kampung tidore di kepulauan sangihe dan pulau...

19
1 KAMPUNG TIDORE DI PULAU SANGIHE DAN PULAU LEMBEH: Dinamika Antar Wilayah dan Agama pada Abad ke-17 dan 18 Achmad Syahid Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, korespondensi [email protected] Arthur Gerung Dosen dan mahasiswa Program Doktor Teologi STAKN Manado, korespondensi [email protected] Deyvi Tumundo Mahasiswa Program Doktor Teologi STAKN Manado, korespondensi [email protected] Menurut Surat Endom bahwa pada 27 Ferbruari 1770, Pulau Lembeh, yang kini terletak Kota Bitung, Sulawesi Utara, dihadiahkan pemerintah kolonial Belanda kepada Xaverius Dotulong – selanjutnya disebut Dotulong. Yang dimaksud dengan Surat Endom adalah kumpulan 8 surat bukti korespondensi antara Gubernur Belanda dengan maksud penyerahan Pulau Lembeh sebagai hak milik Dotulong. Hadiah itu dikarenakan Dotulong sukses melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Kerajaan Tidore agar tidak sampai mendarat di Kema (kini di Bitung) dan juga Manado. Penghadangan juga dilakukan kepada seluruh armada laut lain, termasuk perompak-perompak dari Mindanau, Ternate, Tidore, dan di sekitar pulau itu karena dianggap tidak pro VOC. Apalagi Dotulong memang sejak awal menjaga Pulau Lembeh untuk mengamankan kepentingan Belanda berkaitan dengan sarang Burung Lelayang (dikenal juga dengan Burung Walet) dari para perompak. Demikian menurut versi bahasa lisan yang dituturkan turun-temurun pada anak turun Dotulong. Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan karena semata- mata faktor agama, tetapi karena faktor kepentingan ekonomi perdagangan. Karena faktor yang disebut terakhir, pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, sisa-sisa keturunan Malaka membuka ke wilayah Johor dan Riau Kepulauan 1 . Pedagang yang dulu singgah di Malaka membuka jalur pelayaran hingga ke Maluku dan Asia Tenggara melalui laut Sulawesi dan laut Maluku, demikian juga Portugis. Sejak abad ke-15, telah banyak umat Islam dan pemimpin Muslim di luar jazirah Arab sehingga dikenal Maluku dikenal dengan 1 Achmad Syahid, Pemikiran Politik dan Tendensi Kuasa Raja Ali Haji (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009)

Upload: vandang

Post on 03-May-2019

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

1

KAMPUNG TIDORE DI PULAU SANGIHE DAN PULAU LEMBEH: Dinamika Antar Wilayah dan Agama pada Abad ke-17 dan 18

Achmad Syahid

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, korespondensi [email protected]

Arthur Gerung Dosen dan mahasiswa Program Doktor Teologi STAKN Manado, korespondensi

[email protected]

Deyvi Tumundo Mahasiswa Program Doktor Teologi STAKN Manado, korespondensi

[email protected] Menurut Surat Endom bahwa pada 27 Ferbruari 1770, Pulau Lembeh, yang kini

terletak Kota Bitung, Sulawesi Utara, dihadiahkan pemerintah kolonial Belanda kepada Xaverius Dotulong – selanjutnya disebut Dotulong. Yang dimaksud dengan Surat Endom adalah kumpulan 8 surat bukti korespondensi antara Gubernur Belanda dengan maksud penyerahan Pulau Lembeh sebagai hak milik Dotulong. Hadiah itu dikarenakan Dotulong sukses melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Kerajaan Tidore agar tidak sampai mendarat di Kema (kini di Bitung) dan juga Manado.

Penghadangan juga dilakukan kepada seluruh armada laut lain, termasuk perompak-perompak dari Mindanau, Ternate, Tidore, dan di sekitar pulau itu karena dianggap tidak pro VOC. Apalagi Dotulong memang sejak awal menjaga Pulau Lembeh untuk mengamankan kepentingan Belanda berkaitan dengan sarang Burung Lelayang (dikenal juga dengan Burung Walet) dari para perompak. Demikian menurut versi bahasa lisan yang dituturkan turun-temurun pada anak turun Dotulong. Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan karena semata-mata faktor agama, tetapi karena faktor kepentingan ekonomi perdagangan.

Karena faktor yang disebut terakhir, pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, sisa-sisa keturunan Malaka membuka ke wilayah Johor dan Riau Kepulauan 1 . Pedagang yang dulu singgah di Malaka membuka jalur

pelayaran hingga ke Maluku dan Asia Tenggara melalui laut Sulawesi dan laut Maluku, demikian juga Portugis. Sejak abad ke-15, telah banyak umat Islam dan pemimpin Muslim di luar jazirah Arab sehingga dikenal Maluku dikenal dengan

1 Achmad Syahid, Pemikiran Politik dan Tendensi Kuasa Raja Ali Haji (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009)

Page 2: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

2

Jazirat al-Muluk – dari sinilah nama Maluku diambil 2 . Maluku seperti Malaka, wilayah ini pada abad ke-16 dan ke-18 menjadi tidak stabil, karena faktor perebutan pengaruh perdagangan rempah-rempah antar negara-negara kolonial dari Eropa: Spanyol, Portugis, Inggris, terakhir Belanda juga antar kerajaan pribumi. Perjanjian Saragosa antara Spanyol dengan Portugis pada 22 April 1529 membuat tenang kawasan ini untuk sementara, tetapi tidak selamanya. Belanda dapat menguasai Minahasa3 – sebutan populer Sulawesi Utara saat itu – dan Manado pada 1679 dengan merebutnya dari kontrol negara-negara Iberia: Spanyol dan Portugis4.

Dalam perebutan pengaruh antar bangsa tersebut, agama memang bukan faktor penentu, namun ia dapat menjadi variabel fasilitator bagi lancar tidaknya komunikasi untuk konsolidasi antar daerah kekuasaan dan di bawah tekanan pengaruh asing yang kuat tersebut, baik bagi Tidore dan Ternate juga bagi Belanda. Ekspedisi Tidore harus dicegah masuk Manado, bukan saja karena Belanda sudah berdiam di Manado dan berusaha menangkal masuknya pengaruh Islam yang menempel pada kekuatan Tidore dan Ternate di wilayah yang telah menjadi koloni Belanda tersebut.

Taulu menulis bahwa garis pantai utara Sulawesi mulai dari Gorontalo, Bolaang Mongondow, Sangir Talaud, Manado, hingga Minahasa adalah sebagian wilayah

berdiam penduduk yang memeluk Islam sebelum Belanda datang, hingga kini5. Masuknya Islam ke wilayah ini pada awalnya memang karena ekpedisi pedagang asing, terutama dari Arab dan India, dalam mengembangkan misi dagang dan syiar Islam di Indonesia Bagian Timur, seperti Ternate dan sekitarnya 6 . Catatan Pigafeta yang melakukan

ekspedisi pada 1821 menyebut bahwa Islam masuk ke Maluku sejak abad ke-9, bahkan lebih lama dari itu, namun catatan itu menyebut Islam masuk Ternate sekitar 50 tahun sebelumnya7. Namun Islam secara resmi masuk ke Tidore pada abad ke-15,

2Tim Hannigan, A Brief History of Indonesia: Sultans, Spices, and Tsunamis: The Incredible Story of Southeast Asia’s Largets Nation (Indonesia: PT Java Books Indonesia, 2015), p. 673 N. S. Kalangi, “Kebudayaan Minahasa” dalam Koenjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1976) 4 Hannigan, A Brief History of Indonesia, p. 149 5 HM Taulu, Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Utara dengan Perkembangan dalam Ikatan Kebudayaan Hukum Adat Daerah Terutama Minahasa (1525-1977) (Manado: Penerbit Yayasan Manguni Rondor, 1977) 6 MC Riklefts, A History of Modern Indonesia since C.1200 (London: Palgrave MacMillan, 2001) 7M Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara XVI-XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), p. 53

Page 3: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

3

sekitar 80 tahun sebelum lawatan itu dilaksanakan8. Tentu saja catatan ini terlalu terlambat, karena Islam telah masuk ke wilayah ini pada pertengahan abad ke-15. Berbeda dengan sejarah Islam masuk ke Minahasa dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang disebut sejak 1525. Pada 1590, saudagar berkebangsaan Arab dari Ternate, Said Welas Rais memasuki Pelabuhan Belang. Pelabuhan ini terletak di pesisir pantai wilayah Minahasa Tenggara, yang merupakan kota pelabuhan pertama di Minahasa yang mengenal agama Islam. Sebelum kedatangan Belanda, disebutkan bahwa pada Ponosokan, dengan Ibukota Pelabuhan Belang itu telah dijumpai pemeluk agama Islam. Paeni menulis Islam masuk ke Sulawesi Utara disebarkan oleh seorang mubaligh, Syarif Mansyur, seorang bangsawan dari Magindanau, Philiphina Selatan. Pada pertengahan abad ke-16, Syarif Mansyur menjadi Raja Kandahe, menggantikan Wagama, penguasa sebelumnya yang bergelar Kulano. Pada saat Syarif Mansyur menjadi Raja Kanhade, dia juga menggunakan gelar Kulano, dan kemudian mengislamkan rakyat Kandahe, Tawalide, dan Sangir-Talaud9. Di wilayah Bolaang Mangondow, Islamisasi telah berlangsung pada 1580-1660, berlangsung pada masa Kerajaan dipimpin oleh Datu’ Binangkang atau Raja Loloda’ Mokoagow oleh mubaligh Batu Da’a Suwawa Gorontalo. Sejak masa Islam, kemudian memeluk Katolik, wilayah ini dikenal anti VOC.

Sultan Hairun Jamil, raja Kesultanan Ternate ke-23 yang memerintah pada 1534-1570 beserta puteranya Sultan Baabullah (memerintah 1570-1583) telah sering melakukan hubungan dagang antar pulau dengan wilayah di pesisir utara Sulawesi. Tidak hanya Sultan Hairun dan Sultan Baabullah yang anti Portugis, tetapi kemudian juga anti Belanda. Pada masa kejayaannya, kekuasaan kesultanan Ternate membentang mencakup wilayah Maluku; Sulawesi bagian Utara, Timur, dan Tengah; bagian selatan Kepulauan Filipina dan Kepulauan Marshal di Pasifik. Hubungan dagang menjadi isu utama di sini, mengingat baik Tidore dan Ternate merupakan dua kerajaan yang sangat berpengaruh

di wilayah itu sebagai penghasil rempah-rempah. Islamisasi pada wilayah ini pada periode-periode belakangan karena Belanda

mendatangkan tenaga buruh dari Makassar dan dari Pulau Jawa yang sampai di 8Yahya, Kerajaan Islam Nusantara XVI-XVII, p. 59 Mukhlis Paeni, Edward Poelinggomang, Abdul Madjid Kallo, Bambang Sulistyo, Anwar Thosibo, Andi Maryam, Sejarah Kebudayaan Sulawesi (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), p. 92

Page 4: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

4

Pelabuhan Manado pada 1684. Kedatangan buruh dari Makassar, Bali, Jawa, Ternate turunan Portugis, Spanyol, Manila dan China, pada 1684 hingga akhir abad ke-17 untuk membuat barikade atau benteng dari kayu membuat populasi penduduk pendatang meningkat di wilayah ini. Populasi pemeluk Islam dari Ternate dan Makassar meningkat di pesisir utara Sulwesi, sementara pemeluk Hindu Bali menyebar di Gorontalo dan wilayah lain di Sulawesi Utara. Islam sendiri berkembang di pesisir pelabuhan Manado, Bitung, Kema, Amurang dan lain-lain, yang dibawa oleh para pedagang dan nelayan muslim asal Gorontalo, Bugis, Makassar, Ternate, Banjar, Arab dan lain-lain. Mereka kemudian hidup menetap sekitar abad 17 dan 18, seperti di Manado terdapat perkampungan umat Islam seperti Kampung Ketam, Kampung Ternate dan Kampung Islam 10 . Bagi Belanda, penyebaran Islam pada wilayah ini dapat berarti dua hal. Pertama, dapat memudahkan Sultan Tidore yang sejak Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689) mengembangkan pengaruhnya pada wilayah ini, dan itu berarti ancaman bagi Belanda. Dapat disebut di sini bahwa wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore meliputi Pulau Seram, sebagian Halmahera, Raja Ampat, Kai, dan sebagian Papua. Dengan kekuasaan yang luas dan kuat, Tidore sejak saat itu berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18. Pengganti Sultan Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku (memerintah 1797-1805), adik Sultan Zainal Abidin (memerintah 1805-1810) juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali Kepulauan Maluku. Kedua, juga berarti hambatan bagi Belanda untuk menguasai perdagangan internasional atas komoditi rempah-rempah melalui jalur laut dari dan ke Maluku.

Sebelum menaklukkan Ternate dan Tidore, menjadi strategis bagi Belanda untuk menguasai wilayah di sekitarnya. Dalam hal ini termasuk kepulauan di sekitar Sulwesi Utara, Gorontalo dan sekitarnya. Jika Belanda meminta bantuan Dotulong melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Tidore, kemudian misi itu berhasil, itu merupakan bagian agenda besar Belanda untuk menguasai wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore dan Ternate secara pelan, pasti dengan organisasi VOC yang rapi dan sistematis.

Tidak jelas benar mengapa Dotulong adalah pihak yang dipilih untuk membantu Belanda. Tidak ada informasi dari pihak Belanda tentang hal itu. Belakangan diperoleh informasi dari luar Belanda bahwa tokoh ini dapat dijelaskan dari latar posisi kultural, letak strategis geografis dan kosmopolitanismenya. Diperoleh penjelasan bahwa dia adalah putera Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis pembangunan tempat itu. Runtukahu Lumanauw adalah generasi keempat dari Suku Tonsea - salah satu suku yang ada di Minahasa. Sehingga Dotulong adalah salah satu pemimpin suku generasi kelima dari Suku Tonsea yang didirikan oleh We’enas yang kini berkedudukan di Kema. Dengan demikian, Dotulong dipilih

10 A. E. Rompas dan A. Sigarlaki, Sejarah Masuknya Islam di Kota Manado (1982), p. 14 dikutip dari Sejarah Islam di Sulawesi Utara - Part1 http://artfalsafah.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-islam-di-sulawesi-utara-part1.html

Page 5: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

5

karena kedudukan dia sebagai pemimpin Kema. Kini Kema merupakan salah satu kecamatan di Minahasa Utara yang berbatasan dengan Bitung di bagian utara, sebelah Timur dengan Laut Maluku, sebelah selatan dengan Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, dan sebelah barat dengan Kecamatan Kauditan. Kema merupakan Ibukota Kecamatan Kema dan kota pelabuhan ikan di Minahasa Timur Utara sejak dibangun sejak Runtukahu Lumanauw. Tinggal di daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Maluku, tempat lalu lintas internasional, membuat Dotulong menjadi seorang yang terpelajar. Ketika berkorespondensi sebanyak delapan kali dengan Gubernur Belanda Maluku di Ternate, Robertus Padtbrugge, Dotulong menggunakan bahasa Melayu yang sudah banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh pedagang-pedagang pada jalur dagang di dan ke wilayah nusantara saat itu. Bukan hanya Dotulong sendiri yang mahir berbahasa Melayu, tetapi juga keluarga besar Dotulong. Keluarga masih menyimpan bukti bahwa surat Catharina Dotulong – keturunan perempuan tertua – kepada D. H. de Vries – Direktur Residen Manado – juga dalam bahasa Melayu. Menurut keturunan Dotulong, patut diduga, faktor ini yang melatarbelakangi Belanda akrab dengan keturunan Dotulong11.

Pada abad ke-17, Belanda memantapkan kehadirannya di Sulawesi Utara. Gubernur Padtbrugge melakukan ekspedisi perjalanan ke Sulawesi Utara pada 1677-1679, hampir satu abad sebelum Belanda meminta Dotulong melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Tidore. Fort Rotterdam didirikan di Manado sebagai pangkalan utama Belanda, kemudian Kepulauan Sangir Talaud ditaklukkan. Gorontalo dan Limboto membuat perjanjian dengan Gubernur Padtbrugge, yang isinya, kedua kerajaan tersebut telah menyerahkan hak-haknya kepada VOC. Terdapat 24 wilayah di Minahasa yang menanda-tangani perjanjian dengan VOC pada 1679. Negeri-negeri ini diwajibkan mengirimkan bahan makanan ke pos-pos penjagaan Belanda di Manado dan Ternate. Negeri-negeri kecil ini kemudian menjadi basis penanaman kopi secara paksa di Indonesia pada awal abad-18. Meski demikian, Banggai dan Tabungku di Sulawesi Tengah bagian timur tetap merupakan wilayah kekuasaan Ternate sampai pada 1900. Dengan gambaran di atas menjadi terlihat, VOC Belanda meminta bantuan melakukan penghadangan terhadap Tidore – yang didahului dengan korespondensi Dotulong dengan Gubernur Jenderal Belanda di Ternate – tentu saja sebagai dari proses akuisisi dari Belanda atas Sulawesi Utara12.

Ujung Timur Laut Sulawesi adalah contoh yang berbeda dari soal pengaruh Barat di Indonesia. Berbeda dengan Gowa di sudut Barat Daya Sulawesi yang selalu dilanda ketidakpuasan dan gampang meledak menjadi kekerasan, daerah ujung timur laut ini sebaliknya. Gubernur Padtbrugge pada saat mengunjungi Manado di daerah Minahasa di Sulawesi Utara, pemimpin-pemimpin lokal dengan sukarela mengikat persekutuan denganya, dan persekutuan ini tidak terganggu selama lebih dari dua abad. Pada abad ke-19, sebagaimana akan dibahas pada sub bab terakhir, banyak

11 Wawancara dengan keturunan Keluarga Besar Xaverius Dotulong di Treman, Kauditan, Minahasa Utara, pada 27 Oktober 2016 12 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 112

Page 6: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

6

orang Manado menerima agama Kristen, dan Minahasa menjadi salah satu bagian Kepulauan Indonesia yang paling mengalami pembaratan13. Pulau Lembeh

Lembeh merupakan bahasa Tonsea, dari kata “dembe” yang berarti tersaku, tersendiri, terpisah dan terpencil. Pulau ini terpisah dari daratan Malesung atau Minahasa dan terpencil dari peradaban daratan di Kema. Dotulong ditakdirkan memenuhi tugasnya. Kepadanya dihadiahkan Pulau Lembeh, pulau terpencil, yang kini masuk bagian wilayah Kota Bitung. Bukti yang mereka miliki adalah Surat Endom yang menyatakan penyerahan kepemilikan pulau itu dari Belanda kepada mereka. Sampai kini tidak ada masyarakat di Pulau Lembeh yang tidak mendengar atas klaim ahli waris anak turun Dotulong ini. Penelitian dengan jalan rekonstruksi sejarah oleh Widhiana H. Puri, Akur Nurasa, dan Wahyuni, atas kebijakan pertanahan disebutkan bahwa klaim atas tanah Pulau Lembeh yang diajukan oleh keluarga waris Dotulong adalah bahwa tanah itu mereka miliki sejak 1770 berdasarkan ketentuan yang berlaku di zaman kolonial Belanda, yakni:

a. Extract Resolutie in Rade van Politic te Ternate, 27 Februari 1770 – yang berisi: izin tinggal di Pulau Lembeh dari Polisi di Ternate;

b. Aldus Gedaan en Verleend te Ternate in’t Casteel Oranje den 17 April 1770 de Gouverneor der Moluren (WG) Hermanus Munnik - yang berisi: pengesahan izin tinggal di Pulau Lembeh dari Hermanus Munnik dengan pengajuan resmi ke Gubernur Maluku di Ternate di Castel Oranye pada 17 April 1770;

c. Extract Uit net Register der Handelingen in Besluiten Van Der Resident van Manado No. 37 – yang berisi: intisari dari daftar kisah para rasul yang tinggal dan memberikan pelayanan di Manado - yang dikenal dengan Beslit Residen Manado Nomor 37 tanggal 2 Februari 1897;

d. Diakui oleh S. P. J. M. M. Gouberneur Djenderal di Batavia, dan dikuatkan oleh pihak Kanjeng Goevernement Tanah Hindia Belanda oleh S. P. T. Bangsawan Residen Menado menurut Surat Putusan Nomor 59 tertanggal 23 Februari 1897 bahwa Pulau Lembeh milik Dotulong14.

e. Akte Notaris Hendri Geraard van Os van Delden tertanggal 30 September 1908 tentang pembagian tanah pusaka warisan Dotulong di Pulau Lembeh dan Minahasa daratan;

f. Akter Notaris GJFP Kairupan Nomor 16 tertanggal 16 April 1950 tentang Pembagian Tanah Pusaka di Pulau Lembeh. Bagian Utara milik Watok dan Lumolinding, anak perempuan Dotulong.

13 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Pupuler Gramedia, 2016), p, 191 14 Widhiana H. Puri, Akur Nurasa, Wahyuni, “Rekonstruksi Sejarah dan Kebijakan Pengelolaan Pertanahan di Pulau Lembeh”, Laporan Monografi Penelitian Strategis Tahun 2014 (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2014), p. 13

Page 7: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

7

g. Register Tanah Lembeh Utara/Tengah Peta Pembagian Tanah Warisan Pulau Lembeh kepada anak cucu Watok dan Lumolinding tertanggal 13 Agustus 1951 yang ditanda-tangani Hukum Besar Tonasea H. C. Mantiri.

h. Surat Keterangan Hak Milik Nomor Register 01 Folio 01 Tahun 1958 yang ditanda-tangani oleh 3 (tiga) Hukum Tua di Pulau Lembeh: Hukum Tua Pulau Lembeh Utara, Hukum Tua Pulau Lembeh Tengah, dan Hukum Tua Pulau Lembeh Selatan, bahwa tanah Pulau Lembeh atas tanah Pasini Hak Milik Dotulong15.

Surat endom adalah bahasa lisan penutur masyarakat Pulau Lembeh, juga anak keturunan Dotulong, maksudnya adalah hak eigendorm yang berarti “hak milik” berbeda dengan hak bexit yang berarti hak penguasaan16. Lebih dari itu, gabungan keturunan Dotulong dari Waldo dan Rusdo menyebut bahwa jauh sebelum terbitnya Demien Verklaring/STBLD 1870 Nomor Jo 118 ordenantie 8 Maret 1877, Pulau Lembeh sesungguhnya merupakan miliki Dotulong yang merupakan warisan dari orang tuanya. Karena tanah warisan, maka posisi hukum Demien Verklaring/STBLD 1870 Nomor Jo 118 ordenantie 8 Maret 1877 dapat dibaca sebagai pengajuan

sertifikasi tanah dari pemilik pribadi kepada pemerintah.

Pada 1981 buku karya Bonnie Lengkong, yang menyebut bahwa Pulau Lembeh merupakan milik keluarga Dotulong, antara lain berdasarkan bukti di atas. Pada buku tersebut juga diceritakan bahwa pada awalnya Dotulong diberi kepercayaan sebagai ukung-ukung atau penjaga pulau yang dipandang menyeramkan itu karena tempat perompak dari Mangindano, Ternate, Tidore, dan kerajaan-kerajaan utara lainnya demi melindungi sarang Burung Lelayang – sarang burung yang sangat

15 Bukti dan kepemilikan Pulau Lembeh ini telah juga dimuat dalam Harian Komentar: Hanya Satu Untuk Semua, Rabu, 14 September 2011 16 Menurut UUD 1945, Pasal Peralihan: “Bahwa badan-badan negara dan hukum Belanda yang belum ada gantinya adalah tetap berlaku”.

Page 8: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

8

berharga. Ciri-ciri Burung Lelayang itu pendek, kecil, lebih menggemuk, berparuh kecil,

pipi hitam, dengan warna biru gelap dan berekor pendek. Pada 1680-1880 belum terdapat tanaman yang berharga di pulau tersebut, kecuali Burung Lelayang, di mana pada 1765-1785, harga satu pon sarang Burung Lelayang adalah dua ringit emas17. Kemudian Dotulong meminta pengesahan dari Gubernur Ternate agar dapat memiliki keseluruhan pulau tersebut18. Atas dasar pemikiran itu, wajar ahli waris Dotulong menuntut kepemilikan seluruh pulau. Namun karena telah terlanjur banyak penghuni lain di Pulau Lembeh yang berasal dari Sangihe Talaud, maka mereka menuntut tanah seluas 300 ha19 sebagai hak kelakeran keluarga dengan merujuk pada Keputusan Kemendagri Nomor 170 Tahun 1984. Tanah kelakeran keluarga atau famili adalah tanah dengan hak ulayat yang diberikan kepada kepala suku kepada seseorang karena ia yang pertama kali membuka tanah tersebut untuk kemudian dapat diwariskan kepada keturunannya. Disebut sebagai tanah kelakeran adalah karena mereka yang berasal dari Suku Tonsea – puak suku Dotulong juga – yang kali pertama membuka lahan dan menggarap tanah pulau tersebut20.

Namun klaim yang kali pertama sebagai pembuka lahan ini juga segera dibantah oleh Johan Rahasia yang menulis bahwa Pulau Lembeh ini telah berpenghuni sejak abad ke-15 oleh aneka suku bangsa seperti Sangir Talaud, Ternate, Tidore, Batjan, Bolaang Mongondow – terutama Suku Loloda21. Pada masa awal-awal tidak ditemukan suku Minahasa di pulau ini. Dengan demikian, jika betul Gubernur Belanda memberikan hak kepemilikan Pulau Lembeh kepada Dotulong

kuat dugaan bahwa Dotulong menguasai pulau ini dengan tetap berdiam di Kema, tidak berdomisili di pulau yang diklaimnya tersebut pada saat dan setelah Belanda mengesahkan kepemilikannya. Ditemukan bukti bahwa dalam beberapa waktu ada ahli waris Dotulong yang mendiami Pulau Lembeh, namun kemudian pada saat isu kepemilikan

17 Grey Tumulewo, Hikayat Pulau Lembe (30-31 Mei 2006) 18 Bonnie Lengkong, Sejarah Kepemilikan Pulau Lembeh (Manado: Jajasan PAXKDO, 1981) 19 Jumlah luas 300 ha ini disangkal oleh Keluarga Besar Dotulong yang lain. Menurut mereka, keluarga besar Dotulong tidak pernah mengusulkan/menuntut kepemilikan hanya 300 ha, tetapi selalu mengklaim 5.040 ha. Klaim 300 ha ini terjadi di zaman Gubernur Sulawesi Utara (Periode 2 Maret 1967-21 Juni 1978), Hein Victor Worang, dianggap sebagai akal-akalan Bonnie Lengkong yang mengatasnamakan keluarga Dotulong. Surat kepada Gubernur Worang ini ditandatangai oleh Bonnie Lengkong, Gubernur Worang, Lucky Sondak (ayah Angelia Sondakh) dan lain. Namun pada saat itu juga ada surat bantahan dari keluarga XD terhadap Kementerian Dalam Negeri tentang hal ini. 20 Lengkong, Sejarah Kepemilikan Pulau Lembeh. Bandingkan dengan wawancara dengan keturunan Keluarga Besar Xaverius Dotulong di Treman, Kauditan, Minahasa Utara, pada 27 Oktober 2016

Page 9: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

9

tanah mencuat ke permukaan, mereka mengalihkan status kepemilikan tanahnya kepada pihak lain dan kembali ke Bitung22. Selain klaim yang dipersoalkan, kesulitan lain yang muncul adalah dalam konteks pembagian tanah ahli waris, komplikasi kepemilikan tanah di Pulau Lembeh diperumit tentang siapa ahli waris Dotulong yang sebenarnya. Di dalam tubuh internal ahli waris terpecah menjadi tiga kelompok: PAKXDO, WALDO, dan RUSDO. Meski ketiga ahli waris tersebut mengaku berada di bawah koordinasi PAKXDO, namun ketiganya memiliki pendapat dan kebijakan masing-masing, terutama pengakuan Waldo dan Rusdo terhadap PAKXDO23.

Peneliti dan sejarahwan muda Minahasa, Grey Tumulewo, menulis bahwa Pulau Lembeh termasuk wilayah kekuasaan Belanda. Dalam rangka melindungi sarang Burung Lelayang yang merupakan habitat alami di pulau itu, ditetapkan Dotulong sebagai penjaga atau pengawas pulau tersebut. Buku ini juga menceritakan bahwa penduduk awal Pulau Lembeh berasal dari keturunan Malesung24 dan Bolaang Mongondow. Penduduk Malesung ada sejak zaman purba, mereka dinamakan Punten Ni Rumajomprong, karena pertama-tama menempati pulau ini adalah Rumojomprong25. Menurut Belanda pulau itu penting karena terdapat banyak habitat Burung Lelayang, karena itu, menyerahkan penjagaan pulau tersebut kepada Dotulong pada 1760. Status kepemilikan Pulau Lembeh akhirnya diberikan kepada Dotulong oleh Gubernur Maluku, Hermanus Munnik, yang berkantor di Castel Oranye26.

Terlepas dari kontroversi klaim dan status kepemilikan Pulau Lembeh, dengan lalu lintas laut yang padat di antara Pulau Lembeh dengan Bitung dari dan menuju Pelabuhan Bitung, pulau ini merupakan tempat yang favorit bagi para pedagang, pengembara maritim dan barangkali juga para perompak. Karena tempatnya tidak jauh dari Bitung, pada kasus PRRI – Permesta, pulau ini juga merupakan tempat pengembaraan bagi orang yang terkena dampak politik dari peristiwa itu27.

Bitung adalah kota pelabuhan tersibuk di Sulawesi Utara, dan kini masuk jalur Tol Laut yang menghubungkan pulau-pulau di seluruh nusantara. Dilihat dari peta lokasi Pulau Lembeh, dia berhadapan langsung dengan kekuasaan Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore di Maluku Utara. Strategis jika Belanda menghadiahkan Pulau ini kepadanya, di samping sebagai penghargaan juga terkandung maksud sebagai aliansi Belanda untuk menangkal pengaruh Tidore dan Ternate ke wilayah itu. Tempat Buangan Pejuang

Begitu kekuasaan Tidore dan Ternate telah dibendung, wilayah ini telah di bawah pengaruh Belanda, wilayah ini kemudian menjadi wilayah pengasingan para

21 Johan Rahasia, Menjingkap Tabir Pulau Lembe (1967) 22 Lengkong, Sejarah Kepemilikan Pulau Lembeh, p. 14 23 Puri, Nurasa, Wahyuni, “Rekonstruksi Sejarah dan Kebijakan Pengelolaan Pertanahan di Pulau Lembeh”, p. 13-14 24 Malesung adalah sebutan Minahasa tempo dulu 25 Grey Tumulewo, Hikayat Pulau Lembe (30-31 Mei 2006) 26 Grey Tumulewo, Hikayat Pulau Lembe (30-31 Mei 2006) 27 B Harvey, Permesta: A Half of Rebellion (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1977), monograph series, publication no 57

Page 10: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

10

pejuang anti kolonial yang kebetulan beragama Islam. Mereka ini pada umumnya beragama Islam dan beberapa di antara mereka adalah penganjur agama Islam yang berasal dari Aceh, Padang, Palembang, Jawa dan Kalimantan yang datang di Minahasa28. Pada 1790 menyusul rombongan tawanan para pejuang kemerdekaan dari Banten yang dipimpin oleh Tubagus Abussalam, Abdul Rasyid, dan Abdul Wahid tiba di Minahasa.

Perlawanan yang gagal terhadap Belanda oleh Pangeran Abdurrahman dan Pangeran Jayadiningrat pada 22 November 1821, juga oleh Sultan Ahmad Najamuddin, merupakan babak akhir kesultanan Palembang. Ayah sultan ditawan Belanda dan diasingkan ke Batavia, sementara Sultan Ahmad Najamuddin meneruskan perlawanan di hulu Sungai Musi. Setelah melakukan perlawanan selama delapan bulan, sultan ditawan dan diasingkan di Manado di mana ia meninggal pada 1844. Meninggalnya sultan ini sekaligus menandai berakhirnya dinasti Palembang29. Pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), pada 1831, KH Muhammad Ghazali Modjo – paman Pangeran Diponegoro – bersama 63 pejuang pria yang berasal dari Yogyakarta, Solo, Demak, Cirebon, dan kota-kota lain di Jawa dibuang Pemerintah Kolonial Belanda di wilayah Tondano melalui Pelabuhan Kema. Di tempat pengasingan ini mereka tetap memegang teguh agama dan praktek ibadah mereka, dan di Tondano melahirkan Jawa Tondano30. Selain Kiai Modjo dan istrinya, para pengikut Kyai Mojo yang terdiri dari 63 pria itu pengikutnya bukan laki-laki biasa. Mereka adalah pemuka agama dan disebut penganut tarekat, yang antara lain disebut bernama Kiyai Imam Ngarib Baderan, Kiyai Tumenggung Pajang, Kiyai Tumenggung Reksonegoro, Kiyai Maulana, Kiyai Demak, Kiyai Urawan, Kiyai Dadapan, Kiyai Hasan Besari, Kiyai Wonopati, Haji Ngali, Haji Mohamad Tayib, Haji Kasaniman, Haji Imam Maraji, dll31. Mereka berdiam di Desa Tegalrejo, nama desa seperti desa asal kediaman Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa. Mereka bersosialisasi dan bercocok tanam sebagai petani seperti pekerjaan mereka di Jawa, dan itu mempengaruhi bagaimana kuliner wilayah ini pada periode belakangan sebagai bagian dari identitas Minahasa32.

Pada dimensi kemasyarakatan mereka berjalan dengan adaptasi, tanpa menanggalkan ajaran yang mereka anut. Mereka meramu rukun Islam dan tarekat dengan kalimat Jawa “sedulur papat limo pance” yang berarti kombinasi antara tahapan konsep tasawuf – syari’at, tarikat, hakikat, dan ma’rifat dengan rukun Islam yang jumlahnya lima – syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Ditempat pengasingan

28 N Graafland, Minahasa: Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991) 29 M Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara XVI-XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), p. 51 30 Timothy George Babcock, Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity (Yogyakarta: UGM Press, 1981). 31 JV Lisangan, Perjuangan Pemuda Indonesia Minahasa Manado (Manado: Yayasan Wongken Werun, 1995), p. 182-183 32 Gabriele Weichart, “Identitas Minahasa: Sebuah Praktek Kuliner”, Antropologi Indonesia, No. 74 (2004)

Page 11: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

11

ini mereka menikahi wanita-wanita suku Minahasa 33 , dari keluarga Karinda, Tombokan, Supit, Sahelangi, Rondonuwu, Ratulangi, Tombuku, Tumbelaka, Malonda, Kotambunan, dan Rumbayan34. Pernikahan ini, menurut Babcock35 karena dua hal: para pemuda lokal banyak yang dikirim ke luar Tondano ke Makassar sebagai prajurit, sementara perawakan mantan prajurit Jawa ini juga menawan.

Tujuh tahun setelah Perang Jawa berakhir, pada 1837 di Jawa Tondano juga menjadi tempat pembuangan Kyai Hasan Maolani yang berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan pada awalnya diasingkan ke Ternate. Kemudian dibawa ke Pelabuhan Kema, dan seratus hari kemudian dia dipindahkan ke Kampung Jawa Tondano, tinggal bersama pasukan Kyai Modjo. Di Kampung Jawa ini Kyai Hasan melanjutkan pengajaran sisa-sisa pasukan Kyai Modjo, termasuk warga sekitar dengan membuka Pesantren Rama Kyai Lengkong36.

Pada tahun itu juga, tepatnya pada 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol ditaklukkan setelah sekian lama dikepung. Namun Tuanku Imam Bonjol belum tertangkap. Pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh, Agam, Sumatera Barat, untuk berunding. Begitu Tuanku Imam Bonjol tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara. Di tempat pengasingan terakhir inilah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia dan dimakamkan pada 8 November 186437.

Djamil menulis Kyai Ahmad Rifa’i Kalisalak, Kendal, merupakan salah satu tokoh yang dianggap melawan dan kemudian diasingkan Belanda ke Tondano. Pada 1856 dianggap sebagai permulaan krisis hubungan antara gerakan tarekat rifa’iyyah yang dipimpin oleh Kyai Rifa’i dengan Belanda. Seluruh kitab karya tulis tangan tokoh ini disita Belanda, di samping itu para murid-muridnya mendapat tekanan mental. Puncaknya, Kyai Rifa’i ditangkap dan dipenjara di Kendal, Semarang, dan kemudian Wonosobo. Pada 1859 Kyai Rifa’i diasingken ke Ambon, kemudian pada 1861 diasingkan ke Tondano, bergabung dengan Kyai Modjo. Dengan kedatangan Kyai Rifa’i ini, tarekat Kyai Modjo mendapat tambahan nuansa, antara lain karena Kyai Rifa’i menciptakan kesenian rebana dengan mengiringi lagu-lagu, syair, nadzaman yang diambil dari kitab yang dikarangnya. Ini peran Kyai Rifa’i hingga akhir hayat pada 1872 pada usia 86 tahun dan dikebumikan dikomplek makam Kyai Modjo38.

33 N. Graafland, Minahasa: Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991). Kinayati Djojosuroto, “Ikon Tradisi Ba’da Ketupat Sebagai Refleksi Kebudayaan Masyarakat Jaton Sulawesi Utara”, al-Harakah, Vol 15 No. 2 (2013), p. 219 34 Kinayati Djojosuroto, “Dialek dan Identitas Jawa Tondano di Minahasa: Suatu Kajian Historis”, https://eprints.uns.ac.id/1298/1/66-227-2-PB.pdf 35 Yusno Abdullah Otta, “Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern”, Jurnal Penelitian Keislaman IAIN Mataram, Vol. 6 No. 2 (Juni 2010), p. 394 36 Babcock, Kampung Jawa Tondano, p. 41 37 Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam Di Minangkabau 1784-1832 (Padang: Esa, 1988) 38 Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH Ahmad Rifa’i Kalisalak (Yogyakarta: LKiS, 2001)

Page 12: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

12

Di perkampungan Jawa Tondano juga ditemukan orang-orang Arab dan keturunan. Disebut bahwa ini merupakan peran Sayid Abdullah Assagaf yang diasingkan Belanda ke Tondano pada 1880, karena dianggap telah menghasut masyarakat Palembang, Sumatera Selatan, untuk melawan Belanda. Ia menikah dengan wanita Kampung Jawa Tondano, demikian keturunannya yang melahirkan generasi famili Assagaf dan famili Catradiningrat di Tondano. Tokoh nasional lain yang diasingkan ke daerah ini adalah Gusti Pangeran Purbatasari dari Banjarmasin yang tiba pada 1884 dan Teuku Muhammad/Umar dari Aceh yang tiba pada 189539.

Non Cousa Pro Cousa

Berdiri di puncak Bukit Langeneng Pulau Sangihe akan tampak menakjubkan pemandangan Teluk Tahuna. Kampung Muslim Tidore di Pulau Sangihe persis

berada diujung teluk, seakan menyongsong siapapun pedagang dan pengelana maritime lain. Mendengar cerita penghadangan ekspedisi Tidore oleh Dotulong, orang mudah menduga bahwa kampung itu terbentuk oleh sebagian peserta ekspedisi yang tinggal di sana sementara waktu sambil menunggu kesempatan kedua. Sangkaan ini keliru. Ia bukan sebab yang dikira sebab, yang menjelaskan asal mula Kampung Muslim Tidore di Teluk Tahuna itu. Kampung Tidore di Teluk Tahuna dapat dipastikan

bukanlah berasal dari sisa-sisa ekspedisi Tidore yang gagal masuk Bitung dan Manado, setelah peristiwa penghadangan oleh Dotulong. Komunitas ini terbentuk karena sebab-sebab selisih paham dalam internal umat Islam sendiri, bukan berasal dari unsur luar.

Sangihe dikenal sebagai sangir atau sanger. Malukow menyebut penggunaan nama sangihe berhubungan dengan kata sangi’ berarti sumangi, sasangi, sasangitang, 39 Yuniarti Sugio Rahayu, “Masyarakat Jawa Tondano Abad ke-XX: Sejarah Sosial Budaya Kecamatan Tibawa”, ttps://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=NHsdWK-0KcqMvQSl373ADA#q=Sayid+Abdullah+Assagaf+yang+diasingkan+Belanda+ke+Tondano+pada+1880.+pdf

Page 13: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

13

makahunsangi, mahunsangi, masangi, semua kata ni merujuk pada arti tangis dan sedih. Kata Sangihe dapat pula berasal dari dua kata yang diartikan secara harafiah yaitu sangi dari kata sangiang yang berarti putri khayangan, ihe atau uhe berarti emas40. Orang Sangihe merupakan salah satu dari ratusan kelompok etnis yang ada di Indonesia, berbeda dengan etnis Talaud. Mereka umumnya menetap di kota-kota pelabuhan sebagai pelaut, nelayan, dan pelayar. Bagi orang Filipina, mengenal orang Sangihe dengan Sangir, Sangil, Marore, atau kemudian Indonesia41.

Pulau ini berada di antara gugusan pulau kecil, di Kepulauan Sulawesi Utara, yang penduduknya disebut Lapian sebagai “orang dalam perjalanan” melalui laut dengan menggunakan berbagai transportasi yang ada42. Di antara orang yang dalam perjalanan itu kerap menemukan pulau-pulau yang tenggelam, dan tinggal di pulau-pulau itu untuk sementara waktu atau dalam waktu yang terbatas. Pulau Mangahetang (Pulau Siau di daerah Sangihe dan Talaud) konon dahulunya menyatu dengan Pulau Mindanau43. Sebagian dari orang yang tinggal di pulau-pulau tersebut adalah orang-orang yang terdampar, yang merupakan bagian dari kisah akibat bencana gunung meletus – dalam hal ini gunung berapi Awu-Tahuna-Kolongan atau pemanasan global44.

Pulau Sangihe didiami oleh suku-suku lain di Sulawesi Utara itu telah terbagi-bagi menjadi kerajaan kecil yang mandiri. Di antara kerajaan di Sangihe adalah Malahasa, Manganitu, dan Kandahe. Jika melihat peta Pulau Sangihe, ketiga kerajaan tersebut merupakan kerajaan kecil yang memanfaatkan teluk: Tahuna, Manganitu dan Kandahe. Selain kepercayaan lokal, Islam adalah agama pertama yang ada di Sangihe. Muncul komunitas agama yang kini dikenal dengan Islam Tua 45 . Sugiharto menyebutnya dengan himpunan penghayat kepercayaan Masade, karena pertama kali disebarkan oleh Mawu Masade 46. Karena tidak dianggap sebagai agama, namun sebagai penganut kepercayaan, Walandungo menyebut Islam Tua di Sangihe disebut tidak mendapat perlindungan yang semestinya 47 . Mereka mempraktekkan puasa, shalat berjamaah tiap jum’at, dan merayakan beberapa hari raya Islam. Mereka tidak mengenal kitab suci al-Qur’an, menjadi wajar sekiranya pemeluk Islam Tua tinggal di Bukit Lenganeng ini berbeda dengan praktek Islam di Kampung Tidore, di Lembah Teluk Tahuna.

40 Alfian Malukow, Kebudayaan Sangihe (Lenganeng: ttp, 2009), p. 11-12 41 Alex John Ulaen, Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), p. 6-7 42 A. B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1992), p. 4 43 Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, p. 19-20 44 Susanto Zuhdi, Budaya Maritim, Kearifan Lokal, dan Diaspora Buton”, https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/0609082010_18.pdf, p. 117 45 Alfian Malukow, Kebudayaan Sangihe (Lenganeng: ttp, 2009), p. 11-12 46 Wakhid Sugiharto, “Dinamika Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Masade di Langeneng di Tabukan Utara, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara”, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. X, No. 3 (Juli-September 2011) 47 Don Javirius Walandungo, “Islam Tua Terpasung dan Merana: Pendekatan Sosiologis Historis terhadap Sebuah Kehidupan Keagamaan di Kepulauan Sangihe”, thesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, (2002)

Page 14: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

14

Yamin menulis Pulau Sangihe sebagai daerah kekuasaan Kesultanan Ternate sampai 1677 sebelum diserahkan ke VOC48. Di samping meruntuhkan kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal ini, pengaruh VOC dan berbagai pedagang internasional lain membuat penduduk pulau ini menganut Katolik dan Kristen Protestan.

Mata pencaharian Kampung Tidore – Kelapa, Pala, dan Cengkeh, Nelayan, mengapa orang-orang Tidore tinggal di Sangihe49, antara lain, karena selaras dengan sikap Raja Manganitu, Bataha Santiago (memerintah 1670-1675), yang anti Belanda. Pada 1675 Raja Bataha Santiago tewas ditiang gantungan di Tanjung Tahuna. Pada nisan Bataha Santiago disematkan kata-kata semboyannya: “Biar Saya Mati Digantung, Tidak Mau Tunduk kepada Belanda”.

Masuknya agama-gama Islam, Katolik, dan Kristen ke wilayah yang disebut sebagai Nusa Utara ini, pertama-tama dipeluk para raja dan keluarganya. Rakyat mengikuti, dan tidak berarti mereka segera meninggalkan praktek-praktek animism. Di samping agama memandu praktek ibadah sehari-hari, menjalin ikatan perkawinan, juga pemberian nama untuk identitas mereka. Penduduk Sangihe tetap memilih nama etnis menurut nenek moyang keluarga mereka seperti Makaampo, Medellu, Lokongbanua, Winsulangi, Pisimbulaen, Sangiangkila, Sompongsehiwu, dll. Masing-masing nama memiliki nama tertentu, Antenusa berarti “menghubungkan dua pulau”, Angkubunusa untuk anak lelaki dengan harapan kelak menjadi pemimpin. Tradisi Islam memperkenalkan Syah Alam untuk Raja Kandahe, Syarief Maulana, dll., karena berasal dari Timur Tengah. Tradisi Katolik memperkenalkan nama Franciscus Xaverius, Don Jeronimo, Don Charles, Dona Anastasia, Santiago, dll., karena dibawa oleh Portugis dan Spanyol. Sementara tradisi Kristen memperkenalkan nama seperti Jacobus Markus, Johan, Matias, Maria, dll. Tradisi yang diperkenalkan oleh masing-masing agama besar tersebut adalah penggunaan kalender, masamper (bernyanyi, berkidung), dan lembaga pendidikan50.

Masuknya agama-agama ke Nusantara di bawa oleh para pedagang dan Negara-negara Eropa dan Asia, namun agama-agama berkembang tidak selalu searah dengan naik-turunnya kekuatan mereka di Nusantara. Misi utama negara-negara Eropa – dan Asia – ke Nusantara dan persaingan mereka di wilayah ini bukanlah persaingan agama, namun memperebutkan rempah-rempah yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kerap sekali penginjil, misionaris dan xavier, memiliki perhatian sendiri yang berbeda pemikiran dengan negara-negara kolonial itu. Digunakannya ide-ide crusade atau Perang Salib – membawa angkatan perang melawan pihak yang dianggap infidel (kafir) ke markas musuh dan mengepung Islam – menjadi kekuatan pendorong ekspansi Portugis masih diperdebatkan51.

48 Muhamad Yamin, Atlas Sejarah (Jakarta: Djambatan, 1956) 49 Sangihe kerap disebut Sangir terdiri dari dua kata Sang dan Ihe atau Sang dan Ira yang berartti Sang Air. Lihat, Maria E. Tangkilisan, Budaya Masyarakat Suku Bangsa Sangihe – Talaud Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud (Manado: Balai Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Utara, 2001), p. 1 50 Ulaen, Nusa Utara, p. 92-118 51 M. A. P Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa-Asia di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630 (Depok: Komunitas Bambu, 2016), p. 116-118

Page 15: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

15

Negeri Maritim, Berkebudayaan Laut Paeni dkk.52, menyebut bahwa kebudayaan Sulawesi pada abad ke-16 dan ke-17

adalah kota pantai. Maka, kerajaan-kerajaan yang muncul di wilayah itu, meskipun berada di daratan, namun berbasis maritim. Berhadapan langsung dengan pantai, seperti mengambil manfaat dari lalu lintas perdagangan yang bertumpu pada laut. Pola ekonomi dan kehidupan sosial-politiknya tergantung pada lalu lintas dagang ini, sehingga, besar dan kuat sebuah kerajaan akan ditentukan oleh seberapa besar kerajaan itu memanfaatkan jalur dagang lokal dan internasional dari dan ke wilayah perairannya. Struktur kerajaan berkembang yang fungsinya, antara lain, adalah mengakomodasi laut.

Paeni menulis: “Pada kerajaan-kerajaan yang memiliki wilayah perairan seperti Kerajaan-kerajaan di Sangihe-Talaud (Kerajaan Tabukan, Kandahe, Tahuna, Siau, dan Tagulandang) memiliki jabatan kapitan laut. Jabatan ini pada wilayah itu bukan hanya menunjuk pada kedudukannya sebagai raja laut, orang yang memiliki kekuasaan dalam kegiatan armada di laut tetapi juga mengurus masalah ketertiban dan kepolisian. Dan kadang merujuk pula kegiatan sebagai bajak laut. Pada umumnya, seluruh jabatan ini diembankan kepada salah seorang kerabat raja”53.

Tradisi lisan dan kelembagaan di Nusantara juga meneguhkan adanya tradisi pantai. Kelembagaan lokal muncul di berbagai tempat. Seperti Panglima Laot di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), awig awig di Nusa Tenggara Barat (NTB), rompong di Sulawesi Selatan, Sasi di Maluku dan Maluku Utara, pele karang di Papua. Di Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, tradisi ini dikenal dengan malombo54. Wahyono menyebut, malombo adalah tradisi dalam menangkap ikan tude (selar) dilakukan secara massal dengan alat tangkap jala. Hari apa yang dipilih melakukan malombo bisanya tiga kali dalam satu minggu secara berselang-seling pada saat musim ikan tude - yang umumnya antara Juni-Agustus tiap tahunnya. Pelaksanaan malombo lazimnya diawali dengan katebile, yaitu memancing ikan tude dengan umpan ikan udang di perairan antara manoru (laut dalam) dan nyare (laut dangkal), dengan maksud merangsang ikan tude masuk ke wilayah nyare sehingga mudah ditangkap secara masal. Mereka yang menangkap ikan tude, bukan hanya masyarakat setempat, tetapi juga masyarakat luar pulau tersebut. Meskipun terdapat hak individu menangkap ikan tude, namun pemegang otoritas tradisi malombo adalah para tonaas – pemimpin tradisional ritual malombo55.

Tak jauh dari kepulauan Sangihe Talaud, desa-desa pesisir di daerah Maluku dan Maluku Utara yang memiliki daerah laut yang memiliki daerah petuaan desa, terdapat tradisi sisi. Dalam tata kelola petuaan desa laut, laut dikuasai dan dikelola

52 Mukhlis Paeni, Edward Poelinggomang, Abdul Madjid Kallo, Bambang Sulistyo, Anwar Thosibo, Andi Maryam, Sejarah Kebudayaan Sulawesi (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), p. 40-67 53 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 54 54 Hidayat, “Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Nelayan”, Jurnal Sejarah Citra Lekra, Vol. XVII, No. 1 (Februari 2013) 55 Ary Wahyono, dkk., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000). p. 44

Page 16: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

16

oleh pemerintahan desa, tidak seperti darat yang dapat dikuasai oleh individu. Meski dikuasai desa, dan menjadi hak ulayat laut bagi desa, ia untuk kemakmuran bagi rakyatnya. Luas laut dibagi secara imajiner, terutama antara laut putih (laut dangkal) dan laut biru (laut dalam) sebagaimana daratan ada batas luasnya. Melalui penguasaan laut oleh desa petuaan inilah diberlakukan sasi, yakni, larangan untuk mengeksploitasi wilayah laut tertentu, hingga petuaan desa memerintahkan adanya “buka sasi”. Tujuan sesi adalah menjaga keseimbangan antara manusia, alam (laut dan darat) dengan dunia spiritual56.

Dalam reglement sesi Negeri Paperu 191357 disebutkan: “sesi itoe satoe larangan jang diperountoekkan dengan daoen-daoen kelapa moeda dan jang ditaroeh pada watas-watas tanah dan djoega pada permoelaan djalan-djalan dari negeri ke doesoen-doesoen”. Maksud dan tujuan peraturan sesi adalah: Pertama: “soepaja tanah dan laout bahagian jang termasoek kepada kepoenjaan negeri terpelihara dan itoe diempoenyakan pendoedoek negeri”. Kedua, “soepaja hal bertanam-tanaman dipertambahkan dan hal nyamannja didjagalah”. Hanya, dan ini catatan, semua tradisi maritime pada desa-desa pesisir di

sepanjang namun komoditi yang senantiasa menjadi primadona adalah produk hasil bumi darat: rempah rempah, pala, lada, kopra, beras, cengkeh, dll., di samping hasil tambang seperti emas, perak, intan, minyak, batu bara, dll., oleh karena itu belum tumbuh tradisi maritime dengan produk laut, seperti pengolahan ikan laut. Infrastruktur ekonomi laut sangat tertinggal dan gaya hidup berbasis laut juga belum tumbuh. De-Kristenisasi

Sejak tahun-tahun pertama kawasan Minahasa jatuh dibawah kontrol VOC, penguasa saat itu mulai sangat serius membenahi kerja kaum misionaris. Kerja-kerja kaum misionaris telah membuat penguasa kolonial putus asa mengatasi wilayah di mana Islam telah mendominasi itu. Belanda menempuh seperti kebijakan Inggris di India, Belanda yang secara resmi cenderung melihat misionaris Kristen sebagai orang yang suka mencampuri urusan orang lain di mana dakwah yang dijalankannya dapat memicu permusuhan antara penduduk lokal. Namun akan lain seperti Minahasa di mana penduduknya dianggap masih menganut agama asli dan belum beradab, sementara penduduk yang telah memeluk agama Kristen pada zaman itu justru bersyukur dengan kebijakan yang dirancang oleh penguasa kolonial. Misionaris Kristen Protestan diberi banyak kelonggaran. Oleh karena itu, pada pertengahan abad ke-19, lebih separuh penduduk Minahasa telah dibaptis. Tidak ada satupun penduduk pada wilayah lain di Nusantara yang memiliki kedekatan hubungan dengan bangsa-bangsa Eropa58.

56 Wahyono, dkk., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, p. 46-47 57 Dikutip dari Wahyono, dkk., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, p. 48 58 Hannigan, A Brief History of Indonesia, p. 149

Page 17: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

17

Pada abad ke-18, penganut agama Kristen di Sulawesi Utara berkembang pesat. Pada 1705 penganut agama Kristen berkembang pesat di Manado, Bolaang Itam, Kaidipan, Buol, Attingola, Siau, Sangir Talaud, dan Minahasa. Statistik penduduk pada 1771, pemeluk Kristen di Manado berjumlah 500 orang, di Siau mencapai 3.300 orang. Jumlah tertinggi adalah di Minahasa dan Sangir Talaud yang mencapai angka 12.396 orang. Pada abad ke-19, pemeluk Kristen di wilayah ini terlantar, antara lain, karena mereka tidak lagi mendapatkan bimbingan dari para pendeta yang digaji oleh pemerintah kolonial. Orang-orang Kristen di wilayah ini dibimbing oleh para zending dan pendeta masuk anggota Nederlandsh Zendeling Genootschap (NZG) yang didirikan pada 1797. Para zending dan pendeta datang dalam perintah London Missionary Society (LMS). Mengikuti jejak LMS, NZG cenderung merangkum aliran ajaran agama dan cenderung bertujuan mengeleminasi perbedaan antar agama yang menyebabkan perang antar pemeluk agama59.

Peran dan aktivitas zending banyak yang ditentukan oleh dukungan dan campur tangan pemerintah kolonial. Berdasarkan keputusan Raja Belanda pada 5 September 1815, lembaga gereja di bawah Departemen van Koophandel en Kolonial (Kementerian Negara Koloni). Departemen ini menunjuk komisi yang disebut Maagsche Commisie sebagai badan penasehat menteri jajahan yang bertugas menguji dan melantik calon-calon pendeta yang diangkat raja dan dipekerjakan pada gereja60. Hingga pada 1935, komisi ini dijadikan perwakilan De Protestantcshe Kerk in Nederlandsch-Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda) atau GPI. Seluruh aktivitas gereja, secara finansial dan administratif tergantung pada pemerintah. Seluruh pendeta diberi tugas oleh Gubernur Jenderal. Tugas gereja hanya memelihara kepentingan agama Kristen, menambah pengetahuan agama dan menyuburkan cinta kasih kepada pemerintah dan tanah air61. Cengkeraman pemerintah terhadap gereja ini kemudian dikritik sebagai kebijakan yang berlawanan dengan semangat Revolusi Perancis yang memisahkan negara dan agama.

Joseph Kam yang membangkitkan spirit Kristiani, dikenal sebagai Rasul Maluku62, pada 1817 datang ke Minahasa untuk melakukan pembinaan jemaat. Pada 1822 NZG mengutur penyiar injili ke Minahasa, dan atas usaha pemerintah kolonial Belanda, dikirim Melledoorn yang menjabat pendeta pada 1827-1839. Penduduk Tondano dari Jawa dan Islam yang selalu memberontak melawan pemerintah kolonial Belanda dapat menjadi pemeluk Kristen, dan bahkan pada 1826 telah didirikan sekolah Kristen di daerah ini. Kam menempuh jalan yang berbeda dari para missionaris Portugis yang melakukan pembabtisan massal, dia hanya membaptis mereka-mereka yang telah memiliki iman Kristen. Namun data menyebutkan bahwa pada abad ke-19, umat Kristiani berkembang pesat di Sulawesi Utara. Pada 1850, terdapat 70% dari jumlah penduduk di Tondano telah di baptis. Di Minahasa, pada 59 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 100 60 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 100 61 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 101 62 Tentang tokoh ini, baca Susan Nivens, Joseph Kam: Moravian Heart in Reformed Clothing”, http://www.wheaton.edu/~/media/Files/Graduate-School/Degrees/Intercultural-Studies/Gallagher-homepage/Articles/Student%20Additions%2012_2014/Joseph%20Kam_Moravian%20Heart%20in%20Reformed%20Clothing.pdf

Page 18: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

18

1880 terdapat 80.000 pemeluk Kristen, sementara sisanya berjumlah 17.000 menganut kepercayaan tradisional63.

Meskipun Islam dan Kristen berhimpitan dan berebut pengaruh, juga berbeda pilihan dalam menjalin aliansi, Manuhutu menulis bahwa di dalam kebudayaan Minahasa terdapat unsur-unsur yang harmonis dan mendamaikan64. Para zending Kristen Protestan pada zaman Belanda yang bekerja di Minahasa dan di pulau-pulau Sulwesi Utara, termasuk di Pulau Sangihe dan Talaud, dilanjutkan oleh berbagai macam sinode seperti

Munculnya sinode GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) sejak 193465, GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud) sejak 1947, GMIBM (Gereja Masehi di Bolaang Mongondow) sejak 1950, dan sinode gereja di Sulawesi Utara yang menurut data Kanwil Kementerian Agama Propinsi Sulawesi Utara pada 2010-2015 berjumlah 68 badan pekerja (denominasi gereja), yang merupakan bagian dari GPI (Gereja Protestan Indonesia) keseluruhannya merupakan aliran Kristen yang moderat, berbeda dengan aliran Kristen yang radikal lain. Kesimpulan

Tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi maritime dan laut melekat pada sejarah terbentuknya bangsa-bangsa di Nusantara dan melalui laut, nusantara dihubungkan. Melalui laut dan air terkonsolidasi kekuasaan berbasis laut dan kekuasaan berbasis darat juga memanfaatkan jaringan antar daerah dan antar negara juga melalui laut.

Laut masih menjadi harapan bagi masa depan, tidak saja pada konteks dinamika budaya dan agama, tetapi juga hubungan ekonomi, perdagangan dan politik.

Dalam konteks dinamika antar daerah, yang menyisakan kita ke depan adalah bagaimana memanfaatkan laut, tidak saja sebagai jalur transportasi tetapi juga sebagai masa depan ekonomi. Selama ini manusia, dan juga di Indonesia terlalu fokus ke isu daratan. Kita gemar

63 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 102 64 E Manuhutu, “Timbulnya Kombinasi Yang Harmonis Antara Unsur-Unsur Kebudayaan Minahasa dan Jawa sejak Abad XV”, Yapenra, Nomor II Tahun III (Februari 1976) 65 Lintong DM, Sejarah GMIM: Apakah Engkau Mengasihi Aku? (Tomohon: BPS GMIM, 2004)

Page 19: KAMPUNG TIDORE DI KEPULAUAN SANGIHE DAN PULAU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41705/1/Achmad...Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan

19

mengeksploitasi daratan untuk mengeruk hasil bumi dan hasil tambang. Laut kemudian tertinggal, tidak diperhatikan dan dirawat dengan baik. Konsentrasi ke darat ini membuat bukan saja laut yang tidak dikelola dengan baik tetapi juga kita mengabaikan para pelaut, budaya laut dan transportasi laut.

Seiring dengan upaya negara untuk membangun tol laut, dan kemudian hendak membuat Indonesia menjadi poros maritime dunia, maka laut adalah alternatifnya. Gambar di atas menunjukkan kepada kita, bahwa masih banyak yang harus dilakukan, untuk membuat Indonesia menjadi poros maritim dunia itu.