hubungan penggunaan air conditioner (ac) di …digilib.unila.ac.id/55370/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
AMALIA WIDYA LARASATI
1518011174
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
Oleh
AMALIA WIDYA LARASATI
Oleh
AMALIA WIDYA LARASATI
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI BANDAR LAMPUNG
OlehAMALIA WIDYA LARASATI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh GelarSarjana Kedokteran
Pada
Fakultas KedokteranUniversitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
2019
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI BANDAR LAMPUNG
OlehAMALIA WIDYA LARASATI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh GelarSarjana Kedokteran
Pada
Fakultas KedokteranUniversitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
2019
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI BANDAR LAMPUNG
OlehAMALIA WIDYA LARASATI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh GelarSarjana Kedokteran
Pada
Fakultas KedokteranUniversitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
2019
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gisting, Tanggamus pada 30 Oktober 1997, merupakan anak
terakhir dari lima bersaudara, dari Ayahanda Supardi dan Ibunda Romlah.
Pendidikan taman kanak-kanak diselesaikan di TK Fransiskus Gisting pada tahun
2003, sekolah dasar (SD) diselesaikan di SD Fransiskus Gisting pada tahun 2009,
sekolah menengah pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Gisting pada
tahun 2012, dan sekolah menengah atas (SMA) diselesaikan di SMAN 9 Bandar
Lampung pada tahun 2015.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi FSI IBNU SINA
sebagai sekretaris biro Dana dan Usaha 2016-2017.
Dedicated to
My dearest parents who always give unending love,
laughter, and support for me on this day and all days.
SANWACANA
Segala puji bagi Allah SWT, Allah yang Maha Pengasih, Allah yang Maha
Penyayang, yang tiada habis memberikan kita kasih dan sayang-Nya, nikmat, dan
karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat saya selesaikan. Shalawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik manusia di
bumi dengan keteladanan yang abadi hingga kini. Alhamdulillah atas kehendak,
izin, dan pertolongan Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hubungan Penggunaan Air Conditioner (AC) di Ruang Kelas
Terhadap Kejadian Sindroma Mata Kering Pada Pelajar Sekolah Menengah Atas
Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Kedokteran di Universitas Lampung.
Penulis meyakini penelitian skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan
bantuan dari banyak kalangan. Maka dengan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3. dr. Rani Himayani, S. Ked., Sp.M., selaku Pembimbing Utama atas waktu
dan kesediannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, saran, dan kritik
yang membangun dalam proses penyelesaian skripsi ini;
4. Dr. Dyah Wulan Sumekar Rengganis Wardani, SKM., M. Kes., selaku
Pembimbing Kedua dan Pembimbing Akademik atas waktu dan
kesediannya memberi ilmu, bimbingan, saran, dan kritik yang membangun
dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, S. Ked., M. Farm., selaku Pembahas yang
telah meluangkan waktunya dalam memberikan ilmu, masukan, dan saran
dalam skripsi ini;
6. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung atas ilmu, waktu, dan bimbingan yang telah diberikan dalam
proses perkuliahan;
7. Mama, wanita yang penulis tidak akan lahir di dunia ini tanpanya,
terimakasih untuk semua doa yang tidak ada putusnya, dukungan yang
selalu diberikan, dan kasih sayang yang penulis tidak akan pernah mampu
membalasnya. Your presence gives me wings to fly when my own wings
are broken;
8. Papa, lelaki nomor satu di hidupku, terimakasih untuk semua doa,
dukungan, kasih sayang, cinta yang selalu diberikan dengan ikhlas. You
are my guardian, carer, listener, bank, part-time fun gay, tough on the
outside but soft on the inside. You are best dad a kid could ask for;
9. Keempat kakakku, Arischa Meir Dianingrum, Andika Diantoro, Angga
Aryudha Maulana, dan Andreano Muhammad Rifky, terimakasih sudah
menjadi kakak terbaik. The greatest gift Mama and Papa ever gave me was
my sibling;
10. Responden penelitian, Pak Kris, Pak Priyo, dan berbagai pihak di SMAN 9
dan 14 Bandar Lampung yang telah bersedia membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian;
11. Sahabat sekaligus saudara penulis di perantauan Betari Ariefia S.K., Dhea
Novita, Ulfiah Fairuz, Arinda Stefani, Luthfi Aulia O., Balqis Ikfi H.,
Alfia Nikmah, Divian Ozaza S., Sonia Anggraini, dan Karimah Khitami
A. Terimakasih sudah menemani hari-hari penulis selama di FK Unila
maupun di Pondok Arbenta karena kehadiran kalianlah hari menjadi lebih
mudah. Terimakasih sudah mau menjadi temanku yang suka marah tiba-
tiba. My sisters from another mother;
12. Teman penelitian penulis, Fidya C. Sabila, Annisa Putri P., Arini
Meronica, yang telah membantu penelitian penulis walaupun harus
merelakan jadwal kuliah dan rela menemani penulis untuk menyelesaikan
hasil dan pembahasan skripsi;
13. Teman sejawat 2015, ENDOM15IUM yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Terimakasih atas segala suka duka, motivasi, dan kebersamaan
selama 3,5 tahun ini;
14. Sahabatku yang sedang mengejar mimpi di berbagai belahan dunia, Dela,
Eti, Dhara, Muthia, Elfrida, dan Nuria. Terimakasih untuk segala doa,
semangat, dan motivasinya. Semoga selalu semangat dalam mengejar cita.
Salam rindu dari penulis untuk kalian semua;
15. Dan semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas segala
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, namun penulis bberharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala
perhatian, kebaikan, dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan
dari Allah SWT. Terimakasih.
Bandar Lampung, 19 Desember 2018
Penulis
Amalia Widya Larasati
ABSTRACT
CORRELATION BETWEEN USING AIR CONDITIONERIN CLASSROOM AND THE INCIDENT OF
DRY EYE SYNDROME IN SENIOR HIGH SCHOOL STUDENT ATBANDAR LAMPUNG
By
AMALIA WIDYA LARASATI
Background: Using Air Conditioner (AC) in daily life have become a habit. ACis used to give a cozy condition but in the other side, AC causes low humidity andcausing the eye disruptions named dry eye syndrome. The purpose of this researchis to know the correlation between using AC in classroom and dry eye syndrome.Methods: The design of this study is analytic observational by using cross-sectional design. Subject of the research is XII grade students of Senior HighSchool (SHS) 9 and 14 Bandar Lampung. Samples are selected by consecutivesampling and evaluated using Schirmer test.Results: The percentage of students who use AC in classroom and suffering dryeye are 67,10%. Meanwhile, students who don’t use AC in classroom andsuffering dry eye are 20%. Result of data analysis is value of p = 0,001.Conclusion: There is significant correlation between using AC in classroom andthe incident of dry eye syndrome in Senior High School student at BandarLampung.
Keywords: Air Conditioner, Dry Eye Syndrome, Low Humidity
ABSTRAK
HUBUNGAN PENGGUNAAN AIR CONDITIONER (AC)DI RUANG KELAS TERHADAP KEJADIAN
SINDROMA MATA KERING PADA PELAJARSEKOLAH MENENGAH ATAS BANDAR LAMPUNG
Oleh
AMALIA WIDYA LARASATI
Latar Belakang: Penggunaan Air Conditioner (AC) di kehidupan sehari-harisudah menjadi kebiasaan. AC berfungsi untuk menyamankan kondisi, namun ACdapat menyebabkan rendahnya kelembaban udara dan menyebabkan terjadinyasindroma mata kering. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubunganpenggunaan AC di ruang kelas terhadap kejadian sindroma mata kering.Metode: Desain penelitian ini adalah observasi analisis dengan pendekatan cross-sectional. Subjek dari penelitian adalah pelajar kelas XII SMAN 9 dan 14 BandarLampung. Subjek dipilih dengan cara consecutive sampling dan diperiksa dengantes Schirmer.Hasil: Persentase pelajar di ruangan ber-AC yang mengalami mata kering adalah67,10%. Sedangkan, pelajar yang tidak berada di ruangan ber-AC dan menderitamata kering adalah 20%. Nilai p dari analisis adalah 0,001.Kesimpulan: Terdapat hubungan antara penggunaan AC di ruang kelas terhadapkejadian sindroma mata kering.
Kata kunci: Air Conditioner, Kelembaban Rendah, Sindroma Mata Kering
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................. 5
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ....................................................................... 6
1.5 Keaslian Penelitian ................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 9
2.1 Anatomi Apparatus Lakrimalis ............................................................. 9
2.1.1 Sistem Produksi Lakrimal ........................................................... 9
2.1.2 Sistem Ekskresi Lakrimal.......................................................... 10
2.2 Mekanisme Pengeluaran Air Mata ...................................................... 11
2.3 Air Mata .............................................................................................. 12
2.3.1 Fungsi Air Mata ........................................................................ 12
2.3.2 Lapisan-Lapisan Film Air Mata ................................................ 13
2.3.3 Komposisi Air Mata .................................................................. 14
2.4 Sindroma Mata Kering ........................................................................ 14
2.4.1 Definisi ...................................................................................... 14
2.4.2 Etiologi ...................................................................................... 15
2.4.3 Faktor Resiko ............................................................................ 17
ii
2.4.4 Mekanisme Sindroma Mata Kering .......................................... 18
2.4.5 Klasifikasi Sindrom Mata Kering ............................................. 19
2.4.6 Manifestasi Klinis ..................................................................... 20
2.4.7 Diagnosis................................................................................... 21
2.4.8 Penatalaksanaan ........................................................................ 25
2.4.9 Komplikasi ................................................................................ 26
2.5 Air Conditioning (AC) ........................................................................ 27
2.6 Kerangka Teori.................................................................................... 29
2.7 Kerangka Konsep ................................................................................ 30
2.8 Hipotesis.............................................................................................. 30
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 31
3.1 Jenis Penelitian.................................................................................... 31
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................... 31
3.2.1 Lokasi Penelitian ....................................................................... 31
3.2.2 Waktu Penelitian ....................................................................... 32
3.3 Subjek Penelitian................................................................................. 32
3.3.1 Populasi penelitian .................................................................... 32
3.3.2. Besar Sampel............................................................................ 33
3.3.3. Cara Pengambilan Sampel ....................................................... 34
3.4 Instrumen Penelitian............................................................................ 34
3.5 Skema Pengumpulan Data .................................................................. 34
3.6 Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... 34
3.7 Definisi Operasional Parameter Penelitian.......................................... 36
3.8 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................... 36
3.9 Cara Kerja ........................................................................................... 37
3.10 Pengolahan dan Analisis Data........................................................... 38
3.10.1 Pengolahan Data...................................................................... 38
3.10.2 Analisis Data ........................................................................... 39
3.11 Rancangan Penelitian ........................................................................ 40
3.12 Etika Penelitian ................................................................................. 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 41
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 41
4.1.1 Karakteristik Sampel Penelitian ................................................ 43
4.1.2 Karakteristik Lokasi Penelitian ................................................. 43
4.1.3 Analisis Univariat...................................................................... 44
iii
4.1.4 Analisis Bivariat ........................................................................ 46
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 47
4.2.1 Analisis Univariat...................................................................... 47
4.2.2 Analisis Bivariat ........................................................................ 48
4.3 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 52
5.1 Kesimpulan......................................................................................... 52
5.2 Saran................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 54
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Anatomi Sistem Lakrimalis ............................................................... 10
Gambar 2. Mekanisme Pengeluaran Air Mata .................................................... 12
Gambar 3. Lapisan Air Mata ............................................................................... 13
Gambar 4. Klasifikasi Mata Kering..................................................................... 19
Gambar 5. Kerangka Teori Sindroma Mata Kering. ........................................... 29
Gambar 6. Kerangka Konsep............................................................................... 30
Gambar 7. Skema Pengumpulan Data................................................................. 34
Gambar 8. Kerangka Penelitian........................................................................... 40
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Penelitian Tentang Pajanan AC Terhadap Sindroma Mata Kering.......... 7
Tabel 2. Definisi Operasional Penelitian.............................................................. 36
Tabel 3. Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ................ 43
Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Status Sindroma Mata Kering ............. 43
Tabel 5. Nilai Rata-Rata Tingkat Suhu dan Kelembaban Ruangan ..................... 44
Tabel 6. Keluhan dari Kuesioner OSDI di Seluruh Populasi ............................... 45
Tabel 7. Keluhan dari Kuesioner OSDI Pada Sindroma Mata Kering................. 45
Tabel 8. Hasil Analisis Uji Chi-Square Hubungan Penggunaan AC di RuangKelas Terhadap Kejadian Sindroma Mata Kering .................................. 46
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Persetujuan Etik .............................................................................. 58
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Lampung .. 59
Lampiran 3. Penjelasan Penelitian dan Informed Consent.................................. 60
Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik.................................................................... 63
Lampiran 5. Kuesioner OSDI.............................................................................. 65
Lampiran 6. Dokumentasi ................................................................................... 66
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata kering merupakan suatu penyakit dari film air mata yang terjadi karena
kekurangan produksi air mata atau penguapan air mata secara berlebihan; hal
ini menyebabkan kerusakan pada permukaan interpalpebral mata dan
berhubungan dengan beberapa gejala berupa ketidaknyamanan pada
penglihatan. Sindroma mata kering yang juga sering disebut sebagai
keratokonjungtivitis sicca (KCS), sering menjadi suatu penyebab bagi
seseorang untuk mencari pengobatan akibat gejala yang dirasakan (Javadi and
Feizi, 2011). Orang dengan penyakit mata kering sering mengeluhkan
terganggunya kegiatan sehari-hari, misalnya membaca, bekerja,
menggunakan komputer, dan saat mengendarai kendaraan di siang atau
malam hari (Stapleton et al., 2014).
Penyakit mata kering merupakan penyakit yang sangat sering ditemukan di
kehidupan sehari-hari dan prevalensinya terus meningkat tiap tahunnya.
Sekitar satu dari tujuh orang yang berumur 65 sampai 84 tahun dilaporkan
mempunyai keluhan dari penyakit mata kering. Moss et al., dalam
penelitiannya pada tahun 2004 melaporkan bahwa 14,4% dari 3722 subyek
2
berumur 48 sampai 91 tahun menderita sindroma mata kering.Namun, Schein
et al., dalam penelitiannya tahun 1997 tidak menemukan adanya hubungan
antara umur dan jenis kelamin dengan insiden terjadinya sindroma mata
kering, padahal peneliti lainnya melaporkan bahwa umur dan jenis kelamin
berpengaruh terhadap insiden terjadinya sindroma mata kering. Dari suatu
percobaan dengan 926 subyek berumur 40 tahun ke atas, ditemukan insiden
sindroma mata kering banyak dijumpai pada perempuan (Javadi and Feizi,
2011). Prevalensi sindroma mata kering di Indonesia dilaporkan sebanyak
27,5% dari 1251 partisipan umur 40-49 tahun serta lebih didominasi oleh pria
(Lee et al., 2002).
Sindroma mata kering terjadi karena dua hal, yaitu kurangnya produksi air
mata dan peningkatan penguapan air mata. Peningkatan penguapan air mata
bisa disebabkan oleh faktor instrinsik maupun ekstrinsik. Faktor ekstrinsik
yang memengaruhi peningkatan jumlah penguapan air mata misalnya
kecepatan udara yang tinggi dan rendahnya kelembaban, hal tersebut sering
ditemukan pada ruangan yang dilengkapi dengan air conditioner (Lemp et
al., 2007).
Air Conditioner (AC)merupakan suatu alat penyejuk ruangan yang dapat
mengontrol suhu udara dalam ruangan dan memberikan efek nyaman
terhadap tubuh, tetapi kualitas udara dalam suatu ruangan yang menggunakan
AC merupakan faktor yang signifikan yang dapat memengaruhi derajat
kesehatan, misalnya flu, batuk, iritasi kulit dan mata (Adekayanti, 2015).
Pada tahun 2010 permintaan AC mencapai 1,3 juta produk dan terus
3
meningkat menjadi 1,6 juta produk pada tahun 2011. Angka penjualan AC
juga tumbuh positif dengan angka 1,9 juta unit hingga akhir tahun 2012.
Permintaan AC juga diperkirakan akan terus meningkat seiring munculnya
perumahan, apartemen, sekolah, dan gedung perkantoran baru di Indonesia.
Udara yang dikeluarkan melalui AC hanya mengandung sedikit air sehingga
udara dalam ruangan yang ber-AC cenderung memiliki kelembaban yang
lebih rendah dibandingkan normalnya, yaitu 40-60%(Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia, 2016).
Penggunaan AC di kehidupan sehari-hari sudah menjadi hal yang biasa bagi
masyarakat Indonesia mengingat negara Indonesia adalah negara tropis yang
suhunya relatif tinggi. Mulai dari lingkungan rumah, sekolah, kantor, tempat
umum, dan gedung perbelanjaan di setiap sudutnya difasilitasi oleh AC.
Penggunaan AC di sekolah dimaksudkan untuk memberikan kondisi yang
kondusif dan nyaman bagi pelajar pada saat proses belajar mengajar. Saat ini,
banyak sekolah yang berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas AC kepada
siswanya (Hardinasari, 2015). Pelajar yang hampir setiap hari terpajan AC
dalam waktu yang lama dapat mengalami sindroma mata kering.
Penelitian tentang hubungan penggunaan AC terhadap kejadian sindroma
mata kering sudah banyak dilakukan, misalnya di Spanyol oleh Lopezet al.,
di tahun 2015 dan didapatkan hasil bahwa terjadi eksaserbasi akut pada
kelompok kontrol dan kelompok pasien sindroma mata kering setelah
terpajan udara dengan kelembaban 5%. Di Taiwan, Suet al., pada tahun 2009
pernah melakukan penelitian dengan 3154 jumlah responden dan didapatkan
4
hasil bahwa lingkungan kerja dengan kelembaban rendah dapat menyebabkan
terjadinya sindroma mata kering. Di Indonesia, pernah dilakukan penelitian
dengan judul hubungan pemakaian Air Conditioner (AC) di ruang kelas
terhadap kejadian sindroma mata keringpada siswa SMA di Surakarta oleh
Rusmita Hardinasari. Pada penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara pemakaian AC terhadap kejadian
sindroma mata kering pada Siswa SMA Surakarta.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini penting untuk dilakukan
karena di era sekarang banyak orang yang terpajan AC dalam kehidupan
sehari-hari baik di lingkungan perkantoran, rumah, tempat-tempat umum, dan
sekolah. Namun, selain memberikan kenyamanan bagi penggunanya,
penggunaan AC ternyata memberikan dampak negatif misalnya terjadi
keluhan pada mata. Pada pelajar terutama di jenjang SMA, gangguan pada
mata seperti sindroma mata kering akan mengganggu aktifitas dalam
belajardan akhirnya akan memengaruhi prestasi pelajar.Di Bandar Lampung
belum pernah ada penelitian mengenai hubungan pajanan AC terhadap
sindroma mata kering.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dibuatlah penelitian yang berjudul
“Hubungan Penggunaan Air Conditioner (AC) di Ruang Kelas Terhadap
Kejadian Sindroma Mata Kering Pada Pelajar SMA Negeri Bandar
Lampung”. Di Bandar Lampung terdapat SMAN yang sudah dilengkapi AC
maupun yang belum dilengkapi dengan AC dan penelitian dilaksanakan di
SMA Negeri 9 Bandar Lampung sebagai responden yang berada di ruang
5
kelas ber-AC dan di SMA Negeri 14 Bandar Lampung sebagai responden
yang tidak berada di ruang kelas ber-AC.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan penggunaanAir Conditoner (AC) di ruang kelas
terhadap kejadian sindroma mata keringpada pelajar SMA Negeri Bandar
Lampung?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
penggunaanAir Conditoner (AC) di ruang kelas terhadap kejadian
sindroma mata kering pada pelajar SMA Negeri Bandar Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui gambaran suhu dan kelembaban ruangan AC dan non-
AC di SMAN Bandar Lampung.
2. Mengetahui proporsi jumlah kejadian sindroma mata kering pada
pelajar dalam ruangan AC dan non-AC di SMAN Bandar
Lampung.
3. Mengetahui keluhan terbanyak yang dirasakan oleh seluruh
populasi dan populasi sindroma mata kering.
4. Mengetahui hubungan antara penggunaan AC di ruang kelas
terhadap kejadian sindroma mata kering pada pelajar SMA Negeri
Bandar Lampung.
6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Untuk pengembangan dan memperkaya ilmu di bidang mata tentang
hubungan penggunaan Air Conditoner (AC) di ruang kelas terhadap
kejadian sindroma mata kering pada pelajar SMA Negeri Bandar
Lampung.
2. Manfaat bagi penulis
Untuk menambah wawasan tentang hubungan penggunaan Air
Conditoner (AC) di ruang kelas terhadap kejadian sindroma mata kering
pada pelajar SMA Negeri Bandar Lampung.
3. Manfaat bagi peneliti selanjutnya
Bisa dijadikan referensi bagi peneliti lain terkait dengan topik yang sama,
dapat menjadi bahan evaluasi, dan bahan masukan untuk penelitian
selanjutnya.
4. Manfaat bagi institusi pendidikan
Dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, penelitian
ini dapat digunakan sebagai bahan kepustakaan dalam menambah
informasi tentang hubungan penggunaan Air Conditoner (AC) di ruang
kelas terhadap kejadian sindroma mata kering pada pelajar SMA Negeri
Bandar Lampung.
5. Manfaat bagi masyarakat
Menambah pengetahuan masyakarat, khususnya pelajar SMA, tentang
hubungan penggunaan Air Conditoner (AC) di ruang kelas terhadap
7
kejadian sindroma mata kering pada pelajar SMA Negeri Bandar
Lampung.
1.5 Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian digunakan untuk membedakan penelitian yang dilakukan
sekarang dengan penelitian sebelumnya. Keaslian penelitian ini dijelaskan
pada tabel berikut:
Tabel 1.Penelitian Tentang Pajanan AC Terhadap Sindroma Mata Kering.
No. Judul/ Peneliti/ LokasiPenelitian
Tahun Desain Variabel Hasil
1. Dry Eye Exacerbation inPatientsExposed toDesiccating StressUnder ControlledEnviromentalConditions/ Lopez MAet al,./ Spanyol
2014 ProspectiveCross-
sectional
Variabelbebas:kelembabanudaraVariabelterikat:sindromamata kering
Hasil: Terjadigejalaeksaserbasiakut akibatrendahnyakelembabanudara
2. Higher Prevalence ofDry Eye Symptomps inSkin, Eyes, Nose, andThroat Among Workersin Clean Rooms WithModerate Humidity/ SuSB, Wang BJ, Tai C,Chang HF, Guo HR/Taiwan
2009 Cross-sectional
Variabelbebas:kelembabanudaraVariabelterikat:sindromamata kering
Hasil:Kelembabanruangan yangrendah dapatmenyebabkansindromamata kering
3. Hubungan PemakaianAir Conditioner diRuang Kelas terhadapKejadian Sindroma MataKering pada Siswa SMASurakarta / RusmitaHardinasari / Surakarta
2015 Cross-sectional
Variabelbebas:pajanan ACVariabelterikat:sindromamata kering
Tidak adahubunganantara pajananAC dengankejadiansindrom matakering
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di Surakarta oleh
Rusmita Hardinasariadalah lokasi penelitian, responden, dan instrumen
penelitian.Lokasi penelitian sebelumnya dilaksanakan di Surakarta sedangkan
8
penelitian ini dilaksanakan di Bandar Lampung. Responden penelitian
sebelumnya adalah siswa kelas XI SMA Surakarta sedangkan responden
penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA Bandar Lampung. Instrumen
penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner Ocular
Surface Disease Index (OSDI) dan tes Schirmer, sedangkan pada penelitian
sebelumnya hanya menggunakan kuesioner OSDI.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di Spanyol oleh
Lopezet al., dan di Taiwan oleh Su et al., adalah pada kedua penelitian
tersebut responden diberikan perlakuan berupa perbedaan pajanan
kelembaban udara.
9
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Apparatus Lakrimalis
Sistem lakrimalis mencakup semua struktur yang terlibat dalam produksi dan
drainase air mata. Komponen produksi pada kelenjar air mata terdiri atas
kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur pembentuk cairan mata yang
disebarkan secara merata di atas permukaan mata oleh kedipan mata
(Vaughan and Asbury, 2009). Kompleks lakrimalis terdiri atas dua bagian
yaitu sistem produksi (kelenjar lakrimal dan kelenjar lakrimal aksesorius) dan
sistem eskresi (kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis) (Ilyas
and Yulianti, 2013). Komponen ekskresi sistem ini yang menghasilkan sekret
ke dalam hidung (Vaughan and Asbury, 2009).
2.1.1 Sistem Produksi Lakrimal
Sistem produksi lakrimal bola mata terletak di temporal bola mata,
tepatnya di supero lateral rongga orbita berada dalam fossa lakrimalis
os frontalis. Sistem produksi terdiri dari kelenjar utama dan kelenjar
aksesorius (kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring). Kelenjar lakrimal
utama bagian inferior akan berkontak dengan dunia luar, sedangkan di
bagian anterior akan dipisahkan oleh kornu lateral aponeurosis
10
levatormenjadi dua, yaitu lobus orbital yang memiliki ukuran lebih
besar dan lobus palpebra. Kelenjar utama lakrimal adalah penghasil
terbesar volume air mata.
Kelenjar lakrimal aksesorius meskipun hanya sepersepuluh dari massa
kelenjar utama namun mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar
Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama, tetapi tidak
memiliki duktus. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva,
terutama di forniks superior. Sel-sel goblet berbentuk uniseluler
menyekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar
Meibom dan Zeisdi tepian palpebra memberi lipid pada air mata.
Kelenjar Moll adalah modifikasi dari kelenjar keringat yang juga
membentuk film air mata (Vaughan and Asbury, 2009).
2.1.2 Sistem Ekskresi Lakrimal
Sistem ekskresi lakrimal terdiri dari punctum, kanalikuli, duktus
lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis(Hardinasari, 2015).
Gambar 1. Anatomi Sistem Lakrimalis (Wagner et al., 2016).
11
2.2 Mekanisme Pengeluaran Air Mata
Sekresi dari kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan
menyebabkan banyaknya air mata yang mengalir melewati tepian palpebra.
Kelenjar lakrimal aksesorius dikenal sebagai “penyekresi dasar”. Sekret yang
dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya
sel goblet akan menyebabkan mengeringnya kornea walaupun jumlah air
mata di konjungtiva banyak.
Setiap kali berkedip palpebra akan menutup seperti resleting, mulai dari
lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea. Pada kondisi
normal, air mata dihasilkan dengan kecepatan yang kira-kira sesuai dengan
kecepatan penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem
ekskresi.Sedotan kapiler akan membuat sebagian air mata memasuki puncta
apabila sakus konjungtivalis sudah penuh. Gerakan menutup mata akan
mencegah air mata keluar, bersamaan dengan itukelopak mata ditarik ke arah
crista lacrimalis posterior dan ditempatkan pada fasia sekitar kantung
lakrimal menyebabkankanalikuli memendek dan menimbulkan tekanan
negatif di dalam kantung lakrimal. Kerja pompa dinamik ini menarik air mata
ke dalam kantung lakrimal, yang kemudian berjalan melalui duktus
nasolakrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan ke dalam
meatus inferior(Vaughan and Asbury, 2009).
12
Gambar 2. Mekanisme Pengeluaran Air Mata (Wagneret al., 2016).
2.3 Air Mata
Air mata diproduksi oleh kelenjar utama lakrimal, kelenjar aksesorius
lakrimal, sel goblet konjungtiva, dan modifikasi dari kelenjar Meibom dan
Zeis.Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 µm yang menutupi epitel
kornea dan konjungtiva.
2.3.1 Fungsi Air Mata
Fungsi lapisan air mata adalah:
1. Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan
meniadakan ketidakteraturan di permukaan epitel.
2. Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan
konjungtiva yang lembut dan sensitif.
3. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan
mekanik dan efek antimikroba.
4. Menyediakan berbagai substansi nutrien yang dibutuhkan kornea
(Vaughan and Asbury, 2009).
13
2.3.2 Lapisan-Lapisan Film Air Mata
Film air mata terdiri atas tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan superfisial adalah film lipid monomolekuler yang berasal
dari kelenjar Meibom. Lapisan ini akan menghambat penguapan
dan membentuk sawar kedap air saat palpebra ditutup.
2. Lapisan tengah adalah akuos yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal
mayor dan minor; mengandung substansi larut air (garam dan
protein).
3. Lapisan bagian dalam, yaitu musinosa terdiri atas glikoprotein yang
melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel
terdiri atas lipoprotein dan bersifat hidrofobik sehingga tidak dapat
dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diabsorbsi sebagian
pada membran sel epitel kornea dan menyebabkan lapisan akuos
dapat menyebar secara merata ke semua bagian (Vaughan and
Asbury, 2009).
Gambar 3. Lapisan Air Mata (Boyd K & Turbert D., 2018).
14
2.3.3 Komposisi Air Mata
Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2µL di setiap mata. Albumin
merupakan komponen terbanyak dari protein total air mata, yaitu
60%sisanya globulin dan lisozim yang memiliki jumlah sama banyak.
Terdapat immunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. IgA adalah
immunoglobulin terbanyak. Lisozim pada air mata menyusun 21-25%
protein total dan bekerja secara sinergis dengan gamma-globulin serta
faktor antibakteri non-lisozim lain untukmembentuk mekanisme
pertahanan penting terhadap infeksi.
K+, Na+, dan Cl-, terdapat dalam kadar yang lebih tinggi di air mata
daripada di plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5
mg/dL) dan urea (0,04 mg/dL). Perubahan kadar dalam darah sebanding
dengan perubahan kadar glukosa dan urea dalam air mata. pH rata-rata
air mata adalah 7,35, meskipun ada variasi normal yang besar (5,20-
8,35). Dalam keadaan normal, air mata bersifat isotonik. Osmolalitas
film air mata bervariasi dari 295-309 mosm/L (Vaughan and Asbury,
2009).
2.4 Sindroma Mata Kering
2.4.1 Definisi
Sindroma mata kering atau Dry Eye Syndrome (DES) merupakan suatu
penyakit yang mengenai film air mata dan menyebabkan kerusakan
pada permukaan okular dan rasa tidak nyaman di bagian permukaan
15
mata (Phadatare et al., 2015). Sedangkan menurut Lemp pada tahun
2007 di International Dry Eye Work Shop, sindroma mata kering
merupakan penyakit multifaktorial dari air mata dan permukaan okular
yang menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan penglihatan,
ketidakstabilan film air mata, dan bisa meningkatkan potensi kerusakan
permukaan mata. Penyakit ini sering juga disertai dengan peningkatan
osmolaritas air mata dan inflamasi permukaan okular. Secara garis
besar, sindroma mata kering terjadi karena kurangnya produksi air mata
dan atau peningkatan penguapan air mata (Lemp et al., 2007).
2.4.2 Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan sindroma mata kering dan
faktor ini tidak hanya memengaruhi satu komponen film air mata
namun juga bisa menyebabkan perubahan permukaan mata yang secara
tidak langsung menyebabkan film air mata menjadi tidak
stabil.Beberapa penyebab yang dapat menyebabkan sindroma mata
kering yaitu:
2.4.2.1 Kondisi Ditandai dengan Hipofungsi Kelenjar Lakrimal
1. Kongenital: disautonomia familial, aplasia kelenjar lakrimal,
dan displasia ektodermal.
2. Didapat:
a) Penyakit sistemik: sindrom Sjogren, sklerosis sistemik
progresif, sarkoidosis, leukimia, limfoma, amiloidosis, dan
hemokromatosis.
16
b) Infeksi: parotitis.
c) Cedera: pengangkatan secara bedah atau kerusakan
kelenjar lakrimal, radiasi, dan luka bakar kimiawi.
d) Medikasi: antihistamin, antimuskarinik (atropin dan
skopalamin) dan penyekat beta-adrenergik(timolol).
e) Neurogenik (misal paralisis nervus fasialis).
2.4.2.2 Kondisi Ditandai dengan Defisiensi Musin
Defisiensi musin terjadi karena avitaminosis A, sindrom
Stevens-Johnson, pemfigoid okular, konjungtivitis kronik misal
trakoma, luka bakar kimiawi, medikasi misalnya penggunaan
antihistamin, agen antimuskarinik, agen penyekat beta-
adrenergik, bahan pengawet tetes mata, dan obat tradisional.
2.4.2.3 Kondisi Ditandai dengan Defisiensi Lipid
Defisiensi lipid dapat terjadi karena adanya jaringan parut pada
tepian palpebra dan penyakit blefaritis.
2.4.2.4 Penyebaran Film Air Mata yang Tidak Sempurna
1. Kelainan palpebra: defek, ektropion atau entropion,
keratinisasi tepian palpebra, kurang atau tidak adanya
berkedip, dan lagoftalmus.
2. Kelainan konjungtiva: pterigium, simblefaron, dan
proptosis(Vaughan and Asbury, 2009).
17
2.4.3 Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat memicu terjadinya sindroma mata kering pada
wanita maupun pria adalah (Lemp et al., 2007; Javadi and Feizi, 2011;
Paulsen et al., 2015; A'la, 2016):
1. Perbedaan kadar hormonal antara perempuan dan laki-laki.
Kadar androgen yang rendah dan kadar estrogen yang tinggi
merupakan pemicu sindroma mata kering sehingga biasanya
lebih sering diderita oleh perempuan.
2. Keadaan lingkungan sekitar. Misalnya angin kencang, udara
panas dan kering, asap, ruangan dengan kelembaban yang
kurang, dan ruangan yang dilengkapi dengan AC akan
meningkatkan penguapan air mata.
3. Penyakit lain. Beberapa penyakit yang merupakan faktor
resiko dari sindroma mata kering diantaranya arthritis,
osteoporosis, alergi, penyakit tiroid, sakit kepala dan migrain
yang berat, dan riwayat trauma pada kepala.
4. Usia lanjut. Sindroma mata kering banyak diderita oleh usia
65-84 tahun.
5. Penggunaan obat-obatan. Konsumsi obat-obatan seperti
antihistamin dan steroid dapat menyebabkan sindroma mata
kering.
6. Pemakaian lensa kontak mata lunak yang mengandung kadar
air tinggi akan menyerap air mata dan menyebabkan mata
18
perih, iritasi, nyeri, dan ketidanyamanan saat penggunaan lensa
kontak.
7. Penggunaan komputer, gadget, dan laptop. Orang yang sedang
berkonsentrasi dan menatap layar monitor maka akan
berkurang jumlah berkedipnya dalam semenit, hal ini akan
menyebabkan permukaan mata yang kering.
2.4.4 Mekanisme Sindroma Mata Kering
Mekanisme utama terjadinya sindroma mata kering disebabkan karena
adanya hiperosmolaritas air mata dan ketidakstabilan film air mata.
Penyebab utama terjadinya hiperosmolaritas air mata karena kurangnya
produksi air mata dan atau peningkatan evaporasi air mata.Peningkatan
evaporasi air mata dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti
rendahnya kelembaban dan cepatnya laju angin. Pengurangan produksi
air mata biasanya disebabkan oleh usia tua dan konsumsi beberapa obat
misalnya antihistamin dan antimuskarinik. Namun yang paling sering
menyebabkan kurangnya produksi air mata adalah inflamasi yang
terjadi di kelenjar lakrimal, seperti yang terdapat pada penyakit Sjogren
dan non-Sjogren sindrom pada penyakit mata kering.
Sedikitnya jumlah produksi air mata, akibat kerusakan kelenjar lakrimal
dan atau peningkatan penguapan air mata adalah dua penyebab
terjadinya hiperosmolaritas film air mata. Hiperosmolaritas pada film
air mata dapat menyebabkan kerusakan pada epitel permukaan dengan
cara mengaktivasi kaskade inflamasi pada permukaan mata dan
19
menghasilkan mediator inflamasi yang dikeluarkan bersamaan dengan
air mata, yaitu IL-1, TNF-a, dan MMPs. Mediator inflamasi ini akan
menyebabkan kerusakan epitel dan kematian sel dengan cara apoptosis
yang nantinya akan menyebabkan ketidakstabilan pada film air mata.
Ketidakstabilan ini akan memperburuk hiperosmolaritas permukaan air
mata.
Kerusakan pada epitelial akibat mata kering akan menstimulasi nervus
kornea, yang akhirnya menyebabkan gejala seperti ketidaknyamanan,
peningkatan frekuensi mengedip, dan bisa menimbulkan mekanisme
kompensasi dengan memproduksi air mata namun hal ini jarang terjadi
(Lemp et al., 2007).
2.4.5 Klasifikasi Sindrom Mata Kering
Gambar 4.Klasifikasi Mata Kering (Lemp et al., 2007).
KekuranganAir Mata
Sjogrensyndrome
- Primer
- Sekunder
19
menghasilkan mediator inflamasi yang dikeluarkan bersamaan dengan
air mata, yaitu IL-1, TNF-a, dan MMPs. Mediator inflamasi ini akan
menyebabkan kerusakan epitel dan kematian sel dengan cara apoptosis
yang nantinya akan menyebabkan ketidakstabilan pada film air mata.
Ketidakstabilan ini akan memperburuk hiperosmolaritas permukaan air
mata.
Kerusakan pada epitelial akibat mata kering akan menstimulasi nervus
kornea, yang akhirnya menyebabkan gejala seperti ketidaknyamanan,
peningkatan frekuensi mengedip, dan bisa menimbulkan mekanisme
kompensasi dengan memproduksi air mata namun hal ini jarang terjadi
(Lemp et al., 2007).
2.4.5 Klasifikasi Sindrom Mata Kering
Gambar 4.Klasifikasi Mata Kering (Lemp et al., 2007).
SindromaMata Kering
KekuranganAir Mata
- Primer
- Sekunder
Non-sjogrensyndrome
- Def. lakrimal
- Obstruksikelenjarlakrimal
- Refleks blok
- Obat
PeningkatanEvaporasi
Intrinsik
- Def. kelenjarMeibom
- Kelainanmenutup mata
- Kurangnyaberkedip
- Obat
Ekstrinsik
19
menghasilkan mediator inflamasi yang dikeluarkan bersamaan dengan
air mata, yaitu IL-1, TNF-a, dan MMPs. Mediator inflamasi ini akan
menyebabkan kerusakan epitel dan kematian sel dengan cara apoptosis
yang nantinya akan menyebabkan ketidakstabilan pada film air mata.
Ketidakstabilan ini akan memperburuk hiperosmolaritas permukaan air
mata.
Kerusakan pada epitelial akibat mata kering akan menstimulasi nervus
kornea, yang akhirnya menyebabkan gejala seperti ketidaknyamanan,
peningkatan frekuensi mengedip, dan bisa menimbulkan mekanisme
kompensasi dengan memproduksi air mata namun hal ini jarang terjadi
(Lemp et al., 2007).
2.4.5 Klasifikasi Sindrom Mata Kering
Gambar 4.Klasifikasi Mata Kering (Lemp et al., 2007).
PeningkatanEvaporasi
Ekstrinsik
- Def. vitamin A
- Obat topikal
- Kontak lensa
- Alergi
- Lingkungan
20
Sindroma mata kering secara garis besar diklasifikasikan menurut
mekanismenya menjadi dua, yaitu kekurangan air mata dan peningkatan
evaporasi.Kekurangan jumlah air mata dibagi menjadi dua, yaitu sjogren
syndromedan non-sjogren syndrome.
Peningkatan evaporasi bisa terjadi karena faktor instrinsik, misalnya
meibomian lipid deficiency, penurunan jumlah mengedip, dan konsumsi
obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik yang meningkatkan evaporasi
misalnya kekurangan vitamin A, penggunaan obat topikal, penggunaan
lensa mata lunak, lingkungan, penyakit permukaan okular misalnya alergi
(Lemp et al., 2007).
2.4.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan sindroma mata kering paling sering mengeluhkan sensasi
tergores atau berpasir pada mata. Gejala umum lainnya berupamata
gatal, sekresi mukus berlebih, ketidakmampuan menghasilkan air mata,
sensasi terbakar, fotosensitivitas, kemerahan, sakit, dan sulit
menggerakkan palpebra. Pada kebanyakan pasien, ciri paling jelas pada
pemeriksaan mata adalah tampilan mata yang secara kasar tampak
normal. Pada pemeriksaanslitlamp,penemuan yang paling khas adalah
meniskus air mata di tepian palpebra inferior terputus atau justru hilang.
Benang-benang mukus kental kekuningan kadang-kadang terlihat
dalam fornix conjunctivae inferior. Pada konjungtiva bulbaris tidak
tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema, dan
hiperemis.
21
2.4.7 Diagnosis
Diagnosis sangat penting untuk membedakan sindroma mata kering
dengan infeksi dan alergi karena kedua penyakit ini memiliki gejala
klinis yang mirip dengan sindroma mata kering. Beberapa faktor
resiko, seperti kerja atau tinggal di ruangan ber-AC, penggunaan
softlens, konsumsi obat-obatan, dan penyakit sistemik (Diabetes
Mellitus, penyakit Graves, hepatitis C) diperlukan untuk penegakkan
diagnosis.
Pemeriksaan film air mata sangat penting untuk penegakkan diagnosis.
Pemeriksaan film air mata dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan
imaging, biasanya dilakukan untuk menilai meibomian gland
dsyfunction (MGD) yang dapat menyebabkan mata kering, tes
Schirmer, dan tear break-up time (TBUT). Sedangkan pemeriksaan
kualitatif dilakukan dengan pemeriksaan ferning danin vivo confocal
microscopy (IVCM) dengan 4 item skoring (Yureeda Q, 2014).
2.4.7.1 Pemeriksaan Kelopak Mata
1. Frekuensi Mengedip
Mengedip dapat mendistribusikan air mata ke seluruh permukaan
mata dan membantu sekresi dari kelenjar Meibom. Frekuensi
mengedip normal adalah 15,5 ±13,7 kali/menit. Selama berada
didepan layar komputer dan membaca, frekuensi mengedip
22
berkurang menjadi 5,3 ± 4,5 kali/menit yang akhirnya
menyebabkan peningkatan evaporasi air mata. Pengurangan jarak
antar kedipan 6 – 2,6 detik dan mengedip secara tidak sempurna
merupakan tanda dari sindroma mata kering.
2. Penutupan Kelopak Mata
Penutupan kelopak mata yang terjadi tidak secara sempurna
misalnya pada ektropion dan entropion dapat menyebabkan
gangguan pada penyebaran air mata.
3. Tepi Kelopak Mata
Pemeriksaan ini menggunakan slitlampdan akan didapatkan
gambaran inflamasi atau disfungsi kelenjar Meibom yang dapat
menyebabkan peningkatan evaporasi air mata.
2.4.7.2 Pemeriksaan Konjungtiva
Temporal lid-parallel conjunctival folds (LIPCOFs)pada saat
memandang lurus merupakan hasil peningkatan gesekan antara
kelopak mata dan konjungtiva dan hal ini merupakan indikator
penting untuk menegakkan diagnosis sindroma mata kering dengan
sensitifitas 84,9% dan spesifisitas mencapai lebih dari 90%.
Pemeriksaan ini menggunakan sllitlamp.
2.4.7.3 Pemeriksaan Permukaan Mata
Pemeriksaan ini menggunakan slitlamp atau pewarnaan. Pewarnaan di
bagian palpebra dengan pewarna fluoresens dan lissamine green
merupakan pilihan untuk penegakkan diagnosis sindroma mata kering.
23
2.4.7.4 Pemeriksaan Film Air Mata
1. Meniskus film air mata
Ketinggian meniskus film air mata yang dilihat dengan slitlamp
bisa memberikan informasi tentang adanya hiposekresi kelenjar
air mata. Normalnya, tinggi meniskus film air mata adalah 0,5 ±
0,02 mm, sedangkan pada penderita sindroma mata kering
tingginya hanya 0,2 ± 0,09 mm.
2. Tear Film Break-Up Time (TFBUT)
Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran mengenai kestabilan
film air mata. TFBUT dapat diukur dengan meletakkan secarik
kertas berfluoresensi pada konjungtiva bulbi dan minta pasien
mengedip. Film air mata lalu diperiksa dengan saringan cobalt
dan slitlamp, sementara pasien diminta untuk tidak berkedip.
Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama dalam
lapis fluoresesin kornea adalah apa yang kita sebut tear film
break-up time. Nilai normalnya adalah 20-30 detik apabila hasil
<10 detik, maka dianggap patologi.
3. Tes Sekresi Air Mata (Tes Schirmer)
Mengukur jumlah sekresi dari kelenjar lakrimal. Pada tes
Schirmer I, strip kertas filter yang sudah dikalibrasi (35 x 5 mm)
diletakkan di sakus konjungtiva di bagian bawah dan mata pasien
tertutup, lalu diukur setelah 5 menit. Hasil kurang dari 10
milimeter dianggap patologi (Messmer, 2015).
24
4. Tear Function Index (TFU)
Tes ini untuk mengukur jumlah produksi dan drainase air mata.
Semakin besar nilai TFU maka makin baik keadaan permukaan
mata. Hasil pemeriksaan <96 merupakan tanda sindroma mata
kering.
5. Osmolaritas Air Mata
Osmolaritas mata normal adalah 309 – 312 mOsm/L dan apabila
hasil pemeriksaan melebihi nilai normal maka dapat didiagnosis
mata kering (Phadatare et al., 2015).
2.4.7.5 Pemeriksaan Kualitas
1. Uji Ferning
Hasil uji ferning tergantung dari komposisi dan konsentrasi air
mata. Perubahan komposisi dan konsentrasi air mata seperti pada
keadaan hiperosmolaritas akan menghasilkan perubahan pola
ferning, sehingga uji ferning digunakan untuk mendeteksi
hiperosomolaritas air mata. Pola ferning terbentuk dari rasio garam
seperti natrium dan kalium terhadap makromolekul seperti protein
dan musin. Peningkatan osmolaritas dan penurunan konsentrasi
makromolekul pada mata kering mengakibatkan rasio garam
terhadap makromolekul berubah sehingga menurunkan kualitas
pola ferning (Isya, 2016).
25
2. In Vivo Confocal Microscopy (IVCM)
Pemeriksaan IVCM digunakan untuk menilai lapisan kornea secara
detail untuk mengidentifikasi keadaan patologis tingkat sel
(Yureeda, 2014).
2.4.8 Penatalaksanaan
Edukasi sangatlah penting pada penatalaksanaan sindroma mata kering.
Pasien harus menghindari faktor-faktor pemicu penyakit ini, misalnya
asap rokok, penghangat dan pengering udara, dan air
conditioning.Beberapa jenis pengobatan yang sering digunakan, yaitu:
2.4.8.1 Obat Tetes Mata
Obat tetes mata merupakan pilihan pertama pada pengobatan
sindroma mata kering. Obat tetes mata terbukti dapat meningkatkan
stabilitas film air mata, mengurangi stress pada permukaan mata, dan
meningkatkan kualitas hidup.
2.4.8.2 Anti Inflamasi
Sindroma mata kering biasanya diikuti dengan inflamasi pada
permukaan mata dan kelenjar air mata. Obat anti inflamasi diberikan
kepada pasien dengan sindroma mata kering untuk mencegah
kerusakan yang lebih parah.
26
2.4.8.3 Kortikosteroid Topikal
Pemberian kortikosteroid topikal bertujuan untuk mengurangi gejala
yang muncul akibat sindroma mata kering. Setelah dua minggu
pengobatan, sebanyak 43% pasien mengalami penurunan gejala.
Namun, pemakaian kortikosteroid tidak dianjurkan untuk jangka
waktu yang lama.
2.4.8.4 Siklosporin A Topikal
Obat tetes mata siklosporin A bertujuan untuk meningkatkan produksi
air mata, selain itu obat ini juga dapat mencegah terjadinya iritasi
bakteri karena berkurangnya kadar air mata.Penggunaan dengan dosis
0,05% selama 2 kali perhari terbukti meningkatkan produksi air mata,
meningkatkan hasil tes Schirmer, pengurangan pemakaian obat tetes
mata, dan mengurangi gejala seperti gangguan penglihatan.
2.4.8.5 Tacrolimus
Diberikan pada pasien yang tidak bisa menerima pengobatan
siklosporin dengan dosis 0,03% sehari dua kali. Efeknya sama seperti
siklosporin A topikal (Messmer, 2015).
2.4.9 Komplikasi
Pada episode awal sindroma mata kering, penderita akan mengeluh
ketidaknyamanan pada mata seperti adanya gangguan penglihatan.
27
Pada kasus lanjut, bisa menimbulkan ulkus kornea, penipisan kornea,
dan perforasi karena infeksi sekunder.
2.5Air Conditioning (AC)
Pengondisian udara (air conditioning)adalah suatu usaha untuk menciptakan
kondisi yang nyaman bagi manusia dengan mengatur temperatur dan
kelembaban udara. Mode-mode pengondisian udara meliputi pemanasan
(heating), pendinginan (cooling), pengaturan kelembaban (humidifying dan
dehumidifying), dan pertukaran udara (ventilating).
Mesin pengondisian udara yang bekerja sebagai pendingin biasanya disebut
sebagai Air Conditioner (AC). Air Conditioner adalah suatu mesin yang
digunakan untuk mendinginkan suhu ruangan dengan cara mensirkulasikan
gas refrigerant (bahan pendingin). Gas bahan pendingin yang ditekan oleh
kompressor akan menyebabkan pipa kondensor menjadi panas dan pada
bagian Automatic Expantion Valve pipa tempat sirkulasi gas bahan pendingin
diperkecil, sehingga tekanannya semakin meningkat dan pada pipa evaporator
menjadi dingin.
Bahan pendingin adalah suatu zat yang mudah menguap dan berfungsi
sebagai penghantar panas dalam sirkulasi pada saluran instalasi mesin
pendingin dan mudah berubah wujud dari gas menjadi cair ataupun
sebaliknya serta dapat mengambil panas dari evaporator dan membuangnya di
kondensor. Bahan pendingin pada AC merupakan media yang sudah cukup
28
lama digunakan, berfungsi untuk memindahkan panas dari satu tempat ke
tempat lain (Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, 2016).
Evaporator (indoor) adalah suatu alat dimana bahan pendingin menguap dari
cair menjadi gas. Panas dalam ruangan akan diambil lalu dibawa ke
kompresor dan dikeluarkan lagi oleh kondensor (outdoor). Udara yang akan
dialirkan melalui evaporator memiliki kandungan uap air. Namun, apabila
terus didinginkan udara akan menuju titik embun. Titik embun adalah kondisi
dimana udara tidak dapat menampung uap air, sehingga uap air mengembun
menjadi tetesan air. Pada evaporator ini udara mengalami pengembunan
sehingga udara tidak dapat menampung uap air, lalu air yang tidak bisa
ditampung ini akan dibuang melalui kondensor. Setelah melewati evaporator,
udara dingin ini dialirkan ke dalam keruangan. Ini artinya terjadi pengurangan
jumlah uap air yang ada diudara pada saat melewati evaporator, akibatnya
udara pada ruangan yang dilengkapi AC akan menjadi lebih kering.AC hanya
mengatur suhu ruangan tanpa mengatur kelembaban ruangan. Hal ini yang
mengakibatkan kualitas udara dalam ruang ber-AC buruk untuk kesehatan
terutama mata karena dapat menyebabkan sindroma mata kering (Hardinasari,
2015).
29
2.6 Kerangka Teori
Variabel yang diteliti
Variabel luar yang ikut berpengaruh
Gambar 5.Kerangka Teori Sindroma Mata Kering (Lemp et al., 2007).
Sindroma Mata Kering
Kekurangan produksiair mata
Peningkatan evaporasipermukaan mata
Sjogren Syndrome
Defisiensi produksikelenjar lakrimal
Obstruksi duktuskelenjar lakrimal
Refleks blok
Konsumsi obatsistemik
Instrinsik Ekstrinsik
Defisiensi produksikelenjar meibomian
Penyakit kelopak mata
Penurunan frekuensimengedip
Kekurangan vitamin A
Penyakit permukaan mata
Konsumsi obat-obatan
Polusi, asap
Penggunaankontak lensa
Penggunaanobat topikal
jangkapanjang
TerpaparAC
Ruanganber-AC
Kelembabanrendah
30
2.7 Kerangka Konsep
Gambar 6.Kerangka Konsep.
2.8 Hipotesis
H0: Tidak terdapat hubungan penggunaanAir Conditoner (AC) di ruang
kelas terhadap kejadian sindroma mata keringpada pelajar SMA
Negeri Bandar Lampung.
Ha: Terdapat hubungan penggunaanAir Conditoner (AC) di ruang
kelas terhadap kejadian sindroma mata keringpada pelajar SMA
Negeri Bandar Lampung.
Penggunaan AC pada ruangan kelasSMAN Bandar Lampung Sindroma Mata Kering
31
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasi dengan pendekatan cross-
sectional. Penelitian bersifat observasi karena peneliti tidak memberikan
intervensi atau perlakuan khusus terhadap subjek penelitian. Pengambilan
data dilakukan secara cross-sectional karena pada penelitian ini akan diteliti
mengenai hubungan penggunaan AC di ruang kelas terhadap kejadian
sindroma mata kering dan pengambilan data sampel pada satu waktu tertentu.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di SMAN 9 Bandar Lampung mewakili populasi
ruangan ber-AC dan SMAN 14 Bandar Lampung mewakili populasi
ruangan non-AC. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan setelah
dilaksanakan pra-survei. SMAN 9 dan SMAN 14 dipilih menjadi lokasi
penelitian karena memiliki lokasi yang berdekatan sehingga dapat
menghilangkan bias perbedaan lingkungan yang ekstrim, seperti suhu,
kelembaban ruangan, dan angin.
32
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2018.
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi penelitian
a. Populasi sumber pada penelitian adalah pelajar SMAN Bandar
Lampung.
b. Kriteria inklusi:
1. Siswa SMA Kelas XIIdengan visus normal tanpa koreksi.
2. Tidak ada riwayat penyakit mata organik, seperti katarak,
ptosis, dan glaukoma.
3. Bersedia menjadi responden.
c. Kriteria eksklusi:
1. Memiliki penyakit arthritis, osteoporosis, alergi, penyakit tiroid,
sakit kepala dan migrain yang berat, riwayat trauma pada
kepala, diabetes, Sjogren syndrome, dan Steven-Johnson
syndrome.
2. Konsumsi obat-obatan seperti antihistamin, steroid, diuretik.
3. Memakai obat topikal mata dalam jangka waktu lama.
4. Pemakaian lensa kontak mata.
5. Merokok.
33
3.3.2 Besar Sampel
Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data kategorik dan
populasi yang tidak berpasangan. Rumus besar sampel untuk penelitian
analisis kategorik tidak berpasangan:
1 = 2 = Zα 2PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2P1 − P21 = 2 = 1,96 √2x0,2x0,8 + 0,842 √0,3x0,7 + √0,1x0,90,2
1 = 2 = 60Keterangan:
1 = 2 = besar sampel
= derivat baku alfa dengan tingkat kemaknaan 95%, = 1,96
= derivat baku beta = 0,842
= ( 1 + 2)= 1 −
1 =proporsi variabel yang mendukung terjadinya SMK dari pustaka
0,3 (Asyari, 2007)
1 = 1 − 12= proporsi variabel yang tidak mendukung terjadinya SMK
2 = 1 − 2
34
Jadi, penelitian ini mengambil sampel masing-masing 60 orang yang berada
di ruangan kelas ber-AC dan non-AC.
3.3.3.Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling
yaitu setiap anggota populasi yang sesuai dan memenuhi kriteria akan
diambil sebagai sampel.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner OSDI (Ocular Surface
Disease Index) yang telah diubah ke dalam bahasa Indonesia dan tes
Schirmer.
3.5 Skema Pengumpulan Data
3.6 Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Pemakaian AC di ruang kelas
2. Variabel terikat : Sindroma Mata Kering pada Pelajar SMA Bandar
Lampung.
Pejalar SMAN yang berada diruangan ber-AC dan non-AC
Kuesioner dan tes schirmer’s
Gambar 7.Skema Pengumpulan Data.
35
3. Variabel luar:
1. Terkendali: umur, memakai lensa kontak, menderita penyakit arthritis,
osteoporosis, alergi, penyakit tiroid, sakit kepala dan migrain yang
berat, riwayat trauma pada kepala, diabetes, Sjogren syndrome, Steven-
Johnson syndrome, dan penyakit okular, mengonsumsi obat-obatan
seperti steroid, diuretik, antihistamin, dan merokok.
2. Tidak terkendali: tingkat berkedip (aktivitas yang memengaruhi jumlah
kedipan mata seperti membaca dan mengoperasionalkan komputer),
terpajan AC dari tempat selain ruang kelas, dan terkena angin saat
berkendara.
36
3.7 Definisi Operasional Parameter Penelitian
Tabel 2. Definisi Operasional Penelitian.
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Skala
Variabel Bebas
1. PajananAC
Ruangan kelas yangdilengkapi denganfasilitas AC dalamproses belajarmengajar
Hygrothermometerdigital: merupakanalat untukmengukur tingkatsuhu dankelembaban suaturuangan secaraotomatis.
<40 %:kelembabanrendah
>40 %:kelembabannormal
(KementerianKetenagakerjaanRI, 2016)
Ordinal
Variabel Terikat
1. SindromaMataKering
Keluhan mata keringberupa mata gatal,sekresi mukusberlebih,ketidakmampuanmenghasilkan airmata, sensasiterbakar,fotosensitivitas,kemerahan, sakit,dan sulitmenggerakkanpalpebra
Tes Schirmer:merupakanpemeriksaankuantitatif film airmata denganmenggunakan kertasyang sudahdilengkapi denganskala untukmenegakkandiagnosis.
≤ 10mm/ 5menit: SMK
≥10mm/ 5menit: tidakSMK
(Messmer,2015)
Nominal
3.8 Alat dan Bahan Penelitian
1. Formulir biodata dan lembar persetujuan
Berisi tentang data diri responden penelitian yang dibutuhkan oleh
peneliti dan lembar persetujuan. Formulir ini untuk mengetahui identitas
responden dan untuk mengetahui apakah responden masuk ke dalam
kriteria inklusi.
37
2. Snellen Chart
Snellen Chart digunakan untuk menilai visus mata yang merupakan salah
satu kriteria inklusi dalam penelitiian ini.
3. Kuesioner OSDI(Ocular Surface Disease Index)
Kuesioner OSDI memiliki 12 pertanyaan dan memiliki rentang nilai 0-4
di setiap pertanyannya. Kuesioner ini digunakan untuk mendiagnosis
sindroma mata kering secara subyektif berdasarkan gejala yang dirasakan
oleh responeden penelitian.
4. Kertas Schirmer
Kertas Schirmer digunakan saat dilakukan tes Schirmer. Kegunaan kertas
ini adalah untuk mengetahui jumlah air mata. Kertas ini digunakan untuk
mendiagnosis sindroma mata kering secara obyektif.
5. Hygrothermometer
Alat ini digunakan untuk mengukur suhu dan tingkat kelembaban suatu
ruanga.
3.9 Cara Kerja
1. Peneliti melakukan pemeriksaan suhu dan tingkat kelembaban ruangan
dengan alat hygrothermometer.
2. Peneliti memeriksa visus calon responden dengan menggunakan snellen
chart. Responden dengan visus normal, akan dibagikan formulir biodata
dan lembar persetujuan.
3. Dari formulir biodata akan didapatkan responden yang masuk ke dalam
kriteria inklusi.
38
4. Responden yang masuk ke dalam kriteria inklusi diberikan kuesioner
OSDI dan diberikan penjelasan mengenai cara mengisinya.
5. Responden mengisi kuesioner yang dibagikan. Setelah selesai mengisi,
kuesioner dikembalikan kepada peneliti.
6. Peneliti melakukan tes Schirmer kepada responden yang sudah mengisi
kuesioner OSDI dan hasilnya dituliskan dibagian belakang kuesioner
OSDI.
7. Melakukan hasil uji statistik dari responden yang termasuk kriteria inklusi
untuk mengetahui adakah hubungan penggunaan Air Conditoner (AC) di
ruang kelas terhadap kejadian sindroma mata kering pada pelajar SMA
Negeri 9 dan 14 Bandar Lampung.
3.10 Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil pengukuran sampel akan di uji analisis menggunakan uji Chi
Square karena mencari hubungan variabel kategorik dengan kategorik (2x2)
dan tidak berpasangan. Apabila syarat uji Chi Square tidak terpenuhi, maka
analisis data akan menggunakan uji Fisher. Analisis data ini menggunakan
aplikasi SPSS.
3.10.1 Pengolahan Data
Proses pengolahan data menggunakan komputer dengan melakukan
beberapa langkah, yaitu:
1. Pengeditan yaitu mengoreksi data untuk memastikan
kelengkapan dan kesempurnaan data.
39
2. Pengodean yaitu memberi kode pada data sehingga lebih
mudah dalam pengolahan data.
3. Pemasukan data yaitu memasukkan data dalam program
komputer.
4. Tabulasi yaitu menyajikan data dalam bentuk tabel.
3.10.2 Analisis Data
Perolehan hasil didapat dari analisa statistik sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis data yang digunakan untuk
menentukan karakteristik sampel penelitian berdasarkan jenis
kelamin,karakteristik lokasi berdasarkan rerata tingkat suhu
dan kelembaban ruangan, distribusi sampel berdasarkan status
sindroma mata kering, keluhan subyektif seluruh sampel, dan
keluhan subyektif penderita sindroma mata kering.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis data yang digunakan untuk
menentukan hubungan penggunaan AC di ruang kelas
terhadap kejadian sindroma mata kering. Analisis ini
menggunakan analisis Chi Square dengan bentuk tabel 2x2.
Dalam penggunaan analisis Chi Square tidak diperhatikan
tentang expected count karena jumlah sampel yang diambil
lebih dari 40.
40
3.11 Rancangan Penelitian
Gambar 8.Kerangka Penelitian.
3.12 Etika Penelitian
Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penilaian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung
denganNo:3536/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
Pelajar SMAN Bandar Lampung
Pengambilan sampel
Teknik Consecutive Sampling
Formulir biodata danlembar persetujuan
Kriteria eksklusi Kriteria inklusi
Ruangan non-ACRuangan ber-AC
Uji statistik
Tes Schirmer
52
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Rata-rata suhu dan kelembaban relatif ruangan pada ruangan ber-AC
berturut-turut adalah 24,1oC dan 38,5%, rata-rata suhu dan kelembaban
relatif ruangan tidak ber-AC berturut-turut adalah 32,3oC dan 60%.
2. Setelah dilakukan pemeriksaan Schirmer, angka kejadian sindroma mata
kering pada pelajar di ruangan ber-AC adalah 67,1% dan pada pelajar di
ruangan tidak ber-AC adalah 20%.
3. Keluhan terbanyak yang dirasakan populasi sindroma mata kering dan
seluruh populasi adalah mata yang sensitif terhadap cahaya.
4. Terdapat hubungan antara penggunaan Air Conditioner di ruangan kelas
terhadap kejadian sindroma mata kering pada pelajar Sekolah Menengah
Negeri Atas Bandar Lampung.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan penggunaan
Air Conditioner di ruangan kelas terhadap kejadian sindroma mata kering
dengan menggunakan instrumen penelitian selain tes Schirmer.
53
2. Perlu dilakukan penelitian di satu sekolah yang sama namun dapat
mewakili populasi AC dan tidak ber-AC serta dilakukan pada hari yang
sama agar tidak ada perbedaan cuaca yang dapat menyebabkan hasil yang
rancu pada penelitian.
3. Perlu diberikan edukasi kepada pelajar yang berada di ruangan ber-AC
tentang sindroma mata kering, pencegahannya, dan hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi keluhan akibat mata kering agar tidak
mengganggu proses belajar sewaktu di kelas.
54
DAFTAR PUSTAKA
A’la RH. 2016. Studi penggunaan artificial tears pada pasien dry eye syndrome[skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Abusharha AA, Pearce E. 2013. The effect of low humidity on human tear film.Cornea. 32(4):429-34.
Adekayanti R. 2015. Pengaruh penggunaan AC terhadap gangguan kesehatanyang berdampak terhadap kebugaran pelajar [skripsi]. Surakarta:Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Asiedu K, Kyei S, Boampong F, Ocansey S. 2017. Symptomatic dry eye and itsassociated factors: a study of university undergraduate students in Ghana.Eye Contact Lens. 43(4):262-266.
Backman H, Haghighat F. 2000. Air quality and ocular discomfort aboardcommercial aircraft. Optometry. 71(10):653-6.
Bakkar MM, Shihadeh WA, Haddad MF, Khader YS. 2016. Epidemiology ofsymptoms of dry eye disease (DED) in Jordan: A cross-sectional non-clinical population-based study. Cont Lens Anterior Eye. 39(3):197-202.
Boyd K, Turbert D. 2018. Parts of the eye. American Academy of Ophtalmology.
Hardinasari R. 2015. Hubungan pemakaian air conditioner di ruang kelas terhadapkejadian sindroma mata kering (dry eye syndrome) pada siswa SMASurakarta [skripsi]. Solo: Universitas Sebelas Maret.
Hashemi H, Khabazkhoob M, Kheirkhah A, Emamian MH, Mehravaran S,Shariati M, Fotouhi A. 2014. Prevalence of dry eye syndrome in adultpopulation. Clin Exp Ophthalmol. 42(3):242-8.
55
Ilyas S, Yulianti RS. 2013.Ilmu penyakit mata. edisi 4. Jakarta: Badan PenerbitFK UI.
Isya H. 2016. Hubungan hasil uji schirmer i dengan uji ferning pada pasien dryeye yang disebabkan meibomian gland dysfunction di klinik mata rsuddokter soedarso [skripsi]. Kalimantan Barat: Universitas Tanjungpura.
Javadi M, Feizi S. 2011. Dry eye syndrome. J Ophtalmic Vic Res. 6(3):192–198.
Lee AJ et al,. 2002. Prevalence and risk factors associated with dry eyesymptoms:a population based study in Indonesia. BR JOphtalmol.86(12):1347–1351.
Lemp MA et al,. 2007. The definition and classification of dry eye disease : reportof the definition and classification subcommittee of the internationalDEWS.The Ocular Surface. 5(2):75–92.
Li N, Deng XG, He MF. 2012. Comparison of the Schirmer 1 test with and ithouttopical anesthesia for diagnosing dry eye. Int J Ophthalmol. 5(4):478-81.
Lopez MA et al,. 2014. Dry eye exacerbation in patients exposed to desiccatingstress under controlled environmental conditions. Am J Ophtalmol.157(4):788-798.
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 2016. Penetapan standarkompetensi kerja nasional Indonesia kategori industri pengolahan golonganpokok industri mesin dan perlengkapan yang tidak dapat diklasifikasikan ditempat lain (YTDL) bidang industri air conditioner (AC). Jakarta:MenteriKetenagakerjaan RI.
Messmer EM. 2015. The pathophysiology, diagnosis, and treatment of dry eyedisease.Deutsches Ärzteblatt International. 112(5):71–81.
Moss SE et al,. 2004. Incidence of dry eye in older population. Arch Ophthalmol.122(3):369-73.
Paulsen AJ et al,.2015. Dry eye in the beaver dam offspring study: prevalence,risk factors, and health-related quality of life.American Journal ofOphtalmology. 157(4):799–806.
56
Phadatare SPet al,. 2015. A comprehensive review on dry eye disease: diagnosis,medical management, recent developments, and future challenges.Advances in Pharmaceutics. 2015(2):1–12.
Schein OD et al,. 1997. Prevelence of dry eye among the elderly. AM JOphthalmol. 124(6):723-8.
Stapleton Fet al,. 2014. Sex hormones and the dry eye. Clin Exp Optom.97(4):324 36.
Su SB et al,. 2009. Higher prevalence of dry eye symptomps in skin, eyes, nose,and throat among workers in clean rooms with moderate humidity. J OccupHealth. 51(4):364-9.
Teson M et al,. 2013. Influence of controlled environment simulating an in-flightairplane cabin on dry eye disease. Invest Ophthalmol Vis Sci. 54(3):2093-9.
Trbolova A, Ghaffari MS. 2017. Results of the Schirmer tear test performed withopen and closed eyes in clinically normal horses. Acta Vet Scand. 59(1):35.
Uchiyama E, Aronowicz JD, Butovich IA, McCulley JP. 2007. Increasedevaporative rates in laboratory testing conditions simulating airplane cabinrelative humidity: an important factor for dry eye syndrome. Eye ContactLens. 33(4):174-6.
Vaughan D, Asbury. 2009.Oftalmologi umum edisi 17. Jakarta: EGC.
Wagner P, Lang GK. 2016. A pocket textbook atlas. New York: Thieme Stuttgart
Yureeda Q, Shruti A, Pedram H. 2014. Image-guided evaluation and monitoringof treatment response in patients with dry eye disease. Graefes Arch ClinExp Ophthalmol. 252(6):857-872