epidemiologi dbd
DESCRIPTION
dbdTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana
menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan
darahsehinggamengakibatkanperdarahan-perdarahan.
Demam berdarah dengue (DBD) umumnya menyerang orang yang kekebalan
tubuhnya sedang menurun.Sebenarnya saat kita terkena infeksi dengue, tubuh akan
memproduksi kekebalan terhadap tipe virus dengue tersebut, kekebalan ini akan
berlangsung seumur hidup. Sayangnya, demam dengue disebabkan oleh banyak strain
atau tipe virus sehingga walaupun kita kebal terhadap salah satu tipe namun kita masih
dapat menderita demam dengue dari tipe virus yang lain.
Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama di Asia timur dan
selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus. WHO memperkirakan
lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus demam dengue memerlukan perawatan di rumah
sakit. Lebih dari 40% penduduk dunia hidup di daerah endemis demam dengue.
Pencegahan demam dengue membutuhkan pengendalian atau eradikasi dari nyamuk
pembawa virus. Lakukan 3 M (Menguras, Menutup dan Menimbun) tempat tempat yang
disukai nyamuk untuk berkembang biak. Peranan pemerintah sangat diperlukan sebagai
motivator disamping peranan masyarakat sebagai pelaksana.
B. Rumusan Masalah
a. Menjelaskan Tentang Pengertian Demam Berdarah Dengue
b. Menjelaskan Mengenai Epidemiologi DBD
c. Menjelaskan Patogenesis dari DBD
d. Menejelaskan Tentang Penyebaran DBD
e. Menjelaskan tentang Konsep Medis DBD
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum
1) Mahasiswa Mampu menjelaskan mengenai Epidemiologi DBD
2) Mahasiswa mampu untuk mengetahui penyebaran DBD
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui tentang DBD
2) Untuk mengetahui Epidemiologi DBD
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever) ialah suatu penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti. (Suriadi, 2001 : 57).
Demam Berdarah Dengue ialah suatu penyakit demam berat yang sering
mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh permeabilitas kapiler, kelainan
hemostasis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan protein. (Nelson, 2000 :
1134).
b. Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta
fakor yang terkait di tingkat populasi. Ini adalah model corestone penelitian
kesehatan masyarakat, dan membantu menginformasikan kedokteran berbasis bukti
(eveidence based medicine) untuk mengidentifikasikan faktor risiko penyakit serta
menentukan pendekatan penanganan yang optimal untuk praktik klinik dan untuk
kedokteran preventif.
2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang
paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau
dengue shock syndrome (DSS) ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae albopictus yang
terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk
ke dalam family Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-
2, Den3 dan Den-4.1 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat
dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara- negara baru dan, dalam dekade ini,
dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah
tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan
sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan
22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen
populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus meningkat 12 dan banyak menimbulkan kematian pada anak8
90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.13 Di Indonesia, setiap tahunnya
selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004
dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.14
Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara
bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta
kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR
0,89%.
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus
Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae.
polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu
juga terjadi penularan transsexual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui
perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. 16-17 Ada
juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada
tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik(18). Dari beberapa cara penularan
virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti.19
Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8 10 hari,
sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti
dengan respon imun.
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.
berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi infeksi
tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada
faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-
lain. Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro
dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur
nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi
nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang
diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti
dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif
akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk
menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga
diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi
frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host
terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status
gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status status gizi
yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khu-
susnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi
makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak
sistem imun.
Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan
lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh
manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat
melalui variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain
lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh
status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan
[requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan fisik,
perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain].
Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi
mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh
pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja
otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap
tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi
perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu
persediaanzat gizi menghadapi keadaan darurat.
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15
tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita
pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok
umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang
biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya
kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan,
pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan
lainnya.
3. Perkembangan Teori Terjadinya DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue. Virus tersebut termasuk dalam
group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Virus yang banyak berkembang di
masyarakat adalah virus dengue. Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila,
Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya
dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian
penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai
berikut :
Deman berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypt. Nyamuk yang menggigit dan
menularkan virus ini adalah dari jenis betina. Nyamuk ini hidup dan berkembang pada
tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah, seperti :
bak mandi/WC, tempat penyimpanan air. Nyamuk penyebab deman berdarah ini
menggigit pada pagi dan sore hari. Nyamuk ini dapat menggigit beberapa kali setiap hari
sehingga dia bisa menularkan virus dari satu orang ke orang kali dalam satu hari .
Perkembangan nyamuk dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12
hari. Kemampuan terbang berkisar antara 40-100 meter dari tempat berkembang biaknya.
Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang bergantung di dalam rumah,
seperti gordyn, kelambu, baju/pakaian kamar yang gelap dan lembab.
4. Patogenesis DBD
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue
akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus
limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel
monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan
masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,
virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif
terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus
lainnya.
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity
(ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus,
dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS.
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody
dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan,
bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi
proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu
yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus
dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody
heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan
infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi,
selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha
(TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui
dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan
merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue
dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing
antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus
dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan
memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan
TNF alpha juga PAF.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan
penyakit yang berat.7 Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum
penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD,
di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotype virus
dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori
antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan
aktivitas system komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping
itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus
dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan
mempengaruhi aktivitas komponen system imun yang lain. Selain itu ada teori moderator
yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai
mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama
endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa
hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi
virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.
5. Tahap –Tahap Riwayat Alamiah Penyakit DBD
Riwayat alamiah suatu penyakit pada umumnya melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/ sehat tetapi mereka pada
dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit (stage
of susceptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi
interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di
luar tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu di mana para
kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang penjamu.
b. Tahap Patogenesis
1) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit ke
dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbul gejala
penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya.
2) Tahap Dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan.
Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan
patologis, walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini,
diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini.
3) Tahap Lanjut
Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat dengan
segala kelainan klinik yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah
ditegakkan. Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan
yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.
4) Tahap Pasca Patogenesis
Tahap pasca patogenesis/ tahap akhir yaitu berakhirnya perjalanan penyakit
yang dapat berada dalam pilihan keadaan, yaitu sembuh sempurna, sembuh
dengan cacat, karier, penyakit berlangsung secara kronik, atau berakhir dengan
kematian.
6. Gejala Klinis DBD
a. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari (tanpa sebab jelas).
b. Manifestasi perdarahan: paling tidak terdapat uji turnikel positif dari adanya salah
satu bentuk perdarahan yang lain misalnya positif, ekimosis, epistaksis, perdarahan
yang lain misalnya petekel, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, melena, atau
hematomesis.
c. Pembesaran hati (sudah dapat diraba sifat permulaan sakit).
d. Syok yang ditandai nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi yang menurun (menjadi
20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.
7. Upaya Pencegahan DBD
a. Pencegahan Primordial
Jenis pencegahan yang paling akhir diperkenalkan, adanya perkembangan
pengetahuan dalam epidemiologi penyakit kardiovaskular dalam hubungannya
dengan diet, dll. Pencegahan ini sering terlambat dilakukan terutama di negara-negara
berkembang karena sering harus ada keputusan secara nasional.
Tujuan premordial prevention ini adalah untuk menghindari terbentuknya pola
hidup sosia-ekonomi dan kultural yang mendorong peningkatan resiko penyakit.
Upaya ini terutama sesuai untuk ditujukan kepada masalah penyakit tidak menular
yang dewasa ini cenderung menunjukkan peningkatannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penegahan awal ini diarahkan kepada
mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang bersifat positif
yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor resiko dapat
berkembang atau memberikan efek patologis. Faktor-faktor itu tampaknya bersifat
sosial atau berhubungan dengan gaya hidup danpola makan. Upaya awal terhadap
tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya mempertahankan kondisi
kesehatan yang posotif yang dapat melindingi masyarakat dari gangguan kondisi
kesehatannya yang sudah baik.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini bertujuan untuk mengurangi incidence dengan mengontrol
penyebab dan faktor-faktor risiko. Misal : penggunaan kondom dan jarum suntik
disposable pada pencegahan infeksi HIV, imunisasi, dll. Biasanya merupakan
Population Strategy sehingga secara individual gunanya sangat sedikit :
penggunaanseat-belt, program berhenti merokok.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menyembuhkan dan mengurangi akibat
yang lebih serius lewat diagnosis & pengobatan yang dini. Tertuju pada periode
diantara timbulnya penyakit dan waktu didiagnosis & usaha ↓ prevalensi.
Dilaksanakan pada penyakit dengan periode awal mudah diindentifikasi dan diobati
sehingga perkembangan kearah buruk dapat di stop, Perlu metode yang aman & tepat
untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium preklinik. Misal : Screening pada
kanker cervik, pengukuran tekanan darah secara rutin.
d. Besarnya Kemungkinan Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai
sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya
hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah
yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah
penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :
1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat. perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah.
2) Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air kolam,
dan bakteri (Bt.H-14).
3) Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
4) Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
8. Transisi Epidemiologi DBD
Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban
ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks
dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi
penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non
infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan
berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang
berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah
pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.
Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar
Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan
kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa
ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai
dengan tingginya mortalitas dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30
tahun, 2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai
meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase
dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat.
gambaran itu memang untuk negara Barat.
Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan
Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit
revisi. Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of
declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and resurgentdiseases
ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah,
serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with
paradoxical longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa
depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik
morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life.
Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara
berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden”
yang ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan
(infeksi penyakit menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan
kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit
beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease”
Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.
Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan
berada pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda
kesehatan. Kita akan membahas beban ini satu-persatu.Beban pertama yang dihadapi
Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit menular “klasik”. Penyakit
ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara berkembang
apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis.
Angka kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat
menjadi masalahnya. Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria,
Leptospirosis. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal
(baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program
memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau
pergi dari Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau
meninggalkan Indonesia, Malah trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun.
Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi
(Epidemiological Triangle) yaitu lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu.
Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa menimbulkan penyakit tersebut. Kita
tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi lebih jelsnya anda bisa membaca
buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa
kita lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor
risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan
mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat. Namun kedua faktor utama inilah
yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi. Masalahnya cukup kompleks, bisa
disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada upaya preventif
(pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah
kesehatan, Keadaan politik,sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.
Beban Kedua yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan
kematian akibat Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja
Hipertensi, Diabetes Mellitus, Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese,
PPOK, Kanker dan teman-temannya. Masalah utamanya adalah angka kematian akibat
penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah lebih tinggi daripada kematian akibat
penyakit menular.
Pada tahun 1995 kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan
tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen, ini yang tercatat di pelayanan kesehatan. Ini
juga menjadi salah satu masalah PTM sekarang ini, pencatatan yang hampir tidak ada
sama sekali di pelayanan kesehatan, sehingga sulit menentukan besaran masalahnya dan
menentukan kebijakan di daerah maupun pusat.
PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan
ketika terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit
disembuhkan, dan biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada
Faktor yang spesifik dan dominan penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup
banyak dan saling berinteraksi.
Berbagai penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada
perilaku yaitu merokok, minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi),
dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang bisa kita lakukan ya..dengan mengubah
perilaku kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat,
sering berolahraga dan hindari rokok dan minum alkohol.
Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new
emerging Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza
(2004), H1N1 (2009). Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang berganti
baju (baca:bermutasi) itulah yang menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya
dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi
dan berlangsung sangat cepat.
Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul
kembali merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu
kemampuan mikroba pathogen untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan
teknologi dan perilakunya juga memberikan peluang kepada mikroba untuk secara
alamiah merekayasa dirinya secara genetik, perubahan iklim global juga turut campur
dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.
Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan
pemahaman teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran
penyakit secara global dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal.
(Achmadi,2009)
Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu
mewujudkan Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk
membantu pemerintah mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat,
Berperilaku bersih dan Sehat, dan Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat.
9. Etika Epidemiologi Penyakit DBD
a. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu
individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,
tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang
sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi
seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali
ketika timbul AIDS pada tahun 1980-an dan SARS.
Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina
total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular
selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.
Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan
perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak
sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa
diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu
dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah
legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan
efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut mencapai tujuan kesehatan
masyarakat.
b. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan
sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian,
serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit,
bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui
program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program
surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif,
tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena
pemerintah kekurangan biaya. Banyak programsurveilans penyakit vertikal yang
berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan
fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumber daya masing-
masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
c. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing
penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan
individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.
Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola
perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun
nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-
penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik
dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan
skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit
tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai
influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan
dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel
merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan
sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
d. Surveilans Berbasis Labolatorium
Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan
seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi
strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera
dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-
klinik
e. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)
sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur,
proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsimengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans
terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit
tertentu.
f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan
binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.
Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan
negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh
dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global,
baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun
penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases).
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Darah lengkap : hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% atau lebih)
trombositopeni (100.00/mm3 atau kurang).
b. Serotogi : uji HI (Hemaaglutination Inhibition test).
c. Rongten thorax : effusi pleura.
11. Pelaksanaan Terapeutik
a. Minum banyak 1,5-2 liter/24 jam dengan air teh, gula atau susu.
b. Antipiretik jika terdapat demam.
c. Antikonvulsan jika terdapat kejang.
d. Pemberian cairan melalui infus, dilakukan jika pasien mengalami kesulitan minum
dan nilai hematokrit cenderung meningkat.
12. Konsep Dasar Epidemilogi Demam Berdarah
a. Segitiga Epidemiologi
Segitiga epidemiologi adalah modal utama yang harus dimiliki oleh seorang
epideniolog. Ini merupakan teori dasar yang terkenal sejak disiplin ilmu epidemiologi
mulai digunakan di dunia. Dalam bidang epidemiologi terdapat sedikitnya 3 segitiga
epidemiologi yang saling terkait satu sama lain yaitu, 1. Agent-Host-Environment
(AHE), 2. Person-Place-Time (PPT), 3. Frekuensi- Distribusi- Determinan (FDD).
b. Host, Agent, Environment
Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam
menjelasakan kosep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah satunya adalah
terjainya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam memprediksi suatu penyakit.
Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari keseimbangan dan interaksi ke
tiganya.
1) Host
Host atau penajmau ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga
menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan
oleh faktor intrinsik. Factor penjamuyang biasanya menjkadi factor untuk
timbulnya suatu penyakit sebagai berikut:
a) Umur. Misalnya, usia lanjut lebih rentang unutk terkena penyakit
karsinoma, jantung dan lain-lain daripada yang usia muda.
b) Jenis kelamin (seks). Misalnya , penyakit kelenjar gondok, kolesistitis,
diabetes melitus cenderung terjadi pada wanita serta kanker serviks yang
hanya terjadi pada wanita atau penyakit kanker prostat yang hanya terjadi
pada laki-laki atau yang cenderung terjadi pada laki-laki seperti hipertensi,
jantung.
c) Ras, suku (etnik). Misalnya pada ras kulit putih dengan ras kulit hitam
yang beda
d) Genetik (hubungan keluarga). Misalnya penyakit yang menurun seperti
hemofilia, buta warna, sickle cell anemia.
2) Agent
Yang disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur biologis yang
dikarenakan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protzoa,
metazoa), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar
gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar
tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksid, obat-obatan, arsen,
pestisida), unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, serta unsur
psikis atau genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Demikian juga
dengan unsur kebiasaan hidup (rokok, alcohol), perubahan hormonal dan
unsur fisioloigis seperti kehamilan, persalinan.
3) Environment
Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya
penyakit, hali ini Karen faktor ini datangnya dair luar atau bisas disebut
dengan faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan ini dapat dibagi menjadi:
a) Faktor lingkungan yang mempengaruhi Host dan Agent
b) Fisik: iklim (kemarau dan hujan), geografis (pantai dan pegunungan),
demografis (kota dan desa)
c) Biologis: flora dan fauna
d) Sosial: migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, perumahan, bencana alam,
perang, banjir
c. Portal Of Entry and Exit
Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat
ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh
nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), tetapi
perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan
virus selama hidupnya (infektif).
d. Aplikasi Penyakit Demam Berdarah
Tim terlebih dahulu merumuskan masalah tentang aplikasi penyakit demam
berdarah. Rumusan ini akan membahas tentang apa fungsi dari aplikasi ini, tujuan
dari pembuatan aplikasi sehingga nantinya akan menunjang pembuatan aplikasi
nantinya dapat berfungsi dengan baik.Aplikasi data dilakukan dengan melakukan
analisis dan identifikasi terhadap pemasalahan dan data – data penunjang yang telah
di dapatkan melalui metode sebelumnya. Sehingga tim akan mendapatkan informasi
sistem seperti apa yang diharapkan, dan apa saja yang dibutuhkan dalam proses
pembuatan aplikasi ini.
Dokter mandiri merupakan sebuah aplikasi yang akan dibuat dan nantinya akan
meminta inputan dari user seperti nama use, Tekanan darah, Umur,dan Jenis
Kelamin. Setelah itu user dapat menggunakan segala hal yang disediakan di dalam
aplikasi Dokter mandiri. Yang mana nantinya akan terdiri menu-menu seperti menu
penanganan dan pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan masalah yang telah dibuat, dapat diambil
kesimpulan bahwa fogging merupakan salah satu upaya untuk memberantas nyamuk
yang merupakan vektor penyakit demam berdarah sehingga rantai penularan penyakit
dapat diputuskan. Selain fogging juga dapat dilakukan abatisasi, yaitu penaburan abate
dengan dosis 10 gram untuk 100 liter air pada tampungan air yang ditemukan jentik
nyamuk. Penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam PSN ( Pemberantasan Sarang
Nyamuk ) dengan 3M, yaitu :
a. Menguras
b. Menutup tampungan air, dan
c. Mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk juga dapat
menjadi cara untuk memberantas DBD.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengobati penyakit DBD diantaranya yaitu:
· Mengatasi perdarahan.
· Mencegah keadaan syok.
· Menambah cairan tubuh dengan infus.
Untuk mencegah DBD, dapat dilakukan dengan cara menghindari gigitan nyamuk
pada waktu pagi hingga sore hari dengan cara mengoleskan lotion anti nyamuk.
2. Saran
a. Setiap individu sebaiknya mengerti dan memahami bahaya dari penyakit DBD
tersebut, sehingga setiap individu tersebut bisa lebih merasa khawatir dan mampu
menjaga diri dan lingkungannya dari kemungkinan terserangnya demam berdarah.
b. Per lunya d iga lakkan Gerakan 3 M p lus , tidak hanya bila terjadi wabah
tetapi harus dijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.
c. Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna.
d. Segenap pihak yang terkait dapat bekerja sama untuk mencegah DBD.
DAFTAR PUSTAKA
http://masterhama.wordpress.com/2009/04/22/pengendalian-nyamuk-dengan-pendekatan-
secara-non-kimiawi-lebih-diutamakan/ Diakses Tgl.15/01/2015
http://indonesiannursing.com/2008/05/program-penanggulangan-dbd-di-indonesia/
http://masterhama.wordpress.com/2009/04/22/pengendalian-nyamuk-dengan-pendekatan-
secara-non-kimiawi-lebih-diutamakan/
http://danialonline.wordpress.com/2009/08/07/ciri-ciri-nyamuk-penyebab-penyakit-demam-
berdarah-nyamuk-aedes-aegypti/
http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti