kesamaan gender dalam islam

Upload: yoga-nugraha

Post on 19-Jul-2015

123 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

http://akhwatsejati08.multiply.com/journal/item/3/Kesetaraan_Gender_Menurut_Pandangan_Isla m?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem Kesetaraan Gender Menurut Pandangan Islam Nov 4, '08 1:44 AM for everyone

Gender menurut Pandangan Islam Adriyani * Bangsa India dahulu kala menguburkan wanita hidup-hidup bersama suaminya yang meninggal dunia. Orang-orang Jerman mempertaruhkan istri-istrinya di meja judi. Dalam masyarakat Cina, jika seorang suami mati, maka istrinya tidak diperbolehkan menikah sepanjang hidupnya. Lain lagi dengan orang-orang Sparte, wanita boleh bersuami lebih dari satu orang. Tradisi yang jelek ini cukup banyak mendapat sambutan dan diterima oleh banyak wanita. Sekelempok orang yahudi meletakkan wanita sederajat dengan pembantu dan bapaknya boleh memperjual belikannya. Wanita dianggap memiliki kekurangan, dia tak boleh mewarisi apa-apa, kecuali kalau ayahnya tak memiliki keturunan laki-laki. Menurut undang-undang Romawi wanita tidak layak berbuat sesuatu sepanjang hidupnya, persis bayi. Segala urusannya harus diwakilkan kepada kepala rumah tangga. Sementara, menurut undang-undang Perancis wanita tidak layak dan tidak berhak melakukan akad perjanjian tanpa restu dan izin dari suaminya.sementara di kalangan orang Arab, meskipun wanita diberi kebebasan yang memadai, mereka masih saja menindas, menyiksa dan menganiaya kaum wanita. Mereka mewarisi wanita secara paksa. Apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia, maka anak laki-laki tertua berhak mewarisi ibu tirinya tersebut. Mereka juga berhak mengawini istri bapaknya dan atau mengawinkan dengan orang lain dengan maksud untuk mendapatkan mas kawin.. Masyarakat Arab sangat benci pada kaum perempuan. Allah berfirman, "dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan ( kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikandirinya dari orang banyak disebabkan buruknyaberita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia kana memeliharanya dengan mennaggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilahalangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (an-Nahal :58-59). Dengan sangat tolol dan bodohnya orang-orang Arab jahiliyah mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup.demikianlah keadaan kaum wanita sebelum datangnya Islam. setelah Islam datang wanita diangkat derajatnya, tiga derjat dibandingkan dengan laki-laki. Begitu mulianya wanita pada masa itu. Islam memanfaatkan bantuan wanita dan mempergunakan kekuatannya. Tercatat dalam sejarah, para wanita yang ikut mengorbankan tenaga, jiwa dan raganya untuk menegakkan ajaran tauhid. Pembawa Islam, pemimpin kita dan penghulu kita yakni Rasulullah Saw, sangat merasakan kedamaian, ketentraman dan kebahagian dalam mengemban

misi dakwah dan amanah yang sangat berat dalam memperjuangkan agama Islam berkat bantuian, dorongan dan perhatian dari Khadijah, istri beliau. Maka patutlah beliau sangat terluka dengan kepergian khadijah. Wanita, pada awal munculnya Islam ikut terjun ke Medan perang medampingi kaum pria, merawat pasukan yang terluka membantu untuk membalutkan perban untuk menghentikan darah yang mengalir, mempertaruhkan nyawa menanatang kematian, dan memompa semangat juangnya untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Islam memberitahukan tentang kekuatan/potensi wanita, kesehatan fitrahnya, besarnya beban yang dipikulkan ke atas pundaknya dan pentingnya tugas yang harus dia laksanakan dalam kehidupan. Pada saat yang sama Islam mencegah terjadinya perlakuan yang tak adil dan tindakan yang menzalimi kaum wanita. Begitulah kaum perempuan mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki, Allah tidak membedakan mereka berdasarkan perbedaan jenis kelamin, dalam melaksanakan tugas ataupun dalam pekerjaan public dan domestic selama mereka mampu melaksanakannya baik secara fisikis maupun psikis. Begitulah, Allah tidak pernah mengajarkan diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana yang termaktub dalam ayat suci. Inilah yang dilaksanakan tanpa reserve oleh generasi sahabat , tabi'in, tabi' tabi'in serta generasi-generasi sesudah mereka sampai datang ajaran-ajaran asing yang membuat kemurnian ajaran islam menjadi terkontaminasi terutama oleh filsafat Yunani dan filsafat materialisme yang dipelopori Hobbes dan Gassendi. Perkenalan umat Islam dengan ajarann materialisme mengakibatkan sikap mental mereka terpengaruh sehingga ajaran Islam yang baku yang telah teruji keampuhannya pada abad-abad pertengahan dahulu yang membimbing umat manusia ke jalan yang benar mulai mereka abaikan, pada awal Islam para wanita disegani dan dihormati tapi sekarang mereka dilecehkan dan mereka tak segan-segan melakukan penyiksaan dan penganiayaan kepada kaum perempuan. Dengan melihat kondisi inilah mendorong tokoh-tokoh feminis di seluruh dunia termasuk di dunia Islam bangkit demi menyelamatkan kaum perempuan dari ketertindasannya. Respon mereka sangat beragam. Di Eropa, Rusia, Negara-negara Skandinavia dan di Cina lahir gerakan yang memperjuangkan kesetaraan jender melalui apa yang mereka sebut transformasi social, yakni dengan menerapkan konsep-konsep feminisme liberal. Ini terjadi sekitar abad ke -18. konsep serupa dicoba pula diterapkan di Kuba pada masyarakat kibbutz yakni kelompok masyarakat petani di seluruh Israel. Dari berbagai eksperimen yang dilakukan di Negara-negara itu, diperoleh dampak yang negative. Artinya upaya menyetarakan peranan perempuan dan pria dalam pekerjaan-pekerjaan dan jabatan-jabatan public tidak berhasil. Malah sebaliknya banyaknya tugas utama seorang wanita terbengkalai. Di Amerika serikat , karena tidak puas dengan feminis Eropa, maka lahir pula pada tahun 1960-an gerakan feminis radikal yang sangat liberal. Gerakan ini terkeesan merubah keras jati diri wanita dari yang

feminism menjadi maskulin bahkan terkesan menolak laki-laki, karena mereka beranggapan bahwa makhluk yang bernama laki-lakilah yang selama ini melakukan penindasan terhadap mereka. Dan mereka juga berusaha memusnahkan pranata-pranata sosial yang menyebabkan mereka tertindas seperti perkawinan dan rumah tangga, dan sebagainya. Menurut mereka lembaga-lembaga inilah yang menyebabkan dominasi pria ketimbang wanita sebagaimana yang ditulis oleh Sulamith Firestone Baidan bahwa tujuan yang harus dicapai oleh kaum feminis adalah mengahabisi the tyrani of the biological family. Kaum perempuan radikal begitu bencinya terhadap perkawinan dan rumah tangga sehingga mereka menganjurkan untuk menjadi lesbian saja daripada menjalin hubungan dengan laki-laki. Karena sangat kerasnya gerakan ini, sehingga di kalangan kaum feminis sendiri banyak yang tak menyenanginya sehingga gerakan ini berujung pada kegagalan. Dengan demikian baik gerakan feminisme yang liberal, sosialisme/marxisme maupun yang radikal kedua-dunya kandas di tengah jalan walaupun telah diusahakan dengan pengorbanan dana yang cukup besar. Mengingat kegalan-kegagalan itu kaum feminis melahirkan teori baru lagi yang mereka sebut ekofenimisme yang menentang habis-habisan teori feminisme radikal, liberal dan sosilaisme/ marxisme. Munculnya teori pada penghujung abad ke-20 terlihat mendapat sambutan yang cukup positif dari kalangan komunis termasuk juga tokoh-tokoh komunis muslimah semisal Fatima Mernisi (penulis), Rifdaat Hasan dan juga tak jauh dari konsep feminis perempuan Indonesia yang dipelopori R.A Kartini, Dewi Sartika, Rky Rasuna Said, Rahmah el Yunusiah, Martina Tiyahahu, dan lain-lain. Konsep ekofeminisme mengajarkan pada wanita untuk bangkit mempertahankan feminisme agar dominasi system maskulin dapat diimbangi, sehingga dekadensi moral dapat dikurangi. Tapi, ternyata gerakan ekofemisme itu disalah artikan oleh wanita, banyak diantara wanita yang kembali pada masa jahiliyah. Mereka melakukan apa saja untuk menyetarakan mereka dengan laki-laki. Sebagai buktinya banyak di antara wanita yang melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki, seperti: polisi, tentara, sopir ataupun menjadi kondektur. Di bidang olah raga pun mereka ambil bagian, seperti binaragawati, pesepak bola, atau juga petinju. (persamaan jender yang disalah artikan ). Di bidang politik pun wanita mengambil bagian, misalnya saja; sebagai Presiden, anggota MPR, DPR, dan lain-lain. Hal itu tak akan pernah, menimbulkan masalah Wanita diberikan kebebasan untuk melakukan pekerjaan baik di bidang public maupun di bidang domestic dengan syarat ia diizinkan suaminya atau keadaan ekonomi yang mengahruskan ia untuk bekerja. Tapi tidak melalaikan tugas utamaya yaitu menjadi pelayan suaminya dan madrasah bagi anak-anaknya. Apabila tugas utama itu ia langgar maka akan menimbulkan dekadensi moral, penyimpangan seksual akan merajalela. Bagaimana tidak, wanita yang awalnya adalah pendamping dan sahabat bagi suami, tempat suami berbagi suka dan duka, justru tidak mendapatkan tempat mencurahkan keluh kesahnya disebabkan istri juga

mempunyai masalah yang sama di tempat kerjanya. akibatnya dapat dipastikan suami akan mencari tempat lain yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Maka tak perlu diherankan laki-laki akan memiliki wanita idaman lain (WIL), maka akhir dari semua itu adalah perceraian dan kekerasan rumah tangga yang dilimpahkan pada anak. Dengan konsep Islam di atas maka seharusnyalah para wanita dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajibannya, agar keluarga dan masyarakat madani akan terwujud. Wallahu a'lam bis-Shawab

http://www.bawean.net/2008/09/kesetaraan-gender-dalam-islam.html

Kesetaraan Gender Dalam IslamMedia By: Bawean, Raudhah El 10 Jannah September Raheem Ulhaque 2008 S.Pd.I

Gender, merupakan istilah yang baru dalam islam, karena sesungguhnya gender sendiri merupakan suatu istilah yang muncul di barat pada sekitar tahun 1980. digunakan pertama kali pada sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas tentang peran wanita saat itu. Islam sendiri tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama. Contoh konkretnya adalah islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang bertakwa dan beramal sholih. Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-quran ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing.

Pergaulilah mereka (istrimu) dengan baik (An-Nisa 19) Potongan ayat 19 surah An-Nisa di atas merupakan kaidah robbani yang baku yang ditujukan kepada kaum laki-laki yang di sebut kaum bapak agar berbuat baik kepada kaum wanita/ibu, baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga) maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, jika ada hadis, meskipun itu statusnya hadis

shahih, lebih-lebih lagi itu hadis qawliyah yang substansinya bertentangan dengan kaidah baku tersebut (taarud), maka hadis itu perlu di analisa dan dikritik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu kritik hadis yang berlaku. Analisa seperti ini perlu di lakukan mengingat tidak ada satupun riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah saw. Secara prakteknya pernah menghardik, memukul apalagi mengeksploitasi kaum wanita. Gender merupakan konstruksi sosial, masyarakat sendiri yang membentuk konsep gender tersebut. Gender adalah arti yang di berikan menurut klasifikasi jenis kelamin (biologis) juga merupakan tuntutan dalam masyarakat bagaimana seseorang harus bersikap menurut jenis kelaminnya. Kata kata yang di artikan sebagai gender sendiri mengalami banyak perdebatan/penolakan di kalangan cendekiawan ataupun ulama islam sendiri karena bukan berasal dari akar kata bahasa arab. Dalam islam kita mengenal kata yang sering di artikan sebagai gender. Kata tersebut sesungguhnya berasal dari bahasa yunani. Apabila di telaah lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah) tinggi-tinggi karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, walaupun akhirnya seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, anggapan seperti ini mulai pudar namun tidak jarang kebanyakan kaum adam, khususnya dalam pergaulan rumah tangga menganggap secara mutlak bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. juga anggapan bahwa wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut). Padahal dalam Alquran sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun dalam politik. Ayat Alquran surah An-Nisaa ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika di telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan kepada laki-laki. Ayat tersebut juga menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah dari segi fungsionalnya karena kodrat masing-masing.

kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Benar.(an-Nisa/4:34) Dari ayat tersebut, sesungguhnya dapat kita ketahui bahwa keistimewaan laki-laki dari pada wanita salah satunya adalah karena tanggung jawabnya dalam memberi nafkah pada keluarganya. Maka ketika seorang laki-laki tidak menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka boleh jadi kedudukannya tidak jauh berbeda.

http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:kesetaraanjender-memaknai-keadilan-dari-perspektif-islam-&catid=49:artikel-gender&Itemid=116

Kesetaraan Jender: Memaknai Keadilan dari Perspektif IslamKeadilan adalah gagasan paling sentral sekaligus tujuan tertinggi yang diajarkan setiap agama dan kemanusiaan dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan bersamanya. Abu Bakar al Razi (wafat 865 M), pemikir besar Islam pada masanya, menegaskan, "Tujuan tertinggi kita diciptakan dan ke mana kita diarahkan bukanlah kegembiraan atas kesenangan fisik, tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan." Jauh sebelumnya filsuf klasik Aristoteles mengemukakan, "Keadilan adalah kebajikan tertinggi yang di dalamnya setiap kebajikan dimengerti." Dalam konteks Islam, sentralitas ide keadilan dibuktikan melalui penyebutannya di dalam Al Quran lebih dari 50 kali dalam beragam bentuk. Di samping menggunakan kata al Adl, kitab suci tersebut juga menggunakan kata lain yang maknanya identik dengan keadilan, seperti al qisth, al wasath (tengah), al mizan (seimbang), al sawa/al musawah (sama/persamaan), dan al matsil (setara). Lebih dari itu keadilan menjadi nama bagi Tuhan dan tugas utama kenabian. Teks-teks suci Islam yang di dalamnya disebut kata adil atau keadilan memperlihatkan bahwa ia merupakan gabungan nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, dan kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus direalisasikan manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas, maupun penyelenggara negara. Antonim keadilan adalah kezaliman (al zhulm), tirani (al thugyan), dan penyimpangan (al jawr). Hal ini menunjukkan keadilan memiliki dua sisi yang harus diperjuangkan simultan: menciptakan moralitas kemanusiaan yang luhur dan menghapuskan segala bentuk penderitaan.

Keadilan bagi perempuan Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara proporsional" dan "memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi ini memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Dalam konteks relasi jender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka. Satu-satunya potensi perempuan yang dipersepsi kebudayaan adalah tubuhnya. Pandangan ini pada gilirannya mendasari perspektif kebudayaan tubuh perempuan seakan sah dieksploitasi, secara intelektual, ekonomi dan seksual, melalui beragam cara dan bentuknya di ruang privat maupun publik. Laporan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2006 yang membukukan 22.350 kasus kekerasan terhadap kaum perempuan. Demikianlah perempuan masih menjadi korban kebudayaan yang dirumuskan berdasarkan ideologi patriarkhis dan serba maskulin. Maka, keadilan bagi perempuan tampak masih sebatas sebagai retorika. Lalu ke arah mana perempuan korban ketidakadilan tersebut harus diakhiri? Gagal memenuhi Komunitas dunia sepakat, ketidakadilan harus diakhiri melalui diktum hukum, termasuk fikih. Hal yang diidealkan dari hukum adalah keputusannya memastikan tercapainya keadilan substansial. Tetapi, produk perundangan dan fikih tidak selamanya melahirkan keadilan bagi korban (perempuan). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), misalnya, belum mengafirmasi keadilan bagi perempuan. Dalam konteks Islam, menarik mengemukakan pandangan ahli hukum Islam klasik; Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 1350 M). Dia mengatakan, tidak masuk akal jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan, meskipun dengan mengatasnamakan teks ketuhanan. Jika ini terjadi, pastilah pemaknaan dan rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan. Dia juga mengatakan keadilan manusia harus diusahakan dari mana pun ia ditemukan karena ia juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah hukum Tuhan diturunkan. Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan atas teks ketuhanan yang tidak mampu menangkap esensi keadilan harus diluruskan. Pandangan ini juga bisa menjadi rujukan bagi hukum positif lain. Suara korban Kegagalan instrumen hukum memenuhi keadilan bagi perempuan lebih disebabkan masih kokohnya pengaruh persepsi dan konstruksi kebudayaan patriarkhis. Adalah niscaya di atas premis kebudayaan dan tradisi ini terminologi hukum dan kebijakan publik, termasuk postulat fikih, harus dibangun.

Dari sinilah kita perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan substantif sebagaimana sudah dikemukakan pada awal tulisan. Penyusunan makna keadilan bagi perempuan dalam konteks ini harus didasarkan pada dan dengan mendengarkan pengalaman perempuan korban. Pemenuhan keadilan bagaimanapun hanya dapat tercapai jika kebudayaan dan tradisi masyarakat menunjukkan pemihakannya kepada korban. Hal lain yang lebih mendasar adalah pemaknaan keadilan bagi perempuan harus didasarkan pada paradigma hak asasi manusia. Bagi saya, hak asasi manusia bukan saja sejalan melainkan menjadi tujuan keputusan Tuhan. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Dari sini konstruksi sosial baru yang menjamin keadilan jender diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, tidak terkecuali fikih. Kesimpulan uraian di atas adalah keadilan bagi perempuan mutlak dimaknai kembali sejalan dengan prinsip kemanusiaan, karena keadilan sendiri adalah kemanusiaan.

http://ahmadzain.wordpress.com/2007/03/14/kesetaraan-gender-1/

KESETARAAN GENDER (1)Posted by ahmadzain under Pemikiran, Problematika Wanita, Tafsir Al Qur'an dan Kehidupan [16] Comments AL QURAN DAN KESETARAAN GENDER *

Ahmad Zain An Najah, MA

MUQODDIMAH Perhatian dunia terhadap nasib perempuan dalam tingkat internasional dan dalam format yang sangat jelas, di mulai pada tahun 1975 M, karena pada waktu itu Majlis Umum PBB menetapkannya sebagai ( Tahun Perempuan International ) Dan pada tahun tersebut diadakan konferensi dunia pertama tentang perempuan, tepatnya di Mexico.[1] Kemudian pada tahun 1979, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment , yang di singkat CEDAW ( Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ) . Secara aklamasi , para peserta konferensi menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 30 pasal dalam 6 bagian yang bertujuan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut. Dan yang lebih menarik lagi, kesepakatan ini diperlakukan secara paksa kepada seluruh negara yang dianggap sepakat terhadapnya, baik secara eksplisit

maupun implisit. Barang kali sebagian orang menyambut gembira kesepakatan tersebut , karena menjanjikan kemerdekaan , kebebasan dan masa depan perempuan. Namun , tidak semua orang berpikir seperti, paling tidak bagi seorang DR. Fuad Abdul Karim , justru menganggapnya sebagai konferensi yang paling berbahaya yang ada kaitannya dengan perempuan. Beliau menemukan tiga indikasi yang mengarah kesana, yaitu : Pertama : munculnya anggapan bahwa agama merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kedua : mengaitkan hak- hak perempuan pada seluruh segi kehidupan , yang meliputi : ilmu pengetahuan , politik, ekonomi , sosial, budaya dan lain- lainya, tentunya dengan pola pikir Barat , yaitu mengusung hak- hak perempuan yang yang berlandaskan dua hal : kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak. . Ketiga : Konferensi tersebut, merupakan satu satunya kesepakatan yang mengikat kepada seluruh negara yang ikut menandatanginya , dan harus melasanakan segala isinya, tanpa boleh mengritik pasal- pasal yang ada di dalamnya. Berhubung sebagian perempuan muslimat belum mau mengikuti pola pikiran barat tersebut, maka PBB telah menetapkan bahwa tahun 2000 M , merupakan batas terakhir untuk seluruh negara agar ikut menandatangani kesepakatan tersebut, sekaligus tahun itu di gunakan PBB untuk menetapkan langkah- langkah strategis agar wanita muslimah dengan segera mengikuti dan mempraktekan kesepakatan tesebut. [2]

Salah satu langkah strategis yang di tempuh adalah sosialisasi istilah Gender . Istilah ini dilontarkan pertama kalinya pada konferensi Beijing. Pada waktu itu banyak negara dan utusan yang menolak istilah tersebut , karena tidak ada kejelasan. Ternyata dikemudian hari ditemukan bahwa Gender , secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial- budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untukmengindentifikasi perbedaan laki- laki dan perempun dari segi anatomi biologi. [3]

DR. Ishom Basyir, mentri penerangan dan wakaf Sudan, menganggap bahwa sosialisasi istilah jender merupakan langkah- langkah yang bertujuan untuk menghapus jati diri umat Islam dengan melalui jalur perundang-undangan. Menurut beliau, bahwa konsekwensi logis dari defenisi jender di atas, adalah seorang perempuan berubah menjadi laki- laki, dan seorang perempuan bisa menjadi seorang suami dan menikah dengan perempuan lain. [4] Dari kenyataan tersebut , maka tidak aneh kalau DR. Fuad Abdul Karim memandang bahwa sosialisasi istilah jender ini bertujuan untuk melegitimasi

praktek homosex, yaitu hubungan sex yang dilakukan antara sesama laki- laki ( gay ) ataupun sesama perempuan ( lesbian ) [5]

Masalah gender ini kemudian mendapat perhatian masyarakat Dunia Islam , diantaranya Qotar, Yaman, Mesir, Tunis dan termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia juga. Maka pada tahun 1984 , di tetapkan Undang- undang tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan pada tahun 1999 di tetapkan Undang- Undang tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan menuju kepada terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan warga : sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada tahun 2000, presiden mengeluarkan INPRES no. 9 tentang Gender Mainstreaming ( Pengarus utamaan Gender ) yang menekankan perlunya pengintegrasian gender dalam seluruh tahap pembangunan nasional : mulai perencanaan sampai tahab evaluasi.[6] Kemudian fenomena ini, dikuti dengan munculnya kajian- kajian ilmiyah tentang gender, walupun masih relatif sedikit , diantaranya yang paling menyolok adalah Argumen Kesataraan gender Perspektif Al Quran , karya DR. Nasarudin Umar, MA .

Namun sangat disayangkan, usaha- usaha untuk mengangkat derajat perempuan tersebut tidak dibarengi dengan kepekaan terhadap konspirasi international untuk menggulung umat Islam lewat isu gender dan minimnya bekal keilmuan agama. Sehingga, kadang terlalu semangatnya, bukan saja mereka mengkritisi masalah- masalah yang seharusnya memang wajar di kritik, tapi bahkan mereka berani mengkritisi hal- hal yang sudah baku dalam agama Islam, seperti masalah poligami , warisan, pemegang tanggung jawab dalam keluarga , hak tholak, hijab, dan lain-lainnya. .

Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mendiskusikan kembali isu- isu tersebut , dan berusaha untuk menjawab syubhat- syubhat yang sering dilontarkan dengan menukil beberapa pernyataan ulama seputar isu- isu tersebut. Karena terbatasnya waktu dan tempat, penulis hanya membahas beberapa ayat gender , yang sering dijadikan menjadi bahan justifikasi oleh para pengusung isu gender. Diantaranya yang ada di dalam surat al Nisa.

SURAT Al NISA DAN KESETARAAN GENDER

Al Quran secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Quran yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.

Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama sama membicarakan wanita, yaitu surat Al Mumtahanah dan surat Al- Ahzab . Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al Nisa al Kubro , sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al Tholak, disebut surat al-Nisa al Sughro. [7]

Surat Al Nisa ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Maka , pada ayat pertama surat al-Nisa kita dapatkan , bahwa Allahtelah menyamakan kedudukan laki- laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masingmasing jika beramal sholeh , pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Keduaduanya tercipta dari jiwa yang satu ( nafsun wahidah ) , yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya ( ittaqu robbakum ) .

Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Quran tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu tadafu ) , harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi.Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang.

Al Quran telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.

( makalah masih bersambung )

* Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi rutin yang di selenggarakan oleh FORDIAN ( Forum Study Al Quran ) di wisma Nusantara , Kairo , 20 Agustus 2003 [1] . Kemudian di ikuti konferensi berikutnya di Kopenhagen, pada tahun 1980 M dan Konferensi di Nairobi, Kenya, tahun 1985 M , dan yang terakhir konferensi yang di adakan di Beijing , Cina pada tahun 1997 M. ( lihat DR. Fuad bin Abdul Karim Ali Abdul Karim, al Marah al Muslimah baina mudlotu tagyir wa mujatui taghrir , Majalah Al Bayan, edisi 189 , juli 2003 ) [2] Dr. Fuad, op cit. [3] Dr. Nasaruddin Umar, MA , Argumen Kesetaraan Jender, Pespektif Al Quran , Jakarta : Paramidana, 1999, Cet. I hlm 35. [4] Majalah al Wayu al Islamy, edisi : [5] Majalah al Bayan, edisi 189, Juli 2003 M. [6] DR. Siti Musdah Mulia, MA, Gerakan Feminisme diIndonesia, makalah tersebut disampaikan pada Lokakarya dan Silaturohmi Kader NU Luar Negri yang diselenggakan oleh PCINU Mesir, ( 30 Juni s/d 1 Juli 2003 , di Kairo. ) [7] Syekh Muhammad al Madani , al Mujtama al Islamy kama tunadhimuhu surat an Nisa ( Kairo : Kementrian Wakaf, Majlis Ala li syuuni Islamiyah , 1991 ) cet.. I , hlm. 13-14.

http://musyafucino.wordpress.com/tag/kesetaraan-jender-dalam-islam/

Beginilah Islam Memuliakan Wanita !Posted by musyafucino under MUSYAFONITA | Tag: beda wanita islam dan wanita barat, beginilah islam memuliakan wanita, hakikat hari ibu, islam dan wanita, islam memuliakan wanita, kerusakan moral wanita barat, kesetaraan jender dalam islam, mengapa wanita barat banyak masuk islam | [2] Comments

Wanita Begitu Dimuliakan Oleh Islam

Suatu hari ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah. Lelaki tersebut hendak menanyakan tentang bagaimanakah hendaknya ia memperlakukan ibunya dalam berbakti dalam hidupnya. Rasulullah pun menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak yang sangat besar dalam masalah berbaktinya anak kepada orang tua. Seorang ibu memiliki perbandingan 3 kali lebih utama dibanding ayah (3:1) dalam pemrioritasan kebaktian seorang anak kepada orang tua. Sekali lagi, Nabi menyebut kedudukan ibu hingga 3 kali baru kemudian kedudukan seorang ayah 1 kali manakala lelaki tersebut menanyakan bagaimanakah hendaknya dia memperlakukan kedua orang tuanya [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari). Kisah dari hadis yang sudah sangat terkenal dan dipegang kuat oleh umat Muhammad SAW tersebut membuktikan bahwa Islam sangat memuliakan kaum perempuan. Namun bentuk penghormatan Islam kepada kaum hawa memang sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh Barat. Barat memang seolah-olah menjunjung tinggi hak-hak perempuan dengan berbagai program mereka yang terangkum dalam Proyek besar mereka yang bernama kesetaraan jender dalam berbagai bidang. Dalam kesetaraan jender versi barat, wanita diperbolehkan bahkan sangat didukung untuk masuk ke segala bidang kehidupan. Jadi kuli batu, jadi tentara, jadi sopir, jadi single parents.Pokoknya hampir segala bidang kehidupan yang mengandung Maskulinitas hendak mereka jamahi. Jika dalam Islam yang ideal seorang wanita hendaknya berada di rumah membangun keluarga yang baik dan peran mencari nafkah dilakonkan pada lelaki (ayah), maka hal itu dianggap sebagai pengekangan oleh Barat. Barat menganggap penataan keluarga model Islam

semacam itu kuno dan mencederai keadilan Jender karena peran wanita dikesampingkan. Mereka (Barat) berdalih jika seorang wanita berada di rumah dan menjadi seorang ibu rumah tangga maka potensi besar kaum perempuan akan tereduksi. Lelaki dan perempuan harus setara, sejajar berbanding lurus an sich dalam segala hal. Itulah pandangan Barat. Nah, pertanyaan besar selanjutnya adalah apakah memang benar kesetaraan Jender model barat itu lebih berhasil daripada model keluarga Islami. Mari kita kaji bersama. Seduhan Lengkap

Oktober 26, 2011

Tentang Kesetaraan GenderPosted by musyafucino under MUSYAFONITA | Tag: agenda berbahaya kaum feminis indonesia, hatihati kampanye kesetaraan jender, islam memuliakan wanita, islam protects women, kampanye kesetaraan jender, kesetaraan jender dalam islam, posisi wanita menurut islam | [4] Comments

Islam Protects Women Kawan, pernahkah anda mendengar jargon-jargon tentang kesetaraan Gender? Saya yakin sebagian besar anda pernah mendengarnya. Ya, jargon-jargon tersebut sangat sering didengungkan beberapa dekade belakangan ini. Gerakan yang dimotori oleh orang-orang yang mengaku para Feminis ini awalnya merupakan sebuah gerakan yang dilakukan untuk melawan kerasnya belenggu Gereja terhadap kebebasan dan HAM terhadap para kaum hawa. Seperti yang diketahui bersama bahwa di abad pertengahan di daratan Eropa, wanita masih diposisikan sebagai Second Creature alias makhluk kelas dua. Jauh di bawah dominasi laki-laki. Diskriminasi semacam ini bertambah buruk karena dinaungi oleh Gereja sebagai institusi masyarakat tertinggi di Eropa kala itu. Suara Gereja adalah suara Tuhan, demikian Credo yang berkembang saat itu. Maka didasari oleh semua itulah munculnya gerakan Feminisme ini yang perjuangan utamanya adalah kampanye mengenai kesetaraan Gender. Dan hari ini, wabah ini juga merambah hampir ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali negeri-negeri Muslim seperti Indonesia. Namun yang menjadi menarik adalah, apakah memang kampanye kesetaraan gender ini sesuai jika didengungkan di negeri-negeri kaum Muslim? apakah hal itu hanya sebuah kelatahan budaya semata yang ingin di-bumi-

kan oleh para kaum feminisme di negeri ini. Nah, berikut sebuah artikel menarik dari Mbak SarahMantovani, seorang Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pamulang, yang beliau tulis di laman online http://www.hidayatullah.com/read/19270/10/10/2011/jangan-paksakankami-untuk-setara!.html USAHA kaum feminis Indonesia agar terciptanya Kesetaraan Gender di Indonesia tidak berhenti pada usaha pembuatan CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam) saja tetapi sudah mencapai pembentukan rancangan undang-undang tentang Kesetaraan Gender. Salah satu bunyi dari Pasal 1 Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender yang rencananya akan di sahkan tahun ini adalah; Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan (Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender) Seduhan Lengkap

Tentang Kesetaraan GenderPosted by musyafucino under MUSYAFONITA | Tag: agenda berbahaya kaum feminis indonesia, hatihati kampanye kesetaraan jender, islam memuliakan wanita, islam protects women, kampanye kesetaraan jender, kesetaraan jender dalam islam, posisi wanita menurut islam | [4] Comments

Rate This

Islam Protects Women

Kawan, pernahkah anda mendengar jargon-jargon tentang kesetaraan Gender? Saya yakin sebagian besar anda pernah mendengarnya. Ya, jargon-jargon tersebut sangat sering didengungkan beberapa dekade belakangan ini. Gerakan yang dimotori oleh orang-orang yang mengaku para Feminis ini awalnya merupakan sebuah gerakan yang dilakukan untuk melawan kerasnya belenggu Gereja terhadap kebebasan dan HAM terhadap para kaum hawa. Seperti yang diketahui bersama bahwa di abad pertengahan di daratan Eropa, wanita masih diposisikan sebagai Second Creature alias makhluk kelas dua. Jauh di bawah dominasi laki-laki. Diskriminasi semacam ini bertambah buruk karena dinaungi oleh Gereja sebagai institusi masyarakat tertinggi di Eropa kala itu. Suara Gereja adalah suara Tuhan, demikian Credo yang berkembang saat itu. Maka didasari oleh semua itulah munculnya gerakan Feminisme ini yang perjuangan utamanya adalah kampanye mengenai kesetaraan Gender. Dan hari ini, wabah ini juga merambah hampir ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali negeri-negeri Muslim seperti Indonesia. Namun yang menjadi menarik adalah, apakah memang kampanye kesetaraan gender ini sesuai jika didengungkan di negeri-negeri kaum Muslim? apakah hal itu hanya sebuah kelatahan budaya semata yang ingin di-bumikan oleh para kaum feminisme di negeri ini. Nah, berikut sebuah artikel menarik dari Mbak SarahMantovani, seorang Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pamulang, yang beliau tulis di laman online http://www.hidayatullah.com/read/19270/10/10/2011/jangan-paksakankami-untuk-setara!.html USAHA kaum feminis Indonesia agar terciptanya Kesetaraan Gender di Indonesia tidak berhenti pada usaha pembuatan CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam) saja tetapi sudah mencapai pembentukan rancangan undang-undang tentang Kesetaraan Gender. Salah satu bunyi dari Pasal 1 Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender yang rencananya akan di sahkan tahun ini adalah; Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan (Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender) Secara sekilas, memang kita tidak akan melihat keganjilan atau sesuatu yang aneh dalam RUU Kesetaraan Gender, tetapi saya baru menemukan keganjilan saat membaca naskah akademik RUU tersebut, terutama pada saat membaca asas-asas yang di pergunakan dalam membuat RUU Kesetaraan Gender pada halaman 23, yang salah satunya adalah CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Karena di dalam CEDAW, pada pasal 11 ayat (1) poin b menyebutkan bahwa: Negara-negara peserta akan mengambil segala tindakan yang pantas untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita di bidang pekerjaan guna menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan wanita, hak yang sama, khususnya: (b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang samadalam masalah pekerjaan. Yang berarti dalam pasal tersebut, apabila wanita masuk dalam akademi/sekolah militer, dia juga harus menjalani tes fisik yang sama seperti yang diberlakukan kepada kader pria. Sedangkan, di Inggris saja, saat pemerintahnya memberlakukan Gender Free Aproach pada tahun 1997 dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama

kepada kader pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kader wanita. Kemudian, dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat. (Santi Soekanto, Gerakan Feminisme Kembali ke Sunnatullah, 22 April 2006, www.hidayatullah.com.) Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah: Sanggupkah jika kita-para perempuan mengalami seperti apa yang di alami oleh kader tentara wanita Inggris di atas jika hal tersebut juga di berlakukan di Negara kita? Selain itu, apakah RUU Kesetaraan Gender memang benar-benar sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara kita? Dalam hal ini, hak-hak yang diperjuangkan memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di anut di Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia?. Keganjilan lain pasal-pasal yang di adopsi dari CEDAW ke dalam RUU Kesetaraan Gender, terutama pada pasal 1, pasal 9, pasal 11, pasal 13 dan pasal 16 CEDAW. Sebagian pasal-pasal yang telah di adopsi dari CEDAW tersebut juga akan membawa implikasi yang sangat serius bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia terutama dalam hal hukum keluarga. Karena dalam pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan: Negara-negara peserta akan mengambil tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubunganhubungan keluarga dan khususnya akan menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan kaum wanita : (h) Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam hal pemilikan, perolehan, pengelolaan, penguasaan, penikmatan dan pembagian harta kekayaan, baik cuma-cuma ataupun dengan pertimbangan nilai. Pasal di atas perlu diperhatikan, karena jika hal tersebut di kaitkan dengan pembagian harta kekayaan dari kedua pasangan untuk anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hak waris. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. An-Nisaa ayat 11; bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta [QS: An Nisaa':11] Jika yang dimaksudkan adalah kesetaraan dalam hal-hal yang tertulis dalam al-Quran menyangkut hubungan perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi), maka, bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha mempertanyakan ulang atau setidaknya mengotak-atik ketentuan nash dalam al-Quran. Feminisme dan Krisis Identitas

Istilah feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus kemudian menjadi fe-minus. Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/menindas wanita. Dalam perkembangannya, feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para penyokong feminis radikal mendeklarasikan bahwa wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya tanpa lakilaki. Nah, yakinkah bahwa kita bisa hidup tanpa laki-laki? Mungkin kasus Bella Abzug, bisa kita jadikan sebagai cermin. Bella merupakan icon feminisme dan perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam majalah Ms. 1990, Bella menulis artikel Martin, What Should I Do Now? (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi. Dan kaum muslimah Indonesia yang menyebarkan maupun menganut paham semacam ini seperti sedang di landa krisis identitas, karena mereka tak percaya dengan hak, peran maupun kedudukan mereka sebagai perempuan telah di jamin dan di atur oleh Islam, sehingga mereka harus mengadopsi mentah-mentah segala konvensi yang datang dari Barat tanpa harus berkaca kembali pada nilai-nilai Islam. Sebagai seorang muslimah, semestinya kita juga malu pada penganut agama lain, karena sejak lima tahun lalu, wanita Kristen Indonesia sudah di antisipasi untuk menghindari gerakan feminisme. (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 October 2006), bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahayanya teori gender ini karena teori Gender yang di ajarkan bertentangan dengan ajaran Katolik. (Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29 September 2011). Di dalam Islam pun, hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah di atur sedemikian rupa. Laki-laki berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan mengasuh dan mendidik anakanaknya, meski memang tak menutup kemungkinan perempuan juga ikut membantu perekonomian keluarga tetapi tentunya harus mendapatkan izin dan pertimbangan dari suaminya. Jika kesetaraan gender membawa dampak buruk terhadap nilai-nilai agama, maka, jangan paksakan kami untuk setara!.

*** Sebuah tulisan menarik yang dapat menjadi referensi baru bagi kita, terutama bagi kaum hawa. Islam sangat memuliakan Wanita, itu pasti. Mengenai kesetaraan gender, hal itu hanyalah sebuah penularan kegelisahan wanita Barat yang trauma dengan budaya sosial masyarakatnya tempo dulu dan mungkin hingga kini. Dan kampanye kesetaraan Gender di Indonesia hari hanyalah makin memperlihatkan betapa Inferiority Complex Syndrome masyarakat bangsa ini terhadap Barat masih sangat besar, sehingga apa saja kampanye Faham-faham impor yang berasal dari barat seolah-olah menjadi sebuah keharusan tuk diikuti. Sebagai penutup Seduhan ini saya hanya ingin berpendapat bahwa bukankah Islam lebih adil dalam menempatkan posisi wanita di kehidupan. Adil bukan berarti setara (Podho/Sama Rata An Sich), namun adil adalah Berimbang, berimbang dalam hak dan kewajiban, dengan memperhatikan keadaan si manusia tersebut. Wallahu Alam. Diseduh Oleh : Musyaf Senyapena ([email protected]) Diseduh Di : Senyapandaan