hukum makelar menurut tinjauan hadist ibnu …repository.staindirundeng.ac.id/61/1/mijal...
TRANSCRIPT
HUKUM MAKELAR MENURUT TINJAUAN HADIST
IBNU HAJAR AL-ASQALANI
(STUDI KITAB FATHULBAARI)
SKRIPSI
Disusun oleh :
MIJAL FAUZI
Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teungku Dirundeng Meulaboh
Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
NIM : 152012043
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI TEUNGKU DIRUNDENG
MEULABOH ACEH BARAT
2016 M / 1438 H
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :”HUKUM MAKELAR MENURUT
TINJAUAN HADIST IBNU HAJAR AL-ASQALANI (Studi Kitab Fathul
Baari)”.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan akademis
dalam memperoleh gelar sarjana pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Tengku Dirundeng Meulaboh.
Penulis menyadari bahwa proposal ini tidak mungkin dapat terwujud
dengan baik, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan rasa
hormat penulis kepada :
1. Ketua STAIN Tengku Dirundeng Meulaboh.
2. Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES),Penasehat Akademik
beserta Staf Akademik STAIN Tengku Dirundeng Meulaboh, atas
kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada saya selama
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di STAIN
Tengku Dirundeng Meulaboh.
ii
3. Bapak T. Mairizal, MA dan Ibu Asra Febriani, MA selaku dosen
pembimbing yang penuh dengan kesabaran telah memberikan
bimbingan dan saran hingga terselesainya skripsi ini.
4. Bapak dan ibu dosen sekalian yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama masa perkuliahan.
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta, selaku kedua orang tua saya, berkat
do’a kalianlah sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
Bantuan, bimbingan dan saran-saran yang telah disampaikan kepada
penulis, dapat menjadi pintu demi terbukanya masa depan yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kelemahan
dan kekurangan, baik pengolahan maupun penyajian data. Oleh karena itu, segala
saran yang bersifat membangun senantiasa diharapkan demi sempurnanya skripsi
ini. Semoga penyusunan skripsi ini mempunyai kemanfaatan dan kebermaknaan
secara akademis dan praktis.
Meulaboh, Maret 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
ABSTRAK.......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3
C. Penjelasan Istilah................................................................................ 3
D. Tujuan dan signifikan
penulisan.................................................................................. 4
E. Metode Penelitian............................................................................... 5
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAKELAR............................... 7
A. Kedudukan Makelar dalam Jual Beli.................................................. 7
B. Tinjauan tentang Hukum Makelar Menurut Para Ulama...................13
1. Mazhab Hanafi.............................................................................13
2. Mazhab Syafi’i.............................................................................14
3. Mazhab Hambali...........................................................................15
4. Mazhab Maliki............................................................................. 17
BAB III IBNU HAJAR DAN THUL BAARI...................................................18
A. Biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani....................................................... 18
B. Metode Syarah Hadits Ibnu Hajar Al-Asqalani didalam Fathul
Baari karangan Shahih Bukhari..........................................................23
C. Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang Hadits-hadits
Makelar...............................................................................................25
D. Analisis Penulis.................................................................................. 32
BAB IV PENUTUP.............................................................................................34
A. Kesimpulan.........................................................................................34
B. Kritik dan Saran..................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................36
BIODATA PENULIS
iv
ABSTRAK
Makelar adalah perantara perdagangan atau perantara antara penjual dan
pembeli untuk memudahkan jual beli, yang berfungsi menjualkan barang orang
lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani tentang hadits-
hadits mengenai hukum makelar. Penelitian ini tergolong pada penelitian
kepustakaan (Library Research), penelitian ini berusaha mendapatkan berbagai
teori yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil kajian
menunjukkkan bahwa menurut pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani ada dua hadits
yang diperdebatkan didalam permasalahan hukum makelar yang menunjukkan
kebenaran didalamnya. Ibnu Hajar membolehkan makelar atas dasar upah makelar
namun tidak dibenarkan jika hal itu mengandung unsur monopoli didalam suatu
transaksi. Ibnu Hajar melarang makelar dengan berpendapat bahwa
“menyongsong” para pedagang dari desa itu tidak disukai jika hal tersebut
memberi dampak negatif dan juga apabila harga barang tersebut tidak diketahui
oleh pemilik barang, namun apabila itu terjadi maka harus diberikan hak khiyar
pada pemilik barang.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang
orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan tanpa menanggung
resiko.1
Dalam persoalan makelar ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi
si pemakelar mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil kerjanya itu,
dan bagi orang lain yang menggunakan jasa makelar, ia mendapat kemudahan
untuk memperoleh suatu barang karena ditangani langsung oleh orang yang
sangat mengerti dalam bidangnya. Pekerjaan ini mengandung unsur tolong-
menolong. Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya
karena sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, imbalannya juga harus
itetapkan bersama terlebih dahulu, apalagi jika nilainya dalam jumlah yang besar.
Biasanya kalau nilainya besar, ditaganinlebih dahulu perjanjiannnya dihadapan
notaris.
1 Kansil C.S.T,”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”,(Balai Pustaka:
Jakarta, 1989), h.12.
2
Permasalahan hukum makelar merupakan persoalan khilafiyah. Dalam
kitab Fathul Baari terdapat dua hadits yang bertentangan yang berkaitan dengan
hukum makelar.
Berikut hadits yang mengenai kebolehan makelar :
ن وعطاء وإبساهيم والحسن بأجس السمساز بأسا و قال ابن عباس: ال بأس ولم ًسابن سيًر
ن: إذا قال بعه أن ًقىل بع هرا الثىب، فما شاد على كرا وكرا فهى لك وقال ابن سيًر
بكرا، فما كان من زبع فهى لك أو بيني وبينك فال بأس به )زواه البخازي(
Artinya: Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim dan Al-Hasan menganggap tidak ada
larangan dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa dikatakan,
“Juallah pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka itu adalah
untukmu”. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang mengatakan, “Juallah dengan
harga sekian, maka apa yang menjadi keuntungannya adalah untukmu atau kita
bagi bersama”, maka hal itu tidak dilarang”.(HR. Bukhari).2
Adapun hadits larangan tentang makelar sebagai berikut :
عن عبد هللا بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس زض ي هللا عنهما قال زسىل هللا صلى هللا
بخازي(عليه وسلم: ال تلقىا السكبن وال ًبع حاضسلبد. )زواه ا ال
Artinya: Dari Abdullah, dari Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas RA, dia
berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “janganlah kalian menyongsong
rombongan yang berkendaraan (pedangang dari dusun yang menuju ke pasar)
dan janganlah orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun.”(HR.
Bukhari)3
Pada hadist yang pertama dikatakan bahwa makelar itu diperbolehkan atas
dasar upah makelar, sedangkan pada hadist yang kedua secara shahih Rasulullah
2 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah : Shahih
Bukhari/Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar”, Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. 1,2005, h.73-74
3 Al-Asqalani, fathul baari..., h. 266
3
SAW melarang simsar (makelar) yang merupakan salah satu bentuk monopoli
harga didalam jual beli. Dengan berdasarkan perbedaan diantara kedua hadits
tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitin dengan judul
:”HUKUM MAKELAR MENURUT TINJAUAN HADITS IBNU HAJAT
AL-ASQALANI (Studi Kitab Fathul Baari)”.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana hukum makelar menurut tinjauan hadist Ibnu Hajar al-Asqalani ?
C. Penjelasan Istilah
Dalam suatu karya ilmiah sudah keharusan bagi peneliti agar memberikan
batasan-batasan pengertian untuk maksud dari kata-kata yang ada dalam sub
judul, supaya tidak menimbulkan bermacam-macam pengertian dan pemahaman
terhadap kata-kata yang terdapat didalamnya. Adapun istilah-istilah yang perlu
penulis uraikan adalah sebagai berikut :
1. Hukum
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat
dengan tujuan untuk mengatur tingkahlaku manusia, menjaga ketertiban,
4
keadilan, mencegah terjadinya kekacauan, tugas hukum ialah untuk
menjamin bahwa adanya kepastiam hukum dalam masyarakat.4
2. Makelar
Makelar berasal dari Bahasa Arab, yaitu Samsarah yang berarti perantara
perdagangan atau perantara antara penjual dan pembeli untuk
memudahkan jual beli, yang berfungsi menjualkan barang orang lain
dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Makelar juga disebut
pula dengan broker, makelar, cengkau dan pialang.5
3. Hadist
Hadist adalah wahyu kedua setelah al-Qur’an yang memberikan
penjelasan atas yanng samar dalam al-Qur’an, memperinci apa yang
masih global dari al-Qur’an, membatasi apa yang masih umum dalam al-
Qur’an dan menguatkan hukum yang ada dalam al-Qur’an.6
D. Tujuan dan Sifnifikan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana hukum makelar menurut tinjauan hadist Ibnu Hajar
Al-Asqalani.
4 Kansil C.S.T, “Pengantar Ilmu Hukum..., h. 12
5 Poerwadarminta, w.j.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), h.12
6 As-Shahih. S, Membahas Ilmu-ilmu Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1997), h. 22
5
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan metode analisis isi
(Content analisis). Penulis mencari, mengumpulkan, mambaca serta menganalisa
liteatur-litratur yang berkaitan dengan penelitian yang dikaji, kemudian
menuangkannya dalam bentuk deskripsi.
Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang sumber dataya dikumpulkan
dari bahan-bahan pustaka, bisa berupa buku, majalah, dokumen-dokumen lain
yang berkaitan dengan judul.7 Adapun sumber data tersebut dikelompokkan
kedalam tiga jenis yaitu :
a. Data primer: Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung tidak melalui media perantara. Data primer dalam penelitian
ini diperoleh dari Kitab Fathul Baari Karangan Ibnu Hajar Al-
Asqalani.
b. Data sekunder; Merupakan referensi pendukung yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Adapun data sekunder dalam penelitian
ini adalah : Buluqhul Maram karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Al-
Lu’lu wal Marjan karangan Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi. Sunan Abu
7 Muhammad Teguh,”Metode Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi”, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 1999), h.160
6
Daud karangan H. Bey Arifin A. Syinqithy Djamaludddin, Shahih
Bukhari karangan Imam Bukhari, Shahih Muslim karangan Imam
Muslim.
c. Data tersier: Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
tidak langsung yang bersumber melalui media perantara, seperti
majalah, internet, dalam website dan literatur-literatur lainnya.
7
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG MAKELAR
A. Kedudukan Makelar dalam Jual Beli
Kedudukan seorang makelar dalam jual beli adalah sebagai orang tengah,
dan dari batasan-batasan tentang kemakelaran yaitu bahwa pemakelaran itu
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik
bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain atau
memakelarkan makelar.1 Seperti dalam praktik berikut yaitu seorang makelar
tidak hanya bekerja sendiri, dengan kata lain seorang makelar yang telah
bekerjasama dengan salah satu perusahaan (makelar tetap) dibantu menjualkan
barang atau mencarikan pembeli oleh makelar yang lainnya (makelar pembantu)
yang tidak bekerjasama dengan suatu perusahaan tersebut. Hal ini bertujuan agar
dalam proses jual beli dapat berlangsung secara cepat dan luas dalam
pemasarannya dan saling mambantu kepada sesama makelar untuk mendapatkan
pekerjaan. Artinya dalam hal ini seorang makelar tidak berdiri sendiri dalam
1 M.Ali Hasan, “Berbagai macam Transaksi dalam Islam” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 24
8
menjual suatu barang dan mencarikan pembeli, tetapi dibantu oleh makelar yang
lain yang bisa disebut dengan makelar yang dimakelarkan oleh orang lain.2
Menurut pasal 65 ayat 2 KUHD3, (Kitab Undang-undang Hukum
Dagang), makelar tidak boleh berdagang untuk kepentingan sendiri baik secara
individu ataupun dengan perantara orang lain, atau bersama-sama dengan orang
lain, ataupun menjadi penanggung. Larangan ini berarti bahwa seorang makelar
yang di angkat dalam hal jual beli misalnya tidak diperkenankan untuk
mengambil bagian dalam transaksi yang bersangkutan, apabila ini dilanggar maka
menurut pasal 71 KUHD4 (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) ia harus
dibebaskan dari tugasnya atau dilepaskan dari jabatannya. Pemecatan ini
dilakukan oleh pejabat umum yang mengangkatnya. Selanjutnya bedasarkan pasal
69 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) disebutkan tentang jual beli
dengan contoh (monster). Perjanjian jual beli dengan contoh adalah berlainan
dengan perjanjian jual beli secara percobaan (koop of proef), koop of proef diatur
dalam pasal 1463 KUHS5 (Kitab Undang-undang Hukum Sipil) disebutkan dalam
suatu jual beli ditentukan, bahwa barang yang dibeli harus dicoba terlebih dahulu
oleh sipembeli, misalnya jual beli radio/mobil dan lainnya.
2 Susanto. R, Hukum Dagang dan Koperasi, (Jakarta; Pradya Paramita, 1981), h. 36
3 Pasal 65 ayat 2 KUH Dagang
4 Pasal 71 dan 73 dan selanjutnya pasal 69 KUHD
5 Pasal 1463 KUHS
9
Dalam hal jual bei percobaan tergantung dari pendapat sipembeli pada
saaat mencoba barang, apakah jual beli itu akan dilanjutkan atau tidak. Selama
pembeli belum menentukan pendapatnya tentang barang tersebut maka jual beli
belum terlaksanakan. Akan tetapi perjanjian jual beli sudah terjadi, hanyalah
dengan syarat. Alasan menolak barang-barang itu harus teletak pada pendapat
tentang baik atau buruknya barang yang dibeli, jika barangnya ternyata baik, jual
beli harus tetap dilanjutkan. Dalam hal itu pihak pembeli yang berkuasa
menetapkan pendapat apakah sesuatu barang itu baik atau tidak. Berlainan halnya
dengan jual beli dengan contoh (monster) yang tidak diatur didalam KUHS (Kitab
Undang-undang Hukum Sipil).
Jual beli dengan contoh hanya disinggung dalam pasal 69 KUHD (Kitab
Undang-undang Hukum Dagang) tetapi selanjutnya tidak diatur dalam Undang-
undang, akan tetapi dalam praktek sehari-hari sering terjadi. Apabila pada waktu
jual beli diadakan, si pembeli belum melihat barang yang akan dibeli, melainkan
ditunjukkan saja suatu contoh dari barang yang akan dibeli, misalnya kain-
kain/beras dan lainnya. Dalam jual beli jenis ini sering timbul kesulitan, misalnya
apabila contohnya hilang ataupun pembeli menganggap bahwa barang yang akan
diserahkan tidak cocok dengan contoh, kesulitan ini dapat dihindarkan, apabila
para pihak sejak semula telah menegasan maksud yang sebenarnya dari perjanjian
10
mereka. Kalau penegasan ini tidak ada, maka hakimlah yang akan menentukan
pendapat masing-masing pihak dengan berdasarkan kejujuran. Bahwa demi untuk
kepentingan principal dan pihak lawannya dalam hal penjualan dengan contoh itu
hingga sampai pada penyerahan barang-barang yang dijual dengan diberi
tambahan catatan sepatutnya untuk mengenali contoh.
Jadi. Makelar yang sesungguhnya memang mempunyai banyak tanggung
jawab atas apa yang menjadi tugasnya, maka dari itu makelar diangkat dengan
penuh kebanggaan oleh pemerintah, sebagai contoh makelar yang diangkat
langsung oleh pemerintah ialah broker dan pialang saham. Sesudah pengangkatan,
ia harus disumpah dihadapan pengadilan negeri, dalam wilayah hukum tempat
tinggal makelar itu. Makelar bersumpah bahwa ia akan memenuhi segala
kewajiban yang diberikan kepadanya dengan tulus dan ikhlas hati. Seorang
makelar bertindak sebagai pesuruh dengan hak perwakilan, tetapi makelar tidak
mempunyai hubungan kerja tetap dengan penyuruhnya. Makelar bertindak atas
nama merek yang menyuruh, dengan kata lain ia menyiapkan perjanjian yang
diadakan oleh kedua belah pihak. Seseorang hanya dapat menjadi makelar untuk
satu macam barang saja, misalnya seorang makelar untuk beberapa macam barang
dapat juga, asalkan hal itu dinyatakan dengan tegas dalam akta pengangkatannya.
11
Dengan pengangkatan resmi dan pengucapan sumpah, maka dapatlah
dianggap kedudukan makelar itu semacam notaris atau pngacara. Menurut pasal
65 ayat 1 KUHD6 (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) pengangkatan seorang
makelar itu ada 2 macam, yakni :
1. Pengangkatan yang bersifat umum, yaitu untuk segala jenis lapangan
atau cabang perniagaan.
2. Pengangkatan yang bersifat terbatas, yakni bahwa dalam aktanya
ditentukan untuk jenis lapangan atau cabang perniagaan apa mereka
diperbolehkan menyelenggarakan pemakelaran mereka, misalnya
untuk wesel, asuransi, pembuatan kapal dan lain-lainnya.
Menurut KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) pasal 70 dalam
hal jual beli surat wesel dan surat-surat berharga lainnya, maka tiap-tiap makelar
yang telah menutup jual beli surat-surat berharga harus menyerahkan itu kepada si
pembeli. Seperti hal nya dengan setiap orang yang menerima perintah, maka
makelar mempunyai hak retentie yang disebutkan dalam pasal 1812 KUHS (Kitab
Undang-undang Hukum Sipil) yang menyatakan, hak pihak penerima kuasa untuk
menahan segala apa kepunyaan si pembeli kuasa yang berada di tangannya, sekian
6 Pasal 65 ayat 1 KUHD dan KUHD pasal 70
12
lamanya hingga telah dibayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai
akibat pemberi kuasa (lastgeving).7
Makelar memang sangat sederhana bagi yang mengartikan hanya sebagai
perantara saja, namun pada kenyataannya pekerjaan menjadi makelar sangat besar
tanggung jawab, jika pekerjaannya itu tidak sesuai dengan apa yang diamanahkan
maka semua itu harus dipertanggungjawabkan oleh si pemakelar tersebut, namun
perlu diketahui kewajiban seorang makelar, yaitu sebagai berikut :
1. Mencatat semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam
suatu buku harian.
2. Memberi salinan catatan itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan,
apabila dimintainya.
3. Menyimpan contoh, sampai barang itu diserahkan dan diterima.
4. Dalam hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda tangan penjual
adalah tanda tangan yang benar (sah).
5. Membuka buku-bukunya dalam perkara dan memberi segala
keterangan atas buku-buku tersebut.
Makelar itu mempunyai kedudukan yang bersifat sebagai setengah
pejabat pemerintah, kemudian timbul berbagai akibat-akibat, makelar diangkat
7 Pasal 1792 dst. KUH Perdata dan pasal 63 KUH Dagang
13
oleh pemerintah, yang menyerahkan kekuasaan ini kepada suatu pemerintahan.
Dengan itu, kedudukan makelar dalam hal jual beli sangatlah berpengaruh dalam
praktiknya, karena jasa makelar itu sangatlah membantu para pemilik perusahaan
yang ingin maju dan berkembang dengan usaha yang ditekuninya. Maka para
pemakelar mendapatkan banyak lowongan pekerjaan dari perusahaan-perusahaan
yang memerlukan jasa mereka, sehingga dengan ini menjadi salah satu jalan untuk
menyempitkan pegangguran yang ada.
B. Tinjauan tentang Hukum Makelar menurut Para Ulama
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum makelar, mengenai
apakah boleh ataupun tidak. Berikut adalah perbedaan hukum mengenai makelar
menurut para ulama, yaitu diantaranya :
1) Mazhab Hanafi
Imam Hanafi mengharamkan praktek makelar yang brtujuan untuk
memonopoli harga dengan cara menimbun barang dan menjualnya
kembali dengan harga yang lebih mahal disaat komoditi tersebut mulai
langka dipasaran. Praktek ini disebut juga dengan ikhtikar (monopolys
rent-seeking).
14
Islam secara tegas melarang ikhtikar yakni mengambil keuntungan
diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk
harga yang lebih tinggi.8 Dalam hal ini Rasulullah SAW mengatakan
bahwa ikhtikar ialah perbuatan orang yang berdosa.9 Lebih jauh salah
seorang sahabat ternama Abu Dzar al-Ghifari, mengatakan bahwa hukum
ikhtikar tetap haram meskipun zakat barang-barang yang menjadi objek
ikhtikar tersebut telah ditunaikan.10
Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ikhtikar adalah karena
dapat menimbulkan kemudharatan bagi umat manusia.11
Ikhtikar tidak
hanya dapat merusak mekanisme pasar tetapi juga akan menghentikan
keuntungan yang akan diperoleh orang lain serta dapat menghambat
proses distribusi kekayaan diantara manusia.
2) Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i membolehkan praktek makelar dengan berdasarkan
kepada akad ju’alah yaitu menyerahkan upah bagi orang yang menemukan
8 Adiwarman. A.Karim, “Ekonomi Mikro Islami”, (Jakarta: IIT-Indonesia, 2003), Edisi.
2, Cet.ke-2, hlm. 266
9 Muslim ibn Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1978), Jilid. 5,
h.56
10
S.M. Yusuf, Ekonomic Justice in Islam, (New Delhi: Kitab Bhawan, 1988), hlm. 42
11
Ali Abdur Rosul, al-Mabadi‟ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1980), Cet. Ke-2, h. 101
15
barang yang hilang. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
Yusuf ayat 72, yaitu :
Artinya:”Kami kehilangan piala raja, dan bagi siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya”(QS. Yusuf :72).
Dan boleh juga untuk pekerjaan yang tidak ditentukan, karena tidak
ada hak upah bagi seorang pekerja kecuali dengan izin pemilik modal dan
tidak hak upah bagi pekerja kecuali jika ia sudah mengerjakan
pekerjaannya. Dan itu termasuk akad yang diperbolehkan, bagi keduanya
boleh membatalkan kontrak sebelum terjadi pekerjaan dan jika sudah
diselesaikan maka bagi pemilik modal/harta tidak boleh membatalkannya,
jika ia membatalkannya mesti baginya untuk menyerahkan upah
sepadan.12
3) Mazhab Hambali
Mayoritas ulama adalah mengharamkan menemui dan membeli dari
mereka dan membiarkan mereka menjual barang-barang perniagaan
mereka sendiri kepada masyarakat.
12
Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi‟i, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
Edisi II, h.50
16
Imam Ahmad berpendapat bahwa “Ditetapkan hak khiyar, apabila
si penjual ditipu, dimana penipuannya diluar kebiasaan. Hal ini
berdasarkan hadits no. 686, yaitu:
وعن طاوس عن عبس _ رض ي هللا عنهما قال رسىل هللا صلى هللا عليه وسلم :
ر لباد. قلت الءبن عباس : ماقىله : الًبع حاضر لباد؟ )التلقى الركبان، والًبع حاض
قال الًكىن له سمسارا(. متفق عليه واللفظ للبخاري.
Artinya: “Dari Thawus dari Ibnu Abbas RA, ia berkata ; Rasulullah SAW
bersabda, “Janganlah kalian menemui orang-orang yang berkendaraan
(yang membawa barang perniagaan), dan janganlah orang mukmin
menjual barang kepada prang pedesaaan.”Aku katakan kepada Ibnu
Abbas, “Apa maksud dari ucapan,‟Dan janganlah orang mukmin menjual
kepada orang pedesaan ? Ia menjawab, “Tidak ada baginya
perantara.”(HR. Muttafaqu„alaih) redaksi Bukhari.13
Imam Ahmad mengatakan,”Bahwa jual beli tersebut tidak sah
berdasarkan larangan tersebut dimana larangan menuntut kerusakan”.
Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Imam Ahmad adalah bathil
sebagai berikut:
1) Masyarakat membutuhkan barang perniagaan.
2) Seorang penjual menjual barangnya dengan harga harian.
3) Si pembeli tidak mengetahui harga.
13
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, “Syarah Buluqhul Maram”, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), Jilid. 4, h. 328-333
17
4) Si penjual sengaja menemui si pembeli untuk menjual barang
perniagaan.
5) Mazhab Maliki
Mazhab Maliki membolehkan dengan dua syarat tidak menentukan
waktu, harganya diketahui dan tidak boleh menerima upah kecuali sesudah
selesai pekerjaannya. Jika disyaratkan kontan maka akadnya gharar. Dan
boleh ia mengakadkan bagi pegawai sesuatu yang tidak ditentukan seperti
ia mengatakan barang siapa yang menemukan barang yang hilang maka
baginya sekian14
, ini hampir sama dengan pendapat Imam Syafi’i yang
juga didasarkan pada firman Allah SWT, dalam surat QS. Yusuf ayat 72,
yaitu :
Artinya:”Kami kehilangan piala raja, dan bagi siapa yang dapat
mengembalikannnya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya”.(QS. Yusuf : 72).
14
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1990), h. 24
18
BAB III
IBNU HAJAR DAN FATHUL BAARI
A. Biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani
Ibnu Hajar Al-Asqalani bernama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin
Mahmud bin Ahmad bin Hajar bin Ahmad Al-Kinani Al-Asqalani, Al Mishri, As
Syafi‟i. Beliau lahir di Mesir pada tanggal 12 Sya‟ban 773 Hijriyah.1 Para ahli
sejarah menyatakan bahwa Ibnu Hajar Al-Asqalani merupakan keturunan kabilah
kinanah (salah satu kabilah besar bangsa Arab yang menetap di Hijaz), yang
merupakan sebagian dari rumpun bangsa Arab.2
Adapun Guru-guru Beliau diantaranya :
1) Muhammad bin Abdi Ar-Razzaq As-Safthi
2) As-Syihab As-Khuyuthi
3) Abi Al-Faraj Abdi Ar-Rahman Ibnu Al-Mubarrak Al-Ghazzi
4) Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman
5) Ibnu Mulaqin dan Al-Bulqini
6) Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari)
7) Al-Makki
1 As Suyuthi, Imam, Nuzhum Al Iqyan fi A‟ayan Al A‟ayan, Maktabah Al Warraq vol. 1,
tt. h. 12
2 Khalil Al Meis, Dalam mukaddimah Tahdzib At Tahdzib, Dar Al Fikr: 1984 vol. 1, h.
27
19
8) Muhammad bin Abdullah bin Zhahirah al-Makki
9) Abu Hasan al-Haitsami
10) Sirajuddin al-Bulqini
11) Abul Fadhl al-Iraqi
12) Abdurrahim bin Razim
13) Al- „Izz bin Jamalah
14) Al-Hummam al-Khawarizmi
15) Al-Fairuz Abadi
16) Ahmad bin Abdurrahman dan al- Burhan at-Tanukhi
Dan adapun murid-murid Beliau, diantaranya :
1) Imam Ash-Shakhawi (902 H)
2) Al-Biqa‟i (885 H)
3) Zakaria al-Anshari (926 H)
4) Ibnu Qadhi Syuhbah (874 H)
5) Ibnu Taghri Burdi (874 H)
6) Ibnu Fahd al-Makki (871 H)
7) Al-Kamal bin Hammam (861 H)
8) Abu al-Fadhal bin Syahnah (890 H).
20
Ibnu Hajar Al-Asqalani telah menulis sejak usia 23 tahun, karya-karya
Beliau sangatlah banyak diterima dan tersebar luas, dan diantara karya-karya
Beliau,3 yaitu :
a. Ulum Al-Qur‟an (Ilmu-ilmu Al-Qur‟an)
Asbab An Nuzul;
Al Itqan fi Jam‟i Ahadist Fadhail Al-Qur‟an;
Al Ihkam lima fi Al-Qur‟an min Al Ibham;
Ma Waqa‟at fi Al-Qur‟an min Ghair Lughat Al „Arab;
b. Ushul Al Hadits (Ilmu-ilmu Dasar Kajian Hadits)
Nukhbat Al Fikr fi Musthalah Ahl Al Atsaar;
Nuzhat An Nazr fi Tawdhih Nukhbat Al Fikr;
c. Syarah Al Hadits (Keterangan Hadist)
An Nukat „ala Tanqih Az Zarkasy „ala Al Bukhary;
Fath Al Baary bi Syarh Shahih Al Bukhary yang nampaknya merupakan
karya yang paling terkenal. Buku ini memiliki mukaddimah/pengantar
yang diberi nama “Hady As Sary”;
d. Thuruq Al Hadist (Ilmu Jalur-jalur Hadist)
Thuruq Hadits Shalat At Tasbih;
3 Khalil Al Meis, Dalam mukaddimah..., h. 2
21
Taghliq At Ta‟liq;
Thuruq Hadist Ta‟allamu Al-Faraidh;
Thuruq Hadist Al Jami‟ fi Ramadhan;
Thuruq Hadist Al Qudhat Tsalatsah;
Thuruq Hadist Man Bana Masjidan;
Al Inarah bi Thuruq Hadist Ghibb Az Ziyarah;
Al Waqf „ala Ma fi Shahih Muslim min Al Mawquf;
Thuruq Hadist Law Anna Nahran bi Babi Ahadikum;
Al Qaul Al Musaddad fi Ad Dzabb „an Musnad Ahmad;
Thuruq Hadist Man Shalla „ala Janazah fa lahu Qhirath;
Thuruq Hadist Jabir fi Al Ba‟ir, Thuruq Hadist Nadhara Allahu Imra‟an;
Thuruq Hadist Al Gusl Yaum Al Jumuah min Riwayat Nafi‟ „an Ibni Umar
Khasnah;
Intiqadh Al I‟atiradh, dimana beliau menjawab kritik Al „Ayny yang
termaktub pada buku “Umdat Al Qary”.
c. Tahrij Al Hadist (Ilmu Penilaian Hadist)
Al Istidrak „ala Syaikhi Al „Iraqy fi Takhrij Al Ihya;
Takhrij Ahadist Adzkar An Nawawy;
22
Takhrij Ahadist Muntaha As Sul;
At Tamyiz fi Takhrij Ahadist Al Wajiz;
Al Kaf As Syyaf fi Takhrij Ahadits Al Kasyyaf;
Ad Dirayah fi Takhrij Ahadist Al Hidayah, sebagai ringkasan “Nashb Ar
Rayah” dan lain-lain.
Salah satu karya Beliau yang paling terkenal ialah kitab yang berjudul
Fathul Baari. Didalam kitab tersebut banyak terdapat hadits-hadits yang
membahas mengenai berbagai macam permasalahan, yang diantaranya mengenai
permasalahan makelar atau agen perantara.4 Dan adapun yang menjadi sumber
hukum mengenai Makelar terdapat pada QS. An-Nisa ayat: 29 yaitu:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling memakan harta
sesama mu dengan jalan yang batin (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan jangan lah kamu
membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepada mu.
4 Al-Asqalani, fathul baari..., h. 262
23
B. Metode Syarah Hadist Ibnu Hajar Al-Asqalani Dalam Fathul Baari
Adapun metode yang digunakan dalam kitab Fathul Baari Karangan
Shahih Al-Bukhari mensyarah hadist adalah dengan mengumpulkan hadist-hadist
dalam bab-bab, kemudian menyebutkan hubungan munasabat diantara keduanya ,
meskipun samar menjelaskan keshahihan hadist baik baik dari segi matan ataupun
dari segi sanad, menjelaskan tadlis jika ditemukan dalam meninjau kepada kitab-
kitab Musnad, Jawami‟, Mustakrijat, ajza‟ dan faedah-faedah dengan memenuhi
syarat keshahihan atau hasan dari apa yang didapatnya.5
Menjelaskan/menyambung sanad-sanad yang terputus, menjelaskan makna
lafadh-lafadh yang sulit dipahami/butuh pemahaman khusus, menjelaskan hasil-
hasil instinbath para Imam dari hadist baik berupa hukum-hukum fiqih, mauidhah
zuhud, adab yang terjaga, seraya hanya mengambil pendapat yang rajih,
menjelaskan hikmah diulanginya hadist dalam berbagai bab jika terdapat
pengulangan matan.
Adapun metode tehnik interpretasi kitab Syarah Fathul Baari memakai
metode tahlily, Yaitu menjelaskan hadist-hadist Nabi dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung didalam hadist tersebut serta menerangkan makna-makna
yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.
5 Ahmad Abu al-Majdi, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, cet. 1, 2007), h.
112
24
Dalam muqaddimahnya, Ibnu Hajar menyebutkan langkah-langkah
beliau didalam mensyarah Kitab Hadist Shahih al-Bukhari :
1. Mengumpulkan hadist-hadist dalam bab-bab
2. Menyebutkan hubungan munasabat diantara keduanya meskipun
samar
3. Menjelaskan keshahihan hadist baik dari segi matan maupun sanad.
Menjelaskan tadlis dengan mendengar dan mengikuti orang yang
mendengar dari syaikh yang bercampur sebelumnya. Dengan
meninjau kepada kitab-kitab musnad, jawami‟, mustakhrijat, ajza‟,
dan fawaid dengan memenuhi syarat keshahihan atau hasan dari apa
yang didapatnya
4. Menyambung sanad-sanad yang terputus
5. Menjelaskan makna lafadh-lafadh yang sulit dipahami
6. Menjelaskan hasil-hasil istinbath para imam dari hadist baik berupa
hukum-hukum fiqih, mauidhah zuhud, adab yang terjaga, seraya
hanya mengambil pendapat yang rajih.
25
7. Menjelaskan hikmah diualnginya hadist dalam berbagai bab jika
terdapat pengulangan matan.6
C. Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang Hadist-hadist Hukum Makelar
1. Upah Makelar
ن وعطاء وإبساهيم والحسن بأجس السمساز بأسا و قال ابن عباس: ال بأس ولم ًسابن سيًر
ن: إذا قال بعه أن ًقىل بع هرا الثىب، فما شاد على كرا وكرا فهى لك وقال ابن سيًر
بكرا، فما كان من زبع فهى لك أو بيني وبينك فال بأس به )زواه البخازي(
Artinya: Ibnu Sirin, Atha‟ Ibrahim dan Al-Hasan menganggap tidak ada
larangan dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa
dikatakan, „juallah pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka
itu adalah untukmu‟. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang mengatakan,
„juallah dengan harga sekian, maka apa yang menjadi keuntungannya
adalah untukmu atau kita bgai bersama‟, maka hal itu tidak
dilarang.”(HR. Bukhari)7
a. Pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani mengenai hadist yang membolehkan
makelar
Ibnu Hajar memperbolehkan makelar dengan berdasarkan hadist
mengenai upah makelar, yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, Atha‟,
Ibrahim dan Al-Hasan yang telah disebutkan melalui sanad yang maushul
6 Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, Hadyu as-Sari Kahera : (Dar al-Rayyan li al-turath, 1986),
h. 6-7
7 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah: Shahih Bukhari/Al
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar”, (Jakarta: Pustaka Azzam, cet. 1, 2005), h. 73-74
26
dengan lafadh :”Tidak ada larangan dengan upah makelar”.8 Dengan
berdasarkan pernyataan mengenai upah makelar maka Ibnu Hajar
menyatakan bahwa sebagian ulama memahami pernyataan tersebut
sebagai sistem bagi hasil (mudharabah).9
Kemudian Ibnu At-tin menukilkan bahwa sebagian ulama
mempersyaratkan tentang bolehnya hal itu apabila manusia pada masa itu
mengetahui harga barang melebihi harga yang ditetapkan oleh pemilik
barang,10
namun pendapat ini mendapat kritikan, karena ketidaktahuan
jumlah upah yang ditentukan.
Hadist diatas menunjukkan bahwa pekerjaan makelar/calo
memang sudah ada sejak dulu, makelar adalah pekerjaan yang memang
dibutuhkan oleh masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk,
sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang diinginkan.
Tujuan utama para makelar atau calo pada umumnya ialah untuk
mendapatkan upah atau fee (keuntungan) dari penjual dan
pembeli/keduanya yang mereka layani, jadi wajar saja bila masalah upah
makelar memiliki pengaruh yang cukup besar pada hukum pekerjaan
8 Al-Asqalani, fathul baari..., h. 265
9 Adiwarman, A.Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, cet. 1, 2008), h. 43
10
Imam Ahmad bin M.Hambal, “Musnad Imam Ahmad”, (Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid.
1, 2008), h. 66
27
mereka, kerna yang demikian itu dikarenakan mereka bukanlah pemilik
barang/jasa yang diperjualbelikan, dan bukan pula sebagai pemilik uang.
Penentuan upah mekalar ini dapat dituangkan dalam jumlah
nominal tertentu, misal Rp. 100.000,- dan dapat juga dalam bentuk
prosentase, asalkan besaran keuntungan yang dijanjikan telah disepakati
oleh kedua belah pihak maka semuanya itu halal. Maka yang demikian itu
karena makelar mendapatkan upah atas jasa yang ia berikan, yaitu berupa
menjualkan/membelikan barang dan bisa juga berupa jasa yang diberikan
oleh makelar hanya sebatas menghubungkan antara pemilik barang dengan
si pembeli. Sebagai contoh seorang pemilik kantor perdagangan bertindak
sebagai perantara bagi perusahaan tertentu untuk memasarkan produknya.
Perusahaan tersebut mengirimkan sampel kepadanya untuk dia tawarkan
kepada para pedagang di pasar. Dia kemudian menjual produk tersebut
kepada para konsumen dengan harga yang ditetapkan oleh pihak
perusahaan tersebut. Kemudian ia mendapatkan upah yang telah ia
sepakati dengan perusahaan tersebut.
Dikatakan bahwa tidak mengapa jika seseorang menerima upah
sesudah melaksanakan pekerjaannya, dan upah tersebut juga harus sesuai
dengan kesepakatan awal dari pihak-pihak yang melakukan transaksi
28
tersebut. Akan tetapi hal ini disyaratkan bahwa tidak ada pengkhianatan
dan penipuan, tetapi yang benar-benar harus ada adalah amanah dan
kejujuran. Dan mengenai dengan besarnya rasio upah yang diperoleh oleh
si pemakelar, apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar, penjual,
dan pembeli, dan apakah makelar mengambil upah dari pembeli atau dari
penjual, atau dari keduanya, upah yang diketahui ukurannnya maka hal itu
boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase upah tertentu.
Jadi, tidak jarang jika seorang makelar mensyaratkan keuntungan
dari kedua belah pihak yang terikat, dari penjual dan juga dari pembeli,
karena perbuatan semacam ini secara prinsip syari‟at tidak masalah
asalkan semuanya dilakukann dengan transparan dan jujur tanpa ada
manipulasi/penipuan, kepada penjual haruslah berterus terang bahwa jika
kita menginginkan keuntungan dalam jumlah yang jelas.
29
2. Larangan Menyongsong (mencegat) Para Pedagang.
عن عبد هللا بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس زض ي هللا عنهما قال زسىل هللا صلى هللا
السكبن وال ًبع حاضسلبد. )زواه ا البخازي(عليه وسلم: ال تلقىا
Artinya: Dari Abdullah, dari Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas
RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian
menyongsong rombongan yang berkendaraan (pedagang dari dusun
yang menuju ke pasar) dan janganlah orang kota melakukan jual beli
untuk orang dusun.” (HR. Bukhari)11
a. Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang hadist yang melarang makelar
Berdasarkan hadist diatas disebutkan bahwa Rasulullah SAW
melarang orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun (orang yang
tidak mengetahui harga dipasaran), dikarenakan Beliau bermaksud agar
kaum muslimin memperoleh yang terbaik. Ibnu Hajar berpendapat bahwa
larangan tersebut berkaitan langsung dengan perkara yang dilarang, bukan
berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar dzatnya. Dengan demikian,
jual beli diatas sah dan diberikan hak khiyar dengan berdasarkan syarat-
syarat yang akan disebutkan.12
11
Al-Asqalani, fathul baari..., h. 266
12
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Buluqhul Maram min Adillat al-Ahkam”,
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, cet. 1, 2003), h. 67
30
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa “menyongsong” tidak disukai pada dua
keadaan13
:
1. Apabila memberi dampak negatif bagi penduduk kota itu,
2. Apabila harga barang belum diketahui pasti oleh orang-orang
yang datang
Dalam konteks kekinian, kita bisa mengambil contoh dari pasar-
pasar tradisional. Banyak calo yang menawarkan jasanya kepada
masyarakat desa untuk menjualkan barangnya. Proses penawaran
tersebut sudah pasti diikuti dengan pengharapan imbalan sebesar yang ia
inginkan, para calo akan mengatakan bahwa masyarakat desa akan
mendapatkan keuntungan yang besar. Dan tak henti-hentinya para calo
mengiming-imingi keuntungan yang berlipat, malah ada juga yang
hiperbolis (berlebih-lebihan tentang ucapan) dengan rayuan bahwa
mereka akan memberi harga yang berbeda dibandingkan dengan harga
penawaran calo lain.
Meski begitu, benarkah kondisi demikian yang terjadi ? Tidak !
pada kenyataannya, masyarakat desa hanya diuntungkan sekali saja dan
dirugikan berkali- kali, masyarakat kota biasanya membeli barang
13
Al-Asqalani, fathul baari..., h. 268
31
dagangan dari desa untuk diolah menjadi barang yang siap untuk
dikonsumsi oleh masyarakat luas. Dengan demikian, bila masyarakat
mendapatkan bahan baku dengan harga yang mahal, maka hasil
produksinya pun akan dijual dengan harga yang mahal pula. Masyarakat
desa juga akan menikmati barang produksi dengan harga yang mahal.
Oleh karena itu, pada hadits lain, Rasulullah SAW menjelaskan
keterkaitan persoalan harga ini dengan sabdanya,”Janganlah penduduk
kota menjualkan (menjadi calo penjualan) barang milik penduduk desa.
Biarlah sebagian masyarakat dikaruniai rezeki oleh Allah dari sebagian
lainnya” (Riwayat Muslim).14
Walaupun para calo mendapatkan keuntungan, baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi masyarakat desa, tetapi keuntungannya itu juga
menyisakan kesusahan bagi semua masyarakat. Bila ini tidak segera
dicegah, bukan mustahil bila ketimpangan ekonomi akan terus terjadi,
celakanya bila sudah membudaya, maka tak akan didapati lagi suatu
keseimbangan hubungan antara desa dan kota.
14
Al-Asqalani, fathul baari..., h. 265
32
D. Analisis Penulis
Berdasarkan analisis penulis mengemukakan dua hadist yang
bertentangan mengenai makelar, yaitu ;
Hadist mengenai kebolehan makelar, yaitu:
ن وعطاء وإبساهيم والحسن بأجس السمساز بأسا و قال ابن عباس: ال ولم ًسابن سيًر
ن: إذا قال بأس أن ًقىل بع هرا الثىب، فما شاد على كرا وكرا فهى لك وقال ابن سيًر
بعه بكرا، فما كان من زبع فهى لك أو بيني وبينك فال بأس به )زواه البخازي(
Artinya: Ibnu Sirin, Atha‟ Ibrahim da Al-Hasan menganggap tidak ada larangan
dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata,”Tidak mengapa dikatakan,”Juallah
pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka itu adalah untukmu”. Ibnu
Sirin berkata,”Apabila seseorang mengatakan,”Juallah dengan harga sekian,
maka apa yang menjadi keuntungannya adalah untukmu atau kita bagi bersama”,
maka hal itu tidak dilarang,”(HR.Bukhari)15
Hadist mengenai larangan makelar, yaitu:
صلى هللا عن عبد هللا بن طاوس عن أبيه عن ابن عباس زض ي هللا عنهما قال زسىل هللا
عليه وسلم: ال تلقىا السكبن وال ًبع حاضسلبد. )زواه ا البخازي(
Artinya:”Dari Abdullah, dari Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas RA, dia
berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”janganlah kalian menyongsong rombongan
yang berkendaraan (pedagang dari dusun yang menuju ke pasar), dan janganlah
orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun”,(HR.Bukhari)16
15
Al-Asqalani, fathul baari...,h.73-74
16
Al-Asqalani, fathul baari...,h. 266
33
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Makelar adalah pedagang perantara antara penjual dan pembeli yang
berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari
keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli
tersebut.
Ibnu Hajar Al-Asqalani memperbolehkan makelar atas dasar upah
makelar, dan didalam penentuan upah makelar besaran keuntungannya haruslah
sesuai dengan yang telah disepakati diawal, disyaratkan tanpa adanya
penipuan/manipulasi. Dan mengenai pernyataan yang melarang bahwa,
Rasulullah SAW secara shahih melarang makelar yang merupakan salah satu
bentuk monopoli harga didalam jual beli. Rasulullah SAW melarang orang kota
melakukan jual beli untuk orang dusun karena Beliau bermaksud agar masyarakat
memperoleh yang terbaik. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan orang dusun
disini ialah orang yang tidak mengetahui harga shingga dapat memudharatkan
orang lain.
34
B. Kritik dan Saran.
Kita sebagai umat muslim wajiblah bagi kita untuk mempelajari fiqh
muamalah, dan hendaknya kita dapat mengetahui apa-apa saja yang dibahas
dalam Fiqh Muamalah. Diantaranya seperti yang dijelaskan diatas yaitu mengenai
Makelar. Sistem makelar sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka
dari itu hendaknya kita mengetahui bagaimana sistem makelar yang sebenarnya,
makelar yang bagaimana yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan didalam
Islam, terus dipelajari dan ditelusuri lebih jauh lagi tentang Makelar, sehingga kita
dapat mengaplikasikannya dengan benar yang sesuai dengan ajaran agama Islam
dalam kehidupan sehari-hari kita.
35
DAFTAR PUSTAKA
Adi Warman A.Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta :IIIT-Indonesia, edisi 2,
cet. Ke-2, 2003.
Ali Abdur Rasul, al- Mabadi’ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, Beirut ; Dar al Fikr al-
Arabi, cet.ke- 2, 1980.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Buluqhul Maram min Adillat al-Ahkam”,
Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, cet. 1, 2003.
Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, cet. 1, 2008.
Ahmad Abu al-Majdi, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, cet.1, 2007.
Al-Abani, M.Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Jakarta: Pustaka Azzam,
jilid.3, 2006.
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah : Shahih
Bukhari/Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar”, Jakarta : Pustaka Azzam,
cet.1, 2005.
Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung; Pustaka Setia.
2000), Edisi II.
Kansil C.S.T, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Muhamad Teguh, “Metode Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi”, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.
M. Ali Hasan, “Berbagai macam Transaksi dalam Islam”, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo,1990), h.
24.
Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Turatsal-Arabi, jilid. 5,
1978.
36
S.M Yusuf, Ekonomic Justice in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1988.
Susanto, R, Hukum Dagang dan Koperasi, Jakarta: Pradya Paramita, 1981.
Poerwadarminta, w.j.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1976.
Pasal 65 ayat 2 KUHDagang.
Pasal 71 dan 73 KUHD dan selanjutnya pasal 69 KUHD.
Pasal 1463 KUHS.
Pasal 65 ayat 1 KUHD dan KUHD pasal 70.
Pasal 1792 dst. KUH Perdata dan pasal 63 KUH Dagang.