halaman ini nanti diblok sepenuhnya dengan file jpg...

45
muka | daftar isi halaman ini nanti diblok sepenuhnya dengan file jpg sebagai cover depan. Ukurannya 11,43 cm x 22 cm

Upload: others

Post on 14-Mar-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

muka | daftar isi

halaman ini nanti diblok sepenuhnya dengan file jpg sebagai cover depan.

Ukurannya 11,43 cm x 22 cm

muka | daftar isi

muka | daftar isi

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pro Kontra Ayat Al-Qur’an Yang Dihapus Penulis : Muhmmad Abdul Wahab, Lc., M.H. 45 hlm

Judul Buku

Pro Kontra Ayat Al-Qur’an Yang Dihapus Penulis

Muhammad Abdul Wahab, Lc., M.H.

Editor

Fatih

Setting & Lay out

Fayad Fawaz

Desain Cover

Faqih

Penerbit

Rumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan

Setiabudi Jakarta Selatan 12940

Cetakan Pertama

8 Januari 2020

Halaman 4 dari 45

muka | daftar isi

Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................. 4

A. Pendahuluan ................................................... 5

B. Definisi Nasakh ................................................ 6

C. Pendapat Jumhur Tentang Teori Nasakh .......... 11

D. Ruang Lingkup Nasakh .................................... 18

E. Macam-macam Nasakh dalam al-Qur’an .......... 21

F. Jumlah Ayat yang Dinasakh dalam al-Qur’an ... 30

G. Kritik terhadap Konsep Nasakh ........................ 32

H. Penutup ......................................................... 39

I. Profil Penulis .................................................. 43

Halaman 5 dari 45

muka | daftar isi

A. Pendahuluan

Ilmu Nasikh Mansukh merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran. Oleh karenanya Imam as-Suyuthi memasukkan Nasikh-Mansukh sebagai salah-satu dari delapan puluh cabang ilmu al-Quran. Di samping itu, banyak atsar tentang anjuran untuk mengetahui nasakh. Di antaranya riwayat tentang Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah bertanya kepada seorang qadhi (hakim): “Apakah kamu mengetahui tentang nasikh dan mansukh?” Hakim menjawab: “Tidak”, Sayyidina ‘Ali pun berkata: “Kamu bisa celaka dan kamu-pun akan mencelakai orang lain”.1 Mengetahui Nasikh Mansukh dalam Alquran juga menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dalam menentukan hukum.2

Akan tetapi, meskipun konsep nasakh ini disepakati adanya oleh hampir semua ulama baik salaf maupun khalaf, tidak berarti bebas dari penentangan. Ada salah satu tokoh misalnya yang sering disebut-sebut menentang konsep nasakh ini yaitu Abu Muslim al-Ashfahânî, seorang mufassir dari

1 Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h. 225-226.

2 Muhammad Musthafa az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Khair, 2006), jilid 2, h. 288

Halaman 6 dari 45

muka | daftar isi

kalangan Mu’tazilah yang hidup di abad ke-4 Hijriah.3 Selain itu, dari kalangan cendekiawan Islam kontemporer, ada nama seperti Gamal al-Banna, Ahmad Subhi Manshur, Abu Zahrah, Muhammad al-Ghazali, Nashr Hamid Abu Zaid yang masuk ke dalam daftar penentang konsep nasakh ini.

Oleh karena itulah penulis akan mencoba mengulas dan membahas tentang Nasikh dan Mansukh dengan mengkaji seputar definisi dan ruang lingkup An-Nasakh, pedoman mengetahui An-Nasakh dan lain-lain, serta kontroversi an-Nasakh dalam Alquran berikut argumentasi masing-masing pendapat.

B. Definisi Nasakh

Menurut Ibn Manzhur, makna akar kata nasakh dalam bahasa Arab adalah pembatalan sesuatu dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain (ibthal asy-syai’ wa iqamah akhar maqamah); penggantian sesuatu dengan sesuatu yang lain (tabdīl al-syai’ min asy-syai’ wahuwa gairuh); dan memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain (naql asy-syai’ min makan ila makan wa huwa huwa).4

3 Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th), jilid 3, h. 115

4 Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir,

Halaman 7 dari 45

muka | daftar isi

Menurut az-Zarqoni makna nasakh secara bahasa mengarah pada dua arti:5

Pertama, “Izaalatu syain wa i’daamuhu” yaitu menghilangkan sesuatu dan meniadakannya atas dasar firman Allah SWT:

آيته ... ما ي لقي الشهيطان ثه يكم الله ج: ... )احلف ي نسخ الله52)

“...Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya...” (Q.S. al-Hajj: 52)

Lafadz yansakhu dalam ayat di atas bermakna menghilangkan atau meniadakan bisikan-bisikan syaithan dan penyesatannya.

Kedua, nasakh memiliki arti “Naqlu al syay’i wa tahwiluhu ma’a baqaaihi fi nafsihi” yaitu menyalin dan memindahkan sesuatu dengan tetap menjaga perkara yang disalin tersebut. Makna ini diambil dari penuturan ayat al Qur’an:

1414 H), jilid 3, h. 61

5 Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (t.tp: Mathba’ah ‘Isa al-Babiy al-Halabiy, t.t) jilid 2, h. 175

Halaman 8 dari 45

muka | daftar isi

تم ت عمل ... (2. )اجلاثية: ون إنه كنها نست نسخ ما كن “...Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. al-Jatsiyah: 2)

Makna mencatat dalam ayat di atas adalah memindahkan amal-amal kalian ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran).6

Sedangkan dalam pengertiannya secara istilah, nasakh mengalami pergeseran makna di kalangan ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Menurut pengertian mutaqaddimin, makna nasakh tidak saja mencakup pada konteks pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu dengan hukum yang datang kemudian, melainkan juga mencakup pengertian pengkhususan kata yang umum (takhshish al-‘am), membatasi kata yang muthlaq (taqyid al-muthlaq), baik teks yang menasakh itu menyatu (muttashil) dengan teks yang dinasakh (seperti dalam kasus taqyid dan istitsna’) atau teks yang menasakh terpisah (munfashil) dengan teks yang dinasakh.7 Ini yang berkembang dari zaman sahabat dan tabi’in dan ulama generasi awal.

6 Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, jilid 2, h. 175

7 Mushtafa Zaid, An-Nasakh fī al-Qur'an al-Karīm: Dirasah Tasyri‘iyyah Tarikhiyyah Naqdiyyah, (Kairo: Dar al-Yusr, 2007). Jilid 2, h. 79-80

Halaman 9 dari 45

muka | daftar isi

Dalam perkembangannya, makna itu kemudian menyempit hanya terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian membatalkan, mencabut, bahkan menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu. Ini terutama terjadi sejak era al-Syafi‘i melalui karyanya yang menjadi awal dari kajian ilmu ushul fiqih, Ar-Risalah.8 Dalam kitabnya itu, Imam asy-Syafi’i memberikan pengertian nasakh sebagai berikut:

ومعىن )نسخ( : ت رك ف رضه: كان حقا يف وقته، وتركه حقا به وبرتكه، ومن إذا نسخه هللا، فيكون من أدرك فرضه مطيعا

9.مل يدرك فرضه مطيعا ابت باع الفرض الناسخ له“Arti (nasakh) adalah meninggalkan kefarduannya. Ia benar pada waktunya, dan meninggalkannya benar ketika sudah dinasakh oleh Allah. Sehingga siapa yang menjumpai kefarduannya dianggap menaatinya dengan melaksanakannya (sebelum dinasakh) dan meninggalkannya (setelah dinasakh) dan siapa yang tidak menjumpai kefarduannya dianggap menaati dengan cara

8 Ah. Fawaid, Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qur’an, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, h. 252

9 Muhammad bin Idrsi asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Mesir: Maktabah al-Halabiy, 1940), h. 120

Halaman 10 dari 45

muka | daftar isi

mengikuti kefarduan yang menasakhnya.”

Abu Manshur al-Baghdadi juga memberikan pengertian nasakh sebagai penjelasan akhir masa beribadah (bayan intiha muddah at-ta’abbud)10. Pengertian ini kemudian oleh ulama selanjutnya lebih dipertegas lagi bahwa makna naskh adalah:

رفع الشارع حكما شرعيا بدليل شرعي مرتاخ عنه. أي رفع ق، والعمل ابحلكم الثابت استمرار العمل ابحلكم الساب

.11آخرا“Pengangkatan (penghapusan) oleh as Syâri’ (Allah Swt) terhadap hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru. Yang dimaksud dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan kontinuitas pengamalan hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir.”

Dari beberapa pengertian mutaakhirin tersebut

10 Abu Manshur Al-Baghdadi, An-Nasikh wa al-Mansµkh, ditahqiq oleh Hilmi Kamil As’ad ‘Abdul Hadi, (Oman: Dar al-‘Adwa, t.t), h. 40

11 Mushtafa Dib al-Bugha, al-Wadhih fi ‘Ulum al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Kalim at-Thayyib, 1998), h. 140

Halaman 11 dari 45

muka | daftar isi

dapat dipahami bahwa hukum yang dinasakh memiliki masa akhir sehingga hukum yang berakhir itu hilang.

C. Pendapat Jumhur Tentang Teori Nasakh

Hampir semua ulama sepakat tentang adanya konsep nasakh dalam syariat Islam. Bahkan sebagian ulama secara tegas mengatakan hal tersebut telah menjadi ijma’ di kalangan umat Islam. Disebutkan dalam beberapa literatur kitab ushul fiqih dan ‘ulum al-Qur’an, hanya Abu Muslim al-Ashfahani yang menentang konsep nasakh ini. Al-Amidi misalnya, dalam kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam menyatakan:

، وعلى وقوعه وقد ات هفق أهل الشهرائع على جواز النهسخ عقل مسلمني سوى أب مسلم شرع ا، ومل يالف يف ذلك من ال

12الصفهان فإنهه منع من ذلك شرع ا، وجوهزه عقل “Para ahli syariat telah sepakat tentang kebolehan nasakh secara akal dan terjadinya nasakh dalam syariah. Tidak ada yang menentang hal tersebut dari kalangan umat Islam kecuali Abu Muslim al-Ashfahani yang menolak terjadinya nasakh dalam

12 Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th), jilid 3, h. 115

Halaman 12 dari 45

muka | daftar isi

syariah, hanya membolehkannya secara akal.”

Asy-Syaukani juga mengatakan hal yang sama, bahkan dia menyebutkan bahwa penentangan terhadap konsep nasakh ini menunjukkan kebodohan dan ketidaktahuan terhadap syariat Nabi Muhammad s.a.w. Berikut kutipan pernyataannya:

النهسخ جائز عقل واقع سع ا، بل خلف يف ذلك بني ، فإنهه قال: المسلمني، إله ما ي روي عن أب مسلم الصفهان

إنهه جائز، غي واقع. وإذا صحه هذا عنه ف هو دليل على أنهه 13جاهل بذه الشهريعة المحمهديهة جهل فظيع ا

“Nasakh secara akal dapat dibolehkan dan secara faktual terjadi dalam syariah. Hal ini tidak ada perbedaan di antara umat Islam kecuali riwayat dari Abu Muslim al-Ashfahani yang mengatakan bahwa nasakh boleh secara akal tapi tidak terjadi. Jika riwayat ini valid berasal darinya maka ini menjadi dalil bahwa dirinya sangat jahil terhadap syariah Nabi Muhammad s.a.w.”

As-Suyuthi bahkan secara lebih tegas menyatakan

13 Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, (t.t: Darul Kitab al-‘Arabiy, 1999), jilid 2, h. 52

Halaman 13 dari 45

muka | daftar isi

bahwa konsep nasakh ini telah menjadi ijma’ di kalangan umat Islam. Sebagaimana pernyataannya dalam kitab al-Itqan sebagai berikut:

ها الت هيسي وقد النهسخ مها خصه الله به هذه المهة حلكم من 14أجع المسلمون على جوازه

“Nasakh merupakan salah satu bentuk keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada umat ini karena beberapa hikmah di antaranya adalah kemudahan. Dan umat Islam telah ijma’ terhadap bolehnya nasakh ini.”

Ibnu Katsir juga menyatakan hal yang senada. Dia menyebutkan bahwa pendapat Abu Muslim al-Ashfahani yang menentang nasakh adalah pendapat yang lemah dan tertolak. Dalam kitab tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan:

والمسلمون كلهم متهفقون على جواز النهسخ يف أحكام الله ت عال، لما له يف ذلك من احلكم البالغة، وكلهم قال بوقوعه.

ن ذلك وقال أبو مسلم الصب هان المفس ر: مل ي قع شيء م

14 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (t.t: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), jilid 3, h. 67

Halaman 14 dari 45

muka | daftar isi

15يف القرآن، وق وله هذا ضعيف مردود مرذول “Umat Islam seluruhnya sepakat tentang kebolehan nasakh dalam hukum-hukum Allah s.w.t. karena di dalamnya terdapat hikmah-hikmah yang luar biasa. Dan mereka semua sepakat mengatakan bahwa nasakh terjadi secara faktual. Namun Abu Muslim al-Ashfahani seorang mufassir mengatakan, “Nasakh tidak terjadi sama-sekali dalam al-Qur’an.” Pendapatnya ini lemah, tertolak dan dianggap rendah.”

Dari uraian para ulama di atas, dapat kita simpulkan bahwa konsep nasakh ini adalah sesuatu yang disepakati adanya oleh para ulama, khususnya ulama salaf. Bahkan orang yang menentang konsep nasakh ini dianggap menyelisihi ijma’ sehingga pendapatnya tidak dianggap. Sebagaimana pendapatnya Abu Muslim al-Ashfahani yang banyak disebutkan sebagai penentang konsep nasakh ini.

Jumhur ulama yang menerima adanya nasikh-mansukh dalam Islam mempunyai argumentasi rasional maupun nash (naqli). Di antaranya yang

15 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (t.t: Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999), jilid 1, h. 380

Halaman 15 dari 45

muka | daftar isi

bersifat rasional adalah:16

1. Kehendak Allah SWT bersifat mutlak, absolut, sehingga Allah SWT bebas menyuruh hambanya untuk melakukan sesuatu atau melarangnya. Demikian juga Allah SWT bebas menetapkan sebagian hukum-hukum-Nya atau menghapus (menasakh), karena Allah SWT Maha Tahu kemaslahatan terhadap hamba-Nya di balik pembatalan tersebut.

2. Syariat Islam ternyata memerintahkan sesuatu perbuatan yang dibatasi dengan waktu tertentu, seperti puasa Ramadlan, sehingga dengan datangnya bulan syawal berarti perintah puasa terhapus

3. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW diperuntukkan kepada umat manusia secara keseluruhan (kafah). Sedang sebelumnya telah ada syariat para Rasul yang terdahulu. Dengan datangnya Islam syariat agama terdahulu terhapus (mansukh). Logikanya, jika tidak ada naskh terhadap hukum syariat, berarti hukum syariat agama yang terdahulu masih berlaku. Jika demikian berarti risalah Islamiyah tidak kafah

16 Subaidi, Historisitas Nasikh Mansukh dan Problematikanya dalam Penafsiran Al- Qur’an, Jurnal Hermeunetik, Vol. 8, No. 1, Juni 2014, h. 66

Halaman 16 dari 45

muka | daftar isi

4. Tidak ada dalil naqli (Nash) yang jelas melarang. Oleh sebab itu logis dimungkinkannya adanya nasakh dan mansukh.

Adapun argumentasi yang bersifat naqli antara lain ialah:17

1. Syariat para Rasul terdahulu dinasakh dengan syariat Rasul yang kemudian, seperti dibolehkannya nikah dengan saudara sekandung pada syariat Nabi Adam AS, kemudian dinasakh oleh syariat sesudahnya baik Yahudi, Nasrani maupun Islam. Syariat Nabi Ya’qub membolehkan mengawini dua wanita bersaudara sekaligus, kemudian dinasakh pada syariat Nabi Musa AS, dan lain sebagainya.

2. Beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan secara eksplisit tentang absahnya naskh dalam Islam seperti : QS. Al-Baqarah 106:

ها أو مثلها ما ن نسخ من آية أو ن نسها نت بي من أمل ت علم أنه الله على كل شيء قدير

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami

17 Subaidi, Historisitas Nasikh Mansukh, h. 67

Halaman 17 dari 45

muka | daftar isi

datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

QS. al-Nahl 101:

لنا ا آية مكان آية والله أعلم با وإذا بده ي ن ز ل قالوا إنه ي علمون أنت مفرت بل أكث رهم ل

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

QS. al-Ra’d 39:

ما يشاء وي ثبت وعنده أم الكتاب يحو الله“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”

QS. al-Nisa’ 160:

Halaman 18 dari 45

muka | daftar isi

فبظلم من الهذين هادوا حرهمنا عليهم طي بات أحلهت لم هم عن سبيل الله كثي ا وبصد

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.”

3. Kesepakatan ulama salaf tentang adanya nasikh-mansukh

4. Bukti riil (nyata) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah banyak terdapat nasikh - mansukh.

D. Ruang Lingkup Nasakh

Para ulama yang pro terhadap teori nasakh (jumhur) berpendapat bahwa nasakh hanya berlaku pada ayat-ayat yang mengandung hukum halal-haram atau perintah dan larangan. Ayat-ayat selain itu seperti ayat kauniyyah, ayat-ayat tentang mukjizat, kabar berita dan sebagainya tidak mengalami nasakh. Sebagaimana pernyataan Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid:

ا يكون يف الوامر والن هواهي من الكتاب والسنهة وأمها وهذا إنه عليه وسلهم يف الب عن الله عزه وجله أو عن رسوله صلهى الله

Halaman 19 dari 45

muka | daftar isi

18فل يوز النهسخ يف الخبار الب تهة بال “Teori nasakh ini hanya berlaku pada perintah dan larangan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Adapun yang terkait dengan kabar berita dari Allah s.w.t atau dari Rasulullah s.a.w. nasakh tidak berlaku sama sekali.”

Demikian juga at-Thabari dalam kitab tafsirnya mengatakan:

حلل واملباح حمظورا، وذلك أن يول احللل حراما، واحلرامظر واحملظور مباحا. ول يكون ذلك إل يف المر والنهي، واحل

واإلطلق، واملنع واإلابحة. فأما الخبار، فل يكون فيها 19نسخ ول منسوخ.

“Fungsi nasakh adalah dengan mengubah hukum halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi terlarang dan yang terlarang menjadi

18 Ibnu Abdil Barr, at-Tamhid li Ma fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, (Maroko: Kementerian Wakaf dan Urusan Agama, 1387 H), jilid 3, h. 215

19 Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000), jilid 2, h. 472

Halaman 20 dari 45

muka | daftar isi

mubah. Sehingga nasakh tidak terjadi kecuali pada perintah dan larangan, pelarangan dan pembebasan, pelarangan dan pembolehan. Adapun terkait kabar berita, maka tidak ada nasikh dan mansukh di dalamnya.”

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa ada nash-nash yang sudah pasti yang tidak mungkin dibatalkan, yaitu:20

1. Nash yang berisi pokok ajaran, baik berupa aqidah atau pokok-pokok ibadah dan pokok-pokok akhlaq, seperti keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh, mencuri dan lain sebagainya.

2. Nash yang berisi hukum abadi atau selamanya berdasarkan pernyataan Nash itu sendiri

3. Nash yang berisi pemberitaan satu kejadian baik yang sudah lewat atau yang akan datang

Selain itu, jumhur ulama ushul fiqih juga sepakat berpendapat bahwa nasakh tidak terjadi setelah wafatnya Nabi s.aw.21 sebab yang menasakh

20 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (t.tp: Maktabah ad-Da’wah, t.t), h. 226

21 Lihat: al-Jashshash, al-Fushul fi al-Ushul, (Kuwait: Kementerian Wakaf, 1994), jilid 2, h. 254; asy-Syathibi, al-Muwafaqat, (t.tp: Dar Ibnu Affan, 1997), jilid 2, h. 489

Halaman 21 dari 45

muka | daftar isi

haruslah berupa dalil baik al-Quran maupun sunnah. Sedangkan setelah wafatnya Nabi tentu tidak ada lagi wahyu yang turun.

E. Macam-macam Nasakh dalam al-Qur’an

Az-Zarqani mengklasifikasikan nasakh dalam al-Qur’an menjadi tiga macam:22

Pertama, Naskh at tilawah wa al hukmi ma’an yaitu penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. contohnya seperti yang dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya, ia membacakan kepada Malik, dari ‘Abdullah ibn Abi Bakr, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah ra berkata:

كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات ير من. ثه رسول هللا صلى هللا عليه نسخن بمس معلومات. ف ت ويف

.23وسلم، وهو مها ي قرأ يف القرآن “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al Qur’an) adalah sepuluh radha’at (isapan) yang diketahui, kemudian dinasakh-kan oleh lima (isapan

22 Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, jilid 2, h. 214

23 Malik bin Anas, al-Muwaththa’ (Emirat: Muassasah Zayid bin Sulthan Ali Nahyan, 2004), jilid 4, h. 877

Halaman 22 dari 45

muka | daftar isi

menyusu) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an”

Kedua, Naskh al hukmi wa baqai at tilawah yaitu penghapusan hukum sedangkan tilawah-nya masih tetap. Contohnya menasakh ayat ‘iddah satu tahun dalam Q.S. al-Baqarah 240:

لزواجهم متاع ا اج ا وصيهة والهذين ي ت وف هون منكم ويذرون أزو خرجن فل جناح عليكم يف ما إل احلول غي إخراج فإن

عزيز حكيم ف علن يف أن فسهنه من معروف والله“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

dengan ayat iddah empat bulan sepuluh hari dalam Q.S. al-Baqarah 234:

بن فسهنه أرب عة والهذين ي ت وف هون منكم ويذرون أزواج ا يرتبهصن فل جناح عليكم فيما ف علن أجلهنه أشهر وعشر ا فإذا ب لغن

Halaman 23 dari 45

muka | daftar isi

با ت عملون خبي يف أن فسهنه ابلمعروف والله“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Hukum iddah dengan satu tahun sudah di-naskh akan tetapi tilawah atau bacaannya masih ada di dalam al Qur’an. Naskh macam ini sedikit ditemukan dalam al Qur’an.

Ketiga, Naskh at tilawah ma’a baqaai al hukmi yaitu penghapusan tilawah-nya sedangkan hukumnya tetap berlaku. Salah satu contoh nasakh macam ini, seperti ayat rajam yang mula-mulanya terbilang ayat al Qur’an. Kemudian ayat ini dinyatakan telah di-naskh-kan bacaannya sedangkan hukumnya tetap berlaku. Ayat rajam itu berbunyi :

الب تهة نكال من هللا وهللا الشهيخ والشهيخة إذا زن يا فارجوها 24عزيز حكيم

24 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, No.

Halaman 24 dari 45

muka | daftar isi

“Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti.”

Dari sudut pandang yang lain, nasakh juga bisa dibagi menjadi dua yaitu nasakh sharih dan nasakh dhimniy.25 Nasakh sharih adalah yang disebutkan secara eksplisit oleh syari’ tentang pembatalan suatu hukum dengan hukum setelahnya. Contohnya apa yang difirmankan Allah s.w.t. dalam surat al-Anfal ayat 65-66:

المؤمنني على القتال إن يكن منكم ي أي ها النهب حر ض عشرون صابرون ي غلبوا مائ تني وإن يكن منكم مائة ي غلبوا

م ق وم ل ي فقهون الن خفهف ( 65) ألف ا من الهذين كفروا بنه عنكم وعلم أنه فيكم ضعف ا فإن يكن منكم مائة صابرة الله

ي غلبوا مائ تني وإن يكن منكم ألف ي غلبوا ألفني بذن الله مع الصهابرين ( 66) والله

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat

hadits 21207 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2001), jilid 35, h. 134

25 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 223

Halaman 25 dari 45

muka | daftar isi

mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (65) Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (66). (Q.S. al-Anfal: 65-66)

Contohnya juga adalah nasakh menghadap ke Bait al-Maqdis yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 142:

لتهم هم عن قب ت كانوا اله سي قول السفهاء من النهاس ما ولهها قل لله المشرق والمغرب ي هدي من يشاء إل صراط علي

مستقيم “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada

Halaman 26 dari 45

muka | daftar isi

siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

dan Al-Baqarah 144:

لة ت رض قد ن رى ت قلب وجهك يف السهماء ف لن ول ي نهك اها قب تم ف ولوا ف ول وجهك شطر المسجد احلرام وحيث ما كن

أوتوا الكتاب لي علمون أنهه احلق وجوهكم شطره وإنه الهذين بغافل عمها ي عملون من رب م وما الله

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

Sedangkan nasakh dhimniy adalah nasakh yang dipahami secara implisit dalam nash syariah. Yaitu ketika ada dua hukum yang saling bertentangan dan tidak bisa dikompromikan (al-jam’u wa at-taufiq) sehingga dilihat mana yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian. Maka hukum yang lebih dulu dinasakh dengan yang datang kemudian. Nasakh

Halaman 27 dari 45

muka | daftar isi

jenis ini menurut Abdul Wahab Khallaf banyak terjadi dalam hukum-hukum syara’.26 Contohnya ayat tentang kewajiban wasiat dalam surat al-Baqarah ayat 180:

الوصيهة كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ت رك خي ا على المتهقني للوالدين والق ربني ابلمعروف حقا

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Ayat di atas dinasakh dengan ayat kewajiban waris dalam surat an-Nisa ayat 11:

الن ث يني فإن كنه يف أولدكم للذهكر مثل حظ يوصيكم الله ث لثا ما ت رك وإن كانت واحدة ف لها نساء ف وق اث ن تني ف لهنه

هما السدس مها ت رك إن الن صف ان ك ولب ويه لكل واحد من فلم ه الث لث فإن كان له ولد فإن مل يكن له ولد وورثه أب واه

من ب عد وصيهة يوصي با أو دين له إخوة فلم ه السدس

26 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 224

Halaman 28 dari 45

muka | daftar isi

فريضة من كم ن فع اوأب ناؤكم ل تدرون أي هم أق رب ل آابؤكم الله إنه الله كان عليم ا حكيم ا

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Menurut Abdul Wahab Khallaf, Nasakh juga dapat dibagi menjadi dua dilihat dari sudut pandang

Halaman 29 dari 45

muka | daftar isi

totalitas hukum yang dinasakh. Yaitu nasakh kulliy dan nasakh juz’iy.27 Nasakh kulliy artinya hukum yang dinasakh bersifat keseluruhan atau berlaku bagi semua mukallaf. Contohnya surat al-Baqarah ayat 240 yang menerangkan tentang masa iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu selama satu tahun, kemudian dinasakh dengan surat al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan masa iddahnya hanya selama empat bulan sepuluh hari.

Sedangkan nasakh juz’iy adalah nasakh yang membatalkan hukum bagi sebagian orang dan bagi sebagian lainnya hukum itu masih berlaku. Contohnya adalah surat an-Nur ayat 4 tentang hukuman 80 kali cambuk bagi pelaku qadzaf:

شهداء فاجلدوهم والهذين ي رمون المحصنات ثه مل يتوا برب عة ا وأولئك هم الفاسقون ثانني جلدة ول ت قب لوا لم شهادة أبد

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

27 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 224

Halaman 30 dari 45

muka | daftar isi

Kemudian ayat ini dinasakh dengan surat an-Nur ayat 6 yang membatalkan hukuman cambuk tersebut jika pelakunya adalah suami dari istri yang di-qadzaf dan diganti dengan li’an (saling bersumpah bahwa dirinya benar dan yang bersalah mendapatkan laknat).28

إله أن فسهم والهذين ي رمون أزواجهم ومل يكن لم شهداء إنهه لمن الصهادقني فشهادة أحدهم أربع شهادات ابلله

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”

Nasakh juz’iy ini sebetulnya tidak termasuk nasakh dalam pengertian ushuliyyun. sebab pada hakikatnya tidak terjadi pembatalan hukum melainkan takhsish al-‘amm atau taqyid al-muthlaq.

F. Jumlah Ayat yang Dinasakh dalam al-Qur’an

Kelompok ulama pro-nasakh (jumhur) tidak semuanya bersepakat mengenai jumlah ayat yang menasakh dan dinasakh. Meskipun mengakui

28 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 225

Halaman 31 dari 45

muka | daftar isi

keberadaan nasakh dalam Al-Qur'an, mereka berusaha mempersempit ruang dan memperkecil jumlah ayat yang dinasakh.29

Pada abad ke-8-11, angka ayat-ayat yang dianggap dinasakh meningkat secara dramatis. Az-Zuhri menyebutkan ada 42 ayat yang dinasakh, an-Nahhas menyebutkan ada 138, dan Ibn Salamah menyebutkan ada 238 ayat yang dinasakh. Namun dalam perkembangannya, angka ini mengalami penurunan. Imam Suyuthi, misalnya, mengatakan bahwa ayat-ayat yang dinasakh berjumlah 20, ayat az-Zarqani menyebutkan hanya 7 ayat yang dinasakh dan Musthafa Zayd menyebutkan hanya 5 ayat saja yang dinasakh, begitu juga Ad-Dahlawi yang mengatakan ada 5 ayat yang dinasakh, dan Sa’ad Jalal yang mengatakan ada 4 ayat yang dinasakh. Dari sejumlah perbedaan itu, hanya dua ayat saja yang disepakati oleh para ulama pro-nasakh, yaitu ayat shalat malam di surah al-Muzzammil, dan ayat munajat di surah al-Mujadilah.30

Dalam konteks ini, setidaknya ada dua hal mengapa para ulama berselisih dalam penghitungan

29 Ah. Fawaid, Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qur’an, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, h. 261

30 Fawaid, Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qur’an, h. 262

Halaman 32 dari 45

muka | daftar isi

jumlah ayat yang nasikh dan mansµkh.31 Pertama, doktrin nasakh baru muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw. Dalam perkembangannya, ulama tafsir dan ulama fiqih tidak mampu mendamaikan ayat-ayat yang tampak bertentangan sehingga merasa perlu untuk merumuskan teori nasakh. Kedua, perluasan cakupan makna semantik nasakh dari cakupan makna yang sebelumnya tidak dikandungnya.

G. Kritik terhadap Konsep Nasakh

Konsep nasakh yang dianut oleh jumhur mendapat beberapa kritik dan penolakan khususnya dari ulama kontemporer. Nashr Hamid Abu Zayd misalnya, ia berpendapat bahwa nasakh bukan berarti mencabut atau membatalkan hukum seperti yang dipahami oleh jumhur. Menurutnya, nasakh adalah ta‘līq al-hukm, menggantungkan hukum dan menunda penerapannya pada waktu yang sesuai dengan konteksnya (ta’jil al-hukm li intifa’ az-zhuruf al-mu’addiyah ilaih).32 Di sini sebenarnya Abu Zayd sepakat dengan kalangan pro nasakh. Namun nasakh

31 Fawaid, Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qur’an, h. 264

32 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhµm an-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah lil-Kitab, 1993), hlm. 145

Halaman 33 dari 45

muka | daftar isi

yang dimaksud tidak dipahami dalam makna pencabutan dan pembatalan teks Al-Qur'an, melainkan penundaan penerapan makna teks pada momen yang lebih sesuai dengan nalar zamannya. Ia memahami nasakh dalam konteks evolusi hukum.33

Senada dengan Abu Zayd, mufassir asal Indonesia, Prof. Quraisy Shihab juga mengatakan:

“Adapun jika yang dimaksud dengan nasakh adalah "pergantian" seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.”34

33 Fawaid, Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qur’an, h. 266

34 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2004), h. 149-150

Halaman 34 dari 45

muka | daftar isi

Tokoh lain yang secara lebih frontal menentang pendapat jumhur tentang nasakh adalah Gamal al-Banna. Secara lantang dia menyatakan bahwa pemikiran tentang nasakh yang dianut oleh jumhur ulama merupakan salah satu malapetaka pemikiran terbesar (min akbar al-kawarits al-fikriyyah) yang menjadikan ulama salaf tergelincir dan tertipu. Akhirnya seluruh mereka membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma‘.35

Lebih lanjut dia menyatakan tidak ada ayat yang bisa disebut sebagai ‘ayat-ayat pensiun atau ayat yang dianulir’. Semua ayat mungkin difungsionalisasikan, tetapi Allah yang sangat memahami dalam kondisi apa ayat itu difungsionalisasikan, dan oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an dibagi-bagi sesuai dengan situasi dan keberadaan manusia.36 Terlebih menurut Muhammad Al-Ghazali, dalam Al-Qur'an tidak ada pertentangan mutlak antar dua ayat atau lebih, yang menjadi salah satu syarat nasakh. Masing-masing ayat memiliki konteksnya yang khusus untuk dioperasionalisasikan (falaisa fi al-Qur’an tanaqudh ithlaqan, kullu ayah laha siyaquha alladzi tu’malu

35 Gamal al-Banna, Tafnid Da’wa an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar asy Syurµq, 2005), h. 3

36 Gamal al-Banna, Tafnid Da’wa an-Naskh, h. 100

Halaman 35 dari 45

muka | daftar isi

fihi).37

Sebenarnya, tambah Banna, akar persoalan ini terjadi lantaran mencampur-aduk apa yang disebut dengan ‘keragaman hukum’ (at-ta‘addudiyyah) yang merupakan prinsip yang dipegangi Islam, baik kaitannya dengan hubungan antar agama maupun antara beragam kebijakan hukum dalam umat Islam sendiri dengan pemikiran bahwa keragaman hukum ini saling menafikan satu sama lain sehingga disebut dengan nasakh.38 Allah s.w.t tahu bahwa masyarakat manusia itu berbeda-beda, ruang dan waktu terus berubah, serta sistem-sistem terus berkembang. Lalu Al-Qur'an memberikan beragam alternatif agar setiap masa bisa menyelesaikan persoalannya dengan tepat sesuai dengan pesan wahyu, dengan senantiasa menetapkan hukum yang lama seiring dengan hadirnya hukum-hukum baru yang datang kemudian.39

Demikian juga pakar tafsir di Indonesia yang menolak keras nasakh adalah Hasbi as-Shiddieqy. Dia sangat mendukung pendapat Abu Muslim al-Ashfahaniy. Menurutnya:

37 Muhammad Al-Ghazali, Kaifa Nata‘amal ma‘a al-Qur'an? (Kairo: Dar asy-Syurµq, 2005), h. 85

38 Gamal al-Banna, Tafnid Da’wa an-Naskh, h. 96

39 Gamal al-Banna, Tafnid Da’wa an-Naskh, h. 91

Halaman 36 dari 45

muka | daftar isi

“Jumhur ulama, sebelum Abu Muslim Ashfahany (yang wafat pada tahun 322 H) mengatakan, bahwa adanya nasakh di dalam Kitabullah adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi yang demikian itu. Abu Muslim, sebagai seorang ulama ahli tahqiq, tidak membenarkan nasakh dalam arti umum. Abu Muslim membatalkan beberapa nasakh, yang menurut pendapatnya, berlawanan dengan firman Allah ayat 42 S. 41: Fushilat. Beliau mengatakan bahwa dimaksud dengan nasakh, ialah takhsis. Beliau mengatakan demikian, untuk menghindari pendirian membatalkan suatu hukum yang Allah telah turunkan.”40

Mengenai ayat-ayat yang dipandang oleh jumhur sebagai ayat-ayat yang dinasakh, menurut para penentangnya ayat tersebut sejatinya tidak mengalami nasakh. Melainkan dapat dikompromikan satu sama lainnya sehingga tidak ada ayat yang hukumnya dihapus atau dibatalkan. Khudhori Bek dalam kitab Ushul Fiqhnya melakukan reasoning terhadap 22 buah ayat al-Qur’an yang diduga nasikh-mansukh menjadi sesuai dan kompromis, sehingga

40 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 151

Halaman 37 dari 45

muka | daftar isi

jelas tidak ada ayat yang mansukh dalam al-Qur’an.41

Sebagai contoh, dua ayat yang dipandang oleh jumhur sebagai nasikh-mansukh yaitu surat al-Baqarah ayat 240 yang menerangkan tentang masa iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu selama satu tahun dan surat al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan masa iddahnya hanya selama empat bulan sepuluh hari. Menurut Abu Zahrah, kedua ayat tersebut sangat mudah untuk dikompromikan (al-tawfîq). Kompromi antara dua ayat tersebut adalah: ayat kedua khusus tentang kewajiban atas seorang istri, yakni menunggu selama 4 bulan 10 hari. Dan ayat pertama objeknya adalah hak yang dimiliki oleh seorang istri. Sang pembuat hukum (syâri‘, Allah) menjadikan untuk seorang istri hak untuk tetap dalam rumah yang dimiliki oleh suaminya selama setahun (dengan sempurna), tidak boleh dikeluarkan oleh para ahli waris. Namun, jika ia keluar berdasarkan pilihannya, maka para ahli waris tidak berdosa.42

Argumentasi ulama yang menolak adanya nasikh-mansukh dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dapat

41 Subaidi, Historisitas Nasikh Mansukh, h. 68

42 Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.t.), h. 179

Halaman 38 dari 45

muka | daftar isi

diringkaskan sebagai berikut:43

Pertama, berdasarkan pertimbangan rasio, yakni :

1. Syariah adalah bersifat kekal abadi sampai hari kiamat, hal ini menghendaki hukumnya berlaku sepanjang masa, tidak ada yang di nasakhkan

2. Kebanyakan bentuk hukum dalam al-Qur’an bersifat kulli dan ijmal (global), bukan juz’i (parsial) dan tafshil (terperinci). Hal ini agar supaya bisa fleksibel, sehingga tidak perlu nasakh

3. Tidak ada ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang jelas tentang adanya nasakh

4. Pendapat ulama’ tidak sama tentang jumlah ayat-ayat yang mansukh

5. Ayat-ayat yang kelihatannya berlawanan ternyata dapat dikompromikan, baik dengan teknik ‘am dan takhsis maupun ijmal dan tafshil

6. Tidak ada hikmah yang didapat dari fenomena nasakh

Kedua, berdasarkan argumen naqli yang dikemukakan oleh ulama yang menolak nasikh dan mansukh ialah :44

1. Pernyataan QS. Fushshilat: 42 bahwa Dalam al-Qur’an tidak ditemukan adanya kebatilan,

43 Subaidi, Historisitas Nasikh Mansukh, h. 68

44 Subaidi, Historisitas Nasikh Mansukh, h. 68

Halaman 39 dari 45

muka | daftar isi

padahal hukum Tuhan yang dibatalkan adalah kebatilan.

2. Penafsiran Surat al-Baqarah:106 bahwa Allah tidak mengganti ayat atau membuat manusia lupa tentang ayat kecuali Allah menggantikan yang lebih baik. Kelompok ini memahami bahwa kata “ayat” di situ diartikan “mu’jizat” atau ayat pada kitab sebelum al-Qur’an yang dinasakh oleh al Qur’an.

H. Penutup

Menarik untuk mencermati perdebatan tentang konsep nasakh ini, terutama kritikan dari tokoh-tokoh Islam kontemporer yang menggugat pendapat ulama salaf tentang teori nasakh yang bahkan dianggap sudah menjadi ijma’, baik yang menolak nasakh secara total, maupun yang hanya membatasi penerapan nasakh terhadap hukum-hukum yang sebetulnya masih bisa dikompromikan.

Dari hasil penelaahan terhadap argumen masing-masing kelompok, penulis lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama salaf yang menetapkan eksistensi teori nasakh dalam syariat Islam, akan tetapi kritik sebagian tokoh Islam kontemporer terhadap penerapan nasakh yang terlalu luas yang dilakukan oleh ulama salaf pada hukum-hukum yang sebetulnya tidak saling bertentangan dan masih dapat dikompromikan dan difungsionalisasikan, sebetulnya perlu dipertimbangkan juga.

Halaman 40 dari 45

muka | daftar isi

Alasan penulis lebih cenderung kepada pendapat adanya nasakh dalam syariat Islam, salah-satunya adalah mempertimbangkan sababun nuzul dari surat al-Baqarah ayat 106 yang berbicara tentang nasakh:

ها أو مثلها أمل ت علم ما ن نسخ من آية أو ن نسها نت بي من أنه الله على كل شيء قدير

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Q.S. al-Baqarah [2]: 106)

Dalam banyak kitab tafsir disebutkan bahwa sababun nuzul dari ayat di atas adalah kisah orang-orang kafir yang menuduh Nabi Muhammad SAW. mengarang al-Qur’an, sebab isinya tidak lain hanya menuruti selera dan keinginan Nabi Muhammad SAW. awalnya memerintahkan, lalu melarang, hari ini berkata A, besok berkata B. Lalu turunlah ayat di atas untuk membantah tuduhan orang-orang kafir tersebut.45

45 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo: Dârul Kutub al-Mishriyyah, 1964), jilid 2, h. 61; Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân,

Halaman 41 dari 45

muka | daftar isi

Jika melihat sababun nuzul di atas, maka gugurlah klaim kelompok yang mengatakan bahwa kata âyah dalam ayat di atas maknanya adalah mukjizat. Sebab konteks ayat tersebut sama sekali tidak sedang membicarakan mukjizat, akan tetapi kandungan hukum dalam ayat al-Qur’an.

Hal lain yang menguatkan pendapat jumhur salaf adalah bukti adanya nasakh dalam syariat Islam ketika Nabi masih hidup. Seperti pemindahan kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjidil Haram, yang barang tentu pemindahan ini berlaku untuk selamanya bukan hanya sekedar penundaan. Tidak ada lagi kemungkinan kiblat kembali ke Baitul Maqdis. Oleh karenanya, gugur juga pendapat Nashr Hamid Abu Zaid yang mengatakan kata nasakh dalam ayat di atas tidak bermakna pencabutan, akan tetapi hanya penundaan, di mana dalam kondisi tertentu ayat yang dinasakh masih ada kemungkinan berlaku lagi.

Meskipun nasakh diakui adanya dalam syariat Islam, masih diperlukan kajian terhadap hukum-hukum yang masih ada kemungkinan untuk dikompromikan dan tidak ada nash yang secara eksplisit mencabut keberlakuan hukum tersebut,

(Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Ârabi, 1420 H) jilid 1, h. 153; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Ârabi, 1418 H) jilid 1, h. 99

Halaman 42 dari 45

muka | daftar isi

sehingga tidak berujung pada pengabaian ayat yang seharusnya bisa diamalkan dengan ‘illat dan kondisi tertentu. Dalam hal ini diperlukan penelitian ulang dan kajian yang lebih dalam lagi terhadap ayat-ayat atau hukum yang dianggap mansukh apakah benar-benar mansukh atau masih ada jalan untuk difungsionalisasikan.

Wallâhu Ta’âla A’lam

Halaman 43 dari 45

muka | daftar isi

I. Profil Penulis

Muhammad Abdul Wahab, Lc., M.H. lahir di Tasikmalaya 21 Juli 1991. Pernah mengenyam pendidikan agama di Pondok Pesantren Modern Miftahul Hidayah, Tasikmalaya selama enam tahun (2004-2010). Kemudian melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, Fakultas Syariah jurusan Perbandingan Mazhab (lulus tahun 2015) dan pendidikan pascasarjana (S2) di Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (lulus tahun 2019).

Halaman 44 dari 45

muka | daftar isi

Saat ini penulis menjabat sebagai salah satu asatidz Rumah Fiqih Indonesia (www.rumahfiqih.com), sebuah institusi nirlaba yang bertujuan melahirkan para kader ulama di masa mendatang, dengan misi mengkaji Ilmu Fiqih perbandingan yang original, mendalam, serta seimbang antara mazhab-mazhab yang ada.

Selain menulis, penulis juga menghadiri undangan kajian dari berbagai majelis taklim baik di masjid, perkantoran atau pun di perumahan di Jakarta dan sekitarnya. Saat ini penulis juga bisa dihubungi di nomor 0819-3260-7996 atau email.

Halaman 45 dari 45

muka | daftar isi

RUMAH FIQIH adalah sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pelayanan konsultasi hukum-hukum agama Islam. Didirikan dan bernaung di bawah Yayasan Daarul-Uluum Al-Islamiyah yang berkedudukan di Jakarta, Indonesia.

RUMAH FIQIH adalah ladang amal shalih untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Rumah Fiqih Indonesia bisa diakses di rumahfiqih.com