keabsahan nasab berdasarkan akta...
TRANSCRIPT
KEABSAHAN NASAB BERDASARKAN AKTA
KELAHIRAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Fikri Iswanto
NIM: 11140430000039
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020M/ 1441H
iv
ABSTRAK
Fikri Iswanto. NIM. 11140430000039. “Keabsahan Nasab
Berdasarkan Akta Kelahiran Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif”.
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020 M.
Akta Kelahiran merupakan salah satu cara untuk membuktikan bahwa
seseorang memiliki nasab kepada orang tuanya sesuai yang tercantum didalamnya.
Namun didalam pelaksanaannya, Akta Kelahiran masih terdapat celah untuk
disalahgunakan pemakaiannya oleh masyarakat maupun para oknum pegawai itu
sendiri. Dengan memalsukan Akta Kelahiran, merubah status anak angkat menjadi
anak kandung, atau memasukkan anak luar nikah kedalam kartu Keluarga orang
Lain. Skripsi ini bertujuan menganalisis keabsahan nasab seseorang yang
didasarkan kepada Akta Kelahiran sebagaimana pandangan Hukum Islam dan
Hukum Positif.
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan dengan metode
Statuting Aproach (Perundang-undangan) yang dimasukkan pada jenis penelitian
hukum bersifat normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengkajian
terhadap putusan majelis hakim, buku-buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan
dengan judul skripsi ini.
Kesimpulan dari penelitian ini ialah Akta Kelahiran dapat dijadikan
landasan untuk menetapkan nasab karena secara umum prosedur dalam
pelaksanaan pencatatan sipil sudah sesuai dengan hukum islam dan hukum positif.
Namun Akta Kelahiran ini tidak dapat dijadikan dasar secara penuh karena masih
harus dibuktikan ke otentikannnya secara hukum dan kebenarannya dimasyarakat
sebagaimana hukum islam menjelaskan, yaitu dengan memberikan kesaksian yang
baik serta utuh. Sehingga bisa dipastikan penekanannya pada aspek kemaslahatan
anak. Nasab yang sesuai dengan ketentuan syarat dan perolehannya meskipun tidak
dicatatkan pernikahannya adalah yang dilahirkan didalam pernikahan yang sah
sesuai dengan agamanya (Islam). Akan tetapi lebih baik juga diakui dan dilindungi
oleh negara.
Kata Kunci : Nasab Anak, Akta Kelahiran, Pencatatan Sipil.
Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1969 s.d Tahun 2019
v
حيم حمن الره الره بسم الله
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sesungguhnya hanya dengan pertolongan-
Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“ KEABSAHAN NASAB BERDASARKAN AKTA KELAHIRAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ” dengan baik. Salawat seiring salam
selalu terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi akhir zaman Muhammad
SAW, beserta para keluarga, sahabat dan umatnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis karena keterbatasan
pengetahuan. Patut disyukuri karena dari proses penulisan ini dapat diperoleh
banyak pengalaman sehingga bisa menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran untuk
penulis.
Selama penelitan ini penulis menyadari bahwa skripsi ini tersusun bukan
semata-mata hasil usaha sendiri dan banyak kesulitan yang harus di hadapi. Namun
berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan itu dapat
diselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
semuanya dan yang terkhusus kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A, selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Hj. Siti Hanna, M.A Selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Bapak Hidayatulloh, M.H Selaku Sekretaris Program
Studi Perbandingan Mazhab;
3. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Penasihat
Akademik Penulis
4. Bapak Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.Ag., Selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Satar Lahamado dan Ibunda Kesty
Purwani, yang telah bersabar dan mencintai saya dengan segenap jiwa
dan raga, baik doa maupun dukungan sehingga dengan ridha mereka
saya bisa sampai seperti ini;
vi
6. Kepada Adik-Adik ku tercinta, Zahra Azhari dan Hadi Kurniawan
yang selalu memberikan semangat yang luar biasa dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Entih, Bu’le, dan Mamah yang telah memfasilitasi dan
merawat selama penulis mengerjakan skirpsi ini;
8. Kepada Ayah Sukarlan selaku Guru Besar Perguruan Pencak Silat
Ababil dan Bunda yang telah banyak memberikan pembelajaran yang
begitu banyak. Serta Bang Rendy dan teman-teman semua yang ada di
sana;
9. Kepada Rahma Dina Damanik yang telah membantu memeriksa dan
memperbaiki penulisan dalam skripsi ini serta memotivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada Teman-teman dan para Senior Alumni UKM Menwa “Wira
Dharma” UIN Jakarta yang memberikan tempat untuk belajar;
11. Kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa PMH (Perbandingan
Mazhab dan Hukum) angkatan 2014 yang telah membantu mengajak
untuk bersama-sama.
12. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang mana
penulis tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan manfaat bagi para
pembaca. Sebagai akhir kata semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan
dan semangat yang telah diberikan kepada penulis serta menjadi berkah dan amal
kebajikan untuk semua yang membantu dalam proses penulisan ini. Aamiin.
Jakarta, 17 Februari 2020
Penulis
Fikri Iswanto
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................... 5
C. Pembatasan Masalah ......................................................... 6
D. Rumusan Masalah ............................................................. 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 6
F. Tinjauan Studi Terdahulu .................................................. 7
G. Metode Penetilian .............................................................. 8
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Nasab ................................................................................. 11
1. Pengertian Nasab .......................................................... 11
2. Dasar-Dasar Menetapkan Nasab................................... 16
B. Pencacatan Kelahiran ........................................................ 21
1. Pengertian Pencatatan Kelahiran .................................. 21
2. Prosedur Pencatatan Kelahiran ..................................... 24
3. Sejarah Pencacatan Kelahiran ....................................... 28
C. Rekayasa Identitas ............................................................. 31
1. Pengertian Perekayasaan .............................................. 31
2. Pengertian Kesengajaan ................................................ 34
3. Pengertian Kealpaan ..................................................... 37
viii
BAB III REALITAS PENCATATAN KELAHIRAN
A. Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran .................................... 41
B. Kasus Pencatatan Kelahiran Bukan Kepada Orang Tua
Kandung ............................................................................ 45
1. Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor:
49/Pdt.P/2018/PN.Wno ................................................ 46
2. Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor:
115/Pdt.P/2019/PN.Grt ................................................. 49
3. Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen nomor:
76/Pdt.P/2010/PN.Kpj .................................................. 51
C. Kewajiban Dalam Penetapan Nasab .................................. 52
BAB IV KEKUATAN HUKUM AKTA KELAHIRAN DALAM
MENENTUKAN NASAB
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Keabsahan Akta
Kelahiran Dalam Menentukan Nasab ................................ 61
B. Pandangan Hukum Positif Terhadap Keabsahan Akta
Kelahiran Dalam Menentukan Nasab ................................ 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 77
B. Rekomendasi ..................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang segala aktivitas harus
berlandaskan dengan hukum. Setiap aktivitas hukum sudah sepatutnya akan
memberikan akibat hukum dikemudian harinya. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap aktivitas hukum maupun peristiwa
hukum harus memiliki alat bukti yang sah sebagai tanda bahwa peristiwa itu
benar-benar terjadi. Salah satu alat bukti yang bisa dijadikan dasar adalah akta
otentik. Akta otentik merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat.1
Peristiwa Hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat
menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
hukum. Seperti misalnya perkawinan antara pria dan wanita, akan membawa
bersama dari peristiwa hukum itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik untuk
pihak laki-laki yang kemudian bernama suami dengan serangkaian hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya. Pokoknya peristiwa hukum ini dapat mengenai
berbagai segi hukum, baik Hukum Publik ataupun Hukum Privat, Hukum Tata
Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Internasional Publik dan Perdata
Internasional, Hukum Pidana, Niaga, Sipil dan sebagainya.2
Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 54 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran
Penduduk pada Pasal 3 dan Pasal 5 yang intinya setiap penduduk dan penduduk
sementara wajib mendaftarkan dan mencatatkan setiap peristiwa kelahiran,
perkawinan, perceraian dan kematian yang tercantum di dalam akta pencatatan
penduduk.
Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah
dijelaskan dengan baik sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dan
1Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. 16,
h. 130-131
2
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”3
Perkawinan merupakan suatu cara yang sah untuk memperoleh
keturunan agar “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya” dan dengan itu hak-hak
si anak dapat terjaga dengan baik.4
Perkawinan yang dilangsungkan dengan baik dan benar adalah sesuai
dengan aturan yang berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu” (Ayat 1)
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku” (Ayat 2)
Maka berdasarkan hal inilah seorang dilahirkan dapat diakui oleh
hukum sebagai anak yang sah bukan anak luar kawin atau anak zina.
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan yang Esa, bahkan
anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus
senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dilihat
dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan
sekaligus potret masa depan bangsa dimasa mendatang, generasi penerus cita-
cita bangsa, sehingga setiap anak harus diberikan haknya sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Ayat 2 yaitu : “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” termasuk hak sipil dan
kebebasan.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hak-Hak Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
3Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 4Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: dengan tambahan UU Pokok Agraria
dan UU Perkawinan, penerjemah R. Subekti dan R. Tjicrosudibio, h. 62
3
Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban
dan tanggungjawab orang tua, keluarga masyarakat, pemerintah dan negara
untuk memberikan perlindungan terhadap anak.5
Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui
pendaftaran penduduk. Pencatatan sipil dan pengelolaan informasi penduduk
serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik, pemerintahan dan
pembangunan. Salah satu perlindungan terhadap anak adalah dengan
mencatatkan kelahirannya pada lembaga catatan sipil. Catatan sipil adalah
suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan serta
pembukuan selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberi
kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan,
perkawinan dan kematian.6
Islam menjelaskan bahwa pencatatan dalam bermuamalah penting
dilakukan agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari. Ketentuan ini
diungkap dalam surat yang dikenal oleh para ulama dengan ayat Al-
Mudayanah (ayat hutang piutang) :
ى فاكتبوه وليكتب بينكم كاتب بالعدل ول يأب كاتب أن يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسم
ربه ول يبخس منه شيئا فليكتب وليمل ل الذي عليه الحق وليتق الل يكتب كما علمه الل
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mendektekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.”
(QS. Al-Baqarah: 282)
Secara garis besar, ayat ini berbicara tentang anjuran, bahkan menurut
sebagian ulama bersifat kewajiban untuk mencatat hutang piutang dan
5Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. vii 6Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2008), Cet. 1, h. 65
4
mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya. Selain itu, ayat
ini juga menekankan perlunya menulis hutang walaupun hanya sedikit, disertai
dengan jumlah dan ketetapan waktunya.7
Memang Ayat ini tidak menyebutkan secara jelas untuk mencatat
peristiwa hukum seperti kelahiran, perkawinan, percerian, dan kematian.
Tetapi para ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar hukum pencatatan
perkawinan agar pelaksanaan perkawinan dapat menjadi lebih baik. Seiring
perkembangan zaman, keberadaan bukti otentik terhadap sebuah peristiwa
hukum menjadi suatu yang diperlukan. Salah satunya adalah kelahiran, dimana
kelahiran harus mempunyai bukti otentik berupa akta untuk memberikan
perlindungan terhadap anak yang lahir kedunia. Bahkan, anak yang masih
dalam kandungan pun sudah mendapat perlindungan hukum yang pasti.
Pasal 51 Ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008
menyebutkan bahwa “Setiap peristiwa kelahiran dicatatkan pada instansi
pelaksana ditempat terjadinya kelahiran”. Melihat pentingnya pencatatan
kelahiran bagi anak maka setiap anak harus memilliki akta kelahiran, akta
kelahiran ini dapat diperoleh menurut perundang-undangan yaitu di kantor
catatan sipil.
Belakangan ini sering ditemukan kasus bayi terlantar yang ditinggalkan
orang tuanya atau menyerahkan bayi yang dilahirkannya kepada orang lain
disebabkan ketidakmampuannya untuk merawat karena desakan ekonomi
maupun hal lainnya sehingga orang yang melihatnya merasa kasihan dan
berniat menolong bayi tersebut. Namun, karena pencatatan kelahiran harus
tetap dilaksanakan dan pencatatan kelahiran berdasarkan peristiwa itu
dianggap sangat rumit karena harus berhubungan dengan kepolisian sedangkan
pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam maka beberapa
masyarakat melakukan perekayasaan identitas yang berupa pengubahan nama
orang tua kandung yang melahirkan di instansi kesehatan agar dapat dengan
mudah membantu menolong anak yang baru dilahirkan tersebut.
Seperti yang terjadi pada Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor
76/Pdt.P/2010/PN.Kpj, pemohon melakukan perubahan indentitas dengan cara
memasukan nama anaknya tersebut ke dalam Kartu Keluarga kakaknya untuk
7M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 602
5
keperluan sekolah karena suami pemohon meninggal dan pemohon harus
bekerja diluar kota. Atau, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Garut
Nomor 115/Pdt.P/2019/PN.Grt yang menasabkan anaknya sendiri kepada
Kakak kandungnya karena keperluan administrasi dikantor tempat pemohon
bekerja karena pemohon melamar kerja ditempat tersebut meggunakan
identitas kakak pemohon.
Dengan demikian pencatatan kelahiran berhasil dilakukan dan
mendapatkan bukti otentik berupa akta kelahiran yang berakibat hukum si anak
bukan bernasab kepada orang tua kandungnya Tetapi orang tua yang bukan
melahirkannya.
Pencatatan kelahiran bukan kepada orang tua kandung terkadang bisa
terjadi karena kekeliruan sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Wonosari
Nomor 49/Pdt.P/2018/PN.Wno. Pemohon I dengan Pemohon II tersebut, telah
di karuniai anak perempuan bernama Sifa Prihananti. Pemohon II mempunyai
saudara kandung yaitu Sumini, selama kurang lebih dua puluh tahun
pernikahan dengan Paino sampai saat ini belum dikaruniai anak. Oleh karena
itu, Sumini dengan Paino menyampaikan berniat untuk mengasuh anak
tersebut. Setelah disetujui, kemudian Sumini dan Paino mengsasuhnya serta
membantu mengurus pembuatan Akta Kelahiran bagi anak tersebut karena ada
Program Pemutihan Akta Kelahiran. Tetapi setelah Akta Kelahiran itu terbit
terdapat kesalahan nama orang tua didalamnya yaitu atas nama Sumini dengan
Paino.
Bagaimana hukum Islam melihatnya pada sisi keabsahan nasab anak,
padahal pengakuan tersebut bukan pada posisi pengadopsian. Oleh sebab itu
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai keabsahan nasab
seorang anak berdasarkan akta kelahiran yang penulisan kelahiran anak
didalamnya bukan kepada orang tua kandungnya, dengan judul:
“Keabsahan Nasab Berdasarkan Akta Kelahiran Menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif”
B. Identifikasi Masalah
Masalah tentang akta kelahiran anak yang tidak sesuai dengan orang
tua kandungnya menyebabkan pertanyaan terhadap keabsahan nasab tersebut.
Oleh karena itu akan dikumpulkan berbagai masalah yang akan timbul dalam
6
penelitian ini. Dari penjelasan latar belakang dapat di identifikasi masalah yang
ada didalamnya, yaitu:
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
keabsahan akta kelahiran dalam menentukan nasab?
2. Apakah dapat dilakukan pembatalan terhadap akta kelahiran yang tidak
sesuai ketentuan jika telah berlangsung lama?
3. Bagaimana mekanisme perbaikan akta kelahiran tersebut?
4. Bagaimana kedudukan nasab jika akta kelahiran berstatus batal demi hukum?
5. Apakah dampak dan resiko akta kelahiran yang penulisan kelahiran anak
didalamnya bukan kepada orang tua kandung menurut pandangan Hukum
Islam dan Hukum Positif?
6. Apa hukuman bagi pelaku pemalsuan menurut Hukum Pidana dan Pidana
Islam?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis akan
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga lebih jelas dan terarah yang
sesuai dengan yang diharapkan penulis. Dalam hal ini penulis akan membahas
bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap keabsahan
nasab berdasarkan akta kelahiran yang penulisan kelahiran anak didalamnya
bukan kepada orang tua kandungnya dan kekuatannya untuk mengubah hukum.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
keabsahan akta kelahiran dalam menentukan nasab ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada permasalahan di atas, maka hasil penelitian
bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap keabsahan nasab
anak berdasarkan akta kelahiran.
b. Untuk mengetahui pandangan Hukum Positif terhadap keabsahan nasab
anak berdasarkan akta kelahiran.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapati dari hasil penelitian ini, yaitu bisa
memberikan manfaat sebagai berikut:
7
a. Bagi Akademisi, menambah wawasan terkait kekuatan hukum akta
kelahiran dalam menentukan keabsahan nasab seorang anak yang
penulisan kelahiran anak didalamnya bukan kepada orang tua
kandungnya. Menurut hukum islam dan hukum positif.
b. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dalam
pengambilan keputusan terkait pencatatan kelahiran.
F. Tinjauan Studi Terdahulu
1. Skripsi
Judul : Hukum Memberikan Nama Nasab Kepada Anak Angkat
Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 1984
( Studi Kasus Desa Lengau Seprang Kecamatan Tanjung
Morawa
Nama : Muhammad Basri Sitorus (NIM. 21134072)
Jurusan : Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Tahun : 2017
Skripsi ini menjelaskan tentang praktek memberikan nama nasab
kepada anak angkat dan alasannya yang terjadi di Desa Lengau Seprang serta
pandangannya menurut fatwa MUI tahun 1984. Berdasarkan hasil penelitian
penulis, praktek pemberian nama nasab tersebut sudah terjadi sejak lama tetapi
tidak ada yang mengetahui sejak kapan dimulainya. Masyarakat beralasan agar
statusnya sama seperti anak kandung dan hanya bersifat administratif saja. Dan
Menurut Fatwa MUI adalah suatu yang bertentangan dengan Syariat Islam.
2. Skripsi
Judul : Urgensitas Istilhaq dalam Menjamin Status Anak Luar
Nikah dan Penerapannya di Pengadilan Agama Sleman
Nama : Muhamad Tambusai Ad Dauly (NIM. 108044100003)
Jurusan : Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun : 2012
Skripsi ini memaparkan mengenai urgensitas Istilhaq (pengakuan anak)
yang dilakukan laki-laki terhadap anak luar nikah yaitu anak yang memiliki
8
hubungan biologis dengannya dan belum mendapatkan status nasab secara
hukum serta dalam kasus penerapannya di pengadilan agama sleman. Namun
dengan pertimbangan kemaslahatan anak dan hak anak maka bisa dilakukan
penasaban anak kepada ayah biologisnya, penulis juga melampirkan surat bukti
salinan putusan pengadilan agama sleman dan putusan MK No. 46/PUU-
VII/2010. Skripsi ini belum menjelaskan tentang pencatatan kelahiran yang
bukan kepada orang tua biologisnya.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah Berkaitan dengan
penelitian hukum maka dalam hal ini dilakukan beberapa pendekatan
didalamnya yaitu pendekatan konseptual (conceptual approach),
pendekatan perundangan-undangan (statue approach), dan pendekatan
kasus (case approach). 8
Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang didalam ilmu hukum, pendekatan perundangan-undangan
(statue approach) dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani, dan pendekatan
kasus (case approach) yaitu dengan cara melakukan pendekatan kasus yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Pendekatan Positivistik Rasionalistik. Pendekatan yang ditampilkan
dari konsep abstrak umum yang samar dikembangkan spesifikasinya lewat
proses berfikir sistematik-hierarkik-heterarkik menjadi konsep spesifik
yang lebih jelas dan mampu memberi eksplanasi, prediksi, atau rambu
operasionalisasi.9
2. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian yang mencakup asas-asas hukum,
penelitian terhadap sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan penelitian
perbandingan hukum. Mengacu pada peraturan perundang-undangan dan
8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 142 9Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi IV, (Yogyakarta : Rake Sarasin,
2000) cet.1, h. 107
9
keputusan pengadilan yang mengatur tentang kewarganegaraan atau
permasalahan tentang status kewarganegaraan di dalamnya. Serta dampak
hukum yang terjadi dari kasus-kasus tersebut.10
Metode lain yang digunakan penulis dalam proses pengumpulan data
adalah metode Studi Pustaka. Metode ini dilakukan untuk mencapai
pemahaman yang komprehensif tentang konsep-konsep yang akan dikaji.
Studi Pustaka merentang dari studi disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan tertentu,
dan lebih memerlukan olahan filosofik dan teoritik daripada uji empirik.11
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan
dalam penelitian. adapun sumber data dalam penelitian ini penulis bagi
kedalam dua jenis data, yaitu :
a. Data Primer, data primer yang digunakan merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan
hukum primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusaan-
putusan hukum.12
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil
penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi dan peraturan
perundang-undangan.13 Serta diambil dari litelatur yang berasal dari
sumber non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik
penelitian berupa kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kamus
hukum, majalah, koran, internet, dan lainnya.14
J. Sistematika Penulilsan
Untuk memudahkan dalam memahami dan memperjelas arah
pembahasan mengenai penelitian maka penulis menyusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
10Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), h.51 11Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi IV, (Yogyakarta : Rake Sarasin,
2000) cet.1, h. 296 12Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 156 13Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h.106 14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 143
10
Bab I Membahas tentang latar belakang penulis dalam menentukan tema
dan metode penelitian yang digunakan, mengidentifikasi masalah-
masalah yang dapat terjadi, membatasi masalah yang muncul dan
merumuskan masalah yang akan dikaji secara khusus, menjelaskan
tujuan dan manfaat penelitian, Tinjauan studi terdahulu, serta
sistematika penulisan dalam skripsi.
Bab II Membahas landasan teori yang meliputi pembahasan mengenai
Pengertian Nasab, Macam-macam dan Syarat-syarat Pencatatan
Kelahiran, Rekayasa Identitas.
Bab III Membahas tentang realitas pencatatan kelahiran dimasyarakat,
kemudian kasus pencatatan kelahiran yang didalamnya terdapat
perekayasaan, dan kewajiban dalam menerapkan nasab.
Bab IV Membahas permasalahan utama yaitu pandangan Hukum Islam
maupun Hukum Positif terkait keabsahan nasab anak berdasarkan
akta kelahiran
Bab V Merupakan bab penutup yang memuat tentang kesimpulan dan
saran.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Nasab
1. Pengertian Nasab
Kata nasab secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu
نسبا-ينسب - نسب , apabila terdapat kalimat الرجل نسبه berarti نسب وصفه وذكر
memberikan ciri-ciri dan menyebutkan keturunannya. Kata nasab adalah
bentuk tunggal yang berbentuk jamaknya bisa nisab, seperti kata سدرة
menjadi سدر dan bisa juga menjadi nusab, seperti kata غرفة menjadi
Disamping itu bentuk jamak dari nasab adalah ansab sebagaimana .غرف
firman Allah:
فل أنساب بينهم يومئذ ول يتساءلون لصور ٱفإذا نفخ في
“Apabila sangkala-kala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab
pada hari itu, dan tidak ada pula saling bertanya.” (QS. Al-
Mu’minun( 23):101)
Selain ayat di atas kana nasab dalam bentuk tunggalnya dipakai
dua kali dalam Al-Qur’an, pertama dalam surah Allah berfirman:
إنهم لمحضرون لجنة ٱنسبا ولقد علمت لجنة ٱوبين ۥوجعلوا بينه
“Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin.
Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-bernar akan diseret
(ke neraka).” (Q.S. Ash-Shaffat: 158)
Ayat di atas sedang membicarakan sifat-sifat kaum musyrik.
Mereka yang diantara anggapan mereka adalah bahwa jin mempunyai
hubungan nasab dengan Allah. Kedua, kata nasab dusebutkan juga dalam
surat sebagai berikut:
انسبا وصهرا وكان ربك قدير ۥبشرا فجعله لماء ٱخلق من لذيٱوهو
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan musaharah (hubungan kekeluargaan
12
yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu MahaKuasa.” (Q.S.
Al-Furqon: 54)
Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa
kata النسب dan الصهر keduanya bersifat umum yang mencakup hubungan
kerabat di antara manusia.15
Nasab adalah keturunan, ikatan keluarga karena hubungan darah;
baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek dan
seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun ke samping
(saudara, paman, bibi, dan lain-lain), yang juga menimbulkan hubungan-
hubungan hukum yang bertalian dengan: nafkah, waris, dan larangan-
larangan menikah.16
Jumni Nelli mendefinisikan nasab dengan pertalian
kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat
perkawinan yang sah dan merupakan salah satu pondasi yang kokoh
dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang dapat mengikat
pribadi berdasarkan kesatuan darah.17 .
Baik secara bahasa maupun secara istilah, sepertinya belum ada
suatu definisi yang sesuai dengan arah dan maksud. Oleh sebab itu, ada
baiknya dimunculkan di sini sebuah definisi yang dikemukakan oleh
Yasir bin Yasir, menurutnya pengertian nasab secara syara’ adalah
sebagai berikut:
ية حكمية إضافية بين شخص واخر من حيث أن الشخص انفصل عن رحم امرأة حالة حكم
ين الشابت للذى يكون الحبلى هي فى عصمة زواج شرعي أو ملك صحيح ثا بتين أو مشتبح
من ما ئه
15Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 27-28 16Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), h.
2337 17Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Prespektif hukum Islam dan Hukum Perkawinan
Nasional (Pekanbaru: Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska, 2010), h. 6 https://adoc.tips/nasab-anak-luar-nikah-perspektif-hukum-islam-dan-hukum-perka.html diakses 8 Januari 2020
13
“Keadaan hukum yang disandarkan antara seseorang dengan orang lain
yang mana orang tersebut terlepas dari rahim seorang wanita yang
terikat dalam ikatan suami istri maupun ikatan kepemilikan yang sah di
mana, baik ikatan suami istri maupun akad kepemilikan itu diakui
kebenarannya atau mirip dengan yang diakui kebenarannya. Ketetapan
ini dihubungkan kepada seseorang yang melalui air spermanya
kehamilan itu terjadi.” 18
Maka dari itu seorang anak dapat dikatakan sah memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah.
Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat
disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak
di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal usul anak
sebenarnya membicarakan anak yang sah.19
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 250 menyebutkan anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya.
Dalam perpektif Hukum Islam nasab anak terhadap ayahnya
bisa terjadi karena tiga hal. (1) melalui perkawinan yang sah, (2) melalaui
pernikahan yang fasid, dan (3) melalui hubungan senggama karena
adanya syubhah an-nikah (nikah syubhat), dengan penjelasan sebagai
berikut:20
a. Melalui perkawinan sah
Para ulama fiqh sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang
wanita dalam suatu perkawinan yang sah, dapat dinasabkan kepada
18Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 31 19Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2016), Cet. 6, h. 276 20Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 179
14
suami wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW dalam
sebuah hadis:
صلى الله عليه وسلم قال الولد للفراش وللعاهر الحجر عن ابي هريرة أن رسول الله
“Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Anak
itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri istri) dan
bagi pezina hanya berhak mendapatkan batu hukuman.” (HR.
Muslim)
Maksud dari hadis di atas adalah penegasan bahwa nasab
anak yang lahir dalam perkawinan yang sah atau fasid, dapat
ditetapkan dan dihubungkan kepada ayah kandungnya. Akan tetapi,
ketetapan ini tidak berlaku bagi pezina sebab nasab merupakan nikmat
dan karunia besar dari Allah SWT.21
b. Melalui perkawinan yang fasid atau batil
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan
dalam keadaan kekurangan syarat, seperti tidak ada wali, (bagi
mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya pernikahan). Akan
tetapi, ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab
anak dalam pernikahan fasid tersebut, yaitu:22
1) Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil, yaitu
seorang yang baligh dan tidak mempunyai penyakit yang dapat
menyebabkan istrinya tidak bisa hamil.
2) Hubungan badan benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pasangan
yang bersangkutan.
3) Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah
terjadinya akad nikah fasid tersebut (menurut jumhur ulama) dan
sejak hubungan badan (menurut ulama mazhab Hanafi).jika anak
itu lahir dalam waktu sebelum enam bulan setelah akad nikah atau
21Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 79-80 22Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 180
15
melakukan hubungan badan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan
kepada suami wanita tersebut, karena bisa dipastikan anak yang
lahir itu akibat hubungan dengan lelaki yang lain sebelumnya.
c. Melalui hubungan senggama secara syubhat
Hubungan badan atau senggama secara syubhat terdiri dari
dua kata, yaitu hubungan badan dan syubhat yang antara keduanya
dipisahkan oleh kata tambahan “secara”. Hubungan badan juga
disebut seks, bersanggama, bergaul suami istri, atau bersetubuh yang
semuanya merupakan padanan arti bahasa arab al-wath’i. Sedangkan
kata as-Syubhat berarti kemiripan, keserupaan, persamaan dan
ketidakjelasan. 23
Berkaitan dengan kajian hukum, istilah syubhat dapat di
interpretasikan sebagai suatu situasi dan kondisi adanya
ketidakjelasan dalam sebuah peristiwa hukum, karena ketentuan
hukumnya tidak dapat diketahui secara pasti, apakah dalam wilayah
halal atau haram. Dengan pengertian lain, syubhat adalah sesuatu yang
tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung
probabilitas antara benar dan salah, sekaligus tidak bisa ditarjihkan
mana yang validitas hukumnya lebih kuat. Dalam konteks hubungan
senggama secara syabhat, maka yang dimaksud dengan senggama
syubhat (wath’i al-syubhat) adalah hubungan yang terjadi bukan
dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan
zina.24
Namun demikian karena permasalahan nasab ini dapat
ditetapkan bukan hanya melalui perkawinan dan hubungan badan secara
syubhat, maka dalam pembahasannya membutuhkan berbagai macam
aspek yang ada kaitannya dengan masalah ini termasuk dalam hal cara
menetapkan nasab melalui pengakuan dan bahkan dengan cara lain.25
23Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 95-96 24Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 185 25Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 32
16
2. Dasar-Dasar Menetapkan Nasab
Penetapan nasab mempunyai dampak yang sangat besar
terhadap individu, keluarga dan masyarakat sengginga setiap individu
berkewajiban merefleksikannya dalam masyarakat, dengan demikian
diharapkan nasab (asal usul)nya menjadi jelas. Di samping itu, dengn
ketidakjelasan nasab dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan
mahram. Untuk itulah Islam mengharamkan untuk menisbahkan nasab
seseorang kepada orang lain yang bukan ayah kandungnya, dan
sebaliknya. 26
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam
memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat
diketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada
hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki
dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan
ketentuan lain.27
Ada beberapa cara menetapkan nasab yang oleh para ulama dari
berbagai kalangan mazhab dikemukakan secara detail. Setidaknya ada
empat cara dalam menetapkan nasab anak kepada orangtuanya.
Khususnya kepada ayah kandungnya, yaitu melalui pernikahan yang sah
atau fasid, melalui pengakuan atau gugatan atas nasab anak, melaui
pembuktian, dan melalui cara qifayah, yaitu penelusuran nasab oleh
seorang ahli pada zamannya atau dengan cara undian atau qur’ah.
Dengan penjelasan :28
a. Melalui pernikahan sah atau fasid
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pernikahan yang sah
atau fasid merupakan salah satu cara atau dasar yang sangat kuat dan
dianggap sah untuk menetapkan nasab seorang anak kepada kedua
26Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 178 27Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2016), Cet. 6, h. 276 28Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 123
17
orangtuanya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak itu tidak
didaftarkan secara resmi pada instansi terkait. 29 Sebagaimana
pernyataan Wahbah Az-Zuhaili sebagai berikut.
“Pernikahan yang sah atau pernikahan yang fasid sebagai
sebuah cara untuk menetapkan nasab, cara menetapkannya secara
konkret adalah manakala telah terjadi pernikahan, walaupun berupa
nikah fasid atau berupa nikah secara adat masyarakat tertentu, yaitu
pernikahan yang telah dianggap terlaksana dengan akad-akad khusus,
(seperti nikah di bawah tangan), tanpa didaftarkan pada lembaga
pernikahan resmi (seperti KUA), hubungan nasab anak-anak yang
dilahirkan oleh seorang wanita sebagai istri itu tetap bisa diakui dan
ditetapkan.”30
b. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak
Ulama fiqh membedakan antara pengakuan terhadap anak
dan pengakuan terhadap selain anak, seperti pengakuan terhadap
saudara, paman atau kakek. Jika seorang lelaki mengakui bahwa
seorang anak kecil adalah anaknya atau sebaliknya seorang anak yang
telah baligh (menurut jumhur ulama) atau mumayiz (menurut ulama
mazhab Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka
pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu dapat dinasabkan kepada
lelaki tersebut, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat,
yaitu sebagai berikut: 31
1) Anak yang menyampaikan pengakuan itu tidak jelas nasabnya.
Apabila ayahnya diketahui, maka pengakuan ini batal
ulama fiqh sepakat bahwa apabila anak itu adalah anak yang
dinafikan oleh ayahnya melalui li’an, maka tidak boleh seseorang
mengakui nasab-nya, selain suami yang me-li’an ibunya.
29Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 186 30Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 124 31Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 187
18
2) Pengakuan itu logis
3) Apabila anak itu telah baligh dan berakal (menurut jumhur ulama)
atau telah mumayiz (menurut ulama mazhab Hanafi) maka anak
tersebut membenarkan pengakuan laki-laki tersebut.
4) Lelaki yang mengakui nasab anak tersebut harus menegaskan
bahwa ia bukan anak dari hasil perzinaan, karena perzinaan tidak
bisa menjadi dasar penetapan nasab anak.
Apabila syarat-syarat di atas benar-benar telah terpenuhi,
maka pengakuan nasab oleh seorang ayah adalah sah dan anak
tersebut berhak mendapatkan nafkah, pendidikan selayaknya tersebut.
Ketika ayah telah mengakui anak tersebut sebagai anaknya, tidak
bolehmencabut pengakuannya, karena nasab tidak bisa dibatalkan. 32
c. Melalui Pembuktian
Dalam konteks ini, ulama fiqh sepakat bahwa saksi harus
benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang di-nasab-kan.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. ketika itu mengatakan:
“Apakah engkau melihat matahari?” Lelaki itu menjawab: “Benar,
saya lihat”. Kemudian Rassulullah SAW bersabda: “apabila sejelas
matahari itu, maka silahkan kemukakan kesaksianmu. Tetapi apabila
tidak (demikian), maka jangan menjadi saksi” (HR. al-Baihaki dan al-
Hakim).33
Alat bukti dalam hal menentukan nasab adalah berupa
kesaksian, di mana status kesaksian ini lebih kuat daripada sekadar
pengakuan, sebab kesaksian sebagai alat bukti selalu melibatkan
orang lain, sebagai penguat. Sedangkan dalam pengakuan belum tentu
didukung oleh orang lain, yang akibatnya pengakuan tersebut tidak
kuat dan masih mungkin dibatalkan oleh adanya alat bukti berupa
saksi yang benar.
32Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 127 33Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenata Media Group, 2008), h. 189
19
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa alat bukti ini
merupakan kesaksian, maka para ulama fiqh tidak sepakat tentang
jumlah saksi dalam perkara ini. Menurut Imam Abu Hanifah dan
Muhammad bin Hasan, saksi harus berjumlah empat orang terdiri dari
dua laki-laki dan dua perempuan. Menurut mazhab Maliki kesaksian
dua orang laki-laki dianggap cukup, sementara menurut ulama dari
kalangan mazhab Syafi’i dan Hanbali serta Abu Yusuf bahwa semua
ahli waris harus mengungkapkan kesaksian.34
d. Melalui perkiraan (Qiyafah) atau undian (Qur’ah)
Penetapan nasab melalui perkiraan (qiyafah) ini masih
diperselisihkan oleh para ulama. Pengertian qiyafah secara etimologi
berarti menelusuri jejak, adapun secara terminologi upaya
menghubungkan nasab seseorang atas dasar kemiripan sifat, rupa atau
warna kulit, dengan menggunakan ilmu atau cara-cara tertentu. Cara
penetapan nasab ini dibenarkan berdasarkan hadis riwayat Al-Bukhari
dan Muslim sebagai berikut.
ضي الله عنها قالت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل علي مسرورا عن عائشة ر
زا نظر آنفا إلى زي د بن حارثة وأسامة بن زيد تبرق أسارير وجهه فقال ألم تري أن مجز
هذه القدام بعضها من بعض فقال إن
“Dari Aisyah berkata, suatu hari Rasulullah SAW masuk ke rumahku
dalam keadaan gembira seraya berkata wahai Aisyah apakah kamu
tahu Mujazziz Al-Mudallaji yang masuk dan melihat Usamah serta
Zaid (anak dan bapak), keduanya menutup kepalanya dengan kain
beludru, tetapi kaki keduanya kelihatan, maka Nabi berkata,
sesungguhnya kaki-kaki ini sebagiannya merupakan bagian dari yang
lain.” (HR. Muttafaq Alaih)
Sejalan dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ada termasuk ilmu kedokteran dikenal adanya tes
34Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 130
20
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), tes DNA merupakan tes yang
dilakukan terhadap sebagai salah satu upaya untuk memperoleh
kejelasan identitas yakni sifat keturunan atau genetik dari generasi ke
generasi berikutnya. Praktik tes DNA seperti ini telah banyak
dilakukan oleh beberapa kalangan keluarga biasanya yang
mempunyai masalah dalam keluarganya.35
Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir mencapai 100
persen akurat. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa
terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya,
mungkin satu diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu
disebabkan oleh faktor human error terutama pada kesalahan
interprestasi fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia). Tetapi
dengan menerapkan standard of procedur yang tepat kesalahan human
error dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.36
Ada syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penyidik
DNA, antara lain; ia harus seorang muslim yang adil, sudah baligh,
merdeka. ia bisa melihat, mendengar, berbicara secara normal. Ia
memiliki pengetahuan tentang DNA, memiliki kavabelitas dalam
melakukan uji DNA. Ia tidak memiliki kepentingan dengan DNA
seseorang yang ia uji dan ia disyaratkan dua orang atau lebih menurut
jumhur.37
Oleh karena itu, dalam penetapan nasab/keturunan, hasil tes
DNA dapat dijadikan sebagai bagian yang akan mendukung boleh
tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasab. Tes DNA itu hanya
merupakan salah satu alat untuk bisa mengetahui bahwa yang
35 Iftitah Utami, “Eksistensi Tes Deoxyribo Nucleic Acid dalam Menentukan Nasab”,
Medina-Te: Jurnal Studi Islam, Vol. 14, Nomor 2, (Palembang: Program Pasca Sarjana UIN Raden Fatah, 2016), h. 143
36Wahyu P.P, Apakah DNA ?, (Bandung: Puri Delco, 2013), h. 67 37Kedudukan DNA Dalam Menetapkan Nasab, http://www.annursolo.com/kedudukan-
dna-dalam-menetapkan-nasab/, Diakses pada tanggal 17 Juli 2020, Pukul 17.30 WIB
21
bersangkutan itu me miliki hubungan atau tidak memiliki hubungan
dengan yang lain atau tidak (menafikan).38
Disamping metode perkiraan atau qiyafah sebagaimana
uraian di atas, dalam persoalan persengketaan nasab ini juga dikenal
metode undian atau qur’ah. Akan tetapi, Ibnu Al-Qayyim mengatakan
bahwa undian ini dinilai sebagai cara dan upaya paling terakhir, ketika
tidak bisa di tempuh melalui pengakuan, pembuktian, atau perkiraan,
jadi selama masih bisa ditembuh dengan cara lain, metode
penyelesaian persengketaan nasab dengan undian ini harus dihindari,
sebab cara ini sangat bersifat spekulatif yang jauh dari indikasi ke arah
kebenaran, apalagi keilmiahan.39
B. Pencatatan Kelahiran
1. Pengertian Pencatatan Kelahiran
Pencatatan Sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang
dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi
Pelaksana.40 Peristiwa penting yang harus dicatatkan adalah peristiwa
yang di alami oleh penduduk yang membawa akibat terjadinya
perubahan hak-hak keperdataan, maupun lahirnya hak keperdaataan atau
hapusnya hak keperdataan. Sebagai mana yang disebutkan dalam
undang-undang, Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh
seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan,
perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak,
perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.41
Pencatatan kelahiran merupakan salah satu bentuk upaya untuk
memberikan perlindungan hukum bagi seorang anak yang dilahirkan
agar segala hak-hak anak tersebut dapat dipenuhi. Setiap kelahiran yang
38M. Jamil, “Nasab Dalam Perspektif Tafsir Ahkam”, Jurnal Ahkam: Vol. XVI, Nomor 1,
(Medan, UIN Sumatera Utara, 2016), h. 129 39Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 139 40UU No. 24 Tahun 2013 Pasal 1 Ayat 15, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan
Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 92 41UU No. 24 Tahun 2013 Pasal 1 Ayat 17, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan
Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 93
22
terjadi wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana
setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.42 Pelaporan
harus dilakukan sesegera mungkin agar anak tersebut mendapat
pelayanan langsung berupa pemberian akta yaitu surat sebagai alat bukti
yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.43
Kelahiran yang sudah dilaporkan kepada Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil setempat maka berdasarkan pelaporan tersebut
pejabat pencatatan sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.44Akta Kelahiran yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan adanya kelahiran,45
Merupakan Akta autentik yang dibuat menurut ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan yang berkepentingan
untuk dicatat di dalamnya.46
Akta kelahiran itu sendiri terdiri dari: akta kelahiran umum;
akta kelahiran istimewa; akta kelahiran luar biasa; dan akta kelahiran
tambahan, dengan penjelasan:47
a. Akta kelahiran umum
Akta kelahiran umum adalah akta kelahiran yang diterbitkan
berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan dalam waktu yang
ditentukan oleh perundang-undangan, yakni 60 hari kerja sejak
peristiwa untuk semua golongan, kelcuali golongan Eropa selama 10
42UU No. 24 Tahun 2013 Pasal 27 Ayat 1, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan
Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 98 43 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2006) Cet. 1, h. 149 44UU No. 24 Tahun 2013 Pasal 27 Ayat 2, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan
Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 98 45Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2011), Cet. 3, h. 65 46Rocky Marbun, dkk, Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta: Visimedia, 2012) h.12 47Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2011), Cet. 3, h. 66
23
hari kerja. Esensi dari akta kelahiran umum adalah disampaikan dalam
60 hari kerja sejak kelahiran.
b. Akta kelahiran istimewa
Akta kelahiran istimewa adalah akta kelahiran yang
diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan setelah
melewati batas waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan.
Batas waktu lewat yakni melebihi 60 hari.
c. Akta kelahiran luar biasa
Akta kelahiran luar biasa adalah akta kelahiran yang
diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil pada zaman Revolusi antara 1
Mei 1940 sampai 31 Desember 1949 dan kelahiran tersebut tidak di
wilayah hukum kantor catatan sipil setempat.
d. Akta kelahiran tambahan
Akta kelahiran tambahan adalah akta kelahiran yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang terhadap orang yang lahir
pada tanggal 1 Januari 1967 sampai 31 Maret 1983, yang tunduk pada
Stb. 1920 No. 751 jo. Stb. 1927 No. 564 dan Stb. 1933 No. 75 jo. Stb.
1936 No. 607.
Sebagai salah satu surat kependudukan, akta kelahiran yang
dikeluarkan oleh kantor catatan sipil mempunyai beberapa fungsi,
sebagai berikut: 48
a. Menunjukan hubungan hukum antara anak dan orangtuanya secara
sah di depan hukum, karena di dalam akta disebutkan nama bapak dan
ibu dari si anak.
b. Merupakan bukti kewarganegaraan dan identitas diri awal anak yang
dilahirkan dan diakui oleh negara.
Dengan adanya akta kelahiran ini, anak secara yuridis berhak
mendapatkan perlindungan hak-hak kewarganegaraannya, seperti hak
atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pemukiman dan hak atas
48Henry S. Siswosoediro, Mengurus Surat-Surat Kependudukan (Identitas Diri), (Jakarta:
Visimedia, 2008) h. 15
24
sistem perlindungan sosial. Dalam hal ini, masyarakat berarti sudah
membantu mewujudkan kepastian hukum dan menghendaki adanya
ketentraman, ketertiban, keteraturan, dan keamanan terhadap peristiwa
hukum yang terjadi.
2. Prosedur Pencatatan Kelahiran
Peristiwa kelahiran dicatatkan pada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya kelahiran. dalam melaksanakan pencatatan peristiwa kelahiran
perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:49
a. Tempat domisili ibunya bagi penduduk Warga Negara Indonesia.
b. Di luar tempat domisili ibunya bagi penduduk warga Negara
Indonesia.
c. Tempat domisili ibunya bagi penduduk Orang Asing.
d. Di luar tempat domisili ibunya bagi penduduk Orang Asing.
e. Orang Asing pemegang Izin Kunjungan; dan
f. Anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang tuanya.
Untuk anak yang dilahirkan bertempat di domisili ibunya maka
ada tata cara yang harus dilakukan yaitu:50
a. Penduduk Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Surat
Keterangan Kelahiran dengan menunjukan persyaratan administrasi
dalam pengurusan akta kelahiran kepada Petugas Registrasi di kantor
desa/kelurahan.
b. Formulir Surat Keterangan Kelahiran ditandatangani oleh pemohon
dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah
c. Kepala Desa/Lurah berkewajiban meneruskan Formulir Surat
Keterangan Kelahiran kepada UPTD Instansi Pelaksana untuk
diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
49Perpres No. 25 Tahun 2008 Pasal 51 Ayat 1 dan 2, Himpunan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Tahun 2008, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009), h. 188 50Perpres No. 25 Tahun 2008 Pasal 53, Himpunan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Tahun 2008, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009), h. 189
25
d. Dalam hal UPTD Instansi Pelaksana tidak ada, Kepala Desa/Lurah
menyampaikan ke kecamatan untuk meneruskan Formulir Surat
Keterangan Kelahiran kepada Instansi Pelaksana.
e. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana/UPTD Instansi
Pelaksana mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan
Kutipan Akta Kelahiran dan menyampaikan kepada Kepala
Desa/Lurah atau kepada pemohon.
Adapun Persyaratan Administrasi yang harus dipenuhi oleh
pemohon dalam pengurusan akta kelahiran meliputi: (1) surat keterangan
kelahiran dari yang berwenang, misalnya dokter, bidan, dukun anak,
nahkoda, dan pilot pesawat; (2) surat dari lurah/kepala desa; (3) surat
nikah; (4) surat bukti kewarganegaraan [SBK] bagi WNA yang telah
menjadi WNI dan ganti nama; (5) Kartu Susunan Keluarga; (6)
melampirkan dokumen-dokumen asing bagi WNA; dan (7) Dua orang
saksi yang memenuhi persyaratan, yaitu: dewasa, sehat jasmani dan
rohani, tidak buta huruf, dan berdomisili di kantor catatan sipil yang
bersangkutan.51
Apabila anak yang dilahirkan bertempat diluar domisili ibunya
maka pencatatan kelahiran Pendudukan Warga Negara Indonesia harus
dilakukan dengan tata cara:52
a. Penduduk Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Surat
Keterangan Kelahiran dengan menyerahkan surat kelahiran dari
dokter/bidan/penolong kelahiran dan menunjukan KTP ibu atau
bapaknya kepada Instansi Pelaksana.
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana mencatat dalam
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
Pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dan penerbitan akta
51Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2011), Cet. 3, h. 67 52Perpres No. 25 Tahun 2008 Pasal 54, Himpunan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Tahun 2008, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009), h. 189
26
kelahiran dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi
Pelaksana setempat.53
Dalam hal pelaporan kelahiran tidak disertai kutipan akta
nikah/akta perkawinan orang tua sebagaimana persyaratan administrasi
dalam pengurusan akta kelahiran maka pencatatan kelahiran tetap
dilaksanakan.54
Terkait peristiwa anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau
anak temuan (istilhaq), maka prosedur pengurusan administrasi
penerbitan Akta Kelahiran harus menyertakan Berita Acara dari
kepolisian sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 96
Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil :
“Pencatatan kelahiran WNI bagi anak yang baru lahir atau baru
ditemukan dan tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang
tuanya harus memenuhi persyaratan berita acara dari kepolisian.”
(Pasal 33 Ayat 2)
Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan khususnya Pasal 28 juga dijelaskan bahwa :
“Pencatatan kelahiran dalam Register Akta kelahiran dan penerbitan
Kutipan Akte Kelahiran terhadap peristiwa kelahiran seseorang yang
tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya, didasarkan
pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara
Pemeriksaan dari Kepolisian.” (Ayat 1)
53UU No. 24 Tahun 2013 Pasal 32 Ayat 1, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan
Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 98 54Perpres No. 25 Tahun 2008 Pasal 52 Ayat 2, Himpunan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Tahun 2008, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009), h. 188
27
“Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil dan disimpan oleh Instansi
Pelaksana” (Ayat 2)
Kutipan akta kelahiran seorang anak yang tidak diketahui asal-
usulnya atau keberadaan orang tuanya yang telah terbit akan diserahkan
kepada yang bersangkutan setelah dewasa.
Sesuai dengan Pasal 58 pada Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pencatatan kelahiran untuk
anak yang tidak diketahui asal-usulnya dan keberadaan orang tuanya
termasuk ke dalam Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya yakni dengan
ketentuan sebagai berikut:
“Pencatatan Peristiwa Penting lainnya bagi Penduduk harus memenuhi
persyaratan:
a. salinan penetapan pengadilan negeri tentang Peristiwa Penting
lainnya;
b. kutipan akta Pencatatan Sipil;
c. KK; dan
d. KTP-el.” (Ayat 1)
“Pencatatan atas Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan membuat catatan pinggir pada register
akta kelahiran maupun pada kutipan akta kelahiran.” (Ayat 2)
Maka untuk anak yang tidak diketahui asal-usulnya, orang tua
yang akan mengurusnya hanya berstatus sebagai wali, dimana untuk
menentukan perwalian ini harus berdasarkan ketetapan pengadilan,
sehingga untuk di akta kelahiran juga nantinya tidak sebagai anak dari
suami-isteri tetapi anak dari perwalian orang tua yang mengangkatnya.
merupakan pengakuan anak yang terbatas, sebagai hukum yang khusus.55
55Enty Lafina Nasution, “Perlindungan Hukum Melalui Akta Kelahiran Terhadap Anak Yang
Tidak Diketahui Asal-Usulnya”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 12, Nomor 2, (Desember, 2017), h. 326
28
3. Sejarah Pencatatan Kelahiran
Lembaga Catatan Sipil itu bukanlah lembaga asli bangsa
Indonesia, akan tetapi diambil dari negeri Belanda, lembaga ini baru
dikenal di Indonesia pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu
sebagai akibat dari asas Konkordansi, sedang dasar hukumnya adalah
Pasal II Aturan Peralihan UUD ’45 yang menyatakan bahwa: segala
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru.56
Catatan Sipil itu telah ada semenjak revolusi Perancis. Sebelum
itu hanya kita dapati register untuk kelahiran, perkwainan, kematian dan
sebagainya, yang itu diselenggarakan oleh pihak gereja. Keterangan yang
dicatat oleh pihak gereja itu sangat tidak lengkap, sering kali sukar dapat
ditemukan kembali dan lagi tidak senantiasa dapat diminta oleh orang-
orang yang berkepentingan. Code Civil dan kemudian juga (diteladan
oleh) B.W. Nederland mengadakan pengaturan tentang Burgelijk Stand
umum didasarkan atas sebuah undang-undang tahun 1887 dan keputusan
tentang pembukuan penduduk.57
Mengenai pembuatan akta-akta, pada mulanya kantor/lembaga
Catatan Sipil hanya melayani pembuatan akta-akta bagi golongan-
golongan penduduk yaitu golongan Eropa, golongan timur asing dan
golongan Indonesia, di mana golongan Indonesia ini terbatas pula bagi
orang yang beragama nasrani dan orang-orang yang berdarah bangsawan,
yang berada di Jawa dan Maluku, sehingga lembaga Catatan Sipil itu
hanya dikenal oleh golongan-golongan teretentu saja, hal ini dapat kita
lihat dari segi peraturan-peraturan mengenai Catatan Sipil yang berlaku
atau diberlakukan.58
56Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 5 57H.F.A. Vollmar, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlands Bugerlijk Recht. Penerjamah
I.S. Adiwimarta, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992) Cet. 3, h. 36 58Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 6
29
Di Batavia pelaksanaan Catatan Sipil telah ada sejak tahun 1820.
Hal ini terbukti dari arsip yang tersimpan di Kantor Catatan Sipil Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, meskipun secara resmi kelembagaan
catatan sipil baru ada secara de jure tahun 1850 yang kedudukannya
disesuaikan dengan wilayah kota Jakarta itu sendiri. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya untuk beberapa golongan penduduk saja terutama
bangsa Eropa.59
Lembaga ini diperuntukan pertama-tama bagi golongan eropa di
Indonesia, melalui Stb. 1849 No. 25. Bagi golongan Timur Asing
Tionghoa diterbitkan Reglement Catatan Sipil yang dimuat dalam Stb.
1917 No. 130 jo. Stb. 1919 No. 81 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk
Golongan Tionghoa, yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta
beberapa daerah lain pada tanggal 1 Mei 1919. Sementara bagi golongan
Bumi Putra diterbitkan Reglement yang dimuat dalam Stb. 1920 No. 751
jo. Stb. 1927 No. 564 yang mulai berlaku 1 Januari 1928. Sedangkan
dengan Ordonantie 1923 No. 75 jo. Stb. 1936 No. 607, diberlakukan
Reglement Catatan Sipil bagi Golongan Bumi Putra Kristen di Jawa dan
Madura, bekas residen Menado (yang lebih dikenal dengan nama
Minahasa) serta di daerah-daerah Ambonia, Saparua, dan Banda.60
Lembaga Catatan Sipil yang ada di Indonesia sekarang ini
sebenarnya merupakan kelanjutan peralihan, pengambiloperan dari
Negeri Belanda yang dinamakan dengan Burgerlijk Stand (BS), pada
zaman Belanda. Sedangkan Burgerlijk Stand yang ada di Negeri Belanda
ini berasal dari Perancis, hal ini terbukti dari sejarah yang diketahui pada
abad ke-18, Belanda pernah pula menjadi negara jajahan Perancis.61
59Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 16 60Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2011), Cet. 3, h. 65 61Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 15
30
Ketentuan-ketentuan tentang catatan sipil tersebut yang pada
dasarnya merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda digunakan
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum di bidang
catatan sipil. Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan berbagai peraturan
dibawah undang-undang yang mengatur tentang catatan sipil, antara lain:
(1) Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 31/U/IN/12/1966, yang
di keluarkan pada tanggal 27 Desember 1966 dan mulai berlaku tanggal
1 Januari 1967; (2) Keputusan Presidan Nomor 12 Tahun 1983 tentang
Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil; (3)
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 tentang
Oraganisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil; (4) Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 477-752 Tahun 1983 tentang Penetapan Besarnya
Biaya Catatan Sipil.62
Kemudian di Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 telah
meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Right
of the Child) sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB yang diterima
pada tanggal 20 November 1989 berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of
the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Salah satu hak anak
berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak PBB Tahun 1989 tersebut adalah
hak setiap anak untuk mendapatkan nama (identitas) yang diwujudkan
dalam akta kelahiran. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 7 Konvensi Hak
Anak tersebut, yang menyatakan bahwa setiap anak harus didaftarkan
segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu
nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin,
hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya.63
Jaminan setiap anak harus mempunyai Akta Kelahiran
ditegaskan lagi dalam Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun
62Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2011), Cet. 3, h. 64 63Rachmadi Usman, Hukum Pencatatan Sipil, (Jakarta : Sinar Grafika, 2019), h. 124-125
31
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dipertegas lagi dalam Pasal 27 Ayat (1)
dan Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Semula pelaporan dan penerbitan akta kelahiran
dilaksanakan di tempat terjadinya peristiwa kelahiran, seperti yang
diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun
2006. Namun ketentuan ini kemudian dirubah melalui Undang-Undang
No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan bahwa
pelaporan dan penerbitan akta kelahiran dilaksanakan di tempat domisili
penduduk yang bersangkutan. Kemudian berdasarkan Peraturan Presiden
No. 25 Tahun 2008 maupun SEMA No. 6 Tahun 2012, ternyata
pencatatan kelahiran juga dimungkinkan dilakukan di tempat kediaman
atau domisili orang tua anak yang bersangkutan.64
C. Rekayasa Indentitas
1. Pengertian Perekayasaan
Perekayasaan identitas merupakan suatu perbuatan yang
termasuk ke dalam tindak pidana pemalsuan. Kejahatan pemalsuan
adalah kejahatan yang didalamnya mengandung sistem ketidakbenaran
atau palsuatas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu tampak dari luar
seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan
yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis
pelanggaran terhadap dua norma dasar:
a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong
dalam kelompok kejahatan penipuan.
b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong dalam
kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
Dalam ketentuan hukum pidana, dikenal beberapa bentuk
kejahatan pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang,
64Rachmadi Usman, Hukum Pencatatan Sipil, (Jakarta : Sinar Grafika, 2019), h. 139
32
pemalsuan merek dan materai, dan pemalsuan surat.65 Membuat surat
palsu yaitu membuat surat yang isinya tidak benar, atau membuat
sedemikian rupa sehingga menunjukan asal surat itu yang tidak benar.
Sedangkan memalsu surat yaitu mengubah surat sedemikian rupa
sehingga isinya menjadi lain dari yang asli atau surat itu menjadi lain dari
yang asli. Surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
a. Dapat menerbitkan suatu hak. Misalnya: ijazah, karcis tanda masuk,
dan lain-lain.
b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian. Misalnya: surat penjanjian
piutang, perjanjian jual beli dan sewa.
c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi dan
semacamnya).
d. Suatu surat yang digunakan sebagai suatu keterangan bagi suatu
perbuatan atau peristiwa. Misalnya: surat tanda kelahiran, buku
tabungan pos, buku kas, obligasi , dan lain. (R. Soesilo, 1991: 195).66
Oleh R. Soesilo, pemalsuan surat hanya bisa terjadi jika suatu
surat telah termasuk dalam kategori suatu surat yang dapat dipalsukan
seperti syarat yang telah di sampaikan. karena dari penggunaan surat itu
dapat dibayangkan suatu kemungkinan yang merugikan terhadap salah
satu pihak atau dapat menimbulkan kerugian dikemudian hari.
Jenis-jenis pemalsuan terhadap kebenaran dapat dikategorikan
sebagai berikut:67
a. Pemalsuan Intelektual
Pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu
tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula
adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan
65Ismu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 173-174 66 Ismu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 180 67Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II) Jilid I, (Bandung: Alumni,
1986) h. 157-158
33
pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami,
bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaran, hingga
tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak benar.
b. Pemalsuan Materiil
Perbuatan mengubah suatu benda, tanda, merk, mata uang,
tulisan atau surat itu menunjukan atau menyatakan sesuatu hal yang
lain daripada aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan atau
surat itu secara material dipalsukan, tetapi karena isinya juga menjadi
palsu atau tidak benar.
Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang, tulisan atau
surat hingga serupa dengan yang aslinya tetapi bukan asli. termasuk juga
kedalam pengertian ‘Pemalsuan Materiil’. karena perbuatan itu bekaitan
dengan benda, tanda, merk, mata uang, tulisan atau surat yang secara
material dipalsukan tetapi digolongankan kepada pemalsuan materiil dan
pemalsuan intelektual. Karena keterangan didalam benda tersebut
dipengaruhi oleh wujud benda itu sendiri yang dibuat sedemikian rupa
hingga mirip dengan aslinya tetapi bukan yang asli. maka pernyataan
atau pemberitahuan yang disampaikan didalamnya ikut menjadi tidak
asli (paslu).
Pemalsuan intelektual yang murni hanya dapat dilakukan
terhadap tulisan atau surat bukan kepada benda, tanda, merk, mata uang.
karena pemalsuan keterangan atau pemberitahuan terjadi pada catatan
tulisan atau surat yang keseluruhannya merupakan asli tidak diubah,
tetapi penyataan yang termuat didalamnya adalah tidak asli atau tidak
benar. Tetapi penyampaian atau pernyataan didalamnya dapat berupa
informasi tentang benda, tanda, merk, mata uang.
Terkait pemalsuan surat, KUHP mengatur hukuman yang di
dapatkan pelaku yang melakukannya. Sebagaimana mana disebutkan:
(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam
suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
34
kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian,
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (Pasal 266)
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau
yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan
surat itu dapat menimbulkan kerugian. (Pasal 266)
Perbuatan penggunaan surat palsu tidak diperlukan untuk
kejahatan pemalsuan surat itu, tetapi dengan sendirinya dapat
menimbulkan kejahatan yang kedua. Jadi sama sekali tidak dipersoalkan,
penggunaan mana yang dikehendaki oleh pelaku tetapi perbuatan
pengguna itu ditentukan oleh Undang-Undang, bahwa penggunaan yang
dikehendaki oleh pelaku dapat menimbulkan kerugian.
Mengenai pemalsuan surat, pada hukum islam belum
diterangkan secara jelas dan khusus di dalamnya. Maka tindak pidana
pemalsuan surat ini dapat dikategotrikan kedalam jarimah ta’zir
mengingat tindak pidana pemalsuan surat ini baik jenis maupun
hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara secara jelas.
2. Pengertian Kesengajaan
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsaur
kesengajaanatau opzet, bukan unsur culpa. ini layak karena biasanya
yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan
sesuatu dengan sengaja.
Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana,
yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang; ke-2: akibat yang menjadi pokok
alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar
hukum.
Dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sehari-hari, seorang
dengan suatu perbuatan sering mengakibatkan sekedar kerusakan, kalau
ia akan menghindarkan diri dari suatu celaan, hampir selalu berkata,
“saya tidak sengaja.” biasanya, apabila kerusakan itu tidak begitu berarti,
35
perbuatan yang tidak sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita
kerugian. Artinya, tidak dikenai hukuman apapun.68
Menurut , kata “dengan sengaja” (opzettelijk) adalah sama
dengan “willens en weten” (dikehendaki dan diketahui). Ini berarti pada
waktu melakukan perbuatan, pelaku menghendaki (willen) perbuatan dan
atau akibat perbuatannya, juga mengetahui atau mengerti (weten) hal-hal
tersebut.69
Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) tahun 1809 dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang” 70
Secara umum para pakar hukum pidana telah menerima adanya
3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni: 71
a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
Sengaja sebagai maksud adalah bentuk kesengajaan yang
paling mudah dipahami. Dalam bentuk ini yang bersangkutan benar-
benar menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens) perbuatan dan
akibatnya. Hal menghendaki dan mengetahui/mengerti ini harus
dilihat dari sudut kesalahan dalam arti normatif, yaitu berdasarkan
peristiwa konkret orang-orang menilai apakah pada umumnya orang
dalam situasi seperti itu seharusnya menghendaki perbuatannya dan
mengertahui/mengerti akan akibatnya.
Ada yang mengatakan bahwa yang dapat dikehendaki adalah
hanya perbuatannya, bukan akibatnya. akibat ini oleh si pelaku hanya
dapat dibayangkan atau digambarkan akan terjadi (voorstellen).
68Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2014) Cet. 6, h. 66 69 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres,
2012), h. 119 70 Leden Marpaung , Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Cet.
6, h. 13 71 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres,
2012), h. 121-123
36
dengan demikian, secara dialektik timbul dua teori yang bertentangan
satu sama lain, yaitu (a) teori kehendak (wilstheorie) dan (b) teori
bayangan (voorstellings-theorie). teori kehendak menganggap
kesengajaan (opzet) ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak
pidana dikehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan menganggap
kesengajaan dan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan
perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan
akan tercapai, dan maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya
dengan akibat itu.72
b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)
Sengaja dengan keinsafan pasti, yang bersangkutan
sebenarnya tidak sepenuhnya menghendaki apa yang terjadi, tetapi ia
melakukan perbuatan itu sebagai keharusan demi untuk mencapai
tujuan yang lain.
Kalau ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie)
menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini
juga ada kesenjangan. menurut teori bayangan (voorstelling-theorie),
keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan atau maksud
(oogmerk) karena dalam keduanya tentang akibat tidak dapat
dikatakan ada kehendak si pelaku, bahwa akibat itu pasti akan terjadi.
Maka, juga kini ada kesenjangan. Menurut Van Hattum (halaman 246),
“Kepastian” dalam kesengajaan semacam ini harus diartikan secara
relatif oleh karena secara ilmu pasti tidak mungkin ada kepastian
mutlak. maka, maksud “Kepastian” adalah suatu kemungkinan yang
sangat besar sedemikian rupa bahwa seorang manusia biasa
menganggap ada kepastian, tidak ada kemungkinan besar saja. Dalam
hukum tidak perlu diperhatikan kemungkian yang sangat kecil ini.
disamping itu, pengertian “Kepastian” dalam masyarakat dengan
sendirinya tidak mungkin berarti mutlak, tetapi selalu relatif. Bisa
72Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2014) Cet. 6, h. 67
37
dikatakan, hampir tidak ada perbedaan antara kesengajaan secara
tujuan atau maksud dan kesengajaan secara keinsyafan kepastian.73
c. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)
Sengaja dengan keinsafan kemungkinan, derajat
“menghendaki” sudah makin menurun. Pelaku sebenarnya tidak
menghendaki terjadinya akibat itu, tapi ia sudah mengetahui adanya
kemungkinan tersebut tapi ia tetap melakukan perbuatannya dengan
mengambil resiko itu.
3. Pengertian Kealpaan
Menurut doktrin, schuld yang sering diterjemahkan dengan
“kesalahan” terdiri atas:
a. Kesengajaan, dan
b. Kealpaan
Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah
dikehendaki, sdang “kealpaan” adalah tidak dikehendaki. Umumnya para
pakar sependapat bahwa “kealpaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih
ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman
hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan
“kealpaan”, lebih ringan. Pada umumnya kealpaan (culpa) dibedakan
atas:
a. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku
telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat,
tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, toh timbul juga akibat
tersebut.
b. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si
pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu
akibat, yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang,
73Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2014) Cet. 6, h. 69
38
sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu
akibat.74
Mengenai pengertian kealpaan (culpa) dan dasar pikiran
dipandang perlunya mengenakan pidana terhadap orang yang dengan
culpa tersebut, dijelaskan dalam Risalah penjelasan Rancangan KUHPid
Belanda sebagai berikut:
Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan
bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana. Kecuali keadaan yang dilarang itu mungkin
sedemikian besar berbahayanya terhadap keamanan umum mengenai
orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian,
sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-
hati, yang teledor. Dengan pendek: yang menimbulkan keadan itu karena
kealpaannya. Disini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang
dilarang itu bukanlah menentang larangan-larangan tersebut; dia tidak
menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang terlarang, tetapi
kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga
menumbulkan hal yang dilarang itu ialah bahwa ia kurang mengindahkan
larangan itu.
Jadi, bukanlah semata-mata menentang larangan tersebut denga
justru melakukan yang dilarang itu. tetapi dia tidak begitu mengindahkan
larangan. ini ternyata dari perbuataannya. Dia alpa, lalai teledor dalam
melakakukan perbuatan tersebut, sebab jikalau dia cukup mengindahkan
adanya larangan waktu melakukan perbuatan yang secara objektif kausal
menimbulkan hal yang dilarang dia tentu tidak alpa atau kurang berhati-
hati agar jangan sampai mengakibatkan hal yang dilarang tadi.75
74 Leden Marpaung , Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Cet.
6, h. 25-26
75 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres,
2012), h.124-125
39
Prof. Mr. D. Simons menerangkan “kealpaan” tersebut sebagai
berikut. “umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak
berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga
akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan
dengan hati-hati, masih mugkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat
itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu
akibat yang dilarang undang-undang.76 Kedua unsur ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Pembuat dapat menduga (voorzienbaarheid) akan akibat
Penilaian yang dilakukan berdasarkan apakah pembuat
seharusnya dapat menduga akan akibat atau tidak. oleh karenanya,
Moeljatno menyebut unsur ini sebagai “tidak melakukan penduga-
duga yang perlu menurut hukum”.
Menurut pendapat Moeljatno, mengenai “tidak melakukan
penduga-duga yang perlu menurut hukum” ini ada dua kemungkinan,
yaitu:
1) Atau terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata benar;
2) Atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat
yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.
b. Pembuat tidak berhati-hati (onvoorzichtigheid)
Ukuran untuk menentukan apakah seseorang telah berhati-hati
atau tidak, yaitu apakah rata-rata orang dari lingkungan terdakwa atau
sekemampuan dengan terdakwa dalam keadaan yang sama akan
berbuat yang sama atau tidak; dan jika mereka itu akan berbuat yang
tidak sama berarti terdakwa telah tidak berhati-hati.
H.B. Vos merinci dua sikap tidak berhati-hati, yaitu:
76Leden Marpaung , Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Cet.
6, h. 29
40
1) Pembuat tidak berhati-hati menurut semestinya (menurut normal),
misalnya tukang cat yang membersihkan pakaian kerjanya dengan
bensin dekat api;
2) Pembuat memang telah berhati-hati tetapi perbuatannya pada
pokoknya tidak boleh dilakukan, misalnya seorang membuat
mercon di rumahnya dengan sangat berhati-hati tetapi terjadi juga
ledakan dan kebakaran.
unsur atau syarat yang kedua ini merupakan syarat yang dalam
praktik guna menentukan adanya kealpaan.
Dalam ilmu hukum pidana dikenal istilah culpa lata (kealpaan
berat) dan culva levis (kealpaan ringan). Dalam dakwaan karena
kealpaan mengakibatkan matinya orang lain (Pasal 359 KUHPid),
Hoge Raad, 14-11-1887, memberikan pertimbangan bahwa kealpaan
(culpa) yang pembuatnya dapat dipidana tidak mencakup seluruh
sikap kurang hati-hati, kealpaan yang sedikit atau tidak mencoba
bersikap hati-hati, akan tetapi hanya mengenai tidak mengindahkan
sikap berhati-hati yang dapat dituntut setiap orang untuk perbuatan
yang dapat dipidana yang bisa dipertanggungjawabkan.77Disebut juga
asas culpa in causa, artinya orang yang tidak berhati-hati melakukan
suatu perbuatan yang beresiko, maka dia harus bertanggungjawab atas
akibat dari perbuatannya itu.78
77Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres,
2012), h. 129-130 78Alfitra, Hapusnya Hak & Menuntut Menjalankan Pidana, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), Cet. 2, h. 61
41
BAB III
REALITAS PENCATATAN KELAHIRAN
A. Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran
Anak sangatlah membutuhkan perlindungan hukum dan kasih
sayang dari orang dewasa disekitarnya, dimana anak mempunyai berbagai
macam hak yang harus di implementasikan dalam kehidupan dan
penghidupan mereka.79 Pencatatan kelahiran yang merupakan salah satu
bentuk implementasi dari perlindungan hukum yang harus diperhatikan oleh
orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan
yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan
hukum bagi anak mencakup lingkungan hidup yang sangat luas.80
Diantara hak-hak anak yang mendasar yang diatur dalam Undang–
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu
hak memperoleh suatu nama dan status kewarganegaraan sebagaimana
termuat dalam Pasal 5. Identitas diri berupa nama dan status
kewarganegaraan merupakan hak yang harus diperoleh bagi anak yang
harus dijalan pemerintah. Identitas dimaksud, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah identitas yang dituangkan dalam bentuk akta
kelahiran.
Di Indonesia saat ini masih ditemui anak yang indentitasnya tidak
atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure
keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Dengan tidak tercatatnya
79Nashrian, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), h. 13 80Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 1
42
indentitas seorang anak menyebabkan resiko eksploitasi anak semkin tinggi.
Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2016
menunjukan masih rendahnya kepemilikan akte kelahiran anak usia 0-17
tahun.81
Penyebab masih banyaknya pencatatan kelahiran yang belum
dilakukan oleh masyarakat bisa datang dari berbagai hal. Soal kasus ini,
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan beberapa hambatan
yang mengakibatkan masih banyak anak yang tidak memiliki akta
kelahiran. "Ada hambatan mahalnya biaya, persyaratan banyak, dan
kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya akta," ucapnya.82
Dilansir dari hukumonline.com, permasalahan administrasi lah
yang menjadi kendala atas pembuatan akta kelahiran anak. Misalnya, karena
tidak ada perkawinan resmi yang diakui oleh negara sehingga orang tua
tidak memiliki surat nikah yang sah. Akibatnya, orang tua tidak bisa
membuat akta kelahiran anak.83 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan membedakan mengenai anak sah dan anak tidak sah dimana
anak yang tidak sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya.
hal ini yang menyebabkan Orang tua dari anak hasil perzinaan itu kesulitan
dalam memberikan perlindungan hukum.
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang merupakan
tindak lanjut dari Pasal 32 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan menjelaskan, prosedur pencatatan kelahiran di
81Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia,
Pentingnya Keabsahan Anak “https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1875/ pentingnya-keabsahan-anak“, Diakses pada tanggal 14 Februari 2020, Pukul 17.50 WIB
82 https://nasional.tempo.co/read/700408/ini-alasan-53-persen-anak-tak-punya-akta-kel ahiran/full&view=ok, Diakses pada tanggal 14 Februari 2020, pukul 18.10 WIB
83 https://www.fimela.com/parenting/read/3771863/50-juta-anak-indonesia-belum-pun ya-akta-kelahiran-kenapa, Diakses pada tanggal 14 Februari 2020, Pukul 19.25 WIB
43
dalam Pasal 33 Ayat 1 Pencatatan Kelahiran WNI harus memenuhi
persyaratan :
1. Surat Keterangan Kelahiran
2. Buku Nikah/Kutipan Akta Perkawinan atau bukti lain yang sah
3. Kartu Keluarga
4. KTP-el
Prosedur Pencatatan Kelahiran yang telah sebutkan dalam
Peraturan Presiden masih sulit untuk masyarakat lakukan. Ketiadaan syarat-
syarat untuk mengurus akta lahir terkadang menjadi penyebab
ketidakadaannya akta kelahiran pada seorang anak. Akhirnya keabsahan
nasab anak tersebut belum tertulis secara jelas secara hukum positif.
Dengan demikian anak-anak yang tidak tercatatkan kelahirannya
dalam dokumen negara dan tidak memiliki akta kelahiran dapat diartikan
sebagai non existent individual yang tidak memperoleh hak-hak
perlindungan yang sangat diperlukan sebagai anggota masyarakat.84 serta
asal usul dari seorang anak tersebut menjadi tidak jelas keabsahannya. oleh
karena itu, akta kelahiran haruslah diupayakan agar seorang anak dapat
memilikinya.
Salah satu bentuk upaya mendapatkan akta kelahiran disebutkan
pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di atur bahwa “bila akta kelahiran tidak ada, maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat dan atas dasar ketentuan tersebut, maka Instansi Pencatatan kelahiran
dapat mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan” dan Pasal
103 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, dalam Buku I tentang perkawinan,
menyatakan “bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tidak ada maka
pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak”
84 Triyuni Soemartono dan Sri Hendrastuti, Administrasi Kependudukan Berbasis
Registrasi, (Jakarta: Yayasan Bina Profesi Mandiri, 2011), h. 113
44
Dikatakan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Disdukcapil), tugas Disdukcapil adalah mencatat dan tidak dapat
membuktikan siapa orang tua dari anak luar kawin. Oleh karena itu, untuk
membuktikan kebenaran tersebut dan kepentingan penerbitan akta kelahiran
maka diperlukan penetapan pengadilan guna perlindungan hukum anak itu
sendiri.
Perihal pengadilan yang berwenang mengaluarkan penetapan atas
pengesahan anak luar kawin, bagi yang beragama Islam, permohonan
penetapan pengadilan diajukan ke pengadilan agama. Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan. Termasuk salah satunya dalam bidang perkawinan adalah
penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan Hukum Islam. Sedangkan bagi yang beragama Non Islam,
permohonan penetapan pengadilan soal pengesahan anak luar kawin
diajukan ke pengadilan negeri. 85
Penetapan Pengadilan inilah yang kemudian menjadi masalah
karena harus mengeluarkan biaya, prosesnya sulit, dan butuh waktu lama,
sehingga akhirnya banyak orang yang tidak mempu dan tidak punya waktu
untuk mengurus akta kelahiran.
Dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan menyebutkan, setiap kelahiran wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana setempat paling lambat
60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Apabila pelaporan kelahiran melewati
batas waktu yang telah ditentukan maka penduduk tersebut akan dikenai
sanksi administratif berupa denda. Sebagaimana Pasal 73 Ayat 1 Peraturan
Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan Tata Cara Pendaftaran
85Penetapan Pengadilan Terkait Penerbitan Akta Kelahiran Anak Luar Kawin, “https://
www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt552efb3eaaca4/penetapan-pengadilan-terkait-pen erbitan-akta-kelahiran-anak-luar-kawin/”, Diakses pada tanggal 4 Maret 2020, Pukul 07.37 WIB
45
Penduduk Pencatatan Sipil yang berbunyi “Pelaporan peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang melampaui batas waktu dikenai
denda administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keketentuan tentang pengenaan denda administratif diatur
berdasarkan Pasal 89 dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,
Bahwa setiap penduduk yang terlambat pelaporan peristiwa kependudukan
dan Peristiwa Penting dikenai sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) bagi WNI, sedangkan bagi
Orang Asing paling banyak Rp. 2.000.000,- (Dua Juta Rupiah).86
Karena kendala tersebut, akibatnya orang tua berusaha mengubah
keterangan dalam melakukan pencatatan kelahiran bagi mereka yang
terlambat menikah karena anak dalam kandungan tersebut sudah terlanjur
dilahirkan atau menikah dengan orang lain yang bukan menghamili si
wanita. Banyak juga orang tua yang mencoba menitipkan anak luar nikah
tersebut ke dalam Kartu Keluarga orang lain dengan mengubah status orang
tua si anak agar anak tersebut mendapatkan perlindungan secara hukum.
Sehingga terkait dengan hal ini, banyak bermunculan pemalsuan akta
kelahiran oleh ibu kandungnya sendiri agar anaknya tetap dapat
memperoleh hak-hak konstitusionalnya dengan berbagai cara.
B. Kasus Pencatatan Kelahiran Bukan Kepada Orang Tua Kandung
Penduduk hampir di semua negara berkembang termasuk
indonesia selama berabad-abad, hidupnya telah dipengaruhi oleh nilai,
norma dan adat- istiadat yang bersifat positif terhadap perilaku yang
menginginkan banyak anak. Struktur kehidupan politik, ekonomi, sosial,
dan budaya (agama) telah memantapkan dan melembagakan sikap dan
tingkah laku tersebut, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
maupun dalam kehidupan bernegara. Untuk dapat merubah sikap dan
tingkah laku tersebut menjadi sikap dan tingkah laku menyenangi dan
menginginkan anak sedikit sehingga dapat memenuhi hak-hak dan
86 Triyuni Soemartono dan Sri Hendrastuti, Administrasi Kependudukan Berbasis
Registrasi, (Jakarta: Yayasan Bina Profesi Mandiri, 2011), h. 173
46
kewajiban terhadap anak tersebut. Kebijakan kependudukan secara
menyeluruh harus diperhitungkan berbagai faktor yang berpengaruh dan
hambatan-hambatan dari segi politik, ekonomi, sosial budaya, agama dan
juga dari segi psikologis perorangan dan masyarakat untuk kebaikan
kehidupan masyarakat.
Disebutkan dalam qaidah fiqh bahwa kebaikan harus di utamakan
dengan menghilangkan mudarat, yaitu:
ال ز ي ر ر الض
“Madlarat (bahaya) dapat dihilangkan.”
Islam mencegah adanya madlarat, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain. Oleh karena itu Nabi memeberi peringatan keras agar tidak
melakukan tindakan sembarangan tanpa memepertimbangkan akibat yang
akan timbul dari perbuatan cerobohnya itu.87
Kelahiran yang dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang
adalah sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudlarat
dikemudian hari. Dengan adanya pencatatan ini, maka kelahiran ini baik
secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah dan Ini penting
bagi pemenuhan hak-hak anak terutama soal status anak. Tetapi dalam
pelaksanaannya masih ada beberapa orang yang mencatatkan kelahirannya
secara tidak sesuai dengan aturan Undang-Undang yang mengakibatkan
kekaburan hukum.
1. Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 49/Pdt.P/2018/PN.Wno88
Dalam penetapan yang terjadi pada Pengadilan Negeri
Wonosari yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan nomor:
49/Pdt.P/2018/PN.Wno. dijelaskan bahwa telah terlaksana pernikahan
antara Pemohon I dan Pemohon II di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
87M. Maftuhin Ar-Raudli, Kaidah Fiqih Menjawab Problematika Sepanjang Jaman: Uraian
Lengkap Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Disertai Dengan Contoh-Contoh Yang Aktual, (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015), h. 159
88https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/periode/jenis/putus/pengadilan/pn-wonosari/tahun/2018/bulan/6.html, Diakses pada tanggal 22 Maret 2020, Pukul 19.02 WIB
47
dilangsungkan secara sah menurut hukum dan dicatat pada Kantor
Urusan Agama (KUA) Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul pertanggal 11
Juli 1996.
Dari pernikahan antara Pemohon I dengan Pemohon II tersebut,
telah di karuniai anak perempuan bernama Sifa Prihananti, lahir pada
tanggal 8 Januari 2006 di Blora yang merupakan anak kandung keempat
dari lima anak kandung yang dilahirkan oleh Pemohon II.
Sifa Prihananti, sebelumnya sudah diasuh oleh Pemohon I dan
Pemohon II hingga menginjak usia 3 bulan. Setelah berusia 3 bulan, Sifa
Prihananti kemudian diijinkan dan diperbolehkan untuk diasuh oleh
Sumini dengan Paino. Sumini adalah saudara kandung Pemohon II yang
sudah melakukan pernikahan secara sah dengan Paino pada tanggal 14
Juni 1997 dan tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) yang sama
dengan Pemohon II.
Selama kurang lebih dua puluh tahun pernikahan Sumini dengan
Paino sampai saat ini belum dikaruniai anak. Oleh karena itu, Sumini
dengan Paino menyampaikan berniat untuk mengasuh anak tersebut
kepada Pemohon I dengan Pemohon II selaku orang tua kandung anak
tersebut.
Pada akhir tahun 2007 Pemerintah melalui Pemerintah Desa
mengadakan program Pemutihan Akta Kelahiran/ Pembuatan Akta
Masal, dan pasangan Sumini dan Paino selaku wali yang mengasuh dari
anak atas nama Sifa Prihananti bermaksud untuk membuatkan Akta
Kelahiran anak tersebut melalui Kepada Dusun selaku perangkat desa
dengan memenuhi persyaratannya termasuk Surat Keterangan Lahir.
Selang beberapa waktu, Akta Kelahiran anak atas nama Sifa
Prihananti jadi dan diantar Kepala Dusun kepada pasangan Sumini
dengan Paino. Tetapi setelah beberapa waktu pada saat diperiksa oleh
pasangan tersebut, didalam akta dicantumkan Sifa Prihananti lahir dari
pasangan suami istri Sumini dengan Paino.
48
Setelah mengetahui kesalahan tersebut, Sumini dan Paino
menanyakan kepada Kepala Dusun dan Kepala Dusun telah menghadap
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Gunung
Kidul untuk mengajukan permohonan pembatalan Akta Kelahiran atas
nama Sifa Prihananti tetapi tidak dikabulkan karena harus ada
penetapan/putusan dari Pengadilan Negeri.
Dalam persidangan, Pemohon I dan Pemohon II mengakui
sepenuhnya bahwa Sifa Prihananti benar-benar anak dari permohon I dan
Pemohon II yang dilahirkan dari rahim Pemohon II berdasarkan bukti
yang telah diberikan, dan hingga saat ini tidak ada orang/pihak manapun
yang menyangkal atau berkeberatan/menolak serta didukung keterangan
lima orang saksi, termasuk pengakuan pasangan Sumini dan Paino.
Untuk memberikan kepastian hukum dan hak serta kepentingan masa
depan anak Pemohon I dengan Pemohon II memerlukan penetapan
pembatalan akta kelahiran atas nama Sifa Prihananti, menyatakan secara
hukum bahwa akta kelahiran tersebut adalah tidak benar , tidak sah, cacat
hukum, dan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak mempunyai
kekuatan hukum. Serta menuntut agar menghukum Kepala Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Gunung Kidul untuk
menarik, mencoret dan mencatat pembatalan akta kelahiran Sifa
Prihananti.
Pada amar di Pengadilan Negeri Wonosari adalah menetapkan
permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijk Verklaard). Hakim berpendapat permohonan pemohon
yang dibuat oleh Pemohon/Kuasa Hukumnya, dalam posita memuat
mengenai dasar peristiwa diajukannya pembatalan akta kelahiran
sedangkan dalam petitumnya memohon untuk menghukum pihak Kepala
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Gunung Kidul, dengan demikian
formalitas permohonan Pemohon ada pihak yang dituntut untuk dihukum
oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 72 Ayat (1) Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Hakim
49
berpendapat berkaitan tentang pembatalan akta kelahiran harus dengan
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga
berdasarkan penjelasan diatas Hakim berpendapat Permohonan
Pemohon adalah obscuur libel karena dalil posita dan tuntutan petitum
tidak sesuai sehingga menimbulkan ketidakjelasan/kabur maka dengan
demikian permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 115/Pdt.P/2019/PN.Grt89
Bahwa pada tanggal 06 Januari 2008 Para Pemohon telah
melangsungkan pernikahan secara Agama Islam dan telah tercatat di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibuk Kabupaten Garut sebagaimana
Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan tanggal 18 Juli 2019. Dari hasil
pernikahan tersebut lahir satu orang anak laki-laki yang bernama Diaz
Revan Nugraha pada tanggal 3 Desember 2008.
Bahwa pada kutipan akta kelahiran anak para pemohon yang
dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan pada tanggal 21 Januari
2009 atas nama Diaz Revan Nugraha terdapat kesalahan nama ibu yaitu
seharusnya adalah Linda Arizona tetapi tertulis Risa Rismayanti yang
tidak lain adalah kakak kandung Linda Arizona.
Kesalahan tersebut terjadi, sewaktu menikah Pemohon (Linda
Arizona) meminta kepada Kantor Urusan Agama untuk menuliskan di
dalam buku nikah tersebut dengan nama kakak Pemohon yaitu Risa
Rismayanti. Karena sewaktu kakak kandung Pemohon melamar
pekerjaan di Pabrik Tekstil daerah Bandung, dikarenakan kakak kandung
pemohon tinggi badannya tidak memenuhi syarat maka oleh pengurus
pabrik Pemohon disuruh untuk menggantikannya, dengan cara Pemohon
menggunakan identitas dan ijazah atas nama kakak kandung pemohon.
Pada saat memenuhi kepentingan administrasi dan dokumen lamaran
kerja Pemohon melakukan juga hal penggantian keterangan pada
Kutipan Akta Pernikahan-nya agar sesuai dengan nama yang terdaftar
89 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/pengadilan/direktori/pengadilan/pn-garut/
jenis/perdata-1/page/13.html, Diakses pada tanggal 29 Maret 2020, Pukul 05.54 WIB
50
dan tercatat ditempat Pemohon melamar pekerjaan yaitu kakak kandung
Pemohon.
Begitupun juga dalam kutipan Akta Kelahiran anak para
Pemohon, nama ibu yang tercatat/tertulis adalah Risa Rismayanti (kakak
kandung Pemohon) dengan tujuan agar sesuai dengan identitas Pemohon
yang terdaftar/tercatat di perusahaan tersebut.
Disamping itu Para Pemohon juga memberikan bukti-bukti dan
setelah diperiksa menunjukkan kecocokan dan sesuai dengan aslinya
namun tidak pada bukti P.10 (Kartu Pengenal Karyawan An. Risa
Rismayanti) Serta berdasarkan penjelasan dari tiga orang saksi,
menerangkan bahwa Diaz Revan Nugraha adalah anak kandung Para
Pemohon.
Oleh karena itu, bahwa untuk kepastian hukum sehubungan
dengan perbaikan Akta Kelahiran anak Para Pemohon, perlu adanya
penetapan dari Pengadilan Negeri Garut. Yaitu menyatakan sah menurut
hukum bahwa nama ibu dalam akta kelahiran yang semula tertulis dan
terbaca Risa Rismayanti dirubah/diperbaiki menjadi tertulis dan terbaca
Linda Arizona.
Pada amar di Pengadilan Negeri Garut adalah menyatakan
permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Hakim
mempertimbangkan bahwasanya Akta Kelahiran atas nama Diaz Revan
Nugraha terbit karena berdasarkan bukti Kutipan Akta Nikah antara Didi
Nugraha dan Risa Rismayanti, yang mana sesuai dengan keterangan
saksi Risa Rismayanti dan Para Pemohon bahwa Para Pemohon menikah
pada tahun 2008 meminta kepada KUA Cibiuk agar dalam Kutipan Akta
Nikah Indentitas Pemohon ditulis dengan menggunakan identitas kakak
kandung Pemohon (Linda Arizona) yaitu Risa Rismayanti.
Dengan demikian kesalahan nama ibu kandung yang terdapat
dalam Akta Kelahiran atas nama Diaz Revan Nugraha yang tertulis Risa
Rismayanti menurut Hakim bukan merupakan kesalahan tulis
redaksional. Tetapi Para Pemohon telah memasukkan keterangan yang
51
tidak benar yaitu mengenai identitas ibu kandung, sehingga Kutipan Akta
Kelahiran yang dikeluarkan Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Garut
tersebut harus tetap dianggap benar kebenaran isinya, sampai ada putusan
pengadilan yang telah inkrah membuktikan sebaliknya.
Dipertimbangkan juga bahwa permohonan Para Pemohon
sebenarnya bukan hanya mengajukan Perbaikan/Pembetulan Kutipan
Akta Kelahiran seperti yang diajukan tetapi harus ada Putusan
Pengadilan yang membatalkannya, maka permohonan yang diajukan
oleh Para Pemohon haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 76/Pdt.P/2010/PN.Kpj90
Pada tanggal 3 Juli 1991 bahwa Pemohon telah melaksanakan
pernikahan dengan seorang laki-laki bernama Ahmad Aziz sebagaimana
tercatat dalam Kutipan Akta Nikah yang dibuat oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Didalam
pernikahannya Pemohon dikaruniai dua orang anak Eko Yudo Prayogo
dan Avisca Setyaning Putri. Pada bulan September 1994 suami Pemohon
yaitu Ahmad Aziz meninggal dunia.
Semenjak suaminya meninggal dunia pemohon bekerja diluar
kota dan kedua anak Pemohon dititipkan serta dirawat oleh kakak
Pemohon yang bernama Yayuk Suhartiningsih dan Isyanto. Untuk
kepentingan sekolah anak tersebut yang bernama Eko Yudo Prayogo,
waktu mengurus Akta Kelahirannya kakak Pemohon memberi
keterangan bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Maka terbitlah
Akta Kelahiran atas nama Eko Yudo Prayogo sebagai anak laki-laki dari
suami isteri Isyanto dan Yayuk Suhartiningsih yang sebenarnya adalah
anak kandung dari suami isteri Ahmad Aziz dan Wahyunungsih.
Dari bukti-bukti yang telah diajukan oleh pemohon dimuka
sidang dan keterangan dua orang saksi bahwa benar Pemohon telah
90https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/periode/jenis/putus/pengadilan/pn-
kepanjen/tahun/2010/page/3.html, Diakses pada tanggal 29 Maret 2020, Pukul 05.54 WIB
52
mempunyai anak laki-laki bernama Eko Yudo Prayogo, lahir di malang
tanggal 10 Juli 1992
Bahwa untuk kepentingan pembetulan Kutipan Akta Kelahiran
anak Pemohon tersebut menurut Undang-undang yang berlaku
diperlukan penetapan dari Pengadilan Negeri yang berwenang.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Pemohon mohon kepada
Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen untuk mengabulkan Permohonan
Pemohon dan menetapkan Kutipan Akta Kelahiran anak Pemohon yang
tertulis Eko Yudo Prayogo merupakan anak laki-laki dari suami isteri
Isyanto dan Yayuk Suhartiningsih dibatalkan dan dibetulkan dengan
menerbitkan Akta Kelahiran yang baru bahwa Eko Yudo Prayogo adalah
anak laki-laki dari suami isteri Ahmad Aziz dan Wahyuningsih yang
berkekuatan hukum tetap.
Pada Amar Pengadilan Negeri Kepanjen, menyatakan bahwa
Permohonan Pemohon dikabulkan dan menetapkan bahwa Akta
Kelahiran anak Pemohon yang tertulis Eko Yudo Prayogo anak laki-laki
dari suami isteri Isyanto dan Yayuk Suhartiningsih dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang sah dan perlu diadakan perbaikan
dengan menerbitkan Akta Kelahiran baru sehingga keterangan didalam
Akta Kelahiran tertulis Eko Yudo Prayogo adalah anak dari suami isteri
Ahmad Aziz dan Wahyuningsih dengan pertimbangan bahwa
pembatalan/pembetulan adalah hak setiap Warga Negara dan harus
mendapat penetapan dari Pengadilan untuk pembatalan/pembetulan pada
Akta Kelahiran anak Pemohon. Maka Pengadilan berpendapat bahwa
permohonan Pemohon (Wahyuningsih) dikabulkan.
C. Kewajiban Dalam Penetapan Nasab
Di antara disyariatkan ajaran hukum Islam adalah untuk
memelihara dan menjaga keturunan atau nasab. Nasab merupakan salah satu
fondasi dasar yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga
yang bersifat mengikat antarpribadi berdasarkan kesatuan darah. Berkaitan
dengan status nasab yang merupakan hak pertama bagi seorang anak, nasab
53
merupakan nikmat dan karunia yang paling besar. Nasab juga merupakan
hak paling pertama yang harus diterima oleh seorang bayi agar terhindar
dari kehinaan dan keterlantaran.91
Persoalan nasab sangat diperhatikan sekali oleh syariat Islam
sehingga persoalan ini dimasukkan dalam prinsip-prinsip yang harus dijaga
dan dipelihara serta termasuk dalam salah satu dari lima tujuan utama dalam
agama yang disebut dengan Al-Maqashid Asy-syar’iyyah Al-Kulliyyat Al-
Khams. Dengan demikian, dalam rangka menjaga nasab atau keturunan
inilah ajaran syariat Islam mensyariatkan pernikahan sebagai cara yang
dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab, dan
sekaligus melarang perzinaan (prostitusi) karena dapat mengaburkan
kemurnian nasab seorang anak manusia. Karena nasab dalam Islam erat
kaitannya dengan struktur keluarga, baik dalam hukum perkawinan maupun
hukum kewarisan, juga dalam soal hak keperdataan seseorang, baik
menyangkut hak nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah, dan hak
memperoleh harta warisan, bahkan sampai konsep mahram antara manusia
sebagai akibat dari hubungan persemendaan atau perkawinan.92
Mengingat betapa pentingnya permasalahan nasab ini, maka ajaran
Islam sangat menekankan untuk selalu menjaga dan memelihara kemurnian
nasab. Di samping itu Islam Juga tidak membenarkan adopsi dengan segala
kemutlakannya, sampai memutuskan hubungan nasab anak yang diadopsi
dengan orang tua kandungnya. Bahkan dalam kaitan ini pula seorang ayah
tidak dibenarkan mengingkari keturunannya, kecuali bisa dibuktikan secara
yuridis.
Berkenaan dengan masalah pengingkaran terhadap keturunannya
sendiri, dalam hukum Islam, seorang wanita diharamkan menisbahkan
91Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 13 92Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Amzah, 2019), h. 7
54
(menghubungkan) seorang anak kepada orang lain yang bukan ayah
kandungnya sebagai mana sabda Nabi SAW:93
نة أيما امرأة عن أبي هريرة أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول حين نزلت آية الملع
في شيء ول يدخلها الله جنته وأيما رجل جحد أدخلت على قوم رجل ليس منهم فليست من الله
لين واللآخري ن يوم ولده وهو ينظر إليه احتجب الله عز وجل منه وفضحه على رءوس الو
القيامة
“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW
bersabda ketika ayat li’an turun, wanita mana saja yang melahirkan anak
melalui perzinaan, Allah mengabaikannya dan sekali-kali Allah tidak akan
memasukannya ke dalam surga. Dan lelaki mana saja yang mengingkari
nasab anaknya, sedangkan ia mengetahuinya, maka Allah akan
menghalanginya masuk ke surga dan aib yang menimpanya akan dibukakan
kepada pembesar orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang
belakangan di hari kiamat.” (HR. An-Nasa’i)
Selain dilarang, Penetapan nasab hanya bisa dilakukan oleh orang
tua kepada anak kandungnya sendiri. Karena jika bukan kepada anak
kandung maka tidak ada hubungan darah diantaranya. Dalam sistem
kenasaban Islam, seorang anak yang bukan anak kandung hanya bisa
dilakukan pengangkatan sebagai seorang anak yaitu perubahan status
menjadi anak angkat atau anak adopsi.
Adopsi menurut istilah dalam Ensiklopedia Hukum Islam. Tabbani
atau disebut dengan “adopsi” adalah pengangkatan anak orang lain sebagai
anak sendiri. Anak yang diadopsi itu disebut “anak angkat”. Istilah adopsi
dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan
hukum keluarga. 94 Sedangkan menurut KHI dalam Pasal 171 huruf h,
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
93Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 24-25 94Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.
27
55
tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.95
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan
anak kandung ditegaskan berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-
Ahzab ayat 4 dan 5 yang berbunyi:
يقول ٱلحق وهو يهدي هكم وٱلل لكم قولكم بأفوٱلسبيل وما جعل أدعياءكم أبناءكم ذ
”Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar)” (QS. Al-Ahzab: 4)
فإن لم تعلموا ءاباءهم ليكم وليس ٱدعوهم لبائهم هو أقسط عند ٱلل ين ومو نكم في ٱلد فإخو
حيما عليكم جناح فيما أخطأتم به غفورا ر دت قلوبكم وكان ٱلل ا تعم كن مۦ ول
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”(QS. Al-Ahzab: 5)
Ayat diatas menegaskan Islam melarang praktek pengangkatan
anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak oleh
lembaga pengangkatan anak yang dikenal dengan hukum barat atau hukum
sekuler seperti yang dipraktekkan pada masa jahiliyah yang menjadikan
anak angkat tersebut menjadi anak kandungnya untuk saling mewarisi
sehingga anak angkat memutuskan hubungan hukum dengan orang tua
kandungnya sehingga orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak
angkat tersebut dalam pernikahan nantinya.
95Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), h. 170
56
Bahwasanya anak yang tadinya tidak ada hubungan sama sekali
dari pasangan suami istri kepada seorang anak yang bukan anak kandung
menjadi anak angkat dari pasangan suami istri tersebut hanya berakibat pada
tanggungjawab untuk mengurus kebutuhannya dan tidak ada yang
menjadikannya putus hubungan nasab kepada orang tua kandungnya.
Dalam perkawinan yang sah, para ulama sepakat bahwa anak yang
lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dapat
dinasabkan kepada suami si wanita tersebut, sesuai dengan hadis Nabi SAW
dalam riwayat Al-Bukhari:
د بن زياد قال: سمعت ثنا شعبة: حدثنا محم أبا هريرة: قال النبي صلى الله عليه و حدثنا آدم: حد
سلم: الولد للفراش و للعاهر الحجر
“Telah berkata kepada kami Adam, telah bekata keapda kami Syu’bah,
telah berkata kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata: “Aku mendengar
Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: ‘Anak itu bagi yang meniduri
istri (secara sah) yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak
mendapatkan batu (hukuman).’” (HR. Al-Bukhari)
Hadis tersebut di atas menjadi penegasan bahwa nasab anak yang
lahir dari perkawinan yang sah dapat ditetapkan dan dihubungkan kepada
ayah kandungnya (suami ibunya). Akan tetapi para ulama juga memberikan
syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam menetapkan nasab melalui
perkawinan yang sah, yaitu sebagai berikut:96
1. Suami dalam perkawinan tersebut adalah suami yang dimungkinkan
dapat memberikan keturunan, yaitu sudah baligh (dewasa), sehat alat
kelaminnya, dan tidak mandul (menurut keterangan dokter ahli) sehingga
dari ketiga sifat ini nasab seorang anak dapat ditetapkan.
2. Hendaknya anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah itu terlahir
tidak kurang dari waktu enam bulan setelah akad nikah orangtuanya.
(menurut kalangan hanafiyah) dan juga enam bulan setelah terjadinya
96Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019), h. 136-137
57
hubungan badan (menurut jumhur ulama) sehingga jika seorang anak
terlahir kurang dari waktu enam bulan tersebut, maka kesepakatan para
ulama mengatakan bahwa ia tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada
suami (yang menikahi) ibunya, kecuali jika si suami mengakui anak itu
sebagai anak hasil dari benihnya, dan pengakuan ini bukanlah pengakuan
atas perbuatan zina yang dilakukannya sebelum akad nikah yang sah
sehingga menghasilkan anak tersebut karena bagaimanapun juga
perzinaan tidak akan pernah membentuk adanya hubungan nasab.
3. Suami-istri itu minimal bertemu satu kali secara fisik yang
memungkinkan terjadinya hubungan badan antara mereka setelah sahnya
akad nikah mereka.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ketiga syarat di atas
tidak terpenuhi semuanya, maka seorang anak yang dilahirkan tidak dapat
dinasabkan kepada suami (dari ibunya) meskipun telah terjadi akad nikah
(perkawinan) yang sah dan nasab seorang anak dapat terbentuk dan
dihubungkan kepada ayah kandungnya, (yaitu suami ibunya yang
menuangkan benih ke rahim ibunya si anak) melalui perkawinan yang sah
bukan melalui hubungan zina.
Menurut Fadhel Ilahi, zina dalam makna menurut syara’ dan
bahasa, adalah seorang laki-laki yang menyetubuhi perempuan melalui
qubul (vagina atau kemaluan), yang bukan dengan istrinya, tanpa melalui
perkawinan atau syubhatun nikah (perkawinan yang syubhat). Serta
menurut Abdul Qader ‘Oudah, hubungan seksual yang diharamkan itu,
adalah memasukan penis laki-laki ke vagina perempuan yang bukan istrinya,
baik seluruhnya atau sebagian (itliqaa’ khitaanain).97
Hubungan seksual antara laki-laki dan wanita yang tidak atau
belum diikat oleh suatu perkawinan Seringkali menyebabkan terjadi
kehamilan yang mengakibatkan wanita tersebut hamil karena zina. Karena
seorang wanita sudah terlanjur hamil sebagai akibat lelaki yang
97 Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 119
58
menghamilinya. Kemudian karena kehamilannya semakin membesar maka
mau tidak mau lelaki yang menghamilinya harus segera menikahinya.
Tujuannya supaya si bayi yang dalam kandungan mempunyai ayah pada
saat ia dilahirkan.
Dalam masalah nasab anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita
hamil karena zina, terdapat perbedaan yang mendasar antara fiqh dengan
KHI. Fiqh mazhab memberikan batasan waktu kelahiran anak minimal
enam bulan setalah akad nikah orangtuanya, barulah anak bisa dinasabkan
kepada “ayah”nya. Sementara KHI tidak memberikan batasan waktu sama
sekali.
Waktu enam bulan setelah akad nikah yang sah atau setelah
terjadinya hubungan badan adalah waktu minimal terjadinya kehamilan
sampai dengan kelahiran anak menurut kesepakatan ulama fiqh. Dalilnya
adalah ijma’ ulama yang menggabungkan pemahaman terhadap QS. Al-
Ahqaf ayat 15 yang menyebutkan tentang keseluruhan masa kehamilan
sampai disapihnya seorang anak adalah 30 bulan; dan pemahaman terhadap
QS. Luqman ayat 14 yang menyebutkan tentang masa disapihnya seorang
anak adalah dalam usia 2 tahun (24 bulan). masa enam bulam diperoleh
setelah mengurangi masa keseluruhan kehamilan sampai disapihnya
seorang bayi itu yaitu 30 bulan (QS. Al-Ahqaf: 15) dan waktu menyapih
seorang anak adalah dalam usia 24 bulan (QS. Luqman: 14). Kalau dari
waktu 30 bulan dikurangi 24 usia sapih, maka diperoleh waktu 6 bulan yang
disepakati merupakan waktu minimalnya kehamilan seorang wanita sampai
ia melahirkan .98
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab
timbulnya hubungan nasab. Alasan kuatnya adalah sabda Nabi SAW dalam
sebuah hadis:
عن ابي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الولد للفراش وللعاهر الحجر
98Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019), h. 138
59
“Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Anak itu
bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri istri) dan bagi pezina
hanya berhak mendapatkan batu hukuman.” (HR. Muslim)
Hadis ini telah disepakati oleh para ulama dari berbagai kalangan
mazhab sebagai alasan bahwa perzinaan itu sama sekali tidak akan
berpengaruh terhadap sebab-sebab ketetapan nasab antara anak dengan ayah
biologisnya yang menzinai ibunya. Implikasi dari tidak adanya hubungan
nasab antara anak dengan ayah akan sangat kelihatan dalam beberapa aspek
yuridis, dimana lelaki yang secara biologis adalah ayah kandungnya itu
berkedudukan sebagai orang lain sehingga tidak wajib memberi nafkah,
karena tidak ada hubungan waris mewarisi.99
Bahkan jika seorang wanita hamil karena zina sudah memasuki
masa hamil tua sembilan bulan, maka orangtuanya berusaha untuk
menikahkannya agar ketika anak hasil perbuatan zina itu dilahirkan ia tetap
dianggap sah karena dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini
tentu bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam dalam hal
pemeliharaan nasab anak, dan berpotensi mengembalikan cara penetapan
nasab menurut adat kebiasaan zaman Jahiliyah dahulu.100
KHI tidak memberikan batasan waktu sama sekali, sebagaimana
ketentuan kawin hamil dalam Pasal 53 yang berbunyi “(a) seorang wanita
hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya;
(b) perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada poin ‘a’ dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”,101 dan
penjelasan tentang anak sah tertuang dalam Pasal 99 yang menyatakan
bahwa “Anak sah adalah: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat
99M. Nurul Irfan, Unsur Jarimah Qadhaf dalam Penetapan Status Hukum Anak Luar Kawin,
(Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013). h. 227 100Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019), h. 144 101Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 91
60
perkwinan yang sah; (b) hasil pembuahan suami-Istri sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut”102,
Karena suatu hal yang perlu dicatat sehubungan dengan kawin
hamil dalam KHI sengaja dirumuskan secara singkat dan agak bersifat
umum. Maksudnya untuk memberi keleluasaan bagi Pengadilan untuk
mencatat dan menemukan asas-asas baru melalui terobosan dan dan
konstruksi yang lebih aktual dan rasional.
Kompromi nilai ini perlu, sebab salah satu tujuan utama asas
kebolehan kawin hamil bermaskud untuk memberi perlindungan hukum
yang pasti kepada anak dalam kandungan. Kompromi ini, ditinjau dari
kenyataan terjadinya ikhtilaf dalam ajaran fikih dihubungkan pula denga
faktor sosiologis dan psikologis. Dari berbagai faktor yang dikemukakan
ditarik suatu kesimpulan berdasarkan asas Istishlah, sehingga dari
penggabungan faktor ikhtilaf dan ‘urf perumus KHI berpendapat: lebih
besar mashlahah membolehkan kawin hamil dari pada melarangnya.103
Kemudian karena tenggang waktu enam bulan yang dijadikan
dasar oleh para ulama mazhab dalam penentuan hubungan nasab itu
bukanlah berdasarkan dalil yang qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun hadis,
tetapi semata-mata hanyalah merupakan pemahaman para ulama mazhab
terhadap dua ayat dalam Al-Qur’an tersebut.
KHI memahami kedua ayat tersebut bukan untuk dijadikan sebagai
dasar dalam penentuan nasab, melainkan hanyalah sebagai dasar dalam
menentukan batas minimal kehamilan, maksudnya adalah bahwa Allah
SWT menjadikan kedua ayat tersebut sebagai penjelasan mengenai seorang
perempuan dalam mengandung anaknya membutuhkan waktu minimal
enam bulan sejak terbentuknya nuthfah sampai ia melahirkan
kandungannya.104
102Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019), h. 9 103Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 92 104Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019), h. 147
61
BAB IV
KEKUATAN HUKUM AKTA KELAHIRAN
DALAM MENENTUKAN NASAB
A. PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEABSAHAN AKTA
KELAHIRAN DALAM MENENTUKAN NASAB
Dalam Hukum Islam, Akta Kelahiran bukanlah sesutau hal yang
dilarang dan tidak ada larangan atasnya karena itu merupakan suatu
pencatatan dengan maksud untuk memberikan pembuktian atas suatu
peristiwa. Akta Kelahiran membuktikan bahwa seorang anak yang namanya
disebut di sana adalah keturunan dari orang atau orang-orang yang
disebutkan didalamnya.105 Sejatinya tidak ada nash Al-Qur’an yang secara
langsung mengatur pencatatan kelahiran seorang anak. masalah ini
termasuk kepada ruang lingkup muamalah, yaitu hubungan antar sesama
manusia. Karena dalam bermuamalah sebuah kaidah fikih menyebutkan
bahwa:
ا ه م ي ر ح ى ت ل ع يل ل د ن أ ل , إ ة اح ب ال ت ل ام ع ي الم ف ل ص ال
“Pada dasarnya pada segala sesuatu itu hukumnya mubah, kecuali jika ada
dalil yang menunjukan atas makna lainnya”106
Selain itu, Hukum Islam mengenal pula ucapan hukum yang
bernama “Ikrar”, yaitu suatu pengakuan oleh seseorang anak yang telah
baligh bahwa bapak A adalah orang tua saya atau bapak A dan istrinya
mengakui bahwa si B adalah anak kandungnya. Kecuali jika tidak
memungkinkan oleh Si bapak A dan istrinya untuk membenarkan itu, sebab
sakit atau hilang ingatan. Maka ditanyakan ke beberapa saksi yang
mengetahui hal tersebut.
105J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), h. 87 106 Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), h. 135
62
Ketentuan hukum Akta Kelahiran sebagai bukti autentik asal usul
anak, secara metodologis merupakan inovasi Hukum Positif terhadap
ketentuan hukum dalam Hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal-usul
anak dapat diketahui dengan adanya ikatan perkawinan sah dan lain-lain,
dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim pada usia
janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal yang bersifat
administratif tentang asal-usul anak adalah dengan menggunakan Akta
Kelahiran atau Surat Keterangan Lahir.
Penentuan perlunya Akta Kelahiran tersebut didasarkan atas
prinsip mashlahat mursalat (kemaslahatan yang terlepas dari syariat atau
dengan kata lain kebaikan yang tidak disinggung-singgung benar tidaknya
dalam syariat, baik secara umum maupun secara khusus) 107 yaitu
merealisasikan kemaslahatan bagi anak yang semua itu dilakukan atas dasar
pertimbangan untuk mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat
dalam bermasyarakat.108 Seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW :
ار ر ض ل و ر ر ض ل ن ى أ ض ق م ل س و ه ي ل ع الله ل و س ر ن أ ت ام ص ن اب ة اد ب ع ن ع
“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah SAW menetapkan tidak
boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas
kemudharatan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)109
Pencatatan itu berguna menjaga status dan asal-usul anak serta
mengingat manfaat akta kelahiran adalah sebagai bukti otentik ketika terjadi
sengketa waris, sengketa wasiat atau hibah. Maka pencatatan kelahiran
menjadi penting karena akan membawa mashlahat bagi setiap orang yang
mencatatkannya dan tidak ada halangan sedikit pun dari Islam untuk
mencatatkan kelahiran.
107 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah dan Penafsiran al-Qur’an, 1973), h. 219 108Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang: Bulan Bintang,
1955), h. 43 109Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 132
63
Namun lain halnya dengan sahnya keterangan nasab yang tertera
pada pencatatan kelahiran. Dijelaskan bahwa nasab seseorang hanya bisa
terjadi jika anak tersebut merupakan hasil dari pernikahan yang sah oleh
kedua orang tuanya. Sebagaimana firman Allah SWT dan Hadist Rasulullah
SAW:
وهو ٱلذي خلق من ٱلماء بشرا فجعلهۥ نسبا وصهرا وكان ربك قديرا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan musaharah (hubungan kekeluargaan
yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”(Q.S.
Al-Furqan: 54)
عن ابي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الولد للفراش وللعاهر الحجر
Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Anak itu bagi
yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri istri) dan bagi pezina hanya
berhak mendapatkan batu hukuman. (HR. Muslim)110
Nama seorang anak dan orang tua yang tertera didalam Akta
Kelahiran tidak bisa sepenuhnya menjadi dasar keabsahan suatu nasab
antara keduanya. Karena Akta Kelahiran merupakan tanda bukti pernyataan
tentang keterangan kelahiran seorang bayi dalam bentuk kertas selembar
kertas yang dibuat untuk dipakai atau digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum. Masih ada kemungkinan untuk memalsukan keterangan didalam
suatu Akta Kelahiran.
Mencatatkan kelahiran bukan kepada orang tua kandungnya
merupakan suatu perbuatan yang menyalahi aturan agama dan juga karena
melakukan sebuah pembohongan dengan mengubah status nasab yang
seharusnya dimiliki. Rasulullah SAW bersabda:
ل ج الر ي ع د ى ي ر ف ال م ظ ع أ ن م ن : إ م ل س و ه ي ل ع ى الله ل ص الله ل و س ر ال : ق ال ق ع ق س ال ن ب ة ل اث و ن ع
ل ق ي م ا ل م م ل س و ه ي ل ع ى الله ل ص الله ل و س ى ر ل ع ل و ق ي و , أ ر ت م ا ل م ه ن ي ع ي ر ي و أ , ه ي ب أ ر ي ى غ ل إ
110Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 79
64
“Diriwayatkan dari Watsilah bin Asqo’ berkata, Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya diantara kebohongan paling besar adalah seseorang
mengakukan diri kepada selain ayahnya, mengaku matanya melihat apa
yang tidak dilihatnya dan berbicara mencatut nama Rasulullah SAW apa
yang tidak beliau ucapkan.”(HR. Bukhari)111
Dr. H. Satria Effendi M. Zein yang menulis Bab IV buku Analisis
Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah (1998/1999: 63) menjelaskan
bahwa:
1. Upaya seseorang mengangkat seorang anak dan menisbahkan kepada
dirinya, tidak dapat merubah hakikat dari anak itu sendiri sehingga tetap
saja bukan anaknya. Untuk menghindarkan penipuan dan
penyalahgunaan nasab, Qur’an menyarankan agar memanggil anak
angkat dengan panggilan nama ayahnya yang sebenarnya.
2. pengalihan nasab adalah sebuah pemalsuan yang harus diwaspadai dalam
kehidupan keluarga.112
Pemalsuan sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan suatu
kebohongan. Pengalihan nasab pada dasarnya adalah perbuatan dusta yakni
dengan memberikan keterangan yang seharusnya benar di dalam pembuatan
surat kelahiran/akta kelahiran, tetapi mengingkarinya dengan memberikan
keterangan palsu. Di dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang
melarang dengan tegas untuk tidak berbuat dusta (al-kidzb), yaitu:
الكذب ذا حرام لتفتروا على الل ذا حلل وه الذين إن ول تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب ه
الكذب ل يفلحون يفترون على الل
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-
111Abu Nabil, Terjemah Syarah Shohih Bukhori, (Solo: Zam-Zam, 2014), h. 619 112 A. Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam, h. 8
http://blog.umy.ac.id/ghea/files/2012/01/MENGUPAS-PERMASALAHAN-ISTILHAQ-1.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2020.
65
adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.S. An-Nahl:
166)
Islam melarang segala macam bentuk pembohongan atau penipuan,
termasuk perbuatan pemalsuan surat, karena hal tersebut adalah perbuatan
zalim. Adapun dari segi bahasa pengertian zalim ialah meletakan sesuatu
bukan pada tempatnya. Ia adalah perbuatan yang melampaui batas atau
bertindak terhadap hak manusia dengan cara yang tidak benar. Allah
mengharamkan manusia berlaku zhalim terhadap sesamanya.
Dalam hukum, dijelaskan bahwa tindak pidana pemalsuan surat
digolongkan kedalam jarimah ta’zir, oleh karenanya terhadap tindak pidana
pemalsuan surat ini dijatuhkan hukuman ta’zir kepada pelakunya. hal itu
didasarkan pada kesesuaian dengan jarimah pemalsuan tanda tangan,
pemalsuan stempel dan pemalsuan Al-Qur’an yang terjadi pada masa ke
Khalifahan Umar bin Khattab. Karena pemberian hukuman terhadap Ma’an
Bin Zaidah yang melakukan jarimah pemalsuan stempel Bait Al-Maal
cukup untuk dijadikan landasan hukum larangan terhadap tindak pidana
pemalsuan surat tersebut.113
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan syara dan
diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menetapkannya. Sedangkan
para ulama fiqih mendefinisikannya sebagai hukuman yang wajib menjadi
hak Allah atau bani adam pada tiap-tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai
batasan tertentu dan tidak pula ada kafarahnya. 114 Hukuman ta’zir ini
jenisnya beragam namun secara garis besar dapat dibagi dalam empat
kelompok, yaitu:
1. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan, seperti hukuman mati dan
hukuman jilid.
2. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan hukuman pengasingan.
113Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Umar bin Al-Khathab Edisi Indonesia, terjemah:
Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h. 438 114Ruway’i Ar-Ruhaly, Fiqh Umar, terjemah: A.M. Basalamah, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,
1994), h. 110
66
3. Hukuman ta’zir yangberkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan,
perampasan harta dan penghancuran barang.
4. Hukuman lain yang ditentukan oleh Ulil Amri demi kemaslahatan
umum.115
Berdasarkan jenis-jenis hukuman ta’zir tersebut diatas, maka
hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat
adalah hukuman jilid dan hukuman pengasingan.
Wahbah Az- Zuhayly menyebutkan bahwa syariat islam melarang
orang laki-laki mengingkari nasab anaknya sendiri, melarang ibu-ibu
menisbahkan nasab anaknya kepada orang lain selain ayah hakikinya serta
melarang anak menisbahkan nasabnya kepada selain ayahnya sendiri dan
telah membatalkan hukum tabany/pengangkatan anak yang menghilangkan
nasab kepada orang tua kandungnya seperti yang terjadi dijaman
jahilyah/sebelum islam.116
Dalam perspektif Hukum Islam, sangatlah penting untuk menjaga
hubungan nasab. menjaga nasab (hifzul nasab) adalah salah satu dari lima
tujuan syariat Islam dalam menjalankan kehidupan. Menisbahkan nasab
seseorang anak di Akta Kelahiranya kepada selain orang tua yang
melahirkannya akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kehidupannya di masyarakat. Karena Akta Kelahiran merupakan bukti
otentik ketika terjadi sengketa waris, sengketa wasiat atau hibah dan
pernikahan, syarat serta rukun yang harus dipenuhi dalam perbuatannya
menjadi tidak sesuai dengan seharusnya jika terjadi pemalsuan pada Akta
Kelahiran dan itu akan mempengaruhi pada hasil keputusannya. Untuk
itulah islam tidak menisbahkan nasab seseorang kepada orang lain yang
bukan orang tua kandungnya. Rasulullah SAW bersabda:
ة ام ي الق م و ى ي ل إ ه ع ب ت ت الم الله ة ن ع ل ه ي ل ع ف ه ي ال و م ر ي ى غ ل ى إ م ت ان و أ ه ي ب أ ر ي ى غ ل ى إ ع اد ن م
115A. Rahaman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 292-293 116Wahbah Az-Zuhayly, Al-Fiqhu Al-Islamiyyu wa Adillatuhu Jilid VII, (Damaskus: Darr Al-
Fikri, 1989) cet. 3, h. 673-674
67
“Siapa saja mengaku ayah pada selain ayahnya sendiri dan ber-intima’
pada selain tuannya maka laknat Allah akan terus mengikutinya hingga hari
kiamat.”(HR. Muslim)117
ام ر ح ه ي ل ع ة ن ج ال ف ه ي ب أ ر ي غ ه ن أ م ل ع ي و ه و ه ي ب أ ر ي ى غ ل ى إ ع اد ن م
“Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan
ia tahu orang itu bukan ayah kandungnya maka surga haram baginya.”
(HR. Bukhari No. 6766) 118
Dalam hadis ini dijelaskan peringatan yang keras dan ancaman
berat bagi orang yang melakukan perubahan nasab orang lain menjadi anak
kandung. Dengan hal tersebut maka larangan juga terkandung didalamnya.
Asaf A.A. Fyzee dalam bukunya ‘Outline of Muhammadan Law’
yang diterjemahkan dengan judul ‘Pokok-Pokok Hukum Islam’ Dia
membedakan antara legitimacy dan legitimation. Legitimacy adalah suatu
status yang dihasilkan oleh fakta-fakta tertentu. Sedangkan legitimation
adalah suatu prosedur yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status yang
tidak dipunyai sebelumnya. Dengan demikian berkaitan dengan masalah
nasab Asaf A.A. Fyzee menyatakan bahwa Hukum Islam tidak ada
legitimation. 119 Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
ه ئي تظاهرون منهن أم لرجل من قلبين في جوفه وما جعل أزواجكم الل اتكم وما ما جعل الل
لكم قولكم بأف جعل أدعياءكم أ يقول الحق وهو يهدي السبيل بناءكم ذ واهكم والل
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar). (Q.S. Al-Ahzab: 4)
117Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin Jilid V, Terj: M. Abdul Ghoffar,
(Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005), h. 483 118Solihin, Riyadhus Shalihin Edisi Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 995 119Arifin Bey, Pokok-Pokok Hukum Islam Jilid I, (Jakarta: Tintamas, 1995), cet. 2, h. 247-248
68
ين وموا فإن لم تعلموا آباءهم فإخوانكم في الد ليكم وليس ادعوهم لبائهم هو أقسط عند الل
غفورا رح دت قلوبكم وكان الل كن ما تعميما عليكم جناح فيما أخطأتم به ول
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 5)
Di dalam potongan ayat keempat surat Al-Ahzab yang telah tertulis
di atas, Allah SWT berfirman “yang demikian itu hanyalah perkataan di
mulutmu saja.” Panggilanmu atas mereka sebagai anak tidak memastikan
keberadaannya sebagai anak yang hakiki sebab anak itu diciptakan dari
sulbi orang lain. Seperti halnya keberadaan dua kalbu dalam tubuh
seseorang sebagai hal yang mustahil, demikian pula seorang anak mustahil
memiliki dua ayah.120 Maka hubungan orang tua dan anak yang terdapat
dalam sebuah Akta Kelahiran hanyalah sebuah pernyataan saja.
Hubungan orang tua dan anak yang diatur dalam Islam menunjukan
bahwa nasab suatu hal yang harus di utamakan. Janganlah sebagai
masyarakat memanfaatkan celah dalam proses pembuatan Akta Kelahiran
untuk memalsukan atau merubah ketentuan nasab didalamnya. karena
keterangan nasab didalam Akta Kelahiran tidak mengakibatkan perubahan
hubungan keturuan (nasab) yang sebenarnya. Islam adalah rahmatan lil
alamin, dan semua yang telah diatur didalamnya adalah demi kemashlatan
bersama. Serta merupakan agama yang benar dan adil, oleh karena itu
penisbatan anak juga harus didasarkan pada keadilan dan kebenaran
didalam perbuatannya.
120Muhammad Nasib Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir ‘Surah Al-Isra – Yasin’ Jilid III,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 601
69
Dimaafkan perbuatannya apabila dilakukan karena khilaf olehnya
Seperti yang terjadi pada Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor
49/Pdt.P/2018/PN.Wno. Pemohon I dengan Pemohon II tersebut, telah di
karuniai anak perempuan bernama Sifa Prihananti. Pemohon II mempunyai
saudara kandung yaitu Sumini, selama kurang lebih dua puluh tahun
pernikahan dengan Paino sampai saat ini belum dikaruniai anak. Oleh
karena itu, Sumini dengan Paino menyampaikan berniat untuk mengasuh
anak tersebut. Setelah disetujui, kemudian Sumini dan Paino mengsasuhnya
serta membantu mengurus pembuatan Akta Kelahiran bagi anak tersebut
karena ada Program Pemutihan Akta Kelahiran. Tetapi setelah Akta
Kelahiran itu terbit terdapat kesalahan nama orang tua didalamnya yaitu atas
nama Sumini dengan Paino.
Maka dari itu, berdasarkan penyebab terjadinya perubahan nasab
tersebut tidak ada hukuman atas kekeliruan yang terjadi. Karena tidak ada
niat untuk memalsukan keterangan didalamnya atau merubah nasab anak
angkat menjadi anak kandung orang tua angkatnya.
B. PANDANGAN HUKUM POSITIF TERHADAP KEABSAHAN
AKTA KELAHIRAN DALAM MENENTUKAN NASAB
Penerbitan Akta Kelahiran setiap warga, secara formil dilakukan
dengan prosedur-prosedur tertentu dalam proses Pencatatan Kelahiran.
Dengan tanpa adanya penambahan, pengurangan atau perubahan sesuatu
pun pada saat prosedur pelaporan peristiwa hukum tersebut.
Penanganan penerbitan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil diklasifikasikan menjadi dua yaitu pencatatan
kelahiran bagi anak yang lahir dari pernikahan sah dengan bukti dan anak
yang lahir dari pernikahan sah yang tidak memiliki bukti. Secara umum,
persyaratan yang harus dilengkapi dalam membuat Akta Kelahiran adalah
sebagai berikut: 1) Mengisi formulir yang disediakan oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil; 2) Surat Keterangan Kelahiran atau
Surat Tanda Lahir/Kenal Lahir dari Dokter/Bidan/Rumah Sakit/ tempat
70
melahirkan; 3) Fotokopi KK bagi penduduk tetap sebanyak 2 lembar; 4)
Fotokopi KTP orang tua sebanyak 2 lembar. 5) Fotokopi buku nikah KUA
atau Akta Pernikahan dari Catatan Sipil sebanyak 2 lembar, Isbat dari PA,
putusan atau penetapan PN.
Proses penerbitan Akta Kelahiran anak dari pernikahan yang tidak
memiliki bukti yang sah dalam suatu tahapan dirubah dengan
mencantumkan Surat Tanggung Jawab Mutlak atas kebenaran data dengan
diketahui dua orang saksi untuk membuktikan tentang kelahiran di Dinas
Pencatatan Sipil berikut fotokopi KTP yang bersangkutan, dengan syarat
status hubungan dalam KK menunjukan suami istri.121
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, hubungan nasab hanya bisa terjadi karena pernikahan sah.
Pernikahan sah sebagaimana dituliskan dalam Undang-Undang tersebut
yaitu:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”(Pasal 2)
Mengenai keabsahan nasab seorang anak dengan orang tuanya
maupun ketentuan nasab bagi anak luar kawin telah dijelaskan pada Pasal
42 dan Pasal 43:122
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.” (Pasal 42)
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” (Pasal 43)
121Pasal 33 dan 34, Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Pencatatan Sipil. 122R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya Paramitha, 1996),
h. 550
71
Serta dijelaskan juga pada Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 99
dan Pasal 100, Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. yaitu:123
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah, serta hasil perbuatan suami istri yang sah di luar
rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.” (Pasal 99)
“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.” (Pasal 100)
Berdasarkan penjelasan diatas, keabsahan sebuah hubungan darah
(keturunan) antara seorang anak dengan kedua orang tuanya, terkhusus pada
ayahnya karena adanya akibat dari akad nikah yang sah. Serta anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah merupakan anak sah dari
kedua orang tuanya, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita
hamil yang usia kandungannya kurang dari 6 (enam) bulan lamanya sejak
ia menikah resmi.
Kemudian anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah
adalah dengan contoh, istri hamil kemudian suaminya meninggal maka anak
yang dikandung istrinya adalah anak sah sebagai akibat adanya perkawinan
yang sah. 124 Oleh karena itu anak berhak mendapatkan Akta Kelahiran
secara penuh yaitu bernasab dengan kedua orang tuanya.
Selain dari hal sahnya anak dalam pernikahan yang sudah
disebutkan diatas, Bagi anak yang lahir diluar pernikahan yang sah dan/atau
anak yang lahir dari pernikahan bukan dengan laki-laki yang
menghamilinya, anak hanya bisa mendapatkan Akta Kelahiran yang
bernasab kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini diberlakukan
berdasarkan jenis catatan peristiwa penting yang disebutkan dalam
123Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), h. 138 124 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), h. 95
72
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 23
Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yaitu:
“anak lahir di luar kawin, yang dicatat adalah mengenai nama anak, hari
dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran
ibu;” (Pasal 55 Ayat 2 Point a)
Seperti yang terjadi di Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan,
Pamekasan. Banyak ditemukan akta kelahiran anak hanya tertulis nama
ibunya saja. Sementara nama ayahnya tidak dicantumkan. Sehingga
menimbulkan kesan, anak yang dilahirkan itu anak zina. Temuan ini
diungkapkan Mohammad Hari, salah seorang guru SD di Desa Palesanggar,
di hadapan Bupati Pamekasan, Achmad Syafii, saat berdialog dengan warga
pada acara bupati ajak bangun desa (Bunga Bangsa), di Desa Palesanggar,
Kecamatan Pegantenan, Pamekasan. Menurut Hari, selama ia mengajar di
SD itu setiap tahun ajaran baru sebagian besar anak yang mendaftar ke
sekolah dalam aktanya, hanya tertulis nama ibu anak yang bersangkutan
tanpa nama ayahnya.125
Perihal Pengangkatan Anak, dalam Undang-Undang disebutkan
anak angkat tidak akan mendapatkan hubungan nasab dengan kedua orang
tua angkatnya maupun Akta Kelahirannya. Karena anak angkat bukan anak
yang dilahirkan oleh orang tua angkatnya dalam pernikahan yang sah. Hal
ini merupakan salah satu alasan terjadinya kasus perubahan identitas anak
di luar nikah oleh ibu kandungnya dan anak angkat oleh orang tua angkatnya
yang tidak memiliki anak.
Beberapa contoh Kasus tentang Pemalsuan Keterangan, ialah
seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor
76/Pdt.P/2010/PN.Kpj, pemohon melakukan perubahan indentitas dengan
cara memasukan nama anaknya tersebut ke dalam Kartu Keluarga kakaknya
untuk keperluan sekolah karena suami pemohon meninggal dan pemohon
125 https://surabaya.tribunnews.com/2013/12/23/banyak-akta-kelahiran-tanpa-nama-
ayah, Diakses Pada Tanggal 18 Juli 2020, Pukul 21.52 WIB
73
harus bekerja diluar kota. Atau, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri
Garut Nomor 115/Pdt.P/2019/PN.Grt yang menasabkan anaknya sendiri
kepada Kakak kandungnya karena keperluan administrasi dikantor tempat
pemohon bekerja karena pemohon melamar kerja ditempat tersebut
meggunakan identitas kakak pemohon. Bahwa untuk mengurus surat-surat
diperusahaan seperti cuti menikah dan cuti melahirkan maka semua surat-
surat Linda Arizona dibuat nama/identitas saksi yaitu Risa Rismayanti
antara lain Kutipan Akta Nikah dan Kutipan Akta Kelahiran anak Para
Pemohon. Yaitu dengan meminta kepada Kantor Urusan Agama untuk
menuliskan di dalam Kutipan Akta Nikah pemohon dengan menggunakan
nama kakak Pemohon dan buku Akta tersebut digunakan untuk penerbitan
Akta Kelahiran anak pemohon.
Ini menyebabkan dikemudian hari dapat menimbulkan
permasalahan hak-hak anak dalam keluarga tersebut, termasuk akibat
hukum dari segi sosiologis anak hasil hubungan diluar nikah dan anak
angkat yang menjadi anak kandung. Oleh karena itu, pelaku dapat dijerat
dengan tindak pidana pemalsuan akta jika dikemudian hari dari akta tersebut
timbul kerugian dari pihak lain.
Perbuatan seseorang yang mengubah suatu keadaan atas peristiwa
seakan-akan asli untuk membuat akta kelahiran seperti memalsukan status
seorang anak atau keterangan didalamnya, sebagaimana diatur pada
Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
menegaskan:
“Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau
dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”(Pasal 93)
74
Terkait dengan permasalahan ini, apabila dalam pembuatan Akta
Kelahiran dan KK dari anak tersebut pelaku memang sudah tahu sama tahu
dengan pegawai yang membuatkannya dan diusahakan agar prosesnya bisa
berjalan sesuai prosedur. Karena pegawai tersebut telah terbukti turut
memfasilitasi serta dengan sengaja melakukan kerjasama yang mewujudkan
tidak pidana dan ikut berperan aktif mengurus pembuatan Akta Kelahiran
tersebut padahal pegawai catatan sipil itu telah mengetahui bahwa
memasukan keterangan palsu itu merupakan pelanggaran hukum. Maka
pegawai pencatatan tersebut ikut terjerat dalam pelaku tindak pidana seperti
yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2013:
“Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau
melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data
Penduduk sebagai mana dimaksud Pasal 77 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).” (Pasal 94)
Memang terkadang praktek-praktek seperti itu telah dilakukan
dengan maksud saling pengertian dan dengan tujuan membantu satu sama
lain. Namun jika dari Akta Kelahiran yang dibuat dipergunakan untuk suatu
kepentingan sendiri, maka hal tersebut termasuk melanggar hukum karena
perbuatan hukum yang harusnya dilandaskan berdasarkan kebenaran tetapi
dilakukan dengan suatu kebohongan. Sebab hukum positif di Indonesia
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur demikian.
Akta Kelahiran sebagai bukti bahwa seseorang bernasab kepada
orang tuanya masih harus ditanyakan kebenarannya berdasarkan hukum.
Keabsahan nasab yang sesuai dengan orang tuanya pada keterangan Akta
Kelahiran didapat apabila dalam pelaksanaannya dilakukan pelaporan
dengan jujur berdasarkan prosedur yang sudah ditentukan. Jika tidak
dilakukan sebagaimana mestinya maka keterangan nasab didalam Akta
Kelahiran masih diragukan keabsahannya dimuka hukum. Karena dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:
75
“Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran
yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang” (Pasal 55)
Keotentikan sebuah Akta Kelahiran sebagai bukti akan terjadi
apabila akta tersebut telah memenuhi syarat dalam pembentukkannya
sebagai akta otentik. Dalam Buku Keempat Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang Bukti dan Daluwarsa menyebutkan:
“Suatu Akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai Akta Otentik, baik
karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang
bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan
sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para
pihak.”(Pasal 1869)
“Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka
pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan
Reglemen Acara Perdata.” (Pasal 1872)
Tidak hanya itu, sebuah ketetapan atau keputusan yang berupa
dokumen hukum yang dibuat oleh suatu Badan Administrasi Negara
berbentuk Akta, perjanjian atau kontrak bisa dibuat dengan tidak sah.
Sebuah ketetapan yang tidak sah menurut Utrecht, mengenal tiga macam
yakni 1) batal (nietig/absolute nietig), 2). Batal demi hukum (nietigheid van
rechtswege), 3). Dapat dibatalkan (verniegbaar). Ketetapan yang batal
(neitig/absolute nietig) berarti hukum perbuatan yang dilakukan dianggap
tidak ada. Bagi hukum, akibat perbuatan hukum itu tidak ada sejak semula.
Sedangkan batal karena hukum atau batal demi hukum (nietigheid
van rechtswege) berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan
bagi hukum dianggap tidak pernah ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu
keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan akan batalnya
sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu.
Untuk dapat dibatalkan (verniegbaar) berarti bagi hukum bahwa
perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu
76
pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang
berkompeten (pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut
mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum perbuatan tersebut ada
sampai waktu pembatalnnya dan oleh sebab itu itu segal akibat yang
ditimbulkan antara waktu mengadakannya, sampai waktu pembatalnnya,
menjadi sah (terkeculi dalam hal undang-undang menyebutkan beberapa
bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak
ada dan bila mungkin diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu
semuanya atau sebagiannya hapus.126
Dengan demikian, meskipun Akta Kelahiran dibuat oleh pejabat
yang berwenang keabsahan nasab seseorang tidak dapat dijelaskan secara
pasti oleh Akta Kelahiran karena masih harus dibuktikan keotentikannya
oleh Pegawai Pencatatan Sipil dan pelapor peristiwa hukum yang
menyampaikan pernyataannya berdasarkan hukum yang berlaku di
Indonesia.
126 Putusan Batal Demi Hukum, Majalah Konstitusi Edisi Juni 2013 No. 76, (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI, 2013), h. 85. https://www.mkri.id/public/content/infoumum/majalah konstitusi/pdf/Majalah_66_6.%20BMK%20Edisi%20Juni%202013%20.pdf, Di akses pada tanggal 24 April 2020.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hukum dari uraian pembahasan
sebelumnya, yakni pada beberapa kasus. seperti pada Putusan Pengadilan
Negeri Kepanjen Nomor 76/Pdt.P/2010/PN.Kpj Atau sebagaimana Putusan
Pengadilan Negeri Garut Nomor 115/Pdt.P/2019/PN.Grt yang melakukan
perubahan identitas oleh pemohon dan kekeliruan yang terjadi pada Putusan
Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 49/Pdt.P/2018/PN.Wno. Maka penulis
memberikan kesimpulan yang sesuai dengan masalah keabsahan nasab yang
didasarkan pada Akta Kelahiran, yaitu:
1. Hukum Islam memberikan pandangan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
bahwa sebuah Akta Kelahiran bisa dijadikan dasar sebagai keabsahan
nasab seorang anak. karena persyaratan yang telah ditentukan dalam
melakukan pencatatan kelahiran sudah sesuai dengan ketentuan nasab
yang sebagaimana mestinya. Oleh dari itu, hukum Islam juga mengenal
penetapan nasab yang dilakukan dengan cara pengikraran yang harus
disertai saksi dan menerima penggunaan Tes DNA yang hampir 100%
persen akurat sebagai alat bukti menetapkan nasab, bila dalam Pencatatan
kelahiran yang pada pelaksanaannya juga harus menyertakan bukti
berupa saksi ataupun keterangan harus diberikan secara benar dan
sebagaimana adanya. Jadi, nasab yang ditetapkan berdasarkan Akta
Kelahiran menjadi sah. Apabila Akta Kelahiran tidak didasarkan kepada
kebenaran maka akta tidak bisa digunakan sebagai dasar keabsahan
nasab seseorang.
2. Hukum Positif memberikan pandangan yuridis bahwa terhadap
keabsahan nasab bisa ditetapkan dan dibuktikan dengan dasar Akta
Kelahiran yang Otentik yaitu Akta yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.
Apabila dalam pemenuhuan prosedurnya masih terdapat kecacatan
78
hukum dalam bentuknya ataupun pegawai yang tidak cakap dalam
menjalankan peraturannya, maka Akta Kelahiran tersebut tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar
hukum keabsahan nasab seorang anak. karena keabsahan nasab itu terjadi
berdasarkan kebenaran peristiwa hukum itu sendiri dan saksi yang jujur
bukan berasal dari laporan yang tidak sesuai sebagaiman yang terjadi
pada masyarakat.
B. Saran
Dari penelitian yang dilakukan, peneliti ingin memberi saran kepada
lembaga-lembaga yang terkait dalam penelitian ini, para akademisi, dan
pihak masyarakat. Diantaranya sebagai berikut:
1. Hendaknya kepada masyarakat yang akan melakukan pencatatan
kelahiran, baik itu sudah memiliki anak atau belum, supaya menjalankan
prosedur yang sudah ditentukan dengan cara jujur sebagaimana adanya.
Agar tercipta kemaslahatan bagi anak tersebut. Karena hal itu sangat
berpengaruh untuk masa depan anak itu sendiri yang nantinya akan
meneruskan bangsa ini maupun keberadaan bahwa sebuah keluarga telah
mendidik anaknya dengan baik.
2. Untuk pemerintah khususnya lembaga Catatan Sipil, sebaiknya lebih
memfokuskan prosedur pencatatan kepada keabsahan penyampaian dan
otentiknya bukti bahwa anak tersebut benar anak kandungnya. Serta bagi
pewagai Catatan Sipil tidak diperbolehkan melakukan rekayasa identitas
meskipun diminta oleh pelapor, Agar sistem pencatatan sipil
menghasilkan sesuatu yang dapat selaras dengan hukum islam. yaitu
mengenai hifzul nasal dan ketentuan hukum positif bahwa nasab
seseorang bisa dibuktikan dengan Akta Kelahiran.
3. Selanjutnya kepada para akademisi termasuk penulis sendiri, hendaknya
dapat memberikan masukan yang lebih kepada sistem hukum dan aturan-
aturannya. Dengan menghadirkan inovasi yang menunjang integritas
hukum dan kredibilitas hukum itu sendiri untuk pengaplikasiannya di
masyarakat.
79
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum Islam,
http://blog.umy.ac.id/ghea/files/2012/01/MENGUPAS-PERMASALA
HAN-ISTILHAQ-1.pdf,
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, 1995
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta: Prenata Media Group, 2008
Alfitra, Hapusnya Hak & Menuntut Menjalankan Pidana, Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2014. Cet. 2
Al-Hilali, Syaikh Salim bin ‘Ied, Syarah Riyadhush Shalihin Jilid V, Terj: M. Abdul
Ghoffar, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ar-Raudli, M. Maftuhin, Kaidah Fiqih Menjawab Problematika Sepanjang
Jaman: Uraian Lengkap Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Disertai Dengan
Contoh-Contoh Yang Aktual, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015
Ar-Ruhaly, Ruway’i, Fiqh Umar, terjemah A.M. Basalamah, Jakarta: Pustaka Al-
Kausar, 1994
Azhari, Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015
Az-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islamiyyu wa Adillatuhu Jilid VII, Damaskus:
Darr Al-Fikri, 1989
Bey, Arifin, Pokok-Pokok Hukum Islam Jilid I, Jakarta: Tintamas, 1995
Dahlan, Abd. Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Djubaedah, Neng, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2010
Doi, A. Rahaman I., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Jakarta: Kencana, 2014
80
Irfan, Nurul. Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia, Pentingnya Keabsahan Anak, “https://www.kemenpppa.go.
id/index.php/page/read/31/1875/pentingnya-keabsahan-anak“
Kholil, Munawar. Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan
Bintang, 1955
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
M. Nurul Irfan, Unsur Jarimah Qadhaf dalam Penetapan Status Hukum Anak Luar
Kawin, Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013
M. Situmorang, Victor dan Cormentyna Sitanggang. Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1991
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pres, 2012
Marbun, Rocky, dkk. Kamus Hukum Lengkap, Jakarta: Visimedia, 2012
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016
Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2006. Cet. 6
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006. Cet. 1
Millah, Saiful dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Amzah, 2019
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi IV. Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993
Nabil, Abu, Terjemah Syarah Shohih Bukhori, (Solo: Zam-Zam, 2014
Nashrian, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011
81
Nelli, Jumni. Nasab Anak Luar Nikah Prespektif hukum Islam dan Hukum
Perkawinan Nasional, Pekanbaru: Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
UIN Suska, 2010. https://adoc.tips/nasab-anak-luar-nikah-perspektif-
hukum-islam-dan-hukum-perka.html
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2016
Penetapan Pengadilan Terkait Penerbitan Akta Kelahiran Anak Luar Kawin,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt552efb3eaaca4/pe
netapan-pengadilan-terkait-penerbitan-akta-kelahiran-anak-luar-kawin/
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Pencatatan Sipil
Perpres No. 25 Tahun 2008. Himpunan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Tahun 2008, Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2014. Cet. 6
Putusan Batal Demi Hukum, Majalah Konstitusi Edisi Juni 2013 No. 76, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI, 2013, https://www.mkri.id/public
/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_66_6.%20BMK%20
Edisi%20Juni%202013%20.pdf,
Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 115/Pdt.P/2019/PN.Grt,
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/pengadilan/direktori/pengadilan
/pn-garut/ jenis/perdata-1/page/13.html,
Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 76/Pdt.P/2010/PN.Kpj,
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/periode/jenis/putus/pe
ngadilan/pn-kepanjen/tahun/2010/page/3.html
Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 49/Pdt.P/2018/PN.Wno,
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/periode/jenis/putus/pe
ngadilan/pn-wonosari/tahun/2018/bulan/6.html,
Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir ‘Surah Al-Isra – Yasin’
Jilid III, Jakarta: Gema Insani, 2012
S. Siswosoediro, Henry. Mengurus Surat-Surat Kependudukan (Identitas Diri),
Jakarta: Visimedia, 2008
Satrio, J., Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1990)
82
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Soemartono, Triyuni dan Sri Hendrastuti, Administrasi Kependudukan Berbasis
Registrasi, Jakarta: Yayasan Bina Profesi Mandiri, 2011
Solihin, Riyadhus Shalihin Edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015
Subekti, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradya Paramitha,
1996
Sumiarni, Endang dan Chandera Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Dalam Hukum Keluarga, Yogyakerta: Penerbit Universitas Atmajaya,
2000
Suwartono, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit ANDI,
2014.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana, 2011. Cet. 3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002
Usman, Rachmadi. Hukum Pencatatan Sipil, Jakarta : Sinar Grafika, 2019
UU No. 24 Tahun 2013. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan
Kependudukan, Jakarta: Sinar Grafika, 2017
Vollmar, H.F.A. Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlands Bugerlijk Recht.
Penerjamah I.S. Adiwimarta. Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta:
Rajawali Pers, 1992. Cet. 3
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju, 2009
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah dan Penafsiran al-Qur’an, 1973