ii. tinjauan pustaka 2.1 tanaman lidah buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._bab_ii.pdf · lidah...

30
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buaya Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman yang banyak tumbuh pada iklim tropis ataupun subtropis dan sudah digunakan sejak lama karena fungsi pengobatannya. Lidah buaya dapat tumbuh di daerah beriklim dingin dan juga di daerah kering, seperti Afrika, Asia dan Amerika. Hal ini disebabkan bagian stomata daun lidah buaya dapat tertutup rapat pada musim kemarau karena untuk menghindari hilangnya air daun. Lidah buaya dapat tumbuh pada suhu optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 16-33 o C dengan curah hujan 1000-3000 mm dengan musim kering agak panjang, sehingga lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air (Furnawanthi, 2002). Tanaman lidah buaya termasuk keluarga liliaceae yang memiliki sekitar 200 spesies. Dikenal tiga spesies lidah buaya yang dibudidayakan yakni Aloe sorocortin yang berasal dari Zanzibar ( Zanzibar aloe), Aloe barbadansis miller dan Aloe vulgaris. Pada umumnya banyak ditanam di Indonesia adalah jenis barbadansis yang memiliki sinonim Aloe vera linn (Tarigan, 2001). Jenis Aloe yang banyak dikenal hanya beberapa antara lain Aloe nobilis, Aloe variegate, Aloe vera (Aloe barbadansis), Aloe ferox miller, Aloe arborescens dan Aloe schimperi (McVicar, 1994). Secara sistematis, tumbuhan lidah buaya ini diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Asparagales Famili : Asphodelaceae Genus : Aloe L. Spesies : Aloe vera L. Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar, berdaging tebal, tidak bertulang, mengandung getah, permukaan pelepah daun dilapisi lilin, bersifat sekulen, berat rata-rata per pelepah adalah sekitar 0,5-1 kg dan tinggi 45-50 cm. Masa panen lidah buaya sekitar 10-12 bulan setelah tanam, sehingga dalam satu tahun tanaman ini dapat

Upload: others

Post on 09-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Lidah Buaya

Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman yang banyak

tumbuh pada iklim tropis ataupun subtropis dan sudah digunakan sejak lama

karena fungsi pengobatannya. Lidah buaya dapat tumbuh di daerah beriklim

dingin dan juga di daerah kering, seperti Afrika, Asia dan Amerika. Hal ini

disebabkan bagian stomata daun lidah buaya dapat tertutup rapat pada musim

kemarau karena untuk menghindari hilangnya air daun. Lidah buaya dapat

tumbuh pada suhu optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 16-33oC dengan

curah hujan 1000-3000 mm dengan musim kering agak panjang, sehingga lidah

buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air (Furnawanthi,

2002).

Tanaman lidah buaya termasuk keluarga liliaceae yang memiliki sekitar

200 spesies. Dikenal tiga spesies lidah buaya yang dibudidayakan yakni Aloe

sorocortin yang berasal dari Zanzibar (Zanzibar aloe), Aloe barbadansis miller

dan Aloe vulgaris. Pada umumnya banyak ditanam di Indonesia adalah jenis

barbadansis yang memiliki sinonim Aloe vera linn (Tarigan, 2001). Jenis Aloe

yang banyak dikenal hanya beberapa antara lain Aloe nobilis, Aloe variegate,

Aloe vera (Aloe barbadansis), Aloe ferox miller, Aloe arborescens dan Aloe

schimperi (McVicar, 1994). Secara sistematis, tumbuhan lidah buaya ini

diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Asparagales

Famili : Asphodelaceae

Genus : Aloe L.

Spesies : Aloe vera L.

Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan

permukaan yang lebar, berdaging tebal, tidak bertulang, mengandung getah,

permukaan pelepah daun dilapisi lilin, bersifat sekulen, berat rata-rata per

pelepah adalah sekitar 0,5-1 kg dan tinggi 45-50 cm. Masa panen lidah buaya

sekitar 10-12 bulan setelah tanam, sehingga dalam satu tahun tanaman ini dapat

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

5

dipanen sebanyak 4 kali (3 bulan sekali). Tanaman lidah buaya ini akan terus

menghasilkan pelepah daun hingga 7-8 tahun dan (Furnawanthi, 2002).

Gambar 2.1 Lidah Buaya (Aloe vera L.) (Anonim, 2012) Jika daun dilepas dari tanaman, maka akan keluar getah yang berwarna

agak kekuningan di bagian yang terluka. Daun lidah buaya mengandung gel

yang apabila daun tersebut dikupas akan terlihat lendir yang mengeras yang

merupakan timbunan cadangan makanan (Sudarto, 1997). Daun lidah buaya

sebagian besar berisi pulp atau daging daun yang mengandung getah bening

dan lekat. Sedangkan bagian luar daun berupa kulit tebal yang berklorofil.

2.1.1 Gel Lidah Buaya

Menurut Yaron (1991), bahwa pelepah tanaman Aloe vera L. ini terdiri

dari beberapa bagian utama, yakni mucilage gel dan exudate (lendir). Bagian

utama mucilage gel terdiri atas berbagai macam polisakarida (glucomannan,

acetylated glucomannan, acemannan, galactogalacturan, dan

galactoglucoarabinomannan), mineral (calcium, magnesium, potassium, sodium,

iron, zinc, dan chromium), protein (enzim pectolytic, aloctindan lectin

(glikoprotein), serta jenis protein lain), ß- sitosterol, hidrokarbon rantai panjang,

dan ester. Bagian utama exudate (lendir) terdiri atas yellow sap (lendir berwarna

kuning) dan lendir tidak berwarna. Yellow sap mengandung berbagai komponen

seperti anthraquinone beserta turunannya, aloin (barbaloin), dan aloe-emodin,

sedangkan lendir tidak berwarna mengandung berbagai jenis komponen fenolik.

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

6

Gambar 2.2 Gel Lidah Buaya (Anonim, 2013) Gel lidah buaya ini tidak berwarna dan berbau, tidak mempengaruhi rasa

atau rupa dari buah, aman digunakan, alami serta aman bagi lingkungan. Gel

lidah buaya yang terdiri dari polisakarida, berperan menghalangi kelembaban

dan oksigen yang dapat mempercepat pembusukan makanan. Gel ini juga

mengandung antibiotik dan anti cendawan yang berpotensi memperlambat atau

menghalangi mikroorganisme yang mengakibatkan keracunan makanan pada

manusia (Reynolds dan Dweck, 1999).

2.1.2 Komposisi Gizi dan Kandungan Gel Lidah Buaya

Komposisi terbesar gel lidah buaya adalah air, yaitu 99.20% sisanya

adalah padatan yang terutama terdiri dari karbohidrat, yaitu mono dan

polisakarida. Polisakarida gel lidah buaya terutama terdiri dari glukomanan serta

sejumlah kecil arabinan dan galaktan. Monosakaridanya berupa D-glukosa, D-

manosa, arabinosa, galaktosa dan xylosa (Setiabudi, 2008).

Secara kuantitatif, protein dalam lidah buaya ditemukan dalam jumlah

yang cukup kecil, akan tetapi secara kualitatif protein gel lidah buaya kaya akan

asam-asam amino essensial terutama leusin, lisin, valin, dan histidin. Selain kaya

akan asam-asam amino essensial, gel lidah buaya juga kaya akan asam

glutamate dan asam aspartat. Vitamin dalam lidah buaya larut dalam lemak,

selain itu juga terdapat asam folat dan kolin dalam jumlah kecil (Setiabudi, 2008).

Komposisi kimia gel lidah buaya per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

7

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.)

Komponen Kadar

Energi (Kal) 1,73 – 2,30 Protein (gr) 0,10 – 0,06 Lemak (gr) 0,05 – 0,09 Karbohidrat (gr) 0,30 Kalsium (mg) 9,92 – 19,920 Besi (mg) 0,060 – 0,320 Vitamin A (IU) 2,00 – 4,60 Vitamin C (mg) 0,50 – 4,20 Thiamin (mg) 0,003 – 0,004 Riboflavin (mg) 0,001 – 0002 Niasin (mg) 0,038 – 0,040 Serat (gr) 0,30 Abu (gr) 0,10 Kadar Air (gr) 99,20

Sumber : Departemen Kesehatan R.I (1992)

Dari segi kandungan nutrisi, gel atau egene, lidah buaya mengandung

beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, kalium, sodium, besi, zinc, dan

kromium. Beberapa vitamin dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai

pembentuk antioksidan alami, seperti fenol, flavonoid, vitamin C, vitamin E,

vitamin A, dan magnesium. Antioksidan ini berguna untuk mencegah penuaan

dini, serangan jantung, dan berbagai penyakit degeneratif (Astawan, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian, lidah buaya diketahui banyak mengandung

zat nutrisi seperti asam amino, mineral, vitamin, sterol, tanin, polisakarida (pektin,

glukoman, glukomanan) dan enzim serta zat bioaktif yang bermanfaat bagi

kesehatan, sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.2.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

8

Tabel 2.2 Zat-zat yang terkandung dalam Gel Lidah Buaya

Zat Kegunaan

Vitamin B1, B2, Niasinamida, B6, cholin, asam folat

Bahan penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat.

Asam amino Bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan dan untuk sintesa bahan lain.

Enzim oksidase, amylase, katalase, lipase, protease

Mengatur proses kimia dalam tubuh dan menyembuhkan luka dalam dan luar.

Selulosa, glukosa, mannose, aldopentosa, ramnosa

Mengatur proses kimia dalam tubuh dan menyembuhkan luka dalam dan luar

Lignin Mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi, sehingga memudahkan peresapan gel ke kulit

Saponin Mempunyai kemampuan membersihkan dan bersifat antiseptik, bahan pencuci yang sangat baik

Sumber : Furnawanthi (2003)

2.1.3 Komponen Bioaktif Gel Lidah Buaya

Zat yang terkandung dalam gel lidah buaya tersebut memiliki aktivitas

antara lain sebagai antimikroba, penurun kolesterol darah, antidiabetes,

antikanker, antivirus, antijamur, antioksidan, mencegah chilling injury, serta dapat

menyembuhkan luka dan mencegah peradangan (anti-inflammatory). Lidah

buaya merupakan tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan serta memiliki

kemampuan lain yang dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang umur simpan

buah dan sayuran (Reynolds dan Dweck, 1999).

Lidah buaya mengandung beberapa senyawa bioaktif, diantaranya

adalah: gliko-protein (Yagi et al.,1997), senyawa-senyawa fenolik seperti aloe-

emodin (AE), aloin, barbaloin, suatu hydroxy-antrakinon (Susana et al., 2004),

derivat-sakarida (acetylated mannose atau acemannan) yang berfungsi sebagai

antiviral, prostaglandin dan asam-asam lemak (misalnya asam γ-linoleat) yang

bersifat sebagai antiinflamasi, antialergi, anti pembentukan gumpalan platelet

dan penyembuh luka serta enzim, asam amino,vitamin dan mineral. Senyawa

bioaktif seperti fenolik dan emodin biasanya bersifat sebagai antioksidan dan

labil sehingga mudah terurai atau kehilangan aktifitasnya. Komponen bioaktif

yang terkandung dalam lidah buaya (Aloe vera L.) dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

9

Tabel 2.3 Komponen Bioaktif yang terkandung pada Lidah Buaya (Aloe vera L.)

Komponen bioaktif Fungsionalitas

Acemannan

Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker, anti-virus, UV sunburn

Glikoprotein Anti-diabetes, anti-kanker Aloe emodin Anti-kanker, anti-oksidan, anti-

mikroba Lectin Anti-inflammatory, wound healing,

anti-kanker Aloin (Barbaloin) dan komponen fenolik Anti-mikroba , anti-oksidan Alomicin Anti-kanker

Sumber : Reynolds dan Dweck (1999).

Penggunaan gel lidah buaya telah diaplikasikan di industri pangan

sebagai ingredien pangan fungsional, dan salah satunya dengan menjadikan gel

lidah buaya berpotensi sebagai bahan untuk membentuk edible film alami. Hasil

penelitian Valverde et al. (2005) membuktikan bahwa gel lidah buaya sebagai

edible dapat berperan baik dalam menahan laju respirasi dan beberapa

perubahan fisiologis akibat proses pematangan pada buah anggur selama

penyimpanan, karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mampu

mereduksi aktivitas enzim, menghambat transfer gas CO2 dan O2, serta

mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat

kerusakan produk pasca panen. Selain itu, senyawa antimikroba yang

terkandung dalam gel lidah buaya ternyata mampu mencegah poliferasi mikroba

pada buah anggur tersebut.

Ada pula teori yang menyebutkan telah menemukan kandungan zat aktif

dalam lidah buaya yang dapat berfungsi sebagai antimikroba, mengurangi racun,

bahan laksatif dan mempunyai kandungan antibiotik seperti kompleks

anthraquinone, aloin, barbaloin, aloe emodin dan acemannan.

(A) (B)

Gambar 2.3 Emodin (A) dan Anthraquinone (B) (Susana I.W et al., 2004.)

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

10

Menurut Setiabudi (2008), cairan lidah buaya mengandung unsur utama,

yaitu aloin, emodin, gum dan unsur lain seperti minyak atsiri. Setiabudi (2008)

menyatakan bahwa aloin merupakan bahan aktif yang bersifat sebagai antiseptik

dan antibiotik. Senyawa aloin merupakan kondensasi dari aloe emodin dengan

glukosa. Senyawa ini mempunyai rasa getir yang ditentukan pertama kali oleh

Smith pada tahun 1841. Selain itu, kandungan aloin pada Aloe Vera sebesar 18-

25%, Aloe perryi sebesar 7,5-10% dan Aloe ferox Miller sebesar 9-24,5%, serta

senyawa tersebut bermanfaat untuk mengatasi berbagai macam penyakit seperti

demam, sakit mata, tumor, penyakit kulit dan obat pencahar.

2.2 Buah Sukun

Sukun (Artocarpus communis) merupakan tanaman tropik sejati.

Tanaman sukun dapat digolongkan menjadi sukun berbiji yang disebut breadnut

dan tanpa biji disebut breadfruit. Tanaman ini tumbuh baik di daerah basah,

tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering, asalkan ada air, tanah,

dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan dapat tumbuh baik di pulau karang

dan pantai. Di musim kering, di saat tanaman lain tidak dapat atau merosot

produksinya, justru sukun dapat tumbuh dan berbuah lebat, sehingga sukun

dapat dijadikan sebagai pangan alternatif, karena keberadaannya tidak seiring

dengan pangan konvensional (beras), artinya keberadaan pangan ini dapat

menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (Hadi dan Yuantika, 2012).

Secara sistematis, tumbuhan sukun ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus communis

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

11

Gambar 2.4 Buah Sukun (Artocarpus communis) (Anonim, 2011)

Menurut Hadi dan Yuantika (2012), sukun merupakan salah satu

tanaman yang bisa dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat. Buah sukun

terkandung banyak manfaat salah satunya dapat membantu proses pencernaan,

karena mengandung kandungan serat yang lebih tinggi mencapai 16 kali lipat

dari serat yang terkandung dalam beras. Hampir seluruh bagian tanaman sukun

dapat dimanfaatkan, salah satunya yaitu daging buah sukun. Bagian daging

buah yang bisa dimakan yaitu 70% untuk buah yang masih hijau dan 78% untuk

buah yang matang. Buah sukun yang telah matang cukup bagus sebagai sumber

vitamin A dan B komplek tetapi rendah vitamin C. Kandungan Ca dan P buah

sukun lebih baik daripada kentang dan diperkirakan menyerupai ubi jalar. Berikut

komposisi kimia dan zat gizi dalam 100 gram buah sukun muda dan tua dapat

dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi Kimia dan Gizi buah sukun (Artocarpus communis)

Zat Gizi Kadar

Sukun Muda Sukun Tua

Kalori (kal) 46 108 Air 87,1 69,1 Protein (g) 2,0 1,3 Lemak (g) 0,7 0,3 Karbohidrat (g) 9,2 28,2 Kalsium (mg) 59 21 Fosfor (mg) 46 59 Besi (mg) - 0,4 Vitamin B1 (mg) 0,12 0,12 Vitamin B2 (mg) 0,06 0,05 Vitamin C (mg) 21,00 17 Abu (g) 1,0 0,9

Sumber : Hadi dan Yuantika (2012)

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

12

2.2.1 Tepung Sukun

Di Indonesia, daerah penyebaran tanaman sukun merata di seluruh

daerah, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga pada saat musim

panen buah sukun melimpah dan harganya murah, maka buah dibiarkan busuk

tidak termanfaatkan, oleh karena itu diperlukan pengolahan produk setengah

jadi. Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan

hasil panen, hal ini dilihat berdasarkan kandungan karbohidrat yang cukup

tinggi, sehingga buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung (Hadi dan

Yuantika, 2012).

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi

yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat

komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak

sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Susanto dan Saneto.

1994). Berikut kandungan kimia dan gizi dalam 100 gram tepung sukun dapat

dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Kandungan Kimia dan Gizi dalam 100 gram Tepung Sukun

Komponen Kadar

Protein (g) 3,6 Lemak (g) 0,8 Karbohidrat (g) 78,9 Kalsium (mg) 58,8 Fosfor (mg) 165,2 Besi (mg) 1,1 Vitamin B1 (mg) 0,34 Vitamin B2 (mg) 0,17 Vitamin C (mg) 1747,6

Sumber : Hadi dan Yuantika (2012) Keuntungan dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, sebagai bahan baku

yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, awet

serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Tepung sukun mengandung

kadar amilosa antara 17-24%, kadar amilopektin antara 76-83%, kadar total gula

antara 0,21-0,32%, pektin cukup tinggi yaitu sekitar 20%, vitamin A (64 IU) dan

vitamin C (9 mg/100 mg) (Suismono dan Suyanti, 2008).

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

13

2.3 Umbi Ganyong

Umbi ganyong (Canna edulis Ker.) adalah salah satu jenis tanaman tropis

yang dapat hidup di Indonesia baik tumbuh liar maupun dibudidayakan,

khususnya di lahan kering. Umbi ganyong umumnya berukuran panjang 10-15

cm dan diameter 5-9 cm. Bagian tengahnya tebal dan dikelilingi oleh berkas

bersisik dengan akar serabut tebal. Sifat kimia ganyong mengandung serat dan

enzim phenolase yang tinggi, sehingga ganyong termasuk umbi berserat yang

mudah mengalami pencoklatan. Keuntungan produksi ganyong antara lain tahan

ditempat teduh, tahan terhadap kekeringan, dan efisiensi dalam penggunaan air

serta tahan terhadap hama dan penyakit dalam tanamannya (Herman et al.,

1997). Klasifikasi taksonomi dari tanaman ganyong adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyte

Sub divisi : Angiosperrnae

Kelas : Monocotyledone

Bangsa : Zingiberales

Suku : Cannanneae

Marga : Canna

Jenis : Canna edulis Ker.

Gambar 2.5 Umbi Ganyong (Canna edulis Ker.) (Anonim, 2010) Ganyong merupakan salah satu bahan pangan non beras yang bergizi cukup

tinggi, terutama kandungan karbohidrat (Rukmana, 2008). Zat lain yang ada di

dalamnya adalah fosfor, kalsium, besi, vitamin B1, glukosa, alkaloid, dan getah.

Umbi ini mengandung serat dan zat besi yang lebih tinggi daraipada kentang

(Murtini, 2007). Komposisi kimia dan gizi dalam 100 gram umbi ganyong dapat

dilihat Tabel 2.6.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

14

Tabel 2.6 Komposisi Kimia dan Gizi dalam 100 gram Umbi Ganyong

Komponen Kadar

Kalori (kal) 95,00 Protein (g) 1,00 Lemak (g) 0,11 Karbohidrat (g) 22,60 Kalsium (mg) 21,00 Phosphor (mg) 70,00 Besi (mg) 20,00 Vitamin B1 (mg) 0,10 Vitamin C (mg) 10,00 Air (g) 75,00 Bagian dapat dimakan (%) 68

Sumber : Susanto, et al. (1994)

2.3.1 Tepung Umbi Ganyong

Menurut Widowati dan Damardjati (2001) pengolahan ganyong menjadi

tepung merupakan alternatif proses yang dapat dikembangkan. Bentuk tepung

mempunyai keunggulan antara lain mudah dicampur dan diformulasikan serta

mempermudah proses transportasi dan penyimpanan. Tepung ganyong adalah

tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua dan baik (tidak ada

tanda-tnada kebusukan). Berikut komposisi kimia tepung umbi ganyong dapat

dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Komposisi Kimia per 100 gram Tepung Umbi Ganyong

Komponen Kadar (%)

Air 6,69 Abu 2,89 Lemak 1,22 Protein 0,73 Serat kasar 5,64 Pati 40,18

Sumber : Richana dan Titi (2004)

Tepung ganyong memiliki sifat fisikokimia yang mirip dengan terigu,

namun tidak mempunyai gluten dan tepungnya mudah dicerna, baik sekali untuk

makanan bayi maupun orang sakit. Oleh karena itu, tepung ganyong dapat

digunakan sebagai substitusi terigu yang sesuai dengan produk akhir yang

diinginkan, selain itu tepung ganyong memiliki sifat amilografi yang spesifik

sehingga tekstur produk yang dihasilkan menjadi lembut dan renyah (Widowati

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

15

dan Damardjati, 2001). Berikut rasio amilosa dan amilopektin dari beberapa

umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Rasio Amilosa dan Amilopektin per 100 gram dari Beberapa Umbi-

umbian

Jenis umbi Komposisi (%)

Kadar amilosa Kadar amilopketin

Umbi kelapa 23,6a 76,4a Gembili 23,2a 76,8 a Ganyong 22,0b 80,0b Suweg 19,2a 80,8a

Sumber : a. Richana dan Titi (2004)

b. Thitipraphunkul et al. (2003)

2.4 Edible Film

2.4.1 Definisi dan Fungsi Edible Film

Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan

dengan bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau

lebih bahan yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk

mempertahankan dan melindungi makanan hingga ke tangan konsumen,

sehingga kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan. Bahan pengemas

yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas, logam, dan kaca (Robertson,

1993).

Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan

ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Sekitar

60% dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat bahan

pengemas yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan

material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan. Oleh karena

itu pada saat ini dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat

diuraikan (biodegradable). Adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan

harus ramah lingkungan maka penggunaan kemasan edible (edible packaging)

adalah suatu yang sangat menjanjikan (Han et al., 2005).

Edible packaging dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu edible film,

edible coating dan enkapsulasi. Perbedaan antara edible coating dengan edible

film adalah pada cara aplikasinya. Edible coating langsung dibentuk pada

produk, sedangkan edible film tidak dibentuk langsung pada produk yang akan

dikemas/dilapisi. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi untuk

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

16

membawa zat flavour berbentuk serbuk. Edible film merupakan salah satu

bahan pengemas pangan yang dalam 10 tahun terakhir mendapatkan perhatian

serius dari ahli pangan sebagai bahan pengemas alternatif dengan

mempertahankan warna pigmen alami gizi, sebagai pengawet dan

mempertahankan warna sehingga menjaga mutu produk (Masruroh et al., 2013).

Edible film didefinisikan dengan dua prinsip, pertama dinyatakan dapat

dimakan dan harus aman untuk dimakan dan kedua tersusun dari sebuah bahan

pembentuk film, khususnya sebuah polimer. Edible film mempunyai potensi

besar dalam berbagai macam penggunaan, dapat melapisi permukaan makanan,

memisahkan komponen-komponen yang berbeda, atau berperan sebagai

selubung, kantong, atau pembungkus . Edible film merupakan lapisan tipis yang

dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas makanan yang berfungsi

sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan

zat pelarut) atau sebagai carier bahan makanan atau aditif dan untuk

meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).

Fungsi edible film adalah sebagai penghalang migrasi minyak, gas, atau

uap air, dan pembawa senyawa aktif seperti antioksidan, antimikroba, pewarna

dan flavour. Fungsi perlindungan ini dapat meningkatkan kualitas pangan,

sehingga meningkatkan umur simpan dan meningkatkan keamanan pangan,

karena film atau selaput banyak digunakan karena tidak membahayakan

kesehatan manusia, dapat dimakan serta mudah diuraikan alam (biodegradable).

Beberapa edible film komersial Jepang tersedia dalam berbagai warna dan juga

diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk melakukan perbaikan

gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan (Rimadianti, 2007).

Keuntungan penggunaan edible film untuk kemasan bahan makanan

adalah untuk memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari

lingkungan karena edible film ini dapat dimakan bersama produk yang

dikemasnya. Menurut Guilbert dan Biquet (1990), terdapat beberapa keuntungan

dari edible film dibanding bahan pengemas sintetik, diantaranya yaitu :

1. Film dapat dikonsumsi dengan produk yang dikemas, tidak menimbulkan efek

beracun.

2. Film dapat mempertinggi sifat-sifat organoleptik bahan yang dikemas, seperti

rasa, warna, dan bahan-bahan pemanis yang dimasukkan di dalamnya.

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

17

3. Film dapat digunakan dalam bahan pengemas multilayer yakni bersama-

sama dengan film yang tidak dapat dimakan, dimana edible film menjadi

lapisan dalam yang berhubungan langsung dengan bahan makanan.

4. Bahan-bahan untuk membuat edible film murah dan teknologi pembuatannya

sederhana.

Edible film berantimikroba merupakan bentuk pengemas yang

menjanjikan. Komponen yang berada didalamnya dapat mengontrol

pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengurangi laju pertumbuhan dan

menekan populasi maksimum mikroba dan memperpanjang fase lag mikroba

target (Brody, 2005).

Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil

pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan

sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis

(plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk

tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polisakarida

(karbohidrat), polipeptida (protein) dan lipida. Ketiganya mempunyai sifat

termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai

film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang

berasal dari sumber yang terbarui (renewable) yang dapat dihancurkan secara

alami (biodegradable) (Han et al., 2005).

2.4.2 Bahan Baku Pembuatan Edible Film

Komponen edible film dapat dibedakan menjadi tiga kategori yakni

hidrokoloid, lipid, dan komposit. Hidrokoloid termasuk protein, turunan selulosa,

alginate, pati, pektin, dan polisakarida lainnya. Lipid termasuk lilin, asilgliserol,

dan asam lemak, sedangkan komposit mengandung gabungan dari komponen

hidrokoloid dan lipid. Film komposit dapat berdiri sebagai bilayer, dimana satu

lapisan adalah hidrokoloid dan lapisan lain adalah lipid, atau sebagai kesatuan

dimana komponen lipid dan hidrokoloid saling menyebar rata (Maharani, 2009).

Maharani (2009) mengatakan bahwa hidrokoloid adalah suatu polimer

larut air, yang mampu membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau

mampu membentuk gel dari larutan tersebut. Hidrokoloid yang digunakan dalam

pembuatan edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari

karbohidrat dapat berupa pati, gum dan pati yang dimodifikasi secara kimia.

Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting karena

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

18

tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat non toksik.

Selain itu juga dapat menggunakan bahan-bahan berbasis protein.

1. Hidrokoloid

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein

atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari pati, gum (alginat, pektin, dan gum

arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan film berbahan

dasar protein antara lain dapat menggunakan kasein, protein kedelai, gluten

gandum, dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik

sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta

memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik

digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur (Krochta et

al., 1994).

Lidah buaya memiliki kandungan polisakarida yang berupa pektin,

glukomanan dan galaktomanan. Polisakarida sebagai bahan dasar edible film

dapat dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan

atau kekentalan pada larutan edible film. Pemanfaatan dari edible film ini penting

karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat

nontoksik (Krochta et al., 1994).

Glukomanan mempunyai sifat-sifat antara selulosa dengan

galaktomanan, yaitu dapat mengkristal dan dapat membentuk struktur serat-serat

halus. Selain itu, glukomanan juga dapat membentuk gel yang bersifat elastis.

Keadaan ini mengakibatkan glukomanan mempunyai manfaat yang lebih luas

daripada selulosa dan galaktomanan, salah satunya yaitu dapat dikembangkan

lebih lanjut menjadi edible film (Susilowati, 2001). Larutan glukomanan dalam air

pada temperatur ruang akan memberikan kekentalan yang tinggi tetapi tidak larut

dalam larutan NaOH 20%. Larutan kental glukomanan dengan penambahan air

kapur dapat membentuk gel. Gel yang terbentuk bersifat tidak mudah pecah

(Yudiani 1994).

Menurut Irianto et al., (2006), glukomanan memiliki peranan yang sangat

penting dalam pembuatan edible film, karena glukomanan dapat membentuk gel

yang bersifat elastis. Sedangkan menurut Fennema et al., (1993), salah satu

metode pembuatan edible film adalah dengan pembentukan gel dari biopolimer

yang dilanjutkan dengan penguapan pelarut.

Pada umumnya, film yang tidak terbuat dari pati mudah sekali rusak

(Barus, 2002). Penggunaan glukomanan dari gel lidah buaya yang

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

19

dikombinasikan dengan jenis tepung yaitu tepung sukun dan tepung umbi

ganyong untuk membuat edible film diharapkan akan menghasilkan edible film

yang kuat namun tetap ulet atau elastis, serta mempunyai sifat penghambat yang

bagus terhadap uap air.

2. Lipida

Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap

air, atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk- produk permen.

Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan

kekuatan struktur film yang kurang baik. Lipida yang sering digunakan sebagai

edible film antara lain lilin (wax), asam lemak, monogliserida, dan resin. Alasan

mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat

hidrofobik (Krochta et. al., 1994).

3. Komposit

Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari

komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan

merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat

berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari

hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen

lipida dan hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap

penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan

antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan

dan sayuran (Krochta et al., 1994)

2.4.3 Pembentukan Edible Film

Komposit film dapat dibuat dengan menggabungkan dua atau lebih

biopolymer, sehingga menghasilkan satu lapisan film yang homogen. Berbagai

biopolymer dapat digabungkan untuk membentuk sebuah film dengan

karakteristik yang unik, yang merupakan hasil gabungan dari sifat-sifat yang

diinginkan dari tiap komponennya. Bahan biopolimer membentuk film secara

umum tergelatinisasi untuk menghasilkan larutan pembentuk film, kemudian

pengeringan hidrogen akan menghilangkan kelebihan pelarut dari struktur gel

(Han dan Gennadios, 2005).

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

20

Menurut Guilbert dan Gontard (1995), tahapan pembuatan edible film

sebagai berikut:

a. Pensuspensian bahan dalam pelarut

Pembuatan larutan film diawali dengan pensuspensian bahan dalam pelarut

seperti etanol, air, atau bahan pelarut lain.

b. Penambahan plasticizer

Plasticizer ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanik yaitu memberikan

fleksibilitas pada sebuah polimer film sehingga film lentur ketika dibengkokkan,

tidak mudah putus dan kuat.

c. Pengaturan suhu

Pengaturan suhu pada pembuatan edible film bertujuan membentuk pati

tergelatinisasi yang merupakan awal pembentukan film. Suhu pemanasan akan

menentukan sifak mekanik edible film karena suhu ini menentukan tingkat

gelatinisasi yang terjadi dan sifat fisik pasta yang terbentuk.

Gelatinisasi adalah proses terbentuknya gel yang diawali dengan

pengembangan granula pati. Pengembangan ini terjadi karena kemampuan

granula menyerap air, secara alami pati tidak larut dalam air dingin tetapi

menyerap air kira-kira 25-30%. Dengan meningkatnya suhu, ikatan hydrogen

antara molekul amilosa dan molekul air sebagai pelarut cenderung lepas.

Selama mengembang garnula pati melepas molekul amilosa dan beberapa

molekul amilopektin yang mempunyai derajat polimerisasi rendah, larut, dan

meninggalkan granula secara difusi (Ramadhan, 2009).

d. Pengeringan

Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh film.

Suhu memperngaruhi waktu pengeringan dan kenampakan film yang dihasilkan.

2.4.4 Sifat Fisik Edible Film

Penentuan karakteristik fisik dan mekanis dari struktur film berhubungan

dengan parameter fisik kimiawi, yang meliputi kekuatan mekanis, elatisitas,

kelembaban dan permeasi gas, warna, viskositas, karakteristik termoplastik dan

lain-lain (Sothornvit dan Krochta, 2000). Sifat-sifat fisik edible film antara lain:

a. Ketebalan edible film

Ketebalan dipengaruhi oleh jumlah padatan terdapat pada larutan bahan

pembuat edible film (Olabarrieta, 2005). Ketebalan edible film mempengaruhi laju

uap air, gas dan senyawa volatil lainnya. Sebagai kemasan, semakin tebal edible

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

21

film, maka kemampuan penahannya akan semakin besar atau semakin sulit

dilewati uap air, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang (McHugh

dan Krochta, 1994).

b. Transimisi uap air edible film

Permeabilitas didefinisikan sebagai transmisi uap air ke dalam suatu bahan

tanpa menyebabkan keretakan atau kerusakan bahan tersebut. Permeabilitas

suatu bahan terhadap uap air dapat diketahui dari tingkat kecepatan perpindahan

uap air pada bahan tersebut (Fitriana, 2002).

Proses transmisi uap air dan gas berlangsung secara difusi melalui ruang

pori, karena edible film terbentuk dari proses gelatinisasi pati. Sifat barrier edible

film terhadap uap air dan gas ditunjukkan oleh permeabilitas yang semakin besar

nilainya menunjukkan bahwa edible film semakin mudah dilewati uap air dan gas

(Fitriana, 2002).

c. Warna edible film

Perubahan warna edible film dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi bahan

pembentuk edible film dan suhu pengeringan. Warna edible film akan

mempengaruhi penampakan produk sehingga lebih menarik (Rayas et al., 1997).

d. Perpanjangan edible film atau elongasi

Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan

perpanjangan bahan saat diberikan gaya tarik (Gontard et al., 1993). Nilai

elongasi menunjukkan kemampuan edible film untuk meregang. Peregangan

terjadi karena struktur molekul yang berlekuk mengalami gaya tarikan sehingga

membentuk struktur yang lurus (Van Vlack, 1995). Nilai perpanjangan suatu film

dipengaruhi oleh komposisi bahan dasar film, plasticizer berupa asam lemak

maupun golongan poliol dapat meningkatkan perpanjangan film (Park et al.,

1993).

e. Kekuatan peregangan edible film atau tensile strength

Kekuatan peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam

menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan

maksimumnya. Kekuatan peragangan menggambarkan tekanan maksimum yang

dapat diterima oleh bahan atau sampel. Peregangan secara terus menerus akan

menekan bahan sehingga terjadi perubahan peregangan. Pada saat dimana

bahan tidak mampu lagi menahan gaya tekanan, maka terjadi cracking yaitu titik

dimana deformasi permanen terjadi. Titik inilah merupakan data yang diukur

untuk mendapatkan nilai renggang putus (Gontard et al., 1993).

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

22

Film yang lentur dan kuat dapat dibuat dari pati yang mengandung

amilosa. Struktur amilosa memingkinkan pembentukan ikatan hidrogen dengan

molekul tetangganya dan selama pemanasan mampu membentuk jaringan tiga

dimensi yang dapat menangkap air untuk menghasilkan gel yang kuat.

Amilopektin dalam granula pati tidak memiliki kemampuan membentuk jaringan

oleh karena itu pemilihan pati yang digunakan ditentukan oleh kadar amilosa.

Polisakarida yang larut air untuk memberikan efek efek pembentuk viskositas

(Achmadi, 2011).

2.4.5 Penelitian Edible Film yang Pernah Dilakukan di THP FTP UB

Penelitian edible film sudah banyak dilakukan dengan berbagai macam

bahan penyusun dan konsentrasi. Berikut merupakan data hasil perlakuan

terbaik dari studi tentang edible film yang telah dilakukan di jurusan THP FTP UB

dapat dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Hasil Perlakuan Terbaik dari Beberapa Studi Pembuatan Edible Film

No Bahan Penyusun dan Konsentrasi

Ketebalan (mm)

Elongasi (%)

Tensile Strength (N/cm2)

Referensi

1 T.porang:kitosan (0,75%:0,75%)

0,04 1,97 2,8 Ellita (2009)

2 T.Porang:ekstrak wortel (0,53%:0,4%)

0,02 22,64 0,19 Wahyu (2009)

3 T.Porang: Karagenan (7%:3%)

0,03 37,99 1,12 Juni (2009)

4 T.Porang: Minyak atsiri Kayu Manis (4%:20%)

0,06 19,62 0,99 Pramadita (2011)

5 Karagenan:ekstrak kubis ungu (7%:20%)

0,04 9,83 0,36 Aditya (2012)

6. Pati jahe:asam stearat (1,75%:0,71%)

0,09 8,37 1,72 Nasaputra (2012)

7 Karagenan:ekstrak sari buah murbei (7%:20%)

0,14 625 4,2 Wiramuktii (2012)

8 Pati tapioka:suhu pengeringan (6%:60oC)

0,17 53,33 2,38 Putra (2013)

9 Karagenan:ekstrak daun jati (7%:20%)

0,18 54,33 1,034 Ponco (2013)

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

23

Berdasarkan Tabel 2.9 edible film dengan ketebalan paling kecil adalah

hasil penelitian Wahyu (2009) sedangkan edible film dengan ketebalan tertinggi

adalah hasil penelitian Ponco (2013). Tensile strength dan Elongasi yang

dihasilkan dari penelitian-penelitian edible film di THP FTP UB menunjukkan

bahwa tensile strength dan elongasi dari hasil penelitian Wiramukti (2012)

merupakan yang paling baik. Elongasi merupakan proses pemanjangan

maksimal yang dialami oleh edible film saat mulai sobek (Krochta et al., 1994),

sehingga dapat dilihat bahwa elongasi edible film dari hasil penelitian Wiramuktii

(2012) merupakan elongasi yang paling baik. Begitupula dengan tensile strength

yang menurut Mindarwati (2006) merupakan tekanan regangan maksimal yang

bisa diterima edible fim hingga putus, tensile strength hasil penelitian Adyafahmi

(2012) juga merupakan tensile strength yang paling baik.

2.5 Gliserol

Pembuatan edible film diperlukan bahan tambahan yaitu plasticizer.

Penambahan tersebut biasanya dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik,

organoleptik, nutrisi, dan sifat-sifat mekanik dari kemasan edible film (Ward dan

Hadlye, 1993). Plasticizer adalah bahan organik yang ditambahkan dengan

maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer sekaligus meningkatkan

fleksibilitas polimer.

Pada umumnya plasticizer yang digunakan dalam edible film adalah

monosakarida, disakarida atau oligosakarida (misalnya glukosa, sirup fruktosa-

glukosa, sukrosa, dan madu), polysols (gliserol, sorbitol, gylceril derivatives dan

polietilen glikol), dan lipid serta turunannya (fospolipid, asam lemak, dan

surfaktan). Umumnya penambahan plasticizer sekitar 10-60% dari berat kering

tergantung dari kekakuan polimer (Han, 2005).

Gliserol merupakan senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus

hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen) dengan rumus kimia C3H8O3.

Gliserol berbentuk cair, tidak berbau, transparan, higroskopis dan memiliki sifat

mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas air, serta menurunkan Aw

bahan. Penambahan gliserol berfungsi sebagai plasticizer yang menghasilkan

film yang lebih fleksibel dan halus, selain itu gliserol sebagai pengawet,

humektan dan antimikroba. Penyimpanan gliserol dapat disimpan pada tempat

kering, sejuk, dan jauh dari sinar matahari (Sumarto, 2008). Sifat fisik dan kimia

gliserol dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

24

Tabel 2.10 Sifat Fisik dan Kimia Gliserol

Sifat Nilai

Berat Molekul (g/mol) 9,2 Titik Cair 18,2 Titik Didih 290 Densitas (25oC) (cm3/g) 1,2613 Viskositas (25oC) (cps) 954 Higroskopositas Menengah-tinggi Kelarutan dalam air (25oC) Terbatas Ketahanan terhadap suhu tinggi Stabil Viskositas pada 70% (25oC) (cps) 17

Sumber : Griffin dan Lynch (1968)

Gliserol bersifat netral, tidak berwarna, pada suhu pembekuan akan

berupa cairan sangat kental yang menunjukkan bahwa gliserol mempunyai titik

didih yang tinggi. Gliserol dapat dilarutkan dalam air atau alkohol, tetapi tidak

larut minyak. Sementara itu, banyak senyawa lain yang lebih mudah larut dalam

gliserol dari pada dalam air atau alkohol. Jadi termasuk bahan pelarut yang baik

(Westerman, 1997). Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film

hidrofilik, seperti pektin, pati, gelatin, dan modifikasi pati, maupun pembuatan

edible film berbasis protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang

relatif kecil dan mudah disisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan

hidrogen yang gugus amida dan protein gluten (Liu et al.,2005).

Menurut Kusumasmarawati (2007), saat terjadi gelatinisasi, granula pati

pecah dan molekul-molekul amilosa dan amilopektin terlarut ke dalam larutan.

Molekul-molekul amilosa dan amilopektin saling berhubungan sebagian besar

melalui ikatan hidrogen, sehingga jika tanpa plasticizer amilosa dan amilopektin

akan membentuk suatu film dan suatu struktur yang bifasik dengan satu daerah

kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa

dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film jadi rapuh dan kaku.

Keberadaan dari plasticizer di dalam film bisa menyela pembentukan double

helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu mengurangi interaksi

antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin, sehingga meningkatkan

fleksibilitas film.

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

25

2.6 Antioksidan

2.6.1 Definisi dan Fungsi Antioksidan

Antioksidan yaitu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas,

seperti: enzim SOD (Superoksida Dismutase), gluthatione, dan katalase.

Antioksidan dapat diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung

vitamin C, vitamin E dan betakaroten serta senyawa fenolik. Bahan pangan yang

dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, coklat, biji-

bijian, buah-buahan, sayur-sayuran seperti buah tomat, pepaya, jeruk dan

sebagainya (Winarto, 2005).

Antioksidan sebagai bahan tambahan pangan, batas maksimum

penggunaannya telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

772/Menkes/Per/IX/88, antioksidan yang diizinkan penggunannya antara lain

asam askorbat, asam eritrobat, askorbil palmitat, askorbil stearat, butil

hidroksilanisol (BHA), butil hidrokinin tersier, butyl hidroksitoluen, dilauril

tiodipropionat, propil gallat, timah (II) klorida, alpha tokoferol, tokoferol,

campuran pekat.

Menurut Minorsky (2002) yang berkaitan dengan fungsinya, senyawa

antioksidan diklasifikasikan dalam lima tipe antioksidan, yaitu:

1. Primary antioxidants

Primary antioxidants yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus

rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Dalam hal ini memberikan

atom hidrogen yangri berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol, sehingga

terbentuk senyawa yang stabil. Senyawa antioksidan termasuk didalam

kelompok ini yaitu BHA, BHT, PG, TBHQ, dan tokoferol.

2. Oxygen scavengers

Oxygen scavengers yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai pengikat

oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, senyawa tersebut akan

mengadakan reaksi oksigen yang berada dalam sistem sehingga jumlah oksigen

akan berkurang. Senyawa yang termasuk didalam kelompok ini yaitu vitamin C

(asam askorbat), askorbilpalmitat, asam eritorbat, dan sulfit.

3. Secondary antioxidants

Secondary antioxidants yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai

kemampuan berdekomposisi hidroperoksida menjadi produk akhir yang stabil.

Tipe antioksidan ini pada umumnya digunakan untuk menstablikan polyolefin

resin. Contohnya asam tiodipropionat, dan dilauriltiopropionat.

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

26

4. Antioxidative enzimel

Antioxidative enzimel yaitu enzim yang berperan mencegah terbentuknya

radikal bebas, contohnya glukose oksidase, superoksidase dismutase (SOD),

glutation peroksidase, dan katalase.

5. Chelators sequestrants

Chelators sequestrants yaitu senyawa-senyawa yang mampu mengikat

logam seperti besi dan tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak.

Senyawa yang termasuk didalamnya adalah asam sitrat, asam amino,

ethylenediaminetetra acetid acid (EDTA), dan fosfolipid.

2.6.2 Antioksidan pada Lidah Buaya

Lidah buaya mengandung antioksidan. Yen et al. (2000) mengatakan

bahwa komponen antron dan antraquinon dalam ekstrak Aloe vera telah diteliti

kemampuanya sebagai antioksidan. Berdasarkan penelitiannya menggunakan

bahan yang telah diisolasi yaitu aloe emodin dan emodin ternyata kedua

senyawa tersebut aktivitas antioksidan dengan pengujian dalam sistem asam

linoleat dan kemampuan memerangkap radikal hidroksi. Selain itu lidah buaya

mengandung fenol. Sari lidah buaya mempunyai kandungan fenol 5080.56 μg/g.

Senyawa antioksidan potensial telah berhasil diisolasi dari ekstrak

methanol Aloe vera dengan teknik kombinasi kromatografi kolom (coloum

chromatography) dan kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography).

Analisis secara in vitro menggunakan homogenet otak tikus, menunjukkan

bahwa aktivitas antioksidan senyawa tersebut sama kuatnya dengan yang

ditunjukkan bahwa aktivitas antioksidan senyawa tersebut sama kuatnya dengan

yang ditunjukkan oleh alfatokoferol (vitamin E). Hasil identifikasi menunjukkan

bahwa senyawa tersebut tergolong ke dalam golongan fenolik (Astawan, 2006).

Unsur-unsur yang ditemukan pada daun lidah buaya menunjukkan

adanya hubungan yang saling sinergis dalam mempertahankan integritas status

antioksidan dalam tubuh. Pengujian dengan menggunakan tikus radiasi yang

diberi filtrate jus daun lidah buaya sebanyak 0,25 ml/kg berat badan/hari, selama

5 hari sebelum irradiasi dan 10 hari setelah irradiasi, menunjukkan adanya

perbaikan yang nyata terhadap aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD)

dan katalase pada organ paru-paru, ginjal, dan jantung (Astawan, 2006). SOD

dan katalase merupakan enzim dan sekaligus antioksidan intraseluler yang

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

27

sangat bermanfaat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap

berbagai penyakit.

2.6.3 Mekanisme Kerja Antioksidan

Menurut Gordon (1990), bahwa mekanisme kerja antioksidan memiliki

dua fungsi:

1. Fungsi pertama merupakan fungsi antioksidan primer, yaitu sebagai pemberi

atom hidrogen. Senyawa ini dapat member atom hidrogen secara cepat ke

radikal lipida atau mengubahnya ke bentuk stabil, sementara turunan radikal

antioksidan tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibandingkan radikal lipid.

2. Fungsi kedua merupakan fungsi antioksidan sekunder, yaitu memperlambat

laju antioksidan dengan mekanisme pemutusan rantai oksigen dengan

mengubah radikal lipida ke bentuk lebih stabil.

Menurut Soeksmanto dan Simanjuntak (2007), bahwa antioksidan

berperan dengan cara :

1. Mengkatalisis radikal bebas oleh enzim SOD, katalase, dan peroksidase.

2. Mengikat pro-oksidan (ion Fe, Cu, dan hem), contohnya transferin,

haptoglobin, hemopeksin, dan seruloplasmin.

3. Membersihkan ROS oleh antioksidan dari senyawa-senyawa dengan berat

molekul kecil seperti glutation tereduksi (GSH), asam askorbat, bilirubin, a-

tokoferol dan asam urat.

Efektivitas antioksidan disebabkan oleh sifat senyawa yang akan

dilindungi. Tubuh mempunyai mekanisme yang dapat menetralisir bahaya radikal

bebas dengan sistem antioksidan, namun timbulnya penyakit disebabkan karena

jumlah radikal bebas melebihi jumlah sistem antioksidan (Gunawan, 2010).

2.6.4 Metode Pengujian Aktivitas Antioksidan

Metode pengujian yang sering digunakan untuk uji aktivitas antiradikal

adalah metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Metode DPPH berfungsi untuk

mengukur elektron tunggal seperti transfer hidrogen sekaligus untuk mengukur

aktivitas penghambatan radikal bebas. Metode ini sangat cocok untuk skrining

awal berbagai sampel terutama ekstrak tumbuhan (Waji dan Andis, 2009).

Metode DPPH menggunakan 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil sebagai sumber

radikal bebas. DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) adalah radikal bebas stabil

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

28

berwarna ungu yang digunakan secara luas untuk pengujian kemampuan

penangkapan radikal bebas dari beberapa komponen alam seperti komponen

fenolik, antosianin atau ekstrak kasar. Metode ini sering digunakan untuk

mendeteksi kemampuan antiradikal suatu senyawa sebab hasilnya terbukti

akurat, reliabel, relatif cepat dan praktis (Prakash, 2001). Mekanisme reaksi

senyawa antioksidan dengan DPPH. Berikut mekanismenya:

Gambar 2. 6 Mekanisme Reaksi Antioksidan dengan DPPH (Waji dan Andis, 2009) DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul

diagmatik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH, akan menetralkan

karakter radikal bebas dari DPPH, mekanisme reaksi dapat dilihat pada Gambar

2.6. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka

warna larutan berubah dari ungu menjadi kuning terang dan absorbansi pada

panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara

stoikiometri sesuai dengan jumlah elektrin atau atom hidrogen yang ditangkap

oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Waji dan Andis, 2009).

2.7 Antimikroba

2.7.1 Definisi dan Faktor Penghambat Antimikroba

Menurut Pelczar dan Reid (1979), senyawa antimikroba adalah senyawa

biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba.

Antimikroba yang dicampur atau diberikan pada permukaan bahan pangan akan

memperpanjang umur simpan bahan pangan tersebut. Penambahan antimikroba

dapat dilakukan dengan cara mencampurnya ke dalam bahan kemasan yang

kemudian dalam jumlah kecil akan bermigrasi ke dalam bahan pangan. Cara ini

efektif diberikan pada kemasan vakum karena bahan kemasan dapat

bersentuhan langsung dengan permukaan pangan.

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

29

Kemasan film atau coating antimikroba mempunyai kelebihan yaitu dapat

lebih melindungi produk karena dapat mematikan secara langsung pada saat

mikroba kontak dengan bahan kemasan. Antimikroba dapat bersifat bakterisidal

(membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal

(membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), dan

germisidal (menghambat germinasi spora bakteri) (Fardiaz, 1992).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kerja zat antimikroba dalam

menghambat atau membasmi mikroorganisme. Semuanya harus

dipertimbangkan agar zat antimikroba tersebut dapat bekerja secara efektif.

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kerja zat antimikroba menurut Khunaifi

(2010) adalah sebagai berikut:

1. Konsentrasi atau intensitas zat antimikroba.

Semakin tinggi konsentrasi suatu zat antimikroba semakin tinggi daya

antimikrobanya, artinya banyak mikroba akan terbunuh lebih cepat bila

konsentrasi zat tersebut lebih tinggi.

2. Jumlah mikrorganisme

Semakin banyak jumlah organisme yang ada maka makin banyak pula waktu

yang diperlukan untuk membunuhnya

3. Suhu

Kenaikkan suhu dapat meningkatkan keefektifan suatu disinfektan atau

bahan mikrobial. Hal ini disebabkan zat kimia merusak mikroorganisme melalui

reaksi kimia. Reaksi kimia bisa dipercepat dengan meninggikan suhu.

4. Spesies mikroorganisme.

Spesies mikroorganisme menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda

terhadap suatu bahan kimia tertentu.

5. Adanya bahan organik.

Adanya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan zat kimia

antimikrobial dengan cara menonaktifkan bahan kimia tersebut. Adanya bahan

organik dalam campuran zat antimikroba dapat mengakibatkan:

a. Penggabungan zat antimikroba dengan bahan organik membentuk

produk yang tidak bersifat antimikroba.

b. Penggabungan zat antimikroba dengan bahan organik menghasilkan

suatu endapan sehingga antimikroba tidak mungkin lagi mengikat

mikroorganisme.

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

30

c. Akumulasi bahan organik pada permukaan sel mikroba seperti protein,

selulosa, hemiselulosa, lignin, dan amilum menjadi suatu pelindung yang

akan menganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel.

6. Keasaman (pH) dan kebasaan (pOH).

Mikroorganisme yang hidup pada pH asam akan lebih mudah dibasmi pada

suhu rendah dan dalam waktu yang singkat bila dibandingkan dengan

mikroorganisme yang hidup pada pH basa.

2.7.2 Antimikroba pada Lidah Buaya Lidah buaya memiliki aktivitas antara lain sebagai antimikroba, penurun

kolesterol darah, antidiabetes, antikanker, antivirus, antijamur, antioksidan,

mencegah chilling injury, serta dapat menyembuhkan luka dan mencegah

peradangan (anti-inflammatory). Lidah buaya merupakan tanaman yang

bermanfaat bagi kesehatan serta memiliki kemampuan lain yang dapat

dimanfaatkan untuk memperpanjang umur simpan buah dan sayuran (Reynolds

dan Dweck, 1999).

Lidah buaya terdiri dari kulit dan gel/cairan. Cairan lidah buaya

mengandung unsur utama, yaitu aloin, emodin, gum dan unsur lain seperti

minyak atsiri. Cairan bening seperti jeli diperoleh dengan membelah batang lidah

buaya. Gel ini mengandung zat antibakteri dan antijamur yang dapat

menstimulasi fibroblast yang berfungsi menyembuhkan luka (Robinson, 1995).

Berikut senyawa aktif yang berperan sebagai aktivitas antimikroba:

1. Lidah buaya memiliki daya antimikroba pada beberapa bakteri seperti

Staphylococus aureus, E. coli, Pseudomonas aeroginosa, Candida albicans,

M. simegmatis, K. pneumonia, E. faecalis, M.luteus dan B. sphericus (Agarry

et al., 2008).

2. Lidah buaya mengandung antrakuinon dan kuinon yang memiliki efek

antimikroba. Selain itu, lupeol, asam salisilat, nitrogen urea, asam sinamat,

fenol, sulfur dan minyak atsiri dalam lidah buaya juga berfungsi sebagai

antimikroba (Jatnika, 2009).

3. Saponin yang terkandung di dalam lidah buaya memiliki sifat yang mirip

seperti sabun yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan membran

sitoplasma sel bakteri sehingga permeabilitas membran sel turun. Gangguan

enzimatis sistem regulasi dalam sel dapat terjadi sehingga sel tidak bisa

berfungsi normal. Saponin dapat melarutkan lipid pada membran sel bakteri

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

31

(lipoprotein), akibatnya dapat menurunkan tegangan permukaan lipid, fungsi

sel bakteri menjadi tidak normal dan sel bakteri lisis dan mati (Robinson,

1995).

4. Minyak atsiri dalam lidah buaya berfungsi sebagai antimikroba yang bekerja

dengan cara memecah lipid pada membran sel bakteri dan mitokondria serta

mengganggu struktur sel (Robinson, 1995).

Semua zat tersebut bekerja secara sinergis untuk menghambat kerja

enzim pada proses biosintesis peptidoglikan dan lipopolisakarida, merusak

membran plasma serta menyebabkan terganggunya permeabilitas membran

dalam fungsinya sebagai antimikroba (Jatnika, 2009).

2.7.3 Mekanisme Kerja Antimikroba

Mekanisme aktivitas penghambatan mikroorganisme oleh senyawa

antimikroba menurut Hammer et al. (1999) dapat melalui beberapa faktor,

diantaranya:

1. Mengganggu komponen penyusun dinding sel

Dinding sel mikroba tersusun atas peptidoglikan (disusun oleh senyawa gula

dan asam amino). Lapisan peptidoglikan tunggal saling berikatan dengan lapisan

lainya melalui bagian rantai asam aminonya, sehingga membentuk suatu ikatan

silang yang kuat menutupi seluruh sel. Jika pembentukan dinding sel tidak

sempurna, maka bakteri akan mudah mengalami lisis baik karena fisik maupun

tekanan osmotik dan menyebabkan sel mikroba mati.

2. Bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan

permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel.

Adanya senyawa antimikroba yang dapat berikatan dengan gugus folat pada

fosfolipid yang terdapat pada membran sel mikroba, maka dapat merubah

permeabilitas selektif membran sel. Kerusakan membran sel mikroba dapat

menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel, antara lain

protein dan asam nukleat, sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup sel

mikroba.

3. Menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan terhambatnya sintesis

protein dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial genetik.

Adanya senyawa antimikroba yang berupa asam dapat menghambat beberapa

enzim yang terlibat pada siklus asam sitrat, antara lain asam α-ketoglutarat dan

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

32

asam suksinatdehidrogenase. Selain itu, terdapat senyawa lain (asam sorbat)

yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus SH pada enzim, sehingga

enzim menjadi inaktif. Untuk kehidupannya, mikroba perlu mensintesa berbagai

protein. Sintesa protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan

tRNA.

2.7.4 Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba

Metode pengujian aktivitas antibakteri menggunakan Metode Difusi

(metode lempeng). Pada cara difusi agar digunakan media agar padat dan

reservoir yang dapat berupa cakram kertas, silinder atau cekungan yang dibuat

pada media padat. Larutan uji akan berdifusi dari pencadang ke permukaan

media agar padat yang telah diinokulasi mikroba. mikroba akan terhambat

pertumbuhannya dengan pengamatan berupa lingkaran atau zona disekeliling

pencadang (Rostinawati, 2009)

Berikut ini beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi metode difusi agar

yaitu (Rostinawati, 2009):

1. Pradifusi, perbedaan waktu pradifusi mempengaruhi jarak difusi dari zat uji

yaitu difusi antar pencadang.

2. Ketebalan medium agar adalah penting untuk memperoleh sensitivitas yang

optimal. Perbedaan ketebalan media agar mempengaruhi difusi dari zat uji ke

dalam agar, sehingga akan mempengaruhi diameter hambat. Makin tebal

media yang digunakan akan makin kecil diameter hambat yang terjadi.

3. Kerapatan inokulum, ukuran inokulum merupakan faktor terpenting yang

mempengaruhi lebar daerah hambat, jumlah inokulum yang lebih sedikit

menyebabkan obat dapat berdifusi lebih jauh, sehingga daerah yang

dihasilkan lebih besar, sedangkan jika jumlah inokulum lebih besar maka

akan dihasilkan daerah hambat yang kecil.

4. Komposisi media agar, perubahan komposisi media dapat merubah sifat

media sehingga jarak difusi berubah. Media agar berpengaruh terhadap

ukuran daerah hambat dalam hal mempengaruhi aktivitas beberapa mikroba,

mempengaruhi kecepatan difusi antibakteri dan mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan antimikroba.

5. Suhu inkubasi, kebanyakan bakteri tumbuh baik pada suhu 370C

6. Waktu inkubasi disesuaikan dengan pertumbuhan mikroba, karena luas

daerah hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Lidah Buayarepository.ub.ac.id/149687/3/10._BAB_II.pdf · Lidah buaya memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar,

33

pada media agar, maka daerah hambat dapat diamati segera setelah adanya

pertumbuhan mikroba.

7. Pengaruh pH, adanya perbedaan pH media yang digunakan dapat

menyebabkan perbedaan jumlah zat uji yang berdifusi, pH juga menentukan

jumlah molekul zat uji yang mengion. Selain itu pH berpengaruh terhadap

pertumbuhan mikroba.

Sedangakan faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona

penghambatan dan harus dikontrol adalah (Rustanti, 2009):

1. Konsentrasi mikroba pada permukaan medium. Semakin tinggi konsentrasi

mikroba maka zona penghambatan akan semakin kecil.

2. Kedalaman medium pada cawan petri. Semakin tebal medium pada cawan

petri maka zona penghambatan akan semakin kecil.

3. Nilai pH dari medium. Beberapa antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi

asam dan beberapa kondisi alkali/basa.

4. Kondisi aerob/anaerob. Beberapa antimikrobial kerja terbaiknya pada kondisi

aerob dan yang lainnya pada kondisi aerob.