kmb ( pakudin )

24
MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DOSEN PENGAJAR : SYAIFUDDIN,S.Kep,Ns, M.Kes. K U S T A O L E H KELOMPOK III : AHMAD HAERUL AINUL MAFRISA AISYAH NURLIANA R AKBAR ALWAN AMASAE AMELIA FRANSISCA ANAS ANDI AHDANIAR ANDI AMALIA S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NANI HASANUDDIN MAKASSAR 2012

Upload: andi-anna-octaviana

Post on 05-Jul-2015

1.871 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kmb ( pakudin )

MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DOSEN PENGAJAR : SYAIFUDDIN,S.Kep,Ns, M.Kes.

K U S T A

O L E H

KELOMPOK III :

AHMAD HAERUL

AINUL MAFRISA

AISYAH NURLIANA R

AKBAR

ALWAN AMASAE

AMELIA FRANSISCA

ANAS

ANDI AHDANIAR

ANDI AMALIA

S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANUDDIN MAKASSAR

2012

Page 2: Kmb ( pakudin )

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu..

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,berkah,dan

nikmat yang diberikannya kepada kita semua khususnya kepada kelompok kami

sehingga apa yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa dapat terlaksanakan

dengan baik walaupun tidak sesempurna seperti yang kita harapkan.Shalawat serta

salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan

risalah islam dan membawa ummatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang

benderang.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH II dengan tema “ KUSTA ”. Selanjutnya kami mengucapkan terima

kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan

makalah ini, khususnya kepada orang tua kami yang senantiasa mendukung segala

bentuk aktivitas kami, dengan doanya kami haturkan pula terima kasih kepada dosen

kami yang senantiasa memfasilitasi serta membimbing kami dalam menyelesaikan

makalah ini.

Akhir kata, kritik dan saran dari para pembaca makalah ini sangat diharapkan.

Makassar, 28 April 2012

Penyusun

Kelompok III

Page 3: Kmb ( pakudin )

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. TUJUAN

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

B. EPIDEMIOLOGI

C. ETIOLOGI

D. MANISFESTASI KLINIS

E. PATOFISIOLOGI

F. PENYIMPANGAN KDM

G. PENCEGAHAN

H. PENGOBATAN

BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

C. INTERVENSI

BAB IV : PENUTU

A. KESIMPULAN

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Kmb ( pakudin )

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan

permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan

seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja

tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan

ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah

masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa

dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita

kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah

untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.

Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah

terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta

mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi

masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular

yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa

daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan

sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas

sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.

Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang

berkembang,dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi

lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam

memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,

kesejahteraan social ekonomi pada masyarakat.

Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi

dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I).

Page 5: Kmb ( pakudin )

Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992,

pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Dampak sosial

terhadap penyakit kusta ini sedemikiari besarnya, sehingga menimbulkan keresahan

yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada

keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku

penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi

ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit

menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan

menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa

putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan

kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara

penyakitpenyakit lain.

Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang

berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab

penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari

sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian

leprophobia ©2003 Digitized by USU digital library 2 yang bermanifestasi sebagai

rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat

kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke

masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan

masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan

dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan

masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai

pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit

kusta.

Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan

menjauhkan ,penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan

terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka

tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di

kalangan masyarakat.

Page 6: Kmb ( pakudin )

B. Tujuan

Penulisan makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan dalam

memahami penanggulan penyakit kusta , yaitu :

Untuk mengetahui penyakit kusta yang meliputi definisi , sejarah dan

epidemologi penyakit kusta ?

Untuk mengetahi apa – apa saja bentuk – bentuk dan gejala penyakit

kusta ?

Untuk mengetahui bagaimana transmisi penularan penyakit kusta ?

Untuk mengetahui penegakan upaya pencegahan penanggulangan ,

diagnose penyakit kusta ?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Page 7: Kmb ( pakudin )

Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah

sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki

penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.

Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia

bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta

terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya

adalah dari golongan ekonomi lemah.

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia

Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk.

Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa

oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan

berdagang. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat

dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta

B. EPIDEMIOLOGI

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja

belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak

langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab

M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.

Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang

mengatakan antara 40 hari – 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan

adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan

lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-

perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.

Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan

Page 8: Kmb ( pakudin )

adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh

lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang

mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel

rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat

banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dfapat

menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di Indonesia

penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun ± 13%, tetapi anak di bawah umur 1

tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor

social ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin

subur penyakit kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan

terdapat di daerah tropis dan subtropics yang panas dan lembab.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakutimoleh karena

adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat kerusakan

saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta

dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis

dan atrofi otot.

C. ETIOLOGI

Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai

microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk

spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan

terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan

sebagai basil “tahan asam”.

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor

genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada

Page 9: Kmb ( pakudin )

kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat

terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti

berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah

beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi

maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan

pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian

berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa

inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

D. MANIFESTASI KLINIS

Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta

apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut :

1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal

ataupun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau

berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau

nodul.

2. BTA Positif.

Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila

ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap tiga bulan

sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain.

Ada tiga tanda kardinal :

a) Lesi kulit yang anastesi

b) Penebalan saraf perifer

c) Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif)

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi

menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit kusta menjadi lim

kelompok bedasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik.

Menurut Ridley dan Jopling :

Ø Tipe Tuberkoloid ( TT ) :

Page 10: Kmb ( pakudin )

v Lesi ini mengenai kulit dan saraf.

v Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,

atau, kontrol healing ( + ).

v Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan

psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,

kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

v Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon

imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

Ø Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

v Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

v Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

v Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

v Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

Ø Tipe Mid Borderline ( BB )

v Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

v Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

v Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,

cenderung simetris.

v Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

v Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian

tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

Ø Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Secara Klinis lesi dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke

seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus

melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf

berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya

rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba

pada tempat prediteksi.

Ø Tipe Lepromatosa ( LL )

v Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak

tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

Page 11: Kmb ( pakudin )

v Distribusi lesi khas :

Ò Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

Ò Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

v Stadium lanjutan :

Ò Penebalan kulit progresif

Ò Cuping telinga menebal

Ò Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,

intis dan keratitis.

v Lebih lanjut

Ò Deformitas hidung

Ò Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

Ò Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

Ò Penyakit progresif, makula dan popul baru.

Ò Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

v Lebih lanjut

Ò Deformitas hidung

Ò Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

Ò Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

Ò Penyakit progresif, makula dan popul baru.

Ò Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

v Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi

dan pengecilan tangan dan kaki.

Ø Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &

Jopling)

Ò Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

Ò Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

Ò Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

E. PATOFISOLOGI

Page 12: Kmb ( pakudin )

Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta

bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui

tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien.

Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kea rah tuberkuloid dan bila

rendah, berkembang kea rah lepromatosa. M. leprae berpredileksi di daerah-daerah

yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon

imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi

selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut

sebagai penyakit imunologik.

F. PENYIMPANGAN KDM

Page 13: Kmb ( pakudin )

G. PENCEGAHAN

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian

dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besarkemungkinan

menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadifaktor pengobatan

adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehinggapenularan dapat

dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan

kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secarateratur.

Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara

pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup

24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan

cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman

Page 14: Kmb ( pakudin )

kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan

hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.

Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita

tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada

obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan

demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada

setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan

berisikan pengajaran bahwa :

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta

c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara

teratur

e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik

Usaha Pencegahan Cacat

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pencegahan kecacatan

adalah :

1. Pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi, yang meliputi :

Pemeriksaan mata.

Pemeriksaan tangan yang meliputi :

1. Adanya nyeri tekan pada syaraf.

2. Kekuatan otot.

3. Rasa raba.

4. Dan adanya kecacatan yang lainnya.

5. Pemeriksaan pada kaki.

Pemeriksaan pada kaki tujuannya sama dengan pemeriksaan pada tangan.

2. Kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang meliputi :

Page 15: Kmb ( pakudin )

Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat atau tidak

sehingga perlu diobati dengan prednison atau tidak.

Mengajarkan cara perawatan diri kepada penderita dengan cacat yang sudah

menetap.

Penderita yang tidak cacat perlu diberikan penjelasan mengenai resiko dan

tanda-tanda reaksi agar penderita segera lapor ke petugas kesehatan atau

puskesmas terdekat

3.Pelaksanaan program pencegahan cacat

4.Tingkat cacat menurut World Health Organisation

H. PENGOBATAN

Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan

3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin

dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS

(Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine.

1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone)

Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100

mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman

Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2

mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah : anemia

hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur hepatitis, alergi

terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan Psychosis.

2. Clofazimine atau Lamprene

Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100

mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium

Leprae dan anti reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau

selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.

Page 16: Kmb ( pakudin )

Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam-

hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan pencernaan dapat

berupa diare dan nyeri pada lambung.

3. Rifampizin

Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600

mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin

merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis

10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh

diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek

sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.

4. Prednison

Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.

5. Sulfas Ferrosus

Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.

6. Vitamin A

Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes

RI, 2006).

Obat alternatif lain yaitu :

1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap

mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran

pernafasan lain.

2. Minosiklin

Page 17: Kmb ( pakudin )

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada

klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin

3. Klaritomisin

Merupakan kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas

bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia

Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan

yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut :

1.Penderita Pausi Basiler (PB)

a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin

Minocycli)

Dewasa 50-70 kg: 600 mg; 400 mg; 100 mg

Anak 5-14 tahun: 300 mg; 200mg; 50 mg

1. Obat ditelan di depan petugas.

2. Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM.

3. Ibu hamil tidak diberikan ROM.

Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT. Dalam

program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati dengan regimen PB

selama 6 (enam) bulan.

b. Penderita PB lesi 2-5 . Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang

diminum di depan petugas).

2. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).

3. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1 blister

untuk 1 bulan.

Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.

Page 18: Kmb ( pakudin )

4. Penderita Multi Basiler (MB)

Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan

petugas).

2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).

3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg).

1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

Pengobatan harian : hari ke 2 – 28

1. 1 tablet lamprene 50 mg.

2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

3. 1 blister untuk 1 bulan

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Biodata pasien

2. Riwayat penyakit sekarang

- Keluhan umum

- Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dahulu

4. Riwayat penyakt keluarga

5. Riwayat nutrisi

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses

inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi

jaringan

Page 19: Kmb ( pakudin )

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan

dan kehilangan fungsi tubuh

C. INTERVENSI

Diagnosa 1

Ø Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi

berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

Ø Kriteria :

1) Menunjukkan regenerasi jaringan

2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

Ø Intervensi:

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi

sekitar luka

Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi

dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan

sekitar.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan

adakah penyebaran pada jaringan sekitar

Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan

mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

Page 20: Kmb ( pakudin )

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk

mempertahankan kebersihan lesi

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses

penyembuhan

Diagnosa 2

Ø Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti

dan berangsur-angsur hilang

Ø Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat

berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

Ø Intervensi:

1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan

intervensi.

2. Observasi tanda-tanda vital

Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Atur posisi senyaman mungkin

Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

Page 21: Kmb ( pakudin )

5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

Rasional:menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3

Ø Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat

teratasi dan aktivitas dapat dilakukan

Ø Kriteria:

1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2) Kekuatan otot penuh

Ø Intervensi:

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif

kemudian aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,

meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan

periode istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap

aktifitas

Page 22: Kmb ( pakudin )

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada

latihan

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam

perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4

Ø Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi

secara optimal dan konsep diri meningkat

Ø Kriteria:

1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Ø Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini

memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.

Perhatikan perilaku menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa

yang terjadi membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan

kenyakinan yang salah

Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan

untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan

realitas

Page 23: Kmb ( pakudin )

4. Berikan penguatan positif

Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku

koping positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan

respon yang lebih membantu pasien

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah

sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki

penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.

Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan

3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin

dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS

(Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine

B. SARAN

Pada tugas yang akan darang kebih diperhatikan lagi, agar apa yang menjadi

tujuan dari proses belajae ini dapat tercapai dengan maksimal mungkin.

Page 24: Kmb ( pakudin )

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,

Depkes Jakarta

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,

Jakarta.

http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/18/penyakit-kusta-dan-asuhan-

perawatan/. Diakses pada tanggal 28 April 2012

http://health.kompas.com/read/2012/01/27/18033674/Kusta..Penyakit.Menular.yang.S

ulit.Menular. Diakses pada tanggal 28 April 2012.