kelompok iii (dm)

59
MAKALAH KIMIA KLINIK PEMERIKSAAN KLINIS UNTUK DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS DISUSUN OLEH: KELOMPOK III ITA PUSPITA SARI P. MUH. AKHSAN ARSUL MUZAYYIDAH NURFADHILAH DJAMALUDDIN NUR HIKMA AW.

Upload: wiwimulaiponk

Post on 26-Sep-2015

233 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

DM

TRANSCRIPT

MAKALAH KIMIA KLINIKPEMERIKSAAN KLINIS UNTUK DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

DISUSUN OLEH:KELOMPOK IIIITA PUSPITA SARI P.MUH. AKHSAN ARSULMUZAYYIDAHNURFADHILAH DJAMALUDDINNUR HIKMA AW.

JURUSAN FARMASI FIKESUNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSARSAMATA-GOWA2010

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tak ada kata yang pantas untuk penyusun ucapkan kecuali syukur kepada Allah Ilahi Rabbi, karena lewat jamahan tangan kasih-Nya yang ajaib, penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Salam dan shalawat selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat-sahabatnya, tabiin, dan tabi-tabiin yang berhasil menggiring kita dari sebuah masa yang penuh dengan kebodohan ke masa yang terang karena cahaya ilmu pengetahuan. Dalam proses penyusunan makalah ini, penyusun menyadari tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik dalam bentuk dorongan moril maupun materil, jurnal lengkap ini tidak akan terwujud sebagaimana harapan penyusun. Oleh karena itu, penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kanda Safaruddin selaku dosen pembimbing dan teman-teman yang telah membantu penyusunan makalah ini.Penyusun tidak dapat membalas segala bentuk bantuan dan dukungan tersebut. Yang dapat penyusun lakukan hanya mengirimkan doa semoga segala bentuk bantuan tersebut mendapat berkah dan balasan dari Allah Swt. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Samata-Gowa, Oktober 2010

Penyusun

BAB IPENDAHULUAN

Status kesehatan yang optimal merupakan syarat untuk menjalankan tugas dalam pembangunan. Menurut paradigma sehat, diharapkan orang tetap sehat dan lebih sehat, sedang yang berpenyakit lekas dapat disembuhkan agar sehat. Untuk segera dapat disembuhkan, perlu ditentukan penyakitnya yaitu ringan, berat, atau fatal. Dalam menentukan penyakit atau diagnosis, membantu diagnosis, prognosis, mengendalikan penyakit dan memonitor pengobatan atau memantau jalannya penyakit, dokter melakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan spesimen atau sampel yang diambil pasien. Tes atau pemeriksaan dapat secara kimia klinik, hematologi, imunologi, serologi, mikrobiologi klinik, dan parasitologi klinik (Hardjoeno H, dkk 2003, 1-2)Berbagai diagnosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan klinis atau tes laboratorium dengan tujuan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis, salah satunya seperti pada penderita Diabetes Mellitus (DM).Yang dimaksud dengan Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya.Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1%. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ke tahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4% akan didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis/subspesialis/endokrinologis.Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi penderita DM, yang seyogyanya diintregasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer, peran dokter umum adalah sangat penting. Kasus DM yang disertai dengan penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum. Apalagi kalau kemudian kadar glukosa darah ternyata dapat terkendali baik dengan pengelolaan ditingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut jangka panjang pada para pasien tersebut. Pasien yang potensial akan menderita komplikasi DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim pengelola DM pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim kembali kepada dokter yang biasa mengelolanya. Demikian pula pasien DM yang sukar terkendali kadar glukosa darahnya, pasien DM dengan komplikasi, apalagi komplikasi yang potensial fatal, perlu dan harus ditangani oleh instansi yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap, dalam hal ini Pusat DM di Fakultas Kedokteran/Rumah Sakit Pendidikan/RS Rujukan Utama. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna bagi pasien DM dan untuk menekan angka komplikasi, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi penderita DM. Diabetes Melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat, dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikusertaan pasien sendiri dan keluarganya. Penyuluhan kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM (Alwi Shihab 2006, 1).Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat. Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Mendampingi, memberikan konseling dan bekerja sama erat dengan penderita dalam penatalaksanaan diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi obat merupakan salah satu tugas profesi kefarmasian. Membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker. Demikian pula apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes, mulai dari pengetahuan tentang etiologi dan patofisiologi diabetes sampai dengan farmakoterapi dan pencegahan komplikasi yang semuanya dapat diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami, disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi penderita. Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan apoteker di apotik mungkin lebih tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan pelayanan kefarmasian yang professional (Depkes RI 2005, 7-8)

BAB IIDIABETES MELLITUS

A.Definisi Diabetes MellitusDiabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin meningkat , terutama pada kelompok umur dewasa ke atas pada seluruh status sosial ekonomi. Saat ini upaya penanggulangan penyakit DM belum memnempatoi skala prioritas utama dalam pelayana kesehatan, walaupun demikian dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal. (Depkes RI 2003, 1)Diabetes Mellitusa dalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa 126 mg/dL atau postprandial 200 mg/dL atau glukosa sewaktu 200 mg/dL). Bila DM tidak segera diatasi akan terjadi gangguan mikrovaskular atau makrovaskular meningkat. (Gunawan 2007, 485). Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme karbohidrat yang merupakan salah satu unsur zat gizi makro. Gangguan metabolisme ini juga menyebabkan ganngguan metabolisme zat gizi lain yaitu protein, lemak, vitamin, dan mineral yang mana pada proses metaboliusme tubuh itu saling berinteraksi antar semua unsur zat gizi. Oleh karena itu, DM adalah merupakan salah satu dari Nutrition Related Disease di mana gangguan salah satu metabolisme zat gizi dapat menimbulkan penyakit. Terapi diet adalah penatalaksanaan gizi paling penting penderita DM. Tanpa pengaturan jadwal dan jumlah makanan serta kualitas makanan sepanjang hari, sulit mengontrol kadar gula darah agar tetap berada dalam batas normal. (Depkes RI 2003, 5)American Diabetes Association baru baru ini merevisi klasifikasi dan terminologi diabetes mellitus istilah sebelumnya Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) telah diganti dengan tatanama masing-masing menjadi diabetes tipe 1 dan 2. Diabetes tipe 1 meliputi kasus yang disebabkan oleh kerusakan sel B pankreas (diperantari imun pada sebagian besar kasus), dan diabetes tipe 2 yang terdiri dari gabungan kerusakan sekresi dan kerja insulin, yang terdapat dalam rentang mulai dari resistensi insulin yang dominan dengan defesiensi insulin secara relatif sampai dengan kerusakan sekresi yang dominan dengan resistensi insulin. (Katzung 2001, 671-672)

B.Klasifikasi Diabetes MellitusKlasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile diabetes, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul. Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel 1. (Depkes RI 2005, 10-12)Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)1.Diabetes Mellitus Tipe 1Destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)B. Idiopatik

2Diabetes Mellitus Tipe 2Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensiinsulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.

3Diabetes Mellitus Tipe LainA. Defek genetik fungsi sel : kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3), kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2) kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1) DNA mitokondriaB. Defek genetik kerja insulinC. Penyakit eksokrin enetic: Pankreatitis Trauma/Pankreatektomi Neoplasma Cistic Fibrosis Hemokromatosis Pankreatopati fibro kalkulusD. Endokrinopati:1. Akromegali2. Sindroma Cushing3. Feokromositoma4. HipertiroidismeE. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, enetic tiroid, asamnikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferonF. Diabetes karena infeksiG. Diabetes Imunologi (jarang)H. Sindroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Willi

4.Diabetes Mellitus GestasionalDiabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifatsementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

5.Pra-diabetes:A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi GlukosaTerganggu)

C.Etiologi dan Patofisiologi1. Diabetes Mellitus Tipe 1Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell SurfaceAntibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.\Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose. (Depkes RI 2005, 13-15)Gambaran Klinis : Saat datang pasien umumnya kurus dan memiliki gejala-gejala poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, cepat lelah, dan terdapat infeksi (abses, infeksi jamur, misalnya candidiasis). Ketoasidosis dapat terjadi, disertai gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea. Pasien membutuhkan insulin. (Davey 2005, 135)

2. Diabetes Mellitus Tipe 2Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normalb. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel 2. (Depkes RI 2005, 15-17)Tabel 2. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2DM Tipe 1DM Tipe 2

Mula munculUmumnya masa kanak-kanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahunPada usia tua, umumnya > 40 tahun

Keadaan klinis saat diagnosisBeratRingan

Kadar insulin darahRendah, tak adaCukup tinggi, normal

Berat badanBiasanya kurusGemuk atau normal

Pengelolaan yangdisarankanTerapi insulin, diet,olahragaDiet, olahraga,hipoglikemik oral

Gambaran klinis : 80% kelebihan berat badan; 20% datang dengan komplikasi(penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, gagal ginjal, ulkus pada kaki, gangguan penglihatan). Pasien dapat juga datang dengan poliuria dan polidipsia yang timbul perlahan lahan. Banyak pasien yang dapat ditangani dengan pengaturan diet dan obat hipoglikemik oral, walaupun beberapa membutuhkan insulin. 3.Diabetes Mellitus GestasionalDiabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.4. Pra-diabetesPra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetesKondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Kriteria penegakan diagnosisGlukosa Plasma PuasaGlukosa Plasma2 jam setelah makan

Normal200 mg/dL

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL. (Depkes RI 2005, 21)Dalam penanganan penyakit DM, beberapa tes atau uji laboratorium berikut ini perlu dilakukan.1) Tes GlukosaTes glukosa pada pasien Diabetes Mellitus (DM) merupakan tes saring, tes diagnostic, dan tes pengendalian.a) Tes SaringTes saring dilakukan untuk mendeteksi kasus DM sedini mungkin, sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi kronik akibat penyakit ini. (Hardjoeno, H dkk 2003, 168)Pemeriksaan penyarin yang khusus ditujukan untuk Dm pada penduduk umumnya (mass-screening=pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up), adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Tes saring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor resiko untuk DM yaitu:i) Usia dewasa tua (> 45 tahun);ii) Kegemukan, berat badan > 120% BB ideal;iii) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg);iv) Riwayat keluarga DM;v) Riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi > 4000 gr;vi) Riwayat DM pada kehamilan;vii) Dislipidemia (Kol. HDL < 35 mg/dL, dan atau Trigliserida > 250 mg/dL)viii) Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu).b) Tes DiagnostikTes diagnostik bertujuan untuk memastikan diagnosis DM pada individu dengan keluhan klinis khas DM atau mereka yang terjaring pada tes saring.Tes ini perlu dilakukan terhadap pasien dengan keluhan klinis khas DM antara lain: Poliuria Polidipsi Polifagia Lermah Penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Tes saring menunjukkan hasil:a. GDS: plasma vena= 110-199 mg/dL darah kapiler= 90-199 mg/dL; ataub. GDP: plasma vena= 110-125 mg/dL darah kapiler= 90-109 mg/dL; atauc. Tes urine glukosa/reduksi positif Indikasi Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), bila:a. Keluhan klinis tidak ada: Pada tes diagnostik pertama:GDS: plasma vena= 110-199 mg/dLGDP: plasma vena= 110-125 mg/dL

Tes diagnostik pertama:GDS: plasma vena= 200 mg/dLGDP: plasma vena= 126 mg/dL Setelah diulang:GDS: plasma vena= 200 mg/dL, maka diagnosis adalah diabetes mellitus. Meninggi juga pada pancreatitis, post infark miocard, sindrom Cushing, akromegali, dan pheochromositoma. Menurun pada hiperinsulinisme, penyakit von Gierke, myxoedema, insufisiensi adrenal, hipopituitarisme, dan sindrom malabsorpsi.2)Kadar Glukosa Darah Post Prandial 2 jamSyarat: -Makan yang mengandung 100 g karbohidrat sebelum puasa 2 jam dan hentikan merokok serta olah raga. Hentikan obat-obat pada waktu puasa.Nilai rujukan: 140 mg/dL sesudah tes dengan metode glucose oxidase atau hexokinase. Pada usia lanjut nilai dapat lebih tinggi.Abnormal: - 200 mg/dL menunjukkan DM, namun dapat juga pada pancreatitis, sindrom Cushing, akromegali, pheochoromositoma atau hiperlipoproteinemia (tipe III, IV, dan V). Mungkin juga pada penyakit hati kronis, sindrom nefrotik, tumor otak dan eklampasia serta anoksia. Nilai menurun seperti keadaan pada glukosa darah puasa.3)Tes Toleransi Glukose OralNilai rujukan: Kadar glukosa tertinggi 160-199 mg/dL pada menit ke 60 dan menurun ke kadar normal pada jam ke 2 atau ke 3. Semua sampel urine glukosa negatif.Abnormal: Toleransi glukosa menurun berarti puncak kadar glukosa > 200 mg/dL dan turun lambat ke kadar normal sesudah jam ke 2 pada DM, namun dapat juga pada sindrom Cushing, hemochromatis, pheochromositoma. Toleransi glukosa meninggi berarti puncak kadar glukosa kurang daripada normal menandakan insulinoma, sindroma absorpsi, penyakit Addison, hipotiroidisme, atau hipopituitarisme. 4)HbA1c atau Glycosilated Hemoglobin; Glycated Hb = Glyco HbNilai rujukan: HbA1a= 1,6% HbA1b= 0,8% HbA1c= 5,0% HbA total= 5,5-8,0%

Abnormal pada: HbA1a= 2,5%DM HbA1b= 3,9% HbA1c= 8,0-11,9% HbA total= 10,9-15,5%(Hardjoeno H, dkk 2003; 167-205)

BAB IVSOLUSI DAN PENANGANAN

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat antidiabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stress berat, berat badanku yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat antidiabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.

Tujuan pengelolaan Diabetes mellitus Jangka pendek: menghilangkan keluhan atau gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. Jangka panjang: mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangipati maupun neuroanopati dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM. Cara: menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.Mengingat mekanisme dasar kelainan tipe 2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin, insufisiensi sel -pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. Kegiatan: mengelola pasien secara histolitik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku. (Alwi Shahab, Diagnosis dan Penatalaksanaan DM, 4)

Penatalaksanaan diabetes mellitusPenatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya. Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang diambil, satu faktor yang tak boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis lainnya.1)Terapi Tanpa Obata.Edukasi pasienPenting untuk mempunyai perawat pribadi, edukasi mandiri dan lain-lain. Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan (Alwi Shihab 2006): Makan makanan sehat; Kegiatan jasmani secara teratur; Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik; Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada; Melakukan perawatan kaki secara berkala; Mengelola diabetes dengan tepat; Mengembangkan system pendukung dan mengajarkan keterampilan; Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.b.Penilaian klinisSetelah menegakkan diagnosis diabetes melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut (lihat selanjutnya) dan terapi hipoglikemik seumur hidup , pemeriksaan untuk mencari kerusakan organ setiap 6-12 bulan penglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskular (denyut nadi perifer, tanda-tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf otonom dan atau saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Fungsi ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.c.Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi, dan harus memungkinkan pasien menjalani hidup normal hal ini membutuhkan edukasi dan dukungan kepada pasien. Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol glukosa darah secara optimal dan menyingkirkan faktor-faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah