hak-hak politik warga negara dalam...
TRANSCRIPT
HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA
DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
(Analisis Ketatanegaraan Islam)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
OLEH:
AHMAD BAIHAKKI BIN ARIFIN
NIM: 106045203751
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H / 2008 M
HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA
DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
(Analisis Ketatanegaraan Islam)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AHMAD BAIHAKKI BIN ARIFIN
NIM: 106045203751
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H / 2008 M
HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA
DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
(Analisis Ketatanegaraan Islam)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
AHMAD BAIHAKKI BIN ARIFIN
NIM: 106045203751
Di Bawah Bmbingan
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA.
NIP: 150 270 614
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JA K A R TA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN
PERSEKUTUAN MALAYSIA (Analisis Ketatanegaraan Islam)” telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember 2008. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan
Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 12 Desember 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP: 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. (..…....……………)
NIP: 150 210 422
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag.
(..…....……………) NIP: 150 282 403
3. Pembimbing I : Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. (..…....……………)
NIP: 150 270 614
4. Penguji I : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. (..…....……………)
NIP: 150 210 422
5. Penguji II : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. (..…....……………)
NIP: 150 275 509
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka
saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2008
A. Baihakki Bin Arifin
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan
karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis.
Selawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa
risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya,
yang telah menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan
dengan agama Islam
Skripsi yang berjudul "Hak-hak Politik Warga Negara dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia: Analisis Ketatanegaraan Islam" penulis
susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah
Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini,
masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun
berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih secara khusus yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.
2. Kepada Negara Republik Indonesia yang telah memberikan kami izin
tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat
untuk kami.
3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. Dosen Pembimbing skripsi
penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan
saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa
yang telah Ibu ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.
6. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Program
Studi Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan
semangat kepada penulis, dan kepada seluruh dosen-dosen Fakultas
Syariah dan Hukum.
7. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan FSH, UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Umum
Islam Imam Jama.
8. Kepada pihak Pustaka Awan Negeri Terengganu yang memberi
peluang untuk penulis membuat penelitian dan kajian.
9. Ayahanda Arifin bin Awi serta Ibunda tercinta Rosnani binti Umar yang
sentiasa mendoakan penulis. Terima kasih atas segala doa dan
kesabaran atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta
senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anakanda
dapat menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan
tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan melainkan
hanya sebuah kejayaan.
10. Terima kasih dan salam sayang kepada kakak dan adik-adikku, kak
Long, Abang Chik, kak Teh, Syafiq, Syahmi, Hamidi, Athirah, dan adik
bungsuku Aleeya Maisarah. Dan seluruh saudara-mara penulis yang
selalu memberi dorongan dan membantu penulis sehingga tetap exist
di Ibu Kota Jakarta ini.
11. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato
Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud
Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas,
Ustadzah Zaitun, Ustadzah Nabilah, Ustadzah Yazidah, Ust.
Kamaruzaman, Ust. Sha`ari Zulkarnain, Ust. Asmadi, Ust. Wan Zul, dan
seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis
sebutkan disini.
12. My friends, Mustafa, Harun, Amir, Faizal, Baha Ust Hadi, Mawardi, Khairi
Hajar, NurMasyitah, Wahida, Yunus, Fakhri, Sufian K.B, Fawwas, Ayah Su.
Dan juga kepada sahabat-sahabat di ASPA dan ASPI UIN Syarif
Hidayatullah “Semoga kita Istiqqamah dalam perjuagan Islam”.
13. Teman-teman Indonesia yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Oyok Tolisalim yang telah
membantu penulis untuk memahami dan sharing lebih dalam lagi
mengenai ketatanegaraan Islam.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan
yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk
penulis khususnya kepada semua pihak pada umumnya. Penulis
menyampaikan harapan yang begitu besar agar skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Dan
semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu amalan yang
baik di sisi-Nya.
Jakarta: 12 Desember 2008 M
14 Dzulhijjah 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 9
E. Metode Penelitian ...................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Pengertian dan Sejarah Hak Politik Warga Negara dalam
Ketatanegaraan Islam .................................................................. 15
B. Hak-hak Pokok dalam Ketatanegaraan Islam ............................... 24
C. Hak-hak Politik Warga Negara dalam Islam ................................ 26
BAB III WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN
PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Definisi Warga Negara .............................................................. 45
B. Cara Mendapatkan Kewarganegaraan ........................................ 48
C. Hak dan Kewajiban Warga Negara ............................................ 51
BAB IV HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
TERHADAP WARGA NEGARA MALAYSIA
A. Hak Politik Orang Melayu .......................................................... 64
1. Yang di-Pertuan Agong ......................................................... 67
2. Perdana Menteri .................................................................... 69
3. Raja (Sultan) ......................................................................... 75
4. Menteri Besar (Gubernur) ..................................................... 75
5. Hakim Mahkamah Syari'ah ................................................... 77
B. Analisis Perbandingan Hak Politik Bukan Melayu ..................... 85
1. Hak Memilih dan Dipilih ....................................................... 86
2. Hak Berkumpul dan Berserikat .............................................. 91
3. Hak Mengeluarkan Pendapat ................................................. 95
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 99
B. Saran ....................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102
LAMPIRAN .................................................................................................... 108
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Warga negara atau rakyat adalah syarat berdirinya negara. Baik penduduk
asli maupun orang asing yang telah diterima menjadi rakyat di suatu negara harus
tunduk dan patuh pada undang-undang yang berlaku. Arti yang lebih tepat dari
warga negara ialah penduduk negara.1 Konsep kewarganegaraan merupakan
konsep baru yang timbul pada saat pemberontakan Perancis dan Amerika pada
abad ke-18.2 Konsep ini merupakan syarat untuk membentuk sebuah negara
kebangsaan yang berasaskan kedaulatan raja maupun republik.
Di Malaya sebelum tahun 1948, Negara Malaysia tidak mempunyai
undang-undang kewarganegaraan yang baku, yang ada hanyalah undang-undang
yang mengawasi orang-orang asing keluar masuk dalam negara ini saja. Keadaan
ini terjadi karena dasar pemerintahan Inggris yang membuka pintu negara ini
seluas-luasnya supaya orang asing dapat masuk ke negara ini beramai-ramai dan
dengan mudahnya mereka dapat masuk.3 Dasar seperti ini dinamakan “dasar
1 Hajah Noresah Binti Baharom, dkk. Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002), h. 1546
2 Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin, Pengajian Malaysia, (Selangor Shah Alam:
Oxford Fajar Sdn Bhd, 2007), h. 180
pintu terbuka”. Pemerintahan Inggris membeda-bedakan warga negara Inggris
dari rakyat asing hanya sekedar untuk menutup pintu masuk ke negara ini karena
dipikirkan bahwa orang-orang asing akan membawa kerusakan terhadap
pemerintahan mereka dan juga akan menganggu hak-hak orang Inggris.
Undang-undang kewarganegaraan untuk pertama kali dibuat di Malaysia
yaitu pada tahun 1948. Undang-undang ini terkandung dalam Perjanjian
Persekutuan Tanah Melayu tahun itu. Pasal 125 sampai Pasal 133 telah
menetapkan siapa yang dikatakan sebagai warga negara Persekutuan. Pasal-pasal
ini juga telah menentukan jalan dan cara untuk mendapatkan kewarganegaraan
Persekutuan, yaitu dengan jalan pendaftaran dan naturalisasi. Undang-undang ini
dilakukan perbaikan sedikit pada tahun 1952 karena ingin menyesuaikan dengan
undang-undang warga negara Inggris yang diubah pada tahun 1949.
Pada 1952 semua negeri Melayu mengesahkan undang-undang yang
menentukan siapa yang menjadi raja-raja rakyat Melayu di setiap masing-masing
negara bagian. Barang siapa yang menjadi rakyat keturunan raja-raja Melayu,
maka orang itu berhak menjadi warga negara Persekutuan Tanah Melayu. Seperti
inilah keadaan undang-undang kewarganegaraan di Malaya sebelum merdeka.
Setelah merdeka, Perlembagaan Persekutuan (Undang-undang Dasar Malaysia)
3 K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988), h. 358
dari Pasal 14 sampai Pasal 31 Perlembagaan Malaysia berisi butir-butir dan
peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan.4
Dalam Perlembagaan Malaysia, ada empat cara untuk mendapatkan status
kewarganegaraan, yaitu dengan cara jus soli, jus sanguinis, perkawinan dan
naturalisasi.5 Berdasarkan asas jus soli (Undang-Undang Tempat Lahir) bahwa
seseorang yang dilahirkan antara hari merdeka (31 Agustus 1957) dan bulan
Oktober tahun 1962 secara langsung menjadi warga negara tanpa memperhatikan
kewarganegaraan orang tuanya. Tetapi jika seseorang itu dilahirkan setelah bulan
September 1962, maka orang itu dapat menjadi warga negara apabila salah
seorang dari ibu bapanya ialah warga negara; salah seorang dari ibu bapanya ialah
orang yang tinggal menetap di Malaysia, atau dia tidak mempunyai kewarga-
negaraan negara manapun.6
Sedangkan berdasarkan asas jus sanguinis (Undang-Undang Keturunan
Darah) seseorang yang berketurunan warga negara Malaysia akan tetap menjadi
warga negara, walaupun dia dilahirkan di luar negara, karena kewarganegaraan
bapaknya diwarisi olehnya. Kemudian Faktor perkawinan juga dapat menjadi
salah satu cara untuk mendapatkan status kewarga-negaraan Malaysia yaitu bagi
seorang wanita asing yang menikah dengan seorang warga negara Malaysia untuk
memohon menjadi warga negara. Selain itu bagi orang yang tidak dilahirkan di
4 Tun Mohammad Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 267 5 Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarga-
negaraan, cet. V, (Selangor: Prentice Hall, 2004), h. 173, dapat dilihat juga pada Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 268
6 Pasal 14 ayat (1) poin (a) dan (b) Perlembagaan Persekutuan
Malaysia, jika ia menetap atau berniat menetap di Malaysia, ia bisa mendapatkan
status kewarganegaraan Persekutuan dengan jalan masukan (naturalisasi).
Kewarganegaraan merupakan status istimewa yang dipegang oleh rakyat
yang berhak dalam sebuah negara. Dengan status ini setiap warga negara
memiliki hak yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara, baik itu hak sipil,
sosial, ekonomi dan budaya bahkan termasuk hak-hak politik. Sebagai timbal
balik atas hak-hak yang didapatkan dari negara, setiap warga negara mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu kepada negara, misalnya kewajiban untuk
mematuhi semua perarturan atau undang-undang yang berlaku, kewajiban
mengabdi kepada negara termasuk kewajiban untuk membela negara apabila
diserang oleh negara lain.
Hak dan kewajiban warga negara biasanya diatur dan dilindungi oleh
undang-undang. Hak dan kewajiban ini diberikan kepada semua warga negara
tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, ras atau pun golongan. Semua
sama di hadapan hukum, tidak ada hak istimewa bagi penduduk mayoritas dan
tidak dibenarkan mendiskriminasikan minoritas. Karena semuanya adalah warga
negara yang sah yang diakui oleh undang-undang.
Malaysia adalah negara yang mayoritas penduduknya Melayu, karena
mereka adalah penduduk asli atau pribumi. Selain itu banyak juga penduduk
bukan Melayu yang telah menjadi warga negara Malaysia. Misalnya orang-orang
Cina, India dan golongan yang lainnya. Jumlah penduduk Malaysia perkiraan
tahun 2007 mencapai 26.04 juta, yang terdiri dari kaum Melayu 61%, kaum Cina
30%, kaum India 8% dan yang lain-lain 1%.7
Meskipun penduduk Melayu merupakan mayoritas, akan tetapi dalam
Perlembagaan Malaysia semua warga negara dianggap sama hal ini seperti di
sebutkan dalam Pasal 8 Perlembagaan Persekutuan: “semua orang adalah sama
rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di
sisi undang-undang.” Akan tetapi dalam praktek kenegaraan yang berkaitan
dengan hak-hak politik terutama yang diberlakukan di negara-negara bagian yang
bersultan terdapat aturan yang tegas bahwa jabatan-jabatan politik tertentu tidak
diperbolehkan dipegang oleh kaum non Melayu. Jabatan Sultan atau Raja,
Menteri Besar, Hakim di Mahkamah Syari’ah dan lainnya yang berhubungan
dengan urusan agama Islam tidak diperbolehkan dipegang oleh non Melayu.
Selain itu di Malaysia jabatan kepala angkatan bersenjata dipegang oleh Yang di-
Pertuan Agong yang notabene seorang raja negara bagian yang dipilih oleh
Majelis Raja-raja sebagai kepala negara.8 Ini menunjukkan bahwa jabatan kepala
angkatan bersenjata hanya dapat dipegang oleh orang Melayu.
Akan tetapi, secara konstitusional negara Malaysia tidak ditemukan satu
aturan yang mengharuskan atau mensyaratkan bahwa orang Melayu yang harus
menjadi Perdana Menteri. Sungguhpun demikian, non Melayu diperbolehkan
menduduki jabatan-jabatan seperti anggota Parlemen, anggota Dewan Undangan
Negeri (Dewan Perwakilan Rakyar Daerah atau negara bagian), jabatan menteri
7 http://www.tourism.gov.my/my/about/culture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober
2008 8 Abdul Aziz Bari, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan
Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h. 50
tertentu dan jabatan-jabatan lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan urusan
agama Islam.
Adanya ketentuan atau aturan bahwa non Melayu tidak boleh menduduki
jabatan-jabatan politik tertentu di negara-negara bagian yang bersultan tersebut,
kemudian jabatan kepala angkatan bersenjata hanya dipegang oleh Yang di-
Pertuan Agong, ini dapat dipahami bahwa mayoritas penduduk Muslim merasa
bahwa jabatan-jabatan tersebut memang tidak pantas dipegang oleh bukan
Melayu karena berkaitan dengan urusan agama Islam. Dari sini sebenarnya dapat
kita lihat bahwa ada hak-hak istimewa dalam bidang politik bagi kaum Melayu.
Di Malaysia, Melayu identik dengan Islam. Dalam Pasal 160 (2)
Perlembagaan Persekutuan dikatakan bahwa: “Melayu berarti seseorang yang
menganut agama Islam, boleh bertutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat
resam Melayu”. Kemudian walaupun Malaysia bukan negara Islam, akan tetapi
agama Islam diakui sebagai agama Persekutuan hal ini sebagai mana disebutkan
dalam Pasal 3 Perlembagaan bahwa: “Agama Islam adalah agama Persekutuan;
akan tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di
mana-mana bagian Persekutuan.” Menurut Pasal 3 tersebut bahwa agama Islam
adalah agama resmi Persekutuan, Islam dijadikan agama resmi terutamanya
dalam acara-acara resmi kenegaraan. Akan tetapi Malaysia tetap bukan negara
yang berasaskan Islam, melainkan negara sekuler yang menganut sistem
demokrasi.9
Dari pemaparan di atas, dengan melihat bahwa mayoritas penduduk
Malaysia adalah Malayu (Muslim), yang menjadikan agama Islam sebagai agama
resmi, kemudian terdapat hak-hak istimewa dalam bidang politik bagi orang
Melayu adalah sangat menarik untuk diteliti apakah Malaysia terutama negara-
negara bagian yang bersultan telah mempraktekkan konsep ketatanegaraan dalam
Islam. Karena dalam ketatanegaraan Islam non Muslim atau ahl al-Dzimmah
tidak diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu seperi kepala negara,
ketua Majlis Syura (Parlemen), kepala angkatan bersenjata dan jabatan-jabatan
lainnya yang berhubungan dengan urusan agama Islam.10
Walaupun secara umum
dalam ketatanegaraan Islam pun hak semua warga adalah sama dan dijamin oleh
syari’ah.
Kemudian seperti apakah pengaturan kewarganegaraan yang telah di atur
di dalam ketatanegaraan Islam dan apakah telah dipraktekkan atau
diaktualisasikan oleh negara Malaysia, seperti yang kita ketahui bahwa negara
Malaysia adalah negara yang menadikan agama Islam sebagai agama resmi.
Untuk itu penulis mengambil judul berkaitan dengan masalah hak politik warga
negara Malaysia yang terdapat di dalam Perlembagaannya secara umum dan
undang-undang negara-negara bagian. Penelitian skripsi oleh penulis di beri judul
9 Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 178-179 10 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islâm, edisi Indonesia diterjemahkan
oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, (Bandung:
Mizan, 1991), h. 35
“Hak-hak Politik Warga Negara dalam Perlembagaan Persekutuan
Malaysia (Analisis Ketatanegaraan Islam)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian skripsi sudah seharusnya di dalamnya harus memuat
batasan masalah hal ini diperlukan agar penelitan lebih terarah dan fokus.
Untuk itu penulis membatasi permasalahan dalam penelitian skripsi ini
mengenai hak-hak politik warga negara Malaysia yang kemudian dilihat dari
sudut pandang ketatanegaraan Islam.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Bagaimana undang-undang negara Malaysia mengatur tentang hak-hak
politik warga negara?
2). Bagaimana hak-hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam?
3). Apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep ketatanegaraan
dalam Islam yaitu dalam hal hak-hak politik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Untuk mengetahui tentang pengaturan hak-hak politik dalam undang-undang
negara Malaysia.
2. Untuk mengetahui hak-hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam.
3. Untuk mengetahui apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep
ketatanegaraan dalam Islam yaitu dalam hal hak-hak politik.
4. Untuk memenuhi sebagai salah satu syarat mendapat gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di bidang fiqh
siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia.
2. Dapat dijadikan salah satu rujukan bagi pihak pencinta ilmu ketatanegaraan
khususnya yang mengkaji kewarganegaraan.
3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang persepsi hukum
ketatanegaraan Islam mengenai hak politik warga negara.
4. Berguna bagi Parlemen Malaysia dalam mengkaji ulang undang-undang yang
ada.
D. Kajian (Review) Pustaka Terdahulu
Untuk melihat bahasan kajian yang membahas mengenai tema yang
hampir sama, namun substansi yang berbeda maka diperlukan studi review
terhadap kajian yang terdahulu. Adapun yang penulis masukan dalam
perbandingan ini di dapat dari bahan-bahan; buku-buku dan skripsi.
Buku pertama, Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam), (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001). Ada bahasan secara
terperinci yang membahas mengenai kewarganegaraan, seperti pembagian
kewarganegaraan di bedakan kepada Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb. Di dalam
Dar Al-Islam di tempati oleh Muslim, Ahl Al-Dzimmi, Musta’min. Sedangkan di
Dar Al-Harb di tempati oleh golongan Harbiyun.
Buku kedua, Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan,
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001. Buku ini merupakan sebuah penjelasan
mengenai kewarganegaraan yang di tuliskan di dalam perlembagaan Malaysia,
isinya di antaranya berisi mengenai siapa yang menjadi warga negara, bagaimana
mendapatkan kewarganegaraan, apa sebab kehilanggan kewarganegaraan.
Buku ketiga, Karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Kewarganegaraan”
ditulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di
Malaysia”, buku ini membahas tentang pengertian warga negara,
kewarganegaraan di sisi Undang-Undang, faktor dan cara untuk mendapatkan
kewarganegaraan Malaysia, pengeluaran sertifikat kewarganegaraan.
Buku keempat, Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin, yang membahas
tentang menjelaskan mengenai kedudukan istimewa warga Melayu di dalam
Perlembagaan yang di tulis pada buku yang berjudul ”Pengajian Malaysia”.
Secara umum di dalam buku ini menjelaskan hak istimewa orang Melayu, dan
hak-hak kaum lainnya. Selain itu ada keterkaitan di antara hak istimewa orang
Melayu dengan kewarganegaraan yang terdapat di Perlembagaan.
Skripsi Chairul Shaleh, Jurusan SJM, Prinsip-prinsip Politik
Kewarganegaraan Islam dalam Konsep Al-Qur’an dan Al-Hadits, 2000. skripsi
ini secara umum membahas mengenai kewarganegaraan yang ada di dalam Al-
Qur’an dan hadis seperti adanya golongan Muslim, harbiyun, musta’min.
Skripsi Ali, Jurusan Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin. Hak Politik Non
Muslim dalam Perspektif Al-Qur’an (sebuah analisis Tafsir Tematik dalam Studi
Al-Qur’an), 2003. Skripsi ini secara khusus hanya membahas mengenai hak-hak
politik dari non Muslim, di dalam bab IV bahasan mengenai hak politik non
Muslim dalam Al-Qur’an kajiannya mengenai memilih pemimpin, hubungan
antara Muslim dengan non Muslim, serta berbuat baik dan adil pada non Muslim.
Dari beberapa buku dan skripsi dalam kajian (review) pustaka terdahulu
di atas, hanya membahas seputar tentang kewarganegaraan dan cara mendapatkan
kewarganegaraan secara umum serta terdapat pula pembahasan hak-hak politik
non muslim dalam perspektif al-Qur’an. Berbeda dengan pembahasan yang
penulis angkat yaitu tentang hak-hak politik warga negara dalam Perlembagaan
Persekutuan Malaysia. Dengan demikian, permasalahan yang penulis angkat
dalam skripsi ini belum ada yang membahasnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan riset pustaka (library risearch) pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian
hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian
hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia
yang dianggap pantas.11
2. Sumber Data
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer di dapat dari sumber-sumber pokok seperti
Undang-undang yaitu Perlembagaan Malaysia dan buku yang membahas
kewarganegaraan Malaysia, adapun bukunya yaitu Prinsip Perlembagaan dan
Pemerintahan di Malaysia, Pengajian Malaysia, Sultan dan Perlembagaan.
Sedangkan sumber sekunder didapat dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh para
ahli ketata-negaraan baik dalam dunia Islam maupun dari ketatanegaraan
Malaysia, seperti Perpecahan Bangsa Melayu, dan dari internet melalui situs
yang berkaitan di antaranya http://www.malaysiakini.com/letters/28219.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data
kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai
relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti
gunakan adalah Dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik
berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul.
11 Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), cet. I, h. 118
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu
menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat
dan konsep, serta analisis hukum yang bersifat yuridis normatif yang
menggambarkan tentang pengaturan hak-hak politik dalam Undang-undang di
Malaysia dan hukum Islam, kemudian dilanjutkan dengan analisis
perbandingan untuk mencari kesesuaian antara keduanya.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada ”Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.”
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II Pembahasan dalam bab II ini mengenai hak politik warga negara
menurut ketatanegaraan Islam yang meliputi: pengertian dan sejarah
hak politik dalam warga negara Islam, hak-hak pokok dalam
ketatanegaraan Islam dan hak-hak politik warga negara dalam Islam.
Bab III Bab ini membahas warga negara dalam Perlembagaan Persekutuan
Malaysia yang meliputi: defenisi warga negara, cara mendapatkan
kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara.
Bab IV Merupakan analisis hak politik dalam ketatanegaraan Islam terhadap
warga negara Malaysia, yang menjelaskan tentang orang Melayu
dan analisis perbandingan hak politik bukan Melayu yang meliputi
hak memilih dan dipilih, hak berkumpul dan berserikat serta hak
mengeluarkan pendapat.
Bab V Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan
saran.
BAB II
HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
Kita tahu seorang Muslim wajib menempatkan kepentingan pribadinya di
bawah pengabdian kepada negara Islam, untuk itu ia tidak saja dituntut menurut
syari’at tetapi juga menurut moral. Ini disebabkan karena adanya pengakuan bahwa
negara menurut Islam merupakan “Kekhalifahan Allah di muka bumi.” Namun
tidak diragukan bahwa tuntutan negara terhadap ketaatan warga negaranya
bukanlah kewajiban sebelah pihak saja artinya bahwa hubungan antara negara dan
wargannya bukanlah semata-mata kewajiban yang dibebankan kepada warga negara,
Islam mengajarkan akan perlindungan terhadap warga negara berupa perlindungan
hak-haknya baik itu hak ekonomi, hak sosial, hak budaya hak sipil dan hak politik.
Dalam pembahasan Bab II skripsi ini, penulis akan menguraikan tentang hak-hak
politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam.
A. Pengertian dan Sejarah Hak Politik Warga Negara dalam Ketatanegaraan
Islam
Untuk mendefinisikan hak politik dalam ketatanegaraan Islam perlu
dipisahkan terlebih dahulu tentang pengertian istilah tersebut, yaitu pengertian
hak dan politik. Secara bahasa hak berarti yang benar, tetap dan wajib,
kebenaran dan kepunyaan yang sah.12
Hak dapat juga disebut hak asasi yaitu,
12 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), h. 211
sesuatu bentuk yang dimiliki oleh seseorang karena kelahirannya, bukan karena
diberikan oleh masyarakat atau negara.13
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata hak
( ) �� dalam kamus Lisan al-‘Arab diartikan dengan ketetapan, kewajiban, yakin,
yang patut dan yang benar.14
Secara terminologis, ada beberapa definisi hak yang dikemukakan oleh
para ulama fiqih. Syeikh ‘Abdul Halim al-Luqnawi sebagaimana dikutip oleh
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata hak dengan sesuatu hukum yang
ditetapkan secara syara’. Sementara itu Syeikh Ali al-Khafifi mendefinisikan hak
sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara’.15
Musthafa Ahmad al-Zarqa
dalam kitabnya al-Madkhâl al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al- Jadîd
memberikan definisi yang lebih lengkap. Menurut al-Zarqa hak adalah sesuatu
kekhususan (yurisdiksi) di mana dengannya syara’ menetapkan kekuasaan atau
tanggung jawab.16
Menurut Wahbah al-Zuhaili definisi yang dikemukakan oleh Syeikh
Abdul Halim al-Luqnawi belum bisa mencakup keseluruhan makna yang
terkandung dalam kata hak sebagaimana yang difahami oleh para ulama fiqih.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Khafifi pun belum lengkap juga, sebab hanya
13 B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. I, h. 193
14 Jalaluddin Muhammad Ibnu Manzhur, Lisân al’Arab, juz II, (Mesir: Dâr al-Hadîts,
2003), h. 525-526
15 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, juz IV, (Damsyik: Dâr al-Fikr,
1425 H / 2004 M), cet. III, h. 8-9
16 Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhâl al-Fiqh al-‘Âm: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al-Jadîd, (Damsyik: Dar al-Fikr, t.th.), jilid III, h. 10
menyinggung segi tujuan dari hak. Definisi yang baik adalah yang dikemukakan
oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa, sebab derfinisi tersebut mencakup keseluruhan
yang terkandung dalam kata hak seperti hak keagamaan (misalnya hak Allah atas
hamba-Nya), hak perdata, hak-hak kesopanan, hak-hak umum dan lain-lainnya.17
Sedangkan kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang
menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut
berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata
Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a
citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city
“kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti,
yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya)
mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat
atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin
pengetahuan, yaitu ilmu politik.18 Politik merupakan kata kolektif yang
mempunyai pemikiran-pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.19
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau
17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 9
18 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet.
II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34
19 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, h. 608
menangani suatu masalah).20 Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu.21 Selanjutnya sebagai suatu sistem Munawir Syadzali
menerangkan, bahwa poltik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuan-
ketentuan siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut;
apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.22
Istilah politik di dalam literatur Arab dikenal dengan istilah siyâsah
(politic), yaitu cerdik atau bijaksana.23
Siyâsah berasal dari kata sâsa-yasûsu-
siyâsatan, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhîth
dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ (saya mengatur
rakyat dengan mengunakan politik: ketika saya memerintah dan melarangnya).24
Politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik secara dalam
maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) maupun
20 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 886
21 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, (Jakatra: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005), h. 8 22 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 41
23 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005),
cet. I, h. 111
24 Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir,
1995), h. 496
umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara
praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam
melakukan tugasnya.25
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan
politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik
menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup
masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah
pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara.26
Politik
ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat
undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang
merugikan bagi kepentingan manusia.27
Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para
ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami,
karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan
kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa.28 Dalam hal ini al-Quran dan
Sunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam al-Quran
tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan pada
25 Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam,
diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, (Bangil: Al-Izzah, 2004), h. 11
26 Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. I, h. 26-28
27 Moh. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. I,
h. 9 28 Inu Kencana, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), cet. I,
h.75
setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti al-Quran menghambat
dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan al-Quran untuk
membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu kemampuan dan
perkembangan zaman. Kendati demikian al-Quran memberikan prinsip-prinsip
dasar bagi kehidupan bermasyarakat.29
Dari penjelasan di atas, secara garis besar hak politik dapat diartikan
sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu
ataupun diambil oleh siapapun dalam kehidupan bermasyarakat di suatu negara.
Menurut para ahli hukum hak politik adalah hak yang dimiliki dan diperoleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik (negara), seperti
hak memilih (dan dipilih), mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam
negara,30 atau hak politik itu adalah hak-hak di mana individu memberi andil
melalui hak tersebut dalam mengelola masalah-masalah negara atau
memerintahnya.31 Selain itu hak politik dapat pula diartikan sebagai hak yang
diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi
politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan
umum dalam negara. Hak politik juga dapat didefenisikan sebagai hak-hak di
mana individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola
29 Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara, h. 41 30 A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), cet. I, h. 17 31 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta:
Yayasan Al-Amin, 1984), cet. I, h. 17
masalah-masalah negara atau pemerintahannya. 32
Hak politik merupakan hak asasi setiap warga negara untuk ikut serta
dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya hak untuk berkumpul dan
berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat
termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan
kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan
aspirasi rakyat.
Berkaitan dengan hak politik warga negara dalam ketatanegaraan Islam,
maka perlu dibahas juga apa yang dimaksud dengan ketatanegaraan Islam.
Berbicara tentang ketatanegaraan Islam berarti berbicara tentang negara Islam.
Menurut Imam al-Mawardi negara Islam adalah negara yang melaksanakan
konsep pemerintahan Nubuwwah dalam menjaga agama dan mengurus urusan
dunia dengan agama.33
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah yang termasuk
dalam negara Islam (Dar al-Islam) negara di mana hukum-hukum agama Islam
nampak di dalamnya atau negeri-negeri di mana penduduknya beragama Islam
bisa melahirkan (menjalankan) hukum-hukum Islam. Jadi termasuk negeri Islam
semua negeri di mana semua penduduknya itu sebagian besarnya beragama Islam,
atau negeri-negeri yang dikuasai oleh kaum muslimin, meskipun kebanyakan
penduduknya tidak memeluk agama Islam. Juga termasuk negeri Islam semua
negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin, selama penduduknya yang
32 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), cet. I, h. 49
33 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthâniyah, (T.tp: Dar al-Fikr, 1960), cet. I, h. 5
beragama Islam bisa melahirkan hukum-hukum Islam atau selama tidak ada hal-
hal yang menghalang-halangi mereka untuk melahirkan hukum-hukum
tersebut.duduknya tidak memeluk agama Islam.34
Kemudian menurut Yusuf Al-Qardhawi negara Islam adalah negara
madani (civil society) yang berdasarkan Islam.35
Sedangkan negara bukan Islam
adalah negeri-negeri yang tidak termasuk dalam kekuasaan kaum muslimin, atau
negeri-negeri di mana hukum Islam tidak nampak, baik negeri-negeri tersebut
dikuasai oleh satu pemerintahan atau beberapa pemerintahan, baik penduduknya
yang tetap terdiri dari kaum muslimin atau bukan.36
Jadi, dari penjelasan di atas yang dimaksud dengan hak politik dalam
ketatanegaraan Islam dalah hak-hak warga negara dalam negara Islam di mana
individu dapat ikut andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola masalah-masalah
negara atau pemerintahannya, misalnya hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk
berkumpul dan berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluar-
kan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi
penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijakan yang
bertentangan dengan aspirasi rakyat.
34 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânŭn al-Wadhi’i, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998), juz I, h. 275
35 Yusuf al-Qaradhawi, al-Dîn wa al-Siyâsah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan
Dikotomi Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008), cet. I, h. 169 36 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânŭn al-
Wadhi’i, h. 277
Sejarah hak politik di dalam Islam sudah berlangsung ketika manusia itu
sudah diturunkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Perkembangan perpolitikan di dalam Islam terjadi pada saat Nabi Muhammad
SAW diutus Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia
agar berkehidupan dengan cara yang baik dan benar. Peristiwa ketatanegaraan
Islam yang memang khusus mengkaji pembahasan hak-hak politik di dalam Islam
terjadi pada saat adanya Piagam Madinah.
Dokumen Piagam Madinah merupakan sumber ide yang mendasari
negara Islam pada awal pembentukannya, dokumen ini telah diakui otentik.37
Kelahirannya memiliki konteks tersendiri, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di
Madinah penduduk di kota ini dilihat dari segi agama terdiri dari empat golongan
besar, yaitu warga Muslim, Musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Warga Muslim terdiri
Muhajirin dan Anshar, golongan Muhajirin adalah warga imigran yang bermigrasi
dari Mekkah, mereka adalah orang-orang suku Quraisy yang telah masuk Islam,
sedangkan kaum Anshar adalah warga pribumi kota Madinah yang terdiri dua
suku besar, yaitu suku Aus dan suku Khazraj. Sementara warga Yahudi terdiri
atas keturunan Yahudi pendatang, terdapat tiga kelompok besar keturunan yaitu
Bani Nadlir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah. Adapun warga Nasrani
merupakan kelompok minoritas yang umumnya mendiami daerah Najran.38
37 W. Montogomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Oxford University Press, 1991), h. 225
38 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalaam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI Press; 1995), h. 36
Dalam perspektif Islam, hak-hak politik sejatinya merupakan bagian
intrinsik dari hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Pelacakan intens
terhadap monoteisme Islam sebagai ajaran dasar akan menjelaskan secara sem-
purna hal tersebut. Sebagai prinsip dasar, monoteisme merupakan pembebasan
yang membawa konsekuensi pada keberadaan seluruh umat manusia dalam kedu-
dukan yang sederajat. Setiap manusia memiliki hak yang sama sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas masing-masing untuk mengaktualisasikan hak-hak
dasariahnya, serta mengartikulasikan aspirasinya yang objektif.
Demikian pula, hak-hak mereka yang bersifat prinsip harus mendapat
perlindungan yang sama. Tidak ada satu manusia atau kekuatan mana pun di
dunia yang dapat memasung dan mereduksi hak-hak dasar yang melekat pada
setiap manusia, termasuk hak-hak politik, kecuali karena alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan yang mengacu secara jelas kepada nilai-nilai etikamoral
kemanusiaan dan ajaran substansial agama.39
Demikianlah penjelasan tentang pengertian dan sejarah hak-hak politik
dalam ketatanegaraan Islam, selanjutnya akan membahas mengenai hak pokok
yang dimiliki seseorang dalam ketatanegaraan Islam.
B. Hak-Hak Pokok dalam Ketatanegaraan Islam
Hak-hak pokok adalah hak-hak yang dibutuhkan manusia untuk menjaga
kelangsungan eksistensinya dan keselamatan kehidupannya. Apabila hak-hak
39 http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg00033.html diakses pada tanggal
23 September 2008
pokok ini dilanggar, maka menyebabkan berakhirnya kehidupan manusia atau
kehidupan manusia akan mengalami kerusakan dan kehancuran yang parah.
Dalam Islam, perlindungan atas kebutuhan pokok manusia ini bertumpu pada
tujuan diturunkannya syari’at Islam yaitu untuk melindungi dan memelihara
kepentingan hidup manusia baik material maupun spiritual, individual dan sosial.40
Berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh bahwa Allah telah
menurunkan syari’at Islam dengan beberapa tujuan (Maqasid al-Tasyri’ atau
Maqasid al-Syari’ah)41 yang secara garis besar terdiri dari tiga hal, yakni
dharuriat (tujuan pokok), yaitu hal-hal penting yang harus dipenuhi untuk
kelangsungan hidup manusia. Bila mana hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan
terjadi kerusakan, kerusuhan dan kekacauan hidup manusia; hajiyat (tujuan
sekunder) yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan
kelapangan dan kemudahan dalam hidup di dunia. Bila mana hal tersebut tidak
terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan; dan
tahsiniyat (tujuan tersier), yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan
akhlak yang baik.
Tujuan pokok atau dharuriyat meliputi perlindungan terhadap agama,
jiwa, akal, nasab dan harta (al-muhafadlah ala al-din wa al-nafs wa al-’aql wa al-
40 Ridwan HR., Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2007), cet. I, h. 26 41 Pembahasan mengenai Maqasid al-Syari’ah dapat dijumpai dalam kitab-kitab ushul
fiqh atau buku-buku yang membahas tentang filsafat hukum Islam, misalnya al-Syatibi dalam
kitabnya al-Muwafaqat, (Ttp: Dar al-Fikr, t.th), h. 2-5 dapat dilihat juga pada Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), h. 231-234
nasl wa al-mal). Kehidupan manusia di dunia ini ditopang oleh lima hal ini.
Manusia tidak akan meraih kehidupan yang mulia tanpa memelihara hal tersebut,
karena kemuliaan manusia itu terletak pada terjaganya lima perkara tersebut.
Pemerintahan Islam wajib menjaga dan memberikan perlindungan terhadap
kebutuhan pokok manusia, dan tidak hanya terbatas pada warga negara muslim
saja tetapi terhadap semua warga negara yang berada di wilayah negara yang
bersangkutan, apapun agamanya. Perlindungan terhadap kebutuhan pokok
manusia ini merupakan inti dari perlindungan hak asasi manusia.
Demikianlah secara umum apa yang menjadi hak-hak pokok warga
negara yang harus dijamin dan diberikan oleh negara dalam negara Islam, yaitu
terpeliharanya lima perkara:
1. Perlindungan Terhadap Agama (Hifz al-Din) atau Hak untuk Memeluk
Agama atau Keyakinan;
2. Perlindungan terhadap jiwa (hifz al-Nafs) atau hak untuk hidup;
3. Perlindungan terhadap akal (hifz al-’aql) atau hak untuk berfikir;
4. Perlindungan terhadap keturunan (hifz al-Nasl) atau hak atas keturunan dan
kehormatan; dan
5. Perlindungan terhadap harta (hifz al-mal) atau hak atas harta.
C. Hak-hak Politik Warga Negara dalam Islam
Tema tentang hak-hak politik dalam Islam memang merupakan kajian
yang menarik karena di dalamnya diatur mengenai hubungan antara hak
penduduk dan hak warga negara. Oleh karena itu, untuk memudahkan
pembahasan hal ini, kita harus memulai dengan apa yang menjadi pokok tema,
yaitu prinsip “Warga Negara” dalam sistem politik Islam, baru setelah itu kita
akan melihat jenis-jenis hak politik dalam Islam.
1. Warga Negara dan Spesifikasi Sifat Warga Negara
Dalam Islam kedudukan manusia adalah sama, yang membedakannya
adalah derajat ketaqwaannya. Islam juga memperlakukan manusia secara adil
tanpa membeda-bedakan kebangsaan, warna kulit, dan agamanya. Akan tetapi,
dalam kaitannya dengan negara Islam membuat berbagai ketentuan yang
mengatur hubungan antar sesama manusia, baik Muslim sendiri maupun non
Muslim. Para ulama fiqh membagi kewarganegaraan seseorang menjadi Muslim
dan non-Muslim. Orang non-Muslim terdiri dari ahl al-Dzimmi, Musta’min dan
Harbiyun. Dengan demikian penduduk dar al-Islam terdiri dari Muslim, ahl-al
Dzimmi dan Musta’min.42
a). Muslim
Sebutan Muslim adalah nama yang diberikan untuk orang yang menganut
agama Islam. Ia meyakini dengan sepenuh hati kebenaran agama Islam dalam
akidah, syari’ah sebagai aturan hidupnya. Berdasarkan tempat menetapnya,
Muslim dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama mereka
yang menetap di Dar al-Islam yang mempunyai komitmen yang kuat untuk
mempertahankan Dar al-Islam. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang
42 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 231
Islam yang menetap sementara waktu di Dar al-Islam sebagai Musta’min dan
tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua Muslim
yang tinggal menetap di Dar al-Harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke Dar
al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, sama dengan
Muslim lainnya di Dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara.
Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyyun,
karena mereka berada di negara yang tidak dikuasai orang Islam. Konsekuen-
sinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.43
b). Ahl al-Dzimmi
Al-Dzimmah adalah mufrad dari dzimiyyun, diambil dari azzimam yang
berarti kehormatan dan hak.44
Kata ahl al-Dzimmi atau ahl al-Dzimmah
merupakan bentuk tarkib idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya
berdiri sendiri. Kata “ahl” secara bahasa berarti keluarga atau sahabat, sedangkan
kata “Dzimmi/Dzimmah” berarti janji, jaminan, dan keamanan.45
Seseorang yang
mempunyai janji disebut rajulun Dzimmiyyun.
Dalam pandangan al-Ghazali (w.505 H), ahl al-Dzimmi adalah setiap ahli
kitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan
membayar jizyah. Ibn al-Juza’i al-Maliki memberikan defenisi yang hampir sama
dengan al-Ghazali dengan mendefenisikan ahl al-Dzimmi sebagai “orang kafir
43 Ibid., h. 232
44 Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub Fairuz Abadi, al-Qâmŭs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), juz IV, h. 117
45 Ibrahim Anis, dkk. al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: T.tp., 1972 ), Juz I, h. 315
yang merdeka, baligh, laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu
membayar jizyah dan tidak gila”. Al-Unqari (w.1383 H) mempertegas pendapat
di atas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-Dzimmi adalah orang non-Muslim
yang menetap di dar al-Islam dengan membayar jizyah.46
Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan di atas, maka unsur penting
untuk menentukan status seseorang sebagai Dzimmi adalah non-Muslim, baligh,
beakal, bukan budak, laki-laki, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar
jizyah kepada pemerintah Islam. Status dzimmi dapat diperoleh seseorang melalui
perjanjian akad dzimmah dengan pemerintahan Islam.
Sebagai warga negara, ahl al-Dzimmah mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan dan memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. ahl al-
Dzimmah atau kaum minoritas menurut konsep Islam akan mendapatkan jaminan
perlindungan dari Allah SWT, Rasulullah SAW, serta kaum muslimin secara
keseluruhan. Secara agama, tidak boleh ada seorang pun yang merusak jaminan
mereka atau melanggar perjanjian mereka. Perjanjian dan perdamaian yang akan
menjaga kehormatan mereka, juga melindungi agama, nyawa, harga diri, dan
harta kekayaan mereka.47
ahl al-Dzimmah berkewajiban membayar pajak (jizyah)
untuk mendapatkan hak suara. Jizyah adalah pajak yang diberikan non Muslim
sebagai imbalan atas pembebasan mereka dari kewajiban mempertahan-kan
negara, atau imbalan atas jaminan dan perlindungan serta berbagai hak sipil
46 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), h. 233 47 Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, h. 201
sebagai warga negara yang sejajar dengan kaum muslimin.48
Jizyah juga bisa
diartikan sebagai ganti kewajiban berjihad yang merupakan kewajiban agama
yang bersifat ta’abudiyah (dalam rangka beribadah). Dalam hal ini Islam tidak
ingin melukai perasaan mereka dengan mengharuskan mereka melakukan jihad
terhadap warga non Muslim.49
Jizyah hanya wajib dipungut dari kalangan pria
yang merdeka dan berakal. Tidak wajib dipungut dari wanita, anak-anak, orang
gila dan hamba sahaya.50
Secara umum ahl al-Dzimmah mempunyai hak yang sama dengan
penduduk Muslim, hanya saja dalam hal hak politik terdapat perbedaan dengan
penduduk Muslim. Bahwa ahl al-Dzimmah dalam hak politik seperti dalam hal
kepemimpinan dan jabatan-jabatan tertentu tidak bisa diberikan. Hak jabatan
tertinggi dalam pemerintahan (kepala negara atau khalifah), ketua lembaga
eksekutif, perdana menteri, panglima perang, hakim untuk kaum muslimin,
penanggung jawan urusan zakat dan sedekah termasuk wakaf daan sebagainya
tidak diberikan kepada mereka.51
Hal ini disebabkan karena golongan minoritas
tidak mempunyai hak kepemimpinan dan kekuasaan eksekutif dan yudikatif
mempunyai fungsi menerapkan syari’at Islam. Oleh sebab itu yang menduduki
48 Khamami Zada dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, (Jakarta: Lembaga
Studi Islam Progresif, 2004), cet. I, h. 55 49 Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, h. 202 50 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 144 51 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islam, edisi Indonesia diterjemahkan
oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, (Bandung:
Mizan, 1991), h. 35
jabatan tersebut dengan sendirinya orang yang meyakini Islam sebagai akidah dan
syari’ah.52
Sebabnya ialah keimanan dan kekhalifahan adalah kepemim-pinan umum
di bidang agama dan dunia sekaligus, yakni perwakilan dari Nabi SAW.
Kepemimpinan atas angkatan bersenjata bukanlah semata-mata bersifat sekuler,
tetapi itu adalah kegiatan yang bersifat ibadah dalam Islam. Sebab jihad
merupakan puncak ibadah dalam Islam. Peradilan adalah penerapan hukum
syari’at Islam, sedangkan seorang non Muslim tidak mungkin dituntut agar
menerapkan suatu hukum yang ia sendiri tidak percaya kepadanya. Demikian pula
urusan zakat dan sebagainya adalah tugas-tugas keagamaan, tugas-tugas
pemerintahan di luar bidang-bidang tersebut di atas boleh diserahkan kepada ahl
al-dzimmah apabila terpenuhi persyaratan-persyaratannya pada diri mereka,
seperti kecakapan, kejujuran dan kesetiaan kepada negara.53
Meskipun demikian, bahwa non Muslim diperbolehkan menduduki jabatan
badan eksekutif54
misalnya menjadi menteri tertentu. Demikian juga mereka bisa
atau diperbolehkan menjadi anggota Ahli Majlis Syura atau Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Hal ini disebabkan karena Majlis Syura atau DPR merupakan
tempat untuk mengeluarkan pendapat, memberi nasihat kepada pemerintah dan
52 Salim Ali al-Bahansawi, as-Syari’ah al-Muftara ‘Alaiha, edisi bahasa Indonesia
diterjemakan oleh Musthalah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1996), cet. I, h. 202 53 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islam, h. 54 54 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 27
menyuarakan kehendak konstituen.55
Ahli al-Dzimmah juga diperboleh-kan
menduduki jabatan kementerian pelaksanaan (wizarah tahfidz), yaitu menteri
pelaksanaan yakni seorang yang meneruskan perintah-perintah dan keputusan-
keputusan Imam serta melaksanakan-nya, ini berbeda dengan pejabat kementerian
perwakilan (wizarah tafwidz) yang kepadanya dikuasakan sepenuhnya pengaturan
urusan politik, adminis-trasi dan ekonomi negara oleh imam.56
Jaminan hak ahl
al-Dzimmah berpartisipasi dalam politik merupakan sifat toleransi dalam Islam.
Islam tidak memandang akidah sebagai halangan untuk dilantik sebagai pejabat
pemerintah jika ahl al-dzimmah mempunyai kemampuan.
Sebagai warga negara ahl a-dzimah mempunyai jaminan hak dari sudut
sosial dalam sebuah negara Islam. Hak dari sudut sosial dapat disimpulkan yaitu
kebebasan individu, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak
mendapatkan pendidikan dan perlindungan ketika tua.
Kebebasan individu ahl al-dzimmah yaitu kebebasan untuk pergi ke mana
saja yang ia kehendaki, keselamatan terjamin dari segala penganiayaan, tidak
boleh dicekal kecuali ia benar-benar melanggar undang-undang.57
Jaminan
terhadap keselamatan ahl al-Dzimmah bukan sebatas terhadap ancaman dari
dalam negara, bahkan meliputi ancaman dari luar yang dihadapi oleh ahl al-
Dzimmah. Bahkan jika ahl al-Dzimah menjadi tawanan pihak musuh, pemerintah
55 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h. 72 56 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islam, h. 55 57 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h. 75
negara Islam berkewajiban menyelamatkan mereka walaupun terpaksa membayar
uang tebusan. Harta benda mereka sama dengan kedudukan nyawanya. Negara
Islam bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada harta benda ahl al-
Dzimmah. Oleh sebab itu, siapa saja yang mencuri harta benda ahl al-Dzimmah,
tangannya akan dipotong, siapa yang merampasnya dia akan ditakzir, dan
dikembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Siapa yang berhutang harta
bendanya maka wajiblah dia melunaskannya. Jika dengan sengaja melambat-
lambatkan sedangkan ia seorang yang berkemampuan maka pemerintah berhak
memenjarakannya.
Islam mengakui kebebasan beragama bagi setiap orang. Dengan arti tidak
ada seorang pun dapat memaksa orang lain untuk menganut agama Islam atau
meninggalkan apa saja kepercayaan yang dianutnya. Negara Islam menjamin
penduduk ahl al-Dzimmah untuk menganut dan melaksanakan ajaran agamanya.
Berkenaan dengan hak untuk mengeluarkan pendapat, mereka pun diperbolehkan
untuk melakukan syi’ar agama mereka, mempertahankannya dengan hujjah jika
ada yang mengkritik agama mereka.
Dalam bermuamalah dengan mereka tidak dibenarkan menghina dan
menyakiti mereka, tetapi tidak dilarang untuk menyeru dengan cara yang baik,
berdebat dengan lemah lembut dan beradab. Ahl al-dzimah juga mempunyai hak
dalam bidang ekonomi, yaitu mereka mempunyai kebebasan untuk bekerja dan
mencari pendapatan. Mereka bebas melakukan aktivitas ekonomi tanpa adanya
halangan. Tetapi mereka tidak dibolehkan menjual arak atau babi di dalam
kawasan orang Islam, kecuali mereka menjual di kawasan atau tempat yang tidak
dihuni oleh orang Islam walaupun dalam negara Islam.
Bagi mereka yang lemah karena sakit atau sudah tua ataupun ketiadaan
pendapatan untuk kehidupannya, negara Islam berkewajiban menanggung mereka
bahkan sampai hari tuanya. Perlindungan ini harus diberikan secara adil dan
seksama tanpa membedakan antar warga negara.
c). Musta’min
Secara bahasa, kata “Musta’min” merupakan bentuk isim fa’il (pelaku)
dari kata kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana yang berarti aman.
Dengan demikian, kata ista’mana mengandung pengertian “meminta jaminan
keamanan, dan orang yang meminta jaminan tersebut disebut Musta’min. 58
Menurut pandangan ahli fiqh, Musta’min adalah orang yang memasuki
wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik
ia Muslim maupun Harbiyun. Menurut al-Dasuki (w.1230 H) antara Musta’min
dengan Mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid adalah orang non-
Muslim yang memasuki wilayah dar al-Islam dengan memperoleh jaminan
keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke
wilayah dar al-Harb.59
Musta’min yang memasuki wilayah dar al-Islam bisa sebagai utusan
perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagang/investor, pembawa jizyah atau
58 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 236 59 Syams al-Dîn Muhammad ibn ‘Irfah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ‘alâ Syarh al-
Kabîr, (Mesir : Al-Azhariyah, 1345 H), h. 201
orang-orang yang berziarah. Mereka yang menetap di dar al-Islam dapat berubah
status menjadi Dzimmi melalui perjanjian yang dibuat dengan pemerintahan
Islam. Istilah Musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl
al-Dzimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan
jaminan keamanan dari pemerintah setempat.
d). Harbiyun
Kata “harbiyun” berasal dari Harb yang berarti perang. Kata ini
digunakan untuk pengertian warga negara dar al-Harb yang tidak menganut
agama Islam dan antara Islam dengan dar al-Harb tersebut tidak terdapat
hubungan diplomatik.60
Menurut Syi’ah Imamiah, istilah Harbiyun dipakai untuk
non-Muslim selain ahl al-Kitab61. Pandangan ini berawal dari asumsi bahwa
antara Islam dan agama ahl al-Kitab, memiliki kesamaan, yaitu sama-sama agama
Samawi yang berasal dari Allah SWT. Orang-orang Harbiyun tidak terjamin
keamanannya bila memasuki dar al-Islam, karena terwujudnya rasa aman bagi
mereka adalah berdasarkan salah satu dari dua hal, yaitu beriman, memeluk
agama Islam, atau melalui perjanjian damai.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa warga negara dar al-
Islam terdiri dari umat Islam, ahl all-Dzimmi dan Musta’min. Sedangkan warga
negara dar al-Harb terdiri dari non-Muslim yang disebut Harbiyun, Muslim
sendiri dan Musta’min.
60 Ibid., h. 237
61 Ahl al-Kitab ada yang mengatakan orang Yahudi dan Nasrani saja, tetapi ada juga yang menambahkan dengan orang Sabi’in dan Majusi, ini dapat dilihat pada artikelnya Ismatu Rofi’, Wacana Inklusif ahl al-Kitab, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002), h. 99
2. Kewarganegaraan Menurut Negara-negara Modern
Di setiap negara pada umumnya mempunyai aturan tersendiri atas syarat-
syarat yang ditentukan untuk menjadi warga negara dari negara tersebut, namun
demikian dalam ilmu pengetahuan terdapat dua asas yang utama, yaitu asas jus
soli dan asas jus sanguinis.62
Yang dimaksud dengan jus soli (asas tempat
kelahiran) ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat
kelahirannya. Seseorang adalah warga negara dari negara B, karena ia dilahirkan
di negara B tersebut. Sedangkan asas jus sanguinis (asas keturunan) adalah
penentuan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan dari orang yang
bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A karena orang tuanya adalah
warga negara A.
Penentuan asas kewarganegaraan yang dianut oleh suatu negara adalah
merupakan hak masing-masing negara tersebut. Walaupun tidak dapat memenuhi
asas jus soli dan jus sanguinis orang dapat memperoleh kewarganegaraan dengan
jalan pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur kewarga-
negaraan ini di berbagai negara sedikit banyak berlainan, menurut kebutuhan
yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing 63
Sangat jelas bahwa klasifikasi warga negara di dalam Islam dengan negara
modern sangat berbeda, ini dilihat dari faktor hukum yang berlaku. Islam lebih
kepada hukum Tuhan baik dari sumber primer al-Qur’an, hadis, maupun dari
62 Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Kinta, 1962), Jilid 2, h. 17
63 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenada Group, 2003), Cet. Revisi, h. 77
sumber sekunder ijtihad, istihsan yang berupa fiqih. Sedangkan klasifikasi warga
negara modern dilihat dari kepentingan negara yang bersangkutan.
3. Hak-hak Politik Warga Negara dalam Islam
Menurut Muhammad Anis Qasim Ja’far, hak-hak politik itu ada tiga
macam, yaitu:64
a. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum;
b. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan
lembaga setempat; dan
c. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal-hal lain yang
mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat.
Ketiga hak politik ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi orang-orang
yang memenuhi syarat-syarat tertentu disamping syarat kewarganegaraan.
Seseorang boleh menggunakan atau tidak menggunakan hak-hak politik tersebut
tanpa ikatan apa pun.65 Menurut A. M. Saefuddin bahwa tiap individu memiliki
hak-hak politik di antaranya hak memilih, hak musyawarah, hak pengawasan, hak
pemecatan, hak pencalonan dalam pemilihan dan menduduki jabatan.66
Menurut Al-Maududi paling tidak ada enam macam hak politik yang
diakui dalam Islam, yaitu:67
(1) Hak Kebebasan untuk mengeluarkan pokok
64 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I, h. 67
65 Ibid. 66 A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, h. 17-19 67 Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, h. 52
pikiran, pendapat, dan keyakinan.68
Hal ini lanjut menurut Al-Maududi, meliputi
hak kebebasan untuk mengkritik pemerintah dan pejabatnya. (2) Hak untuk
berserikat dan berkumpul, (3) Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala
Negara, (4) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan Negara, (5)
Hak untuk memilih atau dipilih sebagai ketua dan anggota Dewan
Permusyawaratan Rakyat (DPR), (6) Hak untuk memberikan suara dalam
pemilihan umum.
Pembahasan mengenai hak politik ini juga di sampaikan oleh Abd al-
Karim Zaidan, beliau merincikan mengenai hak politik hampir memiliki
persamaan serta memiliki perbedaan dalam mengkategorikan pembagian hak-hak
politik warga negara dalam Islam, seperti yang telah dipaparkan oleh Abu A’la al-
Maududi. Sedikitnya menurut beliau ada enam macam hak politik dalam Islam,
yaitu: (1) Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala Negara, baik langsung
maupun melalui perwakilan, (2) Hak musyawarah atau hak untuk ikut
berpartisipasi dalam memberikan ide, saran dan kritik yang konstruktif kepada
para penyelenggara negara terpilih, utamanya kepala Negara, agar tidak
melakukan hal-hal yang membahayakan umat/rakyat, (3) Hak pengawasan/hak
untuk mengontrol dan meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh para
penyelenggara Negara, (4) Hak untuk memecat atau mencopot kepala Negara dari
jabatannya bila tidak dapat menjalankan dengan baik tugas yang diamanahkan
umat/rakyat kepadanya, (5) Hak untuk mencalonkan diri untuk jabatan kepala
68 Abu A’la Maududi, Islamic Law and Constitution, (Lahore, Pakistan: Islamic
Publication Ltd, 1977), h. 283
Negara/Presiden, dan (6) Hak untuk menduduki jabatan umum dalam
pemerintahan.69
Agar memudahkan dalam sistematika pembagian macam-macam hak-hak
politik warga negara dalam Islam, di bawah ini akan dipaparkan lebih lanjut hak-
hak politik warga negara dalam Islam, yaitu:
a). Hak Memilih dan Dipilih
Mengenai hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih sebagai kepala
negara, Abd al-Karim Zaidan menyatakan bahwa setiap rakyat suatu negara yang
telah memenuhi syarat mempunyai hak untuk memilih kepala negara yang
dianggapnya mampu mewakilinya dalam mengelola semua urusannya sesuai
dengan syariat Islam. Landasan hak ini menurutnya termaktub dalam ayat 38
surat al-Syura, yang berbunyi:
���������......... � ����� ���������
)38: 42/ا��رى( ..........
Artinya: ”............ urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.......” (Q.S. As-Syura/42: 38).
70
Ayat di atas, lanjut Abd al-Karim Zaidan, dengan amat jelas menyatakan
bahwa masalah kaum muslimin, utamanya yang penting diputuskan dengan jalan
musyawarah. Penentuan calon kepala negara merupakan salah satu masalah yang
sangat penting yang harus diputuskan berdasarkan musyawarah. Hak untuk
memilih kepala negara ini dapat dipergunakan secara langsung atau melalui
69 Abd al-Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, h.17-52 70 Terjemahan dari setiap ayat al-Qur’an diperoleh dari al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depertemen Agama RI, 1971).
perwakilan oleh ahl hal wa al-’aqd, yakni tokoh-tokoh yang diteladani, dipatuhi,
dan dipercaya umat/rakyat untuk mengatur segala urusannya.71
Dalam syariat Islam, lanjut Abd al-Karim Zaidan, tidak ada peraturan
yang defenitif tentang mekanisme pemilihan kepala negara, karena itu
pengaturannya diserahkan kepada umat sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapinya. Bila diperlukan mereka bisa mempergunakan cara pemilihan
langsung dan kalau dirasa cara yang pertama ini tidak atau kurang efektif, mereka
bisa memilih alternatif kedua, yakni melalui perwakilan ahl hal wa al-’aqd.
Sekiranya pemilihan kepala negara dilakukan melalui perwakilan, menurut dia,
rakyat sendirilah yang sebenarnya melakukan pemilihan itu.72
Perlu diperhatikan bahwa pemilihan kepala negara selama ini menjadi
pembicaraan yang selalu aktual, apalagi apabila terjadi di negara-negara muslim,
semisal al-Maududi menyatakan bahwa hak untuk menjadi kepala negara itu
hanya terbuka untuk kaum Muslimin. Karena itu, warga negara non-Muslim yang
tidak mengakui Islam tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam urusan-
urusan negara berideologi Islam yang secara jujur tidak diakuinya. Selain itu, ia
juga mengemukakan bahwa orang yang berhak dicalonkan sebagai kepala negara
di samping harus memenuhi syarat-syarat:73
Muslim, laki-laki, dewasa, sehat
jasmani dan rohani, warga negara yang terbaik, shaleh, kuat komitmennya
terhadap Islam, orang yang dipercaya, dicintai, dan diinginkan oleh rakyat.
71 Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, h. 54
72 Ibid., h. 52 73 Abu A’la Maududi, Islamic Law and Constitution, h. 252
Seperti halnya seorang warga negara pada umumnya mereka memiliki
semua hak-hak politik seperti hak memilih dan dipilih, begitupun dengan Islam
yang sangat menghargai setiap hak yang dimiliki oleh umatnya. Demikianlah
pemaparan mengenai hak politik warga negara dalam hal hak memilih dan dipilih.
b). Hak Berserikat dan Berkumpul
Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat untuk bebas berserikat
dan membentuk partai-partai atau organisasi-organisasi. Hak ini tunduk kepada
aturan-aturan umum tertentu. Hak ini harus dilaksanakan untuk menyebarkan
kebaikan dan kebenaran dan bukan untuk menyebarkan kejahatan dan kekacauan.
Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul ini, terdapat dan disebutkan di dalam
Al-Qur’an tetapi Al-Qur’an itu menganggap ini sebagai keharusan bagi pribadi
manusia untuk turut serta mengambil bagian secara aktif dalam urusan-urusan
masyarakat (umat) yang mengajak manusia berbuat baik dan mencegah mungkar
serta meyakini Allah SWT. 74
Pada dasarnya agama Islam adalah agama yang menghendaki pergaulan
atau diistilahkan dengan jamaah setiap Muslim selalu menyediakan diri untuk
menjunjung tinggi panggilan Tuhan dengan mengerjakan Shalat berjamaah.
Menurut ajaran Islam dengan melalui sebuah musyawarah sebagaimana firman
Allah SWT di dalam al-Qur’an:75
74 Abu A’la Maududi, Hak-hak Manusia dalam Islam, penterjemah Bambang Iriana
Djajaatmadja, cet. III, (Jakarta: Bumi aksara, 2005), h. 32 75 Dalizar Putra, HAM (Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an), (Jakarta: PT. Al-Husna
Zikra, 1995), cet. II, h. 57
���������� ����"#�$%&��
��(�)���* �����+��
,-.�,/01*�� ��������� � �����
��������� �2☺���
��456���� )38: 42/ا��رى( . >��;�:� �8�9�7"
Artinya: “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S Asy-Syura ayat 38).
Ayat ini dapat menjadi pegangan untuk berkumpul atau berserikat serta
berpendapat. Bahkan menjadi konsep dasar untuk bermasyarakat dan bernegara
yang memhendaki pendapat. Jelasnya syura atau bermasyarakat jadi pokok dalam
membangun masyarakat dan bernegara dalam Islam. Menurut ajaran Islam
dengan melalui lembaga perserikatan dan perkumpulan dan mengadakan
hubungan-hubungan (musyawarah) konsultasi dan sebagainya suatu kekuatan
untuk memperjuangan hak-hak manusia dalam suasana persaudaraan.
Jelasnya bahwa Islam menjamin kebebasan berkumpul dan berserikat bagi
setiap orang. Hal ini tidak hanya sekedar jaminan melainkan dituntut untuk
mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari
c). Hak Mengeluarkan Pendapat
Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat
kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa hak itu digunakan untuk
menyebarkan kebaikan dan bukan untuk menyebar keburukan. Konsep Islam
tentang kebebasan mengeluarkan pendapat jauh lebih tinggi daripada hak yang
diakui barat. Memang hak untuk kebebasan mengeluarkan pendapat guna
menyebarkan kebaikan dan bukan hanya semata-mata hak tetapi suatu kewajiban.
Berpendapat adalah mengemukakan ide atau gagasan. Ia adalah hasil
renungan terhadap kejadian langit dan bumi, serta alam semesta ini, guna untuk
mendorong kemajuan umat dan keluhuran kehidupan. Setiap orang mempunyai
hak untuk menyatakan pendapatnya selama dia tetap dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorang pun
diperbolehkan menyebarkan fitnah, hasut dan berita-berita yang mengganggu
ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang. Pendapat yang dikehendaki
adalah pendapat yang bersifat konstruktif, tidak bersifat destruktif dan tidak pula
bersifat anarkis. Bagi seorang muslim selalui dianjurkan mengemukakan ide atau
gagasan untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran Allah SWT
menjelaskan dalam firman-Nya yang berbunyi:76
=���>�*� ����?�@� ABC�D �8���EF�<
G,HI: IJ��+<�K�� �8����LM�<�
N����BOLP��I� �8��"5��<�
Q=�� R�+�?4☺�*�� . "STU6+*MD�
���� VW�4+I/�;4☺�*� )104: 3/���ان ال( �
Artinya: ”... Dan adalah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali-Imran/ 3: 104).
Kesempurnaan Islam seorang Muslim tergantung kepada empat syarat
yaitu: Iman, amal soleh, nasehat-menasehati dalam kebenaran dan nasehat
menasehati dalam kesabaran. Nasehat menasehati adalah dalam rangka
memberikan pendapat kepada orang lain.77
Ibnu Jarir bin Abdullah berkata:
76 Ibid, h. 52
����� � )م."' روا0 (م."' -, ا +* �"! و)"' �"&% ا$ #"! ا �78
Artinya: “Saya membaiat akan Nabi Muhammad SAW atas keharusan mendengarkan sabda dan mentaati perintah-Nya. Maka beliau memerintahkan apa yang saya sanggupi memberikan nasehat kepada orang lain”.
Nasehat itu mengandung ajaran melakukan kebaikan, ajakan meninggal-
kan kejahatan dan menyedarkan mereka terhadap kelalaiannya. Demikian
pentingnya menyatakan pendapat dalam Islam demi untuk kemaslahatan umum.
Dengan goresan pena orang dapat menyatakan pendapatnya, mengetahui pendapat
orang lain, mendalami ilmu pengetahuan, memperjuangkan hak-haknya dan
sebagainya. Goresan pena dalam mengemukakan pendapat ini tentu selalu
memperhatikan etika pergaulan dan juga jangan sampai merugikan orang lain
sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.
Demikianlah secara panjang lebar dijelaskan mengenai sejarah hak politik
dalam Islam, pembagian hak politik dalam Islam, serta mengenai klasifikasi
warga negara yang dengan adanya pembedaan itu dengan demikian akan dapat
dibedakan hak-hak politik setiap warga negara. Setelah kita membahas mengenai
hak-hak politik dalam Islam, maka pada bab selanjutnya akan dilihat pengaturan
kewarganegaraan yang akan dibahas di dalam Perlembagaan Malaysia.
77 T. M. Hasbi ash Shiddiqy, 2002 Mutiara Hadits I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h. 183 78 Muslim bin Hajjaj Abu Husin al-Qusyairi, Shahîh Muslim, juz, I, (Beirut: Dar Ihya’
al-Turâts al-Arabi, t.th), h. 75, no hadis: 56
BAB III
WARGA NEGARA DALAM PERLEMBAGAAN
PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Definisi Warga Negara
Konsep kewarganegaraan ialah konsep baru yang timbul sejak
pemberontakan Perancis dan Amerika pada abad ke-18. Konsep ini sangat penting
dalam pembentukan sebuah negara, baik negara yang berbentuk kerajaan maupun
republik.79
Sebelum pemberontakan ini, hubungan rakyat dengan negara yaitu
hubungan taat setia mereka kepada raja yang memerintah negeri itu. Taat setia ini
bukan dipertanggungjawabkan kepada negara, tetapi kepada raja itu sendiri. Yang
demikian, jika seorang raja dijatuhkan dari tahta kerajaan, maka rakyat yang taat
setia kepada raja itu mestilah turut menderita seperti raja yang malang itu. Jika
rakyat tidak taat setia kepada raja, maka mereka dianggap berdosa dan durhaka
serta boleh dibunuh.80
Tetapi sejak pemberontakan Perancis dan Amerika telah timbul suatu
pemikiran baru, yaitu manusia yang mempunyai keturunan, adat istiadat dan
kebudayaan yang sama dapat disatukan menjadi suatu bangsa untuk membentuk
suatu negara kebangsaan (nation state) yang merdeka dan berdaulat. Ketaatan
79 Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin. Pengajian Malaysia, (Selangor: Oxford Fajar,
2007), cet. I, h. 181 80 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet.
III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006), h. 259
yang dahulunya diberikan kepada raja, sekarang telah beralih dan ditumpukan
kepada negara, dan rakyat pun disebut anak bangsa. Akhirnya pemikiran baru ini
pun merebak ke seluruh negara di benua Eropa, kecuali Inggris. Negeri-negeri di
Amerika Selatan tidak juga ketinggalan memberontak melawan penjajah Spanyol
dan Portugis. Yang demikian lebih kurang dalam pertengahan abad 19, konsep
kewarganegaraan ini sudah disepakati oleh para ahli politik pada zaman itu dan
konsep ini menjadi asas dalam pembentukan sebuah negara kebangsaan.81
Di Malaysia kewarganegaraan Persekutuan mulai diperkenalkan pada
tahun 1948 melalui Perjanjian Persekutuan Tanah Melayu. Sebelum itu, Tanah
Melayu tidak mempunyai dasar atau undang-undang kewarganegaraan yang sama
bagi seluruh negeri. Pada tahun 1952, peruntukan ini telah diamandemen dan
setiap negeri bagian mempunyai undang-undangnya sendiri. Walau bagaimana-
pun, apabila Perlembagaan 1957 dibentuk, Malaysia secara langsung mempunyai
undang-undang kerakyatannya yang sama bagi seluruh negara.82
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari sesuatu
penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau
kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai
orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena
warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara,
yakni peserta dari satu Persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas
81 Ibid., h. 259 82 Mohd. Foad Sakdan, Asas Politik Malaysia, cet. II, (Selangor: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1997), h. 83
dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap
warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi dan tanggung jawab.83
Warga negara, yang merupakan keahlian penuh bagi sesuatu negara,
mempunyai beberapa syarat yang tertentu. Di antara syarat-syarat tersebut
mencakup umur, kediaman, hak asasi dan keistimewaan tertentu. Jika syarat-
syarat ini dipenuhi barulah boleh dianggap seseorang itu warga negara bagi
sebuah negara.84
Dalam Kamus Dewan Bahasa Malaysia, warga negara dapat diartikan
sebagai rakyat sebuah negara yang terdiri dari penduduk asli, atau pun orang
asing yang telah diterima menjadi rakyat berdasarkan undang-undang Malaysia.85
Warga negara adalah penting untuk membentuk sesebuah negara kebangsaan
yang baru, baik itu negara kerajaan maupun republik.86
Kerakyatan atau
kewarganegaraan Malaysia itu sebenarnya bukanlah hak mutlak seseorang.
Kewarganegaraan dapat diperoleh melalui berbagai cara yang disahkan dan diakui
oleh Undang-Undang negara. Tidak terkecuali juga ialah hak kerajaan Malaysia
untuk menggunakan kuasa atau wewenang serta haknya untuk menarik balik atau
83 Dede Rosyada, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), cet. I h. 73 84 K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka,
1998), h. 358 85 Hajah Noresah Binti Baharom, dkk., Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII,
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002), h. 1546 86 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 259
mencabut status kewarganegaraan seseorang rakyatnya. Undang-undang tentang
kewarganegaraan yang berlaku di Malaysia sekarang dibagi kepada tiga bagian
yaitu perolehan kewarganegaraan, penamatan kewarganegaraan dan peruntukan
tambahan.87
B. Cara Mendapatkan Kewarganegaraan
Dalam perlembagaan Malaysia, ada empat cara untuk mendapatkan
status kewarganegaraan, yaitu dengan cara jus soli, jus sanguinis, perkawinan
dan naturalisasi.88
1. Jus Soli (Undang-undang Tempat Lahir)
Dalam Perlembagaan Malaysia, seseorang yang dilahirkan di Malaysia
antara Hari Kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 dan bulan Oktober tahun
196289
secara langsung menjadi warga negara tanpa memperhatikan
kewarganegaraan orang tuanya. Tetapi jika seseorang itu dilahirkan setelah
bulan November 1962, maka orang itu dapat menjadi warga negara apabila
memenuhi salah satu syarat di bawah ini:
a. Ketika kelahirannya salah seorang dari ibu bapaknya ialah warga negara;
b. Ketika kelahirannya salah seorang dari ibu bapaknya ialah orang yang
tinggal di negara ini, atau
87 Mohd. Foad Sakdan, Asas Politik Malaysia, cet. II, h. 83 88 Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarga-
negaraan, cet. V, (Selangor: Prentice Hall, 2004), h. 173, dapat dilihat juga pada Tun Mohd
Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 268
89 Akta (Pindaan) Perlembagaan 1962 (No. 14 1962).
c. Ketika kelahirannya dia tidak mempunyai kewarganegaraan negara mana
pun. 90
2. Jus Sanguinis (Undang-undang Keturunan Darah)
Jus sanguinis juga dipakai dalam Perlembagaan Malaysia sebagai satu
faktor yang sangat penting untuk menghubungkan seseorang dengan
Malaysia. Berdasarkan asas jus sanguinis, seseorang yang berketurunan warga
negara akan tetap menjadi warga negara, walaupun dia dilahirkan di luar
negara, karena kewarganegaraan bapaknya diwarisi olehnya. Tetapi
masalahnya sebatas mana kewarganegaraan itu dapat diberikan kepada sese-
orang yang dilahirkan di luar negara. berdasarkan Perlembagaan, seseorang
yang dilahirkan di luar Malaysia hanyalah boleh menjadi warga negara, jika
bapaknya warga negara dan salah satu dari syarat berikut dipenuhi:91
a. Bapaknya sendiri dilahirkan di Malaysia, atau
b. Bapaknya memegang jabatan dalam perkhidmatan awan (pegawai negeri)
Persekutuan atau negeri atau
c. Kelahirannya didaftarkan di kantor Konsul Malaysia92
ataupun dengan
Kerajaan Malaysia dalam jangka waktu satu tahun setelah kelahirannya,
ataupun dalam jangka waktu yang lama jika mendapat izin dari Kerajaan.93
90 Ibid., Bagian 1, Jadual kedua 91 Ibid., Pasal 1 (1) (d) dan (e) Bagian 1 dan Pasal 1(b), (c) dan (d) Bagian II 92 Kantor Konsul Persekutuan, termasuk semua kantor yang menjalankan fungsi konsul
bagi pihak Persekutuan. 93 Pasal 1 (1) (e) Bagian 1 dan Pasal 1(c), Bagian II, Jadual Kedua Akta (Pindaan)
Perlembagaan 1962 (Nomor. 14 1962).
3. Perkawinan
Faktor perkawinan dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan
status kewarganegaraan Malaysia yaitu bagi seorang wanita asing yang
menikah dengan seorang warga negara Malaysia untuk memohon menjadi
warga negara jika:
a. Si suami telah menjadi warga negara pada bulan Oktober 1962 atau
sebelumnya dan perkawinan itu masih kekal, atau
b. Wanita asing itu telah tinggal dalam Persekutuan Malaysia selama 2 tahun
sebelum permohonan itu dibuat dan niatnya hendak kekal tinggal dalam
Persekutuan Malaysia dan berkelakuan baik
Isteri asing boleh meminta didaftarkan menjadi warga negara jika
perkawinan itu telah didaftar menurut undang-undang yang ada dalam Per-
sekutuan,94
tetapi syarat ini tidak dikenakan kepada seorang isteri yang telah
membuat permohonan kewarganegaraan sebelum awal bulan September 1965.
4. Masukan (Naturalisasi)
Bagi orang yang tidak dilahirkan di Malaysia, jika ia tinggal atau
berniat menetap di Malaysia, ia bisa mendapatkan status kewarganegaraan
Persekutuan dengan jalan masukan (naturalisasi). Berdasarkan Pasal 19
Perlembagaan Persekutuan, orang asing yang berumur 21 tahun atau lebih
boleh membuat permohonan untuk dimasukkan menjadi warga negara,
sekiranya dia dapat memenuhi syarat-syarat yang tersebut di bawah:
94 Pasal 15 (1), ibid
(a). Dia telah tinggal dalam Persekutuan selama 12 tahun terdahulu dari dan
hingga tanggal permohonan itu tidak kurang dari 10 tahun.
(b). Berniat hendak kekal tinggal di negeri ini,
(c). Berkelakuan baik, dan
(d). Mempunyai kemampuan berbahasa Malaysia dengan fasih.
Tiap-tiap orang yang akan dimasukkan menjadi warga negara
mengangkat sumpah taat setia kepada Persekutuan sebelum diberikan kartu tanda
penduduk warga negara.
C. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Kewarganegaraan merupakan status istimewa yang dipegang oleh rakyat
yang berhak dalam sebuah negara. Kedudukan ini memberikan hak dan kemuda-
han tertentu. Status kewarganegaraan ini juga sekaligus menuntut tanggung jawab
tertentu pula. Hak-hak yang diperoleh oleh seorang warga negara yaitu:
1. Berhak menjadi pemilih dalam pemilihan raya (pemilihan umum);
2. Berhak untuk turut ikut atau aktif dalam politik termasuk berkompetisi dalam
pemilihan raya untuk menduduki jabatan politik seperti menteri dan lain-lain;
3. Berhak mengisi jabatan ekslusif yang dikhususkan untuk warga negara saja;
4. Bebas memiliki tanah serta layak dipertimbangkan untuk mendapat
keistimewaan-keistimewaan yang berhubungan dengan pembangunan harta;
5. Berhak menerima berbagai faedah dan kemudahan dalam negerinya termasuk
pelayanan, pendidikan dan sebagainya;
6. Bebas bergerak dalam negeri; dan
7. Tidak boleh dibuang atau diasingkan ke luar negeri.95
Hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang pantas diterima oleh setiap
warga negara dan negara harus memenuhinya, memberikan jaminan atau
melindunginya dengan Undang-undang. Sehingga tidak ada satu warga negarapun
yang diabaikan hak-haknya termasuk hak asasinya. Merupakan suatu kewajiban
negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi Hak Asasi Manusia.96
Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban negara untuk
tidak melakukan intervensi terhadap hak-hak rakyat, karena adanya intervensi
negara yang tidak pada tempatnya dapat mengakibatkan adanya masalah
pelanggaran HAM. Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban
negara untuk mengambil langkah-langkah dalam bidang legis-latif, administratif,
dan yudikatif. Sedangkan kewajiban untuk melindungi HAM memerlukan sikap
atau tindakan positif dari negara bahwa dalam menghormati dan memenuhi hak
asasi individu tidak melanggar hak asasi individu lainnya.
Sebagai timbal balik atas pemenuhan dan perlindungan hak asasi tersebut
setiap warga negara memiliki tanggung jawab dan memainkan peranannya dalam
negerinya. Di antara tuntutan terhadapnya adalah:
1. Memberikan pengabdian kepada negara termasuk menjadi tentara jika
diperlukan;
95 Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia, h. 73 96 Untuk penjelasan lengkapnya mengenai kewajiban negara untuk menghormati, meme-
nuhi dan melindungi HAM, dapat dilihat pada Manfred Nowak, Introduction to The International Rights Regime, (Leiden, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003), h. 49-50
2. Mematuhi undang-undang dan membantu dalam pelaksanaan program-
program pemerintah;
3. Menyumbang kepada produktivitas negara dalam apa saja sesuai dengan
profesinya (setiap rakyat apapun peranannya dalam ekonomi negara adalah
penting bagi kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat); dan
4. Mengikuti, bahkan seharusnya mendukung program dan acara nasional seperti
perayaan hari kebangsaan.
Dengan demikian, setiap warga negara selain memiliki hak-hak asasi
yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara, ia juga mempunyai kewajiban
kepada negara. Di mana ada pemenuhan dan perlindungan hak warga negara di
situ pula ada kewajiban yang harus diberikan kepada negara, bahkan kewajiban
harus didahulukan sebelum hak diberikan. Demikianlah karena hak dan
kewajiban dua hal yang tidak dapat dipisahkan, selalu bergandengan menyatu
dalam fungsi, walaupun berbeda dalam tahapan urutannya. Dengan kata lain,
kaitan antara hak dan kewajiban seperti model relasi resiprositas (timbal balik),
atau relasi ketergantungan antara dua sisi mata uang. Akibatnya, setiap adanya
pemenuhan hak harus selalu didasarkan pada keharusan pemenuhan segala syarat
kewajiban yang merupakan pra kondisinya.97
Hak asasi telah diatur dalam Perlembagaan Malaysia dengan memakai
istilah kebebasan asasi. Dalam Perlembagaan Malaysia secara umum telah disebut
97 Noryamin Aini, Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah
HAM, Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007, h. 12.
tentang hak dan kebebasan setiap warganya yang dijamin oleh negara, di
antaranya adalah:
a. Hak Atas Kebebasan Diri (Pasal 5)
Bagian pertama Pasal 5 Perlembagaan Persekutuan menyatakan bahwa
tidak seorangpun boleh diambil nyawanya dan dihilangkan kebebasan dirinya
melainkan berdasarkan undang-undang. Pengadilan berhak melepaskan dia,
jika di dapati bahwa dia ditahan karena menyalahi undang-undang. Apabila
seseorang itu ditangkap, ia hendaklah diberitahu sebab-sebab dia ditangkap,
Bagian kedua menyebutkan bahwa Pengadilan Tinggi harus menyelidiki jika
ada pengaduan dibuat setelah pengacara menyatakan seseorang ditahan dan
melanggar undang-undang, dan jika tersangka terbukti tidak bersalah, ia harus
dibebaskan. Bagian ketiga menyebutkan bahwa jika seseorang ditangkap, dia
hendaklah diberitahu alasan penangkapannya dan dia berhak membela diri
melalui pengacara.
Berkenaan dengan kebebasan pribadi di atas sudah menjadi dasar
Undang-Undang Pidana di negara Malaysia, yaitu setiap orang tidak boleh
dipaksa mengaku bersalah atau memberi keterangan yang menunjukkan
bahwa ia telah melakukan kesalahan. Jika dengan menggunakan jalan paksa,
pengadilan berhak menolak pengakuan itu. Untuk membuktikan kesalahan itu,
orang yang mendakwa harus mencari keterangan-keterangan atau bukti-bukti
yang lain.98
Akan tetapi, hak atas kebebasan diri ini dibatasi oleh undang-
98 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 297
undang dan seseorang tidak boleh ditangkap tanpa bukti bahwa ia bersalah,
atau perbuatannya dirasakan berbahaya bagi keselamatan negara dan
keamanan umum.
b. Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa (Pasal 6)
Bagian pertama dan kedua menyebutkan tidak seorang pun boleh
ditahan sebagai abdi (hamba) dan kerja paksa, tetapi undang-undang
persekutuan boleh membuat peruntukan untuk mengadakan khidmat bagi
negara. Bagian ketiga menyebutkan kerja-kerja yang berkaitan dengan
hukuman tahanan tidak dapat dikatakan sebagai kerja paksa.
Pengabdian atau perbudakan adalah diharamkan oleh Perlembagaan
Malaysia.99
Semua jenis kerja paksa itu dilarang, tetapi Parlemen dapat
membuat Undang-undang untuk memaksa warganya bekerja demi negara.
Dan juga tidaklah dianggap salah dari sisi Undang-undang jika kerja yang
dipaksakan kepada seseorang itu berkaitan dengan melaksanakan hukuman
penjara yang dijatuhkan kepada narapidana.100
Setiap warga negara boleh
bekerja untuk mencari nafkah asalkan perkerjaannya itu tidak bertentangan
dengan Undang-undang.
c. Hak Persamaan (Pasal 8)
Bagian pertama dan kedua menyebutkan bahwa semua warga negara
adalah berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang
99 Pasal 6 Poin 1 dan 2 100 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h.
306
dan setiap warga negara tidak boleh dibedakan atas sebab agama, kaum
(bangsa), keturunan atau tempat lahir. Bagian ketiga menyebutkan bahwa
tidak boleh ada pembedaan kepentingan seseorang disebabkan ia merupakan
rakyat Raja negeri bagian. Bagian keempat menyebutkan bahwa pihak
berkuasa tidak boleh membedakan seseorang sebab ia menetap atau
menjalankan perniagaan di negara bagian Persekutuan di luar wewenang
pihak yang berkuasa.
Ada satu poin yang penting tentang hak persamaan dalam
Perlembagaan Malaysia ialah poin yang mengharamkan perbedaan dengan
sebab agama, bangsa, keturunan, dan tempat lahir. Begitu juga Perbedaan
dengan sebab laki-laki dan perempuan. Semua warga negara memiliki hak dan
kewajiban yang sama yang dilindungi oleh Undang-undang. Pasal 8 ayat (1)
Perlembagaan Malaysia menyebutkan bahwa semua orang berhak mendapat-
kan perlakuan dan perlindungan yang sama berdasarkan Undang-undang.
d. Hak Kebebasan Bergerak dan Larangan Buang Negeri / Diusir (Pasal 9)
Bagian pertama menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang
boleh dibuang negeri (diusir) atau ditahan masuk ke dalam Persekutuan.
Bagian kedua ada menyebutkan bahwa setiap warga negara adalah berhak
bebas bergerak dan menetap di seluruh Persekutuan.
Akan tetapi untuk keamanan negara, Pemerintah dapat membatasi
gerak gerik warga negara dengan membuat undang-undang, dan undang-
undang itu harus memenuhi kehendak Perlembagaan seperti kesemarataan,
kecuali jika undang-undang itu dibuat berdasarkan keselamatan khusus atau
kewenangan darurat pemerintah.101
Kebebasan bergerak bagi warga negara
diseluruh Persekutuan dibatasi oleh salah satu empat asas: (1) keselamatan,
(2) keamanan umun, (3) kesehatan umun, (4) hukuman bagi pesalah.102
e. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat, Berkumpul dan Bepersatuan (pasal 10)
Bagian pertama dan kedua menyebutkan bahwa Perlembagaan
Persekutuan menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul dan bepersatuan.
Walau bagaimanapun parlimen dapat memberikan batasan yang dirasakan
perlu demi menjaga keselamatan Persekutuan dan negara-negara bagian untuk
ketenteraman umum.
Kebebasan mengeluarkan pendapat ini dibatasi dengan kata-kata yang
tidak menjadi fitnah, provokatif, tidak menghina Pengadilan dan kata-kata
yang melanggar hak keutamaan Parlemen dan Dewan Negeri. Mengeluarkan
kata-kata fitnah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Barang siapa yang
berkata, menulis, mencetak, menjual atau menyebarkan perkataan-perkataan
yang bersifat provokatif dapat dianggap oleh undang-undang telah melakukan
kesalahan yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara atau denda RM
5000.103
Poin 28 Akta Keselamatan Dalam Negeri menyebutkan bahwa siapa
saja yang menyebarkan berita palsu yang menakut-nakuti masyarakat umum,
101 Pasal 149, 150 dan 151 Perlembagaan Malaysia 102 Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 102
103 Seksyen 500, Kanun Keseksaan
demikian juga dibuat dengan ucapan atau pun tulisan dapat dianggap telah
melakukan suatu kesalahan.
Bahan-bahan tertulis diawasi oleh undang-undang, jika seseorang
hendak membuka atau mendirikan penerbitan atau pun surat kabar (media
cetak), harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri,
setiap surat kabar atau bentuk tulisan apa pun hendaklah memiliki dan
mencantumkan nama dan alamat penerbitnya dalam bahasa Melayu atau
bahasa Inggris di halaman depan atau akhir. Ketentuan ini menunjukkan
bahwa Pemerintah mempunyai wewenang untuk menutup setiap surat kabar
(media cetak), buku-buku atau pun bahan-bahan bertulis lainnya agar
perizinan itu tidak dipersalahkan gunakan. Bahkan sangat penting bagi
pemerintah mengawasi penerbitan-penerbitan surat kabar (media cetak) atau
buku-buku secara tegas yang mungkin dapat merusak suasana politik dan
keamanan di Malaysia.104
Pengawasan kebebasan berpendapat bukan hanya dalam bentuk tulisan
dan ucapan saja, bahkan juga dalam setiap permainan, pertunjukan, hiburan
atau acara-acara yang serupa dengan itu. Menteri Dalam Negeri dapat
menutup atau melarang setiap acara jika dianggap dapat mengakibatkan
gangguan keamanan negara Malaysia. Untuk menjamin bahwa sekolah-
sekolah, tempat-tempat atau yayasan-yayasan pendidikan digunakan hanya
104 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h.
302
untuk mendapatkan pendidikan dan terhindar dari ajaran-ajaran politik
komunis serta ajaran-ajaran yang dapat menggangu keamanan negara, maka
Pemerintah berwenang:
(a) Membuat Undang-undang supaya tidak melantik guru atau pensyarah
(Dosen) yang akan membahayakan kepentingan negara;
(b) Membuat Undang-undang supaya menutup setiap sekolah atau lembaga
pendidikan, jika sekolah atau lembaga pendidikan tersebut digunakan
untuk mengganggu kepentingan negara; dan
(c) Membuat Undang-undang supaya para pelajar, mahasiswa, guru dan
dosen tidak boleh membuat perkumpulan (organisasi) kecuali telah
mendapat izin dari polisi.105
Dalam hal kebebasan berkumpul, hendaklah dalam keadaan aman dan
tidak bersenjata, Parlimen adapat membuat Undang-undang untuk menjaga
kepentingan dan keselamatan negara. Berdasarkan Poin 27 Akta Polis 1967,
setiap perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan (konvensi) hendaklah
dilakukan dengan mendapat izin dari polisi terlebih dahulu dan polisi
berwenang tidak mengeluarkan izin tersebut jika dianggap bahwa
perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan itu akan membahayakan
keselamatan negara. Jika perhimpunan, perkumpulan atau pertemuan
(konvensi) dilakukan tanpa mendapat izin, polisi berhak menghentikan dan
membubarkannya dan setiap orang yang bertanggung jawab dapat dihukum
105 Ibid., h. 303-304
karena melakukan kesalahan.
Kemudian kebebasan untuk membentuk persatuan atau organisasi, ada
undang-undang yang mengaturnya juga, yaitu Akta Pertubuhan tahun 1966.
berdasarkan Poin 5 Akta ini, Menteri Dalam Negeri berhak membuat
keputusan yaitu suatu organisasi adalah dilarang keras jika organisasi tersebut
digunakan untuk tujuan yang dapat membahayakan kepentingan dan
keamanan negara. Suatu lembaga atau organisasi yang termasuk dalam jenis
di atas tidak boleh didaftarkan, dan jika telah terdaftar maka akan dicabut
keabsahannya.106
f. Kebebasan Beragama (Pasal 11).
Bagian pertama pasal ini menyebutkan bahwa agama Islam sebagai
agama resmi Persekutuan Tanah Melayu, akan tetapi setiap warga negara
masih berhak untuk mengamalkan agamanya sendiri. Bagian kedua
menyebutkan bahwa tidak seorang pun juga yang dipaksa untuk membayar
pajak jika hasil dari pajak itu adalah bertujuan untuk membiayai suatu agama.
Bagian ketiga menyebutkan setiap organisasi keagamaan berhak untuk
mengatur urusan agamanya, membentuk atau mendirikan yayasan untuk
kemajuan dan kebaikan agamanya.
Hak kebebasan beragama ini tidak akan diganggu atau dibatasi
walaupun agama Islam telah menjadi agama rasmi,107
kecuali tentang
106 Ibid., h. 305
penyebaran agama kepada orang-orang Islam saja. Di sini undang-undang
setiap negara bagian berwenang membuat Undang-undang untuk menghalangi
penyebaran agama kepada orang Islam. Undang-undang ini ditujukan kepada
orang Islam dan juga kepada orang-orang yang bukan Islam. Semua Undang-
undang yang berkaitan dengan agama Islam di setiap negara bagian hanya
berlaku bagi orang Islam saja.108
Kebebasan beragama ini tidak boleh melanggar Undang-undang
tentang Keamanan, Kesehatan atau Kemaslahatan Umum. Di sinilah letaknya
batasan kebebasan beragama. Perlembagaan tidak memberikan definisi
tentang agama. Oleh karena itu agama bisa bermakna kepercayaan kepada
kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia. Akan tetapi, jika ada suatu keper-
cayaan yang meyakini bahwa agamanya membolehkan mereka membunuh
orang dan berbuat keji, maka Perlembagaan sudah tentu tidak akan membenar-
kan agama seperti ini diamalkan, karena merusak keamanan umum.109
Setiap agama berhak mendirikan yayasan untuk mensyiarkan
agamanya dan Undang-undang tidak boleh membuat perbedaan berdasarkan
agama tentang yayasan itu. Tetapi ada satu pengecualian yaitu Undang-
undang Persekutuan dan Undang-undang negara bagian dapat membuat aturan
tentang pemberian dana berkenaan dengan pendirian yayasan Islam atau
107 Pasal 3, Islam adalah agama Persekutuan, tetapi agama lain bolehlah diamalkan
dalam keadaan yang aman dan damai di mana-mana tempat di Persekutuan 108 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h.
302 109 Pasal 8 ayat (2) Perlembagaan Malaysia
dalam kegiatan mengajarkan agama kepada orang Islam.110
g. Hak atas Pendidikan (Pasal 12)
Bagian pertama menyebutkan bahwa pengelolaan setiap yayasan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak berkuasa umum berkaitan
dengan penerimaan pelajar atau mahasiswa dan pembiayaan pemerintah tidak
boleh membedakan antara kaum, keturunan dan tempat lahir. Bagian ini juga
ada menyebutkan tentang keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah
haruslah dibagi samarata. Bagian kedua menyebutkan bahwa setiap organisasi
keagamaan berhak mendirikan institusi-institusi pendidikan anak-anak dalam
komunitas mereka. Bagian ketiga menyebutkan bahwa tidak seorang pun
dapat dipaksa menerima ajaran-ajaran atau mengambil bagian dalam upacara
atau sembahyang suatu agama yang lain daripada agamanya sendiri.
h. Hak Terhadap Harta (pasal 13)
Bagian pertama menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat
dihilangkan hartanya kecuali berdasarkan undang-undang. Bagian kedua
menyebutkan bahwa tidak ada satu undang-undang pun boleh membuat
tuntutan untuk mengambil atau menggunakan harta-harta secara paksa dengan
tidak ada ganti rugi yang seimbang.
Setiap orang berhak memiliki harta, dan jika hartanya diambil oleh
pemerintah dengan sebab kepentingan umum, ganti rugi yang setimpal
110 Pasal 11 ayat 3 (a) (b) (c)
hendaklah diberikan kepadanya. Setiap Undang-undang yang mengatur
tentang hal pengambilan harta rakyat tidak sah jika tidak ada ketentuan yang
mengatur tentang ganti ruginya.
Dari penjelasan di atas, dapat difahami bahwa adanya pengaturan
dalam undang-undang tentang pembatasan hak dan kebebasan warga negara,
ditujukan untuk menjaga dan memelihara kepentingan serta keamanan negara.
Jika undang-undang yang dibuat oleh Parlemen telah menghalangi warga
negaranya untuk bebas bergerak di wilayah Malaysia atau membatasi
kebebasan berpendapat, berkumpul atau berorganisasi, kebebasan beragama
dan lain-lain, karena pembatasan yang dibuat itu adalah untuk menjaga
keselamatan dan keamanan negara, maka Undang-undang tersebut adalah sah
dan tidak boleh ditentang
Demikianlah penjelasan tentang hak dan kewajiban warga negara
Malaysia yang diatur dalam Perlembagan. Pada Bab berikutnya yaitu Bab IV
penulis akan menguraikan tentang analisis hak-hak politik dalam ketata-
negaraan Islam terhadap warga negara Malaysia.
BAB IV
HAK-HAK POLITIK DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
TERHADAP WARGA NEGARA MALAYSIA
Setelah menguraikan tentang hak-hak politik dalam ketatanegaraan Islam
pada bab II dan hak-hak politik warga negara Malaysia pada bab III, dalam bab IV ini
penulis akan menguraikan analisis hak-hak politik antara keduanya. Penulis mencoba
untuk melakukan analisis perbandingan dengan didasarkan pada: pertama bahwa
negara Malaysia merupakan negara mayoritas penduduknya Muslim yaitu Melayu
dan kedua di negara Malaysia dalam konstitusinya dinyatakan bahwa agama Islam
adalah agama resmi Persekutuan seperti yang dinyatakan dalam pasal 3: ”Agama
Islam ialah agama bagi Persekutuan, tetapi agama-agama lain boleh diamalkan
dengan aman dan damai di mana-mana bagian Persekutuan.
Dari analisis perbandingan ini dimaksudkan untuk mengetahui persamaan
dan perbedaan tentang hak-hak politik dalam ketatanegaraan Islam dan hak-hak
politik warga negara Malaysia. Dalam hal ini, penulis menyamakan penduduk
Muslim dalam negara Islam dengan orang Melayu di Malaysia dan penduduk dzimmi
dengan non Melayu.
C. Hak Politik Orang Melayu
Dari kacamata antropologi atau kebudayaan, Melayu dapat diartikan
sebagai penduduk yang tinggal di gugusan kepulauan Melayu, yang meliputi
Semenanjung Tanah Melayu, Republik Indonesia dan Filipina. Meskipun
penduduk asli ribuan pulau daerah Nusantara terdiri dari berbagai macam suku,
bahasa, adat istiadat dan budaya, namun bagi ahli bahasa dan kebudayaan bahwa
mereka tergolong dalam keturunan yang sama yaitu Melayu atau Malayo-
Indonesia. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Melayu ialah kaum Melayu
yang tinggal di Semenanjung Melayu saja. Setelah penjajah Barat –Inggris,
Belanda dan spanyol- memerdekakan orang Melayu, maka orang-orang Melayu
terpecah-pecah kepada beberapa negara bangsa seperti Malaysia, Indonesia,
Filipina, Thailand dan Brunei.111
Dalam pembahasan skripsi ini, yang dimaksud dengan Melayu adalah
penduduk Malaysia sebagaimana yang disebutkan dalam Perlembagaan
Persekutuan Pasal 160 (2) bahwa “Melayu berarti seseorang yang menganut
agama Islam, boleh bertutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam
Melayu”, kelanjutan dari Pasal 160 ayat (2) tersebut adalah:
(a) Seseorang yang lahir sebelum hari Kemardekaan, di Persekutuan atau di
Singapura atau Ibu bapanya lahir di Persekutuan atau di Singapura atau
pada hari merdeka ia adalah berdomosil di Persekutuan atau di
Singapura, atau
(b) Ia adalah keturunan seseorang yang tersebut.112
Kata ”boleh” dalam bunyi ayat tersebut berarti bisa dan mampu berbahasa
111 Abdul Razak Ayub, Perpecahan Bangsa Melayu, (Selangor: Dewan Pustaka Fajar,
1985), cet. I, h. 10 112 Perlembagaan Persekutuan, cet. V, (Lumpur: MDC Penerbit Pencetakan Sdn Bhd,
1995) h. 147
Melayu yang dikembangkan dan menjadi bahasa resmi Malaysia. Melayu
merupakan penduduk mayoritas dan penduduk asli atau pribumi Malaysia.
Walaupun demikian, undang-undang telah mengatur dan memberi jaminan yang
sama tentang hak dan kewajiban semua warga negara baik orang Melayu maupun
bukan Melayu, baik itu dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan
termasuk politik. Dalam hal politik misalnya, Pasal 10 Perlembagaan Persekutuan
menyebutkan tentang kebebasan berpendapat, berserikat dan membentuk
persatuan, dalam ayat (1) disebutkan bahwa:
(a) Tiap-tiap warga negara berhak kepada kebebasan berbicara dan bersuara (b) Semua warga negara berhak untuk berhimpun secara aman dan tanpa
senjata (c) Semua warga negara berhak untuk membentuk persatuan.
Setiap warga negara Malaysia mempunyai hak memilih dan dipilih dan ini
dijamin oleh undang-undang persekutuan. Menurut Pasal 47 Perlembagaan
Persekutuan Malaysia, bahwa:
Setiap warga negara yang menetap di Malaysia layak menjadi anggota: (a) Dewan Negara, jika dia berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun; (b) Dewan Rakyat, jika dia berumur tidak kurang dari dua puluh satu tahun
Hak untuk memilih diberikan kepada setiap warga negara yang telah
memenuhi persyaratan tertentu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
duduk di Parlemen atau pemerintahan. Sedangkan hak untuk dipilih yaitu hak
setiap warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dipilih menjadi
wakil rakyat.
Dengan demikian, bahwa dalam konstitusi Malaysia tidak disebutkan
kalau orang Melayu sebagai penduduk pribumi dan mayoritas lebih istimewa
dibanding dengan penduduk non Melayu atau minoritas, bahkan dalam Undang-
undang Dasar Malaysia Pasal 8 (1) menjamin hak pesamaan di depan hukum dan
hak persamaan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sama dengan perlin-
dungan atau jaminan hak-hak warga negara dalam ketatanegaraan Islam. Bahwa
antara penduduk Muslim dan Dzimmi memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Sungguh pun demikian, walaupun dalam konstitusi Malaysia tidak
disebutkan kalau orang Melayu sebagai penduduk pribumi dan mayoritas lebih
istimewa dibanding dengan penduduk non Melayu atau minoritas, akan tetapi
dalam praktik kenegaraan ada beberapa jabatan yang tidak bisa dipegang oleh non
Melayu bahkan hal tersebut diatur dalam Undang-undang negara bagian. Jabatan-
jabatan tersebut antara lain adalah:
1. Yang di Pertuan Agong
Di Malaysia ada yang dinamakan dengan Majlis Raja-raja, yaitu
sebuah majelis yang beranggotakan raja-raja dan gubernur-gubernur113
bagi
negeri yang tidak ada rajanya.114
Di semua negeri, seorang Raja itu haruslah
seorang laki-laki Melayu, beragama Islam, mempunyai darah raja serta
keturunan yang sah raja-raja terdahulu.115
Majelis raja-raja adalah suatu
lembaga yang penting untuk mempersatukan raja-raja supaya Persekutuan ini
113 Bagi negara bagian yang tidak memiliki Raja atau Sultan, Gubernur atau Kepala
Negara bagian disebut Yang di-Pertuan Negeri
114 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet.
III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006), h. 65 115 Abdul Aziz Bari, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan
Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h. 46
menjadi lebih erat lagi dengan negeri-negeri yang menjadi anggota
Persekutuan. Adapun tugas dan wewenang Majelis Raja-raja ini berdasarkan
Pasal 38 (2) Perlembagaan Persekutuan adalah:
(a) Memilih Yang di-Pertuan Agong dan Wakil Yang di-Pertuan Agong;
(b) Menerima atau menolak suatu perbuatan atau upacara agama bagi seluruh
Persekutuan;
(c) Menerima atau menolak Undang-undang dan membuat atau memberi
nasehat tentang pelantikan yang menurut Perlembagaan ini memerlukan
persetujuan Majelis Raja-raja atau yang dikehendaki dibuat oleh atau
berunding dengan Majelis Raja-raja;
(d) Melantik anggota Mahkamah-mahkamah khusus; dan
(e) Memberi ampunan, amnesti dan abolisi terhadap terpidana.
Yang di-Pertuan Agong dipilih dari anggota Majelis Raja-raja, akan
tetapi dalam pemilihan dan pelantikan Yang di-Pertuan Agong dan wakilnya
yang terpilih, Gubernur atau Yang di-Pertuan Negeri tidak dianggap anggota
Majelis Raja-raja,116
dalam arti ia tidak memiliki hak untuk memilih dan
dipilih dalam pemilihan Yang di-Pertuan Agong tersebut. Karena seorang
Raja atau Sultan negara bagian itu harus seorang laki-laki Melayu dan
beragama Islam, maka secara otomatis seorang Yang di-Pertuan Agong pun
seorang Melayu dan beragama Islam.
Semua raja negeri bagian mempunyai hak dan layak dilantik menjadi
116 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Ibid.
Yang di-Pertuan Agong, kecuali Raja (Sultan) yang belum cukup umur, tidak
mau dipilih menjadi Yang di-Pertuan Agong atau yang dianggap oleh Majelis
Raja-raja tidak layak karena suatu sebab misalnya adanya kekurangan jasmani
dan rohani. Pemilihan Yang di-Pertuan Agong diadakan lima tahun sekali.117
Berdasarkan Pasal 32 (1) Perlembagaan Persekutuan, Yang di-Pertuan
Agong adalah Kepala Negara. Yang di-Pertuan Agong memiliki kewenangan
eksekutif yang dapat dijalankan sendiri atau dijalankan oleh Jamaah Menteri
(Kabinet) atau menteri-menteri yang diberi kuasa oleh Jemaah Menteri.
Perlembagaan Persekutuan Pasal 40 (2) telah menetapkan bahwa hanya tiga
hal penting saja yang boleh dilakukan sendiri oleh Yang di-Pertuan Agong
yaitu melantik Perdana Menteri, tidak menyetujui permintaan pembubaran
parlemen dan meminta supaya diadakan musyawarah Majelis Raja-raja me-
ngenai kedudukan, keistimewaan, kemuliaan dan kebesaran Raja-raja Melayu.
Walaupun Yang di-Pertuan Agong atau Raja Malaysia lebih sekedar
simbol negara, akan tetapi ia pun memegang jabatan tertinggi Angkatan
Tentara Persekutuan, ini berdasarkan Pasal 41 Perlembagaan Persekutuan.
Artinya bahwa jabatan ini tidak dapat dipegang oleh selain Yang di-Pertuan
Agong, karena Yang di-Pertuan Agong itu pastilah orang Melayu dan Islam,
maka jabatan Angkatan Tentara Persekutuan tidak mungkin dipegang oleh
orang selain Melayu.
2. Perdana Menteri
117 Siti Rosnah Haji Ahmad, Pemerintah dan Pemimpin-peminpin Kerajaan Malaysia, (Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd, 2006), cet. I, h. 3
Malaysia adalan sebuah negara yang berbentuk monarki konstitu-
sional, yaitu sebuah negara kerajaan yang dibatasi oleh Konstitusi atau
Undang-undang.118
Artinya bahwa Raja yang berkuasa tidak bersifat mutlak
atau absolut karena seorang Raja lebih bersifat simbol negara, urusan
pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Parlemen yang terpilih
dalam pemilu. Perdana Menteri secara resmi dilantik oleh Yang di-Pertuan
Agong dan biasanya Perdana Menteri merupakan pimpinan partai politik yang
berkuasa dalam Parlemen atau yang menang dalam Pemilihan Umum. Sejak
kemerdekaannya tahun 1957, semua Perdana Menteri berasal dari orang
Melayu yang notabene beragama Islam yaitu dari partai UMNO partai
terbesar sejak pemilu 1969 hingga pemilu 2008.
Secara konstitusional Undang-undang atau Perlembagaan Malaysia
tidak menyebutkan bahwa jabatan Perdana Menteri harus dipegang oleh orang
Melayu (Islam) atau dengan kata lain bahwa tidak ada aturan yang
menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi Perdana Menteri harus orang
Melayu (Islam).119
Pasal 43 (2) Perlembagaaan Persekutuan hanya mensyarat-
kan seseorang layak dilantik menjadi Perdana Menteri yaitu warga negara
Malaysia, menjadi anggota Dewan Rakyat (Parlemen) dan mendapat
dukungan lebih dari separuh dari anggota Parlemen tersebut. Ini berarti bahwa
Perlembagaan memberi kebebasan kepada semua warga negara tanpa
118 Soehino, Ilmu Negara, cet. VI, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 173 119 http://ms.wikipedia.org/wiki/Parlimen_Malaysia diakses pada tanggal 24 Oktober
2008
membedakan agama dan golongan asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan tersebut.120
Ini berarti juga bahwa sebenarnya orang bukan Melayu
pun sah-sah saja menjadi Perdana Menteri, akan tetapi dalam tataran politik
praktis kenyataan membuktikan bahwa jabatan Perdana Menteri selalu
dipegang oleh orang Melayu, karena Melayu merupakan penduduk mayoritas
di Malaysia. Hal ini juga dapat difahami bahwa di negara mana pun di dunia
ini sangat sulit terjadi golongan minoritas memegang tampuk pemerintahan
negara.
Berkaitan dengan tidak adanya syarat dalam Undang-undang negara
Malaysia bahwa Perdana Menteri harus orang Melayu, dahulu kedaulatan
Melayu adalah jelas dan tidak bertentangan dengan Perlembagaan. Semua
kalangan menerima kedudukan istimewa orang Melayu sebagai Perdana
Menteri, tidak seorang pun menolak tradisi orang Melayu menjadi Perdana
Menteri, demikian pula tidak seorang pun yang menolak kedudukan Raja-raja
walaupun hanya orang Melayu saja yang jadi Raja. Kedaulatan Melayu ini
sebenarnya dimaksudkan bahwa kekuatan politik mestilah berada pada tangan
Melayu karena sejarah negara ini dan mayoritas penduduk adalah Melayu.121
Walaupun secara konstitusional tidak disebutkan bahwa syarat
menjadi Perdana Menteri harus orang Melayu, akan tetapi UMNO sendiri
120 Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia: Masalah dan penyelesaiannya, (Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986), cet. I, h. 316
121 http://www.isuhot.com/modules.php?name=News&file=article&sid=396 diakses pada
tanggal 24 Oktober 2008
sebagai partai orang Melayu lebih mengutamakan orang Melayu menjadi
Perdana Menteri dibandingkan dengan orang bukan Melayu, walaupun di sisi
lain UMNO juga membolehkan atau mempersilahkan kepada orang bukan
Melayu baik itu orang India maupun Cina apabila mampu untuk menduduki
jabatan Perdana Menteri. Sedangkan partai PAS dengan tegas menyatakan
bahwa boleh-boleh saja orang bukan Melayu menjadi Perdana Menteri akan
tetapi dengan syarat ia harus beragama Islam dan memperjuangkan Islam.122
Perdana Menteri yang terpilih biasanya seorang ketua Partai Politik
yang menang dalam pemilu. Jika seandainya partai orang non Melayu
memenangkan dalam pemilu karena partai orang Islam terpecah-pecah atau
jika ada seorang tokoh dari kalangan non Melayu yang diakui oleh orang
Melayu dan pantas menjadi Perdana Menteri, sah-sah saja orang non Melayu
tersebut dilantik menjadi Perdana Menteri oleh Yang di-Pertuan Agong, tetapi
hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi di Malaysia.
Karena mayoritas penduduk Malaysia adalah Melayu (Islam), maka
sesuatu yang alamiah dan wajar saja jika Jabatan Perdana Menterinya
dipangku oleh seorang Muslim. Bila kita mengacu pada prinsip demokrasi
yang identik dengan mayoritas, agaknya sulit dan kurang masuk akal bila non
Muslim di Malaysia terpilih menjadi Perdana Menteri yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Di mana pun di dunia ini umumnya jabatan
kepala negara atau kepala pemerintahan selalu dipangku oleh seorang yang
122 Ibid.
berasal dari kelompok mayoritas.
Akan tetapi, ini bukan berarti sama sekali tertutup peluang bagi kaum
minoritas di Malaysia untuk menduduki jabatan Perdana Menteri selama
kaum minoritas mampu memenangkan kompetisi demokrasi dalam pemilu.
Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di Syiria, yaitu Mr. Faris al-Khuri
seorang pemeluk agama Nasrani yang pernah menjabat sebagai Perdana
Menteri Suriah selama beberapa periode. Dalam kasus ini, Yusuf Qaradhawi
melihat bahwa Mr. Faris al-Khuri merupakan salah seorang yang terbaik yang
mampu menjalankan amanat sebagai Perdana Menteri. Di bawah kepemim-
pinannya, para menteri bawahannya yang notabene adalah Muslim bisa
bekerja sama dengan baaik. Masyarakat Islam pun rela Perdana Menteri
mereka bukan dari kalangan umat Islam. Dia juga termasuk orang yang sangat
percaya bahwa menerapkan syari’at Islam adalah suatu keharusan; ia yakin
bahwa Islamlah satu-satunya solusi yang dapat menyelesaikan segala
persoalan yang ada pada saat ini serta dapat membasmi kriminalitas.123
Selain itu, Mujar Ibnu Syarif menyebutkan bahwa hingga saat ini ada
tiga negara yang mayoritas penduduknya muslim, yang di samping
membolehkan, juga pernah dipimpin seorang presiden non Muslim, yaitu
Nigeria, Senegal dan Libanon. Nigeria yang 76 persen penduduknya
beragama Islam, saat ini sedang dipimpin seorang presiden yang beragama
123 Yusuf Al-Qaradhawi, al-Din wa al-Siyasah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008), cet. I, h. 208
Kristen, yakni Olusegun Obasanjo. Menurut Mujar Ibnu Syarif, ada satu hal
yang sangat menarik dari Olusegun, yaitu sekalipun beragama Kristen
ternyata ia berhasil menjadi Presiden Nigeria yang Mayoritas Muslim itu
selama tiga periode, yakni periode 1976-1979, periode 1999-2004, dan
periode 2004-2010. Pada periode ketiga Olusegun Obasanjo terpilih kembali
sebagai Presiden Nigeria dengan mengalahkan rival terdekatnya, Muhammad
Buhari. Ia unggul dalam pemilu presiden Nigeria tahun 2004 dengan
memenangkan 62% suara.124
Kemudian sama seperti Nigeria, Senegal yang 91% penduduknya
beragama Islam juga pernah dipimpin seorang Presiden yang beragama
Kristen Katholik, yakni Leopold Sedar Senghor (1980-1988). Yang lebih unik
lagi adalah Libanon. Libanon yang 75% penduduknya beragama Islam, sejak
tahun 1943 sampai sekarang, selalu dipimpin oleh seorang Presiden yang
beragama Kristen. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1943 Libanon
menyetujui Pakta Nasional (al-Mitsaq al-Wathani) yang berisi ketetapan
presiden Libanon harus dari Kristen Maronite, Perdana Menteri Muslim
Sunni, Juru Bicara Parlemen Muslim Syi’ah, Menteri Pertahanan Muslim
Druze, dan Menteri Luar Negeri Kristen Ortodok Yunani. Karena Pakta
Nasional tersebut masih diperlakukan, maka hingga detik ini yang bisa men-
124 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), cet. I, h. 76
jadi presiden Libanon hanyalah seorang yang beragama Kristen Maronite.125
3. Raja (Sultan)
Di semua negeri yang bersultan atau yang beraja, sangat jelas
disebutkan bahwa seorang Raja itu haruslah seorang laki-laki Melayu,
beragama Islam, mempunyai darah Raja serta keturunan yang sah dari raja-
raja terdahulu.126
Orang Melayu kebanyakan dapat dilantik menjadi Raja
sekiranya keturunan Raja di sebuah negeri atau negara bagian telah tiada atau
sekiranya keturunan Raja yang ada tidak layak untuk dilantik sebagai
Sultan.127
Pasal 3 (2) Perlembagaan Persekutuan telah menetapkan bahwa Raja-
raja di negara bagian menjadi ketua agama Islam dan memiliki wewenang
mengenai semua urusan agama Islam, termasuk Undang-undang Islam dan
kewenangan ini tidak dapat diganggu gugat. Negara bagian yang tidak
memiliki Raja seperti Pulau Pinang, Melaka, Sabah dan Sarawak Yang di-
Pertuan Agong adalah ketua agama Islam di negara-bagian tersebut.128
4. Menteri Besar (Gubernur)
Penting untuk disebutkan bahwa undang-undang negeri-negeri Melayu
125 Ibid. 126 Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan
Malaysia, h. 46 127 Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia: Asas-asas dan Masalah, (Selangor:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 179 128 Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia, h.
281
menetapkan syarat orang Melayu untuk kelayakan menduduki tahta, menjadi
Menteri Besar (Gubernur) dan juga Sekretaris Menteri Besar. Mengenai
pelantikan sebagai Menteri Besar dan sekretarisnya, undang-undang negeri-
negeri Melayu menyebut bahwa seseorang yang hendak dipertimbangkan ke
jabatan tersebut mestilah Melayu dan beragama Islam. Syarat-syarat ini
menarik karena dalam menafsirkan Melayu, undang-undang pun sudah
menyebut Islam sebagai salah satu ciri utama bagi kemelayuan seseorang.
Ketentuan-ketentauan ini dapat digunakan sebagai hujjah untuk mengatakan
bahwa apa yang dikatakan sebagai ketuanan Melayu itu sebenarnya sudah
dilindungi oleh Perlembagaan.
Ketentuan tersebut terdapat di seluruh Undang-undang Tubuh
Kerajaan Negeri di semua negeri Melayu yang memiliki Sultan (Raja). Di
Perak misalnya terdapat dalam Pasal 12 (2) Undang-undang Tubuh negeri
Perak, di Kedah Pasal 35 (2), Kelantan Pasal 12 (2), Negeri Sembilan Pasal 39
(2), Pahang Bagian II pasal 3 (2), Perlis Pasal 37 (2), Selangor Pasal 51 (2)
dan Terengganu Pasal 10 (2).129
Oleh karena itu, sejak Malaysia merdeka pada
tahun 1957 menteri-menteri Besar yang dilantik sebagai kepala pemerintahan
negara bagian adalah orang Melayu dan beragama Islam, demikian pula
belum ada sejarahnya bahwa seorang Sultan diangkat dari bukan Melayu.
Sehingga hingga saat ini tidak pernah setiap Sultan negara bagian melantik
seorang Menteri Besar bukan Melayu.
129 http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=11186
diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
Melantik Menteri Besar merupakan hak dan kewenangan eksklusif
Sultan sebagai Kepala Negara bagian. Sultan juga sebagai ketua agama Islam
di negeri-negerinya, dengan demikian seorang Sultan ketika hendak melantik
seorang Menteri Besar pasti memikirkan dan harus memastikan bahwa
urusan-urusan agama Islam dapat dijalankan oleh Menteri Besar sebagai
pelaksana pemerintahan di negara bagian tersebut. Apakah semua urusan
orang-orang Islam akan dapat terlaksana dengan baik jika di bawah komando
seorang non Muslim. Oleh karena itu, tidak mungkin seorang Sultan melantik
seorang Menteri Besar dari kalangan non Melayu. Di samping itu,
keharmonisan tugas antara Sultan dan Menteri Besar sangat diperlukan
menyangkut dalam hal ehwal agama dan adat Melayu.
5. Hakim Mahkamah Syari’ah
Selain jabatan-jabatan yang telah disebutkan di atas yang tidak dapat
dipegang oleh orang non Melayu adalah Hakim (Kadi) Mahkamah Syari’ah.
Mahkamah Syariah ialah institusi kehakiman yang menangani serta
menjatuhkan hukuman kepada orang yang berperkara baik perdata maupun
pidana yang berkaitan dengan agama Islam sesuai kewenangan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu persyaratan utama menjadi Hakim (Kadi)
Mahkamah Syri'ah adalah harus beragama Islam di samping harus warga
negara Malaysia dan menguasai dalam bidang syari'ah undang-undang
Islam.130
Demikian juga dengan jabatan Mufti harus beragama Islam juga,
karena fungsi utama Mufti adalah mengeluarkan fatwa dan membantu Majelis
Hal Ehwal agama Islam.131
Kedua jabatan tersebut sangat wajar dipegang oleh
orang Islam (Melayu), karena merupakan suatu hal yang tidak pantas bila
urusan agama Islam ditangani oleh orang non Muslim.
Dari uraian di atas, terlihat adanya keistimewaan bagi orang Melayu
dalam hal politik, yaitu adanya jabatan-jabatan politik tertentu yang tidak dapat
dipegang oleh bukan Melayu seperti jabatan Yang di-Pertuan Agong sekaligus
Kepala Angkatan Tentara Persekutuan, Raja atau Sultan negara bagian dengan
Menteri Besar dan Sekretarisnya, Hakim Mahkamah Syari’ah atau Kadi dan
Mufti.
Akan tetapi, di beberapa negara bagian yang tidak memiliki Sultan tidak
terdapat aturan yang mensyaratkan bahwa orang Melayu dan Islam yang harus
menjadi Ketua Menteri, misalnya di negara bagian Pulau Pinang, Melaka, Sabah
dan Sarawak. Ketua Menteri di negara-negara bagian ini diangkat berdasarkan
pada suara terbanyak dalam pemilu yaitu partai yang menang. Artinya, di negara-
negara bagian ini orang bukan Melayu bisa saja diangkat menjadi Ketua Menteri
asalkan partai mereka menang dalam pemilu.
Sebagai warga negara mayoritas, hampir di semua negara manapun di
130 Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia, h. 284
131 Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 102
dunia ini, walau pun dalam konstitusinya tidak disebutkan bahwa penduduk
mayoritas tersebut adalah penduduk yang istimewa atau tidak disebutkan bahwa
syarat kepala negara atau pemerintahan harus dari kalangan mayoritas, akan tetapi
dalam kenyataan atau praktik kehidupan bernegara penduduk mayoritaslah yang
mendominasi dan menguasai atau menduduki jabatan-jabatan politik yang sangat
penting, seperti jabatan kepala negara, Perdana Menteri, Gubernur dan jabatan-
jabatan tertentu. Seolah-olah terdapat suatu aturan yang tidak tertulis bahwa
penduduk mayoritaslah yang harus menguasai dan menduduki jabatan-jabatan
tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II bahwa dalam konsep keteta-
negaraan Islam ahl al-Dzimmah (penduduk minoritas) dalam hak politik seperti
dalam hal kepemimpinan dan jabatan-jabatan tertentu tidak bisa diberikan. Hak
jabatan tertinggi dalam pemerintahan (kepala negara atau khalifah), ketua
lembaga eksekutif, perdana menteri, panglima perang, hakim untuk kaum
muslimin, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah termasuk wakaf dan
sebagainya tidak diberikan kepada mereka.132
Ini bukan berarti bahwa adanya
diskriminasi terhadap kaum minoritas, akan tetapi hal ini disebabkan karena
golongan minoritas tidak mempunyai hak kepemimpinan dan kekuasaan eksekutif
dan yudikatif mempunyai fungsi menerapkan syari’at Islam. Oleh sebab itu yang
menduduki jabatan tersebut dengan sendirinya orang yang meyakini Islam
132 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fî Mujtama’ al-Islâm, edisi Indonesia
diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II,
(Bandung: Mizan, 1991), h. 53
sebagai akidah dan syari’ah.133
Merupakan suatu hal yang kurang tepat jikalau
dalam suatu negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya Muslim
dipimpin oleh seorang non Muslim. Bahkan menurut al-Qaradhawi tidaklah
masuk akal bahwa seorang yang bukan Islam akan melaksanakan hukum-hukum
Islam dan memeliharanya dengan baik kecuali seorang muslim.134
Apa jadinya
jika persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama Islam ditangani oleh orang
non Muslim yang mereka kurang memahami dan meyakini syari’at Islam.
Selain itu, dalam al-Qur’an sendiri ada ayat yang menyebutkan bahwa
orang-orang mukmin dilarang mengambil pelindung atau pemimpin dari orang-
orang kafir. Dalam surat an-Nisa/4: 144:
�B(VFMU6�< ��������� ��������� XY ��Z�[\$+] �����;6+��*��
�����^�* =�� _84^ ��`����+4☺�*�� . �84F<R��] 8
���/"��5� a� ��9b�Z,/�� �?�6+cL/4& �?�Ibe� ) .2ء 144: 4/ا(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?.”
�B(VFMU6�< ��������� ���?����� XY ��Z�[\$+] "^�(�J�*��
� ��6g1C�*��� �����Z�* 0 ��(h⌫��� j����^�* Hk��� .
=��� �lmn���$�< ������@� opUOIq+L ��(r�� � C8I: ���� XY �FE5�<
�s��+:�*�� ��`�☺I/6�9*� )51: 5/ا��45ة( �
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
133 Salim Ali al-Bahansawi, as-Syari’ah al-Muftara ‘Alaiha, edisi bahasa Indonesia
diterjemakan oleh Musthalah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1996), cet. I, h. 202 134 Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama’ al-Islâm, h. 53
orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguh-nya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Kata auliya (ء� ,(و�) dalam ayat adalah bentuk jama dari kata wali (أو&
yang arti asalnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna
baru seperti pendukung, pembela, pelindung, pemimpin, yang mencintai, lebih
utama, dan lain-lain. Seorang mukmin dilarang menjadikan orang Yahudi dan
Nasrani teman yang akrab, tempat menumpahkan rahasia dan kepercayaan
seperti halnya dengan sesama mukmin. Begitu juga berlaku terhadap jamaah dan
masyarakat mukmin, bahwa mereka dilarang untuk menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani itu jadi pembela, pelindung, pemimpin dan penolong, lebih-
lebih dalam urusan yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan.135
Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah menjelaskan bahwa orang
Muslim dilarang menjadikan non Muslim sebagai auliya antara lain menjadikan
Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.136
Demikian juga Muhammad Ali al-
Shabuni menyebutkan dalam bukunya Tafsir Ayat Ahkam bahwa ayat-ayat di
atas merupakan yang menunjukkan haramnya mengangkat orang kafir sebagai
pemimpin.137
Berkenaan dengan pemimpin atau kepala negara, Mujar Ibnu Syarif dalam
135 M. Sonhaji, dkk., al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, t.th.), juz VI, h. 460
136 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.
IX, (Ciputat: Lentera Hati, 2007), vol. III, h. 125
137 Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, alih bahasa oleh Mu’ammal Hamidi dan Imrom A. Manan, cet. IV, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), h. 336
disertasinya yang berjudul Presiden Non Muslim di Negara Muslim
menyebutkan bahwa syarat-syarat kepala negara Islam dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah paling sedikit dapat ditemukan sebelas syarat dan yang paling pertama
adalah harus beragama Islam.138
Syarat ini antara lain ditemukan dalam ayat 59
surat al-Nisa yang berbunyi:
�B(VFMU6�< ��������� �t��?����� ����Z� ���� ����Z�� �v�4&w�*�� GHMD� x�y>z�� %{�����
) 59: 4/ا .2ء (
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul -Nya), dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) dari kalanganmu sendiri”. (QS. al-Nisa/4: 59).
Syarat kepala negara harus beragama Islam disimpulkan dari kata ( -'م )
yang termaktub pada akhir ayat di atas, yang oleh para pendukung syarat ini
selalu ditafsirkan menjadi (."��ن�ا � ,yang berarti dari kalanganmu sendiri ,(م -' ا�9
wahai orang-orang muslim.139
Senada dengan ayat di atas Nabi bersabda:
�ر اه, �140 )روا0 ا .52!(... ا��ك ? <.=>&;�ا
Artinya: “Janagnlah kamu mencari penerangan dari api kaum Musyrik. (HR. al-
Nasa’i).
Kata nar (api) yang termaktub dalam hadits di atas merupakan simbol
138 Kesebelas syarat yang harus dipenuhi oleh kepala negara Islam adalah harus beragama
Islam, laki-laki, dewasa, adil, pandai menjaga amanah dan profesional, kuat atau sehat fisik dan
mental, berdomisili di wilayah negara Islam, cinta kebenaran (shidiq), mampu mengkomuni-
kasikan dengan baik kepada rakyat visi, misi dan program-programnya, harus cerdas dan punya
ingatan yang baik, harus keturunan Quraisy. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Mujar Ibnu Syarif,
Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 33-47 139 Ibid., h. 33 140 Jalâl al-Dîn al-Suyŭthi, Syarh al-Hafîdz Jalâl al-Dîn al-Suyûthi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i,
(Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th.), jilid 8, h. 176-177
kekuasaan atau kekuasaan yang tidak boleh diberikan umat Muslim kepada non
Muslim. Sehingga dari hadits di atas juga dapat disimpulkan bahwa yang boleh
menjadi penguasa atas umat muslim hanyalah orang-orang muslim juga bukan
orang-orang non Muslim.141
Berkenaan dengan syarat-syarat seorang pemimpin umat Islam
(khalifah), Abdul Qadir Zallum meletakkan bahwa Muslim adalah syarat
pertama. Oleh karena itu khalifah secara mutlak tidak boleh diberikan kepada
orang kafir (non Muslim) dan hukum menaati orang kafir itu tidak wajib. Allah
berfirman:
=+*� X|"��5+} ~��� ���R��;6+�L/�* G,]�� ��`����+OLP�� �⌧ZIb"& ).2ء 141: 4/ا(
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Lebih lanjut Abdul Qadir Zallum menjelaskan bahwa:
“pemerintahan (kekuasaan) adalah jalan yang paling kuat bagi seorang
hakim (pejabat pemerintahan) untuk memaksa rakyatnya. Ditambah
pernyataan Allah dengan menggunakan (C) yang biasa dipergunakan untuk
menyatakan penafian selama-lamanya (Nafyu al-Ta’bid) itu bisa menjadi
indikasi (qarinah) tentang adanya larangan terhadap orang kafir untuk
memimpin pemerintahan kaum muslimin, baik untuk menjadi khalifah
maupun yang lain. Maka semuanya itu merupakan larangan yang tegas dan
pasti (nahyan jaziman). Selama Allah mengharaamkan orang-orang kafir
untuk memiliki jalan agar bisa menguasai kaum muslimin, maka hukumnya
haram bagi kaum muslimin untuk menjadikan orang kafir menjadi penguasa
mereka.”142
Kalau kita perhatikan, pada sebagian besar negara-negara mayoritas
141 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 34 142 Abdul Qadir Zallum, Nidhâm al-Hukmi fi al-Islâm,diterjemahkan oleh M. Maghfur
Wahid, Sistem Pemerintahan Islam,cet. III, (Bangil: al-Izzah, 2002), h. 55
Muslim di luar Indonesia seperti di Saudi Arabia, Tunisia, al-Jaza’ir, Mesir,
Suriah, Pakistan, Bangladesh, Iran, Yordania dan Malaysia, non Muslim tidak
dapat tampil sebagai presiden. Hal ini, bukan karena di negara-negara tersebut
non-Muslim mengalami diskriminasi politik. Akan tetapi, hal itu terjadi hanya
karena berdasarkan asas prororsionalitas, minoritas non Muslim di negara-negara
tersebut memang tidak mungkin terpilih sebagai presiden. Fakta semacam ini
juga terjadi di negara-negara mayoritas non Muslim. Karena itu, tidaklah
mengherankan bila minoritas Muslim Pattani di Thailand, misalnya tidak
mungkin terpilih menjadi Perdana Menteri sekalipun di negara tersebut tidak
mengalami diskriminasi politik.143
Dari uraian di atas tentang adanya keistimewaan bagi orang Melayu dalam
hal jabatan-jabatan politik tertentu yang tidak dapat dipegang oleh bukan Melayu
terlihat adanya beberapa hal persamaan atau kesesuaian antara konsep dalam
ketatanegaraan Islam dengan apa yang dipraktekkan di Malaysia khususnya yang
dipraktekkan oleh negara-negara bagian yang bersultan. Bahwa jabatan politik
seperti Sultan, Menteri Besar, Hakim Mahkamah Syari’ah dan urusan-urusan
yang berkaitan dengan agama Islam secara jelas dan tegas tidak diperbolehkan
bagi non Melayu. ini berarti negara-negara bagian tersebut telah menjalankan
prinsip-prinsip dalam ketatanegaraan Islam. Demikian juga jabatan pimpinan
tertinggi Angkatan Bersenjata dipegang oleh Yang di-Pertuan Agong, yang mana
ia diangkat dan dipilih dari dan oleh Majelis Raja-raja. Ini berarti jabatan ini
143 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 4-5
otomatis berada di tangan orang Melayu.
Kemudian jika Malaysia dilihat sebagai negara yang menganut sistem
demokrasi yaitu bukan merupakan negara Islam (murni) walaupun agama Islam
sebagai agama resmi, terdapat perbedaan dengan konsep ketatanegaraan Islam
dalam hal hak-hak politik, yaitu dalam Perlembagaan Malaysia tidak disebutkan
syarat-syarat seorang Perdana Menteri (kepala pemerintahan) harus orang
Melayu (Islam), artinya non Melayu boleh-boleh saja jadi Perdana Menteri kalau
memungkinkan. Hal ini sangat berbeda dengan konsep ketatanegaraan dalam
Islam yang mensyaratkan seorang kepala negara harus Islam.
D. Analisis Perbandingan Hak Politik Bukan Melayu
Negara Malaysia mempunyai warga negara yang terdiri dari berbagai
bangsa dan kaum, antaranya kaum Melayu, China, India dan beberapa kaum lain
yang memenuhi aturan kewarganegaraan untuk menjadi warga negaranya seperti
yang tersebut di atas. Jumlah penduduk Malaysia perkiraan tahun 2007 ialah
26.04 juta, yang terdiri dari kaum Melayu 61%, kaum Cina 30%, kaum India 8%
dan yang lain-lain 1%. Terdapat juga Orang Asli, Eropah dan Serani. 144
Kaum China merupakan kumpulan etnik kedua terbesar, mencapai 30%
dari jumlah penduduk. Kebanyakan keturunan kaum Cina di Malaysia merupakan
pendatang pada abad ke-19. Mereka menjadi terkenal karena rajin bekerja dan
pandai berniaga. Kumpulan etnik terkecil dari ketiga kumpulan etnik utama di
144 http://pmr.penerangan.gov.my/index.cfm.htm diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
Malaysia adalah kaum India yang mencapai 8% populasi. Kebanyakan mereka
adalah merupakan pendatang dari Selatan India yang berbahasa Tamil. Kaum ini
datang ke Malaysia sejak zaman penjajahan British (Inggris). Mereka datang ke
Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan keluar dari sistem kasta
yang berlaku di India pada masa itu.145
Selain dari kumpulan etnik yang tiga di atas terdapat beberapa kumpulan
lain yang mendapat tempat dan hak politik di Malaysia yang terdiri daripada
penduduk pribumi atau orang Asli (penduduk asal) di Malaysia yang bukan
merupakan orang Melayu. Kaum ini terdiri daripada orang Asli di Sarawak
seperti kaum Iban, Bidayuh dan Orang Ulu. Manakala orang Asli di Sabah terdiri
dari kaum Kadazan Dusun, Bajau dan Murut.
Dalam penjelasan sub bab ini, penulis akan menguraikan analisis
perbandingan hak politik bukan Melayu di Malaysia dengan ahl al-Dzimmah
dalam ketatanegaraan Islam, yaitu meliputi:
1. Hak memilih dan dipilih
Hak memilih dan dipilih merupakan hak politik setiap warga negara
yang harus diberikan dan dijamin oleh undang-undang. Setiap warga negara
Malaysia memiliki hak untuk memilih wakil-wakil mereka atau memilih
pemimpin-pemimpin mereka, terutama Perdana Menteri maupun anggota
Dewan Rakyat yaitu Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Pusat) dan Dewan
145 http://www.tourism.gov.my/my/about/culture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober
2008
Undangan Negeri (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau negara bagian).
Hak untuk memilih ini diberikan kepada setiap warga negara Malaysia tanpa
membedakan Melayu dan bukan Melayu, semuanya memiliki hak yang sama
dalam menentukan wakil-wakil atau pemimpin-pemimpin mereka. Akan
tetapi hak untuk memilih ini hanya diberikan kepada setiap warga negara
Malaysia yang telah memiliki persyaratan tertentu, yaitu telah berusia 21
tahun hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Perlembagaan Malaysia
dalam Pasal 119 ayat (1). Kemudian dalam ayat (3) disebutkan bahwa hak
memilih menjadi hilang jika pada tanggal pelaksanaan pemilu ia ditahan,
tidak sempurna akalnya, sedang menjalani hukuman penjara atau sebelum
tanggal pelaksanaan pemilu ia telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sedangkan seseorang yang ingin menjadi calon dalam pemilihan
umum, baik itu untuk Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, haruslah warga negara yang tinggal di Malaysia, berumur
tidak kurang dari 21 tahun, dewasa, bukan seorang yang bermasalah seperti
bangkrut, tidak pernah masuk penjara lebih dari 12 bulan dan didenda 2000
Ringit Malaysia.146
Calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam
pemilihan umum yang diadakan. Sekiranya hanya ada seorang calon saja
yang terdaftar setelah waktu penamaan calon yang lolos, calon tersebut akan
diumumkan menang tanpa melakukan pemilihan.147
146 Pasal 19 ayat (3) Perlembagaan Persekutuan Malaysia
Hak memilih dan dipilih bagi kaum bukan Melayu di Malaysia pada
dasarnya sama dengan hak memilih dan dipilih bagi ahl al-Dzimmi dalam
konsep ketatanegaraan Islam. Hak memilih yaitu bagi mereka yang telah
memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang seperti telah dewasa, tidak
hilang ingatan, dan tidak sedang dipenjara. Pemilu merupakan sarana bagi
setiap orang untuk memberikan haknya dibidang politik dalam rangka
mencari orang-orang yang profesional untuk menduduki jabatan politik
seperti kepala negara dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Landasan Islam yang digunakan sebagai dalil akan hak untuk
mengikuti pemilu termaktub dalam surat asy-Syura ayat 38:
��������� � ����� ��������� �2☺��� ��456���� )38: 42/ا��رى( >��;�:� �8�9�7"
Artinya: ”sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” QS. Asy-Syura/42: 38).
Ayat di atas amat jelas menyatakan bahwa masalah kaum muslimin,
utamanya yang penting diputuskan dengan jalan musyawarah. Penentuan
calon kepala negara merupakan salah satu masalah yang sangat penting yang
harus diputuskan berdasarkan musyawarah. Oleh karena itu harus melibatkan
semua warga negara tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas.
Sedangkan hak untuk dipilih adalah hak seseorang untuk mencalon-
kan dirinya menduduki salah satu jabatan dalam pemerintahan. Akan tetapi
147 Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia, (Kuala Lumpur: Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, 2006), h.
64-65
tidak semua individu memiliki hak untuk dipilih, karena hak ini dibatasi oleh
suatu aturan. Misalnya hak untuk dipilih menjadi pemimpin rakyat (kepala
negara) demikian juga hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat, harus memi-
liki syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan baik oleh syara’ maupun
undang-undang. Selain hak memilih dan dipilih, terdapat juga hak untuk
memegang suatu jabatan. Menurut syariat Islam hak untuk memegang suatu
jabatan bukan hanya hak individu, melainkan kewajiban atasnya dari negara.
Dalam hal ini, kewajiban kepala negara dan seluruh perangkatnya memilih
orang yang paling cocok bagi tiap pekerjaan dalam pemerintahan.
Walaupun secara umum antara penduduk Muslim dan ahl al-
Dzimmah dalam konsep ketatanegaraan Islam memiliki hak yang sama untuk
dipilih menjadi wakil-wakil rakyat atau menduduki jabatan politik. Akan
tetapi, ada jabatan-jabatan tertentu yang tidak boleh diberikan kepada ahl al-
Dzimmah, seperti jabatan kepala negara, kepala angkatan bersenjata, ketua
Majelis Syura (parlemen), panglima angkatan bersenjata dan hakim bagi
oraang Islam dan jabatan-jabatan politik tertentu yang mengurusi tentang
keagamaan Islam. Sedangkan jabatan-jabatan selain itu dapat diduduki oleh
mereka. Hal ini kalau kita melihat kepada negara Malaysia, khususnya apa
yang dipraktekkan oleh negara-negara bagian yang bersultan, terdapat
persamaan bahwa jabatan Sultan atau Raja, Menteri Besar, Hakim
Mahkamah Syari’ah, dan ketua angkatan bersenjata -seperti apa yang telah
penulis jelaskan di atas- tidak diberikan kepada non Melayu.
Akan tetapi, bagi orang-orang bukan Melayu juga diperbolehkan
menduduki jabatan-jabatan tertentu, yang tidak berkaitan langsung dengan
urusan agama Islam. Misalnya yang sekarang dipegang oleh orang Cina
adalah jabatan Menteri Perumahan dan Kerajaan Tempatan yaitu ong Ka
Chuan, Menteri Pengangkutan (transportasi) Ong tee Keat, Menteri Wanita,
Keluarga dan Pembangunan Masyarakat Dr. Ng Yen Yen, Menteri
Perusahaan dan Perladangan dan Komoditi Peter chin Fah Kui dan Menteri
Kesehatan Liow Tiong Lai. Kemudian Menteri di Jabatan Perdana Menteri
dipegang oleh Bernard Dompok (bukan Melayu), Menteri Sumber Manusia
S. Subramaniam (India), Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi Dr.
Maxsimus Ongkili (bukan Melayu), dan Menteri Sumber Asli dan Alam
Sekitar Douglas Unggah Embas.148
Demikian juga terdapat jabatan-jabatan di negeri-negeri bagian yang
dipegang oleh orang bukan Melayu, terutama di negeri bagian yang
penduduknya Mayoritas bukan Melayu seperti negeri bagian Pulau Pinang
yang penduduk muslimnya minoritas. Negeri bagian Pulau Pinang tidak
memiliki sultan, tetapi dipimpin oleh Yang di-Pertua Negeri walaupun
beragama Islam akan tetapi Ketua Menterinya orang Cina. Demikian juga di
negeri bagian Perak, walaupun Menteri Besarnya orang Melayu (Islam) yaitu
Mohammad Nizar Zamaluddin, akan tetapi kepala daerah-daerah (tingkat II)
diduduki oleh orang bukan Melayu seperti Ngeh Koo Ham kepala daerah
148 http://ms.wikipedia.org/wiki/Kabinet Malaysia 2008 diakses pada 14 Oktober 2008
Setiawan, Nga Kor Ming kepala daerah Pantai Remis, A. Sivanesan kepala
daerah Sungkai, dan lain-lain.149
Meskipun demikian, non Melayu diberikan kesempatan untuk
menduduki jabatan-jabatan tertentu, misalnya menjadi anggota Parlemen,
Dewan Undangan Negeri, Menteri-Menteri tertentu dan jabatan-jabatan
politik lainya yang tidak secara langsung menyangkut tentang agama Islam.
Hal ini pun sesuai dengan konsep dalam ketatanegaraan Islam bahwa ahl al-
Dzimmah pun diberikan haknya untuk menjadi wakil-wakil rakyat yang
mewakili kelompoknya, demikian juga diperbolehkan menjadi menteri dan
yang sejenisnya.150
Hanya saja kalau melihat kepada Konstitusi negara
Malaysia akan terlihat sedikit perbedaannya yaitu bahwa dalam
perlembagaan Malaysia tidak disebutkan bahwa syarat untuk menjadi
Perdana Menteri harus melayu (Islam).
2. Hak berkumpul dan berserikat
Adanya kebebasan berserikat mendapatkan jaminan dalam Islam. Al-
Qur’an menganggap bahwa hak atas berserikat sebagai salah satu keharusan
bagi pribadi manusia untuk turut serat mengambil bagian dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu setiap orang berhak untuk turut serta
menjalankan perannya masing-masing dalam kehidupan keagamaan, sosial
budaya dan politik. Hal ini dapat diimplementasikan dengan mendirikan
149 http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=News&file=article&sid=8336
diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 150 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, [terjemahan], cet. II, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), jilid III, h. 569
lembaga-lembaga di mana memungkinkan semua orang untuk mengembang-
kan kreatifitas dan kemampuannya serta menikmati hak-haknya.
Hak berkumpul dan berserikat merupakan hak dasar bagi umat
(rakyat) untuk bebas berserikat dan membentuk partai-partai atau organisasi-
organisasi. Hak ini tunduk pada aturan-aturan hukum tertentu, dan harus
dilaksanakan untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran, bukan untuk
menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Yakni hak ini harus dilaksanakan
untuk tujuan propaganda (dakwah) amal-amal kebaikan dan kesolehan, serta
harus dipergunakan untuk menumpas kejahatan dan kesesatan. Rakyat dapat
bebas mengadakan dan mengorganisasikan pertemuan-pertemuan, serta
sebuah negara Islam tidak boleh melarang hak ini kecuali kalau mengadakan
pelanggaran yang nyata.151
Allah berfirman:
��$��� �J��"� �BC�D E�"�R��D C�C?/�* �8jx4yLM+]
N����"☺�*��I� VW��"5?+]� Q=�� R�⌧b�4☺�*�� �8�����+�]� ����I� ����
)110: 3/ ال ���ان(Artinya: “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat
manusia. Kamu menyuruh berbuat kebajukan dan melarang kemungkaran serta kamu beriman kepada Allah”. (QS. Ali-Imran/3:110)
Ini berarti bahwa merupakan kewajiban dan tugas seluruh umat
muslim untuk melarang melakukan kejahatan. Apabila umat muslim
seluruhnya tidak melaksanakan tugas ini maka, “Hendaklah ada sekelompok
orang dari kamu yang menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh
151 Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), cet.I , h. 84
berbuat baik dan mencegah kemungkaran” (QS: al-Imran/3: 104). Ini jelas
menunjukkan bahwa apabila masyarakat semuanya mulai melalaikan
kewajiban-kewajibannya, maka mutlak penting di sana ada paling tidak
sekelompok masyarakat yang bersedia melakukannya.152
Di Malaysia hak atau kebebasan berkumpul dan berserikat telah
dijamin oleh Perlembagaan Persekutuan yang menyebutkan bahwa:
(a) Semua warga negara adalah berhak berhimpun secara aman dan
dengan tidak bersenjata
(b) Semua warga negara adalah berhak menubuhkan persatuan.153
Jaminan perlindungan hak atau kebebasan berkumpul atau berserikat
ini diberikan kepada semua warga negara tanpa membedakan orang Melayu
dan bukan Melayu. Ini terbukti dengan adanya partai-partai politik yang
didirikan dan beranggotakan orang-orang bukan Melayu yaitu seperti Partai
Tindakan Demokratik (DAP) dan Persatuan Cina Malaya (MCA) yaitu partai
orang Cina, Kongres India Malaya (MIC) dan Partai Barisan Kemajuan India
se-Malaysia (AMIPF) yaitu partai orang India serta Partai Gerakan Rakyat
Malaysia (GERAKAN) yang diusung oleh orang Cina dan India. Partai
Tindakan Demokratik (DAP) merupakan salah satu partai oposisi (pembang-
kang).154
Partai-partai bukan Melayu tersebut ikut serta dalam pemilu untuk
menempatkan wakil-wakil mereka di Parlemen maupun di DUN.
152 Abul A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam (terjemahan), cet. III,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 32 153 Pasal 10 ayat (1) poin b dan c Perlembagaan Malaysia
Selain mendirikan partai-partai politik, orang bukan Melayu juga
banyak mendirikan organisasi-organisasi atau perkumpulan baik yang
berbasis sosial kemasyarakatan, keagamaan maupun himpunan-himpunan
profesi, pelajar dan lain-lain. Organisasi-organisasi orang-orang India
misalnya Majlis Hindu Malaysia (MHC), Majlis Belia India Malaysia
(MIYC), Malaysian Hindu Dharma Mamandram (MHDM), Persekutuan
Pertubuhan India Malaysia (FMIO), Pertubuhan Silambam Malaysia (MSA),
Persatuan Sivik India Malaysia (MICA), Persatuan Penulis Tamil Malaysia
(MTWA) dan Persatuan Pengetua), Majlis Belia Felda Malaysia, Pertubuhan
Kebajikan India Bersatu dan Majlis Belia India Malaysia (MIYC).155
Sedangkan organisasi-organisasi orang-orang Cina misalnya Persatuan
Penganut Dewa Cheng Guan Kuan, Persatuan Penjaja Cina Wilayah
Persekutuan, Gabungan Persatuan-Persatuan Cina Malaysia dan Persatuan
Perubatan Cina Malaysia, Persatuan Guru Sekolah Cina Malaysia (Jio Zong),
Persatuan Bekas Penuntut Sekolah Cina Malaysia, Persatuan Bekas Penuntut
Universiti Nanyang Malaysia, Dewan Perhimpunan Cina Selangor (SCAH)
dan Persekutuan Persatuan Fuzhou Malaysia. Termasuk yang terbaru tuntu-
tan dari kumpulan Hindraf yang diketuai oleh professional kaum India.156
154 Thock Ker Pong, Ketuanan Politik Melayu: Respon Masyarakat Cina, (Kuala
Lumpur: Universiti Malaya, t.th.), h. 209 155http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=AvantGo&op=ReadStory&sid=524
2 diakses pada tanggal 2 November 2008 pukul 15.30 WIB
156 http://www.isuhot.com/modules.php?name=News&file=print&sid=627 diakses pada
tanggal 2 November 2008 pukul 15.30 WIB
Banyaknya terdapat partai politik, persatuan-persatuan atau organisasi-
organisasi yang didirikan oleh orang-orang bukan Melayu tersebut
menunjukkan bahwa di Malaysia tidak terdapat diskriminasi terhadap kaum
Minoritas dalam bidang politik khususnya hak atau kebebasan berkumpul
atau berserikat. Karena mereka pun sebagai warga negara memiliki hak
untuk membentuk organisasi, perkumpulan-perkumpulan atau perhimpunan
serikat kerja sebagai wadah untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi
mereka bahkan sekaligus untuk mengkritik kebijakan pemerintah dan
memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini terbukti bahwa di antara partai-
partai orang Cina dan India ada yang menjadi partai oposisi misalnya
(DAP).157
3. Hak mengeluarkan pendapat
Hak mengeluarkan pendapat pada dasarnya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dengan hak berkumpul dan berserikat. Syariat memiliki
pijakan yang kuat pada hak-hak ini, bukti dasarnya tercakup dalam prinsip-
prinsip al-Quran dan Sunnah yang mengatur kebebasan berbicara dan
berekspresi. Oleh karena itu prinsip-prinsip Islam tentang hisbah, yang
menyeru untuk berbuat baik dan melarang kejahatan (amar ma’ruf nahi
mungkar), nashîhah, dan syura (musyawarah) dapat sama-sama dikutip,
kemudian doktrin ijtihad (penalaran pribadi para ahli hukum yang memenuhi
syarat), disamping hak-hak warga negara untuk melontarkan kritik memba-
157 Anggota Persatuan Penerbit Buku Malaysia, Malaysia Kita Panduan dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, cet. VIII, (Selangor: Golden Books Centre, 2007), h. 92
ngun terhadap pemerintah semuanya termaktub dalam pengakuan syariat atas
kebebasan mendasar untuk berbicara, berekspresi dan berserikat.158
Umat dan individu memiliki hak mengawasi kepala negara dan
seluruh pejabat dalam pekerjaan dan tingkah laku mereka yang menyangkut
urusan negara. Hak pengawasan ini dimaksudkan untuk meluruskan kepala
negara jika dia menyimpang dari jalan yang lurus (jalan Islam dalam
memerintah). Tahap pertama untuk meluruskannya ialah memberi nasihat
dengan ikhlas. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab
shahihnya, Nabi SAW bersabda:
EG&+J ا C�K4ل. ا�L C� � "L : '9=Jم ��% و�)�% وEJ�5M ا�."�&C و��"% و-= 159 )روا0 م."'(
Artinya: “Agama itu nasihat, kami berkata untuk siapa? Nabi berkata, untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin umat Islam dan orang awam”. (HR. Muslim )
Jika nasihat sudah tidak berguna, maka hak umat menggunakan
kekuatan yang diperlukan guna meluruskan dan menariknya dari kesesatan
dan semua bentuk penyelewengan. Nabi SAW bersabda:
�ن 'مC راى م -' مO %ن�."�O QR=.� ' ن�O 04&� 0�K&S&"O �ا- %�"U�O QR=.� 160 )روا0 م."'( وذX اضV� ا?���ن
Artinya: “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah
158 Muhammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh
Eva Y. Nukman dan Fatiah Basri, KebebasanBerpendapat dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1996), h. 104
159 Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz I, h. 74 hadits nomor 95 (55)
160 Ibid., h. 69 hadits nomor 78 (49)
dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah di ubah dengan hatinya dan itu adalah iman yang paling rendah” (HR. Muslim).
Hak individu untuk mengawasi para pejabat dan memberi nasihat
kepada mereka serta menilai tingkah laku mereka, semuanya menuntut
pentingnya setiap individu untuk menikmati kebebasan berpendapat.
Diakuinya prinsip musywarah dan diskusi-diskusi yang menyertainya serta hak
memilih, juga menuntut hak kebebasan berpendapat karena perlaksanaan
musyawarah tidak mungkin tanpa kebebasan seperti itu. Adalah ketololan yang
berlebihan manakala negara menetapkan untuk memegang prinsip musyawarah
dan mendorong kebebasan berpendapat, kemudian negara mencabut kebebasan
itu dari individu.161
Kebebasan mengeluarkan pendapat dalam negara Islam mencakup
semua warga negara. Setiap individu berhak mengeluarkan pendapat yang
diyakininya benar. Jaminan hak untuk mengeluarkan pendapat tidak hanya
berkisar kepada warga negara yang Muslim saja, tetapi mencakupi juga warga
negara yang non Muslim, ini karena mereka juga merupakan warga negara
daulah Islam. Kebebasan mengeluarkan pendapat bagi kaum minoritas dapat
diwujudkan misalnya melalui perwakilan mereka yang duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat, demikian juga dapat disampaikan melalui organisasi-
organisasi yang mereka buat sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi
mereka. Bahkan dalam kaitannya dengan hak kebebasan agama, selain mereka
161 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta:
Yayasan Al-Amin, 1984), cet. I, h. 71
juga dibolehkan menjalankan ajaran agamanya, juga diperbolehkan melakukan
syiar agama mereka dilingkungannya serta mempertahankan dengan hujjah
jika ada yang mengkritik agama mereka.
Demikian juga dengan warga non Melayu di Malaysia, selain mereka
diberikan hak dan kebebasan membentuk organisasi-organisasi atau
perkumpulan, mereka juga diberikan hak atau kebebasan menyampaikan
pendapat terutama melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Parlemen
maupun di DUN dan melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk. Hak
kebebasan berpendapat dijamin oleh undang-undang selama tidak
menyampaikan kata-kata kotor, menfitnah, menghasut, menghina atau kata-
kata yang melanggar hak keutamaan Parlemen atau Dewan Negeri. Jika dalam
menyampaikan pendapat atau aspirasi dengan cara-cara tersebut, maka itu
dapat dikategorikan kepada tindak pidana.162
Dari penjelasan tentang hak berserikat dan berkumpul serta hak
mengeluarkan pendapat bagi orang bukan Melayu tersebut di atas, jika dilihat
dari konsep ketatanegaraan Islam, maka terdapat kesesuaian bahwa dalam
Islam pun kaum minoritas atau ahl al-Dzimmi diberikan hak dan kebebasan
kepada mereka untuk membentuk atau mendirikan perkumpulan atau
organisasi-organisasi termasuk partai politik untuk ikut aktif dalam memilih
wakil-wakil mereka agar dapat duduk di dewan rakyat atau Parlemen sehingga
dapat menyampaikan aspirasi golongan mereka. Demikian juga dalam konsep
162 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 301
ketatanegaraan Islam pun setiap warga diperbolehkan untuk menyampaikan
pendapat, aspirasi bahkan mengkritik pemerintah jika ada kebijakan-kebijakan
yang tidak berpihak pada rakyat.
Demikianlah uraian analisis tentang hak-hak politik dalam konsep
ketatanegaraan Islam terhadap warga negara di Malaysia. Bahwa terdapat
kesesuaian antara konsep ketatanegaraan Islam dengan apa yang dipraktekkan
di Malaysia dalam hal hak-hak politik yaitu berkenaan dengan jabatan-jabatan
yang tidak boleh dipegang oleh non Muslim.
BAB V
PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari
apa yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian
penulis juga mnyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait.
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan
dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
4). Bahwa hak-hak politik warga negara Malaysia dilindungi dan dijamin oleh
Undang-undang Dasar (Perlembagaan) Malaysia, yaitu tentang hak memilih
dan dipilih, hak dan kebebasan berkumpul atau berserikat serta hak atas
kebebasan berpendapat. Namun, hal itu semua diatur sedemikian rupa dan
diberikan batasan-batasan tertentu dengan memberikan syarat-syarat tertentu
seperti ada persyaratan dalam hak memilih dan dipilih, demikian juga ada
syarat-syarat tertentu dalam membentuk suatu organisasi atau pertubuhan dan
mengeluarkan pendapat, sehingga hak atau kebebasan tersebut tidak sebebas-
bebasnya. Jaminan atau perlindungan hak-hak politik tersebut diberikan
kepada semua warga negara sama rata, tanpa membedakan golongan-
golongan tertentu maupun ras, status sosial ekonomi dan budaya. Akan tetapi
dalam hal-hal tertentu terutama yang menyangkut hal ihwal kepemimpinan
dan pengurusan agama Islam, terdapat jabatan-jabatan politik yang tidak
diberikan kepada non Melayu dan hal ini ditetapkan dalam undang-undang
negara-negara bagian yang bersultan, jabatan-jabatan itu antara lain jabatan
Sultan atau Raja, Menteri Besar, Mufti, Hakim di Mahkamah Syari’ah dan
jabatan ketua angkatan bersenjata oleh Yang di-Pertuan Agong. Hal tersebut
jika dilihat dari konsep ketatanegaraan Islam terdapat kesesuaian atau
persamaan, yaitu dalam konsep ketatanegaraan Islam pun terdapat jabatan-
jabatan yang tidak boleh dipegang oleh ahl al-Dzimmi (non Muslim), seperti
jabatan Kepala Negara, Panglima Perang, ketua Majelis Syura, Hakim bagi
orang Islam dan jabatan-jabatan lain yang berkaitan langsung dengan urusan
agama Islam. Adanya ketentuan tersebut karena dalam politik Islam bahwa
kepemimpinan harus di tangan orang Islam yang bertanggungjawab atas
urusan dunia dan menjalankan hukum-hukum Islam.
5). Adanya ketentuan bahwa non Muslim tidak diperbolehkan menduduki
jabatan-jabatan tertentu seperti kepala negara, ketua Majelis Syura, panglima
perang, hakim bagi orang Muslim, pengurusan zakat dan jabatan-jabatan
lainnya yang bersangkut paut dengan urusan agama Islam, bukan berarti ada
diskriminasi terhadap hak-hak warga negara, melainkan hal itu merupakan
konsekuensi bagi suatu negara yang terdapat penduduk mayoritas. Walaupun
demikian, non Muslim diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu
selain yang disebutkan di atas, misalnya menjadi anggota Parlemen, menjadi
menteri kabinet dan lain. Demikian juga di Malaysia, Pemerintah tetap
menjaga dan melindungi warga negara non Melayu dengan diberikan bahkan
dijamin dalam Undang-undang apa yang menjadi hak-hak politik mereka
yaitu kebebasan berserikat, berkumpul dan mendirikan organisasi, kebebasan
berpendapat, hak memilih dan dipilih, termasuk hak dalam bidang ekonomi.
B. Saran-saran
Berkaitan dengan adanya hak-hak istimewa bagi kaum Melayu
terutama di negara-negara bagian yang bersultan, penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Bahwa hendaklah dipertahankan hak istimewa orang Melayu demi
menjaga eksistensinya agar ajaran Islam dapat dijalankan dengan
sempurna serta untuk menjaga adat istidat atau kebudayaan orang
Melayu;
2. Hendaklah dijelaskan secara gamblang kepada publik di dalam dan
di luar negeri bahwa hal tersebut bukanlah suatu perlakuan
diskriminasi terhadap minoritas (non Melayu), melainkan itu hal itu
terjadi karena berdasarkan asas proporsionalitas, bahwa mayoritas
selalu menguasai minoritas.
3. Bagi para Mahasiswa dan peneliti agar melanjutkan penelitian di
bidang ini dari perspektif yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Majd al-Dîn Muhammad Ibn Ya’qŭb Fairuz, al-Qâmŭs al-Muhîth, Beirut:
Darul Fikr, 1995, juz IV
Abas, Tun Mohammad Salleh, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama
Sdn.Bhd, 2006
Abdullah, Abu Bakar Ke Arah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia: Masalah dan penyelesaiannya, Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986,
cet. I
Ahmad, Siti Rosnah Haji, Pemerintah dan Pemimpin-peminpin Kerajaan Malaysia, Selangor: Golden Books Centre Sdn. Bhd, 2006, cet. I
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalaam Masyarakat Majemuk, Jakarta: UI Press; 1995
Aini, Noryamin, Pengantar Dasar Konsep Hak Asasi Manusia, makalah Mata Kuliah
HAM, Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007
Amirudin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004, cet. I
Anggota Persatuan Penerbit Buku Malaysia, Malaysia Kita Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, Selangor: Golden Books Centre Sdn.
Bhd, 2007, cet. VIII
Anis, Ibrahim, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Kairo: T.tp, 1972 , Juz I
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jinâ’i al-Islâmi: Muqâranan bi al-Qânun al-Wadhi’i, Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998, juz I
Awang, Muhammad Kamil, Sultan dan Perlembagaan, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I
Ayub, Abdul Razak, Perpecahan Bangsa Melayu, Selangor: Dewan Pustaka fajar,
1985, cet. I
Baharom, Hajah Noresah Binti, dkk., Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII,
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Malaysia, 2002
Bahansawi, al, Salim Ali, asy-Syari’ah al-Muftara ‘Alaiha, edisi bahasa Indonesia
diterjemakan oleh Musthalah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996, cet. I
Bari, Abdul Aziz, Perlembagaan Malaysia: Asas-asas dan Masalah, Selangor:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I
----------, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia, cet. II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, Jakatra: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005
Dasuki, al, Syams al-Din Muhammad ibn ‘Irfah, Hasyiyah al-Dasuki ‘alâ Syarh al-Kabîr, Mesir: Al-Azhariyah, 1345 H
Depertemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depertemen Agama RI,
1971
HR., Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII
Press, 2007, cet. I
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996, cet. I
Hussin, Hasnah dan Mardiana Nordin. Pengajian Malaysia, Selangor: Oxford Fajar,
2007, cet. I
Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia, Kuala Lumpur: Institut Tadbiran Awam Negara
(INTAN) Malaysia, 2006
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001, cet. I
Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005,
cet. I
Kamali, Muhammad Hashim, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh
Eva Y. Nukman dan Fatiah Basri, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Jakarta: Mizan, 1996
Kencana, Inu, Al-Quran dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, cet. I
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Hadits, 2003
Manzhur, Jalaluddin Muhammad Ibnu, Lisân al’Arab, juz II, Mesir: Dâr al-Hadîts,
2003
Marbun, B. N., Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, cet. I
Maududi, Abu A’la, Islamic Law and Constitution, Lahore, Pakistan: Islamic
Publication Ltd, 1977
----------, Hak-hak Manusia dalam Islam, penterjemah Bambang Iriana Djajaatmadja,
cet. III, Jakarta: Bumi aksara, 2005
Mâwardî, al, Abî al-Hasan 'Alî bin Muhammad bin Habîb al-Basrî al-Bagdâdî, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, T.tp: Dâr al-Fikr, 1960, cet. I
Mufid, Moh., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, cet. I
Muhammad, Nazaruddin Hj., Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarga-negaraan, cet. V, Selangor: Prentice Hall, 2004
Nîsâburî, al, Muslim bin al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî, Shahih Muslim, Beirut:
Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th., juz III
Nordin, Hasnah Hussin dan Mardiana, Pengajian Malaysia, Selangor Shah Alam:
Oxford Fajar Sdn Bhd, 2007
Nowak, Manfred, Introduction to The International Rights Regime, Leiden, the
Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2003
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola:
1994
Pong, Thock Ker, Ketuanan Politik Melayu: Respon Masyarakat Cina, Kuala
Lumpur: Universiti Malaya, t.th.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Putra, Dalizar, HAM (Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an), Jakarta: PT. Al-
Husna Zikra, 1995, cet. II
Qaradhâwî, al, Yŭsuf, al-Dîn wa al-Siyâsah, edisi bahasa Indonesia Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, cet. I
----------, Fatwa-fatwa Kontemporer, [terjemahan], cet. II, Jakarta: Gema Insani,
2006, jilid III
-----------, Ghair Muslim fi Mujtama al-Islam, edisi Indonesia diterjemahkan oleh
Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, Bandung: Mizan, 1991
Qusyairi, al, Muslim bin Hajjaj Abu Husin, Shahîh Muslim, juz, I, Beirut: Dar Ihya’ al-Turâts al-Arabi, t.th
Ramanathan, K., Konsep Asas Politik, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1998
Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Bandung:Pustaka, 2001, cet. I
Rofi’, Ismatu, Wacana Inklusif ahl al-Kitab, Jakarta: Yayasan Paramadina, 2002
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, cet. I
Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet.
II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Saefuddin, A. M., Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, Jakarta: Gema Insani Press,
1996, cet. I
Sakdan, Mohd. Foad, Asas Politik Malaysia, cet. II, Ampang/ Hulu Kelang Selangor
Darul Ehsan: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997
Shâbŭnî, al, Muhammad ‘Ali, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, alih bahasa oleh
Mu’ammal Hamidi dan Imrom A. Manan, cet. IV, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 2003
Shiddiqy, ash, T. M. Hasbi, 2002 Mutiara Hadits I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.
IX, Ciputat: Lentera Hati, 2007, vol. III
Siong, Gouw Giok, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta: Kinta, 1962,
Jilid 2
Soehino, Ilmu Negara, cet. VI, Yogyakarta: Liberty, 2004
Sonhaji, H. M., dkk., al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
t.th, juz VI
Suyŭtî, al, Jalâl al-Dîn, Syarh al-Hafîdz Jalâl al-Dîn al-Suyûthi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th., jilid 8
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990
Syarif, Mujar Ibnu, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, Bandung: Agkasa, 2003, cet. I
------------, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006, cet. I
Syatibi, al, al-Muwafaqat, Ttp: Dar al-Fikr, t.th
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Group, 2003, cet. Revisi
Watt, W. Montogomery, Muhammad at Medina, London: Oxford University Press,
1991
Zada, Khamami dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: Lembaga
Studi Islam Progresif, 2004, cet. I
Zaidan, Abdul Karim, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Jakarta:
Yayasan Al-Amin, 1984, cet. I
Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam,
diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, Bangil: Al-Izzah, 2004
-----------, Nidhâm al-Hukmi fi al-Islâm,diterjemahkan oleh M. Maghfur Wahid, Sistem Pemerintahan Islam,cet. III, Bangil: al-Izzah, 2002
Zarqa, al, Musthafa Ahmad, al-Madkhâl al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islâmi fi Tsaubih al-Jadîd, Damsyik: Dar al-Fikr, tt, jilid III
Zuhaili, al, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, juz IV, Damsyik: Dâr al-Fikr,
1425 H / 2004 M, cet. III
Perlembagaan Persekutuan, cet. V, Ulu Kelang Kuala Lumpur: MDC Penerbit
Pencetakan Sdn Bhd, 1995
Akta Nomor 13 Tahun 1966 Tentang Pertubuhan
Situs Internet:
http://ms.wikipedia.org/wiki/Parlimen_Malaysia diakses pada tanggal 24 Oktober
2008
http://www.isuhot.com/modules.php?name=News&file=article&sid=396 diakses pada
tanggal 24 Oktober 2008
http://pmr.penerangan.gov.my/index.cfm.htm diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
http://www.tourism.gov.my/my/about/culture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober
2008
http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg00033.html diakses pada tanggal
23 September 2008
http://www.tranungkite.net/v7/modules.php?name=News&file=article&sid=8336
diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=11186
diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
Kebebasan Asasi
Pasal 5 Tentang Kebebasan Diri
(1) Tiada seorang pun boleh diambil nyawanya atau dilucutkan kebebasan dirinya kecuali mengikut undang-undang.
(2) Jika pengaduan dibuat kepada Mahkamah Tinggi atau mana-mana hakim Mahkamah Tinggi menyatakan bahawa seseorang sedang
ditahan dengan menyalahi undang-undang, maka mahkamah itu hendaklah menyiasat pengaduan itu dan, melainkan jika mahkamah itu berpuas hati bahawa tahanan itu adalah sah, hendaklah memerintahkan supaya orang itu dibawa ke hadapan mahkamah itu dan melepaskannya.
(3) Jika seseorang ditangkap maka dia hendaklah diberitahu dengan
seberapa segera yang boleh alasan-alasan dia ditangkap dan dia hendaklah dibenarkan berunding dengan dan dibela oleh seorang pengamal undang-undang pilihannya.
(4) Jika seseorang ditangkap dan tidak dilepaskan, maka orang itu hendaklah tanpa kelengahan yang tidak munasabah, dan walau
bagaimanapun dalam tempoh dua puluh empat jam (tidak termasuk masa apa-apa perjalanan yang perlu) dibawa ke hadapan majistret dan orang itu tidak boleh ditahan dalam jagaan selanjutnya tanpa kebenaran majistret itu: Dengan syarat bahawa Pasal ini tidaklah terpakai bagi penangkapan
atau penahanan mana-mana orang di bawah undang-undang yang
sedia ada yang berhubungan dengan kediaman terhad, dan kesemua
peruntukan Pasal ini hendaklah disifatkan telah menjadi suatu bahagian
perlu Perkara ini mulai dari hari Merdeka:
Dengan syarat selanjutnya bahawa dalam pemakaiannya bagi
seseorang, selain seorang warganegara, yang ditangkap atau ditahan di
bawah undang-undang yang berhubungan dengan imigresen, Pasal ini
hendaklah dibaca seolah-olah perkataan "tanpa kelengahan yang tidak
munasabah, dan walau bagaimanapun dalam tempoh dua puluh
empat jam (tidak termasuk masa apa-apa perjalanan yang perlu)" telah
digantikan dengan perkataan "dalam tempoh empat belas hari":
Dan dengan syarat selanjutnya bahawa dalam hal penangkapan bagi
sesuatu kesalahan yang boleh dibicarakan oleh mahkamah Syariah,
sebutan dalam Pasal ini mengenai majistret hendaklah ditafsirkan
sebagai termasuk sebutan mengenai hakim mahkamah Syariah.
Pasal 6 Tentang Keabdian dan Kerja Paksa Dilarang
(1) Tiada seorang pun boleh ditahan sebagai abdi. (2) Segala bentuk kerja paksa adalah dilarang, tetapi Parlimen boleh melalui
undang-undang membuat peruntukan mengenai perkhidmatan wajib bagi maksud-maksud negara.
(3) Kerja atau khidmat yang dikehendaki daripada mana-mana orang sebagai akibat daripada sesuatu sabitan atau dapatan bahawa dia
bersalah di mahkamah tidaklah dikira sebagai kerja paksa mengikut pengertian Perkara ini, dengan syarat kerja atau khidmat itu dijalankan di bawah pengawasan dan kawalan suatu pihak berkuasa awam.
(4) Jika menurut mana-mana undang-undang bertulis kesemua atau mana-mana bahagian daripada fungsi mana-mana pihak berkuasa awam
dikehendaki dijalankan oleh suatu pihak berkuasa awam yang lain, bagi maksud membolehkan fungsi-fungsi itu dilaksanakan, maka pekerja-pekerja pihak berkuasa awam yang mula-mula disebut adalah terikat untuk berkhidmat dengan pihak berkuasa awam yang kedua disebut, dan perkhidmatan mereka dengan pihak berkuasa awam yang kedua
disebut itu tidaklah dikira sebagai kerja paksa mengikut pengertian Perkara ini, dan tiada seorang pun pekerja itu berhak menuntut apa-apa hak sama ada daripada pihak berkuasa awam yang mula-mula disebut atau kedua disebut itu oleh sebab pertukaran pekerjaannya.
Pasal 7 Tentang Perlindungan Daripada Undang-Undang Jenayah Kuat
Kuasa ke Belakang dan Perbicaraan Berulang
(1) Tiada seorang pun boleh dihukum kerana sesuatu perbuatan atau peninggalan yang tidak boleh dihukum menurut undang-undang pada masa perbuatan atau peninggalan itu dilakukan atau dibuat, dan tiada seorang pun boleh menanggung hukuman yang lebih berat kerana sesuatu kesalahan daripada yang telah ditetapkan oleh undang-undang
pada masa kesalahan itu dilakukan. (2) Seseorang yang telah dibebaskan daripada sesuatu kesalahan atau
disabitkan atas sesuatu kesalahan tidak boleh dibicarakan semula kerana kesalahan yang sama kecuali jika sabitan atau pembebasan itu telah dibatalkan dan perbicaraan semula diperintahkan oleh suatu mahkamah
yang lebih atas daripada mahkamah yang telah membebaskan atau mensabitkannya itu.
Pasal 8 Tentang Kesamarataan
(1) Semua orang adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di sisi undang-undang.
(2) Kecuali sebagaimana yang dibenarkan dengan nyata oleh Perlembagaan ini tidak boleh ada diskriminasi terhadap warganegara semata-mata atas alasan agama, ras, keturunan, tempat lahir atau
jantina dalam mana-mana undang-undang atau dalam pelantikan kepada apa-apa jawatan atau pekerjaan di bawah sesuatu pihak berkuasa awam atau dalam pentadbiran mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pemerolehan, pemegangan atau pelupusan harta atau berhubungan dengan penubuhan atau
penjalanan apa-apa pertukangan, perniagaan, profesion, kerjaya atau pekerjaan.
(3) Tidak boleh ada diskriminasi yang memihak kepada mana-mana orang atas alasan bahawa dia seorang rakyat Raja bagi mana-mana Negeri.
(4) Tiada pihak berkuasa awam boleh mendiskriminasikan mana-mana
orang atas alasan bahawa dia bermastautin atau menjalankan perniagaan di mana-mana bahagian Persekutuan di luar bidang kuasa pihak berkuasa itu.
(5) Perkara ini tidak menidaksahkan atau melarang: (a) apa-apa peruntukan yang mengawal selia undang-undang diri; (b) apa-apa peruntukan atau amalan yang mengehadkan jawatan atau
pekerjaan yang berkaitan dengan hal ehwal mana-mana agama, atau sesuatu institusi yang diuruskan oleh sekumpulan orang yang menganuti mana-mana agama, kepada orang yang menganuti agama itu;
(c) apa-apa peruntukan bagi perlindungan, kesentosaan atau pemajuan
orang asli Semenanjung Tanah Melayu (termasuk perizaban tanah) atau perizaban bagi orang asli suatu perkadaran yang munasabah daripada jawatan-jawatan yang sesuai dalam perkhidmatan awam;
(d) apa-apa peruntukan yang menetapkan kemastautinan di sesuatu Negeri atau di sebahagian sesuatu Negeri sebagai suatu kelayakan
bagi pemilihan atau pelantikan kepada mana-mana pihak berkuasa yang mempunyai bidang kuasa hanya di Negeri atau di bahagian itu sahaja, atau bagi pengundian dalam pemilihan itu;
(e) apa-apa peruntukan Perlembagaan sesuatu Negeri, yang adalah atau yang bersamaan dengan suatu peruntukan yang berkuat kuasa
sebaik sebelum Hari Merdeka; (f) apa-apa peruntukan yang mengehadkan pengambilan masuk
tentera ke dalam Rejimen Askar Melayu kepada orang Melayu.
Pasal 9 Tentang Larangan Buang Negeri dan Kebebasan Bergerak
(1) Tiada seorang pun warganegara boleh dibuang negeri dari atau ditahan masuk ke Persekutuan.
(2) Tertakluk kepada Pasal (3) dan kepada mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, ketenteraman awam, kesihatan awam, atau
penghukuman pesalah, tiap-tiap warganegara berhak bergerak dengan bebas di seluruh Persekutuan dan bermastautin di mana-mana bahagiannya.
(3) Selagi mana-mana Negeri lain berada dalam kedudukan istimewa di bawah Perlembagan ini berbanding dengan Negeri-Negeri Tanah
Melayu, Parlimen boleh melalui undang-undang mengenakan sekatan-sekatan, antara Negeri itu dengan Negeri-Negeri yang lain, ke atas hak-hak yang diberikan oleh Pasal (2) berkenaan dengan pergerakan dan kemastautinan.
Pasal 10 Tentang Kebebasan Bercakap, Berhimpun dan Berpersatuan
(1) Tertakluk kepada Pasal (2), (3) dan (4): (a) tiap-tiap warganegara berhak kepada kebebasan bercakap dan
bersuara; (b) semua warganegara berhak untuk berhimpun secara aman dan
tanpa senjata; (c) semua warganegara berhak untuk membentuk persatuan.
(2) Parlimen boleh melalui undang-undang mengenakan—
(a) ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (a) Pasal (1), apa-apa sekatan yang didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, hubungan baik dengan negara-negara lain, ketenteraman awam atau prinsip moral dan sekatan-sekatan yang bertujuan untuk melindungi
keistimewaan Parlimen atau mana-mana Dewan Undangan atau untuk membuat peruntukan menentang penghinaan mahkamah, fitnah, atau pengapian apa-apa kesalahan;
(b) ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (b) Pasal (1), apa-apa sekatan yang didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan
keselamatan Persektuan atau mana-mana bahagiannya atau ketenteraman awam;
(c) ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (c) Pasal (1), apa-apa sekatan yang didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan
keselamatan Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, ketenteraman awam atau prinsip moral.
(3) Sekatan-sekatan ke atas hak untuk membentuk persatuan yang diberikan oleh perenggan (c) Pasal (1) boleh juga dikenakan oleh mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan
perburuhan atau pendidikan. (4) Pada mengenakan sekatan-sekatan demi kepentingan keselamatan
Persekutuan atau mana-mana bahagiannya atau ketenteraman awam di bawah Pasal (2)(a), Parlimen boleh meluluskan undang-undang melarang dipersoalkan apa-apa perkara, hak, taraf,
kedudukan, keistimewaan, kedaulatan atau prerogatif yang ditetapkan atau dilindungi oleh peruntukan Bahagian III, Perkara 152, 153 atau 181 melainkan yang berhubungan dengan pelaksanaannya sebagaimana yang dinyatakan dalam undang-undang itu.
Pasal 11 Tentang Kebebasan Beragama
(1) Tiap-tiap orang berhak menganuti dan mengamalkan agamanya dan, tertakluk kepada Pasal (4), mengembangkannya.
(2) Tiada seorang pun boleh dipaksa membayar apa-apa cukai yang hasilnya diuntukkan khas kesemuanya atau sebahagiannya bagi maksud sesuatu agama selain agamanya sendiri.
(3) Tiap-tiap kumpulan agama berhak: (a) menguruskan hal ehwal agamanya sendiri; (b) menubuhkan dan menyenggarakan institusi-institusi bagi maksud
agama atau khairat; dan (c) memperoleh dan mempunyai harta dan memegang dan
mentadbirkannya mengikut undang-undang. (4) Undang-undang Negeri dan berkenaan dengan Wilayah-Wilayah
Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, undang-undang persekutuan boleh mengawal atau menyekat pengembangan apa-apa doktrin atau kepercayaan agama di kalangan orang yang menganuti
agama Islam. (5) Perkara ini tidaklah membenarkan apa-apa perbuatan yang berlawanan
dengan mana-mana undang-undang am yang berhubungan dengan ketenteraman awam, kesihatan awam atau prinsip moral.
Pasal 12 Tentang Hak Berkenaan dengan Pendidikan
(1) Tanpa menjejaskan keluasan Perkara 8, tidak boleh ada diskriminasi terhadap mana-mana warganegara semata-mata atas alasan agama, ras, keturunan atau tempat lahir—
(a) dalam pentadbiran mana-mana institusi pendidikan yang disenggarakan oleh suatu pihak berkuasa awam, dan, khususnya, kemasukan murid-murid atau pelajar-pelajar atau pembayaran fi; atau
(b) dalam memberikan bantuan kewangan daripada wang sesuatu
pihak berkuasa awam bagi penyenggaraan atau pendidikan murid-murid atau pelajar-pelajar di mana-mana institusi pendidikan (sama ada disenggarakan oleh suatu pihak berkuasa awam atau tidak dan sama ada di dalam atau di luar Persekutuan).
(2) Tiap-tiap kumpulan agama berhak menubuhkan dan menyenggarakan
institusi-institusi bagi pendidikan kanak-kanak dalam agama kumpulan itu sendiri, dan tidak boleh ada diskriminasi semata-mata atas alasan agama dalam mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan institusi-institusi itu atau dalam pentadbiran mana-mana undang-undang itu; tetapi adalah sah bagi Persekutuan atau sesuatu Negeri menubuhkan
atau menyenggarakan atau membantu dalam menubuhkan atau menyenggarakan institusi-institusi Islam atau mengadakan atau membantu dalam mengadakan ajaran dalam agama Islam dan melakukan apa-apa perbelanjaan sebagaimana yang perlu bagi maksud itu.
(3) Tiada seorang pun boleh dikehendaki menerima ajaran sesuatu agama atau mengambil bahagian dalam apa-apa upacara atau upacara sembahyang sesuatu agama, selain agamanya sendiri.
(4) Bagi maksud Pasal (3) agama seseorang yang di bawah umur lapan belas tahun hendaklah ditetapkan oleh ibu atau bapanya atau
penjaganya.
Pasal 13 Tentang Hak Terhadap Harta.
(1) Tiada seorang pun boleh dilucutkan hartanya kecuali mengikut undang-undang.
(2) Tiada undang-undang boleh memperuntukkan pengambilan atau
penggunaan harta dengan paksa tanpa pampasan yang memadai.