fundamentalisme dan gerakan radikal

Upload: adhie-prasetyo-nugroho

Post on 14-Jan-2016

65 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fundamentalisme

TRANSCRIPT

FUNDAMENTALISME DAN GERAKAN RADIKAL

FUNDAMENTALISME DAN GERAKAN RADIKALISLAM KONTEMPOREROleh : mahasiswa stit sunan giri trenggalek

PENDAHULUANIslam adalah merupakan agama yang rohmatan lil alamin dan sholihun likulli zaman wa al makan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi politik, budaya, ekonomi, isu demokrasi, keterbukaan dan ketidak adilan dari negara adikuasa membawa kecemasan dengan lahirnya berbagai kelompok agama, termasuk Islam yang cenderung mengedepankan kekerasan untuk mencapai tujuan dan mengedepankan pengelompokan sosial dan politik berdasarkan identitas agama dan etnik yang berlebihan.[footnoteRef:2] Hal ini yang menyebabkan kita dibenturkan dengan berbagai label Islam yang diikutkan dengan nama seperti : Fundamentalis, militan, radikal, teroris, modernis, liberalis dan sekularis dan lain-lain. Bahkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Willy Claes pernah memperlihatkan kegusarannya atas bangkitnya Fundamentalisme Islam dan bahkan menudingnya sebagai ancaman utama bagi peradaban Barat.[footnoteRef:3] Cara pandang sementara kelompok di Barat yang melihat Fundamentalisme Islam sebagai ancaman langsung bagi jantung peradaban Barat sesungguhnya tidak cukup beralasan. Akan tetapi cara ekspresi Fundamentalisme Islam yang cenderung menggunakan retorika Anti Barat resistant dan kritis terhadap agenda politik dan budaya Barat serta tindakan kekerasan (radikal) dan fanatik yang siap mati melawan the great satan, Amerika Serikat, membuat kita mudah memahami kekhawatiran sementara kalangan dunia Barat tersebut. [2: Ahmad Suaedy, Islam dan Pluralisme (makalah di Wahid Institut), 4 Mei 2007] [3: http://www.Interseksi.org/Publications/essays/articles/Fundamentalisme.html.akses 26 oktober 2008]

MENELISIK TERMINOLOGI FUNDAMENTALISMEMengenai penggunaan term fundamentalisme, banyak sarjana yang mengakui bahwa penggunaan istilah fundamentalisme itu problematik dan tidak tepat. Istilah ini seperti dikatakan William Montgomery Watt, pada dasarnya merupakan suatu istilah Inggris kuno yang ditujukan kepada kalangan Protestan yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara rigid dan harfiah. Istilah sepadan yang paling dekat dalam Bahasa Perancis adalah integrism, yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian kecenderungan yang sama di kalangan kaum Katolik Romawi. Kaum fundamentalis Sunni menerima Al Quran secara harfiah, sekalipun dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga memiliki sisi lain yang berbeda. Kaum Syiah Iran, yang dalam suatu pengertian umum adalah para fundamentalis, tidak terkait kepada penafsiran harfiah Al Quran. Watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh.[footnoteRef:4] [4: William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 3-4]

Fazlur Rahman tampaknya kurang suka memakai istilah fundamentalisme, ia lebih suka memakai istilah revivalism. Seperti dalam bukunya Revival and Reform in Islam, Rahman yang digolongkan sebagai pemikir neo-modernis ini mengatakan bahwa pergerakan reformasi sosial pra-modern yang menghidupkan kembali makna dan pentingnya norma-norma Al Quran di setiap masa. Mereka adalah kelompok pra-modern fundamentalis-tradisionalis-konservatif yang memberontak melawan penafsiran Al Quran yang digerakkan oleh tradisi keagamaan, sebagai perlawanan terhadap penafsiran yang disandarkan pada hermeneutika Al Quran antar teks (inter-textual). Menurut Rahman, dalam daftar kosa katanya, fundamentalis sejati adalah orang yang komitmen terhadap proyek rekontruksi atau rethinking (pemikiran kembali). Fazlur Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodoksi untuk kemunculan gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan ortodoksi ini bangkit dalam mengahadapi kerusakan agama dan kekendoran serta degenerasi moral yang merata di masyarakat muslim di sepanjang propinsi-propinsi Kerajaan Utsmani (Ottoman) dan di India. Ia menunjukkan gerakan Wahabi yang merupakan gerakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang sering dicap sebagai fundamentalisme.[footnoteRef:5] [5: Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam : Studi tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2000), hal. 14]

David Sagiv, seorang penulis Yahudi mengatakan bahwa lebih dari dua dekade, slogan-slogan al-ushuliyah al-Islamiyah (akar Islam atau Fundamentalisme Islam) telah menyihir berjuta-juta kaum muda di dunia Islam pada umumnya dan di Mesir khususnya, disamping istilah-istilah lainnya seperti al-salafiyah (warisan leluhur), al-sahwah al-Islamiyah (kebangkitan Islam), al-ihya al-Islami (kebangkitan kembali Islam) atau al-badil al-Islami (alternatif Islam).Sementara itu, Bassam Tibbi mendefinisikan fundamentalisme bukan sebagai kepercayaan spiritual, tetapi sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurut defenisi ini, ideologi ini bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ia menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama terhadap pandangan-pandangan sekular yang menolak hubungan antara agama dan politik. Jadi sesuai wataknya fundamentalisme bersifat absolutis, dan karena kita bergerak ke abad yang akan datang, fundamentalisme itu tampak sedang menempatkan jejaknya pada politik dunia.[footnoteRef:6] [6: Bassan Tibbi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000) hal. 23]

Dalam bukunya Al-Ushuliyah Bain al-Gharbi wa al-Islam Muhammad Imarah menggunakan kata ushuliyah untuk fundamentalisme. Muhammad Imarah menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian istilah fundamentalisme seperti dikenal orang Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer.[footnoteRef:7] [7: Lihat Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani, 1999), hal 9]

Kaum ushuliyun (fundamentalis) di Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil dan qiyas, serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran liberal nas-nas. Sementara kaum ushuliyun dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fiqh yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad dan pembaharuan.[footnoteRef:8] [8: Ibid, hal 35]

Tokoh-tokoh yang bisa digolongkan modernis dan neo-modernis menggunakan istilah fundamentalisme dengan nada yang berbau sinisme. Fazlur Rahman, misalnya menyebutkan kaum fundamentalisme sebagai orang-orang yang dangkal dan superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumberkan Al Quran dan budaya intelektual tradisional Islam. Istilah fundamentalisme digunakan secara negatif untuk menyebutkan gerakan-gerakan Islam berhaluan keras seperti di Lybia, Aljazair, Lebanon dan Iran.[footnoteRef:9] [9: Yusril Ihsa Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta : Paramadina, 1999,) hal 6]

Akibat istilah yang digunakan oleh media massa, pengertian kaum fundamentalis muslim kini cenderung diartikan sebagai kelompok Islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan menggunakan cara-cara kekerasan Fundamentalisme Islam bagi media-media Barat tidak lain berarti Islam yang kejam, Islam yang cenderung terbelakang dan sebagainya.Golongan-golongan yang kurang simpati, menyebutnya dengan istilah mutaashibun (orang-orang fanatik) atau pun mutatharifun (orang-orang radikal). Pemerintah Indoensia secara khusus menggunakan istilah ekstrim kanan untuk menyebutkan fundamentalisme. Kelompok ini dituduh ingin mengganti negara pancasila dengan negara Islam. Di Malaysia, Istilah puak pelampau (orang-orang ekstrim) atau puak pengganas (orang-orang kejam) telah lazim digunakan oleh media massa untuk mengganti istilah kaum fundamentalis. Menurut Leonard Binder, sebagai aliran keagamaan fundamentalisme adalah aliran yang bercorak romantis kepada Islam periode awal. Mereka berkeyakinan bahwa doktrin Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala persoalan. Hukum-hukum Tuhan diyakini telah mengatur seluruh alam semesta tanpa ada masalah-masalah yang luput dari perhatiannya.Bagi Allan Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan rigid dan literalis. Menurut Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan taashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ketujuh masehi, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.[footnoteRef:10] [10: Ibid, hal 17]

Sementara Bassam Tibi dalam bukunya The Challenge of Fundamentalism : Political Islam and the New World Disorder (1998), seperti dikutip Alfan Alfian M, seorang peneliti dari Yayasan Katalis, memandang fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik. Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tataran baru berdasarkan interprestasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini hal itu baru sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara ekonomi, politik dan militer.[footnoteRef:11] [11: Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism : Political Islam and the New Disorder, (Berkeley , Los Angeles, London : University of California Press, 1998), hal 2]

Dalam konteks pendefinisian fundamentalisme, Bassam Tibbi mendefinisikan fundamentalisme bukan sebagai kepercayaan spiritual, tetapi sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurut definisi ini, ideologi ini bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ia menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama terhadap pandangan-pandangan sekular yang menolak hubungan antara agama dan politik. Jadi sesuai wataknya fundamentalisme bersifat absolutis dan karena kita bergerak ke abad yang akan datang, fundamentalisme itu tampak sedang menempatkan jejaknya pada politik dunia.[footnoteRef:12] [12: Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000), hal 35]

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA FUNDAMENTALISME Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya fundamentalisme dalam Islam, antara lain :1. Pemahaman agama yang salah dan parsial.2. Kemiskinan dan keputus-asaan dalam mengahadapi hidup.3. Penindasan dan kesewenang-wenangan dari penguasa atau kelompok yang lebih kuat.4. Lemahnya penegakan hukum oleh aparat, terutama jika kemaksiyatan dan kemungkaran dibiarkan semakin meraja lela.[footnoteRef:13] [13: Disarikan dari acara talk show ketua Center for Moderate Muslim (CMM) Tarmizi Taher di RRI pada tanggal 13 April 2005. Bandingkan dengan uraian Rabbi Mosha Reiss, ISLAMISM OR FUNDAMENTALIST ISLAM, dalam http://www.alshaab.co/GIF/28-06-2002/Q.htm. ]

Dalam pandangan Abdullah Saeed, munculnya fundamentalisme paling kurang dipicu oleh sejumlah hal seperti :1. Kolonialisme barat atas wilayah-wilayah Islam2. Pembatasan dan pengawasan sumber-sumber ekonomi negara muslim, pembiaran negara muslim agar tetap lemah, pencegahan kekuatan muslim untuk bangkit melawan hegemoni barat, serta pendudukan wilayah muslim oleh barat.3. Politik double standar yang diterapkan oleh barat, pembatasan dakwah Islam sementara disisi lain mensupport missionaris.4. Perasaan ketidakberdayaan dalam menghadapi barat yang powerfull, yang hampir putus asa buat dilawan dengan jalan biasa.[footnoteRef:14] [14: Abdullah Saeed, Islamic Thought : An Introduction, New York : Routledge, 2006, hal. 149]

Dalam pandangan Amstrong, fundamentalisme dilatarbelakangi oleh dua kondisi penting; 1) Ia merupakan reaksi terhadap kebudayaan ilmiah dan sekuler yang muncul pertama kali di Barat dan kemudian merambah seluruh kawasan dunia. Tradisi modernitas dianggap mengancam eksistensi agama bagi para pengikutnya dan menjauhkan umat beragama dari kebenaran sejatinya, dan 2) Rasionalisme dan intelektualisme yang menimbulkan revolusi sosial dan politik telah menyebabkan perubahan tatanan ekonomi dunia yang luar biasa akibat perubahan pola reproduksi sumberdaya yang terjadi dalam kurun 400-an tahun telah berhasil mengguncang seluruh kawasan di dunia, termasuk negara-negara muslim.[footnoteRef:15] [15: Dikutip oleh Muhsin Jamil dalam Membongkar Mitos Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam Liberal versus Islam Literal (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Ilham Institute, 2005)]

Sedangkan tujuan fundamentalisme menurut Ahmad Jaenuri adalah :1. Kerinduan untuk menampilkan kembali kejayaan Islam masa lalu ke masa sekarang.2. Sebagai respon dan reaksi atas kemunduran umat Islam.3. Sebagai respon atas kegagalan Barat dalam menjawab problematika umat Islam.[footnoteRef:16] [16: Achmad Jainuri,Fundamentalisme Islam : Asal Usul dan Karakteristik , dalam Jural Akademia, Vol. 13, (2003), hal 1-14]

PRINSIP-PRINSIP FUNDAMENTALISMEMark Jurgensmeyer mengatakan : the causal relationship between religion and violence can move in either direction. Relligion can give rise to violence; violence can revive interest in religion.[footnoteRef:17] Dalam relasi yang demikian, maka antara agama dan kekerasan sebenarnya dihubungkan oleh satu simbol sebagai variabel ketiga yang beranama kekuasaan; kekuasaan politik, ekonomi, kultur dan lain sebagainya. Sementara itu, Kelton Cobb menilai bahwa tidak fair mengatakan bahwa agama berada di balik semua tindakan kekerasan, walaupun ada narasi-narasi keagamaan yang dapat memicu dan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan atas nama agama.[footnoteRef:18] [17: Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God; The Global Rise of Religious Violence (Barkley/Los Angeles/London : University of California Press, 2001), hal 161] [18: Kelton Cobb dalam Ian Markham dan Ibrahim Abu Rabi (editor), 11 September : Religious Perspective on The Causes and Consequences (Oxfor : One World Publication, 2002) hal 156]

C.E Martin E Marty, seorang ahli sosiologi agama mencatat empat prinsip yang menandai fundamentalisme agama;[footnoteRef:19] [19: Muhsin Jamil, op.cit, hal 98-99]

1. Oppositionalism. Fundamentalisme adalah oposisionalisme atau paham perlawanan yang bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang dapat membahayakan eksistensi agama, seperti modernitas atau modernisme, sekularisme dan tata nilai Barat pada umumnya.2. Anti-Hermeneutic. Penolakan terhadap hermeneutika dan berbagai sikap kritis terhadap teks-teks keagamaan. Teks agama harus dipahami secara literal sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interprestasi yang tepat terhadap teks itu.3. Anti-Pluralism and Relativism. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dipandang sebagai hasil pemahaman yang salah terhadap teks-teks suci dan lepas dari kendali agama.4. A-Histories and A-Sociologies. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang dapat membawa manusia semakin jauh dari kebenaran doktrin literal agama.Menurut Karen Amstrong, fundamentalisme merupakan mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas kritis yang mengancam, seperti kepercayaan-kepercayaan baik mistis maupun ilmiah dan kebijakan-kebijakan yang dianggap memusuhi agama. Kaum fundamentalisme memandang pertempuran melawan ancaman ini sebagai bukan pertarungan politik biasa, melainkan sebagai pertarungan kosmis antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kepalsuan dan antara tentara Tuhan melawan iblis dan setan yang harus dihukum.

CIRI-CIRI KELOMPOK FUNDAMENTALISMEOrang-orang fundamentalisme (Islam) dalam pandangan Richard Nixon, mantan Presiden Amerika adalah mereka yang memiliki ciri-ciri :1. Mereka yang digerakkan oleh kebencian mereka yang besar terhadap Barat,2. Mereka yang bersikeras untuk mengembalikan peradaban Islam yang lalu dengan membangkitkan masa lalu itu,3. Mereka yang bertujuan untuk mengaplikasikan syariat Islam,4. Mereka yang mengampanyekan bahwa Islam adalah agama dan negara, dan5. Meskipun mereka melihat masa lalu, namun mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun bagi masa depan. Mereka bukan orang-orang konservatif, namun mereka adalah orang-orang revolusioner.[footnoteRef:20] [20: Lihat Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani Press, 1999), hal 21]

Martin E. Marty and R. Scott Appelby, memberikan ciri-ciri kelompok fundamentalis sebagai berikut :1. Menetang modernisme termasuk di dalamnya otonomi individual, hegemoni nalar dan ideologi kemajuan, termasuk di dalamya paham empirisme, scientism dan meritokrasi. Kaum fundamentalis tak punya kepentingan dengan demokrasi, pluralisme, toleransi agama, kebebasan berbicara dan lain-lain. Namun mereka, sungguhpun anti sekulerisme, namun tetap menjadi pengguna alat-alat hasil teknologi seperti komputer, internet, pesawat, alat-alat perang modern dan lain-lain.2. Meyakini bahwa kitab suci itu tak bisa dan tak akan pernah salah termasuk penafsiran mereka sendiri akan teks-teks suci itu. Hanya penafsiran kelompoknya sajalah yang benar sementara yang lain salah.3. Hanya meyakini kelompoknya saja yang benar dan selamat. Dalam kacamata penganut fundamentalisme, hanya ada dua pilihan, jadi pelayan Tuhan atau pelayan setan. (Dalam istilah Sayyid Qutb hanya ada dua nizham, nizham Islami atau nizham jahiliy).4. Cenderung bersikap tertutup alias eksklusif terhadap kelompok lain, namun sangat kuat ikatan persaudaraan sesama anggota.5. Kaum fundamentalis cenderung tertutup alias bersikap reaktif, defensive dan selektif serta tak segan-segan menggunakan jalan kekerasan untuk merealisir tujuannya.[footnoteRef:21] [21: http://www.moshereiss.org/west/04_fundametalism/04_fundamentalism.htm ]

Disamping ciri-ciri diatas dapat ditambahkan pula ciri lain yakni lebih mengedepankan pendekatan doktriner dalam menjawab berbagai persoalan dan mengabaikan penjelasan-penjelasan lain yang sebenarnya juga relevan. Slogan yang sering diusung adalah jihad dan menegakkan hukum Allah. Dalam nada yang sama, Akbar S. Ahmed menyimpulkan bahwa fundamentalisme Islam identik dengan radikalisme dengan menambahkan satu ciri dominan, yaitu vulgaritas, cenderung memakai kata-kata kasar dan kotor untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya, bahkan mereka kadangkala tidak menyadari bahwa mereka mengklaim dan memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar, memuakkan dan menjijikkan. Sementara Marty menambahkan ciri lain yakni anti pengunaan hermeneutika.[footnoteRef:22] [22: http://www.iterseksi.org/publications/essays/articles/fundamentalisme.html ]

Sebagai bahan kajian perbandingan pengertian fundamentalisme dalam Islam dan Kristen, baik dibaca James Barr dalam bukunya Fundamentalism mengemukakan ciri-ciri fundamentalisme (Kristen) sebagai berikut :1. Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun;2. Kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat studi kritik modern terhadap Alkitab;3. Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pendangan keagamaan mereka sama sekali bukanlah Kristen Sejati.[footnoteRef:23] [23: James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1996), hal 1]

GERAKAN RADIKALISME ISLAM KONTEMPORERSeperti telah dikemukakan diatas, bahwa ketidakpuasan politik, ekonomi, urbanisasi, kritis moral, ketidak adilan negara adikuasa terhadap kaum muslim dan lain sebagainya merupakan faktor yang signifikan bagi kelahiran gerakan radikalisme[footnoteRef:24] Islam kontemporer,misalnya : [24: Teori yang radikal dalam politik, paham yang mengingingkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan. Lihat Ummi Khutsum dkk. Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya : Kasiko, 2006) hal 560]

a. Al QaedaAl Qaeda (Bahasa Arab Pondasi atau Dasar) adalah suatu organisasi para militer fundamentalis Islam Sunni yang salah satu tujuan utamanya adalah mengurangi pengaruh luar terhadap kepentingan Islam. Al Qaeda secara resmi diproklamasikan oleh Usamah bin Laden[footnoteRef:25] pada Agustus 1998 ketika peperangan melawan Soviet hampir berakhir. Menurut Amerika Serikat, Uni Eropa, PBB, Britania Raya, Kanada, Australia dan beberapa negara lain, Al Qaeda digolongkan sebagai organisasi teroris Internasional karena Al Qaeda telah meniru gerakan-gerakan aliansi dengan pola pikir kelompok-kelompok fundamentalis, seperti misalnya kelompok Al Jihad di Mesir, Gerakan Hizbullah di Iran, Front Islam Nasional di Sudan dan kelompok Jihad lainnya di Yaman, Arab Saudi dan Somalia. Organisasi Usamah bin Laden juga memiliki ikatan-ikatan dengan kelompok Islam yang pada suatu ketika dibawah Pimpinan Syeikh Omar Abdel Rahman, seorang ulama Mesir yang menjalani hukuman seumur hidup pada tahun 1995 atas pengakuannya persengkokolan peledakan beberapa tempat di kawasan kota New York. Sejak itu Usamah bin Laden mempunyai reputasi menggeser nama-nama besar di dunia teror, seperti Abu Nidal, Mahmud Abu Halima, Ramzi Yusuf (Islam Arab), Simrajith Sing Maun (Sikh-India), Youl Herner (Yahudi-Israel) dan Shako Ashbara (sekte Aum Shinrikyo-Jepang).[footnoteRef:26] [25: Usamah bin Laden dilahirkan pada tanggal 28 Juni 1957 di kota Jeddah, Arab Saudi, Usamah adalah anak ke 17 dari 52 bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad bin Laden adalah seorang petani miskin dari Yaman yang kemudian berimigrasi ke Saudi Arabia dan setelah Perang Dunia II ditempat yang baru ini Muhammad bin Laden memulai usahanya yang baru bergerak dalam bidang bisnis pembangunan di Arab Saudi yang memperoleh keuntungan dan saham diperkirakan sebesar 300 miliar dolar Amerika. Usamah bin Laden lulus menyelesaikan studinya dan diwisuda Sarjana Tahun 1979 dalam bidang Ekonomi dan manajemen pada Universitas King Abdul Azis Jeddah. Salah satu diantara gurunya adalah Syekh Abdullah Azzam sebagai tokoh utama yang memainkan peran mobilisasi dukungan bangsa Arab bagi kaum mujahidin yang berperang melawan Uni Soviet atas Afganistan. Pada tahun 1979 Usamah bin Laden berangkat ke Afganistan bergabung dengan milisi kaum mujahidin.] [26: Harian the Strait Times, Singapura, edisi 20 januari 2002, Is There an Al-Qaeda Connection in Indonesia]

Bukti kekerasan Al Qaeda antara lain : Pada tahun 1993 Usamah bin Laden dituduh melatih orang-orang yang terlibat dalam penyerangan pembunuhan 18 tentara pekerja sosial di Somalia. Pada tahun 1996 Penegak hukum Amerika Serikat menuduh bahwa Usamah bin Laden memiliki Jaringan dengan serangan-serangan yang gagal atas dua hotel di Yaman dimana para tentara Amerika Serikat bermalam dalam perjalanan mereka ke Somalia. Pada tanggal 7 Agustus 1998 dua truk bermuatan bom meledak diluar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Nairobi, Kenya dan di Dares Salaam, Tanzania. Usamah bin Laden menolak bertanggungjawab, tetapi para hakim menegaskan keterlibatannya.[footnoteRef:27] [27: Ibid ]

Pada 11 September 2001 yang merupakan sukses terbesar Al Qaeda yang menewaskan 2000 orang, sejak itu Bin Laden menjadi Public enemy number yang kepalanya dihargai US $ 10 juta oleh FBI.[footnoteRef:28] [28: ibid]

Al Qaeda dibandingkan dengan jaringan teror lainnya adalah pada kemampuannya mengusung tema-tema agama sebagai kekuatan perlawanan. Meminjam Michael Facault, epistima kuat yang menggerakkan teror adalah perubahan paradigma pemikiran dari kesatuan agama menuju radikalisasi (jihad menurut para pelakunya dan teroris dalam pandangan Barat).[footnoteRef:29] [29: Mark Jurgensmeyer, Terror in the mind of God, oxford University, Press, 2001]

b. Jamaah IslamiyahAsal UsulAsal usul Jamaah Islamiyah[footnoteRef:30] (JI) adalah nama untuk kumpulan Muslim yang beroprasi di Asia Tenggara. Kumpulan ini menjadi populer selepas peristiwa pengeboman sebuah pusat hiburan di Bali pada 12 Oktober 2002, yang mengorbankan 202 nyawa, dan pengeboman di Hotel J.W. Marriot, Jakarta, pada 5 Agustus 2003, yang membunuh 12 orang. Kemudian JI juga dipercayai bertanggungjawab ke atas pengeboman di depan pejabat Kedutaan Australia di Jakarta pada 9 September 2004 dan beberapa siri pengeboman gereja di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Oleh itu, JI secara resmi dimasukkan kedalam senarai organisasi terorisme di PBB pada 23 Oktober 2002. [30: Jamaah Islamiyah berasal dari bahasa Arab, Jamaah Islamiyyah yang berarti Kelompok Islam atau Islamic Organisation]

Walaupun dilaporkan bahwa JI baru ditubuhkan di Malaysia sekitar tahun 1990-an oleh Abdullah Sungkar[footnoteRef:31] bersama-sama dengan veteran perang Afganistan yang terlibat dengan Al Qaeda, namun menurut sebagian pengamat, akar kumpulan JI telah bermula sejak tahun 1970-an. [31: Abdullah Sungkar, lahir tahun 1937 di Solo, berasal dari keluarga ternama pedagang batik, berketurunan Arab Yaman. Ia ikut mendirikan Pondok Ngruki (Pesantren al-Mukmin) di Solo, Jawa Tengah dan Pesantren Luqmanul Hakiem di Johor, Malaysia. Ditahan beberapa waktu tahun 19977 karena mempengaruhi masyarakat untuk golput (golongan putih : tidak mengundi dalam pilihanraya), kemudian ditangkap bersama Abu Bakar Baasyir pada tahun 1978, karena dituduh subversif, karena didakwa terkait dengan kumpulan Komando Jihad / Darul Islam, dipenjarakan selama tiga setengah tahun. Beliau kemudian lari ke Malaysia tahun 1985, karena dituduh menghasut orang ramai menolak Pancasila yang mengakibatkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Setelah kejatuhan rejim Soeharto Sungkar pulang ke Indonesia dan wafat di Indonesia pada bulan Nopember 1999. Lihat Indonesia Background : How The Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates, ICG (Interational Crisis Group) Asia Report, No. 43, 11 Desember 2002, hal 32]

Ketika Dewan Dakwah Islamiyah (DDII) didirikan pada tahun 1967, Sungkar dan Baasyir memimpin cawangannya di Jawa Tengah. Mereka mendirikan stesyen Radio Dakwah Islamiyah Surakarta, yang secara terbuka menyeru melaksanakan jihad di Jawa Tengah, kemudian stesyen radio tersebut diarahkan oleh pemerintah supaya ditutup pada tahun 1975. karena itu, ketika menjelaskan Jamaah Islamiyah, ICG Asia Report,[footnoteRef:32] menyatakan : [32: Pada awal tahun 1970-an, Jamaah Islamiyah (JI) Mesir sangat akrab dengan pemerintah. Presiden Anwar Sadat yang baru saja berkuasa membebaskan tokoh-tokoh Ikhwan al-Muslimin yang dipenjarakan dan memanfaatkan kelompok-kelompok Islam untuk melawan kelompok kuat yang menganut paham marksisme yang sebelumnya didukung oleh Presiden Gamal Abdul Nasser. Walaupun demikian, berbeda dengan pemerintah negaranya, JI bertujuan untuk mendirikan Negara Islam. Sejak tahun 1970-an, Abdullah Sungkar sudah mengisyaratkan perlunya mendirikan organisasi (kumpulan) baru yang dapat bekerja lebih efektif guna mencapai sebuah negara Islam dan organisasi tersebut ia namakan Jamaah Islamiyah (JI). Ada kemiripan antara JI Mesir dan JI Sungkar Baasyir. Unsur-unsur kesamaannya adalah perekrutan, pendidikan, ketaatan dan jihad. Lihat International Crisis Group (ICG) Asia Report, No. 43, 11 Desember 2002, hal 5]

Organisasi tersebut (JI) merupakan jelmaan sebuah hibrida ideologi (ideological hybrid). Ada pengaruh kuat dari kelompok Islam radikal di Mesir, dalam arti struktur organisasi, kerahasiaan dan misi jihadnya. Gerakan Darul Islam pada tahun 1950-an masih tetap menjadi ilham yang kuat, akan tetapi ada warna anti-Kristian yang menonjol pada ajaran-ajaran JI yang bukan ciri Darul Islam. Menurut orang-orang yang dekat dengan Abdullah Sungkar, hal itu akibat hubungan masa lalunya dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang oleh seorang ilmuwan disebut memiliki obsesi hampir paranoid, yang melihat usaha-usaha misionaris Kristian sebagai ancaman terhadap Islam, serta orientasi yang kian kuat kepada Timur Tengah, terutama Arab Saudi.[footnoteRef:33] [33: ibid]

Ideologi Jamaah IslamiyahMenurut Sidney Jones, ada empat sumber yang mewarnai gerakan Jamaah Islamiyah.[footnoteRef:34] Pertama, ideologi Salafiyah yang telah berakar sebelumnya pada gerakan Darul Islam (DI), yaitu berjuang untuk mewujudkan negara islam untuk menegakkan syariah Islam semurni-murninya sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi, para sahabat dan generasi terdahulu (salaf). [34: Martin van Bruinessen (2002),Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia, ISIM dan Utrecht University. Lihat http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal, tarikh akses 24 April 2005]

Kedua, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan tahun 1967 oleh Muhammad Natsir dan rekan-rekannya yang merupakan bekas anggota Masyumi.[footnoteRef:35] Natsir sendiri pernah memimpin PERSIS dan Partai Islam Masyumi anggota organisasi Persatuan Islam (PERSIS) yang didirikan oleh Ahmad Hassan pada tahun 1920-an dan memiliki beberapa persamaan di segi fahaman keagamaan dengan faham Wahabi di Arab Saudi. [35: Lihat Sidney Jones (2003), jamaah islamiyah : A Short Description, Jurnal Kultur, Vol III, No. 1, Tahun 2003, dalam http://www.pbbiainjakarta.or.id/kultur/?Berita=052403035304&Kategori=16&Edisi=9, tarikh akses 24 April 2005]

Ketiga, Ikhwan al-Muslimin (IM) di Mesir dan kumpulan pencahannya yang lebih keras, yaitu Jamaah Islamiyah yang telah diuraikan sebelum ini. Pemikiran tokoh-tokoh IM mempengaruhi Sungkar dan Baasyir serta memberi inspirasi bagi mereka untuk mendirikan gerakan usrah di Jawa Tengah. Sungkar juga meniru pola gerakan Jamaah Islamiyah Mesir yang dipimpin oleh Syeikh Umar Abd al-Rahman yang dituduh bersubhat dalam kasus pengeboman WTC (World Trade Center), New York, tahun 1993. dikatakan bahwa pada pertengahan tahun 1990-an, Sungkar dan Baasyir pernah berhubungan dengan Usamah Rusydi dari kumpulan Jamaah Islamiyah, Mesir.Keempat, ideologi Mujahidin Afghanistan dan Al Qaeda, khususnya Abdullah Azzam. Sukarelawan yang dihantar oleh Sungkar ke Afghanistan mendapat latihan di kem pejuang yang dipimpin oleh Abdul Rasul Sayyaf yang berfahamkan Wahabi. Syyaf ada hubungannya dengan Azzam yang ketika itu memimpin Maktab al-Khidmat yang merekrut, mendanai dan melatih sukarelawan dari negara-negara Islam untuk berjuang melawan Soviet Union.

Wilayah Operasi Jamaah IslamiyahJI bekerjasama dengan Al Qaeda setelah Abdullah Sungkar bertemu dengan Usamah bin Laden di Afghanistan, awal tahun 1990-an. JI yang telah mendapat semangat baru ini, sebagai tangan kanan al Qaeda di Asia, tidak hanya bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia sebagaimana diimpikan oleh DI, melainkan bertujuan lebih jauh lagi, yaitu mendirikan Negara Islam di Asia Tenggara atau Dawlah Islamiyah Nusantara, yang terdiri dari Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand Selatan dan Mindanao di Filiphina, bahkan juga mencakup Papua dan Australia. Pada akhirnya JI berniat mendirikan Khilafah Islamiyyah yang akan menaungi umat Islam secara keseluruhan. JI membagi Asia Tenggara kepada beberapa Mantiqi (region) :1. Mantiqi I, meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura, dipimpin oleh Hambali, kemudian setelah ia tertangkap dipimpin oleh Muchlas (Ali Ghufron). Mantiqi ini berperan menyediakan keperluan ekonomi untuk operasi JI;2. Mantiqi II, meliputi sebagian besar wilayah Indonesia. Mantiqi ini merupakan sasaran jihad, dipimpin oleh Abdullah Anshori (alias Abu Fatih);3. Mantiqi III, meliputi Mindanao, Sabah dan Sulawesi, berperan melaksanakan latihan ketentaraan, dipimpin oleh Mustopa.4. Mantiqi IV, meliputi wilayah Papua dan Australia, berperan mengumpulkan dana, dipimpin oleh Abdul Rahim.Kemudian masing-masing mantiqi dibagi pula kepada wakalah (district, atau perwakilan), dan wakalah dibagi lagi menjadi fiah (cell, atau kelompok).[footnoteRef:36] [36: Secara militer JI mempunyai struktur yang terdiri dari mantiqi (brigades), waklah (batallions), khatibah (companies), qirdas (platoons) dan fiah (squads). Lihat ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003, hal 11]

Hubungan JI dengan Kumpulan LainnyaJI mempunyai hubungan dengan Al-Qaeda, MILF, Abu Sayyaf dan kumpulan-kumpulan pemisah Muslim lainnya yang ada di Asia Tenggara. Kumpulan-kumpulan tersebut secara organisasi tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan langsung, masing-masing kumpulan mempunyai struktur organisasi yang bersifat independen. Apa yang mempersamakan mereka adalah ideologi dan cita-cita hendak mendirikan negara Islam. Hubungan antara mereka terjalin sejak anggota-anggota kumpulan berkenan turut sama-sama terlibat dalam latihan tentara di Afghanistan Pakistan, sama ada semasa memutuskan untuk memindahkan pusat latihan anggotannya dari Afghanistan ke Mindanao, dengan alasan kos yang lebih murah dan kedudukan logistiknya yang lebih dekat. JI sendiri membuka kem latihan baru dekat kem latihan Abu Bakar milik MILF, terletak antara Maguindanao dan Lanao del Sur, yang dinamakan dengan kamp Hudaibiyah. Kamp ini kemudian diserang dan berjaya diduduki oleh pasukan pemerintah Filiphina pada bulan April 2001. Pusat latihan dipindahkan ke kamp Jabal Quba di Gunung Kararao. Dalam kem latihan tersebut anggota-anggota dari kumpulan JI, MILF dan Abu Sayyaf mendapatkan latihan bersama-sama. Sebagian anggota JI bahkan juga terlibat dalam beberapa peristiwa pengeboman di Filiphina. Fathur Rohman al-Ghozali misalnya, terlibat bersama-sama dengan anggota MILF dalam merancang lima serangan bom secara serentak di Manila pada 30 Desember 2000, bertepatan dengan hari Rizal Zulkifli pemimpin kamp JI perwakilan Hudaibiyah, terlibat pula bersama-sama dengan anggota MILF dan Abu Sayyaf dalam merancang beberapa serangan bom di Mindanao. Selain daripada kamp latihan di Mindanao tersebut, JI dan MILF juga membuka kamp latihan baru di Poso, Sulawesi, Balikpapan dan Sampit di Kalimantan. Bahkan JI juga punya kamp latihan di Blue Mountains, Australia.[footnoteRef:37] [37: Rohan Gunaratna (2003), Understanding Al Qaeda and Its Network in Southeast Asia, dlm, Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds), After Bali : The Treat of Terrorism in Southeast Asia. Singapore : World Scientific & Institute of Defence and Strategic Studies, hal 127]

Penilaian Terhadap Jamaah IslamiyahPertama yang hendak dijelaskan adalah bahwa gerakan keganasan memang ada dilakukan oleh sekelompok anggota JI. Namun tidak semua anggota JI terlibat dalam kegiatan tersebut, sebagian daripada mereka ada yang moderat, seperti yang dinyatakan oleh Greg Fealy, mereka turut serta dalam pendidikan agama yang menganjurkan kedamaian dan terbabit dalam kerja-kerja kebajikan. Bahkan Abu Bakar Baasyir, menurut hasil penyelidikan ICG Asia Report, lebih bersikap moderat dan menentang aksi-aksi pengeboman. Ketika Abdullah Sungkar meninggal dunia pada Nopember 1999, Baasyir menggantikan sebagai ketua JI. Tetapi ramai pengikut Sungkar yang direkrut di Indonesia, terutama anak-anak muda yang lebih keras, tidak berpuas hati dengan peralihan kepemimpinan ke tangan Baasyir. Kelompok tersebut diantaranya termasuk Riduan Isamudin (alias Hambali), Abdul Azis (alias Imam Samudra), Ali Gufron (alias Muchlas) dan Abdullah (alias Abu Fatih) dan lain-lain. Mereka menganggap Baasyir terlalu lemah, terlalu bersikap akomodatif, serta terlalu mudah dipengaruhi orang lain.Kedua, ideologi yang dipegangi oleh kelompok JI, sama ada dari Salafisme, atau Ikhwan al-Muslimin dan lain-lainnya seperti telah dijelaskan sebelum ini, tidak dapat dikatakan sebagai penyebab utama yang membuat anggota JI bertindak ganas. Muhammad Rasyid Rida dan bahkan pendiri Ikhwanul Muslimin (IM) sendiri, Hasan al-Banna serta pengikut awalnya juga dikatakan mengikuti fahaman salaf (salafisme).[footnoteRef:38] Tetapi, mereka bukanlah pengganas dan tidak menganjurkan tindakan keganasan. Mohammad Natsir, pendiri DDI, juga seorang demokrat dan berfikiran modern. Dengan demikian ideologi tidaklah dapat dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya keganasan dari sebagian anggota kelompok JI tersebut. Jika benar demikian, tentulah semua orang yang berpegang pada ideologi itu akan terbabit dalam tindakan keganasan. [38: Lihat Nazih N. Ayubi (1994), Political Islam : Religion and Politics in the Arab World, c.3, London and New York : Routledge, hal 68]

Dalam laporan ICG Asia Report, no. 83, 13 September 2004, terungkap bahwa pengikut aliran salaf di Indonesia terpecah menjadi dua : salafi murni dan salafi jihadi. Yang pertama bertujuan memurnikan ajaran Islam daripada unsur-unsur syirik, bidah dan khurafat. Mereka memahami jihad (dalam pengertian perang) sebagai usaha membela diri daripada serangan musuh, bukan menggempur atau memulai serangan (jihad talab) atau jihad hujum). Mereka juga tidak membabitkan diri dalam urusan politik, dan menolak pendekatan revolusi menggulingkan pemerintahan yang dipegang oleh seorang muslim. Sedangkan yang kedua bersikap sebaliknya, mereka ini umumnya adalah veteran perang Afghanistan.Penulis berpendapat bahwa ada faktor kejiwaan yang mendorong kelompok berkenaan bertindak ganas. Secara umum mereka yang terlibat dalam kegiatan keganasan itu adalah golongan yang lebih muda, yang penuh dengan semangat dan keberanian, lebih-lebih lagi setelah mereka turut berperang di Afghanistan. Maka jiwa mereka telah serasi dengan suasana perang dan cenderung menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Dalam kumpulan al-Qaeda pun tidak semuanya menyetujui tindak keganasan. Abdullah Azzam sendiri, mentor Usamah bin Laden, tidak merestui perjuangan menggunakan cara-cara keganasan. Sebaliknya, golongan yang lebih muda seperti Ayman al-Zawahiri dan rekan-rekan yang berasal dari kumpulan Jihad Islam Mesir, inilah yang mendorong untuk melakukan kegiatan keganasan.Ketiga, banyak pemerhati yang lupa bahwa lahirnya keganasan dari sekumpulan umat Islam itu secara tidak langsung disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak luar negara, negara-negara Barat yang bersikap double standard. Mereka lupa bahwa pengeboman di Bali adalah setelah Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya menyerang Afghanistan dan memporak-porandakan Iraq. Malah pada masa yang sama, penindasan terhadap rakyat Palestina tetap berterusan.Keempat, tidak ada yang salah dalam fahaman Salafisme atau pun Wahabisme seperti yang banyak diungkapkan; seketat apa pun pandangan dan pendapat mereka, mereka tetap berniat untuk mengikuti ajaran Islam yang benar, sesuai dengan yang pernah diamalkan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi sesudahnya. Apa yang salah adalah sikap yang terbit dari segolongan pengikutnya untuk memaksakan fahaman mereka pada orang lain dan cenderung menafikan fahaman lainnya.Kelima, adanya kecenderungan pihak Barat utuk mengaitkan fundamentalisme, Salafisme, Wahabisme atau pun Islamisme dengan terorisme. Tindakan ini adalah salah karena membuat kesimpulan secara umum (generalisation). Hal ini sebetulnya juga mencerminka sikap mereka yang terlalu fanatik kepada sekularisme yang cenderung menolak peranan agama dalam keidupan bermasyarakat. Janganlah menjadikan Islam sebagai dasar kehidupan bernegara, menjadikan Kristen sekalipun sebagai dasar negara akan tetap mereka tentang. Penulis melihat bahwa ini merupakan suatu helah daripada Barat sekular untuk mengajak dunia umumnya menolak peranan agama dalam kehidupan bernegara, sehingga setiap anjuran ntuk kembali kepada agama akan dilabel dengan istilah-istilah yang bersifat pejoratif dan tidak enak didengar. Megikuti kepada Roger Garaudy[footnoteRef:39] sikap seperti ini pun sebetulnya dapat juga disebut sebagai fundamentalisme, yaitu fundamentalisme sekular. [39: Menurut Garaudy, fundamentalisme merupakan feomena yang tidak hanya terbatas pada agama saja; terdapat pula fundamentalisme dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lihat Azyumardi Azra (1996), Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Penerbit Paramadina, hal 108]

Dengan demikian Jamaah Islamiyah sebenarnya adalah organisasi dakwah yang berorientasikan politik, bercita-cita hendak mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Sepeninggal Abdullah Sungkar, JI terpecah menjadi dua bagian : yang pertama, adalah kelompok moderat yang lebih menekankan pada perjuangan dengan cara Islamisasi dari bawah dan memanfaatkan peluang politik yang ada; dan yang kedua, adalah kelompok berhaluan keras yang cenderung menggunakan tindak kekerasan, bahkan keganasan bagi mencapai tujuan. Oleh itu, tidaklah adil untuk mengatakan bahwa JI adalah organisasi teroris, hanya karena sekelompok kecil anggotannya melakukan tindakan keganasan.

MENGHENTIKAN KEKERASAN FUNDAMENTALISMEAda beberapa cara untuk mengakhiri kekerasan seperti ditawarkan oleh Marx Juergensmeyer dalam bukunya Terror in The Mind of God : The Global Rise of Religious Violence.[footnoteRef:40] [40: Marx Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan : Kebangkitan Global Kekerasan Agama, (Jakarta : Nizam Pres & Anima Publishing, 2002), hal 307-316]

Tawaran pertama merupakan salah satu dari solusi yang dilakukan melalui kekuatan atau kekerasan dibalas dengan kekerasan. Cara yang dianggap solusi ini pada kenyataannya bukan solusi yang baik, karena setiap kekerasan yang dihadapi kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru. Inilah yang dilakukan oleh Amerika ketika mendeklarasikan perang total melawan terorisme agama dan melaksanakannya selama bertahun-tahun. Penggunaan kekuatan untuk menghancurkan terorisme tidak jarang hanya merupakan manipulasi untuk membenarkan kepentingan dibalik itu. Misalnya apa yang dilakukan oleh Amerika terhadap Usamah bin Laden bukankah ada kepentingan dibalik misi Amerika melakukan penyerangan terhadap Usamah baik dari segi kepentingan ekonomi, politik dan lain-lain seperti yang disinyalir oleh surat-surat kabar belakangan ini ?Tawaran kedua seperti ditawarkan Marx Juergensmeyer adalah dalam bentuk ancaman pembalasan hukuman atau pemenjaraan untuk menakut-nakuti aktivis-aktivis keagamaan sehingga mereka ragu-ragu untuk beraksi. Cara ini pun dianggap tidak efektif, karena meski para aktivis itu diancam atau dipenjara, bahkan dibunuh sekalipun tidak akan berpengaruh terhadap para aktivis keagamaan lainnya.Skenario ketiga adalah dengan melakukan kompromi atau negosiasi dengan para aktivis yang terlibat dalam terorisme. Cara ini pun sepertinya dikatakan oleh Marx Juergensmeyer sendiri merupakan penyelesaian yang tidak terlalu berhasil. Beberapa aktivis barangkali menjadi lunak, tapi yang lain menjadi marah dikarenakan apa yang mereka sebut sebagai penjualan prinsip. Kasus Arafat dan Hamas merupakan contoh dalam skenario ini. Setiap upaya kompromi yang dilakukan sekelompok aktivis Palestina akan membuat marah kelompok lainnya.Model keempat pemisahan agama dari politik dan kembali pada landasan-landasan moral metafisika. Politisasi agama dapat dipecahkan melalui sekulerisasi. Solusi seperti ini telah dilakukan di beberapa negara di dunia ini, namun nampaknya belum menunjukkan keberhasilan alih-alih malah menimbulkan reaksi keras dari aktivis-aktivis keagamaan yang kadarnya semakin tinggi.Skenario kelima adalah solusi-solusi yang mengharuskan pihak-pihak yang saling bertikai untuk paling tidak pada tataran minimal, menyerukan adanya saling percaya dan saling meghormati. Hal ini ditingkatkan dan kemungkinan-kemungkinan ke arah penyelesaian dengan jalan kompromi semakin menguat ktika aktivis-aktivis keagamaan memandang otoritas-otoritas pemerintahan memiliki integritas moral yang sesuai dengan atau mengakomodir, nilai-nilai agama.Bassam Tibi, dalam bukunya The Challenge of Fundamentalism menawarkan solusi mencegah fundamentalis dengan menegakkan demokrasi sekular dan HAM (that alternative is a based on seculer democracy and Human rifgt). Barangkali solusi tambahan namun teramat penting untuk menghentikan fundamentalisme dan kekerasan agama adalah dengan menghentikan segala bentuk penindasan, menegakkan hak asasi tanpa pandang bulu, memberikan kebebasan kepada bangsa-bangsa terjajah, menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling menghormati berdasarkan prinsip saling menghargai dan saling menghormati dalam pergaulan antar bangsa dalam suasana yang penuh persamaan dan persaudaraan.Bila hal tersebut dilaksanakan secara konsisten, maka fundamentalisme dan kekerasan agama tidak akan muncul, tidak akan menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya seperti dikatakan Basam Tibi ( Islamic fundamentalism are more dangarous) atau dianggap lebih berbahaya dari narkoba seperti dikatakan Nurcholish Madjid, sehingga perlu untuk melawannya seperti juga dikatakan oleh H.A.R Gibb.Ajaran agama mengajarkan solusi yang paling maslahat dalam mencegah terjadinya kerusakan, yaitu dengan cara-cara yang arif, bijaksana dan damai, kecuali dengan sangat terpaksa harus menggunakan cara kekerasan, itupun tidak diperbolehkan melampaui batas (la tatadu). Solusi yang ditawarkan adalah berdasarkan kaidah fiqih (qowaid al-fiqhiyah) yang menyatakan al-dhororu la yuzalu bi al-dhororo kerusakan itu tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan yang lain.[footnoteRef:41] [41: Al Quran menyuruh supaya orang berdiskusi dengan cara terbaik atau selembut lembutnya dengan isyarat Wajadilhum billati hiya ahsan ...]

Harus disadari pula agar masyarakat atau siapapun tidak memulai dan melestarikan kerusakan serta tindakan-tindakan amoral yang dapat mendorong bangkitnya radikalisme agama. Karena bila tempat-tempat kemaksiatan merajalela, maka akan mendorong munculnya tindakan main hakim sendiri dengan memakai label agama. Tindakan main hakim dengan memakai label agama sangat sulit dikontrol dan apakah itu betul-betul demi menghilangkan maksiat atau ada tujuan yang bersifat kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis.Tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan kekerasan kerap terjadi dan itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan label Islam. Namun apakah Islam memerintahkan pemeluknya untuk berbuat kekerasan, membunuh tanpa alasan yang benar atau menghancurkan gedung, merampok penganut agama lain ? dalam hal ini, kita patut merenungkan tulisan Faraj Fuda, seorang cendekiawan liberal seperti dikutip oleh David Sagiv sebagai berikut :Islam sama sekali tidak memiliki hubungan dengan fakta bahwa satu-satunya cara yang ditempuh oleh anggota Organisasi Jihad agar dapat memperoleh bantuan finansial adalah menyerang toko-toko perhiasan milik orang-orang Koptik, membunuh mereka dan mencuri harta kekayaan mereka. Saya tidak ingin melanjutkan, karena disini saya tidak ingin menuangkan garam ke dalam luka yang menganga. Tetapi,ini terkait dengan fatwa yang disampaikan oleh seseorang yang harus kita teriaki .... selamatkan Islam ..... Selamatkan Islam .....karena selama ini Islam tidak pernah menjadi agama terorisme, Islam tidak ambil bagian dalam membunuh seorang warga negara yang tengah duduk di tokonya dengan aman, menjadikan anak-anak sebagai anak-anak yatim atau menghancurkan rumah-rumah dengan alasan yang tidak yang tidak lebih dari sekedar agama mereka berbeda dengan agama anda, atau seorang amir mengeluarkan hukuman dan salah, yang memaksa seorang warga negara Mesir membayar teror ini dalam hidupnya. Orang semacam ini hanya dapat merasa pilu dan pedih dalam membaca kalimat aneh yang dikemukakan oleh Ahmad Umar Hasyim Umat Islam tidak dilarang melakukan bisnis dengan orang-orang non-Muslim, tetapi dilarang berteman akrab dan loyal kepadanya..... karena persahabatan yang akrab akan terjadi antara sesama warga Mesir tanpa peduli apakah itu antara seorang Muslim dengan seorang Koptik. Kata-kata lain hanya akan memisahkan barisan. Orang semacam saya ini hanya dapat merasa pilu dan sedih ketika suara sang dai menyatakan, seorang muslim India dekat kepada seorang Muslim Mesir ketimbang dengan seorang Koptik Mesir.[footnoteRef:42] [42: David Sagiv, op.cit.hal 175]

Hasan Hanafi, seorang pemikir Arab kontemporer menjelaskan bahwa dunia Arab dan Islam tidak dapat dikambinghitamkan sebagai sumber permasalahan dalam dialektika kekerasan dan anti-kekerasan. Kekerasan juga terjadi di India, Srilanka, Afrika Selatan, Afrika Utara (Euthopia dan Somalia), Spanyol dan Amerika Latin (Nikaragua) ... Dialektika kekerasan dan anti-kekerasan merupakan deskripsi umm dari sebuah proses yang terjadi dibanyak tempat, tidak hanya terbatas di dunia Arab dan Islam. Jika kekerasan hanya dihubungkan dengan salah satu tempat, maka hal itu hanyalah karena adanya ketertekanan masyarakat di dalamnya dan adanya kekuatan besar yang menekan mereka. Analisis terhadap permasalahan ini tidak tepat dijadikan dasar gambaran penetapan hukum.[footnoteRef:43] [43: Hassan Hanafi,op.cit,hal 40-41]

Dalam wawancara dengan Jurnal al-Musawar mengenai usaha pembunuhan terhadap Makram Muhammad Ahmad, Hasan Abu Basya, Nabawi Ismail dan lain-lain, Khalid Muhammad Khalid memberikan tanggapan yang patut juga direnungkan sebagai berikut :Islam tidak menerima pembunuhan, yang diklarifikasikan sebagai kejahatan yang paling buruk, bukan hanya terhadap warga negara Muslim, tetapi juga terhadap orang-orang Kristen. Demikian pula ketidakadilan, sama sekali tidak diterima dalam Islam. Ketika kita mengikuti ayat-ayat Al Quran dan ajaran-ajaran Nabi, maka kita tidak boleh menyimpangkan kebenaran ini. Catat bagaimana Rasulullah melarang seseorang melewati sekelompok orang dengan pedang yang ujungnya terhunus. Disini pencegahan lebih disukai ketimbang penyerbuhan ... catat sabdanya, Barang siapa menyakiti orang dzimmi atau seorang sekutu, ia tidak lagi dilindungi oleh Allah atau Muhammad. kalau sekedar melukai seorang Muslim atau Kristen adalah dosa dalam Islam, sehingga betapa besarnya dosa membunuh, menyebarkan teror dan anarki (kekerasan) ditengah-tengah masyarakat ..... Tahukah Anda bahwa Muawiyah menolak hak menjadi khalifah bagi orang yang memang berhak, yaitu Imam Ali, dengan cara menolak otoritas sehingga menyebabkan perang saudara.[footnoteRef:44] [44: David Sagiv,op.cit, hal 200-1]

PENUTUPMenurut Hamami Zada, secara umum, ada dua arus besar Islam Indonesia yang sedang melakukan kontestasi dan konflik sekarang ini, yakni kelompok Islam radikal dan kelompok Islam progresif-liberal. Islam radikal diwakili oleh sejumlah ormas Islam seperti Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam (FPI), Ikhwanul Muslimin (IM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah). Paradigma kelompok ini lebih mendasarkan pada hubungan yang integralistik antara Islam dan Negara, sehingga kelompok ini lebih mengedepankan corak legal-formal Islam secara total. Isu utama yang diperjuangkan adalah tegaknya syariat Islam di dalam negara Indonesia. Mereka mengambil posisi di pinggiran, bukan di pusat kekuasaan yang lebih banyak dikuasai oleh kelompok sekular, liberal dan kiri.Islam progresif diwakili oleh LSM-LSM yang mengusung pluralisme, demokrasi, HAM dan gender, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bermarkas di Utan Kayu dan kelompok lain yang memiliki agenda sama, seperti Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Wahid Institute (WI), Perhimpunan dan pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Rahima, Fahmina (Cirebon), Forum Lintas Agama (FLA) Surabaya, LAPPAR Makasar dan lain-lain. Islam progresif-liberal sebagai sebuah gerakan pemikiran Islam memiliki titik pijak pada kontekstualisasi dan historisasi pemikiran Islam agar menemukan pesan terdalam dari doktrin islam.[footnoteRef:45] [45: Islam Indonesia, Menjelajahi Kontestasi Orientasi dan Ideologi, (Khamami Zada) I, No 5, Agustus 2007]

Sebagai kesimpulan singkat, dapat ditegaskan bahwa fundamentalisme Islam eksis ditengah suatu kondisi dunia global, kemiskinan, penindasan dalam satu tatanan dunia yang bersifat tidak menyertakan (exclusionary). Wallahu alam bis sawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Islamic Trought : An Introduction, New York : Routledge, 2006

_____________, Trends in Contemporary Islam : A Preliminary Attempt at a Classification, Vol, 97 Issue 3 Page 395 July 2007.

Ahmad Suaedy, Islam dan Pluralisme (Makalah di Wahid Institute), 4 Mei 2007

Ali Harb, Ashilah al-Haqiqah a Rahanal al-Fikr : Muqarabat an-Naqdiyah wa Silajiyyah, alih bahasa Umar Bukhary & Ghazi Mubarak, Relativitas Kebenaran Agama, Cet, I (Yogyakarta : IRCiSod, 2001)

Ali Syauibi & Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, alih bahasa Muhtarom, Cet I, (Jakarta : Pustaka Azhary, 2004)

Azyumardi Azra (1996) Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Past Modernisme, Jakarta : Paramadina

Bassam Tibi, The Callenge of Fundamentalism : Political Islam and the New Worild Disorder, Berkeley, Los Angeles, London : University of California Press, 1998

__________, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000)

Bruce B. Lawrence, Shattering The Myth : Ilam Beyond Violence, alih bahasa Hari Bagoes Oka, Menepis Mitos Islam di Balik Kekerasan, Cet.I (Jakarta : Serambi Alam Semesta, 2003)

Charles Kimball, When religion Become Evil, alih bahasa Nurhadi, Kala Agama Jadi Bencana,Cet I, (Bandung : Mizan, 2003)

Hasan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela, 2001

James Barr, Fundamentalisme, Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1996

James Turner Johnsons, The Holly War Idea in Western and Islamic Traditions (Ide Perang Suci Dalam Tradisi Barat dan Islam), Yogyakarta : Qalam, 2002

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan : Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, Jakarta : Serambi, Bandung : Mizan, 2001

Kelton Cobb dalam Ian Markam dan Ibrahim Abu Rabi (editor), 11 September : Relegious Prespective on the Causes and consequences (oxford : one world publication), 2002

Lukman Hakim, Terorisme di Indonesia, edisi pertama, (Surakarta : FSIS, 2004)

Marx Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan : Kebangkitan Global kekerasan Agama, Jakarta : Nizam Press & Anima Publishing, 2002

________________, Terror in the Mind of God; The Global Rise of Religious Violence (Barkeley/Los Angeles/London : University of California Press), 2001

Muhammad Imarah, Fundamnetalisme Dalam Perspektife Barat dan Islam, Gema Insani Press, 1999

Nazih N. Ayubi (1994) Political Islam Religion and Politic in The Arab World, Cet. 3, London and New York Routlegde

Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam : Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2000

Rohan Gunaratna (2003), Understanding Al Qaeda and Its Network in Southeast Asia, dlm, Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds), After Bali : The Treat of Terrorism in Southeast Asia. Singapore

Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta : Qalam, 2000

Sidney Jones (2003), Jemaah Islamiyah A Short Description, Jurnal Kultur, Vol. III, No.1, 2003

Thomas Santoso, Kekerasan Agama tanpa Agama, Jakarta : Pustaka Utan Kayu, 2002

William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997

Yunanto, S. (Et.Al), Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, Cet. II, (Jakarta : The Ridep Institut, 2003)

http://www.alshaab.com/GIF/28-06-2002/Q.htm

http://www.indpride.com/islam.html

27