hepatitis b

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B Menurut Ketua Divisi Hepatologi FKUI-RSCM Ali Sulaiman pada seminar “Waspada Hepatitis B dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Hepatitis B” mendefinisikan hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui dan menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali lebih cepat dari HIV/AIDS. 11 Hanya sedikit dari mereka yang terinfeksi hepatitis B (HBV) akut yang menunjukkan gejala. 12 Tanda-tanda terinfeksi VHB jangka pendek (Hepatitis B Akut) adalah kelelahan dan sindroma ”flu like”, nafsu makan turun, panas, pusing, mual, muntah, sakit perut, diare, kulit dan mata, kuku dan seluruh tubuh berwarna kuning, kencing berwarna cokelat tua, tinja berwarna pucat. 11 Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. 13 Sedangkan terinfeksi hepatitis B jangka panjang (Hepatitis B Kronis) adalah sama dengan yang akut disertai sakit otot dan persendian, serta lemas. Tahapannya adalah fibrosis, yaitu penumpukan serta akumulasi dari jaringan hati yang rusak. Kemudian pada tahap sirosis, yaitu kerusakan lanjut dari jaringan hati yang ditandai dengan permukaan hati yang berbenjol-benjol dan terbentuk jaringan ikat. Pada akhirnya berlanjut ke tahap kanker hati. Jangka waktu perjalanan penyakit adalah dari 30-50 tahun. 11 Universitas Sumatera Utara

Upload: anda-tri-suhanda

Post on 28-Dec-2015

46 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hepatitis b

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis B

Menurut Ketua Divisi Hepatologi FKUI-RSCM Ali Sulaiman pada seminar

“Waspada Hepatitis B dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Hepatitis B”

mendefinisikan hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang

berpotensi fatal yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah

satu penyakit yang sering ditemui dan menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali

lebih cepat dari HIV/AIDS. 11

Hanya sedikit dari mereka yang terinfeksi hepatitis B (HBV) akut yang

menunjukkan gejala.12 Tanda-tanda terinfeksi VHB jangka pendek (Hepatitis B Akut)

adalah kelelahan dan sindroma ”flu like”, nafsu makan turun, panas, pusing, mual,

muntah, sakit perut, diare, kulit dan mata, kuku dan seluruh tubuh berwarna kuning,

kencing berwarna cokelat tua, tinja berwarna pucat.11 Pada saat badan kuning,

biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di

bagian perut kanan atas.13 Sedangkan terinfeksi hepatitis B jangka panjang (Hepatitis

B Kronis) adalah sama dengan yang akut disertai sakit otot dan persendian, serta

lemas. Tahapannya adalah fibrosis, yaitu penumpukan serta akumulasi dari jaringan

hati yang rusak. Kemudian pada tahap sirosis, yaitu kerusakan lanjut dari jaringan

hati yang ditandai dengan permukaan hati yang berbenjol-benjol dan terbentuk

jaringan ikat. Pada akhirnya berlanjut ke tahap kanker hati. Jangka waktu perjalanan

penyakit adalah dari 30-50 tahun.11

Universitas Sumatera Utara

Sulitnya mendeteksi gejala menjadikan penyakit ini masih menjadi penyebab

kematian nomor 10 di dunia. Diperkirakan akibat infeksi hepatitis B mengakibatkan

500 ribu hingga 1,2 juta kematian per tahun akibat hepatitis kronik yang berlanjut

menjadi sirosis hati atau kanker hati.15

2.1.1 Identifikasi Hepatitis B

Virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan 10%

persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis

kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan

carsinoma hepatoselluler (hepatoma). Risiko berkembang menjadi infeksi kronis

HBV terjadi sekitar 90 % pada bayi yang terinfeksi pada waktu proses kelahiran, 0-50

% pada anak-anak yang terinfeksi pada usia 1-5 tahun dan sekitar 1%-10% pada

anak-anak usia yang lebih tua dan dewasa. Diperkirakan 15%-25% orang dengan

infeksi HBV kronis akan meninggal lebih awal dengan cirrhosis atau carcinoma

hepatosellular dan HBV mungkin sebagai akibat sampai 80% dari semua kasus

carcinoma hepatosellular di dunia.13,14

Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya antigen dan atau antibodi spesifik

pada serum. Ada tiga bentuk sistem antigen-antibodi yang sangat bermanfaat secara

klinis yang ditemukan pada infeksi hepatitis B yaitu12 :

1) Antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan antibodi terhadap HbsAg (anti-

HBs).

2) Antigen core hepatitis B (HBcAg) dan antibodi terhadap HBcAg (anti-HBc)

3) Antigen e hepatitis B (HBeAg) dan antibodi terhadap HBeAg (anti-HBe)

Universitas Sumatera Utara

HBsAg muncul dalam serum selama infeksi akut dan tetap ditemukan selama

infeksi kronis. Ditemukannya HBsAg dalam darah menunjukkan bahwa orang

tersebut potensial untuk menularkan. Ditemukannya HBeAg artinya orang tersebut

sangat menular.12

2.1.2 Masa Inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung 45-180 hari, rata-rata 60-90 hari. Paling

sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HBsAg dalam

darah, dan jarang sekali sampai 6-9 bulan. Perbedaan masa inkubasi tersebut

dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah virus dalam inoculum, cara-cara

penularan, dan faktor pejamu.12

2.1.3 Kelompok Risiko Tinggi

Dari data-data laporan penelitian HBV, maka dikenal kelompok risiko tinggi

yang mudah tertular, yaitu3 :

1. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, apalagi disertai HBeAg positif,

maka sudah pasti akan tertulari.

2. Lingkungan penderita/pengidap dengan HBsAg positif terutama anggota

keluarga/mereka yang serumah yang selalu berhubungan langsung.

3. Tenaga medis, paramedis, petugas laboratorium, yang selalu kontak langsung

dengan para penderita HBV

4. Calon penderita bedah, gigi, penerima tranfusi, pasien dialisa.

5. Mereka yang hidup di daerah endemis HBV dengan prevalensi tinggi, misalnya di

Indonesia khususnya : Lombok, Bali, Kalimantan Barat, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Distribusi Penyakit HBV (Hepatitis B Virus)

WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi oleh HBV

(termasuk 350 juta dengan infeksi kronis). Setiap tahun sekitar 1 juta orang

meninggal akibat infeksi HBV dan lebih dari 4 juta kasus klinis terjadi. Di negara di

mana HBV endemis tinggi (prevalensi HBsAg berkisar di atas 8 %), infeksi biasanya

terjadi pada semua golongan umur, meskipun angka infeksi kronis tinggi terutama

disebabkan karena terjadi penularan selama kehamilan dan pada masa bayi dan anak-

anak. Di negara-negara dengan endemisitas yang rendah (prevalensi HBsAg kurang

dari 2 %), sebagian besar infeksi terjadi pada dewasa muda, khususnya di antara

orang yang diketahui kelompok risiko. Namun, walaupun di negara dengan

endemisitas HBV rendah, proporsi infeksi kronis yang tinggi mungkin didapat selama

masa anak-anak oleh karena perkembangan menjadi infeksi kronis sangat tergantung

dengan umur.12

Di Indonesia kejadian hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang berlanjut

menjadi hepatitis kronik, cirroshis hepatis dan hepatoma. Satu atau dua kasus

meninggal akibat hepatoma. Menurut Sulaiman (1994) dalam Aguslina (2004),

berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi

Hepatitis B berkisar antara 2,50-36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis

B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25-45 % pengidap adalah karena infeksi

perinatal.14 Dan menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara (USU) Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD, KGEH, memperkirakan saat ini

sekitar 11,6 juta penduduk Indonesia terinfeksi VHB.13

Universitas Sumatera Utara

Menurut Prof.dr.Siti Nurdjanah, MKes, SpPD-KGEH dalam pidato

pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Senin 5 November 2007

mengatakan bahwa Indonesia memiliki endemisitas sedang sampai tinggi dan

hepatitis B menempati urutan ke-3 Asia.15

2.1.5 Cara Penularan HBV

Penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada semua orang dan semua

kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung

virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya penularan dari

HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV diasosiasikan dengan tranfusi darah

atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV

makin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan

karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh

penderita, misalnya melalui : darah, air liur, air seni, keringat, air mani, air susu ibu,

cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan

dan non perkutan di samping itu juga dikenal penularan horizontal dan vertikal.3

1. Penularan horizontal

Cara penularan horizontal yang dikenal ialah : tranfusi darah yang

terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu

HBV dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan

selaput lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda

tajam, menindik telinga, pembuatan tatoo, pengobatan tusuk jarum (akupuntur),

penggunaan alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan

jarum suntik yang kotor/kurang steril.3 Penggunaan alat-alat kedokteran dan

Universitas Sumatera Utara

perawatan gigi yang sterilisasinya kurang sempurna/kurang memenuhi syarat

akan dapat menularkan HBV. Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu

busuk, parasit, dan lain-lain dapat juga menularkan HBV, walaupun belum ada

laporan. Cara penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan cara

penularan non-kutan diantaranya ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak

seksual (baik homoseks maupun heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB,

atau melalui saliva yang bercium-ciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga

dengan jalan tukar pakai sikat gigi, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan

karena selaput lendir tubuh yang melapisinya terjadi diskontinuitas, sehingga

virus hepatitis B mudah menembusnya.3

2. Penularan vertikal

Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari

seorang ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada

saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu

menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan,

maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari.3

2.1.6 Vaksinasi Hepatitis B

Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan

menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif

mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier.14

Dengan ditemukannya vaksin hepatitis B, maka program pencegahan infeksi

terhadap HBV dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Vaksinasi dengan HBV dapat

diberikan dengan 3 cara, yaitu3 :

Universitas Sumatera Utara

Imunisasi pasif, dengan menggunakan vaksin “Hepatitis B Immunoglobulin”

(HBIG) yang mempunyai daya lindung pendek.

Imunisasi aktif, dengan menggunakan vaksin hepatitis B yang mempunyai daya

lindung lebih lama.

Imunisasi gabungan antara pasif dan aktif, yaitu pemberian HBIG, kemudian

dilanjutkan dengan vaksin hepatitis B.

2.2 Siklus Penularan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan

Sumber : Wisnuwardani S.D 1994, up-date ilmu penyakit infeksi 1994

Penyebaran infeksi virus hepatitis B dan virus AIDS yang dapat terjadi dari

penderita ke tenaga kesehatan yang sehat (dokter bedah, perawat, dan petugas

kebersihan) pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang

terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja

tertusuk pada kulit yang sehat.2

Tubuh manusia

Darah, Sekret vagina, air mani, dsb

Pejamu (tenaga kesehatan)

Tusukan jarum, Kulit lecet/luka, Terpotong, Percikan pada membaran mukosa

Universitas Sumatera Utara

2.3 Menurunkan Risiko Penularan di Tempat Kerja

Menurunkan risiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan 16 :

Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat kepada

semua pasien, di semua tempat pelayanan atau ruang perawatan tanpa

memandang status infeksi pasiennya.

Menghindari tranfusi, suntikan, jahitan, dan tindakan invasif lain yang tidak perlu.

Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian

infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya.

Mematuhi kebijakan dan pedoman yang sesuai tentang penggunaan bahan dan

alat secara baik dan benar, pedoman pendidikan dan pelatihan serta supervisi.

Menilai dan menekan risiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan

kesehatan.

2.4 Pencegahan dan Penanganan Infeksi pada Petugas Perawatan Kesehatan

Pada tahun 1991 dan 1994 Occupational Safety and Health Administration

(OSHA) memberikan mandat untuk perlindungan penyakit pada Petugas Perawatan

Kesehatan (PPK) menggunakan pedoman Center for Disease Control and Prevention

(CDC). OSHA mengharuskan bahwa PPK mempunyai akses ke pengendalian

enginering, pengendalian praktik kerja, dan imunisasi virus hepatitis B. OSHA juga

mengharuskan bahwa PPK yang terpajan dengan darah atau cairan yang mengandung

darah untuk diperiksa adanya infeksi yang ditularkan melalui darah, mendapat

intervensi medik sesuai indikasi, dan mendapat konseling kemungkinan implikasi

dari pajanan tersebut.17

Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Pengendalian Praktik Kerja

Pengendalian praktik kerja merupakan tanggung jawab majikan untuk

menyediakan dan melaksanakan pengendalian. Tujuan dari pengendalian praktik

kerja adalah untuk melindungi pekerja dari pajanan terhadap infeksi dan penyakit.

Pengendalian praktik kerja harus mengetangahkan isu seperti mencuci tangan,

dekontaminasi, desinfeksi, dan sterilisasi, jadwal membersihkan lingkungan kerja,

penanganan benda tajam, pembuangan limbah biomedik, penggunaan pengendalian

enginering dan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai.17

2.4.2 Pengendalian Enginering

Penggunaan pengendalian enginering seperti menempatkan tempat

pembuangan jarum yang mudah dijangkau dan pengendalian praktik kerja seperti

larangan menutup jarum kembali, dan penanganan jarum secara manual

menghasilkan pengurangan cedera akibat tertusuk jarum, tetapi tidak

menghilangkannya.17

Jarum merupakan alat yang diperlukan untuk menembus kulit pasien

(misalnya digunakan untuk memulai infus intravena (IV) atau memberikan suntikan

secara langsung). Namun, alat-alat telah dikembangkan untuk menghilangkan

pemajanan jarum ketika penetrasi kulit tidak diperlukan (contoh konektor IV yang

tidak berjarum). Alat-alat lain memungkinkan untuk melindungi tangan PPK dari

jarum yang diperlukan (misalnya alat-alat dengan self sheating atau jarum dengan

retractable dan alat-alat dengan jarum yang masuk ke dalam tutup pelindung).17

Pada standard patogen yang ditularkan melalui darah, OSHA menekankan

pengendalian enginering dan pengendalian praktik kerja sebagai lini pertahanan

Universitas Sumatera Utara

pertama terhadap cedera-cedera benda tajam yang terkontaminasi dan menyatakan

bahwa “alat pelindung diri harus digunakan bila pajanan akibat kerja tetap ada setelah

melakukan pengendalian ini”.17

2.4.3 Imunitas Pekerja Perawatan Kesehatan

Pada tahun 1991 OSHA menguatkan rekomendasi CDC dengan

mengharuskan majikan memberikan vaksin HBV dalam 10 hari dari masa pekerjaan

yang tidak dibayar pada PPK yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan

darah atau bahan-bahan yang kemungkinan terinfeksi lainnya.17

Sesuai dengan peraturan nasional dan protokol imunisasi yang relevan,

pengusaha harus menyediakan satu seri vaksinasi hepatitis B bagi semua pekerja

sektor kesehatan yang mungkin terpajan terhadap darah dan cairan tubuh. Pengusaha

harus menjaga agar mereka secara teratur mendapat informasi dari kemajuan dalam

pengembangan dan ketersediaan vaksin baru.18

2.4.4 Menangani Pajanan Signifikan Petugas Perawatan Kesehatan

Meskipun jumlah pajanan kerja dapat dikurangi secara signifikan melalui

penggunan kewaspadaan universal, pengendalian praktik kerja, dan pengendalian

enginering, kemungkinan pajanan PPK terhadap patogen yang ditularkan melalui

darah tidak dapat dieliminasi secara menyeluruh selama perdarahan pasien ditangani

dengan jarum serta benda-benda tajam digunakan dalam memberikan perawatan.

Infeksi dengan patogen yang ditularkan melalui darah telah dicatat sebagai akibat dari

pajanan perkutaneus (tertusuk jarum/tergores) dan mukokutaneus (percikan/aerosol).

17

Universitas Sumatera Utara

2.4.5 Pertolongan Pertama

Segera setelah pemajanan tempat yang terkena harus digosok dengan kuat

dengan larutan desinfektan seperti povidine iodine 10 %. Membran mukosa yang

terkontaminasi harus diirigasi selama 10 menit dengan saline normal atau air keran

yang mengalir. Segera setelah menerima pertolongan pertama, PPK yang terpajan

harus melaporkan pajanan tersebut ke penyelia atau ke pelayanan kedokteran kerja.17

2.4.6 Tindak Lanjut Setelah Pajanan

Menurut peraturan OSHA (1991), majikan harus mengatur evaluasi medik

setelah pajanan dan tindak lanjut tanpa biaya kepada pegawai. Tindak lanjut dapat

berupa pemeriksaan serologis dasar terhadap HBV dan HIV jika PPK mengizinkan,

konseling, dan pengobatan.17

2.5 Standard Patogen yang Ditularkan Melalui Darah dari OSHA

Tinjauan tentang Bloodborne Phatogen Standard (Standard Patogen Darah)

OSHA 1991 meliputi17 :

1. Cakupan dan Aplikasi

Standard tentang paparan okupasi terhadap patogen yang ditularkan melalui darah

berlaku untuk semua pekerja dengan pekerjaan yang terpapar dengan darah atau

bahan-bahan lain yang secara potensial infeksius/OPIM (Other Potentially

Infectious Material).

2. Rencan Pengendalian Paparan

Setiap majikan yang mempunyai pekerja yang mungkin cukup beralasan untuk

terpapar dengan patogen yang ditularakan melalui darah harus mempunyai

rencana pengendalian paparan tertulis yang didisain untuk menghilangkan atau

Universitas Sumatera Utara

meminimalkan paparan pekerja. Rencana tersebut harus berisi (1) determinasi

paparan yang didokumentasikan, (2) jadwal dan metode untuk

mengimplementasikan rencana pengendalian paparan, (3) prosedur untuk

mengevaluasi insiden paparan.

3. Metode Komplians

Terdiri dari kewaspadaan universal, pengendalian engineering, pengendalian

praktik kerja, alat pelindung diri, orientasi dan pelatihan, label dan tanda,

pengaturan limbah, kebersihan tempat kerja, vaksinasi hepatitis B, rencana pasca

paparan.

2.6 Kewaspadaan di Rumah Sakit

2.6.1 Kewaspadaan Standard/Kewaspadaan Baku

Kewaspadaan Standard/Kewasapadaan Baku mempersatukan keutamaan dari

Universal Precaution (UP) dan Body Substance Isolation (BSI).17 Karena sebagian

besar orang yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV dan VHB yang tidak

menunjukkan gejala, kewaspadaan baku tersebut ditujukan untuk melindungi setiap

orang (pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.4

Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, duh tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan

ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran

mukosa yang tidak utuh.4,17 Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan

mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak

diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai,

dan semprit) di dalam sistem pelayanan kesehatan.4

Universitas Sumatera Utara

Menurut le Claire dkk (1987) yang dikutip Tietjen (2004), setelah bertahun-

tahun, indikasi penggunaan praktik isolasi tertentu (misalnya sarung tangan tertentu

lebih efektif dari pada baju pelindung dalam pencegahan kontminasi silang) telah

dapat diatasi melalui penelitian. Betapapun juga ketidakmampuan petugas

administrasi dan klinik di negara miskin untuk menyediakan perlengkapan pelindung,

khususnya ketersedian sarung tangan baru, masih menjadi kendala. Sebagai

tambahan, tantangan untuk menyediakan air bersih dan untuk mencapai standard

yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen medis dan pembuangan

sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.4

2.6.1.1 Komponen Utama Kewaspadaan Sandard/Kewaspadaan Baku

Penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi antara mikroorganisme

dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien rawat inap merupakan

alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.4

Komponen utama kewaspadaan standard diantaranya adalah cuci tangan;

sarung tangan; masker, pelindung mata, penutup wajah; gaun; peralatan perawatan

pasien; linen; instrumen tajam; resusitasi pasien; penempatan pasien.

2.6.2 Kewaspadaan Berdasar Penularan

Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat

dicurigai telah terinfeksi atau terkolonisasi oleh patogen yang ditularkan lewat4 :

Udara (tuberkolosis, cacar air, campak)

Percikan (flu, gondongan, rubella)

Universitas Sumatera Utara

Kontak (hepatitis A atau E, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit

atau mata)

Dalam keadaan di mana ada pertanyaan adanya proses infeksi pada pasien

tanpa diketahui diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan,

secara empirik harus dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat.

2.7 Mencuci Tangan dan Penggunaan Sarung Tangan

Dengan munculnya epidemi AIDS pada akhir tahun 1980-an, berbagai upaya

untuk mencegah transmisi HIV dan virus lainnya yang terkait dengan darah dari

pasien ke staf telah memberi dampak atas seluruh aspek pencegahan infeksi, tetapi

yang paling dramatis adalah pada kesehatan dan kebersihan tangan, dan praktik

penggunaan sarung tangan.4

Tujuan mencuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara

mekanis dari permukaaan kulit, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada

kuku, tangan, lengan dan mencegah penyebaran ke area tidak terkontaminasi, seperti

pasien, tenaga perawatan kesehatan, dan peralatan.4,17

Untuk mendorong cuci tangan, pengelola program harus melakukan segala

upaya menyediakan sabun dan suplai air bersih terus menerus, baik dari kran atau

ember dan lap pribadi.4

2.7.1 Indikasi Mencuci Tangan

Menurut Larson (1995) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi kesehatan dan

kebersihan tangan sudah dipahami dengan baik, tetapi pedoman praktik terbaik dalam

hal ini terus berkembang. Misalnya, pilihan sabun biasa atau antiseptik atau

penggunaan penggosok tangan berbasis alkohol bergantung pada besarnya risiko

Universitas Sumatera Utara

kontak dengan pasien (misalnya tindakan medis rutin versus pembedahan) atau

tersedianya bahan. 4

Diantara indikasi untuk mencuci tangan adalah4,17 :

1. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau melakukan prosedur seperti

mengganti balutan, menggunakan tempat sputum, sekresi, ekskresi dan drainase,

atau darah.

2. Sebelum dan setelah memegang peralatan yang digunakan pasien contohnya,

kateter IV (Intra Vena), kateter urin, kantung drainase urin, dan peralatan

pernapasan.

3. Sebelum dan setelah mengambil spesimen

4. Sebelum memakai sarung tangan bedah steril atau DDT sebelum pembedahan,

atau sarung tangan pemeriksaan untuk tindakan rutin

5. Sesudah melepas sarung tangan.

Menurut CDC (1989) yang dikutip Tietjen, kedua tangan harus dicuci dengan

sabun dan air bersih (atau menggunakan penggosok antiseptik) sesudah melepas

sarung tangan karena kemungkinan sarung tangan berlubang atau robek, sehingga

bakteri dapat dengan mudah berkembang biak di lingkungan yang hangat dan basah

di dalam sarung tangan.4

2.7.2 Faktor Penghambat Petugas Tidak Mencuci Tangan

Kurangnya waktu

Terbatasnya akses atas air mengalir dan wastapel

Tindakan cuci tangan yang acapkali dilakukan mengiritasi kedua tangan

Universitas Sumatera Utara

Keyakinan bahwa memakai sarung tangan memberikan perlindungan menyeluruh

keraguan berkenaan efektivitas cuci tangan untuk mencegah infeksi

Persepsi bahwa teman sejawat dan penyelia tidak melakukan tindakan cuci tangan

seperti yang dianjurkan.

Selain itu, petugas kesehatan secara salah meyakini bahwa mereka mencuci kedua

tangan lebih sering dari yang mereka lakukan sebenarnya.4

2.7.3 Penggunaan Sarung Tangan

Sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan menggunakan sarung tangan

untuk tiga alasan, yaitu4 :

1. Mengurangi risiko petugas terkena infeksi bakterial dari pasien

2. Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien

3. Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang

dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.

Selanjutnya, sarung tangan terutama dipakai hanya oleh petugas yang

merawat pasien yang menderita infeksi patogen tertentu atau yang terpapar dengan

pasien yang berisiko tinggi hepatitis B. Dewasa ini sarung tangan sekali pakai dan

sarung tangan bedah menjadi perlengkapan pelindung yang paling banyak dipakai.4

Menurut Tenosis dkk (2001) yang dikutip Tietjen, walaupun sarung tangan

telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas

kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung

tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak

Universitas Sumatera Utara

tampak.4 Selain itu, sarung tangan menurut Bagg dkk (2001) juga dapat robek

sehingga tangan dapat terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan.4

Tergantung situasi, sarung tangan pemeriksaan atau sarung tangan rumah

tangga harus dipakai bilamana4 :

Akan terjadi kontak tangan pemeriksa dengan darah atau duh tubuh lainnya,

selaput lendir, atau kulit yang terluka

Akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat

vaskular seperti intravena perifer)

Akan membersihkan sampah terkontaminasi atau memegang permukaan yang

terkontaminasi.

2.8 Keselamatan Mempergunakan Jarum Suntik dan Semprit

(1) Mempergunakan tiap-tiap jarum dan semprit hanya sekali pakai.4

(2) Jangan melepas jarum dari semprit setelah digunakan.

(3) Jangan menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang.

(4) Buanglah jarum dan semprit di wadah anti bocor.

Apabila jarum dan semprit sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang

kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu tangan” 4 :

Pertama, tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian

angkat tangan anda.

Kemudian dengan satu tangan memegang semprit, gunakan jarum untuk

menyekop tutup tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Dengan penutup di ujung jarum, putar semprit tegak lurus sehingga jarum dan

semprit mengarah ke atas.

Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum

sepenuhnya, peganglah semprit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (di

mana jarum itu bersatu dengan semprit dengan satu tangan, dan gunakan

tangan lainnya untuk menyegel tutup itu dengan baik).4

2.9 Pemrosesan Alat

Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah

langkah pertama dalam memroses instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan

peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan

tangan. Umpamanya merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan

klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh

HBV dan HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani

sewaktu pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi,

kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat

tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah

instrumen ini akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang

terkelupas atau jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.4

2.10 Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,

meningkatkan, dan mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja guna

meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja.19

Universitas Sumatera Utara

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996

tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di bidang kesehatan

wajib memenuhi persyaratan tersedianya20:

a. Calon peserta pelatihan

b. Tenaga kepelatihan

c. Kurikulum

d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan

pelatihan

e. Sarana dan prasarana.

Kemudian pada pasal 9 disebutkan bahwa20 :

(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan

atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.

(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai

dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa20 :

(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti

pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.

(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas

pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan

Sesuai standard patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan

awal dan tahunan yang berhubungan dengan standard harus tersedia untuk setiap

pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak

Universitas Sumatera Utara

dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari

pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan.17

2.11 Determinan Perilaku

Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan

respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan

perkataan lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh

faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau

membentuk perilaku ini disebut determinan.21 Menurut Green yang dikutip

Notoadmodjo (2003), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni21 :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)

Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seseorang. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)

Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau

tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau

memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut

juga faktor-faktor pendukung. Misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit,

tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)

Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak

melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh

masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk

petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan

baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

2.11.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan

domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.21

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden.21

Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan

atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi21 :

a) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit meliputi :

1. Penyebab penyakit

2. Gejala atau tanda-tanda penyakit

3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan

4. Bagaimana cara penularannya

5. Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya

Universitas Sumatera Utara

b) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi :

1. Jenis-jenis makanan yang bergizi

2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan

3. Pentingnya olah raga bagi kesehatan

4. Penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya merokok, minum-minuman keras, dan

sebagainya.

5. Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya bagi kesehatan

c) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

1. Manfaat air bersih

2. Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran

yang sehat, dan sampah.

3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat.

4. Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya.

2.11.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap

secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus sosial.21

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu

merupakan kesiapan atau kesediaaan untuk bertindak, dan bukan merupakan

pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,

Universitas Sumatera Utara

akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih

merupakan suatu rekasi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan

kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

pengahayatan terhadap objek.21

Menurut WHO yang dikutip Notoadmodjo (2003), sikap menggambarkan

suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari

pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang

mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai

kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabakan

beberapa alasan, antara lain21 :

1. Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada

pengalaman orang lain.

3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau

sedikitnya pengalaman seseorang.

4. Nilai (value), di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang

menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3

komponen pokok.21

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional dan evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

Universitas Sumatera Utara

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan

emosi memegang peranan penting.21

Indikator untuk tingkat sikap kesehatan sejalan dengan tingkat pengetahuan

kesehatan seperti21 :

a) Sikap terhadap sakit dan penyakit

Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-

tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan

penyakit, dan sebagainya.

b) Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan

cara-cara (berperilaku) hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau

penilaian terhadap makanan, minuman, olahraga, relaksasi (istirahat) atau istirahat

cukup, dan sebagainya bagi kesehatannya.

c) Sikap terhadap kesehatan lingkungan

Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya

terhadap kesehatan.

2.12 Perawat

Menurut PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) perawat adalah

seorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang

keperawatan yang program pendidikanya telah disahkan oleh Pemerintah Republik

Indonesia.22

Universitas Sumatera Utara

Perawat adalah tenaga profesional di bidang perawatan kesehatan yang

terlibat dalam kegiatan perawatan. Perawat bertanggung jawab untuk perawatan,

perlindungan, dan pemulihan orang yang luka atau pasien penderita penyakit akut

atau kronis, pemeliharaan kesehatan orang sehat, dan penanganan keadaan darurat

yang mengancam nyawa dalam berbagai jenis perawatan kesehatan. Perawat juga

dapat terlibat dalam riset medis dan perawatan serta menjalankan beragam fungsi

non-klinis yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi perawatan kesehatan.22

2.12.1 Fungsi Perawat

Dalam praktik keperawatan fungsi perawat terdiri dari tiga fungsi yaitu fungsi

independen, interdependen, dan dependen.23

1. Fungsi independen

Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan

perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Contoh

tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah :

1. Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarga dan menguji secara fisik

untuk menentukan status kesehatan.

2. Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk

memelihara atau memperbaiki kesehatan.

3. Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mendorong pasien

untuk berperilaku wajar.

2. Fungsi interdependen

Tindakan perawat berdasar pada kerjasama dengan tim perawatan atau tim

kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain

Universitas Sumatera Utara

berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung

dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter.

3. Fungsi dependen

Dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan

pelayanan medik. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan

dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan

dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntikan.

2.12.2 Pelayanan Perawatan

Pelayanan perawatan memegang peranan penting dalam menentukan

keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelayanan keperawatan adalah

berupa bantuan yang diberikan kepada individu yang sedang sakit untuk dapat

memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk hidup dan beradaptasi terhadap stres

dengan menggunakan potensi yang tersedia pada individu itu sendiri.24

Lingkup pelayanan keperawatan adalah pemberian terhadap pemenuhan

kebutuhan dasar manusia secara bio-psiko-sosio-spritual yang mencakup 13

komponen, yaitu24 :

1. Memenuhi kebutuhan oksigen

2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan keseimbangn cairan/elektrolit

3. Memenuhi kebutuhan eliminasi

4. Memenuhi kebutuhan keamanan

5. Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan

6. Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur

7. Memenuhi kebutuhan gerak dan kegiatan jasmani

Universitas Sumatera Utara

8. Memenuhi kebutuhan spritual

9. Memenuhi kebutuhan komunikasi

10. Memenuhi kebutuhan emosional

11. Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologi tubuh

12. Memenuhi kebutuhan pengobatan dan proses penyembuhan

13. Memenuhi kebutuhan penyuluhan dan rehabilitasi

Pelayanan medis/perawatan dilakukan di unit rawat jalan, unit gawat darurat,

unit rawat inap, unit perawatan intensif, unit bedah, kamar bersalin. Pelayanan ini

akan prima bila sarana disiapkan sedemikian rupa hingga membuat suasana kerja

yang nyaman dan memungkinkan kelancaran kerja.24

2.12.3 Merawat di Bangsal Penyakit Dalam

Pasien-pasien di bangsal penyakit dalam jarang menjalani operasi, walaupun

kadang-kadang demikian, yang setelah pemeriksaan dilakukan, tindakan bedah

ditetapkan. Perawatan medis tidak hanya menyangkut pemberian obat untuk

menyembuhkan penyakit, akan tetapi pasien mungkin harus menjalani berbagai jenis

tes dan kajian, yang beberapa dari ini akan mengikutsertakan perawat dalam

pengumpulan spesimen atau sediaan pasien. Pengkajian sederhana mencakup

spesimen darah, air kemih (pertengahan buang air kecil atau pengumpulan urin 24

jam), sputum, atau tinja (untuk darah samar atau penaksiran lemak).25

Ikhtisar ciri-ciri bangsal penyakit dalam25 :

1. Penderita sering sakit kronik dan oleh karena itu tidak sembuh dari penyakit

mereka.

2. Mereka jarang menjalani operasi.

Universitas Sumatera Utara

3. Sebagian besar penderita kurang persiapan untuk masuk rumah sakit karena

mereka masuk dalam keadaan darurat.

4. Mereka sedang sakit atau sangat sakit ketika masuk.

5. Perawatan mencakup memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan

spritual penderita.

6. Penderita lazimnya berumur pertengahan atau tua.

2.13 Rumah Sakit

Menurut American Hospital Association (1974), rumah sakit adalah suatu

organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta sarana

kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan

keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang

diderita oleh pasien. Sedangkan Association of Hospital Care (1987) dalam Azwar

(1996) menyatakan bahwa rumah sakit adalah pusat di mana pelayanan kesehatan

masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.26

Fungsi rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan spesialistik/medik

sekunder dan pelayanan subspesialistik/medik tersier. Oleh karena itu, produk utama

(core product) rumah sakit adalah pelayanan medik.27

Rumah sakit sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan juga melakukan

upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.27

Pengembangan rumah sakit menjadi suatu organisasi yang sehat melalui

pemberian penyuluhan kesehatan kepada pasien, karyawan rumah sakit, dan

masyarakat, telah menghasilkan reorientasi rumah sakit menjadi rumah sakit

Universitas Sumatera Utara

promotor kesehatan (Health Promoting Hospital). Salah satu alasan mengapa rumah

sakit dianggap perlu melaksanakan penyuluhan atau promosi kesehatan karena rumah

sakit sebagai suatu organisasi yang memiliki relatif banyak karyawan dan sebagai

pusat sumber daya untuk wilayahnya, maka rumah sakit mempunyai tanggung jawab

moral untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan karyawannya.27

2.13.1 Jenis Rumah Sakit

Ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, Rumah Sakit di Indonesia dibedakan

atas lima macam yakni26 :

1. Rumah Sakit Kelas A

Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A

ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral

hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat.

2. Rumah Sakit Kelas B

Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

dokter spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B

didirikan di setiap ibukota Propinsi (provincial hospital) yang menampung

pelayanan rujukan dari rumah sakit Kabupaten. Rumah Sakit pendidikan yang

tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai Rumah Sakit kelas B.

3. Rumah Sakit Kelas C

Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada empat macam pelayanan spesialis

ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan

Universitas Sumatera Utara

kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah

sakit kelas C ini akan didirikan di setiap ibu kota Kabupaten (regency hospital)

yang manampung pelayanan rujukan dari Puskesmas.

4. Rumah Sakit kelas D

Rumah Sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada satu

saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan

rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan

kedokteran gigi. Sama halnya dengan Rumah Sakit kelas C, Rumah Sakit kelas D

ini juga menampung pelayanan rujukan yang berasal dari Puskesmas.

5. Rumah Sakit kelas E

Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus (special hospital) yang

menyelenggarakan hanya satu pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak

rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah

sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah

sakit ibu dan anak, dan lain sebagainya yang seperti ini.

2.13.2 Kegiatan di Rumah Sakit

Menurut depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah (2007) kegiatan rumah

sakit terdiri dari10 :

1. Rawat jalan, seperti poliklinik, kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana,

pemeriksaan periodik (general check-up), gigi.

2. Rawat inap, seperti rawat inap interne, anak, mata, bedah, kebidanan, paru,

jantung, kulit, kelamin, telinga hidung dan tenggorokan, neurologi, mulut, gigi,

rawat intensif, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

3. Unit gawat darurat.

4. Pelayanan medik, seperti ruang operasi, dan ruang bersalin.

5. Pelayanan penunjang non-medik, yakni ruang cuci, dapur, administrasi.

6. Pendidikan dan latihan.

2.13.3 Potensi Bahaya di Rumah Sakit

Menurut Depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah, sebagai sarana

pelaksana kesehatan untuk umum, salah satu faktor yang menjadi penyebab potensi

bahaya Penyakit Akibat Kerja (PAK) di rumah sakit yaitu faktor biologi. Sebagai

pelaksanaan kesehatan untuk umum, rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya

orang sakit maupun orang sehat. Berbagai jenis penyakit terdapat di rumah sakit,

salah satunya adalah penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus,

parasit, jamur, infeksi ini dapat menular dari satu orang ke orang lain termasuk

kepada petugas kesehatan dan karyawan yang bekerja di rumah sakit. Di samping itu

berbagai peralatan yang berasal dari penderita seperti darah, sputum, feces, dan

peralatan medis yang tercemar oleh mikroorganisme, sanitasi lingkungan rumah sakit

yang kurang memenuhi syarat, dan limbah rumah sakit dapat pula menjadi sumber

penularan penyakit. Untuk menghindari terjadinya penularan tersebut, perlu

dilakukan upaya pencegahan.10

Universitas Sumatera Utara

2.14 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

2.15 Hipotesis Penelitian

Ho diterima : Tidak ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap

pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap pencegahan

risiko tertular Hepatitis B.

H1

Faktor Pemudah (Predisposing Factor) - Pengetahuan - Sikap

Pencegahan Risiko

Tertular Hepatitis B

Faktor Pemungkin (Enabling Factor) - Ketersediaan Fasilitas dan APD - Pelatihan

Faktor Penguat (Reinforcing Factor) - Kebijakan Rumah Sakit

Karakteristik perawat - Umur - Jenis Kelamin - Pendidikan - Masa Kerja

Universitas Sumatera Utara

Ho diterima : Tidak ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko

tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko

tertular Hepatitis B.

Ho diterima : Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko

tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko tertular

Hepatitis B.

Ho diterima : Tidak ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap

pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap

pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

Ho diterima : Tidak ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap

pencegahan risiko tertular hepatitis B.

Ho ditolak : Ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan

risiko tertular hepatitis B.

H2

H3

H4

H5

Universitas Sumatera Utara