gula kawung, pohon avokad dan cerita pendek...

112
Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya

Upload: others

Post on 02-Sep-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

Gula Kawung, Pohon Avokaddan cerita pendek lainnya

Page 2: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 3: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

Abdullah Alawi | A. Zakky Zulhazmi

Kawung,PohonGula

Page 4: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

Gula Kawung, Pohon Avokaddan cerita pendek lainnya

Abdullah AlawiA. Zakky Zulhazmi

Cetakan pertama, Desember 2014

ISBN : 978-602-71499-1-5

PenyuntingDedik Priyanto

Penyelia aksaraSurah

Perancang sampulHasyim Zain

Perwajahan isiHasyim Zain

IlustrasiRahman Seblat

Diterbitkan oleh: Penerbit Surah Sastra bekerjasama dengan Penerbit IntijatiJl. Melati IV No. 19, Bintaro, Jakarta Selatan(021) 737 6319 | [email protected]

Page 5: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

5

Dua Pencerita, Sepuluh Kisah danSegala Omong Kosong Tentang

Kenangan

Ada dua fakta penting yang harus kau ketahui sebelum terperosok lebih jauh ke dalam buku ini. Pertama, cerita-cerita di sini akan membuatmu sakit dan menyuruhmu pulang kampung sesegera mungkin—kalau dirimu adalah perantau yang telah lama tak sanggup pulang, entah karena biaya, nasib buruk yang membuatmu gagal pulang atau sudah tidak dianggap bagian dari kampungmu lagi, dan barangkali yang paling menjengkelkan: ada bagian dari masa lalu yang ingin kau kubur dalam-dalam. Kedua, silakan simak baik-baik fakta pertama dan persiapkan dirimu dengan kemungkinan besar bahwa segala sesuatu yang ada di sini hanyalah omong kosong belaka.

Sebelum segalanya tampak kacau dan membuat sakit kepala, saya akan mulai bercerita tentang dua penulis buku ini. Dua orang yang sudah lama saya kenal dan memiliki bakat alamiah yang diinginkan semua orang waras di dunia: bercerita dengan bagus. Saya sangat yakin, dua makhluk ini diciptakan ketika Tuhan sedang hobi mendongeng.

Orang pertama adalah Abdullah Alawi, kami biasa memanggilnya Abah atau ajengan atau Alawi. Untuk hal-

Page 6: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

6

hal yang berkaitan dengan Sunda, ia orang yang paling tepat diajak bercakap. Saya mengenalnya sebagai lelaki dengan rambut gondrong sebahu, kulit kuning langsat, kemampuan bergitar yang pas-pasan, serta ketidakmampuan mendapatkan pasangan kala akhir pekan tiba. Tapi soal kemampuan bercerita, di antara kami, jelas Alawi juaranya.

Sayangnya, orang ini tidak pernah mengirimkan cerita-cerita yang ia buat ke media massa arus utama. Kalau toh mungkin pernah, itu hanya sekali-dua. Itupun setelah bujuk rayu kami, sejawatnya. Berkali-kali saya memintanya untuk mengumpulkan cerita dan mulai mengirimkannya, tapi berkali-kali pula ia menjawab pendek, “Aku menikmati cerita-cerita ini di komputer dan ini adalah kesenangan pribadi.”

Begitu gemasnya, saya pernah memiliki keinginan buruk, mencuri cerita yang ia bikin, lantas mengirimkannya. Tentu saja tetap dengan nama Abdullah Alawi sebagai penulis. Tapi rencana itu urung saya lakukan. Dan meski begitu, beberapa kali cerita pendeknya dimuat di sejumlah majalah, zine dan tabloid terbitan pelbagai LSM.

Cerita-cerita Alawi di sini umumnya tak jauh dari tema orang-orang biasa, kerinduan akan rumah dan kampung halaman. Dari sekitar 30-an cerita yang saya baca dengan ragam tema, dengan pelbagai pertimbangan, saya memilih lima cerpen: Gula Kawung, Jalan Aspal Bulan Lima, Listrik Mati Lagi, Jalu Mengasah Golok, serta Antara Ibu dan Ayah.

Page 7: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

7

Listrik Mati Lagi adalah cerpen Alawi tentang sebuah desa yang kerap mati listrik. Kisah yang biasa, tapi ternyata di dalamnya ada sepasang orang yang tidak tahan hidup dalam keadaan menghimpit, keduanya memilih mengakhiri hidup anak-anak mereka. Listrik adalah metafora yang membuat pembaca terkecoh dan percaya bahwa, segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan ini, mungkin hanyalah bualan. Hal serupa juga terjadi pada cerita Jalan Aspal Bulan Lima, yang mengangkat janji dari perangkat desa akan pembangunan pada bulan kelima, janji tersebut terlanjur menjadi mitos yang turun temurun dan dianggap sebagai kebenaran. Sedangkan Gula Kawung mungkin lebih layak disebut sebagai cerita mistis tentang kepulangan seorang pada kampung halamannya dan menjadi pewaris generasi yang hilang; para penyadap pohon aren.

Cerpen Jalu Mengasah Golok adalah bentuk satir yang lain; tentang kebosanan pada hidup dan omong kosong orang-orang kampung dengan golok yang saban hari diasah Jalu. Lalu, cerita bertajuk Antara Ayah Dan Ibu menyoroti bagaimana seorang anak mendapati kebingungan sikap kedua orang tuanya. Cerpen ini begitu asyik bermain dengan segala omong kosong dan ketidakjelasan, tapi dituturkan dengan gaya yang begitu jenaka.

Orang kedua yang ingin saya ceritakan adalah A. Zakky Zulhazmi; lelaki dengan tubuh agak gempal, pakaian yang selalu rapi dan rambut laiknya pemuda yang terlahir jaman revolusi. Ia seorang yang menggeluti studi media. Di sela-sela

Page 8: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

8

aktivitas akademiknya, ia juga melakukan banyak hal sebagai seorang cerpenis, pengamat kuliner, komentator, penasihat politik yang-yangan, penakluk hati perempuan, pencinta mie goreng Mas Ari garis depan. Baiklah, tiga yang terakhir agaknya berlebihan.

Zakky memang terlahir sebagai orang kreatif dan produktif. Tak heran, tulisannya tersebar di pelbagai media dan acapkali dibukukan. Zakky adalah kebalikan dari Alawi yang selalu tampak kesepian dan menikmati kesendirian sebagai jalan hidup. Zakky hidup berkomunitas sejak masih sekolah di Solo. Komunitas Ketik, Karpet Merah, Senjakala dan Surah Sastra adalah tongkrongan tempatnya berkreasi.

Dari sana pula, lahir pelbagai cerita pendek yang ia kirimkan ke media massa, dan beberapa kali pula memenangkan lomba menulis. Saya cukup kebingungan ketika harus memilih lima cerita di buku ini, mengingat orang ini begitu produktif dengan cakupan tema yang cukup luas. Tercatat ada dua kumcer, tiga antologi dan tulisan lainnya. Total, ada sekitar 40-an naskah yang harus saya pilah, dan saya pun mengambil garis cerita; kampung, kepulangan dan kenangan masa kecil.

Cerpen pertama yang saya pilih bertajuk Masjid Abah, cerita yang mengingatkan satu keluarga akan kehilangan yang mereka alami; sebuah masjid yang menjadi penanda tumbuh, juga kenangan yang sebenarnya ingin terus mereka pelihara tapi terbentur realitas. Sama halnya dengan cerita Lelaki dengan Rajah Akar di Pipi Kirinya, berusaha menautkan

Page 9: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

9

peristiwa bencana alam Situ Gintung dengan sudut pandang percakapan orang-orang kampung dan kerinduan akan sebuah situ pada masa silam.

Cerpen bertajuk Tak Ada yang Minum Kopi Malam Ini sebenarnya juga berhasrat serupa. Sebagai orang yang tumbuh di Ponorogo dan Solo, Zakky seolah ingin meneguhkan angkringan sebagai penanda ruang bertemunya warga dan tentu percakapan yang hangat lainnya. Namun, tatkala politik dan persaingan bisnis kian meruyak dan mulai menggerus, semua jadi tampak konyol. Salah satu poin menarik dari Zakky adalah eksplorasi sudut pandang.

Di sisi lain, dalam cerita bertajuk Diam-Diam Aku Simpulkan, Alangkah Indahnya Rahasia, Zakky berkisah tentang kehidupan seorang Amik yang ditinggal orang tuanya. Cerita yang biasa, bukan? Tunggu dulu, silakan baca sampai usai dan temukan bahwa sudut pandang juga akan mengecohmu dan menjadi omong kosong. Senada dengan cerpen ini, Pohon Avokad juga menyiratkan hal serupa; kenangan adalah soal omong kosong yang terus dipelihara

Lima kisah Zakky yang ia ceritakan di sini akan membuatmu kian bertanya: apakah kenangan itu hanyalah bualan, omong kosong yang tidak penting? Tapi kenapa membuatmu tampak lunglai, nyaris tanpa kekuatan apapun jika harus mengingatnya? Dan, jika kau percaya bahwa kesunyian adalah wajah lain dari omong kosong itu, maka cerita-cerita di sini merupakan kawan hangat, yang mengajakmu terus bercengkerama, hingga membuatmu mengumpat dan tertawa.

Page 10: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

10

Zakky dan Alawi adalah dua penulis yang memiliki bakat bercerita yang baik. Mereka bercerita dengan asyik dan renyah. Membaca keduanya, kau akan merasa seperti kedatangan seorang kawan jauh yang tak henti-hentinya berkisah tentang hidupnya, masalahnya, kampungnya dan omong kosong lainnya. Kau tentu tidak akan melewatkan bertemu kawan lama yang begitu pandai bercerita, bukan? Tugasmu adalah menjadi pendengar yang baik, menyiapkan bercangkir-cangkir kopi dan menemaninya bercakap sampai pagi tiba. Cerita-cerita dalam buku ini coba mengisahkan orang-orang biasa dengan gaya tutur yang lancar mengalir.

Tentunya akan lebih manis lagi jika mereka senantiasa berinovasi dan terus meningkatkan kemampuan, misalnya, dengan memakan buah terong tiap hari dan keramas tiap malam. Baiklah itu omong kosong. Tapi, dengan umur yang masih begitu muda, sebaiknya mereka senantiasa memperbaiki gaya bercerita. Apalagi keduanya bergiat bersama di satu komunitas anak muda: Surah Sastra.

Surah, sebetulnya sudah lama mengupayakan penerbitan buku ini. Belakangan didorong lagi oleh salah seorang kolega, Savic Ali. Sejatinya ia adalah seorang ‘provokator’ yang terlatih dan piawai, sehingga buku ini bisa terbit dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ke depan, Surah berkomitmen menerbitkan buku-buku bagus lainnya. Percayalah, buku bagus akan membuatmu senantiasa menjadi orang waras di tengah dunia yang bising dan menyebalkan ini.

Page 11: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

11

Kira-kira begitulah catatan singkat ini atas sepuluh cerpen Zakky dan Alawi. Tidak ada catatan ilmiah, juga hal-hal jelimet laiknya sebuah pengantar. Ini adalah kesaksian biasa seorang sahabat kepada sahabatnya yang masih biasa juga. Tentunya kau bisa membuat kesaksian yang serupa.

Tapi, apakah kau masih percaya omong kosong ini?

Jabat erat, Dedik Priyanto

Page 12: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 13: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

13

Daftar Isi

Kata Pengantar | 5

Cerita pendek Abdullah AlawiGula Kawung | 17Jalan Aspal Bulan Lima | 27Listrik Mati Lagi | 35Jalu Mengasah Golok | 43Antara Ibu dan Ayah | 51

Cerita pendek A. Zakky Zulhazmi Masjid Abah | 61Lelaki dengan Rajah Akar di Pipi Kirinya | 73Tak Ada yang Minum Kopi Malam Ini | 83Diam-Diam Aku Simpulkan,Alangkah Indahnya Rahasia | 91Pohon Avokad | 103

Tentang Penulis | 109Tentang Ilustrator | 110

Page 14: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 15: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

Cerita pendekAbdullah Alawi

Page 16: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 17: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

17

Gula Kawung

Jalu mengayunkan gegender pada tandan langari pohon kawung. Suaranya menyatu dengan gemuruh arus Cicatih yang menampar-nampar lamping cadas ditumbuhi pohon kiray. Arusnya berpusar-pusar di mulut sedong. Benda yang hanyut akan diputar-putar seperti digiling.

Gegender masih berayun teratur di tangan Jalu. Suaranya kadang menimbulkan gaung berulang-ulang di permukaan leuwi. Mulutnya kemudian bergumam...

Yun ka kidul nyiuk ti sagara kidulYun ka kaler nyiuk ti sagara kaler…Angin bertiup menerpa tubuh Jalu yang berkeringat.

Baju hitamnya yang lusuh berkibar-kibar. Daun-daun bergesekan di pepohonan. Batang-batang bambu berderit-derit. Sesekali burung pipit bercericit sambil berloncatan di gerumbulan semak yang dirimbuni pohon bersulur. Tonggeret menjerit-jerit seperti menghembuskan kidung terpencil. Itulah suara yang ditabuh nayaga alam di lamping Cicatih. Sementara matahari senja mulai tunggang gunung.

Kemudian perlahan-lahan Jalu menuruni sigay. Di pundaknya tergantung lodong penuh nira. Keringatnya becucuran menuruni lekuk tubuhnya. Lututnya gemetar. Perasaannya miris seperti mendengar sembilu bambu

Page 18: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

18

dikerik pisau. Jeram Cicatih yang bergumpal-gumpal seperti menarik-nariknya terjun. Seandainya terpeleset, tubuhnya langsung menimpa rumpun semak belukar yang ditumbuhi pohon kaso, harendong, cariang dan gadung kemudian terguling-guling, lalu diterkam jeram Cicatih yang akan menyeretnya ke sedong. Lalu digiling. Tenggelam dan hanyut terbentur batu.

Dia memang trah penyadap kawung. Meski begitu, lututnya tetap gemetar ketika kakinya menginjak tanah. Dia menyeka keringat di wajah dengan lengan bajunya sambil memandang pohon kawung setinggi 12 meter itu. Inilah pertama kali ia menyadap nira.

Sebelumnya ia tak terbayangkan bisa melakukannya. Dan dia baru sadar telah melapalkan kalimat-kalimat ketika memukul tandan langari. Kalimat yang tak pernah dikenal dan dipelajarinya. Mulutnya seperti ada yang menuntun. Tangannya juga seperti ada yang membimbing mengayunkan gegender.

Apa betul pernyataan kakeknya tempo hari tentang ikut campurnya karuhun dalam hal ini?

***“Mbah, semalam aku mimpi,” kata Jalu ketika bersama

kakeknya di tepas, suatu pagi. Di hadapannya dua singkong bakar yang dialasi daun pisang, satu buah ceret dan dua gelas.

Sementara kakeknya sibuk menganyam benang, membikin kecerik. Sesekali tangannya melinting rokok daun kawung dengan tembakau mole yang sengak.

“Mbah, semalam aku mimpi,” Jalu mengulang kalimatnya.

Page 19: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

19

“Apa?”Jalu tak langsung menjawab karena mulutnya dipenuhi

singkong. Tenggorokannya terasa kering. Dia minum terlebih dahulu.

“Mimpi apa?” Mbah Jaro mengulang pertanyaannya, “mimpi basah? Kalau itu, tak usah diceritakan! Cukuplah dinikmati sendiri. Tak usah berbagi.”

“Bukan!” “Lalu, mimpi apa?”“Mimpi menggiring air dari lembah sampai ke bukit.”“Apa?” Mbah Jaro kaget, seolah pantatnya disengat

tawon. “Mimpi menggiring air dari lembah ke bukit.”“Sampai ke bukit?”“Iya. Sampai ke bukit. Kira-kira apa makna mimpi itu?”Mbah Jaro terdiam. Tangannya berhenti menganyam. Jalu memandang muka kakeknya dengan tegas. Seperti

sedang menghitung keriput di wajahnya. Seolah menagih jawaban dari keriputnya. Sementara mata kakeknya menatap ke arah lain. Kemudian senyum mengembang. Tapi belum juga berkata. Malah tangannya yang kehitaman mengambil singkong bakar yang masih panas. Sisa-sisa abu dari hawu masih menempel. Dia memecah singkong itu. Asap mengepul. Dia meniupnya. Uap putih tipis-tipis mengepul. Sekarang dia mulai mengunyah.

“Kakek sudah tua,” katanya sambil menuangkan air dari ceret ke gelas.

Page 20: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

20

Page 21: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

21

“Sudah tahu! Semua orang tahu kakek itu tua. Apa memang merasa muda? Siapa bilang masih muda? Keterlaluan!”

“Sudah capek.”“Ya pasti capek, Kek. Seumur hidup di sawah, di kebun,

menyadap kawung, mengantar gula ke warung-warung dan sesekali lintar di Cicatih.”

“Kakek juga dulu mimpi hampir sama seperti itu, cuma tidak sampai ke bukit,” katanya sambil mengunyah. “ingat! Kita adalah keturunan gula kawung. Kerabat pohon kawung. Dari karuhun, kita diwarisi keahlian menyadap. Turun-temurun. Mulai dari ki Jabog, ki Martabi, ki Rusbi, eyang Inok, dan ki Aim. Mereka adalah penyadap kawung. Ahli gula. Kebun kita di lamping Cicatih ditumbuhi kawung setiap musim. Musang selalu menanamnya tanpa meminta imbalan. Kitalah yang memenuhi kebutuhan gula di kampung ini. Bahkan sesekali sampai ke kampung tetangga kalau gula melimpah. Padahal banyak gula dari luar, tapi lidah mereka sudah terikat dengan gula kita.”

“Apa maksudnya Kakek bercerita seperti itu? Aku mimpi menggiring air, Kakek malah bercerita gula, musang, nira dan orang-orang tak saya kenal diabsen satu per satu.”

“Nah, mimpimu semalam itu adalah panggilan mereka. Tanganmu sudah diminta menyadap kawung yang sedang subur-suburnya di lamping Cicatih di samping pohon loa dan jati.”

“Apa secepat itu, Kek?”

Page 22: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

22

“Ya.”Jalu melongo. Belum paham keterangan kakeknya.

Terbayang tiap pagi dan sore menggendong lodong berisi nira seperti kakeknya. Ada sesal menyergap kenapa menceritakan mimpinya semalam. Dia terdiam, memandang ke arah lain. Pikirannya entah ke mana.

Sekarang mbah Jaro memandangi cucu berusia 16 tahun itu yang sejak kecil yatim piatu.

“Tidak, Kek. Aku tak ingin jadi penyadap kawung. Tak mau jadi tukang gula.”

“Tidak bisa! Kamu harus mau. Jangan seperti bapakmu. Kamu tidak bisa menghindar dari panggilan karuhun. Kau satu-satunya penerus gula kawung,”

“Tapi kan aku terlalu muda untuk menjadi penyadap.”“Ki Jabog, ketika dipanggil karuhun, lebih muda darimu.

Pada masa dialah gula melimpah hingga bisa membeli sawah dan kebun buat keturunan-keturunannya.”

Jalu terdiam. Meski kakeknya suka membanyol, tapi perintahnya tak bisa ditolak. Keinginan untuk keluar desa seperti teman-temannya, mencari hidup yang lain, terhalang sudah.

“Terimalah panggilan ini dengan lapang. Semoga zaman keemasan ki Jabog terulang kembali.”

“Aku belum siap. Tali-parantinya juga tidak tahu. Memukul lengan langari, menaiki sigay yang tinggi itu bukan pekerjaan mudah.”

“Itu masalah kecil. Karuhun akan menuntunmu. Mereka

Page 23: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

23

bertanggung jawab sepenuhnya. Pokoknya lusa kamu sudah harus memulainya. Besok kakek membersihkan harupat dan ijuknya.”

“Tapi aku masih belum siap.”“Tak ada tapi-tapi!” tukas kakeknya dengan nada tinggi.Jalu kembali terdiam. Pikirannya meracau. Apa betul kata-

kata kakeknya? Kenapa tidak bisa keluar dari titah karuhun? Kenapa orang yang telah lama menyatu dengan tanah masih mencampuri orang hidup? Pertanyaan-pertanyaan yang hanya menyelinap dalam hatinya.

“Tidak ada yang sulit, Jalu. Tanganmu nanti ada yang menuntun. Segala seluk-beluk penyadapan tak perlu kamu pelajari. Dia hadir dengan sendirinya karena kamu adalah trah penyadap kawung. Mimpi semalam adalah bukti. Yang penting saat nyadap, kamu jangan mandi dulu. Kalaupun mandi karena mimpi basah misalnya, kamu jangan mandi pakai sabun.” Banyolan kakeknya kembali keluar. Singkong bakar yang gosong kelihatan di sela giginya yang jarang-jarang. Tapi Jalu tak tertarik dengan gurauan itu. Terasa hambar.

“Bau sabun atau parfum bisa membuat pohon aren pundung,” sambung kakeknya, “dia tak akan meneteskan niranya. Dia lebih senang bau keringatmu. Terus, sebelum memanjat sigay, batang aren ditinggur tujuh atau sembilan kali agar nira keluar dengan lancar dan bagus. Terakhir, jangan pernah memberi siapapun yang meminta nira di jalan. Orang kampung sini sudah paham. Bukan karena pelit, tapi dari karuhun sudah begitu.”

Page 24: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

24

Keduanya terdiam. Masing-masing mengunyah singkong bakar. Matahari sudah mulai panas. Langit cerah. Angin berhembus perlahan.

***Sejak kecil Jalu sudah kenal dengan pohon kawung.

Di rumah kakeknya ditemukan bagian-bagian dari pohon itu. Mulai dari lintingan rokok. Sapu lidi neneknya untuk menyapu halaman. Alu untuk menumbuk di lesung. Jeruji jendela yang sudah mengilap. Juga dahan kawung kering untuk kayu bakar. Karenanya kakek sering menasihati supaya hidup seperti pohon kawung, banyak manfaatnya. Buahnya bisa dibuat kolang-kaling. Batangnya bisa dibuat tepung. Niranya disadap jadi gula. Nasihatnya itu sering disempali banyolan-banyolan. Tapi keinginannya keras, tak bisa dibantah.

Dan kini, semenjak mimpi yang diterjemahkan kakeknya sebagai panggilan karuhun, dia semakin dekat dengan kawung. Pagi dan sore ke lamping Cicatih. Pagi mengambil nira yang dipasang sore kemarin. Kemudian memasang lodong pagi ini untuk diambil sorenya.

Hanya dalam beberapa hari saja, nira itu melimpah. Sering lodongnya tak cukup menadah tetesan nira. Gula kawung melebihi biasanya. Tangan ki Jabog mengalir di tubuhnya. Jalu mulai kerasan sebagai penyadap.

Tapi ketika ketemu Euis, tetangganya, tubuhnya menggigil, lebih gemetar ketimbang menaiki sigay. Perasaan-perasaan yang entah apa namanya, menyergap tiba-tiba.

Page 25: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

25

Tiba-tiba saja, menggedor dadanya seperti gegender memukul-mukul langari. Gemuruh di dadanya melebihi arus Cicatih yang jeramnya bergumpal-gumpal. Susah-payah dia menekan perasaan itu. Senyum gadis itu lebih rawan daripada jatuh tersungkur ke semak belukar di lamping. Jalu bertanya dalam hatinya, apakah karuhun juga ikut bertanggung jawab atas perasaan itu?

Sukabumi, 2006

Yun ka kidul nyiuk ti sagara kidul, Yun ka kaler nyiuk ti sagara kaler:berayun ke utara, menciduk dari samudera utara, berayun ke selatan menciduk dari samudera selatan.Gegender: alat pemukul langariLangari: tandan buah aren, sumber niraLamping: kontur tanah yang miringSedong: lubang yang terdapat dalam leuwiLeuwi: lubukSigay: tangga yang hanya terbuat dari sebilah bambuLodong: tempat niraKaruhun: leluhurTepas: amben, dipan,Kawung: arenKecerik: jaring penangkap ikanHawu: tungkuLintar: menangkap ikan dengan jaring (kecerik). Biasanya

Page 26: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

26

dilakukan di malam hariTali-paranti: tata caraHarupat: sebentuk lidi yang menempel di ijuk Pundung: marahDitinggur: dipukul

Page 27: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

27

Jalan Aspal Bulan Lima

Orang-orang Pojok terharu ketika drum-drum berisi aspal datang ke kampung mereka. Sebentar lagi jalan desa akan hitam seperti di kota, cita-cita bertahun-tahun hampir terlaksana. Mereka masih ingat merelakan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan. Pohon kelapa, nangka, rambutan yang sedang berbuah dirobohkan. Menurut Pak Kades waktu itu, jalan kampung Pojok akan diaspal pada bulan lima tahun itu juga.

Bulan lima tiba, pengaspalan ternyata omong kosong belaka. Masyarakat bertanya, tapi tak ada jawaban pasti. Pak Kades jarang di kantor desa, di rumah pun isterinya selalu menggeleng kepala. Jika diantara mereka ada yang berani menagih janji, akan mendapat janji lain. Mereka hanya bisa bersabar, menunggu sambil membajak sawah, menyiangi kebun, membabat huma, dan tetap membayar pajak karena Pak Kadus tak pernah absen menagih meski kakinya dijangkit reumatik. Mungkin bulan lima tahun depan. Mereka terus memelihara harapan.

Bulan lima datang lagi. Mungkin aspal akan datang. Hari demi hari mereka lalui dengan harap-harap cemas. Ketika bulan itu lewat, masyarakat Pojok kembali bertanya kepada Pak Kades. Mereka mendapat jawaban berbelit-belit,

Page 28: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

28

panjang lebar, tak sepenuhnya dimengerti. Mereka pun pulang dengan menggondol jawaban yang justru berisi tanya, “ada apa dengan Pak Kades?”

Masyarakat Pojok kembali mencangkul sawah, menyabit rumput, menggembala kerbau, menyiangi kebun, membabat huma. Tentu saja sambil menunggu aspal dengan sabar. Mereka yakin orang sabar disayang Tuhan. Dan tentu saja tetap membayar pajak karena Pak Kadus tak pernah absen menunaikannya meski kakinya belum sembuh dari reumatik.

Bulan lima datang lagi. Lalu pergi tanpa pamit. Tanpa membawa aspal. Tanpa stoom. Mungkin tahun besok. Mungkin tahun lusa. Mungkin tahun depannya lagi. Ketika pemerintahan desa berganti, mereka berharap banyak kejelasan bulan lima. Tapi ketika ditanyakan, mereka hanya mendapatkan jawaban mengecewakan, “itu urusan pemerintah yang lalu, kami tidak tahu-menahu.” Kades baru rupanya tak berbeda dengan Kades sebelumnya. Cuma lain orang saja.

Sesepuh kampung Pojok yang mengetahui asal-muasal aspal bulan lima satu per satu tutup usia. Biasanya sebelum mengembuskan napas terakhir, berwasiat pada anak-cucunya, “bulan lima jalan kampung kita akan diaspal.”

Orang-orang yang mendengar, bertanya hampir berbarengan, “bulan lima tahun kapan?” Orang tua itu tak memberi jawaban karena keburu meregang nyawa. Ia pergi selamanya tanpa melihat aspal.

Page 29: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

29

Masyarakat kampung Pojok tetap yakin jalan mereka akan diaspal bulan lima cuma entah tahun kapan. Tapi tak mungkin dilupakan. Mereka merawat bulan lima sambil merawat padi, menyiangi kebun, membabat huma, menggembal kerbau. Mereka mengaitkan bulan lima pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, gagal panen tahun itu terjadi dua bulan sebelum bulan lima. Di tahun lain, mereka mengingat gerhana matahari sebulan setelah bulan lima. Atau rumah tetangganya terbakar di akhir bulan lima.

Di percakapan-percakapan remeh di warung kopi, taruhan anak-anak waktu main gundu dan layang-layang, rencana pernikahan pasangan baru, muncul setelah, sebelum, awal, akhir bulan lima. Para orang tua selalu membisikan pada telinga bayi yang baru lahir, jalan akan diaspal bulan lima.

***Kini drum-drum aspal itu mulai dipanaskan. Stoom

merayap seperti ulat meratakan batu kerikil. Para pekerja begitu sibuk. Tanpa komando, ibu-ibu dengan suka rela membawa ceret dan gelas buat mereka. Anak-anak memperhatikan dari kejauhan. Seluruh masyarakat menunda pergi ke sawah dan kebun. Mereka hampir tak percaya akan pandangan sendiri. Jalan kampung Pojok akan hitam dan rata seperti di kota.

Tapi persoalannya pengaspalan bukan pada bulan lima, melainkan dua belas. Masyarakat hampir saja tak mempedulikan pengaspalan bulan lima. Dalam pikiran

Page 30: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

30

Page 31: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

31

mereka, yang penting sekarang jalan diaspal, tak peduli bulan apapun. Tapi para orang tua yang ingat betul wasiat orang tuanya yang sudah mati, bertanya-tanya, ini tidak sesuai dengan janji leluhur.

“Aku bermimpi almarhum orang tuaku datang. Dia bilang, jika pengaspalan terjadi bukan di bulan lima, jalan tidak akan bertahan lama. Selain itu, akan datang sesuatu yang belum pernah terjadi,” kata seorang warga ketika ngobrol bersama teman-temannya di pos ronda.

“Apa maksudnya mimpi itu?”“Aku sendiri tidak paham.”“Akan datang sesuatu itu apa?”“Bisa jadi ada suatu hal yang tidak kita inginkan. Tapi aku

tak tahu pasti.”“Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Pengaspalan

jelas tak sesuai dengan apa yang dikabarkan orang tua kita.”“Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.”Mereka kemudian sepakat menyuruh salah seorang

untuk menanyakannya pada para pekerja esok hari.“Kenapa pengaspalan jalan bukan bulan lima?”“Kami tidak tahu-menahu soal itu. Kami hanya pekerja.

Cuma menjalankan tugas. Coba tanya pada mandor kami,” jawab pekerja itu sambil menunjuk kepada orang bertopi, berkacamata, dan bersepatu hitam.

Meski ragu, orang itu mendekati Mandor.“Pak, kalau boleh saya tahu, kenapa pengaspalan jalan ini

bukan bulan lima?”

Page 32: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

32

“Memangnya kenapa?” orang itu balik bertanya.“Setahu kami, pengaspalan jalan dilakukan bulan lima.

Begitulah orang tua kami menceritakan.”Mandor itu tertegun sebentar, kemudian tersenyum,

“kalau soal itu kami tidak tahu-menahu. Kami hanya menjalankan tugas atasan kami. Pada bulan satu nanti akan ada Pilkada. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.”

Kemudian Mandor itu membisikkan sesuatu. Meski tak mengerti sepenuhnya, orang itu mengangguk-angguk. Tapi dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa pengaspalan jalan dihubung-hubungkan dengan Pilkada, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang tak dikenalnya. Bukankah pengaspalan pasti terjadi karena sudah janji leluhur, tanpa ada Pilkada sekali pun. Dia bingung bagaimana bercerita kepada teman-temannya.

Pada hari berikutnya, Mandor membagikan kalender kepada seluruh warga kampung Pojok sambil membisikkan sesuatu. Mereka masih tidak paham, kenapa pengaspalan dihubungkan dengan kalender? Ini tak ada ceritanya di wasiat leluhur mereka.

***Pengaspalan jalan kampung Pojok selesai. Para pekerja

pulang bersama stoom yang dilepas haru seluruh kampung. Kendaraan roda dua dan roda empat lewat di jalan itu. Tapi bukan milik orang kampung Pojok, melainkan milik kampung tetangga. Mereka hanya penonton di pinggir jalan.

Orang-orang kampung Pojok lantas berpikir, buat apa

Page 33: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

33

aspal kalau toh mereka masih jalan kaki. Sebagian orang memaksakan diri membeli kendaraan roda dua. Anak-anak mereka merengek minta sepeda. Orang tua terpaksa menjual kambing. Anak-anak muda mengasah golok setajam-tajamnya, lalu mengancam orang tuanya agar dibelikan motor. Hatinya panas karena kekasihnya dibonceng pemuda kampung sebelah. Orang tua terpaksa menjual kerbau atau sawah. Ada juga yang menggadaikan kebun atau rumah.

Tak pernah diduga sebelumnya, maling pun berkeliaran di kampung Pojok. Dengan mudah mereka mencungkil palang pintu dapur atau merobek bilik dengan golok. Kemudian kabur lewat jalan aspal. Jika maling itu tertangakap, dibakar hidup-hidup. Hal yang tidak pernah terjadi dalam catatan ingatan mereka. Para orang tua menggeleng-gelengkan kepala. Mereka semakin yakin pengaspalan tidak sesuai dengan yang diceritakan almarhum orang tuanya, bukan bulan lima.

Setahun kemudian, jalan kampung Pojok rusak berat. Hujan deras melubangi banyak titiknya. Lubang-lubang genangan hampir seperti kolam ikan. Kerikil-kerikil yang copot membuat pengendara yang melaluinya sakit pantat. Orang-orang kampung Pojok tak paham kenapa aspal yang dijanjikan leluhur tak bertahan lama. Di wasiat tak ada keterangan itu. Mereka kemudian ingat kalender yang dibagikan Mandor aspal. Pada Pilkada, mereka memilih gambar itu.

Ciputat 25 Desember 2007

Page 34: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 35: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

35

Listrik Mati Lagi

Listrik di rumahku mati berbarengan dengan petir menggelegar. Di luar hujan deras sekali. Ibu memasang lampu teplok yang diletakkan di tengah rumah. Api di sumbunya meliuk-liuk seperti penari ular ketika angin dari luar menembus dinding bilik. Asap hitam mengudara, lalu hilang di langit-langit, seolah menerobosnya.

“Ini minyak tanah terakhir,” kata ibu, “besok kalau listrik mati lagi, rumah kita gelap!”

Ayah tidak menanggapi omongannya. Sedang aku kembali mengisi PR yang sempat tertunda. Kini diterangi temaram teplok.

“Besok tak mungkin antre minyak tanah lagi seperti tetangga, karena uang sudah habis,” kata ibu lagi sambil menyelimuti adik bungsuku, berusia tiga tahun.

Ayah masih terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Tangannya mulai melinting tembakau dengan daun nipah. Padahal biasanya ia merokok kretek. Sekarang barangkali yang penting berasap.

“Beras sudah ludes. Entah makan apa kita selanjutnya?” kembali ibu memberi laporan kondisi dapur sebagai wilayah kekuasaannya.

Ayah belum juga bicara. Dia malah mengisap rokoknya

Page 36: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

36

dalam-dalam seolah kalimat-kalimat ibu itu tak berhubungan hidup mati seseorang.

Di luar hujan masih deras. Namun petir tidak seperti tadi. PR-ku tinggal satu nomor. Mataku perih. Aku berhenti sebentar. Di dinding, dengan pencahayaan teplok, bayangan ayah seperti raksasa sedang mengisap rokok. Asapnya membumbung seperti kebakaran hutan. Ibu yang mengintip nyamuk di kaki adik seperti raksasa akan memangsa orok.

Tiba-tiba listrik menyala. Mataku silau. Ayah dan ibu mengecil seperti semula. Mereka kembali menjadi manusia. Lampu teplok segera dimatikan.

“Ke dapur sebentar!” kata ibu kepada ayah. Ayah mengikutinya tanpa bicara. Aku mendengar

gemeremang mereka membicarakan sesuatu, tapi entah apa. Kedua adikku sudah tidur nyenyak. Mereka tidak tahu-

menahu tentang gelap, terang, teplok, listrik, dan ocehan ibu soal beras dan minyak tanah. Di kaki adikku yang pertama terlihat bekas sapu lidi ketika dia merengek minta dibelikan layang-layang tadi sore. Adikku yang kedua sering dibentak karena ingin ini itu. Keduanya tampak kurus dan tak terurus. Tidak seperti sebelumnya, akhir-akhir ini makan kami dijatah.

Tak lama kemudian, listrik mati lagi. Keadaan gelap kembali. Ayah menyalakan lampu teplok dengan korek api yang selalu tersedia di sakunya. Kembali ayah dan ibu menjelma raksasa.

Page 37: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

37

Page 38: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

38

Cahaya teplok itu bergoyang-goyang rapuh. Sumbunya kikis kehabisan minyak tanah. Lalu mati. Ruangan gelap. Dua raksasa ditelan gelap.

“Kamu tidur sekarang! Bawa adikmu!” kata ibu ketus sambil menunjuk adik pertamaku, berumur 5 tahun.

“PR belum selesai.”“Sudah, sekarang tidur!”Aku beranjak ke kamar sambil menggendong adikku.

Tubuhnya lebih ringan dibanding beberapa bulan lalu. Di luar hujan tinggal gerimis saja. Petir sudah lama tak

terdengar. Aku berbaring di kamarku yang gelap. Mata susah

dipejamkan. Entah kenapa perasaanku tidak enak dan pikiran meracau kemana-mana. Besok pasti dimarahi pak guru karena PR belum selesai ditambah perutku yang menggeliat-geliat karena lapar. Tiba-tiba pikiranku bertanya, kenapa ibu marah-marah terus? Membicarakan apa di dapur tadi bersama ayah? Kenapa pula adik bungsuku tidak diminta tidur denganku? Tidak biasanya.

Gelap mempercepat kantukku datang. Di antara tidur dan jaga, aku mendengar suara menjerit, lalu sunyi. Sunyi sekali. Karena aku telah masuk ke alam mimpi.

Aku bangun kesiangan. Adikku masih tergolek di samping. Kenapa ibu tidak membangunkanku? Tidak seperti biasanya. Aku menyibak gorden. Pagi sudah terang. Dan, kenapa di tengah rumah terdengar suara tangis sesenggukan? Siapa yang menangis? Terdengar pula suara orang membaca ayat suci perlahan.

Page 39: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

39

Aku segara keluar kamar. Kudapati orang-orang berkumpul di tengah rumah. Sebelum bertanya apapun, aku dibimbing Mak Enah, tetanggaku.

“Aduh, baru bangun ya?”Aku tidak menjawab pertanyaannya karena heran dengan

suasana rumahku. “Kenapa banyak orang di rumahku, Mak?”“Sabar, ya, cucuku, adikmu...!”

***Setelah peristiwa itu, tak terdengar lagi ocehan ibu tentang

beras dan minyak tanah. Kedua benda tersedia berkat sumbangan tetangga. Beberapa bulan cukup untuk makan sekeluarga. Tapi setelah keduanya ludes, ibu kambuh lagi.

Pada suatu malam, listrik mati berbarengan gelegar petir di deras hujan. Pagi harinya Mak Enah menceritakan adikku yang pertama sebagaimana adikku yang bungsu. Aku hanya tertegun, kemudian ingat adikku semalam tak tidur bersamaku.

Setelah itu, ibu pun berhenti mengoceh soal beras dan minyak tanah karena kembali mendapat bantuan tetangga.

Sekarang aku selalu takut jika listrik mati di malam hari ketika hujan. Apalagi jika mendengar ibu marah-marah karena tidak ada beras lagi untuk dimasak. Aku takut esok harinya akan cerita Mak Enah. Aku takut. Takut sekali.

Entah apa hubungannya antara matinya listrik, ocehan ibu karena beras dan minyak tanah, cerita Mak Enah dan sumbangan beras tetangga. Pikiranku tak mampu memecahkan pertanyaan rumit yang kerap hinggap di kepalaku.

Page 40: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

40

***Malam ini hujan turun lagi. Aku mengingat-ingat

apakah siang tadi ibu ngoceh beras? Ya, ibu bilang kehabisan beras dan minyak tanah. Aku harus bertahan jangan sampai tidur malam ini. Aku takut bernasib seperti cerita Mak Enah. Cerita terjadi dalam keadaan gelap setelah beras tak ada lagi.

Malam semakin larut. Hujan tinggal gerimis saja. Rasa kantuk mulai menyerang. Aku berusaha melek, tapi kepalaku malah terasa berat. Tiba-tiba antara tidur dan jaga, aku mendengar telapak kaki mendekati pintu kamarku yang hanya ditutup gorden. Gorden itu seperti disibak seseorang, disusul seseorang lagi.

Napasku memburu. Dadaku turun naik. Dua sosok mendekatiku.

“Tidak!” jeritku sekerasnya. Aku langsung bangkit.Pada saat bersamaan, listrik nyala. Mataku silau. Di

hadapanku sudah berdiri dua sosok yang matanya silau juga. Keduanya tampak kaget. Dua sosok itu ternyata ayah dan ibu.

“Ada apa?” tanya ayah.Aku tak menjawab. Napasku terengah-engah.“Kamu mimpi buruk, ya?” ibu bertanya.Aku belum menjawab. Tatapanku tertuju pada tangan

ayah dan tali yang dipegang ibu. Tak biasanya ibu dan ayah masuk ke kamarku.

“Ada apa?” tanpa sadar aku bertanya.“Ta...tadi ayah mendengar suara,” kata ayah sedikit gugup,

“jendela kamarmu seperti ada yang membuka paksa dari luar.

Page 41: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

41

Maka ayah mengendap-endap masuk kamarmu bersama ibu.”Aku mengingat-ingat apakah tadi aku mendengar suara

itu. Sama sekali tidak ingat. Kalaupun ada pencuri, jelas mereka salah sasaran. Tak ada harta yang pantas dicuri di rumah ini.

“Kenapa Ayah malah mendekatiku, bukan jendela, dan buat apa ibu membawa tali?”

Ayah dan ibu terdiam beberapa saat seperti maling kepergok.

“Aku tidak mendengar apa-apa, Ayah.”“Iya pasti karena kamu sudah tidur.”“Aku tidak tidur, Ayah,” aku berbohong.“Ya sudah sekarang kamu tidur, ya. Berarti telinga ayah

salah.”Setelah ibu dan ayah pergi, aku berjuang untuk tidak tidur.

Ingatan akan cerita Mak Esah tentang dua adikku muncul dengan jelas. Tapi aku berusaha keras menekan pikiran buruk itu.

Menjelang subuh, aku sudah tak bisa menahan kantuk. Di antara tidur dan jaga, terdengar telapak kaki mendekatiku. Kemudian dua telapak tangan meraba leherku. Sementara tangan lain meraba kakiku sambil membelitkan sesuatu seperti tali. Rabaan di leherku semakin keras mencengkeram. Jangankan teriak, bernapas pun aku tak bisa. Kakiku teringkus dan seperti dibebani tubuh seseorang.

Mungkin sebentar lagi aku menyusul adik-adikku.

Ciputat, 26 Mei 2008

Page 42: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 43: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

43

Jalu Mengasah Golok

Pagi, seseorang ternganga di tepi kolam. Geleng-geleng kepala. Lalu menutup mata dengan telapak tangannya, menjerit, kemudian lari sambil beteriak mengelilingi kampung itu.

Kabar tersiar dengan cepat. Orang-orang kampung berdatangan ke tepi kolam itu. Yang mau ke sawah, tak jadi. Yang ke pasar, urung. Yang bepergian jauh, batal. Anak-anak tidak pergi ke sekolah meski dimarahi ibunya. Seisi kampung kini berdesakan di sekitar kolam.

Pandangan mereka pada satu arah, sebujur tubuh kaku menelungkup di atas batu asahan. Tubuh itu mandi darah. Pakaian hitamnya yang masih melekat di tubuhnya, sobek-sobek seperti bekas sabetan golok.

Orang-orang yang dekat dengan tubuh itu melihat sebilah golok berdarah. Mereka mengenal golok itu.

Untuk beberapa saat, mereka tak melakukan apa-apa. Hanya memandangi dan memperhatikan. Pikiran mereka dipenuhi macam-macam perkiraan dan kemungkinan.

***Setiap pagi, ketika masih remang-remang tanah, Jalu

sudah jongkok di depan batu asahan. Mengasah golok. Terus-menerus, setajam-tajamnya. Sesekali dia berhenti

Page 44: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

44

Page 45: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

45

mengasah, memperhatikan mata golok dengan saksama senti per senti, disapu rata sorot matanya yang setajam elang. Sesekali mengguyurkan air ke batu asahan dari ember di sampingnya, mengasah lagi, lagi dan lagi. Padahal orang-orang di kampung itu belum melakukan apapun. Hawa dingin pegunungan membuat orang lebih suka bermalas-malasan dengan selimut di tempat tidur.

Hari mulai terang mengusir bersih sisa-sisa gelap malam. Suhu berangsur-angsur hangat. Matahari telah muncul di timur, memastikan benar-benar akan terjadi siang.

Di pematang kolam, seseorang mengasah golok tak bosan-bosan. Dia tidak lain Jalu yang mengasah sejak pagi buta. Sekarang sosoknya kelihatan. Berpakaian serba hitam, kepalanya diikat kain hitam. Di pinggangnya terbelit tali pengikat sarung golok yang juga berwarna hitam. Serba hitam sesuai dengan warna kulitnya yang kehitaman. Di sekitar pipi dan dagunya, juga di bawah hidungnya, tumbuh bulu-bulu liar tak terurus yang juga hitam.

Dia masih terus mengasah, seperti mendapat kesenangan luar biasa dari kebiasaannya itu. Seperti ada dunia khusus yang hanya dia dan goloknya yang tahu dan bisa merasakan.

Sesekali dia berhenti mengasah, menimang-nimang goloknya yang berkilauan menantang cahaya matahari. Pandangan matanya yang tajam menyapu rata setiap senti mata golok itu. Kemudian kembali mengasah seolah goloknya meminta untuk terus dipertajam.

Page 46: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

46

Sesekali dia mengguyur batu asahan dari ember di sampingnya. Sesekali dia mengambil air dari kolam ketika embernya kosong. Setelah puas mengasah, dia menyarungkan golok itu perlahan-lahan, lalu pergi ke arah kemauannya. Keesokan paginya ia akan berada di batu asahan itu lagi.

“Buat apa mengasah golok terus-terusan?” tanya seorang pemuda, suatu waktu.

Jalu berhenti mengasah sebentar. Dia berpaling pada sumber suara dengan tatapan sekilas. Telinganya seolah baru mendengar pertanyaan demikian. Tapi dia tak menanggapi. Malah kembali mengasah.

“Buat apa mengasah golok terus-terusan?” kembali pemuda di sampingnya bertanya dengan nada yang lebih keras.

“Kamu tidak tahu buat apa orang mengasah?” Jalu balik bertanya.

“Buat apa mengasah golok terus-terusan?” sekarang suara itu bernada mengejek. Tiga pertanyaan dengan kalimat yang sama, dengan intonasi berbeda.

“Ya supaya tajam.”“Terus-terusan? Setiap pagi? Lama pula?” Jalu diam. Tanda tanya beruntun itu di telinganya

terdengar seperti gugatan kepadanya dan goloknya sekaligus. Tapi dia belum berkata-kata lagi.

“Dasar orang tak ada kerjaan!” kata pemuda itu lagi. Jalu tetap mengasah golok.“Yang diasah seharusnya bukan golok, tapi otakmu. Oh

Page 47: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

47

ya, jangan-jangan kamu tak punya otak. Ha...ha...ha...”Jalu mengasah golok dengan cepat, bolak-balik tak

beraturan menimbulkan suara berdesing-desing.“Atau yang mesti diasah wajahmu itu yang penuh bintil-

bintil supaya lembut dan rata. Supaya perempuan tidak takut. Ha...ha..ha...”

Jalu semakin cepat mengasah. Telinganya merah.“Sekali-kali, aku ingin merasakan ketajaman golok yang

sering diasah itu.”Jalu langsung berhenti mengasah. Dia bangkit dengan

gesit sambil membabatkan goloknya.Cras! Mata golok tajam berkilauan itu menghantam

makhluk di hadapannya. Hanya dalam satu kali tebasan, sosok itu terkulai lemas kemudian jatuh ke bumi selama-lamanya. Tak berkutik dan tak bersuara. Sebatang pohon pisang muda ditebas Jalu. Pemuda yang tadi menghinanya segera kabur ketakutan. Dia lari tunggang langgang. Jalu mengejar dengan golok dihunus.

Kejar-mengejar itu tidak berlangsung lama karena Jalu kehilangan jejak. Mata golok yang berkilauan membuat matanya kabur. Sementara orang yang dikejar sudah memperhitungkan kejadian itu, bersembunyi di sebuah lumbung padi, menutupi tubuhnya dengan butiran-butiran gabah.

Jalu yang amarahnya di ubun-ubun tetap mencari sasaran. Goloknya ditebaskan pada setiap yang ditemuainya. Dia ngamuk habis-habisan selama satu hari satu malam.

Page 48: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

48

Orang-orang mengungsi ke kampung tetangga. Kampung dikosongkan.

Dua hari selanjutnya, amarah Jalu reda. Ia kelihatan mengasah golok lagi tiap pagi. Seperti biasa. Dia seperti melupakan kejadian kemarin. Orang-orang kembali dari pengungsiannya. Aparat setempat memperingatkan mereka supaya tidak mengolok-olok Jalu lagi. Dia tak akan mengganggu jika tak diusik. Kalau diajak ngobrol harus dengan sopan.

“Apa golok itu dijual?” tanya seorang pagi itu kepada Jalu. Jalu hanya menoleh sebentar ke sumber suara, kemudian

mengasah lagi. “Apa golok itu dijual? Aku berani bayar mahal. Berapapun

maumu.”Jalu menatap sumber suara lekat-lekat. Dua sorot mata

beradu. “Golok ini akan kuberikan, tapi setelah memakan satu

nyawa,” jawab Jalu. ***

Pagi, dengan cepat kabar tersiar. Orang-orang berdatangan ke tepi kolam. Pandangan mereka pada satu arah, tubuh kaku menelungkup di atas batu asahan.

“Pasti ada yang membunuh,” kata seseorang.“Ya, dibunuh,” kata yang lain.“Pengasah golok dibunuh dengan goloknya sendiri.

Kita tahu golok Jalu paling tajam di antara golok siapapun di manapun.”

“Golok makan tuan.”

Page 49: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

49

“Mungkin dia bunuh diri, bukan dibunuh.”“Tidak mungkin! Ini ada orang yang tidak suka padanya,

kemudian membunuhnya.” Beberapa saat mereka hanya mampu bertanya. Lalu

terdiam seolah memikirkan jawaban. Seperti memecahkan teka-teki.

“Itu golok bagus,” kata seseorang yang baru datang, “aku akan mengambilnya.”

“Jangan, aku yang akan menyimpannya. Aku RT di kampung ini,” kata seseorang.

“Aku orang yang paling tua di kampung ini. Golok itu aku yang pegang!” tegasnya.

“Tidak, akulah yang pertama kali menggunakan golok itu untuk membunuh orang. Itu golokku.”

Sukabumi, 2006

Page 50: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 51: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

51

Antara Ibu dan Ayah

Ibuku menginjak usia kepala empat. Ia masih cantik, gesit, energik dan pandai bergaul. Renyah dan lancar kalau bicara. Selain mengurus rumah tangga, ia aktif di PKK dan organisasi sosial kemasyarakatan. Karenanya, tak aneh ia mendapat banyak sertifikat. Piagam penghargaan menumpuk. Piala berderet. Saat-saat senggangnya dihabiskan untuk memeriksa data-data, agenda-agenda, dan hitungan-hitungan di depan layar komputer. Tak jarang tamu-tamu datang ke rumah membicarakan kegiatan-kegiatan.

Sedangkan ayah di usia menjelang lima puluh, tampak loyo dan indolen. Cenderung penyendiri dan tertutup. Selalu menjauhi forum pertemuan warga. Lebih senang mengikuti kesepakatan yang telah diambil. Kalau berbicara, selalu terbata-bata, kelihatan gugup, seolah tak yakin akan kata-katanya sendiri. Saat senggangnya dihabiskan dengan duduk di beranda, mengisap rokok kretek dalam-dalam, kemudian memain-mainkan asapnya. Setelah memuntung, ia mencabut lagi batang baru. Berbatang-batang dihabiskan. Mungkin kretek itu teman sejatinya. Ia kadang tertidur di kursi dengan jari masih menjepit rokok menyala, api merayap mendekati jarinya, karena jarinya terasa panas ia spontan terbangun dengan puntung berasap terlempar. Tak lama kemudian ia mencabut batang baru lagi.

Page 52: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

52

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sifat ayah yang sedemikian hematnya berkata mendapatkan ibu yang boros dengan kata. Apakah ibu yang menginginkan ayah? Ah, mana mungkin! Kecantikan ibu tak sepadan dengan ketampanan ayah yang pas-pasan. Tak mungkin juga karena harta ayah, karena ia bukan siapa-siapa. Hanya buruh serabutan. Mungkin sebenarnya mereka tidak pernah saling menginginkan. Entahlah. Pasangan hidup barangkali memang tidak eksak. Jodoh adalah teka-teki yang semena-mena. Barangkali mereka terjebak dalam hukum jodoh tak terduga. Entahlah.

Adakah sebenarnya pasangan ideal itu? Entahlah. Bagaimana pertama kali mereka jatuh cinta? Aku pun tak mengerti. Mungkin juga mereka tak pernah jatuh cinta dan pacaran. Atau bisa jadi mereka bertemu dengan tak terduga, kemudian langsung menikah. Satu hal yang kuketahui dengan pasti, antara ayah dan ibu jarang sekali kelihatan bercakap-cakap, apalagi bercanda. Tidak terlihat kemesraan, bahkan dalam potret pernikahan, seperti dua gambar terjebak dalam selembar kertas mengenakan pakaian pengantin, seolah dua mahluk dari dunia berbeda yang terjebak dalam suatu tempat yang dinamakan keluarga. Sementara diriku adalah makhluk lain yang terjebak di antara keduanya. Meski begitu, aku tidak pernah mendengar mereka cekcok dalam hal apapun.

Ibu tak pernah mengeluh atau bercerita tentang kekurangan dan kejelekan ayah. Begitu pula ayah tak pernah marah-marah atau memasang seringai di hadapan ibu. Tak kelihatan pula cemburu pada laki-laki yang bertamu ke

Page 53: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

53

rumah. Seolah paham akan dunia masing-masing, saling menghormati sifat dan kebiasaan sendiri-sendiri. Mungkin mereka punya kesepakatan-kesepakatan yang aku sendiri tak mengetahuinya. Sepakat ada wilayah yang tidak boleh dijamah masing-masing.

***Ketika masih kanak, aku tak pernah mempermasalahkan

sifat keduanya. Mungkin mereka saling bermesraan dengan cara lain yang aku sendiri tak mengetahuinya. Barangkali juga mereka sangat intim saat aku tak di rumah, ketika aku berada di sekolah atau sedang bermain bersama teman, misalnya. Toh, keduanya terlihat menyayangiku. Ibu sering mengajakku bercakap tentang apa yang terjadi di sekolah, atau bercerita dengan panjang. Sedangkan ayah sering mengelus kepalaku sambil menatapku lekat-lekat tanpa berkata-kata, kemudian memberiku uang jajan. Tetapi setelah dewasa, itu menjadi masalah besar. Aku merasa tak kenal keduanya.

“Bu, ada apa sebenarnya antara ibu dan ayah?” begitulah suatu ketika aku bertanya tentang ibu dan ayah kepada ibuku.

“Nanti juga kamu akan tahu sendiri,” jawab ibu.Bagiku, jawaban itu menyeramkan. Kalimat itu

seperti mantra yang bisa membuat perut orang meletus. Memuakkan. Ibu yang biasanya menghambur-hambur kalimat, begitu hati-hati menjawab. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat atau mungkin memang tak mengetahuinya.

“Ayah, ada apa sebenarnya antara ayah dan ibu?”

Page 54: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

54

Ayah langsung mencabut sebatang rokok, membakarnya, kemudian mengisapnya. Sikapnya seolah mengatakan; jangan bertanya perihal itu!

Ayah belum bicara. Aku menunggu.“Ayah, ada apa sebenarnya antara ayah dan ibu?” aku

mengulangi pertanyaan sekali lagi. “Nanti kamu akan tahu sendiri,” dia mengucapkan

kalimat seperti yang ibu katakan. Intonasi dan ekspresi wajahnya pun serupa, tapi dengan bunyi terbata-bata. Mungkin keduanya sepakat jika suatu saat anaknya bertanya perihal ayah dan ibunya, langsung saja gunakan kalimat itu.

Aku memendam pertanyaan itu bertahun-tahun. Orang-orang yang berada di dekatku ini rupanya sulit dipahami. Keluargaku sulit disimpulkan. Terkadang aku tak kerasan di rumah, tapi tiada bermusuhan hingga tak ada alasan untuk membenci. Terus terang suasana demikian membuatku kian tak nyaman. Aku merasa terjebak di antara keduanya kian membengkak.

Aku selalu membayangkan berada di sebuah keluarga yang sering bercanda dan penuh kemesraan. Nonton tivi bersama di ruang keluarga atau jalan-jalan ke tempat rekreasi, kemudian dipotret dan ditempelkan di ruang keluarga. Tak ada salahnya jika mereka berpura-pura bermesraan di hadapanku. Tak peduli jika ada keborokan-keborokan mereka di belakang, yang penting seolah-olah bahagia. Tapi itu tak pernah terjadi.

Page 55: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

55

Page 56: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

56

Karena itulah aku pernah berpikiran lebih baik berada di keluarga berantakan, agar aku bisa memahami apa yang terjadi di antara ibu dan ayahku. Misalnya, setiap hari ayah memecah piring dan gelas, sedang ibu menangis sesenggukan dengan muka memelas. Atau sebaliknya, ibu menghunus pisau dapur, sementara ayah terpojok dengan raut muka ketakutan. Atau pada suatu hari, ibu datang bersama seorang laki-laki, kemudian tidur bersamanya. Kemudian ayah tak tinggal diam, ia membawa perempuan pula, kemudian tidur bersamanya. Tapi itu tak pernah terjadi.

“Ibu, apa sebenarnya yang terjadi antara Ibu dan ayah?” begitulah aku bertanya kembali tentang ibu dan ayah kepada ibu dengan kalimat yang agak lengkap, tapi dengan maksud sama.

“Nanti kamu akan tahu sendiri,” dia menjawab dengan kalimat yang sama dan intonasi yang serupa ketika pertama kali aku bertanya. Kalimat itu benar-benar mantra yang membuat perut meletus.

“Ayah, apa sebenarnya yang terjadi antara Ayah dan ibu?”

Ayah sekarang menyederhanakan jawaban dengan hanya menggeleng kepala.

***Suatu ketika, aku mendengar antara ibu dan ayah

membicarakan sesuatu. Inilah untuk pertama kalinya kulihat mereka bercakap dengan serius. Sepertinya mereka tak menyadari keberadaanku yang mengintip di balik lemari.

Page 57: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

57

“Ia sudah mulai bertanya kembali perihal aku dan kamu. Antara kita,” kata ibu sambil mengunyah kacang.

“Ya,” ayah menanggapi ibu sambil membuat bulatan dari asap rokoknya.

“Bagaimana aku menjelaskan perihal ini kepadanya?”“Ya. Bagaimana?”“Aku pusing!”“Aku juga.”“Suatu saat dia akan sampai pada puncak keingin-

tahuannya,” ibu melanjutkan, “dia bisa kesal kalau tidak mendapat penjelasan yang memuaskan. Bisa marah, kemu-dian melakukan hal-hal yang tak kita harapkan. Sekarang ia masih bertanya dengan halus dan lembut. Mungkin di saat lain, akan bertanya dengan kasar sambil membawa pisau. Mungkin juga berani membunuh kita, orang tuanya send-iri. Bisa juga melakukan hal lain. Dalam keadaan kecewa misalnya, ia melakukan bunuh diri di hadapan kita dengan mengiris nadi atau minum racun serangga di kamarnya. Ia darah daging kita satu-satunya. Aku sangat mencintainya. Aku takut kehilangannya,” kata ibu dengan nada sedih.

“Ya, aku juga berpikiran sepert itu.”Kemudian keduanya terdiam. Aku melihat ayah terus-

terusan merokok, sedangkan ibu terus-terusan mengunyah kacang.

“Lalu harus bagimana?” ayah bertanya. “Mau tak mau aku dan kamu harus menjelaskannya bersa-

ma-sama. Tapi aku masih bingung bagaimana menjelaskannya?”

Page 58: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

58

“Iya. Aku juga masih bingung?”“Padahal sampai saat ini aku tak paham apa yang terjadi

antara aku dan kamu.”“Iya, aku juga tak paham.” Ibu berkata dengan hati-hati dengan kalimat yang tak

boros. Sedangkan ayah hanya meminjam apa yang telah diucapkan ibu. Ia hanya menambah beberapa kata atau menguranginya, tapi tak mempengaruhi maksudnya. Atau dia cuma mengacak ulang susunan kalimat yang telah ibu ucapkan.

Kemudian keduanya terdiam seolah kehabisan kosakata. Sedangkan aku menunggu kalimat selanjutnya dengan

belati gemetar. Aku masih ragu kepada siapa belati ini diarahkan; kepadaku, kepada ibu, ayah, atau semuanya...

Ciputat, 27 Februari 2008

Page 59: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

Cerita pendekA. Zakky Zulhazmi

Page 60: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 61: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

61

Masjid Abah

Semenjak peristiwa itu, aku merasa tak punya kekuatan lagi. Semua bermula saat kemarin malam Abah mengajakku makan di angkringan. Tidak seperti biasanya, kami pergi cuma berdua saja. Usai menikmati sebungkus sego kucing dan menyeruput teh, Abah mengambil napas panjang.

“Nak, Abah pengen cerita.” “Cerita apa, Bah?” aku menatap wajah abah dalam-

dalam.“Tapi kamu ndak boleh ketawa lho. Soalnya kamu pasti

bakal mengira ini cerita konyol.” Nada bicara Abah agak kurang percaya diri.

“Iya deh, Bah. Memang cerita apa?”“Begini, Nak, jadi ketika Abah ketiduran di masjid kita

kemarin siang, Abah bermimpi bertemu kakek.” Abah diam sebentar. Menyalakan rokok kreteknya.

Menghisap, menghembuskan asapnya, lalu melanjutkan cerita.“Kakek yang di mimpi itu berpakaian serba hitam,

menyampaikan pesan yang membuat Abah bimbang,” wajah Abah berubah serius.

“Pesan apa, Bah?”“Kakek bilang, di bawah tiang paling tengah masjid kita

itu ada sebilah keris warisan kakek yang seharusnya Abah simpan!”

Page 62: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

62

Page 63: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

63

Aku tercengang, tapi berusaha tetap tenang. Masjid Syuhada, yang dibangun tepat di samping rumahku itu, memang dulu Kakek yang membangun. Disangga sembilan tiang yang kokoh, Masjid Syuhada jadi kebanggaan keluarga kami. Mimpi aneh Abah mulai mengusikku.

“Abah percaya mimpi itu?”“Itu masalahnya, Nak. Abah bingung, katanya mimpi

itu bisa dari setan atau dari Allah ya?”“Masak iya Allah nyuruh kita nyari keris di bawah tiang

masjid, Bah? Mimpi dari setan kali itu, Bah.”“Tapi, Abah merasa pesan Kakek itu sepertinya harus

dituruti.”“Lantas Abah mau mencari keris itu? Mau merobohkan

masjid?” Tidak habis pikir aku, bagaimana bisa Abah termakan

mimpi seperti itu. Kulihat wajah renta itu kian kuyu. “Entahlah, Nak. Abah jadi tambah bingung. Sudah, ayo

kita pulang saja.”Di perjalanan pulang, kami saling diam. Sampai rumah

aku tak kunjung memejamkan mata. Kenapa ya Abah mendapat mimpi seperti itu? Seandainya mimpi itu benar, mengapa pula Kakek menanam keris di bawah tiang tengah masjid? Aku ketiduran gara-gara capai menduga-duga. 

***Kuperhatikan, akhir-akhir ini Abah jadi semakin sering

tidur siang di masjid. Setelah salat zuhur, tanpa berganti pakaian Abah merebahkan badan di samping tiang tengah

Page 64: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

64

masjid. Ditiup angin yang berkesiur dari kebun singkong di utara masjid, Abah bak di-ninabobokan. Mungkin Abah berharap mimpinya tentang keris itu berlanjut. Aku belum berani bertanya lebih lanjut mengenai kebiasaan barunya.

Masjid Syuhada dibangun empat puluh tahun yang lalu. Saat itu aku belum lahir. Abah juga masih berusia belasan. Katanya, pohon jati yang ditanam Mbah Buyut di sehektar tanah belakang rumah jadi bahan baku utama pembangunan masjid. Diam-diam, sebenarnya aku menyimpan rasa bangga melihat masjid keluargaku ini. Masjid yang menyejukkan lagi kokoh.

Pertanyaan yang menggelanyutiku sekarang, bagaimana bisa hadir mimpi dalam tidur Abah untuk mengambil keris yang tertanam di bawah tiang masjid? Bukankah itu berarti akan merobohkan masjid atau minimal mencederai masjid. Abah juga pasti dianggap orang yang konyol dan jadi bahan tertawaan orang sekampung jika menuruti mimpi itu. Tiba-tiba aku jadi ingat Nabi Ibrahim yang diperintah Tuhan lewat mimpi untuk menyembelih Ismail. Namun pikiran itu kubuang jauh, Abah bukan nabi.

Sesaat lamunanku buyar oleh suara ketukan di pintu depan. Ada tamu sepertinya. Bergegas aku menuju pintu. Muncul sosok laki-laki berkemeja lengan panjang motif garis-garis, bercelana drill khaki. Rapi dan wangi. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya di kampung ini.

“Benar ini rumah Abah Dahlan?” tanyanya sembari melempar seulas senyum.

Page 65: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

65

“Iya benar.”“Boleh saya bertemu beliau?”“Mari, silakan masuk.”Setelah kupanggil, Abah menemui laki-laki perlente

itu. Sedang aku kembali masuk kamar. Dari kamarku yang terletak di samping ruang tamu, sayup-sayup aku mendengar percakapan Abah dengan tamu asing itu. Sekilas aku seperti mendengar kata-kata masjid, real estate, kompensasi dan harga pantas. Selebihnya tak bisa kudengar dengan jelas.

***Selepas salat maghrib, Abah tak langsung membaca

Alquran seperti biasanya. Beliau memanggilku, duduk di serambi masjid. Tatap mata Abah menjelajah sekeliling masjid. Seolah tak satu pun sudut di masjid terlewatkan dari sapuan matanya. Bisa kutangkap gelagat resah yang sangat dari wajahnya.

“Ada apa, Bah? Apa masih memikirkan mimpi kemarin?”“Bukan masalah itu saja, Nak,” Abah memandang lekat

mataku, “tapi soal tamu Abah tadi siang.” “Lalu?” “Dia itu pengusaha kaya yang mau membangun real

estate di daerah kita. Katanya daerah ini masih asri, masih terasa nuansa pedesaan, pokoknya dia bilang tempat ini cocoklah dibangun real estate.” 

“Lalu apa masalahnya?” “Orang itu mau membeli masjid kita, Nak. Dia bilang

lahan-lahan penduduk di sekitar masjid sudah dibebaskan,

Page 66: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

66

tinggal masjid kita yang belum. Dia berani bayar dua ratus juta untuk masjid kita beserta tanahnya!” jelas Abah kepadaku.

Benar dugaanku. Ada yang tidak beres dari tamu itu.“Jangan dijual, Bah. Semiskin apapun kita,” aku coba

meyakinkan Abah.“Memang benar, Nak. Tapi, dua ratus juta itu tidak sedikit

lho, banyak banget itu. Dan pasti berguna sekali bagi keluarga kita. Apalagi keenam adikmu sudah masuk sekolah semua.”

“Abah, meskipun jamaah masjid ini tak pernah lebih dari dua saf, tapi masjid ini adalah warisan kakek. Walaupun anak-anak sekarang malas pergi TPA, tapi dulu orang-orang kampung belajar baca Alquran juga di sini.” Aku berusaha meyakinkan Abah. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Ia mendengus dan menarik nafas dalam-dalam.

“Apa artinya masjid jika tak punya jamaah, Nak. Jangan-jangan perintah kakek untuk mengambil keris itu adalah isyarat. Mungkin itu keris bertuah dan pembawa keberuntungan,” tatapan mata abah menerawang. 

“Istighfar, Bah, istighfar.” Aku tak mampu menutupi kekhawatiranku.

Gubrak!Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam masjid.

Serempak aku dan abah menengok ke dalam.Innalillahi…Mbah Giyo, satu-satunya jamaah yang masih tinggal di

masjid untuk nderes Alquran, tertimpa kipas angin. Kepalanya

Page 67: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

67

bersimbah darah. Mushaf tua warna cokelat lusuh terpangku di tangannya. Dan, beliau duduk bersandar di tiang paling tengah. Tiang yang hadir di mimpi Abah.

***Kampung kami gempar. Aku melihat dengan jelas warga

mulai berdatangan ke masjid. Abah tampak merasa bersalah sekali. Kalau dicermati, memang di masjid itu tiap tiang terpasang kipas angin. Tapi entah bagaimana bisa kipas angin yang di tiang paling tengah yang jatuh. Tepat ketika ada orang di bawahnya. Setelah dimandikan dan disalatkan, jenazah Mbah Giyo dimakamkan malam itu juga.

Keluarga Mbah Giyo tampak sedih, tapi raut wajah mereka menunjukkan kepasrahan. Mbah Giyo memang dikenal sebagai warga yang baik. Beliau pendiam, tapi cekatan ketika membantu warga yang sedang butuh bantuan. Untunglah dua orang anaknya sudah berkeluarga. Sehingga kepergian Mbah Giyo tak begitu jadi beban keluarga. Tapi, yang terjadi selanjutnya begitu menyedihkan.

Pada awalnya warga menganggap kematian Mbah Giyo ini sebagai musibah, bukan salah Abah. Akan tetapi, suara-suara sumbang mulai terdengar, menyalahkan, menghujat dan menuding Abah yang bukan-bukan. Abah pasrah saja mendengarnya. Untuk menebus rasa bersalahnya, Abah mengambil sebagian tabungannya sebagai santunan buat keluarga Mbah Giyo.

”Maut bisa datang kapan saja, Nak, di mana saja,” ujarnya. ***

Page 68: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

68

Hari berikutnya, Ibu masuk rumah sakit. Berita kematian Mbah Giyo di masjid jadi beban pikiran beliau juga. Dokter berkata bahwa ibu harus dirawat inap. Istirahat di rumah sakit lebih baik, kata dokter. Abah mengelus dada. Memikirkan biaya pengobatan. Sebagian tabungan sudah digunakan untuk santunan keluarga Mbah Giyo. Tapi bukan Abah namanya jika tidak memberikan yang terbaik bagi Ibu, cintanya.

Untung Abah tak bercerita perihal mimpinya kepada Ibu. Andaikata Abah bercerita, tak bisa dibayangkan kondisi Ibu sekarang ini. Tawaran untuk menjual masjid beserta tanahnya juga tak pernah diceritakan Abah kepada Ibu. Di mataku, Abah adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab, walau terkadang hatinya sering goyah.

***Sore ini aku dan Abah menjaga ibu di rumah sakit.

Waktu menunjukkan sudah hampir maghrib. Seketika, Lik Yoto, tetangga samping rumahku, datang tergopoh-gopoh dengan wajah pias. 

“Abah Dahlan, anu Bah, em…itu Dik Bayu, Bah. Dik Bayu kakinya tertimpa bedug masjid!” Gugup sekali Lik Yoto menyampaikan kabar yang membuat seisi kamar tegang.

“Di mana dia sekarang?” Abah bereaksi cepat. Mulutku masih ternganga. Sedang ibu sesenggukan menahan tangis. Beliau semakin terkulai dan kehilangan kata. Lekas-lekas aku mengusap-usap pundak beliau, coba menenangkan. 

“Di UGD, Bah,” Lik Yoto mukanya semakin kusut.Kami pun langsung menuju ke sana. Saat melihat

Page 69: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

69

kondisi Dik Bayu kontan Abah lunglai. Telapak kaki Dik Bayu berdarah-darah. Tangisnya tak henti-henti. Di samping telinganya, Abah membaca Alfatihah berulang kali sambil mengusap rambut Dik Bayu yang basah oleh keringat. Dokter dan para perawat bergerak tangkas.

Ketika masuk ruang operasi Abah sedikit tenang. Dokter mempersilakannya menunggu di luar. Abah menurut, beliau duduk di bangku panjang depan ruang operasi. Sesaat kemudian dokter menghampirinya, “Anak bapak harus diamputasi kakinya.”

Mata Abah berkunang-kunang.Lik Yoto bercerita kalau tadi ketika TPA di masjid,

Dik Bayu bermain di dekat bedug bersama temannya. Belajar iqro’ sudah dimulai, Dik Bayu masih asyik bermain. Tak jelas bagaimana mulanya, tiba-tiba saja tangisnya pecah mengagetkan orang-orang di masjid. Warga sekitar berdatangan dan membawanya ke rumah sakit. Abah mendengar cerita itu geleng-geleng kepala. Aku hanya bisa terdiam di sampingya. Mimpi Abah bertemu kakek serta tawaran dari pengembang real estate berkelebat di benakku.

***Masjid pembawa sial. Itulah julukan bagi Masjid Syuhada

saat ini. Dua musibah sudah terjadi. Dalam waktu yang tak berselang lama pula. Jamaah menurun drastis. TPA malah telah gulung tikar. Kepercayaan masyarakat desa terhadap hal-hal mistis mengalahkan akal sehat. Masjid warisan kakek itu benar-benar jadi simalakama. Tak dibongkar salah,

Page 70: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

70

dibongkar juga salah. Aku hanya bisa menerawang lorong sepi rumah sakit. Ibu dan Dik Bayu istirahat. Tinggal aku dan Abah terpekur di atas bangku. Napas Abah terdengar berat sekali.

“Masjid Syuhada akan Abah jual, Nak. Abah benar-benar butuh uang saat ini. Pengobatan ibu dan amputasi kaki adikmu butuh biaya yang tidak sedikit. Mungkin inilah tafsir mimpi Abah kemarin hari. Kita harus menjual masjid itu.”

“Abah yakin dengan keputusan ini?” “Tabungan Abah sudah habis, Nak. Sejak dulu Abah

berprinsip kita tak boleh pinjam uang walau sedikit. Tak ada pilihan lain. Toh, dari uang dua ratus juta itu kita bisa membeli tanah dan membangun masjid lagi.”

Aku menghela napas panjang. Tak lagi bisa berkata apapun. 

***Suasana pagi itu kalah cerah jika dibandingkan

dengan wajah pengusaha yang baru saja menandatangani surat jual beli. Masjid Syuhada kini bukan lagi milik kami, melainkan miliknya. Dua hari berikutnya masjid dirobohkan. Rata dengan tanah.

Malam ini, dari jendela kamar aku menatap nanar onggokan puing masjidku dulu. Tiba-tiba aku melihat sosok lelaki tua membawa cangkul. Menuju bagian tengah masjid. Mencari letak tiang paling tengah dulu berdiri. Tak salah lagi, itu Abah!

Page 71: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

71

Perlahan gerimis turun lalu menjelma hujan. Abah terus saja menggali, terus menggali. Hujan semakin deras, deras sekali.

Cerpen ini dimuat Republika, 6 Maret 2011

Page 72: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 73: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

73

Lelaki dengan Rajah Akardi Pipi Kirinya

Gemuruh itu mereka dengar. Tapi apa yang akan terjadi berikutnya tak mereka ketahui. Sama sekali. Mereka juga tak sempat berkemas atau lari bergegas. Suara berisik di tanggul disusul ledakan atau semacamnya. Segala yang tegak luluh lantak oleh bah. Subuh menjadi begitu lusuh. Di kejauhan melolong teriakan. Berasal dari ketakutan mereka sendiri. Boleh jadi ada jeda untuk mereka memikirkan penyesalan. Lalu lekas menyiapkan sebuah keinsafan. Andai mereka mengindahkan ocehan lelaki setengah waras itu. Lelaki dengan rajah akar di pipi kirinya.

Sayangnya mereka abai. Dan terlambat.***

Mula-mula kami melihat lelaki itu di warung nasi uduk Mpok Rodiye, di ujung Gang Bunin. Saat itu hari Jumat, pertengahan Maret. Kami semula mengira ia lelaki yang kebetulan lewat dan hendak sarapan. Kami menduga ia hanya lelaki biasa. Barangkali kami keliru. Ia tak sesepele yang kami kira.

Ia makan dengan lahap. Beberapa kali minta tambah sambal. Beberapa kali pula ia comot goreng tahu dan tempe yang masih hangat. Teh tawar ia teguk dengan tergesa, seolah

Page 74: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

74

ia tidak minum berhari-hari. Kami yang biasa datang untuk sarapan melempar tatapan penasaran. Siapa lelaki ini? Ia tak pernah terlihat sebelumnya.

Ciri di wajah itu begitu kentara. Ada rajah akar yang samar di pipi kirinya. Mungkin itu semacam penanda suku tertentu atau sekadar keisengan. Kulitnya coklat tua dan rambutnya ikal mengombak seleher. Kemeja dan celana yang dikenakannya mengirim pesan betapa buruk selera lelaki itu. Keduanya kumal dan belel. Ia juga terlihat selalu resah. Seperti dikejar sesuatu, atau seseorang.

Manakala Mpok Rodiye bersiap menutup warungnya, lelaki itu masih berada di sana. Seolah tak menangkap gelagat Mpok Rodiye yang ingin membereskan dagangan. Bang Edi, suami Mpok Rodiye, menjajari duduk lelaki itu. Ia tahu apa yang mesti dilakukan. Ramah ia bertanya nama dan asal. Tapi, dengan suara parau lelaki itu menjawab.

“Aku anak Nyi Mas Melati, penjaga Situ Gintung.” Ia tersenyum ganjil lalu pergi dengan muka masa bodoh.

Bang Edi tersenyum kecut saja. Entah mencibir, entah merinding. Bagi warga di sekitar rumahnya, termasuk dirinya, nama Nyi Mas Melati adalah legenda. Konon, ia yang menjaga waduk buatan Belanda tahun 1933 itu, yang berjarak hanya seperlemparan batu dari warung nasi uduknya.

Sejak hari itu, kami tahu, kami kedatangan tamu tak diundang yang aneh perangainya lagi misterius asal-usulnya.

***

Page 75: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

75

“Kamu sudah dengar cerita si Edi?”“Cerita tentang lelaki yang mengaku anak Nyi Mas

Melati?”“Iya. Cerita itu.”Pagi masih terlampau dini. Ini hari Minggu. Aku ja-

lan-jalan ke Taman Situ Gintung dan bertemu Mul, pega-wai taman, yang lantas mengajakku minum kopi di saung. Aku yang berniat  jogging  tak urung menuruti ajakannya. Di awal obrolan ia langsung bertanya soal lelaki asing itu.

“Aku sudah dengar. Dari si Edi langsung. Aku juga tahu ia datang ke acara tabligh akbar tempo hari dan ber-teriak-teriak di luar masjid, seperti berkhotbah. Tentang kutukan dan kemarahan.”

“Soal itu aku juga dengar. Tapi siapa sebenarnya le-laki itu? Orang gila?”

“Aku tidak tahu pasti. Khotbahnya terlalu berbobot untuk ukuran orang yang kurang waras.”

Keheningan menguasai aku dan Mul. Kuedarkan pandangan ke hamparan Situ Gintung di hadapanku. Pagi mulai tinggi. Satu dua orang tampak lari-lari kecil dengan pakaian olahraga di tepian situ. Mungkin orang komplek atau orang kampung, mungkin juga mahasiswa. Saban Minggu pagi memang begitu ritualnya. Di depan kampus yang bersebelahan dengan situ ada pasar kaget yang tak pernah sepi kecuali hari hujan. Di pelataran kampus di-gelar senam. Yang berolahraga selain senam juga banyak.

Kulihat jajaran palem yang kian tinggi di samping

Page 76: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

76

lapangan tenis. Juga saung-saung yang makin banyak didirikan. Di sisi timur sekarang juga sudah dibangun rumah makan bambu ala Sunda. Aku pangling.

Sebentar lagi loket taman wisata akan dibuka. Dan taman jadi ramai. Orang-orang datang untuk berbagai keperluan. Sebagian menggelar acara family gathering, reuni atau  outbond  di sini. Sebagian yang lain ingin pacaran, makan-makan atau sekadar jalan-jalan.

“Taman sekarang sudah lain sekali ya, Mul.”“He eh. Dulu cuma ada pohon dan pohon di sini. Tapi,

lama-lama orang kepingin main tenis, dibangun lapangan tenis. Yang pengen bikin acara kumpul-kumpul makin banyak, pengelola bangun saung-saung. Kita mah ngikut doang.”

“Di hilir, juga sudah jadi rumah semua. Rata-rata kos-kosan. Pohon-pohon habis.”

Mul mengangguk. Ia menyesap kopinya lagi. Suara cericit burung sayup-sayup. Tidak seramai seperti waktu aku kecil dulu. Angin dingin berkesiur dari utara. Meremangkan bulu roma. Di kejauhan sampah-sampah mengambang di pinggiran situ. Aku mendadak teringat dongeng masa kecilku. Tentang buaya putih penghuni Situ Gintung. Dongeng yang begitu kondang di perkampungan sekitar situ.

Jangankan buang sampah ke situ, memancing ikan ke tengah saja tidak berani. Pasalnya, buaya putih akan mengganyang tanpa ampun jika para pemancing terlalu ke tengah. Awalnya, tak seorang pun percaya, hingga Sabeni

Page 77: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

77

yang nekat ke tengah dengan sampan karena kesal tak kunjung dapat ikan terguling, tenggelam, dan jasadnya tak ditemukan.

Tapi, mitos itu tak kedengaran lagi. Raib sudah segala rasa takut. Orang-orang berlaku semau mereka. Termasuk menebang pohon lalu menimbun tanah dengan hunian. Seiring membludaknya mahasiswa rantau yang datang untuk kuliah di kampus besar dekat situ. Padahal, dulu, jika hendak menebang pohon, warga kampung selalu penuh sopan santun dan tak pernah luput membawa tunas pohon pengganti. Kini, mereka lebih takut anak cucu tak bisa makan ketimbang takut kepada tokoh legenda-leganda kuno yang mereka anggap konyol.

“Nyi Mas Melati sudah tidak sakti lagi. Tidak membuat orang-orang menjaga alam,” tukas Mul tiba-tiba, seolah membaca pikiranku.

“Benar. Begitu juga kisah buaya putih dan ular sebesar pohon kelapa.”

“Dan lelaki dengan rajah akar itu coba meyakinkan warga lagi. Tidak aneh jika ia dianggap gila.”

“Aku selalu beranggapan bahwa legenda Nyi Mas Melati itu satu hal, dan kebenaran cerita itu hal lain. Kenapa ada legenda Nyi Mas Melati, buaya putih dan ular raksasa, aku pikir itu cara nenek moyang kita untuk hidup selaras dengan alam.”

Mul menghela napas panjang. Matanya menerawang jauh. Seperti menuju masa lalu. Tenggelam dalam nostalgia.

Page 78: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

78

Kala kampungya masih hijau. Sekeliling Situ Gintung belum ada kampus, ruko dan sekolah internasional. Ketika itu ayahnya tak berani memancing ikan lebih dari lima ekor. Yang penting cukup untuk makan sekeluarga. Memancing ikan lebih dari lima adalah pamali dan kepercayaan itu dipegang kuat. Juga kepercayaan adanya Nyi Mas Melati, penunggu situ.

Mul ingin menyeruput kopinya lagi. Namun, tinggal bersisa ampas. Loket tampaknya sudah dibuka. Empat orang berpakaian necis duduk di saung besar. Sepertinya satu keluarga hendak piknik. Aku pamit pulang. Mul juga mau bekerja. Kuucapkan terima kasih untuk segelas kopi dari Mul.

***Kami melihat perkelahian itu. Arman, ketua ikatan

remaja masjid, meninju wajah lelaki asing dengan rajah akar di pipi kirinya. Tidak tepat disebut perkelahian sebetulnya. Lelaki yang mengaku anak Nyi Mas Melati itu tidak memberi perlawanan.

“Ini untukmu,  musyrik!” Bogem mentah sekali lagi mendarat di pipi lelaki asing. Tak seorang pun berani melerai.

Kemarahan Arman reda setelah bapaknya yang Ketua RT datang. Lelaki asing itu berjalan terhuyung dan menjauh, setelah sebelumnya ia berkhotbah di lapangan.

“Kalian memang benar-benar dungu. Para pemancing semalam melihat ibuku, Nyi Mas Melati, di tengah waduk. Kalian gagal menangkap pertanda ini! Ibuku marah! Ibuku marah! Kalian perusak. Percayalah, demi langit gelap dan bumi bergetar, tak lama lagi akan terjadi hal buruk. Aku

Page 79: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

79

Page 80: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

80

peringatkan kalian, beri tahu orang-orang di hilir untuk meninggalkan rumah mereka! Sebelum terlambat.”

Ia juga mengetuk rumah demi rumah. Berkhotbah dengan tema yang sama. Orang-orang yang risih menutup pintu. Ada yang mau mendengar meski tak banyak. Nasib sial menghampirinya saat ia berkhotbah di depan rumah Pak RT. Arman yang kebetulan sedang duduk di teras tak segan melabraknya. Arman memang cukup ketat dalam beragama. Takhayul macam mitos Nyi Mas Melati tak mendapat tempat di pikiran dan hatinya. Karena lelaki rajah akar tak mau diam, Arman menghentikan dengan caranya sendiri.

Hujan turun ketika lelaki asing itu tak tampak lagi batang hidungnya. Hujan yang mengawali hujan panjang tiga hari berturut-turut. Di ruang tamu rumahnya Arman terus berusaha meyakinkan ayahnya untuk mengusir lelaki asing yang ia anggap orang gila. Bagi Arman, lelaki itu penyebar kemusyrikan. Alih-alih menyetujui masukan anaknya, Ayah Arman justru marah. Ia menyesalkan kelakuan Arman yang mudah naik pitam dan main tangan. Obrolan anak-bapak itu berubah menjadi perdebatan sengit.

***Mul datang ke rumahku dengan payung lantaran di

luar hujan begitu lebat. Ia menyampaikan niat sejumlah warga yang ingin mengusir lelaki setengah waras itu dengan pengadilan jalanan. Mereka sedang menunggu lelaki aneh itu berkhotbah tentang Nyi Mas Melati dan Situ Gintung. Jika ia mulai berkhotbah, mereka akan mendatanginya, memberi

Page 81: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

81

satu dua tonjokan lalu mengusirnya. Ide ini muncul dari Arman. Tanpa sepengetahuan ayahnya, tentu saja.

Aku jelas tidak setuju dengan kekerasan macam itu. Tapi diam-diam aku memikirkan hal lain yang berbeda dan kusampaikan kepada Mul.

“Mul, kamu sadar tidak, lelaki yang punya rajah akar itu tahu terlalu banyak tentang kampung kita. Tapi kita tidak pernah melihat dia sebelumnya. Padahal sejak kecil kita berada di sini. Siapa dia sebenarnya?”

“Aku tidak tahu. Ia terlalu misterius. Hanya saja, apa yang dia bicarakan itu ada benarnya. Kita ini memang perusak, tidak pernah bisa menjaga. Diberi waduk untuk menampung air hujan malah dirusak. Dikasih pohon dibabat habis buat bangunan. Aku curiga lelaki kumal yang beberapa hari ini lalu lalang di kampung kita adalah mahasiswa pecinta alam yang pura-pura gila.”

“Bisa jadi. Ah, kita harus menghentikan kekerasan warga. Siapapun lelaki itu, jangan ada darah yang tumpah kerena hal-hal bodoh.”

***Gemuruh itu mereka dengar. Tapi apa yang akan terjadi

berikutnya tak bisa mereka tebak. Sama sekali. Mereka juga tak sempat berkemas atau lari bergegas. Suara berisik di tanggul disusul ledakan atau semacamnya. Segala yang tegak luluh lantak oleh bah. Subuh menjadi begitu lusuh. Di kejauhan melolong teriakan. Berasal dari ketakutan mereka sendiri.

Page 82: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

82

Hari itu, 27 Maret 2009, tanggul Situ Gintung jebol. Korban tewas lebih dari seratus orang. Rumah rusak tak terhitung. Apa sebab tanggul jebol? Banyak pasal. Terutama karena dimakan usia dan kurang rawatan. Bisa juga karena tak terhitungnya penyalahgunaan lahan di sekitar waduk.

Apapun itu, Bu RT sedari pagi tak henti meraung-raung, adiknya yang tinggal di hilir jadi korban. Arman duduk mencakung di ruang tamu dengan tatapan kosong. Aku teringat lelaki dengan rajah akar itu. Di mana ia sekarang? Kenapa tak muncul lagi?

Cerpen ini memenangkan lomba menulis cerpen Green Pen Award 2014

Page 83: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

83

Tak Ada yang Minum KopiMalam Ini

Di kota saya sekarang ini angkringan semakin banyak. Bak timses capres di musim pemilu. Di depan kantor, sekolah, tempat ibadah, pusat perbelanjaan dan di mana-mana. Dekat rumah saya juga ada angkringan. Penjualnya bernama Mas Satrio. Seorang duda beranak satu. Di depan sebuah dealer motor Mas Satrio berjualan. Setiap hari ia menggelar dagangannya pukul lima sore dan tutup ketika hari hampir subuh. Saya mengenal Mas Satrio sebagai penjual angkringan yang rajin dan supel. Beberapa kali saya juga mendapati lawakan segar Mas Satrio.

Saya sering jajan di angkringan Mas Satrio. Biasanya saya memesan susu jahe. Lalu mencomot tahu bacem, sate usus dan tempe goreng. Mas Satrio sudah hafal, yang saya comot tadi dibakarnya. Tak lupa diolesi kecap biar tambah lezat. Saya duduk meleseh di samping gerobak. Menunggu senja turun bersama orang-orang yang sudah sejak tadi berada di sana. Lik Yadi yang tukang becak, Pak Wiro ketua RT dan Mas Cepuk penjaga kedai pulsa, merekalah pelanggan setia Mas Satrio.

Beberapa hari terakhir timbul masalah dengan angkringan Mas Satrio. Angkringannya tak seramai dulu.

Page 84: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

84

Tepatnya setelah muncul angkringan baru di seberang jalan. Di depan sebuah toko bangunan. Berjarak sekitar 200 meter dari angkringan Mas Satrio. Atas berdirinya angkringan baru itu, Mas Satrio punya komentar sendiri.

“Aku sebenarnya ndak masalah punya saingan baru itu. Tapi mbok ya deklit penutup angkringan jangan sama-sama warna merah. Angkringan deklit merah itu sudah menjadi ciri khas angkringanku,” ujar Mas Satrio berapi-api.

Saya jadi bingung. Apa salahnya kalau deklit penutup berwarna sama?

“Memangnya kenapa Mas kalau deklitnya sama?” tanya saya sambil meraih susu jahe yang disodorkan Mas Satrio.

Sambil sibuk membuat kopi Mas Satrio menjawab.“Pelangganku jadi bingung. Kemarin saja waktu aku libur

jualan Lik Yadi tanya, Mas Satrio angkringannya pindah depan toko bangunan ya? Lha kalau semua berpikiran begitu, orang-orang pasti jadi salah kira dan pelangganku lama-lama akan habis,” terang Mas Satrio masih dengan nada sedikit meninggi.

Saya mafhum. Mengangguk-angguk pelan. Mas Satrio mengambil piring berisi jajanan saya yang harus dibakarnya. Lalu kembali berujar.

“Penjual angkringan itu mau jualan satu meter di samping angkringanku ayo aja, aku berani bersaing, tapi jangan pakai deklit merah!”

Saya tak berani komentar. Mas Satrio sedang panas hatinya. Saya cuma menerka-nerka, ada apa dengan deklit penutup warna merah? Apa dengan menggunakan deklit

Page 85: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 86: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

86

warna merah maka peruntungannya bagus? Banyak rezekinya? Lalu jika ada pesaing yang menggunakan deklit sama warna merah rezekinya akan menguap? Ah, saya masih bingung.

***Dua hari setelah berbincang dengan Mas Satrio

tentang keberadaan angkringan baru itu, Mas Satrio jatuh sakit. Angkringannya tutup beberapa hari. Terpaksa saya menyambangi angkringan baru di seberang jalan. Lewat obrolan di angkringan seberang jalan itu belakangan saya tahu penjualnya bernama Kang Nanang. Dia tampak masih muda. Perkiraan saya dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Badannya tegap dan sorot matanya tajam. Kang Nanang tak kalah ramah dengan Mas Satrio.

Di angkringan Kang Nanang sudah ada Lik Yadi dan Pak Wiro. Mereka tak bisa jauh dari suasana hangat angkringan tampaknya. Saya ikut nimbrung saja. Obrolan masih seputar harga barang-barang di pasar yang mulai naik. Lalu membicarakan masalah renovasi masjid yang tak kunjung selesai. Beranjak kemudian tentang politik tanah air. Percakapan sederhana seperti ini biasa ditemani minuman hangat dan jajanan sederhana di hadapan kami.

“Mas, sudah pernah makan sate di angkringannya Mas Satrio?” Tanya Kang Nanang pada saya, membuka percakapan sore itu. Angkringan sedang ramai pengunjung.

“Sudah, Kang. Tapi tidak sering. Memang kenapa?”“Em…bagaimana ya? Saya yakin sampeyan pasti

memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram, iya

Page 87: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

87

tho?” Kang Nanang berucap begitu dengan dahi mengernyit seolah berpikir keras. Tangannya sibuk mengaduk kopi susu pesanan Pak Wiro.

“Sampai sekarang saya masih selalu hati-hati dalam urusan makanan, Kang.”

“Nah, kalau menurut sampeyan tikus itu halal atau haram? Boleh tidak dimakan?”

“Wah, ya ndak boleh tho. Masak tikus dimakan? Kecuali dalam keadaan darurat sekali. Kalau saya, meski dalam keadaan darurat sekalipun tetap tak mau makan tikus. Jijik!”

“Em… saya tak punya maksud apa-apa. Tapi mas-mas sudah tahu belum kalau sate di angkringan Mas Satrio itu sebenarnya adalah sate daging tikus?” Tanya Kang Nanang agak gugup tapi tatap matanya meyakinkan.

“Kang Nanang, sampeyan harus hati-hati kalau bicara. Masak Satrio tega jual sate tikus?” Pak Wiro coba mengingatkan.

“Dagang ya dagang, Kang. Tapi mbok ya jangan menjatuhkan begitu. Ndak baik.” Mas Cepuk menimpali, sedikit tak terima. Sejatinya dia masih saudara jauh Mas Satrio.

“Lho, saya tidak sedang menjatuhkan. Saya kenal kok siapa yang setiap hari nitip sate di angkringan Mas Satrio itu. Namanya Pak Jembling, dia jual mie ayam juga di dekat terminal. Belum lama mie ayamnya ditutup karena ketahuan menggunakan daging tikus. Pak Jembling mau nitip sate juga di sini. Tapi saya menolak. Soalnya saya sudah tahu kelakuan Pak Jembling.”

Page 88: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

88

Suasana mendadak hening. Informasi Kang Nanang yang entah benar entah salah itu tak ada yang menanggapi. Semua sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Mas Cepuk terlihat yang paling bersungut-sungut. Ada geram yang coba disimpannya.

Saya bimbang juga sejujurnya. Rasa jijik tiba-tiba terasa manakala membayangkan Mas Satrio benar-benar menjual sate daging tikus. Tapi setega itukah dia? Demi keuntungan yang barangkali tak seberapa besar?

Setelah tutup agak lama, Mas Satrio kembali buka. Saat saya baru datang dan menyapa Mas Satrio, Mas Cepuk sudah di sana dengan Pak Wiro. Asyik menikmati kopi cangkir kecil. Lengang. Sepi pengunjung.

Mas Satrio menyerahkan pesanan saya lalu bergabung ikut duduk bersama kami. Dia menyulut rokok.

“Nanang itu harus aku beri pelajaran. Sama-sama cari duit kok ngajak main nggak bersih. Berani dia fitnah aku jual sate tikus. Aku gorok lehernya tahu rasa dia.”

Saya hampir tersedak mendengar kemarahan Mas Satrio yang meletup. Dari mana dia tahu kalau di angkringan Kang Nanang dia digosipkan menjual sate tikus? Apa mungkin dari Mas Cepuk? Halah, embuh!

Dini hari ini saya harus menjemput seorang teman lama di terminal. Waktu melewati angkringan Kang Nanang penglihatan saya terganggu oleh keributan kecil di sana. Sekilas saya melihat beberapa preman mabuk. Entah bagaimana awalnya, kericuhan itu mendadak membesar. Preman-preman

Page 89: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

89

mengobrak-abrik apa saja di gerobak angkringan. Gelas-gelas pecah. Jajanan berantakan. Kacau. Kang Nanang berteriak-teriak. 

“Kalian pasti suruhan Satrio ya? Hayo ngaku!” Percuma. Preman-preman itu justru kian mengamuk. Saya bergidik ngeri. Terpaksa saya mengambil jalan memutar ke terminal. Menghindari keributan.

Di angkringan Mas Satrio, sore itu beberapa orang membicarakan pengrusakan angkringan Kang Nanang. Termasuk saya, Mas Cepuk dan Pak Wiro. Sementara itu Mas Sartio sibuk membuat pembelaan.

“Lha wong preman mabuk minta rokok sebatang kok ndak dikasih, ya jelas ngamuk!”

Tiba-tiba saja dua motor bebek yang melaju kencang berhenti di depan angkringan Mas Satrio. Jelas sekali saya melihat, mereka membawa botol bersumbu, molotov. Mereka yang berpakaian serba hitam itu melempar molotov yang telah disukut ke arah deklit pelindung angkringan. Molotov dari botol kecap itu pecah. Kontan deklit terbakar. Api merambat cepat. Semua pengunjung kalang kabut. Saya tak berani menduga ulah siapa ini. Tahu-tahu dua sepeda motor itu telah menghilang.

“Kejar! Kejar!” orang-orang yang terbakar emosi matanya merah, hidungnya kembang kempis.

Saya lebih memilih pulang. Terpekur di beranda rumah. Menyadari bahwa segala sesuatunya terjadi begitu cepat

Page 90: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

90

tanpa dapat dibayangkan. Inikah wajah dendam? Apakah ini tamsil dari bahaya mulut?

Saya belum tahu. Yang saya tahu, untuk beberapa hari ke depan, baik angkringan Mas Satrio ataupun Kang Nanang tentu akan tutup. Dan saya malas mencari angkringan lain yang lebih jauh.

Cerpen ini dimuat Jurnal Nasional, 22 Mei 2011

Page 91: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

91

Diam-Diam Aku Simpulkan,Alangkah Indahnya Rahasia

Amik telah selesai mengenakan seragam kuning gading berpadu rompi hijau. Aroma setrika masih sedikit menguar dari bajunya. Tempat minum yang ukurannya terlalu besar untuk anak seusianya juga telah siap. Isinya teh manis. Bulik Arum yang menyiapkan untuknya. Karena seringnya diisi teh manis, sampai-sampai tempat minum warna putih itu tampak menua dengan bercak-bercak coklat di beberapa tempat. Amik tak mau ganti tempat minum. Itu tempat minum kesayangannya.

Kini, kaki kecilnya menyusuri Jalan Bhayangkara. Menuju ke selatan, ke taman kanak-kanak, di mana hingga pukul sepuluh ia akan menghabiskan waktunya di sana. Amik belum berani ditinggal sendiri. Ia ditemani Be. Be adalah panggilan Amik untuk neneknya. Kenapa ia memanggil neneknya dengan panggilan Be terdapat cerita sendiri.

Jadi, ketika masih umur dua tahun, orang tua Amik belum mampu mengontrak rumah. Masih tinggal serumah dengan kakek nenek Amik, di rumah dinas Jalan Bhayangkara. Paman dan bibi Amik, memanggil nenek Amik dengan panggilan Bu’e. Namun, kali itu Amik masih terlalu cadel untuk ikut menirukan panggilan itu. Maka ia cuma bisa

Page 92: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

92

mengucap Be. Anehnya, panggilan itu diikuti seisi rumah. Mulanya, paman dan bibi Amik. Lalu kakek dan orang tuanya juga ikut memanggil sang nenek dengan panggilan Be. Entah mengapa tetangga juga ikut latah memanggil Be. Barangkali, pelan-pelan panggilan Be telah menjadi panggilan sayang dan akrab di antara mereka.

Berjalan beriringan dengan Be, Amik telah sampai di sekolah. Ibu-ibu guru dengan wajah ceria (dan terus ceria hingga siang tiba) menyambut di pintu gerbang. Sebagaimana kebiasaan semua murid, ketika datang mereka harus cium tangan ibu guru yang telah berjajar di depan gerbang. Amik juga melakukan itu. Sambil malu-malu. Kemudian Be juga menjabat tangan ibu guru. Namun justru ibu guru yang kikuk berjabat tangan dengan Be. Pasalnya, Be adalah bendahara yayasan yang mengelola taman kanak-kanak di mana Amik bersekolah.

Dan ini adalah hari Senin. Waktunya upacara bendera. Bu Antik, ibu kepala sekolah sudah bersiap di depan kantor. Sosoknya gemuk dan wajahnya kharismatik. Guru-guru lain sibuk menertibkan anak-anak yang sedang berlarian, bermain ayunan, jungkat-jungkit, perosotan dan berkejaran di dalam kelas. Upacara sudah akan dimulai. Anak-anak sudah bisa ditertibkan. Upacara sudah sampai pada pembacaan teks Pancasila. Namun ada seorang anak yang sejak awal tak mau ikut upacara. Ia memilih ngamplok cagak, memeluk tiang kayu di depan kelas.

Page 93: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

93

Anak bandel yang malas ikut upacara itu adalah Amik. Be malu sendiri merayu si bandel agar mau ikut upacara. Sudah tiga guru yang ikut merayu Amik agar melepaskan tiang dan ikut upacara. Salah satunya adalah guru favorit Amik, Bu Wati. Namun gagal. Amik bergeming dan wajahnya polos seperti tak bersalah. Seolah ia ingin berkata: kalau aku tidak mau ya tidak mau. Sialnya, adegan itu berulang terus setiap hari Senin. Jadilah hari Senin hari untuk merayu dan membujuk si manja berambut poni dan berpipi tembam itu untuk ikut upacara.

Meski begitu, hari Senin tak selalu menjadi hari yang menyebalkan bagi Amik karena ada ritual upacara yang membosankan. Di hari Senin ada pelajaran mewarnai. Pelajaran kegemaran Amik. Saat ibu guru membagikan kertas untuk diwarnai, Amik buru-buru mengeluarkan spidolnya. Spidol Snowman itu tak pernah ketinggalan di rumah lantaran tak pernah ia keluarkan dari tas meski di hari itu tak ada pelajaran mewarnai.

Amik memang beda. Beberapa temannya memang ada yang masih ditunggu. Entah oleh ibunya, kakaknya, atau pembantunya. Namun, para para penunggu itu menunggu di luar kelas. Pengecualian bagi Amik. Be dimintanya untuk menunggu di dalam kelas. Duduk di sampingnya. Padahal, bangku TK itu tak seberapa besarnya. Be harus susah payah untuk bisa duduk di bangku TK, bersebelahan dengan Amik.

Jika sudah tiba waktu mewarnai, Be akan mengucapkan mantra sakti di telinga Amik.

Page 94: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

94

“Ojo metu garis, ojo metu garis. Jangan keluar garis, jangan keluar garis.”

Itu mantra sakti. Ajaib, hasil garapan Amik tampak rapi. Mantra itu membuatnya sangat berhati-hati ketika memulas gambar. Anehnya, dalam mewarnai, Amik hanya memakai warna coklat, hitam dan merah. Untuk semua gambar ia beri warna itu. Kerap kali ia tak tepat membubuhkan pulasan untuk suatu gambar. Misalnya, ia memberikan warna merah untuk pohon pisang, warna coklat untuk ikan lumba-lumba, atau hitam untuk gambar rumah.

Manakala ibu guru menampilkan hasil mewarnai anak-anak di sebuah papan depan kelas, hasil pulasan Amik tampak berbeda. Teman-temannya memilih menggunakan warna-warna cerah. Namun gambar Amik selalu tampak muram karena ia menyaputkan warna-warna gelap. Spidol warna cerah milik Amik nyaris tak terpakai. Sedang spidol warna gelap begitu cepat habis. Di rumah, Amik juga mewarnai buku mewarna yang dibelikan Bulik Arum. Sama saja. Ia tetap membubuhkan warna-warna gelap.

Sesaat sebelum istirahat menjadi waktu yang akan sangat dinanti Amik. Kenapa? Karena saat itu ibu guru akan membagikan jajan untuk semua murid. Per hari tiap murid dikenakan Rp 150 untuk mendapatkan satu jenis jajan. Astor adalah jajan yang paling disukai Amik. Ketika ibu guru membuka toples astor menjadi saat yang mendebarkan bagi Amik. Ibu guru akan memberikan astor pertama untuk anak yang duduknya paling tertib dan rapi (ibu guru tahu, setiap

Page 95: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

95

pembagian jajan adalah saat yang paling berisik, ia harus menyiasatinya). Nahasnya, meski Amik sudah duduk serapi dan semanis mungkin, bahkan sampai menutup mata, Amik tak pernah terpilih untuk memperoleh astor pertama. Selalu saja Rosit yang mendapat astor pertama, yang menurut Amik, Rosit duduknya tidak begitu rapi. Amik tidak pernah tahu, jika Rosit masih keponakan dari Bu Nia, wali kelas Amik yang selalu membagikan jajan.

***Tak selamanya Amik ditunggui Be. Saat ia sudah naik

ke kelas B1, Amik sudah berani ditinggal. Memang tidak langsung ditinggal begitu saja. Be mula-mula tidak menunggui Amik dalam kelas. Amik mau. Kemudian Be hanya menunggu sampai saat istirahat. Amik tidak menangis. Hingga akhirnya Be bisa meninggalkannya penuh. Pagi hari Bulik Arum hanya tinggal menyiapkan seragam, sepatu, tas dan tempat minum kesayangan, lalu mengantarnya sampai pintu gerbang rumah dan Amik sudah berani berangkat sendiri.

Amik lebih punya waktu untuk bermain dengan temannya. Bermain apa saja. Ia paling suka petak umpet. Ia sangat piawai mencari tempat sembunyi. Karena permainan itu, Amik jadi akrab dengan Eva, teman sekelasnya. Keduanya sering bermain petak umpet bersama. Lama-lama keduanya jadi sering pulang bersama. Rumah Eva tak jauh dari rumah Amik. Ayahnya seorang penjahit.

Hingga pada suatu kesempatan pulang sekolah, tak tahu dapat ide dari mana Amik menggandeng tangan Eva. Dan Eva

Page 96: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

96

diam saja. Lucunya, setiap sudah dekat dengan rumah Amik buru-buru melepas tangan Eva. Ia tahu Bulik Arum dan Be biasanya sudah menunggunya pulang di depan rumah. Tentu ia berharap orang-orang itu tak tahu jika ia menggandeng tangan Eva. Amik salah, Bulik Arum telah mengintipnya dari rimbun pohon mangga, melihat ia bergandengan dengan Eva. Dan Bulik hanya tersenyum belaka. Ah, anak kecil, ujarnya. Peristiwa menggandeng tangan itu berlangsung berulang-ulang dan Amik merasa orang rumah tidak ada yang tahu. Sebab ia selalu melapas tangan Eva beberapa jangkah sebelum sampai rumah.

***Hari Sabtu adalah hari yang membuat Amik berwajah

cerah. Ada beberapa hal penyebabnya. Pertama, di hari itu ibu guru akan membagikan semangkuk kacang hijau untuk tiap murid. Amik suka kacang hijau buatan ibu gurunya. Kedua, ada jalan-jalan di hari Sabtu. Meski rutenya tidak jauh, berjalan bersama teman-teman selalu membuatnya gembira. Amik pasti menjajari Eva di acara jalan-jalan hari Sabtu. Ketiga, di hari Sabtu ayah akan mengajaknya makan di luar. Bisa sate dan gulai kambing, bisa soto atau bakmi goreng.

Ya, sejak ditinggal ibu yang bekerja di Kalimantan, Amik tinggal di rumah kakek neneknya. Di rumah Be dan Tung (kenapa Amik memanggil kakeknya ‘Tung’? Karena Amik cadel tak bisa mengucap Mbah Kakung, dan panggilan ‘Tung’ jadi panggilan semua orang). Di rumah dinas di Jalan

Page 97: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

97

Bhayangkara Bulik Arumlah yang mengasuhnya. Ia yang pagi-pagi menggendong Amik kecil membeli pelas, makanan kesukaan Amik. Ia juga yang menyuapi Amik dengan pelo ati goreng atau gulai kambing, yang juga digemari Amik hingga membuat badannya gemuk dan menggemaskan.

Bulik Arum, adik ipar ayah kerap tidak rela jika Amik diajak ke omah kulon, rumah kakek nenek Amik dari ayah. Ia sudah menganggap Amik seperti anaknya sendiri, meski ia belum menikah. Amik juga menyayangi Bulik Arum. Pernah ketika Bulik Arum selesai wisuda didatangi pacarnya, Om Warsito. Amik usil menyembunyikan sendal Om Warsito. Dan saat Om Warsito hendak pulang kontan ia kebingungan. Bulik Arum tahu Amik yang menyembunyikan. Karena dari tadi Amik seyum-senyum sendiri. Meski sudah dibujuk sedemikian rupa Amik tetap bungkam. Akhirnya Om Warsito dipinjami sandal Tung. Amik seperti mengirim isyarat kepada Om Warsito untuk tidak merebut ‘Bulik Arumku’ dari tangannya.

Bulik Arum baru tenang jika Amik diajak ke omah kulon saat ia teringat di omah kulon ada Bulik Evi, adik ketiga ayah Amik. Antara Bulik Arum dan Bulik Evi seperti saling berlomba untuk mencurahkan cintanya kepada Amik. Bulik Evi adalah yang memamahkan rempeyek ketika Amik kecil belum kuat mengunyah rempeyek tapi terus merengek ingin makan rempeyek. Bulik Evi juga yang sering memanggil tukang foto keliling. Tentu saja untuk memotret Amik. Tukang foto itu akan datang seminggu kemudian. Menyerahkan foto

Page 98: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

98

yang sudah jadi. Saat tukang foto datang, Bulik Evi meminta Amik difoto lagi, dengan gaya yang lain. Kejadian itu terus berulang. Jadilah Amik tiap seminggu sekali ia dipotret. Ia kenyang berhadapan dengan kamera sejak kecil.

Amik cucu pertama di dua keluarga. Keponakan pertama juga bagi bulik-buliknya. Ia tahu, ia dimanja habis-habisan. Tidak di keluarga ayah, tidak di keluarga ibu. Tapi ada satu hal yang sejak awal ia merasa tak kunjung bisa dimiliki. Ia mencari, namun tak berhasil didapatkan. Ia pun menjalani hari-harinya bersama Be, Bulik Arum dan Bulik Evi dengan kepolosan khas anak kecil.

Ketika lebaran kurang beberapa hari, ibu Amik pulang dari Kalimantan. Menggunakan kapal Lawit ibu Amik turun di Semarang. Di pelabuhan, Om Zayin sudah menjemput ibu. Sampai rumah, ibu segera menghambur ke arah Amik. Anak laki-laki yang amat dirindunya. Amik, yang tak pernah melihat ibu sebelumnya justru takut dan berlarian. Ia bersembunyi di balik badan Be.

“Siapa dia, Be? Aku nggak kenal. Aku takut.”Be menangis. Ibu menangis. Amik bingung. Kenapa

dua orang ini menangis? Amik pun ikut menangis. Lebih karena takut: ia merasa bersalah tapi tak tahu salah apa. Setelah tiga hari di rumah barulah Amik menganggap perempuan yang datang dari Kalimantan itu sebagai ibunya. Saat mereka sudah akrab dan menjadi selayaknya ibu-anak, waktu libur ibu Amik habis. Tangis pun pecah

Page 99: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 100: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

100

kembali. Be menangis. Ibu menangis. Amik pun ikut menangis.

Kejadian macam ini berulang setiap tahun. Amik tak mengenali ibunya setiap ibunya datang beberapa hari jelang lebaran. Ada tangis yang kembali buncah. Ada air mata yang kembali tumpah.

***Begitulah, kisah tentang Amik ini kututurkan

kepadamu. Aku, botol minum kesayangan Amik, kini sendirian di pojok gudang rumah dinas yang sekian lama ditinggalkan. Saat pindah rumah sepuluh tahun silam, aku jadi barang yang luput dibawa. Sedih? Tentu saja. Amik seperti melupakanku sejak dibelikan botol minum baru oleh ibunya (konon, oleh-oleh dari Malaysia). Dan sejak saat itu aku tak lagi jadi bagian hidup Amik.

Tapi, ngomong-ngomong bagaimana kabar Amik sekarang? Pasti sudah besar dia. Juga apa kabar, Be, Tung, Bulik Arum? Semoga mereka sehat senantiasa. Dan kapan ibu Amik pulang dari Kalimantan? Ah, aku sangat tahu bagaimana Amik menahan air mata saat teman-teman TK diantar ibu masing-masing dan Amik tidak. Amik kerap menggenggam tubuhku erat-erat sambil menahan tangis.

Sial, aku begitu kangen dengan mereka. Tapi apa dayaku sebagai seonggok tempat minum bekas di pojok gudang rumah tua yang lama tak ditempati ini. Benar-benar menyebalkan. Kabar Amik dan keluarganya ini akan tetap menjadi rahasia bagiku. Sebab di sini hanya

Page 101: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

101

ada gelap. Semata gelap. Di tengah kesunyian, diam-diam aku simpulkan, alangkah indahnya rahasia.

Ciputat, 2013-2014

Judul cerpen ini meminjam selarik puisi milik penyair-pelukis, D. Zawawi Imron, yang tertera pada lukisan Mata Gelap (lukisan sosok Jeihan) karya D. Zawawi Imron.

Page 102: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 103: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

103

Pohon Avokad

Surat itu datang dan membuatku menjadi orang paling melas. Secarik surat yang mengisahkan sejumlah riwayat. Tentang sebuah pohon avokad, kenangan dan cerita-cerita sentimentil yang belum sempat dicatat. Kini, aku bersama surat itu. Surat dari seorang yang biasa kupanggil Ayah.

***Anakku, pohon avokad yang merimbun di pekarangan

luas rumah kita itu telah tumbuh lebih dari 20 tahun. Ayah yang menanamnya. Ayah tanam ketika masih mahasiswa semester enam dulu. Pada mulanya, bibit pohon itu hanya memiliki tinggi sekitar 30 centimeter. Oleh karena ketekunan ayah merawatnya, pohon itu kini berdiri kokoh, rindang dan dapat dinikmati buahnya tiap kali datang musim avokad.

Di batangnya yang kuat, kupasang ayunan, mainan kegemaranmu ketika kecil. Namun, semenjak engkau jatuh terlempar dari ayunan, engkau jadi enggan menyentuh mainan itu lagi. Maafkan ayahmu ini yang ceroboh tak mengikat tambang sekencang mungkin sehingga ayunan itu justru mecelakakanmu.

Sekarang, ayah ingin bercerita asal-usul pohon avokad itu, begini;

Jadi, ketika itu ayah baru saja pulang dari Kuliah Kerja

Page 104: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 105: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

105

Nyata di Lembang, Bandung. Ayah membawa oleh-oleh bibit pohon avokad, yang sejatinya merupakan pemberian seorang warga Lembang yang sempat dekat dengan ayah.

Pemberi bibit pohon avokad itu adalah Bu Nonoh, seorang ibu yang tak akan pernah terhapus dari ingatan ayah. Siapa Bu Nonoh? Ia seorang ibu melas yang terusir dari tanahnya sendiri. Kalah mempertahankan hak milik tanah di pengadilan. Maka, tiap kali melintas depan vila di ujung desa milik orang Jakarta yang hanya dikunjungi seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali itu, Bu Nonoh hanya bisa menggarami lukanya sendiri. Betapa ia dulu adalah pemilik tanah tempat vila itu kini berdiri. Tanah yang diwariskan leluhurnya turun temurun. Tanpa sertifikat. Hanya atas dasar kepercayaan.

Akhirnya ia memilih tinggal di pinggiran desa. Di sebuah tebing yang tak terlalu curam, bersama empat keluarga yang juga terusir. Di rumah triplek semi permanen yang pengap dan lebih pantas disebut kandang kambing. Hanya di sana tempat yang paling bisa dan mungkin ditinggali.

Tak jauh dari rumah Bu Nonoh ada loket masuk wahana wisata hutan pinus. Anakku, kau tahu, hutan pinus itu menawarkan sesuatu yang memukau di pagi dan senja hari. Ketika pagi datang, baris-baris pinus yang kadang berselimut kabut putih itu menguarkan kesejukan beraroma kayu. Mungkin berasal dari lembab pepohonan dan daun-daun gugur di sekitar. Hanya ada sayup cericit burung, derum motor di kejauhan dan sapa para pekebun yang berangkat kerja. Senyap meremangkan bulu kuduk.

Page 106: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

106

Sedang di senja hari, ada matahari jingga mengintip dari sela-sela reranting dan dedaunan pinus. Dari hutan pinus bisa kita pandangi kampung-kampung di kejauhan. Juga terlihat kebun-kebun yang menghampar-menghijau. Dan yang lebih memikat dari itu semua adalah gerumbul pohon berbunga putih, rimbun, ditimpa cahaya senja, tampak seperti lukisan. Sesuatu yang sukar hilang dari kenangan.

Kunjungan pertama ayah ke rumah Bu Nonoh adalah ketika salah satu teman KKN ayah bernama Nabila terkilir saat pulang dari jalan-jalan ke Tangkuban Perahu. Hampir saja Nabila tak bisa melanjutkan perjalanan. Air matanya menganak sungai. Namun, serupa mukjizat, muncul seorang ibu paruh baya yang mengaku bisa mengurut. Nabila diajak ke rumahnya. Teman-teman lain ikut serta. Seperti sulap, kaki Nabila sembuh seperti sediakala setelah diurut Bu Nonoh dengan minyak berbau tajam.

Sadar berutang budi, Nabila jadi kerap mengunjungi Bu Nonoh. Kadang membawa lauk pauk, beras, minyak, atau baju yang dibeli di Pasar Lembang. Nabila biasa datang ke rumah Bu Nonoh ditemani ayah.

Hingga sampailah pada perpisahan yang sentimentil itu. Warga desa berjajar mengantar mahasiswa yang selesai KKN. Tampak air mata mereka menetes satu-satu. Keberadaan mahasiswa satu bulan di sana rupanya mendapat tempat di hati mereka. Ketika bus sudah siap melaju, Bu Nonoh berlari tergopoh-gopoh membawa bibit pohon alpukat, hendak diberikan pada ayah sebagai kenang-kenangan.Tak pelak ayah

Page 107: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

107

mendekap Bu Nonoh erat. Sengal tangis kami tak tertahankan.Anakku, Nabila yang kumaksud tentulah Nabila ibumu.

Sampai saat ini ayah yakin bibit avokad yang ayah bawa itu adalah juga bibit cinta kami berdua. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi yang pasti ayah melamar ibumu tak lama setelah lulus kuliah, setahun selepas KKN. Dan, seingat ayah, sesuatu yang bernama cinta itu hadir untuk Nabila, ibumu, semenjak KKN di Lembang.

Begitulah, anakku, cerita pohon avokad di pekarangan rumah kita. Rawatlah baik-baik pohon itu sebagaimana engkau merawat cinta dalam hatimu.

***Hari ini pohon avokad itu akan ditebang. Posisinya terlalu

berdekatan dengan jalan raya. Ia jadi korban pelebaran jalan. Aku tak bisa apa-apa. Sungguh, hari ini akan kuingat sebagai hari terkutuk. Hari di mana aku membaca sebuah surat yang begitu saja tergeletak di samping bantal saat aku bangun. Surat dari ayah. Tapi, hei, kapan ia menulisnya? Sebulan yang lalu ia meninggal.

Aku tak tahu jawabnya. Kuedarkan pandang keluar jendela. Di sana, gergaji mesin meraung mencabik pohon avokad. Sesaat kemudian ia tumbang. Rebah di tanah. Bersamaan dengan itu menguar segala kenangan. Menuju sebuah sudut paling sunyi di bumi.

Ciputat, November 2011-Mei 2014

Page 108: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky
Page 109: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

109

Abdullah Alawi lahir di Sukabumi, 10 Maret 1983. Pernah aktif di Forum Studi Makar, Piramida Circle dan NU Online. Saat ini dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Surah.

Blog: abdullahalawi.blogspot.com

A. Zakky Zulhazmi lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Redaktur Pelaksana Majalah Surah. Tulisannya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional.

Blog: www.zakkyzulhazmi.com

Tentang Penulis

Page 110: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

110

Tentang Ilustrator

Rahman Seblat lulus ISI Yogya 2002. Lalu bekerja sebagai tenaga komunikasi media di Taman Nasional Kerinci. 2003 cicipi kerja di industri, sebagai tenaga artistik Tabloid Nova. 2004 jadi pekerja lepas dan membantu Desantara Institute sebagai layouter dan ilustrator untuk Majalah Desantara, Srintil dan Syir’ah. 2005 bikin workshop komik edukasi di

penjara anak Tangerang, kegiatan ini melahirkan komunitas RTJ (Rumah Tanpa Jendela), sebuah komunitas belajar dan rumah singgah/pendampingan narapidana anak yang sudah bebas. 2013 terlibat di pameran Jakarta Bienalle: menggarap proyek “Mr Gro”, menggambar gerobak sampah di lima titik di Jakarta. Kemudian memamerkannya dalam venue JAKARTA BIENALLE 2013. Tahun ini, komik edukasi berlanjut menjadi bagian program kampanye konservasi penyelamatan harimau bekerjasama dengan Zoological Society of London. Ia keliling dari sekolah ke sekolah menemani siswa di kawasan hutan Taman Nasional Berbak, Jambi. Di sela kegiatan itu, ilustrasi untuk buku kumpulan cerpen ini digambar. Mengangkat gaya vinyet imajinatif berpola dekoratif, Seblat ‘menerjemahkan’ cerpen-cerpen karya dua cerpenis pegiat Majalah Surah.

Page 111: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky

Surah Sastra didirikan oleh kaum muda. Bibitnya tumbuh ketika di tahun 2004 mengadakan workshop kepenulisan, panggung kesenian, diskusi sastra, dan dialog-dialog kebudayaan dari pesantren ke pesantren, sekolah ke sekolah, komunitas ke komunitas. Intensitas pertemuan itu berujung pada penerbitan majalah sastra yang bertahan hingga kini. Di samping itu, Surah terlibat kerja-kerja kreatif mendorong kaum muda berpartisipasi dan menjiwai keindonesiaan melalui sastra lewat program-program pendidikan, pelatihan dan penerbitan buku.

Page 112: Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnyagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumcer...Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya Abdullah Alawi A. Zakky