kelas a pengajaran matematika

Upload: abinailah

Post on 13-Oct-2015

316 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ngajar

TRANSCRIPT

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    1/640

    Dosen Pengampu:

    Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto

    PASCA SARJANA

    UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

    2012

    Kumpulan MakalahMata Kuliah Pengajaran Matematika

    S2 Pendidikan MatematikaKelas A

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    2/640

    i

    Kata Pengantar

    Setelah melalui proses panjang yang diawali dengan mencari jurnal,

    mengumpulkan referensi pendukung, konsultasi dan presentasi oleh masing-masing

    pemakalah. Akhirnya, penyusunan kumpulan makalah mata kuliah Pengajaran

    Matematika rampung juga diiringi rasa senang yang tidak bisa didefinisikan.

    Terima kasih disampaikan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Pengajaran

    Matematika, Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, atas bantuannya dalam memberikan

    alamat jurnal matematika internasional, bimbingan selama menyelesaikan makalah

    dan saran selama presentasi. Dan kepada teman-teman yang sudah merevisi makalah.

    Semoga kumpulan makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca untuk

    menambah pengetahuan tentang beberapa topik menarik dalam penelitian dan

    pembelajaran matematika. Tentunya, apa yang ada di depan pembaca sekarang jauh

    dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun untuk perbaikansangat diharapkan.

    Penyusun

    ^127785013^

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    3/640

    ii

    Daftar Isi

    Kata Pengantar

    Kumpulan Makalah

    #1

    Profil Kemampuan Metakognisi Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah

    Matematika Ditinjau dari Level Berpikir Van Hiele .

    (Andi M ulawakkan F irdaus)#2

    Profil Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar

    dengan Penggunaan Manipulatif Konkret dan Lingkungan Ditinjau dari

    Perbedaan Gaya Belajar Kolb ...

    (Agnita Siska Pr amasdyahsari )

    #3

    Implementasi Strategi Pembelajaran APOS dan Modifikasi-APOS (M-

    APOS) Pada Materi Pokok Dimensi Tiga ...

    (Agus Riyanti Puspito Rin i)#4

    Aplikasi Metode Moore Modifikasi dalam Pemahaman dan Membuktikan

    Masalah Matematika

    (Diana Tri Cholidah)

    #5

    Profil Berpikir Kritis dalam Memecahkan Masalah Matematika Siswa

    SMP dengan Model ABC Ditinjau dari Gaya Belajar .

    (Elbatuah Nugraha)

    #6

    Pemanfaatan Benda-benda Manipulatif untuk Pemahaman Konsep

    Geometri dan Daya Tilik Ruangan ..

    (Hi laria Melania Mbagho)

    i

    ii-iv

    1-38

    39-121

    122-158

    159-203

    204-231

    232-269

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    4/640

    iii

    #7

    Profil Komunikasi Matematika Siswa Bilingual dalam Pemecahan

    Masalah Ditinjau dari Kemampuan Bahasa Matematika (Kami rsyah Wahyu)

    #8

    Profil Pemahaman Siswa Terhadap Simbol Huruf dalam Menyelesaikan

    Masalah dalam Bentuk Aljabar Ditinjau dari Kemampuan Matematika

    (Khoeru l Umam)

    #9

    Peranan Kompetensi Profesional Seorang Guru dalam Mendukung Proses

    Belajar Mengajar Matematika di Sekolah Terpencil ...

    (Mohammad Dali k)#10

    Pengaruh Penggunaan Benda Manipulatif Pada Pembelajaran Matematika

    Ditinjau Dari Gaya Belajar Siswa Sekolah Dasar ...

    (Moh. Shadiq)

    #11

    Aplikasi Strategi Preview, Question, Read, Reflect, Recite dan Review

    (PQ4R) dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika dan

    Self-Regulated Learning..

    (Nailul Authary)#12

    Pembelajaran Used of Models untuk Materi Pokok Luas dan Keliling

    pada Bangun Datar di SD Kelas III .

    (Rasyid Araf iq)

    #13

    Peta Kompetensi Guru Matematika yang Tidak Berlatar Belakang

    Pendidikan Matematika ..

    (Setia Widia Rahayu)

    #14

    Profil Kemampuan Membuktikan Masalah Geometri Siswa SMP Ditinjau

    dari Teo Operasional Logis Piaget ..

    (Suesthi Rahayuningsih)

    270-325

    326-386

    387-408

    409-443

    444-476

    477-515

    516-532

    533-578

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    5/640

    iv

    #15

    Model Pembelajaran ARIAS melalui Pendekatan Kontekstual untuk

    Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP .(Wi jana Soetadianta)

    #16

    Profil Efek dari Solusi Alternatif pada Pemecahan Masalah Siswa SMP

    Ditinjau dari Kemampuan Matematika ...

    (Wil da Syam Tonra)

    579-606

    607-635

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    6/640

    Profil Kemampuan Metakognisi Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah

    Matematika Ditinjau dari Level Berpikir Van Hiele

    Andi Mulawakkan Firdaus

    (127785005)

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    7/640

    2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Matematika merupakan pengetahuan yang abstrak. Untuk memahaminya

    diperlukan konsep yang terstruktur dan sistematis. Skema pembelajaran

    matematika saling terkait antara satu dengan lainnya, hal ini sesuai dengan

    pendapat Swadener dan Soedjadi [1], bahwa guru tidak boleh mengabaikan fakta

    bahwa konsep-konsep matematika terkait satu sama lain seperti rantai cincin.

    Salah satu komponen kurikulum pendidikan nasional yang diajarkan pada

    jenjang pendidikan sekolah adalah matematika. Matematika adalah suatu ilmu

    yang mengajarkan pola logis, dan konsep matematika memiliki keterkaitan erat

    antara satu konsep dengan konsep lainnya. Pola pikir logis matematika akan

    membekali siswa kemampuan untuk menganalisa dan membuat kesimpulan

    terhadap apa yang dipikirkan, baik ketika siswa berpikir untuk menyelesaikan

    masalah yang terkait konsep-konsep matematika atau masalah yang dihadapi

    dalam kehidupan sehari-hari.

    Kesuksesan seseorang dalam memecahkan masalah antara lain sangat

    bergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana

    dia melakukannya. Oneil dan Brown [2] mengemukakan pengertian metakognisi

    sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam

    rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan

    pengertian diatas, Mohamad Nur [3] mengemukakan bahwa metakognisi

    berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan

    kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat.

    Berkaitan dengan proses metakognisi siswa Mohamad Nur [3]

    mengemukakan secara operasional tentang kemampuan metakognitif yang dapat

    diajarkan kepada siswa, seperti kemampuan-kemampuan untuk menilai

    pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan

    untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau

    memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    8/640

    3

    sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk

    memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapatditerima oleh akal dan mana yang tidak.

    Kemampuan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika

    kemungkinan dipengaruhi oleh level berpikir geometri siswa. Menurut van Hiele

    berpikir secara geometris itu terdiri atas lima level. Kelima level tersebut adalah

    level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal), level 3

    (deduksi), level 4 (penguatan/rigor). Namun peneliti hanya memilih level berpikir

    0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal) karena berdasarkan

    hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa level berpikir geometris siswa

    SMP berdasarkan level berpikir geometris van Hiele hanya berada di antara level

    0 (visualisasi) dan level 2 (deduksi informal).

    Hal ini sesuai dengan penelitian Sukayasa [4] bahwa pada umumnya siswa

    SMP memiliki kemampuan berpikir level 0 (visualisasi) sampai level 2 (deduksi

    informal). Dengan demikian pembelajaran matematika siswa SMP hanya pada

    level 0 (visualisasi) sampai level 2 (deduksi informal).

    Pada akhir penelitian ini, diharapkan peneliti mendapatkan profil

    metakognisi SMP dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari level

    berpikir van Hiele. Profil metakognisi tersebut didasarkan pada level berpikir

    geometris van Hiele yang digunakan sebagai panduan utama dalam memecahkan

    masalah matematika.

    Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan

    masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

    1. Bagaimana profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan masalah

    matematika yang berada pada level visualisasi?

    2. Bagaimana profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan masalah

    matematika yang berada pada level analisis?

    3. Bagaimana profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan masalah

    matematika yang berada pada level deduksi informal?

    Berdasarkan pertanyaan di atas, maka makalah ini bertujuan untuk:

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    9/640

    4

    1. Mendeskripsikan profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan

    masalah matematika yang berada pada level visualisasi.2. Mendeskripsikan profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan

    masalah matematika yang berada pada level analisis.

    3. Mendeskripsikan profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan

    masalah matematika yang berada pada level deduksi informal.

    Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, maka perlu dijelaskan beberapa

    istilah dalam makalah ini, antara lain:

    a. Profil adalah deskripsi/gambaran yang diungkap baik dengan kata-kata

    maupun gambar.

    b. Profil Metakognisi siswa dalam penelitian ini adalah gambaran yang

    sesuai dengan keadaan sesungguhnya tentang metakognisi siswa dalam

    memecahkan masalah matematika.

    c. Metakognisi merupakan pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya

    sendiri, atau pengetahuan seseorang tentang kognisinya serta

    kemampuan dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam

    belajar dan berpikir.

    d. Memecahkan masalah adalah suatu kegiatan dalam menyelesaikan

    masalah yang mengikuti tahap-tahap pemecahan masalah Polya, yakni:

    memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana

    tersebut, dan memeriksa kembali hasil penyelesaian.

    e. Masalah matematika adalah soal matematika yang belum dapat

    diselesaikan dengan prosedur rutin yang sudah diketahui siswa

    sebelumnya.

    f. Kemampuan matematika adalah kemampuan intelektual yang dimiliki

    siswa dalam menyelesaikan soal atau masalah matematika.

    g. Level berpikir geometri van Hiele yang dimaksud dalam penelitian ini

    adalah level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal).

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    10/640

    5

    Terdapat beberapa manfaat yang diharapkan dari makalah ini, yaitu:

    1. Sebagai bahan masukan bagi guru tentang profil metakognisi siswa SMPdalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari level berpikir van

    Hiele.

    2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian pada

    kajian yang sama.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    11/640

    6

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Metakognisi

    Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar pada umumnya

    memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling

    umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir (ONeil & Brown) [2].

    Namun untuk dapat memahami lebih mendalam tentang pengertian metakognisi,

    maka berikut dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta

    penjelasannya.

    ONeil dan Brown [2] mengemukakan pengertian metakognisi sebagai

    proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka

    membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan pengertian di

    atas, Mohamad Nur [3] mengemukakan bahwa metakognisi berhubungan dengan

    berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka

    menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Huitt [5]

    mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang sistem

    kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial

    seseorang dalam belajar untuk belajar.

    Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di

    atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sederhana metakognisi adalah

    pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya sendiri, atau pengetahuanseseorang tentang kognisinya serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol

    aktivitas kognisinya dalam belajar dan berpikir.

    B. Komponen (Indikator) Metakognisi

    Anderson dan Krathwohl [6] mengemukakan tiga aspek dari pengetahuan

    metakognisi, yaitu (a) pengetahuan strategi (strategic knowledge), (b)

    pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    12/640

    7

    kondisional, dan (c) pengetahuan-diri (self-knowledge). Flavel dalam Livingston,

    [7] membagi pengetahuan kognitif ke dalam tiga kategori, yaitu (a) variabelpengetahuan-diri (individu), (b) variabel tugas, dan (c) variabel strategi.

    Sedangkan indikator-indikator metakognisi menurut Hacker[8]tergambar

    dari pengertian metakognitif yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul

    Metacognition: Definitions and Empirical Foundations

    (http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html) bahwa metakognisi adalah proses

    berpikir seseorang tentang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam

    pengertian ini adalah: apa yang seseorang ketahui (yaitu pengetahuan

    metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif),

    dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (yaitu pengalaman

    metakognitif).

    Huitt [5] mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan

    seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan

    dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai

    berikut:

    (a)Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?

    (b)Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?

    (c)Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?

    (d)Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?

    (e)Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk

    mempelajrinya?

    (f) Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?

    (g)Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?

    (h)Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat

    sesuatu?

    Marzano dkk [9] menjelaskan bahwa metakognisi mencakup dua

    komponen, yaitu (a) pengetahuan dan kontrol diri, dan (b) pengetahuan dan

    kontrol proses. Siswa yang berhasil adalah siswa yang secara sadar dapat

    memonitor dan mengontrol belajar mereka. Pusat dari pengetahuan-diri dan

    http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    13/640

    8

    regulasi-diri adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Sedangkan elemen dari

    pengetahuan dan kontrol proses adalah (a) pengetahuan pentingdalam metakognitif dan (b) kontrol pelakasana dari perilaku

    (http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm).

    Mohamad Nur [3] mengemukakan secara operasional tentang kemampuan

    metakognitif yang dapat diajarkan kepada siswa, seperti kemampuankemampuan

    untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka

    butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar

    atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami

    sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk

    memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat

    diterima oleh akal dan mana yang tidak.

    Sedangkan Shoenfeld [10] mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara

    untuk menjelaskan tentang metakognitif dalam pembelajaran matematika, yaitu:

    (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri).

    Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan

    untuk memecahkan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut

    membentuk jalan/cara untuk memecahkan masalah matematika. Pengetahuan

    tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam

    menggambar proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi diri

    menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang

    harus dilakukan ketika memecahkan masalah dan seberapa baiknya seseorang

    menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas

    pemecahan masalah.

    Noert Central Regional Educational Laboratory (NCREL) [11]

    megemukakan tiga elemen dasar dari metakognisi secara khusus dalam

    mengahadapi tugas, yaitu (a) mengembangkan rencana tindakan, (b)

    mengatur/memonitor rencana, dan (c) mengevaluasi rencana. Lebih jauh NCREL

    memberikan petunjuk melaksanakan ketiga komponen metakognisi tersebut

    sebagai berikut:

    http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    14/640

    9

    Sebelum: Ketika kamu mengembangkan rencana tindakan, tanyakan

    dirimu:Pengetahuan awal apa yang membantu dalam tugas ini?

    Petunjuk apa yang dapat digunakan dalam berpikir?

    Apa yang pertama akan saya lakukan?

    Mengapa saya membaca (bagian) pilihan ini?

    Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap?

    Selama: Ketika kamu mengatur/memonitor rencana tindakan, tanyakan

    dirimu:

    Bagaimana saya melakukannya?

    Apakah saya berada pada jalur yang benar?

    Bagaimana saya meneruskannya?

    Informasi apa yang penting diingat?

    Akankah saya pindah pada petunjuk lain?

    Akankah saya mengatur langkah-langkah bergantung pada

    kesulitan?

    Apa yang perlu dilakukan jika saya tidak mengerti?

    Sesudah: Ketika kamu mengevaluasi rencana tindakan, tanyakan dirimu:

    Seberapa baik saya melakukannya?

    Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau

    yang lebih sedikit dari yang saya perkirakan?

    Apakah saya dapat mengerjakan dengan cara yang berbeda?

    Bagaimana saya dapat mengaplikasikan cara berpikir ini pada

    proiblem yang lain?

    Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi

    kekosongan pada ingatan saya?

    Walaupun secara redaksional pengertian dan komponen-komponen

    metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada

    hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    15/640

    10

    bahkan cenderung sama. Untuk keperluan penelitian ini, peneliti akan

    menggabungkan beberapa komponen dan membatasi diri pada komponen-komponen tertentu saja. Komponen-komponen metakognisi yang akan dibahas

    lebih jauh dan menjadi fokus penelitian ini adalah: (a) pengetahuan seseorang

    tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol

    strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, dan

    (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar,

    berpikir, dan pemecahan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya.

    C. Masalah matematika

    Masalah matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo [12] adalah masalah

    yang berkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah adalah masalah

    matematika jika memenuhi tiga syarat yaitu : (a) menantang untuk diselesaikan

    dan dapat dipahami siswa, (b) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang

    telah dikuasai siswa, (c) melibatkan ide-ide matematika. Berdasarkan pendapat

    Hudoyo tersebut suatu pertanyaan akan menjadi masalah bagi siswa apabila

    pertanyaan yang dihadapkan dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun

    pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya dan

    pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah

    diketahui siswa yang melibatkan ide-ide matematika. Berdasarkan uraian diatas,

    dalam penelitian ini yang dimaksud masalah matematika adalah soal matematika

    yang belum dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang sudah diketahui siswa

    sebelumnya.

    Polya [13] mengategorikan masalah dalam matematika menjadi dua, yaitu:

    (1) masalah untuk menemukan, (2) masalah untuk membuktikan. Tujuan dari

    masalah untuk menemukan adalah untuk menemukan objek (sasaran) yang pasti

    atau masalah yang ditanyakan. Bagian prinsip dari masalah untuk menemukan

    adalah: (a) apakah yang ditanyakan?, (b) apakah data yang diketahui?, (c)

    bagaimana syaratnya?. Sedangkan masalah untuk membuktikan adalah suatu

    masalah yang dirancang untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar

    atau salah, sehingga perlu dijawab dengan pertanyaan; apakah pernyataan

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    16/640

    11

    tersebut benar atau salah? atau menjawab kesimpulan dengan membuktikan

    benar atau salah. Bagian utama dari masalah ini adalah jika masalahnyamerupakan masalah matematika adalah hipotesis atau konklusi dari suatu teorema

    yang harus dibuktikan kebenarannya.

    Dalam penelitian ini dipilih soal yang pemecahan masalahnya memerlukan

    strategi untuk dapat memilih rumus yang paling tepat dengan memperhatikan

    hubungan antar data dan memanfaatkan pengetahuan awal. Bagian prinsip dari

    masalah yang dipilih adalah: (a) apakah yang ditanyakan?, (b) apakah data yang

    diketahui?, (c) bagaimana syaratnya? Sehingga dalam pemecahan masalahnya

    siswa memerlukan strategi untuk mengarahkan berpikirnya tentang apa yang

    diketahui dengan memperhatikan syarat-syaratnya untuk menjawab apa yang

    ditanyakan. Dengan pemberian masalah menemukan, diharapkan dapat digunakan

    untuk mengungkap metakognisi siswa secara optimal.

    D. Pemecahan Masalah Matematika

    Berhadapan dengan kehidupan yang penuh dengan masalah maka

    pembelajaran matematika disekolah sebaiknya dirancang dengan menempatkan

    masalah sebagai topik utama dalam kegiatan pembelajaran yang akan membekali

    siswa kemampuan untuk memecahkan masalah. Masalah matematika dalam

    penyelesaiannya membutuhkan aktivitas mental yang tinggi sehingga akan

    melatih/merangsang siswa untuk berpikir ke tingkat yang lebih tinggi.

    Menurut Polya, dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah yang

    harus dilakukan yaitu :

    a. Memahami masalah

    Langkah awal ini dimaksudkan untuk mengetahui informasi yang terdapat

    dalam masalah tersebut, misalnya apa yang diketahui, apa yang tidak

    diketahui (apa yang ditanyakan), bagaimana situasi dari masalah tersebut.

    b. Membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah.

    Dalam bagian ini disarankan untuk menemukan hubungan antara variable

    (hal-hal yang tidak diketahui) dengan data dalam masalah tersebut,

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    17/640

    12

    kemudian merencanakan strategi yang sesuai berdasarkan hubungan

    tersebut.

    c. Melaksanakan rencana penyelesaian masalah

    Setelah direncanakan, maka pada bagian ini rencana tersebut dilaksanakan.

    Beberapa indikator yang menunjukkan siswa melaksanakan atau

    mengaplikasikan rencana yang dibuat adalah: (a) mengecek setiap langkah

    yang digunakan, (b) melakukan perhitungan berdasarkan cara yang

    ditetapkan, dan (c) mengoreksi atau memperbaiki kesalahan yang dibuat.

    d. Melihat kembali penyelesaian yang diperoleh

    Jawaban yang diperoleh dari langkah ketiga, selanjutnya diuji

    kebenarannya. Beberapa indicator yang menunjukkan bahwa siswa

    mengevaluasi kembali hasil pekerjaannya adalah: (a) menyimpulkan hasil

    akhir sebagai jawaban terhadap apa yang ditanyakan, (b) mengecek

    kebenaran argumen dan hasil yang diperoleh, dan (c) mencocokkan

    jawaban yang diperoleh dengan permasalahan yang ada.

    E. Berpikir Geometris Menurut van Hiele

    Van de Walle [14] mengemukakan bahwa teori van Hiele telah menjadi

    faktor yang berpengaruh pada kurikulum geometri Amerika. Hal yang paling

    unggul dari model tersebut adalah hirarki lima level cara memahami ide-ide

    keruangan. Masing-masing dari ke 5 level tersebut mendeskripsikan proses

    berpikir yang digunakan dalam memecahkan masalah matematika. Level-level

    tersebut mendeskripsikan bagaimana seseorang berpikir dan jenis ide apakah yang

    seseorang pikirkan, bukan seberapa banyak pengetahuan yang seseorang

    memiliki. Karena seseorang berkembang dari satu level ke level selanjutnya,

    obyek berpikir masalah matematika seseorang pun berubah. Van de Walle [14]

    menjabarkan kelima level berpikir tersebut sebagai berikut:

    1. Level 0: visualisasi

    Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik,

    tahap visual. Obyek berpikir pada level 0 adalah bentuk dan seperti

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    18/640

    13

    apakah objek itu. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk masalah

    matematika hanya sekedar berdasar karakteristik visual danpenampakannya. Siswa pada level ini akan menyusun dan mengklasifikan

    bangun berdasarkan tampilan bangun tersebut. Oleh karena itu, pada tahap

    ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan

    karakteristik bangun yang ditunjukkan. Hasil yang diperoleh dari berpikir

    pada level 0 adalah kelas-kelas atau pengelompokan bangun-bangun yang

    tampak mirip.

    2. Level 1: Analisis

    Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Objek berpikir pada level 1

    adalah pengelompokan bangun. Pada tahap ini sudah tampak adanya

    analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-

    sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran,

    eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa

    belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut,

    belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan

    definisi tidak dapat dipahami oleh siswa. Hasil berpikir pada level 1 adalah

    sifat-sifat bangun.

    3. Level 2: Deduksi Informal

    Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap relasional, tahap

    teoritik, dan tahap keterkaitan. Obyek berpikir pada level 2 adalah sifat-

    sifat bangun. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-

    sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun

    geometri. Siswa dapat membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat

    dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat

    mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian,

    siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk

    membangun geometri. Hasil berpikir pada level 2 adalah hubungan di

    antara sifat-sifat obyek/bangun geometri.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    19/640

    14

    4. Level 3: Deduksi

    Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Objek berpikir padalevel 3 adalah hubungan-hubungan diantara sifat-sifat obyek geometri.

    Pada tahap ini siswa dapat menyusun bukti, tidak hanya sekedar menerima

    bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada

    tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu

    cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa

    menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.

    Hasil berpikir pada level 3 adalah sistem axiomatik deduktif geometri.

    5. Level 4: Penguatan (rigor)

    Pada tahap ini disebut juga dengan tahap matematika atau tahap

    aksiomatik. Objek berpikir pada level 4 adalah sistem axiomatik deduktif

    geometri. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem

    matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma

    dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan,

    aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami. Hasil

    berpikir pada level 4 adalah perbandingan dan pertentangan diantara

    sistem axiomatik yang berbeda dalam geometri.

    Van de Walle [14] pun menjabarkan bahwa karakteristik level berpikir van

    Hiele adalah hasil berpikir pada tiap level sama dengan objek berpikir pada level

    selanjutnya. Hubungan objek produk di antara level dalam teori van Hiele ini

    diilustrasikan dalam gambar 2.1 berikut.

    G

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    20/640

    15

    Gambar 2.1 Hubungan objek produk di antara level dalam

    Teori berpikir geometris van Hiele

    Dari gambar bagan di atas dapat disimpulkan bahwa level-level berpikir

    tersebut berentetan (sequential). Untuk sampai pada suatu level tertentu di atas

    level 0 siswa harus melalui level sebelumnya. Untuk melalui suatu level seorang

    siswa harus telah mengalami berpikir geometri yang tepat untuk level itu dan telah

    menciptakan jenis objek atau hubungan dalam pikirannya sendiri yang

    merupakan fokus berpikir pada level selanjutnya.

    Pada penelitian ini, peneliti hanya fokus pada siswa yang berada pada level

    0 (visualisasi), 1 (analisis), dan level 2 (deduksi informal) berdasarkan level

    berpikir geometris van Hiele. Untuk mengetahui siswa berada pada level tersebut

    diberikan tes penggolongan level pemahaman geometri van Hiele (selanjutnya

    disebut PLVH) yang dikembangkan oleh Usiskin [17] dalam van Hiele Levels and

    Achievement in Secondary School Geometry. Karena instrumen asli

    menggunakan bahasa Inggris, maka akan dilakukan proses adaptasi sehingga

    dapat digunakan dalam penentuan subjek penelitian.

    Instrumen ini berbetuk pilihan ganda yang terdiri dari 25 soal dimana

    setiap 5 soal (secara terurut) mewakili level pemahaman geometri van Hiele yang

    akan diuji. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan soal tersebut hanya 35

    menit.

    Kriteria penilaian dari instrumen ini adalah jika diperoleh minimal 3

    jawaban benar dari 5 jawaban pada setiap level, maka dikategorikan siswa

    tersebut masuk pada level tersebut. Dengan catatan siswa tersebut sudah termasuk

    kategori pada level sebelumnya.

    F. Profil Metakognisi Siswa ditinjau dari level berpikir van Hiele

    Pada makalah ini, profil berpikir metakognisi yang akan dideskripsikan

    adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang masing-

    masing berada pada level 0 (visualisasi), 1 (analisis), dan level 2 (deduksi

    informal).

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    21/640

    16

    Kemampuan metakognisi tersebut adalah :

    1. Bagaimana cara memahami soal geometri.2. Memilih rencana yang efektif untuk memecahkan soal geometri.

    3. Bagaimana mengevaluasi rencana tindakan dalam memecahkan soal

    geometri.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    22/640

    17

    BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    1. Metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya

    sendiri, atau pengetahuan seseorang tentang kognisinya serta kemampuan

    dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam belajar dan

    berpikir.

    2. Komponen-komponen metakognisi: (a) pengetahuan seseorang tentang

    strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol

    strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan

    masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta

    menggunakan strategi belajar, berpikir, dan pemecahan masalah yang

    sesuai dengan keadaan dirinya.

    3. Masalah matematika yang dikemukakan oleh Hudojo adalah masalah yangberkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah adalah masalah

    matematika jika memenuhi tiga syarat yaitu : (a) menantang untuk

    diselesaikan dan dapat dipahami siswa, (b) tidak dapat diselesaikan dengan

    prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, (c) melibatkan ide-ide

    matematika.

    4. Menurut Polya, dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah yang

    harus dilakukan yaitu :

    a. Memahami masalah

    b. Membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah.

    c. Melaksanakan rencana penyelesaian masalah

    d. Melihat kembali penyelesaian yang diperoleh

    5. Menurut van Hiele berpikir secara geometris itu terdiri atas lima level.

    Kelima level tersebut adalah level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2

    (deduksi informal), level 3 (deduksi), level 4 (penguatan/rigor). Namun

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    23/640

    18

    peneliti hanya memilih level berpikir 0 (visualisasi), level 1 (analisis),

    level 2 (deduksi informal) karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnyamenyatakan bahwa level berpikir geoetris siswa SMP berdasarkan level

    berpikir geometris van Hiele hanya berada di antara level 0 (visualisasi)

    dan level 2 (deduksi informal).

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    24/640

    19

    DAFTAR PUSTAKA

    [1]. Soedjadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi

    Keadaan Masa Kini dan Harapan Masa Depan.Jakarta: Dirjen Dikti

    Departemen Pendidikan Nasional.

    [2]. ONeil & Brown. (1997). Differential Effects of Question Formats in MathAssessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: National

    Center for Research on Evaluation.

    [3]. Mohamad Nur. (2000). Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: Pusat Studi

    Matematika dan IPA Sekolah.

    [4]. Sukayasa. (2002). Pengembangan Paket Pembelajaran Geometri SLTP pada

    PokokBahasan Segitiga Berpandu pada Fase-fase Pembelajaran van

    Hiele. Surabaya: Tesis Program Studi Pendidikan Matematika

    ProgramPascasarjana Unesa.

    [5].Huitt, William G. (1997). Metacognition.

    Available:http://tip.psychology.org/meta.html.

    [6]. Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy For

    Learning,Teaching, and Assessing (A Revision of Blooms Taxonomy

    of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman,

    Inc.

    [7]. Livingston, Jennifer A. (1997). Metacognition: An Overview. Available:

    http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htm.

    [8]. Hacker, Douglas J.(1997) Metacognition: Definitions and Emperical

    Foundations. The University of Mephis. Available:

    http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html.

    [9].Marzano. (1988). Metakognition. Available:

    (http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm).

    [10]. Shoenfeld. (1987). Whats All The Fuss About Metacognition. Available:

    http://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.html.

    [11]. NCREL. (1995). Metacognition. Available: http://www.ncrel.org/sdrs

    /areas/issues/students/learning/lrlmetn.htm.

    http://tip.psychology.org/meta.htmlhttp://tip.psychology.org/meta.htmlhttp://tip.psychology.org/meta.htmlhttp://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htmhttp://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htmhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htmhttp://tip.psychology.org/meta.html
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    25/640

    20

    [12]. Hudoyo. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.

    UniversitasNegeri Malang.

    [13]. Polya, G. (1973). How To Solve it. New Jersey : Princeton University Press.

    [14]. Van de Walle, J. A. (2001). Geometric Thinking and Geometric Concept. In

    Elementary and Middle School Mathematics.Teaching

    developmentally 4th ed.Boston: Pearson Education.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    26/640

    21

    Jurnal

    Instructor's Scaffolding in Support of Student's Metacognition through a

    Teacher

    Education Online Course A Case Study

    Roni Reingold

    Achva-College of Education, Israel

    Rikki Rimor

    Open University, Israel

    Anat KalayBen-Gurion University, Israel

    Abstract

    This study describes the relationship between the instructor's feedback and

    students' metacognitive processes in an online course on democracy and

    multiculturalism, which was taught as part of a teacher education program. 700

    postings, written by 68 students, were content analyzed along with 66 postings by

    the instructor, using tools designed for that purpose. A strong positive correlation

    was found between the instructor's responses and students' metacognitive thinking

    demonstrating the importance of instructor's feedback in helping to produce an

    environment in which students would experience learning through reflective and

    metacognitive processes. Our study highlights the unique potential of online

    courses coupled with instructor's scaffolding to promote and study students

    metacognitive reflections. Implications for the design of teacher education

    programs are also discussed.

    Introduction

    Educators have long considered metacognition to be an important part of

    teaching and improving one's learning (Efklides, 2006; Flavell, 1979; McCrindle

    & Christensen, 1995; Nashon, Anderson, & Nielsen, 2005; Nelson, 1996; Paris &

    Winograd, 1990). Recently, interest in metacognition has greatly increased among

    researchers studying students' reflections in an online learning environment

    (Anderson, 2001; Barbour & Collins, 2003; Davis, 2003; Papaleontiou-Louca,

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    27/640

    22

    2003; Rimor & Kozminsky, 2001-2002). In addition, researchers in this field

    examined the role of the teacher's support in the online environment, and the

    strengths and weaknesses of this platform (Jonnasen, 2000; Lehman, 2006;

    Nehama, Kalay, & Rimor, 2005; Nir-Gal, Nur, Gelbart, & Reingold, 2005;

    Rimor, Reingold, & Kalay,

    2006; Zemsky & Massy, 2004). The main goal of the current study was to

    investigate the relationship between students' metacognitive reflections and

    instructor's scaffolding in an online teacher education course. In addition, we

    explored the unique potential of the online environment in the context of teacher

    education and in facilitating studentsacquisition of critical and reflective thinking

    skills.

    Theoretical background

    Recently, traditional teacher education programs have been the focus

    of much criticism both on general grounds due to their programmatic

    ineffectiveness (Russell, 2001), and more specifically, in light of the emergence of

    alternative constructivist pedagogical and social frameworks formats such as

    multiculturalism (Bennett, 2001; Jenks, Lee, & Kanpol, 2001), critical pedagogy

    (Keesing-Styles, 2003) and progressive social movements (Diniz- Pereira, 2005).

    The main criticism leveled at traditional teacher education programs

    is that most programs fail to integrate the theoretical foundations of teaching and

    the reality of teaching and it remains up to individual students to struggle with

    this difficult task. Unfortunately, because programs are largely unsuccessful in

    relating theory to the pragmatics of teaching, new teachers who are frequently

    overwhelmed by the demands of everyday teaching tasks tend to overlook

    theoretical concepts. Furthermore, the socialization process that

    characterizes teacher education programs puts emphasis on the acquisition of

    techniques and skills and largely neglects educational and social goals.Consequently, teacher education students and new teachers often fail to

    develop a clear representation of the broad significance of teaching, the

    complexity of this profession and the enormity of the required knowledge.

    The tremendous increase in the popularity of online courses in general,

    and the new E-learning pedagogy in particular constitute a major challenge

    to traditional conceptualizations of the teachersrole and teacher education (Chou

    2003; Cowham, 2005; Dabbagh, 2003; Danchak & Huguet, 2004; Easton, 2003;

    Fitzpatrick, 2001; Rumble, 2001; Volery, 2001; Zemsky & Massy, 2004).

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    28/640

    23

    A fundamental goal shared by most alternative constructivist curricula is

    the desire to produce professional and broad-minded teachers with an educational

    and social awareness (Combleth, 1986; Hartnet & Naish, 1980; Wilson, 1989). To

    accomplish this goal, these curricula emphasize the importance of an environment

    in which prospective teachers would develop critical thinking and critical self

    judgment by experiencing learning through reflective and metacognitive

    processes (Davis, 2003; Dawason & Bondy, 2003; McCrindle & Christensen,

    1995; Shulman & Shulman, 2004). Metacognition is defined as the knowledge

    and awareness of onesown cognitive, emotional, and motivational processes, andthe ability to actively control and supervise them (Brown, 1987; Flavell, 1979).

    Empirical support for the value of this educational emphasis is derived from the

    finding that metacognition constitutes a fundamental predictor of academic

    achievement (Anderson, 2001).

    There is a broad theoretical and empirical consensus that the influence of

    metacognition on the outcome of learning is strongly linked to the processes of

    reflection (Anderson, 2001; Buttler & Winne, 1995; Davis, 2003; Efklides,

    2006; Ertmer & Newby,1996; McCrindle & Christensen, 1995; Nashon,

    Anderson, & Nielsen, 2005). It is commonly assumed that reflection expresses an

    awareness of the learning processes and aids the learner in overseeing; assessing

    and improving his/her progress. For example, the constructivist theory of

    learning views reflection and discussion as a vital mechanism in the construction

    of knowledge. The process of reflection is thought to facilitate the organization of

    relevant previous experiences and prior knowledge and the articulation of the

    links between action and thought and between knowledge and the control of

    the learning processes. Consistent with this hypothesis, several studies

    demonstrated that encouraging reflection processes in students significantly

    improves learning success (Davis, 2003; McCrindle & Christensen,1995;

    Nashon, et al., 2005; Rimor, 2002).

    The main goal of the present study is to further extend the investigation ofreflection processes during learning to the area of teacher education and to the

    online learning environment. It is clear that prospective teachers, like all teachers,

    should benefit from engaging in productive reflection about their teaching

    (Davis, 2003; McCrindle & Christensen, 1995; Nashon, et al., 2005; Nir-Gal

    et. al. 2005; Rimor, 2002). This contention is supported by preliminary research

    examining the nature of reflective thinking processes in prospective teachers

    (Dawson, 2005; Schulz & Mandzuk, 2005). In the present study we focus on

    the importance of assessing instructor's scaffolding in an online course. The online

    format is often conceived as a forum for exchanging thoughts and feelings in the

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    29/640

    24

    course of studies. Consequently this format may constitute a unique and valuable

    tool for documenting and examining the links between teaching, learning and

    the processes of reflection. The online format seems particularly suited for

    deriving metacognitive measures based on the easily obtainable and

    comprehensive protocol of learners explicit written reflections. It appears that the

    online environment can serve as a constructivist learning environment

    characterized by self-regulated learning (Rimor & Kozminsky, 2001-2002).

    The online learning environment has a unique potential to promote an

    in depth dialogue and a framework of openness to new knowledge and ideas

    Thomas, 2002; Wolfe,2001). The relative anonymity that characterizes the

    virtual nature of online distance education courses allows learners from

    diverse backgrounds to feel more confident and secure and to openly express

    their views and collaborate with others who might otherwise be reluctant to listen

    to their arguments (Chute & Shatzer, 1995; Kyong-Jee & Bonk, 2002).

    In addition, it has been shown that when students do not receive any

    external feedback regarding their progress from the course instructor they

    fail to initiate metacognitive processes and their basic learning achievements

    in the course are low (Berent & Bugbee, 1993). Vygotsky (1978) emphasizes

    the importance of teachers' support to the development and progress of students.

    As mentioned above, more recently, scholars argued that the online environment

    could be an optimal platform for teacher's support. Consequently, in the present

    study, we were particularly interested in studying the importance of online

    feedback provided by the instructor. Specifically, such feedback and guidance can

    function as a system of scaffolds that may promote the reflective and

    metacognitive learning processes (Efklides,2006).

    Reflective and metacognitive learning processes have a unique importance

    in the context of multicultural education. The designer and instructor of the

    course, which is analyzed in this study, was influenced by two multicultural

    education theories: The first was Wurzel's (1988) educational model ofmulticultural development, and the second was Banks' (1996) typology of

    knowledge levels. In Wurzel's terms the idea was to allow the students from the

    two cultural and national groups to move from ethnocentric perspectives to

    multicultural ones. According to Banks' terminology the mission was to shift

    the students from basing their ideas, values and beliefs upon popular knowledge

    (i.e., ethnocentric perspective) to a transformative one (i.e., more democratic and

    multicultural), through reflection upon reading of academic materials and through

    dialogue in a community of learners.

    In order to promote reflective and metacognitive learning processes, and

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    30/640

    25

    by that to enable changes in the students' perceptions, the instructor requested the

    students to write four reading journals concerning several assigned articles

    covering both basic concepts and controversial and provocative views related to

    the four topic of the course:

    A. Alternative Democratic Models.

    B. The Israeli Democracy characteristics and problems.

    C. Multiculturalism and Multicultural Education.

    D. Can the Israeli society become ideologically multicultural?

    The journals were sent via e-mail and were followed by an online dialogue

    between the instructor and each of the students individually. In addition,

    students were asked to participate as a group in four online forums created

    especially for the course. Each of the four forums was devoted to a dilemma

    regarding one of the sub-topics of the course. These forums were active

    throughout the entire duration of the course.

    Methodology

    The present study analyzed the complete record of an online course on

    multiculturalism and democracy, which was taught as part of a teacher education

    program in a southern university in Israel. Sixty eight candidates for the course

    were selected from a group of teachers who work in Bedouin and Jewish schools

    in Israel. The candidates were experienced teachers who did not have a formal

    teaching certificate. The Bedouins and the Jews participated in two parallel but

    separate accreditation programs. The specific course on democracy and

    multiculturalism constituted the only framework in their studies in which

    these two groups of teachers could study together. The course design employed an

    asynchronous online forum format. This learning environment facilitated a directdialogue between the two groups concerning sensitive and vulnerable issues such

    as democracy and inter-cultural conflicts in the Israeli society.

    As discussed above, the main aim of the current research was to study the

    relationship between the instructor's feedback and students' metacognitive

    processes. To accomplish this aim we set two operative goals. The first goal was

    to examine and determine the nature of metacognitive process expressed by the

    students in the online forums. Students' responses were content analyzed

    employing the Meta Cognitive tool for Students Reflections (MCSR), which was

    developed for analyzing metacognitive indices in online forums. The MCSR tool

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    31/640

    26

    is based on Flavells (1979) model, and analyzes the students' reflections

    according to three metacoginitive dimensions: 1) personal, 2) task, and 3)

    strategy.

    The text of the forum protocol was analyzed along the three-

    metacognitive dimensions. Each dimension was initially defined via operational

    indices. These indices represent the types of reflections found in the participants

    discourse. The protocol of the forums discussion (the text) was divided into

    paragraphs, which constituted the units of analysis. Paragraphs were delineated

    based on the topic of discourse, with a change in topic marking the boundary

    between paragraphs. For each unit of analysis statements were initially classified

    as reflective or non-reflective. Reflective statements were linked to individual

    participants and further classified by using the MCSR tool. Inter-rater reliability

    was satisfactory (Kappa=0.84) (Rimor, 2002; Rimor & Kozminsky, 2001-2002).

    The MCSR tool was further refined based on the current study by adding 4

    parameters to the metacognitive affective dimension. Thus, in the analyses

    reported below, students' statements in the forum were coded in accordance with

    22 parameters of the tool. (See table 1).

    The second goal of the current study was to analyze messages posted by

    the instructor in the forum, which was designed to provide students with support

    and feedback throughout the duration of the course. A new tool was developed for

    this purpose: Tool for analyzing Instructor's Online Scaffolding (TIOS). This tool

    enabled us to analyze the different types of Scaffolds provided by the instructor

    during the online course. Using this tool we were able to identify four types of

    online scaffolding provided by the instructor: 1) technical, 2) content- centered, 3)

    procedural, and 4) metacoginitive.

    These two research tools (MCSR and TIOS) were combined to examine

    the relationship between scaffolds provided by the instructor and the

    manifestation of metacognitive processes, as expressed by students in the online

    forums.The development of the MCSR and TIOS was guided by the paradigm of Activity

    Research (Nardi, 1996). The categories of these tools were defined and

    shaped according to the contents of the discussion, the purpose of the forum,

    and the characteristics of the course. We employed the grounded theory approach,

    which argues that analytic categories used for conceptualizing the data should

    emerge from the participants answers, rather than being imposed by the

    researcher. Accordingly, emergent categories together with their properties

    became the basis for interpreting the findings (Russo & Ford, 2006).

    One thousand forty eight written messages were produced in the

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    32/640

    27

    four forums. Postings by students were discarded from the analyses if they were

    determined not to be related to the metacognitive indices of the Meta Cognitive

    tool for Students Reflections (MCSR). This produced a total of 700 forum

    postings by the students. In addition, 66 forum postings written by the instructor

    were analyzed, using TIOS, which was developed for the present research.

    Results

    An analysis of the 700 postings by students was performed according to

    the three dimensions the Metacognitive tool: Personal, Task, and Strategy. Table 1

    summarizes the distribution of the metacognitive dimensions that emerged from

    the students' protocols.

    no data was found for several categories: A. Personal Indices: Personal Traits

    (PT), Cognitive styles (PS), Achievements (PP), B. Task Indices: Characteristics

    of data sources (TD), Availability of data sources (TZ), Feasibility of

    performance (TF), C. Strategy Indices: Planning (SN), Choosing and

    implementing a strategy (SS), Assessment of results (SE), Monitoring and

    revisions (SM), Requesting help (SH1), Helping (SH2)

    As shown in Table 1 the Personal metacognitive dimension constituted

    about half of the students' reflections in the forum (48%). Students expressed

    personal insights about themselves as learners on line and emotions concerning

    their search for data and/or regarding the process of communication on the net.

    Further analysis revealed that the most salient reflections were related to the

    content of the task (42%) and emotionally with the online learning environment

    and the forum community itself (28 %). It included both positive (17%) and

    negative emotional expressions (11%). Below are a few illustrations of actual

    postings that were classified as related to the Personal Task or Strategy

    dimensions:

    A)Personal

    1. My first reaction towards your comment was a feeling of anger and

    frustration. I felt that you didn't understand the question and that you

    expressed anger and frustration, instead of answering the question (PA2,

    PA4).

    2. I was very satisfied when I read your warm and personal comment (PA1).

    3. It is very nice to read such comments. Mutual respect is an important basis

    for good relationship in a pluralistic society (PA1, PA3).

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    33/640

    28

    B) Task

    1. The article Alternative Democratic Models reveals different Democratic

    models. It is very hard to choose which model is the best and to explain my

    decision (TC).

    2. The discussion about the last two articles could demonstrate very well

    the gap between the academic ivory tower and daily life (TR/SE).

    C) Strategy

    1. Your last comment summarized for me all the articles I read about democracy

    (SG).

    2. My journals. I sent themon time but maybe not in the right way (SH1).

    3. This analysis of students' reflections portrays the forum as a learning

    environment, which is oriented towards the task and the person. Table 2

    introduces the distribution of various types of scaffolds, which were delivered by

    the instructor to the students in the forum.

    Table 2 illustrates the four different types of scaffolding used by the

    instructor and their frequency in the four forums. Scaffolding average score was

    computed for each student based on all the instructor feedbacks addressed to

    him/her in person. In addition, metacognitive average score was computed for

    each student across all his/her postings in the forum. In addition, an average

    Scaffolding score was computed for each student based on all the instructor

    feedbacks addressed to each student.

    Spearman's correlation between instructor's scaffolding and students'

    metacognitive scores demonstrated a highly significant correlation

    between them. The instructor's scaffolding score was highly correlated with

    the student's metacoginitive score (r=0.497, p

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    34/640

    29

    C. Procedural support: Finally a comment based on assigned articles. Your

    previous postings were interesting and scholarly, but this is the first one which

    is related to the theoretical framework of the course.

    D. Metacognitive support:

    1. You are right, there are several democratic models, and this is the topic

    of this course. But, which model do you prefer?

    2. You are right Israel is a Jewish state. It is also true that absolute equality is

    only a Utopia, but doesn't it disturb you that Israel defines itself as a

    democracy although it discriminates against its Arabic citizens so severely?"

    Table Correlations between students' metacognitive dimensions and types of

    instructor's scaffolding

    Instructorsscaffolding Metacognitive Dimension

    Personal Task Strategy

    Technical instruction 0.223 0.364** 0.129-

    Content support 0.424** 0.347** 0.321**Procedural support 0.382** 0.314** 0.054

    Metacognitive support 0.204 0.285* 0.077

    *p< .01 ** p

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    35/640

    30

    Discussion

    The findings of this study reveal the vital importance of instructor's

    feedback and support in an online course. An appropriate instructor response can

    turn the course into a learning environment in which students would experience

    learning through reflective and metacognitive processes. As mentioned earlier, the

    importance of these processes to learning has been considered and suggested in

    many prior studies. Our study extends these prior investigations by providing

    strong empirical evidence to support the relationship between instructor's

    scaffolding and students' reflective and metacognitive processes.

    Specifically, the metacognitive scaffolds provided by the instructor

    included the presentation of the rationale for the task, fostering the integration

    across various course readings and course objectives, supporting reflective

    writing, differentiating between conclusion, fact, opinion and hypothesis,

    supervising text comprehension, focusing on the process of learning and

    encouraging interactions among the participants. These metacognitive-

    scaffolds were all found to increase the extent to which students tended to reflect

    on their task and consequently contributed to their experience as a community of

    learners with a common task.

    The current study may have some important implications for the discipline

    of teacher education. Online course coupled with instructor's scaffolding has a

    unique potential to promote students metacognitive reflections. Based on our

    findings we recommend including online courses coupled with instructor's

    scaffolding in teacher education programs. We also urge teacher education policy

    makers to adopt the online environment for multicultural education courses. We

    hope that new teachers who experience reflective learning process during their

    teacher education studies will have the skills and the awareness to promote such

    learning process in their own classes. Adding such courses to teacher education

    programs might produce a constructivist reform in teacher education and newteachers would become agents of social change.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    36/640

    References

    Anderson, M. D. (2001). Individual characteristics and web-based courses. In C.

    R. Wolfe (Ed.).Learning and teaching on the World Wide Web. (pp. 47-

    68). San Diego: Academic Press.

    Barbour, M., & Collins, M. (2003). Online writing as a form of electronic

    communication in a second year biology Course: Media and technology

    for human resource development: Journal of Educational Technology,

    14(1-2), 33-42.

    Banks, J. A. (1996). The canon debate, knowledge construction and multicultural

    education.In J. A. Banks (Ed.).Multicultural education, transformative

    knowledge& action.(pp. 3-29). New York: Teacher College Press,

    Columbia University.

    Bennett, C. (Summer 2001). Genres of research in multicultural education.Review

    ofEducational Research 71(2), 171-217.

    Bernt, F. M., & Bugbee, A. C, jr. (1993). Study practices and attitudes related to

    academic success in a distance learning program. Distance Education, 14,

    97-113.

    Brown, A. L. (1987). Metacognition, executive control, self-regulation, and other

    more mysterious mechanisms. In F. E. Weinert & R. H. Kluwe (Eds.),

    Metacognition, motivation, and understanding (pp. 65-116). Hillsdale,

    New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

    Buttler, D. L., & Winne, P. H. (1995). Feedback and self-regulated learning: A

    theoretical synthesis.Review of Educational Research, 65, 245-281.

    Chou, C. C., (2003).Model of Learner-Centered Computer-Madiated Interaction

    for Collaborative Distance Learning. University of Minnesota. ERIC

    Clearinghouse on Information & Technology.

    Chute, A. G., & Shatzer, L. S. (1995). Designing for international teletraining,

    AdultLearning, 7(1), 20-21.

    Cornbleth, C. (1986). Ritual and rationality in teacher education reform.

    EducationalResearcher,April, 5-15.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    37/640

    32

    Cowham, T., & Duggleby, J. (2005). Pedagogy and quality assurance in the

    development of online learning for online instructors. Journal of

    Asynchronous Learning Networks,

    9(4), 15-27.

    Dabbagh, N. (2002). Using a Web-Based Course Management Tool to Support

    Face-to-Face Instruction. Technology Source. Retrieved September 11,

    2005, from

    http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/

    Danchak, M. M., & Huguet, M. P. (2004). Designing for the changing role of the

    instructor in blended learning. Professional Communication, IEEE

    Transactions on, 47(3), 200-210. Retrieved September 10, 2005, from

    http://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...

    Davis, E. A. (April 2003). Characterizing and fostering productive reflection in

    prospective elementary science teachers. A paper presented at theAmerican Educational Research Association annual meeting. Chicago

    Dawson, K. (2005). Teacher inquiry: A vehicle to merge prospective teachers

    experience and reflection during curriculum-based, technology-enhanced

    field experiences. Retrieved April 23 2007, from

    http://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdf

    Dawson, K., & Bondy, E (December 2003). Reconceptualizing the Instruction of

    a Teacher Educator: Reflective Peer Coaching in Teacher Education.Teacher Education, 14,(3),319-331.

    Diniz-Pereira, J. E. (2005). Teacher Education for Social Transformation and its

    Links to Progressive Social Movements: The case of the Landless Workers

    Movement in Brazil. The Journal for Critical Education Policy Studies,

    Vol. 3, No. 2. Retrieved April 23 2007, from

    http://www.jceps.com/index.php?pageID=home&issueID=6

    http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...http://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...http://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdfhttp://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdfhttp://www.jceps.com/index.php?pageID=home&issueID=6http://www.jceps.com/index.php?pageID=home&issueID=6http://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdfhttp://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    38/640

    33

    Easton, S. S. (2003). Clarifying the instructor's role in online distance learning.Communication Education, 52(2), 87-105.

    Efklides, A, (2006). Metacognition and affect: What can metacognitive

    experiences tell us about the learning process? Educational Research

    Review, 1, 3-14

    Ertmer, P., & Newby, T,(1996). The expert learner: Strategic, self-regulated

    and reflective.Instructional Science, 14, 1-24.

    Fitzpatrick, R (2001). Is Distance Education Better Than the Traditional

    Classroom? Accelerating the Point of Information. Retrieved January 10,

    2003, from

    http://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.html

    Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive monitoring: A new area

    of cognitive developmental inquiry.American Psychologist, 34, 906-911.

    Hartnett, A., Naish, M. (1980). Technicians orsocial bandits? Some moral andpolitical issues in education of teachers in P. Woods (Ed.), Teacher

    Strategies, Exploration in the Sociology of the School, (pp. 254-273).

    London: Croom Helm.

    Jonassen, D. H. (2000). Computers in the classroom: Mindtools for critical

    thinking.Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.

    Keesing-Styles, L. (Spring 2003), The relationship between critical pedagogy and

    assessment in teacher education. Radical Pedagogy, 5(1). Retrieved July10, 2006, from

    http://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.html

    Kyong-Jee, K., & Bonk, C. J (2002), Cross-Cultural Comparisons of Online

    Collaboration, Journal of Computer-Mediated Communication, 8(1),

    Retrieved December 13, 2007, from

    http://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.html

    http://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.htmlhttp://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.htmlhttp://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.htmlhttp://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.htmlhttp://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.htmlhttp://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.htmlhttp://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.htmlhttp://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.htmlhttp://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.htmlhttp://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.html
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    39/640

    34

    Lehman, R. (2006). The Role of Emotion in Creating Instructor and LearnerPresence in the Distance Education Experience. Journal of Cognitive

    Affective Learning, 2(2), 12-26.

    McCrindle, A., & Christensen, C. (1995). The impact of learning journals on

    metacognitive and cognitive processes and learning performance.

    Learning and Instruction, 5, 167-185.

    Nardi, B. (1996). Context and Consciousness: activity theory and human-

    computer interaction. Cambridge: MIT Press.

    Nashon, S. M., Anderson, D., & Nielsen, W. (2005). Students' metacognitive

    traits as pointers to their subsequent knowledge construction. Conference

    Proceedings CD of the National Association for Research in Science

    Teaching (NARST), Dallas, Texas.

    Nehama, T., Kalay, A., & Rimor, R (2005). Types and Levels of Teachers

    Supports in an Online Environment: Typology of scaffolding. A Paper

    Presented at the IACE 20th

    Annual Meeting (Hebrew).

    Nir-Gal, O., Nur, T., Gelbart, R., & Reingold, R. (2005). The Online Teachers

    Role - An Analysis Reflected by Field Data, Research Report, Achva-

    College of Education, supported by The MOFET Institute (Hebrew).

    Papaleontiou-Louca, E. (2003). The concept and instruction of metacognition.

    TeacherDevelopment 7(1), 930

    Paris, S.G., & Winograd, P. (1990). How metacognition can promote academic

    learning and instruction. In B. Jones & L. Idol. Hillsdale (Eds.),

    Dimensions of thinking and cognitive instruction, NJ.: Lawrence Erlbaum

    Rimor, R. (2002).From search for data to construction of knowledge. Processes

    of organization and construction of knowledge in data-base environment.

    Ph.D. Thesis. Ben-Gurion University. Beer- Sheva, Israel. (Hebrew).

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    40/640

    35

    Rimor, R., & Kozminsky, E. (2001-2002). An analysis of the reflections ofstudents in online courses. Ben-Gurion University of the Negev. Retrieved

    June 15, 2006, from

    http://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdf

    Rimor, R., Reingold, R., & Kalay, A. (2006). The relationship between students

    metacognition and instructors scaffolding in online academic courses. A

    Paper Presented at the 2nd meeting of EARLI SIG 16: Metacognition.

    University of Cambridge.Faculty of Education. Cambridge, UK. 19-21

    July 2006. Retrieved September 15, 2006, fromhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdf

    Rumble, G. (2001). Re-inventing distance education, 1971-2001.International

    Journal ofLifelong Education, 20(1/2), 31-43.

    Russel, T., McPherson, S., & Martin, A. K. (2001). Coherence and collaboration

    in teacher education reform, Canadian Journal of Education, 26(1), 37-55.

    Russo, T. C., & Ford, D. J. (Spring 2006). Teachers reflection on reflectionpractice, Journal of Cognitive Affective Learning, 2(2), 1-12. Retrieved

    August 31, 2006, from

    https://www.jcal.emory.edu//viewarticle.php?id=54&layout=html

    Schulz, R., & Mandzuk, D. (2005). Learning to teach, learning to inquire: A 3-

    year study of teacher candidates experiences, Teaching and Teacher

    Education, Volume 21(3),315-331 . Manitoba, Canada: Faculty of

    Education, University of Manitoba.

    Shulman, L., & J. H. Shulman (2004). How and What Teacher Learn: a Shifting

    Perspective,Journal of Curriculum Studies, 36(2), 257-271.

    Thomas, M. (2002). Learning within incoherent structures: the space of online

    discussion forums.Journal of Computer Learning, 18, 351-366

    Volery, T. (2001). Online education: An exploratory study into success factors.

    Journal ofEducational Computing Research, 24(1), 77-92.

    http://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdfhttp://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdfhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdfhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdfhttps://www.jcal.emory.edu/viewarticle.php?id=54&layout=htmlhttps://www.jcal.emory.edu/viewarticle.php?id=54&layout=htmlhttps://www.jcal.emory.edu/viewarticle.php?id=54&layout=htmlhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdfhttp://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdf
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    41/640

    36

    Wolfe, P. (2001). Brain matters: Translating research into classroom practice.Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum

    Development.

    Vygotsky, L. S. (1978).Mind in Society: the development of higher psychological

    processes.Cole, M. et al. (Eds.), Cambridge, MA: Harvard University

    Press.

    Wilson, J. (1989). De-intelectualization and authority in education, Oxford Review

    ofEducation, 15, 111-120.

    Wurzel, J. S. (1988). Introduction: Multiculturalism and Multicultural Education.

    In J. S.Wurzel (Ed.), Toward Multiculturalism, (pp. 1-13), Yarmouth:

    Maine.

    Zemsky, R., & Massy, W.F. (2004). Thwarted Innovation - What Happened to

    e-learning and Why. A Learning Alliance Report. Retrieved August 20,

    2004, from

    http://www.csudh.edu/dearhabermas/WeatherStation_Report.pdf

    http://www.csudh.edu/dearhabermas/WeatherStation_Report.pdfhttp://www.csudh.edu/dearhabermas/WeatherStation_Report.pdf
  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    42/640

    37

    PowerPoint

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    43/640

    38

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    44/640

    39

    Profil Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar

    dengan Penggunaan Manipulatif Konkret dan Lingkungan

    Ditinjau dari Perbedaan Gaya Belajar Kolb

    Agnita Siska Pramasdyahsari

    (117785044)

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    45/640

    40

    BAB IPENDAHULUAN

    Pecahan adalah topik penting yang diajarkan di sekolah untuk dipahami

    sebagai bekal untuk mempelajari topik matematika lainnya. Banyak peserta didik

    mengenal pecahan sebagai notasi yang terdiri dari pembilang dan penyebut. Bagi

    mereka sebagai pembelajar, definisi dari konsep pecahan harus terbingkai dengan

    hati-hati karena banyak kejadian berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan

    nyata. Namun, mereka mengalami kesulitan karena hanya menggunakan

    algoritma pecahan tanpa memahami pengertian pecahan itu sendiri. Berdasarkan

    Wahyuningsih [1] pecahan dianggap sebagai salah satu materi paling sulit

    dipahami bagi peserta didik di Sekolah Dasar. Hal ini dianggap wajar dengan

    mempertimbangkan kompleksitas konsep yang terkait di dalamnya seperti

    membandingkan pecahan, menjumlahkan pecahan dan mengurangkan pecahan.

    Sedangkan konsep pecahan diajarkan melalui metode pembelajaran yang masih

    abstrak. Hal ini dikarenakan peserta didik dianggap memiliki kemampuan yang

    cukup untuk mengoperasikan relasi matematika dan operasi sederhana pada

    pecahan karena mereka telah diajarkan kemampuan tersebut dan menguasai

    proses tanpa banyak pemahaman.

    Faktanya, pecahan sulit bagi kebanyakan peserta didik sehingga

    dibutuhkan alat peraga manipulatif (fraction tilesatau model pengukuran) untuk

    menerangkan konsep pecahan secara konkret. Menurut Martin dan Schwartz [2]

    adaptasi dan reinterpretasi proses melalui manipulasi aktif dari fraction tiles

    meningkatkan pemahaman konseptual peserta didik dibandingkan menggunakan

    pie pieces.

    Terkait dengan rendahnya pencapaian dalam pecahan, June Choi & Gina

    Lee [3] mengelaborasi penyebab kesulitan materi pecahan adalah kekompleksan

    konsep pecahan, penggunaan prosedur yang tidak tepat dalam pengajaran,

    kesulitan dalam membedakan satuan dan skema penghitungan ketika mengubah

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    46/640

    41

    bilangan bulat dalam pecahan, serta proses pembelajaran yang lebih cenderungmenekankan pada prosedur daripada konsep. Selain itu, mengingat aturan, konsep

    dan kurangnya pengetahuan. Akibatnya, kesulitan tersebut menyebabkan peserta

    didik mengerjakan operasi bukan karena memahami konsep matematika.

    Berdasarkan kurikulum sekolah dasar, operasi pecahan diajarkan dari kelas

    3 semester 2 hingga kelas 6 dimana siswa pada kelas tersebut memiliki

    karakteristik operasional konkret. Soejadi [4] mengatakan bahwa kebanyakan

    guru matematika melakukan pengajaran yang berpusat pada guru daripada

    berpusat pada peserta didik. Akibatnya, guru menggunakan banyak waktu untuk

    menjelaskan dan memecahkan permasalahan matematika sedangkan peserta didik

    hanya pasif dan menyalin tulisan guru di papan tulis. Selain itu, permasalahan

    matematika digunakan dalam penilaian aktivitas yang berpusat pada algoritma dan

    proses, padahal peserta didik kurang aplikasi secara praktikal.

    Meskipun demikian, menguasai proses adalah penting akan tetapi

    menguasai proses tanpa memahami pembelajaran tidak akan berarti. Hal inilah

    yang mengakibatkan sebuah penekanan pada pergeseran berfikir dari proses ke

    pemahaman. Streefland [5] mengkonfirmasi bahwa permasalahan yang peserta

    didik jumpai dalam mempelajari pecahan, khususnya ketika mengoperasikan

    pecahan tidak dihubungkan dengan pengalaman konkret. Seharusnya dalam

    mengeksplorasi pertanyaan mengenai cara untuk memfasilitasi proses transisi dari

    pengalaman konkret melalui pemodelan pecahan menggunakan alat peraga

    manipulatif menujuformal reasoningdan memahami beberapa pecahan.

    Pengembangan konsep pecahan memungkinkan peserta didik untuk

    memperluas pemahaman mereka tentang bilangan bulat dan memungkinkan

    mereka untuk memahami dan bekerja dengan pecahan. Pengajaran di kelas-kelas

    bawah harus menekankan arti pecahan dengan merepresentasikan kuantitas

    pecahan dalam berbagai konteks, dengan menggunakan berbagai bahan. Melalui

    pengalaman ini, peserta didik belajar melihat pecahan sebagai nomor berguna dan

    membantu. Penting bagi guru untuk memastikan bahwa peserta didik memiliki

    pemahaman yang kuat pada konsep pecahan. Setelah konsep-konsep ini

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    47/640

    42

    ditanamkan, peserta didik lebih dapat memvisualisasikan dan memahami nilaipecahan. Melalui pemahaman konseptual peserta didik akan memiliki lebih

    sedikit masalah di masa depan ketika mereka diperkenalkan pada operasi pecahan

    dan algoritma (terutama saat menambahkan dan mengurangkan dengan tidak

    seperti penyebut).

    Menurut Cramer & Henry [6] komponen penting dari pengembangan

    konsep pecahan adalah penggunaan manipulatif atau model. Penggunaan yang

    berkepanjangan dari beberapa manipulatif dan model akan menghasilkan transfer

    ke representasi visual atau citra mental. Cramer, Pos & Mas Del [7]

    mengemukakan bahwa representasi visual akan mengarah pada pemahaman yang

    lebih konkret dari konsep pecahan. Pemodelan pecahan menggunakan media

    visualisasi memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan pemahaman

    tentang pecahan. Hal ini sangat penting bagi peserta didik untuk memiliki

    kesempatan menggunakan model area, model himpunan, dan model linear untuk

    membantu dalam memecahkan masalah.

    Selain itu menurut Chen & Weiland [8] peserta didik akan lebih

    memahami suatu konsep jika mereka terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Hal

    ini sesuai dengan filosofi pendidikan matematika realistik yang berakar dari

    pemikiran Freudenthal (dalam Gravemeijer [9]) bahwa matematika merupakan

    aktivitas manusia. Menurut Hadi [10] peserta didik tidak boleh dipandang sebagai

    penerima pasif matematika yang sudah jadi, pendidikan harus mengarahkan

    peserta didik kepada penggunaan berbagai konteks dan kesempatan untuk

    menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.

    Menurut Von Glasersfeld Moses A. Boudourides [11] konstruktivis

    menekankan bahwa manusia mengkonstruksikan obyek-obyek dan hubungannya

    yang mereka rasakan, untuk memperluas konsepsi mereka sesuai dengan

    lingkungan. Menurut Catur [12] disebutkan bahwa lingkungan memiliki peranan

    penting dalam produktifitas dari kreatifitas.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    48/640

    43

    Environmental, as well as motivational and temperamental factors playan important role in creative productivity. Creative people differ

    considerably in performance from time to time.

    Ada dua macam pengetahuan matematika yang perlu dikuasai anak untuk

    memahami konsep matematika, yaitu pengetahuan konseptual dan prosedural.

    Dua pengetahuan yang berbeda tersebut sangat dibutuhkan secara bersamaan,

    sementara untuk menghubungkan dua pengetahuan penting tersebut diperlukan

    alat bantu pembelajaran. Sebagai implikasi, pembelajaran yang disarankan oleh

    Payne [13] adalah proses pembelajaran yang didalamnya menggunakan alat

    peraga manipulatif.

    Menurut Perkins (dalam Zulkardi [14]) dikutip mengenai pembelajaran

    konstruktivis melalui alat peraga manipulatif dari alam dan lingkungan sekitar

    sebagai berikut :

    'Rich' or 'constructivist' learning environment contain more: construction

    kits or areas for presenting, observing and manipulating less natural

    phenomena (e.g. simulation programs and games); and phenomenaria, or

    areas for presenting, observing and manipulating natural phenomena

    (e.g. teaching simulation, teaching practice); as well as place more

    control of the environment in the hands of the learners themselves.

    Menurut Ibrahim, dkk [15] setiap orang bersifat unik, berbeda dengan

    orang lain demikian pula dengan siswa. Mereka memiliki variasi pada gaya

    belajar, kecepatan belajar, pusat perhatian, dan sebagainya. Menyamaratakan

    siswa selama proses belajar mengajar mungkin akan berdampak pada hasil

    belajar. Gaya belajar yang dimiliki setiap individu merupakan cara terbaik yang

    dapat dilakukan pada saat mereka belajar. Perbedaan gaya belajar dapat

    menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pembentukan dan pemahaman terhadap

    informasi yang diterima.

    Berdasarkan situasi tersebut, penguasaan konsep pecahan melalui

    penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan berbeda antar siswa sesuai

    dengan kecenderungan gaya belajar mereka masing-masing. Dengan mengetahui

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    49/640

    44

    profil pemahaman konsep pecahan pada siswa yang memiliki gaya belajarberbeda diharapkan guru akan mempunyai gambaran tentang kondisi siswa

    sehingga mempermudah dalam memfasilitasi kebutuhan siswa tersebut.

    Berdasarkan uraian tersebut, titik incar dalam makalah ini adalah sebagai

    berikut: pertama, bagaimana profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4

    Sekolah Dasar dengan gaya belajar concrete experience(CE) dengan penggunaan

    manipulatif konkret dan lingkungan? Kedua, bagaimana profil pemahaman

    konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya belajar abstract

    conseptualization(AC) dengan penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan?

    Ketiga, bagaimana profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah

    Dasar dengan gaya belajar reflective observation (RO) dengan penggunaan

    manipulatif konkret dan lingkungan? Keempat, bagaimana profil pemahaman

    konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya belajar active

    experimentation(AE) dengan penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan?

    Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut (1)

    mendeskripsikan profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar

    dengan gaya belajar concrete experience (CE) dengan penggunaan manipulatif

    konkret dan lingkungan, (2) mendeskripsikan profil pemahaman konsep pecahan

    siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya belajar abstract conseptualization(AC)

    dengan penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan, (3) mendeskripsikan

    profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya

    belajar reflective observation (RO) dengan penggunaan manipulatif konkret dan

    lingkungan, (4) mendeskripsikan profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4

    Sekolah Dasar dengan gaya belajar active experimentation (AE) dengan

    penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan.

    Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka didefinisikan beberapa

    istilah dalam makalah ini, diataranya adalah sebagai berikut:

    1. Profil adalah gambaran tentang sesuatu yang diungkapkan dengan deskripsi

    yang menggunakan kalimat atau rangkaian kata-kata.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    50/640

    45

    2. Pemahaman konsep adalah membangun koneksi antara gagasan ide, fakta,atau prosedur bukanlah hal yang baru dengan mengaitkan konsep tersebut ke

    dalam konsep yang dimiliki.

    3. Pecahan adalah bilangan yang dinotasikan sebagai dimana adan badalah

    bilangan bulat, abukan kelipatan b, and b0.

    4. Siswa kelas 4 yang dimaksud yaitu anak-anak usia 9-10 tahun yang memiliki

    karakteristik operasional konkret menurut teori Piaget.

    5. Manipulatif konkret adalah alat bantu pembelajaran yang digunakan terutama

    untuk menjelaskan konsep dan prosedur matematika yang dapat

    dimanipulasikan oleh peserta didik (dibalik, dipotong, digeser, dipindahkan,

    digambar, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan).

    6. Lingkungan adalah segala sesuatu baik yang berupa benda hidup maupun

    benda mati yang terdapat di sekitar.

    7. Gaya belajar adalah suatu kecenderungan cara seseorang sehingga

    memudahkan baginya untuk memproses informasi untuk melakukanperubahan dalam dirinya menuju ke arah yang lebih baik. Terdapat empat

    jenis gaya belajar menurut David Kolb yang didasarkan pada teori belajar

    experiential learning yaitu gaya belajar concrete experience, abstract

    conceptualization, reflective observation, active experimentation.

    8. Gaya belajar concrete experience adalah gaya belajar yang lebih banyak

    memanfaatkan perasaan dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret.

    9. Gaya belajar abstract conceptualization adalah gaya belajar yang lebih

    banyak memanfaatkan pemikiran dan lebih berfokus pada analisis logis.

    10. Gaya belajar reflective observation adalah gaya belajar yang lebih banyak

    memanfaatkan pengamatan sebelum menilai dari berbagai perspektif.

    11. Gaya belajar active experimentation gaya belajar yang lebih banyak

    memanfaatkan tindakan dan memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi

    orang lain melalui perbuatannya.

  • 5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika

    51/640

    46

    Adapun harapan dari penulisan makalah ini agar dapat diambil manfaatsecara teoritis untuk dapat berkontribusi terhadap kajian pustaka mengenai

    perbedaan profil pemahaman konsep pecahan pada siswa dengan keberagaman

    gaya belajar melalui pembelajaran manipulatif konkret. Selain itu, manfaat secara

    praktis, bagi penulis adalah endapatkan gambaran mengenai perbedaan profil

    pemahaman konsep pecahan pada siswa dengan keberagaman gaya belajar

    melalui pembelajaran manipulatif konkret. Bagi siswa, mengetahui

    kecenderungan gaya belajar pada diri siswa sejak dini sehingga mengarahkan

    potensi belajar yang telah dimiliki. Bagi guru,mendapatkan gambaran mengenai

    perbedaan profil pemahaman konsep pecahan pada siswa sehingga