hukum makelar menurut tinjauan hadist ibnu …repository.staindirundeng.ac.id/61/1/mijal...

44
HUKUM MAKELAR MENURUT TINJAUAN HADIST IBNU HAJAR AL-ASQALANI (STUDI KITAB FATHULBAARI) SKRIPSI Disusun oleh : MIJAL FAUZI Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teungku Dirundeng Meulaboh Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah NIM : 152012043 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH ACEH BARAT 2016 M / 1438 H

Upload: others

Post on 06-Sep-2019

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUKUM MAKELAR MENURUT TINJAUAN HADIST

IBNU HAJAR AL-ASQALANI

(STUDI KITAB FATHULBAARI)

SKRIPSI

Disusun oleh :

MIJAL FAUZI

Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teungku Dirundeng Meulaboh

Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah

NIM : 152012043

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI TEUNGKU DIRUNDENG

MEULABOH ACEH BARAT

2016 M / 1438 H

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang

telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :”HUKUM MAKELAR MENURUT

TINJAUAN HADIST IBNU HAJAR AL-ASQALANI (Studi Kitab Fathul

Baari)”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan akademis

dalam memperoleh gelar sarjana pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Tengku Dirundeng Meulaboh.

Penulis menyadari bahwa proposal ini tidak mungkin dapat terwujud

dengan baik, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan rasa

hormat penulis kepada :

1. Ketua STAIN Tengku Dirundeng Meulaboh.

2. Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES),Penasehat Akademik

beserta Staf Akademik STAIN Tengku Dirundeng Meulaboh, atas

kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada saya selama

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di STAIN

Tengku Dirundeng Meulaboh.

ii

3. Bapak T. Mairizal, MA dan Ibu Asra Febriani, MA selaku dosen

pembimbing yang penuh dengan kesabaran telah memberikan

bimbingan dan saran hingga terselesainya skripsi ini.

4. Bapak dan ibu dosen sekalian yang telah memberikan ilmu

pengetahuan selama masa perkuliahan.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta, selaku kedua orang tua saya, berkat

do’a kalianlah sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

Bantuan, bimbingan dan saran-saran yang telah disampaikan kepada

penulis, dapat menjadi pintu demi terbukanya masa depan yang lebih baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kelemahan

dan kekurangan, baik pengolahan maupun penyajian data. Oleh karena itu, segala

saran yang bersifat membangun senantiasa diharapkan demi sempurnanya skripsi

ini. Semoga penyusunan skripsi ini mempunyai kemanfaatan dan kebermaknaan

secara akademis dan praktis.

Meulaboh, Maret 2017

Penulis

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

ABSTRAK.......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3

C. Penjelasan Istilah................................................................................ 3

D. Tujuan dan signifikan

penulisan.................................................................................. 4

E. Metode Penelitian............................................................................... 5

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAKELAR............................... 7

A. Kedudukan Makelar dalam Jual Beli.................................................. 7

B. Tinjauan tentang Hukum Makelar Menurut Para Ulama...................13

1. Mazhab Hanafi.............................................................................13

2. Mazhab Syafi’i.............................................................................14

3. Mazhab Hambali...........................................................................15

4. Mazhab Maliki............................................................................. 17

BAB III IBNU HAJAR DAN THUL BAARI...................................................18

A. Biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani....................................................... 18

B. Metode Syarah Hadits Ibnu Hajar Al-Asqalani didalam Fathul

Baari karangan Shahih Bukhari..........................................................23

C. Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang Hadits-hadits

Makelar...............................................................................................25

D. Analisis Penulis.................................................................................. 32

BAB IV PENUTUP.............................................................................................34

A. Kesimpulan.........................................................................................34

B. Kritik dan Saran..................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................36

BIODATA PENULIS

iv

ABSTRAK

Makelar adalah perantara perdagangan atau perantara antara penjual dan

pembeli untuk memudahkan jual beli, yang berfungsi menjualkan barang orang

lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui bagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani tentang hadits-

hadits mengenai hukum makelar. Penelitian ini tergolong pada penelitian

kepustakaan (Library Research), penelitian ini berusaha mendapatkan berbagai

teori yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil kajian

menunjukkkan bahwa menurut pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani ada dua hadits

yang diperdebatkan didalam permasalahan hukum makelar yang menunjukkan

kebenaran didalamnya. Ibnu Hajar membolehkan makelar atas dasar upah makelar

namun tidak dibenarkan jika hal itu mengandung unsur monopoli didalam suatu

transaksi. Ibnu Hajar melarang makelar dengan berpendapat bahwa

“menyongsong” para pedagang dari desa itu tidak disukai jika hal tersebut

memberi dampak negatif dan juga apabila harga barang tersebut tidak diketahui

oleh pemilik barang, namun apabila itu terjadi maka harus diberikan hak khiyar

pada pemilik barang.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang

orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan tanpa menanggung

resiko.1

Dalam persoalan makelar ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi

si pemakelar mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil kerjanya itu,

dan bagi orang lain yang menggunakan jasa makelar, ia mendapat kemudahan

untuk memperoleh suatu barang karena ditangani langsung oleh orang yang

sangat mengerti dalam bidangnya. Pekerjaan ini mengandung unsur tolong-

menolong. Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya

karena sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, imbalannya juga harus

itetapkan bersama terlebih dahulu, apalagi jika nilainya dalam jumlah yang besar.

Biasanya kalau nilainya besar, ditaganinlebih dahulu perjanjiannnya dihadapan

notaris.

1 Kansil C.S.T,”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”,(Balai Pustaka:

Jakarta, 1989), h.12.

2

Permasalahan hukum makelar merupakan persoalan khilafiyah. Dalam

kitab Fathul Baari terdapat dua hadits yang bertentangan yang berkaitan dengan

hukum makelar.

Berikut hadits yang mengenai kebolehan makelar :

ن وعطاء وإبساهيم والحسن بأجس السمساز بأسا و قال ابن عباس: ال بأس ولم ًسابن سيًر

ن: إذا قال بعه أن ًقىل بع هرا الثىب، فما شاد على كرا وكرا فهى لك وقال ابن سيًر

بكرا، فما كان من زبع فهى لك أو بيني وبينك فال بأس به )زواه البخازي(

Artinya: Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim dan Al-Hasan menganggap tidak ada

larangan dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa dikatakan,

“Juallah pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka itu adalah

untukmu”. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang mengatakan, “Juallah dengan

harga sekian, maka apa yang menjadi keuntungannya adalah untukmu atau kita

bagi bersama”, maka hal itu tidak dilarang”.(HR. Bukhari).2

Adapun hadits larangan tentang makelar sebagai berikut :

عن عبد هللا بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس زض ي هللا عنهما قال زسىل هللا صلى هللا

بخازي(عليه وسلم: ال تلقىا السكبن وال ًبع حاضسلبد. )زواه ا ال

Artinya: Dari Abdullah, dari Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas RA, dia

berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “janganlah kalian menyongsong

rombongan yang berkendaraan (pedangang dari dusun yang menuju ke pasar)

dan janganlah orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun.”(HR.

Bukhari)3

Pada hadist yang pertama dikatakan bahwa makelar itu diperbolehkan atas

dasar upah makelar, sedangkan pada hadist yang kedua secara shahih Rasulullah

2 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah : Shahih

Bukhari/Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar”, Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. 1,2005, h.73-74

3 Al-Asqalani, fathul baari..., h. 266

3

SAW melarang simsar (makelar) yang merupakan salah satu bentuk monopoli

harga didalam jual beli. Dengan berdasarkan perbedaan diantara kedua hadits

tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitin dengan judul

:”HUKUM MAKELAR MENURUT TINJAUAN HADITS IBNU HAJAT

AL-ASQALANI (Studi Kitab Fathul Baari)”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana hukum makelar menurut tinjauan hadist Ibnu Hajar al-Asqalani ?

C. Penjelasan Istilah

Dalam suatu karya ilmiah sudah keharusan bagi peneliti agar memberikan

batasan-batasan pengertian untuk maksud dari kata-kata yang ada dalam sub

judul, supaya tidak menimbulkan bermacam-macam pengertian dan pemahaman

terhadap kata-kata yang terdapat didalamnya. Adapun istilah-istilah yang perlu

penulis uraikan adalah sebagai berikut :

1. Hukum

Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat

dengan tujuan untuk mengatur tingkahlaku manusia, menjaga ketertiban,

4

keadilan, mencegah terjadinya kekacauan, tugas hukum ialah untuk

menjamin bahwa adanya kepastiam hukum dalam masyarakat.4

2. Makelar

Makelar berasal dari Bahasa Arab, yaitu Samsarah yang berarti perantara

perdagangan atau perantara antara penjual dan pembeli untuk

memudahkan jual beli, yang berfungsi menjualkan barang orang lain

dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Makelar juga disebut

pula dengan broker, makelar, cengkau dan pialang.5

3. Hadist

Hadist adalah wahyu kedua setelah al-Qur’an yang memberikan

penjelasan atas yanng samar dalam al-Qur’an, memperinci apa yang

masih global dari al-Qur’an, membatasi apa yang masih umum dalam al-

Qur’an dan menguatkan hukum yang ada dalam al-Qur’an.6

D. Tujuan dan Sifnifikan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana hukum makelar menurut tinjauan hadist Ibnu Hajar

Al-Asqalani.

4 Kansil C.S.T, “Pengantar Ilmu Hukum..., h. 12

5 Poerwadarminta, w.j.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1976), h.12

6 As-Shahih. S, Membahas Ilmu-ilmu Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1997), h. 22

5

E. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan metode analisis isi

(Content analisis). Penulis mencari, mengumpulkan, mambaca serta menganalisa

liteatur-litratur yang berkaitan dengan penelitian yang dikaji, kemudian

menuangkannya dalam bentuk deskripsi.

Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis penelitian

kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang sumber dataya dikumpulkan

dari bahan-bahan pustaka, bisa berupa buku, majalah, dokumen-dokumen lain

yang berkaitan dengan judul.7 Adapun sumber data tersebut dikelompokkan

kedalam tiga jenis yaitu :

a. Data primer: Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara

langsung tidak melalui media perantara. Data primer dalam penelitian

ini diperoleh dari Kitab Fathul Baari Karangan Ibnu Hajar Al-

Asqalani.

b. Data sekunder; Merupakan referensi pendukung yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Adapun data sekunder dalam penelitian

ini adalah : Buluqhul Maram karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Al-

Lu’lu wal Marjan karangan Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi. Sunan Abu

7 Muhammad Teguh,”Metode Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi”, (Jakarta:

PT.Raja Grafindo Persada, 1999), h.160

6

Daud karangan H. Bey Arifin A. Syinqithy Djamaludddin, Shahih

Bukhari karangan Imam Bukhari, Shahih Muslim karangan Imam

Muslim.

c. Data tersier: Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara

tidak langsung yang bersumber melalui media perantara, seperti

majalah, internet, dalam website dan literatur-literatur lainnya.

7

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG MAKELAR

A. Kedudukan Makelar dalam Jual Beli

Kedudukan seorang makelar dalam jual beli adalah sebagai orang tengah,

dan dari batasan-batasan tentang kemakelaran yaitu bahwa pemakelaran itu

dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik

bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain atau

memakelarkan makelar.1 Seperti dalam praktik berikut yaitu seorang makelar

tidak hanya bekerja sendiri, dengan kata lain seorang makelar yang telah

bekerjasama dengan salah satu perusahaan (makelar tetap) dibantu menjualkan

barang atau mencarikan pembeli oleh makelar yang lainnya (makelar pembantu)

yang tidak bekerjasama dengan suatu perusahaan tersebut. Hal ini bertujuan agar

dalam proses jual beli dapat berlangsung secara cepat dan luas dalam

pemasarannya dan saling mambantu kepada sesama makelar untuk mendapatkan

pekerjaan. Artinya dalam hal ini seorang makelar tidak berdiri sendiri dalam

1 M.Ali Hasan, “Berbagai macam Transaksi dalam Islam” (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003), h. 24

8

menjual suatu barang dan mencarikan pembeli, tetapi dibantu oleh makelar yang

lain yang bisa disebut dengan makelar yang dimakelarkan oleh orang lain.2

Menurut pasal 65 ayat 2 KUHD3, (Kitab Undang-undang Hukum

Dagang), makelar tidak boleh berdagang untuk kepentingan sendiri baik secara

individu ataupun dengan perantara orang lain, atau bersama-sama dengan orang

lain, ataupun menjadi penanggung. Larangan ini berarti bahwa seorang makelar

yang di angkat dalam hal jual beli misalnya tidak diperkenankan untuk

mengambil bagian dalam transaksi yang bersangkutan, apabila ini dilanggar maka

menurut pasal 71 KUHD4 (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) ia harus

dibebaskan dari tugasnya atau dilepaskan dari jabatannya. Pemecatan ini

dilakukan oleh pejabat umum yang mengangkatnya. Selanjutnya bedasarkan pasal

69 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) disebutkan tentang jual beli

dengan contoh (monster). Perjanjian jual beli dengan contoh adalah berlainan

dengan perjanjian jual beli secara percobaan (koop of proef), koop of proef diatur

dalam pasal 1463 KUHS5 (Kitab Undang-undang Hukum Sipil) disebutkan dalam

suatu jual beli ditentukan, bahwa barang yang dibeli harus dicoba terlebih dahulu

oleh sipembeli, misalnya jual beli radio/mobil dan lainnya.

2 Susanto. R, Hukum Dagang dan Koperasi, (Jakarta; Pradya Paramita, 1981), h. 36

3 Pasal 65 ayat 2 KUH Dagang

4 Pasal 71 dan 73 dan selanjutnya pasal 69 KUHD

5 Pasal 1463 KUHS

9

Dalam hal jual bei percobaan tergantung dari pendapat sipembeli pada

saaat mencoba barang, apakah jual beli itu akan dilanjutkan atau tidak. Selama

pembeli belum menentukan pendapatnya tentang barang tersebut maka jual beli

belum terlaksanakan. Akan tetapi perjanjian jual beli sudah terjadi, hanyalah

dengan syarat. Alasan menolak barang-barang itu harus teletak pada pendapat

tentang baik atau buruknya barang yang dibeli, jika barangnya ternyata baik, jual

beli harus tetap dilanjutkan. Dalam hal itu pihak pembeli yang berkuasa

menetapkan pendapat apakah sesuatu barang itu baik atau tidak. Berlainan halnya

dengan jual beli dengan contoh (monster) yang tidak diatur didalam KUHS (Kitab

Undang-undang Hukum Sipil).

Jual beli dengan contoh hanya disinggung dalam pasal 69 KUHD (Kitab

Undang-undang Hukum Dagang) tetapi selanjutnya tidak diatur dalam Undang-

undang, akan tetapi dalam praktek sehari-hari sering terjadi. Apabila pada waktu

jual beli diadakan, si pembeli belum melihat barang yang akan dibeli, melainkan

ditunjukkan saja suatu contoh dari barang yang akan dibeli, misalnya kain-

kain/beras dan lainnya. Dalam jual beli jenis ini sering timbul kesulitan, misalnya

apabila contohnya hilang ataupun pembeli menganggap bahwa barang yang akan

diserahkan tidak cocok dengan contoh, kesulitan ini dapat dihindarkan, apabila

para pihak sejak semula telah menegasan maksud yang sebenarnya dari perjanjian

10

mereka. Kalau penegasan ini tidak ada, maka hakimlah yang akan menentukan

pendapat masing-masing pihak dengan berdasarkan kejujuran. Bahwa demi untuk

kepentingan principal dan pihak lawannya dalam hal penjualan dengan contoh itu

hingga sampai pada penyerahan barang-barang yang dijual dengan diberi

tambahan catatan sepatutnya untuk mengenali contoh.

Jadi. Makelar yang sesungguhnya memang mempunyai banyak tanggung

jawab atas apa yang menjadi tugasnya, maka dari itu makelar diangkat dengan

penuh kebanggaan oleh pemerintah, sebagai contoh makelar yang diangkat

langsung oleh pemerintah ialah broker dan pialang saham. Sesudah pengangkatan,

ia harus disumpah dihadapan pengadilan negeri, dalam wilayah hukum tempat

tinggal makelar itu. Makelar bersumpah bahwa ia akan memenuhi segala

kewajiban yang diberikan kepadanya dengan tulus dan ikhlas hati. Seorang

makelar bertindak sebagai pesuruh dengan hak perwakilan, tetapi makelar tidak

mempunyai hubungan kerja tetap dengan penyuruhnya. Makelar bertindak atas

nama merek yang menyuruh, dengan kata lain ia menyiapkan perjanjian yang

diadakan oleh kedua belah pihak. Seseorang hanya dapat menjadi makelar untuk

satu macam barang saja, misalnya seorang makelar untuk beberapa macam barang

dapat juga, asalkan hal itu dinyatakan dengan tegas dalam akta pengangkatannya.

11

Dengan pengangkatan resmi dan pengucapan sumpah, maka dapatlah

dianggap kedudukan makelar itu semacam notaris atau pngacara. Menurut pasal

65 ayat 1 KUHD6 (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) pengangkatan seorang

makelar itu ada 2 macam, yakni :

1. Pengangkatan yang bersifat umum, yaitu untuk segala jenis lapangan

atau cabang perniagaan.

2. Pengangkatan yang bersifat terbatas, yakni bahwa dalam aktanya

ditentukan untuk jenis lapangan atau cabang perniagaan apa mereka

diperbolehkan menyelenggarakan pemakelaran mereka, misalnya

untuk wesel, asuransi, pembuatan kapal dan lain-lainnya.

Menurut KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) pasal 70 dalam

hal jual beli surat wesel dan surat-surat berharga lainnya, maka tiap-tiap makelar

yang telah menutup jual beli surat-surat berharga harus menyerahkan itu kepada si

pembeli. Seperti hal nya dengan setiap orang yang menerima perintah, maka

makelar mempunyai hak retentie yang disebutkan dalam pasal 1812 KUHS (Kitab

Undang-undang Hukum Sipil) yang menyatakan, hak pihak penerima kuasa untuk

menahan segala apa kepunyaan si pembeli kuasa yang berada di tangannya, sekian

6 Pasal 65 ayat 1 KUHD dan KUHD pasal 70

12

lamanya hingga telah dibayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai

akibat pemberi kuasa (lastgeving).7

Makelar memang sangat sederhana bagi yang mengartikan hanya sebagai

perantara saja, namun pada kenyataannya pekerjaan menjadi makelar sangat besar

tanggung jawab, jika pekerjaannya itu tidak sesuai dengan apa yang diamanahkan

maka semua itu harus dipertanggungjawabkan oleh si pemakelar tersebut, namun

perlu diketahui kewajiban seorang makelar, yaitu sebagai berikut :

1. Mencatat semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam

suatu buku harian.

2. Memberi salinan catatan itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan,

apabila dimintainya.

3. Menyimpan contoh, sampai barang itu diserahkan dan diterima.

4. Dalam hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda tangan penjual

adalah tanda tangan yang benar (sah).

5. Membuka buku-bukunya dalam perkara dan memberi segala

keterangan atas buku-buku tersebut.

Makelar itu mempunyai kedudukan yang bersifat sebagai setengah

pejabat pemerintah, kemudian timbul berbagai akibat-akibat, makelar diangkat

7 Pasal 1792 dst. KUH Perdata dan pasal 63 KUH Dagang

13

oleh pemerintah, yang menyerahkan kekuasaan ini kepada suatu pemerintahan.

Dengan itu, kedudukan makelar dalam hal jual beli sangatlah berpengaruh dalam

praktiknya, karena jasa makelar itu sangatlah membantu para pemilik perusahaan

yang ingin maju dan berkembang dengan usaha yang ditekuninya. Maka para

pemakelar mendapatkan banyak lowongan pekerjaan dari perusahaan-perusahaan

yang memerlukan jasa mereka, sehingga dengan ini menjadi salah satu jalan untuk

menyempitkan pegangguran yang ada.

B. Tinjauan tentang Hukum Makelar menurut Para Ulama

Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum makelar, mengenai

apakah boleh ataupun tidak. Berikut adalah perbedaan hukum mengenai makelar

menurut para ulama, yaitu diantaranya :

1) Mazhab Hanafi

Imam Hanafi mengharamkan praktek makelar yang brtujuan untuk

memonopoli harga dengan cara menimbun barang dan menjualnya

kembali dengan harga yang lebih mahal disaat komoditi tersebut mulai

langka dipasaran. Praktek ini disebut juga dengan ikhtikar (monopolys

rent-seeking).

14

Islam secara tegas melarang ikhtikar yakni mengambil keuntungan

diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk

harga yang lebih tinggi.8 Dalam hal ini Rasulullah SAW mengatakan

bahwa ikhtikar ialah perbuatan orang yang berdosa.9 Lebih jauh salah

seorang sahabat ternama Abu Dzar al-Ghifari, mengatakan bahwa hukum

ikhtikar tetap haram meskipun zakat barang-barang yang menjadi objek

ikhtikar tersebut telah ditunaikan.10

Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ikhtikar adalah karena

dapat menimbulkan kemudharatan bagi umat manusia.11

Ikhtikar tidak

hanya dapat merusak mekanisme pasar tetapi juga akan menghentikan

keuntungan yang akan diperoleh orang lain serta dapat menghambat

proses distribusi kekayaan diantara manusia.

2) Mazhab Syafi’i

Imam Syafi’i membolehkan praktek makelar dengan berdasarkan

kepada akad ju’alah yaitu menyerahkan upah bagi orang yang menemukan

8 Adiwarman. A.Karim, “Ekonomi Mikro Islami”, (Jakarta: IIT-Indonesia, 2003), Edisi.

2, Cet.ke-2, hlm. 266

9 Muslim ibn Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1978), Jilid. 5,

h.56

10

S.M. Yusuf, Ekonomic Justice in Islam, (New Delhi: Kitab Bhawan, 1988), hlm. 42

11

Ali Abdur Rosul, al-Mabadi‟ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr al-

Arabi, 1980), Cet. Ke-2, h. 101

15

barang yang hilang. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat

Yusuf ayat 72, yaitu :

Artinya:”Kami kehilangan piala raja, dan bagi siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban

unta, dan aku menjamin terhadapnya”(QS. Yusuf :72).

Dan boleh juga untuk pekerjaan yang tidak ditentukan, karena tidak

ada hak upah bagi seorang pekerja kecuali dengan izin pemilik modal dan

tidak hak upah bagi pekerja kecuali jika ia sudah mengerjakan

pekerjaannya. Dan itu termasuk akad yang diperbolehkan, bagi keduanya

boleh membatalkan kontrak sebelum terjadi pekerjaan dan jika sudah

diselesaikan maka bagi pemilik modal/harta tidak boleh membatalkannya,

jika ia membatalkannya mesti baginya untuk menyerahkan upah

sepadan.12

3) Mazhab Hambali

Mayoritas ulama adalah mengharamkan menemui dan membeli dari

mereka dan membiarkan mereka menjual barang-barang perniagaan

mereka sendiri kepada masyarakat.

12

Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi‟i, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),

Edisi II, h.50

16

Imam Ahmad berpendapat bahwa “Ditetapkan hak khiyar, apabila

si penjual ditipu, dimana penipuannya diluar kebiasaan. Hal ini

berdasarkan hadits no. 686, yaitu:

وعن طاوس عن عبس _ رض ي هللا عنهما قال رسىل هللا صلى هللا عليه وسلم :

ر لباد. قلت الءبن عباس : ماقىله : الًبع حاضر لباد؟ )التلقى الركبان، والًبع حاض

قال الًكىن له سمسارا(. متفق عليه واللفظ للبخاري.

Artinya: “Dari Thawus dari Ibnu Abbas RA, ia berkata ; Rasulullah SAW

bersabda, “Janganlah kalian menemui orang-orang yang berkendaraan

(yang membawa barang perniagaan), dan janganlah orang mukmin

menjual barang kepada prang pedesaaan.”Aku katakan kepada Ibnu

Abbas, “Apa maksud dari ucapan,‟Dan janganlah orang mukmin menjual

kepada orang pedesaan ? Ia menjawab, “Tidak ada baginya

perantara.”(HR. Muttafaqu„alaih) redaksi Bukhari.13

Imam Ahmad mengatakan,”Bahwa jual beli tersebut tidak sah

berdasarkan larangan tersebut dimana larangan menuntut kerusakan”.

Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Imam Ahmad adalah bathil

sebagai berikut:

1) Masyarakat membutuhkan barang perniagaan.

2) Seorang penjual menjual barangnya dengan harga harian.

3) Si pembeli tidak mengetahui harga.

13

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, “Syarah Buluqhul Maram”, (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2006), Jilid. 4, h. 328-333

17

4) Si penjual sengaja menemui si pembeli untuk menjual barang

perniagaan.

5) Mazhab Maliki

Mazhab Maliki membolehkan dengan dua syarat tidak menentukan

waktu, harganya diketahui dan tidak boleh menerima upah kecuali sesudah

selesai pekerjaannya. Jika disyaratkan kontan maka akadnya gharar. Dan

boleh ia mengakadkan bagi pegawai sesuatu yang tidak ditentukan seperti

ia mengatakan barang siapa yang menemukan barang yang hilang maka

baginya sekian14

, ini hampir sama dengan pendapat Imam Syafi’i yang

juga didasarkan pada firman Allah SWT, dalam surat QS. Yusuf ayat 72,

yaitu :

Artinya:”Kami kehilangan piala raja, dan bagi siapa yang dapat

mengembalikannnya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban

unta, dan aku menjamin terhadapnya”.(QS. Yusuf : 72).

14

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1990), h. 24

18

BAB III

IBNU HAJAR DAN FATHUL BAARI

A. Biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani

Ibnu Hajar Al-Asqalani bernama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin

Mahmud bin Ahmad bin Hajar bin Ahmad Al-Kinani Al-Asqalani, Al Mishri, As

Syafi‟i. Beliau lahir di Mesir pada tanggal 12 Sya‟ban 773 Hijriyah.1 Para ahli

sejarah menyatakan bahwa Ibnu Hajar Al-Asqalani merupakan keturunan kabilah

kinanah (salah satu kabilah besar bangsa Arab yang menetap di Hijaz), yang

merupakan sebagian dari rumpun bangsa Arab.2

Adapun Guru-guru Beliau diantaranya :

1) Muhammad bin Abdi Ar-Razzaq As-Safthi

2) As-Syihab As-Khuyuthi

3) Abi Al-Faraj Abdi Ar-Rahman Ibnu Al-Mubarrak Al-Ghazzi

4) Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman

5) Ibnu Mulaqin dan Al-Bulqini

6) Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari)

7) Al-Makki

1 As Suyuthi, Imam, Nuzhum Al Iqyan fi A‟ayan Al A‟ayan, Maktabah Al Warraq vol. 1,

tt. h. 12

2 Khalil Al Meis, Dalam mukaddimah Tahdzib At Tahdzib, Dar Al Fikr: 1984 vol. 1, h.

27

19

8) Muhammad bin Abdullah bin Zhahirah al-Makki

9) Abu Hasan al-Haitsami

10) Sirajuddin al-Bulqini

11) Abul Fadhl al-Iraqi

12) Abdurrahim bin Razim

13) Al- „Izz bin Jamalah

14) Al-Hummam al-Khawarizmi

15) Al-Fairuz Abadi

16) Ahmad bin Abdurrahman dan al- Burhan at-Tanukhi

Dan adapun murid-murid Beliau, diantaranya :

1) Imam Ash-Shakhawi (902 H)

2) Al-Biqa‟i (885 H)

3) Zakaria al-Anshari (926 H)

4) Ibnu Qadhi Syuhbah (874 H)

5) Ibnu Taghri Burdi (874 H)

6) Ibnu Fahd al-Makki (871 H)

7) Al-Kamal bin Hammam (861 H)

8) Abu al-Fadhal bin Syahnah (890 H).

20

Ibnu Hajar Al-Asqalani telah menulis sejak usia 23 tahun, karya-karya

Beliau sangatlah banyak diterima dan tersebar luas, dan diantara karya-karya

Beliau,3 yaitu :

a. Ulum Al-Qur‟an (Ilmu-ilmu Al-Qur‟an)

Asbab An Nuzul;

Al Itqan fi Jam‟i Ahadist Fadhail Al-Qur‟an;

Al Ihkam lima fi Al-Qur‟an min Al Ibham;

Ma Waqa‟at fi Al-Qur‟an min Ghair Lughat Al „Arab;

b. Ushul Al Hadits (Ilmu-ilmu Dasar Kajian Hadits)

Nukhbat Al Fikr fi Musthalah Ahl Al Atsaar;

Nuzhat An Nazr fi Tawdhih Nukhbat Al Fikr;

c. Syarah Al Hadits (Keterangan Hadist)

An Nukat „ala Tanqih Az Zarkasy „ala Al Bukhary;

Fath Al Baary bi Syarh Shahih Al Bukhary yang nampaknya merupakan

karya yang paling terkenal. Buku ini memiliki mukaddimah/pengantar

yang diberi nama “Hady As Sary”;

d. Thuruq Al Hadist (Ilmu Jalur-jalur Hadist)

Thuruq Hadits Shalat At Tasbih;

3 Khalil Al Meis, Dalam mukaddimah..., h. 2

21

Taghliq At Ta‟liq;

Thuruq Hadist Ta‟allamu Al-Faraidh;

Thuruq Hadist Al Jami‟ fi Ramadhan;

Thuruq Hadist Al Qudhat Tsalatsah;

Thuruq Hadist Man Bana Masjidan;

Al Inarah bi Thuruq Hadist Ghibb Az Ziyarah;

Al Waqf „ala Ma fi Shahih Muslim min Al Mawquf;

Thuruq Hadist Law Anna Nahran bi Babi Ahadikum;

Al Qaul Al Musaddad fi Ad Dzabb „an Musnad Ahmad;

Thuruq Hadist Man Shalla „ala Janazah fa lahu Qhirath;

Thuruq Hadist Jabir fi Al Ba‟ir, Thuruq Hadist Nadhara Allahu Imra‟an;

Thuruq Hadist Al Gusl Yaum Al Jumuah min Riwayat Nafi‟ „an Ibni Umar

Khasnah;

Intiqadh Al I‟atiradh, dimana beliau menjawab kritik Al „Ayny yang

termaktub pada buku “Umdat Al Qary”.

c. Tahrij Al Hadist (Ilmu Penilaian Hadist)

Al Istidrak „ala Syaikhi Al „Iraqy fi Takhrij Al Ihya;

Takhrij Ahadist Adzkar An Nawawy;

22

Takhrij Ahadist Muntaha As Sul;

At Tamyiz fi Takhrij Ahadist Al Wajiz;

Al Kaf As Syyaf fi Takhrij Ahadits Al Kasyyaf;

Ad Dirayah fi Takhrij Ahadist Al Hidayah, sebagai ringkasan “Nashb Ar

Rayah” dan lain-lain.

Salah satu karya Beliau yang paling terkenal ialah kitab yang berjudul

Fathul Baari. Didalam kitab tersebut banyak terdapat hadits-hadits yang

membahas mengenai berbagai macam permasalahan, yang diantaranya mengenai

permasalahan makelar atau agen perantara.4 Dan adapun yang menjadi sumber

hukum mengenai Makelar terdapat pada QS. An-Nisa ayat: 29 yaitu:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling memakan harta

sesama mu dengan jalan yang batin (tidak benar), kecuali dalam perdagangan

yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan jangan lah kamu

membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepada mu.

4 Al-Asqalani, fathul baari..., h. 262

23

B. Metode Syarah Hadist Ibnu Hajar Al-Asqalani Dalam Fathul Baari

Adapun metode yang digunakan dalam kitab Fathul Baari Karangan

Shahih Al-Bukhari mensyarah hadist adalah dengan mengumpulkan hadist-hadist

dalam bab-bab, kemudian menyebutkan hubungan munasabat diantara keduanya ,

meskipun samar menjelaskan keshahihan hadist baik baik dari segi matan ataupun

dari segi sanad, menjelaskan tadlis jika ditemukan dalam meninjau kepada kitab-

kitab Musnad, Jawami‟, Mustakrijat, ajza‟ dan faedah-faedah dengan memenuhi

syarat keshahihan atau hasan dari apa yang didapatnya.5

Menjelaskan/menyambung sanad-sanad yang terputus, menjelaskan makna

lafadh-lafadh yang sulit dipahami/butuh pemahaman khusus, menjelaskan hasil-

hasil instinbath para Imam dari hadist baik berupa hukum-hukum fiqih, mauidhah

zuhud, adab yang terjaga, seraya hanya mengambil pendapat yang rajih,

menjelaskan hikmah diulanginya hadist dalam berbagai bab jika terdapat

pengulangan matan.

Adapun metode tehnik interpretasi kitab Syarah Fathul Baari memakai

metode tahlily, Yaitu menjelaskan hadist-hadist Nabi dengan memaparkan segala

aspek yang terkandung didalam hadist tersebut serta menerangkan makna-makna

yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.

5 Ahmad Abu al-Majdi, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, cet. 1, 2007), h.

112

24

Dalam muqaddimahnya, Ibnu Hajar menyebutkan langkah-langkah

beliau didalam mensyarah Kitab Hadist Shahih al-Bukhari :

1. Mengumpulkan hadist-hadist dalam bab-bab

2. Menyebutkan hubungan munasabat diantara keduanya meskipun

samar

3. Menjelaskan keshahihan hadist baik dari segi matan maupun sanad.

Menjelaskan tadlis dengan mendengar dan mengikuti orang yang

mendengar dari syaikh yang bercampur sebelumnya. Dengan

meninjau kepada kitab-kitab musnad, jawami‟, mustakhrijat, ajza‟,

dan fawaid dengan memenuhi syarat keshahihan atau hasan dari apa

yang didapatnya

4. Menyambung sanad-sanad yang terputus

5. Menjelaskan makna lafadh-lafadh yang sulit dipahami

6. Menjelaskan hasil-hasil istinbath para imam dari hadist baik berupa

hukum-hukum fiqih, mauidhah zuhud, adab yang terjaga, seraya

hanya mengambil pendapat yang rajih.

25

7. Menjelaskan hikmah diualnginya hadist dalam berbagai bab jika

terdapat pengulangan matan.6

C. Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang Hadist-hadist Hukum Makelar

1. Upah Makelar

ن وعطاء وإبساهيم والحسن بأجس السمساز بأسا و قال ابن عباس: ال بأس ولم ًسابن سيًر

ن: إذا قال بعه أن ًقىل بع هرا الثىب، فما شاد على كرا وكرا فهى لك وقال ابن سيًر

بكرا، فما كان من زبع فهى لك أو بيني وبينك فال بأس به )زواه البخازي(

Artinya: Ibnu Sirin, Atha‟ Ibrahim dan Al-Hasan menganggap tidak ada

larangan dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa

dikatakan, „juallah pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka

itu adalah untukmu‟. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang mengatakan,

„juallah dengan harga sekian, maka apa yang menjadi keuntungannya

adalah untukmu atau kita bgai bersama‟, maka hal itu tidak

dilarang.”(HR. Bukhari)7

a. Pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani mengenai hadist yang membolehkan

makelar

Ibnu Hajar memperbolehkan makelar dengan berdasarkan hadist

mengenai upah makelar, yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, Atha‟,

Ibrahim dan Al-Hasan yang telah disebutkan melalui sanad yang maushul

6 Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, Hadyu as-Sari Kahera : (Dar al-Rayyan li al-turath, 1986),

h. 6-7

7 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah: Shahih Bukhari/Al

Imam Al Hafizh Ibnu Hajar”, (Jakarta: Pustaka Azzam, cet. 1, 2005), h. 73-74

26

dengan lafadh :”Tidak ada larangan dengan upah makelar”.8 Dengan

berdasarkan pernyataan mengenai upah makelar maka Ibnu Hajar

menyatakan bahwa sebagian ulama memahami pernyataan tersebut

sebagai sistem bagi hasil (mudharabah).9

Kemudian Ibnu At-tin menukilkan bahwa sebagian ulama

mempersyaratkan tentang bolehnya hal itu apabila manusia pada masa itu

mengetahui harga barang melebihi harga yang ditetapkan oleh pemilik

barang,10

namun pendapat ini mendapat kritikan, karena ketidaktahuan

jumlah upah yang ditentukan.

Hadist diatas menunjukkan bahwa pekerjaan makelar/calo

memang sudah ada sejak dulu, makelar adalah pekerjaan yang memang

dibutuhkan oleh masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk,

sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang diinginkan.

Tujuan utama para makelar atau calo pada umumnya ialah untuk

mendapatkan upah atau fee (keuntungan) dari penjual dan

pembeli/keduanya yang mereka layani, jadi wajar saja bila masalah upah

makelar memiliki pengaruh yang cukup besar pada hukum pekerjaan

8 Al-Asqalani, fathul baari..., h. 265

9 Adiwarman, A.Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, cet. 1, 2008), h. 43

10

Imam Ahmad bin M.Hambal, “Musnad Imam Ahmad”, (Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid.

1, 2008), h. 66

27

mereka, kerna yang demikian itu dikarenakan mereka bukanlah pemilik

barang/jasa yang diperjualbelikan, dan bukan pula sebagai pemilik uang.

Penentuan upah mekalar ini dapat dituangkan dalam jumlah

nominal tertentu, misal Rp. 100.000,- dan dapat juga dalam bentuk

prosentase, asalkan besaran keuntungan yang dijanjikan telah disepakati

oleh kedua belah pihak maka semuanya itu halal. Maka yang demikian itu

karena makelar mendapatkan upah atas jasa yang ia berikan, yaitu berupa

menjualkan/membelikan barang dan bisa juga berupa jasa yang diberikan

oleh makelar hanya sebatas menghubungkan antara pemilik barang dengan

si pembeli. Sebagai contoh seorang pemilik kantor perdagangan bertindak

sebagai perantara bagi perusahaan tertentu untuk memasarkan produknya.

Perusahaan tersebut mengirimkan sampel kepadanya untuk dia tawarkan

kepada para pedagang di pasar. Dia kemudian menjual produk tersebut

kepada para konsumen dengan harga yang ditetapkan oleh pihak

perusahaan tersebut. Kemudian ia mendapatkan upah yang telah ia

sepakati dengan perusahaan tersebut.

Dikatakan bahwa tidak mengapa jika seseorang menerima upah

sesudah melaksanakan pekerjaannya, dan upah tersebut juga harus sesuai

dengan kesepakatan awal dari pihak-pihak yang melakukan transaksi

28

tersebut. Akan tetapi hal ini disyaratkan bahwa tidak ada pengkhianatan

dan penipuan, tetapi yang benar-benar harus ada adalah amanah dan

kejujuran. Dan mengenai dengan besarnya rasio upah yang diperoleh oleh

si pemakelar, apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar, penjual,

dan pembeli, dan apakah makelar mengambil upah dari pembeli atau dari

penjual, atau dari keduanya, upah yang diketahui ukurannnya maka hal itu

boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase upah tertentu.

Jadi, tidak jarang jika seorang makelar mensyaratkan keuntungan

dari kedua belah pihak yang terikat, dari penjual dan juga dari pembeli,

karena perbuatan semacam ini secara prinsip syari‟at tidak masalah

asalkan semuanya dilakukann dengan transparan dan jujur tanpa ada

manipulasi/penipuan, kepada penjual haruslah berterus terang bahwa jika

kita menginginkan keuntungan dalam jumlah yang jelas.

29

2. Larangan Menyongsong (mencegat) Para Pedagang.

عن عبد هللا بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس زض ي هللا عنهما قال زسىل هللا صلى هللا

السكبن وال ًبع حاضسلبد. )زواه ا البخازي(عليه وسلم: ال تلقىا

Artinya: Dari Abdullah, dari Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas

RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian

menyongsong rombongan yang berkendaraan (pedagang dari dusun

yang menuju ke pasar) dan janganlah orang kota melakukan jual beli

untuk orang dusun.” (HR. Bukhari)11

a. Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang hadist yang melarang makelar

Berdasarkan hadist diatas disebutkan bahwa Rasulullah SAW

melarang orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun (orang yang

tidak mengetahui harga dipasaran), dikarenakan Beliau bermaksud agar

kaum muslimin memperoleh yang terbaik. Ibnu Hajar berpendapat bahwa

larangan tersebut berkaitan langsung dengan perkara yang dilarang, bukan

berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar dzatnya. Dengan demikian,

jual beli diatas sah dan diberikan hak khiyar dengan berdasarkan syarat-

syarat yang akan disebutkan.12

11

Al-Asqalani, fathul baari..., h. 266

12

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Buluqhul Maram min Adillat al-Ahkam”,

(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, cet. 1, 2003), h. 67

30

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa “menyongsong” tidak disukai pada dua

keadaan13

:

1. Apabila memberi dampak negatif bagi penduduk kota itu,

2. Apabila harga barang belum diketahui pasti oleh orang-orang

yang datang

Dalam konteks kekinian, kita bisa mengambil contoh dari pasar-

pasar tradisional. Banyak calo yang menawarkan jasanya kepada

masyarakat desa untuk menjualkan barangnya. Proses penawaran

tersebut sudah pasti diikuti dengan pengharapan imbalan sebesar yang ia

inginkan, para calo akan mengatakan bahwa masyarakat desa akan

mendapatkan keuntungan yang besar. Dan tak henti-hentinya para calo

mengiming-imingi keuntungan yang berlipat, malah ada juga yang

hiperbolis (berlebih-lebihan tentang ucapan) dengan rayuan bahwa

mereka akan memberi harga yang berbeda dibandingkan dengan harga

penawaran calo lain.

Meski begitu, benarkah kondisi demikian yang terjadi ? Tidak !

pada kenyataannya, masyarakat desa hanya diuntungkan sekali saja dan

dirugikan berkali- kali, masyarakat kota biasanya membeli barang

13

Al-Asqalani, fathul baari..., h. 268

31

dagangan dari desa untuk diolah menjadi barang yang siap untuk

dikonsumsi oleh masyarakat luas. Dengan demikian, bila masyarakat

mendapatkan bahan baku dengan harga yang mahal, maka hasil

produksinya pun akan dijual dengan harga yang mahal pula. Masyarakat

desa juga akan menikmati barang produksi dengan harga yang mahal.

Oleh karena itu, pada hadits lain, Rasulullah SAW menjelaskan

keterkaitan persoalan harga ini dengan sabdanya,”Janganlah penduduk

kota menjualkan (menjadi calo penjualan) barang milik penduduk desa.

Biarlah sebagian masyarakat dikaruniai rezeki oleh Allah dari sebagian

lainnya” (Riwayat Muslim).14

Walaupun para calo mendapatkan keuntungan, baik bagi dirinya

sendiri maupun bagi masyarakat desa, tetapi keuntungannya itu juga

menyisakan kesusahan bagi semua masyarakat. Bila ini tidak segera

dicegah, bukan mustahil bila ketimpangan ekonomi akan terus terjadi,

celakanya bila sudah membudaya, maka tak akan didapati lagi suatu

keseimbangan hubungan antara desa dan kota.

14

Al-Asqalani, fathul baari..., h. 265

32

D. Analisis Penulis

Berdasarkan analisis penulis mengemukakan dua hadist yang

bertentangan mengenai makelar, yaitu ;

Hadist mengenai kebolehan makelar, yaitu:

ن وعطاء وإبساهيم والحسن بأجس السمساز بأسا و قال ابن عباس: ال ولم ًسابن سيًر

ن: إذا قال بأس أن ًقىل بع هرا الثىب، فما شاد على كرا وكرا فهى لك وقال ابن سيًر

بعه بكرا، فما كان من زبع فهى لك أو بيني وبينك فال بأس به )زواه البخازي(

Artinya: Ibnu Sirin, Atha‟ Ibrahim da Al-Hasan menganggap tidak ada larangan

dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata,”Tidak mengapa dikatakan,”Juallah

pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka itu adalah untukmu”. Ibnu

Sirin berkata,”Apabila seseorang mengatakan,”Juallah dengan harga sekian,

maka apa yang menjadi keuntungannya adalah untukmu atau kita bagi bersama”,

maka hal itu tidak dilarang,”(HR.Bukhari)15

Hadist mengenai larangan makelar, yaitu:

صلى هللا عن عبد هللا بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس زض ي هللا عنهما قال زسىل هللا

عليه وسلم: ال تلقىا السكبن وال ًبع حاضسلبد. )زواه ا البخازي(

Artinya:”Dari Abdullah, dari Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas RA, dia

berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”janganlah kalian menyongsong rombongan

yang berkendaraan (pedagang dari dusun yang menuju ke pasar), dan janganlah

orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun”,(HR.Bukhari)16

15

Al-Asqalani, fathul baari...,h.73-74

16

Al-Asqalani, fathul baari...,h. 266

33

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Makelar adalah pedagang perantara antara penjual dan pembeli yang

berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari

keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah

penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli

tersebut.

Ibnu Hajar Al-Asqalani memperbolehkan makelar atas dasar upah

makelar, dan didalam penentuan upah makelar besaran keuntungannya haruslah

sesuai dengan yang telah disepakati diawal, disyaratkan tanpa adanya

penipuan/manipulasi. Dan mengenai pernyataan yang melarang bahwa,

Rasulullah SAW secara shahih melarang makelar yang merupakan salah satu

bentuk monopoli harga didalam jual beli. Rasulullah SAW melarang orang kota

melakukan jual beli untuk orang dusun karena Beliau bermaksud agar masyarakat

memperoleh yang terbaik. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan orang dusun

disini ialah orang yang tidak mengetahui harga shingga dapat memudharatkan

orang lain.

34

B. Kritik dan Saran.

Kita sebagai umat muslim wajiblah bagi kita untuk mempelajari fiqh

muamalah, dan hendaknya kita dapat mengetahui apa-apa saja yang dibahas

dalam Fiqh Muamalah. Diantaranya seperti yang dijelaskan diatas yaitu mengenai

Makelar. Sistem makelar sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka

dari itu hendaknya kita mengetahui bagaimana sistem makelar yang sebenarnya,

makelar yang bagaimana yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan didalam

Islam, terus dipelajari dan ditelusuri lebih jauh lagi tentang Makelar, sehingga kita

dapat mengaplikasikannya dengan benar yang sesuai dengan ajaran agama Islam

dalam kehidupan sehari-hari kita.

35

DAFTAR PUSTAKA

Adi Warman A.Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta :IIIT-Indonesia, edisi 2,

cet. Ke-2, 2003.

Ali Abdur Rasul, al- Mabadi’ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, Beirut ; Dar al Fikr al-

Arabi, cet.ke- 2, 1980.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Buluqhul Maram min Adillat al-Ahkam”,

Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, cet. 1, 2003.

Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, cet. 1, 2008.

Ahmad Abu al-Majdi, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, cet.1, 2007.

Al-Abani, M.Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Jakarta: Pustaka Azzam,

jilid.3, 2006.

Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah : Shahih

Bukhari/Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar”, Jakarta : Pustaka Azzam,

cet.1, 2005.

Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung; Pustaka Setia.

2000), Edisi II.

Kansil C.S.T, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, Jakarta:

Balai Pustaka, 1989.

Muhamad Teguh, “Metode Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi”, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1999.

M. Ali Hasan, “Berbagai macam Transaksi dalam Islam”, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2003.

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo,1990), h.

24.

Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Turatsal-Arabi, jilid. 5,

1978.

36

S.M Yusuf, Ekonomic Justice in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1988.

Susanto, R, Hukum Dagang dan Koperasi, Jakarta: Pradya Paramita, 1981.

Poerwadarminta, w.j.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

1976.

Pasal 65 ayat 2 KUHDagang.

Pasal 71 dan 73 KUHD dan selanjutnya pasal 69 KUHD.

Pasal 1463 KUHS.

Pasal 65 ayat 1 KUHD dan KUHD pasal 70.

Pasal 1792 dst. KUH Perdata dan pasal 63 KUH Dagang.