hepatitis akibat pekerjaan

31
Hepatitis B et causa Infeksi Okupasional Debora Semeia Takaliuang 102011304 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Email : [email protected] Pendahuluan Ilmu kedokteran kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kedokteran yang berhubungan denga diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan penyakit yang disebabkan atau ditimbulkan akibat bahaya yang terjadi di tempat kerja. Oleh sebab itu, seorang dokter perusahaan harus terampil dalam ilmu kedokteran preventif dan kuratif yang dapat diterapkan di lingkungan tempat kerja. 1 Menurut data CDC 2007, satu diantara 20 orang di negara ini akan terkena infeksi hepatitis B. Tidak ada terapi untuk saat ini, tetapi ada vaksi untuk mencegah hepatitis B. Virus dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar kira-kira 7 hari. 1

Upload: debbie-takaliuang

Post on 26-Sep-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hepatitis yang disebabkan oleh karena pekerjaan

TRANSCRIPT

Hepatitis B et causa Infeksi Okupasional

Debora Semeia Takaliuang

102011304

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Email : [email protected]

Pendahuluan

Ilmu kedokteran kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kedokteran yang berhubungan denga diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan penyakit yang disebabkan atau ditimbulkan akibat bahaya yang terjadi di tempat kerja. Oleh sebab itu, seorang dokter perusahaan harus terampil dalam ilmu kedokteran preventif dan kuratif yang dapat diterapkan di lingkungan tempat kerja.1

Menurut data CDC 2007, satu diantara 20 orang di negara ini akan terkena infeksi hepatitis B. Tidak ada terapi untuk saat ini, tetapi ada vaksi untuk mencegah hepatitis B. Virus dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar kira-kira 7 hari. Virus ini seharusnya menjadi konsen pada industri pelayanan kesehatan dan industri lain yang berhubungan dengan darah manusia ataupun produk darah. Bagi industri dimana pekerja sering kontak dengan darah ataupun produk darah, edukasi merupakan hal yang sangat dibutuhkan.2

Penyakit Kerja Akibat Pajanan Biologis

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja harus diselenggarakan disemua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang.3

Berbeda dengan pajanan lainnya, pajanan biologis tidak memiliki nilai ambang/ NAB, karena pada pajanan terendah sekalipun, apabila mikroorganismenya sangat virulen dan daya tahan tubuh sedang rendah maka dapat menimbulkan penyakit.3

Penyakit akibat kerja karena pajanan biologis adalah penyakit yang disebabkan pajanan biologis yang terjadi akibat kontak langsung dengan bahan kerja, proses kerja, dan lingkungan kerja. Pajanan biologis dapat terjadi karena akibat:3

Proses kerja dan bahan kerja

Bila pekerja terpajan bahan biologis karena bekerja langsung dengan bahan biologis tersebut ataupun merupakan hasil langsung dari proses kerja yang dilakukan pekerja.

Lingkungan kerja

Bila pekerja terpajan lingkungan yang tercemar pajanan biologis yang berasal langsung dari proses kerja di tempat kerja. Ini termasuk penyakit akibat kerja. Sebagai contoh, penyakit hepatitis pada petugas laboratorium kesehatan.

Bila pekerja terpajan bahan biologis akibat tercemarnya lingkungan kerja oleh suatu bahan biologis yang tidak langsung akibat proses kerja seperti hygene dan pemeliharantempat kerja yang tidak baik bukan merupakan PAK. Contohnya penyakit hepatitis pada pekerja pabrik sepatu

Tabel 1. Pekerja yang Beresiko terkena PAK akibat Pajanan Biologis.1

Pajanan biologis yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja terdiri dari: (1) golongan mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, jamur; (2) vertebrata seperti ternak dan binatang liar; (3) invertebra (serangga); (4) binatang dalam air.3

Centers for Disease Control/CDC mengkategorikan berbagai penyakit di tingkat Biohazard, Level 1 menjadi risiko minimum dan Level 4 menjadi risiko ekstrim. Laboratorium dan fasilitas lainnya dikategorikan sebagai BSL (Biosafety Level) 1-4. Pemabagiannya adalah:4

Biohazard Level 1: Bakteri dan virus termasuk Bacillus subtilis, hepatitis, Escherichia coli, varicella (cacar air), serta beberapa kultur sel dan bakteri non-menular. Pada tingkat ini tindakan pencegahan terhadap bahan biohazardous yang dimaksud adalah minimal, kemungkinan besar melibatkan sarung tangan dan beberapa jenis perlindungan wajah.

Biohazard Level 2: Bakteri dan virus yang menyebabkan hanya penyakit ringan bagi manusia, atau sulit untuk kontak melalui aerosol dalam pengaturan laboratorium, seperti hepatitis A, B, dan C, influenza A, penyakit Lyme, salmonella, gondok, campak, scrapie, demam berdarah. "Pekerjaan diagnostik rutin dengan spesimen klinis dapat dilakukan secara aman di Biosafety Level 2, menggunakan Biosafety Level 2 praktek dan prosedur.

Biohazard Level 3: Bakteri dan virus yang dapat menyebabkan parah penyakit fatal pada manusia, tapi untuk yang vaksin atau perawatan lain ada, seperti anthrax, virus West Nile, Venezuela ensefalitis kuda, virus SARS, TBC, tifus, demam Rift Valley, HIV, Rocky Mountain spotted fever, demam kuning, dan malaria. Di antara parasitesPlasmodium falciparum, yang menyebabkan Malaria, dan Trypanosoma cruzi, yang menyebabkan trypanosomiasis, juga berada di bawah tingkat ini.

Biohazard Level 4: Virus dan bakteri yang menyebabkan penyakit fatal pada manusia, dan yang vaksin atau perawatan lain yang tidak tersedia, seperti demam hemoragik, virus Marburg, virus Ebola, hantaviruses, Lassa demam virus, Crimean-Kongo demam berdarah, dan penyakit hemoragik.

Diagnosis Klinis

Anamnesis

Untuk memastikan kemunculan gejala dalam hubungannya dengan pekerjaan perlu ditanyakan: apakah gejala yang timbul membaik pada saat istirahat atau liburan?, apakah terdapat pekerja lain yang menderita gejala yang sama di lingkungan kerja?, apakah terjadi pajanan debu, uap, atau partikel-partikel zat kimia yang beracun di lingkungan kerja?.1

Kemudian pertanyaan kronologis tentang pekerjaan terdahulu sampai sekarang, mengenai: deskripsi lingkungan tempat kerja, infromasi tentang bahan yg dipakai, proses kerja, produk yang dihasilkan serta tata cara penanganan limbah industri, lama bekerja di masing-masing tempat kerja, deskripsi tugas dan jadwal waktu kerja/shift, jumlah hari absen dan alasannya, penggunaan APD, prosedur pemeriksaan fisik sebelum masuk kerja, adanya pekerjaan lain disamping pekerjaan utama (misalnya kerja malam hari).1

Pertanyaan spesifik yang ada hubungannya dengan pajanan penyakit akibat kerja seperti: pernah bekerja dengan di tempat yang bising/terlalu panas atau menggunakan produk asbes/sinar radioaktif/alat yang menimbulkan vibrasi?, faktor stress di tempat kerja (jemu, konflik dengan atasan/bawahan/teman kerja), hobi, pekerjaan istri atau suami?, sering kontak dengan bahan-bahan infeksius (darah)?.1

Tanyakn pula mengenai riwayat kesehatan lingkungan. Dan terakhir mengenai industri lain di sekeliling tempat kerja (tingkat polusi lingkungan, pajanan limbah indsutri/percikan zat beracun dari tempat lain).1

Pada skenario diketahui bahwa tuan X, 28 tahun, seorang analis sejak 5 tahun yang lalu. Datang dengan keluhan lemas dan sering demam sejak seminggu yang makin lama makin berat. Demam diketahui sepanjang hari disertai meriang, dan mual serta kembung sejak 2 hari yang lalu. Air kencing juga gelap seperti air teh. Tuan X tidak menggunakan APD seperti sarung tangan dan masker saat bekerja, riwayat tertusuk jarum disangkal. Di lingkungan sekitar tempat bekerja tidak ada yang menderita hal serupa. Riwayat imunisasi pasien juga tidak lengkap ketika kecil.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilaksnakan seperti pada penyakit umum lainnya, yaitu pemeriksaan fisik secara umum dengan menitikberatkan pada pemeriksaan sistem organ yang diperkirakan terpengaruh akibat pajanan zat-zat kimia yang diduga menjadi etiologi penyakit akibat kerja, misalnya pembesaran hati akibat pajanan toluen, pembesaran limpa karena intoksikasi bensin.1

Pada skenario diketahui hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

TTV : 130/80, 68 x/menit, 22 x/menit, 37,0C

Sklera : kuning

Konjungtivitis : tidak anemis

Abdomen : hepar teraba membesar 1 jari di bawah arcus costa

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit akibat kerja dapat dibagi menjadi pemeriksaan laboratorium umum dan khusus. Pemeriksaan laboratorium umum adalah: (1) Pemeriksaan lab rutin, misalnya pemeriksaan darah rutin, urin rutin, foto rontgen toraks, EKG; (2) Pemeriksaan labarotorium non spesifik akibat pemajanan misalnya: pemeriksaan fungsi hati sebagai indikasi pajanan terhadap zat hepatotoksik.1

Pemeriksaan laboratorium khusus meliputi (1) Pemeriksaan laboratorium spesifik akibat pajanan, (2) Tes untuk suatu kelainan genetika dapat dilakukan dengan tes sensitivitas, (3) perubahan kromosom.1

Tes Fungsi Hati

Tes fungsi hati yang standar meliputi penentuan kadar beberapa enzim hati dalam serum yang mungkin dilepaskan sel hati yang rusak ke dalam aliran darah. Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi.5

Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang.baik pada terapi antiviral. Oleh karena itu pasien dengan ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi.5

Virus atau bakteri yang menginfeksi manusia masuk ke aliran darah dan terbawa sampai ke hati. di sini agen infeksi menetap dan mengakibatkan peradangan dan terjadi kerusakan sel-sel hati (hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan SGOT dan SGPT). Akibat kerusakan ini maka terjadi penurunan penyerapan dan konjugasii bilirubin sehingga terjadi disfungsi hepatosit dan mengakibatkan ikterik. peradangan ini akan mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehinga timbul gejala tidak nafsu makan (anoreksia).5

Pemeriksaan serologi

1. HBsAg

Diagnosis infeksi hepatitis B terutama dengan mendeteksi hepatitis B surface antigen (HBsAg) dalam darah. Kehadiran HBsAg berarti bahwa ada infeksi virus hepatitis B aktif. Menyusul suatu paparan pada virus hepatitis B, HBsAg menjadi terdeteksi dalam darah dalam waktu empat minggu. Pada individu-individu yang sembuh dari infeksi virus hepatitis B akut, eliminasi atau pembersihan dari HBsAg terjadi dalam waktu empat bulan setelah timbulnya gejala-gejala.Infeksi virus. Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai HBsAg yang menetap lebih dari 6 bulan.5

2. Anti-HBs

Setelah HBsAg dieliminasi dari tubuh, antibodi-antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs) biasanya timbul. Anti-HBs ini menyediakan kekebalan pada infeksi virus hepatitis B yang berikutnya. Sama seperti individu-individu yang telah berhasil divaksinasi terhadap virus hepatitis B mempunyai anti-HBs yang dapat diukur dalam darah.5

3. Anti-HBc

HBc hanya dapat ditemukan dalam hati dan tidak dapat terdeteksi dalam darah. Kehadiran dari jumlah-jumlah yang besar dari hepatitis B core antigen dalam hati mengindikasikan suatu reproduksi virus yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa virus aktif.AntiboditerhadaphepatitisBcoreantigen,dikenalsebagaiantibodi hepatitis B core (anti-HBc) yang terdeteksi dalam darah ada dua macam yakni IgM dan IgG.5

4. HBeAg,anti-HBe,

HBeAg dan antibodi-antibodinya, anti-HBe, adalah penanda-penanda (markers) yang bermanfaat untuk menentukan kemungkinan penularan virus oleh seseorang yang menderita infeksi virus hepatitisB kronis. Mendeteksi keduanya HBeAg dan anti-HBe dalam darah biasanya adalah eksklusif satu sama lain. Sesuai dengan itu, kehadiran HBeAgberarti aktivitas virusyang sedang berlangsung dan kemampuan menularkan pada yang lainnya, sedangkan kehadiran anti HBe menandakan keadaan yang lebih tidak aktif dari virus dan risiko penularan yang lebih kecil.5

5. HBV DNA

Penanda yang paling spesifik dari replikasi dan aktivitas virus hepatitis B. Metode yang digunakan adalah PCR. Tujuan mengukur hepatitis B virus DNA biasanya adalah untuk menentukan apakah infeksi virus hepatitis B aktif atau tidak aktif (diam). Perbedaan ini dapat dibuat berdasarkan jumlah hepatitis B virus DNA dalam darah. Tingkat-tingkat yang tinggi dari DNA mengindikasikan suatu infeksi yang aktif, dimana tingkat-tingkat yang rendah mengindikasikan suatu infeksi yang tidak aktif (tidur). Jadi,pasien-pasien dengan penyakit yang tidur (tidak aktif) mempunyai kira-kira satu juta partikel-partikel virus per mililiter darah, sedangkan pasien-pasien dengan penyakit yang aktif mempunyai beberapa milyar partikel-partikel per mililiter.5

Pada skenario, tuan X telah melakukan pemeriksaan penunjang ALT dan AST. Yang dikatakan bermakan apabila terjadi peningkatan 2x dari nilai normal. Apabila telah terjadi peningkatan dari ALT dan AST dapat dikatakan bahwa telah adanya kerusakan hati.

Tabel 2. Intepretasi Marker.5

Pajanan

Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan:6

1. Golongan fisik : suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yangsangat tinggi, vibrasi, penerangan lampuyang kurang baik.

2. Golongan kimiawi : bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja,maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap,gas, larutan, awan atau kabut.

3. Golongan biologis : bakteri, virusatau jamur (infeksi)

4. Golongan fisiologis : biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja.

5. Golongan psikososial : lingkungan kerjayang mengakibatkan stress.

Penyakit hati dalam praktik kesehatan kerja tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi. Secara umum, sel hati dapat dirusak (efek hepatoseluler) dan mekanisme transpor dari dan ke sel hati dapat terhambat (efek obstruktif). Kedua kelainan ini dapat berlanjut menjadi sakit kuning. Pajanan utama di tempat kerja yang berhubungan dengan penyakit hati adalah bahan kimia dan agen infeksi.6

1. Agen kimia

Beberapa hepatotoksin bekerja dengan menyebabkan penyakit akut saat terjadi pajanan. Hal ini biasanya disebabkan pajanan tersebut yang berat tapi pada kasus lain, seperti pada kasus yang jarang yaitu keracunan fosfor kuning, walaupun dalam pajanan yang kecil, efek yang terjadi dapat merupakan bencana besar dengan kematian sel hati yang luas. Kini, kebanyakan pajanan di tempat kerja relatif rendah sehingga apapun efek yang terjadi mungkin disebabkan pajanan kronis dosis rendah yang mengarah ke penyakit keracunan hati kronis.

2. Agen penyebab infeksi

Pekerja laboratorium yang harus memproses organisme atau spesimen biologis yang terinfeksi merupakan kelompok yang dapat terpajan berbagai jenis agen penyebab infeksi. Beberapa agen tersebut akan menyebabkan sebagaian kelainan patologi berupa hati.

Tabel 3. Agen Penyebab Infeksi yang Mengenai Hati.6

Agen penyebab infeksi/penyakit

Pekerjaan yang beresiko

Hepatitis A

Pekerja saluran limbah

Hepatits B

Ahli patologi, petugas lab, petugas kamar mayat

Hepatitis C

Petugas laboratorium

Leptospirosis

Pekerja limbah

Malaria

Pekerja yang terlibat dalam perjalanan dan bekerja di daerah endemik

Yellow fever

Pekerja yang terlibat dalam perjalanan dan bekerja di daerah endemik

Schistosomiasis

Pekerja pertanian, pekerja konstruksi (bendungan, irigasi)

Jika dihubungkan dengan skenario, kemungkinan besar penyakit akibat kerja yang diderita tuan X adalah akibat pajanan biologis yang disebabkan agen infeksi, yakni virus hepatitis B. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa virus hepatitis B dapat merusak sel-sel hati yang ditandai dengan meningkatnya serum ALT AST yang diketahui pada skenario.

Hubungan Diagnosis Klinis dengan Pajanan

Hepatitis B merupakan penyakit akibat kerja tersering di kalangan pekerja kesehatan, labortorium, dan pekerja kesehatan masyarakat. Hepatitis B dapat menyebabkan hepatitis fulminant dan juga dapat berakhir sebagai carier kronik sebanyak 10%. Pengidap carier kronik memiliki resiko lebih tinggi terkena sirosis dan kanker hati. Prevalensi terkenan HBV di antara pekerja kesehatan lebih banyak 10 kali dibanding populasi umum.7

Darah mengandung titer tertinggi dari virus pada individu yang terinfeksi, dengan level yang rendah pada berbagai macam cairan tubuh seperti: cairan serebrospinal, synovial, pleural, peritoneal, pericardial, semen, sekret vagina, dan cairan amnion. Titer virus pada urin, feses, air mata, dan saliva sangat rendah untuk memungkinkan penularan.7

Resiko transmisi HBV lewat jarum suntik kira-kira 30%. Bagaimanapun juga, lebih dari 50% infeksi akut HBV pada orang dewasa adalah tanpa gejala/asimptomatik. Mengingat bahwa, 10% dari infeksi akut HBV dapat berujung pada infeksi kronis. Sejumlah besar dari mereka yang terinfeksi HBV akibat pekerjaan akan menjadi cronic asimptomatik carier.7

Insidensi infeksi hepatitis B untuk tenaga kerja kesehatan meningkat pada beberapa area pekerjaan, termasuk unit hemodialysis, bagian hematologi dan onkologi, bank darah dan laboratorium klinik, ruang operasi, pekerjaan dental dan operasi mulut, area pencucian barang pecah belah dan peralatan kesehatan.7

HBV dapat bertahan hidup setidaknya 1 bulan pada lingkungan yang kering pada temperatur kering. Ini menimbulkan peluang tambahan bagi pekerja untuk mendapat HBV infeksi ketika pekerja dengan luka terbuka, kulit terabrasi, atau mukosa membran yang kontak dengan permukaan yang terkontaminasi. Faktanya, hampir semua infeksi okupasional tidak memiliki cedera perkutan yang jelas untuk transmisi HBV ini.7

Meskipun beberapa gambaran membantu membedakan hepatitis B dari bentuk lain dari hepatitis viral atau toksik akut, sering mereka tidakd apat dibedakan secara klinis, dan tes serologi dibutuhkan untuk diagnosis spesifik. Beberapa pasien dapat asimtomatik; yang lain dapat mengalaimi malaise, lelah, anoreksia, nausea, vomitus, pengecapan seperti rokok, demam, nyeri abdominal, urine yang gelap, feses berwarna putih, dan gejala .ain. tes lanoratorium menunjukkan peningkatan aminotransferase abnormal, seperti aspartate aminotransferase dan alanine aminotransferase; sering dengan naiknya bilirubin serum; dan pada kasus yang parah, perpanjangan waktu prothrombin.7

HBsAg biasanya dapat dideteksi di dalam darah pasien dengan hepatitis B6 sampai 12 minggu setelah pajanan dan sekitar 1-6 minggu setelah onset dari gejala klinis. Pada pasien dengan hepatitis B, 5% sampai 10% menjadi carrier kronik dari HBV dan menjadi sumber potensial dari infeksi pada tenaga kerja. Jika seorang pasien mempunyai HBsAg positif yang menetap selama 5 bulan, kemungkinan untuk menjadi carrier kronik meningkat menjadi 88%. Kebanyakan carrier kronik HBsAg asimtomatik, sebuah subgroup dari carrier ini mempunyai peningkatan ringan sampai sedang enzim hati mereka. Hepatitis kronik aktif terdapat pada 30% carrier kronik dan dapat menjadi sirosis.7

Prescreening tes serologi sebelum vaksinasi tidak direkomendasikan karena prevalensi infeksi HBV di US rendah. Beberapa kelompok telah melembagakan penyaringan dari semua penerima vaksin potensial dengan hepatitis b core antibodi ketika presentasi tinggi datang dari daerah yang endemik hepatitis B. Antibodi core yang positif mengindikasikan lampau atau sekarang sedang menderita infeksi HBV. Seharusnya test yang sesuai untuk permukaan antigen demi mengidentifikasi apakah telah sembuh dari infeksi lampau.7

Walaupun vaksin hepatitis B yang original adalah derivat plasma, studi menunjukkan bahwa tidak ada transmisi infeksi dari vaksini ini. Perkembangan vaksin rekombinan DNA pada tahun 1986 menunjukkan bahwa lebih diterima dan lebih aman untuk vaksinasi massal bagi pekerja kesehatan. Sejak 1991, telah direkomendasikan untuk melakukan vaksinasi pada bayi baru lahir walaupun prevalensi dari hepatitis B kurang dari 0,5% dari populasi. Pada tahun yang sama, terjadi penurunan infeksi okupasional berkat vaksinasi tersebut. Walaupun begitu, masih ada beberapa pekerja yang menolak divaksinasi sehingga masih rentan terhadap infeksi ini.7

Eksposure yang dikenal untuk infeksi HBV adalah darah dan produk darah pada mereka yang tidak divaksinasi atau dimana proteksi antibodi tidak berkembang memerlukan HBIG atau hepatitis B immune globulin, yang mahal dan memerlukan dosis kedua pada 1 bulan berikutnya kecuali jika vaksinasi hepatitis B diberikan sekaligus.7

Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun beberapa gejala yang samar diantaranya adalah: lelah, hilang selera makan, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata menjadi kuning yang disebut "jaundice" (jarang terjadi). Pada beberapa kasus dapat ditemukan peningkatan enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada penderita Hepatitis C justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal. Walaupun pasien sirosis sebagian besar memiliki lebih dari satu penyebab, hepatitis C kronis dan konsumsi alkohol berat secara tradisional menjadi penyebab paling umum dari sirosis.7

Pada skenario, diketahui bahwa pekerjaan tuan X adalah sebagai laboran. Baik hepatitis B maupun C dapat menular melalui mikrolesi atapun tusukan jarum. Tetapi pada umumnya hepatitis C tidak memberikan gejala dan ALT,AST cenderung normal. Prevalensi hepatitis B dibanding C juga berbeda jauh. Dimana prevalensi hepatitis B lebih sering ditemukan di Indonesia yakni 3,1-4%.7,8

Patofisiologi Hepatitis B

Penyebab hepatitis B Virus (HBV) adalah hepadnavirus. Ini adalah virus yang sangat tahan terhadap suhu ekstrim dan kelembaban dan meneyerang sel hepatosit hati. HBV dapat bertahan bila disimpan selama 15 tahun pada -20 C, selama 24 bulan pada -80 C, selama 6 bulan pada suhu kamar, dan selama 7 hari pada 44 C.5

Genom virus adalah sebagian beruntai ganda, DNA sirkular terkait dengan polimerase DNA yang dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dan kemudian dengan amplop lipid. Tertanam dalam lapisan ini banyak antigen yang penting dalam identifikasi penyakit dan perkembangan. Dalam nukleokapsid adalah antigen hepatitis B inti (HBcAg) dan precore hepatitis B e antigen (HBeAg), dan di amplop adalah antigen permukaan hepatitis B (HBsAg).5

Genom dari hepatitis B antara lain: S (the surface, envelop) yang mengkode protein S, C ( the core gen) yang mengkode protein nukleokapsid dan antigen, X (the x gene) yang mengkode protein X, P (the polymerase gene) yang mengkode protein besar.5

Surface antigen. Gen S mengkodekan envelop virus. Ada 5 faktor penentu antigenik: (1) umum untuk semua antigen permukaan hepatitis B (HBsAg), dan (2-5) d, y, w, dan r, yang secara epidemiologis penting dan mengidentifikasi serotipe. Core gene (HBcAg) adalah protein yang membungkus DNA virus. Hal ini juga dapat diekspresikan pada permukaan hepatosit, memulai respon imun seluler.5

E antigen (HBeAg) yang juga dihasilkan dari wilayah di dekat dan gen inti, adalah penanda replikasi virus aktif. Ini berfungsi sebagai umpan kekebalan tubuh dan langsung memanipulasi sistem kekebalan tubuh; sehingga ia terlibat dalam ketahanan virus. HBeAg dapat dideteksi pada pasien dengan sirkulasi serum HBV DNA yang memiliki "wild type" infeksi. Virus berkembang dari waktu ke waktu di bawah tekanan kekebalan tubuh.5

X gene. Peran gen X adalah untuk mengkodekan protein yang bertindak sebagai transactivators transkripsi yang membantu replikasi virus.5

Siklus hidup virus

Ada 5 tahapan yang telah diidentifikasi dalam siklus hidup virus infeksi hepatitis B dan dibahas secara singkat di bawah:5

Tahap 1: Toleransi imun

Tahap ini, yang berlangsung sekitar 2-4 minggu pada orang dewasa yang sehat, merupakan masa inkubasi. Replikasi virus aktif meskipun enzim aminotransferase sedikit atau tidak ada peningkatan, serta tidak ada gejala.

Tahap 2: Imun aktif

Dikenal juga sebagai tahap pembersihan imun, reaksi inflamasi dengan efek sitopatik terjadi. HBeAg dapat diidentifikasi dalam serum, dan penurunan kadar HBV DNA terlihat pada beberapa pasien yang membersihkan infeksi. Durasi tahap ini untuk pasien dengan infeksi akut adalah sekitar 3-4 minggu (periode gejala). Untuk pasien dengan infeksi kronis, 10 tahun atau lebih sebelum sirosis berkembang, pembersihan imun berlangsung, HCC berkembang, atau varian HBeAg-negatif kronis muncul.

Tahap 3: Infeksi kronis aktif

Pada tahap ketiga, tahap infeksi kronis aktif, host dapat menargetkan hepatosit yang terinfeksi dan HBV. Replikasi virus rendah atau tidak lagi diukur dalam serum, dan anti-HBe dapat dideteksi. Tingkat aminotransferase berada dalam kisaran referensi. Hal ini kemungkinan besar pada tahap ini bahwa integrasi genom virus ke dalam host genom hepatosit berlangsung. HBsAg masih hadir dalam serum.

Tahap 4: Penyakit kronis

Munculnya penyakit kronis HBeAg-negatif dapat terjadi dari tahap tidak aktif kronis infeksi (stadium 3) atau langsung dari tahap aktif / pembersihan imun (tahap 2).

Tahap 5: Pemulihan

Pada tahap kelima, virus tidak dapat dideteksi dalam darah dengan tes DNA atau HBsAg, dan antibodi terhadap berbagai antigen virus telah diproduksi.

Jumlah Pajanan

Untuk memastikan seberapa terpapar pasien dengan pajanan biologis dipastikan dengan mengukur kadar pajanan tersebut dalam darah, dimana pada pajanan biologis tidak memiliki NAB/nilai ambang batas sebagaimana ada pada pajanan kimia. Pada pajanan biologi ditentukan oleh daya tahan atau virulensi dari mikroorganisme tersebut.1

Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkanpenyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada.1

27-37 : 100 risiko infeksi akibat percikan darah (tak disengaja) yang mengandung HBV. Setidaknya 10-8 ml (00000001 ml) darah yang yang mengandung HBV dapat menularkan virus berbahaya ini ke virus yang rentan. Menurut WHO: Dari 35 juta petugas kesehatan diseluruh dunia, sekitar 3 juta mengalami pajanan patogen darah melalui cedera kulit setiap tahun. 2 juta terpajan virus Hepatitis B. 0,9 juta terpajan virus Hepatitis C. 170,000 terpajan virus HIV AIDS.Cedera tersebut dapat mengakibatkan 15,000 kasus infeksi Hepatitis C, 70,000 kasus Hepatitis B, dan 1000 kasus HIV. >90% infeksi terjadi di negara berkembang.2

Darah merupakan sumber utama dari virus penginfeksi. Hanya sedikit darah yang dibutuhkan: 1 mL ddarah dari carrier kronik yang diencerkan menjadi 10-8 masih infektif. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) tidak hanya terdapat pada darah dan produk darah, tetapi pada saliva, semen, dan feses; tetapi, sumber selain darah jarang menyebabkan infeksi. Adanya HBsAg dalam serum berhubugan baik, tetapi tidak sempurna, dengan infektivitas (Infektivitas berhubungan erat dengan HBeAg). Semua pasien dengan HBsAg positif harus dianggap infeksius.2

Tabel 4. Intepretasi Pajanan Virus Hepatitis dalam Darah.3

Peranan Faktor individu

Langkah kelima dalam diagnosis okupasi adalah mencari tahu apakah ada kaitannya dengan peranan faktor individu itu sendiri seperti status kesehatan fisik, kesehatan mental, dan hygene perseorangan. Status kesehatan fisik misalnya apakah ada riwayat penyakit keturunan dkeluarga, alergi, ataupun atopi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.1

Pada skenario, diketahui bahwa dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit kronis ataupun penyakit serupa. Jadi penyakit yang di derita tuan X ini kemungkinan besar tidak ada kontribusi genetik. Hygenitas dan sanitasi di lingkungan rumah tuan X juga baik, akan tetapi dari hasil anamensis didapatkan keterangan bahwa dalam bekerja di laboratorium, tuan X tidak pernah memakai sarung tangan dalam menganalis preparat.

Peranan Faktor Lain

Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Seperti misalnya hobi tuan X, kebiasaan sehari hari, pekerjaan sambilan. Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.1

Pada skenario, tuan X diketahui memliki kebiasaan makan di warung dan di luar tetapi higenitas dari tempat makan tuan X bersih.

Diagnosis

Berdasarkan keenam langkah diagnosis penyakit akibat kerja diatas dapat disimpulkan bahwa hepatitis b yang diderita pasien adalah didapatkan akibatnya adanya transmisi dari mikrolesi ketika tuan X ini bekerja di laboratorium. Jadi hepatitis B yang dialami tuan X dapat disebutkan sebagai penyakit akibat kerja. Berdasarkan 31 penggolongan menurut PAK. Skenario ini masuk ke dalam nomer 29 yakni penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit yang dalam pekerjaan memiliki resiko kontaminasi khusus.3

Tatalaksana

Apabila seseorang menderita hepatitis B, tidak semua perlu diterapi, tetapi cukup dilakukan pemantauan untuk menilai apakah perlu dilakukan intervensi dengan antivirus sewaktu. Pemantauan dilakukan bila didapatkan keadaan:

Hepatitis B kronis dengan HbeAg +, DNA > 105 kopi/ml, ALT normal. Pada pasien ini dilakukan tes SGPT setiap 3-6 bulan. Jika kadar SGPT naik >1-2 kali batas atas nilai normal, ALT diperiksa tiap 1-3 bulan. Jika dalam tindak lanjut SGPT naik menjadi > 2 kali BANN selama 3-6 bulan disertai HBeAg + dan HBV DNA >105 kopi/ml, dapat dipertimbangkan untuk biopsi hati sebagai pertimbangan memberikan antivirus

Pada infeksi HbsAg inaktif dilakukan pemeriksaan ALT setiap 6-12 bulan. Jika ALT naik menjadi >1-2 kali BANN, periksa serum DNA HBV dan bila dipastikan bukan disebabkan oleh hal lain.

Terapi yang dapat diberikan pada pasien dengan SGPT yang lebih besar 3 kali dari BANN, respon angka keberhasilan terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20% kontrol. Pemberian interferon 4,5 mu -5mu seminggu 3 kali selama 4-6 bulan dapat efektif.

Pada skenario, diketahui adanya peningkatan ALT dan AST, menurut kaidah diatas seharusnya dilakukan terapi antivirus, tetapi sebaiknya dipastikan terlebih dahulu titer virus di dalam darah dengan melakukan pemeriksaan serologi. Karena tidak semua hepatitis B bisa diterapi.

Pencegahan primer

Melaksanakan kewaspadaan standar. Seperti pengendalian lingkungan berupa proses alat sesuai standar, dekontaminasi, pencucian, dan sterilisasi, membersihkan permukaan dari barang yang terkontaminasi cairan tubuh. Jadwal yang sering untuk vaksinasi hepatitis B adalah 0,1 dan 6 bulan. Mereka yang telah hanya satu/dua dosis tidak perlu mengulang series, mereka hanya perlu melengkapi dosis yang telah mereka terima ( seperti vaksin lain yang memerlukan dosis tambahan).3

Tahun 1991, OSHA menyatakan sebuah regulasi yang menyatakan vaksin hepatitis B diberikan pada penyedia jasa kesehatan yang dalam risiko. Regulasi ini dan availabilitas dari vaksin hepatitis baru yang dibuat dengan teknologi DNA rekombinan telah meningkatkan penggunaan vaksin.7

Imunisasi dapat aktif maupun pasif. Untuk imunisasi pasif digunakan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) yang dibuat dari plasma manusia yang mengandung anti HBs titer tinggi. Imunisasi ini memberikan proteksi secara cepat untuk jangka waktu yang terbatas (3-6 bulan). Diberikan dalam waktu 48 jam setelah terpapar VHB. HBIg diberikan bersamaan dengan vaksin VHB guna memberikan proteksi cepat dan jangka panjang.

Pencegahan sekunder

Penggunaan alat pelindung diri. Seperti menggunakan sarung tangan pada waktu melakukan tindakan yang memungkinkan kontak dengan cairan tubuh atau mencuci alat yang telat terkontaminasi, menggunakan alas kaki tertutup, menggunakan alat pelindung wajah (google mask) bila melakukan tindakan yang memungkinkan terkena cipratan vaksinasi. Bagi yang kulitnya terpajan harus dilakukan mencuci bersih dengan air dan sabun. Untuk mata hidung atau mulut bilas dengan air selama 10 menit. Kalau tertusuk atau tersayat cuci dengan air dan sabun, biarkan darah mengalir kemudian luka ditutup. Lakukan pemeriksaan HbsAg pada sesudah terpajan dan 6 bulan berikutnya.3

Pencegahan tersier

Deteksi dini. Pada petugas kesehatan termasuk petugas lab dianjurkan pemeriksaan laboratorium (fungsi liver, status vaksinasi hepatitis/HbsAg). Pada dasarnya ada 2 jenis pemeriksaan kesehatan berkala, yaitu: (1) Pemeriksaan berkala umum yang dilakukan terhadap seluruh pekerja sebagai bagian program pemeliharaan kesehatan karyawan, atau bila dicurigai terjadinya suatu kemungkinan gangguan kesehatan akibat berbagai kondisi kerja yang memadai.1,3

(2) Pemeriksaan kesehatan yang dihubungan dengan ancaman gangguan kesehatan di lingkungan kerja tertentu yang beresiko tinggi, dilaksanakan secara berkala untuk memantau pekerja tertentu yang bekerja dalam kondisi spesifik.1,3

Kesimpulan

Berdasarkan diagnosis 7 langkah okupasi dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit hati yang diderita tuan X adalah akibat pajanan biologi yang dia terima di tempat kerjanya. Hal ini disebabkan karena tuan X tidak menggunakan sarung tangan selama proses pengerjaan preparat. Selain itu dari anamnesis diketahui bahwa tuan X memiliki riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Untuk memastikan apakah hepatitis X sedang aktif atau tidak diperlukan pemeriksaan serologi lebih lanjut guna penatalaksaan hepatitisnya lebih lanjut.

Daftar Pustaka

1. Harrianto R. Kesehatan kerja. Jakarta: EGC; 2008. h. 2,16-7.

2. Healey, Bernard J. Introduction to occupational health in public health practice. San Fransisco: A Wiley Imprint; 2009. p. 206-7.

3. Kementerian Kesehatan RI. Penyakit akibat kerja karena pajanan biologi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011. h. 3-5,16-8.

4. Di unduh dari: http://www.cdc.gov/biosafety/publications/bmbl5/bmbl5_sect_iv.pdf pada 16 Oktober 2014 pukul 22:00.

5. Gish RG, Locarnini S. Chronic hepatitis b viral infection. In: Yamada T. 5thed. Oxford: Blackwell Publishing; 2009.p. 2112-38.

6. Jeyaratnam J. Buku ajar kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2009. h. 212.

7. Shanahan JF, Barahona M, Boyle PJ. Current occupational and environment medicine. America; McGraw-Hill Companies Inc. p. 266-7.

8. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS. Ilmu penyakit hati. Jakarta: Sagung Seto; 2012. h. 214-5.

19