defisit cairan tubuh lainnya misalnya akibat febris luka bakar dan penguapan Pemberian cairan dari luar tubuh harus memperhitungkan dengan seksama kebutuhan cairan preoperatif intraoperatif maupun rencana pascaoperatif agar adekuat sehingga tidak menyebabkan kondisi menjadi overload Selain itu pemberian komponen darah harus betul-betul memperhatikan komponen mana yang lebih diperlukan untuk kondisi perioperatif tersebut dan disertai dengan perhitungan yang terinci

Di samping pemberian cairan pemberian glukosa juga menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan karena pasien pediatrik berisiko mengalami hipoglikemi misalnya pasien yang rutin mendapat hiperalimentasi bayi dari ibu yang mengalami diabetes yang mengalami persalinan cepat serta neonatus yang kecil untuk usia kehamilan Penggunaan glukosa sebaiknya diberikan pada bayi yang menjalani prosedur pembedahan yang lama dengan didasarkan atas pemeriksaan level glukosa serum Hanya dengan memonitor nilai glukosa serum kita bisa membuat keputusan yang tepat Infus glukosa 1 cukup adekuat untuk mempertahankan nilai normal glukosa serum pada bayi yang berisiko mengalami hipoglikemi

Dengan memperhatikan segala poin-poin penting di atas gambaran akan bundle manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan risiko tinggi lebih dapat divisualisasikan lebih jelas Kesesuaian serta variasi yang didapat antara teori dan praktik yang dikerjakan oleh ahli anestesi pada pasien pediatrik akan menambah khazanah pengetahuan serta meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani pasien dengan risiko tinggi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-29

Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied Enough

I Made Wiryana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Tantangan profesi ahli anestesi di milenium yang baru ini tidak lagi semudah dahulu Klien yang harus dipuaskan tidak saja hanya operator dan rumah sakit yang menaungi namun juga pasien sendiri beserta keluarga dan orang dekatnya Dengan ritme kerja yang penuh tekanan berpacu dengan waktu tuntutan biaya hidup dilawan oleh standar keselamatan dan kualitas pelayanan yang tinggi seorang ahli anestesi akan terpapar dengan berbagai macam bahaya dan risiko kerja seorang ahli anestesi

Terdapat beberapa bahaya yang dialami oleh seorang ahli anestesi di tempat kerja yakni bahaya biologis mekanis kimiawi fisik dan personal Selain dari bahaya yang sifatnya eksternal yakni biologis mekanis kimiawi dan fisik tersebut bahaya potensial yang mengancam profesionalitas seorang ahli anestesi adalah berasal dari pribadinya sendiri Bentuk bahaya ini antara lain berupa kelelahan atau fatigue stres atau burnout ancaman penyalahgunaan zat bahkan hingga tindakan bunuh diri

Seorang ahli anestesi diharapkan memiliki ukuran dan kadar diri rutin dievaluasi setiap saat secara personal untuk mampu mengukur kemampuan kerja sewaktu dan bertujuan mengurangi dan menghilangkan stres kerja maupun kehidupan pribadi Selain itu terdapat langkah motivasional yang dapat dilakukan saat kerja untuk memodifikasi situasi pemicu stres antara lain perencanaan strategi baru untuk menangkal stres belajar hidup disiplin setiap hari komunikasi dan diskusi dengan rekan sejawat realisasi akan potensi pribadi mempunyai hobi atau minat serta mampu melakukan relaksasi saat waktu luang memiliki rasa optimis dan tetap menjaga pola tidur olahraga dan nutrisi yang cukup Dengan mendekatkan diri dengan hal spiritual atau mendalami hal keagamaan juga mampu meningkatkan rasa optimis akan adanya kebaikan yang akan datang melingkup tempat dan lingkungan kerja

Dengan evaluasi diri yang terus-menerus serta tindakan motivasional yang dilakukan berkala diharapkan seorang ahli anestesi mampu menjaga kualitas dan performa kerjanya meski dihadapkan pada berbagai kasus sulit dan dengan manajemen waktu yang sempit Ahli anestesi yang berpengalaman dalam menangani stres juga tentu akan mampu menyuarakan umpan balik positif bagi tempat kerjanya agar lingkungan tersebut tidak saja berusaha memberikan situasi dan waktu kerja yang lebih kondusif namun juga kompensasi yang seimbang sehingga akan mampu memberikan nilai tersendiri bagi profesi anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30

Ethics In End Of Life Care In Elderly

Moh Sofyan Harahap

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstrak

Kita mengenal aspek pelayanan ksehatan di Indonesia adalah Promotif Preventif Kuratif dan Rehabilitatif belum disebutkan perawatan Paliatif yang erat hubungannya dengan perawatan pada akhir hidup yang sering dijumpai Karena jika pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi maka dokter harus tetap menjaga agar akhir kehidupannya dapat dilewati dengan baik Perawatan di akhir kehidupan ini tidak hanya menyangkut pasien namun juga keluarganya

Sama halnya dengan hukum maka etika sesungguhnya didasarkan pada nilai dan norma moral Norma moral itu sendiri terdiri dari moral principles (beneficence nonmalficence autonomy dan justice) moral standard dan moral rules (yang kemudian dikompilasi kedalam kode etik)

Perkembangan teknologi saat ini dapat memperpanjang kehidupan manusia yang menderita sakit kritis di ICU hal ini sekaligus menimbulkan masalah etik tersendiri misalnyamisalnya apa yang harus atau boleh kita lakukan dalam memperpanjang kehidupan pasien sejauh mana kita boleh menghentikan pemakaian alat bantu hidupsarana pengobatan lainnya apakah kita tidak membunuh pasien apabila kita menghentikan alat bantu nafas

Intinya hakekat dari clinical case management adalah CURING dan CARING Upaya curing harus dihentikan manakala sudah bersifat mubazir (futile) sedangkan upaya caring harus diteruskan sampai pasien meninggal dunia

S-31

Advanced Airway Management In Difficult Pediatric Patient

Muhammad Ramli Ahmad

Bagian Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Kesulitan dalam penanganan jalan napas anak tidak jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna Kesulitan sering terjadi berkaitan dengan ventilasi laringoskopi atau intubasi trakea Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau proses patologi yang melibatkan jalan napas Prinsip penanganan adalah menjaga patensi jalan napas untuk menjamin oksigenasi dan ventilasi Identifikasi karakteristik kesulitan jalan napas dan perencanaan masalah penting dalam praktek anestesi Kunci keberhasilan adalan penilaian dan persiapan preoperatif serta pengetahuan dasar mengenai perbedaan anatomi jalan napas dan fisiologi respirasi pada anak Selain itu juga perlu didukung oleh ketersediaan peralatan dan ahli anestesi yang berpengalaman

Kata kunci jalan napas anak kelainan kongenital kesulitan intubasi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-32

Pediatric Traumatic Brain Injury

Nazaruddin Umar

Department of Anesthesiology amp Intensive Care Medical School of University of Sumatera Utara

Abstract

Traumatic Brain Injury (TBI) remains the leading cause of death and disability in pediatric patients from birth to 18 years of age Each years 500000 children are seen in Emergency Departement and pediatric deaths from TBI are estimated to be 2500 annualy Severe TBI in pediatric population has better survival prognosis if treated in any trauma centers equipped well in facility and skilled staff to collaborate in neuropediatric cases Proper Systematical Assessment and Intervention on initial admission in order to prevent secondary brain injury by any harmful effect of agitated hypoxia hypercarbia hypovolemia with sedation analgesia with minimal risk of respiratory depression avoidance hyperventilation normovolemia and maintenance of Cerebral Perfusion Pressure (CPP) above 50 mmHg hyperosmolar therapy temperature control glucose control antiseizure prophylaxis would improve outcome particularly for children with several type of problems during radiodiagnostic procedure neurosurgery and neurointensive care unit Brain injury can be devided into primary and secondary injury The primary injury is caused by the intial trauma Physical forces such as acceleration deceleration or rotational forces have an impact on the tissue and may result in skull fracture brain contusion intracranial hematoma or diffuse axonal injury Secondary injury is result of the cascade of event that occurs after the initial injury in including edema cappilary leak and activation of the secaondary imflamatory response The goal of care for patient with TBI is to aid in the compencation process limitating secondary injury to prevent brain ischemia and optimize neurological outcomes TBI are categorized as mild moderate and severe Children with mild brain injury achieve a Glasgow Coma Scale (GCS) of 13 or higher Moderate TBI is characterized by a loss of conciousness and physical andor cognitive impairment with GCS of 9 to 12 Children with severe TBI have GCS less than 8 and require airway and hemodynamic support Management of TBI is devided into first second and third-tier therapy The goal of all therapies is to maintain a low and stable ICP and adequate blood pressure preventing any critical drop in CPP of the three component in the skulll the brain subtance remain fairly constant threfore treatment intially focuses on a shift in CSF or blood from the intracranial space Surgical interventions may be required if medical therapie in the first and second tiers are unsuccessful Management pediatric TBI must be perioperative evaluation anastetic consideratation postoperative management

Keywords CPP Pediatric Secodary Brain Injury TBI

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-33

Advanced Hemodynamic Monitoring

Putu Agus Surya Panji

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Advanced hemodynamic monitoring comprises several level of persistent monitoring in critical patients The goal of hemodynamic monitoring in intensive care is to maintain sufficient perfusion pressures and oxygen delivery Precise volume management of perioperative and critical care patients is crucial to prevent adverse outcomes The need for the precise quantification of cardiac output (CO) in high-risk surgical patients both in the operating room and the intensive care unit is vital in modern medical practice

Manipulation of the cardiac output (CO) mean arterial pressures (MAP) systemic filling pressures and volumes as well as dynamic markers of fluid responsiveness requires continuous monitoring thorough understanding of the modalities employed and proper interpretation of data acquired

Methods for obtaining accurate and continuous measurements in the critically ill patient have evolved from surgical and anesthetic techniques dating back more than a century The pulmonary artery catheter (PAC) is not any more the sole tool available There are less invasive and potentially more accurate methodologies have been developed and employed in the operating room and among diverse critically ill populations

Minimally invasive cardiac monitoring encompasses all methods and devices that calculate the cardiac output without the need of inserting a PAC These include transpulmonary thermodilution arterial pressure pulse contour the esophageal Doppler the thoracic electrical bioimpedance the carbon dioxide rebreathing and waveform analysis and bedside critical care ultrasound including echocardiography Recently simply monitoring vascular pressures has given way to dynamic monitoring where physiologic changes with respiration can be used to derive additional parameters such as pulse pressure variation (PPV) and stroke volume variation (SVV) Clinicians should be aware of their distinct features their limitations but also the sources of potential error that stem for their use

S-34

Direct Marker Of End Organ Perfussion

Prananda Surya Airlangga

Dept Anestesiology dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Univ Airlangga ndash RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak

Oksigen merupakan bahan dasar atau substrat yang memegang peranan vital dalam metabolisme tubuh manusia Proses sampainya oksigen ke seluruh tubuh melalui peredarah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

darah digambarkan dengan rumus Delivery Oxygen (DO2) Dimana bila kita jabarkan terdapat proses fisiologi yang cukup panjang mendasari rumus tersebut Komponen Cardiac output Hemoglobin dan Saturasi Oksigen menjadi variabel dalam rumus tersebut dengan end point adalah perfusi yang baik ke seluruh organ Perfusi yang baik ditunjang Makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang baik Pada saat ini dengan bantuan Non Invasif dan Invasif monitoring kita bisa menilai makrosirkulasi tetapi untuk mikrosirkulasi hal ini tidak mudah apalagi di tingkat klinik Ada beberapa marker indirect yang kita gunakan sebagai alat monitor seperti laktat base deficit ScvO2 dll Belakangan ini terus diupayakan dan dikembangkan alat-alat untuk memonitor secara langsungdirectperfusi di mikrosirkulasi terlebih lagi pada beberapa end organ sehingga outcome terapi kita bisa ditingkatkan

Keyword tissue oxygenation near infrared spectroscopy delivery oxygen

S-35

Chronic Pain Depression And Somatoform Disorders

I Putu Eka Widyadharma

BagianSMF Neurologi FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif neuropatik atau gabungan keduanya Dampak nyeri kronis pada kehidupan seseorang secara keseluruhan juga berkontribusi terhadap depresi dan kelainan somatoform

Nyeri kronis dan depresi berhubungan pada tingkatan neurobiologis psikologis dan perilaku Pada tingkatan neurobiologis neurotransmitter seperti serotonin norepinefrin berperan pada gangguan depresif Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif Pada tingkatan psikologis nyeri kronis termasuk dalam bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen tubuh termasuk nyeri Sebuah konsep yang sesuai penekanan somatosensori yang didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan gejala disforik termasuk nyeri Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik dan merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress psikologis Pada tingkatan perilaku depresi terjadi sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari

Akibat dampak yang sangat luas maka pendekatan multidisiplin merupakan pilihan terbaik dalam manajemen pasien dengan nyeri kronis

Kata kunci nyeri kronis depresi somatoform multidisiplin

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-36

Pain Management In Day- Case Surgery

Sugeng Budi Santosa

Departement of Anesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret UniversityDr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Recent advanced in anaesthetic and surgical techniques along with escalating healthcare cost have resulted in an ever-increasing number of surgical procedures being performed on a day case Most day-case surgery procedures are associated with relatively minor surgical trauma so discharge of these patient frequently depends on recovery from anaesthesia Top priorities for successful day-case surgery are the 4 Arsquo s alertness ambulation analgesia and alimentation (1) Post operative pain is one of most common complaints after surgery and remain continuous to be a challenge for anesthetist this symptom is the most common reason for unanticipated hospital admission The potential cost saving of day-case surgery may negated by unanticipated hospital admission for poorly treated pain (2) Optimal postoperative pain control in day-case surgery should be effective safe minimal side effect facilitate recovery And easily managed by patient at home Supplements and rescue analgesics should be provide if prescribed analgesics is ineffective (3)

Keywords one day care surgery pain management

S-37

Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant Medication

Sugeng Budi Santoso

Department of Anaesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret University Dr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Improvement in patient outcome including mortality major morbidity and patient - oriented outcome has been demonstrated with neuroaxial techniques especially epidural anaesthesia and continued epidural analgesia (Rodgers A et al 2000)

The possible complication of neuroaxial block is spinal - epidural hematoma and the use of anticoagulant or anti-platelet is the risk factor most often associated with this complication Current incidence of neurological dysfunction resulting from bleeding complication associated with neuroaxial block is unknown Itrsquos occurrence is estimated to be less than 1 150000 epidural punctures and 1220000 subarachnoid punctures ( Horlocker TT2011)

The number of patient on anticoagulant or anti-platelet therapy has been growing due to the aging process longer life expectancy and prevalence of cardiovascular disease Because

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

risk of spinal - epidural hematoma is increased and introduction of new antithromboyic drugs done at regular interval guideline and recommendations regarding on safety in regional anaesthesia and concomitant use of antithrombotic therapy should be constantly updated ( Vandermeulen E 2010)

Guidelines and recommendation should be included identification of risk factor prevention strategies diagnosis and treatment safe interval for drug suspension and resumption after regional block in subject taking drugs that interfere with coagulation

Keywords Regional anaesthesia Anticoagulant medication

S-38

Major Obstetric Bleeding Management

Susilo Chandra

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Deaths per 100000 pregnancies Sepsis (genital tract infection) is the 1st cause of direct maternal death Rate 113 per 100000 Preeclampsiaeclampsia is 2nd highest cause of direct maternal deaths Rate 083 Thrombosis(including central vein thrombosis) and thromboembolism is the 3rd with rate of 079 AFE is the 4rd with rate of 057 Hemorrhage is number 6 after early pregnancy deaths (ectopic spontaneous miscarriage legal termination other) with rate of 039 Deaths from indirect causes account for the most common causes of maternal death with cardiac being one (rate 231) followed by other indirect causes (rate 214) and indirect neurologic conditions (157)

Morbidity loss of fertility Sheehan syndrome and multi-organ failure due to hypovolemic shock Maternal hemorrhage disproportionately affects resource-poor countries Pasquier 125000 deaths per year related to PPH Incidence of PPH has increased in Canada Australia and US

Low fibrinogen level at PPH diagnosis is associated with a higher risk of severe PPH independent of other laboratory indicators Wide range of PPH (147-18 of all deliveries) reflects different definitions used and the regions concerned Antenatal risk assessment predicts only 40 of those who will develop PPH Maternal morbidity associated with PPH includes PP hysterectomy sepsis ARF and ICU admissions

Chang CC et al study applied multivariate logistic regression to explore the relatioship between anesthestic management type and PPH ldquoWomen who received GA had a higher rate of PPH than women who received epidural anesthesia The odds of PPH in women who had CS with GA were 815 times higher (95 Cim 643-1033) than for those who had CS with epidural anesthesia after adjustment was made for the maternal and fetal characteristicsrdquo

There is no consensus on a definition of major obstetric haemorrhage Up to 1000 ml blood loss is not uncommon in the peripartum period and may be of little clinical significance Blood loss gt1500 ml a decrease in haemoglobin of more than 4 gdl or an acute transfusion requirement of more than 4 units of packed red blood cells are suggested criteria Definitions based on haemodynamic deterioration are unhelpful as maternal physiology often allows compensation until haemorrhage is advanced Careful clinical observation and a high index of suspicion are required to detect bleeding early

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Antepartum HaemorrhageAntepartum haemorrhage (APH) is defined as bleeding from the vagina after 24 weeks

gestation and has an estimated incidence of between 2ndash5 of all pregnancies Complications include maternal shock fetal hypoxia premature labour and fetal death Causes include

Placenta praevia Placental abruption Uterine rupture Trauma

The 4 Trsquos mnemonic describes the abnormalities in one of 4 basic processes acting individually or in combination

Many physiological changes occur during pregnancy including a decrease in blood pressure and an increase in baseline heart rate and blood volume This altered physiology may mask the extent of blood loss until it is severe Complete circulatory collapse is often rapid when the limits of physiological compensation are reached

Warning signs of significant maternal haemorrhage that should not be ignored include tachycardia tachypnoea hypotension pallor poor urine output and pathological CTG changes The performance of regular observations in conjunction with obstetric early warning scores is encouraged Attention should be paid to vital sign trends as well as absolute values and a rapid clinical review should be carried out should any warning criteria be met Tachycardia may be the first and only sign of haemorrhage until 30ndash40 of the circulating volume has been lost where after hypotension and peripheral vasoconstriction ensue In APH signs of fetal distress due to uterine hypoperfusion may precede maternal compromise

The symptoms and signs of hypovolaemia may be more difficult to recognise if there is a language barrier obesity pre-eclampsia dark skin or beta-blockade and hence extra care should be taken in these situations

The main aims of management are rapid resuscitation to restore tissue oxygen delivery while predicting preventing and correcting haemostatic disorders Appropriate levels of monitoring (especially invasive arterial blood pressure monitoring) should be considered and instituted early

If anaesthesia is required for examination andor surgical intervention and haemodynamic stability is compromised general anaesthesia is usually indicated Haemodynamic compromise and coagulopathy should be addressed prior to surgery whenever possible although surgical control may at times be required to enable effective resuscitation Regional anaesthesia may be contra-indicated due to maternal coagulopathy and risk of neuraxial haeamatoma as well as haemodynamic compromise In addition surgery may be lengthy with the potential for further patient deterioration Rapid sequence induction is indicated preferably following antacid prophylaxis (eg sodium citrate and ranitidine)

Induction of general anaesthesia in a severely hypovolaemic patient may cause a catastrophic fall in cardiac output Ketamine is a suitable induction agent (15 mgkg IV) as is cautious dosing of either thiopentone or propofol

If time and the patientrsquos condition allow direct arterial monitoring may be established both as a guide to response and for ongoing blood sampling to guide transfusion therapy Central venous access may be required however this is not imperative and can wait until the situation is under control and should not interfere with prompt resuscitation Central venous access may be necessary for inotrope and

vasopressor infusion and central venous pressure monitoring may provide some additional information to help guide fluid management Although there are few reports of the use of minimally invasive haemodynamic monitoring devices (eg oesophageal Doppler

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

monitoring) in the management of major obstetric haemorrhage these devices may aid fluid management in the anaesthetised patient Attention to fluid balance is imperative since over-transfusion and dilution before achieving surgical haemorrhage control is associated with worse outcomes

Lack of robust RCTs Upon arrival at major trauma institutions blood component resuscitation is driven by massive transfusion protocols trending toward 111 RBCFFPPLT ratios It seems reasonable to extend these recommendations to massive PPH which is also often accompanied by hypothermia acidosis and coagulopathy US Army Surgeon General distributed policy recommending 11 FFPRBC ratio for pts with significant trauma based on experience in Iraq and Afghanistan Empiric transfusion based on clinical parameters Lethal triad of acidosis hypothermia and coagulopathy Decreased coagulopathy when replacing blood loss with a 11 ratio of FFPPRBCs Military physicians noticed a decrease in coagulopathy in bleeding cases when replacing blood loss with a 1 ratio of FFPRBCs

No RCTS evaluating the effect of different transfusion ratios were identified Odds ratio for the high FFPRBC ratio was 045 95 CI 037-055) OR for the high PLTRBC ratio was 045 95 CI 037-055) No optimal ratio Timing of administration is key 9 of the studies reported improved survival in the group of pts receiving the highest ratios of PLT to RBC (the most platelets) This is in agreement with Johansson et al who demonstrated that administration of PLT together with plasma and RBC immediately upon arrival in the operation theater and throughout surgery was associated with reduced postop bleeding and a 50 increase in 30-day survival in pts undergoing ruptured abdominal aortic aneurysm repair

There were a lot of differences between the groups besides the rbcplasma ratio Rapidity of component administration and the reduction in crystallloid use may paly role in outcome

Incidentally D-dimers and fibrin degradation prodcuts increased in fibrinolysis may further aggravate OB hemorrhage by impairing myometrial contractility PPH can rapidly become life-threatening requiring massive transfusion of blood products Traumatic hemorrhagic shock is primary cause of gt5 million trauma related deaths worldwide and a leading cause of death of young people Presents with hypovolemic anemia often accompanied by coagulopathy that results in uncontrollable bleeding systemic inflammation and infection in damaged blood vesells Mitra and colleagues studied the association between acute coagulopathy and early mortality Significant association with early death Ahmed When massive obstetric hemorrhage occurs hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive and its onset can be rapid and profound when compared with surgical or trauma-related coagulopathy The drop in fibrinogen is particularly severe in placental abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy Rapid consumption of fibrinogen is recognized in massive OB hemorrhage Primary coagulation dorsquos are not frequently identified as a cause of PPH except in women on anicoagulation medication or with a known ho a bleeding doIt is becoming increasingly clear that the mechanism of coagulation failure varies according to the underlying cause of massive hemorrhage and that management should reflect this Rayment 2012 Platelets are already low 22 hemodilution increased consumption by uteroplacental unit From Pasquier SIR=systemic inflammatory response Note amount of tissue trauma and contamination is less in the obstetric patient and obstetric hemorrhage occurs in controlled environment usually Also parturients start with higher fibrinogen concentrations From Mercier Obstetric hemorrhage is often complicated by an acquired coagulopathy 22 dilutional and or consumptive effects on clotting factors and by further adverse effects of massive transfusion D dimer levels increase throughout pregnancy and peak on pp day 1 The rise in d dimers occurs with simultaneous increase in circulating fibrinogen and other procoagulant factors during pregnancy Despite hypofibrinolysis the excess fibrin deposition results in an increase in tissue plasminogen activator and high d-dimer values

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Massive hemorrhage with hypovolemic shock leads to tissue hypoxia hypothermia acidosis SIR which lead to DIC Massive transfusion in setting of acidosis and hypothermia lead to DICTrauma induced coagulopathy initiated by tissue injury and hemorrhagic shockHypothermia acidosis and hemodilution contributed to the development of coaguloptathy Hess et al ldquo6 initiators of coagulopathy tissue trauma shock inflammation acidemia hypothermia and hemodilution

Jan 2013 AampA Severe PPH defined as ineffective response to manual uterine examination andor removal of retained placenta genital tract examination and Iv oxytoccin (20U) Failure to respond IV prostaglandin E2 ((sulprostone 500 mcg over 1 hr) given During study period no antifibrinolytics fibrinogen concentrate or compression techniques were administeredapplied Note pts were divided into the do nothing category or the interventional procedures(IR arterial ligation B-lynch hyserectomy) according to their response to sulprostone

Point-of-care tests may help hemostatic therapy to be tailored to the individual pt and therefore reduce the risk for under- or over-transfusion The use of conventional laboratory clotting tests is very limited in immediate situations TEG is thromboelastography ROTEM is rotational thromboelastometry The goal of platelets of 50000 is based on a consensus of medical opinion rather than on evidence and would depend on the rapidity of blood loss and the presence of platelet dysfunction Johansson and Stensballe compared 2 transfusion strategies in massively bleeding pts a classic administration of platelets based on platelet count and a new proactive transfusion strategy consisting of preemptive use of platelets and plasma in transfusion packages (552 unit platelet concentrates) Urgently need RCTs before recommendations are formulated for OB pts Point of care= thromboelastography and thromboelastometry Blood and fluid replacement is first line in treatment of obstetric hemorrhage This slide from Saule I Transfusion practice in major obstetric hemorrhagerdquo Arterial thrombosis is a potential complicaitons of rFVIIa but zero cases in case series of 15 pts Its safety in obstetric hemorrhage is unproven Platelet target depends on rapidity of blood loss and on the presence of platelet dysfunction

Toledo et al Accuracy of blood loss estimation after simulated vaginal delivery Interestingly in this study there was no association between years in trainingexperience and accuracy also no difference between providers in accuracy (nurses vs Obs vs anesthesiologists) although other studies have shown that anesthesiologists are more accurate 106 subjects participated estimating blood loss at 8 stations (4 with calibrated and 4 without) In pic the uncalibrated bag on L has 500 mL calibrated on R has 1000 mL

Fibrinogen plays a role in platelet aggregation and establishment of fibrin network Coags platelets can be normal in major OB hemorrhage with no detectable fibrinogen levels Essential marker for the severity of PPH Hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive in massove OB hemorrhage and its onset can be rapid and profound particularly in cases of abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy

Stinger 2008 is trauma medicineRahe-Meyer is a cardiac surgery study Haas is craniosynostosis Therersquos a need for RCTrsquos for OB hemorrhage massive trauma etc to assess threshold at which fibrinogen should be transfused whether the threshold varies with differenet clinical scenarios its effect on transfusion requirements and length of stay as well as mortality and risk of arterial and venous thromboembolism (VTE) Itrsquos unlikely that a study comparing the effect of fibrinogen concentrate with that of cryp will be performed It would be difficult to coordinate such a study because fibrinogen concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly Fibrinogen is not licensed for use in pregnancy Its efficacy in treatment of major hemorrhage limited to case series

All parturients requiring fibrinogen between Jan 2009-June 2011 were identified 77 cases identified out of 21614 (incidence of 361000) 44 received either cryo or concentrate

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Replaced fibrinogen with cryo and concentrate for major Ob hemorrhage Both were effective in contributing to the cessation of bleeding No cases of death Medical and surgical treatments similar in both groups (see figure)Itrsquos unlikely that RCTs comparing the effect of concenetrate with that of cryo will be performed Why Bc concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly (Rayment 2012)

Systematic review of studies that reported use of FVIIa in PPH On lady who had PE had antithrombin deficiency Another had DVT one unrelated to factor VII Still offlabel and very expensive

Tranexamic acid (TXA) given intravenously as 4g1 hr then 1gh for 6h Study conducted between 2005-2008 Blood loss between time 2 and time 4 was 49 lower in the TXA group (Plt003) WHO guidelines ldquoMay be used in PPH if other measures failrdquo

ConclusionGlobally postpartum haemorrhage (PPH) is the leading cause of maternal morbidity

and mortality Major obstetric haemorrhage is managed by multidisciplinary approach In the current treatment of severe PPH first-line therapy includes transfusion of packed cells and fresh-frozen plasma in addition to uterotonic medical management and surgical interventions In persistent PPH tranexamic acid fibrinogen and coagulation factors are often administered Secondary coagulopathy due to PPH or its treatment is often underestimated and therefore remains untreated potentially causing progression to even more severe PPH The most postnatal haemorrhage is due to uterine atony and can be temporarily controlled with firm bimanual pressure while waiting for definitive treatment

S-39

Perioperative Neuroprotection

Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Kepala Pusat Studi Neuromuskuler FK Universitas Padjadjaran

Abstrak

PendahuluanApakah Perioperative Neuroprotection Perioperatif adalah periode dari mulai praoperasi

saat operasi dan pascaoperasi artinya pengelolaan pasien yang menyeluruh dari mulai praoperasi selama operasi dan pascaoperasi Neuroprotection adalah proteksi neuron dari cedera (injury) Proteksi neuron atau proteksi otak berbeda dengan resusitasi otak tindakan pengelolaannya pasiennya hampir sama tapi per definisi sedikit berbeda Proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk mengurangi cedera neuron

Menjadi pertanyaan apakah proteksi sel neuron merupakan kenyataan atau pemikiran yang salah Susunan saraf pusat (SSP) mungkin mengalami iskemia selama karotidenarterektomi emboli operasi vaskuler di intrakranial torak atau abdomen saat hipotensi kendali syok henti jantung atau pada cedera otak Oleh karena itu tindakan anestesi jangan menambah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

efek buruk pada SSP akan tetapi harus justru harus melakukan proteksi dari cedera iskemik dan hipoksik

Menjadi pertanyaan apakah kita membutuhkan proteksi otak Tentu dengan tegas jawabannya adalah YA Bukti-bukti menunjukkan bahwa terjadi 20 defisit neurologis setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) 80 iskemia otak setelah cedera kepala dan yang operasinya diluar otakpun penelitian menunjukkan 40 terjadi disfungsi kognitif setelah antroplasti Penelitian Selim yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi stroke iskemik setelah berbagai macam operasi baik operasi yang menyangkut jantung dan pembuluh darah otak atau operasi ditempat lain

Iskemia didefinisikan sebagai ketidak cukupan perfusi untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas metabolic neuron dan fungsi Iskemia dapat global atau fokal komplit atau tidak komplit Komplit global iskemia misalnya henti jantung iskemia global yang tidak komplit misalnya hipotensi atau syok Iskemik fokal misalnya oklusi satu pembuluh darah dan artinya tidak komplit Bila pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan (disebut iskemia) maka sintesa adenosine tri phosphat (ATP) menurun ATP menjadi kosong dan terjadi kegagalan pompa Na-K-ATPase Natrium akan masuk kedalam sel dan kalium akan keluar sel dstnya dan terjadi kaskade iskemik sampai terjadi kematian sel

Metode Proteksi OtakUntuk memutuskan rantai tersebut dilakukan proteksi otak dan atau resusitasi otak

yang kalau dilihat dari tindakannya adalah sama seperti teknik ABCDE neuroanestesi Jadi tindakan neuroresusitasi neuroproteksi neuroanestesi neuroICU adalah sama saja ABCDE itu adalah

bull A = Clear airway (jalan nafas bebas epanjang waktu)bull B = Breathing (ventilasi kendali dengan target normocapnia atau sedikit hipokapni) bull C = Circulation (hindari peningkatan atau penurunan tekanan darah hindari

peningkatan tekanan vena serebral dan pengaturan cairan dengan target normotensi normovolemia iso-osmoler normoglikemia)

bull D = Drugs (hindari obat dan teknk anestesi yang meningkatkan ICP berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak)

bull E = environment (pengendalian suhu hipotermia ringan cegah hipertermi)

Metode proteksi otak terdiri dari 1) Basic Method yaitu ABC neuroanestesi 2) Hipotermia dengan target low normothermia (E dalam neuroanestesi) dan proteksi otak secara farmakologik (D dalam neuroanestesi) yang dapat dilakukan dengan pemberian anestetika intravena anestetika inhalasi lidokain mannitol magnesium eritropoietin alpha-2 agonist demedetomidin

Basic MethodBasic Method terdiri dari pengelolaan Airway Breathing dan Circulation Airway harus bebas

sepanjang waktu Breathing adalah untuk oksigenasi adekuat hindari hipoksia hiperkapnia Targetnya adalah normokapnia dan hiperventilasi hanya dilakukan bila ada tanda-tanda herniasi otak Pada circulation pertahankan tekanan darah normotensi dengan target tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressureCPP) 50-70 mmHg CPP kurang dari 50 mmHg bisa

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

terjadi iskemia otak tapi CPP gt 70 mmHg pada cedera otak traumatik bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) Kendalikan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP) dan mulai terapi bila ICP gt 20 mmHg Koreksi asidosis ketidakseimbangan elektrolit osmolaritas dan kadar gula darah Gula darah harus dipantau dengan ketat Hindari hiperglikemia dan pertahankan gula darah antara 100-150 mg dan periksa setiap 2 jam Kadar gula darah yang tinggi akan memperburuk outcome sedang normoglikemia mempunyai efek proteksi otak

Terapeutik hipotermiaHipotermia mempunyai efek proteksi otak Lebih turun temperatur makin besar efek

proteksi otak tapi komplikasi juga makin besar Harus dicari penurunan suhu yang optimal antara maksimal proteksi dan minimal efek buruk maka suhu inti dipertahankan antara 34-35 0C

Mekanisme hipotermi untuk proteksi otak selain dengan menurunkan metabolisme otak juga melalui efek menurunkan pelepasan EAA mencegah apoptosis mengurangi disfungsi mitokhondria menurunkan produksi radikal bebas mempertahankan ATP menurunkan influks Ca memelihara sintesa protein dan sawar darah otak mencegah peroksidasi lipid menurunkan pembentukan edema memodulasi respons inflamasi dan kematian sel secara apptotik

Hipotermi sampai 33 0C dapat menimbulkan komplikasi saat rewarming karena terjadi vasodilatasi serebral dan kemudian kenaikan ICP Komplikasi lain adalah terjadinya pneumonia Hipertermia (suhu inti 420C pasien bisa koma) dapat meningkatkan Ca influks pengosongan ATP dengan cepat dan gangguan pemulihan

Clifton GL dkk dalam N Engl J Med 2001344(8)556-63 melaporkan penelitian dengan suhu tubuh 330C yang dimulai 6 jam setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam dengan surface cooling Hasilnya menunjukkan bahwa terapeutik hipotermi tidak efektif Kemudian Clifton GL dkk mempublikasikan penelitian yang lain dalam Lancet 2011 yang mana terapi hipotermi dilakukan dengan suhu 330 C dalam 25 jam setelah cedera pada 232 pasien cedera otak traumatik berat dan dipertahankan selama 48 jam Hasil penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermi sebagai strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera otak traumatika berat

Sydenham E dkk dalam Cochrane Database Sys Rev 2009 dengan kriteria seleksi penelitian RCT yang melakukan hipotermi sampai maksimum 350C paling sedikit 12 jam meliputi 23 penelitian dengan total 1614 pasien Menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa hipotermi menguntungkan dalam terapi cedera kepala Sadaka F Veremakis C dalam Brain injury 201226(7-8)899-908 tidak dapat memberi kesimpulan dan menunggu hasil penelitian multisenter yang lebih besar untuk mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome-nya

Hipotermi terapeutik masih kontroversi akan tetapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 350C dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 370C Lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari Untuk mencapai suhu 350C dianjurkan memakai metode surface coolingTentang outcome masih dipertanyakan dan belum diketahui dan sekarang penelitian yang lebih besar sedang dilakukan yaitu The Eurotherm3235Trial European Society of Intensive Care Medicine study of HT (32-35degC) for ICP reduction after TBI (the Eurotherm3235Trial) Penelitian ini merupakan penelitian mulisenter untuk menguji efek hipotermi 32-35degC untuk mengurangi ICP lt20 mmHg pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah cedera otak traumatik dengan jumlah sampel 1800 pasien dan dimulai April 2010

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pharmacologic Brain ProtectionPharmacologic brain protection adalah melakukan proteksi otak dengan obat-obatan Kalau

berbicara proteksi otak maka harus dilihat dari konteks anti nekrotik dan antiapoptotik Apoptotik adalah programmed cell death Anestetika intravena barbiturat mempunyai efek proteksi otak dengan jalan menurunkan metabolisme otak tekanan intrakranial Ca influks memblok kanal Na menghambat pembentukan radikal bebas dan menurunkan glutamataspartatlaktat ekstraseluler

Anestetika inhalasi meningkatkan aliran darah otak di daerah iskemik menurunkan metabolisme otak dan menekan kejang Isofluran sevofluran desfluran menekan metabolisme otak secara maksimum pada 2 MAC dan memperbaiki ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan (anestetika inhalasi berefek serebral vasodilator tapi menekan metabolisme otak) Efek lain adalah menghambat pelepasan neurotrasmiter eksitatori dan menghambat asidosis laktat mengurangi influks Na dan Ca menghambat peroksidasi lipid dan mengurangi pembentukan radikal bebas Beberapa publikasi menyebutkan bahwa isofluran hanya ldquoselintasrdquo berefek proteksi insult iskemia dan hanya berefek antinekrotik tapi tidak antiapoptotik Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isofluran tidak mempunyai efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isofluran hanya memperlambat tapi tidak mencegah infark akibat iskemia fokal Sebaliknya penelitian Engelhard mengatakan bahwa sevofluran mempunai efek antinekrotik dan anti apoptotik Kalau istilah proteksi otak harus mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik maka hanya sevofluran yang mempunyai efek proteksi otak Akan tetapi semuanya ini adalah pada penelitian hewan coba belum dikonfirmasikan pada penelitian klinis Desfluran lebeih berefek vasodilatasi serebral dan lebih meningkattkan ICP daripada isofluran dan sevofluran pada keadaan normokapnia Pada 1 MAC desfluran aliran darah otak 16 lebih tinggi daripada isofluran dan 24 lebih tinggi daripada sevofluran

Bagaimana tentang N2O Pada tahun1938 CD Courvile mempublikasikan foto sel neuron korteks yang bervakuola pada pasien yang meninggal setelah pemberian N2O Enampuluh tahun kemudian Todorovic menyampaikan bahwa N2O menimbulkan vakuolisasi mitokhondria dan endoplasmik retikulum tikus Penelitian lain menunjukkan bahwa N2O menghilangkan efek proteksi otak dari pentotal dan isofluran juga N2O meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flowCBF) ICP dan metabolisme otak

Bagaimana tentang osmodiuretik Pada first-tier therapy pengelolaan hipertensi intrakranial dipandukan untuk memberikan mannitol Mannitol ternyata mampu menurunkan ICP dan meningkatkan CPP memperbaiki CBF pada penelitian hewan dan manusia Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma selintas dengan penurunan hematokrit dan viskositas plasma Mannitol mempunyai osmolaritas 1208 mOsmL maka harus dipantau osmolaritas plasma Manitol jangan diberikan bila osmolaritas 320 mOsmL dan osmolaritas 350 mOsmL dapat berakibat buruk pada otak dan ginjal Rebound phenomena setelah pemberian mannitol hanya relevan bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi lebih dari 4 hari

Magnesium (MgSO4) mempunyai efek proteksi otak karena berefek NMDA reseptor antagonis memblok kanal Ca sehingga menghambat pemasukan Ca ke intraseluler serta mempercepat pemulihan ATP Suatu penelitian metaanalisis pada akut iskemik stroke menunjukkan perbaikan outcome fungsional

Bagaimana tentang lidokain Kita menggunakan lidokain 1-15 mgkg intravena untuk menghindari lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ekstubasi serta memberikan lidokain intravena 1 mgkgjam kontinyu untuk efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa skor neurologik (0=normal dan 4=kerusakan berat) tikus yang diberi lidokain lebih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

kecil daripada yang tidak diberi lidokain Lidokain bekerja dengan cara memblok kanal Na dan kanal Ca mengurangi cedera post nekrotik memotong kerusakan iskemik pada daerah penumbra dengan memblok jalur kematian sel secara apoptotik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lidokain mempunyai efek proteksi otak

Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah sehingga akan berperan dalam pemeliharaan proteksi pertumbuhan perbaikan sistem saraf Juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin mempunyai efek proteksi otak

Alpha-2 agonist dexmedetomidine mampu menurunkan kadar norepinephrin dalam plasma sehingga mampu menghambat terjadinya iskemia yang dipicu oleh pelepasan norepinephrin dan mampu mencegah kematian sel yang lambat setelah iskemia fokal Penelitian lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine menurunkan volume daerah iskemik sebanyak 40 dibandingkan dengan plasebo

SimpulanSebagai simpulannya ternyata bahwa proteksi otak merupakan suatu fakta yang dapat

dilakukan selama kita mengelola pasien yang berisiko terjadi iskemia otal Caranya adalah dengan basic method hipotermia dan farmakologik

Bahan Bacaan1 Bisri T Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatik Bandung

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 20122 Bisri DY Bisri T Terapi hipotermi setelah cedera otak traumatik JNI 20143(3)189-983 Neuroanesthesia and Critical Care Course (NACC course) edisi 2015

S-40

Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography Guidance

T G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Background Regional anesthesia has an anti-inflammatory effect that blockade the C-fiber hence reduced cytokine production and blocked the activity of the sympathetic nerve fibers Postoperative pain caused primarily by tissue inflammation and activity of the C-fibers in the manner of reduced the production of cytokines regional anesthesia may limit the inflammatory response after surgery and severity of postoperative pain

Methods This study is a clinical experimental study with randomized pre and post test control group design A total of 24 samples were recruited in this study divided into two groups each consisting of 12 samples The first group was given regional anesthesia method of continuous brachial plexus block with ultrasound guidance and the second group with general anesthesia method T-test or Mann-Whitney continued multivariate linear regression

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

analysis was performed to analyze the differences in treatment and not because of differences in the initial values with significance level of plt005

Results This study reports that the mean decreased levels of IL-6 postoperatively in 1stgroup is 298 lower than in 2ndgroup and it is statistically significant plt 005 There was an increase of IL-10 mean levels from preoperative to postoperatively with significance level of plt005 in both groups Declined in the mean levels of PAF postoperatively in 1stgroup 13 lower than 2nd group and it was statistically significant plt005 The declined of postoperative VAS in 1stgroup is 31 lower than 2nd group and it is statistically significant plt 005 and it also contained the pure effect of PAF levels against value of VAS that any increased 1ngml levels of PAF then an increase in the value of 018 cm VAS and this was statistically significant plt005 Selection of this anesthesia technique in orthopedic antebrachii surgery provides better inflammatory response and improved clinical outcomes

S-41

Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist Perspective

Widya Istanto Nurcahyo

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstract

All patients scheduled to undergo noncardiac surgery should have an assessment of the risk of a cardiovascular perioperative cardiac event The purpose of this assessment is to help the patient and healthcare providers weigh the benefits and risks of the surgery and optimize the timing of the surgery The clinician uses information obtained from the history physical examination and type of surgery in order to develop an initial estimate of perioperative cardiac risk

Patients with recent myocardial infarction (MI) or unstable angina decompensated heart failure (HF) high-grade arrhythmias or hemodynamically important valvular heart disease (aortic stenosis in particular) are at very high risk for perioperative MI HF ventricular fibrillation or primary cardiac arrest complete heart block and cardiac death Patients who require emergent or urgent surgery are at increased risk of a perioperative cardiovascular event at any level of baseline risk

Functional status can be expressed in metabolic equivalents (1 MET is defined as 35 mL O2 uptakekg per min which is the resting oxygen uptake in a sitting position) One important indicator of poor functional status and an increased risk of postoperative cardiopulmonary complications after major noncardiac surgery is the inability to climb two flights of stairs or walk four blocks

Gupta MICA NSQIP database risk model The NSQIP database was used to determine risk factors associated with intraoperativepostoperative myocardial infarction or cardiac arrest (MICA) Among over 200000 patients who underwent surgery in 2007 065 percent developed perioperative MICA Five factors were identified as predictors of MICA type of surgery dependent functional status abnormal creatinine American Society of Anesthesiologistsrsquo class and increased age

Revised cardiac risk index (RCRI) sometimes referred to as the Lee index was published in 1999 and has been used worldwide since then In the derivation of the index 2893 patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

(mean age 66) undergoing elective major noncardiac procedures were monitored for major cardiac complications (cardiac death acute MI pulmonary edema ventricular fibrillationcardiac arrest and complete heart block) The index was validated in a cohort of 1422 similar individuals The predictive value was significant in all types of elective major noncardiac surgery except for abdominal aortic aneurysm surgery

RCRI did not perform well in patients undergoing vascular surgery the Vascular Study Group of New England (VSGNE) developed a risk index specifically for those patients named VSGNE risk index In multivariate analysis of the VSGNE cohort independent predictors of adverse cardiac events (MI arrhythmia heart failure but not mortality) were (increasing age smoking insulin-dependent diabetes coronary artery disease CHF abnormal cardiac stress test long-term beta-blocker therapy chronic obstructive pulmonary disease and creatinine ge18 mgdL Prior cardiac revascularization was protective

ACS-NSQIP universal surgical risk calculator is an universal surgical risk calculator model consisting of 20 patient factors plus the surgical procedure This model had excellent performance for mortality morbidity and six additional complications

Management based on risk are categorized into low or higher-risk patients Patients whose estimated risk of death is less than 1 percent are labeled as being low risk and require no additional cardiovascular testing Patients whose risk of death is 1 percent or higher may require additional cardiovascular evaluation Often these are patients with known or suspected coronary artery or valvular heart disease Further evaluation may include stress testing echocardiography 24-hour ambulatory monitoring or cardiologist consultation

S-42

Sepsis in obstetric

Yusmein

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Abstract

Pregnant patients pose unique challenges for clinicians involved in critical care because obstetric populations pose significant challenges the physiological changes of pregnancy may mask the clinical signs of sepsis when it occurs in the antenatal period maternal deterioration can quickly lead to fetal compromise12 They have traditionally been viewed as an immunocompromised state therefore placing the mother at increased risk of infectious diseases4 Sepsis is still a major cause of maternal mortality and morbidity in France the UK and the USA6

World Health Organisation (WHO) has defined it as ldquoinfection of the genital tract occurring at any time between rupture of membranes or labour and the 42nd day postpartum with two or more of the following are present pelvic pain fever abnormal vaginal discharge abnormal smell of discharge delay in postpartum reduction of size of uterus34 Early recognition and diagnosis with rapidly instituted therapy are key to ensuring a good outcome34

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) has recommended that sepsis should be managed in accordance with the Surviving Sepsis Campaign guidelines The Surviving Sepsis Campaign guidelines described two clinical-care bundles - six hours the

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

resuscitation bundle and twenty four hours the management bundle severe sepsis and septic shock bundle Six hours the resuscitation bundle has been shown to significantly improve survival rate early detection early administered antibioticcultures and early goal directed therapy (EGDT) Twenty four hours management bundle glucose control steroid and lung protective strategy Fetal assement is important in the critically ill pregnant patients34

Keywords Sepsis Obstetric Morbidity Mortality Management

S-43

Principles of Medical Consultation and Perioperative Medicine

Zulkifli

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH-FK Unsri Palembang

Abstrak

Mengusahakan evaluasi perioperatif yang bermutu tinggi dan cost-effective merupakan issue yang penting dalam management pasien perioperatif Penggunaan perioperatif assessment melalui koordinasi antara antara operator anestetist laboratory care dan dokter lain yang terkait mendorong perkembangan petunjuk praktis dan menurunkan pembatalan pasien dan lama perawatan Hal yang harus diingat bahwa pada konsultasi medical diharuskan untuk mengerti dengan pasien dan penyakitnya

Selain itu pengertian dan penerapan prinsip-prinsip management medikasi perioperatif sangat bermanfaatmemperbaiki outcome pasien yang menjalani pembedahan Paling tidak 50 pasien yang menjalani pembedahan mendapatkan medikasi secara reguler Sorang anestetist harus mampu memutuskan medikasi tersebut diteruskan atau dihentikan

Kata kunci Medical Consultation Perioperative Medicine

S-44

MAC and Sedation outside the Operating Room

Arif HMMarsaban

Department of Anesthesiology and Therapy IntensiveFaculty of Medicine University of IndonesiaDr Cipto Mangunkusumo General Hospital

Abstract

Monitored Anesthesia Care (MAC) is a planned procedure to a patient who is undergoing a procedure that needs the administration of sedation andor analgesia and the anesthesiologists has the responsibility of all aspects of anesthesia care ndash a preprocedure visit intraprocedure care and postprocedure anesthesia management Anesthetic procedures outside OR is known also as NORA = non-operating room anesthesia that may consists of varying levels of sedation analgesia and anxiolysis Problems in NORA MAC are usually related to unfamiliar locations and working conditions differs to the well equipped operating room

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Common complication during NORAMAC are respiratory problems (apnea obstruction) hypothermia anaphyalxis gastric aspiration hypotension and hypovolemia To minimize the risk of complication a proper preparation prior to the procedure should be carried out that includes patient evaluation and informed consent the goals and level of MAC the choice of drugs related to the procedure the facility (monitors anesthetic equipment drugs and emergency equipment) and the personal The deeper the level of sedation the more risks of adverse events

The choice of drugs depends on the procedure does it requires immobilization during the procedure is it a painful procedure or both If the procedure is a painless procedure than it needs only sedative or hypnotic drugs (chloralhidrat barbiturates midazolam propofol dexmedetomidine) may combine with opioid analgesia as required A painful procedure usually needs combination of opioid analgesia or ketamine and sedative hypnotic drugs These drugs can be given bolus iv intermittent or continuous infusion (TIVA TCI)Key words MAC monitored anesthesia Care Non-operating room anesthesiaSuggested Readings

1 American Society of Anesthesiologists DISTINGUISHING MONITORED ANESTHESIA CARE (ldquoMACrdquo) FROM MODERATE SEDATIONANALGESIA (CONSCIOUS SEDATION) Approved by the ASA House of Delegates on October 27 2004 last amended on October 21 2009 and reaffirmed on October 16 2013

2 Ramkumar P Anaesthesia care beyond Operating Rooms Newer opportunities amp Challenges Amrita journal of medicine 2013 9(2) 2015 1-44

3 Melloni C Anesthesia and sedation outside the operating room how to prevent risk and maintain good quality Current Opinion in Anaesthesiology 2007 20513ndash9

4 Van De Velde M Kuypers M Teunkens A Devroe S Risk and safety of anesthesia outside the operating room MINERVA ANESTESIOL 200975345-8

5 Krane E Guideline for surgery outside the operating room Pediatric anesthesia and pain management Lucile Packard Childrenrsquos Hospital Standford University Medical Center 1-9

6 Agostoni M Fanti L Gemma M Pasculli N Beretta L Testoni PA Adverse events during monitored anesthesia care for GI endoscopy an 8-year experience Gastrointest Endosc 201174266-75

7 Ghisi D Fanelli A Tosi MH Nuzzi M Fanelli G Monitored Anesthesia Care MINERVA ANESTESIOL 200571533-8

8 Karaaslan K Yilmaz F Gulcu M Colak C Sereflican M Kocoglu H Comparison of Dexmedetomidine and Midazolam for Monitored Anesthesia Care Combined with Tramadol via Patient-Controlled Analgesia in Endoscopic Nasal Surgery A Prospective Randomized Double-Blind Clinical Study Current therapeutic research 2007 68(2) 69-81

9 Ryu J-H So Y Hwang J-W Do S-H Optimal target concentration of remifentanil during cataract surgery with monitored anesthesia care Journal of Clinical Anesthesia 2010 22 533ndash7

10 Fanti L Agostoni M Arcidiacono PG Albertin A Strini G Carrara S Guslandi M Torri G Testoni PA Target-controlled infusion during monitored anesthesia care in patients undergoing EUS Propofol alone versus midazolam plus propofol A prospective double-blind randomised controlled trial Digestive and Liver Disease 39 (2007) 81ndash6

11 Ryu J-H Kim J-H Park K-S Do S-H Remifentanil-propofol versus fentanyl-propofol for monitored anesthesia care during hysteroscopy Journal of Clinical Anesthesia 2008 20328ndash32

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-45

Target-controlled inhalational anesthesia

Doddy Tavianto

Departemen SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin

Bandung

Abstract

Target-controlled inhalational anesthesia is an anesthesia delivery system available in the newer anesthesia machines It is a modality of anesthesia gas delivery system where the machine adjusts automatically the anesthetic agent concentration to achieve the desired target levels set by the user

The target-controlled inhalational anesthesia technique is a mechanism in the breathing system where the desired values of gases are selected and the computerized system adjusts the gas delivery to achieve the targeted levels

By using the target-controlled inhalational anesthesia technique the consumption of gases would reduce thus effectively reducing the cost and environmental pollution

Keywords Target-controlled inhalational anesthesia breathing system

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-01

Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam

Ade Irna

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh dan kadar PGE-2 yang lebih baik dibandingkan parasetamol iv dan cooling blanket pada pasien cedera otak dengan demam

Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal sampel penelitian sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi Sampel dipilih secara acak dan dibagi kedalam 3 kelompok Kelompok M diberikan metamizol iv 15 mgkg berat badan kelompok P iv diberikan parasetamol 15 mgkg berat badan dan kelompok C diberikan cooling blanket yang diatur pada suhu 10oC sampai suhu target tercapai Penurunan suhu tubuh kadar PGE-2 dan nilai TAR dicatat dan dilakukan analisis statistik

Hasil penelitian memperlihatkan metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh lebih baik namun penurunan kadar PGE-2 pada ketiga kelompok adalah sama

Kata kunci Pasien cedera otak demam suhu tubuh kadar PGE-2

P-02

Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup Jantung

Agus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta PtDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Sanglah ndash fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Latar Belakang Kelainan katup jantung paling sering disebabkan oleh komplikasi dari penyakit jantung rematik Menjaga kestabilan hemodinamik menjadi tantangan dalam manajemen perioperative Teknik anestesi yang dipilih untuk manajemen perioperative pasien ini tergantung kondisi pasien dan kemampuan menjaga kestabilan hemodinamik

Laporan kasus Perempuan 40 tahun dengan Adenomiosis+ RHDFc 2 MS Severe AR Mild TR Mild AS mild AR mild menjalani operasi laparotomi Supravaginal Histerektomi

Masalah Pre-operatif RHDFc 2 dari Echocardiografi MS severe AR mild AS mild TR mild Sec (+) di LA fungsi sistolik LV normal EF 61 (EDV 112 ml ESV 44ml SV 68 ml)fungsi sistolik RV normal Durante operasi dilakukan anestesi epidural di L2-3 dengan regimen lidocaine 20 vol 10 ml +bupivacaine 05 plain vol 15 ml Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit hemodinamik stabil tanpa topangan obat simpatomimetik Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan analgetik epidural bupivacaine 01 + morphin 05 mg volume 10 ml dan Ketorolak 30 mg setiap 8 jam intravena

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Prinsip manajemen perioperative pasien ini adalah dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan hantaran oksigen ke jaringan dengan menjaga preload (status euvolumia) jaga SVR dan cegah takikardi Anestesi regional menyebabkan blokade simpatis dan dapat menurunkan SVR Anestesi regional khususnya blok epidural dengan sifatnya blokade segmental diharapkan dapat lebih menjaga kestabilan hemodinamik dengan tetap memberikan relaksasi lapangan operasi dan analgetik yang adekuat terhadap pasien Durante operasi kita harus dapat mencegah efek takikardi yang ditimbulkan oleh blok epidural akibat hipovolumia relatif dengan meyakinkan status volume dan kestabilan hemodinamik sebelum prosedur anestesi dilakukan

Kesimpulan Anestesi regional epidural pada pasien yang menjalani pembedahan ginekologi dengan penyakit katup jantung dapat memberikan keadekuatan anestesi dan kestabilan hemodinamik

Kata Kunci Supravaginal Histerektomi epidural anestesi penyakit katup jantung

P-03

Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis

Andi Kusuma I Wayan Aryabiantara

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar BelakangAneurisma aorta abdominalis merupakan penyebab kematian terbesar ke 13 di Amerika

dan merupakan kasus yang menantang bagi bedah vaskuler dan anestesi

DiskusiPasien laki-laki 61 th akan dilakukan EVAR (Endovascular Artery Repair) dengan

keluhan nyeri perut hilang timbul disertai benjolan yang semakin membesar Pada Angiografi didapatkan Pseudoaneurysma arteri illiaca comunis sampai illiaca interna dekstra Pada EKG jantung didapatkan sinus bradikardi dengan HR 57 x menit Sedangkan fungsi organ lain dalam batas normal Pre anastesi dilakukan dengan lengkap tidak aada masalah pada pasien

Sebelum induksi kecukupan cairan dipenuhi Induksi dilakukan perlahan untuk mencegah lonjakan hemodinamik yang beresiko mengakibatkan pecahnya aneurisma Durante operasi pasien dengan ventilasi kendali dengan dilakukan AGD berkala Tindakan cross clamping aorta dan declamping aorta mempunyai pengaruh yang besar terhadap hemodinamik Untuk mengatur hemodinamik durante operasi digunakan NTG Penggantian kehilangan cairan durante operasi digunakan kristaloid koloid dan sel darah merah Pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan ventilasi kendali untuk monitoring ketat fungsi jantung ginjal dan produksi urine Analgetik pasca operasi digunanakan Epidural Analgesia Hari ke 2 pasien sudah bernapas spontan Hari ke tiga kembali ke ruangan dan selanjutnya rawat jalan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanDengan managemen anestesi yang safe pada pasien aneurisma aorta abdominalis dapat

menyelamatkan pasien dan menurunkan resiko angka kematian Memberikan kenyamanan pada pasien operator dan ahli anastesi yang bekerja dengan meminimalkan efek samping terutama pada kardiovaskuler

Kata kunci aneurisma aorta abdominalis repair managemen anestesi

P-04

Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis Bulosa

Andri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Epidermolisis Bulosa merupakan kelainan genetik mekanobulosa berupa gangguan ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau gesekan ringan Penyakit ini terutama mempengaruhi lapisan epitel skuamosa di kulit namun bula juga dapat terjadi pada mukosa saluran pernafasan Penyakit ini memberikan masalah khusus untuk dokter anestesi karena alat yang digunakan untuk memberikan pelayanan anestesi dapat menyebabkan komplikasi postoperatif Tantangan pada pasien EB adalah untuk menjaga patensi jalan nafas dan penggunaan alat monitoring tanpa merusak permukaan epitel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan

Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada pasien EB Pasien laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis Pseudosindaktili Dekstra et Sinistra ec Epidermolisis Bulosa yang akan menjalani operasi release sindaktili dan skin graft Pada pasien ini ditemukan masalah malnutrisi dengan BMI 1285 kgm2 dengan anemia defisiensi besi dan hipoalbuminemia karena asupan makanan yang kurang

Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan anestesi umum Manipulasi jalan nafas dengan memberikan sungkup muka secara ketat dihindari Kami memberikan jelly pada permukaan sungkup muka yang akan kontak dengan kulit pasien ETT ukuran 65 dengan dilumuri jelly sebelumnya dipasang dengan menggunakan video laringoskopi Kami juga memperhatikan pengembangan cuff ETT secara berkala untuk meminimalisir risiko terbentuknya bula pada mukosa saluran nafas Untuk monitoring pasien kami menggunakan pulse oksimetri yang dipasang di daun telinga dan pemasangan manset tekanan darah di tungkai bawah dengan sebelumnya dilapisi elastomul dan jelly Fiksasi ETT menggunakan kassa yang diikat melingkari kepala pasien untuk menghindari tempelan plester yang dapat menimbulkan trauma pada kulit Pemeliharaan anestesi kami gunakan N2O dan Sevoflurane Pasien kami ekstubasi secara sadar Pasca operasi pasien dirawat di burn unit

Pada pasien EB diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya lesi epitel baru Penanganan jalan nafas harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya bula Selain itu evaluasi preoperatif yang menyeluruh diperlukan untuk menilai kondisi lain yang berhubungan seperti anemia infeksi kronik kontraktur dehidrasi dan malnutrisi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-05

Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam Malik

Andrias1 Dadik WW2

1Residen Anestesi Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

2Staf PengajarAnestesi danTerapi Intensif Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

Abstrak

Pendahuluan Hepar merupakan organ yang sering cedera pada trauma tumpul abdomen Penyebab

kematian pada cedera hepar ialah eksanguinasi karena hepar mendapat 25 curah jantung Kesembuhan pasien tergantung resusitasi awal yang lebih cepat untuk mencegah kematian

Laporan Kasus Laki-laki 18 tahun riwayat kecelakaan lalu lintasabdomen terkena stang motor Keadaan

pasien buruk (nadi 166 xmenit TD 60palpasi) Sebelumnya pasiendilaparotomi di rumah sakit lain Dilakukan packingcedera hepar grade V Direncanakan relaparotomi general anestesiASA Ve Intubasi teknik RSII induksi ketamin serta rocuronium Sejawat bedah tidak mampu mengendalikan perdarahan kemudian dipacking rawat ICU Perdarahan aktifsejawat bedah menolak reeksplorasi kontrol perdarahan Pasien meninggal 6 jam kemudian akibat eksanguinasi

DiskusiAnestesiologis pusat trauma terlibat dalam manajemen jalan nafas dan resusitasi pasien

trauma di UGD Ruang operasi dan ICUPenanganan trauma tumpul abdomen sesuai ATLS Cairan diberikan kristaloid koloid Syok hemoragik keduanya digantikan darah karena tidak memfasilitasi transpor oksigen pembekuan darah Kecukupan resusitasi tahap lanjut dinilai dari perfusi jaringan normal Pasien diinduksi ketamin teknik RSII Suksinilkolin pilihan utama namun rocuronium (12 mgkg IV) alternatif yang tepatTransfusi masif didefinisikan memberikan seluruh volume darah dalam 24 jam atau 50 volume darah pasien dalam 12-24 jambanyak komplikasinya Darah transfusi kurva 23 DPG-nya bergeser ke kiri 24 jam post-transfusisebaiknya dikontrol ventilator Komplikasi lainnya koagulopati Pada hipoperfusi lama dapat mengalami DIC Jika perdarahan post-transfusi diagnosis pembandingnya trombositopenia dilusional DIC reaksi transfusi hemolitik Untuk menyingkirkannya lakukan pemeriksaan hitung platelet fibrinogen plasma bukti hemolisis dalam plasma Darah transfusi mengandung mikroagregat berakumulasi di paru mengakibatkan TRALI Resusitasi pasien hipoperfusi yang tertunda mengakibatkan akumulasi kompleks imun kapiler paru mengakibatkan ARDS

KesimpulanPenanganan pasien trauma berat mengikuti panduan ATLS teknik anestesi yang

bijaksana manajemen pembedahan perawatan intensif post-operatif yang baik dapat meningkatkan kesembuhanJika salah satunya tidak dilakukan angka mortalitas meningkat

Kata Kunci Resusitasi Transfusi masif Syok

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-06

Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan Disgerminoma

Angga Permana Putra1 Syamsul Bahri Siregar2 Hasanul Arifin3

1Residen Anestesi Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

2Staf Pengajar Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUD Dr Pirngadi Medan

3Kepala Program Studi Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

PendahuluanDisgerminoma merupakan bentuk paling umum dari sel tumor germinal primitif dari

ovarium sekitar 1-5 dari seluruh keganasan ovarium Secara umum sering terjadi pada wanita yang berada pada usia reproduktif Sangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa dilakukannya intervensi pada kehamilannya Kami disini melaporkan sebuah kasus kehamilan primi gravida alamiah yang diikuti dengan disgerminoma tanpa adanya komplikasi fetomaternal Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

Kata kunci disgerminoma kehamilan alamiah kombinasi anestesia spinal-epidural

Laporan KasusWanita usia 33 tahun dengan kehamilan primi gravida datang dengan amenorrhea dan

bengkak di umbilicus bawah kiri Riwayat menstruasi tidak teratur tidak dijumpai sebelum kehamilan ataupun pemakaian kontrasepsi sebelumnya Pemeriksaan luar menunjukkan asites dan massa di perut kiri dengan ukuran sekitar 30cm x 35cm Dalam usaha untuk menyelamatkan janin operasi elektif laparatomi dengan seksio sesaria segera direncanakan Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

DiskusiSangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa

dilakukannya intervensi pada kehamilannya Intervensi dapat dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan tumor dilanjutkan dengan seksio sesaria yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kemoterapi Manajemen anestesi pada pasien ini dipilih dengan regional anestesi yang lebih aman efektif dan murah daripada anestesi umum Kombinasi Anestesia Spinal Epidural menggabungkan keuntungan kerja cepat dari spinal anestesi dengan fleksibilitas dari epidural anestesi dapat pula digunakan sebagai manajemen nyeri post operasi dengan pemberian Morfin 3mg 24jam yang memberikan efek analgesia yang baik pada pasien

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanHasil akhir pasien dengan disgerminoma murni sangat baik Pasien dapat diterapi dengan

pembedahan dan kemoterapi Disgerminoma pada ovarium tunggal dengan asites masih dimungkinkan untuk mengalami kehamilan dengan kelahiran anak yang baik Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural adalah pilihan terbaik terhadap pasien dibuktikan dengan kelahiran bayi yang sehat dengan APGAR Score yang baik dan tanpa adanya komplikasi setelah operasi

P-07

Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy Biopsy

Anindito Andi Nugroho

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstract

Background Traditionally definitive treatment for breast surgery was done by general anesthesia But general anesthesia was not able to inhibite pain reflex to the brain It also have side effects such as post operative nausea and vomiting There are a few regional anesthesia techniques that have been performed in this operation such as infiltration epidural and thoracal paravertebrae block Paravertertebral block techniques that have been performed in this operation by injecting local anesthesia that blockade somatic and symphatetic ipsilateral in that dermatomes above and beneath injection site Surgical trauma can attenuate stress response (local and systemic) Increase of cortisol level is one the endocrine systemic response

Purpose To compare the difference between single injection and multiple injection thoracal paravertebra block to plasma cortisol and VAS value in breast cancer patients ongoing excisy biopsy

Methods Samples include 20 patients ongoing excisy biopsy Blood samples were taken at 8 inhte morning before surgery and 8 tomorrow morning VAS value was checked at hour-0 (when the patient at the recovery room and hour-24 Patients divided into multiple (M) group or single (T) group Normality of data was tested by Kolmogorov-Smirnov test If p gt 005 so the distribution is normal Analitycal analysis will be done with pre and post test group design

Result General characteristic on each group has normal distribution (p gt 005) Delta data value of cortisol and VAS hour-24 before and after injection in T and M group did not give significance result (p gt 005) But VAS value a hour-0 between both groups give significant result (p lt 005)

Conclusion Paravertebra block technique either multiple or single injection can reduce postoperative cortisol and VAS score in patient undergoing excisy biopsy

Keywords Paravertebra block single injection Paravertebra block multiple injection cortisol VAS

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-08

Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom Eisenmenger

Asterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifRumah Sakit Umum Sanglah-Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PENDAHULUANPasien hamil dengan penyakit jantung merupakan tantangan yang unik untuk

Obstetrician dan Anesthesiologist karena berkaitan dengan pasien beresiko tinggi dan memerlukan pemahaman tentang dampak kehamilan terhadap respon hemodinamik untuk kelainan jantung pasien Tidak ada konsensus mengenai teknik anestesi yang optimal untuk kondisi tersebut Namun pilihan manajemen dan teknik anestesi harus secara individual dan berdasarkan kondisi hemodinamik yang terjadi serta kebutuhan kebidanan

LAPORAN KASUSPerempuan 27 tahun dengan G3P0020 hamil 8-9 minggu tunggalhidup Congestif Heart

Failure ec GUCH (Grown-Up Congenital Heart Disease) Perimembranous VSD Eisenmengerrsquos Syndrome Pulmonal Hipertensi severe Pulmonal Regurgitasi severe Trikuspid Regurgitasi severe Mitral Regurgitasi mild Bidirectional shunt WHO FC II

Masalah pra operasi pasien dengan hasil echocardiography adalah terdapat inlet besar pada peri membran VSD dengan bidirectional shunt dominant left to right shunt high flow Pulmonal Regurgitasi moderate Mitral Regurgitasi mildTrikuspid Regurgitasi moderate Pulmonal Hipertensi severe Left ventricle diastolic function decreases Left ventricle and right ventricle systolic normal global normokinetik ejection frection 70 EDV 49 ml ESV 15 ml SV 35 ml

Selama operasi pasien diberi anestesi spinal dengan jarum spinal 27G di L3-4 dengan regimen Bupivacaine 05 heavy 5mg dan adjuvant Fentanyl 25 mcg Operasi berlangsung selama 50 menit Hemodinamik stabil dengan pemasangan monitoring invasif arteri line tanpa menggunakan obat-obatan inotropik maupun vasopressor

Pasca operasi pasien dirawat di ruang terapi intensif Manajemen nyeri pasca operasi Fentanyl 250 mcg24 jam dengan syringe pump parasetamol 500 mg 6 jam per oral

DISKUSITeknik anestesi regional menyebabkan blokade simpatik dan dapat menurunkan Systemic

Vascular ResistenKami menggunakan dosis yang sangat kecil pada anestesi lokal (LA) intrathecal

untuk meminimalkan hipotensi Ini dapat mencegah peningkatan Systemic Vascular Resistenmendukung aliran darah dan membantu untuk mencegah terjadinya kongesti paru Hal ini juga dapat menurunkan after load dan mencegah terjadinya peningkatan Systemic Vascular Resisten dan overload volume Left Ventrikel akut

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KESIMPULANDosis rendah bupivakain intratekal dan fentanil memadai untuk dilatasi - kuretase

dengan efek samping yang minimal pada pasien kami dengan sindrom Eisenmenger dan dapat menjadi alternatif yang aman untuk mencapai anestesi yang baik dengan stabilitas kardiovaskular yang mengesankan

Kata kunci dilatasi-kuretase anestesi spinal sindrom Eisenmenger

P-09

Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar

Bayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko

) Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ) Supervisor Konsultan Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Abstrak

Latar Belakang Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan sebagai analgetik paska operasi Berbagai jenis OAINS seperti ketorolak dan parecoxib dapat menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang merupakan mediator inflames dan mengakibatkan berkurangnya tanda inflamasi OAINS sebagian besar mengalami metabolisme di hepar dan dapat menyebabkan gangguan pada hati Gejala klinis disfungsi hati pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi parekoxib dan ketorolak oleh sebab ituperubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran histopatologis

Tujuan Membandingkan gambaran histopatologi sel hepar antara tikus wistar yang diberikan ketorolak intramuskuler dan parecoksib intramuskuler

Metode Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok control diberikan luka insisi sepanjang 2 cm dan tidak diberikan injeksi ketorolak maupun parekoksib kelompok ketorolak diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi ketorolak intramuskuler setara dosis manusia 30 mg tiap 8 jam kelompok parekoxib diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi parekoksib setara dosis manusia 40 mg tiap 12 jam Pada hari ke 5 dilakukan terminasi kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin jaringan hepar

Hasil Ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi sel hepar tikus wistar antara kelompok ketorolak dan parecoxib dengan kelompok kontrol namun tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologis sel hepar antara keolompok ketorolak dan parecoxib

Kesimpulan Tidak ada perbedaan bermakna histopatologi sel hepar tikus wistar setelah penggunaan ketorolakdan parekoxib

Kata Kunci Ketorolak Parecoksib histopatologis sel hepar

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-10

Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain Management

Charismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono

Department of Anesthesia and Intensive CareFK UNDIP RSUP Dr Kariadi Semarang

Abstract

Background Pain is one of the most consequential problem which are caused subsequent to the invasive procedures Management of post operative tonsilectomy pain is a difficult task and could remain over 4 days after the surgery that results in poor oral intake long hospital stay and a delay in return to the normal activities In BPJS era the government more wisely determining rates Hospitals must be pressed at low cost but give optimal service We as an anesthesiologist must have methods in reducing postoperative morbidity Post-tonsillectomy pain is believed to be mediated by noxious stimulation of C-fiber afferents located in the peritonsillary space and local anesthetic infiltration to this area may decrease pain by blocking the sensory pathways and thus preventing the nociceptive impulses Peritonsillar infiltration of ketamine alone or in combination with epinephrine can reduce VAS (Visual Analog Score) and opioid requirements

Objectives To evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for managing post operative pain after tonsillectomy

Methods Two females in their second and third decades were scheduled for elective tonsillectomy Premedication using midazolam 3 mg induction using propofol 2 mgkg intravenous dexametason 10 mg intravenous cuffed with sevoflurane then intubate The operation took 10 minutes using dissection technique we performed peritonsiller infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 01 mgkgBB and lidocain cum adrenalin 1200000 as solvent 2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation We evaluate post operative pain using VAS scale on 1st hour an 6th hour We also asessed complication that might occured post op

Result One hour observation all patients are in mild pain and in six hour observation have no pain and reduce the need of opioid or NSAIDs analgesic Vomitting as complication occured only in first patient and given antiemetic All patients were dismissed from the hospital 8 hours after surgery given Mefenamic Acid 500 mg per eight hours orally

Conclusion Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective to minimize post operative tonsillectomy pain in both patient up to 6 hours post op in both patients observed and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic

Keywords Post operative pain management peritonsillar infiltration ketamine

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-11

Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalis

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Atresia biliar (AB) adalah suatu obliteratif kolangiopati pada neonatus yang fatal jika tidak diobati Kelainan ini jarang ditemukan dengan insidensi 05-1 per 10000 kelahiran hidup dan etiologinya tidak diketahui Pada AB terjadi obstruksi saluran bilier yang menyebabkan cairan empedu statis sehingga pada akhirnya tejadi kerusakan hepatoseluler dan sirosis hati

Laporan Kasus Seorang bayi laki-laki berumur 3 bulan dengan berat badan 45 kg yang didiagnosis AB dan direncanakan untuk dilakukan tindakan prosedur Kasai Pasien dengan kondisi aktif menangis kuat dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik Pasien dilakukan dalam anestesi umum induksi dengan premedikasi sulfas atropin 01 mg induksi dimulai dengan fentanil 10 microg dan atracurium 2 mg kemudian dilakukan ventilasi dan dikontrol secara manual dengan rumatan anestesi menggunakan 50 N2O 50 O2 dan 15 MAC isofluran Durasi operasi adalah 4 jam dengan total durasi anestesi berkisar 45 jam Selama operasi berlangsung kondisi pasien stabil Pascaoperasi pasien diekstubasi dan mendapat parasetamol infus sebagai analgetik Pasien dirawat di PICU

Kesimpulan Penatalaksanaan anestesi yang tepat monitoring ketat selama operasi untuk perdarahan dan resiko hipotermi serta usia pasien saat dilakukan prosedur Kasai akan memberikan hasil yang baik

Kata Kunci Anestesi Atresia Bilier Kasai Prosedur

P-12

Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta Abdominal

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) adalah pelebaran aorta yang permanen lebih dari 30 mm dimana resiko ruptur akan meningkat bila pelebaran lebih dari 50 mm Angka kematian jika terjadi ruptur AAA sebanyak 90 dan angka kematian dapat di cegah dengan pembedahan elektif repair AAA dengan angka mortalitas kurang dari 7

Laporan Kasus Kasus 1 Wanita 49 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 496 dengan jarak 382 mm dari arteri renalis sin dan 346

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

mm dari bifurcatio arteri iliaca Pasien di induksi dengan fentanyl 5 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbbAnalgetik post op dengan epidural Pasien di ekstubasi setelah 9 jam post op dan setelah 2 hari pasien pindah keruangan

Kasus 2 Laki- laki 54 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 554 cm x 446 cm inferior dari percabangan art renalis kanan dan kiri Analgetik post op dengan morfin 20 mcgkgbbm Post operatif pasien tidak di ekstubasi pasien didiagnosa VAP pada hari ke 3 Pasien diekstubasi pada hari ke 7 dan pindah keruangan pada hari ke 10

Kasus 3 Wanita 35 tahun BB 50 kgPemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 798 cm inferior dari cabang arteri renalis kanan dan kiri Pasien di induksi dengan fentanyl 3 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbb Analgetik post op dengan epidural Post operatif pasien di ekstubasi dan setelah 2 hari di rawat di ICU pasien pindah keruangan

Kesimpulan Manajemen anestesi repair AAA berfokus pada perubahan hemodinamik akut yang disebabkan aortic cross clamping dan unclamping mempertahankan perfusi organ dan oksigenasiCross clamp meningkatkan afterload jantung dan terjadi peningkatan mendadak tekanan arteri proksimal pada klem untuk menurunkan lonjakan tekanan darah pada ketiga kasus dengan menggunakan nitrogliserin Setelah aortic unclamping resistensi pembuluh darah perifer berkurang 70-80 yang menyebabkan penurunan tekanan arteri mengalirnya darah ke bagian bawah tubuh sehingga terjadi hipotensi untuk meningkatkan tekanan darah diberikan cairan dan vasokontriktor noradrenalin

Kata kunci Aneurisma Aorta Abdominal aortic cross clamping unclamping

P-13

Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake Craniotomy

Dian Rosanti Khalid Pryambodho

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Abstrak

Pendahuluan1

Awake craniotomy merupakan prosedur beresiko tinggi yang semakin sering dikerjakan Prosedur ini memungkinkan pemetaan korteks motorik sensorik visual dan bahasa yang optimal sehinggga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperatif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi

Serial KasusPasien pertama laki-laki 37 tahun dengan diagnosis glioma temporal sinistra pasien

kedua laki-laki 47 tahun dengan diagnosis glioma frontotemporal sinistra Keduanya menjalani

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

prosedur awake craniotomy removal tumor Analgesia difasilitasi dengan scalp block dan sedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol 05-3 mcgml Scalp block menggunakan bupivakain 05 plain total volume 30 cc Kemudian dipasang central venous catheter (CVC) dan kanul arterial blood pressure (ABP) untuk pemantauan hemodinamik Patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan Naso Pharyngeal Airway (NPA) diberikan oksigen (O2) 3 Lmenit via nasal kanul dan kedalaman anestesi dimonitor dengan bispectral index (BIS) Pascaoperasi pasien diobservasi di ICU

Diskusi1-4

Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktu-waktu Propofol dipilih karena memenuhi kriteria ini Over sedation akan menyebabkan apnea hipoksia hiperkarbia dan edema serebri Sedangkan under sedation menyebabkan agitasi takikardia dan hipertensi Memberikan sedasi dengan target pasien tetap sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks merupakan hal yang tidak mudah oleh karena itu digunakan BIS untuk pemantauan kedalaman anestesi Pada awal operasi pasien disedasi dengan TCI propofol 2-3 mcgml target BIS 40-60 Kemudian saat pemetaan korteks TCI propofol diturunkan 05-1 mcgml dengan target BIS adalah 80-100 setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1-10 menyebutkan nama dan menggenggam tangan pemeriksa Setelah pemetaan korteks selesai anestesia didalamkan kembali Adekuat analgesia didapatkan dari scalp block Blok ini efektif mengurangi penggunaan opioid intraoperatif yang dapat mendepresi pernafasan dan menyebakan over sedation Terbukti pada kasus diatas hanya digunakan fentanyl total 100 mcg dengan durasi anestesia plusmn 7 jam Kejang edema serebri perdarahan dan emboli udara merupakan komplikasi pada prosedur ini Kedua pasien mendapatkan mannitol untuk mengurangi edema serebri fenitoin untuk mencegah kejang dan pascaoperasi diobservasi di ICU Suksesnya prosedur beresiko tinggi ini akan sangat tergantung pada kerjasama tim

KesimpulanManajemen anestesia awake craniotomy ini sangat sulit Persiapan preoperatif yang baik

monitoring ketat intraoperatif dan pengawasan pascaoperasi menjadi kunci sukses Kerjasama yang baik antara tim anestesi dan bedah sangat penting agar prosedur ini berjalan aman lancar dengan hasil optimal

Kata Kunci awake craniotomy scalp block TCI BIS

Daftar Pustaka 1 ChuiJAnesthesiaforAwakeCraniotomyAnupdateColombianJournalofAnesthesiologyChui J Anesthesia for Awake Craniotomy An update Colombian Journal of Anesthesiology

20154322-82 Ghazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative ReviewGhazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative Review

and Future Challenges Saudi Journal of Anesthesia 20148529-373 Cormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent AdvancesCormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent Advances

St Vincentrsquos Hospital Melbourne 201577-824 Scubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and RoboticScubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and Robotic

Surgery Cottrell and Youngrsquos Neuroanesthesia 5 th Ed Philadelphia Elsevier Mosby 201017296-8

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-14

Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral

Artery yang menjalani operasi non-cardiac

Dita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Major Aorta Pulmonary Collateral Artery (MAPCA) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terjadi 5-10 dari semua anak-anak dengan penyakit jantung bawaan yang disertai hypoplasia atresia pulmonal MAPCA merupakan pembuluh darah yang timbul dari aorta desending dan arteri sublclavia yang berfungsi untuk menghantarkan darah ke paru untuk oksigenasi Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA dengan mempertahankan SVR menurunkan PVR dan mencegah terjadinya shunt

Laporan Kasus Anak laki-laki5 tahun dengan berat badan 15 kg dk Periodontitis Apikalis Kronik + Situs Inversus + Mitral atresia + LV hipoplasia + ASD besar +VSD besar + Pulmonal atresia yang dilakukan mouth preparation Dari pemeriksaan fisik diadapatkan anak aktif SpO2 57-64 dengan udara bebas cardiomegaly gallop dan clubbing finger Dengan hasil lab Hb 182 gdl Ht 65 L 6500mm3 Tr 178000mm3 Echo ASD besar (single atrium) VSD besar (single ventrikel) Pulmonary atresia terisi PDA kecil Aorta keluar dari RV Pasien dilakukan induksi dengan sulfas atropine fentanyl propofol dan rocuronium Rumatan anestesi dengan sevoflurane Operasi berlangsung selama 40 menit dengan SpO2 selama operasi 60-70 Pasien diekstubasi dengan analgetik post op paracetamol

Kesimpulan Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA yang menjalani operasi non cardiac dimulai dari pre operatif untuk mendapatkan baseline dari kondisi pasien tersebut Intraoperative dengan menggunakan teknik ldquoopioid baserdquo sehingga menjaga kondisi pasien se-fisiologis mungkin

Kata Kunci Anestesi MAPCA Non-Cardiac Surgery

P-15

Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi Spinal

Donny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana

Departemen Anesteologi dan Terapi Intensif RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak

LATAR BELAKANGSalah satu kekurangan anestesi spinal adalah durasi blokadenya yang singkat Berbagai

cara dilakukan untuk memperpanjang durasi blokade seperti penambahan adjuvant α2 agonist selektif dexmedetomidine Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penambahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

dexmedetomidine pada anestesi lokal bupivakain hiperbarik terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal

METODE PENELITIAN Uji klinik acak berpembanding tersamar ganda telah dilakukan di Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang dari bulan November 2014 sampai dengan Maret 2015 Terdapat 52 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani operasi dengan anestesi spinal Pasien dibagi dalam dua kelompok masingndashmasing 26 orang Kelompok I menggunakan bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 5 microg dexmedetomidine 05 ml sedangkan kelompok II bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 05 ml NaCl 09 Diteliti mula kerja lama kerja blokade sensorik dan motorik tinggi blokade sensorik puncak efektivitas dan efek samping intraoperatif Analisis data menggunakan SPSS versi20

HASIL PENELITIANPada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-dexmedetomidine didapatkan mula kerja

blokade sensorik dan motorik lebih cepat tetapi secara uji statistik tidak bermakna (pgt005) dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang daripada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-NaCl 09 ( p=00001) sedangkan tinggi blokade sensorik puncak kualitas analgesia dan relaksasi motorik sebanding Hemodinamik lebih stabil dan efek sedasi pada kelompok dexmedetomidine

SIMPULANSimpulan dari penelitian ini adalah penambahan 5 microg dexmedetomidine pada bupivakain

05 hiperbarik 15 mg anestesi spinal memperpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik hemodinamik yang stabil serta efek sedasi yang menguntungkan

Kata kunci dexmedetomidine bupivakain anestesi spinal

P-16

Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manual

Eric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar belakang Guillain barre syndrome adalah penyakit paralisis akut disertai arefleksia dimana dapat

terjadi pada siapa saja dan menimbulkan kelumpuhan yang bisa sampai menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernafasan dan tanpa mendapatkan terapi yang memadai

Pendahuluan Guillain-Barreacute syndrome (GBS) saat ini merupakan penyebab tersering dari paralisis

flaksid akut di seluruh dunia Kasus GBS telah dilaporkan di seluruh dunia Angka insiden pertahun sekitar 12-23 per 100000 penduduk Angka kematian penderita mencapai 3-10 yang umumnya ditimbulkan oleh komplikasi (Doorn dkk 2008) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut patogenesis GBS Patofisiologi GBS sampai saat ini tidak seluruhnya dimengerti Fungsi selular dan humoral dari sistem imun diperkirakan terlibat Dipercaya antibodi yang terbentuk sebagai respon antigen terhadap agen penyebab

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

bereaksi silang dengan gangliosida pada permukaan saraf tepi Pada setengah kasus GBS ditemukan antibodi terhadap gangliosida Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik dalam saraf tepi Keterlibatan infeksi sebagai faktor pencetus terutama oleh Campylobacter jejuni Cytomegalovirus (10) virus Epstein-Barr virus varicella-zoster dan Mycoplasma pneumonia (Yuki amp Hartung 2012) Gangguan ini ditandai adanya kelemahan ekstremitas yang progresif simetris dengan atau tanpa gangguan sensorik disertai reflek fisiologis yang menurun atau menghilang

Diagnosis masih berdasar pada gejala klinis yang ditunjang oleh analisa cairan serebrospinal yang didapat dari lumbal pungsi Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan imunoglobulin intravena (IVIg) atau plasmapheresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilitas dalam jangka waktu 2 minggu setelah muncul gejala Di RSUP Sanglah telah terjadi 3 kasus sejak 2014-2015 dimana dilakukan terapi plasmapheresis yang memberikan hasil yang memuaskan

Pembahasan Pada GBS terjadi reaksi silang antibody terhadap antigen dan gangliosida pada saraf

tepi Pada pasien yang terjadi di Sanglah telah dilakukan plasmpharesis manual dimana antibody yang mengenali antigen gangliosida tersebut terdapat di plasma sehingga dengan dibuangnya plasma dapat membuang antibody yang salah mengenali antigen dan diberikan juga imunosupressan untuk menekan antibody yang bisa memperburuk keadaan GBS

Hasil Pada 3 kasus GBS di RSUP Sanglah tindakan plasmapharesis dilakukan secara manual

dimana plasma pasien dibuang dan diganti dengan plasmanat dan hal ini memberikan hasil yang memuaskan Pada daerah dimana tingkat prasarana yang terbatas dengan tindakan plasmapheresis manual dapat memberikan hasil yang menjanjikan dengan peralatan yang terbatas dan harga yang jauh lebih murah dibandingkan IVIg

P-17

Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral Dekubitus

Firmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Anestesi spinal unilateral dilakukan untuk membatasi blok sensorik motorik dan juga simpatis yang dapat meminimalkan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas blok unilateral berdasarkan durasi posisi lateral dekubitus selama 10 menit 15 menit dan 20 menit setelah anestesi spinal dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 05 10 mg pada operasi ekstremitas bawah

Metode Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan 51 sampel yang terbagi atas tiga kelompok dengan 17 sampel per kelompok Setiap kelompok dilakukan anestesi spinal dengan sisi operasi di bagian bawah menggunakan bupivakain hiperbarik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

05 10 mg bevel jarum spinal diarahkan ke sisi operasi injeksi lambat selama 60 detik tanpa barbotage Setelah anestesi spinal posisi lateral dekubitus tetap dipertahankan selama 10 menit (kelompok A) 15 menit (kelompok B) dan 20 menit (kelompok C) kemudian dikembalikan ke posisi supine dan dilakukan penilaian onset blok durasi blok ketinggian blok dan hemodinamik

Hasil Onset blok sensorik dan motorik sisi operasi durasi blok sensorik dan motorik sisi operasi dan ketinggian blok sensorik dan motorik sisi operasi tidak berbeda bermakna (pgt005) Ketinggian blok sensorik sisi bebas setinggi Th12 (kelompok A) L3 (Kelompok B) dan S1 (kelompok C) Durasi blok sensorik sisi bebas 7147 plusmn 104 menit (kelompok A) 6353 plusmn 49 menit (kelompok B) dan 5059 plusmn 134 menit (kelompok C) berbeda bermakna (plt 005) Durasi blok motorik sisi bebas 10941 plusmn 182 menit (kelompok A) 8471 plusmn 339 menit (kelompok B) dan 706 plusmn 199 menit (kelompok C) juga berbeda bermakna (plt005) Blok motorik unilateral ketat 882 pada kelompok C 118 pada kelompok B tidak tercapai pada kelompok A Ketiga kelompok memberikan gambaran kestabilan hemodinamik berupa tekanan arteri rerata dan laju jantung

Kesimpulan Posisi lateral dekubitus selama 20 menit setelah anestesi spinal lebih efektif dalam hal blok sensorik dan motorik unilateral

P-18

Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway

I Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana

Bagian SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA

Metode Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA dipilih secara consecutive random sampling Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 003 mgkgbb dan kelompok B diberikan fentanyl 2 mcgkgbb 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcgml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60 Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) postinduksi lebih dari 20 TAR basal Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Youngrsquos Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan Plt005

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 1308 (SB 288) dan B 1411 (SB 296) dengan nilai P = 0216 total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 11871 mg (SB 1324 mg) dibandingkan kelompok B 13161 mg (SB 1286 mg) dengan P = 0003 sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan P = 0739

Simpulan Fentanyl sebagai koinduksi propofol tidak lebih baik dibandingkan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam

Kata kunci hemodinamik koinduksi fentanyl midazolam LMA

P-19

Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde

Cholangiopancreatography (ERCP)

I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan

PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi semakin berkembang tidak hanya memfasilitasi tindakan

pembedahan terbuka namun juga untuk prosedur endoskopi baik untuk tujuan diagnostik maupun sekaligus untuk terapi

Pada kesempatan ini penulis melaporkan serial kasus penggunaan teknik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) dengan menggunakan TCI Propofol dan monitoring tingkat kedalaman anestesi dengan IoC pada pasien yang dikerjakan tindakan ERCP

Serial KasusAntara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di RSUP Sanglah Denpasar kami

memfasilitasi 6 tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Pasien yang dikerjakan dengan status fisik ASA 2 dan 3 Pasien sebelum dilakukan induksi diposisikan dalam posisi prone senyaman mungkin bagi pasien dengan kepala menoleh ke sisi kanan kemudian diberikan premedikasi dengan Midazolam 2 mg Dexamethasone 10 mg dan Difenhidramin 10 mg dan Fentanyl 25 mcg IV Induksi dengan TCI Propofol dengan mode Schneider dengan target efek 3-4 mcgml dilakukan secara titrasi mulai 1 mcgml kemudian dinaikkan 2 mcgml sampai 3-4 mcgml kedalaman anestesi diukur dengan IoC dengan target IoC 40-60 dipertahankan supaya pasien tetap bernafas spontan adekuat Pada keenam pasien yang dikerjakan didapatkan anestesi yang adekuat dengan TCI propofol 3-4 mcgml dan nilai IoC 40-60 dan tidak terjadi depresi respirasi dan kardiovaskular yang berarti

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC ini memberikan hasil yang

memuaskan dalam memfasilitasi anestesi pada tindakan ERCP Teknik ini dapat memberikan kenyamanan pada operator untuk bekerja dan yang terpenting adalah kenyamanan dan keamanan pasien lebih terjamin dengan pemberian obat yang disesuaikan dengan usia berat badan tinggi badan dan jenis kelamin sehingga pemberian Propofol dapat diberikan secara lebih efektif dan efisien Pemantauan kedalaman anestesi dengan IoC dapat memberikan panduan untuk ahli anestesi untuk penyesuaian dosis pemeliharaan obat anestesi selama prosedur dikerjakan sehingga efek depresi respirasi dan kardiovaskuler yang ditakutkan tidak terjadi

KesimpulanPenggunaan teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC dapat menjadi pilihan

dalam memfasilitasi tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Dengan pemakaian teknik ini menjamin kenyaman dan keamanan pasien juga kenyamanan operator dan ahli anestesi bekerja dengan minimal efek samping depresi respirasi dan kardiovaskuler

Kata Kunci TCI Propofol IoC ERCP

P-20

Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemik

I Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSU SanglahDenpasar

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 60 pasien geriatri yang menjalani pembedahan di RSUP

Sanglah Pengelolaan perioperatif geriatri memiliki tantangan tersendiri dengan adanya penurunan fungsi organ Kombinasi regional anestesia dan anestesi umum diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan sistemik

LAPORAN KASUSGeriatri 74 tahun dengan Tumor Parotis Lobus profunda yang menjalani pembedahan

hemimandibulektomi-parotidektomi wide eksisi dengan ASA III (geriatri dan hipertensi stage II FC II) dilakukan tindakan anestesi umum premedikasi dengan midazolam 2 mg co induksi dengan fentanyl 150 mcg(3 mcgkg) induksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg iv (05 mgkg) intubasi nasotracheal menggunakan ETT kinking ukuran 65 dan dilakukan blok pleksus servikalis superfisial infraorbita dan mandibular di sisi operasi Dosis lidokain 1 + epinefrin 1800000 Dosis pemeliharaan dengan O2 N2O (21) dan Isoflurane Operasi berlangsung 3 jam selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 50-72xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 50-70 mmHg dengan urine output 14 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0 Pasca operasi pasien diberikan analgesia fentanyl 200mcg + ketamin 10 mg dalam 50 cc NaCl 09 diberikan via syringe pump dalam 24 jam selama 2 hari hari ke 3 diberikan oral anagesia dengan tramadol 3 x 25 mg dan Parasetamol 3 x 500 mg Pemantauan VAS hari pertama dan kedua 010cm dan hari ke 3 1-210cm

DISKUSIGeriatri dengan permasalahan penurunan fungsi organ dan penurunan cairan tubuh

total dan lean body mass dapat mengakibatkan mudah terjadi intoksikasi obat Kombinasi anestesi umum dan anestesi lokal kepala dan leher dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik sehingga dapat meminimalisasi resiko intoksikasi Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia

KESIMPULANPemahaman teknik operasi sehingga dapat dilakukan pemilihan regioanaliasasi blok

yang tepat diperlukan Blok pleksus servicalis superfisial infraorbita dan mandibuler dengan minimalisasi penggunaan opioid sistemik mampu memberikan analgesia yang efektif dengan stabilnya hemodinamik pasien selama 3 jam durante operasi tanpa penambahan sedikitpun opiat sistemik Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya intoksiskasi obat dan prolong effect pada pasien geriatri sehingga menurunkan resiko morbiditas pasca operasi Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER3 BENAIFER DDUBASH DMD ADAM T HERSHKIN DMD PAUL J SEIDER

DMD GREGORY M CASEY (2013) ORAL-AND-MAxILLOFACIAL-REGIONAL-ANESTHESIA HTTPWWWNYSORA

P-21

Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi Caesarea

Ida Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Stroke hemorhagik merupakan stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah otak yang ada didalam kepala Kehamilan meningkatkan resiko terjadinya stroke hemorhagik Penyulit Stroke hemorhagik meningkatkan mortalitas baik maternal maupun fetal Sehingga penanganan pasien hamil dengan penyulit stroke hemorhagik membutuhkan perhatian khusus dan teknik yang khusus untuk meningkatkan outcome pasca operasi cesaria Laporan kasus ini bertujuan memaparkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada maternal dan fetal dengan penyulit ibu stroke hemorhagik dan IUGR untuk operasi cesaria Pasien perempuan 45 tahun dirujuk dari RSUD Sulawesi dengan diagnosis G1P0000 Primitua Stroke Hemorhagik Anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemah separuh tubuh terjadi beberapa jam sebelum masuk rumah sakit pada saat mengedan BAB Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis dengan hemiparesis sinistra fundus uteri teraba 2 jari diatas umbilikus DJJ 130 xmenit Pemeriksaan CT Scan didapatkan Tampak area hiperdens abnormal pada parenkim cerebri pada parietal sampai korona radiata kanan dengan ukuran 19x10x10 slices Penatalaksanaan preoperatif dilakukan dengan merawat ibu dengan sejawat neurologis untuk mengurangi stress hemodinamik pada otak maupun janin untuk persiapan fetal diberikan dexametason untuk pematangan paru fetal Premedikasi diberikan obat-obatan pencegah regurgitasi metocloperamide ranitidin dan ondancetron intravena 1 jam sebelum di induksi Teknik anestesi menggunakan teknik anestesi umum rapid sequence induction dengan teknik induksi dan fasilitas intubasi memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesi berbasis propofol TCI Rocuronium dan pemberian lidocain intravena pemberian opioid diberikan sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan dengan pertimbangan opioid yang kita berikan tidak segera melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin waktu mulai insisi pembedahan hingga dilahirkannya bayi dilakukan kurang dari 5 menit sehingga opioid yang kita berikan tidak banyak melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin setelah janin dilahirkan penting untuk menyediakan nokoba dan berikan jika dibutuhkan Pasien di extubasi dalam dengan memperhatikan patensi jalan nafas dan ventilasi assisted dengan panduan saturasi perifer dan end tidal capnograf Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan memperhatikan prinsip-prinsip neurointensive dan bayi di rawat di NICU Simpulan Prinsip penatalaksanaan ibu hamil dengan stroke hemorhagik dan IUGR adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesia dengan perhitungan teliti penggunaan opioid intravena sehingga opioid yang diberikan tidak mempengaruhi apgar skor fetal saat lahir

P-22

Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial Kasus

Ihsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah LestariFredi Heru Irwanto

Residen KonsulenDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit dr Mohammad HoesinPalembang Indonesia

Abstrak

Latar Belakang Operasi tulang belakang merupakan operasi yang sering dilakukan di bidang ortopedi Operasi ini membutuhkan waktu yang lama rumit dan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak sehingga membutuhkan teknik anestesi khusus Teknik anestesi hipotensi kendali terpilih untuk memfasilitasi tindakan operasi tersebut Teknik ini didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah yang di sengaja pada saat intraoperatif sekitar 25 ndash 30 dari preoperatif atau dengan MAP 50 ndash 70 mmHg untuk mengurangi jumlah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

perdarahan dan membantu visualisasi lapangan operasi Salah satu agen yang digunakan dalam teknik tersebut ialah dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan suatu agonis adrenergik α2 yang bekerja secara sentral dan memiliki efek analgesia amnesia sedasi dan anti anxietas Mekanisme kerjanya sebagai agen hipotensi yaitu memblok pelepasan noerepinefrine ke perifer melalui ikatan reseptor adrenergik α2 sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sistemik Obat ini sangat menguntungkan karena rentangnya yang lebar mudah dikontrol opioid sparing effect bangun yang cepat dan lancar

Tujuan Untuk mempresentasikan 4 kasus pasien yang menjalani prosedur operasi tulang belakang menggunakan teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan agen dexmedetomidine

Metode Teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan menggunakan agen dexmedetomidine continous dengan loading dose 1 microgkgbb (iv) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan rentang dosis 02 ndash 07 microgkgbbjam

Kasus Kasus pertamalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis paraplegia inferior ec stenosis spinal cord vetebrae Thorakal VI ndash VIII Kasus kedualaki ndash laki 39 tahun dengan diagnosis Fraktur kompresi vetebrae Thoracal IV ndash VI kasus pertama dan kedua menjalani operasi Stabilisasi Posterior Kasus ketigalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis HNP lumbal V ndash sakral I Kasus keempat perempuan 57 tahun dengan diagnosis paraparese inferior ec lesi Intradural setinggi vetebrae lumbal II - V Kasus ketiga dan keempat menjalani operasi laminektomi

Hasil Selama prosedur operasi hemodinamik relatif stabil dengan MAP 50 - 70 mmHg penggunaan opioid intraoperatif menurun 50 dibandingkan jika digunakan dengan agen hipotensi lain rata ndash rata waktu bangun 30 ndash 60 detik dan nyeri post operasi yang terkontrol

Kesimpulan Dexmedetomidine merupakan salah satu alternatif agen hipotensi pada teknik anestesi umum hipotensi kendali pada operasi tulang belakang

Kata Kunci Dexmedetomidine Hipotensi Kendali Operasi Tulang Belakang

P-23

Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien

Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi Umum

Joan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr Muhammad Hoesin

Palembang Indonesia

Abstrak

Latar belakang Tindakan intubasi endotrakea sering menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas Post Operative Sore Throat (POST) merupakan komplikasi minor setelah tindakan anestesi Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pascaoperasi adalah nyeri tenggorokan batuk dan suara serak yang dilaporkan memiliki insiden sebesar 21-52 untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

nyeri tenggorokan dan 42-59 untuk suara serak Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa berkumur dengan ketamin dan aspirin efektif mengurangi insiden dan tingkat keparahan POST Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal

Metode Uji klinik berpembanding buta ganda telah dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia umum teknik intubasi endotrakeal di COT RSMH pada bulan November 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 66 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok Kelompok pertama diberikan ketamin 50 mg dan kelompok kedua diberikan aspirin 320 mg dalam larutan saline 30 ml sebagai obat kumur

Hasil Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak pada kelompok ketamin dan kelompok aspirin sebesar 61 dan 121 Insiden nyeri tenggorokan pada kelompok ketamin adalah 152 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 182 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan Insiden suara serak pada kelompok ketamin adalah 21 2 dengan derajat serak adalah serak ringan dan sedang sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 242 dengan derajat serak ringan

Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara obat kumur ketamin dan aspirin untuk mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal (p = 0444 p gt005)

Kata Kunci Intubasi endotrakeal obat kumur ketamin obat kumur aspirin nyeri tenggorokan dan suara serak

P-24

Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi Infant

Ketut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANSepanjang tahun 2014 terdapat 85 (41) infant dari 405 kasus pembedahan laprotomi

pediatri (0-18 tahun) Pengelolan perioperatif infant memiliki tantangan tersendiri dengan imaturitas fungsi organ dan perbedaan anatominya Analgetik yang efektif dengan efek samping minimal diperlukan selama perioperatif dalam kaitan modulasi stress respon dan kembalinya fungsi system pencernaan CTE kontinyu kami gunakan pada pasien dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai dengan pertimbangan gangguan fungsi hati dan elimminasi obat

LAPORAN KASUSInfant 4 bulan berat badan 65 kg dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai

pasien dengan ASA III (infant pneumonia hyperbilirubinemia (obstruksi ekstrahepatal))

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dilakukan tindakan anestesi umum induksi dengan o2 sevoflurane coinduksi dengan ketamine 1 mg (015 mgkg) dan fentanyl 10 ug iv (15 ugkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 3 mg iv (05 mgkg) intubasi menggunakan ETT kinking ukuran 35 dan dilakukan pemasangan CTE kontinyu dengan panduan Ultrasonography dimana tip berada pada Th 10-11 Dosis bolus lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc volume 6cc (01 cckgsegmen) dilanjutkan dosis pemeliharaan lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 02-03 ccjam dn sevofluran 05 vol dan atracurium intermitten Operasi berlangsung 5 jam 40 menit selama durante operasi hemodinamik stabil dengan nadi 102-111xmnt kalkulasi cairan masuk 350 ml cairan keluar 130 ml dan urine output 109 cckgjamEkstubasi segera sesudah operasi selesai pasca operasi perawatan PICU dengan regimen analgesia lidokain 05 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 03 ccjam didapatkan flacc 0-1 urine output 1-12 cckgjam dan motilitas usus baik sejak hari pertama operasi CTE kontinyu dipertahankan hingga hari ke 6 setelah hari ke 5 pasien diberikan asupan oral pasca operasi didapatkan peningkatan neutrofil dari 1461 x 103ul praoperasi dibandingkan 1576 x 103ul pasca operasi

DISKUSIInfant dengan atresia bilier dan gangguan fungsi hati disertai hiperviskositas darah

dengan potensi cedera ginjal memerlukan penanganan khusus Kombinasi anestesi umum dan CTE kontinyu dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik yang dapat memperberat kerja hati Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia pada populasi infant dengan heart rate dependent Penggunaan mode kontinyu adalah untuk mencegah takifilaksis serta menjaga stabilitas analgetik perfusi renal dan splancnic Dengan peningkatan neutrofil yang tidak signifikan menggambarkan efektifitas modulasi stress response oleh CTE kontinyu

KESIMPULANCTE kontinyu dengan minimalisasi penggunaan gas inhalasi dan opioid sistemik mampu

memberikan analgesia yang efektif dan memberikan keuntungan peningkatan perfusi renal dan splanchnic sehingga dapat mencegah cedera ginjal dan mempercepat pemulihan anastomose Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 COTE CJ LERMAN J ANDERSON BJ (EDS) (2013) A PRACTICE OF ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 5TH ED USA ELSEVIER SAUNDERS

3 DAVIS PJ CLADIS FP MOTOYAMA EK (EDS) (2011) SMITHrsquoS ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 8TH ED USA ELSEVIER

4 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-25

Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial Kasus

Koko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas UdayanaRS Sanglah Denpasar

Latar Belakang Anestesi regional berkembang pesat sebagai salah satu modalitas untuk manajemen anesthesia pada tindakan pembedahan Caudal thorakal epidural adalah salah satu jenis tindakan anestesi regional central neuraxial yang digunakan pada kasus kasus pediatricpada kasus ini digunakan USG sebagai tuntunan

Presentasi Kasus Pasien bayi perempuan umur 5 bulan dan bayi laki laki umur 4 bulan didiagnosis Atresia Bilier pro Prosedur Kasai anestesi dengan perantaraan bius total pemasangan pipa endotrakeal Pasien pertama diinduksi dengan inhalasi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Pasien kedua diinduksi dengan induksi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Operasi berlangsung sekitar 5 jam Pasca operasi pasien diekstubasi dan dirawat di PICU Analgetika post operasi caudal thorakal continyu regimen lidocain 05 + fentanyl 2 mcgcc kecepatan 03 ccjam

Diskusi USG memberikan dua keuntungan untuk tindakan block caudal pada pediatri yaitu pertama kemampuan untuk identifikasi area sacral menjadi lebih cepat dan kedua mampu mengkonfirmasi bahwa obat yang disuntikkan berada pada area yang tepat Viscerotome untuk laparotomi pediatric adalah pada Th6 kateter epidural pada kedua kasus dengan tuntunan USG mampu mencapai Th 10 dan memberikan hasil anesthesia yang baik intra dan pasca operasi

Kesimpulan USG pada kasus ini mampu memberikan kesuksesan penempatan kateter caudal thorakal epiduraldan diharapkan lebih banyak lagi studi yang mempelajari kasus caudal thoracal epidural mempergunakan USG sebagai tuntunanKata kunci caudal thorakal epidural laparotomi pediatri tuntunan USG

Daftar Pustaka1 Smithrsquos Anesthesia for Infant and Children Elsevier 2011 hal 463-474 2 Pain Management HandbookNational Library of Malaysia2013 hal110-1303 Ultrasonography and Pediatric Caudal Journal of Anesth Analg2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26

Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi Umum

M Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

Pendahuluan Kehamilan pada wanita dengan defek septal atrial (DSA) akan meningkatkan risiko kematian ibu dan janin Pada wanita dengan DSA serta hipertensi pulmonal kehamilan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat Oleh karenanya manajemen perioperatif memegang peranan penting

Laporan kasus Kami melaporkan kasus wanita 39 tahun direncanakan untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kehamilan 24 minggu akibat plasenta previa totalis Pasien juga menderita DSA sejak lahir dan dijumpai sesak nafas Ekokardiografi menunjukkan adanya defek septal atrial (26 mm) hipertensi pulmonal ( 50 mmHg ) regurgitasi trikuspidalis ringan dan fraksi ejeksi 78 Teknik anestesi dengan preoksigenasi 100 oksigen selama 5 menit premedikasi dengan pemberian intravena Sulfas Atropin 025 mg dan Fentanyl 50 microg Induksi menggunakan Ketamin 50 mg kemudian Atrakurium 30 mg sebagai obat relaksasi otot dan dilakukan intubasi endotrakeal Selama operasi anestesi inhalasi menggunakan isofluran 05 - 06 dan fentanil 50 microgjam intravena sebagai anti nyeri rumatan

Pembahasan Manajemen anestesi umum pada pasien dengan defek septal atrial dan hipertensi pulmonal diprioritaskan terhadap teknik anestesi dan pemberian obat-obatan untuk mencegah penurunan dari tahanan pembuluh darah sistemikmencegah depresi otot jantungserta mencegah suatu keadaan hipoksiahiperkarbidan nyeri yang akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paruPada kasus ini digunakan ketamin yang dapat mencegah penurunan tahanan pembuluh darah sistemikdan mempuyai efek anti nyeri yang baik apalagi dikombinasi dengan golongan opiod seperti fentanildimana nyeri juga menjadi pencetus utama yang dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemikTerpeliharanya tahanan pembuluh darah sistemik agar tidak turun akan mencegah timbulnya shunt dari kanan ke kiri jantungShunt ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada pasien

Kesimpulan Kami menyimpulkan bahwa tindakan anestesi umum pada pasien hamil dengan defek septum atrium dan hipertensi pulmonal lebih dipertimbangkan karena dengan anestesi umum dapat dihindari penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan tahanan pembuluh darah paru yang akan mencetuskan suatu komplikasi berat

Kata kunci defek septal atrial Hipertensi arteri pulmonal Operasi sesar hipotensi hipoksemi hiperkarbi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-27

Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular Response

Marilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja

PPDS I Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANPasien geriatri akan memiliki beberapa penyakit dasar terkait dengan peningkatan usia

dan perubahan fisiologis terutama dalam sistem kardiovaskuler Pada pasien dengan gagal jantung kronis kebutuhan oksigen miokard dijaga agar tidak melebihi pasokan

Perangkat berikut ini penting bagi pelaksanaan anestesi yang aman antara lain EKG pemantauan tekanan arteri non-invasif pulse oksimetri kapnografi dan juga harus dilengkapi dengan pemantauan kardiovaskuler invasif

Perhatian khusus diberikan dalam memilih teknik anestesi yang mampu mengendalikan perubahan hemodinamik yang terjadi akibat adanya intervensi anestesi

KASUSPria 78 tahun BB 60 kg dengan perdarahan subdural kronis menjalani prosedur borehole

drainase Memiliki riwayat gagal jantung kronis dengan obat-obatan yang tidak diketahui Pasien dinilai dengan ASA III dengan masalah pada sistem saraf pusat dan kardiovaskuler Kesadarannya masih baik tekanan darahnya tinggi (sekitar 160-20090-120mmHg) dengan EKG-nya AF slow ventricular response (HR 45-50kalimenit) LAD CRBBB dan dari ekokardiografi didapatkan kardiomiopati iskemik MR moderate dan hipokinetik septal pada segmen anterior

Diberikan fentanyl 25mcg sebelum pemasangan artery line lalu 75mcg berikutnya sebagai analgetik Induksi dengan TCI Propofol dengan target efek 3-4 mcgml Agen inotropik dobutamin juga diberikan dan dipertahankan sampai akhir operasi Vecuronium 5 mg dipakai sebagai pelumpuh otot utama dan untuk pemeliharaan memakai compressed air oksigen dan TCI Propofol

Hemodinamik intraoperatifnya stabil pada MAP 120mmHg (136-18280-100mmHg) namun kadang irama EKG-nya menjadi ekstrasistol bigemini dan bahkan ventrikuler takikardia dengan nadi Operasinya berlangsung selama 45 menit dan pasien dipindahkan ke ICU untuk pemantauan pascaoperasi

PEMBAHASANSelain pemantauan hemodinamik dasar artery line juga dipasang untuk memantau

tekanan darah dari waktu ke waktu TCI Propofol dipilih dibanding volatil untuk mencegah gangguan pada autoregulasi otak Relaksasi otot memakai vecuronium untuk menghindari peningkatan TIK Dobutamin dipilih sebagai topangan untuk miokard pasien gagal jantung dengan output yang rendah

KESIMPULANKeseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard pemantauan invasif

intraoperatif yang seksama serta manajemen anestesi yang handal adalah kunci untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

memperoleh anestesi yang aman untuk pasien ini Teknik anestesi yang digunakan tidak hanya demi memberikan kualitas kedalaman anestesi untuk operasi kepala namun juga untuk menjaga pasokan oksigen miokard agar mencegah iskemia miokard durante operasi

Kata kunci manajemen anestesi perdarahan subdural gagal jantung kronis atrial fibrilasi slow ventricular response

P-28

Sensitivitas Dan Spesifisitasensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCU

Meili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Abstrak

Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) adalah prediktor independen terhadap mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit Angka kejadian AKI di Intensive Care Unit (ICU) 60-70 mortalitas dari pasien tersebut mencapai 60 Diagnosis AKI saat ini ditegakkan dengan penilaian kenaikan kreatinin serum yang tidak reliabel dan terdeteksi setelah kerusakan ginjal terjadi Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) merupakan penanda untuk menilai kerusakan ginjal yang dapat terdeteksi lebih awal sebelum terjadi kenaikan kreatinin Penggunaan NGAL pada pasien ICU dan NHCU yang mengalami gangguan ginjal belum dapat ditentukan waktu mulai terjadinya AKI sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Objektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan NGAL plasma dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Metode Uji diagnostik telah dilakukan di ICU dan HCU (High Care Unit) RS Dr Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Desember 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 53 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi Semua sampel diperiksa kadar NGAL dengan menggunakan Alere Triagereg kit dan kreatinin serum Analisis hasil pemeriksaan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan SPSSreg versi 220 dan MedCalc versi 127

Hasil Hasil penelitian menunjukkan pada cut-off point 150 ngml NGAL plasma memiliki sensitivitas 88 spesifisitas 81 nilai prediksi positif 88 nilai prediksi negatif 88 dan akurasi 85

Simpulan Pemeriksaan NGAL plasma lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan waktu mulai terjadinya AKI dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Kata kunci AKI kreatinin NGAL plasma ICUHCU uji diagnostik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-29

Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan Kasus

Mohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar Belakang Tindakan koreksi skoliosis thorakalis membutuhkan manajemen anestesi perioperatif yang cermat dikarenakan terdapatnya permasalahan fisiologis yang sangat kompleks yang dapat menjadi penyulit Fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang paling sering terganggu pada skoliosis thorakalis tergantung dari derajat lengkungan yang ditimbulkanKonsiderasi anestesi pada tindakan koreksi skoliosis meliputi manajemen anestesi pada posisi prone teknik anestesi dengan hipotensi kendali kejadian hipotermia resiko terjadinya emboli udara Penggunaan opioid dosis tinggi sangat menguntungkan dimana opioid dosis tinggi tidak mempengaruhi hemodinamik durante operasi dan mengurangi penggunaan analgetik pasca operasi

Kasus Anak perempuan berusia 11 tahun dengan skoliosis thorakalis vertebrae thorakal VII ndash vertebrae thorakal XI yang dilakukan koreksi skoliosis Pada pasien ini didapatkan cobbrsquos angle sebesar 800 sehingga diprediksi terdapat gangguan dari fungsi respirasi Untuk fungsi kardiovaskuler dan neurologis tidak ada kelainanInduksi anestesi dengan menggunakan propofol 70 mg IV atracurium 30 mg IV fentanyl 200 mcg IV dengan rumatan menggunakan fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam daninhalasisevoflurane 1 vol dalam O2 dan airProsedur berlangsung selama 5 jam dengan perdarahan 800 mlPasca operasi pasien di pindahkan kePediatric Intensive Care Unit dengan retensi Endotracheal tube untuk evaluasi fungsi respirasi dan kardiovaskuler Analgetik pasca operasi menggunakan morphine kontinu 10mcgkgbbjamSatu hari perawatan di PICU didapatkan fungsi respirasi dan kardiovaskuler dalam batas normal sehingga dapat dilakukan ekstubasi

Diskusi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam dinilai efektif dalam mengurangi perdarahan tanpa mengganggu stabilitas hemodinamik durante operasi Tindakan wake up test dilakukan dengan pasien dalam kondisi koperatif tanpa agitasi Kebutuhan obat analgetik pasca operasi pun dapat dikurangi

Kesimpulan Manajemen perioperatif yang dimulai dari pre anestesi yang baik dapat memprediksikan kesulitan yang akan timbul pasca operasi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu memberikan banyak keuntungan dalam tindakan koreksi skoliosis

Kata Kunci Skoliosis thorakalisCobbrsquos angleposisi prone Opioid Based

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-30

Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum

Laparoskopi Kolesistektomi

Muhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Pembedahan dan anestesi menyebabkan respon stres berupa pelepasan hormon katabolik seperti kortisol dan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek fentanil dan morfin intravena terhadap penekanan respon stres pembedahan di bawah anestesi umum pada orang dewasa

Metode Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Setelah memperoleh persetujuan dari komite etik dan persetujuan tertulis dari pasien pasien usia 18-64 tahun dengan status ASA PS 1-2 dan IMT lt 30 kgm2 yang akan menjalani prosedur laparoskopi kolesistektomi elektif diikutsertakan dalam penelitian ini Pasien dibagi menjadi kelompok F (n=25) mendapatkan fentanil 2 mcgkgBB dengan pemeliharaan 1 mcgkgBBjam dan kelompok M (n=25) mendapatkan morfin 02 mgkgBB dengan pemeliharaan 01 mgkgBBjam Pengambilan sampel darah untuk kadar kortisol dilakukan sebelum prosedur (T0) 30 menit pembedahan (T1) dan setelah ekstubasi (T2) Pengamatan hemodinamik meliputi tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) dilakukan pada beberapa waktu selama pembedahan Data diuji menggunakan uji statistik yang sesuai p lt 005 dinyatakan bermakna

Hasil Karakteristik sampel berupa umur jenis kelamin IMT ASA PS dan lama operasi dinyatakan homogen secara statistik Kadar kortisol pada kelompok fentanil meningkat dari waktu ke waktu yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan berlanjut sampai akhir anestesi (p= 0001) Pada kelompok morfin terjadi peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan menurun pada akhir anestesi (p =0240) Kedua kelompok memberikan kestabilan hemodinamik selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi kecuali pada saat intubasi endotrakeal terjadi peningkatan TAR (p=0000) dan peningkatan LJ (p=0000) namun perubahan TAR dan LJ tidak lebih 20 dari nilai basal

Kesimpulan Tidak terjadi penekanan kadar kortisol selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi pada kedua kelompok Peningkatan kadar kortisol darah pada akhir anestesi ditemukan pada kelompok fentanil tidak pada kelompok morfin Hemodinamik relatif stabil kecuali saat intubasi endotrakeal

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-31

Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epidural

Muhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar belakang Hipertensi pulmonal merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dan akan meningkatkan mortalitas bila dialami oleh wanita hamil Penanganan wanita hamil dengan hipertensi pulmonal merupakan suatu tantangan di bidang anesthesia Pada laporan kasus ini akan dijelaskan mengenai penatalaksanaan anestesi pada wanita disertai dengan adanya hipertensi pulmonal yang menjalani operasi seksio sesarea dalam anesthesia regional epidural

Presentasi kasus Wanita berusia 24 tahun dengan diagnose gravida 34-35 minggu dengan premature kontraksi disertai adanya hipertensi pulmonal Dari echokardiografi didapatkan adanya dilatasi atrium dan ventrikel kanan hipertensi pulmonal berat dan regurgitasi tricuspid sedang Kemudian operasi dilakukan dalam regional epidural Epidural blok dilakukan dalam posisi duduk pada L3-4 dengan memasukan kateter setinggi T10 Diberikan total bupivacaine 05 sebanyak 19 cc Blok setinggi T6 Bayi lahir dengan APGAR skor 6-8 Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ICU

Kesimpulan Hipertensi pulmonal dalam kehamilan memiliki angka mortalitas yang tinggi Tindakan anesthesia epidural merupakan tehnik yang paling memiliki efek minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan spinal maupun general anesthesia Maka dari itu tehnik ini merupakan tehnik yang paling aman untuk operasi seksio sesarea

Kata kunci Hipertensi pulmonal seksio sesarea anesthesia epidural

P-32

Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green Code

Novita Pradnyani1 Ketut Wibawa Nada2 IMG Widnyana2

1 Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ Udayana Bali2 Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ UdayanaBali

Abstrak

Latar belakangPeningkatan jumlah penduduk yang tidak dibarengi program KB yang baik berakibat

ANC yang teratur sehingga seringkali ibu hamil datang dengan kelainan penyerta yang serius

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dan membutuhkan persiapan anestesi yang lebih rumit Di sisi lain kasus tersebut terkadang kita jumpai dalam keadaan gawat darurat baik gawat janin ataupun gawat ibu sehingga tidak dapat dilakukan persiapan maksimal

Deskripsi KasusGravida 41 tahun ASA IIIE dengan G3P2002 28-29 mgg TH PEB Primi tua sekunder

plasenta previa totalis riwayat asma susp Oedema paru partial HELLP syndrome AHF ec Peripartum cardiomiopaty dengan FC III dilakukan SC green code ec KTG patologis Echo bedside didapatkan MR mild TR mild SV 58mL CO 727L SVR 1378 TAPSE 386 EF biplane 299 AGD pH 743 pCO2 19 pO2 141 HCO3 126 BE 117 SaO2 99 (FiO2 06 RR 25-26xmnt)

Premedikasi ketamin 10mg dan midazolam 05mg dengan anestesi RA BSA lateral decubitus di L3-4 dengan Bupivacain 05 heavy 10mg dan fentanyl 25 mcg dengan blok sensorik setinggi T6 Lahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudahLahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudah bayi lahir posisi ibu head up 30deg Post bayi lahir kontraksi uterus kurang baik sehingga dilakukan histerektomi Fluktuasi tekanan darah selama operasi 2 jam 45 menit TD 110-14560-88 mmHg nadi 80-95xmnt RR 20-23xmenit Dengan perdarahan plusmn2000 ml cairan masuk Kristaloid 1000mL dan koloid 500mL PRC 250mL Pasca operasi perawatan di ICU untuk moitoring dan pasien pulang di hari ke 4

Pembahasan Peningkatan beban jantung yang dimulai pada trimester ketiga (28minggu) membeikan beban pada kardiovaskular ibu hamil yang telah terganggu sebelum kehamilan dengan tambahan beban afterload karena PEB Kala III memberikan beban tambahan karena backflow aliran uteroplacental posisi head up dapat mengurangi aliran balik RA BSA dan posisi pasien dapat menjaga hemodinamik dan memberikan relaksasi yang cukup

Kesimpulan RA BSA dapat dijadikan pilihan untuk SC dengan AHF peripartum cardiomiopati dengan pemantauan dosis dan teknik yang baik

Kata kunc Gravida AHF peripartum cardiomiopati RA BSA Back flow Head up

DaftarPustaka

1 Miller D Ronald Millerrsquos Anesthesia 7th ed Churchill Livingstone 20052 Morgan G Edward Mikhail Maged S Murray Michael J Clinical Anesthesiologi 4th ed

New York Lange Medical BooksMcGrawHill 2006 3 David H Chestnut MD Cynthia A Wong MD Lawrence C Tsen MD Warwick D

Ngan Kee Yaakov Beilin MD and Jill Mhyre MD Chestnutrsquos Obstetric Anesthesia Principles and Practice 4th Edition Philadelphia Elsevier Mosby 2009

4 Roberta L Hines Katherine E Marschall Stoeltingrsquos Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed Philadelphia Elsevier 2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-33

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra

Bagian Ilmu Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas HasanuddinRumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar

Abstrak

Latar Belakang Blok transversusabdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman mudah dan efektif untuk memberikan analgesia pasca bedah pada operasi yang melibatkan dinding anterior abdomen Penelitian ini bertujuan menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pasca bedah herniorafi

MetodePenelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Penelitian dilakukan pada 44 pasien usia 18-60 tahun status fisik ASA I-II dan IMT 18-24 yang menjalani operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal di RS dr Wahidin Sudirohusodo dan jejaring di Makassar mulai bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 025 20 ml ditambahkan epinefrin 1200000 setelah operasi selesai dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 01 mgkgBBinfuskontinyu pada akhir operasi Penilaian skala nyeri digunakan Numeric Rating Scale (NRS) Bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 05 mcgkgBB waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pasca bedah dicatat Data dianalisis secara dengan menggunakan uji Mann Whitney dinyatakan bermakna bila plt 005

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian bersifat homogeny pada kedua kelompok Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok control (1781 plusmn 762 berbanding 915 plusmn 812 jam plt0001) Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (921 plusmn 1359 berbanding3088 plusmn 2039 mcg p=002)

Kesimpulan Blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodalmemberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibandingkan dengankontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi

Kata kunci blok TAP herniorafi teknik landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-34

Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi Spinal

Nurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli

Dept Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Operasi ortopedi ekstremitas bawah merupakan jenis operasi dengan skala nyeri pascaoperasi yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan nyeri yang baik Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor NMDA dan penghambat saluran kalsium memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia

Penelitian dilakukan secara uji klinis berpembanding buta ganda Penelitian efektivitas pemberian magnesium sulfat intravena terhadap nilai VAS dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 38 pasien dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal kelompok I (grup M) berjumlah 19 peserta bolus MgSO4 intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan MgSO4 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi dan kelompok II (grup K) 16 peserta bolus Nacl 09 03 mlkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan Nacl 09 01 mlkgbbjam sampai akhir operasiTiga peserta drop out karena gagal spinal dan operasi yang lama Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium pada semua subyek penelitian Penilaian nyeri menggunakan nilai VAS setelah selesai operasi pada 30 menit 1 2 4 6 12 18 dan 24 jam pascaoperasi Bila nilai vas gt 3 diberikan analgetik pertolongan petidin 05 mgkgbb Analisa statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan x2 test dan Fisher exact test dan dianalisa dengan program SPSS 20 for windows

Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik umum jenis dan lama operasi jumlah cairan intraoperatif serta kadar magnesium darah prabedah antara kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda Nilai VAS grup M secara statistik lebih rendah (p lt 005) dibandingkan grup K pada jam ke 18 dan 24 Jumlah pemberian analgetik petidin dalam 24 jam pascaoperasi lebih rendah pada grup M dibandingkan grup K (plt005)

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan dosis rumatan 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi menghasilkan nilai VAS lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik petidin dalam 24 jam pada pasien pascaoperasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal

Kata Kunci Analgetik pascaoperasi Magnesium Sulfat nilai VAS pascaoperasi Operasi ortopedi ekstremitas bawah Uji klinis acak berpembanding

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-35

Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty

Pande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PendahuluanAnestesi yang aman pada pediatrik tergantung pada pemahaman yang menyeluruh

tentang fisiologi dan farmakologi dan perbedaan antara pediatrik dan dewasa Pada pasien dengan single kidney memerlukan strategi anestesi yang khusus

Presentasi kasusPasien pediatrik 3 tahun berat badan 11 kg dikeluhkan tidak mempunyai lubang

anus sejak lahir telah dilakukan operasi kolostomi saat umur 1 hari Dari pemeriksaan USG ditemukan pasien dengan satu ginjal Pada pasien telah dilakukan PSARVUP (Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty) dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa endotracheal ukuran 45 dan dilakukan pemasangan caudal Telah diberikan midazolam 05 mg iv ketamine 10 mg iv fentanyl 20 mcg iv atracurium 5 mg iv Caudal analgesia dengan bolus Bupivacaine 025 + Fentanyl 10 mcg volume 6 ml 30 menit kemudian dilanjutkan dengan caudal kontinyu Bupivacaine 01 + Fentanyl 50 mcg volume 50 ml dengan kecepatan 2 mljam Durasi pembedahan 6 jam Post operasi pasien dirawat di PICU selama 2 hari

DiskusiManagemen anestesi untuk pediatrik dapat dilakukan anestesi umum dan caudal

kontinyu Pada pasien ini caudal kontinyu dapat sebagai pilihan karena dapat memberikan relaksasi dan analgesia sekaligus menurunkan kebutuhan obat sistemik pada pasien dengan single kidney Keuntungan lainnya caudal analgesia dapat digunakan untuk analgesia post operasi

KesimpulanKombinasi anestesi umum dan caudal kontinyu dapat menjadi alternative pada

pembedahan urogenital pada pediatric untuk menghindari penggunaan obat sistemik sehingga meminimalisasi efek samping sistemik yang dapat mengganggu fungsi ginjal dan memperpanjang waktu pulih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36

Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi ndashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid

Thorakal

Pradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit++

Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

dr SpAnKARDRdr ++SpAnKARdr

Abstrak

Latar Belakang Pemilihan Caudal Anesthesia Single Shot dianggap lebih praktis dan mampu memenuhi kebutuhan anesthesia - analgesia untuk tindakan pembedahan pada anak Di RSUP Sanglah Denpasar terdapat 405 (10) pembedahan pediatri dari total 4059 kasus sepanjang tahun 2014 dengan 217 (52) kasus diantaranya adalah dengan anomaly digestif dan dikerjakan dengan teknik anestesi kombinasi GA-Caudal anesthesia Penggunaan formula Armitage dijadikan pedoman untuk pemberian dosis caudal pediatrik yaitu 05mlkg untuk blok setinggi lumbosakral 1mlkg untuk torako lumbal dan 125mlkg untuk mid torakal Laporan kasus ini ingin menunjukkan ketinggian segmen yang bias dicapai pada penggunaan Caudal Anesthesia Single Shot dengandosis mid torakal (125 mlkg) dengan ultrasonografi-doppler pada 4 pasien ASA I ndash II yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dibawah pengaruh Anestesi Umum

Metode 4 Pasien ASA I ndashII usia 8 bulan hingga 4 tahun dengan berat badan 7ndash16 kg menjalani prosedur operasi abdomen bagian bawah PSARP kolostomi dan tutup kolostomi Setelah dilakukan Induksi Anestesi Umum dan dilakukan pemasangan jalur IV pasien diposisikan pada posisi Sim dan disiapkan untuk dilakukan Caudal Block Dengan jarum abocath 20G dimasukkan obat anestesi lokalBupivacain 015 Dengan bantuan ultrasonografindashdoppler dipastikan bahwa jarum telah masuk di ruang epidural dan kemudian diamati pergerakan cairan serta dilatasi dari ruang epidural saat obat anestesi local masuk ke ruang epidural sehingga diketahui ketinggian segmen yang dicapai Rata-rata saat dosis mencapai 125mlkg Nampak bahwa pergerakan cairan anestesi local hanya mencapai segmen L2-3

Hasil Durante operasi tampak terjadi peningkatan nadi yang signifikan saat manipulasi pembedahan dilakukan pada bagian yang lebihtinggi sehingga diberikan penambahan opiat Fentanyl berkala

Kesimpulan Caudal Anesthesia Single Shot sebagai pilihan anestesi yang aman dan mudah dilakukan untuk pasien pediatri namun hanya dapat digunakan untuk prosedur pembedahan yang di kerjakan di bawahsegmen L2Untuk prosedur pembedahan diatas segmen L2 perlu dipertimbangkan pemasangan kateter sehingga bias mencapai segmen yang lebih tinggi

Kata kunci blok kaudal single shot armitage ultrasonografi doppler

Referensi 1 Donald Schwartz M amp Karthik Raghunathan M 2008 Ultrasonography and Pediatric

Caudals Anesthesia and Analgesia 106 pp97-99

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

2 Santhanam Suresh MD LJTBaASM 2011 Ultrasound Imaging for Pediatric Anesthesia A Review In MM Tanabe ed Ultrasound Imaging Rijeka Croatia InTech pp189-210

3 Soliman IE (2003 May) Pediatric pain management facts and myths University of Pittsburgh Nurse Anesthesia Program Lecture Pittsburgh PA

4 Barash PG Cullen BF and Stoelting RK(2001) Fourth Edition Clinical Anesthesia Philadelphia Lippincott Wiliams amp Wilkins

P-37

Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien Mastektomi

Puja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto PujoErwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstrak

Latar belakang CRP adalah protein fase akut yang kadarnya dalam darah sangat berkaitan erat dengan respon inflamasi akut yang terjadiTindakan pembedahan dan puasa yang berkepanjangan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan mediator inflamasifaseakut melalui proses yang rumit

Tujuan Membuktikan pengaruh pemberian minuman karbohidrat dan protein whey praoperasi terhadap kadar CRP pascaoperasi pada pasien mastektomi

Metode Penelitian jenis uji klinis acak terkontrol Sampel penelitian sebanyak 26 dibagi menjadi 2 kelompok Kelompok perlakuan (13 sampel) diberikan 400 mL minuman karbohidrat dan protein whey malam sebelum operasi dan 200 mL 4 jam sebelum operasi Kelompok kontrol diberikan air mineral dengan jumlah dan waktu pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan Kedua kelompok diperiksa kadar CRP pra dan pascaoperasi

Hasil Terdapat perbedaan bermakna ( p = 0001) pada kadarCRP pascaoperasi antara kelompok kontrol yaitu 762 plusmn 2074 dibandingkan dengan CRP pascaoperasi kelompok perlakuan yaitu 281 plusmn 2920 Selain itu juga terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0000) dalam selisih kadar CRP praoperasi dan pascaoperasi pada kelompok kontrol yaitu 536 plusmn 0535 dibandingkan dengan kelompok perlakuan yaitu 089 plusmn 0938

Kesimpulan Pemberian minuman karbohidrat dan protein whey pra operasi terbukti menurunkan respon inflamasi fase akut pascaoperasi yang tergambar dari peningkatan kadar CRP pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

Kata kunci CRP respon inflamasi akut pemberian minuman karbohidrat dan protein whey

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-38

Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik Sedang

Rezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Cedera otak terutama cedera otak sedang dan berat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dinamis pada metabolisme otak berkurangnya laju metabolisme dan timbulnya krisis energi Perubahan -perubahan tersebut dapat diekspresikan oleh dinamika kadar glukosa dan laktat darah

Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 30 orang pasien yang menjalani pembedahan kraniektomi darurat dan mendapatkan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1 vol + fentanil 1 mcgkgBBjam atau menggunakan propofol 100 microgkgBBmenit + fentanil 1 microgkgBBjam Sampel darah pengukuran glukosa dan laktat yang diambil pada titik-titik waktu yang tepat 30 menit sebelum awal operasi (T0) sebelum induksi (T1) 30 menit setelah operasi dimulai (T2) setelah ekstubasi (T3) dan 1 jam setelah operasi (T4) Hasil diproses dengan nonparametrik uji Mann-Whitney

Hasil Kadar glukosa diukur pada saat T2 pada kelompok propofol-fentanil secara signifikan lebih rendah (P = 0032) dibandingkan kelompok sevofluran-fentanil Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok tidak bermakna pada setiap pengukuran Korelasi kadar glukosa dan laktat darah kedua kelompokbernilai positif untuk T0 T1 T3 dan T4 Untuk T2 korelasi bernilai negatif (-0288) Korelasi yang sangat kuat atau signifikan terjadi pada waktu T1 dan T4

Kesimpulan Nilai rerata kadar glukosa dan laktat pada kedua kelompok tidak mengalami gejolak yang bermakna dan semakin besar nilai laktat maka kadar gula darah juga akan semakin meningkat

P-39

General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession Intrakranial

Ruddy Hardiansyah Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi amp Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

INTRODUCTIONTotal tiroidektomi adalah tindakan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua

lobus Permasalahan neurologi yang menyertai operasi tiroid tidak jarang dijumpai Otak merupakan salah satu organ yang menjadi target metastase dari karsinoma tiroid Penilaian

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

fisik dan penunjang neurologi merupakan hal yang mutlak diketahui sebelum perencanaan anestesi pada tindakan total tiroidektomi Manajemen anestesi pada kondisi tersebut menjadi lebih kompleks mengingat tiroidektomi merupakan tindakan pembedahan di area jalan nafas ditambah dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi akibat massa di otak Oleh karena itu merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menerapkan tehnik neuroanestesia dalam mencegah secondary brain injury selama tindakan pembedahan tiroid dan perawatan post operasi

Kata kunci neuroanestesia karsinoma tiroid total tiroidektomi sol intrakranial

CASE REPORTPerempuan umur 46 tahun (berat badan 60 Kg) datang ke Rumah Sakit Haji Adam Malik

Medan dengan keluhan benjolan pada leher yang dialami selama 8 tahun Pada pemeriksaan fisik dijumpai benjolan pada leher yang ikut bergerak saat pasien menelan dan benjolan pada bagian belakang atas kepala Tekanan darah 13080 mmHg nadi 86 xi dengan Glasgow Coma Scale score 15 tanpa defisit neurologis Pada foto cervical APlateral dijumpai pendorongan trakea ke kanan dengan sedikit penyempitan setinggi cervical 5 Pada axial cerebral computed tomography menunjukkan massa di regio parieto-occipital mendestruksi tulang dan meluas ke intraserebral Labotarorium dijumpai fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid Propanolol 20 mg dan propiltiourasil 100 mg per 8 jam oral sudah dikonsumsi selama 2 bulan sebelumnya Persiapan preoperasi meliputi penyediaan ETT beberapa ukuran sesuai dengan ukuran trakea pada foto cervical pipa lambung NaCl dingin dan paracetamol 500 mg propiltiourasil 400 mg serta propanolol 40 mg yang telah digerus Premedikasi diberikan midazolam 5 mg dan fentanyl 120 mcg secara intaravena Setelah preoksigenasi induksi dilakukan dengan pemberian propofol 120 mg rocuronium 50 mg dan lidocain 60 mg Intubasi endotrakea dengan tube 70 mm dilakukan dengan smooth Anestesia di maintenance dengan sevofluran 1 oksigen ndash air masing-masing 2 Li fentanyl 60 mcg dan rocuronium 10 mg setiap jamnya Tekanan darah selama operasi sistol 100 ndash 120 mmHg diastol 59 - 71 mmHg normokapni dengan perdarahan plusmn 380 cc Massa tiroid berhasil diangkat tanpa mencederai Nervus Laryngeal Recurrent Fentanyl 60 mcg dan lidocain 60 mg diberikan untuk mencegah nyeri dan peningkatan tekanan darah ketika pasien bernafas spontan dengan oksigen murni selama 15 menit sebelum dibangunkan evaluasi pita suara dan ekstubasi Perawatan post operasi dilakukan diruang perawatan intensif dengan fentanyl 30 mcg perjam secara kontiniu untuk penanganan nyeri Evaluasi kesadaran suara kadar calsium dan magnesium dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan post operasi

DISCUSSIONTindakan total tiroidektomi pada karsinoma tiroid dengan massa intrakranial

menggunakan anestesi umum dengan tehnik neuroanestesi Penanganan anestesi ditujukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan secondary brain injury dengan menjaga CPP 70 ndash 90 mmHg dan normokapni Analgesia adekuat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik dan tekanan intrakranial saat intubasi evaluasi pita suara ekstubasi dan penanganan nyeri post operasi

CONCLUSIONAnestesi umum dengan tehnik neuroanestesia harus digunakan pada tindakan

pembedahan yang disertai permasalahan neurologi Penjajakan neurologi menjadi hal yang penting sebelum perencanaan anestesi Peningkatan TIK dan secondary brain injury harus dihindari selama prosedur tindakan pembedahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Referensi 1 Cottrell James E Newfield Philippa et al Handbook of Neuroanesthesia Anethesia

and Neurosurgery Lipincott William amp Wilkins 5th edition 2012 P 86-972 Bisri T Penanganan Neuroanestesi dan Critical Care Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung 20123 Gurvitch LD Yao FS Anesthesiology Problem- Oriented Patient Management The

endocrine System Lipincott William amp Wilkins 7th edition 2012 P 575 - 604

P-40

Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan Kasus

Semarawima Gede Budiarta I Gede

Bagian Anestesi dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar BelakangTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum

dengan angka kejadian 15 dari seluruh massa mediastinum Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun kronis yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi Hiperplasia timus terjadi lebih dari 70 pada pasien dengan miastenia gravis dan 10-15 pasien ini menderita timoma

Diskripsi KasusASA III Perempuan umur 54 tahun dengan keluhan utama kelopak mata terasa berat

suara cadel susah mengunyah dan menelan di sore hari sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Tidak didapatkan tanda-tanda sindrom vena cava superior Didiagnosis miastenia gravis sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan diberikan terapi Pyridostigmine 60 mg 12 jam PO Methylprednisolon 8 mg 12 jam PO Pada pemeriksaan penunjang didapatkan massa di anterosuperior mediastinum retrosternal dengan ukuran 4x45x6 cm gambaran ini mengarah ke keganasan timus Rekaman ENMG dalam batas normal

Pada persiapan pra operasi obat Pyridostigmine tetap dilanjutkan pemberianya Dilakukan operasi timektomi dengan general anestesi pemasangan pipa endotrakeal dengan epidural anestesia Ko-induksi dengan Fentanyl 3 mcgkgbb induksi dengan Propofol 2 mgkgbb fasilitas intubasi tanpa menggunakan pelumpuh otot Pemeliharaan dengan Compressed air Oksigen Sevoflurane 13 vol Epidural anestesia dengan regimen Bupivacain 025 + Morfin 2 mg volume 6 ml Lama operasi 2 jam 30 menit dengan fluktuasi tekanan darah selama operasi 90-12558-83 mmHg Nadi 64-98 kalimenit Lama anestesi 3 jam 10 menit dan sebelum pasien di ekstubasi diberikan Prostigmin 006 mgkgbb Selanjutnya pasien dirawat di ruang intensif

00Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanPenatalaksanaan anestesi tidak menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari sindrom

paraneoplastik akibat timoma dan miastenia gravis Miastenia gravis akan mempengaruhi efek pelumpuh otot yang sangat sensitif terhadap pelumpuh otot golongan depolarisasi

Kata Kunci Timoma Miastenia Gravis Sindrome Prostigmin Anestesia

P-41

Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan

Pervaginam

Sitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Analgesia persalinan intratekal (ILA) adalah salah satu teknik analgesia regional untuk mengatasi nyeri persalinan Penelitian ini membandingkan penambahan klonidin 45 μg fentanil 25 μg dan fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg sebagai adjuvan analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg terhadap durasi analgesia hemodinamik dan intensitas nyeri pada persalinan pervaginam

Metode Penelitian ini adalah penelitian eksperimental acak tersamar tunggal yang menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan teknik ILA Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di bagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 17 orang Semua kelompok menggunakan 25 mg bupivakain 01 sebagai anestesi lokal Kelompok BF diberikan adjuvan 25 μg fentanil kelompok BK diberikan 45 μg klonidin dan kelompok BFK diberikan 25 μg fentanil plus 45 μg klonidin Penilaian dilakukan pada saat fase aktif (pembukaan 4-6 cm) Dilakukan pencatatan durasi analgesia hemodinamik intensitas nyeri skor Bromage efek samping dan skor APGAR Data yang terkumpul akan diuji dengan metode statistik yang sesuai

Hasil Karakteristik sampel berupa umur tinggi badan berat badan mula persalinan dan pembukaan serviks awal dinyatakan homogen secara statistik Durasi analgesia pada kelompok ILA BFK yakni (17124 plusmn 795) menit lebih lama dibandingkan kelompok ILA BK yakni (10753 plusmn 737) menit dan kelompok ILA BF yakni (9182 plusmn 354) menit Ketiga kelompok menunjukkankan kestabilan hemodinamik dan menurunkan intensitas nyeri selama efek analgesia masih berjalan

Kesimpulan Fentanil 25 μg + klonidin 45 μg sebagai adjuvan pada analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg pada persalinan pervaginam memiliki durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan klonidin 45 microg atau fentanil 25 microg

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-42

Laporan KasusManajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan

DIC dan Sepsis

Stefanus Taofik1 Abraham Taofik Putu Kurniyanta2 I Gede Budiarta2

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Spesialis Anestesi Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar belakangHernia diafragma traumatika adalah kasus yang jarang dijumpai dengan prevalensi 3-4

di dunia Hernia diaframatika seringkali asimptomatik sampai dengan timbulnya komplikasi dengan angka mortalitas tinggi Komplikasi yang timbul seringkali mempersulit manajemen anestesi (sepsis gangguan respirasi dan imbalance elektrolit) Permasalahan durasi operasi meliputi perdarahan gangguan respirasi dan hemodinamik dengan mempertahankan perfusi cerebral yang adekuat

Deskripsi KasusPediatri 7 tahun berat badan rendah 17kg dengan trauma tumpul abdomen dan cedera

otak ringan 16 hari pra operasi pasca KLL dengan terpasang WSD D Pada thorax X-ray CT SCAN dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan hernia diafragmatika dengan hematoma retroperitoneal Selama perawatan didapatkan sepsis dengan pemanjangan INR 516 dengan DIC score 6 dengan Procalcitonin 19 CPIS score 7 dan albumin 228grdL Dilakukan repair diafragma dengan GA OTT TIVA fentanyl-ketamin midazolam dan vecuronium intermitten dengan pemasangan monitor invasif artery line dan kateter vena sentral jugular D dengan panduan USG dan ETCO2 Pra tindakan dipastikan content cukup diberikan FFP 10mlkgbb dengan topangan NE 01-02 ugkgmenit Durante operasi hemodinamik dengan TD 95-10560-75mmhg dan nadi 103-112xmnt (sepsis) dengan urine output 23cckgjam selama 5 jam pembedahan dan desaturasi ec vq missmatch dan manipulasi pembedahan Perdarahan 400mL(30 EBV) dengan pengelolaan cairan PRC FFP dan koloid Durante didapatkan hepar gall bladder dan ileum yang menembus diafragma kanan dan atelektasis paru kanan Pasca operasi pasien dirawat di PICU dengan morfin-ketamin kontinyu dan ventilator support tanpa edema paru dengan perbaikan parameter respirasi dan hemodinamik pasca operasi Weaning dimulai hari ke 3 pasca operasi

PembahasanKompleksitas tindakan yang dibarengi dengan komplikasi yang terjadi dalam setting

pediatri BB rendah memberikan tantangan tersendiri Manajemen respirasi dengan ventilasi disesuaikan dengan Paw dan ETCO2 Pra tindakan dilakukan perbaikan content dengan menambahkan faktor koagulasi dan meningkatkan tekanan onkotik serta pemberian asam traneksamat sesuai CRASH TRIAL Pasca tindakan paru kanan dikembangkan bertahap dengan PEEP untuk mencegah terjadinya REPE (Reexpansion Pulmonary Edema) Gejolak hemodinamik diminimalkan dengan pemilihan regimen anestesi TIVA

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Kesimpulan Tindakan repair hernia diafragma traumatika memberikan tantangan yang berbeda

dengan non traumatika terutama pada setting pediatri Manajemen anestesi TIVA penguasaan respirasi hemodinamik dan mengenali komplikasi sebagai pemberat operasi dan memahami teknik operasi menjadi kunci dalam penanganan kasus ini

Kata kunci Hernia diafragma traumatika TIVA Reexpansion pulmonary edema DIC Panduan USG Sepsis

Daftar Pustaka1 The CRASH II Collaborator The importance of erly tranexamic acid in bleeding

trauma patients an exploratory analysis of the CRASH 2 randomized controlled trialLancet Volume 377 No 9771

2 Alqadi R ValenciaFC Viscusi M 2013 Reexpansion Pulmonary Edema Following Thoracentesis Rhode Island Medical Journal Vol Sept 2013 38-40

3 JaffeRA 2009 SamuelsSI Anesthesiologist Manual of Surgical Procedures 4th ed Chap7

4 MillerRD 2010 Milllerrsquos Anesthesia 7th ed Chap V72

P-43

Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik1 Musa Taofik Senapathi Tjok GA2 PAS Panji

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Konsultan Regional Anesthesia Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah 3 Konsultan Intensive Care Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar Belakang Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanag Icu untuk lebih efektif dan efisien Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU Pasien non bedah meskipun jumlahnya tidak banyak namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

Objektif Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring

Metode Penelitian ini melibatkan 184 pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah Denpasar yng diambil secara acak dari tgl 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II SOFA dan CSOFA Karakteristik data dari hasil penelitian ini dilakukan uji Saphiro wilkins dan Chi Square Uji analitik regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing suvariabel terhadap mortalitas dan selanjutnya mencari cutoff point dari analisa kura ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Hasil uji karakterisktik data memperlihatkan pengaruh usia AKI sepsis dan adanya penyakit kronis berkorelasi dengan mortalitas dengan plt0001 Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II SOFA dan CSOFA berturut turut didapatkan 0892 0919 dan 09172 Missing value terbanyak didapatkan pada berturut turut pada SOFA APACHE II dan CSOFA sebesar 8423 815 dan 165 dengan dominan subvariabel hepar (bilirubinikterik) Uji regresi logistik memperlihatkan subvariabel neurologi kardiovaskular dan respirasi memberikan korelasi bermakna terhadap mortalitas dengan OR 458 224 dan 147 Subvariabel lain yang berpengaruh antara lain AKI sepsis dan peyakit kronis dengan OR 814 389 dan 242 CSOFA yang disederhanakan dengan subvariabel Respirasi (sf ratio) neurologi (GCS) kardiovaskular creatinin dan koagulasi (platelet) memberikan nilai AuROC=09175 dengan missing value 165

Kesimpulan Sistem skoring CSOFA yang disederhanakan memberikan nilai diskriminasi yang tertinggi dengan missing value terendah pada pasien non bedah sehingga dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas di ICU

Kata kunci Sistem skoring APACHE II SOFA CSOFA AuROC missing value

Referensi 1 Halim DA Murni TW Ike SR 2009 Comparison of APACHE II SOFA and modified

SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr Hasan Sadikin general hospital Crit Care amp Shock 12157-169

2 Namendy-silva SA Medina-silva MA Barahona VGM Torres JAB 2013 Application of modified sequential organ failure assessment score to critically ill patients Braz J Med Biol Res 46(2) 186-193

3 Sunaryo A Ike SR BisriT 2012Perbandingan validasi APACHE II dan SOFA score untuk memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif Majalah Kedokteran terapi Intensif vol 2 11-20

4 Grissom CK Brown SM Kuttler KG Boltax JP 2010 A Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) for critical care triage Disaster Med Public Health Prep 4277-284

P-44

Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of Ameloblastoma

Taor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

Abstract

Ameloblastoma is tumor coming from the residue of dentition that would from odontogenic epithelium tumor Ameloblastoma tend to make anaesthetist experiences difficulty with facemask ventilation of the upper airway and tracheal intubation Management of difficult airway will always confront the anaesthetist This is one area of the practice that the

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

anaesthetist is required to develop divers skill suited for each clinical situation The ability to use the flexible fiberoptic bronchoscope (FOB) presents the anaesthetist with an addition tool to conduct endotracheal intubation when faced with a difficult airway

Keywords ameloblastoma difficult airway flexible fiberoptic bronchoscope

P-45

Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi

Departemen Anestesi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia -RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak

PendahuluanTransplantasihatidari donor hidup (THDH) merupakan pilihan terakhir pada pasien

dengan end stage liver disease (ESLD)Angka harapan hidup tiga tahun 70-82 tetapi prosedur ini sangat kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besarbaik dari segi biaya sarana dan personel

KasusResipien adalah laki-laki 18 tahundengan atresia bilier Donor berasal dari kakak pasien

yang sehatPersiapan THDH dilakukan 2 bulan meliputi optimalisasi pasien persiapan alat dan

obat serta tim perioperatif multidisiplinAnestesia menggunakan infusi kontinyu propofol fentanil dan atrakurium Rumatan menggunakan sevofluran dengan oksigen 40 Di samping EKG kapnografdan SpO2 pemantauan intraoperatif juga dilakukan dengan tekanan darah arterial tekanan vena sentral dan pulse contour analysis Selama operasi tekanan darah dijaga 13080 mmHg dan CVP pada masa pra-anhepatik lt5 mmHg Pemeriksaan intraoperatif berupa analisis gas darah elektrolit darah perifer fungsi koagulasi glukosa dan laktat Obat intravena yang digunakan dobutamin norepinefrin fenilefrin metilprednisolon CaCl2 dan dekstrosa 40

Pascabedah pasien diberikan terapi suportif menyeluruh dengan titik berat pada pemantauan perdarahan fungsi hepar fungsi ginjal dan fungsi kardiorespirasi

DiskusiMasalah utama pada periode pra-anhepatik adalah menjaga homeostasis sedekat

mungkin dengan nilai basal Dosis kecil norepinefrin digunakan untuk mencegah fluktuasi tekanan darah Dobutamin digunakan pada periode reperfusi untuk menjaga kecukupan perfusi jaringan setelah klem vena porta dilepas Pemberian CaCl2 dikarenakan pasien mendapat transfusi packed red cell yang mengandung sitrat dan mengikat kalsium cenderung menyebabkan hipokalsemia Pasien ESLD cenderung mengalami hipoglikemia Oleh sebab itu gula darah dipantau ketat sepanjang prosedur Ketika kadar gula darah turun diberikan infusi dekstrosa

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Masalah berikutnya adalah periode anhepatik Penjepitan vena kava inferior vena hepatika dan vena porta sebelum reseksi hepar berpotensi menyebabkan penurunan curah jantung oleh karena turunnya prabeban Untuk mengantisipasi ini dapat diberikan albumin 5

Masalah terbesar adalah periode reperfusi setelah aliran vena-vena di atas kembali (unclamping) Beban jantung dapat tiba-tiba meningkat yang dapat menyebabkan gagal kontraksi Penglepasan mediator inflamasi berakibat luas antara lain menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan jaringan termasuk miokard Itu sebabnya ketika prosedur dimulai diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi inflamasi berlebihan Reaksi ini juga yang menyebabkan rejeksi organ Pemberian dobutamin sangat membantu dalam mempertahankan kontraktilitas miokard

Reaksi inflamasi termasuk yang dipantau pada periode pascabedah di samping pemantauan fungsi hepar koagulasi dan sebagainya

Kesemua proses sejak persiapan pelaksanaan dan pascabedah memerlukan biaya yang relatif tinggi Prosedur optimalisasi pasien melibatkan berbagai pemeriksaan berbiaya tinggi Demikian pula pemantauan selama operasi dan penggunaan obat-obat multipel Namun demikian masalah terbesar dari seluruh proses ini adalah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat termasuk pemegang kebijakan di rumah sakit

SimpulanTransplantasi hepar dengan donor hidup sangat kompleks baik dari segi sarana

prasarana maupun prosedur anestesianya Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada fasilitas yang lengkap

Kata Kunci THDH praanhepatik anhepatik reperfusi perioperatif

P-46

Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan

Nasional

Tommy N Tanumihardja Grace Alvina

RS St Carolus Summarecon Serpong

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi kebidanan meliputi pengendalian nyeri pada persalinan

dan anestesi pada operasi sesar Teknik yang saat ini sering dipilih untuk pengendalian nyeri kebidanan adalah anestesi neuraksial yakni epidural spinal dan kombinasi spinal epidural karena sangat memberikan kepuasan dan keuntungan yang lebih bagi pasien Prinsip teknik kombinasi spinal epidural meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping dari kedua teknik lainnya Keuntungan yang bisa dicapai adalah penggunaan dosis obat yang rendah blok sensori yang adekuat dan analgesia yang sangat baik

Pada kesempatan ini penulis bermaksud melaporkan serial kasus penggunaan teknik kombinasi untuk memberikan gambaran pelayanan obstetrik yang diberikan menghasilkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kendali mutu dan kendali biaya Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pelayanan obstetrik yang optimal di era Jaminan Kesehatan Nasional

Serial KasusAntara bulan September 2012 sampai September 2014 di suatu rumah sakit swasta di

Tangerang didapatkan 92 pasien mendapatkan pelayanan analgesia fase persalinan 39 pasien di antaranya digunakan teknik kombinasi spinal dan epidural 16 pasien hanya menggunakan obat anestesi lokal dan adjuvan fentanil pada drip epidural Mereka tidak merasakan nyeri yang mengganggu sampai lahirnya bayi Meskipun 3 dari antara pasien tersebut melahirkan secara sesar hanya 1 pasien yang membutuhkan teknik anestesi spinal ulang

Diskusi Teknik kombinasi spinal epidural dilaporkan mempunyai dampak kepuasan yang tinggi

dalam hal menanggulangi nyeri persalinan dan juga bermanfaat pada kasus-kasus kebidanan beresiko tinggi Selain itu teknik kombinasi spinal epidural memiliki tingkat kegagalan teknik yang lebih epidural yang digunakan dapat memberikan durasi analgesia yang dapat disesuaikan dengan lama persalinan

Dalam pengamatan serial kasus ini juga obat yang digunakan efisien sehingga dapat memberikan kendali mutu dan biaya yang diperlukan

KesimpulanPenggunaan teknik analgesia kombinasi spinal dan epidural pada proses persalinan

merupakan teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan mutu dan biaya pada era Jaminan Kesehatan Nasional

P-47

Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali

biaya bagi pelayanan anestesia

Tommy N Tanumihardja Clementine Natalie

RS Atma Jaya Jakarta

Abstrak

Pasien laki-laki usia 64 tahun dengan fraktur intertrokanter femur dekstra dilakukan PFNA Pasien menderita penyakit Parkinson yang telah diterapi dengan selama 12 tahun Pasien dipersiapkan puasa makanan padat 6 jam sebelum operasi Pada hari pasien dioperasi obat-obatan pengendali penyakit Parkinson tetap dilanjutkan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan monitor standar ASA jalur intravena diamankan Dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakea tanpa kesulitan Pasien dilakukan ventilasi kendali penuh kemudian dipasang kateter urin Pasien diposisikan terlentang pada meja traksi Insisi dilakukan pada sisi lateral paha kanan Operasi berlangsung selama 1 jam 45 menit dengan rumatan oksigen N2O dan Isofluran 30 menit menjelang selesai pasien diberikan antiemetik Parasetamol 1000 mg diberikan intravena saat penutupan luka

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Pasien diposisikan terlentang kembali pada meja operasi Kemudian dilakukan identifikasi nervus femoralis dextra menggunakan jarum stimulasi saraf secara aseptik dan antiseptik pada regio inguinal kanan Nervus femoralis diidentifikasi di sebelah medial arteri femoralis Obat anestesi lokal Bupivacaine isobarik 02 sebanyak 20 ml diinjeksikan di sekitar nfemoralis setelah nervus femoralis diidentifikasi pada kedalaman 5 cm dengan tetap mempertahankan kontraksi otot kuadriceps femoris Kateter diinsersi dan difiksasi pada kedalaman 11 cm Analgesia kontinu dilanjutkan dengan Bupivacaine 02 6mLjam via pompa infus elastis dengan analgesia kendali pasien 2ml bolus dengan lock out interval 15 menit Pasien dibangunkan diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan Pasien dipindahkan ke bangsal sesudah sadar penuh

6 jam setelah operasi pasien mulai melakukan mobilisasi duduk 12 jam pasca operasi skala nyeri numerik 410 dengan 2x bolus analgesia kendali pasien 24 jam pasca operasi pasien mulai melakukan terapi mobilisasi berdiri 26 jam pasca operasi skala nyeri numerik 210 dengan 2 bolus analgesia kendali pasien ditekan 45 jam pasca operasi skala nyeri 410 tanpa ada bolus analgesia kendali pasien yang ditekan 51 jam pasca operasi analgesia via pompa infus elastis habis Pasien diberikan Parasetamol 500 mg per oral 3x sehari selama perawatan Kateter femoral dilepas pada hari 3 pasca operasi lalu pasien dipulangkan pada hari kelima

Tujuan kendali mutu dengan target mobilisasi dini pasien dan juga penanggulangan nyeri yang memuaskan dapat dicapai dengan teknik analgesia berbasis blok nervus femoralis kontinu Morbiditas pasca operasi dapat dihindari dan pasien dapat dipulangkan dengan cepat

P-48

Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)

Vania Wiyanto M Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) atau displasia bronkopulmonalis adalah suatu penyakit kongenital langka yang dapat menyebabkan kematian intrauterus dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bayi Manifestasi bermacam-macam mulai dari hanya membutuhkan oksigen ringan sampai depresi nafas yang berat Terapi yang disarankan adalah Torakotomi untuk reseksi kista

Obyektif Agar dapat mengatasi dapat melakukan penatalaksanan yang tepat pada kasus-kasus serupa sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pediatrik dengan kelainan kongenital pada paru-paru khususnya CCAM

Laporan Kasus Seorang anak perempuan berusia 1 tahun dengan diagnosis CCAM Tipe III yang direncanakan operasi Thorakotomi elektif Pasien diinduksi dengan Anestesi inhalasi

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Halothane 15 vol dengan O2 Air = 3 3 dengan teknik induksi nafas spontan Dilakukan pemasangan Infus dan diberikan medikasi dengan Fentanyl 2mcgKgBB Permasalahan pasien mengalami Apnea dan tidak dapat diventilasi sehingga pasien mengalami desaturasi dan bradikardia Intraoperatif pasien stabil namun pasien kembali mengalami desaturasi pada saat akhir anestesi yang diduga karena Light anestesi atau plak pada ETT sehingga diputuskan untuk dilakukan re-intubasi Pasien kemudian diretensi ETT dan masuk ke ICU dengan support ventilator minimal Setelah dilakukan weanning ventilator pasien diekstubasi Post ektubasi pasien diobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien baik dan keesokan harinya pasien dapat pindah ke ruangan

Kesimpulan Penatalaksanaan Anestesi yang tepat monitoring ketat dan penilaian pasien post operasi dapat memberikan hasil yang baik bagi pasien CCAM yang dilakukan thorakotomi dan eksisi kista

Kata kunci Anestesi CCAM

P-49

Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesaria

Iwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah

Bagian Anestesiologi Perawatan intensif dan Manajemen nyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Anestesi spinal merupakan teknik yang popular digunakan dalam operasi seksio sesaria Perubahan fisiologis ibu dosis dan volume anestetik lokal yang digunakan meningkatkan resiko hipotensi 33 ndash 80 beberapa penelitian mengenai pencegahan hipotensi pascaanestesi spinal penelitian tentang kecepatan injeksi dilakukan dengan metode dan hasil yang bervariasi Hipotesis penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset blok anestesi

Metode penelitian 48 sampel yang masuk kriteria inklusi dipilih secara acak dibagi dalam dua kelompok anestesi spinal menggunakan bupivakain 05 10mg dan fentanyl 25mcg kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 04 mLdtk sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 02 mLdtk Insiden hipotensi onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisa statistik

Hasil penelitian Insiden hipotensi lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi lebih lambat 9 dari 24 sedangkan pada kelompok IC insiden hipotensi 21 dari 24 (IC 088+0338 IL 038+0495 P=0001) tidak ada perbedaan onset blok anestesi spinal antara kedua kelompok (IC 296+173 IL 362+166 P=0180) Insiden efek samping mual muntah depresi nafas dan kebutuhan efedrin lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi 02 mLdtk

Kesimpulan Injeksi anestesi dengan kecepatan 02 mLdtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-50

Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida Dengan Skoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio Lumbal

Warsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati

PPDS Ilmu Anestesi dan terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr Soebandi Jember

Abstrak

PendahuluanSkoliosis merupakan suatu keadaan deviasi dalam aksis vertikal dari tulang vertebra

Skoliosis berat relatif jarang terjadi pada wanita hamil ( insiden 003 ) umumnya bersifat idiopatik Derajat keparahan ditentukan dengan sudut Cobb Lordosis merupakan suatu keadaan normal dimana terdapat kurvatura konkavitas anterior tulang vertebra ( normalnya pada vertebra cervikal dan lumbalis ) Pada wanita hamil lordosis lumbalis meningkat

Anestesi regional pada wanita hamil dengan kelaianan kurvatura vertebra memberikan tantangan bagi dokter anestesi

Laporan kasusPasien 26 tahun diagnosa primigravida usia kehamilan 40-41 minggu inpartu kala II

dengan CPD dan Scoliosis-lordosis berat vertebra lumbal serta jaringan parut luas di regio lumbal Tidak terdapat keluhan sesak saat beraktivitas gangguan motorik atau sensorik pada pasien ini Pasien dengan BB 60 kg dan TB 150 cm tekanan darah 13090 mmHg frekwensi nadi 88xmenit frekwensi nafas 18xmenit tanpa distres janin Pasien diputuskan seksio sesaria Pasien diposisikan lateral decubitus kiri Pasien diberikan spinal anestesi dengan teknik paramedian menggunakan jarum spinal 25G pada level Th12-L1 dengan regimen bupivakain 05 heavy 125 mg dan morfin 300 mcg Level sensorik tercapai di level Thorakal 6 dan operasi dimulai Durasi operasi 30 menit Hemodinamik pasien stabil dengan TD 100-11565-84 mmHg frekwensi nadi 68-75xmenit Total cairan yang diberikan RL 1500 ml Lahir bayi laki-laki berat badan lahir 2095 gram panjang badan 50cm dengan APGAR score 89 Paska operasi pasien tidak terdapat keluhan nyeri kepala dan nyeri luka operasi modalitas motorik dan sensorik dievaluasi 8 jam paska operasi normal Pasien dirawat diruangan selama 2 hari

DiskusiKelainan kurvatura vertebra umumnya diserta gangguan kardipulmonar dan gangguan

neuromuskular Perubahan anatomi dan fungsional tubuh pada gravida (edema saluran airway penurunan FRC gangguan pasase lambung) dengan kelainan kurvatura vertebra meningkatkan resiko kesulitan intubasi hipoksemia dan apirasi saat induksi anestesi umum dan juga resiko depresi neonatus Regional anestesi umumnya dipilih Kebutuhan dosis anestesi lokal sangat bervariasi pada kasus ini Larutan anestesi lokal hiperbarik akan terkumpul di bagian dependen dari tulang vertebra dan menyebabkan blok yang tidak adekuat

Pada kasus ini identifikasi ruang intervertebra lumbal sulit dilakukan Pemberian spinal anestesi dipilih karena tekniknya sederhana onset lebih cepat kualitas anestesi lebih baik dibandingkan anestesi epidural Umumnya spinal anestesi tidak dilakukan pada level diatas L2-3 untuk mencegah cedera pada medula spinalis Namun ruang intervertebra lumbal pasien

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

ini sulit diidentifikasi dan sehingga dilakukan pada intervertebra Th12-L1 Jarum spinal yang digunakan berukuran 25G sehingga identifikasi ligametum flavum dan lapisan duramater lebih mudah dirasakan untuk menghindari cedera pada medula spinalis Pemberian adjuvan morphine intratekal dapat memberikan analgesia pada segmen atas yang mungkin tidak terjangkau akibat kelainan kurvatura vertebra dan juga memberikan efek analgesia sampai 24 jam paska operasi

Kesimpulan Dengan hati-hati pemberian spinal anestesi dapat dilakukan di ruang intervertebra di

atas L2-3 terutama pada kasus dimana ruang intervertebra lumbal tidak dapat diidentifikasi dengan baik

Kata Kunci spinal anestesi gravida scoliosis-lordosis berat Lumbal jaringan parut

P-51

Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop Fiberoptic

I Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 10 kasus intubasi sulit yang menjalani pembedahan di

RSUP Sanglah Pengelolaan perioperatif pasien dengan kesulitan manajemen airway memiliki tantangan tersendiri dimana mengamankan jalan nafas adalah hal krusial yang pertama harus diatasi agar pembedahan bisa berjalan Teknik Intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan intubasi pada pasien-pasien dengan kesulitan aiway sebelum memilih teknik invasive

LAPORAN KASUSLaki-laki 50 tahun dengan Tumor Ginggiva suspek squamus cell carcinoma yang

menjalani pembedahan insisi biopsi dan bimanual palpasi dilakukan tindakan anestesi umum dengan teknik awake intubasi menggunakan fiberoptic bronchoscope Pasien di premedikasi dengan nebulizer lidocaine 2 100 mg (2mgkg) + salbutamol 25 mg(1 ampul) sulfas atropin 05 mg ( 001 mgkg) dexametason 10 mg(02 mgkg) co induksi dengan fentanyl 50 mcg(1 mcgkg) Saat onset obat tercapai dilakukan intubasi nasotracheal menggunakan ETT non kinking ukuran 60 via bronchoscope fiberoptic Sesaat sebelum insersi tube pasien diinduksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) Saat intubasi dilakukan pasien sangat kooperatif (tidak ada reflek muntah dan batuk) dengan hemodinamik sebelum dan sesudah intubasi hampir sama(tanpa guncangan hemodinamik) nadi 70-80 xmnt tekanan darah sistolik 110-120xmnt diastolik 60-70xmnt

Operasi berlangsung 30 menit selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 60-82xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg dengan urine output 12 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0

DISKUSIPasien dengan tumor intraoral dengan permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi

dan juga resiko perdarahan yang sulit dihentikan apabila dilakukan manipulasi pada tumor membutuhkan teknik khusus dalam manajemen airway Teknik awake intubasi dengan intubasi nasotracheal dipilih karena 1 Pasien masih dalam kondisi sadar sehingga apabila intubasi gagal dilakukan airway masih aman 2 Teknik intubasi nasotracheal dengan bronchoscope fiberoptic dipilih karena untuk menghindari manipulasi pada tumor sehingga mencegah terjadinya perdarahan di jalan nafas yang dapat lebih mempersulit manajemen airway dan bahaya aspirasi

KESIMPULANPemahaman masalah perioperatif dan teknik operasi sangat diperlukan dalam pemilihan

teknik anestesi Teknik awake intubasi pada pasien dengan kesulitan airway menjadi pilihan untuk mencegah resiko kegagalan dalam mengelola airway yang dapat membahayakan pasienTeknik intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic memberikan kemudahan akses untuk melakukan visualisasi sampai ke trakhea sehingga dapat melakukan intubasi pada kasus kasus airway sulit Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya kegagalan manajemen airway dan menurunkan resiko morbiditas tindakan operatif

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Page 2: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

SUSUNAN PANITIA

1 Penanggung Jawab

a dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KNA KIC b Prof Dr dr Eddy Rahardjo SpAn KICc dr I Made Subagiartha SpAn KAKV SH

2 Ketua Panitia Dr dr I Putu Pramana Suarjaya SpAn KMN KNA MKes

3 Sekretaris dr I Made Agus Kresna Sucandra SpAn

4 Bendahara dr I Wayan Aryabiantara SpAn KIC

Sie Acara amp Ilmiah

Sie Publikasi amp Humas

Sie Akomodasi amp Transportasi

Sie Fundrising amp Pameran

Sie Kesekretariatan

dr IGN Mahaalit Aribawa SpAn KAR

Dr dr Tjok Gde Agung Senapathi SpAn KAR

dr IMG Widnyana SpAn KAR MKes

dr I Putu Agus Surya Panji SpAn KIC

dr Asmaya Ahadi Permana Duarsa SpAn

dr Kadek Agus Heryana Putra SpAn

dr IGAG Utara Hartawan SpAn MARS

dr Tjahya Aryasa EM SpAn

dr I Ketut Wibawa Nada SpAn KAKV

dr I Gusti Eko Tisna SpAn

dr Putu Kurniyanta SpAn

dr Pontisomaya Parami SpAn MARS

dr I Gede Budiarta SpAn KMN

dr Ida Ayu Manik Manuaba SpAn

dr I Nyoman Widhiartawa SpAn

dr Komang Adi Kusumajaya SpAn

dr IB Krisnajaya Sutawan SpAn MKes

KPPIAKursus Penyegar dan Penambah I lmu Anes thes ia

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KATA PENGANTAR

Buku abstrak ini merangkum semua abstrak topik yang dipresentasikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) 10 - 13 Juni 2015 yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) di Bali Adapun pembicara berasal dari seluruh pusat pendidikan Anestesi di Indonesia serta beberapa tempat pelayanan anestesi rujukan

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) adalah acara tiga tahunan Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia dan kali ini merupakan penyelenggaraan KPPIA yang ketiga KPPIA meliputi simposium dan kursus Continuing Professional Development (CPD)

KPPIA 2015 mengambil tema ldquoTantangan Profesi Mandiri Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masyarakat Ekonomi ASEANrdquo yang memiliki makna dokter spesialis Anestesiologi harus siap berpartisipasi dan mengambil peran dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan siap untuk berkompetisi global dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN

Simposium dalam KPPIA 2015 ini terdiri 18 sesi yang meliputi topik kebijakan pelayanan kesehatan anestesi bedah jantung anestesi bedah saraf anestesi pediatrik anestesi regional anestesi obstetrik manajemen nyeri kedokteran gawat darurat pengelolaan perioperatif etika kedokteran dan hukum serta perawatan intensif

Atas nama KPPIA 2015 saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh peserta pembicara moderator dan panitia yang telah berpartisipasi mensukseskan pertemuan KPPIA 2015 ini

Ketua Panitia

I Putu Pramana Suarjaya

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

SAMBUTAN

Assalamualaikum wr wb

Selamat datang dan selamat bertemu lagi kepada para teman sejawat diajang Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia (KPPIA) tahun 2015 Kita tidak lupa selalu memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena ijinnya kita diberi kesehatan kesempatan dan berdiskusi diacara ini

Saya mengharapkan ajang ilmiah seperti KPPIA ini diikuti dan dipergunakan seoptimal mungkin untuk sharing dan mendapat informasi tentang pelayanan anestesi di Indonesia

Sebagai seorang dokter anestesi kita harus selalu meningkatkan kompetensi melalui pertemuan ilmiah CPD baik didalam maupun diluar negeri untuk dipergunakan dalam pelayanan anestesi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan keamanan serta kenyamanan bagi pasien di rumah sakit

Tentunya dalam melakukan pelayanan anestesi bukan saja ilmu yang harus ditingkatkan tetapi fasilitaspun harus terstandarisasi oleh karena itu dihimbau kepada seluruh dokter anestesi untuk selalu memberikan masukan kepada manejemen rumah sakit atau pemilik rumah sakit Selain hal tersebut juga saya ingatkan setiap pelayanan anestesi harus membuat standar pelayanan operasional sesuai kemampuan rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang kita layani

Demikian beberapa hal yang saya ingatkan untuk kenyamanan keamanan teman sejawat dalam melakukan pelayanan anestesi dan pelayanan intensive care dimasing-masing tempat bekerja Semoga Allah SWT selalu melindungi dan menuntun kita dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat

Wassalamualaikum wr wb

Bali Juni 2015Ketua PERDATIN

Dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KIC MARS

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiSambutan vDaftar Isi vii

PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas 1

PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko 2

PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko 2

PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha 3

SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientAMTakdir Musba 4

S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa 4

S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H Nasution 5

S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki Eddy Rahardjo 6

S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno 9

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-06 Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarksChristrijogo SW 11

S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biayaDedi Fitri Yadi 12

S-08 The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R Basuki 12

S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo 13

S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs IndividualHimendra W 14

S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta 15

S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja 16

S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana 18

S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta 18

S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya 19

S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara 20

S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 21

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 22

S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana 23

S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana 27

S-21 Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 31

S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 32

S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaIGNgurah Rai Artika 33

S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsIMG Widnyana 36

S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan 37

S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat 38

S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra 38

S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja 39

S-29 Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied EnoughI Made Wiryana 41

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh Sofyan Harahap 42

S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad 42

S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar 43

S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji 44

S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga 44

S-35 Chronic Pain Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma 45

S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa 46

S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso 46

S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra 47

S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri 51

S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta 55

S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo 56

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-42 Sepsis in obstetricYusmein 57

S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli 58

S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif HMMarsaban 58

S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto 60

POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demamAde Irna 61

P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta Pt 61

P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma I Wayan Aryabiantara 62

P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa 63

P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias Dadik WW 64

P-06 Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra Syamsul Bahri Siregar Hasanul Arifin 65

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho 66

P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W 67

P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko 68

P-10 Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono 69

P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid Pryambodho 71

P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono 73

P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana 73

P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja 74

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus 75

P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana 76

P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan 77

P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM 78

P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan 79

P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial KasusIhsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah Lestari Fredi Heru Irwanto 80

P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus 81

P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 82

P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung 84

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin 85

P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja 86

P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus 87

P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto 88

P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad 89

P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono 90

P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani Ketut Wibawa Nada IMG Widnyana 90

P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra 92

P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli 93

P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta 94

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36 Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan UltrasonografindashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit 95

P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo 96

P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif 97

P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah Hasanul Arifin 97

P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede Budiarta I Gede 99

P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif 100

P-42 Laporan Kasus Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik Abraham Taofik Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 101

P-43 Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik Musa Taofik Senapathi Tjok GA PAS Panji 102

P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak 103

P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi 104

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan NasionalTommy N Tanumihardja Grace Alvina 105

P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N Tanumihardja Clementine Natalie 106

P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto M Andy Prihartono 107

P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah 108

P-50Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati 109

P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan 110

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-01

RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional Development

Andi Wahyuningsih Attas

Ketua PERDATIN

Abstrak

Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban) Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment)

Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut

1 Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas CB dan A

2 Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP) serta penerapan remunerasi

3 Investasi Fisik dan Peralatan di RS pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit

4 Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi

Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan ndash Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-02

Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia hipnosis relaksasi dan supresi refleks saja tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain

Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien

Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg al terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien

PL-03

Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan al untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama dan saling membantu Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya

Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015 MEA mempunyai 4 karakteristik yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang jasa investasi modal dan tenaga kerja

Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

karena al disparitas standar pelayanannya Arus bebas tenaga kerja termasuk dokter belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan

Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN al persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan tetapi belum mencapai hasil yang konkrit dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi

PL-04

Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

Made Subagiartha

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

kita jumpai dalam kehidupan sehari hari dalam rumah tangga antar negara atau di dalam pekerjaan kita Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya

Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan ldquoSengketa Medikrdquo yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-01

Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

AMTakdir Musba

Department of Anesthesiology Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine Hasanuddin University

Abstract

Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur but opioid-tolerance in acute pain especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately particularly in opioid-based general anesthesia

The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences especially on chronic use but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia

Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period Generally opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients

Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol NSAIDs GabapentinPregabalin α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre- intra- and postoperatively

Keywords opioid-tolerance perioperative analgesia multimodal analgesia

S-02

Fast Track Neuroanesthesia

Agus Baratha Suyasa

Abstrak

Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990 untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya faktor pasien faktor pembedahan dan faktor anestesi Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan pelepasan katekolamin minimal dan menurunkan biaya perawatan ICU Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi control suhu control gula status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri kontrol mual muntah suplemen nutrisi Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual

Kata Kunci Fast Track Neuroanesthesia

S-03

Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

Akhyar H Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USURSUP Adam Malik Medan

Abstract

Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations requiring continuous adjustment of drug dosing Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profilesThe future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment monitoring for adequate anesthesia and so for the anesthesia machine The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment including the high technology robotic anesthesia machinesldquothe da vincirdquo For these developments physician especially anesthesiologist will work safer minimal invasive and provide a good monitoring during the operation

Keywords novel drugs future technology anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-04

The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

April Poerwanto Basoeki

Eddy Rahardjo

Departemen Anestesiologi amp ReanimasiFK Unair ndash RSUD dr Soetomo Surabaya

Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik lahir ketika Dr William TG Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan menjadi dapat dilakukan dengan lancar mudah dan berhasil baik Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau menulis pada batu nisan monumen Dr William TG Morton ldquoBefore whom in all time surgery was agony By whom pain in surgery was averted and annulated Since whom science has controlled of painrdquo Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 121924 ndash Agust 2 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work knowledge and duty to serve the public beyond the hospital wall Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite) diruang pulih sadar (Recovery Room) ruang rawat intensif (ICU HCU) bahkan sejak ditempat kejadian pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster) Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care) juga merupakan gagasan Peter Safar

Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian Time saving is life saving Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

tersebut Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan ldquoMany techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients for example those with severe head injuries asthma tetanus or neonatal asphyxia Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients control of airway endotrachel intubation and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia but are now recognized as essential for all doctorsrdquo Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care Anestesi di-OK Anestesi di-luar OK Recovery Room Resusitasi Emergency Medicine ICU Pain Management Pain Clinic Labor Analgesia hingga musibah masal dan bencana Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi

Emergency Medical Service in Indonesia where are we now Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban Dengan melihat sejarah kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat dulu UGD) IGD memerlukan tempat alat obat dokter perawat Lokasi atau tempat alat obat sudah tersedia Dokter Umum Indonesia masih kurang apalagi Dokter Spesialis Emergensi Perawat juga masih kurang apalagi Perawat mahir D3-D4 Gawat Darurat Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya atau kondisi-kondisi lain Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD GELS ATLS ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar Hasil survei Kemenkes RI (1995 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai Untuk menangani kasus gawatdarurat berat kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter Survey Depkes (2005) di ndash 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20 pasien yang datang di UGD adalah trauma sisanya kasus non trauma Di Inggris dari semua kasus trauma di IGD hanya 56 memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65-nya Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood Park Trauma Care Vol 10 No 2 2000 p76) Di-RSUD dr Soetomo Surabaya selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat Departemen SMF Anestesiologi amp Reanimasi memiliki rdquomarkasrdquo Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi Ruang Resusitasi (RES) Ruang Observasi Intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

(ROI) PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim terjadilah apa yang Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC sebut sebagai rdquoshifting leadershiprdquo Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr Soetomo adalah rdquoteaching Hospitalrdquo FK Unair

Kondisi sekarang selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS Swasta Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1) bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni plusmn 30 orang Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar) atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70 materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50 Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20 Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang

Kepustakaan

1 Baskett PJ Peter J Safar 2001 The early years 1924-1961 the birth of CPR Resuscitation 2001 50 17ndash22

2 Baskett PJ Peter J Safar 2002 Part two The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002 Resuscitation 2002553ndash7

3 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik rdquoSistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadurdquo 2009 Cetakan - 4Cetakan - 4

4 Koeshartono ldquoAnestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencanardquo Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya Sabtu Tanggal 8 September 2007

5 Michael B Dobson ldquoAnaesthesia at the Distric Hospitalrdquo World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies 198968 424-30)

6 Sitasi tgl 12 Agustus 2013 woodlibrarymuseumorglibrarypdfS_AYBpdf Morton TG William Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR William TG Morton Printed by Rand Avery amp Frye 3 Cornhill 1871

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-05

Update in DIC Management

Bambang Wahjuprajitno

Dept anestesiologi dan ReanimasiFK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr Soetomo

Surabaya

Abstrak

Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut yang jika cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ

Aktivasi koagulasi yang masif berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh

DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat

Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin supresi anticoagulant pathways gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi

Penyebab DIC tersering adalah sepsis neoplasma trauma penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta preeclampsiaeclampsia emboli air ketuban aborsi septik kematian foetus intrauterine) gigitan ular

Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan tempat tusukan jarum perdarahan gastrointestinal SSP hematuria atau ecchymosis Trombosis dapat berupa purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit) acral dingin dengan nadi yang sulit teraba kehilangan penglihatan oliguria gangguan mental kejang-kejang

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT peningkatan D-dimer dan FDP penurunan trombosit dan fibrinogen Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUNkreatinin dan enzim-enzim jantung Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC

Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH) Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH) dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET) Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization CommitteeInternational Society of Thrombosis and Haemostasis (SSCISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini

Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama ndashsama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik

Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol karena itu jenis DIC bisa berupa

1 DIC tipe perdarahan (bleeding) bila hiperfibrinolisis lebih dominan Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia seperti acute promyelocytic leukemia (APL) penyakit-penyakit obstetrik atau aneurisma aortae

2 DIC tipe gagal organ bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi terutama sepsis

3 DIC tipe perdarahan masif bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik

4 DIC tipe asimptomatik bila kedua faktor sama-sama lemahnyaPada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium Disebut juga dengan tipe pre-DIC Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lainPengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa

bull Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnyabull Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya

meliputi o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma FFP

thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC) recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI) recombinant human thrombomodulin (rhTM) dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

o memanipulasi sistim fibrinolitik misalnya dengan tranexamic acid

Sayang sekali berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan

Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain

S-06

Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarks

Christrijogo SW

Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University Soetomo Hospital

Abstract

Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient

Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients eg avoiding airway manipulation and systemic application of opioids Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances with a lower rate of complications Anesthesiologists are increasingly faced with obesity regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patientsrsquo safety and perioperative outcomes in obese patients

Keywords Regional anesthesia Obesitas landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-07

ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya

Dedi Fitri Yadi

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi Mesin anestesi obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 Lmenit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor inspired oxygen concentration minute ventilation airway pressure Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya

Kata kunci Low flow anesthesia anesthesia cost reduction

S-08

The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

Djudjuk R Basuki

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Latar Belakang Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering yaitui meliputi 38 dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16 dari semua infeksi hospital-acquired SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian waktu MRS dan biaya RS

Tinjauan Pustaka Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif normotermia perioperatif hiperoksia normoglikemia transfusi darah dan mencuci tangan Hipotermia Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien Hiperoksia Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel faktor penting dalam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

penyembuhan luka Manajemen Cairan Peioperatif Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen Selain penghantaran oksigen yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia Hiperglikemia Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi termasuk SSI Transfusi Darah Saat ini tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi Profilaksis Antimikroba Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan

Kesimpulan Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis

S-09

Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

Gatut Dwidjo PrijambodoDept Anestesiologi dan Reanimasi

FK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr SoetomoSurabaya

Abstract

Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi 1 Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM )2 Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM)

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY ada empat kriteria antara lain bull Kegagalan jantung pada periode enam bulan bulan akhir kehamilan sampai lima

bulan pasca persalinanbull Tidak ada penyebab yang ditemukanbull Tidak ada penyakit jantung sebelumnyabull Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri Ejection Fraction lt 45 dan LV

end diastolic dimension gt 27 cmm2

Penyebab PPCM tidak diketahui Mortalitas 15 - 50 PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel

Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung antara lain Restriksi cairan Pemberian Diuretika dan obat Inotropik Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural Anestesi General digunakan obat yang cardiostable Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHYHOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun Pada kehamilan HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak Dapat asimtomatik simtomatik ringan Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif

Prinsip manajemen pasien HOCM Perlu monitoring invasif dan intensif Hindari penurunan preload Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat Hindari penururnan mendadak SVR Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi

S-10

Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs Individual

Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan

Harapan pasien sudah berubah Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi

Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif misalnya dibayar sesuai performa Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien

Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku

Dalam praktik anestesia di perkotaan terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan entah itu rumah sakit umum rumah sakit bersalin ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan Adapun di lain pihak praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati

Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006) standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku

S-11

Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

I Gede Budiarta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID infiltrasi blok perifer teknik regional analgesia hipnoterapi radiofrekuensi stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif

Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif neurologi rehabilitasi medik maupun hematoonkologi Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut

Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik penanganan konsul nyeri yang seksama serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit

Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama

S-12

Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

I Ketut Sinardja

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak Banyak hal seperti kebijakan wilayah politis serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam

Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 665 dan 326 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri Berdasarkan kesepakatan umum angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada defibrilasi atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi) Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus

Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3 angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004 dengan angka ketahanan hidupnya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27 versus 18) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif

Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA ditemukan bahwa sekitar 66 kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) 52 masih hidup dalam 1 tahun dan 3 masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64 pada anak-anak dan 75 pada orang dewasa Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 159 namun hanya sebesar 39 pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari)

Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian prearrest intra-arrest dan postarrest Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan aspek struktural dari sistem (personel pelatihan peralatan) care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini serta penanganan postarrest yang komprehensif) serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan)

Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi monitor ECG DC-Shock suction oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat

Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest) Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar menurunkan angka kejadian henti nafas danatau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait

Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku Kebijakan mulai dari awal penerimaan pihak yang melakukan bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah atau sampai

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code

S-13

Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

I Made Adi Parmana

RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Abstract

Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s its popularityhas steadily increased Although not as well established as for cardiac surgery the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40 to 80 of patients respectively In over one-third of patients intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy including treatment of myocardial ischemia valvular pathology andor right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure Based upon these findings intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery

TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise patients with unexplained persistent hypotension or unexplained persistent hypoxemia as well as patients with major thoracic or abdominal trauma

However as with any tool the risks and benefits need to be carefully evaluated Although the complication rate from TEE placement is low it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal esophageal or gastric pathology that will preclude its use Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting

S-14

Spinal Anesthesia In Neonates

I Putu Kurniyanta

Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University Sanglah Hospital Denpasar

Abstract

Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers It is usually practiced on preterm infants (lt60 weeks post-

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA) SA sometimes combined with general anesthesia It is most successful as a single shot technique limited to surgery lasting less than ninety minutes Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia providers However there is safety and efficacy for suitable procedures in older children as well SA in neonates has many advantages as in adults with an advantage of minimal cardio-respiratory disturbance This may further increase the utility of SA in neonates and children as it provides all components of balanced anesthesia technique To overcome this several additives like epinephrine clonidine fentanyl morphine neostigmine etc have been used and found to be effective even in neonates But the developing spinal cord may also be vulnerable to drug-related toxicity though this has not been systematically evaluated in neonates Despite its widespread use incidence of side-effects is low and permanent neurological sequalae have not been reported with SA Literature yields encouraging results regarding its safety and efficacy Technical skills and constant vigilance of experienced anesthesia providers is indispensable to achieve good results with this technique

Keywords neonates spinal anesthesia surgery

S-15

Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and Surgery

I Putu Pramana Suarjaya

Department of Anesthesiology amp Intensive CareSanglah General Hospital Medical School University of Udayana Denpas

Abstract

Cognitive changes after major surgery have received increased attention in recent years Increased elderly population in surgical patients as well as advances in anesthesia and surgical techniques and the impact of postoperative cognitive complications on patientrsquos quality of life after recovery make cognitive dysfunction play a significant role in prolonged recovery after major surgery

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) is diagnosed using cognitive test scores to detect changes developing postoperatively compared with each individual patientrsquos preoperative cognitive level of functioning POCD affects a wide range of cognitive domains such as memory attention orientation and concentration and some patients experience difficulties for months postoperatively POCD has been described after both cardiac and noncardiac surgery and can occur in all age groups although the elderly are more at risk

The pathogenic mechanisms behind the development of POCD are unclear partly due to the variation in patient population diagnostic tools and analysis of cognitive test results making firm conclusions on the pathogenic mechanisms difficult However most agree that increasing age reduced preoperative cognitive reserve and low educational level are risk factors for POCD A distinction between acute and elective surgery as well as cardiac versus noncardiac surgery is necessary when evaluating cognitive changes

An optimized perioperative approach with short length of stay multimodal opioid-sparing analgesia early mobilization and discharge to home environment (the fasttrack approach) would impact the occurrence of cognitive changes after major surgery

Keywords perioperative care postoperative cognitive dysfunction

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-16

Transfusion practice vs patient blood management

I Wayan Aryabiantara

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin jelas bahwa transfusi RBC (red blood cell) alogenik mengakibatkan banyak efek samping serius dan angka mortalitas meningkat Faktor risiko utama untuk transfusi adalah anemia preoperatif hilangnya darah intraoperatif dan trigger transfusi yang liberal Manajemen darah pasien (Patient Blood Management) dengan bundel terapi anemia preoperatif serta perhitungan untuk menurunkan hilangnya darah perioperatif dan mengoptimalkan toleransi terhadap anemia bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi RBC dan meningkatkan outcome klinis PBM telah dijadikan WHO sebagai standar terapi dan semua negara anggota diharapkan melaksanakan konsep ini Adapun negara tetangga kita Australia adalah yang dianggap paling maju di dunia dalam melaksanakan konsep PBM

Di masa lalu transfusi RBC sangat digembar-gemborkan dan dianggap sebagai sumber yang murah aman dan cepat tersedia Belakangan semakin jelas bahwa pasien yang mendapat transfusi RBC mempunyai outcome lebih buruk dibandingkan pasien serupa yang tidak ditransfusi dan banyak ahli setuju bahwa pasien tanpa perdarahan aktif dengan kadar hemoglobin gt8 grdL atau lebih tidak memperoleh manfaat apapun dari transfusi RBC Akibatnya dokter mulai mencari cara untuk menyiapkan pasien agar pembedahan yang direncanakan dapat dilakukan tanpa transfusi sehingga outcome-nya membaik

National Bank Authority (NBA) di Australia merupakan badan pemerintah yang mendirikan dan mendanai ulasan mengenai Clinical Practice Guidelines for the Use of Blood Components oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) dan Australian Society for Blood Transfusion (ASBT) pada tahun 2010 Mereka menyimpulkan bahwa panduan lama yang berfokus pada produk darah harus diganti dengan yang berfokus pasien Dampaknya adalah mulai dikembangkan enam modul panduan yang komprehensif dan evidence-based Isi modulnya meliputi PBM pada perdarahan masif pembedahan medikal rawat intensif obstetri dan ginekologi pediatrik dan neonatologi

Sebagian besar negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa kecuali Belanda masih mengalami hambatan dalam pengamalan PBM pada level nasional Meskipun masih kurangnya inisiatif menyeluruh beberapa rumah sakit telah mengenalkan PBM pada berbagai divisi dan departemennya Hal yang menarik adalah program ini tidak saja membuat transfusi RBC lebih sedikit tapi juga outcome lebih baik dengan mortalitas lebih rendah lama rawat lebih pendek komplikasi lebih sedikit readmisi lebih rendah dan biaya juga lebih ditekan

Anemia preoperatif dapat diterapi lebih baik sehingga meminimalkan tranfusi RBC perioperatif infeksi lebih rendah dan komplikasi lebih sedikit Sangat sulit untuk menentukan nilai target terapi untuk anemia sebelum pembedahan mayor Di sisi lain skrining preoperatif anemia secara mendetil justru sangat menunda tindakan pembedahan yang sudah direncanakan karena bisa memakan waktu kurang lebih 3-4 minggu Namun dengan perencanaan yang tepat hal ini dapat diminimalkan Skrining dan terapi anemia tersebut juga secara ekonomis lebih menguntungkan karena lebih unggul dalam hasil outcome yang lebih baik komplikasi lebih rendah dan lama rawat lebih singkat Meminimalkan kehilangan darah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

intra dan pascaoperasi juga sangat bermanfaat yang dapat dicapai dengan teknik pembedahan dan hemostasis yang adekuat

Ternyata keengganan adalah faktor penghambat utama untuk mengubah budaya transfusi Namun dokter diharapkan dapat mengubah cara praktiknya apabila sudah memperoleh limpahan bukti efek samping yang dapat dihindari dengan teknik PBM demi kesejahteraan dan kemaslahatan pasien

S-17

Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Banyaknya tindakan medis invasif serta perawatan canggih di ruang Intensive Care Unit (ICU) menyebabkan perlunya penggunaan sedatif sebagai komponen terapi mutlak untuk meningkatkan outcome Pada keadaan-keadaan akut berat sedasi bahkan diperlukan dalam jangka panjang yang berisiko efek samping over sedasi dengan berbagai kerugiannya Untuk itu diperlukan jenis sedatif alternatif lainnya yang menghasilkan sedasi adekuat dengan efek samping minimal Dalam beberapa tahun terakhir dexmedetomidine telah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sedatif alternatif melalui mekanisme simpatolitiknya sebagai agonis α2 Dexmedetomidine telah dibandingkan dengan midazolam dan propofol pada pasien-pasien ICU dengan ventilator jangka panjang Efek sedasinya terbutki setara dan lebih menguntungkan pada pemakaian jangka panjang dalam hal menghindari beberapa efek negatif sedatif pada umumnya Studi meta-analisis menyangkut pemakaian dexmedetomidine ini telah membuktikan bahwa sedatif ini aman dan bermanfaat dalam pemakaian jangka panjang dan dapat memperbaiki outcome populasi pasien-pasien di ICU Penelitian berkelanjutan tentu tetap diperlukan dalam mengkaji berbagai keuntungan lainnya dari penggunaan dexmedetomidine jangka panjang di ICU

Sumber bacaan1 Cavallazzi R Saad M Marik PE Delirium in the ICU an overview Annals of Intensive

Care 20122 Weinert CR et al Epidemiology of sedation and sedation adequacy for mechanically

ventilated patients in a medical and surgical intensive care unit Crit Care Med 2007 3 Afonso J Reis F Dexmedetomidine current role in anesthesia and intensive care Rev

Bras Anestesiol vol62 no1 Campinas JanFeb 20124 Anger KE Dexmedetomidine A Review of its Use for the Management of Pain

Agitation and Delirium in the Intensive Care Unit Current Pharmaceutical Design 2013

5 Riker RR Shehabi Y Bokesch PM et al SEDCOM (Safety and Efficacy of Dexmedetomidine Compared With Midazolam) Study Group Dexmedetomidine vs midazolam for sedation of critically ill patients a randomized trial JAMA 2009

6 Tan JA Ho KM Use of dexmedetomidine as a sedative and analgesic agent in critically ill adult patients a meta-analysis Intensive Care Med 2010

7 Jakob SM et al Dexmedetomidine vs Midazolam or Propofol for Sedation During Prolonged Mechanical VentilationTwo Randomized Controlled Trials JAMA 2012

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18

Tight Glucose Control in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Hiperglikemia sering menjadi komplikasi pada kasus-kasus dengan sepsis luka bakar trauma dan kasus-kasus bedah besar lainnya yang memperburuk outcome Efek samping ini pada pasien-pasien sakit kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan respon stres akut yang meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan pemakaiannya dalam tubuh Penyebab lainnya adalah intervensi nutrisi dengan kandungan karbohidrat berlebihan dan saat memulai jenis nutrisi yang kurang tepat

Strategi mengendalikan glukosa secara ketat pada pasien-pasien sakit kritis di ICU dapat dilakukan melalui beberapa langkah Menetapkan waktu memulai nutrisi yang tepat memilih jalur nutrisi enteral serta menghindarkan pemakaian nutrisi parenteral Hindarkan overfeeding dan batasi sumber kalori dari karbohidrat serta tidak melebihi 4 mgkgmenit Gunakan teknik pemberian insulin intensif melalui infus kontinyu Lakukan verifikasi rutin dan seksama serta penyesuaian laju metabolisme pengukuran berat badan penetapan BEE dan faktor-faktor koreksinya Cegah dan koreksi keadaan yang meningkatkan laju metabolisme seperti demam takikardia agitasi delirium kejang-kejang dan kondisi overaktifitas lainnya

Sumber bacaan1 Furnary AP Wu Y amp Bookin SO Effect of hyperglycemia and continuous intravenous

insulin infusions on outcomes of cardiac surgical procedures the Portland Diabetic Project Endocrine Practice 2004 10(Suppl 2) 21ndash33

2 van den Berghe G Wouters P Weekers F et al Intensive insulin therapy in critically ill patients N Engl J Med 20013451359-67

3 Montori VM Bistrian BR McMahon MM Hyperglycemia in acutely ill patients JAMA 20022882167ndash9

4 Klein CJ Stanek GS Wiles CE Overfeeding macronutrients to critically ill adults metabolic complications J Am Diet Assoc 199898795-806

5 Preiser JC Devos P van den Berghe G Tight control of glycaemia in critically ill patients Curr Opin Clin Nutr Metab Care 20025 533ndash7

6 Krinsley JS Blood glucose control in critically ill patients the impact of diabetes Critical Care Medicine 2009 37(1) 382ndash3

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-19

Management of local anaesthetic systemic toxicity

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Abstract

As classic neuronal Na+ channel inhibitors these drugs have a particular high level of activity in the central nervous system and the cardiovascular system and their side effect profile remains remarkably consistent differing only quantitatively between the agents in their doses (and blood and relevant tissue concentration) Local anaesthetic agents exist in both ionised acid-and non-ionised base forms in the tissue after injection The non-ionised form crosses the barrier of the myelin sheath and the axon membrane Here it will dissociate to the ionised acid form due to the lower pH inside the cell The ionised fraction binds to the activated Na+ channel and produce blockade of the channel in the inactivated state The development of symptoms and signs related to local anaesthetic toxicity relates directly to the concentration of the drug in the plasma The plasma concentration will depend on the rate of absorption from the injected site as well as inadvertent intravascular injectionIt is appropriate to first review the physiology of the ion channels implicated in local anaesthetic toxicity

Sodium channel blockadeAs local anaesthetics act as Na+ channel-blocking agents they slow down the initial

depolarisation phase by blocking the inactivated channel The clinical consequence of this is slowed cardiac conduction widening of the QRS complex prolongation of the PR interval AV block and eventually ventricular fibrillation due to the unidirectional blockade and re-entry phenomenon

Potassium channel blockadeK+ channels are tetramer ion channels and are organised into three superfamilies

according to the subunit membrane topology (1) subunits with six membrane-spanning segments and onepore domain (2) subunits with two membrane-spanning segmentsand one pore domain and (3) subunits with four membrane-spanning segments and two pore domains arranged in tandemThe first and third group are of interest where local anaesthetic toxicity is concernedAs noted the first group of channels are tetramers with fourfoldsymmetry around a central pore in the form of an inverted teepeeBoth the N terminal and the C terminal are located intracellularlyThe amino acids of the N terminal are shaped like a ball and chain and conformational changes causes this ball to close the channel from inside the cell These channels are known as the inward outward and transient rectifier K+ channels and their resultant effect is partly responsible for the K+ efflux during phases 2 and 3 of the cardiac muscle action potentialA blockade ofthese channels will prolong the action potential (phase 2) delayrepolarisation (phase 3) and shift the resting membrane potential more positive (phase 4) to increase automaticity The second group of K+ channels of interest is the two pore domain K+ channels (K2p) Previously known as the delayed rectifier channels these channels are believed to be responsible for the background or ldquoleakrdquo K+ currents In this setting they control the resting membrane potential A blockade of these channels shifts the resting membrane potential towards spontaneous depolarisation K2p channels are wide spread in the body In

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

the CNS they are mainly located in the thalamo-cortical and striatal neurons where blockade leads to increased neuroexitabilityThey are also present in high concentrations in the cerebral blood vessels where blockade leads to vasoconstriction and decreased cerebral blood flow K2p channels are also present in neurons of the auditory system where blockade leads to tinnitusK2p channels are thought to mediate the stimulating effect of local anaesthetics on ventilationThey are located in the brainstem where they modulate the respiratory response to carbon dioxide via chemo sensing of the pH They are also found in the carotid body where they are expressed in the oxygen-sensing cells of the glomus body K2p channels are sensitive to changes in O2 tension and extracellular pH and are potentiated by volatile anaesthetic In the CVS K2p channels are spread throughout the conduction system of the heart where blockade predisposes the patient to re-entry dysrhythmias It is well known that hyperkalemia exacerbates local anaesthetic toxicity and that K+ATP openers (which effectively lowers intracellular K+ levels) attenuate the toxic effects of bupivacaine

Ca++ channel blockadeThe latest research shows that all voltage-gated Ca++ channels are comprised of two

subunits The α-subunit consists of atetramer that comprises four membrane-spanning domainsDomains I III and IV are critical in the opening of the channelThis α-subunit is the main pore-forming element of the channeland its chemical structure remains fairly consistent for all voltagegatedCa++ channels The second unit has a highly variablestructure that depends on the location and function of thechannel In cardiac conduction tissue it is the β1 subunit thatcompletes the ion channel structure The role of the β1 subunitseems to be the modulation of channel opening and membraneion traffickingIn terms of their physiological effect the hearthas two distinct types of channels namely the T-type (transient)and L-type (long lasting) channels The T-type channel (alsoknown as the low voltage activated channel -LVA) is mainlylocated in the pacemaker cells of the sino-atrial node and theopening of these channels completes the prepotential requiredfor the pacemaker potential L-type channels (known as highvoltage activated channels -HVA) are present on the surface ofthe myocytes of both atrium and ventricle and are closelyassociated with the T-tubules The opening of these L-typechannels produces the impulse seen as the plateau phase (phase2) of the cardiac muscle action potential Local anaesthetic drugs bind to the L-type Ca++ channels predisposing them to aninactivated state The consequence of this is prolongation of theaction potential (phase 2) and depressed contractility

Central nervous system toxicityCentral nervous system toxicity is presumed to be a two-stage process Initial blockade of

Na+ channels in the inhibitory neurons entering the limbs allows the excitatory neurons to act unopposed thereby creating an excitatory state This culminates in generalized convulsions Higher concentrations of local anaesthetic affect all neurons leading to global CNS depression slowing and ultimately silence on EEG clinically seen as coma and the eventual collapse of the cardiovascular system In most cases convulsions although an impressive clinical entity can be handled safely without permanent damage

Cardivascular system toxicityAll of the clinical effects due to local anaesthetic overdose are the result of the blockade

of various ion channels The normal pharmacological effects of local anaesthetic drugs are produced via their blockade of sodium (Na+) channels However these drugs also have

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

the ability to block potassium (K+) as well as calcium (Ca++) channels The whole picture of cardiovascular toxicity is the effect of the blockade of all these ion channels Ion channel blockade displays enantiomeric selectivity with the R-isomer having twice the potency at the Na+ channels seventy times the potency at K+ channels and three times the potency at Ca++ channels Furthermore channel blockade is dependent on the state of the channel Levo-bupivacaine and ropivacaine interacts with both the activated and inactivated Na+ channels where as R-bupivacaine is a more potent blocking agent of the inactivated Na+channels

The mechanism of cardiovascular toxicity relies on the direct as well as indirect effects of the local anaesthetic drugs on the myocardium Direct effects include negative inotropy and delayed conduction of the impulse through the cardiac conduction tissue Indirect effects have to do with the local anaesthetic effect on the autonomic outflow and the direct effect on the cardiac centre in the midbrain Negative inotropy due to local anesthetic overdose is the result of four main mechanisms Firstly local anaesthetics (LA) cause decreased Ca++ release from the sarcoplasmic reticulum in the cardiac myocyte This in turn decreases excitation-contraction coupling and thus decreases contractility Secondly there is disturbance of the membrane Na+Ca++ pump function This also decreases Ca++ levels in the cytosol and decreases contractility Thirdly LA alters mitochondrial energy transduction By binding to the inner mitochondrial membrane LA agents cause the uncoupling of oxidative phosphorylation at complexes II and I This leads to decreased levels of ATP and a low energy state in the myocyte The binding of LA to the inner membrane further inhibits the function of L-carnitine acyl transferase This enzyme is important in the transfer of long free fatty acids (FFA) across the cell-and mitochondrial membrane The decreased availability of FFAs as substrate for oxidation leads to decreased ATP levels Fourthly LA causes decreased cAMP production This impairs second messenger function in the myocyte and disrupts cell homeostasis

The second direct cardiovascular effect is perhaps the more well known LA by their nature cause blockade of the ion channels therefore causing conduction blockade of the impulse generated in the SA node Abnormal conduction predisposes to re-entry phenomena and unidirectional conduction dysrhythmias The indirect effects on the cardiovascular system are due to the blockade of impulse outflow from the nucleus tractus solitaries (NTS) located in the medulla oblongata Afferent fibres from the baroreceptors in the carotid body and aortic arch reach the NTS via N glossopharyngeus (XI) and N vagus (X) where they secrete glutamate as neurotransmitter From the NTS projections reach the caudal and intermediate ventrolateral medulla where they stimulate GABA-secreting neurons These in turn project to the rostral ventrolateral medulla from where they course down the thoracic cord to eventually become the preganglionic sympathetic neurons that form the cardiac sympathetic innervation Excitatory projections from the NTS also reach the vagal motor neurons the nucleus ambiguus and dorsal motor neurons Baroreceptor stimulation thus inhibits tonic discharge to the vasoconstrictor nerves and excites vagal innervation of the heart with its sequelae LA alters the spontaneous impulse production in the NTS and depresses cardiac outputThe blockade also leaves the sympathetic outflow relatively unopposed which in turn leads to increased automaticity and dysrhythmias The overall effect of the conduction block and CNS- mediated effects is the refractory ventricular fibrillation for which bupivacaine is well known

Management of local anaesthetic systemic toxicity

Recommendations for Treatment of Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)bull If signs and symptoms of LAST occur prompt and effective airway management is

crucial to preventing hypoxia and acidosis which areknown to potentiate LAST (I B)

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

bull If seizures occur they should be rapidly halted with benzodiazepines If benzodiazepines are not readily available small doses of propofolor thiopental are acceptable Future data may support the early use of lipid emulsion for treating seizures (I B)

bull Although propofol can stop seizures large doses further depress cardiac function propofol should be avoided when there are signs ofcardiovascular compromise (III B) If seizures persist despite benzodiazepines small doses of succinylcholine or similar neuromuscularblocker should be considered to minimize acidosis and hypoxemia (I C)

bull If cardiac arrest occurs we recommend standard advanced cardiac life support with the following modifications- If epinephrine is used small initial doses (10- to 100-ug boluses in adults) are

preferred (IIa C)- Vasopressin is not recommended (IIB B) - Avoid calcium channel blockers and beta-adrenergic receptor blockers (III C)- If ventricular arrhythmias develop amiodarone is preferred (IIa B) treatment with

local anesthetics (lidocaine or procainamide) is not recommended (III C)

bull Lipid emulsion therapy (IIa B)- Consider administering at the first signs of LAST after airway management- Dosing- 15 mLkg 20 lipid emulsion bolus- Infusion of 025 mLkg per minute continued for at least 10 mins after circulatory

stability is attained- If circulatory stability is not attained consider giving another bolus and increasing

infusion to 05 mLkg per minute- Approximately 10 mLkg lipid emulsion over 30 mins is recommended as the

upper limit for initial dosing

bull Propofol is not a substitute for lipid emulsion (III C)bull Failure to respond to lipid emulsion and vasopressor therapy should prompt institution

of cardiopulmonary bypass (IIa C) Because therecan be considerable lag in beginning cardiopulmonary bypass it is reasonable to notify the closest facility capable of providing it whencardiovascular compromise is first identified during an episode of LAST

Lipid emulsion theraphyLipid was successfully used for resuscitation the mean total (bolus plus infusion) lipid

dose over the first 30 mins was 38 mLkg (range 12-60 mLkg) Most important no overt complications related to use of lipid emulsion for resuscitation have been reported to date Based on the available information we recommend an initial bolus of 20 lipid emulsion using 15 mLkg (of lean body mass) followed by an infusion at 025 mLkg per minute until circulatory stability is achieved The bolus could be repeated for failure to restore circulation and the infusion could be increased to 05 mLkg per minute for recurring hypotension after initial recovery However volume overload is certainly a risk and lipid overdose might also carry as yet unknown risks Defining the maximal safe dose for acutely administered 20 lipid emulsion for this novel use is important and will require appropriate (large) animal studies and possibly experiments with volunteers receiving subtoxic doses of bupivacaine We currently recommend an upper limit of approximately 10 mLkg over the first 30 mins This would allow for 2 boluses plus a continued infusion at 025 mLkg per minute

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-20

Radiofrequency In Knee Osteoarthritic Patients

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Introduction

Osteoarthritis (OA) is the most common rheumatic disease in the general population and its prevalence increases with age Genetic mechanical and several other factors have been implicated in its originOA symptoms such as joint pain reduced mobility crepitus and swelling result from articular cartilage loss subchondral bone proliferation bone misalignment and synovitis The management of patients with OA includes a number of pharmacologic and non-pharmacological recommendations tailored in accordance to the joints involved

The economic costs of OA are high including those related to treatment for those individuals and their families who must adapt their lives and homes to the disease and those due to lost work productivity Patients with OA are at a higher risk of death compared with the general population History of diabetes cancer or cardiovascular disease and the presence of walking disability are major risk factors Pain and other symptoms of OA may have a profound effect on quality of life affecting both physical function and psychological parameters Knee OA is not a localized disease of cartilage alone but is considered as a chronic disease of the whole joint including articular cartilage meniscus ligament and peri-articular muscle that may result from multiple pathophysiological mechanisms It is painful and disabling disease that affects millions of patientsThe pain in the OA knee is attributed to cartilage degenerationreduced joint space osteophytes loose bodies Pain intensity disability and its psychological impact correlate poorly with the peripheral joint damage assessed by the Kellgren-Lawrence scale (K-L scale) Recent evidence emphasizes the role of central sensitivity in the pathogenesis of the OA knee

Chronic osteoarthritis pain of the knee is often not effectively managed with non-pharmacological or pharmacological treatments Radiofrequency (RF) neurotomy when applied to articular nerve branches (genicular nerves) provides a therapeutic alternative for effective management of chronic pain associated with osteoarthritis of the knee

Although surgery is generally effective for patients with advanced disease some older individuals with comorbidities may not be appropriate surgical candidates In addition some patients do not wish to consider surgery and prefer non-surgical options In these patients radiofrequency (RF) neurotomy of the genicular nerves might be a successful alternative to surgery This procedure is based on the theory that cutting the nerve supply to a painful structure may alleviate pain and restore function

DiagnosisThe american College of Rheumatology criteria for the diagnosis of knee osteoarthritis Using history and clinical examinationPain in the knee and three of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

4- Bony tenderness 5- Bony enlargement 6- No palpable warmth of synovium

Using history and clinical examination and radiographic findings Pain in the knee and one of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt 30 minutes 3- Crepitus on active motions and osteophyte

Using history and clinical examination and laboratory findings Pain in the knee and 5 of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions 4- Bony enlargement 5- No palpable warmth of synovium6- Rheumatoid Factor lt140 7- Synovial fluid signs of osteoarthritis

AnatomyThe knee joint is innervated by the articular branches of various nerves including the

femoral common peroneal saphenous tibial and obturator nerves These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic guidance

Nerve supply of the knee joint

These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves

Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic

guidance

Nerve supply of the knee joint

Genicular branches of the knee joint

Genicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM)

inferior lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The

targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas

connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to

the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee

joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee

joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency

neurotomy

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Genicular branches of the knee jointGenicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM) inferior

lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency neurotomy

Radiofrequency Genicular NervesRF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of the six

genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocksbull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritisbull Patients with failed knee replacementbull Patients unfit for knee replacementbull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocksThese injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral (SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following injection

Radiofrequency Genicular Nerves

RF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of

the six genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and

can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two

lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local

anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocks

bull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritis

bull Patients with failed knee replacement

bull Patients unfit for knee replacement

bull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocks

These injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral

(SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is

considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following

injection

Radiofrequency of genicular nerves

Patients with a positive response are offered either cooled or conventional

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Radiofrequency of genicular nervesPatients with a positive response are offered either cooled or conventional radiofrequency

neurotomy for a more sustained response The procedure is usually done on an outpatient basis The procedure is performed under fluoroscopic guidance to ensure accuracy of needle placement Patients need to be aware that the outcome of the procedure is variable and they may not receive the desired benefits Similarly they must be aware of the transient nature of the therapeutic benefits and that there may need repeated injections

Radiofrequency treatment is a two-step procedure The first step is diagnostic involving injection of local anaesthetic around the genicular branches innervating the knee joint as described above Patients who experience good pain relief following diagnostic injections are offered radiofrequency denervation treatment This involves creating a heat lesion around the genicular nerves carrying painful impulses from the knee joint Successful treatment can result in pain relief lasting several months

Either conventional radiofrequency treatment or pulsed radiofrequency treatment can be used

PRF at 42degC was aimed at avoiding any neurological deficits that could lead to Charcotrsquos joint RF creates an alternating electric field with an oscillating frequency of 500000 Hz to elicit heat production around the percutaneously introduced needle tip by the body tissue acting as the resistor The output of the generator is interrupted to give 2 cyclessecond each of 20-msec bursts followed by silent phases of 480 millisecond in PRF The interval between the cycles allow for the dissipation of the heat maintaining the tissue temperature at 42degC far below the irreversible tissue damage threshold range of 45 ndash 50degC Thus PRF has no incidence of sensory or motor complications unlike conventional RF ablation which creates tissues temperatures of 70degC and above PRF has been used successfully to treat myofascial trigger points knee pain by intraarticular application and various peripheral neuropathic pains PRF appears to have genuine biological effects in cell morphology synaptic transmission and pain signalling which are likely to be temperature independent

ComplicationsComplications are rare particularly if injections are performed using a precise needle-

positioning technique Septic arthritis can be avoided with appropriate aseptic precautions Severe allergic reactions to local anaesthetics are uncommon Post-procedural pain flare-up is not uncommon and may be treated with painkillers Neurological complications including paraesthesias and numbness have been described but are extremely rare Radiofrequency treatment can cause patchy numbness of the over lying skin Incidence of infection is low as the procedure is performed under strict aseptic conditions and the injections are extra articular

ConclusionPRF of peripheral nerves and plexuses supplying the knee joint appeared to be a safe

effective and minimally invasive new technique that addresses the sensory motor and autonomic nerves to provide sustained relief of pain stiffness swelling and the peripheral and central sensitivity in response to chronic pain in both knees from long-standing osteoarthritis patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-21

Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia Intravena

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Denpasar-Bali

Sekitar 19 juta orang di dunia mengalami nyeri akibat kanker setiap tahunnya Dari jumlah tersebut 40-80 menderita nyeri sedang sampai berat Nyeri dapat berasal karena lesi kanker itu sendiri metastasenya komplikasi seperti kompresi saraf atau infeksi terapi atau faktor lain seperti psikologis dan lingkungan Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi masih mengalami nyeri paskaoperasi akibat penanganan nyeri yang kurang adekuat

American society of Anesthesiologis (ASA) mengeluarkan pedoman teknik yang direkomendasikan untuk penanganan nyeri akut paskaoperasi salah satunya dengan menggunakan teknik PCA ( patient controlled analgesia )

Patient Controlled Analgesia merupakan suatu metode penanganan nyeri di mana pasien dapat mengadministrasikan dosis kecil obat analgesik secara mandiri Adapun nyeri kankerkronik dan nyeri akut merupakan salah satu indikasi untuk penggunaan PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan memakai opioid kuat sesuai pendekatan dari WHO atau WFSA Rute administrasi PCA bervariasi Rute PCA yang paling umum adalah melalui jalur intravena Di luar negeri PCA iv (intravena) sudah merupakan salah satu standar penanganan nyeri sedangkan di Indonesia masih belum terlalu luas pemakaiannya Rute lainnya adalah melalui jalur epidural lebih dikenal sebagai PCEA (patient controlled epidural analgesia) sering digunakan pada teknik painless labour ataupun nyeri akut paskaoperasi mayor PCRA (patient controlled regional analgesia) merupakan teknik yang terbilang baru seiring perkembangan regional anestesi dengan menggunakan kateter kontinyu pada blok saraf tepi PCRA terutama digunakan pada nyeri akut paskaoperasi extremitas Teknik terakhir adalah PCA SC (subcutaneous) Berdasarkan beberapa penelitian ternyata PCA subkutan tidak berbeda signifikan dalam absorbsi obat efikasi serta efek sampingnya dibandingkan dengan PCA intravena serta PCA subkutan mampu untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal untuk pasien PCA SC merupakan alternative penanganan nyeri untuk pasien kanker apabila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi opioid secara oral ataupun bila akses vena sudah rusak akibat kemoterapi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-22

TCI in Obese Patient

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Obesitas adalah kelainan keseimbangan energi Berasal dari bahasa Latin obesus yang berarti gemuk karena makan Pasien dikatakan obese bila berdasarkan perhitungan BMI (Body Mass Index) didapatkan hasil lebih dari 30 Adapun peningkatan berat badan terkait dengan BMI ini juga membawa akibat perubahan fisiologis sistem organ pasien obese

Pada pasien obese akan terjadi kelebihan jaringan adiposa dan loading jaringan otot dan tulang yang meningkatkan metabolic demand Di samping itu pasien dengan obesitas sangat terkait dengan penurunan komplians sistem respirasi Terdapat pula abnormalitas metabolisme lemak yang menyebabkan infiltrasi jaringan lemak pada hepar Sedangkan pada sistem renal terjadi sklerosis glomerulus dan hilangnya nefron akibat peningkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang akan menimbulkan gagal ginjal kronik

Pada orang dengan obesitas terdapat akumulasi lemak yang dapat mengganggu farmakokinetik dan farmakodinamik obat Berdasarkan hal tersebut penyesuaian dosis obat pada orang obesitas dapat menggunakan beberapa strategi penyesuaian dosis contohnya penggunaan berat badan aktual (TBW) LBM (Lean Body Mass) atau IBW yang berdasarkan tinggi badan Penyesuian dosis obat tersebut didasarkan pertimbangan perubahan volume distribusi (Vd) clearance (CI) dan protein binding beberapa obat

Walaupun propofol bersifat lipofilik kuat propofol tidak berakumulasi pada pasien obesitas Untuk itu dosis maintenance propofol pasien obese dapat diperhitungkan sama seperti pasien dengan berat badan normal yaitu menggunakan berat badan aktual Tetapi hal tersebut memerlukan dosis jumlah besar dan menimbulkan efek hemodinamik yang nyata

Dari beberapa penelitian diperoleh simpulan tidak terdapat perbedaan clearance yang signifikan antara pasien berat badan normal dengan pasien obesitas dengan menggunakan perhitungan TBW pada TCI propofol Didapatkan pula bahwa TBW merupakan deskripsi berat badan paling tepat untuk pasien obesitas Penggunaan LBM untuk TCI propofol tidak sesuai pada pasien obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya overestimasi clearance metabolik Sehingga lebih direkomendasikan untuk memakai perhitungan TBW dalam pemakaian TCI untuk pasien obese

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-23Hightoracic And Cervical Epidural Anaesthesia

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2

bull Respiratory problems bull Cardiac problems bull Myocadial ischemia neuro-vascular problems bull History of a difficult postoperative period in the past bull Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural

space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine bull the thoracic spinous processes are oblique bull a mechanical lesion of the medulla is possible bull ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive)

There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

bull median approach bull paramedian approach bull lateral approach

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes

HIGHTORACIC AND CERVICAL EPIDURAL ANAESTHESIA

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP Sardjito

Yogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the

perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective

analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation

ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and

improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2 Respiratory problems Cardiac problems Myocadial ischemia neuro-vascular problems History of a difficult postoperative period in the past Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine the thoracic spinous processes are oblique a mechanical lesion of the medulla is possible ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive) There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

median approach paramedian approach lateral approach

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

MORPHOLOGICAL LANDMARKS bull C7 - protuberant cervical process bull T3 - origin of the spine of the scapula bull T7 - tip of the scapula bull L1 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

bull CARDIOVASCULAR EFFECTThoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial

arteries and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

bull RESPIRATORY EFFECTSTEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity through the analgesia produced which permits a better spontaneous ventilation Analgesia without sedation helps for a more rapid mobilization and for an active rehabilitation

bull STRESS RESPONSETEA with local anesthetics or opioids inhibits the neuro-endrocrine response to surgery

Opioids and local anesthetics produce different effects due to their differents sites of action

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes MORPHOLOGICAL LANDMARKS

992256 - protuberant cervical process 992256 - origin of the spine of the scapula 992256 - tip of the scapula 992256 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

CARDIOVASCULAR EFFECT Thoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial arteries

and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

RESPIRATORY EFFECTS TEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Opioids produce analgesia through modulation of nociceptive pathways whereas local anesthetic block both the nociceptive and the non-nociceptive pathways

bull GASTRO-INTESTINAL MOBILITY Digestive transit is faster to recover when the block level is over T12 Many mechanisms

can explain why thoracic epidural anesthesia can favor a more rapid digestive transit recovery Blockade of nociceptive afferents influx and of sympathetic lumbar and thoracic afferents Non-antogonism of parasympathetic efferents influx Increase of G-I blood circulation Systemic Absorption of local anestheticsReduction of postoperative opioids consumption

APPLICATIONSubtotal gastrectomy has been successfully performed using thoracic epidural anaesthesia

alonein two high-risk surgical patients They received thoracicepidural anaesthesia alone An

18-gauge Tuohy needle was introduced at T8T9 intervertebral space and thetip of the catheter was advanced 3 cm cephalad beyond the tip of the needle (T7T6)4

Epidural anaesthesia wasestablished with 05 levobupivacaine and sufentanil The used doses were calculated according to the formula

x mg=(n of dermatomes+6) ∙ mgsegmentThoracic epidural anaesthesia provides optimal perioperative anaesthesia and analgesia

afterthoracic and major abdominal surgery and decreases postoperative morbidity and mortality mainly by blockingsympathetic nerve fibers4

Cervical Epidural Anesthesia (CEA)Cervical epidural anaesthesia has been used mainlyfor hand upper limb shoulder and

upper thoracicwall surgery including mastectomyIt has also beenused for carotid artery surgery parathyroid surgeryneck dissection for head and neck cancers and for thetreatment of complex regional pain syndromes of theupper limb5

CEA as an anaesthetic for mastectomies breast reconstruction in elderly females and in patients with pulmonary diseases has been reported for better acceptance and safety over GACEA was given at C6-C7 or C7-T1 level in the midline using18 gauge Tuohyrsquos needle with bevel facing cranially at an angle of 30 degrees and by loss of resistance method to identify the epidural space An epidural catheterwas placed 3cm craniallyIn experienced hands sole use of CEA for various neck and chest surgeries is documented highlighting the advantages like stable cardio-respiratory status by avoiding airway instrumentation less blood loss and post operative morbidityCEA blocks the cervical plexus (C1-C4) phrenic nerve (C3-C5) brachial plexus C5-T1) and upper thoracic dermatomes along with sympathetic fibers that are responsible for the stress induced neuro- hormonal reactions Major concerns with CEA are the hemodynamic and respiratory complications Different concentrations of bupivacaine are used and studied for the hemodynamic respiratory effects following CEARopivacaine 05-075 reported to have favorable effect on hemodynamic variables by blocking the sympathetic innervations of the heartDominguez F et al conducted shoulder surgeries in three patients with 075 ropivacaine under CEA and concluded that ropivacaine provides an effective sensory block and a restricted motor blockade reducing the probability of the restrictive pulmonary syndrome associated with cervical epidural anesthesia CEA significantly decreases the blood loss due to blockade of cardiac sympathetic fibers leading to decrease in cardiac output blood pressure reduction in airway and thoracic pressures5

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

For thyroid surgery regionalanaesthetic techniques have neither been adequatelydescribed nor practiced widelyCervical epidural anaesthesia aims to anesthetise theskin in front of the neck where the incision would beplaced The front of the neck is supplied by 2nd and3rd cervical rami which form the transverse cutaneousnerve of the neck The lower part of the neck and thepart lateral to sternocleidomastoid muscle is suppliedby supraclavicular nerves which arise from the 3rdand 4th cervical ventral rami For delivering CEA weintroduced the epidural catheter in the C7 ndashT1 vertebrainterspace and guided it upwards by keeping the bevelof the Tuohy needle facing cranially By using thetechnique described above the upper level of sensoryblock obtained was at C2 level and the lower levelvaried from T5 to T106

Keywords HTE ACEA Indication Risk and Benefit

Reference 1 LenaP et al 2007 Epidural Anaesthesia in Cardio Thoracic Surgery Handbook Of Regional

Anesthesia European Society of Regional Anesthesia and Pain Therapy P502 Hadzic A 2007 Text Book Of Regional Anesthesia and Acute Pain Management The New

York School of Regional AnesthesiaPart III Clinical Practice of Regional Anesthesia gt Section Two Neuraxial Anesthesia gt Chapter 14 Epidural Blockade

3 CarliClemente 2008 The physiological effects of thoracic epidural anesthesia and analgesia on cardiovascular respiratory and gastrointestinal system Minerva Anestesiol 74-549-63

4 Van Haken AK UpDate on Toracic Epidurals Are The Benefits Worth The Risk International Anesthesia Research Society Canada

5 Kulkarni K Namazi IJ Deshpande S Goel R Cervical Epidural Anaesthesia with Ropivacaine for Modified Radical Mastectomy Kathmandu University Medical Journal 2013 vol11 no 2 issue 42

6 Khanna R Singh DK Cervical Epidural anasesthesia for thyroid surgery Kathmandu University Medical Journal2009Vol 7 No 3 Issue 27 242-24

S-24

Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill Patients

IMG Widnyana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Recently the practice of locoregional anesthesia and analgesia has become widespread and is already supported by numerous publications that have demonstrated its feasibility and effectiveness It already takes important parts in surgical and post surgical patients And now it also plays an important role in multimodal pain management especially in critically ill patients Indications for locoregional anesthesia are not limited to surgical and postsurgical analgesia but extend to the management of painful procedures for the critical ill patients (in ICU) patients with trauma-related issues and also another medical conditions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

As we know that critically ill patients frequently come with coexisting diseases that present wicked challenges to us the anesthesiologist including coagulopathies infections immuno compromised states sedation- and ventilation-associated problems and factors potentially increasing the risk for systemic toxicity There are techniques of loco-regional anesthesia and analgesia that we can choose and use in critically ill patients And we want to present a review of Loco-regional anesthesia and analgesia techniques in critically ill patients focusing on the main advantages and limitations of its use in critically ill patients and describe the most commonly used locoregional techniques and its applicability for critically ill patients

Keywords Locoregional anesthesia peripheral nerve blocks Critically ill patients ultrasonography guiding

S-25

Enhance Recovery After Surgery in Abdominal Surgery

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Rekomendasi dari komunitas ERAS (Enhance Recovery After Surgery) adalah suatu guideline yang dibuat oleh komunitas ERAS bekerja sama dengan IASMEN (Surgical Metabolism and Nutrition) dan ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) untuk memberikan pelayanan perioperatif yang optimal Guideline ini pertama kali dibuat untuk operasi colon pada tahun 2012 dan selanjutnya berkembang untuk operasi-operasi abdominal besar lainnya

Tujuan pembuatan guideline ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perioperatif dengan menurunkan stres pembedahan memelihara fungsi fisiologis postoperatif dan meningkatkan mobilisasi setelah pembedahan Guideline ini dibuat dengan jalan mereview dan menganalisis penelitian-penelitian meta-analysis randomised control trials dan prospective cohort yang sesuai dengan komponen-komponendari guideline ERAS yang selanjutnya di gradasi berdasarkan sistim Grading of Recommendations Assessment Development and Evaluation (GRADE)

Komponen-komponen yang termasuk dalam guideline ERAS diantaranya Preoperatif informasi pendidikan dan konseling preoperatif optimalisasi properatif bowel preperation puasa dan pemberian karbohidrat preoperatif premedikasi dari anestesi pencegahan terhadap thromboemboli antibiotik pencegahan dan pesiapan kulit protokol anestesi standar PONV(postoperative nausea vomiting) laparoskopi dan modifikasi dari akses bedah pemasangan NGT (nasogatric tube) mencegah hipotermia intraoperatif penanganan cairan perioperatif drainase dari peritoneal cavity setelah anastomosis colon drainase dari urine pencegahan ileus post postoperatif analgesi postoperatif penanganan nutrisi perioperatif kontrol glukosa postoperatif dan mobilisasi dini

Kata Kunci Enhanced Recovery After Surgery ERAS ERAS society reomendation

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-26

Anesthesia in Major Vascular Surgery

Jefferson Hidayat

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UIRSUPN Cipto MangunkusumoJakarta

Abstract

Anesthesia in major vascular surgery is generally considered as a high risk procedure due to patientrsquos systernic vascular disease comorbidities and the high surgical risk In elective major vascular procedures (open or endovascular) thorough preoperative management is mandatory lncreased risk of various comorbidities such as diabetes hypertension coronary artery diseasevalvular heart disease renal respiratory and cerebral diseased requires optimalization

General anaesthesia combined with epidural block is commonly chosen for open vascular surgery One should know hemodynamic changes and metabolic changes in aortic cross-clamping declamping to manage the problem intraoperatively Organ preservation such as spinal cord preservation using cerebrospinal fluid drainage renal preservation lungs and cardiac preservation especially in patient with any history of CAD must be performed accordingly

Endovascular aortic repair (EVAR) can be performed uncer local anaesthesia with monitored anaesthesia care (MAC) regional anaesthesia (spinaliepidural) and general anesthesia The choice old anaesthesia technique is discussed and choosen according to length of procedure complexity and whether hybrid or open surgical procedure is planned Regardless of which anaesthesia technique is planned invasive hemodynamic monitoring should be invasive and similar to the open repair Challenges during EVAR procedure includes bleeding dissection rupture endoleak migration distal organ ischaemia injures due to branch blockade or thrombus and hypothermia during long procedure A good haemodynamic monitoring and management will shortened hospital length of stay and mortality rate

Keywords Anesthesia Vascular surgery aortic cross clampingdeclamping organ preservation EVAR

S-27

Pediatric Ambulatory Anesthesia

Kadek Agus Heryana Putra

Department of Anesthesiology and Intensive TherapySanglah General Hospital

University of Udayana Medical Faculty

Abstract

Ambulatory (or outpatient) anesthesia and surgery is common in pediatric practice and has many benefits for patients parents and health care Anesthesia for pediatric ambulatory surgery remains to be a challengeAppropriate patient selection is important for the success of ambulatory anesthesia Exclusion criteria include patient-related factors surgical anesthetic

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

and social factorsRoutine preoperative preparation and evaluation are the same as for inpatients and includes a history and physical examination with special attention to past surgical or anesthetic experiences Choosing one anesthetic technique over the other is based on patient and procedure-specificWide variety agents that enable rapid induction maintenance emergence with minimal adverse effectsand techniques are currently available to anesthesiologists in order to administer safe and efficacious anesthesia Multimodal approach is useful for pain management and postoperative nausea and vomiting Discharging a postoperative patient to the environment with less skilled nursing care is considered to be unique in ambulatory anesthesia Parents are provided with verbal and written postoperative instructions about wound care analgesia diet mobilization and resumption of normal activityEvery ambulatory surgical unit have several mechanisms to evaluate its performance and patientrsquos satisfaction

Keywords ambulatory anesthesia preoperative preparation multimodal analgesia postoperative instructions

S-28

Anesthesia in High Risk Pediatric Patients

HU Kaswiyan Adipradja

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Prinsip dasar pada manajemen anestesi pediatrik yang sudah diketahui secara umum adalah bahwa pasien pediatrik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini sehingga manajemen anestesinya pun berbeda dan memerlukan perhatian yang seksama

Pasien pediatrik memiliki keistimewaan yang terletak pada berbagai segi anatomis dan fisiologis Jalan napas pasien pediatri sangat rentan mengalami obstruksi oedem mukosa serta kecenderungan intubasi endobronkial Dari segi kardiovaskuler yakni denyut jantung kontraktilitas compliance serta kerentanan untuk terjadinya afterload yang tidak seimbang saling ketergantungan antar ventrikel dan respon terhadap katekolamin Dari segi respirasi pasien pediatri rentan berisiko mengalami kegagalan respirasi karena sangat tergantung dari pergerakan diafragma Hipotermi juga menjadi salah satu bahaya berat yang dapat mengancam pasien pediatrik karena ketiadaan lemak subkutis dan ketidakmampuan pasien untuk menggigil (shivering)

Pasien pediatri juga memiliki beberapa kondisi yang dianggap berisiko tinggi Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa semua pasien pediatri harus diperhatikan secara seksama bukan tidak mungkin bahwa pasien pediatri yang permasalahan preoperatifnya biasa saja ternyata mengalami masalah intraoperatif maupun pascaoperatif seperti laringospasme croup serangan asma akut bahkan vagal refleks sampai cardiac arrest Tanpa memandang sebelah mata pada kasus-kasus pediatri rutin perlu dilakukan persiapan seksama dan pemantauan secara kontinyu dan ketat untuk kasus-kasus pediatri berisiko tinggi seperti kasus ambulatory anesthesia pada pasien pediatri dengan OSA pasien pediatri yang prematur dengan rencana operasi cito atau urgent serta pasien pediatrik yang mengalami syok sehingga perlu penggantian volume cairan maupun komponen darah sesegera mungkin

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Manajemen jalan napas yang tepat pertimbangan pemberian obat-obatan induksi baik intravena maupun inhalasi yang adekuat namun tidak merangsang jalan napas fasilitasi intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot maupun tanpa pelumpuh otot pertimbangan kapan melakukan suctioning pertimbangan melakukan ekstubasi sadar ataupun dalam sampai manajemen pascaoperasi seperti penggunaan skoring PADSS untuk periode pemulihan monitoring ketat pasca operasi yang perlu diwaspadai ketika 6-24 jam pasca operasi sampai take home message yang wajib diketahui keluarga pasien untuk membantu dalam pengawasan pasien di rumah menjadi hal-hal pokok yang penting diketahui oleh seorang ahli anestesi

Di rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak baik di daerah maupun pusat kota sering dijumpai pasien pediatri baru lahir (newborn) yang berasal dari persalinan prematur kurang bulan maupun dari kondisi kehamilan yang kurang baik Pasien-pasien tersebut sudah memiliki kondisi preoperatif yang kurang memadai untuk tindakan operasi dengan permasalahan fisiologis prematur dengan segala ketidaksempurnaan fungsi organ ditambah lagi dengan minimnya data dasar yang dimiliki untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen anestesi pasien tersebut

Perbedaan cara pandang dalam hal pemberian opiat untuk suplemen analgesia dan induksi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien prematur serta teknik intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot akan menjadi hal yang menarik untuk dijadikan titik perhatian Selain itu ketersediaan sarana airway kit alat-alat resusitasi untuk pasien pediatrik yang memadai alat monitoring di kamar operasi yang dapat digunakan untuk usia prematur serta variasi kasus dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh ahli anestesi yang bersangkutan akan menjadi nilai tambah untuk dapat meningkatkan keberhasilan tindakan Peran komunikasi dan diskusi dengan sejawat lain tidak saja dari satu bidang namun juga dari sejawat operator dan pediatri gawat darurat sangat diperlukan dalam kasus-kasus berat tersebut

Pasien pediatri tidak memiliki kompensasi yang cukup untuk mempertahankan kondisi hemodinamik terutama apabila mereka sebelumnya sudah terpapar dalam kondisi dehidrasi perdarahan maupun defisit cairan tubuh lainnya misalnya akibat febris luka bakar dan penguapan Pemberian cairan dari luar tubuh harus memperhitungkan dengan seksama kebutuhan cairan preoperatif intraoperatif maupun rencana pascaoperatif agar adekuat sehingga tidak menyebabkan kondisi menjadi overload Selain itu pemberian komponen darah harus betul-betul memperhatikan komponen mana yang lebih diperlukan untuk kondisi perioperatif tersebut dan disertai dengan perhitungan yang terinci

Di samping pemberian cairan pemberian glukosa juga menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan karena pasien pediatrik berisiko mengalami hipoglikemi misalnya pasien yang rutin mendapat hiperalimentasi bayi dari ibu yang mengalami diabetes yang mengalami persalinan cepat serta neonatus yang kecil untuk usia kehamilan Penggunaan glukosa sebaiknya diberikan pada bayi yang menjalani prosedur pembedahan yang lama dengan didasarkan atas pemeriksaan level glukosa serum Hanya dengan memonitor nilai glukosa serum kita bisa membuat keputusan yang tepat Infus glukosa 1 cukup adekuat untuk mempertahankan nilai normal glukosa serum pada bayi yang berisiko mengalami hipoglikemi

Dengan memperhatikan segala poin-poin penting di atas gambaran akan bundle manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan risiko tinggi lebih dapat divisualisasikan lebih jelas Kesesuaian serta variasi yang didapat antara teori dan praktik yang dikerjakan oleh ahli anestesi pada pasien pediatrik akan menambah khazanah pengetahuan serta meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani pasien dengan risiko tinggi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-29

Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied Enough

I Made Wiryana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Tantangan profesi ahli anestesi di milenium yang baru ini tidak lagi semudah dahulu Klien yang harus dipuaskan tidak saja hanya operator dan rumah sakit yang menaungi namun juga pasien sendiri beserta keluarga dan orang dekatnya Dengan ritme kerja yang penuh tekanan berpacu dengan waktu tuntutan biaya hidup dilawan oleh standar keselamatan dan kualitas pelayanan yang tinggi seorang ahli anestesi akan terpapar dengan berbagai macam bahaya dan risiko kerja seorang ahli anestesi

Terdapat beberapa bahaya yang dialami oleh seorang ahli anestesi di tempat kerja yakni bahaya biologis mekanis kimiawi fisik dan personal Selain dari bahaya yang sifatnya eksternal yakni biologis mekanis kimiawi dan fisik tersebut bahaya potensial yang mengancam profesionalitas seorang ahli anestesi adalah berasal dari pribadinya sendiri Bentuk bahaya ini antara lain berupa kelelahan atau fatigue stres atau burnout ancaman penyalahgunaan zat bahkan hingga tindakan bunuh diri

Seorang ahli anestesi diharapkan memiliki ukuran dan kadar diri rutin dievaluasi setiap saat secara personal untuk mampu mengukur kemampuan kerja sewaktu dan bertujuan mengurangi dan menghilangkan stres kerja maupun kehidupan pribadi Selain itu terdapat langkah motivasional yang dapat dilakukan saat kerja untuk memodifikasi situasi pemicu stres antara lain perencanaan strategi baru untuk menangkal stres belajar hidup disiplin setiap hari komunikasi dan diskusi dengan rekan sejawat realisasi akan potensi pribadi mempunyai hobi atau minat serta mampu melakukan relaksasi saat waktu luang memiliki rasa optimis dan tetap menjaga pola tidur olahraga dan nutrisi yang cukup Dengan mendekatkan diri dengan hal spiritual atau mendalami hal keagamaan juga mampu meningkatkan rasa optimis akan adanya kebaikan yang akan datang melingkup tempat dan lingkungan kerja

Dengan evaluasi diri yang terus-menerus serta tindakan motivasional yang dilakukan berkala diharapkan seorang ahli anestesi mampu menjaga kualitas dan performa kerjanya meski dihadapkan pada berbagai kasus sulit dan dengan manajemen waktu yang sempit Ahli anestesi yang berpengalaman dalam menangani stres juga tentu akan mampu menyuarakan umpan balik positif bagi tempat kerjanya agar lingkungan tersebut tidak saja berusaha memberikan situasi dan waktu kerja yang lebih kondusif namun juga kompensasi yang seimbang sehingga akan mampu memberikan nilai tersendiri bagi profesi anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30

Ethics In End Of Life Care In Elderly

Moh Sofyan Harahap

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstrak

Kita mengenal aspek pelayanan ksehatan di Indonesia adalah Promotif Preventif Kuratif dan Rehabilitatif belum disebutkan perawatan Paliatif yang erat hubungannya dengan perawatan pada akhir hidup yang sering dijumpai Karena jika pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi maka dokter harus tetap menjaga agar akhir kehidupannya dapat dilewati dengan baik Perawatan di akhir kehidupan ini tidak hanya menyangkut pasien namun juga keluarganya

Sama halnya dengan hukum maka etika sesungguhnya didasarkan pada nilai dan norma moral Norma moral itu sendiri terdiri dari moral principles (beneficence nonmalficence autonomy dan justice) moral standard dan moral rules (yang kemudian dikompilasi kedalam kode etik)

Perkembangan teknologi saat ini dapat memperpanjang kehidupan manusia yang menderita sakit kritis di ICU hal ini sekaligus menimbulkan masalah etik tersendiri misalnyamisalnya apa yang harus atau boleh kita lakukan dalam memperpanjang kehidupan pasien sejauh mana kita boleh menghentikan pemakaian alat bantu hidupsarana pengobatan lainnya apakah kita tidak membunuh pasien apabila kita menghentikan alat bantu nafas

Intinya hakekat dari clinical case management adalah CURING dan CARING Upaya curing harus dihentikan manakala sudah bersifat mubazir (futile) sedangkan upaya caring harus diteruskan sampai pasien meninggal dunia

S-31

Advanced Airway Management In Difficult Pediatric Patient

Muhammad Ramli Ahmad

Bagian Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Kesulitan dalam penanganan jalan napas anak tidak jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna Kesulitan sering terjadi berkaitan dengan ventilasi laringoskopi atau intubasi trakea Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau proses patologi yang melibatkan jalan napas Prinsip penanganan adalah menjaga patensi jalan napas untuk menjamin oksigenasi dan ventilasi Identifikasi karakteristik kesulitan jalan napas dan perencanaan masalah penting dalam praktek anestesi Kunci keberhasilan adalan penilaian dan persiapan preoperatif serta pengetahuan dasar mengenai perbedaan anatomi jalan napas dan fisiologi respirasi pada anak Selain itu juga perlu didukung oleh ketersediaan peralatan dan ahli anestesi yang berpengalaman

Kata kunci jalan napas anak kelainan kongenital kesulitan intubasi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-32

Pediatric Traumatic Brain Injury

Nazaruddin Umar

Department of Anesthesiology amp Intensive Care Medical School of University of Sumatera Utara

Abstract

Traumatic Brain Injury (TBI) remains the leading cause of death and disability in pediatric patients from birth to 18 years of age Each years 500000 children are seen in Emergency Departement and pediatric deaths from TBI are estimated to be 2500 annualy Severe TBI in pediatric population has better survival prognosis if treated in any trauma centers equipped well in facility and skilled staff to collaborate in neuropediatric cases Proper Systematical Assessment and Intervention on initial admission in order to prevent secondary brain injury by any harmful effect of agitated hypoxia hypercarbia hypovolemia with sedation analgesia with minimal risk of respiratory depression avoidance hyperventilation normovolemia and maintenance of Cerebral Perfusion Pressure (CPP) above 50 mmHg hyperosmolar therapy temperature control glucose control antiseizure prophylaxis would improve outcome particularly for children with several type of problems during radiodiagnostic procedure neurosurgery and neurointensive care unit Brain injury can be devided into primary and secondary injury The primary injury is caused by the intial trauma Physical forces such as acceleration deceleration or rotational forces have an impact on the tissue and may result in skull fracture brain contusion intracranial hematoma or diffuse axonal injury Secondary injury is result of the cascade of event that occurs after the initial injury in including edema cappilary leak and activation of the secaondary imflamatory response The goal of care for patient with TBI is to aid in the compencation process limitating secondary injury to prevent brain ischemia and optimize neurological outcomes TBI are categorized as mild moderate and severe Children with mild brain injury achieve a Glasgow Coma Scale (GCS) of 13 or higher Moderate TBI is characterized by a loss of conciousness and physical andor cognitive impairment with GCS of 9 to 12 Children with severe TBI have GCS less than 8 and require airway and hemodynamic support Management of TBI is devided into first second and third-tier therapy The goal of all therapies is to maintain a low and stable ICP and adequate blood pressure preventing any critical drop in CPP of the three component in the skulll the brain subtance remain fairly constant threfore treatment intially focuses on a shift in CSF or blood from the intracranial space Surgical interventions may be required if medical therapie in the first and second tiers are unsuccessful Management pediatric TBI must be perioperative evaluation anastetic consideratation postoperative management

Keywords CPP Pediatric Secodary Brain Injury TBI

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-33

Advanced Hemodynamic Monitoring

Putu Agus Surya Panji

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Advanced hemodynamic monitoring comprises several level of persistent monitoring in critical patients The goal of hemodynamic monitoring in intensive care is to maintain sufficient perfusion pressures and oxygen delivery Precise volume management of perioperative and critical care patients is crucial to prevent adverse outcomes The need for the precise quantification of cardiac output (CO) in high-risk surgical patients both in the operating room and the intensive care unit is vital in modern medical practice

Manipulation of the cardiac output (CO) mean arterial pressures (MAP) systemic filling pressures and volumes as well as dynamic markers of fluid responsiveness requires continuous monitoring thorough understanding of the modalities employed and proper interpretation of data acquired

Methods for obtaining accurate and continuous measurements in the critically ill patient have evolved from surgical and anesthetic techniques dating back more than a century The pulmonary artery catheter (PAC) is not any more the sole tool available There are less invasive and potentially more accurate methodologies have been developed and employed in the operating room and among diverse critically ill populations

Minimally invasive cardiac monitoring encompasses all methods and devices that calculate the cardiac output without the need of inserting a PAC These include transpulmonary thermodilution arterial pressure pulse contour the esophageal Doppler the thoracic electrical bioimpedance the carbon dioxide rebreathing and waveform analysis and bedside critical care ultrasound including echocardiography Recently simply monitoring vascular pressures has given way to dynamic monitoring where physiologic changes with respiration can be used to derive additional parameters such as pulse pressure variation (PPV) and stroke volume variation (SVV) Clinicians should be aware of their distinct features their limitations but also the sources of potential error that stem for their use

S-34

Direct Marker Of End Organ Perfussion

Prananda Surya Airlangga

Dept Anestesiology dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Univ Airlangga ndash RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak

Oksigen merupakan bahan dasar atau substrat yang memegang peranan vital dalam metabolisme tubuh manusia Proses sampainya oksigen ke seluruh tubuh melalui peredarah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

darah digambarkan dengan rumus Delivery Oxygen (DO2) Dimana bila kita jabarkan terdapat proses fisiologi yang cukup panjang mendasari rumus tersebut Komponen Cardiac output Hemoglobin dan Saturasi Oksigen menjadi variabel dalam rumus tersebut dengan end point adalah perfusi yang baik ke seluruh organ Perfusi yang baik ditunjang Makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang baik Pada saat ini dengan bantuan Non Invasif dan Invasif monitoring kita bisa menilai makrosirkulasi tetapi untuk mikrosirkulasi hal ini tidak mudah apalagi di tingkat klinik Ada beberapa marker indirect yang kita gunakan sebagai alat monitor seperti laktat base deficit ScvO2 dll Belakangan ini terus diupayakan dan dikembangkan alat-alat untuk memonitor secara langsungdirectperfusi di mikrosirkulasi terlebih lagi pada beberapa end organ sehingga outcome terapi kita bisa ditingkatkan

Keyword tissue oxygenation near infrared spectroscopy delivery oxygen

S-35

Chronic Pain Depression And Somatoform Disorders

I Putu Eka Widyadharma

BagianSMF Neurologi FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif neuropatik atau gabungan keduanya Dampak nyeri kronis pada kehidupan seseorang secara keseluruhan juga berkontribusi terhadap depresi dan kelainan somatoform

Nyeri kronis dan depresi berhubungan pada tingkatan neurobiologis psikologis dan perilaku Pada tingkatan neurobiologis neurotransmitter seperti serotonin norepinefrin berperan pada gangguan depresif Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif Pada tingkatan psikologis nyeri kronis termasuk dalam bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen tubuh termasuk nyeri Sebuah konsep yang sesuai penekanan somatosensori yang didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan gejala disforik termasuk nyeri Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik dan merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress psikologis Pada tingkatan perilaku depresi terjadi sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari

Akibat dampak yang sangat luas maka pendekatan multidisiplin merupakan pilihan terbaik dalam manajemen pasien dengan nyeri kronis

Kata kunci nyeri kronis depresi somatoform multidisiplin

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-36

Pain Management In Day- Case Surgery

Sugeng Budi Santosa

Departement of Anesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret UniversityDr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Recent advanced in anaesthetic and surgical techniques along with escalating healthcare cost have resulted in an ever-increasing number of surgical procedures being performed on a day case Most day-case surgery procedures are associated with relatively minor surgical trauma so discharge of these patient frequently depends on recovery from anaesthesia Top priorities for successful day-case surgery are the 4 Arsquo s alertness ambulation analgesia and alimentation (1) Post operative pain is one of most common complaints after surgery and remain continuous to be a challenge for anesthetist this symptom is the most common reason for unanticipated hospital admission The potential cost saving of day-case surgery may negated by unanticipated hospital admission for poorly treated pain (2) Optimal postoperative pain control in day-case surgery should be effective safe minimal side effect facilitate recovery And easily managed by patient at home Supplements and rescue analgesics should be provide if prescribed analgesics is ineffective (3)

Keywords one day care surgery pain management

S-37

Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant Medication

Sugeng Budi Santoso

Department of Anaesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret University Dr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Improvement in patient outcome including mortality major morbidity and patient - oriented outcome has been demonstrated with neuroaxial techniques especially epidural anaesthesia and continued epidural analgesia (Rodgers A et al 2000)

The possible complication of neuroaxial block is spinal - epidural hematoma and the use of anticoagulant or anti-platelet is the risk factor most often associated with this complication Current incidence of neurological dysfunction resulting from bleeding complication associated with neuroaxial block is unknown Itrsquos occurrence is estimated to be less than 1 150000 epidural punctures and 1220000 subarachnoid punctures ( Horlocker TT2011)

The number of patient on anticoagulant or anti-platelet therapy has been growing due to the aging process longer life expectancy and prevalence of cardiovascular disease Because

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

risk of spinal - epidural hematoma is increased and introduction of new antithromboyic drugs done at regular interval guideline and recommendations regarding on safety in regional anaesthesia and concomitant use of antithrombotic therapy should be constantly updated ( Vandermeulen E 2010)

Guidelines and recommendation should be included identification of risk factor prevention strategies diagnosis and treatment safe interval for drug suspension and resumption after regional block in subject taking drugs that interfere with coagulation

Keywords Regional anaesthesia Anticoagulant medication

S-38

Major Obstetric Bleeding Management

Susilo Chandra

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Deaths per 100000 pregnancies Sepsis (genital tract infection) is the 1st cause of direct maternal death Rate 113 per 100000 Preeclampsiaeclampsia is 2nd highest cause of direct maternal deaths Rate 083 Thrombosis(including central vein thrombosis) and thromboembolism is the 3rd with rate of 079 AFE is the 4rd with rate of 057 Hemorrhage is number 6 after early pregnancy deaths (ectopic spontaneous miscarriage legal termination other) with rate of 039 Deaths from indirect causes account for the most common causes of maternal death with cardiac being one (rate 231) followed by other indirect causes (rate 214) and indirect neurologic conditions (157)

Morbidity loss of fertility Sheehan syndrome and multi-organ failure due to hypovolemic shock Maternal hemorrhage disproportionately affects resource-poor countries Pasquier 125000 deaths per year related to PPH Incidence of PPH has increased in Canada Australia and US

Low fibrinogen level at PPH diagnosis is associated with a higher risk of severe PPH independent of other laboratory indicators Wide range of PPH (147-18 of all deliveries) reflects different definitions used and the regions concerned Antenatal risk assessment predicts only 40 of those who will develop PPH Maternal morbidity associated with PPH includes PP hysterectomy sepsis ARF and ICU admissions

Chang CC et al study applied multivariate logistic regression to explore the relatioship between anesthestic management type and PPH ldquoWomen who received GA had a higher rate of PPH than women who received epidural anesthesia The odds of PPH in women who had CS with GA were 815 times higher (95 Cim 643-1033) than for those who had CS with epidural anesthesia after adjustment was made for the maternal and fetal characteristicsrdquo

There is no consensus on a definition of major obstetric haemorrhage Up to 1000 ml blood loss is not uncommon in the peripartum period and may be of little clinical significance Blood loss gt1500 ml a decrease in haemoglobin of more than 4 gdl or an acute transfusion requirement of more than 4 units of packed red blood cells are suggested criteria Definitions based on haemodynamic deterioration are unhelpful as maternal physiology often allows compensation until haemorrhage is advanced Careful clinical observation and a high index of suspicion are required to detect bleeding early

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Antepartum HaemorrhageAntepartum haemorrhage (APH) is defined as bleeding from the vagina after 24 weeks

gestation and has an estimated incidence of between 2ndash5 of all pregnancies Complications include maternal shock fetal hypoxia premature labour and fetal death Causes include

Placenta praevia Placental abruption Uterine rupture Trauma

The 4 Trsquos mnemonic describes the abnormalities in one of 4 basic processes acting individually or in combination

Many physiological changes occur during pregnancy including a decrease in blood pressure and an increase in baseline heart rate and blood volume This altered physiology may mask the extent of blood loss until it is severe Complete circulatory collapse is often rapid when the limits of physiological compensation are reached

Warning signs of significant maternal haemorrhage that should not be ignored include tachycardia tachypnoea hypotension pallor poor urine output and pathological CTG changes The performance of regular observations in conjunction with obstetric early warning scores is encouraged Attention should be paid to vital sign trends as well as absolute values and a rapid clinical review should be carried out should any warning criteria be met Tachycardia may be the first and only sign of haemorrhage until 30ndash40 of the circulating volume has been lost where after hypotension and peripheral vasoconstriction ensue In APH signs of fetal distress due to uterine hypoperfusion may precede maternal compromise

The symptoms and signs of hypovolaemia may be more difficult to recognise if there is a language barrier obesity pre-eclampsia dark skin or beta-blockade and hence extra care should be taken in these situations

The main aims of management are rapid resuscitation to restore tissue oxygen delivery while predicting preventing and correcting haemostatic disorders Appropriate levels of monitoring (especially invasive arterial blood pressure monitoring) should be considered and instituted early

If anaesthesia is required for examination andor surgical intervention and haemodynamic stability is compromised general anaesthesia is usually indicated Haemodynamic compromise and coagulopathy should be addressed prior to surgery whenever possible although surgical control may at times be required to enable effective resuscitation Regional anaesthesia may be contra-indicated due to maternal coagulopathy and risk of neuraxial haeamatoma as well as haemodynamic compromise In addition surgery may be lengthy with the potential for further patient deterioration Rapid sequence induction is indicated preferably following antacid prophylaxis (eg sodium citrate and ranitidine)

Induction of general anaesthesia in a severely hypovolaemic patient may cause a catastrophic fall in cardiac output Ketamine is a suitable induction agent (15 mgkg IV) as is cautious dosing of either thiopentone or propofol

If time and the patientrsquos condition allow direct arterial monitoring may be established both as a guide to response and for ongoing blood sampling to guide transfusion therapy Central venous access may be required however this is not imperative and can wait until the situation is under control and should not interfere with prompt resuscitation Central venous access may be necessary for inotrope and

vasopressor infusion and central venous pressure monitoring may provide some additional information to help guide fluid management Although there are few reports of the use of minimally invasive haemodynamic monitoring devices (eg oesophageal Doppler

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

monitoring) in the management of major obstetric haemorrhage these devices may aid fluid management in the anaesthetised patient Attention to fluid balance is imperative since over-transfusion and dilution before achieving surgical haemorrhage control is associated with worse outcomes

Lack of robust RCTs Upon arrival at major trauma institutions blood component resuscitation is driven by massive transfusion protocols trending toward 111 RBCFFPPLT ratios It seems reasonable to extend these recommendations to massive PPH which is also often accompanied by hypothermia acidosis and coagulopathy US Army Surgeon General distributed policy recommending 11 FFPRBC ratio for pts with significant trauma based on experience in Iraq and Afghanistan Empiric transfusion based on clinical parameters Lethal triad of acidosis hypothermia and coagulopathy Decreased coagulopathy when replacing blood loss with a 11 ratio of FFPPRBCs Military physicians noticed a decrease in coagulopathy in bleeding cases when replacing blood loss with a 1 ratio of FFPRBCs

No RCTS evaluating the effect of different transfusion ratios were identified Odds ratio for the high FFPRBC ratio was 045 95 CI 037-055) OR for the high PLTRBC ratio was 045 95 CI 037-055) No optimal ratio Timing of administration is key 9 of the studies reported improved survival in the group of pts receiving the highest ratios of PLT to RBC (the most platelets) This is in agreement with Johansson et al who demonstrated that administration of PLT together with plasma and RBC immediately upon arrival in the operation theater and throughout surgery was associated with reduced postop bleeding and a 50 increase in 30-day survival in pts undergoing ruptured abdominal aortic aneurysm repair

There were a lot of differences between the groups besides the rbcplasma ratio Rapidity of component administration and the reduction in crystallloid use may paly role in outcome

Incidentally D-dimers and fibrin degradation prodcuts increased in fibrinolysis may further aggravate OB hemorrhage by impairing myometrial contractility PPH can rapidly become life-threatening requiring massive transfusion of blood products Traumatic hemorrhagic shock is primary cause of gt5 million trauma related deaths worldwide and a leading cause of death of young people Presents with hypovolemic anemia often accompanied by coagulopathy that results in uncontrollable bleeding systemic inflammation and infection in damaged blood vesells Mitra and colleagues studied the association between acute coagulopathy and early mortality Significant association with early death Ahmed When massive obstetric hemorrhage occurs hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive and its onset can be rapid and profound when compared with surgical or trauma-related coagulopathy The drop in fibrinogen is particularly severe in placental abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy Rapid consumption of fibrinogen is recognized in massive OB hemorrhage Primary coagulation dorsquos are not frequently identified as a cause of PPH except in women on anicoagulation medication or with a known ho a bleeding doIt is becoming increasingly clear that the mechanism of coagulation failure varies according to the underlying cause of massive hemorrhage and that management should reflect this Rayment 2012 Platelets are already low 22 hemodilution increased consumption by uteroplacental unit From Pasquier SIR=systemic inflammatory response Note amount of tissue trauma and contamination is less in the obstetric patient and obstetric hemorrhage occurs in controlled environment usually Also parturients start with higher fibrinogen concentrations From Mercier Obstetric hemorrhage is often complicated by an acquired coagulopathy 22 dilutional and or consumptive effects on clotting factors and by further adverse effects of massive transfusion D dimer levels increase throughout pregnancy and peak on pp day 1 The rise in d dimers occurs with simultaneous increase in circulating fibrinogen and other procoagulant factors during pregnancy Despite hypofibrinolysis the excess fibrin deposition results in an increase in tissue plasminogen activator and high d-dimer values

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Massive hemorrhage with hypovolemic shock leads to tissue hypoxia hypothermia acidosis SIR which lead to DIC Massive transfusion in setting of acidosis and hypothermia lead to DICTrauma induced coagulopathy initiated by tissue injury and hemorrhagic shockHypothermia acidosis and hemodilution contributed to the development of coaguloptathy Hess et al ldquo6 initiators of coagulopathy tissue trauma shock inflammation acidemia hypothermia and hemodilution

Jan 2013 AampA Severe PPH defined as ineffective response to manual uterine examination andor removal of retained placenta genital tract examination and Iv oxytoccin (20U) Failure to respond IV prostaglandin E2 ((sulprostone 500 mcg over 1 hr) given During study period no antifibrinolytics fibrinogen concentrate or compression techniques were administeredapplied Note pts were divided into the do nothing category or the interventional procedures(IR arterial ligation B-lynch hyserectomy) according to their response to sulprostone

Point-of-care tests may help hemostatic therapy to be tailored to the individual pt and therefore reduce the risk for under- or over-transfusion The use of conventional laboratory clotting tests is very limited in immediate situations TEG is thromboelastography ROTEM is rotational thromboelastometry The goal of platelets of 50000 is based on a consensus of medical opinion rather than on evidence and would depend on the rapidity of blood loss and the presence of platelet dysfunction Johansson and Stensballe compared 2 transfusion strategies in massively bleeding pts a classic administration of platelets based on platelet count and a new proactive transfusion strategy consisting of preemptive use of platelets and plasma in transfusion packages (552 unit platelet concentrates) Urgently need RCTs before recommendations are formulated for OB pts Point of care= thromboelastography and thromboelastometry Blood and fluid replacement is first line in treatment of obstetric hemorrhage This slide from Saule I Transfusion practice in major obstetric hemorrhagerdquo Arterial thrombosis is a potential complicaitons of rFVIIa but zero cases in case series of 15 pts Its safety in obstetric hemorrhage is unproven Platelet target depends on rapidity of blood loss and on the presence of platelet dysfunction

Toledo et al Accuracy of blood loss estimation after simulated vaginal delivery Interestingly in this study there was no association between years in trainingexperience and accuracy also no difference between providers in accuracy (nurses vs Obs vs anesthesiologists) although other studies have shown that anesthesiologists are more accurate 106 subjects participated estimating blood loss at 8 stations (4 with calibrated and 4 without) In pic the uncalibrated bag on L has 500 mL calibrated on R has 1000 mL

Fibrinogen plays a role in platelet aggregation and establishment of fibrin network Coags platelets can be normal in major OB hemorrhage with no detectable fibrinogen levels Essential marker for the severity of PPH Hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive in massove OB hemorrhage and its onset can be rapid and profound particularly in cases of abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy

Stinger 2008 is trauma medicineRahe-Meyer is a cardiac surgery study Haas is craniosynostosis Therersquos a need for RCTrsquos for OB hemorrhage massive trauma etc to assess threshold at which fibrinogen should be transfused whether the threshold varies with differenet clinical scenarios its effect on transfusion requirements and length of stay as well as mortality and risk of arterial and venous thromboembolism (VTE) Itrsquos unlikely that a study comparing the effect of fibrinogen concentrate with that of cryp will be performed It would be difficult to coordinate such a study because fibrinogen concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly Fibrinogen is not licensed for use in pregnancy Its efficacy in treatment of major hemorrhage limited to case series

All parturients requiring fibrinogen between Jan 2009-June 2011 were identified 77 cases identified out of 21614 (incidence of 361000) 44 received either cryo or concentrate

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Replaced fibrinogen with cryo and concentrate for major Ob hemorrhage Both were effective in contributing to the cessation of bleeding No cases of death Medical and surgical treatments similar in both groups (see figure)Itrsquos unlikely that RCTs comparing the effect of concenetrate with that of cryo will be performed Why Bc concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly (Rayment 2012)

Systematic review of studies that reported use of FVIIa in PPH On lady who had PE had antithrombin deficiency Another had DVT one unrelated to factor VII Still offlabel and very expensive

Tranexamic acid (TXA) given intravenously as 4g1 hr then 1gh for 6h Study conducted between 2005-2008 Blood loss between time 2 and time 4 was 49 lower in the TXA group (Plt003) WHO guidelines ldquoMay be used in PPH if other measures failrdquo

ConclusionGlobally postpartum haemorrhage (PPH) is the leading cause of maternal morbidity

and mortality Major obstetric haemorrhage is managed by multidisciplinary approach In the current treatment of severe PPH first-line therapy includes transfusion of packed cells and fresh-frozen plasma in addition to uterotonic medical management and surgical interventions In persistent PPH tranexamic acid fibrinogen and coagulation factors are often administered Secondary coagulopathy due to PPH or its treatment is often underestimated and therefore remains untreated potentially causing progression to even more severe PPH The most postnatal haemorrhage is due to uterine atony and can be temporarily controlled with firm bimanual pressure while waiting for definitive treatment

S-39

Perioperative Neuroprotection

Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Kepala Pusat Studi Neuromuskuler FK Universitas Padjadjaran

Abstrak

PendahuluanApakah Perioperative Neuroprotection Perioperatif adalah periode dari mulai praoperasi

saat operasi dan pascaoperasi artinya pengelolaan pasien yang menyeluruh dari mulai praoperasi selama operasi dan pascaoperasi Neuroprotection adalah proteksi neuron dari cedera (injury) Proteksi neuron atau proteksi otak berbeda dengan resusitasi otak tindakan pengelolaannya pasiennya hampir sama tapi per definisi sedikit berbeda Proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk mengurangi cedera neuron

Menjadi pertanyaan apakah proteksi sel neuron merupakan kenyataan atau pemikiran yang salah Susunan saraf pusat (SSP) mungkin mengalami iskemia selama karotidenarterektomi emboli operasi vaskuler di intrakranial torak atau abdomen saat hipotensi kendali syok henti jantung atau pada cedera otak Oleh karena itu tindakan anestesi jangan menambah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

efek buruk pada SSP akan tetapi harus justru harus melakukan proteksi dari cedera iskemik dan hipoksik

Menjadi pertanyaan apakah kita membutuhkan proteksi otak Tentu dengan tegas jawabannya adalah YA Bukti-bukti menunjukkan bahwa terjadi 20 defisit neurologis setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) 80 iskemia otak setelah cedera kepala dan yang operasinya diluar otakpun penelitian menunjukkan 40 terjadi disfungsi kognitif setelah antroplasti Penelitian Selim yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi stroke iskemik setelah berbagai macam operasi baik operasi yang menyangkut jantung dan pembuluh darah otak atau operasi ditempat lain

Iskemia didefinisikan sebagai ketidak cukupan perfusi untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas metabolic neuron dan fungsi Iskemia dapat global atau fokal komplit atau tidak komplit Komplit global iskemia misalnya henti jantung iskemia global yang tidak komplit misalnya hipotensi atau syok Iskemik fokal misalnya oklusi satu pembuluh darah dan artinya tidak komplit Bila pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan (disebut iskemia) maka sintesa adenosine tri phosphat (ATP) menurun ATP menjadi kosong dan terjadi kegagalan pompa Na-K-ATPase Natrium akan masuk kedalam sel dan kalium akan keluar sel dstnya dan terjadi kaskade iskemik sampai terjadi kematian sel

Metode Proteksi OtakUntuk memutuskan rantai tersebut dilakukan proteksi otak dan atau resusitasi otak

yang kalau dilihat dari tindakannya adalah sama seperti teknik ABCDE neuroanestesi Jadi tindakan neuroresusitasi neuroproteksi neuroanestesi neuroICU adalah sama saja ABCDE itu adalah

bull A = Clear airway (jalan nafas bebas epanjang waktu)bull B = Breathing (ventilasi kendali dengan target normocapnia atau sedikit hipokapni) bull C = Circulation (hindari peningkatan atau penurunan tekanan darah hindari

peningkatan tekanan vena serebral dan pengaturan cairan dengan target normotensi normovolemia iso-osmoler normoglikemia)

bull D = Drugs (hindari obat dan teknk anestesi yang meningkatkan ICP berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak)

bull E = environment (pengendalian suhu hipotermia ringan cegah hipertermi)

Metode proteksi otak terdiri dari 1) Basic Method yaitu ABC neuroanestesi 2) Hipotermia dengan target low normothermia (E dalam neuroanestesi) dan proteksi otak secara farmakologik (D dalam neuroanestesi) yang dapat dilakukan dengan pemberian anestetika intravena anestetika inhalasi lidokain mannitol magnesium eritropoietin alpha-2 agonist demedetomidin

Basic MethodBasic Method terdiri dari pengelolaan Airway Breathing dan Circulation Airway harus bebas

sepanjang waktu Breathing adalah untuk oksigenasi adekuat hindari hipoksia hiperkapnia Targetnya adalah normokapnia dan hiperventilasi hanya dilakukan bila ada tanda-tanda herniasi otak Pada circulation pertahankan tekanan darah normotensi dengan target tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressureCPP) 50-70 mmHg CPP kurang dari 50 mmHg bisa

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

terjadi iskemia otak tapi CPP gt 70 mmHg pada cedera otak traumatik bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) Kendalikan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP) dan mulai terapi bila ICP gt 20 mmHg Koreksi asidosis ketidakseimbangan elektrolit osmolaritas dan kadar gula darah Gula darah harus dipantau dengan ketat Hindari hiperglikemia dan pertahankan gula darah antara 100-150 mg dan periksa setiap 2 jam Kadar gula darah yang tinggi akan memperburuk outcome sedang normoglikemia mempunyai efek proteksi otak

Terapeutik hipotermiaHipotermia mempunyai efek proteksi otak Lebih turun temperatur makin besar efek

proteksi otak tapi komplikasi juga makin besar Harus dicari penurunan suhu yang optimal antara maksimal proteksi dan minimal efek buruk maka suhu inti dipertahankan antara 34-35 0C

Mekanisme hipotermi untuk proteksi otak selain dengan menurunkan metabolisme otak juga melalui efek menurunkan pelepasan EAA mencegah apoptosis mengurangi disfungsi mitokhondria menurunkan produksi radikal bebas mempertahankan ATP menurunkan influks Ca memelihara sintesa protein dan sawar darah otak mencegah peroksidasi lipid menurunkan pembentukan edema memodulasi respons inflamasi dan kematian sel secara apptotik

Hipotermi sampai 33 0C dapat menimbulkan komplikasi saat rewarming karena terjadi vasodilatasi serebral dan kemudian kenaikan ICP Komplikasi lain adalah terjadinya pneumonia Hipertermia (suhu inti 420C pasien bisa koma) dapat meningkatkan Ca influks pengosongan ATP dengan cepat dan gangguan pemulihan

Clifton GL dkk dalam N Engl J Med 2001344(8)556-63 melaporkan penelitian dengan suhu tubuh 330C yang dimulai 6 jam setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam dengan surface cooling Hasilnya menunjukkan bahwa terapeutik hipotermi tidak efektif Kemudian Clifton GL dkk mempublikasikan penelitian yang lain dalam Lancet 2011 yang mana terapi hipotermi dilakukan dengan suhu 330 C dalam 25 jam setelah cedera pada 232 pasien cedera otak traumatik berat dan dipertahankan selama 48 jam Hasil penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermi sebagai strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera otak traumatika berat

Sydenham E dkk dalam Cochrane Database Sys Rev 2009 dengan kriteria seleksi penelitian RCT yang melakukan hipotermi sampai maksimum 350C paling sedikit 12 jam meliputi 23 penelitian dengan total 1614 pasien Menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa hipotermi menguntungkan dalam terapi cedera kepala Sadaka F Veremakis C dalam Brain injury 201226(7-8)899-908 tidak dapat memberi kesimpulan dan menunggu hasil penelitian multisenter yang lebih besar untuk mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome-nya

Hipotermi terapeutik masih kontroversi akan tetapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 350C dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 370C Lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari Untuk mencapai suhu 350C dianjurkan memakai metode surface coolingTentang outcome masih dipertanyakan dan belum diketahui dan sekarang penelitian yang lebih besar sedang dilakukan yaitu The Eurotherm3235Trial European Society of Intensive Care Medicine study of HT (32-35degC) for ICP reduction after TBI (the Eurotherm3235Trial) Penelitian ini merupakan penelitian mulisenter untuk menguji efek hipotermi 32-35degC untuk mengurangi ICP lt20 mmHg pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah cedera otak traumatik dengan jumlah sampel 1800 pasien dan dimulai April 2010

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pharmacologic Brain ProtectionPharmacologic brain protection adalah melakukan proteksi otak dengan obat-obatan Kalau

berbicara proteksi otak maka harus dilihat dari konteks anti nekrotik dan antiapoptotik Apoptotik adalah programmed cell death Anestetika intravena barbiturat mempunyai efek proteksi otak dengan jalan menurunkan metabolisme otak tekanan intrakranial Ca influks memblok kanal Na menghambat pembentukan radikal bebas dan menurunkan glutamataspartatlaktat ekstraseluler

Anestetika inhalasi meningkatkan aliran darah otak di daerah iskemik menurunkan metabolisme otak dan menekan kejang Isofluran sevofluran desfluran menekan metabolisme otak secara maksimum pada 2 MAC dan memperbaiki ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan (anestetika inhalasi berefek serebral vasodilator tapi menekan metabolisme otak) Efek lain adalah menghambat pelepasan neurotrasmiter eksitatori dan menghambat asidosis laktat mengurangi influks Na dan Ca menghambat peroksidasi lipid dan mengurangi pembentukan radikal bebas Beberapa publikasi menyebutkan bahwa isofluran hanya ldquoselintasrdquo berefek proteksi insult iskemia dan hanya berefek antinekrotik tapi tidak antiapoptotik Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isofluran tidak mempunyai efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isofluran hanya memperlambat tapi tidak mencegah infark akibat iskemia fokal Sebaliknya penelitian Engelhard mengatakan bahwa sevofluran mempunai efek antinekrotik dan anti apoptotik Kalau istilah proteksi otak harus mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik maka hanya sevofluran yang mempunyai efek proteksi otak Akan tetapi semuanya ini adalah pada penelitian hewan coba belum dikonfirmasikan pada penelitian klinis Desfluran lebeih berefek vasodilatasi serebral dan lebih meningkattkan ICP daripada isofluran dan sevofluran pada keadaan normokapnia Pada 1 MAC desfluran aliran darah otak 16 lebih tinggi daripada isofluran dan 24 lebih tinggi daripada sevofluran

Bagaimana tentang N2O Pada tahun1938 CD Courvile mempublikasikan foto sel neuron korteks yang bervakuola pada pasien yang meninggal setelah pemberian N2O Enampuluh tahun kemudian Todorovic menyampaikan bahwa N2O menimbulkan vakuolisasi mitokhondria dan endoplasmik retikulum tikus Penelitian lain menunjukkan bahwa N2O menghilangkan efek proteksi otak dari pentotal dan isofluran juga N2O meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flowCBF) ICP dan metabolisme otak

Bagaimana tentang osmodiuretik Pada first-tier therapy pengelolaan hipertensi intrakranial dipandukan untuk memberikan mannitol Mannitol ternyata mampu menurunkan ICP dan meningkatkan CPP memperbaiki CBF pada penelitian hewan dan manusia Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma selintas dengan penurunan hematokrit dan viskositas plasma Mannitol mempunyai osmolaritas 1208 mOsmL maka harus dipantau osmolaritas plasma Manitol jangan diberikan bila osmolaritas 320 mOsmL dan osmolaritas 350 mOsmL dapat berakibat buruk pada otak dan ginjal Rebound phenomena setelah pemberian mannitol hanya relevan bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi lebih dari 4 hari

Magnesium (MgSO4) mempunyai efek proteksi otak karena berefek NMDA reseptor antagonis memblok kanal Ca sehingga menghambat pemasukan Ca ke intraseluler serta mempercepat pemulihan ATP Suatu penelitian metaanalisis pada akut iskemik stroke menunjukkan perbaikan outcome fungsional

Bagaimana tentang lidokain Kita menggunakan lidokain 1-15 mgkg intravena untuk menghindari lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ekstubasi serta memberikan lidokain intravena 1 mgkgjam kontinyu untuk efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa skor neurologik (0=normal dan 4=kerusakan berat) tikus yang diberi lidokain lebih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

kecil daripada yang tidak diberi lidokain Lidokain bekerja dengan cara memblok kanal Na dan kanal Ca mengurangi cedera post nekrotik memotong kerusakan iskemik pada daerah penumbra dengan memblok jalur kematian sel secara apoptotik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lidokain mempunyai efek proteksi otak

Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah sehingga akan berperan dalam pemeliharaan proteksi pertumbuhan perbaikan sistem saraf Juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin mempunyai efek proteksi otak

Alpha-2 agonist dexmedetomidine mampu menurunkan kadar norepinephrin dalam plasma sehingga mampu menghambat terjadinya iskemia yang dipicu oleh pelepasan norepinephrin dan mampu mencegah kematian sel yang lambat setelah iskemia fokal Penelitian lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine menurunkan volume daerah iskemik sebanyak 40 dibandingkan dengan plasebo

SimpulanSebagai simpulannya ternyata bahwa proteksi otak merupakan suatu fakta yang dapat

dilakukan selama kita mengelola pasien yang berisiko terjadi iskemia otal Caranya adalah dengan basic method hipotermia dan farmakologik

Bahan Bacaan1 Bisri T Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatik Bandung

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 20122 Bisri DY Bisri T Terapi hipotermi setelah cedera otak traumatik JNI 20143(3)189-983 Neuroanesthesia and Critical Care Course (NACC course) edisi 2015

S-40

Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography Guidance

T G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Background Regional anesthesia has an anti-inflammatory effect that blockade the C-fiber hence reduced cytokine production and blocked the activity of the sympathetic nerve fibers Postoperative pain caused primarily by tissue inflammation and activity of the C-fibers in the manner of reduced the production of cytokines regional anesthesia may limit the inflammatory response after surgery and severity of postoperative pain

Methods This study is a clinical experimental study with randomized pre and post test control group design A total of 24 samples were recruited in this study divided into two groups each consisting of 12 samples The first group was given regional anesthesia method of continuous brachial plexus block with ultrasound guidance and the second group with general anesthesia method T-test or Mann-Whitney continued multivariate linear regression

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

analysis was performed to analyze the differences in treatment and not because of differences in the initial values with significance level of plt005

Results This study reports that the mean decreased levels of IL-6 postoperatively in 1stgroup is 298 lower than in 2ndgroup and it is statistically significant plt 005 There was an increase of IL-10 mean levels from preoperative to postoperatively with significance level of plt005 in both groups Declined in the mean levels of PAF postoperatively in 1stgroup 13 lower than 2nd group and it was statistically significant plt005 The declined of postoperative VAS in 1stgroup is 31 lower than 2nd group and it is statistically significant plt 005 and it also contained the pure effect of PAF levels against value of VAS that any increased 1ngml levels of PAF then an increase in the value of 018 cm VAS and this was statistically significant plt005 Selection of this anesthesia technique in orthopedic antebrachii surgery provides better inflammatory response and improved clinical outcomes

S-41

Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist Perspective

Widya Istanto Nurcahyo

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstract

All patients scheduled to undergo noncardiac surgery should have an assessment of the risk of a cardiovascular perioperative cardiac event The purpose of this assessment is to help the patient and healthcare providers weigh the benefits and risks of the surgery and optimize the timing of the surgery The clinician uses information obtained from the history physical examination and type of surgery in order to develop an initial estimate of perioperative cardiac risk

Patients with recent myocardial infarction (MI) or unstable angina decompensated heart failure (HF) high-grade arrhythmias or hemodynamically important valvular heart disease (aortic stenosis in particular) are at very high risk for perioperative MI HF ventricular fibrillation or primary cardiac arrest complete heart block and cardiac death Patients who require emergent or urgent surgery are at increased risk of a perioperative cardiovascular event at any level of baseline risk

Functional status can be expressed in metabolic equivalents (1 MET is defined as 35 mL O2 uptakekg per min which is the resting oxygen uptake in a sitting position) One important indicator of poor functional status and an increased risk of postoperative cardiopulmonary complications after major noncardiac surgery is the inability to climb two flights of stairs or walk four blocks

Gupta MICA NSQIP database risk model The NSQIP database was used to determine risk factors associated with intraoperativepostoperative myocardial infarction or cardiac arrest (MICA) Among over 200000 patients who underwent surgery in 2007 065 percent developed perioperative MICA Five factors were identified as predictors of MICA type of surgery dependent functional status abnormal creatinine American Society of Anesthesiologistsrsquo class and increased age

Revised cardiac risk index (RCRI) sometimes referred to as the Lee index was published in 1999 and has been used worldwide since then In the derivation of the index 2893 patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

(mean age 66) undergoing elective major noncardiac procedures were monitored for major cardiac complications (cardiac death acute MI pulmonary edema ventricular fibrillationcardiac arrest and complete heart block) The index was validated in a cohort of 1422 similar individuals The predictive value was significant in all types of elective major noncardiac surgery except for abdominal aortic aneurysm surgery

RCRI did not perform well in patients undergoing vascular surgery the Vascular Study Group of New England (VSGNE) developed a risk index specifically for those patients named VSGNE risk index In multivariate analysis of the VSGNE cohort independent predictors of adverse cardiac events (MI arrhythmia heart failure but not mortality) were (increasing age smoking insulin-dependent diabetes coronary artery disease CHF abnormal cardiac stress test long-term beta-blocker therapy chronic obstructive pulmonary disease and creatinine ge18 mgdL Prior cardiac revascularization was protective

ACS-NSQIP universal surgical risk calculator is an universal surgical risk calculator model consisting of 20 patient factors plus the surgical procedure This model had excellent performance for mortality morbidity and six additional complications

Management based on risk are categorized into low or higher-risk patients Patients whose estimated risk of death is less than 1 percent are labeled as being low risk and require no additional cardiovascular testing Patients whose risk of death is 1 percent or higher may require additional cardiovascular evaluation Often these are patients with known or suspected coronary artery or valvular heart disease Further evaluation may include stress testing echocardiography 24-hour ambulatory monitoring or cardiologist consultation

S-42

Sepsis in obstetric

Yusmein

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Abstract

Pregnant patients pose unique challenges for clinicians involved in critical care because obstetric populations pose significant challenges the physiological changes of pregnancy may mask the clinical signs of sepsis when it occurs in the antenatal period maternal deterioration can quickly lead to fetal compromise12 They have traditionally been viewed as an immunocompromised state therefore placing the mother at increased risk of infectious diseases4 Sepsis is still a major cause of maternal mortality and morbidity in France the UK and the USA6

World Health Organisation (WHO) has defined it as ldquoinfection of the genital tract occurring at any time between rupture of membranes or labour and the 42nd day postpartum with two or more of the following are present pelvic pain fever abnormal vaginal discharge abnormal smell of discharge delay in postpartum reduction of size of uterus34 Early recognition and diagnosis with rapidly instituted therapy are key to ensuring a good outcome34

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) has recommended that sepsis should be managed in accordance with the Surviving Sepsis Campaign guidelines The Surviving Sepsis Campaign guidelines described two clinical-care bundles - six hours the

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

resuscitation bundle and twenty four hours the management bundle severe sepsis and septic shock bundle Six hours the resuscitation bundle has been shown to significantly improve survival rate early detection early administered antibioticcultures and early goal directed therapy (EGDT) Twenty four hours management bundle glucose control steroid and lung protective strategy Fetal assement is important in the critically ill pregnant patients34

Keywords Sepsis Obstetric Morbidity Mortality Management

S-43

Principles of Medical Consultation and Perioperative Medicine

Zulkifli

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH-FK Unsri Palembang

Abstrak

Mengusahakan evaluasi perioperatif yang bermutu tinggi dan cost-effective merupakan issue yang penting dalam management pasien perioperatif Penggunaan perioperatif assessment melalui koordinasi antara antara operator anestetist laboratory care dan dokter lain yang terkait mendorong perkembangan petunjuk praktis dan menurunkan pembatalan pasien dan lama perawatan Hal yang harus diingat bahwa pada konsultasi medical diharuskan untuk mengerti dengan pasien dan penyakitnya

Selain itu pengertian dan penerapan prinsip-prinsip management medikasi perioperatif sangat bermanfaatmemperbaiki outcome pasien yang menjalani pembedahan Paling tidak 50 pasien yang menjalani pembedahan mendapatkan medikasi secara reguler Sorang anestetist harus mampu memutuskan medikasi tersebut diteruskan atau dihentikan

Kata kunci Medical Consultation Perioperative Medicine

S-44

MAC and Sedation outside the Operating Room

Arif HMMarsaban

Department of Anesthesiology and Therapy IntensiveFaculty of Medicine University of IndonesiaDr Cipto Mangunkusumo General Hospital

Abstract

Monitored Anesthesia Care (MAC) is a planned procedure to a patient who is undergoing a procedure that needs the administration of sedation andor analgesia and the anesthesiologists has the responsibility of all aspects of anesthesia care ndash a preprocedure visit intraprocedure care and postprocedure anesthesia management Anesthetic procedures outside OR is known also as NORA = non-operating room anesthesia that may consists of varying levels of sedation analgesia and anxiolysis Problems in NORA MAC are usually related to unfamiliar locations and working conditions differs to the well equipped operating room

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Common complication during NORAMAC are respiratory problems (apnea obstruction) hypothermia anaphyalxis gastric aspiration hypotension and hypovolemia To minimize the risk of complication a proper preparation prior to the procedure should be carried out that includes patient evaluation and informed consent the goals and level of MAC the choice of drugs related to the procedure the facility (monitors anesthetic equipment drugs and emergency equipment) and the personal The deeper the level of sedation the more risks of adverse events

The choice of drugs depends on the procedure does it requires immobilization during the procedure is it a painful procedure or both If the procedure is a painless procedure than it needs only sedative or hypnotic drugs (chloralhidrat barbiturates midazolam propofol dexmedetomidine) may combine with opioid analgesia as required A painful procedure usually needs combination of opioid analgesia or ketamine and sedative hypnotic drugs These drugs can be given bolus iv intermittent or continuous infusion (TIVA TCI)Key words MAC monitored anesthesia Care Non-operating room anesthesiaSuggested Readings

1 American Society of Anesthesiologists DISTINGUISHING MONITORED ANESTHESIA CARE (ldquoMACrdquo) FROM MODERATE SEDATIONANALGESIA (CONSCIOUS SEDATION) Approved by the ASA House of Delegates on October 27 2004 last amended on October 21 2009 and reaffirmed on October 16 2013

2 Ramkumar P Anaesthesia care beyond Operating Rooms Newer opportunities amp Challenges Amrita journal of medicine 2013 9(2) 2015 1-44

3 Melloni C Anesthesia and sedation outside the operating room how to prevent risk and maintain good quality Current Opinion in Anaesthesiology 2007 20513ndash9

4 Van De Velde M Kuypers M Teunkens A Devroe S Risk and safety of anesthesia outside the operating room MINERVA ANESTESIOL 200975345-8

5 Krane E Guideline for surgery outside the operating room Pediatric anesthesia and pain management Lucile Packard Childrenrsquos Hospital Standford University Medical Center 1-9

6 Agostoni M Fanti L Gemma M Pasculli N Beretta L Testoni PA Adverse events during monitored anesthesia care for GI endoscopy an 8-year experience Gastrointest Endosc 201174266-75

7 Ghisi D Fanelli A Tosi MH Nuzzi M Fanelli G Monitored Anesthesia Care MINERVA ANESTESIOL 200571533-8

8 Karaaslan K Yilmaz F Gulcu M Colak C Sereflican M Kocoglu H Comparison of Dexmedetomidine and Midazolam for Monitored Anesthesia Care Combined with Tramadol via Patient-Controlled Analgesia in Endoscopic Nasal Surgery A Prospective Randomized Double-Blind Clinical Study Current therapeutic research 2007 68(2) 69-81

9 Ryu J-H So Y Hwang J-W Do S-H Optimal target concentration of remifentanil during cataract surgery with monitored anesthesia care Journal of Clinical Anesthesia 2010 22 533ndash7

10 Fanti L Agostoni M Arcidiacono PG Albertin A Strini G Carrara S Guslandi M Torri G Testoni PA Target-controlled infusion during monitored anesthesia care in patients undergoing EUS Propofol alone versus midazolam plus propofol A prospective double-blind randomised controlled trial Digestive and Liver Disease 39 (2007) 81ndash6

11 Ryu J-H Kim J-H Park K-S Do S-H Remifentanil-propofol versus fentanyl-propofol for monitored anesthesia care during hysteroscopy Journal of Clinical Anesthesia 2008 20328ndash32

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-45

Target-controlled inhalational anesthesia

Doddy Tavianto

Departemen SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin

Bandung

Abstract

Target-controlled inhalational anesthesia is an anesthesia delivery system available in the newer anesthesia machines It is a modality of anesthesia gas delivery system where the machine adjusts automatically the anesthetic agent concentration to achieve the desired target levels set by the user

The target-controlled inhalational anesthesia technique is a mechanism in the breathing system where the desired values of gases are selected and the computerized system adjusts the gas delivery to achieve the targeted levels

By using the target-controlled inhalational anesthesia technique the consumption of gases would reduce thus effectively reducing the cost and environmental pollution

Keywords Target-controlled inhalational anesthesia breathing system

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-01

Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam

Ade Irna

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh dan kadar PGE-2 yang lebih baik dibandingkan parasetamol iv dan cooling blanket pada pasien cedera otak dengan demam

Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal sampel penelitian sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi Sampel dipilih secara acak dan dibagi kedalam 3 kelompok Kelompok M diberikan metamizol iv 15 mgkg berat badan kelompok P iv diberikan parasetamol 15 mgkg berat badan dan kelompok C diberikan cooling blanket yang diatur pada suhu 10oC sampai suhu target tercapai Penurunan suhu tubuh kadar PGE-2 dan nilai TAR dicatat dan dilakukan analisis statistik

Hasil penelitian memperlihatkan metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh lebih baik namun penurunan kadar PGE-2 pada ketiga kelompok adalah sama

Kata kunci Pasien cedera otak demam suhu tubuh kadar PGE-2

P-02

Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup Jantung

Agus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta PtDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Sanglah ndash fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Latar Belakang Kelainan katup jantung paling sering disebabkan oleh komplikasi dari penyakit jantung rematik Menjaga kestabilan hemodinamik menjadi tantangan dalam manajemen perioperative Teknik anestesi yang dipilih untuk manajemen perioperative pasien ini tergantung kondisi pasien dan kemampuan menjaga kestabilan hemodinamik

Laporan kasus Perempuan 40 tahun dengan Adenomiosis+ RHDFc 2 MS Severe AR Mild TR Mild AS mild AR mild menjalani operasi laparotomi Supravaginal Histerektomi

Masalah Pre-operatif RHDFc 2 dari Echocardiografi MS severe AR mild AS mild TR mild Sec (+) di LA fungsi sistolik LV normal EF 61 (EDV 112 ml ESV 44ml SV 68 ml)fungsi sistolik RV normal Durante operasi dilakukan anestesi epidural di L2-3 dengan regimen lidocaine 20 vol 10 ml +bupivacaine 05 plain vol 15 ml Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit hemodinamik stabil tanpa topangan obat simpatomimetik Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan analgetik epidural bupivacaine 01 + morphin 05 mg volume 10 ml dan Ketorolak 30 mg setiap 8 jam intravena

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Prinsip manajemen perioperative pasien ini adalah dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan hantaran oksigen ke jaringan dengan menjaga preload (status euvolumia) jaga SVR dan cegah takikardi Anestesi regional menyebabkan blokade simpatis dan dapat menurunkan SVR Anestesi regional khususnya blok epidural dengan sifatnya blokade segmental diharapkan dapat lebih menjaga kestabilan hemodinamik dengan tetap memberikan relaksasi lapangan operasi dan analgetik yang adekuat terhadap pasien Durante operasi kita harus dapat mencegah efek takikardi yang ditimbulkan oleh blok epidural akibat hipovolumia relatif dengan meyakinkan status volume dan kestabilan hemodinamik sebelum prosedur anestesi dilakukan

Kesimpulan Anestesi regional epidural pada pasien yang menjalani pembedahan ginekologi dengan penyakit katup jantung dapat memberikan keadekuatan anestesi dan kestabilan hemodinamik

Kata Kunci Supravaginal Histerektomi epidural anestesi penyakit katup jantung

P-03

Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis

Andi Kusuma I Wayan Aryabiantara

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar BelakangAneurisma aorta abdominalis merupakan penyebab kematian terbesar ke 13 di Amerika

dan merupakan kasus yang menantang bagi bedah vaskuler dan anestesi

DiskusiPasien laki-laki 61 th akan dilakukan EVAR (Endovascular Artery Repair) dengan

keluhan nyeri perut hilang timbul disertai benjolan yang semakin membesar Pada Angiografi didapatkan Pseudoaneurysma arteri illiaca comunis sampai illiaca interna dekstra Pada EKG jantung didapatkan sinus bradikardi dengan HR 57 x menit Sedangkan fungsi organ lain dalam batas normal Pre anastesi dilakukan dengan lengkap tidak aada masalah pada pasien

Sebelum induksi kecukupan cairan dipenuhi Induksi dilakukan perlahan untuk mencegah lonjakan hemodinamik yang beresiko mengakibatkan pecahnya aneurisma Durante operasi pasien dengan ventilasi kendali dengan dilakukan AGD berkala Tindakan cross clamping aorta dan declamping aorta mempunyai pengaruh yang besar terhadap hemodinamik Untuk mengatur hemodinamik durante operasi digunakan NTG Penggantian kehilangan cairan durante operasi digunakan kristaloid koloid dan sel darah merah Pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan ventilasi kendali untuk monitoring ketat fungsi jantung ginjal dan produksi urine Analgetik pasca operasi digunanakan Epidural Analgesia Hari ke 2 pasien sudah bernapas spontan Hari ke tiga kembali ke ruangan dan selanjutnya rawat jalan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanDengan managemen anestesi yang safe pada pasien aneurisma aorta abdominalis dapat

menyelamatkan pasien dan menurunkan resiko angka kematian Memberikan kenyamanan pada pasien operator dan ahli anastesi yang bekerja dengan meminimalkan efek samping terutama pada kardiovaskuler

Kata kunci aneurisma aorta abdominalis repair managemen anestesi

P-04

Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis Bulosa

Andri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Epidermolisis Bulosa merupakan kelainan genetik mekanobulosa berupa gangguan ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau gesekan ringan Penyakit ini terutama mempengaruhi lapisan epitel skuamosa di kulit namun bula juga dapat terjadi pada mukosa saluran pernafasan Penyakit ini memberikan masalah khusus untuk dokter anestesi karena alat yang digunakan untuk memberikan pelayanan anestesi dapat menyebabkan komplikasi postoperatif Tantangan pada pasien EB adalah untuk menjaga patensi jalan nafas dan penggunaan alat monitoring tanpa merusak permukaan epitel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan

Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada pasien EB Pasien laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis Pseudosindaktili Dekstra et Sinistra ec Epidermolisis Bulosa yang akan menjalani operasi release sindaktili dan skin graft Pada pasien ini ditemukan masalah malnutrisi dengan BMI 1285 kgm2 dengan anemia defisiensi besi dan hipoalbuminemia karena asupan makanan yang kurang

Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan anestesi umum Manipulasi jalan nafas dengan memberikan sungkup muka secara ketat dihindari Kami memberikan jelly pada permukaan sungkup muka yang akan kontak dengan kulit pasien ETT ukuran 65 dengan dilumuri jelly sebelumnya dipasang dengan menggunakan video laringoskopi Kami juga memperhatikan pengembangan cuff ETT secara berkala untuk meminimalisir risiko terbentuknya bula pada mukosa saluran nafas Untuk monitoring pasien kami menggunakan pulse oksimetri yang dipasang di daun telinga dan pemasangan manset tekanan darah di tungkai bawah dengan sebelumnya dilapisi elastomul dan jelly Fiksasi ETT menggunakan kassa yang diikat melingkari kepala pasien untuk menghindari tempelan plester yang dapat menimbulkan trauma pada kulit Pemeliharaan anestesi kami gunakan N2O dan Sevoflurane Pasien kami ekstubasi secara sadar Pasca operasi pasien dirawat di burn unit

Pada pasien EB diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya lesi epitel baru Penanganan jalan nafas harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya bula Selain itu evaluasi preoperatif yang menyeluruh diperlukan untuk menilai kondisi lain yang berhubungan seperti anemia infeksi kronik kontraktur dehidrasi dan malnutrisi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-05

Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam Malik

Andrias1 Dadik WW2

1Residen Anestesi Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

2Staf PengajarAnestesi danTerapi Intensif Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

Abstrak

Pendahuluan Hepar merupakan organ yang sering cedera pada trauma tumpul abdomen Penyebab

kematian pada cedera hepar ialah eksanguinasi karena hepar mendapat 25 curah jantung Kesembuhan pasien tergantung resusitasi awal yang lebih cepat untuk mencegah kematian

Laporan Kasus Laki-laki 18 tahun riwayat kecelakaan lalu lintasabdomen terkena stang motor Keadaan

pasien buruk (nadi 166 xmenit TD 60palpasi) Sebelumnya pasiendilaparotomi di rumah sakit lain Dilakukan packingcedera hepar grade V Direncanakan relaparotomi general anestesiASA Ve Intubasi teknik RSII induksi ketamin serta rocuronium Sejawat bedah tidak mampu mengendalikan perdarahan kemudian dipacking rawat ICU Perdarahan aktifsejawat bedah menolak reeksplorasi kontrol perdarahan Pasien meninggal 6 jam kemudian akibat eksanguinasi

DiskusiAnestesiologis pusat trauma terlibat dalam manajemen jalan nafas dan resusitasi pasien

trauma di UGD Ruang operasi dan ICUPenanganan trauma tumpul abdomen sesuai ATLS Cairan diberikan kristaloid koloid Syok hemoragik keduanya digantikan darah karena tidak memfasilitasi transpor oksigen pembekuan darah Kecukupan resusitasi tahap lanjut dinilai dari perfusi jaringan normal Pasien diinduksi ketamin teknik RSII Suksinilkolin pilihan utama namun rocuronium (12 mgkg IV) alternatif yang tepatTransfusi masif didefinisikan memberikan seluruh volume darah dalam 24 jam atau 50 volume darah pasien dalam 12-24 jambanyak komplikasinya Darah transfusi kurva 23 DPG-nya bergeser ke kiri 24 jam post-transfusisebaiknya dikontrol ventilator Komplikasi lainnya koagulopati Pada hipoperfusi lama dapat mengalami DIC Jika perdarahan post-transfusi diagnosis pembandingnya trombositopenia dilusional DIC reaksi transfusi hemolitik Untuk menyingkirkannya lakukan pemeriksaan hitung platelet fibrinogen plasma bukti hemolisis dalam plasma Darah transfusi mengandung mikroagregat berakumulasi di paru mengakibatkan TRALI Resusitasi pasien hipoperfusi yang tertunda mengakibatkan akumulasi kompleks imun kapiler paru mengakibatkan ARDS

KesimpulanPenanganan pasien trauma berat mengikuti panduan ATLS teknik anestesi yang

bijaksana manajemen pembedahan perawatan intensif post-operatif yang baik dapat meningkatkan kesembuhanJika salah satunya tidak dilakukan angka mortalitas meningkat

Kata Kunci Resusitasi Transfusi masif Syok

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-06

Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan Disgerminoma

Angga Permana Putra1 Syamsul Bahri Siregar2 Hasanul Arifin3

1Residen Anestesi Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

2Staf Pengajar Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUD Dr Pirngadi Medan

3Kepala Program Studi Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

PendahuluanDisgerminoma merupakan bentuk paling umum dari sel tumor germinal primitif dari

ovarium sekitar 1-5 dari seluruh keganasan ovarium Secara umum sering terjadi pada wanita yang berada pada usia reproduktif Sangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa dilakukannya intervensi pada kehamilannya Kami disini melaporkan sebuah kasus kehamilan primi gravida alamiah yang diikuti dengan disgerminoma tanpa adanya komplikasi fetomaternal Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

Kata kunci disgerminoma kehamilan alamiah kombinasi anestesia spinal-epidural

Laporan KasusWanita usia 33 tahun dengan kehamilan primi gravida datang dengan amenorrhea dan

bengkak di umbilicus bawah kiri Riwayat menstruasi tidak teratur tidak dijumpai sebelum kehamilan ataupun pemakaian kontrasepsi sebelumnya Pemeriksaan luar menunjukkan asites dan massa di perut kiri dengan ukuran sekitar 30cm x 35cm Dalam usaha untuk menyelamatkan janin operasi elektif laparatomi dengan seksio sesaria segera direncanakan Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

DiskusiSangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa

dilakukannya intervensi pada kehamilannya Intervensi dapat dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan tumor dilanjutkan dengan seksio sesaria yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kemoterapi Manajemen anestesi pada pasien ini dipilih dengan regional anestesi yang lebih aman efektif dan murah daripada anestesi umum Kombinasi Anestesia Spinal Epidural menggabungkan keuntungan kerja cepat dari spinal anestesi dengan fleksibilitas dari epidural anestesi dapat pula digunakan sebagai manajemen nyeri post operasi dengan pemberian Morfin 3mg 24jam yang memberikan efek analgesia yang baik pada pasien

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanHasil akhir pasien dengan disgerminoma murni sangat baik Pasien dapat diterapi dengan

pembedahan dan kemoterapi Disgerminoma pada ovarium tunggal dengan asites masih dimungkinkan untuk mengalami kehamilan dengan kelahiran anak yang baik Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural adalah pilihan terbaik terhadap pasien dibuktikan dengan kelahiran bayi yang sehat dengan APGAR Score yang baik dan tanpa adanya komplikasi setelah operasi

P-07

Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy Biopsy

Anindito Andi Nugroho

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstract

Background Traditionally definitive treatment for breast surgery was done by general anesthesia But general anesthesia was not able to inhibite pain reflex to the brain It also have side effects such as post operative nausea and vomiting There are a few regional anesthesia techniques that have been performed in this operation such as infiltration epidural and thoracal paravertebrae block Paravertertebral block techniques that have been performed in this operation by injecting local anesthesia that blockade somatic and symphatetic ipsilateral in that dermatomes above and beneath injection site Surgical trauma can attenuate stress response (local and systemic) Increase of cortisol level is one the endocrine systemic response

Purpose To compare the difference between single injection and multiple injection thoracal paravertebra block to plasma cortisol and VAS value in breast cancer patients ongoing excisy biopsy

Methods Samples include 20 patients ongoing excisy biopsy Blood samples were taken at 8 inhte morning before surgery and 8 tomorrow morning VAS value was checked at hour-0 (when the patient at the recovery room and hour-24 Patients divided into multiple (M) group or single (T) group Normality of data was tested by Kolmogorov-Smirnov test If p gt 005 so the distribution is normal Analitycal analysis will be done with pre and post test group design

Result General characteristic on each group has normal distribution (p gt 005) Delta data value of cortisol and VAS hour-24 before and after injection in T and M group did not give significance result (p gt 005) But VAS value a hour-0 between both groups give significant result (p lt 005)

Conclusion Paravertebra block technique either multiple or single injection can reduce postoperative cortisol and VAS score in patient undergoing excisy biopsy

Keywords Paravertebra block single injection Paravertebra block multiple injection cortisol VAS

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-08

Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom Eisenmenger

Asterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifRumah Sakit Umum Sanglah-Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PENDAHULUANPasien hamil dengan penyakit jantung merupakan tantangan yang unik untuk

Obstetrician dan Anesthesiologist karena berkaitan dengan pasien beresiko tinggi dan memerlukan pemahaman tentang dampak kehamilan terhadap respon hemodinamik untuk kelainan jantung pasien Tidak ada konsensus mengenai teknik anestesi yang optimal untuk kondisi tersebut Namun pilihan manajemen dan teknik anestesi harus secara individual dan berdasarkan kondisi hemodinamik yang terjadi serta kebutuhan kebidanan

LAPORAN KASUSPerempuan 27 tahun dengan G3P0020 hamil 8-9 minggu tunggalhidup Congestif Heart

Failure ec GUCH (Grown-Up Congenital Heart Disease) Perimembranous VSD Eisenmengerrsquos Syndrome Pulmonal Hipertensi severe Pulmonal Regurgitasi severe Trikuspid Regurgitasi severe Mitral Regurgitasi mild Bidirectional shunt WHO FC II

Masalah pra operasi pasien dengan hasil echocardiography adalah terdapat inlet besar pada peri membran VSD dengan bidirectional shunt dominant left to right shunt high flow Pulmonal Regurgitasi moderate Mitral Regurgitasi mildTrikuspid Regurgitasi moderate Pulmonal Hipertensi severe Left ventricle diastolic function decreases Left ventricle and right ventricle systolic normal global normokinetik ejection frection 70 EDV 49 ml ESV 15 ml SV 35 ml

Selama operasi pasien diberi anestesi spinal dengan jarum spinal 27G di L3-4 dengan regimen Bupivacaine 05 heavy 5mg dan adjuvant Fentanyl 25 mcg Operasi berlangsung selama 50 menit Hemodinamik stabil dengan pemasangan monitoring invasif arteri line tanpa menggunakan obat-obatan inotropik maupun vasopressor

Pasca operasi pasien dirawat di ruang terapi intensif Manajemen nyeri pasca operasi Fentanyl 250 mcg24 jam dengan syringe pump parasetamol 500 mg 6 jam per oral

DISKUSITeknik anestesi regional menyebabkan blokade simpatik dan dapat menurunkan Systemic

Vascular ResistenKami menggunakan dosis yang sangat kecil pada anestesi lokal (LA) intrathecal

untuk meminimalkan hipotensi Ini dapat mencegah peningkatan Systemic Vascular Resistenmendukung aliran darah dan membantu untuk mencegah terjadinya kongesti paru Hal ini juga dapat menurunkan after load dan mencegah terjadinya peningkatan Systemic Vascular Resisten dan overload volume Left Ventrikel akut

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KESIMPULANDosis rendah bupivakain intratekal dan fentanil memadai untuk dilatasi - kuretase

dengan efek samping yang minimal pada pasien kami dengan sindrom Eisenmenger dan dapat menjadi alternatif yang aman untuk mencapai anestesi yang baik dengan stabilitas kardiovaskular yang mengesankan

Kata kunci dilatasi-kuretase anestesi spinal sindrom Eisenmenger

P-09

Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar

Bayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko

) Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ) Supervisor Konsultan Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Abstrak

Latar Belakang Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan sebagai analgetik paska operasi Berbagai jenis OAINS seperti ketorolak dan parecoxib dapat menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang merupakan mediator inflames dan mengakibatkan berkurangnya tanda inflamasi OAINS sebagian besar mengalami metabolisme di hepar dan dapat menyebabkan gangguan pada hati Gejala klinis disfungsi hati pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi parekoxib dan ketorolak oleh sebab ituperubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran histopatologis

Tujuan Membandingkan gambaran histopatologi sel hepar antara tikus wistar yang diberikan ketorolak intramuskuler dan parecoksib intramuskuler

Metode Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok control diberikan luka insisi sepanjang 2 cm dan tidak diberikan injeksi ketorolak maupun parekoksib kelompok ketorolak diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi ketorolak intramuskuler setara dosis manusia 30 mg tiap 8 jam kelompok parekoxib diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi parekoksib setara dosis manusia 40 mg tiap 12 jam Pada hari ke 5 dilakukan terminasi kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin jaringan hepar

Hasil Ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi sel hepar tikus wistar antara kelompok ketorolak dan parecoxib dengan kelompok kontrol namun tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologis sel hepar antara keolompok ketorolak dan parecoxib

Kesimpulan Tidak ada perbedaan bermakna histopatologi sel hepar tikus wistar setelah penggunaan ketorolakdan parekoxib

Kata Kunci Ketorolak Parecoksib histopatologis sel hepar

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-10

Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain Management

Charismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono

Department of Anesthesia and Intensive CareFK UNDIP RSUP Dr Kariadi Semarang

Abstract

Background Pain is one of the most consequential problem which are caused subsequent to the invasive procedures Management of post operative tonsilectomy pain is a difficult task and could remain over 4 days after the surgery that results in poor oral intake long hospital stay and a delay in return to the normal activities In BPJS era the government more wisely determining rates Hospitals must be pressed at low cost but give optimal service We as an anesthesiologist must have methods in reducing postoperative morbidity Post-tonsillectomy pain is believed to be mediated by noxious stimulation of C-fiber afferents located in the peritonsillary space and local anesthetic infiltration to this area may decrease pain by blocking the sensory pathways and thus preventing the nociceptive impulses Peritonsillar infiltration of ketamine alone or in combination with epinephrine can reduce VAS (Visual Analog Score) and opioid requirements

Objectives To evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for managing post operative pain after tonsillectomy

Methods Two females in their second and third decades were scheduled for elective tonsillectomy Premedication using midazolam 3 mg induction using propofol 2 mgkg intravenous dexametason 10 mg intravenous cuffed with sevoflurane then intubate The operation took 10 minutes using dissection technique we performed peritonsiller infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 01 mgkgBB and lidocain cum adrenalin 1200000 as solvent 2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation We evaluate post operative pain using VAS scale on 1st hour an 6th hour We also asessed complication that might occured post op

Result One hour observation all patients are in mild pain and in six hour observation have no pain and reduce the need of opioid or NSAIDs analgesic Vomitting as complication occured only in first patient and given antiemetic All patients were dismissed from the hospital 8 hours after surgery given Mefenamic Acid 500 mg per eight hours orally

Conclusion Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective to minimize post operative tonsillectomy pain in both patient up to 6 hours post op in both patients observed and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic

Keywords Post operative pain management peritonsillar infiltration ketamine

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-11

Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalis

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Atresia biliar (AB) adalah suatu obliteratif kolangiopati pada neonatus yang fatal jika tidak diobati Kelainan ini jarang ditemukan dengan insidensi 05-1 per 10000 kelahiran hidup dan etiologinya tidak diketahui Pada AB terjadi obstruksi saluran bilier yang menyebabkan cairan empedu statis sehingga pada akhirnya tejadi kerusakan hepatoseluler dan sirosis hati

Laporan Kasus Seorang bayi laki-laki berumur 3 bulan dengan berat badan 45 kg yang didiagnosis AB dan direncanakan untuk dilakukan tindakan prosedur Kasai Pasien dengan kondisi aktif menangis kuat dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik Pasien dilakukan dalam anestesi umum induksi dengan premedikasi sulfas atropin 01 mg induksi dimulai dengan fentanil 10 microg dan atracurium 2 mg kemudian dilakukan ventilasi dan dikontrol secara manual dengan rumatan anestesi menggunakan 50 N2O 50 O2 dan 15 MAC isofluran Durasi operasi adalah 4 jam dengan total durasi anestesi berkisar 45 jam Selama operasi berlangsung kondisi pasien stabil Pascaoperasi pasien diekstubasi dan mendapat parasetamol infus sebagai analgetik Pasien dirawat di PICU

Kesimpulan Penatalaksanaan anestesi yang tepat monitoring ketat selama operasi untuk perdarahan dan resiko hipotermi serta usia pasien saat dilakukan prosedur Kasai akan memberikan hasil yang baik

Kata Kunci Anestesi Atresia Bilier Kasai Prosedur

P-12

Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta Abdominal

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) adalah pelebaran aorta yang permanen lebih dari 30 mm dimana resiko ruptur akan meningkat bila pelebaran lebih dari 50 mm Angka kematian jika terjadi ruptur AAA sebanyak 90 dan angka kematian dapat di cegah dengan pembedahan elektif repair AAA dengan angka mortalitas kurang dari 7

Laporan Kasus Kasus 1 Wanita 49 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 496 dengan jarak 382 mm dari arteri renalis sin dan 346

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

mm dari bifurcatio arteri iliaca Pasien di induksi dengan fentanyl 5 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbbAnalgetik post op dengan epidural Pasien di ekstubasi setelah 9 jam post op dan setelah 2 hari pasien pindah keruangan

Kasus 2 Laki- laki 54 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 554 cm x 446 cm inferior dari percabangan art renalis kanan dan kiri Analgetik post op dengan morfin 20 mcgkgbbm Post operatif pasien tidak di ekstubasi pasien didiagnosa VAP pada hari ke 3 Pasien diekstubasi pada hari ke 7 dan pindah keruangan pada hari ke 10

Kasus 3 Wanita 35 tahun BB 50 kgPemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 798 cm inferior dari cabang arteri renalis kanan dan kiri Pasien di induksi dengan fentanyl 3 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbb Analgetik post op dengan epidural Post operatif pasien di ekstubasi dan setelah 2 hari di rawat di ICU pasien pindah keruangan

Kesimpulan Manajemen anestesi repair AAA berfokus pada perubahan hemodinamik akut yang disebabkan aortic cross clamping dan unclamping mempertahankan perfusi organ dan oksigenasiCross clamp meningkatkan afterload jantung dan terjadi peningkatan mendadak tekanan arteri proksimal pada klem untuk menurunkan lonjakan tekanan darah pada ketiga kasus dengan menggunakan nitrogliserin Setelah aortic unclamping resistensi pembuluh darah perifer berkurang 70-80 yang menyebabkan penurunan tekanan arteri mengalirnya darah ke bagian bawah tubuh sehingga terjadi hipotensi untuk meningkatkan tekanan darah diberikan cairan dan vasokontriktor noradrenalin

Kata kunci Aneurisma Aorta Abdominal aortic cross clamping unclamping

P-13

Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake Craniotomy

Dian Rosanti Khalid Pryambodho

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Abstrak

Pendahuluan1

Awake craniotomy merupakan prosedur beresiko tinggi yang semakin sering dikerjakan Prosedur ini memungkinkan pemetaan korteks motorik sensorik visual dan bahasa yang optimal sehinggga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperatif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi

Serial KasusPasien pertama laki-laki 37 tahun dengan diagnosis glioma temporal sinistra pasien

kedua laki-laki 47 tahun dengan diagnosis glioma frontotemporal sinistra Keduanya menjalani

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

prosedur awake craniotomy removal tumor Analgesia difasilitasi dengan scalp block dan sedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol 05-3 mcgml Scalp block menggunakan bupivakain 05 plain total volume 30 cc Kemudian dipasang central venous catheter (CVC) dan kanul arterial blood pressure (ABP) untuk pemantauan hemodinamik Patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan Naso Pharyngeal Airway (NPA) diberikan oksigen (O2) 3 Lmenit via nasal kanul dan kedalaman anestesi dimonitor dengan bispectral index (BIS) Pascaoperasi pasien diobservasi di ICU

Diskusi1-4

Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktu-waktu Propofol dipilih karena memenuhi kriteria ini Over sedation akan menyebabkan apnea hipoksia hiperkarbia dan edema serebri Sedangkan under sedation menyebabkan agitasi takikardia dan hipertensi Memberikan sedasi dengan target pasien tetap sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks merupakan hal yang tidak mudah oleh karena itu digunakan BIS untuk pemantauan kedalaman anestesi Pada awal operasi pasien disedasi dengan TCI propofol 2-3 mcgml target BIS 40-60 Kemudian saat pemetaan korteks TCI propofol diturunkan 05-1 mcgml dengan target BIS adalah 80-100 setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1-10 menyebutkan nama dan menggenggam tangan pemeriksa Setelah pemetaan korteks selesai anestesia didalamkan kembali Adekuat analgesia didapatkan dari scalp block Blok ini efektif mengurangi penggunaan opioid intraoperatif yang dapat mendepresi pernafasan dan menyebakan over sedation Terbukti pada kasus diatas hanya digunakan fentanyl total 100 mcg dengan durasi anestesia plusmn 7 jam Kejang edema serebri perdarahan dan emboli udara merupakan komplikasi pada prosedur ini Kedua pasien mendapatkan mannitol untuk mengurangi edema serebri fenitoin untuk mencegah kejang dan pascaoperasi diobservasi di ICU Suksesnya prosedur beresiko tinggi ini akan sangat tergantung pada kerjasama tim

KesimpulanManajemen anestesia awake craniotomy ini sangat sulit Persiapan preoperatif yang baik

monitoring ketat intraoperatif dan pengawasan pascaoperasi menjadi kunci sukses Kerjasama yang baik antara tim anestesi dan bedah sangat penting agar prosedur ini berjalan aman lancar dengan hasil optimal

Kata Kunci awake craniotomy scalp block TCI BIS

Daftar Pustaka 1 ChuiJAnesthesiaforAwakeCraniotomyAnupdateColombianJournalofAnesthesiologyChui J Anesthesia for Awake Craniotomy An update Colombian Journal of Anesthesiology

20154322-82 Ghazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative ReviewGhazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative Review

and Future Challenges Saudi Journal of Anesthesia 20148529-373 Cormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent AdvancesCormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent Advances

St Vincentrsquos Hospital Melbourne 201577-824 Scubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and RoboticScubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and Robotic

Surgery Cottrell and Youngrsquos Neuroanesthesia 5 th Ed Philadelphia Elsevier Mosby 201017296-8

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-14

Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral

Artery yang menjalani operasi non-cardiac

Dita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Major Aorta Pulmonary Collateral Artery (MAPCA) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terjadi 5-10 dari semua anak-anak dengan penyakit jantung bawaan yang disertai hypoplasia atresia pulmonal MAPCA merupakan pembuluh darah yang timbul dari aorta desending dan arteri sublclavia yang berfungsi untuk menghantarkan darah ke paru untuk oksigenasi Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA dengan mempertahankan SVR menurunkan PVR dan mencegah terjadinya shunt

Laporan Kasus Anak laki-laki5 tahun dengan berat badan 15 kg dk Periodontitis Apikalis Kronik + Situs Inversus + Mitral atresia + LV hipoplasia + ASD besar +VSD besar + Pulmonal atresia yang dilakukan mouth preparation Dari pemeriksaan fisik diadapatkan anak aktif SpO2 57-64 dengan udara bebas cardiomegaly gallop dan clubbing finger Dengan hasil lab Hb 182 gdl Ht 65 L 6500mm3 Tr 178000mm3 Echo ASD besar (single atrium) VSD besar (single ventrikel) Pulmonary atresia terisi PDA kecil Aorta keluar dari RV Pasien dilakukan induksi dengan sulfas atropine fentanyl propofol dan rocuronium Rumatan anestesi dengan sevoflurane Operasi berlangsung selama 40 menit dengan SpO2 selama operasi 60-70 Pasien diekstubasi dengan analgetik post op paracetamol

Kesimpulan Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA yang menjalani operasi non cardiac dimulai dari pre operatif untuk mendapatkan baseline dari kondisi pasien tersebut Intraoperative dengan menggunakan teknik ldquoopioid baserdquo sehingga menjaga kondisi pasien se-fisiologis mungkin

Kata Kunci Anestesi MAPCA Non-Cardiac Surgery

P-15

Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi Spinal

Donny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana

Departemen Anesteologi dan Terapi Intensif RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak

LATAR BELAKANGSalah satu kekurangan anestesi spinal adalah durasi blokadenya yang singkat Berbagai

cara dilakukan untuk memperpanjang durasi blokade seperti penambahan adjuvant α2 agonist selektif dexmedetomidine Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penambahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

dexmedetomidine pada anestesi lokal bupivakain hiperbarik terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal

METODE PENELITIAN Uji klinik acak berpembanding tersamar ganda telah dilakukan di Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang dari bulan November 2014 sampai dengan Maret 2015 Terdapat 52 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani operasi dengan anestesi spinal Pasien dibagi dalam dua kelompok masingndashmasing 26 orang Kelompok I menggunakan bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 5 microg dexmedetomidine 05 ml sedangkan kelompok II bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 05 ml NaCl 09 Diteliti mula kerja lama kerja blokade sensorik dan motorik tinggi blokade sensorik puncak efektivitas dan efek samping intraoperatif Analisis data menggunakan SPSS versi20

HASIL PENELITIANPada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-dexmedetomidine didapatkan mula kerja

blokade sensorik dan motorik lebih cepat tetapi secara uji statistik tidak bermakna (pgt005) dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang daripada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-NaCl 09 ( p=00001) sedangkan tinggi blokade sensorik puncak kualitas analgesia dan relaksasi motorik sebanding Hemodinamik lebih stabil dan efek sedasi pada kelompok dexmedetomidine

SIMPULANSimpulan dari penelitian ini adalah penambahan 5 microg dexmedetomidine pada bupivakain

05 hiperbarik 15 mg anestesi spinal memperpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik hemodinamik yang stabil serta efek sedasi yang menguntungkan

Kata kunci dexmedetomidine bupivakain anestesi spinal

P-16

Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manual

Eric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar belakang Guillain barre syndrome adalah penyakit paralisis akut disertai arefleksia dimana dapat

terjadi pada siapa saja dan menimbulkan kelumpuhan yang bisa sampai menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernafasan dan tanpa mendapatkan terapi yang memadai

Pendahuluan Guillain-Barreacute syndrome (GBS) saat ini merupakan penyebab tersering dari paralisis

flaksid akut di seluruh dunia Kasus GBS telah dilaporkan di seluruh dunia Angka insiden pertahun sekitar 12-23 per 100000 penduduk Angka kematian penderita mencapai 3-10 yang umumnya ditimbulkan oleh komplikasi (Doorn dkk 2008) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut patogenesis GBS Patofisiologi GBS sampai saat ini tidak seluruhnya dimengerti Fungsi selular dan humoral dari sistem imun diperkirakan terlibat Dipercaya antibodi yang terbentuk sebagai respon antigen terhadap agen penyebab

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

bereaksi silang dengan gangliosida pada permukaan saraf tepi Pada setengah kasus GBS ditemukan antibodi terhadap gangliosida Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik dalam saraf tepi Keterlibatan infeksi sebagai faktor pencetus terutama oleh Campylobacter jejuni Cytomegalovirus (10) virus Epstein-Barr virus varicella-zoster dan Mycoplasma pneumonia (Yuki amp Hartung 2012) Gangguan ini ditandai adanya kelemahan ekstremitas yang progresif simetris dengan atau tanpa gangguan sensorik disertai reflek fisiologis yang menurun atau menghilang

Diagnosis masih berdasar pada gejala klinis yang ditunjang oleh analisa cairan serebrospinal yang didapat dari lumbal pungsi Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan imunoglobulin intravena (IVIg) atau plasmapheresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilitas dalam jangka waktu 2 minggu setelah muncul gejala Di RSUP Sanglah telah terjadi 3 kasus sejak 2014-2015 dimana dilakukan terapi plasmapheresis yang memberikan hasil yang memuaskan

Pembahasan Pada GBS terjadi reaksi silang antibody terhadap antigen dan gangliosida pada saraf

tepi Pada pasien yang terjadi di Sanglah telah dilakukan plasmpharesis manual dimana antibody yang mengenali antigen gangliosida tersebut terdapat di plasma sehingga dengan dibuangnya plasma dapat membuang antibody yang salah mengenali antigen dan diberikan juga imunosupressan untuk menekan antibody yang bisa memperburuk keadaan GBS

Hasil Pada 3 kasus GBS di RSUP Sanglah tindakan plasmapharesis dilakukan secara manual

dimana plasma pasien dibuang dan diganti dengan plasmanat dan hal ini memberikan hasil yang memuaskan Pada daerah dimana tingkat prasarana yang terbatas dengan tindakan plasmapheresis manual dapat memberikan hasil yang menjanjikan dengan peralatan yang terbatas dan harga yang jauh lebih murah dibandingkan IVIg

P-17

Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral Dekubitus

Firmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Anestesi spinal unilateral dilakukan untuk membatasi blok sensorik motorik dan juga simpatis yang dapat meminimalkan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas blok unilateral berdasarkan durasi posisi lateral dekubitus selama 10 menit 15 menit dan 20 menit setelah anestesi spinal dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 05 10 mg pada operasi ekstremitas bawah

Metode Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan 51 sampel yang terbagi atas tiga kelompok dengan 17 sampel per kelompok Setiap kelompok dilakukan anestesi spinal dengan sisi operasi di bagian bawah menggunakan bupivakain hiperbarik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

05 10 mg bevel jarum spinal diarahkan ke sisi operasi injeksi lambat selama 60 detik tanpa barbotage Setelah anestesi spinal posisi lateral dekubitus tetap dipertahankan selama 10 menit (kelompok A) 15 menit (kelompok B) dan 20 menit (kelompok C) kemudian dikembalikan ke posisi supine dan dilakukan penilaian onset blok durasi blok ketinggian blok dan hemodinamik

Hasil Onset blok sensorik dan motorik sisi operasi durasi blok sensorik dan motorik sisi operasi dan ketinggian blok sensorik dan motorik sisi operasi tidak berbeda bermakna (pgt005) Ketinggian blok sensorik sisi bebas setinggi Th12 (kelompok A) L3 (Kelompok B) dan S1 (kelompok C) Durasi blok sensorik sisi bebas 7147 plusmn 104 menit (kelompok A) 6353 plusmn 49 menit (kelompok B) dan 5059 plusmn 134 menit (kelompok C) berbeda bermakna (plt 005) Durasi blok motorik sisi bebas 10941 plusmn 182 menit (kelompok A) 8471 plusmn 339 menit (kelompok B) dan 706 plusmn 199 menit (kelompok C) juga berbeda bermakna (plt005) Blok motorik unilateral ketat 882 pada kelompok C 118 pada kelompok B tidak tercapai pada kelompok A Ketiga kelompok memberikan gambaran kestabilan hemodinamik berupa tekanan arteri rerata dan laju jantung

Kesimpulan Posisi lateral dekubitus selama 20 menit setelah anestesi spinal lebih efektif dalam hal blok sensorik dan motorik unilateral

P-18

Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway

I Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana

Bagian SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA

Metode Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA dipilih secara consecutive random sampling Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 003 mgkgbb dan kelompok B diberikan fentanyl 2 mcgkgbb 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcgml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60 Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) postinduksi lebih dari 20 TAR basal Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Youngrsquos Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan Plt005

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 1308 (SB 288) dan B 1411 (SB 296) dengan nilai P = 0216 total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 11871 mg (SB 1324 mg) dibandingkan kelompok B 13161 mg (SB 1286 mg) dengan P = 0003 sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan P = 0739

Simpulan Fentanyl sebagai koinduksi propofol tidak lebih baik dibandingkan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam

Kata kunci hemodinamik koinduksi fentanyl midazolam LMA

P-19

Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde

Cholangiopancreatography (ERCP)

I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan

PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi semakin berkembang tidak hanya memfasilitasi tindakan

pembedahan terbuka namun juga untuk prosedur endoskopi baik untuk tujuan diagnostik maupun sekaligus untuk terapi

Pada kesempatan ini penulis melaporkan serial kasus penggunaan teknik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) dengan menggunakan TCI Propofol dan monitoring tingkat kedalaman anestesi dengan IoC pada pasien yang dikerjakan tindakan ERCP

Serial KasusAntara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di RSUP Sanglah Denpasar kami

memfasilitasi 6 tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Pasien yang dikerjakan dengan status fisik ASA 2 dan 3 Pasien sebelum dilakukan induksi diposisikan dalam posisi prone senyaman mungkin bagi pasien dengan kepala menoleh ke sisi kanan kemudian diberikan premedikasi dengan Midazolam 2 mg Dexamethasone 10 mg dan Difenhidramin 10 mg dan Fentanyl 25 mcg IV Induksi dengan TCI Propofol dengan mode Schneider dengan target efek 3-4 mcgml dilakukan secara titrasi mulai 1 mcgml kemudian dinaikkan 2 mcgml sampai 3-4 mcgml kedalaman anestesi diukur dengan IoC dengan target IoC 40-60 dipertahankan supaya pasien tetap bernafas spontan adekuat Pada keenam pasien yang dikerjakan didapatkan anestesi yang adekuat dengan TCI propofol 3-4 mcgml dan nilai IoC 40-60 dan tidak terjadi depresi respirasi dan kardiovaskular yang berarti

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC ini memberikan hasil yang

memuaskan dalam memfasilitasi anestesi pada tindakan ERCP Teknik ini dapat memberikan kenyamanan pada operator untuk bekerja dan yang terpenting adalah kenyamanan dan keamanan pasien lebih terjamin dengan pemberian obat yang disesuaikan dengan usia berat badan tinggi badan dan jenis kelamin sehingga pemberian Propofol dapat diberikan secara lebih efektif dan efisien Pemantauan kedalaman anestesi dengan IoC dapat memberikan panduan untuk ahli anestesi untuk penyesuaian dosis pemeliharaan obat anestesi selama prosedur dikerjakan sehingga efek depresi respirasi dan kardiovaskuler yang ditakutkan tidak terjadi

KesimpulanPenggunaan teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC dapat menjadi pilihan

dalam memfasilitasi tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Dengan pemakaian teknik ini menjamin kenyaman dan keamanan pasien juga kenyamanan operator dan ahli anestesi bekerja dengan minimal efek samping depresi respirasi dan kardiovaskuler

Kata Kunci TCI Propofol IoC ERCP

P-20

Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemik

I Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSU SanglahDenpasar

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 60 pasien geriatri yang menjalani pembedahan di RSUP

Sanglah Pengelolaan perioperatif geriatri memiliki tantangan tersendiri dengan adanya penurunan fungsi organ Kombinasi regional anestesia dan anestesi umum diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan sistemik

LAPORAN KASUSGeriatri 74 tahun dengan Tumor Parotis Lobus profunda yang menjalani pembedahan

hemimandibulektomi-parotidektomi wide eksisi dengan ASA III (geriatri dan hipertensi stage II FC II) dilakukan tindakan anestesi umum premedikasi dengan midazolam 2 mg co induksi dengan fentanyl 150 mcg(3 mcgkg) induksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg iv (05 mgkg) intubasi nasotracheal menggunakan ETT kinking ukuran 65 dan dilakukan blok pleksus servikalis superfisial infraorbita dan mandibular di sisi operasi Dosis lidokain 1 + epinefrin 1800000 Dosis pemeliharaan dengan O2 N2O (21) dan Isoflurane Operasi berlangsung 3 jam selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 50-72xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 50-70 mmHg dengan urine output 14 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0 Pasca operasi pasien diberikan analgesia fentanyl 200mcg + ketamin 10 mg dalam 50 cc NaCl 09 diberikan via syringe pump dalam 24 jam selama 2 hari hari ke 3 diberikan oral anagesia dengan tramadol 3 x 25 mg dan Parasetamol 3 x 500 mg Pemantauan VAS hari pertama dan kedua 010cm dan hari ke 3 1-210cm

DISKUSIGeriatri dengan permasalahan penurunan fungsi organ dan penurunan cairan tubuh

total dan lean body mass dapat mengakibatkan mudah terjadi intoksikasi obat Kombinasi anestesi umum dan anestesi lokal kepala dan leher dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik sehingga dapat meminimalisasi resiko intoksikasi Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia

KESIMPULANPemahaman teknik operasi sehingga dapat dilakukan pemilihan regioanaliasasi blok

yang tepat diperlukan Blok pleksus servicalis superfisial infraorbita dan mandibuler dengan minimalisasi penggunaan opioid sistemik mampu memberikan analgesia yang efektif dengan stabilnya hemodinamik pasien selama 3 jam durante operasi tanpa penambahan sedikitpun opiat sistemik Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya intoksiskasi obat dan prolong effect pada pasien geriatri sehingga menurunkan resiko morbiditas pasca operasi Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER3 BENAIFER DDUBASH DMD ADAM T HERSHKIN DMD PAUL J SEIDER

DMD GREGORY M CASEY (2013) ORAL-AND-MAxILLOFACIAL-REGIONAL-ANESTHESIA HTTPWWWNYSORA

P-21

Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi Caesarea

Ida Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Stroke hemorhagik merupakan stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah otak yang ada didalam kepala Kehamilan meningkatkan resiko terjadinya stroke hemorhagik Penyulit Stroke hemorhagik meningkatkan mortalitas baik maternal maupun fetal Sehingga penanganan pasien hamil dengan penyulit stroke hemorhagik membutuhkan perhatian khusus dan teknik yang khusus untuk meningkatkan outcome pasca operasi cesaria Laporan kasus ini bertujuan memaparkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada maternal dan fetal dengan penyulit ibu stroke hemorhagik dan IUGR untuk operasi cesaria Pasien perempuan 45 tahun dirujuk dari RSUD Sulawesi dengan diagnosis G1P0000 Primitua Stroke Hemorhagik Anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemah separuh tubuh terjadi beberapa jam sebelum masuk rumah sakit pada saat mengedan BAB Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis dengan hemiparesis sinistra fundus uteri teraba 2 jari diatas umbilikus DJJ 130 xmenit Pemeriksaan CT Scan didapatkan Tampak area hiperdens abnormal pada parenkim cerebri pada parietal sampai korona radiata kanan dengan ukuran 19x10x10 slices Penatalaksanaan preoperatif dilakukan dengan merawat ibu dengan sejawat neurologis untuk mengurangi stress hemodinamik pada otak maupun janin untuk persiapan fetal diberikan dexametason untuk pematangan paru fetal Premedikasi diberikan obat-obatan pencegah regurgitasi metocloperamide ranitidin dan ondancetron intravena 1 jam sebelum di induksi Teknik anestesi menggunakan teknik anestesi umum rapid sequence induction dengan teknik induksi dan fasilitas intubasi memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesi berbasis propofol TCI Rocuronium dan pemberian lidocain intravena pemberian opioid diberikan sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan dengan pertimbangan opioid yang kita berikan tidak segera melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin waktu mulai insisi pembedahan hingga dilahirkannya bayi dilakukan kurang dari 5 menit sehingga opioid yang kita berikan tidak banyak melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin setelah janin dilahirkan penting untuk menyediakan nokoba dan berikan jika dibutuhkan Pasien di extubasi dalam dengan memperhatikan patensi jalan nafas dan ventilasi assisted dengan panduan saturasi perifer dan end tidal capnograf Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan memperhatikan prinsip-prinsip neurointensive dan bayi di rawat di NICU Simpulan Prinsip penatalaksanaan ibu hamil dengan stroke hemorhagik dan IUGR adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesia dengan perhitungan teliti penggunaan opioid intravena sehingga opioid yang diberikan tidak mempengaruhi apgar skor fetal saat lahir

P-22

Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial Kasus

Ihsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah LestariFredi Heru Irwanto

Residen KonsulenDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit dr Mohammad HoesinPalembang Indonesia

Abstrak

Latar Belakang Operasi tulang belakang merupakan operasi yang sering dilakukan di bidang ortopedi Operasi ini membutuhkan waktu yang lama rumit dan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak sehingga membutuhkan teknik anestesi khusus Teknik anestesi hipotensi kendali terpilih untuk memfasilitasi tindakan operasi tersebut Teknik ini didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah yang di sengaja pada saat intraoperatif sekitar 25 ndash 30 dari preoperatif atau dengan MAP 50 ndash 70 mmHg untuk mengurangi jumlah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

perdarahan dan membantu visualisasi lapangan operasi Salah satu agen yang digunakan dalam teknik tersebut ialah dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan suatu agonis adrenergik α2 yang bekerja secara sentral dan memiliki efek analgesia amnesia sedasi dan anti anxietas Mekanisme kerjanya sebagai agen hipotensi yaitu memblok pelepasan noerepinefrine ke perifer melalui ikatan reseptor adrenergik α2 sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sistemik Obat ini sangat menguntungkan karena rentangnya yang lebar mudah dikontrol opioid sparing effect bangun yang cepat dan lancar

Tujuan Untuk mempresentasikan 4 kasus pasien yang menjalani prosedur operasi tulang belakang menggunakan teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan agen dexmedetomidine

Metode Teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan menggunakan agen dexmedetomidine continous dengan loading dose 1 microgkgbb (iv) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan rentang dosis 02 ndash 07 microgkgbbjam

Kasus Kasus pertamalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis paraplegia inferior ec stenosis spinal cord vetebrae Thorakal VI ndash VIII Kasus kedualaki ndash laki 39 tahun dengan diagnosis Fraktur kompresi vetebrae Thoracal IV ndash VI kasus pertama dan kedua menjalani operasi Stabilisasi Posterior Kasus ketigalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis HNP lumbal V ndash sakral I Kasus keempat perempuan 57 tahun dengan diagnosis paraparese inferior ec lesi Intradural setinggi vetebrae lumbal II - V Kasus ketiga dan keempat menjalani operasi laminektomi

Hasil Selama prosedur operasi hemodinamik relatif stabil dengan MAP 50 - 70 mmHg penggunaan opioid intraoperatif menurun 50 dibandingkan jika digunakan dengan agen hipotensi lain rata ndash rata waktu bangun 30 ndash 60 detik dan nyeri post operasi yang terkontrol

Kesimpulan Dexmedetomidine merupakan salah satu alternatif agen hipotensi pada teknik anestesi umum hipotensi kendali pada operasi tulang belakang

Kata Kunci Dexmedetomidine Hipotensi Kendali Operasi Tulang Belakang

P-23

Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien

Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi Umum

Joan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr Muhammad Hoesin

Palembang Indonesia

Abstrak

Latar belakang Tindakan intubasi endotrakea sering menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas Post Operative Sore Throat (POST) merupakan komplikasi minor setelah tindakan anestesi Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pascaoperasi adalah nyeri tenggorokan batuk dan suara serak yang dilaporkan memiliki insiden sebesar 21-52 untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

nyeri tenggorokan dan 42-59 untuk suara serak Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa berkumur dengan ketamin dan aspirin efektif mengurangi insiden dan tingkat keparahan POST Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal

Metode Uji klinik berpembanding buta ganda telah dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia umum teknik intubasi endotrakeal di COT RSMH pada bulan November 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 66 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok Kelompok pertama diberikan ketamin 50 mg dan kelompok kedua diberikan aspirin 320 mg dalam larutan saline 30 ml sebagai obat kumur

Hasil Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak pada kelompok ketamin dan kelompok aspirin sebesar 61 dan 121 Insiden nyeri tenggorokan pada kelompok ketamin adalah 152 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 182 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan Insiden suara serak pada kelompok ketamin adalah 21 2 dengan derajat serak adalah serak ringan dan sedang sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 242 dengan derajat serak ringan

Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara obat kumur ketamin dan aspirin untuk mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal (p = 0444 p gt005)

Kata Kunci Intubasi endotrakeal obat kumur ketamin obat kumur aspirin nyeri tenggorokan dan suara serak

P-24

Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi Infant

Ketut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANSepanjang tahun 2014 terdapat 85 (41) infant dari 405 kasus pembedahan laprotomi

pediatri (0-18 tahun) Pengelolan perioperatif infant memiliki tantangan tersendiri dengan imaturitas fungsi organ dan perbedaan anatominya Analgetik yang efektif dengan efek samping minimal diperlukan selama perioperatif dalam kaitan modulasi stress respon dan kembalinya fungsi system pencernaan CTE kontinyu kami gunakan pada pasien dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai dengan pertimbangan gangguan fungsi hati dan elimminasi obat

LAPORAN KASUSInfant 4 bulan berat badan 65 kg dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai

pasien dengan ASA III (infant pneumonia hyperbilirubinemia (obstruksi ekstrahepatal))

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dilakukan tindakan anestesi umum induksi dengan o2 sevoflurane coinduksi dengan ketamine 1 mg (015 mgkg) dan fentanyl 10 ug iv (15 ugkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 3 mg iv (05 mgkg) intubasi menggunakan ETT kinking ukuran 35 dan dilakukan pemasangan CTE kontinyu dengan panduan Ultrasonography dimana tip berada pada Th 10-11 Dosis bolus lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc volume 6cc (01 cckgsegmen) dilanjutkan dosis pemeliharaan lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 02-03 ccjam dn sevofluran 05 vol dan atracurium intermitten Operasi berlangsung 5 jam 40 menit selama durante operasi hemodinamik stabil dengan nadi 102-111xmnt kalkulasi cairan masuk 350 ml cairan keluar 130 ml dan urine output 109 cckgjamEkstubasi segera sesudah operasi selesai pasca operasi perawatan PICU dengan regimen analgesia lidokain 05 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 03 ccjam didapatkan flacc 0-1 urine output 1-12 cckgjam dan motilitas usus baik sejak hari pertama operasi CTE kontinyu dipertahankan hingga hari ke 6 setelah hari ke 5 pasien diberikan asupan oral pasca operasi didapatkan peningkatan neutrofil dari 1461 x 103ul praoperasi dibandingkan 1576 x 103ul pasca operasi

DISKUSIInfant dengan atresia bilier dan gangguan fungsi hati disertai hiperviskositas darah

dengan potensi cedera ginjal memerlukan penanganan khusus Kombinasi anestesi umum dan CTE kontinyu dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik yang dapat memperberat kerja hati Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia pada populasi infant dengan heart rate dependent Penggunaan mode kontinyu adalah untuk mencegah takifilaksis serta menjaga stabilitas analgetik perfusi renal dan splancnic Dengan peningkatan neutrofil yang tidak signifikan menggambarkan efektifitas modulasi stress response oleh CTE kontinyu

KESIMPULANCTE kontinyu dengan minimalisasi penggunaan gas inhalasi dan opioid sistemik mampu

memberikan analgesia yang efektif dan memberikan keuntungan peningkatan perfusi renal dan splanchnic sehingga dapat mencegah cedera ginjal dan mempercepat pemulihan anastomose Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 COTE CJ LERMAN J ANDERSON BJ (EDS) (2013) A PRACTICE OF ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 5TH ED USA ELSEVIER SAUNDERS

3 DAVIS PJ CLADIS FP MOTOYAMA EK (EDS) (2011) SMITHrsquoS ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 8TH ED USA ELSEVIER

4 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-25

Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial Kasus

Koko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas UdayanaRS Sanglah Denpasar

Latar Belakang Anestesi regional berkembang pesat sebagai salah satu modalitas untuk manajemen anesthesia pada tindakan pembedahan Caudal thorakal epidural adalah salah satu jenis tindakan anestesi regional central neuraxial yang digunakan pada kasus kasus pediatricpada kasus ini digunakan USG sebagai tuntunan

Presentasi Kasus Pasien bayi perempuan umur 5 bulan dan bayi laki laki umur 4 bulan didiagnosis Atresia Bilier pro Prosedur Kasai anestesi dengan perantaraan bius total pemasangan pipa endotrakeal Pasien pertama diinduksi dengan inhalasi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Pasien kedua diinduksi dengan induksi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Operasi berlangsung sekitar 5 jam Pasca operasi pasien diekstubasi dan dirawat di PICU Analgetika post operasi caudal thorakal continyu regimen lidocain 05 + fentanyl 2 mcgcc kecepatan 03 ccjam

Diskusi USG memberikan dua keuntungan untuk tindakan block caudal pada pediatri yaitu pertama kemampuan untuk identifikasi area sacral menjadi lebih cepat dan kedua mampu mengkonfirmasi bahwa obat yang disuntikkan berada pada area yang tepat Viscerotome untuk laparotomi pediatric adalah pada Th6 kateter epidural pada kedua kasus dengan tuntunan USG mampu mencapai Th 10 dan memberikan hasil anesthesia yang baik intra dan pasca operasi

Kesimpulan USG pada kasus ini mampu memberikan kesuksesan penempatan kateter caudal thorakal epiduraldan diharapkan lebih banyak lagi studi yang mempelajari kasus caudal thoracal epidural mempergunakan USG sebagai tuntunanKata kunci caudal thorakal epidural laparotomi pediatri tuntunan USG

Daftar Pustaka1 Smithrsquos Anesthesia for Infant and Children Elsevier 2011 hal 463-474 2 Pain Management HandbookNational Library of Malaysia2013 hal110-1303 Ultrasonography and Pediatric Caudal Journal of Anesth Analg2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26

Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi Umum

M Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

Pendahuluan Kehamilan pada wanita dengan defek septal atrial (DSA) akan meningkatkan risiko kematian ibu dan janin Pada wanita dengan DSA serta hipertensi pulmonal kehamilan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat Oleh karenanya manajemen perioperatif memegang peranan penting

Laporan kasus Kami melaporkan kasus wanita 39 tahun direncanakan untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kehamilan 24 minggu akibat plasenta previa totalis Pasien juga menderita DSA sejak lahir dan dijumpai sesak nafas Ekokardiografi menunjukkan adanya defek septal atrial (26 mm) hipertensi pulmonal ( 50 mmHg ) regurgitasi trikuspidalis ringan dan fraksi ejeksi 78 Teknik anestesi dengan preoksigenasi 100 oksigen selama 5 menit premedikasi dengan pemberian intravena Sulfas Atropin 025 mg dan Fentanyl 50 microg Induksi menggunakan Ketamin 50 mg kemudian Atrakurium 30 mg sebagai obat relaksasi otot dan dilakukan intubasi endotrakeal Selama operasi anestesi inhalasi menggunakan isofluran 05 - 06 dan fentanil 50 microgjam intravena sebagai anti nyeri rumatan

Pembahasan Manajemen anestesi umum pada pasien dengan defek septal atrial dan hipertensi pulmonal diprioritaskan terhadap teknik anestesi dan pemberian obat-obatan untuk mencegah penurunan dari tahanan pembuluh darah sistemikmencegah depresi otot jantungserta mencegah suatu keadaan hipoksiahiperkarbidan nyeri yang akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paruPada kasus ini digunakan ketamin yang dapat mencegah penurunan tahanan pembuluh darah sistemikdan mempuyai efek anti nyeri yang baik apalagi dikombinasi dengan golongan opiod seperti fentanildimana nyeri juga menjadi pencetus utama yang dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemikTerpeliharanya tahanan pembuluh darah sistemik agar tidak turun akan mencegah timbulnya shunt dari kanan ke kiri jantungShunt ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada pasien

Kesimpulan Kami menyimpulkan bahwa tindakan anestesi umum pada pasien hamil dengan defek septum atrium dan hipertensi pulmonal lebih dipertimbangkan karena dengan anestesi umum dapat dihindari penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan tahanan pembuluh darah paru yang akan mencetuskan suatu komplikasi berat

Kata kunci defek septal atrial Hipertensi arteri pulmonal Operasi sesar hipotensi hipoksemi hiperkarbi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-27

Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular Response

Marilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja

PPDS I Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANPasien geriatri akan memiliki beberapa penyakit dasar terkait dengan peningkatan usia

dan perubahan fisiologis terutama dalam sistem kardiovaskuler Pada pasien dengan gagal jantung kronis kebutuhan oksigen miokard dijaga agar tidak melebihi pasokan

Perangkat berikut ini penting bagi pelaksanaan anestesi yang aman antara lain EKG pemantauan tekanan arteri non-invasif pulse oksimetri kapnografi dan juga harus dilengkapi dengan pemantauan kardiovaskuler invasif

Perhatian khusus diberikan dalam memilih teknik anestesi yang mampu mengendalikan perubahan hemodinamik yang terjadi akibat adanya intervensi anestesi

KASUSPria 78 tahun BB 60 kg dengan perdarahan subdural kronis menjalani prosedur borehole

drainase Memiliki riwayat gagal jantung kronis dengan obat-obatan yang tidak diketahui Pasien dinilai dengan ASA III dengan masalah pada sistem saraf pusat dan kardiovaskuler Kesadarannya masih baik tekanan darahnya tinggi (sekitar 160-20090-120mmHg) dengan EKG-nya AF slow ventricular response (HR 45-50kalimenit) LAD CRBBB dan dari ekokardiografi didapatkan kardiomiopati iskemik MR moderate dan hipokinetik septal pada segmen anterior

Diberikan fentanyl 25mcg sebelum pemasangan artery line lalu 75mcg berikutnya sebagai analgetik Induksi dengan TCI Propofol dengan target efek 3-4 mcgml Agen inotropik dobutamin juga diberikan dan dipertahankan sampai akhir operasi Vecuronium 5 mg dipakai sebagai pelumpuh otot utama dan untuk pemeliharaan memakai compressed air oksigen dan TCI Propofol

Hemodinamik intraoperatifnya stabil pada MAP 120mmHg (136-18280-100mmHg) namun kadang irama EKG-nya menjadi ekstrasistol bigemini dan bahkan ventrikuler takikardia dengan nadi Operasinya berlangsung selama 45 menit dan pasien dipindahkan ke ICU untuk pemantauan pascaoperasi

PEMBAHASANSelain pemantauan hemodinamik dasar artery line juga dipasang untuk memantau

tekanan darah dari waktu ke waktu TCI Propofol dipilih dibanding volatil untuk mencegah gangguan pada autoregulasi otak Relaksasi otot memakai vecuronium untuk menghindari peningkatan TIK Dobutamin dipilih sebagai topangan untuk miokard pasien gagal jantung dengan output yang rendah

KESIMPULANKeseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard pemantauan invasif

intraoperatif yang seksama serta manajemen anestesi yang handal adalah kunci untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

memperoleh anestesi yang aman untuk pasien ini Teknik anestesi yang digunakan tidak hanya demi memberikan kualitas kedalaman anestesi untuk operasi kepala namun juga untuk menjaga pasokan oksigen miokard agar mencegah iskemia miokard durante operasi

Kata kunci manajemen anestesi perdarahan subdural gagal jantung kronis atrial fibrilasi slow ventricular response

P-28

Sensitivitas Dan Spesifisitasensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCU

Meili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Abstrak

Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) adalah prediktor independen terhadap mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit Angka kejadian AKI di Intensive Care Unit (ICU) 60-70 mortalitas dari pasien tersebut mencapai 60 Diagnosis AKI saat ini ditegakkan dengan penilaian kenaikan kreatinin serum yang tidak reliabel dan terdeteksi setelah kerusakan ginjal terjadi Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) merupakan penanda untuk menilai kerusakan ginjal yang dapat terdeteksi lebih awal sebelum terjadi kenaikan kreatinin Penggunaan NGAL pada pasien ICU dan NHCU yang mengalami gangguan ginjal belum dapat ditentukan waktu mulai terjadinya AKI sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Objektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan NGAL plasma dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Metode Uji diagnostik telah dilakukan di ICU dan HCU (High Care Unit) RS Dr Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Desember 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 53 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi Semua sampel diperiksa kadar NGAL dengan menggunakan Alere Triagereg kit dan kreatinin serum Analisis hasil pemeriksaan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan SPSSreg versi 220 dan MedCalc versi 127

Hasil Hasil penelitian menunjukkan pada cut-off point 150 ngml NGAL plasma memiliki sensitivitas 88 spesifisitas 81 nilai prediksi positif 88 nilai prediksi negatif 88 dan akurasi 85

Simpulan Pemeriksaan NGAL plasma lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan waktu mulai terjadinya AKI dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Kata kunci AKI kreatinin NGAL plasma ICUHCU uji diagnostik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-29

Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan Kasus

Mohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar Belakang Tindakan koreksi skoliosis thorakalis membutuhkan manajemen anestesi perioperatif yang cermat dikarenakan terdapatnya permasalahan fisiologis yang sangat kompleks yang dapat menjadi penyulit Fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang paling sering terganggu pada skoliosis thorakalis tergantung dari derajat lengkungan yang ditimbulkanKonsiderasi anestesi pada tindakan koreksi skoliosis meliputi manajemen anestesi pada posisi prone teknik anestesi dengan hipotensi kendali kejadian hipotermia resiko terjadinya emboli udara Penggunaan opioid dosis tinggi sangat menguntungkan dimana opioid dosis tinggi tidak mempengaruhi hemodinamik durante operasi dan mengurangi penggunaan analgetik pasca operasi

Kasus Anak perempuan berusia 11 tahun dengan skoliosis thorakalis vertebrae thorakal VII ndash vertebrae thorakal XI yang dilakukan koreksi skoliosis Pada pasien ini didapatkan cobbrsquos angle sebesar 800 sehingga diprediksi terdapat gangguan dari fungsi respirasi Untuk fungsi kardiovaskuler dan neurologis tidak ada kelainanInduksi anestesi dengan menggunakan propofol 70 mg IV atracurium 30 mg IV fentanyl 200 mcg IV dengan rumatan menggunakan fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam daninhalasisevoflurane 1 vol dalam O2 dan airProsedur berlangsung selama 5 jam dengan perdarahan 800 mlPasca operasi pasien di pindahkan kePediatric Intensive Care Unit dengan retensi Endotracheal tube untuk evaluasi fungsi respirasi dan kardiovaskuler Analgetik pasca operasi menggunakan morphine kontinu 10mcgkgbbjamSatu hari perawatan di PICU didapatkan fungsi respirasi dan kardiovaskuler dalam batas normal sehingga dapat dilakukan ekstubasi

Diskusi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam dinilai efektif dalam mengurangi perdarahan tanpa mengganggu stabilitas hemodinamik durante operasi Tindakan wake up test dilakukan dengan pasien dalam kondisi koperatif tanpa agitasi Kebutuhan obat analgetik pasca operasi pun dapat dikurangi

Kesimpulan Manajemen perioperatif yang dimulai dari pre anestesi yang baik dapat memprediksikan kesulitan yang akan timbul pasca operasi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu memberikan banyak keuntungan dalam tindakan koreksi skoliosis

Kata Kunci Skoliosis thorakalisCobbrsquos angleposisi prone Opioid Based

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-30

Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum

Laparoskopi Kolesistektomi

Muhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Pembedahan dan anestesi menyebabkan respon stres berupa pelepasan hormon katabolik seperti kortisol dan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek fentanil dan morfin intravena terhadap penekanan respon stres pembedahan di bawah anestesi umum pada orang dewasa

Metode Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Setelah memperoleh persetujuan dari komite etik dan persetujuan tertulis dari pasien pasien usia 18-64 tahun dengan status ASA PS 1-2 dan IMT lt 30 kgm2 yang akan menjalani prosedur laparoskopi kolesistektomi elektif diikutsertakan dalam penelitian ini Pasien dibagi menjadi kelompok F (n=25) mendapatkan fentanil 2 mcgkgBB dengan pemeliharaan 1 mcgkgBBjam dan kelompok M (n=25) mendapatkan morfin 02 mgkgBB dengan pemeliharaan 01 mgkgBBjam Pengambilan sampel darah untuk kadar kortisol dilakukan sebelum prosedur (T0) 30 menit pembedahan (T1) dan setelah ekstubasi (T2) Pengamatan hemodinamik meliputi tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) dilakukan pada beberapa waktu selama pembedahan Data diuji menggunakan uji statistik yang sesuai p lt 005 dinyatakan bermakna

Hasil Karakteristik sampel berupa umur jenis kelamin IMT ASA PS dan lama operasi dinyatakan homogen secara statistik Kadar kortisol pada kelompok fentanil meningkat dari waktu ke waktu yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan berlanjut sampai akhir anestesi (p= 0001) Pada kelompok morfin terjadi peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan menurun pada akhir anestesi (p =0240) Kedua kelompok memberikan kestabilan hemodinamik selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi kecuali pada saat intubasi endotrakeal terjadi peningkatan TAR (p=0000) dan peningkatan LJ (p=0000) namun perubahan TAR dan LJ tidak lebih 20 dari nilai basal

Kesimpulan Tidak terjadi penekanan kadar kortisol selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi pada kedua kelompok Peningkatan kadar kortisol darah pada akhir anestesi ditemukan pada kelompok fentanil tidak pada kelompok morfin Hemodinamik relatif stabil kecuali saat intubasi endotrakeal

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-31

Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epidural

Muhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar belakang Hipertensi pulmonal merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dan akan meningkatkan mortalitas bila dialami oleh wanita hamil Penanganan wanita hamil dengan hipertensi pulmonal merupakan suatu tantangan di bidang anesthesia Pada laporan kasus ini akan dijelaskan mengenai penatalaksanaan anestesi pada wanita disertai dengan adanya hipertensi pulmonal yang menjalani operasi seksio sesarea dalam anesthesia regional epidural

Presentasi kasus Wanita berusia 24 tahun dengan diagnose gravida 34-35 minggu dengan premature kontraksi disertai adanya hipertensi pulmonal Dari echokardiografi didapatkan adanya dilatasi atrium dan ventrikel kanan hipertensi pulmonal berat dan regurgitasi tricuspid sedang Kemudian operasi dilakukan dalam regional epidural Epidural blok dilakukan dalam posisi duduk pada L3-4 dengan memasukan kateter setinggi T10 Diberikan total bupivacaine 05 sebanyak 19 cc Blok setinggi T6 Bayi lahir dengan APGAR skor 6-8 Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ICU

Kesimpulan Hipertensi pulmonal dalam kehamilan memiliki angka mortalitas yang tinggi Tindakan anesthesia epidural merupakan tehnik yang paling memiliki efek minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan spinal maupun general anesthesia Maka dari itu tehnik ini merupakan tehnik yang paling aman untuk operasi seksio sesarea

Kata kunci Hipertensi pulmonal seksio sesarea anesthesia epidural

P-32

Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green Code

Novita Pradnyani1 Ketut Wibawa Nada2 IMG Widnyana2

1 Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ Udayana Bali2 Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ UdayanaBali

Abstrak

Latar belakangPeningkatan jumlah penduduk yang tidak dibarengi program KB yang baik berakibat

ANC yang teratur sehingga seringkali ibu hamil datang dengan kelainan penyerta yang serius

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dan membutuhkan persiapan anestesi yang lebih rumit Di sisi lain kasus tersebut terkadang kita jumpai dalam keadaan gawat darurat baik gawat janin ataupun gawat ibu sehingga tidak dapat dilakukan persiapan maksimal

Deskripsi KasusGravida 41 tahun ASA IIIE dengan G3P2002 28-29 mgg TH PEB Primi tua sekunder

plasenta previa totalis riwayat asma susp Oedema paru partial HELLP syndrome AHF ec Peripartum cardiomiopaty dengan FC III dilakukan SC green code ec KTG patologis Echo bedside didapatkan MR mild TR mild SV 58mL CO 727L SVR 1378 TAPSE 386 EF biplane 299 AGD pH 743 pCO2 19 pO2 141 HCO3 126 BE 117 SaO2 99 (FiO2 06 RR 25-26xmnt)

Premedikasi ketamin 10mg dan midazolam 05mg dengan anestesi RA BSA lateral decubitus di L3-4 dengan Bupivacain 05 heavy 10mg dan fentanyl 25 mcg dengan blok sensorik setinggi T6 Lahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudahLahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudah bayi lahir posisi ibu head up 30deg Post bayi lahir kontraksi uterus kurang baik sehingga dilakukan histerektomi Fluktuasi tekanan darah selama operasi 2 jam 45 menit TD 110-14560-88 mmHg nadi 80-95xmnt RR 20-23xmenit Dengan perdarahan plusmn2000 ml cairan masuk Kristaloid 1000mL dan koloid 500mL PRC 250mL Pasca operasi perawatan di ICU untuk moitoring dan pasien pulang di hari ke 4

Pembahasan Peningkatan beban jantung yang dimulai pada trimester ketiga (28minggu) membeikan beban pada kardiovaskular ibu hamil yang telah terganggu sebelum kehamilan dengan tambahan beban afterload karena PEB Kala III memberikan beban tambahan karena backflow aliran uteroplacental posisi head up dapat mengurangi aliran balik RA BSA dan posisi pasien dapat menjaga hemodinamik dan memberikan relaksasi yang cukup

Kesimpulan RA BSA dapat dijadikan pilihan untuk SC dengan AHF peripartum cardiomiopati dengan pemantauan dosis dan teknik yang baik

Kata kunc Gravida AHF peripartum cardiomiopati RA BSA Back flow Head up

DaftarPustaka

1 Miller D Ronald Millerrsquos Anesthesia 7th ed Churchill Livingstone 20052 Morgan G Edward Mikhail Maged S Murray Michael J Clinical Anesthesiologi 4th ed

New York Lange Medical BooksMcGrawHill 2006 3 David H Chestnut MD Cynthia A Wong MD Lawrence C Tsen MD Warwick D

Ngan Kee Yaakov Beilin MD and Jill Mhyre MD Chestnutrsquos Obstetric Anesthesia Principles and Practice 4th Edition Philadelphia Elsevier Mosby 2009

4 Roberta L Hines Katherine E Marschall Stoeltingrsquos Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed Philadelphia Elsevier 2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-33

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra

Bagian Ilmu Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas HasanuddinRumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar

Abstrak

Latar Belakang Blok transversusabdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman mudah dan efektif untuk memberikan analgesia pasca bedah pada operasi yang melibatkan dinding anterior abdomen Penelitian ini bertujuan menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pasca bedah herniorafi

MetodePenelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Penelitian dilakukan pada 44 pasien usia 18-60 tahun status fisik ASA I-II dan IMT 18-24 yang menjalani operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal di RS dr Wahidin Sudirohusodo dan jejaring di Makassar mulai bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 025 20 ml ditambahkan epinefrin 1200000 setelah operasi selesai dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 01 mgkgBBinfuskontinyu pada akhir operasi Penilaian skala nyeri digunakan Numeric Rating Scale (NRS) Bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 05 mcgkgBB waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pasca bedah dicatat Data dianalisis secara dengan menggunakan uji Mann Whitney dinyatakan bermakna bila plt 005

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian bersifat homogeny pada kedua kelompok Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok control (1781 plusmn 762 berbanding 915 plusmn 812 jam plt0001) Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (921 plusmn 1359 berbanding3088 plusmn 2039 mcg p=002)

Kesimpulan Blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodalmemberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibandingkan dengankontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi

Kata kunci blok TAP herniorafi teknik landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-34

Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi Spinal

Nurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli

Dept Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Operasi ortopedi ekstremitas bawah merupakan jenis operasi dengan skala nyeri pascaoperasi yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan nyeri yang baik Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor NMDA dan penghambat saluran kalsium memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia

Penelitian dilakukan secara uji klinis berpembanding buta ganda Penelitian efektivitas pemberian magnesium sulfat intravena terhadap nilai VAS dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 38 pasien dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal kelompok I (grup M) berjumlah 19 peserta bolus MgSO4 intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan MgSO4 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi dan kelompok II (grup K) 16 peserta bolus Nacl 09 03 mlkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan Nacl 09 01 mlkgbbjam sampai akhir operasiTiga peserta drop out karena gagal spinal dan operasi yang lama Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium pada semua subyek penelitian Penilaian nyeri menggunakan nilai VAS setelah selesai operasi pada 30 menit 1 2 4 6 12 18 dan 24 jam pascaoperasi Bila nilai vas gt 3 diberikan analgetik pertolongan petidin 05 mgkgbb Analisa statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan x2 test dan Fisher exact test dan dianalisa dengan program SPSS 20 for windows

Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik umum jenis dan lama operasi jumlah cairan intraoperatif serta kadar magnesium darah prabedah antara kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda Nilai VAS grup M secara statistik lebih rendah (p lt 005) dibandingkan grup K pada jam ke 18 dan 24 Jumlah pemberian analgetik petidin dalam 24 jam pascaoperasi lebih rendah pada grup M dibandingkan grup K (plt005)

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan dosis rumatan 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi menghasilkan nilai VAS lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik petidin dalam 24 jam pada pasien pascaoperasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal

Kata Kunci Analgetik pascaoperasi Magnesium Sulfat nilai VAS pascaoperasi Operasi ortopedi ekstremitas bawah Uji klinis acak berpembanding

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-35

Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty

Pande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PendahuluanAnestesi yang aman pada pediatrik tergantung pada pemahaman yang menyeluruh

tentang fisiologi dan farmakologi dan perbedaan antara pediatrik dan dewasa Pada pasien dengan single kidney memerlukan strategi anestesi yang khusus

Presentasi kasusPasien pediatrik 3 tahun berat badan 11 kg dikeluhkan tidak mempunyai lubang

anus sejak lahir telah dilakukan operasi kolostomi saat umur 1 hari Dari pemeriksaan USG ditemukan pasien dengan satu ginjal Pada pasien telah dilakukan PSARVUP (Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty) dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa endotracheal ukuran 45 dan dilakukan pemasangan caudal Telah diberikan midazolam 05 mg iv ketamine 10 mg iv fentanyl 20 mcg iv atracurium 5 mg iv Caudal analgesia dengan bolus Bupivacaine 025 + Fentanyl 10 mcg volume 6 ml 30 menit kemudian dilanjutkan dengan caudal kontinyu Bupivacaine 01 + Fentanyl 50 mcg volume 50 ml dengan kecepatan 2 mljam Durasi pembedahan 6 jam Post operasi pasien dirawat di PICU selama 2 hari

DiskusiManagemen anestesi untuk pediatrik dapat dilakukan anestesi umum dan caudal

kontinyu Pada pasien ini caudal kontinyu dapat sebagai pilihan karena dapat memberikan relaksasi dan analgesia sekaligus menurunkan kebutuhan obat sistemik pada pasien dengan single kidney Keuntungan lainnya caudal analgesia dapat digunakan untuk analgesia post operasi

KesimpulanKombinasi anestesi umum dan caudal kontinyu dapat menjadi alternative pada

pembedahan urogenital pada pediatric untuk menghindari penggunaan obat sistemik sehingga meminimalisasi efek samping sistemik yang dapat mengganggu fungsi ginjal dan memperpanjang waktu pulih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36

Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi ndashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid

Thorakal

Pradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit++

Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

dr SpAnKARDRdr ++SpAnKARdr

Abstrak

Latar Belakang Pemilihan Caudal Anesthesia Single Shot dianggap lebih praktis dan mampu memenuhi kebutuhan anesthesia - analgesia untuk tindakan pembedahan pada anak Di RSUP Sanglah Denpasar terdapat 405 (10) pembedahan pediatri dari total 4059 kasus sepanjang tahun 2014 dengan 217 (52) kasus diantaranya adalah dengan anomaly digestif dan dikerjakan dengan teknik anestesi kombinasi GA-Caudal anesthesia Penggunaan formula Armitage dijadikan pedoman untuk pemberian dosis caudal pediatrik yaitu 05mlkg untuk blok setinggi lumbosakral 1mlkg untuk torako lumbal dan 125mlkg untuk mid torakal Laporan kasus ini ingin menunjukkan ketinggian segmen yang bias dicapai pada penggunaan Caudal Anesthesia Single Shot dengandosis mid torakal (125 mlkg) dengan ultrasonografi-doppler pada 4 pasien ASA I ndash II yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dibawah pengaruh Anestesi Umum

Metode 4 Pasien ASA I ndashII usia 8 bulan hingga 4 tahun dengan berat badan 7ndash16 kg menjalani prosedur operasi abdomen bagian bawah PSARP kolostomi dan tutup kolostomi Setelah dilakukan Induksi Anestesi Umum dan dilakukan pemasangan jalur IV pasien diposisikan pada posisi Sim dan disiapkan untuk dilakukan Caudal Block Dengan jarum abocath 20G dimasukkan obat anestesi lokalBupivacain 015 Dengan bantuan ultrasonografindashdoppler dipastikan bahwa jarum telah masuk di ruang epidural dan kemudian diamati pergerakan cairan serta dilatasi dari ruang epidural saat obat anestesi local masuk ke ruang epidural sehingga diketahui ketinggian segmen yang dicapai Rata-rata saat dosis mencapai 125mlkg Nampak bahwa pergerakan cairan anestesi local hanya mencapai segmen L2-3

Hasil Durante operasi tampak terjadi peningkatan nadi yang signifikan saat manipulasi pembedahan dilakukan pada bagian yang lebihtinggi sehingga diberikan penambahan opiat Fentanyl berkala

Kesimpulan Caudal Anesthesia Single Shot sebagai pilihan anestesi yang aman dan mudah dilakukan untuk pasien pediatri namun hanya dapat digunakan untuk prosedur pembedahan yang di kerjakan di bawahsegmen L2Untuk prosedur pembedahan diatas segmen L2 perlu dipertimbangkan pemasangan kateter sehingga bias mencapai segmen yang lebih tinggi

Kata kunci blok kaudal single shot armitage ultrasonografi doppler

Referensi 1 Donald Schwartz M amp Karthik Raghunathan M 2008 Ultrasonography and Pediatric

Caudals Anesthesia and Analgesia 106 pp97-99

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

2 Santhanam Suresh MD LJTBaASM 2011 Ultrasound Imaging for Pediatric Anesthesia A Review In MM Tanabe ed Ultrasound Imaging Rijeka Croatia InTech pp189-210

3 Soliman IE (2003 May) Pediatric pain management facts and myths University of Pittsburgh Nurse Anesthesia Program Lecture Pittsburgh PA

4 Barash PG Cullen BF and Stoelting RK(2001) Fourth Edition Clinical Anesthesia Philadelphia Lippincott Wiliams amp Wilkins

P-37

Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien Mastektomi

Puja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto PujoErwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstrak

Latar belakang CRP adalah protein fase akut yang kadarnya dalam darah sangat berkaitan erat dengan respon inflamasi akut yang terjadiTindakan pembedahan dan puasa yang berkepanjangan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan mediator inflamasifaseakut melalui proses yang rumit

Tujuan Membuktikan pengaruh pemberian minuman karbohidrat dan protein whey praoperasi terhadap kadar CRP pascaoperasi pada pasien mastektomi

Metode Penelitian jenis uji klinis acak terkontrol Sampel penelitian sebanyak 26 dibagi menjadi 2 kelompok Kelompok perlakuan (13 sampel) diberikan 400 mL minuman karbohidrat dan protein whey malam sebelum operasi dan 200 mL 4 jam sebelum operasi Kelompok kontrol diberikan air mineral dengan jumlah dan waktu pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan Kedua kelompok diperiksa kadar CRP pra dan pascaoperasi

Hasil Terdapat perbedaan bermakna ( p = 0001) pada kadarCRP pascaoperasi antara kelompok kontrol yaitu 762 plusmn 2074 dibandingkan dengan CRP pascaoperasi kelompok perlakuan yaitu 281 plusmn 2920 Selain itu juga terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0000) dalam selisih kadar CRP praoperasi dan pascaoperasi pada kelompok kontrol yaitu 536 plusmn 0535 dibandingkan dengan kelompok perlakuan yaitu 089 plusmn 0938

Kesimpulan Pemberian minuman karbohidrat dan protein whey pra operasi terbukti menurunkan respon inflamasi fase akut pascaoperasi yang tergambar dari peningkatan kadar CRP pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

Kata kunci CRP respon inflamasi akut pemberian minuman karbohidrat dan protein whey

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-38

Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik Sedang

Rezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Cedera otak terutama cedera otak sedang dan berat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dinamis pada metabolisme otak berkurangnya laju metabolisme dan timbulnya krisis energi Perubahan -perubahan tersebut dapat diekspresikan oleh dinamika kadar glukosa dan laktat darah

Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 30 orang pasien yang menjalani pembedahan kraniektomi darurat dan mendapatkan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1 vol + fentanil 1 mcgkgBBjam atau menggunakan propofol 100 microgkgBBmenit + fentanil 1 microgkgBBjam Sampel darah pengukuran glukosa dan laktat yang diambil pada titik-titik waktu yang tepat 30 menit sebelum awal operasi (T0) sebelum induksi (T1) 30 menit setelah operasi dimulai (T2) setelah ekstubasi (T3) dan 1 jam setelah operasi (T4) Hasil diproses dengan nonparametrik uji Mann-Whitney

Hasil Kadar glukosa diukur pada saat T2 pada kelompok propofol-fentanil secara signifikan lebih rendah (P = 0032) dibandingkan kelompok sevofluran-fentanil Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok tidak bermakna pada setiap pengukuran Korelasi kadar glukosa dan laktat darah kedua kelompokbernilai positif untuk T0 T1 T3 dan T4 Untuk T2 korelasi bernilai negatif (-0288) Korelasi yang sangat kuat atau signifikan terjadi pada waktu T1 dan T4

Kesimpulan Nilai rerata kadar glukosa dan laktat pada kedua kelompok tidak mengalami gejolak yang bermakna dan semakin besar nilai laktat maka kadar gula darah juga akan semakin meningkat

P-39

General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession Intrakranial

Ruddy Hardiansyah Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi amp Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

INTRODUCTIONTotal tiroidektomi adalah tindakan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua

lobus Permasalahan neurologi yang menyertai operasi tiroid tidak jarang dijumpai Otak merupakan salah satu organ yang menjadi target metastase dari karsinoma tiroid Penilaian

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

fisik dan penunjang neurologi merupakan hal yang mutlak diketahui sebelum perencanaan anestesi pada tindakan total tiroidektomi Manajemen anestesi pada kondisi tersebut menjadi lebih kompleks mengingat tiroidektomi merupakan tindakan pembedahan di area jalan nafas ditambah dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi akibat massa di otak Oleh karena itu merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menerapkan tehnik neuroanestesia dalam mencegah secondary brain injury selama tindakan pembedahan tiroid dan perawatan post operasi

Kata kunci neuroanestesia karsinoma tiroid total tiroidektomi sol intrakranial

CASE REPORTPerempuan umur 46 tahun (berat badan 60 Kg) datang ke Rumah Sakit Haji Adam Malik

Medan dengan keluhan benjolan pada leher yang dialami selama 8 tahun Pada pemeriksaan fisik dijumpai benjolan pada leher yang ikut bergerak saat pasien menelan dan benjolan pada bagian belakang atas kepala Tekanan darah 13080 mmHg nadi 86 xi dengan Glasgow Coma Scale score 15 tanpa defisit neurologis Pada foto cervical APlateral dijumpai pendorongan trakea ke kanan dengan sedikit penyempitan setinggi cervical 5 Pada axial cerebral computed tomography menunjukkan massa di regio parieto-occipital mendestruksi tulang dan meluas ke intraserebral Labotarorium dijumpai fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid Propanolol 20 mg dan propiltiourasil 100 mg per 8 jam oral sudah dikonsumsi selama 2 bulan sebelumnya Persiapan preoperasi meliputi penyediaan ETT beberapa ukuran sesuai dengan ukuran trakea pada foto cervical pipa lambung NaCl dingin dan paracetamol 500 mg propiltiourasil 400 mg serta propanolol 40 mg yang telah digerus Premedikasi diberikan midazolam 5 mg dan fentanyl 120 mcg secara intaravena Setelah preoksigenasi induksi dilakukan dengan pemberian propofol 120 mg rocuronium 50 mg dan lidocain 60 mg Intubasi endotrakea dengan tube 70 mm dilakukan dengan smooth Anestesia di maintenance dengan sevofluran 1 oksigen ndash air masing-masing 2 Li fentanyl 60 mcg dan rocuronium 10 mg setiap jamnya Tekanan darah selama operasi sistol 100 ndash 120 mmHg diastol 59 - 71 mmHg normokapni dengan perdarahan plusmn 380 cc Massa tiroid berhasil diangkat tanpa mencederai Nervus Laryngeal Recurrent Fentanyl 60 mcg dan lidocain 60 mg diberikan untuk mencegah nyeri dan peningkatan tekanan darah ketika pasien bernafas spontan dengan oksigen murni selama 15 menit sebelum dibangunkan evaluasi pita suara dan ekstubasi Perawatan post operasi dilakukan diruang perawatan intensif dengan fentanyl 30 mcg perjam secara kontiniu untuk penanganan nyeri Evaluasi kesadaran suara kadar calsium dan magnesium dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan post operasi

DISCUSSIONTindakan total tiroidektomi pada karsinoma tiroid dengan massa intrakranial

menggunakan anestesi umum dengan tehnik neuroanestesi Penanganan anestesi ditujukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan secondary brain injury dengan menjaga CPP 70 ndash 90 mmHg dan normokapni Analgesia adekuat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik dan tekanan intrakranial saat intubasi evaluasi pita suara ekstubasi dan penanganan nyeri post operasi

CONCLUSIONAnestesi umum dengan tehnik neuroanestesia harus digunakan pada tindakan

pembedahan yang disertai permasalahan neurologi Penjajakan neurologi menjadi hal yang penting sebelum perencanaan anestesi Peningkatan TIK dan secondary brain injury harus dihindari selama prosedur tindakan pembedahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Referensi 1 Cottrell James E Newfield Philippa et al Handbook of Neuroanesthesia Anethesia

and Neurosurgery Lipincott William amp Wilkins 5th edition 2012 P 86-972 Bisri T Penanganan Neuroanestesi dan Critical Care Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung 20123 Gurvitch LD Yao FS Anesthesiology Problem- Oriented Patient Management The

endocrine System Lipincott William amp Wilkins 7th edition 2012 P 575 - 604

P-40

Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan Kasus

Semarawima Gede Budiarta I Gede

Bagian Anestesi dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar BelakangTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum

dengan angka kejadian 15 dari seluruh massa mediastinum Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun kronis yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi Hiperplasia timus terjadi lebih dari 70 pada pasien dengan miastenia gravis dan 10-15 pasien ini menderita timoma

Diskripsi KasusASA III Perempuan umur 54 tahun dengan keluhan utama kelopak mata terasa berat

suara cadel susah mengunyah dan menelan di sore hari sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Tidak didapatkan tanda-tanda sindrom vena cava superior Didiagnosis miastenia gravis sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan diberikan terapi Pyridostigmine 60 mg 12 jam PO Methylprednisolon 8 mg 12 jam PO Pada pemeriksaan penunjang didapatkan massa di anterosuperior mediastinum retrosternal dengan ukuran 4x45x6 cm gambaran ini mengarah ke keganasan timus Rekaman ENMG dalam batas normal

Pada persiapan pra operasi obat Pyridostigmine tetap dilanjutkan pemberianya Dilakukan operasi timektomi dengan general anestesi pemasangan pipa endotrakeal dengan epidural anestesia Ko-induksi dengan Fentanyl 3 mcgkgbb induksi dengan Propofol 2 mgkgbb fasilitas intubasi tanpa menggunakan pelumpuh otot Pemeliharaan dengan Compressed air Oksigen Sevoflurane 13 vol Epidural anestesia dengan regimen Bupivacain 025 + Morfin 2 mg volume 6 ml Lama operasi 2 jam 30 menit dengan fluktuasi tekanan darah selama operasi 90-12558-83 mmHg Nadi 64-98 kalimenit Lama anestesi 3 jam 10 menit dan sebelum pasien di ekstubasi diberikan Prostigmin 006 mgkgbb Selanjutnya pasien dirawat di ruang intensif

00Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanPenatalaksanaan anestesi tidak menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari sindrom

paraneoplastik akibat timoma dan miastenia gravis Miastenia gravis akan mempengaruhi efek pelumpuh otot yang sangat sensitif terhadap pelumpuh otot golongan depolarisasi

Kata Kunci Timoma Miastenia Gravis Sindrome Prostigmin Anestesia

P-41

Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan

Pervaginam

Sitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Analgesia persalinan intratekal (ILA) adalah salah satu teknik analgesia regional untuk mengatasi nyeri persalinan Penelitian ini membandingkan penambahan klonidin 45 μg fentanil 25 μg dan fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg sebagai adjuvan analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg terhadap durasi analgesia hemodinamik dan intensitas nyeri pada persalinan pervaginam

Metode Penelitian ini adalah penelitian eksperimental acak tersamar tunggal yang menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan teknik ILA Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di bagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 17 orang Semua kelompok menggunakan 25 mg bupivakain 01 sebagai anestesi lokal Kelompok BF diberikan adjuvan 25 μg fentanil kelompok BK diberikan 45 μg klonidin dan kelompok BFK diberikan 25 μg fentanil plus 45 μg klonidin Penilaian dilakukan pada saat fase aktif (pembukaan 4-6 cm) Dilakukan pencatatan durasi analgesia hemodinamik intensitas nyeri skor Bromage efek samping dan skor APGAR Data yang terkumpul akan diuji dengan metode statistik yang sesuai

Hasil Karakteristik sampel berupa umur tinggi badan berat badan mula persalinan dan pembukaan serviks awal dinyatakan homogen secara statistik Durasi analgesia pada kelompok ILA BFK yakni (17124 plusmn 795) menit lebih lama dibandingkan kelompok ILA BK yakni (10753 plusmn 737) menit dan kelompok ILA BF yakni (9182 plusmn 354) menit Ketiga kelompok menunjukkankan kestabilan hemodinamik dan menurunkan intensitas nyeri selama efek analgesia masih berjalan

Kesimpulan Fentanil 25 μg + klonidin 45 μg sebagai adjuvan pada analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg pada persalinan pervaginam memiliki durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan klonidin 45 microg atau fentanil 25 microg

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-42

Laporan KasusManajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan

DIC dan Sepsis

Stefanus Taofik1 Abraham Taofik Putu Kurniyanta2 I Gede Budiarta2

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Spesialis Anestesi Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar belakangHernia diafragma traumatika adalah kasus yang jarang dijumpai dengan prevalensi 3-4

di dunia Hernia diaframatika seringkali asimptomatik sampai dengan timbulnya komplikasi dengan angka mortalitas tinggi Komplikasi yang timbul seringkali mempersulit manajemen anestesi (sepsis gangguan respirasi dan imbalance elektrolit) Permasalahan durasi operasi meliputi perdarahan gangguan respirasi dan hemodinamik dengan mempertahankan perfusi cerebral yang adekuat

Deskripsi KasusPediatri 7 tahun berat badan rendah 17kg dengan trauma tumpul abdomen dan cedera

otak ringan 16 hari pra operasi pasca KLL dengan terpasang WSD D Pada thorax X-ray CT SCAN dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan hernia diafragmatika dengan hematoma retroperitoneal Selama perawatan didapatkan sepsis dengan pemanjangan INR 516 dengan DIC score 6 dengan Procalcitonin 19 CPIS score 7 dan albumin 228grdL Dilakukan repair diafragma dengan GA OTT TIVA fentanyl-ketamin midazolam dan vecuronium intermitten dengan pemasangan monitor invasif artery line dan kateter vena sentral jugular D dengan panduan USG dan ETCO2 Pra tindakan dipastikan content cukup diberikan FFP 10mlkgbb dengan topangan NE 01-02 ugkgmenit Durante operasi hemodinamik dengan TD 95-10560-75mmhg dan nadi 103-112xmnt (sepsis) dengan urine output 23cckgjam selama 5 jam pembedahan dan desaturasi ec vq missmatch dan manipulasi pembedahan Perdarahan 400mL(30 EBV) dengan pengelolaan cairan PRC FFP dan koloid Durante didapatkan hepar gall bladder dan ileum yang menembus diafragma kanan dan atelektasis paru kanan Pasca operasi pasien dirawat di PICU dengan morfin-ketamin kontinyu dan ventilator support tanpa edema paru dengan perbaikan parameter respirasi dan hemodinamik pasca operasi Weaning dimulai hari ke 3 pasca operasi

PembahasanKompleksitas tindakan yang dibarengi dengan komplikasi yang terjadi dalam setting

pediatri BB rendah memberikan tantangan tersendiri Manajemen respirasi dengan ventilasi disesuaikan dengan Paw dan ETCO2 Pra tindakan dilakukan perbaikan content dengan menambahkan faktor koagulasi dan meningkatkan tekanan onkotik serta pemberian asam traneksamat sesuai CRASH TRIAL Pasca tindakan paru kanan dikembangkan bertahap dengan PEEP untuk mencegah terjadinya REPE (Reexpansion Pulmonary Edema) Gejolak hemodinamik diminimalkan dengan pemilihan regimen anestesi TIVA

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Kesimpulan Tindakan repair hernia diafragma traumatika memberikan tantangan yang berbeda

dengan non traumatika terutama pada setting pediatri Manajemen anestesi TIVA penguasaan respirasi hemodinamik dan mengenali komplikasi sebagai pemberat operasi dan memahami teknik operasi menjadi kunci dalam penanganan kasus ini

Kata kunci Hernia diafragma traumatika TIVA Reexpansion pulmonary edema DIC Panduan USG Sepsis

Daftar Pustaka1 The CRASH II Collaborator The importance of erly tranexamic acid in bleeding

trauma patients an exploratory analysis of the CRASH 2 randomized controlled trialLancet Volume 377 No 9771

2 Alqadi R ValenciaFC Viscusi M 2013 Reexpansion Pulmonary Edema Following Thoracentesis Rhode Island Medical Journal Vol Sept 2013 38-40

3 JaffeRA 2009 SamuelsSI Anesthesiologist Manual of Surgical Procedures 4th ed Chap7

4 MillerRD 2010 Milllerrsquos Anesthesia 7th ed Chap V72

P-43

Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik1 Musa Taofik Senapathi Tjok GA2 PAS Panji

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Konsultan Regional Anesthesia Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah 3 Konsultan Intensive Care Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar Belakang Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanag Icu untuk lebih efektif dan efisien Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU Pasien non bedah meskipun jumlahnya tidak banyak namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

Objektif Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring

Metode Penelitian ini melibatkan 184 pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah Denpasar yng diambil secara acak dari tgl 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II SOFA dan CSOFA Karakteristik data dari hasil penelitian ini dilakukan uji Saphiro wilkins dan Chi Square Uji analitik regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing suvariabel terhadap mortalitas dan selanjutnya mencari cutoff point dari analisa kura ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Hasil uji karakterisktik data memperlihatkan pengaruh usia AKI sepsis dan adanya penyakit kronis berkorelasi dengan mortalitas dengan plt0001 Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II SOFA dan CSOFA berturut turut didapatkan 0892 0919 dan 09172 Missing value terbanyak didapatkan pada berturut turut pada SOFA APACHE II dan CSOFA sebesar 8423 815 dan 165 dengan dominan subvariabel hepar (bilirubinikterik) Uji regresi logistik memperlihatkan subvariabel neurologi kardiovaskular dan respirasi memberikan korelasi bermakna terhadap mortalitas dengan OR 458 224 dan 147 Subvariabel lain yang berpengaruh antara lain AKI sepsis dan peyakit kronis dengan OR 814 389 dan 242 CSOFA yang disederhanakan dengan subvariabel Respirasi (sf ratio) neurologi (GCS) kardiovaskular creatinin dan koagulasi (platelet) memberikan nilai AuROC=09175 dengan missing value 165

Kesimpulan Sistem skoring CSOFA yang disederhanakan memberikan nilai diskriminasi yang tertinggi dengan missing value terendah pada pasien non bedah sehingga dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas di ICU

Kata kunci Sistem skoring APACHE II SOFA CSOFA AuROC missing value

Referensi 1 Halim DA Murni TW Ike SR 2009 Comparison of APACHE II SOFA and modified

SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr Hasan Sadikin general hospital Crit Care amp Shock 12157-169

2 Namendy-silva SA Medina-silva MA Barahona VGM Torres JAB 2013 Application of modified sequential organ failure assessment score to critically ill patients Braz J Med Biol Res 46(2) 186-193

3 Sunaryo A Ike SR BisriT 2012Perbandingan validasi APACHE II dan SOFA score untuk memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif Majalah Kedokteran terapi Intensif vol 2 11-20

4 Grissom CK Brown SM Kuttler KG Boltax JP 2010 A Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) for critical care triage Disaster Med Public Health Prep 4277-284

P-44

Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of Ameloblastoma

Taor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

Abstract

Ameloblastoma is tumor coming from the residue of dentition that would from odontogenic epithelium tumor Ameloblastoma tend to make anaesthetist experiences difficulty with facemask ventilation of the upper airway and tracheal intubation Management of difficult airway will always confront the anaesthetist This is one area of the practice that the

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

anaesthetist is required to develop divers skill suited for each clinical situation The ability to use the flexible fiberoptic bronchoscope (FOB) presents the anaesthetist with an addition tool to conduct endotracheal intubation when faced with a difficult airway

Keywords ameloblastoma difficult airway flexible fiberoptic bronchoscope

P-45

Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi

Departemen Anestesi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia -RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak

PendahuluanTransplantasihatidari donor hidup (THDH) merupakan pilihan terakhir pada pasien

dengan end stage liver disease (ESLD)Angka harapan hidup tiga tahun 70-82 tetapi prosedur ini sangat kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besarbaik dari segi biaya sarana dan personel

KasusResipien adalah laki-laki 18 tahundengan atresia bilier Donor berasal dari kakak pasien

yang sehatPersiapan THDH dilakukan 2 bulan meliputi optimalisasi pasien persiapan alat dan

obat serta tim perioperatif multidisiplinAnestesia menggunakan infusi kontinyu propofol fentanil dan atrakurium Rumatan menggunakan sevofluran dengan oksigen 40 Di samping EKG kapnografdan SpO2 pemantauan intraoperatif juga dilakukan dengan tekanan darah arterial tekanan vena sentral dan pulse contour analysis Selama operasi tekanan darah dijaga 13080 mmHg dan CVP pada masa pra-anhepatik lt5 mmHg Pemeriksaan intraoperatif berupa analisis gas darah elektrolit darah perifer fungsi koagulasi glukosa dan laktat Obat intravena yang digunakan dobutamin norepinefrin fenilefrin metilprednisolon CaCl2 dan dekstrosa 40

Pascabedah pasien diberikan terapi suportif menyeluruh dengan titik berat pada pemantauan perdarahan fungsi hepar fungsi ginjal dan fungsi kardiorespirasi

DiskusiMasalah utama pada periode pra-anhepatik adalah menjaga homeostasis sedekat

mungkin dengan nilai basal Dosis kecil norepinefrin digunakan untuk mencegah fluktuasi tekanan darah Dobutamin digunakan pada periode reperfusi untuk menjaga kecukupan perfusi jaringan setelah klem vena porta dilepas Pemberian CaCl2 dikarenakan pasien mendapat transfusi packed red cell yang mengandung sitrat dan mengikat kalsium cenderung menyebabkan hipokalsemia Pasien ESLD cenderung mengalami hipoglikemia Oleh sebab itu gula darah dipantau ketat sepanjang prosedur Ketika kadar gula darah turun diberikan infusi dekstrosa

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Masalah berikutnya adalah periode anhepatik Penjepitan vena kava inferior vena hepatika dan vena porta sebelum reseksi hepar berpotensi menyebabkan penurunan curah jantung oleh karena turunnya prabeban Untuk mengantisipasi ini dapat diberikan albumin 5

Masalah terbesar adalah periode reperfusi setelah aliran vena-vena di atas kembali (unclamping) Beban jantung dapat tiba-tiba meningkat yang dapat menyebabkan gagal kontraksi Penglepasan mediator inflamasi berakibat luas antara lain menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan jaringan termasuk miokard Itu sebabnya ketika prosedur dimulai diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi inflamasi berlebihan Reaksi ini juga yang menyebabkan rejeksi organ Pemberian dobutamin sangat membantu dalam mempertahankan kontraktilitas miokard

Reaksi inflamasi termasuk yang dipantau pada periode pascabedah di samping pemantauan fungsi hepar koagulasi dan sebagainya

Kesemua proses sejak persiapan pelaksanaan dan pascabedah memerlukan biaya yang relatif tinggi Prosedur optimalisasi pasien melibatkan berbagai pemeriksaan berbiaya tinggi Demikian pula pemantauan selama operasi dan penggunaan obat-obat multipel Namun demikian masalah terbesar dari seluruh proses ini adalah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat termasuk pemegang kebijakan di rumah sakit

SimpulanTransplantasi hepar dengan donor hidup sangat kompleks baik dari segi sarana

prasarana maupun prosedur anestesianya Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada fasilitas yang lengkap

Kata Kunci THDH praanhepatik anhepatik reperfusi perioperatif

P-46

Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan

Nasional

Tommy N Tanumihardja Grace Alvina

RS St Carolus Summarecon Serpong

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi kebidanan meliputi pengendalian nyeri pada persalinan

dan anestesi pada operasi sesar Teknik yang saat ini sering dipilih untuk pengendalian nyeri kebidanan adalah anestesi neuraksial yakni epidural spinal dan kombinasi spinal epidural karena sangat memberikan kepuasan dan keuntungan yang lebih bagi pasien Prinsip teknik kombinasi spinal epidural meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping dari kedua teknik lainnya Keuntungan yang bisa dicapai adalah penggunaan dosis obat yang rendah blok sensori yang adekuat dan analgesia yang sangat baik

Pada kesempatan ini penulis bermaksud melaporkan serial kasus penggunaan teknik kombinasi untuk memberikan gambaran pelayanan obstetrik yang diberikan menghasilkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kendali mutu dan kendali biaya Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pelayanan obstetrik yang optimal di era Jaminan Kesehatan Nasional

Serial KasusAntara bulan September 2012 sampai September 2014 di suatu rumah sakit swasta di

Tangerang didapatkan 92 pasien mendapatkan pelayanan analgesia fase persalinan 39 pasien di antaranya digunakan teknik kombinasi spinal dan epidural 16 pasien hanya menggunakan obat anestesi lokal dan adjuvan fentanil pada drip epidural Mereka tidak merasakan nyeri yang mengganggu sampai lahirnya bayi Meskipun 3 dari antara pasien tersebut melahirkan secara sesar hanya 1 pasien yang membutuhkan teknik anestesi spinal ulang

Diskusi Teknik kombinasi spinal epidural dilaporkan mempunyai dampak kepuasan yang tinggi

dalam hal menanggulangi nyeri persalinan dan juga bermanfaat pada kasus-kasus kebidanan beresiko tinggi Selain itu teknik kombinasi spinal epidural memiliki tingkat kegagalan teknik yang lebih epidural yang digunakan dapat memberikan durasi analgesia yang dapat disesuaikan dengan lama persalinan

Dalam pengamatan serial kasus ini juga obat yang digunakan efisien sehingga dapat memberikan kendali mutu dan biaya yang diperlukan

KesimpulanPenggunaan teknik analgesia kombinasi spinal dan epidural pada proses persalinan

merupakan teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan mutu dan biaya pada era Jaminan Kesehatan Nasional

P-47

Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali

biaya bagi pelayanan anestesia

Tommy N Tanumihardja Clementine Natalie

RS Atma Jaya Jakarta

Abstrak

Pasien laki-laki usia 64 tahun dengan fraktur intertrokanter femur dekstra dilakukan PFNA Pasien menderita penyakit Parkinson yang telah diterapi dengan selama 12 tahun Pasien dipersiapkan puasa makanan padat 6 jam sebelum operasi Pada hari pasien dioperasi obat-obatan pengendali penyakit Parkinson tetap dilanjutkan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan monitor standar ASA jalur intravena diamankan Dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakea tanpa kesulitan Pasien dilakukan ventilasi kendali penuh kemudian dipasang kateter urin Pasien diposisikan terlentang pada meja traksi Insisi dilakukan pada sisi lateral paha kanan Operasi berlangsung selama 1 jam 45 menit dengan rumatan oksigen N2O dan Isofluran 30 menit menjelang selesai pasien diberikan antiemetik Parasetamol 1000 mg diberikan intravena saat penutupan luka

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Pasien diposisikan terlentang kembali pada meja operasi Kemudian dilakukan identifikasi nervus femoralis dextra menggunakan jarum stimulasi saraf secara aseptik dan antiseptik pada regio inguinal kanan Nervus femoralis diidentifikasi di sebelah medial arteri femoralis Obat anestesi lokal Bupivacaine isobarik 02 sebanyak 20 ml diinjeksikan di sekitar nfemoralis setelah nervus femoralis diidentifikasi pada kedalaman 5 cm dengan tetap mempertahankan kontraksi otot kuadriceps femoris Kateter diinsersi dan difiksasi pada kedalaman 11 cm Analgesia kontinu dilanjutkan dengan Bupivacaine 02 6mLjam via pompa infus elastis dengan analgesia kendali pasien 2ml bolus dengan lock out interval 15 menit Pasien dibangunkan diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan Pasien dipindahkan ke bangsal sesudah sadar penuh

6 jam setelah operasi pasien mulai melakukan mobilisasi duduk 12 jam pasca operasi skala nyeri numerik 410 dengan 2x bolus analgesia kendali pasien 24 jam pasca operasi pasien mulai melakukan terapi mobilisasi berdiri 26 jam pasca operasi skala nyeri numerik 210 dengan 2 bolus analgesia kendali pasien ditekan 45 jam pasca operasi skala nyeri 410 tanpa ada bolus analgesia kendali pasien yang ditekan 51 jam pasca operasi analgesia via pompa infus elastis habis Pasien diberikan Parasetamol 500 mg per oral 3x sehari selama perawatan Kateter femoral dilepas pada hari 3 pasca operasi lalu pasien dipulangkan pada hari kelima

Tujuan kendali mutu dengan target mobilisasi dini pasien dan juga penanggulangan nyeri yang memuaskan dapat dicapai dengan teknik analgesia berbasis blok nervus femoralis kontinu Morbiditas pasca operasi dapat dihindari dan pasien dapat dipulangkan dengan cepat

P-48

Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)

Vania Wiyanto M Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) atau displasia bronkopulmonalis adalah suatu penyakit kongenital langka yang dapat menyebabkan kematian intrauterus dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bayi Manifestasi bermacam-macam mulai dari hanya membutuhkan oksigen ringan sampai depresi nafas yang berat Terapi yang disarankan adalah Torakotomi untuk reseksi kista

Obyektif Agar dapat mengatasi dapat melakukan penatalaksanan yang tepat pada kasus-kasus serupa sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pediatrik dengan kelainan kongenital pada paru-paru khususnya CCAM

Laporan Kasus Seorang anak perempuan berusia 1 tahun dengan diagnosis CCAM Tipe III yang direncanakan operasi Thorakotomi elektif Pasien diinduksi dengan Anestesi inhalasi

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Halothane 15 vol dengan O2 Air = 3 3 dengan teknik induksi nafas spontan Dilakukan pemasangan Infus dan diberikan medikasi dengan Fentanyl 2mcgKgBB Permasalahan pasien mengalami Apnea dan tidak dapat diventilasi sehingga pasien mengalami desaturasi dan bradikardia Intraoperatif pasien stabil namun pasien kembali mengalami desaturasi pada saat akhir anestesi yang diduga karena Light anestesi atau plak pada ETT sehingga diputuskan untuk dilakukan re-intubasi Pasien kemudian diretensi ETT dan masuk ke ICU dengan support ventilator minimal Setelah dilakukan weanning ventilator pasien diekstubasi Post ektubasi pasien diobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien baik dan keesokan harinya pasien dapat pindah ke ruangan

Kesimpulan Penatalaksanaan Anestesi yang tepat monitoring ketat dan penilaian pasien post operasi dapat memberikan hasil yang baik bagi pasien CCAM yang dilakukan thorakotomi dan eksisi kista

Kata kunci Anestesi CCAM

P-49

Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesaria

Iwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah

Bagian Anestesiologi Perawatan intensif dan Manajemen nyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Anestesi spinal merupakan teknik yang popular digunakan dalam operasi seksio sesaria Perubahan fisiologis ibu dosis dan volume anestetik lokal yang digunakan meningkatkan resiko hipotensi 33 ndash 80 beberapa penelitian mengenai pencegahan hipotensi pascaanestesi spinal penelitian tentang kecepatan injeksi dilakukan dengan metode dan hasil yang bervariasi Hipotesis penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset blok anestesi

Metode penelitian 48 sampel yang masuk kriteria inklusi dipilih secara acak dibagi dalam dua kelompok anestesi spinal menggunakan bupivakain 05 10mg dan fentanyl 25mcg kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 04 mLdtk sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 02 mLdtk Insiden hipotensi onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisa statistik

Hasil penelitian Insiden hipotensi lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi lebih lambat 9 dari 24 sedangkan pada kelompok IC insiden hipotensi 21 dari 24 (IC 088+0338 IL 038+0495 P=0001) tidak ada perbedaan onset blok anestesi spinal antara kedua kelompok (IC 296+173 IL 362+166 P=0180) Insiden efek samping mual muntah depresi nafas dan kebutuhan efedrin lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi 02 mLdtk

Kesimpulan Injeksi anestesi dengan kecepatan 02 mLdtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-50

Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida Dengan Skoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio Lumbal

Warsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati

PPDS Ilmu Anestesi dan terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr Soebandi Jember

Abstrak

PendahuluanSkoliosis merupakan suatu keadaan deviasi dalam aksis vertikal dari tulang vertebra

Skoliosis berat relatif jarang terjadi pada wanita hamil ( insiden 003 ) umumnya bersifat idiopatik Derajat keparahan ditentukan dengan sudut Cobb Lordosis merupakan suatu keadaan normal dimana terdapat kurvatura konkavitas anterior tulang vertebra ( normalnya pada vertebra cervikal dan lumbalis ) Pada wanita hamil lordosis lumbalis meningkat

Anestesi regional pada wanita hamil dengan kelaianan kurvatura vertebra memberikan tantangan bagi dokter anestesi

Laporan kasusPasien 26 tahun diagnosa primigravida usia kehamilan 40-41 minggu inpartu kala II

dengan CPD dan Scoliosis-lordosis berat vertebra lumbal serta jaringan parut luas di regio lumbal Tidak terdapat keluhan sesak saat beraktivitas gangguan motorik atau sensorik pada pasien ini Pasien dengan BB 60 kg dan TB 150 cm tekanan darah 13090 mmHg frekwensi nadi 88xmenit frekwensi nafas 18xmenit tanpa distres janin Pasien diputuskan seksio sesaria Pasien diposisikan lateral decubitus kiri Pasien diberikan spinal anestesi dengan teknik paramedian menggunakan jarum spinal 25G pada level Th12-L1 dengan regimen bupivakain 05 heavy 125 mg dan morfin 300 mcg Level sensorik tercapai di level Thorakal 6 dan operasi dimulai Durasi operasi 30 menit Hemodinamik pasien stabil dengan TD 100-11565-84 mmHg frekwensi nadi 68-75xmenit Total cairan yang diberikan RL 1500 ml Lahir bayi laki-laki berat badan lahir 2095 gram panjang badan 50cm dengan APGAR score 89 Paska operasi pasien tidak terdapat keluhan nyeri kepala dan nyeri luka operasi modalitas motorik dan sensorik dievaluasi 8 jam paska operasi normal Pasien dirawat diruangan selama 2 hari

DiskusiKelainan kurvatura vertebra umumnya diserta gangguan kardipulmonar dan gangguan

neuromuskular Perubahan anatomi dan fungsional tubuh pada gravida (edema saluran airway penurunan FRC gangguan pasase lambung) dengan kelainan kurvatura vertebra meningkatkan resiko kesulitan intubasi hipoksemia dan apirasi saat induksi anestesi umum dan juga resiko depresi neonatus Regional anestesi umumnya dipilih Kebutuhan dosis anestesi lokal sangat bervariasi pada kasus ini Larutan anestesi lokal hiperbarik akan terkumpul di bagian dependen dari tulang vertebra dan menyebabkan blok yang tidak adekuat

Pada kasus ini identifikasi ruang intervertebra lumbal sulit dilakukan Pemberian spinal anestesi dipilih karena tekniknya sederhana onset lebih cepat kualitas anestesi lebih baik dibandingkan anestesi epidural Umumnya spinal anestesi tidak dilakukan pada level diatas L2-3 untuk mencegah cedera pada medula spinalis Namun ruang intervertebra lumbal pasien

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

ini sulit diidentifikasi dan sehingga dilakukan pada intervertebra Th12-L1 Jarum spinal yang digunakan berukuran 25G sehingga identifikasi ligametum flavum dan lapisan duramater lebih mudah dirasakan untuk menghindari cedera pada medula spinalis Pemberian adjuvan morphine intratekal dapat memberikan analgesia pada segmen atas yang mungkin tidak terjangkau akibat kelainan kurvatura vertebra dan juga memberikan efek analgesia sampai 24 jam paska operasi

Kesimpulan Dengan hati-hati pemberian spinal anestesi dapat dilakukan di ruang intervertebra di

atas L2-3 terutama pada kasus dimana ruang intervertebra lumbal tidak dapat diidentifikasi dengan baik

Kata Kunci spinal anestesi gravida scoliosis-lordosis berat Lumbal jaringan parut

P-51

Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop Fiberoptic

I Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 10 kasus intubasi sulit yang menjalani pembedahan di

RSUP Sanglah Pengelolaan perioperatif pasien dengan kesulitan manajemen airway memiliki tantangan tersendiri dimana mengamankan jalan nafas adalah hal krusial yang pertama harus diatasi agar pembedahan bisa berjalan Teknik Intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan intubasi pada pasien-pasien dengan kesulitan aiway sebelum memilih teknik invasive

LAPORAN KASUSLaki-laki 50 tahun dengan Tumor Ginggiva suspek squamus cell carcinoma yang

menjalani pembedahan insisi biopsi dan bimanual palpasi dilakukan tindakan anestesi umum dengan teknik awake intubasi menggunakan fiberoptic bronchoscope Pasien di premedikasi dengan nebulizer lidocaine 2 100 mg (2mgkg) + salbutamol 25 mg(1 ampul) sulfas atropin 05 mg ( 001 mgkg) dexametason 10 mg(02 mgkg) co induksi dengan fentanyl 50 mcg(1 mcgkg) Saat onset obat tercapai dilakukan intubasi nasotracheal menggunakan ETT non kinking ukuran 60 via bronchoscope fiberoptic Sesaat sebelum insersi tube pasien diinduksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) Saat intubasi dilakukan pasien sangat kooperatif (tidak ada reflek muntah dan batuk) dengan hemodinamik sebelum dan sesudah intubasi hampir sama(tanpa guncangan hemodinamik) nadi 70-80 xmnt tekanan darah sistolik 110-120xmnt diastolik 60-70xmnt

Operasi berlangsung 30 menit selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 60-82xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg dengan urine output 12 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0

DISKUSIPasien dengan tumor intraoral dengan permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi

dan juga resiko perdarahan yang sulit dihentikan apabila dilakukan manipulasi pada tumor membutuhkan teknik khusus dalam manajemen airway Teknik awake intubasi dengan intubasi nasotracheal dipilih karena 1 Pasien masih dalam kondisi sadar sehingga apabila intubasi gagal dilakukan airway masih aman 2 Teknik intubasi nasotracheal dengan bronchoscope fiberoptic dipilih karena untuk menghindari manipulasi pada tumor sehingga mencegah terjadinya perdarahan di jalan nafas yang dapat lebih mempersulit manajemen airway dan bahaya aspirasi

KESIMPULANPemahaman masalah perioperatif dan teknik operasi sangat diperlukan dalam pemilihan

teknik anestesi Teknik awake intubasi pada pasien dengan kesulitan airway menjadi pilihan untuk mencegah resiko kegagalan dalam mengelola airway yang dapat membahayakan pasienTeknik intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic memberikan kemudahan akses untuk melakukan visualisasi sampai ke trakhea sehingga dapat melakukan intubasi pada kasus kasus airway sulit Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya kegagalan manajemen airway dan menurunkan resiko morbiditas tindakan operatif

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Page 3: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KATA PENGANTAR

Buku abstrak ini merangkum semua abstrak topik yang dipresentasikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) 10 - 13 Juni 2015 yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) di Bali Adapun pembicara berasal dari seluruh pusat pendidikan Anestesi di Indonesia serta beberapa tempat pelayanan anestesi rujukan

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) adalah acara tiga tahunan Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia dan kali ini merupakan penyelenggaraan KPPIA yang ketiga KPPIA meliputi simposium dan kursus Continuing Professional Development (CPD)

KPPIA 2015 mengambil tema ldquoTantangan Profesi Mandiri Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masyarakat Ekonomi ASEANrdquo yang memiliki makna dokter spesialis Anestesiologi harus siap berpartisipasi dan mengambil peran dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan siap untuk berkompetisi global dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN

Simposium dalam KPPIA 2015 ini terdiri 18 sesi yang meliputi topik kebijakan pelayanan kesehatan anestesi bedah jantung anestesi bedah saraf anestesi pediatrik anestesi regional anestesi obstetrik manajemen nyeri kedokteran gawat darurat pengelolaan perioperatif etika kedokteran dan hukum serta perawatan intensif

Atas nama KPPIA 2015 saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh peserta pembicara moderator dan panitia yang telah berpartisipasi mensukseskan pertemuan KPPIA 2015 ini

Ketua Panitia

I Putu Pramana Suarjaya

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

SAMBUTAN

Assalamualaikum wr wb

Selamat datang dan selamat bertemu lagi kepada para teman sejawat diajang Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia (KPPIA) tahun 2015 Kita tidak lupa selalu memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena ijinnya kita diberi kesehatan kesempatan dan berdiskusi diacara ini

Saya mengharapkan ajang ilmiah seperti KPPIA ini diikuti dan dipergunakan seoptimal mungkin untuk sharing dan mendapat informasi tentang pelayanan anestesi di Indonesia

Sebagai seorang dokter anestesi kita harus selalu meningkatkan kompetensi melalui pertemuan ilmiah CPD baik didalam maupun diluar negeri untuk dipergunakan dalam pelayanan anestesi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan keamanan serta kenyamanan bagi pasien di rumah sakit

Tentunya dalam melakukan pelayanan anestesi bukan saja ilmu yang harus ditingkatkan tetapi fasilitaspun harus terstandarisasi oleh karena itu dihimbau kepada seluruh dokter anestesi untuk selalu memberikan masukan kepada manejemen rumah sakit atau pemilik rumah sakit Selain hal tersebut juga saya ingatkan setiap pelayanan anestesi harus membuat standar pelayanan operasional sesuai kemampuan rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang kita layani

Demikian beberapa hal yang saya ingatkan untuk kenyamanan keamanan teman sejawat dalam melakukan pelayanan anestesi dan pelayanan intensive care dimasing-masing tempat bekerja Semoga Allah SWT selalu melindungi dan menuntun kita dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat

Wassalamualaikum wr wb

Bali Juni 2015Ketua PERDATIN

Dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KIC MARS

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiSambutan vDaftar Isi vii

PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas 1

PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko 2

PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko 2

PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha 3

SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientAMTakdir Musba 4

S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa 4

S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H Nasution 5

S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki Eddy Rahardjo 6

S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno 9

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-06 Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarksChristrijogo SW 11

S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biayaDedi Fitri Yadi 12

S-08 The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R Basuki 12

S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo 13

S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs IndividualHimendra W 14

S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta 15

S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja 16

S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana 18

S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta 18

S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya 19

S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara 20

S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 21

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 22

S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana 23

S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana 27

S-21 Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 31

S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 32

S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaIGNgurah Rai Artika 33

S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsIMG Widnyana 36

S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan 37

S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat 38

S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra 38

S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja 39

S-29 Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied EnoughI Made Wiryana 41

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh Sofyan Harahap 42

S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad 42

S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar 43

S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji 44

S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga 44

S-35 Chronic Pain Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma 45

S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa 46

S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso 46

S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra 47

S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri 51

S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta 55

S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo 56

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-42 Sepsis in obstetricYusmein 57

S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli 58

S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif HMMarsaban 58

S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto 60

POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demamAde Irna 61

P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta Pt 61

P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma I Wayan Aryabiantara 62

P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa 63

P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias Dadik WW 64

P-06 Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra Syamsul Bahri Siregar Hasanul Arifin 65

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho 66

P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W 67

P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko 68

P-10 Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono 69

P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid Pryambodho 71

P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono 73

P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana 73

P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja 74

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus 75

P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana 76

P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan 77

P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM 78

P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan 79

P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial KasusIhsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah Lestari Fredi Heru Irwanto 80

P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus 81

P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 82

P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung 84

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin 85

P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja 86

P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus 87

P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto 88

P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad 89

P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono 90

P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani Ketut Wibawa Nada IMG Widnyana 90

P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra 92

P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli 93

P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta 94

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36 Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan UltrasonografindashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit 95

P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo 96

P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif 97

P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah Hasanul Arifin 97

P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede Budiarta I Gede 99

P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif 100

P-42 Laporan Kasus Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik Abraham Taofik Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 101

P-43 Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik Musa Taofik Senapathi Tjok GA PAS Panji 102

P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak 103

P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi 104

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan NasionalTommy N Tanumihardja Grace Alvina 105

P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N Tanumihardja Clementine Natalie 106

P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto M Andy Prihartono 107

P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah 108

P-50Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati 109

P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan 110

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-01

RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional Development

Andi Wahyuningsih Attas

Ketua PERDATIN

Abstrak

Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban) Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment)

Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut

1 Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas CB dan A

2 Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP) serta penerapan remunerasi

3 Investasi Fisik dan Peralatan di RS pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit

4 Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi

Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan ndash Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-02

Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia hipnosis relaksasi dan supresi refleks saja tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain

Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien

Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg al terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien

PL-03

Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan al untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama dan saling membantu Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya

Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015 MEA mempunyai 4 karakteristik yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang jasa investasi modal dan tenaga kerja

Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

karena al disparitas standar pelayanannya Arus bebas tenaga kerja termasuk dokter belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan

Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN al persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan tetapi belum mencapai hasil yang konkrit dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi

PL-04

Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

Made Subagiartha

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

kita jumpai dalam kehidupan sehari hari dalam rumah tangga antar negara atau di dalam pekerjaan kita Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya

Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan ldquoSengketa Medikrdquo yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-01

Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

AMTakdir Musba

Department of Anesthesiology Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine Hasanuddin University

Abstract

Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur but opioid-tolerance in acute pain especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately particularly in opioid-based general anesthesia

The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences especially on chronic use but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia

Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period Generally opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients

Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol NSAIDs GabapentinPregabalin α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre- intra- and postoperatively

Keywords opioid-tolerance perioperative analgesia multimodal analgesia

S-02

Fast Track Neuroanesthesia

Agus Baratha Suyasa

Abstrak

Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990 untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya faktor pasien faktor pembedahan dan faktor anestesi Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan pelepasan katekolamin minimal dan menurunkan biaya perawatan ICU Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi control suhu control gula status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri kontrol mual muntah suplemen nutrisi Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual

Kata Kunci Fast Track Neuroanesthesia

S-03

Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

Akhyar H Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USURSUP Adam Malik Medan

Abstract

Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations requiring continuous adjustment of drug dosing Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profilesThe future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment monitoring for adequate anesthesia and so for the anesthesia machine The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment including the high technology robotic anesthesia machinesldquothe da vincirdquo For these developments physician especially anesthesiologist will work safer minimal invasive and provide a good monitoring during the operation

Keywords novel drugs future technology anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-04

The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

April Poerwanto Basoeki

Eddy Rahardjo

Departemen Anestesiologi amp ReanimasiFK Unair ndash RSUD dr Soetomo Surabaya

Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik lahir ketika Dr William TG Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan menjadi dapat dilakukan dengan lancar mudah dan berhasil baik Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau menulis pada batu nisan monumen Dr William TG Morton ldquoBefore whom in all time surgery was agony By whom pain in surgery was averted and annulated Since whom science has controlled of painrdquo Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 121924 ndash Agust 2 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work knowledge and duty to serve the public beyond the hospital wall Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite) diruang pulih sadar (Recovery Room) ruang rawat intensif (ICU HCU) bahkan sejak ditempat kejadian pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster) Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care) juga merupakan gagasan Peter Safar

Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian Time saving is life saving Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

tersebut Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan ldquoMany techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients for example those with severe head injuries asthma tetanus or neonatal asphyxia Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients control of airway endotrachel intubation and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia but are now recognized as essential for all doctorsrdquo Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care Anestesi di-OK Anestesi di-luar OK Recovery Room Resusitasi Emergency Medicine ICU Pain Management Pain Clinic Labor Analgesia hingga musibah masal dan bencana Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi

Emergency Medical Service in Indonesia where are we now Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban Dengan melihat sejarah kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat dulu UGD) IGD memerlukan tempat alat obat dokter perawat Lokasi atau tempat alat obat sudah tersedia Dokter Umum Indonesia masih kurang apalagi Dokter Spesialis Emergensi Perawat juga masih kurang apalagi Perawat mahir D3-D4 Gawat Darurat Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya atau kondisi-kondisi lain Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD GELS ATLS ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar Hasil survei Kemenkes RI (1995 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai Untuk menangani kasus gawatdarurat berat kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter Survey Depkes (2005) di ndash 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20 pasien yang datang di UGD adalah trauma sisanya kasus non trauma Di Inggris dari semua kasus trauma di IGD hanya 56 memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65-nya Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood Park Trauma Care Vol 10 No 2 2000 p76) Di-RSUD dr Soetomo Surabaya selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat Departemen SMF Anestesiologi amp Reanimasi memiliki rdquomarkasrdquo Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi Ruang Resusitasi (RES) Ruang Observasi Intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

(ROI) PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim terjadilah apa yang Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC sebut sebagai rdquoshifting leadershiprdquo Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr Soetomo adalah rdquoteaching Hospitalrdquo FK Unair

Kondisi sekarang selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS Swasta Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1) bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni plusmn 30 orang Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar) atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70 materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50 Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20 Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang

Kepustakaan

1 Baskett PJ Peter J Safar 2001 The early years 1924-1961 the birth of CPR Resuscitation 2001 50 17ndash22

2 Baskett PJ Peter J Safar 2002 Part two The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002 Resuscitation 2002553ndash7

3 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik rdquoSistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadurdquo 2009 Cetakan - 4Cetakan - 4

4 Koeshartono ldquoAnestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencanardquo Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya Sabtu Tanggal 8 September 2007

5 Michael B Dobson ldquoAnaesthesia at the Distric Hospitalrdquo World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies 198968 424-30)

6 Sitasi tgl 12 Agustus 2013 woodlibrarymuseumorglibrarypdfS_AYBpdf Morton TG William Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR William TG Morton Printed by Rand Avery amp Frye 3 Cornhill 1871

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-05

Update in DIC Management

Bambang Wahjuprajitno

Dept anestesiologi dan ReanimasiFK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr Soetomo

Surabaya

Abstrak

Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut yang jika cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ

Aktivasi koagulasi yang masif berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh

DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat

Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin supresi anticoagulant pathways gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi

Penyebab DIC tersering adalah sepsis neoplasma trauma penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta preeclampsiaeclampsia emboli air ketuban aborsi septik kematian foetus intrauterine) gigitan ular

Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan tempat tusukan jarum perdarahan gastrointestinal SSP hematuria atau ecchymosis Trombosis dapat berupa purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit) acral dingin dengan nadi yang sulit teraba kehilangan penglihatan oliguria gangguan mental kejang-kejang

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT peningkatan D-dimer dan FDP penurunan trombosit dan fibrinogen Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUNkreatinin dan enzim-enzim jantung Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC

Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH) Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH) dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET) Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization CommitteeInternational Society of Thrombosis and Haemostasis (SSCISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini

Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama ndashsama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik

Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol karena itu jenis DIC bisa berupa

1 DIC tipe perdarahan (bleeding) bila hiperfibrinolisis lebih dominan Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia seperti acute promyelocytic leukemia (APL) penyakit-penyakit obstetrik atau aneurisma aortae

2 DIC tipe gagal organ bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi terutama sepsis

3 DIC tipe perdarahan masif bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik

4 DIC tipe asimptomatik bila kedua faktor sama-sama lemahnyaPada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium Disebut juga dengan tipe pre-DIC Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lainPengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa

bull Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnyabull Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya

meliputi o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma FFP

thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC) recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI) recombinant human thrombomodulin (rhTM) dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

o memanipulasi sistim fibrinolitik misalnya dengan tranexamic acid

Sayang sekali berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan

Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain

S-06

Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarks

Christrijogo SW

Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University Soetomo Hospital

Abstract

Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient

Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients eg avoiding airway manipulation and systemic application of opioids Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances with a lower rate of complications Anesthesiologists are increasingly faced with obesity regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patientsrsquo safety and perioperative outcomes in obese patients

Keywords Regional anesthesia Obesitas landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-07

ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya

Dedi Fitri Yadi

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi Mesin anestesi obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 Lmenit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor inspired oxygen concentration minute ventilation airway pressure Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya

Kata kunci Low flow anesthesia anesthesia cost reduction

S-08

The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

Djudjuk R Basuki

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Latar Belakang Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering yaitui meliputi 38 dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16 dari semua infeksi hospital-acquired SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian waktu MRS dan biaya RS

Tinjauan Pustaka Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif normotermia perioperatif hiperoksia normoglikemia transfusi darah dan mencuci tangan Hipotermia Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien Hiperoksia Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel faktor penting dalam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

penyembuhan luka Manajemen Cairan Peioperatif Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen Selain penghantaran oksigen yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia Hiperglikemia Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi termasuk SSI Transfusi Darah Saat ini tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi Profilaksis Antimikroba Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan

Kesimpulan Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis

S-09

Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

Gatut Dwidjo PrijambodoDept Anestesiologi dan Reanimasi

FK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr SoetomoSurabaya

Abstract

Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi 1 Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM )2 Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM)

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY ada empat kriteria antara lain bull Kegagalan jantung pada periode enam bulan bulan akhir kehamilan sampai lima

bulan pasca persalinanbull Tidak ada penyebab yang ditemukanbull Tidak ada penyakit jantung sebelumnyabull Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri Ejection Fraction lt 45 dan LV

end diastolic dimension gt 27 cmm2

Penyebab PPCM tidak diketahui Mortalitas 15 - 50 PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel

Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung antara lain Restriksi cairan Pemberian Diuretika dan obat Inotropik Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural Anestesi General digunakan obat yang cardiostable Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHYHOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun Pada kehamilan HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak Dapat asimtomatik simtomatik ringan Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif

Prinsip manajemen pasien HOCM Perlu monitoring invasif dan intensif Hindari penurunan preload Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat Hindari penururnan mendadak SVR Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi

S-10

Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs Individual

Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan

Harapan pasien sudah berubah Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi

Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif misalnya dibayar sesuai performa Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien

Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku

Dalam praktik anestesia di perkotaan terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan entah itu rumah sakit umum rumah sakit bersalin ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan Adapun di lain pihak praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati

Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006) standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku

S-11

Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

I Gede Budiarta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID infiltrasi blok perifer teknik regional analgesia hipnoterapi radiofrekuensi stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif

Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif neurologi rehabilitasi medik maupun hematoonkologi Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut

Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik penanganan konsul nyeri yang seksama serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit

Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama

S-12

Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

I Ketut Sinardja

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak Banyak hal seperti kebijakan wilayah politis serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam

Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 665 dan 326 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri Berdasarkan kesepakatan umum angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada defibrilasi atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi) Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus

Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3 angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004 dengan angka ketahanan hidupnya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27 versus 18) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif

Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA ditemukan bahwa sekitar 66 kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) 52 masih hidup dalam 1 tahun dan 3 masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64 pada anak-anak dan 75 pada orang dewasa Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 159 namun hanya sebesar 39 pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari)

Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian prearrest intra-arrest dan postarrest Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan aspek struktural dari sistem (personel pelatihan peralatan) care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini serta penanganan postarrest yang komprehensif) serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan)

Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi monitor ECG DC-Shock suction oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat

Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest) Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar menurunkan angka kejadian henti nafas danatau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait

Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku Kebijakan mulai dari awal penerimaan pihak yang melakukan bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah atau sampai

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code

S-13

Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

I Made Adi Parmana

RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Abstract

Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s its popularityhas steadily increased Although not as well established as for cardiac surgery the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40 to 80 of patients respectively In over one-third of patients intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy including treatment of myocardial ischemia valvular pathology andor right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure Based upon these findings intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery

TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise patients with unexplained persistent hypotension or unexplained persistent hypoxemia as well as patients with major thoracic or abdominal trauma

However as with any tool the risks and benefits need to be carefully evaluated Although the complication rate from TEE placement is low it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal esophageal or gastric pathology that will preclude its use Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting

S-14

Spinal Anesthesia In Neonates

I Putu Kurniyanta

Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University Sanglah Hospital Denpasar

Abstract

Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers It is usually practiced on preterm infants (lt60 weeks post-

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA) SA sometimes combined with general anesthesia It is most successful as a single shot technique limited to surgery lasting less than ninety minutes Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia providers However there is safety and efficacy for suitable procedures in older children as well SA in neonates has many advantages as in adults with an advantage of minimal cardio-respiratory disturbance This may further increase the utility of SA in neonates and children as it provides all components of balanced anesthesia technique To overcome this several additives like epinephrine clonidine fentanyl morphine neostigmine etc have been used and found to be effective even in neonates But the developing spinal cord may also be vulnerable to drug-related toxicity though this has not been systematically evaluated in neonates Despite its widespread use incidence of side-effects is low and permanent neurological sequalae have not been reported with SA Literature yields encouraging results regarding its safety and efficacy Technical skills and constant vigilance of experienced anesthesia providers is indispensable to achieve good results with this technique

Keywords neonates spinal anesthesia surgery

S-15

Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and Surgery

I Putu Pramana Suarjaya

Department of Anesthesiology amp Intensive CareSanglah General Hospital Medical School University of Udayana Denpas

Abstract

Cognitive changes after major surgery have received increased attention in recent years Increased elderly population in surgical patients as well as advances in anesthesia and surgical techniques and the impact of postoperative cognitive complications on patientrsquos quality of life after recovery make cognitive dysfunction play a significant role in prolonged recovery after major surgery

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) is diagnosed using cognitive test scores to detect changes developing postoperatively compared with each individual patientrsquos preoperative cognitive level of functioning POCD affects a wide range of cognitive domains such as memory attention orientation and concentration and some patients experience difficulties for months postoperatively POCD has been described after both cardiac and noncardiac surgery and can occur in all age groups although the elderly are more at risk

The pathogenic mechanisms behind the development of POCD are unclear partly due to the variation in patient population diagnostic tools and analysis of cognitive test results making firm conclusions on the pathogenic mechanisms difficult However most agree that increasing age reduced preoperative cognitive reserve and low educational level are risk factors for POCD A distinction between acute and elective surgery as well as cardiac versus noncardiac surgery is necessary when evaluating cognitive changes

An optimized perioperative approach with short length of stay multimodal opioid-sparing analgesia early mobilization and discharge to home environment (the fasttrack approach) would impact the occurrence of cognitive changes after major surgery

Keywords perioperative care postoperative cognitive dysfunction

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-16

Transfusion practice vs patient blood management

I Wayan Aryabiantara

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin jelas bahwa transfusi RBC (red blood cell) alogenik mengakibatkan banyak efek samping serius dan angka mortalitas meningkat Faktor risiko utama untuk transfusi adalah anemia preoperatif hilangnya darah intraoperatif dan trigger transfusi yang liberal Manajemen darah pasien (Patient Blood Management) dengan bundel terapi anemia preoperatif serta perhitungan untuk menurunkan hilangnya darah perioperatif dan mengoptimalkan toleransi terhadap anemia bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi RBC dan meningkatkan outcome klinis PBM telah dijadikan WHO sebagai standar terapi dan semua negara anggota diharapkan melaksanakan konsep ini Adapun negara tetangga kita Australia adalah yang dianggap paling maju di dunia dalam melaksanakan konsep PBM

Di masa lalu transfusi RBC sangat digembar-gemborkan dan dianggap sebagai sumber yang murah aman dan cepat tersedia Belakangan semakin jelas bahwa pasien yang mendapat transfusi RBC mempunyai outcome lebih buruk dibandingkan pasien serupa yang tidak ditransfusi dan banyak ahli setuju bahwa pasien tanpa perdarahan aktif dengan kadar hemoglobin gt8 grdL atau lebih tidak memperoleh manfaat apapun dari transfusi RBC Akibatnya dokter mulai mencari cara untuk menyiapkan pasien agar pembedahan yang direncanakan dapat dilakukan tanpa transfusi sehingga outcome-nya membaik

National Bank Authority (NBA) di Australia merupakan badan pemerintah yang mendirikan dan mendanai ulasan mengenai Clinical Practice Guidelines for the Use of Blood Components oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) dan Australian Society for Blood Transfusion (ASBT) pada tahun 2010 Mereka menyimpulkan bahwa panduan lama yang berfokus pada produk darah harus diganti dengan yang berfokus pasien Dampaknya adalah mulai dikembangkan enam modul panduan yang komprehensif dan evidence-based Isi modulnya meliputi PBM pada perdarahan masif pembedahan medikal rawat intensif obstetri dan ginekologi pediatrik dan neonatologi

Sebagian besar negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa kecuali Belanda masih mengalami hambatan dalam pengamalan PBM pada level nasional Meskipun masih kurangnya inisiatif menyeluruh beberapa rumah sakit telah mengenalkan PBM pada berbagai divisi dan departemennya Hal yang menarik adalah program ini tidak saja membuat transfusi RBC lebih sedikit tapi juga outcome lebih baik dengan mortalitas lebih rendah lama rawat lebih pendek komplikasi lebih sedikit readmisi lebih rendah dan biaya juga lebih ditekan

Anemia preoperatif dapat diterapi lebih baik sehingga meminimalkan tranfusi RBC perioperatif infeksi lebih rendah dan komplikasi lebih sedikit Sangat sulit untuk menentukan nilai target terapi untuk anemia sebelum pembedahan mayor Di sisi lain skrining preoperatif anemia secara mendetil justru sangat menunda tindakan pembedahan yang sudah direncanakan karena bisa memakan waktu kurang lebih 3-4 minggu Namun dengan perencanaan yang tepat hal ini dapat diminimalkan Skrining dan terapi anemia tersebut juga secara ekonomis lebih menguntungkan karena lebih unggul dalam hasil outcome yang lebih baik komplikasi lebih rendah dan lama rawat lebih singkat Meminimalkan kehilangan darah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

intra dan pascaoperasi juga sangat bermanfaat yang dapat dicapai dengan teknik pembedahan dan hemostasis yang adekuat

Ternyata keengganan adalah faktor penghambat utama untuk mengubah budaya transfusi Namun dokter diharapkan dapat mengubah cara praktiknya apabila sudah memperoleh limpahan bukti efek samping yang dapat dihindari dengan teknik PBM demi kesejahteraan dan kemaslahatan pasien

S-17

Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Banyaknya tindakan medis invasif serta perawatan canggih di ruang Intensive Care Unit (ICU) menyebabkan perlunya penggunaan sedatif sebagai komponen terapi mutlak untuk meningkatkan outcome Pada keadaan-keadaan akut berat sedasi bahkan diperlukan dalam jangka panjang yang berisiko efek samping over sedasi dengan berbagai kerugiannya Untuk itu diperlukan jenis sedatif alternatif lainnya yang menghasilkan sedasi adekuat dengan efek samping minimal Dalam beberapa tahun terakhir dexmedetomidine telah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sedatif alternatif melalui mekanisme simpatolitiknya sebagai agonis α2 Dexmedetomidine telah dibandingkan dengan midazolam dan propofol pada pasien-pasien ICU dengan ventilator jangka panjang Efek sedasinya terbutki setara dan lebih menguntungkan pada pemakaian jangka panjang dalam hal menghindari beberapa efek negatif sedatif pada umumnya Studi meta-analisis menyangkut pemakaian dexmedetomidine ini telah membuktikan bahwa sedatif ini aman dan bermanfaat dalam pemakaian jangka panjang dan dapat memperbaiki outcome populasi pasien-pasien di ICU Penelitian berkelanjutan tentu tetap diperlukan dalam mengkaji berbagai keuntungan lainnya dari penggunaan dexmedetomidine jangka panjang di ICU

Sumber bacaan1 Cavallazzi R Saad M Marik PE Delirium in the ICU an overview Annals of Intensive

Care 20122 Weinert CR et al Epidemiology of sedation and sedation adequacy for mechanically

ventilated patients in a medical and surgical intensive care unit Crit Care Med 2007 3 Afonso J Reis F Dexmedetomidine current role in anesthesia and intensive care Rev

Bras Anestesiol vol62 no1 Campinas JanFeb 20124 Anger KE Dexmedetomidine A Review of its Use for the Management of Pain

Agitation and Delirium in the Intensive Care Unit Current Pharmaceutical Design 2013

5 Riker RR Shehabi Y Bokesch PM et al SEDCOM (Safety and Efficacy of Dexmedetomidine Compared With Midazolam) Study Group Dexmedetomidine vs midazolam for sedation of critically ill patients a randomized trial JAMA 2009

6 Tan JA Ho KM Use of dexmedetomidine as a sedative and analgesic agent in critically ill adult patients a meta-analysis Intensive Care Med 2010

7 Jakob SM et al Dexmedetomidine vs Midazolam or Propofol for Sedation During Prolonged Mechanical VentilationTwo Randomized Controlled Trials JAMA 2012

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18

Tight Glucose Control in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Hiperglikemia sering menjadi komplikasi pada kasus-kasus dengan sepsis luka bakar trauma dan kasus-kasus bedah besar lainnya yang memperburuk outcome Efek samping ini pada pasien-pasien sakit kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan respon stres akut yang meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan pemakaiannya dalam tubuh Penyebab lainnya adalah intervensi nutrisi dengan kandungan karbohidrat berlebihan dan saat memulai jenis nutrisi yang kurang tepat

Strategi mengendalikan glukosa secara ketat pada pasien-pasien sakit kritis di ICU dapat dilakukan melalui beberapa langkah Menetapkan waktu memulai nutrisi yang tepat memilih jalur nutrisi enteral serta menghindarkan pemakaian nutrisi parenteral Hindarkan overfeeding dan batasi sumber kalori dari karbohidrat serta tidak melebihi 4 mgkgmenit Gunakan teknik pemberian insulin intensif melalui infus kontinyu Lakukan verifikasi rutin dan seksama serta penyesuaian laju metabolisme pengukuran berat badan penetapan BEE dan faktor-faktor koreksinya Cegah dan koreksi keadaan yang meningkatkan laju metabolisme seperti demam takikardia agitasi delirium kejang-kejang dan kondisi overaktifitas lainnya

Sumber bacaan1 Furnary AP Wu Y amp Bookin SO Effect of hyperglycemia and continuous intravenous

insulin infusions on outcomes of cardiac surgical procedures the Portland Diabetic Project Endocrine Practice 2004 10(Suppl 2) 21ndash33

2 van den Berghe G Wouters P Weekers F et al Intensive insulin therapy in critically ill patients N Engl J Med 20013451359-67

3 Montori VM Bistrian BR McMahon MM Hyperglycemia in acutely ill patients JAMA 20022882167ndash9

4 Klein CJ Stanek GS Wiles CE Overfeeding macronutrients to critically ill adults metabolic complications J Am Diet Assoc 199898795-806

5 Preiser JC Devos P van den Berghe G Tight control of glycaemia in critically ill patients Curr Opin Clin Nutr Metab Care 20025 533ndash7

6 Krinsley JS Blood glucose control in critically ill patients the impact of diabetes Critical Care Medicine 2009 37(1) 382ndash3

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-19

Management of local anaesthetic systemic toxicity

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Abstract

As classic neuronal Na+ channel inhibitors these drugs have a particular high level of activity in the central nervous system and the cardiovascular system and their side effect profile remains remarkably consistent differing only quantitatively between the agents in their doses (and blood and relevant tissue concentration) Local anaesthetic agents exist in both ionised acid-and non-ionised base forms in the tissue after injection The non-ionised form crosses the barrier of the myelin sheath and the axon membrane Here it will dissociate to the ionised acid form due to the lower pH inside the cell The ionised fraction binds to the activated Na+ channel and produce blockade of the channel in the inactivated state The development of symptoms and signs related to local anaesthetic toxicity relates directly to the concentration of the drug in the plasma The plasma concentration will depend on the rate of absorption from the injected site as well as inadvertent intravascular injectionIt is appropriate to first review the physiology of the ion channels implicated in local anaesthetic toxicity

Sodium channel blockadeAs local anaesthetics act as Na+ channel-blocking agents they slow down the initial

depolarisation phase by blocking the inactivated channel The clinical consequence of this is slowed cardiac conduction widening of the QRS complex prolongation of the PR interval AV block and eventually ventricular fibrillation due to the unidirectional blockade and re-entry phenomenon

Potassium channel blockadeK+ channels are tetramer ion channels and are organised into three superfamilies

according to the subunit membrane topology (1) subunits with six membrane-spanning segments and onepore domain (2) subunits with two membrane-spanning segmentsand one pore domain and (3) subunits with four membrane-spanning segments and two pore domains arranged in tandemThe first and third group are of interest where local anaesthetic toxicity is concernedAs noted the first group of channels are tetramers with fourfoldsymmetry around a central pore in the form of an inverted teepeeBoth the N terminal and the C terminal are located intracellularlyThe amino acids of the N terminal are shaped like a ball and chain and conformational changes causes this ball to close the channel from inside the cell These channels are known as the inward outward and transient rectifier K+ channels and their resultant effect is partly responsible for the K+ efflux during phases 2 and 3 of the cardiac muscle action potentialA blockade ofthese channels will prolong the action potential (phase 2) delayrepolarisation (phase 3) and shift the resting membrane potential more positive (phase 4) to increase automaticity The second group of K+ channels of interest is the two pore domain K+ channels (K2p) Previously known as the delayed rectifier channels these channels are believed to be responsible for the background or ldquoleakrdquo K+ currents In this setting they control the resting membrane potential A blockade of these channels shifts the resting membrane potential towards spontaneous depolarisation K2p channels are wide spread in the body In

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

the CNS they are mainly located in the thalamo-cortical and striatal neurons where blockade leads to increased neuroexitabilityThey are also present in high concentrations in the cerebral blood vessels where blockade leads to vasoconstriction and decreased cerebral blood flow K2p channels are also present in neurons of the auditory system where blockade leads to tinnitusK2p channels are thought to mediate the stimulating effect of local anaesthetics on ventilationThey are located in the brainstem where they modulate the respiratory response to carbon dioxide via chemo sensing of the pH They are also found in the carotid body where they are expressed in the oxygen-sensing cells of the glomus body K2p channels are sensitive to changes in O2 tension and extracellular pH and are potentiated by volatile anaesthetic In the CVS K2p channels are spread throughout the conduction system of the heart where blockade predisposes the patient to re-entry dysrhythmias It is well known that hyperkalemia exacerbates local anaesthetic toxicity and that K+ATP openers (which effectively lowers intracellular K+ levels) attenuate the toxic effects of bupivacaine

Ca++ channel blockadeThe latest research shows that all voltage-gated Ca++ channels are comprised of two

subunits The α-subunit consists of atetramer that comprises four membrane-spanning domainsDomains I III and IV are critical in the opening of the channelThis α-subunit is the main pore-forming element of the channeland its chemical structure remains fairly consistent for all voltagegatedCa++ channels The second unit has a highly variablestructure that depends on the location and function of thechannel In cardiac conduction tissue it is the β1 subunit thatcompletes the ion channel structure The role of the β1 subunitseems to be the modulation of channel opening and membraneion traffickingIn terms of their physiological effect the hearthas two distinct types of channels namely the T-type (transient)and L-type (long lasting) channels The T-type channel (alsoknown as the low voltage activated channel -LVA) is mainlylocated in the pacemaker cells of the sino-atrial node and theopening of these channels completes the prepotential requiredfor the pacemaker potential L-type channels (known as highvoltage activated channels -HVA) are present on the surface ofthe myocytes of both atrium and ventricle and are closelyassociated with the T-tubules The opening of these L-typechannels produces the impulse seen as the plateau phase (phase2) of the cardiac muscle action potential Local anaesthetic drugs bind to the L-type Ca++ channels predisposing them to aninactivated state The consequence of this is prolongation of theaction potential (phase 2) and depressed contractility

Central nervous system toxicityCentral nervous system toxicity is presumed to be a two-stage process Initial blockade of

Na+ channels in the inhibitory neurons entering the limbs allows the excitatory neurons to act unopposed thereby creating an excitatory state This culminates in generalized convulsions Higher concentrations of local anaesthetic affect all neurons leading to global CNS depression slowing and ultimately silence on EEG clinically seen as coma and the eventual collapse of the cardiovascular system In most cases convulsions although an impressive clinical entity can be handled safely without permanent damage

Cardivascular system toxicityAll of the clinical effects due to local anaesthetic overdose are the result of the blockade

of various ion channels The normal pharmacological effects of local anaesthetic drugs are produced via their blockade of sodium (Na+) channels However these drugs also have

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

the ability to block potassium (K+) as well as calcium (Ca++) channels The whole picture of cardiovascular toxicity is the effect of the blockade of all these ion channels Ion channel blockade displays enantiomeric selectivity with the R-isomer having twice the potency at the Na+ channels seventy times the potency at K+ channels and three times the potency at Ca++ channels Furthermore channel blockade is dependent on the state of the channel Levo-bupivacaine and ropivacaine interacts with both the activated and inactivated Na+ channels where as R-bupivacaine is a more potent blocking agent of the inactivated Na+channels

The mechanism of cardiovascular toxicity relies on the direct as well as indirect effects of the local anaesthetic drugs on the myocardium Direct effects include negative inotropy and delayed conduction of the impulse through the cardiac conduction tissue Indirect effects have to do with the local anaesthetic effect on the autonomic outflow and the direct effect on the cardiac centre in the midbrain Negative inotropy due to local anesthetic overdose is the result of four main mechanisms Firstly local anaesthetics (LA) cause decreased Ca++ release from the sarcoplasmic reticulum in the cardiac myocyte This in turn decreases excitation-contraction coupling and thus decreases contractility Secondly there is disturbance of the membrane Na+Ca++ pump function This also decreases Ca++ levels in the cytosol and decreases contractility Thirdly LA alters mitochondrial energy transduction By binding to the inner mitochondrial membrane LA agents cause the uncoupling of oxidative phosphorylation at complexes II and I This leads to decreased levels of ATP and a low energy state in the myocyte The binding of LA to the inner membrane further inhibits the function of L-carnitine acyl transferase This enzyme is important in the transfer of long free fatty acids (FFA) across the cell-and mitochondrial membrane The decreased availability of FFAs as substrate for oxidation leads to decreased ATP levels Fourthly LA causes decreased cAMP production This impairs second messenger function in the myocyte and disrupts cell homeostasis

The second direct cardiovascular effect is perhaps the more well known LA by their nature cause blockade of the ion channels therefore causing conduction blockade of the impulse generated in the SA node Abnormal conduction predisposes to re-entry phenomena and unidirectional conduction dysrhythmias The indirect effects on the cardiovascular system are due to the blockade of impulse outflow from the nucleus tractus solitaries (NTS) located in the medulla oblongata Afferent fibres from the baroreceptors in the carotid body and aortic arch reach the NTS via N glossopharyngeus (XI) and N vagus (X) where they secrete glutamate as neurotransmitter From the NTS projections reach the caudal and intermediate ventrolateral medulla where they stimulate GABA-secreting neurons These in turn project to the rostral ventrolateral medulla from where they course down the thoracic cord to eventually become the preganglionic sympathetic neurons that form the cardiac sympathetic innervation Excitatory projections from the NTS also reach the vagal motor neurons the nucleus ambiguus and dorsal motor neurons Baroreceptor stimulation thus inhibits tonic discharge to the vasoconstrictor nerves and excites vagal innervation of the heart with its sequelae LA alters the spontaneous impulse production in the NTS and depresses cardiac outputThe blockade also leaves the sympathetic outflow relatively unopposed which in turn leads to increased automaticity and dysrhythmias The overall effect of the conduction block and CNS- mediated effects is the refractory ventricular fibrillation for which bupivacaine is well known

Management of local anaesthetic systemic toxicity

Recommendations for Treatment of Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)bull If signs and symptoms of LAST occur prompt and effective airway management is

crucial to preventing hypoxia and acidosis which areknown to potentiate LAST (I B)

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

bull If seizures occur they should be rapidly halted with benzodiazepines If benzodiazepines are not readily available small doses of propofolor thiopental are acceptable Future data may support the early use of lipid emulsion for treating seizures (I B)

bull Although propofol can stop seizures large doses further depress cardiac function propofol should be avoided when there are signs ofcardiovascular compromise (III B) If seizures persist despite benzodiazepines small doses of succinylcholine or similar neuromuscularblocker should be considered to minimize acidosis and hypoxemia (I C)

bull If cardiac arrest occurs we recommend standard advanced cardiac life support with the following modifications- If epinephrine is used small initial doses (10- to 100-ug boluses in adults) are

preferred (IIa C)- Vasopressin is not recommended (IIB B) - Avoid calcium channel blockers and beta-adrenergic receptor blockers (III C)- If ventricular arrhythmias develop amiodarone is preferred (IIa B) treatment with

local anesthetics (lidocaine or procainamide) is not recommended (III C)

bull Lipid emulsion therapy (IIa B)- Consider administering at the first signs of LAST after airway management- Dosing- 15 mLkg 20 lipid emulsion bolus- Infusion of 025 mLkg per minute continued for at least 10 mins after circulatory

stability is attained- If circulatory stability is not attained consider giving another bolus and increasing

infusion to 05 mLkg per minute- Approximately 10 mLkg lipid emulsion over 30 mins is recommended as the

upper limit for initial dosing

bull Propofol is not a substitute for lipid emulsion (III C)bull Failure to respond to lipid emulsion and vasopressor therapy should prompt institution

of cardiopulmonary bypass (IIa C) Because therecan be considerable lag in beginning cardiopulmonary bypass it is reasonable to notify the closest facility capable of providing it whencardiovascular compromise is first identified during an episode of LAST

Lipid emulsion theraphyLipid was successfully used for resuscitation the mean total (bolus plus infusion) lipid

dose over the first 30 mins was 38 mLkg (range 12-60 mLkg) Most important no overt complications related to use of lipid emulsion for resuscitation have been reported to date Based on the available information we recommend an initial bolus of 20 lipid emulsion using 15 mLkg (of lean body mass) followed by an infusion at 025 mLkg per minute until circulatory stability is achieved The bolus could be repeated for failure to restore circulation and the infusion could be increased to 05 mLkg per minute for recurring hypotension after initial recovery However volume overload is certainly a risk and lipid overdose might also carry as yet unknown risks Defining the maximal safe dose for acutely administered 20 lipid emulsion for this novel use is important and will require appropriate (large) animal studies and possibly experiments with volunteers receiving subtoxic doses of bupivacaine We currently recommend an upper limit of approximately 10 mLkg over the first 30 mins This would allow for 2 boluses plus a continued infusion at 025 mLkg per minute

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-20

Radiofrequency In Knee Osteoarthritic Patients

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Introduction

Osteoarthritis (OA) is the most common rheumatic disease in the general population and its prevalence increases with age Genetic mechanical and several other factors have been implicated in its originOA symptoms such as joint pain reduced mobility crepitus and swelling result from articular cartilage loss subchondral bone proliferation bone misalignment and synovitis The management of patients with OA includes a number of pharmacologic and non-pharmacological recommendations tailored in accordance to the joints involved

The economic costs of OA are high including those related to treatment for those individuals and their families who must adapt their lives and homes to the disease and those due to lost work productivity Patients with OA are at a higher risk of death compared with the general population History of diabetes cancer or cardiovascular disease and the presence of walking disability are major risk factors Pain and other symptoms of OA may have a profound effect on quality of life affecting both physical function and psychological parameters Knee OA is not a localized disease of cartilage alone but is considered as a chronic disease of the whole joint including articular cartilage meniscus ligament and peri-articular muscle that may result from multiple pathophysiological mechanisms It is painful and disabling disease that affects millions of patientsThe pain in the OA knee is attributed to cartilage degenerationreduced joint space osteophytes loose bodies Pain intensity disability and its psychological impact correlate poorly with the peripheral joint damage assessed by the Kellgren-Lawrence scale (K-L scale) Recent evidence emphasizes the role of central sensitivity in the pathogenesis of the OA knee

Chronic osteoarthritis pain of the knee is often not effectively managed with non-pharmacological or pharmacological treatments Radiofrequency (RF) neurotomy when applied to articular nerve branches (genicular nerves) provides a therapeutic alternative for effective management of chronic pain associated with osteoarthritis of the knee

Although surgery is generally effective for patients with advanced disease some older individuals with comorbidities may not be appropriate surgical candidates In addition some patients do not wish to consider surgery and prefer non-surgical options In these patients radiofrequency (RF) neurotomy of the genicular nerves might be a successful alternative to surgery This procedure is based on the theory that cutting the nerve supply to a painful structure may alleviate pain and restore function

DiagnosisThe american College of Rheumatology criteria for the diagnosis of knee osteoarthritis Using history and clinical examinationPain in the knee and three of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

4- Bony tenderness 5- Bony enlargement 6- No palpable warmth of synovium

Using history and clinical examination and radiographic findings Pain in the knee and one of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt 30 minutes 3- Crepitus on active motions and osteophyte

Using history and clinical examination and laboratory findings Pain in the knee and 5 of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions 4- Bony enlargement 5- No palpable warmth of synovium6- Rheumatoid Factor lt140 7- Synovial fluid signs of osteoarthritis

AnatomyThe knee joint is innervated by the articular branches of various nerves including the

femoral common peroneal saphenous tibial and obturator nerves These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic guidance

Nerve supply of the knee joint

These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves

Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic

guidance

Nerve supply of the knee joint

Genicular branches of the knee joint

Genicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM)

inferior lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The

targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas

connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to

the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee

joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee

joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency

neurotomy

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Genicular branches of the knee jointGenicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM) inferior

lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency neurotomy

Radiofrequency Genicular NervesRF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of the six

genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocksbull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritisbull Patients with failed knee replacementbull Patients unfit for knee replacementbull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocksThese injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral (SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following injection

Radiofrequency Genicular Nerves

RF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of

the six genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and

can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two

lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local

anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocks

bull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritis

bull Patients with failed knee replacement

bull Patients unfit for knee replacement

bull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocks

These injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral

(SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is

considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following

injection

Radiofrequency of genicular nerves

Patients with a positive response are offered either cooled or conventional

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Radiofrequency of genicular nervesPatients with a positive response are offered either cooled or conventional radiofrequency

neurotomy for a more sustained response The procedure is usually done on an outpatient basis The procedure is performed under fluoroscopic guidance to ensure accuracy of needle placement Patients need to be aware that the outcome of the procedure is variable and they may not receive the desired benefits Similarly they must be aware of the transient nature of the therapeutic benefits and that there may need repeated injections

Radiofrequency treatment is a two-step procedure The first step is diagnostic involving injection of local anaesthetic around the genicular branches innervating the knee joint as described above Patients who experience good pain relief following diagnostic injections are offered radiofrequency denervation treatment This involves creating a heat lesion around the genicular nerves carrying painful impulses from the knee joint Successful treatment can result in pain relief lasting several months

Either conventional radiofrequency treatment or pulsed radiofrequency treatment can be used

PRF at 42degC was aimed at avoiding any neurological deficits that could lead to Charcotrsquos joint RF creates an alternating electric field with an oscillating frequency of 500000 Hz to elicit heat production around the percutaneously introduced needle tip by the body tissue acting as the resistor The output of the generator is interrupted to give 2 cyclessecond each of 20-msec bursts followed by silent phases of 480 millisecond in PRF The interval between the cycles allow for the dissipation of the heat maintaining the tissue temperature at 42degC far below the irreversible tissue damage threshold range of 45 ndash 50degC Thus PRF has no incidence of sensory or motor complications unlike conventional RF ablation which creates tissues temperatures of 70degC and above PRF has been used successfully to treat myofascial trigger points knee pain by intraarticular application and various peripheral neuropathic pains PRF appears to have genuine biological effects in cell morphology synaptic transmission and pain signalling which are likely to be temperature independent

ComplicationsComplications are rare particularly if injections are performed using a precise needle-

positioning technique Septic arthritis can be avoided with appropriate aseptic precautions Severe allergic reactions to local anaesthetics are uncommon Post-procedural pain flare-up is not uncommon and may be treated with painkillers Neurological complications including paraesthesias and numbness have been described but are extremely rare Radiofrequency treatment can cause patchy numbness of the over lying skin Incidence of infection is low as the procedure is performed under strict aseptic conditions and the injections are extra articular

ConclusionPRF of peripheral nerves and plexuses supplying the knee joint appeared to be a safe

effective and minimally invasive new technique that addresses the sensory motor and autonomic nerves to provide sustained relief of pain stiffness swelling and the peripheral and central sensitivity in response to chronic pain in both knees from long-standing osteoarthritis patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-21

Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia Intravena

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Denpasar-Bali

Sekitar 19 juta orang di dunia mengalami nyeri akibat kanker setiap tahunnya Dari jumlah tersebut 40-80 menderita nyeri sedang sampai berat Nyeri dapat berasal karena lesi kanker itu sendiri metastasenya komplikasi seperti kompresi saraf atau infeksi terapi atau faktor lain seperti psikologis dan lingkungan Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi masih mengalami nyeri paskaoperasi akibat penanganan nyeri yang kurang adekuat

American society of Anesthesiologis (ASA) mengeluarkan pedoman teknik yang direkomendasikan untuk penanganan nyeri akut paskaoperasi salah satunya dengan menggunakan teknik PCA ( patient controlled analgesia )

Patient Controlled Analgesia merupakan suatu metode penanganan nyeri di mana pasien dapat mengadministrasikan dosis kecil obat analgesik secara mandiri Adapun nyeri kankerkronik dan nyeri akut merupakan salah satu indikasi untuk penggunaan PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan memakai opioid kuat sesuai pendekatan dari WHO atau WFSA Rute administrasi PCA bervariasi Rute PCA yang paling umum adalah melalui jalur intravena Di luar negeri PCA iv (intravena) sudah merupakan salah satu standar penanganan nyeri sedangkan di Indonesia masih belum terlalu luas pemakaiannya Rute lainnya adalah melalui jalur epidural lebih dikenal sebagai PCEA (patient controlled epidural analgesia) sering digunakan pada teknik painless labour ataupun nyeri akut paskaoperasi mayor PCRA (patient controlled regional analgesia) merupakan teknik yang terbilang baru seiring perkembangan regional anestesi dengan menggunakan kateter kontinyu pada blok saraf tepi PCRA terutama digunakan pada nyeri akut paskaoperasi extremitas Teknik terakhir adalah PCA SC (subcutaneous) Berdasarkan beberapa penelitian ternyata PCA subkutan tidak berbeda signifikan dalam absorbsi obat efikasi serta efek sampingnya dibandingkan dengan PCA intravena serta PCA subkutan mampu untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal untuk pasien PCA SC merupakan alternative penanganan nyeri untuk pasien kanker apabila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi opioid secara oral ataupun bila akses vena sudah rusak akibat kemoterapi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-22

TCI in Obese Patient

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Obesitas adalah kelainan keseimbangan energi Berasal dari bahasa Latin obesus yang berarti gemuk karena makan Pasien dikatakan obese bila berdasarkan perhitungan BMI (Body Mass Index) didapatkan hasil lebih dari 30 Adapun peningkatan berat badan terkait dengan BMI ini juga membawa akibat perubahan fisiologis sistem organ pasien obese

Pada pasien obese akan terjadi kelebihan jaringan adiposa dan loading jaringan otot dan tulang yang meningkatkan metabolic demand Di samping itu pasien dengan obesitas sangat terkait dengan penurunan komplians sistem respirasi Terdapat pula abnormalitas metabolisme lemak yang menyebabkan infiltrasi jaringan lemak pada hepar Sedangkan pada sistem renal terjadi sklerosis glomerulus dan hilangnya nefron akibat peningkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang akan menimbulkan gagal ginjal kronik

Pada orang dengan obesitas terdapat akumulasi lemak yang dapat mengganggu farmakokinetik dan farmakodinamik obat Berdasarkan hal tersebut penyesuaian dosis obat pada orang obesitas dapat menggunakan beberapa strategi penyesuaian dosis contohnya penggunaan berat badan aktual (TBW) LBM (Lean Body Mass) atau IBW yang berdasarkan tinggi badan Penyesuian dosis obat tersebut didasarkan pertimbangan perubahan volume distribusi (Vd) clearance (CI) dan protein binding beberapa obat

Walaupun propofol bersifat lipofilik kuat propofol tidak berakumulasi pada pasien obesitas Untuk itu dosis maintenance propofol pasien obese dapat diperhitungkan sama seperti pasien dengan berat badan normal yaitu menggunakan berat badan aktual Tetapi hal tersebut memerlukan dosis jumlah besar dan menimbulkan efek hemodinamik yang nyata

Dari beberapa penelitian diperoleh simpulan tidak terdapat perbedaan clearance yang signifikan antara pasien berat badan normal dengan pasien obesitas dengan menggunakan perhitungan TBW pada TCI propofol Didapatkan pula bahwa TBW merupakan deskripsi berat badan paling tepat untuk pasien obesitas Penggunaan LBM untuk TCI propofol tidak sesuai pada pasien obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya overestimasi clearance metabolik Sehingga lebih direkomendasikan untuk memakai perhitungan TBW dalam pemakaian TCI untuk pasien obese

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-23Hightoracic And Cervical Epidural Anaesthesia

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2

bull Respiratory problems bull Cardiac problems bull Myocadial ischemia neuro-vascular problems bull History of a difficult postoperative period in the past bull Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural

space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine bull the thoracic spinous processes are oblique bull a mechanical lesion of the medulla is possible bull ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive)

There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

bull median approach bull paramedian approach bull lateral approach

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes

HIGHTORACIC AND CERVICAL EPIDURAL ANAESTHESIA

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP Sardjito

Yogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the

perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective

analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation

ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and

improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2 Respiratory problems Cardiac problems Myocadial ischemia neuro-vascular problems History of a difficult postoperative period in the past Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine the thoracic spinous processes are oblique a mechanical lesion of the medulla is possible ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive) There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

median approach paramedian approach lateral approach

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

MORPHOLOGICAL LANDMARKS bull C7 - protuberant cervical process bull T3 - origin of the spine of the scapula bull T7 - tip of the scapula bull L1 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

bull CARDIOVASCULAR EFFECTThoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial

arteries and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

bull RESPIRATORY EFFECTSTEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity through the analgesia produced which permits a better spontaneous ventilation Analgesia without sedation helps for a more rapid mobilization and for an active rehabilitation

bull STRESS RESPONSETEA with local anesthetics or opioids inhibits the neuro-endrocrine response to surgery

Opioids and local anesthetics produce different effects due to their differents sites of action

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes MORPHOLOGICAL LANDMARKS

992256 - protuberant cervical process 992256 - origin of the spine of the scapula 992256 - tip of the scapula 992256 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

CARDIOVASCULAR EFFECT Thoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial arteries

and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

RESPIRATORY EFFECTS TEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Opioids produce analgesia through modulation of nociceptive pathways whereas local anesthetic block both the nociceptive and the non-nociceptive pathways

bull GASTRO-INTESTINAL MOBILITY Digestive transit is faster to recover when the block level is over T12 Many mechanisms

can explain why thoracic epidural anesthesia can favor a more rapid digestive transit recovery Blockade of nociceptive afferents influx and of sympathetic lumbar and thoracic afferents Non-antogonism of parasympathetic efferents influx Increase of G-I blood circulation Systemic Absorption of local anestheticsReduction of postoperative opioids consumption

APPLICATIONSubtotal gastrectomy has been successfully performed using thoracic epidural anaesthesia

alonein two high-risk surgical patients They received thoracicepidural anaesthesia alone An

18-gauge Tuohy needle was introduced at T8T9 intervertebral space and thetip of the catheter was advanced 3 cm cephalad beyond the tip of the needle (T7T6)4

Epidural anaesthesia wasestablished with 05 levobupivacaine and sufentanil The used doses were calculated according to the formula

x mg=(n of dermatomes+6) ∙ mgsegmentThoracic epidural anaesthesia provides optimal perioperative anaesthesia and analgesia

afterthoracic and major abdominal surgery and decreases postoperative morbidity and mortality mainly by blockingsympathetic nerve fibers4

Cervical Epidural Anesthesia (CEA)Cervical epidural anaesthesia has been used mainlyfor hand upper limb shoulder and

upper thoracicwall surgery including mastectomyIt has also beenused for carotid artery surgery parathyroid surgeryneck dissection for head and neck cancers and for thetreatment of complex regional pain syndromes of theupper limb5

CEA as an anaesthetic for mastectomies breast reconstruction in elderly females and in patients with pulmonary diseases has been reported for better acceptance and safety over GACEA was given at C6-C7 or C7-T1 level in the midline using18 gauge Tuohyrsquos needle with bevel facing cranially at an angle of 30 degrees and by loss of resistance method to identify the epidural space An epidural catheterwas placed 3cm craniallyIn experienced hands sole use of CEA for various neck and chest surgeries is documented highlighting the advantages like stable cardio-respiratory status by avoiding airway instrumentation less blood loss and post operative morbidityCEA blocks the cervical plexus (C1-C4) phrenic nerve (C3-C5) brachial plexus C5-T1) and upper thoracic dermatomes along with sympathetic fibers that are responsible for the stress induced neuro- hormonal reactions Major concerns with CEA are the hemodynamic and respiratory complications Different concentrations of bupivacaine are used and studied for the hemodynamic respiratory effects following CEARopivacaine 05-075 reported to have favorable effect on hemodynamic variables by blocking the sympathetic innervations of the heartDominguez F et al conducted shoulder surgeries in three patients with 075 ropivacaine under CEA and concluded that ropivacaine provides an effective sensory block and a restricted motor blockade reducing the probability of the restrictive pulmonary syndrome associated with cervical epidural anesthesia CEA significantly decreases the blood loss due to blockade of cardiac sympathetic fibers leading to decrease in cardiac output blood pressure reduction in airway and thoracic pressures5

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

For thyroid surgery regionalanaesthetic techniques have neither been adequatelydescribed nor practiced widelyCervical epidural anaesthesia aims to anesthetise theskin in front of the neck where the incision would beplaced The front of the neck is supplied by 2nd and3rd cervical rami which form the transverse cutaneousnerve of the neck The lower part of the neck and thepart lateral to sternocleidomastoid muscle is suppliedby supraclavicular nerves which arise from the 3rdand 4th cervical ventral rami For delivering CEA weintroduced the epidural catheter in the C7 ndashT1 vertebrainterspace and guided it upwards by keeping the bevelof the Tuohy needle facing cranially By using thetechnique described above the upper level of sensoryblock obtained was at C2 level and the lower levelvaried from T5 to T106

Keywords HTE ACEA Indication Risk and Benefit

Reference 1 LenaP et al 2007 Epidural Anaesthesia in Cardio Thoracic Surgery Handbook Of Regional

Anesthesia European Society of Regional Anesthesia and Pain Therapy P502 Hadzic A 2007 Text Book Of Regional Anesthesia and Acute Pain Management The New

York School of Regional AnesthesiaPart III Clinical Practice of Regional Anesthesia gt Section Two Neuraxial Anesthesia gt Chapter 14 Epidural Blockade

3 CarliClemente 2008 The physiological effects of thoracic epidural anesthesia and analgesia on cardiovascular respiratory and gastrointestinal system Minerva Anestesiol 74-549-63

4 Van Haken AK UpDate on Toracic Epidurals Are The Benefits Worth The Risk International Anesthesia Research Society Canada

5 Kulkarni K Namazi IJ Deshpande S Goel R Cervical Epidural Anaesthesia with Ropivacaine for Modified Radical Mastectomy Kathmandu University Medical Journal 2013 vol11 no 2 issue 42

6 Khanna R Singh DK Cervical Epidural anasesthesia for thyroid surgery Kathmandu University Medical Journal2009Vol 7 No 3 Issue 27 242-24

S-24

Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill Patients

IMG Widnyana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Recently the practice of locoregional anesthesia and analgesia has become widespread and is already supported by numerous publications that have demonstrated its feasibility and effectiveness It already takes important parts in surgical and post surgical patients And now it also plays an important role in multimodal pain management especially in critically ill patients Indications for locoregional anesthesia are not limited to surgical and postsurgical analgesia but extend to the management of painful procedures for the critical ill patients (in ICU) patients with trauma-related issues and also another medical conditions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

As we know that critically ill patients frequently come with coexisting diseases that present wicked challenges to us the anesthesiologist including coagulopathies infections immuno compromised states sedation- and ventilation-associated problems and factors potentially increasing the risk for systemic toxicity There are techniques of loco-regional anesthesia and analgesia that we can choose and use in critically ill patients And we want to present a review of Loco-regional anesthesia and analgesia techniques in critically ill patients focusing on the main advantages and limitations of its use in critically ill patients and describe the most commonly used locoregional techniques and its applicability for critically ill patients

Keywords Locoregional anesthesia peripheral nerve blocks Critically ill patients ultrasonography guiding

S-25

Enhance Recovery After Surgery in Abdominal Surgery

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Rekomendasi dari komunitas ERAS (Enhance Recovery After Surgery) adalah suatu guideline yang dibuat oleh komunitas ERAS bekerja sama dengan IASMEN (Surgical Metabolism and Nutrition) dan ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) untuk memberikan pelayanan perioperatif yang optimal Guideline ini pertama kali dibuat untuk operasi colon pada tahun 2012 dan selanjutnya berkembang untuk operasi-operasi abdominal besar lainnya

Tujuan pembuatan guideline ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perioperatif dengan menurunkan stres pembedahan memelihara fungsi fisiologis postoperatif dan meningkatkan mobilisasi setelah pembedahan Guideline ini dibuat dengan jalan mereview dan menganalisis penelitian-penelitian meta-analysis randomised control trials dan prospective cohort yang sesuai dengan komponen-komponendari guideline ERAS yang selanjutnya di gradasi berdasarkan sistim Grading of Recommendations Assessment Development and Evaluation (GRADE)

Komponen-komponen yang termasuk dalam guideline ERAS diantaranya Preoperatif informasi pendidikan dan konseling preoperatif optimalisasi properatif bowel preperation puasa dan pemberian karbohidrat preoperatif premedikasi dari anestesi pencegahan terhadap thromboemboli antibiotik pencegahan dan pesiapan kulit protokol anestesi standar PONV(postoperative nausea vomiting) laparoskopi dan modifikasi dari akses bedah pemasangan NGT (nasogatric tube) mencegah hipotermia intraoperatif penanganan cairan perioperatif drainase dari peritoneal cavity setelah anastomosis colon drainase dari urine pencegahan ileus post postoperatif analgesi postoperatif penanganan nutrisi perioperatif kontrol glukosa postoperatif dan mobilisasi dini

Kata Kunci Enhanced Recovery After Surgery ERAS ERAS society reomendation

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-26

Anesthesia in Major Vascular Surgery

Jefferson Hidayat

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UIRSUPN Cipto MangunkusumoJakarta

Abstract

Anesthesia in major vascular surgery is generally considered as a high risk procedure due to patientrsquos systernic vascular disease comorbidities and the high surgical risk In elective major vascular procedures (open or endovascular) thorough preoperative management is mandatory lncreased risk of various comorbidities such as diabetes hypertension coronary artery diseasevalvular heart disease renal respiratory and cerebral diseased requires optimalization

General anaesthesia combined with epidural block is commonly chosen for open vascular surgery One should know hemodynamic changes and metabolic changes in aortic cross-clamping declamping to manage the problem intraoperatively Organ preservation such as spinal cord preservation using cerebrospinal fluid drainage renal preservation lungs and cardiac preservation especially in patient with any history of CAD must be performed accordingly

Endovascular aortic repair (EVAR) can be performed uncer local anaesthesia with monitored anaesthesia care (MAC) regional anaesthesia (spinaliepidural) and general anesthesia The choice old anaesthesia technique is discussed and choosen according to length of procedure complexity and whether hybrid or open surgical procedure is planned Regardless of which anaesthesia technique is planned invasive hemodynamic monitoring should be invasive and similar to the open repair Challenges during EVAR procedure includes bleeding dissection rupture endoleak migration distal organ ischaemia injures due to branch blockade or thrombus and hypothermia during long procedure A good haemodynamic monitoring and management will shortened hospital length of stay and mortality rate

Keywords Anesthesia Vascular surgery aortic cross clampingdeclamping organ preservation EVAR

S-27

Pediatric Ambulatory Anesthesia

Kadek Agus Heryana Putra

Department of Anesthesiology and Intensive TherapySanglah General Hospital

University of Udayana Medical Faculty

Abstract

Ambulatory (or outpatient) anesthesia and surgery is common in pediatric practice and has many benefits for patients parents and health care Anesthesia for pediatric ambulatory surgery remains to be a challengeAppropriate patient selection is important for the success of ambulatory anesthesia Exclusion criteria include patient-related factors surgical anesthetic

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

and social factorsRoutine preoperative preparation and evaluation are the same as for inpatients and includes a history and physical examination with special attention to past surgical or anesthetic experiences Choosing one anesthetic technique over the other is based on patient and procedure-specificWide variety agents that enable rapid induction maintenance emergence with minimal adverse effectsand techniques are currently available to anesthesiologists in order to administer safe and efficacious anesthesia Multimodal approach is useful for pain management and postoperative nausea and vomiting Discharging a postoperative patient to the environment with less skilled nursing care is considered to be unique in ambulatory anesthesia Parents are provided with verbal and written postoperative instructions about wound care analgesia diet mobilization and resumption of normal activityEvery ambulatory surgical unit have several mechanisms to evaluate its performance and patientrsquos satisfaction

Keywords ambulatory anesthesia preoperative preparation multimodal analgesia postoperative instructions

S-28

Anesthesia in High Risk Pediatric Patients

HU Kaswiyan Adipradja

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Prinsip dasar pada manajemen anestesi pediatrik yang sudah diketahui secara umum adalah bahwa pasien pediatrik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini sehingga manajemen anestesinya pun berbeda dan memerlukan perhatian yang seksama

Pasien pediatrik memiliki keistimewaan yang terletak pada berbagai segi anatomis dan fisiologis Jalan napas pasien pediatri sangat rentan mengalami obstruksi oedem mukosa serta kecenderungan intubasi endobronkial Dari segi kardiovaskuler yakni denyut jantung kontraktilitas compliance serta kerentanan untuk terjadinya afterload yang tidak seimbang saling ketergantungan antar ventrikel dan respon terhadap katekolamin Dari segi respirasi pasien pediatri rentan berisiko mengalami kegagalan respirasi karena sangat tergantung dari pergerakan diafragma Hipotermi juga menjadi salah satu bahaya berat yang dapat mengancam pasien pediatrik karena ketiadaan lemak subkutis dan ketidakmampuan pasien untuk menggigil (shivering)

Pasien pediatri juga memiliki beberapa kondisi yang dianggap berisiko tinggi Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa semua pasien pediatri harus diperhatikan secara seksama bukan tidak mungkin bahwa pasien pediatri yang permasalahan preoperatifnya biasa saja ternyata mengalami masalah intraoperatif maupun pascaoperatif seperti laringospasme croup serangan asma akut bahkan vagal refleks sampai cardiac arrest Tanpa memandang sebelah mata pada kasus-kasus pediatri rutin perlu dilakukan persiapan seksama dan pemantauan secara kontinyu dan ketat untuk kasus-kasus pediatri berisiko tinggi seperti kasus ambulatory anesthesia pada pasien pediatri dengan OSA pasien pediatri yang prematur dengan rencana operasi cito atau urgent serta pasien pediatrik yang mengalami syok sehingga perlu penggantian volume cairan maupun komponen darah sesegera mungkin

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Manajemen jalan napas yang tepat pertimbangan pemberian obat-obatan induksi baik intravena maupun inhalasi yang adekuat namun tidak merangsang jalan napas fasilitasi intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot maupun tanpa pelumpuh otot pertimbangan kapan melakukan suctioning pertimbangan melakukan ekstubasi sadar ataupun dalam sampai manajemen pascaoperasi seperti penggunaan skoring PADSS untuk periode pemulihan monitoring ketat pasca operasi yang perlu diwaspadai ketika 6-24 jam pasca operasi sampai take home message yang wajib diketahui keluarga pasien untuk membantu dalam pengawasan pasien di rumah menjadi hal-hal pokok yang penting diketahui oleh seorang ahli anestesi

Di rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak baik di daerah maupun pusat kota sering dijumpai pasien pediatri baru lahir (newborn) yang berasal dari persalinan prematur kurang bulan maupun dari kondisi kehamilan yang kurang baik Pasien-pasien tersebut sudah memiliki kondisi preoperatif yang kurang memadai untuk tindakan operasi dengan permasalahan fisiologis prematur dengan segala ketidaksempurnaan fungsi organ ditambah lagi dengan minimnya data dasar yang dimiliki untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen anestesi pasien tersebut

Perbedaan cara pandang dalam hal pemberian opiat untuk suplemen analgesia dan induksi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien prematur serta teknik intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot akan menjadi hal yang menarik untuk dijadikan titik perhatian Selain itu ketersediaan sarana airway kit alat-alat resusitasi untuk pasien pediatrik yang memadai alat monitoring di kamar operasi yang dapat digunakan untuk usia prematur serta variasi kasus dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh ahli anestesi yang bersangkutan akan menjadi nilai tambah untuk dapat meningkatkan keberhasilan tindakan Peran komunikasi dan diskusi dengan sejawat lain tidak saja dari satu bidang namun juga dari sejawat operator dan pediatri gawat darurat sangat diperlukan dalam kasus-kasus berat tersebut

Pasien pediatri tidak memiliki kompensasi yang cukup untuk mempertahankan kondisi hemodinamik terutama apabila mereka sebelumnya sudah terpapar dalam kondisi dehidrasi perdarahan maupun defisit cairan tubuh lainnya misalnya akibat febris luka bakar dan penguapan Pemberian cairan dari luar tubuh harus memperhitungkan dengan seksama kebutuhan cairan preoperatif intraoperatif maupun rencana pascaoperatif agar adekuat sehingga tidak menyebabkan kondisi menjadi overload Selain itu pemberian komponen darah harus betul-betul memperhatikan komponen mana yang lebih diperlukan untuk kondisi perioperatif tersebut dan disertai dengan perhitungan yang terinci

Di samping pemberian cairan pemberian glukosa juga menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan karena pasien pediatrik berisiko mengalami hipoglikemi misalnya pasien yang rutin mendapat hiperalimentasi bayi dari ibu yang mengalami diabetes yang mengalami persalinan cepat serta neonatus yang kecil untuk usia kehamilan Penggunaan glukosa sebaiknya diberikan pada bayi yang menjalani prosedur pembedahan yang lama dengan didasarkan atas pemeriksaan level glukosa serum Hanya dengan memonitor nilai glukosa serum kita bisa membuat keputusan yang tepat Infus glukosa 1 cukup adekuat untuk mempertahankan nilai normal glukosa serum pada bayi yang berisiko mengalami hipoglikemi

Dengan memperhatikan segala poin-poin penting di atas gambaran akan bundle manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan risiko tinggi lebih dapat divisualisasikan lebih jelas Kesesuaian serta variasi yang didapat antara teori dan praktik yang dikerjakan oleh ahli anestesi pada pasien pediatrik akan menambah khazanah pengetahuan serta meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani pasien dengan risiko tinggi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-29

Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied Enough

I Made Wiryana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Tantangan profesi ahli anestesi di milenium yang baru ini tidak lagi semudah dahulu Klien yang harus dipuaskan tidak saja hanya operator dan rumah sakit yang menaungi namun juga pasien sendiri beserta keluarga dan orang dekatnya Dengan ritme kerja yang penuh tekanan berpacu dengan waktu tuntutan biaya hidup dilawan oleh standar keselamatan dan kualitas pelayanan yang tinggi seorang ahli anestesi akan terpapar dengan berbagai macam bahaya dan risiko kerja seorang ahli anestesi

Terdapat beberapa bahaya yang dialami oleh seorang ahli anestesi di tempat kerja yakni bahaya biologis mekanis kimiawi fisik dan personal Selain dari bahaya yang sifatnya eksternal yakni biologis mekanis kimiawi dan fisik tersebut bahaya potensial yang mengancam profesionalitas seorang ahli anestesi adalah berasal dari pribadinya sendiri Bentuk bahaya ini antara lain berupa kelelahan atau fatigue stres atau burnout ancaman penyalahgunaan zat bahkan hingga tindakan bunuh diri

Seorang ahli anestesi diharapkan memiliki ukuran dan kadar diri rutin dievaluasi setiap saat secara personal untuk mampu mengukur kemampuan kerja sewaktu dan bertujuan mengurangi dan menghilangkan stres kerja maupun kehidupan pribadi Selain itu terdapat langkah motivasional yang dapat dilakukan saat kerja untuk memodifikasi situasi pemicu stres antara lain perencanaan strategi baru untuk menangkal stres belajar hidup disiplin setiap hari komunikasi dan diskusi dengan rekan sejawat realisasi akan potensi pribadi mempunyai hobi atau minat serta mampu melakukan relaksasi saat waktu luang memiliki rasa optimis dan tetap menjaga pola tidur olahraga dan nutrisi yang cukup Dengan mendekatkan diri dengan hal spiritual atau mendalami hal keagamaan juga mampu meningkatkan rasa optimis akan adanya kebaikan yang akan datang melingkup tempat dan lingkungan kerja

Dengan evaluasi diri yang terus-menerus serta tindakan motivasional yang dilakukan berkala diharapkan seorang ahli anestesi mampu menjaga kualitas dan performa kerjanya meski dihadapkan pada berbagai kasus sulit dan dengan manajemen waktu yang sempit Ahli anestesi yang berpengalaman dalam menangani stres juga tentu akan mampu menyuarakan umpan balik positif bagi tempat kerjanya agar lingkungan tersebut tidak saja berusaha memberikan situasi dan waktu kerja yang lebih kondusif namun juga kompensasi yang seimbang sehingga akan mampu memberikan nilai tersendiri bagi profesi anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30

Ethics In End Of Life Care In Elderly

Moh Sofyan Harahap

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstrak

Kita mengenal aspek pelayanan ksehatan di Indonesia adalah Promotif Preventif Kuratif dan Rehabilitatif belum disebutkan perawatan Paliatif yang erat hubungannya dengan perawatan pada akhir hidup yang sering dijumpai Karena jika pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi maka dokter harus tetap menjaga agar akhir kehidupannya dapat dilewati dengan baik Perawatan di akhir kehidupan ini tidak hanya menyangkut pasien namun juga keluarganya

Sama halnya dengan hukum maka etika sesungguhnya didasarkan pada nilai dan norma moral Norma moral itu sendiri terdiri dari moral principles (beneficence nonmalficence autonomy dan justice) moral standard dan moral rules (yang kemudian dikompilasi kedalam kode etik)

Perkembangan teknologi saat ini dapat memperpanjang kehidupan manusia yang menderita sakit kritis di ICU hal ini sekaligus menimbulkan masalah etik tersendiri misalnyamisalnya apa yang harus atau boleh kita lakukan dalam memperpanjang kehidupan pasien sejauh mana kita boleh menghentikan pemakaian alat bantu hidupsarana pengobatan lainnya apakah kita tidak membunuh pasien apabila kita menghentikan alat bantu nafas

Intinya hakekat dari clinical case management adalah CURING dan CARING Upaya curing harus dihentikan manakala sudah bersifat mubazir (futile) sedangkan upaya caring harus diteruskan sampai pasien meninggal dunia

S-31

Advanced Airway Management In Difficult Pediatric Patient

Muhammad Ramli Ahmad

Bagian Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Kesulitan dalam penanganan jalan napas anak tidak jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna Kesulitan sering terjadi berkaitan dengan ventilasi laringoskopi atau intubasi trakea Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau proses patologi yang melibatkan jalan napas Prinsip penanganan adalah menjaga patensi jalan napas untuk menjamin oksigenasi dan ventilasi Identifikasi karakteristik kesulitan jalan napas dan perencanaan masalah penting dalam praktek anestesi Kunci keberhasilan adalan penilaian dan persiapan preoperatif serta pengetahuan dasar mengenai perbedaan anatomi jalan napas dan fisiologi respirasi pada anak Selain itu juga perlu didukung oleh ketersediaan peralatan dan ahli anestesi yang berpengalaman

Kata kunci jalan napas anak kelainan kongenital kesulitan intubasi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-32

Pediatric Traumatic Brain Injury

Nazaruddin Umar

Department of Anesthesiology amp Intensive Care Medical School of University of Sumatera Utara

Abstract

Traumatic Brain Injury (TBI) remains the leading cause of death and disability in pediatric patients from birth to 18 years of age Each years 500000 children are seen in Emergency Departement and pediatric deaths from TBI are estimated to be 2500 annualy Severe TBI in pediatric population has better survival prognosis if treated in any trauma centers equipped well in facility and skilled staff to collaborate in neuropediatric cases Proper Systematical Assessment and Intervention on initial admission in order to prevent secondary brain injury by any harmful effect of agitated hypoxia hypercarbia hypovolemia with sedation analgesia with minimal risk of respiratory depression avoidance hyperventilation normovolemia and maintenance of Cerebral Perfusion Pressure (CPP) above 50 mmHg hyperosmolar therapy temperature control glucose control antiseizure prophylaxis would improve outcome particularly for children with several type of problems during radiodiagnostic procedure neurosurgery and neurointensive care unit Brain injury can be devided into primary and secondary injury The primary injury is caused by the intial trauma Physical forces such as acceleration deceleration or rotational forces have an impact on the tissue and may result in skull fracture brain contusion intracranial hematoma or diffuse axonal injury Secondary injury is result of the cascade of event that occurs after the initial injury in including edema cappilary leak and activation of the secaondary imflamatory response The goal of care for patient with TBI is to aid in the compencation process limitating secondary injury to prevent brain ischemia and optimize neurological outcomes TBI are categorized as mild moderate and severe Children with mild brain injury achieve a Glasgow Coma Scale (GCS) of 13 or higher Moderate TBI is characterized by a loss of conciousness and physical andor cognitive impairment with GCS of 9 to 12 Children with severe TBI have GCS less than 8 and require airway and hemodynamic support Management of TBI is devided into first second and third-tier therapy The goal of all therapies is to maintain a low and stable ICP and adequate blood pressure preventing any critical drop in CPP of the three component in the skulll the brain subtance remain fairly constant threfore treatment intially focuses on a shift in CSF or blood from the intracranial space Surgical interventions may be required if medical therapie in the first and second tiers are unsuccessful Management pediatric TBI must be perioperative evaluation anastetic consideratation postoperative management

Keywords CPP Pediatric Secodary Brain Injury TBI

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-33

Advanced Hemodynamic Monitoring

Putu Agus Surya Panji

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Advanced hemodynamic monitoring comprises several level of persistent monitoring in critical patients The goal of hemodynamic monitoring in intensive care is to maintain sufficient perfusion pressures and oxygen delivery Precise volume management of perioperative and critical care patients is crucial to prevent adverse outcomes The need for the precise quantification of cardiac output (CO) in high-risk surgical patients both in the operating room and the intensive care unit is vital in modern medical practice

Manipulation of the cardiac output (CO) mean arterial pressures (MAP) systemic filling pressures and volumes as well as dynamic markers of fluid responsiveness requires continuous monitoring thorough understanding of the modalities employed and proper interpretation of data acquired

Methods for obtaining accurate and continuous measurements in the critically ill patient have evolved from surgical and anesthetic techniques dating back more than a century The pulmonary artery catheter (PAC) is not any more the sole tool available There are less invasive and potentially more accurate methodologies have been developed and employed in the operating room and among diverse critically ill populations

Minimally invasive cardiac monitoring encompasses all methods and devices that calculate the cardiac output without the need of inserting a PAC These include transpulmonary thermodilution arterial pressure pulse contour the esophageal Doppler the thoracic electrical bioimpedance the carbon dioxide rebreathing and waveform analysis and bedside critical care ultrasound including echocardiography Recently simply monitoring vascular pressures has given way to dynamic monitoring where physiologic changes with respiration can be used to derive additional parameters such as pulse pressure variation (PPV) and stroke volume variation (SVV) Clinicians should be aware of their distinct features their limitations but also the sources of potential error that stem for their use

S-34

Direct Marker Of End Organ Perfussion

Prananda Surya Airlangga

Dept Anestesiology dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Univ Airlangga ndash RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak

Oksigen merupakan bahan dasar atau substrat yang memegang peranan vital dalam metabolisme tubuh manusia Proses sampainya oksigen ke seluruh tubuh melalui peredarah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

darah digambarkan dengan rumus Delivery Oxygen (DO2) Dimana bila kita jabarkan terdapat proses fisiologi yang cukup panjang mendasari rumus tersebut Komponen Cardiac output Hemoglobin dan Saturasi Oksigen menjadi variabel dalam rumus tersebut dengan end point adalah perfusi yang baik ke seluruh organ Perfusi yang baik ditunjang Makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang baik Pada saat ini dengan bantuan Non Invasif dan Invasif monitoring kita bisa menilai makrosirkulasi tetapi untuk mikrosirkulasi hal ini tidak mudah apalagi di tingkat klinik Ada beberapa marker indirect yang kita gunakan sebagai alat monitor seperti laktat base deficit ScvO2 dll Belakangan ini terus diupayakan dan dikembangkan alat-alat untuk memonitor secara langsungdirectperfusi di mikrosirkulasi terlebih lagi pada beberapa end organ sehingga outcome terapi kita bisa ditingkatkan

Keyword tissue oxygenation near infrared spectroscopy delivery oxygen

S-35

Chronic Pain Depression And Somatoform Disorders

I Putu Eka Widyadharma

BagianSMF Neurologi FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif neuropatik atau gabungan keduanya Dampak nyeri kronis pada kehidupan seseorang secara keseluruhan juga berkontribusi terhadap depresi dan kelainan somatoform

Nyeri kronis dan depresi berhubungan pada tingkatan neurobiologis psikologis dan perilaku Pada tingkatan neurobiologis neurotransmitter seperti serotonin norepinefrin berperan pada gangguan depresif Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif Pada tingkatan psikologis nyeri kronis termasuk dalam bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen tubuh termasuk nyeri Sebuah konsep yang sesuai penekanan somatosensori yang didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan gejala disforik termasuk nyeri Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik dan merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress psikologis Pada tingkatan perilaku depresi terjadi sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari

Akibat dampak yang sangat luas maka pendekatan multidisiplin merupakan pilihan terbaik dalam manajemen pasien dengan nyeri kronis

Kata kunci nyeri kronis depresi somatoform multidisiplin

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-36

Pain Management In Day- Case Surgery

Sugeng Budi Santosa

Departement of Anesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret UniversityDr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Recent advanced in anaesthetic and surgical techniques along with escalating healthcare cost have resulted in an ever-increasing number of surgical procedures being performed on a day case Most day-case surgery procedures are associated with relatively minor surgical trauma so discharge of these patient frequently depends on recovery from anaesthesia Top priorities for successful day-case surgery are the 4 Arsquo s alertness ambulation analgesia and alimentation (1) Post operative pain is one of most common complaints after surgery and remain continuous to be a challenge for anesthetist this symptom is the most common reason for unanticipated hospital admission The potential cost saving of day-case surgery may negated by unanticipated hospital admission for poorly treated pain (2) Optimal postoperative pain control in day-case surgery should be effective safe minimal side effect facilitate recovery And easily managed by patient at home Supplements and rescue analgesics should be provide if prescribed analgesics is ineffective (3)

Keywords one day care surgery pain management

S-37

Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant Medication

Sugeng Budi Santoso

Department of Anaesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret University Dr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Improvement in patient outcome including mortality major morbidity and patient - oriented outcome has been demonstrated with neuroaxial techniques especially epidural anaesthesia and continued epidural analgesia (Rodgers A et al 2000)

The possible complication of neuroaxial block is spinal - epidural hematoma and the use of anticoagulant or anti-platelet is the risk factor most often associated with this complication Current incidence of neurological dysfunction resulting from bleeding complication associated with neuroaxial block is unknown Itrsquos occurrence is estimated to be less than 1 150000 epidural punctures and 1220000 subarachnoid punctures ( Horlocker TT2011)

The number of patient on anticoagulant or anti-platelet therapy has been growing due to the aging process longer life expectancy and prevalence of cardiovascular disease Because

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

risk of spinal - epidural hematoma is increased and introduction of new antithromboyic drugs done at regular interval guideline and recommendations regarding on safety in regional anaesthesia and concomitant use of antithrombotic therapy should be constantly updated ( Vandermeulen E 2010)

Guidelines and recommendation should be included identification of risk factor prevention strategies diagnosis and treatment safe interval for drug suspension and resumption after regional block in subject taking drugs that interfere with coagulation

Keywords Regional anaesthesia Anticoagulant medication

S-38

Major Obstetric Bleeding Management

Susilo Chandra

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Deaths per 100000 pregnancies Sepsis (genital tract infection) is the 1st cause of direct maternal death Rate 113 per 100000 Preeclampsiaeclampsia is 2nd highest cause of direct maternal deaths Rate 083 Thrombosis(including central vein thrombosis) and thromboembolism is the 3rd with rate of 079 AFE is the 4rd with rate of 057 Hemorrhage is number 6 after early pregnancy deaths (ectopic spontaneous miscarriage legal termination other) with rate of 039 Deaths from indirect causes account for the most common causes of maternal death with cardiac being one (rate 231) followed by other indirect causes (rate 214) and indirect neurologic conditions (157)

Morbidity loss of fertility Sheehan syndrome and multi-organ failure due to hypovolemic shock Maternal hemorrhage disproportionately affects resource-poor countries Pasquier 125000 deaths per year related to PPH Incidence of PPH has increased in Canada Australia and US

Low fibrinogen level at PPH diagnosis is associated with a higher risk of severe PPH independent of other laboratory indicators Wide range of PPH (147-18 of all deliveries) reflects different definitions used and the regions concerned Antenatal risk assessment predicts only 40 of those who will develop PPH Maternal morbidity associated with PPH includes PP hysterectomy sepsis ARF and ICU admissions

Chang CC et al study applied multivariate logistic regression to explore the relatioship between anesthestic management type and PPH ldquoWomen who received GA had a higher rate of PPH than women who received epidural anesthesia The odds of PPH in women who had CS with GA were 815 times higher (95 Cim 643-1033) than for those who had CS with epidural anesthesia after adjustment was made for the maternal and fetal characteristicsrdquo

There is no consensus on a definition of major obstetric haemorrhage Up to 1000 ml blood loss is not uncommon in the peripartum period and may be of little clinical significance Blood loss gt1500 ml a decrease in haemoglobin of more than 4 gdl or an acute transfusion requirement of more than 4 units of packed red blood cells are suggested criteria Definitions based on haemodynamic deterioration are unhelpful as maternal physiology often allows compensation until haemorrhage is advanced Careful clinical observation and a high index of suspicion are required to detect bleeding early

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Antepartum HaemorrhageAntepartum haemorrhage (APH) is defined as bleeding from the vagina after 24 weeks

gestation and has an estimated incidence of between 2ndash5 of all pregnancies Complications include maternal shock fetal hypoxia premature labour and fetal death Causes include

Placenta praevia Placental abruption Uterine rupture Trauma

The 4 Trsquos mnemonic describes the abnormalities in one of 4 basic processes acting individually or in combination

Many physiological changes occur during pregnancy including a decrease in blood pressure and an increase in baseline heart rate and blood volume This altered physiology may mask the extent of blood loss until it is severe Complete circulatory collapse is often rapid when the limits of physiological compensation are reached

Warning signs of significant maternal haemorrhage that should not be ignored include tachycardia tachypnoea hypotension pallor poor urine output and pathological CTG changes The performance of regular observations in conjunction with obstetric early warning scores is encouraged Attention should be paid to vital sign trends as well as absolute values and a rapid clinical review should be carried out should any warning criteria be met Tachycardia may be the first and only sign of haemorrhage until 30ndash40 of the circulating volume has been lost where after hypotension and peripheral vasoconstriction ensue In APH signs of fetal distress due to uterine hypoperfusion may precede maternal compromise

The symptoms and signs of hypovolaemia may be more difficult to recognise if there is a language barrier obesity pre-eclampsia dark skin or beta-blockade and hence extra care should be taken in these situations

The main aims of management are rapid resuscitation to restore tissue oxygen delivery while predicting preventing and correcting haemostatic disorders Appropriate levels of monitoring (especially invasive arterial blood pressure monitoring) should be considered and instituted early

If anaesthesia is required for examination andor surgical intervention and haemodynamic stability is compromised general anaesthesia is usually indicated Haemodynamic compromise and coagulopathy should be addressed prior to surgery whenever possible although surgical control may at times be required to enable effective resuscitation Regional anaesthesia may be contra-indicated due to maternal coagulopathy and risk of neuraxial haeamatoma as well as haemodynamic compromise In addition surgery may be lengthy with the potential for further patient deterioration Rapid sequence induction is indicated preferably following antacid prophylaxis (eg sodium citrate and ranitidine)

Induction of general anaesthesia in a severely hypovolaemic patient may cause a catastrophic fall in cardiac output Ketamine is a suitable induction agent (15 mgkg IV) as is cautious dosing of either thiopentone or propofol

If time and the patientrsquos condition allow direct arterial monitoring may be established both as a guide to response and for ongoing blood sampling to guide transfusion therapy Central venous access may be required however this is not imperative and can wait until the situation is under control and should not interfere with prompt resuscitation Central venous access may be necessary for inotrope and

vasopressor infusion and central venous pressure monitoring may provide some additional information to help guide fluid management Although there are few reports of the use of minimally invasive haemodynamic monitoring devices (eg oesophageal Doppler

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

monitoring) in the management of major obstetric haemorrhage these devices may aid fluid management in the anaesthetised patient Attention to fluid balance is imperative since over-transfusion and dilution before achieving surgical haemorrhage control is associated with worse outcomes

Lack of robust RCTs Upon arrival at major trauma institutions blood component resuscitation is driven by massive transfusion protocols trending toward 111 RBCFFPPLT ratios It seems reasonable to extend these recommendations to massive PPH which is also often accompanied by hypothermia acidosis and coagulopathy US Army Surgeon General distributed policy recommending 11 FFPRBC ratio for pts with significant trauma based on experience in Iraq and Afghanistan Empiric transfusion based on clinical parameters Lethal triad of acidosis hypothermia and coagulopathy Decreased coagulopathy when replacing blood loss with a 11 ratio of FFPPRBCs Military physicians noticed a decrease in coagulopathy in bleeding cases when replacing blood loss with a 1 ratio of FFPRBCs

No RCTS evaluating the effect of different transfusion ratios were identified Odds ratio for the high FFPRBC ratio was 045 95 CI 037-055) OR for the high PLTRBC ratio was 045 95 CI 037-055) No optimal ratio Timing of administration is key 9 of the studies reported improved survival in the group of pts receiving the highest ratios of PLT to RBC (the most platelets) This is in agreement with Johansson et al who demonstrated that administration of PLT together with plasma and RBC immediately upon arrival in the operation theater and throughout surgery was associated with reduced postop bleeding and a 50 increase in 30-day survival in pts undergoing ruptured abdominal aortic aneurysm repair

There were a lot of differences between the groups besides the rbcplasma ratio Rapidity of component administration and the reduction in crystallloid use may paly role in outcome

Incidentally D-dimers and fibrin degradation prodcuts increased in fibrinolysis may further aggravate OB hemorrhage by impairing myometrial contractility PPH can rapidly become life-threatening requiring massive transfusion of blood products Traumatic hemorrhagic shock is primary cause of gt5 million trauma related deaths worldwide and a leading cause of death of young people Presents with hypovolemic anemia often accompanied by coagulopathy that results in uncontrollable bleeding systemic inflammation and infection in damaged blood vesells Mitra and colleagues studied the association between acute coagulopathy and early mortality Significant association with early death Ahmed When massive obstetric hemorrhage occurs hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive and its onset can be rapid and profound when compared with surgical or trauma-related coagulopathy The drop in fibrinogen is particularly severe in placental abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy Rapid consumption of fibrinogen is recognized in massive OB hemorrhage Primary coagulation dorsquos are not frequently identified as a cause of PPH except in women on anicoagulation medication or with a known ho a bleeding doIt is becoming increasingly clear that the mechanism of coagulation failure varies according to the underlying cause of massive hemorrhage and that management should reflect this Rayment 2012 Platelets are already low 22 hemodilution increased consumption by uteroplacental unit From Pasquier SIR=systemic inflammatory response Note amount of tissue trauma and contamination is less in the obstetric patient and obstetric hemorrhage occurs in controlled environment usually Also parturients start with higher fibrinogen concentrations From Mercier Obstetric hemorrhage is often complicated by an acquired coagulopathy 22 dilutional and or consumptive effects on clotting factors and by further adverse effects of massive transfusion D dimer levels increase throughout pregnancy and peak on pp day 1 The rise in d dimers occurs with simultaneous increase in circulating fibrinogen and other procoagulant factors during pregnancy Despite hypofibrinolysis the excess fibrin deposition results in an increase in tissue plasminogen activator and high d-dimer values

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Massive hemorrhage with hypovolemic shock leads to tissue hypoxia hypothermia acidosis SIR which lead to DIC Massive transfusion in setting of acidosis and hypothermia lead to DICTrauma induced coagulopathy initiated by tissue injury and hemorrhagic shockHypothermia acidosis and hemodilution contributed to the development of coaguloptathy Hess et al ldquo6 initiators of coagulopathy tissue trauma shock inflammation acidemia hypothermia and hemodilution

Jan 2013 AampA Severe PPH defined as ineffective response to manual uterine examination andor removal of retained placenta genital tract examination and Iv oxytoccin (20U) Failure to respond IV prostaglandin E2 ((sulprostone 500 mcg over 1 hr) given During study period no antifibrinolytics fibrinogen concentrate or compression techniques were administeredapplied Note pts were divided into the do nothing category or the interventional procedures(IR arterial ligation B-lynch hyserectomy) according to their response to sulprostone

Point-of-care tests may help hemostatic therapy to be tailored to the individual pt and therefore reduce the risk for under- or over-transfusion The use of conventional laboratory clotting tests is very limited in immediate situations TEG is thromboelastography ROTEM is rotational thromboelastometry The goal of platelets of 50000 is based on a consensus of medical opinion rather than on evidence and would depend on the rapidity of blood loss and the presence of platelet dysfunction Johansson and Stensballe compared 2 transfusion strategies in massively bleeding pts a classic administration of platelets based on platelet count and a new proactive transfusion strategy consisting of preemptive use of platelets and plasma in transfusion packages (552 unit platelet concentrates) Urgently need RCTs before recommendations are formulated for OB pts Point of care= thromboelastography and thromboelastometry Blood and fluid replacement is first line in treatment of obstetric hemorrhage This slide from Saule I Transfusion practice in major obstetric hemorrhagerdquo Arterial thrombosis is a potential complicaitons of rFVIIa but zero cases in case series of 15 pts Its safety in obstetric hemorrhage is unproven Platelet target depends on rapidity of blood loss and on the presence of platelet dysfunction

Toledo et al Accuracy of blood loss estimation after simulated vaginal delivery Interestingly in this study there was no association between years in trainingexperience and accuracy also no difference between providers in accuracy (nurses vs Obs vs anesthesiologists) although other studies have shown that anesthesiologists are more accurate 106 subjects participated estimating blood loss at 8 stations (4 with calibrated and 4 without) In pic the uncalibrated bag on L has 500 mL calibrated on R has 1000 mL

Fibrinogen plays a role in platelet aggregation and establishment of fibrin network Coags platelets can be normal in major OB hemorrhage with no detectable fibrinogen levels Essential marker for the severity of PPH Hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive in massove OB hemorrhage and its onset can be rapid and profound particularly in cases of abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy

Stinger 2008 is trauma medicineRahe-Meyer is a cardiac surgery study Haas is craniosynostosis Therersquos a need for RCTrsquos for OB hemorrhage massive trauma etc to assess threshold at which fibrinogen should be transfused whether the threshold varies with differenet clinical scenarios its effect on transfusion requirements and length of stay as well as mortality and risk of arterial and venous thromboembolism (VTE) Itrsquos unlikely that a study comparing the effect of fibrinogen concentrate with that of cryp will be performed It would be difficult to coordinate such a study because fibrinogen concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly Fibrinogen is not licensed for use in pregnancy Its efficacy in treatment of major hemorrhage limited to case series

All parturients requiring fibrinogen between Jan 2009-June 2011 were identified 77 cases identified out of 21614 (incidence of 361000) 44 received either cryo or concentrate

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Replaced fibrinogen with cryo and concentrate for major Ob hemorrhage Both were effective in contributing to the cessation of bleeding No cases of death Medical and surgical treatments similar in both groups (see figure)Itrsquos unlikely that RCTs comparing the effect of concenetrate with that of cryo will be performed Why Bc concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly (Rayment 2012)

Systematic review of studies that reported use of FVIIa in PPH On lady who had PE had antithrombin deficiency Another had DVT one unrelated to factor VII Still offlabel and very expensive

Tranexamic acid (TXA) given intravenously as 4g1 hr then 1gh for 6h Study conducted between 2005-2008 Blood loss between time 2 and time 4 was 49 lower in the TXA group (Plt003) WHO guidelines ldquoMay be used in PPH if other measures failrdquo

ConclusionGlobally postpartum haemorrhage (PPH) is the leading cause of maternal morbidity

and mortality Major obstetric haemorrhage is managed by multidisciplinary approach In the current treatment of severe PPH first-line therapy includes transfusion of packed cells and fresh-frozen plasma in addition to uterotonic medical management and surgical interventions In persistent PPH tranexamic acid fibrinogen and coagulation factors are often administered Secondary coagulopathy due to PPH or its treatment is often underestimated and therefore remains untreated potentially causing progression to even more severe PPH The most postnatal haemorrhage is due to uterine atony and can be temporarily controlled with firm bimanual pressure while waiting for definitive treatment

S-39

Perioperative Neuroprotection

Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Kepala Pusat Studi Neuromuskuler FK Universitas Padjadjaran

Abstrak

PendahuluanApakah Perioperative Neuroprotection Perioperatif adalah periode dari mulai praoperasi

saat operasi dan pascaoperasi artinya pengelolaan pasien yang menyeluruh dari mulai praoperasi selama operasi dan pascaoperasi Neuroprotection adalah proteksi neuron dari cedera (injury) Proteksi neuron atau proteksi otak berbeda dengan resusitasi otak tindakan pengelolaannya pasiennya hampir sama tapi per definisi sedikit berbeda Proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk mengurangi cedera neuron

Menjadi pertanyaan apakah proteksi sel neuron merupakan kenyataan atau pemikiran yang salah Susunan saraf pusat (SSP) mungkin mengalami iskemia selama karotidenarterektomi emboli operasi vaskuler di intrakranial torak atau abdomen saat hipotensi kendali syok henti jantung atau pada cedera otak Oleh karena itu tindakan anestesi jangan menambah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

efek buruk pada SSP akan tetapi harus justru harus melakukan proteksi dari cedera iskemik dan hipoksik

Menjadi pertanyaan apakah kita membutuhkan proteksi otak Tentu dengan tegas jawabannya adalah YA Bukti-bukti menunjukkan bahwa terjadi 20 defisit neurologis setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) 80 iskemia otak setelah cedera kepala dan yang operasinya diluar otakpun penelitian menunjukkan 40 terjadi disfungsi kognitif setelah antroplasti Penelitian Selim yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi stroke iskemik setelah berbagai macam operasi baik operasi yang menyangkut jantung dan pembuluh darah otak atau operasi ditempat lain

Iskemia didefinisikan sebagai ketidak cukupan perfusi untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas metabolic neuron dan fungsi Iskemia dapat global atau fokal komplit atau tidak komplit Komplit global iskemia misalnya henti jantung iskemia global yang tidak komplit misalnya hipotensi atau syok Iskemik fokal misalnya oklusi satu pembuluh darah dan artinya tidak komplit Bila pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan (disebut iskemia) maka sintesa adenosine tri phosphat (ATP) menurun ATP menjadi kosong dan terjadi kegagalan pompa Na-K-ATPase Natrium akan masuk kedalam sel dan kalium akan keluar sel dstnya dan terjadi kaskade iskemik sampai terjadi kematian sel

Metode Proteksi OtakUntuk memutuskan rantai tersebut dilakukan proteksi otak dan atau resusitasi otak

yang kalau dilihat dari tindakannya adalah sama seperti teknik ABCDE neuroanestesi Jadi tindakan neuroresusitasi neuroproteksi neuroanestesi neuroICU adalah sama saja ABCDE itu adalah

bull A = Clear airway (jalan nafas bebas epanjang waktu)bull B = Breathing (ventilasi kendali dengan target normocapnia atau sedikit hipokapni) bull C = Circulation (hindari peningkatan atau penurunan tekanan darah hindari

peningkatan tekanan vena serebral dan pengaturan cairan dengan target normotensi normovolemia iso-osmoler normoglikemia)

bull D = Drugs (hindari obat dan teknk anestesi yang meningkatkan ICP berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak)

bull E = environment (pengendalian suhu hipotermia ringan cegah hipertermi)

Metode proteksi otak terdiri dari 1) Basic Method yaitu ABC neuroanestesi 2) Hipotermia dengan target low normothermia (E dalam neuroanestesi) dan proteksi otak secara farmakologik (D dalam neuroanestesi) yang dapat dilakukan dengan pemberian anestetika intravena anestetika inhalasi lidokain mannitol magnesium eritropoietin alpha-2 agonist demedetomidin

Basic MethodBasic Method terdiri dari pengelolaan Airway Breathing dan Circulation Airway harus bebas

sepanjang waktu Breathing adalah untuk oksigenasi adekuat hindari hipoksia hiperkapnia Targetnya adalah normokapnia dan hiperventilasi hanya dilakukan bila ada tanda-tanda herniasi otak Pada circulation pertahankan tekanan darah normotensi dengan target tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressureCPP) 50-70 mmHg CPP kurang dari 50 mmHg bisa

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

terjadi iskemia otak tapi CPP gt 70 mmHg pada cedera otak traumatik bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) Kendalikan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP) dan mulai terapi bila ICP gt 20 mmHg Koreksi asidosis ketidakseimbangan elektrolit osmolaritas dan kadar gula darah Gula darah harus dipantau dengan ketat Hindari hiperglikemia dan pertahankan gula darah antara 100-150 mg dan periksa setiap 2 jam Kadar gula darah yang tinggi akan memperburuk outcome sedang normoglikemia mempunyai efek proteksi otak

Terapeutik hipotermiaHipotermia mempunyai efek proteksi otak Lebih turun temperatur makin besar efek

proteksi otak tapi komplikasi juga makin besar Harus dicari penurunan suhu yang optimal antara maksimal proteksi dan minimal efek buruk maka suhu inti dipertahankan antara 34-35 0C

Mekanisme hipotermi untuk proteksi otak selain dengan menurunkan metabolisme otak juga melalui efek menurunkan pelepasan EAA mencegah apoptosis mengurangi disfungsi mitokhondria menurunkan produksi radikal bebas mempertahankan ATP menurunkan influks Ca memelihara sintesa protein dan sawar darah otak mencegah peroksidasi lipid menurunkan pembentukan edema memodulasi respons inflamasi dan kematian sel secara apptotik

Hipotermi sampai 33 0C dapat menimbulkan komplikasi saat rewarming karena terjadi vasodilatasi serebral dan kemudian kenaikan ICP Komplikasi lain adalah terjadinya pneumonia Hipertermia (suhu inti 420C pasien bisa koma) dapat meningkatkan Ca influks pengosongan ATP dengan cepat dan gangguan pemulihan

Clifton GL dkk dalam N Engl J Med 2001344(8)556-63 melaporkan penelitian dengan suhu tubuh 330C yang dimulai 6 jam setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam dengan surface cooling Hasilnya menunjukkan bahwa terapeutik hipotermi tidak efektif Kemudian Clifton GL dkk mempublikasikan penelitian yang lain dalam Lancet 2011 yang mana terapi hipotermi dilakukan dengan suhu 330 C dalam 25 jam setelah cedera pada 232 pasien cedera otak traumatik berat dan dipertahankan selama 48 jam Hasil penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermi sebagai strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera otak traumatika berat

Sydenham E dkk dalam Cochrane Database Sys Rev 2009 dengan kriteria seleksi penelitian RCT yang melakukan hipotermi sampai maksimum 350C paling sedikit 12 jam meliputi 23 penelitian dengan total 1614 pasien Menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa hipotermi menguntungkan dalam terapi cedera kepala Sadaka F Veremakis C dalam Brain injury 201226(7-8)899-908 tidak dapat memberi kesimpulan dan menunggu hasil penelitian multisenter yang lebih besar untuk mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome-nya

Hipotermi terapeutik masih kontroversi akan tetapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 350C dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 370C Lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari Untuk mencapai suhu 350C dianjurkan memakai metode surface coolingTentang outcome masih dipertanyakan dan belum diketahui dan sekarang penelitian yang lebih besar sedang dilakukan yaitu The Eurotherm3235Trial European Society of Intensive Care Medicine study of HT (32-35degC) for ICP reduction after TBI (the Eurotherm3235Trial) Penelitian ini merupakan penelitian mulisenter untuk menguji efek hipotermi 32-35degC untuk mengurangi ICP lt20 mmHg pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah cedera otak traumatik dengan jumlah sampel 1800 pasien dan dimulai April 2010

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pharmacologic Brain ProtectionPharmacologic brain protection adalah melakukan proteksi otak dengan obat-obatan Kalau

berbicara proteksi otak maka harus dilihat dari konteks anti nekrotik dan antiapoptotik Apoptotik adalah programmed cell death Anestetika intravena barbiturat mempunyai efek proteksi otak dengan jalan menurunkan metabolisme otak tekanan intrakranial Ca influks memblok kanal Na menghambat pembentukan radikal bebas dan menurunkan glutamataspartatlaktat ekstraseluler

Anestetika inhalasi meningkatkan aliran darah otak di daerah iskemik menurunkan metabolisme otak dan menekan kejang Isofluran sevofluran desfluran menekan metabolisme otak secara maksimum pada 2 MAC dan memperbaiki ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan (anestetika inhalasi berefek serebral vasodilator tapi menekan metabolisme otak) Efek lain adalah menghambat pelepasan neurotrasmiter eksitatori dan menghambat asidosis laktat mengurangi influks Na dan Ca menghambat peroksidasi lipid dan mengurangi pembentukan radikal bebas Beberapa publikasi menyebutkan bahwa isofluran hanya ldquoselintasrdquo berefek proteksi insult iskemia dan hanya berefek antinekrotik tapi tidak antiapoptotik Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isofluran tidak mempunyai efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isofluran hanya memperlambat tapi tidak mencegah infark akibat iskemia fokal Sebaliknya penelitian Engelhard mengatakan bahwa sevofluran mempunai efek antinekrotik dan anti apoptotik Kalau istilah proteksi otak harus mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik maka hanya sevofluran yang mempunyai efek proteksi otak Akan tetapi semuanya ini adalah pada penelitian hewan coba belum dikonfirmasikan pada penelitian klinis Desfluran lebeih berefek vasodilatasi serebral dan lebih meningkattkan ICP daripada isofluran dan sevofluran pada keadaan normokapnia Pada 1 MAC desfluran aliran darah otak 16 lebih tinggi daripada isofluran dan 24 lebih tinggi daripada sevofluran

Bagaimana tentang N2O Pada tahun1938 CD Courvile mempublikasikan foto sel neuron korteks yang bervakuola pada pasien yang meninggal setelah pemberian N2O Enampuluh tahun kemudian Todorovic menyampaikan bahwa N2O menimbulkan vakuolisasi mitokhondria dan endoplasmik retikulum tikus Penelitian lain menunjukkan bahwa N2O menghilangkan efek proteksi otak dari pentotal dan isofluran juga N2O meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flowCBF) ICP dan metabolisme otak

Bagaimana tentang osmodiuretik Pada first-tier therapy pengelolaan hipertensi intrakranial dipandukan untuk memberikan mannitol Mannitol ternyata mampu menurunkan ICP dan meningkatkan CPP memperbaiki CBF pada penelitian hewan dan manusia Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma selintas dengan penurunan hematokrit dan viskositas plasma Mannitol mempunyai osmolaritas 1208 mOsmL maka harus dipantau osmolaritas plasma Manitol jangan diberikan bila osmolaritas 320 mOsmL dan osmolaritas 350 mOsmL dapat berakibat buruk pada otak dan ginjal Rebound phenomena setelah pemberian mannitol hanya relevan bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi lebih dari 4 hari

Magnesium (MgSO4) mempunyai efek proteksi otak karena berefek NMDA reseptor antagonis memblok kanal Ca sehingga menghambat pemasukan Ca ke intraseluler serta mempercepat pemulihan ATP Suatu penelitian metaanalisis pada akut iskemik stroke menunjukkan perbaikan outcome fungsional

Bagaimana tentang lidokain Kita menggunakan lidokain 1-15 mgkg intravena untuk menghindari lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ekstubasi serta memberikan lidokain intravena 1 mgkgjam kontinyu untuk efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa skor neurologik (0=normal dan 4=kerusakan berat) tikus yang diberi lidokain lebih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

kecil daripada yang tidak diberi lidokain Lidokain bekerja dengan cara memblok kanal Na dan kanal Ca mengurangi cedera post nekrotik memotong kerusakan iskemik pada daerah penumbra dengan memblok jalur kematian sel secara apoptotik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lidokain mempunyai efek proteksi otak

Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah sehingga akan berperan dalam pemeliharaan proteksi pertumbuhan perbaikan sistem saraf Juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin mempunyai efek proteksi otak

Alpha-2 agonist dexmedetomidine mampu menurunkan kadar norepinephrin dalam plasma sehingga mampu menghambat terjadinya iskemia yang dipicu oleh pelepasan norepinephrin dan mampu mencegah kematian sel yang lambat setelah iskemia fokal Penelitian lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine menurunkan volume daerah iskemik sebanyak 40 dibandingkan dengan plasebo

SimpulanSebagai simpulannya ternyata bahwa proteksi otak merupakan suatu fakta yang dapat

dilakukan selama kita mengelola pasien yang berisiko terjadi iskemia otal Caranya adalah dengan basic method hipotermia dan farmakologik

Bahan Bacaan1 Bisri T Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatik Bandung

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 20122 Bisri DY Bisri T Terapi hipotermi setelah cedera otak traumatik JNI 20143(3)189-983 Neuroanesthesia and Critical Care Course (NACC course) edisi 2015

S-40

Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography Guidance

T G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Background Regional anesthesia has an anti-inflammatory effect that blockade the C-fiber hence reduced cytokine production and blocked the activity of the sympathetic nerve fibers Postoperative pain caused primarily by tissue inflammation and activity of the C-fibers in the manner of reduced the production of cytokines regional anesthesia may limit the inflammatory response after surgery and severity of postoperative pain

Methods This study is a clinical experimental study with randomized pre and post test control group design A total of 24 samples were recruited in this study divided into two groups each consisting of 12 samples The first group was given regional anesthesia method of continuous brachial plexus block with ultrasound guidance and the second group with general anesthesia method T-test or Mann-Whitney continued multivariate linear regression

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

analysis was performed to analyze the differences in treatment and not because of differences in the initial values with significance level of plt005

Results This study reports that the mean decreased levels of IL-6 postoperatively in 1stgroup is 298 lower than in 2ndgroup and it is statistically significant plt 005 There was an increase of IL-10 mean levels from preoperative to postoperatively with significance level of plt005 in both groups Declined in the mean levels of PAF postoperatively in 1stgroup 13 lower than 2nd group and it was statistically significant plt005 The declined of postoperative VAS in 1stgroup is 31 lower than 2nd group and it is statistically significant plt 005 and it also contained the pure effect of PAF levels against value of VAS that any increased 1ngml levels of PAF then an increase in the value of 018 cm VAS and this was statistically significant plt005 Selection of this anesthesia technique in orthopedic antebrachii surgery provides better inflammatory response and improved clinical outcomes

S-41

Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist Perspective

Widya Istanto Nurcahyo

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstract

All patients scheduled to undergo noncardiac surgery should have an assessment of the risk of a cardiovascular perioperative cardiac event The purpose of this assessment is to help the patient and healthcare providers weigh the benefits and risks of the surgery and optimize the timing of the surgery The clinician uses information obtained from the history physical examination and type of surgery in order to develop an initial estimate of perioperative cardiac risk

Patients with recent myocardial infarction (MI) or unstable angina decompensated heart failure (HF) high-grade arrhythmias or hemodynamically important valvular heart disease (aortic stenosis in particular) are at very high risk for perioperative MI HF ventricular fibrillation or primary cardiac arrest complete heart block and cardiac death Patients who require emergent or urgent surgery are at increased risk of a perioperative cardiovascular event at any level of baseline risk

Functional status can be expressed in metabolic equivalents (1 MET is defined as 35 mL O2 uptakekg per min which is the resting oxygen uptake in a sitting position) One important indicator of poor functional status and an increased risk of postoperative cardiopulmonary complications after major noncardiac surgery is the inability to climb two flights of stairs or walk four blocks

Gupta MICA NSQIP database risk model The NSQIP database was used to determine risk factors associated with intraoperativepostoperative myocardial infarction or cardiac arrest (MICA) Among over 200000 patients who underwent surgery in 2007 065 percent developed perioperative MICA Five factors were identified as predictors of MICA type of surgery dependent functional status abnormal creatinine American Society of Anesthesiologistsrsquo class and increased age

Revised cardiac risk index (RCRI) sometimes referred to as the Lee index was published in 1999 and has been used worldwide since then In the derivation of the index 2893 patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

(mean age 66) undergoing elective major noncardiac procedures were monitored for major cardiac complications (cardiac death acute MI pulmonary edema ventricular fibrillationcardiac arrest and complete heart block) The index was validated in a cohort of 1422 similar individuals The predictive value was significant in all types of elective major noncardiac surgery except for abdominal aortic aneurysm surgery

RCRI did not perform well in patients undergoing vascular surgery the Vascular Study Group of New England (VSGNE) developed a risk index specifically for those patients named VSGNE risk index In multivariate analysis of the VSGNE cohort independent predictors of adverse cardiac events (MI arrhythmia heart failure but not mortality) were (increasing age smoking insulin-dependent diabetes coronary artery disease CHF abnormal cardiac stress test long-term beta-blocker therapy chronic obstructive pulmonary disease and creatinine ge18 mgdL Prior cardiac revascularization was protective

ACS-NSQIP universal surgical risk calculator is an universal surgical risk calculator model consisting of 20 patient factors plus the surgical procedure This model had excellent performance for mortality morbidity and six additional complications

Management based on risk are categorized into low or higher-risk patients Patients whose estimated risk of death is less than 1 percent are labeled as being low risk and require no additional cardiovascular testing Patients whose risk of death is 1 percent or higher may require additional cardiovascular evaluation Often these are patients with known or suspected coronary artery or valvular heart disease Further evaluation may include stress testing echocardiography 24-hour ambulatory monitoring or cardiologist consultation

S-42

Sepsis in obstetric

Yusmein

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Abstract

Pregnant patients pose unique challenges for clinicians involved in critical care because obstetric populations pose significant challenges the physiological changes of pregnancy may mask the clinical signs of sepsis when it occurs in the antenatal period maternal deterioration can quickly lead to fetal compromise12 They have traditionally been viewed as an immunocompromised state therefore placing the mother at increased risk of infectious diseases4 Sepsis is still a major cause of maternal mortality and morbidity in France the UK and the USA6

World Health Organisation (WHO) has defined it as ldquoinfection of the genital tract occurring at any time between rupture of membranes or labour and the 42nd day postpartum with two or more of the following are present pelvic pain fever abnormal vaginal discharge abnormal smell of discharge delay in postpartum reduction of size of uterus34 Early recognition and diagnosis with rapidly instituted therapy are key to ensuring a good outcome34

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) has recommended that sepsis should be managed in accordance with the Surviving Sepsis Campaign guidelines The Surviving Sepsis Campaign guidelines described two clinical-care bundles - six hours the

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

resuscitation bundle and twenty four hours the management bundle severe sepsis and septic shock bundle Six hours the resuscitation bundle has been shown to significantly improve survival rate early detection early administered antibioticcultures and early goal directed therapy (EGDT) Twenty four hours management bundle glucose control steroid and lung protective strategy Fetal assement is important in the critically ill pregnant patients34

Keywords Sepsis Obstetric Morbidity Mortality Management

S-43

Principles of Medical Consultation and Perioperative Medicine

Zulkifli

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH-FK Unsri Palembang

Abstrak

Mengusahakan evaluasi perioperatif yang bermutu tinggi dan cost-effective merupakan issue yang penting dalam management pasien perioperatif Penggunaan perioperatif assessment melalui koordinasi antara antara operator anestetist laboratory care dan dokter lain yang terkait mendorong perkembangan petunjuk praktis dan menurunkan pembatalan pasien dan lama perawatan Hal yang harus diingat bahwa pada konsultasi medical diharuskan untuk mengerti dengan pasien dan penyakitnya

Selain itu pengertian dan penerapan prinsip-prinsip management medikasi perioperatif sangat bermanfaatmemperbaiki outcome pasien yang menjalani pembedahan Paling tidak 50 pasien yang menjalani pembedahan mendapatkan medikasi secara reguler Sorang anestetist harus mampu memutuskan medikasi tersebut diteruskan atau dihentikan

Kata kunci Medical Consultation Perioperative Medicine

S-44

MAC and Sedation outside the Operating Room

Arif HMMarsaban

Department of Anesthesiology and Therapy IntensiveFaculty of Medicine University of IndonesiaDr Cipto Mangunkusumo General Hospital

Abstract

Monitored Anesthesia Care (MAC) is a planned procedure to a patient who is undergoing a procedure that needs the administration of sedation andor analgesia and the anesthesiologists has the responsibility of all aspects of anesthesia care ndash a preprocedure visit intraprocedure care and postprocedure anesthesia management Anesthetic procedures outside OR is known also as NORA = non-operating room anesthesia that may consists of varying levels of sedation analgesia and anxiolysis Problems in NORA MAC are usually related to unfamiliar locations and working conditions differs to the well equipped operating room

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Common complication during NORAMAC are respiratory problems (apnea obstruction) hypothermia anaphyalxis gastric aspiration hypotension and hypovolemia To minimize the risk of complication a proper preparation prior to the procedure should be carried out that includes patient evaluation and informed consent the goals and level of MAC the choice of drugs related to the procedure the facility (monitors anesthetic equipment drugs and emergency equipment) and the personal The deeper the level of sedation the more risks of adverse events

The choice of drugs depends on the procedure does it requires immobilization during the procedure is it a painful procedure or both If the procedure is a painless procedure than it needs only sedative or hypnotic drugs (chloralhidrat barbiturates midazolam propofol dexmedetomidine) may combine with opioid analgesia as required A painful procedure usually needs combination of opioid analgesia or ketamine and sedative hypnotic drugs These drugs can be given bolus iv intermittent or continuous infusion (TIVA TCI)Key words MAC monitored anesthesia Care Non-operating room anesthesiaSuggested Readings

1 American Society of Anesthesiologists DISTINGUISHING MONITORED ANESTHESIA CARE (ldquoMACrdquo) FROM MODERATE SEDATIONANALGESIA (CONSCIOUS SEDATION) Approved by the ASA House of Delegates on October 27 2004 last amended on October 21 2009 and reaffirmed on October 16 2013

2 Ramkumar P Anaesthesia care beyond Operating Rooms Newer opportunities amp Challenges Amrita journal of medicine 2013 9(2) 2015 1-44

3 Melloni C Anesthesia and sedation outside the operating room how to prevent risk and maintain good quality Current Opinion in Anaesthesiology 2007 20513ndash9

4 Van De Velde M Kuypers M Teunkens A Devroe S Risk and safety of anesthesia outside the operating room MINERVA ANESTESIOL 200975345-8

5 Krane E Guideline for surgery outside the operating room Pediatric anesthesia and pain management Lucile Packard Childrenrsquos Hospital Standford University Medical Center 1-9

6 Agostoni M Fanti L Gemma M Pasculli N Beretta L Testoni PA Adverse events during monitored anesthesia care for GI endoscopy an 8-year experience Gastrointest Endosc 201174266-75

7 Ghisi D Fanelli A Tosi MH Nuzzi M Fanelli G Monitored Anesthesia Care MINERVA ANESTESIOL 200571533-8

8 Karaaslan K Yilmaz F Gulcu M Colak C Sereflican M Kocoglu H Comparison of Dexmedetomidine and Midazolam for Monitored Anesthesia Care Combined with Tramadol via Patient-Controlled Analgesia in Endoscopic Nasal Surgery A Prospective Randomized Double-Blind Clinical Study Current therapeutic research 2007 68(2) 69-81

9 Ryu J-H So Y Hwang J-W Do S-H Optimal target concentration of remifentanil during cataract surgery with monitored anesthesia care Journal of Clinical Anesthesia 2010 22 533ndash7

10 Fanti L Agostoni M Arcidiacono PG Albertin A Strini G Carrara S Guslandi M Torri G Testoni PA Target-controlled infusion during monitored anesthesia care in patients undergoing EUS Propofol alone versus midazolam plus propofol A prospective double-blind randomised controlled trial Digestive and Liver Disease 39 (2007) 81ndash6

11 Ryu J-H Kim J-H Park K-S Do S-H Remifentanil-propofol versus fentanyl-propofol for monitored anesthesia care during hysteroscopy Journal of Clinical Anesthesia 2008 20328ndash32

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-45

Target-controlled inhalational anesthesia

Doddy Tavianto

Departemen SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin

Bandung

Abstract

Target-controlled inhalational anesthesia is an anesthesia delivery system available in the newer anesthesia machines It is a modality of anesthesia gas delivery system where the machine adjusts automatically the anesthetic agent concentration to achieve the desired target levels set by the user

The target-controlled inhalational anesthesia technique is a mechanism in the breathing system where the desired values of gases are selected and the computerized system adjusts the gas delivery to achieve the targeted levels

By using the target-controlled inhalational anesthesia technique the consumption of gases would reduce thus effectively reducing the cost and environmental pollution

Keywords Target-controlled inhalational anesthesia breathing system

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-01

Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam

Ade Irna

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh dan kadar PGE-2 yang lebih baik dibandingkan parasetamol iv dan cooling blanket pada pasien cedera otak dengan demam

Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal sampel penelitian sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi Sampel dipilih secara acak dan dibagi kedalam 3 kelompok Kelompok M diberikan metamizol iv 15 mgkg berat badan kelompok P iv diberikan parasetamol 15 mgkg berat badan dan kelompok C diberikan cooling blanket yang diatur pada suhu 10oC sampai suhu target tercapai Penurunan suhu tubuh kadar PGE-2 dan nilai TAR dicatat dan dilakukan analisis statistik

Hasil penelitian memperlihatkan metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh lebih baik namun penurunan kadar PGE-2 pada ketiga kelompok adalah sama

Kata kunci Pasien cedera otak demam suhu tubuh kadar PGE-2

P-02

Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup Jantung

Agus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta PtDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Sanglah ndash fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Latar Belakang Kelainan katup jantung paling sering disebabkan oleh komplikasi dari penyakit jantung rematik Menjaga kestabilan hemodinamik menjadi tantangan dalam manajemen perioperative Teknik anestesi yang dipilih untuk manajemen perioperative pasien ini tergantung kondisi pasien dan kemampuan menjaga kestabilan hemodinamik

Laporan kasus Perempuan 40 tahun dengan Adenomiosis+ RHDFc 2 MS Severe AR Mild TR Mild AS mild AR mild menjalani operasi laparotomi Supravaginal Histerektomi

Masalah Pre-operatif RHDFc 2 dari Echocardiografi MS severe AR mild AS mild TR mild Sec (+) di LA fungsi sistolik LV normal EF 61 (EDV 112 ml ESV 44ml SV 68 ml)fungsi sistolik RV normal Durante operasi dilakukan anestesi epidural di L2-3 dengan regimen lidocaine 20 vol 10 ml +bupivacaine 05 plain vol 15 ml Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit hemodinamik stabil tanpa topangan obat simpatomimetik Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan analgetik epidural bupivacaine 01 + morphin 05 mg volume 10 ml dan Ketorolak 30 mg setiap 8 jam intravena

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Prinsip manajemen perioperative pasien ini adalah dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan hantaran oksigen ke jaringan dengan menjaga preload (status euvolumia) jaga SVR dan cegah takikardi Anestesi regional menyebabkan blokade simpatis dan dapat menurunkan SVR Anestesi regional khususnya blok epidural dengan sifatnya blokade segmental diharapkan dapat lebih menjaga kestabilan hemodinamik dengan tetap memberikan relaksasi lapangan operasi dan analgetik yang adekuat terhadap pasien Durante operasi kita harus dapat mencegah efek takikardi yang ditimbulkan oleh blok epidural akibat hipovolumia relatif dengan meyakinkan status volume dan kestabilan hemodinamik sebelum prosedur anestesi dilakukan

Kesimpulan Anestesi regional epidural pada pasien yang menjalani pembedahan ginekologi dengan penyakit katup jantung dapat memberikan keadekuatan anestesi dan kestabilan hemodinamik

Kata Kunci Supravaginal Histerektomi epidural anestesi penyakit katup jantung

P-03

Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis

Andi Kusuma I Wayan Aryabiantara

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar BelakangAneurisma aorta abdominalis merupakan penyebab kematian terbesar ke 13 di Amerika

dan merupakan kasus yang menantang bagi bedah vaskuler dan anestesi

DiskusiPasien laki-laki 61 th akan dilakukan EVAR (Endovascular Artery Repair) dengan

keluhan nyeri perut hilang timbul disertai benjolan yang semakin membesar Pada Angiografi didapatkan Pseudoaneurysma arteri illiaca comunis sampai illiaca interna dekstra Pada EKG jantung didapatkan sinus bradikardi dengan HR 57 x menit Sedangkan fungsi organ lain dalam batas normal Pre anastesi dilakukan dengan lengkap tidak aada masalah pada pasien

Sebelum induksi kecukupan cairan dipenuhi Induksi dilakukan perlahan untuk mencegah lonjakan hemodinamik yang beresiko mengakibatkan pecahnya aneurisma Durante operasi pasien dengan ventilasi kendali dengan dilakukan AGD berkala Tindakan cross clamping aorta dan declamping aorta mempunyai pengaruh yang besar terhadap hemodinamik Untuk mengatur hemodinamik durante operasi digunakan NTG Penggantian kehilangan cairan durante operasi digunakan kristaloid koloid dan sel darah merah Pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan ventilasi kendali untuk monitoring ketat fungsi jantung ginjal dan produksi urine Analgetik pasca operasi digunanakan Epidural Analgesia Hari ke 2 pasien sudah bernapas spontan Hari ke tiga kembali ke ruangan dan selanjutnya rawat jalan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanDengan managemen anestesi yang safe pada pasien aneurisma aorta abdominalis dapat

menyelamatkan pasien dan menurunkan resiko angka kematian Memberikan kenyamanan pada pasien operator dan ahli anastesi yang bekerja dengan meminimalkan efek samping terutama pada kardiovaskuler

Kata kunci aneurisma aorta abdominalis repair managemen anestesi

P-04

Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis Bulosa

Andri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Epidermolisis Bulosa merupakan kelainan genetik mekanobulosa berupa gangguan ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau gesekan ringan Penyakit ini terutama mempengaruhi lapisan epitel skuamosa di kulit namun bula juga dapat terjadi pada mukosa saluran pernafasan Penyakit ini memberikan masalah khusus untuk dokter anestesi karena alat yang digunakan untuk memberikan pelayanan anestesi dapat menyebabkan komplikasi postoperatif Tantangan pada pasien EB adalah untuk menjaga patensi jalan nafas dan penggunaan alat monitoring tanpa merusak permukaan epitel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan

Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada pasien EB Pasien laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis Pseudosindaktili Dekstra et Sinistra ec Epidermolisis Bulosa yang akan menjalani operasi release sindaktili dan skin graft Pada pasien ini ditemukan masalah malnutrisi dengan BMI 1285 kgm2 dengan anemia defisiensi besi dan hipoalbuminemia karena asupan makanan yang kurang

Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan anestesi umum Manipulasi jalan nafas dengan memberikan sungkup muka secara ketat dihindari Kami memberikan jelly pada permukaan sungkup muka yang akan kontak dengan kulit pasien ETT ukuran 65 dengan dilumuri jelly sebelumnya dipasang dengan menggunakan video laringoskopi Kami juga memperhatikan pengembangan cuff ETT secara berkala untuk meminimalisir risiko terbentuknya bula pada mukosa saluran nafas Untuk monitoring pasien kami menggunakan pulse oksimetri yang dipasang di daun telinga dan pemasangan manset tekanan darah di tungkai bawah dengan sebelumnya dilapisi elastomul dan jelly Fiksasi ETT menggunakan kassa yang diikat melingkari kepala pasien untuk menghindari tempelan plester yang dapat menimbulkan trauma pada kulit Pemeliharaan anestesi kami gunakan N2O dan Sevoflurane Pasien kami ekstubasi secara sadar Pasca operasi pasien dirawat di burn unit

Pada pasien EB diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya lesi epitel baru Penanganan jalan nafas harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya bula Selain itu evaluasi preoperatif yang menyeluruh diperlukan untuk menilai kondisi lain yang berhubungan seperti anemia infeksi kronik kontraktur dehidrasi dan malnutrisi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-05

Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam Malik

Andrias1 Dadik WW2

1Residen Anestesi Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

2Staf PengajarAnestesi danTerapi Intensif Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

Abstrak

Pendahuluan Hepar merupakan organ yang sering cedera pada trauma tumpul abdomen Penyebab

kematian pada cedera hepar ialah eksanguinasi karena hepar mendapat 25 curah jantung Kesembuhan pasien tergantung resusitasi awal yang lebih cepat untuk mencegah kematian

Laporan Kasus Laki-laki 18 tahun riwayat kecelakaan lalu lintasabdomen terkena stang motor Keadaan

pasien buruk (nadi 166 xmenit TD 60palpasi) Sebelumnya pasiendilaparotomi di rumah sakit lain Dilakukan packingcedera hepar grade V Direncanakan relaparotomi general anestesiASA Ve Intubasi teknik RSII induksi ketamin serta rocuronium Sejawat bedah tidak mampu mengendalikan perdarahan kemudian dipacking rawat ICU Perdarahan aktifsejawat bedah menolak reeksplorasi kontrol perdarahan Pasien meninggal 6 jam kemudian akibat eksanguinasi

DiskusiAnestesiologis pusat trauma terlibat dalam manajemen jalan nafas dan resusitasi pasien

trauma di UGD Ruang operasi dan ICUPenanganan trauma tumpul abdomen sesuai ATLS Cairan diberikan kristaloid koloid Syok hemoragik keduanya digantikan darah karena tidak memfasilitasi transpor oksigen pembekuan darah Kecukupan resusitasi tahap lanjut dinilai dari perfusi jaringan normal Pasien diinduksi ketamin teknik RSII Suksinilkolin pilihan utama namun rocuronium (12 mgkg IV) alternatif yang tepatTransfusi masif didefinisikan memberikan seluruh volume darah dalam 24 jam atau 50 volume darah pasien dalam 12-24 jambanyak komplikasinya Darah transfusi kurva 23 DPG-nya bergeser ke kiri 24 jam post-transfusisebaiknya dikontrol ventilator Komplikasi lainnya koagulopati Pada hipoperfusi lama dapat mengalami DIC Jika perdarahan post-transfusi diagnosis pembandingnya trombositopenia dilusional DIC reaksi transfusi hemolitik Untuk menyingkirkannya lakukan pemeriksaan hitung platelet fibrinogen plasma bukti hemolisis dalam plasma Darah transfusi mengandung mikroagregat berakumulasi di paru mengakibatkan TRALI Resusitasi pasien hipoperfusi yang tertunda mengakibatkan akumulasi kompleks imun kapiler paru mengakibatkan ARDS

KesimpulanPenanganan pasien trauma berat mengikuti panduan ATLS teknik anestesi yang

bijaksana manajemen pembedahan perawatan intensif post-operatif yang baik dapat meningkatkan kesembuhanJika salah satunya tidak dilakukan angka mortalitas meningkat

Kata Kunci Resusitasi Transfusi masif Syok

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-06

Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan Disgerminoma

Angga Permana Putra1 Syamsul Bahri Siregar2 Hasanul Arifin3

1Residen Anestesi Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

2Staf Pengajar Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUD Dr Pirngadi Medan

3Kepala Program Studi Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

PendahuluanDisgerminoma merupakan bentuk paling umum dari sel tumor germinal primitif dari

ovarium sekitar 1-5 dari seluruh keganasan ovarium Secara umum sering terjadi pada wanita yang berada pada usia reproduktif Sangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa dilakukannya intervensi pada kehamilannya Kami disini melaporkan sebuah kasus kehamilan primi gravida alamiah yang diikuti dengan disgerminoma tanpa adanya komplikasi fetomaternal Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

Kata kunci disgerminoma kehamilan alamiah kombinasi anestesia spinal-epidural

Laporan KasusWanita usia 33 tahun dengan kehamilan primi gravida datang dengan amenorrhea dan

bengkak di umbilicus bawah kiri Riwayat menstruasi tidak teratur tidak dijumpai sebelum kehamilan ataupun pemakaian kontrasepsi sebelumnya Pemeriksaan luar menunjukkan asites dan massa di perut kiri dengan ukuran sekitar 30cm x 35cm Dalam usaha untuk menyelamatkan janin operasi elektif laparatomi dengan seksio sesaria segera direncanakan Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

DiskusiSangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa

dilakukannya intervensi pada kehamilannya Intervensi dapat dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan tumor dilanjutkan dengan seksio sesaria yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kemoterapi Manajemen anestesi pada pasien ini dipilih dengan regional anestesi yang lebih aman efektif dan murah daripada anestesi umum Kombinasi Anestesia Spinal Epidural menggabungkan keuntungan kerja cepat dari spinal anestesi dengan fleksibilitas dari epidural anestesi dapat pula digunakan sebagai manajemen nyeri post operasi dengan pemberian Morfin 3mg 24jam yang memberikan efek analgesia yang baik pada pasien

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanHasil akhir pasien dengan disgerminoma murni sangat baik Pasien dapat diterapi dengan

pembedahan dan kemoterapi Disgerminoma pada ovarium tunggal dengan asites masih dimungkinkan untuk mengalami kehamilan dengan kelahiran anak yang baik Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural adalah pilihan terbaik terhadap pasien dibuktikan dengan kelahiran bayi yang sehat dengan APGAR Score yang baik dan tanpa adanya komplikasi setelah operasi

P-07

Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy Biopsy

Anindito Andi Nugroho

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstract

Background Traditionally definitive treatment for breast surgery was done by general anesthesia But general anesthesia was not able to inhibite pain reflex to the brain It also have side effects such as post operative nausea and vomiting There are a few regional anesthesia techniques that have been performed in this operation such as infiltration epidural and thoracal paravertebrae block Paravertertebral block techniques that have been performed in this operation by injecting local anesthesia that blockade somatic and symphatetic ipsilateral in that dermatomes above and beneath injection site Surgical trauma can attenuate stress response (local and systemic) Increase of cortisol level is one the endocrine systemic response

Purpose To compare the difference between single injection and multiple injection thoracal paravertebra block to plasma cortisol and VAS value in breast cancer patients ongoing excisy biopsy

Methods Samples include 20 patients ongoing excisy biopsy Blood samples were taken at 8 inhte morning before surgery and 8 tomorrow morning VAS value was checked at hour-0 (when the patient at the recovery room and hour-24 Patients divided into multiple (M) group or single (T) group Normality of data was tested by Kolmogorov-Smirnov test If p gt 005 so the distribution is normal Analitycal analysis will be done with pre and post test group design

Result General characteristic on each group has normal distribution (p gt 005) Delta data value of cortisol and VAS hour-24 before and after injection in T and M group did not give significance result (p gt 005) But VAS value a hour-0 between both groups give significant result (p lt 005)

Conclusion Paravertebra block technique either multiple or single injection can reduce postoperative cortisol and VAS score in patient undergoing excisy biopsy

Keywords Paravertebra block single injection Paravertebra block multiple injection cortisol VAS

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-08

Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom Eisenmenger

Asterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifRumah Sakit Umum Sanglah-Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PENDAHULUANPasien hamil dengan penyakit jantung merupakan tantangan yang unik untuk

Obstetrician dan Anesthesiologist karena berkaitan dengan pasien beresiko tinggi dan memerlukan pemahaman tentang dampak kehamilan terhadap respon hemodinamik untuk kelainan jantung pasien Tidak ada konsensus mengenai teknik anestesi yang optimal untuk kondisi tersebut Namun pilihan manajemen dan teknik anestesi harus secara individual dan berdasarkan kondisi hemodinamik yang terjadi serta kebutuhan kebidanan

LAPORAN KASUSPerempuan 27 tahun dengan G3P0020 hamil 8-9 minggu tunggalhidup Congestif Heart

Failure ec GUCH (Grown-Up Congenital Heart Disease) Perimembranous VSD Eisenmengerrsquos Syndrome Pulmonal Hipertensi severe Pulmonal Regurgitasi severe Trikuspid Regurgitasi severe Mitral Regurgitasi mild Bidirectional shunt WHO FC II

Masalah pra operasi pasien dengan hasil echocardiography adalah terdapat inlet besar pada peri membran VSD dengan bidirectional shunt dominant left to right shunt high flow Pulmonal Regurgitasi moderate Mitral Regurgitasi mildTrikuspid Regurgitasi moderate Pulmonal Hipertensi severe Left ventricle diastolic function decreases Left ventricle and right ventricle systolic normal global normokinetik ejection frection 70 EDV 49 ml ESV 15 ml SV 35 ml

Selama operasi pasien diberi anestesi spinal dengan jarum spinal 27G di L3-4 dengan regimen Bupivacaine 05 heavy 5mg dan adjuvant Fentanyl 25 mcg Operasi berlangsung selama 50 menit Hemodinamik stabil dengan pemasangan monitoring invasif arteri line tanpa menggunakan obat-obatan inotropik maupun vasopressor

Pasca operasi pasien dirawat di ruang terapi intensif Manajemen nyeri pasca operasi Fentanyl 250 mcg24 jam dengan syringe pump parasetamol 500 mg 6 jam per oral

DISKUSITeknik anestesi regional menyebabkan blokade simpatik dan dapat menurunkan Systemic

Vascular ResistenKami menggunakan dosis yang sangat kecil pada anestesi lokal (LA) intrathecal

untuk meminimalkan hipotensi Ini dapat mencegah peningkatan Systemic Vascular Resistenmendukung aliran darah dan membantu untuk mencegah terjadinya kongesti paru Hal ini juga dapat menurunkan after load dan mencegah terjadinya peningkatan Systemic Vascular Resisten dan overload volume Left Ventrikel akut

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KESIMPULANDosis rendah bupivakain intratekal dan fentanil memadai untuk dilatasi - kuretase

dengan efek samping yang minimal pada pasien kami dengan sindrom Eisenmenger dan dapat menjadi alternatif yang aman untuk mencapai anestesi yang baik dengan stabilitas kardiovaskular yang mengesankan

Kata kunci dilatasi-kuretase anestesi spinal sindrom Eisenmenger

P-09

Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar

Bayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko

) Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ) Supervisor Konsultan Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Abstrak

Latar Belakang Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan sebagai analgetik paska operasi Berbagai jenis OAINS seperti ketorolak dan parecoxib dapat menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang merupakan mediator inflames dan mengakibatkan berkurangnya tanda inflamasi OAINS sebagian besar mengalami metabolisme di hepar dan dapat menyebabkan gangguan pada hati Gejala klinis disfungsi hati pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi parekoxib dan ketorolak oleh sebab ituperubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran histopatologis

Tujuan Membandingkan gambaran histopatologi sel hepar antara tikus wistar yang diberikan ketorolak intramuskuler dan parecoksib intramuskuler

Metode Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok control diberikan luka insisi sepanjang 2 cm dan tidak diberikan injeksi ketorolak maupun parekoksib kelompok ketorolak diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi ketorolak intramuskuler setara dosis manusia 30 mg tiap 8 jam kelompok parekoxib diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi parekoksib setara dosis manusia 40 mg tiap 12 jam Pada hari ke 5 dilakukan terminasi kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin jaringan hepar

Hasil Ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi sel hepar tikus wistar antara kelompok ketorolak dan parecoxib dengan kelompok kontrol namun tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologis sel hepar antara keolompok ketorolak dan parecoxib

Kesimpulan Tidak ada perbedaan bermakna histopatologi sel hepar tikus wistar setelah penggunaan ketorolakdan parekoxib

Kata Kunci Ketorolak Parecoksib histopatologis sel hepar

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-10

Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain Management

Charismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono

Department of Anesthesia and Intensive CareFK UNDIP RSUP Dr Kariadi Semarang

Abstract

Background Pain is one of the most consequential problem which are caused subsequent to the invasive procedures Management of post operative tonsilectomy pain is a difficult task and could remain over 4 days after the surgery that results in poor oral intake long hospital stay and a delay in return to the normal activities In BPJS era the government more wisely determining rates Hospitals must be pressed at low cost but give optimal service We as an anesthesiologist must have methods in reducing postoperative morbidity Post-tonsillectomy pain is believed to be mediated by noxious stimulation of C-fiber afferents located in the peritonsillary space and local anesthetic infiltration to this area may decrease pain by blocking the sensory pathways and thus preventing the nociceptive impulses Peritonsillar infiltration of ketamine alone or in combination with epinephrine can reduce VAS (Visual Analog Score) and opioid requirements

Objectives To evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for managing post operative pain after tonsillectomy

Methods Two females in their second and third decades were scheduled for elective tonsillectomy Premedication using midazolam 3 mg induction using propofol 2 mgkg intravenous dexametason 10 mg intravenous cuffed with sevoflurane then intubate The operation took 10 minutes using dissection technique we performed peritonsiller infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 01 mgkgBB and lidocain cum adrenalin 1200000 as solvent 2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation We evaluate post operative pain using VAS scale on 1st hour an 6th hour We also asessed complication that might occured post op

Result One hour observation all patients are in mild pain and in six hour observation have no pain and reduce the need of opioid or NSAIDs analgesic Vomitting as complication occured only in first patient and given antiemetic All patients were dismissed from the hospital 8 hours after surgery given Mefenamic Acid 500 mg per eight hours orally

Conclusion Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective to minimize post operative tonsillectomy pain in both patient up to 6 hours post op in both patients observed and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic

Keywords Post operative pain management peritonsillar infiltration ketamine

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-11

Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalis

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Atresia biliar (AB) adalah suatu obliteratif kolangiopati pada neonatus yang fatal jika tidak diobati Kelainan ini jarang ditemukan dengan insidensi 05-1 per 10000 kelahiran hidup dan etiologinya tidak diketahui Pada AB terjadi obstruksi saluran bilier yang menyebabkan cairan empedu statis sehingga pada akhirnya tejadi kerusakan hepatoseluler dan sirosis hati

Laporan Kasus Seorang bayi laki-laki berumur 3 bulan dengan berat badan 45 kg yang didiagnosis AB dan direncanakan untuk dilakukan tindakan prosedur Kasai Pasien dengan kondisi aktif menangis kuat dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik Pasien dilakukan dalam anestesi umum induksi dengan premedikasi sulfas atropin 01 mg induksi dimulai dengan fentanil 10 microg dan atracurium 2 mg kemudian dilakukan ventilasi dan dikontrol secara manual dengan rumatan anestesi menggunakan 50 N2O 50 O2 dan 15 MAC isofluran Durasi operasi adalah 4 jam dengan total durasi anestesi berkisar 45 jam Selama operasi berlangsung kondisi pasien stabil Pascaoperasi pasien diekstubasi dan mendapat parasetamol infus sebagai analgetik Pasien dirawat di PICU

Kesimpulan Penatalaksanaan anestesi yang tepat monitoring ketat selama operasi untuk perdarahan dan resiko hipotermi serta usia pasien saat dilakukan prosedur Kasai akan memberikan hasil yang baik

Kata Kunci Anestesi Atresia Bilier Kasai Prosedur

P-12

Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta Abdominal

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) adalah pelebaran aorta yang permanen lebih dari 30 mm dimana resiko ruptur akan meningkat bila pelebaran lebih dari 50 mm Angka kematian jika terjadi ruptur AAA sebanyak 90 dan angka kematian dapat di cegah dengan pembedahan elektif repair AAA dengan angka mortalitas kurang dari 7

Laporan Kasus Kasus 1 Wanita 49 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 496 dengan jarak 382 mm dari arteri renalis sin dan 346

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

mm dari bifurcatio arteri iliaca Pasien di induksi dengan fentanyl 5 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbbAnalgetik post op dengan epidural Pasien di ekstubasi setelah 9 jam post op dan setelah 2 hari pasien pindah keruangan

Kasus 2 Laki- laki 54 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 554 cm x 446 cm inferior dari percabangan art renalis kanan dan kiri Analgetik post op dengan morfin 20 mcgkgbbm Post operatif pasien tidak di ekstubasi pasien didiagnosa VAP pada hari ke 3 Pasien diekstubasi pada hari ke 7 dan pindah keruangan pada hari ke 10

Kasus 3 Wanita 35 tahun BB 50 kgPemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 798 cm inferior dari cabang arteri renalis kanan dan kiri Pasien di induksi dengan fentanyl 3 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbb Analgetik post op dengan epidural Post operatif pasien di ekstubasi dan setelah 2 hari di rawat di ICU pasien pindah keruangan

Kesimpulan Manajemen anestesi repair AAA berfokus pada perubahan hemodinamik akut yang disebabkan aortic cross clamping dan unclamping mempertahankan perfusi organ dan oksigenasiCross clamp meningkatkan afterload jantung dan terjadi peningkatan mendadak tekanan arteri proksimal pada klem untuk menurunkan lonjakan tekanan darah pada ketiga kasus dengan menggunakan nitrogliserin Setelah aortic unclamping resistensi pembuluh darah perifer berkurang 70-80 yang menyebabkan penurunan tekanan arteri mengalirnya darah ke bagian bawah tubuh sehingga terjadi hipotensi untuk meningkatkan tekanan darah diberikan cairan dan vasokontriktor noradrenalin

Kata kunci Aneurisma Aorta Abdominal aortic cross clamping unclamping

P-13

Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake Craniotomy

Dian Rosanti Khalid Pryambodho

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Abstrak

Pendahuluan1

Awake craniotomy merupakan prosedur beresiko tinggi yang semakin sering dikerjakan Prosedur ini memungkinkan pemetaan korteks motorik sensorik visual dan bahasa yang optimal sehinggga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperatif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi

Serial KasusPasien pertama laki-laki 37 tahun dengan diagnosis glioma temporal sinistra pasien

kedua laki-laki 47 tahun dengan diagnosis glioma frontotemporal sinistra Keduanya menjalani

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

prosedur awake craniotomy removal tumor Analgesia difasilitasi dengan scalp block dan sedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol 05-3 mcgml Scalp block menggunakan bupivakain 05 plain total volume 30 cc Kemudian dipasang central venous catheter (CVC) dan kanul arterial blood pressure (ABP) untuk pemantauan hemodinamik Patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan Naso Pharyngeal Airway (NPA) diberikan oksigen (O2) 3 Lmenit via nasal kanul dan kedalaman anestesi dimonitor dengan bispectral index (BIS) Pascaoperasi pasien diobservasi di ICU

Diskusi1-4

Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktu-waktu Propofol dipilih karena memenuhi kriteria ini Over sedation akan menyebabkan apnea hipoksia hiperkarbia dan edema serebri Sedangkan under sedation menyebabkan agitasi takikardia dan hipertensi Memberikan sedasi dengan target pasien tetap sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks merupakan hal yang tidak mudah oleh karena itu digunakan BIS untuk pemantauan kedalaman anestesi Pada awal operasi pasien disedasi dengan TCI propofol 2-3 mcgml target BIS 40-60 Kemudian saat pemetaan korteks TCI propofol diturunkan 05-1 mcgml dengan target BIS adalah 80-100 setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1-10 menyebutkan nama dan menggenggam tangan pemeriksa Setelah pemetaan korteks selesai anestesia didalamkan kembali Adekuat analgesia didapatkan dari scalp block Blok ini efektif mengurangi penggunaan opioid intraoperatif yang dapat mendepresi pernafasan dan menyebakan over sedation Terbukti pada kasus diatas hanya digunakan fentanyl total 100 mcg dengan durasi anestesia plusmn 7 jam Kejang edema serebri perdarahan dan emboli udara merupakan komplikasi pada prosedur ini Kedua pasien mendapatkan mannitol untuk mengurangi edema serebri fenitoin untuk mencegah kejang dan pascaoperasi diobservasi di ICU Suksesnya prosedur beresiko tinggi ini akan sangat tergantung pada kerjasama tim

KesimpulanManajemen anestesia awake craniotomy ini sangat sulit Persiapan preoperatif yang baik

monitoring ketat intraoperatif dan pengawasan pascaoperasi menjadi kunci sukses Kerjasama yang baik antara tim anestesi dan bedah sangat penting agar prosedur ini berjalan aman lancar dengan hasil optimal

Kata Kunci awake craniotomy scalp block TCI BIS

Daftar Pustaka 1 ChuiJAnesthesiaforAwakeCraniotomyAnupdateColombianJournalofAnesthesiologyChui J Anesthesia for Awake Craniotomy An update Colombian Journal of Anesthesiology

20154322-82 Ghazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative ReviewGhazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative Review

and Future Challenges Saudi Journal of Anesthesia 20148529-373 Cormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent AdvancesCormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent Advances

St Vincentrsquos Hospital Melbourne 201577-824 Scubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and RoboticScubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and Robotic

Surgery Cottrell and Youngrsquos Neuroanesthesia 5 th Ed Philadelphia Elsevier Mosby 201017296-8

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-14

Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral

Artery yang menjalani operasi non-cardiac

Dita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Major Aorta Pulmonary Collateral Artery (MAPCA) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terjadi 5-10 dari semua anak-anak dengan penyakit jantung bawaan yang disertai hypoplasia atresia pulmonal MAPCA merupakan pembuluh darah yang timbul dari aorta desending dan arteri sublclavia yang berfungsi untuk menghantarkan darah ke paru untuk oksigenasi Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA dengan mempertahankan SVR menurunkan PVR dan mencegah terjadinya shunt

Laporan Kasus Anak laki-laki5 tahun dengan berat badan 15 kg dk Periodontitis Apikalis Kronik + Situs Inversus + Mitral atresia + LV hipoplasia + ASD besar +VSD besar + Pulmonal atresia yang dilakukan mouth preparation Dari pemeriksaan fisik diadapatkan anak aktif SpO2 57-64 dengan udara bebas cardiomegaly gallop dan clubbing finger Dengan hasil lab Hb 182 gdl Ht 65 L 6500mm3 Tr 178000mm3 Echo ASD besar (single atrium) VSD besar (single ventrikel) Pulmonary atresia terisi PDA kecil Aorta keluar dari RV Pasien dilakukan induksi dengan sulfas atropine fentanyl propofol dan rocuronium Rumatan anestesi dengan sevoflurane Operasi berlangsung selama 40 menit dengan SpO2 selama operasi 60-70 Pasien diekstubasi dengan analgetik post op paracetamol

Kesimpulan Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA yang menjalani operasi non cardiac dimulai dari pre operatif untuk mendapatkan baseline dari kondisi pasien tersebut Intraoperative dengan menggunakan teknik ldquoopioid baserdquo sehingga menjaga kondisi pasien se-fisiologis mungkin

Kata Kunci Anestesi MAPCA Non-Cardiac Surgery

P-15

Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi Spinal

Donny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana

Departemen Anesteologi dan Terapi Intensif RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak

LATAR BELAKANGSalah satu kekurangan anestesi spinal adalah durasi blokadenya yang singkat Berbagai

cara dilakukan untuk memperpanjang durasi blokade seperti penambahan adjuvant α2 agonist selektif dexmedetomidine Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penambahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

dexmedetomidine pada anestesi lokal bupivakain hiperbarik terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal

METODE PENELITIAN Uji klinik acak berpembanding tersamar ganda telah dilakukan di Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang dari bulan November 2014 sampai dengan Maret 2015 Terdapat 52 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani operasi dengan anestesi spinal Pasien dibagi dalam dua kelompok masingndashmasing 26 orang Kelompok I menggunakan bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 5 microg dexmedetomidine 05 ml sedangkan kelompok II bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 05 ml NaCl 09 Diteliti mula kerja lama kerja blokade sensorik dan motorik tinggi blokade sensorik puncak efektivitas dan efek samping intraoperatif Analisis data menggunakan SPSS versi20

HASIL PENELITIANPada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-dexmedetomidine didapatkan mula kerja

blokade sensorik dan motorik lebih cepat tetapi secara uji statistik tidak bermakna (pgt005) dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang daripada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-NaCl 09 ( p=00001) sedangkan tinggi blokade sensorik puncak kualitas analgesia dan relaksasi motorik sebanding Hemodinamik lebih stabil dan efek sedasi pada kelompok dexmedetomidine

SIMPULANSimpulan dari penelitian ini adalah penambahan 5 microg dexmedetomidine pada bupivakain

05 hiperbarik 15 mg anestesi spinal memperpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik hemodinamik yang stabil serta efek sedasi yang menguntungkan

Kata kunci dexmedetomidine bupivakain anestesi spinal

P-16

Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manual

Eric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar belakang Guillain barre syndrome adalah penyakit paralisis akut disertai arefleksia dimana dapat

terjadi pada siapa saja dan menimbulkan kelumpuhan yang bisa sampai menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernafasan dan tanpa mendapatkan terapi yang memadai

Pendahuluan Guillain-Barreacute syndrome (GBS) saat ini merupakan penyebab tersering dari paralisis

flaksid akut di seluruh dunia Kasus GBS telah dilaporkan di seluruh dunia Angka insiden pertahun sekitar 12-23 per 100000 penduduk Angka kematian penderita mencapai 3-10 yang umumnya ditimbulkan oleh komplikasi (Doorn dkk 2008) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut patogenesis GBS Patofisiologi GBS sampai saat ini tidak seluruhnya dimengerti Fungsi selular dan humoral dari sistem imun diperkirakan terlibat Dipercaya antibodi yang terbentuk sebagai respon antigen terhadap agen penyebab

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

bereaksi silang dengan gangliosida pada permukaan saraf tepi Pada setengah kasus GBS ditemukan antibodi terhadap gangliosida Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik dalam saraf tepi Keterlibatan infeksi sebagai faktor pencetus terutama oleh Campylobacter jejuni Cytomegalovirus (10) virus Epstein-Barr virus varicella-zoster dan Mycoplasma pneumonia (Yuki amp Hartung 2012) Gangguan ini ditandai adanya kelemahan ekstremitas yang progresif simetris dengan atau tanpa gangguan sensorik disertai reflek fisiologis yang menurun atau menghilang

Diagnosis masih berdasar pada gejala klinis yang ditunjang oleh analisa cairan serebrospinal yang didapat dari lumbal pungsi Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan imunoglobulin intravena (IVIg) atau plasmapheresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilitas dalam jangka waktu 2 minggu setelah muncul gejala Di RSUP Sanglah telah terjadi 3 kasus sejak 2014-2015 dimana dilakukan terapi plasmapheresis yang memberikan hasil yang memuaskan

Pembahasan Pada GBS terjadi reaksi silang antibody terhadap antigen dan gangliosida pada saraf

tepi Pada pasien yang terjadi di Sanglah telah dilakukan plasmpharesis manual dimana antibody yang mengenali antigen gangliosida tersebut terdapat di plasma sehingga dengan dibuangnya plasma dapat membuang antibody yang salah mengenali antigen dan diberikan juga imunosupressan untuk menekan antibody yang bisa memperburuk keadaan GBS

Hasil Pada 3 kasus GBS di RSUP Sanglah tindakan plasmapharesis dilakukan secara manual

dimana plasma pasien dibuang dan diganti dengan plasmanat dan hal ini memberikan hasil yang memuaskan Pada daerah dimana tingkat prasarana yang terbatas dengan tindakan plasmapheresis manual dapat memberikan hasil yang menjanjikan dengan peralatan yang terbatas dan harga yang jauh lebih murah dibandingkan IVIg

P-17

Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral Dekubitus

Firmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Anestesi spinal unilateral dilakukan untuk membatasi blok sensorik motorik dan juga simpatis yang dapat meminimalkan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas blok unilateral berdasarkan durasi posisi lateral dekubitus selama 10 menit 15 menit dan 20 menit setelah anestesi spinal dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 05 10 mg pada operasi ekstremitas bawah

Metode Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan 51 sampel yang terbagi atas tiga kelompok dengan 17 sampel per kelompok Setiap kelompok dilakukan anestesi spinal dengan sisi operasi di bagian bawah menggunakan bupivakain hiperbarik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

05 10 mg bevel jarum spinal diarahkan ke sisi operasi injeksi lambat selama 60 detik tanpa barbotage Setelah anestesi spinal posisi lateral dekubitus tetap dipertahankan selama 10 menit (kelompok A) 15 menit (kelompok B) dan 20 menit (kelompok C) kemudian dikembalikan ke posisi supine dan dilakukan penilaian onset blok durasi blok ketinggian blok dan hemodinamik

Hasil Onset blok sensorik dan motorik sisi operasi durasi blok sensorik dan motorik sisi operasi dan ketinggian blok sensorik dan motorik sisi operasi tidak berbeda bermakna (pgt005) Ketinggian blok sensorik sisi bebas setinggi Th12 (kelompok A) L3 (Kelompok B) dan S1 (kelompok C) Durasi blok sensorik sisi bebas 7147 plusmn 104 menit (kelompok A) 6353 plusmn 49 menit (kelompok B) dan 5059 plusmn 134 menit (kelompok C) berbeda bermakna (plt 005) Durasi blok motorik sisi bebas 10941 plusmn 182 menit (kelompok A) 8471 plusmn 339 menit (kelompok B) dan 706 plusmn 199 menit (kelompok C) juga berbeda bermakna (plt005) Blok motorik unilateral ketat 882 pada kelompok C 118 pada kelompok B tidak tercapai pada kelompok A Ketiga kelompok memberikan gambaran kestabilan hemodinamik berupa tekanan arteri rerata dan laju jantung

Kesimpulan Posisi lateral dekubitus selama 20 menit setelah anestesi spinal lebih efektif dalam hal blok sensorik dan motorik unilateral

P-18

Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway

I Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana

Bagian SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA

Metode Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA dipilih secara consecutive random sampling Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 003 mgkgbb dan kelompok B diberikan fentanyl 2 mcgkgbb 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcgml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60 Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) postinduksi lebih dari 20 TAR basal Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Youngrsquos Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan Plt005

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 1308 (SB 288) dan B 1411 (SB 296) dengan nilai P = 0216 total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 11871 mg (SB 1324 mg) dibandingkan kelompok B 13161 mg (SB 1286 mg) dengan P = 0003 sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan P = 0739

Simpulan Fentanyl sebagai koinduksi propofol tidak lebih baik dibandingkan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam

Kata kunci hemodinamik koinduksi fentanyl midazolam LMA

P-19

Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde

Cholangiopancreatography (ERCP)

I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan

PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi semakin berkembang tidak hanya memfasilitasi tindakan

pembedahan terbuka namun juga untuk prosedur endoskopi baik untuk tujuan diagnostik maupun sekaligus untuk terapi

Pada kesempatan ini penulis melaporkan serial kasus penggunaan teknik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) dengan menggunakan TCI Propofol dan monitoring tingkat kedalaman anestesi dengan IoC pada pasien yang dikerjakan tindakan ERCP

Serial KasusAntara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di RSUP Sanglah Denpasar kami

memfasilitasi 6 tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Pasien yang dikerjakan dengan status fisik ASA 2 dan 3 Pasien sebelum dilakukan induksi diposisikan dalam posisi prone senyaman mungkin bagi pasien dengan kepala menoleh ke sisi kanan kemudian diberikan premedikasi dengan Midazolam 2 mg Dexamethasone 10 mg dan Difenhidramin 10 mg dan Fentanyl 25 mcg IV Induksi dengan TCI Propofol dengan mode Schneider dengan target efek 3-4 mcgml dilakukan secara titrasi mulai 1 mcgml kemudian dinaikkan 2 mcgml sampai 3-4 mcgml kedalaman anestesi diukur dengan IoC dengan target IoC 40-60 dipertahankan supaya pasien tetap bernafas spontan adekuat Pada keenam pasien yang dikerjakan didapatkan anestesi yang adekuat dengan TCI propofol 3-4 mcgml dan nilai IoC 40-60 dan tidak terjadi depresi respirasi dan kardiovaskular yang berarti

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC ini memberikan hasil yang

memuaskan dalam memfasilitasi anestesi pada tindakan ERCP Teknik ini dapat memberikan kenyamanan pada operator untuk bekerja dan yang terpenting adalah kenyamanan dan keamanan pasien lebih terjamin dengan pemberian obat yang disesuaikan dengan usia berat badan tinggi badan dan jenis kelamin sehingga pemberian Propofol dapat diberikan secara lebih efektif dan efisien Pemantauan kedalaman anestesi dengan IoC dapat memberikan panduan untuk ahli anestesi untuk penyesuaian dosis pemeliharaan obat anestesi selama prosedur dikerjakan sehingga efek depresi respirasi dan kardiovaskuler yang ditakutkan tidak terjadi

KesimpulanPenggunaan teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC dapat menjadi pilihan

dalam memfasilitasi tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Dengan pemakaian teknik ini menjamin kenyaman dan keamanan pasien juga kenyamanan operator dan ahli anestesi bekerja dengan minimal efek samping depresi respirasi dan kardiovaskuler

Kata Kunci TCI Propofol IoC ERCP

P-20

Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemik

I Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSU SanglahDenpasar

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 60 pasien geriatri yang menjalani pembedahan di RSUP

Sanglah Pengelolaan perioperatif geriatri memiliki tantangan tersendiri dengan adanya penurunan fungsi organ Kombinasi regional anestesia dan anestesi umum diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan sistemik

LAPORAN KASUSGeriatri 74 tahun dengan Tumor Parotis Lobus profunda yang menjalani pembedahan

hemimandibulektomi-parotidektomi wide eksisi dengan ASA III (geriatri dan hipertensi stage II FC II) dilakukan tindakan anestesi umum premedikasi dengan midazolam 2 mg co induksi dengan fentanyl 150 mcg(3 mcgkg) induksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg iv (05 mgkg) intubasi nasotracheal menggunakan ETT kinking ukuran 65 dan dilakukan blok pleksus servikalis superfisial infraorbita dan mandibular di sisi operasi Dosis lidokain 1 + epinefrin 1800000 Dosis pemeliharaan dengan O2 N2O (21) dan Isoflurane Operasi berlangsung 3 jam selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 50-72xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 50-70 mmHg dengan urine output 14 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0 Pasca operasi pasien diberikan analgesia fentanyl 200mcg + ketamin 10 mg dalam 50 cc NaCl 09 diberikan via syringe pump dalam 24 jam selama 2 hari hari ke 3 diberikan oral anagesia dengan tramadol 3 x 25 mg dan Parasetamol 3 x 500 mg Pemantauan VAS hari pertama dan kedua 010cm dan hari ke 3 1-210cm

DISKUSIGeriatri dengan permasalahan penurunan fungsi organ dan penurunan cairan tubuh

total dan lean body mass dapat mengakibatkan mudah terjadi intoksikasi obat Kombinasi anestesi umum dan anestesi lokal kepala dan leher dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik sehingga dapat meminimalisasi resiko intoksikasi Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia

KESIMPULANPemahaman teknik operasi sehingga dapat dilakukan pemilihan regioanaliasasi blok

yang tepat diperlukan Blok pleksus servicalis superfisial infraorbita dan mandibuler dengan minimalisasi penggunaan opioid sistemik mampu memberikan analgesia yang efektif dengan stabilnya hemodinamik pasien selama 3 jam durante operasi tanpa penambahan sedikitpun opiat sistemik Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya intoksiskasi obat dan prolong effect pada pasien geriatri sehingga menurunkan resiko morbiditas pasca operasi Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER3 BENAIFER DDUBASH DMD ADAM T HERSHKIN DMD PAUL J SEIDER

DMD GREGORY M CASEY (2013) ORAL-AND-MAxILLOFACIAL-REGIONAL-ANESTHESIA HTTPWWWNYSORA

P-21

Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi Caesarea

Ida Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Stroke hemorhagik merupakan stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah otak yang ada didalam kepala Kehamilan meningkatkan resiko terjadinya stroke hemorhagik Penyulit Stroke hemorhagik meningkatkan mortalitas baik maternal maupun fetal Sehingga penanganan pasien hamil dengan penyulit stroke hemorhagik membutuhkan perhatian khusus dan teknik yang khusus untuk meningkatkan outcome pasca operasi cesaria Laporan kasus ini bertujuan memaparkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada maternal dan fetal dengan penyulit ibu stroke hemorhagik dan IUGR untuk operasi cesaria Pasien perempuan 45 tahun dirujuk dari RSUD Sulawesi dengan diagnosis G1P0000 Primitua Stroke Hemorhagik Anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemah separuh tubuh terjadi beberapa jam sebelum masuk rumah sakit pada saat mengedan BAB Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis dengan hemiparesis sinistra fundus uteri teraba 2 jari diatas umbilikus DJJ 130 xmenit Pemeriksaan CT Scan didapatkan Tampak area hiperdens abnormal pada parenkim cerebri pada parietal sampai korona radiata kanan dengan ukuran 19x10x10 slices Penatalaksanaan preoperatif dilakukan dengan merawat ibu dengan sejawat neurologis untuk mengurangi stress hemodinamik pada otak maupun janin untuk persiapan fetal diberikan dexametason untuk pematangan paru fetal Premedikasi diberikan obat-obatan pencegah regurgitasi metocloperamide ranitidin dan ondancetron intravena 1 jam sebelum di induksi Teknik anestesi menggunakan teknik anestesi umum rapid sequence induction dengan teknik induksi dan fasilitas intubasi memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesi berbasis propofol TCI Rocuronium dan pemberian lidocain intravena pemberian opioid diberikan sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan dengan pertimbangan opioid yang kita berikan tidak segera melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin waktu mulai insisi pembedahan hingga dilahirkannya bayi dilakukan kurang dari 5 menit sehingga opioid yang kita berikan tidak banyak melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin setelah janin dilahirkan penting untuk menyediakan nokoba dan berikan jika dibutuhkan Pasien di extubasi dalam dengan memperhatikan patensi jalan nafas dan ventilasi assisted dengan panduan saturasi perifer dan end tidal capnograf Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan memperhatikan prinsip-prinsip neurointensive dan bayi di rawat di NICU Simpulan Prinsip penatalaksanaan ibu hamil dengan stroke hemorhagik dan IUGR adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesia dengan perhitungan teliti penggunaan opioid intravena sehingga opioid yang diberikan tidak mempengaruhi apgar skor fetal saat lahir

P-22

Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial Kasus

Ihsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah LestariFredi Heru Irwanto

Residen KonsulenDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit dr Mohammad HoesinPalembang Indonesia

Abstrak

Latar Belakang Operasi tulang belakang merupakan operasi yang sering dilakukan di bidang ortopedi Operasi ini membutuhkan waktu yang lama rumit dan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak sehingga membutuhkan teknik anestesi khusus Teknik anestesi hipotensi kendali terpilih untuk memfasilitasi tindakan operasi tersebut Teknik ini didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah yang di sengaja pada saat intraoperatif sekitar 25 ndash 30 dari preoperatif atau dengan MAP 50 ndash 70 mmHg untuk mengurangi jumlah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

perdarahan dan membantu visualisasi lapangan operasi Salah satu agen yang digunakan dalam teknik tersebut ialah dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan suatu agonis adrenergik α2 yang bekerja secara sentral dan memiliki efek analgesia amnesia sedasi dan anti anxietas Mekanisme kerjanya sebagai agen hipotensi yaitu memblok pelepasan noerepinefrine ke perifer melalui ikatan reseptor adrenergik α2 sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sistemik Obat ini sangat menguntungkan karena rentangnya yang lebar mudah dikontrol opioid sparing effect bangun yang cepat dan lancar

Tujuan Untuk mempresentasikan 4 kasus pasien yang menjalani prosedur operasi tulang belakang menggunakan teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan agen dexmedetomidine

Metode Teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan menggunakan agen dexmedetomidine continous dengan loading dose 1 microgkgbb (iv) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan rentang dosis 02 ndash 07 microgkgbbjam

Kasus Kasus pertamalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis paraplegia inferior ec stenosis spinal cord vetebrae Thorakal VI ndash VIII Kasus kedualaki ndash laki 39 tahun dengan diagnosis Fraktur kompresi vetebrae Thoracal IV ndash VI kasus pertama dan kedua menjalani operasi Stabilisasi Posterior Kasus ketigalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis HNP lumbal V ndash sakral I Kasus keempat perempuan 57 tahun dengan diagnosis paraparese inferior ec lesi Intradural setinggi vetebrae lumbal II - V Kasus ketiga dan keempat menjalani operasi laminektomi

Hasil Selama prosedur operasi hemodinamik relatif stabil dengan MAP 50 - 70 mmHg penggunaan opioid intraoperatif menurun 50 dibandingkan jika digunakan dengan agen hipotensi lain rata ndash rata waktu bangun 30 ndash 60 detik dan nyeri post operasi yang terkontrol

Kesimpulan Dexmedetomidine merupakan salah satu alternatif agen hipotensi pada teknik anestesi umum hipotensi kendali pada operasi tulang belakang

Kata Kunci Dexmedetomidine Hipotensi Kendali Operasi Tulang Belakang

P-23

Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien

Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi Umum

Joan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr Muhammad Hoesin

Palembang Indonesia

Abstrak

Latar belakang Tindakan intubasi endotrakea sering menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas Post Operative Sore Throat (POST) merupakan komplikasi minor setelah tindakan anestesi Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pascaoperasi adalah nyeri tenggorokan batuk dan suara serak yang dilaporkan memiliki insiden sebesar 21-52 untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

nyeri tenggorokan dan 42-59 untuk suara serak Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa berkumur dengan ketamin dan aspirin efektif mengurangi insiden dan tingkat keparahan POST Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal

Metode Uji klinik berpembanding buta ganda telah dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia umum teknik intubasi endotrakeal di COT RSMH pada bulan November 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 66 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok Kelompok pertama diberikan ketamin 50 mg dan kelompok kedua diberikan aspirin 320 mg dalam larutan saline 30 ml sebagai obat kumur

Hasil Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak pada kelompok ketamin dan kelompok aspirin sebesar 61 dan 121 Insiden nyeri tenggorokan pada kelompok ketamin adalah 152 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 182 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan Insiden suara serak pada kelompok ketamin adalah 21 2 dengan derajat serak adalah serak ringan dan sedang sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 242 dengan derajat serak ringan

Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara obat kumur ketamin dan aspirin untuk mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal (p = 0444 p gt005)

Kata Kunci Intubasi endotrakeal obat kumur ketamin obat kumur aspirin nyeri tenggorokan dan suara serak

P-24

Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi Infant

Ketut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANSepanjang tahun 2014 terdapat 85 (41) infant dari 405 kasus pembedahan laprotomi

pediatri (0-18 tahun) Pengelolan perioperatif infant memiliki tantangan tersendiri dengan imaturitas fungsi organ dan perbedaan anatominya Analgetik yang efektif dengan efek samping minimal diperlukan selama perioperatif dalam kaitan modulasi stress respon dan kembalinya fungsi system pencernaan CTE kontinyu kami gunakan pada pasien dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai dengan pertimbangan gangguan fungsi hati dan elimminasi obat

LAPORAN KASUSInfant 4 bulan berat badan 65 kg dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai

pasien dengan ASA III (infant pneumonia hyperbilirubinemia (obstruksi ekstrahepatal))

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dilakukan tindakan anestesi umum induksi dengan o2 sevoflurane coinduksi dengan ketamine 1 mg (015 mgkg) dan fentanyl 10 ug iv (15 ugkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 3 mg iv (05 mgkg) intubasi menggunakan ETT kinking ukuran 35 dan dilakukan pemasangan CTE kontinyu dengan panduan Ultrasonography dimana tip berada pada Th 10-11 Dosis bolus lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc volume 6cc (01 cckgsegmen) dilanjutkan dosis pemeliharaan lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 02-03 ccjam dn sevofluran 05 vol dan atracurium intermitten Operasi berlangsung 5 jam 40 menit selama durante operasi hemodinamik stabil dengan nadi 102-111xmnt kalkulasi cairan masuk 350 ml cairan keluar 130 ml dan urine output 109 cckgjamEkstubasi segera sesudah operasi selesai pasca operasi perawatan PICU dengan regimen analgesia lidokain 05 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 03 ccjam didapatkan flacc 0-1 urine output 1-12 cckgjam dan motilitas usus baik sejak hari pertama operasi CTE kontinyu dipertahankan hingga hari ke 6 setelah hari ke 5 pasien diberikan asupan oral pasca operasi didapatkan peningkatan neutrofil dari 1461 x 103ul praoperasi dibandingkan 1576 x 103ul pasca operasi

DISKUSIInfant dengan atresia bilier dan gangguan fungsi hati disertai hiperviskositas darah

dengan potensi cedera ginjal memerlukan penanganan khusus Kombinasi anestesi umum dan CTE kontinyu dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik yang dapat memperberat kerja hati Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia pada populasi infant dengan heart rate dependent Penggunaan mode kontinyu adalah untuk mencegah takifilaksis serta menjaga stabilitas analgetik perfusi renal dan splancnic Dengan peningkatan neutrofil yang tidak signifikan menggambarkan efektifitas modulasi stress response oleh CTE kontinyu

KESIMPULANCTE kontinyu dengan minimalisasi penggunaan gas inhalasi dan opioid sistemik mampu

memberikan analgesia yang efektif dan memberikan keuntungan peningkatan perfusi renal dan splanchnic sehingga dapat mencegah cedera ginjal dan mempercepat pemulihan anastomose Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 COTE CJ LERMAN J ANDERSON BJ (EDS) (2013) A PRACTICE OF ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 5TH ED USA ELSEVIER SAUNDERS

3 DAVIS PJ CLADIS FP MOTOYAMA EK (EDS) (2011) SMITHrsquoS ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 8TH ED USA ELSEVIER

4 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-25

Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial Kasus

Koko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas UdayanaRS Sanglah Denpasar

Latar Belakang Anestesi regional berkembang pesat sebagai salah satu modalitas untuk manajemen anesthesia pada tindakan pembedahan Caudal thorakal epidural adalah salah satu jenis tindakan anestesi regional central neuraxial yang digunakan pada kasus kasus pediatricpada kasus ini digunakan USG sebagai tuntunan

Presentasi Kasus Pasien bayi perempuan umur 5 bulan dan bayi laki laki umur 4 bulan didiagnosis Atresia Bilier pro Prosedur Kasai anestesi dengan perantaraan bius total pemasangan pipa endotrakeal Pasien pertama diinduksi dengan inhalasi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Pasien kedua diinduksi dengan induksi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Operasi berlangsung sekitar 5 jam Pasca operasi pasien diekstubasi dan dirawat di PICU Analgetika post operasi caudal thorakal continyu regimen lidocain 05 + fentanyl 2 mcgcc kecepatan 03 ccjam

Diskusi USG memberikan dua keuntungan untuk tindakan block caudal pada pediatri yaitu pertama kemampuan untuk identifikasi area sacral menjadi lebih cepat dan kedua mampu mengkonfirmasi bahwa obat yang disuntikkan berada pada area yang tepat Viscerotome untuk laparotomi pediatric adalah pada Th6 kateter epidural pada kedua kasus dengan tuntunan USG mampu mencapai Th 10 dan memberikan hasil anesthesia yang baik intra dan pasca operasi

Kesimpulan USG pada kasus ini mampu memberikan kesuksesan penempatan kateter caudal thorakal epiduraldan diharapkan lebih banyak lagi studi yang mempelajari kasus caudal thoracal epidural mempergunakan USG sebagai tuntunanKata kunci caudal thorakal epidural laparotomi pediatri tuntunan USG

Daftar Pustaka1 Smithrsquos Anesthesia for Infant and Children Elsevier 2011 hal 463-474 2 Pain Management HandbookNational Library of Malaysia2013 hal110-1303 Ultrasonography and Pediatric Caudal Journal of Anesth Analg2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26

Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi Umum

M Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

Pendahuluan Kehamilan pada wanita dengan defek septal atrial (DSA) akan meningkatkan risiko kematian ibu dan janin Pada wanita dengan DSA serta hipertensi pulmonal kehamilan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat Oleh karenanya manajemen perioperatif memegang peranan penting

Laporan kasus Kami melaporkan kasus wanita 39 tahun direncanakan untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kehamilan 24 minggu akibat plasenta previa totalis Pasien juga menderita DSA sejak lahir dan dijumpai sesak nafas Ekokardiografi menunjukkan adanya defek septal atrial (26 mm) hipertensi pulmonal ( 50 mmHg ) regurgitasi trikuspidalis ringan dan fraksi ejeksi 78 Teknik anestesi dengan preoksigenasi 100 oksigen selama 5 menit premedikasi dengan pemberian intravena Sulfas Atropin 025 mg dan Fentanyl 50 microg Induksi menggunakan Ketamin 50 mg kemudian Atrakurium 30 mg sebagai obat relaksasi otot dan dilakukan intubasi endotrakeal Selama operasi anestesi inhalasi menggunakan isofluran 05 - 06 dan fentanil 50 microgjam intravena sebagai anti nyeri rumatan

Pembahasan Manajemen anestesi umum pada pasien dengan defek septal atrial dan hipertensi pulmonal diprioritaskan terhadap teknik anestesi dan pemberian obat-obatan untuk mencegah penurunan dari tahanan pembuluh darah sistemikmencegah depresi otot jantungserta mencegah suatu keadaan hipoksiahiperkarbidan nyeri yang akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paruPada kasus ini digunakan ketamin yang dapat mencegah penurunan tahanan pembuluh darah sistemikdan mempuyai efek anti nyeri yang baik apalagi dikombinasi dengan golongan opiod seperti fentanildimana nyeri juga menjadi pencetus utama yang dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemikTerpeliharanya tahanan pembuluh darah sistemik agar tidak turun akan mencegah timbulnya shunt dari kanan ke kiri jantungShunt ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada pasien

Kesimpulan Kami menyimpulkan bahwa tindakan anestesi umum pada pasien hamil dengan defek septum atrium dan hipertensi pulmonal lebih dipertimbangkan karena dengan anestesi umum dapat dihindari penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan tahanan pembuluh darah paru yang akan mencetuskan suatu komplikasi berat

Kata kunci defek septal atrial Hipertensi arteri pulmonal Operasi sesar hipotensi hipoksemi hiperkarbi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-27

Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular Response

Marilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja

PPDS I Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANPasien geriatri akan memiliki beberapa penyakit dasar terkait dengan peningkatan usia

dan perubahan fisiologis terutama dalam sistem kardiovaskuler Pada pasien dengan gagal jantung kronis kebutuhan oksigen miokard dijaga agar tidak melebihi pasokan

Perangkat berikut ini penting bagi pelaksanaan anestesi yang aman antara lain EKG pemantauan tekanan arteri non-invasif pulse oksimetri kapnografi dan juga harus dilengkapi dengan pemantauan kardiovaskuler invasif

Perhatian khusus diberikan dalam memilih teknik anestesi yang mampu mengendalikan perubahan hemodinamik yang terjadi akibat adanya intervensi anestesi

KASUSPria 78 tahun BB 60 kg dengan perdarahan subdural kronis menjalani prosedur borehole

drainase Memiliki riwayat gagal jantung kronis dengan obat-obatan yang tidak diketahui Pasien dinilai dengan ASA III dengan masalah pada sistem saraf pusat dan kardiovaskuler Kesadarannya masih baik tekanan darahnya tinggi (sekitar 160-20090-120mmHg) dengan EKG-nya AF slow ventricular response (HR 45-50kalimenit) LAD CRBBB dan dari ekokardiografi didapatkan kardiomiopati iskemik MR moderate dan hipokinetik septal pada segmen anterior

Diberikan fentanyl 25mcg sebelum pemasangan artery line lalu 75mcg berikutnya sebagai analgetik Induksi dengan TCI Propofol dengan target efek 3-4 mcgml Agen inotropik dobutamin juga diberikan dan dipertahankan sampai akhir operasi Vecuronium 5 mg dipakai sebagai pelumpuh otot utama dan untuk pemeliharaan memakai compressed air oksigen dan TCI Propofol

Hemodinamik intraoperatifnya stabil pada MAP 120mmHg (136-18280-100mmHg) namun kadang irama EKG-nya menjadi ekstrasistol bigemini dan bahkan ventrikuler takikardia dengan nadi Operasinya berlangsung selama 45 menit dan pasien dipindahkan ke ICU untuk pemantauan pascaoperasi

PEMBAHASANSelain pemantauan hemodinamik dasar artery line juga dipasang untuk memantau

tekanan darah dari waktu ke waktu TCI Propofol dipilih dibanding volatil untuk mencegah gangguan pada autoregulasi otak Relaksasi otot memakai vecuronium untuk menghindari peningkatan TIK Dobutamin dipilih sebagai topangan untuk miokard pasien gagal jantung dengan output yang rendah

KESIMPULANKeseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard pemantauan invasif

intraoperatif yang seksama serta manajemen anestesi yang handal adalah kunci untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

memperoleh anestesi yang aman untuk pasien ini Teknik anestesi yang digunakan tidak hanya demi memberikan kualitas kedalaman anestesi untuk operasi kepala namun juga untuk menjaga pasokan oksigen miokard agar mencegah iskemia miokard durante operasi

Kata kunci manajemen anestesi perdarahan subdural gagal jantung kronis atrial fibrilasi slow ventricular response

P-28

Sensitivitas Dan Spesifisitasensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCU

Meili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Abstrak

Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) adalah prediktor independen terhadap mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit Angka kejadian AKI di Intensive Care Unit (ICU) 60-70 mortalitas dari pasien tersebut mencapai 60 Diagnosis AKI saat ini ditegakkan dengan penilaian kenaikan kreatinin serum yang tidak reliabel dan terdeteksi setelah kerusakan ginjal terjadi Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) merupakan penanda untuk menilai kerusakan ginjal yang dapat terdeteksi lebih awal sebelum terjadi kenaikan kreatinin Penggunaan NGAL pada pasien ICU dan NHCU yang mengalami gangguan ginjal belum dapat ditentukan waktu mulai terjadinya AKI sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Objektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan NGAL plasma dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Metode Uji diagnostik telah dilakukan di ICU dan HCU (High Care Unit) RS Dr Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Desember 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 53 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi Semua sampel diperiksa kadar NGAL dengan menggunakan Alere Triagereg kit dan kreatinin serum Analisis hasil pemeriksaan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan SPSSreg versi 220 dan MedCalc versi 127

Hasil Hasil penelitian menunjukkan pada cut-off point 150 ngml NGAL plasma memiliki sensitivitas 88 spesifisitas 81 nilai prediksi positif 88 nilai prediksi negatif 88 dan akurasi 85

Simpulan Pemeriksaan NGAL plasma lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan waktu mulai terjadinya AKI dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Kata kunci AKI kreatinin NGAL plasma ICUHCU uji diagnostik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-29

Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan Kasus

Mohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar Belakang Tindakan koreksi skoliosis thorakalis membutuhkan manajemen anestesi perioperatif yang cermat dikarenakan terdapatnya permasalahan fisiologis yang sangat kompleks yang dapat menjadi penyulit Fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang paling sering terganggu pada skoliosis thorakalis tergantung dari derajat lengkungan yang ditimbulkanKonsiderasi anestesi pada tindakan koreksi skoliosis meliputi manajemen anestesi pada posisi prone teknik anestesi dengan hipotensi kendali kejadian hipotermia resiko terjadinya emboli udara Penggunaan opioid dosis tinggi sangat menguntungkan dimana opioid dosis tinggi tidak mempengaruhi hemodinamik durante operasi dan mengurangi penggunaan analgetik pasca operasi

Kasus Anak perempuan berusia 11 tahun dengan skoliosis thorakalis vertebrae thorakal VII ndash vertebrae thorakal XI yang dilakukan koreksi skoliosis Pada pasien ini didapatkan cobbrsquos angle sebesar 800 sehingga diprediksi terdapat gangguan dari fungsi respirasi Untuk fungsi kardiovaskuler dan neurologis tidak ada kelainanInduksi anestesi dengan menggunakan propofol 70 mg IV atracurium 30 mg IV fentanyl 200 mcg IV dengan rumatan menggunakan fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam daninhalasisevoflurane 1 vol dalam O2 dan airProsedur berlangsung selama 5 jam dengan perdarahan 800 mlPasca operasi pasien di pindahkan kePediatric Intensive Care Unit dengan retensi Endotracheal tube untuk evaluasi fungsi respirasi dan kardiovaskuler Analgetik pasca operasi menggunakan morphine kontinu 10mcgkgbbjamSatu hari perawatan di PICU didapatkan fungsi respirasi dan kardiovaskuler dalam batas normal sehingga dapat dilakukan ekstubasi

Diskusi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam dinilai efektif dalam mengurangi perdarahan tanpa mengganggu stabilitas hemodinamik durante operasi Tindakan wake up test dilakukan dengan pasien dalam kondisi koperatif tanpa agitasi Kebutuhan obat analgetik pasca operasi pun dapat dikurangi

Kesimpulan Manajemen perioperatif yang dimulai dari pre anestesi yang baik dapat memprediksikan kesulitan yang akan timbul pasca operasi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu memberikan banyak keuntungan dalam tindakan koreksi skoliosis

Kata Kunci Skoliosis thorakalisCobbrsquos angleposisi prone Opioid Based

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-30

Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum

Laparoskopi Kolesistektomi

Muhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Pembedahan dan anestesi menyebabkan respon stres berupa pelepasan hormon katabolik seperti kortisol dan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek fentanil dan morfin intravena terhadap penekanan respon stres pembedahan di bawah anestesi umum pada orang dewasa

Metode Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Setelah memperoleh persetujuan dari komite etik dan persetujuan tertulis dari pasien pasien usia 18-64 tahun dengan status ASA PS 1-2 dan IMT lt 30 kgm2 yang akan menjalani prosedur laparoskopi kolesistektomi elektif diikutsertakan dalam penelitian ini Pasien dibagi menjadi kelompok F (n=25) mendapatkan fentanil 2 mcgkgBB dengan pemeliharaan 1 mcgkgBBjam dan kelompok M (n=25) mendapatkan morfin 02 mgkgBB dengan pemeliharaan 01 mgkgBBjam Pengambilan sampel darah untuk kadar kortisol dilakukan sebelum prosedur (T0) 30 menit pembedahan (T1) dan setelah ekstubasi (T2) Pengamatan hemodinamik meliputi tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) dilakukan pada beberapa waktu selama pembedahan Data diuji menggunakan uji statistik yang sesuai p lt 005 dinyatakan bermakna

Hasil Karakteristik sampel berupa umur jenis kelamin IMT ASA PS dan lama operasi dinyatakan homogen secara statistik Kadar kortisol pada kelompok fentanil meningkat dari waktu ke waktu yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan berlanjut sampai akhir anestesi (p= 0001) Pada kelompok morfin terjadi peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan menurun pada akhir anestesi (p =0240) Kedua kelompok memberikan kestabilan hemodinamik selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi kecuali pada saat intubasi endotrakeal terjadi peningkatan TAR (p=0000) dan peningkatan LJ (p=0000) namun perubahan TAR dan LJ tidak lebih 20 dari nilai basal

Kesimpulan Tidak terjadi penekanan kadar kortisol selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi pada kedua kelompok Peningkatan kadar kortisol darah pada akhir anestesi ditemukan pada kelompok fentanil tidak pada kelompok morfin Hemodinamik relatif stabil kecuali saat intubasi endotrakeal

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-31

Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epidural

Muhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar belakang Hipertensi pulmonal merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dan akan meningkatkan mortalitas bila dialami oleh wanita hamil Penanganan wanita hamil dengan hipertensi pulmonal merupakan suatu tantangan di bidang anesthesia Pada laporan kasus ini akan dijelaskan mengenai penatalaksanaan anestesi pada wanita disertai dengan adanya hipertensi pulmonal yang menjalani operasi seksio sesarea dalam anesthesia regional epidural

Presentasi kasus Wanita berusia 24 tahun dengan diagnose gravida 34-35 minggu dengan premature kontraksi disertai adanya hipertensi pulmonal Dari echokardiografi didapatkan adanya dilatasi atrium dan ventrikel kanan hipertensi pulmonal berat dan regurgitasi tricuspid sedang Kemudian operasi dilakukan dalam regional epidural Epidural blok dilakukan dalam posisi duduk pada L3-4 dengan memasukan kateter setinggi T10 Diberikan total bupivacaine 05 sebanyak 19 cc Blok setinggi T6 Bayi lahir dengan APGAR skor 6-8 Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ICU

Kesimpulan Hipertensi pulmonal dalam kehamilan memiliki angka mortalitas yang tinggi Tindakan anesthesia epidural merupakan tehnik yang paling memiliki efek minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan spinal maupun general anesthesia Maka dari itu tehnik ini merupakan tehnik yang paling aman untuk operasi seksio sesarea

Kata kunci Hipertensi pulmonal seksio sesarea anesthesia epidural

P-32

Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green Code

Novita Pradnyani1 Ketut Wibawa Nada2 IMG Widnyana2

1 Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ Udayana Bali2 Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ UdayanaBali

Abstrak

Latar belakangPeningkatan jumlah penduduk yang tidak dibarengi program KB yang baik berakibat

ANC yang teratur sehingga seringkali ibu hamil datang dengan kelainan penyerta yang serius

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dan membutuhkan persiapan anestesi yang lebih rumit Di sisi lain kasus tersebut terkadang kita jumpai dalam keadaan gawat darurat baik gawat janin ataupun gawat ibu sehingga tidak dapat dilakukan persiapan maksimal

Deskripsi KasusGravida 41 tahun ASA IIIE dengan G3P2002 28-29 mgg TH PEB Primi tua sekunder

plasenta previa totalis riwayat asma susp Oedema paru partial HELLP syndrome AHF ec Peripartum cardiomiopaty dengan FC III dilakukan SC green code ec KTG patologis Echo bedside didapatkan MR mild TR mild SV 58mL CO 727L SVR 1378 TAPSE 386 EF biplane 299 AGD pH 743 pCO2 19 pO2 141 HCO3 126 BE 117 SaO2 99 (FiO2 06 RR 25-26xmnt)

Premedikasi ketamin 10mg dan midazolam 05mg dengan anestesi RA BSA lateral decubitus di L3-4 dengan Bupivacain 05 heavy 10mg dan fentanyl 25 mcg dengan blok sensorik setinggi T6 Lahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudahLahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudah bayi lahir posisi ibu head up 30deg Post bayi lahir kontraksi uterus kurang baik sehingga dilakukan histerektomi Fluktuasi tekanan darah selama operasi 2 jam 45 menit TD 110-14560-88 mmHg nadi 80-95xmnt RR 20-23xmenit Dengan perdarahan plusmn2000 ml cairan masuk Kristaloid 1000mL dan koloid 500mL PRC 250mL Pasca operasi perawatan di ICU untuk moitoring dan pasien pulang di hari ke 4

Pembahasan Peningkatan beban jantung yang dimulai pada trimester ketiga (28minggu) membeikan beban pada kardiovaskular ibu hamil yang telah terganggu sebelum kehamilan dengan tambahan beban afterload karena PEB Kala III memberikan beban tambahan karena backflow aliran uteroplacental posisi head up dapat mengurangi aliran balik RA BSA dan posisi pasien dapat menjaga hemodinamik dan memberikan relaksasi yang cukup

Kesimpulan RA BSA dapat dijadikan pilihan untuk SC dengan AHF peripartum cardiomiopati dengan pemantauan dosis dan teknik yang baik

Kata kunc Gravida AHF peripartum cardiomiopati RA BSA Back flow Head up

DaftarPustaka

1 Miller D Ronald Millerrsquos Anesthesia 7th ed Churchill Livingstone 20052 Morgan G Edward Mikhail Maged S Murray Michael J Clinical Anesthesiologi 4th ed

New York Lange Medical BooksMcGrawHill 2006 3 David H Chestnut MD Cynthia A Wong MD Lawrence C Tsen MD Warwick D

Ngan Kee Yaakov Beilin MD and Jill Mhyre MD Chestnutrsquos Obstetric Anesthesia Principles and Practice 4th Edition Philadelphia Elsevier Mosby 2009

4 Roberta L Hines Katherine E Marschall Stoeltingrsquos Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed Philadelphia Elsevier 2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-33

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra

Bagian Ilmu Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas HasanuddinRumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar

Abstrak

Latar Belakang Blok transversusabdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman mudah dan efektif untuk memberikan analgesia pasca bedah pada operasi yang melibatkan dinding anterior abdomen Penelitian ini bertujuan menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pasca bedah herniorafi

MetodePenelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Penelitian dilakukan pada 44 pasien usia 18-60 tahun status fisik ASA I-II dan IMT 18-24 yang menjalani operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal di RS dr Wahidin Sudirohusodo dan jejaring di Makassar mulai bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 025 20 ml ditambahkan epinefrin 1200000 setelah operasi selesai dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 01 mgkgBBinfuskontinyu pada akhir operasi Penilaian skala nyeri digunakan Numeric Rating Scale (NRS) Bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 05 mcgkgBB waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pasca bedah dicatat Data dianalisis secara dengan menggunakan uji Mann Whitney dinyatakan bermakna bila plt 005

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian bersifat homogeny pada kedua kelompok Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok control (1781 plusmn 762 berbanding 915 plusmn 812 jam plt0001) Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (921 plusmn 1359 berbanding3088 plusmn 2039 mcg p=002)

Kesimpulan Blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodalmemberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibandingkan dengankontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi

Kata kunci blok TAP herniorafi teknik landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-34

Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi Spinal

Nurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli

Dept Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Operasi ortopedi ekstremitas bawah merupakan jenis operasi dengan skala nyeri pascaoperasi yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan nyeri yang baik Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor NMDA dan penghambat saluran kalsium memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia

Penelitian dilakukan secara uji klinis berpembanding buta ganda Penelitian efektivitas pemberian magnesium sulfat intravena terhadap nilai VAS dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 38 pasien dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal kelompok I (grup M) berjumlah 19 peserta bolus MgSO4 intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan MgSO4 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi dan kelompok II (grup K) 16 peserta bolus Nacl 09 03 mlkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan Nacl 09 01 mlkgbbjam sampai akhir operasiTiga peserta drop out karena gagal spinal dan operasi yang lama Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium pada semua subyek penelitian Penilaian nyeri menggunakan nilai VAS setelah selesai operasi pada 30 menit 1 2 4 6 12 18 dan 24 jam pascaoperasi Bila nilai vas gt 3 diberikan analgetik pertolongan petidin 05 mgkgbb Analisa statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan x2 test dan Fisher exact test dan dianalisa dengan program SPSS 20 for windows

Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik umum jenis dan lama operasi jumlah cairan intraoperatif serta kadar magnesium darah prabedah antara kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda Nilai VAS grup M secara statistik lebih rendah (p lt 005) dibandingkan grup K pada jam ke 18 dan 24 Jumlah pemberian analgetik petidin dalam 24 jam pascaoperasi lebih rendah pada grup M dibandingkan grup K (plt005)

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan dosis rumatan 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi menghasilkan nilai VAS lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik petidin dalam 24 jam pada pasien pascaoperasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal

Kata Kunci Analgetik pascaoperasi Magnesium Sulfat nilai VAS pascaoperasi Operasi ortopedi ekstremitas bawah Uji klinis acak berpembanding

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-35

Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty

Pande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PendahuluanAnestesi yang aman pada pediatrik tergantung pada pemahaman yang menyeluruh

tentang fisiologi dan farmakologi dan perbedaan antara pediatrik dan dewasa Pada pasien dengan single kidney memerlukan strategi anestesi yang khusus

Presentasi kasusPasien pediatrik 3 tahun berat badan 11 kg dikeluhkan tidak mempunyai lubang

anus sejak lahir telah dilakukan operasi kolostomi saat umur 1 hari Dari pemeriksaan USG ditemukan pasien dengan satu ginjal Pada pasien telah dilakukan PSARVUP (Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty) dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa endotracheal ukuran 45 dan dilakukan pemasangan caudal Telah diberikan midazolam 05 mg iv ketamine 10 mg iv fentanyl 20 mcg iv atracurium 5 mg iv Caudal analgesia dengan bolus Bupivacaine 025 + Fentanyl 10 mcg volume 6 ml 30 menit kemudian dilanjutkan dengan caudal kontinyu Bupivacaine 01 + Fentanyl 50 mcg volume 50 ml dengan kecepatan 2 mljam Durasi pembedahan 6 jam Post operasi pasien dirawat di PICU selama 2 hari

DiskusiManagemen anestesi untuk pediatrik dapat dilakukan anestesi umum dan caudal

kontinyu Pada pasien ini caudal kontinyu dapat sebagai pilihan karena dapat memberikan relaksasi dan analgesia sekaligus menurunkan kebutuhan obat sistemik pada pasien dengan single kidney Keuntungan lainnya caudal analgesia dapat digunakan untuk analgesia post operasi

KesimpulanKombinasi anestesi umum dan caudal kontinyu dapat menjadi alternative pada

pembedahan urogenital pada pediatric untuk menghindari penggunaan obat sistemik sehingga meminimalisasi efek samping sistemik yang dapat mengganggu fungsi ginjal dan memperpanjang waktu pulih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36

Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi ndashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid

Thorakal

Pradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit++

Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

dr SpAnKARDRdr ++SpAnKARdr

Abstrak

Latar Belakang Pemilihan Caudal Anesthesia Single Shot dianggap lebih praktis dan mampu memenuhi kebutuhan anesthesia - analgesia untuk tindakan pembedahan pada anak Di RSUP Sanglah Denpasar terdapat 405 (10) pembedahan pediatri dari total 4059 kasus sepanjang tahun 2014 dengan 217 (52) kasus diantaranya adalah dengan anomaly digestif dan dikerjakan dengan teknik anestesi kombinasi GA-Caudal anesthesia Penggunaan formula Armitage dijadikan pedoman untuk pemberian dosis caudal pediatrik yaitu 05mlkg untuk blok setinggi lumbosakral 1mlkg untuk torako lumbal dan 125mlkg untuk mid torakal Laporan kasus ini ingin menunjukkan ketinggian segmen yang bias dicapai pada penggunaan Caudal Anesthesia Single Shot dengandosis mid torakal (125 mlkg) dengan ultrasonografi-doppler pada 4 pasien ASA I ndash II yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dibawah pengaruh Anestesi Umum

Metode 4 Pasien ASA I ndashII usia 8 bulan hingga 4 tahun dengan berat badan 7ndash16 kg menjalani prosedur operasi abdomen bagian bawah PSARP kolostomi dan tutup kolostomi Setelah dilakukan Induksi Anestesi Umum dan dilakukan pemasangan jalur IV pasien diposisikan pada posisi Sim dan disiapkan untuk dilakukan Caudal Block Dengan jarum abocath 20G dimasukkan obat anestesi lokalBupivacain 015 Dengan bantuan ultrasonografindashdoppler dipastikan bahwa jarum telah masuk di ruang epidural dan kemudian diamati pergerakan cairan serta dilatasi dari ruang epidural saat obat anestesi local masuk ke ruang epidural sehingga diketahui ketinggian segmen yang dicapai Rata-rata saat dosis mencapai 125mlkg Nampak bahwa pergerakan cairan anestesi local hanya mencapai segmen L2-3

Hasil Durante operasi tampak terjadi peningkatan nadi yang signifikan saat manipulasi pembedahan dilakukan pada bagian yang lebihtinggi sehingga diberikan penambahan opiat Fentanyl berkala

Kesimpulan Caudal Anesthesia Single Shot sebagai pilihan anestesi yang aman dan mudah dilakukan untuk pasien pediatri namun hanya dapat digunakan untuk prosedur pembedahan yang di kerjakan di bawahsegmen L2Untuk prosedur pembedahan diatas segmen L2 perlu dipertimbangkan pemasangan kateter sehingga bias mencapai segmen yang lebih tinggi

Kata kunci blok kaudal single shot armitage ultrasonografi doppler

Referensi 1 Donald Schwartz M amp Karthik Raghunathan M 2008 Ultrasonography and Pediatric

Caudals Anesthesia and Analgesia 106 pp97-99

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

2 Santhanam Suresh MD LJTBaASM 2011 Ultrasound Imaging for Pediatric Anesthesia A Review In MM Tanabe ed Ultrasound Imaging Rijeka Croatia InTech pp189-210

3 Soliman IE (2003 May) Pediatric pain management facts and myths University of Pittsburgh Nurse Anesthesia Program Lecture Pittsburgh PA

4 Barash PG Cullen BF and Stoelting RK(2001) Fourth Edition Clinical Anesthesia Philadelphia Lippincott Wiliams amp Wilkins

P-37

Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien Mastektomi

Puja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto PujoErwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstrak

Latar belakang CRP adalah protein fase akut yang kadarnya dalam darah sangat berkaitan erat dengan respon inflamasi akut yang terjadiTindakan pembedahan dan puasa yang berkepanjangan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan mediator inflamasifaseakut melalui proses yang rumit

Tujuan Membuktikan pengaruh pemberian minuman karbohidrat dan protein whey praoperasi terhadap kadar CRP pascaoperasi pada pasien mastektomi

Metode Penelitian jenis uji klinis acak terkontrol Sampel penelitian sebanyak 26 dibagi menjadi 2 kelompok Kelompok perlakuan (13 sampel) diberikan 400 mL minuman karbohidrat dan protein whey malam sebelum operasi dan 200 mL 4 jam sebelum operasi Kelompok kontrol diberikan air mineral dengan jumlah dan waktu pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan Kedua kelompok diperiksa kadar CRP pra dan pascaoperasi

Hasil Terdapat perbedaan bermakna ( p = 0001) pada kadarCRP pascaoperasi antara kelompok kontrol yaitu 762 plusmn 2074 dibandingkan dengan CRP pascaoperasi kelompok perlakuan yaitu 281 plusmn 2920 Selain itu juga terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0000) dalam selisih kadar CRP praoperasi dan pascaoperasi pada kelompok kontrol yaitu 536 plusmn 0535 dibandingkan dengan kelompok perlakuan yaitu 089 plusmn 0938

Kesimpulan Pemberian minuman karbohidrat dan protein whey pra operasi terbukti menurunkan respon inflamasi fase akut pascaoperasi yang tergambar dari peningkatan kadar CRP pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

Kata kunci CRP respon inflamasi akut pemberian minuman karbohidrat dan protein whey

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-38

Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik Sedang

Rezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Cedera otak terutama cedera otak sedang dan berat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dinamis pada metabolisme otak berkurangnya laju metabolisme dan timbulnya krisis energi Perubahan -perubahan tersebut dapat diekspresikan oleh dinamika kadar glukosa dan laktat darah

Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 30 orang pasien yang menjalani pembedahan kraniektomi darurat dan mendapatkan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1 vol + fentanil 1 mcgkgBBjam atau menggunakan propofol 100 microgkgBBmenit + fentanil 1 microgkgBBjam Sampel darah pengukuran glukosa dan laktat yang diambil pada titik-titik waktu yang tepat 30 menit sebelum awal operasi (T0) sebelum induksi (T1) 30 menit setelah operasi dimulai (T2) setelah ekstubasi (T3) dan 1 jam setelah operasi (T4) Hasil diproses dengan nonparametrik uji Mann-Whitney

Hasil Kadar glukosa diukur pada saat T2 pada kelompok propofol-fentanil secara signifikan lebih rendah (P = 0032) dibandingkan kelompok sevofluran-fentanil Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok tidak bermakna pada setiap pengukuran Korelasi kadar glukosa dan laktat darah kedua kelompokbernilai positif untuk T0 T1 T3 dan T4 Untuk T2 korelasi bernilai negatif (-0288) Korelasi yang sangat kuat atau signifikan terjadi pada waktu T1 dan T4

Kesimpulan Nilai rerata kadar glukosa dan laktat pada kedua kelompok tidak mengalami gejolak yang bermakna dan semakin besar nilai laktat maka kadar gula darah juga akan semakin meningkat

P-39

General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession Intrakranial

Ruddy Hardiansyah Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi amp Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

INTRODUCTIONTotal tiroidektomi adalah tindakan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua

lobus Permasalahan neurologi yang menyertai operasi tiroid tidak jarang dijumpai Otak merupakan salah satu organ yang menjadi target metastase dari karsinoma tiroid Penilaian

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

fisik dan penunjang neurologi merupakan hal yang mutlak diketahui sebelum perencanaan anestesi pada tindakan total tiroidektomi Manajemen anestesi pada kondisi tersebut menjadi lebih kompleks mengingat tiroidektomi merupakan tindakan pembedahan di area jalan nafas ditambah dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi akibat massa di otak Oleh karena itu merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menerapkan tehnik neuroanestesia dalam mencegah secondary brain injury selama tindakan pembedahan tiroid dan perawatan post operasi

Kata kunci neuroanestesia karsinoma tiroid total tiroidektomi sol intrakranial

CASE REPORTPerempuan umur 46 tahun (berat badan 60 Kg) datang ke Rumah Sakit Haji Adam Malik

Medan dengan keluhan benjolan pada leher yang dialami selama 8 tahun Pada pemeriksaan fisik dijumpai benjolan pada leher yang ikut bergerak saat pasien menelan dan benjolan pada bagian belakang atas kepala Tekanan darah 13080 mmHg nadi 86 xi dengan Glasgow Coma Scale score 15 tanpa defisit neurologis Pada foto cervical APlateral dijumpai pendorongan trakea ke kanan dengan sedikit penyempitan setinggi cervical 5 Pada axial cerebral computed tomography menunjukkan massa di regio parieto-occipital mendestruksi tulang dan meluas ke intraserebral Labotarorium dijumpai fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid Propanolol 20 mg dan propiltiourasil 100 mg per 8 jam oral sudah dikonsumsi selama 2 bulan sebelumnya Persiapan preoperasi meliputi penyediaan ETT beberapa ukuran sesuai dengan ukuran trakea pada foto cervical pipa lambung NaCl dingin dan paracetamol 500 mg propiltiourasil 400 mg serta propanolol 40 mg yang telah digerus Premedikasi diberikan midazolam 5 mg dan fentanyl 120 mcg secara intaravena Setelah preoksigenasi induksi dilakukan dengan pemberian propofol 120 mg rocuronium 50 mg dan lidocain 60 mg Intubasi endotrakea dengan tube 70 mm dilakukan dengan smooth Anestesia di maintenance dengan sevofluran 1 oksigen ndash air masing-masing 2 Li fentanyl 60 mcg dan rocuronium 10 mg setiap jamnya Tekanan darah selama operasi sistol 100 ndash 120 mmHg diastol 59 - 71 mmHg normokapni dengan perdarahan plusmn 380 cc Massa tiroid berhasil diangkat tanpa mencederai Nervus Laryngeal Recurrent Fentanyl 60 mcg dan lidocain 60 mg diberikan untuk mencegah nyeri dan peningkatan tekanan darah ketika pasien bernafas spontan dengan oksigen murni selama 15 menit sebelum dibangunkan evaluasi pita suara dan ekstubasi Perawatan post operasi dilakukan diruang perawatan intensif dengan fentanyl 30 mcg perjam secara kontiniu untuk penanganan nyeri Evaluasi kesadaran suara kadar calsium dan magnesium dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan post operasi

DISCUSSIONTindakan total tiroidektomi pada karsinoma tiroid dengan massa intrakranial

menggunakan anestesi umum dengan tehnik neuroanestesi Penanganan anestesi ditujukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan secondary brain injury dengan menjaga CPP 70 ndash 90 mmHg dan normokapni Analgesia adekuat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik dan tekanan intrakranial saat intubasi evaluasi pita suara ekstubasi dan penanganan nyeri post operasi

CONCLUSIONAnestesi umum dengan tehnik neuroanestesia harus digunakan pada tindakan

pembedahan yang disertai permasalahan neurologi Penjajakan neurologi menjadi hal yang penting sebelum perencanaan anestesi Peningkatan TIK dan secondary brain injury harus dihindari selama prosedur tindakan pembedahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Referensi 1 Cottrell James E Newfield Philippa et al Handbook of Neuroanesthesia Anethesia

and Neurosurgery Lipincott William amp Wilkins 5th edition 2012 P 86-972 Bisri T Penanganan Neuroanestesi dan Critical Care Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung 20123 Gurvitch LD Yao FS Anesthesiology Problem- Oriented Patient Management The

endocrine System Lipincott William amp Wilkins 7th edition 2012 P 575 - 604

P-40

Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan Kasus

Semarawima Gede Budiarta I Gede

Bagian Anestesi dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar BelakangTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum

dengan angka kejadian 15 dari seluruh massa mediastinum Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun kronis yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi Hiperplasia timus terjadi lebih dari 70 pada pasien dengan miastenia gravis dan 10-15 pasien ini menderita timoma

Diskripsi KasusASA III Perempuan umur 54 tahun dengan keluhan utama kelopak mata terasa berat

suara cadel susah mengunyah dan menelan di sore hari sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Tidak didapatkan tanda-tanda sindrom vena cava superior Didiagnosis miastenia gravis sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan diberikan terapi Pyridostigmine 60 mg 12 jam PO Methylprednisolon 8 mg 12 jam PO Pada pemeriksaan penunjang didapatkan massa di anterosuperior mediastinum retrosternal dengan ukuran 4x45x6 cm gambaran ini mengarah ke keganasan timus Rekaman ENMG dalam batas normal

Pada persiapan pra operasi obat Pyridostigmine tetap dilanjutkan pemberianya Dilakukan operasi timektomi dengan general anestesi pemasangan pipa endotrakeal dengan epidural anestesia Ko-induksi dengan Fentanyl 3 mcgkgbb induksi dengan Propofol 2 mgkgbb fasilitas intubasi tanpa menggunakan pelumpuh otot Pemeliharaan dengan Compressed air Oksigen Sevoflurane 13 vol Epidural anestesia dengan regimen Bupivacain 025 + Morfin 2 mg volume 6 ml Lama operasi 2 jam 30 menit dengan fluktuasi tekanan darah selama operasi 90-12558-83 mmHg Nadi 64-98 kalimenit Lama anestesi 3 jam 10 menit dan sebelum pasien di ekstubasi diberikan Prostigmin 006 mgkgbb Selanjutnya pasien dirawat di ruang intensif

00Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanPenatalaksanaan anestesi tidak menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari sindrom

paraneoplastik akibat timoma dan miastenia gravis Miastenia gravis akan mempengaruhi efek pelumpuh otot yang sangat sensitif terhadap pelumpuh otot golongan depolarisasi

Kata Kunci Timoma Miastenia Gravis Sindrome Prostigmin Anestesia

P-41

Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan

Pervaginam

Sitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Analgesia persalinan intratekal (ILA) adalah salah satu teknik analgesia regional untuk mengatasi nyeri persalinan Penelitian ini membandingkan penambahan klonidin 45 μg fentanil 25 μg dan fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg sebagai adjuvan analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg terhadap durasi analgesia hemodinamik dan intensitas nyeri pada persalinan pervaginam

Metode Penelitian ini adalah penelitian eksperimental acak tersamar tunggal yang menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan teknik ILA Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di bagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 17 orang Semua kelompok menggunakan 25 mg bupivakain 01 sebagai anestesi lokal Kelompok BF diberikan adjuvan 25 μg fentanil kelompok BK diberikan 45 μg klonidin dan kelompok BFK diberikan 25 μg fentanil plus 45 μg klonidin Penilaian dilakukan pada saat fase aktif (pembukaan 4-6 cm) Dilakukan pencatatan durasi analgesia hemodinamik intensitas nyeri skor Bromage efek samping dan skor APGAR Data yang terkumpul akan diuji dengan metode statistik yang sesuai

Hasil Karakteristik sampel berupa umur tinggi badan berat badan mula persalinan dan pembukaan serviks awal dinyatakan homogen secara statistik Durasi analgesia pada kelompok ILA BFK yakni (17124 plusmn 795) menit lebih lama dibandingkan kelompok ILA BK yakni (10753 plusmn 737) menit dan kelompok ILA BF yakni (9182 plusmn 354) menit Ketiga kelompok menunjukkankan kestabilan hemodinamik dan menurunkan intensitas nyeri selama efek analgesia masih berjalan

Kesimpulan Fentanil 25 μg + klonidin 45 μg sebagai adjuvan pada analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg pada persalinan pervaginam memiliki durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan klonidin 45 microg atau fentanil 25 microg

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-42

Laporan KasusManajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan

DIC dan Sepsis

Stefanus Taofik1 Abraham Taofik Putu Kurniyanta2 I Gede Budiarta2

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Spesialis Anestesi Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar belakangHernia diafragma traumatika adalah kasus yang jarang dijumpai dengan prevalensi 3-4

di dunia Hernia diaframatika seringkali asimptomatik sampai dengan timbulnya komplikasi dengan angka mortalitas tinggi Komplikasi yang timbul seringkali mempersulit manajemen anestesi (sepsis gangguan respirasi dan imbalance elektrolit) Permasalahan durasi operasi meliputi perdarahan gangguan respirasi dan hemodinamik dengan mempertahankan perfusi cerebral yang adekuat

Deskripsi KasusPediatri 7 tahun berat badan rendah 17kg dengan trauma tumpul abdomen dan cedera

otak ringan 16 hari pra operasi pasca KLL dengan terpasang WSD D Pada thorax X-ray CT SCAN dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan hernia diafragmatika dengan hematoma retroperitoneal Selama perawatan didapatkan sepsis dengan pemanjangan INR 516 dengan DIC score 6 dengan Procalcitonin 19 CPIS score 7 dan albumin 228grdL Dilakukan repair diafragma dengan GA OTT TIVA fentanyl-ketamin midazolam dan vecuronium intermitten dengan pemasangan monitor invasif artery line dan kateter vena sentral jugular D dengan panduan USG dan ETCO2 Pra tindakan dipastikan content cukup diberikan FFP 10mlkgbb dengan topangan NE 01-02 ugkgmenit Durante operasi hemodinamik dengan TD 95-10560-75mmhg dan nadi 103-112xmnt (sepsis) dengan urine output 23cckgjam selama 5 jam pembedahan dan desaturasi ec vq missmatch dan manipulasi pembedahan Perdarahan 400mL(30 EBV) dengan pengelolaan cairan PRC FFP dan koloid Durante didapatkan hepar gall bladder dan ileum yang menembus diafragma kanan dan atelektasis paru kanan Pasca operasi pasien dirawat di PICU dengan morfin-ketamin kontinyu dan ventilator support tanpa edema paru dengan perbaikan parameter respirasi dan hemodinamik pasca operasi Weaning dimulai hari ke 3 pasca operasi

PembahasanKompleksitas tindakan yang dibarengi dengan komplikasi yang terjadi dalam setting

pediatri BB rendah memberikan tantangan tersendiri Manajemen respirasi dengan ventilasi disesuaikan dengan Paw dan ETCO2 Pra tindakan dilakukan perbaikan content dengan menambahkan faktor koagulasi dan meningkatkan tekanan onkotik serta pemberian asam traneksamat sesuai CRASH TRIAL Pasca tindakan paru kanan dikembangkan bertahap dengan PEEP untuk mencegah terjadinya REPE (Reexpansion Pulmonary Edema) Gejolak hemodinamik diminimalkan dengan pemilihan regimen anestesi TIVA

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Kesimpulan Tindakan repair hernia diafragma traumatika memberikan tantangan yang berbeda

dengan non traumatika terutama pada setting pediatri Manajemen anestesi TIVA penguasaan respirasi hemodinamik dan mengenali komplikasi sebagai pemberat operasi dan memahami teknik operasi menjadi kunci dalam penanganan kasus ini

Kata kunci Hernia diafragma traumatika TIVA Reexpansion pulmonary edema DIC Panduan USG Sepsis

Daftar Pustaka1 The CRASH II Collaborator The importance of erly tranexamic acid in bleeding

trauma patients an exploratory analysis of the CRASH 2 randomized controlled trialLancet Volume 377 No 9771

2 Alqadi R ValenciaFC Viscusi M 2013 Reexpansion Pulmonary Edema Following Thoracentesis Rhode Island Medical Journal Vol Sept 2013 38-40

3 JaffeRA 2009 SamuelsSI Anesthesiologist Manual of Surgical Procedures 4th ed Chap7

4 MillerRD 2010 Milllerrsquos Anesthesia 7th ed Chap V72

P-43

Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik1 Musa Taofik Senapathi Tjok GA2 PAS Panji

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Konsultan Regional Anesthesia Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah 3 Konsultan Intensive Care Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar Belakang Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanag Icu untuk lebih efektif dan efisien Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU Pasien non bedah meskipun jumlahnya tidak banyak namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

Objektif Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring

Metode Penelitian ini melibatkan 184 pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah Denpasar yng diambil secara acak dari tgl 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II SOFA dan CSOFA Karakteristik data dari hasil penelitian ini dilakukan uji Saphiro wilkins dan Chi Square Uji analitik regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing suvariabel terhadap mortalitas dan selanjutnya mencari cutoff point dari analisa kura ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Hasil uji karakterisktik data memperlihatkan pengaruh usia AKI sepsis dan adanya penyakit kronis berkorelasi dengan mortalitas dengan plt0001 Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II SOFA dan CSOFA berturut turut didapatkan 0892 0919 dan 09172 Missing value terbanyak didapatkan pada berturut turut pada SOFA APACHE II dan CSOFA sebesar 8423 815 dan 165 dengan dominan subvariabel hepar (bilirubinikterik) Uji regresi logistik memperlihatkan subvariabel neurologi kardiovaskular dan respirasi memberikan korelasi bermakna terhadap mortalitas dengan OR 458 224 dan 147 Subvariabel lain yang berpengaruh antara lain AKI sepsis dan peyakit kronis dengan OR 814 389 dan 242 CSOFA yang disederhanakan dengan subvariabel Respirasi (sf ratio) neurologi (GCS) kardiovaskular creatinin dan koagulasi (platelet) memberikan nilai AuROC=09175 dengan missing value 165

Kesimpulan Sistem skoring CSOFA yang disederhanakan memberikan nilai diskriminasi yang tertinggi dengan missing value terendah pada pasien non bedah sehingga dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas di ICU

Kata kunci Sistem skoring APACHE II SOFA CSOFA AuROC missing value

Referensi 1 Halim DA Murni TW Ike SR 2009 Comparison of APACHE II SOFA and modified

SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr Hasan Sadikin general hospital Crit Care amp Shock 12157-169

2 Namendy-silva SA Medina-silva MA Barahona VGM Torres JAB 2013 Application of modified sequential organ failure assessment score to critically ill patients Braz J Med Biol Res 46(2) 186-193

3 Sunaryo A Ike SR BisriT 2012Perbandingan validasi APACHE II dan SOFA score untuk memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif Majalah Kedokteran terapi Intensif vol 2 11-20

4 Grissom CK Brown SM Kuttler KG Boltax JP 2010 A Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) for critical care triage Disaster Med Public Health Prep 4277-284

P-44

Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of Ameloblastoma

Taor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

Abstract

Ameloblastoma is tumor coming from the residue of dentition that would from odontogenic epithelium tumor Ameloblastoma tend to make anaesthetist experiences difficulty with facemask ventilation of the upper airway and tracheal intubation Management of difficult airway will always confront the anaesthetist This is one area of the practice that the

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

anaesthetist is required to develop divers skill suited for each clinical situation The ability to use the flexible fiberoptic bronchoscope (FOB) presents the anaesthetist with an addition tool to conduct endotracheal intubation when faced with a difficult airway

Keywords ameloblastoma difficult airway flexible fiberoptic bronchoscope

P-45

Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi

Departemen Anestesi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia -RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak

PendahuluanTransplantasihatidari donor hidup (THDH) merupakan pilihan terakhir pada pasien

dengan end stage liver disease (ESLD)Angka harapan hidup tiga tahun 70-82 tetapi prosedur ini sangat kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besarbaik dari segi biaya sarana dan personel

KasusResipien adalah laki-laki 18 tahundengan atresia bilier Donor berasal dari kakak pasien

yang sehatPersiapan THDH dilakukan 2 bulan meliputi optimalisasi pasien persiapan alat dan

obat serta tim perioperatif multidisiplinAnestesia menggunakan infusi kontinyu propofol fentanil dan atrakurium Rumatan menggunakan sevofluran dengan oksigen 40 Di samping EKG kapnografdan SpO2 pemantauan intraoperatif juga dilakukan dengan tekanan darah arterial tekanan vena sentral dan pulse contour analysis Selama operasi tekanan darah dijaga 13080 mmHg dan CVP pada masa pra-anhepatik lt5 mmHg Pemeriksaan intraoperatif berupa analisis gas darah elektrolit darah perifer fungsi koagulasi glukosa dan laktat Obat intravena yang digunakan dobutamin norepinefrin fenilefrin metilprednisolon CaCl2 dan dekstrosa 40

Pascabedah pasien diberikan terapi suportif menyeluruh dengan titik berat pada pemantauan perdarahan fungsi hepar fungsi ginjal dan fungsi kardiorespirasi

DiskusiMasalah utama pada periode pra-anhepatik adalah menjaga homeostasis sedekat

mungkin dengan nilai basal Dosis kecil norepinefrin digunakan untuk mencegah fluktuasi tekanan darah Dobutamin digunakan pada periode reperfusi untuk menjaga kecukupan perfusi jaringan setelah klem vena porta dilepas Pemberian CaCl2 dikarenakan pasien mendapat transfusi packed red cell yang mengandung sitrat dan mengikat kalsium cenderung menyebabkan hipokalsemia Pasien ESLD cenderung mengalami hipoglikemia Oleh sebab itu gula darah dipantau ketat sepanjang prosedur Ketika kadar gula darah turun diberikan infusi dekstrosa

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Masalah berikutnya adalah periode anhepatik Penjepitan vena kava inferior vena hepatika dan vena porta sebelum reseksi hepar berpotensi menyebabkan penurunan curah jantung oleh karena turunnya prabeban Untuk mengantisipasi ini dapat diberikan albumin 5

Masalah terbesar adalah periode reperfusi setelah aliran vena-vena di atas kembali (unclamping) Beban jantung dapat tiba-tiba meningkat yang dapat menyebabkan gagal kontraksi Penglepasan mediator inflamasi berakibat luas antara lain menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan jaringan termasuk miokard Itu sebabnya ketika prosedur dimulai diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi inflamasi berlebihan Reaksi ini juga yang menyebabkan rejeksi organ Pemberian dobutamin sangat membantu dalam mempertahankan kontraktilitas miokard

Reaksi inflamasi termasuk yang dipantau pada periode pascabedah di samping pemantauan fungsi hepar koagulasi dan sebagainya

Kesemua proses sejak persiapan pelaksanaan dan pascabedah memerlukan biaya yang relatif tinggi Prosedur optimalisasi pasien melibatkan berbagai pemeriksaan berbiaya tinggi Demikian pula pemantauan selama operasi dan penggunaan obat-obat multipel Namun demikian masalah terbesar dari seluruh proses ini adalah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat termasuk pemegang kebijakan di rumah sakit

SimpulanTransplantasi hepar dengan donor hidup sangat kompleks baik dari segi sarana

prasarana maupun prosedur anestesianya Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada fasilitas yang lengkap

Kata Kunci THDH praanhepatik anhepatik reperfusi perioperatif

P-46

Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan

Nasional

Tommy N Tanumihardja Grace Alvina

RS St Carolus Summarecon Serpong

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi kebidanan meliputi pengendalian nyeri pada persalinan

dan anestesi pada operasi sesar Teknik yang saat ini sering dipilih untuk pengendalian nyeri kebidanan adalah anestesi neuraksial yakni epidural spinal dan kombinasi spinal epidural karena sangat memberikan kepuasan dan keuntungan yang lebih bagi pasien Prinsip teknik kombinasi spinal epidural meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping dari kedua teknik lainnya Keuntungan yang bisa dicapai adalah penggunaan dosis obat yang rendah blok sensori yang adekuat dan analgesia yang sangat baik

Pada kesempatan ini penulis bermaksud melaporkan serial kasus penggunaan teknik kombinasi untuk memberikan gambaran pelayanan obstetrik yang diberikan menghasilkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kendali mutu dan kendali biaya Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pelayanan obstetrik yang optimal di era Jaminan Kesehatan Nasional

Serial KasusAntara bulan September 2012 sampai September 2014 di suatu rumah sakit swasta di

Tangerang didapatkan 92 pasien mendapatkan pelayanan analgesia fase persalinan 39 pasien di antaranya digunakan teknik kombinasi spinal dan epidural 16 pasien hanya menggunakan obat anestesi lokal dan adjuvan fentanil pada drip epidural Mereka tidak merasakan nyeri yang mengganggu sampai lahirnya bayi Meskipun 3 dari antara pasien tersebut melahirkan secara sesar hanya 1 pasien yang membutuhkan teknik anestesi spinal ulang

Diskusi Teknik kombinasi spinal epidural dilaporkan mempunyai dampak kepuasan yang tinggi

dalam hal menanggulangi nyeri persalinan dan juga bermanfaat pada kasus-kasus kebidanan beresiko tinggi Selain itu teknik kombinasi spinal epidural memiliki tingkat kegagalan teknik yang lebih epidural yang digunakan dapat memberikan durasi analgesia yang dapat disesuaikan dengan lama persalinan

Dalam pengamatan serial kasus ini juga obat yang digunakan efisien sehingga dapat memberikan kendali mutu dan biaya yang diperlukan

KesimpulanPenggunaan teknik analgesia kombinasi spinal dan epidural pada proses persalinan

merupakan teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan mutu dan biaya pada era Jaminan Kesehatan Nasional

P-47

Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali

biaya bagi pelayanan anestesia

Tommy N Tanumihardja Clementine Natalie

RS Atma Jaya Jakarta

Abstrak

Pasien laki-laki usia 64 tahun dengan fraktur intertrokanter femur dekstra dilakukan PFNA Pasien menderita penyakit Parkinson yang telah diterapi dengan selama 12 tahun Pasien dipersiapkan puasa makanan padat 6 jam sebelum operasi Pada hari pasien dioperasi obat-obatan pengendali penyakit Parkinson tetap dilanjutkan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan monitor standar ASA jalur intravena diamankan Dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakea tanpa kesulitan Pasien dilakukan ventilasi kendali penuh kemudian dipasang kateter urin Pasien diposisikan terlentang pada meja traksi Insisi dilakukan pada sisi lateral paha kanan Operasi berlangsung selama 1 jam 45 menit dengan rumatan oksigen N2O dan Isofluran 30 menit menjelang selesai pasien diberikan antiemetik Parasetamol 1000 mg diberikan intravena saat penutupan luka

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Pasien diposisikan terlentang kembali pada meja operasi Kemudian dilakukan identifikasi nervus femoralis dextra menggunakan jarum stimulasi saraf secara aseptik dan antiseptik pada regio inguinal kanan Nervus femoralis diidentifikasi di sebelah medial arteri femoralis Obat anestesi lokal Bupivacaine isobarik 02 sebanyak 20 ml diinjeksikan di sekitar nfemoralis setelah nervus femoralis diidentifikasi pada kedalaman 5 cm dengan tetap mempertahankan kontraksi otot kuadriceps femoris Kateter diinsersi dan difiksasi pada kedalaman 11 cm Analgesia kontinu dilanjutkan dengan Bupivacaine 02 6mLjam via pompa infus elastis dengan analgesia kendali pasien 2ml bolus dengan lock out interval 15 menit Pasien dibangunkan diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan Pasien dipindahkan ke bangsal sesudah sadar penuh

6 jam setelah operasi pasien mulai melakukan mobilisasi duduk 12 jam pasca operasi skala nyeri numerik 410 dengan 2x bolus analgesia kendali pasien 24 jam pasca operasi pasien mulai melakukan terapi mobilisasi berdiri 26 jam pasca operasi skala nyeri numerik 210 dengan 2 bolus analgesia kendali pasien ditekan 45 jam pasca operasi skala nyeri 410 tanpa ada bolus analgesia kendali pasien yang ditekan 51 jam pasca operasi analgesia via pompa infus elastis habis Pasien diberikan Parasetamol 500 mg per oral 3x sehari selama perawatan Kateter femoral dilepas pada hari 3 pasca operasi lalu pasien dipulangkan pada hari kelima

Tujuan kendali mutu dengan target mobilisasi dini pasien dan juga penanggulangan nyeri yang memuaskan dapat dicapai dengan teknik analgesia berbasis blok nervus femoralis kontinu Morbiditas pasca operasi dapat dihindari dan pasien dapat dipulangkan dengan cepat

P-48

Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)

Vania Wiyanto M Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) atau displasia bronkopulmonalis adalah suatu penyakit kongenital langka yang dapat menyebabkan kematian intrauterus dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bayi Manifestasi bermacam-macam mulai dari hanya membutuhkan oksigen ringan sampai depresi nafas yang berat Terapi yang disarankan adalah Torakotomi untuk reseksi kista

Obyektif Agar dapat mengatasi dapat melakukan penatalaksanan yang tepat pada kasus-kasus serupa sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pediatrik dengan kelainan kongenital pada paru-paru khususnya CCAM

Laporan Kasus Seorang anak perempuan berusia 1 tahun dengan diagnosis CCAM Tipe III yang direncanakan operasi Thorakotomi elektif Pasien diinduksi dengan Anestesi inhalasi

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Halothane 15 vol dengan O2 Air = 3 3 dengan teknik induksi nafas spontan Dilakukan pemasangan Infus dan diberikan medikasi dengan Fentanyl 2mcgKgBB Permasalahan pasien mengalami Apnea dan tidak dapat diventilasi sehingga pasien mengalami desaturasi dan bradikardia Intraoperatif pasien stabil namun pasien kembali mengalami desaturasi pada saat akhir anestesi yang diduga karena Light anestesi atau plak pada ETT sehingga diputuskan untuk dilakukan re-intubasi Pasien kemudian diretensi ETT dan masuk ke ICU dengan support ventilator minimal Setelah dilakukan weanning ventilator pasien diekstubasi Post ektubasi pasien diobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien baik dan keesokan harinya pasien dapat pindah ke ruangan

Kesimpulan Penatalaksanaan Anestesi yang tepat monitoring ketat dan penilaian pasien post operasi dapat memberikan hasil yang baik bagi pasien CCAM yang dilakukan thorakotomi dan eksisi kista

Kata kunci Anestesi CCAM

P-49

Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesaria

Iwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah

Bagian Anestesiologi Perawatan intensif dan Manajemen nyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Anestesi spinal merupakan teknik yang popular digunakan dalam operasi seksio sesaria Perubahan fisiologis ibu dosis dan volume anestetik lokal yang digunakan meningkatkan resiko hipotensi 33 ndash 80 beberapa penelitian mengenai pencegahan hipotensi pascaanestesi spinal penelitian tentang kecepatan injeksi dilakukan dengan metode dan hasil yang bervariasi Hipotesis penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset blok anestesi

Metode penelitian 48 sampel yang masuk kriteria inklusi dipilih secara acak dibagi dalam dua kelompok anestesi spinal menggunakan bupivakain 05 10mg dan fentanyl 25mcg kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 04 mLdtk sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 02 mLdtk Insiden hipotensi onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisa statistik

Hasil penelitian Insiden hipotensi lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi lebih lambat 9 dari 24 sedangkan pada kelompok IC insiden hipotensi 21 dari 24 (IC 088+0338 IL 038+0495 P=0001) tidak ada perbedaan onset blok anestesi spinal antara kedua kelompok (IC 296+173 IL 362+166 P=0180) Insiden efek samping mual muntah depresi nafas dan kebutuhan efedrin lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi 02 mLdtk

Kesimpulan Injeksi anestesi dengan kecepatan 02 mLdtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-50

Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida Dengan Skoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio Lumbal

Warsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati

PPDS Ilmu Anestesi dan terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr Soebandi Jember

Abstrak

PendahuluanSkoliosis merupakan suatu keadaan deviasi dalam aksis vertikal dari tulang vertebra

Skoliosis berat relatif jarang terjadi pada wanita hamil ( insiden 003 ) umumnya bersifat idiopatik Derajat keparahan ditentukan dengan sudut Cobb Lordosis merupakan suatu keadaan normal dimana terdapat kurvatura konkavitas anterior tulang vertebra ( normalnya pada vertebra cervikal dan lumbalis ) Pada wanita hamil lordosis lumbalis meningkat

Anestesi regional pada wanita hamil dengan kelaianan kurvatura vertebra memberikan tantangan bagi dokter anestesi

Laporan kasusPasien 26 tahun diagnosa primigravida usia kehamilan 40-41 minggu inpartu kala II

dengan CPD dan Scoliosis-lordosis berat vertebra lumbal serta jaringan parut luas di regio lumbal Tidak terdapat keluhan sesak saat beraktivitas gangguan motorik atau sensorik pada pasien ini Pasien dengan BB 60 kg dan TB 150 cm tekanan darah 13090 mmHg frekwensi nadi 88xmenit frekwensi nafas 18xmenit tanpa distres janin Pasien diputuskan seksio sesaria Pasien diposisikan lateral decubitus kiri Pasien diberikan spinal anestesi dengan teknik paramedian menggunakan jarum spinal 25G pada level Th12-L1 dengan regimen bupivakain 05 heavy 125 mg dan morfin 300 mcg Level sensorik tercapai di level Thorakal 6 dan operasi dimulai Durasi operasi 30 menit Hemodinamik pasien stabil dengan TD 100-11565-84 mmHg frekwensi nadi 68-75xmenit Total cairan yang diberikan RL 1500 ml Lahir bayi laki-laki berat badan lahir 2095 gram panjang badan 50cm dengan APGAR score 89 Paska operasi pasien tidak terdapat keluhan nyeri kepala dan nyeri luka operasi modalitas motorik dan sensorik dievaluasi 8 jam paska operasi normal Pasien dirawat diruangan selama 2 hari

DiskusiKelainan kurvatura vertebra umumnya diserta gangguan kardipulmonar dan gangguan

neuromuskular Perubahan anatomi dan fungsional tubuh pada gravida (edema saluran airway penurunan FRC gangguan pasase lambung) dengan kelainan kurvatura vertebra meningkatkan resiko kesulitan intubasi hipoksemia dan apirasi saat induksi anestesi umum dan juga resiko depresi neonatus Regional anestesi umumnya dipilih Kebutuhan dosis anestesi lokal sangat bervariasi pada kasus ini Larutan anestesi lokal hiperbarik akan terkumpul di bagian dependen dari tulang vertebra dan menyebabkan blok yang tidak adekuat

Pada kasus ini identifikasi ruang intervertebra lumbal sulit dilakukan Pemberian spinal anestesi dipilih karena tekniknya sederhana onset lebih cepat kualitas anestesi lebih baik dibandingkan anestesi epidural Umumnya spinal anestesi tidak dilakukan pada level diatas L2-3 untuk mencegah cedera pada medula spinalis Namun ruang intervertebra lumbal pasien

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

ini sulit diidentifikasi dan sehingga dilakukan pada intervertebra Th12-L1 Jarum spinal yang digunakan berukuran 25G sehingga identifikasi ligametum flavum dan lapisan duramater lebih mudah dirasakan untuk menghindari cedera pada medula spinalis Pemberian adjuvan morphine intratekal dapat memberikan analgesia pada segmen atas yang mungkin tidak terjangkau akibat kelainan kurvatura vertebra dan juga memberikan efek analgesia sampai 24 jam paska operasi

Kesimpulan Dengan hati-hati pemberian spinal anestesi dapat dilakukan di ruang intervertebra di

atas L2-3 terutama pada kasus dimana ruang intervertebra lumbal tidak dapat diidentifikasi dengan baik

Kata Kunci spinal anestesi gravida scoliosis-lordosis berat Lumbal jaringan parut

P-51

Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop Fiberoptic

I Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 10 kasus intubasi sulit yang menjalani pembedahan di

RSUP Sanglah Pengelolaan perioperatif pasien dengan kesulitan manajemen airway memiliki tantangan tersendiri dimana mengamankan jalan nafas adalah hal krusial yang pertama harus diatasi agar pembedahan bisa berjalan Teknik Intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan intubasi pada pasien-pasien dengan kesulitan aiway sebelum memilih teknik invasive

LAPORAN KASUSLaki-laki 50 tahun dengan Tumor Ginggiva suspek squamus cell carcinoma yang

menjalani pembedahan insisi biopsi dan bimanual palpasi dilakukan tindakan anestesi umum dengan teknik awake intubasi menggunakan fiberoptic bronchoscope Pasien di premedikasi dengan nebulizer lidocaine 2 100 mg (2mgkg) + salbutamol 25 mg(1 ampul) sulfas atropin 05 mg ( 001 mgkg) dexametason 10 mg(02 mgkg) co induksi dengan fentanyl 50 mcg(1 mcgkg) Saat onset obat tercapai dilakukan intubasi nasotracheal menggunakan ETT non kinking ukuran 60 via bronchoscope fiberoptic Sesaat sebelum insersi tube pasien diinduksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) Saat intubasi dilakukan pasien sangat kooperatif (tidak ada reflek muntah dan batuk) dengan hemodinamik sebelum dan sesudah intubasi hampir sama(tanpa guncangan hemodinamik) nadi 70-80 xmnt tekanan darah sistolik 110-120xmnt diastolik 60-70xmnt

Operasi berlangsung 30 menit selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 60-82xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg dengan urine output 12 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0

DISKUSIPasien dengan tumor intraoral dengan permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi

dan juga resiko perdarahan yang sulit dihentikan apabila dilakukan manipulasi pada tumor membutuhkan teknik khusus dalam manajemen airway Teknik awake intubasi dengan intubasi nasotracheal dipilih karena 1 Pasien masih dalam kondisi sadar sehingga apabila intubasi gagal dilakukan airway masih aman 2 Teknik intubasi nasotracheal dengan bronchoscope fiberoptic dipilih karena untuk menghindari manipulasi pada tumor sehingga mencegah terjadinya perdarahan di jalan nafas yang dapat lebih mempersulit manajemen airway dan bahaya aspirasi

KESIMPULANPemahaman masalah perioperatif dan teknik operasi sangat diperlukan dalam pemilihan

teknik anestesi Teknik awake intubasi pada pasien dengan kesulitan airway menjadi pilihan untuk mencegah resiko kegagalan dalam mengelola airway yang dapat membahayakan pasienTeknik intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic memberikan kemudahan akses untuk melakukan visualisasi sampai ke trakhea sehingga dapat melakukan intubasi pada kasus kasus airway sulit Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya kegagalan manajemen airway dan menurunkan resiko morbiditas tindakan operatif

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Page 4: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

SAMBUTAN

Assalamualaikum wr wb

Selamat datang dan selamat bertemu lagi kepada para teman sejawat diajang Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia (KPPIA) tahun 2015 Kita tidak lupa selalu memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena ijinnya kita diberi kesehatan kesempatan dan berdiskusi diacara ini

Saya mengharapkan ajang ilmiah seperti KPPIA ini diikuti dan dipergunakan seoptimal mungkin untuk sharing dan mendapat informasi tentang pelayanan anestesi di Indonesia

Sebagai seorang dokter anestesi kita harus selalu meningkatkan kompetensi melalui pertemuan ilmiah CPD baik didalam maupun diluar negeri untuk dipergunakan dalam pelayanan anestesi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan keamanan serta kenyamanan bagi pasien di rumah sakit

Tentunya dalam melakukan pelayanan anestesi bukan saja ilmu yang harus ditingkatkan tetapi fasilitaspun harus terstandarisasi oleh karena itu dihimbau kepada seluruh dokter anestesi untuk selalu memberikan masukan kepada manejemen rumah sakit atau pemilik rumah sakit Selain hal tersebut juga saya ingatkan setiap pelayanan anestesi harus membuat standar pelayanan operasional sesuai kemampuan rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang kita layani

Demikian beberapa hal yang saya ingatkan untuk kenyamanan keamanan teman sejawat dalam melakukan pelayanan anestesi dan pelayanan intensive care dimasing-masing tempat bekerja Semoga Allah SWT selalu melindungi dan menuntun kita dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat

Wassalamualaikum wr wb

Bali Juni 2015Ketua PERDATIN

Dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KIC MARS

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiSambutan vDaftar Isi vii

PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas 1

PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko 2

PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko 2

PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha 3

SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientAMTakdir Musba 4

S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa 4

S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H Nasution 5

S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki Eddy Rahardjo 6

S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno 9

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-06 Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarksChristrijogo SW 11

S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biayaDedi Fitri Yadi 12

S-08 The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R Basuki 12

S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo 13

S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs IndividualHimendra W 14

S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta 15

S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja 16

S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana 18

S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta 18

S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya 19

S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara 20

S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 21

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 22

S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana 23

S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana 27

S-21 Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 31

S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 32

S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaIGNgurah Rai Artika 33

S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsIMG Widnyana 36

S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan 37

S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat 38

S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra 38

S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja 39

S-29 Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied EnoughI Made Wiryana 41

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh Sofyan Harahap 42

S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad 42

S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar 43

S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji 44

S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga 44

S-35 Chronic Pain Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma 45

S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa 46

S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso 46

S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra 47

S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri 51

S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta 55

S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo 56

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-42 Sepsis in obstetricYusmein 57

S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli 58

S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif HMMarsaban 58

S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto 60

POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demamAde Irna 61

P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta Pt 61

P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma I Wayan Aryabiantara 62

P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa 63

P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias Dadik WW 64

P-06 Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra Syamsul Bahri Siregar Hasanul Arifin 65

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho 66

P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W 67

P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko 68

P-10 Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono 69

P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid Pryambodho 71

P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono 73

P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana 73

P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja 74

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus 75

P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana 76

P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan 77

P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM 78

P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan 79

P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial KasusIhsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah Lestari Fredi Heru Irwanto 80

P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus 81

P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 82

P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung 84

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin 85

P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja 86

P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus 87

P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto 88

P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad 89

P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono 90

P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani Ketut Wibawa Nada IMG Widnyana 90

P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra 92

P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli 93

P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta 94

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36 Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan UltrasonografindashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit 95

P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo 96

P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif 97

P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah Hasanul Arifin 97

P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede Budiarta I Gede 99

P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif 100

P-42 Laporan Kasus Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik Abraham Taofik Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 101

P-43 Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik Musa Taofik Senapathi Tjok GA PAS Panji 102

P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak 103

P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi 104

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan NasionalTommy N Tanumihardja Grace Alvina 105

P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N Tanumihardja Clementine Natalie 106

P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto M Andy Prihartono 107

P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah 108

P-50Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati 109

P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan 110

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-01

RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional Development

Andi Wahyuningsih Attas

Ketua PERDATIN

Abstrak

Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban) Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment)

Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut

1 Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas CB dan A

2 Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP) serta penerapan remunerasi

3 Investasi Fisik dan Peralatan di RS pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit

4 Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi

Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan ndash Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-02

Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia hipnosis relaksasi dan supresi refleks saja tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain

Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien

Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg al terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien

PL-03

Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan al untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama dan saling membantu Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya

Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015 MEA mempunyai 4 karakteristik yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang jasa investasi modal dan tenaga kerja

Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

karena al disparitas standar pelayanannya Arus bebas tenaga kerja termasuk dokter belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan

Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN al persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan tetapi belum mencapai hasil yang konkrit dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi

PL-04

Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

Made Subagiartha

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

kita jumpai dalam kehidupan sehari hari dalam rumah tangga antar negara atau di dalam pekerjaan kita Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya

Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan ldquoSengketa Medikrdquo yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-01

Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

AMTakdir Musba

Department of Anesthesiology Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine Hasanuddin University

Abstract

Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur but opioid-tolerance in acute pain especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately particularly in opioid-based general anesthesia

The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences especially on chronic use but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia

Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period Generally opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients

Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol NSAIDs GabapentinPregabalin α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre- intra- and postoperatively

Keywords opioid-tolerance perioperative analgesia multimodal analgesia

S-02

Fast Track Neuroanesthesia

Agus Baratha Suyasa

Abstrak

Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990 untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya faktor pasien faktor pembedahan dan faktor anestesi Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan pelepasan katekolamin minimal dan menurunkan biaya perawatan ICU Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi control suhu control gula status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri kontrol mual muntah suplemen nutrisi Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual

Kata Kunci Fast Track Neuroanesthesia

S-03

Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

Akhyar H Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USURSUP Adam Malik Medan

Abstract

Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations requiring continuous adjustment of drug dosing Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profilesThe future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment monitoring for adequate anesthesia and so for the anesthesia machine The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment including the high technology robotic anesthesia machinesldquothe da vincirdquo For these developments physician especially anesthesiologist will work safer minimal invasive and provide a good monitoring during the operation

Keywords novel drugs future technology anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-04

The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

April Poerwanto Basoeki

Eddy Rahardjo

Departemen Anestesiologi amp ReanimasiFK Unair ndash RSUD dr Soetomo Surabaya

Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik lahir ketika Dr William TG Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan menjadi dapat dilakukan dengan lancar mudah dan berhasil baik Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau menulis pada batu nisan monumen Dr William TG Morton ldquoBefore whom in all time surgery was agony By whom pain in surgery was averted and annulated Since whom science has controlled of painrdquo Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 121924 ndash Agust 2 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work knowledge and duty to serve the public beyond the hospital wall Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite) diruang pulih sadar (Recovery Room) ruang rawat intensif (ICU HCU) bahkan sejak ditempat kejadian pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster) Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care) juga merupakan gagasan Peter Safar

Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian Time saving is life saving Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

tersebut Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan ldquoMany techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients for example those with severe head injuries asthma tetanus or neonatal asphyxia Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients control of airway endotrachel intubation and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia but are now recognized as essential for all doctorsrdquo Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care Anestesi di-OK Anestesi di-luar OK Recovery Room Resusitasi Emergency Medicine ICU Pain Management Pain Clinic Labor Analgesia hingga musibah masal dan bencana Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi

Emergency Medical Service in Indonesia where are we now Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban Dengan melihat sejarah kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat dulu UGD) IGD memerlukan tempat alat obat dokter perawat Lokasi atau tempat alat obat sudah tersedia Dokter Umum Indonesia masih kurang apalagi Dokter Spesialis Emergensi Perawat juga masih kurang apalagi Perawat mahir D3-D4 Gawat Darurat Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya atau kondisi-kondisi lain Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD GELS ATLS ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar Hasil survei Kemenkes RI (1995 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai Untuk menangani kasus gawatdarurat berat kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter Survey Depkes (2005) di ndash 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20 pasien yang datang di UGD adalah trauma sisanya kasus non trauma Di Inggris dari semua kasus trauma di IGD hanya 56 memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65-nya Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood Park Trauma Care Vol 10 No 2 2000 p76) Di-RSUD dr Soetomo Surabaya selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat Departemen SMF Anestesiologi amp Reanimasi memiliki rdquomarkasrdquo Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi Ruang Resusitasi (RES) Ruang Observasi Intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

(ROI) PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim terjadilah apa yang Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC sebut sebagai rdquoshifting leadershiprdquo Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr Soetomo adalah rdquoteaching Hospitalrdquo FK Unair

Kondisi sekarang selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS Swasta Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1) bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni plusmn 30 orang Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar) atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70 materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50 Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20 Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang

Kepustakaan

1 Baskett PJ Peter J Safar 2001 The early years 1924-1961 the birth of CPR Resuscitation 2001 50 17ndash22

2 Baskett PJ Peter J Safar 2002 Part two The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002 Resuscitation 2002553ndash7

3 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik rdquoSistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadurdquo 2009 Cetakan - 4Cetakan - 4

4 Koeshartono ldquoAnestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencanardquo Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya Sabtu Tanggal 8 September 2007

5 Michael B Dobson ldquoAnaesthesia at the Distric Hospitalrdquo World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies 198968 424-30)

6 Sitasi tgl 12 Agustus 2013 woodlibrarymuseumorglibrarypdfS_AYBpdf Morton TG William Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR William TG Morton Printed by Rand Avery amp Frye 3 Cornhill 1871

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-05

Update in DIC Management

Bambang Wahjuprajitno

Dept anestesiologi dan ReanimasiFK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr Soetomo

Surabaya

Abstrak

Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut yang jika cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ

Aktivasi koagulasi yang masif berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh

DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat

Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin supresi anticoagulant pathways gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi

Penyebab DIC tersering adalah sepsis neoplasma trauma penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta preeclampsiaeclampsia emboli air ketuban aborsi septik kematian foetus intrauterine) gigitan ular

Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan tempat tusukan jarum perdarahan gastrointestinal SSP hematuria atau ecchymosis Trombosis dapat berupa purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit) acral dingin dengan nadi yang sulit teraba kehilangan penglihatan oliguria gangguan mental kejang-kejang

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT peningkatan D-dimer dan FDP penurunan trombosit dan fibrinogen Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUNkreatinin dan enzim-enzim jantung Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC

Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH) Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH) dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET) Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization CommitteeInternational Society of Thrombosis and Haemostasis (SSCISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini

Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama ndashsama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik

Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol karena itu jenis DIC bisa berupa

1 DIC tipe perdarahan (bleeding) bila hiperfibrinolisis lebih dominan Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia seperti acute promyelocytic leukemia (APL) penyakit-penyakit obstetrik atau aneurisma aortae

2 DIC tipe gagal organ bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi terutama sepsis

3 DIC tipe perdarahan masif bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik

4 DIC tipe asimptomatik bila kedua faktor sama-sama lemahnyaPada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium Disebut juga dengan tipe pre-DIC Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lainPengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa

bull Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnyabull Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya

meliputi o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma FFP

thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC) recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI) recombinant human thrombomodulin (rhTM) dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

o memanipulasi sistim fibrinolitik misalnya dengan tranexamic acid

Sayang sekali berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan

Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain

S-06

Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarks

Christrijogo SW

Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University Soetomo Hospital

Abstract

Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient

Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients eg avoiding airway manipulation and systemic application of opioids Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances with a lower rate of complications Anesthesiologists are increasingly faced with obesity regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patientsrsquo safety and perioperative outcomes in obese patients

Keywords Regional anesthesia Obesitas landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-07

ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya

Dedi Fitri Yadi

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi Mesin anestesi obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 Lmenit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor inspired oxygen concentration minute ventilation airway pressure Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya

Kata kunci Low flow anesthesia anesthesia cost reduction

S-08

The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

Djudjuk R Basuki

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Latar Belakang Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering yaitui meliputi 38 dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16 dari semua infeksi hospital-acquired SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian waktu MRS dan biaya RS

Tinjauan Pustaka Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif normotermia perioperatif hiperoksia normoglikemia transfusi darah dan mencuci tangan Hipotermia Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien Hiperoksia Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel faktor penting dalam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

penyembuhan luka Manajemen Cairan Peioperatif Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen Selain penghantaran oksigen yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia Hiperglikemia Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi termasuk SSI Transfusi Darah Saat ini tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi Profilaksis Antimikroba Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan

Kesimpulan Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis

S-09

Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

Gatut Dwidjo PrijambodoDept Anestesiologi dan Reanimasi

FK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr SoetomoSurabaya

Abstract

Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi 1 Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM )2 Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM)

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY ada empat kriteria antara lain bull Kegagalan jantung pada periode enam bulan bulan akhir kehamilan sampai lima

bulan pasca persalinanbull Tidak ada penyebab yang ditemukanbull Tidak ada penyakit jantung sebelumnyabull Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri Ejection Fraction lt 45 dan LV

end diastolic dimension gt 27 cmm2

Penyebab PPCM tidak diketahui Mortalitas 15 - 50 PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel

Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung antara lain Restriksi cairan Pemberian Diuretika dan obat Inotropik Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural Anestesi General digunakan obat yang cardiostable Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHYHOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun Pada kehamilan HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak Dapat asimtomatik simtomatik ringan Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif

Prinsip manajemen pasien HOCM Perlu monitoring invasif dan intensif Hindari penurunan preload Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat Hindari penururnan mendadak SVR Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi

S-10

Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs Individual

Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan

Harapan pasien sudah berubah Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi

Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif misalnya dibayar sesuai performa Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien

Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku

Dalam praktik anestesia di perkotaan terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan entah itu rumah sakit umum rumah sakit bersalin ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan Adapun di lain pihak praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati

Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006) standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku

S-11

Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

I Gede Budiarta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID infiltrasi blok perifer teknik regional analgesia hipnoterapi radiofrekuensi stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif

Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif neurologi rehabilitasi medik maupun hematoonkologi Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut

Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik penanganan konsul nyeri yang seksama serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit

Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama

S-12

Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

I Ketut Sinardja

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak Banyak hal seperti kebijakan wilayah politis serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam

Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 665 dan 326 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri Berdasarkan kesepakatan umum angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada defibrilasi atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi) Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus

Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3 angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004 dengan angka ketahanan hidupnya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27 versus 18) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif

Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA ditemukan bahwa sekitar 66 kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) 52 masih hidup dalam 1 tahun dan 3 masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64 pada anak-anak dan 75 pada orang dewasa Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 159 namun hanya sebesar 39 pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari)

Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian prearrest intra-arrest dan postarrest Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan aspek struktural dari sistem (personel pelatihan peralatan) care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini serta penanganan postarrest yang komprehensif) serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan)

Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi monitor ECG DC-Shock suction oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat

Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest) Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar menurunkan angka kejadian henti nafas danatau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait

Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku Kebijakan mulai dari awal penerimaan pihak yang melakukan bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah atau sampai

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code

S-13

Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

I Made Adi Parmana

RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Abstract

Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s its popularityhas steadily increased Although not as well established as for cardiac surgery the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40 to 80 of patients respectively In over one-third of patients intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy including treatment of myocardial ischemia valvular pathology andor right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure Based upon these findings intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery

TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise patients with unexplained persistent hypotension or unexplained persistent hypoxemia as well as patients with major thoracic or abdominal trauma

However as with any tool the risks and benefits need to be carefully evaluated Although the complication rate from TEE placement is low it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal esophageal or gastric pathology that will preclude its use Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting

S-14

Spinal Anesthesia In Neonates

I Putu Kurniyanta

Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University Sanglah Hospital Denpasar

Abstract

Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers It is usually practiced on preterm infants (lt60 weeks post-

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA) SA sometimes combined with general anesthesia It is most successful as a single shot technique limited to surgery lasting less than ninety minutes Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia providers However there is safety and efficacy for suitable procedures in older children as well SA in neonates has many advantages as in adults with an advantage of minimal cardio-respiratory disturbance This may further increase the utility of SA in neonates and children as it provides all components of balanced anesthesia technique To overcome this several additives like epinephrine clonidine fentanyl morphine neostigmine etc have been used and found to be effective even in neonates But the developing spinal cord may also be vulnerable to drug-related toxicity though this has not been systematically evaluated in neonates Despite its widespread use incidence of side-effects is low and permanent neurological sequalae have not been reported with SA Literature yields encouraging results regarding its safety and efficacy Technical skills and constant vigilance of experienced anesthesia providers is indispensable to achieve good results with this technique

Keywords neonates spinal anesthesia surgery

S-15

Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and Surgery

I Putu Pramana Suarjaya

Department of Anesthesiology amp Intensive CareSanglah General Hospital Medical School University of Udayana Denpas

Abstract

Cognitive changes after major surgery have received increased attention in recent years Increased elderly population in surgical patients as well as advances in anesthesia and surgical techniques and the impact of postoperative cognitive complications on patientrsquos quality of life after recovery make cognitive dysfunction play a significant role in prolonged recovery after major surgery

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) is diagnosed using cognitive test scores to detect changes developing postoperatively compared with each individual patientrsquos preoperative cognitive level of functioning POCD affects a wide range of cognitive domains such as memory attention orientation and concentration and some patients experience difficulties for months postoperatively POCD has been described after both cardiac and noncardiac surgery and can occur in all age groups although the elderly are more at risk

The pathogenic mechanisms behind the development of POCD are unclear partly due to the variation in patient population diagnostic tools and analysis of cognitive test results making firm conclusions on the pathogenic mechanisms difficult However most agree that increasing age reduced preoperative cognitive reserve and low educational level are risk factors for POCD A distinction between acute and elective surgery as well as cardiac versus noncardiac surgery is necessary when evaluating cognitive changes

An optimized perioperative approach with short length of stay multimodal opioid-sparing analgesia early mobilization and discharge to home environment (the fasttrack approach) would impact the occurrence of cognitive changes after major surgery

Keywords perioperative care postoperative cognitive dysfunction

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-16

Transfusion practice vs patient blood management

I Wayan Aryabiantara

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin jelas bahwa transfusi RBC (red blood cell) alogenik mengakibatkan banyak efek samping serius dan angka mortalitas meningkat Faktor risiko utama untuk transfusi adalah anemia preoperatif hilangnya darah intraoperatif dan trigger transfusi yang liberal Manajemen darah pasien (Patient Blood Management) dengan bundel terapi anemia preoperatif serta perhitungan untuk menurunkan hilangnya darah perioperatif dan mengoptimalkan toleransi terhadap anemia bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi RBC dan meningkatkan outcome klinis PBM telah dijadikan WHO sebagai standar terapi dan semua negara anggota diharapkan melaksanakan konsep ini Adapun negara tetangga kita Australia adalah yang dianggap paling maju di dunia dalam melaksanakan konsep PBM

Di masa lalu transfusi RBC sangat digembar-gemborkan dan dianggap sebagai sumber yang murah aman dan cepat tersedia Belakangan semakin jelas bahwa pasien yang mendapat transfusi RBC mempunyai outcome lebih buruk dibandingkan pasien serupa yang tidak ditransfusi dan banyak ahli setuju bahwa pasien tanpa perdarahan aktif dengan kadar hemoglobin gt8 grdL atau lebih tidak memperoleh manfaat apapun dari transfusi RBC Akibatnya dokter mulai mencari cara untuk menyiapkan pasien agar pembedahan yang direncanakan dapat dilakukan tanpa transfusi sehingga outcome-nya membaik

National Bank Authority (NBA) di Australia merupakan badan pemerintah yang mendirikan dan mendanai ulasan mengenai Clinical Practice Guidelines for the Use of Blood Components oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) dan Australian Society for Blood Transfusion (ASBT) pada tahun 2010 Mereka menyimpulkan bahwa panduan lama yang berfokus pada produk darah harus diganti dengan yang berfokus pasien Dampaknya adalah mulai dikembangkan enam modul panduan yang komprehensif dan evidence-based Isi modulnya meliputi PBM pada perdarahan masif pembedahan medikal rawat intensif obstetri dan ginekologi pediatrik dan neonatologi

Sebagian besar negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa kecuali Belanda masih mengalami hambatan dalam pengamalan PBM pada level nasional Meskipun masih kurangnya inisiatif menyeluruh beberapa rumah sakit telah mengenalkan PBM pada berbagai divisi dan departemennya Hal yang menarik adalah program ini tidak saja membuat transfusi RBC lebih sedikit tapi juga outcome lebih baik dengan mortalitas lebih rendah lama rawat lebih pendek komplikasi lebih sedikit readmisi lebih rendah dan biaya juga lebih ditekan

Anemia preoperatif dapat diterapi lebih baik sehingga meminimalkan tranfusi RBC perioperatif infeksi lebih rendah dan komplikasi lebih sedikit Sangat sulit untuk menentukan nilai target terapi untuk anemia sebelum pembedahan mayor Di sisi lain skrining preoperatif anemia secara mendetil justru sangat menunda tindakan pembedahan yang sudah direncanakan karena bisa memakan waktu kurang lebih 3-4 minggu Namun dengan perencanaan yang tepat hal ini dapat diminimalkan Skrining dan terapi anemia tersebut juga secara ekonomis lebih menguntungkan karena lebih unggul dalam hasil outcome yang lebih baik komplikasi lebih rendah dan lama rawat lebih singkat Meminimalkan kehilangan darah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

intra dan pascaoperasi juga sangat bermanfaat yang dapat dicapai dengan teknik pembedahan dan hemostasis yang adekuat

Ternyata keengganan adalah faktor penghambat utama untuk mengubah budaya transfusi Namun dokter diharapkan dapat mengubah cara praktiknya apabila sudah memperoleh limpahan bukti efek samping yang dapat dihindari dengan teknik PBM demi kesejahteraan dan kemaslahatan pasien

S-17

Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Banyaknya tindakan medis invasif serta perawatan canggih di ruang Intensive Care Unit (ICU) menyebabkan perlunya penggunaan sedatif sebagai komponen terapi mutlak untuk meningkatkan outcome Pada keadaan-keadaan akut berat sedasi bahkan diperlukan dalam jangka panjang yang berisiko efek samping over sedasi dengan berbagai kerugiannya Untuk itu diperlukan jenis sedatif alternatif lainnya yang menghasilkan sedasi adekuat dengan efek samping minimal Dalam beberapa tahun terakhir dexmedetomidine telah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sedatif alternatif melalui mekanisme simpatolitiknya sebagai agonis α2 Dexmedetomidine telah dibandingkan dengan midazolam dan propofol pada pasien-pasien ICU dengan ventilator jangka panjang Efek sedasinya terbutki setara dan lebih menguntungkan pada pemakaian jangka panjang dalam hal menghindari beberapa efek negatif sedatif pada umumnya Studi meta-analisis menyangkut pemakaian dexmedetomidine ini telah membuktikan bahwa sedatif ini aman dan bermanfaat dalam pemakaian jangka panjang dan dapat memperbaiki outcome populasi pasien-pasien di ICU Penelitian berkelanjutan tentu tetap diperlukan dalam mengkaji berbagai keuntungan lainnya dari penggunaan dexmedetomidine jangka panjang di ICU

Sumber bacaan1 Cavallazzi R Saad M Marik PE Delirium in the ICU an overview Annals of Intensive

Care 20122 Weinert CR et al Epidemiology of sedation and sedation adequacy for mechanically

ventilated patients in a medical and surgical intensive care unit Crit Care Med 2007 3 Afonso J Reis F Dexmedetomidine current role in anesthesia and intensive care Rev

Bras Anestesiol vol62 no1 Campinas JanFeb 20124 Anger KE Dexmedetomidine A Review of its Use for the Management of Pain

Agitation and Delirium in the Intensive Care Unit Current Pharmaceutical Design 2013

5 Riker RR Shehabi Y Bokesch PM et al SEDCOM (Safety and Efficacy of Dexmedetomidine Compared With Midazolam) Study Group Dexmedetomidine vs midazolam for sedation of critically ill patients a randomized trial JAMA 2009

6 Tan JA Ho KM Use of dexmedetomidine as a sedative and analgesic agent in critically ill adult patients a meta-analysis Intensive Care Med 2010

7 Jakob SM et al Dexmedetomidine vs Midazolam or Propofol for Sedation During Prolonged Mechanical VentilationTwo Randomized Controlled Trials JAMA 2012

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18

Tight Glucose Control in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Hiperglikemia sering menjadi komplikasi pada kasus-kasus dengan sepsis luka bakar trauma dan kasus-kasus bedah besar lainnya yang memperburuk outcome Efek samping ini pada pasien-pasien sakit kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan respon stres akut yang meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan pemakaiannya dalam tubuh Penyebab lainnya adalah intervensi nutrisi dengan kandungan karbohidrat berlebihan dan saat memulai jenis nutrisi yang kurang tepat

Strategi mengendalikan glukosa secara ketat pada pasien-pasien sakit kritis di ICU dapat dilakukan melalui beberapa langkah Menetapkan waktu memulai nutrisi yang tepat memilih jalur nutrisi enteral serta menghindarkan pemakaian nutrisi parenteral Hindarkan overfeeding dan batasi sumber kalori dari karbohidrat serta tidak melebihi 4 mgkgmenit Gunakan teknik pemberian insulin intensif melalui infus kontinyu Lakukan verifikasi rutin dan seksama serta penyesuaian laju metabolisme pengukuran berat badan penetapan BEE dan faktor-faktor koreksinya Cegah dan koreksi keadaan yang meningkatkan laju metabolisme seperti demam takikardia agitasi delirium kejang-kejang dan kondisi overaktifitas lainnya

Sumber bacaan1 Furnary AP Wu Y amp Bookin SO Effect of hyperglycemia and continuous intravenous

insulin infusions on outcomes of cardiac surgical procedures the Portland Diabetic Project Endocrine Practice 2004 10(Suppl 2) 21ndash33

2 van den Berghe G Wouters P Weekers F et al Intensive insulin therapy in critically ill patients N Engl J Med 20013451359-67

3 Montori VM Bistrian BR McMahon MM Hyperglycemia in acutely ill patients JAMA 20022882167ndash9

4 Klein CJ Stanek GS Wiles CE Overfeeding macronutrients to critically ill adults metabolic complications J Am Diet Assoc 199898795-806

5 Preiser JC Devos P van den Berghe G Tight control of glycaemia in critically ill patients Curr Opin Clin Nutr Metab Care 20025 533ndash7

6 Krinsley JS Blood glucose control in critically ill patients the impact of diabetes Critical Care Medicine 2009 37(1) 382ndash3

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-19

Management of local anaesthetic systemic toxicity

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Abstract

As classic neuronal Na+ channel inhibitors these drugs have a particular high level of activity in the central nervous system and the cardiovascular system and their side effect profile remains remarkably consistent differing only quantitatively between the agents in their doses (and blood and relevant tissue concentration) Local anaesthetic agents exist in both ionised acid-and non-ionised base forms in the tissue after injection The non-ionised form crosses the barrier of the myelin sheath and the axon membrane Here it will dissociate to the ionised acid form due to the lower pH inside the cell The ionised fraction binds to the activated Na+ channel and produce blockade of the channel in the inactivated state The development of symptoms and signs related to local anaesthetic toxicity relates directly to the concentration of the drug in the plasma The plasma concentration will depend on the rate of absorption from the injected site as well as inadvertent intravascular injectionIt is appropriate to first review the physiology of the ion channels implicated in local anaesthetic toxicity

Sodium channel blockadeAs local anaesthetics act as Na+ channel-blocking agents they slow down the initial

depolarisation phase by blocking the inactivated channel The clinical consequence of this is slowed cardiac conduction widening of the QRS complex prolongation of the PR interval AV block and eventually ventricular fibrillation due to the unidirectional blockade and re-entry phenomenon

Potassium channel blockadeK+ channels are tetramer ion channels and are organised into three superfamilies

according to the subunit membrane topology (1) subunits with six membrane-spanning segments and onepore domain (2) subunits with two membrane-spanning segmentsand one pore domain and (3) subunits with four membrane-spanning segments and two pore domains arranged in tandemThe first and third group are of interest where local anaesthetic toxicity is concernedAs noted the first group of channels are tetramers with fourfoldsymmetry around a central pore in the form of an inverted teepeeBoth the N terminal and the C terminal are located intracellularlyThe amino acids of the N terminal are shaped like a ball and chain and conformational changes causes this ball to close the channel from inside the cell These channels are known as the inward outward and transient rectifier K+ channels and their resultant effect is partly responsible for the K+ efflux during phases 2 and 3 of the cardiac muscle action potentialA blockade ofthese channels will prolong the action potential (phase 2) delayrepolarisation (phase 3) and shift the resting membrane potential more positive (phase 4) to increase automaticity The second group of K+ channels of interest is the two pore domain K+ channels (K2p) Previously known as the delayed rectifier channels these channels are believed to be responsible for the background or ldquoleakrdquo K+ currents In this setting they control the resting membrane potential A blockade of these channels shifts the resting membrane potential towards spontaneous depolarisation K2p channels are wide spread in the body In

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

the CNS they are mainly located in the thalamo-cortical and striatal neurons where blockade leads to increased neuroexitabilityThey are also present in high concentrations in the cerebral blood vessels where blockade leads to vasoconstriction and decreased cerebral blood flow K2p channels are also present in neurons of the auditory system where blockade leads to tinnitusK2p channels are thought to mediate the stimulating effect of local anaesthetics on ventilationThey are located in the brainstem where they modulate the respiratory response to carbon dioxide via chemo sensing of the pH They are also found in the carotid body where they are expressed in the oxygen-sensing cells of the glomus body K2p channels are sensitive to changes in O2 tension and extracellular pH and are potentiated by volatile anaesthetic In the CVS K2p channels are spread throughout the conduction system of the heart where blockade predisposes the patient to re-entry dysrhythmias It is well known that hyperkalemia exacerbates local anaesthetic toxicity and that K+ATP openers (which effectively lowers intracellular K+ levels) attenuate the toxic effects of bupivacaine

Ca++ channel blockadeThe latest research shows that all voltage-gated Ca++ channels are comprised of two

subunits The α-subunit consists of atetramer that comprises four membrane-spanning domainsDomains I III and IV are critical in the opening of the channelThis α-subunit is the main pore-forming element of the channeland its chemical structure remains fairly consistent for all voltagegatedCa++ channels The second unit has a highly variablestructure that depends on the location and function of thechannel In cardiac conduction tissue it is the β1 subunit thatcompletes the ion channel structure The role of the β1 subunitseems to be the modulation of channel opening and membraneion traffickingIn terms of their physiological effect the hearthas two distinct types of channels namely the T-type (transient)and L-type (long lasting) channels The T-type channel (alsoknown as the low voltage activated channel -LVA) is mainlylocated in the pacemaker cells of the sino-atrial node and theopening of these channels completes the prepotential requiredfor the pacemaker potential L-type channels (known as highvoltage activated channels -HVA) are present on the surface ofthe myocytes of both atrium and ventricle and are closelyassociated with the T-tubules The opening of these L-typechannels produces the impulse seen as the plateau phase (phase2) of the cardiac muscle action potential Local anaesthetic drugs bind to the L-type Ca++ channels predisposing them to aninactivated state The consequence of this is prolongation of theaction potential (phase 2) and depressed contractility

Central nervous system toxicityCentral nervous system toxicity is presumed to be a two-stage process Initial blockade of

Na+ channels in the inhibitory neurons entering the limbs allows the excitatory neurons to act unopposed thereby creating an excitatory state This culminates in generalized convulsions Higher concentrations of local anaesthetic affect all neurons leading to global CNS depression slowing and ultimately silence on EEG clinically seen as coma and the eventual collapse of the cardiovascular system In most cases convulsions although an impressive clinical entity can be handled safely without permanent damage

Cardivascular system toxicityAll of the clinical effects due to local anaesthetic overdose are the result of the blockade

of various ion channels The normal pharmacological effects of local anaesthetic drugs are produced via their blockade of sodium (Na+) channels However these drugs also have

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

the ability to block potassium (K+) as well as calcium (Ca++) channels The whole picture of cardiovascular toxicity is the effect of the blockade of all these ion channels Ion channel blockade displays enantiomeric selectivity with the R-isomer having twice the potency at the Na+ channels seventy times the potency at K+ channels and three times the potency at Ca++ channels Furthermore channel blockade is dependent on the state of the channel Levo-bupivacaine and ropivacaine interacts with both the activated and inactivated Na+ channels where as R-bupivacaine is a more potent blocking agent of the inactivated Na+channels

The mechanism of cardiovascular toxicity relies on the direct as well as indirect effects of the local anaesthetic drugs on the myocardium Direct effects include negative inotropy and delayed conduction of the impulse through the cardiac conduction tissue Indirect effects have to do with the local anaesthetic effect on the autonomic outflow and the direct effect on the cardiac centre in the midbrain Negative inotropy due to local anesthetic overdose is the result of four main mechanisms Firstly local anaesthetics (LA) cause decreased Ca++ release from the sarcoplasmic reticulum in the cardiac myocyte This in turn decreases excitation-contraction coupling and thus decreases contractility Secondly there is disturbance of the membrane Na+Ca++ pump function This also decreases Ca++ levels in the cytosol and decreases contractility Thirdly LA alters mitochondrial energy transduction By binding to the inner mitochondrial membrane LA agents cause the uncoupling of oxidative phosphorylation at complexes II and I This leads to decreased levels of ATP and a low energy state in the myocyte The binding of LA to the inner membrane further inhibits the function of L-carnitine acyl transferase This enzyme is important in the transfer of long free fatty acids (FFA) across the cell-and mitochondrial membrane The decreased availability of FFAs as substrate for oxidation leads to decreased ATP levels Fourthly LA causes decreased cAMP production This impairs second messenger function in the myocyte and disrupts cell homeostasis

The second direct cardiovascular effect is perhaps the more well known LA by their nature cause blockade of the ion channels therefore causing conduction blockade of the impulse generated in the SA node Abnormal conduction predisposes to re-entry phenomena and unidirectional conduction dysrhythmias The indirect effects on the cardiovascular system are due to the blockade of impulse outflow from the nucleus tractus solitaries (NTS) located in the medulla oblongata Afferent fibres from the baroreceptors in the carotid body and aortic arch reach the NTS via N glossopharyngeus (XI) and N vagus (X) where they secrete glutamate as neurotransmitter From the NTS projections reach the caudal and intermediate ventrolateral medulla where they stimulate GABA-secreting neurons These in turn project to the rostral ventrolateral medulla from where they course down the thoracic cord to eventually become the preganglionic sympathetic neurons that form the cardiac sympathetic innervation Excitatory projections from the NTS also reach the vagal motor neurons the nucleus ambiguus and dorsal motor neurons Baroreceptor stimulation thus inhibits tonic discharge to the vasoconstrictor nerves and excites vagal innervation of the heart with its sequelae LA alters the spontaneous impulse production in the NTS and depresses cardiac outputThe blockade also leaves the sympathetic outflow relatively unopposed which in turn leads to increased automaticity and dysrhythmias The overall effect of the conduction block and CNS- mediated effects is the refractory ventricular fibrillation for which bupivacaine is well known

Management of local anaesthetic systemic toxicity

Recommendations for Treatment of Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)bull If signs and symptoms of LAST occur prompt and effective airway management is

crucial to preventing hypoxia and acidosis which areknown to potentiate LAST (I B)

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

bull If seizures occur they should be rapidly halted with benzodiazepines If benzodiazepines are not readily available small doses of propofolor thiopental are acceptable Future data may support the early use of lipid emulsion for treating seizures (I B)

bull Although propofol can stop seizures large doses further depress cardiac function propofol should be avoided when there are signs ofcardiovascular compromise (III B) If seizures persist despite benzodiazepines small doses of succinylcholine or similar neuromuscularblocker should be considered to minimize acidosis and hypoxemia (I C)

bull If cardiac arrest occurs we recommend standard advanced cardiac life support with the following modifications- If epinephrine is used small initial doses (10- to 100-ug boluses in adults) are

preferred (IIa C)- Vasopressin is not recommended (IIB B) - Avoid calcium channel blockers and beta-adrenergic receptor blockers (III C)- If ventricular arrhythmias develop amiodarone is preferred (IIa B) treatment with

local anesthetics (lidocaine or procainamide) is not recommended (III C)

bull Lipid emulsion therapy (IIa B)- Consider administering at the first signs of LAST after airway management- Dosing- 15 mLkg 20 lipid emulsion bolus- Infusion of 025 mLkg per minute continued for at least 10 mins after circulatory

stability is attained- If circulatory stability is not attained consider giving another bolus and increasing

infusion to 05 mLkg per minute- Approximately 10 mLkg lipid emulsion over 30 mins is recommended as the

upper limit for initial dosing

bull Propofol is not a substitute for lipid emulsion (III C)bull Failure to respond to lipid emulsion and vasopressor therapy should prompt institution

of cardiopulmonary bypass (IIa C) Because therecan be considerable lag in beginning cardiopulmonary bypass it is reasonable to notify the closest facility capable of providing it whencardiovascular compromise is first identified during an episode of LAST

Lipid emulsion theraphyLipid was successfully used for resuscitation the mean total (bolus plus infusion) lipid

dose over the first 30 mins was 38 mLkg (range 12-60 mLkg) Most important no overt complications related to use of lipid emulsion for resuscitation have been reported to date Based on the available information we recommend an initial bolus of 20 lipid emulsion using 15 mLkg (of lean body mass) followed by an infusion at 025 mLkg per minute until circulatory stability is achieved The bolus could be repeated for failure to restore circulation and the infusion could be increased to 05 mLkg per minute for recurring hypotension after initial recovery However volume overload is certainly a risk and lipid overdose might also carry as yet unknown risks Defining the maximal safe dose for acutely administered 20 lipid emulsion for this novel use is important and will require appropriate (large) animal studies and possibly experiments with volunteers receiving subtoxic doses of bupivacaine We currently recommend an upper limit of approximately 10 mLkg over the first 30 mins This would allow for 2 boluses plus a continued infusion at 025 mLkg per minute

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-20

Radiofrequency In Knee Osteoarthritic Patients

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Introduction

Osteoarthritis (OA) is the most common rheumatic disease in the general population and its prevalence increases with age Genetic mechanical and several other factors have been implicated in its originOA symptoms such as joint pain reduced mobility crepitus and swelling result from articular cartilage loss subchondral bone proliferation bone misalignment and synovitis The management of patients with OA includes a number of pharmacologic and non-pharmacological recommendations tailored in accordance to the joints involved

The economic costs of OA are high including those related to treatment for those individuals and their families who must adapt their lives and homes to the disease and those due to lost work productivity Patients with OA are at a higher risk of death compared with the general population History of diabetes cancer or cardiovascular disease and the presence of walking disability are major risk factors Pain and other symptoms of OA may have a profound effect on quality of life affecting both physical function and psychological parameters Knee OA is not a localized disease of cartilage alone but is considered as a chronic disease of the whole joint including articular cartilage meniscus ligament and peri-articular muscle that may result from multiple pathophysiological mechanisms It is painful and disabling disease that affects millions of patientsThe pain in the OA knee is attributed to cartilage degenerationreduced joint space osteophytes loose bodies Pain intensity disability and its psychological impact correlate poorly with the peripheral joint damage assessed by the Kellgren-Lawrence scale (K-L scale) Recent evidence emphasizes the role of central sensitivity in the pathogenesis of the OA knee

Chronic osteoarthritis pain of the knee is often not effectively managed with non-pharmacological or pharmacological treatments Radiofrequency (RF) neurotomy when applied to articular nerve branches (genicular nerves) provides a therapeutic alternative for effective management of chronic pain associated with osteoarthritis of the knee

Although surgery is generally effective for patients with advanced disease some older individuals with comorbidities may not be appropriate surgical candidates In addition some patients do not wish to consider surgery and prefer non-surgical options In these patients radiofrequency (RF) neurotomy of the genicular nerves might be a successful alternative to surgery This procedure is based on the theory that cutting the nerve supply to a painful structure may alleviate pain and restore function

DiagnosisThe american College of Rheumatology criteria for the diagnosis of knee osteoarthritis Using history and clinical examinationPain in the knee and three of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

4- Bony tenderness 5- Bony enlargement 6- No palpable warmth of synovium

Using history and clinical examination and radiographic findings Pain in the knee and one of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt 30 minutes 3- Crepitus on active motions and osteophyte

Using history and clinical examination and laboratory findings Pain in the knee and 5 of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions 4- Bony enlargement 5- No palpable warmth of synovium6- Rheumatoid Factor lt140 7- Synovial fluid signs of osteoarthritis

AnatomyThe knee joint is innervated by the articular branches of various nerves including the

femoral common peroneal saphenous tibial and obturator nerves These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic guidance

Nerve supply of the knee joint

These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves

Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic

guidance

Nerve supply of the knee joint

Genicular branches of the knee joint

Genicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM)

inferior lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The

targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas

connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to

the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee

joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee

joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency

neurotomy

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Genicular branches of the knee jointGenicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM) inferior

lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency neurotomy

Radiofrequency Genicular NervesRF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of the six

genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocksbull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritisbull Patients with failed knee replacementbull Patients unfit for knee replacementbull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocksThese injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral (SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following injection

Radiofrequency Genicular Nerves

RF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of

the six genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and

can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two

lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local

anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocks

bull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritis

bull Patients with failed knee replacement

bull Patients unfit for knee replacement

bull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocks

These injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral

(SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is

considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following

injection

Radiofrequency of genicular nerves

Patients with a positive response are offered either cooled or conventional

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Radiofrequency of genicular nervesPatients with a positive response are offered either cooled or conventional radiofrequency

neurotomy for a more sustained response The procedure is usually done on an outpatient basis The procedure is performed under fluoroscopic guidance to ensure accuracy of needle placement Patients need to be aware that the outcome of the procedure is variable and they may not receive the desired benefits Similarly they must be aware of the transient nature of the therapeutic benefits and that there may need repeated injections

Radiofrequency treatment is a two-step procedure The first step is diagnostic involving injection of local anaesthetic around the genicular branches innervating the knee joint as described above Patients who experience good pain relief following diagnostic injections are offered radiofrequency denervation treatment This involves creating a heat lesion around the genicular nerves carrying painful impulses from the knee joint Successful treatment can result in pain relief lasting several months

Either conventional radiofrequency treatment or pulsed radiofrequency treatment can be used

PRF at 42degC was aimed at avoiding any neurological deficits that could lead to Charcotrsquos joint RF creates an alternating electric field with an oscillating frequency of 500000 Hz to elicit heat production around the percutaneously introduced needle tip by the body tissue acting as the resistor The output of the generator is interrupted to give 2 cyclessecond each of 20-msec bursts followed by silent phases of 480 millisecond in PRF The interval between the cycles allow for the dissipation of the heat maintaining the tissue temperature at 42degC far below the irreversible tissue damage threshold range of 45 ndash 50degC Thus PRF has no incidence of sensory or motor complications unlike conventional RF ablation which creates tissues temperatures of 70degC and above PRF has been used successfully to treat myofascial trigger points knee pain by intraarticular application and various peripheral neuropathic pains PRF appears to have genuine biological effects in cell morphology synaptic transmission and pain signalling which are likely to be temperature independent

ComplicationsComplications are rare particularly if injections are performed using a precise needle-

positioning technique Septic arthritis can be avoided with appropriate aseptic precautions Severe allergic reactions to local anaesthetics are uncommon Post-procedural pain flare-up is not uncommon and may be treated with painkillers Neurological complications including paraesthesias and numbness have been described but are extremely rare Radiofrequency treatment can cause patchy numbness of the over lying skin Incidence of infection is low as the procedure is performed under strict aseptic conditions and the injections are extra articular

ConclusionPRF of peripheral nerves and plexuses supplying the knee joint appeared to be a safe

effective and minimally invasive new technique that addresses the sensory motor and autonomic nerves to provide sustained relief of pain stiffness swelling and the peripheral and central sensitivity in response to chronic pain in both knees from long-standing osteoarthritis patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-21

Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia Intravena

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Denpasar-Bali

Sekitar 19 juta orang di dunia mengalami nyeri akibat kanker setiap tahunnya Dari jumlah tersebut 40-80 menderita nyeri sedang sampai berat Nyeri dapat berasal karena lesi kanker itu sendiri metastasenya komplikasi seperti kompresi saraf atau infeksi terapi atau faktor lain seperti psikologis dan lingkungan Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi masih mengalami nyeri paskaoperasi akibat penanganan nyeri yang kurang adekuat

American society of Anesthesiologis (ASA) mengeluarkan pedoman teknik yang direkomendasikan untuk penanganan nyeri akut paskaoperasi salah satunya dengan menggunakan teknik PCA ( patient controlled analgesia )

Patient Controlled Analgesia merupakan suatu metode penanganan nyeri di mana pasien dapat mengadministrasikan dosis kecil obat analgesik secara mandiri Adapun nyeri kankerkronik dan nyeri akut merupakan salah satu indikasi untuk penggunaan PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan memakai opioid kuat sesuai pendekatan dari WHO atau WFSA Rute administrasi PCA bervariasi Rute PCA yang paling umum adalah melalui jalur intravena Di luar negeri PCA iv (intravena) sudah merupakan salah satu standar penanganan nyeri sedangkan di Indonesia masih belum terlalu luas pemakaiannya Rute lainnya adalah melalui jalur epidural lebih dikenal sebagai PCEA (patient controlled epidural analgesia) sering digunakan pada teknik painless labour ataupun nyeri akut paskaoperasi mayor PCRA (patient controlled regional analgesia) merupakan teknik yang terbilang baru seiring perkembangan regional anestesi dengan menggunakan kateter kontinyu pada blok saraf tepi PCRA terutama digunakan pada nyeri akut paskaoperasi extremitas Teknik terakhir adalah PCA SC (subcutaneous) Berdasarkan beberapa penelitian ternyata PCA subkutan tidak berbeda signifikan dalam absorbsi obat efikasi serta efek sampingnya dibandingkan dengan PCA intravena serta PCA subkutan mampu untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal untuk pasien PCA SC merupakan alternative penanganan nyeri untuk pasien kanker apabila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi opioid secara oral ataupun bila akses vena sudah rusak akibat kemoterapi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-22

TCI in Obese Patient

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Obesitas adalah kelainan keseimbangan energi Berasal dari bahasa Latin obesus yang berarti gemuk karena makan Pasien dikatakan obese bila berdasarkan perhitungan BMI (Body Mass Index) didapatkan hasil lebih dari 30 Adapun peningkatan berat badan terkait dengan BMI ini juga membawa akibat perubahan fisiologis sistem organ pasien obese

Pada pasien obese akan terjadi kelebihan jaringan adiposa dan loading jaringan otot dan tulang yang meningkatkan metabolic demand Di samping itu pasien dengan obesitas sangat terkait dengan penurunan komplians sistem respirasi Terdapat pula abnormalitas metabolisme lemak yang menyebabkan infiltrasi jaringan lemak pada hepar Sedangkan pada sistem renal terjadi sklerosis glomerulus dan hilangnya nefron akibat peningkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang akan menimbulkan gagal ginjal kronik

Pada orang dengan obesitas terdapat akumulasi lemak yang dapat mengganggu farmakokinetik dan farmakodinamik obat Berdasarkan hal tersebut penyesuaian dosis obat pada orang obesitas dapat menggunakan beberapa strategi penyesuaian dosis contohnya penggunaan berat badan aktual (TBW) LBM (Lean Body Mass) atau IBW yang berdasarkan tinggi badan Penyesuian dosis obat tersebut didasarkan pertimbangan perubahan volume distribusi (Vd) clearance (CI) dan protein binding beberapa obat

Walaupun propofol bersifat lipofilik kuat propofol tidak berakumulasi pada pasien obesitas Untuk itu dosis maintenance propofol pasien obese dapat diperhitungkan sama seperti pasien dengan berat badan normal yaitu menggunakan berat badan aktual Tetapi hal tersebut memerlukan dosis jumlah besar dan menimbulkan efek hemodinamik yang nyata

Dari beberapa penelitian diperoleh simpulan tidak terdapat perbedaan clearance yang signifikan antara pasien berat badan normal dengan pasien obesitas dengan menggunakan perhitungan TBW pada TCI propofol Didapatkan pula bahwa TBW merupakan deskripsi berat badan paling tepat untuk pasien obesitas Penggunaan LBM untuk TCI propofol tidak sesuai pada pasien obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya overestimasi clearance metabolik Sehingga lebih direkomendasikan untuk memakai perhitungan TBW dalam pemakaian TCI untuk pasien obese

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-23Hightoracic And Cervical Epidural Anaesthesia

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2

bull Respiratory problems bull Cardiac problems bull Myocadial ischemia neuro-vascular problems bull History of a difficult postoperative period in the past bull Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural

space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine bull the thoracic spinous processes are oblique bull a mechanical lesion of the medulla is possible bull ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive)

There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

bull median approach bull paramedian approach bull lateral approach

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes

HIGHTORACIC AND CERVICAL EPIDURAL ANAESTHESIA

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP Sardjito

Yogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the

perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective

analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation

ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and

improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2 Respiratory problems Cardiac problems Myocadial ischemia neuro-vascular problems History of a difficult postoperative period in the past Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine the thoracic spinous processes are oblique a mechanical lesion of the medulla is possible ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive) There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

median approach paramedian approach lateral approach

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

MORPHOLOGICAL LANDMARKS bull C7 - protuberant cervical process bull T3 - origin of the spine of the scapula bull T7 - tip of the scapula bull L1 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

bull CARDIOVASCULAR EFFECTThoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial

arteries and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

bull RESPIRATORY EFFECTSTEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity through the analgesia produced which permits a better spontaneous ventilation Analgesia without sedation helps for a more rapid mobilization and for an active rehabilitation

bull STRESS RESPONSETEA with local anesthetics or opioids inhibits the neuro-endrocrine response to surgery

Opioids and local anesthetics produce different effects due to their differents sites of action

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes MORPHOLOGICAL LANDMARKS

992256 - protuberant cervical process 992256 - origin of the spine of the scapula 992256 - tip of the scapula 992256 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

CARDIOVASCULAR EFFECT Thoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial arteries

and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

RESPIRATORY EFFECTS TEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Opioids produce analgesia through modulation of nociceptive pathways whereas local anesthetic block both the nociceptive and the non-nociceptive pathways

bull GASTRO-INTESTINAL MOBILITY Digestive transit is faster to recover when the block level is over T12 Many mechanisms

can explain why thoracic epidural anesthesia can favor a more rapid digestive transit recovery Blockade of nociceptive afferents influx and of sympathetic lumbar and thoracic afferents Non-antogonism of parasympathetic efferents influx Increase of G-I blood circulation Systemic Absorption of local anestheticsReduction of postoperative opioids consumption

APPLICATIONSubtotal gastrectomy has been successfully performed using thoracic epidural anaesthesia

alonein two high-risk surgical patients They received thoracicepidural anaesthesia alone An

18-gauge Tuohy needle was introduced at T8T9 intervertebral space and thetip of the catheter was advanced 3 cm cephalad beyond the tip of the needle (T7T6)4

Epidural anaesthesia wasestablished with 05 levobupivacaine and sufentanil The used doses were calculated according to the formula

x mg=(n of dermatomes+6) ∙ mgsegmentThoracic epidural anaesthesia provides optimal perioperative anaesthesia and analgesia

afterthoracic and major abdominal surgery and decreases postoperative morbidity and mortality mainly by blockingsympathetic nerve fibers4

Cervical Epidural Anesthesia (CEA)Cervical epidural anaesthesia has been used mainlyfor hand upper limb shoulder and

upper thoracicwall surgery including mastectomyIt has also beenused for carotid artery surgery parathyroid surgeryneck dissection for head and neck cancers and for thetreatment of complex regional pain syndromes of theupper limb5

CEA as an anaesthetic for mastectomies breast reconstruction in elderly females and in patients with pulmonary diseases has been reported for better acceptance and safety over GACEA was given at C6-C7 or C7-T1 level in the midline using18 gauge Tuohyrsquos needle with bevel facing cranially at an angle of 30 degrees and by loss of resistance method to identify the epidural space An epidural catheterwas placed 3cm craniallyIn experienced hands sole use of CEA for various neck and chest surgeries is documented highlighting the advantages like stable cardio-respiratory status by avoiding airway instrumentation less blood loss and post operative morbidityCEA blocks the cervical plexus (C1-C4) phrenic nerve (C3-C5) brachial plexus C5-T1) and upper thoracic dermatomes along with sympathetic fibers that are responsible for the stress induced neuro- hormonal reactions Major concerns with CEA are the hemodynamic and respiratory complications Different concentrations of bupivacaine are used and studied for the hemodynamic respiratory effects following CEARopivacaine 05-075 reported to have favorable effect on hemodynamic variables by blocking the sympathetic innervations of the heartDominguez F et al conducted shoulder surgeries in three patients with 075 ropivacaine under CEA and concluded that ropivacaine provides an effective sensory block and a restricted motor blockade reducing the probability of the restrictive pulmonary syndrome associated with cervical epidural anesthesia CEA significantly decreases the blood loss due to blockade of cardiac sympathetic fibers leading to decrease in cardiac output blood pressure reduction in airway and thoracic pressures5

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

For thyroid surgery regionalanaesthetic techniques have neither been adequatelydescribed nor practiced widelyCervical epidural anaesthesia aims to anesthetise theskin in front of the neck where the incision would beplaced The front of the neck is supplied by 2nd and3rd cervical rami which form the transverse cutaneousnerve of the neck The lower part of the neck and thepart lateral to sternocleidomastoid muscle is suppliedby supraclavicular nerves which arise from the 3rdand 4th cervical ventral rami For delivering CEA weintroduced the epidural catheter in the C7 ndashT1 vertebrainterspace and guided it upwards by keeping the bevelof the Tuohy needle facing cranially By using thetechnique described above the upper level of sensoryblock obtained was at C2 level and the lower levelvaried from T5 to T106

Keywords HTE ACEA Indication Risk and Benefit

Reference 1 LenaP et al 2007 Epidural Anaesthesia in Cardio Thoracic Surgery Handbook Of Regional

Anesthesia European Society of Regional Anesthesia and Pain Therapy P502 Hadzic A 2007 Text Book Of Regional Anesthesia and Acute Pain Management The New

York School of Regional AnesthesiaPart III Clinical Practice of Regional Anesthesia gt Section Two Neuraxial Anesthesia gt Chapter 14 Epidural Blockade

3 CarliClemente 2008 The physiological effects of thoracic epidural anesthesia and analgesia on cardiovascular respiratory and gastrointestinal system Minerva Anestesiol 74-549-63

4 Van Haken AK UpDate on Toracic Epidurals Are The Benefits Worth The Risk International Anesthesia Research Society Canada

5 Kulkarni K Namazi IJ Deshpande S Goel R Cervical Epidural Anaesthesia with Ropivacaine for Modified Radical Mastectomy Kathmandu University Medical Journal 2013 vol11 no 2 issue 42

6 Khanna R Singh DK Cervical Epidural anasesthesia for thyroid surgery Kathmandu University Medical Journal2009Vol 7 No 3 Issue 27 242-24

S-24

Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill Patients

IMG Widnyana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Recently the practice of locoregional anesthesia and analgesia has become widespread and is already supported by numerous publications that have demonstrated its feasibility and effectiveness It already takes important parts in surgical and post surgical patients And now it also plays an important role in multimodal pain management especially in critically ill patients Indications for locoregional anesthesia are not limited to surgical and postsurgical analgesia but extend to the management of painful procedures for the critical ill patients (in ICU) patients with trauma-related issues and also another medical conditions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

As we know that critically ill patients frequently come with coexisting diseases that present wicked challenges to us the anesthesiologist including coagulopathies infections immuno compromised states sedation- and ventilation-associated problems and factors potentially increasing the risk for systemic toxicity There are techniques of loco-regional anesthesia and analgesia that we can choose and use in critically ill patients And we want to present a review of Loco-regional anesthesia and analgesia techniques in critically ill patients focusing on the main advantages and limitations of its use in critically ill patients and describe the most commonly used locoregional techniques and its applicability for critically ill patients

Keywords Locoregional anesthesia peripheral nerve blocks Critically ill patients ultrasonography guiding

S-25

Enhance Recovery After Surgery in Abdominal Surgery

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Rekomendasi dari komunitas ERAS (Enhance Recovery After Surgery) adalah suatu guideline yang dibuat oleh komunitas ERAS bekerja sama dengan IASMEN (Surgical Metabolism and Nutrition) dan ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) untuk memberikan pelayanan perioperatif yang optimal Guideline ini pertama kali dibuat untuk operasi colon pada tahun 2012 dan selanjutnya berkembang untuk operasi-operasi abdominal besar lainnya

Tujuan pembuatan guideline ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perioperatif dengan menurunkan stres pembedahan memelihara fungsi fisiologis postoperatif dan meningkatkan mobilisasi setelah pembedahan Guideline ini dibuat dengan jalan mereview dan menganalisis penelitian-penelitian meta-analysis randomised control trials dan prospective cohort yang sesuai dengan komponen-komponendari guideline ERAS yang selanjutnya di gradasi berdasarkan sistim Grading of Recommendations Assessment Development and Evaluation (GRADE)

Komponen-komponen yang termasuk dalam guideline ERAS diantaranya Preoperatif informasi pendidikan dan konseling preoperatif optimalisasi properatif bowel preperation puasa dan pemberian karbohidrat preoperatif premedikasi dari anestesi pencegahan terhadap thromboemboli antibiotik pencegahan dan pesiapan kulit protokol anestesi standar PONV(postoperative nausea vomiting) laparoskopi dan modifikasi dari akses bedah pemasangan NGT (nasogatric tube) mencegah hipotermia intraoperatif penanganan cairan perioperatif drainase dari peritoneal cavity setelah anastomosis colon drainase dari urine pencegahan ileus post postoperatif analgesi postoperatif penanganan nutrisi perioperatif kontrol glukosa postoperatif dan mobilisasi dini

Kata Kunci Enhanced Recovery After Surgery ERAS ERAS society reomendation

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-26

Anesthesia in Major Vascular Surgery

Jefferson Hidayat

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UIRSUPN Cipto MangunkusumoJakarta

Abstract

Anesthesia in major vascular surgery is generally considered as a high risk procedure due to patientrsquos systernic vascular disease comorbidities and the high surgical risk In elective major vascular procedures (open or endovascular) thorough preoperative management is mandatory lncreased risk of various comorbidities such as diabetes hypertension coronary artery diseasevalvular heart disease renal respiratory and cerebral diseased requires optimalization

General anaesthesia combined with epidural block is commonly chosen for open vascular surgery One should know hemodynamic changes and metabolic changes in aortic cross-clamping declamping to manage the problem intraoperatively Organ preservation such as spinal cord preservation using cerebrospinal fluid drainage renal preservation lungs and cardiac preservation especially in patient with any history of CAD must be performed accordingly

Endovascular aortic repair (EVAR) can be performed uncer local anaesthesia with monitored anaesthesia care (MAC) regional anaesthesia (spinaliepidural) and general anesthesia The choice old anaesthesia technique is discussed and choosen according to length of procedure complexity and whether hybrid or open surgical procedure is planned Regardless of which anaesthesia technique is planned invasive hemodynamic monitoring should be invasive and similar to the open repair Challenges during EVAR procedure includes bleeding dissection rupture endoleak migration distal organ ischaemia injures due to branch blockade or thrombus and hypothermia during long procedure A good haemodynamic monitoring and management will shortened hospital length of stay and mortality rate

Keywords Anesthesia Vascular surgery aortic cross clampingdeclamping organ preservation EVAR

S-27

Pediatric Ambulatory Anesthesia

Kadek Agus Heryana Putra

Department of Anesthesiology and Intensive TherapySanglah General Hospital

University of Udayana Medical Faculty

Abstract

Ambulatory (or outpatient) anesthesia and surgery is common in pediatric practice and has many benefits for patients parents and health care Anesthesia for pediatric ambulatory surgery remains to be a challengeAppropriate patient selection is important for the success of ambulatory anesthesia Exclusion criteria include patient-related factors surgical anesthetic

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

and social factorsRoutine preoperative preparation and evaluation are the same as for inpatients and includes a history and physical examination with special attention to past surgical or anesthetic experiences Choosing one anesthetic technique over the other is based on patient and procedure-specificWide variety agents that enable rapid induction maintenance emergence with minimal adverse effectsand techniques are currently available to anesthesiologists in order to administer safe and efficacious anesthesia Multimodal approach is useful for pain management and postoperative nausea and vomiting Discharging a postoperative patient to the environment with less skilled nursing care is considered to be unique in ambulatory anesthesia Parents are provided with verbal and written postoperative instructions about wound care analgesia diet mobilization and resumption of normal activityEvery ambulatory surgical unit have several mechanisms to evaluate its performance and patientrsquos satisfaction

Keywords ambulatory anesthesia preoperative preparation multimodal analgesia postoperative instructions

S-28

Anesthesia in High Risk Pediatric Patients

HU Kaswiyan Adipradja

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Prinsip dasar pada manajemen anestesi pediatrik yang sudah diketahui secara umum adalah bahwa pasien pediatrik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini sehingga manajemen anestesinya pun berbeda dan memerlukan perhatian yang seksama

Pasien pediatrik memiliki keistimewaan yang terletak pada berbagai segi anatomis dan fisiologis Jalan napas pasien pediatri sangat rentan mengalami obstruksi oedem mukosa serta kecenderungan intubasi endobronkial Dari segi kardiovaskuler yakni denyut jantung kontraktilitas compliance serta kerentanan untuk terjadinya afterload yang tidak seimbang saling ketergantungan antar ventrikel dan respon terhadap katekolamin Dari segi respirasi pasien pediatri rentan berisiko mengalami kegagalan respirasi karena sangat tergantung dari pergerakan diafragma Hipotermi juga menjadi salah satu bahaya berat yang dapat mengancam pasien pediatrik karena ketiadaan lemak subkutis dan ketidakmampuan pasien untuk menggigil (shivering)

Pasien pediatri juga memiliki beberapa kondisi yang dianggap berisiko tinggi Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa semua pasien pediatri harus diperhatikan secara seksama bukan tidak mungkin bahwa pasien pediatri yang permasalahan preoperatifnya biasa saja ternyata mengalami masalah intraoperatif maupun pascaoperatif seperti laringospasme croup serangan asma akut bahkan vagal refleks sampai cardiac arrest Tanpa memandang sebelah mata pada kasus-kasus pediatri rutin perlu dilakukan persiapan seksama dan pemantauan secara kontinyu dan ketat untuk kasus-kasus pediatri berisiko tinggi seperti kasus ambulatory anesthesia pada pasien pediatri dengan OSA pasien pediatri yang prematur dengan rencana operasi cito atau urgent serta pasien pediatrik yang mengalami syok sehingga perlu penggantian volume cairan maupun komponen darah sesegera mungkin

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Manajemen jalan napas yang tepat pertimbangan pemberian obat-obatan induksi baik intravena maupun inhalasi yang adekuat namun tidak merangsang jalan napas fasilitasi intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot maupun tanpa pelumpuh otot pertimbangan kapan melakukan suctioning pertimbangan melakukan ekstubasi sadar ataupun dalam sampai manajemen pascaoperasi seperti penggunaan skoring PADSS untuk periode pemulihan monitoring ketat pasca operasi yang perlu diwaspadai ketika 6-24 jam pasca operasi sampai take home message yang wajib diketahui keluarga pasien untuk membantu dalam pengawasan pasien di rumah menjadi hal-hal pokok yang penting diketahui oleh seorang ahli anestesi

Di rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak baik di daerah maupun pusat kota sering dijumpai pasien pediatri baru lahir (newborn) yang berasal dari persalinan prematur kurang bulan maupun dari kondisi kehamilan yang kurang baik Pasien-pasien tersebut sudah memiliki kondisi preoperatif yang kurang memadai untuk tindakan operasi dengan permasalahan fisiologis prematur dengan segala ketidaksempurnaan fungsi organ ditambah lagi dengan minimnya data dasar yang dimiliki untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen anestesi pasien tersebut

Perbedaan cara pandang dalam hal pemberian opiat untuk suplemen analgesia dan induksi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien prematur serta teknik intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot akan menjadi hal yang menarik untuk dijadikan titik perhatian Selain itu ketersediaan sarana airway kit alat-alat resusitasi untuk pasien pediatrik yang memadai alat monitoring di kamar operasi yang dapat digunakan untuk usia prematur serta variasi kasus dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh ahli anestesi yang bersangkutan akan menjadi nilai tambah untuk dapat meningkatkan keberhasilan tindakan Peran komunikasi dan diskusi dengan sejawat lain tidak saja dari satu bidang namun juga dari sejawat operator dan pediatri gawat darurat sangat diperlukan dalam kasus-kasus berat tersebut

Pasien pediatri tidak memiliki kompensasi yang cukup untuk mempertahankan kondisi hemodinamik terutama apabila mereka sebelumnya sudah terpapar dalam kondisi dehidrasi perdarahan maupun defisit cairan tubuh lainnya misalnya akibat febris luka bakar dan penguapan Pemberian cairan dari luar tubuh harus memperhitungkan dengan seksama kebutuhan cairan preoperatif intraoperatif maupun rencana pascaoperatif agar adekuat sehingga tidak menyebabkan kondisi menjadi overload Selain itu pemberian komponen darah harus betul-betul memperhatikan komponen mana yang lebih diperlukan untuk kondisi perioperatif tersebut dan disertai dengan perhitungan yang terinci

Di samping pemberian cairan pemberian glukosa juga menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan karena pasien pediatrik berisiko mengalami hipoglikemi misalnya pasien yang rutin mendapat hiperalimentasi bayi dari ibu yang mengalami diabetes yang mengalami persalinan cepat serta neonatus yang kecil untuk usia kehamilan Penggunaan glukosa sebaiknya diberikan pada bayi yang menjalani prosedur pembedahan yang lama dengan didasarkan atas pemeriksaan level glukosa serum Hanya dengan memonitor nilai glukosa serum kita bisa membuat keputusan yang tepat Infus glukosa 1 cukup adekuat untuk mempertahankan nilai normal glukosa serum pada bayi yang berisiko mengalami hipoglikemi

Dengan memperhatikan segala poin-poin penting di atas gambaran akan bundle manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan risiko tinggi lebih dapat divisualisasikan lebih jelas Kesesuaian serta variasi yang didapat antara teori dan praktik yang dikerjakan oleh ahli anestesi pada pasien pediatrik akan menambah khazanah pengetahuan serta meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani pasien dengan risiko tinggi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-29

Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied Enough

I Made Wiryana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Tantangan profesi ahli anestesi di milenium yang baru ini tidak lagi semudah dahulu Klien yang harus dipuaskan tidak saja hanya operator dan rumah sakit yang menaungi namun juga pasien sendiri beserta keluarga dan orang dekatnya Dengan ritme kerja yang penuh tekanan berpacu dengan waktu tuntutan biaya hidup dilawan oleh standar keselamatan dan kualitas pelayanan yang tinggi seorang ahli anestesi akan terpapar dengan berbagai macam bahaya dan risiko kerja seorang ahli anestesi

Terdapat beberapa bahaya yang dialami oleh seorang ahli anestesi di tempat kerja yakni bahaya biologis mekanis kimiawi fisik dan personal Selain dari bahaya yang sifatnya eksternal yakni biologis mekanis kimiawi dan fisik tersebut bahaya potensial yang mengancam profesionalitas seorang ahli anestesi adalah berasal dari pribadinya sendiri Bentuk bahaya ini antara lain berupa kelelahan atau fatigue stres atau burnout ancaman penyalahgunaan zat bahkan hingga tindakan bunuh diri

Seorang ahli anestesi diharapkan memiliki ukuran dan kadar diri rutin dievaluasi setiap saat secara personal untuk mampu mengukur kemampuan kerja sewaktu dan bertujuan mengurangi dan menghilangkan stres kerja maupun kehidupan pribadi Selain itu terdapat langkah motivasional yang dapat dilakukan saat kerja untuk memodifikasi situasi pemicu stres antara lain perencanaan strategi baru untuk menangkal stres belajar hidup disiplin setiap hari komunikasi dan diskusi dengan rekan sejawat realisasi akan potensi pribadi mempunyai hobi atau minat serta mampu melakukan relaksasi saat waktu luang memiliki rasa optimis dan tetap menjaga pola tidur olahraga dan nutrisi yang cukup Dengan mendekatkan diri dengan hal spiritual atau mendalami hal keagamaan juga mampu meningkatkan rasa optimis akan adanya kebaikan yang akan datang melingkup tempat dan lingkungan kerja

Dengan evaluasi diri yang terus-menerus serta tindakan motivasional yang dilakukan berkala diharapkan seorang ahli anestesi mampu menjaga kualitas dan performa kerjanya meski dihadapkan pada berbagai kasus sulit dan dengan manajemen waktu yang sempit Ahli anestesi yang berpengalaman dalam menangani stres juga tentu akan mampu menyuarakan umpan balik positif bagi tempat kerjanya agar lingkungan tersebut tidak saja berusaha memberikan situasi dan waktu kerja yang lebih kondusif namun juga kompensasi yang seimbang sehingga akan mampu memberikan nilai tersendiri bagi profesi anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30

Ethics In End Of Life Care In Elderly

Moh Sofyan Harahap

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstrak

Kita mengenal aspek pelayanan ksehatan di Indonesia adalah Promotif Preventif Kuratif dan Rehabilitatif belum disebutkan perawatan Paliatif yang erat hubungannya dengan perawatan pada akhir hidup yang sering dijumpai Karena jika pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi maka dokter harus tetap menjaga agar akhir kehidupannya dapat dilewati dengan baik Perawatan di akhir kehidupan ini tidak hanya menyangkut pasien namun juga keluarganya

Sama halnya dengan hukum maka etika sesungguhnya didasarkan pada nilai dan norma moral Norma moral itu sendiri terdiri dari moral principles (beneficence nonmalficence autonomy dan justice) moral standard dan moral rules (yang kemudian dikompilasi kedalam kode etik)

Perkembangan teknologi saat ini dapat memperpanjang kehidupan manusia yang menderita sakit kritis di ICU hal ini sekaligus menimbulkan masalah etik tersendiri misalnyamisalnya apa yang harus atau boleh kita lakukan dalam memperpanjang kehidupan pasien sejauh mana kita boleh menghentikan pemakaian alat bantu hidupsarana pengobatan lainnya apakah kita tidak membunuh pasien apabila kita menghentikan alat bantu nafas

Intinya hakekat dari clinical case management adalah CURING dan CARING Upaya curing harus dihentikan manakala sudah bersifat mubazir (futile) sedangkan upaya caring harus diteruskan sampai pasien meninggal dunia

S-31

Advanced Airway Management In Difficult Pediatric Patient

Muhammad Ramli Ahmad

Bagian Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Kesulitan dalam penanganan jalan napas anak tidak jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna Kesulitan sering terjadi berkaitan dengan ventilasi laringoskopi atau intubasi trakea Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau proses patologi yang melibatkan jalan napas Prinsip penanganan adalah menjaga patensi jalan napas untuk menjamin oksigenasi dan ventilasi Identifikasi karakteristik kesulitan jalan napas dan perencanaan masalah penting dalam praktek anestesi Kunci keberhasilan adalan penilaian dan persiapan preoperatif serta pengetahuan dasar mengenai perbedaan anatomi jalan napas dan fisiologi respirasi pada anak Selain itu juga perlu didukung oleh ketersediaan peralatan dan ahli anestesi yang berpengalaman

Kata kunci jalan napas anak kelainan kongenital kesulitan intubasi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-32

Pediatric Traumatic Brain Injury

Nazaruddin Umar

Department of Anesthesiology amp Intensive Care Medical School of University of Sumatera Utara

Abstract

Traumatic Brain Injury (TBI) remains the leading cause of death and disability in pediatric patients from birth to 18 years of age Each years 500000 children are seen in Emergency Departement and pediatric deaths from TBI are estimated to be 2500 annualy Severe TBI in pediatric population has better survival prognosis if treated in any trauma centers equipped well in facility and skilled staff to collaborate in neuropediatric cases Proper Systematical Assessment and Intervention on initial admission in order to prevent secondary brain injury by any harmful effect of agitated hypoxia hypercarbia hypovolemia with sedation analgesia with minimal risk of respiratory depression avoidance hyperventilation normovolemia and maintenance of Cerebral Perfusion Pressure (CPP) above 50 mmHg hyperosmolar therapy temperature control glucose control antiseizure prophylaxis would improve outcome particularly for children with several type of problems during radiodiagnostic procedure neurosurgery and neurointensive care unit Brain injury can be devided into primary and secondary injury The primary injury is caused by the intial trauma Physical forces such as acceleration deceleration or rotational forces have an impact on the tissue and may result in skull fracture brain contusion intracranial hematoma or diffuse axonal injury Secondary injury is result of the cascade of event that occurs after the initial injury in including edema cappilary leak and activation of the secaondary imflamatory response The goal of care for patient with TBI is to aid in the compencation process limitating secondary injury to prevent brain ischemia and optimize neurological outcomes TBI are categorized as mild moderate and severe Children with mild brain injury achieve a Glasgow Coma Scale (GCS) of 13 or higher Moderate TBI is characterized by a loss of conciousness and physical andor cognitive impairment with GCS of 9 to 12 Children with severe TBI have GCS less than 8 and require airway and hemodynamic support Management of TBI is devided into first second and third-tier therapy The goal of all therapies is to maintain a low and stable ICP and adequate blood pressure preventing any critical drop in CPP of the three component in the skulll the brain subtance remain fairly constant threfore treatment intially focuses on a shift in CSF or blood from the intracranial space Surgical interventions may be required if medical therapie in the first and second tiers are unsuccessful Management pediatric TBI must be perioperative evaluation anastetic consideratation postoperative management

Keywords CPP Pediatric Secodary Brain Injury TBI

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-33

Advanced Hemodynamic Monitoring

Putu Agus Surya Panji

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Advanced hemodynamic monitoring comprises several level of persistent monitoring in critical patients The goal of hemodynamic monitoring in intensive care is to maintain sufficient perfusion pressures and oxygen delivery Precise volume management of perioperative and critical care patients is crucial to prevent adverse outcomes The need for the precise quantification of cardiac output (CO) in high-risk surgical patients both in the operating room and the intensive care unit is vital in modern medical practice

Manipulation of the cardiac output (CO) mean arterial pressures (MAP) systemic filling pressures and volumes as well as dynamic markers of fluid responsiveness requires continuous monitoring thorough understanding of the modalities employed and proper interpretation of data acquired

Methods for obtaining accurate and continuous measurements in the critically ill patient have evolved from surgical and anesthetic techniques dating back more than a century The pulmonary artery catheter (PAC) is not any more the sole tool available There are less invasive and potentially more accurate methodologies have been developed and employed in the operating room and among diverse critically ill populations

Minimally invasive cardiac monitoring encompasses all methods and devices that calculate the cardiac output without the need of inserting a PAC These include transpulmonary thermodilution arterial pressure pulse contour the esophageal Doppler the thoracic electrical bioimpedance the carbon dioxide rebreathing and waveform analysis and bedside critical care ultrasound including echocardiography Recently simply monitoring vascular pressures has given way to dynamic monitoring where physiologic changes with respiration can be used to derive additional parameters such as pulse pressure variation (PPV) and stroke volume variation (SVV) Clinicians should be aware of their distinct features their limitations but also the sources of potential error that stem for their use

S-34

Direct Marker Of End Organ Perfussion

Prananda Surya Airlangga

Dept Anestesiology dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Univ Airlangga ndash RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak

Oksigen merupakan bahan dasar atau substrat yang memegang peranan vital dalam metabolisme tubuh manusia Proses sampainya oksigen ke seluruh tubuh melalui peredarah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

darah digambarkan dengan rumus Delivery Oxygen (DO2) Dimana bila kita jabarkan terdapat proses fisiologi yang cukup panjang mendasari rumus tersebut Komponen Cardiac output Hemoglobin dan Saturasi Oksigen menjadi variabel dalam rumus tersebut dengan end point adalah perfusi yang baik ke seluruh organ Perfusi yang baik ditunjang Makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang baik Pada saat ini dengan bantuan Non Invasif dan Invasif monitoring kita bisa menilai makrosirkulasi tetapi untuk mikrosirkulasi hal ini tidak mudah apalagi di tingkat klinik Ada beberapa marker indirect yang kita gunakan sebagai alat monitor seperti laktat base deficit ScvO2 dll Belakangan ini terus diupayakan dan dikembangkan alat-alat untuk memonitor secara langsungdirectperfusi di mikrosirkulasi terlebih lagi pada beberapa end organ sehingga outcome terapi kita bisa ditingkatkan

Keyword tissue oxygenation near infrared spectroscopy delivery oxygen

S-35

Chronic Pain Depression And Somatoform Disorders

I Putu Eka Widyadharma

BagianSMF Neurologi FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif neuropatik atau gabungan keduanya Dampak nyeri kronis pada kehidupan seseorang secara keseluruhan juga berkontribusi terhadap depresi dan kelainan somatoform

Nyeri kronis dan depresi berhubungan pada tingkatan neurobiologis psikologis dan perilaku Pada tingkatan neurobiologis neurotransmitter seperti serotonin norepinefrin berperan pada gangguan depresif Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif Pada tingkatan psikologis nyeri kronis termasuk dalam bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen tubuh termasuk nyeri Sebuah konsep yang sesuai penekanan somatosensori yang didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan gejala disforik termasuk nyeri Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik dan merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress psikologis Pada tingkatan perilaku depresi terjadi sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari

Akibat dampak yang sangat luas maka pendekatan multidisiplin merupakan pilihan terbaik dalam manajemen pasien dengan nyeri kronis

Kata kunci nyeri kronis depresi somatoform multidisiplin

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-36

Pain Management In Day- Case Surgery

Sugeng Budi Santosa

Departement of Anesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret UniversityDr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Recent advanced in anaesthetic and surgical techniques along with escalating healthcare cost have resulted in an ever-increasing number of surgical procedures being performed on a day case Most day-case surgery procedures are associated with relatively minor surgical trauma so discharge of these patient frequently depends on recovery from anaesthesia Top priorities for successful day-case surgery are the 4 Arsquo s alertness ambulation analgesia and alimentation (1) Post operative pain is one of most common complaints after surgery and remain continuous to be a challenge for anesthetist this symptom is the most common reason for unanticipated hospital admission The potential cost saving of day-case surgery may negated by unanticipated hospital admission for poorly treated pain (2) Optimal postoperative pain control in day-case surgery should be effective safe minimal side effect facilitate recovery And easily managed by patient at home Supplements and rescue analgesics should be provide if prescribed analgesics is ineffective (3)

Keywords one day care surgery pain management

S-37

Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant Medication

Sugeng Budi Santoso

Department of Anaesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret University Dr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Improvement in patient outcome including mortality major morbidity and patient - oriented outcome has been demonstrated with neuroaxial techniques especially epidural anaesthesia and continued epidural analgesia (Rodgers A et al 2000)

The possible complication of neuroaxial block is spinal - epidural hematoma and the use of anticoagulant or anti-platelet is the risk factor most often associated with this complication Current incidence of neurological dysfunction resulting from bleeding complication associated with neuroaxial block is unknown Itrsquos occurrence is estimated to be less than 1 150000 epidural punctures and 1220000 subarachnoid punctures ( Horlocker TT2011)

The number of patient on anticoagulant or anti-platelet therapy has been growing due to the aging process longer life expectancy and prevalence of cardiovascular disease Because

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

risk of spinal - epidural hematoma is increased and introduction of new antithromboyic drugs done at regular interval guideline and recommendations regarding on safety in regional anaesthesia and concomitant use of antithrombotic therapy should be constantly updated ( Vandermeulen E 2010)

Guidelines and recommendation should be included identification of risk factor prevention strategies diagnosis and treatment safe interval for drug suspension and resumption after regional block in subject taking drugs that interfere with coagulation

Keywords Regional anaesthesia Anticoagulant medication

S-38

Major Obstetric Bleeding Management

Susilo Chandra

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Deaths per 100000 pregnancies Sepsis (genital tract infection) is the 1st cause of direct maternal death Rate 113 per 100000 Preeclampsiaeclampsia is 2nd highest cause of direct maternal deaths Rate 083 Thrombosis(including central vein thrombosis) and thromboembolism is the 3rd with rate of 079 AFE is the 4rd with rate of 057 Hemorrhage is number 6 after early pregnancy deaths (ectopic spontaneous miscarriage legal termination other) with rate of 039 Deaths from indirect causes account for the most common causes of maternal death with cardiac being one (rate 231) followed by other indirect causes (rate 214) and indirect neurologic conditions (157)

Morbidity loss of fertility Sheehan syndrome and multi-organ failure due to hypovolemic shock Maternal hemorrhage disproportionately affects resource-poor countries Pasquier 125000 deaths per year related to PPH Incidence of PPH has increased in Canada Australia and US

Low fibrinogen level at PPH diagnosis is associated with a higher risk of severe PPH independent of other laboratory indicators Wide range of PPH (147-18 of all deliveries) reflects different definitions used and the regions concerned Antenatal risk assessment predicts only 40 of those who will develop PPH Maternal morbidity associated with PPH includes PP hysterectomy sepsis ARF and ICU admissions

Chang CC et al study applied multivariate logistic regression to explore the relatioship between anesthestic management type and PPH ldquoWomen who received GA had a higher rate of PPH than women who received epidural anesthesia The odds of PPH in women who had CS with GA were 815 times higher (95 Cim 643-1033) than for those who had CS with epidural anesthesia after adjustment was made for the maternal and fetal characteristicsrdquo

There is no consensus on a definition of major obstetric haemorrhage Up to 1000 ml blood loss is not uncommon in the peripartum period and may be of little clinical significance Blood loss gt1500 ml a decrease in haemoglobin of more than 4 gdl or an acute transfusion requirement of more than 4 units of packed red blood cells are suggested criteria Definitions based on haemodynamic deterioration are unhelpful as maternal physiology often allows compensation until haemorrhage is advanced Careful clinical observation and a high index of suspicion are required to detect bleeding early

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Antepartum HaemorrhageAntepartum haemorrhage (APH) is defined as bleeding from the vagina after 24 weeks

gestation and has an estimated incidence of between 2ndash5 of all pregnancies Complications include maternal shock fetal hypoxia premature labour and fetal death Causes include

Placenta praevia Placental abruption Uterine rupture Trauma

The 4 Trsquos mnemonic describes the abnormalities in one of 4 basic processes acting individually or in combination

Many physiological changes occur during pregnancy including a decrease in blood pressure and an increase in baseline heart rate and blood volume This altered physiology may mask the extent of blood loss until it is severe Complete circulatory collapse is often rapid when the limits of physiological compensation are reached

Warning signs of significant maternal haemorrhage that should not be ignored include tachycardia tachypnoea hypotension pallor poor urine output and pathological CTG changes The performance of regular observations in conjunction with obstetric early warning scores is encouraged Attention should be paid to vital sign trends as well as absolute values and a rapid clinical review should be carried out should any warning criteria be met Tachycardia may be the first and only sign of haemorrhage until 30ndash40 of the circulating volume has been lost where after hypotension and peripheral vasoconstriction ensue In APH signs of fetal distress due to uterine hypoperfusion may precede maternal compromise

The symptoms and signs of hypovolaemia may be more difficult to recognise if there is a language barrier obesity pre-eclampsia dark skin or beta-blockade and hence extra care should be taken in these situations

The main aims of management are rapid resuscitation to restore tissue oxygen delivery while predicting preventing and correcting haemostatic disorders Appropriate levels of monitoring (especially invasive arterial blood pressure monitoring) should be considered and instituted early

If anaesthesia is required for examination andor surgical intervention and haemodynamic stability is compromised general anaesthesia is usually indicated Haemodynamic compromise and coagulopathy should be addressed prior to surgery whenever possible although surgical control may at times be required to enable effective resuscitation Regional anaesthesia may be contra-indicated due to maternal coagulopathy and risk of neuraxial haeamatoma as well as haemodynamic compromise In addition surgery may be lengthy with the potential for further patient deterioration Rapid sequence induction is indicated preferably following antacid prophylaxis (eg sodium citrate and ranitidine)

Induction of general anaesthesia in a severely hypovolaemic patient may cause a catastrophic fall in cardiac output Ketamine is a suitable induction agent (15 mgkg IV) as is cautious dosing of either thiopentone or propofol

If time and the patientrsquos condition allow direct arterial monitoring may be established both as a guide to response and for ongoing blood sampling to guide transfusion therapy Central venous access may be required however this is not imperative and can wait until the situation is under control and should not interfere with prompt resuscitation Central venous access may be necessary for inotrope and

vasopressor infusion and central venous pressure monitoring may provide some additional information to help guide fluid management Although there are few reports of the use of minimally invasive haemodynamic monitoring devices (eg oesophageal Doppler

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

monitoring) in the management of major obstetric haemorrhage these devices may aid fluid management in the anaesthetised patient Attention to fluid balance is imperative since over-transfusion and dilution before achieving surgical haemorrhage control is associated with worse outcomes

Lack of robust RCTs Upon arrival at major trauma institutions blood component resuscitation is driven by massive transfusion protocols trending toward 111 RBCFFPPLT ratios It seems reasonable to extend these recommendations to massive PPH which is also often accompanied by hypothermia acidosis and coagulopathy US Army Surgeon General distributed policy recommending 11 FFPRBC ratio for pts with significant trauma based on experience in Iraq and Afghanistan Empiric transfusion based on clinical parameters Lethal triad of acidosis hypothermia and coagulopathy Decreased coagulopathy when replacing blood loss with a 11 ratio of FFPPRBCs Military physicians noticed a decrease in coagulopathy in bleeding cases when replacing blood loss with a 1 ratio of FFPRBCs

No RCTS evaluating the effect of different transfusion ratios were identified Odds ratio for the high FFPRBC ratio was 045 95 CI 037-055) OR for the high PLTRBC ratio was 045 95 CI 037-055) No optimal ratio Timing of administration is key 9 of the studies reported improved survival in the group of pts receiving the highest ratios of PLT to RBC (the most platelets) This is in agreement with Johansson et al who demonstrated that administration of PLT together with plasma and RBC immediately upon arrival in the operation theater and throughout surgery was associated with reduced postop bleeding and a 50 increase in 30-day survival in pts undergoing ruptured abdominal aortic aneurysm repair

There were a lot of differences between the groups besides the rbcplasma ratio Rapidity of component administration and the reduction in crystallloid use may paly role in outcome

Incidentally D-dimers and fibrin degradation prodcuts increased in fibrinolysis may further aggravate OB hemorrhage by impairing myometrial contractility PPH can rapidly become life-threatening requiring massive transfusion of blood products Traumatic hemorrhagic shock is primary cause of gt5 million trauma related deaths worldwide and a leading cause of death of young people Presents with hypovolemic anemia often accompanied by coagulopathy that results in uncontrollable bleeding systemic inflammation and infection in damaged blood vesells Mitra and colleagues studied the association between acute coagulopathy and early mortality Significant association with early death Ahmed When massive obstetric hemorrhage occurs hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive and its onset can be rapid and profound when compared with surgical or trauma-related coagulopathy The drop in fibrinogen is particularly severe in placental abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy Rapid consumption of fibrinogen is recognized in massive OB hemorrhage Primary coagulation dorsquos are not frequently identified as a cause of PPH except in women on anicoagulation medication or with a known ho a bleeding doIt is becoming increasingly clear that the mechanism of coagulation failure varies according to the underlying cause of massive hemorrhage and that management should reflect this Rayment 2012 Platelets are already low 22 hemodilution increased consumption by uteroplacental unit From Pasquier SIR=systemic inflammatory response Note amount of tissue trauma and contamination is less in the obstetric patient and obstetric hemorrhage occurs in controlled environment usually Also parturients start with higher fibrinogen concentrations From Mercier Obstetric hemorrhage is often complicated by an acquired coagulopathy 22 dilutional and or consumptive effects on clotting factors and by further adverse effects of massive transfusion D dimer levels increase throughout pregnancy and peak on pp day 1 The rise in d dimers occurs with simultaneous increase in circulating fibrinogen and other procoagulant factors during pregnancy Despite hypofibrinolysis the excess fibrin deposition results in an increase in tissue plasminogen activator and high d-dimer values

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Massive hemorrhage with hypovolemic shock leads to tissue hypoxia hypothermia acidosis SIR which lead to DIC Massive transfusion in setting of acidosis and hypothermia lead to DICTrauma induced coagulopathy initiated by tissue injury and hemorrhagic shockHypothermia acidosis and hemodilution contributed to the development of coaguloptathy Hess et al ldquo6 initiators of coagulopathy tissue trauma shock inflammation acidemia hypothermia and hemodilution

Jan 2013 AampA Severe PPH defined as ineffective response to manual uterine examination andor removal of retained placenta genital tract examination and Iv oxytoccin (20U) Failure to respond IV prostaglandin E2 ((sulprostone 500 mcg over 1 hr) given During study period no antifibrinolytics fibrinogen concentrate or compression techniques were administeredapplied Note pts were divided into the do nothing category or the interventional procedures(IR arterial ligation B-lynch hyserectomy) according to their response to sulprostone

Point-of-care tests may help hemostatic therapy to be tailored to the individual pt and therefore reduce the risk for under- or over-transfusion The use of conventional laboratory clotting tests is very limited in immediate situations TEG is thromboelastography ROTEM is rotational thromboelastometry The goal of platelets of 50000 is based on a consensus of medical opinion rather than on evidence and would depend on the rapidity of blood loss and the presence of platelet dysfunction Johansson and Stensballe compared 2 transfusion strategies in massively bleeding pts a classic administration of platelets based on platelet count and a new proactive transfusion strategy consisting of preemptive use of platelets and plasma in transfusion packages (552 unit platelet concentrates) Urgently need RCTs before recommendations are formulated for OB pts Point of care= thromboelastography and thromboelastometry Blood and fluid replacement is first line in treatment of obstetric hemorrhage This slide from Saule I Transfusion practice in major obstetric hemorrhagerdquo Arterial thrombosis is a potential complicaitons of rFVIIa but zero cases in case series of 15 pts Its safety in obstetric hemorrhage is unproven Platelet target depends on rapidity of blood loss and on the presence of platelet dysfunction

Toledo et al Accuracy of blood loss estimation after simulated vaginal delivery Interestingly in this study there was no association between years in trainingexperience and accuracy also no difference between providers in accuracy (nurses vs Obs vs anesthesiologists) although other studies have shown that anesthesiologists are more accurate 106 subjects participated estimating blood loss at 8 stations (4 with calibrated and 4 without) In pic the uncalibrated bag on L has 500 mL calibrated on R has 1000 mL

Fibrinogen plays a role in platelet aggregation and establishment of fibrin network Coags platelets can be normal in major OB hemorrhage with no detectable fibrinogen levels Essential marker for the severity of PPH Hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive in massove OB hemorrhage and its onset can be rapid and profound particularly in cases of abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy

Stinger 2008 is trauma medicineRahe-Meyer is a cardiac surgery study Haas is craniosynostosis Therersquos a need for RCTrsquos for OB hemorrhage massive trauma etc to assess threshold at which fibrinogen should be transfused whether the threshold varies with differenet clinical scenarios its effect on transfusion requirements and length of stay as well as mortality and risk of arterial and venous thromboembolism (VTE) Itrsquos unlikely that a study comparing the effect of fibrinogen concentrate with that of cryp will be performed It would be difficult to coordinate such a study because fibrinogen concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly Fibrinogen is not licensed for use in pregnancy Its efficacy in treatment of major hemorrhage limited to case series

All parturients requiring fibrinogen between Jan 2009-June 2011 were identified 77 cases identified out of 21614 (incidence of 361000) 44 received either cryo or concentrate

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Replaced fibrinogen with cryo and concentrate for major Ob hemorrhage Both were effective in contributing to the cessation of bleeding No cases of death Medical and surgical treatments similar in both groups (see figure)Itrsquos unlikely that RCTs comparing the effect of concenetrate with that of cryo will be performed Why Bc concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly (Rayment 2012)

Systematic review of studies that reported use of FVIIa in PPH On lady who had PE had antithrombin deficiency Another had DVT one unrelated to factor VII Still offlabel and very expensive

Tranexamic acid (TXA) given intravenously as 4g1 hr then 1gh for 6h Study conducted between 2005-2008 Blood loss between time 2 and time 4 was 49 lower in the TXA group (Plt003) WHO guidelines ldquoMay be used in PPH if other measures failrdquo

ConclusionGlobally postpartum haemorrhage (PPH) is the leading cause of maternal morbidity

and mortality Major obstetric haemorrhage is managed by multidisciplinary approach In the current treatment of severe PPH first-line therapy includes transfusion of packed cells and fresh-frozen plasma in addition to uterotonic medical management and surgical interventions In persistent PPH tranexamic acid fibrinogen and coagulation factors are often administered Secondary coagulopathy due to PPH or its treatment is often underestimated and therefore remains untreated potentially causing progression to even more severe PPH The most postnatal haemorrhage is due to uterine atony and can be temporarily controlled with firm bimanual pressure while waiting for definitive treatment

S-39

Perioperative Neuroprotection

Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Kepala Pusat Studi Neuromuskuler FK Universitas Padjadjaran

Abstrak

PendahuluanApakah Perioperative Neuroprotection Perioperatif adalah periode dari mulai praoperasi

saat operasi dan pascaoperasi artinya pengelolaan pasien yang menyeluruh dari mulai praoperasi selama operasi dan pascaoperasi Neuroprotection adalah proteksi neuron dari cedera (injury) Proteksi neuron atau proteksi otak berbeda dengan resusitasi otak tindakan pengelolaannya pasiennya hampir sama tapi per definisi sedikit berbeda Proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk mengurangi cedera neuron

Menjadi pertanyaan apakah proteksi sel neuron merupakan kenyataan atau pemikiran yang salah Susunan saraf pusat (SSP) mungkin mengalami iskemia selama karotidenarterektomi emboli operasi vaskuler di intrakranial torak atau abdomen saat hipotensi kendali syok henti jantung atau pada cedera otak Oleh karena itu tindakan anestesi jangan menambah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

efek buruk pada SSP akan tetapi harus justru harus melakukan proteksi dari cedera iskemik dan hipoksik

Menjadi pertanyaan apakah kita membutuhkan proteksi otak Tentu dengan tegas jawabannya adalah YA Bukti-bukti menunjukkan bahwa terjadi 20 defisit neurologis setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) 80 iskemia otak setelah cedera kepala dan yang operasinya diluar otakpun penelitian menunjukkan 40 terjadi disfungsi kognitif setelah antroplasti Penelitian Selim yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi stroke iskemik setelah berbagai macam operasi baik operasi yang menyangkut jantung dan pembuluh darah otak atau operasi ditempat lain

Iskemia didefinisikan sebagai ketidak cukupan perfusi untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas metabolic neuron dan fungsi Iskemia dapat global atau fokal komplit atau tidak komplit Komplit global iskemia misalnya henti jantung iskemia global yang tidak komplit misalnya hipotensi atau syok Iskemik fokal misalnya oklusi satu pembuluh darah dan artinya tidak komplit Bila pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan (disebut iskemia) maka sintesa adenosine tri phosphat (ATP) menurun ATP menjadi kosong dan terjadi kegagalan pompa Na-K-ATPase Natrium akan masuk kedalam sel dan kalium akan keluar sel dstnya dan terjadi kaskade iskemik sampai terjadi kematian sel

Metode Proteksi OtakUntuk memutuskan rantai tersebut dilakukan proteksi otak dan atau resusitasi otak

yang kalau dilihat dari tindakannya adalah sama seperti teknik ABCDE neuroanestesi Jadi tindakan neuroresusitasi neuroproteksi neuroanestesi neuroICU adalah sama saja ABCDE itu adalah

bull A = Clear airway (jalan nafas bebas epanjang waktu)bull B = Breathing (ventilasi kendali dengan target normocapnia atau sedikit hipokapni) bull C = Circulation (hindari peningkatan atau penurunan tekanan darah hindari

peningkatan tekanan vena serebral dan pengaturan cairan dengan target normotensi normovolemia iso-osmoler normoglikemia)

bull D = Drugs (hindari obat dan teknk anestesi yang meningkatkan ICP berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak)

bull E = environment (pengendalian suhu hipotermia ringan cegah hipertermi)

Metode proteksi otak terdiri dari 1) Basic Method yaitu ABC neuroanestesi 2) Hipotermia dengan target low normothermia (E dalam neuroanestesi) dan proteksi otak secara farmakologik (D dalam neuroanestesi) yang dapat dilakukan dengan pemberian anestetika intravena anestetika inhalasi lidokain mannitol magnesium eritropoietin alpha-2 agonist demedetomidin

Basic MethodBasic Method terdiri dari pengelolaan Airway Breathing dan Circulation Airway harus bebas

sepanjang waktu Breathing adalah untuk oksigenasi adekuat hindari hipoksia hiperkapnia Targetnya adalah normokapnia dan hiperventilasi hanya dilakukan bila ada tanda-tanda herniasi otak Pada circulation pertahankan tekanan darah normotensi dengan target tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressureCPP) 50-70 mmHg CPP kurang dari 50 mmHg bisa

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

terjadi iskemia otak tapi CPP gt 70 mmHg pada cedera otak traumatik bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) Kendalikan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP) dan mulai terapi bila ICP gt 20 mmHg Koreksi asidosis ketidakseimbangan elektrolit osmolaritas dan kadar gula darah Gula darah harus dipantau dengan ketat Hindari hiperglikemia dan pertahankan gula darah antara 100-150 mg dan periksa setiap 2 jam Kadar gula darah yang tinggi akan memperburuk outcome sedang normoglikemia mempunyai efek proteksi otak

Terapeutik hipotermiaHipotermia mempunyai efek proteksi otak Lebih turun temperatur makin besar efek

proteksi otak tapi komplikasi juga makin besar Harus dicari penurunan suhu yang optimal antara maksimal proteksi dan minimal efek buruk maka suhu inti dipertahankan antara 34-35 0C

Mekanisme hipotermi untuk proteksi otak selain dengan menurunkan metabolisme otak juga melalui efek menurunkan pelepasan EAA mencegah apoptosis mengurangi disfungsi mitokhondria menurunkan produksi radikal bebas mempertahankan ATP menurunkan influks Ca memelihara sintesa protein dan sawar darah otak mencegah peroksidasi lipid menurunkan pembentukan edema memodulasi respons inflamasi dan kematian sel secara apptotik

Hipotermi sampai 33 0C dapat menimbulkan komplikasi saat rewarming karena terjadi vasodilatasi serebral dan kemudian kenaikan ICP Komplikasi lain adalah terjadinya pneumonia Hipertermia (suhu inti 420C pasien bisa koma) dapat meningkatkan Ca influks pengosongan ATP dengan cepat dan gangguan pemulihan

Clifton GL dkk dalam N Engl J Med 2001344(8)556-63 melaporkan penelitian dengan suhu tubuh 330C yang dimulai 6 jam setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam dengan surface cooling Hasilnya menunjukkan bahwa terapeutik hipotermi tidak efektif Kemudian Clifton GL dkk mempublikasikan penelitian yang lain dalam Lancet 2011 yang mana terapi hipotermi dilakukan dengan suhu 330 C dalam 25 jam setelah cedera pada 232 pasien cedera otak traumatik berat dan dipertahankan selama 48 jam Hasil penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermi sebagai strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera otak traumatika berat

Sydenham E dkk dalam Cochrane Database Sys Rev 2009 dengan kriteria seleksi penelitian RCT yang melakukan hipotermi sampai maksimum 350C paling sedikit 12 jam meliputi 23 penelitian dengan total 1614 pasien Menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa hipotermi menguntungkan dalam terapi cedera kepala Sadaka F Veremakis C dalam Brain injury 201226(7-8)899-908 tidak dapat memberi kesimpulan dan menunggu hasil penelitian multisenter yang lebih besar untuk mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome-nya

Hipotermi terapeutik masih kontroversi akan tetapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 350C dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 370C Lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari Untuk mencapai suhu 350C dianjurkan memakai metode surface coolingTentang outcome masih dipertanyakan dan belum diketahui dan sekarang penelitian yang lebih besar sedang dilakukan yaitu The Eurotherm3235Trial European Society of Intensive Care Medicine study of HT (32-35degC) for ICP reduction after TBI (the Eurotherm3235Trial) Penelitian ini merupakan penelitian mulisenter untuk menguji efek hipotermi 32-35degC untuk mengurangi ICP lt20 mmHg pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah cedera otak traumatik dengan jumlah sampel 1800 pasien dan dimulai April 2010

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pharmacologic Brain ProtectionPharmacologic brain protection adalah melakukan proteksi otak dengan obat-obatan Kalau

berbicara proteksi otak maka harus dilihat dari konteks anti nekrotik dan antiapoptotik Apoptotik adalah programmed cell death Anestetika intravena barbiturat mempunyai efek proteksi otak dengan jalan menurunkan metabolisme otak tekanan intrakranial Ca influks memblok kanal Na menghambat pembentukan radikal bebas dan menurunkan glutamataspartatlaktat ekstraseluler

Anestetika inhalasi meningkatkan aliran darah otak di daerah iskemik menurunkan metabolisme otak dan menekan kejang Isofluran sevofluran desfluran menekan metabolisme otak secara maksimum pada 2 MAC dan memperbaiki ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan (anestetika inhalasi berefek serebral vasodilator tapi menekan metabolisme otak) Efek lain adalah menghambat pelepasan neurotrasmiter eksitatori dan menghambat asidosis laktat mengurangi influks Na dan Ca menghambat peroksidasi lipid dan mengurangi pembentukan radikal bebas Beberapa publikasi menyebutkan bahwa isofluran hanya ldquoselintasrdquo berefek proteksi insult iskemia dan hanya berefek antinekrotik tapi tidak antiapoptotik Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isofluran tidak mempunyai efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isofluran hanya memperlambat tapi tidak mencegah infark akibat iskemia fokal Sebaliknya penelitian Engelhard mengatakan bahwa sevofluran mempunai efek antinekrotik dan anti apoptotik Kalau istilah proteksi otak harus mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik maka hanya sevofluran yang mempunyai efek proteksi otak Akan tetapi semuanya ini adalah pada penelitian hewan coba belum dikonfirmasikan pada penelitian klinis Desfluran lebeih berefek vasodilatasi serebral dan lebih meningkattkan ICP daripada isofluran dan sevofluran pada keadaan normokapnia Pada 1 MAC desfluran aliran darah otak 16 lebih tinggi daripada isofluran dan 24 lebih tinggi daripada sevofluran

Bagaimana tentang N2O Pada tahun1938 CD Courvile mempublikasikan foto sel neuron korteks yang bervakuola pada pasien yang meninggal setelah pemberian N2O Enampuluh tahun kemudian Todorovic menyampaikan bahwa N2O menimbulkan vakuolisasi mitokhondria dan endoplasmik retikulum tikus Penelitian lain menunjukkan bahwa N2O menghilangkan efek proteksi otak dari pentotal dan isofluran juga N2O meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flowCBF) ICP dan metabolisme otak

Bagaimana tentang osmodiuretik Pada first-tier therapy pengelolaan hipertensi intrakranial dipandukan untuk memberikan mannitol Mannitol ternyata mampu menurunkan ICP dan meningkatkan CPP memperbaiki CBF pada penelitian hewan dan manusia Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma selintas dengan penurunan hematokrit dan viskositas plasma Mannitol mempunyai osmolaritas 1208 mOsmL maka harus dipantau osmolaritas plasma Manitol jangan diberikan bila osmolaritas 320 mOsmL dan osmolaritas 350 mOsmL dapat berakibat buruk pada otak dan ginjal Rebound phenomena setelah pemberian mannitol hanya relevan bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi lebih dari 4 hari

Magnesium (MgSO4) mempunyai efek proteksi otak karena berefek NMDA reseptor antagonis memblok kanal Ca sehingga menghambat pemasukan Ca ke intraseluler serta mempercepat pemulihan ATP Suatu penelitian metaanalisis pada akut iskemik stroke menunjukkan perbaikan outcome fungsional

Bagaimana tentang lidokain Kita menggunakan lidokain 1-15 mgkg intravena untuk menghindari lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ekstubasi serta memberikan lidokain intravena 1 mgkgjam kontinyu untuk efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa skor neurologik (0=normal dan 4=kerusakan berat) tikus yang diberi lidokain lebih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

kecil daripada yang tidak diberi lidokain Lidokain bekerja dengan cara memblok kanal Na dan kanal Ca mengurangi cedera post nekrotik memotong kerusakan iskemik pada daerah penumbra dengan memblok jalur kematian sel secara apoptotik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lidokain mempunyai efek proteksi otak

Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah sehingga akan berperan dalam pemeliharaan proteksi pertumbuhan perbaikan sistem saraf Juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin mempunyai efek proteksi otak

Alpha-2 agonist dexmedetomidine mampu menurunkan kadar norepinephrin dalam plasma sehingga mampu menghambat terjadinya iskemia yang dipicu oleh pelepasan norepinephrin dan mampu mencegah kematian sel yang lambat setelah iskemia fokal Penelitian lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine menurunkan volume daerah iskemik sebanyak 40 dibandingkan dengan plasebo

SimpulanSebagai simpulannya ternyata bahwa proteksi otak merupakan suatu fakta yang dapat

dilakukan selama kita mengelola pasien yang berisiko terjadi iskemia otal Caranya adalah dengan basic method hipotermia dan farmakologik

Bahan Bacaan1 Bisri T Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatik Bandung

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 20122 Bisri DY Bisri T Terapi hipotermi setelah cedera otak traumatik JNI 20143(3)189-983 Neuroanesthesia and Critical Care Course (NACC course) edisi 2015

S-40

Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography Guidance

T G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Background Regional anesthesia has an anti-inflammatory effect that blockade the C-fiber hence reduced cytokine production and blocked the activity of the sympathetic nerve fibers Postoperative pain caused primarily by tissue inflammation and activity of the C-fibers in the manner of reduced the production of cytokines regional anesthesia may limit the inflammatory response after surgery and severity of postoperative pain

Methods This study is a clinical experimental study with randomized pre and post test control group design A total of 24 samples were recruited in this study divided into two groups each consisting of 12 samples The first group was given regional anesthesia method of continuous brachial plexus block with ultrasound guidance and the second group with general anesthesia method T-test or Mann-Whitney continued multivariate linear regression

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

analysis was performed to analyze the differences in treatment and not because of differences in the initial values with significance level of plt005

Results This study reports that the mean decreased levels of IL-6 postoperatively in 1stgroup is 298 lower than in 2ndgroup and it is statistically significant plt 005 There was an increase of IL-10 mean levels from preoperative to postoperatively with significance level of plt005 in both groups Declined in the mean levels of PAF postoperatively in 1stgroup 13 lower than 2nd group and it was statistically significant plt005 The declined of postoperative VAS in 1stgroup is 31 lower than 2nd group and it is statistically significant plt 005 and it also contained the pure effect of PAF levels against value of VAS that any increased 1ngml levels of PAF then an increase in the value of 018 cm VAS and this was statistically significant plt005 Selection of this anesthesia technique in orthopedic antebrachii surgery provides better inflammatory response and improved clinical outcomes

S-41

Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist Perspective

Widya Istanto Nurcahyo

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstract

All patients scheduled to undergo noncardiac surgery should have an assessment of the risk of a cardiovascular perioperative cardiac event The purpose of this assessment is to help the patient and healthcare providers weigh the benefits and risks of the surgery and optimize the timing of the surgery The clinician uses information obtained from the history physical examination and type of surgery in order to develop an initial estimate of perioperative cardiac risk

Patients with recent myocardial infarction (MI) or unstable angina decompensated heart failure (HF) high-grade arrhythmias or hemodynamically important valvular heart disease (aortic stenosis in particular) are at very high risk for perioperative MI HF ventricular fibrillation or primary cardiac arrest complete heart block and cardiac death Patients who require emergent or urgent surgery are at increased risk of a perioperative cardiovascular event at any level of baseline risk

Functional status can be expressed in metabolic equivalents (1 MET is defined as 35 mL O2 uptakekg per min which is the resting oxygen uptake in a sitting position) One important indicator of poor functional status and an increased risk of postoperative cardiopulmonary complications after major noncardiac surgery is the inability to climb two flights of stairs or walk four blocks

Gupta MICA NSQIP database risk model The NSQIP database was used to determine risk factors associated with intraoperativepostoperative myocardial infarction or cardiac arrest (MICA) Among over 200000 patients who underwent surgery in 2007 065 percent developed perioperative MICA Five factors were identified as predictors of MICA type of surgery dependent functional status abnormal creatinine American Society of Anesthesiologistsrsquo class and increased age

Revised cardiac risk index (RCRI) sometimes referred to as the Lee index was published in 1999 and has been used worldwide since then In the derivation of the index 2893 patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

(mean age 66) undergoing elective major noncardiac procedures were monitored for major cardiac complications (cardiac death acute MI pulmonary edema ventricular fibrillationcardiac arrest and complete heart block) The index was validated in a cohort of 1422 similar individuals The predictive value was significant in all types of elective major noncardiac surgery except for abdominal aortic aneurysm surgery

RCRI did not perform well in patients undergoing vascular surgery the Vascular Study Group of New England (VSGNE) developed a risk index specifically for those patients named VSGNE risk index In multivariate analysis of the VSGNE cohort independent predictors of adverse cardiac events (MI arrhythmia heart failure but not mortality) were (increasing age smoking insulin-dependent diabetes coronary artery disease CHF abnormal cardiac stress test long-term beta-blocker therapy chronic obstructive pulmonary disease and creatinine ge18 mgdL Prior cardiac revascularization was protective

ACS-NSQIP universal surgical risk calculator is an universal surgical risk calculator model consisting of 20 patient factors plus the surgical procedure This model had excellent performance for mortality morbidity and six additional complications

Management based on risk are categorized into low or higher-risk patients Patients whose estimated risk of death is less than 1 percent are labeled as being low risk and require no additional cardiovascular testing Patients whose risk of death is 1 percent or higher may require additional cardiovascular evaluation Often these are patients with known or suspected coronary artery or valvular heart disease Further evaluation may include stress testing echocardiography 24-hour ambulatory monitoring or cardiologist consultation

S-42

Sepsis in obstetric

Yusmein

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Abstract

Pregnant patients pose unique challenges for clinicians involved in critical care because obstetric populations pose significant challenges the physiological changes of pregnancy may mask the clinical signs of sepsis when it occurs in the antenatal period maternal deterioration can quickly lead to fetal compromise12 They have traditionally been viewed as an immunocompromised state therefore placing the mother at increased risk of infectious diseases4 Sepsis is still a major cause of maternal mortality and morbidity in France the UK and the USA6

World Health Organisation (WHO) has defined it as ldquoinfection of the genital tract occurring at any time between rupture of membranes or labour and the 42nd day postpartum with two or more of the following are present pelvic pain fever abnormal vaginal discharge abnormal smell of discharge delay in postpartum reduction of size of uterus34 Early recognition and diagnosis with rapidly instituted therapy are key to ensuring a good outcome34

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) has recommended that sepsis should be managed in accordance with the Surviving Sepsis Campaign guidelines The Surviving Sepsis Campaign guidelines described two clinical-care bundles - six hours the

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

resuscitation bundle and twenty four hours the management bundle severe sepsis and septic shock bundle Six hours the resuscitation bundle has been shown to significantly improve survival rate early detection early administered antibioticcultures and early goal directed therapy (EGDT) Twenty four hours management bundle glucose control steroid and lung protective strategy Fetal assement is important in the critically ill pregnant patients34

Keywords Sepsis Obstetric Morbidity Mortality Management

S-43

Principles of Medical Consultation and Perioperative Medicine

Zulkifli

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH-FK Unsri Palembang

Abstrak

Mengusahakan evaluasi perioperatif yang bermutu tinggi dan cost-effective merupakan issue yang penting dalam management pasien perioperatif Penggunaan perioperatif assessment melalui koordinasi antara antara operator anestetist laboratory care dan dokter lain yang terkait mendorong perkembangan petunjuk praktis dan menurunkan pembatalan pasien dan lama perawatan Hal yang harus diingat bahwa pada konsultasi medical diharuskan untuk mengerti dengan pasien dan penyakitnya

Selain itu pengertian dan penerapan prinsip-prinsip management medikasi perioperatif sangat bermanfaatmemperbaiki outcome pasien yang menjalani pembedahan Paling tidak 50 pasien yang menjalani pembedahan mendapatkan medikasi secara reguler Sorang anestetist harus mampu memutuskan medikasi tersebut diteruskan atau dihentikan

Kata kunci Medical Consultation Perioperative Medicine

S-44

MAC and Sedation outside the Operating Room

Arif HMMarsaban

Department of Anesthesiology and Therapy IntensiveFaculty of Medicine University of IndonesiaDr Cipto Mangunkusumo General Hospital

Abstract

Monitored Anesthesia Care (MAC) is a planned procedure to a patient who is undergoing a procedure that needs the administration of sedation andor analgesia and the anesthesiologists has the responsibility of all aspects of anesthesia care ndash a preprocedure visit intraprocedure care and postprocedure anesthesia management Anesthetic procedures outside OR is known also as NORA = non-operating room anesthesia that may consists of varying levels of sedation analgesia and anxiolysis Problems in NORA MAC are usually related to unfamiliar locations and working conditions differs to the well equipped operating room

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Common complication during NORAMAC are respiratory problems (apnea obstruction) hypothermia anaphyalxis gastric aspiration hypotension and hypovolemia To minimize the risk of complication a proper preparation prior to the procedure should be carried out that includes patient evaluation and informed consent the goals and level of MAC the choice of drugs related to the procedure the facility (monitors anesthetic equipment drugs and emergency equipment) and the personal The deeper the level of sedation the more risks of adverse events

The choice of drugs depends on the procedure does it requires immobilization during the procedure is it a painful procedure or both If the procedure is a painless procedure than it needs only sedative or hypnotic drugs (chloralhidrat barbiturates midazolam propofol dexmedetomidine) may combine with opioid analgesia as required A painful procedure usually needs combination of opioid analgesia or ketamine and sedative hypnotic drugs These drugs can be given bolus iv intermittent or continuous infusion (TIVA TCI)Key words MAC monitored anesthesia Care Non-operating room anesthesiaSuggested Readings

1 American Society of Anesthesiologists DISTINGUISHING MONITORED ANESTHESIA CARE (ldquoMACrdquo) FROM MODERATE SEDATIONANALGESIA (CONSCIOUS SEDATION) Approved by the ASA House of Delegates on October 27 2004 last amended on October 21 2009 and reaffirmed on October 16 2013

2 Ramkumar P Anaesthesia care beyond Operating Rooms Newer opportunities amp Challenges Amrita journal of medicine 2013 9(2) 2015 1-44

3 Melloni C Anesthesia and sedation outside the operating room how to prevent risk and maintain good quality Current Opinion in Anaesthesiology 2007 20513ndash9

4 Van De Velde M Kuypers M Teunkens A Devroe S Risk and safety of anesthesia outside the operating room MINERVA ANESTESIOL 200975345-8

5 Krane E Guideline for surgery outside the operating room Pediatric anesthesia and pain management Lucile Packard Childrenrsquos Hospital Standford University Medical Center 1-9

6 Agostoni M Fanti L Gemma M Pasculli N Beretta L Testoni PA Adverse events during monitored anesthesia care for GI endoscopy an 8-year experience Gastrointest Endosc 201174266-75

7 Ghisi D Fanelli A Tosi MH Nuzzi M Fanelli G Monitored Anesthesia Care MINERVA ANESTESIOL 200571533-8

8 Karaaslan K Yilmaz F Gulcu M Colak C Sereflican M Kocoglu H Comparison of Dexmedetomidine and Midazolam for Monitored Anesthesia Care Combined with Tramadol via Patient-Controlled Analgesia in Endoscopic Nasal Surgery A Prospective Randomized Double-Blind Clinical Study Current therapeutic research 2007 68(2) 69-81

9 Ryu J-H So Y Hwang J-W Do S-H Optimal target concentration of remifentanil during cataract surgery with monitored anesthesia care Journal of Clinical Anesthesia 2010 22 533ndash7

10 Fanti L Agostoni M Arcidiacono PG Albertin A Strini G Carrara S Guslandi M Torri G Testoni PA Target-controlled infusion during monitored anesthesia care in patients undergoing EUS Propofol alone versus midazolam plus propofol A prospective double-blind randomised controlled trial Digestive and Liver Disease 39 (2007) 81ndash6

11 Ryu J-H Kim J-H Park K-S Do S-H Remifentanil-propofol versus fentanyl-propofol for monitored anesthesia care during hysteroscopy Journal of Clinical Anesthesia 2008 20328ndash32

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-45

Target-controlled inhalational anesthesia

Doddy Tavianto

Departemen SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin

Bandung

Abstract

Target-controlled inhalational anesthesia is an anesthesia delivery system available in the newer anesthesia machines It is a modality of anesthesia gas delivery system where the machine adjusts automatically the anesthetic agent concentration to achieve the desired target levels set by the user

The target-controlled inhalational anesthesia technique is a mechanism in the breathing system where the desired values of gases are selected and the computerized system adjusts the gas delivery to achieve the targeted levels

By using the target-controlled inhalational anesthesia technique the consumption of gases would reduce thus effectively reducing the cost and environmental pollution

Keywords Target-controlled inhalational anesthesia breathing system

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-01

Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam

Ade Irna

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh dan kadar PGE-2 yang lebih baik dibandingkan parasetamol iv dan cooling blanket pada pasien cedera otak dengan demam

Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal sampel penelitian sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi Sampel dipilih secara acak dan dibagi kedalam 3 kelompok Kelompok M diberikan metamizol iv 15 mgkg berat badan kelompok P iv diberikan parasetamol 15 mgkg berat badan dan kelompok C diberikan cooling blanket yang diatur pada suhu 10oC sampai suhu target tercapai Penurunan suhu tubuh kadar PGE-2 dan nilai TAR dicatat dan dilakukan analisis statistik

Hasil penelitian memperlihatkan metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh lebih baik namun penurunan kadar PGE-2 pada ketiga kelompok adalah sama

Kata kunci Pasien cedera otak demam suhu tubuh kadar PGE-2

P-02

Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup Jantung

Agus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta PtDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Sanglah ndash fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Latar Belakang Kelainan katup jantung paling sering disebabkan oleh komplikasi dari penyakit jantung rematik Menjaga kestabilan hemodinamik menjadi tantangan dalam manajemen perioperative Teknik anestesi yang dipilih untuk manajemen perioperative pasien ini tergantung kondisi pasien dan kemampuan menjaga kestabilan hemodinamik

Laporan kasus Perempuan 40 tahun dengan Adenomiosis+ RHDFc 2 MS Severe AR Mild TR Mild AS mild AR mild menjalani operasi laparotomi Supravaginal Histerektomi

Masalah Pre-operatif RHDFc 2 dari Echocardiografi MS severe AR mild AS mild TR mild Sec (+) di LA fungsi sistolik LV normal EF 61 (EDV 112 ml ESV 44ml SV 68 ml)fungsi sistolik RV normal Durante operasi dilakukan anestesi epidural di L2-3 dengan regimen lidocaine 20 vol 10 ml +bupivacaine 05 plain vol 15 ml Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit hemodinamik stabil tanpa topangan obat simpatomimetik Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan analgetik epidural bupivacaine 01 + morphin 05 mg volume 10 ml dan Ketorolak 30 mg setiap 8 jam intravena

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Prinsip manajemen perioperative pasien ini adalah dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan hantaran oksigen ke jaringan dengan menjaga preload (status euvolumia) jaga SVR dan cegah takikardi Anestesi regional menyebabkan blokade simpatis dan dapat menurunkan SVR Anestesi regional khususnya blok epidural dengan sifatnya blokade segmental diharapkan dapat lebih menjaga kestabilan hemodinamik dengan tetap memberikan relaksasi lapangan operasi dan analgetik yang adekuat terhadap pasien Durante operasi kita harus dapat mencegah efek takikardi yang ditimbulkan oleh blok epidural akibat hipovolumia relatif dengan meyakinkan status volume dan kestabilan hemodinamik sebelum prosedur anestesi dilakukan

Kesimpulan Anestesi regional epidural pada pasien yang menjalani pembedahan ginekologi dengan penyakit katup jantung dapat memberikan keadekuatan anestesi dan kestabilan hemodinamik

Kata Kunci Supravaginal Histerektomi epidural anestesi penyakit katup jantung

P-03

Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis

Andi Kusuma I Wayan Aryabiantara

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar BelakangAneurisma aorta abdominalis merupakan penyebab kematian terbesar ke 13 di Amerika

dan merupakan kasus yang menantang bagi bedah vaskuler dan anestesi

DiskusiPasien laki-laki 61 th akan dilakukan EVAR (Endovascular Artery Repair) dengan

keluhan nyeri perut hilang timbul disertai benjolan yang semakin membesar Pada Angiografi didapatkan Pseudoaneurysma arteri illiaca comunis sampai illiaca interna dekstra Pada EKG jantung didapatkan sinus bradikardi dengan HR 57 x menit Sedangkan fungsi organ lain dalam batas normal Pre anastesi dilakukan dengan lengkap tidak aada masalah pada pasien

Sebelum induksi kecukupan cairan dipenuhi Induksi dilakukan perlahan untuk mencegah lonjakan hemodinamik yang beresiko mengakibatkan pecahnya aneurisma Durante operasi pasien dengan ventilasi kendali dengan dilakukan AGD berkala Tindakan cross clamping aorta dan declamping aorta mempunyai pengaruh yang besar terhadap hemodinamik Untuk mengatur hemodinamik durante operasi digunakan NTG Penggantian kehilangan cairan durante operasi digunakan kristaloid koloid dan sel darah merah Pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan ventilasi kendali untuk monitoring ketat fungsi jantung ginjal dan produksi urine Analgetik pasca operasi digunanakan Epidural Analgesia Hari ke 2 pasien sudah bernapas spontan Hari ke tiga kembali ke ruangan dan selanjutnya rawat jalan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanDengan managemen anestesi yang safe pada pasien aneurisma aorta abdominalis dapat

menyelamatkan pasien dan menurunkan resiko angka kematian Memberikan kenyamanan pada pasien operator dan ahli anastesi yang bekerja dengan meminimalkan efek samping terutama pada kardiovaskuler

Kata kunci aneurisma aorta abdominalis repair managemen anestesi

P-04

Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis Bulosa

Andri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Epidermolisis Bulosa merupakan kelainan genetik mekanobulosa berupa gangguan ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau gesekan ringan Penyakit ini terutama mempengaruhi lapisan epitel skuamosa di kulit namun bula juga dapat terjadi pada mukosa saluran pernafasan Penyakit ini memberikan masalah khusus untuk dokter anestesi karena alat yang digunakan untuk memberikan pelayanan anestesi dapat menyebabkan komplikasi postoperatif Tantangan pada pasien EB adalah untuk menjaga patensi jalan nafas dan penggunaan alat monitoring tanpa merusak permukaan epitel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan

Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada pasien EB Pasien laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis Pseudosindaktili Dekstra et Sinistra ec Epidermolisis Bulosa yang akan menjalani operasi release sindaktili dan skin graft Pada pasien ini ditemukan masalah malnutrisi dengan BMI 1285 kgm2 dengan anemia defisiensi besi dan hipoalbuminemia karena asupan makanan yang kurang

Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan anestesi umum Manipulasi jalan nafas dengan memberikan sungkup muka secara ketat dihindari Kami memberikan jelly pada permukaan sungkup muka yang akan kontak dengan kulit pasien ETT ukuran 65 dengan dilumuri jelly sebelumnya dipasang dengan menggunakan video laringoskopi Kami juga memperhatikan pengembangan cuff ETT secara berkala untuk meminimalisir risiko terbentuknya bula pada mukosa saluran nafas Untuk monitoring pasien kami menggunakan pulse oksimetri yang dipasang di daun telinga dan pemasangan manset tekanan darah di tungkai bawah dengan sebelumnya dilapisi elastomul dan jelly Fiksasi ETT menggunakan kassa yang diikat melingkari kepala pasien untuk menghindari tempelan plester yang dapat menimbulkan trauma pada kulit Pemeliharaan anestesi kami gunakan N2O dan Sevoflurane Pasien kami ekstubasi secara sadar Pasca operasi pasien dirawat di burn unit

Pada pasien EB diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya lesi epitel baru Penanganan jalan nafas harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya bula Selain itu evaluasi preoperatif yang menyeluruh diperlukan untuk menilai kondisi lain yang berhubungan seperti anemia infeksi kronik kontraktur dehidrasi dan malnutrisi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-05

Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam Malik

Andrias1 Dadik WW2

1Residen Anestesi Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

2Staf PengajarAnestesi danTerapi Intensif Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

Abstrak

Pendahuluan Hepar merupakan organ yang sering cedera pada trauma tumpul abdomen Penyebab

kematian pada cedera hepar ialah eksanguinasi karena hepar mendapat 25 curah jantung Kesembuhan pasien tergantung resusitasi awal yang lebih cepat untuk mencegah kematian

Laporan Kasus Laki-laki 18 tahun riwayat kecelakaan lalu lintasabdomen terkena stang motor Keadaan

pasien buruk (nadi 166 xmenit TD 60palpasi) Sebelumnya pasiendilaparotomi di rumah sakit lain Dilakukan packingcedera hepar grade V Direncanakan relaparotomi general anestesiASA Ve Intubasi teknik RSII induksi ketamin serta rocuronium Sejawat bedah tidak mampu mengendalikan perdarahan kemudian dipacking rawat ICU Perdarahan aktifsejawat bedah menolak reeksplorasi kontrol perdarahan Pasien meninggal 6 jam kemudian akibat eksanguinasi

DiskusiAnestesiologis pusat trauma terlibat dalam manajemen jalan nafas dan resusitasi pasien

trauma di UGD Ruang operasi dan ICUPenanganan trauma tumpul abdomen sesuai ATLS Cairan diberikan kristaloid koloid Syok hemoragik keduanya digantikan darah karena tidak memfasilitasi transpor oksigen pembekuan darah Kecukupan resusitasi tahap lanjut dinilai dari perfusi jaringan normal Pasien diinduksi ketamin teknik RSII Suksinilkolin pilihan utama namun rocuronium (12 mgkg IV) alternatif yang tepatTransfusi masif didefinisikan memberikan seluruh volume darah dalam 24 jam atau 50 volume darah pasien dalam 12-24 jambanyak komplikasinya Darah transfusi kurva 23 DPG-nya bergeser ke kiri 24 jam post-transfusisebaiknya dikontrol ventilator Komplikasi lainnya koagulopati Pada hipoperfusi lama dapat mengalami DIC Jika perdarahan post-transfusi diagnosis pembandingnya trombositopenia dilusional DIC reaksi transfusi hemolitik Untuk menyingkirkannya lakukan pemeriksaan hitung platelet fibrinogen plasma bukti hemolisis dalam plasma Darah transfusi mengandung mikroagregat berakumulasi di paru mengakibatkan TRALI Resusitasi pasien hipoperfusi yang tertunda mengakibatkan akumulasi kompleks imun kapiler paru mengakibatkan ARDS

KesimpulanPenanganan pasien trauma berat mengikuti panduan ATLS teknik anestesi yang

bijaksana manajemen pembedahan perawatan intensif post-operatif yang baik dapat meningkatkan kesembuhanJika salah satunya tidak dilakukan angka mortalitas meningkat

Kata Kunci Resusitasi Transfusi masif Syok

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-06

Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan Disgerminoma

Angga Permana Putra1 Syamsul Bahri Siregar2 Hasanul Arifin3

1Residen Anestesi Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

2Staf Pengajar Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUD Dr Pirngadi Medan

3Kepala Program Studi Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

PendahuluanDisgerminoma merupakan bentuk paling umum dari sel tumor germinal primitif dari

ovarium sekitar 1-5 dari seluruh keganasan ovarium Secara umum sering terjadi pada wanita yang berada pada usia reproduktif Sangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa dilakukannya intervensi pada kehamilannya Kami disini melaporkan sebuah kasus kehamilan primi gravida alamiah yang diikuti dengan disgerminoma tanpa adanya komplikasi fetomaternal Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

Kata kunci disgerminoma kehamilan alamiah kombinasi anestesia spinal-epidural

Laporan KasusWanita usia 33 tahun dengan kehamilan primi gravida datang dengan amenorrhea dan

bengkak di umbilicus bawah kiri Riwayat menstruasi tidak teratur tidak dijumpai sebelum kehamilan ataupun pemakaian kontrasepsi sebelumnya Pemeriksaan luar menunjukkan asites dan massa di perut kiri dengan ukuran sekitar 30cm x 35cm Dalam usaha untuk menyelamatkan janin operasi elektif laparatomi dengan seksio sesaria segera direncanakan Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

DiskusiSangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa

dilakukannya intervensi pada kehamilannya Intervensi dapat dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan tumor dilanjutkan dengan seksio sesaria yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kemoterapi Manajemen anestesi pada pasien ini dipilih dengan regional anestesi yang lebih aman efektif dan murah daripada anestesi umum Kombinasi Anestesia Spinal Epidural menggabungkan keuntungan kerja cepat dari spinal anestesi dengan fleksibilitas dari epidural anestesi dapat pula digunakan sebagai manajemen nyeri post operasi dengan pemberian Morfin 3mg 24jam yang memberikan efek analgesia yang baik pada pasien

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanHasil akhir pasien dengan disgerminoma murni sangat baik Pasien dapat diterapi dengan

pembedahan dan kemoterapi Disgerminoma pada ovarium tunggal dengan asites masih dimungkinkan untuk mengalami kehamilan dengan kelahiran anak yang baik Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural adalah pilihan terbaik terhadap pasien dibuktikan dengan kelahiran bayi yang sehat dengan APGAR Score yang baik dan tanpa adanya komplikasi setelah operasi

P-07

Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy Biopsy

Anindito Andi Nugroho

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstract

Background Traditionally definitive treatment for breast surgery was done by general anesthesia But general anesthesia was not able to inhibite pain reflex to the brain It also have side effects such as post operative nausea and vomiting There are a few regional anesthesia techniques that have been performed in this operation such as infiltration epidural and thoracal paravertebrae block Paravertertebral block techniques that have been performed in this operation by injecting local anesthesia that blockade somatic and symphatetic ipsilateral in that dermatomes above and beneath injection site Surgical trauma can attenuate stress response (local and systemic) Increase of cortisol level is one the endocrine systemic response

Purpose To compare the difference between single injection and multiple injection thoracal paravertebra block to plasma cortisol and VAS value in breast cancer patients ongoing excisy biopsy

Methods Samples include 20 patients ongoing excisy biopsy Blood samples were taken at 8 inhte morning before surgery and 8 tomorrow morning VAS value was checked at hour-0 (when the patient at the recovery room and hour-24 Patients divided into multiple (M) group or single (T) group Normality of data was tested by Kolmogorov-Smirnov test If p gt 005 so the distribution is normal Analitycal analysis will be done with pre and post test group design

Result General characteristic on each group has normal distribution (p gt 005) Delta data value of cortisol and VAS hour-24 before and after injection in T and M group did not give significance result (p gt 005) But VAS value a hour-0 between both groups give significant result (p lt 005)

Conclusion Paravertebra block technique either multiple or single injection can reduce postoperative cortisol and VAS score in patient undergoing excisy biopsy

Keywords Paravertebra block single injection Paravertebra block multiple injection cortisol VAS

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-08

Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom Eisenmenger

Asterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifRumah Sakit Umum Sanglah-Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PENDAHULUANPasien hamil dengan penyakit jantung merupakan tantangan yang unik untuk

Obstetrician dan Anesthesiologist karena berkaitan dengan pasien beresiko tinggi dan memerlukan pemahaman tentang dampak kehamilan terhadap respon hemodinamik untuk kelainan jantung pasien Tidak ada konsensus mengenai teknik anestesi yang optimal untuk kondisi tersebut Namun pilihan manajemen dan teknik anestesi harus secara individual dan berdasarkan kondisi hemodinamik yang terjadi serta kebutuhan kebidanan

LAPORAN KASUSPerempuan 27 tahun dengan G3P0020 hamil 8-9 minggu tunggalhidup Congestif Heart

Failure ec GUCH (Grown-Up Congenital Heart Disease) Perimembranous VSD Eisenmengerrsquos Syndrome Pulmonal Hipertensi severe Pulmonal Regurgitasi severe Trikuspid Regurgitasi severe Mitral Regurgitasi mild Bidirectional shunt WHO FC II

Masalah pra operasi pasien dengan hasil echocardiography adalah terdapat inlet besar pada peri membran VSD dengan bidirectional shunt dominant left to right shunt high flow Pulmonal Regurgitasi moderate Mitral Regurgitasi mildTrikuspid Regurgitasi moderate Pulmonal Hipertensi severe Left ventricle diastolic function decreases Left ventricle and right ventricle systolic normal global normokinetik ejection frection 70 EDV 49 ml ESV 15 ml SV 35 ml

Selama operasi pasien diberi anestesi spinal dengan jarum spinal 27G di L3-4 dengan regimen Bupivacaine 05 heavy 5mg dan adjuvant Fentanyl 25 mcg Operasi berlangsung selama 50 menit Hemodinamik stabil dengan pemasangan monitoring invasif arteri line tanpa menggunakan obat-obatan inotropik maupun vasopressor

Pasca operasi pasien dirawat di ruang terapi intensif Manajemen nyeri pasca operasi Fentanyl 250 mcg24 jam dengan syringe pump parasetamol 500 mg 6 jam per oral

DISKUSITeknik anestesi regional menyebabkan blokade simpatik dan dapat menurunkan Systemic

Vascular ResistenKami menggunakan dosis yang sangat kecil pada anestesi lokal (LA) intrathecal

untuk meminimalkan hipotensi Ini dapat mencegah peningkatan Systemic Vascular Resistenmendukung aliran darah dan membantu untuk mencegah terjadinya kongesti paru Hal ini juga dapat menurunkan after load dan mencegah terjadinya peningkatan Systemic Vascular Resisten dan overload volume Left Ventrikel akut

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KESIMPULANDosis rendah bupivakain intratekal dan fentanil memadai untuk dilatasi - kuretase

dengan efek samping yang minimal pada pasien kami dengan sindrom Eisenmenger dan dapat menjadi alternatif yang aman untuk mencapai anestesi yang baik dengan stabilitas kardiovaskular yang mengesankan

Kata kunci dilatasi-kuretase anestesi spinal sindrom Eisenmenger

P-09

Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar

Bayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko

) Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ) Supervisor Konsultan Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Abstrak

Latar Belakang Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan sebagai analgetik paska operasi Berbagai jenis OAINS seperti ketorolak dan parecoxib dapat menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang merupakan mediator inflames dan mengakibatkan berkurangnya tanda inflamasi OAINS sebagian besar mengalami metabolisme di hepar dan dapat menyebabkan gangguan pada hati Gejala klinis disfungsi hati pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi parekoxib dan ketorolak oleh sebab ituperubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran histopatologis

Tujuan Membandingkan gambaran histopatologi sel hepar antara tikus wistar yang diberikan ketorolak intramuskuler dan parecoksib intramuskuler

Metode Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok control diberikan luka insisi sepanjang 2 cm dan tidak diberikan injeksi ketorolak maupun parekoksib kelompok ketorolak diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi ketorolak intramuskuler setara dosis manusia 30 mg tiap 8 jam kelompok parekoxib diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi parekoksib setara dosis manusia 40 mg tiap 12 jam Pada hari ke 5 dilakukan terminasi kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin jaringan hepar

Hasil Ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi sel hepar tikus wistar antara kelompok ketorolak dan parecoxib dengan kelompok kontrol namun tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologis sel hepar antara keolompok ketorolak dan parecoxib

Kesimpulan Tidak ada perbedaan bermakna histopatologi sel hepar tikus wistar setelah penggunaan ketorolakdan parekoxib

Kata Kunci Ketorolak Parecoksib histopatologis sel hepar

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-10

Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain Management

Charismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono

Department of Anesthesia and Intensive CareFK UNDIP RSUP Dr Kariadi Semarang

Abstract

Background Pain is one of the most consequential problem which are caused subsequent to the invasive procedures Management of post operative tonsilectomy pain is a difficult task and could remain over 4 days after the surgery that results in poor oral intake long hospital stay and a delay in return to the normal activities In BPJS era the government more wisely determining rates Hospitals must be pressed at low cost but give optimal service We as an anesthesiologist must have methods in reducing postoperative morbidity Post-tonsillectomy pain is believed to be mediated by noxious stimulation of C-fiber afferents located in the peritonsillary space and local anesthetic infiltration to this area may decrease pain by blocking the sensory pathways and thus preventing the nociceptive impulses Peritonsillar infiltration of ketamine alone or in combination with epinephrine can reduce VAS (Visual Analog Score) and opioid requirements

Objectives To evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for managing post operative pain after tonsillectomy

Methods Two females in their second and third decades were scheduled for elective tonsillectomy Premedication using midazolam 3 mg induction using propofol 2 mgkg intravenous dexametason 10 mg intravenous cuffed with sevoflurane then intubate The operation took 10 minutes using dissection technique we performed peritonsiller infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 01 mgkgBB and lidocain cum adrenalin 1200000 as solvent 2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation We evaluate post operative pain using VAS scale on 1st hour an 6th hour We also asessed complication that might occured post op

Result One hour observation all patients are in mild pain and in six hour observation have no pain and reduce the need of opioid or NSAIDs analgesic Vomitting as complication occured only in first patient and given antiemetic All patients were dismissed from the hospital 8 hours after surgery given Mefenamic Acid 500 mg per eight hours orally

Conclusion Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective to minimize post operative tonsillectomy pain in both patient up to 6 hours post op in both patients observed and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic

Keywords Post operative pain management peritonsillar infiltration ketamine

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-11

Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalis

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Atresia biliar (AB) adalah suatu obliteratif kolangiopati pada neonatus yang fatal jika tidak diobati Kelainan ini jarang ditemukan dengan insidensi 05-1 per 10000 kelahiran hidup dan etiologinya tidak diketahui Pada AB terjadi obstruksi saluran bilier yang menyebabkan cairan empedu statis sehingga pada akhirnya tejadi kerusakan hepatoseluler dan sirosis hati

Laporan Kasus Seorang bayi laki-laki berumur 3 bulan dengan berat badan 45 kg yang didiagnosis AB dan direncanakan untuk dilakukan tindakan prosedur Kasai Pasien dengan kondisi aktif menangis kuat dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik Pasien dilakukan dalam anestesi umum induksi dengan premedikasi sulfas atropin 01 mg induksi dimulai dengan fentanil 10 microg dan atracurium 2 mg kemudian dilakukan ventilasi dan dikontrol secara manual dengan rumatan anestesi menggunakan 50 N2O 50 O2 dan 15 MAC isofluran Durasi operasi adalah 4 jam dengan total durasi anestesi berkisar 45 jam Selama operasi berlangsung kondisi pasien stabil Pascaoperasi pasien diekstubasi dan mendapat parasetamol infus sebagai analgetik Pasien dirawat di PICU

Kesimpulan Penatalaksanaan anestesi yang tepat monitoring ketat selama operasi untuk perdarahan dan resiko hipotermi serta usia pasien saat dilakukan prosedur Kasai akan memberikan hasil yang baik

Kata Kunci Anestesi Atresia Bilier Kasai Prosedur

P-12

Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta Abdominal

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) adalah pelebaran aorta yang permanen lebih dari 30 mm dimana resiko ruptur akan meningkat bila pelebaran lebih dari 50 mm Angka kematian jika terjadi ruptur AAA sebanyak 90 dan angka kematian dapat di cegah dengan pembedahan elektif repair AAA dengan angka mortalitas kurang dari 7

Laporan Kasus Kasus 1 Wanita 49 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 496 dengan jarak 382 mm dari arteri renalis sin dan 346

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

mm dari bifurcatio arteri iliaca Pasien di induksi dengan fentanyl 5 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbbAnalgetik post op dengan epidural Pasien di ekstubasi setelah 9 jam post op dan setelah 2 hari pasien pindah keruangan

Kasus 2 Laki- laki 54 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 554 cm x 446 cm inferior dari percabangan art renalis kanan dan kiri Analgetik post op dengan morfin 20 mcgkgbbm Post operatif pasien tidak di ekstubasi pasien didiagnosa VAP pada hari ke 3 Pasien diekstubasi pada hari ke 7 dan pindah keruangan pada hari ke 10

Kasus 3 Wanita 35 tahun BB 50 kgPemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 798 cm inferior dari cabang arteri renalis kanan dan kiri Pasien di induksi dengan fentanyl 3 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbb Analgetik post op dengan epidural Post operatif pasien di ekstubasi dan setelah 2 hari di rawat di ICU pasien pindah keruangan

Kesimpulan Manajemen anestesi repair AAA berfokus pada perubahan hemodinamik akut yang disebabkan aortic cross clamping dan unclamping mempertahankan perfusi organ dan oksigenasiCross clamp meningkatkan afterload jantung dan terjadi peningkatan mendadak tekanan arteri proksimal pada klem untuk menurunkan lonjakan tekanan darah pada ketiga kasus dengan menggunakan nitrogliserin Setelah aortic unclamping resistensi pembuluh darah perifer berkurang 70-80 yang menyebabkan penurunan tekanan arteri mengalirnya darah ke bagian bawah tubuh sehingga terjadi hipotensi untuk meningkatkan tekanan darah diberikan cairan dan vasokontriktor noradrenalin

Kata kunci Aneurisma Aorta Abdominal aortic cross clamping unclamping

P-13

Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake Craniotomy

Dian Rosanti Khalid Pryambodho

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Abstrak

Pendahuluan1

Awake craniotomy merupakan prosedur beresiko tinggi yang semakin sering dikerjakan Prosedur ini memungkinkan pemetaan korteks motorik sensorik visual dan bahasa yang optimal sehinggga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperatif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi

Serial KasusPasien pertama laki-laki 37 tahun dengan diagnosis glioma temporal sinistra pasien

kedua laki-laki 47 tahun dengan diagnosis glioma frontotemporal sinistra Keduanya menjalani

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

prosedur awake craniotomy removal tumor Analgesia difasilitasi dengan scalp block dan sedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol 05-3 mcgml Scalp block menggunakan bupivakain 05 plain total volume 30 cc Kemudian dipasang central venous catheter (CVC) dan kanul arterial blood pressure (ABP) untuk pemantauan hemodinamik Patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan Naso Pharyngeal Airway (NPA) diberikan oksigen (O2) 3 Lmenit via nasal kanul dan kedalaman anestesi dimonitor dengan bispectral index (BIS) Pascaoperasi pasien diobservasi di ICU

Diskusi1-4

Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktu-waktu Propofol dipilih karena memenuhi kriteria ini Over sedation akan menyebabkan apnea hipoksia hiperkarbia dan edema serebri Sedangkan under sedation menyebabkan agitasi takikardia dan hipertensi Memberikan sedasi dengan target pasien tetap sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks merupakan hal yang tidak mudah oleh karena itu digunakan BIS untuk pemantauan kedalaman anestesi Pada awal operasi pasien disedasi dengan TCI propofol 2-3 mcgml target BIS 40-60 Kemudian saat pemetaan korteks TCI propofol diturunkan 05-1 mcgml dengan target BIS adalah 80-100 setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1-10 menyebutkan nama dan menggenggam tangan pemeriksa Setelah pemetaan korteks selesai anestesia didalamkan kembali Adekuat analgesia didapatkan dari scalp block Blok ini efektif mengurangi penggunaan opioid intraoperatif yang dapat mendepresi pernafasan dan menyebakan over sedation Terbukti pada kasus diatas hanya digunakan fentanyl total 100 mcg dengan durasi anestesia plusmn 7 jam Kejang edema serebri perdarahan dan emboli udara merupakan komplikasi pada prosedur ini Kedua pasien mendapatkan mannitol untuk mengurangi edema serebri fenitoin untuk mencegah kejang dan pascaoperasi diobservasi di ICU Suksesnya prosedur beresiko tinggi ini akan sangat tergantung pada kerjasama tim

KesimpulanManajemen anestesia awake craniotomy ini sangat sulit Persiapan preoperatif yang baik

monitoring ketat intraoperatif dan pengawasan pascaoperasi menjadi kunci sukses Kerjasama yang baik antara tim anestesi dan bedah sangat penting agar prosedur ini berjalan aman lancar dengan hasil optimal

Kata Kunci awake craniotomy scalp block TCI BIS

Daftar Pustaka 1 ChuiJAnesthesiaforAwakeCraniotomyAnupdateColombianJournalofAnesthesiologyChui J Anesthesia for Awake Craniotomy An update Colombian Journal of Anesthesiology

20154322-82 Ghazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative ReviewGhazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative Review

and Future Challenges Saudi Journal of Anesthesia 20148529-373 Cormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent AdvancesCormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent Advances

St Vincentrsquos Hospital Melbourne 201577-824 Scubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and RoboticScubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and Robotic

Surgery Cottrell and Youngrsquos Neuroanesthesia 5 th Ed Philadelphia Elsevier Mosby 201017296-8

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-14

Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral

Artery yang menjalani operasi non-cardiac

Dita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Major Aorta Pulmonary Collateral Artery (MAPCA) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terjadi 5-10 dari semua anak-anak dengan penyakit jantung bawaan yang disertai hypoplasia atresia pulmonal MAPCA merupakan pembuluh darah yang timbul dari aorta desending dan arteri sublclavia yang berfungsi untuk menghantarkan darah ke paru untuk oksigenasi Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA dengan mempertahankan SVR menurunkan PVR dan mencegah terjadinya shunt

Laporan Kasus Anak laki-laki5 tahun dengan berat badan 15 kg dk Periodontitis Apikalis Kronik + Situs Inversus + Mitral atresia + LV hipoplasia + ASD besar +VSD besar + Pulmonal atresia yang dilakukan mouth preparation Dari pemeriksaan fisik diadapatkan anak aktif SpO2 57-64 dengan udara bebas cardiomegaly gallop dan clubbing finger Dengan hasil lab Hb 182 gdl Ht 65 L 6500mm3 Tr 178000mm3 Echo ASD besar (single atrium) VSD besar (single ventrikel) Pulmonary atresia terisi PDA kecil Aorta keluar dari RV Pasien dilakukan induksi dengan sulfas atropine fentanyl propofol dan rocuronium Rumatan anestesi dengan sevoflurane Operasi berlangsung selama 40 menit dengan SpO2 selama operasi 60-70 Pasien diekstubasi dengan analgetik post op paracetamol

Kesimpulan Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA yang menjalani operasi non cardiac dimulai dari pre operatif untuk mendapatkan baseline dari kondisi pasien tersebut Intraoperative dengan menggunakan teknik ldquoopioid baserdquo sehingga menjaga kondisi pasien se-fisiologis mungkin

Kata Kunci Anestesi MAPCA Non-Cardiac Surgery

P-15

Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi Spinal

Donny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana

Departemen Anesteologi dan Terapi Intensif RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak

LATAR BELAKANGSalah satu kekurangan anestesi spinal adalah durasi blokadenya yang singkat Berbagai

cara dilakukan untuk memperpanjang durasi blokade seperti penambahan adjuvant α2 agonist selektif dexmedetomidine Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penambahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

dexmedetomidine pada anestesi lokal bupivakain hiperbarik terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal

METODE PENELITIAN Uji klinik acak berpembanding tersamar ganda telah dilakukan di Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang dari bulan November 2014 sampai dengan Maret 2015 Terdapat 52 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani operasi dengan anestesi spinal Pasien dibagi dalam dua kelompok masingndashmasing 26 orang Kelompok I menggunakan bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 5 microg dexmedetomidine 05 ml sedangkan kelompok II bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 05 ml NaCl 09 Diteliti mula kerja lama kerja blokade sensorik dan motorik tinggi blokade sensorik puncak efektivitas dan efek samping intraoperatif Analisis data menggunakan SPSS versi20

HASIL PENELITIANPada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-dexmedetomidine didapatkan mula kerja

blokade sensorik dan motorik lebih cepat tetapi secara uji statistik tidak bermakna (pgt005) dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang daripada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-NaCl 09 ( p=00001) sedangkan tinggi blokade sensorik puncak kualitas analgesia dan relaksasi motorik sebanding Hemodinamik lebih stabil dan efek sedasi pada kelompok dexmedetomidine

SIMPULANSimpulan dari penelitian ini adalah penambahan 5 microg dexmedetomidine pada bupivakain

05 hiperbarik 15 mg anestesi spinal memperpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik hemodinamik yang stabil serta efek sedasi yang menguntungkan

Kata kunci dexmedetomidine bupivakain anestesi spinal

P-16

Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manual

Eric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar belakang Guillain barre syndrome adalah penyakit paralisis akut disertai arefleksia dimana dapat

terjadi pada siapa saja dan menimbulkan kelumpuhan yang bisa sampai menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernafasan dan tanpa mendapatkan terapi yang memadai

Pendahuluan Guillain-Barreacute syndrome (GBS) saat ini merupakan penyebab tersering dari paralisis

flaksid akut di seluruh dunia Kasus GBS telah dilaporkan di seluruh dunia Angka insiden pertahun sekitar 12-23 per 100000 penduduk Angka kematian penderita mencapai 3-10 yang umumnya ditimbulkan oleh komplikasi (Doorn dkk 2008) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut patogenesis GBS Patofisiologi GBS sampai saat ini tidak seluruhnya dimengerti Fungsi selular dan humoral dari sistem imun diperkirakan terlibat Dipercaya antibodi yang terbentuk sebagai respon antigen terhadap agen penyebab

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

bereaksi silang dengan gangliosida pada permukaan saraf tepi Pada setengah kasus GBS ditemukan antibodi terhadap gangliosida Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik dalam saraf tepi Keterlibatan infeksi sebagai faktor pencetus terutama oleh Campylobacter jejuni Cytomegalovirus (10) virus Epstein-Barr virus varicella-zoster dan Mycoplasma pneumonia (Yuki amp Hartung 2012) Gangguan ini ditandai adanya kelemahan ekstremitas yang progresif simetris dengan atau tanpa gangguan sensorik disertai reflek fisiologis yang menurun atau menghilang

Diagnosis masih berdasar pada gejala klinis yang ditunjang oleh analisa cairan serebrospinal yang didapat dari lumbal pungsi Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan imunoglobulin intravena (IVIg) atau plasmapheresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilitas dalam jangka waktu 2 minggu setelah muncul gejala Di RSUP Sanglah telah terjadi 3 kasus sejak 2014-2015 dimana dilakukan terapi plasmapheresis yang memberikan hasil yang memuaskan

Pembahasan Pada GBS terjadi reaksi silang antibody terhadap antigen dan gangliosida pada saraf

tepi Pada pasien yang terjadi di Sanglah telah dilakukan plasmpharesis manual dimana antibody yang mengenali antigen gangliosida tersebut terdapat di plasma sehingga dengan dibuangnya plasma dapat membuang antibody yang salah mengenali antigen dan diberikan juga imunosupressan untuk menekan antibody yang bisa memperburuk keadaan GBS

Hasil Pada 3 kasus GBS di RSUP Sanglah tindakan plasmapharesis dilakukan secara manual

dimana plasma pasien dibuang dan diganti dengan plasmanat dan hal ini memberikan hasil yang memuaskan Pada daerah dimana tingkat prasarana yang terbatas dengan tindakan plasmapheresis manual dapat memberikan hasil yang menjanjikan dengan peralatan yang terbatas dan harga yang jauh lebih murah dibandingkan IVIg

P-17

Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral Dekubitus

Firmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Anestesi spinal unilateral dilakukan untuk membatasi blok sensorik motorik dan juga simpatis yang dapat meminimalkan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas blok unilateral berdasarkan durasi posisi lateral dekubitus selama 10 menit 15 menit dan 20 menit setelah anestesi spinal dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 05 10 mg pada operasi ekstremitas bawah

Metode Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan 51 sampel yang terbagi atas tiga kelompok dengan 17 sampel per kelompok Setiap kelompok dilakukan anestesi spinal dengan sisi operasi di bagian bawah menggunakan bupivakain hiperbarik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

05 10 mg bevel jarum spinal diarahkan ke sisi operasi injeksi lambat selama 60 detik tanpa barbotage Setelah anestesi spinal posisi lateral dekubitus tetap dipertahankan selama 10 menit (kelompok A) 15 menit (kelompok B) dan 20 menit (kelompok C) kemudian dikembalikan ke posisi supine dan dilakukan penilaian onset blok durasi blok ketinggian blok dan hemodinamik

Hasil Onset blok sensorik dan motorik sisi operasi durasi blok sensorik dan motorik sisi operasi dan ketinggian blok sensorik dan motorik sisi operasi tidak berbeda bermakna (pgt005) Ketinggian blok sensorik sisi bebas setinggi Th12 (kelompok A) L3 (Kelompok B) dan S1 (kelompok C) Durasi blok sensorik sisi bebas 7147 plusmn 104 menit (kelompok A) 6353 plusmn 49 menit (kelompok B) dan 5059 plusmn 134 menit (kelompok C) berbeda bermakna (plt 005) Durasi blok motorik sisi bebas 10941 plusmn 182 menit (kelompok A) 8471 plusmn 339 menit (kelompok B) dan 706 plusmn 199 menit (kelompok C) juga berbeda bermakna (plt005) Blok motorik unilateral ketat 882 pada kelompok C 118 pada kelompok B tidak tercapai pada kelompok A Ketiga kelompok memberikan gambaran kestabilan hemodinamik berupa tekanan arteri rerata dan laju jantung

Kesimpulan Posisi lateral dekubitus selama 20 menit setelah anestesi spinal lebih efektif dalam hal blok sensorik dan motorik unilateral

P-18

Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway

I Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana

Bagian SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA

Metode Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA dipilih secara consecutive random sampling Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 003 mgkgbb dan kelompok B diberikan fentanyl 2 mcgkgbb 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcgml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60 Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) postinduksi lebih dari 20 TAR basal Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Youngrsquos Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan Plt005

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 1308 (SB 288) dan B 1411 (SB 296) dengan nilai P = 0216 total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 11871 mg (SB 1324 mg) dibandingkan kelompok B 13161 mg (SB 1286 mg) dengan P = 0003 sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan P = 0739

Simpulan Fentanyl sebagai koinduksi propofol tidak lebih baik dibandingkan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam

Kata kunci hemodinamik koinduksi fentanyl midazolam LMA

P-19

Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde

Cholangiopancreatography (ERCP)

I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan

PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi semakin berkembang tidak hanya memfasilitasi tindakan

pembedahan terbuka namun juga untuk prosedur endoskopi baik untuk tujuan diagnostik maupun sekaligus untuk terapi

Pada kesempatan ini penulis melaporkan serial kasus penggunaan teknik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) dengan menggunakan TCI Propofol dan monitoring tingkat kedalaman anestesi dengan IoC pada pasien yang dikerjakan tindakan ERCP

Serial KasusAntara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di RSUP Sanglah Denpasar kami

memfasilitasi 6 tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Pasien yang dikerjakan dengan status fisik ASA 2 dan 3 Pasien sebelum dilakukan induksi diposisikan dalam posisi prone senyaman mungkin bagi pasien dengan kepala menoleh ke sisi kanan kemudian diberikan premedikasi dengan Midazolam 2 mg Dexamethasone 10 mg dan Difenhidramin 10 mg dan Fentanyl 25 mcg IV Induksi dengan TCI Propofol dengan mode Schneider dengan target efek 3-4 mcgml dilakukan secara titrasi mulai 1 mcgml kemudian dinaikkan 2 mcgml sampai 3-4 mcgml kedalaman anestesi diukur dengan IoC dengan target IoC 40-60 dipertahankan supaya pasien tetap bernafas spontan adekuat Pada keenam pasien yang dikerjakan didapatkan anestesi yang adekuat dengan TCI propofol 3-4 mcgml dan nilai IoC 40-60 dan tidak terjadi depresi respirasi dan kardiovaskular yang berarti

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC ini memberikan hasil yang

memuaskan dalam memfasilitasi anestesi pada tindakan ERCP Teknik ini dapat memberikan kenyamanan pada operator untuk bekerja dan yang terpenting adalah kenyamanan dan keamanan pasien lebih terjamin dengan pemberian obat yang disesuaikan dengan usia berat badan tinggi badan dan jenis kelamin sehingga pemberian Propofol dapat diberikan secara lebih efektif dan efisien Pemantauan kedalaman anestesi dengan IoC dapat memberikan panduan untuk ahli anestesi untuk penyesuaian dosis pemeliharaan obat anestesi selama prosedur dikerjakan sehingga efek depresi respirasi dan kardiovaskuler yang ditakutkan tidak terjadi

KesimpulanPenggunaan teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC dapat menjadi pilihan

dalam memfasilitasi tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Dengan pemakaian teknik ini menjamin kenyaman dan keamanan pasien juga kenyamanan operator dan ahli anestesi bekerja dengan minimal efek samping depresi respirasi dan kardiovaskuler

Kata Kunci TCI Propofol IoC ERCP

P-20

Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemik

I Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSU SanglahDenpasar

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 60 pasien geriatri yang menjalani pembedahan di RSUP

Sanglah Pengelolaan perioperatif geriatri memiliki tantangan tersendiri dengan adanya penurunan fungsi organ Kombinasi regional anestesia dan anestesi umum diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan sistemik

LAPORAN KASUSGeriatri 74 tahun dengan Tumor Parotis Lobus profunda yang menjalani pembedahan

hemimandibulektomi-parotidektomi wide eksisi dengan ASA III (geriatri dan hipertensi stage II FC II) dilakukan tindakan anestesi umum premedikasi dengan midazolam 2 mg co induksi dengan fentanyl 150 mcg(3 mcgkg) induksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg iv (05 mgkg) intubasi nasotracheal menggunakan ETT kinking ukuran 65 dan dilakukan blok pleksus servikalis superfisial infraorbita dan mandibular di sisi operasi Dosis lidokain 1 + epinefrin 1800000 Dosis pemeliharaan dengan O2 N2O (21) dan Isoflurane Operasi berlangsung 3 jam selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 50-72xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 50-70 mmHg dengan urine output 14 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0 Pasca operasi pasien diberikan analgesia fentanyl 200mcg + ketamin 10 mg dalam 50 cc NaCl 09 diberikan via syringe pump dalam 24 jam selama 2 hari hari ke 3 diberikan oral anagesia dengan tramadol 3 x 25 mg dan Parasetamol 3 x 500 mg Pemantauan VAS hari pertama dan kedua 010cm dan hari ke 3 1-210cm

DISKUSIGeriatri dengan permasalahan penurunan fungsi organ dan penurunan cairan tubuh

total dan lean body mass dapat mengakibatkan mudah terjadi intoksikasi obat Kombinasi anestesi umum dan anestesi lokal kepala dan leher dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik sehingga dapat meminimalisasi resiko intoksikasi Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia

KESIMPULANPemahaman teknik operasi sehingga dapat dilakukan pemilihan regioanaliasasi blok

yang tepat diperlukan Blok pleksus servicalis superfisial infraorbita dan mandibuler dengan minimalisasi penggunaan opioid sistemik mampu memberikan analgesia yang efektif dengan stabilnya hemodinamik pasien selama 3 jam durante operasi tanpa penambahan sedikitpun opiat sistemik Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya intoksiskasi obat dan prolong effect pada pasien geriatri sehingga menurunkan resiko morbiditas pasca operasi Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER3 BENAIFER DDUBASH DMD ADAM T HERSHKIN DMD PAUL J SEIDER

DMD GREGORY M CASEY (2013) ORAL-AND-MAxILLOFACIAL-REGIONAL-ANESTHESIA HTTPWWWNYSORA

P-21

Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi Caesarea

Ida Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Stroke hemorhagik merupakan stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah otak yang ada didalam kepala Kehamilan meningkatkan resiko terjadinya stroke hemorhagik Penyulit Stroke hemorhagik meningkatkan mortalitas baik maternal maupun fetal Sehingga penanganan pasien hamil dengan penyulit stroke hemorhagik membutuhkan perhatian khusus dan teknik yang khusus untuk meningkatkan outcome pasca operasi cesaria Laporan kasus ini bertujuan memaparkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada maternal dan fetal dengan penyulit ibu stroke hemorhagik dan IUGR untuk operasi cesaria Pasien perempuan 45 tahun dirujuk dari RSUD Sulawesi dengan diagnosis G1P0000 Primitua Stroke Hemorhagik Anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemah separuh tubuh terjadi beberapa jam sebelum masuk rumah sakit pada saat mengedan BAB Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis dengan hemiparesis sinistra fundus uteri teraba 2 jari diatas umbilikus DJJ 130 xmenit Pemeriksaan CT Scan didapatkan Tampak area hiperdens abnormal pada parenkim cerebri pada parietal sampai korona radiata kanan dengan ukuran 19x10x10 slices Penatalaksanaan preoperatif dilakukan dengan merawat ibu dengan sejawat neurologis untuk mengurangi stress hemodinamik pada otak maupun janin untuk persiapan fetal diberikan dexametason untuk pematangan paru fetal Premedikasi diberikan obat-obatan pencegah regurgitasi metocloperamide ranitidin dan ondancetron intravena 1 jam sebelum di induksi Teknik anestesi menggunakan teknik anestesi umum rapid sequence induction dengan teknik induksi dan fasilitas intubasi memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesi berbasis propofol TCI Rocuronium dan pemberian lidocain intravena pemberian opioid diberikan sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan dengan pertimbangan opioid yang kita berikan tidak segera melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin waktu mulai insisi pembedahan hingga dilahirkannya bayi dilakukan kurang dari 5 menit sehingga opioid yang kita berikan tidak banyak melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin setelah janin dilahirkan penting untuk menyediakan nokoba dan berikan jika dibutuhkan Pasien di extubasi dalam dengan memperhatikan patensi jalan nafas dan ventilasi assisted dengan panduan saturasi perifer dan end tidal capnograf Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan memperhatikan prinsip-prinsip neurointensive dan bayi di rawat di NICU Simpulan Prinsip penatalaksanaan ibu hamil dengan stroke hemorhagik dan IUGR adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesia dengan perhitungan teliti penggunaan opioid intravena sehingga opioid yang diberikan tidak mempengaruhi apgar skor fetal saat lahir

P-22

Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial Kasus

Ihsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah LestariFredi Heru Irwanto

Residen KonsulenDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit dr Mohammad HoesinPalembang Indonesia

Abstrak

Latar Belakang Operasi tulang belakang merupakan operasi yang sering dilakukan di bidang ortopedi Operasi ini membutuhkan waktu yang lama rumit dan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak sehingga membutuhkan teknik anestesi khusus Teknik anestesi hipotensi kendali terpilih untuk memfasilitasi tindakan operasi tersebut Teknik ini didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah yang di sengaja pada saat intraoperatif sekitar 25 ndash 30 dari preoperatif atau dengan MAP 50 ndash 70 mmHg untuk mengurangi jumlah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

perdarahan dan membantu visualisasi lapangan operasi Salah satu agen yang digunakan dalam teknik tersebut ialah dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan suatu agonis adrenergik α2 yang bekerja secara sentral dan memiliki efek analgesia amnesia sedasi dan anti anxietas Mekanisme kerjanya sebagai agen hipotensi yaitu memblok pelepasan noerepinefrine ke perifer melalui ikatan reseptor adrenergik α2 sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sistemik Obat ini sangat menguntungkan karena rentangnya yang lebar mudah dikontrol opioid sparing effect bangun yang cepat dan lancar

Tujuan Untuk mempresentasikan 4 kasus pasien yang menjalani prosedur operasi tulang belakang menggunakan teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan agen dexmedetomidine

Metode Teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan menggunakan agen dexmedetomidine continous dengan loading dose 1 microgkgbb (iv) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan rentang dosis 02 ndash 07 microgkgbbjam

Kasus Kasus pertamalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis paraplegia inferior ec stenosis spinal cord vetebrae Thorakal VI ndash VIII Kasus kedualaki ndash laki 39 tahun dengan diagnosis Fraktur kompresi vetebrae Thoracal IV ndash VI kasus pertama dan kedua menjalani operasi Stabilisasi Posterior Kasus ketigalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis HNP lumbal V ndash sakral I Kasus keempat perempuan 57 tahun dengan diagnosis paraparese inferior ec lesi Intradural setinggi vetebrae lumbal II - V Kasus ketiga dan keempat menjalani operasi laminektomi

Hasil Selama prosedur operasi hemodinamik relatif stabil dengan MAP 50 - 70 mmHg penggunaan opioid intraoperatif menurun 50 dibandingkan jika digunakan dengan agen hipotensi lain rata ndash rata waktu bangun 30 ndash 60 detik dan nyeri post operasi yang terkontrol

Kesimpulan Dexmedetomidine merupakan salah satu alternatif agen hipotensi pada teknik anestesi umum hipotensi kendali pada operasi tulang belakang

Kata Kunci Dexmedetomidine Hipotensi Kendali Operasi Tulang Belakang

P-23

Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien

Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi Umum

Joan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr Muhammad Hoesin

Palembang Indonesia

Abstrak

Latar belakang Tindakan intubasi endotrakea sering menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas Post Operative Sore Throat (POST) merupakan komplikasi minor setelah tindakan anestesi Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pascaoperasi adalah nyeri tenggorokan batuk dan suara serak yang dilaporkan memiliki insiden sebesar 21-52 untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

nyeri tenggorokan dan 42-59 untuk suara serak Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa berkumur dengan ketamin dan aspirin efektif mengurangi insiden dan tingkat keparahan POST Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal

Metode Uji klinik berpembanding buta ganda telah dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia umum teknik intubasi endotrakeal di COT RSMH pada bulan November 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 66 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok Kelompok pertama diberikan ketamin 50 mg dan kelompok kedua diberikan aspirin 320 mg dalam larutan saline 30 ml sebagai obat kumur

Hasil Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak pada kelompok ketamin dan kelompok aspirin sebesar 61 dan 121 Insiden nyeri tenggorokan pada kelompok ketamin adalah 152 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 182 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan Insiden suara serak pada kelompok ketamin adalah 21 2 dengan derajat serak adalah serak ringan dan sedang sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 242 dengan derajat serak ringan

Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara obat kumur ketamin dan aspirin untuk mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal (p = 0444 p gt005)

Kata Kunci Intubasi endotrakeal obat kumur ketamin obat kumur aspirin nyeri tenggorokan dan suara serak

P-24

Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi Infant

Ketut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANSepanjang tahun 2014 terdapat 85 (41) infant dari 405 kasus pembedahan laprotomi

pediatri (0-18 tahun) Pengelolan perioperatif infant memiliki tantangan tersendiri dengan imaturitas fungsi organ dan perbedaan anatominya Analgetik yang efektif dengan efek samping minimal diperlukan selama perioperatif dalam kaitan modulasi stress respon dan kembalinya fungsi system pencernaan CTE kontinyu kami gunakan pada pasien dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai dengan pertimbangan gangguan fungsi hati dan elimminasi obat

LAPORAN KASUSInfant 4 bulan berat badan 65 kg dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai

pasien dengan ASA III (infant pneumonia hyperbilirubinemia (obstruksi ekstrahepatal))

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dilakukan tindakan anestesi umum induksi dengan o2 sevoflurane coinduksi dengan ketamine 1 mg (015 mgkg) dan fentanyl 10 ug iv (15 ugkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 3 mg iv (05 mgkg) intubasi menggunakan ETT kinking ukuran 35 dan dilakukan pemasangan CTE kontinyu dengan panduan Ultrasonography dimana tip berada pada Th 10-11 Dosis bolus lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc volume 6cc (01 cckgsegmen) dilanjutkan dosis pemeliharaan lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 02-03 ccjam dn sevofluran 05 vol dan atracurium intermitten Operasi berlangsung 5 jam 40 menit selama durante operasi hemodinamik stabil dengan nadi 102-111xmnt kalkulasi cairan masuk 350 ml cairan keluar 130 ml dan urine output 109 cckgjamEkstubasi segera sesudah operasi selesai pasca operasi perawatan PICU dengan regimen analgesia lidokain 05 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 03 ccjam didapatkan flacc 0-1 urine output 1-12 cckgjam dan motilitas usus baik sejak hari pertama operasi CTE kontinyu dipertahankan hingga hari ke 6 setelah hari ke 5 pasien diberikan asupan oral pasca operasi didapatkan peningkatan neutrofil dari 1461 x 103ul praoperasi dibandingkan 1576 x 103ul pasca operasi

DISKUSIInfant dengan atresia bilier dan gangguan fungsi hati disertai hiperviskositas darah

dengan potensi cedera ginjal memerlukan penanganan khusus Kombinasi anestesi umum dan CTE kontinyu dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik yang dapat memperberat kerja hati Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia pada populasi infant dengan heart rate dependent Penggunaan mode kontinyu adalah untuk mencegah takifilaksis serta menjaga stabilitas analgetik perfusi renal dan splancnic Dengan peningkatan neutrofil yang tidak signifikan menggambarkan efektifitas modulasi stress response oleh CTE kontinyu

KESIMPULANCTE kontinyu dengan minimalisasi penggunaan gas inhalasi dan opioid sistemik mampu

memberikan analgesia yang efektif dan memberikan keuntungan peningkatan perfusi renal dan splanchnic sehingga dapat mencegah cedera ginjal dan mempercepat pemulihan anastomose Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 COTE CJ LERMAN J ANDERSON BJ (EDS) (2013) A PRACTICE OF ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 5TH ED USA ELSEVIER SAUNDERS

3 DAVIS PJ CLADIS FP MOTOYAMA EK (EDS) (2011) SMITHrsquoS ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 8TH ED USA ELSEVIER

4 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-25

Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial Kasus

Koko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas UdayanaRS Sanglah Denpasar

Latar Belakang Anestesi regional berkembang pesat sebagai salah satu modalitas untuk manajemen anesthesia pada tindakan pembedahan Caudal thorakal epidural adalah salah satu jenis tindakan anestesi regional central neuraxial yang digunakan pada kasus kasus pediatricpada kasus ini digunakan USG sebagai tuntunan

Presentasi Kasus Pasien bayi perempuan umur 5 bulan dan bayi laki laki umur 4 bulan didiagnosis Atresia Bilier pro Prosedur Kasai anestesi dengan perantaraan bius total pemasangan pipa endotrakeal Pasien pertama diinduksi dengan inhalasi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Pasien kedua diinduksi dengan induksi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Operasi berlangsung sekitar 5 jam Pasca operasi pasien diekstubasi dan dirawat di PICU Analgetika post operasi caudal thorakal continyu regimen lidocain 05 + fentanyl 2 mcgcc kecepatan 03 ccjam

Diskusi USG memberikan dua keuntungan untuk tindakan block caudal pada pediatri yaitu pertama kemampuan untuk identifikasi area sacral menjadi lebih cepat dan kedua mampu mengkonfirmasi bahwa obat yang disuntikkan berada pada area yang tepat Viscerotome untuk laparotomi pediatric adalah pada Th6 kateter epidural pada kedua kasus dengan tuntunan USG mampu mencapai Th 10 dan memberikan hasil anesthesia yang baik intra dan pasca operasi

Kesimpulan USG pada kasus ini mampu memberikan kesuksesan penempatan kateter caudal thorakal epiduraldan diharapkan lebih banyak lagi studi yang mempelajari kasus caudal thoracal epidural mempergunakan USG sebagai tuntunanKata kunci caudal thorakal epidural laparotomi pediatri tuntunan USG

Daftar Pustaka1 Smithrsquos Anesthesia for Infant and Children Elsevier 2011 hal 463-474 2 Pain Management HandbookNational Library of Malaysia2013 hal110-1303 Ultrasonography and Pediatric Caudal Journal of Anesth Analg2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26

Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi Umum

M Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

Pendahuluan Kehamilan pada wanita dengan defek septal atrial (DSA) akan meningkatkan risiko kematian ibu dan janin Pada wanita dengan DSA serta hipertensi pulmonal kehamilan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat Oleh karenanya manajemen perioperatif memegang peranan penting

Laporan kasus Kami melaporkan kasus wanita 39 tahun direncanakan untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kehamilan 24 minggu akibat plasenta previa totalis Pasien juga menderita DSA sejak lahir dan dijumpai sesak nafas Ekokardiografi menunjukkan adanya defek septal atrial (26 mm) hipertensi pulmonal ( 50 mmHg ) regurgitasi trikuspidalis ringan dan fraksi ejeksi 78 Teknik anestesi dengan preoksigenasi 100 oksigen selama 5 menit premedikasi dengan pemberian intravena Sulfas Atropin 025 mg dan Fentanyl 50 microg Induksi menggunakan Ketamin 50 mg kemudian Atrakurium 30 mg sebagai obat relaksasi otot dan dilakukan intubasi endotrakeal Selama operasi anestesi inhalasi menggunakan isofluran 05 - 06 dan fentanil 50 microgjam intravena sebagai anti nyeri rumatan

Pembahasan Manajemen anestesi umum pada pasien dengan defek septal atrial dan hipertensi pulmonal diprioritaskan terhadap teknik anestesi dan pemberian obat-obatan untuk mencegah penurunan dari tahanan pembuluh darah sistemikmencegah depresi otot jantungserta mencegah suatu keadaan hipoksiahiperkarbidan nyeri yang akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paruPada kasus ini digunakan ketamin yang dapat mencegah penurunan tahanan pembuluh darah sistemikdan mempuyai efek anti nyeri yang baik apalagi dikombinasi dengan golongan opiod seperti fentanildimana nyeri juga menjadi pencetus utama yang dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemikTerpeliharanya tahanan pembuluh darah sistemik agar tidak turun akan mencegah timbulnya shunt dari kanan ke kiri jantungShunt ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada pasien

Kesimpulan Kami menyimpulkan bahwa tindakan anestesi umum pada pasien hamil dengan defek septum atrium dan hipertensi pulmonal lebih dipertimbangkan karena dengan anestesi umum dapat dihindari penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan tahanan pembuluh darah paru yang akan mencetuskan suatu komplikasi berat

Kata kunci defek septal atrial Hipertensi arteri pulmonal Operasi sesar hipotensi hipoksemi hiperkarbi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-27

Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular Response

Marilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja

PPDS I Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANPasien geriatri akan memiliki beberapa penyakit dasar terkait dengan peningkatan usia

dan perubahan fisiologis terutama dalam sistem kardiovaskuler Pada pasien dengan gagal jantung kronis kebutuhan oksigen miokard dijaga agar tidak melebihi pasokan

Perangkat berikut ini penting bagi pelaksanaan anestesi yang aman antara lain EKG pemantauan tekanan arteri non-invasif pulse oksimetri kapnografi dan juga harus dilengkapi dengan pemantauan kardiovaskuler invasif

Perhatian khusus diberikan dalam memilih teknik anestesi yang mampu mengendalikan perubahan hemodinamik yang terjadi akibat adanya intervensi anestesi

KASUSPria 78 tahun BB 60 kg dengan perdarahan subdural kronis menjalani prosedur borehole

drainase Memiliki riwayat gagal jantung kronis dengan obat-obatan yang tidak diketahui Pasien dinilai dengan ASA III dengan masalah pada sistem saraf pusat dan kardiovaskuler Kesadarannya masih baik tekanan darahnya tinggi (sekitar 160-20090-120mmHg) dengan EKG-nya AF slow ventricular response (HR 45-50kalimenit) LAD CRBBB dan dari ekokardiografi didapatkan kardiomiopati iskemik MR moderate dan hipokinetik septal pada segmen anterior

Diberikan fentanyl 25mcg sebelum pemasangan artery line lalu 75mcg berikutnya sebagai analgetik Induksi dengan TCI Propofol dengan target efek 3-4 mcgml Agen inotropik dobutamin juga diberikan dan dipertahankan sampai akhir operasi Vecuronium 5 mg dipakai sebagai pelumpuh otot utama dan untuk pemeliharaan memakai compressed air oksigen dan TCI Propofol

Hemodinamik intraoperatifnya stabil pada MAP 120mmHg (136-18280-100mmHg) namun kadang irama EKG-nya menjadi ekstrasistol bigemini dan bahkan ventrikuler takikardia dengan nadi Operasinya berlangsung selama 45 menit dan pasien dipindahkan ke ICU untuk pemantauan pascaoperasi

PEMBAHASANSelain pemantauan hemodinamik dasar artery line juga dipasang untuk memantau

tekanan darah dari waktu ke waktu TCI Propofol dipilih dibanding volatil untuk mencegah gangguan pada autoregulasi otak Relaksasi otot memakai vecuronium untuk menghindari peningkatan TIK Dobutamin dipilih sebagai topangan untuk miokard pasien gagal jantung dengan output yang rendah

KESIMPULANKeseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard pemantauan invasif

intraoperatif yang seksama serta manajemen anestesi yang handal adalah kunci untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

memperoleh anestesi yang aman untuk pasien ini Teknik anestesi yang digunakan tidak hanya demi memberikan kualitas kedalaman anestesi untuk operasi kepala namun juga untuk menjaga pasokan oksigen miokard agar mencegah iskemia miokard durante operasi

Kata kunci manajemen anestesi perdarahan subdural gagal jantung kronis atrial fibrilasi slow ventricular response

P-28

Sensitivitas Dan Spesifisitasensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCU

Meili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Abstrak

Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) adalah prediktor independen terhadap mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit Angka kejadian AKI di Intensive Care Unit (ICU) 60-70 mortalitas dari pasien tersebut mencapai 60 Diagnosis AKI saat ini ditegakkan dengan penilaian kenaikan kreatinin serum yang tidak reliabel dan terdeteksi setelah kerusakan ginjal terjadi Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) merupakan penanda untuk menilai kerusakan ginjal yang dapat terdeteksi lebih awal sebelum terjadi kenaikan kreatinin Penggunaan NGAL pada pasien ICU dan NHCU yang mengalami gangguan ginjal belum dapat ditentukan waktu mulai terjadinya AKI sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Objektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan NGAL plasma dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Metode Uji diagnostik telah dilakukan di ICU dan HCU (High Care Unit) RS Dr Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Desember 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 53 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi Semua sampel diperiksa kadar NGAL dengan menggunakan Alere Triagereg kit dan kreatinin serum Analisis hasil pemeriksaan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan SPSSreg versi 220 dan MedCalc versi 127

Hasil Hasil penelitian menunjukkan pada cut-off point 150 ngml NGAL plasma memiliki sensitivitas 88 spesifisitas 81 nilai prediksi positif 88 nilai prediksi negatif 88 dan akurasi 85

Simpulan Pemeriksaan NGAL plasma lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan waktu mulai terjadinya AKI dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Kata kunci AKI kreatinin NGAL plasma ICUHCU uji diagnostik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-29

Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan Kasus

Mohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar Belakang Tindakan koreksi skoliosis thorakalis membutuhkan manajemen anestesi perioperatif yang cermat dikarenakan terdapatnya permasalahan fisiologis yang sangat kompleks yang dapat menjadi penyulit Fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang paling sering terganggu pada skoliosis thorakalis tergantung dari derajat lengkungan yang ditimbulkanKonsiderasi anestesi pada tindakan koreksi skoliosis meliputi manajemen anestesi pada posisi prone teknik anestesi dengan hipotensi kendali kejadian hipotermia resiko terjadinya emboli udara Penggunaan opioid dosis tinggi sangat menguntungkan dimana opioid dosis tinggi tidak mempengaruhi hemodinamik durante operasi dan mengurangi penggunaan analgetik pasca operasi

Kasus Anak perempuan berusia 11 tahun dengan skoliosis thorakalis vertebrae thorakal VII ndash vertebrae thorakal XI yang dilakukan koreksi skoliosis Pada pasien ini didapatkan cobbrsquos angle sebesar 800 sehingga diprediksi terdapat gangguan dari fungsi respirasi Untuk fungsi kardiovaskuler dan neurologis tidak ada kelainanInduksi anestesi dengan menggunakan propofol 70 mg IV atracurium 30 mg IV fentanyl 200 mcg IV dengan rumatan menggunakan fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam daninhalasisevoflurane 1 vol dalam O2 dan airProsedur berlangsung selama 5 jam dengan perdarahan 800 mlPasca operasi pasien di pindahkan kePediatric Intensive Care Unit dengan retensi Endotracheal tube untuk evaluasi fungsi respirasi dan kardiovaskuler Analgetik pasca operasi menggunakan morphine kontinu 10mcgkgbbjamSatu hari perawatan di PICU didapatkan fungsi respirasi dan kardiovaskuler dalam batas normal sehingga dapat dilakukan ekstubasi

Diskusi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam dinilai efektif dalam mengurangi perdarahan tanpa mengganggu stabilitas hemodinamik durante operasi Tindakan wake up test dilakukan dengan pasien dalam kondisi koperatif tanpa agitasi Kebutuhan obat analgetik pasca operasi pun dapat dikurangi

Kesimpulan Manajemen perioperatif yang dimulai dari pre anestesi yang baik dapat memprediksikan kesulitan yang akan timbul pasca operasi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu memberikan banyak keuntungan dalam tindakan koreksi skoliosis

Kata Kunci Skoliosis thorakalisCobbrsquos angleposisi prone Opioid Based

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-30

Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum

Laparoskopi Kolesistektomi

Muhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Pembedahan dan anestesi menyebabkan respon stres berupa pelepasan hormon katabolik seperti kortisol dan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek fentanil dan morfin intravena terhadap penekanan respon stres pembedahan di bawah anestesi umum pada orang dewasa

Metode Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Setelah memperoleh persetujuan dari komite etik dan persetujuan tertulis dari pasien pasien usia 18-64 tahun dengan status ASA PS 1-2 dan IMT lt 30 kgm2 yang akan menjalani prosedur laparoskopi kolesistektomi elektif diikutsertakan dalam penelitian ini Pasien dibagi menjadi kelompok F (n=25) mendapatkan fentanil 2 mcgkgBB dengan pemeliharaan 1 mcgkgBBjam dan kelompok M (n=25) mendapatkan morfin 02 mgkgBB dengan pemeliharaan 01 mgkgBBjam Pengambilan sampel darah untuk kadar kortisol dilakukan sebelum prosedur (T0) 30 menit pembedahan (T1) dan setelah ekstubasi (T2) Pengamatan hemodinamik meliputi tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) dilakukan pada beberapa waktu selama pembedahan Data diuji menggunakan uji statistik yang sesuai p lt 005 dinyatakan bermakna

Hasil Karakteristik sampel berupa umur jenis kelamin IMT ASA PS dan lama operasi dinyatakan homogen secara statistik Kadar kortisol pada kelompok fentanil meningkat dari waktu ke waktu yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan berlanjut sampai akhir anestesi (p= 0001) Pada kelompok morfin terjadi peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan menurun pada akhir anestesi (p =0240) Kedua kelompok memberikan kestabilan hemodinamik selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi kecuali pada saat intubasi endotrakeal terjadi peningkatan TAR (p=0000) dan peningkatan LJ (p=0000) namun perubahan TAR dan LJ tidak lebih 20 dari nilai basal

Kesimpulan Tidak terjadi penekanan kadar kortisol selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi pada kedua kelompok Peningkatan kadar kortisol darah pada akhir anestesi ditemukan pada kelompok fentanil tidak pada kelompok morfin Hemodinamik relatif stabil kecuali saat intubasi endotrakeal

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-31

Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epidural

Muhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar belakang Hipertensi pulmonal merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dan akan meningkatkan mortalitas bila dialami oleh wanita hamil Penanganan wanita hamil dengan hipertensi pulmonal merupakan suatu tantangan di bidang anesthesia Pada laporan kasus ini akan dijelaskan mengenai penatalaksanaan anestesi pada wanita disertai dengan adanya hipertensi pulmonal yang menjalani operasi seksio sesarea dalam anesthesia regional epidural

Presentasi kasus Wanita berusia 24 tahun dengan diagnose gravida 34-35 minggu dengan premature kontraksi disertai adanya hipertensi pulmonal Dari echokardiografi didapatkan adanya dilatasi atrium dan ventrikel kanan hipertensi pulmonal berat dan regurgitasi tricuspid sedang Kemudian operasi dilakukan dalam regional epidural Epidural blok dilakukan dalam posisi duduk pada L3-4 dengan memasukan kateter setinggi T10 Diberikan total bupivacaine 05 sebanyak 19 cc Blok setinggi T6 Bayi lahir dengan APGAR skor 6-8 Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ICU

Kesimpulan Hipertensi pulmonal dalam kehamilan memiliki angka mortalitas yang tinggi Tindakan anesthesia epidural merupakan tehnik yang paling memiliki efek minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan spinal maupun general anesthesia Maka dari itu tehnik ini merupakan tehnik yang paling aman untuk operasi seksio sesarea

Kata kunci Hipertensi pulmonal seksio sesarea anesthesia epidural

P-32

Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green Code

Novita Pradnyani1 Ketut Wibawa Nada2 IMG Widnyana2

1 Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ Udayana Bali2 Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ UdayanaBali

Abstrak

Latar belakangPeningkatan jumlah penduduk yang tidak dibarengi program KB yang baik berakibat

ANC yang teratur sehingga seringkali ibu hamil datang dengan kelainan penyerta yang serius

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dan membutuhkan persiapan anestesi yang lebih rumit Di sisi lain kasus tersebut terkadang kita jumpai dalam keadaan gawat darurat baik gawat janin ataupun gawat ibu sehingga tidak dapat dilakukan persiapan maksimal

Deskripsi KasusGravida 41 tahun ASA IIIE dengan G3P2002 28-29 mgg TH PEB Primi tua sekunder

plasenta previa totalis riwayat asma susp Oedema paru partial HELLP syndrome AHF ec Peripartum cardiomiopaty dengan FC III dilakukan SC green code ec KTG patologis Echo bedside didapatkan MR mild TR mild SV 58mL CO 727L SVR 1378 TAPSE 386 EF biplane 299 AGD pH 743 pCO2 19 pO2 141 HCO3 126 BE 117 SaO2 99 (FiO2 06 RR 25-26xmnt)

Premedikasi ketamin 10mg dan midazolam 05mg dengan anestesi RA BSA lateral decubitus di L3-4 dengan Bupivacain 05 heavy 10mg dan fentanyl 25 mcg dengan blok sensorik setinggi T6 Lahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudahLahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudah bayi lahir posisi ibu head up 30deg Post bayi lahir kontraksi uterus kurang baik sehingga dilakukan histerektomi Fluktuasi tekanan darah selama operasi 2 jam 45 menit TD 110-14560-88 mmHg nadi 80-95xmnt RR 20-23xmenit Dengan perdarahan plusmn2000 ml cairan masuk Kristaloid 1000mL dan koloid 500mL PRC 250mL Pasca operasi perawatan di ICU untuk moitoring dan pasien pulang di hari ke 4

Pembahasan Peningkatan beban jantung yang dimulai pada trimester ketiga (28minggu) membeikan beban pada kardiovaskular ibu hamil yang telah terganggu sebelum kehamilan dengan tambahan beban afterload karena PEB Kala III memberikan beban tambahan karena backflow aliran uteroplacental posisi head up dapat mengurangi aliran balik RA BSA dan posisi pasien dapat menjaga hemodinamik dan memberikan relaksasi yang cukup

Kesimpulan RA BSA dapat dijadikan pilihan untuk SC dengan AHF peripartum cardiomiopati dengan pemantauan dosis dan teknik yang baik

Kata kunc Gravida AHF peripartum cardiomiopati RA BSA Back flow Head up

DaftarPustaka

1 Miller D Ronald Millerrsquos Anesthesia 7th ed Churchill Livingstone 20052 Morgan G Edward Mikhail Maged S Murray Michael J Clinical Anesthesiologi 4th ed

New York Lange Medical BooksMcGrawHill 2006 3 David H Chestnut MD Cynthia A Wong MD Lawrence C Tsen MD Warwick D

Ngan Kee Yaakov Beilin MD and Jill Mhyre MD Chestnutrsquos Obstetric Anesthesia Principles and Practice 4th Edition Philadelphia Elsevier Mosby 2009

4 Roberta L Hines Katherine E Marschall Stoeltingrsquos Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed Philadelphia Elsevier 2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-33

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra

Bagian Ilmu Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas HasanuddinRumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar

Abstrak

Latar Belakang Blok transversusabdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman mudah dan efektif untuk memberikan analgesia pasca bedah pada operasi yang melibatkan dinding anterior abdomen Penelitian ini bertujuan menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pasca bedah herniorafi

MetodePenelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Penelitian dilakukan pada 44 pasien usia 18-60 tahun status fisik ASA I-II dan IMT 18-24 yang menjalani operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal di RS dr Wahidin Sudirohusodo dan jejaring di Makassar mulai bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 025 20 ml ditambahkan epinefrin 1200000 setelah operasi selesai dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 01 mgkgBBinfuskontinyu pada akhir operasi Penilaian skala nyeri digunakan Numeric Rating Scale (NRS) Bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 05 mcgkgBB waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pasca bedah dicatat Data dianalisis secara dengan menggunakan uji Mann Whitney dinyatakan bermakna bila plt 005

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian bersifat homogeny pada kedua kelompok Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok control (1781 plusmn 762 berbanding 915 plusmn 812 jam plt0001) Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (921 plusmn 1359 berbanding3088 plusmn 2039 mcg p=002)

Kesimpulan Blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodalmemberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibandingkan dengankontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi

Kata kunci blok TAP herniorafi teknik landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-34

Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi Spinal

Nurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli

Dept Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Operasi ortopedi ekstremitas bawah merupakan jenis operasi dengan skala nyeri pascaoperasi yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan nyeri yang baik Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor NMDA dan penghambat saluran kalsium memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia

Penelitian dilakukan secara uji klinis berpembanding buta ganda Penelitian efektivitas pemberian magnesium sulfat intravena terhadap nilai VAS dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 38 pasien dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal kelompok I (grup M) berjumlah 19 peserta bolus MgSO4 intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan MgSO4 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi dan kelompok II (grup K) 16 peserta bolus Nacl 09 03 mlkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan Nacl 09 01 mlkgbbjam sampai akhir operasiTiga peserta drop out karena gagal spinal dan operasi yang lama Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium pada semua subyek penelitian Penilaian nyeri menggunakan nilai VAS setelah selesai operasi pada 30 menit 1 2 4 6 12 18 dan 24 jam pascaoperasi Bila nilai vas gt 3 diberikan analgetik pertolongan petidin 05 mgkgbb Analisa statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan x2 test dan Fisher exact test dan dianalisa dengan program SPSS 20 for windows

Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik umum jenis dan lama operasi jumlah cairan intraoperatif serta kadar magnesium darah prabedah antara kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda Nilai VAS grup M secara statistik lebih rendah (p lt 005) dibandingkan grup K pada jam ke 18 dan 24 Jumlah pemberian analgetik petidin dalam 24 jam pascaoperasi lebih rendah pada grup M dibandingkan grup K (plt005)

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan dosis rumatan 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi menghasilkan nilai VAS lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik petidin dalam 24 jam pada pasien pascaoperasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal

Kata Kunci Analgetik pascaoperasi Magnesium Sulfat nilai VAS pascaoperasi Operasi ortopedi ekstremitas bawah Uji klinis acak berpembanding

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-35

Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty

Pande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PendahuluanAnestesi yang aman pada pediatrik tergantung pada pemahaman yang menyeluruh

tentang fisiologi dan farmakologi dan perbedaan antara pediatrik dan dewasa Pada pasien dengan single kidney memerlukan strategi anestesi yang khusus

Presentasi kasusPasien pediatrik 3 tahun berat badan 11 kg dikeluhkan tidak mempunyai lubang

anus sejak lahir telah dilakukan operasi kolostomi saat umur 1 hari Dari pemeriksaan USG ditemukan pasien dengan satu ginjal Pada pasien telah dilakukan PSARVUP (Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty) dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa endotracheal ukuran 45 dan dilakukan pemasangan caudal Telah diberikan midazolam 05 mg iv ketamine 10 mg iv fentanyl 20 mcg iv atracurium 5 mg iv Caudal analgesia dengan bolus Bupivacaine 025 + Fentanyl 10 mcg volume 6 ml 30 menit kemudian dilanjutkan dengan caudal kontinyu Bupivacaine 01 + Fentanyl 50 mcg volume 50 ml dengan kecepatan 2 mljam Durasi pembedahan 6 jam Post operasi pasien dirawat di PICU selama 2 hari

DiskusiManagemen anestesi untuk pediatrik dapat dilakukan anestesi umum dan caudal

kontinyu Pada pasien ini caudal kontinyu dapat sebagai pilihan karena dapat memberikan relaksasi dan analgesia sekaligus menurunkan kebutuhan obat sistemik pada pasien dengan single kidney Keuntungan lainnya caudal analgesia dapat digunakan untuk analgesia post operasi

KesimpulanKombinasi anestesi umum dan caudal kontinyu dapat menjadi alternative pada

pembedahan urogenital pada pediatric untuk menghindari penggunaan obat sistemik sehingga meminimalisasi efek samping sistemik yang dapat mengganggu fungsi ginjal dan memperpanjang waktu pulih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36

Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi ndashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid

Thorakal

Pradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit++

Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

dr SpAnKARDRdr ++SpAnKARdr

Abstrak

Latar Belakang Pemilihan Caudal Anesthesia Single Shot dianggap lebih praktis dan mampu memenuhi kebutuhan anesthesia - analgesia untuk tindakan pembedahan pada anak Di RSUP Sanglah Denpasar terdapat 405 (10) pembedahan pediatri dari total 4059 kasus sepanjang tahun 2014 dengan 217 (52) kasus diantaranya adalah dengan anomaly digestif dan dikerjakan dengan teknik anestesi kombinasi GA-Caudal anesthesia Penggunaan formula Armitage dijadikan pedoman untuk pemberian dosis caudal pediatrik yaitu 05mlkg untuk blok setinggi lumbosakral 1mlkg untuk torako lumbal dan 125mlkg untuk mid torakal Laporan kasus ini ingin menunjukkan ketinggian segmen yang bias dicapai pada penggunaan Caudal Anesthesia Single Shot dengandosis mid torakal (125 mlkg) dengan ultrasonografi-doppler pada 4 pasien ASA I ndash II yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dibawah pengaruh Anestesi Umum

Metode 4 Pasien ASA I ndashII usia 8 bulan hingga 4 tahun dengan berat badan 7ndash16 kg menjalani prosedur operasi abdomen bagian bawah PSARP kolostomi dan tutup kolostomi Setelah dilakukan Induksi Anestesi Umum dan dilakukan pemasangan jalur IV pasien diposisikan pada posisi Sim dan disiapkan untuk dilakukan Caudal Block Dengan jarum abocath 20G dimasukkan obat anestesi lokalBupivacain 015 Dengan bantuan ultrasonografindashdoppler dipastikan bahwa jarum telah masuk di ruang epidural dan kemudian diamati pergerakan cairan serta dilatasi dari ruang epidural saat obat anestesi local masuk ke ruang epidural sehingga diketahui ketinggian segmen yang dicapai Rata-rata saat dosis mencapai 125mlkg Nampak bahwa pergerakan cairan anestesi local hanya mencapai segmen L2-3

Hasil Durante operasi tampak terjadi peningkatan nadi yang signifikan saat manipulasi pembedahan dilakukan pada bagian yang lebihtinggi sehingga diberikan penambahan opiat Fentanyl berkala

Kesimpulan Caudal Anesthesia Single Shot sebagai pilihan anestesi yang aman dan mudah dilakukan untuk pasien pediatri namun hanya dapat digunakan untuk prosedur pembedahan yang di kerjakan di bawahsegmen L2Untuk prosedur pembedahan diatas segmen L2 perlu dipertimbangkan pemasangan kateter sehingga bias mencapai segmen yang lebih tinggi

Kata kunci blok kaudal single shot armitage ultrasonografi doppler

Referensi 1 Donald Schwartz M amp Karthik Raghunathan M 2008 Ultrasonography and Pediatric

Caudals Anesthesia and Analgesia 106 pp97-99

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

2 Santhanam Suresh MD LJTBaASM 2011 Ultrasound Imaging for Pediatric Anesthesia A Review In MM Tanabe ed Ultrasound Imaging Rijeka Croatia InTech pp189-210

3 Soliman IE (2003 May) Pediatric pain management facts and myths University of Pittsburgh Nurse Anesthesia Program Lecture Pittsburgh PA

4 Barash PG Cullen BF and Stoelting RK(2001) Fourth Edition Clinical Anesthesia Philadelphia Lippincott Wiliams amp Wilkins

P-37

Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien Mastektomi

Puja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto PujoErwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstrak

Latar belakang CRP adalah protein fase akut yang kadarnya dalam darah sangat berkaitan erat dengan respon inflamasi akut yang terjadiTindakan pembedahan dan puasa yang berkepanjangan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan mediator inflamasifaseakut melalui proses yang rumit

Tujuan Membuktikan pengaruh pemberian minuman karbohidrat dan protein whey praoperasi terhadap kadar CRP pascaoperasi pada pasien mastektomi

Metode Penelitian jenis uji klinis acak terkontrol Sampel penelitian sebanyak 26 dibagi menjadi 2 kelompok Kelompok perlakuan (13 sampel) diberikan 400 mL minuman karbohidrat dan protein whey malam sebelum operasi dan 200 mL 4 jam sebelum operasi Kelompok kontrol diberikan air mineral dengan jumlah dan waktu pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan Kedua kelompok diperiksa kadar CRP pra dan pascaoperasi

Hasil Terdapat perbedaan bermakna ( p = 0001) pada kadarCRP pascaoperasi antara kelompok kontrol yaitu 762 plusmn 2074 dibandingkan dengan CRP pascaoperasi kelompok perlakuan yaitu 281 plusmn 2920 Selain itu juga terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0000) dalam selisih kadar CRP praoperasi dan pascaoperasi pada kelompok kontrol yaitu 536 plusmn 0535 dibandingkan dengan kelompok perlakuan yaitu 089 plusmn 0938

Kesimpulan Pemberian minuman karbohidrat dan protein whey pra operasi terbukti menurunkan respon inflamasi fase akut pascaoperasi yang tergambar dari peningkatan kadar CRP pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

Kata kunci CRP respon inflamasi akut pemberian minuman karbohidrat dan protein whey

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-38

Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik Sedang

Rezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Cedera otak terutama cedera otak sedang dan berat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dinamis pada metabolisme otak berkurangnya laju metabolisme dan timbulnya krisis energi Perubahan -perubahan tersebut dapat diekspresikan oleh dinamika kadar glukosa dan laktat darah

Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 30 orang pasien yang menjalani pembedahan kraniektomi darurat dan mendapatkan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1 vol + fentanil 1 mcgkgBBjam atau menggunakan propofol 100 microgkgBBmenit + fentanil 1 microgkgBBjam Sampel darah pengukuran glukosa dan laktat yang diambil pada titik-titik waktu yang tepat 30 menit sebelum awal operasi (T0) sebelum induksi (T1) 30 menit setelah operasi dimulai (T2) setelah ekstubasi (T3) dan 1 jam setelah operasi (T4) Hasil diproses dengan nonparametrik uji Mann-Whitney

Hasil Kadar glukosa diukur pada saat T2 pada kelompok propofol-fentanil secara signifikan lebih rendah (P = 0032) dibandingkan kelompok sevofluran-fentanil Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok tidak bermakna pada setiap pengukuran Korelasi kadar glukosa dan laktat darah kedua kelompokbernilai positif untuk T0 T1 T3 dan T4 Untuk T2 korelasi bernilai negatif (-0288) Korelasi yang sangat kuat atau signifikan terjadi pada waktu T1 dan T4

Kesimpulan Nilai rerata kadar glukosa dan laktat pada kedua kelompok tidak mengalami gejolak yang bermakna dan semakin besar nilai laktat maka kadar gula darah juga akan semakin meningkat

P-39

General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession Intrakranial

Ruddy Hardiansyah Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi amp Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

INTRODUCTIONTotal tiroidektomi adalah tindakan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua

lobus Permasalahan neurologi yang menyertai operasi tiroid tidak jarang dijumpai Otak merupakan salah satu organ yang menjadi target metastase dari karsinoma tiroid Penilaian

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

fisik dan penunjang neurologi merupakan hal yang mutlak diketahui sebelum perencanaan anestesi pada tindakan total tiroidektomi Manajemen anestesi pada kondisi tersebut menjadi lebih kompleks mengingat tiroidektomi merupakan tindakan pembedahan di area jalan nafas ditambah dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi akibat massa di otak Oleh karena itu merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menerapkan tehnik neuroanestesia dalam mencegah secondary brain injury selama tindakan pembedahan tiroid dan perawatan post operasi

Kata kunci neuroanestesia karsinoma tiroid total tiroidektomi sol intrakranial

CASE REPORTPerempuan umur 46 tahun (berat badan 60 Kg) datang ke Rumah Sakit Haji Adam Malik

Medan dengan keluhan benjolan pada leher yang dialami selama 8 tahun Pada pemeriksaan fisik dijumpai benjolan pada leher yang ikut bergerak saat pasien menelan dan benjolan pada bagian belakang atas kepala Tekanan darah 13080 mmHg nadi 86 xi dengan Glasgow Coma Scale score 15 tanpa defisit neurologis Pada foto cervical APlateral dijumpai pendorongan trakea ke kanan dengan sedikit penyempitan setinggi cervical 5 Pada axial cerebral computed tomography menunjukkan massa di regio parieto-occipital mendestruksi tulang dan meluas ke intraserebral Labotarorium dijumpai fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid Propanolol 20 mg dan propiltiourasil 100 mg per 8 jam oral sudah dikonsumsi selama 2 bulan sebelumnya Persiapan preoperasi meliputi penyediaan ETT beberapa ukuran sesuai dengan ukuran trakea pada foto cervical pipa lambung NaCl dingin dan paracetamol 500 mg propiltiourasil 400 mg serta propanolol 40 mg yang telah digerus Premedikasi diberikan midazolam 5 mg dan fentanyl 120 mcg secara intaravena Setelah preoksigenasi induksi dilakukan dengan pemberian propofol 120 mg rocuronium 50 mg dan lidocain 60 mg Intubasi endotrakea dengan tube 70 mm dilakukan dengan smooth Anestesia di maintenance dengan sevofluran 1 oksigen ndash air masing-masing 2 Li fentanyl 60 mcg dan rocuronium 10 mg setiap jamnya Tekanan darah selama operasi sistol 100 ndash 120 mmHg diastol 59 - 71 mmHg normokapni dengan perdarahan plusmn 380 cc Massa tiroid berhasil diangkat tanpa mencederai Nervus Laryngeal Recurrent Fentanyl 60 mcg dan lidocain 60 mg diberikan untuk mencegah nyeri dan peningkatan tekanan darah ketika pasien bernafas spontan dengan oksigen murni selama 15 menit sebelum dibangunkan evaluasi pita suara dan ekstubasi Perawatan post operasi dilakukan diruang perawatan intensif dengan fentanyl 30 mcg perjam secara kontiniu untuk penanganan nyeri Evaluasi kesadaran suara kadar calsium dan magnesium dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan post operasi

DISCUSSIONTindakan total tiroidektomi pada karsinoma tiroid dengan massa intrakranial

menggunakan anestesi umum dengan tehnik neuroanestesi Penanganan anestesi ditujukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan secondary brain injury dengan menjaga CPP 70 ndash 90 mmHg dan normokapni Analgesia adekuat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik dan tekanan intrakranial saat intubasi evaluasi pita suara ekstubasi dan penanganan nyeri post operasi

CONCLUSIONAnestesi umum dengan tehnik neuroanestesia harus digunakan pada tindakan

pembedahan yang disertai permasalahan neurologi Penjajakan neurologi menjadi hal yang penting sebelum perencanaan anestesi Peningkatan TIK dan secondary brain injury harus dihindari selama prosedur tindakan pembedahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Referensi 1 Cottrell James E Newfield Philippa et al Handbook of Neuroanesthesia Anethesia

and Neurosurgery Lipincott William amp Wilkins 5th edition 2012 P 86-972 Bisri T Penanganan Neuroanestesi dan Critical Care Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung 20123 Gurvitch LD Yao FS Anesthesiology Problem- Oriented Patient Management The

endocrine System Lipincott William amp Wilkins 7th edition 2012 P 575 - 604

P-40

Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan Kasus

Semarawima Gede Budiarta I Gede

Bagian Anestesi dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar BelakangTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum

dengan angka kejadian 15 dari seluruh massa mediastinum Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun kronis yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi Hiperplasia timus terjadi lebih dari 70 pada pasien dengan miastenia gravis dan 10-15 pasien ini menderita timoma

Diskripsi KasusASA III Perempuan umur 54 tahun dengan keluhan utama kelopak mata terasa berat

suara cadel susah mengunyah dan menelan di sore hari sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Tidak didapatkan tanda-tanda sindrom vena cava superior Didiagnosis miastenia gravis sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan diberikan terapi Pyridostigmine 60 mg 12 jam PO Methylprednisolon 8 mg 12 jam PO Pada pemeriksaan penunjang didapatkan massa di anterosuperior mediastinum retrosternal dengan ukuran 4x45x6 cm gambaran ini mengarah ke keganasan timus Rekaman ENMG dalam batas normal

Pada persiapan pra operasi obat Pyridostigmine tetap dilanjutkan pemberianya Dilakukan operasi timektomi dengan general anestesi pemasangan pipa endotrakeal dengan epidural anestesia Ko-induksi dengan Fentanyl 3 mcgkgbb induksi dengan Propofol 2 mgkgbb fasilitas intubasi tanpa menggunakan pelumpuh otot Pemeliharaan dengan Compressed air Oksigen Sevoflurane 13 vol Epidural anestesia dengan regimen Bupivacain 025 + Morfin 2 mg volume 6 ml Lama operasi 2 jam 30 menit dengan fluktuasi tekanan darah selama operasi 90-12558-83 mmHg Nadi 64-98 kalimenit Lama anestesi 3 jam 10 menit dan sebelum pasien di ekstubasi diberikan Prostigmin 006 mgkgbb Selanjutnya pasien dirawat di ruang intensif

00Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanPenatalaksanaan anestesi tidak menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari sindrom

paraneoplastik akibat timoma dan miastenia gravis Miastenia gravis akan mempengaruhi efek pelumpuh otot yang sangat sensitif terhadap pelumpuh otot golongan depolarisasi

Kata Kunci Timoma Miastenia Gravis Sindrome Prostigmin Anestesia

P-41

Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan

Pervaginam

Sitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Analgesia persalinan intratekal (ILA) adalah salah satu teknik analgesia regional untuk mengatasi nyeri persalinan Penelitian ini membandingkan penambahan klonidin 45 μg fentanil 25 μg dan fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg sebagai adjuvan analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg terhadap durasi analgesia hemodinamik dan intensitas nyeri pada persalinan pervaginam

Metode Penelitian ini adalah penelitian eksperimental acak tersamar tunggal yang menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan teknik ILA Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di bagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 17 orang Semua kelompok menggunakan 25 mg bupivakain 01 sebagai anestesi lokal Kelompok BF diberikan adjuvan 25 μg fentanil kelompok BK diberikan 45 μg klonidin dan kelompok BFK diberikan 25 μg fentanil plus 45 μg klonidin Penilaian dilakukan pada saat fase aktif (pembukaan 4-6 cm) Dilakukan pencatatan durasi analgesia hemodinamik intensitas nyeri skor Bromage efek samping dan skor APGAR Data yang terkumpul akan diuji dengan metode statistik yang sesuai

Hasil Karakteristik sampel berupa umur tinggi badan berat badan mula persalinan dan pembukaan serviks awal dinyatakan homogen secara statistik Durasi analgesia pada kelompok ILA BFK yakni (17124 plusmn 795) menit lebih lama dibandingkan kelompok ILA BK yakni (10753 plusmn 737) menit dan kelompok ILA BF yakni (9182 plusmn 354) menit Ketiga kelompok menunjukkankan kestabilan hemodinamik dan menurunkan intensitas nyeri selama efek analgesia masih berjalan

Kesimpulan Fentanil 25 μg + klonidin 45 μg sebagai adjuvan pada analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg pada persalinan pervaginam memiliki durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan klonidin 45 microg atau fentanil 25 microg

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-42

Laporan KasusManajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan

DIC dan Sepsis

Stefanus Taofik1 Abraham Taofik Putu Kurniyanta2 I Gede Budiarta2

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Spesialis Anestesi Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar belakangHernia diafragma traumatika adalah kasus yang jarang dijumpai dengan prevalensi 3-4

di dunia Hernia diaframatika seringkali asimptomatik sampai dengan timbulnya komplikasi dengan angka mortalitas tinggi Komplikasi yang timbul seringkali mempersulit manajemen anestesi (sepsis gangguan respirasi dan imbalance elektrolit) Permasalahan durasi operasi meliputi perdarahan gangguan respirasi dan hemodinamik dengan mempertahankan perfusi cerebral yang adekuat

Deskripsi KasusPediatri 7 tahun berat badan rendah 17kg dengan trauma tumpul abdomen dan cedera

otak ringan 16 hari pra operasi pasca KLL dengan terpasang WSD D Pada thorax X-ray CT SCAN dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan hernia diafragmatika dengan hematoma retroperitoneal Selama perawatan didapatkan sepsis dengan pemanjangan INR 516 dengan DIC score 6 dengan Procalcitonin 19 CPIS score 7 dan albumin 228grdL Dilakukan repair diafragma dengan GA OTT TIVA fentanyl-ketamin midazolam dan vecuronium intermitten dengan pemasangan monitor invasif artery line dan kateter vena sentral jugular D dengan panduan USG dan ETCO2 Pra tindakan dipastikan content cukup diberikan FFP 10mlkgbb dengan topangan NE 01-02 ugkgmenit Durante operasi hemodinamik dengan TD 95-10560-75mmhg dan nadi 103-112xmnt (sepsis) dengan urine output 23cckgjam selama 5 jam pembedahan dan desaturasi ec vq missmatch dan manipulasi pembedahan Perdarahan 400mL(30 EBV) dengan pengelolaan cairan PRC FFP dan koloid Durante didapatkan hepar gall bladder dan ileum yang menembus diafragma kanan dan atelektasis paru kanan Pasca operasi pasien dirawat di PICU dengan morfin-ketamin kontinyu dan ventilator support tanpa edema paru dengan perbaikan parameter respirasi dan hemodinamik pasca operasi Weaning dimulai hari ke 3 pasca operasi

PembahasanKompleksitas tindakan yang dibarengi dengan komplikasi yang terjadi dalam setting

pediatri BB rendah memberikan tantangan tersendiri Manajemen respirasi dengan ventilasi disesuaikan dengan Paw dan ETCO2 Pra tindakan dilakukan perbaikan content dengan menambahkan faktor koagulasi dan meningkatkan tekanan onkotik serta pemberian asam traneksamat sesuai CRASH TRIAL Pasca tindakan paru kanan dikembangkan bertahap dengan PEEP untuk mencegah terjadinya REPE (Reexpansion Pulmonary Edema) Gejolak hemodinamik diminimalkan dengan pemilihan regimen anestesi TIVA

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Kesimpulan Tindakan repair hernia diafragma traumatika memberikan tantangan yang berbeda

dengan non traumatika terutama pada setting pediatri Manajemen anestesi TIVA penguasaan respirasi hemodinamik dan mengenali komplikasi sebagai pemberat operasi dan memahami teknik operasi menjadi kunci dalam penanganan kasus ini

Kata kunci Hernia diafragma traumatika TIVA Reexpansion pulmonary edema DIC Panduan USG Sepsis

Daftar Pustaka1 The CRASH II Collaborator The importance of erly tranexamic acid in bleeding

trauma patients an exploratory analysis of the CRASH 2 randomized controlled trialLancet Volume 377 No 9771

2 Alqadi R ValenciaFC Viscusi M 2013 Reexpansion Pulmonary Edema Following Thoracentesis Rhode Island Medical Journal Vol Sept 2013 38-40

3 JaffeRA 2009 SamuelsSI Anesthesiologist Manual of Surgical Procedures 4th ed Chap7

4 MillerRD 2010 Milllerrsquos Anesthesia 7th ed Chap V72

P-43

Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik1 Musa Taofik Senapathi Tjok GA2 PAS Panji

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Konsultan Regional Anesthesia Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah 3 Konsultan Intensive Care Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar Belakang Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanag Icu untuk lebih efektif dan efisien Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU Pasien non bedah meskipun jumlahnya tidak banyak namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

Objektif Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring

Metode Penelitian ini melibatkan 184 pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah Denpasar yng diambil secara acak dari tgl 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II SOFA dan CSOFA Karakteristik data dari hasil penelitian ini dilakukan uji Saphiro wilkins dan Chi Square Uji analitik regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing suvariabel terhadap mortalitas dan selanjutnya mencari cutoff point dari analisa kura ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Hasil uji karakterisktik data memperlihatkan pengaruh usia AKI sepsis dan adanya penyakit kronis berkorelasi dengan mortalitas dengan plt0001 Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II SOFA dan CSOFA berturut turut didapatkan 0892 0919 dan 09172 Missing value terbanyak didapatkan pada berturut turut pada SOFA APACHE II dan CSOFA sebesar 8423 815 dan 165 dengan dominan subvariabel hepar (bilirubinikterik) Uji regresi logistik memperlihatkan subvariabel neurologi kardiovaskular dan respirasi memberikan korelasi bermakna terhadap mortalitas dengan OR 458 224 dan 147 Subvariabel lain yang berpengaruh antara lain AKI sepsis dan peyakit kronis dengan OR 814 389 dan 242 CSOFA yang disederhanakan dengan subvariabel Respirasi (sf ratio) neurologi (GCS) kardiovaskular creatinin dan koagulasi (platelet) memberikan nilai AuROC=09175 dengan missing value 165

Kesimpulan Sistem skoring CSOFA yang disederhanakan memberikan nilai diskriminasi yang tertinggi dengan missing value terendah pada pasien non bedah sehingga dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas di ICU

Kata kunci Sistem skoring APACHE II SOFA CSOFA AuROC missing value

Referensi 1 Halim DA Murni TW Ike SR 2009 Comparison of APACHE II SOFA and modified

SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr Hasan Sadikin general hospital Crit Care amp Shock 12157-169

2 Namendy-silva SA Medina-silva MA Barahona VGM Torres JAB 2013 Application of modified sequential organ failure assessment score to critically ill patients Braz J Med Biol Res 46(2) 186-193

3 Sunaryo A Ike SR BisriT 2012Perbandingan validasi APACHE II dan SOFA score untuk memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif Majalah Kedokteran terapi Intensif vol 2 11-20

4 Grissom CK Brown SM Kuttler KG Boltax JP 2010 A Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) for critical care triage Disaster Med Public Health Prep 4277-284

P-44

Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of Ameloblastoma

Taor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

Abstract

Ameloblastoma is tumor coming from the residue of dentition that would from odontogenic epithelium tumor Ameloblastoma tend to make anaesthetist experiences difficulty with facemask ventilation of the upper airway and tracheal intubation Management of difficult airway will always confront the anaesthetist This is one area of the practice that the

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

anaesthetist is required to develop divers skill suited for each clinical situation The ability to use the flexible fiberoptic bronchoscope (FOB) presents the anaesthetist with an addition tool to conduct endotracheal intubation when faced with a difficult airway

Keywords ameloblastoma difficult airway flexible fiberoptic bronchoscope

P-45

Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi

Departemen Anestesi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia -RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak

PendahuluanTransplantasihatidari donor hidup (THDH) merupakan pilihan terakhir pada pasien

dengan end stage liver disease (ESLD)Angka harapan hidup tiga tahun 70-82 tetapi prosedur ini sangat kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besarbaik dari segi biaya sarana dan personel

KasusResipien adalah laki-laki 18 tahundengan atresia bilier Donor berasal dari kakak pasien

yang sehatPersiapan THDH dilakukan 2 bulan meliputi optimalisasi pasien persiapan alat dan

obat serta tim perioperatif multidisiplinAnestesia menggunakan infusi kontinyu propofol fentanil dan atrakurium Rumatan menggunakan sevofluran dengan oksigen 40 Di samping EKG kapnografdan SpO2 pemantauan intraoperatif juga dilakukan dengan tekanan darah arterial tekanan vena sentral dan pulse contour analysis Selama operasi tekanan darah dijaga 13080 mmHg dan CVP pada masa pra-anhepatik lt5 mmHg Pemeriksaan intraoperatif berupa analisis gas darah elektrolit darah perifer fungsi koagulasi glukosa dan laktat Obat intravena yang digunakan dobutamin norepinefrin fenilefrin metilprednisolon CaCl2 dan dekstrosa 40

Pascabedah pasien diberikan terapi suportif menyeluruh dengan titik berat pada pemantauan perdarahan fungsi hepar fungsi ginjal dan fungsi kardiorespirasi

DiskusiMasalah utama pada periode pra-anhepatik adalah menjaga homeostasis sedekat

mungkin dengan nilai basal Dosis kecil norepinefrin digunakan untuk mencegah fluktuasi tekanan darah Dobutamin digunakan pada periode reperfusi untuk menjaga kecukupan perfusi jaringan setelah klem vena porta dilepas Pemberian CaCl2 dikarenakan pasien mendapat transfusi packed red cell yang mengandung sitrat dan mengikat kalsium cenderung menyebabkan hipokalsemia Pasien ESLD cenderung mengalami hipoglikemia Oleh sebab itu gula darah dipantau ketat sepanjang prosedur Ketika kadar gula darah turun diberikan infusi dekstrosa

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Masalah berikutnya adalah periode anhepatik Penjepitan vena kava inferior vena hepatika dan vena porta sebelum reseksi hepar berpotensi menyebabkan penurunan curah jantung oleh karena turunnya prabeban Untuk mengantisipasi ini dapat diberikan albumin 5

Masalah terbesar adalah periode reperfusi setelah aliran vena-vena di atas kembali (unclamping) Beban jantung dapat tiba-tiba meningkat yang dapat menyebabkan gagal kontraksi Penglepasan mediator inflamasi berakibat luas antara lain menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan jaringan termasuk miokard Itu sebabnya ketika prosedur dimulai diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi inflamasi berlebihan Reaksi ini juga yang menyebabkan rejeksi organ Pemberian dobutamin sangat membantu dalam mempertahankan kontraktilitas miokard

Reaksi inflamasi termasuk yang dipantau pada periode pascabedah di samping pemantauan fungsi hepar koagulasi dan sebagainya

Kesemua proses sejak persiapan pelaksanaan dan pascabedah memerlukan biaya yang relatif tinggi Prosedur optimalisasi pasien melibatkan berbagai pemeriksaan berbiaya tinggi Demikian pula pemantauan selama operasi dan penggunaan obat-obat multipel Namun demikian masalah terbesar dari seluruh proses ini adalah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat termasuk pemegang kebijakan di rumah sakit

SimpulanTransplantasi hepar dengan donor hidup sangat kompleks baik dari segi sarana

prasarana maupun prosedur anestesianya Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada fasilitas yang lengkap

Kata Kunci THDH praanhepatik anhepatik reperfusi perioperatif

P-46

Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan

Nasional

Tommy N Tanumihardja Grace Alvina

RS St Carolus Summarecon Serpong

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi kebidanan meliputi pengendalian nyeri pada persalinan

dan anestesi pada operasi sesar Teknik yang saat ini sering dipilih untuk pengendalian nyeri kebidanan adalah anestesi neuraksial yakni epidural spinal dan kombinasi spinal epidural karena sangat memberikan kepuasan dan keuntungan yang lebih bagi pasien Prinsip teknik kombinasi spinal epidural meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping dari kedua teknik lainnya Keuntungan yang bisa dicapai adalah penggunaan dosis obat yang rendah blok sensori yang adekuat dan analgesia yang sangat baik

Pada kesempatan ini penulis bermaksud melaporkan serial kasus penggunaan teknik kombinasi untuk memberikan gambaran pelayanan obstetrik yang diberikan menghasilkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kendali mutu dan kendali biaya Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pelayanan obstetrik yang optimal di era Jaminan Kesehatan Nasional

Serial KasusAntara bulan September 2012 sampai September 2014 di suatu rumah sakit swasta di

Tangerang didapatkan 92 pasien mendapatkan pelayanan analgesia fase persalinan 39 pasien di antaranya digunakan teknik kombinasi spinal dan epidural 16 pasien hanya menggunakan obat anestesi lokal dan adjuvan fentanil pada drip epidural Mereka tidak merasakan nyeri yang mengganggu sampai lahirnya bayi Meskipun 3 dari antara pasien tersebut melahirkan secara sesar hanya 1 pasien yang membutuhkan teknik anestesi spinal ulang

Diskusi Teknik kombinasi spinal epidural dilaporkan mempunyai dampak kepuasan yang tinggi

dalam hal menanggulangi nyeri persalinan dan juga bermanfaat pada kasus-kasus kebidanan beresiko tinggi Selain itu teknik kombinasi spinal epidural memiliki tingkat kegagalan teknik yang lebih epidural yang digunakan dapat memberikan durasi analgesia yang dapat disesuaikan dengan lama persalinan

Dalam pengamatan serial kasus ini juga obat yang digunakan efisien sehingga dapat memberikan kendali mutu dan biaya yang diperlukan

KesimpulanPenggunaan teknik analgesia kombinasi spinal dan epidural pada proses persalinan

merupakan teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan mutu dan biaya pada era Jaminan Kesehatan Nasional

P-47

Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali

biaya bagi pelayanan anestesia

Tommy N Tanumihardja Clementine Natalie

RS Atma Jaya Jakarta

Abstrak

Pasien laki-laki usia 64 tahun dengan fraktur intertrokanter femur dekstra dilakukan PFNA Pasien menderita penyakit Parkinson yang telah diterapi dengan selama 12 tahun Pasien dipersiapkan puasa makanan padat 6 jam sebelum operasi Pada hari pasien dioperasi obat-obatan pengendali penyakit Parkinson tetap dilanjutkan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan monitor standar ASA jalur intravena diamankan Dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakea tanpa kesulitan Pasien dilakukan ventilasi kendali penuh kemudian dipasang kateter urin Pasien diposisikan terlentang pada meja traksi Insisi dilakukan pada sisi lateral paha kanan Operasi berlangsung selama 1 jam 45 menit dengan rumatan oksigen N2O dan Isofluran 30 menit menjelang selesai pasien diberikan antiemetik Parasetamol 1000 mg diberikan intravena saat penutupan luka

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Pasien diposisikan terlentang kembali pada meja operasi Kemudian dilakukan identifikasi nervus femoralis dextra menggunakan jarum stimulasi saraf secara aseptik dan antiseptik pada regio inguinal kanan Nervus femoralis diidentifikasi di sebelah medial arteri femoralis Obat anestesi lokal Bupivacaine isobarik 02 sebanyak 20 ml diinjeksikan di sekitar nfemoralis setelah nervus femoralis diidentifikasi pada kedalaman 5 cm dengan tetap mempertahankan kontraksi otot kuadriceps femoris Kateter diinsersi dan difiksasi pada kedalaman 11 cm Analgesia kontinu dilanjutkan dengan Bupivacaine 02 6mLjam via pompa infus elastis dengan analgesia kendali pasien 2ml bolus dengan lock out interval 15 menit Pasien dibangunkan diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan Pasien dipindahkan ke bangsal sesudah sadar penuh

6 jam setelah operasi pasien mulai melakukan mobilisasi duduk 12 jam pasca operasi skala nyeri numerik 410 dengan 2x bolus analgesia kendali pasien 24 jam pasca operasi pasien mulai melakukan terapi mobilisasi berdiri 26 jam pasca operasi skala nyeri numerik 210 dengan 2 bolus analgesia kendali pasien ditekan 45 jam pasca operasi skala nyeri 410 tanpa ada bolus analgesia kendali pasien yang ditekan 51 jam pasca operasi analgesia via pompa infus elastis habis Pasien diberikan Parasetamol 500 mg per oral 3x sehari selama perawatan Kateter femoral dilepas pada hari 3 pasca operasi lalu pasien dipulangkan pada hari kelima

Tujuan kendali mutu dengan target mobilisasi dini pasien dan juga penanggulangan nyeri yang memuaskan dapat dicapai dengan teknik analgesia berbasis blok nervus femoralis kontinu Morbiditas pasca operasi dapat dihindari dan pasien dapat dipulangkan dengan cepat

P-48

Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)

Vania Wiyanto M Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) atau displasia bronkopulmonalis adalah suatu penyakit kongenital langka yang dapat menyebabkan kematian intrauterus dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bayi Manifestasi bermacam-macam mulai dari hanya membutuhkan oksigen ringan sampai depresi nafas yang berat Terapi yang disarankan adalah Torakotomi untuk reseksi kista

Obyektif Agar dapat mengatasi dapat melakukan penatalaksanan yang tepat pada kasus-kasus serupa sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pediatrik dengan kelainan kongenital pada paru-paru khususnya CCAM

Laporan Kasus Seorang anak perempuan berusia 1 tahun dengan diagnosis CCAM Tipe III yang direncanakan operasi Thorakotomi elektif Pasien diinduksi dengan Anestesi inhalasi

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Halothane 15 vol dengan O2 Air = 3 3 dengan teknik induksi nafas spontan Dilakukan pemasangan Infus dan diberikan medikasi dengan Fentanyl 2mcgKgBB Permasalahan pasien mengalami Apnea dan tidak dapat diventilasi sehingga pasien mengalami desaturasi dan bradikardia Intraoperatif pasien stabil namun pasien kembali mengalami desaturasi pada saat akhir anestesi yang diduga karena Light anestesi atau plak pada ETT sehingga diputuskan untuk dilakukan re-intubasi Pasien kemudian diretensi ETT dan masuk ke ICU dengan support ventilator minimal Setelah dilakukan weanning ventilator pasien diekstubasi Post ektubasi pasien diobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien baik dan keesokan harinya pasien dapat pindah ke ruangan

Kesimpulan Penatalaksanaan Anestesi yang tepat monitoring ketat dan penilaian pasien post operasi dapat memberikan hasil yang baik bagi pasien CCAM yang dilakukan thorakotomi dan eksisi kista

Kata kunci Anestesi CCAM

P-49

Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesaria

Iwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah

Bagian Anestesiologi Perawatan intensif dan Manajemen nyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Anestesi spinal merupakan teknik yang popular digunakan dalam operasi seksio sesaria Perubahan fisiologis ibu dosis dan volume anestetik lokal yang digunakan meningkatkan resiko hipotensi 33 ndash 80 beberapa penelitian mengenai pencegahan hipotensi pascaanestesi spinal penelitian tentang kecepatan injeksi dilakukan dengan metode dan hasil yang bervariasi Hipotesis penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset blok anestesi

Metode penelitian 48 sampel yang masuk kriteria inklusi dipilih secara acak dibagi dalam dua kelompok anestesi spinal menggunakan bupivakain 05 10mg dan fentanyl 25mcg kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 04 mLdtk sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 02 mLdtk Insiden hipotensi onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisa statistik

Hasil penelitian Insiden hipotensi lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi lebih lambat 9 dari 24 sedangkan pada kelompok IC insiden hipotensi 21 dari 24 (IC 088+0338 IL 038+0495 P=0001) tidak ada perbedaan onset blok anestesi spinal antara kedua kelompok (IC 296+173 IL 362+166 P=0180) Insiden efek samping mual muntah depresi nafas dan kebutuhan efedrin lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi 02 mLdtk

Kesimpulan Injeksi anestesi dengan kecepatan 02 mLdtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-50

Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida Dengan Skoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio Lumbal

Warsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati

PPDS Ilmu Anestesi dan terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr Soebandi Jember

Abstrak

PendahuluanSkoliosis merupakan suatu keadaan deviasi dalam aksis vertikal dari tulang vertebra

Skoliosis berat relatif jarang terjadi pada wanita hamil ( insiden 003 ) umumnya bersifat idiopatik Derajat keparahan ditentukan dengan sudut Cobb Lordosis merupakan suatu keadaan normal dimana terdapat kurvatura konkavitas anterior tulang vertebra ( normalnya pada vertebra cervikal dan lumbalis ) Pada wanita hamil lordosis lumbalis meningkat

Anestesi regional pada wanita hamil dengan kelaianan kurvatura vertebra memberikan tantangan bagi dokter anestesi

Laporan kasusPasien 26 tahun diagnosa primigravida usia kehamilan 40-41 minggu inpartu kala II

dengan CPD dan Scoliosis-lordosis berat vertebra lumbal serta jaringan parut luas di regio lumbal Tidak terdapat keluhan sesak saat beraktivitas gangguan motorik atau sensorik pada pasien ini Pasien dengan BB 60 kg dan TB 150 cm tekanan darah 13090 mmHg frekwensi nadi 88xmenit frekwensi nafas 18xmenit tanpa distres janin Pasien diputuskan seksio sesaria Pasien diposisikan lateral decubitus kiri Pasien diberikan spinal anestesi dengan teknik paramedian menggunakan jarum spinal 25G pada level Th12-L1 dengan regimen bupivakain 05 heavy 125 mg dan morfin 300 mcg Level sensorik tercapai di level Thorakal 6 dan operasi dimulai Durasi operasi 30 menit Hemodinamik pasien stabil dengan TD 100-11565-84 mmHg frekwensi nadi 68-75xmenit Total cairan yang diberikan RL 1500 ml Lahir bayi laki-laki berat badan lahir 2095 gram panjang badan 50cm dengan APGAR score 89 Paska operasi pasien tidak terdapat keluhan nyeri kepala dan nyeri luka operasi modalitas motorik dan sensorik dievaluasi 8 jam paska operasi normal Pasien dirawat diruangan selama 2 hari

DiskusiKelainan kurvatura vertebra umumnya diserta gangguan kardipulmonar dan gangguan

neuromuskular Perubahan anatomi dan fungsional tubuh pada gravida (edema saluran airway penurunan FRC gangguan pasase lambung) dengan kelainan kurvatura vertebra meningkatkan resiko kesulitan intubasi hipoksemia dan apirasi saat induksi anestesi umum dan juga resiko depresi neonatus Regional anestesi umumnya dipilih Kebutuhan dosis anestesi lokal sangat bervariasi pada kasus ini Larutan anestesi lokal hiperbarik akan terkumpul di bagian dependen dari tulang vertebra dan menyebabkan blok yang tidak adekuat

Pada kasus ini identifikasi ruang intervertebra lumbal sulit dilakukan Pemberian spinal anestesi dipilih karena tekniknya sederhana onset lebih cepat kualitas anestesi lebih baik dibandingkan anestesi epidural Umumnya spinal anestesi tidak dilakukan pada level diatas L2-3 untuk mencegah cedera pada medula spinalis Namun ruang intervertebra lumbal pasien

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

ini sulit diidentifikasi dan sehingga dilakukan pada intervertebra Th12-L1 Jarum spinal yang digunakan berukuran 25G sehingga identifikasi ligametum flavum dan lapisan duramater lebih mudah dirasakan untuk menghindari cedera pada medula spinalis Pemberian adjuvan morphine intratekal dapat memberikan analgesia pada segmen atas yang mungkin tidak terjangkau akibat kelainan kurvatura vertebra dan juga memberikan efek analgesia sampai 24 jam paska operasi

Kesimpulan Dengan hati-hati pemberian spinal anestesi dapat dilakukan di ruang intervertebra di

atas L2-3 terutama pada kasus dimana ruang intervertebra lumbal tidak dapat diidentifikasi dengan baik

Kata Kunci spinal anestesi gravida scoliosis-lordosis berat Lumbal jaringan parut

P-51

Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop Fiberoptic

I Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 10 kasus intubasi sulit yang menjalani pembedahan di

RSUP Sanglah Pengelolaan perioperatif pasien dengan kesulitan manajemen airway memiliki tantangan tersendiri dimana mengamankan jalan nafas adalah hal krusial yang pertama harus diatasi agar pembedahan bisa berjalan Teknik Intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan intubasi pada pasien-pasien dengan kesulitan aiway sebelum memilih teknik invasive

LAPORAN KASUSLaki-laki 50 tahun dengan Tumor Ginggiva suspek squamus cell carcinoma yang

menjalani pembedahan insisi biopsi dan bimanual palpasi dilakukan tindakan anestesi umum dengan teknik awake intubasi menggunakan fiberoptic bronchoscope Pasien di premedikasi dengan nebulizer lidocaine 2 100 mg (2mgkg) + salbutamol 25 mg(1 ampul) sulfas atropin 05 mg ( 001 mgkg) dexametason 10 mg(02 mgkg) co induksi dengan fentanyl 50 mcg(1 mcgkg) Saat onset obat tercapai dilakukan intubasi nasotracheal menggunakan ETT non kinking ukuran 60 via bronchoscope fiberoptic Sesaat sebelum insersi tube pasien diinduksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) Saat intubasi dilakukan pasien sangat kooperatif (tidak ada reflek muntah dan batuk) dengan hemodinamik sebelum dan sesudah intubasi hampir sama(tanpa guncangan hemodinamik) nadi 70-80 xmnt tekanan darah sistolik 110-120xmnt diastolik 60-70xmnt

Operasi berlangsung 30 menit selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 60-82xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg dengan urine output 12 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0

DISKUSIPasien dengan tumor intraoral dengan permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi

dan juga resiko perdarahan yang sulit dihentikan apabila dilakukan manipulasi pada tumor membutuhkan teknik khusus dalam manajemen airway Teknik awake intubasi dengan intubasi nasotracheal dipilih karena 1 Pasien masih dalam kondisi sadar sehingga apabila intubasi gagal dilakukan airway masih aman 2 Teknik intubasi nasotracheal dengan bronchoscope fiberoptic dipilih karena untuk menghindari manipulasi pada tumor sehingga mencegah terjadinya perdarahan di jalan nafas yang dapat lebih mempersulit manajemen airway dan bahaya aspirasi

KESIMPULANPemahaman masalah perioperatif dan teknik operasi sangat diperlukan dalam pemilihan

teknik anestesi Teknik awake intubasi pada pasien dengan kesulitan airway menjadi pilihan untuk mencegah resiko kegagalan dalam mengelola airway yang dapat membahayakan pasienTeknik intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic memberikan kemudahan akses untuk melakukan visualisasi sampai ke trakhea sehingga dapat melakukan intubasi pada kasus kasus airway sulit Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya kegagalan manajemen airway dan menurunkan resiko morbiditas tindakan operatif

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Page 5: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

SAMBUTAN

Assalamualaikum wr wb

Selamat datang dan selamat bertemu lagi kepada para teman sejawat diajang Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia (KPPIA) tahun 2015 Kita tidak lupa selalu memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena ijinnya kita diberi kesehatan kesempatan dan berdiskusi diacara ini

Saya mengharapkan ajang ilmiah seperti KPPIA ini diikuti dan dipergunakan seoptimal mungkin untuk sharing dan mendapat informasi tentang pelayanan anestesi di Indonesia

Sebagai seorang dokter anestesi kita harus selalu meningkatkan kompetensi melalui pertemuan ilmiah CPD baik didalam maupun diluar negeri untuk dipergunakan dalam pelayanan anestesi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan keamanan serta kenyamanan bagi pasien di rumah sakit

Tentunya dalam melakukan pelayanan anestesi bukan saja ilmu yang harus ditingkatkan tetapi fasilitaspun harus terstandarisasi oleh karena itu dihimbau kepada seluruh dokter anestesi untuk selalu memberikan masukan kepada manejemen rumah sakit atau pemilik rumah sakit Selain hal tersebut juga saya ingatkan setiap pelayanan anestesi harus membuat standar pelayanan operasional sesuai kemampuan rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang kita layani

Demikian beberapa hal yang saya ingatkan untuk kenyamanan keamanan teman sejawat dalam melakukan pelayanan anestesi dan pelayanan intensive care dimasing-masing tempat bekerja Semoga Allah SWT selalu melindungi dan menuntun kita dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat

Wassalamualaikum wr wb

Bali Juni 2015Ketua PERDATIN

Dr Andi Wahyuningsih Attas SpAn KIC MARS

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiSambutan vDaftar Isi vii

PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas 1

PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko 2

PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko 2

PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha 3

SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientAMTakdir Musba 4

S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa 4

S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H Nasution 5

S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki Eddy Rahardjo 6

S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno 9

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-06 Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarksChristrijogo SW 11

S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biayaDedi Fitri Yadi 12

S-08 The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R Basuki 12

S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo 13

S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs IndividualHimendra W 14

S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta 15

S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja 16

S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana 18

S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta 18

S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya 19

S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara 20

S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 21

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 22

S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana 23

S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana 27

S-21 Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 31

S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 32

S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaIGNgurah Rai Artika 33

S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsIMG Widnyana 36

S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan 37

S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat 38

S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra 38

S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja 39

S-29 Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied EnoughI Made Wiryana 41

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh Sofyan Harahap 42

S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad 42

S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar 43

S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji 44

S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga 44

S-35 Chronic Pain Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma 45

S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa 46

S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso 46

S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra 47

S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri 51

S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta 55

S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo 56

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-42 Sepsis in obstetricYusmein 57

S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli 58

S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif HMMarsaban 58

S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto 60

POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demamAde Irna 61

P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta Pt 61

P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma I Wayan Aryabiantara 62

P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa 63

P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias Dadik WW 64

P-06 Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra Syamsul Bahri Siregar Hasanul Arifin 65

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho 66

P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W 67

P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko 68

P-10 Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono 69

P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid Pryambodho 71

P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono 73

P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana 73

P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja 74

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus 75

P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana 76

P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan 77

P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM 78

P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan 79

P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial KasusIhsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah Lestari Fredi Heru Irwanto 80

P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus 81

P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 82

P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung 84

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin 85

P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja 86

P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus 87

P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto 88

P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad 89

P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono 90

P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani Ketut Wibawa Nada IMG Widnyana 90

P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra 92

P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli 93

P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta 94

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36 Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan UltrasonografindashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit 95

P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo 96

P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif 97

P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah Hasanul Arifin 97

P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede Budiarta I Gede 99

P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif 100

P-42 Laporan Kasus Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik Abraham Taofik Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 101

P-43 Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik Musa Taofik Senapathi Tjok GA PAS Panji 102

P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak 103

P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi 104

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan NasionalTommy N Tanumihardja Grace Alvina 105

P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N Tanumihardja Clementine Natalie 106

P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto M Andy Prihartono 107

P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah 108

P-50Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati 109

P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan 110

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-01

RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional Development

Andi Wahyuningsih Attas

Ketua PERDATIN

Abstrak

Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban) Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment)

Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut

1 Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas CB dan A

2 Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP) serta penerapan remunerasi

3 Investasi Fisik dan Peralatan di RS pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit

4 Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi

Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan ndash Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-02

Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia hipnosis relaksasi dan supresi refleks saja tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain

Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien

Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg al terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien

PL-03

Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan al untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama dan saling membantu Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya

Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015 MEA mempunyai 4 karakteristik yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang jasa investasi modal dan tenaga kerja

Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

karena al disparitas standar pelayanannya Arus bebas tenaga kerja termasuk dokter belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan

Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN al persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan tetapi belum mencapai hasil yang konkrit dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi

PL-04

Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

Made Subagiartha

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

kita jumpai dalam kehidupan sehari hari dalam rumah tangga antar negara atau di dalam pekerjaan kita Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya

Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan ldquoSengketa Medikrdquo yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-01

Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

AMTakdir Musba

Department of Anesthesiology Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine Hasanuddin University

Abstract

Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur but opioid-tolerance in acute pain especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately particularly in opioid-based general anesthesia

The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences especially on chronic use but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia

Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period Generally opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients

Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol NSAIDs GabapentinPregabalin α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre- intra- and postoperatively

Keywords opioid-tolerance perioperative analgesia multimodal analgesia

S-02

Fast Track Neuroanesthesia

Agus Baratha Suyasa

Abstrak

Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990 untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya faktor pasien faktor pembedahan dan faktor anestesi Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan pelepasan katekolamin minimal dan menurunkan biaya perawatan ICU Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi control suhu control gula status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri kontrol mual muntah suplemen nutrisi Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual

Kata Kunci Fast Track Neuroanesthesia

S-03

Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

Akhyar H Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USURSUP Adam Malik Medan

Abstract

Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations requiring continuous adjustment of drug dosing Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profilesThe future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment monitoring for adequate anesthesia and so for the anesthesia machine The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment including the high technology robotic anesthesia machinesldquothe da vincirdquo For these developments physician especially anesthesiologist will work safer minimal invasive and provide a good monitoring during the operation

Keywords novel drugs future technology anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-04

The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

April Poerwanto Basoeki

Eddy Rahardjo

Departemen Anestesiologi amp ReanimasiFK Unair ndash RSUD dr Soetomo Surabaya

Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik lahir ketika Dr William TG Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan menjadi dapat dilakukan dengan lancar mudah dan berhasil baik Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau menulis pada batu nisan monumen Dr William TG Morton ldquoBefore whom in all time surgery was agony By whom pain in surgery was averted and annulated Since whom science has controlled of painrdquo Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 121924 ndash Agust 2 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work knowledge and duty to serve the public beyond the hospital wall Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite) diruang pulih sadar (Recovery Room) ruang rawat intensif (ICU HCU) bahkan sejak ditempat kejadian pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster) Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care) juga merupakan gagasan Peter Safar

Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian Time saving is life saving Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

tersebut Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan ldquoMany techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients for example those with severe head injuries asthma tetanus or neonatal asphyxia Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients control of airway endotrachel intubation and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia but are now recognized as essential for all doctorsrdquo Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care Anestesi di-OK Anestesi di-luar OK Recovery Room Resusitasi Emergency Medicine ICU Pain Management Pain Clinic Labor Analgesia hingga musibah masal dan bencana Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi

Emergency Medical Service in Indonesia where are we now Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban Dengan melihat sejarah kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat dulu UGD) IGD memerlukan tempat alat obat dokter perawat Lokasi atau tempat alat obat sudah tersedia Dokter Umum Indonesia masih kurang apalagi Dokter Spesialis Emergensi Perawat juga masih kurang apalagi Perawat mahir D3-D4 Gawat Darurat Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya atau kondisi-kondisi lain Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD GELS ATLS ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar Hasil survei Kemenkes RI (1995 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai Untuk menangani kasus gawatdarurat berat kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter Survey Depkes (2005) di ndash 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20 pasien yang datang di UGD adalah trauma sisanya kasus non trauma Di Inggris dari semua kasus trauma di IGD hanya 56 memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65-nya Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood Park Trauma Care Vol 10 No 2 2000 p76) Di-RSUD dr Soetomo Surabaya selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat Departemen SMF Anestesiologi amp Reanimasi memiliki rdquomarkasrdquo Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi Ruang Resusitasi (RES) Ruang Observasi Intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

(ROI) PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim terjadilah apa yang Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC sebut sebagai rdquoshifting leadershiprdquo Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr Soetomo adalah rdquoteaching Hospitalrdquo FK Unair

Kondisi sekarang selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS Swasta Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1) bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni plusmn 30 orang Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar) atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70 materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50 Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20 Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang

Kepustakaan

1 Baskett PJ Peter J Safar 2001 The early years 1924-1961 the birth of CPR Resuscitation 2001 50 17ndash22

2 Baskett PJ Peter J Safar 2002 Part two The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002 Resuscitation 2002553ndash7

3 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik rdquoSistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadurdquo 2009 Cetakan - 4Cetakan - 4

4 Koeshartono ldquoAnestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencanardquo Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya Sabtu Tanggal 8 September 2007

5 Michael B Dobson ldquoAnaesthesia at the Distric Hospitalrdquo World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies 198968 424-30)

6 Sitasi tgl 12 Agustus 2013 woodlibrarymuseumorglibrarypdfS_AYBpdf Morton TG William Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR William TG Morton Printed by Rand Avery amp Frye 3 Cornhill 1871

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-05

Update in DIC Management

Bambang Wahjuprajitno

Dept anestesiologi dan ReanimasiFK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr Soetomo

Surabaya

Abstrak

Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut yang jika cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ

Aktivasi koagulasi yang masif berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh

DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat

Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin supresi anticoagulant pathways gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi

Penyebab DIC tersering adalah sepsis neoplasma trauma penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta preeclampsiaeclampsia emboli air ketuban aborsi septik kematian foetus intrauterine) gigitan ular

Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan tempat tusukan jarum perdarahan gastrointestinal SSP hematuria atau ecchymosis Trombosis dapat berupa purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit) acral dingin dengan nadi yang sulit teraba kehilangan penglihatan oliguria gangguan mental kejang-kejang

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT peningkatan D-dimer dan FDP penurunan trombosit dan fibrinogen Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUNkreatinin dan enzim-enzim jantung Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC

Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH) Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH) dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET) Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization CommitteeInternational Society of Thrombosis and Haemostasis (SSCISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini

Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama ndashsama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik

Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol karena itu jenis DIC bisa berupa

1 DIC tipe perdarahan (bleeding) bila hiperfibrinolisis lebih dominan Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia seperti acute promyelocytic leukemia (APL) penyakit-penyakit obstetrik atau aneurisma aortae

2 DIC tipe gagal organ bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi terutama sepsis

3 DIC tipe perdarahan masif bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik

4 DIC tipe asimptomatik bila kedua faktor sama-sama lemahnyaPada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium Disebut juga dengan tipe pre-DIC Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lainPengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa

bull Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnyabull Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya

meliputi o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma FFP

thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC) recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI) recombinant human thrombomodulin (rhTM) dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

o memanipulasi sistim fibrinolitik misalnya dengan tranexamic acid

Sayang sekali berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan

Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain

S-06

Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarks

Christrijogo SW

Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University Soetomo Hospital

Abstract

Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient

Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients eg avoiding airway manipulation and systemic application of opioids Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances with a lower rate of complications Anesthesiologists are increasingly faced with obesity regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patientsrsquo safety and perioperative outcomes in obese patients

Keywords Regional anesthesia Obesitas landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-07

ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya

Dedi Fitri Yadi

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi Mesin anestesi obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 Lmenit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor inspired oxygen concentration minute ventilation airway pressure Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya

Kata kunci Low flow anesthesia anesthesia cost reduction

S-08

The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

Djudjuk R Basuki

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Latar Belakang Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering yaitui meliputi 38 dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16 dari semua infeksi hospital-acquired SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian waktu MRS dan biaya RS

Tinjauan Pustaka Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif normotermia perioperatif hiperoksia normoglikemia transfusi darah dan mencuci tangan Hipotermia Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien Hiperoksia Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel faktor penting dalam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

penyembuhan luka Manajemen Cairan Peioperatif Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen Selain penghantaran oksigen yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia Hiperglikemia Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi termasuk SSI Transfusi Darah Saat ini tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi Profilaksis Antimikroba Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan

Kesimpulan Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis

S-09

Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

Gatut Dwidjo PrijambodoDept Anestesiologi dan Reanimasi

FK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr SoetomoSurabaya

Abstract

Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi 1 Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM )2 Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM)

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY ada empat kriteria antara lain bull Kegagalan jantung pada periode enam bulan bulan akhir kehamilan sampai lima

bulan pasca persalinanbull Tidak ada penyebab yang ditemukanbull Tidak ada penyakit jantung sebelumnyabull Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri Ejection Fraction lt 45 dan LV

end diastolic dimension gt 27 cmm2

Penyebab PPCM tidak diketahui Mortalitas 15 - 50 PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel

Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung antara lain Restriksi cairan Pemberian Diuretika dan obat Inotropik Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural Anestesi General digunakan obat yang cardiostable Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHYHOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun Pada kehamilan HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak Dapat asimtomatik simtomatik ringan Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif

Prinsip manajemen pasien HOCM Perlu monitoring invasif dan intensif Hindari penurunan preload Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat Hindari penururnan mendadak SVR Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi

S-10

Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs Individual

Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan

Harapan pasien sudah berubah Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi

Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif misalnya dibayar sesuai performa Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien

Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku

Dalam praktik anestesia di perkotaan terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan entah itu rumah sakit umum rumah sakit bersalin ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan Adapun di lain pihak praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati

Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006) standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku

S-11

Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

I Gede Budiarta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID infiltrasi blok perifer teknik regional analgesia hipnoterapi radiofrekuensi stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif

Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif neurologi rehabilitasi medik maupun hematoonkologi Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut

Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik penanganan konsul nyeri yang seksama serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit

Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama

S-12

Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

I Ketut Sinardja

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak Banyak hal seperti kebijakan wilayah politis serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam

Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 665 dan 326 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri Berdasarkan kesepakatan umum angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada defibrilasi atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi) Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus

Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3 angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004 dengan angka ketahanan hidupnya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27 versus 18) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif

Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA ditemukan bahwa sekitar 66 kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) 52 masih hidup dalam 1 tahun dan 3 masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64 pada anak-anak dan 75 pada orang dewasa Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 159 namun hanya sebesar 39 pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari)

Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian prearrest intra-arrest dan postarrest Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan aspek struktural dari sistem (personel pelatihan peralatan) care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini serta penanganan postarrest yang komprehensif) serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan)

Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi monitor ECG DC-Shock suction oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat

Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest) Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar menurunkan angka kejadian henti nafas danatau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait

Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku Kebijakan mulai dari awal penerimaan pihak yang melakukan bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah atau sampai

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code

S-13

Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

I Made Adi Parmana

RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Abstract

Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s its popularityhas steadily increased Although not as well established as for cardiac surgery the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40 to 80 of patients respectively In over one-third of patients intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy including treatment of myocardial ischemia valvular pathology andor right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure Based upon these findings intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery

TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise patients with unexplained persistent hypotension or unexplained persistent hypoxemia as well as patients with major thoracic or abdominal trauma

However as with any tool the risks and benefits need to be carefully evaluated Although the complication rate from TEE placement is low it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal esophageal or gastric pathology that will preclude its use Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting

S-14

Spinal Anesthesia In Neonates

I Putu Kurniyanta

Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University Sanglah Hospital Denpasar

Abstract

Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers It is usually practiced on preterm infants (lt60 weeks post-

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA) SA sometimes combined with general anesthesia It is most successful as a single shot technique limited to surgery lasting less than ninety minutes Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia providers However there is safety and efficacy for suitable procedures in older children as well SA in neonates has many advantages as in adults with an advantage of minimal cardio-respiratory disturbance This may further increase the utility of SA in neonates and children as it provides all components of balanced anesthesia technique To overcome this several additives like epinephrine clonidine fentanyl morphine neostigmine etc have been used and found to be effective even in neonates But the developing spinal cord may also be vulnerable to drug-related toxicity though this has not been systematically evaluated in neonates Despite its widespread use incidence of side-effects is low and permanent neurological sequalae have not been reported with SA Literature yields encouraging results regarding its safety and efficacy Technical skills and constant vigilance of experienced anesthesia providers is indispensable to achieve good results with this technique

Keywords neonates spinal anesthesia surgery

S-15

Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and Surgery

I Putu Pramana Suarjaya

Department of Anesthesiology amp Intensive CareSanglah General Hospital Medical School University of Udayana Denpas

Abstract

Cognitive changes after major surgery have received increased attention in recent years Increased elderly population in surgical patients as well as advances in anesthesia and surgical techniques and the impact of postoperative cognitive complications on patientrsquos quality of life after recovery make cognitive dysfunction play a significant role in prolonged recovery after major surgery

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) is diagnosed using cognitive test scores to detect changes developing postoperatively compared with each individual patientrsquos preoperative cognitive level of functioning POCD affects a wide range of cognitive domains such as memory attention orientation and concentration and some patients experience difficulties for months postoperatively POCD has been described after both cardiac and noncardiac surgery and can occur in all age groups although the elderly are more at risk

The pathogenic mechanisms behind the development of POCD are unclear partly due to the variation in patient population diagnostic tools and analysis of cognitive test results making firm conclusions on the pathogenic mechanisms difficult However most agree that increasing age reduced preoperative cognitive reserve and low educational level are risk factors for POCD A distinction between acute and elective surgery as well as cardiac versus noncardiac surgery is necessary when evaluating cognitive changes

An optimized perioperative approach with short length of stay multimodal opioid-sparing analgesia early mobilization and discharge to home environment (the fasttrack approach) would impact the occurrence of cognitive changes after major surgery

Keywords perioperative care postoperative cognitive dysfunction

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-16

Transfusion practice vs patient blood management

I Wayan Aryabiantara

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin jelas bahwa transfusi RBC (red blood cell) alogenik mengakibatkan banyak efek samping serius dan angka mortalitas meningkat Faktor risiko utama untuk transfusi adalah anemia preoperatif hilangnya darah intraoperatif dan trigger transfusi yang liberal Manajemen darah pasien (Patient Blood Management) dengan bundel terapi anemia preoperatif serta perhitungan untuk menurunkan hilangnya darah perioperatif dan mengoptimalkan toleransi terhadap anemia bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi RBC dan meningkatkan outcome klinis PBM telah dijadikan WHO sebagai standar terapi dan semua negara anggota diharapkan melaksanakan konsep ini Adapun negara tetangga kita Australia adalah yang dianggap paling maju di dunia dalam melaksanakan konsep PBM

Di masa lalu transfusi RBC sangat digembar-gemborkan dan dianggap sebagai sumber yang murah aman dan cepat tersedia Belakangan semakin jelas bahwa pasien yang mendapat transfusi RBC mempunyai outcome lebih buruk dibandingkan pasien serupa yang tidak ditransfusi dan banyak ahli setuju bahwa pasien tanpa perdarahan aktif dengan kadar hemoglobin gt8 grdL atau lebih tidak memperoleh manfaat apapun dari transfusi RBC Akibatnya dokter mulai mencari cara untuk menyiapkan pasien agar pembedahan yang direncanakan dapat dilakukan tanpa transfusi sehingga outcome-nya membaik

National Bank Authority (NBA) di Australia merupakan badan pemerintah yang mendirikan dan mendanai ulasan mengenai Clinical Practice Guidelines for the Use of Blood Components oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) dan Australian Society for Blood Transfusion (ASBT) pada tahun 2010 Mereka menyimpulkan bahwa panduan lama yang berfokus pada produk darah harus diganti dengan yang berfokus pasien Dampaknya adalah mulai dikembangkan enam modul panduan yang komprehensif dan evidence-based Isi modulnya meliputi PBM pada perdarahan masif pembedahan medikal rawat intensif obstetri dan ginekologi pediatrik dan neonatologi

Sebagian besar negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa kecuali Belanda masih mengalami hambatan dalam pengamalan PBM pada level nasional Meskipun masih kurangnya inisiatif menyeluruh beberapa rumah sakit telah mengenalkan PBM pada berbagai divisi dan departemennya Hal yang menarik adalah program ini tidak saja membuat transfusi RBC lebih sedikit tapi juga outcome lebih baik dengan mortalitas lebih rendah lama rawat lebih pendek komplikasi lebih sedikit readmisi lebih rendah dan biaya juga lebih ditekan

Anemia preoperatif dapat diterapi lebih baik sehingga meminimalkan tranfusi RBC perioperatif infeksi lebih rendah dan komplikasi lebih sedikit Sangat sulit untuk menentukan nilai target terapi untuk anemia sebelum pembedahan mayor Di sisi lain skrining preoperatif anemia secara mendetil justru sangat menunda tindakan pembedahan yang sudah direncanakan karena bisa memakan waktu kurang lebih 3-4 minggu Namun dengan perencanaan yang tepat hal ini dapat diminimalkan Skrining dan terapi anemia tersebut juga secara ekonomis lebih menguntungkan karena lebih unggul dalam hasil outcome yang lebih baik komplikasi lebih rendah dan lama rawat lebih singkat Meminimalkan kehilangan darah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

intra dan pascaoperasi juga sangat bermanfaat yang dapat dicapai dengan teknik pembedahan dan hemostasis yang adekuat

Ternyata keengganan adalah faktor penghambat utama untuk mengubah budaya transfusi Namun dokter diharapkan dapat mengubah cara praktiknya apabila sudah memperoleh limpahan bukti efek samping yang dapat dihindari dengan teknik PBM demi kesejahteraan dan kemaslahatan pasien

S-17

Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Banyaknya tindakan medis invasif serta perawatan canggih di ruang Intensive Care Unit (ICU) menyebabkan perlunya penggunaan sedatif sebagai komponen terapi mutlak untuk meningkatkan outcome Pada keadaan-keadaan akut berat sedasi bahkan diperlukan dalam jangka panjang yang berisiko efek samping over sedasi dengan berbagai kerugiannya Untuk itu diperlukan jenis sedatif alternatif lainnya yang menghasilkan sedasi adekuat dengan efek samping minimal Dalam beberapa tahun terakhir dexmedetomidine telah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sedatif alternatif melalui mekanisme simpatolitiknya sebagai agonis α2 Dexmedetomidine telah dibandingkan dengan midazolam dan propofol pada pasien-pasien ICU dengan ventilator jangka panjang Efek sedasinya terbutki setara dan lebih menguntungkan pada pemakaian jangka panjang dalam hal menghindari beberapa efek negatif sedatif pada umumnya Studi meta-analisis menyangkut pemakaian dexmedetomidine ini telah membuktikan bahwa sedatif ini aman dan bermanfaat dalam pemakaian jangka panjang dan dapat memperbaiki outcome populasi pasien-pasien di ICU Penelitian berkelanjutan tentu tetap diperlukan dalam mengkaji berbagai keuntungan lainnya dari penggunaan dexmedetomidine jangka panjang di ICU

Sumber bacaan1 Cavallazzi R Saad M Marik PE Delirium in the ICU an overview Annals of Intensive

Care 20122 Weinert CR et al Epidemiology of sedation and sedation adequacy for mechanically

ventilated patients in a medical and surgical intensive care unit Crit Care Med 2007 3 Afonso J Reis F Dexmedetomidine current role in anesthesia and intensive care Rev

Bras Anestesiol vol62 no1 Campinas JanFeb 20124 Anger KE Dexmedetomidine A Review of its Use for the Management of Pain

Agitation and Delirium in the Intensive Care Unit Current Pharmaceutical Design 2013

5 Riker RR Shehabi Y Bokesch PM et al SEDCOM (Safety and Efficacy of Dexmedetomidine Compared With Midazolam) Study Group Dexmedetomidine vs midazolam for sedation of critically ill patients a randomized trial JAMA 2009

6 Tan JA Ho KM Use of dexmedetomidine as a sedative and analgesic agent in critically ill adult patients a meta-analysis Intensive Care Med 2010

7 Jakob SM et al Dexmedetomidine vs Midazolam or Propofol for Sedation During Prolonged Mechanical VentilationTwo Randomized Controlled Trials JAMA 2012

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18

Tight Glucose Control in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Hiperglikemia sering menjadi komplikasi pada kasus-kasus dengan sepsis luka bakar trauma dan kasus-kasus bedah besar lainnya yang memperburuk outcome Efek samping ini pada pasien-pasien sakit kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan respon stres akut yang meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan pemakaiannya dalam tubuh Penyebab lainnya adalah intervensi nutrisi dengan kandungan karbohidrat berlebihan dan saat memulai jenis nutrisi yang kurang tepat

Strategi mengendalikan glukosa secara ketat pada pasien-pasien sakit kritis di ICU dapat dilakukan melalui beberapa langkah Menetapkan waktu memulai nutrisi yang tepat memilih jalur nutrisi enteral serta menghindarkan pemakaian nutrisi parenteral Hindarkan overfeeding dan batasi sumber kalori dari karbohidrat serta tidak melebihi 4 mgkgmenit Gunakan teknik pemberian insulin intensif melalui infus kontinyu Lakukan verifikasi rutin dan seksama serta penyesuaian laju metabolisme pengukuran berat badan penetapan BEE dan faktor-faktor koreksinya Cegah dan koreksi keadaan yang meningkatkan laju metabolisme seperti demam takikardia agitasi delirium kejang-kejang dan kondisi overaktifitas lainnya

Sumber bacaan1 Furnary AP Wu Y amp Bookin SO Effect of hyperglycemia and continuous intravenous

insulin infusions on outcomes of cardiac surgical procedures the Portland Diabetic Project Endocrine Practice 2004 10(Suppl 2) 21ndash33

2 van den Berghe G Wouters P Weekers F et al Intensive insulin therapy in critically ill patients N Engl J Med 20013451359-67

3 Montori VM Bistrian BR McMahon MM Hyperglycemia in acutely ill patients JAMA 20022882167ndash9

4 Klein CJ Stanek GS Wiles CE Overfeeding macronutrients to critically ill adults metabolic complications J Am Diet Assoc 199898795-806

5 Preiser JC Devos P van den Berghe G Tight control of glycaemia in critically ill patients Curr Opin Clin Nutr Metab Care 20025 533ndash7

6 Krinsley JS Blood glucose control in critically ill patients the impact of diabetes Critical Care Medicine 2009 37(1) 382ndash3

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-19

Management of local anaesthetic systemic toxicity

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Abstract

As classic neuronal Na+ channel inhibitors these drugs have a particular high level of activity in the central nervous system and the cardiovascular system and their side effect profile remains remarkably consistent differing only quantitatively between the agents in their doses (and blood and relevant tissue concentration) Local anaesthetic agents exist in both ionised acid-and non-ionised base forms in the tissue after injection The non-ionised form crosses the barrier of the myelin sheath and the axon membrane Here it will dissociate to the ionised acid form due to the lower pH inside the cell The ionised fraction binds to the activated Na+ channel and produce blockade of the channel in the inactivated state The development of symptoms and signs related to local anaesthetic toxicity relates directly to the concentration of the drug in the plasma The plasma concentration will depend on the rate of absorption from the injected site as well as inadvertent intravascular injectionIt is appropriate to first review the physiology of the ion channels implicated in local anaesthetic toxicity

Sodium channel blockadeAs local anaesthetics act as Na+ channel-blocking agents they slow down the initial

depolarisation phase by blocking the inactivated channel The clinical consequence of this is slowed cardiac conduction widening of the QRS complex prolongation of the PR interval AV block and eventually ventricular fibrillation due to the unidirectional blockade and re-entry phenomenon

Potassium channel blockadeK+ channels are tetramer ion channels and are organised into three superfamilies

according to the subunit membrane topology (1) subunits with six membrane-spanning segments and onepore domain (2) subunits with two membrane-spanning segmentsand one pore domain and (3) subunits with four membrane-spanning segments and two pore domains arranged in tandemThe first and third group are of interest where local anaesthetic toxicity is concernedAs noted the first group of channels are tetramers with fourfoldsymmetry around a central pore in the form of an inverted teepeeBoth the N terminal and the C terminal are located intracellularlyThe amino acids of the N terminal are shaped like a ball and chain and conformational changes causes this ball to close the channel from inside the cell These channels are known as the inward outward and transient rectifier K+ channels and their resultant effect is partly responsible for the K+ efflux during phases 2 and 3 of the cardiac muscle action potentialA blockade ofthese channels will prolong the action potential (phase 2) delayrepolarisation (phase 3) and shift the resting membrane potential more positive (phase 4) to increase automaticity The second group of K+ channels of interest is the two pore domain K+ channels (K2p) Previously known as the delayed rectifier channels these channels are believed to be responsible for the background or ldquoleakrdquo K+ currents In this setting they control the resting membrane potential A blockade of these channels shifts the resting membrane potential towards spontaneous depolarisation K2p channels are wide spread in the body In

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

the CNS they are mainly located in the thalamo-cortical and striatal neurons where blockade leads to increased neuroexitabilityThey are also present in high concentrations in the cerebral blood vessels where blockade leads to vasoconstriction and decreased cerebral blood flow K2p channels are also present in neurons of the auditory system where blockade leads to tinnitusK2p channels are thought to mediate the stimulating effect of local anaesthetics on ventilationThey are located in the brainstem where they modulate the respiratory response to carbon dioxide via chemo sensing of the pH They are also found in the carotid body where they are expressed in the oxygen-sensing cells of the glomus body K2p channels are sensitive to changes in O2 tension and extracellular pH and are potentiated by volatile anaesthetic In the CVS K2p channels are spread throughout the conduction system of the heart where blockade predisposes the patient to re-entry dysrhythmias It is well known that hyperkalemia exacerbates local anaesthetic toxicity and that K+ATP openers (which effectively lowers intracellular K+ levels) attenuate the toxic effects of bupivacaine

Ca++ channel blockadeThe latest research shows that all voltage-gated Ca++ channels are comprised of two

subunits The α-subunit consists of atetramer that comprises four membrane-spanning domainsDomains I III and IV are critical in the opening of the channelThis α-subunit is the main pore-forming element of the channeland its chemical structure remains fairly consistent for all voltagegatedCa++ channels The second unit has a highly variablestructure that depends on the location and function of thechannel In cardiac conduction tissue it is the β1 subunit thatcompletes the ion channel structure The role of the β1 subunitseems to be the modulation of channel opening and membraneion traffickingIn terms of their physiological effect the hearthas two distinct types of channels namely the T-type (transient)and L-type (long lasting) channels The T-type channel (alsoknown as the low voltage activated channel -LVA) is mainlylocated in the pacemaker cells of the sino-atrial node and theopening of these channels completes the prepotential requiredfor the pacemaker potential L-type channels (known as highvoltage activated channels -HVA) are present on the surface ofthe myocytes of both atrium and ventricle and are closelyassociated with the T-tubules The opening of these L-typechannels produces the impulse seen as the plateau phase (phase2) of the cardiac muscle action potential Local anaesthetic drugs bind to the L-type Ca++ channels predisposing them to aninactivated state The consequence of this is prolongation of theaction potential (phase 2) and depressed contractility

Central nervous system toxicityCentral nervous system toxicity is presumed to be a two-stage process Initial blockade of

Na+ channels in the inhibitory neurons entering the limbs allows the excitatory neurons to act unopposed thereby creating an excitatory state This culminates in generalized convulsions Higher concentrations of local anaesthetic affect all neurons leading to global CNS depression slowing and ultimately silence on EEG clinically seen as coma and the eventual collapse of the cardiovascular system In most cases convulsions although an impressive clinical entity can be handled safely without permanent damage

Cardivascular system toxicityAll of the clinical effects due to local anaesthetic overdose are the result of the blockade

of various ion channels The normal pharmacological effects of local anaesthetic drugs are produced via their blockade of sodium (Na+) channels However these drugs also have

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

the ability to block potassium (K+) as well as calcium (Ca++) channels The whole picture of cardiovascular toxicity is the effect of the blockade of all these ion channels Ion channel blockade displays enantiomeric selectivity with the R-isomer having twice the potency at the Na+ channels seventy times the potency at K+ channels and three times the potency at Ca++ channels Furthermore channel blockade is dependent on the state of the channel Levo-bupivacaine and ropivacaine interacts with both the activated and inactivated Na+ channels where as R-bupivacaine is a more potent blocking agent of the inactivated Na+channels

The mechanism of cardiovascular toxicity relies on the direct as well as indirect effects of the local anaesthetic drugs on the myocardium Direct effects include negative inotropy and delayed conduction of the impulse through the cardiac conduction tissue Indirect effects have to do with the local anaesthetic effect on the autonomic outflow and the direct effect on the cardiac centre in the midbrain Negative inotropy due to local anesthetic overdose is the result of four main mechanisms Firstly local anaesthetics (LA) cause decreased Ca++ release from the sarcoplasmic reticulum in the cardiac myocyte This in turn decreases excitation-contraction coupling and thus decreases contractility Secondly there is disturbance of the membrane Na+Ca++ pump function This also decreases Ca++ levels in the cytosol and decreases contractility Thirdly LA alters mitochondrial energy transduction By binding to the inner mitochondrial membrane LA agents cause the uncoupling of oxidative phosphorylation at complexes II and I This leads to decreased levels of ATP and a low energy state in the myocyte The binding of LA to the inner membrane further inhibits the function of L-carnitine acyl transferase This enzyme is important in the transfer of long free fatty acids (FFA) across the cell-and mitochondrial membrane The decreased availability of FFAs as substrate for oxidation leads to decreased ATP levels Fourthly LA causes decreased cAMP production This impairs second messenger function in the myocyte and disrupts cell homeostasis

The second direct cardiovascular effect is perhaps the more well known LA by their nature cause blockade of the ion channels therefore causing conduction blockade of the impulse generated in the SA node Abnormal conduction predisposes to re-entry phenomena and unidirectional conduction dysrhythmias The indirect effects on the cardiovascular system are due to the blockade of impulse outflow from the nucleus tractus solitaries (NTS) located in the medulla oblongata Afferent fibres from the baroreceptors in the carotid body and aortic arch reach the NTS via N glossopharyngeus (XI) and N vagus (X) where they secrete glutamate as neurotransmitter From the NTS projections reach the caudal and intermediate ventrolateral medulla where they stimulate GABA-secreting neurons These in turn project to the rostral ventrolateral medulla from where they course down the thoracic cord to eventually become the preganglionic sympathetic neurons that form the cardiac sympathetic innervation Excitatory projections from the NTS also reach the vagal motor neurons the nucleus ambiguus and dorsal motor neurons Baroreceptor stimulation thus inhibits tonic discharge to the vasoconstrictor nerves and excites vagal innervation of the heart with its sequelae LA alters the spontaneous impulse production in the NTS and depresses cardiac outputThe blockade also leaves the sympathetic outflow relatively unopposed which in turn leads to increased automaticity and dysrhythmias The overall effect of the conduction block and CNS- mediated effects is the refractory ventricular fibrillation for which bupivacaine is well known

Management of local anaesthetic systemic toxicity

Recommendations for Treatment of Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)bull If signs and symptoms of LAST occur prompt and effective airway management is

crucial to preventing hypoxia and acidosis which areknown to potentiate LAST (I B)

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

bull If seizures occur they should be rapidly halted with benzodiazepines If benzodiazepines are not readily available small doses of propofolor thiopental are acceptable Future data may support the early use of lipid emulsion for treating seizures (I B)

bull Although propofol can stop seizures large doses further depress cardiac function propofol should be avoided when there are signs ofcardiovascular compromise (III B) If seizures persist despite benzodiazepines small doses of succinylcholine or similar neuromuscularblocker should be considered to minimize acidosis and hypoxemia (I C)

bull If cardiac arrest occurs we recommend standard advanced cardiac life support with the following modifications- If epinephrine is used small initial doses (10- to 100-ug boluses in adults) are

preferred (IIa C)- Vasopressin is not recommended (IIB B) - Avoid calcium channel blockers and beta-adrenergic receptor blockers (III C)- If ventricular arrhythmias develop amiodarone is preferred (IIa B) treatment with

local anesthetics (lidocaine or procainamide) is not recommended (III C)

bull Lipid emulsion therapy (IIa B)- Consider administering at the first signs of LAST after airway management- Dosing- 15 mLkg 20 lipid emulsion bolus- Infusion of 025 mLkg per minute continued for at least 10 mins after circulatory

stability is attained- If circulatory stability is not attained consider giving another bolus and increasing

infusion to 05 mLkg per minute- Approximately 10 mLkg lipid emulsion over 30 mins is recommended as the

upper limit for initial dosing

bull Propofol is not a substitute for lipid emulsion (III C)bull Failure to respond to lipid emulsion and vasopressor therapy should prompt institution

of cardiopulmonary bypass (IIa C) Because therecan be considerable lag in beginning cardiopulmonary bypass it is reasonable to notify the closest facility capable of providing it whencardiovascular compromise is first identified during an episode of LAST

Lipid emulsion theraphyLipid was successfully used for resuscitation the mean total (bolus plus infusion) lipid

dose over the first 30 mins was 38 mLkg (range 12-60 mLkg) Most important no overt complications related to use of lipid emulsion for resuscitation have been reported to date Based on the available information we recommend an initial bolus of 20 lipid emulsion using 15 mLkg (of lean body mass) followed by an infusion at 025 mLkg per minute until circulatory stability is achieved The bolus could be repeated for failure to restore circulation and the infusion could be increased to 05 mLkg per minute for recurring hypotension after initial recovery However volume overload is certainly a risk and lipid overdose might also carry as yet unknown risks Defining the maximal safe dose for acutely administered 20 lipid emulsion for this novel use is important and will require appropriate (large) animal studies and possibly experiments with volunteers receiving subtoxic doses of bupivacaine We currently recommend an upper limit of approximately 10 mLkg over the first 30 mins This would allow for 2 boluses plus a continued infusion at 025 mLkg per minute

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-20

Radiofrequency In Knee Osteoarthritic Patients

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Introduction

Osteoarthritis (OA) is the most common rheumatic disease in the general population and its prevalence increases with age Genetic mechanical and several other factors have been implicated in its originOA symptoms such as joint pain reduced mobility crepitus and swelling result from articular cartilage loss subchondral bone proliferation bone misalignment and synovitis The management of patients with OA includes a number of pharmacologic and non-pharmacological recommendations tailored in accordance to the joints involved

The economic costs of OA are high including those related to treatment for those individuals and their families who must adapt their lives and homes to the disease and those due to lost work productivity Patients with OA are at a higher risk of death compared with the general population History of diabetes cancer or cardiovascular disease and the presence of walking disability are major risk factors Pain and other symptoms of OA may have a profound effect on quality of life affecting both physical function and psychological parameters Knee OA is not a localized disease of cartilage alone but is considered as a chronic disease of the whole joint including articular cartilage meniscus ligament and peri-articular muscle that may result from multiple pathophysiological mechanisms It is painful and disabling disease that affects millions of patientsThe pain in the OA knee is attributed to cartilage degenerationreduced joint space osteophytes loose bodies Pain intensity disability and its psychological impact correlate poorly with the peripheral joint damage assessed by the Kellgren-Lawrence scale (K-L scale) Recent evidence emphasizes the role of central sensitivity in the pathogenesis of the OA knee

Chronic osteoarthritis pain of the knee is often not effectively managed with non-pharmacological or pharmacological treatments Radiofrequency (RF) neurotomy when applied to articular nerve branches (genicular nerves) provides a therapeutic alternative for effective management of chronic pain associated with osteoarthritis of the knee

Although surgery is generally effective for patients with advanced disease some older individuals with comorbidities may not be appropriate surgical candidates In addition some patients do not wish to consider surgery and prefer non-surgical options In these patients radiofrequency (RF) neurotomy of the genicular nerves might be a successful alternative to surgery This procedure is based on the theory that cutting the nerve supply to a painful structure may alleviate pain and restore function

DiagnosisThe american College of Rheumatology criteria for the diagnosis of knee osteoarthritis Using history and clinical examinationPain in the knee and three of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

4- Bony tenderness 5- Bony enlargement 6- No palpable warmth of synovium

Using history and clinical examination and radiographic findings Pain in the knee and one of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt 30 minutes 3- Crepitus on active motions and osteophyte

Using history and clinical examination and laboratory findings Pain in the knee and 5 of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions 4- Bony enlargement 5- No palpable warmth of synovium6- Rheumatoid Factor lt140 7- Synovial fluid signs of osteoarthritis

AnatomyThe knee joint is innervated by the articular branches of various nerves including the

femoral common peroneal saphenous tibial and obturator nerves These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic guidance

Nerve supply of the knee joint

These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves

Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic

guidance

Nerve supply of the knee joint

Genicular branches of the knee joint

Genicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM)

inferior lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The

targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas

connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to

the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee

joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee

joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency

neurotomy

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Genicular branches of the knee jointGenicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM) inferior

lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency neurotomy

Radiofrequency Genicular NervesRF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of the six

genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocksbull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritisbull Patients with failed knee replacementbull Patients unfit for knee replacementbull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocksThese injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral (SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following injection

Radiofrequency Genicular Nerves

RF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of

the six genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and

can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two

lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local

anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocks

bull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritis

bull Patients with failed knee replacement

bull Patients unfit for knee replacement

bull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocks

These injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral

(SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is

considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following

injection

Radiofrequency of genicular nerves

Patients with a positive response are offered either cooled or conventional

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Radiofrequency of genicular nervesPatients with a positive response are offered either cooled or conventional radiofrequency

neurotomy for a more sustained response The procedure is usually done on an outpatient basis The procedure is performed under fluoroscopic guidance to ensure accuracy of needle placement Patients need to be aware that the outcome of the procedure is variable and they may not receive the desired benefits Similarly they must be aware of the transient nature of the therapeutic benefits and that there may need repeated injections

Radiofrequency treatment is a two-step procedure The first step is diagnostic involving injection of local anaesthetic around the genicular branches innervating the knee joint as described above Patients who experience good pain relief following diagnostic injections are offered radiofrequency denervation treatment This involves creating a heat lesion around the genicular nerves carrying painful impulses from the knee joint Successful treatment can result in pain relief lasting several months

Either conventional radiofrequency treatment or pulsed radiofrequency treatment can be used

PRF at 42degC was aimed at avoiding any neurological deficits that could lead to Charcotrsquos joint RF creates an alternating electric field with an oscillating frequency of 500000 Hz to elicit heat production around the percutaneously introduced needle tip by the body tissue acting as the resistor The output of the generator is interrupted to give 2 cyclessecond each of 20-msec bursts followed by silent phases of 480 millisecond in PRF The interval between the cycles allow for the dissipation of the heat maintaining the tissue temperature at 42degC far below the irreversible tissue damage threshold range of 45 ndash 50degC Thus PRF has no incidence of sensory or motor complications unlike conventional RF ablation which creates tissues temperatures of 70degC and above PRF has been used successfully to treat myofascial trigger points knee pain by intraarticular application and various peripheral neuropathic pains PRF appears to have genuine biological effects in cell morphology synaptic transmission and pain signalling which are likely to be temperature independent

ComplicationsComplications are rare particularly if injections are performed using a precise needle-

positioning technique Septic arthritis can be avoided with appropriate aseptic precautions Severe allergic reactions to local anaesthetics are uncommon Post-procedural pain flare-up is not uncommon and may be treated with painkillers Neurological complications including paraesthesias and numbness have been described but are extremely rare Radiofrequency treatment can cause patchy numbness of the over lying skin Incidence of infection is low as the procedure is performed under strict aseptic conditions and the injections are extra articular

ConclusionPRF of peripheral nerves and plexuses supplying the knee joint appeared to be a safe

effective and minimally invasive new technique that addresses the sensory motor and autonomic nerves to provide sustained relief of pain stiffness swelling and the peripheral and central sensitivity in response to chronic pain in both knees from long-standing osteoarthritis patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-21

Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia Intravena

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Denpasar-Bali

Sekitar 19 juta orang di dunia mengalami nyeri akibat kanker setiap tahunnya Dari jumlah tersebut 40-80 menderita nyeri sedang sampai berat Nyeri dapat berasal karena lesi kanker itu sendiri metastasenya komplikasi seperti kompresi saraf atau infeksi terapi atau faktor lain seperti psikologis dan lingkungan Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi masih mengalami nyeri paskaoperasi akibat penanganan nyeri yang kurang adekuat

American society of Anesthesiologis (ASA) mengeluarkan pedoman teknik yang direkomendasikan untuk penanganan nyeri akut paskaoperasi salah satunya dengan menggunakan teknik PCA ( patient controlled analgesia )

Patient Controlled Analgesia merupakan suatu metode penanganan nyeri di mana pasien dapat mengadministrasikan dosis kecil obat analgesik secara mandiri Adapun nyeri kankerkronik dan nyeri akut merupakan salah satu indikasi untuk penggunaan PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan memakai opioid kuat sesuai pendekatan dari WHO atau WFSA Rute administrasi PCA bervariasi Rute PCA yang paling umum adalah melalui jalur intravena Di luar negeri PCA iv (intravena) sudah merupakan salah satu standar penanganan nyeri sedangkan di Indonesia masih belum terlalu luas pemakaiannya Rute lainnya adalah melalui jalur epidural lebih dikenal sebagai PCEA (patient controlled epidural analgesia) sering digunakan pada teknik painless labour ataupun nyeri akut paskaoperasi mayor PCRA (patient controlled regional analgesia) merupakan teknik yang terbilang baru seiring perkembangan regional anestesi dengan menggunakan kateter kontinyu pada blok saraf tepi PCRA terutama digunakan pada nyeri akut paskaoperasi extremitas Teknik terakhir adalah PCA SC (subcutaneous) Berdasarkan beberapa penelitian ternyata PCA subkutan tidak berbeda signifikan dalam absorbsi obat efikasi serta efek sampingnya dibandingkan dengan PCA intravena serta PCA subkutan mampu untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal untuk pasien PCA SC merupakan alternative penanganan nyeri untuk pasien kanker apabila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi opioid secara oral ataupun bila akses vena sudah rusak akibat kemoterapi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-22

TCI in Obese Patient

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Obesitas adalah kelainan keseimbangan energi Berasal dari bahasa Latin obesus yang berarti gemuk karena makan Pasien dikatakan obese bila berdasarkan perhitungan BMI (Body Mass Index) didapatkan hasil lebih dari 30 Adapun peningkatan berat badan terkait dengan BMI ini juga membawa akibat perubahan fisiologis sistem organ pasien obese

Pada pasien obese akan terjadi kelebihan jaringan adiposa dan loading jaringan otot dan tulang yang meningkatkan metabolic demand Di samping itu pasien dengan obesitas sangat terkait dengan penurunan komplians sistem respirasi Terdapat pula abnormalitas metabolisme lemak yang menyebabkan infiltrasi jaringan lemak pada hepar Sedangkan pada sistem renal terjadi sklerosis glomerulus dan hilangnya nefron akibat peningkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang akan menimbulkan gagal ginjal kronik

Pada orang dengan obesitas terdapat akumulasi lemak yang dapat mengganggu farmakokinetik dan farmakodinamik obat Berdasarkan hal tersebut penyesuaian dosis obat pada orang obesitas dapat menggunakan beberapa strategi penyesuaian dosis contohnya penggunaan berat badan aktual (TBW) LBM (Lean Body Mass) atau IBW yang berdasarkan tinggi badan Penyesuian dosis obat tersebut didasarkan pertimbangan perubahan volume distribusi (Vd) clearance (CI) dan protein binding beberapa obat

Walaupun propofol bersifat lipofilik kuat propofol tidak berakumulasi pada pasien obesitas Untuk itu dosis maintenance propofol pasien obese dapat diperhitungkan sama seperti pasien dengan berat badan normal yaitu menggunakan berat badan aktual Tetapi hal tersebut memerlukan dosis jumlah besar dan menimbulkan efek hemodinamik yang nyata

Dari beberapa penelitian diperoleh simpulan tidak terdapat perbedaan clearance yang signifikan antara pasien berat badan normal dengan pasien obesitas dengan menggunakan perhitungan TBW pada TCI propofol Didapatkan pula bahwa TBW merupakan deskripsi berat badan paling tepat untuk pasien obesitas Penggunaan LBM untuk TCI propofol tidak sesuai pada pasien obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya overestimasi clearance metabolik Sehingga lebih direkomendasikan untuk memakai perhitungan TBW dalam pemakaian TCI untuk pasien obese

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-23Hightoracic And Cervical Epidural Anaesthesia

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2

bull Respiratory problems bull Cardiac problems bull Myocadial ischemia neuro-vascular problems bull History of a difficult postoperative period in the past bull Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural

space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine bull the thoracic spinous processes are oblique bull a mechanical lesion of the medulla is possible bull ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive)

There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

bull median approach bull paramedian approach bull lateral approach

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes

HIGHTORACIC AND CERVICAL EPIDURAL ANAESTHESIA

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP Sardjito

Yogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the

perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective

analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation

ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and

improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2 Respiratory problems Cardiac problems Myocadial ischemia neuro-vascular problems History of a difficult postoperative period in the past Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine the thoracic spinous processes are oblique a mechanical lesion of the medulla is possible ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive) There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

median approach paramedian approach lateral approach

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

MORPHOLOGICAL LANDMARKS bull C7 - protuberant cervical process bull T3 - origin of the spine of the scapula bull T7 - tip of the scapula bull L1 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

bull CARDIOVASCULAR EFFECTThoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial

arteries and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

bull RESPIRATORY EFFECTSTEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity through the analgesia produced which permits a better spontaneous ventilation Analgesia without sedation helps for a more rapid mobilization and for an active rehabilitation

bull STRESS RESPONSETEA with local anesthetics or opioids inhibits the neuro-endrocrine response to surgery

Opioids and local anesthetics produce different effects due to their differents sites of action

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes MORPHOLOGICAL LANDMARKS

992256 - protuberant cervical process 992256 - origin of the spine of the scapula 992256 - tip of the scapula 992256 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

CARDIOVASCULAR EFFECT Thoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial arteries

and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

RESPIRATORY EFFECTS TEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Opioids produce analgesia through modulation of nociceptive pathways whereas local anesthetic block both the nociceptive and the non-nociceptive pathways

bull GASTRO-INTESTINAL MOBILITY Digestive transit is faster to recover when the block level is over T12 Many mechanisms

can explain why thoracic epidural anesthesia can favor a more rapid digestive transit recovery Blockade of nociceptive afferents influx and of sympathetic lumbar and thoracic afferents Non-antogonism of parasympathetic efferents influx Increase of G-I blood circulation Systemic Absorption of local anestheticsReduction of postoperative opioids consumption

APPLICATIONSubtotal gastrectomy has been successfully performed using thoracic epidural anaesthesia

alonein two high-risk surgical patients They received thoracicepidural anaesthesia alone An

18-gauge Tuohy needle was introduced at T8T9 intervertebral space and thetip of the catheter was advanced 3 cm cephalad beyond the tip of the needle (T7T6)4

Epidural anaesthesia wasestablished with 05 levobupivacaine and sufentanil The used doses were calculated according to the formula

x mg=(n of dermatomes+6) ∙ mgsegmentThoracic epidural anaesthesia provides optimal perioperative anaesthesia and analgesia

afterthoracic and major abdominal surgery and decreases postoperative morbidity and mortality mainly by blockingsympathetic nerve fibers4

Cervical Epidural Anesthesia (CEA)Cervical epidural anaesthesia has been used mainlyfor hand upper limb shoulder and

upper thoracicwall surgery including mastectomyIt has also beenused for carotid artery surgery parathyroid surgeryneck dissection for head and neck cancers and for thetreatment of complex regional pain syndromes of theupper limb5

CEA as an anaesthetic for mastectomies breast reconstruction in elderly females and in patients with pulmonary diseases has been reported for better acceptance and safety over GACEA was given at C6-C7 or C7-T1 level in the midline using18 gauge Tuohyrsquos needle with bevel facing cranially at an angle of 30 degrees and by loss of resistance method to identify the epidural space An epidural catheterwas placed 3cm craniallyIn experienced hands sole use of CEA for various neck and chest surgeries is documented highlighting the advantages like stable cardio-respiratory status by avoiding airway instrumentation less blood loss and post operative morbidityCEA blocks the cervical plexus (C1-C4) phrenic nerve (C3-C5) brachial plexus C5-T1) and upper thoracic dermatomes along with sympathetic fibers that are responsible for the stress induced neuro- hormonal reactions Major concerns with CEA are the hemodynamic and respiratory complications Different concentrations of bupivacaine are used and studied for the hemodynamic respiratory effects following CEARopivacaine 05-075 reported to have favorable effect on hemodynamic variables by blocking the sympathetic innervations of the heartDominguez F et al conducted shoulder surgeries in three patients with 075 ropivacaine under CEA and concluded that ropivacaine provides an effective sensory block and a restricted motor blockade reducing the probability of the restrictive pulmonary syndrome associated with cervical epidural anesthesia CEA significantly decreases the blood loss due to blockade of cardiac sympathetic fibers leading to decrease in cardiac output blood pressure reduction in airway and thoracic pressures5

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

For thyroid surgery regionalanaesthetic techniques have neither been adequatelydescribed nor practiced widelyCervical epidural anaesthesia aims to anesthetise theskin in front of the neck where the incision would beplaced The front of the neck is supplied by 2nd and3rd cervical rami which form the transverse cutaneousnerve of the neck The lower part of the neck and thepart lateral to sternocleidomastoid muscle is suppliedby supraclavicular nerves which arise from the 3rdand 4th cervical ventral rami For delivering CEA weintroduced the epidural catheter in the C7 ndashT1 vertebrainterspace and guided it upwards by keeping the bevelof the Tuohy needle facing cranially By using thetechnique described above the upper level of sensoryblock obtained was at C2 level and the lower levelvaried from T5 to T106

Keywords HTE ACEA Indication Risk and Benefit

Reference 1 LenaP et al 2007 Epidural Anaesthesia in Cardio Thoracic Surgery Handbook Of Regional

Anesthesia European Society of Regional Anesthesia and Pain Therapy P502 Hadzic A 2007 Text Book Of Regional Anesthesia and Acute Pain Management The New

York School of Regional AnesthesiaPart III Clinical Practice of Regional Anesthesia gt Section Two Neuraxial Anesthesia gt Chapter 14 Epidural Blockade

3 CarliClemente 2008 The physiological effects of thoracic epidural anesthesia and analgesia on cardiovascular respiratory and gastrointestinal system Minerva Anestesiol 74-549-63

4 Van Haken AK UpDate on Toracic Epidurals Are The Benefits Worth The Risk International Anesthesia Research Society Canada

5 Kulkarni K Namazi IJ Deshpande S Goel R Cervical Epidural Anaesthesia with Ropivacaine for Modified Radical Mastectomy Kathmandu University Medical Journal 2013 vol11 no 2 issue 42

6 Khanna R Singh DK Cervical Epidural anasesthesia for thyroid surgery Kathmandu University Medical Journal2009Vol 7 No 3 Issue 27 242-24

S-24

Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill Patients

IMG Widnyana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Recently the practice of locoregional anesthesia and analgesia has become widespread and is already supported by numerous publications that have demonstrated its feasibility and effectiveness It already takes important parts in surgical and post surgical patients And now it also plays an important role in multimodal pain management especially in critically ill patients Indications for locoregional anesthesia are not limited to surgical and postsurgical analgesia but extend to the management of painful procedures for the critical ill patients (in ICU) patients with trauma-related issues and also another medical conditions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

As we know that critically ill patients frequently come with coexisting diseases that present wicked challenges to us the anesthesiologist including coagulopathies infections immuno compromised states sedation- and ventilation-associated problems and factors potentially increasing the risk for systemic toxicity There are techniques of loco-regional anesthesia and analgesia that we can choose and use in critically ill patients And we want to present a review of Loco-regional anesthesia and analgesia techniques in critically ill patients focusing on the main advantages and limitations of its use in critically ill patients and describe the most commonly used locoregional techniques and its applicability for critically ill patients

Keywords Locoregional anesthesia peripheral nerve blocks Critically ill patients ultrasonography guiding

S-25

Enhance Recovery After Surgery in Abdominal Surgery

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Rekomendasi dari komunitas ERAS (Enhance Recovery After Surgery) adalah suatu guideline yang dibuat oleh komunitas ERAS bekerja sama dengan IASMEN (Surgical Metabolism and Nutrition) dan ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) untuk memberikan pelayanan perioperatif yang optimal Guideline ini pertama kali dibuat untuk operasi colon pada tahun 2012 dan selanjutnya berkembang untuk operasi-operasi abdominal besar lainnya

Tujuan pembuatan guideline ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perioperatif dengan menurunkan stres pembedahan memelihara fungsi fisiologis postoperatif dan meningkatkan mobilisasi setelah pembedahan Guideline ini dibuat dengan jalan mereview dan menganalisis penelitian-penelitian meta-analysis randomised control trials dan prospective cohort yang sesuai dengan komponen-komponendari guideline ERAS yang selanjutnya di gradasi berdasarkan sistim Grading of Recommendations Assessment Development and Evaluation (GRADE)

Komponen-komponen yang termasuk dalam guideline ERAS diantaranya Preoperatif informasi pendidikan dan konseling preoperatif optimalisasi properatif bowel preperation puasa dan pemberian karbohidrat preoperatif premedikasi dari anestesi pencegahan terhadap thromboemboli antibiotik pencegahan dan pesiapan kulit protokol anestesi standar PONV(postoperative nausea vomiting) laparoskopi dan modifikasi dari akses bedah pemasangan NGT (nasogatric tube) mencegah hipotermia intraoperatif penanganan cairan perioperatif drainase dari peritoneal cavity setelah anastomosis colon drainase dari urine pencegahan ileus post postoperatif analgesi postoperatif penanganan nutrisi perioperatif kontrol glukosa postoperatif dan mobilisasi dini

Kata Kunci Enhanced Recovery After Surgery ERAS ERAS society reomendation

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-26

Anesthesia in Major Vascular Surgery

Jefferson Hidayat

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UIRSUPN Cipto MangunkusumoJakarta

Abstract

Anesthesia in major vascular surgery is generally considered as a high risk procedure due to patientrsquos systernic vascular disease comorbidities and the high surgical risk In elective major vascular procedures (open or endovascular) thorough preoperative management is mandatory lncreased risk of various comorbidities such as diabetes hypertension coronary artery diseasevalvular heart disease renal respiratory and cerebral diseased requires optimalization

General anaesthesia combined with epidural block is commonly chosen for open vascular surgery One should know hemodynamic changes and metabolic changes in aortic cross-clamping declamping to manage the problem intraoperatively Organ preservation such as spinal cord preservation using cerebrospinal fluid drainage renal preservation lungs and cardiac preservation especially in patient with any history of CAD must be performed accordingly

Endovascular aortic repair (EVAR) can be performed uncer local anaesthesia with monitored anaesthesia care (MAC) regional anaesthesia (spinaliepidural) and general anesthesia The choice old anaesthesia technique is discussed and choosen according to length of procedure complexity and whether hybrid or open surgical procedure is planned Regardless of which anaesthesia technique is planned invasive hemodynamic monitoring should be invasive and similar to the open repair Challenges during EVAR procedure includes bleeding dissection rupture endoleak migration distal organ ischaemia injures due to branch blockade or thrombus and hypothermia during long procedure A good haemodynamic monitoring and management will shortened hospital length of stay and mortality rate

Keywords Anesthesia Vascular surgery aortic cross clampingdeclamping organ preservation EVAR

S-27

Pediatric Ambulatory Anesthesia

Kadek Agus Heryana Putra

Department of Anesthesiology and Intensive TherapySanglah General Hospital

University of Udayana Medical Faculty

Abstract

Ambulatory (or outpatient) anesthesia and surgery is common in pediatric practice and has many benefits for patients parents and health care Anesthesia for pediatric ambulatory surgery remains to be a challengeAppropriate patient selection is important for the success of ambulatory anesthesia Exclusion criteria include patient-related factors surgical anesthetic

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

and social factorsRoutine preoperative preparation and evaluation are the same as for inpatients and includes a history and physical examination with special attention to past surgical or anesthetic experiences Choosing one anesthetic technique over the other is based on patient and procedure-specificWide variety agents that enable rapid induction maintenance emergence with minimal adverse effectsand techniques are currently available to anesthesiologists in order to administer safe and efficacious anesthesia Multimodal approach is useful for pain management and postoperative nausea and vomiting Discharging a postoperative patient to the environment with less skilled nursing care is considered to be unique in ambulatory anesthesia Parents are provided with verbal and written postoperative instructions about wound care analgesia diet mobilization and resumption of normal activityEvery ambulatory surgical unit have several mechanisms to evaluate its performance and patientrsquos satisfaction

Keywords ambulatory anesthesia preoperative preparation multimodal analgesia postoperative instructions

S-28

Anesthesia in High Risk Pediatric Patients

HU Kaswiyan Adipradja

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Prinsip dasar pada manajemen anestesi pediatrik yang sudah diketahui secara umum adalah bahwa pasien pediatrik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini sehingga manajemen anestesinya pun berbeda dan memerlukan perhatian yang seksama

Pasien pediatrik memiliki keistimewaan yang terletak pada berbagai segi anatomis dan fisiologis Jalan napas pasien pediatri sangat rentan mengalami obstruksi oedem mukosa serta kecenderungan intubasi endobronkial Dari segi kardiovaskuler yakni denyut jantung kontraktilitas compliance serta kerentanan untuk terjadinya afterload yang tidak seimbang saling ketergantungan antar ventrikel dan respon terhadap katekolamin Dari segi respirasi pasien pediatri rentan berisiko mengalami kegagalan respirasi karena sangat tergantung dari pergerakan diafragma Hipotermi juga menjadi salah satu bahaya berat yang dapat mengancam pasien pediatrik karena ketiadaan lemak subkutis dan ketidakmampuan pasien untuk menggigil (shivering)

Pasien pediatri juga memiliki beberapa kondisi yang dianggap berisiko tinggi Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa semua pasien pediatri harus diperhatikan secara seksama bukan tidak mungkin bahwa pasien pediatri yang permasalahan preoperatifnya biasa saja ternyata mengalami masalah intraoperatif maupun pascaoperatif seperti laringospasme croup serangan asma akut bahkan vagal refleks sampai cardiac arrest Tanpa memandang sebelah mata pada kasus-kasus pediatri rutin perlu dilakukan persiapan seksama dan pemantauan secara kontinyu dan ketat untuk kasus-kasus pediatri berisiko tinggi seperti kasus ambulatory anesthesia pada pasien pediatri dengan OSA pasien pediatri yang prematur dengan rencana operasi cito atau urgent serta pasien pediatrik yang mengalami syok sehingga perlu penggantian volume cairan maupun komponen darah sesegera mungkin

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Manajemen jalan napas yang tepat pertimbangan pemberian obat-obatan induksi baik intravena maupun inhalasi yang adekuat namun tidak merangsang jalan napas fasilitasi intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot maupun tanpa pelumpuh otot pertimbangan kapan melakukan suctioning pertimbangan melakukan ekstubasi sadar ataupun dalam sampai manajemen pascaoperasi seperti penggunaan skoring PADSS untuk periode pemulihan monitoring ketat pasca operasi yang perlu diwaspadai ketika 6-24 jam pasca operasi sampai take home message yang wajib diketahui keluarga pasien untuk membantu dalam pengawasan pasien di rumah menjadi hal-hal pokok yang penting diketahui oleh seorang ahli anestesi

Di rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak baik di daerah maupun pusat kota sering dijumpai pasien pediatri baru lahir (newborn) yang berasal dari persalinan prematur kurang bulan maupun dari kondisi kehamilan yang kurang baik Pasien-pasien tersebut sudah memiliki kondisi preoperatif yang kurang memadai untuk tindakan operasi dengan permasalahan fisiologis prematur dengan segala ketidaksempurnaan fungsi organ ditambah lagi dengan minimnya data dasar yang dimiliki untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen anestesi pasien tersebut

Perbedaan cara pandang dalam hal pemberian opiat untuk suplemen analgesia dan induksi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien prematur serta teknik intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot akan menjadi hal yang menarik untuk dijadikan titik perhatian Selain itu ketersediaan sarana airway kit alat-alat resusitasi untuk pasien pediatrik yang memadai alat monitoring di kamar operasi yang dapat digunakan untuk usia prematur serta variasi kasus dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh ahli anestesi yang bersangkutan akan menjadi nilai tambah untuk dapat meningkatkan keberhasilan tindakan Peran komunikasi dan diskusi dengan sejawat lain tidak saja dari satu bidang namun juga dari sejawat operator dan pediatri gawat darurat sangat diperlukan dalam kasus-kasus berat tersebut

Pasien pediatri tidak memiliki kompensasi yang cukup untuk mempertahankan kondisi hemodinamik terutama apabila mereka sebelumnya sudah terpapar dalam kondisi dehidrasi perdarahan maupun defisit cairan tubuh lainnya misalnya akibat febris luka bakar dan penguapan Pemberian cairan dari luar tubuh harus memperhitungkan dengan seksama kebutuhan cairan preoperatif intraoperatif maupun rencana pascaoperatif agar adekuat sehingga tidak menyebabkan kondisi menjadi overload Selain itu pemberian komponen darah harus betul-betul memperhatikan komponen mana yang lebih diperlukan untuk kondisi perioperatif tersebut dan disertai dengan perhitungan yang terinci

Di samping pemberian cairan pemberian glukosa juga menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan karena pasien pediatrik berisiko mengalami hipoglikemi misalnya pasien yang rutin mendapat hiperalimentasi bayi dari ibu yang mengalami diabetes yang mengalami persalinan cepat serta neonatus yang kecil untuk usia kehamilan Penggunaan glukosa sebaiknya diberikan pada bayi yang menjalani prosedur pembedahan yang lama dengan didasarkan atas pemeriksaan level glukosa serum Hanya dengan memonitor nilai glukosa serum kita bisa membuat keputusan yang tepat Infus glukosa 1 cukup adekuat untuk mempertahankan nilai normal glukosa serum pada bayi yang berisiko mengalami hipoglikemi

Dengan memperhatikan segala poin-poin penting di atas gambaran akan bundle manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan risiko tinggi lebih dapat divisualisasikan lebih jelas Kesesuaian serta variasi yang didapat antara teori dan praktik yang dikerjakan oleh ahli anestesi pada pasien pediatrik akan menambah khazanah pengetahuan serta meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani pasien dengan risiko tinggi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-29

Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied Enough

I Made Wiryana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Tantangan profesi ahli anestesi di milenium yang baru ini tidak lagi semudah dahulu Klien yang harus dipuaskan tidak saja hanya operator dan rumah sakit yang menaungi namun juga pasien sendiri beserta keluarga dan orang dekatnya Dengan ritme kerja yang penuh tekanan berpacu dengan waktu tuntutan biaya hidup dilawan oleh standar keselamatan dan kualitas pelayanan yang tinggi seorang ahli anestesi akan terpapar dengan berbagai macam bahaya dan risiko kerja seorang ahli anestesi

Terdapat beberapa bahaya yang dialami oleh seorang ahli anestesi di tempat kerja yakni bahaya biologis mekanis kimiawi fisik dan personal Selain dari bahaya yang sifatnya eksternal yakni biologis mekanis kimiawi dan fisik tersebut bahaya potensial yang mengancam profesionalitas seorang ahli anestesi adalah berasal dari pribadinya sendiri Bentuk bahaya ini antara lain berupa kelelahan atau fatigue stres atau burnout ancaman penyalahgunaan zat bahkan hingga tindakan bunuh diri

Seorang ahli anestesi diharapkan memiliki ukuran dan kadar diri rutin dievaluasi setiap saat secara personal untuk mampu mengukur kemampuan kerja sewaktu dan bertujuan mengurangi dan menghilangkan stres kerja maupun kehidupan pribadi Selain itu terdapat langkah motivasional yang dapat dilakukan saat kerja untuk memodifikasi situasi pemicu stres antara lain perencanaan strategi baru untuk menangkal stres belajar hidup disiplin setiap hari komunikasi dan diskusi dengan rekan sejawat realisasi akan potensi pribadi mempunyai hobi atau minat serta mampu melakukan relaksasi saat waktu luang memiliki rasa optimis dan tetap menjaga pola tidur olahraga dan nutrisi yang cukup Dengan mendekatkan diri dengan hal spiritual atau mendalami hal keagamaan juga mampu meningkatkan rasa optimis akan adanya kebaikan yang akan datang melingkup tempat dan lingkungan kerja

Dengan evaluasi diri yang terus-menerus serta tindakan motivasional yang dilakukan berkala diharapkan seorang ahli anestesi mampu menjaga kualitas dan performa kerjanya meski dihadapkan pada berbagai kasus sulit dan dengan manajemen waktu yang sempit Ahli anestesi yang berpengalaman dalam menangani stres juga tentu akan mampu menyuarakan umpan balik positif bagi tempat kerjanya agar lingkungan tersebut tidak saja berusaha memberikan situasi dan waktu kerja yang lebih kondusif namun juga kompensasi yang seimbang sehingga akan mampu memberikan nilai tersendiri bagi profesi anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30

Ethics In End Of Life Care In Elderly

Moh Sofyan Harahap

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstrak

Kita mengenal aspek pelayanan ksehatan di Indonesia adalah Promotif Preventif Kuratif dan Rehabilitatif belum disebutkan perawatan Paliatif yang erat hubungannya dengan perawatan pada akhir hidup yang sering dijumpai Karena jika pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi maka dokter harus tetap menjaga agar akhir kehidupannya dapat dilewati dengan baik Perawatan di akhir kehidupan ini tidak hanya menyangkut pasien namun juga keluarganya

Sama halnya dengan hukum maka etika sesungguhnya didasarkan pada nilai dan norma moral Norma moral itu sendiri terdiri dari moral principles (beneficence nonmalficence autonomy dan justice) moral standard dan moral rules (yang kemudian dikompilasi kedalam kode etik)

Perkembangan teknologi saat ini dapat memperpanjang kehidupan manusia yang menderita sakit kritis di ICU hal ini sekaligus menimbulkan masalah etik tersendiri misalnyamisalnya apa yang harus atau boleh kita lakukan dalam memperpanjang kehidupan pasien sejauh mana kita boleh menghentikan pemakaian alat bantu hidupsarana pengobatan lainnya apakah kita tidak membunuh pasien apabila kita menghentikan alat bantu nafas

Intinya hakekat dari clinical case management adalah CURING dan CARING Upaya curing harus dihentikan manakala sudah bersifat mubazir (futile) sedangkan upaya caring harus diteruskan sampai pasien meninggal dunia

S-31

Advanced Airway Management In Difficult Pediatric Patient

Muhammad Ramli Ahmad

Bagian Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Kesulitan dalam penanganan jalan napas anak tidak jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna Kesulitan sering terjadi berkaitan dengan ventilasi laringoskopi atau intubasi trakea Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau proses patologi yang melibatkan jalan napas Prinsip penanganan adalah menjaga patensi jalan napas untuk menjamin oksigenasi dan ventilasi Identifikasi karakteristik kesulitan jalan napas dan perencanaan masalah penting dalam praktek anestesi Kunci keberhasilan adalan penilaian dan persiapan preoperatif serta pengetahuan dasar mengenai perbedaan anatomi jalan napas dan fisiologi respirasi pada anak Selain itu juga perlu didukung oleh ketersediaan peralatan dan ahli anestesi yang berpengalaman

Kata kunci jalan napas anak kelainan kongenital kesulitan intubasi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-32

Pediatric Traumatic Brain Injury

Nazaruddin Umar

Department of Anesthesiology amp Intensive Care Medical School of University of Sumatera Utara

Abstract

Traumatic Brain Injury (TBI) remains the leading cause of death and disability in pediatric patients from birth to 18 years of age Each years 500000 children are seen in Emergency Departement and pediatric deaths from TBI are estimated to be 2500 annualy Severe TBI in pediatric population has better survival prognosis if treated in any trauma centers equipped well in facility and skilled staff to collaborate in neuropediatric cases Proper Systematical Assessment and Intervention on initial admission in order to prevent secondary brain injury by any harmful effect of agitated hypoxia hypercarbia hypovolemia with sedation analgesia with minimal risk of respiratory depression avoidance hyperventilation normovolemia and maintenance of Cerebral Perfusion Pressure (CPP) above 50 mmHg hyperosmolar therapy temperature control glucose control antiseizure prophylaxis would improve outcome particularly for children with several type of problems during radiodiagnostic procedure neurosurgery and neurointensive care unit Brain injury can be devided into primary and secondary injury The primary injury is caused by the intial trauma Physical forces such as acceleration deceleration or rotational forces have an impact on the tissue and may result in skull fracture brain contusion intracranial hematoma or diffuse axonal injury Secondary injury is result of the cascade of event that occurs after the initial injury in including edema cappilary leak and activation of the secaondary imflamatory response The goal of care for patient with TBI is to aid in the compencation process limitating secondary injury to prevent brain ischemia and optimize neurological outcomes TBI are categorized as mild moderate and severe Children with mild brain injury achieve a Glasgow Coma Scale (GCS) of 13 or higher Moderate TBI is characterized by a loss of conciousness and physical andor cognitive impairment with GCS of 9 to 12 Children with severe TBI have GCS less than 8 and require airway and hemodynamic support Management of TBI is devided into first second and third-tier therapy The goal of all therapies is to maintain a low and stable ICP and adequate blood pressure preventing any critical drop in CPP of the three component in the skulll the brain subtance remain fairly constant threfore treatment intially focuses on a shift in CSF or blood from the intracranial space Surgical interventions may be required if medical therapie in the first and second tiers are unsuccessful Management pediatric TBI must be perioperative evaluation anastetic consideratation postoperative management

Keywords CPP Pediatric Secodary Brain Injury TBI

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-33

Advanced Hemodynamic Monitoring

Putu Agus Surya Panji

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Advanced hemodynamic monitoring comprises several level of persistent monitoring in critical patients The goal of hemodynamic monitoring in intensive care is to maintain sufficient perfusion pressures and oxygen delivery Precise volume management of perioperative and critical care patients is crucial to prevent adverse outcomes The need for the precise quantification of cardiac output (CO) in high-risk surgical patients both in the operating room and the intensive care unit is vital in modern medical practice

Manipulation of the cardiac output (CO) mean arterial pressures (MAP) systemic filling pressures and volumes as well as dynamic markers of fluid responsiveness requires continuous monitoring thorough understanding of the modalities employed and proper interpretation of data acquired

Methods for obtaining accurate and continuous measurements in the critically ill patient have evolved from surgical and anesthetic techniques dating back more than a century The pulmonary artery catheter (PAC) is not any more the sole tool available There are less invasive and potentially more accurate methodologies have been developed and employed in the operating room and among diverse critically ill populations

Minimally invasive cardiac monitoring encompasses all methods and devices that calculate the cardiac output without the need of inserting a PAC These include transpulmonary thermodilution arterial pressure pulse contour the esophageal Doppler the thoracic electrical bioimpedance the carbon dioxide rebreathing and waveform analysis and bedside critical care ultrasound including echocardiography Recently simply monitoring vascular pressures has given way to dynamic monitoring where physiologic changes with respiration can be used to derive additional parameters such as pulse pressure variation (PPV) and stroke volume variation (SVV) Clinicians should be aware of their distinct features their limitations but also the sources of potential error that stem for their use

S-34

Direct Marker Of End Organ Perfussion

Prananda Surya Airlangga

Dept Anestesiology dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Univ Airlangga ndash RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak

Oksigen merupakan bahan dasar atau substrat yang memegang peranan vital dalam metabolisme tubuh manusia Proses sampainya oksigen ke seluruh tubuh melalui peredarah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

darah digambarkan dengan rumus Delivery Oxygen (DO2) Dimana bila kita jabarkan terdapat proses fisiologi yang cukup panjang mendasari rumus tersebut Komponen Cardiac output Hemoglobin dan Saturasi Oksigen menjadi variabel dalam rumus tersebut dengan end point adalah perfusi yang baik ke seluruh organ Perfusi yang baik ditunjang Makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang baik Pada saat ini dengan bantuan Non Invasif dan Invasif monitoring kita bisa menilai makrosirkulasi tetapi untuk mikrosirkulasi hal ini tidak mudah apalagi di tingkat klinik Ada beberapa marker indirect yang kita gunakan sebagai alat monitor seperti laktat base deficit ScvO2 dll Belakangan ini terus diupayakan dan dikembangkan alat-alat untuk memonitor secara langsungdirectperfusi di mikrosirkulasi terlebih lagi pada beberapa end organ sehingga outcome terapi kita bisa ditingkatkan

Keyword tissue oxygenation near infrared spectroscopy delivery oxygen

S-35

Chronic Pain Depression And Somatoform Disorders

I Putu Eka Widyadharma

BagianSMF Neurologi FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif neuropatik atau gabungan keduanya Dampak nyeri kronis pada kehidupan seseorang secara keseluruhan juga berkontribusi terhadap depresi dan kelainan somatoform

Nyeri kronis dan depresi berhubungan pada tingkatan neurobiologis psikologis dan perilaku Pada tingkatan neurobiologis neurotransmitter seperti serotonin norepinefrin berperan pada gangguan depresif Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif Pada tingkatan psikologis nyeri kronis termasuk dalam bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen tubuh termasuk nyeri Sebuah konsep yang sesuai penekanan somatosensori yang didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan gejala disforik termasuk nyeri Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik dan merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress psikologis Pada tingkatan perilaku depresi terjadi sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari

Akibat dampak yang sangat luas maka pendekatan multidisiplin merupakan pilihan terbaik dalam manajemen pasien dengan nyeri kronis

Kata kunci nyeri kronis depresi somatoform multidisiplin

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-36

Pain Management In Day- Case Surgery

Sugeng Budi Santosa

Departement of Anesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret UniversityDr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Recent advanced in anaesthetic and surgical techniques along with escalating healthcare cost have resulted in an ever-increasing number of surgical procedures being performed on a day case Most day-case surgery procedures are associated with relatively minor surgical trauma so discharge of these patient frequently depends on recovery from anaesthesia Top priorities for successful day-case surgery are the 4 Arsquo s alertness ambulation analgesia and alimentation (1) Post operative pain is one of most common complaints after surgery and remain continuous to be a challenge for anesthetist this symptom is the most common reason for unanticipated hospital admission The potential cost saving of day-case surgery may negated by unanticipated hospital admission for poorly treated pain (2) Optimal postoperative pain control in day-case surgery should be effective safe minimal side effect facilitate recovery And easily managed by patient at home Supplements and rescue analgesics should be provide if prescribed analgesics is ineffective (3)

Keywords one day care surgery pain management

S-37

Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant Medication

Sugeng Budi Santoso

Department of Anaesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret University Dr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Improvement in patient outcome including mortality major morbidity and patient - oriented outcome has been demonstrated with neuroaxial techniques especially epidural anaesthesia and continued epidural analgesia (Rodgers A et al 2000)

The possible complication of neuroaxial block is spinal - epidural hematoma and the use of anticoagulant or anti-platelet is the risk factor most often associated with this complication Current incidence of neurological dysfunction resulting from bleeding complication associated with neuroaxial block is unknown Itrsquos occurrence is estimated to be less than 1 150000 epidural punctures and 1220000 subarachnoid punctures ( Horlocker TT2011)

The number of patient on anticoagulant or anti-platelet therapy has been growing due to the aging process longer life expectancy and prevalence of cardiovascular disease Because

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

risk of spinal - epidural hematoma is increased and introduction of new antithromboyic drugs done at regular interval guideline and recommendations regarding on safety in regional anaesthesia and concomitant use of antithrombotic therapy should be constantly updated ( Vandermeulen E 2010)

Guidelines and recommendation should be included identification of risk factor prevention strategies diagnosis and treatment safe interval for drug suspension and resumption after regional block in subject taking drugs that interfere with coagulation

Keywords Regional anaesthesia Anticoagulant medication

S-38

Major Obstetric Bleeding Management

Susilo Chandra

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Deaths per 100000 pregnancies Sepsis (genital tract infection) is the 1st cause of direct maternal death Rate 113 per 100000 Preeclampsiaeclampsia is 2nd highest cause of direct maternal deaths Rate 083 Thrombosis(including central vein thrombosis) and thromboembolism is the 3rd with rate of 079 AFE is the 4rd with rate of 057 Hemorrhage is number 6 after early pregnancy deaths (ectopic spontaneous miscarriage legal termination other) with rate of 039 Deaths from indirect causes account for the most common causes of maternal death with cardiac being one (rate 231) followed by other indirect causes (rate 214) and indirect neurologic conditions (157)

Morbidity loss of fertility Sheehan syndrome and multi-organ failure due to hypovolemic shock Maternal hemorrhage disproportionately affects resource-poor countries Pasquier 125000 deaths per year related to PPH Incidence of PPH has increased in Canada Australia and US

Low fibrinogen level at PPH diagnosis is associated with a higher risk of severe PPH independent of other laboratory indicators Wide range of PPH (147-18 of all deliveries) reflects different definitions used and the regions concerned Antenatal risk assessment predicts only 40 of those who will develop PPH Maternal morbidity associated with PPH includes PP hysterectomy sepsis ARF and ICU admissions

Chang CC et al study applied multivariate logistic regression to explore the relatioship between anesthestic management type and PPH ldquoWomen who received GA had a higher rate of PPH than women who received epidural anesthesia The odds of PPH in women who had CS with GA were 815 times higher (95 Cim 643-1033) than for those who had CS with epidural anesthesia after adjustment was made for the maternal and fetal characteristicsrdquo

There is no consensus on a definition of major obstetric haemorrhage Up to 1000 ml blood loss is not uncommon in the peripartum period and may be of little clinical significance Blood loss gt1500 ml a decrease in haemoglobin of more than 4 gdl or an acute transfusion requirement of more than 4 units of packed red blood cells are suggested criteria Definitions based on haemodynamic deterioration are unhelpful as maternal physiology often allows compensation until haemorrhage is advanced Careful clinical observation and a high index of suspicion are required to detect bleeding early

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Antepartum HaemorrhageAntepartum haemorrhage (APH) is defined as bleeding from the vagina after 24 weeks

gestation and has an estimated incidence of between 2ndash5 of all pregnancies Complications include maternal shock fetal hypoxia premature labour and fetal death Causes include

Placenta praevia Placental abruption Uterine rupture Trauma

The 4 Trsquos mnemonic describes the abnormalities in one of 4 basic processes acting individually or in combination

Many physiological changes occur during pregnancy including a decrease in blood pressure and an increase in baseline heart rate and blood volume This altered physiology may mask the extent of blood loss until it is severe Complete circulatory collapse is often rapid when the limits of physiological compensation are reached

Warning signs of significant maternal haemorrhage that should not be ignored include tachycardia tachypnoea hypotension pallor poor urine output and pathological CTG changes The performance of regular observations in conjunction with obstetric early warning scores is encouraged Attention should be paid to vital sign trends as well as absolute values and a rapid clinical review should be carried out should any warning criteria be met Tachycardia may be the first and only sign of haemorrhage until 30ndash40 of the circulating volume has been lost where after hypotension and peripheral vasoconstriction ensue In APH signs of fetal distress due to uterine hypoperfusion may precede maternal compromise

The symptoms and signs of hypovolaemia may be more difficult to recognise if there is a language barrier obesity pre-eclampsia dark skin or beta-blockade and hence extra care should be taken in these situations

The main aims of management are rapid resuscitation to restore tissue oxygen delivery while predicting preventing and correcting haemostatic disorders Appropriate levels of monitoring (especially invasive arterial blood pressure monitoring) should be considered and instituted early

If anaesthesia is required for examination andor surgical intervention and haemodynamic stability is compromised general anaesthesia is usually indicated Haemodynamic compromise and coagulopathy should be addressed prior to surgery whenever possible although surgical control may at times be required to enable effective resuscitation Regional anaesthesia may be contra-indicated due to maternal coagulopathy and risk of neuraxial haeamatoma as well as haemodynamic compromise In addition surgery may be lengthy with the potential for further patient deterioration Rapid sequence induction is indicated preferably following antacid prophylaxis (eg sodium citrate and ranitidine)

Induction of general anaesthesia in a severely hypovolaemic patient may cause a catastrophic fall in cardiac output Ketamine is a suitable induction agent (15 mgkg IV) as is cautious dosing of either thiopentone or propofol

If time and the patientrsquos condition allow direct arterial monitoring may be established both as a guide to response and for ongoing blood sampling to guide transfusion therapy Central venous access may be required however this is not imperative and can wait until the situation is under control and should not interfere with prompt resuscitation Central venous access may be necessary for inotrope and

vasopressor infusion and central venous pressure monitoring may provide some additional information to help guide fluid management Although there are few reports of the use of minimally invasive haemodynamic monitoring devices (eg oesophageal Doppler

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

monitoring) in the management of major obstetric haemorrhage these devices may aid fluid management in the anaesthetised patient Attention to fluid balance is imperative since over-transfusion and dilution before achieving surgical haemorrhage control is associated with worse outcomes

Lack of robust RCTs Upon arrival at major trauma institutions blood component resuscitation is driven by massive transfusion protocols trending toward 111 RBCFFPPLT ratios It seems reasonable to extend these recommendations to massive PPH which is also often accompanied by hypothermia acidosis and coagulopathy US Army Surgeon General distributed policy recommending 11 FFPRBC ratio for pts with significant trauma based on experience in Iraq and Afghanistan Empiric transfusion based on clinical parameters Lethal triad of acidosis hypothermia and coagulopathy Decreased coagulopathy when replacing blood loss with a 11 ratio of FFPPRBCs Military physicians noticed a decrease in coagulopathy in bleeding cases when replacing blood loss with a 1 ratio of FFPRBCs

No RCTS evaluating the effect of different transfusion ratios were identified Odds ratio for the high FFPRBC ratio was 045 95 CI 037-055) OR for the high PLTRBC ratio was 045 95 CI 037-055) No optimal ratio Timing of administration is key 9 of the studies reported improved survival in the group of pts receiving the highest ratios of PLT to RBC (the most platelets) This is in agreement with Johansson et al who demonstrated that administration of PLT together with plasma and RBC immediately upon arrival in the operation theater and throughout surgery was associated with reduced postop bleeding and a 50 increase in 30-day survival in pts undergoing ruptured abdominal aortic aneurysm repair

There were a lot of differences between the groups besides the rbcplasma ratio Rapidity of component administration and the reduction in crystallloid use may paly role in outcome

Incidentally D-dimers and fibrin degradation prodcuts increased in fibrinolysis may further aggravate OB hemorrhage by impairing myometrial contractility PPH can rapidly become life-threatening requiring massive transfusion of blood products Traumatic hemorrhagic shock is primary cause of gt5 million trauma related deaths worldwide and a leading cause of death of young people Presents with hypovolemic anemia often accompanied by coagulopathy that results in uncontrollable bleeding systemic inflammation and infection in damaged blood vesells Mitra and colleagues studied the association between acute coagulopathy and early mortality Significant association with early death Ahmed When massive obstetric hemorrhage occurs hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive and its onset can be rapid and profound when compared with surgical or trauma-related coagulopathy The drop in fibrinogen is particularly severe in placental abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy Rapid consumption of fibrinogen is recognized in massive OB hemorrhage Primary coagulation dorsquos are not frequently identified as a cause of PPH except in women on anicoagulation medication or with a known ho a bleeding doIt is becoming increasingly clear that the mechanism of coagulation failure varies according to the underlying cause of massive hemorrhage and that management should reflect this Rayment 2012 Platelets are already low 22 hemodilution increased consumption by uteroplacental unit From Pasquier SIR=systemic inflammatory response Note amount of tissue trauma and contamination is less in the obstetric patient and obstetric hemorrhage occurs in controlled environment usually Also parturients start with higher fibrinogen concentrations From Mercier Obstetric hemorrhage is often complicated by an acquired coagulopathy 22 dilutional and or consumptive effects on clotting factors and by further adverse effects of massive transfusion D dimer levels increase throughout pregnancy and peak on pp day 1 The rise in d dimers occurs with simultaneous increase in circulating fibrinogen and other procoagulant factors during pregnancy Despite hypofibrinolysis the excess fibrin deposition results in an increase in tissue plasminogen activator and high d-dimer values

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Massive hemorrhage with hypovolemic shock leads to tissue hypoxia hypothermia acidosis SIR which lead to DIC Massive transfusion in setting of acidosis and hypothermia lead to DICTrauma induced coagulopathy initiated by tissue injury and hemorrhagic shockHypothermia acidosis and hemodilution contributed to the development of coaguloptathy Hess et al ldquo6 initiators of coagulopathy tissue trauma shock inflammation acidemia hypothermia and hemodilution

Jan 2013 AampA Severe PPH defined as ineffective response to manual uterine examination andor removal of retained placenta genital tract examination and Iv oxytoccin (20U) Failure to respond IV prostaglandin E2 ((sulprostone 500 mcg over 1 hr) given During study period no antifibrinolytics fibrinogen concentrate or compression techniques were administeredapplied Note pts were divided into the do nothing category or the interventional procedures(IR arterial ligation B-lynch hyserectomy) according to their response to sulprostone

Point-of-care tests may help hemostatic therapy to be tailored to the individual pt and therefore reduce the risk for under- or over-transfusion The use of conventional laboratory clotting tests is very limited in immediate situations TEG is thromboelastography ROTEM is rotational thromboelastometry The goal of platelets of 50000 is based on a consensus of medical opinion rather than on evidence and would depend on the rapidity of blood loss and the presence of platelet dysfunction Johansson and Stensballe compared 2 transfusion strategies in massively bleeding pts a classic administration of platelets based on platelet count and a new proactive transfusion strategy consisting of preemptive use of platelets and plasma in transfusion packages (552 unit platelet concentrates) Urgently need RCTs before recommendations are formulated for OB pts Point of care= thromboelastography and thromboelastometry Blood and fluid replacement is first line in treatment of obstetric hemorrhage This slide from Saule I Transfusion practice in major obstetric hemorrhagerdquo Arterial thrombosis is a potential complicaitons of rFVIIa but zero cases in case series of 15 pts Its safety in obstetric hemorrhage is unproven Platelet target depends on rapidity of blood loss and on the presence of platelet dysfunction

Toledo et al Accuracy of blood loss estimation after simulated vaginal delivery Interestingly in this study there was no association between years in trainingexperience and accuracy also no difference between providers in accuracy (nurses vs Obs vs anesthesiologists) although other studies have shown that anesthesiologists are more accurate 106 subjects participated estimating blood loss at 8 stations (4 with calibrated and 4 without) In pic the uncalibrated bag on L has 500 mL calibrated on R has 1000 mL

Fibrinogen plays a role in platelet aggregation and establishment of fibrin network Coags platelets can be normal in major OB hemorrhage with no detectable fibrinogen levels Essential marker for the severity of PPH Hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive in massove OB hemorrhage and its onset can be rapid and profound particularly in cases of abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy

Stinger 2008 is trauma medicineRahe-Meyer is a cardiac surgery study Haas is craniosynostosis Therersquos a need for RCTrsquos for OB hemorrhage massive trauma etc to assess threshold at which fibrinogen should be transfused whether the threshold varies with differenet clinical scenarios its effect on transfusion requirements and length of stay as well as mortality and risk of arterial and venous thromboembolism (VTE) Itrsquos unlikely that a study comparing the effect of fibrinogen concentrate with that of cryp will be performed It would be difficult to coordinate such a study because fibrinogen concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly Fibrinogen is not licensed for use in pregnancy Its efficacy in treatment of major hemorrhage limited to case series

All parturients requiring fibrinogen between Jan 2009-June 2011 were identified 77 cases identified out of 21614 (incidence of 361000) 44 received either cryo or concentrate

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Replaced fibrinogen with cryo and concentrate for major Ob hemorrhage Both were effective in contributing to the cessation of bleeding No cases of death Medical and surgical treatments similar in both groups (see figure)Itrsquos unlikely that RCTs comparing the effect of concenetrate with that of cryo will be performed Why Bc concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly (Rayment 2012)

Systematic review of studies that reported use of FVIIa in PPH On lady who had PE had antithrombin deficiency Another had DVT one unrelated to factor VII Still offlabel and very expensive

Tranexamic acid (TXA) given intravenously as 4g1 hr then 1gh for 6h Study conducted between 2005-2008 Blood loss between time 2 and time 4 was 49 lower in the TXA group (Plt003) WHO guidelines ldquoMay be used in PPH if other measures failrdquo

ConclusionGlobally postpartum haemorrhage (PPH) is the leading cause of maternal morbidity

and mortality Major obstetric haemorrhage is managed by multidisciplinary approach In the current treatment of severe PPH first-line therapy includes transfusion of packed cells and fresh-frozen plasma in addition to uterotonic medical management and surgical interventions In persistent PPH tranexamic acid fibrinogen and coagulation factors are often administered Secondary coagulopathy due to PPH or its treatment is often underestimated and therefore remains untreated potentially causing progression to even more severe PPH The most postnatal haemorrhage is due to uterine atony and can be temporarily controlled with firm bimanual pressure while waiting for definitive treatment

S-39

Perioperative Neuroprotection

Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Kepala Pusat Studi Neuromuskuler FK Universitas Padjadjaran

Abstrak

PendahuluanApakah Perioperative Neuroprotection Perioperatif adalah periode dari mulai praoperasi

saat operasi dan pascaoperasi artinya pengelolaan pasien yang menyeluruh dari mulai praoperasi selama operasi dan pascaoperasi Neuroprotection adalah proteksi neuron dari cedera (injury) Proteksi neuron atau proteksi otak berbeda dengan resusitasi otak tindakan pengelolaannya pasiennya hampir sama tapi per definisi sedikit berbeda Proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk mengurangi cedera neuron

Menjadi pertanyaan apakah proteksi sel neuron merupakan kenyataan atau pemikiran yang salah Susunan saraf pusat (SSP) mungkin mengalami iskemia selama karotidenarterektomi emboli operasi vaskuler di intrakranial torak atau abdomen saat hipotensi kendali syok henti jantung atau pada cedera otak Oleh karena itu tindakan anestesi jangan menambah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

efek buruk pada SSP akan tetapi harus justru harus melakukan proteksi dari cedera iskemik dan hipoksik

Menjadi pertanyaan apakah kita membutuhkan proteksi otak Tentu dengan tegas jawabannya adalah YA Bukti-bukti menunjukkan bahwa terjadi 20 defisit neurologis setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) 80 iskemia otak setelah cedera kepala dan yang operasinya diluar otakpun penelitian menunjukkan 40 terjadi disfungsi kognitif setelah antroplasti Penelitian Selim yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi stroke iskemik setelah berbagai macam operasi baik operasi yang menyangkut jantung dan pembuluh darah otak atau operasi ditempat lain

Iskemia didefinisikan sebagai ketidak cukupan perfusi untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas metabolic neuron dan fungsi Iskemia dapat global atau fokal komplit atau tidak komplit Komplit global iskemia misalnya henti jantung iskemia global yang tidak komplit misalnya hipotensi atau syok Iskemik fokal misalnya oklusi satu pembuluh darah dan artinya tidak komplit Bila pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan (disebut iskemia) maka sintesa adenosine tri phosphat (ATP) menurun ATP menjadi kosong dan terjadi kegagalan pompa Na-K-ATPase Natrium akan masuk kedalam sel dan kalium akan keluar sel dstnya dan terjadi kaskade iskemik sampai terjadi kematian sel

Metode Proteksi OtakUntuk memutuskan rantai tersebut dilakukan proteksi otak dan atau resusitasi otak

yang kalau dilihat dari tindakannya adalah sama seperti teknik ABCDE neuroanestesi Jadi tindakan neuroresusitasi neuroproteksi neuroanestesi neuroICU adalah sama saja ABCDE itu adalah

bull A = Clear airway (jalan nafas bebas epanjang waktu)bull B = Breathing (ventilasi kendali dengan target normocapnia atau sedikit hipokapni) bull C = Circulation (hindari peningkatan atau penurunan tekanan darah hindari

peningkatan tekanan vena serebral dan pengaturan cairan dengan target normotensi normovolemia iso-osmoler normoglikemia)

bull D = Drugs (hindari obat dan teknk anestesi yang meningkatkan ICP berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak)

bull E = environment (pengendalian suhu hipotermia ringan cegah hipertermi)

Metode proteksi otak terdiri dari 1) Basic Method yaitu ABC neuroanestesi 2) Hipotermia dengan target low normothermia (E dalam neuroanestesi) dan proteksi otak secara farmakologik (D dalam neuroanestesi) yang dapat dilakukan dengan pemberian anestetika intravena anestetika inhalasi lidokain mannitol magnesium eritropoietin alpha-2 agonist demedetomidin

Basic MethodBasic Method terdiri dari pengelolaan Airway Breathing dan Circulation Airway harus bebas

sepanjang waktu Breathing adalah untuk oksigenasi adekuat hindari hipoksia hiperkapnia Targetnya adalah normokapnia dan hiperventilasi hanya dilakukan bila ada tanda-tanda herniasi otak Pada circulation pertahankan tekanan darah normotensi dengan target tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressureCPP) 50-70 mmHg CPP kurang dari 50 mmHg bisa

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

terjadi iskemia otak tapi CPP gt 70 mmHg pada cedera otak traumatik bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) Kendalikan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP) dan mulai terapi bila ICP gt 20 mmHg Koreksi asidosis ketidakseimbangan elektrolit osmolaritas dan kadar gula darah Gula darah harus dipantau dengan ketat Hindari hiperglikemia dan pertahankan gula darah antara 100-150 mg dan periksa setiap 2 jam Kadar gula darah yang tinggi akan memperburuk outcome sedang normoglikemia mempunyai efek proteksi otak

Terapeutik hipotermiaHipotermia mempunyai efek proteksi otak Lebih turun temperatur makin besar efek

proteksi otak tapi komplikasi juga makin besar Harus dicari penurunan suhu yang optimal antara maksimal proteksi dan minimal efek buruk maka suhu inti dipertahankan antara 34-35 0C

Mekanisme hipotermi untuk proteksi otak selain dengan menurunkan metabolisme otak juga melalui efek menurunkan pelepasan EAA mencegah apoptosis mengurangi disfungsi mitokhondria menurunkan produksi radikal bebas mempertahankan ATP menurunkan influks Ca memelihara sintesa protein dan sawar darah otak mencegah peroksidasi lipid menurunkan pembentukan edema memodulasi respons inflamasi dan kematian sel secara apptotik

Hipotermi sampai 33 0C dapat menimbulkan komplikasi saat rewarming karena terjadi vasodilatasi serebral dan kemudian kenaikan ICP Komplikasi lain adalah terjadinya pneumonia Hipertermia (suhu inti 420C pasien bisa koma) dapat meningkatkan Ca influks pengosongan ATP dengan cepat dan gangguan pemulihan

Clifton GL dkk dalam N Engl J Med 2001344(8)556-63 melaporkan penelitian dengan suhu tubuh 330C yang dimulai 6 jam setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam dengan surface cooling Hasilnya menunjukkan bahwa terapeutik hipotermi tidak efektif Kemudian Clifton GL dkk mempublikasikan penelitian yang lain dalam Lancet 2011 yang mana terapi hipotermi dilakukan dengan suhu 330 C dalam 25 jam setelah cedera pada 232 pasien cedera otak traumatik berat dan dipertahankan selama 48 jam Hasil penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermi sebagai strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera otak traumatika berat

Sydenham E dkk dalam Cochrane Database Sys Rev 2009 dengan kriteria seleksi penelitian RCT yang melakukan hipotermi sampai maksimum 350C paling sedikit 12 jam meliputi 23 penelitian dengan total 1614 pasien Menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa hipotermi menguntungkan dalam terapi cedera kepala Sadaka F Veremakis C dalam Brain injury 201226(7-8)899-908 tidak dapat memberi kesimpulan dan menunggu hasil penelitian multisenter yang lebih besar untuk mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome-nya

Hipotermi terapeutik masih kontroversi akan tetapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 350C dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 370C Lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari Untuk mencapai suhu 350C dianjurkan memakai metode surface coolingTentang outcome masih dipertanyakan dan belum diketahui dan sekarang penelitian yang lebih besar sedang dilakukan yaitu The Eurotherm3235Trial European Society of Intensive Care Medicine study of HT (32-35degC) for ICP reduction after TBI (the Eurotherm3235Trial) Penelitian ini merupakan penelitian mulisenter untuk menguji efek hipotermi 32-35degC untuk mengurangi ICP lt20 mmHg pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah cedera otak traumatik dengan jumlah sampel 1800 pasien dan dimulai April 2010

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pharmacologic Brain ProtectionPharmacologic brain protection adalah melakukan proteksi otak dengan obat-obatan Kalau

berbicara proteksi otak maka harus dilihat dari konteks anti nekrotik dan antiapoptotik Apoptotik adalah programmed cell death Anestetika intravena barbiturat mempunyai efek proteksi otak dengan jalan menurunkan metabolisme otak tekanan intrakranial Ca influks memblok kanal Na menghambat pembentukan radikal bebas dan menurunkan glutamataspartatlaktat ekstraseluler

Anestetika inhalasi meningkatkan aliran darah otak di daerah iskemik menurunkan metabolisme otak dan menekan kejang Isofluran sevofluran desfluran menekan metabolisme otak secara maksimum pada 2 MAC dan memperbaiki ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan (anestetika inhalasi berefek serebral vasodilator tapi menekan metabolisme otak) Efek lain adalah menghambat pelepasan neurotrasmiter eksitatori dan menghambat asidosis laktat mengurangi influks Na dan Ca menghambat peroksidasi lipid dan mengurangi pembentukan radikal bebas Beberapa publikasi menyebutkan bahwa isofluran hanya ldquoselintasrdquo berefek proteksi insult iskemia dan hanya berefek antinekrotik tapi tidak antiapoptotik Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isofluran tidak mempunyai efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isofluran hanya memperlambat tapi tidak mencegah infark akibat iskemia fokal Sebaliknya penelitian Engelhard mengatakan bahwa sevofluran mempunai efek antinekrotik dan anti apoptotik Kalau istilah proteksi otak harus mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik maka hanya sevofluran yang mempunyai efek proteksi otak Akan tetapi semuanya ini adalah pada penelitian hewan coba belum dikonfirmasikan pada penelitian klinis Desfluran lebeih berefek vasodilatasi serebral dan lebih meningkattkan ICP daripada isofluran dan sevofluran pada keadaan normokapnia Pada 1 MAC desfluran aliran darah otak 16 lebih tinggi daripada isofluran dan 24 lebih tinggi daripada sevofluran

Bagaimana tentang N2O Pada tahun1938 CD Courvile mempublikasikan foto sel neuron korteks yang bervakuola pada pasien yang meninggal setelah pemberian N2O Enampuluh tahun kemudian Todorovic menyampaikan bahwa N2O menimbulkan vakuolisasi mitokhondria dan endoplasmik retikulum tikus Penelitian lain menunjukkan bahwa N2O menghilangkan efek proteksi otak dari pentotal dan isofluran juga N2O meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flowCBF) ICP dan metabolisme otak

Bagaimana tentang osmodiuretik Pada first-tier therapy pengelolaan hipertensi intrakranial dipandukan untuk memberikan mannitol Mannitol ternyata mampu menurunkan ICP dan meningkatkan CPP memperbaiki CBF pada penelitian hewan dan manusia Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma selintas dengan penurunan hematokrit dan viskositas plasma Mannitol mempunyai osmolaritas 1208 mOsmL maka harus dipantau osmolaritas plasma Manitol jangan diberikan bila osmolaritas 320 mOsmL dan osmolaritas 350 mOsmL dapat berakibat buruk pada otak dan ginjal Rebound phenomena setelah pemberian mannitol hanya relevan bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi lebih dari 4 hari

Magnesium (MgSO4) mempunyai efek proteksi otak karena berefek NMDA reseptor antagonis memblok kanal Ca sehingga menghambat pemasukan Ca ke intraseluler serta mempercepat pemulihan ATP Suatu penelitian metaanalisis pada akut iskemik stroke menunjukkan perbaikan outcome fungsional

Bagaimana tentang lidokain Kita menggunakan lidokain 1-15 mgkg intravena untuk menghindari lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ekstubasi serta memberikan lidokain intravena 1 mgkgjam kontinyu untuk efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa skor neurologik (0=normal dan 4=kerusakan berat) tikus yang diberi lidokain lebih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

kecil daripada yang tidak diberi lidokain Lidokain bekerja dengan cara memblok kanal Na dan kanal Ca mengurangi cedera post nekrotik memotong kerusakan iskemik pada daerah penumbra dengan memblok jalur kematian sel secara apoptotik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lidokain mempunyai efek proteksi otak

Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah sehingga akan berperan dalam pemeliharaan proteksi pertumbuhan perbaikan sistem saraf Juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin mempunyai efek proteksi otak

Alpha-2 agonist dexmedetomidine mampu menurunkan kadar norepinephrin dalam plasma sehingga mampu menghambat terjadinya iskemia yang dipicu oleh pelepasan norepinephrin dan mampu mencegah kematian sel yang lambat setelah iskemia fokal Penelitian lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine menurunkan volume daerah iskemik sebanyak 40 dibandingkan dengan plasebo

SimpulanSebagai simpulannya ternyata bahwa proteksi otak merupakan suatu fakta yang dapat

dilakukan selama kita mengelola pasien yang berisiko terjadi iskemia otal Caranya adalah dengan basic method hipotermia dan farmakologik

Bahan Bacaan1 Bisri T Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatik Bandung

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 20122 Bisri DY Bisri T Terapi hipotermi setelah cedera otak traumatik JNI 20143(3)189-983 Neuroanesthesia and Critical Care Course (NACC course) edisi 2015

S-40

Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography Guidance

T G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Background Regional anesthesia has an anti-inflammatory effect that blockade the C-fiber hence reduced cytokine production and blocked the activity of the sympathetic nerve fibers Postoperative pain caused primarily by tissue inflammation and activity of the C-fibers in the manner of reduced the production of cytokines regional anesthesia may limit the inflammatory response after surgery and severity of postoperative pain

Methods This study is a clinical experimental study with randomized pre and post test control group design A total of 24 samples were recruited in this study divided into two groups each consisting of 12 samples The first group was given regional anesthesia method of continuous brachial plexus block with ultrasound guidance and the second group with general anesthesia method T-test or Mann-Whitney continued multivariate linear regression

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

analysis was performed to analyze the differences in treatment and not because of differences in the initial values with significance level of plt005

Results This study reports that the mean decreased levels of IL-6 postoperatively in 1stgroup is 298 lower than in 2ndgroup and it is statistically significant plt 005 There was an increase of IL-10 mean levels from preoperative to postoperatively with significance level of plt005 in both groups Declined in the mean levels of PAF postoperatively in 1stgroup 13 lower than 2nd group and it was statistically significant plt005 The declined of postoperative VAS in 1stgroup is 31 lower than 2nd group and it is statistically significant plt 005 and it also contained the pure effect of PAF levels against value of VAS that any increased 1ngml levels of PAF then an increase in the value of 018 cm VAS and this was statistically significant plt005 Selection of this anesthesia technique in orthopedic antebrachii surgery provides better inflammatory response and improved clinical outcomes

S-41

Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist Perspective

Widya Istanto Nurcahyo

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstract

All patients scheduled to undergo noncardiac surgery should have an assessment of the risk of a cardiovascular perioperative cardiac event The purpose of this assessment is to help the patient and healthcare providers weigh the benefits and risks of the surgery and optimize the timing of the surgery The clinician uses information obtained from the history physical examination and type of surgery in order to develop an initial estimate of perioperative cardiac risk

Patients with recent myocardial infarction (MI) or unstable angina decompensated heart failure (HF) high-grade arrhythmias or hemodynamically important valvular heart disease (aortic stenosis in particular) are at very high risk for perioperative MI HF ventricular fibrillation or primary cardiac arrest complete heart block and cardiac death Patients who require emergent or urgent surgery are at increased risk of a perioperative cardiovascular event at any level of baseline risk

Functional status can be expressed in metabolic equivalents (1 MET is defined as 35 mL O2 uptakekg per min which is the resting oxygen uptake in a sitting position) One important indicator of poor functional status and an increased risk of postoperative cardiopulmonary complications after major noncardiac surgery is the inability to climb two flights of stairs or walk four blocks

Gupta MICA NSQIP database risk model The NSQIP database was used to determine risk factors associated with intraoperativepostoperative myocardial infarction or cardiac arrest (MICA) Among over 200000 patients who underwent surgery in 2007 065 percent developed perioperative MICA Five factors were identified as predictors of MICA type of surgery dependent functional status abnormal creatinine American Society of Anesthesiologistsrsquo class and increased age

Revised cardiac risk index (RCRI) sometimes referred to as the Lee index was published in 1999 and has been used worldwide since then In the derivation of the index 2893 patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

(mean age 66) undergoing elective major noncardiac procedures were monitored for major cardiac complications (cardiac death acute MI pulmonary edema ventricular fibrillationcardiac arrest and complete heart block) The index was validated in a cohort of 1422 similar individuals The predictive value was significant in all types of elective major noncardiac surgery except for abdominal aortic aneurysm surgery

RCRI did not perform well in patients undergoing vascular surgery the Vascular Study Group of New England (VSGNE) developed a risk index specifically for those patients named VSGNE risk index In multivariate analysis of the VSGNE cohort independent predictors of adverse cardiac events (MI arrhythmia heart failure but not mortality) were (increasing age smoking insulin-dependent diabetes coronary artery disease CHF abnormal cardiac stress test long-term beta-blocker therapy chronic obstructive pulmonary disease and creatinine ge18 mgdL Prior cardiac revascularization was protective

ACS-NSQIP universal surgical risk calculator is an universal surgical risk calculator model consisting of 20 patient factors plus the surgical procedure This model had excellent performance for mortality morbidity and six additional complications

Management based on risk are categorized into low or higher-risk patients Patients whose estimated risk of death is less than 1 percent are labeled as being low risk and require no additional cardiovascular testing Patients whose risk of death is 1 percent or higher may require additional cardiovascular evaluation Often these are patients with known or suspected coronary artery or valvular heart disease Further evaluation may include stress testing echocardiography 24-hour ambulatory monitoring or cardiologist consultation

S-42

Sepsis in obstetric

Yusmein

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Abstract

Pregnant patients pose unique challenges for clinicians involved in critical care because obstetric populations pose significant challenges the physiological changes of pregnancy may mask the clinical signs of sepsis when it occurs in the antenatal period maternal deterioration can quickly lead to fetal compromise12 They have traditionally been viewed as an immunocompromised state therefore placing the mother at increased risk of infectious diseases4 Sepsis is still a major cause of maternal mortality and morbidity in France the UK and the USA6

World Health Organisation (WHO) has defined it as ldquoinfection of the genital tract occurring at any time between rupture of membranes or labour and the 42nd day postpartum with two or more of the following are present pelvic pain fever abnormal vaginal discharge abnormal smell of discharge delay in postpartum reduction of size of uterus34 Early recognition and diagnosis with rapidly instituted therapy are key to ensuring a good outcome34

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) has recommended that sepsis should be managed in accordance with the Surviving Sepsis Campaign guidelines The Surviving Sepsis Campaign guidelines described two clinical-care bundles - six hours the

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

resuscitation bundle and twenty four hours the management bundle severe sepsis and septic shock bundle Six hours the resuscitation bundle has been shown to significantly improve survival rate early detection early administered antibioticcultures and early goal directed therapy (EGDT) Twenty four hours management bundle glucose control steroid and lung protective strategy Fetal assement is important in the critically ill pregnant patients34

Keywords Sepsis Obstetric Morbidity Mortality Management

S-43

Principles of Medical Consultation and Perioperative Medicine

Zulkifli

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH-FK Unsri Palembang

Abstrak

Mengusahakan evaluasi perioperatif yang bermutu tinggi dan cost-effective merupakan issue yang penting dalam management pasien perioperatif Penggunaan perioperatif assessment melalui koordinasi antara antara operator anestetist laboratory care dan dokter lain yang terkait mendorong perkembangan petunjuk praktis dan menurunkan pembatalan pasien dan lama perawatan Hal yang harus diingat bahwa pada konsultasi medical diharuskan untuk mengerti dengan pasien dan penyakitnya

Selain itu pengertian dan penerapan prinsip-prinsip management medikasi perioperatif sangat bermanfaatmemperbaiki outcome pasien yang menjalani pembedahan Paling tidak 50 pasien yang menjalani pembedahan mendapatkan medikasi secara reguler Sorang anestetist harus mampu memutuskan medikasi tersebut diteruskan atau dihentikan

Kata kunci Medical Consultation Perioperative Medicine

S-44

MAC and Sedation outside the Operating Room

Arif HMMarsaban

Department of Anesthesiology and Therapy IntensiveFaculty of Medicine University of IndonesiaDr Cipto Mangunkusumo General Hospital

Abstract

Monitored Anesthesia Care (MAC) is a planned procedure to a patient who is undergoing a procedure that needs the administration of sedation andor analgesia and the anesthesiologists has the responsibility of all aspects of anesthesia care ndash a preprocedure visit intraprocedure care and postprocedure anesthesia management Anesthetic procedures outside OR is known also as NORA = non-operating room anesthesia that may consists of varying levels of sedation analgesia and anxiolysis Problems in NORA MAC are usually related to unfamiliar locations and working conditions differs to the well equipped operating room

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Common complication during NORAMAC are respiratory problems (apnea obstruction) hypothermia anaphyalxis gastric aspiration hypotension and hypovolemia To minimize the risk of complication a proper preparation prior to the procedure should be carried out that includes patient evaluation and informed consent the goals and level of MAC the choice of drugs related to the procedure the facility (monitors anesthetic equipment drugs and emergency equipment) and the personal The deeper the level of sedation the more risks of adverse events

The choice of drugs depends on the procedure does it requires immobilization during the procedure is it a painful procedure or both If the procedure is a painless procedure than it needs only sedative or hypnotic drugs (chloralhidrat barbiturates midazolam propofol dexmedetomidine) may combine with opioid analgesia as required A painful procedure usually needs combination of opioid analgesia or ketamine and sedative hypnotic drugs These drugs can be given bolus iv intermittent or continuous infusion (TIVA TCI)Key words MAC monitored anesthesia Care Non-operating room anesthesiaSuggested Readings

1 American Society of Anesthesiologists DISTINGUISHING MONITORED ANESTHESIA CARE (ldquoMACrdquo) FROM MODERATE SEDATIONANALGESIA (CONSCIOUS SEDATION) Approved by the ASA House of Delegates on October 27 2004 last amended on October 21 2009 and reaffirmed on October 16 2013

2 Ramkumar P Anaesthesia care beyond Operating Rooms Newer opportunities amp Challenges Amrita journal of medicine 2013 9(2) 2015 1-44

3 Melloni C Anesthesia and sedation outside the operating room how to prevent risk and maintain good quality Current Opinion in Anaesthesiology 2007 20513ndash9

4 Van De Velde M Kuypers M Teunkens A Devroe S Risk and safety of anesthesia outside the operating room MINERVA ANESTESIOL 200975345-8

5 Krane E Guideline for surgery outside the operating room Pediatric anesthesia and pain management Lucile Packard Childrenrsquos Hospital Standford University Medical Center 1-9

6 Agostoni M Fanti L Gemma M Pasculli N Beretta L Testoni PA Adverse events during monitored anesthesia care for GI endoscopy an 8-year experience Gastrointest Endosc 201174266-75

7 Ghisi D Fanelli A Tosi MH Nuzzi M Fanelli G Monitored Anesthesia Care MINERVA ANESTESIOL 200571533-8

8 Karaaslan K Yilmaz F Gulcu M Colak C Sereflican M Kocoglu H Comparison of Dexmedetomidine and Midazolam for Monitored Anesthesia Care Combined with Tramadol via Patient-Controlled Analgesia in Endoscopic Nasal Surgery A Prospective Randomized Double-Blind Clinical Study Current therapeutic research 2007 68(2) 69-81

9 Ryu J-H So Y Hwang J-W Do S-H Optimal target concentration of remifentanil during cataract surgery with monitored anesthesia care Journal of Clinical Anesthesia 2010 22 533ndash7

10 Fanti L Agostoni M Arcidiacono PG Albertin A Strini G Carrara S Guslandi M Torri G Testoni PA Target-controlled infusion during monitored anesthesia care in patients undergoing EUS Propofol alone versus midazolam plus propofol A prospective double-blind randomised controlled trial Digestive and Liver Disease 39 (2007) 81ndash6

11 Ryu J-H Kim J-H Park K-S Do S-H Remifentanil-propofol versus fentanyl-propofol for monitored anesthesia care during hysteroscopy Journal of Clinical Anesthesia 2008 20328ndash32

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-45

Target-controlled inhalational anesthesia

Doddy Tavianto

Departemen SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin

Bandung

Abstract

Target-controlled inhalational anesthesia is an anesthesia delivery system available in the newer anesthesia machines It is a modality of anesthesia gas delivery system where the machine adjusts automatically the anesthetic agent concentration to achieve the desired target levels set by the user

The target-controlled inhalational anesthesia technique is a mechanism in the breathing system where the desired values of gases are selected and the computerized system adjusts the gas delivery to achieve the targeted levels

By using the target-controlled inhalational anesthesia technique the consumption of gases would reduce thus effectively reducing the cost and environmental pollution

Keywords Target-controlled inhalational anesthesia breathing system

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-01

Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam

Ade Irna

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh dan kadar PGE-2 yang lebih baik dibandingkan parasetamol iv dan cooling blanket pada pasien cedera otak dengan demam

Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal sampel penelitian sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi Sampel dipilih secara acak dan dibagi kedalam 3 kelompok Kelompok M diberikan metamizol iv 15 mgkg berat badan kelompok P iv diberikan parasetamol 15 mgkg berat badan dan kelompok C diberikan cooling blanket yang diatur pada suhu 10oC sampai suhu target tercapai Penurunan suhu tubuh kadar PGE-2 dan nilai TAR dicatat dan dilakukan analisis statistik

Hasil penelitian memperlihatkan metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh lebih baik namun penurunan kadar PGE-2 pada ketiga kelompok adalah sama

Kata kunci Pasien cedera otak demam suhu tubuh kadar PGE-2

P-02

Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup Jantung

Agus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta PtDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Sanglah ndash fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Latar Belakang Kelainan katup jantung paling sering disebabkan oleh komplikasi dari penyakit jantung rematik Menjaga kestabilan hemodinamik menjadi tantangan dalam manajemen perioperative Teknik anestesi yang dipilih untuk manajemen perioperative pasien ini tergantung kondisi pasien dan kemampuan menjaga kestabilan hemodinamik

Laporan kasus Perempuan 40 tahun dengan Adenomiosis+ RHDFc 2 MS Severe AR Mild TR Mild AS mild AR mild menjalani operasi laparotomi Supravaginal Histerektomi

Masalah Pre-operatif RHDFc 2 dari Echocardiografi MS severe AR mild AS mild TR mild Sec (+) di LA fungsi sistolik LV normal EF 61 (EDV 112 ml ESV 44ml SV 68 ml)fungsi sistolik RV normal Durante operasi dilakukan anestesi epidural di L2-3 dengan regimen lidocaine 20 vol 10 ml +bupivacaine 05 plain vol 15 ml Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit hemodinamik stabil tanpa topangan obat simpatomimetik Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan analgetik epidural bupivacaine 01 + morphin 05 mg volume 10 ml dan Ketorolak 30 mg setiap 8 jam intravena

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Prinsip manajemen perioperative pasien ini adalah dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan hantaran oksigen ke jaringan dengan menjaga preload (status euvolumia) jaga SVR dan cegah takikardi Anestesi regional menyebabkan blokade simpatis dan dapat menurunkan SVR Anestesi regional khususnya blok epidural dengan sifatnya blokade segmental diharapkan dapat lebih menjaga kestabilan hemodinamik dengan tetap memberikan relaksasi lapangan operasi dan analgetik yang adekuat terhadap pasien Durante operasi kita harus dapat mencegah efek takikardi yang ditimbulkan oleh blok epidural akibat hipovolumia relatif dengan meyakinkan status volume dan kestabilan hemodinamik sebelum prosedur anestesi dilakukan

Kesimpulan Anestesi regional epidural pada pasien yang menjalani pembedahan ginekologi dengan penyakit katup jantung dapat memberikan keadekuatan anestesi dan kestabilan hemodinamik

Kata Kunci Supravaginal Histerektomi epidural anestesi penyakit katup jantung

P-03

Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis

Andi Kusuma I Wayan Aryabiantara

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar BelakangAneurisma aorta abdominalis merupakan penyebab kematian terbesar ke 13 di Amerika

dan merupakan kasus yang menantang bagi bedah vaskuler dan anestesi

DiskusiPasien laki-laki 61 th akan dilakukan EVAR (Endovascular Artery Repair) dengan

keluhan nyeri perut hilang timbul disertai benjolan yang semakin membesar Pada Angiografi didapatkan Pseudoaneurysma arteri illiaca comunis sampai illiaca interna dekstra Pada EKG jantung didapatkan sinus bradikardi dengan HR 57 x menit Sedangkan fungsi organ lain dalam batas normal Pre anastesi dilakukan dengan lengkap tidak aada masalah pada pasien

Sebelum induksi kecukupan cairan dipenuhi Induksi dilakukan perlahan untuk mencegah lonjakan hemodinamik yang beresiko mengakibatkan pecahnya aneurisma Durante operasi pasien dengan ventilasi kendali dengan dilakukan AGD berkala Tindakan cross clamping aorta dan declamping aorta mempunyai pengaruh yang besar terhadap hemodinamik Untuk mengatur hemodinamik durante operasi digunakan NTG Penggantian kehilangan cairan durante operasi digunakan kristaloid koloid dan sel darah merah Pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan ventilasi kendali untuk monitoring ketat fungsi jantung ginjal dan produksi urine Analgetik pasca operasi digunanakan Epidural Analgesia Hari ke 2 pasien sudah bernapas spontan Hari ke tiga kembali ke ruangan dan selanjutnya rawat jalan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanDengan managemen anestesi yang safe pada pasien aneurisma aorta abdominalis dapat

menyelamatkan pasien dan menurunkan resiko angka kematian Memberikan kenyamanan pada pasien operator dan ahli anastesi yang bekerja dengan meminimalkan efek samping terutama pada kardiovaskuler

Kata kunci aneurisma aorta abdominalis repair managemen anestesi

P-04

Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis Bulosa

Andri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Epidermolisis Bulosa merupakan kelainan genetik mekanobulosa berupa gangguan ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau gesekan ringan Penyakit ini terutama mempengaruhi lapisan epitel skuamosa di kulit namun bula juga dapat terjadi pada mukosa saluran pernafasan Penyakit ini memberikan masalah khusus untuk dokter anestesi karena alat yang digunakan untuk memberikan pelayanan anestesi dapat menyebabkan komplikasi postoperatif Tantangan pada pasien EB adalah untuk menjaga patensi jalan nafas dan penggunaan alat monitoring tanpa merusak permukaan epitel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan

Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada pasien EB Pasien laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis Pseudosindaktili Dekstra et Sinistra ec Epidermolisis Bulosa yang akan menjalani operasi release sindaktili dan skin graft Pada pasien ini ditemukan masalah malnutrisi dengan BMI 1285 kgm2 dengan anemia defisiensi besi dan hipoalbuminemia karena asupan makanan yang kurang

Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan anestesi umum Manipulasi jalan nafas dengan memberikan sungkup muka secara ketat dihindari Kami memberikan jelly pada permukaan sungkup muka yang akan kontak dengan kulit pasien ETT ukuran 65 dengan dilumuri jelly sebelumnya dipasang dengan menggunakan video laringoskopi Kami juga memperhatikan pengembangan cuff ETT secara berkala untuk meminimalisir risiko terbentuknya bula pada mukosa saluran nafas Untuk monitoring pasien kami menggunakan pulse oksimetri yang dipasang di daun telinga dan pemasangan manset tekanan darah di tungkai bawah dengan sebelumnya dilapisi elastomul dan jelly Fiksasi ETT menggunakan kassa yang diikat melingkari kepala pasien untuk menghindari tempelan plester yang dapat menimbulkan trauma pada kulit Pemeliharaan anestesi kami gunakan N2O dan Sevoflurane Pasien kami ekstubasi secara sadar Pasca operasi pasien dirawat di burn unit

Pada pasien EB diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya lesi epitel baru Penanganan jalan nafas harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya bula Selain itu evaluasi preoperatif yang menyeluruh diperlukan untuk menilai kondisi lain yang berhubungan seperti anemia infeksi kronik kontraktur dehidrasi dan malnutrisi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-05

Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam Malik

Andrias1 Dadik WW2

1Residen Anestesi Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

2Staf PengajarAnestesi danTerapi Intensif Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

Abstrak

Pendahuluan Hepar merupakan organ yang sering cedera pada trauma tumpul abdomen Penyebab

kematian pada cedera hepar ialah eksanguinasi karena hepar mendapat 25 curah jantung Kesembuhan pasien tergantung resusitasi awal yang lebih cepat untuk mencegah kematian

Laporan Kasus Laki-laki 18 tahun riwayat kecelakaan lalu lintasabdomen terkena stang motor Keadaan

pasien buruk (nadi 166 xmenit TD 60palpasi) Sebelumnya pasiendilaparotomi di rumah sakit lain Dilakukan packingcedera hepar grade V Direncanakan relaparotomi general anestesiASA Ve Intubasi teknik RSII induksi ketamin serta rocuronium Sejawat bedah tidak mampu mengendalikan perdarahan kemudian dipacking rawat ICU Perdarahan aktifsejawat bedah menolak reeksplorasi kontrol perdarahan Pasien meninggal 6 jam kemudian akibat eksanguinasi

DiskusiAnestesiologis pusat trauma terlibat dalam manajemen jalan nafas dan resusitasi pasien

trauma di UGD Ruang operasi dan ICUPenanganan trauma tumpul abdomen sesuai ATLS Cairan diberikan kristaloid koloid Syok hemoragik keduanya digantikan darah karena tidak memfasilitasi transpor oksigen pembekuan darah Kecukupan resusitasi tahap lanjut dinilai dari perfusi jaringan normal Pasien diinduksi ketamin teknik RSII Suksinilkolin pilihan utama namun rocuronium (12 mgkg IV) alternatif yang tepatTransfusi masif didefinisikan memberikan seluruh volume darah dalam 24 jam atau 50 volume darah pasien dalam 12-24 jambanyak komplikasinya Darah transfusi kurva 23 DPG-nya bergeser ke kiri 24 jam post-transfusisebaiknya dikontrol ventilator Komplikasi lainnya koagulopati Pada hipoperfusi lama dapat mengalami DIC Jika perdarahan post-transfusi diagnosis pembandingnya trombositopenia dilusional DIC reaksi transfusi hemolitik Untuk menyingkirkannya lakukan pemeriksaan hitung platelet fibrinogen plasma bukti hemolisis dalam plasma Darah transfusi mengandung mikroagregat berakumulasi di paru mengakibatkan TRALI Resusitasi pasien hipoperfusi yang tertunda mengakibatkan akumulasi kompleks imun kapiler paru mengakibatkan ARDS

KesimpulanPenanganan pasien trauma berat mengikuti panduan ATLS teknik anestesi yang

bijaksana manajemen pembedahan perawatan intensif post-operatif yang baik dapat meningkatkan kesembuhanJika salah satunya tidak dilakukan angka mortalitas meningkat

Kata Kunci Resusitasi Transfusi masif Syok

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-06

Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan Disgerminoma

Angga Permana Putra1 Syamsul Bahri Siregar2 Hasanul Arifin3

1Residen Anestesi Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

2Staf Pengajar Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUD Dr Pirngadi Medan

3Kepala Program Studi Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

PendahuluanDisgerminoma merupakan bentuk paling umum dari sel tumor germinal primitif dari

ovarium sekitar 1-5 dari seluruh keganasan ovarium Secara umum sering terjadi pada wanita yang berada pada usia reproduktif Sangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa dilakukannya intervensi pada kehamilannya Kami disini melaporkan sebuah kasus kehamilan primi gravida alamiah yang diikuti dengan disgerminoma tanpa adanya komplikasi fetomaternal Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

Kata kunci disgerminoma kehamilan alamiah kombinasi anestesia spinal-epidural

Laporan KasusWanita usia 33 tahun dengan kehamilan primi gravida datang dengan amenorrhea dan

bengkak di umbilicus bawah kiri Riwayat menstruasi tidak teratur tidak dijumpai sebelum kehamilan ataupun pemakaian kontrasepsi sebelumnya Pemeriksaan luar menunjukkan asites dan massa di perut kiri dengan ukuran sekitar 30cm x 35cm Dalam usaha untuk menyelamatkan janin operasi elektif laparatomi dengan seksio sesaria segera direncanakan Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

DiskusiSangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa

dilakukannya intervensi pada kehamilannya Intervensi dapat dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan tumor dilanjutkan dengan seksio sesaria yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kemoterapi Manajemen anestesi pada pasien ini dipilih dengan regional anestesi yang lebih aman efektif dan murah daripada anestesi umum Kombinasi Anestesia Spinal Epidural menggabungkan keuntungan kerja cepat dari spinal anestesi dengan fleksibilitas dari epidural anestesi dapat pula digunakan sebagai manajemen nyeri post operasi dengan pemberian Morfin 3mg 24jam yang memberikan efek analgesia yang baik pada pasien

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanHasil akhir pasien dengan disgerminoma murni sangat baik Pasien dapat diterapi dengan

pembedahan dan kemoterapi Disgerminoma pada ovarium tunggal dengan asites masih dimungkinkan untuk mengalami kehamilan dengan kelahiran anak yang baik Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural adalah pilihan terbaik terhadap pasien dibuktikan dengan kelahiran bayi yang sehat dengan APGAR Score yang baik dan tanpa adanya komplikasi setelah operasi

P-07

Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy Biopsy

Anindito Andi Nugroho

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstract

Background Traditionally definitive treatment for breast surgery was done by general anesthesia But general anesthesia was not able to inhibite pain reflex to the brain It also have side effects such as post operative nausea and vomiting There are a few regional anesthesia techniques that have been performed in this operation such as infiltration epidural and thoracal paravertebrae block Paravertertebral block techniques that have been performed in this operation by injecting local anesthesia that blockade somatic and symphatetic ipsilateral in that dermatomes above and beneath injection site Surgical trauma can attenuate stress response (local and systemic) Increase of cortisol level is one the endocrine systemic response

Purpose To compare the difference between single injection and multiple injection thoracal paravertebra block to plasma cortisol and VAS value in breast cancer patients ongoing excisy biopsy

Methods Samples include 20 patients ongoing excisy biopsy Blood samples were taken at 8 inhte morning before surgery and 8 tomorrow morning VAS value was checked at hour-0 (when the patient at the recovery room and hour-24 Patients divided into multiple (M) group or single (T) group Normality of data was tested by Kolmogorov-Smirnov test If p gt 005 so the distribution is normal Analitycal analysis will be done with pre and post test group design

Result General characteristic on each group has normal distribution (p gt 005) Delta data value of cortisol and VAS hour-24 before and after injection in T and M group did not give significance result (p gt 005) But VAS value a hour-0 between both groups give significant result (p lt 005)

Conclusion Paravertebra block technique either multiple or single injection can reduce postoperative cortisol and VAS score in patient undergoing excisy biopsy

Keywords Paravertebra block single injection Paravertebra block multiple injection cortisol VAS

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-08

Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom Eisenmenger

Asterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifRumah Sakit Umum Sanglah-Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PENDAHULUANPasien hamil dengan penyakit jantung merupakan tantangan yang unik untuk

Obstetrician dan Anesthesiologist karena berkaitan dengan pasien beresiko tinggi dan memerlukan pemahaman tentang dampak kehamilan terhadap respon hemodinamik untuk kelainan jantung pasien Tidak ada konsensus mengenai teknik anestesi yang optimal untuk kondisi tersebut Namun pilihan manajemen dan teknik anestesi harus secara individual dan berdasarkan kondisi hemodinamik yang terjadi serta kebutuhan kebidanan

LAPORAN KASUSPerempuan 27 tahun dengan G3P0020 hamil 8-9 minggu tunggalhidup Congestif Heart

Failure ec GUCH (Grown-Up Congenital Heart Disease) Perimembranous VSD Eisenmengerrsquos Syndrome Pulmonal Hipertensi severe Pulmonal Regurgitasi severe Trikuspid Regurgitasi severe Mitral Regurgitasi mild Bidirectional shunt WHO FC II

Masalah pra operasi pasien dengan hasil echocardiography adalah terdapat inlet besar pada peri membran VSD dengan bidirectional shunt dominant left to right shunt high flow Pulmonal Regurgitasi moderate Mitral Regurgitasi mildTrikuspid Regurgitasi moderate Pulmonal Hipertensi severe Left ventricle diastolic function decreases Left ventricle and right ventricle systolic normal global normokinetik ejection frection 70 EDV 49 ml ESV 15 ml SV 35 ml

Selama operasi pasien diberi anestesi spinal dengan jarum spinal 27G di L3-4 dengan regimen Bupivacaine 05 heavy 5mg dan adjuvant Fentanyl 25 mcg Operasi berlangsung selama 50 menit Hemodinamik stabil dengan pemasangan monitoring invasif arteri line tanpa menggunakan obat-obatan inotropik maupun vasopressor

Pasca operasi pasien dirawat di ruang terapi intensif Manajemen nyeri pasca operasi Fentanyl 250 mcg24 jam dengan syringe pump parasetamol 500 mg 6 jam per oral

DISKUSITeknik anestesi regional menyebabkan blokade simpatik dan dapat menurunkan Systemic

Vascular ResistenKami menggunakan dosis yang sangat kecil pada anestesi lokal (LA) intrathecal

untuk meminimalkan hipotensi Ini dapat mencegah peningkatan Systemic Vascular Resistenmendukung aliran darah dan membantu untuk mencegah terjadinya kongesti paru Hal ini juga dapat menurunkan after load dan mencegah terjadinya peningkatan Systemic Vascular Resisten dan overload volume Left Ventrikel akut

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KESIMPULANDosis rendah bupivakain intratekal dan fentanil memadai untuk dilatasi - kuretase

dengan efek samping yang minimal pada pasien kami dengan sindrom Eisenmenger dan dapat menjadi alternatif yang aman untuk mencapai anestesi yang baik dengan stabilitas kardiovaskular yang mengesankan

Kata kunci dilatasi-kuretase anestesi spinal sindrom Eisenmenger

P-09

Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar

Bayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko

) Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ) Supervisor Konsultan Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Abstrak

Latar Belakang Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan sebagai analgetik paska operasi Berbagai jenis OAINS seperti ketorolak dan parecoxib dapat menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang merupakan mediator inflames dan mengakibatkan berkurangnya tanda inflamasi OAINS sebagian besar mengalami metabolisme di hepar dan dapat menyebabkan gangguan pada hati Gejala klinis disfungsi hati pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi parekoxib dan ketorolak oleh sebab ituperubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran histopatologis

Tujuan Membandingkan gambaran histopatologi sel hepar antara tikus wistar yang diberikan ketorolak intramuskuler dan parecoksib intramuskuler

Metode Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok control diberikan luka insisi sepanjang 2 cm dan tidak diberikan injeksi ketorolak maupun parekoksib kelompok ketorolak diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi ketorolak intramuskuler setara dosis manusia 30 mg tiap 8 jam kelompok parekoxib diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi parekoksib setara dosis manusia 40 mg tiap 12 jam Pada hari ke 5 dilakukan terminasi kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin jaringan hepar

Hasil Ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi sel hepar tikus wistar antara kelompok ketorolak dan parecoxib dengan kelompok kontrol namun tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologis sel hepar antara keolompok ketorolak dan parecoxib

Kesimpulan Tidak ada perbedaan bermakna histopatologi sel hepar tikus wistar setelah penggunaan ketorolakdan parekoxib

Kata Kunci Ketorolak Parecoksib histopatologis sel hepar

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-10

Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain Management

Charismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono

Department of Anesthesia and Intensive CareFK UNDIP RSUP Dr Kariadi Semarang

Abstract

Background Pain is one of the most consequential problem which are caused subsequent to the invasive procedures Management of post operative tonsilectomy pain is a difficult task and could remain over 4 days after the surgery that results in poor oral intake long hospital stay and a delay in return to the normal activities In BPJS era the government more wisely determining rates Hospitals must be pressed at low cost but give optimal service We as an anesthesiologist must have methods in reducing postoperative morbidity Post-tonsillectomy pain is believed to be mediated by noxious stimulation of C-fiber afferents located in the peritonsillary space and local anesthetic infiltration to this area may decrease pain by blocking the sensory pathways and thus preventing the nociceptive impulses Peritonsillar infiltration of ketamine alone or in combination with epinephrine can reduce VAS (Visual Analog Score) and opioid requirements

Objectives To evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for managing post operative pain after tonsillectomy

Methods Two females in their second and third decades were scheduled for elective tonsillectomy Premedication using midazolam 3 mg induction using propofol 2 mgkg intravenous dexametason 10 mg intravenous cuffed with sevoflurane then intubate The operation took 10 minutes using dissection technique we performed peritonsiller infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 01 mgkgBB and lidocain cum adrenalin 1200000 as solvent 2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation We evaluate post operative pain using VAS scale on 1st hour an 6th hour We also asessed complication that might occured post op

Result One hour observation all patients are in mild pain and in six hour observation have no pain and reduce the need of opioid or NSAIDs analgesic Vomitting as complication occured only in first patient and given antiemetic All patients were dismissed from the hospital 8 hours after surgery given Mefenamic Acid 500 mg per eight hours orally

Conclusion Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective to minimize post operative tonsillectomy pain in both patient up to 6 hours post op in both patients observed and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic

Keywords Post operative pain management peritonsillar infiltration ketamine

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-11

Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalis

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Atresia biliar (AB) adalah suatu obliteratif kolangiopati pada neonatus yang fatal jika tidak diobati Kelainan ini jarang ditemukan dengan insidensi 05-1 per 10000 kelahiran hidup dan etiologinya tidak diketahui Pada AB terjadi obstruksi saluran bilier yang menyebabkan cairan empedu statis sehingga pada akhirnya tejadi kerusakan hepatoseluler dan sirosis hati

Laporan Kasus Seorang bayi laki-laki berumur 3 bulan dengan berat badan 45 kg yang didiagnosis AB dan direncanakan untuk dilakukan tindakan prosedur Kasai Pasien dengan kondisi aktif menangis kuat dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik Pasien dilakukan dalam anestesi umum induksi dengan premedikasi sulfas atropin 01 mg induksi dimulai dengan fentanil 10 microg dan atracurium 2 mg kemudian dilakukan ventilasi dan dikontrol secara manual dengan rumatan anestesi menggunakan 50 N2O 50 O2 dan 15 MAC isofluran Durasi operasi adalah 4 jam dengan total durasi anestesi berkisar 45 jam Selama operasi berlangsung kondisi pasien stabil Pascaoperasi pasien diekstubasi dan mendapat parasetamol infus sebagai analgetik Pasien dirawat di PICU

Kesimpulan Penatalaksanaan anestesi yang tepat monitoring ketat selama operasi untuk perdarahan dan resiko hipotermi serta usia pasien saat dilakukan prosedur Kasai akan memberikan hasil yang baik

Kata Kunci Anestesi Atresia Bilier Kasai Prosedur

P-12

Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta Abdominal

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) adalah pelebaran aorta yang permanen lebih dari 30 mm dimana resiko ruptur akan meningkat bila pelebaran lebih dari 50 mm Angka kematian jika terjadi ruptur AAA sebanyak 90 dan angka kematian dapat di cegah dengan pembedahan elektif repair AAA dengan angka mortalitas kurang dari 7

Laporan Kasus Kasus 1 Wanita 49 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 496 dengan jarak 382 mm dari arteri renalis sin dan 346

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

mm dari bifurcatio arteri iliaca Pasien di induksi dengan fentanyl 5 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbbAnalgetik post op dengan epidural Pasien di ekstubasi setelah 9 jam post op dan setelah 2 hari pasien pindah keruangan

Kasus 2 Laki- laki 54 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 554 cm x 446 cm inferior dari percabangan art renalis kanan dan kiri Analgetik post op dengan morfin 20 mcgkgbbm Post operatif pasien tidak di ekstubasi pasien didiagnosa VAP pada hari ke 3 Pasien diekstubasi pada hari ke 7 dan pindah keruangan pada hari ke 10

Kasus 3 Wanita 35 tahun BB 50 kgPemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 798 cm inferior dari cabang arteri renalis kanan dan kiri Pasien di induksi dengan fentanyl 3 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbb Analgetik post op dengan epidural Post operatif pasien di ekstubasi dan setelah 2 hari di rawat di ICU pasien pindah keruangan

Kesimpulan Manajemen anestesi repair AAA berfokus pada perubahan hemodinamik akut yang disebabkan aortic cross clamping dan unclamping mempertahankan perfusi organ dan oksigenasiCross clamp meningkatkan afterload jantung dan terjadi peningkatan mendadak tekanan arteri proksimal pada klem untuk menurunkan lonjakan tekanan darah pada ketiga kasus dengan menggunakan nitrogliserin Setelah aortic unclamping resistensi pembuluh darah perifer berkurang 70-80 yang menyebabkan penurunan tekanan arteri mengalirnya darah ke bagian bawah tubuh sehingga terjadi hipotensi untuk meningkatkan tekanan darah diberikan cairan dan vasokontriktor noradrenalin

Kata kunci Aneurisma Aorta Abdominal aortic cross clamping unclamping

P-13

Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake Craniotomy

Dian Rosanti Khalid Pryambodho

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Abstrak

Pendahuluan1

Awake craniotomy merupakan prosedur beresiko tinggi yang semakin sering dikerjakan Prosedur ini memungkinkan pemetaan korteks motorik sensorik visual dan bahasa yang optimal sehinggga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperatif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi

Serial KasusPasien pertama laki-laki 37 tahun dengan diagnosis glioma temporal sinistra pasien

kedua laki-laki 47 tahun dengan diagnosis glioma frontotemporal sinistra Keduanya menjalani

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

prosedur awake craniotomy removal tumor Analgesia difasilitasi dengan scalp block dan sedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol 05-3 mcgml Scalp block menggunakan bupivakain 05 plain total volume 30 cc Kemudian dipasang central venous catheter (CVC) dan kanul arterial blood pressure (ABP) untuk pemantauan hemodinamik Patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan Naso Pharyngeal Airway (NPA) diberikan oksigen (O2) 3 Lmenit via nasal kanul dan kedalaman anestesi dimonitor dengan bispectral index (BIS) Pascaoperasi pasien diobservasi di ICU

Diskusi1-4

Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktu-waktu Propofol dipilih karena memenuhi kriteria ini Over sedation akan menyebabkan apnea hipoksia hiperkarbia dan edema serebri Sedangkan under sedation menyebabkan agitasi takikardia dan hipertensi Memberikan sedasi dengan target pasien tetap sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks merupakan hal yang tidak mudah oleh karena itu digunakan BIS untuk pemantauan kedalaman anestesi Pada awal operasi pasien disedasi dengan TCI propofol 2-3 mcgml target BIS 40-60 Kemudian saat pemetaan korteks TCI propofol diturunkan 05-1 mcgml dengan target BIS adalah 80-100 setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1-10 menyebutkan nama dan menggenggam tangan pemeriksa Setelah pemetaan korteks selesai anestesia didalamkan kembali Adekuat analgesia didapatkan dari scalp block Blok ini efektif mengurangi penggunaan opioid intraoperatif yang dapat mendepresi pernafasan dan menyebakan over sedation Terbukti pada kasus diatas hanya digunakan fentanyl total 100 mcg dengan durasi anestesia plusmn 7 jam Kejang edema serebri perdarahan dan emboli udara merupakan komplikasi pada prosedur ini Kedua pasien mendapatkan mannitol untuk mengurangi edema serebri fenitoin untuk mencegah kejang dan pascaoperasi diobservasi di ICU Suksesnya prosedur beresiko tinggi ini akan sangat tergantung pada kerjasama tim

KesimpulanManajemen anestesia awake craniotomy ini sangat sulit Persiapan preoperatif yang baik

monitoring ketat intraoperatif dan pengawasan pascaoperasi menjadi kunci sukses Kerjasama yang baik antara tim anestesi dan bedah sangat penting agar prosedur ini berjalan aman lancar dengan hasil optimal

Kata Kunci awake craniotomy scalp block TCI BIS

Daftar Pustaka 1 ChuiJAnesthesiaforAwakeCraniotomyAnupdateColombianJournalofAnesthesiologyChui J Anesthesia for Awake Craniotomy An update Colombian Journal of Anesthesiology

20154322-82 Ghazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative ReviewGhazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative Review

and Future Challenges Saudi Journal of Anesthesia 20148529-373 Cormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent AdvancesCormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent Advances

St Vincentrsquos Hospital Melbourne 201577-824 Scubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and RoboticScubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and Robotic

Surgery Cottrell and Youngrsquos Neuroanesthesia 5 th Ed Philadelphia Elsevier Mosby 201017296-8

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-14

Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral

Artery yang menjalani operasi non-cardiac

Dita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Major Aorta Pulmonary Collateral Artery (MAPCA) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terjadi 5-10 dari semua anak-anak dengan penyakit jantung bawaan yang disertai hypoplasia atresia pulmonal MAPCA merupakan pembuluh darah yang timbul dari aorta desending dan arteri sublclavia yang berfungsi untuk menghantarkan darah ke paru untuk oksigenasi Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA dengan mempertahankan SVR menurunkan PVR dan mencegah terjadinya shunt

Laporan Kasus Anak laki-laki5 tahun dengan berat badan 15 kg dk Periodontitis Apikalis Kronik + Situs Inversus + Mitral atresia + LV hipoplasia + ASD besar +VSD besar + Pulmonal atresia yang dilakukan mouth preparation Dari pemeriksaan fisik diadapatkan anak aktif SpO2 57-64 dengan udara bebas cardiomegaly gallop dan clubbing finger Dengan hasil lab Hb 182 gdl Ht 65 L 6500mm3 Tr 178000mm3 Echo ASD besar (single atrium) VSD besar (single ventrikel) Pulmonary atresia terisi PDA kecil Aorta keluar dari RV Pasien dilakukan induksi dengan sulfas atropine fentanyl propofol dan rocuronium Rumatan anestesi dengan sevoflurane Operasi berlangsung selama 40 menit dengan SpO2 selama operasi 60-70 Pasien diekstubasi dengan analgetik post op paracetamol

Kesimpulan Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA yang menjalani operasi non cardiac dimulai dari pre operatif untuk mendapatkan baseline dari kondisi pasien tersebut Intraoperative dengan menggunakan teknik ldquoopioid baserdquo sehingga menjaga kondisi pasien se-fisiologis mungkin

Kata Kunci Anestesi MAPCA Non-Cardiac Surgery

P-15

Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi Spinal

Donny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana

Departemen Anesteologi dan Terapi Intensif RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak

LATAR BELAKANGSalah satu kekurangan anestesi spinal adalah durasi blokadenya yang singkat Berbagai

cara dilakukan untuk memperpanjang durasi blokade seperti penambahan adjuvant α2 agonist selektif dexmedetomidine Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penambahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

dexmedetomidine pada anestesi lokal bupivakain hiperbarik terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal

METODE PENELITIAN Uji klinik acak berpembanding tersamar ganda telah dilakukan di Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang dari bulan November 2014 sampai dengan Maret 2015 Terdapat 52 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani operasi dengan anestesi spinal Pasien dibagi dalam dua kelompok masingndashmasing 26 orang Kelompok I menggunakan bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 5 microg dexmedetomidine 05 ml sedangkan kelompok II bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 05 ml NaCl 09 Diteliti mula kerja lama kerja blokade sensorik dan motorik tinggi blokade sensorik puncak efektivitas dan efek samping intraoperatif Analisis data menggunakan SPSS versi20

HASIL PENELITIANPada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-dexmedetomidine didapatkan mula kerja

blokade sensorik dan motorik lebih cepat tetapi secara uji statistik tidak bermakna (pgt005) dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang daripada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-NaCl 09 ( p=00001) sedangkan tinggi blokade sensorik puncak kualitas analgesia dan relaksasi motorik sebanding Hemodinamik lebih stabil dan efek sedasi pada kelompok dexmedetomidine

SIMPULANSimpulan dari penelitian ini adalah penambahan 5 microg dexmedetomidine pada bupivakain

05 hiperbarik 15 mg anestesi spinal memperpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik hemodinamik yang stabil serta efek sedasi yang menguntungkan

Kata kunci dexmedetomidine bupivakain anestesi spinal

P-16

Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manual

Eric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar belakang Guillain barre syndrome adalah penyakit paralisis akut disertai arefleksia dimana dapat

terjadi pada siapa saja dan menimbulkan kelumpuhan yang bisa sampai menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernafasan dan tanpa mendapatkan terapi yang memadai

Pendahuluan Guillain-Barreacute syndrome (GBS) saat ini merupakan penyebab tersering dari paralisis

flaksid akut di seluruh dunia Kasus GBS telah dilaporkan di seluruh dunia Angka insiden pertahun sekitar 12-23 per 100000 penduduk Angka kematian penderita mencapai 3-10 yang umumnya ditimbulkan oleh komplikasi (Doorn dkk 2008) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut patogenesis GBS Patofisiologi GBS sampai saat ini tidak seluruhnya dimengerti Fungsi selular dan humoral dari sistem imun diperkirakan terlibat Dipercaya antibodi yang terbentuk sebagai respon antigen terhadap agen penyebab

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

bereaksi silang dengan gangliosida pada permukaan saraf tepi Pada setengah kasus GBS ditemukan antibodi terhadap gangliosida Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik dalam saraf tepi Keterlibatan infeksi sebagai faktor pencetus terutama oleh Campylobacter jejuni Cytomegalovirus (10) virus Epstein-Barr virus varicella-zoster dan Mycoplasma pneumonia (Yuki amp Hartung 2012) Gangguan ini ditandai adanya kelemahan ekstremitas yang progresif simetris dengan atau tanpa gangguan sensorik disertai reflek fisiologis yang menurun atau menghilang

Diagnosis masih berdasar pada gejala klinis yang ditunjang oleh analisa cairan serebrospinal yang didapat dari lumbal pungsi Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan imunoglobulin intravena (IVIg) atau plasmapheresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilitas dalam jangka waktu 2 minggu setelah muncul gejala Di RSUP Sanglah telah terjadi 3 kasus sejak 2014-2015 dimana dilakukan terapi plasmapheresis yang memberikan hasil yang memuaskan

Pembahasan Pada GBS terjadi reaksi silang antibody terhadap antigen dan gangliosida pada saraf

tepi Pada pasien yang terjadi di Sanglah telah dilakukan plasmpharesis manual dimana antibody yang mengenali antigen gangliosida tersebut terdapat di plasma sehingga dengan dibuangnya plasma dapat membuang antibody yang salah mengenali antigen dan diberikan juga imunosupressan untuk menekan antibody yang bisa memperburuk keadaan GBS

Hasil Pada 3 kasus GBS di RSUP Sanglah tindakan plasmapharesis dilakukan secara manual

dimana plasma pasien dibuang dan diganti dengan plasmanat dan hal ini memberikan hasil yang memuaskan Pada daerah dimana tingkat prasarana yang terbatas dengan tindakan plasmapheresis manual dapat memberikan hasil yang menjanjikan dengan peralatan yang terbatas dan harga yang jauh lebih murah dibandingkan IVIg

P-17

Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral Dekubitus

Firmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Anestesi spinal unilateral dilakukan untuk membatasi blok sensorik motorik dan juga simpatis yang dapat meminimalkan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas blok unilateral berdasarkan durasi posisi lateral dekubitus selama 10 menit 15 menit dan 20 menit setelah anestesi spinal dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 05 10 mg pada operasi ekstremitas bawah

Metode Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan 51 sampel yang terbagi atas tiga kelompok dengan 17 sampel per kelompok Setiap kelompok dilakukan anestesi spinal dengan sisi operasi di bagian bawah menggunakan bupivakain hiperbarik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

05 10 mg bevel jarum spinal diarahkan ke sisi operasi injeksi lambat selama 60 detik tanpa barbotage Setelah anestesi spinal posisi lateral dekubitus tetap dipertahankan selama 10 menit (kelompok A) 15 menit (kelompok B) dan 20 menit (kelompok C) kemudian dikembalikan ke posisi supine dan dilakukan penilaian onset blok durasi blok ketinggian blok dan hemodinamik

Hasil Onset blok sensorik dan motorik sisi operasi durasi blok sensorik dan motorik sisi operasi dan ketinggian blok sensorik dan motorik sisi operasi tidak berbeda bermakna (pgt005) Ketinggian blok sensorik sisi bebas setinggi Th12 (kelompok A) L3 (Kelompok B) dan S1 (kelompok C) Durasi blok sensorik sisi bebas 7147 plusmn 104 menit (kelompok A) 6353 plusmn 49 menit (kelompok B) dan 5059 plusmn 134 menit (kelompok C) berbeda bermakna (plt 005) Durasi blok motorik sisi bebas 10941 plusmn 182 menit (kelompok A) 8471 plusmn 339 menit (kelompok B) dan 706 plusmn 199 menit (kelompok C) juga berbeda bermakna (plt005) Blok motorik unilateral ketat 882 pada kelompok C 118 pada kelompok B tidak tercapai pada kelompok A Ketiga kelompok memberikan gambaran kestabilan hemodinamik berupa tekanan arteri rerata dan laju jantung

Kesimpulan Posisi lateral dekubitus selama 20 menit setelah anestesi spinal lebih efektif dalam hal blok sensorik dan motorik unilateral

P-18

Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway

I Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana

Bagian SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA

Metode Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA dipilih secara consecutive random sampling Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 003 mgkgbb dan kelompok B diberikan fentanyl 2 mcgkgbb 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcgml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60 Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) postinduksi lebih dari 20 TAR basal Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Youngrsquos Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan Plt005

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 1308 (SB 288) dan B 1411 (SB 296) dengan nilai P = 0216 total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 11871 mg (SB 1324 mg) dibandingkan kelompok B 13161 mg (SB 1286 mg) dengan P = 0003 sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan P = 0739

Simpulan Fentanyl sebagai koinduksi propofol tidak lebih baik dibandingkan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam

Kata kunci hemodinamik koinduksi fentanyl midazolam LMA

P-19

Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde

Cholangiopancreatography (ERCP)

I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan

PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi semakin berkembang tidak hanya memfasilitasi tindakan

pembedahan terbuka namun juga untuk prosedur endoskopi baik untuk tujuan diagnostik maupun sekaligus untuk terapi

Pada kesempatan ini penulis melaporkan serial kasus penggunaan teknik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) dengan menggunakan TCI Propofol dan monitoring tingkat kedalaman anestesi dengan IoC pada pasien yang dikerjakan tindakan ERCP

Serial KasusAntara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di RSUP Sanglah Denpasar kami

memfasilitasi 6 tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Pasien yang dikerjakan dengan status fisik ASA 2 dan 3 Pasien sebelum dilakukan induksi diposisikan dalam posisi prone senyaman mungkin bagi pasien dengan kepala menoleh ke sisi kanan kemudian diberikan premedikasi dengan Midazolam 2 mg Dexamethasone 10 mg dan Difenhidramin 10 mg dan Fentanyl 25 mcg IV Induksi dengan TCI Propofol dengan mode Schneider dengan target efek 3-4 mcgml dilakukan secara titrasi mulai 1 mcgml kemudian dinaikkan 2 mcgml sampai 3-4 mcgml kedalaman anestesi diukur dengan IoC dengan target IoC 40-60 dipertahankan supaya pasien tetap bernafas spontan adekuat Pada keenam pasien yang dikerjakan didapatkan anestesi yang adekuat dengan TCI propofol 3-4 mcgml dan nilai IoC 40-60 dan tidak terjadi depresi respirasi dan kardiovaskular yang berarti

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC ini memberikan hasil yang

memuaskan dalam memfasilitasi anestesi pada tindakan ERCP Teknik ini dapat memberikan kenyamanan pada operator untuk bekerja dan yang terpenting adalah kenyamanan dan keamanan pasien lebih terjamin dengan pemberian obat yang disesuaikan dengan usia berat badan tinggi badan dan jenis kelamin sehingga pemberian Propofol dapat diberikan secara lebih efektif dan efisien Pemantauan kedalaman anestesi dengan IoC dapat memberikan panduan untuk ahli anestesi untuk penyesuaian dosis pemeliharaan obat anestesi selama prosedur dikerjakan sehingga efek depresi respirasi dan kardiovaskuler yang ditakutkan tidak terjadi

KesimpulanPenggunaan teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC dapat menjadi pilihan

dalam memfasilitasi tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Dengan pemakaian teknik ini menjamin kenyaman dan keamanan pasien juga kenyamanan operator dan ahli anestesi bekerja dengan minimal efek samping depresi respirasi dan kardiovaskuler

Kata Kunci TCI Propofol IoC ERCP

P-20

Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemik

I Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSU SanglahDenpasar

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 60 pasien geriatri yang menjalani pembedahan di RSUP

Sanglah Pengelolaan perioperatif geriatri memiliki tantangan tersendiri dengan adanya penurunan fungsi organ Kombinasi regional anestesia dan anestesi umum diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan sistemik

LAPORAN KASUSGeriatri 74 tahun dengan Tumor Parotis Lobus profunda yang menjalani pembedahan

hemimandibulektomi-parotidektomi wide eksisi dengan ASA III (geriatri dan hipertensi stage II FC II) dilakukan tindakan anestesi umum premedikasi dengan midazolam 2 mg co induksi dengan fentanyl 150 mcg(3 mcgkg) induksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg iv (05 mgkg) intubasi nasotracheal menggunakan ETT kinking ukuran 65 dan dilakukan blok pleksus servikalis superfisial infraorbita dan mandibular di sisi operasi Dosis lidokain 1 + epinefrin 1800000 Dosis pemeliharaan dengan O2 N2O (21) dan Isoflurane Operasi berlangsung 3 jam selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 50-72xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 50-70 mmHg dengan urine output 14 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0 Pasca operasi pasien diberikan analgesia fentanyl 200mcg + ketamin 10 mg dalam 50 cc NaCl 09 diberikan via syringe pump dalam 24 jam selama 2 hari hari ke 3 diberikan oral anagesia dengan tramadol 3 x 25 mg dan Parasetamol 3 x 500 mg Pemantauan VAS hari pertama dan kedua 010cm dan hari ke 3 1-210cm

DISKUSIGeriatri dengan permasalahan penurunan fungsi organ dan penurunan cairan tubuh

total dan lean body mass dapat mengakibatkan mudah terjadi intoksikasi obat Kombinasi anestesi umum dan anestesi lokal kepala dan leher dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik sehingga dapat meminimalisasi resiko intoksikasi Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia

KESIMPULANPemahaman teknik operasi sehingga dapat dilakukan pemilihan regioanaliasasi blok

yang tepat diperlukan Blok pleksus servicalis superfisial infraorbita dan mandibuler dengan minimalisasi penggunaan opioid sistemik mampu memberikan analgesia yang efektif dengan stabilnya hemodinamik pasien selama 3 jam durante operasi tanpa penambahan sedikitpun opiat sistemik Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya intoksiskasi obat dan prolong effect pada pasien geriatri sehingga menurunkan resiko morbiditas pasca operasi Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER3 BENAIFER DDUBASH DMD ADAM T HERSHKIN DMD PAUL J SEIDER

DMD GREGORY M CASEY (2013) ORAL-AND-MAxILLOFACIAL-REGIONAL-ANESTHESIA HTTPWWWNYSORA

P-21

Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi Caesarea

Ida Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Stroke hemorhagik merupakan stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah otak yang ada didalam kepala Kehamilan meningkatkan resiko terjadinya stroke hemorhagik Penyulit Stroke hemorhagik meningkatkan mortalitas baik maternal maupun fetal Sehingga penanganan pasien hamil dengan penyulit stroke hemorhagik membutuhkan perhatian khusus dan teknik yang khusus untuk meningkatkan outcome pasca operasi cesaria Laporan kasus ini bertujuan memaparkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada maternal dan fetal dengan penyulit ibu stroke hemorhagik dan IUGR untuk operasi cesaria Pasien perempuan 45 tahun dirujuk dari RSUD Sulawesi dengan diagnosis G1P0000 Primitua Stroke Hemorhagik Anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemah separuh tubuh terjadi beberapa jam sebelum masuk rumah sakit pada saat mengedan BAB Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis dengan hemiparesis sinistra fundus uteri teraba 2 jari diatas umbilikus DJJ 130 xmenit Pemeriksaan CT Scan didapatkan Tampak area hiperdens abnormal pada parenkim cerebri pada parietal sampai korona radiata kanan dengan ukuran 19x10x10 slices Penatalaksanaan preoperatif dilakukan dengan merawat ibu dengan sejawat neurologis untuk mengurangi stress hemodinamik pada otak maupun janin untuk persiapan fetal diberikan dexametason untuk pematangan paru fetal Premedikasi diberikan obat-obatan pencegah regurgitasi metocloperamide ranitidin dan ondancetron intravena 1 jam sebelum di induksi Teknik anestesi menggunakan teknik anestesi umum rapid sequence induction dengan teknik induksi dan fasilitas intubasi memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesi berbasis propofol TCI Rocuronium dan pemberian lidocain intravena pemberian opioid diberikan sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan dengan pertimbangan opioid yang kita berikan tidak segera melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin waktu mulai insisi pembedahan hingga dilahirkannya bayi dilakukan kurang dari 5 menit sehingga opioid yang kita berikan tidak banyak melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin setelah janin dilahirkan penting untuk menyediakan nokoba dan berikan jika dibutuhkan Pasien di extubasi dalam dengan memperhatikan patensi jalan nafas dan ventilasi assisted dengan panduan saturasi perifer dan end tidal capnograf Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan memperhatikan prinsip-prinsip neurointensive dan bayi di rawat di NICU Simpulan Prinsip penatalaksanaan ibu hamil dengan stroke hemorhagik dan IUGR adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesia dengan perhitungan teliti penggunaan opioid intravena sehingga opioid yang diberikan tidak mempengaruhi apgar skor fetal saat lahir

P-22

Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial Kasus

Ihsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah LestariFredi Heru Irwanto

Residen KonsulenDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit dr Mohammad HoesinPalembang Indonesia

Abstrak

Latar Belakang Operasi tulang belakang merupakan operasi yang sering dilakukan di bidang ortopedi Operasi ini membutuhkan waktu yang lama rumit dan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak sehingga membutuhkan teknik anestesi khusus Teknik anestesi hipotensi kendali terpilih untuk memfasilitasi tindakan operasi tersebut Teknik ini didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah yang di sengaja pada saat intraoperatif sekitar 25 ndash 30 dari preoperatif atau dengan MAP 50 ndash 70 mmHg untuk mengurangi jumlah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

perdarahan dan membantu visualisasi lapangan operasi Salah satu agen yang digunakan dalam teknik tersebut ialah dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan suatu agonis adrenergik α2 yang bekerja secara sentral dan memiliki efek analgesia amnesia sedasi dan anti anxietas Mekanisme kerjanya sebagai agen hipotensi yaitu memblok pelepasan noerepinefrine ke perifer melalui ikatan reseptor adrenergik α2 sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sistemik Obat ini sangat menguntungkan karena rentangnya yang lebar mudah dikontrol opioid sparing effect bangun yang cepat dan lancar

Tujuan Untuk mempresentasikan 4 kasus pasien yang menjalani prosedur operasi tulang belakang menggunakan teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan agen dexmedetomidine

Metode Teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan menggunakan agen dexmedetomidine continous dengan loading dose 1 microgkgbb (iv) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan rentang dosis 02 ndash 07 microgkgbbjam

Kasus Kasus pertamalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis paraplegia inferior ec stenosis spinal cord vetebrae Thorakal VI ndash VIII Kasus kedualaki ndash laki 39 tahun dengan diagnosis Fraktur kompresi vetebrae Thoracal IV ndash VI kasus pertama dan kedua menjalani operasi Stabilisasi Posterior Kasus ketigalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis HNP lumbal V ndash sakral I Kasus keempat perempuan 57 tahun dengan diagnosis paraparese inferior ec lesi Intradural setinggi vetebrae lumbal II - V Kasus ketiga dan keempat menjalani operasi laminektomi

Hasil Selama prosedur operasi hemodinamik relatif stabil dengan MAP 50 - 70 mmHg penggunaan opioid intraoperatif menurun 50 dibandingkan jika digunakan dengan agen hipotensi lain rata ndash rata waktu bangun 30 ndash 60 detik dan nyeri post operasi yang terkontrol

Kesimpulan Dexmedetomidine merupakan salah satu alternatif agen hipotensi pada teknik anestesi umum hipotensi kendali pada operasi tulang belakang

Kata Kunci Dexmedetomidine Hipotensi Kendali Operasi Tulang Belakang

P-23

Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien

Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi Umum

Joan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr Muhammad Hoesin

Palembang Indonesia

Abstrak

Latar belakang Tindakan intubasi endotrakea sering menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas Post Operative Sore Throat (POST) merupakan komplikasi minor setelah tindakan anestesi Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pascaoperasi adalah nyeri tenggorokan batuk dan suara serak yang dilaporkan memiliki insiden sebesar 21-52 untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

nyeri tenggorokan dan 42-59 untuk suara serak Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa berkumur dengan ketamin dan aspirin efektif mengurangi insiden dan tingkat keparahan POST Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal

Metode Uji klinik berpembanding buta ganda telah dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia umum teknik intubasi endotrakeal di COT RSMH pada bulan November 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 66 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok Kelompok pertama diberikan ketamin 50 mg dan kelompok kedua diberikan aspirin 320 mg dalam larutan saline 30 ml sebagai obat kumur

Hasil Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak pada kelompok ketamin dan kelompok aspirin sebesar 61 dan 121 Insiden nyeri tenggorokan pada kelompok ketamin adalah 152 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 182 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan Insiden suara serak pada kelompok ketamin adalah 21 2 dengan derajat serak adalah serak ringan dan sedang sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 242 dengan derajat serak ringan

Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara obat kumur ketamin dan aspirin untuk mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal (p = 0444 p gt005)

Kata Kunci Intubasi endotrakeal obat kumur ketamin obat kumur aspirin nyeri tenggorokan dan suara serak

P-24

Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi Infant

Ketut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANSepanjang tahun 2014 terdapat 85 (41) infant dari 405 kasus pembedahan laprotomi

pediatri (0-18 tahun) Pengelolan perioperatif infant memiliki tantangan tersendiri dengan imaturitas fungsi organ dan perbedaan anatominya Analgetik yang efektif dengan efek samping minimal diperlukan selama perioperatif dalam kaitan modulasi stress respon dan kembalinya fungsi system pencernaan CTE kontinyu kami gunakan pada pasien dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai dengan pertimbangan gangguan fungsi hati dan elimminasi obat

LAPORAN KASUSInfant 4 bulan berat badan 65 kg dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai

pasien dengan ASA III (infant pneumonia hyperbilirubinemia (obstruksi ekstrahepatal))

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dilakukan tindakan anestesi umum induksi dengan o2 sevoflurane coinduksi dengan ketamine 1 mg (015 mgkg) dan fentanyl 10 ug iv (15 ugkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 3 mg iv (05 mgkg) intubasi menggunakan ETT kinking ukuran 35 dan dilakukan pemasangan CTE kontinyu dengan panduan Ultrasonography dimana tip berada pada Th 10-11 Dosis bolus lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc volume 6cc (01 cckgsegmen) dilanjutkan dosis pemeliharaan lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 02-03 ccjam dn sevofluran 05 vol dan atracurium intermitten Operasi berlangsung 5 jam 40 menit selama durante operasi hemodinamik stabil dengan nadi 102-111xmnt kalkulasi cairan masuk 350 ml cairan keluar 130 ml dan urine output 109 cckgjamEkstubasi segera sesudah operasi selesai pasca operasi perawatan PICU dengan regimen analgesia lidokain 05 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 03 ccjam didapatkan flacc 0-1 urine output 1-12 cckgjam dan motilitas usus baik sejak hari pertama operasi CTE kontinyu dipertahankan hingga hari ke 6 setelah hari ke 5 pasien diberikan asupan oral pasca operasi didapatkan peningkatan neutrofil dari 1461 x 103ul praoperasi dibandingkan 1576 x 103ul pasca operasi

DISKUSIInfant dengan atresia bilier dan gangguan fungsi hati disertai hiperviskositas darah

dengan potensi cedera ginjal memerlukan penanganan khusus Kombinasi anestesi umum dan CTE kontinyu dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik yang dapat memperberat kerja hati Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia pada populasi infant dengan heart rate dependent Penggunaan mode kontinyu adalah untuk mencegah takifilaksis serta menjaga stabilitas analgetik perfusi renal dan splancnic Dengan peningkatan neutrofil yang tidak signifikan menggambarkan efektifitas modulasi stress response oleh CTE kontinyu

KESIMPULANCTE kontinyu dengan minimalisasi penggunaan gas inhalasi dan opioid sistemik mampu

memberikan analgesia yang efektif dan memberikan keuntungan peningkatan perfusi renal dan splanchnic sehingga dapat mencegah cedera ginjal dan mempercepat pemulihan anastomose Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 COTE CJ LERMAN J ANDERSON BJ (EDS) (2013) A PRACTICE OF ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 5TH ED USA ELSEVIER SAUNDERS

3 DAVIS PJ CLADIS FP MOTOYAMA EK (EDS) (2011) SMITHrsquoS ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 8TH ED USA ELSEVIER

4 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-25

Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial Kasus

Koko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas UdayanaRS Sanglah Denpasar

Latar Belakang Anestesi regional berkembang pesat sebagai salah satu modalitas untuk manajemen anesthesia pada tindakan pembedahan Caudal thorakal epidural adalah salah satu jenis tindakan anestesi regional central neuraxial yang digunakan pada kasus kasus pediatricpada kasus ini digunakan USG sebagai tuntunan

Presentasi Kasus Pasien bayi perempuan umur 5 bulan dan bayi laki laki umur 4 bulan didiagnosis Atresia Bilier pro Prosedur Kasai anestesi dengan perantaraan bius total pemasangan pipa endotrakeal Pasien pertama diinduksi dengan inhalasi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Pasien kedua diinduksi dengan induksi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Operasi berlangsung sekitar 5 jam Pasca operasi pasien diekstubasi dan dirawat di PICU Analgetika post operasi caudal thorakal continyu regimen lidocain 05 + fentanyl 2 mcgcc kecepatan 03 ccjam

Diskusi USG memberikan dua keuntungan untuk tindakan block caudal pada pediatri yaitu pertama kemampuan untuk identifikasi area sacral menjadi lebih cepat dan kedua mampu mengkonfirmasi bahwa obat yang disuntikkan berada pada area yang tepat Viscerotome untuk laparotomi pediatric adalah pada Th6 kateter epidural pada kedua kasus dengan tuntunan USG mampu mencapai Th 10 dan memberikan hasil anesthesia yang baik intra dan pasca operasi

Kesimpulan USG pada kasus ini mampu memberikan kesuksesan penempatan kateter caudal thorakal epiduraldan diharapkan lebih banyak lagi studi yang mempelajari kasus caudal thoracal epidural mempergunakan USG sebagai tuntunanKata kunci caudal thorakal epidural laparotomi pediatri tuntunan USG

Daftar Pustaka1 Smithrsquos Anesthesia for Infant and Children Elsevier 2011 hal 463-474 2 Pain Management HandbookNational Library of Malaysia2013 hal110-1303 Ultrasonography and Pediatric Caudal Journal of Anesth Analg2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26

Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi Umum

M Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

Pendahuluan Kehamilan pada wanita dengan defek septal atrial (DSA) akan meningkatkan risiko kematian ibu dan janin Pada wanita dengan DSA serta hipertensi pulmonal kehamilan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat Oleh karenanya manajemen perioperatif memegang peranan penting

Laporan kasus Kami melaporkan kasus wanita 39 tahun direncanakan untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kehamilan 24 minggu akibat plasenta previa totalis Pasien juga menderita DSA sejak lahir dan dijumpai sesak nafas Ekokardiografi menunjukkan adanya defek septal atrial (26 mm) hipertensi pulmonal ( 50 mmHg ) regurgitasi trikuspidalis ringan dan fraksi ejeksi 78 Teknik anestesi dengan preoksigenasi 100 oksigen selama 5 menit premedikasi dengan pemberian intravena Sulfas Atropin 025 mg dan Fentanyl 50 microg Induksi menggunakan Ketamin 50 mg kemudian Atrakurium 30 mg sebagai obat relaksasi otot dan dilakukan intubasi endotrakeal Selama operasi anestesi inhalasi menggunakan isofluran 05 - 06 dan fentanil 50 microgjam intravena sebagai anti nyeri rumatan

Pembahasan Manajemen anestesi umum pada pasien dengan defek septal atrial dan hipertensi pulmonal diprioritaskan terhadap teknik anestesi dan pemberian obat-obatan untuk mencegah penurunan dari tahanan pembuluh darah sistemikmencegah depresi otot jantungserta mencegah suatu keadaan hipoksiahiperkarbidan nyeri yang akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paruPada kasus ini digunakan ketamin yang dapat mencegah penurunan tahanan pembuluh darah sistemikdan mempuyai efek anti nyeri yang baik apalagi dikombinasi dengan golongan opiod seperti fentanildimana nyeri juga menjadi pencetus utama yang dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemikTerpeliharanya tahanan pembuluh darah sistemik agar tidak turun akan mencegah timbulnya shunt dari kanan ke kiri jantungShunt ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada pasien

Kesimpulan Kami menyimpulkan bahwa tindakan anestesi umum pada pasien hamil dengan defek septum atrium dan hipertensi pulmonal lebih dipertimbangkan karena dengan anestesi umum dapat dihindari penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan tahanan pembuluh darah paru yang akan mencetuskan suatu komplikasi berat

Kata kunci defek septal atrial Hipertensi arteri pulmonal Operasi sesar hipotensi hipoksemi hiperkarbi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-27

Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular Response

Marilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja

PPDS I Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANPasien geriatri akan memiliki beberapa penyakit dasar terkait dengan peningkatan usia

dan perubahan fisiologis terutama dalam sistem kardiovaskuler Pada pasien dengan gagal jantung kronis kebutuhan oksigen miokard dijaga agar tidak melebihi pasokan

Perangkat berikut ini penting bagi pelaksanaan anestesi yang aman antara lain EKG pemantauan tekanan arteri non-invasif pulse oksimetri kapnografi dan juga harus dilengkapi dengan pemantauan kardiovaskuler invasif

Perhatian khusus diberikan dalam memilih teknik anestesi yang mampu mengendalikan perubahan hemodinamik yang terjadi akibat adanya intervensi anestesi

KASUSPria 78 tahun BB 60 kg dengan perdarahan subdural kronis menjalani prosedur borehole

drainase Memiliki riwayat gagal jantung kronis dengan obat-obatan yang tidak diketahui Pasien dinilai dengan ASA III dengan masalah pada sistem saraf pusat dan kardiovaskuler Kesadarannya masih baik tekanan darahnya tinggi (sekitar 160-20090-120mmHg) dengan EKG-nya AF slow ventricular response (HR 45-50kalimenit) LAD CRBBB dan dari ekokardiografi didapatkan kardiomiopati iskemik MR moderate dan hipokinetik septal pada segmen anterior

Diberikan fentanyl 25mcg sebelum pemasangan artery line lalu 75mcg berikutnya sebagai analgetik Induksi dengan TCI Propofol dengan target efek 3-4 mcgml Agen inotropik dobutamin juga diberikan dan dipertahankan sampai akhir operasi Vecuronium 5 mg dipakai sebagai pelumpuh otot utama dan untuk pemeliharaan memakai compressed air oksigen dan TCI Propofol

Hemodinamik intraoperatifnya stabil pada MAP 120mmHg (136-18280-100mmHg) namun kadang irama EKG-nya menjadi ekstrasistol bigemini dan bahkan ventrikuler takikardia dengan nadi Operasinya berlangsung selama 45 menit dan pasien dipindahkan ke ICU untuk pemantauan pascaoperasi

PEMBAHASANSelain pemantauan hemodinamik dasar artery line juga dipasang untuk memantau

tekanan darah dari waktu ke waktu TCI Propofol dipilih dibanding volatil untuk mencegah gangguan pada autoregulasi otak Relaksasi otot memakai vecuronium untuk menghindari peningkatan TIK Dobutamin dipilih sebagai topangan untuk miokard pasien gagal jantung dengan output yang rendah

KESIMPULANKeseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard pemantauan invasif

intraoperatif yang seksama serta manajemen anestesi yang handal adalah kunci untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

memperoleh anestesi yang aman untuk pasien ini Teknik anestesi yang digunakan tidak hanya demi memberikan kualitas kedalaman anestesi untuk operasi kepala namun juga untuk menjaga pasokan oksigen miokard agar mencegah iskemia miokard durante operasi

Kata kunci manajemen anestesi perdarahan subdural gagal jantung kronis atrial fibrilasi slow ventricular response

P-28

Sensitivitas Dan Spesifisitasensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCU

Meili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Abstrak

Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) adalah prediktor independen terhadap mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit Angka kejadian AKI di Intensive Care Unit (ICU) 60-70 mortalitas dari pasien tersebut mencapai 60 Diagnosis AKI saat ini ditegakkan dengan penilaian kenaikan kreatinin serum yang tidak reliabel dan terdeteksi setelah kerusakan ginjal terjadi Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) merupakan penanda untuk menilai kerusakan ginjal yang dapat terdeteksi lebih awal sebelum terjadi kenaikan kreatinin Penggunaan NGAL pada pasien ICU dan NHCU yang mengalami gangguan ginjal belum dapat ditentukan waktu mulai terjadinya AKI sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Objektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan NGAL plasma dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Metode Uji diagnostik telah dilakukan di ICU dan HCU (High Care Unit) RS Dr Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Desember 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 53 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi Semua sampel diperiksa kadar NGAL dengan menggunakan Alere Triagereg kit dan kreatinin serum Analisis hasil pemeriksaan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan SPSSreg versi 220 dan MedCalc versi 127

Hasil Hasil penelitian menunjukkan pada cut-off point 150 ngml NGAL plasma memiliki sensitivitas 88 spesifisitas 81 nilai prediksi positif 88 nilai prediksi negatif 88 dan akurasi 85

Simpulan Pemeriksaan NGAL plasma lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan waktu mulai terjadinya AKI dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Kata kunci AKI kreatinin NGAL plasma ICUHCU uji diagnostik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-29

Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan Kasus

Mohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar Belakang Tindakan koreksi skoliosis thorakalis membutuhkan manajemen anestesi perioperatif yang cermat dikarenakan terdapatnya permasalahan fisiologis yang sangat kompleks yang dapat menjadi penyulit Fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang paling sering terganggu pada skoliosis thorakalis tergantung dari derajat lengkungan yang ditimbulkanKonsiderasi anestesi pada tindakan koreksi skoliosis meliputi manajemen anestesi pada posisi prone teknik anestesi dengan hipotensi kendali kejadian hipotermia resiko terjadinya emboli udara Penggunaan opioid dosis tinggi sangat menguntungkan dimana opioid dosis tinggi tidak mempengaruhi hemodinamik durante operasi dan mengurangi penggunaan analgetik pasca operasi

Kasus Anak perempuan berusia 11 tahun dengan skoliosis thorakalis vertebrae thorakal VII ndash vertebrae thorakal XI yang dilakukan koreksi skoliosis Pada pasien ini didapatkan cobbrsquos angle sebesar 800 sehingga diprediksi terdapat gangguan dari fungsi respirasi Untuk fungsi kardiovaskuler dan neurologis tidak ada kelainanInduksi anestesi dengan menggunakan propofol 70 mg IV atracurium 30 mg IV fentanyl 200 mcg IV dengan rumatan menggunakan fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam daninhalasisevoflurane 1 vol dalam O2 dan airProsedur berlangsung selama 5 jam dengan perdarahan 800 mlPasca operasi pasien di pindahkan kePediatric Intensive Care Unit dengan retensi Endotracheal tube untuk evaluasi fungsi respirasi dan kardiovaskuler Analgetik pasca operasi menggunakan morphine kontinu 10mcgkgbbjamSatu hari perawatan di PICU didapatkan fungsi respirasi dan kardiovaskuler dalam batas normal sehingga dapat dilakukan ekstubasi

Diskusi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam dinilai efektif dalam mengurangi perdarahan tanpa mengganggu stabilitas hemodinamik durante operasi Tindakan wake up test dilakukan dengan pasien dalam kondisi koperatif tanpa agitasi Kebutuhan obat analgetik pasca operasi pun dapat dikurangi

Kesimpulan Manajemen perioperatif yang dimulai dari pre anestesi yang baik dapat memprediksikan kesulitan yang akan timbul pasca operasi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu memberikan banyak keuntungan dalam tindakan koreksi skoliosis

Kata Kunci Skoliosis thorakalisCobbrsquos angleposisi prone Opioid Based

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-30

Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum

Laparoskopi Kolesistektomi

Muhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Pembedahan dan anestesi menyebabkan respon stres berupa pelepasan hormon katabolik seperti kortisol dan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek fentanil dan morfin intravena terhadap penekanan respon stres pembedahan di bawah anestesi umum pada orang dewasa

Metode Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Setelah memperoleh persetujuan dari komite etik dan persetujuan tertulis dari pasien pasien usia 18-64 tahun dengan status ASA PS 1-2 dan IMT lt 30 kgm2 yang akan menjalani prosedur laparoskopi kolesistektomi elektif diikutsertakan dalam penelitian ini Pasien dibagi menjadi kelompok F (n=25) mendapatkan fentanil 2 mcgkgBB dengan pemeliharaan 1 mcgkgBBjam dan kelompok M (n=25) mendapatkan morfin 02 mgkgBB dengan pemeliharaan 01 mgkgBBjam Pengambilan sampel darah untuk kadar kortisol dilakukan sebelum prosedur (T0) 30 menit pembedahan (T1) dan setelah ekstubasi (T2) Pengamatan hemodinamik meliputi tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) dilakukan pada beberapa waktu selama pembedahan Data diuji menggunakan uji statistik yang sesuai p lt 005 dinyatakan bermakna

Hasil Karakteristik sampel berupa umur jenis kelamin IMT ASA PS dan lama operasi dinyatakan homogen secara statistik Kadar kortisol pada kelompok fentanil meningkat dari waktu ke waktu yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan berlanjut sampai akhir anestesi (p= 0001) Pada kelompok morfin terjadi peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan menurun pada akhir anestesi (p =0240) Kedua kelompok memberikan kestabilan hemodinamik selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi kecuali pada saat intubasi endotrakeal terjadi peningkatan TAR (p=0000) dan peningkatan LJ (p=0000) namun perubahan TAR dan LJ tidak lebih 20 dari nilai basal

Kesimpulan Tidak terjadi penekanan kadar kortisol selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi pada kedua kelompok Peningkatan kadar kortisol darah pada akhir anestesi ditemukan pada kelompok fentanil tidak pada kelompok morfin Hemodinamik relatif stabil kecuali saat intubasi endotrakeal

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-31

Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epidural

Muhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar belakang Hipertensi pulmonal merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dan akan meningkatkan mortalitas bila dialami oleh wanita hamil Penanganan wanita hamil dengan hipertensi pulmonal merupakan suatu tantangan di bidang anesthesia Pada laporan kasus ini akan dijelaskan mengenai penatalaksanaan anestesi pada wanita disertai dengan adanya hipertensi pulmonal yang menjalani operasi seksio sesarea dalam anesthesia regional epidural

Presentasi kasus Wanita berusia 24 tahun dengan diagnose gravida 34-35 minggu dengan premature kontraksi disertai adanya hipertensi pulmonal Dari echokardiografi didapatkan adanya dilatasi atrium dan ventrikel kanan hipertensi pulmonal berat dan regurgitasi tricuspid sedang Kemudian operasi dilakukan dalam regional epidural Epidural blok dilakukan dalam posisi duduk pada L3-4 dengan memasukan kateter setinggi T10 Diberikan total bupivacaine 05 sebanyak 19 cc Blok setinggi T6 Bayi lahir dengan APGAR skor 6-8 Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ICU

Kesimpulan Hipertensi pulmonal dalam kehamilan memiliki angka mortalitas yang tinggi Tindakan anesthesia epidural merupakan tehnik yang paling memiliki efek minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan spinal maupun general anesthesia Maka dari itu tehnik ini merupakan tehnik yang paling aman untuk operasi seksio sesarea

Kata kunci Hipertensi pulmonal seksio sesarea anesthesia epidural

P-32

Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green Code

Novita Pradnyani1 Ketut Wibawa Nada2 IMG Widnyana2

1 Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ Udayana Bali2 Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ UdayanaBali

Abstrak

Latar belakangPeningkatan jumlah penduduk yang tidak dibarengi program KB yang baik berakibat

ANC yang teratur sehingga seringkali ibu hamil datang dengan kelainan penyerta yang serius

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dan membutuhkan persiapan anestesi yang lebih rumit Di sisi lain kasus tersebut terkadang kita jumpai dalam keadaan gawat darurat baik gawat janin ataupun gawat ibu sehingga tidak dapat dilakukan persiapan maksimal

Deskripsi KasusGravida 41 tahun ASA IIIE dengan G3P2002 28-29 mgg TH PEB Primi tua sekunder

plasenta previa totalis riwayat asma susp Oedema paru partial HELLP syndrome AHF ec Peripartum cardiomiopaty dengan FC III dilakukan SC green code ec KTG patologis Echo bedside didapatkan MR mild TR mild SV 58mL CO 727L SVR 1378 TAPSE 386 EF biplane 299 AGD pH 743 pCO2 19 pO2 141 HCO3 126 BE 117 SaO2 99 (FiO2 06 RR 25-26xmnt)

Premedikasi ketamin 10mg dan midazolam 05mg dengan anestesi RA BSA lateral decubitus di L3-4 dengan Bupivacain 05 heavy 10mg dan fentanyl 25 mcg dengan blok sensorik setinggi T6 Lahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudahLahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudah bayi lahir posisi ibu head up 30deg Post bayi lahir kontraksi uterus kurang baik sehingga dilakukan histerektomi Fluktuasi tekanan darah selama operasi 2 jam 45 menit TD 110-14560-88 mmHg nadi 80-95xmnt RR 20-23xmenit Dengan perdarahan plusmn2000 ml cairan masuk Kristaloid 1000mL dan koloid 500mL PRC 250mL Pasca operasi perawatan di ICU untuk moitoring dan pasien pulang di hari ke 4

Pembahasan Peningkatan beban jantung yang dimulai pada trimester ketiga (28minggu) membeikan beban pada kardiovaskular ibu hamil yang telah terganggu sebelum kehamilan dengan tambahan beban afterload karena PEB Kala III memberikan beban tambahan karena backflow aliran uteroplacental posisi head up dapat mengurangi aliran balik RA BSA dan posisi pasien dapat menjaga hemodinamik dan memberikan relaksasi yang cukup

Kesimpulan RA BSA dapat dijadikan pilihan untuk SC dengan AHF peripartum cardiomiopati dengan pemantauan dosis dan teknik yang baik

Kata kunc Gravida AHF peripartum cardiomiopati RA BSA Back flow Head up

DaftarPustaka

1 Miller D Ronald Millerrsquos Anesthesia 7th ed Churchill Livingstone 20052 Morgan G Edward Mikhail Maged S Murray Michael J Clinical Anesthesiologi 4th ed

New York Lange Medical BooksMcGrawHill 2006 3 David H Chestnut MD Cynthia A Wong MD Lawrence C Tsen MD Warwick D

Ngan Kee Yaakov Beilin MD and Jill Mhyre MD Chestnutrsquos Obstetric Anesthesia Principles and Practice 4th Edition Philadelphia Elsevier Mosby 2009

4 Roberta L Hines Katherine E Marschall Stoeltingrsquos Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed Philadelphia Elsevier 2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-33

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra

Bagian Ilmu Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas HasanuddinRumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar

Abstrak

Latar Belakang Blok transversusabdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman mudah dan efektif untuk memberikan analgesia pasca bedah pada operasi yang melibatkan dinding anterior abdomen Penelitian ini bertujuan menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pasca bedah herniorafi

MetodePenelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Penelitian dilakukan pada 44 pasien usia 18-60 tahun status fisik ASA I-II dan IMT 18-24 yang menjalani operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal di RS dr Wahidin Sudirohusodo dan jejaring di Makassar mulai bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 025 20 ml ditambahkan epinefrin 1200000 setelah operasi selesai dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 01 mgkgBBinfuskontinyu pada akhir operasi Penilaian skala nyeri digunakan Numeric Rating Scale (NRS) Bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 05 mcgkgBB waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pasca bedah dicatat Data dianalisis secara dengan menggunakan uji Mann Whitney dinyatakan bermakna bila plt 005

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian bersifat homogeny pada kedua kelompok Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok control (1781 plusmn 762 berbanding 915 plusmn 812 jam plt0001) Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (921 plusmn 1359 berbanding3088 plusmn 2039 mcg p=002)

Kesimpulan Blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodalmemberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibandingkan dengankontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi

Kata kunci blok TAP herniorafi teknik landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-34

Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi Spinal

Nurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli

Dept Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Operasi ortopedi ekstremitas bawah merupakan jenis operasi dengan skala nyeri pascaoperasi yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan nyeri yang baik Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor NMDA dan penghambat saluran kalsium memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia

Penelitian dilakukan secara uji klinis berpembanding buta ganda Penelitian efektivitas pemberian magnesium sulfat intravena terhadap nilai VAS dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 38 pasien dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal kelompok I (grup M) berjumlah 19 peserta bolus MgSO4 intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan MgSO4 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi dan kelompok II (grup K) 16 peserta bolus Nacl 09 03 mlkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan Nacl 09 01 mlkgbbjam sampai akhir operasiTiga peserta drop out karena gagal spinal dan operasi yang lama Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium pada semua subyek penelitian Penilaian nyeri menggunakan nilai VAS setelah selesai operasi pada 30 menit 1 2 4 6 12 18 dan 24 jam pascaoperasi Bila nilai vas gt 3 diberikan analgetik pertolongan petidin 05 mgkgbb Analisa statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan x2 test dan Fisher exact test dan dianalisa dengan program SPSS 20 for windows

Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik umum jenis dan lama operasi jumlah cairan intraoperatif serta kadar magnesium darah prabedah antara kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda Nilai VAS grup M secara statistik lebih rendah (p lt 005) dibandingkan grup K pada jam ke 18 dan 24 Jumlah pemberian analgetik petidin dalam 24 jam pascaoperasi lebih rendah pada grup M dibandingkan grup K (plt005)

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan dosis rumatan 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi menghasilkan nilai VAS lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik petidin dalam 24 jam pada pasien pascaoperasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal

Kata Kunci Analgetik pascaoperasi Magnesium Sulfat nilai VAS pascaoperasi Operasi ortopedi ekstremitas bawah Uji klinis acak berpembanding

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-35

Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty

Pande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PendahuluanAnestesi yang aman pada pediatrik tergantung pada pemahaman yang menyeluruh

tentang fisiologi dan farmakologi dan perbedaan antara pediatrik dan dewasa Pada pasien dengan single kidney memerlukan strategi anestesi yang khusus

Presentasi kasusPasien pediatrik 3 tahun berat badan 11 kg dikeluhkan tidak mempunyai lubang

anus sejak lahir telah dilakukan operasi kolostomi saat umur 1 hari Dari pemeriksaan USG ditemukan pasien dengan satu ginjal Pada pasien telah dilakukan PSARVUP (Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty) dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa endotracheal ukuran 45 dan dilakukan pemasangan caudal Telah diberikan midazolam 05 mg iv ketamine 10 mg iv fentanyl 20 mcg iv atracurium 5 mg iv Caudal analgesia dengan bolus Bupivacaine 025 + Fentanyl 10 mcg volume 6 ml 30 menit kemudian dilanjutkan dengan caudal kontinyu Bupivacaine 01 + Fentanyl 50 mcg volume 50 ml dengan kecepatan 2 mljam Durasi pembedahan 6 jam Post operasi pasien dirawat di PICU selama 2 hari

DiskusiManagemen anestesi untuk pediatrik dapat dilakukan anestesi umum dan caudal

kontinyu Pada pasien ini caudal kontinyu dapat sebagai pilihan karena dapat memberikan relaksasi dan analgesia sekaligus menurunkan kebutuhan obat sistemik pada pasien dengan single kidney Keuntungan lainnya caudal analgesia dapat digunakan untuk analgesia post operasi

KesimpulanKombinasi anestesi umum dan caudal kontinyu dapat menjadi alternative pada

pembedahan urogenital pada pediatric untuk menghindari penggunaan obat sistemik sehingga meminimalisasi efek samping sistemik yang dapat mengganggu fungsi ginjal dan memperpanjang waktu pulih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36

Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi ndashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid

Thorakal

Pradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit++

Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

dr SpAnKARDRdr ++SpAnKARdr

Abstrak

Latar Belakang Pemilihan Caudal Anesthesia Single Shot dianggap lebih praktis dan mampu memenuhi kebutuhan anesthesia - analgesia untuk tindakan pembedahan pada anak Di RSUP Sanglah Denpasar terdapat 405 (10) pembedahan pediatri dari total 4059 kasus sepanjang tahun 2014 dengan 217 (52) kasus diantaranya adalah dengan anomaly digestif dan dikerjakan dengan teknik anestesi kombinasi GA-Caudal anesthesia Penggunaan formula Armitage dijadikan pedoman untuk pemberian dosis caudal pediatrik yaitu 05mlkg untuk blok setinggi lumbosakral 1mlkg untuk torako lumbal dan 125mlkg untuk mid torakal Laporan kasus ini ingin menunjukkan ketinggian segmen yang bias dicapai pada penggunaan Caudal Anesthesia Single Shot dengandosis mid torakal (125 mlkg) dengan ultrasonografi-doppler pada 4 pasien ASA I ndash II yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dibawah pengaruh Anestesi Umum

Metode 4 Pasien ASA I ndashII usia 8 bulan hingga 4 tahun dengan berat badan 7ndash16 kg menjalani prosedur operasi abdomen bagian bawah PSARP kolostomi dan tutup kolostomi Setelah dilakukan Induksi Anestesi Umum dan dilakukan pemasangan jalur IV pasien diposisikan pada posisi Sim dan disiapkan untuk dilakukan Caudal Block Dengan jarum abocath 20G dimasukkan obat anestesi lokalBupivacain 015 Dengan bantuan ultrasonografindashdoppler dipastikan bahwa jarum telah masuk di ruang epidural dan kemudian diamati pergerakan cairan serta dilatasi dari ruang epidural saat obat anestesi local masuk ke ruang epidural sehingga diketahui ketinggian segmen yang dicapai Rata-rata saat dosis mencapai 125mlkg Nampak bahwa pergerakan cairan anestesi local hanya mencapai segmen L2-3

Hasil Durante operasi tampak terjadi peningkatan nadi yang signifikan saat manipulasi pembedahan dilakukan pada bagian yang lebihtinggi sehingga diberikan penambahan opiat Fentanyl berkala

Kesimpulan Caudal Anesthesia Single Shot sebagai pilihan anestesi yang aman dan mudah dilakukan untuk pasien pediatri namun hanya dapat digunakan untuk prosedur pembedahan yang di kerjakan di bawahsegmen L2Untuk prosedur pembedahan diatas segmen L2 perlu dipertimbangkan pemasangan kateter sehingga bias mencapai segmen yang lebih tinggi

Kata kunci blok kaudal single shot armitage ultrasonografi doppler

Referensi 1 Donald Schwartz M amp Karthik Raghunathan M 2008 Ultrasonography and Pediatric

Caudals Anesthesia and Analgesia 106 pp97-99

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

2 Santhanam Suresh MD LJTBaASM 2011 Ultrasound Imaging for Pediatric Anesthesia A Review In MM Tanabe ed Ultrasound Imaging Rijeka Croatia InTech pp189-210

3 Soliman IE (2003 May) Pediatric pain management facts and myths University of Pittsburgh Nurse Anesthesia Program Lecture Pittsburgh PA

4 Barash PG Cullen BF and Stoelting RK(2001) Fourth Edition Clinical Anesthesia Philadelphia Lippincott Wiliams amp Wilkins

P-37

Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien Mastektomi

Puja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto PujoErwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstrak

Latar belakang CRP adalah protein fase akut yang kadarnya dalam darah sangat berkaitan erat dengan respon inflamasi akut yang terjadiTindakan pembedahan dan puasa yang berkepanjangan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan mediator inflamasifaseakut melalui proses yang rumit

Tujuan Membuktikan pengaruh pemberian minuman karbohidrat dan protein whey praoperasi terhadap kadar CRP pascaoperasi pada pasien mastektomi

Metode Penelitian jenis uji klinis acak terkontrol Sampel penelitian sebanyak 26 dibagi menjadi 2 kelompok Kelompok perlakuan (13 sampel) diberikan 400 mL minuman karbohidrat dan protein whey malam sebelum operasi dan 200 mL 4 jam sebelum operasi Kelompok kontrol diberikan air mineral dengan jumlah dan waktu pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan Kedua kelompok diperiksa kadar CRP pra dan pascaoperasi

Hasil Terdapat perbedaan bermakna ( p = 0001) pada kadarCRP pascaoperasi antara kelompok kontrol yaitu 762 plusmn 2074 dibandingkan dengan CRP pascaoperasi kelompok perlakuan yaitu 281 plusmn 2920 Selain itu juga terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0000) dalam selisih kadar CRP praoperasi dan pascaoperasi pada kelompok kontrol yaitu 536 plusmn 0535 dibandingkan dengan kelompok perlakuan yaitu 089 plusmn 0938

Kesimpulan Pemberian minuman karbohidrat dan protein whey pra operasi terbukti menurunkan respon inflamasi fase akut pascaoperasi yang tergambar dari peningkatan kadar CRP pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

Kata kunci CRP respon inflamasi akut pemberian minuman karbohidrat dan protein whey

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-38

Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik Sedang

Rezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Cedera otak terutama cedera otak sedang dan berat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dinamis pada metabolisme otak berkurangnya laju metabolisme dan timbulnya krisis energi Perubahan -perubahan tersebut dapat diekspresikan oleh dinamika kadar glukosa dan laktat darah

Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 30 orang pasien yang menjalani pembedahan kraniektomi darurat dan mendapatkan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1 vol + fentanil 1 mcgkgBBjam atau menggunakan propofol 100 microgkgBBmenit + fentanil 1 microgkgBBjam Sampel darah pengukuran glukosa dan laktat yang diambil pada titik-titik waktu yang tepat 30 menit sebelum awal operasi (T0) sebelum induksi (T1) 30 menit setelah operasi dimulai (T2) setelah ekstubasi (T3) dan 1 jam setelah operasi (T4) Hasil diproses dengan nonparametrik uji Mann-Whitney

Hasil Kadar glukosa diukur pada saat T2 pada kelompok propofol-fentanil secara signifikan lebih rendah (P = 0032) dibandingkan kelompok sevofluran-fentanil Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok tidak bermakna pada setiap pengukuran Korelasi kadar glukosa dan laktat darah kedua kelompokbernilai positif untuk T0 T1 T3 dan T4 Untuk T2 korelasi bernilai negatif (-0288) Korelasi yang sangat kuat atau signifikan terjadi pada waktu T1 dan T4

Kesimpulan Nilai rerata kadar glukosa dan laktat pada kedua kelompok tidak mengalami gejolak yang bermakna dan semakin besar nilai laktat maka kadar gula darah juga akan semakin meningkat

P-39

General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession Intrakranial

Ruddy Hardiansyah Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi amp Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

INTRODUCTIONTotal tiroidektomi adalah tindakan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua

lobus Permasalahan neurologi yang menyertai operasi tiroid tidak jarang dijumpai Otak merupakan salah satu organ yang menjadi target metastase dari karsinoma tiroid Penilaian

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

fisik dan penunjang neurologi merupakan hal yang mutlak diketahui sebelum perencanaan anestesi pada tindakan total tiroidektomi Manajemen anestesi pada kondisi tersebut menjadi lebih kompleks mengingat tiroidektomi merupakan tindakan pembedahan di area jalan nafas ditambah dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi akibat massa di otak Oleh karena itu merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menerapkan tehnik neuroanestesia dalam mencegah secondary brain injury selama tindakan pembedahan tiroid dan perawatan post operasi

Kata kunci neuroanestesia karsinoma tiroid total tiroidektomi sol intrakranial

CASE REPORTPerempuan umur 46 tahun (berat badan 60 Kg) datang ke Rumah Sakit Haji Adam Malik

Medan dengan keluhan benjolan pada leher yang dialami selama 8 tahun Pada pemeriksaan fisik dijumpai benjolan pada leher yang ikut bergerak saat pasien menelan dan benjolan pada bagian belakang atas kepala Tekanan darah 13080 mmHg nadi 86 xi dengan Glasgow Coma Scale score 15 tanpa defisit neurologis Pada foto cervical APlateral dijumpai pendorongan trakea ke kanan dengan sedikit penyempitan setinggi cervical 5 Pada axial cerebral computed tomography menunjukkan massa di regio parieto-occipital mendestruksi tulang dan meluas ke intraserebral Labotarorium dijumpai fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid Propanolol 20 mg dan propiltiourasil 100 mg per 8 jam oral sudah dikonsumsi selama 2 bulan sebelumnya Persiapan preoperasi meliputi penyediaan ETT beberapa ukuran sesuai dengan ukuran trakea pada foto cervical pipa lambung NaCl dingin dan paracetamol 500 mg propiltiourasil 400 mg serta propanolol 40 mg yang telah digerus Premedikasi diberikan midazolam 5 mg dan fentanyl 120 mcg secara intaravena Setelah preoksigenasi induksi dilakukan dengan pemberian propofol 120 mg rocuronium 50 mg dan lidocain 60 mg Intubasi endotrakea dengan tube 70 mm dilakukan dengan smooth Anestesia di maintenance dengan sevofluran 1 oksigen ndash air masing-masing 2 Li fentanyl 60 mcg dan rocuronium 10 mg setiap jamnya Tekanan darah selama operasi sistol 100 ndash 120 mmHg diastol 59 - 71 mmHg normokapni dengan perdarahan plusmn 380 cc Massa tiroid berhasil diangkat tanpa mencederai Nervus Laryngeal Recurrent Fentanyl 60 mcg dan lidocain 60 mg diberikan untuk mencegah nyeri dan peningkatan tekanan darah ketika pasien bernafas spontan dengan oksigen murni selama 15 menit sebelum dibangunkan evaluasi pita suara dan ekstubasi Perawatan post operasi dilakukan diruang perawatan intensif dengan fentanyl 30 mcg perjam secara kontiniu untuk penanganan nyeri Evaluasi kesadaran suara kadar calsium dan magnesium dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan post operasi

DISCUSSIONTindakan total tiroidektomi pada karsinoma tiroid dengan massa intrakranial

menggunakan anestesi umum dengan tehnik neuroanestesi Penanganan anestesi ditujukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan secondary brain injury dengan menjaga CPP 70 ndash 90 mmHg dan normokapni Analgesia adekuat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik dan tekanan intrakranial saat intubasi evaluasi pita suara ekstubasi dan penanganan nyeri post operasi

CONCLUSIONAnestesi umum dengan tehnik neuroanestesia harus digunakan pada tindakan

pembedahan yang disertai permasalahan neurologi Penjajakan neurologi menjadi hal yang penting sebelum perencanaan anestesi Peningkatan TIK dan secondary brain injury harus dihindari selama prosedur tindakan pembedahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Referensi 1 Cottrell James E Newfield Philippa et al Handbook of Neuroanesthesia Anethesia

and Neurosurgery Lipincott William amp Wilkins 5th edition 2012 P 86-972 Bisri T Penanganan Neuroanestesi dan Critical Care Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung 20123 Gurvitch LD Yao FS Anesthesiology Problem- Oriented Patient Management The

endocrine System Lipincott William amp Wilkins 7th edition 2012 P 575 - 604

P-40

Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan Kasus

Semarawima Gede Budiarta I Gede

Bagian Anestesi dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar BelakangTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum

dengan angka kejadian 15 dari seluruh massa mediastinum Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun kronis yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi Hiperplasia timus terjadi lebih dari 70 pada pasien dengan miastenia gravis dan 10-15 pasien ini menderita timoma

Diskripsi KasusASA III Perempuan umur 54 tahun dengan keluhan utama kelopak mata terasa berat

suara cadel susah mengunyah dan menelan di sore hari sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Tidak didapatkan tanda-tanda sindrom vena cava superior Didiagnosis miastenia gravis sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan diberikan terapi Pyridostigmine 60 mg 12 jam PO Methylprednisolon 8 mg 12 jam PO Pada pemeriksaan penunjang didapatkan massa di anterosuperior mediastinum retrosternal dengan ukuran 4x45x6 cm gambaran ini mengarah ke keganasan timus Rekaman ENMG dalam batas normal

Pada persiapan pra operasi obat Pyridostigmine tetap dilanjutkan pemberianya Dilakukan operasi timektomi dengan general anestesi pemasangan pipa endotrakeal dengan epidural anestesia Ko-induksi dengan Fentanyl 3 mcgkgbb induksi dengan Propofol 2 mgkgbb fasilitas intubasi tanpa menggunakan pelumpuh otot Pemeliharaan dengan Compressed air Oksigen Sevoflurane 13 vol Epidural anestesia dengan regimen Bupivacain 025 + Morfin 2 mg volume 6 ml Lama operasi 2 jam 30 menit dengan fluktuasi tekanan darah selama operasi 90-12558-83 mmHg Nadi 64-98 kalimenit Lama anestesi 3 jam 10 menit dan sebelum pasien di ekstubasi diberikan Prostigmin 006 mgkgbb Selanjutnya pasien dirawat di ruang intensif

00Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanPenatalaksanaan anestesi tidak menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari sindrom

paraneoplastik akibat timoma dan miastenia gravis Miastenia gravis akan mempengaruhi efek pelumpuh otot yang sangat sensitif terhadap pelumpuh otot golongan depolarisasi

Kata Kunci Timoma Miastenia Gravis Sindrome Prostigmin Anestesia

P-41

Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan

Pervaginam

Sitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Analgesia persalinan intratekal (ILA) adalah salah satu teknik analgesia regional untuk mengatasi nyeri persalinan Penelitian ini membandingkan penambahan klonidin 45 μg fentanil 25 μg dan fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg sebagai adjuvan analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg terhadap durasi analgesia hemodinamik dan intensitas nyeri pada persalinan pervaginam

Metode Penelitian ini adalah penelitian eksperimental acak tersamar tunggal yang menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan teknik ILA Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di bagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 17 orang Semua kelompok menggunakan 25 mg bupivakain 01 sebagai anestesi lokal Kelompok BF diberikan adjuvan 25 μg fentanil kelompok BK diberikan 45 μg klonidin dan kelompok BFK diberikan 25 μg fentanil plus 45 μg klonidin Penilaian dilakukan pada saat fase aktif (pembukaan 4-6 cm) Dilakukan pencatatan durasi analgesia hemodinamik intensitas nyeri skor Bromage efek samping dan skor APGAR Data yang terkumpul akan diuji dengan metode statistik yang sesuai

Hasil Karakteristik sampel berupa umur tinggi badan berat badan mula persalinan dan pembukaan serviks awal dinyatakan homogen secara statistik Durasi analgesia pada kelompok ILA BFK yakni (17124 plusmn 795) menit lebih lama dibandingkan kelompok ILA BK yakni (10753 plusmn 737) menit dan kelompok ILA BF yakni (9182 plusmn 354) menit Ketiga kelompok menunjukkankan kestabilan hemodinamik dan menurunkan intensitas nyeri selama efek analgesia masih berjalan

Kesimpulan Fentanil 25 μg + klonidin 45 μg sebagai adjuvan pada analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg pada persalinan pervaginam memiliki durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan klonidin 45 microg atau fentanil 25 microg

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-42

Laporan KasusManajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan

DIC dan Sepsis

Stefanus Taofik1 Abraham Taofik Putu Kurniyanta2 I Gede Budiarta2

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Spesialis Anestesi Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar belakangHernia diafragma traumatika adalah kasus yang jarang dijumpai dengan prevalensi 3-4

di dunia Hernia diaframatika seringkali asimptomatik sampai dengan timbulnya komplikasi dengan angka mortalitas tinggi Komplikasi yang timbul seringkali mempersulit manajemen anestesi (sepsis gangguan respirasi dan imbalance elektrolit) Permasalahan durasi operasi meliputi perdarahan gangguan respirasi dan hemodinamik dengan mempertahankan perfusi cerebral yang adekuat

Deskripsi KasusPediatri 7 tahun berat badan rendah 17kg dengan trauma tumpul abdomen dan cedera

otak ringan 16 hari pra operasi pasca KLL dengan terpasang WSD D Pada thorax X-ray CT SCAN dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan hernia diafragmatika dengan hematoma retroperitoneal Selama perawatan didapatkan sepsis dengan pemanjangan INR 516 dengan DIC score 6 dengan Procalcitonin 19 CPIS score 7 dan albumin 228grdL Dilakukan repair diafragma dengan GA OTT TIVA fentanyl-ketamin midazolam dan vecuronium intermitten dengan pemasangan monitor invasif artery line dan kateter vena sentral jugular D dengan panduan USG dan ETCO2 Pra tindakan dipastikan content cukup diberikan FFP 10mlkgbb dengan topangan NE 01-02 ugkgmenit Durante operasi hemodinamik dengan TD 95-10560-75mmhg dan nadi 103-112xmnt (sepsis) dengan urine output 23cckgjam selama 5 jam pembedahan dan desaturasi ec vq missmatch dan manipulasi pembedahan Perdarahan 400mL(30 EBV) dengan pengelolaan cairan PRC FFP dan koloid Durante didapatkan hepar gall bladder dan ileum yang menembus diafragma kanan dan atelektasis paru kanan Pasca operasi pasien dirawat di PICU dengan morfin-ketamin kontinyu dan ventilator support tanpa edema paru dengan perbaikan parameter respirasi dan hemodinamik pasca operasi Weaning dimulai hari ke 3 pasca operasi

PembahasanKompleksitas tindakan yang dibarengi dengan komplikasi yang terjadi dalam setting

pediatri BB rendah memberikan tantangan tersendiri Manajemen respirasi dengan ventilasi disesuaikan dengan Paw dan ETCO2 Pra tindakan dilakukan perbaikan content dengan menambahkan faktor koagulasi dan meningkatkan tekanan onkotik serta pemberian asam traneksamat sesuai CRASH TRIAL Pasca tindakan paru kanan dikembangkan bertahap dengan PEEP untuk mencegah terjadinya REPE (Reexpansion Pulmonary Edema) Gejolak hemodinamik diminimalkan dengan pemilihan regimen anestesi TIVA

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Kesimpulan Tindakan repair hernia diafragma traumatika memberikan tantangan yang berbeda

dengan non traumatika terutama pada setting pediatri Manajemen anestesi TIVA penguasaan respirasi hemodinamik dan mengenali komplikasi sebagai pemberat operasi dan memahami teknik operasi menjadi kunci dalam penanganan kasus ini

Kata kunci Hernia diafragma traumatika TIVA Reexpansion pulmonary edema DIC Panduan USG Sepsis

Daftar Pustaka1 The CRASH II Collaborator The importance of erly tranexamic acid in bleeding

trauma patients an exploratory analysis of the CRASH 2 randomized controlled trialLancet Volume 377 No 9771

2 Alqadi R ValenciaFC Viscusi M 2013 Reexpansion Pulmonary Edema Following Thoracentesis Rhode Island Medical Journal Vol Sept 2013 38-40

3 JaffeRA 2009 SamuelsSI Anesthesiologist Manual of Surgical Procedures 4th ed Chap7

4 MillerRD 2010 Milllerrsquos Anesthesia 7th ed Chap V72

P-43

Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik1 Musa Taofik Senapathi Tjok GA2 PAS Panji

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Konsultan Regional Anesthesia Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah 3 Konsultan Intensive Care Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar Belakang Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanag Icu untuk lebih efektif dan efisien Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU Pasien non bedah meskipun jumlahnya tidak banyak namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

Objektif Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring

Metode Penelitian ini melibatkan 184 pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah Denpasar yng diambil secara acak dari tgl 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II SOFA dan CSOFA Karakteristik data dari hasil penelitian ini dilakukan uji Saphiro wilkins dan Chi Square Uji analitik regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing suvariabel terhadap mortalitas dan selanjutnya mencari cutoff point dari analisa kura ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Hasil uji karakterisktik data memperlihatkan pengaruh usia AKI sepsis dan adanya penyakit kronis berkorelasi dengan mortalitas dengan plt0001 Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II SOFA dan CSOFA berturut turut didapatkan 0892 0919 dan 09172 Missing value terbanyak didapatkan pada berturut turut pada SOFA APACHE II dan CSOFA sebesar 8423 815 dan 165 dengan dominan subvariabel hepar (bilirubinikterik) Uji regresi logistik memperlihatkan subvariabel neurologi kardiovaskular dan respirasi memberikan korelasi bermakna terhadap mortalitas dengan OR 458 224 dan 147 Subvariabel lain yang berpengaruh antara lain AKI sepsis dan peyakit kronis dengan OR 814 389 dan 242 CSOFA yang disederhanakan dengan subvariabel Respirasi (sf ratio) neurologi (GCS) kardiovaskular creatinin dan koagulasi (platelet) memberikan nilai AuROC=09175 dengan missing value 165

Kesimpulan Sistem skoring CSOFA yang disederhanakan memberikan nilai diskriminasi yang tertinggi dengan missing value terendah pada pasien non bedah sehingga dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas di ICU

Kata kunci Sistem skoring APACHE II SOFA CSOFA AuROC missing value

Referensi 1 Halim DA Murni TW Ike SR 2009 Comparison of APACHE II SOFA and modified

SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr Hasan Sadikin general hospital Crit Care amp Shock 12157-169

2 Namendy-silva SA Medina-silva MA Barahona VGM Torres JAB 2013 Application of modified sequential organ failure assessment score to critically ill patients Braz J Med Biol Res 46(2) 186-193

3 Sunaryo A Ike SR BisriT 2012Perbandingan validasi APACHE II dan SOFA score untuk memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif Majalah Kedokteran terapi Intensif vol 2 11-20

4 Grissom CK Brown SM Kuttler KG Boltax JP 2010 A Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) for critical care triage Disaster Med Public Health Prep 4277-284

P-44

Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of Ameloblastoma

Taor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

Abstract

Ameloblastoma is tumor coming from the residue of dentition that would from odontogenic epithelium tumor Ameloblastoma tend to make anaesthetist experiences difficulty with facemask ventilation of the upper airway and tracheal intubation Management of difficult airway will always confront the anaesthetist This is one area of the practice that the

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

anaesthetist is required to develop divers skill suited for each clinical situation The ability to use the flexible fiberoptic bronchoscope (FOB) presents the anaesthetist with an addition tool to conduct endotracheal intubation when faced with a difficult airway

Keywords ameloblastoma difficult airway flexible fiberoptic bronchoscope

P-45

Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi

Departemen Anestesi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia -RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak

PendahuluanTransplantasihatidari donor hidup (THDH) merupakan pilihan terakhir pada pasien

dengan end stage liver disease (ESLD)Angka harapan hidup tiga tahun 70-82 tetapi prosedur ini sangat kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besarbaik dari segi biaya sarana dan personel

KasusResipien adalah laki-laki 18 tahundengan atresia bilier Donor berasal dari kakak pasien

yang sehatPersiapan THDH dilakukan 2 bulan meliputi optimalisasi pasien persiapan alat dan

obat serta tim perioperatif multidisiplinAnestesia menggunakan infusi kontinyu propofol fentanil dan atrakurium Rumatan menggunakan sevofluran dengan oksigen 40 Di samping EKG kapnografdan SpO2 pemantauan intraoperatif juga dilakukan dengan tekanan darah arterial tekanan vena sentral dan pulse contour analysis Selama operasi tekanan darah dijaga 13080 mmHg dan CVP pada masa pra-anhepatik lt5 mmHg Pemeriksaan intraoperatif berupa analisis gas darah elektrolit darah perifer fungsi koagulasi glukosa dan laktat Obat intravena yang digunakan dobutamin norepinefrin fenilefrin metilprednisolon CaCl2 dan dekstrosa 40

Pascabedah pasien diberikan terapi suportif menyeluruh dengan titik berat pada pemantauan perdarahan fungsi hepar fungsi ginjal dan fungsi kardiorespirasi

DiskusiMasalah utama pada periode pra-anhepatik adalah menjaga homeostasis sedekat

mungkin dengan nilai basal Dosis kecil norepinefrin digunakan untuk mencegah fluktuasi tekanan darah Dobutamin digunakan pada periode reperfusi untuk menjaga kecukupan perfusi jaringan setelah klem vena porta dilepas Pemberian CaCl2 dikarenakan pasien mendapat transfusi packed red cell yang mengandung sitrat dan mengikat kalsium cenderung menyebabkan hipokalsemia Pasien ESLD cenderung mengalami hipoglikemia Oleh sebab itu gula darah dipantau ketat sepanjang prosedur Ketika kadar gula darah turun diberikan infusi dekstrosa

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Masalah berikutnya adalah periode anhepatik Penjepitan vena kava inferior vena hepatika dan vena porta sebelum reseksi hepar berpotensi menyebabkan penurunan curah jantung oleh karena turunnya prabeban Untuk mengantisipasi ini dapat diberikan albumin 5

Masalah terbesar adalah periode reperfusi setelah aliran vena-vena di atas kembali (unclamping) Beban jantung dapat tiba-tiba meningkat yang dapat menyebabkan gagal kontraksi Penglepasan mediator inflamasi berakibat luas antara lain menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan jaringan termasuk miokard Itu sebabnya ketika prosedur dimulai diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi inflamasi berlebihan Reaksi ini juga yang menyebabkan rejeksi organ Pemberian dobutamin sangat membantu dalam mempertahankan kontraktilitas miokard

Reaksi inflamasi termasuk yang dipantau pada periode pascabedah di samping pemantauan fungsi hepar koagulasi dan sebagainya

Kesemua proses sejak persiapan pelaksanaan dan pascabedah memerlukan biaya yang relatif tinggi Prosedur optimalisasi pasien melibatkan berbagai pemeriksaan berbiaya tinggi Demikian pula pemantauan selama operasi dan penggunaan obat-obat multipel Namun demikian masalah terbesar dari seluruh proses ini adalah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat termasuk pemegang kebijakan di rumah sakit

SimpulanTransplantasi hepar dengan donor hidup sangat kompleks baik dari segi sarana

prasarana maupun prosedur anestesianya Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada fasilitas yang lengkap

Kata Kunci THDH praanhepatik anhepatik reperfusi perioperatif

P-46

Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan

Nasional

Tommy N Tanumihardja Grace Alvina

RS St Carolus Summarecon Serpong

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi kebidanan meliputi pengendalian nyeri pada persalinan

dan anestesi pada operasi sesar Teknik yang saat ini sering dipilih untuk pengendalian nyeri kebidanan adalah anestesi neuraksial yakni epidural spinal dan kombinasi spinal epidural karena sangat memberikan kepuasan dan keuntungan yang lebih bagi pasien Prinsip teknik kombinasi spinal epidural meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping dari kedua teknik lainnya Keuntungan yang bisa dicapai adalah penggunaan dosis obat yang rendah blok sensori yang adekuat dan analgesia yang sangat baik

Pada kesempatan ini penulis bermaksud melaporkan serial kasus penggunaan teknik kombinasi untuk memberikan gambaran pelayanan obstetrik yang diberikan menghasilkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kendali mutu dan kendali biaya Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pelayanan obstetrik yang optimal di era Jaminan Kesehatan Nasional

Serial KasusAntara bulan September 2012 sampai September 2014 di suatu rumah sakit swasta di

Tangerang didapatkan 92 pasien mendapatkan pelayanan analgesia fase persalinan 39 pasien di antaranya digunakan teknik kombinasi spinal dan epidural 16 pasien hanya menggunakan obat anestesi lokal dan adjuvan fentanil pada drip epidural Mereka tidak merasakan nyeri yang mengganggu sampai lahirnya bayi Meskipun 3 dari antara pasien tersebut melahirkan secara sesar hanya 1 pasien yang membutuhkan teknik anestesi spinal ulang

Diskusi Teknik kombinasi spinal epidural dilaporkan mempunyai dampak kepuasan yang tinggi

dalam hal menanggulangi nyeri persalinan dan juga bermanfaat pada kasus-kasus kebidanan beresiko tinggi Selain itu teknik kombinasi spinal epidural memiliki tingkat kegagalan teknik yang lebih epidural yang digunakan dapat memberikan durasi analgesia yang dapat disesuaikan dengan lama persalinan

Dalam pengamatan serial kasus ini juga obat yang digunakan efisien sehingga dapat memberikan kendali mutu dan biaya yang diperlukan

KesimpulanPenggunaan teknik analgesia kombinasi spinal dan epidural pada proses persalinan

merupakan teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan mutu dan biaya pada era Jaminan Kesehatan Nasional

P-47

Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali

biaya bagi pelayanan anestesia

Tommy N Tanumihardja Clementine Natalie

RS Atma Jaya Jakarta

Abstrak

Pasien laki-laki usia 64 tahun dengan fraktur intertrokanter femur dekstra dilakukan PFNA Pasien menderita penyakit Parkinson yang telah diterapi dengan selama 12 tahun Pasien dipersiapkan puasa makanan padat 6 jam sebelum operasi Pada hari pasien dioperasi obat-obatan pengendali penyakit Parkinson tetap dilanjutkan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan monitor standar ASA jalur intravena diamankan Dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakea tanpa kesulitan Pasien dilakukan ventilasi kendali penuh kemudian dipasang kateter urin Pasien diposisikan terlentang pada meja traksi Insisi dilakukan pada sisi lateral paha kanan Operasi berlangsung selama 1 jam 45 menit dengan rumatan oksigen N2O dan Isofluran 30 menit menjelang selesai pasien diberikan antiemetik Parasetamol 1000 mg diberikan intravena saat penutupan luka

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Pasien diposisikan terlentang kembali pada meja operasi Kemudian dilakukan identifikasi nervus femoralis dextra menggunakan jarum stimulasi saraf secara aseptik dan antiseptik pada regio inguinal kanan Nervus femoralis diidentifikasi di sebelah medial arteri femoralis Obat anestesi lokal Bupivacaine isobarik 02 sebanyak 20 ml diinjeksikan di sekitar nfemoralis setelah nervus femoralis diidentifikasi pada kedalaman 5 cm dengan tetap mempertahankan kontraksi otot kuadriceps femoris Kateter diinsersi dan difiksasi pada kedalaman 11 cm Analgesia kontinu dilanjutkan dengan Bupivacaine 02 6mLjam via pompa infus elastis dengan analgesia kendali pasien 2ml bolus dengan lock out interval 15 menit Pasien dibangunkan diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan Pasien dipindahkan ke bangsal sesudah sadar penuh

6 jam setelah operasi pasien mulai melakukan mobilisasi duduk 12 jam pasca operasi skala nyeri numerik 410 dengan 2x bolus analgesia kendali pasien 24 jam pasca operasi pasien mulai melakukan terapi mobilisasi berdiri 26 jam pasca operasi skala nyeri numerik 210 dengan 2 bolus analgesia kendali pasien ditekan 45 jam pasca operasi skala nyeri 410 tanpa ada bolus analgesia kendali pasien yang ditekan 51 jam pasca operasi analgesia via pompa infus elastis habis Pasien diberikan Parasetamol 500 mg per oral 3x sehari selama perawatan Kateter femoral dilepas pada hari 3 pasca operasi lalu pasien dipulangkan pada hari kelima

Tujuan kendali mutu dengan target mobilisasi dini pasien dan juga penanggulangan nyeri yang memuaskan dapat dicapai dengan teknik analgesia berbasis blok nervus femoralis kontinu Morbiditas pasca operasi dapat dihindari dan pasien dapat dipulangkan dengan cepat

P-48

Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)

Vania Wiyanto M Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) atau displasia bronkopulmonalis adalah suatu penyakit kongenital langka yang dapat menyebabkan kematian intrauterus dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bayi Manifestasi bermacam-macam mulai dari hanya membutuhkan oksigen ringan sampai depresi nafas yang berat Terapi yang disarankan adalah Torakotomi untuk reseksi kista

Obyektif Agar dapat mengatasi dapat melakukan penatalaksanan yang tepat pada kasus-kasus serupa sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pediatrik dengan kelainan kongenital pada paru-paru khususnya CCAM

Laporan Kasus Seorang anak perempuan berusia 1 tahun dengan diagnosis CCAM Tipe III yang direncanakan operasi Thorakotomi elektif Pasien diinduksi dengan Anestesi inhalasi

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Halothane 15 vol dengan O2 Air = 3 3 dengan teknik induksi nafas spontan Dilakukan pemasangan Infus dan diberikan medikasi dengan Fentanyl 2mcgKgBB Permasalahan pasien mengalami Apnea dan tidak dapat diventilasi sehingga pasien mengalami desaturasi dan bradikardia Intraoperatif pasien stabil namun pasien kembali mengalami desaturasi pada saat akhir anestesi yang diduga karena Light anestesi atau plak pada ETT sehingga diputuskan untuk dilakukan re-intubasi Pasien kemudian diretensi ETT dan masuk ke ICU dengan support ventilator minimal Setelah dilakukan weanning ventilator pasien diekstubasi Post ektubasi pasien diobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien baik dan keesokan harinya pasien dapat pindah ke ruangan

Kesimpulan Penatalaksanaan Anestesi yang tepat monitoring ketat dan penilaian pasien post operasi dapat memberikan hasil yang baik bagi pasien CCAM yang dilakukan thorakotomi dan eksisi kista

Kata kunci Anestesi CCAM

P-49

Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesaria

Iwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah

Bagian Anestesiologi Perawatan intensif dan Manajemen nyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Anestesi spinal merupakan teknik yang popular digunakan dalam operasi seksio sesaria Perubahan fisiologis ibu dosis dan volume anestetik lokal yang digunakan meningkatkan resiko hipotensi 33 ndash 80 beberapa penelitian mengenai pencegahan hipotensi pascaanestesi spinal penelitian tentang kecepatan injeksi dilakukan dengan metode dan hasil yang bervariasi Hipotesis penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset blok anestesi

Metode penelitian 48 sampel yang masuk kriteria inklusi dipilih secara acak dibagi dalam dua kelompok anestesi spinal menggunakan bupivakain 05 10mg dan fentanyl 25mcg kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 04 mLdtk sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 02 mLdtk Insiden hipotensi onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisa statistik

Hasil penelitian Insiden hipotensi lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi lebih lambat 9 dari 24 sedangkan pada kelompok IC insiden hipotensi 21 dari 24 (IC 088+0338 IL 038+0495 P=0001) tidak ada perbedaan onset blok anestesi spinal antara kedua kelompok (IC 296+173 IL 362+166 P=0180) Insiden efek samping mual muntah depresi nafas dan kebutuhan efedrin lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi 02 mLdtk

Kesimpulan Injeksi anestesi dengan kecepatan 02 mLdtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-50

Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida Dengan Skoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio Lumbal

Warsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati

PPDS Ilmu Anestesi dan terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr Soebandi Jember

Abstrak

PendahuluanSkoliosis merupakan suatu keadaan deviasi dalam aksis vertikal dari tulang vertebra

Skoliosis berat relatif jarang terjadi pada wanita hamil ( insiden 003 ) umumnya bersifat idiopatik Derajat keparahan ditentukan dengan sudut Cobb Lordosis merupakan suatu keadaan normal dimana terdapat kurvatura konkavitas anterior tulang vertebra ( normalnya pada vertebra cervikal dan lumbalis ) Pada wanita hamil lordosis lumbalis meningkat

Anestesi regional pada wanita hamil dengan kelaianan kurvatura vertebra memberikan tantangan bagi dokter anestesi

Laporan kasusPasien 26 tahun diagnosa primigravida usia kehamilan 40-41 minggu inpartu kala II

dengan CPD dan Scoliosis-lordosis berat vertebra lumbal serta jaringan parut luas di regio lumbal Tidak terdapat keluhan sesak saat beraktivitas gangguan motorik atau sensorik pada pasien ini Pasien dengan BB 60 kg dan TB 150 cm tekanan darah 13090 mmHg frekwensi nadi 88xmenit frekwensi nafas 18xmenit tanpa distres janin Pasien diputuskan seksio sesaria Pasien diposisikan lateral decubitus kiri Pasien diberikan spinal anestesi dengan teknik paramedian menggunakan jarum spinal 25G pada level Th12-L1 dengan regimen bupivakain 05 heavy 125 mg dan morfin 300 mcg Level sensorik tercapai di level Thorakal 6 dan operasi dimulai Durasi operasi 30 menit Hemodinamik pasien stabil dengan TD 100-11565-84 mmHg frekwensi nadi 68-75xmenit Total cairan yang diberikan RL 1500 ml Lahir bayi laki-laki berat badan lahir 2095 gram panjang badan 50cm dengan APGAR score 89 Paska operasi pasien tidak terdapat keluhan nyeri kepala dan nyeri luka operasi modalitas motorik dan sensorik dievaluasi 8 jam paska operasi normal Pasien dirawat diruangan selama 2 hari

DiskusiKelainan kurvatura vertebra umumnya diserta gangguan kardipulmonar dan gangguan

neuromuskular Perubahan anatomi dan fungsional tubuh pada gravida (edema saluran airway penurunan FRC gangguan pasase lambung) dengan kelainan kurvatura vertebra meningkatkan resiko kesulitan intubasi hipoksemia dan apirasi saat induksi anestesi umum dan juga resiko depresi neonatus Regional anestesi umumnya dipilih Kebutuhan dosis anestesi lokal sangat bervariasi pada kasus ini Larutan anestesi lokal hiperbarik akan terkumpul di bagian dependen dari tulang vertebra dan menyebabkan blok yang tidak adekuat

Pada kasus ini identifikasi ruang intervertebra lumbal sulit dilakukan Pemberian spinal anestesi dipilih karena tekniknya sederhana onset lebih cepat kualitas anestesi lebih baik dibandingkan anestesi epidural Umumnya spinal anestesi tidak dilakukan pada level diatas L2-3 untuk mencegah cedera pada medula spinalis Namun ruang intervertebra lumbal pasien

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

ini sulit diidentifikasi dan sehingga dilakukan pada intervertebra Th12-L1 Jarum spinal yang digunakan berukuran 25G sehingga identifikasi ligametum flavum dan lapisan duramater lebih mudah dirasakan untuk menghindari cedera pada medula spinalis Pemberian adjuvan morphine intratekal dapat memberikan analgesia pada segmen atas yang mungkin tidak terjangkau akibat kelainan kurvatura vertebra dan juga memberikan efek analgesia sampai 24 jam paska operasi

Kesimpulan Dengan hati-hati pemberian spinal anestesi dapat dilakukan di ruang intervertebra di

atas L2-3 terutama pada kasus dimana ruang intervertebra lumbal tidak dapat diidentifikasi dengan baik

Kata Kunci spinal anestesi gravida scoliosis-lordosis berat Lumbal jaringan parut

P-51

Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop Fiberoptic

I Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 10 kasus intubasi sulit yang menjalani pembedahan di

RSUP Sanglah Pengelolaan perioperatif pasien dengan kesulitan manajemen airway memiliki tantangan tersendiri dimana mengamankan jalan nafas adalah hal krusial yang pertama harus diatasi agar pembedahan bisa berjalan Teknik Intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan intubasi pada pasien-pasien dengan kesulitan aiway sebelum memilih teknik invasive

LAPORAN KASUSLaki-laki 50 tahun dengan Tumor Ginggiva suspek squamus cell carcinoma yang

menjalani pembedahan insisi biopsi dan bimanual palpasi dilakukan tindakan anestesi umum dengan teknik awake intubasi menggunakan fiberoptic bronchoscope Pasien di premedikasi dengan nebulizer lidocaine 2 100 mg (2mgkg) + salbutamol 25 mg(1 ampul) sulfas atropin 05 mg ( 001 mgkg) dexametason 10 mg(02 mgkg) co induksi dengan fentanyl 50 mcg(1 mcgkg) Saat onset obat tercapai dilakukan intubasi nasotracheal menggunakan ETT non kinking ukuran 60 via bronchoscope fiberoptic Sesaat sebelum insersi tube pasien diinduksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) Saat intubasi dilakukan pasien sangat kooperatif (tidak ada reflek muntah dan batuk) dengan hemodinamik sebelum dan sesudah intubasi hampir sama(tanpa guncangan hemodinamik) nadi 70-80 xmnt tekanan darah sistolik 110-120xmnt diastolik 60-70xmnt

Operasi berlangsung 30 menit selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 60-82xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg dengan urine output 12 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0

DISKUSIPasien dengan tumor intraoral dengan permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi

dan juga resiko perdarahan yang sulit dihentikan apabila dilakukan manipulasi pada tumor membutuhkan teknik khusus dalam manajemen airway Teknik awake intubasi dengan intubasi nasotracheal dipilih karena 1 Pasien masih dalam kondisi sadar sehingga apabila intubasi gagal dilakukan airway masih aman 2 Teknik intubasi nasotracheal dengan bronchoscope fiberoptic dipilih karena untuk menghindari manipulasi pada tumor sehingga mencegah terjadinya perdarahan di jalan nafas yang dapat lebih mempersulit manajemen airway dan bahaya aspirasi

KESIMPULANPemahaman masalah perioperatif dan teknik operasi sangat diperlukan dalam pemilihan

teknik anestesi Teknik awake intubasi pada pasien dengan kesulitan airway menjadi pilihan untuk mencegah resiko kegagalan dalam mengelola airway yang dapat membahayakan pasienTeknik intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic memberikan kemudahan akses untuk melakukan visualisasi sampai ke trakhea sehingga dapat melakukan intubasi pada kasus kasus airway sulit Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya kegagalan manajemen airway dan menurunkan resiko morbiditas tindakan operatif

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Page 6: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiSambutan vDaftar Isi vii

PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas 1

PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko 2

PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko 2

PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha 3

SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientAMTakdir Musba 4

S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa 4

S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H Nasution 5

S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki Eddy Rahardjo 6

S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno 9

vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-06 Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarksChristrijogo SW 11

S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biayaDedi Fitri Yadi 12

S-08 The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R Basuki 12

S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo 13

S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs IndividualHimendra W 14

S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta 15

S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja 16

S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana 18

S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta 18

S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya 19

S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara 20

S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 21

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi 22

S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana 23

S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana 27

S-21 Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 31

S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa 32

S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaIGNgurah Rai Artika 33

S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsIMG Widnyana 36

S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan 37

S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat 38

S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra 38

S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja 39

S-29 Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied EnoughI Made Wiryana 41

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh Sofyan Harahap 42

S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad 42

S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar 43

S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji 44

S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga 44

S-35 Chronic Pain Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma 45

S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa 46

S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso 46

S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra 47

S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri 51

S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta 55

S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo 56

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-42 Sepsis in obstetricYusmein 57

S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli 58

S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif HMMarsaban 58

S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto 60

POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demamAde Irna 61

P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta Pt 61

P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma I Wayan Aryabiantara 62

P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa 63

P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias Dadik WW 64

P-06 Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra Syamsul Bahri Siregar Hasanul Arifin 65

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho 66

P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W 67

P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko 68

P-10 Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono 69

P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati Mohamad Andy Prihartono 70

P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid Pryambodho 71

P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono 73

P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana 73

P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja 74

xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus 75

P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana 76

P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan 77

P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM 78

P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan 79

P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial KasusIhsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah Lestari Fredi Heru Irwanto 80

P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus 81

P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 82

P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung 84

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin 85

P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja 86

P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus 87

P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto 88

P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad 89

P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono 90

P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani Ketut Wibawa Nada IMG Widnyana 90

P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra 92

P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli 93

P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta 94

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36 Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan UltrasonografindashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit 95

P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo 96

P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif 97

P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah Hasanul Arifin 97

P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede Budiarta I Gede 99

P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif 100

P-42 Laporan Kasus Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik Abraham Taofik Putu Kurniyanta I Gede Budiarta 101

P-43 Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik Musa Taofik Senapathi Tjok GA PAS Panji 102

P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak 103

P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi 104

xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan NasionalTommy N Tanumihardja Grace Alvina 105

P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N Tanumihardja Clementine Natalie 106

P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto M Andy Prihartono 107

P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah 108

P-50Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati 109

P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan 110

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-01

RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST Quality of Life Professional Development

Andi Wahyuningsih Attas

Ketua PERDATIN

Abstrak

Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban) Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment)

Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut

1 Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas CB dan A

2 Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP) serta penerapan remunerasi

3 Investasi Fisik dan Peralatan di RS pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit

4 Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi

Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan ndash Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

PL-02

Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia hipnosis relaksasi dan supresi refleks saja tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain

Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien

Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg al terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien

PL-03

Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

Bambang Tutuko

Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

Abstrak

ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan al untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama dan saling membantu Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya

Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015 MEA mempunyai 4 karakteristik yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang jasa investasi modal dan tenaga kerja

Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

karena al disparitas standar pelayanannya Arus bebas tenaga kerja termasuk dokter belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan

Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN al persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan tetapi belum mencapai hasil yang konkrit dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi

PL-04

Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

Made Subagiartha

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

kita jumpai dalam kehidupan sehari hari dalam rumah tangga antar negara atau di dalam pekerjaan kita Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya

Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan ldquoSengketa Medikrdquo yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-01

Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

AMTakdir Musba

Department of Anesthesiology Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine Hasanuddin University

Abstract

Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur but opioid-tolerance in acute pain especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately particularly in opioid-based general anesthesia

The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences especially on chronic use but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia

Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period Generally opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients

Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol NSAIDs GabapentinPregabalin α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre- intra- and postoperatively

Keywords opioid-tolerance perioperative analgesia multimodal analgesia

S-02

Fast Track Neuroanesthesia

Agus Baratha Suyasa

Abstrak

Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990 untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya faktor pasien faktor pembedahan dan faktor anestesi Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan pelepasan katekolamin minimal dan menurunkan biaya perawatan ICU Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi control suhu control gula status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri kontrol mual muntah suplemen nutrisi Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual

Kata Kunci Fast Track Neuroanesthesia

S-03

Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

Akhyar H Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USURSUP Adam Malik Medan

Abstract

Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations requiring continuous adjustment of drug dosing Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profilesThe future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment monitoring for adequate anesthesia and so for the anesthesia machine The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment including the high technology robotic anesthesia machinesldquothe da vincirdquo For these developments physician especially anesthesiologist will work safer minimal invasive and provide a good monitoring during the operation

Keywords novel drugs future technology anesthesia

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-04

The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

April Poerwanto Basoeki

Eddy Rahardjo

Departemen Anestesiologi amp ReanimasiFK Unair ndash RSUD dr Soetomo Surabaya

Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik lahir ketika Dr William TG Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan menjadi dapat dilakukan dengan lancar mudah dan berhasil baik Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau menulis pada batu nisan monumen Dr William TG Morton ldquoBefore whom in all time surgery was agony By whom pain in surgery was averted and annulated Since whom science has controlled of painrdquo Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 121924 ndash Agust 2 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work knowledge and duty to serve the public beyond the hospital wall Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite) diruang pulih sadar (Recovery Room) ruang rawat intensif (ICU HCU) bahkan sejak ditempat kejadian pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster) Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care) juga merupakan gagasan Peter Safar

Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian Time saving is life saving Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

tersebut Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan ldquoMany techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients for example those with severe head injuries asthma tetanus or neonatal asphyxia Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients control of airway endotrachel intubation and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia but are now recognized as essential for all doctorsrdquo Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care Anestesi di-OK Anestesi di-luar OK Recovery Room Resusitasi Emergency Medicine ICU Pain Management Pain Clinic Labor Analgesia hingga musibah masal dan bencana Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi

Emergency Medical Service in Indonesia where are we now Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban Dengan melihat sejarah kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat dulu UGD) IGD memerlukan tempat alat obat dokter perawat Lokasi atau tempat alat obat sudah tersedia Dokter Umum Indonesia masih kurang apalagi Dokter Spesialis Emergensi Perawat juga masih kurang apalagi Perawat mahir D3-D4 Gawat Darurat Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya atau kondisi-kondisi lain Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD GELS ATLS ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar Hasil survei Kemenkes RI (1995 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai Untuk menangani kasus gawatdarurat berat kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter Survey Depkes (2005) di ndash 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20 pasien yang datang di UGD adalah trauma sisanya kasus non trauma Di Inggris dari semua kasus trauma di IGD hanya 56 memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65-nya Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood Park Trauma Care Vol 10 No 2 2000 p76) Di-RSUD dr Soetomo Surabaya selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat Departemen SMF Anestesiologi amp Reanimasi memiliki rdquomarkasrdquo Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi Ruang Resusitasi (RES) Ruang Observasi Intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

(ROI) PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim terjadilah apa yang Prof Karjadi Wirjoatmodjo drSpAnKIC sebut sebagai rdquoshifting leadershiprdquo Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr Soetomo adalah rdquoteaching Hospitalrdquo FK Unair

Kondisi sekarang selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS Swasta Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1) bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni plusmn 30 orang Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar) atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70 materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50 Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20 Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang

Kepustakaan

1 Baskett PJ Peter J Safar 2001 The early years 1924-1961 the birth of CPR Resuscitation 2001 50 17ndash22

2 Baskett PJ Peter J Safar 2002 Part two The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002 Resuscitation 2002553ndash7

3 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik rdquoSistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadurdquo 2009 Cetakan - 4Cetakan - 4

4 Koeshartono ldquoAnestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencanardquo Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya Sabtu Tanggal 8 September 2007

5 Michael B Dobson ldquoAnaesthesia at the Distric Hospitalrdquo World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies 198968 424-30)

6 Sitasi tgl 12 Agustus 2013 woodlibrarymuseumorglibrarypdfS_AYBpdf Morton TG William Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR William TG Morton Printed by Rand Avery amp Frye 3 Cornhill 1871

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-05

Update in DIC Management

Bambang Wahjuprajitno

Dept anestesiologi dan ReanimasiFK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr Soetomo

Surabaya

Abstrak

Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut yang jika cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ

Aktivasi koagulasi yang masif berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh

DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat

Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin supresi anticoagulant pathways gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi

Penyebab DIC tersering adalah sepsis neoplasma trauma penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta preeclampsiaeclampsia emboli air ketuban aborsi septik kematian foetus intrauterine) gigitan ular

Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan tempat tusukan jarum perdarahan gastrointestinal SSP hematuria atau ecchymosis Trombosis dapat berupa purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit) acral dingin dengan nadi yang sulit teraba kehilangan penglihatan oliguria gangguan mental kejang-kejang

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT peningkatan D-dimer dan FDP penurunan trombosit dan fibrinogen Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUNkreatinin dan enzim-enzim jantung Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC

Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH) Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH) dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET) Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization CommitteeInternational Society of Thrombosis and Haemostasis (SSCISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini

Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama ndashsama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik

Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol karena itu jenis DIC bisa berupa

1 DIC tipe perdarahan (bleeding) bila hiperfibrinolisis lebih dominan Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia seperti acute promyelocytic leukemia (APL) penyakit-penyakit obstetrik atau aneurisma aortae

2 DIC tipe gagal organ bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi terutama sepsis

3 DIC tipe perdarahan masif bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik

4 DIC tipe asimptomatik bila kedua faktor sama-sama lemahnyaPada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium Disebut juga dengan tipe pre-DIC Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lainPengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa

bull Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnyabull Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya

meliputi o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma FFP

thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC) recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI) recombinant human thrombomodulin (rhTM) dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

o memanipulasi sistim fibrinolitik misalnya dengan tranexamic acid

Sayang sekali berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan

Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain

S-06

Regional Anesthesia in Obese patient loss of landmarks

Christrijogo SW

Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University Soetomo Hospital

Abstract

Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient

Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients eg avoiding airway manipulation and systemic application of opioids Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances with a lower rate of complications Anesthesiologists are increasingly faced with obesity regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patientsrsquo safety and perioperative outcomes in obese patients

Keywords Regional anesthesia Obesitas landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-07

ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya

Dedi Fitri Yadi

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi Mesin anestesi obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 Lmenit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor inspired oxygen concentration minute ventilation airway pressure Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya

Kata kunci Low flow anesthesia anesthesia cost reduction

S-08

The Anesthesiologistrsquos Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

Djudjuk R Basuki

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

Abstrak

Latar Belakang Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering yaitui meliputi 38 dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16 dari semua infeksi hospital-acquired SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian waktu MRS dan biaya RS

Tinjauan Pustaka Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif normotermia perioperatif hiperoksia normoglikemia transfusi darah dan mencuci tangan Hipotermia Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien Hiperoksia Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel faktor penting dalam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

penyembuhan luka Manajemen Cairan Peioperatif Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen Selain penghantaran oksigen yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia Hiperglikemia Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi termasuk SSI Transfusi Darah Saat ini tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi Profilaksis Antimikroba Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan

Kesimpulan Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis

S-09

Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

Gatut Dwidjo PrijambodoDept Anestesiologi dan Reanimasi

FK Unair ndash RSUD Dr Soetomondash RSUD Dr SoetomoRSUD Dr SoetomoSurabaya

Abstract

Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi 1 Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM )2 Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM)

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY ada empat kriteria antara lain bull Kegagalan jantung pada periode enam bulan bulan akhir kehamilan sampai lima

bulan pasca persalinanbull Tidak ada penyebab yang ditemukanbull Tidak ada penyakit jantung sebelumnyabull Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri Ejection Fraction lt 45 dan LV

end diastolic dimension gt 27 cmm2

Penyebab PPCM tidak diketahui Mortalitas 15 - 50 PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel

Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung antara lain Restriksi cairan Pemberian Diuretika dan obat Inotropik Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural Anestesi General digunakan obat yang cardiostable Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHYHOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun Pada kehamilan HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak Dapat asimtomatik simtomatik ringan Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif

Prinsip manajemen pasien HOCM Perlu monitoring invasif dan intensif Hindari penurunan preload Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat Hindari penururnan mendadak SVR Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi

S-10

Anesthesiologist Practice in Urban Area Group vs Individual

Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan

Harapan pasien sudah berubah Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi

Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif misalnya dibayar sesuai performa Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien

Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku

Dalam praktik anestesia di perkotaan terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan entah itu rumah sakit umum rumah sakit bersalin ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan Adapun di lain pihak praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati

Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006) standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku

S-11

Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

I Gede Budiarta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID infiltrasi blok perifer teknik regional analgesia hipnoterapi radiofrekuensi stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif

Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif neurologi rehabilitasi medik maupun hematoonkologi Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut

Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik penanganan konsul nyeri yang seksama serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit

Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama

S-12

Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

I Ketut Sinardja

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak Banyak hal seperti kebijakan wilayah politis serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam

Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 665 dan 326 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri Berdasarkan kesepakatan umum angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada defibrilasi atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi) Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus

Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3 angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004 dengan angka ketahanan hidupnya

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27 versus 18) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif

Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA ditemukan bahwa sekitar 66 kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) 52 masih hidup dalam 1 tahun dan 3 masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64 pada anak-anak dan 75 pada orang dewasa Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 159 namun hanya sebesar 39 pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari)

Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian prearrest intra-arrest dan postarrest Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan aspek struktural dari sistem (personel pelatihan peralatan) care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini serta penanganan postarrest yang komprehensif) serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan)

Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi monitor ECG DC-Shock suction oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat

Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest) Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar menurunkan angka kejadian henti nafas danatau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait

Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku Kebijakan mulai dari awal penerimaan pihak yang melakukan bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah atau sampai

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code

S-13

Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

I Made Adi Parmana

RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Abstract

Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s its popularityhas steadily increased Although not as well established as for cardiac surgery the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40 to 80 of patients respectively In over one-third of patients intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy including treatment of myocardial ischemia valvular pathology andor right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure Based upon these findings intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery

TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise patients with unexplained persistent hypotension or unexplained persistent hypoxemia as well as patients with major thoracic or abdominal trauma

However as with any tool the risks and benefits need to be carefully evaluated Although the complication rate from TEE placement is low it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal esophageal or gastric pathology that will preclude its use Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting

S-14

Spinal Anesthesia In Neonates

I Putu Kurniyanta

Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University Sanglah Hospital Denpasar

Abstract

Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers It is usually practiced on preterm infants (lt60 weeks post-

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA) SA sometimes combined with general anesthesia It is most successful as a single shot technique limited to surgery lasting less than ninety minutes Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia providers However there is safety and efficacy for suitable procedures in older children as well SA in neonates has many advantages as in adults with an advantage of minimal cardio-respiratory disturbance This may further increase the utility of SA in neonates and children as it provides all components of balanced anesthesia technique To overcome this several additives like epinephrine clonidine fentanyl morphine neostigmine etc have been used and found to be effective even in neonates But the developing spinal cord may also be vulnerable to drug-related toxicity though this has not been systematically evaluated in neonates Despite its widespread use incidence of side-effects is low and permanent neurological sequalae have not been reported with SA Literature yields encouraging results regarding its safety and efficacy Technical skills and constant vigilance of experienced anesthesia providers is indispensable to achieve good results with this technique

Keywords neonates spinal anesthesia surgery

S-15

Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and Surgery

I Putu Pramana Suarjaya

Department of Anesthesiology amp Intensive CareSanglah General Hospital Medical School University of Udayana Denpas

Abstract

Cognitive changes after major surgery have received increased attention in recent years Increased elderly population in surgical patients as well as advances in anesthesia and surgical techniques and the impact of postoperative cognitive complications on patientrsquos quality of life after recovery make cognitive dysfunction play a significant role in prolonged recovery after major surgery

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) is diagnosed using cognitive test scores to detect changes developing postoperatively compared with each individual patientrsquos preoperative cognitive level of functioning POCD affects a wide range of cognitive domains such as memory attention orientation and concentration and some patients experience difficulties for months postoperatively POCD has been described after both cardiac and noncardiac surgery and can occur in all age groups although the elderly are more at risk

The pathogenic mechanisms behind the development of POCD are unclear partly due to the variation in patient population diagnostic tools and analysis of cognitive test results making firm conclusions on the pathogenic mechanisms difficult However most agree that increasing age reduced preoperative cognitive reserve and low educational level are risk factors for POCD A distinction between acute and elective surgery as well as cardiac versus noncardiac surgery is necessary when evaluating cognitive changes

An optimized perioperative approach with short length of stay multimodal opioid-sparing analgesia early mobilization and discharge to home environment (the fasttrack approach) would impact the occurrence of cognitive changes after major surgery

Keywords perioperative care postoperative cognitive dysfunction

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-16

Transfusion practice vs patient blood management

I Wayan Aryabiantara

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin jelas bahwa transfusi RBC (red blood cell) alogenik mengakibatkan banyak efek samping serius dan angka mortalitas meningkat Faktor risiko utama untuk transfusi adalah anemia preoperatif hilangnya darah intraoperatif dan trigger transfusi yang liberal Manajemen darah pasien (Patient Blood Management) dengan bundel terapi anemia preoperatif serta perhitungan untuk menurunkan hilangnya darah perioperatif dan mengoptimalkan toleransi terhadap anemia bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi RBC dan meningkatkan outcome klinis PBM telah dijadikan WHO sebagai standar terapi dan semua negara anggota diharapkan melaksanakan konsep ini Adapun negara tetangga kita Australia adalah yang dianggap paling maju di dunia dalam melaksanakan konsep PBM

Di masa lalu transfusi RBC sangat digembar-gemborkan dan dianggap sebagai sumber yang murah aman dan cepat tersedia Belakangan semakin jelas bahwa pasien yang mendapat transfusi RBC mempunyai outcome lebih buruk dibandingkan pasien serupa yang tidak ditransfusi dan banyak ahli setuju bahwa pasien tanpa perdarahan aktif dengan kadar hemoglobin gt8 grdL atau lebih tidak memperoleh manfaat apapun dari transfusi RBC Akibatnya dokter mulai mencari cara untuk menyiapkan pasien agar pembedahan yang direncanakan dapat dilakukan tanpa transfusi sehingga outcome-nya membaik

National Bank Authority (NBA) di Australia merupakan badan pemerintah yang mendirikan dan mendanai ulasan mengenai Clinical Practice Guidelines for the Use of Blood Components oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) dan Australian Society for Blood Transfusion (ASBT) pada tahun 2010 Mereka menyimpulkan bahwa panduan lama yang berfokus pada produk darah harus diganti dengan yang berfokus pasien Dampaknya adalah mulai dikembangkan enam modul panduan yang komprehensif dan evidence-based Isi modulnya meliputi PBM pada perdarahan masif pembedahan medikal rawat intensif obstetri dan ginekologi pediatrik dan neonatologi

Sebagian besar negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa kecuali Belanda masih mengalami hambatan dalam pengamalan PBM pada level nasional Meskipun masih kurangnya inisiatif menyeluruh beberapa rumah sakit telah mengenalkan PBM pada berbagai divisi dan departemennya Hal yang menarik adalah program ini tidak saja membuat transfusi RBC lebih sedikit tapi juga outcome lebih baik dengan mortalitas lebih rendah lama rawat lebih pendek komplikasi lebih sedikit readmisi lebih rendah dan biaya juga lebih ditekan

Anemia preoperatif dapat diterapi lebih baik sehingga meminimalkan tranfusi RBC perioperatif infeksi lebih rendah dan komplikasi lebih sedikit Sangat sulit untuk menentukan nilai target terapi untuk anemia sebelum pembedahan mayor Di sisi lain skrining preoperatif anemia secara mendetil justru sangat menunda tindakan pembedahan yang sudah direncanakan karena bisa memakan waktu kurang lebih 3-4 minggu Namun dengan perencanaan yang tepat hal ini dapat diminimalkan Skrining dan terapi anemia tersebut juga secara ekonomis lebih menguntungkan karena lebih unggul dalam hasil outcome yang lebih baik komplikasi lebih rendah dan lama rawat lebih singkat Meminimalkan kehilangan darah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

intra dan pascaoperasi juga sangat bermanfaat yang dapat dicapai dengan teknik pembedahan dan hemostasis yang adekuat

Ternyata keengganan adalah faktor penghambat utama untuk mengubah budaya transfusi Namun dokter diharapkan dapat mengubah cara praktiknya apabila sudah memperoleh limpahan bukti efek samping yang dapat dihindari dengan teknik PBM demi kesejahteraan dan kemaslahatan pasien

S-17

Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Banyaknya tindakan medis invasif serta perawatan canggih di ruang Intensive Care Unit (ICU) menyebabkan perlunya penggunaan sedatif sebagai komponen terapi mutlak untuk meningkatkan outcome Pada keadaan-keadaan akut berat sedasi bahkan diperlukan dalam jangka panjang yang berisiko efek samping over sedasi dengan berbagai kerugiannya Untuk itu diperlukan jenis sedatif alternatif lainnya yang menghasilkan sedasi adekuat dengan efek samping minimal Dalam beberapa tahun terakhir dexmedetomidine telah mulai banyak dimanfaatkan sebagai sedatif alternatif melalui mekanisme simpatolitiknya sebagai agonis α2 Dexmedetomidine telah dibandingkan dengan midazolam dan propofol pada pasien-pasien ICU dengan ventilator jangka panjang Efek sedasinya terbutki setara dan lebih menguntungkan pada pemakaian jangka panjang dalam hal menghindari beberapa efek negatif sedatif pada umumnya Studi meta-analisis menyangkut pemakaian dexmedetomidine ini telah membuktikan bahwa sedatif ini aman dan bermanfaat dalam pemakaian jangka panjang dan dapat memperbaiki outcome populasi pasien-pasien di ICU Penelitian berkelanjutan tentu tetap diperlukan dalam mengkaji berbagai keuntungan lainnya dari penggunaan dexmedetomidine jangka panjang di ICU

Sumber bacaan1 Cavallazzi R Saad M Marik PE Delirium in the ICU an overview Annals of Intensive

Care 20122 Weinert CR et al Epidemiology of sedation and sedation adequacy for mechanically

ventilated patients in a medical and surgical intensive care unit Crit Care Med 2007 3 Afonso J Reis F Dexmedetomidine current role in anesthesia and intensive care Rev

Bras Anestesiol vol62 no1 Campinas JanFeb 20124 Anger KE Dexmedetomidine A Review of its Use for the Management of Pain

Agitation and Delirium in the Intensive Care Unit Current Pharmaceutical Design 2013

5 Riker RR Shehabi Y Bokesch PM et al SEDCOM (Safety and Efficacy of Dexmedetomidine Compared With Midazolam) Study Group Dexmedetomidine vs midazolam for sedation of critically ill patients a randomized trial JAMA 2009

6 Tan JA Ho KM Use of dexmedetomidine as a sedative and analgesic agent in critically ill adult patients a meta-analysis Intensive Care Med 2010

7 Jakob SM et al Dexmedetomidine vs Midazolam or Propofol for Sedation During Prolonged Mechanical VentilationTwo Randomized Controlled Trials JAMA 2012

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-18

Tight Glucose Control in Critically Ill Patients

I Wayan Suranadi

BagianSMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar - Bali

Abstrak

Hiperglikemia sering menjadi komplikasi pada kasus-kasus dengan sepsis luka bakar trauma dan kasus-kasus bedah besar lainnya yang memperburuk outcome Efek samping ini pada pasien-pasien sakit kritis di ruang Intensive Care Unit (ICU) merupakan respon stres akut yang meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan pemakaiannya dalam tubuh Penyebab lainnya adalah intervensi nutrisi dengan kandungan karbohidrat berlebihan dan saat memulai jenis nutrisi yang kurang tepat

Strategi mengendalikan glukosa secara ketat pada pasien-pasien sakit kritis di ICU dapat dilakukan melalui beberapa langkah Menetapkan waktu memulai nutrisi yang tepat memilih jalur nutrisi enteral serta menghindarkan pemakaian nutrisi parenteral Hindarkan overfeeding dan batasi sumber kalori dari karbohidrat serta tidak melebihi 4 mgkgmenit Gunakan teknik pemberian insulin intensif melalui infus kontinyu Lakukan verifikasi rutin dan seksama serta penyesuaian laju metabolisme pengukuran berat badan penetapan BEE dan faktor-faktor koreksinya Cegah dan koreksi keadaan yang meningkatkan laju metabolisme seperti demam takikardia agitasi delirium kejang-kejang dan kondisi overaktifitas lainnya

Sumber bacaan1 Furnary AP Wu Y amp Bookin SO Effect of hyperglycemia and continuous intravenous

insulin infusions on outcomes of cardiac surgical procedures the Portland Diabetic Project Endocrine Practice 2004 10(Suppl 2) 21ndash33

2 van den Berghe G Wouters P Weekers F et al Intensive insulin therapy in critically ill patients N Engl J Med 20013451359-67

3 Montori VM Bistrian BR McMahon MM Hyperglycemia in acutely ill patients JAMA 20022882167ndash9

4 Klein CJ Stanek GS Wiles CE Overfeeding macronutrients to critically ill adults metabolic complications J Am Diet Assoc 199898795-806

5 Preiser JC Devos P van den Berghe G Tight control of glycaemia in critically ill patients Curr Opin Clin Nutr Metab Care 20025 533ndash7

6 Krinsley JS Blood glucose control in critically ill patients the impact of diabetes Critical Care Medicine 2009 37(1) 382ndash3

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-19

Management of local anaesthetic systemic toxicity

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Abstract

As classic neuronal Na+ channel inhibitors these drugs have a particular high level of activity in the central nervous system and the cardiovascular system and their side effect profile remains remarkably consistent differing only quantitatively between the agents in their doses (and blood and relevant tissue concentration) Local anaesthetic agents exist in both ionised acid-and non-ionised base forms in the tissue after injection The non-ionised form crosses the barrier of the myelin sheath and the axon membrane Here it will dissociate to the ionised acid form due to the lower pH inside the cell The ionised fraction binds to the activated Na+ channel and produce blockade of the channel in the inactivated state The development of symptoms and signs related to local anaesthetic toxicity relates directly to the concentration of the drug in the plasma The plasma concentration will depend on the rate of absorption from the injected site as well as inadvertent intravascular injectionIt is appropriate to first review the physiology of the ion channels implicated in local anaesthetic toxicity

Sodium channel blockadeAs local anaesthetics act as Na+ channel-blocking agents they slow down the initial

depolarisation phase by blocking the inactivated channel The clinical consequence of this is slowed cardiac conduction widening of the QRS complex prolongation of the PR interval AV block and eventually ventricular fibrillation due to the unidirectional blockade and re-entry phenomenon

Potassium channel blockadeK+ channels are tetramer ion channels and are organised into three superfamilies

according to the subunit membrane topology (1) subunits with six membrane-spanning segments and onepore domain (2) subunits with two membrane-spanning segmentsand one pore domain and (3) subunits with four membrane-spanning segments and two pore domains arranged in tandemThe first and third group are of interest where local anaesthetic toxicity is concernedAs noted the first group of channels are tetramers with fourfoldsymmetry around a central pore in the form of an inverted teepeeBoth the N terminal and the C terminal are located intracellularlyThe amino acids of the N terminal are shaped like a ball and chain and conformational changes causes this ball to close the channel from inside the cell These channels are known as the inward outward and transient rectifier K+ channels and their resultant effect is partly responsible for the K+ efflux during phases 2 and 3 of the cardiac muscle action potentialA blockade ofthese channels will prolong the action potential (phase 2) delayrepolarisation (phase 3) and shift the resting membrane potential more positive (phase 4) to increase automaticity The second group of K+ channels of interest is the two pore domain K+ channels (K2p) Previously known as the delayed rectifier channels these channels are believed to be responsible for the background or ldquoleakrdquo K+ currents In this setting they control the resting membrane potential A blockade of these channels shifts the resting membrane potential towards spontaneous depolarisation K2p channels are wide spread in the body In

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

the CNS they are mainly located in the thalamo-cortical and striatal neurons where blockade leads to increased neuroexitabilityThey are also present in high concentrations in the cerebral blood vessels where blockade leads to vasoconstriction and decreased cerebral blood flow K2p channels are also present in neurons of the auditory system where blockade leads to tinnitusK2p channels are thought to mediate the stimulating effect of local anaesthetics on ventilationThey are located in the brainstem where they modulate the respiratory response to carbon dioxide via chemo sensing of the pH They are also found in the carotid body where they are expressed in the oxygen-sensing cells of the glomus body K2p channels are sensitive to changes in O2 tension and extracellular pH and are potentiated by volatile anaesthetic In the CVS K2p channels are spread throughout the conduction system of the heart where blockade predisposes the patient to re-entry dysrhythmias It is well known that hyperkalemia exacerbates local anaesthetic toxicity and that K+ATP openers (which effectively lowers intracellular K+ levels) attenuate the toxic effects of bupivacaine

Ca++ channel blockadeThe latest research shows that all voltage-gated Ca++ channels are comprised of two

subunits The α-subunit consists of atetramer that comprises four membrane-spanning domainsDomains I III and IV are critical in the opening of the channelThis α-subunit is the main pore-forming element of the channeland its chemical structure remains fairly consistent for all voltagegatedCa++ channels The second unit has a highly variablestructure that depends on the location and function of thechannel In cardiac conduction tissue it is the β1 subunit thatcompletes the ion channel structure The role of the β1 subunitseems to be the modulation of channel opening and membraneion traffickingIn terms of their physiological effect the hearthas two distinct types of channels namely the T-type (transient)and L-type (long lasting) channels The T-type channel (alsoknown as the low voltage activated channel -LVA) is mainlylocated in the pacemaker cells of the sino-atrial node and theopening of these channels completes the prepotential requiredfor the pacemaker potential L-type channels (known as highvoltage activated channels -HVA) are present on the surface ofthe myocytes of both atrium and ventricle and are closelyassociated with the T-tubules The opening of these L-typechannels produces the impulse seen as the plateau phase (phase2) of the cardiac muscle action potential Local anaesthetic drugs bind to the L-type Ca++ channels predisposing them to aninactivated state The consequence of this is prolongation of theaction potential (phase 2) and depressed contractility

Central nervous system toxicityCentral nervous system toxicity is presumed to be a two-stage process Initial blockade of

Na+ channels in the inhibitory neurons entering the limbs allows the excitatory neurons to act unopposed thereby creating an excitatory state This culminates in generalized convulsions Higher concentrations of local anaesthetic affect all neurons leading to global CNS depression slowing and ultimately silence on EEG clinically seen as coma and the eventual collapse of the cardiovascular system In most cases convulsions although an impressive clinical entity can be handled safely without permanent damage

Cardivascular system toxicityAll of the clinical effects due to local anaesthetic overdose are the result of the blockade

of various ion channels The normal pharmacological effects of local anaesthetic drugs are produced via their blockade of sodium (Na+) channels However these drugs also have

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

the ability to block potassium (K+) as well as calcium (Ca++) channels The whole picture of cardiovascular toxicity is the effect of the blockade of all these ion channels Ion channel blockade displays enantiomeric selectivity with the R-isomer having twice the potency at the Na+ channels seventy times the potency at K+ channels and three times the potency at Ca++ channels Furthermore channel blockade is dependent on the state of the channel Levo-bupivacaine and ropivacaine interacts with both the activated and inactivated Na+ channels where as R-bupivacaine is a more potent blocking agent of the inactivated Na+channels

The mechanism of cardiovascular toxicity relies on the direct as well as indirect effects of the local anaesthetic drugs on the myocardium Direct effects include negative inotropy and delayed conduction of the impulse through the cardiac conduction tissue Indirect effects have to do with the local anaesthetic effect on the autonomic outflow and the direct effect on the cardiac centre in the midbrain Negative inotropy due to local anesthetic overdose is the result of four main mechanisms Firstly local anaesthetics (LA) cause decreased Ca++ release from the sarcoplasmic reticulum in the cardiac myocyte This in turn decreases excitation-contraction coupling and thus decreases contractility Secondly there is disturbance of the membrane Na+Ca++ pump function This also decreases Ca++ levels in the cytosol and decreases contractility Thirdly LA alters mitochondrial energy transduction By binding to the inner mitochondrial membrane LA agents cause the uncoupling of oxidative phosphorylation at complexes II and I This leads to decreased levels of ATP and a low energy state in the myocyte The binding of LA to the inner membrane further inhibits the function of L-carnitine acyl transferase This enzyme is important in the transfer of long free fatty acids (FFA) across the cell-and mitochondrial membrane The decreased availability of FFAs as substrate for oxidation leads to decreased ATP levels Fourthly LA causes decreased cAMP production This impairs second messenger function in the myocyte and disrupts cell homeostasis

The second direct cardiovascular effect is perhaps the more well known LA by their nature cause blockade of the ion channels therefore causing conduction blockade of the impulse generated in the SA node Abnormal conduction predisposes to re-entry phenomena and unidirectional conduction dysrhythmias The indirect effects on the cardiovascular system are due to the blockade of impulse outflow from the nucleus tractus solitaries (NTS) located in the medulla oblongata Afferent fibres from the baroreceptors in the carotid body and aortic arch reach the NTS via N glossopharyngeus (XI) and N vagus (X) where they secrete glutamate as neurotransmitter From the NTS projections reach the caudal and intermediate ventrolateral medulla where they stimulate GABA-secreting neurons These in turn project to the rostral ventrolateral medulla from where they course down the thoracic cord to eventually become the preganglionic sympathetic neurons that form the cardiac sympathetic innervation Excitatory projections from the NTS also reach the vagal motor neurons the nucleus ambiguus and dorsal motor neurons Baroreceptor stimulation thus inhibits tonic discharge to the vasoconstrictor nerves and excites vagal innervation of the heart with its sequelae LA alters the spontaneous impulse production in the NTS and depresses cardiac outputThe blockade also leaves the sympathetic outflow relatively unopposed which in turn leads to increased automaticity and dysrhythmias The overall effect of the conduction block and CNS- mediated effects is the refractory ventricular fibrillation for which bupivacaine is well known

Management of local anaesthetic systemic toxicity

Recommendations for Treatment of Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)bull If signs and symptoms of LAST occur prompt and effective airway management is

crucial to preventing hypoxia and acidosis which areknown to potentiate LAST (I B)

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

bull If seizures occur they should be rapidly halted with benzodiazepines If benzodiazepines are not readily available small doses of propofolor thiopental are acceptable Future data may support the early use of lipid emulsion for treating seizures (I B)

bull Although propofol can stop seizures large doses further depress cardiac function propofol should be avoided when there are signs ofcardiovascular compromise (III B) If seizures persist despite benzodiazepines small doses of succinylcholine or similar neuromuscularblocker should be considered to minimize acidosis and hypoxemia (I C)

bull If cardiac arrest occurs we recommend standard advanced cardiac life support with the following modifications- If epinephrine is used small initial doses (10- to 100-ug boluses in adults) are

preferred (IIa C)- Vasopressin is not recommended (IIB B) - Avoid calcium channel blockers and beta-adrenergic receptor blockers (III C)- If ventricular arrhythmias develop amiodarone is preferred (IIa B) treatment with

local anesthetics (lidocaine or procainamide) is not recommended (III C)

bull Lipid emulsion therapy (IIa B)- Consider administering at the first signs of LAST after airway management- Dosing- 15 mLkg 20 lipid emulsion bolus- Infusion of 025 mLkg per minute continued for at least 10 mins after circulatory

stability is attained- If circulatory stability is not attained consider giving another bolus and increasing

infusion to 05 mLkg per minute- Approximately 10 mLkg lipid emulsion over 30 mins is recommended as the

upper limit for initial dosing

bull Propofol is not a substitute for lipid emulsion (III C)bull Failure to respond to lipid emulsion and vasopressor therapy should prompt institution

of cardiopulmonary bypass (IIa C) Because therecan be considerable lag in beginning cardiopulmonary bypass it is reasonable to notify the closest facility capable of providing it whencardiovascular compromise is first identified during an episode of LAST

Lipid emulsion theraphyLipid was successfully used for resuscitation the mean total (bolus plus infusion) lipid

dose over the first 30 mins was 38 mLkg (range 12-60 mLkg) Most important no overt complications related to use of lipid emulsion for resuscitation have been reported to date Based on the available information we recommend an initial bolus of 20 lipid emulsion using 15 mLkg (of lean body mass) followed by an infusion at 025 mLkg per minute until circulatory stability is achieved The bolus could be repeated for failure to restore circulation and the infusion could be increased to 05 mLkg per minute for recurring hypotension after initial recovery However volume overload is certainly a risk and lipid overdose might also carry as yet unknown risks Defining the maximal safe dose for acutely administered 20 lipid emulsion for this novel use is important and will require appropriate (large) animal studies and possibly experiments with volunteers receiving subtoxic doses of bupivacaine We currently recommend an upper limit of approximately 10 mLkg over the first 30 mins This would allow for 2 boluses plus a continued infusion at 025 mLkg per minute

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-20

Radiofrequency In Knee Osteoarthritic Patients

I Wayan Widana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Wangaya Denpasar

Introduction

Osteoarthritis (OA) is the most common rheumatic disease in the general population and its prevalence increases with age Genetic mechanical and several other factors have been implicated in its originOA symptoms such as joint pain reduced mobility crepitus and swelling result from articular cartilage loss subchondral bone proliferation bone misalignment and synovitis The management of patients with OA includes a number of pharmacologic and non-pharmacological recommendations tailored in accordance to the joints involved

The economic costs of OA are high including those related to treatment for those individuals and their families who must adapt their lives and homes to the disease and those due to lost work productivity Patients with OA are at a higher risk of death compared with the general population History of diabetes cancer or cardiovascular disease and the presence of walking disability are major risk factors Pain and other symptoms of OA may have a profound effect on quality of life affecting both physical function and psychological parameters Knee OA is not a localized disease of cartilage alone but is considered as a chronic disease of the whole joint including articular cartilage meniscus ligament and peri-articular muscle that may result from multiple pathophysiological mechanisms It is painful and disabling disease that affects millions of patientsThe pain in the OA knee is attributed to cartilage degenerationreduced joint space osteophytes loose bodies Pain intensity disability and its psychological impact correlate poorly with the peripheral joint damage assessed by the Kellgren-Lawrence scale (K-L scale) Recent evidence emphasizes the role of central sensitivity in the pathogenesis of the OA knee

Chronic osteoarthritis pain of the knee is often not effectively managed with non-pharmacological or pharmacological treatments Radiofrequency (RF) neurotomy when applied to articular nerve branches (genicular nerves) provides a therapeutic alternative for effective management of chronic pain associated with osteoarthritis of the knee

Although surgery is generally effective for patients with advanced disease some older individuals with comorbidities may not be appropriate surgical candidates In addition some patients do not wish to consider surgery and prefer non-surgical options In these patients radiofrequency (RF) neurotomy of the genicular nerves might be a successful alternative to surgery This procedure is based on the theory that cutting the nerve supply to a painful structure may alleviate pain and restore function

DiagnosisThe american College of Rheumatology criteria for the diagnosis of knee osteoarthritis Using history and clinical examinationPain in the knee and three of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

4- Bony tenderness 5- Bony enlargement 6- No palpable warmth of synovium

Using history and clinical examination and radiographic findings Pain in the knee and one of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt 30 minutes 3- Crepitus on active motions and osteophyte

Using history and clinical examination and laboratory findings Pain in the knee and 5 of the following

1- Age gt50 years 2- Morning stiffness lt30 minutes 3- Crepitus on active motions 4- Bony enlargement 5- No palpable warmth of synovium6- Rheumatoid Factor lt140 7- Synovial fluid signs of osteoarthritis

AnatomyThe knee joint is innervated by the articular branches of various nerves including the

femoral common peroneal saphenous tibial and obturator nerves These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic guidance

Nerve supply of the knee joint

These articular branches around the knee joint are known as genicular nerves

Genicular nerves can be easily approached percutaneously under fluoroscopic

guidance

Nerve supply of the knee joint

Genicular branches of the knee joint

Genicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM)

inferior lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The

targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas

connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to

the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee

joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee

joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency

neurotomy

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Genicular branches of the knee jointGenicular nerves consist of the superior lateral (SL) middle superior medial (SM) inferior

lateral (IL) inferior medial (IM) and recurrent tibialgenicularnerve The targets included the SL SM and IM genicular nerves which pass periosteal areas connecting the shaft of the femur to bilateral epicondyles and the shaft of the tibia to the medial epicondyle

Although genicular nerves are the main innervating articular branches for the knee joint other articular branches may also be present For this reason pain of the knee joint may not be completely relieved resulting in poor response to radiofrequency neurotomy

Radiofrequency Genicular NervesRF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of the six

genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocksbull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritisbull Patients with failed knee replacementbull Patients unfit for knee replacementbull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocksThese injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral (SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following injection

Radiofrequency Genicular Nerves

RF genicular nerves is used in advanced cases of osteoarthritis knee joint Three of

the six genicular branches can be lesioned approached under C-Arm fluoroscope and

can be lesioned after determining proximity by checking sensory stimulation Two

lesions are given for each genicular nerves Usually this is preceded by local

anaesthetic block of the genicular nerves as RF lesioning for other nerves

Indications for genicular nerve blocks

bull Patients with chronic knee pain secondary to osteoarthritis

bull Patients with failed knee replacement

bull Patients unfit for knee replacement

bull Patients who want to avoid surgery

Diagnostic genicular nerve blocks

These injections are performed under fluoroscopy guidance A small amount of local

anaesthetic (1-2ml) of lidocaine or bupivacaine is injected around the superior lateral

(SL) superior medial (SM) and the inferior medial (IM) branches A response is

considered positive if there is at least 50 reduction in pain in the 24hrs following

injection

Radiofrequency of genicular nerves

Patients with a positive response are offered either cooled or conventional

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Radiofrequency of genicular nervesPatients with a positive response are offered either cooled or conventional radiofrequency

neurotomy for a more sustained response The procedure is usually done on an outpatient basis The procedure is performed under fluoroscopic guidance to ensure accuracy of needle placement Patients need to be aware that the outcome of the procedure is variable and they may not receive the desired benefits Similarly they must be aware of the transient nature of the therapeutic benefits and that there may need repeated injections

Radiofrequency treatment is a two-step procedure The first step is diagnostic involving injection of local anaesthetic around the genicular branches innervating the knee joint as described above Patients who experience good pain relief following diagnostic injections are offered radiofrequency denervation treatment This involves creating a heat lesion around the genicular nerves carrying painful impulses from the knee joint Successful treatment can result in pain relief lasting several months

Either conventional radiofrequency treatment or pulsed radiofrequency treatment can be used

PRF at 42degC was aimed at avoiding any neurological deficits that could lead to Charcotrsquos joint RF creates an alternating electric field with an oscillating frequency of 500000 Hz to elicit heat production around the percutaneously introduced needle tip by the body tissue acting as the resistor The output of the generator is interrupted to give 2 cyclessecond each of 20-msec bursts followed by silent phases of 480 millisecond in PRF The interval between the cycles allow for the dissipation of the heat maintaining the tissue temperature at 42degC far below the irreversible tissue damage threshold range of 45 ndash 50degC Thus PRF has no incidence of sensory or motor complications unlike conventional RF ablation which creates tissues temperatures of 70degC and above PRF has been used successfully to treat myofascial trigger points knee pain by intraarticular application and various peripheral neuropathic pains PRF appears to have genuine biological effects in cell morphology synaptic transmission and pain signalling which are likely to be temperature independent

ComplicationsComplications are rare particularly if injections are performed using a precise needle-

positioning technique Septic arthritis can be avoided with appropriate aseptic precautions Severe allergic reactions to local anaesthetics are uncommon Post-procedural pain flare-up is not uncommon and may be treated with painkillers Neurological complications including paraesthesias and numbness have been described but are extremely rare Radiofrequency treatment can cause patchy numbness of the over lying skin Incidence of infection is low as the procedure is performed under strict aseptic conditions and the injections are extra articular

ConclusionPRF of peripheral nerves and plexuses supplying the knee joint appeared to be a safe

effective and minimally invasive new technique that addresses the sensory motor and autonomic nerves to provide sustained relief of pain stiffness swelling and the peripheral and central sensitivity in response to chronic pain in both knees from long-standing osteoarthritis patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-21

Patient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia Bukan Hanya Sebagai Analgesia Intravena

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Denpasar-Bali

Sekitar 19 juta orang di dunia mengalami nyeri akibat kanker setiap tahunnya Dari jumlah tersebut 40-80 menderita nyeri sedang sampai berat Nyeri dapat berasal karena lesi kanker itu sendiri metastasenya komplikasi seperti kompresi saraf atau infeksi terapi atau faktor lain seperti psikologis dan lingkungan Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi Selain itu sekitar 80 pasien paskaoperasi masih mengalami nyeri paskaoperasi akibat penanganan nyeri yang kurang adekuat

American society of Anesthesiologis (ASA) mengeluarkan pedoman teknik yang direkomendasikan untuk penanganan nyeri akut paskaoperasi salah satunya dengan menggunakan teknik PCA ( patient controlled analgesia )

Patient Controlled Analgesia merupakan suatu metode penanganan nyeri di mana pasien dapat mengadministrasikan dosis kecil obat analgesik secara mandiri Adapun nyeri kankerkronik dan nyeri akut merupakan salah satu indikasi untuk penggunaan PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan memakai opioid kuat sesuai pendekatan dari WHO atau WFSA Rute administrasi PCA bervariasi Rute PCA yang paling umum adalah melalui jalur intravena Di luar negeri PCA iv (intravena) sudah merupakan salah satu standar penanganan nyeri sedangkan di Indonesia masih belum terlalu luas pemakaiannya Rute lainnya adalah melalui jalur epidural lebih dikenal sebagai PCEA (patient controlled epidural analgesia) sering digunakan pada teknik painless labour ataupun nyeri akut paskaoperasi mayor PCRA (patient controlled regional analgesia) merupakan teknik yang terbilang baru seiring perkembangan regional anestesi dengan menggunakan kateter kontinyu pada blok saraf tepi PCRA terutama digunakan pada nyeri akut paskaoperasi extremitas Teknik terakhir adalah PCA SC (subcutaneous) Berdasarkan beberapa penelitian ternyata PCA subkutan tidak berbeda signifikan dalam absorbsi obat efikasi serta efek sampingnya dibandingkan dengan PCA intravena serta PCA subkutan mampu untuk memberikan kontrol nyeri yang optimal untuk pasien PCA SC merupakan alternative penanganan nyeri untuk pasien kanker apabila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi opioid secara oral ataupun bila akses vena sudah rusak akibat kemoterapi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-22

TCI in Obese Patient

I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Obesitas adalah kelainan keseimbangan energi Berasal dari bahasa Latin obesus yang berarti gemuk karena makan Pasien dikatakan obese bila berdasarkan perhitungan BMI (Body Mass Index) didapatkan hasil lebih dari 30 Adapun peningkatan berat badan terkait dengan BMI ini juga membawa akibat perubahan fisiologis sistem organ pasien obese

Pada pasien obese akan terjadi kelebihan jaringan adiposa dan loading jaringan otot dan tulang yang meningkatkan metabolic demand Di samping itu pasien dengan obesitas sangat terkait dengan penurunan komplians sistem respirasi Terdapat pula abnormalitas metabolisme lemak yang menyebabkan infiltrasi jaringan lemak pada hepar Sedangkan pada sistem renal terjadi sklerosis glomerulus dan hilangnya nefron akibat peningkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang akan menimbulkan gagal ginjal kronik

Pada orang dengan obesitas terdapat akumulasi lemak yang dapat mengganggu farmakokinetik dan farmakodinamik obat Berdasarkan hal tersebut penyesuaian dosis obat pada orang obesitas dapat menggunakan beberapa strategi penyesuaian dosis contohnya penggunaan berat badan aktual (TBW) LBM (Lean Body Mass) atau IBW yang berdasarkan tinggi badan Penyesuian dosis obat tersebut didasarkan pertimbangan perubahan volume distribusi (Vd) clearance (CI) dan protein binding beberapa obat

Walaupun propofol bersifat lipofilik kuat propofol tidak berakumulasi pada pasien obesitas Untuk itu dosis maintenance propofol pasien obese dapat diperhitungkan sama seperti pasien dengan berat badan normal yaitu menggunakan berat badan aktual Tetapi hal tersebut memerlukan dosis jumlah besar dan menimbulkan efek hemodinamik yang nyata

Dari beberapa penelitian diperoleh simpulan tidak terdapat perbedaan clearance yang signifikan antara pasien berat badan normal dengan pasien obesitas dengan menggunakan perhitungan TBW pada TCI propofol Didapatkan pula bahwa TBW merupakan deskripsi berat badan paling tepat untuk pasien obesitas Penggunaan LBM untuk TCI propofol tidak sesuai pada pasien obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya overestimasi clearance metabolik Sehingga lebih direkomendasikan untuk memakai perhitungan TBW dalam pemakaian TCI untuk pasien obese

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-23Hightoracic And Cervical Epidural Anaesthesia

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2

bull Respiratory problems bull Cardiac problems bull Myocadial ischemia neuro-vascular problems bull History of a difficult postoperative period in the past bull Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural

space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine bull the thoracic spinous processes are oblique bull a mechanical lesion of the medulla is possible bull ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive)

There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

bull median approach bull paramedian approach bull lateral approach

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes

HIGHTORACIC AND CERVICAL EPIDURAL ANAESTHESIA

IGNgurah Rai Artika

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP Sardjito

Yogyakarta

Thoracic epidural anesthesia (TEA) has been established as a cornerstone in the

perioperative care after thoracic and major abdominal surgery providing most effective

analgesia3Thoracic Epidural Anesthesia excellent pain relief facilitate early extubation

ambulation oral intake of food and gastrointestinal function to attenuate the stress response and

improve post operative pulmunary function3

CLINICAL INDICATIONS FOR THORACIC EPIDURAL ANALGESIA2 Respiratory problems Cardiac problems Myocadial ischemia neuro-vascular problems History of a difficult postoperative period in the past Sleep apnea syndrome is a contraindication to the use of opioids into the epidural space

SPECIAL TECHNICAL ASPECTS OF TEA12

There are at least 3 majors differences between the thoracic and the lumbar spine the thoracic spinous processes are oblique a mechanical lesion of the medulla is possible ligamentunflavum is thinner in the thoracic spine (loss of resistance is more difficult to

perceive) There are 3 approaches for thoracic epidural space localization but the majority of anesthesiologists use the median approach3

median approach paramedian approach lateral approach

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

MORPHOLOGICAL LANDMARKS bull C7 - protuberant cervical process bull T3 - origin of the spine of the scapula bull T7 - tip of the scapula bull L1 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

bull CARDIOVASCULAR EFFECTThoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial

arteries and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

bull RESPIRATORY EFFECTSTEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity through the analgesia produced which permits a better spontaneous ventilation Analgesia without sedation helps for a more rapid mobilization and for an active rehabilitation

bull STRESS RESPONSETEA with local anesthetics or opioids inhibits the neuro-endrocrine response to surgery

Opioids and local anesthetics produce different effects due to their differents sites of action

The difference among the 3 approaches resides in the insertion sites of the needle in regard to the inter-spinous processes MORPHOLOGICAL LANDMARKS

992256 - protuberant cervical process 992256 - origin of the spine of the scapula 992256 - tip of the scapula 992256 - tip of the 12th rib

TECHNICAL DIFFICULTY amp TIPS12

The spinous processes are almost horizontal in the cervical lower thoracic and lumbar regions but become significantly more sharply angled in the midthoracic region The greatest degree of angulation is found between the T3 and T7 vertebraeNeedle entry into the cervical and lumbar regions can be directed medially with a slight upward angulation whereas in the upper thoracic region a midline approach to the epidural space is more difficult because of the angulation of the spinous processes A paramedian approach is usually more successful

LEVEL OF CATHETER INSERTION IN REGARD TO THE SITE OF THE SURGERY2

Site of surgery Dermatomes implicated

Suggested puncture level

Shoulder C4-T2 T1-T2 Arm C5-T2 T1-T2 Cardiac surgery T1-T8 T3-T4 Thorax T2-T10 T6-T7 Abdomen supra-umbilicus T6-T10 T8-T9 Abdomen infra-umbilicus T9-L1 T11-T2

THE PHYSIOLOGICS EFFECTS OF THORACIC EPIDURAL ANESTHESIA123

CARDIOVASCULAR EFFECT Thoracic epidural anesthesia (TEA) produces a vasodilatation of stenoticepicardial arteries

and inhibits post-stenotic vasoconstriction responsible either for a coronary artery blood flowdiversion towards the myocardial ischemic territory or for a coronary artery steal syndrome TEA produces a temporary sympathectomy This results in a reduction of myocardial ischemic signs which is a consequence of a better Osup2 supply Osup2 consumption relationship

RESPIRATORY EFFECTS TEA improves the pulmonary dynamic after thoracotomy thoracic trauma and upper

abdomen trauma Two mechanisms are involved Direct action on vital capacity secondary to an action on the diaphragm and on the respiratory musclesIndirect action on the vital capacity

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Opioids produce analgesia through modulation of nociceptive pathways whereas local anesthetic block both the nociceptive and the non-nociceptive pathways

bull GASTRO-INTESTINAL MOBILITY Digestive transit is faster to recover when the block level is over T12 Many mechanisms

can explain why thoracic epidural anesthesia can favor a more rapid digestive transit recovery Blockade of nociceptive afferents influx and of sympathetic lumbar and thoracic afferents Non-antogonism of parasympathetic efferents influx Increase of G-I blood circulation Systemic Absorption of local anestheticsReduction of postoperative opioids consumption

APPLICATIONSubtotal gastrectomy has been successfully performed using thoracic epidural anaesthesia

alonein two high-risk surgical patients They received thoracicepidural anaesthesia alone An

18-gauge Tuohy needle was introduced at T8T9 intervertebral space and thetip of the catheter was advanced 3 cm cephalad beyond the tip of the needle (T7T6)4

Epidural anaesthesia wasestablished with 05 levobupivacaine and sufentanil The used doses were calculated according to the formula

x mg=(n of dermatomes+6) ∙ mgsegmentThoracic epidural anaesthesia provides optimal perioperative anaesthesia and analgesia

afterthoracic and major abdominal surgery and decreases postoperative morbidity and mortality mainly by blockingsympathetic nerve fibers4

Cervical Epidural Anesthesia (CEA)Cervical epidural anaesthesia has been used mainlyfor hand upper limb shoulder and

upper thoracicwall surgery including mastectomyIt has also beenused for carotid artery surgery parathyroid surgeryneck dissection for head and neck cancers and for thetreatment of complex regional pain syndromes of theupper limb5

CEA as an anaesthetic for mastectomies breast reconstruction in elderly females and in patients with pulmonary diseases has been reported for better acceptance and safety over GACEA was given at C6-C7 or C7-T1 level in the midline using18 gauge Tuohyrsquos needle with bevel facing cranially at an angle of 30 degrees and by loss of resistance method to identify the epidural space An epidural catheterwas placed 3cm craniallyIn experienced hands sole use of CEA for various neck and chest surgeries is documented highlighting the advantages like stable cardio-respiratory status by avoiding airway instrumentation less blood loss and post operative morbidityCEA blocks the cervical plexus (C1-C4) phrenic nerve (C3-C5) brachial plexus C5-T1) and upper thoracic dermatomes along with sympathetic fibers that are responsible for the stress induced neuro- hormonal reactions Major concerns with CEA are the hemodynamic and respiratory complications Different concentrations of bupivacaine are used and studied for the hemodynamic respiratory effects following CEARopivacaine 05-075 reported to have favorable effect on hemodynamic variables by blocking the sympathetic innervations of the heartDominguez F et al conducted shoulder surgeries in three patients with 075 ropivacaine under CEA and concluded that ropivacaine provides an effective sensory block and a restricted motor blockade reducing the probability of the restrictive pulmonary syndrome associated with cervical epidural anesthesia CEA significantly decreases the blood loss due to blockade of cardiac sympathetic fibers leading to decrease in cardiac output blood pressure reduction in airway and thoracic pressures5

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

For thyroid surgery regionalanaesthetic techniques have neither been adequatelydescribed nor practiced widelyCervical epidural anaesthesia aims to anesthetise theskin in front of the neck where the incision would beplaced The front of the neck is supplied by 2nd and3rd cervical rami which form the transverse cutaneousnerve of the neck The lower part of the neck and thepart lateral to sternocleidomastoid muscle is suppliedby supraclavicular nerves which arise from the 3rdand 4th cervical ventral rami For delivering CEA weintroduced the epidural catheter in the C7 ndashT1 vertebrainterspace and guided it upwards by keeping the bevelof the Tuohy needle facing cranially By using thetechnique described above the upper level of sensoryblock obtained was at C2 level and the lower levelvaried from T5 to T106

Keywords HTE ACEA Indication Risk and Benefit

Reference 1 LenaP et al 2007 Epidural Anaesthesia in Cardio Thoracic Surgery Handbook Of Regional

Anesthesia European Society of Regional Anesthesia and Pain Therapy P502 Hadzic A 2007 Text Book Of Regional Anesthesia and Acute Pain Management The New

York School of Regional AnesthesiaPart III Clinical Practice of Regional Anesthesia gt Section Two Neuraxial Anesthesia gt Chapter 14 Epidural Blockade

3 CarliClemente 2008 The physiological effects of thoracic epidural anesthesia and analgesia on cardiovascular respiratory and gastrointestinal system Minerva Anestesiol 74-549-63

4 Van Haken AK UpDate on Toracic Epidurals Are The Benefits Worth The Risk International Anesthesia Research Society Canada

5 Kulkarni K Namazi IJ Deshpande S Goel R Cervical Epidural Anaesthesia with Ropivacaine for Modified Radical Mastectomy Kathmandu University Medical Journal 2013 vol11 no 2 issue 42

6 Khanna R Singh DK Cervical Epidural anasesthesia for thyroid surgery Kathmandu University Medical Journal2009Vol 7 No 3 Issue 27 242-24

S-24

Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill Patients

IMG Widnyana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Recently the practice of locoregional anesthesia and analgesia has become widespread and is already supported by numerous publications that have demonstrated its feasibility and effectiveness It already takes important parts in surgical and post surgical patients And now it also plays an important role in multimodal pain management especially in critically ill patients Indications for locoregional anesthesia are not limited to surgical and postsurgical analgesia but extend to the management of painful procedures for the critical ill patients (in ICU) patients with trauma-related issues and also another medical conditions

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

As we know that critically ill patients frequently come with coexisting diseases that present wicked challenges to us the anesthesiologist including coagulopathies infections immuno compromised states sedation- and ventilation-associated problems and factors potentially increasing the risk for systemic toxicity There are techniques of loco-regional anesthesia and analgesia that we can choose and use in critically ill patients And we want to present a review of Loco-regional anesthesia and analgesia techniques in critically ill patients focusing on the main advantages and limitations of its use in critically ill patients and describe the most commonly used locoregional techniques and its applicability for critically ill patients

Keywords Locoregional anesthesia peripheral nerve blocks Critically ill patients ultrasonography guiding

S-25

Enhance Recovery After Surgery in Abdominal Surgery

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Rekomendasi dari komunitas ERAS (Enhance Recovery After Surgery) adalah suatu guideline yang dibuat oleh komunitas ERAS bekerja sama dengan IASMEN (Surgical Metabolism and Nutrition) dan ESPEN (European Society for Clinical Nutrition and Metabolism) untuk memberikan pelayanan perioperatif yang optimal Guideline ini pertama kali dibuat untuk operasi colon pada tahun 2012 dan selanjutnya berkembang untuk operasi-operasi abdominal besar lainnya

Tujuan pembuatan guideline ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perioperatif dengan menurunkan stres pembedahan memelihara fungsi fisiologis postoperatif dan meningkatkan mobilisasi setelah pembedahan Guideline ini dibuat dengan jalan mereview dan menganalisis penelitian-penelitian meta-analysis randomised control trials dan prospective cohort yang sesuai dengan komponen-komponendari guideline ERAS yang selanjutnya di gradasi berdasarkan sistim Grading of Recommendations Assessment Development and Evaluation (GRADE)

Komponen-komponen yang termasuk dalam guideline ERAS diantaranya Preoperatif informasi pendidikan dan konseling preoperatif optimalisasi properatif bowel preperation puasa dan pemberian karbohidrat preoperatif premedikasi dari anestesi pencegahan terhadap thromboemboli antibiotik pencegahan dan pesiapan kulit protokol anestesi standar PONV(postoperative nausea vomiting) laparoskopi dan modifikasi dari akses bedah pemasangan NGT (nasogatric tube) mencegah hipotermia intraoperatif penanganan cairan perioperatif drainase dari peritoneal cavity setelah anastomosis colon drainase dari urine pencegahan ileus post postoperatif analgesi postoperatif penanganan nutrisi perioperatif kontrol glukosa postoperatif dan mobilisasi dini

Kata Kunci Enhanced Recovery After Surgery ERAS ERAS society reomendation

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-26

Anesthesia in Major Vascular Surgery

Jefferson Hidayat

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UIRSUPN Cipto MangunkusumoJakarta

Abstract

Anesthesia in major vascular surgery is generally considered as a high risk procedure due to patientrsquos systernic vascular disease comorbidities and the high surgical risk In elective major vascular procedures (open or endovascular) thorough preoperative management is mandatory lncreased risk of various comorbidities such as diabetes hypertension coronary artery diseasevalvular heart disease renal respiratory and cerebral diseased requires optimalization

General anaesthesia combined with epidural block is commonly chosen for open vascular surgery One should know hemodynamic changes and metabolic changes in aortic cross-clamping declamping to manage the problem intraoperatively Organ preservation such as spinal cord preservation using cerebrospinal fluid drainage renal preservation lungs and cardiac preservation especially in patient with any history of CAD must be performed accordingly

Endovascular aortic repair (EVAR) can be performed uncer local anaesthesia with monitored anaesthesia care (MAC) regional anaesthesia (spinaliepidural) and general anesthesia The choice old anaesthesia technique is discussed and choosen according to length of procedure complexity and whether hybrid or open surgical procedure is planned Regardless of which anaesthesia technique is planned invasive hemodynamic monitoring should be invasive and similar to the open repair Challenges during EVAR procedure includes bleeding dissection rupture endoleak migration distal organ ischaemia injures due to branch blockade or thrombus and hypothermia during long procedure A good haemodynamic monitoring and management will shortened hospital length of stay and mortality rate

Keywords Anesthesia Vascular surgery aortic cross clampingdeclamping organ preservation EVAR

S-27

Pediatric Ambulatory Anesthesia

Kadek Agus Heryana Putra

Department of Anesthesiology and Intensive TherapySanglah General Hospital

University of Udayana Medical Faculty

Abstract

Ambulatory (or outpatient) anesthesia and surgery is common in pediatric practice and has many benefits for patients parents and health care Anesthesia for pediatric ambulatory surgery remains to be a challengeAppropriate patient selection is important for the success of ambulatory anesthesia Exclusion criteria include patient-related factors surgical anesthetic

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

and social factorsRoutine preoperative preparation and evaluation are the same as for inpatients and includes a history and physical examination with special attention to past surgical or anesthetic experiences Choosing one anesthetic technique over the other is based on patient and procedure-specificWide variety agents that enable rapid induction maintenance emergence with minimal adverse effectsand techniques are currently available to anesthesiologists in order to administer safe and efficacious anesthesia Multimodal approach is useful for pain management and postoperative nausea and vomiting Discharging a postoperative patient to the environment with less skilled nursing care is considered to be unique in ambulatory anesthesia Parents are provided with verbal and written postoperative instructions about wound care analgesia diet mobilization and resumption of normal activityEvery ambulatory surgical unit have several mechanisms to evaluate its performance and patientrsquos satisfaction

Keywords ambulatory anesthesia preoperative preparation multimodal analgesia postoperative instructions

S-28

Anesthesia in High Risk Pediatric Patients

HU Kaswiyan Adipradja

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Prinsip dasar pada manajemen anestesi pediatrik yang sudah diketahui secara umum adalah bahwa pasien pediatrik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini sehingga manajemen anestesinya pun berbeda dan memerlukan perhatian yang seksama

Pasien pediatrik memiliki keistimewaan yang terletak pada berbagai segi anatomis dan fisiologis Jalan napas pasien pediatri sangat rentan mengalami obstruksi oedem mukosa serta kecenderungan intubasi endobronkial Dari segi kardiovaskuler yakni denyut jantung kontraktilitas compliance serta kerentanan untuk terjadinya afterload yang tidak seimbang saling ketergantungan antar ventrikel dan respon terhadap katekolamin Dari segi respirasi pasien pediatri rentan berisiko mengalami kegagalan respirasi karena sangat tergantung dari pergerakan diafragma Hipotermi juga menjadi salah satu bahaya berat yang dapat mengancam pasien pediatrik karena ketiadaan lemak subkutis dan ketidakmampuan pasien untuk menggigil (shivering)

Pasien pediatri juga memiliki beberapa kondisi yang dianggap berisiko tinggi Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa semua pasien pediatri harus diperhatikan secara seksama bukan tidak mungkin bahwa pasien pediatri yang permasalahan preoperatifnya biasa saja ternyata mengalami masalah intraoperatif maupun pascaoperatif seperti laringospasme croup serangan asma akut bahkan vagal refleks sampai cardiac arrest Tanpa memandang sebelah mata pada kasus-kasus pediatri rutin perlu dilakukan persiapan seksama dan pemantauan secara kontinyu dan ketat untuk kasus-kasus pediatri berisiko tinggi seperti kasus ambulatory anesthesia pada pasien pediatri dengan OSA pasien pediatri yang prematur dengan rencana operasi cito atau urgent serta pasien pediatrik yang mengalami syok sehingga perlu penggantian volume cairan maupun komponen darah sesegera mungkin

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Manajemen jalan napas yang tepat pertimbangan pemberian obat-obatan induksi baik intravena maupun inhalasi yang adekuat namun tidak merangsang jalan napas fasilitasi intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot maupun tanpa pelumpuh otot pertimbangan kapan melakukan suctioning pertimbangan melakukan ekstubasi sadar ataupun dalam sampai manajemen pascaoperasi seperti penggunaan skoring PADSS untuk periode pemulihan monitoring ketat pasca operasi yang perlu diwaspadai ketika 6-24 jam pasca operasi sampai take home message yang wajib diketahui keluarga pasien untuk membantu dalam pengawasan pasien di rumah menjadi hal-hal pokok yang penting diketahui oleh seorang ahli anestesi

Di rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak baik di daerah maupun pusat kota sering dijumpai pasien pediatri baru lahir (newborn) yang berasal dari persalinan prematur kurang bulan maupun dari kondisi kehamilan yang kurang baik Pasien-pasien tersebut sudah memiliki kondisi preoperatif yang kurang memadai untuk tindakan operasi dengan permasalahan fisiologis prematur dengan segala ketidaksempurnaan fungsi organ ditambah lagi dengan minimnya data dasar yang dimiliki untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen anestesi pasien tersebut

Perbedaan cara pandang dalam hal pemberian opiat untuk suplemen analgesia dan induksi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien prematur serta teknik intubasi dengan menggunakan pelumpuh otot atau tanpa pelumpuh otot akan menjadi hal yang menarik untuk dijadikan titik perhatian Selain itu ketersediaan sarana airway kit alat-alat resusitasi untuk pasien pediatrik yang memadai alat monitoring di kamar operasi yang dapat digunakan untuk usia prematur serta variasi kasus dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh ahli anestesi yang bersangkutan akan menjadi nilai tambah untuk dapat meningkatkan keberhasilan tindakan Peran komunikasi dan diskusi dengan sejawat lain tidak saja dari satu bidang namun juga dari sejawat operator dan pediatri gawat darurat sangat diperlukan dalam kasus-kasus berat tersebut

Pasien pediatri tidak memiliki kompensasi yang cukup untuk mempertahankan kondisi hemodinamik terutama apabila mereka sebelumnya sudah terpapar dalam kondisi dehidrasi perdarahan maupun defisit cairan tubuh lainnya misalnya akibat febris luka bakar dan penguapan Pemberian cairan dari luar tubuh harus memperhitungkan dengan seksama kebutuhan cairan preoperatif intraoperatif maupun rencana pascaoperatif agar adekuat sehingga tidak menyebabkan kondisi menjadi overload Selain itu pemberian komponen darah harus betul-betul memperhatikan komponen mana yang lebih diperlukan untuk kondisi perioperatif tersebut dan disertai dengan perhitungan yang terinci

Di samping pemberian cairan pemberian glukosa juga menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan karena pasien pediatrik berisiko mengalami hipoglikemi misalnya pasien yang rutin mendapat hiperalimentasi bayi dari ibu yang mengalami diabetes yang mengalami persalinan cepat serta neonatus yang kecil untuk usia kehamilan Penggunaan glukosa sebaiknya diberikan pada bayi yang menjalani prosedur pembedahan yang lama dengan didasarkan atas pemeriksaan level glukosa serum Hanya dengan memonitor nilai glukosa serum kita bisa membuat keputusan yang tepat Infus glukosa 1 cukup adekuat untuk mempertahankan nilai normal glukosa serum pada bayi yang berisiko mengalami hipoglikemi

Dengan memperhatikan segala poin-poin penting di atas gambaran akan bundle manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan risiko tinggi lebih dapat divisualisasikan lebih jelas Kesesuaian serta variasi yang didapat antara teori dan praktik yang dikerjakan oleh ahli anestesi pada pasien pediatrik akan menambah khazanah pengetahuan serta meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani pasien dengan risiko tinggi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-29

Stress Management In Anesthesiologist Are We Satisfied Enough

I Made Wiryana

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstrak

Tantangan profesi ahli anestesi di milenium yang baru ini tidak lagi semudah dahulu Klien yang harus dipuaskan tidak saja hanya operator dan rumah sakit yang menaungi namun juga pasien sendiri beserta keluarga dan orang dekatnya Dengan ritme kerja yang penuh tekanan berpacu dengan waktu tuntutan biaya hidup dilawan oleh standar keselamatan dan kualitas pelayanan yang tinggi seorang ahli anestesi akan terpapar dengan berbagai macam bahaya dan risiko kerja seorang ahli anestesi

Terdapat beberapa bahaya yang dialami oleh seorang ahli anestesi di tempat kerja yakni bahaya biologis mekanis kimiawi fisik dan personal Selain dari bahaya yang sifatnya eksternal yakni biologis mekanis kimiawi dan fisik tersebut bahaya potensial yang mengancam profesionalitas seorang ahli anestesi adalah berasal dari pribadinya sendiri Bentuk bahaya ini antara lain berupa kelelahan atau fatigue stres atau burnout ancaman penyalahgunaan zat bahkan hingga tindakan bunuh diri

Seorang ahli anestesi diharapkan memiliki ukuran dan kadar diri rutin dievaluasi setiap saat secara personal untuk mampu mengukur kemampuan kerja sewaktu dan bertujuan mengurangi dan menghilangkan stres kerja maupun kehidupan pribadi Selain itu terdapat langkah motivasional yang dapat dilakukan saat kerja untuk memodifikasi situasi pemicu stres antara lain perencanaan strategi baru untuk menangkal stres belajar hidup disiplin setiap hari komunikasi dan diskusi dengan rekan sejawat realisasi akan potensi pribadi mempunyai hobi atau minat serta mampu melakukan relaksasi saat waktu luang memiliki rasa optimis dan tetap menjaga pola tidur olahraga dan nutrisi yang cukup Dengan mendekatkan diri dengan hal spiritual atau mendalami hal keagamaan juga mampu meningkatkan rasa optimis akan adanya kebaikan yang akan datang melingkup tempat dan lingkungan kerja

Dengan evaluasi diri yang terus-menerus serta tindakan motivasional yang dilakukan berkala diharapkan seorang ahli anestesi mampu menjaga kualitas dan performa kerjanya meski dihadapkan pada berbagai kasus sulit dan dengan manajemen waktu yang sempit Ahli anestesi yang berpengalaman dalam menangani stres juga tentu akan mampu menyuarakan umpan balik positif bagi tempat kerjanya agar lingkungan tersebut tidak saja berusaha memberikan situasi dan waktu kerja yang lebih kondusif namun juga kompensasi yang seimbang sehingga akan mampu memberikan nilai tersendiri bagi profesi anestesi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-30

Ethics In End Of Life Care In Elderly

Moh Sofyan Harahap

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstrak

Kita mengenal aspek pelayanan ksehatan di Indonesia adalah Promotif Preventif Kuratif dan Rehabilitatif belum disebutkan perawatan Paliatif yang erat hubungannya dengan perawatan pada akhir hidup yang sering dijumpai Karena jika pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi maka dokter harus tetap menjaga agar akhir kehidupannya dapat dilewati dengan baik Perawatan di akhir kehidupan ini tidak hanya menyangkut pasien namun juga keluarganya

Sama halnya dengan hukum maka etika sesungguhnya didasarkan pada nilai dan norma moral Norma moral itu sendiri terdiri dari moral principles (beneficence nonmalficence autonomy dan justice) moral standard dan moral rules (yang kemudian dikompilasi kedalam kode etik)

Perkembangan teknologi saat ini dapat memperpanjang kehidupan manusia yang menderita sakit kritis di ICU hal ini sekaligus menimbulkan masalah etik tersendiri misalnyamisalnya apa yang harus atau boleh kita lakukan dalam memperpanjang kehidupan pasien sejauh mana kita boleh menghentikan pemakaian alat bantu hidupsarana pengobatan lainnya apakah kita tidak membunuh pasien apabila kita menghentikan alat bantu nafas

Intinya hakekat dari clinical case management adalah CURING dan CARING Upaya curing harus dihentikan manakala sudah bersifat mubazir (futile) sedangkan upaya caring harus diteruskan sampai pasien meninggal dunia

S-31

Advanced Airway Management In Difficult Pediatric Patient

Muhammad Ramli Ahmad

Bagian Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Kesulitan dalam penanganan jalan napas anak tidak jarang dijumpai dalam praktek sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna Kesulitan sering terjadi berkaitan dengan ventilasi laringoskopi atau intubasi trakea Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau proses patologi yang melibatkan jalan napas Prinsip penanganan adalah menjaga patensi jalan napas untuk menjamin oksigenasi dan ventilasi Identifikasi karakteristik kesulitan jalan napas dan perencanaan masalah penting dalam praktek anestesi Kunci keberhasilan adalan penilaian dan persiapan preoperatif serta pengetahuan dasar mengenai perbedaan anatomi jalan napas dan fisiologi respirasi pada anak Selain itu juga perlu didukung oleh ketersediaan peralatan dan ahli anestesi yang berpengalaman

Kata kunci jalan napas anak kelainan kongenital kesulitan intubasi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

S-32

Pediatric Traumatic Brain Injury

Nazaruddin Umar

Department of Anesthesiology amp Intensive Care Medical School of University of Sumatera Utara

Abstract

Traumatic Brain Injury (TBI) remains the leading cause of death and disability in pediatric patients from birth to 18 years of age Each years 500000 children are seen in Emergency Departement and pediatric deaths from TBI are estimated to be 2500 annualy Severe TBI in pediatric population has better survival prognosis if treated in any trauma centers equipped well in facility and skilled staff to collaborate in neuropediatric cases Proper Systematical Assessment and Intervention on initial admission in order to prevent secondary brain injury by any harmful effect of agitated hypoxia hypercarbia hypovolemia with sedation analgesia with minimal risk of respiratory depression avoidance hyperventilation normovolemia and maintenance of Cerebral Perfusion Pressure (CPP) above 50 mmHg hyperosmolar therapy temperature control glucose control antiseizure prophylaxis would improve outcome particularly for children with several type of problems during radiodiagnostic procedure neurosurgery and neurointensive care unit Brain injury can be devided into primary and secondary injury The primary injury is caused by the intial trauma Physical forces such as acceleration deceleration or rotational forces have an impact on the tissue and may result in skull fracture brain contusion intracranial hematoma or diffuse axonal injury Secondary injury is result of the cascade of event that occurs after the initial injury in including edema cappilary leak and activation of the secaondary imflamatory response The goal of care for patient with TBI is to aid in the compencation process limitating secondary injury to prevent brain ischemia and optimize neurological outcomes TBI are categorized as mild moderate and severe Children with mild brain injury achieve a Glasgow Coma Scale (GCS) of 13 or higher Moderate TBI is characterized by a loss of conciousness and physical andor cognitive impairment with GCS of 9 to 12 Children with severe TBI have GCS less than 8 and require airway and hemodynamic support Management of TBI is devided into first second and third-tier therapy The goal of all therapies is to maintain a low and stable ICP and adequate blood pressure preventing any critical drop in CPP of the three component in the skulll the brain subtance remain fairly constant threfore treatment intially focuses on a shift in CSF or blood from the intracranial space Surgical interventions may be required if medical therapie in the first and second tiers are unsuccessful Management pediatric TBI must be perioperative evaluation anastetic consideratation postoperative management

Keywords CPP Pediatric Secodary Brain Injury TBI

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-33

Advanced Hemodynamic Monitoring

Putu Agus Surya Panji

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Advanced hemodynamic monitoring comprises several level of persistent monitoring in critical patients The goal of hemodynamic monitoring in intensive care is to maintain sufficient perfusion pressures and oxygen delivery Precise volume management of perioperative and critical care patients is crucial to prevent adverse outcomes The need for the precise quantification of cardiac output (CO) in high-risk surgical patients both in the operating room and the intensive care unit is vital in modern medical practice

Manipulation of the cardiac output (CO) mean arterial pressures (MAP) systemic filling pressures and volumes as well as dynamic markers of fluid responsiveness requires continuous monitoring thorough understanding of the modalities employed and proper interpretation of data acquired

Methods for obtaining accurate and continuous measurements in the critically ill patient have evolved from surgical and anesthetic techniques dating back more than a century The pulmonary artery catheter (PAC) is not any more the sole tool available There are less invasive and potentially more accurate methodologies have been developed and employed in the operating room and among diverse critically ill populations

Minimally invasive cardiac monitoring encompasses all methods and devices that calculate the cardiac output without the need of inserting a PAC These include transpulmonary thermodilution arterial pressure pulse contour the esophageal Doppler the thoracic electrical bioimpedance the carbon dioxide rebreathing and waveform analysis and bedside critical care ultrasound including echocardiography Recently simply monitoring vascular pressures has given way to dynamic monitoring where physiologic changes with respiration can be used to derive additional parameters such as pulse pressure variation (PPV) and stroke volume variation (SVV) Clinicians should be aware of their distinct features their limitations but also the sources of potential error that stem for their use

S-34

Direct Marker Of End Organ Perfussion

Prananda Surya Airlangga

Dept Anestesiology dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Univ Airlangga ndash RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak

Oksigen merupakan bahan dasar atau substrat yang memegang peranan vital dalam metabolisme tubuh manusia Proses sampainya oksigen ke seluruh tubuh melalui peredarah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

darah digambarkan dengan rumus Delivery Oxygen (DO2) Dimana bila kita jabarkan terdapat proses fisiologi yang cukup panjang mendasari rumus tersebut Komponen Cardiac output Hemoglobin dan Saturasi Oksigen menjadi variabel dalam rumus tersebut dengan end point adalah perfusi yang baik ke seluruh organ Perfusi yang baik ditunjang Makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang baik Pada saat ini dengan bantuan Non Invasif dan Invasif monitoring kita bisa menilai makrosirkulasi tetapi untuk mikrosirkulasi hal ini tidak mudah apalagi di tingkat klinik Ada beberapa marker indirect yang kita gunakan sebagai alat monitor seperti laktat base deficit ScvO2 dll Belakangan ini terus diupayakan dan dikembangkan alat-alat untuk memonitor secara langsungdirectperfusi di mikrosirkulasi terlebih lagi pada beberapa end organ sehingga outcome terapi kita bisa ditingkatkan

Keyword tissue oxygenation near infrared spectroscopy delivery oxygen

S-35

Chronic Pain Depression And Somatoform Disorders

I Putu Eka Widyadharma

BagianSMF Neurologi FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif neuropatik atau gabungan keduanya Dampak nyeri kronis pada kehidupan seseorang secara keseluruhan juga berkontribusi terhadap depresi dan kelainan somatoform

Nyeri kronis dan depresi berhubungan pada tingkatan neurobiologis psikologis dan perilaku Pada tingkatan neurobiologis neurotransmitter seperti serotonin norepinefrin berperan pada gangguan depresif Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif Pada tingkatan psikologis nyeri kronis termasuk dalam bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen tubuh termasuk nyeri Sebuah konsep yang sesuai penekanan somatosensori yang didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan gejala disforik termasuk nyeri Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik dan merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress psikologis Pada tingkatan perilaku depresi terjadi sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari

Akibat dampak yang sangat luas maka pendekatan multidisiplin merupakan pilihan terbaik dalam manajemen pasien dengan nyeri kronis

Kata kunci nyeri kronis depresi somatoform multidisiplin

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-36

Pain Management In Day- Case Surgery

Sugeng Budi Santosa

Departement of Anesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret UniversityDr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Recent advanced in anaesthetic and surgical techniques along with escalating healthcare cost have resulted in an ever-increasing number of surgical procedures being performed on a day case Most day-case surgery procedures are associated with relatively minor surgical trauma so discharge of these patient frequently depends on recovery from anaesthesia Top priorities for successful day-case surgery are the 4 Arsquo s alertness ambulation analgesia and alimentation (1) Post operative pain is one of most common complaints after surgery and remain continuous to be a challenge for anesthetist this symptom is the most common reason for unanticipated hospital admission The potential cost saving of day-case surgery may negated by unanticipated hospital admission for poorly treated pain (2) Optimal postoperative pain control in day-case surgery should be effective safe minimal side effect facilitate recovery And easily managed by patient at home Supplements and rescue analgesics should be provide if prescribed analgesics is ineffective (3)

Keywords one day care surgery pain management

S-37

Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant Medication

Sugeng Budi Santoso

Department of Anaesthesiology and Intensive TherapySebelas Maret University Dr Moewardi General Hospital

Surakarta

Abstract

Improvement in patient outcome including mortality major morbidity and patient - oriented outcome has been demonstrated with neuroaxial techniques especially epidural anaesthesia and continued epidural analgesia (Rodgers A et al 2000)

The possible complication of neuroaxial block is spinal - epidural hematoma and the use of anticoagulant or anti-platelet is the risk factor most often associated with this complication Current incidence of neurological dysfunction resulting from bleeding complication associated with neuroaxial block is unknown Itrsquos occurrence is estimated to be less than 1 150000 epidural punctures and 1220000 subarachnoid punctures ( Horlocker TT2011)

The number of patient on anticoagulant or anti-platelet therapy has been growing due to the aging process longer life expectancy and prevalence of cardiovascular disease Because

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

risk of spinal - epidural hematoma is increased and introduction of new antithromboyic drugs done at regular interval guideline and recommendations regarding on safety in regional anaesthesia and concomitant use of antithrombotic therapy should be constantly updated ( Vandermeulen E 2010)

Guidelines and recommendation should be included identification of risk factor prevention strategies diagnosis and treatment safe interval for drug suspension and resumption after regional block in subject taking drugs that interfere with coagulation

Keywords Regional anaesthesia Anticoagulant medication

S-38

Major Obstetric Bleeding Management

Susilo Chandra

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Deaths per 100000 pregnancies Sepsis (genital tract infection) is the 1st cause of direct maternal death Rate 113 per 100000 Preeclampsiaeclampsia is 2nd highest cause of direct maternal deaths Rate 083 Thrombosis(including central vein thrombosis) and thromboembolism is the 3rd with rate of 079 AFE is the 4rd with rate of 057 Hemorrhage is number 6 after early pregnancy deaths (ectopic spontaneous miscarriage legal termination other) with rate of 039 Deaths from indirect causes account for the most common causes of maternal death with cardiac being one (rate 231) followed by other indirect causes (rate 214) and indirect neurologic conditions (157)

Morbidity loss of fertility Sheehan syndrome and multi-organ failure due to hypovolemic shock Maternal hemorrhage disproportionately affects resource-poor countries Pasquier 125000 deaths per year related to PPH Incidence of PPH has increased in Canada Australia and US

Low fibrinogen level at PPH diagnosis is associated with a higher risk of severe PPH independent of other laboratory indicators Wide range of PPH (147-18 of all deliveries) reflects different definitions used and the regions concerned Antenatal risk assessment predicts only 40 of those who will develop PPH Maternal morbidity associated with PPH includes PP hysterectomy sepsis ARF and ICU admissions

Chang CC et al study applied multivariate logistic regression to explore the relatioship between anesthestic management type and PPH ldquoWomen who received GA had a higher rate of PPH than women who received epidural anesthesia The odds of PPH in women who had CS with GA were 815 times higher (95 Cim 643-1033) than for those who had CS with epidural anesthesia after adjustment was made for the maternal and fetal characteristicsrdquo

There is no consensus on a definition of major obstetric haemorrhage Up to 1000 ml blood loss is not uncommon in the peripartum period and may be of little clinical significance Blood loss gt1500 ml a decrease in haemoglobin of more than 4 gdl or an acute transfusion requirement of more than 4 units of packed red blood cells are suggested criteria Definitions based on haemodynamic deterioration are unhelpful as maternal physiology often allows compensation until haemorrhage is advanced Careful clinical observation and a high index of suspicion are required to detect bleeding early

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Antepartum HaemorrhageAntepartum haemorrhage (APH) is defined as bleeding from the vagina after 24 weeks

gestation and has an estimated incidence of between 2ndash5 of all pregnancies Complications include maternal shock fetal hypoxia premature labour and fetal death Causes include

Placenta praevia Placental abruption Uterine rupture Trauma

The 4 Trsquos mnemonic describes the abnormalities in one of 4 basic processes acting individually or in combination

Many physiological changes occur during pregnancy including a decrease in blood pressure and an increase in baseline heart rate and blood volume This altered physiology may mask the extent of blood loss until it is severe Complete circulatory collapse is often rapid when the limits of physiological compensation are reached

Warning signs of significant maternal haemorrhage that should not be ignored include tachycardia tachypnoea hypotension pallor poor urine output and pathological CTG changes The performance of regular observations in conjunction with obstetric early warning scores is encouraged Attention should be paid to vital sign trends as well as absolute values and a rapid clinical review should be carried out should any warning criteria be met Tachycardia may be the first and only sign of haemorrhage until 30ndash40 of the circulating volume has been lost where after hypotension and peripheral vasoconstriction ensue In APH signs of fetal distress due to uterine hypoperfusion may precede maternal compromise

The symptoms and signs of hypovolaemia may be more difficult to recognise if there is a language barrier obesity pre-eclampsia dark skin or beta-blockade and hence extra care should be taken in these situations

The main aims of management are rapid resuscitation to restore tissue oxygen delivery while predicting preventing and correcting haemostatic disorders Appropriate levels of monitoring (especially invasive arterial blood pressure monitoring) should be considered and instituted early

If anaesthesia is required for examination andor surgical intervention and haemodynamic stability is compromised general anaesthesia is usually indicated Haemodynamic compromise and coagulopathy should be addressed prior to surgery whenever possible although surgical control may at times be required to enable effective resuscitation Regional anaesthesia may be contra-indicated due to maternal coagulopathy and risk of neuraxial haeamatoma as well as haemodynamic compromise In addition surgery may be lengthy with the potential for further patient deterioration Rapid sequence induction is indicated preferably following antacid prophylaxis (eg sodium citrate and ranitidine)

Induction of general anaesthesia in a severely hypovolaemic patient may cause a catastrophic fall in cardiac output Ketamine is a suitable induction agent (15 mgkg IV) as is cautious dosing of either thiopentone or propofol

If time and the patientrsquos condition allow direct arterial monitoring may be established both as a guide to response and for ongoing blood sampling to guide transfusion therapy Central venous access may be required however this is not imperative and can wait until the situation is under control and should not interfere with prompt resuscitation Central venous access may be necessary for inotrope and

vasopressor infusion and central venous pressure monitoring may provide some additional information to help guide fluid management Although there are few reports of the use of minimally invasive haemodynamic monitoring devices (eg oesophageal Doppler

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

monitoring) in the management of major obstetric haemorrhage these devices may aid fluid management in the anaesthetised patient Attention to fluid balance is imperative since over-transfusion and dilution before achieving surgical haemorrhage control is associated with worse outcomes

Lack of robust RCTs Upon arrival at major trauma institutions blood component resuscitation is driven by massive transfusion protocols trending toward 111 RBCFFPPLT ratios It seems reasonable to extend these recommendations to massive PPH which is also often accompanied by hypothermia acidosis and coagulopathy US Army Surgeon General distributed policy recommending 11 FFPRBC ratio for pts with significant trauma based on experience in Iraq and Afghanistan Empiric transfusion based on clinical parameters Lethal triad of acidosis hypothermia and coagulopathy Decreased coagulopathy when replacing blood loss with a 11 ratio of FFPPRBCs Military physicians noticed a decrease in coagulopathy in bleeding cases when replacing blood loss with a 1 ratio of FFPRBCs

No RCTS evaluating the effect of different transfusion ratios were identified Odds ratio for the high FFPRBC ratio was 045 95 CI 037-055) OR for the high PLTRBC ratio was 045 95 CI 037-055) No optimal ratio Timing of administration is key 9 of the studies reported improved survival in the group of pts receiving the highest ratios of PLT to RBC (the most platelets) This is in agreement with Johansson et al who demonstrated that administration of PLT together with plasma and RBC immediately upon arrival in the operation theater and throughout surgery was associated with reduced postop bleeding and a 50 increase in 30-day survival in pts undergoing ruptured abdominal aortic aneurysm repair

There were a lot of differences between the groups besides the rbcplasma ratio Rapidity of component administration and the reduction in crystallloid use may paly role in outcome

Incidentally D-dimers and fibrin degradation prodcuts increased in fibrinolysis may further aggravate OB hemorrhage by impairing myometrial contractility PPH can rapidly become life-threatening requiring massive transfusion of blood products Traumatic hemorrhagic shock is primary cause of gt5 million trauma related deaths worldwide and a leading cause of death of young people Presents with hypovolemic anemia often accompanied by coagulopathy that results in uncontrollable bleeding systemic inflammation and infection in damaged blood vesells Mitra and colleagues studied the association between acute coagulopathy and early mortality Significant association with early death Ahmed When massive obstetric hemorrhage occurs hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive and its onset can be rapid and profound when compared with surgical or trauma-related coagulopathy The drop in fibrinogen is particularly severe in placental abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy Rapid consumption of fibrinogen is recognized in massive OB hemorrhage Primary coagulation dorsquos are not frequently identified as a cause of PPH except in women on anicoagulation medication or with a known ho a bleeding doIt is becoming increasingly clear that the mechanism of coagulation failure varies according to the underlying cause of massive hemorrhage and that management should reflect this Rayment 2012 Platelets are already low 22 hemodilution increased consumption by uteroplacental unit From Pasquier SIR=systemic inflammatory response Note amount of tissue trauma and contamination is less in the obstetric patient and obstetric hemorrhage occurs in controlled environment usually Also parturients start with higher fibrinogen concentrations From Mercier Obstetric hemorrhage is often complicated by an acquired coagulopathy 22 dilutional and or consumptive effects on clotting factors and by further adverse effects of massive transfusion D dimer levels increase throughout pregnancy and peak on pp day 1 The rise in d dimers occurs with simultaneous increase in circulating fibrinogen and other procoagulant factors during pregnancy Despite hypofibrinolysis the excess fibrin deposition results in an increase in tissue plasminogen activator and high d-dimer values

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Massive hemorrhage with hypovolemic shock leads to tissue hypoxia hypothermia acidosis SIR which lead to DIC Massive transfusion in setting of acidosis and hypothermia lead to DICTrauma induced coagulopathy initiated by tissue injury and hemorrhagic shockHypothermia acidosis and hemodilution contributed to the development of coaguloptathy Hess et al ldquo6 initiators of coagulopathy tissue trauma shock inflammation acidemia hypothermia and hemodilution

Jan 2013 AampA Severe PPH defined as ineffective response to manual uterine examination andor removal of retained placenta genital tract examination and Iv oxytoccin (20U) Failure to respond IV prostaglandin E2 ((sulprostone 500 mcg over 1 hr) given During study period no antifibrinolytics fibrinogen concentrate or compression techniques were administeredapplied Note pts were divided into the do nothing category or the interventional procedures(IR arterial ligation B-lynch hyserectomy) according to their response to sulprostone

Point-of-care tests may help hemostatic therapy to be tailored to the individual pt and therefore reduce the risk for under- or over-transfusion The use of conventional laboratory clotting tests is very limited in immediate situations TEG is thromboelastography ROTEM is rotational thromboelastometry The goal of platelets of 50000 is based on a consensus of medical opinion rather than on evidence and would depend on the rapidity of blood loss and the presence of platelet dysfunction Johansson and Stensballe compared 2 transfusion strategies in massively bleeding pts a classic administration of platelets based on platelet count and a new proactive transfusion strategy consisting of preemptive use of platelets and plasma in transfusion packages (552 unit platelet concentrates) Urgently need RCTs before recommendations are formulated for OB pts Point of care= thromboelastography and thromboelastometry Blood and fluid replacement is first line in treatment of obstetric hemorrhage This slide from Saule I Transfusion practice in major obstetric hemorrhagerdquo Arterial thrombosis is a potential complicaitons of rFVIIa but zero cases in case series of 15 pts Its safety in obstetric hemorrhage is unproven Platelet target depends on rapidity of blood loss and on the presence of platelet dysfunction

Toledo et al Accuracy of blood loss estimation after simulated vaginal delivery Interestingly in this study there was no association between years in trainingexperience and accuracy also no difference between providers in accuracy (nurses vs Obs vs anesthesiologists) although other studies have shown that anesthesiologists are more accurate 106 subjects participated estimating blood loss at 8 stations (4 with calibrated and 4 without) In pic the uncalibrated bag on L has 500 mL calibrated on R has 1000 mL

Fibrinogen plays a role in platelet aggregation and establishment of fibrin network Coags platelets can be normal in major OB hemorrhage with no detectable fibrinogen levels Essential marker for the severity of PPH Hypofibrinogenemia can be dilutional or consumptive in massove OB hemorrhage and its onset can be rapid and profound particularly in cases of abruption AFE IUFD and acute fatty liver of pregnancy

Stinger 2008 is trauma medicineRahe-Meyer is a cardiac surgery study Haas is craniosynostosis Therersquos a need for RCTrsquos for OB hemorrhage massive trauma etc to assess threshold at which fibrinogen should be transfused whether the threshold varies with differenet clinical scenarios its effect on transfusion requirements and length of stay as well as mortality and risk of arterial and venous thromboembolism (VTE) Itrsquos unlikely that a study comparing the effect of fibrinogen concentrate with that of cryp will be performed It would be difficult to coordinate such a study because fibrinogen concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly Fibrinogen is not licensed for use in pregnancy Its efficacy in treatment of major hemorrhage limited to case series

All parturients requiring fibrinogen between Jan 2009-June 2011 were identified 77 cases identified out of 21614 (incidence of 361000) 44 received either cryo or concentrate

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Replaced fibrinogen with cryo and concentrate for major Ob hemorrhage Both were effective in contributing to the cessation of bleeding No cases of death Medical and surgical treatments similar in both groups (see figure)Itrsquos unlikely that RCTs comparing the effect of concenetrate with that of cryo will be performed Why Bc concentrate can be reconstituted and administered so much more rapidly (Rayment 2012)

Systematic review of studies that reported use of FVIIa in PPH On lady who had PE had antithrombin deficiency Another had DVT one unrelated to factor VII Still offlabel and very expensive

Tranexamic acid (TXA) given intravenously as 4g1 hr then 1gh for 6h Study conducted between 2005-2008 Blood loss between time 2 and time 4 was 49 lower in the TXA group (Plt003) WHO guidelines ldquoMay be used in PPH if other measures failrdquo

ConclusionGlobally postpartum haemorrhage (PPH) is the leading cause of maternal morbidity

and mortality Major obstetric haemorrhage is managed by multidisciplinary approach In the current treatment of severe PPH first-line therapy includes transfusion of packed cells and fresh-frozen plasma in addition to uterotonic medical management and surgical interventions In persistent PPH tranexamic acid fibrinogen and coagulation factors are often administered Secondary coagulopathy due to PPH or its treatment is often underestimated and therefore remains untreated potentially causing progression to even more severe PPH The most postnatal haemorrhage is due to uterine atony and can be temporarily controlled with firm bimanual pressure while waiting for definitive treatment

S-39

Perioperative Neuroprotection

Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Kepala Pusat Studi Neuromuskuler FK Universitas Padjadjaran

Abstrak

PendahuluanApakah Perioperative Neuroprotection Perioperatif adalah periode dari mulai praoperasi

saat operasi dan pascaoperasi artinya pengelolaan pasien yang menyeluruh dari mulai praoperasi selama operasi dan pascaoperasi Neuroprotection adalah proteksi neuron dari cedera (injury) Proteksi neuron atau proteksi otak berbeda dengan resusitasi otak tindakan pengelolaannya pasiennya hampir sama tapi per definisi sedikit berbeda Proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk mengurangi cedera neuron

Menjadi pertanyaan apakah proteksi sel neuron merupakan kenyataan atau pemikiran yang salah Susunan saraf pusat (SSP) mungkin mengalami iskemia selama karotidenarterektomi emboli operasi vaskuler di intrakranial torak atau abdomen saat hipotensi kendali syok henti jantung atau pada cedera otak Oleh karena itu tindakan anestesi jangan menambah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

efek buruk pada SSP akan tetapi harus justru harus melakukan proteksi dari cedera iskemik dan hipoksik

Menjadi pertanyaan apakah kita membutuhkan proteksi otak Tentu dengan tegas jawabannya adalah YA Bukti-bukti menunjukkan bahwa terjadi 20 defisit neurologis setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) 80 iskemia otak setelah cedera kepala dan yang operasinya diluar otakpun penelitian menunjukkan 40 terjadi disfungsi kognitif setelah antroplasti Penelitian Selim yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi stroke iskemik setelah berbagai macam operasi baik operasi yang menyangkut jantung dan pembuluh darah otak atau operasi ditempat lain

Iskemia didefinisikan sebagai ketidak cukupan perfusi untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas metabolic neuron dan fungsi Iskemia dapat global atau fokal komplit atau tidak komplit Komplit global iskemia misalnya henti jantung iskemia global yang tidak komplit misalnya hipotensi atau syok Iskemik fokal misalnya oklusi satu pembuluh darah dan artinya tidak komplit Bila pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan (disebut iskemia) maka sintesa adenosine tri phosphat (ATP) menurun ATP menjadi kosong dan terjadi kegagalan pompa Na-K-ATPase Natrium akan masuk kedalam sel dan kalium akan keluar sel dstnya dan terjadi kaskade iskemik sampai terjadi kematian sel

Metode Proteksi OtakUntuk memutuskan rantai tersebut dilakukan proteksi otak dan atau resusitasi otak

yang kalau dilihat dari tindakannya adalah sama seperti teknik ABCDE neuroanestesi Jadi tindakan neuroresusitasi neuroproteksi neuroanestesi neuroICU adalah sama saja ABCDE itu adalah

bull A = Clear airway (jalan nafas bebas epanjang waktu)bull B = Breathing (ventilasi kendali dengan target normocapnia atau sedikit hipokapni) bull C = Circulation (hindari peningkatan atau penurunan tekanan darah hindari

peningkatan tekanan vena serebral dan pengaturan cairan dengan target normotensi normovolemia iso-osmoler normoglikemia)

bull D = Drugs (hindari obat dan teknk anestesi yang meningkatkan ICP berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak)

bull E = environment (pengendalian suhu hipotermia ringan cegah hipertermi)

Metode proteksi otak terdiri dari 1) Basic Method yaitu ABC neuroanestesi 2) Hipotermia dengan target low normothermia (E dalam neuroanestesi) dan proteksi otak secara farmakologik (D dalam neuroanestesi) yang dapat dilakukan dengan pemberian anestetika intravena anestetika inhalasi lidokain mannitol magnesium eritropoietin alpha-2 agonist demedetomidin

Basic MethodBasic Method terdiri dari pengelolaan Airway Breathing dan Circulation Airway harus bebas

sepanjang waktu Breathing adalah untuk oksigenasi adekuat hindari hipoksia hiperkapnia Targetnya adalah normokapnia dan hiperventilasi hanya dilakukan bila ada tanda-tanda herniasi otak Pada circulation pertahankan tekanan darah normotensi dengan target tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressureCPP) 50-70 mmHg CPP kurang dari 50 mmHg bisa

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

terjadi iskemia otak tapi CPP gt 70 mmHg pada cedera otak traumatik bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) Kendalikan tekanan intrakranial (intracranial pressureICP) dan mulai terapi bila ICP gt 20 mmHg Koreksi asidosis ketidakseimbangan elektrolit osmolaritas dan kadar gula darah Gula darah harus dipantau dengan ketat Hindari hiperglikemia dan pertahankan gula darah antara 100-150 mg dan periksa setiap 2 jam Kadar gula darah yang tinggi akan memperburuk outcome sedang normoglikemia mempunyai efek proteksi otak

Terapeutik hipotermiaHipotermia mempunyai efek proteksi otak Lebih turun temperatur makin besar efek

proteksi otak tapi komplikasi juga makin besar Harus dicari penurunan suhu yang optimal antara maksimal proteksi dan minimal efek buruk maka suhu inti dipertahankan antara 34-35 0C

Mekanisme hipotermi untuk proteksi otak selain dengan menurunkan metabolisme otak juga melalui efek menurunkan pelepasan EAA mencegah apoptosis mengurangi disfungsi mitokhondria menurunkan produksi radikal bebas mempertahankan ATP menurunkan influks Ca memelihara sintesa protein dan sawar darah otak mencegah peroksidasi lipid menurunkan pembentukan edema memodulasi respons inflamasi dan kematian sel secara apptotik

Hipotermi sampai 33 0C dapat menimbulkan komplikasi saat rewarming karena terjadi vasodilatasi serebral dan kemudian kenaikan ICP Komplikasi lain adalah terjadinya pneumonia Hipertermia (suhu inti 420C pasien bisa koma) dapat meningkatkan Ca influks pengosongan ATP dengan cepat dan gangguan pemulihan

Clifton GL dkk dalam N Engl J Med 2001344(8)556-63 melaporkan penelitian dengan suhu tubuh 330C yang dimulai 6 jam setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam dengan surface cooling Hasilnya menunjukkan bahwa terapeutik hipotermi tidak efektif Kemudian Clifton GL dkk mempublikasikan penelitian yang lain dalam Lancet 2011 yang mana terapi hipotermi dilakukan dengan suhu 330 C dalam 25 jam setelah cedera pada 232 pasien cedera otak traumatik berat dan dipertahankan selama 48 jam Hasil penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermi sebagai strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera otak traumatika berat

Sydenham E dkk dalam Cochrane Database Sys Rev 2009 dengan kriteria seleksi penelitian RCT yang melakukan hipotermi sampai maksimum 350C paling sedikit 12 jam meliputi 23 penelitian dengan total 1614 pasien Menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa hipotermi menguntungkan dalam terapi cedera kepala Sadaka F Veremakis C dalam Brain injury 201226(7-8)899-908 tidak dapat memberi kesimpulan dan menunggu hasil penelitian multisenter yang lebih besar untuk mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial dan outcome-nya

Hipotermi terapeutik masih kontroversi akan tetapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 350C dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 370C Lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari Untuk mencapai suhu 350C dianjurkan memakai metode surface coolingTentang outcome masih dipertanyakan dan belum diketahui dan sekarang penelitian yang lebih besar sedang dilakukan yaitu The Eurotherm3235Trial European Society of Intensive Care Medicine study of HT (32-35degC) for ICP reduction after TBI (the Eurotherm3235Trial) Penelitian ini merupakan penelitian mulisenter untuk menguji efek hipotermi 32-35degC untuk mengurangi ICP lt20 mmHg pada morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah cedera otak traumatik dengan jumlah sampel 1800 pasien dan dimulai April 2010

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Pharmacologic Brain ProtectionPharmacologic brain protection adalah melakukan proteksi otak dengan obat-obatan Kalau

berbicara proteksi otak maka harus dilihat dari konteks anti nekrotik dan antiapoptotik Apoptotik adalah programmed cell death Anestetika intravena barbiturat mempunyai efek proteksi otak dengan jalan menurunkan metabolisme otak tekanan intrakranial Ca influks memblok kanal Na menghambat pembentukan radikal bebas dan menurunkan glutamataspartatlaktat ekstraseluler

Anestetika inhalasi meningkatkan aliran darah otak di daerah iskemik menurunkan metabolisme otak dan menekan kejang Isofluran sevofluran desfluran menekan metabolisme otak secara maksimum pada 2 MAC dan memperbaiki ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan (anestetika inhalasi berefek serebral vasodilator tapi menekan metabolisme otak) Efek lain adalah menghambat pelepasan neurotrasmiter eksitatori dan menghambat asidosis laktat mengurangi influks Na dan Ca menghambat peroksidasi lipid dan mengurangi pembentukan radikal bebas Beberapa publikasi menyebutkan bahwa isofluran hanya ldquoselintasrdquo berefek proteksi insult iskemia dan hanya berefek antinekrotik tapi tidak antiapoptotik Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isofluran tidak mempunyai efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isofluran hanya memperlambat tapi tidak mencegah infark akibat iskemia fokal Sebaliknya penelitian Engelhard mengatakan bahwa sevofluran mempunai efek antinekrotik dan anti apoptotik Kalau istilah proteksi otak harus mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik maka hanya sevofluran yang mempunyai efek proteksi otak Akan tetapi semuanya ini adalah pada penelitian hewan coba belum dikonfirmasikan pada penelitian klinis Desfluran lebeih berefek vasodilatasi serebral dan lebih meningkattkan ICP daripada isofluran dan sevofluran pada keadaan normokapnia Pada 1 MAC desfluran aliran darah otak 16 lebih tinggi daripada isofluran dan 24 lebih tinggi daripada sevofluran

Bagaimana tentang N2O Pada tahun1938 CD Courvile mempublikasikan foto sel neuron korteks yang bervakuola pada pasien yang meninggal setelah pemberian N2O Enampuluh tahun kemudian Todorovic menyampaikan bahwa N2O menimbulkan vakuolisasi mitokhondria dan endoplasmik retikulum tikus Penelitian lain menunjukkan bahwa N2O menghilangkan efek proteksi otak dari pentotal dan isofluran juga N2O meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood flowCBF) ICP dan metabolisme otak

Bagaimana tentang osmodiuretik Pada first-tier therapy pengelolaan hipertensi intrakranial dipandukan untuk memberikan mannitol Mannitol ternyata mampu menurunkan ICP dan meningkatkan CPP memperbaiki CBF pada penelitian hewan dan manusia Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma selintas dengan penurunan hematokrit dan viskositas plasma Mannitol mempunyai osmolaritas 1208 mOsmL maka harus dipantau osmolaritas plasma Manitol jangan diberikan bila osmolaritas 320 mOsmL dan osmolaritas 350 mOsmL dapat berakibat buruk pada otak dan ginjal Rebound phenomena setelah pemberian mannitol hanya relevan bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi lebih dari 4 hari

Magnesium (MgSO4) mempunyai efek proteksi otak karena berefek NMDA reseptor antagonis memblok kanal Ca sehingga menghambat pemasukan Ca ke intraseluler serta mempercepat pemulihan ATP Suatu penelitian metaanalisis pada akut iskemik stroke menunjukkan perbaikan outcome fungsional

Bagaimana tentang lidokain Kita menggunakan lidokain 1-15 mgkg intravena untuk menghindari lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ekstubasi serta memberikan lidokain intravena 1 mgkgjam kontinyu untuk efek proteksi otak Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa skor neurologik (0=normal dan 4=kerusakan berat) tikus yang diberi lidokain lebih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

kecil daripada yang tidak diberi lidokain Lidokain bekerja dengan cara memblok kanal Na dan kanal Ca mengurangi cedera post nekrotik memotong kerusakan iskemik pada daerah penumbra dengan memblok jalur kematian sel secara apoptotik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lidokain mempunyai efek proteksi otak

Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah sehingga akan berperan dalam pemeliharaan proteksi pertumbuhan perbaikan sistem saraf Juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin mempunyai efek proteksi otak

Alpha-2 agonist dexmedetomidine mampu menurunkan kadar norepinephrin dalam plasma sehingga mampu menghambat terjadinya iskemia yang dipicu oleh pelepasan norepinephrin dan mampu mencegah kematian sel yang lambat setelah iskemia fokal Penelitian lain menunjukkan bahwa dexmedetomidine menurunkan volume daerah iskemik sebanyak 40 dibandingkan dengan plasebo

SimpulanSebagai simpulannya ternyata bahwa proteksi otak merupakan suatu fakta yang dapat

dilakukan selama kita mengelola pasien yang berisiko terjadi iskemia otal Caranya adalah dengan basic method hipotermia dan farmakologik

Bahan Bacaan1 Bisri T Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatik Bandung

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 20122 Bisri DY Bisri T Terapi hipotermi setelah cedera otak traumatik JNI 20143(3)189-983 Neuroanesthesia and Critical Care Course (NACC course) edisi 2015

S-40

Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography Guidance

T G A Senapathi M Wiryana P Astawa N M Astawa S Maliawan M Bakta

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP SanglahDenpasar

Abstract

Background Regional anesthesia has an anti-inflammatory effect that blockade the C-fiber hence reduced cytokine production and blocked the activity of the sympathetic nerve fibers Postoperative pain caused primarily by tissue inflammation and activity of the C-fibers in the manner of reduced the production of cytokines regional anesthesia may limit the inflammatory response after surgery and severity of postoperative pain

Methods This study is a clinical experimental study with randomized pre and post test control group design A total of 24 samples were recruited in this study divided into two groups each consisting of 12 samples The first group was given regional anesthesia method of continuous brachial plexus block with ultrasound guidance and the second group with general anesthesia method T-test or Mann-Whitney continued multivariate linear regression

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

analysis was performed to analyze the differences in treatment and not because of differences in the initial values with significance level of plt005

Results This study reports that the mean decreased levels of IL-6 postoperatively in 1stgroup is 298 lower than in 2ndgroup and it is statistically significant plt 005 There was an increase of IL-10 mean levels from preoperative to postoperatively with significance level of plt005 in both groups Declined in the mean levels of PAF postoperatively in 1stgroup 13 lower than 2nd group and it was statistically significant plt005 The declined of postoperative VAS in 1stgroup is 31 lower than 2nd group and it is statistically significant plt 005 and it also contained the pure effect of PAF levels against value of VAS that any increased 1ngml levels of PAF then an increase in the value of 018 cm VAS and this was statistically significant plt005 Selection of this anesthesia technique in orthopedic antebrachii surgery provides better inflammatory response and improved clinical outcomes

S-41

Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment Anesthesiologist Perspective

Widya Istanto Nurcahyo

SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr KariadiFK UNDIPSemarang

Abstract

All patients scheduled to undergo noncardiac surgery should have an assessment of the risk of a cardiovascular perioperative cardiac event The purpose of this assessment is to help the patient and healthcare providers weigh the benefits and risks of the surgery and optimize the timing of the surgery The clinician uses information obtained from the history physical examination and type of surgery in order to develop an initial estimate of perioperative cardiac risk

Patients with recent myocardial infarction (MI) or unstable angina decompensated heart failure (HF) high-grade arrhythmias or hemodynamically important valvular heart disease (aortic stenosis in particular) are at very high risk for perioperative MI HF ventricular fibrillation or primary cardiac arrest complete heart block and cardiac death Patients who require emergent or urgent surgery are at increased risk of a perioperative cardiovascular event at any level of baseline risk

Functional status can be expressed in metabolic equivalents (1 MET is defined as 35 mL O2 uptakekg per min which is the resting oxygen uptake in a sitting position) One important indicator of poor functional status and an increased risk of postoperative cardiopulmonary complications after major noncardiac surgery is the inability to climb two flights of stairs or walk four blocks

Gupta MICA NSQIP database risk model The NSQIP database was used to determine risk factors associated with intraoperativepostoperative myocardial infarction or cardiac arrest (MICA) Among over 200000 patients who underwent surgery in 2007 065 percent developed perioperative MICA Five factors were identified as predictors of MICA type of surgery dependent functional status abnormal creatinine American Society of Anesthesiologistsrsquo class and increased age

Revised cardiac risk index (RCRI) sometimes referred to as the Lee index was published in 1999 and has been used worldwide since then In the derivation of the index 2893 patients

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

(mean age 66) undergoing elective major noncardiac procedures were monitored for major cardiac complications (cardiac death acute MI pulmonary edema ventricular fibrillationcardiac arrest and complete heart block) The index was validated in a cohort of 1422 similar individuals The predictive value was significant in all types of elective major noncardiac surgery except for abdominal aortic aneurysm surgery

RCRI did not perform well in patients undergoing vascular surgery the Vascular Study Group of New England (VSGNE) developed a risk index specifically for those patients named VSGNE risk index In multivariate analysis of the VSGNE cohort independent predictors of adverse cardiac events (MI arrhythmia heart failure but not mortality) were (increasing age smoking insulin-dependent diabetes coronary artery disease CHF abnormal cardiac stress test long-term beta-blocker therapy chronic obstructive pulmonary disease and creatinine ge18 mgdL Prior cardiac revascularization was protective

ACS-NSQIP universal surgical risk calculator is an universal surgical risk calculator model consisting of 20 patient factors plus the surgical procedure This model had excellent performance for mortality morbidity and six additional complications

Management based on risk are categorized into low or higher-risk patients Patients whose estimated risk of death is less than 1 percent are labeled as being low risk and require no additional cardiovascular testing Patients whose risk of death is 1 percent or higher may require additional cardiovascular evaluation Often these are patients with known or suspected coronary artery or valvular heart disease Further evaluation may include stress testing echocardiography 24-hour ambulatory monitoring or cardiologist consultation

S-42

Sepsis in obstetric

Yusmein

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGMRSUP SardjitoYogyakarta

Abstract

Pregnant patients pose unique challenges for clinicians involved in critical care because obstetric populations pose significant challenges the physiological changes of pregnancy may mask the clinical signs of sepsis when it occurs in the antenatal period maternal deterioration can quickly lead to fetal compromise12 They have traditionally been viewed as an immunocompromised state therefore placing the mother at increased risk of infectious diseases4 Sepsis is still a major cause of maternal mortality and morbidity in France the UK and the USA6

World Health Organisation (WHO) has defined it as ldquoinfection of the genital tract occurring at any time between rupture of membranes or labour and the 42nd day postpartum with two or more of the following are present pelvic pain fever abnormal vaginal discharge abnormal smell of discharge delay in postpartum reduction of size of uterus34 Early recognition and diagnosis with rapidly instituted therapy are key to ensuring a good outcome34

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) has recommended that sepsis should be managed in accordance with the Surviving Sepsis Campaign guidelines The Surviving Sepsis Campaign guidelines described two clinical-care bundles - six hours the

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

resuscitation bundle and twenty four hours the management bundle severe sepsis and septic shock bundle Six hours the resuscitation bundle has been shown to significantly improve survival rate early detection early administered antibioticcultures and early goal directed therapy (EGDT) Twenty four hours management bundle glucose control steroid and lung protective strategy Fetal assement is important in the critically ill pregnant patients34

Keywords Sepsis Obstetric Morbidity Mortality Management

S-43

Principles of Medical Consultation and Perioperative Medicine

Zulkifli

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH-FK Unsri Palembang

Abstrak

Mengusahakan evaluasi perioperatif yang bermutu tinggi dan cost-effective merupakan issue yang penting dalam management pasien perioperatif Penggunaan perioperatif assessment melalui koordinasi antara antara operator anestetist laboratory care dan dokter lain yang terkait mendorong perkembangan petunjuk praktis dan menurunkan pembatalan pasien dan lama perawatan Hal yang harus diingat bahwa pada konsultasi medical diharuskan untuk mengerti dengan pasien dan penyakitnya

Selain itu pengertian dan penerapan prinsip-prinsip management medikasi perioperatif sangat bermanfaatmemperbaiki outcome pasien yang menjalani pembedahan Paling tidak 50 pasien yang menjalani pembedahan mendapatkan medikasi secara reguler Sorang anestetist harus mampu memutuskan medikasi tersebut diteruskan atau dihentikan

Kata kunci Medical Consultation Perioperative Medicine

S-44

MAC and Sedation outside the Operating Room

Arif HMMarsaban

Department of Anesthesiology and Therapy IntensiveFaculty of Medicine University of IndonesiaDr Cipto Mangunkusumo General Hospital

Abstract

Monitored Anesthesia Care (MAC) is a planned procedure to a patient who is undergoing a procedure that needs the administration of sedation andor analgesia and the anesthesiologists has the responsibility of all aspects of anesthesia care ndash a preprocedure visit intraprocedure care and postprocedure anesthesia management Anesthetic procedures outside OR is known also as NORA = non-operating room anesthesia that may consists of varying levels of sedation analgesia and anxiolysis Problems in NORA MAC are usually related to unfamiliar locations and working conditions differs to the well equipped operating room

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Common complication during NORAMAC are respiratory problems (apnea obstruction) hypothermia anaphyalxis gastric aspiration hypotension and hypovolemia To minimize the risk of complication a proper preparation prior to the procedure should be carried out that includes patient evaluation and informed consent the goals and level of MAC the choice of drugs related to the procedure the facility (monitors anesthetic equipment drugs and emergency equipment) and the personal The deeper the level of sedation the more risks of adverse events

The choice of drugs depends on the procedure does it requires immobilization during the procedure is it a painful procedure or both If the procedure is a painless procedure than it needs only sedative or hypnotic drugs (chloralhidrat barbiturates midazolam propofol dexmedetomidine) may combine with opioid analgesia as required A painful procedure usually needs combination of opioid analgesia or ketamine and sedative hypnotic drugs These drugs can be given bolus iv intermittent or continuous infusion (TIVA TCI)Key words MAC monitored anesthesia Care Non-operating room anesthesiaSuggested Readings

1 American Society of Anesthesiologists DISTINGUISHING MONITORED ANESTHESIA CARE (ldquoMACrdquo) FROM MODERATE SEDATIONANALGESIA (CONSCIOUS SEDATION) Approved by the ASA House of Delegates on October 27 2004 last amended on October 21 2009 and reaffirmed on October 16 2013

2 Ramkumar P Anaesthesia care beyond Operating Rooms Newer opportunities amp Challenges Amrita journal of medicine 2013 9(2) 2015 1-44

3 Melloni C Anesthesia and sedation outside the operating room how to prevent risk and maintain good quality Current Opinion in Anaesthesiology 2007 20513ndash9

4 Van De Velde M Kuypers M Teunkens A Devroe S Risk and safety of anesthesia outside the operating room MINERVA ANESTESIOL 200975345-8

5 Krane E Guideline for surgery outside the operating room Pediatric anesthesia and pain management Lucile Packard Childrenrsquos Hospital Standford University Medical Center 1-9

6 Agostoni M Fanti L Gemma M Pasculli N Beretta L Testoni PA Adverse events during monitored anesthesia care for GI endoscopy an 8-year experience Gastrointest Endosc 201174266-75

7 Ghisi D Fanelli A Tosi MH Nuzzi M Fanelli G Monitored Anesthesia Care MINERVA ANESTESIOL 200571533-8

8 Karaaslan K Yilmaz F Gulcu M Colak C Sereflican M Kocoglu H Comparison of Dexmedetomidine and Midazolam for Monitored Anesthesia Care Combined with Tramadol via Patient-Controlled Analgesia in Endoscopic Nasal Surgery A Prospective Randomized Double-Blind Clinical Study Current therapeutic research 2007 68(2) 69-81

9 Ryu J-H So Y Hwang J-W Do S-H Optimal target concentration of remifentanil during cataract surgery with monitored anesthesia care Journal of Clinical Anesthesia 2010 22 533ndash7

10 Fanti L Agostoni M Arcidiacono PG Albertin A Strini G Carrara S Guslandi M Torri G Testoni PA Target-controlled infusion during monitored anesthesia care in patients undergoing EUS Propofol alone versus midazolam plus propofol A prospective double-blind randomised controlled trial Digestive and Liver Disease 39 (2007) 81ndash6

11 Ryu J-H Kim J-H Park K-S Do S-H Remifentanil-propofol versus fentanyl-propofol for monitored anesthesia care during hysteroscopy Journal of Clinical Anesthesia 2008 20328ndash32

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

S-45

Target-controlled inhalational anesthesia

Doddy Tavianto

Departemen SMF Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin

Bandung

Abstract

Target-controlled inhalational anesthesia is an anesthesia delivery system available in the newer anesthesia machines It is a modality of anesthesia gas delivery system where the machine adjusts automatically the anesthetic agent concentration to achieve the desired target levels set by the user

The target-controlled inhalational anesthesia technique is a mechanism in the breathing system where the desired values of gases are selected and the computerized system adjusts the gas delivery to achieve the targeted levels

By using the target-controlled inhalational anesthesia technique the consumption of gases would reduce thus effectively reducing the cost and environmental pollution

Keywords Target-controlled inhalational anesthesia breathing system

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-01

Perbandingan efek metamizol iv parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam

Ade Irna

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh dan kadar PGE-2 yang lebih baik dibandingkan parasetamol iv dan cooling blanket pada pasien cedera otak dengan demam

Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal sampel penelitian sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi Sampel dipilih secara acak dan dibagi kedalam 3 kelompok Kelompok M diberikan metamizol iv 15 mgkg berat badan kelompok P iv diberikan parasetamol 15 mgkg berat badan dan kelompok C diberikan cooling blanket yang diatur pada suhu 10oC sampai suhu target tercapai Penurunan suhu tubuh kadar PGE-2 dan nilai TAR dicatat dan dilakukan analisis statistik

Hasil penelitian memperlihatkan metamizol iv memiliki efek menurunkan suhu tubuh lebih baik namun penurunan kadar PGE-2 pada ketiga kelompok adalah sama

Kata kunci Pasien cedera otak demam suhu tubuh kadar PGE-2

P-02

Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup Jantung

Agus Adi Yastawa Wibawa Nada Kt Kurniyanta PtDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Sanglah ndash fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Latar Belakang Kelainan katup jantung paling sering disebabkan oleh komplikasi dari penyakit jantung rematik Menjaga kestabilan hemodinamik menjadi tantangan dalam manajemen perioperative Teknik anestesi yang dipilih untuk manajemen perioperative pasien ini tergantung kondisi pasien dan kemampuan menjaga kestabilan hemodinamik

Laporan kasus Perempuan 40 tahun dengan Adenomiosis+ RHDFc 2 MS Severe AR Mild TR Mild AS mild AR mild menjalani operasi laparotomi Supravaginal Histerektomi

Masalah Pre-operatif RHDFc 2 dari Echocardiografi MS severe AR mild AS mild TR mild Sec (+) di LA fungsi sistolik LV normal EF 61 (EDV 112 ml ESV 44ml SV 68 ml)fungsi sistolik RV normal Durante operasi dilakukan anestesi epidural di L2-3 dengan regimen lidocaine 20 vol 10 ml +bupivacaine 05 plain vol 15 ml Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit hemodinamik stabil tanpa topangan obat simpatomimetik Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan analgetik epidural bupivacaine 01 + morphin 05 mg volume 10 ml dan Ketorolak 30 mg setiap 8 jam intravena

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Prinsip manajemen perioperative pasien ini adalah dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan hantaran oksigen ke jaringan dengan menjaga preload (status euvolumia) jaga SVR dan cegah takikardi Anestesi regional menyebabkan blokade simpatis dan dapat menurunkan SVR Anestesi regional khususnya blok epidural dengan sifatnya blokade segmental diharapkan dapat lebih menjaga kestabilan hemodinamik dengan tetap memberikan relaksasi lapangan operasi dan analgetik yang adekuat terhadap pasien Durante operasi kita harus dapat mencegah efek takikardi yang ditimbulkan oleh blok epidural akibat hipovolumia relatif dengan meyakinkan status volume dan kestabilan hemodinamik sebelum prosedur anestesi dilakukan

Kesimpulan Anestesi regional epidural pada pasien yang menjalani pembedahan ginekologi dengan penyakit katup jantung dapat memberikan keadekuatan anestesi dan kestabilan hemodinamik

Kata Kunci Supravaginal Histerektomi epidural anestesi penyakit katup jantung

P-03

Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis

Andi Kusuma I Wayan Aryabiantara

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar BelakangAneurisma aorta abdominalis merupakan penyebab kematian terbesar ke 13 di Amerika

dan merupakan kasus yang menantang bagi bedah vaskuler dan anestesi

DiskusiPasien laki-laki 61 th akan dilakukan EVAR (Endovascular Artery Repair) dengan

keluhan nyeri perut hilang timbul disertai benjolan yang semakin membesar Pada Angiografi didapatkan Pseudoaneurysma arteri illiaca comunis sampai illiaca interna dekstra Pada EKG jantung didapatkan sinus bradikardi dengan HR 57 x menit Sedangkan fungsi organ lain dalam batas normal Pre anastesi dilakukan dengan lengkap tidak aada masalah pada pasien

Sebelum induksi kecukupan cairan dipenuhi Induksi dilakukan perlahan untuk mencegah lonjakan hemodinamik yang beresiko mengakibatkan pecahnya aneurisma Durante operasi pasien dengan ventilasi kendali dengan dilakukan AGD berkala Tindakan cross clamping aorta dan declamping aorta mempunyai pengaruh yang besar terhadap hemodinamik Untuk mengatur hemodinamik durante operasi digunakan NTG Penggantian kehilangan cairan durante operasi digunakan kristaloid koloid dan sel darah merah Pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif dengan ventilasi kendali untuk monitoring ketat fungsi jantung ginjal dan produksi urine Analgetik pasca operasi digunanakan Epidural Analgesia Hari ke 2 pasien sudah bernapas spontan Hari ke tiga kembali ke ruangan dan selanjutnya rawat jalan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanDengan managemen anestesi yang safe pada pasien aneurisma aorta abdominalis dapat

menyelamatkan pasien dan menurunkan resiko angka kematian Memberikan kenyamanan pada pasien operator dan ahli anastesi yang bekerja dengan meminimalkan efek samping terutama pada kardiovaskuler

Kata kunci aneurisma aorta abdominalis repair managemen anestesi

P-04

Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis Bulosa

Andri Thewidya IGN Mahaalit Aribawa

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Epidermolisis Bulosa merupakan kelainan genetik mekanobulosa berupa gangguan ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau gesekan ringan Penyakit ini terutama mempengaruhi lapisan epitel skuamosa di kulit namun bula juga dapat terjadi pada mukosa saluran pernafasan Penyakit ini memberikan masalah khusus untuk dokter anestesi karena alat yang digunakan untuk memberikan pelayanan anestesi dapat menyebabkan komplikasi postoperatif Tantangan pada pasien EB adalah untuk menjaga patensi jalan nafas dan penggunaan alat monitoring tanpa merusak permukaan epitel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan

Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada pasien EB Pasien laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis Pseudosindaktili Dekstra et Sinistra ec Epidermolisis Bulosa yang akan menjalani operasi release sindaktili dan skin graft Pada pasien ini ditemukan masalah malnutrisi dengan BMI 1285 kgm2 dengan anemia defisiensi besi dan hipoalbuminemia karena asupan makanan yang kurang

Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan anestesi umum Manipulasi jalan nafas dengan memberikan sungkup muka secara ketat dihindari Kami memberikan jelly pada permukaan sungkup muka yang akan kontak dengan kulit pasien ETT ukuran 65 dengan dilumuri jelly sebelumnya dipasang dengan menggunakan video laringoskopi Kami juga memperhatikan pengembangan cuff ETT secara berkala untuk meminimalisir risiko terbentuknya bula pada mukosa saluran nafas Untuk monitoring pasien kami menggunakan pulse oksimetri yang dipasang di daun telinga dan pemasangan manset tekanan darah di tungkai bawah dengan sebelumnya dilapisi elastomul dan jelly Fiksasi ETT menggunakan kassa yang diikat melingkari kepala pasien untuk menghindari tempelan plester yang dapat menimbulkan trauma pada kulit Pemeliharaan anestesi kami gunakan N2O dan Sevoflurane Pasien kami ekstubasi secara sadar Pasca operasi pasien dirawat di burn unit

Pada pasien EB diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya lesi epitel baru Penanganan jalan nafas harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya bula Selain itu evaluasi preoperatif yang menyeluruh diperlukan untuk menilai kondisi lain yang berhubungan seperti anemia infeksi kronik kontraktur dehidrasi dan malnutrisi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-05

Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam Malik

Andrias1 Dadik WW2

1Residen Anestesi Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

2Staf PengajarAnestesi danTerapi Intensif Departemen Anestesi danTerapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Adam Malik

Abstrak

Pendahuluan Hepar merupakan organ yang sering cedera pada trauma tumpul abdomen Penyebab

kematian pada cedera hepar ialah eksanguinasi karena hepar mendapat 25 curah jantung Kesembuhan pasien tergantung resusitasi awal yang lebih cepat untuk mencegah kematian

Laporan Kasus Laki-laki 18 tahun riwayat kecelakaan lalu lintasabdomen terkena stang motor Keadaan

pasien buruk (nadi 166 xmenit TD 60palpasi) Sebelumnya pasiendilaparotomi di rumah sakit lain Dilakukan packingcedera hepar grade V Direncanakan relaparotomi general anestesiASA Ve Intubasi teknik RSII induksi ketamin serta rocuronium Sejawat bedah tidak mampu mengendalikan perdarahan kemudian dipacking rawat ICU Perdarahan aktifsejawat bedah menolak reeksplorasi kontrol perdarahan Pasien meninggal 6 jam kemudian akibat eksanguinasi

DiskusiAnestesiologis pusat trauma terlibat dalam manajemen jalan nafas dan resusitasi pasien

trauma di UGD Ruang operasi dan ICUPenanganan trauma tumpul abdomen sesuai ATLS Cairan diberikan kristaloid koloid Syok hemoragik keduanya digantikan darah karena tidak memfasilitasi transpor oksigen pembekuan darah Kecukupan resusitasi tahap lanjut dinilai dari perfusi jaringan normal Pasien diinduksi ketamin teknik RSII Suksinilkolin pilihan utama namun rocuronium (12 mgkg IV) alternatif yang tepatTransfusi masif didefinisikan memberikan seluruh volume darah dalam 24 jam atau 50 volume darah pasien dalam 12-24 jambanyak komplikasinya Darah transfusi kurva 23 DPG-nya bergeser ke kiri 24 jam post-transfusisebaiknya dikontrol ventilator Komplikasi lainnya koagulopati Pada hipoperfusi lama dapat mengalami DIC Jika perdarahan post-transfusi diagnosis pembandingnya trombositopenia dilusional DIC reaksi transfusi hemolitik Untuk menyingkirkannya lakukan pemeriksaan hitung platelet fibrinogen plasma bukti hemolisis dalam plasma Darah transfusi mengandung mikroagregat berakumulasi di paru mengakibatkan TRALI Resusitasi pasien hipoperfusi yang tertunda mengakibatkan akumulasi kompleks imun kapiler paru mengakibatkan ARDS

KesimpulanPenanganan pasien trauma berat mengikuti panduan ATLS teknik anestesi yang

bijaksana manajemen pembedahan perawatan intensif post-operatif yang baik dapat meningkatkan kesembuhanJika salah satunya tidak dilakukan angka mortalitas meningkat

Kata Kunci Resusitasi Transfusi masif Syok

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-06

Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan Disgerminoma

Angga Permana Putra1 Syamsul Bahri Siregar2 Hasanul Arifin3

1Residen Anestesi Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

2Staf Pengajar Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUD Dr Pirngadi Medan

3Kepala Program Studi Anestesi dan Terapi Intensif Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

PendahuluanDisgerminoma merupakan bentuk paling umum dari sel tumor germinal primitif dari

ovarium sekitar 1-5 dari seluruh keganasan ovarium Secara umum sering terjadi pada wanita yang berada pada usia reproduktif Sangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa dilakukannya intervensi pada kehamilannya Kami disini melaporkan sebuah kasus kehamilan primi gravida alamiah yang diikuti dengan disgerminoma tanpa adanya komplikasi fetomaternal Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

Kata kunci disgerminoma kehamilan alamiah kombinasi anestesia spinal-epidural

Laporan KasusWanita usia 33 tahun dengan kehamilan primi gravida datang dengan amenorrhea dan

bengkak di umbilicus bawah kiri Riwayat menstruasi tidak teratur tidak dijumpai sebelum kehamilan ataupun pemakaian kontrasepsi sebelumnya Pemeriksaan luar menunjukkan asites dan massa di perut kiri dengan ukuran sekitar 30cm x 35cm Dalam usaha untuk menyelamatkan janin operasi elektif laparatomi dengan seksio sesaria segera direncanakan Teknik anestesi yang dipilih adalah Kombinasi Anestesia Spinal Epidural dengan teknik dua segmen

DiskusiSangat jarang terjadi kehamilan yang berhasil pada pasien disgerminoma tanpa

dilakukannya intervensi pada kehamilannya Intervensi dapat dilakukan dengan melakukan operasi pengangkatan tumor dilanjutkan dengan seksio sesaria yang kemudian dapat dilanjutkan dengan kemoterapi Manajemen anestesi pada pasien ini dipilih dengan regional anestesi yang lebih aman efektif dan murah daripada anestesi umum Kombinasi Anestesia Spinal Epidural menggabungkan keuntungan kerja cepat dari spinal anestesi dengan fleksibilitas dari epidural anestesi dapat pula digunakan sebagai manajemen nyeri post operasi dengan pemberian Morfin 3mg 24jam yang memberikan efek analgesia yang baik pada pasien

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanHasil akhir pasien dengan disgerminoma murni sangat baik Pasien dapat diterapi dengan

pembedahan dan kemoterapi Disgerminoma pada ovarium tunggal dengan asites masih dimungkinkan untuk mengalami kehamilan dengan kelahiran anak yang baik Kombinasi Anestesia Spinal ndash Epidural adalah pilihan terbaik terhadap pasien dibuktikan dengan kelahiran bayi yang sehat dengan APGAR Score yang baik dan tanpa adanya komplikasi setelah operasi

P-07

Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy Biopsy

Anindito Andi Nugroho

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstract

Background Traditionally definitive treatment for breast surgery was done by general anesthesia But general anesthesia was not able to inhibite pain reflex to the brain It also have side effects such as post operative nausea and vomiting There are a few regional anesthesia techniques that have been performed in this operation such as infiltration epidural and thoracal paravertebrae block Paravertertebral block techniques that have been performed in this operation by injecting local anesthesia that blockade somatic and symphatetic ipsilateral in that dermatomes above and beneath injection site Surgical trauma can attenuate stress response (local and systemic) Increase of cortisol level is one the endocrine systemic response

Purpose To compare the difference between single injection and multiple injection thoracal paravertebra block to plasma cortisol and VAS value in breast cancer patients ongoing excisy biopsy

Methods Samples include 20 patients ongoing excisy biopsy Blood samples were taken at 8 inhte morning before surgery and 8 tomorrow morning VAS value was checked at hour-0 (when the patient at the recovery room and hour-24 Patients divided into multiple (M) group or single (T) group Normality of data was tested by Kolmogorov-Smirnov test If p gt 005 so the distribution is normal Analitycal analysis will be done with pre and post test group design

Result General characteristic on each group has normal distribution (p gt 005) Delta data value of cortisol and VAS hour-24 before and after injection in T and M group did not give significance result (p gt 005) But VAS value a hour-0 between both groups give significant result (p lt 005)

Conclusion Paravertebra block technique either multiple or single injection can reduce postoperative cortisol and VAS score in patient undergoing excisy biopsy

Keywords Paravertebra block single injection Paravertebra block multiple injection cortisol VAS

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-08

Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom Eisenmenger

Asterina Dwi Hanggorowati Agus Surya P Aryabiantara W

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifRumah Sakit Umum Sanglah-Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PENDAHULUANPasien hamil dengan penyakit jantung merupakan tantangan yang unik untuk

Obstetrician dan Anesthesiologist karena berkaitan dengan pasien beresiko tinggi dan memerlukan pemahaman tentang dampak kehamilan terhadap respon hemodinamik untuk kelainan jantung pasien Tidak ada konsensus mengenai teknik anestesi yang optimal untuk kondisi tersebut Namun pilihan manajemen dan teknik anestesi harus secara individual dan berdasarkan kondisi hemodinamik yang terjadi serta kebutuhan kebidanan

LAPORAN KASUSPerempuan 27 tahun dengan G3P0020 hamil 8-9 minggu tunggalhidup Congestif Heart

Failure ec GUCH (Grown-Up Congenital Heart Disease) Perimembranous VSD Eisenmengerrsquos Syndrome Pulmonal Hipertensi severe Pulmonal Regurgitasi severe Trikuspid Regurgitasi severe Mitral Regurgitasi mild Bidirectional shunt WHO FC II

Masalah pra operasi pasien dengan hasil echocardiography adalah terdapat inlet besar pada peri membran VSD dengan bidirectional shunt dominant left to right shunt high flow Pulmonal Regurgitasi moderate Mitral Regurgitasi mildTrikuspid Regurgitasi moderate Pulmonal Hipertensi severe Left ventricle diastolic function decreases Left ventricle and right ventricle systolic normal global normokinetik ejection frection 70 EDV 49 ml ESV 15 ml SV 35 ml

Selama operasi pasien diberi anestesi spinal dengan jarum spinal 27G di L3-4 dengan regimen Bupivacaine 05 heavy 5mg dan adjuvant Fentanyl 25 mcg Operasi berlangsung selama 50 menit Hemodinamik stabil dengan pemasangan monitoring invasif arteri line tanpa menggunakan obat-obatan inotropik maupun vasopressor

Pasca operasi pasien dirawat di ruang terapi intensif Manajemen nyeri pasca operasi Fentanyl 250 mcg24 jam dengan syringe pump parasetamol 500 mg 6 jam per oral

DISKUSITeknik anestesi regional menyebabkan blokade simpatik dan dapat menurunkan Systemic

Vascular ResistenKami menggunakan dosis yang sangat kecil pada anestesi lokal (LA) intrathecal

untuk meminimalkan hipotensi Ini dapat mencegah peningkatan Systemic Vascular Resistenmendukung aliran darah dan membantu untuk mencegah terjadinya kongesti paru Hal ini juga dapat menurunkan after load dan mencegah terjadinya peningkatan Systemic Vascular Resisten dan overload volume Left Ventrikel akut

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KESIMPULANDosis rendah bupivakain intratekal dan fentanil memadai untuk dilatasi - kuretase

dengan efek samping yang minimal pada pasien kami dengan sindrom Eisenmenger dan dapat menjadi alternatif yang aman untuk mencapai anestesi yang baik dengan stabilitas kardiovaskular yang mengesankan

Kata kunci dilatasi-kuretase anestesi spinal sindrom Eisenmenger

P-09

Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar

Bayu Residewanto Putro Anggri Styanugroho Himawan Sasongko

) Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ) Supervisor Konsultan Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Abstrak

Latar Belakang Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan sebagai analgetik paska operasi Berbagai jenis OAINS seperti ketorolak dan parecoxib dapat menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang merupakan mediator inflames dan mengakibatkan berkurangnya tanda inflamasi OAINS sebagian besar mengalami metabolisme di hepar dan dapat menyebabkan gangguan pada hati Gejala klinis disfungsi hati pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi parekoxib dan ketorolak oleh sebab ituperubahan struktur yang terjadi akibat kerusakan tersebut dapat diamati dari gambaran histopatologis

Tujuan Membandingkan gambaran histopatologi sel hepar antara tikus wistar yang diberikan ketorolak intramuskuler dan parecoksib intramuskuler

Metode Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 21 ekor tikus wistar jantan yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok control diberikan luka insisi sepanjang 2 cm dan tidak diberikan injeksi ketorolak maupun parekoksib kelompok ketorolak diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi ketorolak intramuskuler setara dosis manusia 30 mg tiap 8 jam kelompok parekoxib diberikan luka insisi sepanjang 2 cm lalu injeksi parekoksib setara dosis manusia 40 mg tiap 12 jam Pada hari ke 5 dilakukan terminasi kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin jaringan hepar

Hasil Ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi sel hepar tikus wistar antara kelompok ketorolak dan parecoxib dengan kelompok kontrol namun tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologis sel hepar antara keolompok ketorolak dan parecoxib

Kesimpulan Tidak ada perbedaan bermakna histopatologi sel hepar tikus wistar setelah penggunaan ketorolakdan parekoxib

Kata Kunci Ketorolak Parecoksib histopatologis sel hepar

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-10

Case Series Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain Management

Charismaulana Oloan Harahap Doso Sutiyono

Department of Anesthesia and Intensive CareFK UNDIP RSUP Dr Kariadi Semarang

Abstract

Background Pain is one of the most consequential problem which are caused subsequent to the invasive procedures Management of post operative tonsilectomy pain is a difficult task and could remain over 4 days after the surgery that results in poor oral intake long hospital stay and a delay in return to the normal activities In BPJS era the government more wisely determining rates Hospitals must be pressed at low cost but give optimal service We as an anesthesiologist must have methods in reducing postoperative morbidity Post-tonsillectomy pain is believed to be mediated by noxious stimulation of C-fiber afferents located in the peritonsillary space and local anesthetic infiltration to this area may decrease pain by blocking the sensory pathways and thus preventing the nociceptive impulses Peritonsillar infiltration of ketamine alone or in combination with epinephrine can reduce VAS (Visual Analog Score) and opioid requirements

Objectives To evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for managing post operative pain after tonsillectomy

Methods Two females in their second and third decades were scheduled for elective tonsillectomy Premedication using midazolam 3 mg induction using propofol 2 mgkg intravenous dexametason 10 mg intravenous cuffed with sevoflurane then intubate The operation took 10 minutes using dissection technique we performed peritonsiller infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 01 mgkgBB and lidocain cum adrenalin 1200000 as solvent 2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation We evaluate post operative pain using VAS scale on 1st hour an 6th hour We also asessed complication that might occured post op

Result One hour observation all patients are in mild pain and in six hour observation have no pain and reduce the need of opioid or NSAIDs analgesic Vomitting as complication occured only in first patient and given antiemetic All patients were dismissed from the hospital 8 hours after surgery given Mefenamic Acid 500 mg per eight hours orally

Conclusion Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective to minimize post operative tonsillectomy pain in both patient up to 6 hours post op in both patients observed and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic

Keywords Post operative pain management peritonsillar infiltration ketamine

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-11

Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalis

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Atresia biliar (AB) adalah suatu obliteratif kolangiopati pada neonatus yang fatal jika tidak diobati Kelainan ini jarang ditemukan dengan insidensi 05-1 per 10000 kelahiran hidup dan etiologinya tidak diketahui Pada AB terjadi obstruksi saluran bilier yang menyebabkan cairan empedu statis sehingga pada akhirnya tejadi kerusakan hepatoseluler dan sirosis hati

Laporan Kasus Seorang bayi laki-laki berumur 3 bulan dengan berat badan 45 kg yang didiagnosis AB dan direncanakan untuk dilakukan tindakan prosedur Kasai Pasien dengan kondisi aktif menangis kuat dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik Pasien dilakukan dalam anestesi umum induksi dengan premedikasi sulfas atropin 01 mg induksi dimulai dengan fentanil 10 microg dan atracurium 2 mg kemudian dilakukan ventilasi dan dikontrol secara manual dengan rumatan anestesi menggunakan 50 N2O 50 O2 dan 15 MAC isofluran Durasi operasi adalah 4 jam dengan total durasi anestesi berkisar 45 jam Selama operasi berlangsung kondisi pasien stabil Pascaoperasi pasien diekstubasi dan mendapat parasetamol infus sebagai analgetik Pasien dirawat di PICU

Kesimpulan Penatalaksanaan anestesi yang tepat monitoring ketat selama operasi untuk perdarahan dan resiko hipotermi serta usia pasien saat dilakukan prosedur Kasai akan memberikan hasil yang baik

Kata Kunci Anestesi Atresia Bilier Kasai Prosedur

P-12

Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta Abdominal

Dian Irawati Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Pandjajaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) adalah pelebaran aorta yang permanen lebih dari 30 mm dimana resiko ruptur akan meningkat bila pelebaran lebih dari 50 mm Angka kematian jika terjadi ruptur AAA sebanyak 90 dan angka kematian dapat di cegah dengan pembedahan elektif repair AAA dengan angka mortalitas kurang dari 7

Laporan Kasus Kasus 1 Wanita 49 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 496 dengan jarak 382 mm dari arteri renalis sin dan 346

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

mm dari bifurcatio arteri iliaca Pasien di induksi dengan fentanyl 5 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbbAnalgetik post op dengan epidural Pasien di ekstubasi setelah 9 jam post op dan setelah 2 hari pasien pindah keruangan

Kasus 2 Laki- laki 54 tahun Pemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 554 cm x 446 cm inferior dari percabangan art renalis kanan dan kiri Analgetik post op dengan morfin 20 mcgkgbbm Post operatif pasien tidak di ekstubasi pasien didiagnosa VAP pada hari ke 3 Pasien diekstubasi pada hari ke 7 dan pindah keruangan pada hari ke 10

Kasus 3 Wanita 35 tahun BB 50 kgPemeriksaan penunjang CT angio di dapatkan aneurisma aorta abdominalis uk 798 cm inferior dari cabang arteri renalis kanan dan kiri Pasien di induksi dengan fentanyl 3 mcgkgbb propofol 2 mgkgbb lidocain 15 mgkgbb dan roculax 1 mgkgbb Analgetik post op dengan epidural Post operatif pasien di ekstubasi dan setelah 2 hari di rawat di ICU pasien pindah keruangan

Kesimpulan Manajemen anestesi repair AAA berfokus pada perubahan hemodinamik akut yang disebabkan aortic cross clamping dan unclamping mempertahankan perfusi organ dan oksigenasiCross clamp meningkatkan afterload jantung dan terjadi peningkatan mendadak tekanan arteri proksimal pada klem untuk menurunkan lonjakan tekanan darah pada ketiga kasus dengan menggunakan nitrogliserin Setelah aortic unclamping resistensi pembuluh darah perifer berkurang 70-80 yang menyebabkan penurunan tekanan arteri mengalirnya darah ke bagian bawah tubuh sehingga terjadi hipotensi untuk meningkatkan tekanan darah diberikan cairan dan vasokontriktor noradrenalin

Kata kunci Aneurisma Aorta Abdominal aortic cross clamping unclamping

P-13

Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake Craniotomy

Dian Rosanti Khalid Pryambodho

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care RSUPN Cipto Mangunkusumo Universitas Indonesia Jakarta

Abstrak

Pendahuluan1

Awake craniotomy merupakan prosedur beresiko tinggi yang semakin sering dikerjakan Prosedur ini memungkinkan pemetaan korteks motorik sensorik visual dan bahasa yang optimal sehinggga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperatif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi

Serial KasusPasien pertama laki-laki 37 tahun dengan diagnosis glioma temporal sinistra pasien

kedua laki-laki 47 tahun dengan diagnosis glioma frontotemporal sinistra Keduanya menjalani

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

prosedur awake craniotomy removal tumor Analgesia difasilitasi dengan scalp block dan sedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol 05-3 mcgml Scalp block menggunakan bupivakain 05 plain total volume 30 cc Kemudian dipasang central venous catheter (CVC) dan kanul arterial blood pressure (ABP) untuk pemantauan hemodinamik Patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan Naso Pharyngeal Airway (NPA) diberikan oksigen (O2) 3 Lmenit via nasal kanul dan kedalaman anestesi dimonitor dengan bispectral index (BIS) Pascaoperasi pasien diobservasi di ICU

Diskusi1-4

Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktu-waktu Propofol dipilih karena memenuhi kriteria ini Over sedation akan menyebabkan apnea hipoksia hiperkarbia dan edema serebri Sedangkan under sedation menyebabkan agitasi takikardia dan hipertensi Memberikan sedasi dengan target pasien tetap sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks merupakan hal yang tidak mudah oleh karena itu digunakan BIS untuk pemantauan kedalaman anestesi Pada awal operasi pasien disedasi dengan TCI propofol 2-3 mcgml target BIS 40-60 Kemudian saat pemetaan korteks TCI propofol diturunkan 05-1 mcgml dengan target BIS adalah 80-100 setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1-10 menyebutkan nama dan menggenggam tangan pemeriksa Setelah pemetaan korteks selesai anestesia didalamkan kembali Adekuat analgesia didapatkan dari scalp block Blok ini efektif mengurangi penggunaan opioid intraoperatif yang dapat mendepresi pernafasan dan menyebakan over sedation Terbukti pada kasus diatas hanya digunakan fentanyl total 100 mcg dengan durasi anestesia plusmn 7 jam Kejang edema serebri perdarahan dan emboli udara merupakan komplikasi pada prosedur ini Kedua pasien mendapatkan mannitol untuk mengurangi edema serebri fenitoin untuk mencegah kejang dan pascaoperasi diobservasi di ICU Suksesnya prosedur beresiko tinggi ini akan sangat tergantung pada kerjasama tim

KesimpulanManajemen anestesia awake craniotomy ini sangat sulit Persiapan preoperatif yang baik

monitoring ketat intraoperatif dan pengawasan pascaoperasi menjadi kunci sukses Kerjasama yang baik antara tim anestesi dan bedah sangat penting agar prosedur ini berjalan aman lancar dengan hasil optimal

Kata Kunci awake craniotomy scalp block TCI BIS

Daftar Pustaka 1 ChuiJAnesthesiaforAwakeCraniotomyAnupdateColombianJournalofAnesthesiologyChui J Anesthesia for Awake Craniotomy An update Colombian Journal of Anesthesiology

20154322-82 Ghazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative ReviewGhazanwy M Chakrabarti R Tewari A et al Awake Craniotomy A Qualitative Review

and Future Challenges Saudi Journal of Anesthesia 20148529-373 Cormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent AdvancesCormack J Costello T Awake Craniotomy Anaesthetic Guidelines and Recent Advances

St Vincentrsquos Hospital Melbourne 201577-824 Scubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and RoboticScubert A Lotto M Awake Craniotomy Epilepsy Minimally Invasive and Robotic

Surgery Cottrell and Youngrsquos Neuroanesthesia 5 th Ed Philadelphia Elsevier Mosby 201017296-8

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-14

Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium) Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel) Atresia Pulmonal Major Aorto Pulmonary Collateral

Artery yang menjalani operasi non-cardiac

Dita Aryanti Prabandari Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Pendahuluan Major Aorta Pulmonary Collateral Artery (MAPCA) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terjadi 5-10 dari semua anak-anak dengan penyakit jantung bawaan yang disertai hypoplasia atresia pulmonal MAPCA merupakan pembuluh darah yang timbul dari aorta desending dan arteri sublclavia yang berfungsi untuk menghantarkan darah ke paru untuk oksigenasi Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA dengan mempertahankan SVR menurunkan PVR dan mencegah terjadinya shunt

Laporan Kasus Anak laki-laki5 tahun dengan berat badan 15 kg dk Periodontitis Apikalis Kronik + Situs Inversus + Mitral atresia + LV hipoplasia + ASD besar +VSD besar + Pulmonal atresia yang dilakukan mouth preparation Dari pemeriksaan fisik diadapatkan anak aktif SpO2 57-64 dengan udara bebas cardiomegaly gallop dan clubbing finger Dengan hasil lab Hb 182 gdl Ht 65 L 6500mm3 Tr 178000mm3 Echo ASD besar (single atrium) VSD besar (single ventrikel) Pulmonary atresia terisi PDA kecil Aorta keluar dari RV Pasien dilakukan induksi dengan sulfas atropine fentanyl propofol dan rocuronium Rumatan anestesi dengan sevoflurane Operasi berlangsung selama 40 menit dengan SpO2 selama operasi 60-70 Pasien diekstubasi dengan analgetik post op paracetamol

Kesimpulan Manajemen anestesi untuk pasien dengan MAPCA yang menjalani operasi non cardiac dimulai dari pre operatif untuk mendapatkan baseline dari kondisi pasien tersebut Intraoperative dengan menggunakan teknik ldquoopioid baserdquo sehingga menjaga kondisi pasien se-fisiologis mungkin

Kata Kunci Anestesi MAPCA Non-Cardiac Surgery

P-15

Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi Spinal

Donny Yudo Saputra Yusni Puspita Rose Mefiana

Departemen Anesteologi dan Terapi Intensif RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang

Abstrak

LATAR BELAKANGSalah satu kekurangan anestesi spinal adalah durasi blokadenya yang singkat Berbagai

cara dilakukan untuk memperpanjang durasi blokade seperti penambahan adjuvant α2 agonist selektif dexmedetomidine Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penambahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

dexmedetomidine pada anestesi lokal bupivakain hiperbarik terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik dan motorik anestesi spinal

METODE PENELITIAN Uji klinik acak berpembanding tersamar ganda telah dilakukan di Rumah Sakit Mohammad

Hoesin Palembang dari bulan November 2014 sampai dengan Maret 2015 Terdapat 52 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani operasi dengan anestesi spinal Pasien dibagi dalam dua kelompok masingndashmasing 26 orang Kelompok I menggunakan bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 5 microg dexmedetomidine 05 ml sedangkan kelompok II bupivakain 05 hiperbarik 15 mg ditambah 05 ml NaCl 09 Diteliti mula kerja lama kerja blokade sensorik dan motorik tinggi blokade sensorik puncak efektivitas dan efek samping intraoperatif Analisis data menggunakan SPSS versi20

HASIL PENELITIANPada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-dexmedetomidine didapatkan mula kerja

blokade sensorik dan motorik lebih cepat tetapi secara uji statistik tidak bermakna (pgt005) dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang daripada kelompok bupivakain 05 hiperbarik-NaCl 09 ( p=00001) sedangkan tinggi blokade sensorik puncak kualitas analgesia dan relaksasi motorik sebanding Hemodinamik lebih stabil dan efek sedasi pada kelompok dexmedetomidine

SIMPULANSimpulan dari penelitian ini adalah penambahan 5 microg dexmedetomidine pada bupivakain

05 hiperbarik 15 mg anestesi spinal memperpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik hemodinamik yang stabil serta efek sedasi yang menguntungkan

Kata kunci dexmedetomidine bupivakain anestesi spinal

P-16

Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manual

Eric Makmur Putu Agus Surya Panji I Ketut Sinardja

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

Latar belakang Guillain barre syndrome adalah penyakit paralisis akut disertai arefleksia dimana dapat

terjadi pada siapa saja dan menimbulkan kelumpuhan yang bisa sampai menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernafasan dan tanpa mendapatkan terapi yang memadai

Pendahuluan Guillain-Barreacute syndrome (GBS) saat ini merupakan penyebab tersering dari paralisis

flaksid akut di seluruh dunia Kasus GBS telah dilaporkan di seluruh dunia Angka insiden pertahun sekitar 12-23 per 100000 penduduk Angka kematian penderita mencapai 3-10 yang umumnya ditimbulkan oleh komplikasi (Doorn dkk 2008) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut patogenesis GBS Patofisiologi GBS sampai saat ini tidak seluruhnya dimengerti Fungsi selular dan humoral dari sistem imun diperkirakan terlibat Dipercaya antibodi yang terbentuk sebagai respon antigen terhadap agen penyebab

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

bereaksi silang dengan gangliosida pada permukaan saraf tepi Pada setengah kasus GBS ditemukan antibodi terhadap gangliosida Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik dalam saraf tepi Keterlibatan infeksi sebagai faktor pencetus terutama oleh Campylobacter jejuni Cytomegalovirus (10) virus Epstein-Barr virus varicella-zoster dan Mycoplasma pneumonia (Yuki amp Hartung 2012) Gangguan ini ditandai adanya kelemahan ekstremitas yang progresif simetris dengan atau tanpa gangguan sensorik disertai reflek fisiologis yang menurun atau menghilang

Diagnosis masih berdasar pada gejala klinis yang ditunjang oleh analisa cairan serebrospinal yang didapat dari lumbal pungsi Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan imunoglobulin intravena (IVIg) atau plasmapheresis sebagai terapi efektif pada penderita GBS dengan disabilitas dalam jangka waktu 2 minggu setelah muncul gejala Di RSUP Sanglah telah terjadi 3 kasus sejak 2014-2015 dimana dilakukan terapi plasmapheresis yang memberikan hasil yang memuaskan

Pembahasan Pada GBS terjadi reaksi silang antibody terhadap antigen dan gangliosida pada saraf

tepi Pada pasien yang terjadi di Sanglah telah dilakukan plasmpharesis manual dimana antibody yang mengenali antigen gangliosida tersebut terdapat di plasma sehingga dengan dibuangnya plasma dapat membuang antibody yang salah mengenali antigen dan diberikan juga imunosupressan untuk menekan antibody yang bisa memperburuk keadaan GBS

Hasil Pada 3 kasus GBS di RSUP Sanglah tindakan plasmapharesis dilakukan secara manual

dimana plasma pasien dibuang dan diganti dengan plasmanat dan hal ini memberikan hasil yang memuaskan Pada daerah dimana tingkat prasarana yang terbatas dengan tindakan plasmapheresis manual dapat memberikan hasil yang menjanjikan dengan peralatan yang terbatas dan harga yang jauh lebih murah dibandingkan IVIg

P-17

Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral Dekubitus

Firmansya Syafri Kamsul Arif Syafruddin Gaus

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Anestesi spinal unilateral dilakukan untuk membatasi blok sensorik motorik dan juga simpatis yang dapat meminimalkan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas blok unilateral berdasarkan durasi posisi lateral dekubitus selama 10 menit 15 menit dan 20 menit setelah anestesi spinal dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 05 10 mg pada operasi ekstremitas bawah

Metode Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan 51 sampel yang terbagi atas tiga kelompok dengan 17 sampel per kelompok Setiap kelompok dilakukan anestesi spinal dengan sisi operasi di bagian bawah menggunakan bupivakain hiperbarik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

05 10 mg bevel jarum spinal diarahkan ke sisi operasi injeksi lambat selama 60 detik tanpa barbotage Setelah anestesi spinal posisi lateral dekubitus tetap dipertahankan selama 10 menit (kelompok A) 15 menit (kelompok B) dan 20 menit (kelompok C) kemudian dikembalikan ke posisi supine dan dilakukan penilaian onset blok durasi blok ketinggian blok dan hemodinamik

Hasil Onset blok sensorik dan motorik sisi operasi durasi blok sensorik dan motorik sisi operasi dan ketinggian blok sensorik dan motorik sisi operasi tidak berbeda bermakna (pgt005) Ketinggian blok sensorik sisi bebas setinggi Th12 (kelompok A) L3 (Kelompok B) dan S1 (kelompok C) Durasi blok sensorik sisi bebas 7147 plusmn 104 menit (kelompok A) 6353 plusmn 49 menit (kelompok B) dan 5059 plusmn 134 menit (kelompok C) berbeda bermakna (plt 005) Durasi blok motorik sisi bebas 10941 plusmn 182 menit (kelompok A) 8471 plusmn 339 menit (kelompok B) dan 706 plusmn 199 menit (kelompok C) juga berbeda bermakna (plt005) Blok motorik unilateral ketat 882 pada kelompok C 118 pada kelompok B tidak tercapai pada kelompok A Ketiga kelompok memberikan gambaran kestabilan hemodinamik berupa tekanan arteri rerata dan laju jantung

Kesimpulan Posisi lateral dekubitus selama 20 menit setelah anestesi spinal lebih efektif dalam hal blok sensorik dan motorik unilateral

P-18

Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway

I Dewa Gede Tresna Rismantara I Ketut Sinardja I Made Gede Widnyana

Bagian SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang Kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA

Metode Setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA dipilih secara consecutive random sampling Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A diberikan midazolam 003 mgkgbb dan kelompok B diberikan fentanyl 2 mcgkgbb 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcgml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60 Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) postinduksi lebih dari 20 TAR basal Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Youngrsquos Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan Plt005

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 1308 (SB 288) dan B 1411 (SB 296) dengan nilai P = 0216 total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 11871 mg (SB 1324 mg) dibandingkan kelompok B 13161 mg (SB 1286 mg) dengan P = 0003 sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan P = 0739

Simpulan Fentanyl sebagai koinduksi propofol tidak lebih baik dibandingkan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam

Kata kunci hemodinamik koinduksi fentanyl midazolam LMA

P-19

Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde

Cholangiopancreatography (ERCP)

I Made Artawan IB Krisna Jaya Sutawan

PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi semakin berkembang tidak hanya memfasilitasi tindakan

pembedahan terbuka namun juga untuk prosedur endoskopi baik untuk tujuan diagnostik maupun sekaligus untuk terapi

Pada kesempatan ini penulis melaporkan serial kasus penggunaan teknik Total Intravenous Anesthesia (TIVA) dengan menggunakan TCI Propofol dan monitoring tingkat kedalaman anestesi dengan IoC pada pasien yang dikerjakan tindakan ERCP

Serial KasusAntara bulan Oktober 2014 sampai April 2015 di RSUP Sanglah Denpasar kami

memfasilitasi 6 tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Pasien yang dikerjakan dengan status fisik ASA 2 dan 3 Pasien sebelum dilakukan induksi diposisikan dalam posisi prone senyaman mungkin bagi pasien dengan kepala menoleh ke sisi kanan kemudian diberikan premedikasi dengan Midazolam 2 mg Dexamethasone 10 mg dan Difenhidramin 10 mg dan Fentanyl 25 mcg IV Induksi dengan TCI Propofol dengan mode Schneider dengan target efek 3-4 mcgml dilakukan secara titrasi mulai 1 mcgml kemudian dinaikkan 2 mcgml sampai 3-4 mcgml kedalaman anestesi diukur dengan IoC dengan target IoC 40-60 dipertahankan supaya pasien tetap bernafas spontan adekuat Pada keenam pasien yang dikerjakan didapatkan anestesi yang adekuat dengan TCI propofol 3-4 mcgml dan nilai IoC 40-60 dan tidak terjadi depresi respirasi dan kardiovaskular yang berarti

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Diskusi Teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC ini memberikan hasil yang

memuaskan dalam memfasilitasi anestesi pada tindakan ERCP Teknik ini dapat memberikan kenyamanan pada operator untuk bekerja dan yang terpenting adalah kenyamanan dan keamanan pasien lebih terjamin dengan pemberian obat yang disesuaikan dengan usia berat badan tinggi badan dan jenis kelamin sehingga pemberian Propofol dapat diberikan secara lebih efektif dan efisien Pemantauan kedalaman anestesi dengan IoC dapat memberikan panduan untuk ahli anestesi untuk penyesuaian dosis pemeliharaan obat anestesi selama prosedur dikerjakan sehingga efek depresi respirasi dan kardiovaskuler yang ditakutkan tidak terjadi

KesimpulanPenggunaan teknik TIVA dengan TCI Propofol dan monitoring IoC dapat menjadi pilihan

dalam memfasilitasi tindakan anestesi untuk prosedur ERCP Dengan pemakaian teknik ini menjamin kenyaman dan keamanan pasien juga kenyamanan operator dan ahli anestesi bekerja dengan minimal efek samping depresi respirasi dan kardiovaskuler

Kata Kunci TCI Propofol IoC ERCP

P-20

Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemik

I Made Handawira Satya Tjok Gede Agung Senapathi Tjahya Aryasa EM

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUDRSU SanglahDenpasar

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 60 pasien geriatri yang menjalani pembedahan di RSUP

Sanglah Pengelolaan perioperatif geriatri memiliki tantangan tersendiri dengan adanya penurunan fungsi organ Kombinasi regional anestesia dan anestesi umum diperlukan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan sistemik

LAPORAN KASUSGeriatri 74 tahun dengan Tumor Parotis Lobus profunda yang menjalani pembedahan

hemimandibulektomi-parotidektomi wide eksisi dengan ASA III (geriatri dan hipertensi stage II FC II) dilakukan tindakan anestesi umum premedikasi dengan midazolam 2 mg co induksi dengan fentanyl 150 mcg(3 mcgkg) induksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg iv (05 mgkg) intubasi nasotracheal menggunakan ETT kinking ukuran 65 dan dilakukan blok pleksus servikalis superfisial infraorbita dan mandibular di sisi operasi Dosis lidokain 1 + epinefrin 1800000 Dosis pemeliharaan dengan O2 N2O (21) dan Isoflurane Operasi berlangsung 3 jam selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 50-72xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 50-70 mmHg dengan urine output 14 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0 Pasca operasi pasien diberikan analgesia fentanyl 200mcg + ketamin 10 mg dalam 50 cc NaCl 09 diberikan via syringe pump dalam 24 jam selama 2 hari hari ke 3 diberikan oral anagesia dengan tramadol 3 x 25 mg dan Parasetamol 3 x 500 mg Pemantauan VAS hari pertama dan kedua 010cm dan hari ke 3 1-210cm

DISKUSIGeriatri dengan permasalahan penurunan fungsi organ dan penurunan cairan tubuh

total dan lean body mass dapat mengakibatkan mudah terjadi intoksikasi obat Kombinasi anestesi umum dan anestesi lokal kepala dan leher dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik sehingga dapat meminimalisasi resiko intoksikasi Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia

KESIMPULANPemahaman teknik operasi sehingga dapat dilakukan pemilihan regioanaliasasi blok

yang tepat diperlukan Blok pleksus servicalis superfisial infraorbita dan mandibuler dengan minimalisasi penggunaan opioid sistemik mampu memberikan analgesia yang efektif dengan stabilnya hemodinamik pasien selama 3 jam durante operasi tanpa penambahan sedikitpun opiat sistemik Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya intoksiskasi obat dan prolong effect pada pasien geriatri sehingga menurunkan resiko morbiditas pasca operasi Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER3 BENAIFER DDUBASH DMD ADAM T HERSHKIN DMD PAUL J SEIDER

DMD GREGORY M CASEY (2013) ORAL-AND-MAxILLOFACIAL-REGIONAL-ANESTHESIA HTTPWWWNYSORA

P-21

Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi Caesarea

Ida Bagus Putu Okta Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan

Departemen Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Stroke hemorhagik merupakan stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah otak yang ada didalam kepala Kehamilan meningkatkan resiko terjadinya stroke hemorhagik Penyulit Stroke hemorhagik meningkatkan mortalitas baik maternal maupun fetal Sehingga penanganan pasien hamil dengan penyulit stroke hemorhagik membutuhkan perhatian khusus dan teknik yang khusus untuk meningkatkan outcome pasca operasi cesaria Laporan kasus ini bertujuan memaparkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kasus dan penatalaksanaan perioperatif pada maternal dan fetal dengan penyulit ibu stroke hemorhagik dan IUGR untuk operasi cesaria Pasien perempuan 45 tahun dirujuk dari RSUD Sulawesi dengan diagnosis G1P0000 Primitua Stroke Hemorhagik Anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemah separuh tubuh terjadi beberapa jam sebelum masuk rumah sakit pada saat mengedan BAB Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis dengan hemiparesis sinistra fundus uteri teraba 2 jari diatas umbilikus DJJ 130 xmenit Pemeriksaan CT Scan didapatkan Tampak area hiperdens abnormal pada parenkim cerebri pada parietal sampai korona radiata kanan dengan ukuran 19x10x10 slices Penatalaksanaan preoperatif dilakukan dengan merawat ibu dengan sejawat neurologis untuk mengurangi stress hemodinamik pada otak maupun janin untuk persiapan fetal diberikan dexametason untuk pematangan paru fetal Premedikasi diberikan obat-obatan pencegah regurgitasi metocloperamide ranitidin dan ondancetron intravena 1 jam sebelum di induksi Teknik anestesi menggunakan teknik anestesi umum rapid sequence induction dengan teknik induksi dan fasilitas intubasi memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesi berbasis propofol TCI Rocuronium dan pemberian lidocain intravena pemberian opioid diberikan sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan dengan pertimbangan opioid yang kita berikan tidak segera melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin waktu mulai insisi pembedahan hingga dilahirkannya bayi dilakukan kurang dari 5 menit sehingga opioid yang kita berikan tidak banyak melewati sawar placenta dan mempengaruhi janin setelah janin dilahirkan penting untuk menyediakan nokoba dan berikan jika dibutuhkan Pasien di extubasi dalam dengan memperhatikan patensi jalan nafas dan ventilasi assisted dengan panduan saturasi perifer dan end tidal capnograf Pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan memperhatikan prinsip-prinsip neurointensive dan bayi di rawat di NICU Simpulan Prinsip penatalaksanaan ibu hamil dengan stroke hemorhagik dan IUGR adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip neuroanestesia dengan perhitungan teliti penggunaan opioid intravena sehingga opioid yang diberikan tidak mempengaruhi apgar skor fetal saat lahir

P-22

Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang serial Kasus

Ihsan Affandi Erwin Syukri Ardiayuman Mayang Indah LestariFredi Heru Irwanto

Residen KonsulenDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit dr Mohammad HoesinPalembang Indonesia

Abstrak

Latar Belakang Operasi tulang belakang merupakan operasi yang sering dilakukan di bidang ortopedi Operasi ini membutuhkan waktu yang lama rumit dan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak sehingga membutuhkan teknik anestesi khusus Teknik anestesi hipotensi kendali terpilih untuk memfasilitasi tindakan operasi tersebut Teknik ini didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah yang di sengaja pada saat intraoperatif sekitar 25 ndash 30 dari preoperatif atau dengan MAP 50 ndash 70 mmHg untuk mengurangi jumlah

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

perdarahan dan membantu visualisasi lapangan operasi Salah satu agen yang digunakan dalam teknik tersebut ialah dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan suatu agonis adrenergik α2 yang bekerja secara sentral dan memiliki efek analgesia amnesia sedasi dan anti anxietas Mekanisme kerjanya sebagai agen hipotensi yaitu memblok pelepasan noerepinefrine ke perifer melalui ikatan reseptor adrenergik α2 sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sistemik Obat ini sangat menguntungkan karena rentangnya yang lebar mudah dikontrol opioid sparing effect bangun yang cepat dan lancar

Tujuan Untuk mempresentasikan 4 kasus pasien yang menjalani prosedur operasi tulang belakang menggunakan teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan agen dexmedetomidine

Metode Teknik anestesi umum hipotensi kendali dengan menggunakan agen dexmedetomidine continous dengan loading dose 1 microgkgbb (iv) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan rentang dosis 02 ndash 07 microgkgbbjam

Kasus Kasus pertamalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis paraplegia inferior ec stenosis spinal cord vetebrae Thorakal VI ndash VIII Kasus kedualaki ndash laki 39 tahun dengan diagnosis Fraktur kompresi vetebrae Thoracal IV ndash VI kasus pertama dan kedua menjalani operasi Stabilisasi Posterior Kasus ketigalaki ndash laki 56 tahun dengan diagnosis HNP lumbal V ndash sakral I Kasus keempat perempuan 57 tahun dengan diagnosis paraparese inferior ec lesi Intradural setinggi vetebrae lumbal II - V Kasus ketiga dan keempat menjalani operasi laminektomi

Hasil Selama prosedur operasi hemodinamik relatif stabil dengan MAP 50 - 70 mmHg penggunaan opioid intraoperatif menurun 50 dibandingkan jika digunakan dengan agen hipotensi lain rata ndash rata waktu bangun 30 ndash 60 detik dan nyeri post operasi yang terkontrol

Kesimpulan Dexmedetomidine merupakan salah satu alternatif agen hipotensi pada teknik anestesi umum hipotensi kendali pada operasi tulang belakang

Kata Kunci Dexmedetomidine Hipotensi Kendali Operasi Tulang Belakang

P-23

Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien

Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi Umum

Joan Willy Ansar Rose Mafiana Rizal Zainal Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr Muhammad Hoesin

Palembang Indonesia

Abstrak

Latar belakang Tindakan intubasi endotrakea sering menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas Post Operative Sore Throat (POST) merupakan komplikasi minor setelah tindakan anestesi Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pascaoperasi adalah nyeri tenggorokan batuk dan suara serak yang dilaporkan memiliki insiden sebesar 21-52 untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

nyeri tenggorokan dan 42-59 untuk suara serak Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa berkumur dengan ketamin dan aspirin efektif mengurangi insiden dan tingkat keparahan POST Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan antara obat kumur ketamin dan aspirin dalam mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal

Metode Uji klinik berpembanding buta ganda telah dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan anesthesia umum teknik intubasi endotrakeal di COT RSMH pada bulan November 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 66 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok Kelompok pertama diberikan ketamin 50 mg dan kelompok kedua diberikan aspirin 320 mg dalam larutan saline 30 ml sebagai obat kumur

Hasil Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak pada kelompok ketamin dan kelompok aspirin sebesar 61 dan 121 Insiden nyeri tenggorokan pada kelompok ketamin adalah 152 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 182 dengan derajat nyeri adalah nyeri ringan Insiden suara serak pada kelompok ketamin adalah 21 2 dengan derajat serak adalah serak ringan dan sedang sedangkan pada kelompok aspirin sebesar 242 dengan derajat serak ringan

Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara obat kumur ketamin dan aspirin untuk mencegah nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal (p = 0444 p gt005)

Kata Kunci Intubasi endotrakeal obat kumur ketamin obat kumur aspirin nyeri tenggorokan dan suara serak

P-24

Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi Infant

Ketut Yudi Arparitna Putu Kurniyanta I Gede Budiarta

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANSepanjang tahun 2014 terdapat 85 (41) infant dari 405 kasus pembedahan laprotomi

pediatri (0-18 tahun) Pengelolan perioperatif infant memiliki tantangan tersendiri dengan imaturitas fungsi organ dan perbedaan anatominya Analgetik yang efektif dengan efek samping minimal diperlukan selama perioperatif dalam kaitan modulasi stress respon dan kembalinya fungsi system pencernaan CTE kontinyu kami gunakan pada pasien dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai dengan pertimbangan gangguan fungsi hati dan elimminasi obat

LAPORAN KASUSInfant 4 bulan berat badan 65 kg dengan atresia bilier yang menjalani pembedahan kassai

pasien dengan ASA III (infant pneumonia hyperbilirubinemia (obstruksi ekstrahepatal))

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dilakukan tindakan anestesi umum induksi dengan o2 sevoflurane coinduksi dengan ketamine 1 mg (015 mgkg) dan fentanyl 10 ug iv (15 ugkg) fasilitas intubasi dengan atracurium 3 mg iv (05 mgkg) intubasi menggunakan ETT kinking ukuran 35 dan dilakukan pemasangan CTE kontinyu dengan panduan Ultrasonography dimana tip berada pada Th 10-11 Dosis bolus lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc volume 6cc (01 cckgsegmen) dilanjutkan dosis pemeliharaan lidokain 1 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 02-03 ccjam dn sevofluran 05 vol dan atracurium intermitten Operasi berlangsung 5 jam 40 menit selama durante operasi hemodinamik stabil dengan nadi 102-111xmnt kalkulasi cairan masuk 350 ml cairan keluar 130 ml dan urine output 109 cckgjamEkstubasi segera sesudah operasi selesai pasca operasi perawatan PICU dengan regimen analgesia lidokain 05 + fentanyl 2 ugcc kecepatan 03 ccjam didapatkan flacc 0-1 urine output 1-12 cckgjam dan motilitas usus baik sejak hari pertama operasi CTE kontinyu dipertahankan hingga hari ke 6 setelah hari ke 5 pasien diberikan asupan oral pasca operasi didapatkan peningkatan neutrofil dari 1461 x 103ul praoperasi dibandingkan 1576 x 103ul pasca operasi

DISKUSIInfant dengan atresia bilier dan gangguan fungsi hati disertai hiperviskositas darah

dengan potensi cedera ginjal memerlukan penanganan khusus Kombinasi anestesi umum dan CTE kontinyu dipilih untuk meminimalisasi penggunaan obat sistemik yang dapat memperberat kerja hati Lidokain menjadi pilihan disamping karena harganya yang relatif murah juga memiliki indeks keamanan obat yang lebar dan lebih aman terhadap resiko aritmia pada populasi infant dengan heart rate dependent Penggunaan mode kontinyu adalah untuk mencegah takifilaksis serta menjaga stabilitas analgetik perfusi renal dan splancnic Dengan peningkatan neutrofil yang tidak signifikan menggambarkan efektifitas modulasi stress response oleh CTE kontinyu

KESIMPULANCTE kontinyu dengan minimalisasi penggunaan gas inhalasi dan opioid sistemik mampu

memberikan analgesia yang efektif dan memberikan keuntungan peningkatan perfusi renal dan splanchnic sehingga dapat mencegah cedera ginjal dan mempercepat pemulihan anastomose Metode ini sejalan dengan program BPJS yang memerlukan efisiensi pembiayaan namun tetap mengedepankan patient safety

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 COTE CJ LERMAN J ANDERSON BJ (EDS) (2013) A PRACTICE OF ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 5TH ED USA ELSEVIER SAUNDERS

3 DAVIS PJ CLADIS FP MOTOYAMA EK (EDS) (2011) SMITHrsquoS ANESTHESIA FOR INFANT AND CHILDREN 8TH ED USA ELSEVIER

4 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-25

Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial Kasus

Koko SPutra I Gede Kurniyanta Putu Senapathi Tjokorda Gde Agung

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas UdayanaRS Sanglah Denpasar

Latar Belakang Anestesi regional berkembang pesat sebagai salah satu modalitas untuk manajemen anesthesia pada tindakan pembedahan Caudal thorakal epidural adalah salah satu jenis tindakan anestesi regional central neuraxial yang digunakan pada kasus kasus pediatricpada kasus ini digunakan USG sebagai tuntunan

Presentasi Kasus Pasien bayi perempuan umur 5 bulan dan bayi laki laki umur 4 bulan didiagnosis Atresia Bilier pro Prosedur Kasai anestesi dengan perantaraan bius total pemasangan pipa endotrakeal Pasien pertama diinduksi dengan inhalasi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Pasien kedua diinduksi dengan induksi O2 Sevoflurane suplemen analgesia fentanyl 1 mcgkgbb atracurium 05 mgkgbb maintenance O2Air Sevoflurane Dilakukan tindakan epidural caudal dengan jarum Abocath G20 dilanjutkan pemasangan kateter epidural pediatri dengan tuntunan USG panjang kateter diperkirakan hingga Th10 Operasi berlangsung sekitar 5 jam Pasca operasi pasien diekstubasi dan dirawat di PICU Analgetika post operasi caudal thorakal continyu regimen lidocain 05 + fentanyl 2 mcgcc kecepatan 03 ccjam

Diskusi USG memberikan dua keuntungan untuk tindakan block caudal pada pediatri yaitu pertama kemampuan untuk identifikasi area sacral menjadi lebih cepat dan kedua mampu mengkonfirmasi bahwa obat yang disuntikkan berada pada area yang tepat Viscerotome untuk laparotomi pediatric adalah pada Th6 kateter epidural pada kedua kasus dengan tuntunan USG mampu mencapai Th 10 dan memberikan hasil anesthesia yang baik intra dan pasca operasi

Kesimpulan USG pada kasus ini mampu memberikan kesuksesan penempatan kateter caudal thorakal epiduraldan diharapkan lebih banyak lagi studi yang mempelajari kasus caudal thoracal epidural mempergunakan USG sebagai tuntunanKata kunci caudal thorakal epidural laparotomi pediatri tuntunan USG

Daftar Pustaka1 Smithrsquos Anesthesia for Infant and Children Elsevier 2011 hal 463-474 2 Pain Management HandbookNational Library of Malaysia2013 hal110-1303 Ultrasonography and Pediatric Caudal Journal of Anesth Analg2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-26

Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi Umum

M Teguh Prihardi Dadik Wahyu Wijaya Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

Pendahuluan Kehamilan pada wanita dengan defek septal atrial (DSA) akan meningkatkan risiko kematian ibu dan janin Pada wanita dengan DSA serta hipertensi pulmonal kehamilan akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat Oleh karenanya manajemen perioperatif memegang peranan penting

Laporan kasus Kami melaporkan kasus wanita 39 tahun direncanakan untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kehamilan 24 minggu akibat plasenta previa totalis Pasien juga menderita DSA sejak lahir dan dijumpai sesak nafas Ekokardiografi menunjukkan adanya defek septal atrial (26 mm) hipertensi pulmonal ( 50 mmHg ) regurgitasi trikuspidalis ringan dan fraksi ejeksi 78 Teknik anestesi dengan preoksigenasi 100 oksigen selama 5 menit premedikasi dengan pemberian intravena Sulfas Atropin 025 mg dan Fentanyl 50 microg Induksi menggunakan Ketamin 50 mg kemudian Atrakurium 30 mg sebagai obat relaksasi otot dan dilakukan intubasi endotrakeal Selama operasi anestesi inhalasi menggunakan isofluran 05 - 06 dan fentanil 50 microgjam intravena sebagai anti nyeri rumatan

Pembahasan Manajemen anestesi umum pada pasien dengan defek septal atrial dan hipertensi pulmonal diprioritaskan terhadap teknik anestesi dan pemberian obat-obatan untuk mencegah penurunan dari tahanan pembuluh darah sistemikmencegah depresi otot jantungserta mencegah suatu keadaan hipoksiahiperkarbidan nyeri yang akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paruPada kasus ini digunakan ketamin yang dapat mencegah penurunan tahanan pembuluh darah sistemikdan mempuyai efek anti nyeri yang baik apalagi dikombinasi dengan golongan opiod seperti fentanildimana nyeri juga menjadi pencetus utama yang dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemikTerpeliharanya tahanan pembuluh darah sistemik agar tidak turun akan mencegah timbulnya shunt dari kanan ke kiri jantungShunt ini akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada pasien

Kesimpulan Kami menyimpulkan bahwa tindakan anestesi umum pada pasien hamil dengan defek septum atrium dan hipertensi pulmonal lebih dipertimbangkan karena dengan anestesi umum dapat dihindari penurunan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan tahanan pembuluh darah paru yang akan mencetuskan suatu komplikasi berat

Kata kunci defek septal atrial Hipertensi arteri pulmonal Operasi sesar hipotensi hipoksemi hiperkarbi

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-27

Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular Response

Marilaeta Cindryani IGAG Utara Hartawan I Ketut Sinardja

PPDS I Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK UNUDRSUP Sanglah Denpasar Bali

Abstrak

PENDAHULUANPasien geriatri akan memiliki beberapa penyakit dasar terkait dengan peningkatan usia

dan perubahan fisiologis terutama dalam sistem kardiovaskuler Pada pasien dengan gagal jantung kronis kebutuhan oksigen miokard dijaga agar tidak melebihi pasokan

Perangkat berikut ini penting bagi pelaksanaan anestesi yang aman antara lain EKG pemantauan tekanan arteri non-invasif pulse oksimetri kapnografi dan juga harus dilengkapi dengan pemantauan kardiovaskuler invasif

Perhatian khusus diberikan dalam memilih teknik anestesi yang mampu mengendalikan perubahan hemodinamik yang terjadi akibat adanya intervensi anestesi

KASUSPria 78 tahun BB 60 kg dengan perdarahan subdural kronis menjalani prosedur borehole

drainase Memiliki riwayat gagal jantung kronis dengan obat-obatan yang tidak diketahui Pasien dinilai dengan ASA III dengan masalah pada sistem saraf pusat dan kardiovaskuler Kesadarannya masih baik tekanan darahnya tinggi (sekitar 160-20090-120mmHg) dengan EKG-nya AF slow ventricular response (HR 45-50kalimenit) LAD CRBBB dan dari ekokardiografi didapatkan kardiomiopati iskemik MR moderate dan hipokinetik septal pada segmen anterior

Diberikan fentanyl 25mcg sebelum pemasangan artery line lalu 75mcg berikutnya sebagai analgetik Induksi dengan TCI Propofol dengan target efek 3-4 mcgml Agen inotropik dobutamin juga diberikan dan dipertahankan sampai akhir operasi Vecuronium 5 mg dipakai sebagai pelumpuh otot utama dan untuk pemeliharaan memakai compressed air oksigen dan TCI Propofol

Hemodinamik intraoperatifnya stabil pada MAP 120mmHg (136-18280-100mmHg) namun kadang irama EKG-nya menjadi ekstrasistol bigemini dan bahkan ventrikuler takikardia dengan nadi Operasinya berlangsung selama 45 menit dan pasien dipindahkan ke ICU untuk pemantauan pascaoperasi

PEMBAHASANSelain pemantauan hemodinamik dasar artery line juga dipasang untuk memantau

tekanan darah dari waktu ke waktu TCI Propofol dipilih dibanding volatil untuk mencegah gangguan pada autoregulasi otak Relaksasi otot memakai vecuronium untuk menghindari peningkatan TIK Dobutamin dipilih sebagai topangan untuk miokard pasien gagal jantung dengan output yang rendah

KESIMPULANKeseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard pemantauan invasif

intraoperatif yang seksama serta manajemen anestesi yang handal adalah kunci untuk

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

memperoleh anestesi yang aman untuk pasien ini Teknik anestesi yang digunakan tidak hanya demi memberikan kualitas kedalaman anestesi untuk operasi kepala namun juga untuk menjaga pasokan oksigen miokard agar mencegah iskemia miokard durante operasi

Kata kunci manajemen anestesi perdarahan subdural gagal jantung kronis atrial fibrilasi slow ventricular response

P-28

Sensitivitas Dan Spesifisitasensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCU

Meili Andriani Zulkifli Yusni Puspita Theodorus

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Abstrak

Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) adalah prediktor independen terhadap mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit Angka kejadian AKI di Intensive Care Unit (ICU) 60-70 mortalitas dari pasien tersebut mencapai 60 Diagnosis AKI saat ini ditegakkan dengan penilaian kenaikan kreatinin serum yang tidak reliabel dan terdeteksi setelah kerusakan ginjal terjadi Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL) merupakan penanda untuk menilai kerusakan ginjal yang dapat terdeteksi lebih awal sebelum terjadi kenaikan kreatinin Penggunaan NGAL pada pasien ICU dan NHCU yang mengalami gangguan ginjal belum dapat ditentukan waktu mulai terjadinya AKI sehingga perlu diteliti lebih lanjut

Objektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan NGAL plasma dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Metode Uji diagnostik telah dilakukan di ICU dan HCU (High Care Unit) RS Dr Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Desember 2014 ndash Februari 2015 Terdapat 53 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi Semua sampel diperiksa kadar NGAL dengan menggunakan Alere Triagereg kit dan kreatinin serum Analisis hasil pemeriksaan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan SPSSreg versi 220 dan MedCalc versi 127

Hasil Hasil penelitian menunjukkan pada cut-off point 150 ngml NGAL plasma memiliki sensitivitas 88 spesifisitas 81 nilai prediksi positif 88 nilai prediksi negatif 88 dan akurasi 85

Simpulan Pemeriksaan NGAL plasma lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan waktu mulai terjadinya AKI dibandingkan dengan pemeriksaan serum kreatinin

Kata kunci AKI kreatinin NGAL plasma ICUHCU uji diagnostik

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-29

Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis Laporan Kasus

Mohamad Emil Arief Umar Qodri Fredi Heru Irwanto

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar Belakang Tindakan koreksi skoliosis thorakalis membutuhkan manajemen anestesi perioperatif yang cermat dikarenakan terdapatnya permasalahan fisiologis yang sangat kompleks yang dapat menjadi penyulit Fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang paling sering terganggu pada skoliosis thorakalis tergantung dari derajat lengkungan yang ditimbulkanKonsiderasi anestesi pada tindakan koreksi skoliosis meliputi manajemen anestesi pada posisi prone teknik anestesi dengan hipotensi kendali kejadian hipotermia resiko terjadinya emboli udara Penggunaan opioid dosis tinggi sangat menguntungkan dimana opioid dosis tinggi tidak mempengaruhi hemodinamik durante operasi dan mengurangi penggunaan analgetik pasca operasi

Kasus Anak perempuan berusia 11 tahun dengan skoliosis thorakalis vertebrae thorakal VII ndash vertebrae thorakal XI yang dilakukan koreksi skoliosis Pada pasien ini didapatkan cobbrsquos angle sebesar 800 sehingga diprediksi terdapat gangguan dari fungsi respirasi Untuk fungsi kardiovaskuler dan neurologis tidak ada kelainanInduksi anestesi dengan menggunakan propofol 70 mg IV atracurium 30 mg IV fentanyl 200 mcg IV dengan rumatan menggunakan fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam daninhalasisevoflurane 1 vol dalam O2 dan airProsedur berlangsung selama 5 jam dengan perdarahan 800 mlPasca operasi pasien di pindahkan kePediatric Intensive Care Unit dengan retensi Endotracheal tube untuk evaluasi fungsi respirasi dan kardiovaskuler Analgetik pasca operasi menggunakan morphine kontinu 10mcgkgbbjamSatu hari perawatan di PICU didapatkan fungsi respirasi dan kardiovaskuler dalam batas normal sehingga dapat dilakukan ekstubasi

Diskusi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu 2 mcgkgbbjam dinilai efektif dalam mengurangi perdarahan tanpa mengganggu stabilitas hemodinamik durante operasi Tindakan wake up test dilakukan dengan pasien dalam kondisi koperatif tanpa agitasi Kebutuhan obat analgetik pasca operasi pun dapat dikurangi

Kesimpulan Manajemen perioperatif yang dimulai dari pre anestesi yang baik dapat memprediksikan kesulitan yang akan timbul pasca operasi Teknik rumatan dengan opioid fentanyl kontinu memberikan banyak keuntungan dalam tindakan koreksi skoliosis

Kata Kunci Skoliosis thorakalisCobbrsquos angleposisi prone Opioid Based

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-30

Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum

Laparoskopi Kolesistektomi

Muhlkbal AM Takdir Musba Muh Ramli Ahmad

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Pembedahan dan anestesi menyebabkan respon stres berupa pelepasan hormon katabolik seperti kortisol dan perubahan hemodinamik Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek fentanil dan morfin intravena terhadap penekanan respon stres pembedahan di bawah anestesi umum pada orang dewasa

Metode Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Setelah memperoleh persetujuan dari komite etik dan persetujuan tertulis dari pasien pasien usia 18-64 tahun dengan status ASA PS 1-2 dan IMT lt 30 kgm2 yang akan menjalani prosedur laparoskopi kolesistektomi elektif diikutsertakan dalam penelitian ini Pasien dibagi menjadi kelompok F (n=25) mendapatkan fentanil 2 mcgkgBB dengan pemeliharaan 1 mcgkgBBjam dan kelompok M (n=25) mendapatkan morfin 02 mgkgBB dengan pemeliharaan 01 mgkgBBjam Pengambilan sampel darah untuk kadar kortisol dilakukan sebelum prosedur (T0) 30 menit pembedahan (T1) dan setelah ekstubasi (T2) Pengamatan hemodinamik meliputi tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) dilakukan pada beberapa waktu selama pembedahan Data diuji menggunakan uji statistik yang sesuai p lt 005 dinyatakan bermakna

Hasil Karakteristik sampel berupa umur jenis kelamin IMT ASA PS dan lama operasi dinyatakan homogen secara statistik Kadar kortisol pada kelompok fentanil meningkat dari waktu ke waktu yang ditandai dengan peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan berlanjut sampai akhir anestesi (p= 0001) Pada kelompok morfin terjadi peningkatan kadar kortisol pada 30 menit pembedahan (p =0000) dan menurun pada akhir anestesi (p =0240) Kedua kelompok memberikan kestabilan hemodinamik selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi kecuali pada saat intubasi endotrakeal terjadi peningkatan TAR (p=0000) dan peningkatan LJ (p=0000) namun perubahan TAR dan LJ tidak lebih 20 dari nilai basal

Kesimpulan Tidak terjadi penekanan kadar kortisol selama anestesi umum laparoskopi kolesistektomi pada kedua kelompok Peningkatan kadar kortisol darah pada akhir anestesi ditemukan pada kelompok fentanil tidak pada kelompok morfin Hemodinamik relatif stabil kecuali saat intubasi endotrakeal

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-31

Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epidural

Muhamad Ibnu Mohamad Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar belakang Hipertensi pulmonal merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dan akan meningkatkan mortalitas bila dialami oleh wanita hamil Penanganan wanita hamil dengan hipertensi pulmonal merupakan suatu tantangan di bidang anesthesia Pada laporan kasus ini akan dijelaskan mengenai penatalaksanaan anestesi pada wanita disertai dengan adanya hipertensi pulmonal yang menjalani operasi seksio sesarea dalam anesthesia regional epidural

Presentasi kasus Wanita berusia 24 tahun dengan diagnose gravida 34-35 minggu dengan premature kontraksi disertai adanya hipertensi pulmonal Dari echokardiografi didapatkan adanya dilatasi atrium dan ventrikel kanan hipertensi pulmonal berat dan regurgitasi tricuspid sedang Kemudian operasi dilakukan dalam regional epidural Epidural blok dilakukan dalam posisi duduk pada L3-4 dengan memasukan kateter setinggi T10 Diberikan total bupivacaine 05 sebanyak 19 cc Blok setinggi T6 Bayi lahir dengan APGAR skor 6-8 Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ICU

Kesimpulan Hipertensi pulmonal dalam kehamilan memiliki angka mortalitas yang tinggi Tindakan anesthesia epidural merupakan tehnik yang paling memiliki efek minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan spinal maupun general anesthesia Maka dari itu tehnik ini merupakan tehnik yang paling aman untuk operasi seksio sesarea

Kata kunci Hipertensi pulmonal seksio sesarea anesthesia epidural

P-32

Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green Code

Novita Pradnyani1 Ketut Wibawa Nada2 IMG Widnyana2

1 Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ Udayana Bali2 Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Univ UdayanaBali

Abstrak

Latar belakangPeningkatan jumlah penduduk yang tidak dibarengi program KB yang baik berakibat

ANC yang teratur sehingga seringkali ibu hamil datang dengan kelainan penyerta yang serius

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

dan membutuhkan persiapan anestesi yang lebih rumit Di sisi lain kasus tersebut terkadang kita jumpai dalam keadaan gawat darurat baik gawat janin ataupun gawat ibu sehingga tidak dapat dilakukan persiapan maksimal

Deskripsi KasusGravida 41 tahun ASA IIIE dengan G3P2002 28-29 mgg TH PEB Primi tua sekunder

plasenta previa totalis riwayat asma susp Oedema paru partial HELLP syndrome AHF ec Peripartum cardiomiopaty dengan FC III dilakukan SC green code ec KTG patologis Echo bedside didapatkan MR mild TR mild SV 58mL CO 727L SVR 1378 TAPSE 386 EF biplane 299 AGD pH 743 pCO2 19 pO2 141 HCO3 126 BE 117 SaO2 99 (FiO2 06 RR 25-26xmnt)

Premedikasi ketamin 10mg dan midazolam 05mg dengan anestesi RA BSA lateral decubitus di L3-4 dengan Bupivacain 05 heavy 10mg dan fentanyl 25 mcg dengan blok sensorik setinggi T6 Lahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudahLahir bayi perempuan APGAR skor 8-9 BBL 1200 gram Segera sesudah bayi lahir posisi ibu head up 30deg Post bayi lahir kontraksi uterus kurang baik sehingga dilakukan histerektomi Fluktuasi tekanan darah selama operasi 2 jam 45 menit TD 110-14560-88 mmHg nadi 80-95xmnt RR 20-23xmenit Dengan perdarahan plusmn2000 ml cairan masuk Kristaloid 1000mL dan koloid 500mL PRC 250mL Pasca operasi perawatan di ICU untuk moitoring dan pasien pulang di hari ke 4

Pembahasan Peningkatan beban jantung yang dimulai pada trimester ketiga (28minggu) membeikan beban pada kardiovaskular ibu hamil yang telah terganggu sebelum kehamilan dengan tambahan beban afterload karena PEB Kala III memberikan beban tambahan karena backflow aliran uteroplacental posisi head up dapat mengurangi aliran balik RA BSA dan posisi pasien dapat menjaga hemodinamik dan memberikan relaksasi yang cukup

Kesimpulan RA BSA dapat dijadikan pilihan untuk SC dengan AHF peripartum cardiomiopati dengan pemantauan dosis dan teknik yang baik

Kata kunc Gravida AHF peripartum cardiomiopati RA BSA Back flow Head up

DaftarPustaka

1 Miller D Ronald Millerrsquos Anesthesia 7th ed Churchill Livingstone 20052 Morgan G Edward Mikhail Maged S Murray Michael J Clinical Anesthesiologi 4th ed

New York Lange Medical BooksMcGrawHill 2006 3 David H Chestnut MD Cynthia A Wong MD Lawrence C Tsen MD Warwick D

Ngan Kee Yaakov Beilin MD and Jill Mhyre MD Chestnutrsquos Obstetric Anesthesia Principles and Practice 4th Edition Philadelphia Elsevier Mosby 2009

4 Roberta L Hines Katherine E Marschall Stoeltingrsquos Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed Philadelphia Elsevier 2008

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-33

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina Syamsul Hilal Salam A Husni Tanra

Bagian Ilmu Anestesi Terapi Intensif dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran Universitas HasanuddinRumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar

Abstrak

Latar Belakang Blok transversusabdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman mudah dan efektif untuk memberikan analgesia pasca bedah pada operasi yang melibatkan dinding anterior abdomen Penelitian ini bertujuan menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pasca bedah herniorafi

MetodePenelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal Penelitian dilakukan pada 44 pasien usia 18-60 tahun status fisik ASA I-II dan IMT 18-24 yang menjalani operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal di RS dr Wahidin Sudirohusodo dan jejaring di Makassar mulai bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 025 20 ml ditambahkan epinefrin 1200000 setelah operasi selesai dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 01 mgkgBBinfuskontinyu pada akhir operasi Penilaian skala nyeri digunakan Numeric Rating Scale (NRS) Bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 05 mcgkgBB waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pasca bedah dicatat Data dianalisis secara dengan menggunakan uji Mann Whitney dinyatakan bermakna bila plt 005

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian bersifat homogeny pada kedua kelompok Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok control (1781 plusmn 762 berbanding 915 plusmn 812 jam plt0001) Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (921 plusmn 1359 berbanding3088 plusmn 2039 mcg p=002)

Kesimpulan Blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodalmemberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibandingkan dengankontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi

Kata kunci blok TAP herniorafi teknik landmark

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-34

Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mgkgbbjam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi Spinal

Nurcholis Hendry Nugraha Yusni PuspitaZulkifli

Dept Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRSUP Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Operasi ortopedi ekstremitas bawah merupakan jenis operasi dengan skala nyeri pascaoperasi yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan nyeri yang baik Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor NMDA dan penghambat saluran kalsium memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia

Penelitian dilakukan secara uji klinis berpembanding buta ganda Penelitian efektivitas pemberian magnesium sulfat intravena terhadap nilai VAS dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 38 pasien dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal kelompok I (grup M) berjumlah 19 peserta bolus MgSO4 intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan MgSO4 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi dan kelompok II (grup K) 16 peserta bolus Nacl 09 03 mlkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan rumatan Nacl 09 01 mlkgbbjam sampai akhir operasiTiga peserta drop out karena gagal spinal dan operasi yang lama Sebelum dan sesudah operasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium pada semua subyek penelitian Penilaian nyeri menggunakan nilai VAS setelah selesai operasi pada 30 menit 1 2 4 6 12 18 dan 24 jam pascaoperasi Bila nilai vas gt 3 diberikan analgetik pertolongan petidin 05 mgkgbb Analisa statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan x2 test dan Fisher exact test dan dianalisa dengan program SPSS 20 for windows

Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik umum jenis dan lama operasi jumlah cairan intraoperatif serta kadar magnesium darah prabedah antara kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda Nilai VAS grup M secara statistik lebih rendah (p lt 005) dibandingkan grup K pada jam ke 18 dan 24 Jumlah pemberian analgetik petidin dalam 24 jam pascaoperasi lebih rendah pada grup M dibandingkan grup K (plt005)

Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena 30 mgkgbb selama 15 menit setelah blok anestesi spinal dilanjutkan dosis rumatan 10 mgkgbbjam sampai akhir operasi menghasilkan nilai VAS lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik petidin dalam 24 jam pada pasien pascaoperasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal

Kata Kunci Analgetik pascaoperasi Magnesium Sulfat nilai VAS pascaoperasi Operasi ortopedi ekstremitas bawah Uji klinis acak berpembanding

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

P-35

Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka Ctev Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty

Pande Nyoman Kurniasari Putu Kurniyanta

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

PendahuluanAnestesi yang aman pada pediatrik tergantung pada pemahaman yang menyeluruh

tentang fisiologi dan farmakologi dan perbedaan antara pediatrik dan dewasa Pada pasien dengan single kidney memerlukan strategi anestesi yang khusus

Presentasi kasusPasien pediatrik 3 tahun berat badan 11 kg dikeluhkan tidak mempunyai lubang

anus sejak lahir telah dilakukan operasi kolostomi saat umur 1 hari Dari pemeriksaan USG ditemukan pasien dengan satu ginjal Pada pasien telah dilakukan PSARVUP (Posterior Sagital Anorecto Vaginal Uretroplasty) dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa endotracheal ukuran 45 dan dilakukan pemasangan caudal Telah diberikan midazolam 05 mg iv ketamine 10 mg iv fentanyl 20 mcg iv atracurium 5 mg iv Caudal analgesia dengan bolus Bupivacaine 025 + Fentanyl 10 mcg volume 6 ml 30 menit kemudian dilanjutkan dengan caudal kontinyu Bupivacaine 01 + Fentanyl 50 mcg volume 50 ml dengan kecepatan 2 mljam Durasi pembedahan 6 jam Post operasi pasien dirawat di PICU selama 2 hari

DiskusiManagemen anestesi untuk pediatrik dapat dilakukan anestesi umum dan caudal

kontinyu Pada pasien ini caudal kontinyu dapat sebagai pilihan karena dapat memberikan relaksasi dan analgesia sekaligus menurunkan kebutuhan obat sistemik pada pasien dengan single kidney Keuntungan lainnya caudal analgesia dapat digunakan untuk analgesia post operasi

KesimpulanKombinasi anestesi umum dan caudal kontinyu dapat menjadi alternative pada

pembedahan urogenital pada pediatric untuk menghindari penggunaan obat sistemik sehingga meminimalisasi efek samping sistemik yang dapat mengganggu fungsi ginjal dan memperpanjang waktu pulih

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-36

Laporan Kasus Serial Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi ndashSebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid

Thorakal

Pradhana AP Taofik S Senapathi Tjok GA Aribawa IGNMahaalit++

Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

dr SpAnKARDRdr ++SpAnKARdr

Abstrak

Latar Belakang Pemilihan Caudal Anesthesia Single Shot dianggap lebih praktis dan mampu memenuhi kebutuhan anesthesia - analgesia untuk tindakan pembedahan pada anak Di RSUP Sanglah Denpasar terdapat 405 (10) pembedahan pediatri dari total 4059 kasus sepanjang tahun 2014 dengan 217 (52) kasus diantaranya adalah dengan anomaly digestif dan dikerjakan dengan teknik anestesi kombinasi GA-Caudal anesthesia Penggunaan formula Armitage dijadikan pedoman untuk pemberian dosis caudal pediatrik yaitu 05mlkg untuk blok setinggi lumbosakral 1mlkg untuk torako lumbal dan 125mlkg untuk mid torakal Laporan kasus ini ingin menunjukkan ketinggian segmen yang bias dicapai pada penggunaan Caudal Anesthesia Single Shot dengandosis mid torakal (125 mlkg) dengan ultrasonografi-doppler pada 4 pasien ASA I ndash II yang menjalani operasi abdomen bagian bawah dibawah pengaruh Anestesi Umum

Metode 4 Pasien ASA I ndashII usia 8 bulan hingga 4 tahun dengan berat badan 7ndash16 kg menjalani prosedur operasi abdomen bagian bawah PSARP kolostomi dan tutup kolostomi Setelah dilakukan Induksi Anestesi Umum dan dilakukan pemasangan jalur IV pasien diposisikan pada posisi Sim dan disiapkan untuk dilakukan Caudal Block Dengan jarum abocath 20G dimasukkan obat anestesi lokalBupivacain 015 Dengan bantuan ultrasonografindashdoppler dipastikan bahwa jarum telah masuk di ruang epidural dan kemudian diamati pergerakan cairan serta dilatasi dari ruang epidural saat obat anestesi local masuk ke ruang epidural sehingga diketahui ketinggian segmen yang dicapai Rata-rata saat dosis mencapai 125mlkg Nampak bahwa pergerakan cairan anestesi local hanya mencapai segmen L2-3

Hasil Durante operasi tampak terjadi peningkatan nadi yang signifikan saat manipulasi pembedahan dilakukan pada bagian yang lebihtinggi sehingga diberikan penambahan opiat Fentanyl berkala

Kesimpulan Caudal Anesthesia Single Shot sebagai pilihan anestesi yang aman dan mudah dilakukan untuk pasien pediatri namun hanya dapat digunakan untuk prosedur pembedahan yang di kerjakan di bawahsegmen L2Untuk prosedur pembedahan diatas segmen L2 perlu dipertimbangkan pemasangan kateter sehingga bias mencapai segmen yang lebih tinggi

Kata kunci blok kaudal single shot armitage ultrasonografi doppler

Referensi 1 Donald Schwartz M amp Karthik Raghunathan M 2008 Ultrasonography and Pediatric

Caudals Anesthesia and Analgesia 106 pp97-99

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

2 Santhanam Suresh MD LJTBaASM 2011 Ultrasound Imaging for Pediatric Anesthesia A Review In MM Tanabe ed Ultrasound Imaging Rijeka Croatia InTech pp189-210

3 Soliman IE (2003 May) Pediatric pain management facts and myths University of Pittsburgh Nurse Anesthesia Program Lecture Pittsburgh PA

4 Barash PG Cullen BF and Stoelting RK(2001) Fourth Edition Clinical Anesthesia Philadelphia Lippincott Wiliams amp Wilkins

P-37

Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien Mastektomi

Puja Laksana Erwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto PujoErwin Santoso Andreanto Aria Dian Primatika Jati Listiyanto Pujo

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensive RSDK FK UNDIP

Abstrak

Latar belakang CRP adalah protein fase akut yang kadarnya dalam darah sangat berkaitan erat dengan respon inflamasi akut yang terjadiTindakan pembedahan dan puasa yang berkepanjangan menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan mediator inflamasifaseakut melalui proses yang rumit

Tujuan Membuktikan pengaruh pemberian minuman karbohidrat dan protein whey praoperasi terhadap kadar CRP pascaoperasi pada pasien mastektomi

Metode Penelitian jenis uji klinis acak terkontrol Sampel penelitian sebanyak 26 dibagi menjadi 2 kelompok Kelompok perlakuan (13 sampel) diberikan 400 mL minuman karbohidrat dan protein whey malam sebelum operasi dan 200 mL 4 jam sebelum operasi Kelompok kontrol diberikan air mineral dengan jumlah dan waktu pemberian yang sama dengan kelompok perlakuan Kedua kelompok diperiksa kadar CRP pra dan pascaoperasi

Hasil Terdapat perbedaan bermakna ( p = 0001) pada kadarCRP pascaoperasi antara kelompok kontrol yaitu 762 plusmn 2074 dibandingkan dengan CRP pascaoperasi kelompok perlakuan yaitu 281 plusmn 2920 Selain itu juga terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0000) dalam selisih kadar CRP praoperasi dan pascaoperasi pada kelompok kontrol yaitu 536 plusmn 0535 dibandingkan dengan kelompok perlakuan yaitu 089 plusmn 0938

Kesimpulan Pemberian minuman karbohidrat dan protein whey pra operasi terbukti menurunkan respon inflamasi fase akut pascaoperasi yang tergambar dari peningkatan kadar CRP pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

Kata kunci CRP respon inflamasi akut pemberian minuman karbohidrat dan protein whey

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-38

Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik Sedang

Rezkita Dwi Oktowati Syafruddin Gaus Syafri K Arif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar Belakang Cedera otak terutama cedera otak sedang dan berat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dinamis pada metabolisme otak berkurangnya laju metabolisme dan timbulnya krisis energi Perubahan -perubahan tersebut dapat diekspresikan oleh dinamika kadar glukosa dan laktat darah

Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 30 orang pasien yang menjalani pembedahan kraniektomi darurat dan mendapatkan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1 vol + fentanil 1 mcgkgBBjam atau menggunakan propofol 100 microgkgBBmenit + fentanil 1 microgkgBBjam Sampel darah pengukuran glukosa dan laktat yang diambil pada titik-titik waktu yang tepat 30 menit sebelum awal operasi (T0) sebelum induksi (T1) 30 menit setelah operasi dimulai (T2) setelah ekstubasi (T3) dan 1 jam setelah operasi (T4) Hasil diproses dengan nonparametrik uji Mann-Whitney

Hasil Kadar glukosa diukur pada saat T2 pada kelompok propofol-fentanil secara signifikan lebih rendah (P = 0032) dibandingkan kelompok sevofluran-fentanil Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok tidak bermakna pada setiap pengukuran Korelasi kadar glukosa dan laktat darah kedua kelompokbernilai positif untuk T0 T1 T3 dan T4 Untuk T2 korelasi bernilai negatif (-0288) Korelasi yang sangat kuat atau signifikan terjadi pada waktu T1 dan T4

Kesimpulan Nilai rerata kadar glukosa dan laktat pada kedua kelompok tidak mengalami gejolak yang bermakna dan semakin besar nilai laktat maka kadar gula darah juga akan semakin meningkat

P-39

General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession Intrakranial

Ruddy Hardiansyah Hasanul Arifin

Departemen Anestesiologi amp Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H Adam Malik Medan

Abstrak

INTRODUCTIONTotal tiroidektomi adalah tindakan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua

lobus Permasalahan neurologi yang menyertai operasi tiroid tidak jarang dijumpai Otak merupakan salah satu organ yang menjadi target metastase dari karsinoma tiroid Penilaian

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

fisik dan penunjang neurologi merupakan hal yang mutlak diketahui sebelum perencanaan anestesi pada tindakan total tiroidektomi Manajemen anestesi pada kondisi tersebut menjadi lebih kompleks mengingat tiroidektomi merupakan tindakan pembedahan di area jalan nafas ditambah dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang terjadi akibat massa di otak Oleh karena itu merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dapat menerapkan tehnik neuroanestesia dalam mencegah secondary brain injury selama tindakan pembedahan tiroid dan perawatan post operasi

Kata kunci neuroanestesia karsinoma tiroid total tiroidektomi sol intrakranial

CASE REPORTPerempuan umur 46 tahun (berat badan 60 Kg) datang ke Rumah Sakit Haji Adam Malik

Medan dengan keluhan benjolan pada leher yang dialami selama 8 tahun Pada pemeriksaan fisik dijumpai benjolan pada leher yang ikut bergerak saat pasien menelan dan benjolan pada bagian belakang atas kepala Tekanan darah 13080 mmHg nadi 86 xi dengan Glasgow Coma Scale score 15 tanpa defisit neurologis Pada foto cervical APlateral dijumpai pendorongan trakea ke kanan dengan sedikit penyempitan setinggi cervical 5 Pada axial cerebral computed tomography menunjukkan massa di regio parieto-occipital mendestruksi tulang dan meluas ke intraserebral Labotarorium dijumpai fungsi tiroid dalam keadaan eutiroid Propanolol 20 mg dan propiltiourasil 100 mg per 8 jam oral sudah dikonsumsi selama 2 bulan sebelumnya Persiapan preoperasi meliputi penyediaan ETT beberapa ukuran sesuai dengan ukuran trakea pada foto cervical pipa lambung NaCl dingin dan paracetamol 500 mg propiltiourasil 400 mg serta propanolol 40 mg yang telah digerus Premedikasi diberikan midazolam 5 mg dan fentanyl 120 mcg secara intaravena Setelah preoksigenasi induksi dilakukan dengan pemberian propofol 120 mg rocuronium 50 mg dan lidocain 60 mg Intubasi endotrakea dengan tube 70 mm dilakukan dengan smooth Anestesia di maintenance dengan sevofluran 1 oksigen ndash air masing-masing 2 Li fentanyl 60 mcg dan rocuronium 10 mg setiap jamnya Tekanan darah selama operasi sistol 100 ndash 120 mmHg diastol 59 - 71 mmHg normokapni dengan perdarahan plusmn 380 cc Massa tiroid berhasil diangkat tanpa mencederai Nervus Laryngeal Recurrent Fentanyl 60 mcg dan lidocain 60 mg diberikan untuk mencegah nyeri dan peningkatan tekanan darah ketika pasien bernafas spontan dengan oksigen murni selama 15 menit sebelum dibangunkan evaluasi pita suara dan ekstubasi Perawatan post operasi dilakukan diruang perawatan intensif dengan fentanyl 30 mcg perjam secara kontiniu untuk penanganan nyeri Evaluasi kesadaran suara kadar calsium dan magnesium dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan post operasi

DISCUSSIONTindakan total tiroidektomi pada karsinoma tiroid dengan massa intrakranial

menggunakan anestesi umum dengan tehnik neuroanestesi Penanganan anestesi ditujukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan secondary brain injury dengan menjaga CPP 70 ndash 90 mmHg dan normokapni Analgesia adekuat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik dan tekanan intrakranial saat intubasi evaluasi pita suara ekstubasi dan penanganan nyeri post operasi

CONCLUSIONAnestesi umum dengan tehnik neuroanestesia harus digunakan pada tindakan

pembedahan yang disertai permasalahan neurologi Penjajakan neurologi menjadi hal yang penting sebelum perencanaan anestesi Peningkatan TIK dan secondary brain injury harus dihindari selama prosedur tindakan pembedahan

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Referensi 1 Cottrell James E Newfield Philippa et al Handbook of Neuroanesthesia Anethesia

and Neurosurgery Lipincott William amp Wilkins 5th edition 2012 P 86-972 Bisri T Penanganan Neuroanestesi dan Critical Care Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung 20123 Gurvitch LD Yao FS Anesthesiology Problem- Oriented Patient Management The

endocrine System Lipincott William amp Wilkins 7th edition 2012 P 575 - 604

P-40

Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan Kasus

Semarawima Gede Budiarta I Gede

Bagian Anestesi dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar BelakangTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum

dengan angka kejadian 15 dari seluruh massa mediastinum Miastenia Gravis adalah gangguan autoimun kronis yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi Hiperplasia timus terjadi lebih dari 70 pada pasien dengan miastenia gravis dan 10-15 pasien ini menderita timoma

Diskripsi KasusASA III Perempuan umur 54 tahun dengan keluhan utama kelopak mata terasa berat

suara cadel susah mengunyah dan menelan di sore hari sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Tidak didapatkan tanda-tanda sindrom vena cava superior Didiagnosis miastenia gravis sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan diberikan terapi Pyridostigmine 60 mg 12 jam PO Methylprednisolon 8 mg 12 jam PO Pada pemeriksaan penunjang didapatkan massa di anterosuperior mediastinum retrosternal dengan ukuran 4x45x6 cm gambaran ini mengarah ke keganasan timus Rekaman ENMG dalam batas normal

Pada persiapan pra operasi obat Pyridostigmine tetap dilanjutkan pemberianya Dilakukan operasi timektomi dengan general anestesi pemasangan pipa endotrakeal dengan epidural anestesia Ko-induksi dengan Fentanyl 3 mcgkgbb induksi dengan Propofol 2 mgkgbb fasilitas intubasi tanpa menggunakan pelumpuh otot Pemeliharaan dengan Compressed air Oksigen Sevoflurane 13 vol Epidural anestesia dengan regimen Bupivacain 025 + Morfin 2 mg volume 6 ml Lama operasi 2 jam 30 menit dengan fluktuasi tekanan darah selama operasi 90-12558-83 mmHg Nadi 64-98 kalimenit Lama anestesi 3 jam 10 menit dan sebelum pasien di ekstubasi diberikan Prostigmin 006 mgkgbb Selanjutnya pasien dirawat di ruang intensif

00Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

KesimpulanPenatalaksanaan anestesi tidak menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari sindrom

paraneoplastik akibat timoma dan miastenia gravis Miastenia gravis akan mempengaruhi efek pelumpuh otot yang sangat sensitif terhadap pelumpuh otot golongan depolarisasi

Kata Kunci Timoma Miastenia Gravis Sindrome Prostigmin Anestesia

P-41

Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg Fentanyl 25 mcg Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 01 25 mg Pada Persalinan

Pervaginam

Sitti Salma Muh Ramli Ahmad Syafri KArif

Bagian Anestesiologi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Analgesia persalinan intratekal (ILA) adalah salah satu teknik analgesia regional untuk mengatasi nyeri persalinan Penelitian ini membandingkan penambahan klonidin 45 μg fentanil 25 μg dan fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg sebagai adjuvan analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg terhadap durasi analgesia hemodinamik dan intensitas nyeri pada persalinan pervaginam

Metode Penelitian ini adalah penelitian eksperimental acak tersamar tunggal yang menjalani persalinan pervaginam dengan menggunakan teknik ILA Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di bagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 17 orang Semua kelompok menggunakan 25 mg bupivakain 01 sebagai anestesi lokal Kelompok BF diberikan adjuvan 25 μg fentanil kelompok BK diberikan 45 μg klonidin dan kelompok BFK diberikan 25 μg fentanil plus 45 μg klonidin Penilaian dilakukan pada saat fase aktif (pembukaan 4-6 cm) Dilakukan pencatatan durasi analgesia hemodinamik intensitas nyeri skor Bromage efek samping dan skor APGAR Data yang terkumpul akan diuji dengan metode statistik yang sesuai

Hasil Karakteristik sampel berupa umur tinggi badan berat badan mula persalinan dan pembukaan serviks awal dinyatakan homogen secara statistik Durasi analgesia pada kelompok ILA BFK yakni (17124 plusmn 795) menit lebih lama dibandingkan kelompok ILA BK yakni (10753 plusmn 737) menit dan kelompok ILA BF yakni (9182 plusmn 354) menit Ketiga kelompok menunjukkankan kestabilan hemodinamik dan menurunkan intensitas nyeri selama efek analgesia masih berjalan

Kesimpulan Fentanil 25 μg + klonidin 45 μg sebagai adjuvan pada analgesia intratekal bupivakain 01 25 mg pada persalinan pervaginam memiliki durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan klonidin 45 microg atau fentanil 25 microg

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-42

Laporan KasusManajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan

DIC dan Sepsis

Stefanus Taofik1 Abraham Taofik Putu Kurniyanta2 I Gede Budiarta2

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Spesialis Anestesi Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar belakangHernia diafragma traumatika adalah kasus yang jarang dijumpai dengan prevalensi 3-4

di dunia Hernia diaframatika seringkali asimptomatik sampai dengan timbulnya komplikasi dengan angka mortalitas tinggi Komplikasi yang timbul seringkali mempersulit manajemen anestesi (sepsis gangguan respirasi dan imbalance elektrolit) Permasalahan durasi operasi meliputi perdarahan gangguan respirasi dan hemodinamik dengan mempertahankan perfusi cerebral yang adekuat

Deskripsi KasusPediatri 7 tahun berat badan rendah 17kg dengan trauma tumpul abdomen dan cedera

otak ringan 16 hari pra operasi pasca KLL dengan terpasang WSD D Pada thorax X-ray CT SCAN dan pemeriksaan fisik didapatkan kesan hernia diafragmatika dengan hematoma retroperitoneal Selama perawatan didapatkan sepsis dengan pemanjangan INR 516 dengan DIC score 6 dengan Procalcitonin 19 CPIS score 7 dan albumin 228grdL Dilakukan repair diafragma dengan GA OTT TIVA fentanyl-ketamin midazolam dan vecuronium intermitten dengan pemasangan monitor invasif artery line dan kateter vena sentral jugular D dengan panduan USG dan ETCO2 Pra tindakan dipastikan content cukup diberikan FFP 10mlkgbb dengan topangan NE 01-02 ugkgmenit Durante operasi hemodinamik dengan TD 95-10560-75mmhg dan nadi 103-112xmnt (sepsis) dengan urine output 23cckgjam selama 5 jam pembedahan dan desaturasi ec vq missmatch dan manipulasi pembedahan Perdarahan 400mL(30 EBV) dengan pengelolaan cairan PRC FFP dan koloid Durante didapatkan hepar gall bladder dan ileum yang menembus diafragma kanan dan atelektasis paru kanan Pasca operasi pasien dirawat di PICU dengan morfin-ketamin kontinyu dan ventilator support tanpa edema paru dengan perbaikan parameter respirasi dan hemodinamik pasca operasi Weaning dimulai hari ke 3 pasca operasi

PembahasanKompleksitas tindakan yang dibarengi dengan komplikasi yang terjadi dalam setting

pediatri BB rendah memberikan tantangan tersendiri Manajemen respirasi dengan ventilasi disesuaikan dengan Paw dan ETCO2 Pra tindakan dilakukan perbaikan content dengan menambahkan faktor koagulasi dan meningkatkan tekanan onkotik serta pemberian asam traneksamat sesuai CRASH TRIAL Pasca tindakan paru kanan dikembangkan bertahap dengan PEEP untuk mencegah terjadinya REPE (Reexpansion Pulmonary Edema) Gejolak hemodinamik diminimalkan dengan pemilihan regimen anestesi TIVA

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Kesimpulan Tindakan repair hernia diafragma traumatika memberikan tantangan yang berbeda

dengan non traumatika terutama pada setting pediatri Manajemen anestesi TIVA penguasaan respirasi hemodinamik dan mengenali komplikasi sebagai pemberat operasi dan memahami teknik operasi menjadi kunci dalam penanganan kasus ini

Kata kunci Hernia diafragma traumatika TIVA Reexpansion pulmonary edema DIC Panduan USG Sepsis

Daftar Pustaka1 The CRASH II Collaborator The importance of erly tranexamic acid in bleeding

trauma patients an exploratory analysis of the CRASH 2 randomized controlled trialLancet Volume 377 No 9771

2 Alqadi R ValenciaFC Viscusi M 2013 Reexpansion Pulmonary Edema Following Thoracentesis Rhode Island Medical Journal Vol Sept 2013 38-40

3 JaffeRA 2009 SamuelsSI Anesthesiologist Manual of Surgical Procedures 4th ed Chap7

4 MillerRD 2010 Milllerrsquos Anesthesia 7th ed Chap V72

P-43

Perbandingan Validitas APACHE II SOFA dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik1 Musa Taofik Senapathi Tjok GA2 PAS Panji

1 Residen Anestesiologi amp Terapi Intensif FK Univ Udayana-Bali2 Konsultan Regional Anesthesia Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah 3 Konsultan Intensive Care Bagian SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah

Abstrak

Latar Belakang Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanag Icu untuk lebih efektif dan efisien Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU Pasien non bedah meskipun jumlahnya tidak banyak namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

Objektif Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring

Metode Penelitian ini melibatkan 184 pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah Denpasar yng diambil secara acak dari tgl 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II SOFA dan CSOFA Karakteristik data dari hasil penelitian ini dilakukan uji Saphiro wilkins dan Chi Square Uji analitik regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing suvariabel terhadap mortalitas dan selanjutnya mencari cutoff point dari analisa kura ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Hasil Hasil uji karakterisktik data memperlihatkan pengaruh usia AKI sepsis dan adanya penyakit kronis berkorelasi dengan mortalitas dengan plt0001 Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II SOFA dan CSOFA berturut turut didapatkan 0892 0919 dan 09172 Missing value terbanyak didapatkan pada berturut turut pada SOFA APACHE II dan CSOFA sebesar 8423 815 dan 165 dengan dominan subvariabel hepar (bilirubinikterik) Uji regresi logistik memperlihatkan subvariabel neurologi kardiovaskular dan respirasi memberikan korelasi bermakna terhadap mortalitas dengan OR 458 224 dan 147 Subvariabel lain yang berpengaruh antara lain AKI sepsis dan peyakit kronis dengan OR 814 389 dan 242 CSOFA yang disederhanakan dengan subvariabel Respirasi (sf ratio) neurologi (GCS) kardiovaskular creatinin dan koagulasi (platelet) memberikan nilai AuROC=09175 dengan missing value 165

Kesimpulan Sistem skoring CSOFA yang disederhanakan memberikan nilai diskriminasi yang tertinggi dengan missing value terendah pada pasien non bedah sehingga dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas di ICU

Kata kunci Sistem skoring APACHE II SOFA CSOFA AuROC missing value

Referensi 1 Halim DA Murni TW Ike SR 2009 Comparison of APACHE II SOFA and modified

SOFA scores in predicting mortality of surgical patients in intensive care unit at Dr Hasan Sadikin general hospital Crit Care amp Shock 12157-169

2 Namendy-silva SA Medina-silva MA Barahona VGM Torres JAB 2013 Application of modified sequential organ failure assessment score to critically ill patients Braz J Med Biol Res 46(2) 186-193

3 Sunaryo A Ike SR BisriT 2012Perbandingan validasi APACHE II dan SOFA score untuk memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif Majalah Kedokteran terapi Intensif vol 2 11-20

4 Grissom CK Brown SM Kuttler KG Boltax JP 2010 A Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) for critical care triage Disaster Med Public Health Prep 4277-284

P-44

Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of Ameloblastoma

Taor Leonardo Marpaung Rommy Fransiscus Nadeak

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU RSUP Haji Adam Malik Medan

Abstract

Ameloblastoma is tumor coming from the residue of dentition that would from odontogenic epithelium tumor Ameloblastoma tend to make anaesthetist experiences difficulty with facemask ventilation of the upper airway and tracheal intubation Management of difficult airway will always confront the anaesthetist This is one area of the practice that the

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

anaesthetist is required to develop divers skill suited for each clinical situation The ability to use the flexible fiberoptic bronchoscope (FOB) presents the anaesthetist with an addition tool to conduct endotracheal intubation when faced with a difficult airway

Keywords ameloblastoma difficult airway flexible fiberoptic bronchoscope

P-45

Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tjues Aryo Agung W Sidharta Kusuma M Alfan Mahdi

Departemen Anestesi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia -RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak

PendahuluanTransplantasihatidari donor hidup (THDH) merupakan pilihan terakhir pada pasien

dengan end stage liver disease (ESLD)Angka harapan hidup tiga tahun 70-82 tetapi prosedur ini sangat kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besarbaik dari segi biaya sarana dan personel

KasusResipien adalah laki-laki 18 tahundengan atresia bilier Donor berasal dari kakak pasien

yang sehatPersiapan THDH dilakukan 2 bulan meliputi optimalisasi pasien persiapan alat dan

obat serta tim perioperatif multidisiplinAnestesia menggunakan infusi kontinyu propofol fentanil dan atrakurium Rumatan menggunakan sevofluran dengan oksigen 40 Di samping EKG kapnografdan SpO2 pemantauan intraoperatif juga dilakukan dengan tekanan darah arterial tekanan vena sentral dan pulse contour analysis Selama operasi tekanan darah dijaga 13080 mmHg dan CVP pada masa pra-anhepatik lt5 mmHg Pemeriksaan intraoperatif berupa analisis gas darah elektrolit darah perifer fungsi koagulasi glukosa dan laktat Obat intravena yang digunakan dobutamin norepinefrin fenilefrin metilprednisolon CaCl2 dan dekstrosa 40

Pascabedah pasien diberikan terapi suportif menyeluruh dengan titik berat pada pemantauan perdarahan fungsi hepar fungsi ginjal dan fungsi kardiorespirasi

DiskusiMasalah utama pada periode pra-anhepatik adalah menjaga homeostasis sedekat

mungkin dengan nilai basal Dosis kecil norepinefrin digunakan untuk mencegah fluktuasi tekanan darah Dobutamin digunakan pada periode reperfusi untuk menjaga kecukupan perfusi jaringan setelah klem vena porta dilepas Pemberian CaCl2 dikarenakan pasien mendapat transfusi packed red cell yang mengandung sitrat dan mengikat kalsium cenderung menyebabkan hipokalsemia Pasien ESLD cenderung mengalami hipoglikemia Oleh sebab itu gula darah dipantau ketat sepanjang prosedur Ketika kadar gula darah turun diberikan infusi dekstrosa

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Masalah berikutnya adalah periode anhepatik Penjepitan vena kava inferior vena hepatika dan vena porta sebelum reseksi hepar berpotensi menyebabkan penurunan curah jantung oleh karena turunnya prabeban Untuk mengantisipasi ini dapat diberikan albumin 5

Masalah terbesar adalah periode reperfusi setelah aliran vena-vena di atas kembali (unclamping) Beban jantung dapat tiba-tiba meningkat yang dapat menyebabkan gagal kontraksi Penglepasan mediator inflamasi berakibat luas antara lain menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan jaringan termasuk miokard Itu sebabnya ketika prosedur dimulai diberikan metilprednisolon untuk mencegah reaksi inflamasi berlebihan Reaksi ini juga yang menyebabkan rejeksi organ Pemberian dobutamin sangat membantu dalam mempertahankan kontraktilitas miokard

Reaksi inflamasi termasuk yang dipantau pada periode pascabedah di samping pemantauan fungsi hepar koagulasi dan sebagainya

Kesemua proses sejak persiapan pelaksanaan dan pascabedah memerlukan biaya yang relatif tinggi Prosedur optimalisasi pasien melibatkan berbagai pemeriksaan berbiaya tinggi Demikian pula pemantauan selama operasi dan penggunaan obat-obat multipel Namun demikian masalah terbesar dari seluruh proses ini adalah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat termasuk pemegang kebijakan di rumah sakit

SimpulanTransplantasi hepar dengan donor hidup sangat kompleks baik dari segi sarana

prasarana maupun prosedur anestesianya Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada fasilitas yang lengkap

Kata Kunci THDH praanhepatik anhepatik reperfusi perioperatif

P-46

Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan

Nasional

Tommy N Tanumihardja Grace Alvina

RS St Carolus Summarecon Serpong

Abstrak

Latar belakangPeranan pelayanan anestesi kebidanan meliputi pengendalian nyeri pada persalinan

dan anestesi pada operasi sesar Teknik yang saat ini sering dipilih untuk pengendalian nyeri kebidanan adalah anestesi neuraksial yakni epidural spinal dan kombinasi spinal epidural karena sangat memberikan kepuasan dan keuntungan yang lebih bagi pasien Prinsip teknik kombinasi spinal epidural meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping dari kedua teknik lainnya Keuntungan yang bisa dicapai adalah penggunaan dosis obat yang rendah blok sensori yang adekuat dan analgesia yang sangat baik

Pada kesempatan ini penulis bermaksud melaporkan serial kasus penggunaan teknik kombinasi untuk memberikan gambaran pelayanan obstetrik yang diberikan menghasilkan

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

kendali mutu dan kendali biaya Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pelayanan obstetrik yang optimal di era Jaminan Kesehatan Nasional

Serial KasusAntara bulan September 2012 sampai September 2014 di suatu rumah sakit swasta di

Tangerang didapatkan 92 pasien mendapatkan pelayanan analgesia fase persalinan 39 pasien di antaranya digunakan teknik kombinasi spinal dan epidural 16 pasien hanya menggunakan obat anestesi lokal dan adjuvan fentanil pada drip epidural Mereka tidak merasakan nyeri yang mengganggu sampai lahirnya bayi Meskipun 3 dari antara pasien tersebut melahirkan secara sesar hanya 1 pasien yang membutuhkan teknik anestesi spinal ulang

Diskusi Teknik kombinasi spinal epidural dilaporkan mempunyai dampak kepuasan yang tinggi

dalam hal menanggulangi nyeri persalinan dan juga bermanfaat pada kasus-kasus kebidanan beresiko tinggi Selain itu teknik kombinasi spinal epidural memiliki tingkat kegagalan teknik yang lebih epidural yang digunakan dapat memberikan durasi analgesia yang dapat disesuaikan dengan lama persalinan

Dalam pengamatan serial kasus ini juga obat yang digunakan efisien sehingga dapat memberikan kendali mutu dan biaya yang diperlukan

KesimpulanPenggunaan teknik analgesia kombinasi spinal dan epidural pada proses persalinan

merupakan teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan mutu dan biaya pada era Jaminan Kesehatan Nasional

P-47

Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional tantangan kendali mutu dan kendali

biaya bagi pelayanan anestesia

Tommy N Tanumihardja Clementine Natalie

RS Atma Jaya Jakarta

Abstrak

Pasien laki-laki usia 64 tahun dengan fraktur intertrokanter femur dekstra dilakukan PFNA Pasien menderita penyakit Parkinson yang telah diterapi dengan selama 12 tahun Pasien dipersiapkan puasa makanan padat 6 jam sebelum operasi Pada hari pasien dioperasi obat-obatan pengendali penyakit Parkinson tetap dilanjutkan

Pasien disiapkan di meja operasi dengan monitor standar ASA jalur intravena diamankan Dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakea tanpa kesulitan Pasien dilakukan ventilasi kendali penuh kemudian dipasang kateter urin Pasien diposisikan terlentang pada meja traksi Insisi dilakukan pada sisi lateral paha kanan Operasi berlangsung selama 1 jam 45 menit dengan rumatan oksigen N2O dan Isofluran 30 menit menjelang selesai pasien diberikan antiemetik Parasetamol 1000 mg diberikan intravena saat penutupan luka

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Pasien diposisikan terlentang kembali pada meja operasi Kemudian dilakukan identifikasi nervus femoralis dextra menggunakan jarum stimulasi saraf secara aseptik dan antiseptik pada regio inguinal kanan Nervus femoralis diidentifikasi di sebelah medial arteri femoralis Obat anestesi lokal Bupivacaine isobarik 02 sebanyak 20 ml diinjeksikan di sekitar nfemoralis setelah nervus femoralis diidentifikasi pada kedalaman 5 cm dengan tetap mempertahankan kontraksi otot kuadriceps femoris Kateter diinsersi dan difiksasi pada kedalaman 11 cm Analgesia kontinu dilanjutkan dengan Bupivacaine 02 6mLjam via pompa infus elastis dengan analgesia kendali pasien 2ml bolus dengan lock out interval 15 menit Pasien dibangunkan diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan Pasien dipindahkan ke bangsal sesudah sadar penuh

6 jam setelah operasi pasien mulai melakukan mobilisasi duduk 12 jam pasca operasi skala nyeri numerik 410 dengan 2x bolus analgesia kendali pasien 24 jam pasca operasi pasien mulai melakukan terapi mobilisasi berdiri 26 jam pasca operasi skala nyeri numerik 210 dengan 2 bolus analgesia kendali pasien ditekan 45 jam pasca operasi skala nyeri 410 tanpa ada bolus analgesia kendali pasien yang ditekan 51 jam pasca operasi analgesia via pompa infus elastis habis Pasien diberikan Parasetamol 500 mg per oral 3x sehari selama perawatan Kateter femoral dilepas pada hari 3 pasca operasi lalu pasien dipulangkan pada hari kelima

Tujuan kendali mutu dengan target mobilisasi dini pasien dan juga penanggulangan nyeri yang memuaskan dapat dicapai dengan teknik analgesia berbasis blok nervus femoralis kontinu Morbiditas pasca operasi dapat dihindari dan pasien dapat dipulangkan dengan cepat

P-48

Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)

Vania Wiyanto M Andy Prihartono

Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) atau displasia bronkopulmonalis adalah suatu penyakit kongenital langka yang dapat menyebabkan kematian intrauterus dan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas bayi Manifestasi bermacam-macam mulai dari hanya membutuhkan oksigen ringan sampai depresi nafas yang berat Terapi yang disarankan adalah Torakotomi untuk reseksi kista

Obyektif Agar dapat mengatasi dapat melakukan penatalaksanan yang tepat pada kasus-kasus serupa sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pediatrik dengan kelainan kongenital pada paru-paru khususnya CCAM

Laporan Kasus Seorang anak perempuan berusia 1 tahun dengan diagnosis CCAM Tipe III yang direncanakan operasi Thorakotomi elektif Pasien diinduksi dengan Anestesi inhalasi

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Halothane 15 vol dengan O2 Air = 3 3 dengan teknik induksi nafas spontan Dilakukan pemasangan Infus dan diberikan medikasi dengan Fentanyl 2mcgKgBB Permasalahan pasien mengalami Apnea dan tidak dapat diventilasi sehingga pasien mengalami desaturasi dan bradikardia Intraoperatif pasien stabil namun pasien kembali mengalami desaturasi pada saat akhir anestesi yang diduga karena Light anestesi atau plak pada ETT sehingga diputuskan untuk dilakukan re-intubasi Pasien kemudian diretensi ETT dan masuk ke ICU dengan support ventilator minimal Setelah dilakukan weanning ventilator pasien diekstubasi Post ektubasi pasien diobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien baik dan keesokan harinya pasien dapat pindah ke ruangan

Kesimpulan Penatalaksanaan Anestesi yang tepat monitoring ketat dan penilaian pasien post operasi dapat memberikan hasil yang baik bagi pasien CCAM yang dilakukan thorakotomi dan eksisi kista

Kata kunci Anestesi CCAM

P-49

Perbandingan efek kecepatan injeksi 02 mldtk dan injeksi 04 mLdtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesaria

Iwan Setiawan Syafri K Arif Hisbullah

Bagian Anestesiologi Perawatan intensif dan Manajemen nyeriFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak

Latar belakang Anestesi spinal merupakan teknik yang popular digunakan dalam operasi seksio sesaria Perubahan fisiologis ibu dosis dan volume anestetik lokal yang digunakan meningkatkan resiko hipotensi 33 ndash 80 beberapa penelitian mengenai pencegahan hipotensi pascaanestesi spinal penelitian tentang kecepatan injeksi dilakukan dengan metode dan hasil yang bervariasi Hipotesis penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset blok anestesi

Metode penelitian 48 sampel yang masuk kriteria inklusi dipilih secara acak dibagi dalam dua kelompok anestesi spinal menggunakan bupivakain 05 10mg dan fentanyl 25mcg kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 04 mLdtk sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 02 mLdtk Insiden hipotensi onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisa statistik

Hasil penelitian Insiden hipotensi lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi lebih lambat 9 dari 24 sedangkan pada kelompok IC insiden hipotensi 21 dari 24 (IC 088+0338 IL 038+0495 P=0001) tidak ada perbedaan onset blok anestesi spinal antara kedua kelompok (IC 296+173 IL 362+166 P=0180) Insiden efek samping mual muntah depresi nafas dan kebutuhan efedrin lebih sedikit ditemukan pada kelompok injeksi 02 mLdtk

Kesimpulan Injeksi anestesi dengan kecepatan 02 mLdtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

P-50

Laporan KasusSpinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida Dengan Skoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio Lumbal

Warsito Andriani Wiwiek Prahastini Erawati

PPDS Ilmu Anestesi dan terapi Intensif FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar Staf Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr Soebandi Jember

Abstrak

PendahuluanSkoliosis merupakan suatu keadaan deviasi dalam aksis vertikal dari tulang vertebra

Skoliosis berat relatif jarang terjadi pada wanita hamil ( insiden 003 ) umumnya bersifat idiopatik Derajat keparahan ditentukan dengan sudut Cobb Lordosis merupakan suatu keadaan normal dimana terdapat kurvatura konkavitas anterior tulang vertebra ( normalnya pada vertebra cervikal dan lumbalis ) Pada wanita hamil lordosis lumbalis meningkat

Anestesi regional pada wanita hamil dengan kelaianan kurvatura vertebra memberikan tantangan bagi dokter anestesi

Laporan kasusPasien 26 tahun diagnosa primigravida usia kehamilan 40-41 minggu inpartu kala II

dengan CPD dan Scoliosis-lordosis berat vertebra lumbal serta jaringan parut luas di regio lumbal Tidak terdapat keluhan sesak saat beraktivitas gangguan motorik atau sensorik pada pasien ini Pasien dengan BB 60 kg dan TB 150 cm tekanan darah 13090 mmHg frekwensi nadi 88xmenit frekwensi nafas 18xmenit tanpa distres janin Pasien diputuskan seksio sesaria Pasien diposisikan lateral decubitus kiri Pasien diberikan spinal anestesi dengan teknik paramedian menggunakan jarum spinal 25G pada level Th12-L1 dengan regimen bupivakain 05 heavy 125 mg dan morfin 300 mcg Level sensorik tercapai di level Thorakal 6 dan operasi dimulai Durasi operasi 30 menit Hemodinamik pasien stabil dengan TD 100-11565-84 mmHg frekwensi nadi 68-75xmenit Total cairan yang diberikan RL 1500 ml Lahir bayi laki-laki berat badan lahir 2095 gram panjang badan 50cm dengan APGAR score 89 Paska operasi pasien tidak terdapat keluhan nyeri kepala dan nyeri luka operasi modalitas motorik dan sensorik dievaluasi 8 jam paska operasi normal Pasien dirawat diruangan selama 2 hari

DiskusiKelainan kurvatura vertebra umumnya diserta gangguan kardipulmonar dan gangguan

neuromuskular Perubahan anatomi dan fungsional tubuh pada gravida (edema saluran airway penurunan FRC gangguan pasase lambung) dengan kelainan kurvatura vertebra meningkatkan resiko kesulitan intubasi hipoksemia dan apirasi saat induksi anestesi umum dan juga resiko depresi neonatus Regional anestesi umumnya dipilih Kebutuhan dosis anestesi lokal sangat bervariasi pada kasus ini Larutan anestesi lokal hiperbarik akan terkumpul di bagian dependen dari tulang vertebra dan menyebabkan blok yang tidak adekuat

Pada kasus ini identifikasi ruang intervertebra lumbal sulit dilakukan Pemberian spinal anestesi dipilih karena tekniknya sederhana onset lebih cepat kualitas anestesi lebih baik dibandingkan anestesi epidural Umumnya spinal anestesi tidak dilakukan pada level diatas L2-3 untuk mencegah cedera pada medula spinalis Namun ruang intervertebra lumbal pasien

0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

ini sulit diidentifikasi dan sehingga dilakukan pada intervertebra Th12-L1 Jarum spinal yang digunakan berukuran 25G sehingga identifikasi ligametum flavum dan lapisan duramater lebih mudah dirasakan untuk menghindari cedera pada medula spinalis Pemberian adjuvan morphine intratekal dapat memberikan analgesia pada segmen atas yang mungkin tidak terjangkau akibat kelainan kurvatura vertebra dan juga memberikan efek analgesia sampai 24 jam paska operasi

Kesimpulan Dengan hati-hati pemberian spinal anestesi dapat dilakukan di ruang intervertebra di

atas L2-3 terutama pada kasus dimana ruang intervertebra lumbal tidak dapat diidentifikasi dengan baik

Kata Kunci spinal anestesi gravida scoliosis-lordosis berat Lumbal jaringan parut

P-51

Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop Fiberoptic

I Made Handawira Satya IGAG Utara Hartawan

Abstrak

PENDAHULUANSetiap bulannya didapatkan gt 10 kasus intubasi sulit yang menjalani pembedahan di

RSUP Sanglah Pengelolaan perioperatif pasien dengan kesulitan manajemen airway memiliki tantangan tersendiri dimana mengamankan jalan nafas adalah hal krusial yang pertama harus diatasi agar pembedahan bisa berjalan Teknik Intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan intubasi pada pasien-pasien dengan kesulitan aiway sebelum memilih teknik invasive

LAPORAN KASUSLaki-laki 50 tahun dengan Tumor Ginggiva suspek squamus cell carcinoma yang

menjalani pembedahan insisi biopsi dan bimanual palpasi dilakukan tindakan anestesi umum dengan teknik awake intubasi menggunakan fiberoptic bronchoscope Pasien di premedikasi dengan nebulizer lidocaine 2 100 mg (2mgkg) + salbutamol 25 mg(1 ampul) sulfas atropin 05 mg ( 001 mgkg) dexametason 10 mg(02 mgkg) co induksi dengan fentanyl 50 mcg(1 mcgkg) Saat onset obat tercapai dilakukan intubasi nasotracheal menggunakan ETT non kinking ukuran 60 via bronchoscope fiberoptic Sesaat sebelum insersi tube pasien diinduksi dengan propofol 100 mg (2mgkg) Saat intubasi dilakukan pasien sangat kooperatif (tidak ada reflek muntah dan batuk) dengan hemodinamik sebelum dan sesudah intubasi hampir sama(tanpa guncangan hemodinamik) nadi 70-80 xmnt tekanan darah sistolik 110-120xmnt diastolik 60-70xmnt

Operasi berlangsung 30 menit selama durante operasi didapatkan hemodinamik dengan nadi 60-82xmnt tekanan darah sistolik 100-135 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg dengan urine output 12 cckgjam

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar 10 - 13 Juni 2015

Ekstubasi segera sesudah operasi selesai Pasien sadar baik dengan alderete skor 10 Pain score di RR dengan VAS 0

DISKUSIPasien dengan tumor intraoral dengan permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi

dan juga resiko perdarahan yang sulit dihentikan apabila dilakukan manipulasi pada tumor membutuhkan teknik khusus dalam manajemen airway Teknik awake intubasi dengan intubasi nasotracheal dipilih karena 1 Pasien masih dalam kondisi sadar sehingga apabila intubasi gagal dilakukan airway masih aman 2 Teknik intubasi nasotracheal dengan bronchoscope fiberoptic dipilih karena untuk menghindari manipulasi pada tumor sehingga mencegah terjadinya perdarahan di jalan nafas yang dapat lebih mempersulit manajemen airway dan bahaya aspirasi

KESIMPULANPemahaman masalah perioperatif dan teknik operasi sangat diperlukan dalam pemilihan

teknik anestesi Teknik awake intubasi pada pasien dengan kesulitan airway menjadi pilihan untuk mencegah resiko kegagalan dalam mengelola airway yang dapat membahayakan pasienTeknik intubasi dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic memberikan kemudahan akses untuk melakukan visualisasi sampai ke trakhea sehingga dapat melakukan intubasi pada kasus kasus airway sulit Diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya kegagalan manajemen airway dan menurunkan resiko morbiditas tindakan operatif

REFERENCE

1 BUTTERWORTH JF MACKEY DC WASNICK JD (EDS) (2013) MORGAN amp MIKHAILrsquoS CLINICAL ANESTHESIOLOGY USA MCGRAW-HILL

2 MILLER RD (ED) (2009) MILLERrsquoS ANESTHESIA 7TH ED USA ELSEVIER

Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

Denpasar 10 - 13 Juni 2015

Page 7: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 8: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 9: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 10: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 11: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 12: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 13: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 14: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 15: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 16: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 17: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 18: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 19: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 20: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 21: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 22: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 23: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 24: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 25: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 26: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 27: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 28: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 29: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 30: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 31: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 32: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 33: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 34: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 35: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 36: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 37: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 38: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 39: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 40: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 41: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 42: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 43: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 44: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 45: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 46: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 47: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 48: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 49: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 50: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 51: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 52: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 53: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 54: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 55: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 56: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 57: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 58: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 59: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 60: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 61: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 62: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 63: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 64: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 65: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 66: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 67: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 68: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 69: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 70: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 71: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 72: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 73: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 74: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 75: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 76: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 77: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 78: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 79: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 80: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 81: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 82: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 83: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 84: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 85: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 86: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 87: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 88: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 89: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 90: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 91: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 92: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 93: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 94: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 95: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 96: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 97: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 98: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 99: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 100: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 101: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 102: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 103: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 104: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 105: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 106: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 107: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 108: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 109: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 110: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 111: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 112: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 113: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 114: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 115: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 116: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 117: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 118: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 119: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 120: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 121: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 122: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 123: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 124: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 125: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 126: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 127: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 128: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap
Page 129: KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana · Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan I Ketut Sinardja ... Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap