golongan putih (golput) menurut pandangan elit...
TRANSCRIPT
GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) MENURUT PANDANGAN ELIT
POLITIK ISLAM DI MALAYSIA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MOHD RIDZUAN BIN MOHAMAD NIM: 109045200010
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1432 H / 2011 M
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...……vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah…………………… 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 6
D. Kajian Terdahulu………………………………………………… 7
E. Kerangka Teori dan Konsepsional…………………………….…12
F. Metode Penelitian…………………………………………………15
G. Sistematika Penulisan……………………………………………..17
BAB II SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA
A. Sejarah Kemunculan Golongan Putih di Malaysia………………..17
B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan putih
Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer…………………….21
C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia……...……25
BAB III GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH
SIYASAH
A. Golongan putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah…………………..32
B. Pandangan Hukum Islam terhadap Golongan Putih…………...…38
vii
BAB IV PANDANGAN GOLONGAN ELIT POLITIK ISLAM
MALAYSIA TERHADAP GOLONGAN PUTIH
A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia……………45
B. Pandangan Golongan Elit Politik Islam di Malaysia…………...…50
C. Undang-undang Terkait Pemilihan Umum……………………….59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………….............................70
B. Saran……………………………………………..……………….71
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..74
LAMPIRAN: Undang-Undang Pemilihan Umum …………………………………….78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Golongan putih merupakan salah satu permasalahan yang sudah lama
berlaku di dalam sistem politik di Malaysia. Permasalahan tentang golongan putih
akan muncul di dalam politik Malaysia ketika pemilihan umum, pembahasan
tentang partai-partai politik, dan sistem pemerintahan Raja Beparlimen (monarki
konstitusional).1
Di dalam perspektif politik Islam di Malaysia, keberadaan golongan
putih mencerminkan perkembangan di dalam hukum, dan terkait dasar
implementasi konsep fiqih siyasah melalui fatwa-fatwa yang dikemukakan ulama
kontemporer di sana.2Seperti pandangan Ustadz Harun Taib merupakan ketua
Dewan Ulama PAS Pusat, menghukumkan sifat yang terdapat bagi golongan
putih adalah haram, jika negara Islam masih ditindas oleh pihak barat.3Terdapat
kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia di dalam memberi pandangan
1 Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu
Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293 2 Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam, ( Selangor: Telaga Biru Sdr Bhd, 2008),
cet. I, h. 33 3 Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur:
Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I, h. 13
2
golongan putih. Seputar pengenalan golongan elit politik Islam, Abdul Rahman
Haji Abdullah membahagikannya kepada tiga golongan:
Pertama, golongan elit politik Islam tradisional, yaitu golongan yang
memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai-partai yang tidak terdaftar
di bawah undang-undang Malaysia. Akan tetapi, pengaruh masyarakat dan
inspirasinya dapat mengancam kebijakan negara. Di sini, golongan elit adalah
tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.
Kedua, golongan elit politik Islam reformis, yaitu golongan yang
memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai yang terdaftar dan sah
menurut undang-undang di Malaysia, seperti (Parti Islam se-Malaysia) PAS.
Perjuangan hak-hak politik dilakukan langsung di dalam parlemen Malaysia
untuk memberi inspirasi terhadap kebijakan negara yang sah menurut undang-
undang. 4 makanya golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.
Ketiga golongan elit politik Islam modernis, yaitu golongan yang
memperjuangkan hak-hak politik, tetapi lebih menfokuskan semangat
nasionalisme seperti (United Malays National Organization) UMNO. 5 Partai ini
juga sah menurut undang-undang Malaysia dan golongan elit adalah tokoh-tokoh
atau ketua partai mereka.
4 Pasal 18 UU. Tahun 1954 5Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya”,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13
3
Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut konsep politik barat
adalah yang pertama, dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut
sebagai gladiators,yaitu golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan
mempunyai nisbah 5-7% populasi dari seluruh lapisan masyarakat.6Kedua,
menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah golongan yang sedikit dalam
pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok masyarakat samada harta,
militer dan sebagainya.7 Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit
menurut pengertian sejarah adalah lebih menfokuskan kepada perlimen perang,
dan mempunyai tokoh di dalam bidang peperangan seperti keberanian dan
sebagainya.8
Di dalam analisis berpolitikan di Malaysia, golongan putih merupakan
faktor yang penting, terutamanya dalam hal penentuan hasil suara pemilihan
umum, ketika Pemilihan Umum pada tahun 2008, persentase masyarakat yang
mengunakan hak pilihannya sebesar 77,1%.9 Masalah ini ramai dibicarakan oleh
golongan elit politik di Malaysia dari golongan elit Islam dan bukan Islam.
Persoalannya mengapa mereka tidak pergi memilih, apakah mereka tidak
6 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,2008) cet. I, h. 372 7 Hendi Suhendi, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, ( Bandung: Pustaka
Setia, 2008), cet. I, h. 236 8 http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021
13/4/2010 WIB 9Karaktristik dan Jumlah Yang Tidak Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di
Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB
4
menyokong partai mana pun di dalam pemilihan umum? Atau partai-partai
politik tidak menjamin hak-hak mereka?
Dengan persoalan di atas, penulis ingin menengahkan perbincangan ini
dengan beberapa pendapat di kalangan golongan elit politik Islam di Malaysia
yang masih hidup, terutamanya dua tokoh utama yaitu Abdul Hadi Awang dan
Anwar Ibrahim. Kedua tokoh ini merupakan ketua partai yang besar di Malaysia,
yaitu Abdul Hadi Awang sebagai presiden Partai Islam se-Malaysia (PAS) dan
Anwar Ibrahim sebagai presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR).
Sebagai contoh pandangan Abdul Hadi Awang terhadap golongan putih
adalah mereka yang tidak mengetahui dasar atau nilai-nilai Islam terhadap
pemerintahan, seperti konsep demokrasi di dalam Islam, dan hukum sistem
pemilihan umum menurut ulama Islam kontemporer dan sebagainya.10 Sementara
pendapat Abdul Hadi Awang sependapat dengan Anwar Ibrahim.
Berdasarkan huraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih mendalam masalah yang berkait dengan kedua pandangan tokoh
tersebut sehingga penulis angkat menjadai judul skripsi: “ Golongan Putih
(Golput) Menurut Pandangan Elit Politik Islam Di Malaysia”
10 Abdul Hadi Awang Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor:PTS Publications
&Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II, h. 211
5
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis membatasi
dan hanya menfokus pada pandangan golongan elit politik Islam terhadap
golongan putih, dan hanya berlaku di seluruh negeri-negeri bagian di Malaysia
kecuali Serawak, dan juga khusus pada berlaku pemilihan umum 2008.
Kemudian melihat sejauh mana implementasi hukum Islam dan kritikan
mereka terhadap aktivitas golongan putih terhadap partai dan negara,
khususnya bagi memberi kebijakan terhadap kekuasaan negara Islam.
2. Perumusan Masalah
Berdasakan huraian di dalam latar belakang dan pembatasan masalah di
atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat
dirumuskan menjadi sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penerapan hukum Islam tentang golongan putih di dalam
konsep fiqih siyasah di Malaysia?
b. Bagaimanakah pandangan golongan elit politik Islam terhadap kegiatan
golongan putih di Malaysia?
c. Bagaimanakah undang-undang yang terkait dengan golongan putih?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Bagi mengetahui penerapan hukum Islam di dalam konsep fiqih siyasah.
2. Untuk mengetahui pandangan golongan elit politik Islam terhadap
kegiatan golongan putih di Malaysia.
3. Untuk mengetahui undang-undang yang terkait terhadap golongan putih.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap berbagai persoalan
yang terkait dengan golongan putih di Malaysia.
b. Memberi pengetahuan dan infomasi tentang penerapan golongan putih
di Malaysia.
c. Sebagai sumbangan kepada ahli-ahli politik dan juga kepala
pemerintah dalam menangani segala permasalah yang berlaku di
Malaysia.
d. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan
khususnya di bidang ketatanegaraan Islam di Malaysia.
7
D. Kajian Terdahulu
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan,
baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkaji secara
umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan
paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang
berupa buku maupun skripsi, di antaranya:
Penelitian yang ditulis Nurjana yang berjudul “Analisis Budaya Organisasi
dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan”, tahun 2008.11 Skripsi ini
membahaskan tentang gambaran umum dalam kajian budaya dan kelompok
masyarakat. Seterunya merupakan salah satu faktor penting kajian masyarakat di
dalam studi politik dan ekonomi, dalam masa yang sama kebuntuhan negara
terhadap ekonomi dan politik amat memerlukan bagi memberi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat
Penelitian yang ditulis Ahmad baha yang berjudul “Analisis Pemikiran
Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”,tahun 2009.12 Skripsi ini membahaskan
tentang gambaran kajian Anwar Ibrahim sebagai tokoh politik Islam yang aktif
bergerak di dalam politik Malaysia, dan banyak mengkaji masalah di dalam
bidang politik, terutamanya kelompok kepentingan dan penyokong perbagai
partai politik.
11Nurjanah,”Analisis Budaya Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Keinerja
Karyawan” (Skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008).
12 Ahmad Baha, “Analisis Pemikiran Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum ,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
8
Penulis ingin menengahkan kajiannya terhadap golongan putih, kerana
pada dasarnya Anwar mahu mengembalikan kedudukan orang Melayu di
Malaysia dari sudut pemerintahan daripada dikuasai selain golongan Melayu,
terutamanya golongan Cina yang telah menguasai di dalam bidang ekonomi.
Matlamatnya mahu mengembalikan golongan putih kepada golongan aktif
mahupun pasif, kerana golongan putih dapat merugikan kebijakan negara
terutamanya hak kedudukan bangsa Melayu di Malaysia.
Penelitian yang ditulis Nabhawi yang berjudul “Golput Dalam Persepektif
Islam”, tahun 2005 .13 Skripsi ini membahaskan secara umumnya implementasi
hukum Islam terhadap golongan putih di dalam konsep sistem pemerintahan
Islam.
Penelitian yang ditulis Abdul Hadi Ripin yang berjudul “ Nilai-Nilai
Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksaan Pemilu di Malaysia”, tahun 2008.14
Skripsi ini membahaskan sistem penerapan pemilihan umum di Malaysia, dan
foktor yang mempengaruhi masyarakat Malaysia di dalam kegiatan partai-
politik, dan juga masyarakat yang tidak terlibat di dalam partai atau pemilihan
umum di sebut sebagai golongan putih.
Selain Skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang
golongan putih di Malaysia telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik
13Nabawi. ”Golput Dalam Persepektif Islam”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 14 Abdul Hadi Ripin, “Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksanaan Pemilu di
Malaysia”, (skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
9
topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan
penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-
karya penelitian tersebut:
Buku pertama,“Fahaman atau Ideologi Umat Islam”, Karya Abdul Hadi
Awang15. Buku ini membahaskan ideologi umat Islam bermula zaman rasulullah
sehingga zaman sekarang, dan kesannya terhadap pemerintahan. Dalam
perbahasan ini, Abdul Hadi Awang meneliti terhadap penyokong Islam yang
keluar dari partai Islam se-Malaysia (PAS) disebabkan kesan ideologi
keagamaan dan sebagainya.
Buku kedua, “Islam dan Demokrasi”, Karya Abdul Hadi Awang.16
Dalam buku ini ditulis beberapa bab tentang “politik dan agama, pemisahan
politik dan agama, pahaman kebangsaan, serta perinsip-perinsip dan konsep
politik dalam Islam”. Intinya buku ini membahas tentang bagaimana hubungan
politik Islam sebuah negara dan hak-hak rakyat di dalam pemilihan kepempinan
dan tokoh-tokoh Islam.
Buku ketiga, “Pembentukan Partai Politik Islam”, Karya Taqiyuddin an-
Nabhani17. Buku ini membahas dan meneliti dasar-dasar pembentukan partai
Islam sebagai jalan atau wasilah untuk menegakan negara Islam, bermula kajian
sifat seorang muslim sehingga dapat membentuk partai Islam yang mantap.
15 Abdul Hadi Awang, Fahaman atau Ideologi Umat Islam, (Selangor:PTS Publications
&Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II 16 Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I 17 Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia, terjemahan oleh: M.Siddiq
Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II
10
Buku keempat, “ Pemikiran Islam di Malaysia sejarah dan Alirannya”,
karya Abdul Rahman Haji Abdullah.18 Buku ini membicarakan sifat orang Islam
Melayu di Malaysia dari sudut perkambangan sejarah terhadap pemerintahan,
akidah, ekonomi, budaya dan politik. Intinya menjadi sumber rujukan terhadap
sejarah perkembangan partai politik di Malaysia.
Buku kelima, “Model Kerajaan Islam Memebangun Bersama Islam”,
karya Harun Taib.19 Buku ini di antaranya membicarakan konsep kepimpinan
dalam Partai Islam Se-Malaysia (PAS) khususnya di Negara Bagian Kelantan,
akhlak dan disiplin dalam Harakah islamiyyah, model kerajaan Islami, ulama
dan tokoh politik di Malaysia.
Buku keenam, “Muqaddamah Ibn Khaldun”, terjamahan oleh Ahmadie
Thoha.20 Buku ini merupakan buku utama, dan menjadi sumber kajian penting
terhadap sosial masyarakat dan hubungan terhadap pembetukan sebuah negara
yang bertamadun berdasarkan konsep dan implementasi hukum dan filsafat
Islam.
Buku ketujuh, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karya Miriam Budiardjo.21
Buku ini membahaskan asas-asas penerapan ilmu politik secara umumnya, dan
18 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I 19Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur:
Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I 20 Ahmadie Thoha, Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008), cet. IIV 21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,2008) cet. I
11
memberi kefahaman yang mudah terhadap kajian masalah politik terutamanya
golongan putih di dalam sebuah negara.
Buku kedelapan, “Pengantar Sosialogi Politik”, karya Michael Rush dan
Phillp.22 Buku ini membahaskan kajian politik terutamanya golongan putih atau
lebih dikenali dengan kata istilah apatis, di dalam buku ini juga membahaskan
ciri-ciri golongan putih yang berlaku di masa kontemporer.
Buku kesembilan, “Sosialogi dan Politik”, karya Nurul Aini dan Ng
Philipus.23 Buku ini lebih meneliti terhadap kajian masyarakat yang terpengaruh
kepada politik atau tidak, dan disebut sebagai golongan aktif, pasif dan apatis.
Dengan kajian yang dibuat, buku ini mudah menjadi rujukan kerana mempunyai
kandungan isi yang mudah difahami.
Buku kesepuluh, “Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya
& Dinamika Hubunganya dengan Indonesia”, karya Khoridatul Anissa.24Buku
ini meneliti terhadap sistem pemerintahan di Malaysia secara lengkap bermula
sosial, ekonomi, dan politik. Di dalam kajian politik, buku ini lebih mendalami
terhadap konsep negara Islam dan pembentukan partai politik di Malaysia.
Dari beberapa kajian terdahulu di atas, khususnya mengenai golongan
putih dari sudut pandangan elit politik Islam di Malaysia sebagai mana telah
disebut di atas, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji
22 Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, diterjemah oleh: Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III
23Ng Phlippus, dan Nurul Aini, Sosialogi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. V
24 Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I
12
golongan putih di Malaysia khususnya. Adapun penelitian yang dilakukan oleh
Nabawi dengan judulnya Golput dalam Persepektif Islam hanya hubung kait
implementasi dan dasar-dasar hukum Islam, seterusnya perbahasan ini hanya
seputar golongan putih di Indonesia, jadi perbahasan ini tidak menyentuh
terhadap kajian di Malaysia dan juga pendapat golongan elit politik Islam di
Malaysia. Dengan demikian, peneliti yang penulis lakukan dalam skripsi ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional
Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai ciri khas yang tidak
berubah, sempurna, harmonis dan berkembang sesuai dengan keadaan zaman.
Artinya bahawa hukum Islam merupakan hukum yang mampu mendamaikan
stabilitas dengan perubahan, sehingga akan berguna untuk menyelesaikan
masalah dan memenuhi tujuan hidup manusia.
Ada beberapa teori tentang sifat atau praktek golongan putih, di antaranya;
1. Golongan putih administratif, yaitu orang yang tidak memilih kerana
persoalan administrasi. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum
sesungguhnya berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar
pemilih atau terjadi kesalahan administrasi sehingga mereka kehilangan hak
pilinya.
2. Golongan putih teknis, yaitu orang yang tidak memilih kerana masalah teknis,
seperti sakit sehingga tidak bisa datang ke tempat pemungutan suara (TPS),
13
atau saat jam-jam pemilihan umum turun hujan lebat, atau TPS-nya jauh dari
rumah dan mengalami kendala transportasi, dan sebaginya.
3. Golongan putih ideologis, yaitu orang secara hukum mahupun teknis
sebenarnya tidak ada kendala, tetapi mereka sengaja tidak mengunakan hak
pilihnya kerana pertimbangan tertentu. Misalnya tidak percaya kepada calon-
calon (legislatif maupun eksekutif) yang ada, atau tidak percaya lagi kepada
sistem atau makenisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau
penyelengaraan pemilu, dan sebagainya.
Dalam Islam, kedudukan golongan putih terhadap konteks fiqih masih lagi
berada diruang lingkup masalah ijtihadiyyah, Dalam literatur(kajian)fiqih dan
ushul fiqih istilah golongan putih atau abstain diistilahkan dengan kata
“tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan
“tamakkuts” yang berarti berdiam diri dan berhenti. Adapun secara istilah maka
sikap tawaqquf bermakna ‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan
tidak memberikan pendapat dalam sebuah permasalahan ijtihadiyah yang
disebabkan karena tidak nampak baginya sisi yang benar dalam permasalahan
tersebut.
Adapun kerangka dan kesimpulan Konsepsional;
1. Al-Quran dan Al-Hadis sebagai dasar atau panduan utama dalam
menyelesaikan sesutau permaslahan, kerana kedudukan dari sudut nash
terbahagi kepada 2 bagian yaitu pertama Qatiyyatu Thubut dan kedua
14
Zoniyyatul Thubut , sementara kedudukan penunjuk terhadap hukum terbagi
kepada 2 bagian yaitu; Qatiyyatu Dilalah dan Zoniyyatul Dilalah.
2. Ijtihad adalah hasil hukum yang di keluarkan oleh para mujtahid melalui
mentode yang sudah ditetapkan, seperti mentode qias, istihsan, masholih al-
mursalah, sad az-zaraie, dan qowaid kuliyyah.
3. Fiqih adalah hukum yang sifat mengikat dalam bentuk halal, haram dan
sebagainya, dalam hal ini, para imam mazhab adalah memengan tugas utama
dalam mengeluarkan hukum-hukum tersebut. Sementara ini, hukum yang
dikeluarkan adalah bersifat kondifikasi atau tidak dengan menilai kesusuaian
masa dan tempat ketika itu.
4. Penarikan kesimpulan (istimbath) hukum Islam terhadap masalah golongan
putih yang dilakukan oleh ulama atau intlektual Islam kontemporer adalah;
a. Merujuk nash al-Quran dan al-Hadis melalui tekstual, seterusnya dalam
rangka penafsiran samada melalui dilalah mafhum, manthuq, isyarat dan
meneliti dari sudut kedudukan makna samada kedudukan
khafi,mujmal,musykil, mutsyabih, nash, zohir, muffassar dan
muhkam.sebagai contoh, golongan putih disebut sebagai “tawaqquf” yang
secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts”.
b. Menilai dari sudut konteks, atau disebut sebagai maslahah,dalam hal ini,
konteks maslahah berpadukan garis kulliyyah, qothiyyah dan dharuriyyah,
dan bukan yang menyimpang garis panduan di atas, seperti pemahaman
15
realisme dan rasionalisme. Adapun contoh kaedah yang mengeluarkan
hukum bagi masalah golongan putih ( ȴǪɅ ɍ Ǡȵȱǟɀȱǟ ɀȾȥ ȼǣ ɍǟ ǢDZǟɀǟǢDZ )
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Untuk pemasalahan pengumpulan dan meneliti data dalam skripsi ini,
penulis mengunakan metode penelitian pustakaan (library research). Penulis
mencoba mengumpulkan data-datanya berasal dari sumber-sumber kepustakaan,
baik berupa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam
skripsi ini.
3. Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah golongan putih dan subyek
adalah lebih menfokuskan pemikiran, pendapat dan latar belakang golongan elit
politik Malaysia.
3. Teknik Pengumpulan dan sumber data
Untuk mendapat data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan
data dilakukan dengan setudi dokumentar dari bahan-bahan tertulis yakni dengan
mencari bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan obyek penelitian.
Data yang diperolehi dapat dibedakan menjadi data primer dan skunder.
Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah buku Karangan
Thahani Miswan tentang judul ‘8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram
Golput’ dan karangan Abdul Rahman Abdullah dengan judul ‘Pemikiran Islam di
16
Malaysia’ Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku, seperi buku
karangan Abdul hadi Awang, dengan judul Islam dan Demokrasi, dan Ideologi
Umat Islam, seterusnnya karangan-karangan lain yang terkait dengan judul skripsi
ini, literature-literature, dan website yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Kemudia data tertier berupa kamus, jurnal dan artikal
4. Teknik Analisis Data dan teknik penarikan kesimpulan
Pembahasan skripsi ini mengunakan teknik deskriptif analitis. Yaitu data
yang terkait jumlah golongan putih adalah dikeluarkan oleh Suruhanjaya Pilihan
Raya (SPR) atau disebut sebagai panetra pemilihan umum pada tahun 2008,
sementara data-data lain adalah seperti jumlah penduduk yang mengeluarkan hak
pilih dalam pemilihan umum. Makanya dengan melalui pendekatan kualitatif ini
sebagai rujukan primer dalam skripsi ini.
Metode atau teknik diskriktif adalah suatu metode yang meneliti status
kelompok, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskriptif
(gambaran) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat dan
hubungan antara fenomena yang diselidiki. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan study analitis ialah menganalisis (menguji) hipotesa-hipotesa dan
mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan fakta-fakta,
sifat-sifat, dan antar fenomena yang diselidiki. Pendekatan yang bersifat deskriptif
dalam pendekatan ini diperlukan untuk mengambarkan golongan putih atau
17
Malaysia. Dan metode analitis dimaksudkan untuk menelaah metodologi
pandangan atau keritikan golongan elit politik Islam di Malaysia.25
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syasiah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta
menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan mengunakan sistematika
memebahas sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian terdahulu, kerangka teori dan konsepsional, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian.
Selanjutnya pada bab II merupakan tinjauan umum terhadap studi sejarah
kemunculan dengan membahas sejarah golongan putih di Malaysia, faktor yang
mempengaruhi perkembangan sebelum dan sesudah di masa kontemporer,
karakteristik dan jumlahnya.
25 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghlia Indonesia, 1983), cet. III, h. 63
18
Untuk mengetahui lagi kedudukan hukum Islam yang terkait masalah
golongan putih, maka pada bab III, membahaskan tentang penerapan di dalam
konsep fiqih siyasah dan pandangan hukum Islam terhadap golongan putih.
Agar lebih mendalam lagi perkembangan hukum Islam yang melibatkan
kedudukan masa dan tempat, bab IV membahaskan pendapat dan pandangan
golongan elit politik Islam khususnya hanya berlaku di Malaysia, dengan
bermula dari sudut pengenalan kategorisasi, dan undang-undang terkait
Pemilihan Umum.
Kemudia skripsi ini penulis tutup dangan kesimpulan dan saran pada bab V.
18
BAB II
SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA
Penelitian terhadap golongan putih di dalam kajian politik terutamanya di
Malaysia lebih menfokuskan terhadap hubung kait terhadap sistem pemilihan umum.
sudah dimaklumi bahawa sistem pemerintahan Malaysia mengamalkan sistem Raja
Berparlemen,1 maka pemilihan umum tidak semua suara rakyat memberi inspirasi
terhadap kebajikan negara di dalam sistem pemilu yang berlaku pada 5 tahun sekali.2
Menurut sejarah pemilihan umum di Malaysia yaitu di Pulau Pinang dengan
dibentuknya pejabat sementara yang dinamakan Jawatankuasa Penilai ( Committee of
Assesror ) pada tahun 1801. 3 Pada awalnya pejabat ini bertanggung jawab atas aspek
pembangunan kota supaya lembaga ini dapat memenuhi kebuntuhan penduduk
setempat, termasuk di dalamnya urusan jalan, pembangunan sistem saluran jalanan,
pejabat pelaksanaan undang-undang, urusan keamanan, serta urusan pajak.
Penduduk–penduduk Asia dan Britis yang kaya terlibat dalam musyawarah
yang memilih anggota Jawatankuasa sukarela ini, walau bagaimanapun, pengurusan
Jawatankuasa ini dilantik oleh Lieutenant Governor, 4 yang kemudian Jawatankuasa
ini berubah menjadi Majlis Perbandaran hingga sekarang.
1 Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, ( Selangor Darul
Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77 2 Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu
Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293 3 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala
Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 18 4 Lieutenant Governor adalah gubenur Negara Inggris ketika menjajah negeri-negeri selat
19
Secara dasarnya, golongan putih yang berlaku pada awal pemilihan umun di
Malaysia tidak lagi menjadi sumber penelitian oleh golongan elit politik Islam, kerana
menurut sejarah, yang berlaku pemilihan umum pada tahun 1945 adalah rancangan
oleh pihak penjajah untuk memberi hak kebebasan rakyat bagi memilih pemimpin,
dalam masa yang sama Inggris masih lagi menguasai sepenuhnya tanah Melayu pada
saat itu dari sudut undang-undang pemerintahan.
A. Sejarah kemuculan Golongan Putih di Malaysia.
Pada tahun 1953, Partai Persekutuan menuntut agar anggota Majlis
Musyawarah Undangan Persekutuan dipilih melalui sistem pemilihan umum
bukan oleh pihak Inggris. Ini akan memberikan peluang kepada pimpinan-
pimpinan Partai Perserikatan untuk dapat menjadi anggota majlis Musyawarah
kerajaan yang merupakan sebuah badan penting dalam penyelengaraan Negara.
Disamping itu, Partai Persekutuan juga menuntut pihak Inggris agar pilihan
umum (pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan parlemen) agar
diadakan selambat-lambatnya pada tahun 1954, dan anggota Majlis Musyawarah
Undangan Persekutuan yang dipilih melalui pemilihan umum hendaklah
berdasarkan suara terbanyak dalam majlis tersebut. 5
Akhirnya dengan persetujuan Inggris, pemilu Majlis Perundangan
Persekutuan yang pertama bagi Negara Malaysia secara rasmi dilaksanakan pada
5 Tajuddin Bin Hussen, Malaysia Negara Kita, (Kuala Lumpur: Mdc Publisher Sdn Bhd,
2007), cet. I, h, 269-270
20
tanggal 27 juli 1955. Sehari sebelum yang bersejarah itu, setiap partai politik yang
terlibat dalam pemilihan umum akan mengadakan kampanye setelah
mengumumkan calon pimpinannya yaitu pada tanggal 15 juli 1955.
Dalam pemilihan umum tersebut, kelompok-kelompok Partai perikatan
yaitu UMNO, MCA dan MIC telah mengadakan beberapa perundingan untuk
membagikan wilayah pemilahan dan jumlah kerusi yang diperbuatkan. Hasilnya,
UMNO memenan di 35 wilayah, MCA di 15 wilayah dan MIC di 2 wilayah.
Dalam pemilu ini, Partai Perserikatan memenangkannya dengan memperoleh 51
kursi dari 52 kursi yang diperebutkan, sedangkan 1 kursi lagi diraih oleh Partai
Islam Se-Malaysia (PAS).6
Sudah dijelaskan sejarah ringkas sistem pemilu di Malaysia. Pada
peringkat permulaanya di dalam sistem pemilihan umum di sana, secara dasar
golongan putih sudah berlaku kepada mansyarakat Melayu pada saat itu, dalam
masa yang sama, hak-hak suara rakyat di dalam memberi kebijakan terhadap
sistem demokarasi masih lagi tidak menyeluruh. Pada saat itu apa yang di
jelaskan lagi oleh Abdul Rahman di dalam bukunya adalah masyarakat Melayu
mempunyai pemikiran atau ideologi yang terpenggaruh, 7dan terjadilah pinggiran
6 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala
Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 32 7 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya”
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 17
21
atau dikecualikan dari memberi hak pemilihan di dalam sistem pemilu, yaitu di
sebut dari sudut etimologis adalah apatis atau lebih dikenali golongan putih. 8
Amalan apatis atau golongan putih bermula di kalangan golongan Melayu
menurut logman adalah dengan bermula kedatangan penjajah barat yang
membawa kemasukkan ramai pekerja asing bukan Islam dari India dan Tanah
Besar Cina. Penjajah membuka ladang-ladang dengan mengunakan tenaga buruh
dari India dan membuka kawasan perbandaran baru dengan peluang ekonominya
lebih banyak dikuasai oleh pekerja dari Cina. 9
Dengan pembentukan bandar-bandar baru itu menyebabkan kebanyakan
bandar diduduki oleh bukan Islam khususnya Cina, orang Melayu-Islam tinggal
sebagai petani di luar bandar dan masyarakat India tinggal di ladang-ladang.
Penjajah membuka peluang pedangan direbut oleh masyarakat Cina. Justeru sifat
pedangan bebas itu mengundang amalan monopoli, maka peniaga itu terbiar
dengan amalan monopolinya hingga tertutup ruang pedangan bagi orang Melayu
dalam semua bidang. Segala hasil pertanian orang Melayu tidak mendapat
pasaran meluas dan layanan yang adil, berbeda dengan hasil pertanian orang Cina.
Monopoli kaum itu menyebabkan petani Melayu tertindas. Di setiap bandar
penjajah membuka persekolahan lengkap yaitu sekolah Inggeris dan peluang
pelajaran banyak terbuka kepada penduduk bandar. Sekolah di desa-desa untuk
8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,2008) cet. I, h. 372 9 Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009),
cet. I, h. 55
22
orang Melayu tidak sempurna. Sekolah-sekolah pondok tidak diberi bantuan dan
tidak digalakkan.
Menjelang kemerdekaan sekolah yang penting adalah sekolah Inggeris.
jumlah guru kebanyakannya Cina. Guru Melayu amat kurang. Ia membuka ruang
penindasan terhadap anak-anak Melayu di sekolah Inggeris, kebayakan murid
Melayu pinggir tetapi murid-murid Melayu di sekolah bantuan penuh kerajaan
seperti Malay College, kebayakan murid Melayu boleh mencapai kejayaan,
pinggiran pelajar Melayu itu ada hubungannya dengan penindasan guru-guru
bukan Melayu, maka menyebabkan rata-rata orang Melayu ketinggalan dalam
bidang pelajaran.
Ketinggalan orang Melayu di bidang ekonomi dan pelajaran adalah
berpunca dari penindasan monopoli kaum pedagang Cina dan guru-curu Cina,
Pelajar India dan nasib orang India dalam ekonomi terus ketinggalan, penindasan
atau diskriminasi ini tidak berlaku sebelum kedatangan penjajahan barat, dalam
masyarakat Islam sebelum kedatangan barat, semua penduduk diberi layanan adil
sesuai dengan ajaran Islam, hingga orang Melayu mengunakan bahasa pasar atau
lokal yang susah bagi mudahkan ia difahami oleh Cina dan India semata-mata
mahu melicin dan melancarkan komunikasi dan hubungan.
23
Layanan adil terhadap golongan minoriti itu adalah bertolak dari ajaran
dan keadilan Islam yang melarang pendindasan. Diskriminasi monopoli dan
penindasan atas golongan minoriti adalah zalim dan perbuatan itu berdosa.10
Sikap dan perbedaan ini terbawa-bawa hingga selepas kemerdekaan.
Monopoli ekonomi terus berlaku. Kerajaan gagal mewujudkan sekurang-kurang
30 persen bagi bumiputera ialah kerana peluang pedangan kebanyakananya
ditangan kaum Cina, kerajaan Pro Melayu pula memberi lesen atau stafikat dan
peluang banyak kepada orang Melayu, tetapi monopoli pedangan ada di tangan
orang Cina, maka semua lesen itu terjual kepada orang Cina.
Dengan kesimpulan ini, apa yang dijelas oleh Logman di dalam bukunya
yaitu sejarah Malaysia,11 sejarah muncul golongan putih adalah berpunca dari
kemasukan orang-orang India dan Cina dari pihak Inggris sekitar pada awal abad
ke 18, maka terbentuklah sifat apatis bagi golongan masyarakat Melayu di dalam
berpolitikan di Malaysia.
B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan Putih Sebelum dan
Sesudah di Masa Kontemporer.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan golongan putih sebelum
kontemporer adalah ditinjau banyak sudut, pertama dari sudut sosiolisasi.
10Ahmadie Thoha,Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV, h. 10
11 Logman, Sejarah Malaysia,(Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009),
cet. I, h. 60
24
Menurut konsep sosiologi, sesuatu kelompok itu berlaku perubahan dengan tiga
faktor:
1. Kesedaran dan kedudukan psikologi.
2. Hubungan atau kontrak sosial.
3. Suasana atau kondisi tempat. 12
Golongan putih tidak terlepas daripada tiga faktor di atas, yang
menyebabkan berlaku perubahan di dalam sistem politik sesebuah negara,
khususnya di Malaysia.
Kedua, yang menyebabkan mempengaruhi golongan putih ini berkembang
adalah ditinjau dari sudut berpolitikan yang berlaku di dalam sesebuah negara,
sebagai contoh, Malaysia mengamalkan sistem Raja Beparlemen (monarki
konstitusional), suara rakyat mesti didahulukan. 13 Dan juga banyak berlaku di
sana pertubuhan partai-partai politik, bagi memberi inspirasi yang sah dan
bersistem menurut undang-undang, yaitu menerima suara rakyat menjadi sebagai
dasar perlembagaan negara.
Secara dasarnya, faktor yang mempengaruhi golongan putih sebelum
zaman kontemporer adalah foktor politik saat itu, sebagai contoh, pada zaman
pemerintahan Tunku Abdul Rahman yaitu Perdana Menteri yang pertama, adalah
pada saat itu Malaysia baru menjelang kemerdekaan, dan masyarakat Melayu
secara meyoritasnya masih lagi merasakan politik atau kekuasaanya dijajah, dan
12 Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Perseda, 2003), cet. 3, h. 46 13Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu
Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293
25
semangat ideologi tradisionalisme terus mempengaruhi pada setiap lapisan
masyarakat. 14
Pemikiran atau semangat golongan putih pada awalnya, sudah berlaku dan
mempengaruhi di dalam partai politik pada saat itu, tetapi pada akhirnya golongan
ini berlaku kesedaran dan perubahan terhadap kepentingan pertubuhan partai-
partai politik, yaitu kepentingannya adalah hak-hak perjuangan untuk menghalau
penjajah Inggeris. 15
Faktor yang mempengaruhi sesudah kontemporer kurang lebih sama pada
masa sebelumnya, yaitu foktor sosiolisasi dan politik, cuma dari sudut politik
ianya meluas pada masa sebelumya. Jika ditinjau dari sudut politik, kemunculan
partai-partai politik semakin bertambah sehingga terbentuk sistem multi partai
pada saat ini, dan suara rakyat terus dilayani oleh pihak pemerintah walaupun
berada dikawasan perdalaman disebabkan kecangihan teknologi dan sebagainya.
Tetapi menurut kajian kenapa golongan putih terus meningkat persentasenya di
Malaysia dan semakin bertambah pada saat ini?
Secara dasarnya, sistem multi partai yang diamalkan di Malaysia adalah
punca menyebabkan banyak golongan putih muncul. Diantara kelemahanya
adalah:
14 Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika
Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I, h. 41 15 Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009),
cet. I, h. 179
26
Mempunyai kecederungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan
legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu hal ini.
1. Tidak ada suatu partai yang cukup kuat untuk membentuk koalisi dengan
partai-partai lain.
2. Partai-partai oposisinya kurang memainkan peranan yang jelas kerana
sewaktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan
koalisi baru.
Faktor dalaman setiap partai-partai politik, seperti berlaku korupsi dan
sebagainya menyebabkan penyokong hilang kepercayaan. 16
Sebagai kesimpulanya, faktor yang menyebabkan mempengaruhi pemikaran
golongan putih di Malaysia adalah, pertama sisiolisasi dan kedua berpolitikan.
Dan secara dasarnya, di dalam sejarah masyarakat Melayu mempunyai tiga
pemikiran yang menyebabkan kurang tambahnya golongan putih di sana,17 yaitu
pertama golongan tradisionalisme,18 kedua golongan modernisme,19 dan ketiga
golongan reformisme.20
16 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,2008) cet. I, h. 418 17 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya,
,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13 18 Istilah tradisionalisme digunakan dalam pengertian konservatif atau mempertahankan
yang lama atau ditinjau dari sudut pemikiran adalah menekankan persoalan agama di dalam kehidupan.
19 Istilah modernisme menurut Roger Garaudry adalah Westernisme yaitu aliran yang berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat.
20 Istilah reformisme adalah semangat puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine).
27
C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia.
Secara dasarnya, karaktreristik dan jumlah golongan putih di Malaysia
adalah ditinjau karaktristik dan jumlah yang lain terlebih dahulu, yaitu jumlah
penduduk, data pemilihan umum dan seterusnya jumlah golongan putih.
1. Karakteristik dan jumlah penduduk Malaysia:21
Tabel 1
Negara bagian Penduduk Luas
wilayah
Bumi-Putra
(%) China (%) India (%)
Selangor 4.188.876 7.960 43,5 35,7 19,6
Johor 2.740.625 18.987 57,1 35,4 6,9
Labuan 76.067 92 79,6 15,8 1,3
Putrajaya 45.000 148 94,8 1,8 2,7
Perak 2.051.236 21.005 44,7 37,0 20
Kedah 1.649.756 9.425 76,6 14,9 7,1
Kuala Lumpur 1.379.310 243 38,6 46,5 13,4
Penang 1.313.449 1.031 27,5 61,5 10,6
Kelantan 1.313.014 15.024 95,0 3,8 0,3
Terengganu 898.825 12.955 96,8 2,8 0,2
Negeri
Sembilan 859.924 6.644 57.9 25,6 16,0
Melaka 635.791 1.652 63,8 29,1 6,5
Perlis 204.450 795 85,5 10,3 1,3
Sabah 2.603.485 73.619 80,5 13,2 0,5
21 Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data:
Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Departemen Statistik Malaysia.
28
Data di atas, jumlah penduduk Malaysia bagi seluruh Negeri Bagian adalah
22.931.314 jiwa kecuali Negari Bagian Serawak. Masyarakat Melayu masih lagi
mempunyai karaktristik yang tinggi berbanding bangsa lain. Dari sudut
partisipasi, masyarakat Melayu mempunyai hak suara yang lebih di dalam politik
Malaysia. Adapun karaktristik dan jumlah pemilih yang melakukan hak pemilihan
di dalam pemilihan umum pada setiap lima tahun sekali adalah seperti berikut:
2. Jumlah pemilih yang dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau jabatan
Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) kali ke 12.22
Tabel 2
No Negeri Jumlah pemilih Keluar memilih
1 Perlis 120,081 97,386 (81%)
2 Kedah 873,674 697,384 (79,8)
3 Kelantan 735,417 607,674 (82.6)
4 Terengganu 521,527 443,182 (85.0)
5 Pulau Pinang 709,323 553,755 (78.1)
6 Perak 1,196,160 871,731 (72.9)
7 Pahang 603,242 464,826 (77.1)
8 Selangor 1,536,111 1,187,511 (77.3)
9 Negeri Sembilan 462,015 354,596 (76.7)
10 Melaka 371,594 297,179 (80.0)
11 Johor 1,312,120 997,817 (76.0)
22 Karaktristik dan Jumlah Pengeluar Pengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia,
Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 17.55 WIB
29
12 Sabah 786,142 544,185(69.2)
Jumlah 9,227,476 7,117,226 (77.1)
Berdasarkan sumber data di atas, bilangan atau jumlah penduduk Malaysia
sebanyak 22.931.314 jiwa, 23 dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
sudah berdaftar sebagai layak memilih dengan jumlahnya 9.227.476 jiwa.24Maka
persentase golongan putih adalah sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang
tidak mengeluarkan hak pemilihan pada pemilihan umum kali ke-12 pada tahun
2008.
Jadi sebanyak 13.703.838 jiwa, adakah dikatakan kepada mereka sebagai
golongan putih kerana tidak memberi hak inspirasi rakyat terhadap kebijakan
pemerintah? Disini berbagai persoalan yang dikemukakan oleh golongan elit
politik, terutamanya golongan elit plitik Islam di dalam penelitian permasalahan
ini.
Dalam hal yang sama, jumlah pendaftaran yang dibuat oleh panetra
pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) dengan sebanyak
9.227.476 orang yang layak memilih, tetapi pada pilihan umum kali ke-12
sebanyak 20% yang tidak mengunakkan pemilihannya di dalam pemilihan umum
23 Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data:
Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Deparmen Statistik Malaysia. 24 Karaktristik dan Jumlah Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia,
Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya. diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 17.55 WIB
30
pada saat itu, ini bermakna, jumlah penduduk yang tidak mengundi semakin
bertambah. 25
Dengan kesimpulan di atas, karaktristik dan jumlah golongan putih di
Malaysia terbahagi kepada dua bahagian:
1. Sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang tidak melakukan haknya di
dalam pemilihan umum pada tahun 2004, dan jumlah ini dinisbahkan kepada
jumlah penduduk sebanyak 22.931.314 jiwa termasuk kanak-kanak dan orang
yang tidak layak memilih disebab tertentu. Jadinya keseluruhan jumlah di atas
tidak lagi dikategorisasikan sebagai golongan putih.
2. Sebanyak 20% mereka yang tidak memilih, dengan dinisbahkan kepada
jumlah penduduk yang sudah berdaftar sebagai layak untuk memilih sebanyak
9.227.478 jiwa. Dan jumlah ini disebut sebagai golongan putih di dalam
perbincangan ini.
Kesimpulan di atas dapat dilihat:
No Jumlah penduduk Jumlah Layak memilih Golongan
putih
Tahun
1 22.931.314 9.227.476 2. 445.016 2008
25 Karaktristik dan Jumlah Yang Tidak Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di
Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB
31
Sebanyak 2.445.016 jiwa yang tidak mengunakan haknya dalam pemilihan umum
pada tahun 2008 yaitu disebut golongan putih (golongan putih ), dan sumber data ini
telah dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya
(SPR). Adapun jumlah ini, tidak termasuk hitungan golongan putih di seluruh
Malaysia, kerana 1 Negeri Bagian lagi masih tidak dihitung yaitu Serawak, kerana
Negeri Bagian ini tidak termasuk di dalam analisis ini. sementara kedudukan undang-
undang pemilihan umum di dalam Perlembagaan Persekutuan bagi negeri Serawak
adalah, ( Bagian 8, tentang Pilihan Raya Perkara 113, No 3) menyatakan, Negeri-
Negeri Tanah Melayu hendak termasuk wilayah-wilayah Persekutuan Kuala
Lumpur,Labuan dan Putrajaya. Yaitu Negeri Bagian Serawak tidak termasuk
perlaksanaan undang-undang pilihan raya ini, dan mempunyai undang-undang lain di
bawah Undang-undang Dasar di Malaysia.26
Setelah di jelaskan sumber data di atas dengan melalui deskriptif analitis
makanya hepotesa-hepotesa tersebut di lakukan melalui teknik induktif, untuk lebih
akurat dan faktual dalam bab seterusnya, yaitu inti atau kesimpulanya lebih
komprehensif akan membahaskan kedudukan golongan putih antara hubungan
hukum Islam dan fiqh siyasah.
26 Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, (Selangor Darul
Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77
30
BAB III
GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH
Penelitian golongan putih di dalam konsep fiqh siyasah tidak terlepas dari
beberapa hak di dalam sistem politik Islam. Terutamanya hak pemilu di dalam
pemerintahan yang mengamalkan sistem demokrasi, dalam masa yang sama, punca
yang menyebabkan berlaku golongan putih adalah kesalafaham sistem demokrasi
Islam, seperti berlaku pada kelompok Hizbut Tahrir yang menolak sistem demokrasi
yang berlaku politik dunia saat ini.1Tetapi kelompok Hizbut Tahrir tidak dikatakan
golongan putih, kerana mereka tetap memperdulikan hak-hak perjuangan politik
pada Islam, kerana golongan putih dari sudut etimologis adalah ‘sikap yang tidak
mengambil peduli di sekitarnya’. 2 adapun dari sudut pengertian politik adalah
‘golongan yang tidak melibatkan hak-haknya di dalam sistem politik’ terutamanya
hal-hal terkait sistem pemilihan umum.
Jika dibicarakan sistem demokrasi di dalam Islam, ianya mempunyai
perbahasan yang panjang sebagai contoh, tokoh-tokoh yang menerima sistem ini
diterapkan di dalam Islam yaitu Muhamad Abduh (1849-1905 M), Muhamad Iqbal
(1873-1938 M), Muhamad Husain Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman (1919-
1Taqiyuddin an Nabhan, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah (Bogor: Pustaka
Thariqul Izza, 2009), cet. III, h. 13 2Paul H. Mussen dan Anne B.Wiszynsk, Personality and Political, (Human
Relation,1951), cet. 5, h. 78
31
1988) dan ramai lagi tidak tercatat, untuk lebih luas perbahasan ini lihat dalam buku
(fiqh siyasah) karangan Khmami Zada dan Mujar tentang masalah ini.3
Sebagai dasar implementasi hukum Islam di dalam sistem demokrasi tidaklah
menjadi hukum Qathi’ di dalam istidhlal hukum, Cuma membawa kepada dilalah
zhanni.4 Kerana ia membawa kepada perkara khilafiyyah. Dalam literatur fiqh dan
ushul al-fiqh istilah golongan putih/abstain diistilahkan dengan kata “tawaqquf” yang
secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts” yang berarti
berdiam diri dan berhenti.5 Adapun secara istilah maka sikap tawaqquf bermakna
‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan tidak memberikan pendapat dalam
sebuah permasalahan ijtihadiyah yang disebabkan karena tidak nampak baginya sisi
yang benar dalam permasalahan tersebut’.
Pada dasarnya, berbalik kepada perbincangan hubungan golongan putih antar
demokrasi. Adalah fahaman mereka terhadap demokrasi masih lagi mengangap
sistem ini adalah sistem yang dijajah seluruh dunia, walau pun ia sudah lama
dilahirkan dan mengalami perubahan serta banyak perkara kemanusian yang baik dan
buruk. Semua penganut ideologi sama ada di timur atau di barat mengaku menjadi
pendukung demokrasi kerana mereka tidak menemui idealogi yang lain. Oleh itu,
Islam yang datang lebih awal dari demokrasi mempunyai pertimbangan sendiri bagi
3 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008),
cet. I, h. 41 4 Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur: Pustaka
Salam, 2005), cet. I, h. 336 5http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang=
diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB
32
menyelamatkan manusia dari kancah perubahan di sepanjang sejarah. Islam tidak
menolak yang baik walau pun di mana ia di lahirkan dan bila ia di temui.
Untuk kesimpulannya, penerapan golongan putih di dalam implementasi fiqh
siyasah bukanlah perkara kecil di dalam hukum Islam, bahkah ada sebahagian ulama
kontemporer menhukumkan haram bagi golongan putih tersebut, seperti disebut oleh
Miswan Thahani di dalam bukunya.6
A. Golongan Putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah.
Penelitian fiqh siyasah terhadap golongan putih tidak terlepas dari kaitan
hak-hak di dalam politik Islam, seperti telah disebut di atas, cuma di sini
menjelaskan lagi konsep dan tujuan terhadap hukum-hukum tersebut. Yang
pertamanya hubungan pemilu dan kaitannya terhadap golongan putih. Adapun
pengertian pilihan umum atau pemilu adalah ‘memilih sesorang penguasa, pejabat
atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau
dengan memberikan suara dalam pemilihan umum’. Meskipun istilah ini
merialisasikan makna “memilih”, tetapi tidak digunakan dalam syariat untuk
pembahasan pemilihan umum seorang penguasa. Pada hakikatnya istilah
pemilihan umum umum mirip dengan istilah syar’i, yaitu syura.7 Untuk
kesimpulannya, penerapan hukum Islam di dalam sistem pemilu menjadi suatu
kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang menegakkan daulat Islamiyyah,
6 Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih,
(Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 45 7 Abu Nashr , Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, (Yogyagarta: Prisma Media), cet. I, h. 29
33
dan golongan putih tidak terlepas di dalam konsep fiqh siyasah tersebut, dengan
beberapa contoh kaedah fiqhiyyah kuliyyah yang menyebut:
ȴǪɅ ɍ Ǡȵȱǟɀȱǟ ɀȾȥ ȼǣ ɍǟ ǢDZǟɀǟǢDZ
Artinya: tidak sempurna sesuatu kewajiban malainkan dengan suatu perkara
tersebut maka(sesuatu perkara tersebut)menjadi wajib.8
ǢDZǟɀȱ ɍǟ ȫȀǪɅ ɍ ǢDZǟɀȱǟ
Artinya: sesuatu kewajiban itu tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan kewajiban
yang lain.9
Pengertian kaedah yang pertama adalah, pemilu itu tidak akan berlaku jika
golongan putih muncul di sini dan membawa kepada kelemahan umat Islam
untuk menegakkan negara yang bersyariatkan Islam. Adapun pengertian kedua
adalah apabila hukum pemilu menjadi kewajiban maka golongan putih tidak
boleh dibatal hukum tersebut.
Yang kedua, penelitian golongan putih di dalam fiqh siyasah adalah
hubungan partai-partai politik. Sebelum dibahas lebih panjang, terlebih dahulu
mengenal pengertian partai politik menurut pandangan Islam, adalah:
Sebuah organisasi yang mempunyai empat konsep utama;
8Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia: terjemhan oleh, M. Shiddiqi,
Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II, h. 45 10.As-Suyuti, Al-Asyabah Wa an-Nazair Fil Qowaid Fiqyiyyah, (Kairo: Dar Kutub,2007)
cet. I, h. 196
34
1. Pemikiran (fikrah) yang menetukan tujuan serta yang menjadi asas untuk
menyatukan masyarakat dengan partai.
2. Mentode (thariqah) yang ditempuh partai untuk meriah tujuan.
3. Anggota-anggota partai serta sejauh mana keyakinan mereka terhadap
pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) partai.
4. Cara (kafiyah) untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. 10
Seterunya, berdasarkan al-Hadis:
ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ łǼʼnȶŁǶłȵ łȸŃǣ ɂʼnȺLjǮłȶǐȱǟ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ łǼɆŇȱŁɀǐȱǟ łȸŃǣ LJȴŇȲŃȆłȵ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ łȸŃǣǟ LJȀnjǣǠŁDZ ɄnjȺLjǭʼnǼŁǵ łȀŃȆłǣ łȸŃǣ ŇǼŃɆŁǤłȝ ŇȼƋȲȱǟ ŊɄŇȵŁȀŃȒŁǶǐȱǟ łȼʼnȹLjǕ ŁȜŇȶŁȅ ǠŁǣLjǕ ŁȄɅnjǿŃǻnjǙ ǐȱǟʼnɄnjȹǠLjȱŃɀŁǺ łȼʼnȹLjǕ ŁȜŇȶŁȅ LjǦLjȦŃɅLjǾłǵ ŁȸŃǣ ŇȷǠŁȶŁɆǐȱǟ …… łȳŁȂǐȲŁǩ LjǦŁȝǠŁȶŁDZ ŁƙŇȶŇȲŃȆłȶǐȱǟ ŃȴłȾŁȵǠŁȵnjǙŁȿ łǨǐȲNJȩ ǐȷnjǚLjȥ ŃȴLjȱ ŃȸNJȮŁɅ ŃȴłȾLjȱ džǦŁȝǠŁȶŁDZ ǠLjȱŁȿ ŅȳǠŁȵnjǙ LjȯǠLjȩ ǐȯnjȂŁǪŃȝǠLjȥ ŁȬǐȲŇǩ ŁȧŁȀŇȦǐȱǟ ǠŁȾƋȲNJȭ ŃɀLjȱŁȿ ǐȷLjǕ ʼnȐŁȞŁǩ njȰŃȍLjǖnjǣ ňǥŁȀŁDzŁȉ ɂʼnǪŁǵ ŃǼłɅŁȬLjȭnjǿ łǧŃɀŁȶǐȱǟ ŁǨŃȹLjǕŁȿ ɂLjȲŁȝ ŁȬŇȱLjǽ11
Artinya: diceritakan oleh Mohd bin Muthanna, dan dari Al Walid bin Muslim, dari
Ibnu Jabir diceritakan padaku oleh Busru bin Ubaidillah Al-hadramiyyu
bahawa telah didengari oleh Aba Idris Al-Khulani dan dari Huzaifah Al-
Yamani telah mendengar darinya menyatakan…….sabda nabi
s.a.w…hendaklah kamu bersama dengan kelompok kaum muslimin dan
kepimpinanya, berkata (huzaifah):jika tidak terdapat kelompok kaum
muslimin tersebut dan kepimpinannya? Maka sabda nabi s.a.w:
Hendaklah kamu pisahkan dari kelompok tersebut semuanya (kelompok
yang menetang ajaran Islam, selain kelompok yang pertama tadi) , bahkan
kamu (memisahkan dari kelompok tersebut) dalam keadaan memakan akar-
akar pokok dan mati kerananya (kelaparan) dan kamu tetap keadaan
tersebut.
11. Muhammad Hawari, Politik Partai Startegi Baru Perjuangan Partai Politik Islam,
(Bogor: Al-Azhar Press, 2003), cet. II, h. 3 11 Shahih Bukhari
35
Hadis ini menunjukan dengan kalimat soreh terhadap orang Islam itu
wajib berada di dalam kelompok muslimin dan para kepimpinannya. Dan kalimat
jamaah di sini menunjukkan penyatuan kaum muslimin dalam menegakkan syiar-
syiar Islam. Dan berkata Abu Ishak Ibrahim bin Musa As-Syatibi di dalam
kitabnya, jamaah itu adalah ‘jama’atul muslim yang sepakat atas seseorang amir’.
Seterunya, jika ditinjau dari sudut al-Quran adalah:
)ȯǕ ȷǟȀȶȝ/Ď :Ď.Č(
Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk.
Menurut tafsir Ibnu Katsir berkenaan ayat tersebut : yang di maksudkan
dengan “tali Allah”, ada berberapa pendapat:
Pendapat pertama mengatakan “janji dengan Allah”
36
Pendapat kedua mengatakan ‘ al-Quran’ yaitu al-Quran merupakan tali Allah
yang kuat dan jalan yang lurus. Dalam masa yang sama, ayat yang selepasnya
menyebut ‘janganlah bercerai-berai’. Ayat ini menyatakan, Allah menyuruh
mereka bersatu dan melarang mereka bercerai-berai. 12
Menurut tafsir Al-Qurthubi berkenaan ayat diatas, yang dimaksudkan
dengan ‘tali Allah’ adalah al-Quran, menurut pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud. Dan menurut Abdullah bin Mas’ud dengan jalur riwayat Taqi bin
Makhlak meriwayatkan, Yahya bin Hamid, Husyaim, dari Awwam bin Hausyab
dan dari Asy-Sya’bi berkenaan ayat ‘janganlah kamu bercerai-bera’ adalah: Allah
memerintahkan untuk bersatu dan melarang sikap bercerai-berai, dan sikap ini
membawa kepada kebinasaan.13 Jika dilihat pula pandangan ulama kontemporer
berkenaan pembentukkan partai-partai politik adalah wajib hukumnya bagi tujuan
menegakkan sebuah negara yang bersyariatkan dengan syariat Islam.14
Berdasarkan kesimpulan di atas, yaitu penerapan al-Quran, al-Hadis,
kaedah fiqih dan pandangan ulama kontemporer, hubungan golongan putih
dengan partai politik tidak boleh dipisahkan terhadap konsep fiqh siyasah.
12 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani,
2009), cet. I, h.561, Jilid 1. 13 Muhammd Ibrahim Al-Hifnawi (Ta’liq) dan Mahmud Hamid (Takhrij), Tafsir Al-
Quthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. I, h. 399 Jilid 4. 14 Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia: terjemhan oleh, M.
Shiddiqi, Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II, h.70
37
Yang ketiga, penelitian golongan putih di dalam fiqh siyasah adalah
hubungan terhadap sistem demokrasi. Terlebih dahulu jika dilihat di dalam sistem
demokrasi, sebagaian ulama kontemporer dan intelektual Muslim mengatakan
konsep demokrasi mempunyai persamaan dengan sistem syura di dalam Islam,
antara persamaan adalah sistem demokrasi ini merupakan sistem pemerintahan
meyoritas yang menerapkan metode permusyawaratan dalam pengambilan
keputusan. 15 Adapun sebahagian yang lain membedakan dua konsep tersebut
dengan pelbagai dalil dan kritikan yang dikemukakan.
Adapun prinsip demokrasi ,terhadap penerapan admininstrasi negara di
dalam penelitian fiqh siyasah adalah:
1. Prinsip kesadaran kemajmukan.
2. Prinsip musyawarah.
3. Prinsip cara haruslah sejalan dengan tujuan, prinsip ini mengemukakan dasar
bahawa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan kebaikkan cara
yang ditempuhi untuk meriahnya.
4. Prinsip permuafakatan yang jujur.
5. Prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perancangan sosial budaya.
6. Prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). 16
Jadinya, dengan kesimpulan ketiga-tiga konsep di atas, yaitu hubungan
15 Artani Hasbi, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet. I,
h. 1 16 Sukran Kamil, Islam & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media, Pratam, 2002), cet. I, h. 31
38
golongan putih antar pemilu, partai-partai politik dan sistem demokrasi, tidak
boleh memisahkan di dalam penetapan fiqh siyasah bagi tujuan hifdh al-ummah
sebagai maqasid al-syariah untuk menegakkan sesebuah negara Islam.17 Maka
apa yang terkait di dalam sistem pemerintahan di Malaysia seperti sistem
pemilihan umum, demokrasi adalah alat untuk mendirikan sebuah negara yang
bersyariatkan Islam.
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Golongan Putih
Seputar hukum Islam terhadap golongan putih dari inti perbahasan di
dalam konsep fiqh siyasah di atas, di sini hukum yang dikeluarkan oleh ulama
kontemporer dengan beberapa hukum di dalam Islam yang dapat ditinjaukan
seperti berikut:
Ketogeri pertama, mengatakan golongan putih itu hukumnya haram di
dalam Islam, antara hubung kait yang membawa kepada hukum tersebut dengan
beberapa persoalan :
1. Mengapa harus ada pemilu ?
2. Apakah umat Islam harus perlu ikut pemilu?
3. Apakah ikut pemilu itu hak atau kewajipan?
4. Apakah umat Islam perlu memiliki partai sendiri untuk ikut pemilu?
5. Apa yang dimaksudkan partai Islam?
6. Apakah umat Islam harus memilih partai Islam?
17 Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 257
39
7. Bagaimana seharusnya umat Islam menyinkapi menang atau kalah dalam
pemilu? 18
Dengan penerapan Fiqh siyasah di atas, sudah terjawab, yaitu menyatakan
semua ketujuh-tujuh konsep tersebut adalah perlu dan wajib di laksanakan, dan
jika dilihat dari sudut pendapat dan fatwa terkini adalah seperti berikut:
Pertama, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan,”Apabila kita
melihat kepada peraturan seperti peraturan pemilu atau pemberian suara maka hal
tersebut di dalam pandangan Islam adalah suatu persaksian untuk memilih
sesuatu yang paling layak.”
Beliau melanjutkan,”Barangsiapa yang bersaksi terhadap orang yang
tidak shaleh dan menyatakan bahwa dia orang shaleh maka sesungguhnya ini
adalah suatu dosa besar karena telah memberikan kesaksian palsu bahkan
ditempatkan setelah syirik terhadap Allah swt dalam firman-Nya :
njǿȿŊȂȱǟ LjȯŃɀLjȩ ǟɀłǤnjȺŁǪŃDZǟŁȿ ŇȷǠLjǭŃȿLjǖǐȱǟ ŁȸŇȵ ŁȄŃDZōȀȱǟ ǟɀłǤnjȺŁǪŃDZǠLjȥ )ǰƩǟ/čč. :Ď (
Artinya : “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta”
Kedua, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Abdur Razaq
‘Afifi dan Syeikh Abdullah bin Ghodyan, dari Komisi Riset dan Fatwa (Saudi)
pernah ditanya tentang pemilu di Aljazair yang di negara tersebut ada partai-
18 Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih,
(Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 48
40
partai yang mengajak kepada hukum Islam dan sebagian partai lainnya menolak
hukum Islam. Bagaimana hukumnya bagi seorang pemilihan umum?
Mereka menjawab,”wajib bagi kaum muslimin yang berada di negara-
negara yang tidak berhukum dengan syariat Islam untuk memberikan segenap
kemampuannya untuk berhukum dengan syariat Islam dan saling bekerja sama
bagai sebuah tangan dalam membantu partai yang diketahuinya akan menerapkan
syariat Islam. Adapun membantu partai yang tidak ingin menerapkan syariat
Islam maka ini tidak diperbolehkan bahkan bisa mengajak orang itu kepada
kekufuran.19
Ketiga, menyinkapi fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam konsideran Sidang Komisi Masa’il Asasiyah Wathaniyah yang
merupakan salah satu komisi dalam sidang Ijtima Ulama MUI se-Indonesia III,
terdapat empat pembasahan pokok. Tiga pembasahan berkenaan dengan
argumentasi dasar hubungan Islam dengan negara. Pembahasan keempat
langsung mengerucut pada menggunaan hak pilih dalam pemilu. Poin keempat
ini berisi hal-hal sebagai berikut:
1. Pemilihan umum Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya
cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
19 http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golongan putih.htm,
diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB
41
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan
imamah (kepemimpinan) dan imarah (pengaturan) dalam kehidupan bersama.
3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan
ketentuan agama agar terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya
(amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathunah),
dan memperjuangkan kepentingan umat Islam “hukumnya adalah wajib”.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada
calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. 20
Jadinya kesimpulan yang dapat dilihat di sini adalah, sikap golongan putih
secara pasif ( tenpa kempennya kepada orang lain) termasuk mengabaikan
sesuatu yang wajib yang dengan sendirinya dilarang, dalam tijauan syariat Islam.
Sedangkan sikap golongan putih secara aktif (dengan kempengnya kepada orang
lain agar juga golongan putih) termasuk dalam sikap” menghalang-halangi
manusia dari jalan Allah” (saddun an sabilillah) yang lebih jelas dilarang lagi.
Ketogeri kedua, seputar hukum harus, sunnah dan wajib terhadap
golongan putih.
Di dalam pendekatan fikih politik, pada dasarnya boleh. Sebab, golongan
20 : http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang
diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB
42
putih merupakan persoalan mu'amalah ijtihadiah bahkan hukumnya dapat
menjadi wajib. Artinya, kalau warga negara itu menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu legislatif, justru berdosa. Namun golongan putih dapat juga haram
hukumnya. Artinya, seorang yang tidak menggunakan hak pilihnya merupakan
dosa besar.21
Perubahan dari hukum dasar golongan putih boleh menjadi wajib dan
haram karena proses hukum(illat) yang memengaruhi hukum dasar itu dan yang
menjadi pertimbangan selanjutnya.22 Antara golongan putih itu menjadi sunnah,
yang di kemukakan oleh Keputusan Majlis Fatwa dan Riset Eropa, 23 tentang
keikut-sertaan seorang muslim dalam perpolitikan di Eropa adalah, pada asalnya
disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada di antara boleh, sunnah
atau bahkan wajib sebagaimana ditunjukan firman Allah swt:
ŁȼǎȲȱǟ ǐǟɀNJȪʼnǩǟŁȿ ŇȷǟŁȿŃǼłȞǐȱǟŁȿ njȴǐǭĈɋǟ ɂLjȲŁȝ ǐǟɀłȹŁȿǠŁȞŁǩ LjɍŁȿ ɁŁɀǐȪʼnǪȱǟŁȿ ōƎǐȱǟ ɂLjȲŁȝ ǐǟɀłȹŁȿǠŁȞŁǩŁȿ )ƫǟǠǥǼǝ/٥:٢(
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah”
21 Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih,
(Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 10 22 http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/03/kha1.htm, diakses pada tanggal 13 April 2010,
pukul 10.30WIB 23http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golongan putih.htm diakses
pada 13 April 2010,pukul 10.35 WIB
43
Untuk kesimpulan keseluruhannya hukum di atas, berdasarkan kaedah
fiqih;24
ǧǠɆȺȱǟȿ ǼȝǟɀȞȱǟȿ ȯǟɀǵɉǕȿ ǦȺȮȵɉǟȿ ǦȺȵȁɉǕ ƘȢǪǣ ȳǠȮǵɉǟ ƘȢǩ.
Artinya: perubahan sesuatu hukum itu dengan mengikut perubahan masa, tempat,
keadaan,adat dan niat.
Impelementasi golongan putih di dalam hukum Islam adalah berpandukan
maqasid syariah, di dalam penetapan hukum bagi membawa kepada hukum
tersebut adalah haram, sunnah, wajib dan harus.25
Seterusnya, inti dari penarikan atau istinbaht hukum-hukum yang terkait
tentang permaslahan golongan putih di dalam konteks fiqih siyasah dapat di
simpulkan dalam perbahasan di atas, pertama; sifat golongan putih adalah haram
dan yang kedua adalah harus dan yang ketiga adalah sunnah. Agar perbahasan ini
lebih mendalam dan meluas maka akan di bahaskan pada bab berikutnya tentang
kedudukan atau ideologi golongan putih di Malaysia, dan bagaimana pula
pandangan atau kritikan ulama atau tokoh-tokoh elit politik Islam Malaysia
tentang masalah ini di sana.
24 Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 36 25 Moh Kurdi Fadal, Kaedah-Kaedah Fiqh, ( Jakarta: CV Arhta Rivera, 2008), cet. I, h. 17
44
BAB IV
PANDANGAN GOLONGAN ELIT POLITIK ISLAM MALAYSIA
TERHADAP GOLONGAN PUTIH
Pandangan dan kritikan yang dikemukakan oleh golongan elit politik Islam
terhadap golongan putih mempunyai jawaban yang berbeda, biarpun mereka berada
pada lingkungan yang sama di dalam pemikiran Islam, terlebih dahulu mengenal
apakah yang dimaksudkan golongan elit politik Islam di Malaysia?
Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut etimologis adalah
golongan yang terpengaruh tinggi di dalam kelompok masyarakat dan mempunyai
kepercayaan terhadap gerakan politik, terutamanya gerakan partai-partai politik.1
Seterusnya pegertian dari sudut konsep politik barat adalah yang pertama,
dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut sebagai gladiators, yaitu
golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi
dari seluruh lapisan masyarakat.2 Kedua, menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah
golongan yang sedikit dalam pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok
masyarakat samada harta, militer dan sebagainya.3 Ketiga, menurut Ronald Lippit
adalah golongan disebut otoriter, yaitu golongan atasan dalam pemerintahan dan di
bawahnya terdapat golongan agresif dan apatis.4
1 Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum,
Ekonomi, Budaya, dan Sains, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. I, h. 39 2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,2008) cet. I, h. 372 Hendi Suhendi, Filsafat Umum daripada Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236 4 Bambang Pranowo, Sosiologi , (Jakarta: Isa Laboratorium, 2008), cet. I, h. 153
45
Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit menurut pengertian
sejarah adalah terlebih fokus kepada perlimen perang, dan mempunyai tokoh di
dalam bidang peperangan seperti keberanian dan sebagainya, seperti Solahuddin al-
Ayub.5 Dengan lebih jelas lagi, pegertian golongan elit politik Islam Malaysia
menurut Abdul Rahman Haji Abdullah adalah golongan yang aktif di dalam bidang
politik dan memperjuangkan hak-hak Islam melalui partai, dan mempunyai
pemikiran yang berbeda.6
A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia
Penjelasan kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia melibatkan
pemikiran, organisasi, dan dasar perjuangan.
Kategorisasi pertama teradisional, yaitu tradisionalisme digunakan dalam
pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama, seperti kata Karl
Mannheim, “ Sesuai dalam pegertian tersebut, tradisionalisme melihat sejarah
hanya sebagai inspirasi atau sesuatu yang harus dipertahankan, kerana para
pendukunnya dikatakan bersikap negetif terhadap pembaruan dan perubahan”.
5 http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam
1021 13/4/2010 WIB 6Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya”
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13
46
Menurut Roger Garaudy adalah “golongan yang menganggap kemunduran umat
Islam disebabkan mereka menjaukan diri dari ajaran yang lalu”.7
Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti al-Arqam, yang diketuai
Ustadz Ashaari Muhamad dan terdapat beberapa orang pembantu utama yang
disebut timbalan (wakil) dan naib-naib syekh al-Arqam, dan masing-masing
dibantu oleh beberapa orang musa’id. Terdapat biro-biro khusus yang disebut
syu’bah, yang dipimpin seorang mudir (ketua) di bantu oleh musa’id-musa’id.
Kemudian di tingkat negeri, terdapat cabang atau perkampungan-perkampungan
Darul Arqam dengan ketua masing-masing. Dan pada tingkat pusat, cabang juga
mempunyai biro-biro sendiri.
Jelaslah di sini terwujud sebuah organisasi yang cukup sisitematis, persis
sebuah “kerajaan kecil”. Pada Agustus 1994, Majlis Fatwa Kebangsaan melarang
keberadaan organisasi ini. Kementerian Dalam Negeri segera memperkuat
larangan tersebut dengan menahan tokoh-tokoh besarnya, khusunya Ustadz
Ashaari Muhamad. Sebelum dibebaskan, pemimpin-pemimpin Darul Arqam telah
membuat semacam pengakuan tentang kesalahan mereka sebelum ini, dari segi
politik, perubahan yang ada ialah tindakan Ustaz Abdul Halim Abbas, bekas
wakil Syekh Arqam yang mengajukan permohonan menjadi anggota UMNO.
Adapun dasar pemikiran tokoh-tokoh mereka adalah menegakkan Islam
melalui cara tersendiri dan menolak sistem pemerintahan yang menpuyai unsur-
unsur yang dibawa dari barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, pemilihan
7 Roger Garaudy, Janji-janji Islam, terj. ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), cet. I, h. 6
47
umum dan sebagainya, adapun konsep pemerintahan mereka adalah menegakan
agama Islam yang tulin dan bersih walaupun di luar batasan Undang-undang.8
Kategorisasi kedua modernis, menurut Roger Garaudy modesnisme, tidak
lain adalah westrenisme, yakni berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat
modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka selama empat abad
terakahir. Dan ciri-cirinya ialah nasional, kapitalis, dan sistem perlemen.9
Menurut Prof. Hamid Algar menegaskan bahawa mereka telah mengabaikan
kontradiksi pokok antara mentalitas modern dan agama. Islam berada pada
realitas imperatif dari Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan dunia modern
sebaliknya cenderung untuk menyangkal realitas Ilahi secara aktif terhadap alam
dan manusia.10
Adapun organisasi ini di Malaysia adalah partai-partai semangat
kebangsaan seperti partai ‘United Malays Nasional Organization (UMNO)’, yaitu
diketuai oleh Najib Tun Abdul Razak dan merupakan Perdana Menteri Malaysia
pada saat ini. Jadinya di antara organisasi politik awal yang mendukung gagasan
nasionalis konservatif adalah UMNO di dalam sejarah politik Malaysia, sifat
konservatif UMNO bukan hanya sekadar mempertahankan tradisi kebangsaan
Melayu,11 tetapi juga mempertahankan tradisi kerjasama dengan pihak kolonial.
8 Abdul Rahman Haji Abdullah, Op. cit., hlm. 118 9 Muhamad Bahi, Penentang Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, (Kuala Lumpur:
Penerbit Hizbi, 1985) cet. I, h. 52 10 Hamid Algar, Islam dan Tantangan Intelektual daripada Kebudayaan Modern,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I, h. 325 11 Konservatif, menurut Kamus Politik dan Ideologi, (Surabaya, Gitamedia: 2006) adalah;
tertutup daripada pengaruh atau pembaharuan/ adat mempertahankan tradisi atau kebiasaan
48
Pada tahun 1948, pihak Inggris sendiri menhendaki kerjasama penuh dengan
UMNO. Misalnya sekretaris, A. Newbolt, telah memberi jaminan kepada UMNO
bahawa pegawai-pengawai kerajaan tidak akan dihukum kerana berpolitik.
Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah:
1. Memperjuangkan hak-hak bangsa Melayu.
2. Mempertinggikan kedudukan Raja-Raja Melayu.
3. Semangat perjuangan atas dasar nasional atau kebangsaan.
4. Memperjuangkan agama Islam dengan didasari perlembagaan Undang
Undang Inggris
5. Terpengaruh semangat kolonial barat.12
Kategorisasi ketiga reformis, ciri-ciri yang utama adalah semangat
puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine). Ada
semacam persamaan dengan aliran tradisional yang menekanakan ortoduksi.13
Bertolak semangat puritanisme, aliran reformis sangat menekankan ishlah dan
tajdid merupakan upaya memperbaiki atau membersihkan Islam dari pemalsuan
dan penyelewengan. Sedangkan tajdid adalah memperbarui atau menyegarkan
kembali paham dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan
tuntutan zaman.14
12 Ishak Saat, Sejarah Politik Melayu Pelbagai Aliran, ( Selangor: Karisma Publications
Sdn Bhd, 2007), cet. I, h. 33 13 Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya”
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 21 14 Abdul Ghani Hj.Shamsuddin, Tajdid dalam Pendidikan dan Masyarakat, (Kuala
Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), cet. I, h.567
49
Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti Partai Islam se-Malaysia
(PAS), yang diketuai oleh Abdul Hadi Auang (2003 hingga saat ini), dan Partai
Keadilan Rakyat (PKR) yang diketuai oleh Anwar Ibrahim. Adapun PAS
merupakan partai oposisi yang berjuang untuk menegakkan Islam ke dalam
kehidupan masyarakat Malaysia. PAS didirikan pada tahun 1951 oleh kaum
ulama yang keluar dari UMNO dengan alasan “kebajikan kompromosinya
terhadap orang-orang non-Melayu dan kerana hal yang mereka anggap sebagai
sikap ambivalen terhadap Islam”. Dengan basis pedesaan dan dukungan kaum
ulama konservatif, PAS yang mengangap dirinya sebagai partai politik dan
gerakan Islam telah berpartisipasi dalam pemilihan umum sejak pemilihan umum
pertama di Malaysia tahun 1955, dan secara rasminya menjadi partai politik yang
sah di dalam undang-undang Malaysia.15
Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah:
1. Menyeru umat manusia kepada syariat Allah dan sunnah Rasulnya melalui
dakwah secara lisan, tulisan, dan amalan.
2. Memupuk dan memperkuatkan ukhuwah Islamiyah dan menyuburkan rasa
perpaduan di kalangan rakyat untuk memelihara kehidupan politik dan
masyarakat yang sehat dan berkebajikan.
3. Menyertai dan berkerjasama dengan badan-badan, persatuan-persatuan, atau
pertubuhan-pertubuhan yang tidak berlawanan tujuan dengan PAS bilamana
15 Khamami Zada dan Arie R Arofa, Diskursus Politik Islam, ( Jakarta: Perum Pondok
Karya Permai, 2004), cet. I, h. 123
50
dan selama berhak dan sesuai serta tidak bercangah (bertentangan) dengan
Undang-undang negara.
4. Melakukan usaha dan tindakan dalam batas-batas Perlembagaan dan Undang-
undang Negara untuk mencapai semua tujuan PAS ke dalam dan ke luar.
B. Pandangan Golongan Elit Politik Islam di Malaysia
Seputar pengenalan golongan elit politik Islam Malaysia di atas,
seterusnya penelitian pandangan mereka terhadap golongan putih adalah
melibatkan tokoh-tokoh berikut:
1. Katogarisasi pertama, yaitu kelompok tradisional, adalah Ustadz Ashaari
Muhamad.
2. Katogarisasi kedua, yaitu kelompok modernis, adalah Mahathir Mohamad.
3. Katogarisasi ketiga, yaitu kelompok reformis, adalah adalah Abdul Hadi Auang
dan Anwar Ibrahim.
Pandangan katogarisasi pertama, oleh Ustadz Ashaari Muhamad:
a. golongan putih hukumnya harus bahkan membawa kepada wajib di dalam
arena politik di Malaysia, kerana tinjauan mereka adalah golongan putih
mempunyai hubung kait pemilihan umum dan sistem pemerintahan, di mana
dua sistem tersebut yaitu pemilihan umum dan sistem pemerintahan ini
mempunyai unsur kolonial barat, terutamanya kolonial Inggris saat itu.
Dalam kontek kedua, pemilihan umum itu satu kaedah dimpor dari barat dan
diciptakan orang kafir, kegiatan kampennya pemilihan umum bukan saja tidak
51
memperdulikan adab berbicara, tetapi juga tidak mempersoalkan apakah
hadirin menutup aurat atau tidak. Semua itu dibiarkan semata-mata untuk
mendapatkan dukungan. Lagi pula, kita menundukkan orang banyak kepada
Islam secara paksa, bukanya atas kesadaran dan dorongan Imam.16
b. kenapa golongan putih menjadi wajib di dalam pemilihan umum di Malaysia?
Menurut pandangnya lagi, dan sejalan apa yang kemukakan oleh Abu Nashr
Muhamad Al-Imam adalah sistem pemilihan umum itu terdapat unsur-unsur
maksiat, dan di sini dikemukan 34 unsur, tersebut adalah:
1. Menyekutukan Allah.
2. Menuhankan meyoritas.
3. Menuduh hukum Syariat tidak sempurna.
4. Menhilangkan wala’(kesetian kepada Allah).
5. Tunduk kepada undang-undang sekuler.
6. Mengelabui kaum muslimin.
7. Memberi warna syariat demokrasi.
8. Membantu kaum Yahudi dan Nasrani.
9. Menyalahi cara Rasulullah saw dalam menhadapi musuh.
10. Pemilihan umum adalah media diharamkan.
11. Mencabik-cabik persatuan kaum muslimin.
12. Menhancurakan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama muslim)
16 Ustadz Ashaari Muhaamad, Inilah Pandanganku, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka
Fajar, 1986) cet. I, h. 192
52
13. Mengandung fanatisme yang sangat dimurkai.
14. Memberi pengakuan sesuai kepentingan.
15. Ambisi orang yang dicalonkan adalah memuaskan para pemilihnya.
16. Penuh dengan penipuan dan manipulasi.
17. Hanya membela partai semata.
18. Membuang-buang waktu saat kampenya.
19. Membelanjakan harta tidak sesuai dengan syariat Islam.
20. Calon pimpinan merayu pemilihannya dengan harta.
21. Mementingkan kuantitas bukan kualitas.
22. Mementingkan cara bagaimana bisa mencapai kekuasaan tanpa
mempertimbangankan kerusakkan akidah.
23. Calon pimpinan diterima tanpa memandang kerusakkan akidah.
24. Calon pimpinan diterima tanpa memandang syarat-syarat syar’iyyah.
25. Mengunakan dalil-dalil agama bukan pada tempatnya.
26. Tidak memperhatikan syarat-syarat persaksian sesuai tuntutan syariat.
27. Menekankan persamaan yang tidak berdasar pada syariat.
28. Mengikutsertakan dan mencalonkan perempuan dalam pemilihan umum.
29. Mengajak manusia untuk hadir ke majlis-majlis penuh dusta.
30. Kerjasama dalam dosa dan persamaan.
31. Pemilihan umum menguras kerja tanpa hasil.
32. Hanya mengumbar janji-janji palsu.
53
33. Para pendukung pemilihan umum menamakan sesuatu bukan dengan nama
yang sebenar.
34. Mengandung koalisi inklusif yang masih samar.17
Kesimpulan di atas, katogarisasi pertama berpendapat, golongan putih
adalah suatu alat di dalam arena politik, untuk menjauhkan dari dosa-dosa yang
penyimpangan di dalam syariat Islam, khususnya hubungkait tata negara dan
admininstrasi pemerintahan di Malaysia.
Pandangan katogarisasi kedua, oleh Mahathir Mohamad:
Pandangan dan kritikan katogarisasi ini terhadap golongan putih tidak
terkait di dalam kontek Islam, yaitu tidak membicarakan halal atau haram dan
sebagainya, tetapi lebih menfokuskan kepada garis panduan Undang-undang,
kerana dasar pemikiran Mahathir Mohamad adalah modernis yang terpengaruh
unsur pemikiran kolonial barat saat itu. Dalam masa yang sama, Akta atau
Undang-undang yang lebih khusus membicarakan terhadap golongan putih tidak
termuat dalam Perlembagaan Malaysia, cuma hubungan kait terhadap Pemilihan
Umum sahaja.18
Sebagai aktivis politik, Mahathir Mohamad membahagikan golongan
putih ini dengan tiga pengertian, seiring dengan pandangan barat yaitu Morris
Rosenberg adalah:
17 Abu Nashr , Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, ( Yogyagarta: Prisma Media,2004 ), cet.
I, h. 29-176 18 Perlembagaan Persekutuan, Bab 2, Perkara 113. Perjalanan Pilihanraya.
54
1. Apatis, sikap lebih sekadar menifestasi keperibadian otoriter, pada dasarnya,
ia hanya menunjukkan suatu hambatan untuk tertarik pada urusan-urusan
politik. Hal ini dapat terjadi akibat ketertutupan terhadap rangsangan politik
individu merasakan bahawa topik mengenai politik kurang menarik. Lebih
jauh, ia merasakan pula bahawa kegiatan politik kurang atau tidak bermanfaat
atau kepuasan langsung.
2. Anomi, hal ini menunjukkan pada sikap tidak mampu, terutama pada
keputusan yang dapat diantisipasi. Individu mengakui kegiatan politik sebagai
suatu yang berguna. Ia merasa bahawa ia benar-benar tidak dapat
mempengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik dan setiap
kasus di luar kontrolnya. Perasaan ketidak berdayaan, jika hal ini menjadi
ekstrem dan meluas hingga mencakup sesuatu perasaan ketidak mampuan
mengendalikan hidup secara umum maka hal ini dikenal sebagi anomi.
3. Alienasi, merupakan persaan tidak percayaan pada pemerintah yang berasal
dari keyakinan bahawa pemerintah tidak atau kurang memberi dampak bagi
kehidupan peribadi. Dalam pandangan Lane dinyatakan bahawa pemerintahan
dijalankan oleh orang lain dan untuk orang lain berkenaan dengan seperangkat
aturan yang asing. Dengan demikian, individu yang teralienasi tidak hanya
menarik diri dari kegiatan politik tetapi juga dapat mengambil bentuk
tindakan politik alternatif sebagai usaha untuk menggulingkan pemerintahan
55
yang ada dengan cara-cara kekerasan, untuk menggantikannya dengan cara-
cara tanpa kekerasan, atau melakukan hijrah.19
Kesimpulan apa yang di jelaskan oleh Mahathir Mohamad adalah
lebih menfokuskan kedududukan praktek atau prilaku golongan putih yaitu hal-
hal yang terkait sosiologi samada melencing atau tidak, seterusnya hubung kait
tentang perkembangan psikologi dan ideologi sikap golongan putih terhadap
kedudukan politik, terutamanya kedudukan politik di Malaysia.
Pandangan katogarisasi ketiga, oleh Abdul Hadi Auang dan Anwar Ibrahim:
Kedua-dua tokoh ini tidak mempunyai perbedaan bagi memberi pandangan
terhadap golongan putih yang berlaku di dalam politik di Malaysia. Dasar
perbahasan golongan putih terhadap kedua-dua tokoh ini adalah terkait dengan
partai politik dan sistem demokrasi. Sebagai contoh Abdul Hadi Auang
berpandangan, bahawa kerajaan Islam mesti ditegakkan di Malaysia dengan cara
atau konsep perdamaian dan pertenganhan yaitu muwajjahah silmiyyah, makanya
sistem yang berlaku di Malaysia sekarang ini wajib diikuti dengan seiring konsep
syariah Islam, terutamanya pemilihan umum dan sistem demokrasi.20
Jadi apakah pandangan mereka terhadap golongan putih? Kedua-dua
tokoh tesebut menjelaskan, bahawa golongan putih tidak boleh berlaku di dalam
19 Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Perseda, 2003), cet. III, h. 144 20 Abdul Hadi Auang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I, h.
157
56
kontek politik Islam, terutamanya negara masih lagi berfahaman dengan ideologi
barat atau mengamalkan sistem pemerintahan dan undang-undang barat.21
Golongan putih hukumnya tidak bisa sama sekali jika sekiranya adalah:
1. Negara masih lagi mengamalkan sistem atau undang-undang penjajah.
2. Dasar perjuangan partai politik adalah menegakkan syariat Islam.
3. Partai-partai Islam masih lagi lemah apabila berdepannya partai semangat
nasional dan sebagainya.
4. Pemilihan umum adalah wajib bagi kontek sekarang di Malaysia, dan jika
berlaku sebahagian kelompok yang tidak memberi sumbangan terhadap
perjuangan Islam, merupakan satu penyimpangan atau kesalahan di sisi
syariat Islam.
5. Jika tedapat sesebuah partai Islam itu para kepimpinanya berlaku sedikit
penyimpangan, makanya tidak lagi bisa terjadi golongan putih.
Sebab-sebab terjadinya golongan putih di dalam politik Malaysia adalah:
1. Kerana sebahagian masyarakat masih lagi jahil atau jumud terhadap konsep
politik di Malaysia, terutamnya pemilihan umum dan sistem demokrasi.
2. Terdapat masyarakat yang tidak mengambil berat terhadap maslahah-
maslahah atau kepentingan dalam berpolitikan.
21Abdul Hadi, Auang Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor:PTS Publications
&Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II, h. 211
57
3. Masyarakat yang menolak terus terhadap konsep politik yang terdapat unsur-
unsur barat dan mereka masih lagi berfahaman dengan semangat tradisional,
seperti tarikat, aliran tasawuf dan sebagainya.
4. Masyarakat yang tidak mempunyai inspirasi terhadap tokoh-tokoh politik
dengan sebab tertentu bagi memberi kebijakan bersama terhadap negara.
5. Masyarakat yang kurang berpendidikan dari sudut akademik kerana faktor
keuangan dan sebagainya.22
Dengan lebih jelas lagi, adakah Abdul Hadi Auang dan Anwar Ibrahim
menhukumkan haram terhadap golongan putih atau sebaliknya? Dijawab
persoalan tersebut dari pandangan yang dikemukakan oleh mereka dan sama
pendapatnya apa yang ditulis oleh Miswan Thahadi di dalam bukunya adalah,
golongan putih itu terdapat tiga katogarisasi:
Pertama, golongan putih administratif, yaitu orang yang tidak memilih
kerana persoalan administrasi. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum
sesungguhnya berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar
pemilih atau terjadi kesalahan administrasi sehingga mereka kehilangan hak
pilihnya.
Kedua, golongan putih teknis, yaitu orang yang tidak memilih kerana
masalah teknis, seperti sakit sehingga tidak bisa datang ke tempat pemungutan
22 Abdul Hadi Auang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I, h.
157
58
suara (TPS), atau saat jam-jam pemilihan umum turun hujan lebat, atau TPS-nya
jauh dari rumah dan mengalami kendala transportasi, dan sebaginya.
Ketiga, golongan putih ideologis, yaitu orang secara hukum mahupun
teknis sebenarnya tidak ada kendala, tetapi mereka sengaja tidak mengunakan hak
pilihnya kerana pertimbangan tertentu. Misalnya tidak percaya kepada calon-
calon (legislatif maupun eksekutif) yang ada, atau tidak percaya lagi kepada
sistem atau makenisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau
penyelengaraan pemilu, dan sebaginya. 23
Terhadap golongan putih jenis pertama maupun kedua tidak membawa
permasalahan terhadap hukum Islam, bahkan menurutnya keduanya, golongan ini
tidak bisa disebut sebagai golongan putih. Adapun jenis ketiga, inilah yang bisa
disebut golongan putih, dan di sini perlu ditinjau secara mendalam kerana
golongan ini memutuskan untuk tidak memilih, munkin punya alasan-alasan yang
sudah dipetimbangkan, tetapi pada alasan-alasan itulah hukum syarak suatu amal
bisa ditetapkan. Berdasarkan al-Hadis menyebut dengan mafhumnya ‘bahawa
setiap amalan itu dengan niat’. Selain faktor niat, faktor lain yang mempengaruhi
nilai dan hukum amal seseorang adalah cara operasional (kaifiyah) amalnya,
apakah sesuai dengan syariat atau tidak. Jika niatnya benar tetapi diamalkan
dengan cara melanggar syariat, maka amal itu tertolak dan dengan sendirinya
hukunya haram.
23 Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golput, (Jakarta: Al-
Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 48
59
C. Undang-Undang Terkait Pemilihan Umum
Menurut Tun Salleh Abas, yaitu bekas ketua hakim negara Malaysia,
menjelaskan prinsip perlembagaan persekutuan di dalam bukunya, 24 menyatakan
pemerintah berbentuk demokrasi berbeda dari pemerintahan berbentuk kuku besi
dan berbeda dari segi cara mendapatkan kekuasaan memerintah negeri. Bagi
kerajaan yang berbentuk demokrasi, kuasa ini ditentukan melalui pemilihan
umum. Melalui pemilihan umum, rakyat diberi hak memilih kerajaan mereka
sendiri. makanya kerajaan yang berbentuk demokrasi adalah kerajaan yang
tertakluk kepada persetujuan rakyat dan menjalankan tugas-tugas dan dasarnya
untuk memperlakukan kehendak rakyat. Oleh sebab kerajaan demokrasi
bergantung pada pemilihan umum untuk menentukan kuasa pemerintah, makanya
amatlah penting pemilihan umum dilaksanakan dengan adil.
Pemilihan umum yang mengandungi perkara yang menyimpang sama
seperti mendapat suatu kuasa dengan cara tipu dan tidak memuaskan kehendak
rakyat. Ini boleh terjadi pemberotakan bersenjata sebagaimana yang berlaku di
sesetengah negara yang lain.
Untuk mengadakan pemilihan umum yang baik agar tidak berlaku hal-hal
penyimpangan, adalah penting mewujudkan syarat-syarat di bawah ini:
24 Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, (Ampan/Hulu
Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 169
60
1. Pemilihan umum itu hendaklah diadakan oleh satu badan atau panetra yang
jujur dan boleh dipercaya oleh rakyat.
2. Undang-undang pemilihan umum itu mestilah berasaskan keadilan dan
menjauhkan hal-hal penyimpangan
3. Segala pembentrokan tentang pemilihan umum mestilah diselesaikan di
Makhamah Khas.
Sudah disebut bahawa golongan putih tidak termuat di dalam Akta atau
Perlembagaan secara khusus, tetapi Undang-undang yang terkait pemilihan umum
adalah menfokuskan terhadap pemilih.
Pertama kelayakan pemilih, yang termuat di dalam perlembagaan perkara
119 adalah, pemilih dalam pemilihan umum Dewan Rakyat dan Dewan Negeri
mestilah:
1. Ahli kerakyatan Malaysia.
2. Berumur 12 tahun pada tanggal kelayakan memilih, bersempena tanggal
tersebut, dia juga mestilah tinggal dalam kawasan pemilihan umum, atau
jika tidak tinggal, dan dianggap oleh undang-undang sebagai seorang
pemilih yang tidak datang.
Seterusnya, seseorang itu tidak layak menjadi pemilih dalam pemilihan
umum, samada dalam pemilihan umum bagi Dewan Rakyat atau Dewan Negeri,
jika pemilih termasuk dalam golongan yang berikut:
61
1. Seorang yang telah ditangkap sebagai orang yang tidak sempurna akal atau
kerana telah menjalankan hukuman penjara yang dikenakan ke atasnya pada
tanggal kelayakannya.
2. Seseorang yang didapati bersalah dan dihukum mati atau penjara lebih dari 12
bulan dalam mana-mana negara komanwel. Sebelum tanggal kelayakkan itu
pula dia masih lagi menjalankan hukuman kesalahan.25
Kedua daftar pemilih, walaupun seseorang warganegara itu mempunyai
kelayakkan memilih sebagai orang yang tinggal tetap atau pemilih yang tidak
datang, dia masih tidak memilih jika namanya tidak ada dalam daftar pemilih.
Daftar pemilih itu menjadi satu keterangan prima facie untuk menentukan samada
seorang itu berhak atau tidak memilih dalam pemilihan umum di suatu kawasan
itu. Seseorang itu berhak dibenarkan memilih di mana-mana tempat memilih
kecuali namanya ada dalam daftar pemilih tempat memilih itu. Mengikut undang-
undang seseorang itu tidak boleh di masukkan ke dalam daftar pemilih kepada
lebih dari satu kawasan pemilihan umum.26
Tiap-tiap orang yang berkelayakan mestilah tercatat namanya sebagai
pemilih bagi pemilihan umum Persekutuan dan pemilihan umum Negeri. Mereka
boleh menghantar permohonan kepada panetra pemilihan umum atau kepada
penolong panetra pemilihan umum. Permohonan ini hendaklah dihantar dalam
25Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, (Selangor Darul
Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77 26 Peraturan Pemilihan Umum, Perkara 14, 15 (UU Tahun 1959) dan Perkara 69 (UU
Tahun1959).
62
tempoh ditentukan oleh Suruhanjaya Pilihan Raya atau panetra pemilihan umum
atasan, yaitu tidak kurang dari 30 hari dan tidak lebih dari 60 hari. Biasanya
tempoh ini ditetapkan bermula pada tiap-tiap tahun pada 1 September dan
berakhir pada 30 Oktober.27
Sesiapa yang tidak senang hati tentang daftar pemilih yang telah disiapkan
itu (samada disebabkan namanya tidak terkandung dalam daftar itu ataupun nama
orang lain yang tidak layak terkandung di dalamnya) bolehlah dia menuntut
supaya namanya dimasukkan ke dalam daftar itu. Ia juga boleh membuat
bantahan supaya dibatalkan nama orang yang ada dalam didaftar itu. Bantahan
dan tuntutan ini hendaklah dibuat dalam tempoh 28 hari dari tanggal tersebarnya
kenyataan daftar pemilih itu dalam warta kerajaan. Apabila tututan di lakukan,
pegawai pendaftaran hendaklah menampal satu kenyataan di kantornya yang
mengandung nama dan alamat orang yang membuat tuntutan itu. Apabila satu
bantahan telah dibuat, maka pegawai atau panetra pendaftar hendaklah
menghantar satu kenyataan kepada nama yang dibantah dalam pendaftaran itu.
Tiap-tiap daftar pemilih yang telah disiapkan hendaklah diakui sah sebagai
muktamad. Pengkuan ini bolehlah dibuat apabila pegawai pendaftaran membuat
keputusannya tentang segala tuntutan dan bantahan itu telah di rayu dan masih
lagi belum dibicarakan oleh pengawai penyemak. Siaran tentangnya hendaklah
dibuat dalam surat rasmi atau Warta Kerajaan dan hendaklah dinyatakan bahawa
daftar itu telah diakui sah dan boleh diperiksa. Daftar pemilih yang telah diakui
27 Peraturan Pemilihan Umum, Perkara 8, (UU Tahun 1989)
63
sah itu mula berkuat kuasa pada tanggal siaran itu (tertakluk kepada apa-apa
perubahan yang akan dibuat sementara menanti keputusan rayuan) dan akan tamat
pada tiap-tiap 31 Mac satu pengakuan yang lain dibuat tentangnya.28
Ketiga, kesalahan-kesalahan yang terkait pemilihan umum.
Mengikut Akta kesalahan pemilihan umum Tahun 1954 terbahagi kepada
3 jenis:
1. Kesalahan yang dimaksudkan kesalahan pilihan raya.
2. Kesalahan dengan sebab melakukan perbuatan yang tidak jujur.
3. Kesalahan dengan sebab melakukan amalan salah.
Kesalahan jenis pertama, sesiapa yang melakukan kesalahan jenis ini, jika
tersangka salahnya, boleh dihukum penjara tidak lebih dari tiga tahun atau denda
tidak lebih dari RM 2000 ataupun kedua-dua sekali. Selain hukuman ini, orang
yang tersangka kesalahanya tidak boleh menjadi pemilih atau calon selama lima
tahun mulai tanggal tersangka kesalahannya atau pada tanggal di dibebaskan dari
penjara. Jika pada tanggal ditersangka kesalahannnya ia terpilih dalam mana-
mana pemilihan umum, makanya tempat akan menjadi kesalahan pilihan raya
adalah berikut:
1. Telah membuat kenyataan palsu tentang permohonan pendaftaran pemilih.
28Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, (Ampan/Hulu
Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 177
64
2. Telah memalsukan kertas penamaan atau dengan niat hendak menipu, telah
merosakan atau membinasakan kertas penamaan atau telah menyerahkan
kertas penamaan yang dia tahu telah dipalsukan.
3. Telah memalsukan atau meniru atau dengan niat hendak menipu telah
merosakkan atau membinasakan kertas pemilih atau tanda rasmi yang ada
pada kertas pilih itu.
4. Tanpa mempunyai kuasa, telah memberi kertas pilih kepada seseorang.
5. Telah menjual atau menjaja atau membeli atau bersedia hendak membeli
kertas pilih.
6. Ada dalam miliknya kertas pilih yang sudah ditandakan dengan tanda rasmi,
pada hal dia tidak berhak memiliki kertas pilih itu.
7. Telah memasukkan benda-benda atau kertas pilih ke dalam peti pilih yang
hanya dibenarkan oleh undang-undang.
8. Tanpa mempunyai kuasa, telah membawa keluar kertas pilih dari tempat
memilih atau telah didapati kertas pilih ada dalam miliknya di luar tempat itu.
9. Tanpa mempunyai kuasa, telah membinasakan, mengambil, membuka atau
dengan apa-apa jalan sekali pun telah mengusik peti pilih, atau bungkusan-
bungkusan kertas pilih yang sedang digunakan atau hendak digunakan untuk
mana-mana pemilihan umum.
65
10. Telah memilih dalam sesuatu pemilihan umum, pada hal ia tidak berhak
memilih.29
Jenis kesalahan kedua, yaitu kesalahan amalan yang tidak jujur, terbahagi
kepada 5 jenis:
1. Menyamar.
2. Memberi layanan makan minum.
3. Pengaruh yang tidak jujur.
4. Rasuah atau korupsi.
5. Perbuatan-perbuatan tentang iklan.
Yang dimaksudkan menyamar adalah, melakukan perbuatan meminta
kertas pilih dalam seseuatu pemilihan umum dengan mengunakan:
1. Nama orang lain, sama ada nama orang yang masih hidup atau sudah
meninggal dunia.
2. Nama rekaan.
3. Namanya sendiri, jika sudah memilih dalam pemilihan umum itu.
Yang dimaksudkan pengaruh tidak jujur adalah:
a. Orang yang menggunakan kekerasan atau ugutan hendak merosak,
merugikan atau membuat apa-apa bahaya, supaya orang yang dipaksa atau
dipaksa itu memilih atau melakukan segala perbuatan ini kerana seorang itu
sudah memilih atau sudah menahan dirinya dari memilih dalam pemilihan
umum.
29 Tun Salleh Abas, op, cit., hlm 191
66
b. Orang yang menghalang atau menahan seseorang pemilih dari mengunakan
pilihannya, atau memaksa atau memujuk sesorang pemilih itu supaya memilih
atau menahan dirinya dari memilih dalam sesuatu pemilihan umum.
c. Orang yang mengangu seseorang pemilih supaya ia tidak dapat mengunakan
dengan bebas hak pemilihannya, umpamanya seseorang pemilih itu disuruh
percaya bahawa dia atau seseorang yang berkaitan dengannya akan dimurkai
oleh Tuhan kerana berdosa di sisi agama.
Yang dimaksudkan memberi layanan makan minum adalah, menyediakan
makanan, jamuan atau uang atau sebarang benda, untuk mempengaruhi
sesesorang itu pergi memilih ataupun perbuatan itu dibuat kerana seseorang itu
telah memilih atau telah menahan dirinya dari memilih.
Yang dimaksudkan rasuah atau korupsi adalah:
1. Memberi pimjaman atau berjanji hendak memberi uang atau barang yang
berharga kepada pemilih supaya pemilih itu akan memilih atau menahan
dirinya dari memilih atau telah menahan dirinya dari memilih.
2. Memberi atau berikhtiar memberi kerja atau jawatan kepada seseorang
pemilih supaya memilih atau menahan diri dari memilih.
3. Memberi hadiah uang atau pinjaman uang kepada seseorang supaya orang itu
berikhtiar menjayakan pilihan seseorang calon atau mendapat pilih dari
seorang pemilih.
4. Berikhtiar dan berusaha menjayakan pilihan seseorang atau mendapatkan pilih
seorang pemilih setelah menerima hadiah uang atau pinjamam uang.
67
5. Membayar uang atau memberi pinjamam uang untuk dibelanjakan sebagai
rasuah atau untuk membayar hutang yang wujud disebabkan membelanjakan
uang sebagai rasuah.
6. Memberi uang, pinjamam uang, barang-barang yang berharga, jawatan atau
kerja, atau berikhtiar memberi perkara-perkara ini kepada seseorang supaya
orang itu bersetuju menarik dirinya dari menjadi calon.
Yang dimaksudkan perbuatan-perbuatan tentang iklan adalah:
1. Mencetak, menyiar, menyebar atau mengumpulkan apa-apa iklan, surat
tangan, kertas pelekat atau poster yang bertersangka dengan sesuatu pemilihan
umum yang pada iklan-iklan dan kertas-kertas yang tersebut itu tidak ada
tentera di atas nama dan alamat orang yang mencetak dan menerbitnya.
2. Jika dia membuat atau menyiarkan sesuatu kenyataan salah tentang diri atau
kelakuan calon dengan tujuan hendak memberi kemenangan atau kekalahan
kepada seseorang calon itu.
3. Jika seseorang yang menjadi calon atau wakil pemilihan umum bagi
seseorang calon telah membuat satu pengakuan palsu tentang perbelanjaan
pemilihan umum, pada hal dia tahu bahawa pengakuan itu palsu.
Seterunya hukuman bagi kesalahan-kesalahan di atas adalah, bagi seseorang
yang didapati bersalah melakukan amalan tidak jujur yang lain darinya perbuatan
menyamar akan dihukum penjara selama enam bulan dan denda sebnyak RM
68
500. Orang yang didapati bersalah kerana melakukan perbuatan menyamar pula
akan dihukum penjara selama 12 bulan dan denda sebanyak RM 500.30
Jenis kesalahan ketiga, kesalahan dengan sebab melakukan amalam salah.
Akta kesalahan pemiliham umum 1954 mengariskan peraturan dan larangan yang
mesti dipatuhi oleh calon, wakil pemilihan umum dan sesiapa juga.
Kegagalan mematuhui perturan dan larangan itu dianggap satu amalan
salah dan sesorang yang tersangka kesalahannya boleh dihukum denda sebanyak
RM 500. Dalam tempoh lima tahun itu juga mulai dari tanggal tersangka
kesalahannya, dia tidak boleh memilih dalam mana-mana pemilihan umum
sekalipun. Jika dia menjadi calon dan berjaya dalam sesuatu pemilihan umum
,maka tempatnya adalah dianggap kosong semenjak tanggal yang ia didapati
tersangka kesalahannya. Perbuatan dan larangan yang menimbulkan amalan salah
itu adalah melanggar peraturan-perturan di bawah:
1. Tiap-tiap uang untuk perbelanjaan pemilihan umum mestilah diserahkan dan
berada dalam jagaan Wakil pemilihan umum. Segala perbelanjaan mestilah
dibuat olehnya atau orang yang diberi kuasa olehnya. Seseorang calon itu
boleh membelanjakan uang setakat RM 1000 untuk perbelanjaan dirinya.
2. Uang untuk perbelanjaan pemilihan umum itu mestilah tidak lebih daripda
yang dihadkan, yaitu RM 20 000 untuk pemilihan umum Dewan Rakyat, RM
15 000 untuk pemilihan umum Dewan Negeri, RM 10 000 untuk pemilihan
30 Tun Salleh Abas, op, cit., hlm 197
69
umum pihak berkuasa tempatan, dan RM 3000 untuk pemilihan umum majlis
tempatan. Jumlah ini tidak termasuk bayaran kepada wakil pemilihan umum.
Wakil calon tidak boleh berkerja dengan percuma sahaja, tetapi sekiranya ia
dibayar dia boleh menerima RM 1000 bagi pemilihan umum Dewan Rakyat,
RM 750 bagi pemilihan umum Dewan Negeri,RM 500 bagi pemilihan umum
pihak yang berkuasa tempatan dan RM 250 bagi pemilihan umum majlis
tempatan.
3. Segala pembayaran dan perbelanjaan yang dibuat mestilah disokong oleh
surat hutang dan resit, melainkan bayaran itu kurang dari RM 10 atau
sememangnya tidak memakai resit setem.
4. Pada hari memilih pula, setiap majikan mesti memberi peluang dan kebebasan
kepada pekerja-pekerjanya pergi memilih dengan tidak memotong gaji
mereka.
5. Pada hari memilih juga, perkakas-perkakas, bunyian-bunyian dan pembesar
suara tidak boleh digunakan untuk menyiarkan dakyah-dakyah politik. Pada
hari itu juga bendera-bendera, poster dan label yang membezakan fikiran-
fikiran yang diakui oleh seseorang calon dengan seseorang calon yang lain
tidak dibenarkan dipakai, digunakan atau di bawa.31
Sebagai kesimpulan, apa yang terkait undang-undang pemilihan umum
antara golongan putih tidak terdampak secara komprehensif, tetapi secara
31 Tun Salleh Abas, op, cit., hlm 201
70
revalansinya memberi kesan positif, yaitu praktek yang di lakukan oleh
mansyarakat kearah mengabaikan hak pemilihan umum tidak digalakkan, seperti
jika majikan itu tidak memberi hak pemilih pada hari pemilihan umum akan
dikenakan hukuman dan salah menurut undang-undang di Malaysia. Yaitu apa
yang sudah disebut di atas.
Agar memperjelaskan lagi, akan dilampirkan undang-undang yang khusus
bagi pemilihan umum di muka terakhir. Bagi mengetahui lagi hubung kait
undang-undang antar golongan putih di Malaysia, adalah bagaimana
implementasi negara terhadap segala permasalahan yang berlaku di dalam arena
politik, khasnya politik Islam yang menjadikan agama Islam sebagai agama rasmi
di Malaysia.
71
BAB V
PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari apa yang
telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian penulis juga
menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait.
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu untuk mengakhiri pembahasan dalam
skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umumnya golongan putih yang terdapat di Malaysia merupakan suatu
kajian oleh golongan elit politik semenjak dahulu hingga saat ini. Dalam masa
yang sama, golongan putih tidak terlepas juga berlaku di negara-negara lain,
yaitu bagi negara yang mengamalkan sistem pemerintahan demokrasi.
Ditinjau dari sudut serajah perkembanganya adalah melibat beberapa faktor,
yang lebih menfokuskan adalah hubung kait antara pemilihan umum dan
sistem pemerintahan demokrasi.
Karakteristik dan jumlah golongan putih di Malaysia semakin
meningkat saat ini, dalam perbahasan yang dikemukakan oleh golongan elit
politik Islam dengan pelbagai pandangan, mereka menfokuskan sebab
terjadinya adalah kejahilan, kejumudan, dan terpengaruhnya ideologi
72
tradisional atau kolonial barat yang memberi kesan terhadap masyarakat saat
ini.
2. Golongan putih tidak terlepas dari implementasi hukum Islam, khususnya
melibatkan dalam konteks fiqh siyasah. Dalam masa yang sama, agama rasmi
bagi negara Malaysia adalah agama Islam, maka hubung kait hukum-hukum
Islam terhadap golongan putih menjadi perbahasan dikalangan golongan elit
politik Islam, dalam perbahasan tersebut ada yang menghukumkan harus,
wajib, haram dan sebagainya.
3. Golongan putih tidak terlepas dari Undang-undang di Malaysia, terutamanya
melibatkan undang-undang dalam pemilihan umum, walau pun dalam masa
yang sama, tidak lagi terdapat di dalam Perlembagaan atau Akta terbaru yang
menbicarakan masalah golongan putih secara khusus, untuk menentukkan
kebenaran dan kesalahan.
B. Saran-saran
Sedikit sebanyaknya terdapat kekurangan masalah golongan putih
menurut penulis. Di bawah ini merupakan suara hati yang ikhlas dari penulis
sebagai salah satu warga negara agar Malaysia lebih menjamin keamanannya, dari
segala permasalahan di dalam sistem pemerintahan dengan berdepannya konflik
masyarakat, terutamanya golongan putih di dalam politik Islam di Malaysia.
Saran-saran penulis diantanranya sebagai berikut:
1. Diambil dari beberapa pendapat golongan elit politik Islam, faktor yang
mempangruhi golongan putih adalah sifat kejahilan yang berlaku dikalangan
73
masyarakat, jadinya peran dan wewenang bagi pihak berkuasa, terutamanya
pihak pemerintah agar menangani segala permasalahan tersebut dengan
kebijaksanaan.
2. Penerapan hukum tentang segala permasalahan yang terbaru, terutamanya
golongan putih, agar pihak yang terlibat sama ada golongan politik Islam,
mufti, jabatan-jabatan agama supaya memberi penjelasan yang bijaksana
mengikut maslahah-maslahah umum dalam kontek bernegara, dan bukan
kepentingan peribadi dan sebagainya agar menjauhi segala permusuhan dan
perpecahan yang lebih besar.
3. Penerapan Undang-undang sama ada di dalam Perlembagaan atau Akta
mestilah di tinjau dari banyak pihak yang terlibat, terutamanya ahli-ahli
hukum, sarjana Islam atau sebagainya, agar lebih menjamin kemakmuran
negara yang melibatkan penduduk pelbagai bangsa dan agama.
74
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan (Departemen Agama Republik Indonesia),
Bandung: PT. Syamil Cipta Media, tth Abdullah, Abdul Rahman Haji, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan
Alirannya” ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I Ali Muhammad, Khalid, Sistem Politik Islam, (Selangor: Telaga Biru Sdr Bhd, 2008),
cet. I Althoff, Michael Rush and Phillip, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Perseda, 2003), cet. III Aini, Ng. Phlippus, dan Nurul, Sosialogi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), cet. V An-Nabhani, Taqiyuddin, at-Taklil al-hizbi, edisi Indonesia: terjemahan oleh,
M.Shiddqi, Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet.II
------Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah (Bogor: Pustaka Thariqul Izza,
2009), cet. III Anissa, Khoridatul, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya&
Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I
Anne B, Wiszynsk, Paul H. Mussen, Personality and Political (Human
Relation,1951), cet. 5 Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani,
2009), cet. I, Jilid 1. As-Suyuti, As-Asyabah Wa an-Nazair fil Qawaid al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Kutub,
2007) cet. I Ashaari Muhaamad, Inilah Pandanganku, ( Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar,
1986) cet. I Awang, Abdul Hadi, Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor: PTS
Publications & Distributors Sdn Bhd Jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II
75
------Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu poltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,2008) cet. I Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu
Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III Fadal, Moh Kurdi, Kaedah-Kaedah Fiqh, ( Jakarta: CV Arhta Rivera, 2008), cet. I Garaudy, Roger, Janji-janji Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), cet. I Hamid Algar, Islam dan Tantangan Intelektual dari Kebudayaan Modern, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983), cet. I Hasbi, Artani, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet.
I, h. Hawari, Muhammad, Politik Partai Startegi Baru Perjuangan Partai Politik Islam,
(Bogor: Al-Azhar Press, 2003), cet. II Ibrahim Al-Hifnawi, Muhammd (Ta’liq) dan Hamid, Mahmud (Takhrij), Tafsir Al-
Quthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. I, Jilid 4. Kamil, Sukran, Islam & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2002), cet. I Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,
2009), cet. I Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, ( Selangor Darul
Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, diterjemah oleh:
Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III Muda, Abd Latif dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur:
Pustaka Salam, 2005), cet. I Muhamad Bahi, Penentang Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, (Kuala
Lumpur: Penerbit Hizbi, 1985) cet. I
76
Nasution, Lahmuddin, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafie (Bandung: Penerbit Pt Remaja 2006), cet. I
Nashr,Abu , Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, (Yogyagarta: Prisma Media), cet. I Pranowo, Bambang, Sosiologi Sebuah Pengantar , ( Jakarta: Isa Laboratorium,
2008), cet. I Saat, Ishak, Sejarah Politik Melayu Pelbagai Aliran, (Selangor: Karisma Publications
Sdn Bhd, 2007), cet. I Shamsuddin,Abdul Ghani, Tajdid dalam Pendidikan dan Masyarakat, (Kuala
Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), cet. I Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia,(Kuala
Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I Suhendi, Hendi, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, ( Bandung:
Pustaka Setia, 2008), cet. I Syarif, Mujar Ibnu dan, Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2008), cet. I Taib, Harun, Model Kerajaan Islam: membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur:
Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I Thahani, Miswan, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golput, (Jakarta:
Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I Thoha, Ahmadie, Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), cet. IIV Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, hukum,
ekonomi, Budaya dan Sains, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. I Zada, Khamami dan Arie R Arofa, Diskursus Politik Islam, ( Jakarta: Perum Pondok
Karya Permai, 2004), cet. I
77
Situs Internet: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April
2010, pukul 18.00 WIB http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golput.htm jam
diakses pada tanggal 13 April 2010, jam 10:30 WIB http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golput.html?lang=
diakses pada tanggal 13 April 2010, jam 10:30 WIB http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/03/kha1.htm diakses pada tanggal 13
April 2010, jam 10:30 WIB http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam
1021 13/4/2010 WIB
LAMPIRAN
Perlembagaan Persekutuan Malaysia/Pilihan Raya Perkara 113. Penjalanan pilihan raya.
(1) Maka hendaklah ada suatu Suruhanjaya Pilihan Raya yang hendaklah ditubuhkan mengikut Perkara 114, yang, tertakluk kepada peruntukan undang-undang persekutuan, hendaklah menjalankan pilihan raya ke Dewan Rakyat dan Dewan-Dewan Undangan Negeri dan menyediakan dan menyemak daftar pemilih bagi pilihan raya itu.
(2) (i) Tertakluk kepada perenggan (ii), Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah, dari semasa ke semasa, sebagaimana yang difikirkannya perlu, mengkaji semula pembahagian Persekutuan dan Negeri-Negeri kepada bahagian pilihan raya dan mengesyorkan apa-apa perubahan mengenainya yang difikirkannya perlu supaya dipatuhi peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas; dan kajian semula bahagian-bahagian pilihan raya bagi maksud pilihan raya ke Dewan-Dewan Undangan hendaklah dijalankan pada masa yang sama dengan kajian semula bahagian-bahagian pilihan raya bagi maksud pilihan raya ke Dewan Rakyat.
(ii) Maka hendaklah ada lat tempoh tidak kurang daripada lapan tahun antara tarikh siapnya satu kajian semula, dengan tarikh bermulanya kajian semula yang kemudiannya, di bawah Fasal ini.
(iii) Kajian semula di bawah perenggan (i) hendaklah disiapkan dalam tempoh yang tidak melebihi dua tahun dari tarikh bermulanya kajian semula itu.
(3) Jika Suruhanjaya Pilihan Raya berpendapat bahawa berikutan dengan suatu undang-undang yang dibuat di bawah Perkara 2 kajian semula yang disebut dalam Fasal (2) perlu dijalankan, maka Suruhanjaya itu hendaklah berbuat sedemikian sama ada atau tidak lapan tahun telah berlalu semenjak kajian semula yang terakhir dijalankan di bawah Fasal itu.
(3A) (i) Jika bilangan ahli dipilih bagi Dewan Rakyat diubah berikutan dengan apa-apa pindaan kepada Perkara 46, atau bilangan ahli dipilih bagi Dewan Undangan sesuatu Negeri diubah berikutan dengan suatu undang-undang yang diperbuat oleh Badan Perundangan sesuatu Negeri, Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah, tertakluk kepada Fasal (3B), menjalankan kajian semula pembahagian kawasan yang tersentuh dengan pengubahan itu kepada bahagian
pilihan raya persekutuan atau Negeri, mengikut mana-mana yang berkenaan, dan kajian semula itu hendaklah disiapkan dalam tempoh yang tidak melebihi dua tahun dari tarikh permulaan kuat kuasa undang-undang yang membuat pengubahan itu.
(ii) Kajian semula di bawah perenggan (i) tidaklah menyentuh lat tempoh yang diperuntukkan di bawah perenggan (ii) Fasal (2) berkenaan dengan kajian semula di bawah perenggan (i) Fasal itu.
(iii) Peruntukan Jadual Ketiga Belas hendaklah terpakai bagi kajian semula di bawah Fasal ini, tetapi tertakluk kepada apa-apa ubah suaian yang difikirkan perlu oleh Suruhanjaya Pilihan Raya.
(3B) Jika sesuatu pindaan kepada Perkara 46 atau suatu undang-undang yang diperbuat oleh Dewan Undangan sesuatu Negeri yang disebut dalam perenggan (i) Fasal (3A) mula berkuat kuasa selepas lapan tahun berlalu dari tarikh siapnya kajian semula yang terakhir di bawah Fasal (2) dan Suruhanjaya Pilihan Raya berpendapat bahawa perlu dijalankan suatu kajian semula di bawah Fasal (2), maka Suruhanjaya Pilihan Raya tidak boleh menjalankan kajian semula di bawah perenggan (i) Fasal (3A) tetapi sebaliknya hendaklah menjalankan kajian semula di bawah Fasal (2) dan dalam mengendalikan kajian semula sedemikian hendaklah mengambil kira mana-mana kawasan yang tersentuh berikutan dengan pindaan atau undang-undang yang disebut dalam perenggan (i) Fasal (3A).
(4) Undang-undang persekutuan atau Negeri boleh memberi kuasa Suruhanjaya Pilihan Raya untuk menjalankan pilihan raya selain pilihan raya yang disebut dalam Fasal (1).
(5) Setakat yang perlu bagi maksud fungsinya di bawah Perkara ini, Suruhanjaya Pilihan Raya boleh membuat kaedah-kaedah, tetapi mana-mana kaedah yang sedemikian hendaklah berkuat kuasa tertakluk kepada peruntukan undang-undang persekutuan.
(6) Kajian semula yang berasingan di bawah Fasal (2) hendaklah dijalankan bagi Negeri-Negeri Tanah Melayu dan bagi tiap-tiap satu daripada Negeri Sabah dan Sarawak, dan bagi maksud Bahagian ini ungkapan "unit kajian semula" ertinya, bagi bahagian pilihan raya persekutuan, kawasan yang sedang dikaji semula dan, bagi bahagian pilihan raya Negeri, ertinya Negeri itu, dan ungkapan "Negeri-Negeri Tanah Melayu" termasuklah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya.
(7) Tertakluk kepada Fasal (3), tempoh bagi kajian semula kali pertama di bawah Fasal (2) bagi mana-mana unit kajian semula hendaklah dihitung mulai dari
penyempadanan kali pertama bahagian pilihan raya bagi unit itu di bawah Perlembagaan ini atau di bawah Akta Malaysia [Akta 26 tahun 1963].
(8) Walau apa pun Fasal (7) Perkara ini tempoh bagi kajian semula di bawah Fasal (2) bagi unit kajian semula bagi Negeri-Negeri Tanah Melayu yang dijalankan selepas lulusnya Akta Perlembagaan (Pindaan) (No. 2) 1973 hendaklah dihitung mulai dari penyempadanan kali pertama bahagian pilihan raya bagi unit itu sebaik selepas lulusnya Akta itu.
(9) Tarikh bermulanya sesuatu kajian semula di bawah Fasal (2) atau Fasal (3A), mengikut mana-mana yang berkenaan, ialah tarikh tersiarnya notis yang disebut dalam seksyen 4 Jadual Ketiga Belas dalam Warta.
(10) Tarikh siapnya sesuatu kajian semula di bawah Fasal (2) atau Fasal (3A), mengikut mana-mana yang berkenaan, ialah tarikh laporan dikemukakan kepada Perdana Menteri di bawah seksyen 8 Jadual Ketiga Belas, dan notis mengenai tarikh itu hendaklah disiarkan dalam Warta oleh Suruhanjaya Pilihan Raya.
Perkara 114. Keanggotaan Suruhanjaya Pilihan Raya.
(1) Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong selepas berunding dengan Majlis Raja-Raja, dan hendaklah terdiri daripada seorang pengerusi, seorang timbalan pengerusi dan lima orang anggota lain.
(2) Pada melantik anggota Suruhanjaya Pilihan Raya, Yang di-Pertuan Agong hendaklah mengambil perhatian tentang peri mustahaknya suatu Suruhanjaya Pilihan Raya yang mendapat kepercayaan awam.
(3) Seseorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya terhenti daripada memegang jawatan apabila mencapai umur enam puluh lima tahun atau apabila hilang kelayakan di bawah Fasal (4) dan boleh pada bila-bila masa meletakkan jawatannya melalui surat yang ditandatangani sendiri olehnya yang ditujukan kepada Yang di-Pertuan Agong, tetapi tidaklah boleh dipecat daripada jawatan kecuali atau alasan dan mengikut cara yang sama seperti seorang hakim Mahkamah Persekutuan.
(4) Walau apa pun apa-apa jua dalam Fasal (3), Yang di-Pertuan Agong hendaklah melalui perintah memecat daripada jawatan mana-mana anggota Suruhanjaya Pilihan Raya jika anggota itu—
(a) seorang bankrap belum lepas; atau
(b) melibatkan diri dalam apa-apa jawatan atau pekerjaan berbayar di luar tugas jawatannya; atau (c) ahli mana-mana satu Majlis Parlimen atau Dewan Undangan sesuatu Negeri.
(4A) Sebagai tambahan kepada apa-apa kehilangan kelayakan yang diperuntukkan di bawah Fasal (4), pengerusi Suruhanjaya Pilihan Raya hilang kelayakan untuk memegang jawatan itu jika selepas tiga bulan pelantikannya ke jawatan itu atau pada bila-bila masa selepas itu dia ialah atau menjadi anggota mana-mana lembaga pengarah atau lembaga pengurusan, atau pegawai atau pekerja, atau melibatkan diri dalam hal ehwal atau urusan, mana-mana organisasi atau badan, sama ada diperbadankan atau selainnya, atau mana-mana pengusahaan komersil, perindustrian atau pengusahaan lain, sama ada atau tidak dia menerima apa-apa saraan, hadiah, untung atau faedah daripadanya:
Dengan syarat bahawa kehilangan kelayakan itu tidaklah terpakai jika organisasi atau badan itu menjalankan apa-apa kerja kebajikan atau sukarela atau tujuan yang berfaedah kepada masyarakat atau mana-mana bahagiannya, atau apa-apa kerja atau tujuan lain yang bersifat khairat atau sosial, dan anggota itu tidak menerima apa-apa saraan, hadiah, untung atau faedah daripadanya.
(5) Parlimen hendaklah melalui undang-undang membuat peruntukan bagi saraan anggota Suruhanjaya Pilihan Raya, dan saraan yang diperuntukkan sedemikian hendaklah dipertanggungkan pada Kumpulan Wang Disatukan.
(5A)Tertakluk kepada peruntukan Perkara ini, Parlimen boleh melalui undang-undang membuat peruntukan bagi terma jawatan anggota Suruhanjaya Pilihan Raya selain saraan mereka.
(6) Saraan dan terma lain jawatan bagi seseorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya tidaklah boleh, selepas pelantikannya, diubah menjadi kurang baik baginya.
(7) Jika, dalam apa-apa tempoh, Pengerusi Suruhanjaya Pilihan Raya telah diberi kebenaran bercuti oleh Yang di-Pertuan Agong atau tidak dapat menunaikan fungsinya kerana dia tidak ada di dalam Persekutuan, sakit atau apa-apa sebab lain, maka timbalan pengerusi hendaklah menunaikan fungsi pengerusi selama tempoh itu, dan jika timbalan pengerusi juga tidak ada atau tidak dapat menunaikan fungsi itu, maka seorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya boleh dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong untuk menunaikan fungsi pengerusi selama tempoh itu.
Perkara 115. Bantuan kepada Suruhanjaya Pilihan Raya.
(1) Suruhanjaya Pilihan Raya boleh mengambil kerja apa-apa bilangan orang, mengikut apa-apa terma dan tertakluk kepada apa-apa syarat, yang ditentukan olehnya dengan persetujuan Yang di-Pertuan Agong.
(2) Apabila diminta oleh Suruhanjaya, semua pihak berkuasa awam hendaklah memberikan apa-apa bantuan sebagaimana yang dapat dilaksanakan kepada Suruhanjaya dalam menunaikan tugasnya; dan pada menjalankan fungsinya bagi membuat syor bagi menyempadankan bahagian pilihan raya bagi pilihan raya yang disebut dalam Fasal (1) Perkara 113, Suruhanjaya hendaklah meminta nasihat daripada dua orang pegawai Kerajaan Persekutuan yang mempunyai pengetahuan khas mengenai topografi dan taburan penduduk dalam unit kajian semula bagi pilihan raya persekutuan, dan pegawai itu hendaklah dipilih bagi maksud itu oleh Yang di-Pertuan Agong.
Perkara 116. Bahagian pilihan raya persekutuan.
(1) Bagi pemilihan ahli-ahli ke Dewan Rakyat, sesuatu unit kajian semula hendaklah dibahagikan kepada bahagian pilihan raya mengikut peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas.
(2) Jumlah bilangan bahagian pilihan raya hendaklah sama dengan bilangan ahli supaya seorang ahli dipilih bagi setiap bahagian pilihan raya, dan daripada jumlah bilangan bahagian pilihan raya di dalam Negeri-Negeri Tanah Melayu itu suatu bilangan yang ditentukan mengikut peruntukan yang terkandung dalam Perkara 46 dan Jadual Ketiga Belas hendaklah diuntukkan bagi setiap Negeri.
(3) (Dimansuhkan).
(4) (Dimansuhkan).
(5) (Dimansuhkan).
Perkara 117. Bahagian pilihan raya Negeri.
Bagi pemilihan ahli-ahli ke Dewan Undangan sesuatu Negeri, Negeri itu hendaklah dibahagikan kepada seberapa banyak bahagian pilihan raya mengikut bilangan ahli yang dipilih supaya seorang ahli dipilih bagi setiap bahagian pilihan raya; dan pembahagian itu hendaklah dibuat mengikut peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas.
Perkara 118. Cara mencabar pemilihan.
Tiada pemilihan ke Dewan Rakyat atau ke Dewan Undangan sesuatu Negeri boleh dipersoalkan kecuali melalui petisyen pilihan raya yang dikemukakan kepada Mahkamah Tinggi yang mempunyai bidang kuasa di tempat pilihan raya itu diadakan.
Perkara 118A. Cara mempersoalkan petisyen pilihan raya mengenai tidak adanya pemilihan.
Sesuatu petisyen yang mengadukan hal bahawa tiada apa-apa pemilihan telah dibuat ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan hendaklah disifatkan sebagai satu petisyen pilihan raya dan Mahkamah Tinggi boleh membuat apa-apa perintah yang difikirkannya patut mengenainya untuk memaksa suatu pemilihan dibuat tetapi kegagalan membuat pemilihan dalam mana-mana tempoh yang dinyatakan oleh Perkara 54 atau 55 atau oleh peruntukan yang bersamaan dalam Perlembagaan mana-mana Negeri, mengikut mana-mana yang berkenaan, tidaklah menjadi suatu alasan bagi mengisytiharkan bahawa seseorang ahli telah tidak dipilih dengan sewajarnya.
Perkara 119. Kelayakan pemilih.
(1) Tiap-tiap warganegara yang—
(a) telah mencapai umur dua puluh satu tahun pada tarikh kelayakan; (b) bermastautin di dalam sesuatu bahagian pilihan raya pada tarikh kelayakan
yang sedemikian atau, jika tidak bermastautin sedemikian, ialah seorang pengundi tidak hadir; dan
(c) didaftarkan, di bawah peruntukan mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pilihan raya, dalam daftar pemilih sebagai pemilih dalam bahagian pilihan raya tempat dia bermastautin pada tarikh kelayakan,
berhak mengundi di dalam bahagian pilihan raya itu dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan melainkan jika dia hilang kelayakan di bawah Fasal (3) atau di bawah mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan berkaitan dengan pilihan raya; tetapi tiada seorang pun boleh mengundi dalam pilihan raya yang sama di dalam lebih daripada satu bahagian pilihan raya.
(2) Jika seseorang berada di dalam sesuatu bahagian pilihan raya semata-mata oleh sebab dia ialah seorang pesakit di suatu institusi yang disenggarakan keseluruhannya atau terutamanya untuk menerima dan merawat orang yang mengidap penyakit mental atau kecacatan mental atau semata-mata oleh sebab dia ditahan dalam jagaan, maka dia
hendaklah bagi maksud Fasal (1) disifatkan tidak bermastautin di dalam bahagian pilihan raya itu.
(3) Seseorang hilang kelayakan untuk menjadi pemilih dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan jika—
(a) pada tarikh kelayakan dia ditahan sebagai orang yang tidak sempurna akal atau sedang menjalani hukuman pemenjaraan; atau
(b) sebelum tarikh kelayakan dia telah disabitkan atas suatu kesalahan di dalam mana-mana bahagian Komanwel dan dihukum dengan hukuman mati atau pemenjaraan selama tempoh melebihi dua belas bulan dan pada tarikh kelayakan itu dia masih kena menjalani apa-apa hukuman bagi kesalahan itu.
(4) Dalam perkara ini— (a) "pengundi tidak hadir" ertinya, berhubung dengan mana-mana bahagian
pilihan raya, mana-mana warganegara yang berdaftar sebagai pengundi tidak hadir berkenaan dengan bahagian pilihan raya itu;
(b) "tarikh kelayakan" ertinya tarikh seseorang memohon supaya didaftarkan sebagai pemilih dalam sesuatu bahagian pilihan raya, atau tarikh dia memohon untuk menukar pendaftarannya sebagai pemilih dalam suatu bahagian pilihan raya yang lain,
mengikut peruntukan mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pilihan raya.
Perkara 120. Pemilihan terus ke Dewan Negara.
Jika mengikut Fasal (4) Perkara 45 peruntukan dibuat oleh Parlimen bagi pemilihan ahli-ahli Dewan Negara dengan cara undi terus oleh pemilih, maka—
(a) keseluruhan sesuatu Negeri hendaklah menjadi satu bahagian pilihan raya dan dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Negara setiap pemilih hendaklah mempunyai undi sebanyak bilangan kerusi yang hendak diisi dalam pilihan raya itu; dan
(b) daftar pemilih bagi pilihan raya ke Dewan Rakyat hendaklah juga menjadi daftar pemilih bagi pilihan raya ke Dewan Negara; dan
(c) Perkara 118, 118A dan 119 hendaklah terpakai berhubung dengan pilihan raya ke Dewan Negara sebagaimana Perkara-Perkara itu terpakai berhubung dengan pilihan raya ke Dewan Rakyat.