kti ardi rizal hidayat (01.210.6085)

Upload: hasan-maulana

Post on 13-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN KECACINGAN GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHSStudi Observasi Analitik pada Siswa Siswi Kelas IV-V di SDN 01 Bangsri Kabupaten Brebes

Karya Tulis IlmiahUntuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :Ardi Rizal Hidayat01.210.6085

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG2014

PRAKATA

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul Hubungan Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Kecacingan Golongan Soil Transmitted Helminths (Studi Observasi Analitik pada Siswa Siswi Kelas IV-V di SDN 01 Bangsri Kabupaten Brebes) .Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah ini dapat tersusun berkat bimbingan dan bantuan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :1. dr. Iwang Yusuf, M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang.2. Dr. dr. Imam D. Mashoedi, M.Kes.Epid, selaku pembimbing I dan dr. Ophi Indria Desanti, MPH, selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan, meluangkan waktu dan memberikan motivasi hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini. 3. dr. Menik Sahariyani, M.Sc, selaku penguji I dan dr. Hadi Sarosa, M.Kes, selaku penguji II yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.4. Kepala Sekolah SDN 01 Bangsri Kabupaten Brebes dan Kepala Laboratorium Parasitologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah memberi bantuan dan izin penelitian.5. Terimakasih untuk kedua orangtua saya H.Taufiq dan Hj.Jamilah yang telah memberikan doa dan dukungannya kepada saya, terimakasih kepada kakak-kakak dan adik saya yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada saya.6. Sahabat-sahabat terbaik penulis terutama Lina dan kelompok penelitian penulis : Bisri, Hernanda dan sahabat-sahabat Nigella Sativa 2010.7. Semua pihak yang mendukung penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan Karya Tulis ini.Wassalumuallaikum Wr.Wb

Semarang, 19 Maret 2014Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL iHALAMAN PENGESAHAN iiPRAKATA iiiDAFTAR ISI viDAFTAR TABEL xDAFTAR LAMPIRAN xiINTISARI xiiBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 11.2 Perumusan Masalah 31.3 Tujuan Penelitian 41.4 Manfaat Penelitian 5BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecacingan Golongan Soil Transmitted Helminths62.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)62.1.1.1 Klasifikasi62.1.1.2 Morfologi72.1.1.3 Siklus Hidup72.1.1.4 Gejala Klinis82.1.1.5 Diagnosis92.1.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichuria) 92.1.2.1 Klasifikasi92.1.2.2 Morfologi102.1.2.3 Siklus Hidup102.1.2.4 Gejala Klinis112.1.2.5 Diagnosis 122.1.3 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) 122.1.3.1 Klasifikasi122.1.3.2 Morfologi122.1.3.3 Siklus Hidup132.1.3.4 Gejala Klinis142.1.3.5 Diagnosis 152.1.4 Cacing Kremi (Strongyloides stercoralis)..................152.1.4.1 Klasifikasi152.1.4.2 Morfologi152.1.4.3 Gejala Klinis152.1.4.4 Siklus Hidup162.1.4.5 Diagnosis 192.1.5 Pemeriksaan Feses192.1.5.1 Pemeriksaan feses secara langsung202.1.5.2 Pemeriksaan feses secara tidak langsung212.2 Status Sosial Ekonomi242.2.1 Pengertian Status Sosial Ekonomi...242.2.2 Ruang Lingkup Status Sosial Ekonomi ... 242.3 Hubungan Status Sosial Ekonomi dengan Kecacingan.262.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian KecacinganSoil Transmitted Helminths.272.5 Kerangka Teori 312.6 Kerangka Konsep 322.7 Hipotesis 32BAB IIIMETODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian 333.2 Variabel dan Definisi Operasional 333.2.1 Variabel 333.2.2 Definisi Operasional ....... 333.3 Populasi dan Sampel 353.3.1 Populasi 353.3.2 Sampel 363.3.3 Cara Pengambilan Sampel 373.4 Instrumen Penelitian dan Bahan Penelitian 383.4.1 Data Primer383.4.2 Bahan dan Cara Kerja393.5 Cara Penelitian 403.5.1 Tahap Persiapan 403.5.2 Tahap Pelaksanaan413.6 Tempat dan Waktu Penelitian 443.7 Analisa Data 443.8 Analisis Hasil 44BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 464.2 Pembahasan 50BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 545.2 Saran 54DAFTAR PUSTAKA55LAMPIRAN 59

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Persentase Status Kecacingan Soil Trasmitted Helminths 47Tabel 4.2Persentase Jenis Soil Trasmitted Helminths 47Tabel 4.3Karakteristik Status Sosial Ekonomi48Tabel 4.4Hubungan Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan Golongan Soil Transmitted Helminths48

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian 59Lampiran 2. Hasil SPSS 64Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian 69Lampiran 4. Ethical Clearence 73Lampiran 5. Surat Keterangan Penelitian Laboratorium ParasitologiFakultas Kedokteran UNISSULA Semarang 74Lampiran 6. Surat Keterangan Penelitian SDN 01 BangsriKabupaten Brebes 76

INTISARI

Kecacingan merupakan masalah kesehatan di Indonesia, namun masalah ini kurang diperhatikan dikarenakan gejalanya yang asimtomatis. Angka kejadian di Indonesia cukup tinggi sekitar 60-70%, dan paling banyak menyerang pada anak-anak. Penyakit kecacingan erat kaitannya dengan kemiskinan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Sampel penelitian adalah siswa siswi kelas IV-V SDN 01 Bangsri Kabupaten Brerbes dengan jumlah 47 sampel. Pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk mengetahui keadaan status sosial ekonomi dan pemeriksaan feses yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Unissula Semarang untuk mengetahui siswa siswi yang kecacingan Soil Transmitted Helminths. Hasil penelitian didapatkan hasil uji yang tidak memenuhi syarat nilai harapan yaitu 0,05), pekerjaan ibu sebesar 0,726 (0,726>0,05), pendidikan orangtua sebesar 0,303 (0,303>0,05) dan pendapatan orangtua sebesar 1,0 (1,0>0,05). Jadi tidak ada hubungannya pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendidikan orangtua, pendapatan orangtua dengan kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths. Penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa status sosial ekonomi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths.

Kata kunci : Status Sosial Ekonomi, Kecacingan Soil Transmitted Helminths

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Infeksi kecacingan di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, namun masalah ini kurang diperhatikan karena penyakit ini bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis (Kurniawan, 2010). Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini ditransmisikan secara intensif (WHO, 2013). Hasil beberapa penelitian di Indonesia, didapatkan prevalensi penyakit kecacingan yang masih tinggi, yaitu berkisar antara 60-70% dan anak usia sekolah merupakan golongan yang paling sering terkena infeksi kecacingan karena aktivitasnya yang lebih sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004). Menurut kurniawan (2010), penyakit parasit disebut juga neglected tropical disease yang erat kaitannya dengan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2012 mencapai 28,59 juta orang. Di Jawa Tengah menduduki peringkat ke 10 penyumbang penduduk miskin di Indonesia (14,98%) (Badan Pusat Statistik, 2012). Maka perlu dilakukan lebih lanjut apakah status sosial ekonomi berhubungan dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths.Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit tersering di lingkungan masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian, karena penyakit kecacingan ini tidak langsung menyebabkan wabah secara tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban (Sudomo, 2008). Kecacingan juga dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar dapat mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan dan metabolisme makanan. Sehingga dapat menghambat kecerdasan, perkembangan fisik dan produktifitas kerja menurun. Keputusan Mentri Kesehatan NO 424 tahun 2006, menunjukan penduduk Indonesia kehilangan karbohidrat karena cacing gelang diperkirakan 110.880 kg karbohidrat/hari, kehilangan protein sekitar 27.720 kg/hari. Pada cacing tambang diperkirakan menghabiskan darah sekitar 220.000 liter darah/hari. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari sisi ekonomi (Sudomo 2008). Dalam penelitian Sumanto, (2008) status sosial ekonomi dibagi menjadi tiga faktor yaitu pendidikan orang tua, penghasilan orang tua dan pekerjaan orang tua. Dari ketiga faktor tersebut ternyata tidak ada hubungannya dengan kejadian cacing tambang, kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti hanya meneliti cacing tambang saja, hal ini berbeda pada penelitian Ginting (2003), menyatakan dalam penelitiannya di sekolah Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo ada hubungan antara kecacingan dengan pekerjaan ibu, tingkat kecacingan tertinggi pekerjaan ibu ialah ibu yang bekerja, serta kejadian kecacingan tertinggi pada sampelnya adalah pada anak sekolah yang orang tuanya berpendidikan SD. Penelitian Wiguna (2008), dari sampel penelitian paling banyak didapatkan keadaan keluarga sejahtera 2, sedangkan siswa yang terinfeksi cacing paling banyak pada status sosial ekonomi keluarga sejahtera 1 jadi terdapat hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi dengan infeksi Soil Transmitted Helminths.Berdasarkan pengamatan dan pencarian informasi yang dilakukan peneliti, data yang didapat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), (2011) di dareah Brebes angka harapan hidup (tahun) 67.96, angka melek huruf 86.15%, rata-rata lama sekolah (tahun) 5.72, pengeluaran perkapita 637.29 dan di daerah Brebes merupakan peringkat terakhir di Jawa Tengah dengan angka 68.61. Jadi dari IPM tersebut dapat disimpulkan didaerah Brebes status sosial ekonomi masyarakat disana termasuk dalam keadaan rendah. Berdasarkan info dari bapak Kepala sekolah SD Negeri 01 Bangsri orang tua dari murid pekerjaannya berbeda-beda ada yang bekerja sebagai petani, pedagang, guru, warteg dll. Dari berbagai macam pekerjaan yang orang tua murid dapat dikatakan pendidikan dan pendapatan orang tua muridpun berbeda-beda sesuai pekerjaan masng-masing. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat ditarik kesimpulan peneliti ingin meneliti didaerah Brebes dikarenakan keadaan IPM paling rendah di Jawa Tengah, penelitian ini sangat penting dikarenakan untuk mengatasi permasalahan infeksi kecacingan.1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan soil transmitted helminths pada Siswa Kelas IV-V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes.1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan umumSecara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan soil transmitted helminths pada Siswa Kelas IV-V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/20141.3.2 Tujuan khusus1.3.2.1 Mengetahui hubungan pekerjaan ayah dengan kejadian kecacingan Soil Transmited helminths pada siswa-siswi kelas IV-V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/20141.3.2.2 Mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian kecacingan Soil Transmited helminths pada siswa-siswi kelas IV-V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/20141.3.2.3 Mengetahui hubungan pendidikan orang tua dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV-V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/20141.3.2.4 Mengetahui hubungan pendapatan orang tua dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV-V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/2014 1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Manfaat TeoritisHasil penelitian ini dapat dijadikan pengembangan ilmu disemua bidang kedokteran dan sebagai informasi dibidang akademik.1.4.2 Manfaat PraktisMemberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan dan upaya pemberantasan serta pengendalian penyakit kecacingan soil transmited helminths.

74

1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Kecacingan golongan Soil Transmitted HelminthsKecacingan golongan Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang penularannya berhubungan dengan tanah. Jenis cacing golongan Soil Transmitted Helminths yang menyerang manusia adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostma duodenale, Trichuris trichiura, Necator americanus dan Strongyloides stercoralis (Gandahusada, 2004).Epidemiologi pada manusia terjadi dikarenakan tertelannya telur cacing yang mengandung larva infektif yang melalui makanan ataupun minuman yang tercemar. Sayuran mentahpun dapat menjadi salah satu media penularan infeksi cacing ini dikarenakan sayuran ini berasal dari pupuk kotoran manusia.Pencagahan penyakit ini adalah perbaikan sanitasi dan hygiene pribadi, dimana dapat menurunkan prevalensi secara signifikan (Widoyono, 2005).2.1.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)2.1.1.1 KlasifikasiKingdom: AnimaliaFilum : NemathelminthesKelas: NematodaSub-kelas: PhasmidaOrdo: RhabdidataSub-ordo: AscaridataFamili: AscarididaeGenus: AscarisSpesies: Ascaris lumbricoides(Irianto, 2009).2.1.1.2 MorfologiCacing dewasa bentuknya seperti cacing tanah, berwarna putih kecokelatan, berukuran panjang 10-31cm (jantan), 23-35cm (betina). Telur cacing berbentuk lonjong dan berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron. Dibagian terluarnya terdapat dinding telur yang permukaannya bergerigi, berwarna coklat karena menghisap zat warna empedu. Telur yang sudah di buahi (fertilized) berisi embrio tidak bersegmen (Soedarto, 2008).

Gambar 2.1 Telur Ascaris lumbricoides (Pasaribu, 2005)2.1.1.3 Siklus HidupProses penularan cacing ini di mulai dari :1. Telur yang dikelurkan oleh cacing melalui tinja2. Dalam lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi larva yang infektif didalam telur3. Apabila karena suatu sebab telur tersebut tertelan oleh manusia4. Maka didalam usus larva akan menetas5. Keluar dan menembus dinding usus halus menuju ke sistem peredaran darah, larva akan menuju ke paru6. Trakhea, faring dan tertelan masuk ke esofagus 7. Hingga sampai usus halus dan larva akan menjadi dewasa didalam usus halusPerjalanan ini berlangsung selama 65-70 hari (Widoyono, 2005).

Gambar 2.2 Siklus hidup Ascaris lumbricoides (Widoyono, 2005).2.1.1.4 Gejala KlinisSebagian besar penderita ascariasis kebanyakan asimtomatis, hanya saja gejala yang muncul disebabkan oleh migrasi larva dan cacing dewasa. Dalam siklus hidup ascaris paru-paru merupakan salah satu organ yang dilalui cacing ini, maka pasien akan mengeluhkan batuk dan sesak nafas (Widoyono, 2005).Gejala yang dapat disebabkan oleh cacing dewasa bervariasi kebanyakan terjadi obstruksi saluran cerna dikarenakan adanya volume cacing yang terlalu banyak yang kemudian menyumbat lumen usus (Soedarto, 2009). Kemudian cacing berjalan ke jaringan hati, sampai muntah cacing yang dapat menyumbat saluran nafas (Widoyono, 2005).2.1.1.5 DiagnosisCara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Ascariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat apabila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja (Gandahusada, 2006).Larva cacing Ascaris dapat ditemukan di dalam dahak penderita. Pemeriksaan darah menunjukan gambaran eosinofilia sampai 50% pada stadium awal ascariasis, sedangkan pada stadium akhir hanya sekitar 10% (Soedarto, 2009).2.1.2 Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)2.1.2.1 KlasifikasiKingdom: AnimaliaFilum : NemathelminthesKelas: NematodacvSub-kelas: AphasmidaOrdo: EnoplidaSuper famili: TrichuroideaFamili: TrichuridaeGenus: TrichurisSpesies: Trichuris trichiura(Irianto, 2009).2.1.2.2 MorfologiCacing berbentuk cambuk ini, yang jantan ukuran panjang tubuhnya sekitar 4cm dan cacing betina berukuran panjang 5cm. Bagian ekor cacing jantan melengkung ke arah ventral sedangkan cacing betina mempunyai bentuk membulat/tumpul seperti koma.Telur cacing ini khas seperti biji melon, berwarna coklat dan mempunyai dua kutub jernih yang menonjol (Soedarto, 2009).

Gambar 2.3Telur trichuris trichuria (Soedarto, 2009)2.1.2.3 Siklus hidup 1. Apabila menelan telur yang matang 2. Maka telur akan menetaskan larva dan akan berpenetrasi di mukosa usus halus selama 3-10 hari3. Selanjutnya larva akan bergera turun dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon ascendens4. Siklus ini membutuhkan waktu sekitar 3 bulan dari telur sampai cacing dewasa. Di dalam sekum telur dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Cacing akan meletakan telur pada sekum dan telur-telur ini keluar bersama tinja5 dan 6. Pada lingkungan yang kondusif, telur akan matang dalam waktu 2-4 minggu (Widoyono, 2005).

Gambar 2.4 Siklus hidup Trichuriasis (Widoyono, 2005)2.1.2.4 Gejala klinisInfeksi ringan menimbulkan gangguan pertumbuhan anak. Pada infeksi berat cacing ini menimbulkan diare berdarah dan nyeri perut, prolapsus rekti, tenesmus, anemia, clubbing fingger dan hipoproteinemia (Soedarto, 2009).2.1.2.5 DiagnosisHasil pemeriksaan dengan mikroskop diagnosis didapatkannya telur didalam tinja hospes (Widoyono, 2005). Rektoskopi dapat menunjukannya adanya cacing dewasa yang melekat pada mukosa usus. Pemeriksaan darah didapatkan eosinofilia (Soedarto, 2009).2.1.3 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus)2.1.3.1 KlasifikasiNecator americanus Kingdom: AnimaliaFilum : NemathelminthesKelas: NematodaSub-kelas: PhasmidaOrdo: StrongyloideaFamili: AncylostomatidaeGenus: NecatorSpesies: Necator americanusAncylostoma duodenalKingdom: AnimaliaFilum : NemathelminthesKelas: NematodaSub-kelas: PhasmidaOrdo: StrongyloideaFamili: AncylostomatidaeGenus : Ancylostoma Spesies: Ancylostoma duodenale (Irianto, 2009).2.1.3.2 MorfologiAda beberapa spesies cacing tambang yang penting dalam bidang medik, namun yang sering menginfeksi manusia ialah cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Hospes dari kedua cacing ini adalah manusia. Kedua cacing ini menyebabkan penyakit Nekatoriasis dan Ankilostomiasis. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan gigi yang melekat pada mukosa usus. Cacing dewasa berbentuk huruf S atau C dan dalam mulutnya terdapat sepasang gigi (Gandahusada dkk, 2006). Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing Necator americanus betina dapat bertelur 9.000 butir/hari sedangkan cacing Ancylostoma duodenale betina dapat bertelur 10.000 butir/hari (Pohan, 2006).2.1.3.3 Siklus Hidup1. Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam 1/3 atas usus halus. Kemudian keluar melalui tinja. Telur berkembang di tanah yang sesuai suhu dan kelembabannya2. Larva bentuk pertama adalah rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform3. Dari telur sampai filariform dibutuhkan waktu 5-10 hari4. Larva akan memasuki tubuh manusia bisa melalui kulit (telapak kaki, terutama untuk Necator Americanus) untuk masuk ke peredaran darah5. Selanjutnya larva akan ke paru-paru , naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian larva akan tertelan ke saluran pencernaanLarva dapat hidup di usus sampai 8 tahun dengan menghisap darah (1 cacing = 0,2ml/hari). Cara yang kedua selain masuk melalui kulit adalah larva tertelan terutama (Ancylostoma duodenale) dari makanan dan minuman yang tercemar. Cacing dewasa yang berasal dari larva yang tertelan tidak akan mengalami siklus paru. (Widoyono, 2005).

Gambar 2.5 Siklus hidup Hookworm (Widoyono, 2005).2.1.3.4 Gejala KlinisGejala yang diakibatkan oleh cacing ini adalah sebagai berikut:1 Stadium larva filariform : stadium larva menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch, perubahan pada paru-paru biasanya ringan.2 Stadium dewasa, tergantung pada spesies dan jumlah cacing pada penderita. Sifat cacing dewasa yang menghisap darah, berpindah-pindah dan bekas luka hisapannya yang terus mengeluarkan darah karena cacing ini mengeluarkan sejenis antikoagulan pada mukosa usus tempat mulutnya melekat sehingga dapat menyebabkan anemia (Gandahusada dkk, 2006).2.1.3.5 DiagnosisDiagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva (Gandahusada dkk, 2006).2.1.4 Cacing benang (Strongyloides stercoralis)2.1.4.1 KlasifikasiKingdom:AnimaliaPhylum:NematodaClass:SecernenteaOrdo:RhabditidaFamily:StrongyloididaeGenus:StrongyloidesSpecies :Strongyloides stercoralis(Gandahusada, 2004)2.1.4.2 MorfologiCacing ini berbentuk filiform, halus, tidak berwarna, berukuran kira-kira 2 mm. Pada umumnya yang terdapat pada manusia hanya cacing betina dewasa. Telurnya berbentuk lonjong, ukuran 50-58 x 30-34 mikron dan dindingnya tipis. Telur yang berada di mukosa menetas menjadi larva rabditiform kemudian masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja (Samidjo, 2002).

Gambar 2.6 Telur Strongyloides stercoralis (Gandahusada, 2004).2.1.4.3 Siklus hidupStrongyloides stercoralis mempunyai tiga macam daur hidup, yaitu: siklus langsung, siklus tidak langsung dan autoinfektif.Siklus langsung, larva labditiform berukuran kira-kira 225 x 16 mikron. Berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tubuh, masuk kedalam perdaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru-paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Cacing betina dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infektif.Siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitic. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, sedangkan cacing yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm dan mempunyai ekor melengkung dengan dua spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes baru, atau larva rabditiform tersebut dapat juga menguangi fase hidup bebas.Autoinfektif, larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filarifom di usus atau daerah perianal. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes (Gandahusada. S, 1998).

Gambar 2.7 Siklus hidup Strongyloides stercoralis (Gandahusada, 2004)2.1.4.4 Gejala klinisKelainan pada strongyloidiasis dapatbervariasi tergantung dari berat ringannya penyakit dan organ tubuh yang terkena. Pada beberapa orang tidak menunjukkan gejala sama sekali dan secara klinis hanya dijumpai eosinofilia. Berdasarkan siklus hidupnya maka organ tubuh yang dapat terkena adalah : kulit, paru paru dan usus.2.1.4.4.1 KulitPada penetrasi kulit reaksi yang timbul adalah rasa gatal dan eritema, jika larva yangmenembus kulit jumlahnya banyak maka akan menimbulkan creeping eruption dan rasa gatal yang sangat hebat (Goh SK et all, 2004).2.1.4.4.2 Paru-paruMigrasi larva ke paru paru dapat merangsang timbulnya gejala tergantung dari banyaknya larva yang ada dan intensitas respon imunnya. Ada yang asimptomatis ada yang sampai pneumonia (Goh SK et all, 2004).2.1.4.4.3 Usus ( Gastrointestinal symptom )Gejala pada saluran pencernaan antara lain : anoreksia, berat badan menurun, muntah, diare kronik, konstpasi, terkadang terjadi obstruksi pada usus.Pada infeksi yang berat akan terjadi kerusakkan mukosa usus, gejala dapat berupa ulkus peptikum. Dari infeksi yang kronik bebeapa kasus dapat berlangsung hingga 30 tahun sebagai akibat kemampuan larvanya untuk melakukan autoinfeksi (Goh SK et all, 2004).2.1.4.4.4 SarafGejala gejala meningitis sering dijumpai (Goh SK et all, 2004).2.1.4.4.5 ReproduksiAda kasus yang dilaporkan bahwa ditemukannya larva strongyloides padasperma sesorang yang menderita infertile (Goh SK et all, 2004).2.1.4.5 DiagnosisPada diagnosis klinis tidak pasti karena strongyloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti adalah ditemukannya larva di dalam feses (Carpenter, 2006).2.1.5 Pemeriksaan Feses2.1.5.1 Pemeriksaan Feses Secara LangsungPemeriksaan ini bisa digunakan untuk mencari telur dan larva cacingAlat dan sarana :1. Feses yang diperiksa2. Lidi 15-25 cm3. Kaca benda (object glass)4. Kaca tutup (deck glass)5. Pipet dengan karet penghisap6. Air7. Larutan eosin 2%8. MikroskopCara kerja1. Letakan setetes eosin diatas kaca benda2. Ambil sedikit feses kurang lebih 1 mm3 dengan lidi3. Hancurkan feses dengan cara mengaduk dengan lidi diatas kaca benda sehingga menjadi suspensi homogen. Bila terdapat bahan yang kasar seperti sisa makanan, pasir dan sebagainya harus dikeluarkan dengan lidi4. Kemudian ditutup dengan kaca penutup, usahakan supaya cairan merata dibawah kaca penutup tanpa ada gelembung udara5. Periksa dengan mikroskop (pembesaran lemah : lensa obyek10x) dan kondensor diturunkan atau diafragma dikecilkan.Maksud: Menemukan telur cacing parasit pada feces yang diperiksa.Tujuan: Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang diperiksa fecesnya.Dasar teori: eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan kotoran yang ada.Kekurangan: dilakukan hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit terditeksi.Kelebihan: mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit.2.1.5.2 Pemeriksaan Feses Secara Tidak LangsungPemeriksaan ini hanya untuk melihat telur cacing2.1.5.2.1 Cara pengendapan (sedimentasi)Alat dan sarana :1. Feses yang diperiksa2. Lidi 15-25 cm3. Kaca benda (object glass)4. Kaca tutup (deck glass)5. Pipet dengan karet penghisap6. Tabung sentrifuge7. Sentrifuge8. Beker glass 250 cc9. Aquadestilata10. MikroskopCara kerja :1. Masukan feses kurang lebih 2 cc / 1 gram kedalam beker glass2. Hancurkan feses dengan cara mengaduk dengan lidi sambil diberi aquadestilata sedikit demi sedikit sehingga menjadi suspensi3. Masukan suspensi kedalam tabung sentrifuge (3/4 3/5) lalu difusngkan dengan kecepatan standar selama 10-15 menit4. Buang filtratnya sehingga timbul supernatant5. Ambil 1 tetes supernatant, letakan diatas kaca benda, bila perlu ditambahkan eosin6. Tutup dengan kaca penutup7. Periksa dengan mikroskop (pembesaran lemah : lensa obyek 10x)Kelemahan mendasar teknik sedimentasi adalah bahwa pemeriksaan sedimen sering sulit karena banyaknyapuing-puingfesesyang mungkin menutupi keberadaan parasit.2.1.5.2.2 Cara pengapungan (floatasi) Alat dan sarana :1. feses yang diperiksa2. Lidi 15-25 cm3. Kaca benda (object glass)4. Kaca tutup (deck glass)5. Pipet dengan karet penghisap6. Tabung reaksi7. Rak tabung8. Gelas kimia9. Aquadestilata10. Larutan NaCl jenuh (BJ=1,200)11. Larutan eosin12. MikroskopCara kerja1. masukan feses kira-kira 2 cc / 1 gram kedalam beker glass2. Hancurkan feses dengan cara mengaduk dengan lidi sambil diberi aquadestilata sedikit demi sedikit sehingga menjadi suspensi3. Tambahkan NaCl jenuh kedalam tabung reaksi perlahan-lahan sampai penuh/menjelang luber (sampai permukaan air tampak cembung)4. Tutup dengan kaca penutup hingga permukaan suspensei menyentuh permukaan bawah kaca penutup5. Diamkan kurang lebih 30-4 menit6. Kemudian kaca penutup diambil dan diletakan diatas kaca benda (bila perlu diberi eosin)7. Sediaan diperiksa dengan mikroskop (pembesaran lemah : lensa obyek 10x)Maksud: Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.Tujuan: Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa fecesnya.Dasar teori: Berat jenis NaCl jenuh lebih berat dari berat jenis telur.Kekurangan: penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagiKelebihan: dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas (Sahariyani dkk, 2010).2.2 Status sosial Ekonomi2.2.1 Pengertian status sosial ekonomiStatus artinya posisi dalam suatu hierarkhi, atau suatu wadah bagi hak dan kewajiban, atau aspek statis dari peranan, atau prestise yang dikaitkan dengan suatu posisi, atau jumlah peranan ideal dari seseorang (Soekanto, 1983).Status sosial artinya prestise umum dari seseorang dalam masyarakat (Soekanto, 1983).Status sosial ekonomi adalah ukuran gabungan dari posisi ekonomi dan sosial individu atau keluarga yang relatif terhadap orang lain, berdasarkan dari pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan (Govt Of Pakistan, 2008).2.2.2 Ruang Lingkup Status Sosial Ekonomi 2.2.2.1 Pekerjaan Pekerjaan adalah suatu rangkaian tugas yang dirancang untuk dikerjakan oleh satu orang dan sebagai imbalan diberi upah dan gaji menurut kualifikasi dan berat ringannya pekerjaan tersebut (BPS, 2002).Secara kultural sudah dibagi antara tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki tanggung jawab domestik, sedangkan laki-laki memiliki tanggungjawab sebagai pencari nafkah.Menurut Aniswati, (2000) perempuan merupakan faktor penting dalam perkembangan ekonomi keluarga. Perempuan adalah sumber tenaga kerja yang potensial terlebih lagi jika kelebihan kuantitas yang sudah ada diikuti peningkatan kualitasnya. Memperkirakan beberapa masa yang akan datang perempuan akan menjadi idola dalam perkembangan ekonomi di Indonesia.2.2.2.2 Pendidikan Menurut penelitian Yuniarta (2011), tingkat pendidikan dibagi menjadi dua yaitu pendidikan tinggi dan rendah. Pendidikan tinggi adalah SMA, diploma, sarjana, akademi, magister, spesialis, doktor. Pendidian rendah adalah SD, SMP.Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Gunatmaningsih, 2007). Ginting (2003), menemukan bahwa kejadian kecacingan tertinggi pada anak sekolah di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo adalah pada anak sekolah yang orang tuanya berpendidikan SD. Kejadian infeksi yang lebih kecil ditemukan pada anak sekolah yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik.2.2.2.3 Pendapatan Menurut surat keputusan Gubernur Jawa Tengah, (2012) upah minimum yang ditetapkan di daerah Kabupaten Brebes pada tahun 2013 sebesar Rp.859.000,-.Menurut Badan Pusat Statistik, (2012) masyarakat di kelompokan menjadi dua yaitu masyarakat miskin dan tidak miskin, yang di maksud miskin adalah masyarakat yang pengeluarannya di bawah pengeluaran perkapita, pada bulan September 2012 perkapita perbulan adalah Rp.259,520,-.2.3 Hubungan Status Sosial Ekonomi dengan KecacinganDi Negara kaya dan maju banyak penyakit parasit yang dapat diberantas, sebaliknya pada Negara miskin dan terbelakang memperlihatkan prevalensi parasit yang lebih tinggi. (Onggowaluyo, 2001)Infeksi cacing tambang juga berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Hotez, (2008) semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing tambang. Jenis pekerjaan orang tua khususnya ibu ternyata berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan. Di Sumatera Utara, ibu yang memiliki pekerjaan sebagai petani berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan pada anak. Peran yang besar pada ibu dalam pengasuhan anak tampak memberikan peluang cukup besar terjadinya proses penularan dari ibu ke anak. Manakala ibu kurang memperhatikan kebersihan diri dalam kehidupan sehari-hari sementara pekerjaan selalu kontak dengan tanah maka anak yang berada dalam asuhannya berpeluang cukup besar untuk terinfeksi penyakit kecacingan dan pekerjaan sebagai petani termasuk dalam pekerjaan dengan tingkat status sosial ekonomi yang rendah karena bayarannya yang rendah sehingga kualitas kesejahteraan keluarganyapun rendah (Ginting, 2003).Ginting (2003), menemukan bahwa kejadian kecacingan tertinggi pada anak sekolah di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo adalah pada anak sekolah yang orang tuanya berpendidikan SD. Kejadian infeksi yang lebih kecil ditemukan pada anak sekolah yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi KecacinganFaktor-faktor yang menunjang berkembangnya Soil Transmitted di Indonesia, antara lain karena iklim tropis yang lembab, higiene yang buruk, sanitasi yang kurang baik dan status sosial ekonomi yang rendah (Natadisastra dkk, 2005).2.4.1 Faktor IklimFaktor iklim ini cukup berpengaruh dalam perkembangbiakan cacing, dikarenakan cacing lebih suka dalam keadaan cuaca yang lembab dan panas. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia timur. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini ditransmisikan secara intensif, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan (WHO, 2013).2.4.2 Hygiene PeroranganHygiene perorangan adalah upaya seseorang untuk memelihara derajat kesehatannya (Entjang, 2001). Kuku yang terawat dan bersih akan mengurangi melekatnya kotoran atau mikroorganisme antara lain bakteri dan telur cacing lain yang menempel di kuku, hygiene perorangan juga mencangkup kuku yang kotor, tangan yang kotor, bermain di tanah tanpa alas kaki yang kemungkinan terselipnya telur cacing dan akan tertelan ketika makan, hal ini juga sangat di perparah ketika tangan kotor penderita tidak cuci tangan menggunakan sabun. (Onggowaluyo, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Texanto, (2008), didapatkan hasil yang bermakna anatara keadaan status hygiene dengan kejadian kecacingan karena dari sampel penelitian yang didapatkan keadaan status hygiene yang kurang adalah 4 anak yang terinfeksi dari 11 anak, sedangkan pada sampel penelitian yang keadaan hygienenya baik didapatkan 2 anak, yang positif terkena infeksi kecacingan.

2.4.3 Sanitasi LingkunganSanitasi lingkungan dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar kondisi lingkungan yang mendasar serta mempengaruhi kesejahteraan manusia. Dari defenisi tersebut, tampak bahwa sanitasi lingkungan ditujukan untuk memenuhi persyaratan lingkungan yang sehat dan nyaman. Lingkungan yang sanitasinya buruk dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Pada akhirnya jika kesehatan terganggu, maka kesejahteraan juga akan berkurang. Karena itu upaya sanitasi lingkungan menjadi penting dalam meningkatkan kesejahteraan (Setiawan, 2008). Pada penelitian Endriani, 2010 Sanitasi lingkungan dibagi beberapa faktor mencangkup ketersediaan air bersih, kepemilikan jamban dan lantai rumah.Syarat rumah yang sehat adalah jenis lantai rumahnya tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai rumah dari tanah agar tidak berdebu maka perlu dilakukan penyiraman air kemudian dipadatkan. Dari segi kesehatan, lantai ubin atau semen merupakan lantai yang baik sedangkan lantai rumah dipedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Apabila perilaku penghuni rumah tidak sesuai dengan norma-norma kesehatan seperti tidak membersihkan lantai dengan baik, maka akan menyebabkan terjadinya penularan penyakit (Notoatmodjo, 2003).Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.416/MenKes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak, air yang layak dikonsumsi dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air yang mempunyai kualitas baik sebagai sumber air minum maupun air baku (air bersih), antara lain harus memenuhi syarat secara fisik, yaitu tidak berbau, tidak berasa serta tidak berwarna (jernih) (Permenkes RI, 1990).Menurut Departemen Kesehatan RI (2007), terdapat beberapa syarat Jamban Sehat, yaitu :a. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampung minimal 10 meter).b. Tidak berbau.c. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.d. Tidak mencemari tanah disekitarnya.e. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.f. Dilengkapi dinding dan atap pelindung.g. Penerangan dan ventilasi cukup.h. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai.i. Tersedia air, sabun dan alat pembersih.

2.5 Kerangka TeoriDengan dilihat teori- teori diatas, maka dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut :

Status Sosial EkonomiPendidikan orang tuaPekerjaan orang tuaPendapatan orang tuaKecacingan golongan SOIL TRANSMITTED HELMINTHSIklimHygiene PeroranganSanitasi lingkunganKesejahteraan keluarga

Kecacingan golongan soil transmitted helminthsStatus Sosial Ekonomi2.6 kerangka konsep

2.7 Hipotesis2.7.1 Ada hubungan antara pekerjaan ayah dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/2014.2.7.2 Ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/2014.2.7.3 Ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/2014.2.7.4 Ada hubungan antara pendapatan orang tua dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes tahun ajaran 2013/2014.6BAB IIIMETODE PENELITIAN3.1 Jenis dan Rancangan PenelitianJenis penelitian adalah observasional analitik yaitu dengan pendekatan cross sectional3.2 Variabel dan Definisi Operasional3.2.1 Variabel penelitian1. Variabel bebas : Status sosial ekonomi2. Variabel tergantung : Kecacingan golongan soil transmitted helminths3. Variabel terkendali: Iklim, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan3.2.2 Definisi Operasional3.2.2.1 Pendidikan Orang TuaPendidikan orang tua adalah suatu tingkatan pendidikan formal yang telah dicapai, pendidikan orang tua, dikategorikan menjadi : Pendidikan tinggi, apabila pendidikan ayah dan ibu lulusan SMA atau lebih pendidikan rendah, apabila salah satu diantara pendidikan ayah dan ibu lulusan SMA kebawah (tidak sekolah, SD, SMP) Skala : Nominal3.2.2.2 Pekerjaan ayahPekerjaan adalah suatu rangkaian tugas yang dirancang untuk dikerjakan oleh satu orang dan sebagai imbalan diberi upah dan gaji menurut kualifikasi dan berat ringannya pekerjaan tersebut (BPS, 2002)Kategori : Ayah bekerja Ayah tidak bekerjaSkala : nominal3.2.2.3 Pekerjaan IbuPekerjaan adalah suatu rangkaian tugas yang dirancang untuk dikerjakan oleh satu orang dan sebagai imbalan diberi upah dan gaji menurut kualifikasi dan berat ringannya pekerjaan tersebut (BPS, 2002)Kategori : Ibu bekerja Ibu tidak bekerjaSkala : nominal3.2.2.4 Pendapatan Orang TuaUpah minimum Kabupaten Brebes pada tahun 2013 adalah Rp.859.000,- Dikatakan keluarga pendapatan tinggi jika penedapatan yang didapatkan perbulan lebih atau sama dengan Rp.859.000,- Dikatakan keluarga pendapatan rendah jika pendapatan perbulan kurang dari Rp.859.000,-Skala : Nominal3.2.2.5 Kecacingan golongan soil transmitted helminthsPenyakit kecacingan disini peneliti hanya mengukur cacing golongan Soil Transmitted Helminths yaitu Ascaris Lumbricoides, Trichuris Trichiura, Ancilostoma Duodenale atau Necator Americanus, dan Strongyloides stercorali. Dengan pemeriksaan mikroskop metode langsung. Dikatakan YA jika didapatkan telur dari cacing golongan Soil Transmitted Helminths tersebut didalam fesesnya Dikatakan TIDAK jika tidak didapatkan telur golongan Soil Transmitted Helminths tersebut didalam fesesnyaSkala : Nominal3.3 Populasi dan Sampel3.3.1 PopulasiPopulasi target pada penelitian ini adalah semua siswa siswi sekolah dasar di Desa Bangsri Kabupaten Brebes, sedangkan populasi terjangkaunya adalah siswa siswi kelas IV-V A SDN 01 Bangsri Kabupaten Brebes Tahun Ajaran 2013/2014. Berdasarkan keterangan kepala sekolah bersangkutan menjelaskan untuk siswa siswi kelas IV A berjumlah 29 anak dan kelas V A berjumlah 30 anak. Total jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 59 anak.3.3.2 SampelSampel diambil dari total populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. 3.3.2.1 Kriteria Inklusi 3.3.2.1.1 Bersedia menjadi sampel penelitian3.3.2.1.2 Penduduk yang bertempat tinggal disekitar wilayah SD 1 Bangsri3.3.2.1.3 Bersedia mengumpulkan kuesioner dan feses3.3.2.2 Kriteria Eksklusi3.3.2.2.1 Megkonsumsi obat cacing dalam 3 bulan terakhir3.3.2.2.2 Sampel yang sakit atau absen pada saat pengambilan data3.3.2.3 Kriteria Drop OutResponden tidak mengumpulkan kuesioner dan botol feses dalam waktu 3 hari setelah pemberian awal kuesioner dan botol feses.3.3.2.4 Teknik Sampling3.3.2.4.1 Besar sampelPada penelitian ini untuk mendapatkan besar sampel menggunakan rumus berikut ini :

dibulatkan menjadi 36 anakKeterangan : n : Besar Sampel yang diperlukan Z 1-/2 : Nilai Z pada derajat kepercayaan 1- /2 (1,96) P : Proporsi hal yang diteliti (0,6) d : Presisi (10% ) N : Jumlah populasi Berdasarkan rumus diatas maka didapatkan besar sampel sebanyak 36 anak.3.3.3 Cara pengambilan sampelPengambilan sampel yaitu dengan purposive sampling.

3.4 Instrumen Penelitian dan Bahan Penelitian3.4.1 Data Primer3.1.3.1 KuesionerKuesioner dibagikan kepada semua orang tua/wali murid kelas IV dan V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes untuk diisi.3.1.3.2 Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan ini akan di lakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Umum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, di penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah ada telur, larva ataupun cacing golongan Soil Transmitted Helmintsh dengan cara pemeriksaan feses dengan menggunakan mikroskop metode langsung dikarenakan mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit.3.1.3.3 Uji Validitas dan RealibilitasUntuk mengetahui hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths (STH) pada siswa siswi kelas IV-V SDN 1 Bangsri Kabupaten Brebes dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas terlebih dahulu.Hasil uji validitas dan realibitas kuesioner kecacingan didapatkan valid dan reliabel. Dikatakan valid jika nilai corrected item total correlation>0,374, dikatakan reliabel jika nilai Cronbachalpha >0,6. Pertanyaan 1 didapatkan (0,502>0,374), pertanyaan 2 (0,717>0,374), pertanyaan 3 (0,424>0,374), pertanyaan 4 (0,456>0,364) jadi semua item pertanyaan kecacingan valid. Dari ke-4 item pertanyaan nilai Cronbachs Alpha 0,729 (0,729>0,6) jadi pertanyaan kecacingan reliabel.3.4.2 Bahan dan Cara Kerja3.4.2.1 BahanBahan yang digunakan dalam pemeriksaan mikroskopis metode langsung adalah :1. Feses yang di periksa2. Lidi 15 -25 cm3. Kaca benda (object glass)4. Kaca tutup (deck glass)5. Pipet dengan karet penghisap6. Air 7. Larutan eosin 2%8. Mikroskop 3.4.2.2 Cara Kerja1 Letakan setetes eosin di atas kaca benda2 Ambil sedikit feses kurang lebih 1 mm3dengan lidi3 Hancurkan feses dengan cara mengaduk dengan lidi di atas kaca benda sehingga menjadi suspense homogen. Bila terdapat bahan yang kasar seperti sisa makanan, pasir dan sebagainya harus dikeluarkan dengan lidi4 Kemudian di tutup dengan deck glass, usahakan agar cairannya merata dan tidak ada gelembung udara5 Periksa dengan mikroskop (pembesaran lensa lemah : lensa obyek 10 x) dan kondensor diturunkan atau diafragma dikecilkan6 Diamati dengan cara zig-zag dan dilakukan dengan pengamatan 4 lapang pandang7 Setiap ada telur cacing yang teridentifikasi dicatat dan diidentifikasi jenis cacingnya3.5 Cara Penelitian Penelitian ini dilakukan peneliti dengan cara berikut :3.5.1 Tahap Persiapan3.5.1.1 Pembuatan proposal sekaligus menentukan lokasi penelitian yaitu SDN 1 Bangsri Kabupaten Brebes dan dilanjutkan dengan ujian proposal3.5.1.2 Melakukan kunjungan awal ke lokasi penelitian untuk melaporkan rencana penelitian dan sistematisasi jalannya penelitian sekaligus meminta ijin kepada kepala sekolah untuk ketersediaan dilakukannya penelitian pada siswa siswi kelas IV-V SDN 1 Bangsri Kabupaten Brebes3.5.1.3 Pertemuan peneliti dengan tim laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Unissula Semarang untuk membantu pemeriksaan sampel penelitian3.5.1.4 Membuat kuesioner yang telah di uji validitas dan reliabilitasnya3.5.1.5 Mempersiapkan bahan dan alat yang digunakan selama penelitian3.5.2 Tahap Pelaksanaan3.5.2.1 Menentukan populasi penelitian yaitu dengan mengambil data mengenai nama dan kelas serta alamat rumah responden3.5.2.2 Meminta persetujuan kepada responden yang bersangkutan atau kepada orangtua responden tentang maksud dan tujuan penelitian3.5.2.3 Memberikan botol feses yang telah diisi formalin 5% sebanyak 10cc yang disertai identitas berupa nama dan kelas3.5.2.4 Pembagian dan penjelasan kuesioner kepada responden atau langsung kepada orangtua responden3.5.2.5 Mengambil kuesioner dan botol feses, bila tidak diberikan pada hari yang telah ditentukan peneliti akan menunggu sampai tiga hari, apabila masih belum diberikan maka peneliti akan menyatakan sampel tersebut menjadi kriteria drop out3.5.2.6 Melakukan pemeriksaan feses di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Unissula Semarang dengan menggunakan metode langsung untuk mengetahui ada tidaknya cacing Soil Transmitted Helminths.

Alur PenelitianPenelitianPersiapanPengambilan kuesioner dan tabung penampung fesesPemberian kuesioner dan tabung penampung feses di tempat penelitianPenyerahan dan pemeriksaan sampel feses di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UNISSULA SemarangPembuatan proposal penelitianMeminta persetujuan penelitian di tempat penelitianMeminta persetujuan pemeriksaan feses di Laboratorium Parasitologi FK UNISSULAAnalisa hasil penelitian1 hariDikembalikanTidak dikembalikanTidak dikembalikanTunggu tiga hariDikembalikanKriteria drop out3.6 Tempat dan Waktu3.6.1 TempatPenelitian dilakukan di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes kelas IV dan V3.6.2 WaktuPenelitian dilakukan pada bulan Januari 20143.7 Analisis DataData yang sudah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan dengan langkah-langkah berikut :1. Editing: Melakukan pemeriksaan kembali apakah data yang diperoleh dan kuesioner sudah lengkap.2. Coding: Dengan cara pemberian kode atau angka untuk memudahkan pengolahan data3. Entry data: Proses memasukkan data ke dalam komputer untuk dilakukan pengolahan data sesuai kriteria.4. Tabulating: Kegiatan mengelompokkan data-data hasil penelitian yang selanjutnya dimasukkan ke data table.Selanjutnya data dapat dilaporkan dalam bentuk KTI.3.8 Analisis Hasil3.8.1 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas (pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, pendidikan orang tua) dengan variabel terikat (infeksi kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths) masing-masing data variabel dengan cross tab (tabulasi silang). Dianalisis dengan uji statistik Chi Square dengan syarat nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel, jika tidak tepenuhi maka digunakan uji alternatif Fisher.

33BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil penelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes.Untuk mengetahui kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi kelas IV dan V, peneliti melakukan pemeriksaan feses secara langsung dengan ditemukannya telur atau cacing golongan Soil Transmitted Helminths pada feses siswa-siswi kelas IV dan V, Sedangkan untuk mengetahui status sosial ekonomi pada siswa-siswi kelas IV dan V peneliti membagi kuesioner pada setiap orangtua siswa-siswi kelas IV-V.Penelitian ini dilakukan pada siswa-siswi kelas IV dan V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes sebanyak 59 total populasi, dikarenakan siswa-siswi ada yang tidak mengumpulkan pot feses dan kuesioner sebanyak 12 siswa jadi total sampel yang didapatkan sejumlah 47 sampel. Total sampel tersebut dilakukan pemeriksaan feses dan ditemukan 13 siswa yang positif terdapat telur golongan Soil Transmitted Helminths.4.1.1 Kecacingan Golongan Soil Transmitted Helminths (STH)Persentase siswa-siswi yang mengalami kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths pada kelas IV-V SD Negeri 1 Bangsri Kabupaten Brebes seperti terlihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Persentase status kecacingan Soil Transmitted HelminthsStatus kecacinganFrekuensi%

Kecacingan1327,66

Bukan kecacingan3472,34

Total47100

Sumber: Data primer januari 2014 Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan 72,34% siswa yang tidak terkena kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths dari total 47 siswa-siswi. Persentase jenis kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths dari 13 siswa yang terkena kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths seperti terlihat pada tabel 4.2Tabel 4.2 Persentase jenis kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted HelminthsFrekuensi%

Ascaris lumbricoides430,76

Cacing tambang753,84

T.Trichuria215,40

Total13100

Sumber: Data primer 2014Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan siswa yang paling banyak terkena kecacingan adalah golongan cacing tambang sebanyak 53,84%.4.1.2 Karakteristik Status Sosial EkonomiKarakteristik status sosial ekonomi pada siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri 01 Bangsri dapat dilihat di tabel 4.3.

Tabel 4.3. Karakteristik Status Sosial EkonomiKarakteristikFrekuensi%

Pekerjaan AyahBekerjaTidak bekerja42589,3610,64

Pekerjaan IbuBekerjaTidak Bekerja143329,870,2

Pendidikan OrangtuaSMA atau lebihKurang dari SMA54210,6389,37

Pendapatan Orangtua Rp859.000,-44393,626,38

Sumber: Data Primer 2014Hasil tabel 4.3 didapatkan ayah yang bekerja sejumlah 42 sampel (89,36%) dan yang tidak bekerja sejumlah 5 sampel (10,64%). Ibu yang bekerja sebanyak 14 sampel (29,8%) dan yang tidak bekerja 33 sampel (70,2%). Pendidikan orangtua yang tinggi sebanyak 5 sampel (10,63%) dan orangtua yang berpendidikan rendah sebanyak 42 sampel (89,37%). Orangtua yang berpendapatan tinggi sebanyak 44 sampel (93,62%) dan yang rendah sebanyak 3 sampel (6,38%).

4.1.3 Hubungan Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan Golongan Soil Transmitted HelminthsTabel 4.4 Hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted HelminthsStatus Sosial EkonomiPositif KecacinganNegatif KecacinganP-Value

Pekerjaan AyahBekerjaTidak bekerja13 (27,6%)0 (0%)29 (61,7%)5 (10,7)0,303

Pekerjaan IbuBekerjaTidak bekerja3 (6,4)10 (21,2)11 (23,5)23 (48,9)0,726

Pendidikan OrangtuaSMA atau lebihKurang dari SMA0 (0%)13 (27,6%)5 (10,6%)29 (61,8%)0,303

Pendapatan OrangtuaTinggiRendah1 (2,1%)12 (25,6%)2 (4,2%)32 (68,1%)1,0

Sumber: Data Primer 2014Dilihat Tabel 4.4 didapatkan persentase terbesar dalam pekerjaan ayah adalah ayah yang bekerja dan negatif terkena kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths (61,7%). Hasil uji statistik pekerjaan ayah dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths menggunakan uji Fishers Exact Test dengan nilai p 0,303 (0,303>0,005) jadi tidak ada hubungannya antara pekerjaan ayah dengan kejadian penyakit kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths.Persentase terbesar dalam pekerjaan ibu adalah ibu yang tidak bekerja dan negatif terkena kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths (48,9%). Hasil uji statistik pekerjaan ibu dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths menggunakan uji Fishers Exact Test dengan nilai p 0,726 (0,726>0,005) jadi tidak ada hubungannya antara pekerjaan ibu dengan kejadian penyakit kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths.Persentase terbesar dalam pendidikan orangtua adalah pendidikan yang kurang dari SMA dan negatif terkena kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths (61,8%). Hasil uji statistik pendidikan orangtua dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths menggunakan uji Fishers Exact Test dengan nilai p 0,303 (0,303>0,005) jadi tidak ada hubungannya antara pendidikan orangtua dengan kejadian penyakit kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths.Persentase terbesar dalam pendapatan orangtua adalah orangtua yang berpendapatannya rendah dan negatif terkena kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths (68,1%). Hasil uji statistik pendapatan orangtua dengan kejadian kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths menggunakan uji Fishers Exact Test dengan nilai p 1,0 (1,0>0,005) jadi tidak ada hubungannya antara pendapatan orangtua dengan kejadian penyakit kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths.4.2PembahasanHasil uji statistik menggunakan uji alternatif yaitu Fishers Exact Test dan didapatkan hasil p-value pekerjaan ayah sebesar 0,303 lebih besar dari 0,05 (0,303>0,05), pekerjaan ibu sebesar 0,726 lebih besar dari 0,05 (0,726>0,05), pendidikan orangtua sebesar 0,303 lebih besar dari 0,05 (0,303>0,05) dan pendapatan orangtua sebesar 1,0 lebih besar dari 0,05 (1,0>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan kecacingan golongan Soil Transmitted Helminths. Keadaan status sosial ekonomi pada sampel penelitian memang dalam keadaan yang buruk seperti didapatkan 42 orangtua yang berpendidikan kurang dari SMA, 44 orangtua yang berpendapatan