isi journal (bab i, ii, iii, iv, v) doc

69
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologis jinak yang didefinisikan sebagai keberadaan kelenjar dan stroma endometrium di luar lokasi normal. Endometriosis lebih banyak ditemukan di cavum peritonei, tetapi dapat pula ditemukan di ovarium, septum rectovagina, ureter, dan meski jarang, dapat pula ditemukan pada vesica urinaria, pericardium, dan pleura (Comiter, 2002; Giudice, 2004). Endometriosis sangat dipengaruhi oleh hormon sehingga penyakit ini banyak ditemukan pada wanita usia reproduktif. Insidensi endometriosis sulit untuk diidentifikasi karena pada beberapa wanita, penyakit ini sering timbul tanpa disertai gejala khasnya (asimptomatik) dan beberapa pemeriksaan penunjang memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendiagnosis penyakit ini. Wanita dengan endometriosis dapat bersifat asimptomatis, subfertil, dan mengalami nyeri pelvis rekuren dengan derajat yang bervariasi. Diagnosis gold stdanart pada

Upload: ade-siti-rahmawati

Post on 03-Jan-2016

146 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologis jinak yang

didefinisikan sebagai keberadaan kelenjar dan stroma endometrium di luar

lokasi normal. Endometriosis lebih banyak ditemukan di cavum peritonei,

tetapi dapat pula ditemukan di ovarium, septum rectovagina, ureter, dan meski

jarang, dapat pula ditemukan pada vesica urinaria, pericardium, dan pleura

(Comiter, 2002; Giudice, 2004).

Endometriosis sangat dipengaruhi oleh hormon sehingga penyakit ini

banyak ditemukan pada wanita usia reproduktif. Insidensi endometriosis sulit

untuk diidentifikasi karena pada beberapa wanita, penyakit ini sering timbul

tanpa disertai gejala khasnya (asimptomatik) dan beberapa pemeriksaan

penunjang memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendiagnosis penyakit ini.

Wanita dengan endometriosis dapat bersifat asimptomatis, subfertil, dan

mengalami nyeri pelvis rekuren dengan derajat yang bervariasi. Diagnosis

gold stdanart pada endometriosis adalah laparoskopi dengan atau tanpa biopsi

untuk diagnosis histologis (Kennedy, 2005; Marchino, 2005). Berdasarkan

stdanar tersebut, beberapa studi melaporkan insidensi tahunan untuk

endometriosis yang didiagnosis secara operatif, yaitu 1.6 kasus per 1000

wanita dalam rentang usia 15-49 tahun. Pada wanita yang asimptomatik,

prevalensi endometriosis berada dalam rentang 2% hingga 22% populasi

(Eskenazi, 1997; Moen, 1997).

Namun, berdasarkan gejala khas endometriosis berupa infertilitas dan

nyeri pelvis, endometriosis lebih umum diderita pada subpopulasi wanita

dengan keluhan tersebut. Pada wanita infertil, prevalensi yang dilaporkan

berada pada kisaran 20% hingga 50%, sedangkan pada wanita dengan nyeri

pelvis, 40% hingga 50 % (Eskenazi, 2001).

Page 2: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

2

Tingginya angka kejadian endometriosis serta kaitannya dengan kualitas

hidup, menekankan pentingnya pemahaman mengenai patogenesis dan

patofisiologi endometriosis. Pemahaman tersebut akan berguna untuk

tatalaksana endometriosis, meliputi pencegahan, diagnosis, hingga terapi

(Burney dan Giudice, 2012).

B. Tujuan

Mengetahui perkembangan terbaru mengenai patogenesis dan patofisiologi

endometriosis.

Page 3: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Endometriosis

Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologis jinak yang

didefinisikan sebagai keberadaan kelenjar dan stroma endometrium di luar

cavum uteri. Endometriosis lebih banyak ditemukan pada permukaan

visceral dan peritoneal pelvis, ovarium, septum rektovagina, ureter, dan

meski jarang, dapat pula ditemukan pada vesica urinaria, perikardium,

pleura, dan otak (Comiter, 2002; Giudice, 2004).

B. Etiologi

Etiologi dari endometriosis hingga saat ini belum diketahui. Namun

beberapa proses yang terjadi dalam tubuh telah diteliti berperan dalam

terjadinya endometriosis. Proses tersebut antara lain regurgitasi menstruasi

sehingga jaringan dan sel refluks dari endomerium, sumsum tulang

(jaringan mesenkim, sel-sel induk hematopoietik, prekursor endotel),

penyebaran secara hematogen dan limfogen, lingkungan, peradangan,

genetika, mullerian rests, tipe sel mesotelium yang lain, dan disfungsi

ovarium (Husein, 2009; Burney dan Giudice, 2012; Rajendran et al.,

2012).

C. Faktor Risiko Endometriosis

Beberapa faktor risiko endometriosis antara lain:

1. Familial herediter

Hal ini ditunjukkan dengan presentasi tinggi wanita dengan

endometriosis yang memiliki ibu dan saudara perempuan dengan

gejala yang sama. Beberapa penelitian juga menunjukkan keberadaaan

endometriosis pada kembar monozigot yang menguatkan basis familial

pada endometriosis (Hadfield, 1997)

Page 4: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

4

2. Mutasi genetik

Studi yang dilakukan pada pasien-pasien endometriosis

menemukan adanya kelainan pada kromosom 10q26 serta kromosom

20p13. Dua gen dalam lokus ini telah teridentifikasi. Salah satunya,

EMX2 yang merupakan faktor transkripsi yang penting dalam

perkembangan traktus reproduksi (Treloar, 2005). Penelitian tersebut

menunjukkan adanya penyimpangan ekspresi gen EMX2 pada

endometrium pada wanita dengan endometriosis (Daftary, 2004). Gen

lainnya adalah PTEN, sebuah tumor supresor gen yang terlibat dalam

transformasi maligna endometriosis yang terletak di ovarium

(Bischoff, 2000).

Para peneliti menemukan bahwa beberapa gen memiliki perubahan

fungsi regulasi dalam endometrium pada wanita dengan

endometriosis. Gen tersebut antara lain termasuk gen yang memberi

kode untuk IL-15, glikodelin, Dickkopf-1, semaphoring E, aromatase,

reseptor progesteron dan berbagai faktor angiogenik. Walaupun

beberapa dari gen tersebut telah terbukti memiliki peran dalam

endometriosis, beberapa gen yang lain belum memiliki dampak positif

pada pasien dengan endometriosis dan peran mereka masih perlu

diteliti lebih lanjut (Kao, 2003).

3. Defek anatomis

Obstruksi aliran traktus reproduksi dapat menjadi faktor

predisposisi pembentukan endometriosis berdasar pada teori

menstruasi retrograde. Sesuai dengan hal tersebut endometriosis telah

diidentifikasi pada pasien dengan himen imperforata dan septum

transversal vagina (Breech, 1999).

4. Toksin lingkungan

Terdapat banyak penelitian yang menyatakan bahwa paparan

toksin lingkungan memiliki peran dalam perkembangan

endometriosis. Toksin yang paling mungkin terlibat adalah 2, 3, 7, 8 -

Page 5: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

5

tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) dan komponen lain yang serupa

dengan dioxin (Rier, 2003).

Dalam proses binding, TCDD akan mengaktivasi reseptor aryl

hydrocarbon. Reseptor ini berfungsi sebagai dasar faktor transkripsi

dan mirip dengan protein reseptor hormon steroid, berperan penting

dalam menginduksi transkripsi berbagai macam gen lain. Sehingga

TCDD dan komponen lain yang serupa dengan dioxin dapat

menstimulasi endometriosis melalui peningkatan level interleukin,

aktivasi enzim sitokrom p-450 seperti aromatase dan perubahan

remodeling jaringan. Lebih dari itu, TCDD bersama dengan estrogen

akan menstimulasi pembentukan jaringan endometriosis dan TCDD

akan menghambat fungsi progesteron dalam meregresi endometrium

(Rier, 2003).

D. Epidemiologi

Endometriosis sering ditemukan pada wanita remaja dan usia

reproduksi dari seluruh etnis dan kelompok masyarakat, walaupun tidak

tertutup kemungkinan ditemukannya kasus pada wanita perimenopause,

menopause dan pascamenopause. Insidensi endometriosis di Amerika 6-

10 % dari wanita usia reproduksi (Leyldan et al., 2010). Di Indonesia

sendiri, insidensi pasti dari endometriosis belum diketahui, namun dalam

30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka

kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di antara semua operasi pelvik

(Husein, 2009).

Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, dan lebih

sering didapatkan pada wanita dari golongan sosio-ekonomi yang kuat.

Yang menarik perhatian adalah endometriosis lebih sering ditemukan pada

wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan tidak mempunyai banyak

anak. Rupanya fungsi ovarium secara siklik yang terus menerus tanpa

diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya

Page 6: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

6

endometriosis (Wiknojosastro, 2007). Endometriosis merupakan penyebab

utama infertilitas, prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika wanita

dengan endometriosis sebesar 25-40% mengalami infertilitas (Ozkan et

al., 2008). Selain itu perempuan dengan endometriosis memiliki

pengingkatan risiko berbagai jenis keganasan, terutama kanker ovarium

dan non-Hodgkin limfoma (Baldi et al., 2008).

E. Penegakan Diagnosis Endometriosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti, nyeri pada

bagian pelvis. Nyeri ini dapat berupa nyeri siklik pada waktu-waktu

tertentu menjelang dan saat menstruasi, atau nyeri kronik. Keluhan

lain yang dapat muncul adalah dismenore, dispareuni, dysuria, nyeri

saat defekasi, dan infertilitas (Giudice dan Kao, 2004).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menentukan diagnosis

dan penatalaksanaan yang tepat. Pemeriksaan fisik meliputi

pemeriksaan posisi, ukuran, dan mobilitas uterus. Uterus yang

terfiksasi dan retroversi uterus dapat menunjukkan adanya

perlengketan yang berat pada endometriosis. Pemeriksaan rektovaginal

diperlukan untuk palpasi ligamentum sakrouterina dan septum

rektovagina. Dari pemeriksaan tersebut bisa didapatkan nyeri pada

nodul yang menunjukkan dalamnya infiltrasi endometriosis. Massa

pada adneksa dapat dicurigai sebagai endometriosis pada ovarium

(Leyldan, Casper, Laberge, et al., 2010).

a) Inspeksi visual

Pada inspeksi biasanya tidak ditemukan kelainan. Namun,

terdapat beberapa kasus di mana endometriosis ditemukan berada

dalam luka bekas episiotomi atau luka bekas operasi terutama

operasi dengan insisi Pfannenstiel. Sehingga endometriosis bisa

Page 7: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

7

saja ditemukan pada perineum atau peritoneum, walaupun kasus

tersebut jarang ditemukan (Watanabe, 2003).

b) Pemeriksaan inspekulo

Pemeriksaan vagina dan serviks dengan speculum sering kali

tidak ditemukan tdana-tdana endometriosis. Namun, terkadang lesi

kebiru-biruan dapat tampak pada serviks atau forniks anterior

vagina. Lesi tersebut dapat nyeri saat ditekan maupun mudah

berdarah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan

inspekulo akan mendapatkan 14% pasien yang didiagnosis

memiliki endometriosis dengan infiltrasi yang dalam (Chapron,

2002).

c) Palpasi bimanual

Palpasi organ pelvis sering kali menemukan adanya

abnormalitas anatomis yang menunjukkan tdana endometriosis.

Nodul pada ligamentum sacrouterina dan nyeri tekan dapat

menunjukkan penyakit aktif atau terdapat skar pada ligamen.

Selain itu, perbesaran masa kistik pada adneksa dapat

menunjukkan endometrioma, yang bersifat mobile atau melekat

pada struktur pelvis yang lain. Palpasi bimanual dapat mengetahui

kondisi uterus seperti uterus retroversi, terfiksir, atau nyeri tekan

uterus, serta terfiksir tidaknya posterior cul-de-sac.

d) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menyingkirkan

penyebab lain dari nyeri pelvis. Pemeriksaan darah lengkap,

urinalisis, kultur urin, kultur lendir vagina, serta swab serviks bisa

saja dibutuhkan untuk menyingkirkan nyeri akibat infeksi atau

penyakit menular seksual. Selain itu, pemeriksaan USG, MRI,

serta laparoskopi juga dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis endometriosis.

Page 8: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

8

F. Tata Laksana

Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, pengawasan dan

pemberian analgetika, terapi hormonal dan pembedahan.

1. Pencegahan

Gejala-gejala endometriosis berkurang atau hilang pada waktu dan

sesusdah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang

endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda

terlalu lama, dan sesuadah perkawinan hendaknya diusahakan supaya

mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu

lama. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau

melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat menyebabkan

mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan rongga panggul

(Wiknojosastro, 2007).

2. Pengawasan dan Pemberian Analgetika

Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita dengan gejala

dan kelainan fisik yang ringan. Pengawasan ini dapat dilakukan hingga

menopause, karena setelah itu gejala-gejala endometriosis akan hilang

sendiri. Sikap yang sama dapat diambil pada wanita yang lebih muda,

yang tidak mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada

wanita yang ingin mempunyai anak, jika setelah ditunggu 1 tahun

tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap

infertilitas. Pada observasi seperti ini dilakukan secara periodic dan

teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu

mengubah sikap ekspektatif (Wiknojosastro, 2007). Dalam masa

observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa pemberian

analgetik untuk mengurangi rasa nyeri (Leyldan et al., 2010).

3. Terapi hormonal

Sebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa

pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan

endometrium yang normal dan dikontrol oleh hormon-hormon steroid.

Page 9: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

9

Hal ini didukung oleh data klinik mapupun data laboratorium. Data

klinik tersebut adalah :

a) Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menarche

b) Menopause, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya

menyebabkan kesembuhan

c) Sangat jarang terjadi kasus endometriosis baru setelah menopause,

kecuali jika ada pemberian estrogen eksogen.

Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis

pada umumnya mengdanung reseptor androgen, estrogen,

progesterone, dan androgen. Pada percobaan dengan model

endometriosis tikus dan kelinci, estrogen merangsang pertumbuhan

jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedangkan

pengaruh progesterone masih kontrovesial. Progesteron sendiri

mungkin merangsang pertumbuhan endometriosis, namun

progesterone sintetik yang umumnya mempunyai efek androgenik

tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis. (Wiknojosastro,

2007)

Atas dasar tersebut diatas, prinsip pertama pengobatan hormonal

endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah

estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi

jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik, mencegah terjadinya

haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan Endometrium yang

normal maupun jaringan endometriosis. Dengan demikian dapat

dihindari timbulnya sarang endometriosis yang abru karena transport

retrograde jaringan endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan

dan perdarahan jaringan endometriosis yang menimbulkan rasa nyeri

karena rangsangan peritoneum. Dalam decade terakhir ini dipakai

dekapeptid sintetik LHRH agonis yang mempunyai kekuatan 100-200

kali dari yang alami. Pemberian hormone tersebut secara berulang kali

dapat menimbulkan suatu keadaan hypogonadotrophic hypogonadism

Page 10: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

10

atau pseudomenopause yang diperkirakan akan mempengaruhi

penyakit yang tergantung pada estrogen seperti endometriosis

(Wiknojosastro, 2007).

Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormone tinggi

androgen atau tinggi progesteron (progesteron sintetik) yang secara

langsung dapat menyebabkan atrofi jaringan endometriosis.

Disamping itu, prinsip terapi tinggi androgen atau tinggi progesteron

juga menyebabkan keadaan rendah estrogen asiklik karena gangguan

pada pertumbuhan folikel. Prinsip beberapa cara pengobatan dapat

dilihat pada bagan berikut.

Tabel 2.1. Pengobatan Hormonal Pada Endometriosis.

Cara terapi Mekanisme kerja Efek samping

GnRH agonis ooferektomi Asklik

Estrogen rendah

Keluhan vasomotor

atrofi ciri seks

sekunder asteoporosis.

Danazol, Metiltestosteron Asiklik

Estrogen rendah

Peningkatan berat

badan, break-through

bleeding, akne,

hirsutisme, kulit

berminyak, perubahan

suara.

Medroksiprogesteron

asetat, Gestrinon

noretisteron

Asiklik estrogen

rendah bleeding

Peningkatan berat

badan, break-through

bleeding, depresi,

bloating.

Kontrasepsi oral non siklik Asiklik estrogen

sedang progesterone

tinggi

Mual, break-through

bleeding.

(Wiknojosastro, 2007; Ozkan et al., 2008; dan Husein, 2009).

Page 11: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

11

4. Pembedahan

Jaringan ovarium yang berfungsi merupakan syarat mutlak

tumbuhnya endometriosis. Oleh karena itu, pada waktu melakukan

pembedahan harus harus dapat menentukan apakah fungsi ovarium

harus dipertahankan pada endometriosis yang dini, pada endometriosis

yang tidak memberikan gejala, endometriosis padfa wanita muda, dan

wanita yang masih ingin memiliki anak. Sebaliknya fungsi ovarium

dihentikan apabila endometriosis sudah mengadakan penyerbuan yang

luas dalam pelvis, khusunya pada wanita yang berusia lebih lanjut.

Dalam praktek pada umumnya endometriosis berada diantara kedua

macam keadaan tersebut, sehingga sulit untuk mengambil keputusan.

Dengan bertambahnya pengetahuan tentang endometriosis, maka

didapatkan kecenderungan untuk bertindak secara konservatif.

Tindakan tersebut harus berdasarkan fakta-fakta sebagai berikut :

1. Endometriosis umumnya menjalar lambat dan memerlukan waktu

bertahun tahun

2. Endometriosis bukanlah penyakit keganasan, dan jarang sekali

yang menjadi ke keganasan

3. Endometriosis mengalami regresi pada waktu menopause.

Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif sarang-sarang

endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jaringan

ovarium yang sehat, dan perlekatan sedapat-dapatnya dilepaskan

(Wiknojosastro, 2007).

Pada kista coklat ovarium pada umumnya hendaknya jangan

seluruh ovarium diangkat, tetapi ditinggalkan bagian dari ovarium

yang kiranya masih sehat. Pada operasi konservatif, perlu pula

dilakukan suspense uterus, dan pengangkatan kelainan-kelainan

patologik pelvis. Pada endometriosis yang terdapat bersama-sama

dengan mioma uteri, kistoma ovarii, atau kelainan panggul lainnya,

terapi dilakukan untuk endometriosis dan untuk kelainan panggul

Page 12: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

12

yang lain tersebut. Lima belas persen dari penderita dengan

endometriosis menderita mioma uteri, tergantung dari berbagai faktor

harus dipilih antara pembedahan, endometriosis secara konservatif,

miomektomi, atau histerektomi (Wiknojosastro, 2007).

Hasil pembedahan untuk infertilitas sangat tergantung pada tingkat

endometriosis, maka pada penderita dengan penyakit yang berat

operasi untuk keperluan infertilitas tidak dianjurkan. Kistner

menganjurkan untuk mengerjakan neurektomi prasakral pada kasus-

kasus endometriosis apabila uterusnya tidak diangkat. Hal ini juga

perlu dikerjakan walaupun sebelumnya penderita tidak mengeluh

dismenorea, oleh karena gejala ini sering timbul kemudian setelah

operasi. Kistner juga menganjurkan untuk melakukan apendektomi

oleh karena tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada

serosa apendiks. Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan

dua pendekatan, yaitu: laparotomi atau laparoskopi aktif

(Wiknojosastro, 2007).

Laparoskopi aktif mempunyai beberapa keuntungan jika

dibandingkan dengan laparotomi. Pertama, lama tinggal di rumah sakit

lebih pendek. Rata-rata lama tinggal di rumah sakit setelah laparoskopi

oepratif adalah 0,5-2 hari dibandingkan dengan laparotomi dengan

waktu tinggal di rumah sakit adalah 5-6 hari. Kedua, kembalinya

aktivitas kerja lebih cepat. Normalnya penderita dapat kembali

sepenuhnya 7-10 hari setelah laparoskopi operatif dibangikan dengan

setelah laparotomi adalah 4-6 minggu. Ketiga, biaya perawatan

menurun 48%. Apakah laparoskopi operatif dapat mengurangi

timbulnya perlekatan pasca bedah masih harus dibuktikan. Pada

umumnya, perlekatan baru terjadi pada separuh dari penderita yang

menjalani laparotomi. Menurut penelitian Dunn, setelah laparoskopi

operatif terjadi perlekatan baru (de novo), sekitar 23% dan terjadi

perlekatan kembali (reformasi) sekitar 56%. Disimpulkan bahwa

Page 13: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

13

perlekatan sering terjadi baik setelah laparoskopi operatif maupun

laparotomi, tetapi luas dan derajat perlekatan setelah laparoskopi

operatif lebih sedikit (Wiknojosastro, 2007 dan Ozkan et al., 2008).

Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis

yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita

penyakit yang luas dan disertai dengan banyak keluhan. Operasi yang

paling radikal ialah histerektomi total, salpingo-ooferektomi bilateral,

dan pengangkatan semua sarang-sarang endometriosis yang

ditemukan. Akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun dapat

dipertimbangkan untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium

yang sehat. Hal ini mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul gejala

pramenopause dan menopause serta mengurangi kecepatan timbulnya

osteoporosis (Wiknojosastro, 2007).

G. Komplikasi Endometriosis

Semakin lama seseorang menderita endometriosis, dapat muncul

beberapa komplikasi, antara lain, infertilitas, adhesi/perlekatan, dan

endometrioma. Infertilitas tidak selalu ditemukan pada penderita

endometriosis. Tujuh puluh persen wanita dengan endometriosis masih

dapat hamil. Infertilitas dapat terjadi karena adanya perlekatan yang

disebabkan oleh lesi endometriosis, kegagalan transfer oosit dan

perjalanannya sepanjang tuba fallopii. Selain kegagalan mekanis saat

proses ovulasi dan fertilisasi, defek fungsi imun dalam proses implantasi

dan gangguan proses fisiologis ovarium juga turut menyebabkan

infertilitas pada wanita dengan endometriosis (Giudice dan Kao, 2004).

Endometriosis menyebabkan perlekatan pada lokasi implantasi lesi.

Implantasi pada usus atau ureter dapat menyebabkan obstruksi dan

gangguan fungsi ginjal. Pada endometriosis berat dapat timbul

endometrioma/kista coklat. Hal ini mendanakan lesi endometrium sudah

menginvasi ovarium. Endometrioma dapat menyebabkan torsio ovarii atau

Page 14: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

14

dapat ruptur dan isi kista tersebut dapat mengiritasi cavum peritoneum

sehingga menyebabkan peritonitis.

Gambar 2.1. Endometrioma yang ruptur dan dapat menyebabkan perlengketan pada jaringan sekitar (http://en.wikipedia.org/wiki/Endometriosis_of_ovary, 2012).

Page 15: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

15

BAB III

PEMBAHASAN

Untuk dapat memahami patogenesis dan patofisiologi endometriosis,

terdapat beberapa urutan mekanisme yang dapat menggambarkan

perjalanan penyakit ini. Berikut ini beberapa mekanisme yang

mempengaruhi patogenesis dan patofisiologi endometriosis.

A. Histopatogenesis

Teori histopatogenesis telah dimunculkan dalam pembahasan

patogenesis endometriosis. Berikut ini beberapa teori histopatogenesis

yang dianggap berperan penting dalam proses penyakit endometriosis.

1) Kerentanan genetik dan agen stimulan internal

Faktor intrinsik yang dianggap sebagai dasar teori patogenesis

endometriosis adalah kerentanan genetik serta adanya elemen pemicu

dalam tubuh. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya studi yang

menunjukkan hubungan elemen tertentu dalam tubuh dengan kejadian

endometriosis. Elemen tersebut antara lain EDCs (Endocrine

Disrupting Chemicals), serta estrogen endogen/eksogen yang menjadi

stimulan potensial pada patogenesis endometriosis (Crain, Janssen,

Edward, et al., 2008; Bulun, 2009).

Aktivitas agen tersebut serta perannya dalam tubuh sebagai

stimulan kejadian endometriosis tidak terlepas dari pengaruh sistem

lain dalam tubuh, seperti sistem endokrin, sistem imun, stem sel, dan

modifikasi epigenetik. Keseluruhan hal tersebut bersama dengan

kerentanan genetik pada wanita berperan penting dalam kejadian

endometriosis (Bulun, 2009).

Aktivasi onkogen K-ras pada sel endometrium yang berada di

lokasi ektopik dapat memicu perkembangan sel tersebut menjadi kista

endometriosis. Sedangkan aktivasi K-ras pada sel lain tidak dapat

Page 16: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

16

membuat sel tersebut berdiferensiasi menjadi endometriosis (Burney

dan Giudice, 2012).

2) Metaplasia Coelomik

Teori lain berpendapat akan adanya asal endometriosis di luar

uterus/ nonuterine origin, yaitu adanya metaplasia coelomik yang

bertransformasi dari jaringan peritoneal normal menjadi jaringan

endometrium ektopik. Agen yang bertanggung-jawab terhadap

transformasi tersebut masih belum dapat dijelaskan, walaupun EDCs

mungkin saja berperan serta di dalamnya. Pendapat lain menyatakan

bahwa stimulus endogen yang berperan menginduksi metaplasia

coelomik dapat berupa faktor imunologis atau hormonal. Faktor

tersebut akan meningkatkan diferensiasi sel pada lapisan peritoneum

menjadi sel-sel endometrium (Giudice dan Kao, 2004; Burney dan

Giudice, 2012).

3) Mullerianosis

Teori sisa embrionik Mullerian (embryonic Mullerian rests) atau

mullerianosis menyatakan bahwa terdapat sel residu yang berasal dari

sel embrionik duktus Mullerian yang menetap dan memiliki kapasitas

untuk berkembang menjadi sel-sel endometrium di bawah pengaruh

estrogen saat pubertas atau hormon yang menyerupai estrogen

(estrogen mimetics). Teori ini menguatkan studi epidemiologi yang

melaporkan bahwa terjadi peningkatan risiko endometriosis pada

wanita yang terekspos dietilstilbestrol (Burney dan Giudice, 2012).

4) Diferensiasi stem sel ekstrauterin

Penelitian saat ini menunjukkan adanya fenomena baru dalam

patogenesis endometriosis. Penelitian tersebut menyatakan bahwa

stem sel ekstrauterin dapat berdiferensiasi menjadi jaringan

endometrium. Stem sel tersebut dapat berasal dari jaringan mesenkim

progenitor sumsum tulang dan progenitor endotel. Teori ini dapat

menjelaskan fenomena endometriosis pada pasien tanpa siklus

Page 17: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

17

menstuasi, seperti pada individu dengan sindrom Rokitansky-Kuster-

Hauser dan pada pria dengan kanker prostat yang menjalani terapi

estrogen dosis tinggi (Sasson dan Taylor, 2008).

5) Teori metastasis jinak

Endometriosis dapat terjadi pada daerah-daerah yang sangat jauh

dari endometrium, seperti pada paru, tulang, bahkan otak. Teori yang

dapat menjelaskan fenomena tersebut adalah teori metastasis jinak.

Metastasis sel endometrium melalui penyebaran limfatik dan

hematogen menuju organ-organ lain dalam tubuh dan mengalami

implantasi ektopik pada daerah tersebut. Teori tersebut diperkuat

dengan studi mikrovaskular yang menunjukkan adanya aliran limfatik

dari korpus uteri menuju ovarium. Dengan demikian, hal tersebut

dinyatakan sebagai salah satu etiologi endometriosis pada ovarium.

Endometriosis pada nodulus limfatikus tampak pada 6%-7% wanita

pada limfadenektomi (Burney dan Giudice, 2012).

6) Menstruasi retrograde

Teori yang cukup banyak diterima sebagai penyebab endometriosis

adalah teori Menstruasi retrograde. Berdasarkan teori tersebut,

eutropik endometrium meluruh melalui tuba fallopi menuju kavum

peritoneum saat menstruasi. Teori tersebut didukung oleh penemuan

darah menstruasi dalam kavum peritoneum pada 90% wanita dengan

tuba fallopi yang paten. Begitu pula penemuan prevalensi yang tinggi

pada wanita dengan gangguan aliran menstruasi akibat obstruksi

menguatkan teori tersebut. Menstruasi retrograde juga dapat dialami

oleh mereka dengan gangguan anatomis pada traktus reproduksi,

seperti uterus yang berseptum, uterus retroversi dan hymen

imperforata (Giudice dan Kao, 2004).

Walaupun teori menstruasi retrograde dapat menjelaskan peristiwa

berpindahnya sel eutropik endometrium ke lokasi-lokasi ektopik,

namun untuk dapat berkembang menjadi kista endometriosis, sel

Page 18: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

18

ektopik tersebut membutuhkan langkah lain selain proses

implantasinya pada lokasi ektopik. Sel-sel ektopik tersebut harus

mampu menghindar dari proses bersihan sistem imun (immune

clearance), melekat pada epitel jaringan tertentu, menginvasi epitel

hingga membangun neurovaskularisasi lokal untuk pertumbuhan dan

kelangsungan sel tersebut menjadi kista endometriosis. Hal ini

diperkuat pula oleh predisposisi genetik individu, ketergantungan

estrogen (estrogen dependence) dan inflamasi (Burney dan Giudice,

2012).

Gambar 3.1. Teori-teori yang berkaitan dengan patogenesis endometriosis (Burney dan Giudice, 2012)

B. Ketahanan Sel Endometrium

Bukti dari sel-sel endometrium sebagai faktor predisposisi terhadap

implantasi untuk kondisi bawaan atau diperoleh adalah menarik untuk di

bahas. Jaringan Endometrium eutopik pada wanita dengan endometriosis

terdapat lesi ektopik yang tidak teramati dalam endometrium dari wanita

sehat. Regulasi gen antiapoptotic BCL-2 telah ditunjukkan di kedua

Page 19: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

19

endometrium baik ektopik maupun eutopik pada penderita endometriosis.

Reseptor hormon steroid seks yaitu reseptor estrogen dan progesteron

memegang peranan utama pada pengaturan proses apoptosis

endometrium, yaitu ditdanai dengan terdapat perubahan bentuk dan

ukuran pada sel kelenjar dan stroma endometrium selama siklus

menstruasi. Proses apoptosis ini diatur melalui 2 jalur yaitu jalur ekstrinsik

(sitoplasma) melalui aktifitas Fas death receptor dengan mengaktivasi

interaksi Fas-Fas ligdan (FasL) dan jalur intrinsik (mitokondria) yang

memacu pelepasan sitokrom C yang tergantung pada pengaturan protein

Bcl-2 (B cell lymphoma) sebagai protein anti-apoptosis dan Bax sebagai

protein pro-apoptosis (Cahyanti, 2008).

Pada fase proliferasi endometrium tampak adanya ekspresi reseptor

estrogen dan protein Bcl-2 meningkat dan ekspresi reseptor ini menurun

saat fase sekresi dan menstruasi. Bila kondisi ini tidak diikuti adanya

peningkatan ekspresi reseptor progesteron untuk menangkap progesteron

dalam memacu desidualisasi stroma maka proliferasi endometrium

menjadi tidak terkendali oleh karena itu progesteron dikatakan sebagai

faktor pro-apoptosis yang ditdanai dengan adanya peningkatan ekspresi

protein Bax dan Fas-FasL sehingga mampu mengendalikan hiperstimulasi

estrogen terhadap proliferasi endometrium (Cahyanti, 2008). Berdasarkan

pernyataan tersebut, pada endometriosis terjadi penurunan apoptosis,

namun terjadi peningkatkan proliferasi sel endometrium (Burney dan

Giudice, 2012).

Perubahan materi genetik (mutasi) dari sel-sel endometrium yang

mempengaruhi kecenderungan sel sel tersebut untuk implan kemungkinan

bersifat herediter. Pada kerabat tingkat pertama risiko untuk terjadinya

endometriosis adalah 6 kali lebih tinggi. Studi pada anak kembar

monozigot menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi untuk terjadinya

endometriosis. Tes yang melibatkan lebih dari 1100 keluarga dengan dua

atau lebih anggota keluarga yang terkena endometriosis, menunjukkan

Page 20: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

20

terdapat kerentanan lokus pada kromosom 10q26 dan 7p15 (Burney dan

Giudice, 2012).

Perubahan genom yang terjadi menjadikan sel endometrium

berpotensi untuk berimplantasi keluar uterus. Endometrium mempunyai

pengaturan pergantian sel yang tidak menyerupai sel tubuh yang lain,

akibatnya menyebabkan kerentanan terjadinya perubahan atau

rekombinansi genetik. Terjadinya perubahan genomik pada endometrium

eutopik dipengaruhi oleh faktor epigenetik atau stres oksidatif. Pada kista

endometriosis soliter 56% diantaranya hilangnya heterozigositas

sedangkan 21% diantaranya merupakan akibat mutasi somatik dari gen

supresor tumor PTEN. Perubahan genomik dalam implantasi sel

endometrium telah dijelaskan dengan menggunakan teknik comparatif

genom hybridation (CGH) mikroarray (teknik untuk mendeteksi variasi

jumlah salinan genom pada tingkat resolusi yang lebih tinggi).

Menariknya, profil CGH berbeda tergantung lokasi anatomi dari implan

apakah di peritoneum atau ovarium (Burney dan Giudice, 2012).

Hormon steroid pada wanita mempunyai peranan

penting pada regulasi dan differensiasi endometrium.

Ketidakseimbangan antara kenaikan estrogen sebagai

stimulator proliferasi sel dan adanya defisiensi progesteron

yang mendiferensiasikan sel endometrium menyebabkan

proses apoptosis terganggu dan memacu proliferasi sel-sel

endometrium serta mempengaruhi peranan growth factor

untuk memacu aktivitas mitosis. Apabila kemudian terjadi

keseimbangan hormon steroid seks, maka aktivitas

proliferasi dari endometrium akan menurun dan akan

terjadi suatu regresi dari hiperplasia endometrium.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa estrogen

termasuk proses dan hasil metabolismenya merupakan

karsinogen pada jaringan renal, hepar, uterus dan kelenjar

Page 21: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

21

mammae. Mekanisme karsinogenesis yang disebabkan

estrogen dengan melalui proses metabolisme estrogen

menjadi genotoksik, metabolit mutagenik dan stimulasi

pertumbuhan jaringan yang menyebabkan proses inisiasi,

promosi dan progresi. Ada 2 jalur mekanisme dari

karsinogenesis estrogen yaitu jalur pertama melalui

peranan metabolism estradiol (E2) dan yang kedua melalui

reseptor estrogen E2 (Yager dan Davidson, 2006).

Gambar 3.2. Jalur terjadinya estrogen sebagai karsinogenesis. Dua jalur mekanisme karsinogenesis dari estrogedalam inisiasi, promosi atau progresi menjadi sel kanker. E1 estron, E2 estradiol, 2-OH-E1 2-hidroksiestron, 2-OH-E2 2 hidroksiestradiol, 4-

E2

Metabolisme E2 Reseptor Estrogen E2

Metabolit Oksidatif

16α-OH-E1 2-OH-E1, 2-OH-E24-OH-E1, dan 4-

OH-E2

Pengikatan Kovalen pada

Protein dan DNA

4-OH-E1 dan4-OH-E2 quinon

Penambahan quinon dan Kerusakan

oksidatif DNA

Genomik(Transkripsi)

Non Genomik(Second

messenger)

Mitokondria(Transkripsi)

Mengubah ekspresi gen

Meningkatkan proliferasi sel dan

apoptosis

Page 22: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

22

OH-E1 4-hidroksiestron, 4-OH-E2 4-hidroksiestradiol, dan 16α-OH-E1, 16α-hidroksiestron (Yager dan Davidson, 2006).

Pada mekanisme dari metabolisme E2 dengan melalui

jalur katekol, dimana prosesnya menggunakan enzim

sitokrom P-450 yang mengkatalisis metabolisme oxidatif

dari estron (E1) dan E2 menjadi 2-estrogen hidroksilkatekol

(sitokrom P-450 1A1, 1A2 dan 3A) atau 4-estrogen

hidroksilkatekol (sitokrom P-450 1B1). Estrogen 3,4-

quinone dapat membentuk formasi tidak stabil dengan

adenin dan guanin pada DNA yang, memacu depurinisasi

dan mutasi. Pengurangan estrogen quinone kembali

menjadi hidroquinone dan kotekol akan memacu terjadinya

suatu siklus redox yang menimbulkan kerusakan oksidatif

pada lemak dan DNA (Gambar 7) (Liehr, 2000 dan Cahyanti,

2008).

Page 23: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

23

Gambar 3.3. Metabolisme oksidatif estrogen melalui jalur katekol 31 E1 estron, E2 estradiol, COMT cathecol O-methyltransferase, P-450 sitokrom P-450, dan GST

glutation S-transferase (Liehr, 2000).

Mekanisme kedua pada reseptor estrogen, dengan

melalui beberapa jalur sinyal trdanuksi reseptor estrogen.

Sejak ditemukannya reseptor estrogen α dan β yang juga

terdapat pada sel endometrium, dikemukakan bahwa

mekanisme sinyal pada reseptor estrogen berhubungan

dengan mitokondria dan membran plasma, dimana juga

terdapat mekanisme aktivasi proses apoptosis pada 2

bagian sel ini. Terdapat 3 jalur aktivasi pada reseptor

estrogen (Gambar 3.4) yaitu melalui genomik DNA yang

mengkode gen, non-genomik melalui aktivasi second

messenger dan sinyal protein kinase, serta aktivasi

mitokondria yang memfasilitasi cross-talk antara proses

sinyal membran reseptor estrogen dan proses sinyal

reseptor insulin-like growth factor 1 (IGF-1) (Wang et al., 2003

dan Cahyanti, 2008).

Pada stroma endometrium berhubungan langsung

dengan ketergantungan estrogen pada reseptor di stroma

yang bertanggung jawab terhadap proliferasi epitel pada

kelenjar endometrium. Kedua reseptor tersebut

berinteraksi agonis dalam memacu aktivasi mitogenik

estrogen pada sel endometrium yang memacu hiperplasia

dan transformasi sel kanker, dengan melalui aktivasi jalur

MAPK (mitogen-activated protein kinase) oleh IGF-1 yang

juga akan memacu angiogenesis dengan menginduksi

ekspresi VEGF (vascular endothelial growth factor) mRNA

dan juga proses aromatisasi dengan menstimulasi ekspresi

aromatase dan aktivitas enzimnya yang akan

Page 24: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

24

meningkatkan produksi estradiol dari androgen. Cross-talk

antara genomik dan jalur second messenger mempunyai

peranan dalam mengatur proliferasi sel dan inhibisi

apoptosis dengan mengaktivasi gen anti-apoptosis yaitu

Bcl-2 pada mitokondria dan inhibisi gen pro-apotosis Fas-

Fas ligdan pada sitoplasma dan Bax pada mitokondria

(Wang et al., 2003 dan Cahyanti, 2008).

Metabolit katekol estrogen dapat mempengaruhi

pengaturan jalur ekspresi gen, signal atau keduanya

melalui reseptor estrogen. Estrogen 4-hidroksikatekol dan

2-hidroksikatekol mempunyai afinitas pengikat yang kuat

terhadap reseptor estrogen dibdaning estradiol sendiri dan

mampu memacu estrogen-receptor-dependent gene

expression. 4-hidroksikatekol yang memediasi secara

bebas ER α dan β dari efek katekol estrogen akan mampu

memacu proliferasi sel dan menghambat apoptosis. E2

selain untuk meregulasi transkripsi reseptor estrogen,

stabilisasi mRNA E2 juga akan menginduksi transkripsi

reseptor progesteron A dan B (Cahyanti, 2008).

Page 25: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

25

Gambar 3.4. Jalur signal reseptor estrogen 29 cAMP siklik AMP, E2 estradiol, 4-OH-E2 4-hidroksiestradiol, ER reseptor estrogen, EGF epidermal growth factor, EGFR

epidermal growth factor receptor, IGF-1 insulin-like growth factor 1, IGF-1R insulin-like growth factor 1 receptor, MAPK mitogen-activated protein kinase,

mRNA messenger RNA, MP13K phosphoinositide 3 kinase, mtProteins mitochondrial proteins, dan pShc phosphorylated Shc protein (Wang et al., 2003).

Kedua reseptor progesteron tersebut mempunyai sifat

yang berlawanan, dimana reseptor progesteron A akan

menginaktivasi transkripsi, transdominan menghambat

reseptor progesteron B dan menghambat estrogen dalam

menginduksi proliferasi sel epitel yang akan memacu

protein pro apoptosis TNF-α dan Bax. Reseptor progesteron

B secara selektif mengaktivasi koaktivator transkripsi dan

juga melalui mekanisme non-transkripsi dapat memacu

pertumbuhan sel dan berinteraksi dengan reseptor

Page 26: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

26

estrogen dan menstimulasi estrogen reseptor kinase yang

memacu aktivitas mitosis dan peningkatan aktivitas ki67

serta downregulation proses apoptosis. Keseimbangan

reseptor progesteron ini yang diatur oleh 331 GA, bila

terdapat gangguan disini akan memacu aktivasi dari

reseptor progesteron B yang akan meningkatkan aktivitas

proliferasi endometrium (Cahyanti, 2008).

Ketidakseimbangan antara proliferasi dan apoptosis

pada endometrium akan menghasilkan suatu gambaran

hiperplasia pada endometrium berupa adanya perubahan

rasio kelenjar dan stroma tanpa belum adanya suatu

gambaran sel atipik. Struktur kompleksitas kelenjar yang

ditentukan oleh aktifitas proliferasi sel kelenjar

endometrium terdapat kemampuan mitosis yang lebih

tinggi dibdaning aktifitas apoptosisnya, sehingga

dibedakan menjadi simpleks dan kompleks. Apabila

terdapat mutasi protein ras, PTEN (phosphatase dan tensin

homolog) dan ekspansi klonal selama bertahun-tahun

mengakibatkan terdapatnya gambaran suatu hiperplasia

atipik. PTEN yang merupakan tumor suppresor gene yang

menekan mitosis dan memacu apoptosis, kerjanya

dipengaruhi oleh adanya perubahan hormon steroid pada

endometrium. Terjadinya mutasi dan delesi PTEN

disebabkan adanya peningkatan estrogen misalnya pada

fase proliferasi, tetapi tidak adanya PTEN juga dipengaruhi

oleh adanya kondisi genetik seperti mutasi pada protein

ras, terutama pada gen BRAF yang merupakan efektor

protein ras pada jalur MAPK yang selanjutnya memacu

ekspansi klonal sel endometrium dan menginisasi menjadi

Page 27: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

27

suatu bentuk adenokarsinoma (Baldi et al., 2008 dan Cahyanti,

2008).

Akhirnya, semakin banyak bukti-bukti yang menunjukkan adanya

regulasi epigenetik terhadap kerja hormon steroid dalam endometrium dan

terdapat disregulasi pada wanita dengan endometriosis. Secara khusus,

penyimpangan metilasi DNA menyebabkan resistensi progesteron pada

endometriosis. MiRNAs adalah RNA noncoding pendek yang umumnya

menekan ekspresi gen melalui degradasi mRNA. Diferensial dan

ekspresi ovarium tergantung steroid miRNAs tampak pada endometrium

eutopik dari wanita dengan dan tanpa endometriosis (Burney dan Giudice,

2012).

Secara kolektif, penelitian ini mengungkapkan perbedaan mencolok

dalam ekspresi gen dan protein yang bisa menyebabkan kerentanan

terhadap perkembangan penyakit ini. Beberapa gen yang berpengaruh

terhadap pathogenesis dan patofisiologi endometrisosis anatara lain:

Tabel 3.1. Gen yang berperan dalam patofisiologi endometriosis.

Gen Fungsi

17β–HSD -2

BCL-2

CYP-19

HOXA 10

IL-6

KRAS

MMP 3,7

NF-KB

PGE2

PTEN

TGF-B

TNF-α

Dehidrogenase hidroksisteroid

Antiapoptosis

Enzim aromatase

Faktor transkripsi

Sitokin

Onkogen

Matrix metalloproteinase

Faktor transkripsi

Prostagldanin E2

Supresor tumor gen

Sitokin

sitokin

Page 28: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

28

(Burney dan Giudice, 2012)

Validasi gen/protein ini memerlukan percobaan terkontrol yang

dilakukan secara temporal dan hanya dapat dilakukan dengan

menggunakan model praklinis seperti primata non-manusia, satu-satunya

spesies selain manusia yang telah terdokumentasikan bisa menderita

endometriosis (Burney dan Giudice, 2012).

C. Perubahan Hormonal: Ketergantungan Estrogen (estrogen

dependence) dan Resistensi Progesteron.

Perubahan hormonal dapat mempengaruhi kemampuan sel

endometrium untuk berproliferasi, melekat pada mesotelium dan

menghindari sistem bersihan imun. Konsep yang menyatakan bahwa

endometriosis dipengaruhi oleh estrogen telah didukung oleh bukti

molekuler. Bukti tersebut memperlihatkan adanya peningkatan ekspresi

enzim aromatase dan penurunan ekspresi 17-β hidroksisteroid

dehydrogenase (17-β-HSD) tipe 2. Hal tersebut mendanakan peningkatan

bioavailabilitas konsentrasi E2. E2 akan menstimulasi produksi

prostagldanin E2 (PGE2) yang kemudian akan menstimulasi aktivitas

enzim aromatase. Penemuan tersebut mendukung kapasitas lesi

endometriosis untuk biosintesis E2 sehingga memunculkan pengobatan

endometriosis dengan cara membuat lingkungan mikro peritoneum agar

bersifat hipoestrogenik (Burney dan Giudice, 2012).

Selain ketergantungan akan estrogen, ditemukan bukti-bukti yang

menyatakan resistensi P (reseptor Progesteron) dalam perjalanan

patofisiologi endometriosis. Pada lesi endometriosis tampak penurunan

menyeluruh ekspresi reseptor progesteron dibandingkan dengan jaringan

eutopik endometrium serta ketiadaan reseptor progesteron B (P receptor-

B). Selain itu, pada endometriosis tampak pula adanya disregulasi gen P-

responsive pada fase luteal sehingga terjadi transisi yang tidak sempurna

pada endometrium dari fase proliferatif ke fase sekresi. Hal tersebut

Page 29: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

29

berakibat pada peningkatan kemampuan implantasi dan daya tahan

jaringan endometrium yang mengalami refluks ke lokasi ektopik (Burney

dan Giudice, 2012).

D. Pengelakan Dari Sistem Kekebalan Tubuh

Biasanya, jaringan endometrium yang refluks dibersihkan dari

peritoneum oleh sistem kekebalan tubuh, dan apabila terjadi disregulasi

dari sistem kekebalan tubuh maka akan membuat kecenderungan untuk

implantasi dan pertumbuhan sel-sel endometrium. Sistem kekebalan tubuh

yang bereperan adalah Limfosit B, T dan sel NK (Natural Killer) (Baziad,

2003). Ketika sel endometriosis refluks ke peritoneum makan hal itu

diartikan sebagai benda asing oleh tubuh. Tubuh akan mengaktivasi sel

NK, Limfosit B, dan Limfosit T yang akan memicu sel tersebut

menghasilkan IFN γ (Interferon γ) untuk menginisiasi proses fagositosis,

sekresi dan melepaskan sitokin IL-1 (Interleukin-1), TNF α (Tumor

Necrosis Factor α), IL-6 (Interleukin-6). Sitokin merupakan mediator pro

inflamasi di dalam tubuh, namun efek inflamasi yang ditimbulkan

dikontrol oleh IL-10 (Interleukin-10) (Bratawidjaja dan Rengganis, 2009;

Lasmini, 2010). Normalnya adalah akan terjadi proses fagositosis dan lisis

oleh system kekebelan tubuh, tetapi fragmen jaringan dari sel

endometriosis yang lebih besar dari sel-sel lain pada tubuh manusia lebih

berpotensi untuk implan, mungkin karena mekanisme perlindungan untuk

melindungi sel-sel yang permukaannya diselimuti fragmen tersebut (Baldi

et al., 2008). Selain itu, endometrium eutopik dari wanita dengan

endometriosis ditemukan lebih tahan terhadap lisis oleh natural killer

(NK) dibandingkan sel endometrium eutopik dari wanita tanpa

endometriosis (Burney dan Giudice, 2012).

Penelitian selanjutnya mengidentifikasi terjadinya pengeluaran

molekul adhesi interselular-1 (ICAM-1) oleh sel stroma endometrium

(ESCs) dari wanita dengan endometriosis sebagai sebagai penyebab

Page 30: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

30

lolosnya dari sel NK. (Burney dan Giudice, 2012). ICAM-1 tersebut yang

melindungi sel-sel endometriosis dari sistem kekebalan tubuh (Limfosit

B,T, dan Sel NK) (Somiglina et al., 1996). Gangguan fungsi sel NK dapat

memberikan status kekebalan yang kuat pada sel-sel endometrium yang

direfluks, sehingga menjadikan predisposisi terhadap penyakit ini.

Penurunan fungsi makrofag (compromised macrophage) pada wanita

dengan endometriosis dapat berkontribusi lebih lanjut terhadap penurunan

pembersihan lesi oleh sel tersebut (Burney dan Giudice, 2012).

Pada penderita endometriosis ditemukan kondisi autoimun seperti

pada kondisi penyakit lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis,

sindrom Sjogren, penyakit tiroid autoimun dan penyakit atopik (alergi,

asma, dan eksim). Sejumlah antibodi organ non spesifik telah ditemukan

dalam hubungan dengan endometriosis. Beberapa studi telah

menunjukkan hubungan penyakit tiroid autoimun dengan infertilitas

terkait endometriosis, yang dibuktikan dengan prevalensi tinggi antibodi

peroksidase tiroid pada perempuan dengan endometriosis (Burney dan

Giudice, 2012; Khan et al., 2012).

E. Invasi dan Perlekatan Sel Endometrium

Walaupun endometriosis merupakan penyakit jinak, namun proses

perlekatan jaringan endometrium dan kemampuannya menginvasi jaringan

lain menyerupai ciri-ciri keganasan. Fraksi sel stroma endometrium

(Endometrial Stromal Cells/ESCs) terutama terlibat dalam interaksi

jaringan endometrium dengan sel mesotelial pada lapisan peritoneum.

Sebuah studi menggunakan ESCs dan sel mesotel peritoneum

menunjukkan bahwa ESCs memiliki daya perlekatan yang lebih kuat

daripada sel peritoneum (Lucidi, Witz, Chrisco, et al., 2005).

Kondisi tertentu pada peritoneum dapat menjadi faktor predisposisi

perlekatan sel endometrium ektopik dan invasi transmesotelium oleh sel

endometrium yang refluks. Mesotelium yang intak berfungsi sebagai

Page 31: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

31

barrier proteksi melawan implantasi jaringan regurgitas endometrium.

Berdasarkan studi in vitro tampak bahwa fragmen endometrium melekat

pada peritoneum hanya pada lokasi di mana membran basalis atau matriks

ekstraseluler jaringan mesoteliumnya mengalami kerusakan. Aliran

menstruasi memiliki efek yang membahayakan pada mesotelium dan

dapat menyebabkan trauma lokal sehingga memicu perlekatan dan

implantasi lesi endometriosis (Poppe, Glinoer, Van, et al., 2002).

Ekpresi gen pada peritoneum, baik yang berlangsung pada wanita

dengan atau tanpa endometriosis menunjukkan peningkatan regulasi

Matriks Metalloproteinase (MMP) - 3 saat fase luteal dan peningkatan

regulasi Intercellular Adhesion Molecule (ICAM) – 1, Transforming

Growth Factor-beta (TGF-β) dan Interleukin – 6 saat fase menstruasi.

Perbedaan ekspresi pada sitokin-sitokin dan faktor pertumbuhan tersebut

dapat menciptakan lingkungan mikro yang mampu memicu implantasi sel

endometrium dan melindungi sel tersebut dari bersihan sistem imun. Di

antara beberapa sitokin yang mengalami peningkatan dalam cairan

peritoneum pada wanita dengan endometriosis, TGF-β dianggap sebagai

sitokin yang memicu invasi sel endometrium dan perlekatannya pada

mesotel peritoneum (Liu, Tekmal, Binkley, et al., 2009)

MMP dan inhibitornya (Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinase

[TIMPs]) terlibat dalam proses remodeling matriks ekstraseluller pada

proses menstruasi. Keseimbangan kedua komponen tersebut penting untuk

mempertahankan aktivitas MMP dalam perannya sebagai agen degradasi

jaringan. Kegagalan dalam keseimbangan kedua komponen akan

mengakibatkan kerusakan matriks dan invasi seluler. Ekspresi MMP-7

pada endometrium secara normal ditekan oleh progesterone saat fase

sekresi, sedangkan pada lesi endometriosis tampak ekspresi MMP-7

menetap saat fase sekresi. Hal ini menunjukkan adanya kegagalan

keseimbangan aktivitas MMP dan inhibitornya yang berdampak pada

kemampuan invasi dan perlekatan sel endometriosis pada lokasi-lokasi

Page 32: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

32

ektopik seperti pada jaringan mesotelium (Bruner-Tran, Eisenberg,

Yeaman, et al., 2002).

Gambar 3.5. Proses invasi dan implantasi sel Endometrium (Giudice, 2010)

Page 33: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

33

F. Proses Neuroangiogenesis /Angiogenesis dan Pertumbuhannya Pada

Lesi Endometriosis

Lesi endometrisosis membutuhkan pasokan pembuluh darah yang

besar, khususnya pada lingkungan mikro peritoneal yang relatif avaskular

dibandingkan dengan endometrium eutopik. Neoangiogenesis dan

perekrutan kapiler tampak pada lesi endometriosis saat laparoskopi,

terutama pada fenotip vesikular merah. Selain itu, sel saraf sering

berkembang mengikuti angiogenesis (neuroangiogenesis), hal ini mungkin

berkaitan terhadap rasa sakit yang terkait dengan gangguan ini. Ekspresi

gen pada fase menstruasi yang terjadi pada wanita dengan endometriosis

menunjukkan aktivasi dari tumor necrosis factor-a (TNF-α), IL-8, dan

MMP-3. IL-8 dan TNF-α memicu proliferasi, adhesi sel endometrium dan

angiogenesis, luapan dari sitokin ini memfasilitasi pertumbuhan dan

neovaskularisasi lokal. Selain itu, neovaskulogenesis melibatkan sel-sel

progrenitor baik dari endometrium, sumsum tulang, atau sirkulasi yang

diyakini berkontribusi pada fenotipe hipervaskularisasi dari lesi

endometriosis. Vascular endothelial growth factor (VEGF) secara

konsisten telah terdeteksi dengan konsentrasi tinggi dalam cairan

peritoneal dari wanita dengan endometriosis, dan peningkatannya

berkorelasi dengan stadium penyakit endometriosis yang dialami pasien.

VEGF banyak ditemukan di kelenjar pada implan peritoneal, di

endometrium, dan disekresikan oleh makrofag peritoneal yang telah aktif.

Ekspresi VEGF melancarkan fase siklus ketergantungan yang konsisten

dengan regulasi steroid ovarium (Burney dan Giudice, 2012).

Bukti VEGF sebagai faktor angiogenik menarik untuk dibahas. VEGF

merupakan bagian dari faktor angiogenik. Faktor angiogenik lain yang

terlibat dalam patofisiologi penyakit adalah :

Tabel 3.2. Faktor angiogenik dalam patofisiologi penyakit

Page 34: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

34

No. Faktor angiogenik Mekanisme kerja atau peranan

1. Acidic dan Basic

Fibroblast Growth Factor

(aFGF dan bFGF)

Dikeluarkan oleh sel tumor dan terikat

dengan matriks ekstraselluler dan FGF yang

terikat ini dapat terlepas bila berikatan

dengan binding protein. Binding protein ini

diekspresikan dan disekresi dalam kadar

tinggi pada jaringan karsinoma skuamosa.

2. Epidermal Growth Factor

(EGF)

Bioaktivitas sebagai sel epidermal dan juga

meningkatkan pertumbuhan sel lainnya.

3. Transforming Growth

Factor α dan β (TGF α dan

TGF β

TGF α berikatan dengan reseptor EGF yang

terdapat di sel endothelium dan menstimulasi

proliferasi.

TGF β tidak menstimulasi migrasi dan

proliferasi endotel vascular, tetapi

menginduksi ekpresi gen dan sekresi faktor

angiogenik pada sel tumor dan sel normal,

jadi menstimulasi angiogenesis secara

indirek.

4. Tumor Necrosis Factor α

(TNF α)

TNF α bersifat angiogenik pada in vivo

model, tetapi juga men-down regulate VEGF,

jadi dengan demikian ia dapat menghambat

angiogenesis in vivo

5. Plateled-Derived

Endothelial Cell Growth

Factor (PD-ECGF)

Menstimulasi angiogenesis in vivo dan tidak

in vitro

6. Plateled-Derived Growth

Factor (PDGF)

Reseptor PDGF α terdapat dan diekpresi oleh

sel tumor dan tidak oleh sel endotel vascular

tumor, sedang PDGF β reseptornya terdapat

dan diekspresikan oleh sel vascular low-

grade glioma. PDGF dapat menginduksi

Page 35: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

35

ekpresi dan sekresi VEGF pada sel tumor.

Jadi PDGF mempunyai efek angiogenesis

secara direk dan indirek

7. Interleukin-1 (IL-1) Memediasi sinyal diantara sel dalam system

hematopoetik dan juga mempunyai fungsi

yang luas di luar system imunitas, yaitu

menginduksi multiplikasi sel, supresi

apoptosis, diferensiasi dan kematian sel

8. Interleukin-6 (1L-6) Memediasi sinyal diantara sel dalam system

hematopoetik dan juga mempunyai fungsi

yang luas di luar system imunitas, yaitu

menginduksi multiplikasi sel, supresi

apoptosis, diferensiasi dan kematian sel

9. Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF)

VEGF merupakan faktor angiogenik yang

membentuk pembuluh darah baru. VEGF

memiliki peranan diantaranya adalah

diproduksi oleh sebagian sel tumor primer

yang tumbuh agresif, dapat menginduksi

pembentukan pembuluh darah baru, terutama

bekerja pada endotel vascular, ekpresi

reseptor pada endotel vascular sangat rendah,

sedang pada pembuluh darah yang

menembus dan dekat dengan tumor

eskpresinya berlebihan.

(Aziz et al., 2003; Burney dan Giudice, 2012).

Faktor pertumbuhan mungkin memainkan peran penting dalam

merangsang pertumbuhan endometrium ektopik dan diferensiasinya.

Faktor pertumbuhan hepatosit (hepatosit growth factor) adalah substansi

yang bersifat mitogen dan morfogen untuk sel epitel endometrium ketika

Page 36: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

36

dikultur dengan sel stroma dan mungkin memainkan peran dalam

regenerasi, pergerakan, dan penyebaran kelenjar endometrium pada

endometriosis ektopik (Aziz et al., 2003) . Epidermal growth factor

(EGF), insulin-like growth factor (IGF), platelet-derived growth factor

dan dasar fibroblast growth factor (FGF) merupakan mitogens poten

untuk sel-sel stroma endometrium in vitro. IGF-1 merupakan faktor

pertumbuhan yang memiliki peran utama adalah sebagai anabolik dan

penghambat apoptosis sehingga dapat terjadi pertumbuhan sel dan dapat

meningkatkan kelangsungan hidup sel, sedangkan EGF memiliki peran

sebagai mitogenik sel epidermal dan juga meningkatkan pertumbuhan sel

(Aziz et al., 2006). EGF dan IGF merupakan mediator kerja estrogen pada

banyak jaringan dan berperan penting pada patofisiologi endometriosis

(Burney dan Giudice, 2012).

G. Inflamasi

Endometriosis dinyatakan sebagai penyakit inflamasi kronis pada

pelvis. Bukti ilmiah menunjukkan proses inflamasi yang signifikan pada

endometriosis. Cairan peritoneum pada wanita dengan endometriosis

menunjukkan peningkatan jumlah makrofag yang teraktivasi dan

perbedaan aktivitas sitokin maupun kemokin. Pada cairan tersebut

ditemukan sebuah struktur protein unik yang mirip dengan haptoglobin.

Protein tersebut mampu mengikat makrofag dan menurunkan kemampuan

fagositiknya, serta meningkatkan produksi IL-6. Sitokin lain yang juga

ditemukan pada cairan peritoneum penderita endometriosis antara lain,

faktor inhibitor migrasi makrofag (Macrophage migration inhibitory

factor), TNF-α, IL-1β, IL-6, dan IL-8. Selain itu, ditemukan pula

peningkatan kemoatraktan yang memfasilitasi aktivasi makrofag, seperti

Monocyte Chemotactic Protein (MCP)-1, dan Regulated on Activation

Normal T Expressed (RANTEs) (Akoul, Lemay, McColl, et al., 1996).

Page 37: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

37

Lingkungan mikro peritoneum pada penderita endometriosis tampak

kaya akan prostagldanin yang dianggap berperan sentral dalam

patofisiologi endometriosis berupa nyeri kronis dan infertilitas. Makrofag

peritoneum pada wanita dengan endometriosis mengekspresikan

siklooksigense-2 (COX-2) lebih tinggi dan melepaskan sejumlah

prostagldanin (PG) dalam jumlah besar dibandingkan dengan makrofag

pada wanita sehat. Sedangkan pada tingkat lesi endometriosis, TNF-α

memicu sel endometrium untuk memproduksi prostagldanin F2α dan PGE2.

Peningkatan tersebut mengaktivasi protein steroidogenik dan aromatase.

Dengan peningkatan regulasi sintesis PGE2, terjadi pula peningkatan

bioavailabilitas lokal E2. Hal inilah yang menjadikan perjalanan

endometriosis bersifat estrogen dependence dan inflamatorik (Attar,

Tokunaga, Imir, et al., 2009).

Pada wanita dengan endometriosis, proses inflamasi tidak hanya

terjadi pada lingkungan mikro peritoneum, tetapi juga pada jaringan

endometrium eutopik. Aktivitas progesteron sebagai komponen

antiinflamasi tampak menurun dan terjadi peningkatan jumlah makrofag.

Endometrium ektopik pada wanita dengan endometriosis juga

menunjukkan adanya peningkatan produksi IL-6 yang disekresikan oleh

makrofag dan sel epitel endometrium. IL-6 berperan dalam memicu proses

inflamasi kronik dan menstimulasi ekspresi aromatase. Lingkungan

inflamasi inilah yang berperan dalam patofisiologi nyeri pada

endometriosis (Burney dan Giudice, 2012).

Page 38: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

38

Gambar 3.6. Produksi E2 lokal pada lesi endometriosis dan endometrium eutopik, inflamasi, dan nyeri. 17β-HSD: 17β Hydroxysteroid Dehidrogenase; E1: Estrone; E2:

Estradiol, PGE2: Prostagldanin E2, PGF2α: Prostagldanin F2α; NGF: Nerve Growth Factor (Burney dan Giudice, 2012)

H. Progresi Lesi dan Sekuel

Bukti klinis dan molekuler digabungkan untuk menjelaskan tahap

progesitas fenotipik terkait dengan lesi endometriotik peritoneal. Tahapan-

tahapan perkembangan lesi endometriosis meliputi red vesicular, black

powder-burn, dan lesi fibrotik. Lesi awal adalah subtipe red vesicular.

Lesi red vesicular telah didefinisikan sebagai sekelompok kelenjar yang

berhubungan, secara biokimia lebih aktif daripada lesi black powder-burn,

dan mungkin lebih responsif terhadap hormon seks siklik dibandingkan

subtipe lesi lainnya. Laparoskopi pada waktu menstruasi didapatkan

perdarahan fokal pada lesi ini sebagai respons terhadap Progesteron

withdrawal. Hal tersebut dikarenakan bahwa penurunan konsentrasi

Progesteron pada akhir dari siklus menstruasi akan mengawali sintesis dan

aktivasi dari matriks metalloproteinase-1 (MMP-1) yang menyebabkan

kerusakan ECM, jaringan menjadi kolaps dan menstruasi, sehingga pada

saat laparoskopi ditemukan perdarahan (Simatupang et al., 2003; Wang

dan Ma, 2012).

MMP-1 diekspresikan secara fokal pada lesi red vesicular peritoneal

terlepas dari fase menstruasi tetapi tidak pada lesi black powder-burn

peritoneal. Ekspresi fokal MMP-1 berkorelasi erat dengan penghancuran

matriks dan dengan tidak adanya reseptor Progesteron pada sel epitel yang

berdekatan. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi MMP-1 mungkin

terlibat dalam renovasi jaringan dan pendarahan dari lesi endometriotik

awal. Perdarahan tersebut dikarenakan ekspresi dari MMP-1

Page 39: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

39

menyebabkan kerusakan pada extra cellular matrix (ECM) sehingga

menyebabkan jaringan menjadi kolaps dan timbul perdarahan

(Simatupang et al., 2003). Perdarahan pada lesi bisa menjadi pelopor

untuk adhesi yang dimediasi fibrin. Fibrin adalah protein plasma

dihasilkan di hati dibentuk oleh aksi trombin pada fibrinogen yang terlibat

dalam pembekuan darah yang dipolimerkan untuk membentuk sebuah

mesh yang kemudian membentuk plug hemostatik atau gumpalan, (dalam

hubungannya dengan platelet darah) (Burney dan Giudice, 2012).

Pada red vesicular, akan didapati jaringan kelenjar muncul dibawah

mesotel sebagai kista (papul yang berekskresi) atau sebagai polip

(vesikel). Kelenjar berupa papul ini menonjol dari permukaan mesotel

dengan lesi yang dapat dengan vaskularisasi yang halus. Vesikel

endometriosis tampak sebagai lepuhan atau sekelompok lepuhan pada

mesotelium. Pada lesi ini pada gambaran endoskopik mulai tampak

pengisian cairan-cairan serosa, Cairan hemoragik atau merah mudah yang

dikelilingi oleh vaskularisasi yang berbentuk sentripetal. Pada lesi-lesi ini

jaringan endometriosis muncul dari kelenjar yang robek dan pada tahap

awal lesi papul dan vesikel ini banyak mengdanung pembuluh darah dan

belum terdapat jaringan fibrotik. Red vesicular dan lesi kelenjar

berekskresi merupakan stadium awal dari implantasi dini kelenjar dan

stroma endometrium. Pada lesi ini terdapat proses inflamasi, fibrosis,

perdarahan, pigmentasi dan akan berkembang kearah sikatrik. Selanjutnya

lesi tersebut akan berubah menjadi lesi hitam atau lesi gelap yang disebut

sebagai lesi black powder-burn (Simatupang et al., 2003).

Page 40: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

40

Gambar 3.7. A. Lesi red vesicular; B. Lesi black - powder burn; C. Lesi fibrotik; D. Allen-Masters cacat peritoneal (Burney dan Giudice, 2012).

Sebuah studi temporal dari lesi red vesicular peritoneal ke tahap fibrosis

pada sebuah studi prospektif menemukan lesi red vesicular dominan pada

wanita muda (20-25 tahun). Reaksi inflamasi siklik terhadap lesi

endometriosis peritoneum dapat menyebabkan cacat peritoneal dirujuk

sebagai Allen-Masters window (selaput tipis yang melapisi bagian dalam

cavum peritoneal), pada laparoskopi, biopsi dari jaringan di dasar Allen-

Masters window sering menunjukkan endometriosis, hal ini lebih sering

ditemui pada wanita dengan endometriosis (Burney dan Giudice, 2012).

Page 41: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

41

BAB IV

KESIMPULAN

1. Endometriosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium di luar

cavum uteri.

2. Patogenesis dan patofisiologi dari endometriosis disebabkan oleh karena

jaringan dan sel refluks dari endomeriosis, sumsum tulang (jaringan

mesenkim, sel-sel induk hematopoietik, prekursor endotel), penyebaran secara

hematogen dan limfogen, lingkukngan, peradangan, genetika, mullerian rests,

tipe sel mesothelium yang lain.

3. Ada beberapa teori yang masih pro kontra dan menjadi perdebatan dalam

patogenesis dan patofisiologi endometriosis yang perlu di teliti dan ditelusuri

lebih lanjut.

Page 42: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

42

DAFTAR PUSTAKA

Akoum A, Lemay A, McColl S. et al.. 1996. Elevated concentration and biologic activity of monocyte chemotactic protein-1 in the peritoneal fluid of patiens with endometriosis. Fertil Steril; 66: 17-23.

Attar E, Tokunaga H, Imir G, et al.. 2009. Prostagldanin E2 via steroidogenic factor-1 coordinately regulates transcription of steroidogenic genes necessary for estrogen synthesis in endometriosis. J Clin Endocrinol Metab;94: 325-32

Aziz F, Danrijono, Saifuddin BA. 2006. Biomolekular pada Kanker. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. YBP-SP : 17-59 hal.

Baldi A, Campioni M, Signorile SP. 2008. Endometriosis: Pathogenesis, Diagnosis, Therapy and Association With Cancer (Review). Journal of Gynecology Oncology : Oncology Reports. (19) : 843-846.

Baziad A. 2003. Endometriosis. Buku Ajar Menopause dan Andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. YBP-SP :156-158 hal.

Bischoff FZ, Simpson JH. 2000. Heritability and molecular genetic studies of endometriosis. Hum Reprod Update 6:37.

Bratawidjaja GK, Rengganis I. 2009. Sistem Imun Spesisifik dan Non Spesifik. Buku Ajar Imunologi Dasar. Edisi-8. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), 37 - 40 hal.

Page 43: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

43

Breech LL, Laufer MR. 1999. Obstructive anomalies of the female reproductive tract. J Reprod Med 44:233.

Brunner-Tran KL, Eisenberg E, Yeaman GR, et al.. 2002. Steroid and cytokine regulation of matrix metalloproteinase expression in endometriosis and the establishment of experimental endometriosis in nude mice. J Clin Endocrinol Metab;87: 4782-91

Bulun SE. 2009. Endometriosis. N Engl J Med. 360:28-79

Burney OR, Giudice CL. 2012. Pathogenesis and pathophysiology of endometriosis. Fertil Steril. (98), 3: 511-519.

Cahyanti DR. 2008. BCL-2 dan Indeks Apoptosis Pada Hiperplasia Endometrium Non-Atipik Simpleks dan Kompleks. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri Ginekologi Universitas Diponegoro Semarang.

Comiter CV. 2002. Endometriosis of the urinary tract. Urol Clin North Am 29:625

Crain DA, Janssen SJ, Edward TM, et al.. 2008. Female reproductive disorder: the roles of endocrine-disrupting compounds and developmental timing. Fertil Steril;90:911-40

Daftary GS, Taylor HS. 2004. EMX2 gene expression in the female reproductive tract and aberrant expression in the endometrium of patients with endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 89:2390

Eskenazi B, Warner M, Bonsignore L, et al.. 2001. Validation study of nonsurgical diagnosis of endometriosis. Fertil Steril 76:929.

Eskenazi B, Warner ML. 1997. Epidemiology of endometriosis. Obstet Gynecol Clin North Am 24:235.

Giudice, LC, Kao LC. 2004. Endometriosis. Lancet 364:1789.

Giudice, LC. 2010. Endometriosis. N Engl J Med. 2010 June 24; 362 (25) : 2389– 2398.

Hadfield RM, Mardon HJ, Barlow DH, et al.. 1997. Endometriosis in monozygotic twins. Fertil Steril 68:941

Page 44: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

44

Husein R. 2009. Hubungan warna lesi endometriosis peritoneal secara laparoskopi dan makna klinisnya. Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Kao LC, Germeyer A, Tulac S, et al.. 2003. Expression profiling of endometrium from women with endometriosis reveals candidate genes for disease-based implantation failure and infertility. Endocrinology 144:2870.

Kennedy S, Bergqvist A, Chapron C, et al.. 2005. ESHRE guideline for the diagnosis and treatment of endometriosis. Hum Reprod 20(10):2698.

Khan AM, Sengupta J, Mittal S, Ghosh D. 2012. Genome-wide expressions in autologous eutopic and ectopic endometrium of fertile women with endometriosis. Journal of Reproductive Biology dan Endocrinology. 10, (84) : 1-34.

Lasmini SP. 2010. Pengaruh Digoxin Terhadap Endometriosis. Penelitian. SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang, Fakultas Kedokteran Universitas Danalas Padang.

Leyldan N, Casper R, Laberge P, Singh SS. 2010. Endometriosis: diagnosis and management. Journal of Obstetrics dan Gynaecology Canada. (32) : 7, 1-36.

Liehr JG. 2000. Is estradiol a genotoxic mutagenic carcinogen. Journal of Reproductive Biology dan Endocrinology. Endocrine Review. 21 (1) : 40-54.

Liu YG, Tekmal RR, Binkley PA, et al.. 2009. Induction of endometrial epithelial cell invasion and c-fms expression by transforming growth factor beta. Mol Hum Reprod; 15: 665-73

Lucidi RS, Witz CA, Chrisco M, et al.. 2005. A novel in vitro model of the early endometriotic lesion demonstrated that attachment of endometrial cells to mesothelial cell is dependent on the source of endometrial cells. Fertil Steril: 84: 287-92

Ozkan S, Murk WA, Aricib A. 2008. Endometriosis and infertility epidemiology and evidence-based treatments. Annals of the New York Academy of Sciences. (1127) : 92–100.

Poppe K, Glinoer D, Van Steirtegem, et al.. 2002. Thyroid disfunction andautoimmunity in infertile women. Thyroid; 12: 997-1001

Rajendran S, Khan A, O’Hanlon D, Murphy M. 2012. Endometriosis: Unusual Cause of Groin Swelling. British Medical Journal. BMJ Case Reports. 1136 (10) : 1-2.

Page 45: Isi Journal (Bab i, II, III, IV, V) Doc

45

Rier S, Foster WG. 2003. Environmental dioxins and endometriosis. Semin Reprod Med 21: 145.

Sasson IE, Taylor HS. 2008. Stem cell and the patogenesis of endometriosis. Ann N Y Acad Sci; 1127:106-15

Sérgio Reis Soares, Alicia Martínez-Varea, Juan José Hidalgo-Mora, Antonio Pellicer. 2012. Pharmacologic therapies in endometriosis: a systematic review. Fertil Steril; 98: 529–555

Simatupang J, Amran R, Efendi YK. 2003. Perubahan Imunologis pada Endometriosis Peritoneal. Referat. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSU Mohammad Hoesin Palembang

Somiglina E, Vigano P, Gaffuri B, Cdaniani M, Busacca M, Di Blasio AM. Modulation of NK cell lytic function by endometrial secretory factors: potential role in endometriosis. American Medical Journal of Reproduction Immunology. (36) : 295-300.

Wang J, Ma X. 2012. Effects of estrogen and progestin on expression of MMP-2 and TIMP-2 in a nude mouse model of endometriosis. Journal: Clinical Experimental Obstetrics dan Gynecology. 39 (2) : 229-33.

Wang S, Pudney J, Song J, Mor G, Schwartz PE, Zheng W. 2003. Mechanisms involved in the evolution of progestin resistance in human endometrial hyperplasia-precursor of endometrial cancer. Journal of Gynecology Oncology. (88) : 108-17.

Wiknojosastro H, Saifuddin BA, Rachimhadi T. 2007. Adenomiosis dan Endometriosis. Buku Ajar Ilmu Kdanungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : YBP-SP, 314-327 hal.

Yager JD, Davidson NE. 2006. Estrogen carcinogenesis in breast cancer. The New Engldan Journal of Medicine. (354) : 270-82.

Yager JD. 2000. Endogenous estrogens as carcinogens through metabolic activation. Journal of The National Cancer Institue. (27) : 67-73.