gaya bahasa terjemahan surah ar rahman dalam...

191
GAYA BAHASA TERJEMAHAN SURAH AR-RAHMAN DALAM AL-QUR’ÂN AL-KARÎM BACAAN MULIA KARYA H. B. JASSIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) Oleh Povi Maspupah NIM 1112013000053 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016

Upload: trinhdieu

Post on 09-Mar-2019

284 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GAYA BAHASA TERJEMAHAN SURAH AR-RAHMAN

DALAM AL-QUR’ÂN AL-KARÎM BACAAN MULIA

KARYA H. B. JASSIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Oleh

Povi Maspupah

NIM 1112013000053

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

i

ii

iii

iv

ABSTRAK

Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Gaya Bahasa Terjemahan

Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B.

Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan

untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan

implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yang

disertai dengan teknik sadap, catat, rekam, simak libat cakap, dan metode analisis

isi atau dokumen. Analisis dokumen digunakan untuk mencari dan

mengklasifikasikan bentuk penggunaan gaya bahasa, membedah makna yang

terkandung dalam setiap terjemahan ayat surah Ar-Rahman, khususnya yang

mengandung gaya bahasa. Adapun hasil analisis dan mengenai implikasi

penelitian terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, disajikan

dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan dan

menguraikannya dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka.

Hasil yang diperoleh setelah melakukan penelitian yaitu ditemukan 22 jenis

gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan

Mulia karya H. B. Jassin. Gaya bahasa tersebut, di antaranya adalah gaya bahasa

berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, di

antaranya adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis,

asindeton, polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan

apostrof, dan gaya bahasa kiasan, di antaranya adalah gaya bahasa simile,

personifikasi, sinekdoke, dan antonomasia. Selanjutnya, ditemukan gaya bahasa

berdasarkan struktur kalimat, terdiri dari gaya bahasa repetisi, paralelisme,

klimaks, antiklimaks, dan antitesis. Gaya bahasa retoris paling banyak ditemukan

dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia

karya H. B. Jassin. Penelitian ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia di sekolah, pada materi yang memuat gaya bahasa, seperti

materi puisi, terutama dalam hal pemberian contoh.

Kata Kunci: Gaya Bahasa, H. B. Jassin, Surah Ar-Rahman, Bacaan Mulia.

v

ABSTRACT

Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Figurative Language of The

Most Gracious Translation in the Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.

Jassin and the Implication for Indonesian Language and Literature

Education”. Faculty of Educational Sciences. Syarif Hidayatullah State Islamic

University of Jakarta. Advisor: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016.

It is a qualitative descriptif research, which aims to describe the use of

figurative language of the most gracious: a translation of the Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia by H. B. Jassin and its implication for Indonesian language and

literature learning at school.

The method used in this research is simak (observation) method, followed by

sadap (tapping), catat (note), rekam (record), simak libat cakap techniques, and

content or document analysis method. Document analysis is used to conduct and

classify the form of figurative language usage, to reveal the meaning contained

within each verse translation of the most gracious, especially which contains

figurative language. As for the research result is presented using a qualitative

descriptive method, which describes and analyses it in the form of word.

The research result reveals that 22 types of figurative language are found in

the most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.

Jassin. There are 22 types of figurative language. They are figurative language

based on the real or not real meaning, consistsing of rhetoric language, which in

turn consisting of inversion, alliteration, assonance, ellipsis, apofasis, asyndeton,

polysyndeton, pleonasm, tautology, prolepsis, erotesis, periphrasis, apostroph, and

figurative language based on unreal meaning, which include simile,

personification, sinekdoke, and antonomasia. Furthermore, there are figurative

language based on the sentence structure, consisting of repetition, paralelism,

climax, anticlimax, and antithesis. The rhetoric language is mostly found in the

most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.

Jassin. This research can be applied to Indonesian language and literature learning

at school, on the material which discusses figurative language, like poetry,

especially in providing examples.

Keywords: Figurative language, H. B. Jassin, The Most Gracious, Bacaan Mulia.

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan banyak nikmat

kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

Selawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada seorang nabi dan rasul,

yang memberikan peringatan kepada orang-orang kufur dan menyampaikan kabar

gembira kepada insan-insan yang beriman, yakni Nabi Muhammad Saw.

Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-

Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, disusun guna memenuhi

persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) pada Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penulisan skripsi ini, tentu tidak lepas dari dukungan berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki M. Hum., sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai

pembimbing skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktu,

memberikan nasihat, dan motivasi kepada penulis.

3. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah

memberikan banyak ilmu, terutama selama proses perkuliahan, memberikan

nasihat, dan motivasi kepada penulis.

4. Keluarga besar penulis, terutama Ibu dan Bapak yang senantiasa mendoakan,

memberikan dukungan berupa materi, perhatian, nasihat, dan motivasi kepada

penulis.

5. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

angkatan 2012, yang telah memberikan banyak pengalaman, memberikan

vii

dukungan, dan motivasi kepada penulis, terutama kepada Putri Anggraeni

Ruminto, Ulfah Sundusiah, dan Yayah Nur Asyani.

Semoga segala kebaikan berbagai pihak, mendapat balasan dari Allah Swt.

Sesuai dengan firmanNya dalam surah Ar-Rahman, bahwa sesungguhnya tidak

ada balasan untuk kebaikan selain dengan kebaikan. Selain itu, pada skripsi ini,

tentulah tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Untuk itu, penulis mengharapkan

adanya kritik dan saran dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak, terutama bagi para mahasiswa dan para peneliti selanjutnya

yang tertarik kepada bidang linguistik.

Jakarta, 10 Desember 2016

Penulis

Povi Maspupah

NIM. 1112013000053

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................. i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH...................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ............................................. iii

ABSTRAK ......................................................................................................... iv

ABSTRACT ....................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6

C. Pembatasan Masalah ......................................................................... 6

D. Rumusan Masalah ......................................................................... .... 7

E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7

F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

A. Landasan Teori

1. Gaya Bahasa

a. Pengertian Gaya Bahasa ...................................................... 9

b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa ....................................................... 10

2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik

a. Fonologi ............................................................................... 36

b. Sintaksis ............................................................................... 37

c. Semantik ............................................................................... 41

ix

d. Pragmatik .............................................................................. 41

3. Terjemah

a. Pengertian Terjemah ............................................................ 42

b. Macam-Macam terjemah ..................................................... 44

c. Persyaratan Terjemahan ..................................................... 49

d. Persyaratan Penerjemah ....................................................... 51

e. Tahap-Tahap Penerjemahan ................................................ 52

4. Alquran

a. Pengertian Alquran .............................................................. 54

b. Isi Kandungan Alquran ........................................................ 56

B. Penelitian yang Relevan ................................................................... 57

BAB III METODE PENELITIAN

1. Sumber Data ............................................................................... 65

2. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 66

3. Metode Analisis Data ................................................................. 67

BAB III HASIL PENELITIAN

A. Biografi H. B. Jassin ................................................................... 69

B. Surah Ar-Rahman ....................................................................... 74

C. Hasil Penelitian

1. Temuan Data .......................................................................... 77

2. Analisis dan Deskripsi Data ................................................... 80

D. Impilkasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di Sekolah. ................................................................. 139

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ..................................................................................... 143

B. Saran ........................................................................................... 145

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 146

LAMPIRAN-LAMPIRAN

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 : Daftar Uji Referensi

Lampiran 3 : Surah Ar-Rahman dan Terjemahannya dalam Al-Qurân Al-Karîm

Bacaan Mulia karya H. B. Jassin

Lampiran 4 : Hasil Kegiatan Mengaji

Lampiran 5 : Pedoman Transliterasi

Lampiran 6 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Lampiran 7 : Biodata Penulis

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak hanya mempunyai gaya dalam

berpakaian, berbicara, mengajar, belajar, berjalan, memimpin, dan

mendidik anak, tetapi juga gaya dalam berbahasa yang disebut gaya

bahasa. Gaya bahasa merupakan gaya seseorang dalam menggunakan

bahasa. Bentuk penggunaan gaya bahasa pun tentu berbeda-beda. Gaya

bahasa tersebut, akan menjadi ciri khas yang membedakan seseorang

dengan orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, sesungguhnya manusia

banyak menggunakan gaya bahasa untuk menyatakan maksud, pikiran, dan

perasaan.

Gaya bahasa tidak saja digunakan dalam komunikasi lisan, tetapi juga

tulisan, seperti yang dilakukan oleh para penulis terutama para penulis teks

sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Bentuk pengunaan

gaya bahasa seperti daun melambai-lambai, angin berbisik ke telingaku,

dan gadis itu mematung, merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa yang

banyak ditemukan dalam teks sastra. Perlu diketahui juga, bahwa

penggunaan gaya bahasa tidak saja dapat ditemukan dalam teks sastra,

tetapi dalam teks-teks lain seperti teks pidato, jurnal, artikel, esai, dan

Alquran terjemahan.

Berkaitan dengan Alquran terjemahan, dalam skripsi ini penulis akan

memfokuskan analisis pada penggunaan gaya bahasa dalam Alquran

terjemahan. Alasannya, penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran

terjemahan belum banyak yang melakukan, terutama mahasiswa jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian justru lebih banyak

dilakukan pada teks-teks sastra dan tindakan kelas yang berhubungan

dengan pendidikan. Oleh karena itu, penulis lebih memilih melakukan

2

analisis gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Lebih dari sepuluh

penelitian mengenai gaya bahasa yang pernah dilakukan, tiga di antaranya

adalah skripsi karya Hendryanoor Setiawan yang berjudul “Gaya Bahasa

Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan Display

Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Jurusan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri

Yogyakarta, tahun 2012,1 skripsi karya Novita Rihi Amalia yang berjudul

“Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi

Karya Andrea Hirata”, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2010,2 dan skripsi karya Evi

Selulawati yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan

Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M.

C. Escher: Analisis Stilistika”, program studi Indonesia, Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2012.3

Dari sekian banyak versi Alquran terjemahan, penulis lebih memilih

Alquran terjemahan karya H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan

Mulia. Kehadiran Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia yang banyak menuai

kontroversi, sang penerjemah bukan dari kalangan para ulama, melainkan

seorang sastrawan, merupakan hal yang menarik perhatian penulis. Selain

itu, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, jika

dibandingkan dengan Alquran terjemahan versi lain, terutama versi

Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud Yunus, mempunyai

perbedaan-perbedaan. Salah satu dari perbedaan tersebut adalah dari segi

diksi dan tipografi. H. B. Jassin sebagai seorang sastrawan, mencoba untuk

menerjemahkan Alquran secara puitis. Menurutnya, bahasa Alquran

sungguh luar biasa puitisnya, sayang sekali jika tidak diterjemahkan

1Hendryanoor Setiawan, “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam

Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Skripsi, (Universitas Negeri

Yogyakarta, 2012), Tidak dipublikasikan.

2Novita Rihi Amalia, “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi

Karya Andrea Hirata”, Skripsi, (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), Tidak dipublikasikan.

3Evi Selulawati, “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila

Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis Stilistika”, Skripsi, (Universitas

Indonesia, 2012).

3

dengan bahasa yang puitis pula. Alquran terjemahan H.B. Jassin adalah

Alquran terjemahan dalam bentuk puisi. Sebuah puisi pada umumnya

dapat dilihat pada bentuk visualnya, yakni berbeda dari prosa, ditulis tidak

baris demi baris yang panjangnya memenuhi lebar halaman, akan tetapi

baris demi baris yang panjangnya hanya memehuni sebagian lebar

halaman.4 Serangkaian kata terjemahan Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan

Mulia, disajikan rata tengah, dengan posisi terjemahan bahasa Indonesia di

sebelah kiri ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab.

H. B. Jassin sebagai sang penerjemah, adalah seorang sastrawan

sekaligus kritikus sastra yang terkenal dan mendapat julukan “Paus

Sastra”. Julukan tersebut, diberikan oleh Gayus Siagian pada satu

kesempatan simposium sastra Fakultas Sastra UI, Desember 1956,5

sebagai penghargaan dari apa yang telah dilakukannya, yaitu kecintaan,

ketekunan, dan perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap sastra

Indonesia. Selain itu, bertujuan untuk memberikan gambaran tentang

pengabdian konkret H. B. Jassin pada dunia kesusastraan Indonesia.6

Lebih lanjut, kata paus di dalam agama Katolik merupakan pemimpin

tertinggi yang berkedudukan di Vatikan. Namun, ini bukan berarti bahwa

H. B. Jassin adalah seorang pemimpin tertinggi beragama Katolik. H. B.

Jassin bukanlah pengikut paus. H. B. Jassin adalah penganut Islam.

Adapun kata paus, digunakan untuk menggambarkan sifatnya yang suka

bertenang-tenang, mirip dengan ikan paus.7

Kemampuan dan kelihaian H. B. Jassin menggunakan gaya bahasa

dalam teks-teksnya terutama teks sastra fiksi, baik itu untuk

menyampaikan maksud maupun untuk memperindah cerita, sudah tidak

diragukan lagi. Banyak sekali penghargaan-penghargaan yang diraih H. B.

Jassin atas karya-karyanya. Namun, bagaimanakah jika sang “Paus Sastra”

4H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan

Provinsi DKI Jakarta. 2000), h.26.

5Hawe Setiawan, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia 2, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama,

2008), h. 99.

6Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 287-288.

7H.B. Jassin, Op. Cit., h.78.

4

ini menerjemahkan Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa

Indonesia? Apakah sang “Paus Sastra” juga menggunakan kelihaiannya

menggunakan gaya bahasa dalam menerjemahkan ayat-ayat Alquran

seperti pada teks-teks sastra tanpa melenceng dari arti yang dikandungnya?

Bagaimanakah bentuk penggunaan gaya bahasanya? Hal inilah yang

kemudian ingin sekali penulis kaji lebih mendalam, dengan memilih Al-

Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin sebagai sumber primer

dalam mengkaji gaya bahasa. Hanya saja, analisis akan difokuskan pada

terjemahan surah Ar-Rahman. Alasannya, surah Ar-Rahman adalah surah

yang menarik dan unik. Menarik dan uniknya surah Ar-Rahman ini karena

memuat kalimat yang digunakan berulang-ulang, yaitu sebanyak 31 kali.

Pengulangan kalimat tersebut, juga merupakan salah satu bentuk

penggunaan gaya bahasa yang sangat jelas terlihat, berbeda dengan surah-

surah lainnya. Persajakan akhir ayat dalam surah Ar-Rahman begitu indah

dan rapi. Persajakan akhir seperti alif nun, alif mim, alif ra, dan nun

membuat surah ini sangat indah.

Lebih lanjut, penelitian mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh materi gaya

bahasa. Menyajikan contoh gaya bahasa, tidak hanya terbatas pada karya

sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, tetapi juga pada terjemahan

ayat-ayat Alquran pun dapat ditemukan berbagai contoh penggunaan gaya

bahasa yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya. Sehingga,

akan menambah pengetahuan siswa terhadap materi gaya bahasa, yang

biasanya merupakan bagian dari materi seperti puisi, cerpen, dan drama.

Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan

berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan

atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan

tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang

diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai

terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari

5

membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat,

mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan

mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran

membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan

membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah

agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu

mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan

informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis

karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.8 Sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada umumnya, materi gaya bahasa

merupakan bagian dari materi puisi, cerpen, novel, atau drama. Melalui

kegiatan membaca dan menulis, siswa dan guru dapat mencari,

menemukan, menyajikan dan menganalisis contoh gaya bahasa, baik dari

teks sastra, maupun dalam Alquran terjemahan berbahasa Indonesia, untuk

menambah pengetahuan dan mengasah pemahaman.

Penelitian terhadap Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.

Jassin ini memang sudah pernah dilakukan, dengan berbagai fokus

penelitian yang berbeda, seperti skripsi Siti Rohmanatin Fitriani berjudul

“Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B.

Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir

Hadis, 20039 dan skripsi Ahmad Muh. Ikhlas berjudul “Transformasi

Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās

(Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B.

Jassin”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas

8J. S. Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia, Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 14-15.

9Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H.

B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan.

6

Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016.10

Hal

tersebut, jelas berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan.

Penulis lebih memfokuskan kajian pada persoalan gaya bahasa dan

implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di

sekolah. Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah

dipaparkan di atas, dengan penuh semangat dan keyakinan, pada skripsi ini

penulis memutuskan untuk mengambil judul penelitian “Gaya Bahasa

Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia

Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di Sekolah”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut.

1. Kemampuan H. B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran tanpa

melenceng dari arti yang dikandung ayat.

2. Bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam

Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.

3. Sebab-sebab penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman

dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.

4. Hubungan penggunaan gaya bahasa dengan kalimat pada ayat-ayat lain

dan isi kandungan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.

5. Pemberian contoh materi gaya bahasa di sekolah yang hanya terfokus

pada buku ajar dan teks-teks sastra.

C. Pembatasan Masalah

Adapun dalam penelitian ini, masalah-masalah akan dibatasi pada

persoalan mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-

10Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis

Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,

Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak Dipublikasikan.

7

Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

a. Bagaimana bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin?

b. Bagaimana implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.

b. Mendeskripsikan implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

mengingatkan kembali kepada penulis dan pembaca, mengenai materi

pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Islam, yaitu

mengenai gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa, terjemahan, macam-

macam terjemahan, syarat terjemahan, persyaratan penerjemah, tahapan

penerjemahan, Alquran, dan mengenai riwayat hidup H. B. Jassin.

Landasan-landasan teori tersebut, diharapkan mampu menjadi dasar

pemikiran, menyumbangkan pemahaman, dan menjadi referensi bagi

8

penulis dan pembaca, baik dalam proses pembelajaran, maupun dalam

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap positif baik

bagi penulis maupun pembaca, karena banyak hal yang dapat diambil,

dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, dan

senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.

Adanya penelitian ini, diharapkan juga mampu membentuk semangat,

memberikan motivasi kepada penulis dan pembaca untuk selalu

membaca Alquran, mengkaji, dan mengamalkan ajaran di dalamnya.

Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu membentuk karakter

penulis dan pembaca menjadi pribadi yang kritis, mampu mengetahui,

memahami, dan menganalisis berbagai peristiwa yang terjadi di

lingkungan sekitar, dijadikan bahan penelitian dan evaluasi diri dengan

mengambil nilai-nilai positif untuk diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-sehari. Penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai bahan yang

dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia, sebagai motivasi, dan referensi bagi guru-guru bahasa

Indonesia dalam memberikan contoh-contoh materi pelajaran, juga bagi

peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia dalam penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai persoalan

gaya bahasa dalam Alquran terjemahan yang tidak hanya terdapat pada

surah Ar-Rahman, serta sebagai inovasi bagi pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia di sekolah.

9

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

A. Landasan Teori

1. Gaya Bahasa

a. Pengertian Gaya Bahasa

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap dalam

bukunya Telaah Wacana memaparkan pengertian gaya bahasa dengan

mengambil penjelasan dari Harimurti Kridalaksana. Mereka

memaparkan, ”Gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu:

pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau

menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek

tertentu; keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.”11

Sementara itu, pendapat Gorys Keraf mengenai gaya bahasa,

dipaparkan sebagai berikut.

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan

istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu

semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian

menggunakan alat ini mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada

lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada

keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi

kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-

kata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style

menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang

mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa

tertentu untuk menghadapi situasi tertentu.12

Lebih lanjut, terkait dengan persoalan gaya bahasa, Gorys Keraf

memaparkan,

Bila dilihat secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah

cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah

11Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta: The

Intercultural Intitute, 2009), Cet. I, h. 159.

12

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cet. XIV, h.

112.

10

laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini,

maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik

perhatian orang banyak”, “Cara menulisnya lain daripada

kebanyakan orang”, “Cara jalannya lain dari yang lain”, yang

memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis”

dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah

cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat

menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang

mempergunakan bahasa itu.13

Selanjutnya, pengertian mengenai gaya bahasa juga dipaparkan

oleh Diah Erna Triningsih. Beliau menyatakan, “Gaya bahasa adalah

cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang

memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”14

Sementara itu, Abd. Rohman memaparkan persoalan gaya bahasa

dalam istilah Arab. Beliau menyatakan,

Dalam bahasa Arab gaya bahasa disebut dengan istilah uslub, yang

secara etimologis berarti jalan di antara pepohonan, seni, bentuk,

madzhab, dan seterusnya. Adapun secara terminologis, kata uslub

diartikan dengan istilah metode pengungkapan yang dipilih

pengarang dalam menyusun ujaran serta memilih kosa kata yang

diungkapkannya.15

Berdasarkan berbagai pemaparan mengenai gaya bahasa di atas,

maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara

seseorang menggunakan bahasa, yang kemudian menjadi ciri khas

orang tersebut yang membedakan dengan orang lain, dan digunakan

untuk memberikan efek-efek tertentu dalam setiap kalimatnya.

b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa

Banyak ahli yang menyatakan pendapatnya mengenai jenis-jenis

gaya bahasa, sehingga gaya bahasa banyak jenisnya. Pada bagian ini,

penulis telah melakukan pendataan terhadap jenis-jenis gaya bahasa

13Keraf, Ibid., h. 113.

14

Diah Erna Triningsih, Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia, (Klaten: PT

Intan Pariwara, 2009), h. 8.

15

Abd. Rohman, Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah, (Malang: UIN

Malang Press, 2007), h. 71.

11

yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gorys Keraf,

Henry Guntur Tarigan, Okke Kusuma Sumantri Zaimar, dan Ayu

Basoeki Harahap. Adapun klasifikasi gaya bahasa menurut Gorys

Keraf, terbagi menjadi gaya bahasa berdasarkan segi nonbahasa dan

gaya bahasa berdasarkan segi bahasa, yang terdiri atas gaya bahasa

berdasarkan pemilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang

terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat,

dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.16

Sementara

itu, klasifikasi gaya bahasa menurut Henry Guntur Tarigan terbagi

menjadi gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya

bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.17

Selanjutnya,

klasifikasi gaya bahasa menurut Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan

Ayu Basoeki Harahap terbagi menjadi majas berdasarkan persamaan

makna, majas berdasarkan perbandingan makna, majas berdasarkan

oposisi makna, majas berdasarkan pertautan makna berkat kedekatan

acuan, dan majas yang mengambil bentuk majas lain.18

Pada bagian ini,

penulis akan memfokuskan pembahasan mengenai penggunaan gaya

bahasa dilihat dari segi linguistiknya. Berdasarkan hasil pembacaan

terhadap buku-buku ahli yang membahas mengenai jenis-jenis gaya

bahasa, secara keseluruhan gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi

51 jenis. Berikut penulis paparkan mengenai penjelasan jenis-jenis gaya

bahasa tersebut.

1. Klimaks

Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan

pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-

gagasan sebelumnya. Contoh:

Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran harapan,

dan pengalaman harapan.19

16Keraf, Op. Cit., h. 116-117.

17Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6.

18

Zaimar, Op. Cit., h. 163-176.

19

Keraf, Op. Cit., h. 124.

12

2. Antiklimaks

Antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya

diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting.

Contoh:

Ketua pengadilan negeri itu merupakan orang yang kaya,

pendiam, dan tidak terkenal namanya.20

3. Paralelisme

Gorys Keraf menyatakan, “Paralelisme adalah gaya bahasa yang

berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau

frasa-frasa yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk

gramatikal yang sama.” Contoh:

Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah,

harus diadili kalau bersalah. (Tidak baik: Baik golongan yang

tinggi maupun mereka yang rendah kedudukannya, harus diadili

kalau bersalah.)21

Sementara itu, Abdul Chaer menyatakan, “Kesejajaran atau

paralelisme adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan cara

membentuk beberapa kalimat dengan unsur-unsur yang mirip atau

hampir sama, baik tentang jumlah, isi, maupun pola kata yang

digunakan.”22

Lebih lanjut, Niknik M. Kuntarto menyatakan, “Agar

kalimat yang Anda buat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran

dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan bentuk-

bentuk yang sama pada kata-kata yang berparalel.”23

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa gaya bahasa paralelisme adalah gaya bahasa yang diwujudkan

20Keraf, Ibid., h. 125.

21

Ibid., h. 126.

22

Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Cet.

I, h. 377.

23

Niknik M. Kuntarto, Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir, (Jakarta: Mitra Wacana

Media, 2013), Cet. XII, h. 177.

13

melalui kesejajaran pemakaian kata-kata dalam bentuk gramatikal

yang sama.

4. Antitesis

Gorys Keraf menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang

mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan

menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.”24

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa Antitesis

merupakan perbandingan antara dua antonim (kata-kata yang

mengandung arti semantik berlawanan). Majas ini menggunakan dua

kata yang berlawanan. Contoh:

Kelulusan Putri dalam ujian sungguh melegakan dada, tetapi

kemampuan membiayainya di perguruan tinggi justru

menyesakkan dada mereka.25

Sementara itu, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki

Harahap memaparkan,

Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan

dua kata (bentuk lain) yang disandingkan agar lebih jelas dan

menonjol kontrasnya. Kedua kata (bentuk lain) mengandung

makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi

tidak bersifat implisit. Contoh:”Besar kecil, tua muda, kaya

miskin, semua berlomba-lomba ingin hidup senang. Ketiga kata

majemuk yang ditampilkan, mempunyai makna yang berlawanan

satu sama lain.”26

Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan

bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung kata-kata atau

kelompok kata yang bertentangan.

24Keraf, Loc. Cit., h. 126.

25

Triningsih, Op. Cit., h. 37.

26

Zaimar, Op. Cit., h. 170.

14

5. Repetisi

Gorys Keraf menyatakan, “Repetisi adalah pengulangan bunyi,

suka kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk

memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.”27

Sementara

itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa repetisi adalah majas

yang mengandung perulangan berkali-kali kata atau kelompok kata

yang sama. Contoh:

Anakku! Rajinlah belajar demi masa depan,

Rajinlah belajar mengangkat derajat keluarga!

Rajinlah belajar menuntut ilmu, rajinlah belajar mencapai cita-

cita.

Rajinlah belajar diiringi doa Bunda, rajinlah belajar anakku,

Tuhan selalu bersamamu.28

Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki

Harahap menyatakan, “Dalam repetisi (pengulangan), seluruh kata

(atau bentuk lain) diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata

saja, dapat berupa satu frasa, satu klausa, bahkan satu kalimat.”29

Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan

bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan

pengulangan bunyi, kata, atau beberapa kata yang dianggap penting.

6. Aliterasi

Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan

bunyi konsonan yang sama. Misalnya:

Takut titik lalu tumpah.

Keras-keras kerak kena air lembut juga.30

27Keraf, Op. Cit., h. 127.

28

Triningsih, Op. Cit., h. 46.

29

Zaimar, Op. Cit., h. 163.

30Keraf, Op. Cit., h. 130.

15

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa

aliterasi merupakan majas yang memanfaatkan kata-kata yang

memiliki persamaan bunyi pada awal kata (permulaan kata), bukan

perulangan konsonan yang sama seperti yang dikemukakan oleh

Gorys Keraf. Contoh:

Kalau kanda kala kacau

Biar bibir biduan bicara31

Berdasarkan pendapat dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa aliterasi.

7. Asonansi

Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan

bunyi vokal yang sama. Misalnya:

Ini muka penuh luka siapa punya

Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.32

8. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan

pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat

perangainya.

Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam

bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji

berkibar.33

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut anastrof dengan

istilah inversi. Inversi merupakan gaya bahasa yang mementingkan

bagian kalimat selain subjek sehingga bagian yang dipentingkan itu

31Triningsih, Op. Cit., h. 44-45.

32

Keraf, Loc. Cit., h. 130.

33Ibid.

16

berada sebagai subjek. Contoh: Sungguh nyaman dan damai lebaran

tahun ini.34

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan

membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat.

9. Apofasis atau Preterisio

Gorys Keraf menyatakan pendapatnya mengenai gaya bahasa

apofasis atau preterisio. Beliau memaparkan,

Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di

mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi

tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu

berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura

melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya

memamerkannya. Misalnya:

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka

sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti

membiarkan Anda menipu diri sendiri.

Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara

telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.35

10. Apostrof

Apostrof merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara

mengalihkan amanat atau pembicaraan, dari hadirin kepada sesuatu

yang tidak hadir. Misalnya:

Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan

bebaskanlah

Kami dari belenggu penindasan ini.

Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk

tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam

keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu

perjuangkan.36

34Triningsih, Op. Cit., h. 44.

35

Keraf, Op. Cit., h. 130-131.

36Ibid., h. 131.

17

11. Asindeton

Asindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan

pemakaian beberapa kata, frasa atau klausa yang sederajat tidak

dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya:

Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik

penghabisan orang melepaskan nyawa.37

12. Polisindeton

Polisindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan

pemakaian beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan

dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya:

Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah

dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal

merontokkan bulu-bulunya?38

13. Kiasmus

Kiasmus merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian,

baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan

satu sama lain, susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila

dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya:

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan

kami untuk melanjutkan usaha itu.39

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa

kiasmus merupakan majas yang berisi perulangan dan sekaligus

merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.

37Keraf, Ibid., h. 131.

38

Ibid. 39

Ibid., h. 132.

18

Contoh:

Apa yang akan terjadi jika pria berlagak seperti wanita dan

wanita berlagak seperti pria? Akan tetapi, inilah yang terjadi

saat ini.40

14. Elipsis

Elipsis merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara

menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi

atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga

struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.

Misalnya:

Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak

apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...41

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa

elipsis merupakan sebuah majas yang dihasilkan dengan cara

membuang atau menghilangkan kata yang memenuhi bentuk kalimat

berdasarkan tata bahasa. Contoh:

Pada waktu pulang membawa banyak barang berharga serta

perabot rumah tangga. (penghilangan subjek: mereka)42

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

elipsis adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghilangkan

suatu unsur kalimat.

15. Eufemismus

Eufemismus merupakan gaya bahasa berupa ungkapan-

ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-

ungkapan yang halus untuk mengantikan acuan-acuan yang mungkin

40Triningsih, Op. Cit., h. 46.

41

Keraf, Loc. Cit., h. 132.

42Triningsih, Op. Cit., h. 43.

19

dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan

sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya:

Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati)

Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila)

Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran

seperti anak-anak lainnya (= bodoh)43

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut Eufemismus

dengan kata Eufemisme. Beliau memaparkan bahwa Eufemisme

merupakan ungkapan yang lebih halus yang dipakai untuk

mengantikan ungkapan yang dirasa kasar, dianggap merugikan, atau

tidak menyenangkan.44

Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar

dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Eufemisme adalah

ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal

ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung,

bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak

kasar.”45

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

eufimismus adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan

menggunakan ungkapan yang lebih halus, untuk menggantikan

ungkapan yang dirasa kasar.

16. Litotes

Gorys Keraf menyatakan, “Litotes adalah gaya bahasa yang

dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.

Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu

pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.”46

Henry

Guntur Tarigan juga memaparkan pendapatnya mengenai litotes.

Beliau menyatakan, ”Litotes merupakan majas yang menyatakan

43Keraf, Loc. Cit., h. 132.

44

Triningsih, Loc. Cit., h. 43.

45

Zaimar, Op. Cit., h. 180.

46

Keraf, Op. Cit., h. 132-133.

20

sesuatu lebih rendah atau dikecilkan dari keadaan yang sebenarnya

dengan tujuan untuk merendahkan diri.”47

Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki

Harahap memaparkan bahwa litotes berbeda dengan hiperbola,

digunakan untuk melemahkan nilai yang dikemukakan atau

diungkapkan si pengujar, dengan tujuan bersopan-santun. Contoh:

silahkan singgah di gubuk saya.48

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

litotes adalah penggunaan kata-kata dengan tujuan merendahkan diri.

17. Histeron Proteron

Histeron Proteron merupakan gaya bahasa yang dihasilkan

dengan cara menampilkan kebalikan dari sesuatu yang logis atau

kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu

yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya:

Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat

berteduh dengan tenang.

Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.49

18. Pleonasme

Pada dasarnya, pleonasme merupakan gaya bahasa yang

menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan

untuk menyatakan gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme apabila

kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya:

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya

sendiri.

Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.

47Triningsih, Op. Cit., h. 39.

48

Zaimar, Op. Cit., h. 178.

49

Keraf, Op. Cit., h. 133.

21

Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu

tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-

kata: dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang

merah itu.50

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap

memaparkan, “Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang

berbeda. Sebenarnya komponen makna yang ada pada kata pertama,

telah hadir pada wilayah makna kata berikutnya. Orang sering

mengatakannya sebagai pemakaian kata yang lewah.”51

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

pleonasme adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan

menggunakan kata-kata yang berlebihan. Jika kata-kata yang

berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh.

19. Tautologi

Pada dasarnya, tautologi sama seperti pleonasme, merupakan

gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada

yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Sebuah acuan disebut

tautologi apabila kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung

pengulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya:

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.

Globe itu bundar bentuknya.

Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu

sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut

sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00, dan

bundar sudah tercakup dalam globe.52

50

Keraf, Ibid., h. 133.

51

Zaimar, Op. Cit., h.164.

52

Keraf, Op. Cit., h. 133-134.

22

20. Perifrasis

Perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata lebih

banyak dari yang diperlukan. Perifrasis hampir sama seperti

pleonasme, hanya perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata

yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.

Misalnya:

Ia telah beristirahat dengan damai (= mati, atau meninggal)

Jawaban dari permintaan sudara adalah tidak (= ditolak)53

21. Prolepsis atau antisipasi

Prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa dengan

mempergunakan kata-kata atau sebuah kata lebih dahulu sebelum

peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.

Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak

mengenal orang itu.

Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera

meninggalkan tempat tu.

Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sedan biru.54

22. Erotesis atau pertanyaan retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang

digunakan baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, dengan

tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang

wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban.55

Misalnya:

Bukankah kita adalah makhlukNya yang harus beriman dan

bertakwa kepadaNya?

53Keraf, Ibid., h. 134.

54

Ibid.

55Ibid.

23

23. Silepsis

Silepsis merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan

menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya

hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal

benar, tetapi secara semantik tidak benar.

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.56

24. Zeugma

Zeugma merupakan gaya bahasa yang diwujudkan melalui kata

yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya

hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun

secara gramatikal). Misalnya:

Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir

orang itu.

Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat

kepada kami.57

25. Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang mula-

mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.

Misalnya:

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah

lima kali.58

26. Hiperbol

Gorys Keraf menyatakan, “Hiperbol semacam gaya bahasa yang

mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-

besarkan sesuatu hal.”59

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan

56Keraf, Ibid., h. 135.

57

Ibid.

58Ibid.

59

Ibid.

24

menamakan hiperbol dengan istilah hiperbola. Beliau menyatakan,

“Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan

yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada

suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat atau meningkatkan

kesan dan pengaruh.”60

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki

Harahap memaparkan, “Hiperbola adalah ucapan (ungkapan,

pernyataan) kiasan yang membesar-besarkan sesuatu (berlebih-

lebihan).”61

Contoh:

Citaku kepadamu seluas samudra, hingga tak sanggup aku

hidup tanpamu. Jika kau mati, maka akupun akan ikut mati.

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

hiperbola adalah gaya bahasa yang diwujudkan melalui pemakaian

kata yang berlebihan, untuk membesar-besarkan sesuatu hal.

27. Paradoks

Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung

pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh:

Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang

melimpah-limpah.62

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap

memaparkan bahwa paradoks merupakan pernyataan yang

berlawanan dengan pendapat umum, bisa dianggap aneh atau luar

biasa. Bisa juga dikatakan bahwa paradoks merupakan suatu

proposisi yang salah sekaligus juga benar. Contoh: Meskipun hatinya

sangat panas, kepalanya tetap dingin.63

60Triningsih, Loc. Cit., h. 39.

61Zaimar, Op. Cit., h. 176.

62

Keraf, Op. Cit., h. 136.

63Zaimar, Op. Cit., h. 170-171.

25

Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan

bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan

menyajikan gagasan yang bertentangan dari sesuatu yang nyata.

28. Oksimoron

Gorys Keraf menyatakan, “Oksimoron merupakan gaya bahasa

yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang

bertentangan.”64

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan

bahwa oksimoron merupakan majas yang mengandung pertentangan

dengan menggunakan kata-kata berlawanan dalam frasa yang sama.

Contoh: Bahan-bahan nuklir dapat digunakan untuk kesejahteraan

manusia, tetapi juga dapat memusnahkannya.65

29. Persamaan atau Simile

Persamaan atau Simile merupakan perbandingan yang bersifat

eksplisit. Artinya, perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu

hal sama dengan hal yang lain. Untuk itu, perbandingan tersebut

memerlukan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana,

dan sebagainya. Misalnya:

Kikirnya seperti kepiting batu

Bibirnya seperti delima merekah

Matanya seperti bintang timur66

Sementara itu, Diah Erna Triningsih mengemukakan pendapat

Henry Guntur Tarigan mengenai simile. Bila Gorys Keraf

menyebutnya dengan istilah persamaan, maka Henry Guntur Tarigan

lebih memilih istilah perumpamaan. Menurutnya, “Majas

Perumpamaan merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua

hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. Perbandingan tersebut

ditandai dengan kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana,

64

Keraf, Loc. Cit.

65Triningsih, Op. Cit., h. 40.

66

Keraf, Op. Cit., h. 138.

26

dan sejenisnya.”67

Selanjutnya, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan

Ayu Basoeki Harahap menyatakan, “Dalam simile terdapat dua kata

(atau bentuk lainnya) yang masing-masing menampilkan konsep dan

acuan yang berbeda.”68

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

simile adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membandingkan

dua hal atau lebih dengan menggunakan kata-kata seperti laksana,

bak, bagaikan, dan seperti.

30. Metafora

Gorys Keraf menyatakan, “Metafora adalah semacam analogi

yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk

yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata,

dan sebagainya.69

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan

bahwa kata metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang

berarti „memindahkan‟. Metafora merupakan sebuah analogi yang

membandingkan dua benda secara langsung dalam bentuk singkat.

Contoh:

Kita harus selalu mengenang jasa para pahlawan yang telah

gugur sebagai bunga bangsa.

Bunga bangsa= orang berjasa; pemuda

Jangan pernah percaya dengan mulut manis lintah darat itu

karena ia hanya ingin meraup keuntungan.

Lintah darat= orang yang membungakan uang dengan

memungut bunga terlalu tinggi.70

67Triningsih, Op. Cit., h. 35.

68

Zaimar, Op. Cit., h. 165.

69

Keraf, Op. Cit., h. 139.

70Triningsih, Loc. Cit., h. 35.

27

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara

langsung dalam bentuk yang singkat.

31. Alegori

Gorys Keraf menyatakan, “Alegori adalah suatu cerita singkat

yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah

permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah

sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.”71

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa alegori

adalah cerita yang diceritakan dengan lambang-lambang. Alegori

merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan dan bertujuan

menyampaikan pesan moral.72

Lebih lanjut, M. Zainal Falah

memberikan sebuah contoh mengenai gaya bahasa alegori. Berikut

adalah contoh alegori yang dikemukakan M. Zainal Falah dalam

buku Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia.

Hati-hatilah dalam mengarungi samudra yang penuh bahaya

gelombang, topan, dan badai. Apabila nahkoda dan juru mudi

senantiasa seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya

akan tercapai tanah tepian yang menjadi idaman.

Kata “samudra” yang dimaksud pengarang adalah kehidupan.73

32. Parabel

Gorys Keraf menyatakan, “Parabel adalah suatu kisah singkat

dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung

tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita

fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk

71Keraf, Op. Cit., h. 140.

72

Triningsih, Op. Cit., h. 36.

73

M. Zainal Falah, Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: CV Karyono, 1996), Cet.

V., h. 41.

28

menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.”74

Sebagai contoh yaitu cerita Kisah Mahabrata dan Kisah Ramayana.

33. Fabel

Gorys Keraf menyatakan, “Fabel merupakan suatu metafora

berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-

binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak

seolah-olah sebagai manusia.”75

Sebagai contoh cerita Anak Katak

Hijau yang Nakal dan Kancil Mencuri Mentimun.

34. Personifikasi

Gorys Keraf menyatakan, “Personifikasi atau Prosopopoeia

adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-

benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah

memiliki sifat-sifat kemanusiaan.76

Sementara itu, Henry Guntur

Tarigan menyebut personifikasi dengan istilah penginsanan. Beliau

menyatakan, “Personifikasi atau penginsanan merupakan majas yang

menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat manusia dan mampu melakukan

tindakan seperti yang dilakukan manusia.”77

Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki

Harahap memaparkan bahwa personifikasi merupakan majas yang

menyatakan benda mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat

seperti manusia. Contoh: Rani tidur di teras, dibelai angin sepoi-

sepoi.78

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

personifikasi adalah gaya bahasa yang menyatakan benda mati

seolah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia.

74

Keraf, Loc. Cit., h. 140.

75Ibid.

76

Ibid.

77Triningsih, Loc. Cit., h. 36.

78

Zaimar, Op. Cit., h. 168.

29

35. Alusi

Gorys Keraf menyatakan bahwa alusi merupakan acuan yang

berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau

peristiwa. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah

Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut

memperjuangkan persamaan haknya.79

Sementara itu, Henry Guntur

Tarigan memaparkan bahwa alusi merupakan majas yang menunjuk

pada suatu peristiwa atau tokoh secara tidak langsung, berdasarkan

praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh

pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca

untuk menangkap acuan tersebut. Contoh:

Dapatkah kau membayangkan perjuangan KAMI dan KAPI

pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan

keadilan di tanah air ini?80

Berdasarkan pemaparan dari dua ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya

bahasa alusi.

36. Eponim

Gorys Keraf menyatakan,”Eponim adalah suatu gaya bahasa

yang diwujudkan dengan penggunaan nama seseorang yang begitu

sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai

untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk

menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan

kecantikan.”81

79Keraf, Op. Cit., h. 141.

80

Triningsih, Op. Cit., h. 42-43.

81

Keraf, Loc. Cit.

30

37. Epitet

Epitet merupakan gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau

ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya:

Lonceng pagi untuk ayam jantan

Puteri malam untuk bulan

Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.82

38. Sinekdoke

Mengenai sinekdoke, Gorys Keraf menyatakan,

Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani

synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama.

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang

mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan

keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan

untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).83

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa

Sinekdoke merupakan majas yang menyebutkan nama bagian

sebagai pengganti nama keseluruhan (pars pro toto) atau

menyebutkan keseluruhan sebagai pengganti nama sebagian (totem

pro parte). Contoh:

Bagaimana kita dapat hidup dengan tenang jika belum

memiliki lantai tempat menetap di Jakarta?

Indonesia memenangkan kejuaraan bulu tangkis tingkat

internasional.84

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap

memaparkan bahwa dalam sinekdoke adanya kedekatan acuan yang

disebabkan karena acuan yang pertama merupakan bagian dari acuan

yang kedua (pars pro toto) atau acuan yang pertama mencakup

acuan yang kedua (totem pro parte). Contoh: Telah lama ia tak

82Keraf, Ibid., h. 141.

83

Ibid., h. 142. 84

Triningsih, Op. Cit., h. 42.

31

nampak batang-hidungnya. (sebagian menggantikan keseluruhan)

dan Italia mengalahkan Inggris dengan telak. (keseluruhan untuk

sebagian)85

39. Metonimia

Metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan sebuah

kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian

yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil

penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab,

sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.

Contoh:

Ia membeli sebuah chevrolet.

Saya minum satu gelas, ia dua gelas.

Ialah yang menyebabkana air mata yang gugur.

Pena lebih berbahaya dari pedang.

Ia telah memeras keringat habis-habisan.86

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa

metonimia merupakan majas yang menggunakan nama ciri atau

nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai

penggantinya. Contoh:

Ayah baru saja membeli Honda dengan harga lima belas juta

rupiah.87

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap

memaparkan bahwa dalam metonimi yang menjadi landasan adalah

hubungan kontiguitas acuan. Hubungan-hubungan itu dapat bersifat

parsial, seperti contoh: “Gedung putih itu telah mengumumkan

perang.”, bersifat temporal, seperti contoh “Mingguan itu berisi

85Zaimar, Op. Cit., h. 175.

86

Keraf, Loc. Cit., h. 142.

87Triningsih, Op. Cit., h. 41-42.

32

gosip saja.”, dan bersifat kausal, seperti contoh “Paman Hamzah

adalah seorang kuli tinta.”88

Berdasarkan pemaparan empat ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya

bahasa metonimia.

40. Antonomasia

Antonomasia merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk

menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan. Misalnya:

Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.

Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.89

41. Hipalase

Hipalase merupakan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu

digunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya

dikenakan pada sebuah kata lain. Misalnya:

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah

adalah manusianya, bukan bantalnya).90

42. Ironi

Ironi atau sindiran gaya bahasa yang mengatakan sesuatu hal

dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung

dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya:

Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di

dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!91

Sementara Itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa ironi

merupakan sebuah ungkapan yang menyatakan sindiran atau ejekan

88Zaimar, Op. Cit., h. 173-174.

89

Keraf, Loc. Cit., h. 142.

90Ibid.

91

Ibid., h. 143.

33

secara halus, tetapi cukup menyinggung perasaan orang lain.

Contoh:

Aku bangga dengan sikap hematmu, hingga uang tabungan ini

terkuras habis hanya untuk berfoya-foya.92

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap

memaparkan bahwa dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu

yang sebaliknya dari apa yang ingin dikatakan. Perlu diingat bahwa

dalam ironi selalu ada sasaran (bulan-bulanan), yaitu yang dituju

oleh ujaran ironis tadi. Selain itu, pemahaman ironi sangat

tergantung dari konteks.93

Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan

bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan

maksud yang berlainan dari serangkaian kata-katanya.

43. Sinisme

Sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian,

mengandung ejekan. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah,

maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Misalnya:

Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero

jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.94

44. Sarkasme

Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi

dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir.

Misalnya:

Mulut kau harimau kau

Lihat sang Raksasa itu (Maksudnya si Cebol)

Kelakuanmu memuakkan saya.95

92Triningsih, Op. Cit., h. 40.

93

Zaimar , Op. Cit., h. 171.

94

Keraf, Loc. Cit., 143.

95Ibid., h. 143-144.

34

45. Satire

Satire merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan

untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung

kritik tentang kelemahan manusia, dengan tujuan agar diadakan

perbaikan secara etis maupun estetis.96

46. Inuendo

Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyataan

yang sebenarnya. Inuendo merupakan sebuah kritik secara tidak

langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat

sambil lalu. Misalnya:

Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu

kebanyakan minum.

Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi

jabatannya.97

47. Antifrasis

Antifrasis merupakan sebuah ironi yang berwujud penggunaan

sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap

sebagai ironi. Misalnya:

Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol)98

48. Pun atau Paronomasia

Pun atau paronomasia merupakan kiasan dengan menggunakan

kemiripan. Pun atau Paronomasia menggunakan permainan kata

yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan

besar dalam maknanya.

Tanggal dua gigi saya tanggal dua

“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”99

96Keraf, Ibid., h. 144.

97

Ibid.

98

Ibid., h. 144-145.

99

Ibid., h. 145.

35

Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa

paronomasia merupakan gaya bahasa yang berwujud penjajaran kata

yang berbunyi sama, tetapi berlainan makna atau kata-kata yang

memiliki persamaan bunyi, tetapi berbeda maknanya. Contoh:

Ketika saya sibuk mengukur kelapa di dapur, burung balam

tetangga terdengar sedang mengukur bersahut-sahutan.100

49. Gradasi

Gradasi merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu

rangkaian dan urutan kata yang secara sintaksis bersamaan memiliki

satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan di antaranya

paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan

yang bersifat kuantitatif. Contoh:

Jasmani dan rohani yang diberikan Tuhan; Tuhan Yang Maha

Pengasih.101

50. Depersonifikasi

Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Gaya

bahasa ini menampilkan manusia sebagai binatang, benda-benda

alam, atau benda lainnya. Contoh: Aku heran melihat Tono

mematung.102

51. Paralipsis

Paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk

menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan hal yang tersirat

dalam kalimatnya. Contoh:

100Triningsih, Loc. Cit., h. 40.

101

Ibid., h. 44.

102

Zaimar, Op. Cit., h. 168.

36

Pak guru sering memuji anak itu, yang (maafkan saya) saya maksud

memarahinya.103

Berdasarkan hasil penggabungan jenis-jenis gaya bahasa dari

para ahli, penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa banyak

jenisnya, lebih dari lima puluh gaya bahasa. Masing-masing para ahli

mempunyai kategori pengklasifikasian jenis gaya bahasa yang

berbeda-beda. Pada skripsi ini, penulis lebih memilih

pengklasifikasian gaya bahasa menurut Gorys Keraf, karena lebih

lengkap dan disertai contoh yang mudah dipahami, untuk diterapkan

dan dijadikan acuan dalam kegiatan analisis data. Selain itu, Gorys

Keraf menggunakan istilah “gaya bahasa” bukan “majas”. Hal

tersebut, lebih sesuai dengan judul penelitian yang dilakukan

penulis.

2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik

a. Fonologi

Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,

dan membicarakan runtutan bunyi bahasa. 104

Secara etimologi, kata

fonolgi terbentuk dari kata fon yang bermakna bunyi dan logi yang

bermakna ilmu. 105

Pada umumnya, bunyi bahasa diklasifikasikan

menjadi bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita

suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini menjadi bergetar

ketika dilalui arus udara yang dipompakan paru-paru. Selanjutnya, arus

udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan-apa-apa,

kecuali bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu, sesuai dengan jenis

vokal yang dihasilkan.106

103Triningsih, Op. Cit., h. 41.

104

Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 102.

105

Ibid.

106

Ibid., h. 113.

37

Selanjutnya, bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita

suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut

atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat

artikulasi tertentu. Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah

arus udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara,

tidak mendapat hambatan apa-apa; sedangkan dalam pembentukan bunyi

konsonan, arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan.

Bunyi konsonan ada yang bersuara ada yang tidak, sedangkan bunyi

vokal semuanya adalah bersuara.107

b. Sintaksis

Secara etimologis, sintaksis berasal dari bahasa Belanda syntaxis. Di

dalam bahasa Inggris, sintaksis dikenal dengan istilah syntax. Semantara

itu, dari sisi kaidah penyerapan bahasa asing, istilah sintaksis dalam

bahasa Indonesia memiliki kedekatan dengan istilah bahasa Belanda

syntaxis. Adapun pembahasa sintaksis secara berturut-turut dimulai dari

frasa, klausa, sampai pada tataran kalimat.108

1. Frasa

Frasa merupakan satuan gramatikal berupa gabungan kata dan

bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang

mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.109

Ciri utama

frasa ialah berupa kelompok kata, tidak predikatif, dan tidak

melampaui batas fungsi atau hanya menduduki satu fungsi. Tidak

melampaui batas fungsi sintaksis maksudnya frasa itu hanya

menduduki satu fungsi. Frasa itu bisa menduduki fungsi subjek saja,

atau menduduki fungsi predikat saja, atau menduduki fungsi objek

saja, atau menduduki fungsi pelengkap saja, atau menduduki fungsi

107Chaer, Ibid., h. 113.

108

La Ode Sidu, Sintaksis Bahasa Indonesia, (Kendari: Unhalu Press, 2013), h. 21.

109

Ibid.

38

keterangan saja. Dengan demikian, frasa merupakan konstituen

pengisi fungsi-fungsi sintaksis.110

2. Klausa

Klausa merupakan kelompok kata yang predikatif. Klausa

merupakan tataran di dalam sintaksis yang berada di atas tataran

frasa dan di bawah kalimat. Ciri utama klausa adalah ciri predikat,

yang kehadirannya adalah wajib.111

Di pihak lain, S. Effendi, Djoko

Kentjono, dan Basuki Suhardi menyatakan, “Klausa adalah satuan

gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frasa; di dalamnya

terdapat satu hubungan predikatif (atau hubungan subjek-predikat).

Klausa pada umumnya merupakan konstituen dasar kalimat.”112

3. Kalimat

Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri

sendiri, mempunyai pola intonasi akhir, dan juga terdiri atas klausa.

Kalimat boleh terdiri atas satu klausa atau lebih. Kalimat dalam

bentuk tulisan memiliki kriteria yang mengikat, seperti huruf kapital

di awal kalimat dan diakhiri dengan salah satu tanda perhentian

seperti titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!).113

Kalimat umumnya berwujud serangkaian kata yang disusun

sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat,

mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan kategori sintaksis,

fungsi sintaksis, dan peran semantisnya.

a. Kategori Sintaksis

Bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis utama,

yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva

atau kata sifat, dan adverbia atau kata keterangan. Selain itu, ada

110Sidu, Ibid., h. 23.

111

Ibid., h. 42-43.

112S. Effendi, dkk., Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2015), h. 36.

113

Sidu, Op. Cit., h. 62.

39

juga kelompok lain yang dinamakan kata tugas, yang terdiri atas

beberapa subkelompok kecil, misalnya preposisi atau kata depan,

konjungtor atau kata sambung, dan partikel.114

b. Fungsi Sintaksis

Setiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang

mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam

kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan

dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Adapun fungsi

sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek,

pelengkap, dan keterangan.115

Predikat dalam bahasa Indonesia

dapat berwujud frasa verbal, adjektival, nominal, numeral dan

preposisional. Selain predikat, kalimat umumnya mempunyai

subjek yang biasanya terletak di depan predikat. Subjek dapat

berwujud nomina, tetapi pada keadaan tertentu kategori kata lain

juga dapat menduduki fungsi subjek. Ada juga kalimat yang

mempunyai objek. Pada umumnya, objek yang berupa frasa

nominal berada di belakang predikat yang berupa frasa verbal

transitif aktif. Objek tersebut berfungsi sebagai subjek jika

kalimat tersebut diubah menjadi pasif.116

Selanjutnya, yang dinamakan pelengkap atau komplemen

mirip dengan objek. Pelengkap pada umumnya berupa frasa

nominal dan frasa nominal itu juga berada di belakang predikat

verbal. Perbedaan yang penting adalah pelengkap tidak dapat

menjadi subjek dalam kalimat pasif. Di sisi lain, pelengkap mirip

dengan keterangan juga. Kedua-duanya membatasi acuan

konstruksi yang bergabung dengannya. Perbedaannya ialah

pelengkap pada umumnya wajib hadir untuk melengkapi

114Hasan Alwi, dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2008), h. 35-36.

115

Ibid., h. 36.

116

Ibid., h. 36-37.

40

konstruksinya, sedangkan keterangan tidak. Tempat keterangan

biasanya bebas, sedang tempat pelengkap selalu di belakang

verba(beserta objeknya). Keterangan ada yang menyatakan alat,

tempat, cara, waktu, kesertaan, atau tujuan.117

c. Peran Semantis

Pada dasarnya, setiap kalimat memerikan suatu peristiwa yang

melibatkan satu peserta atau lebih, dengan peran semantis yang

berbeda-beda. Peserta tersebut dinyatakan dengan nomina atau frasa

nominal. Peran semantis terdiri atas pelaku, sasaran, pengalam,

pemeruntung, dan atribut. Adapun penjelasan mengenai peran

semantis tersebut adalah sebagai berikut.

1) Pelaku

Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan dan

dinyatakan oleh verba predikat. Peserta umumnya manusia atau

binatang. Peran pelaku merupakan peran semantis utama subjek

kalimat aktif dan pelengkap pasif.

2) Sasaran

Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan dan

dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran merupakan peran

utama objek atau pelengkap.

3) Pengalam

Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau

peristiwa dan dinyatakan predikat. Peran pengalam merupakan

peran unsur subjek yang predikatnya adjektiva atau verba

taktransitif yang lebih menyatakan keadaan.

4) Peruntung

Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang

memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan

117Alwi, dkk., Ibid., h. 38.

41

yang dinyatakan oleh predikat. Partisipan peruntung biasanya

berfungsi sebagai objek, atau pelengkap, atau sebagai subjek

verba jenis menerima atau mempunyai.

5) Atribut

Kalimat yang berpredikat nomina, predikat tersebut

mempunyai peran semantis atribut.118

c. Semantik

Secara etimologis, istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari

kata semantics dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut diperkenalkan oleh

organisasi filologi Amerika pada tahun 1894. Secara terminologi, semantik

adalah bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa.119

Sementara itu, Drs.

Aminuddin memaparkan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa

Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah

teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”, dengan

anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik

merupakan bagian dari lingustik.120

d. Pragmatik

Kata pragmatik berasal dari bahasa Inggris pragmatics dan dari bahasa

Yunani pragmatikos. Pragma memiliki arti persoalan yang ada di tangan,

tindakan, dengan analogi pada lingusitik. Pragmatik merupakan ilmu yang

menelaah tentang relasi antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar bagi

pemahaman bahasa atau menelaah tentang kemampuan pemakai bahasa

menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks

secara tepat. Pragmatik mempunyai tiga konsep dasar yaitu tindak

komunikatif, peristiwa komunikatif, dan situasi komunikatif.121

118Alwi, dkk., Ibid., h. 334-335.

119

Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, (Jakarta: Tanspustaka,

2011), h. 4.

120

Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru, 1988), h. 15.

121

Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Nufa Citra Mandiri, 2012), h. 2.

42

Lebih lanjut, terkait dengan pragmatik, Brown dan Levinson

menyatakan bahwa dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya,

penutur menggunakan strategi linguistik yang berbeda-beda. Strategi

tersebut adalah strategi kurang sopan, agak sopan, sopan, dan paling sopan.

Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik. Ada tida

parameter pragmatik, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Tingkat jarak sosial

Dalam tingkat ini, penuutur dan lawan tutur ditentukan berdasarkan

paremeter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang

sosiokultural.

2. Tingkat status sosial

Dalam tingkat ini, penutur dan lawan tutur didasarkan pada

kedudukan asimetrik. Contoh: di ruang praktik seorang dokter memiliki

kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi. Akan tetapi, di jalan

raya polisi dapat menilangnya bila dokter tersebut melakukan

pelanggaran. Dalam konteks yang terakhir ini, polisi memiliki

kedudukan yang lebih tinggi.

3. Tingkat peringkat tindak tutur

Tingkat ini didasarkan pada kedudukan relatif tindak tutur yang satu

dengan tindak tutur yang lain. Misalnya, di dalam situasi normal,

meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang tidak sopan,

atau tidak mengenakkan. Akan tetapi, di dalam situasi yang mendesak,

semisal untuk mengantar orang sakit keras, tindakan itu wajar-wajar

saja.122

3. Terjemah

a. Pengertian Terjemah

Mildred L. Larson dalam bukunya Meaning-based Translation: a

Guide to Cross-Language Equivalence memaparkan, “Translation, by

dictionary definition, consists of changing from one state or form to

122Hindun, Ibid., h. 18-19.

43

another, to turn into one‟s own or another‟s language.”123

(“Terjemah,

berdasarkan makna dalam kamus, yaitu perubahan bentuk dari satu

bentuk ke bentuk lain, atau mengubah ke dalam bahasa kita sendiri atau

ke dalam bahasa lain.”) Lebih lanjut, Eugene A. Nida dan Charles R.

Taber juga memaparkan pendapatnya mengenai terjemah, mereka

menyatakan, “Translating consists in reproducing in the receptor

language the closest natural equevalent of the source-language

message, first in the terms of meaning and secondly in terms of style.”124

(“Penerjemahan merupakan upaya mereproduksi pesan ke dalam bahasa

sasaran dengan persamaan atau padanan yang wajar dan paling dekat

dengan bahasa sumber, pertama dari segi makna dan kedua dari segi

gayanya.”)

Miftah Faridl dan Agus Syihabudin menjelaskan mengenai

pengertian terjemah secara bahasa, dengan mengambil penjelasan dari

Manahilul „Irfan fi „Ulumil Qur‟an, yang menerangkan bahwa lafaz

tarjamah di dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukkan salah satu

dari empat makna berikut.

a. Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum

mendapatkannya.

b. Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya.

c. Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa yang lainnya.

d. Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang

lainnya.125

Tidak hanya menjelaskan pengertian terjemah secara bahasa,

Miftah Faridl dan Agus Syihabudin juga menjelaskan pengertian

terjemah menurut „urf, yakni kelaziman percakapan bagi umumnya

123Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language Equivalence,

(America: University Press of America, 1984), h. 3.

124

Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation,

(Netherlands: The United Bible Societies, 1969), h. 12.

125

Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin, Alquran Sumber Hukum Islam yang Pertama,

(Bandung: Pustaka, 1989), h. 305.

44

manusia. Dari segi ini, mereka menjelaskan bahwa terjemah berarti

memindahkan kalam dari suatu bahasa ke bahasa lain, yakni

mengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam lain dalam

bahasa lain dan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam

pengertian.126

Terjemah secara etimologi berarti mengungkapkan makna untuk

menjelaskan. Adapun secara terminologi berarti mengungkapkan

perkataan dengan bahasa lain.127

Jika terjemah dikaitkan dengan

Alquran, maka terjemah Alquran artinya memindahkan Alquran pada

bahasa lain yang bukan bahasa Arab agar dapat dibaca orang yang tidak

mengerti bahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah

SWT, dengan perantara terjemahan ini.128

Hafidz Abdurrahman juga

memaparkan hal yang sama mengenai terjemah Alquran,

“Pengalihbahasaan Al-Quran ke dalam bahasa non-Arab.”129

Dengan

demikian, setelah memahami pemaparan terjemah dari beberapa

pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menerjemahkan

Alquran berarti mengungkapkan makna yang terdapat dalam Alquran

dengan menggunakan bahasa lain, agar dapat dibaca, dimengerti, dan

dipahami orang lain yang tidak mengerti bahasa Arab di dalam Alquran.

b. Macam-Macam Terjemah

Berbicara mengenai terjemah, lebih lanjut Syaikh Muhammad

memaparkan bahwa terdapat dua macam terjemah, yaitu terjemah

harfiah dan maknawiah. Berikut merupakan penjelasan yang lebih rinci

mengenai kedua macam terjemah tersebut.

126

Faridl, Ibid.

127

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Ushulun Fit Tafsir: Pengantar dan Dasar-Dasar

Mempelajari Ilmu Tafsir. Terj. dari Ushûlun Fît Tafsîr oleh Ummu Saniyyah, (Solo: Al-Qowam,

2014), h. 56.

128

Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study Al-Qur‟an (AT-TIBYAN). Terj. dari At-

Tibyan Fiulumil Qur‟an oleh Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna H. S., (Bandung: Al-Ma‟arif,

1987), h. 276.

129

Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Quran, (Jakarta: Wadi Press, 2011), h.

175.

45

1) Terjemah Harfiah, yaitu menempatkan terjemahan masing-masing

kata pada tempatnya.

2) Terjemah maknawiah atau tafsiriah, yaitu mengungkapkan makna

atau suatu perkataan dengan bahasa lain, tanpa memerhatikan kosa

kata dan urutannya.130

Miftah Faridl dan Agus Syihabudin juga sependapat dengan Syaikh

Muhammad bahwa macam terjemah terbagi menjadi dua, yakni

terjamah secara harfiah dan maknawiah atau tafsiriah. Mereka

menyatakan,

Tarjamah secara harfiah ialah memindahkan sejumlah kata (kalimat)

dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan

bahasa yang sesuai dengan bahasa aslinya. Adapun tarjamah secara

maknawiah atau tafsiriah ialah menerangkan pengertian yang

terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang lain dan tidak

terikat oleh kosa kata dan susunan bahasa aslinya.131

Muhammad Thalib juga memaparkan persoalan mengenai macam-

macam terjemah. Menurutnya, macam-macam terjemah dapat

dibedakan berdasarkan metode penerjemahan yang dilakukan. Beliau

menyatakan,

secara umum, ada dua metode dalam menerjemahkan Alquran.

Pertama, terjemah harfiyah. Yaitu, memindahkan pengertian dari

satu bahasa ke bahasa lain sambil tetap memelihara susunan dan

makna asli yang terkandung di dalam teks yang diterjemahkan.

Kedua, terjemah maknawiyah atau tafsiriyah. Dalam metode ini

menerangkan atau menjelaskan makna yang terkandung dalam satu

bahasa dengan bahasa lain tanpa memperhatikan susunan dalam

bahasa aslinya.132

Mohammad Aly Ash Shabuny juga memaparkan pendapatnya

mengenai macam-macam terjemah, tetapi beliau langsung

mengkhususkan pada terjemah Alquran. Adapun macam-macam

terjemah Alquran, secara umum sama seperti yang telah dikemukakan

130Al-Utsaimin, Op. Cit., h. 56-57.

131

Faridl, Op. Cit., h. 307.

132

Muhammad Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Alquran Kemenag RI: Tinjauan Aqidah,

Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah, (Yogyakarta: Ma‟had An-nabawy, 2011), Cet. II, h. 242.

46

oleh pendapat para ahli, meliputi terjemah harfiah dan tafsiriah.

Terjemah harfiah yaitu terjemah yang dihasilkan dengan cara

menerjemahkan Alquran kepada bahasa lain, seperti Indonesia, Inggris,

Jerman, dan Perancis. Lafaz, kosa kata, jumlah dan susunannya

diterjemahkan dengan terjemahan yang sesuai dengan bahasa aslinya.

Terjemah semacam ini, sama dengan meletakkan sinonim kata pada

sesamanya. Sedang yang dimaksud terjemah secara tafsiriah, yaitu

menerjemahkan arti ayat-ayat Alquran dimana sang penerjemah sama

sekali tidak terikat dengan lafaznya, tetapi yang menjadi perhatiannya

adalah arti Alquran diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat

oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penerjemah hanya berpegang pada

bahasa asal, memahaminya, kemudian dituangkan ke dalam bentuk

bahasa lain. Arti ini sesuai dengan maksud pemakai bahasa asal, tanpa

memaksakan diri membahas dan meneliti setiap lafaz.133

Sementara itu, Rochayah Machali memaparkan pendapat NewMark

mengenai metode-metode penerjemahan. NewMark menyatakan bahwa

terdapat dua metode dalam melakukan penerjemahan, yaitu metode

yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (Bsu) dan

metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Pada

metode pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan

setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun ditemukan

hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa. Pada metode kedua,

penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan

yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu.134

Berikut

merupakan pemaparan mengenai beberapa metode penerjemahan yang

selanjutnya dipaparkan oleh Rochayah Machali berdasarkan pendapat

Newmark.

133Ash Shabuny, Op. Cit., h. 277.

134

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin

menjadi Penerjemah Profesional, (Bandung: Kaifa, 2009), h. 76.

47

1. Penerjemahan kata demi kata

Pada metode ini, kata-kata Tsa langsung diletakkan di bawah

versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar konteks, dan

kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Pada

umumnya, metode ini digunakan sebagai tahap prapenerjemahan

pada penerjemahan teks yang sangat sukar.135

2. Penerjemahan harfiah

Pada metode ini, penerjemah mencari padanan konstruksi

gramatikal Bsu yang terdekat dengan Tsa. Kemudian, penerjemahan

kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks. Metode ini digunakan

sebagai metode tahap awal pengalihan bukan sebagai metode yang

lazim.136

3. Penerjemahan setia

Pada metode ini, penerjemah memproduksi makna kontekstual

Tsu, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata

yang bermuatan budaya dialihbahsakan, tetapi penyimpangan dari

segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Terjemahan ini

terasa kaku, sehingga harus diserasikan dengan kaidah Tsa. 137

4. Penerjemahan semantis

Pada metode ini, hasil terjemahan menjadi lebih lentur, karena

dapat dikompromikan dengan struktur gramatikal bahasa sasaran dan

masih mempertimbangkan unsur-unsur bahasa sumber selama masih

dalam batas kewajaran. Hasil terjemahannya pun lebih dapat

dimengerti.138

135Machali, Ibid., h. 78.

136

Ibid.

137Ibid., h. 79.

138Ibid., h. 80.

48

5. Penerjemahan adaptasi (Termasuk Saduran)

Pada metode ini, penerjemahan dilakukan dengan sangat bebas

dan dekat dengan bahasa sasaran. Istilah “Saduran” dapat

dimasukkan di sini asalkan dalam penyaduran, tidak mengorbankan

hal-hal penting dalam Tsu, misalnya tema, karakter atau alur.

Metode ini, biasanya dipakai untuk menerjemahkan puisi, atau

drama. Dalam terjemahan ini, terdapat peralihan budaya Bsu ke

budaya Bsa. Contoh penerjemahan ini adalah drama Shakespeare

berjudul “Machbeth” yang disadur oleh W. S. Rendra dan dimainkan

di Taman Ismail Marzuki Jakarta di tahun 1994. Rendara dalam

penyaduran drama tersebut, mempertahankan semua karakter, alur

dalam naskah asli, tetapi dialognya disesuaikan dengan budaya

Indonesia.139

6. Penerjemahan bebas

Pada metode ini, penerjemahan dilakukan dengan lebih

mengutamakan isi dengan mengorbankan bentuk teks bahasa

sumber. Metode ini biasanya berbentuk parafrase yang dapat lebih

panjang atau pendek. Beberapa ahli menyatakan bahwa terjemahan

metode ini bukan merupakan karya terjemahan karena terjadinya

perubahan yang cukup drastis.140

7. Penerjemahan idiomatik (Idiomatic translation)

Pada metode ini, penerjemah memproduksi pesan dalam teks

bahasa sumber dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan

idiomatik yang tidak terdapat dalam versi aslinya.141

139Machali, Ibid., h. 80-81.

140

Ibid., h. 81-82.

141Ibid., h. 82.

49

8. Penerjemahan komunikatif

Pada metode ini, penerjemah menerjemahkan teks dengan

memproduksi makna kontekstual sehingga baik dari aspek

kebahasaan maupun isi, langsung dapat dimengerti oleh pembaca.142

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan mengenai beberapa

metode di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat delapan metode yang

dikemukan Rochayah Machali berdasarkan pendapat Newmark, metode

yang dijelaskan pada nomor 1 sampai 4, merupakan metode yang lebih

berorientasi atau lebih menekankan ada bahasa sumber. Sementara itu,

metode yang dijelaskan pada nomor 5 sampai 8, merupakan metode yang

lebih menekankan atau lebih berorientasi pada bahasa sasaran.

Penulis juga menyimpulkan bahwa nama atau macam terjemahan, dapat

dilihat dari segi metode yang digunakan penerjemah dalam melakukan

penerjemahannya. Seperti halnya seorang penerjemah yang melakukan

penerjemahan dengan metode harfiah, maka terjemahannya dikatakan

sebagai terjemahan harfiah, begitupun yang lainnya. Beberapa pendapat

menyatakan metode terjemahan ada dua, yakni harfiah dan maknawiah,

sedangkan Newmark menyatakan metode terjemahan terbagi atas

delapan metode, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.

c. Persyaratan Terjemahan

Terjemahan secara tafsiriah atau maknawiah mempunyai syarat-

syarat sebagai berikut.

1) Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua pengertian dan

maksud dari bahasa aslinya dengan benar.

2) Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan

dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar

meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya itu.

142Machali, Ibid., h. 83.

50

Adapun persyaratan terjemahan secara harfiah adalah sebagai

berikut.

1) Kedua persyaratan tersebut di atas.

2) Kosa kata-kosa kata dalam bahasa terjemahan harus sama dengan

kosa kata-kosa kata bahasa asli.

3) Ada persamaan antara kedua bahasa (bahasa terjemahan dan bahasa

asli) mengenai kata ganti dan kata penghubung yang

menghubungkan kosa kata-kosa kata untuk menyusun kalimat.143

Adapun mengenai syarat-syarat terjemahan, baik terjemahan harfiah

maupun tafsiriah menurut Mohammad Aly Ash Shabuny adalah sebagai

berikut.

a. Penerjemah hendaknya mengetahui dua bahasa (bahasa asli dan

bahasa terjemahan).

b. Mendalami dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan-

keistimewaan bahasa yang hendak diterjemahkan.

c. Hendaknya shighoh (bentuk) terjemahan itu benar, karena

kemungkinan dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya.

d. Terjemahan itu bisa memenuhi semua arti dan maksud bahasa asli

dengan lengkap dan sempurna.144

Persyaratan yang dikemukakan oleh Mohammad Aly Ash Shabuny

lebih bersifat umum, menyangkut persyaratan terjemahan dan

penerjemah. Sedang untuk terjemah harfiah, di samping syarat-syarat di

atas, disyaratkan pula dua syarat berikut ini.

a. Adanya kosa-kata kosa-kata yang sempurna dalam bahasa terjemahan

sama dengan kosa-kata kosa-kata bahasa asli.

143Faridl, Loc. Cit., h. 307.

144

Ash Shabuny, Loc. Cit., h. 277.

51

b. Harus adanya persesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan

kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu jumlah dengan

jumlah yang lain untuk menyusun kalimat.145

d. Persyaratan Penerjemah

Seorang penerjemah harus mempunyai persyaratan-persyaratan

sebagai berikut.

1) Penerjemah menguasai dua bahasa; bahasa asli dan bahasa

terjemahan.

2) Menguasai gaya bahasa-gaya bahasa dan keistimewaan-

keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.146

Sementara itu, Solihin Bunyamin Ahmad memaparkan pendapatnya

mengenai persoalan menerjemahkan Alquran. Beliau mengatakan bahwa

untuk dapat menerjemahkan Alquran, paling tidak ada beberapa langkah

yang harus dipenuhi. Pertama, menguasai komponen kalimat dalam

bahasa Arab. Kedua, menguasai kata-kata tak berubah (tak berakar kata),

seperti huruf bermakna, kata ganti, kata penghubung, dan kata tunjuk.

Ketiga, menguasai rumus-rumus Granada147

beserta aplikasinya.

Keempat, latihan yang istikamah meskipun sedikit.148

Selanjutnya, Solihin Bunyamin Ahmad juga memaparkan bahwa

dalam menerjemahkan Alquran, ada beberapa alat pokok yang harus

dimiliki orang yang hendak menerjemahkan Alquran, agar dapat

menerjemahkan dengan baik. Alat-alat pokok tersebut di antaranya

adalah Alquran, rumus Granada, kamus Arab-Indonesia, Alquran

145Ash Shabuny, Ibid.

146

Faridl, Loc. Cit., h. 307.

147

Granada adalah salah satu metode penerjemahan Alquran yang diperkenalkan oleh Solihin

Bunyamin Ahmad, Lc., dalam bukunya Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa

Menerjemah Al-Qur‟an. Dalam metode ini, terdapat 4 langkah menerjemahkan Alquran, yaitu

menguasai komponen kalimat dalam bahasa Arab, menguasai kata-kata tak berubah, menguasai

rumus-rumus granada, dan latihan yang istikamah.

148Solihin Bunyamin Ahmad, Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa Menerjemah

AL-Qur‟an, (Jakarta: Granada Nadia, 2001), h. 81.

52

terjemahan Departemen Agama, dan niat yang kuat.149

Alat-alat tersebut,

tentu akan sangat membantu proses penerjemahan, sehingga hasil

terjemahan tidak keliru. Selanjutnya, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy

memaparkan pendapatnya mengenai hal-hal yang harus diperhatikan

seseorang yang akan menerjemahkan ayat-ayat Alquran. Beliau

menayatakan,

Jika kita hendak menterjemahkan sesuatu ayat, maka hendaklah kita

perhatikan tafsir lafadh ayat yang kita maksudkan, agar terjemahan

kita itu tepat sebagai yang dimaksud. Sering kali orang

menterjemahkan ayat dengan berpegang kepada bahasa „Arab yang

telah ada padanya, dengan tidak memperhatikan makna-makna yang

dimaksudkan dari pada kalimat-kalimat yang hendak diterjemahkan.

Lantaran inilah sering kita jumpai terjemahan yang keliru.”150

Dengan demikian, dari beberapa penjelasan mengenai terjemahan

khususnya terjemahan Alquran, dapat disimpulkan bahwa dalam

menerjemahkan Alquran, terdapat persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi, baik dari segi terjemahan maupun penerjemah, agar hasil

terjemahan sesuai dengan isi dan maksud yang dikandung bahasa asal.

Persyaratan-persyaratan tersebut, harus benar-benar diperhatikan

penerjemah dalam menerjemahkan ayat Alquran.

e. Tahap-Tahap Penerjemahan

Rochayah Machali memaparkan bahwa terdapat tiga tahapan dalam

melaksanakan penerjemahan. Tahapan-tahapan tersebut di antaranya

adalah tahap analisis, pengalihan, dan penyerasian. Adapun penjelasan

mengenai tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tahap Analisis

Pada tahap analisis teks yang akan diterjemahkan, terdapat

pedoman sederhana yang dapat kita manfaatkan. Rochayah Machali

mengutip pendapat Halliday dan Hasan yang menyarankan

penggunaan tiga unsur penting dalam menganalisis teks, yaitu field

149Ibid., h. 81-82.

150

T. M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1980), h. 208.

53

(pokok masalah), tenor (suasana umum), dan mode (cara).151

Analisis

teks perlu dilakukan oleh penerjemah agar teks sumber dapat

dipahami benar isinya, terutama dari segi field, dan agar teks sumber

dapat dipahami bentuknya, baik dari segi cara penyampaian (mode)

maupun dari segi pencerminan (tenor) dalam kalimat.152

2. Tahap Pengalihan

Sesudah tahap analisis teks selesai dilakukan, maka selanjutnya

yang harus dilakukan penerjemah adalah tahap pengalihan. Tahap

pengalihan ini berarti mengalihkan teks sumber ke dalam teks sasaran.

Tahap pengalihan ini sebagai upaya menggantikan unsur Tsu dengan

unsur Tsa yang sepadan. Pada tahap ini, maksud yang disampaikan

dalam Tsu harus sepadan dengan maksud dalam Tsa.153

Hal yang

perlu diperhatikan adalah apabila Tsu yang diterjemahkan sangat

sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda dan emosi, dan

sebagainya, maka penerjemah dapat mengulang secara terus menerus

dari tahap analisis ke pengalihan, begitu pula sebaliknya.154

3. Tahap Penyerasian

Setelah tahap analisis dan pengalihan dilaksanakan dengan baik,

maka selanjutnya beralih ke tahap penyerasian. Pada tahap ini,

penerjemah dapat menyesuaikan bahasanya yang dirasa masih kaku

untuk disesuaikan dengan bahasa sasaran. Pada tahap ini, penerjemah

sudah tidak lagi kembali ke tahap sebelumnya yakni tahap analisis dan

pengalihan karena tahap sebelumnya sudah dilaksanakan dengan baik,

dan tahap penyerasian merupakan tahap akhir. Pada tahap ini,

penerjemah dapat melakukan penyerasian sendiri atau dengan bantuan

orang lain. Namun, akan lebih baik jika penyerasian dilakukan oleh

orang lain. Alasannya, penerjemah biasanya merasa sulit mengoreksi

151Machali, Op. Cit., h. 65.

152

Ibid., h. 67.

153

Ibid., h. 60-61

154

Ibid., h. 64.

54

pekerjaannya sendiri karena merasa terjemahannya sudah bagus dan

memakai peristilahan yang tepat. Penerjemahan sebaiknya dilakukan

oleh suatu tim. Dalam hal ini, penerjemah hanya bertugas

menerjemahkan sedang penyerasian dilakukan oleh orang lain.

Namun, tidak ada salahnya jika penerjemah yang melakukan

penyerasian terhadap hasil terjemahannya. Hanya saja, teks

terjemahannya harus disimpan beberapa lama agar si penerjemah lupa

atau tidak ingat lagi proses pengambilan keputusan pada saat

menerjemahkan.155

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang

hendak melakukan penerjemahan, terdapat tiga tahap yang harus

dilewati, yaitu tahap analisis, pengalihan, dan penyerasian.

4. Alquran

a. Pengertian Alquran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alquran bermakna kitab

suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad Saw., dengan perantaraan malaikat Jibril, untuk

dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman

hidup bagi umat manusia.156

Sementara itu, A. Aziz Salim

Basyarahil mengetengahkan pengertian Alquran yang lebih singkat,

beliau memaparkan bahwa Alquran adalah kalam ilahi yang

diwahyukan kepada Rosulullah.157

Selanjutnya, Mudzakir AS

memaparkan pendapat para ulama yang menyebutkan bahwa

Alquran merupakan kalam atau firman Allah yang diturunkan

155Machali, Ibid., h. 64-65.

156

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 44.

157

A. Aziz Salim Basyarahil, 33 Masalah Agama, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 27.

55

kepada Nabi Muhammad Saw., mukjizat lafaz dan mmaknanya,

yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.158

Harry Gaylord Dorman, dalam bukunya Towards

Understanding Islam mengatakan,

Kitab Quran ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan

oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya. Ia merupakan suatu

mukjizat yang tetap aktual hingga kini untuk membuktikan

kebenarannya dan kebenaran Muhammad. Mutu keajaiban

terletak pada gayanya yang begitu sempurna dan agung, sehingga

tidak mungkin ada seorang manusia atau setan sekalipun yang

dapat mengarang satu surat, walau yang terpendek, dapat

menandinginya; dan sebagian dari keajaibannya lagi terletak pada

isi ajarannya, nubuatnya tentang masa depan, dan keterangan-

keterangan yang demikian tepatnya, sehingga meyakinkan bahwa

tidak mungkin Muhammad yang buta huruf itu dapat menulis

sendiri.159

Di lain pihak, Abdul Hamid menyatakan bahwa Alquran bagi

kaum muslimin merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada

Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Alquran

memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa, berada di luar

kemampuan seluruh makhlukNya.160

Lebih lanjut, Baharudin Lopa

memaparkan bahwa Alquran merupakan petunjuk bagi orang-orang

yang bertakwa. Segala gerak kehidupan manusia di dunia, sudah

dijelaskan oleh Allah dalam Alquran. Manusia diberi kebebasan oleh

Allah, untuk memilih tindakannya. Kebebasan itu dibatasi oleh

tanggung jawab manusia sesuai dengan petunjuk Alquran dalam

memanfaatkan kebebasan tersebut.161

Dengan demikian, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa

Alquran merupakan pedoman hidup umat manusia untuk mencapai

158Manna‟ Khalil Al-Qattan, Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran. Terj. dari

Mabāhiṡ fī „Ulumil Qurān oleh Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007), Cet. 10,

h. 444.

159

Syahminan Zaini dan Ananto Kusuma Seta, Bukti-Bukti Kebenaran Alquran sebagai Wahyu

Allah, (Malang: Kalam Mulia Jakarta, 1986), h. 43.

160

Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2016), h. 1.

161

Baharuddin Lopa, Alqur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima

Yasa, 1996), h. 19.

56

kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah memberikan kebebasan

kepada manusia untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya, hanya

harus disertai dengan tanggung jawab masing-masing. Allah telah

menunjukkan jalan yang baik dan buruk.

b. Isi Kandungan Alquran

Drs. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Ulumul Quran

mengatakan bahwa isi ajaran Alquran pada hakikatnya mengandung

lima prinsip, tujuan pokok diturunkan Alquran kepada Nabi

Muhammad SAW untuk diteruskan kepada umat manusia dan

menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Alquran sebagai

berikut.

a) Tauhid (doktrin tentang kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa).

b) Janji dan ancaman Tuhan.

c) Ibadah.

d) Jalan dan cara mencapai kesuksesan.

e) Cerita-cerita atau sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi

Muhammad.162

Selain Drs. Masjfuk Zuhdi, Edward Gibbon, seorang sejarawan

termasyhur karena karyanya The History of the Decline and Fall of

the Roman Empire mengatakan,

Alquran itu tidak hanya memuat perkara agama saja akan tetapi

juga memuat hukum syariah dan segala yang tertulis di dalamnya

itu adalah pangkal peradaban. Alquran adalah suatu kitab agama,

kitab kemajuan, kitab kenegaraan, persaudaraan, kemahkamahan,

dan undang-undang ketentaraan dalam Islam. Alquran

mengandung mulai dari soal ibadah sampai kepada pekerjaan

sehari-hari, dari membicarakan soal kerohanian sampai

membicarakan soal kejasmanian, dari hak-hak umat hingga hak-

hak dari anggota daripadanya, dari membahas soal perangai

hingga membahas soal hukum siksa, dari soal dunia hingga soal

pembahasan alam di akhirat nanti. Semua itu ada disebut di

dalamnya.163

162Zaini, Op. Cit., h. 35.

163

Ibid., h. 38.

57

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas dapat

disimpulkan bahwa Alquran adalah firman Allah yang telah

menyatakan kelengkapan isinya dan dapat menjelaskan segala

sesuatu persoalan yang pernah, sedang, dan akan dihadapi manusia

dalam kaitannya dengan sistem Tuhan, manusia, dan alam.

B. Penelitian Relevan

Penelitian yang serupa dengan penelitian yang akan penulis lakukan di

antaranya adalah sebagai berikut.

1. Skripsi Ahmad Muh. Ikhlas, berjudul “Transformasi Nilai-Nilai

Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah

Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016.

Tujuan skripsi ini adalah untuk membedah transformasi melalui

pendekatan stilistik, dengan metode komparasi. Persamaan dengan

penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti Al-

Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaan

terletak pada segi fokus penelitian. Muh. Ikhlas meneliti tentang

transformasi nilai-nilai estetis Alquran dalam terjemahan puitis ayat-

ayat qisas, sedang penulis meneliti gaya bahasa pada terjemahan surah

Ar-Rahman.164

2. Skripsi Nuri Qomariah Maritta, berjudul “Konsep Geologi Laut dalam

Al-Quran dan Sains; Analisa Surat Ar-Raẖ mân [55]:19-20, Surat An-

Naml [27]:61, dan Surat Al-Furqân [25]:53. Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir

Hadis, 2010. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah

164Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis

Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,

Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak Dipublikasikan.

58

metode kepustakaan. Adapun metode penafsirannya menggunakan

metode maudhu‟i, dan metode dekriptif kualitatif dalam pembahasan.

Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-

sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah fokus

penelitian. Maritta meneliti tentang Konsep Geologi Laut dalam

Al-Quran dan Sains, sedang penulis meneliti gaya bahasa pada

terjemahan surah Ar-Rahman.165

3. Skripsi Siti Rohmanatin Fitriani, berjudul “Perbandingan Penafsiran

A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an

Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis,

2003. Tujuan dari skripsi ini adalah meneliti aspek-aspek metodologi

penafsiran yang digunakan A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H.

B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia, persamaan dan

perbedaan penafsiran, dan implikasi perbedaan dan persamaan

tersebut pada hasil penafsiran. Adapun metode yang digunakan adalah

metode deskriptif-komparatif. Persamaannya dengan penelitian yang

dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm

Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaannya adalah pada

fokus penelitian. Fitriani meneliti perbandingan penafsiran A. Hassan

dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm

Bacaan Mulia, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah

Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.

Jassin.166

165Nuri Qomariah Maritta, “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains; Analisa Surat Ar-

Raẖ mân [55]:19-20, Surat An-Naml [27]:61, dan Surat Al-Furqân [25]:53”, Skripsi, (Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Tidak Dipublikasikan.

166Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan

H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan.

59

4. Skripsi Muhammad Mujadid Syarif, berjudul “Hikmah Tikrar dalam

Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Al-

Misbah)”, Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau,

Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, 2015. Metode yang

digunakan adalah metode muqaran, yaitu menghimpun ayat-ayat yang

mempunyai kata secara berurutan, kemudian membandingkan

penafsiran antara tafsir Al-Azhar dan tafsir Al-Misbah. Tujuan skripsi

ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tikrar dalam surah Ar-Rahman

dan mengetahui penafsiran Buya Hamka dan Quraish Shihab tentang

ayat tikrar dalam surah Ar-Rahman. Persamaannya dengan penelitian

yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman,

sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Syarif meneliti

hikmah tikrar dan perbandingan tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah,

sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman

dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.167

5. Jurnal Fadhli Lukman, berjudul “Epistemologi Intuitif dalam Resepsi

Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an”, Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Metode yang digunakan dalam

penulisan jurnal ini adalah metode deskriptif-analitis. Persamaannya

dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti

surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian.

Syarif meneliti hikmah tikrar dan perbandingan tafsir Al-Azhar dan

Al-Misbah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.

Jassin.168

167Muhammad Mujadid Syarif, “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif

Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah)”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau,

2015), Tidak Dipublikasikan.

168Fadhli Lukman, Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an,

Journal of Qur‟ān and Hadīts Studies, 2015, pp. 37-55.

60

6. Skripsi Adelina Qurrotul Aini, berjudul “Pertemuan Dua Laut Dalam

QS. ar-Rahmān (Analisis QS. ar-Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut

Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”, Program

Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Jurusan Ushuluddin , Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri Kudus. 2016. Persamaannya dengan penelitian

yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman,

sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Aini meneliti

pertemuan dua laut dalam surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti

gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm

Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.169

7. Skripsi Irfan Afandi berjudul “Al-Idafah fi Surah Al-Rahman Dirasah

Nahwiah”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011. Pada penelitian ini,

peneliti mencari kemudian memetakan dan menganalisis surat Ar-

Rahman yang masuk dalam kategori idhofah. Adapun pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan teori sintaksis.

Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-

sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada

fokus penelitian. Afandi meneliti Al-Idafah fi Surah Al-Rahman

Dirasah Nahwiah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan

surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H.

B. Jassin.

8. Skripsi Nurus Saniyatin Rofi‟ah, berjudul “Konsep Pendidik Menurut

Al-Qur‟an Surah Ar-Rahman Ayat 1-4”, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan, Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri

Walisongo, Semarang, 2013. Skripsi ini membahas tentang konsep

pendidik menurut Al-Qur‟an surah Ar-Rahman ayat 1-4. Skripsi ini

bertujuan untuk mengetahui adanya konsep pendidik dalam Al-Qur‟an

169Adelina Qurrotul Aini, “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis QS. ar-

Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”,

Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 2016), Tidak Dipublikasikan.

61

surah Ar-Rahman ayat 1-4. Jenis penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan. Kajian ini menunjukkan bahwa di dalam surah Ar-

Rahman ayat 1-4 terdapat beberapa konsep pendidik, meliputi: (1)

Pendidik yang memiliki kepribadian kasih sayang, (2) Pendidik harus

berilmu pengetahuan, (3) Pendidik yang dapat mengembangkan

potensi anak didiknya, (4) Pendidik yang memiliki keahlian

berinteraksi. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis

adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya

adalah pada fokus penelitian. Rofi‟ah meneliti konsep pendidik

menurut surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti gaya bahasa

terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan

Mulia karya H. B. Jassin.170

9. Skripsi Yusie Nilam Sari, berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang

Terkandung dalam Surat Ar Rahman Ayat 1-4”, Jurusan Pendidikan

Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta, Tahun 2013. Adapun hasil

dari penelitian tersebut adalah dalam surah Ar-Rahman ayat 1-4,

terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu pendidikan kasih sayang yang

sungguh merupakan rahmat yang seharusnya menjadi aset kita untuk

memulai apapun karena dengan kasih sayang hidup penuh dengan

cinta dan kebahagiaan, pendidikan syukur, yang mengajarkan kita

untuk selalu bersyukur atas kemurahan nikmat-nikmat Allah yang

selalu tercurah kepada hambaNya yang mau bersyukur, pendidikan

Alquran, penting dimiliki karena ia merupakan pondasi kurikulum

pendidikan di dunia Islam dan merupakan syiar agama yang mampu

menguatkan aqidah dan mengokohkan iman, pendidikan kreativitas

yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

mengembangkan potensi kreatifnya, pendidikan bebas berpendapat

170Nurus Saniyatin Rofi‟ah, “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah Ar-Rahman Ayat 1-

4”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013), Tidak Dipublikasikan.

62

merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, yaitu kebebasan

manusia untuk menyampaikan aspirasi, inovasi, dan gagasan secara

menyeluruh yang dilakukan dengan berbagai cara yang diizinkan.

Yusi meneliti surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti terjemahan

surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H.

B. Jassin. Selanjutnya, Yusie juga meniliti tentang nilai-nilai

pendidikan yang terkandung dalam surah Ar-Rahman, sedangkan

penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman.171

10. Tesis dari Suniarti Sunny, S. Pd. I., yang berjudul “Gaya Bahasa

dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”, program studi Agama

dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,

tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan gaya

bahasa dan makna dalam surah Ar-Rahman. Metode pengumpulan

data yang digunakan adalah Metode simak yang terdiri atas teknik

sadap, simak bebas libat cakap, dan teknik catat. Metode analisisnya

dengan menggunakan purposive sampling yaitu dengan

mengumpulkan data-data kemudian diklasifikasikan dan dianalisis.

Adapun hasil dari penelitian tersebut adalah pertama, ditemukannya

gaya bahasa berdasarkan nada, yakni ditemukan gaya bahasa

sederhana, mulia, dan bertenaga. Kedua, gaya bahasa berdasarkan

struktur kalimat, ditemukan gaya bahasa klimaks, antiklimaks,

repetisi, paralelisme, dan antitesis. Ketiga, gaya bahasa berdasarkan

langsung tidaknya makna, ditemukan gaya bahasa retoris dan kiasan.

Adapun persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu

dari segi subjeknya sama-sama meneliti gaya bahasa, hanya saja

perbedaannya terletak pada segi objeknya, Suniarti meneliti gaya

bahasa pada Alquran surah Ar-Rahman, sedangkan penulis meneliti

171Yusie Nilam Sari, “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat Ar Rahman

Ayat 1-4”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2013), Tidak

Dipublikasikan.

63

gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman pada Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.172

11. Skripsi Deni Wahyudin, berjudul “Analisis Homonim terhadap Kata

Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan

Mahmud Yunus)”, Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Tujuan skripsi tersebut adalah

mengetahui perbedaan makna antara dua versi terjemahan terhadap

dua ayat tersebut, mengetahui pengaruh terjemahan terhadap teologi

umat Islam. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini adalah hasil

terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus secara makna sama,

sehingga menimbulkan pemahaman yang sama ketika membacanya.

Hal yang membedakannya adalah dalam gaya bahasa dan diksi saja.

Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-

sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin,

sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Wahyudin

meneliti homonim terhadap kata kufr dalam Alquran (Studi

Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus), sedang

penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-

Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin173

12. Skripsi Nasrulloh, berjudul “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim

Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin (Analisis terhadap Karya H. B.

Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan

Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”, Jurusan

Terjemah, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2003. Adapun tujuan dari skripsi ini yaitu: (1) dapat

172Suniarti Sunny, “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”, Tesis,

(Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), Tidak Dipublikasikan.

173Deni Wahyudin, “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif:

Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”, Skripsi, ( UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010),

Tidak Dipublikasikan.

64

menambah wawasan tentang berbagai pola penerjemahan Alquran; (2)

mengetahui tentang penggunaan dan pemilihan kata yang dipakai

dalam melakukan kegiatan penerjemahan kitab sehingga dapat

ditentukan penerjemahan yang baik; (3) Sebagai upaya memahami

substansi yang terkandung pada tiap-tiap ayat dalam surah Ar-Rahman

dan berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan datanya adalah

menggunakan metode dokumenter, yaitu mencari data dari dokumen-

dokumen yang berkaitan dengan H. B. Jassin terutama yang bertajuk

hasil terjemahannya. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan

penulis adalah sama-sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia

karya H. B. Jassin dan surah Ar Rahaman. Perbedaannya adalah

Nasrulloh melakukan perbandingan dengan terjemahan Departemen

Agama Republik Indonesia, sedang penulis tidak meneliti

perbandingan tersebut. Penulis memfokuskan analisis pada gaya

bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia.174

Itulah beberapa penelitian sebelumnya yang hampir serupa dengan

penelitian penulis. Adapun penelitian yang dilakukan penulis adalah

“Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”.

174Nasrulloh, “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin

(Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan

Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2003), Tidak Dipublikasikan.

65

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Nana Syaodih

Sukmadinata menyatakan, “Penelitian kualitatif (Qualitative research) adalah

suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis

fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran

secara individual maupun kelompok.”175

Lebih lanjut, beliau juga menyatakan,

“Penelitian deskriptif (Descriptive research) adalah suatu metode penelitian yang

ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang

berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.”176

Pada penelitian ini, hal yang

dianalisis dan dideskripsikan adalah fenoma penggunaan bahasa secara tertulis,

yaitu bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan Alquran surah Ar-Rahman

dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.

Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan, yaitu menggambarkan dan

mengungkapkan dan menggambarkan dan menjelaskan.177

Sesuai dengan tujuan

tersebut, pada penelitian ini penulis juga menggambarkan, mengungkapkan, dan

menjelaskan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam

Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya terhadap

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dengan menggunakan

deskripsi kata-kata. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, pada bab ini

penulis paparkan mengenai hal-hal berikut.

A. Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen-

dokumen tertulis dan manusia. Data-data tersebut terbagi menjadi dua bagian,

yaitu data primer dan sekunder. Data primer pada penelitian ini bersumber

175Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2012), Cet. VIII, h. 60.

176

Ibid., h.54.

177Ibid., h. 60.

66

dari dokumen tertulis, yaitu terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân

Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Adapun data sekunder, selain

bersumber dari data tertulis seperti buku-buku, jurnal, kitab-kitab, dan tafsir-

tafsir yang relevan dengan penelitian, juga bersumber dari manusia, seperti

pemaparan dari ahli atau guru agama Islam terkait surah Ar-Rahman,

khususnya mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-

Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.

B. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode pengamatan. Dalam penelitian bahasa, metode pengamatan disebut

dengan metode “simak” yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan

pancaindra.178

Dinamakan metode simak, karena cara yang digunakan untuk

memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah

menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara

lisan, tetapi juga secara tulisan.179

Metode simak memiliki teknik dasar yang

disebut dengan teknik sadap. Dalam praktiknya, teknik sadap ini kemudian

diikuti oleh teknik lanjutan, yang berupa teknik catat dan teknik rekam.180

Data-data yang bersumber dari dokumen tertulis, baik data primer

maupun sekunder, dikumpulkan menggunakan metode simak, dengan teknik

sadap dan catat. Dalam hal ini, penulis mengamati penggunaan bahasa pada

dokumen-dokumen tertulis dan melakukan penyadapan terhadap dokumen

yang relevan dengan penelitian. Sementara itu, data-data yang bersumber dari

manusia, dikumpulkan dengan menggunakan metode simak libat cakap,

teknik sadap, catat, dan rekam. Dalam hal ini, penulis tidak hanya melakukan

penyimakan dan penyadapan penggunaan bahasa secara lisan, melainkan ikut

terlibat dalam pembicaraan tersebut, yang juga disertai dengan kegiatan

pencatatan dan perekaman ketika proses pembicaraan dimulai. Perekaman

178Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.168.

179

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 132-133.

180Ibid., h. 133.

67

dilakukan agar penulis dapat mendengarkan dan mengingat kembali kegiatan

yang telah dilaksanakan dengan informan. Adapun kegiatan pembicaraan

yang dimaksud penulis adalah kegiatan mengaji bersama guru agama Islam

atau ahli agama yang memaparkan penjelasan mengenai kajian surah Ar-

Rahman.

C. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan metode analisis isi atau dokumen dan deskriptif. Analisis

dokumen adalah kajian atas dokumen yaitu tulisan yang memberikan catatan

atau bukti tentang sesuatu.181

Metode tersebut digunakan untuk membedah

bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-

Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, mengidentifikasi makna

yang terkandung dalam gaya bahasa, maksud yang terkandung dalam ayat,

fungsi atau kedudukan gaya bahasa dalam struktur kalimat bahasa Indonesia

dan kalimat bahasa Arab, dan sedikit perbandingan dengan terjemahan lain,

seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud

Yunus. Bentuk penggunaan gaya bahasa yang diperoleh, diberikan

pengkodean dalam bentuk angka, untuk selanjutnya didaftar dan

diklasifikasikan menurut jenis-jenis gaya bahasa dari teori yang dijadikan

pedoman. Setelah itu, data akan dianalisis lebih lanjut dan mendalam.

Adapun data berupa bentuk penggunaan gaya bahasa tersebut, akan disajikan

dengan menggunakan metode deskriptif. Mulyana menyatakan, “Metode

desktiptif dapat digunakan untuk memerikan, menggambarkan, menguraikan,

dan menjelaskan fenomena objek penelitian.”182

Metode deskriptif dilakukan

penulis untuk menggambarkan, memaparkan, dan menjelaskan bentuk

penggunaan gaya bahasa surah Ar- Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penjelasan atau penggambaran tersebut

181Kinayati Djojosuroto dan M. L. A. Sumaryati, Bahasa dan Sastra: Penelitian, Analisis, dan

Pedoman Apresiasi, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2014), Cet. IV, h.152.

182

Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. I, h. 83.

68

dipaparkan dengan menggunakan kata-kata bukan dalam bentuk angka.

Setelah analisis selesai dilakukan, penulis memaparkan mengenai implikasi

dari penelitian gaya bahasa surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di sekolah. Terakhir, adalah pemaparan simpulan dan saran.

69

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Biografi H. B. Jassin

H. B. Jassin memiliki nama lengkap Hans Bague Jassin. H. B. Jassin

lahir di Gorontalo, Sulawesi, 31 Juli 1917 dan meninggal di Jakarta, 11 Maret

2000. H. B. Jassin berpendidikan HIS Gorontalo (1932), HBS-B 5 tahun di

Medan (1939), tamat Fakultas Sastra UI (1957), kemudian memperdalam

pengetahuan di Universitas Yale, AS (1958-1959) dan menerima Doctor

Honoris Causa dari UI (1975).183

Sebagai seorang penggiat sastra, H. B.

Jassin pernah menjadi pegawai Kantor Asisten Residen Gorontalo (1939),

redaktur Balai Pustaka (1940-1942), dosen Fakultas Sastra UI (1953-1959,

sejak 1973 hingga pensiun menjadi Lektor tetap), dan pegawai Lembaga

Bahasa Nasional (sekarang: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional;

1954-1973). H. B. Jassin pernah pula menjadi redaktur Pujangga Baru (1940-

1942), Panji Pustaka (1942-1945), Panca Raya (1945-1947), Mimbar

Indonesia (1947-1956), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (1952-

1963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969),

Medan Ilmu Pengetahuan, Buku Kita, Horison (1966-2000), dan Bahasa dan

Sastra (1975). Selain itu, H. B Jassin juga menjadi anggota Akademi Jakarta

sejak 1970 dan Ketua Yayasan Dokumentasi H. B. Jassin sejak 1976.184

Lebih lanjut, John H. McGlynn menyatakan bahwa H. B. Jassin telah dan

hampir sendirian merencanakan jalur dan mendokumentasikan perkembangan

sastra Indonesia. Pekerjaan tersebut, sungguh sangat berharga dan berarti,

secara khusus bagi mereka yang mempelajari sastra Indonesia kontemporer.

Dokumentasinya sangat cermat dan mendalam, menyediakan bahan yang

sangat diperlukan dalam pembelajaran sejarah kesusastraan Indonesia.185

183Setiawan, dkk., Op. Cit., h. 14-15.

184

Ibid., h. 15.

185

John H. McGlynn, Bahasa dan Sastra, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), h. 106.

70

Tahun 1969-1970, H. B. Jassin diajukan ke pengadilan guna

mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki

Panji Kusmin yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968. Adapun

perkara mengenai cerpen Langit Makin Mendung, dikenal sebagai peristiwa

“Heboh Sastra”, karena pemuatan cerpen tersebut banyak menimbulkan

protes di kalangan masyarakat Islam, seperti masyarakat Islam di Sumatra

Utara. Peristiwa tersebut, menarik perhatian banyak orang karena melibatkan

seorang tokoh penting dan terkenal dalam sastra yaitu H. B. Jassin. Peristiwa

yang dikenal sebagai “Heboh Sastra” tersebut, kemudian dimuat dalam buku

Pledoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit makin Mendung Karya Ki Panji

Kusmin (2004) karya Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani. H. B. Jassin

pun menulis buku Heboh sastra 1968: Suatu Pertanggungjawaban (1970).186

Adapun karya-karya H. B. Jassin, di antaranya adalah Tifa Penyair dan

Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I-

V (1954,1967), Heboh Sastra 1968 (1970), Sastra Indonesia Sebagai Warga

Sastra Dunia (1983), Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), dan Surat-

Surat 1943-1983 (1984).187

Selain itu, ada juga buku dan bunga rampai yang

disuntingnya dan buku hasil terjemahan-terjemahannya. Di antara hasil

terjemahannya adalah Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Kematian Arsiti,

istrinya, menjadi salah satu latar belakang H. B. Jassin dekat dengan Alquran

dan memutuskan untuk membuat terjemahan Alquran versinya, yaitu dengan

menggunakan bahasa sastra yang indah. Setelah kematian istrinya, H. B.

Jassin merasa terpukul dan sulit menerima kenyataan. Lebih-lebih, seminggu

setelah kematiannya, yaitu setelah orang-orang yang mengajikannya telah

bubar. Kesepian tersebut benar-benar membuat H. B Jassin tambah bersedih

dan dari sana timbullah satu dorongan yang kuat dalam dirinya untuk

melanjutkan sendiri kegiatan mengaji. Di malam ke delapan itu, H. B. Jassin

mengaji dengan niat memberikan sedekah untuk istrinya yang telah tiada.

Dari satu ayat, dua ayat, sampai selanjutnya H. B. Jassin merasa asyik. Dari

186Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 88-89.

187

Setiawan, dkk., Loc. Cit., h. 15.

71

membaca itulah, kemudian H. B. Jassin mulai ingin mengetahui artinya. Di

sana, H. B. Jassin menemukan sesuatu yang luar biasa, yaitu bahasa yang

begitu indah, membuat H. B. Jassin semakin yakin bahwa tidak mungkin

manusia yang menciptakannya. Akhirnya, H. B. Jassin pun memahami dan

meresapi firman-firman Allah yang telah masuk ke dalam jiwanya.188

Setelah H. B. Jassin melarutkan diri dalam ayat-ayat Alquran yang begitu

indah, dalam, tinggi, dan luas, timbul dalam hatinya bahwa segala sesuatu

memerlukan pemikiran-pemikiran. Di dalam ayat-ayat Alquran, H. B. Jassin

menemukan berbagai persoalan untuk mengenal lebih dalam tentang pribadi

dan permasalahan. Hal tersebut, membuat H. B. Jassin tidak lagi goyah,

menghafal surah-surah, zikir, dan mengucapkan asma Allah, hingga setiap

saat H. B. Jassin selalu merasa dilindungi. Dari membaca dan memahami

Alquran inilah timbul keinginan untuk membuat terjemahan dengan bahasa

yang puitis. Setelah melewati proses lebih dari 15 tahun, terjemahan itu dapat

terbit, Bacaan Mulia.189

Ide mengenai menerjemahkan Alquran, sebenarnya

jauh-jauh hari telah terlintas dalam benak H. B. Jassin, yaitu ketika tahun

1953 mengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia, di samping sebagai

seorang mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa sastra, diwajibkan pula

belajar bahasa Arab, Sansekerta, dan Jawa.190

Pikiran untuk menerjemahkan Alquran secara puitis timbul pada diri

H.B. Jassin setelah membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy

Quran yang diperoleh dari Haji Kasim Mansur, tahun 1969. Itulah terjemahan

yang dirasa H.B. Jassin paling indah disertai keterangan-keterangan yang

indah dan universal sifatnya. Dalam menerjemahakan Alquran, H.B. Jassin

bertolak dari kitab induk Alquranulkarim dan di samping itu menggunakan

sebagai perbandingan, yaitu terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa asing

dan bahasa Indonesia, juga beberapa kamus Arab-Inggris. H.B. Jassin

memaparkan bahwa terjemahannya bukanlah dari terjemahan Yusuf Ali

188H. B. Jassin, Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 152.

189

Ibid., h. 152-153.

190

Ibid., h. 155.

72

ataupun terjemahan lainnya. Susunan sajak terjemahan dalam bahasa

Indonesia adalah susunannya, sedang susunan sajak dalam bahasa Arab

disusun baru sesuai dengan baris-baris sajak dalam bahasa Indonesia.191

Berikut penulis sajikan beberapa sumber bacaan yang dijadikan referensi H.

B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran.

a. Alquran

Al-Quranu‟l karim teks Arab dipergunakan sebagai induk.

b. Terjemahan-Terjemahan

1. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur‟an. Dar al Arabia, Beirut,

Lebanon. 1968.

2. Al-Qur‟an Terdjemah Indonesia, karya Angkatan Darat. 1970.

3. Amir-Ali, Hasyim. The Message of the Qur‟an. Presented in

Perspective. Charles E. Tuttle Company, Rutland, Vermont & Tokyo.

Japan. 1974.

4. Arberry, Arthur J. The Koran Interpreted. OUP London. 1971.

5. Bakry, H.M. Kasim, Imam M. Nur Idris, dan A.Dt. Madjoindo. Al-

Quranul-Hakim beserta Terdjemah dan Tafsirnja. Penerbit Djambatan.

Jil. I 1961. Jil. II 1964. Mestinya 6 jilid; jilid-jilid berikutnya belum

terbit.

6. Bell, Richard. The Qur‟an. Translated with a critical rearrengement of

the Surahs. T. & T. Clark, Edinburgh, repr. 1960. 1st pr. 1937.2 vols.

7. Blachere, Regis. Le Coran. G. P. Maisonneuve & Larose, Paris. 1966.

8. Dawood, N.J. The koran. Penguin Books, repr. 1971. 1st publ. 1956.

9. Depatermen Agama. Al-Quraan dan Terdjemahannya. Penerbit:

Proyek Penerbitan Kitab Suci Al-Qur‟an Departemen Agama (1972).

10. Hamidy, H. Zainudin dan Fachruddin Hs. Tafsir Quran. Penerbit

Widjaya, Djakarta, 1961, cet. 3. Cet 1?

11. Hassan, A. Al-furqan. Tintamas, Djakarta, 1962, Cet. 4. Cet. 1

diterbitkan oleh Firma Salim Nabhan, Surabaja, 1953 (?)

191H. B. Jassin, Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia Ibid., h.24-25.

73

12. Joenoes, Mahmoed. Tafsir Quran Karim. Pustaka Mahmudiah, Jakarta,

cet. 10, 1961. Cet. 1, 1938.

13. Kramers, J. H. De koran. Agon Elsevier, Amsterdam/Brussel, 1969.

14. Paret, Rudi . Der Koran. Uebersetzung. W. Kohlhammer Verlag,

Stuttgart Berlin Koeln Mainz, 1971.

15. Paret, Rudi. Der Koran Kommentar und Konkordanz, W. Kohlhammer

Verlag. Stuttgart Berlin Koeln Mainz, 1971.

16. Pickthall, M. The Meaning of the Glorious Koran. The New American

Library. New York, 1936.

17. Rodwell, J. M. The Koran. Everyman‟s Library No. 380. Repr. 1850.

1st pr. 1909.

18. Sale, George. The koran. Translated into English from the original

Arabic. Frederick Warne and Co. Ltd. London and New York, t.t.

19. Zafrulla Khan, Muhammad. The Quran. Curzon Press, London-Dublin,

1972. Cet. 2.

c. Sejarah dan Pengantar Tafsir

1. Aboebakar, H. Sedjarah Al-Qur‟an. Sinar-Bupemi, Surabaja-Malang,

1956, cet. 4. Cet. 1 1948.

2. Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.

Penerbit Bulan Bintang, Djakarta. 1965, cet. 4.

3. ʼ Azzam, Abd-al-Rahman. The Eternal Message of Muhammad. A

Mentor Book, 1965.

4. Beeston, F. L. Baidawi‟s Commentary on Surah 12 of the Quran.

OUP London,1963.

5. Watt, W. Montgomery : Bell‟s Introduction to the Qur‟an.

Edinburgh University Press, Edinburgh, 1970. Companion to the

Qur‟an. Based on the Arberry Translation. George Allen and Unwin

Ltd., 1967.

74

d. Kamus dan Konkordansi

1. Flugel, Gustavus. Corcordantiae Corani Arabicae, 1842.

2. Hava S. J., J. G. Arabic-English Dictionary. Catholic Press, Beirut,

1951.

3. Penrice, John. A Dictionary and Glossary of the Koran. Curzon Press

Ltd. New Edition 1971. 1 st publ. 1873.

4. Salmone, H. Anthony. An advanced Leaner‟s Arabic-English

Dictionary. Libairie du Liban, Beirut, 1972.192

Itulah sumber-sumber bacaan yang digunakan H. B. Jassin dalam

menerjemahkan Alquran. Jassin belajar mendalami agama Islam, mendalami

Alquran, dan membaca banyak buku-buku terjemahan Alquran dan tafsir-tafsir

selama lebih dari 10 tahun. H.B. Jassin belajar bahasa Arab dari A.S. Alatas dan

agama Islam dari Prof. Hussein Djajadiningrat. Terutama berkat Arabic Grammar

karangan Thatcher.193

B. Surah Ar-Rahman

1. Hubungan Surah Ar-Rahman dengan Surah Sebelumnya

Surah Ar-Rahman terdiri atas 78 ayat, termasuk golongan surah-

surah madaniah, diturunkan setelah surah Ar-Ra‟du. Dinamakan “Ar-

Rahman”, karena diambil dari perkataan “Ar-Rahman” yang terdapat

pada ayat pertama surah ini. Ar-Rahman adalah salah satu dari nama-

nama Allah Swt. Sebagian besar ayat dari surat ini, menerangkan

kepemurahan Allah Swt kepada hambaNya, yaitu dengan memberikan

nikmat-nikmat yang tidak terhingga baik di dunia maupun di akhirat.194

Ahmad Mustafa Al-Maragi, dalam tafsir Al-Maragi memaparkan bahwa

surah Ar-Rahman, memiliki hubungan dengan surah sebelumnya, yaitu

192

H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), Cet. 3, h. 890-

891.

193H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, Op. Cit., h.71.

194

Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha

Putra, 1971), h. 884.

75

surah Al-Qamar. Adapun hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai

berikut.

a. Pada surah Ar-Rahman, terdapat rincian tentang orang-orang yang

berdosa dan bertakwa.

b. Pada surah lalu (Al-Qamar), Allah menyebutkan bermacam-macam

bencana yang menimpa umat telah lalu, dan menerangkan di setiap

macam bencana tersebut, bahwa Alquran benar-benar telah

dimudahkan untuk mengingatkan, menyadarkan, dan mengancam

manusia. Sementara itu, pada surah Ar-Rahman, Allah menyebutkan

tentang bermacam-macam nikmat di dunia dan di akhirat.

c. Firman Allah surah Ar-Rahman, seolah merupakan jawaban atas

pertanyaan, “Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha Kuasa

itu?” juga “Faidah apakah yang Dia berikan kepada penduduk bumi

dengan RahmatNya?”195

Selanjutnya, TM Hasbi Ash Shiddieqi memaparkan bahwa surah Ar-

Rahman membicarakan mengenai nikmat-nikmat Allah, dimulai dari

nikmat paling besar yang diberikan Allah kepada manusia yakni berupa

Alquran, kemudian nikmat-nikmat yang terbentang di alam, tentang

kejadian jin dan manusia, keadaan hari kiamat dan neraka. Pada akhirnya,

dijelaskan pula mengenai surga dan segala nikmat yang terdapat di

dalamnya, yang disediakan untuk orang-orang yang beriman dan

bertakwa.196

Lebih lanjut, TM Hasbi Ash Shiddieqi juga memaparkan

hubungan atau persesuain surah Ar-Rahman dengan surah sebelumnya.

Beliau menyatakan,

1. Dalam surah ini dijelaskan keadaan orang-orang yang mendustakan

Allah dan orang-orang yang taqwa kepadaNya yang dalam surat

telah lalu diterangkan secara ijmal (dalam ayat 47 dan 54).

2. Dalam surat yang telah lalu disebutkan satu persatu bencana yang

telah menimpa ummat-ummat yang telah lalu dan diterangkan di

tiap-tiap selesai dari menerangkan sesuatu bencana, bahwa Al-

195Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi. Terj. dari Tafsir Al-Maragi oleh

Bahrun Abu Bakar, L. C., dkk., (Semarang: CV Toha Putra), h. 183-184.

196

TM Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Bayaan II, (Bandung: Alma‟arif), h. 1310.

76

Qur‟an ini diturunkan kepada manusia dengan dimudahkan mereka

untuk memahaminya.

3. Dalam surat ini diterangkan Allah berbagai rupa nikmat baik bersifat

keagamaan maupun bersifat keduniaan yang dilimpahkan kepada

hamba-hambaNya yang beriman. Dan diakhiri tiap-tiap ni‟mat ini

dengan sesuatu pertanyaan tentang ni‟mat Tuhanmu yang manakah

yang kamu dustakan?

4. Firman Allah: Ar Rahman „Allamal Qur‟ana, adalah sebagai

jawaban bagi pertanyaan: Apakah yang dilakukan oleh Raja yang

maha Kuasa itu?, yang terdapat pada akhir ayat yang menutup surat

yang telah lalu.197

Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab memaparkan bahwa di

dalam surah Ar-Rahman, Allah menyampaikan berbagai nikmat di dunia

dan di akhirat. Hampir pada setiap dua nikmat yang disampaikan Allah,

Alquran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama. Ayat

tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu

dustakan?” Pertanyaan itu, diulang sebanyak 31 kali. Delapan pertanyaan

berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di dunia, tujuh pertanyaan

berkaitan dengan ancaman dan siksa neraka di akhirat, delapan pertanyaan

berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga pertama,

dan delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di

dalam surga ke dua.198

Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa surah

Ar-Rahman memiliki hubungan dengan surah Al-Qamar. Firman Allah

surah Ar-Rahman, merupakan jawaban atas pertanyaan pada surah Al-

Qamar, yaitu “Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha Kuasa itu?”,

juga “Faidah apakah yang Dia berikan kepada penduduk bumi dengan

rahmatNya?”.

2. Isi Kandungan Surah Ar-Rahman

Di dalam Alquran terjemahan Departemen Agama Republik

Indonesia, disebutkan beberapa pokok-pokok isi kandungan surah Ar-

197Ash Shiddieqy, Ibid.

198

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. VI, h. 231.

77

Rahman. Berikut adalah pemaparan mengenai pokok-pokok isi kandungan

surah Ar-Rahman.

a. Keimanan

Allah mengajar manusia pandai berbicara; pohon-pohonan dan

tumbuh-tumbuhan tunduk kepada Allah; semua makhluk akan hancur

kecuali Allah; Allah selalu dalam kesibukan; seluruh alam merupakan

nikmat Allah terhadap manusia; manusia diciptakan dari tanah dan jin

dari api.

b. Hukum-hukum

Hukum di sini berkaitan dengan kewajiban mengukur, menakar,

dan menimbang dengan adil.199

Sementara itu, TM Hasbi Ash Shiddieqi dalam tafsir Al Bayaan

dijelaskan bahwa di antara kandungan surah Ar-Rahman adalah sebagai

berikut.

1) Alquran adalah nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada

manusia.

2) Nikmat-nikmat yang terkembang di langit dan di bumi.

3) Kejadian manusia dan jin.

4) Sifat hari kiamat.

5) Sifat ahli neraka.

6) Keadaan surga dan segala isinya yang disediakan untuk golongan

Sabiqin dan Ashhabil-Yamin.200

C. Hasil Penelitian

1. Temuan Data

Berdasarkan hasil analisis terhadap gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin,

penulis menemukan 22 jenis gaya bahasa. Adapun gaya bahasa yang

ditemukan adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, repetisi,

199Departemen Agama Republik Indonesia, Loc. Cit., h. 884.

200

Ash Shiddieqy, Tafsir Al Bayaan II, Op. Cit., h. 1318.

78

paralelisme, elipsis, apofasis, asindeton, polisindeton, tautologi,

pleonasme, klimaks, antiklimaks, sinekdoke, prolepsis, erotesis, simile,

personifikasi, antonomasia, perifrasis, apostrof, dan antitesis. Berikut

penulis sajikan tabel temuan jenis gaya bahasa terjemahan surah Ar-

Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.

Tabel Temuan Data

No Jenis Gaya Bahasa Ayat dalam Surah Ar-Rahman

1. Inversi 7,10, 22, 48, 50, 52, dan 64.

2. Aliterasi Semua terjemahan ayat surah Ar-

Rahman (Ayat ke-1 sampai 78)

3. Asonansi Semua terjemahan ayat surah Ar-

Rahman (Ayat ke-1 sampai 78)

4. Repetisi 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34,

36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55,

57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75,

77, 78, 17, 56, 74, 48, 50, 52, 66, dan

68.

5. Paralelisme 17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan

78.

6. Elipsis 3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 58, 68, 70, 72,

dan 74.

7. Apofasis 33

8. Asindeton 24, 54, dan 78.

9. Polisindeton 33 dan 35

10. Pleonasme 12, 37, 44, 66, dan 72.

11. Tautologi 64

12. Klimaks 33 dan 44

13. Antiklimaks 14, 24, 31, 37, dan 56.

79

14. Sinekdoke 4, 10, 27, 37, 41, dan 56.

15. Prolepsis 35, 41, 54, 76, dan 39.

16. Erotesis 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34,

36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55,

57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75,

77, dan 60.

17. Simile 14, 24, 37, dan 58.

18. Personifikasi 6 dan 19

19. Antonomasia 1

20. Perifrasis 41

21. Apostrof 31 dan 33

22. Antitesis 12

Berdasarkan tabel temuan data di atas, penulis dapat

mengklsifikasikan jenis-jenis gaya bahasa tersebut, yaitu berdasarkan

langsung tidaknya makna dan berdasarkan struktur kalimat. Gaya bahasa

berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris,

yaitu gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis, asindeton,

polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan

apostrof, dan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa simile, personifikasi,

sinekdoke, dan antonomasia. Adapun gaya bahasa berdasarkan struktur

kalimat, yaitu gaya bahasa repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan

anitesis. Jadi, jumlah keseluruhan jenis gaya bahasa yang ditemukan

dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan

Mulia karya H. B. Jassin, adalah 22 jenis gaya bahasa. Gaya bahasa

berdasarkan langsung tidaknya makna berjumlah 17 gaya bahasa,

sedangkan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat berjumlah 5 gaya

bahasa. Dengan demikian, gaya bahasa yang paling banyak ditemukan

adalah gaya bahasa retoris, berjumlah 13 jenis gaya bahasa, sedangkan

yang paling sedikit ditemukan adalah gaya bahasa kiasan, berjumlah 4

jenis gaya bahasa.

80

2. Analisis dan Deskripsi Data

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan

analisis temuan data, yaitu bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan

surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.

Jassin, yang disertai dengan sedikit perbandingan dengan terjemahan lain,

seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, dan

terjemahan Mahmud Yunus. Hal tersebut dilakukan, guna mengetahui

pemilihan kata, penyesuaian bunyi, dan pola penyusanan kata dalam

kalimat setiap terjemahan. Perbandingan tidak dilakukan pada setiap jenis

gaya bahasa yang ditemukan, tetapi pada bagian yang dianggap perlu ada

sedikit perbandingan. Berikut merupakan deskripsi analisis jenis-jenis

gaya bahasa yang ditemukan.

1. Inversi

Gaya bahasa inversi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan

melalui pembalikan susunan kata dari yang biasa. Gaya bahasa

tersebut, terdapat pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-7, 10, 22,

48, 50, 52, dan 64.

a. Terjemahan ayat ke-7

Terjemahan ayat ke-7 yaitu, “Langit Ia tinggikan dan

diadakan-Nya neraca (keadilan)”.201

1) Segi Sintaksis

Langit Ia tinggikan Ia tinggikan langit

O S P S P O

(Bentuk inversi) (Pola umum)

Klausa Langit Ia tinggikan, merupakan bentuk inversi,

karena adanya pembalikan susunan kata. Kata Langit sebagai

objek, menjadi berada di posisi subjek, sedang pronomina Ia

(Allah) sebagai subjek, menjadi berada di posisi predikat. Kata

201H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.

81

langit sebagai objek, berada mendahului pronomina Ia sebagai

subjeknya. Begitupun dengan klausa diadakan-Nya neraca

(keadilan). Susunan pola tersebut, tidak mengikuti pola

kalimat pada umumnya, yaitu subjek, predikat, objek,

pelengkap, dan keterangan jika ada.

2) Segi Semantik

Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituen-

konstituen yang membangun ayat ke-7, masing-masing

mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-

makna tersebut, berdasarkan yang tercantum dalam Al-Qur‟an

The Great Miracle.202

Kata Makna

wassamâ‟a dan langit

rafa„ahâ dia telah meninggikannya

wawađa„a dan dia meletakkan

Almîzâna Timbangan

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat

bahasa Indonesia, maka menjadi Dia telah meninggikan langit

dan meletakkan timbangan. Kata rafa„ahâ merupakan fi„il

mâđi yang dilekatkan dengan ha sebagai damir yang merujuk

ke assamâ‟a (langit). Dalam kalimat bahasa Indonesia, damir

biasa disebut sebagai pronomina (kata yang dipakai untuk

menggantikan orang atau benda). Damir ha dalam struktur

kalimat bahasa Arab ayat ke-7, berarti pronomina -nya dalam

kalimat bahasa Indonesia.

Sementara itu, fi„il mâđi dalam kalimat bahasa Indonesia,

disebut sebagai kata kerja bentuk lampau yang bermakna telah.

202Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri, 2013), Cet. I, h. 1059.

82

Begitupun kata wađa„a, merupakan fi„il mâđi (kata kerja

bentuk lampau). Baik kata rafa„a maupun wađa„a, dua-duanya

adalah kata kerja bentuk aktif, yang bermakna rafa„a telah

meninggikan, dan wađa„a telah meletakkan. Jika kedua kata

kerja tersebut dimaknakan kata kerja pasif menjadi ditinggikan

dan diletakkan, maka bukan rafa„a dan wađa„a lagi, melainkan

berubah menjadi rufi„a dan wuđi„a (đumma awwaluhu

wakusira mâ qabla akhirihi).

Kata Kerja

Bentuk Aktif

Makna Kata Kerja

Bentuk Pasif

Makna

rafa„a telah

meninggikan

rufi„a Ditinggikan

wađa„a telah

meletakkan

wuđi„a Diletakkan

Dengan demikian, kata rufi„a berarti telah ditinggikan dan

kata wuđi„a berarti telah diletakkan. Sementara itu, H. B. Jassin

menerjemahkan kata wađa„a menjadi diadakan (kata kerja

bentuk pasif).

Setelah meninjau konstituen-konstituen yang membangun

ayat ke-7 tadi, dapat kita lihat bahwa H. B. Jassin

menerjemahkannya sesuai dengan urutan konstituen-konstituen

yang membangun kalimat ayat ke-7, dengan menyebutkan kata

langit terlebih dahulu. Sehingga, pada terjemahannya terjadilah

pembalikan susunan kata. Jika kita bandingkan dengan

terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, maka

akan nampak seperti berikut ini.

83

H. B. Jassin Departemen Agama Republik

Indonesia

Langit Ia tinggikan

dan diadakan-Nya

neraca (keadilan)

Dan Allah telah meninggikan langit

dan Dia meletakkan neraca

(keadilan)203

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa Departemen

Agama Republik Indonesia, memilih pola kalimat yang biasa,

yaitu subjek, predikat, dan objek, yang berbeda dengan pola

kalimat yang dipilih H. B. Jassin.

Persoalan pembalikan susunan kata seperti pada ayat ke-7,

juga terjadi pada terjemahan ayat ke-10. Terjemahan ayat ke-

10 yaitu, “Bumi Ia bentangkan untuk semua insan”.204

Pada

kalimat tersebut, kata Bumi sebagai objek, berada di posisi

subjek mendahului pronomina Ia (Allah) sebagai subjeknya.

Pola kalimat tersebut, jelas berbeda dengan pola kalimat pada

umumnya, yaitu subjek, predikat, dan objek.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kasus

pembalikan susunan kata pada terjemahan ayat ke-7 dan 10

adalah objek berada mendahului subjek.

b. Terjemahan ayat ke-64

Pada terjemahan ayat ke-22, 48, 50, 52, dan 64, pembalikan

susunan kata berbeda dengan pembalikan susunan kata

sebelumnya. Pada terjemahan ayat-ayat tersebut, pembalikan

susunan kata yang terjadi adalah pola S-P (Subjek-Predikat)

menjadi P-S (Predikat-Subjek). Melalui terjemahan ayat ke-64,

penulis akan membahas gaya bahasa inversi P-S. Adapun

203Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Op. Cit., h. 885.

204

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

84

terjemahan ayat ke-64 yaitu, “Hijau tua warnanya (Karena daun

yang rimbun)”.205

1) Segi Sintaksis

Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun) (inversi)

P S

Warnanya hijau tua (Karena daun yang rimbun) (pola umum)

S P

Pala kalimat inversi, kata warnanya yang menduduki fungsi

subjek, berada di belakang frasa Hijau tua yang menduduki fungsi

predikatnya. Jadi, frasa Hijau tua mendahului kata warnanya yang

menduduki fungsi subjek. Kata warnanya, biasa diletakkan di awal

sebelum menyebutkan jenis warna seperti merah, kuning, dan

hijau. Jika terjemahan tersebut mengikuti susunan kalimat pada

umumnya, maka menjadi “Warnanya hijau tua”. Pada kalimat

Warnanya hijau tua, posisi kata Warnanya adalah sebagai subjek,

juga sebagai yang diterangkan (D), sedang frasa hijau tua sebagai

predikat juga sebagai yang menerangkan (M). Sementara itu, pada

kalimat Hijau tua warnanya terjemahan H. B. Jassin, frasa hijau

tua sebagai predikat juga sebagai yang menerangkan (M) berada di

awal, sedang kata warnanya sebagai subjek juga sebagai yang

diterangkan (D) berada di akhir. Jadi, jelas terlihat adanya

pembalikan susunan kata S-P menjadi P-S. Frasa hijau tua

menerangkan bahwa warna kedua surga adalah hijau tua, bukan

merah, kuning, maupun biru.

205Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 753.

85

2) Segi Semantik

Ditinjau dari segi semantik, kata mudhâmmatâni berarti

keduanya hijau tua. Kata mudhâmmatâni, merupakan bentuk

tatsniyah yang berarti menunjuk kepada dua hal. Dalam ayat

ke-64, kedua hal tersebut menunjuk kepada jannatâni (dua

surga) pada ayat ke-62. Pada gramatika bahasa Arab, kata

mudhâmmatâni merupakan na„at dari jannatâni pada ayat ke-

62 sebagai man„utnya. Pada kalimat bahasa Indonesia, na„at

adalah sifat dan man„ut adalah yang disifati sifat tersebut.

Pembahasan mengenai pembalikan susunan kata seperti pada

ayat ke-64, telah mewakili pembahasan pembalikan susunan

kata pada terjemahan ayat ke-22, 48, 50 dan 52, karena

permasalahannya sama, yaitu berupa predikat mendahului

subjeknya. Selain itu, terjemahan ayat ke-22, 48, 50, dan 52,

masing-masing didahului juga oleh fungsi keterangan, yaitu

keterangan tempat yang sifatnya manasuka.

2. Aliterasi

Gaya bahasa aliterasi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan

dengan pengulangan bunyi konsonan yang sama. Gaya bahasa

tersebut, terdapat pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman, dari

ayat ke-1 sampai 78. Pada pembahasan ini, penulis hanya membahas

gaya bahasa pada terjemahan ayat yang dapat mewakili seluruh

bentuk penggunaan gaya bahasa aliterasi, karena secara umum, gaya

bahasa tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk

mempertahankan keindahan dan persamaan bunyi, juga adanya

kerapian penggunaan kata-kata, dan menyajikan kata-kata agar tidak

terasa kaku.

86

a. Bunyi [m]

Terjemahan ayat ke-2 surah Ar-Rahman yaitu, “Mengajari

(Muhammad) Al-Qur‟an”.206

Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi

konsonan yang sama, yaitu [m] pada Mengajari dan Muhammad.

Pengulangan tersebut, dilakukan untuk mempertahankan keindahan

dan persamaan bunyi. Bunyi [m] merupakam konsonan nasal, yang

dihasilkan dengan menghalangi sepenuhnya aliran udara di rongga

mulut, tetapi membuka jalan ke luar bagi aliran udara melalui

rongga hidung.207

b. Bunyi [n]

Terjemahan ayat ke-3 yaitu, “Menciptakan insan”.208

Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi

konsonan yang sama, yaitu [n] pada kata Menciptakan dan insan.

Adanya pengulangan konsonan tersebut, berfungsi untuk

menghadirkan persamaan dan keindahan bunyi. Bunyi [n] sama

seperti bunyi [m] yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu

merupakan konsonan nasal dan cara menghasilkannya pun sama.

Hanya, bunyi [n] memiliki daerah artikulasi yang berbeda dengan

bunyi [m]. Bunyi [n] merupakan konsonan nasal alveolar,

sedangkan bunyi [m] merupakan konsonan nasal bilabial.

c. Bunyi [t], [h], [r], [d], [b], [ŋ]

Terjemahan ayat ke-5 yaitu, “Matahari dan bulan (beredar)

dengan perhitungan”.209

206Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 749.

207

Djoko Kentjono, Tata Bunyi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1985), h. 9.

208

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

209

Ibid.

87

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan

yang sama, yaitu [t] dan [h] pada Matahari dan perhitungan, [r]

pada Matahari, beredar, dan perhitungan, [d] pada dan dan

dengan, [n] pada dan, bulan, dengan, dan perhitungan, [b] pada

bulan dan beredar, [ŋ] pada dengan dan perhitungan. Pengulangan

bunyi konsonan yang sama nampak terlihat banyak dibanding ayat

ke-2 dan 3. Sementara itu, fungsi pengulangan bunyi konsonan

yang sama pun tetap sama, yaitu untuk mempertahankan

persamaan dan keindahan bunyi.

Bunyi [t] merupakan konsonan hambat alveolar tak bersuara,

yang dibentuk dengan pita suara yang tidak bergetar, [d]

merupakan konsonan hambat alveolar bersuara, yang dibentuk

dengan pita suara yang bergetar, [b] merupakan konsonan hambat

bilabial bersuara, yang dihasilkan dengan pita suara yang bergetar,

[r] merupakan konsonan getar alveolar bersuara, yang dihasilkan

dengan pita suara yang bergetar, [h] merupakan konsonan frikatif

glotal tak bersuara, yang dihasilkan pita suara yang tidak bergetar,

[ŋ] merupakan konsonan rangkap, juga merupakan konsonan nasal

velar bersuara.210

Adapun pembahasan mengenai bunyi [n], telah

dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.

d. Bunyi [p] dan [k]

Terjemahan ayat ke-6 yaitu, “Tanaman merambat dan

pohonan, Keduanya sujud kepada Tuhan”.211

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi [t]

pada Tanaman, merambat, dan Tuhan, [n] pada Tanaman, dan,

pohonan, dan Tuhan, [m] pada Tanaman dan merambat, [d] pada

dan, keduanya, dan kepada, [p] pada pohonan dan kepada, [h] pada

210Alwi, dkk., Op. Cit., h. 66.

211

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

88

pohonan dan Tuhan, [k] pada keduanya dan kepada. Pengulangan

bunyi konsonan yang sama pada terjemahan tersebut, nampak

terlihat banyak. Di antaranya, terdiri atas bunyi konsonan yang

telah hadir dan telah dibahas pada terjemahan ayat sebelumnya, ada

pula bunyi konsonan yang baru muncul, yaitu [p] dan [k]. Bunyi

[p] pada kata pohon dan kepada, merupakan konsonan hambat

bilabial tak bersuara, yang dilafalkan dengan bibir atas dan bibir

bawah terkatup rapat, sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk

sementara waktu sebelum ketupan dilepaskan, sementara bunyi [k]

pada keduanya dan kepada, merupakan konsonan hambat velar tak

bersuara.212

e. Bunyi [l] dan [s]

Terjemahan ayat ke-19, “Ia lepaskan kedua lautan yang

saling bertemu”.213

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan

yang sama, yaitu [l] pada lepaskan, lautan, dan saling, [s] pada

lepaskan dan saling, [k] pada lepaskan dan kedua, [n] pada

lepaskan dan lautan, [ŋ] sebagai konsonan rangkap pada yang dan

saling, [t] pada lautan dan bertemu. Pengulangan bunyi konsonan

yang sama pada terjemahan tersebut, nampak telah hadir dan

dijelaskan pada terjemahan ayat sebelumnya, kecuali pada bunyi [l]

dan [s]. Bunyi [l] pada kata lepaskan, lautan, dan saling,

merupakan konsonan lateral alveolar bersuara, dan [s] pada kata

lepaskan dan saling, merupakan konsonan frikatif alveolar tak

bersuara, yang dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada

gusi atas, sambil melepaskan udara melalui samping lidah,

sehingga menimbulkan bunyi desis.214

Pengulangan bunyi

212Alwi, dkk., Loc. Cit.

213

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.

214

Alwi, dkk., Op. Cit. h. 67.

89

konsonan yang sama tersebut, terjadi hampir di semua konstituen

yang membangun konstruksi kalimat terjemahan.

f. Bunyi [j]

Terjemahan ayat ke-43 yaitu, “Inilah neraka Jahanam yang

didustakan orang durjana”.215

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi

konsonan yang sama, yaitu [n] pada Inilah, neraka, Jahanam,

didustakan, dan durjana, [h] pada Inilah dan Jahanam, [r] pada

neraka, orang, dan durjana, [k] pada neraka dan didustakan, [j]

pada Jahanam dan durjana, [d] pada didustakan dan durjana, dan

[ŋ] pada yang dan orang. Semua pengulangan bunyi konsonan

yang sama pada terjemahan tersebut, telah dipaparkan pada

pembahasan sebelumnya, kecuali bunyi [j]. Adapun bunyi [j] pada

kata jahanam dan durjana, merupakan konsonan afrikatif palatal

bersuara, yang dihasilkan dengan daun lidah ditempelkan pada

langit-langit keras, kemudian dilepaskan secara perlahan hingga

udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis. Sementara itu,

pita suara dalam keadaan bergetar.216

Adapun mengenai bunyi yang

lainnya, telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.

g. Bunyi [g]

Terjemahan ayat ke-62 yaitu, “Selain yang dua itu ada lagi

dua sorga”.217

Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi

konsonan yang sama, yaitu [s] pada Selain dan sorga, [l] pada

Selain dan lagi, [d] pada dua dan ada. Adapun bunyi [l] dan [d],

telah penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya. Sementara

215Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.

216

Alwi, dkk., Op. Cit., h. 68.

217

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 753.

90

itu, bunyi [g] pada kata lagi dan sorga, merupakan konsonan

hambat velar bersuara yang dihasilkan dengan menempelkan

belakang lidah pada langit-langit lunak. Udara untuk sementara

waktu dihambat di sini, kemudian dilepaskan.218

Pengulangan

bunyi konsonan yang sama tersebut, terdapat hampir di semua

konstituen yang membangun konstruksi kalimat terjemahan,

kecuali pada kata yang. Adapun fungsi adanya bentuk penggunaan

gaya bahasa aliterasi, sama dengan terjemahan-terjemahan

sebelumnya.

h. Bunyi [y]

Terjemahan ayat ke-12 yaitu, “Juga padi-padian yang berkulit,

Dan tumbuh-tumbuhan yang harum baunya”.219

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan

yang sama, yaitu [d] pada padi-padian dan dan, [n] pada padi-

padian, dan, dan tumbuh-tumbuhan, [y] dan [ŋ] pada yang, [r] pada

berkulit dan harum, [b] pada berkulit, tumbuh-tumbuhan, dan

baunya, [t] pada berkulit dan tumbuh-tumbuhan, [h] pada tumbuh-

tumbuhan, dan harum. Pengulangan bunyi konsonan yang sama

pada terjemahan tersebut, rata-rata sudah dipaparkan pada

pembahasan sebelumnya, kecuali bunyi [y]. Adapun bunyi [y] pada

kata yang, merupakan konsonan semivokal palatal bersuara, yang

dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit

keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluar dari paru-

paru.220

Adapun fungsi adanya bentuk gaya bahasa aliterasi tetap

sama seperti pada terjemahan ayat-ayat sebelumnya. Terlihat pula

bahwa hampir pada semua konstituen yang membangun konstruksi

218Alwi, dkk., Op. Cit., h. 67.

219

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.

220

Alwi, dkk., Op. Cit., h. 70.

91

kalimat terjemahan tersebut, bentuk pengulangan bunyi konsonan

yang sama terjadi, kecuali pada kata juga.

Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gaya bahasa aliterasi,

dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa aliterasi terdapat pada

seluruh terjemahan ayat surah Ar-Rahman. Penggunaan gaya

bahasa aliterasi dihasilkan dengan pengulangan bunyi konsonan

yang sama, yaitu [b], [d], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [r], [s],

[t], [y], dan [ŋ]. Secara umum, terjemahan ayat-ayat yang telah

dibahas, mewakili keseluruhan bentuk penggunaan gaya bahasa

aliterasi pada terjemahan ayat lain, karena bunyi-bunyi ([b], [d],

[g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [r], [s], [t], [y], dan [ŋ]) tersebutlah

yang bermunculan dan mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk

memberikan kesan keindahan dan persamaan bunyi.

H. B. Jassin sangat mempertahankan persamaan bunyi pada

setiap kata, dengan memilih padanan kata yang memiliki makna

terjemahan yang sama dan dengan bunyi-bunyi yang hampir sama,

untuk mempertahankan keindahan terjemahannya, tanpa melenceng

dari maksud yang dikandung setiap ayat. Keputusan H. B. Jassin

mempertahankan persamaan bunyi dalam setiap kata,

menyebabkan adanya ketidakkonsistenan dalam memilih atau

menggunakan kata. Misalnya, penggunaan kata insan dan manusia.

Adakalanya, H. B. Jassin lebih memilih kata insan, karena kata-

kata sebelumnya berbunyi [n], seperti jin dan insan, bukan jin dan

manusia. Namun, di terjemahan ayat yang lain, H. B. Jassin justru

lebih menggunakan kata manusia. Selain itu, penggunaan kata

gadis-gadis dan hauri-hauri. Adakalanya, H. B. Jassin memilih

kata hauri-hauri dibanding gadis-gadis atau bidadari-bidadari,

begitupun sebaliknya, untuk mempertahankan keindahan dan

persamaan bunyi dengan kata sebelumnya, yang membangun suatu

konstruksi kalimat.

92

3. Asonansi

Asonansi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan

pengulangan bunyi vokal yang sama. Pada terjemahan surah Ar-

Rahman, terdapat gaya bahasa asonansi, yaitu pada semua terjemahan

ayat surah Ar-Rahman, dari ayat ke-1 sampai ke-78. Secara umum,

penggunaan gaya bahasa asonansi ditandai dengan adanya

pengulangan bunyi vokal yang sama, yaitu [a], [i], [u], [e], [o], dan

[ǝ ]. Pengulangan bunyi vokal yang sama ini, memberikan efek

keindahan dan persamaan bunyi pada setiap konstituen yang

membangun suatu konstruksi kalimat terjemahan setiap terjemahan

ayat.

a. Bunyi [a] dan [u]

Terjemahan ayat ke-1 yaitu, “(Tuhan) Yang Maha

Pemurah”.221

1) Segi Fonologi

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi

vokal yang sama, yaitu [u] pada Tuhan dan pemurah, dan [a]

pada semua kata yang membangun kalimat terjemahan. Bunyi

[a] lebih dominan dibanding dengan bunyi [u]. Bunyi [a]

terdapat pada setiap kata yang menyusun kalimat terjemahan

tersebut, sehingga menyebabkan timbulnya kerapian

pemakaian kata, keindahan bunyi, dan persamaan bunyi, yaitu

[a]. Bunyi [a], merupakan vokal rendah dan vokal tengah,

diucapkan dengan bentuk bibir yang normal (tidak dimajukan),

bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar,222

seperti pada kata-kata yang membangun kalimat terjemahan

ayat ke-1, yaitu Tuhan, Yang, Maha, dan Pemurah. Sementara

itu, untuk bunyi [u], hanya terdapat pada kata Tuhan dan

Pemurah. Bunyi [u] merupakan vokal tinggi-belakang, tetapi

221Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

222

Alwi, dkk., Op. Cit., h. 57.

93

yang meninggi adalah belakang lidah. Bunyi [u] diucapkan

dengan kedua bibir agak maju dan sedikit membundar.223

2) Segi sintaksis

kalimat (Tuhan) Yang Maha Pemurah, termasuk ke dalam

jenis kalimat deklaratif, yaitu menyatakan bahwa Tuhan

mempunyai sifat Ar-Raẖ mân, Maha pemurah. Hal tersebut

dibuktikan dengan telah diajarkanNya Alquran kepada Nabi

Muhammad, diciptakanNya manusia yang pandai dalam

bericara, diberikan dan disediakaNnya nikmat-nikmat di dunia

dan di akhirat. Ditinjau dari segi fungsinya dalam kalimat, kata

Tuhan menduduki fungsi subjek, dan Yang Maha Pemurah

menduduki fungsi predikat. Kalimat tersebut, dibangun atas

satu klausa, yang terdiri atas subjek dan predikat. Pada struktur

bahasa Arab, kata Ar-Raẖ mânu menjadi mubtada dari khabar

a„llamal-Qur‟âna. Mubtada merupakan subjek dan khabar

merupakan gabungan dari predikat dan objek dalam struktur

kalimat bahasa Indonesia, karena pada struktur bahasa Arab

ayat ke-2, a„llamal-Qur‟âna merupakan khabar jumlah. Secara

semantik, kata Ar-Raẖ mânu bermakna (Tuhan) Yang Maha

Pemurah. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi

kepemurahan Allah.

b. Bunyi [i]

Selain bunyi [a] dan [u] pada ayat ke-1, ada juga bunyi [i]

pada terjemahan ayat ke-3, yaitu “Menciptakan insan”.224

1) Segi Fonologi

Pada terjemahan tersebut, terlihat adanya bunyi vokal

yang sama yaitu [a] dan [i] pada semua kata yang membangun

223Alwi, dkk., Ibid.

224

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

94

kalimat terjemahan tersebut, yaitu kata Menciptakan dan insan.

Bunyi [a] telah dijelaskan sebelumnya pada terjemahan ayat

ke-1. Bunyi [i] dihasilkan dengan sudut bibir direntangkan ke

samping sehingga bentuknya lebar. Bunyi [i] merupakan vokal

tinggi-depan yang dihasilkan dengan kedua bibir agak

terentang ke samping.225

2) Segi Sintaksis

Ditinjau dari fungsi sintaksisnya, kalimat tersebut terdiri

atas konstituen yang menduduki fungsi predikat dan objek,

meskipun konstituen yang menduduki fungsi subjeknya tidak

dihadirkan. Kata Menciptakan menduduki fungsi predikat,

yang merupakan suatu pekerjaan membuat atau menghasilkan

sesuatu, kata insan menduduki fungsi objek, yang merupakan

wujud hasil kegiatan menciptakan atau objek yang diciptakan

subjek, sedang kata Tuhan (tidak dihadirkan dalam kalimat),

menduduki fungsi subjek, yang merupakan pelaku dalam

melakukan kegiatan menciptakan.

3) Segi Semantik

Sementara itu, ditinjau dari segi semantiknya, konstituen-

konstituen yang membangun ayat ke-3, masing-masing

membawa makna. Berikut penulis sajikan makna-makna

tersebut berdasarkan pada Al-Quran The Great Miracle.226

Kata Makna

Khalaqa dia telah mencipatakan

al-insâna manusia.

225Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.

226

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1059.

95

Pada struktur kalimat bahasa Arab, kata Khalaqa

berfungsi sebagai fi„il (kata kerja), dalam hal ini adalah jenis

fi„il mâđi, yang memiliki makna lampau (kata kerja bentuk

lampau). Maka dari itu, kata Khalaqa bermakna dia telah

menciptakan. Fi„il dalam gramatika bahasa Arab, merupakan

predikat dalam gramatika bahasa Indonesia, yaitu pekerjaan

yang dilakukan oleh Fâ„il dalam gramatika bahasa Arab,

Subjek dalam gramatika bahasa Indonesia. Jadi, Fi„il adalah

predikat, sedang Fâ„il adalah Subjek. Fâ„il dalam kata

Khalaqa merujuk kepada Tuhan, sedang kata al-insâna

berfungsi sebagai maf„ul. Maf„ul dalam gramatika bahasa

Arab, merupakan objek dalam gramatika bahasa Indonesia.

Jika terjemahan kata-kata tersebut disusun ke dalam kalimat

bahasa Indonesia, maka menjadi Dia telah menciptakan

manusia.

Untuk terjemahan ayat ini, H. B. Jassin lebih memilih kata

insan dibanding kata manusia, karena untuk mempertahankan

persamaan bunyi, agar terdengar lebih indah. H. B. Jassin,

mengikuti bunyi akhir [n] pada kata mencipatakan, sehingga

memilih kata insan agar bunyinya sama dengan bunyi akhir

kata menciptakan yaitu [n].

c. Bunyi [ǝ ]

Selanjutnya, untuk mewakili adanya persamaan bunyi vokal

[ǝ ] pada terjemahan surah Ar-Rahman, penulis akan memaparkan

persamaan pada terjemahan ayat ke-6. Adapun terjemahan ayat

ke-6, yaitu, “Tanaman merambat dan pohonan, Keduanya sujud

kepada Tuhan”.227

227Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

96

1) Segi Fonologi

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan

bunyi vokal yang sama, yaitu [a] pada semua konstituen yang

membangun kalimat tersebut, kecuali pada kata sujud, [ǝ ]

pada kata merambat, Keduanya, dan kepada, dan [u] pada

Keduanya, sujud, dan Tuhan. Untuk bunyi [a] dan [u],

penulis telah memaparkan penjelasannya pada bagian awal,

sedang untuk selanjutnya, penulis akan memfokuskan

pembahasan pada persamaan bunyi [ǝ ]. Adanya bunyi [ǝ ]

pada kata merambat, Keduanya, dan kepada. Bunyi [ǝ ]

merupakan vokal sedang-tengah, yang dihasilkan dengan

bagian tengah lidah agak dinaikkan dan bentuk bibir yang

netral.228

2) Segi Sintaksis

Berdasarkan fungsi sintaksisnya, konstituen-konstituen

yang membangun kalimat Tanaman merambat dan pohonan,

Keduanya sujud kepada Tuhan, masing-masing menduduki

fungsi sintaksis yang berbeda, yaitu Tanaman merambat dan

pohonan menduduki fungsi subjek, kata sujud menduduki

fungsi predikat, dan kepada Tuhan menduduki fungsi

keterangan.

3) Segi Semantik

Sementara itu, secara semantik, konstituen-konstituen

yang membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung

makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna

tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.229

228Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.

229

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1060.

97

Kata Makna

Wannajmu dan tanaman merambat

Wasysyajaru dan pohon-pohon

Yasjudâni keduanya sujud

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat

bahasa Indonesia, maka menjadi “Tanaman yang merambat

dan pepohonan, keduanya sujud (kepada Tuhan)”.

Kata yasjudâni merupakan bentuk tatsniyah dari kata

yasjudu yang ditambahkan huruf alif dan nun sebagai ciri

tatsniyahnya. Tatsniyah, berarti menunjukkan kepada dua,

dalam hal ini adalah tanaman yang merambat dan pepohonan.

Di dalam Al-Qur‟an The Great Miracle dijelaskan bahwa

Kata annajmu merupakan tumbuh-tumbuhan yang tidak

memiliki batang, sedang asysyajaru merupakan pepohonan

yang memilik dahan dan batang. Annajmu, dapat juga

diartikan sebagai bintang.230

d. Bunyi [o]

Terjemahan ayat ke-11 yaitu, “Di atasnya tumbuh buah-

buahan, Dan pohon korma dengan selodang”.231

1) Segi Fonologi

Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi

vokal yang sama, yaitu [a] pada kata atasnya, buah-buahan,

Dan, korma, dengan, dan selodang, [u] pada kata tumbuh dan

buah-buahan, [o] pada pohon, korma, dan selodang. Untuk

bunyi [a] dan [u], pada pembahasan sebelumnya telah

dijelaskan, sehingga pada terjemahan ayat ini, penulis akan

230Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Ibid., h. 1059.

231

Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.

98

memfokuskan pada persamaan bunyi [o]. Bunyi [o]

merupakan vokal sedang-belakang, yang dihasilkan dengan

bentuk bibir kurang bundar dibanding [u].232

Pada terjemahan tersebut, H. B. Jassin secara gamblang

mempertahankan persamaan bunyi [o], terutama pada kata

korma yang menyerasikan bunyi [o] pada kata pohon dan

selodang. Kata korma, bukan merupakan kata baku, sedang

yang baku adalah kurma. Pada kata tersebut, yang ada adalah

bunyi [u] bukan [o]. Namun, untuk mempertahankan

persamaan bunyi dan keindahan persajakan, maka H. B.

Jassin lebih memilih kata korma dibanding kata kurma,

meski kata tersebut tidak baku.

2) Segi Semantik

Secara semantik, konstituen-konstituen yang

membangun ayat ke-11 masing-masing memiliki makna

tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makan tersebut

berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.233

Kata Makna

Fîhâ di dalamnya

Fâkihatun buah-buahan

Wannakhlu dan pohon kurma

Żâtu yang mempunyai

al-akmâmi kelopak mayang

Setelah melihat makna konstituen-konstituen yang

membangun ayat tersebut, terlihat pula keinginan H. B. Jassin

dalam hal mempertahankan persamaan bunyi vokal. Untuk

masalah kata korma, telah dipaparkan sebelumnya.

232Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.

233

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059.

99

Selanjutnya, H. B. Jassin lebih memilih menggunakan kata

selodang untuk menggantikan kelopak mayang. Kata

selodang dipilih H. B. Jassin dibanding kelopak mayang.

Selain terlihat lebih simpel, kata selodang juga

mempertahankan persamaan bunyi [o] yang terdapat pada

pohon dan korma.

e. Bunyi [e]

Selanjutnya, bunyi [e] dapat kita lihat pada terjemahan ayat

ke-37. Adapun ayat ke-37 yaitu, “Bila langit pecah terbelah

kemerah-merahan seperti bunga mawar Yang merah laksana

minyak berkilauan”.234

Bunyi [e] pada terjemahan tersebut, terdapat pada kata

kemerah-merahan dan merah. Bunyi [e] merupakan vokal sedang-

depan, yang dihasilkan dengan daun lidah dinaikkan, tetapi agak

lebih rendah daripada [i]. Kemudian, disertai dengan bentuk bibir

yang netral, tidak terentang dan juga tidak membundar.235

Dengan

demikian, adanya pengulangan bunyi vokal yang sama, berfungsi

untuk menciptakan persamaan dan keindahan bunyi setiap

konstituen yang membangun sebuah kalimat.

Secara umum, pembahasan mengenai persamaan bunyi vokal

[a], [i], [u], [e], [o], dan [ǝ ] pada ayat ke-1, 3, 6, 11, dan 37,

mewakili persamaan bunyi vokal yang ada pada terjemahan ayat

surah Ar-Rahman yang lain, karena memiliki fungsi yang sama.

Hanya, persamaan bunyi vokal [e] penggunaannya lebih sedikit,

sedang yang paling dominan adalah bunyi vokal [a].

234Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.

235

Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.

100

4. Repetisi

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa repetisi,

berupa pengulangan kata, frasa, klausa atau kalimat yang sama. Gaya

bahasa tersebut, terdapat pada ayat ke-13, kemudian diulang pada ayat

ke-16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53,

55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Adapun terjemahan

ayat-ayat tersebut yaitu,

“Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu (manusia)

dan kamu (jin) dustakan?”.

Kalimat tersebut berjumlah 31 kali dalam 78 ayat surah Ar-

Rahman, dimulai dari ayat ke-13, kemudian diulang pada ayat ke-16,

18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57,

59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Pengulangan tersebut,

termasuk ke dalam gaya bahasa repetisi karena penggunaan

kalimatnya diulang-ulang, bukan hanya satu sampai tiga kali,

melainkan hingga puluhan kali. Pengulangan hingga puluhan kali,

jarang sekali dilakukan. Pengulangan seperti ini, mengandung suatu

maksud yang perlu dipahami oleh makhluk-makhlukNya, yaitu

golongan jin dan manusia.

Sementara itu, dalam kitab tafsir Jalalen, dijelaskan bahwa

kalimat Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, termasuk ke dalam jenis

istifham taqriri, yaitu kalimat tanya yang digunakan untuk

menguatkan nikmat-nikmat Allah (kepemurahan Allah) dan mendesak

yang diajak komunikasi (jin dan manusia) supaya mengakui terhadap

segala hal yang telah dipaparkan Allah mengenai berbagai nikmat

yang telah diberikan, baik nikmat dunia, maupun akhirat. Kalimat

tersebut, tidak membutuhkan jawaban dari makhlukNya (jin dan

manusia), tetapi kehadirannya untuk mendesak agar makhlukNya

menyadari dan mengakui bahwa nikmat Allah sungguh luar biasa

melimpahnya, tidak ada satupun yang luput dari nikmat Allah, dan

101

mengingatkan agar tidak mengingkari nikmat-nikmat tersebut, dalam

hal ini adalah kufur nikmat.

Jadi, istifham dalam ayat ini mengandung makna taqrir atau

menetapkan. Demikian itu disebutkan karena ada sebuah hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui Jabir r. a. yang telah

menceritakan bahwa Rasul membacakan kepada kami surah Ar-

Rahman hingga selesai. Kemudian beliau bersabda “Mengapa kalian

ini diam saja?” Sungguh jin lebih baik jawabannya daripada kalian,

karena sesungguhnya tiada sekali-kali aku bacakan kepada mereka

ayat ini.236

1) Segi Sintaksis

Ditinjau dari segi sintaksis, kalimat terjemahan tersebut termasuk

ke dalam jenis kalimat tanya, karena menggunakan kata tanya mana

yang dilekatkan dengan partikel –kah hingga menjadi manakah.

Kemudian, di akhir kalimat tersebut ditandai dengan tanda tanya (?)

yang merupakan salah satu ciri dari kalimat tanya dalam ragam tulis.

Partikel -kah yang melekat di akhir kata mana, memberikan efek

penegasan pertanyaan. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tanya banyak

macamnya, seperti kalimat tanya yang membutuhkan jawaban Ya atau

Tidak, kalimat tanya yang membutuhkan jawaban berupa penjelasan

atau pemaparan, dan kalimat tanya retoris yang tidak membutuhkan

jawaban dari lawan bicaranya.

Dengan demikian, jika dilihat berdasarkan karakteristiknya,

kalimat “Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu

(manusia) dan kamu (jin) dustakan?”, termasuk ke dalam jenis

kalimat tanya retoris, yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat

tersebut, merupakan salah satu bentuk komunikasi Allah dengan

makhlukNya secara tidak langsung. Artinya, Allah tidak langsung

236Imam Jalaluddin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemahan Tafsir Jalalain

Berikut Asbaabun Nuzuul, Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., (Bandung:

Sinar Baru Algensindo, 1999), Cet. IV, h. 2339.

102

berhadapan dengan makhlukNya, yaitu jin dan manusia, tetapi melalui

firmanNya dalam Alquran surah Ar-Rahman. Kalimat tersebut, bukan

berarti mengharapkan makhlukNya untuk menjawab seperti nikmat

yang ini dan nikmat yang itu, melainkan supaya timbulnya rasa

mengakui dalam hati dan menyadari bahwa benar nikmat yang telah

diberikan Allah begitu melimpah, tidak ada satupun yang luput dari

nikmatNya. Maka, dengan timbulnya rasa tersebut, membuat

makhlukNya menjadi tidak mengingkari nikmat-nikmat yang telah

Allah berikan, sehingga terhindar dari kufur nikmat.

Lebih lanjut, mengenai pemaparan tentang nikmat-nikmat Allah

dalam surah Ar-Rahman, Muhammad Quraish Shihab memaparkan

bahwa di dalam surah Ar-Rahman, Allah menyampaikan berbagai

nikmat di dunia dan di akhirat. Hampir pada setiap dua nikmat yang

disampaikan Allah, Alquran mengulangi satu pertanyaan dengan

redaksi yang sama. Ayat tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang

manakah yang kamu dustakan?” Pertanyaan itu, diulang sebanyak 31

kali. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di

dunia, tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman dan siksa neraka di

akhirat, delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang

diperoleh di dalam surga pertama, dan delapan pertanyaan berkaitan

dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga ke dua.237

Meskipun kalimat yang diulang tersebut tidak membutuhkan

jawaban dari makhlukNya, namun disunahkan untuk membaca Lâ

bisyai‟in minni ՙ amika rabbanâ nukażżibu falakal-ẖ amdu, setelah

mendengar atau membaca Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân. Hal

tersebut dijelaskan pula dalam kitab tafsir Jalalen. Pada tafsir Al

Bayan II, juga dipaparkan mengenai hal tersebut. Prof. TM Hasbi Ash

Shiddieqi memaparkan,

Diriwayatkan oleh At-Turmudzy dari Jarir, bahwa pada suatu hari

di madinah, Nabi menemui shahabat-shahabat beliau, lalu

237Shihab, Loc. Cit., h. 231.

103

membaca surat Ar-Rahman ini dari awal sampai ke akhirnya

mereka semuanya berdiam diri; karena itu, Nabi bersabda: Aku

telah membaca surat itu kepada jama‟ah jin pada malam hari.

Diwaktu dibacakan: “Fabiayyi„alaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan”,

mereka menjawab dengan perkataan mereka: “Laa bi syi-in min

ni‟amika rabbanaa nukadzdzibu falaka-l-hamdu = tak ada sesuatu

ni‟mat Engkau, kami dustakan; untuk engkaulah segala puji.”238

Dengan demikian, apabila setelah mendengar atau membaca

Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, disunahkan untuk membaca Lâ

bisyai‟in minni amika rabbanâ nukażżibu falakal-ẖ amdu. Mengenai

penggunaannya yang diulang-ulang, tentu menarik banyak perhatian.

Kita sebagai makhlukNya, tidak bisa menanyakan alasan mengapa

kalimat tersebut diulang-ulang kepada Allah. Namun, kita boleh

menanyakan pertanyaan tersebut kepada manusia yang mampu

menjawabnya.

Lebih lanjut, Bachtiar Surin memaparkan bahwa ayat yang

diulang sebanyak 31 kali ini, gunanya untuk lebih memantapkan

keimanan kepada Allah Yang Maha Rahman. Kemudian, beliau

memaparkan juga bahwa cara mengulang-ngulang kalimat seperti ini

seringkali terjadi pemakaiannya dalam percakapan orang Arab.

Misalnya, si A sudah banyak berbuat kebaikan kepada si B. Namun, si

B selalu memungkirinya. Lalu si A berkata: “Kamu tadinya tidak

mempunyai pakaian, lalu aku beri. Apakah kamu memungkirinya?

Juga tadinya kamu tidak mempunyai sepatu, lalu aku memberimu

sepatu juga. Apakah kamu memungkirinya lagi? Tadinya kamu tidak

mempunyai uang, lalu aku memberimu uang. Apakah kamu masih

memungkirinya?” Pertanyaan tersebut berlanjut sampai seterusnya

agar si mukhatab (orang yang diajak bicara) mengakui semuanya.

Begitupun pada kalimat yang diulang sebanyak 31 kali ini. Kalimat

tersebut ditujukan kepada jin dan manusia.239

238Ash Shiddieqy, Op. Cit., h. 1309.

239

Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Firma

Sumatra, 1978), h. 873.

104

2) Segi Semantik

Adapun secara semantik, kalimat Fabiayyi âlâirabbikumâ

tukażżibân, tersusun atas rangkaian kata yang masing-masing

mempunyai makna. Berikut penulis paparkan makna-makna tersebut

berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.240

Kata Makna

Fabiayyi maka yang manakah

Âlâi Nikmat

Rabbikumâ Tuhan kalian berdua

Tukażżibân yang akan kalian dustakan

Kumâ dalam rabbikumâ, merupakan bentuk tatsniyah dari ka.

Adapun tatsniyah, menunjuk kepada dua, dalam hal ini adalah jin dan

manusia. H. B. Jassin lebih memilih kata karunia untuk kata âlâi

dibanding dengan kata nikmat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

kata karunia bermakna kasih; belas kasih; pemberian atau anugerah

dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah,241

sedang kata nikmat bermakna enak; lezat; merasa puas; senang;

pemberian atau karunia (dari Allah).242

H. B. Jassin memilih kata

karunia untuk mempertahankan persamaan dan keindahan bunyi,

yaitu bunyi vokal [a], sedang kata nikmat, diakhiri dengan bunyi [t].

Adapun bunyi yang dominan pada setiap kata yang membentuk

kalimat tersebut adalah bunyi [a]. Oleh karena itu, untuk

mempertahankan kesenadaan dan keindahan bunyi, H. B. Jassin

memilih kata karunia yang memiliki bunyi akhir [a].

240Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1059.

241

Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 629.

242

Ibid., h. 962.

105

3) Perbandingan dengan Terjemahan Lain

Berikut merupakan perbandingan terjemahan H. B. Jassin dengan

terjemahan lain.

H. B. Jassin Departemen Agama

Republik Indonesia

Mahmud Yunus

Maka karunia

manakah dari

Tuhanmu, Yang kamu

(manusia) dan kamu

(jin) dustakan?

Maka nikmat Tuhan

kamu yang manakah

yang kamu

dustakan?243

Maka nikmat

Tuhanmu yang

manakah kamu

dustakan, (hai

manusia dan

jin)?244

Pada ketiga terjemahan tersebut, perbedaan terletak pada segi

diksi, yaitu nikmat dan karunia. Selain itu, perbedaan juga terletak

pada segi susunan kata yang membangun kalimat tersebut.

4) Segi Pragmatik

Secara pragmatik, kalimat “Maka karunia manakah dari

Tuhanmu, Yang kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan?”

mengandung makna atau mengisyaratkan agar makhlukNya (jin dan

manusia) mengakui atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dan

tidak melakukan perbuatan kufur nikmat, yaitu mengingkari dan

mengelak terhadap nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dan tidak

bersyukur atas semua itu. Secara tidak langsung, Allah menyatakan

kepada makhlukNya bahwa tidak ada seorang pun dari makhluk-

makhlukNya yang tidak mendapatkan nikmat dari Allah. Semuanya

telah diberikan nikmat-nikmat yang begitu melimpah, bahkan Allah

memaparkan bahwa kelak di akhirat pun, makhluk-makhlukNya yang

243Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit., h. 885.

244

Mahmud Yunus, Tafsir Qurän Karim, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004), Cet. 73., h.

793.

106

beriman dan bertakwa, akan mendapatkan nikmat-nikmat yang luar

biasa. Allah menunjukkan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Pemurah.

Maka, jangan sekali-kali mengingkari nikmat-nikmat yang telah

diberikanNya.

Selain pada terjemahan ayat-ayat di atas, gaya bahasa repetisi

juga terdapat pada terjemahan ayat ke-17, 56 dan 74, 48, 50, 52, 66,

68, dan ayat ke-78. Secara umum, pengulangan tersebut dilakukan

sebagai bentuk penekanan, penegasan, dan penguatan, baik dalam hal

ketuhanan yang merajai kedua Timur dan Barat (ayat ke-17),

persoalan bidadari yang suci dan belum terjamah oleh jin dan manusia

(ayat ke-56 dan 74), nikmat-nikmat di dalam kedua surga (48, 50, 52,

56, 66, 68), maupun derajat keagungan dan kemualiaan Allah yang

penuh dan tidak sedikit-sedikit atau setengah-setengah (ayat ke-78).

Secara umum, pengulangan yang dilakukan, berfungsi sebagai bentuk

penekanan, penegasan, dan penguatan, baik terhadap makna maupun

terhadap hal-hal yang Allah bicarakan, seperti persoalan nikmat-

nikmat yang telah Allah berikan dan siapkan kelak di surga. Selain itu,

pengulangan juga berfungsi sebagai bentuk keindahan dalam

menyusun serangkaian kata, menjaga irama, dan mencapai efek

keindahan yang luar biasa.

5. Paralelisme

Seperti yang telah dipaparkan dalam landasan teori mengenai

jenis-jenis gaya bahasa, paralelisme merupakan salah satu gaya bahasa

yang dihasilkan dengan usaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian

kata-kata yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk

gramatikal yang sama. Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat

ayat-ayat yang mengandung paralelisme, di antaranya adalah ayat ke-

17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan 78.

107

a. Terjemahan ayat ke-41

Terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-41 yaitu, “Orang-

orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, Dan mereka

akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya”.245

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa

paralelisme yaitu pada fungsi predikat menggunakan frasa verba

akan dikenal dan akan dicekam. Kedua frasa yang menduduki

fungsi predikat tersebut, sama-sama berbentuk frasa verba,

dengan prefiks di- sebagai ciri pasif dari masing-masing verba

tersebut. Di sini terlihat bahwa H. B. Jassin mencoba untuk

melakukan kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang

digunakan dalam terjemahannya, yaitu dengan memilih frasa

verba bentuk pasif dalam satu kalimat yang dihubungkan dengan

menggunakan konjungsi dan. H. B. Jassin mencoba

menggabungkan dua klausa dengan menggunakan bentuk kata

yang sama, yaitu kata kerja bentuk pasif, tidak yang satu pasif dan

satunya lagi aktif. Dengan demikian, kalimat dalam terjemahan

tersebut termasuk ke dalam jenis gaya bahasa paralelisme.

1) Segi Sintaksis

Ditinjau secara sintaksis, kalimat terjemahan tersebut

merupakan bentuk kalimat majemuk setara penjumlahan, karena

dibangun oleh dua klausa yang sederajat dan dihubungkan dengan

menggunakan konjungsi dan. Frasa Orang-orang durjana

menduduki fungsi subjek, frasa Akan dikenal menduduki fungsi

predikat, frasa pada tanda-tandanya menduduki fungsi

keterangan, kata dan sebagai konjungsi penjumlahan, kata mereka

menduduki fungsi subjek, frasa akan dicekam menduduki fungsi

245Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 751.

108

predikat, dan frasa pada ubun-ubun dan kaki-kakinya menduduki

fungsi keterangan.

Orang-orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, dan

S P Keterangan Konjungtor

mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya

S P Keterangan

Terlihat dengan jelas, bahwa fungsi sintaksis dalam kalimat

terjemahan tersebut lebih dari satu, masing-masing fungsi ada

dua, jadi merupakan jenis kalimat majemuk setara yang dibangun

atas dua klausa yang sederajat, dan dihubungkan dengan

konjungsi dan. Frasa akan dikenal dan akan dicekam, di sini

terlihat sama-sama menduduki fungsi predikat dalam kedua

klausa yang membangun kalimat terjemahan tersebut. Hal

tersebut, merupakan bentuk kesejajaran dalam pemakaian kata-

kata, sekaligus penekanan kata-kata yang dianggap penting,

seperti akan dikenal dan akan dicekam.

2) Segi Semantik

Sementara itu, ditinjau dari segi semantiknya, konstituen-

konstituen yang membangun ayat ke-41, masing-masing

mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-

makna tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great

Miracle.246

Kata Makna

yu„rafu diketahui atau dikenal

Al-Mujrimûna orang-orang yang berdosa

Bisîmâhum dengan tanda-tanda mereka

fayu‟khażu lalu dipegang atau diambil

Binnawâsî dengan ubun-ubun

246Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063.

109

Walaqdâmi dan kaki-kakinya.

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi “Orang-orang yang berdosa akan

dikenal melalui tanda-tandanya, lalu akan dipegang ubun-ubun

dan kaki-kakinya”. Adapun maksud dari ayat tersebut, dijelaskan

dalam Al-Qur‟an The Great Miracle yaitu orang-orang yang

berdosa akan dikenal dengan tanda-tanda di wajah mereka,

bermuka gelap dan bermata juling, lalu malaikat akan mencekam

ubun-ubun dan kaki-kakinya dan melemparkannya ke neraka.247

3) Segi Pragmatik

Adapun secara pragmatik, terjemahan ayat tersebut

mengisyaratkan agar makhluk-makhluk Allah senantiasa

melakukan kebaikan, mempunyai rasa takut, dan bertaubat

kepadaNya, atas dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidup di

dunia. Selain itu, terjemahan ayat tersebut juga merupakan sebuah

pernyataan sekaligus peringatan kepada makhluk-makhlukNya

bahwa orang-orang berdosa, kelak di akhirat akan disiksa dengan

siksaan yang amat pedih.

Kekonsistenan H. B. Jassin mengambil bentuk yang sama

dalam satu kontruksi kalimat adalah langkah yang lebih baik,

daripada memilih bentuk yang tidak sama dalam satu konstruksi

kalimat. Artinya, dengan pemilihan bentuk yang sama,

menyebabkan terciptanya kesamaan dan kesetaraan dalam

pemakaian bentuk kata-kata yang membangun satu kalimat.

Dengan demikian, terciptalah gaya bahasa paralelisme.

Pemaparan mengenai gaya bahasa paralelisme tadi, mewakili

gaya bahasa paralelisme yang ada pada terjemahan surah Ar-

Rahman pada ayat lain, yang telah disebutkan di atas. Kesejajaran

247Ibid., h. 1064.

110

dalam pemakaian kata-kata, ada yang disajikan dengan

menggunakan prefiks ber- (berbaring dan bergantung) pada

terjemahan ayat ke-54, frasa preposisional seperti di langit dan di

bumi pada terjemahan ayat ke-29, afiks ke-an (keagungan dan

kemuliaan) pada ayat ke-78, prefiks ke- (kedua) pada terjemahan

ayat ke-17, menggunakan bentuk dasar (kata agung dan mulia)

pada ayat ke-27, bentuk dasar juga terdapat pada (kata jin dan

insan) ayat ke-31, bentuk dasar (kata jin dan manusia) dan prefiks

me- (menembus) pada ayat ke-33, dan pada ayat ke-35 dan 39,

yang mempunyai kesejajaran yang sama, melalui penggunaan

bentuk dasar dan pemilihan kata yang sama. Adapun konjungsi

yang dipakai untuk menggabungkan serangkaian kata dalam

terjemahan adalah dan.

Meski gaya bahasa paralelisme terdapat pada ayat yang

berbeda-beda dan dalam kesejajaran bentuk kata yang berbeda

pula, namun memiliki fungsi yang sama. Adapun fungsi dari gaya

bahasa paralelisme adalah untuk menciptakan kesejajaran

pemakaian kata-kata, menciptakan kerapian dalam pemakaian

kata, dan menekankan atau menonjolkan kata-kata yang penting

dalam sebuah konstruksi yang sama. Keputusan H. B. Jassin

dalam memilih dan menggunakan kesejajaran dalam pemakaian

kata-kata, tidak menyebabkan terjadinya pelencengan makna dari

makna yang dikandung ayat.

6. Elipsis

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, juga terdapat gaya bahasa

elipsis, yaitu berupa penghilangan kata atau serangkaian kata pada

sebuah kalimat. Kata yang dihilangkan tersebut, akan dengan mudah

ditebak dan diisi oleh pembaca atau pendengar. Gaya bahasa tersebut,

terdapat pada terjemahan ayat ke-3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 58, 68, 70,

72, dan 74.

111

a. Terjemahan ayat ke-3

Terjemahan ayat ke-3. yaitu, “Menciptakan insan”.248

1. Segi Sintaksis

Menciptakan insan

P O

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat satu unsur kalimat

yang dihilangkan, yaitu unsur yang menduduki fungsi subjek.

Subjek dalam kalimat tersebut yaitu Allah. Kata Allah sebagai

subjek dari predikat kata menciptakan tidak hadir. Sementara

pada terjemahan tersebut, hanya terlihat kata menciptakan

yang menduduki fungsi predikat dan kata insan yang

menduduki fungsi objek. Walaupun kehadiran Allah sebagai

subjek dihilangkan, pembaca dapat dengan mudah mengisi

kekosongan tersebut, karena semua sudah mengetahui bahwa

Sang Maha Pencipta adalah Allah, termasuk menciptakan

insan. Hal tersebut sama seperti dalam situasi seorang guru

yang bertanya nama lengkap kepada murid barunya, dengan

mengatakan, “Siapa nama lengkapmu, Nak?”, kemudian siswa

barupun menjawab, “Laila Nurjannah”. Pada jawaban siswa

baru tersebut, terdapat kata-kata yang dihilangkan sebelum

kata Laila Nurjannah, yaitu frasa nama saya. Tanpa dihadirkan

pun, pembaca dapat dengan mudah mengisi bagian yang tidak

ada dan dapat dengan mudah memahaminya, bahwa nama

siswa baru tersebut adalah Laila Nurjannah. Penghilangan

kata-kata, biasanya dapat kita temukan pada komunikasi lisan

dan tulisan. Adapun penghilangan tersebut biasanya dilakukan

untuk membuat kalimat terlihat lebih simpel.

Pada ragam tulis, gaya bahasa elipsis ada yang ditandai

dengan tanda titik tiga (...), yang menunjukkan bahwa ada

248Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.

112

unsur kalimat yang dihilangkan, yang dapat dengan mudah

diisi oleh si pembaca. Sementara itu pada ragam lisan, gaya

bahasa elipsis ditandai dengan pemberhentian pembicaraan,

seperti adanya jeda dan dengan penyebutan akhir kata yang

dipanjangkan. Adapula yang tidak menyebutkan unsur kalimat

yang sebenarnya sudah diketahui dan dapat dengan mudah

diisi dan dipahami oleh lawan tuturnya.

2. Perbandingan dengan Terjemahan Lain

Jika kita bandingkan dengan terjemahan Departemen

Agama Republik Indonesia, dan Mahmud Yunus, akan

nampak seperti berikut ini.

H. B. Jassin Departemen

Agama Republik

Indonesia

Mahmud

Yunus

Menciptakan insan Dia menciptakan

manusia249

Telah

menjadikan

insan

(manusia)250

Pada terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia,

subjek terlihat hadir dalam kalimat, yaitu berupa pronomina

Dia yang merujuk kepada Allah. Sementara itu, pada

terjemahan Mahmud Yunus, sama seperti terjemahan H. B.

Jassin, terdapat penghilangan subjek yaitu Allah. Diksi yang

digunakan ketiga terjemahan tersebut berbeda.

b. Terjemahan ayat ke-4

Terjemahan ayat ke-4 yaitu, “Diajari-Nya fasih perkataan”.251

249Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit., h. 885.

250

Yunus, Tafsir Qurän Karim, Op. Cit., h. 792.

251

Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 749.

113

1. Segi Sintaksis

Diajari-Nya fasih perkataan

P S Pelengkap

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat penghilangan

unsur kalimat yang menduduki fungsi objek, yaitu kata

manusia sebagai makhluk yang diajarkan fasih perkataan oleh

Allah. Allah dalam kalimat tersebut diganti dengan pronomina

–Nya, yang menduduki fungsi subjek, sedang fasih perkataan

menduduki fungsi pelengkap. Meski kata manusia sebagai

objek yang diajari fasih perkataan dihilangkan, pembaca dapat

dengan mudah mengisi unsur yang dihilangkan tersebut dan

memahaminya. Ayat ini menerangkan kepada kita, bahwa

Allah telah mengajarkan manusia kemampuan berbicara. Lebih

lanjut, Al-Hasan mengatakan,

Yang dimaksudkan dengan al-bayan ialah pengujaran, yaitu

membaca Al-Qur‟an. Pembacaan itu dengan memudah-kan

pengujaran kepada hamba-hamba-Nya dan memudahkan

dalam mengartikulasikan huruf-huruf dari daerah

artikulator, yaitu tenggorokan, lidah, dan bibir sesuai

dengan keragaman artikulasi dan jenis hurufnya.252

2. Segi Semantik

Semenetra itu, jika kita ditinjau dari segi semantiknya,

konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, masing-

masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis paparkan

berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.253

Kata Makna

aՙ llamahu dia mengajarkannya

Al-bayâna pandai berbicara

252Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj.

dari Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 oleh Syihabuddin, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2000), h. 540.

253

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059.

114

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat

bahasa Indonesia, maka menjadi Dia mengajarkannya

(manusia) pandai berbicara. Hu pada kata aՙ llamahu

merupakan domir yang merujuk pada Al-insâna yang

bermakna manusia pada ayat ke-3. Penulisan pronomina –Nya

pada terjemahan H. B. Jassin merujuk kepada Allah bukan

manusia, sedang penulisan pronomina -nya barulah merujuk

kepada manusia. Pembahasan mengenai gaya bahasa elipsis

pada terjemahan ayat ke-3 dan 4, telah mewakili terjemahan

ayat yang lainnya, yang menghilangkan kata atau serangkaian

kata agar terlihat lebih simpel.

7. Apofasis

Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-33, terdapat gaya

bahasa apofasis. Gaya bahasa apofasis merupakan suatu gaya bahasa

yang dihasilkan dengan cara menggambarkan pernyataan penulis atau

pengarang yang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.

Bisa juga dikatakan bahwa penulis atau pengarang berpura-pura

membiarkan sesuatu berlalu tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.

Hal tersebut dapat kita lihat pada terjemahan ayat ke-33. Adapun

terjemahan tersebut yaitu,

“Hai kumpulan jin dan manusia! Jika sanggup kamu menembus

keluar Dari daerah-daerah langit dan bumi, tembuslah! Tiada kamu

sanggup menembus(nya), Tanpa kekuasaan (kami)”.254

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa apofasis, di

mana Allah menyatakan bahwa jika jin dan manusia sanggup

menembus keluar dari daerah-daerah langit dan bumi, maka

tembuslah! Sesungguhnya jin dan manusia tidak akan mampu

254Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.

115

menembusnya tanpa kekuasaan Allah. Allah menegaskan sesuatu

sekaligus menyangkalnya. Membiarkan suatu pernyataan dan perintah

diberitahukan, bahwa manusia dan jin Allah perintahkan untuk

menembus daerah-daerah langit dan bumi jika mereka sanggup.

Mengapa Allah memerintah dan membiarkan jin dan manusia

menembus daerah langit dan bumi? Karena sesungguhnya Allah Maha

mengetahui bahwa mereka tidak akan dapat menembusnya kecuali

dengan kekuasaan Allah. Di sini Allah membiarkan sesuatu terjadi

tetapi menyangkalnya. Membiarkan manusia dan jin menembus

daerah langit dan bumi, tetapi sekaligus menyangkalnya bahwa

mereka sesungguhnya tidak akan mampu melakukan semua itu.

Hanya Allahlah Yang Maha Kuasa.

Secara pragmatik, kalimat “Hai kumpulan jin dan manusia! Jika

sanggup kamu menembus keluar Dari daerah-daerah langit dan bumi,

tembuslah! Tiada kamu sanggup menembus(nya), Tanpa kekuasaan

(kami)”, sesungguhnya bukan memerintah dalam arti memerintah

yang sebenarnya, tetapi merupakan isyarat dan penegasan bahwa

makhlukNya (jin dan manusia) itu lemah, tidak mempunyai kekuatan

apapun untuk menembus daerah langit dan bumi, karena hanya

Allahlah Yang Mahakuasa. Sesuatu apapun tidak akan terjadi tanpa

izinNya. Maka, Allah menegaskan kepada makhluk-makhluknya

jangan sekali-kali mencoba menembus daerah langit dan bumi, karena

tidak akan mampu tanpa kekuasaanNya. Allah memerintah,

menyangkal dan menegaskan sesuatu dalam ayat ini. Hal tersebut

merupakan bentuk dari gaya bahasa apofasis.

8. Asindeton

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

asindeton, yaitu gaya bahasa yang dihasilkan dengan menyajikan

beberapa kata yang sederajat, dengan tidak menggunakan kata

penghubung. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah

116

Ar-Rahman ayat ke-24, 54, dan 78. Bentuk penggunaan gaya bahasa

tersebut, akan penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-78. Kedua

terjemahan ayat tersebut, dapat mewakili penggunaan gaya bahasa

pada terjemahan ayat ke-24 dan 54. Adapun terjemahan ayat ke-78

yaitu,

“Terpujilah nama Tuhanmu, Penuh Keagungan, penuh

Kemuliaan”.255

Frasa penuh keagungan dan penuh kemuliaan, merupakan dua

buah frasa yang sederajat, tetapi tidak dihubungkan dengan

menggunakan kata penghubung, melainkan dengan tanda koma (,).

Padahal, dalam kata walikrâmi yang bermakna dan kemuliaan,

terdapat huruf w (dalam struktur kalimat bahasa Arab sebagai salah

satu huruf a„ţaf yang berfungsi untuk menghubungkan kata atau

susunan kata). Pada struktur kalimat bahasa Indonesia, huruf a„ţaf

tersebut adalah kata hubung (konjungsi) bermakna dan. Maka,

walikrâmi bermakna dan kemuliaan.

1) Segi Semantik

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

menyusun ayat ke-78, masing-masing mengandung makna

tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut,

berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.256

Kata Makna

Tabâraka Mahasuci

Ismu Nama

Rabbika Tuhan kamu

Żî Pemilik

255Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 754.

256

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1065.

117

Aljalâli Keagungan

Walikrâmi dan kemuliaan.

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi Mahasuci nama Tuhanmu pemilik

keagungan dan kemuliaan. Setelah melihat makna- makna yang

menyusun ayat ke-78, maka terlihat jelas bahwa dari makna

tersebut, tidak ada kata yang mengandung makna penuh,

begitupun kata walikrâmi bermakna dan kemuliaan bukan penuh

kemuliaan, sedang H. B. Jassin menerjemahkannya dengan penuh

kemuliaan bukan dan kemuliaan. H. B. Jassin menghilangkan

makna wa yang bermakna dan pada kata walikrâmi dan

menggantinya dengan kata penuh. Padahal, wa bukan bermakna

penuh. Dengan demikian, H. B. Jassin tidak menggunakan kata

penguhubung dalam menghubungkan kata-kata yang sederajat,

melainkan menggantinya dengan menggunakan tanda koma (,).

Hal tersebut, jelas merupakan bentuk dari gaya bahasa asindeton.

Terkait dengan ayat ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi menyatakan,

Ayat ini merupakan pengajaran dari Allah SWT. Kepada

hamba-hambaNya, bahwa semua ini adalah termasuk rahmat-

Nya. Karena Dia telah menciptakan langit dan bumi, surga dan

neraka, serta mengazab orang-orang yang bermaksiat serta

memberi pahala kepada orang-orang yang taat. Dan dengan

karuniaNya Dia menganugerahkan kepada mereka apa-apa

yang tak pernah dilihat oleh mata, tak pernah di dengar oleh

telinga dan tak pernah terlintas pada hati seorang manusia

pun.257

Pembahasan mengenai gaya bahasa asindeton pada

terjemahan ayat ke-78, mewakili gaya bahasa asindeton pada

terjemahan ayat-ayat yang lain.

257Al-Maragi, Op. Cit., h. 227.

118

9. Polisindeton

Gaya bahasa polisindeton terdapat pada terjemahan ayat ke- 33

dan 35. Pada pembahasan ini, penulis akan membahasnya melalui

terjemahan ayat ke-35, yang dapat mewakili gaya bahasa polisindeton

pada terjemahan ayat ke-33. Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat

ke-35, terdapat gaya bahasa polisindeton, yaitu beberapa kata, frasa,

atau klausa dihubungkan dengan menggunakan konjungsi.

Terjemahan ayat ke-35 yaitu,

“Kepada kamu (jin) dan kamu (manusia) Dilepaskan nyala api dan

cairan tembaga. Maka tiadalah kamu dapat membela diri”.258

Frasa kamu jin, kamu manusia, nyala api dan cairan tembaga,

dihubungkan dengan menggunakan konjungsi, tidak menggunakan

tanda koma (,). Gaya bahasa ini merupakan kebalikan dari gaya

bahasa asindeton.

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna

tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan

pada Al-Qur‟an The Great Miracle.259

Kata Makna

Yursalu akan dikirimkan

a„laikumâ atas kalian berdua

Syuwâťun Nyala

Minnâri dari api

wanuẖ âsun dan cairan temabaga

Falâ maka tidak

Tantaşirâni kalian berdua menyelamatkan

diri

258Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.

259

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle , Op. Cit., h. 1061.

119

Pada terjemahannya, H. B. Jassin menghubungkan frasa kamu jin

dan kamu manusia dengan menggunakan kata hubung dan, meskipun

pada kata a„laikumâ yang bermakna kepada kamu berdua, tidak ada

kata dan, sedang H. B. Jassin menerjemahkannya lebih jelas dan rinci

kata a„laikumâ, yaitu bermakna kepada kamu jin dan kamu manusia.

Begitupun pada frasa nyala api dan cairan tembaga, H. B. Jassin

menggunakan kata hubung dan untuk menghubungkan frasa-frasa

tersebut, tidak menggunakan tanda koma (,) seperti nyala api, cairan

tembaga. Jadi, dengan jelas H. B. Jassin pada terjemahan ayat ini

menggunakan gaya bahasa polisindeton.

10. Pleonasme

Pleonasme merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan

menggunakan kata-kata secara berlebihan. Jika kata-kata yang

berlebihan itu dihilangkan, makna yang terkandung dalam kalimatnya

tetap utuh. Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

pleonasme, di antaranya adalah pada ayat ke-12, 37, 44, 66, dan 72.

Untuk mewakili pembahasan mengenai bentuk gaya bahasa

pleonasme pada ayat-ayat tadi, penulis akan memaparkan gaya bahasa

tersebut pada terjemahan ayat ke-12. Adapun terjemahan ayat ke-12

yaitu,

“Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum

baunya”.260

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa pleonasme

pada serangkaian kata yang harum baunya. Penggunaan kata-kata

tersebut jelas berlebihan, karena dengan menghadirkan kata harum

saja, tanpa menghadirkan kata baunya, kalimat tersebut tetap

mempunyai makna yang utuh.

260Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.

120

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna

tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan

pada Al-Quran The Great Miracle.261

Kata Makna

walẖ abbu dan biji-bijian

Żû yang mempunyai

Al„aşfi kulit,

warraiẖ ânu dan tumbuh-tumbuhan yang

harum

Secara umum, penggunaan kata-kata yang berlebihan pada

terjemahan adalah untuk menambah efek suasana, baik ketika Allah

memaparkan bahwa ia telah meratakan bumi dengan berbagai isinya

seperti biji-bijian dan tumbuhan yang harum (ayat ke-12), langit

terbelah (pada ayat ke-37), keadaan atau siksaan orang durjana yang

mengelilingi neraka jahanam (ayat ke-44), dua mata air yang

memancar di dalam kedua surga (ayat ke-66), maupun bidadari-

bidadari surga yang dipingit di rumah (ayat ke-72). Kata-kata seperti

baunya setelah kata harum (harum baunya) pada ayat ke-12, kata

pecah sebelum kata terbelah (pecah terbelah) pada ayat ke-37, kata

berputar sebelum kata berkeliling-keliling (berputar berkeliling-

keliling) pada ayat ke-44, kata berlimpahan setelah kata memancar

(memancar berlimpahan) pada ayat ke-66, kata peranginan setelah

kata rumah (rumah peranginan) pada ayat ke-72, kata-kata yang

bercetak tebal tersebut, tidak dikandung dari masing-masing makna

kata yang membangun ayat-ayat tersebut, seperti kata yaţûfûna

bermakna mereka akan berkeliling, bukan berputar berkeliling-

keliling (pada ayat ke-44), nađđâkhatâni bermakna keduanya

memancarkan (air) bukan memancar berlimpahan (pada ayat ke-66),

261Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle , Op. Cit., h. 1059.

121

dan filkhiyâmi bermakna dalam kemah-kemah bukan rumah

peranginan (pada ayat ke-72).

Dengan demikian, pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas

terdapat gaya bahasa pleonasme, yang digunakan H. B. Jassin untuk

menggambarkan dan memeroleh efek suasana yang menegangkan,

menakutkan (pada saat terbelahnya langit dan siksaan bagi orang

durjana) dan suasana keindahan surga yang membahagiakan, agar

tercipta suasana penggambaran yang hidup, yang membuat para

pembacanya seolah ikut melihat, merasakan, dan terhanyut dalam

cerita penggambaran terjadinya hari kiamat, siksa neraka, dan nikmat

surga. Sehingga, para pembaca menjadi takut dan sekaligus mejadi

senang.

11. Tautologi

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

tautologi, yaitu pada ayat ke-64. Terjemahan ayat ke-64 yaitu, “Hijau

tua warnanya (Karena daun yang rimbun)”.262

Pada terjemahan tersebut, terdapat penggunaan kata yang

berlebihan yaitu kata warnanya, yang sebenarnya mengulang dari

gagasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kata hijau. Kata

hijau, sudah tentu menunjukkan warna. Jadi, tanpa kehadiran kata

warna pun, kata hijau sudah pasti menunjukkan warna.

a. Segi Sintaksis

Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)

P S

Kalimat Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)

terdiri atas beberapa fungsi, yaitu frasa hijau tua menduduki fungsi

predikat, sedang kata warnanya menduduki fungsi subjek. Secara

262Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 753.

122

semantik, kata mudhâmmatâni bermakna keduanya hijau tua.

Adapun yang dimaksud hijau tua di sana adalah keadaan kedua

surga. Terlihat jelas, bahwa dalam konstituen yang membangun

kalimat tersebut, tidak ada kata warnanya, sebab hijau sudah

menunjukkan warna. Jadi, penggunaan kata warna sebaiknya

dihilangkan saja, agar tidak menimbulkan penggunaan kata yang

mengulang gagasan yang telah disebutkan sebelumnya. Tanpa

kehadiran kata warna pun, pembaca sudah dapat memahami bahwa

hijau tua adalah warna kedua suga.

12. Klimaks

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa klimaks

yang dihasilkan dengan cara menyajikan serangkaian kata menuju

pada pokok pembicaraan yang memiliki kepentingan lebih tinggi

dibanding serangkaian kata sebelumnya. Adapun gaya bahasa

tersebut, terdapat pada terjemahan ayat ke-33 dan 44. Namun, penulis

hanya akan membahas gaya bahasa klimaks pada ayat ke-44, yang

dapat mewakili terjemahan ayat ke-33. Terjemahan ayat ke-44 yaitu,

“Di tengah-tengahnya Dan di tengah air panas mendidih, Mereka

berputar berkeliling-keliling!”.263

a. Segi Sintaksis

Klausa Mereka berputar berkeliling-keliling, mempunyai

tingkat kepentingan yang lebih tingggi dibanding sebelumnya,

karena sebelumnya merupakan keterangan yang menjelaskan

bahwa mereka (orang-orang durjana) akan berkeliling-keliling di

tengah neraka jahanam. Frasa di tengah-tengahnya dan klausa dan

di tengah air panas mendidih, menduduki fungsi keterangan, yang

menunjukkan tempat. Kata mereka, menduduki fungsi subjek,

263Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 751.

123

sedang frasa berputar berkeliling-keliling, menduduki fungsi

predikat. Jadi, kata-kata yang menduduki fungsi subjek dan

predikat, merupakan inti pembicaraan, yang memiliki tingkat

kepentingan yang lebih tinggi di banding dengan serangkaian kata

sebelumnya. Serangkaian kata yang menduduki fungsi keterangan,

berada mendahului subjek dan predikatnya, sehingga seolah

serangkaian kata yang menduduki fungsi keterangan tersebut

menjadi subjeknya. Dengan demikian, pada terjemahan kalimat

tersebut, terdapat gaya bahasa klimaks, karena menyajikan

serangkaian kata menuju serangkaian kata yang tingkat

kepentingannya lebih tinggi.

b. Segi Semantik

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

menyusun ayat ke-44, masing-masing mengandung makna tertentu.

Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada

Al-Qur‟an The Great Miracle. 264

Kata Makna

Yatûfûna mereka akan berkeliling

Bainahâ di antaranya

Wabaina dan di antara

ẖ amîmin air mendidih

Ânin sangat panas

Bila makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi Mereka akan berkeliling di antaranya

dan di antara air panas yang mendidih. Pada struktur kalimat

bahasa Arab, terlihat dengan jelas bahwa susunan kata yang

memiliki tingkat kepentingan lebih tinggi diletakkan di awal

kalimat, yaitu subjek kata mereka dan predikat frasa akan

264Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063.

124

berkeliling ( dalam Arab yatûfûna). Sementara itu, H. B. Jassin

menempatkan lebih dulu keterangan di depan subjek dan

predikatnya. Padahal, dalam susunan konstituen-konstituen ayat

tersebut, subjek dan predikat diletakkan di awal, kemudian disusul

dengan keterangan.

c. Segara Pragmatik

Secara pragmatik, terjemahan ayat tersebut merupakan sebuah

pemberitahuan yang mengandung peringatan dan ancaman bagi

para pendosa, bahwa kelak di hari kiamat, mereka akan menjadi

penghuni neraka jahanam, yang airnya mendidih dan sangat panas.

Ini merupakan sebuah balasan bagi para pendosa di dunia.

13. Antiklimaks

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

antiklimaks, yaitu pada ayat ke-14, 24, 31, 37, 56. Gaya bahasa

antiklimaks, merupakan kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Pada

gaya bahasa antiklimaks, serangkaian kata disusun dari yang

mempunyai kepentingan lebih tinggi menuju kepentingan yang

rendah. Dengan demikian, yang menjadi pokok pembicaraan terletak

di awal kalimat. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut

melalui terjemahan ayat ke-24. Terjemahan ayat ke-24 yaitu,

“Kepunyaan-Nya bahtera-bahtera, Berlayar tinggi lintas lautan,

laksana gunung menjulang”.265

Pada terjemahan tersebut, yang menjadi pokok atau inti kalimat

adalah pembahasan bahwa Allah mempunyai bahtera-bahtera yang

berlayar tinggi. Hal tersebut dipaparkan pada bagian awal kalimat

hingga menuju bagian yang menerangkan bahtera-bahtera tersebut,

yaitu berupa pengibaratannya seperti gunung yang menjulang.

265Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.

125

Pengibaratan tersebut merupakan kalimat penjelas yang mendukung

serangkaian kata sebelumnya.

Secara semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-

24, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis

sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The

Great Miracle.266

Kata Makna

Walahu dan bagiNya

Al-jawâri kapal-kapal

Al-munsyaâtu yang tinggi (berlayar)

filbaẖ ri di lautan

kala„lâmi laksana gunung-gunung.

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi Dan baginya kapal-kapal yang berlayar

tinggi di lautan laksana gunung-gunung. Pada kalimat tersebut, dapat

dilihat bahwa klausa Dan baginya kapal-kapal yang berlayar tinggi di

lautan, memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi dibanding

laksana gunung-gunung. Pengibaratan tersebut, merupakan

serangkaian kata penjelas klausa inti di dalam kalimat terjemahan

tersebut.

14. Sinekdoke

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

sinekdoke, yaitu pada ayat ke-4, 10, 27, 37, 41, 56. Adapun gaya

bahasa sinekdoke yang ditemukan adalah sinekdoke pars pro toto.

Pada pembahasan ini, penulis hanya akan membahas bentuk

penggunaan gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-27, yang dapat

mewakili bentuk penggunaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto

266Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1061.

126

pada terjemahan ayat lain. Adapun terjemahan surah Ar-Rahman ayat

ke-27 yaitu,

“Tapi kekal (selama-lamanya) Wajah Tuhanmu, Agung dan Mulia”.267

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa sinekdoke

pars pro toto, yaitu menyatakan sebagian untuk keseluruhan. Pada

terjemahan tersebut, yang dimaksud dengan kata wajah, bukan berarti

wajah Allah yang kekal, tetapi zat Allah akan kekal selamanya beserta

sifat-sifatnya. Pada terjemahan ayat tersebut, H. B. Jassin juga

menggunakan catatan kaki untuk kata wajah, yang berarti kebesaran,

kemuliaan, dan keagungan Tuhan.

a. Segi Sintaksis

Ditinjau dari segi sintaksisnya, kata Tapi sebagai konjungtor,

frasa kekal (selama-lamanya) menduduki fungsi predikat, frasa

Wajah Tuhanmu menduduki fungsi subjek, dan frasa Agung dan

Mulia menduduki fungsi pelengkap.

b. Segi Semantik

Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituen-

konstituen yang membangun ayat ke-27, masing-masing

mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna

tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.268

Kata Makna

Wayabqâ dan tetap kekal

Wajhu wajah (zat)

Rabbika Tuhanmu

Żû Mempunyai

Al-jalâli kebesaran,

Walikrâmi dan kemuliaan

267Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc.Cit., h. 750.

268

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1061.

127

Setelah melihat terjemahan kata-kata tersebut, nampak bahwa

tidak ada kata yang bermakna tapi seperti yang ada pada

terjemahan H. B. Jassin. Adapun kata Al-jalâli dan walikrâmi

dalam gramatika Arab, berfungsi sebagai na„at (sifat) dari rabbika

yang berfungsi sebagai man„utnya (yang disifati).

c. Segi Pragmatik

Ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan tersebut

selain berupa pernyataan, juga mengandung makna yang

memberitahukan bahwa selain Allah, semua makhluk akan binasa.

Tidak ada satupun yang kekal dan dapat bertahan kecuali zat Allah

Yang Maha Agung dan Mulia. Dengan demikian, kata wajah bukan

berarti wajah Allah yang kekal, melainkan zat beserta sifat-sifatnya

yang kekal. Hal tersebut merupakan jenis gaya bahasa sinekdoke

pars pro toto.

15. Prolepsis

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

prolepsis, yaitu pada ayat ke-35, 41, 54, 76, dan 39. Berikut penulis

paparkan gaya bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-35.

Adapun terjemahan ayat ke-35 surah Ar-Rahman yaitu,

“Kepada kamu (jin) dan kamu (manusia) Dilepaskan nyala api dan

cairan tembaga. Maka tiadalah kamu dapat membela diri”.269

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa prolepsis,

berupa penggunaan serangkaian kata-kata yang membentuk kalimat,

dipaparkan sebelum peristiwa sebenarnya terjadi. Dalam Alquran,

semua kejadian yang akan datang, temasuk hari kiamat beserta nikmat

269 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.

128

bagi orang beriman dan bertakwa, dan siksaan bagi orang yang

berdosa, telah dipaparkan Allah dengan jelas. Peristiwa-peristiwa

tersebut, pasti akan terjadi. Ini merupakan pemberitahuan, sekaligus

peringatan kepada makhlukNya agar memilih jalan yang lurus, yaitu

jalan yang diridaiNya, jika ingin bahagia kelak di akhirat. Sebelum

hari itu tiba, Allah terlebih dahulu telah memaparkan peristiwa-

peristiwa tersebut di dalam Alquran, supaya makhlukNya dapat

mempersiapkan diri dengan beriman dan bertakwa kepadaNya. Pada

hari kiamat, Allah akan memberikan siksaan yang amat pedih bagi

makhlukNya yang durjana. Mereka pun tidak akan dapat membela diri

dan menghindar dari siksaan tersebut. Di antara siksaan tersebut

adalah akan dikeluarkannya nyala api dan cairan tembaga.

16. Erotesis

Gaya bahasa erotesis merupakan penggunaan sebuah kata tanya

yang kehadirannya tidak memerlukan jawaban, biasa juga disebut

sebagai retoris. Adapun pemaparan mengenai gaya bahasa tersebut,

penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-60. Terjemahan ayat ke-

60 surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia yaitu,

“Apakah ada balasan kebaikan selain kebaikan?”.270

Pada terjemahan tersebut, terdapat gaya bahasa erotesis, yaitu

penggunaan sebuah kata tanya yang kehadirannya tidak memerlukan

jawaban, melainkan jawaban itu sudah masing-masing diketahui

manusia. Berdasarkan pengetahuan manusia, bahwa tidak ada balasan

kebaikan selain kebaikan.

a. Segi Semantik

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang menyusun

ayat ke-60, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut

270Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 752.

129

penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an

The Great Miracle.

Kata Makna

Hal tidak ada

Jazâu balasan

Al-ihsâni kebaikan

Illâ kecuali

Al-ihsânu kebaikan

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi Tidak ada balasan untuk kebaikan selain

kebaikan. Kalimat tersebut, sesungguhnya tidak nampak seperti

kalimat tanya, meski ada haraf istifham (kata tanya dalam bahasa

Arab) yaitu kata hal yang berarti apakah. Pada Al-Qur‟an The Great

Miracle, kata hal dimaknai tidak ada bukan apakah. Sementara itu, H.

B. Jassin memaknainya dengan kata apakah, hingga terjemahan ayat

tersebut menjadi Apakah ada balasan kebaikan selain kebaikan?

Kalimat terjemahan H. B. Jassin tersebut merupakan bentuk kalimat

tanya retoris, yang tidak memerlukan jawaban, karena jawaban

tersebut masing-masing sudah diketahui atau sudah ada dalam diri

manusia, bahwa tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan.

Artinya, kebaikan pasti akan dibalas kebaikan pula.

Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan ayat tersebut, Ahmad

Mustafa Al-Maragi memaparkan bahwa menurut riwayat dari Anas

bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah pernah membaca Hal

Jaza‟ul Ihsani illal Ihsan, lalu bersabda, “Tahukah kamu apakah yang

difirmankan oleh Allah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan

rasulNya yang lebih tahu.” Kemudian, sabda Rasulullah, “Tiadalah

balasan dari orang yang aku anugerahi tauhid melainkan surga.”

Demikian diriwayatkan oleh Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan Al-

Baihaqi. Sedang menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, tiadalah

130

balasan bagi orang yang mengucapkan La ilaaha illallah semasa di

dunia melainkan surga di akhirat.271

Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula.

b. Segi Pragmatik

Sementara itu, ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan

tersebut merupakan bentuk komunikasi Allah kepada makhlukNya,

bahwa jika makhlukNya berbuat kebaikan selama hidup di dunia,

maka Allah telah merencanakan suatu kebaikan pula untuk mereka

kelak di akhirat. Artinya, Allah akan membalas kebaikan dengan

kebaikan, tidak dengan kejahatan. Selain itu, kalimat terjemahan

tersebut, juga merupakan isyarat agar makhlukNya senantiasa

mengingat dan berbuat kebaikan.

Pembahasan mengenai gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-60,

telah mewakili gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-13, 16, 18, 21,

23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61,

63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77.

17. Simile

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa simile,

yaitu gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara eksplisit,

dengan menggunakan kata-kata seperti, laksana, bak, dan bagaikan.

Adapun gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah Ar-

Rahman ayat ke-14, 24, 37, dan 58. Berikut kami paparkan gaya

bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-24. Terjemahan ayat ke-

24 yaitu,

“Kepunyaan-Nya bahtera-bahtera, Berlayar tinggi lintas lautan,

laksana gunung menjulang”.272

271Al-Maragi, Op. Cit., h. 221.

272

Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.

131

Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa simile, yaitu

bahtera-bahtera yang berlayar tinggi, diibaratkan seperti gunung yang

menjulang. Pengibaratan tersebut, dilakukan dengan menggunakan

kata laksana. Hal yang disamakan yaitu kadar ketinggian layar

bahtera-bahtera dengan menjulangnya gunung. Kata yang digunakan

adalah kata laksana. Kata tersebut hadir untuk membandingkan

sesuatu hal yang dianggap memiliki persamaan.

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

membangun ayat ke-24, masing-masing mengandung makna tertentu.

Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-

Qur‟an The Great Miracle.273

Kata Makna

Walahu dan bagiNya

Al-jawâri kapal-kapal

Al-munsyaâtu yang tinggi (berlayar)

filbaẖ ri di lautan

kala„lâmi laksana gunung-gunung.

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi Dan baginya kapal-kapal yang berlayar

tinggi di lautan laksana gunung-gunug. Pada kalimat tersebut, dapat

dilihat bahwa huruf k pada kata kala„lâmi mengandung makna seperti

atau laksana yang mengibaratkan dua hal tadi.

Secara keseluruhan, penggunaan gaya bahasa simile pada

terjemahan surah Ar-Rahman, hanya menggunakan kata-kata

pengibaratan seperti, laksana, dan seakan-akan. Hanya, yang lebih

banyak adalah memakai kata seperti. Adapun fungsi gaya bahasa

simile pada setiap terjemahan ayat-ayat yang telah dijelaskan, adalah

273

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1061.

132

untuk memperindah penyampaian, memperjelas maksud dan

menambah efek suasana penggambaran sesuatu hal yang disampaikan.

18. Personifikasi

Personifikasi merupakan gaya bahasa yang menjadikan benda

mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. Gaya

bahasa tersebut, terdapat pada terjemah surah Ar-Rahman ayat ke-6

dan 19. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut, melalui

terjemahan ayat ke-19. Adapun terjemahan ayat tersebut yaitu,

“Ia lepaskan kedua lautan yang saling bertemu”.274

Pada terjemahan tersebut, terdapat gaya bahasa personifikasi,

yang menjelaskan bahwa kedua lautan dapat saling bertemu. Pada

terjemahan ini, kedua lautan seolah-olah digambarkan memiliki sifat

seperti manusia, yaitu bisa saling bertemu. Untuk dapat saling

bertemu, tentu ada perjalanan yang dilakukan oleh kedua belah pihak,

atau oleh salah satunya.

Adapun maksud dari terjemahan ayat tersebut sebenarnya adalah

Allah membiarkan laut asin dan laut tawar saling bertetangga dan

bersentuhan tanpa terjadi saling melampaui satu sama lain. Artinya,

laut asin tidak dapat melampaui laut tawar sehingga menjadikan laut

tawar menjadi asin, begitupun sebaliknya. Allah telah membatasi

keduanya dengan suatu yang terdiri dari unsur-unsur bumi.275

19. Antonomasia

Gaya bahasa antonomasia, terdapat pada terjemahan surah Ar-

Rahman ayat ke-1. Terjemahan ayat tersebut yaitu,

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah”.276

274Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 750.

275

Al-Maragi, Op. Cit., h. 197.

276

Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.

133

Gaya bahasa antonomasia merupakan jenis gaya bahasa yang

digunakan untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau gelar

kehormatan. Pada terjemahan tersebut, penggunaan susunan kata Yang

Maha Pemurah untuk menyebutkan nama Allah, merupakan bentuk

penggunaan gaya bahasa antonomasia, karena menggantikan nama

Allah dengan penyebutan Yang Maha Pemurah. Allah sebagai sang

pencipta, juga sering disebut dengan menggunakan nama-namaNya

yang berjumlah 99, dan kita sebut sebagai Asmaul-Husna, yaitu nama-

nama Allah yang begitu indah. Bentuk penggunaan Yang Maha

Bijaksana, Yang Mahan Pengampun, dan Yang Maha Esa untuk

menyebutkan atau menggantikan nama Allah, termasuk ke dalam gaya

bahasa antonomasia, sama seperti Yang Maha Pemurah. Tidak ada

seorang pun yang mempunyai sebutan Yang Maha Pemurah selain

Allah. Jika dilihat dari makna kata maha, memiliki arti sangat atau

amat. Jadi, Yang Maha Pemurah juga berarti Yang amat Pemurah.

Kata amat, memiliki tingkat intensitas yang lebih tinggi. Hadirnya

kata maha dalam susunan kalimat tersebut, tentu membawa dampak

arti bahwa Allah bukan hanya Sang Pemurah, tetapi Sang Maha

Pemurah.

Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, kata Arrahmân

bermakna Yang Maha Pemurah. Kepemurahan tersebut hanyalah

milik Allah. Allahlah yang mempunyai sifat Rahman, tiada yang lain

meski nama Allah tidak hadir dalam makna kata tersebut (Arrahmân).

Ditinjau dari segi sintaksis, kalimat tersebut merupakan jenis kalimat

deklaratif, yaitu sebuah kalimat pernyataan yang singkat dan jelas.

Pernyataan tersebut disampaikan guna memberitahukan dan

mengingatkan bahwa Allah memiliki sifat rahman, yaitu Maha

Pemurah. Dengan demikian, Yang maha pemurah merupakan gaya

bahasa antonomasia. Hal tersebut sama halnya dengan penyebutan

Yang Mulia kepada raja di suatu kerajaan.

134

20. Perifrasis

Gaya bahasa perifrasis, terdapat pada terjemahan surah Ar-

Rahman ayat ke-41. Adapun terjemahan ayat ke-41 yaitu,

“Orang-orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, dan

mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya”.277

Klausa mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya

dapat diganti dengan menggunakan satu kata saja, yaitu disiksa.

Bentuk tersebut, termasuk jenis gaya bahasa perifrasis, di mana

serangkaian kata-kata (klausa mereka akan dicekam pada ubun-ubun

dan kaki-kakinya), dapat diganti hanya dengan menggunakan satu

kata, yaitu disiksa. Kata disiksa sudah mewakili semua jenis siksaan

yang akan Allah berikan kepada para pendosa. Kalusa mereka akan

dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya, memberikan makna

bahwa orang-orang yang berdosa, pada hari kiamat akan disiksa

dengan sisksaan yang amat pedih. Salah satu jenis siksaan tersebut

yaitu akan dicekam ubun-ubun dan kaki-kakinya.

a. Segi Semantik

Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen

yang membangun ayat ke-41, masing-masing mengandung makna

tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan

pada Al-Qur‟an The Great Miracle.278

Kata Makna

yu„rafu diketahui atau dikenal

Al-Mujrimûna orang-orang yang berdosa

Bisîmâhum dengan tanda-tanda mereka

fayu‟khażu lalu dipegang atau diambil

Binnawâsî dengan ubun-ubun

277Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 751

278

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063.

135

Walaqdâmi dan kaki-kakinya

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi orang-orang yang berdosa akan dikenal

melalui tanda-tandanya, lalu akan dipegang ubun-ubun dan kaki-

kakinya. Adapun maksud dari ayat tersebut, dijelaskan dalam Al-

Qur‟an The Great Miracle yaitu orang orang yang berdosa dikenal

dengan tanda-tanda di wajah mereka, bermuka gelap dan bermata

juling, lalu malaikat akan mencekam ubun-ubun dan kaki-kakinya dan

melemparkannya ke neraka.279

b. Segi Pragmatik

Selanjutnya, jika ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan

ayat ke-41, bukan hanya sekadar bentuk komunikasi Allah yang

menyampaikan informasi bahwa kelak orang-orang berdosa akan

disiksa, melainkan juga sebuah komunikasi yang mengandung

ancaman, peringatan, sekaligus anjuran untuk menjalankan kehidupan

dengan berpegang teguh pada Alquran. Maksud tersebut memang

tidak secara tersurat terkandung di dalam makna ayat, melainkan

manusia sebagai makhlukNya, harus memahami apa yang dimaksud

dengan ayat tersebut. Adapun inti dari ayat tersebut adalah orang-

orang yang berdosa, kelak akan disiksa dengan siksaan yang amat

pedih.

21. Apostrof

Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa

apostrof, yaitu berupa pengalihan amanat atau pembicaraan kepada

sesuatu hal yang tidak hadir. Gaya bahasa tersebut terdapat pada ayat

ke-31 dan 33. Berikut penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-

31. Adapun terjemahan ayat ke-31 yaitu,

279 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Ibid., h. 1064.

136

“(Yakni) kami „kan membuat perhitungan terhadapmu, Hai (kedua

jenis makhluk) jin dan insan!”,280

Pada terjemahan kedua ayat tersebut, terdapat pengalihan amanat

kepada sesuatu yang tidak hadir, yaitu kepada objek yang tidak

terlihat oleh manusia (jin). Allah tidak hanya berkomunikasi dengan

manusia, tetapi juga jin. Pengalihan pembicaraan kepada jin, dengan

menyebutkan Hai jin pada ayat ke-31 dan Hai kumpulan jin pada ayat

ke-33, merupakan bentuk gaya bahasa apostrof, karena adanya

pengalihan pembicaraan pada sesuatu hal yang tidak hadir, yaitu jin

(makhluk yang gaib).

Gaya bahasa apostrof, biasanya dapat kita temukan pada pidato-

pidato yang di dalamnya terdapat pengalihan pembicaraan kepada

sesuatu hal yang tidak hadir, sesuai dengan tema pidato yang

disampaikan, seperti orator mengatakan, “Hai para pejuang

kemerdekaan!” dan “Hai para petinggi-petinggi negara!”. Penggunaan

kata-kata tersebut, merupakan bentuk gaya bahasa apostrof, sama

seperti pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-31 dan 33. Bagi

manusia, jin merupakan makhluk Allah yang tidak hadir. Maka, ketika

manusia membacakan ayat-ayat Alquran, kemudian pada terjemahan

ayat tersebut Allah menyapa atau menyeru kepada jin, itu termasuk

bentuk penggunaan gaya bahasa apostrof, karena menyeru sesuatu hal

yang tidak hadir.

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

membangun ayat ke-31, masing-masing mengandung makna tertentu.

Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-

Qur‟an The Great Miracle.281

280Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.

281

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1061.

137

Kata Makna

Sanafruġu kami akan berurusan

Lakum terhadap kalian

Ayyuha Wahai

Śaqolâni dua golongan (jin dan manusia)

Pada makna kata-kata tersebut, terlihat bahwa kata yang

berfungsi sebagai penyeru adalah kata ayyuha bermakna wahai, yang

menyeru dua golongan, yaitu jin dan manusia. Adapun yang dimaksud

dengan bentuk penggunaan gaya bahasa apostrof pada ayat tersebut,

yaitu berupa seruan terhadap jinnya, bukan terhadap manusia, karena

jin merupakan makhluk yang tidak hadir menurut manusia.

Adapun secara pragmatik, terjemahan ayat ke-31, selain sebagai

pemberitahuan bahwa kelak golongan jin dan manusia akan diberi

perhitungan oleh Allah, sesungguhnya merupakan suatu peringatan

dan acaman terhadap keduanya.

22. Antitesis

Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-12, terdapat gaya

bahasa antitesis, yaitu berupa penggunaan dua kata yang berlawanan.

Adapun terjemahan ayat ke-12 yaitu,

“Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum

baunya”.282

Pada terjemahan tersebut, pemakaian kata harum dan bau,

termasuk ke dalam gaya bahasa antitesis, karena kedua kata tersebut

merupakan kata-kata yang berlawanan makna, seperti besar dan kecil,

jauh dan dekat.

Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang

membangun ayat ke-12, masing-masing mengandung makna tertentu.

282Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.

138

Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-

Qur‟an The Great Miracle.283

Kata Makna

walẖ abbu dan biji-bijian

Żû yang mempunyai

Al-a„şfi Kulit

warraiẖ ânu dan tumbuhan yang harum

Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa

Indonesia, maka menjadi Dan biji-bijian yang mempunyai kulit, dan

tumbuhan yang harum. Pada terjemahannya, H. B. Jassin

menggunakan kata bau setelah kata harum, yang keduanya

sesungguhnya mempunyai makna yang berlawanan. Harum bermakna

wangi atau sedap, sedang bau umumnya identik dengan hal-hal yang

tidak enak dicium oleh indra penciuman. Misalnya, seorang

perempuan berjalan melewati tempat pembuangan sampah, lalu ia

mengatakan, “Bau sekali tempat ini!”, atau dalam kegiatan

komunikasi sehari-hari yang lain juga dapat ditemukan penggunaan

kata bau yang umumnya digunakan untuk menyebutkan hal-hal yang

tidak enak dicium oleh indra penciuman, seperti busuk dan anyir.

Dengan demikian, pada terjemahan ayat ke-12, terdapat penggunaan

gaya bahasa antitesis, yaitu berupa penggunaan dua kata yang

berlawanan dalam satu kalimat, seperti harum dan bau.

Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gaya bahasa yang

ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman Al-Qur‟ân Al-Karîm

Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin, penulis menyatakan bahwa gaya

bahasa-gaya bahasa tersebut dipakai untuk menghasilkan keindahan

dan persamaan bunyi, kekayaan dan kepadatan makna, memberikan

efek pada penggambaran suasana cerita, penekanan pada kata yang

283Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059.

139

dianggap penting, memperjelas dan menghidupkan penggambaran

sesuatu hal. Dari segi penyajian terjemahan, H. B. Jassin menyajikan

terjemahan dengan tipografi seperti puisi, yang berbeda dengan

terjemahan lain, seperti terjemahan Departemen Agama Republik

Indonesia dan Mahmud Yunus. Keputusan untuk mempertahankan

keindahan bunyi, memunculkan adanya ketidakkonsistenan H. B.

Jassin dalam menggunakan kata-kata, seperti kata insan dan manusia,

dan penggunaan kata hauri-hauri, gadis-gadis, dan bidadari-bidadari.

Namun demikian, terjemahan H. B. Jassin dengan berbagai diksi yang

digunakan, tetap menyampaikan maksud yang dikandung ayat surah

Ar-Rahman.

D. Implikasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di Sekolah

Penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran terjemahan, dapat

diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di

sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh. Penilitian ini, dapat

menjadikan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembelajaran yang

unik, menarik, dan luas cakupannya. Luas cakupan yang dimaksud adalah

dalam hal pemberian dan pengembangan contoh materi pelajaran.

Mengkaji bahasa, tidak hanya terbatas pada mengkaji objek yang berupa

karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, atau aktivitas-aktivitas

sosial manusia yang berhubungan dengan bahasa, tetapi pada Alquran

terjemahan pun dapat ditemukan berbagai persoalan penggunaan bahasa

yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya.

Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan

berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan

atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan

tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang

diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai

terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari

140

membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat,

mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan

mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran

membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan

membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah

agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu

mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan

informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis

karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.284

Setiap guru bahasa harus dapat membantu serta membimbing para

pelajar untuk mengembangkan serta meningkatkan keterampilan-

keterampilan yang mereka butuhkan dalam membaca. Usaha yang dapat

dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan membaca itu antara lain:

a. Guru dapat menolong para pelajar memperkaya kosa kata mereka

dengan jalan:

1. Memperkenalkan sinonim kata, antonim kata, parafrase, kata-kata

yang berdasar sama;

2. Memperkenalkan imbuhan, yang mencakup awalan, sisipan, dan

akhiran;

3. Mengira-ngira atau mereka makna kata dari konteks atau hubungan

kalimat;

4. Kalau perlu, menjelaskan arti sesuatu kata abstrak dengan

mempergunakan bahasa daerah atau bahasa ibu pelajar.

b. Guru dapat membantu para pelajar untuk memahami makna, struktur

kata, kalimat, dan sebagainya dengan cara yang telah dikemukakan di

atas disertai latihan seperlunya.

c. Kalau perlu dapat memberikan serta menjelaskan kawasan atau

pengertian kiasan, sindiran, ungkapan, pepatah, peribahasa, dan lain-

lain dalam bahasa daerah atau bahasa ibu para pelajar.

d. Guru dapat menjamin serta dapat memastikan pemahaman para pelajar

dengan berbagai cara.

e. Guru dapata meningkatkan kecepatan para pelajar.285

284J. S. Badudu, Loc. Cit., h. 14-15.

285

Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:

Angkasa, 2013), h. 14-16.

141

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mengenai

gaya bahasa di sekolah, terutama perihal contoh-contohnya, dapat dipelajari

melalui keterampilan membaca. Selain melalui kegiatan membaca, untuk

melatih pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, terutama gaya bahasa,

dapat pula melalui kegiatan menulis, seperti menulis puisi dengan

menggunakan gaya bahasa yang telah dipelajari siswa. Guru harus mampu

memperkenalkan dan mengajak siswa untuk mengetahui dan memahami

materi pelajaran, dalam hal ini adalah gaya bahasa, agar menambah

pengetahuan dan mengasah pemahaman siswa, juga mereka menjadi tahu

bahwa materi gaya bahasa, tidak hanya terdapat pada sebuah LKS, buku

paket bahasa Indonesia, dan teks sastra, tetapi juga pada Alquran

terjemahan. Bagi guru bahasa Indonesia yang beragama Islam, mencari

contoh-contoh gaya bahasa di dalam Alquran terjemahan tentu mudah

dilakukan, karena pada dasarnya, materi mengenai gaya bahasa sudah

dikuasai, hanya tinggal mencari dengan bekal pengetahuan yang telah

dimiliki, dan menyajikannya semenarik mungkin kepada siswa. Menyajikan

dan mengaitkan contoh-contoh materi pelajaran dengan kehidupan nyata

siswa, sangat baik. Dengan begitu, siswa tidak hanya mendapatkan ilmu

pengetahuan bahasa Indonesia, tetapi juga agama.

Peran guru sebagai pengajar dan pendidik sangat dibutuhkan. Selain

kompeten dalam bidangnya, guru juga harus memiliki wawasan yang luas.

Ngalim Purwanto menyatakan bahwa seorang guru, selain mempunyai

pengetahuan yang dalam tentang mata pelajaran yang sudah menjadi

tugasnya, akan lebih baik jika guru itu mengetahui pula tentang segala

sesuatu yang penting, yang ada hubungannya dengan tugasnya di dalam

masyarakat. Guru haruslah mempunyai perhatian intelektual yang luas dan

tidak kunjung padam.. Para Guru harus mengetahui lebih banyak tentang

dunia.286

286Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2007), h. 148.

142

Menjadi guru, jangan hanya terfokus memberikan dan menjelaskan

contoh yang telah tersedia di dalam teks atau buku ajar bahasa Indonesia,

tetapi juga harus banyak memberikan contoh-contoh di luar teks, dan

mengaitkannya dengan kehidupan nyata siswa. Guru bisa mengambil

terjemahan surah Alquran, satu atau dua ayat, bisa juga lebih. Hal tersebut

tentu dapat dilakukan, selama masih relevan dengan materi pelajaran.

Penulis sangat yakin, contoh-contoh mengenai materi pelajaran bahasa

Indonesia dapat diambil dari Alquran terjemahan. Tentunya, terjemahan

yang dipakai adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya

contoh penggunaan gaya bahasa yang dapat ditemukan dalam Alquran

terjemahan, tetapi juga seperti kalimat tanya, perintah, kalimat aktif, dan

kalimat pasif. Dengan demikian, secara tidak langsung guru mengajarkan

ilmu tentang bahasa Indonesia sekaligus juga mengajarkan ilmu agama

khususnya mengenai surah-surah dalam Alquran yang dikaitkan dengan

materi pelajaran. Pembelajaran mengenai gaya bahasa, dapat kita temukan

pada materi pelajaran mengenai puisi, cerpen, bahkan terdapat materi yang

khusus mempelajari gaya bahasa.

Bagi guru yang beragama Islam, hal ini dapat dilakukan sedikit-sedikit

untuk mendekatkan siswa yang bergama Islam, dekat dengan Alquran

sebagai pedomannya. Apalagi, ini dapat sekali diterapkan pada sekolah-

sekolah seperti MTs dan sekolah Islam lainnya. Dengan cara apapun, hal

tersebut dapat dilakukan. Jika dalam satu kelas terdapat nonmuslim,

pemberian contoh yang umum dapat dilakukan seperti memberikan contoh

yang terdapat pada teks puisi, cerpen, dan drama, hanya tinggal dikemas

melalui cara guru tersebut dalam mengelola kelas. Selain itu, guru dapat

mengkondisikan pemberian tugas, mencari contoh gaya bahasa dalam

Alquran terjemahan dan dalam teks sastra seperti puisi dan cerpen. Jadi,

pengetahuan siswa dan guru pun menjadi luas. Tidak ada salah dan ruginya

melakukan hal tersebut, malah itu lebih baik. Sambil menyelam minum air,

belajar bahasa Indonesia, juga belajar agama Islam.

143

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka penulis dapat

mengambil dua kesimpulan yang dapat menjawab dua pertanyaan dalam

rumusan masalah. Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Ditemukan 22 jenis gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam

Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Jenis-jenis gaya

bahasa tersebut di antaranya adalah gaya bahasa berdasarkan langsung

tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa

inversi (pada terjemahan ayat ke-7, 10, 22, 48, 50, 52, dan 64.),

aliterasi (pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman), asonansi

(pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman), elipsis (pada

terjemahan ayat ke-3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 41, 58, 60, 68, 70, 72, dan

74), apofasis (pada terjemahan ayat ke-33), asindeton (pada terjemahan

ayat ke-24, 54, dan 78.), polisindeton (pada terjemahan ayat ke-33 dan

35), pleonasme (pada terjemahan ayat ke-12, 37, 44, 66, dan 72),

tautologi (pada terjemahan ayat ke-64), prolepsis (pada terjemahan

ayat ke-35, 41, 54, 76, dan 39), erotesis (pada terjemahan ayat ke-13,

16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55,

57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, dan 60), perifrasis (pada

terjemahan ayat ke-41), dan apostrof (pada terjemahan ayat ke-31 dan

33), dan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa simile (pada

terjemahan ayat ke-58, 37, 24, dan 14), personifikasi (pada terjemahan

ayat ke-6 dan 19), antonomasia (pada terjemahan ayat ke-1), dan

sinekdoke (sinekdoke jenis pars pro toto pada terjemahan ayat ke-4,

10, 27, 37, 41, dan 56). Selanjutnya, gaya bahasa berdasarkan struktur

kalimat, yaitu gaya bahasa repetisi (pada terjemahan ayat ke-13, 16,

144

18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57,

59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, 78, 17, 56, 74, 48, 50, 52, 66, dan

68), paralelisme (pada terjemahan ayat ke-17, 27, 29, 31, 33, 35, 39,

41, 54, dan 78), klimaks (pada terjemahan ayat ke-33 dan 44),

antiklimaks (pada terjemahan ayat ke-14, 24, 31, 37, dan 56), dan

antitesis (pada terjemahan ayat ke-12). Gaya bahasa retoris paling

banyak ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-

Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penggunaan gaya

bahasa tersebut, dipilih untuk menghasilkan keindahan dan persamaan

bunyi, kekayaan dan kepadatan makna, menghidupkan penggambaran

suasana cerita, menekankan hal-hal (kata, frasa, klausa atau kalimat)

yang dianggap penting, memperjelas pesan yang disampaikan,

menghindari kekakuan penggunaan bahasa, terutama dalam hal diksi,

mempersingkat penyampaian pesan, dan memperindah penyebutan

suatu hal, tanpa melenceng dari maksud yang dikandung ayat.

2. Implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam

Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin terhadap

pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yaitu, menjadikan

pembelajaran bahasa Indonesia pembelajaran yang unik, menarik, dan

luas cakupan dalam hal pemberian dan pengembangan contoh. Guru

dapat memberikan contoh di luar contoh yang terdapat di dalam buku

ajar, dengan mengaitkan pada kehidupan nyata siswa, selama masih

relevan dengan materi pelajaran. Pembelajaran mengenai gaya bahasa,

tidak saja dapat ditemukan pada teks sastra, tetapi juga pada Alquran

terjemahan bahasa Indonesia. Sehingga, guru harus memiliki

kemampuan untuk menyajikan contoh-contoh gaya bahasa dalam

Alquran terjemahan. Ini sangat baik dilakukan, karena baik guru

maupun siswa menjadi mempunyai wawasan yang luas dan secara

tidak langsung belajar bahasa Indonesia sekaligus agama Islam,

mendekatkan kita kepada pedoman hidup umat Islam.

145

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya, yang mempunyai minat dan ketertarikan

terhadap bahasa, penelitian mengenai aspek linguistik bahasa

Indonesia dalam Alquran terjemahan, perlu dilanjutkan. Tidak hanya

mengenai persoalan gaya bahasa, tetapi juga banyak aspek lingustik

lain yang dapat diteliti. Penelitian-penelitian yang sudah ada, terkait

dengan aspek lingustik bahasa Indonesia dalam Alquran terjemahan,

dapat dijadikan sebagai pengetahuan, pembelajaran, dan referensi

penelitian selanjutnya.

2. Bagi guru mata pelajaran bahasa Indonesia, pengembangan dan

penyajian contoh-contoh materi pelajaran, khususnya mengenai gaya

bahasa, disarankan untuk tidak hanya menyajikan dan menerangkan

contoh-contoh yang sudah tertera di dalam buku ajar, tetapi juga harus

mampu menyajikan contoh di luar buku ajar siswa, seperti di dalam

Alquran terjemahan bahasa Indonesia dan teks-teks lain. Kegiatan

tersebut dapat dilakukan, selama masih relevan dengan materi

pelajaran. Guru juga disarankan memberikan tugas kepada siswa,

untuk mencari contoh-contoh di dalam terjemahan Alquran dan teks-

teks lain, tidak melulu pada buku paket dan LKS, agar mempunyai

pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas dan mendalam. Siswa

tidak hanya mampu memahami contoh yang sudah tersedia dalam

buku ajar, tetapi juga mereka mampu menemukan berbagai contoh di

dalam teks lain dengan pengetahuan dan pemahaman materi yang telah

dimiliki. Dengan demikian, guru harus mempunyai pengetahuan yang

luas dan mampu mengaitkan contoh-contoh materi pelajaran dengan

kehidupan nyata.

3. Bagi para siswa, sebaiknya tidak hanya menerima contoh materi

pelajaran bahasa Indonesia khususnya gaya bahasa dari guru di

sekolah, tetapi juga harus mencarinya di rumah, dari berbagai teks

bahasa Indonesia, termasuk Alquran terjemahan bahasa Indonesia,

untuk mengasah pemahaman dalam penguasaan materi.

146

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz. Metode Praktis Memahami Al-Quran. Jakarta: Wadi Press.

2011.

Ahmad, Solihin Bunyamin. Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa

Menerjemah AL-Qur‟an. Jakarta: Granada Nadia. 2001.

Aini, Adelina Qurrotul. “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis

QS. ar-Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab

Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”. Skripsi. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Kudus. 2016. Tidak Dipublikasikan.

Al-Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Terjemahan Tafsir

Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul. Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun

Abu Bakar, L. C. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. IV. 1999.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Terj. dari Tafsir Al-

Maragi oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., dkk. Semarang: CV Toha Putra.

Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran. Terj.

dari Mabāhiṡ fī „Ulumil Qurān oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera

AntarNusa. 2007.

Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Shalih. Ushulun Fit Tafsir: Pengantar dan

Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir. Terj. dari Ushûlun Fît Tafsîr oleh

Ummu Saniyyah. Solo: Al-Qowam. 2014.

Alwi, Hasan., dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka. 2003.

Aly Ash Shabuny, Mohammad. Pengantar Study Al-Qur‟an (AT-TIBYAN). Terj.

dari At-Tibyan Fiulumil Qur‟an oleh Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna

H. S. Bandung: Al-Ma‟arif. 1987.

Amalia, Novita Rihi . “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel

Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”. Skripsi. Universitas Sebelas Maret

Surakarta. 2010. Tidak dipublikasikan.

Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru

1988.

147

A. Nida, Eugene dan Charles R. Taber. The Theory and Practice of Translation.

Netherlands: The United Bible Societies. 1969.

Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu

Katsir. Terj. dari Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid

4 oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.

Ash-Shiddieqi, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-quran/Tafsir.

Jakarta: Bulan Bintang. 1980.

-----. Tafsir Al Bayaan II. Bandung: Alma‟arif.

Badudu, J. S. Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia,

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1. Jakarta: Balai Pustaka. 1996.

Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Cet. I. 1998.

Departemen Agama Republik Indonesia. Alqur‟an dan Terjemahnya. Semarang:

Karya Toha Putra. 1971.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Dewan Redaksi. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004.

Djojosuroto, Kinayati dan M. L. A. Sumaryati. Bahasa dan Sastra: Penelitian,

Analisis, dan Pedoman Apresiasi. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia. Cet.

IV. 2014.

Effendi, S., dkk. Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2015.

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah sastra Indonesia. Jakarta: UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Faridl, Miftah dan Agus Syihabuddin. Alquran Sumber Hukum Islam yang

Pertama. Bandung: Pustaka. 1989.

Falah, M. Zainal. Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia. Yogyakarta: CV Karyono.

Cet. V. 1996.

Fitriani, Siti Rohmanatin. “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-

Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”. Skripsi.

Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya. 2003. Tidak

Dipublikasikan.

148

Hamid, Abdul. Pengantar Studi Al-Qur‟an. Jakarta: Pranadamedia Group. 2016.

Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Nufa Citra Mandiri. 2012.

H. McGlynn, John. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antar Bangsa. 2002.

Jassin, H. B. Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan. Cet. 3.

1991.

-----Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia. Jakarta: Dinas Kebudayaan

Propinsi DKI Jakarta. 2000.

Ikhlas, Ahmad Muh. “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam

Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-

Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”. Skripsi. Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2016. Tidak Dipublikasikan.

Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an The Great Miracle. Solo: PT Tiga Serangkai

Pustaka Mandiri. Cet. I. 2013.

Kentjono, Djoko. Tata Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. 1985.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet.

XIV. 2004.

L. Larson, Mildred. Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language

Equivalence. America: University Press of America. 1984.

Lopa, Baharuddin. Alqur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa. 1996.

Lukman, Fadhli. Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap

Al-Qur‟an. Journal of Qur‟ān and Hadīts Studies. 4. 2015.

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda

yang Ingin menjadi Penerjemah Profesional. Bandung: Kaifa. 2009.

Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.

Maritta, Nuri Qomariah. “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains;

Analisa Surat Ar-Raẖ mân [55]:19-20, Surat An-Naml [27]:61, dan Surat Al-

Furqân [25]:53”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2010. Tidak Dipublikasikan.

149

M. Kuntarto, Niknik. Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir. Jakarta:

Mitra Wacana Media. Cet. XII 2013.

Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.

Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis

Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet. I. 2005.

Nasrulloh. “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B.

Jassin (Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan

Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama Republik

Indonesia)”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2003. Tidak

Dipublikasikan.

Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2007.

Rofi‟ah, Nurus Saniyatin. “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah Ar-

Rahman Ayat 1-4”. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Walisongo,

Semarang. 2013. Tidak Dipublikasikan.

Rohman, Abd. Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah

Malang: UIN Malang Press. 2007.

Salim Basyarahil, A. Aziz. 33 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani Press. 1994.

Sari, Yusie Nilam. “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat

Ar Rahman Ayat 1-4”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh

Jakarta. 2013. Tidak Dipublikasikan.

Selulawati, Evi. “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba

Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis

Stilistika”. Skripsi. Universitas Indonesia. 2012. Tidak Dipublikasikan.

Setiawan, Hawe, dkk. Ensiklopedi Sastra Indonesia 2. Bandung: PT Kiblat Buku

Utama. 2008.

Setiawan, Hendryanoor . “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur

Kalimat dalam Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian

Jogja”. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. 2012. Tidak dipublikasikan.

Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Cet. VI. 1997.

Sidu, La Ode. Sintaksis Bahasa Indonesia. Kendari: Unhalu Press. 2013.

150

Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta:

Tanspustaka, 2011.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya. Cet. VIII. 2012.

Sunny, Suniarti. “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”.

Tesis. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014. Tidak

Dipublikasikan.

Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an Huruf Arab dan Latin. Bandung:

Firma Sumatra. 1978.

Syarif, Muhammad Mujadid. “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi

Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah)”. Skripsi. Universitas Islam

Negeri Sunan Syarif Kasim Riau. 2015.Tidak Dipublikasikan.

Tarigan, Henry Guntur. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.

Bandung: Angkasa. 2013.

-----. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 1985.

Thalib, Muhammad. Koreksi Tarjamah Harfiyah Alquran Kemenag RI: Tinjauan

Aqidah, Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah. Yogyakarta: Ma‟had An-

nabawy. Cet. II. 2011.

Triningsih, Diah Erna. Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia.

Klaten: PT Intan Pariwara. 2009.

Wahyudin, Deni. “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi

Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”. Skripsi. UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. Tidak Dipublikasikan.

Yunus, Mahmud. Tafsir Qurän Karim. Jakarta: PT Hidakarya Agung. Cet. 73.

2004.

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah Wacana.

Jakarta: The Intercultural Intitute. Cet. I. 2009.

Zaini, Syahminan dan Ananto Kusuma Seta. Bukti-Bukti Kebenaran Alquran

Sebagai Wahyu Allah. Malang: Kalam Mulia Jakarta. 1986.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4

Lampiran 5

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan dalam skripsi ini mengacu pada

pedoman transliterasi dari buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan.

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin

Tidak dilambangkan ا

Ś خ

ẖ ح

Kh خ

Ż ذ

Sy ش

Ş ص

Đ ض

ţ ط

ť ظ

„ ع

ġ غ

h ة

2. Vokal

a. Vokal Tunggal

Tanda Huruf Latin

a ـ

i ـ

u ـ

b. Vokal Rangkap

Tanda dan Huruf Huruf Latin

يٮ ai

au وٮ

Contoh:

kataba = بحك

urifa„ = فرع

kaifa = فيك

لوح = ẖ aula

3. Mâdd (Panjang)

Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda

ا ٮ â

î يٮ

û وٮ

Contoh:

ميق kâna = انك = qîla

اعد = da„â لوقي = yaqûlu

4. Tâ’ Marbûţah

Tâ’ Marbûţah hidup transliterasinya adalah /t/.

Tâ’ Marbûţah mati transliterasinya adalah /h/.

Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbûţah diikuti

oleh katan yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu

terpisah, maka Tâ‟ Marbûţah itu ditransilterasikan dengan /h/. Contoh:

ẖ = حديقة انحيونات adîqat al- ẖ ayawânât atau ẖ adîqatul ẖ ayawânât

ẖ = حمزة amzah

5. Syaddah

Syaddah /tasydîd diteransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf

yang diberi tanda syaddah (digandakan).

Contoh:

رركي al-maddu = دمنا = yukarriru

6. Kata Sandang

a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyah diteransilterasikan dengan

huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda

sambung/hubung.

Contoh: اةهنصا = aş-şalâtu

b. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyah diteransliterasikan sesuai

dengan bunyinya.

Contoh: قهفنا = al-falaqu

7. Penulisan Hamzah

a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia

seperti alif. Contoh:

ثهكأ = akaltu

b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof. Contoh:

ta‟kulûna = ونهكأج

ءيش = Syai‟un

8. Huruf Kapital

Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata

sandangnya. Contoh:

ةرونمان ةنيدمنا = al-Madînatul Munawwarah

يدوعسمنا = al-Mas‟ûdî

Lampiran 6

RENCANAAN PELAKSANAAN

PEMBELAJARAN

MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

KELAS VII SEMESTER II (DUA)

Disusun oleh:

Povi Maspupah

SMP ISLAM HARAPAN IBU

Jl. H. Banan No. 1 Komp. Deplu Pondok Pinang

Kebayoran Lama Jakarta Selatan

Telp. 75911228 (Ext. 110-117) Fax 7652116

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

A. Sekolah : SMP Islam Harapan Ibu

B. Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

C. Kelas / Semester : VII / 2

D. Standar Kompetensi : Menulis

Memahami menulis puisi

E. Kompetensi Dasar : Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa

yang pernah dialami

F. Indikator Kompetensi :

1. Mampu menentukan bahan dan menulis lirik puisi tetang peristiwa yang

dialami

2. Mampu menulis puisi dengan gaya bahasa dan rima yang menarik

3. Mampu menyunting puisi yang ditulis sendiri

G. Alokasi Waktu : 2 X 40 menit

H. Tujuan Pembelajaran : Siswa mampu menulis puisi berdasarkan peristiwa

yang dialami dan mampu menyunting puisi tersebut.

I. Materi Pelajaran :

a. Puisi

b. Gaya Bahasa

c. Menyunting

J. Metode Pembelajaran :

a. Ceramah

b. Tanya Jawab

c. Penugasan

K. Strategi Pembelajaran : Cooperative Learning

L. Teknik Pembelajaran : Student Active Learning

M. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran:

a. Kegiatan Awal

Apersepsi

1. Guru memberikan salam, menyapa siswa, memimpin doa, dan

mengabsen siswa.

2. Guru mengkondisikan kesiapan siswa dan memberikan motivasi kepada

siswa sebelum belajar.

3. Guru bertanya mengenai meteri pelajaran pertemuan lalu, dan meminta

siswa mengumpulkan tugas pertemuan lalu.

4. Guru memberitahukan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator

kompetensi, dan tujuan belajar yang akan dicapai.

b. Kegiatan Inti

Eksplorasi

1. Guru menyampaikan pemaparan terkait dengan pembahasan yang

akan disampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran.

2. Guru dan siswa melakukan tanya jawab.

3. Guru menugaskan siswa untuk membuat sebuah puisi berdasarkan

peristiwa yang dialami

Elaborasi

1. Siswa mengerjakan tugas membuat puisi dengan menggunakan

gaya bahasa.

2. Guru memantau dan mengarahkan kegiatan siswa.

3. Guru menunjuk beberapa siswa untuk membacakan hasil kerjanya.

Konfirmasi

1. Guru dan siswa memberikan apresiasi terhadap keberhasilan siswa

dalam mengerjakan tugas

2. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan hasil kerja

siswa.

c. Kegiatan Penutup

1. Guru menunjuk beberapa siswa untuk menyimpulkan materi

pelajaran yang telah disampaikan

2. Guru memberikan apresiasi dan umpan balik terhadap kesimpulan

yang yang disampaikan siswa.

3. Guru menegaskan kembali kesimpulan secara jelas kepada siswa.

4. Guru memberikan tugas individu kepada siswa.

5. Siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya pada pertemuan

selanjutnya.

6. Guru menginformasikan materi pertemuan selanjutnya.

7. Guru menutup pembelajaran dengan doa dan mengucapkan salam.

N. Sumber dan Media Pembelajaran

a. Buku utama pelajaran bahasa Indonesia

b. Infokus

c. Power Point

O. Penilaian

1. Prosedur Penilaian

a. Penilaian Proses

Menggunakan format pengamatan dilakukan dalam kegiatan

pembelajaran sejak dari kegiatan awal sampai dengan kegiatan akhir.

b. Penilaian Hasil Belajar

Menggunakan instrumen penilaian hasil belajar dengan tes tulis

berbentuk esai (terlampir).

2. Instrumen Penilaian

a. Penilaian Proses: Penilaian sikap individu

b. Penilaian Hasil Belajar : Esai atau uraian

Jakarta, 08 Februari

2016

Mengetahui

Kepala SMP Islam Harapan Ibu, Guru praktikan bahasa

Indonesia

Dra. Hj. Budi Suci Nurani, M. Pd Povi Maspupah

Lampiran

Penilaian Tanpa Tes

a. Penilaian Proses

Penilaian Sikap Individu

Keterangan Skor:

1 = Kurang

2 = Cukup

3 = Baik

4 = Sangat Baik

Skor Maksimal = 16

Nilai = Skor Perolehan X 100

Skor Maksimal

No

Nama Peserta

Didik

Aspek

Jumlah

Nilai

Tekun

Aktif

Teliti

Rasa Ingin

Tahu

b. Penilaian Hasil Belajar

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan tepat!

1. Buatlah sebuah puisi tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan

gaya bahasa yang telah dipelajari!

2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam

puisimu!

3. Carilah contoh gaya bahasa metafora dalam Alquran terjemahan bahasa

Indonesia! Jelaskan!

4. Carilah contoh gaya bahasa simile dalam Alquran terjemahan bahasa

Indonesia! Jelaskan!

5. Carilah contoh gaya bahasa personifikasi dalam Alquran terjemahan

bahasa Indonesia! Jelaskan!

Keterangan Skor:

Skor maksimal= 20

Jumlah Skor Maksimal= 100

Perhitungan nilai akhir dalam skala 0-100 adalah sebagai berikut:

Nilai = Perolehan Skor X 100

Jumlah Skor Maksimal

Lampiran 7

BIODATA PENULIS

Povi Maspupah, lahir di Tasikmalaya, 30 Juni 1993.

Wanita berdarah Sunda ini, menempuh pendidikan

formalnya di SD Negeri Bungursari Tasikmalaya, SMP

Negeri 16 Tasikmalaya, SMA Negeri 1 Anjatan

Indramayu, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama

menempuh pendidikannya, terutama di SMP dan SMA,

wanita ini banyak mengikuti organisasi sekolah, di

antaranya adalah OSIS, PRAMUKA, BINA VOKAL,

dan SANGGAR SENI. Mengikuti berbagai organisasi di sekolah, baginya sangat

menyenangkan, karena selain mendapat pengetahuan dari materi pelajaran, juga

mendapat pengetahuan dan pengalaman-pengalaman dari berorganisasi. Di dalam

organisasi yang digelutinya, wanita yang sangat menyukai seni ini pernah

menjabat sebagai wakil ketua OSIS (SMP dan SMA), Ketua OSIS (SMA), dan

ketua BINA VOKAL ( SMA). Sementara itu, di Universitas Islam Negeri syarif

Hidayatullah Jakarta, wanita ini pun ikut bergabung dalam organisasi yang

dinamakan Pojok Seni Tarbiyah, khusunya dalam elemen tari tradisional.

Selama menempuh pendidikannya, wanita ini seringkali mengikuti berbagai

perlombaan, seperti lomba baca puisi, menulis puisi, bintang DAI, Musabaqah

Tilawatil Qur‟an (MTQ), baca cerita Islami (pada Festival Anak Saleh Indonesia),

cerdas cermat, debat antarmahasiswa PBSI dalam kegiatan Bulan Bahasa, dan

tahfiz Al-qur‟an. Semua lomba yang pernah diikutinya, senantiasa membuahkan

hasil yang baik, atas kehendak Yang Maha Kuasa. Wanita yang dilahirkan dan

dibesarkan di lingkungan pesantren ini bercita-cita menjadi seorang guru.