ilmu pendidikan islam - difarepositories.uin-suka.ac.id pendidikan islam (2... · pada buku ini...
TRANSCRIPT
Muhammad Muntahibun Nafis, M. Ag
I L M U PENDIDIKAN
ISLAM
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
© 2011, Muhammad Muntahibun Nafis Ilmu Pendidikan Islam/
Muhammad Muntahibun Nafis; Editor, Abd. Aziz. — Cet.I. Bibliografi,
hlm viii + 174
ISBN: 978-406-978-311-3
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Penulis: Muhammad Muntahibun Nafis
Editor: Abd. Aziz
Tata Letak & Desain Sampul: Kukuh PMLG Cetakan I, 2011
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Diterbitkan oleh:
Penerbit Teras
Perum POLRI Gowok Blok D 3 No. 200 Depok Sleman Yogyakarta e-
Mail: [email protected] Telp.081802715955
Percetakan: SUKSES Offset Telp. 0274-486598 YOGYAKARTA
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat, taufiq, ma'unah dan hidayah-Nya, dan
mengucapkan sholawat atas rasul-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan buku ini dengan baik.
Penyusun membagi buku Ilmu Pendidikan Islam ihi menjadi
dua jilid, dengan harapan materi dan isinya bisa lebih memberikan
pengetahuan dan keilmuan yang mendalam kepada para pembaca,
terkait dengan Ilmu Pendidikan Islam (IPI) yang merupakan salah
satu mata kuliah dasar yang diajarkan pada Fakultas/jurusan
Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Matakuliah Ilmu
Pendidikan Islam (IPI) merupakan bagian terpadu dari pendidikan
nasional dan dalam pandangan "Tim Yogyakarta" ketika membahas
pembidangan ilmu agama Islam, mata kuliah ini termasuk dalam
Ilmu Sosial Islam yang tidak mungkin ditinggalkan untuk diajarkan.
Buku Ilmu Pendidikan Islam (IPI) ini akan membahas tema-
tema sentral dalam koridor Pendidikan Islam, yang dapat di-
i i i
KATA PENGANTAR
Ilmu Pendidikan Islam
jadikan koreksi, refleksi, atau menengok kembali tema-tema tersebut
sehingga dapat dijadikan pegangan, pedoman, dan acuan baik oleh
mahasiswa maupun oleh dosen dalam menghadapi realitas
pendidikan terutama pendidikan Islam dalam dinamika masyarakat.
Pada akhirnya dosen, mahasiswa bahkan pemerhati pendidikan
akan dapat merespon tantangan perubahan dan globalisasi, baik
dalam dataran filsafat, ideologi, konsep ilmu, metodologi, institusi,
organisasi, dan manajemen. Tujuannya untuk membangun Ilmu
pendidikan Islam yang betul-betul dapat menjawab tantangan
zaman, sehingga layak diterima oleh masyarakat dengan berbagai
pengembangan- pengembangan.
Pada buku IPI jilid I ini berisi bab-bab yang telah tersusun
secara sistematis, dan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku
serta kebutuhan materi yang akan dipelajari oleh mahasiswa sebagai
kompetensi yang harus dipenuhi dalam matakuliah ini. Dan setelah
terselesaikannya Buku IPI I ini nantinya akan disusul oleh Buku IPI
II, yang menjadi kelanjutan dari pembahasan materi-materi dalam
buku I.
Pada buku ini penyusun juga mencantumkan catatan kaki dari
referensi atau bibliografi yang penyusun kutip darinya, dengan
tujuan utamanya agar para pembaca dapat melacak lebih jauh
tentang isi dalam pembahasan-pembahasan buku ini dari sumber
aslinya. Selain itu, menurut penyusun, catatan kaki merupakan suatu
kewajiban moral dan intelektual atau merupakan kejujuran
intelektual seorang penulis karya ilmiah, sehingga dapat dijadikan
tolok ukur dan faliditas dari orisinalitas karya. Selain juga sebagai
pengakuan keilmuan, bahwa yang ditulis tersebut bukan mumi dari
pemikiran penyusun, namun dari hasil pemikiran orang lain.
Namun demikian, tidak menu-
iv
Kata Pengantar
tup kemungkinan bagi penulis untuk menuangkan pemikir- an-
pemikirannya sendiri di berbagai lembaran dalam buku ini.
Walaupun sudah dengan segenap kemampuan, usaha, dan
pemikiran penyusun semaksimal mungkin demi kesempurnaan
karya ini, penulis menyadari bahwa di sana-sini masih banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan. Sehingga penulis sangat
mengharapkan masukan, kritik yang konstruktif dari para pembaca
yang budiman, demi perbaikan dan penyempurnaan pada
penyusunan selanjutnya.
Namun demikian, terselesaikannya buku ini atas bantuan,
saran, kritik dan arahan berbagai fihak baik dari atasan maupun
teman kolega bahkan dari mahasiswa ketika penulis meng- ajarkan
matakuliah ini, baik langsung maupun tidak langsung, maka
penulis hanya mampu mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga, semoga amal ibadah mereka diterima dan dibalas
dengan yang lebih baik lagi.
Akhirnya, penyusun mengharap keridhaan All&h-SWT,
semoga buku ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan dan
keilmuan yang bermanfaat bagi keilmuan Islam khususnya, dan
keilmuan secara umum terlebih lagi khususnya dunia akademisi di
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung. Amien.
Wallahu a'lam bi al-showab
Muhammad Muntahibun Nafis, M.Ag
V
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
BAB I PENGERTIAN, RUANG LINGKUP,
DAN KEGUNAAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM ............ 1
A. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam ......................................... 1
B. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam …………. 26
C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam ........................................ 30
BAB II DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM . 35
A. Dasar-dasar Pendidikan Islam ............................................. 36
B.Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam
di Indonesia ............................................................................ 48
C. Landasan Pemikiran Pendidikan Islam ................................ 51
BAB III TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM .......................................... 57
A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam..................................... 57
B. Tahap-tahap Tujuan Pendidikan Islam ................................ 68
C. Aspek-aspek Tujuan Pendidikan Islam ............................... 71
vii
Ilmu Pendidikan Islam
BAB IV PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM... 83 A. Devinisi Pendidik dalam Pendidikan Islam 84
B. Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam .. 88
C.Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam 89
D.Syarat Dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan
Islam .............................................................................. 96
E. Keutamaan Mengajar .................................................... 108
BAB V PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM ............................................................................. 113
A. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam . 113
B. Sifat-sifat dan Kode Etik Peserta Didik
dalam Pendidikan Islam .............................................. 130
C. Dimensi-dimensi Peserta Didik .................................... 138
D. Keutamaan Belajar ...................................................... 165
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 169 CURICULUM VITAE .................................................................... 173
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Devinisi Ilmu Pendidikan Islam
Untuk mengetahui arti ilmu pendidikan Islam, maka
terlebih dahulu perlu diartikan apa pendidikan itu. Istilah
pendidikan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata "didik"
dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan", 'yang
mengandung arti "perbuatan" (hal, cara, dan sebagainya).1
Istilah pendidikan pada mulanya berasal dari bahasa Yunani
yaitu "paedagogie" yang berarti bimbingan yang diberikan
kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan "education" yang berarti pengembangan
atau bimbingan.
Dalam wacana ke-Islaman, pendidikan lebih popular
dengan istilah tarbiyyah, ta'lim, ta'dib, riyadloh, irsyad, dan tadris.
Dari masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan
1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia,
2004), hlm. 1.
1
Ilmu Pendidikan Islam
makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara
bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama
jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya
mewakili istilah yang lain. Implikasinya, dari berbagai literatur
Ilmu Pendidikan Islam, semua istilah itu terkadang digunakan
secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.2
Sejak dekade 1970-an, sering terjadi diskusi berkepanjangan
berkenaan dengan wacana apakah Islam memiliki konsep tentang
pendidikan ataukah tidak. Sementara para ahli berasumsi, bahwa
Islam tidak memiliki konsep, sehingga realisasi dan implementasi
sebuah pendidikan selama ini hanyalah mengadopsi konsep dan
sistem pendidikan Barat. Asumsi ini tentunya tidak boleh dengan
serta merta disalahkan, kendatipun tidak bias secara mutlak
diterima. Salah satu argumen yang biasa diajukan mereka adalah,
karena sampai sekarang peristilahan yang secara baku dan
konsisten disepakati semua fihak belumlah ada, kecuali dalam
wujud polemik yang tidak berkesudahan.3
Pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, di-
selenggarakan sebuah Konferensi Dunia yang pertama tentang
Pendidikan Islam di Makkah. Dalam konferensi (yang diprakarsai
dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University) ter
2 Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 10,
3 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2002), hlm. 1.
2
Pendahuluan
sebut, dibicarakan mengenai penggunaan ketiga istilah (tarbiyyah, ta'lim,
dan ta'dib) untuk pengertian pendidikan Islam.4 Salah satu hasil
keputusannya, telah dirumuskan pengertian Pendidikan Islam, sebagai
berikut:
The meaning of education in its totality in the context of Islam is inhernt
in the connotation of the term terbiyyah, ta‟lim, and ta'dib taken together.
What each oh these tearms conveys concerning man and his society and
environment in relation to God is related to the others, and together they
represent the scope of education in Islam, both formal and nonformal.
1. Perdebatan Devinisi di Tingkat Etimologi
a. Ta'dib
Istilah ta'dib berasal dari akar kata addaba yuaddibu ta'diiban yang
mempunyai arti antara lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang
baik, sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik. Kata addaba
yang merupakan asal kata dari ta'dib, juga merupakan persamaan kata
(muradif) allama yuallimu ta'liman. Muaddib yaitu yaitu seseorang yang
melaksanakan kerja ta'dib disebut juga muallim, yang merupakan sebutan
orang yang mendidik dan mengajar anak yang sedang tumbuh dan
berkembang.5
Ta'dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata
karma, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta'dib yang seakar
dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan,
sebaliknya peradaban
4 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 1,
bandingkan juga dalam Abdul Halim Soebahar, Wawasan Baru., him. 2.
5 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 4-5.
3
Ilmu Pendidikan Islam
yang berkualitas dan maju dapat diperoleh melalui pendidik- an.
Menurut Naquib al-Atas, ta'dib berarti pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan
pengakuan kekuatan dan pengagungan Tuhan.6 Pengertian ini
didasarkan pada hadits Nabi SAW:
ادبــــني ربــــــى فـــاحســـن تــأديبى
"Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku".
Hadits ini memberikan asumsi bahwa kompetensi Mu-
hammad sebagai seorang rosul dan misi utamanya adalah
pembinaan akhlak. Sehingga, implikasinya terhadap seluruh
aktivitas pendidikan Islam seharusnya memiliki relevansi dengan
peningkatan kualitas budi pekerti sebagaimana yang diajarkan
rosulullah.
Menurut Naquib bahwa kata yang diterjemahkan sebagai
mendidik adalah addaba masdarnya ta'diib, dan berarti pendidikan.
Hal ini mempunyai arti yang sama dan ditemu- kan rekanan
konseptualnya da dalam istilah ta'lim, meskipun diakui bahwa
cakupan istilah ta'dib lebih luas dari yang dicakup ta'lim. Dalam
artinya yang mendasar, addaba adalah The inviting to a banquet,
undangan kepada suatu perjamuan. Gagasan tentang suatu
perjamuan menyiratkan bahwa si tuan rumah adalah orang yang
mulia, sementara hadirin adalah yang di- perkirakan pantas
mendapatkan penghormatan untuk diun-
6Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 20.
4
Pendahuluan
dang. Oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang bermutu
pendidikan dan bisa menyesuaikan diri, baik tingkah laku
maupun keadaannya, sehingga konsep ta'dib (jika diaplikasikan
secara sederhana menurut persepsi Bloom) bukan sekedar
mencakup aspek afeksi, melainkan mencakup pula aspek kognisi
dan psikomotorik, kandatipun aspek yang pertama lebih
dominant.7
Konsekuensi akibat tidak dikembangkannya istilah ta‟dib
dalam konsep dan aktivitas pendidikan Islam menurut Naquib
berpengaruh pada tiga hal penting.8 Yaitu: Pertama, kebiasaan dan
kesalahan dalam ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya akan
menciptakan kondisi yang Kedua, yakni gilirannya adab dalam
umat. Kondisi yang timbul akibat yang pertama dan kedua adalah
konsekuensi yang Ketiga, serupa bangkitnya pemimpin yang tidak
memenuhi syarat kepemimpinan yang abash di kalangan umat,
karena tidak memenuhi standar moral, intelektual, dan spiritual
yang tinggi, yang dibutuhkan bagi suatu kepemimpinan
pengendalian yang berkelanjutan atas urusan-urusan umat oleh
pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai seluruh
bidang kehidupan.
Ta‟dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama),
terbagi atas empat macam9 (1) ta'dib adab al-haqq, pendidikan tata
krama spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan pengetahuan
tentang wujud kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada
memiliki kebenaran tersendiri dan yang dengan-
7Abd. Halim Soebahar., Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
hlm. 4. 8 Ibid. 9 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 20-21.
5
Ilmu Pendidikan Islam
nya segala sesuatu diciptakan, (2) ta'dib adab al-khidmah, pendidikan
tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba,
manusia harus mengabdi kepada sang Raja (malik) dengan
menempuh tata karama yang pantas, (3) ta'dib adab al-syari'ah,
pendidikan tata krama spiritual dalam syari'ah, yang tata caranya
telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala pemenuhan
sya'riah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang mulia, (4)
ta'dib adab al- shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam
persahabatan, berupa saling menghormati dan prilaku mulia di
antara manusia.
Menurut Naquib, ta'dib mengacu pada pada pengertian
Cilm), pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).
Sehingga menurutnya ta‟dib lebih tepat untuk menunjukkan
pendidikan dalam Islam.10 Nampaknya ia melihat ta'dib sebagai
sebuah sistem pendidikan Islam yang di dalamnya ada tiga sub
system, yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah).
Jadi tarbiyah dalam konsep Naquib hanya satu sub sistem dari
ta'dib.
Kalau kembali melihat ayat 18 surat al-syu'ara' dan al-isra'
ayat 24, maka dapat dinyatakan bahwa tarbiyah dalam ayat itu
lebih bersifat fisik-material daripada rohani-spiritual, karena
pendidikan di masa kanak-kanak lebih menonjol dalam bentuk
asuhan daripada pembinaan mental dan rohani. Dalam ayat 18
tersebut lebih nampak bahwa kurang dapat diterima apabila Musa
telah memperoleh didikan mental rohani di tengah keluarga
Fir'aun yang durhaka itu, kecuali hanya sekedar mengasuhnya
sampai besar.
10 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 2.
6
Pendahuluan
Apabila menggunakan analisa sejarah, maka sebenarnya
dapat dilihat kronologis historis bagaimana penggunaan
berbagai kata-kata tersebut. Dalam sejarah peradaban Islam,
semenjak masa Nabi sampai masa keemasannya di tangan Bani
Abbas, kata tarbiyah tidak pernah muncul dalam literatur-
literatur pendidikan. Barulah pada abad modern kata ini men-
cuat ke permukaan sebagai terjemahan dari kata education dalam
bahasa Inggris. Pada masa klasik, orang hanya mengenal kata
ta'dib untuk menunjukkan pendidikan, seperti dalam hadis,
yang artinya: "Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan
pendidikanku".
Pengertian semacam ini terus dipakai sepanjang masa
kejayaan Islam, hingga semua ilmu pengetahuan yang dihasil-
kan oleh akal manusia pada waktu itu disebut adab baik yang
langsung berhubungan dengan Islam seperti fiqh, tafsir, tauhid,
ilmu-ilmu bahasa Arab dan yang lain, maupun yang tidak ber-
hubungan langsung seperti fisika, filsafat, astronoomi, kedok-
teran, farmasi dan lainnya. Semua buku-buku yang memuat
ilmu-ilmu tersebut dinamai kutub al-adab, maka terkenallah al-
adab al-kabir dan al-adab al-shaghir yang ditulis oleh Ibn al-
Muqaffa' (w. 760 M), seorang ahli pendidikan di masa itu
disebut muaddib.n
Kemudian ketika para ulama mennjurus kepada bidang
spesialisasi dalam ilmu pengetahuan, maka peengertian adab
menyempit, hanya dipakai untuk menunjuk kesusasteraan dan
etika (akhlak); kosekwensinya ta‟dib sebagai konsep pendidikan
Islam hilang dari peredaran dan tidak dikenal lagi. Pada
akhirnya ahli pendidik Islam bertemu dengan istilah
11 Ibid., him. 3.
7
Ilmu Pendidikan Islam
12 Ibid., bandingkan dengan Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan
Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 2.
13 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 3.
8
education pada abad modem, mereka langsung menerjemah-
kannya dengan tarbiyah tanpa penyelidikan yang mendalam.
Padahal makna pendidikan Islam tidak sama dengan education
yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian populerlah
istilah tarbiyah di seluruh dunia untuk menunjuk pendidikan.12
b. Ta'lim
Istilah ta'lim berasal dari kata dasar "aslama" yang berarti
mengajar dan menjadikan yakin dan mengetahui. Pengguna-
annya dalam pengajaran, si pengajar berusaha untuk memin-
dahkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada orang yang
menerima atau belajar dengan jalan membentangkan,
memaparkan, dan menjelaskan isi pengetahuan atau ilmu yang
diajarkan itu yang dinamakan dengan "pengertian".13
Menurut Az-zajjaj, kata ta'lim atau allama, mempunyai arti
"sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-nabi-Nya". Dalam Al-qur'an
surat al-Baqarah ayat 31 dinyatakan:
“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya".
Dalam ayat lain surat al-alaq ayat 1-5 disebutkan:
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Pendahuluan
paling pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis
baca), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".
Dalam surat an-Naml juga disebutkan, yang artinya;
"Berkata (Sulaiman): wahai manusia, telah diajarkan kepada kami
pengertian bunyi burung".
Dari beberpa ayat tersebut, ada beberapa makna yang dapat
diambil, di antaranya bahwa kata 'allama mengandung
pengertian sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan,
tidak sampai pada pembianaan kepribadian. Karena sedikit
sekali membina kepribadian Nabi Sulaiman melalui burung,
atau membina kepribadian Adam melalui nama-nama benda.14
Selain itu ta'lim juga berhubungan dengan proses pendidikan,
karena dengan ta'lim (pengajaran) menjadikan seseorang
berilmu pengetahuan. Seseorang bisa menjadi berilmu (menge-
tahui hakikat sesuatu) melalui proses pengajaran dan pendi-
dikan.15
Ta'lim merupakan kata benda buatan (masdar) yang berasal
dari akar kata allama. Sebagian para pakar menerjemahkan istilah
tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta'lim diterjemahkan
dengan pengajaran. Kalimat allamahu 'ilm memiliki arti
mengajarkan ilmu kepadanya. Pendidika (tarbiyah) tidak saja
bertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan
psikomotorik, sementara pengajaran (ta'lim) lebih mengarah
pada aspek kognitif seperti pengajaran mata pelajaran
Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang relevan, sebab
14 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), him. 26-27. 15 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 4
9
Ilmu Pendidikan Islam
menurut pendapat yang lain dalam proses ta'lim menggunakan
domain afektif.16
Dr. Abdul Fattah Jalai (pengarang Min al-Ushul at-Tarba-
wiyyah fii al-Islam) berpendapat bahwa istilah ta'lim lebih luas
dibandingkan dengan tarbiyah hanya berlaku pada pendidikan
anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan
pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang
oleh Langeveld disebut dengan pendidikan "pendahuluan"),
atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-
kanak.17 Pandangan ini didasarkan pada ayat al- Isra' ayat 24 dan
surat asy-syu'ara' ayat 18 yang berbunyi:
16 Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 18-19.
17 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2002), hlm. 4-5.
10
"Dan ucapkanlah: Ya Rabbi, kasihanilah mereka berdua sebagaimana
(kasihnya) mereka berdua mendidik aku waktu kecil"
“Fir’aun menjawab: bukankah kami telah mendidikmu di dalam
(keluarga) kami waktu kamu masih kanak-kanak, dan kamu tinggal
bersama kami beberapa tahun dari umurmu".
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta'ilm dengan proses
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa
adanya batasan dan ketentuan tertentu. Ia mendasarkan ini dari
surat al-baqarah ayat 31 tentang 'allama Tuhan kepada Adam.
Proses transmisi itu dilakukan secara bertahap
Pendahuluan
sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma' (nama-
nama) yang diajarkan Tuhan kepadanya.18
Dalam Q.S Al-baqarah ayat 151 disebutkan: "Dan meng-
ajarkan (yu'allimu) kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (al- sunnah)
serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". Ayat
ini menunjukkan perintah kepada rosul-Nya untuk mengajarkan
al-Kitab dan al-sunnah kepada umatnya. Menurut Muhaimin,
pengajaran dalam ayat ini mengandung teoritis dan praktis,
sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran
melaksanakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan
menghilangkan kemadharatan. Pengajaran ini juga mencakup ilmu
pengetahuan dan al-hikmah (bijaksana).19 Suatu contoh guru
Matematika, akan berusaha mengajarkan al-hikmah Matematika,
yaitu pengajaran nilai kepastian dan ketetapan dalam mengambil
sikap dan tindakan dalam kehidupannya, yang dilandasi
pertimbangan yang rasional dan perhitungan yang matang. Inilah
suatu usaha untuk menguak sunnatullah dalam alam semesta
melalui pelajaran Matematika.
Kata ta'lim menurut Abdul Fattah Jalai merupakan proses
yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu
segi telah mencakup aspek kognisi, dan pada segi lain tidak
mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Hal ini ia jadikan
dasar ketika menafsiri ayat 151 di atas,dengan argumentasi bahwa
rosul adalah Mu'allim (pendidik). Dalam riwayat Muslim
digambarkan sosok cemerlang kepribadian rosul sebagai seorang
mu'allim: 20
18 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 19. 19 Ibid. 20 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
2002), hlm. 6.
11
Ilmu Pendidikan Islam
“tidak pernah kulihat sebelum dan sesudah-Nya (rosul) yang lebih baik
cara mendidiknya dari pada beliau".
Pada akhirnya Fattah memandang proses ta'lim lebih
universal dari tarbiyah. Sebab ketika mengajarkan "tilawah al-
Qur'an" kepada kaum muslimin, rosul tidak hanya sekedar
terbatas pada mengajar mereka membaca, melainkan membaca
disertai perenungan tentang pengertian, pamahaman, tanggung
jawab dan pananaman amanah. Dari membaca semacam itu rosul
kemudian membawa mereka kepada tazkiyah yakni pensucian dan
pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan
diri itu berada dalam suasana yang memungkinkannya dapat
menerima hikmah, mempelajari segala yang tidak diketahui dan
yang bermanfaat. Al-Hikmah tidak bisa dipelajari secara parsial
dan sederhana, tetapi harus mencakup keseluruhan ilmu secara
integral. Kata al-hikmah berasal dari kata al-ikhkam, yang berarti
keunggulan dalam ilmu, amal, perbuatan, atau di dalamnya
semua itu.21
c. Tarbiyah
Dalam leksikologi Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak ditemu-
kan istilah al-tarbiyah, namun terdapat beberapa istilah kunci yang
seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan
rabbani. Dalam Mu‟jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga
akar kebahasaan,22 yaitu:
21 Ibid.
22 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., him. 10
12
Pendahuluan
• Rabba, yarbu, tarbiyah: yang memiliki makna "tambah" (;zad)
dan "berkembang" (nama). Pengertian ini juga didasarkan
QS. ar-Rum ayat 39: "dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikanagar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah." Artinya, pendidikan
(tarbiyah) merupakan proses menumbuhkan dan
mengembangkan apa yang ada pada diri pesertadidik, baik
secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.
• Rabba, yurbi, tarbiyah: yang bermakna "tumbuh" (nasya'a) dan
menjadi besar atau dewasa (tara‟ra‟a). Artinya, pendidikan
(tarbiyah) merupakan usaha untk menumbuhkan dan
mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial,
maupun spiritual.
• Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki
(ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat,
memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki,
mengatur, dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya.
Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untk
memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan
mengatur kehidupan, peserta didik, agar ia dapat survive
lebih baik dalam kehidupannya.
Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman
Nabi Muhammad SAW,23 seperti terlihat dalam Al- Qur'an dan
Hadist Nabi. Dalam Al-Qur'an kata ini digunakan dalam
susunan sebagai berikut:
23 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), hlm. 25-26.
13
Ilmu Pendidikan Islam
"Berkata (Fir'aun kepada Nabi Musa), Bukankah kami telah mengasuhmu
(mendidikmu) dalam keluarga kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan
tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu."
Dari ayat tersebut, dapatlah dimengerti pandangan yang
diungkapkan Naquib al-Atas,"tarbiyah" secara semantik tidak
khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat
dipakai kepada spesies yang lain, seperti mineral, tanaman, dan
hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengandung
arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembang-
kan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertum-
buhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah
matang, dan menjinakkan.24
Dalam pandangan Ahmad Warson ia mengemukakan
bahwa tarbiyah berarti namaa (tumbuh) dan zaadu (bertambah).25
24 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm, 2,
25 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: tnp
1984), hlm. 1565.
"Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka telah
mangasuhku (mendidikku) sejak kecil." (QS. 17 Al-Isra' 24)
Dalam bentuk kata benda, kata "rabba” ini digunakan juga
untuk "Tuhan", mungkin karena Tuhan juga bersifat mendidik,
mengasuh, memelihara, dan bahkan mencipta.
Dalam ayat yang lain kata ini digunakan dalam susunan
sebagai berikut:
14
Pendahuluan
Menurut Ibnu Mansur bentuk tarbiyah dengan bentuk lain dari akar
kata raba dan rabba maknanya sama dengan akar kata ghadza dan
ghadzwa yang menurut al-Alma'i dan al-Jauhari berarti memberi
makan, memelihara, dan mengasuh.26 Menurut Ibnu Mansur kata-
kata ini dapat mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh, seperti
anak-anak dan tanaman, dan sebagainya.
Menurut Fahr al-Razi, istilah rabbayani tidak hanya mencakup
ranah kognitif, tetapi juga afektif. Sementara Sayyid Qutb
menafsirkan ayat tersebut sebagai pemeliharaan jasmani anak dan
menumbuhkan mentalnya. Dua pendapat ini memberikan
gambaran bahwa istilah tarbiyah mencakup tiga domain pendidikan,
yaitu kognitif (cipta), afektif (rasa), dan psikomo- torik (karsa) dan
dua aspek pendidikan jasmani dan rohani.27
Prof. Muhammad Alhiyah al-Abrasyi dan Prof. Mahmud
Yunus berpandangan bahwa istilah tarbiyah dan ta'lim dari segi
makna istilah maupun aplikasinya memiliki perbedaan
mendasar, mengingat dari segi makna istilah tarbiyah berarti
mendidik, sementara ta'lim berarti mengajar, dua istilah yang secara
substansial tidak bisa disamakan.28 Menurut kedua pakar tersebut,
perbedaan mendidik dan mengajar sangatlah mendasar. Mendidik
berarti mempersiapkan pesertadidik dengan segala macam cara,
supaya dapat mempergunakan tenaga dan bakatnya dengan baik,
sehingga mencapai kehidupan yang sem
26 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. hlm.
3.
27 Abdul Mu jib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 12.
28 Abd. Halim Soebahar., Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta:
Kaiam Mulia, 2002), hlm. 7.
15
Ilmu Pendidikan Islam
purna dalam masyarakat. Oleh sebab itu tarbiyah mencakup
pendidikan jasmani, pendidikan akal, akhlak, perasaan, keindah-
an, dan kemasyarakatan. Sementara ta'lim merupakan salah satu
(bagian) dari pendidikan yang bermacam-macam itu. Dalam
ta'lim, guru mentransfer ilmu, pandangan atau pikiran kepada
peserta didik menurut metode yang sesuai, sedangkan dalam
tarbiyah peserta didik turut terlihat membahas, menyelidiki,
mengupas, serta memikirkan soal-soal yang sulit dan mencari
jalan untuk mengatasi kesulitan itu dengan tenaga dan pikirannya
sendiri. Oleh sebab itu ta'lim merupakan tarbiyah al-'aql, bagian
dari tarbiyah, dengan tujuan supaya peserta didik mendapatkan
ilmu pengetahuan atau kepandaian. Sedangkan tarbiyah
mengarahkan peserta didik supaya hidup berilmu, beramal,
bekerja, bertubuh sehat, berakal cerdas, berakhlak mulia, dan
pandai di tengah-tengah masyarakat.29
Tarbiyah juga diartikan dengan "proses transformasi ilmu
pengetahuan dari pendidik (rabbani) kepada peserta didik, agar ia
memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan
menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ke- taqwaan, budi
pekerti, dan kepribadian yang luhur". Sebagai proses, tarbiyah
menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu
pengetahuan, mulai dari pengetahuan yang mendasar menuju
pengetahuan yang lebih tinggi dan sulit.30 Paradigma ini diambil
dari Q.S Ali Imran 79, yang artinya: "Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya".
29 Ibid.
30 Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 12-13.
16
"Proses menyampaikan (transformasi) sesuatu sampai pada batas
kesempurnaan yang dilakukan tahap demi tahap sebatas pada kesanggup-
annya".
Dari pemikiran ini, ada lima key word (kata kunci) yang
dapat dianalisis, yaitu:
1. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dianggap sebagai
usaha penyampaian, pemindahan, dan transformasi dari
orang yang tahu (pendidik) kepada orang yang tidak tahu
(peserta didik) dan dari orang dewasa kapada orang yang
belum dewasa.
2. Sesuatu (al-syai). Maksud dari "sesuatu" di sini adalah
kebudayaan, baik material maupun nonmaterial (ilmu
pengetahuan, seni, estetika, etika, dan lain-lain) yang harus
diketahui dan diinternalisasikan oleh peserta didik.
3. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksud-
nya adalah bahwa proses pendidikan itu berlangsung terus-
31 Ibid., him. 13-14.
17
Pendahuluan
Hadis Nabi memperkuat hal ini dengan pernyataan:
"Jadilah rabbani yang penyantun, memiliki pemahaman, dan berpenge-
tahuan. Disebut rabbani karena mendidik manusia dari pengetahuan
tingkat rendah menuju pada tingkat tinggi". (HR.Bukhari dari Ibnu Abbas)
Ada dua pemikiran yang menguatkan pandangan bahwa
tarbiyah lebih luas cakupannya,31 yaitu:
Ilmu Pendidikan Islam
menerus tanpa henti, sehingga peserta didik memperoleh
kesempurnaan, baik dalam pembentukan karakter dengan
nilai-nilai tertentu maupun memiliki kompetensi tertentu
dengan ilmu pengetahuan.
4. Tahap demi tahap {syay fa syay). Maknanya adanya trans-
formasi ilmu pengetahuan dan nilai dilakukan dengan
berjenjang menurut tingkat kedewasaan peserta didik, baik
secara biologis, psikologis, social, maupun spiritual.
5. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti'dadihi). Makna
yang terkandung yaitu dalam proses transformasi penge-
tahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat peserta didik,
baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosisl, ekonomi dan
sebagainya, agar dalam tarbiyah ia tidak mengalami kesulitan
dan hambatan.
Ada kekurangan dari pemikiran ini, yaitu proses pendi-
dikan didominasi oleh pendidik dengan kurang memberi ruang
dan waktu untuk mengaktualisasikan dirinya. Dalam aliran
pendidikan, pemikiran ini masuk dalam kategori empirisme. Hal
ini terjadi karena pendidik kurang memperhatikan kemampuan,
potensi, dan kecenderungan yang ada pada diri peserta didik.
Seakan-akan peserta didik adalah manusia yang tidak dibekali
apa-apa, tidak ada potensi apapun, sehingga pendidik adalah
segalanya bagi peserta didik. Implikasi logisnya bahwa adalah
peserta didik bagai sebuah robot yang deprogram oleh pendidik,
secara determenistik yang hidup atau matinya robot berada pada
tangan pendidik. Hal ini akan mengakibatkan adanya
penghambatan kreativitas dan inovasi peserta didik yang
seharusnya dapat tumbuh berkembang secara normal, karena
18
Pendahuluan
"Proses mengembangkan (aktualisasi) sesuatu yang dilakukan tahap
demi tahap sampai pada batas kesempurnaan".
Dari pemikiran ini ada lima Key Word (kata kunci) yang
dapat dianalisa, yaitu: ,
1. Mengembangkan (insya'). Pendidikan dipandang sebagai
usaha menumbuhkan, mengembangkan, dan mengaktuali-
sasikan potensi peserta didik, yang dilakukan oleh pendidik.
2. Sesuatu (al-syay). Makna yang terkandung adalah beberapa
potensi dasar manusia, seperti al-fitrah (citra asli), al- hayah
(vitality), al-thab‟u (tabiat), al-jibillah (konstitusi), al-sajiyah
(bakat), al-sifat (sifat-sifat), sehingga berbuah pada al-amal
(prilaku).
3. Tahap demi tahap (halan fa halan). Maknanya adalah, segala
upaya yang dilakukan untuk mengaktualisasikan potensi
19
32 Ibid., hlm. 15-16.
pendidik memang bertujuan untuk memberikan sesuatu yang
relevan dengan masa depan peserta didik nantinya. Namun
demikian, segi positif yang dapat ditangkap dari pemikiran ini,
yaitu adanya pelestarian nilai-nilai, budaya, dan ilmu pengetahuan
dari generasi ke generasi dengan semakin bertambahnya kualitas
dan kuantitasnya pada dinamika zaman sekarang ini. Karena akan
terjadi kemandegan bahkan kemunduran ke- budayan dan
peradaban peserta didik yang disebabkan belum
ditransformasikannya berbagai bentuk kebudayaan dan peradaban
yang hakiki.
Pemikiran yang kedua adalah:32
Ilmu Pendidikan Islam
itu harus bertahap, agar secara psikologis peserta didik tidak
merasa ditekan atau didominasi oleh pendidiknya. Sehingga
hal ini memerlukan pendekatan yang bersifat persuasif dalam
pelaksanaan proses pendidikan.
4. Sampai pada batas kesempurnaan (ila hadd al-tamam).
Maksudnya adalah dalam proses aktualisasi potensi peserta
didik diperlukan waktu yang lama, sehingga seluruh poten-
sinya benar-benar teraktual secara maksimal.
5. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti'dadihi). Maksudnya
adalah dalam proses aktualisasi peserta didik itu harus
mengetahui tingkat peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi
fisik, psikis, social, ekonomi dan sebagainya, agar dalam
tarbiyah itu ia tidak merasa 'terjajah'. Jangan sampai ia 'dewasa'
sebelum waktunya, sehingga ia tidak dapat menikmati masa
kecilnya. Ia tidak bermain sebagaimana kebanyakan anak
kecil, sekalipun ia mengetahui pengetahuan seperti orang
dewasa.
Asumsi yang terbangun dalam pemikiran kedua ini, adalah
manusia lahir memiliki potensi unik yang berbeda satu dengan
yang lain, sehingga diketahui masing-masing perbedaan individu
(al-furuq al-fardiyyah). Semua potensi itumasih bersifat potensial
yang harus diaktualisasikan melalui usaha pendidikan.
Berdasarkan pemahaman itu, tugas pendidikan cukup
menumbuhkan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan
berbagai potensi peserta didiknya. Pendidik tidak perlu mencetak
peserta didiknya menjadi ini dan itu, apalagi usahanya itu tak
seiring dengan potensi dasarnya. Ia cukup menum-
buhkembangkan daya cita, rasa dan karsanya dengan tidak
20
Pendahuluan
mengubah potensi dasarnya. Apabila potensi yang mengaktual
pada peserta didik itu merupakan potensi yang buruk dan jahat,
maka tugas pendidik adalah mencarikan sublimasi yang bisa
mengalihkan perkembangan potensi itu, sehingga yang
mengaktual potensi baiknya.33
Dari pemikiran seperti ini, dapat dilihat adanya sisi keku-
rangan yaitu peserta didik tidak memiliki standar kebudayaan,
nilai dan ilmu pengetahuan yang merata. Sebab kegiatan
pendidikan difokuskan pada pengembangan potensi internal
peserta didik. Hasil kebudayaan dan peradaban masa lalu di-
abaikan begitu saja, tanpa diturunkan kepada generasi berikut-
nya. Namun sisi kelebihan yang didapat adalah terdapat rele-
vansi antara apa yang diberikan oleh pendidik dengan kebutuh-
an dan keinginan peserta didik. Fungsi pendidik hanya meru-
pakan fasilitator terhadap penumbuhan dan pengembangan
potensi peserta didik untuk meraih harapan dan kebutuhan yang
diinginkan.34
2. Pengertian secara terminologi
Pengertian pendidikan Islam cukup beraneka ragam dan
bermacam-macam yang sudah dinyatakan para pakar pendidik-
an Islam, sebagaimana berbagai pendapat dalam dataran
etimologi. Syed Muhammad al-Nuquib al-Attas memberikan
konsep yaitu: "sekiranya kita ditanya, apakah pendidikan itu?,
maka dapat dikemukakan sebuah jawaban sederhana: pendi-
dikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri
manusia".35 Ada tiga hal unsur pokok pembentuk pendidikan
33 Ibid. 34 Ibid., him. 17. 35 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), him.
5.
21
Ilmu Pendidikan Islam
yang dapat diambil dari jawaban tersebut, yaitu: proses,
kandungan, dan penerima. Maknanya adalah: "proses" adalah
penanaman sebuah pendidikan yang mengandung sebuah metode
dan adanya sistem yang komperhensif dengan cara bertahap dan
berkelanjutan. Dan "sesuatu" di sini dimaksudkan pada
kandungan, nilai yang ditanamkan yaitu berupa ilmu yang haqiqi
dan diyakini kebenarannya yang sesuai dengan konsep yang ada
dalam agama Islam yang tercermin dalam al-Qur'an. Hal ini
didasarkan dari asumsi bahwa semua ilmu bersumber dan datang
dari Allah SWT. Sedangkan "diri manusia" adalah penerima proses
dan kandungan tersebut yang tak lain adalah perserta didik.
Menurut Muhammad SA. Ibrahim (kebangsaan Bangladesh
pendidikan Islam adalah: Islamic education in true sense of the lern, is
the system of education whice enable a man to lead his life according to
the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance
whit tenets of Islam (pendidikan Islam dalam pandangan yang
sebenarnya adalah suatu system pendidikan yang memungkinkan
seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan
ideology Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk
hidupnya sesuai dengan ajran Islam).36 Dalam paradigma ini dapat
dimaknai bahwa pendidikan Islam merupakan suatu system, yang
di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling terkait.
Misalnya system akidah, syariah dan akhlak, yang meliputi domain
afektif, kognitif, dan psikomotorik, yang keberartian satu unsur ter-
pengaruh dari keberartian unsure yang lain. Pendidikan Islam
36Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 25.
22
Pendahuluan
juga dilandaskan atas ideologi Islam, dengan harapan bahwa
proses pendidikan yang dilakukan tidak bertentangan dengan
nilai dasar ajaran Islam.
Sedangkan dalam pandangan Muhammad Athiyah al-
Abrasyi, pendidikan Islam adalah sebuah proses untuk mem-
persiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan ber-
bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi
pekertinya (akhlaknya), teratur fikirannya, mahir dalam
pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan.37
Menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jas-
mani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam.38 Dari pengertian ini, pendidikan di-
topang dengan adanya tiga unsur pokok; Pertama, harus ada
usaha yang berupa bimbingan bagi pengembangan potensi
jasmani dan rohani secara berimbang, Kedua, adanya usaha yang
dilakukan itu harus berdasarkan atas ajaran Islam. Ketiga, usaha
itu bertujuan agar peserta didik memiliki kepribadian utama
menurut ukuran Islam (kepribadian muslim).
Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendevinisi- kan
pendidikan Islam dengan proses mengubah tingkah laku
individu pada kehidupan pribandi, masyarakat dan alam se-
kitarnya, dengan cara pengajaran sebagaai suatu aktivitas asasi
dan sebagai profesi di antara profesi-profesi masyarakat. Al-
Syaibani lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, dari
yang buruk menuju yang baik, dari yang minimal menuju
37 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
him. 4.
38 Ibid.
23
Ilmu Pendidikan Islam
yang maksimal, dari yang potensial menuju yang aktual, dan dari
yang pasif menuju yang aktif. Di sini akhirnya pengajaran
dijadikan sebagai sarana dalam proses perubahan tingkah laku
tersebut, yang mencakup dua level perubahan yaitu, pada tingkat
individu (etika personal), yang menghasilkan kesalehan
individual, dan lebih dari itu mencoba supaya dapat mencakup
tingkatan yang lebih luas yaitu kesalehan sosial, hasil dari etika
masyarakat (sosial).39
Ada yang berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan
usaha menumbuhkan dan membentuk manusia muslim yang
sempurna dari segala aspek yang bermacam-macam aspek seperti
kesehatan, akal, keyakinan, kejiwaan, akhlak, kemau- an, daya
cipta dalam semua tingkat pertumbuhan yang disinari oleh
cahaya Islam dengan berbagai metode yang terkandung di
dalamnya. Pendapat ini diungkapkan oleh seorang guru besar
Islam Ilmu Sosial Universitas Muhammad bin Su'ud di Riyadh
Saudi Arabia, yaitu Miqdad Yeljin.40
Lebih luas lagi yaitu pendapat dari guru besar pendidikan
Islam di Tnisia, Muhammad Fadhil al-Jamali yang mengajukan
pengertian pendidikan Islam dengan upaya mengembangkan,
mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik pada level
akal, perasaan maupun perbuatan.41 Dari pengertian
39 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), him. 25-26, bandingkan dengan Munardji, Ilmu
pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu 2004), hlm. 8.
40 Munardji, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 7. 45 Abdul Mujib, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 26.
24
Pendahuluan
ini dapat diambil sebuah makana bahwa sebuah pendidikan
bertumpu pada tiga unsur pembentuknya, yaitu Pertama, adanya
proses dalam aktivitas pendidikan denga mengembangkan,
mendorong, dan mengajak peserta didik untuk lebih maju dari
kehidupan sebelumnya. Peserta didik yang tidak memiliki
pengetahuan dan pengalaman apa-apa dibekali dan dipersiapkan
dengan seperangkat pengetahuan agar ia mampu meres- pon
dengan baik. Kedua, Seluruh usaha dalam proses pendidikan
berlandaskan pada nilai-nilai luhur dan mulia. Peningkatan
pengetahuan dan pengalaman harus dibarengi dengan
peningkatan kualitas akhlak. Ketiga, upaya pendidikan menjurus
pada semua kecenderungan-kecenderungan, kemampuan, yang
dibawa peserta didik, dari seluruh domain pendidikan, kognitif
(akal), afektif (perasaan), dan psikomotorik (perbuatan).
Dalam buku al-Tarbiyah wa al-Ta'lim al-Qur'an al-Karim
diartikan bahwa pendidikan Islam merupakan proses pen-
dekatan manusia kepada tigkat kesempurnaan dan mengem-
bangkan kemampuannya.42 Devinisi ini sebagaimana dijelaskan
Jalaludin Rahmat, mempunyai tiga makna pendidikan, Pertama,
pendidikan merupakan sebuah proses untuk membantu
pencapaian tingkat kesempurnaan, yaitu manusia yang mencapai
tingkat keimanan dan berilmu (QS. al-Mujadalah: 11), yang
disertai kualitas amal saleh (QS. al-Mulk: 2), Kedura, pendidikan
merupakan sebuah model, maka rosulullah sebagai uswah hasanah
yang sudah dijamin Allah (QS. al-Ahzab: 21, al- Qalam: 4), dan
Ketiga, perlu disadari bahwa pendidikan Islam harus
mempertimbangkan pembawaan manusia yang mempunyai
potensi baik sekaligus buruk, (QS. al-Syams: 7-8) sifat
42 Ibid., hlm. 26-27.
25
Ilmu Pendidikan Islam
lemah (QS. al-Nisa': 28), terburu-buru (QS. al-Anbiya': 37), keluh
kesah (QS. al-Ma'aarij: 19), ruh yang ditiupka Allah pada saat
penyempurnaan penciptaannya (QS. Shad: 72). Pendidikan Islam
harus berusaha menumbuhkan, membangkitkan, meningkatkan
potensi-potensi yang baik tersebut, dan semaksimal mungkin
meminimalisir berkembangnya potensi- potensi yang buruk.
Pada tahun 1960 diadakan seminar pendidikan Islam se-
Indonesia, yang ahirnya merumuskan bahwa pendidikan Islam
merupakan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,
mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.43
Beberapa hal yang dapat diambil sebagai benang merah
dari seluruh pendapat, pandangan tentang pengertian pendidikan
Islam di atas, bahwa pendidikan Islam merupakan proses trans-
internalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik
melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan, pengarahan, dan pengembangan potensi-
potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup
di dunia dan akhirat, jasmani dan rohani. Bimbingan tersebut
dilakukan secara sadar dan terus-menerus dengan disesuaikan
fitrah dan kemampuan, baik secara individu, kelompok, sehingga
ia mampu menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran
Islam secara utuh-menyeluruh dan komperhensif.
B. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Menurut pandangan H.M. Ari f in, pendidikan Islam mem-
punyai ruang lingkup mencakup kegiatan-kegiatan kepen-
43 Ibid., hlm. 27.
26
Pendahuluan
didikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambung-
an dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi:44
1. Lapangan hidup keagamaan, agar perkembangan
pribadi manusia sesuai dengan norma-norma ajaran agama
Islam.
2. Lapangan hidup berkeluarga, agar berkembang menjadi
keluarga yang sejahtera.
3. Lapangan hidup ekonomi, agar dapat berkembang menjadi
sistem kehidupan yang bebas dari penghisapan manusia
oleh manusia.
4. Lapangan hidup kemasyarakatan, agar terbina masyarakat
yang adil dan makmur di bawah ridlo dan ampunan-Nya.
5. Lapangan hidup politik, agar tercipta sistem demokrasi
yang sehat dan dinamis sesuai dengan ajaran Islam.
6. Lapangan hidup seni dan budaya, agar menjadikan hidup
manusia penuh keindahan dan kegairahan yang tidak
gersang dari nilai-nilai moral agama.
7. Lapangan hidup ilmu pengetahuan, agar perkembangan
menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan hidup umat
manusia yang dikendalikan oleh iman.
Apabila menggunakan paradigma dan asumsi dari ung-
kapan rasul yang menganjurkan untuk menuntut ilmu dari
ayunan sampai liang lahat dan menuntut ilmu itu adalah ke-
wajiban pria dan wanita, maka ruang lingkup pendidikan Islam
tidak mengenal bats umur dan perbedaan jenis kelamin bahkan
tempat dan masa.
44 Munardji, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu 2004), hlm. 15
27
Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas. Karena di dalamnya banyak segi-segi atau pihak-
pihak yang ikut terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun segi-segi dan fihak-fihak yang terlibat dalam pendidikan
Islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan Islam
adalah:45
1. Perbuatan mendidik itu sendiri.
Yang dimaksud dengan perbuatan mendidik di sini adalah
seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang
dilakukan oleh pendidikan sewaktu mengahdapi atau
mengasuh peserta didik. Dengan istilah yang lain yaitu sikap
atau tindakan menuntun, membimbing, memberikan per-
tolongan dari seorang pendidik kepada peserta didik menuju
kepada tujuan pendidikan Islam. Dalam perbuatan mendidik
ini sering disebut dengan istilah tahzib.
2. Dasar dan tujuan pendidikan Islam
Yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari
segala kegiatan pendidikan Islam. Semua hal yang masuk
dalam proses pendidikan harus bersumber dan berlandaskan
dasar tersebut. Dengan dasar dan sumber ini, peserta didik
akan dibawa sesuai dengan dasar dan sumbernya.
3. Peserta didik
Yaitu fihak yang merupakan obyek terpenting dalam pen-
didikan. Hal ini disebabkan karena segala tindakan pen-
didikan diarahkan pada tujuan dan cita-cita pendidikan
Islam.
45 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia,
1998), hlm. 13-16.
28
Pendahuluan
4. Pendidik
Secara singkat dapat dikatakan sebagai subyek pelaksana
proses pendidikan. Pendidik akan dapat membawa suatu
pendidikan pada baik dan buruknya, sehingga peranan
pendidik dalam keberhasilan pendidikan sangat menentukan.
5. Materi dan kurikulum pendidikan Islam
Yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman pendidikan,
yang sudah tersusun secara sistematis dan terstruk- tur untuk
disampaikan dalam proses pendidikan kepada peserta didik.
6. Metode pendidikan Islam
Yaitu cara dan pendekatan yang dirasa paling tepat dan sesuai
dalam pendidikan untuk menyampaikan bahan dan materi
pendidikan kepada pesrta didik. Metode digunakan untuk
mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan,
supaya materi dapat dengan mudah diterima dan ditangkap
oleh peserta didik sesuai dengan karakteristik dan tahapan
peserta didik.
7. Evaluasi pendidikan Islam
Yaitu cara-cara yang digunakan untuk menilai hasil pendi-
dikan yang sudah dilakukan. Pada pendidikan Islam, umum-
nya tujuan tidak semuanya dapat dicapai seketika dan
sekaligus, melainkan melalui proses dan pentahpan tertentu.
Dengan evaluasi, pendidikan dapat dilanjutkan pada jenjang
yang lebih tinggi namun harus melihat apakah sebuah tujuan
yang sudah ditargetkan pada suatu tahap atau fase sudah
tercapai dan terlaksana.
29
Ilmu Pendidikan Islam
8. Alat-alat pendidikan Islam
Yaitu alat-alat yang digunakan selama proses pendidikan
dilaksanakan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara
tepat.
9. Lingkungan pendidikan Islam Keadaan-keadaan dan tempat-
tempat yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta
keberhasilan suatu pendidikan.
C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam
Ilmu pendidikan Islam memiliki arti dan peranan penting
dalam kehidupan manusia, dikarenakan fungsi yang dimiliki
Ilmu Pendidikan Islam. Adapun beberapa fungsi tersebut adalah:
1. Al-Dilalah, yaitu bahwa ilmu pendidikan Islam melakukan
pembuktian toeri-teori kependidikan Islam, yang merangkum
aspirasi atau cita-cita Islam yang harus diikhtiarkan agar
menjadi kenyataan.
2. Al-Ikhbar, yaitu bahwa Ilmu Pendidikan Islam memberikan
bahan-bahan informasi tentang pelaksanaan pendidikan
dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pendidikan Islam tersebut. Ia memberikan
bahan masukan (input) kepada ilmu ini. Mekanisme proses
kepandidikan Islam dari segi operasional dapat dipersamakan
dengan proses mekanisme yang berasal dari penerimaan
(input), lalu diproses dalam kegiatan pendidikan (dalam
bentuk kelembagaan atau non-kelembagaan yang disebut
truput), kemudian berakhir pada output (hasil yang di
30
Pendahuluan
harapkan). Dari hasil yang diharapkan itu timbul umpan
balik (feed back) yang mengoreksi bahan masukan (input).
Mekanisme proses semacam ini berlangsung terus menerus
selama proses kependidikan terjadi. Semakin banyak diper-
oleh bahan masukan (input) dari pengalaman operasional itu,
maka semakin berkembang pula Ilmu Pendidikan Islam.
3. Al-Khisabah, yaitu bahwa Ilmu pendidikan Islam berfungsi
sebagai pengoreksi (korektor) terhadap teori-teori yang
terdapat dalam Ilmu pendidikan Islam itu sendiri, sehingga
pertemuan antara teori dan praktek akan semakin nyata, dan
hubungan keduanya akan semakin bersifat interaktif (saling
mempengaruhi).
Untuk dapat lebih jelas dalam memahami ketiga fungsi
tersebut, lihat skema berikut:
Skema pendidikan tersebut memberikan gambaran bahwa
input (bahan masukan) menjadi titik tolak pertama dalam proses
berjalannya sebuah pendidikan. Dalam sebuah lembaga
pendidikan, semakin banyak input seperti informasi, maka
semakin baik pengaruhnya bagi kemajuan lembaga pendidikan
tersebut. Sehingga, kekurangan-kekurangan yang selama ini
terjadi, dengan adanya berbagai input yang diperoleh
31
Ilmu Pendidikan Islam
terkait keberlangsungan pendidikan dan pembelajarannya akan
terselesaikan dengan baik. Ketika proses mata rantai skema
tersebut masih bisa berjalan, maka dinamika dan perkembangan
sebuah lembaga pendidikan masih terwujud, sebaliknya ketika
skema tersebut tidak berjalan, maka stagnasi atau kemandegan
akan terjadi.
Memperhatikan hal tersebut, maka Ilmu Pendidikan Islam
perlu dipelajari setiap muslim, yang berkeinginan agar pendidikan
yang diselenggerakan dapat berlangsung lancar dan mencapai
sasarannya. Mengenai perlunya mempelajari Ilmu Pendidikan
Islam ini, H.M. Arifin menyatakan sebagai berikut:46
» Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus
melalui proses yang panjang, dengan resultan (hasil) yang tidak
dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk
benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan
pembuatnya.
Dalam proses pembentukan tersebut diperlakukan suatu
perhitungan yang matang dan hati-hati berdasarkan pan-
dangan dan fikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan
atau kesalahan-kesalahan langkah pembentuknya terhadap
peserta didik dapat dihindarkan. Oleh karena itu lapangan
tugas dan sasaran pendidikan adalah makhluk yang sedang
tumbuh dan berkembang yang mengandung berbagai ke-
mungkinan. Bila terjadi salah bentuk, maka akan sulit mem-
perbaikinya.
• Pendidikan Islam pada hususnya yang bersumberkan nilai- nilai
agama Islam di samping menanamkan atu membentuk
46 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia, 1998),
him. 17.
32
Pendahuluan
sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengem-
bangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan
nilai-nilai Islam yang melandasinya adalah merupakan
proses ikhtiariyah secara pedagogis mampu mengembangkan
hidup peserta didik ke arah kedewasaan atau kematangan
yang bermanfaat baginya. Oleh karena itu usaha ini tidak
dapat hanya berdasarkan atas trial and error (coba-coba) atau
atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa
dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat di-
pertanggung jawabkan secara ilmiah pedagogis.
• Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah
dengan tujuan untuk mensejahterakan dan membahagiakan
hidup dan kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat,
baru akan mempunyai arti fungsional dan aktual dalam diri
manusia bilaman dikembangkan melalui proses kependi-
dikan yang sistematis. Oleh karena itu teori-teori pendi-
dikan Islam yang disusun secara sistematis merupakan
kompas bagi proses tersebut.
• Ruang lingkup kependidikan Islam adalah mencakup
segala bidang kehidupan manusia di dunia di mana manu-
sia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-
benih yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti, maka
pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah dalam pribadi
manusia baru dapat efektif bilaman dilakukan melalui
proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah
ilmu pengetahuan kependidikan.
• Teori-teori, hipotesa dan asumsi-asumsi kependidikan
yang bersumberkan ajaran Islam sampai kini masih belum
tersusun secara ilmiah meskipun bahan-bahan bakunya
33
Ilmu Pendidikan Islam
telah tersedia, baik dalam kitab suci Al-Qur'an, Al-Hadits
maupun qaul ulama. Untuk itu diperlukan penyusunan
secara sistematis yang didukung dengan hasil penilaian
yang luas. []
34
BAB II
DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN
ISLAM
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk
mencapai suatu tujuan harus mempunya tempat lan- dasan
berpijak yang baik dan kuat. Sehingga pendidikan Islam sebagai
suatu upaya membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke
mana semua kegiatan dan perumusan tujuan pendidikan Islam
diarahkan. Dari sini dasar adalah merupakan landasan untuk
berpijaknya sesuatu, yang akan memberikan arah yang jelas
kepada tujuan yang hendak diraih. Setiap negara, mempunyai
dasar pendidikannya sendiri sebagai cerminan falsafah hidup yang
dianutnya, sehingga dari sini suatu pendidikan disusun. Dan
karenanya sistem pendidikan suatu negara menjadi berbeda
dikarenakan perbedaan falsafah hidup yang dianutnya.
Beberapa contoh di antaranya, Negara Malaysia yang men-
dasarkan pendidikannya kepada prinsip-prinsip Rukun-negara
yang merupakan refleksi falsafah hidup bangsa Malaysia. Prinsip-
prinsip Rukun-negara yaitu1:
1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 12.
35
Ilmu Pendidikan Islam
Kepercayaan kepada Tuhan Kesetiaan
kepada Raja dan Negara Keluhuran
Perkembangan Kedaulatan Undang-
undang Kesopanan dan Kesusilaan
Contoh lain yaitu Negara Islam Pakistan yang mendasarkan
pendidikannya pada Islam, sehingga diputuskan oleh Menteri
Pendidikan Islam Pakistan pada bulan November 1947, yang
memutuskan: (1), Education should be based on the Islamic conception of
universal brotherhood of man, social democracy and social justice, (2), It should be
compulsery for student to learn the fundamental principles to their religion, (3), There
should be proper integration of spiritual, social, ang vocational elements in
education.2
Penentuan dasar ini memiliki urgensi untuk3:
1. Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai.
2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses
belajar-mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode,
media, sarana, dan evaluasi.
3. Menjadi standard an tolok ukur dalam evaluasi, apakah ke-
giatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang
diharapkan atau belum.
A. Dasar Ke-Islaman
Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam
itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama
2 Ibid., hlm. 12-13.
3 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 31.
36
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
yaitu Al-Qur'an dan hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan
dalam pemahaman para ulama' dan lain sebagainya.4 Dengan versi
lain pendidikan Islam secara umum memiliki enam dasar (di sini
ada berbagai versi dan pendapat) dalam pandangan Sa'id Ismail
Ali sebagaiman dikutip Hasan Lang- gulung.5 Yaitu: Al-Qur'an, Al-
Sunnah, Kata-kata sahabat (madzhab sahabi), kemaslahatan
umat/sosial (mashlahah al-mursalah), tradisi atau adapt ('urf), dan
hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam dasar
pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hierarkhis, dengan
arti bahwaa sumber utama dan pertama adalah al-Qur'an kemudian
dasar-dasar yang selanjutnya.
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an dijadikan sumber pertama dan utama dalam
pendidikan Islam, karena nilai absolut yang terkandung di
dalamnya yang datang dari Tuhan. Umat Islam sebagai umat yang
dianugerahkan Tuhan suatu kitab Al-Qur'an yang lengkap dengan
segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan
bersifat universal. Apabila diamati secara mendalam, prosentase
akan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan keimanan (aqidah)
tidak banyak porsinya dibandingkan dengan prosentase akan
ajaran tentang amal perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa amal
itulah yang banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan
manusia hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri, sesama
manusia (masyarakat), alam sekitarnya dengan
4 Jalaluddin, dan Said Usman, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep
dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 37.
5 Ibid.
37
Ilmu Pendidikan Islam
makhluk lainnya kesemuanya masuk dalam ruang lingkup amal
saleh (syariah), namun bukan berarti menafikan urgensi keimanan
dalam Islam. Dengan kata lain bahwa al-Quran mencakup dua
aspek besar dalam kehidupan manusia, yakni aqidah dan syari'ah.
Nilai esensi dalam al-Qur'an selamanya abadi dan selalu
relevan pada setiap waktu dan zaman, yang terjaga dari perubahan
apapun. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah
interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut
masalah tehnik operasional. Sehingga pendidikan Islam yang ideal
sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar al-Qur'an tanpa
sedikitpun menyimpang darinya. Hal ini diperlukan karena ada
dua isi penting yang diperlukan dalam sebuah pendidikan, yaitu
mencakup sejarah pendidikan Islam dan nilai- nilai normatif
pendidikan Islam.6
Muhammad Fadhil al-Jamali menyatakan bahwa pada
dasarnya merupakan perbendaharaan besar untuk kebudayaan
manusia, khususnya dalam segi spiritualitas. Ia juga merupakan
Kitab Pendidikan kemasyarakatan, moral, dan spiritual. Hal ini
dipertegas oleh al-Nadwi yang berpandangan bahwa pendidikan
dan pengajaran umat Islam haruslah bersumberkan dari Aqidah
Islamiyah yang berdasar dari al-Qur'an dan hadits.7
Dalam al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-
prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan.
Misalnya saja kisah Luqman dalam mengajari anaknya
6 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 33-38.
7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 14.
38
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
(QS.Lukman: 12-19). Cerita ini menggariskan prinsip dalam materi
pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak, ibadah, social,
dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan
tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Hal ini
mengindikasikan bahwa tujuan hidup harus match dengan tujuan
hidup itu sendiri.8
2. As-Sunnah
Dasar kedua dalam pendidikan Islam adalah as-Sunnah.
Menurut bahasa sunnah adalah tradisi yang biasa dilakukan atau
jalan yang dilaui (al-Thoriqoh al-Maslukah) baik yang terpuji maupun
yang tercela. Al-Sunnah adalah sesuatu yang dinukilkan kepada
Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau ketetapannya
dan yang lain itu. Amalan yang dikerjakan rosul dalam proses
perubahan sikap sehari-hari menjadi sumber pendidikan Islam,
karena Allah telah manjadikan- nya teladan bagi umatnya. Sunnah
juga berisi aqidah dan syariah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman)
untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk
membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang
bertaqwa. Sehingga rosul manjadi guru dan pendidik utama.
Orang yang mengkaji kepribadian rosul, akan menemukan
bahwa beliau benar-benar pendidik yang agung, dengan metode
pendidikan yang luar bisa, bahkan para pakar pendidikan Islam
menyebutkan dan memberikan predikat "The Prophet
8 Zakiyah darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. keenam (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), him. 20, dan bandingkan dengan Munardji, Ilmu pendidikan Islam
(Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 50.
39
Ilmu Pendidikan Islam
Muhammad was the first citizen of this nations, its teacher and its
guide".9
Robert L. Gullick dalam bukunya Muhammad the Educator
menyatakan: "Muhammad betul-betul seorang pendidik yang
membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan
yang lebih besar, serta melahirkan ketertiban dan stabilitas yang
mendorong perkembangan budaya Islam, serta revolusi sesuatu
yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah yang
menantang. Dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat
prilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para
pendidik.10
Dalam usahanya, Nabi sebagai guru dan pendidik yang
utama dapat diketahui melalui:
a. Menggunakan rumah al-Arqam Ibn Arqam
b. Memanfaatkan tawana perang untuk mengajar baca tulis.
c. Dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang
baru masuk Islam. Yang kesemuanya ini adalah dalam
rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat
Islam.
Corak Pendidikan Islam yang diturunkan dari sunnah Nabi
Muhammadnadalah:
1. Disampaikan sebagia rahmat lil „alamin (rahmat bagi
semua alam), yang ruang lingkupnya tidak sebatas spesies
9 Munardji, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 51.
10Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 39.
11 Ibid., hlm. 39-40.
40
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
manusia, tetapi juga makhluk biotik dan abiotik lainnya.
(QS.al-Anbiya': 107-108)
2. Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang memuat berita
gembira dan peringatan pada umatnya. (QS. Saba': 28)
3. Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS.
al-Baqarah: 119), dan terpelihara outentitasnya. (QS. al- Hijr:
9)
4. Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu mengawasi
dan senantiasa bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan
(QS. asy-Syura: 48, al-Ahzab: 45, al-Fath: 8)
5. Perilaku Nabi tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat
dijadikan figuratau suri tauladan (QS. al-Ahzab: 21), karena
perilakunya dijaga Allah (QS. an-Najm: 3-4), sehingga beliau
tidak pernah maksiat.
6. Dalam masalah tehnik operasional dalam pelaksanaan
pendidikan Islam diserahkan penuh pada umatnya. Strategi,
pendekatan, metode, dan tehnik pembelajaran diserahkan
penuh pada ijtihad umatnya, selama tidak menyalahi aturan
pokok dalam Islam. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas
dan Aisyah: "antum a‟lamu bi umur al-dunyakum” (engkau lebih
tau terhadap urusan duniamu).
3. Kata-kata Sahabat (Madzhab Sahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi
SAW. Dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman
juga. Para sahabat memiliki karakteristik yang unik di-
bandingkan dengan kebanyakan orang. Fazlur Rahman ber-
pendapat bahwa karakteristik sahabat antara alin: (1) tradisi yang
dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah
41
Ilmu Pendidikan Islam
dengan sunnah Nabi, (2) Kandungan yang khusus dan aktual
tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri, (3) Unsur kreatif
dari kandungan merupakan ijtihad personal yang telah
mengalami kristalisasi dalam ijma', yang disebut dengan madzhab
sahabi (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk
Nabi terhadap sesuatu yang bersifat spesifik, dan (4) Praktek
amaliah sahabat identik dengan ijma' (konsensus umum).12
Upaya sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan
bagi perkembangan pemikiran dewasa ini. Upaya yang dilakukan
oleh Abu Bakar misalnya, mengumpulkan mushaf dalam satu
mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam;
meluruskan keimanan masyarakat dari pemurtadan dan
memerangi pembangkang dari pembayaran zakat. Sedangkan
yang dilakukan Umar bin Khattab sehingga ia disebut sebagai
bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam
memperluas wilayah Islam, dan memerangi kezaliman menjadi
salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan
pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Ustman bin Affan berusaha
untuk menyatukan sistematika berfikir ilmiah dalam menyatukan
susunan Al-Qur'an dalam satu mushhaf, yang berbeda antara satu
mushhaf dengan mwsWia/lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib
banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti
bagaiman seyogianya etika peserta didik terhadap pendidiknya,
bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian
sebaliknya.13
12 Ibid., hlm. 40. 13 Ibid.
42
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
4. Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashlahah al-Mursalah)
Mashlahah al-Mursalah adalah menetapkan undang- undang,
peraturan dan hokum tentang pendidikan dalam hal-hal yang
sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan
kemashlahatan hidp bersama, dengan bersendikan asas menarik
kemashlahatan dan menolak kemudha- ratan. Mashlahah al-
Mursalah dapat diterapkan jika ia benar- benar dapat menarik
mashlahah dan menolak mudharat melalui penyelidikan terlebih
dahulu. Ketetapannya bersifat umum, bukan untuk kepentingan
perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.u
Para ahli pendidikan berhak menentukan undang- undang
atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi
lingkungan di mana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan
berdasarkan mashlahah al-mursalah dengan memiliki tiga kriteria:
(1) apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemashlahatan
dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan
analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijasah) dengan foto
pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan
kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh
lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi, misalnya
perumusan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional di
Negara Islam atau di nagara yang penduduknya mayoritas
muslim; (3) keputusan yang diambil tida bertentangan dengan
nilai dasar Al-Qur'an dan as-Sunnah. Misalnya perumusan tujuan
pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan
manusia di muka bumi.15
14 Ibid., hlm. 41. 15 Ibid.
43
Ilmu Pendidikan Islam
5. Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat ('Urf)
Tradisi ('urf/adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa
perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan
seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa
tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan
diterima oleh tabiat yang sejahtera. Nilai tradisi setiap masyarakat
merupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai
itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai
pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi
dapat dipertahankan sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-
nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan
kehilangan martabatnya.16
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing tradisi masyarakat
muslim memiliki corak tradisi unik, yang berbeda antara
masyarakat satu dengan masyarakat lain. Sekalipun mereka
memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan
bernegara akan membentuk ciri unik. Dengan asumsi seperti ini,
maka ada penyebutan Islam universal dan Islam lokal.17 Ke-
sepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acu and alam
pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini memiliki
beberapa syarat, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan ketentuan
nash pokok, baik al-Qur'an dan sunnah; (2) tradisi yang
16 Ibid., him. 42. 17 Islam universal adalah Islam yang diajarkan Allah dan rasul- Nya
sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua
lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslimah. Sedangkan Islam
lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat,
sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk
menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah atau yang lain. Ibid
44
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang
sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan,
dan kemunduran.18
6. Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)
Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir,
berakhirlah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidun dan
digantikan oleh Dinasti Umayyah. Pada masa ini Islam telah
meluas sampai ke Afrika Utara bahkan ke Spanyol. Perluasan
daerah kekuasaan ini diiukuti oleh ulama' dan guru atau
pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat
pendidikan yang tersebar di kota-kota besar seperti: (1) Makkah
dan Madinah (hijaz); (2) Bashrah dan Kuffah (Iran); (3) Damsyik
dan Palestina; (4) Fustat (Mesir). Implikasi dari berdirinya pusat-
pusat pendidikan tersebut, adalah terjadinya perkembangan baru
dalam realitas pendidikan, sebagai akibat interaksi, asimilasi, dan
akulturasi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan
nilai-nilai Islam. Hal ini berrati perlu adanya pemikiran ulang
secara komperhensif tentang cara mengatasi problem-problem
baru yang timbul, dan di sinilah perlunya sebuah "Ijtihad".19
Ijtihad adalah istilah para ahli fiqh (fuqaha') yang berakar
dari kata jahada yang berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-
wus'i wa thaqati (pengerahan kesanggupan dan kekuatan). Sa'id al-
Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah
yang membutuhkan kesungguhan),
18 Ibid. 19 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
1998), hlm. 17.
45
Ilmu Pendidikan Islam
yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kesungguhan serta
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas
puncaknya.20 Istilah lain menyebutkan bahwa ijtihad adalah
berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki ahli
syari'at Islam untuk menetapkan/menentukan suatu hukum syari'at
Islam dan hal- hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh
al-Qur'an dan sunnah.21
Beberapa Imam fiqh yang tergolong mujtahid seperti al-
Auza'i, Abu Hanifah dan Imam Malik, pada waktu itu merasa perlu
untuk memecahkan permasalahan yang timbul sebagai akibat
terjadinya interaksi nilai-nilai budaya adat istiadat yang berbeda
dengan menggunakan ijtihad. Dengan demikian ijtihad dapat
digunakan sebagi sumber pendidikan karena sesuai dengan
hikmah Islam. Hal ini disebabkan karena al-Qur'an dan sunnah
masih banyak mengandung arti yang umum, sehingga para ahli
hukum menggunakan ijtihad untuk menetapkan hukum tersebut.22
Ijtihad dalam aplikasinya dapat meliputi seluruh aspek
ajaran Islam, termasuk di dalamnya aspek pendidikan. Karena
20 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 43.
21 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,. Cet. keenam (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), him. 21. Bandingkan dengan Munardji, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Bina Ilmu, 2004), him. 51. Ijtihad ini dirasa penting karena Al-Qur'an dan
Hadits banyak mengandung arti yang masih umum, maka para ahli hukum Islam
menggunakan Ijtihad untuk menentukan sebuah hukum. Ijtihad ini sangat terasa
sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi dan beranjaknya Islam mulai keluar
dari Arab. Sehingga memang situasi dan kondisi yang sudah berbeda dengan tanah
Arab. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 17. 22 Ramayulis,, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 17.
46
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
pada prinsipnya ijtihad diaplikasikan dalam hal-hal yang terus
berkembang yang perlu penalaran atau pemikiran ulang yang lebih
komperhensif dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dan
pendidikan merupakan satu aspek kehidupan yang sangat urgen
dalam masyarakat, yang akan senantiasa berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman yang semakin bergerak maju dengan
cepat. Akibatnya dengan sangat mendesak perlu adanya suatu jalan
penghubung yang dapat menghantarkan aspek-aspek pendidikan
seperti isi atau materi, metode, system dan yang lainnya ini pada
dunianya yang semakin maju agar dapat membawa masyarakat
kepada sebuah peradaban yang lebih manusiawi dan Islami.
Sebagai realisasi ajaran Islam dari al-Qur'an dan sunnah yang
masih global, demi tercapainya tujuan pendidikan Islam.
Dari pengertian di atas, maka ijtihad menjadi sangat penting
dan diperlukan dalam dunia pendidikan, dan ketika terlihat gejala
adanya pendidikan yang masih mempertahankan status-quo, jumud
(kemandegan), stagnan, dan statis. Urgensi dari perlunya aplikasi
ijtihad adalah untuk dinamisasi, inovasi, dan modernisasi
pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih
berkualitas. Ijtihad tidak berarti dekonstruksi nilai-nilai, budaya da
tatanan lama yang sudah ada, malainkan merekonstruksi atau
memelihara "yang lama" yang baik (al-qadim ash-shalih) dan
mengambil tatanan "yang baru" yang lebih baik (al-jadid al-ashlah).
Sehingga Rasulullah memberi sebuah apresisi yang relevan kepada
pelaku ijtihad, bila mereka benar malakukannya baik dataran isi
dan prosedurnya, maka mereka mendapatkan dua pahala, tetapi
apabila mengalami kesalahan maka ia mendapatkan satu pahala,
yaitu
47
Ilmu Pendidikan Islam
karena kesungguhan yang sudah dilakukkannya (HR. Bukhari
Muslim dan Amr ibn ash).23
B. Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam di Indonesia
Dasar pendidikan di suatu negara disesuaikan dengan
dasar falsafah negaranya. Oleh karenanya pendidikan Islam di
Indonesia selain berdasarkan pada dasar-dasar tersebut, agar
lebih dapat diaplikasikan dalam masyarakatnya harus berdasar-
kan pada falsafah hidup bangsa Indonesia, dan perundang-
undangan yang berlaku yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pen-
didikan di berbagai lembaga pendidikan (formal, non-formal
maupun in-formal) yang masih memungkinkan.24
Adapun dasar-dasar tersebut adalah:
1. Dasar Ideal
Dasar ideal adalah dasar dari falsafah negara, yaitu Pancasila,
dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini
mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia
harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau dengan
kata lain haruslah beragama dan berTuhan. Dasar ideal ini
merupakan sumber kebenaran dan kekuatan (kebenaran
universal) yang akan disepakati oleh semua fihak, dan dapat
mengantarkan kepada apa yang menjadi tuju a bersama
tersebut. Dasar ini telah menjadi standar nilai bersama yang
nantinya akan mamapu menjadi evaluator
23 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm, 43.
24 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 18-19.
48
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
seluruh kegiatan dan proses pendidikan. Sehingga nilai ini
nantinya akan berlaku secara umum (general pattern), yang
menjadi nilai-nilai inti atau ideal (ideal core values).
2. Dasar Struktural
Dasar struktural pendidikan di Indonesia adalah UUD 1945,
"mencerdaskan kehidupan bangsa...". Perwujudan tujuan
tersebut tertuang dalam amandemen pasal 31 UUD 1945 yang
berupa Pasal 31 ayat (1) sampai ayat (5) yang berbunyi:25
a. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
b. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya.
c. Pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu
sistem pendidikan nasionl yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang.
d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta anggaran dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat.
25 Zaini, Landasan Kependidikan (Yogyakarta: Mitsaq Pustaka,
2011), hlm. 90.
49
Ilmu Pendidikan Islam
3. Dasar Operasional
Untuk dasar ini, pada saat sekarang terletak pada UU No 20
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, yang terkenal dengan
UU SISDIKNAS tahun 2003 yang menjadi penjabaran pasal 31
tersebut di atas. Dalam undang-undang tersebut telah dengan
jelas mengamanatkan program wajib belajar minimal sampai
jenjang pendidikan dasar. Setiap warga negara wajib
mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pemerintah baik
Pusat maupun Daerah wajib menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara sesuai
dengan bakat, minat, tingkat kecerdasan, dan kemampuannya
tanpa diskriminasi, minimal setara dengan Standar Nasional
Pendidikan. Selain undang-undang SISDIKNAS tersebut,
terdapat pula beberapa undang-undang yang selama ini
menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Di antara dasar
tersebut adalah Undang-Undang RI No 4 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen. Undang-undang ini telah menjadi dasar yang
sangat tinggi nilainya bagi peningkatan kualitas pendidik
berikut dengan kesejahteraannya. Sebagai seorang pendidik
disyaratkan harus memenuhi berbagai kualifikasi akademik,
sertifikasi, dan kompetensi sebagai upaya peninggakatan mutu
pendidikan yang dijalankan. Selain undang-undang Guru dan
Dosen, ada juga contoh lain perundang-undangan yang
menaungi pendidikan Islam di Indonesia misalnya Peraturan
Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Peraturan Menteri No.ll tahun 2005 tentang Buku
Teks Pelajaran. Jadi, dasar operasional ini merupakan
penjabaran-pen-
50
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
jabaran dari dasar idela dan struktural, yang akan mengatur
pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara lebih mendetail.
Dan pada akhirnya, akan muncul produk- produk undang-
undang yang lain yang menjadi penafsiran dasar idela dan
struktural tentang pendidikan. Sehingga dengan adanya aspek
hukum yang baku dalam pendidikan akan mewujudkan
konstruks manajemen pendidikan yang terukur, tersistem,
transparan dan terpola dengan baik.
C. Landasan Pemikiran Pendidikan Islam
Landasan pemikiran pendidikan Islam merupakan landasan
operasional yang terbentuk sebagai aktualisasi dan realisasi dari
dasar-dasar pendidikan Islam di atas. Hasan Langgulung
memberikan pemikiran dengan mengajukan enam macam
landasan, yang kemudian ada beberapa ahli pendidikan yang
menambahkan satu landasan algi sebagai sebuah penyempurnaan.
Satu landasan ini ditambahkan dengan tujuan agar segala proses
pendidikan yang dilakukan dapat bernafaskan dan bernuansa
Islami, sehingga dapat bernilai ubudiyah.26
1. Landasan Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada peng-
alaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang- undang
maupn peraturan-peraturan, agar kebijakan yang di
26 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia,
2004), hlm. 62-63. Bandingkan dengan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 44.
51
Ilmu Pendidikan Islam
tempuh masa sekarang akan lebih bermakna dan mencerahkan.
Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa
depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan
dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi
pendidikan yang telah ditempuh. Sebagai contoh kalau pada
masa dulu masyarakat bangsa Arab sangat gemar bersastra, maka
pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum
masa kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi
akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat
bangsa.27 Dasar ini memberikan persiapan kepada pendidik
dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu.
1. Landasan Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka
sosial budaya, yang dengannya itu pendidikan dilaksanakan.
Dasar ini dapat dapat berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi
belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur
dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar
masyarakatnya.28 Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika
prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Dasar ini berupa
kerangka budaya, di mana pendidikannya bertolak dan bergerak
seperti memindahkan budaya, memilih dan
mengembangkannya.29
27 Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm. 44
28 Ibid., hlm. 46.
29 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia,
2004), hlm. 62.
52
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
3. Landasan Ekonomi
Dasar ini akan memberi perspektif tentang potensi- potensi
manusia, keuangan, materi, persiapan yang mengatur sumber
keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran
pembelanjaan.30 Dalam masa sekarang ini dapatlah dikatakan
bahwa pendanaan merupakan salah satu faktor yang menetu- kan
akan maju mundurnya suatu pendidikan yang dilaksanakan.
4. Landasan Politik dan Administrstif
Dasar yang memberi bingkai ideologis, yang digunakan
sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-
citakan dan direncanakan bersama.31 Dasar politik menjadi
penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Dasar ini juga berguna menentukan ke-
bijakan umum dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama,
bukan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara
dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan
pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancer tanpa
ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.32
5. Landasan Psikologi
Dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik,
pendidik, motivasi dan inovasi peserta didik, karakter, metode
terbaik dalam praktek, pengukuran dan penilaian
30 Ibid., bandingkan dengan Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam,, hlm. 44.
31 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 62.
32 Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm. 44
53
Ilmu Pendidikan Islam
bimbingan dan penyuluhan, tenaga administrasi dan sumber-
daya manusia yang lain. Dasar ini juga dapat berfungsi untuk
mengetahui tingkat kesejahteraan dan kepuasan batiniah pelaku
pendidikan, agar mereka mampu maningkatkan prestasi dan
kompetensi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang
memberikan suasana batin yang tenang, damai dan indah di
lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan
ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk
lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.33
6 . Landasan Filosofis
Dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik,
memberi arah suatu sistem yang mengontrol dan memberi arah
kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.34 Bagi masyarakat
yang sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam
pendidikan, sebab filsafat bagi mereka merupakan induk dari
segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius,
dasar ini hanya sekedar menjadi bagian dari cara berfikir di
bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang
asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.35
7 . Landasan Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran
agama. Urgensi dasar ini terletak pada tujuannya agar seluruh
33 Ibid., bandingkan dengan Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 62.
34 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 62. 35 Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm. 46
54
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
proses bahkan hasil dari pendidikan Islam dapat bermakna.
Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai
dasar pendidikan yang lain yang sudah disebutkan si atas. Agama
menjadi frame bagi semua dasar pendidikan. Aplikasi dasar-dasar
yang lain merupakan realisasi diri yang bersumberkan agama dan
bukan sebaliknya. Dengan tujuan yang hendak dicapai adalah
adanya tindakan kependidikan dapat dinilai ibadah, sebab
ibadah merupakan aktualisasi diri (self actualization) yang paling
ideal dalam pendidikan Islam.36
55
36 Ibid., hlm. 47.
BAB III
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam
Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa al-umur bi
maqashidiha, bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus
berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan.
Adagium ini menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya
berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata- mata
berorientasi pada sederetan materi. Sehingga tujuan pendidikan
Islam terlebih dahulu harus dirumuskan, sebelum komponen-
komponen yang lain.1
Pandangn objective oriented (berorientasi pada tujuan)
mengajarkan bahwa tugas seorang pendidik pada dasarnya bukan
hanya mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada peserta
didiknya saja, namun juga merealisir atau mencapai tujuan suatu
pendidikan. Menurut Zakiah Darajat tujuan itu sendiri adalah
sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan
selesai. Sedangkan HM Arifin, tujuan itu
1 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 71.
57
Ilmu Pendidikan Islam
bisa jadi menunjukkan futuritas (masa depan) yang terletak suatu
jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha
melalui proses tertentu.2
Tujuan merupakan sasaran, arah, yang hendak dituju,
dicapai dan sekaligus menjadi pedoman yang memberi arah bagi
segala aktivitas dan kegiatan pendidikan yang sudah dilakukan.
Dengan kata lain, tujuan merupakan standar usaha yang dapat
ditentukan, serta mangarahkan usaha yang akan dilalui dan
merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan- tujuan yang
lain. Tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegiatan
dapat berfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang
terpenting lagi dapat memberi penilaian atau evaluasi pada
kegiatan-kegiatan dari usaha pendidikan.3 Tujuan pendidikan
bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, namun ia
merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang,
mencakup seluruh aspek kehidupan.4 Sehingga al- Abrasy
berpendapat melalui syairnya: "setiap sesuatu mempunyai tujuan
yang diusahakan untuk dicapai, seseorang bebas menjadikan
pencapaian tujuan pada taraf yang paling tinggi".5
T.S.Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang^amat
penting itu, tujuannya haruslah diambil dari pandangan hidup,
sehingga jika pendidikan Islam, maka rumusan tujuan pendi-
2 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet Keempat (Jakarta: Kalam Mulia,
2004), him. 65., dan perjelas dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 1998), hlm. 23.
3 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 71.
4 Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), hlm. 29.
5 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 78.
58
TUjuan Pendidikan Islam
dikaitnya haruslah diambil dari Islam pula.6 Beberapa perbedaan
tujuan yang ada di berbagai Negara dan filosof dapat dinyatakan
sebagai berikut:7
• Sparta, negara ini mempunyai tujuan pendidikan memper-
siapkan laki-laki yang kuat jasmaninya dalam peperangan
dan fasih pembicaraannya di majelis.
• Athena, tujuan pendidikannya adalah mempersiapkan
individu-individu supaya menjadi individu yang utuh (the
exelence man as man). Maksudnya yaitu supaya seseorang itu
mampu berdiri sendiri dan harmonis dalam tingkah lakunya
serta seimbang pula antara kekuatan jasmani dan rohaninya,
serta baik akhlaknya baik perkataan maupun perbuatannya.
• Jepang Modern, pendidikan di negara ini bertujuan untuk
menghasilkan pegawai-pegawai yang ikhlas dan setia kepada
kerajaan, dan mempergunakan ilmu pengetahuan yang
diperoleh untuk kepentingan Kerajaan.
• Amerika Serikat, yang menjadi pelopor sistem demokrasi
liberal di dunia, mengetengahkan tujuan pendidikan pada
tebentuknya manusia warga negara yang demokratis dan
warga negara yang baik serta memiliki efisiensi social dan
kehidupan ekonomi yang bermutu. Dari sini nampak bahwa
rumusan manusia ideal yang hendak dibentuk melalui proses
kependidikan adalah manusia yang berjiwa demokratis, taat
kepada peraturan perundang-undangan Negara
6 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam
(Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 46.
7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 24.
59
Ilmu Pendidikan Islam
selaku warga Negara serta memiliki kompetensi dalam
mengelola kehidupan ekonomi yang bernilai cukup tinggi.8
Adapun beberapa filosof memberikan formulasi tujuan
sebuah pendidikan, di antaranya:
• Aristoteles, bahwa tujuan pendidikan ialah mempersiapkan
akal untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sebagaimana bumi
disiapkan untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman.
• Immanuel Kant, pendidikan bertujuan untuk mengangkat
manusia kepada kesempurnaan yang mungkin dicapai.
• Herbert Spenser, tujuan yang hendak dicapai dari sebuah
pendidikan ialah mempersiapkan manusia supaya dapat hidup
dengan kehidupan yang sempurna.
Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam sejalan dengan
tujuan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak
hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah. Selain itu, ada dua
sasaran pokok yang akan dicapai oleh pendidikan Islam tadi,
kebahagiaan dunia dan kesejahteraan akhirat, memuat dua sisi
penting. Dan ini dipandang sebagai nilai lebih pendidikan Islam
dibandingkan pendidikan lain secara umum.9
Istilah tujuan atau sasaran atau maksud dalam bahsa Arab
dinyatakan dengan ghayat, ahdaf dan maqashid. Sedang-
8 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), hlm. 119.
9 Lebih jelas lihat dalam Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 38-39.
60
Uijuan Pendidikan Islam
kan dalam bahsa Inggris dinyatakan dengan goal, purpose atau
objective atau aim. Secara umum istilah-istilah tersebut mengandung
pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu
tjuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya
atau aktifitas.10
Dalam realitas para pemikir dan ahli pendidikan Islam, para
ahli pendidikan Islam belum ada kesepakatan dalam merumuskan
tujuan pendidikan secara bulat. Di antaranya rumusan tujuan oleh
Imam Ghazali yaitu11: (1) insan peripurna yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT; (2) insan paripurna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat,
karena itu berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan
yang dimaksudkan tersebut.
Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah
manusia yang baik. Sedangkan Marimba berpendapat bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian
muslim.12 Mahmud Yunus dalam bukunya merumuskan tujuan
pendidikan: "mendidik anak-anak, pemuda/ pemudi dan orang
dewasa, supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh,
beramal shalih dan berakhlak mulia, sehingga salah seorang anggota
masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi
kapada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan
semua umat manusia.13
10 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, cet. Keempat, 2004),
hlm. 65. 11 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 53.
12 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. keenam (Bandung:
PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 46.
13 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 53-54.
61
Ilmu Pendidikan Islam
Ibnu Khaldun memberikan pendapatnya bahwa tujuan
pendidikan ada dua: (1) Tujuan keagamaan, ialah beramal untuk
akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-
hak Allah yang diwajibkan ke atasnya; (2) Tujuan ilmiah yang
bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan
modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.14
Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najid berpendapat
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan
keridlaan Allah dan mengusahakan penghidupan. Menurut
Musthafa Amin, tujuan pendidikan Islam adalah memeprsiapkan
seseorang bagi amalan dunia dan akhirat. Abdullah Fayad
merumuskan dua tujuan pendidikan Islam, yaitu: (1) persiapan
untuk hidup akhirat; (2) membentuk perorangan dengan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan untuk menunjang kesuksesan hisup
di dunia. Al-Abrasy memberikan rumusan tujuan secara umum,
yaitu: (1) pembentukan akhlak mulia; (2) persiapan untuk kehidupan
dunia dan akhirat; (3) persiapan untuk mencari rizki dan
pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama
dan ilmu akan dapat membawa manusia kepada kesempurnaan; (4)
menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan
untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu
sekedar sebagai ilmu; (5) mempersiap
14 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 26.,
lihat juga dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 71, dan juga Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, M.Si., Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 81.
62
TUjuan Pendidikan Islam
kan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah
mencari rezeki.15
Munir Mursi memandang bahwa tujuan yang hendak dicapai
dari pendidikan adalah manusia sempurna. Menurt Abdul Fatah
Jalai tujuannya adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Namun menurut Quthb, tujuan umum pendidikan adalah manusia
yang taqwa.16
Sementara itu menurut Konggres pendidikan Islam sedunia
tahun 1980 di Islamabad, menyebutkan:
"Education aims at the balanced growth of total personality of man through of
man's spirit, intellect, the rational self, feeling and bodile sense. Education should,
therefore, cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual,
imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and attainment of
perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at
large".
Artinya:
bahwa pendidikan Islam haruslah bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian
manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa, intelek, diri
manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus
mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, seperti spiritual,
intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa secara individu maupun kolektif.
Mendorong semua aspek kearah kebaikan dan mencapai kemakmuran. Tujuan
akhirnya adalah dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah,
baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.17
15 Ramayulis, 1998, Ibid, him. 26, lihat juga dalam Ramayulis, 2004, Ibid., hlm. 72.
16 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam
(Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 47-48. 17 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 54, lihat juga dalam
Abdul Mujib, Ilmu., hlm. 82-83.
63
Ilmu Pendidikan Islam
Ada juga yang memberikan uraian bahwa tujuan pendidikan
Islam terbagi menjadi lima bagian, pendapat ini menurut Fadlil al-
Jamaly,18 yaitu:
• Mengenalkan manusia akan perannya di antara sesama
makhluk dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini.
• Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung
jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
9 Mengenalkan manusia akan ala mini dan mengajar mereka untuk
mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan
kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari
alam tersebut.
• Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan
memerintahkan untuk beribadah kapada-Nya.
Sedangkan Muhtar yahya merumuskan tujuan pendidikan
dengan memberikan pemahaman ajaran-ajaran Islam pada peserta
didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi
Rosulullah sebagai pengemban perintah menyempurnakan akhlak
manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja (QS. an-Nahl: 97, al-
An'am: 132) dalam rangka menempuh hidup bahagia dunia dan
akhirat (QS. al-Qashash: 77).19
Menurut al-Ghazali, seperti yang dikutip Fathiyah Hasan
Sulaiman, menerangkan bahwa tujuan umum pendidikan
18 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002), hlm. 19-20, bandingkan dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 83.
19 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 83.
64
Tujuan Pendidikan Islam
Islam tercermin dalam dua segi, yaitu: (1) insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah; (2) insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Kebahagian di sini menurut al-Ghazali adalah menempatkan
kebahagiaan dalam proporsi yang semestinya. Kebahagiaan yang
lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang
diprioritaskan.20
Abd al-Rasyid ibn Abd al-Aziz dalam bukunya al-Tarbiyah al-
Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha, menukil pendapat para ahli seperti al-
Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ihwan Shafa, ia memformulasikan
tujuan pendidikan Islam dengan: (1) adanya kedekatan (taqarrub)
kepada Allah melalui pendidikan akhlak; (2) menciptakan individu
untuk memiliki pola pikir yang ilmiah dan pribadi yang dapat
mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal shaleh,
guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi
kehidupan.21
Ali ashraf menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan22:
"terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat
individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya". Tujuan
umum itu merupakan kristalisasi dari tujuan khusus pendidikan
Islam, yaitu:
• Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam,
serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam
dalam konteks kehidupan modern.
• Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan
kebijakan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejah-
20 Ibid., hlm. 80.
21 Ibid., hlm. 81.
22 Ibid., hlm. 82.
65
Ilmu Pendidikan Islam
teraan, lingkungan social, dan pembangunan nasional.
• Mengembangkan kemampuan pada diri peserta didik untuk
menghargai dan membenarkan superioritas kom- peratif
kebudayaan dan peradaban Islami di atas semua kebudayaan
lain.
• Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman iamjinatif,
sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi
mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
• Membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar
berfikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya
dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep tentang
pengetahuan yang dituntut.
• Mengembangkan wawasan relasional dan lingkungan
sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, dengan melatih
kebiasaan yang baik.
• Mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.
Dari seluruh formulasi tujuan pendidikan Islam di atas,
dapatlah diambil sebuah benang merah tiujuan pendidikan Islam
adalah bahwa terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki
wawasan kaffah agar mampu menjelaskan tugas- tugas kehambaan,
kekhalifahan, dan pewaris Nabi.23 Dalam versi yang lain,
Muhammad Iqbal yang dikutip Dawam Raharjo, memberikan
kriteria insan kamil dengan insane yang beriman yang di dalam
dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuat-
23 Ibid., him. 83-84.
66
TUjuan Pendidikan Islam
an, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin
dalam pribadi Nabi berupa karimah. Tahapan untuk mencapai insan
kamil itu diperoleh melalui ketaatan terhadap hukum-hukum Allah,
penguasaan ini sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang
pribadi dan kekhalifahan Ilahi.24
Dalam versi Thalhah Hasan, terminology insan kamil disebut
dengan insan kaffah dengan prasayarat adanya tiga dimensi,25 yaitu:
• Dimensi religius, yaitu manusia merupakan makhluk yang
mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksi- kan
kepada faktor materi semata-mata. Dengan demikian manusia
bisa dicegah untuk diajadikan anggota, atomat, dan robot yang
diprogramkan secara determinitis, tetapi tetap mempertahankan
kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Cara mengangkatnya
adalah dengan menjadikan ia bernilai secara spiritual dan
agama, yang karenanya manusia berbeda satu dengan yang lain.
• Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian
dunia seisinya. Dalam dimensi ini, manusia mendapatkan dasar
untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya dan mampu
mencegah arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan
fragmentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia.
• Dimensi ilmiah, yang mendorong manusia untuk selalu bersikap
obyektif dan realistis dalam menghadapi tantang-
24 Ibid., hlm. 8
25 Ibid., hlm. 8
67
Ilmu Pendidikan Islam
an zaman, serta berbagai kehidupan manusia terbina untuk
tingkah laku secara kritis dan rasional, serta berusaha
mengembangkan keterampilan dan kreativitas berpikir.
B. Tahap-tahap Tujuan Pendidikan Islam
Dalam dinamika kehidupan manusia, akan terjadi keter-
batasan yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga rumusan
tujuan pendidikan tidak dapat melampaui batas-batas kehidupan
itu. Artinya, kondisi psikis serta lingkungan ia berada, selalu
menjadi perhatian dan penekanan dalam perumusan tujuan
pendidikan. Konsekuensinya, perumusan tujuan pendidikan akan
menjadi terbuka dan berjenjang atau bertahap. Terbuka artinya,
bahwa rumusan tujuan pendidikan bisa terus diperluas dan
disempurnakan. Sedangkan berjenjang berarti dapat disesuaikan
dengan tuntutan yang bersifat insidental, instrumental, maupun
mental.26 Berawal dari sini maka beberapa ahli memberikan
pandangan mengenai tahap-tahap dalam tujuan pendidikan.
Abu Ahmadi berpandangan bahwa tahap-tahap dalam tujuan
pendidikan Islam meliputi27: (1) Tujuan tertinggi atau tujuan
terakhir; (2) Tujuan Umum; (3) Tujuan khusus; (4) Tujuan sementara.
Demikian juga Zakiyah Darajat juga membagi tahap tujuan
pendidikan Islam menjadi empat28, dengan
26 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
2002), hlm. 20.
27 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004),
hlm. 66-71.
28 Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), hlm. 30-33, bandingkan dengan Abdul Halim Soebahar, Wawasan.,
hlm. 20-21.
68
TUjuan Pendidikan Islam
perincian: (1) Tujuan umum; (2) tujuan akhir; (3) Tujuan sementara;
(4) Tujuan operasional.
Dari beberapa pembagian tersebut, pada dasarnya tahap
tujuan pendidikan Islam mencakup empat tahapan, yaitu:
1. Tujuan umum, ialah tujuan yang hendak dicapai dari seluruh
kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran dan yang lainnya.
Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi
sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan.
Tujuan umum ini berbeda dalam setiap tingkat umur,
kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama.
Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar
pada pribadi seseorang yang sudah dididik, walaupun dalam
ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan tingkat-
tingkat tersebut.
2. Tujuan akhir, ialah tujuan yang disandarkan pada akhir hidup
manusia, karena pendidikan Islam berlangsung selama manusia
masih hidup. Tujuan umum yang berupa insan kamil dengan
pola takwa misalnya, dapat mengalami perubahan naik turun,
bertambah berkurang, dalam perjalanan hidup seseorang.
Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat
mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku
selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk,
mengembangkan, memelihara, dan mempertahankan tujuan
pendidikan yang telah dicapai. Orang yang bertaqwa dalam
bentuk insan kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan
dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-
kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang,
meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam
pendidikan formal.
69
Ilmu Pendidikan Islam
3. Tujuan sementara, ialah tujuan yang akan dicapai setelah
peserta didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang
direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
Tujuan operasional dalam bentuk semisal tujuan instruksional
yang dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan
khusus (TIU dan TIK), dapat dianggap tujuan sementara dengan
sifat yang agak berbeda. Pada tujuan sementara bentuk insan
kamil dengan pola taqwa sudah kelihatan meskipun dalam
ukuran sederhana, sekurang- kurangnya beberapa ciri pokok
sudah kelihatan pada pribadi peserta didik. Tujuan pendidikan
Islam seolah-olah merupakan sebuah lingkaran, yang pada
tingkat paling rendah mungkin merupakan suatu lingkaran
kecil. Semakin tinggi tingkatan pendidikannya, lingkaran
tersebut semakin besar. Tetapi sejak dari tujuan pendidikan
tingkat permulaan, bentuk lingkarannya sudah harus kelihatan.
Bentuk inilah yang menggambarkan insane kamil itu. Dan di
sinilah barangkali perbedaan tujuan pendidikan Islam
dibandingkan dengan pendidikan yang lain. Contoh aplikasinya
dalam pendidikan misalnya, sejak tingkat taman kanak- kanak
dan Sekolah Dasar, gambaran insane kamil itu hendaknya sudah
terpolakan. Bentuk insan kamil dengan pola taqwa harus
kelihatan dalam semua tingkat pendidikan Islam. Oleh karena
itu semua lembaga pendidikan Islam harus mampu
merumuskan tujuan pendidikan Islam sesuai dengan tingkat
jenis pendidikannya.
4. Tujuan Operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai
dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit
kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah
70
Tujuan Pendidikan Islam
dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu
disebutlah tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan
operasional ini disebut tujuan instruksional yang selanjutnya
dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus
(TIU dan TIK). Tujuan instruksional ini merupakan tujuan
pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit peangajaran.
Dalam tujuan operasional ini lebih ditekankan kemampuan dan
keterampilan peserta didik dari pada sifat penghayatan dan
kepribadian, misalnya dapat berbuat, terampil melakukan,
lancer mengucapkan dan sebagainya.
C. Aspek-aspek Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Majid
'Irsan al-Kaylani, tujuan pendidikan Islam bertumpu pada empat
aspek,29 yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara
mempelajari ayat Allah dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq)
dan psikis (anfus); (2) mengetahui ilmu Allah melalui pemahaman
terhadap kebenaran makhluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan
(qudrah) Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan
kreativitas makhluk-Nya; (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah
(sunnatullah) tentang realitas (alam) dan jenis- jenis perilakunya.
Aspek tujuan pendidikan Islam menurut Abd al-Rahman
Shaleh Abd Allah dalam bukunya Educational Theory, a Qur'anic
Outlook meliputi empat hal,30 yaitu:
29Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 78.
30 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 75, perjelas dalam Abdul Mujib, Ilmu., hlm. 78-79.
71
Ilmu Pendidikan Islam
• Tujuan jasmaniyah (al-ahdaf al-jismiyyah)
Tujuan pendidikan Islam perlu dikaitkan dengan tugas manusia
selaku khalifah di muka bumi yang harus memiliki kemampuan
jasmani yang sehat, keterampilan - keterampil- an fisik,
disamping rohani yang teguh. Dan juga untuk membentuk
manusia muslim yang sehat dan kuat jasmaninya serta memiliki
keterampilan yang tinggi. Hal ini didasarkan pada pendapat
Imam Nawawi yang menafsirkan "al-qawy" sebagai kekuatan
iman yang ditopang oleh kekuatan fisik (QS. al-Baqarah: 247, al-
Anfal: 60)
• Tujuan rohaniyah (al-ahdaf al-ruhiyyah)
Perhatian dari tujuan ini terkait dengan kemampuan manusia
menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah keimanan
dan ketaatan kepada Allah, dengan tunduk dan patuh kepada
nilai-nilai moralitas yang diajarkan-Nya (cita- cita ideal dalam al-
Qur'an, QS. Ali Imran: 19) dan mengikuti teladan rosulullah.
Muhammad Qutb berasumsi bahwa tujuan pendidikan ruhiyyah
mengandung pengertian "ruh" yang merupakan mata rantai
pokok yang menghubungkan antara manusia dengan Allah, dan
pandidikan Islam harus bertujuan untuk membimbing manusia
sedemikian rupa sehingga ia selalu tetap berada di dalam
hubungan dengan-Nya. Beberapa indikasi pendidikan rohani
adalah tidak bermuka dua (QS. al-Baqarah: 10), berupaya
memurnikan dan mensucikan diri manusia secara individual
dari sikap negatif (QS. al-Baqarah: 126), dan dari sinilah penye-
butan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).
72
TUjuan Pendidikan Islam
• Tujuan akal (al-ahdaf al-qliyyah)
Tujuan ini bertumpu pada pengambangan intelegensia
(kecerdasan) yang ada dalam otak manusia. Agar dapat
memahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah
di jagad raya ini. Alam dan isinya merupakan sebuah buku besar
yang harus dijadikan obyek pembacaan dan pengamatan serta
renungan akal pikiran manusia sehingga akan diperoleh ilmu
pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan maju.
Firman Allah yang mendorong pendidikan akal terdapat kurang
lebih sekitar 300 kali. Dengan melalui observasi dengan
pancaindera, manusia dapat dididik untuk menggunakan akal
kecerdasannya untuk meneliti, menganalisis keajaiban ciptaan
Allah di dalam alam semesta yang berisi khazanah ilmu
pengetahuan yang menjadi bahan pokok pemikiran yang
analisis-kritis untuk dikembangkan manuju bentuk-bentuk
teknologi dan hasil lain yang lebih maju. Dalam pendidikan aqal
ini ada beberapa tahapan penting, yaitu: (a) pencapaian
kebenaran ilmiah (ilm al-yacjin) (QS. al-Takatsur: 5); (b)
pencapaian kebenaran empiris ('ain al-yaqin) (QS. al-Takatsur: 7);
dan (c) pencapaian kebenaran metaempiris atau filosofis (haqq al-
yaqin) (QS.̂ al- Waqi'ah: 95)
• Tujuan sosial (al-ahdaf al- ijtima'iyyah)
Tujuan sosial ini merupakan pembentukan kepribadian yang
utuh dari rih, tubuh dan akal. Adanya identitas dan eksistensi
individu tercermin sebagai manusia yang hidup pada
masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan ini sangat penting
eksistensinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi,
harus memiliki kepribadian yang utama
73
Ilmu Pendidikan Islam
dan seimbang. Sehingga manusia tidak akan mungkin
menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Individu
merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam
keluarga dan masyarakat, atau sebagai anggota keluarga dan
pada waktu yang sama sebagai anggota masyarakat.
Kesesuaiannya dengan data-data sosial diperoleh dari individu-
individu. Maka persaudaraan dianggap sebagai salah satu kunci
konsep sosial dalam Islam yang menghendaki setiap individu
memperlakukan individu yang lain dengan cara- cara tertentu.
Dan di sinilah konsep etika, akhlak, dan moral Islam berperan
penting.
Keserasian antara individu dengan masyarakat tidak
mempunyai sifat yang kontradiktif antar tujuan sosial dan
tujuan individual. "Aku" dan "kami" merupakan pernyataan
yang tidak boleh berarti kehilangan "aku"-nya. Pendidikan
menitikberatkan perkembangan karakter- karakter yang unik,
agar manusia mampu beradaptasi dengan standar masyarakat
bersama-sama dengan cita- cita yang ada padanya.
Keharmonisan yang seperti inilah yang merupakan karakteristik
pertama yang akan dicari dalam tujuan pendidikan Islam.
Dari keseluruhan aspek maupun tahapan dalam pendidikan
Islam tersebut, akan menjadi lebih baik, apabila keseluruhan dapat
terinternalisasikannya tiga ranah atau domain yang digagas oleh
Benyamin S. Bloom,31 yaitu:
31 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 34.
74
Tujuan Pendidikan Islam
• Kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan
pengetahuan dan perkembangan keterampilan atau
kemampuan.
• Afektif meliputi perubahan-perubahan dari segi sikap mental,
perasaan dan kesadaran.
• Psikomotorik, meliputi perubahan-perubahan dari segi bentuk-
bentuk tindakan motorik.
Dalam sebuah proses pendidikan, tujuan yang ingin dicapai
dari seluruh kegiatan pendidikan merupakan kristalisasi dan
internalisasi nilai-nilai yang ingin direalisasikan dalam pribadi setiap
peserta didik. Tujuan ini haruslah komperhensif mancakup semua
aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan
utuh. Adapun aspek tersebut di antaranya:32
1. Tujuan normatif, yaitu tujuan yang ingin dicapai berdasarkan
norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang
hendak diinternalisasi. Misalnya:
a. Tujuan formatif yang bersifat memberikan kemampuan
untuk memberikan persiapan dasar yang korektif.
b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan
untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
c. Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan
untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar
dengan proses kependidikan.
32 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), him. 75. Bandingkan dalam Muzayyin Arifin,
Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 115.
75
Ilmu Pendidikan Islam
d. Tujuan integrative yang bersifat memberi kemampuan untuk
memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, ke- mauan,
ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan umum.
e. Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan
penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam
pengalaman pendidikan.
2. Tujuan fungsional, tujuan yang sasarannya diarahkan pada
kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya kognisi,
afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh,
sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan in meliputi:
a. Tujuan individual, yang sarannya pemberian kemampuan
individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah
diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual,
dan skill.
b. Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan
pengalaman nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial,
interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam
masyarakat.
c. Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan
untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan moral atas
dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis),
dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis
(psikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).
d. Tujuan professional, yang sasarannya pada pemberian
kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki.
76
Tujuan Pendidikan Islam
3. Tujuan operasional, tujuan yang mempunyai sasaran teknis
manajerial, Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi
enam macam, yaitu:
a. Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan
Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil,
yaitu manusia yang dapat menunjukkan keselarasan dan
keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi
kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk
kehidupan bersama yang menjadikan integritas ketiga
inti hakikat manusia.
b. Tujuan khusus, yang merupakan indikasi tercapainya
tujuan umum. Yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan
dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita
pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau
lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik,
seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan
kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia
tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk
ke jenjang pendidikan berikutnya.
c. Tujuan tak lengkap, ini berkaitan dengan kepribadian
manusia dari satu aspek saja, yang berhubungan dengan
nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusialaan, ke-
agamaan, keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan
sebagainya. Setiap aspek ini mendapatkan giliran
penanganan (prioritas) dalam usaha pendidikan atau
maju bersama-sama secara terpisah.
d. Tujuan insidental (tujuan seketika), tujuan yang timbul
karena kebetulan, bersifat sesaat, misalnya mengadakan
sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
77
Ilmu Pendidikan Islam
e. Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase- fase
tertentu dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan
belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang
tujuan belajarnya adalah membekali diri untuk menghadap
ilahi, dan sebagainya.
f. Tujuan intermedier, berkaitan dengan penguasaan suatu
pengetahuan dan ketrampilan demi tercapainya tujuan
sementara, misalnya anak belajar membaca, manulis,
berhitung, dan sebagainya.
Komponen-komoponen tujuan di atas tidak hanya berfokus
pada tujuan yang bersifat teoritis, tetapi juga tujuan praktis yang
sasarannya pada pemberian kemampuan praktis peserta didik.
Sehingga setelah ia mendapatkan sebuah proses pendidikan tertentu,
ia akhirnya dapat mengaplikasikannya dengan penuh tanggung
jawab, sesuai kompetensi yang dimilikinya.
Dalam Islam, orientasi sebuah pendidikan akan mengacu pada
minimal empat aspek,33 yaitu:
• Berorientasi pada tujuan dan tugas pokok manusia. Manusia
hidup di alam semesta ini tentunya tidak karena kebetulan atau
sia-sia saja. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas
tertentu, yaitu sebagai 'abd dan kholifah.fi ardh. Untuk itu
pendidikan Islam harus mampu mengantarkan
memformulasikan sistem pendidikannya ke arah pencapaian
tugas dan fungsi manusia diciptakan di dunia.
• Berorientasi pada sifat dasar dan alami (nature) manusia.
Manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali berbagai fitrah
33 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 57-58.
78
Tujuan Pendidikan Islam
yang memiliki kecenderungan pada hanif lewat tuntunan agama-
Nya. Sehingga pola pendidikan harus mampu mengembangkan
fitrah insaniyah tersebut sesuai dengan kapasitas yang
dimilikinya.
• Berorientasi pada tuntutan masyarakat dan zaman, yang berupa
pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam
kehidupan bermasyarakat, maupun pemenuhan terhadap
tuntutan kebutuhan hidupnya dalam menghadapi dinamika
perkembangan modern yang penuh dengan akselerasi.
• Orientasi kehidupan ideal Islami, yang mengandung nilai
bahwa sistem pendidikan Islam harus mampu menyeim-
bangkan dan memadukan antara kepentingan hidup dunia dan
akhirat. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan
hidup tersebut menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-
pengaruh neagatif dan berbagai gejolak kehidupan yang
menghambat ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik
yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis maupun
ideologi dalam kehidupan pribadi manusia.
Untuk dapat memformulasikan sebuah tujuan dalam
pendidikan yang adaptip dan kompetitif, maka harus mengacu pada
beberapa prinsip di bawah ini,34 yaitu:
• Prinsip universal (syumuliyyah). Yaitu prinsip yang memandang
bahwa pendidikan merupakan sebuah realisasasi dan
34 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 73-74,
perjelas juga dalam Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 58-59.
79
Ilmu Pendidikan Islam
implementasi dari seluruh aspek yang dihadapi manusia. Di
antaranya aspek agama (ibadah, akhlak, dan muamalah), aspek
manusia sendiri (jasmani, rohani, dan nafsu), masyarakat dengan
tatanan kehidupannya, dan adanya realitas dunia dan hidup itu
sendiri. Implikasinya terhadap formulasi tujuan pendidikan yaitu
akan membuka, mengembangkan, dan mendidik seluruh dimensi
pribadi manusia dan segala modalitasnya, dan meningkatkan
kondisi kebudayaan, social, ekonomi, politik sebagai problem
solving dalam dinamika kehidupan dan cita-cita yang luhur.
• Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun wa
iqtishadiyah). Yaitu keseimbangan seluruh aspek kehidupan
manusia, berbagai kebutuhan individual dan komunitas, serta
tuntutan pelestarian nilai-nilai budaya masa lalu dengan
perkembangan nilia-nilai budaya masa kini, serta berusaha
memadukannya guna menjembatani problematika kehidupan
manusia.
• Prinsip kejelasan (tabayun). Sebuah prinsip yang di dalamnya
terdapat ajaran dan hukum yang berfungsi memberikan kejelasan
terhadap kejiwaan manusia (qalb, akal, dan hawa nafsu) dan
hokum dari problem yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan,
kurikulum, dan metode pendidikan secara jelas dan sistematis.
• Prinsip tak bertentangan, yaitu prinsip yang di dalamnya tidak
ada pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaan
sistem pendidikan yang direncanakan, namun dapat berjalan
secara harmonis dan simultan dan saling mendukung.
80
TUjuan Pendidikan Islam
• Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan, yaitu tidak adanya
sifat khayalan dalam kandungan materi dan program
pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang
pragtis realistis dan sesuai dengan fitrah, situasi dan kondisi
seperti sosioekonomi, sosiopolitik, dan sosiokultural, serta
kemampuan peserta didik.
• Prinsip pembahan yang diingini, yaitu adanya perubahan
struktur manusia yang meliputi jasmaniyah, ruhaniyah,
nafsuniyah, serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis,
epistimologis, paragigma, intelegensi, nilai-nilai, sikap
peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan
pendidikan.
• Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu, yaitu
dengan tetap mempertimbangkan dan memperhatikan
pluralitas peserta didik, baik berupa ciri-ciri, kebutuhan,
intelegensia, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan
jasmani, akal, emosi, sosial, dan semua aspek yang ada
secara serasi dan seimbang. Asumsi yang dibangun adalah
bahwa semua individu "tidak sama" dengan yang lainnya.
• Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkem-
bangan yang terjadi pada pelaku pendidikan serta ling-
kungan di manapun pendidikan itu dilaksanakan. Hal ini
dilakukan dalam rangka memperkaya seluruh metode yang
digariskan oleh ajaran agama.
Selain prinsip di atas, Hilda Taba memberi pandangan
sendiri mengenai formulasi tujuan pendidikan Islam, yaitu
prinsip-prinsip pokok dalam rumusan tujuan pendidikan.35
35 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 74.
81
Ilmu Pendidikan Islam
Rumusan tersebut adalah: (1) rumusan tujuan hendaknya meliputi
aspek bentuk tingkah laku yang diharapkan (proses mental) dan
bahan yang berkaitan dengannya (produk); (2) tujuan-tujuan yang
kompleks harus ditata secara mapan, analitis, dan spesifik, sehingga
tampak jelas bentuk-bentuk tingkah laku yang diharapkan; (3)
formulasi harus jelas untuk pembentukan tingkah laku yang
diinginkan dengan kegiatan belajar tertentu; (4) tujuan tersebut
pada dasarnya bersifat developmental yang mencerminkan arah yang
hendak dicapai; (5) formulasi harus realistis, dan hendaknya
memasukkan terjemahan ke dalam kurikulum dan pengalaman
belajar; (6) tujuan harus mencakup segala aspek perkembangan
peserta didik yang menjadi tanggung jawab sekolah. []
82
BAB IV
PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan Islam yaitu
mengabdi kepada Allah. Pengabdian tersebut sebagai realisasi dari
keimanan yang diwujudkan dalam amal perbuatan sehari-hari, guna
mencapai derajat taqwa di sisi-Nya. Sehingga iman dan taqwa
merupakan dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan yang dicita-
citakan pendidikan Islam. Para ahli memberikan pandangan dengan
ungkapan lain yang seringkali digunakan yaitu konsep insan kamil,
dan menurut Muhaimin merupakan insan yang memiliki dimensi
religius, budaya, dan ilmiah.1
Seorang pendidik tidak hanya mentransfer keilmuan
(knowledge), tetapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (value) pada
peserta didik. Untuk itu, guna merealisasikan tujuan pendidikan,
manusia sebagai khalifah yang punya tanggung jawab
mengantarkan manusia ke arah tujuan tersebut, cara yang
1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia,
2004), him. 83.
83
Ilmu Pendidikan Islam
ditempuh yaitu menjadikan sifat-sifat Allah sebagi bagian dari
kepribadiannya. Beberapa bentuk nilai-nilai itu adalah nilai etika,
pragmatis, nilai effect sensorik dan nilai religius.
Dalam realitas pendidikan, proses internalisasi dan trans-
formasi pengetahuan dan nilai pada peserta didik secara integral
merupakan tugas yang cukup berat bagi pendidik, di tengah
dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks. Hal ini di-
latarbelakangi akan banyaknya kasus-kasus dalam realitas
masyarakat yang merendahkan bahkan melecehkan eksistensi dan
peran seorang pendidik baik ketika di lingkungan sekolah, di luar
sekolah, maupun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dalam konteks pendidikan Islam, terminologi "pendidik"
sering disebut dengan murabbi, mu'allim, mu'addib, ataupun mursyid,
dan terkadang dengan gelar seperti ustadz dan syekh. Dan masih
banyak lagi pemakaian kata-kata yang lain dalam pendidikan secara
umum, yang pada hakikat maknanya sama dengan "pendidik".
Walupun demikian, dalam konteks Islam, istilah-istilah tersebut
mempunyai tempat yang berbeda antara satu dengan yang lain,
dalam khazanah keilmuan Islam.2
A. Devinisi Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik dalam konteks Islam, sering disebut dengan murabbi,
mu'allim, dan mu'addib, yang pada dasarnya mempunyai makna
yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam
situasi tertentu mempunyai kesamaan makna. Kata murabbi berasal
dari kata rabba, yurabbi, kata mu'allim berasal
2 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 87.
84
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
dari kata 'allama, yu'allimu, sedangkan kata muaddib berasal dari
addaba, yuaddibu sebagaimana sebuah ungkapan: "Allah mendidikku,
maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan".
Pendidik dalam pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
orang-orang yang bertangggung jawab terhadap perkembangan
peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi dan
kecenderungan yang ada pada peserta didik, baik yang mencakup
ranah afektif, kognitif, maupun psikomotorik. Dalam ungkapan
Moh. Fadhil al-Jamali, pendidik adalah orang yang mengarahkan
manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki
manusia. Sedangkan dalam bahasa Marimba, pendidik adalah
orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai pendidik, yaitu
manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung
jawab tentang pendidikan peserta didik.3 Menurut al-Aziz,
pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dalam
menginternalisasikan nilai-nilai agama dan berupaya menciptakan
individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang
sempurna.
Pendidik berarti pula orang dewasa yang bertanggung jawab
memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan
jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,
mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya,
mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan
khalifah Allah, dan mampu melakukan tugas
3 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 85.
85
Ilmu Pendidikan Islam
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka".
Dari ayat tersebut juga dapat diambil sebuah makna,
bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua dan ke-
luarga, yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkem-
bangan anak-anaknya, karena sukses tidaknya anak akan sangat
bergantung pengasuhan, perhatian, dan pendidikan orang tua-
nya. Sehingga suksesnya anak juga merupakan suksesnya orang
tua dan keluarga.
Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang
dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab
atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang me-
nyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah
4 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 87
86
sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang
mandiri.4
Pendidikan Islam menggunakan tujuan sebagai dasar untuk
menentukan pengertian pendidik, disebabkan karena pendidikan
merupakan kewajiban agama, dan kewajiban hanya dipikulkan
kepada orang yang telah dewasa. Kewajiban itu pertama-tama
bersifat personal, dalam arti bahwa setiap orang bertanggung
jawab atas pendidikan dirinya sendiri. Kemudian meningkat pada
dataran sosial yang berarti bahwa setiap orang bertangggung
jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman
Allah QS. al-Tahrim 6:
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama,
sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah
setiap orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat
yang lekat pada setiap orang karena tanggung jawabnya atas
pendidikan.5
Namun demikian, ketika orang tua merupakan pendidik
pertama dan utama terhadap anak-anaknya sebagaimana pen-
jelasan di atas, dalam realitanya banyak sekali dijumpai orang tua
yang tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa guna mendidik
anak-anaknya. Selain karena tingkat kesibukan kerja, tingkat
efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan
hanya dikelola secara alamiah. Dalam konteks ini anak lazimnya
dimasukkan ke dalam lembaga sekolah, yang karenanya definisi
pendidik di sini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta
didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah.
Penyerahan peserta didik ke sebuah lembaga sekolah tertentu,
bukan berarti tanggung jawab orang tua bergeser dan berpindah
kepada sekolah, namun orang tua tetap mempunyai andil yang
besar dalam proses pembinaan dan pendidikan anaknya.6
Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua. Hal
ini di sebabkan karena secara alami anak-anak pada masa- masa
awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari
merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan
hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak
anak berada di tengah orang tuanya. Se-
5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004),
hlm. 86.
6 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 88.
87
Ilmu Pendidikan Islam
"Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta, dan
janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak".
Ada juga teks lain yang menyatakan: "Tinta seorang ilmuwan
(yang menjadi guru) lebih berharga dari pada darah para syuhada". Bahkan
Islam menempatkan seorang pendidik setingkat dan sederajat
dengan rosul. Al-syauki bersyair:
dangkan pendidikan di lembaga pendidikan persekolahan di-
sebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah, atau sekolah
sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah, dan sampai
dosen-dosen di perguruan tinggi, kyai di pondok pesantren, dan
lain sebagainya. Namun guru bukan hanya menerima amanat
dari orang tua yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya.7
B. Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta
didik, yang memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan
memperbaiki akhlak yang kurang baik. Kedudukan tinggi pen-
didik dalam Islam banyak di nyatakan dari beberapa teks, di
antaranya disebutkan:
"Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu
hampir saja merupakan seorang rasul".8
7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 86.
8 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir Ilmu Pendidikan Islam., hlm.
88-89.
88
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
Hal ini ditambahkan oleh al-Ghazali yang menukil beber-
apa teks hadits yang berkenaan dengan keutamaan seorang
pendidik. Paradigma yang nampak dari al-Ghazali yaitu bahwa
pendidik merupakan orang-orang besar (great individuals) yang
aktivitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun (analisa secara
mendalam makna QS. al-Taubah: 122). Dari beberapa pandangan
ulama', al-ghazali berasusmsi bahwa pendidik merupakan pelita
(siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan
memperoleh pancaran cahaya (nur) keilmuan dan
keilmiahannya. Apabila dunia tanpa ada pendidik, niscaya
manusia seperti binatang, sebab: "pendidikan adalah upaya
mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan (baik binatang
buas maupun binatang jinak) kepada sifat insaniyah dan
ilahiyah".9
C. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam
Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia
yang diembannya, karena tugas mulia dan berat yang dipikul
hamper sama dan sejajar dengan tugas seorang rosul. Dari
pandangan ini, dapat difahami bahwa tugas pendidik sebagai
warosat al-anbiya'r yang pada hakekatnya mengemban misi rahmat
lil 'alamin, yaitu suatu misi yang mengajak manusia untuk
tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian
misi itu dikembangkan pada suatu upaya pembentukan karakter
kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal sholeh dan
bermoral tinggi. Dan kunci untuk melaksanakan tugas tersebut,
seorang pendidik dapat berpegangan pada
9 Ibid.
89
Ilmu Pendidikan Islam
amar ma'ruf nahi munkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat
kegiatan penyebaran misi Iman, Islam, dan Ihsan, kekuatan yang
dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, social dan
moral (nilai-nilai agama dan moral).10
Dalam pandangan al-Ghazali, seorang pendidik mempunyai
tugas yang utama yaitu menyempurnakan, membersihkan,
mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan
diri (taqarrub) kepada Allah SWT.11 Hal ini karena pada dasarnya
tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, kemudian realisasinya pada kesalehan sosial
dalam masyarakat sekelilingnya. Dari sini dapat dinyatakan bahwa
kesuksesan seorang pendidik akan dapat dilihat dari keberhasilan
aktualisasi perpaduan antara iman, ilmu dan amal saleh dari
peserta didiknya setelah mengalami sebuah proses pendidikan.
Abdurrahman an-Nahlawy menyebutkan tugas pendidik
yaitu: Pertama, berfungsi penyucian, dalam arti bahwa pendidik
berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembangan
fitrah peserta didik. Kedua, berfungsi pengajaran yakni pendidik
bertugas menginternalisasikan dan mentransformasikan
pengetahuan (knowledge), dan nilai-nilai (value) agama kepada
peserta didik.12
10 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia,
2004), hlm. 88.
11 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu, him. 90, bandingkan
dengan Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 63.
12 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 88.
90
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
Dari pandangan di atas, tanggung jawab seorang pendidik
adalah mendidik individu (peserta didik) supaya beriman kepada
Allah dan melaksanakan syari'at-Nya, mendidik diri supaya
beramal shaleh, dan mendidik masyarakat untuk saling me-
nasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar
tabah dalam mengahadapi kesusahan, beribadah kepada Allah
serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya
sebatas tanggung jawab moral pendidik terhadap peserta didik,
namun lebih dari itu pendidik akan mempertanggung jawabkan
atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah SWT.13
Sebagaimana teks hadits menyatakan:
"Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rosulullah bersabda: masing-masing kamu adalah
penggembala dan masing-masing bertanggung jawab atas gembalanya; pemimpin
adalah penggembala, suami adalah penggembala terhadap anggota keluarganya,
dan istri adalah penggembala di tengah- tengah rumah tangga suaminya dan
terhadap anaknya. Setiap orang di antara kalian adalah penggembala, dan masing-
masing bertanggung jawab atas apa yang digembalanya”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikan dengan guru
(gu dan ru) yang berarti "digugu dan ditiru". Dikatakan "digugu"
(dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai,
yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas
dalam melihat kehidupan ini. Dikatan "ditiru" (diikuti) karena guru
memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak
tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta
didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak
sekedar transformasi ilmu (knowledge) tetapi juga bagaimana ia
mampu menginter-
13 Ibid., him. 89.
91
Ilmu Pendidikan Islam
nalisasikan ilmunya pada peserta didiknya. Pada tataran ini terjadi
sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh
peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta
didik).14 Dengan kata lain tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi
juga sebagai motif ator dan fasilitator proses belajar, yaitu relasi
dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi
potensi peserta didik untuk mengimbangi kelemahan dan
kekurangan yang dimiliki.15 Keaktifan peserta didik sangat
ditekankan dalam proses belajar, sekalipun keaktifan itu dari
stimulus yang dilakukan oleh kreativitas dan inovatifitas pendidik.
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan
fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini
menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga
pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu,
anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antar
tugas keguruan atau kependidikannya dan tugas lainnya harus
ditempatkan menurut proporsi dan dan prioritasnya.
Kadang kala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik,
misalnya ada sebagian orang yang mampu memberikan dan
memindahkan ilmu pengetahuan (transfer ofknowledge) kepada
orang lain sudah dikategorikan sebagai seorang pendidik. Pada
dasarnya tugas pendidik tidak hanya berkutat pada hal itu saja,
namun lebih luas lagi juga bertanggung jawab mengelola (sebagai
manager of learning), mengarahkan (director of learning),
memfasilitasi, dan merencanakan (the planner of future society)
14 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 90
15 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hkm. 63.
92
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
dan mendesain program (desainner) yang akan dijalankan
dengan baik. Dari sini tugas dan fungsi pendidik dapat disim-
pulkan dengan:
1. Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas meren-
canakan program pengajaran dan melaksanakan program
yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
penilaian setelah program dilaksanakan.
2. Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta
didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil
seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.
3. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, meng-
endalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat
yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut
upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, peng-
ontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang
dilakukan. - .
Rustiyah menjabarkan peranan pendidik dalam interaksi
pendidikan, yaitu:16
1. Fasilitator, yakni menyediakan situasi dan kondisi yang
dibutuhkan peserta didik.
2. Pembimbing, yaitu memberikan bimbingan terhadap
peserta didik dalam interaksi belajar mengajar, agar siswa
tersebut mampu belajar dengan lancer dan berhasil secara
efektif dan efisien.
16 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 46.
93
Ilmu Pendidikan Islam
3. Motivator, yakni memberikan dorongan dan semangat agar
siswa mau giat belajar.
4. Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan belajar
peserta didik maupun pendidik.
5. Manusia sumber, yaitu ketika pendidik dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan peserta didik, baik berupa
pengetahuan (kognitif), ketrampilan (afektif) maupun sikap
(psikomotorik).
Dalam realisasi tugas tersebut, maka para pendidik dituntut
untuk memiliki seperangkat prinsip keguruan atau
kependidikan,17 yaitu:
• Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti mem-
perhatikan akan adanya kesedihan, kemampuan, pertum-
buhan dan perbedaan anak didik atau backround mereka.
• Membangkitkan, memotifasi peserta didiknya agar gairah dan
semangat.
• Menumbukan bakat dan sikap anak didik yang baik.
® Mengatur proses proses belajar mengajar yang kondusif.
• Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang
mempengaruhi proses mengajar.
« Adanya keterkaitan humanistik dalam proses belajar mangajar.
Tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam ini, di-
rumuskan oleh Muhaimin dengan penggunaan beberapa
17 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu, him. 91, bandingkan dengan Munardji,
Ilmu, him. 46 dan Ramayulis, Ilmu, 1998, Ibid, hlm. 45
94
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
istilah seperti ustadz, mu'allim, murabbi, mursyid, mudarris, dan
muaddib, dalam tabel berikut ini18
Tabel Karakteristik Tugas Pendidik dalam Pendidikam Islam
NO PENDIDIK KARAKTERISTIK DAN TUGAS
1. Ustadz Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada
dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja,
serta continuous improvement 2. Mu'allim
Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta
menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis
dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan,
internalisasi, serta implementasi (amaliah)
3. Murabbi Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu
berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk
tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam
sekitarnya 4. Mursyid
Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau
menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya
5. Mudarris Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta
memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, serta
berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan
mereka, serta melatih ketrampilan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya
6. Muaddib Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab
dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan
Berdasarkan tabel di atas, tugas-tugas pendidik terlihat
amat berat, karena tidak saja hanya melibatkan kemampuan
ranah kognitif belaka, namun juga integrasi dengan ranah afektif
dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan
18 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 92
95
Ilmu Pendidikan Islam
oleh seberapa banyak tugas yang telah dilaksanakan, sekalipun
terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi secara
signifikan terhadap penghargaan yang diperolehnya.
D. Syarat dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan (relationship) antara pendidik dan peserta
didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya.
Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode
etik. Demikian pula jabatan pendidik mempunyai kode etik
tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap
pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus
sama, namun secara intrinsic mempunyai kesamaan konten yang
berlaku secara umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan
mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.19
Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik dengan 17
bagian,20 yaitu:
1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan hati
dan sikap yang terbuka dan tabah.
2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. Ali Imron: 159).
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap
sesama (QS. al Najm: 32).
19 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., him.
97-98, perjelas dalam Munardji, Ilmu., hlm. 69.
20 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., him. 69, dan lihat dalam
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 99-100.
96
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
5. Bersifat merendah ketika menyatu dengan sekelompok
masyarakat (QS. al-Hijr: 88).
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang
tingkat IQnya rendah, serta membinanya sampai pada taraf
maksimal.
8. Menghilangkan sifat marah.
9. Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lem-
but terhadap peserta didik yang kurang lancer bicaranya.
10. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik
yang belum mengerti mengetahui atau memahami.
11. Berusaha memperhatikan pernyataan-pernyataan peserta
didik walaupun pernyataan itu tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari peserta didik yang memban-
tahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan
walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu
yang membahayakan (QS. al-Baqarah: 195).
15. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus
menerus mencari informasi untuk disampaikan kepada
peserta didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub
kepada Allah (QS. al-Bayyinah: 5).
16. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah
(kewajiban kolektif seperti ilmu kedokteran, psikologi,
ekonomi dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardlu
'ain (kewajiban individual seperti aqidah, syari'ah dan
akhlak).
17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada
peserta didik (QS. al-Baqarah: 44, as-Shaf: 2-3).
97
Ilmu Pendidikan Islam
Al-Kanani (w. 733 H) mengemukakan prasyarat seorang
pendidik atas tiga macam, yaitu: (1) yang berkenaan dengan
dirinya sendiri; (2) yang berkenaan dengan pelajaran atau materi;
(3) yang berkenaan dengan murid atau peserta didiknya.
Pertama: syarat-syarat pendidik yang berhubungan dengan
dirinya sendiri, yaitu:
• Hendaknya pendidik senantiasa insaf akan pengawasan
Allah terhadapnya, dalam segala perkataan dan perbuatan
bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah
kepadanya.
Karenanya ia tidak menghianati amanat itu, malah ia tunduk
dan merendahkan diri kepada Allah SWT.
• Hendaknya pendidik memelihara kemuliaan ilmu. Salah
satu bentuk pemeliharaannya adalah tidak mengajarkannya
kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-
orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
• Hendaknya pendidik bersifat zuhud, artinya ia mengambil
dari rezeki dunia hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan
pokok diri dan keluarganya secara sederhana. Ia hendaknya
tidak tamak terhadap kesenangan dunia, sebab sebagai orang
yang berilmu, ia lebih mengerti daripada orang awam
kesenangan itu tidak abadi.
• Hendaknya pendidik tidak berorientasi duniawi semata,
dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai
kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.
• Hendaknya pendidik menjauhi mata pencaharian yang hina
dalam pandangan syar'i, dan menjauhi situasi yang
98
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang
dapat menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak.
Sebagaimana firman Allah QS.al-Baqarah: 172: Yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar kepada- Nya kamu menyembah".
• Hendaknya pendidik memelihara syiar-syiar Islam, seperti
melaksanakan sholat berjamaah di masjid, mengucapkan
salam, serta menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Dalam melakukan semua itu hendaknya ia bersabar dan tegar
dalam menghadapi celaan dan cobaan. Sebagaiman firman
Allah QS. al-Baqarah: 153: Yang artinya: "Hai orang- orang
yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar".
• Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang di-
sunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan,
seperti membaca al-qur'an, berdzikir, dan sholat tengah
malam. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. Hud: 114.
• Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam
pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri
dari akhlak yang buruk. Sebagai pewaris Nabi sudah
sepantasnya seorang pendidik untuk memperlihatkan akhlak
yang terpuji, sebagaimana peran yang dimainkan oleh rosul
dalam menghadapi umatnya (sebagai teladan dan panutan).
• Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya
dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, mem-
99
Ilmu Pendidikan Islam
baca dan menulis. Ini berarti bahwa seorang pendidik harus
selalu pandai memanfaatkan segala kondisi sehingga hari-
harinya tidak ada yang terbuang.
• Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu
untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah dari-
padanya, baik kedudukan atau usianya. Artinya seorang
pendidik hendaknya selalu bersikap terbuka terhadap
masukan apapun yang bersifat positif, konstruktif, dan dari
manapun datangnya.
• Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan meng-
arang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang
dibutuhkan untuk itu.
Kedua: syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran
(syarat-syarat paedagogies-didaktis), yaitu:
• Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya guru
bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian
yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari'at.
• Ketika keluar dari rumah, hendaknya guru selalu berdo'a agar
tidak sesat dan menyesatkan, dan terus berdzikir kepada Allah
sampai ke tempat pendidikan.ini menegaskan bahwa sebelum
mengajarkan ilmunya, seorang pendidik sepantasnya untuk
mensucikan hati dan niatnya.
• Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang
membuatnya dapat terlihat oleh semua murid. Artinya, ia
harus berusaha agar apa yang akan disampaikannya
hendaklah diperkirakan dapat dinikmati oleh seluruh
siswanya dengan baik.
100
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
• Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca
sebagian dari ayat al-Qur'an agar memperoleh berkah dalam
mengajar, kemudian membaca basmallah.
• Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai
dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingannya yaitu
tafsir al-Qur'an, kemudian hadits, ushul al-din, ushul fiqh,
dan seterusnya. Barangkali untuk seorang pendidik peme-
gang materi umum, hendaklah selalu mendasarkan materi
pelajarannya dengan al-Qur'an dan hadits, dan jika perlu
mencoba meninjaunya dari kacamata Islam.
• Hendaknya pendidik selalu mengatur volume suaranya agar
tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan, tidak
pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh peserta
didik.
• Hendaknya pendidik menjaga ketertiban proses pendidikan
dengan mengarahkan pembahasan pada obyek tertentu.
Artinya dalam memberikan materi, seorang pendidik
memperhatikan tata cara penyampaian yang baik
(sistematis), sehingga apa yang disampaikan akan mudah
dicerna oleh peserta didik.
• Pendidik hendaknya menegur peserta didik yang tidak
menjaga kesopanan dalam kelas, seperti menghina teman,
tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman atau tidak
menerima kebenaran. Ini berarti bahwa seorang pendidik
dituntut untuk selalu menanamkan dasar-dasar akhlak
terpuji dan sopan santun baik di dalam ruangan ataupun di
luar ruangan belajar.
• Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melakukan
pembahsan, menyampaikan pelajaran, dan menjawab
101
Ilmu Pendidikan Islam
pertanyaan. Apabila ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak
tahu, hendaklah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Hal ini
menegaskan bahwa seorang pendidik tidak boleh bersikap
pura-pura tahu. Sedangkan diri rosul saja t i d a k pernah
menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu dengan jawaban
yang diterka-terka, tetapi beliau hanya menjawab dengan "la
adriy" (saya tidak tahu). Sebab jika seseorang mencoba
menjawab dalam ketidaktahuannya ia akan dikategorikan
sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan.
• Terhadap peserta didik yang baru, hendaknya pendidik
bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya
merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman- temannya.
Dengan arti lain, pendidik harus berusaha mempersatukan
hati peserta didiknya antara satu dengan lainnya.
• Di setiap akhir proses pendidikan handaknya pendidik
mengakhiri denga kata-kata wallohu a'lam (Allah yang Maha
tahu) yang menunjukkan keihlasan kepada Allah. Hal ini
bermaksud agar setelah proses belajar mengajar berlangsung,
seorang pendidik hendaklah menyerahkan kembali segala
urusannya kepada Allah.
• Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak
disukainya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pelecehan
ilmiah dan sebaliknya akan terjadi hal yang sifatnya untuk
memuliakan ilmu dalam proses belajar mengajar.
102
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
Ketiga: kode etik di tengah-tengah para peserta didiknya,
antara lain:
• Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan
ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara'
menegakkan kebenaran, dan menghilangkan kebathilan serta
memelihara kemashlahatan umat.
• Pendidik hendaknya tidak menolak untuk mengajar peserta
didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar. Sebagian
ulama' memang pernah berkata "kami memang pernah
menuntut ilmu dengan tujuan bukan karena Allah, sehingga
guru menolak kecuali jika niat kami menuntut ilmu karena
Allah". Kata-kata itu hendaknya diartikan bahwa pada
akhirnya niat menuntut ilmu itu harus karena Allah. Sebab
kalau niat tulus ini disyaratkan pada awal penerimaan peserta
didik, maka peserta didik akan mengalami kesulitan. . .
• Pendidik hendaknya mencintai para peserta didiknya seperti
ia mencintai dirinya sendiri. Artinya seorang pendidik
hendaknya menganggap bahwa peserta didiknya itu adalah
merupakan bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain).
• Pendidik hendaknya memotivasi peserta didiknya untuk
menuntut ilmu seluas mungkin. Sebagaimana sebuah
pernyataan yang mulia: "tuntutlah ilmu itu sekalipun sampai ke
negeri cina”. Dari pernyataan ini mengandung makna bahwa
menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, kapan, dan di manapun
tempatnya.
• Pendidik hendaknya menyampaikan materi dengan
bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat
103
Ilmu Pendidikan Islam
dengan mudah memahami materi. Artinya seseorang pen-
didik harus memahami kondisi peserta didiknya dan
mengetahui tingkat kemampuannya dalam berbahasa.
• Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan
belajar mengajar yang dilakukannya. Hal ini dimaksudkan
agar guru selalu memperhatikan tingkat pemahaman
peserta didiknya, dan perkembangan keilmuan yang di-
perolehnya.
• Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta
didiknya.
• Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi
kemashlahatan peserta didiknya, baik dengan kedudukan
maupun dengan hartanya. Apabila peserta didiknya sakit,
hendaknya ia menjenguknya, dan apabila kehabisan bekal,
hendaknya ia membantunya. Hal ini menggambarkan
bahwa seorang pendidik dianjurkan memperlakukan anak-
nya sendiri, dengan penuh kasih sayang.
• Pendidik hendaknya selalu memantau perkembangan
peserta didik, baik intelektual, maupun akhlaknya. Murid
yang shaleh akan menjadi "tabungan" bagi pendidik, di
dunia dan akhirat.
Dari konsep syarat kode etik pendidik yang telah dikem-
bangkan al-Kanani tersebut, dapat diambil sebuah makna
terdalamnya yaitu bahwa seorang pendidik harus menekankan
perhatian, kasih sayangnya, dan lemah lembut terhadap peserta
didik, seolah-olah mereka adalah anaknya sendiri. Hal ini
kelihatannya didasarkan pada ungkapan: "Sesungguhnya saya dan
kamu laksana bapak dengan anaknya". Implikasi rasa kasih sayang
ini adalah adanya usaha yang maksimal dari pen-
104
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
didik dalam proses pembelajaran, untuk benar-benar dapat
meningkatkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan
peserta didik demi masa depan dan kehidupan peserta didik
yang disayanginya.
Konsep etika tersebut hampir sama dengan yang dikem-
bangkan oleh Ibnu Jama'ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir
Syams al-Din, dengan membagi etika pendidik menjadi tiga
macam,21 yaitu:
• Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Seorang pendidik
dalam etika ini aling tidak memiliki dua etika, yaitu: (1)
memiliki sifat-sifat keagamaan (dininyah) yang baik, meliputi
patuh dan tunduk terhadap syari'at Allah dalam bentuk
ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah;
senantiasa membaca al-Qur'an, berdzikir baik dengan hati
maupun lisan, memelihara wibawa Nabi Muhammad; me-
melihara prilaku lahir dan batin; (2) memiliki sifat-sifat.dan
akhlak yang mulia (akhlacjiyah), seperti menghias diri (tahalli)
dengan memelihara diri, khusyu', rendah hati, menerima apa
adanya, zuhud, dan memiliki daya dan hasrat yang kuat.
• Etika terhadap peserta didiknya. Dalam bagian ini pendidik
minimal memiliki dua sifat, yaitu: (1) sifat sopan santun
(iadabiyah), yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di
atas; (2) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan
menyelamatkan (muhniyah).
• Etika dalam proses belajar mengajar. Dalam bagian etika ini
pendidik minimal juga harus memiliki dua etika, yaitu:
21 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 98
105
Ilmu Pendidikan Islam
(1) sifat-sifat'memeudahkan, menyenangkan, dan menye-
lamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar
yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak cepat
merasa bosan.
Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah al-
Abrasyi menentukan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam
sebagai berikut:22
• Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang
pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti
menyayangi anaknya sendiri.
• Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta
didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan
ketika terjadi proses belajar mengajar.
Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan
tiga macam, yaitu komunikasi sebagai aksi (interaksi searah),
komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi
sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk
mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang maksimal harus
digunakan komunikasi yang transaksi, sehingga suasana belajar
menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik, antara
peserta didik dan pendidik, dan antara peserta didik dengan
peserta didik.
22 Ibid., him. 100-101, bandingkan dengan Munardji, Ilmu Pendidikan
Islam., hlm. 70-72.
106
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
"Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan pada posisinya, berbicara
dengan seseorang sesuai dengan kemampuan akalnya". (HR. Abu Bakar ibn al-
Syakhir)
Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada
sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan
anak yang memiliki IQ tinggi.
Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak
menuntut hal yang di luar kewajibannya.
Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan yang
lainnya (menggunakan pola integrated curriculum). Memberi
bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa
depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami
oleh pendidiknya.
Ali bin Abi Thalib berkata:
• Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya.
Pemberian materi pelajaran harus diukur dengan kadar
kemampuannya. Sabda Nabi:
"Didiklah anak kalian dengan pendidikan, karena mereka diciptakan untuk
zaman yang berbeda dengan zaman kalian”.
• Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang
kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi
107
Ilmu Pendidikan Islam
problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang
matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
Dalam literatur yang lain seperti dalam Ilmu pendidikan
Islam Prof. Ramayulis, disebutkan beberapa syarat pendidik,23
yaitu: (1) beriman; (2) bertaqwa; (3) ikhlas; (4) berakhlak; (5)
berkepribadian yang integral (terpadu); (6) bertanggung jawab;
(7) cakap; (8) keteladanan; (9) memiliki kompetensi
kependidikan yang mencakup: kompetensi kepribadian, kom-
petensi penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi
dalam metode dan pendekatan dalam pendidikan.
E. Keutamaan Mengajar
Pendidik merupakan faktor penting dalam proses pen-
didikan, sehingga peranannya dapat mempengaruhi keber-
hasilan sebuah pendidikan. Dalam Islam, seorang pendidik
sangatlah dihargai dan dihormati kedudukannya. Firman Allah
dalam QS. al-Mursalat: 11:
23 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 37-45.
"Allah meningkatkan derajat orang beriman dan berilmu pengetahuan
beberapa derajat".
Sabda Rasul SAW:
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-qur’an dan mengajar-
kannya". (HR. Bukhari).
108
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
Sabda Rasulullah SAW: yang artinya; " Tinta para ulama lebih
tinggi nilainya dari pada darah para syuhada". (HR. Abu Daud dan
Turmudzi)
Gambaran lain tentang keutamaan seorang pendidik adalah
sebagaimana pandangan Imam al-Ghazali yang men- sinyalir
sebuah teks yang berbunyi:24
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkan
kepada manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang siddiq (orang yang selalu
benar, membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar)". Nabi Isa AS. Bersabda:
"Barang siapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang
besar" di segala penjuru langit". Nabi bersabda: "Sebaik-baiknya pemberian dan
hadiah ialah kata-kata hikmat. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik.
Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim, engkau ajari dia. Perbuatan
demikian mempunyai ibadah setahun". Nabi bersabda pula: "Bahwasannya Allah,
Malaikat- malaikatnya, isi langit dan bumi sampai kepada semut yang di dalam
lubang dan ikan di dalam laut, semuanya berdoa kebajikan kepada orang yang
mengajarkan manusia”. Nabi bersabda pula: "Tiadalah orang muslim memberi
faedah kepada saudaranya, yang lebih utama dari kabar yang-baik yang
disampaikannya, kemudian disampaikan pula kepada orang lain". Nabi bersabda:
"Sepatah kata kebajikan yang didengar oleh seorang muslim lalu diajarkannya dan
diamalkannya, adalah lebih baik baginya daripada ibadah setahun".
Pada suatu hari rosul ke luar berjalan-jalan, lalu melihat dua
majlis. Yang satu mereka berdoa kepada Allah dengan sepenuh
hati, yang satu lagi mengajar manusia. Maka Nabi bersabda:
"Adapun mereka itu memohon kepada Allah, jika dikehendaki-
Nya maka dikabulkan-Nya. Jika tidak maka ditolak-Nya. Sedang
mereka yang satu majlis lagi, mengajarkan manusia dan aku ini
diutus untuk mengajar". Kemudian
24 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia,
1998), hlm. 67.
109
Ilmu Pendidikan Islam
Nabi menoleh ke majlis orang yang mengajar, lalu duduk
bersama mereka, Nabi bersabda: "Rahmat Allah kepada khalifah-
khalifahku". Para sahabat bertanya: "siapakah khalifah-khalifah itu
wahai rasulullah? "rasul menjawab: "mereka yang menghidupkan
sunnahku dan mengajarkan kepada hamba Allah". Umar ra. berkata:
"Barangsiapa mengajarkan suatu hadits, lalu diamalkan orang,
maka baginya pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang
yang mengamalkannya". Ibnu Abbas ra. juga berkata: "Orang
yang mengajar kebajikan kepada orang banyak, diminta
ampunkan dosanya oleh segala sesuatu sehingga ikan di dalam
laut". Imam al-Ghazali mengemukakan tentang mulianya
pekerjaan mengajar, beliau berkata: "Maka seseorang yang alim
mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka ialah yang
dinamakan dengan seorang yang besar di semua kerajaan langit.
Dia adalah seperti matahari yang menerangi alam-alam yang lain,
dia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan dia adalah seperti
minyak wangi yang mewangikan orang lain, karena ia memang
wangi. Siapa-siapa yang memiliki pekerjaan mengajar,ia telah
memilih pekerjaan yang besar dan penting, maka dari itu
hendaklah ia mengajar tingkah lakunya dan kewajiban-
kewajibannya.25
Dari berbagai keterangan tersebut di atas, dapatlah
difahami bahwa betapa besar dan mulia pekerjaan seorang
pendidik atau orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Karena
memang dengan ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manu-
sia agar selalu berfikir dan mengamati, dan menganalisa feno-
mena yang ada pada alam (ayat kauniyah), sehingga akan mem-
bawa manusia pada jarak yang semakin dekat dengan pen-
25 Ibid., hlm. 67-68.
110
Pendidikan dalam Pendidikan Islam
ciptanya yaitu Allah. Selain itu dengan jalan berfikir dan bekal akal,
manusia dapat menghasilkan berbagai teori dan ilmu yang dapat
berguna bagi kehidupan manusia sendiri.
Pendidikan Islam sangat sarat dengan konsepsi dan nilai
ketuhanan yang memiliki berbagai keutamaan. Abd. Al-Rahman al-
Nahlawi menggambarkan orang yang berilmu diberi kekuasaan
menundukkan alam semesta demi kemaslahatan manusia. Sehingga
orang yang berilmu (pendidik) dalam kehidupan masyarakat
dipandang sebagai orang yang bermartabat tinggi.26
Namun demikian, bagi orang yang berilmu atau pendidik,
sudah semestinya dan menjadi suatu kewajiban untuk mengajarkan
dan mengamalkan apa yang sudah diketahui dan dipelajari.
Sehingga nabi memberikan rambu-rambu bagi orang yang tidak
mengajarkan ilmunya dengan suatu peringatan, yaitu:
"Barang siapa yang menyembunyikan ilmunya maka Tuhan akan mengekangnya dengan kekangan api neraka". (HR. Ibnu Majah)
Sehingga seberapa pun pengetahuan atau ilmu yang di-
ketahuinya tetap memiliki konsekuensi untuk mengajarkan-
nya. Dorongan ini terbukti dari ungkapan sebuah teks yang
berbunyi:
"Sampaikanlah dariku walaupun cuma satu ayat".
26 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 87.
111
Ilmu Pendidikan Islam
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa pe-
mahaman yaitu27
• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perintah yang
wajib dilaksanakan, dan barang siapa mengelak dari kewajiban
ini akan mendapatkan konsekuensi tersendiri.
• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan yang
terpuji dan mendapatkan pahala yang berlimpah dari Allah.
• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah merupakan amal
kebajikan jariyah yang akan mengalir pahala selama ilmu yang
diajarkan tersebut masih diamalkan orang yang belajar
tersebut.
® Perbuatan mendidik atau mengajar adalah amal kebajikan yang
dapat mendatangkan maghfirah dari Allah.
• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan yang
sangat mulia, karena mengolah organ manusia yang mulia. []
27 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia,
1998), hlm. 70.
112
BAB V
PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN
ISLAM
A. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, sebenarnya manusia telah di-
tempatkan sebagai makhluk yang termulia dari semua makhluk
yang ada di jagat raya ini. Firman Allah SWT:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat, sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (Q.S. 2:30).
Firman Allah SWT. yang artinya; "Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". (Q.S. 25:4).
Ayat ini menunjukkan bahwa dari segi kejadian (bentuk) dan dari
segi kedudukan manusia lebih mulia dari makhluk lain.
Selanjutnya dalam surat AI-A'laq dijelaskan pula tentang
penciptaan manusia ini sebagaimana firman Allah SWT:
113
Ilmu Pendidikan Islam
"Bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang mencintakan. Dia telah mencintakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang paling Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui, sudahlah! sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
Sesungguhnya hanya kepada Tuhan tempat kembalimu". (Q.S. 86:1-8).
Ayat di atas, menerangkan bahwa ada tiga macam ciri
manusia yaitu:1
1. Manusia itu dijadikan dari a'laq (segumpal darah),
2. Manusia mempunyai daya untuk berilmu,
3. Manusia dapat menjadi diktator apabila ia bersifat
congkak dan tidak memerlukan lagi Sang Penciptanya (Allah
SWT).
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran AI-Qur'an
tentang manusia sebagai berikut:2 Al-Qur'an mengambarkan
manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-
Nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi
duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui
Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya
maupun alam semesta, serta karunia keunggulan terhadap alam
semesta, langit dan bumi. Manusia dipusa-
1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 49-50.
2 Ibid.
114
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
kai ke arah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan.
Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidak-
mampuan yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu
tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika mereka
dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak
terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam
menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan martabat
naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal, tidak
bersifat kebendaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa
memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada
mereka, namun pada saat yang sama, mereka menunaikan
kewajiban mereka kepada Tuhan.
Sayyid Qutb menafsirkan "khalqan akhar" pada QS. 23:12-14
sebagai berikut: "Manusia dijadikan sebagai makhluk yang unik
(khalqan akhar) ketika proses pertumbuhan biologinya sudah
sempurna dalam rahim ibunya. Ketika itu janin tidak lagi
mengalami perkembangan unsur-unsur biologis, dalam arti
pertumbuhan kerangka tubuh. Manusia pada saat itu sudah siap
memasuki tahap kejadiannya yang baru, yang membedakannya
dari hewan. Yang membawa manusia ke tahap kejadi- anya yang
unik dan baru itu adalah ditiupkannya roh ke dalam dirinya.3
Masalah ini semakin dapat difahami dengan adanya firman Allah
SWT dalam surat lain.
"Kemudian Dia menyempurnakan dan menitipkan ke dalam (tubuh)-nya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur". (Q.S. 34:9).
Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan adanya roh itu
manusia dapat memiliki pendengaran (al-Samu') penglihatan
3 Ibid., hlm. 52.
115
Ilmu Pendidikan Islam
(,al-Abshar) dan perasaan dalam hati (al-Afidah) yang menjadi
ciri-ciri khas makhluk manusia.
Hadits Nabi berikut menjelaskan lebih lanjut waktu
penghembusan roh tersebut dalam ayat di atas.
"Sesungguhnya kamu diciptakan dalam kandungan ibu empat puluh hari mani,
kemudian selama itu pula segumpalan darah, kemudian selama itu pula gumpalan
daging, kemudian dikirimkan oleh Tuhan Malaekat dan ia menghembuskan ke
dalam jasad itu roh." (H.R. Bukhari)
Harun Nasution memberikan komentar sebagai berikut:
"Yang menarik perhatian dari perkembangan penciptaan
manusia seperti dijelaskan oleh ayat dan hadits adalah
maksudnya jiwa kedalam. janin, setelah yang tersebut akhir ini
mengalami perkembangan seratus dua puluh hari dalam
kandungan ibu. Selama empat bulan setelah sperma dan ovum
bersatu, janin dengan demikian belum mempunyai jiwa. Janin
baru merupakan tubuh yang hidup dan belum menjadi
manusia dalam arti sebenarnya. Janin sebelum masuknya jiwa
itu dengan kata lain baru merupakan calon manusia.4
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan sebagai berikut:
"Manusia dalam konsep Islam jadinya tersusun dari tiga unsur:
tubuh, hayat dan jiwa. Kalaulah hayat telah tak ada, tubuh pun
mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang mati itu. Di sini jiwa
berpisah dari tubuh dan pergi kembali ke alam im-materi me-
nunggu hari penghitungan di hadapan Tuhan. Alam rohani
tempat jiwa menunggu itu biasa disebut alam barzah.
Unsur tubuh dan hayat menyebabkan manusia sama
dengan binatang, dan unsur roh (jiwa) menyebabkan manusia
berbeda dengan binatang. Unsur roh inilah yang menyebab
4 Ibid.
116
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
kan manusia mempunyai akal, penglihatan, pendegaran, perasaan
dan hati nurani.
Berkenaan dengan masalah ini Al-Atas menyebutkan manusia
sebagai "binatang rasional". Rasional berarti mengacu pada nalar
yang merumuskan makna-makna melibatkan pemikiran
perbendaan dan penjelasan. Di dalam Islam di samping "aql" ada
"qalb” keduanya substansi rohaniah yang dapat memahami dan
membedakan kebenaran dan kepalsuan.5
Dengan keutamaan yang diberikan Tuhan kepada manusia
dari makhluk lain, manusia dibebani dengan tugas yang cukup
berat tetapi mulia yaitu menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Fungsi khalifah tidak lain adalah merupakan amanah yang
mengakibatkan adanya tanggung jawab. Firman Allah SWT. yang
artinya: "Sesungguhnya Tuhan menjadikan manusia di bumi ini sebagai
khalifah." (Q.S.2:30).
Semua ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh manusia tersebut di
atas harus diperhatikan oleh seorang pendidik dalam menghadapi
peserta didiknya, karena pengetahuan tentang itu mendasari
pandangan guru agama tentang muridnya, sehingga dalam proses
pendidikan ia tidak menekankan pada unsur jasad dan hayat saja
tetapi lengkap dengan unsur roh lainnya.
Dengan berpijak pada paradigma "belajar sepanjang masa",
maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut
ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik
cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak,
tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik
hanya dikhususkan bagi individu yang
5 Ibid., hlm. 53.
117
Ilmu Pendidikan Islam
berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga
mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di
sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di
masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.6
Pada dasarnya peserta didik merupakan "raw material"
(bahan mentah) di dalam proses transformasi yang disebut
pendidikan. Berbeda dengan komponen-komponen lain dengan
sistem pendidikan karena kita menerima "material" ini sudah
setengah jadi, karena memang peserta didik dalam Islam
memiliki sebuah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah.
Sedangkan komponen-komponen pendidikan lain dapat
dirumuskan dan disusun sesuai dengan keadaan fasilitas dan
kebutuhan yang ada.
Namun demikian membicarakan peserta didik, sesung-
guhnya. kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan
bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai pandangan yang
berbeda terhadap manusia. Aliran psikonalisis beranggapan bahwa
tingkah laku manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-
dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis yang
sejak semula ada dalam diri individu. Manusia tidak lagi bebas
untuk menentukan nasibnya, sebab tingkah laku manusia semata-
mata digerakkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink
biologisnya. Aliran humanistik beranggapan bahwa manusia
senantiasa dalam, proses untuk wujud (becoming) namun tidak
pernah selesai dan tidak pernah sernpurna. Tingkah laku
manusia tidak semata-mata
6 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 103.
118
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri
namun oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan untuk
mencapai sesuatu. Aliran behaviorisme beranggapan bahwa t;ngkah
laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang
dari luar dirinya. Manusia ditentukan oleh lingkungan karena
proses interaksi terus menerus antar individu dengan
lingkungannya. Hubungan interaksi itu diatur oleh hukum-
hukum belajar, pembiasaan (conditioning) dan peniruan.7
Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam
pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan ber-
kembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam
mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi
tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu
yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain
untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta
didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah,
anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya,
dan umat beragama mSnjadi peserta didik ruhaniawan dalam
suatu agama.8
Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut
dengan "murid" atau thalib. Secara etimologi, murid berarti "orang
yang menghendaki". Sedangkan menurut arti ter
7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 48-49.
Nampaknya pandangan ahli psikologi di atas menurut Lang- gulung dipengaruhi
oleh pemikiran filsafat atau setidak-tidaknya memiliki kecenderungan-
kecenderungan yang dipengaruhi berbagai
faktor yang tidak senantiasa dapat dibuktikan secara empirik walaupun
metodologi yang digunakan tidak keluar dari metodologi ilmiah. 8 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), him. 103.
119
Ilmu Pendidikan Islam
minologi, murid adalah "pencari hakikat di bawah bimbingan dan
arahan seorang pem bimbing spiritual (murrsyid)". Sedangkan
thalib secara bahasa berarti "orang yang mencari", sedang menurut
istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia
berusaha keras menempa dirinya untuk mencapai derajat sufi.
Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik
pada sekolah tingkat dasar dan menengah sementara untuk
perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa (thalib).9
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus
sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai
subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami
hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses
pendidikan, Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai
karakteristik peserta didik adalah:10
Pertama, peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia
mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar
tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak
patut mengeksploitasi dunia peserta didik,
9 Ibid, him. 104. Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki
kedalaman makna daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan
itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari
ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa istilah murid dan thalib
menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belaiar mengajar,
bukan pada pendidik. Namun, dalam pepatah dinyatakan: "tiada tepuk sebelah
tangan". Pepatah ini mengisyaratkan adanya active learning bagi peserta didik dan
active teaching bagi pendidik, sehingga kedua belah pihak menjadi
"gayung bersambung" dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara
maksimal.
10 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 104-106
120
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga
peserta didik kehilangan dunianya. Peserta didik yang kehilangan
dunianya, maka menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
Kedua, peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut
untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin.
Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima
hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori,
yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang
meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut
memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-
metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung
dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan,
keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan
manusia memiliki tingkat kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan
yang berada pada hierarki paling bawah akan mudah dicapai oleh
semua manusia, namun kebutuhan yang berada pada hierarki
paling atas tidak semua dicapai oleh manusia. Pemenuhan
kebutuhan yang dapat mengakibatkan kepuasan hidup adalah
pemenuhan metakebutuhan, sebab pemenuhan kebutuhan ini
untuk pertumbuhan yang timbulnya dari luar diri (eksternal).
Sedangkan, pemenuhan kebutuhan dasar hanya diakibatkan
kekurangan yang berasal dari dalam diri (internal). Sekalipun
demikian, masih ada kebutuhan lain yang tidak terjangkau kelima
hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada
Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak
dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab
akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah
SWT.
121
Ilmu Pendidikan Islam
Ketiga, peserta didik memiliki perbedaan antara individu
dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari
faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang
meliputi, jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat, dan
lingkungan yang mengaruhinya. Dalarn teori psikologi, terdapat
tiga bagian tentang individu: (1) seperti semua orang lain, yang
karenanya perlu perlakuan pendidikan yang sama satu dengan
yang lain (2) Seperti sejumlah orang lain, yang karenanya perlu
perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak yang umum
(kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat
cerdas/bodoh); (3) seperti tidak seorang lain pun, yang karenanya
perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara individu satu
dengan yang lain.
Keempat, peserta didik dipandang sebagai kesatuan system
manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai
makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun
terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga
(cipta, rasa dan karsa).
Kelima, peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus
dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta
produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri
(swadaya) dan kreativitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam
pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang
bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.
Keenam, peserta didik mengikuti periode-periode perkem-
bangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo
dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana
proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo,
serta irama perkembangan peserta didik. Kadar
122
Peserta Didik dalam pendidikan Islam
kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau
periode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan
tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta
didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun
dedaktis.
Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa
periodesasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi lima
tahapan, yaitu:11
1. Tahap asuhan (usia 0-2 tahun), yang lazim disebut fase neonatus,
dimulai kelahiran sampai kira-kira usia dua tahun. Pada
tahap ini, individu belum memiliki kesadaran dan daya
intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang
bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Pada
fase ini belum dapat diterapikan interaksi edukasi secara
langsung, karena itu proses edukasi dapat dilakukan dengan
cara:
• Memberi azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri
ketika baru lahir (HR- Abu Ya'la dari Husain bin Ali);
Azan dan iqamah ibarat password untuk membuka sistem
syaraf rohani agar anak teringat dengan apa yang dulu di
alam arwah diberi perjanjian oleh Allah SWT (QS. al-
Araf. 172); memberi nama yang baik sebaik nama-nama
Allah yang tertuang dalam asma al-husna (HR. Baihaqie);
• Memotong aqiqah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan
seekor kambing untuk bayi perempuan. Pemotongan ini,
selain menunjukkan rasa syukur kepada Allah,
11 Ibid., him. 107-113.
123
Ilmu Pendidikan Islam
juga sebagai lambang atau simbol pengorbanan dan
kepedulian sang orang tua terhadap kelahiran bayinya,
agar anaknya nanti menjadi anak saleh dan menuruti
keinginan baik orang tuanya;
• Memberi nama yang baik, yaitu nama yang secara
psikologis mengingatkan atau berkorelasi dengan
perilaku yang baik, misalnya nama asma‟al-husna, nama-
nama nabi, nama-nama sahabat, nama-nama orang yang
saleh, dan sebagainya
• Membiasakan hidup yang bersih, suci dan sehat;
• Memberi ASI sampai usia dua tahun. ASI selain me-
miliki komposisi gizi yang sesuai dengan kebutuhan
bayi, juga menambah keakraban, kehangatan, dan kasih
sayang sang ibu dengan bayinya atau sebaliknya. Keku-
rangan akan ASI dapat mengakibatkan perilaku negatif,
seperti tidak menuruti perintah orang tua, karena secara
psikologi, hubungan mereka tidak akrab. Perhatikan
Firman Allah SWT: "Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan." (QS. al-Baqarah:
233);
• Memberikan makanan dan minuman yang halal dan
bergizi (thayyib), (QS. al-Baqarah: 168), dan membiasakan
hidup bersih dan suci. Kekurangan ASI dan hidup suci
dan bersih, akan mengakibatkan buruk bagi per-
kembangan paedagogis dari psikologis bagi anak.
2. Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan pancaindra (usia
2-12 tahun), yang lazim disebut fase kanak-kanak (al-thifl/
shabi), yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa polusi
124
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
(mimpi basah). Pada tahap ini, anak mulai memiliki
potensi- potensi biologis, paedagogis, dan psikologis.
Karena itu, pada tahap ini mula, diperlukan adanya
pembinaan, pelatihan bimbingan, pengajaran, dan
pendidikan yang disesuaikan dengan bakat (QS.ar-Rum:
30), minat (QS. al-Kahfi: 29), dan kemampuannya (QS.Hud:
93). Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi bila
anak telah menginjak usia sekolah dasar. Hal tersebut
karena pada fase ini, anak mulai aktif dan memfungsikan
potensi-potensi indranya walaupun masih pada taraf
pemula. Proses edukasi dapat diterapkan dengan penuh
kasih sayang. Perintah dan larangan disajikan dalam bentuk
cerita-cerita yang menarik dan memberikan kesimpulan
untuknya, serta melatih anak untuk melakukan aktivitas
positif yang dapat membiasakan dirinya dengan baik bila
kelak menginjak fase berikutnya, pepatah Arab
menerangkan:
"Barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di hari mudanya), maka ia akan terbiasa olehnya (di hari tuanya) ".
Tugas pendidikan pada fase ini adalah menumbuhkan
potensi-potensi indra dan psikologis, seperti pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua adalah bagai-
mana mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi
tersebut, agar anaknya mampu berkembang secara
maksimal. Firman Allah SWT: "Dan Allah mengeluarkan
kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-
apa, dan la memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati
sanubari agar kamu mau bersyukur." (Q.S. an-Nahl: 78).
125
Ilmu Pendidikan Islam
Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih
hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul,
penyesuaian diri dengan lingkungan, dan berperilaku.
Pembiasaan ini terutama pada aspek-aspek afektif (ial-infi'a-
li), sebab jika aspek ini tidak dibiasakan sedini mungkin
maka ketika masa dewasanya akan sulit dilakukan; dan
pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang
berkaitan dengan keimanan, melalui metode cerita dan
uswah hasanah.
3. Tahap pembentukan watak dan pendidikan agama (usia 12-
20 tahun).
Fase ini lazimnya disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana
anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah. Atau, fase baligh (disebut
juga mukallaf) di mana ia telah sampai berkewajiban me-
mikul beban taklif dari Allah SWT.
Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan diri-
nya, sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif), terutama
tanggung jawab agama dan sosial. Menurut al-Taftazani, fase
ini dianggap sebagai fase yang mana individu mampu ber-
tindak menjalankan hukum, baik yang terkait dengan perintah
maupun larangan. Seluruh perilaku mukallaf harus dipertang-
gungjawabkan, karena hal itu akan berimbas pada pahala dan
dosa.
Fase ini juga ditandai dengan adanya dua hal, yaitu:
Pertama, pemahaman, dicapai dengan adanya pendayagunaan
akal, karena dengan akal seseorang memiliki kesadaran
126
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
penuh dalam bertindak. Individu yang tidak memiliki pe-
mahaman yang cukup maka ia tidak terkena beban taklif, seperti
anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur
dan pingsan dan orang yang tersalah; Kedua, kecakapan (al-
ahliyyah), yaitu dipandang cakap melaksanakan perintah,
sehingga perbuatan apa saja yang dilakukan dapat dipertang-
gung jawabkan dan memiliki implikasi hukum. Kecakapan
terbagi atas dua macam, yaitu: (1) Kecakapan melaksanakan
(ahliyyah ada'), yaitu kecakapan bertindak hukum yang telah
dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang positif maupun negatif. Kecakapan ini
disyaratkan 'aqil (berakal), baligh (sampai umur), dan cerdas
dalam memahami titah Tuhan; dan (2) Kecakapan kewajiban
(iahliyyah wujub), yaitu kecakapan untuk menerima kewajiban-
kewajiban hukum dan hak-haknya." Pada tahap ini, anak meng-
alami perubahan biologis yang drastis, postur tubuh hampir
menyamai orang dewasa walaupun taraf kematangan jiwanya
belum mengimbanginya. Pada tahap ini, anak mengalami masa
transisi, masa yang menuntut anak untuk hidup dalam kebim-
bangan, antara norma masyarakat yang telah melembaga agak-
nya tak cocok dengan pergaulan hidupnya sehari-hari, sehingga
ia ingin melepaskan diri dari belenggu norma dan susila masya-
rakat untuk mencari jati dirinya, ia ingin hidup sebagai orang
dewasa, diakui dan dihargai, tetapi aktivitas yang dilakukan
masih penuh kekanak-kanakan, sehingga acap kali orang tua
masih mengikat dan membatasi, kehidupannya agar nantinya
dapat mewarisi dan mengembangkan hasil yang diperoleh orang
tuanya. Proses edukasi fase ini adalah memberikan suatu model,
mode dan modus yang Islami pada anak tersebut, sehingga
127
limu Pendidikan Islam
ia mampu hidup "remaja" di tengah-tengah masyarakat tanpa
meninggalkan kode etis Islaminya. Tugas pendidikan adalah
mengubah persepsi konkret peserta didik menuju pada per-
sepsi yang abstrak, misalnya persepsi mengenai ide-ide
ketuhanan, alam akhirat, dan sebagainya. Pengembangan
ajaran-ajaran normatif agama melalui institusi sekolah, baik
yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: Perintahlah
anak-anak kalian melakukan shalat ketika ia berusia tujuh
tahun, dan pukullah ia jika meninggalkannya apabila berusia
sepuluh tahun, dan pisahkan ranjangnya" (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan al- Hakim dari Abd Allah ibn Amar). Hadis di atas
mengisyaratkan bahwa usia tujuh tahun merupakan usia mulai
berkembangnya kesadaran akan perbuatan baik dan buruk,
benar dan salah, sehingga Nabi SAW. memerintahkan kepada
orang tua untuk mendidik shalat kepada anak-anaknya. Ketika
usia sepuluh tahun, tingkat kesadaran anak akan perbuatan
baik dan buruk, benar dan salah mendekati sempurna, sehingga
Nabi SAW. memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya
yang meninggalkan shalat. Makna memukul di sini tidak
berarti bersifat biologis, seperti memukul kepala atau anggota
tubuh lainnya, melainkan bersifat psikologis, seperti
menggugah kesadaran atau menjatuhkan mentalnya.
1. Tahap kematangan (usia 20-30 tahun).
Pada tahap ini, anak telah beranjak menjadi dewasa, yaitu
dewasa dalam arti sebenarnya, mencakup kedewasaan biologis,
sosial, psikologis, dan kedewasaan religius. Pada fase ini,
mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak,
128
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan masa
depannya sendiri. Oleh karena itu, proses edukasi dapat
dilakukan dengan memberi pertimbangan dalam menentukan
teman hidupnya yang memiliki ciri mukafaah (ideal) dalam
aspek agama, ekonomi, sosial, dan sebagainya (HR. Bukhari-
Muslim dari Abu Hurairah). Pemilihan pasangan hidup yang
ideal akan mencetak calon pendidik di rumah tangga kelak
yang bertanggung jawab atas pendidikan anak kandung di
rumah.
2. Tahap kebijaksanaan (usia 30 - meninggal).
Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm
al-'umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua). Pada tahap ini, manusia
telah menemukan jati dirinya yang hakiki, sehingga tindakan-
nya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu mernberi
naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi bisa
dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka berkenan
sedekah atau zakat bila ia lupa (QS. ali Imran: 92) serta meng-
ingatkan harta dan anak yang dimiliki agar selalu diclarma-
baktikan kepada agama, negara, dan masyarakat sebelum
menjelang hayatnya.
Peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi
kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya,
sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi
kebutuhan tersebut. Akan tetapi, dalarn proses kehidupan dan
pendidikan secara umum, batas antara keduanya sulit ditentu-
kan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling
meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi
yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari
kepekaan indra, pikiran, daya aspersepsi, dan keteram
129
Ilmu Pendidikan Islam
pilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi
dan individualisasi pada diri individu sendiri. Bahkan Battle
dan Robert L. Shannon menyatakan bahwa keberhasilan
pendidik dalam proses pendidikan adalah apabila ia telah
mencapai hasil yang paling tinggi, yaitu peserta didiknya telah
menjadi guru mereka sendiri yang terbaik, yang dengan sadar
membuat kondisi untuk mengubah tingkah laku mereka ke arah
tujuan mereka sendiri. Pendidik yang baik senantiasa berusaha
untuk mengeluarkan dirinya dari peranan mengajar yang
membuat peserta didik mengasumsikan peran itu untuk diri
mereka sendiri.
B. Sifat-sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam
Pendidikan Islam
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan ke-
wajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar
mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-
Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman," meru-
muskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:12
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada
Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang
rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan
akhlak yang terpuji (tahalli) (perhatikan QS. al- An'am: 162,
al-Dzariyat: 56).
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrawi (QS. adh-Dhuha: 4). Artinya, belajar tak
12 Ibid., hlm. 113-114.
130
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga
belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai
derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan
manusia.
3. Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan
kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya.
Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan
kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak
kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh
satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik
untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan
ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat
mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu 'V
tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan
permusuhan antarsesamanya.
6. Belaj ar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai
pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang
sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu 'ain menuju ilmu
yang fardlu kifayah (QS. al-Insyiqaq: 19).
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada
ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spe-
sifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks
ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik
memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. al- Insyirah:
7).
131
Ilmu Pendidikan Islam
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam
memandang suatu masalah.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban
sebagai makhluk Allah SWT, sebelum memasuki ilmu
duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan,
yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan,
menyejahterahkan, serta memberi keselamatan hidup dunia
akhirat.
11. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagai-
mana tunduknya orang sakit terhadap dokternva, mengikuti
segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh
pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi
peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik.
Menurut Ibnu Jamaah, yang dikutip oleh Abd al-Amr Syams
al-Din, etika peserta didik terbagi atas tiga macam,13 yaitu: (1)
terkait dengan diri sendiri, meliputi membersihkan hati,
memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang
kuat untuk sukses, zuhud (tidak materialistis), dan penuh
kesederhanaan; (2) terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan
tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormatinya,
senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala
hinaan atau hukuman darinya; (3) terkait dengan pelajaran,
meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik,
senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mem-
13 Ibid, hlm. 115.
132
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
"Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam
syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan,
hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan
masa yang panjang (kontinu)".
Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat
pencari ilmu adalah mencakup enam hal, yaitu:15
Pertama, memiliki kecerdasan (dzaka'); yaitu penalaran,
imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan, dan daya-»penye-
suaian, sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan
tepat. Kecerdasan kemudian berkembang dalam tiga definisi,
yaitu: (1) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan
menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi
empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan
mengkritik; dan (3) kemampuan memahami pertalian-pertalian
dan belajar dengan cepat sekali.
14 Ibid. 15 Ibid., hlm. 116-119. Lihat dalam Burhan al-Islam al-Zamuzi, Ta'lim al-
Muta’allim ft Thariq al-Ta'allum (Surabaya: Salim Nabhan, tt), hlm. 15.
133
praktikkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh
suatu ilmu.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik
dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan
dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan.14 Syarat yang
dimaksud sebagaimana dalam syairnya:
Ilmu Pendidikan Islam
Jenis-jenis kecerdasan meliputi: (1) kecerdasan intelektual
yang menggunakan otak kiri dalam berpikir linear; (2)
kecerdasan emosional, yang menggunakan otak kanan/intuisi
dalam berpikir asosiatif, (3) kecerdasan moral, yang meng-
gunakan tolok ukur baik buruk dalam bertindak; (4) kecerdasan
spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa yang dialami
dengan menggunakan otak unitif; (5) kecerdasan qalbiyah atau
ruhaniyah yang puncaknya pada ketakwaan diri kepada Allah
SWT. Kelima kecerdasan ini harus dimiliki oleh peserta didik
sebagai persyaratan pertama dan utama dalam mencapai
keberhasilan pendidikannya.
Kedua, memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril
dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa
puas terhadap ilmu yang diperolelmya. Hasrat ini menjadi
penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, sebab persoalan
manusia tidak sekadar mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah).
Simbiotis antara mampu (yang diwakili kecerdasan) dan mau
(yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan
kualifikasi pendidikan yang maksimal.
Maksud motivasi (motivation) pendidikan di sini adalah
keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang
sejenis yang mengarahkan prilaku dalam pendidikan. Motivasi
pendidikan juga diartikan satu variabel penyelang yang
digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam
organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan,
dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran pendidikan.
Dalam pendidikan, motivasi berfungsi sebagai pendorong
kemampuan, usaha, keinginan, menentukan arah, dan
menyeleksi tingkah laku pendidikan. Kemampuan adalah
134
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
tenaga, kapasitas, atau kesanggupan untuk melakukan suatu
perbuatan, yang dihasilkan dari bawaan sejak lahir atau
merupakan hasil dari pengalaman. Usaha ialah penyelesaian
suatu tugas untuk mencapai keinginan. Sedangkan keinginan
adalah satu harapan, kemauan, atau dorongan untuk
mencapai sesuatu atau untuk membebaskan diri dari suatu
perangsang yang tidak menyenangkan.
Motivasi belajar dalam Islam tidak semata-mata untuk
memperoleh: (1) berprestasi, yaitu dorongan untuk mengatasi
tantangan, untuk maju, dan berkembang; (2) berafiliasi, yaitu
dorongan untuk berhubungan dengan orang lain secara
efektif,
(3) berkompetensi, yaitu dorongan untuk mencapai hasil kerja
dengan kualitas tinggi; dan (4) berkekuasaan, yaitu dorongan
untuk memengaruhi orang lain dan situasi, tetapi lebih dari
itu, belajar memiliki motivasi beribadah, yang mana dengan
belajar seseorang dapat mengenal (ma'rifah) pada Allah SWT,
karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang ber-
iman dan berilmu (QS. al-Mujadilah: 11, az-Zumar: 9)'. -
Ketiga, bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah
putus asa dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan
hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis, sosiologis,
politik, bahkan administratif. Sabar merupakan inti dari
kecerdasan emosional. Banyak orang yang memiliki
kecerdasan intelektual yang baik, tetapi tidak dibarengi oleh
kecerdasan emosional (seperti sabar ini) maka ia tidak
memperoleh apa-apa.
Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya
mengendalikan diri, yaitu menghindarkan seseorang dari
perasaan resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama dalam
proses belajar. Sabar juga meliputi menghindari maksiat, 135
Ilmu Pendidikan Islam
melaksanakan perintah, dan menerima cobaan dalam proses
pendidikan (QS. ali Imran: 200). Menurut al-Ghazali, sabar
terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik (badani), yaitu
menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar.
Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka
dan memikul beban yang berat; Kedua, psikis (nafsi), yaitu
menahan diri dari natur dan tuntutan hawa nafsu yang
mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan rasional
dalam mencari ilmu.
Salah satu kelebihan Nabi Khidhir dibandingkan dengan
Nabi Musa adalah bahwa Nabi Khidhir mengetahui suatu
peristiwa yang belum terjadi. Sebagaimana yang dilukiskan QS.
al-Kahfi ayat 65-72 bahwa kunci pengetahuan Nabi Khidhir yang
tidak dimiliki Nabi Musa adalah sabar, sehingga berkali-kali
Nabi Khidhir mengatakan: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersamaku." Dalam kisah ini, sabar
menjadi kunci bagi kecerdasan individu dalam memperoleh
pengetahuan, yang oleh temuan dewasa ini disebut dengan
kecerdasan emosional. Nabi Khidhi memperoleh ilmu ladunni,
dengan mengetahui hal-hal yang gaib atau belum terjadi,
disebabkan oleh kesabarannya. Kesabaran (sebagai inti
kecerdasan emosional) mengantar kesuksesan individu,
sekalipun tidak melupakan jenis kecerdasan yang lain.
Keempat, mempunyai seperangkat modal dan sarana
(ibulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan
dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untuk
kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan
sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas.
136
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Perolehan ilmu bukan didapat secara gratis, karena profesi-
onalisme pendidikan melibatkan sejumlah kegiatan dan
sarana yang membutuhkan biaya. Bahkan akhir-akhir ini,
sekolah yang mahal adalah sekolah yang diminati oleh
masyarakat. Memang benar, dari sudut material, investasi
yang dikucurkan untuk dana pendidikan tidak akan
memperoleh laba yang besar, bahkan boleh jadi merugi.
Namun secara spiritual, justru inilah investasi yang hakiki
dan abadi yang dapat dinikmati untuk jangka panjang dan
masa depan di akhirat (perhatikan QS, an-Nisa': 95, al-Anfal:
72, at-Taubah: 20, 41, 44, 81, 88, 111).
Kelima, adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz),
sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding)
terhadap apa yang dipelajari, Dalam belajar, seseorang dapat
melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri
tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian, pendidikan
masih tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan
bagaimana metode belajar yang efektif berdasarkan
pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting,
pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri teladan
bagi peserta didik. Dalam banyak hal, interaksi pendidikan
tidak dapat digantikan dengan membaca, melihat dan
mendengar jarak jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara
kedua belah pihak yang didasarkan atas suasana psikologis
penuh empati, simpati, atensi, kehangatan, dan kewibawaan.
Keenam, masa yang panjang (thuivl al-zaman), yaitu
belajar tiada henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sam-
pai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai
liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak
137
Ilmu Pendidikan Islam
hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang
menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian,
pengetalman, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga
pendidikan.
C. Dimensi-dimensi Peserta Didik
Suatu hal yang sangat perlu juga diperhatikan oleh
seorang pendidik dalam, membimbing peserta didiknya adalah
"kebutuhan peserta didik". Al-Qussy membagi pula kebutuhan
manusia dalam, dua kebutuhan pokok yaitu: (1) Kebutuhan
primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti: makan, minum, seks
dan sebagainya; (2) Kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan
rohaniah.16
Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada 6
(enam) macam yaitu: (1) Kebutuhan kasih sayang (2) Ke-
butuhan akan rasa aman (3) Kebutuhan akan rasa harga diri
(4) Kebutuhan akan rasa bebas (5) Kebutuhan akan sukses (6)
Kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau
pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan-pengetahuan
lain yang ada pada setiap manusia yang berakal.
Law head membagi kebutuhan manusia sebagai berikut:17
1. Kebutuhan jasmani, seperti makan, minum, bernafas,
perlindungan, seksual, kesehatan dan lain-lain.
2. Kebutuhan rohani, seperti kasih sayang, rasa aman,
penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia
16 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
hlm. 54.
17 Ibid., hlm. 54-55.
138
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
yang lebih luas (mengembangkan diri), mengaktualisasikan
dirinya sendiri dan lain-lain.
3. Kebutuhan yang menyangkut jasmani rohani, seperti
istirahat, rekreasi, butuh supaya setiap potensi-potensi fisik
dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar
setiap, usaha/ pekerjaan sukses dan lain-lain.
4. Kebutuhan sosial seperti supaya dapat diterima oleh
teman-temannya secara wajar, supaya dapat diterima oleh
orang yang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-
gurunya dan pemimpin-pemimpinnya, seperti kebutuhan
untuk memperoleh prestasi dan posisi.
5. Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya (biasanya dirasakan
lebih akhir) merupakan tuntutan rohani yang mendalam
yaitu, kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan
terhadap agama.
Kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan
yang paling essensial adalah kebutuhan terhadap agama.
Agama dibutuhkan karena manusia memerlukan orientasi dan
obyek pengabdian dalam hidupnya. Oleh karena itu tidak ada
seorang pun yang tidak membutuhkan agama.
Para ahli tafsir seperti: Mohamma Hijazi, Sayyid Muham-
mad Husin al-Thaba Thabai, dan Mushafa al Maraghi, mempu-
nyai pendapat yang sama bahwa fitrah beragama pada
hakekatnya adalah kebutuhan manusia. Oleh karena itu para
ahli menyebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang
beragama (homo religius)”.™
18 Ibid., para ahli psikologi membahas pula secara ilmiah hubungan
manusia dengan agama. Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa
139
Ilmu Pendidikan Islam
Kebutuhan-kebutuhan peserta didik di atas harus diper-
hatikan oleh setiap si pendidik, sehingga peserta didik tumbuh
dan berkembang serta mencapai kematangan psikis dan pisik.
Pendidik agama di samping ia memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuh-
pada masa kanak-kanak pertama (dua sampai enam tahun) mungkin si anak
menanyakan tentang Tuhan (rupa-Nya, tempat-Nya dan ke- kuasaan-Nya).
Mulai umum lebih kurang 7 tahun pertanyaan anak- anak terhadap Tuhan
telah berganti dengan cinta dan hormat dan hubungannya dipengaruhi oleh
rasa percaya dan iman. Dan pada masa akhir kanak-kanak (10-12 tahun) fungsi
Tuhan bagi si anak telah meningkat. Tuhan sebagai penolong baginya dalam
menghadapi dorongan jahat dan tidak baik dalam hatinya, serta Tuhan akan
menolongnya melindungi yang lemah, terutama jika ia merasa lemah dan
kekurangan. Gambaran Allah yang seperti itu akan menolong si anak dalam
kesukaran dan penderitaan. Dan pada umur remaja, kepercayaan kepada
Tuhan kadang-kadang sangat kuat, tetapi kadang-kadang akan menjadi
berkurang, yang terlihat pada ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan
kadang-kadang malas. Perasaannya kepada Tuhan tergantung pada perubahan
emosi yang sedang dialaminya. Kadang-kadang ia sangat membutuhkan
Tuhan terutama ketika mereka akan menghadapi bahaya, takut akan gagal
atau merasa berdosa. Tapi kadang-kadang ia kurang membutuhkan Tuhan,
ketika merasa senang riang dan gembira. Yamani mengemukakan bahwa
tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat ber- fikir dan daya
penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan
belajar mengenali alam sekitarnya di samping rasa ketakutan terhadap rasa
kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insan tadi
untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan
pembimbingannya di saat-saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan
apa yang dicarinya pada gejala alam itu sendiri, berangsur-angsur dan silih
berganti menuj gejala-gejala alam tadi sesuai dengan penemuannya dan
menetapkannya ke dalam jalan kehidupannya. Dengan demikian timbullah
penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau benda-benda lainnya dari
gejala-gejala alam tersebut.
140
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
an primer dan sekunder seperti dijelaskan di atas, maka pene-
kanannya adalah memenuhi kebutuhan anak didik terhadap
agama karena ajaran agama yang sudah, dihayati, diyakini dan
diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek
kehidupannya. Setiap pendidik yang mengabaikan kebutuhan
terhadap agama ini hanya akan mampu meraih sebagian kecil
dari kepribadiannya, atau bahkan usahanya akan sia- sia sama
sekali sebab pendidikan yang tidak memperhatikan kebutuhan
tersebut tidak akan dapat menjamah psikologi manusiawi yang
terdalam.
Selain kebutuhan-kebutuhan di atas, ada aspek penting
lain pada peserta didik yang harus diperhatikan dalam sebuah
proses pendidikan. Aspek tersebut adalah potensi peserta didik.
Potensi itu menurut Munawar Khalil sebagaimana yang dikutip
oleh Ramayulis, disebutkan bahwa potensi sebagai hidayah yang
bersifat umum dan khusus yaitu:19
• Hidayah Wujdaniyah yaitu potensi manusia, yang
berujud insting atau naluri yang melekat dan langsung
berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi
ini.
• Hidayah Hissyah yaitu potensi Allah yang diberikan
kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi
sebagai penyempurna hidayah pertama.
• Hidayah Aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurna
dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini
manusia mampu berpikir dan berkreasi menemu
19 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 102.
141
I lmu Pendidikan Islam
kan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang
diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
• Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan
kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal- hal
yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang
tertulis dalam al-Qur'an dan Sunnah.
• Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah sifatnya khusus. Sekali-
pun agama telah di turunkan untuk keselamatan manu-
sia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal
dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar
manusia selalu diberi petunjuk yang lurus berupa
hidayah dan taufiq agar manusia selalu berada dalam
keridhaan Allah.
Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyukseskan
tugas-tugasnya selaku khalifah Tuhan dimuka bumi, Allah
memperlengkapi makhluk ini dengan potensi-potensi tertentu
antara lain:20
• Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan
kegunaan segala macam benda. Hal ini tergainbar dalam
firman Allah SWT: Dia telah mengajarkan kepada Adam
nama-nama benda seluruhnya". (Q.S. Al- Baqarah: 231)
• Ditundukkan bumi, langit, dan segala isinya: binatang-
binatang, planet dan sebagainya oleh Allah kepada
manusia (Q.S. Al-Khasiah: 12-13).
• Potensi akal pikiran serta panca indra (Q.S. Al Mulk: 23).
20 Ibid., hlm. 102-103.
142
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
• Kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan
manusia ini (Q.S.13:11)
Disamping potensi yang bersifat di atas, manusia dileng-
kapi dengan potensi yang bersifat negatif yang merupakan
kelemahan manusia. Kelemahan pertama adalah potensi untuk
terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan syetan, seperti yang
digambarkan dengan godaan syetan kepada adam dan hawa,
sehingga keduanya melupakan peringatan Tuhan untuk tidak
mendekati pohon terlarang (Q.S. Thaha: 15-27). Kelemahan
kedua, banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh pikiran
manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta banyak
hal yang menyangkut manusia.
Dalam Hasan Langgulung bahwa pada prinsipnya potensi
manusia menurut pandangan Islam tersimpul pada sifat-sifat
Allah (asma'ul husna) yang berjumlah 99 buah. Sebagai contoh
sifat al-ilm yang dimiliki Allah, maka manusiapun memiliki
sifat tersebut, dengan sifat itu manusia senantia berupaya untuk
mengetahui sesuatu. Untuk mengaktifkan potensi ini, maka
Allah menjadikan alam dan isinya termasuk diri manusia
sebagai ayat Allah yang harus dibaca dan dianalisa.21
21 Ibid., him. 103. Namun demikian, bukan berarti kemampuan manusia
sama tingkatannya dengan kemampuan Allah. Hal ini disebabkan karena
perbedaan hakikat keduanya. Manusia memiliki keterbatasan. Dari keterbatasan
ini menjadikan manusia sebagai mahluk yang memerlukan bantuan untuk
memenuhi keinginannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan
keterbatasannya dan ke Maha kuasaan Allah. Dengan potensi yang terbatas ini,
dimanapun. manusia, kapan- pun dan dalam keadaan bagimanapun diharapkan
tetap ada jalinan rohani, zikir kepada Allah dan tidak boleh putus, mengingat
manusia adalah ciptaan Allah yang dependen pada Yang Maha Pencipta.
143
Ilmu Pendidikan Islam
Karena adanya potensi yang positif dan negatif serta keter-
batasan manusia, sebagai penyempurnaan nikmat Tuhan kepada
makhluk-Nya, dianugrahkanlah kepadanya oleh Tuhan yang
mengetahui hakikat manusia petunjuk-petunjuk yang
disesuaikan dengan hakikat itu, serta disesuaikan pula dengan
fungsinya selaku khalifah di muka bumi, yaitu potensi untuk
senantiasa condong pada fitrah yang hanif. Sebagaimana firman
Allah SWT:
Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di atas memberi
pengertian bahwa manusia didptakan Allah dengan naluri ber-
agama tauhid yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selan-
jutnya, Hasan langulung, memberi pengertian fitrah yang lebih
luas yaitu pada pengertian dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua kemampuan
manusia yang memerlukan penempaan lebih lanjut dari ling-
kungan insani maupun non insani untuk bisa berkembang. Untuk
mengaktulisasikan potensi yang dimilikinya tersebut manusia
memerlukan bantuan orang lain yaitu pendidikan.22
22 Ibid., him. 104, bandingkan dalam Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), him. 170-173.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (Q.S. Al-Rum: 30)
144
Peserta Didik daiam Pendidikan Islam
Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk
multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk
lainnya. Secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi
yaitu dimensi fisik dan rohani. Secara rohani, manusia
mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya.
Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami
sesuatu (ulil albab), dapat berpikir/merenung, mempergunakan
akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat atau mengambil
pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu,
berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir
manusia lahir ke dunia telah membawa fitrah.23
Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi
pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-
dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah: dimensi fisik,
akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial ke-
masyarakatan. Semua dimensi tersebut harus ditumbuh kem-
bangkan melalui pendidikan Islam.24
1. Dimensi Fisik (jasmani)
Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik, organisme
fisik manusia lebih sempurna dibandingkan organisme-orga-
nisme makhluk-makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses pen-
ciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun
tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari alam. Setiap
alam biotik, memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat
dari unsur tanah, api, udara dan air. Hasil penelitian telah mem-
buktikan bahwa jasad manusia, tersusun dari sel-sel yang ber-
23 Ibid., hlm, 107.
24 Ibid., hlm. 107-122.
145
Ilmu Pendidikan Islam
bentuk dari bagian-bagian yang disebut organel yang tersusun
dari molekul-molekul senyawa unsur-unsur kimiawi yang
terdapat di bumi. Namun manusia merupakan makhluk biotik
yang unsur-unsur pembentukan materialnya bersifat profesional
antara keempat unsur tersebut sehingga manusia disebut
sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik pen- cipannya.
Firman Allah: "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya" (Q.S. At-Tiin: 4)
Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik
(tidak bidup). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang
bersifat fisik (thaqat al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya
disebut nyawa. Karena nyawa manusia hidup, ibnu Maskawaih
menyebut energi tersebut dengan al-hayat (daya hidup).
Sedangkan at-Ghazali menyebutnya dengan ruh jasmaniyah (ruh
material), daya hidup ini merupakan vitalitas ini tergantung
sekali kepada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi
kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah,
daging, tulang sumsum, kulit, rambut dan sebagainya.
Dengan ini manusia dapat bernafas, merasa sakit, haus
lapar, panas, dingin, keinginan seks dan sebagainya. Jadi aspek
jasmani ini memiliki dua natur yaitu natur kongkrit berupa
tubuh kasar yang tampak dan natur abstrak berupa nyawa yang
menjadi sumber kehidupan tubuh. Aspek abstrak jasmani inilah
yang mampu berinteraksi dengan aspek rohani manusia.
Dalam pelaksanaan pendidikan jasmani di dalam al-
Qur'an dan hadits ditentukan prinsip-prinsip tentang pendi-
dikan jasmani di antaranya: Firman Allah SWT: "Bersihkanlah
pakaianmu, jauhkanlah kejahatan" (Q.S. al-Mudatsir: 4-5),
146
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Firman Allah SWT: "Siapkan bagi mereka sesanggupmu suatu
kekuatan" (al-Anfal: 60) Juga firman Allah SWT: "Makan dan
minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan". (al-a'raf: 31) juga
firman Allah SWT: "Ibu-ibu baruslah menyusukan anak-anaknya
dua tahun penuh". (al-Baqarah: 233) Sabda Rasulullah SAW:
"Cukuplah dosa manusia bahwa ia menyia- nyiakan orang yang barus
diberinya makan”. (Abu Daud, al- Nasa'i dan al-Mukmin). Juga
Sabda Nabi SAW: "Jika anjing menjilat bejana kamu bendaklah ia
menyiramnya kemudian dibasuhinya tujuh kali". Sabda Rasulullah
SAW: "Jika seseorang kamu minum janganlah ia bernafas dalam
bejana". Juga sabda Rasuluflah SAW: "Jika kamu mendengar berita
ta'un di suatu negeri maka janganlah kamu memasukinya dan jika
kamu berada di suatu negeri (sedang taun datang ke situ) janganlah
kamu keluar dari negeri itu”. Juga sabda Rasulullah SAW: "Kami
adalah suatu kaum yang tidak makan kecuali kalau sudah lapar dan
kalau kami makan kami tidak kenyang". Juga' sabda Rasulullah
SAW: "Anak Adam tidak mengisi suatu bejana yang lebik buruk dari
pada perutnya”. Juga sabda Rasuluflah SAW: "Berobatlah, sebab
yang menciptakan penyakit juga menciptakan obat”. (H.R. Ahmad).
Juga sabda Rasulullah SAW: "Orang mukmin yang kuat lebih baik
dan lebik disukai oleh Allah, daripada orang mukmin yang lemah".
Juga sabda Rasuluflah SAW: "Ajarkanlah kepada anak-anak kalian
renang, melempar lembing (tombak) dan menunggang kuda". Juga
Sabda Rasulullah SAW: "Kebersihan itu adalah sebagian dari
iman”.
Mendidik jasmani dalam Islam, memiliki dua tujuan sekaligus
yaitu: pertama, membina tubuh sehingga mencapai
147
Ilmu Pendidikan Islam
pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi
potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai
dengan perkembangan fisik manusia.
2. Dimensi Akal
AI-Ishfahani, membagi akal manusia kepada dua macam
yaitu:
• Aql al-Matbbu‟, yaitu akal yang merupakan pancaran dari
Allah sebagai fitrah illahi. Akal ini menduduki posisi yang
sangat tinggi, namun demikian, akal ini tidak akan bisa ber-
kembang dengan baik secara optimal, bila tidak dibarengi
dengan kekuatan akal lainnya, yaitu aql al-masmu‟.
• Aql al-masmu', yaitu akal yang merupakan kemampuan
menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini
bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang
dimilikinya lewat bantuan proses perinderaan, secara bebas.
Untuk mengarahkan agar akal ini tetap berada dijalan
Tuhannya, maka keberadaan akan masmu' tidak dapat
dilepaskan.
Sedangkan fungsi akal manusia terbagi kepada enam
yaitu:
• Akal adalah penahan nafsu. Dengan akal manusia dapat
mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang
dibebankan kepadanya sebagai kewajiban.
• Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah
dalam menghadapi sesuatu baik yang tampak jelas maupun
yang tidak jelas.
148
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
• Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan
kesesatan.
• Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.
• Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi
penglihatan mata.
• Akal adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau
untuk masa yang akan dihadapi, la menghimpun semua pela-
jaran diri apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa
yang akan terjadi, la menyimpan, mewadahi, memulai dan
mengulangi semua pengertian itu. Akal dapat memahami
setiap perintah kebajikan dan memahami setiap larangan
mengenai kejahatan.
Meskipun demikian kemampuan akal cukup terbatas. Pada
dimensi ini, akal memerlukan bantuan al-qalb. Sebab dengan al-
qalb tersebut, manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial
dan kemudian menganalisanya lebih lanjut.
Dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau
kemampuan akal manusia atau peserta didik dikenal dengan
istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang
padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalarn arti yang luas
kognisi ialah peroleh, penataan dan penggunaan pengetahuan.
Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di
otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan
masalah, kesenjangan dan keyakinan.
Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan potensi
dasamva. Potensi dasar itu sudah ada sejak manusia lahir, tetapi
masih berada dalam alternatif: berkembang menjadi akal yang
149
Ilmu Pendidikan Islam
baik, atau sebaliknya tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Dengan pendidikan yang baik, akal yang masih berupa potensi
akhirnya menjadi akal yang siap dipergunakan. Se- baliknya,
membiarkan potensi akal tanpa pengarahan yang positif,
akibatnya bisa fatal. Karenanya pendidikan akal memiliki arti
yang penting dibatasi pandangan akal itu. Dengan demikian
tenaga akal itu akan terhindar dari cengkraman hal- hal yang
gaib yang tidak bisa dijangkaunya. Islam memberi kemungkinan
kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang gaib, tapi itu
merupakan kemampuan roh, sedangkan akal hanya mampu
menangkap dan menghayati hal-hal yang kon- krit yang dapat
ditangkap oleh indra. Maka dalam Islam sumber pengetahuan
dan kebenaran itu bukan dari akal, karena banyak hal lain yang,
tidak dapat dijangkau oleh akal.
Adapun tujuan pendidikan akal, berdasarkan semangat
Islam secara utuh, adalah akal yang sempurna menurut ukuran
ilmu dan takwa. Dengan kata lain, setelah mengalami pendidik-
an dalam arti yang luas, akal seseorang diharapkan mencapai
tingkat perkembangan yang optimal, sehingga mampu berperan
sebagaimana yang diharapkan, yaitu untuk berpikir dan berzikir.
Dalam. AI-Qur'an tidak kurang dari 300 kali Allah mem-
peringatkan manusia untuk menggunakan akalnya dalam
memperhatikan alam semesta. Di antaranya adalah seperti
firman Allah SWT:
150
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
"Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) terdapat dengan perintah-
Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-
tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mempergunakan akal". (Q.S.
An-Nahl: 12)
Melalui ayat di atas, Allah mengajak manusia untak
mengembangkan dan mempergunakan akalnya semaksimal
mungkin untuk mengenal dan memanfaatkan alam semesta
untuk kepentingan hidupnya. Dengan dasar ini, jelaslah bahwa
materi dalam pendidikan akal adalah seluruh alam ciptaan
Allah meneliti sekalian makhluk-Nya dengan penuh kesem-
purnaan, memberi indikasi bahwa tujuan akal yang sebenarnya
adalah untuk meyakini, mengakui dan mempercayai eksistensi
Allah. Inilah yang merupakan ciri khas pendidikan Islam, yaitu
internalisasi (penanaman) dan transformasi (pembentukan)
nilai-nilai ilahi ke dalam diri peserta didik.
3. Dimensi Keberagamaan ,
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut
homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau
disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama.
Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu
jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam
keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal, Kebutuhan
ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi
kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut
merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk
mencintai dan dicintai Tuhan.
Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah
mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang
151
Ilmu Pendidikan Islam
"Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?. "Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi", (kami lakukan yang demikian
itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Allah)". (Q.S.
al-A'raf: 172)
Muhammad Hasan Hamshi, menafsirkan fitrah pada ayat
di atas dengan ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia dicipta- kan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Syeh Muhammad Abduh
dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah
agama fitrah. Demikian juga Abu Ala al-Muadudi menyatakan
bahwa agama Islam identik dengan watak tabi'i (human nature).
Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian
perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak pernah akan berubah
karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar beriman
(aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fitrah
(sifat dasar) manusia sejak misaq dengan Allah. Sehingga
manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat
dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.
152
Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak di
dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah
adalah tuhannya. Pandangan ini bersumber pada firman Allah
SWT:
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan
kerangka nilai dasar pendidikan Islam dengan yang lain. Dalam,
konteks makro, pandangan Islam terhadap kemanusiaan ada tiga
implikasi dasar yaitu: Pertama, implikasi yang berkaitan dengan
pendidikan di masa depan, di mana pendidikan diarahkan untuk
mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak
mendikotomikan materi. Kedua, tujuan (ultimate goal) pendidikan,
yaitu muttaqin yang akan tercapai bila manusia menjalankan
fungsinya sebagai abdullah dan khalifah sekaligus. Ketiga,
muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi
dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah
manusia.
Manusia adalah hasil dari proses pendidikan yang mempu-
nyai tujuan tertentu. Tujuan pendidikan akan mudah tercapai
kalau ia mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan
kecenderungan manusia pada obyek-obyek tertentu. Menurut
Abdurrahman Shaleh Abdullah, praktek kependidikan yang
tidak dibangun di atas dasar konsep yang jelas tentang sifat
dasar manusia pasti akan gagal.
Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan Islam
dirumuskan untuk membentuk insan muttaqin yang memiliki
keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
4. Dimensi Akhlak
Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam
pendidikan Islam adalah Ahlak. Pendidikan agama berkaitan
erat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih-lebihan kalau
kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian
153
Ilmu Pendidikan Islam
Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pen-
didikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik
oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk
oleh agama. Sehingga nilai-nilai, akhlak-akhlak, keutamaan
akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan
keutamaan yang diajarkan oleh agama. Sehingga seorang
muslim tidak sempurna agamanya bila akhlaknya tidak baik.
Hampir- hampir filosof-filosof pendidikan Islam sepakat,
bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
Sebab bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan
Islam. Sebab salah satu tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah pembinaan ahlak al-karimah.
Menurut Iman al-Ghazali, bahwa akhlak yang disebut-
nya dengan tabiat manusia dapat dilihat dalam dua bentuk,
yaitu: (1) tabiat-tabiat fitrah, kekuatan tabiat pada asal kesatu-
an tubuh dan berkelanjutan selama hidup. Sebagian tabiat
tersebut lebih kuat dan lebih lama dibandingkan dengan
tabiat lainnya. Seperti tabiat syahwat yang ada pada manusia
sejak ia dilahirkan, lebih kuat dan lebih sulit diluruskan dan
diarahkan dibanding tabiat marah. (2) Akhlak yang muncul
dari suatu perangai yang banyak diamalkan dan ditaati,
sehingga menjadi bagian dari adat kebiasaan yang berurat
berakar pada dirinya.
Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu
hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia
tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang
mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan
taqwa dan mempunyai tujuan langsung, yang dekat yaitu
harga diri dan tujuan jauh, yaitu ridha Allah SWT.
154
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Adapun ciri akhlak Islam antara lain: (1) bersifat menye-
luruh (universal). Akhlak Islam adalah suatu metode (minhaj)
yang sempurna, meliputi seluruh gejala aktifitas biologis
perseorangan dan masyarakat. Meliputi segala hubungan
manusia dalam segala segi kehidupannya, baik hubungan
dengan Tuhan, dengan manusia, mabluk lainnya dan dengan
alam. (2) Ciri-ciri keseimbangan Islam dengan ajaran-ajaran
dan akhlaknya menghargai tabiat manusia yang terdiri dari
berbagai dimensi memperhatikan seluruh tuntutannya dan
kemaslahatan dunia dan akhirat. (3) Bersifat sederhana. Akhlak
dalam Islam berciri kesederhanaan dan tidak berlebihan pada
salah satu aspek. Ciri ini memastikan manusia berada pada
posisi pertengahan, tidak berlebih lebihan dalam suatu urusan
dan tidak pula bakhil. (4) Realistis. Akhlak Islam sesuai dengan
kemampuan manusia dan sejalan dengan naluri yang sehat.
Islam tidak membebankan manusia kecuali sesuai dengan
kemampuannya dan dalam batas-batas yang masuk akal. (5)
Kemudahan. Manusia tidak dibebani kecuali dalam‘batas-
batas kesanggupan dan kekuatannya, ia tidak dianggap ber-
tanggung jawab dari akhlak (moral) dan syara' kecuali jika
berada dalam keamanan, kebebasan dan kesadaran akal yang
sempurna. (6) Mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan
dan perbuatan dan teori dan praktek. (7) Tetap dalam dasar-
dasar dan prinsip-prinsip akhlak umum. Akhlak Islam kekal
sesuai dengan zaman dan cocok untuk segala waktu, ia tidak
tunduk pada perubahan dan pertukaran sesuai dengan hawa
nafsu.
Pembentukan akhlak yang mulia merupakan tujuan
utama pendidikan Islam. Hal ini dapat ditarik relevansinya
155
I lmu Pendidikan Islam
dengan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah:"Bahwasanya saya
diutus untuk menyempurnakan budi pekerti". (HR. Bukhari).
Tujuan dari pendidikan ahlak dalam Islam adalah untuk
membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan
dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai,
bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur
dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk
melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (iai-fadhilah).
Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran,
akifitas, merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap
pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak
di atas segala-galanya.
Pendidikan akhlak dalam. Islam telah dimulai sejak anak
dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan. Perlu disadari
bahwa pendidikan akhlak itu terjadi melalui semua segi peng-
alaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan
pengalaman atau perlakuan yang diterima atau melalui pendi-
dikan dalam arti yang luas. Pembentukan akhlak dilakukan
setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan
perkembangan, dengan mengikuti proses yang alami.
5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat
penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan
manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Pen-
ciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah me-
niupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.
156
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Sehubungan dengan ayat di atas al-Ghazali menjelaskan:
Insan adalah makhluk yang diciptakan dari tubuh yang dapat
dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal
dan bashirah. Tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya di-
kaitkan dengan tanah dan ruhnya pada nafs atau diri/jiwanya.
Allah maksudkan ruh itu ialah apa yang kita ketahui sebagai
jiwa atau an-nafs".
AI-Ghazali membagi roh kepada dua bentuk: (1) al-ruh,
yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal
tuhannya dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga- dapat
menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia serta
menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia dalam
melaksanakan perintah Allah SWT; (2) al-nafs yang berarti panas
alami yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot
dan syaraf manusia, la, sebagai tanda adanya kehidupan pada
diri manusia. Al-nafs dalam konteks ini diistilahkan dengan
nyawa (al-hayat), yang membedakan manusia dengan benda mati,
tapi tidak membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan
dan tumbuhan, karena sama-sama memiliki al-nafs. Akan tetapi
berbeda pada tingkat esensial antara al- nafs, manusia sebagai
makhluk mulia, dengan makhluk lainnya yang sama-sama
memiliki al-nafs.
"Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniup-
kan kedalamnya ruh-Ku, maka tunduk sujudlah kamu kepadanya". (Q.S. al-
Hajr: 29)
Firman Allah SWT:
157
Ilmu Pendidikan Islam
Sedangkan Al-Shari'ati menyebut roh yang ditiupkan
kepada manusia adalah the spirit of God (rub Ilahi). Roh ini bersifat
metafisis (gaib), dinamis, menghidupkan dan "luhur" di atas.
Dengan sifatnya yang dinamis, memungkinkan manusia untuk
meraih derajat yang setinggi-tingginya. Atau menjerumuskan diri
pada derajat yang serendah-rendahnya. Manusia memiliki
kehendak bebas (the freedom of will) untuk mendekatkan diri ke
kutub "Roh Ilahi" atau, ke arah kutub "tanah".
"Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah meng-
ilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya" (Q.S. Al-Syamsu: 7-10)
Berdasarkan ayat di atas dapat dilihat bahwa roh manusia
itu bisa berkembang ke taraf yang lebih tinggi apabila manusia
berusaha ke arah itu. Menurut al-Ghazali jalan ke arah itu adalah
dengan peningkatan iman, amal dan mempererat hubungan yang
terus menerus dengan Allah SWT, melalui ibadah terus menerus,
zikir, tilawah al-Qur'an dan doa atau dengan kata, lain melalui
peningkatan keberagamaan. Dengan memperbanyak ibadah
maka rohani manusia akan mencapai kebahagiaan dan
ketentraman yang tiada taranya.
Setiap manusia dalam hidupnya menginginkan kebahagia-
an dan pada hakikatnya setiap usaha, yang dilakukan oleh ma-
nusia, adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan tersebut.
Firman Allah SWT:
158
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Berbagai usaha telah dilakukan manusia untuk mencari ke-
bahagiaan. Dengan akal, ilmu pengetahuan, teknologi dan ber-
bagai fasilitas telah berhasil, diciptakan manusia, untuk menun-
jang kehidupannya, namun kebahagiaan tetap tidak diperoleh.
Malahan berbagai fasilitas tersebut dapat menimbulkan berbagai
problema dan kesulitan. Secara fisik materiil kebututan manusia
terpenuhi, namun secara mental spiritual mengalami
pendangkalan. Padahal dimensi mental spiritual inilah yang
mampu menjamin kebahagiaan manusia. Islam dengan enam
pokok keimaman (arkanul iman), dan lima pokok ajarannya
(iarkamul Islam) memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi
kejiwaan dan memelihara keseimbangannya serta menjamin
ketentraman batin.
Oleh karena itu maka dalam rangka terlaksana usaha untuk
mewujudkan kebahagiaan tersebut adalah dengan pendidikan
agama. Yang dimaksud dengan pendidikan agama tidak hanya
upaya untuk membekali peserta didik dengan penge-
tahuan agama, tapi sekaligus upaya untuk menanamkan nilai
keagamaan dan membentuk sikap keagamaan sehingga menjadi
bagian dari kepribadian mereka.
6. Dimensi seni (keindahan)
Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengan-
dung dan mengungkapkan keindahan. Seni adalah bagian dari
hidup manusia. Allah telah menganugerahkan kepada manusia
berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga dan lain
sebagainya). Seni sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai
seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan
kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai
159
Ilmu Pendidikan Islam
"Maha Suci Allah dari segala kekurangan dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka persekutukan". (Q.S. AI-Nahl: 1)
Sebagai manifestasi dan refieksi dari kehidupan manusia,
maka seni merupakan sarana bagi manusia untuk mencapai
tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan
melaksanakan fungsi kekhalifahannya di atas dunia ini. Jadi
tujuan seni bukanlah untuk seni, tapi memiliki tujuan jangka
panjang yaitu kebahagiaan spiritual dan material manusia di
dunia dan di akhirat serta menjadi rahmat bagi segenap alam di
bawah naungan keridhaan Allah SWT.
Dimensi seni (keindahan) pada diri manusia tidak boleh
diabaikan. Sebaliknya perlu ditumbuhkan, karena keindahan itu
akan menggerakkan batinnya, memenuhi relung-relung hatinya,
meringankan beban kehidupan yang kadang menjemukan, dan
menjadikan merasakan keberadaan nilai-nilai, serta lebih
mampu menikmati keindahan hidup.
Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan langsung
oleh Allah SWT lewat tuntunan-Nya yaitu al-Qur'an, nilai
keindahan al-Qur'an yang maha mulia menunjukkan kehadiran
Ilahi dalam objek pengetahuan manusia. Karena al-Qur'an
adalah ekspresi kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, tuntunan
dan petunjuk-Nya, kehendak dan perintah-Nya. Keindahan al-
Qur'an dapat dilihat dari segi kekuatan teksnya untuk
160
dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali
yang digariskan Allah.
Firman Allah SWT:
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu
makan". (AI-Nahl: 5)
Ayat tersebut menjelaskan hikmah dan manfaat bina-
tang. Kemudian pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:
"Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kami melepaskannya ke tempat
pengembalaan”. (Q.S. AI-Nahl: 6)
Ayat ini mengingatkan sisi keindahan yang mengingatkan
keindahan Rabbani yang digambarkan langsung oleh Sang
Pencipta, yaitu Allah SWT.
Islam tidak hanya mengajak manusia untuk merasakan
keindahan, mencintai dan menikmatinya, tapi juga menekan-
kan agar manusia mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu
yang juga merupakan suatu keindahan.
menundukkan dan mengatasi setiap perbandingan maupun
dari segala sastranya, merupakan bukti ke-ilahian. Hal inilah
yang merupakan kemukjizatan al-Qur'an. Sebuah mukjizat
yang bersifat universal. Ia ditunjukkan kepada seluruh
manusia di setiap masa dan setiap orang mampu untuk
menangkap dan mengapresiasikannya jika ia mempunyai
pembawaan yang kuat untuk merasakan keindahan.
Firman Allah SWT:
161
Ilmu Pendidikan Islam
Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan.
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, ia semakin mampu
untuk menyaksikan dan merasakan keindahan yang dicipta- kan
Allah di alam. Seorang mukmin juga mendntai keindahan,
karena Rabbnya mencintai yang indah. Allah itu indah dan
mencintai yang indah. Seni bagi seorang mukmin adalah sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan
keimanan, bukan menjadi sesuatu yang dapat menimbulkan
kelalaian dan kesombongan yang dibenci oleh Allah dan
manusia. Oleh karena, itu seorang pendidik hendaklah mampu
mengarahkan peserta didiknya untuk dapat mengembangkan
dimensi seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan
dan menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah
(qur'any dan kauniy), maupun memotivasi mereka agar mampu
mengungkapkan nilai-nilai seni tersebut sesuai dengan bakat
dan kemampuan mereka masing-masing.
7. Dimensi Sosial
Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara
bersamaan adalah mahluk sosial. Keserasian antar individu dan
masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial
dan tujuan individu. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas
pada perorangan, tapi juga social sekaligus. Tanggung jawab
perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi ia tidak
mengabaikan tanggung jawab sosial yang merupakan dasar
pembentuk masyarakat.
Setiap individu adalah bagian dari kelompoknya. Kelom-
pok terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Individu
merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam
162
163
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
masyarakat atau keluarga, atau sebagai anggota keluarga dan
pada waktu yang sama, sebagai anggota masyarakat. Kelompok
yang paling penting dan besar pengaruhnya adalah keluarga.
Karena Perkembangan dimensi sosial telah dimulai semenjak lahir.
Dalam perkembangan sosial, setiap individu menempatkan
dirinya di antara banyak individu lainnya. Maka agen sosialisasi
bagi seorang anak adalah ibu dan bapaknya. Setiap orang tua
harus menyadari bahwa setiap interaksinya dengan anak
merupakan kesempatan-kesempatan baik untuk menanamkan
benih-benih penyesuaian sosial dan pembentukan watak yang
dapat menghasilkan buah, sesuatu yang sangat berharga dalam
interaksi kemanusiaan. Sebelum anak menyadari dirinya sendiri
dan dunia sekitarnya, stimulan sosial yang diberikan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan jiwa sosial selanjutnya.
Bahkan kecepatan perkembangan sosial anak tergantung pada
pemeliharaan sebelum lahir, yaitu bagaimana reaksi orang-orang
di sekitarnya terutama orang tua baik yang disadari atau tidak
disadari terhadap keberadaannya, .dan kemudian dilanjutkan
pendidikan setelah lahir.
Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap
tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka aqidah
Islam yang betul dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama
yang dapat meningkatkan iman, taqwa, takut kepada Allah dan
mengerjakan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada
produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan, adil,
kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong,
setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan
lain-lain lagi bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.
Ilmu Pendidikan Islam
Didalam al-Qur'an dan hadits ditemukan prinsip-prinsip
tentang pendidikan sosial. Sabda Rasulullah SAW:
"Perumpamaan orang-orang beriman yang saling cinta, tolong menolong,
dan kasih sayang di antara mereka adalah bagaikan suatu tubuh. Bila salah
satu bagian dan tubuh kita itu merasakan kesakitan, maka seluruh tubuh
akan merasakannya pula dengan menderita demam, dan tidak dapat tidur".
Ikatan kemasyarakatan yang kuat mendorong setiap orang
untuk berbuat menolong, sesamanya, bila ditimpa musibah dan
kemalangan. Perbuatan demikian merupakan pencerminan
keimanan seseorang, seperti tercermin dalam ungkapan Nabi
melalui sabdanya:
"Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Maka ditanyakan
oleh para sahabat: "Siapakah ia, ya Rasulullah ? " Beliau menjawab:
"Orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan,
padahal ia mengetahuinya".
Masyarakat yang baik menurut pengertian Islam, adalah
masyarakat yang ikut merasakan kesulitan-kesulitan orang lain.
Tumbuhlah kemudian rasa cinta dan solider terhadap
sesamanya. Yang kaya harus menolong yang miskin, sedangkan
orang yang kuat harus menolong kepada yang lemah.
Disebutkan oleh Rasulullah SAW, tentang dasar-dasar soli-
daritas sosial:
"Barang siapa yang membebaskan seorang mukmin dari suatu kesukaran
(musibah), maka Allah akan membebaskan dirinya dari kesukaran-
kesukaran hari kiamat". "Barang siapa yang meringankan bebannya di
dunia dan akhirat". "Barang siapa yang menutupi cacat (kejelekan) orang
Islam, maka Allah akan menutupi cacatnya di dunia dan di akhirat".
"Sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selama bamba-Nya itu
suka menolong saudaranya".
164
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Solidaritas sosial mengandung pengertian yang dalam,
baik yang menyangkut rasa mencintai dan merasakan kepada
penderitaan orang lain, berusaha meringankan beban yang
dipikul mereka, sampai menyangkut sikap menutupi kelemah-
an dan cacat dalam tubuh mereka. Sikap ini tidak mungkin
timbul bila keimanan tidak tumbuh dalam diri seorang
muslim. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: yang arti-
nya: ''Tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri".
Demikianlah sistem pendidikan Islam, diharapkan dapat
membentuk peserta didik yang beriman, yang memiliki
pribadi utama dan seimbang dalam keseluruhan dimensi
kehidupan peserta didik. Selaras dan seimbang karena
segenap dimensi dan potensi yang ada padanya bekerja dan
berfungsi sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.
D. Keutamaan Belajar
Belajar merupakan sebuah proses penting dal'am ke-
hidupan manusia, karena memang adanya manfaat yang nyata
dan besar dalam mengembangkan potensi yang terkandung
dalam setiap diri manusia. Sehingga tidak heran jika Islam
sangat menaruh perhatian akan urgensi belajar bagi setiap
manusia, bahkan Islam telah mewajibkan untuk belajar.
Imam al-Ghazali memandang bahwa belajar merupakan
sebuah kegiatan yang mulia dan terpuji. Ia menyandarkan
pendapatnya ini pada sebuah teks QS. at-Taubah: 122 yang
berbunyi:25
25 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia,
1998), him. 104.
165
Ilmu Pendidikan Islam
"Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama".
Ada beberapa teks yang menyatakan:26
• Artinya: "Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk
menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke
surga".
• Artinya: "Sesungguhnya malaikat itu membentangkan
sayapnya kepada penuntut ilmu, tanda rela dengan usahanya
itu".
• Artinya: "Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi
mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik baginya dari
dunia dan isinya".
• Artinya: "Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim
laki-laki dan perempuan".
• Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ra.
Nabi bersabda: "Menghadiri majlis orang berilmu, lebih
utama daripada mendirikan shalat seribu rakaat, mengunjungi
seribu orang sakit dan bertakziah seribu jenazah". Lalu orang
bertanya: "Wahai rasulullah, dari membaca Al-Qur'an?"
Maka Nabi menjawab: "Adakah berguna al-Qur'an itu
selain dengan ilmu?"
Artinya: "Barang siapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu
untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dengan nabi-nabi
dalam surga sejauh satu tingkat".
26 Ibid.,. hlm. 105-106.
166
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
• Berkata Ibnu Mubarak ra.: "Aku heran orang yang
menutut ilmu, bagaimana ia mau membawa dirinya kepada
kemuliaan".
• Abu Darda' berkata: "Lebih suka saya mempelajari satu
masalah daripada beribadah satu malam".
• Ia menambahkan: "Orang yang berilmu dan orang yang
menuntut ilmu berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain
adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya".
• Ia berkata juga: "Barang siapa berpendapat bahwa pergi
menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang
kurang pikiran dan akal".
• Atha' berkata: "Majelis ilmu pengetahuan itu menutupkan
tujuh puluh majelis yang sia-sia".
• Imam Asy-Syafi'i berkata: "Menuntut ilmu itu lebih
utama daripada berbuat ibadah sunnah".
Dari beberapa teks tersebut, dapatlah diambil pemaham-
an bahwa belajar mempunyai peranan yang penting'-dalam
kehidupan manusia, karena dengan belajar orang bisa pandai,
ia dapat mengetahui sesuatu yang sebelumnya ia belum
mengetahui dan memahaminya. Dan selain belajar meru-
pakan perbuatan yang mulia, ia juga dinilai suatu ibadah di-
hadapan Allah. Selain itu masih banyak lagi keutamaan orang
yang berilmu dan menuntut ilmu.
Sehingga tidak heran apabila ada teks yang menyatakan
bahwa ilmu yang merupakan hal terpenting dalam tujuan
sebuah pendidikan, teks itu adalah:
167
Ilmu Pendidikan Islam
"Barangsiapa menghendaki dunia, maka hendaklah dengan ilmu,
barangsiapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu pula, dan
barangsiapa yang mengendaki keduanya, maka haruslah dengan ilmu".
168
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahwani, ٨١٦٨٦̂ ^ Fuad. Al-Tarbiyah fi al-Islam. Kairo: ه٩٢، al-
Ma'arif, tt.
Al-Ghazali. Ihya 'Ulumuddin, Jus II. tnp., tnt., tt
Al~Ghazaii. Ihya 'Ulumuddin, Jus III. tnp., tnt., tt
Al-Zarnuzi. Burhan al-Islam, Ta'lirn al-Muta'allim fi Thariq al-
Ta'allum. Surabaya: Salim Nabhan, tt. ‘
Arifin, Prof., HM., M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis
dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner.
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.
Arifin, Muzayyin, Prof. H., M. Ed. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Busro, Muhtarom, Drs. Shorof Praktis; Metode Krapyak.
Yogyakarta: Menara Kudus, 2003.
Dar^at, Zakiyah, Dr. dkk. Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam.
Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Daryanto, Drs. H.M. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rieneka
Cipta, 2005.
169
Ilmu Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan
Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah Press,
1989.
Jalaluddin, Dr., dan Said, Usman, Drs. Filsafat Pendidikan
Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Langgulung, Hasan, Prof., Dr. Asas-asas Pendidikan Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
Mujib, Abdul, Dr., M.Ag., dan Mudzakkir, Jusuf, Dr.,M.Si.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006.
Munardji, H. Drs., M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bina
Ilmu, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. tnp.,
Yogyakarta, 1984.
Ramayulis, Prof, Dr. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia, 1998.
Ramayulis, Prof, Dr. Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat.
Jakarta: Kalam Mulia, 2004.
Soebahar, Abd. Halim, Drs. H., MA. Wawasan Baru Pendidikan
Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Suryabrata, Sumadi, Drs. B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Tafsir, Ahmad, Dr. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet.
keenam. Bandung: PT. Rosda Karya, 2005.
170
Daftar Pustaka
Uhbiyati, Nur, Hj., Dra. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung:
Pustaka Setia, 1998.
Uhbiyati, Nur, Hj., Dra. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Zuhairini, Dra, dkk,. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi
Aksara, 2004.
Zaini. Landasan Kependidikan. Yogyakarta: Mitsaq Pustaka, 2011.
171
CURICULUM VITAE
Muhammad Muntahibun Naf is, lahir di Trenggalek,
18 Maret 1978, ia adalah pengajar di STAIN Tulunggagung
beralamatkan di Jl. Mayor Sujadi Timur, 46 Tulungagung
Jawa Timur, telp/fax: Telp. (0355) 321513, Fax. (0355) 321656.
Alamat Rumah; Kedunglurah RT 10 RW 03 Kec. Pogalan Kab.
Trenggalek Jawa Timur 66371, telp. 08 15 56 56 22 09. E-
mail: [email protected]/ [email protected].
Ia tercatat sebagai Staf Perpustakaan STAIN Tulungagung
(2005-2007), Staf Unit Pengembangan Bahasa (UPB) -(2007-
2009), Staf Jurusan Ushuluddin (2009-2010) dan Kepala Lab.
Jurusan Ushuluddin STAIN Tulungagung (2010-sekaran).
Menyelesaikan pendidikan SI di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta ia masuk pada Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
(BSA) fakultas Adab (lulus 2001). Program S2nya di Jurusan
Pendidikan Islam yang ia selesaikan tahun 2004. Selepas S2,
ia melanjutkan program S3 dengan konsentrasi Studi Islam
di perguruan tinggi yang sama.
Adapun penelitian ilmiah antara lain;
173
2002, Dilema "Dua Dunia" Pendidikan (Telaah
Perbandingan Konsep Thoul al-Zaman dan Program Akselerasi
Pendidikan), 2002, Agama dan Radikalisme Religius (Studi
Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dan Kekerasan Keagamaan di Surakarta),
2003, Persepsi Masyarakat Terhadap Habaib; Studi Eksistensi
Habaib di Desa Kranggan Kec.Pekuncen Kab.Banyumas tahun
2007, Pluralisme Agama Kaum Priyayi Muslim (Telaah atas
Pandangan Pegawai Depag Trenggalek tentang Non- Muslim),
2009, Pluralisme Agama Kaum Priyayi Muslim (Telaah atas
Pandangan Pegawai Kemenag Tulungagung tentang Non-
Muslim), 2010, Pendidikan Sumber Kekerasan; Mengurai Akar
Kekerasan dalam Realitas Pendidikan, 2010. Dan Kontributor
buku Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Teras
Yogyakarta Bekerjasama dengan STAIN Tulungagung.
Pemberian Penghargaan, Nominator "The Best Ten" Lomba
Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional, 2009. Juara Harapan II
Lomba karya Tulis Ilmiah Pengembangan Pesantren Tingkat
Nasioanal. 20 Besar Peserta Shoutcourse Kader Muda Pesantren
Ke Luar Negeri Tingkat Nasional. 20 Besar Peserta Shoutcourse
Dosen Bahasa arab Ke Universitas Ummul Quro Saudi Arabia.
174