gatra edisi 35 kilo ubi 2012

3
UBI JALAR PAPUA ;i '4', /... :t 8: Kelompok tani di Jayawijaya sedang menyortir ubi berdasarkan jenis dan ukurannya epotong ubi jalar bagi Sarlota Iday adalah kehidupan. Semen- lak ditinggal mati suaminya, Tomas Huby, tahun 2001 silam, LJ perempuan asal Kampung Musaima, Distrik Hubkiak, Kabupaten Jayawijaya, Papua, ini menggannrngkan hidup keluarganya pada bertanam ubi jalar dan sa1nr ma1rr. Bersama beberapa petani lain di wilyah itu, janda beranak empat ini memilih bertahan membu- didayakan umbi-umbian yang sejak da- hulu memang menjadi makanan pokok bangsa Papua. Meski ubi sempattaklagi memberi- kannya harapan hidup, Sarlota tetap setia membudidayakan tanaman yang sejak abad ke-16 telah menjadi makanan pokok ras Melanesia itu. "Hasil bertani pada mulanya hanya bisa unruk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saja. tetapi pemasukan uang tidak ada untuk sekolah anak-anak," katanya kepada G.qrne. Maklum, sejakawal tahun 1970-an, ketika rezim Orde Bam berjaya, makanan pokok orang Papua bergeser ke beras, dan ubi perlahanJahan ditinggalkan. Pergeseran pola makanan pokok itu semakin kentara memasuki akhir ta- hun 1990-an hingga saat ini. Beras yang mulanya hanya dikonsumsi masyarakat di perkotaan kini juga dikonsumsi olehwarga yangtinggal di pedalamanPapua, terutama di kawasan Papua Barat. Data dari Badan Pusat Statistik mengungkapkan, pada 201 0 asupan kalori penduduk Papua Barat Mengernbalihn Harkat tlbi J a M a syarakat Kab u p ote n J ayowi j lyo, P ap u a, m uloi ke m b oli m e n g e m - bangkon tanaman ubijalor sebgai makanon pokok di samping beras. Untuk meningkatkan ketahanon plngln, jugo mengembalikon keseim- bongan ekologis yong sempot hilang akibat tergusurnya ubi oleh beras. h- 'o sfi..", We mayoritas atau sejumlah 46% berasal dari biji-bijian, termasuk beras. Sedangkan asupan kalori dari umbi-umbian hanya sebesar 9,65o/". Sementara itu, di Provinsi Papua sendiri konsumsi beras dan makanan pokok lokal seperti ubi dan sagu hampir berimbang, yaitu antara 28o/o dan 29o/". Sebenarnya tak ada yang salah dari feno- mena pergeseran pola makan pokok ini. Terlebih, selain karena kebijakan rezim sejak Orde Baru, pergerseran pola makan ini juga didorong semakin banyaknya kaum pendatang dari luar Papua yang kini jumlahnya mencapai 47o/o. Hanya saja, jika "invasi" beras ini mematikan per- kembangan pangan lokal, maka ketahan- an pangan mayarakat Papua sebenarnya terancam. Kiloner Wenda, staf Oxfam Papua Programme, mengatakan bahwa angka ketergantungan kalori terhadap beras secara umum di Papua sudah sangat tinggi, yaitu mencapai 80o/o-90o/o. "Ini sangat mengkhawatirkan di masa mendatang, karena konsumsi beras di tingkat rumah tangga bertambah besar, sedangkan konsumsi pangan lokal cen- derung memrrun," ujarnya kepada G,qrnA.. Kekhawatiran Kilo--begitu ia disapa-- sangat beralasan. Sebab, kaitan antara semakin hilangnya pangan lokal dan kerawanan pangan memang sangat erat. LTbi: Bukan Sekadar Pangan Biasa Sejak ratusan tahun silam, ubi telah menempati posisi yang sangat unik dalam peri kehidupan dan peri ke- budayaan masyarakat Papua. Kebu- dayaan masyarakat Papua sudah lama mengenal trilogi antara manusia-ubi- babi. Kebudayaan ini berkembang. sehingga ubi dan babi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan tiga belas suku Melanesia yang hidup di Papua yang terpola dalam I 3 daerah budaya atau teri- tori pemerintahan adat. Lrbi jalar berkembang menjadi ma- kanan pokok masyarakat yang tinggal di pegunungan, pesisir pantai, dan ke- pulauan. Sedangkan sagu menjadi makan- 40 GATRA 11JULI2O12

Upload: staf-kampanye

Post on 04-Aug-2015

106 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Mengembalikan Harkat Ubi Jalar, disiarkan Majalah Gatra edisi NO 35 11 Juli 2012 / Gatra Magazine published about the life of sweet potatoes farmers in Papua Provi nce as part of the book published by Oxfam Area Papua Programme Ubi Jalar: Si Ma nis Pemberi Kehidupan (Sweet Potatoes: Sweet Life-Giver, Oxfam, Papua Area Prog ramme, January 2012)

TRANSCRIPT

Page 1: GATRA Edisi 35 Kilo Ubi 2012

UBI JALAR PAPUA

;i'4',

/...

:t8:

Kelompok tani di Jayawijaya sedang menyortir ubi berdasarkan jenis dan ukurannya

epotong ubi jalar bagi SarlotaIday adalah kehidupan. Semen-

lak ditinggal mati suaminya,Tomas Huby, tahun 2001 silam,

LJ perempuan asal KampungMusaima, Distrik Hubkiak, KabupatenJayawijaya, Papua, ini menggannrngkanhidup keluarganya pada bertanam ubijalar dan sa1nr ma1rr. Bersama beberapapetani lain di wilyah itu, janda beranakempat ini memilih bertahan membu-didayakan umbi-umbian yang sejak da-hulu memang menjadi makanan pokokbangsa Papua.

Meski ubi sempattaklagi memberi-kannya harapan hidup, Sarlota tetap setiamembudidayakan tanaman yang sejakabad ke-16 telah menjadi makanan pokok

ras Melanesia itu. "Hasil bertani padamulanya hanya bisa unruk memenuhikebutuhan hidup keluarga saja. tetapipemasukan uang tidak ada untuk sekolahanak-anak," katanya kepada G.qrne.Maklum, sejakawal tahun 1970-an, ketikarezim Orde Bam berjaya, makanan pokokorang Papua bergeser ke beras, dan ubiperlahanJahan ditinggalkan.

Pergeseran pola makanan pokokitu semakin kentara memasuki akhir ta-hun 1990-an hingga saat ini. Beras yangmulanya hanya dikonsumsi masyarakat diperkotaan kini juga dikonsumsi olehwargayangtinggal di pedalamanPapua, terutamadi kawasan Papua Barat. Data dari BadanPusat Statistik mengungkapkan, pada201 0 asupan kalori penduduk Papua Barat

Mengernbalihn Harkat tlbi J a

M a syarakat Kab u p ote n J ayowi j lyo, P ap u a, m uloi ke m b oli m e n g e m -

bangkon tanaman ubijalor sebgai makanon pokok di samping beras.Untuk meningkatkan ketahanon plngln, jugo mengembalikon keseim-bongan ekologis yong sempot hilang akibat tergusurnya ubi oleh beras.

h- 'osfi..",

We

mayoritas atau sejumlah 46% berasal daribiji-bijian, termasuk beras. Sedangkanasupan kalori dari umbi-umbian hanyasebesar 9,65o/".

Sementara itu, di Provinsi Papuasendiri konsumsi beras dan makananpokok lokal seperti ubi dan sagu hampirberimbang, yaitu antara 28o/o dan 29o/".Sebenarnya tak ada yang salah dari feno-mena pergeseran pola makan pokok ini.Terlebih, selain karena kebijakan rezimsejak Orde Baru, pergerseran pola makanini juga didorong semakin banyaknyakaum pendatang dari luar Papua yangkini jumlahnya mencapai 47o/o. Hanyasaja, jika "invasi" beras ini mematikan per-kembangan pangan lokal, maka ketahan-an pangan mayarakat Papua sebenarnyaterancam.

Kiloner Wenda, staf Oxfam PapuaProgramme, mengatakan bahwa angkaketergantungan kalori terhadap berassecara umum di Papua sudah sangattinggi, yaitu mencapai 80o/o-90o/o."Ini sangat mengkhawatirkan di masamendatang, karena konsumsi beras ditingkat rumah tangga bertambah besar,sedangkan konsumsi pangan lokal cen-derung memrrun," ujarnya kepada G,qrnA..

Kekhawatiran Kilo--begitu ia disapa--sangat beralasan. Sebab, kaitan antarasemakin hilangnya pangan lokal dankerawanan pangan memang sangat erat.

LTbi: Bukan SekadarPangan Biasa

Sejak ratusan tahun silam, ubitelah menempati posisi yang sangatunik dalam peri kehidupan dan peri ke-budayaan masyarakat Papua. Kebu-dayaan masyarakat Papua sudah lamamengenal trilogi antara manusia-ubi-babi. Kebudayaan ini berkembang.sehingga ubi dan babi menjadi bagiantak terpisahkan dari kehidupan tiga belassuku Melanesia yang hidup di Papua yangterpola dalam I 3 daerah budaya atau teri-tori pemerintahan adat.

Lrbi jalar berkembang menjadi ma-kanan pokok masyarakat yang tinggaldi pegunungan, pesisir pantai, dan ke-pulauan. Sedangkan sagu menjadi makan-

40 GATRA 11JULI2O12

Page 2: GATRA Edisi 35 Kilo Ubi 2012

IarPapuaan sekunder. "Misalnya, di wilayah SukuLanny di pegunungan tengah Papua, ubijalar diusahakan dari sejak dahulu denganpengetahuan lokal yang tidak kalah de-ngan teknologi pertanian modern," kataKilonerWenda.

Kilo mengatakan, masyarakatLanny sejak lama sudah mengenal teknik

- berrani ubi jalar yang nraiu. seperti prosespengolahan tanah, penanaman, pemeli-haraan. pemupukan. dan pengolahan ha-sil panen. Sementara itu, bagi masyarakatdi dataran rendah dan pinggiran sungai,sagu menjadi makanan pokok sebalikiryaubi jalar menjadi makanan sekunder.

Jika ubi berkembang menjadi ma-kanan pokok, dalam perkembangannyababi men.jadi makanan unnrk mernenuhikeburuhan protein. kirrsusnya proteinhewani. Sejak itu, ubi dan babi menjadittrlang punggung penghidupan secaraturun-tenurun bagi masyarakat Papua.Tiilogi rnanusia-ubi-babi telah mencipta-kan sebuah keseimbangan dalam sistemkehidupan masyarakat Papua.

HilangL'biHilang Keseimbangan

Tiilogi manusia-ubi-babi secaratunrn-temurun berkembang menjadi un-suryang saling berkait dan saling membu-tuhkan satu sama lain, membenmk satukesatuan ekologis. Ubi berperan sentralbagi kehidupan orang Papua dan jugamenjadi sumber pakan bagi ternak babi.Selanjutnya, babi nerupakan sumberprotein bagi manusia.

Di sisi lain, ubi dan babi membunrh-kan manusia unfill< rnerawat dan membu-didayakannya untuk keberlangsunganhidupnya. Begitulah seremsnya siklus irutercipta. Orang Papua, terutama di wi-layah pegunungan, pesisir pantai, dankepulauan, mengenai ungkapan ini:"Mbingga inikime time uam ulnage,lt)uuwlnage niniebe 0p wlnlge, kwe wctnogw,ninamhzdik-ninamendek abok aret w lnagemenggerak!"

Artinya kira-kira: tanaman ubimemberikan harapan hidup dan ber-kembang biak bagi babi dan manusia,tanaman ubi dari sisi ekonomi adalah

tg{*f7;

Memanen ubijalar

penghasil uang, sehingga mernungkinkanorang rnerniliki apa saja yang dibutuhkan.Karena rantai yang saling mengait inilah,jika salah satu unsur hilang maka kese-imbangan akan terganggu. "Hilangnyakeseimbangan tentu akan mernunculkanberbagai masalah sosial," kata Ki1o.

Sejak beras perlal-ran-lahan meng-gantikan ubi jalar sebagai makanan pokokmasyarakat Papua, ubi jalar pelan-pelansemakin ditinggalkan dan terabaikan. Halini ternyata tidak saja rnernbau-a dampakpada masalah kerawanan pangan. Secarakeselur-uhan, menurxt Ki1o, keseimbang-an ekologis juga menjadi terganggu.

Hilangnva ubi secara langsung ter-nvata membawa dampak menurunnyaproduktivitas ternak babi. "Pakannyajadi tidak memadai bagi babi, sehinggapada 2003 ribuan ternak babi mati akibatkolera," kata pria kelahiran LanyJaya,Papua, 2 1 Juni 197 6, rt:t.

Hilangnya babi dalam rantai ke-hidupan masyarakat Papua bukan hanvaberarti kehilangan sumber protein,rnelainkan juga identitas budaya. Babimenempati posisi yang tak kalah unik dariubi jalar dalam kebudayaan masyarakatPapua. Selain sebagai sumber pangan,babi juga menjadi bagian penting dalarnsemua peristiwa kehidupan orang Papua,dari kelahiran, perkawinan, hingga ke-matian. Semua peristiwa itu ditandai de-ngan penyembelihan babi.

ir.-?$.s.

#IF'Yx" si:i ' *x

!{r"

Dampak Ekonomi-SosialMenghilangnya Lrbi Jalar

Hilangnya dua sumber makananmasyarakat Papua ini juga sangat ber-pengaruh pada munculnya berbagairnasalah seperti kelaparan, kurang gizi,bahkan penyakit seperti HfV Sejak berasmenggantikan ubi, secara tidak sadarmasyarakat Papua menggantungkan pa-kannya pada makanan pokok yang tidakditanamnya sendiri. "Masyarakat kemudi-an bergantung pada makanan yang har-usdidatangkan dari luar," ujar Kilo.

Infiastruktur alam Papua yang takmemungkinkan dilakukannva budi dayapadi secara luas membuat kebutuhankonsumsi beras per tahun yang nrerrcapai132.000 ton sebagian besar (7.1%) harusdipenuhi dari luar Papua. Pasokan lokalhanya bisa memenuhi 25% kebutuhan.Akibanrya, beras menjadi kornoditas yangsangatmahal.

Harga sekilo beras di Papua bisamencapaiRp 2 5.000, bahkandipedalamanmencapai Rp 50.000. Karena pola makanyang sudah bergeser ke beras, sementaramasyarakat asli --terrrtama kaurn petani,peternak, dan pemburu yang ada di peda-laman-- tidak memiliki cukup uang, makamasalah kekurangan gizi, kelaoaran, danbusung lapar pun terjadi.

Selain itu, kata Kilo, ketergantung-an pada beras juga menimbulkan masalah

+i,='. - -fll;--\ -- \ rdf

GATRA 11 )ULI2O12 41

Page 3: GATRA Edisi 35 Kilo Ubi 2012

UBI JALAR PAPUA

lain, seperti prostitusi yang berkontribusibesar pada tingginya angka persebarankasus HfV/NDS di Papua. Terdorongkebutuhan akan uang, banyak perempuandi Papua akhirnya terjun ke dunia pros-titusi demi bisa memberikan berasuntuk makan keluarga. Di sisi 1ain, tidakhigienisnya hubungan seksual dalamdunia prostitusi menjadi pintu masukpersebaran IIIV/AIDS dan berbagai jenispenyakit kelamin lainnya.

Data tahun 2010 menyebutkan,di Kabupaten Jayawljaya saja terdapat905 kasus HIV/NDS. Dari jumlah itu,penderita laki-laki berjumlah 540 jiwa

. dan perempuan 346 jiwa, serta anak-anakdi atas usia 14 tahun berjumlah 19 jiwa."Angka ini luar biasa, meningat jumlahpenduduk Kabupaten Jayawijaya tidakbegitu besar," kata Kilo.

Di sisi lain, keseimbangan alarn jugaterganggu karena sistem pertanian ubiyang berdasarkan pengetahuan lokal yangmemanfaatkan pupuk organik dan me-nabukan pestisida juga il-ut menghilang.Sebagai gantinya adalah sistem pertanianrnodern yang banyak menggunakan pu-puk kima dan juga pestisida. Selain itu,kebutuhan air yang besar dari sistem iniluga menganggu keamanan air.

Di sisi lain menghilangnya ubi ja-lar juga mengikis kekayaan hayati yangterdapat di tanah Papua. Dari sekitar300-an jenis umbi-umbian yang pernahtumbuh, kini sebagian besar sudah punah."Bukan tak mungkin, suatu saat ubiakan punah sama sekali," kata KilonerWenda. Karena itulah, sejak 2001, Kilodengan beberapa kawan mulai berjuangmengembalikan harkat ubi jalar keposisinya semula yang begitu terhormatdi masyarakat Papua." ujarnya.

Mengembalikan LrbiMengembalikanKeseimbangan Ekologi

Kilo tergerak untuk mengembang-kan ubi setelah pulang dari menuntutilmu diJawa. Di r-umah, ia terkaget-kagetkarena keluarga menyambutnya denganmenu nasi. "Padahal saya kangen denganubi jalar dengan daging babi karEnasudah delapan tahun berpisah, kenapatak dihbatkan ubi jalar dan babi untukmenyambut keluarga yang pulang dantamu seperti dulu?" ujarnya.

Sejak ada beras, menurut Kiloubi dianggap makanan tak bergizi danhanya dimakan orang miskin. "Padahal

Tempat pengumpulan ubijalar dari para petani

di Papua dulu ukuran kekayaan adalahberapa babi yang dia punya dan berapaluas lahan ubi yang dia punya," katanya.Tahun 2003, Kilo pun mulai melakukansurvei dan berbagai penjajakan untukkembali membudidayakan ubi sekaligusmengembalikan keseimbangan ekologisyanghilang.

Kebetulan, pada 2009, ia bergabungdengan Oxfam, iembaga swadaya mas-yarakat yang memfokuskan diri padamasalh pangan. Lewat lembaga inilah,dibantu yayasan lokal yaitu YayasanPendidikan Usaha Mandiri ffapum) diWamena, Kilo memulai kegiatan pilotproyek dengan melibatkan empat eklom-pok tani dengan jumlah anggota 5 5 kepalakeluarga.

Mereka memanfaatkan lahan se-luas 10 hektare di Kampung Musaima,Distrik Hubkiak, Jayawijaya untukrnengembangkan ubi jalar. Denganmengembangkan pengetahuan lokal,mereka berhasil memproduksi sekitar90-145 kilogram ubi jalar per hektare.Hasil ini memang sangat mengejutkan,mengingat kebutuhan sekarang untukrumah tangga untuk pangan dan pakanbabi hanya sebesar 7 ton per tahun perkeiuarga.

Kelebihan produksi menjadi tan-tangan tersendiri bagi Kilo dan kawan-

kawan untuk memanfaatkannya. Karenaitu, kemudian dikembangkan divisi wira-usaha untuk memasarkan hasil kelebihanpanen tadi dan juga untuk pengolahansisa panen menjadi bentuk pangan lain se-perti tepung, kue, roti, dan mi. "Saat ini,jenis-jenis bahan pangan tersebut masihdiolah dalam skala kecil oleh masyarakat

Jayawijaya," kata Rio Pangemanan,Manajer Bisnis Oxfam Papua.

Saat ini, usaha tersebut sudahberkembang dengan melibatkan 226kelompok tani dan lahan seluas 2.500hektare. Perempuan seperti Sarlota Itlaymenjadi ujung tombak dalam pengem-bangan kembali pangan lokal Papua ini.Sarlota sendiri mengaku gembira dengankembalinya ubi secara perlahan men-jadi makanan yang bermartabat sepertisediakala.

Kini ubi sudah bisa memberikanpenghidupan yang layak bagi Sarlota dankeluarganya. "Kini saya bisa menghasilkanpendapatan uang unnrk membiayai anak-anak sekolah," ujarnya. Kebanggan itu se-makin terpatri dengan keberhasilan anak-anaknya mengecap bangku pendidikan."Bahkan putri pertama saya, Fitri Hubir,kini kuliah D3 keperawatan di Wamena,"katanya, bangga. n

M. AGUNG RTYADI

..::}.

o-

PAPUA INIERPRISE DEVETOPMENT PROGRAM (EDP)

f g!!!p&T pg9{{:i1$,3PiiL

WWW ffiMW-WWWIIAYAH

@

42 GATRA.II )ULI2O12