epidemiologi dbd

35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darahsehinggamengakibatkanperdarahan- perdarahan. Demam berdarah dengue (DBD) umumnya menyerang orang yang kekebalan tubuhnya sedang menurun.Sebenarnya saat kita terkena infeksi dengue, tubuh akan memproduksi kekebalan terhadap tipe virus dengue tersebut, kekebalan ini akan berlangsung seumur hidup. Sayangnya, demam dengue disebabkan oleh banyak strain atau tipe virus sehingga walaupun kita kebal terhadap salah satu tipe namun kita masih dapat menderita demam dengue dari tipe virus yang lain. Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama di Asia timur dan selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus demam dengue memerlukan perawatan di rumah sakit. Lebih dari 40% penduduk

Upload: edith-perkins

Post on 07-Feb-2016

76 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

dbd

TRANSCRIPT

Page 1: Epidemiologi DBD

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut

Dengue  Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana

menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan

darahsehinggamengakibatkanperdarahan-perdarahan.

Demam berdarah dengue (DBD) umumnya menyerang orang yang kekebalan

tubuhnya sedang menurun.Sebenarnya saat kita terkena infeksi dengue, tubuh akan

memproduksi kekebalan terhadap tipe virus dengue tersebut, kekebalan ini akan

berlangsung seumur hidup. Sayangnya, demam dengue disebabkan oleh banyak strain

atau tipe virus sehingga walaupun kita kebal terhadap salah satu tipe namun kita masih

dapat menderita demam dengue dari tipe virus yang lain.

Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia menempati

urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin

disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama di Asia timur dan

selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus. WHO memperkirakan

lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus demam dengue memerlukan perawatan di rumah

sakit. Lebih dari 40% penduduk dunia hidup di daerah endemis demam dengue.

Pencegahan demam dengue membutuhkan pengendalian atau eradikasi dari nyamuk

pembawa virus. Lakukan 3 M (Menguras, Menutup dan Menimbun) tempat tempat yang

disukai nyamuk untuk berkembang biak. Peranan pemerintah sangat diperlukan sebagai

motivator disamping peranan masyarakat sebagai pelaksana.

B. Rumusan Masalah

a. Menjelaskan Tentang Pengertian Demam Berdarah Dengue

b. Menjelaskan Mengenai Epidemiologi DBD

c. Menjelaskan Patogenesis dari DBD

d. Menejelaskan Tentang Penyebaran DBD

e. Menjelaskan tentang Konsep Medis DBD

Page 2: Epidemiologi DBD

C. Tujuan Penulisan

a. Tujuan umum

1) Mahasiswa Mampu menjelaskan mengenai Epidemiologi DBD

2) Mahasiswa mampu untuk mengetahui penyebaran DBD

b. Tujuan Khusus

1) Mengetahui tentang DBD

2) Untuk mengetahui Epidemiologi DBD

Page 3: Epidemiologi DBD

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian

a. Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever) ialah suatu penyakit

yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui

gigitan nyamuk aedes aegypti. (Suriadi, 2001 : 57).

Demam Berdarah Dengue ialah suatu penyakit demam berat yang sering

mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh permeabilitas kapiler, kelainan

hemostasis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan protein. (Nelson, 2000 :

1134).

b. Epidemiologi

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta

fakor yang terkait di tingkat populasi. Ini adalah model corestone penelitian

kesehatan masyarakat, dan membantu menginformasikan kedokteran berbasis bukti

(eveidence based medicine) untuk mengidentifikasikan faktor risiko penyakit serta

menentukan pendekatan penanganan yang optimal untuk praktik klinik dan untuk

kedokteran preventif.

2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang

paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau

dengue shock syndrome (DSS) ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae albopictus yang

terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk

ke dalam family Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-

2, Den3 dan Den-4.1 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat

dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara- negara baru dan, dalam dekade ini,

dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah

tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.

Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah

perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika

Page 4: Epidemiologi DBD

Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan

sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan

22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen

populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus

dengue melalui gigitan nyamuk setempat.

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik

bahkan cenderung terus meningkat 12 dan banyak menimbulkan kematian pada anak8

90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.13 Di Indonesia, setiap tahunnya

selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004

dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.14

Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara

bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak

137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta

kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR

0,89%.

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus

Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae.

polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu

juga terjadi penularan transsexual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui

perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. 16-17 Ada

juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada

tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik(18). Dari beberapa cara penularan

virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti.19

Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8 10 hari,

sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti

dengan respon imun.

Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.

berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi infeksi

tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada

faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-

lain. Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro

Page 5: Epidemiologi DBD

dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur

nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi

nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang

diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti

dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif

akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk

menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga

diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi

frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host

terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status

gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status status gizi

yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khu-

susnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi

makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon

kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak

sistem imun.

Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan

lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh

manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat

melalui variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain

lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh

status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan

[requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan fisik,

perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain].

Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi

mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh

pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja

otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap

tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi

perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu

persediaanzat gizi menghadapi keadaan darurat.

Page 6: Epidemiologi DBD

Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15

tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita

pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok

umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.

Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya

kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus

dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang

biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya

kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan,

pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan

lainnya.

3. Perkembangan Teori Terjadinya DBD

Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue. Virus tersebut termasuk dalam

group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Virus yang banyak berkembang di

masyarakat adalah virus dengue. Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila,

Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya

dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian

penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai

berikut :

Deman berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan

ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypt. Nyamuk yang menggigit dan

menularkan virus ini adalah dari jenis betina. Nyamuk ini hidup dan berkembang pada

tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah, seperti :

bak mandi/WC, tempat penyimpanan air. Nyamuk penyebab deman berdarah ini

menggigit pada pagi dan sore hari. Nyamuk ini dapat menggigit beberapa kali setiap hari

sehingga dia bisa menularkan virus dari satu orang ke orang kali dalam satu hari .

Perkembangan nyamuk dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12

hari. Kemampuan terbang berkisar antara 40-100 meter dari tempat berkembang biaknya.

Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang bergantung di dalam rumah,

seperti gordyn, kelambu, baju/pakaian kamar yang gelap dan lembab.

Page 7: Epidemiologi DBD

4. Patogenesis DBD

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue

akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus

limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel

monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan

masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk

komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,

virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif

terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus

lainnya.

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu

netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity

(ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau

neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus,

dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat

meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS.

Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih

kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody

dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan,

bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi

proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu

yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus

dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody

heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan

infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan

cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi,

selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha

(TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan

(enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding

Page 8: Epidemiologi DBD

pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan

kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui

dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan

merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif

dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan

perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue

dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing

antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus

dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan

memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan

TNF alpha juga PAF.

Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus

tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi

sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan

penyakit yang berat.7 Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum

penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD,

di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotype virus

dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada

kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori

antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan

aktivitas system komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping

itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus

dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan

mempengaruhi aktivitas komponen system imun yang lain. Selain itu ada teori moderator

yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai

mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama

endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan

permeabilitas kapiler.

Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa

hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue

Page 9: Epidemiologi DBD

destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi

virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.

5. Tahap –Tahap Riwayat Alamiah Penyakit DBD

Riwayat alamiah suatu penyakit pada umumnya melalui tahap-tahap sebagai berikut :

a. Tahap Prepatogenesis

Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/ sehat tetapi mereka pada

dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit (stage

of susceptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi

interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di

luar tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu di mana para

kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang penjamu.

b. Tahap Patogenesis

1) Tahap Inkubasi

Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit ke

dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbul gejala

penyakit. Masa inkubasi ini  bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit

lainnya.

2) Tahap Dini

Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan.

Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan

patologis, walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini,

diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini.

3) Tahap Lanjut

Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat dengan

segala kelainan klinik  yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah

ditegakkan. Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan

yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.

4) Tahap Pasca Patogenesis

Tahap pasca patogenesis/ tahap akhir yaitu berakhirnya perjalanan penyakit

yang dapat berada dalam pilihan keadaan, yaitu sembuh sempurna, sembuh

Page 10: Epidemiologi DBD

dengan cacat, karier, penyakit berlangsung secara kronik, atau berakhir dengan

kematian.

6. Gejala Klinis DBD

a. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari (tanpa sebab jelas).

b. Manifestasi perdarahan: paling tidak terdapat uji turnikel positif dari adanya salah

satu bentuk perdarahan yang lain misalnya positif, ekimosis, epistaksis, perdarahan

yang lain misalnya petekel, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, melena, atau

hematomesis.

c. Pembesaran hati (sudah dapat diraba sifat permulaan sakit).

d. Syok yang ditandai nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi yang menurun (menjadi

20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80

mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada

ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.

7. Upaya Pencegahan DBD

a. Pencegahan Primordial

Jenis pencegahan yang paling akhir diperkenalkan, adanya perkembangan

pengetahuan dalam epidemiologi penyakit kardiovaskular dalam hubungannya

dengan diet, dll. Pencegahan ini sering terlambat dilakukan terutama di negara-negara

berkembang karena sering harus ada keputusan secara nasional.

Tujuan premordial prevention ini adalah untuk menghindari terbentuknya pola

hidup sosia-ekonomi dan kultural yang mendorong peningkatan resiko penyakit.

Upaya ini terutama sesuai untuk ditujukan kepada masalah penyakit tidak menular

yang dewasa ini cenderung menunjukkan peningkatannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penegahan awal ini diarahkan kepada

mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang bersifat positif

yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor resiko dapat

berkembang atau memberikan efek patologis. Faktor-faktor itu tampaknya bersifat

sosial atau berhubungan dengan gaya hidup danpola makan. Upaya awal terhadap

tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya mempertahankan kondisi

kesehatan yang posotif yang dapat melindingi masyarakat dari gangguan kondisi

kesehatannya yang sudah baik.

Page 11: Epidemiologi DBD

b. Pencegahan Primer

Pencegahan primer ini bertujuan untuk mengurangi incidence dengan mengontrol

penyebab dan faktor-faktor risiko. Misal : penggunaan kondom dan jarum suntik

disposable pada pencegahan infeksi HIV, imunisasi, dll. Biasanya merupakan

Population Strategy sehingga secara individual gunanya sangat sedikit :

penggunaanseat-belt, program berhenti merokok.

c. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menyembuhkan dan mengurangi akibat

yang lebih  serius lewat diagnosis & pengobatan yang dini. Tertuju pada periode

diantara timbulnya penyakit dan waktu didiagnosis & usaha ↓ prevalensi.

Dilaksanakan pada penyakit dengan periode awal mudah diindentifikasi dan diobati

sehingga perkembangan kearah buruk dapat di stop, Perlu metode yang aman & tepat

untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium preklinik. Misal : Screening pada

kanker cervik, pengukuran tekanan darah secara rutin.

d. Besarnya Kemungkinan Pencegahan Penyakit Demam Berdarah

Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai

sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya

hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah

yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah

penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :

1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi

tempat. perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan

perbaikan desain rumah.

2) Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air kolam,

dan bakteri (Bt.H-14).

3) Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).

4) Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air

seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

8. Transisi Epidemiologi DBD

Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban

ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks

Page 12: Epidemiologi DBD

dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi

penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non

infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan

berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang

berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung

koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah

pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.

Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar

Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan

kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa

ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai

dengan tingginya mortalitas dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30

tahun, 2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai

meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase

dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat.

gambaran itu memang untuk negara Barat.

Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan

Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit

revisi. Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of

declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and resurgentdiseases

ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah,

serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with

paradoxical longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa

depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik

morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life.

Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara

berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden”

yang ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan

(infeksi penyakit menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan

kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit

Page 13: Epidemiologi DBD

beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease”

Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.

Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan

berada pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda

kesehatan. Kita akan membahas beban ini satu-persatu.Beban pertama yang dihadapi

Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit menular “klasik”. Penyakit

ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara berkembang

apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis.

Angka kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat

menjadi masalahnya. Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria,

Leptospirosis. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal

(baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program

memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau

pergi dari Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau

meninggalkan Indonesia, Malah trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun.

Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling

mempengaruhi. Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi

(Epidemiological Triangle) yaitu lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu.

Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa menimbulkan penyakit tersebut. Kita

tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi lebih jelsnya anda bisa membaca

buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.         

Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa

kita lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor

risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan

mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat. Namun kedua faktor utama inilah

yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi. Masalahnya cukup kompleks, bisa

disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada upaya preventif

(pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah

kesehatan, Keadaan politik,sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.

Page 14: Epidemiologi DBD

Beban Kedua yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan

kematian akibat Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja

Hipertensi, Diabetes Mellitus, Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese,

PPOK, Kanker dan teman-temannya. Masalah utamanya adalah angka kematian akibat

penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah lebih tinggi daripada kematian akibat

penyakit menular.

Pada tahun 1995 kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan

tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen, ini yang tercatat di pelayanan kesehatan. Ini

juga menjadi salah satu masalah PTM sekarang ini, pencatatan yang hampir tidak ada

sama sekali di pelayanan kesehatan, sehingga sulit menentukan besaran masalahnya dan

menentukan kebijakan di daerah maupun pusat.

PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan

ketika terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit

disembuhkan, dan biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada

Faktor yang spesifik dan dominan penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup

banyak dan saling berinteraksi.

Berbagai penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada

perilaku yaitu merokok, minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi),

dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang bisa kita lakukan ya..dengan mengubah

perilaku kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat,

sering berolahraga dan hindari rokok dan minum alkohol.

Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new

emerging Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza

(2004), H1N1 (2009). Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang berganti

baju (baca:bermutasi) itulah yang menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya

dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi

dan berlangsung sangat cepat.

Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul

kembali merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu

kemampuan mikroba pathogen untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan

teknologi dan perilakunya juga memberikan peluang kepada mikroba untuk secara

Page 15: Epidemiologi DBD

alamiah merekayasa dirinya secara genetik, perubahan iklim global juga turut campur

dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.

Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan

pemahaman teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran

penyakit secara global dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal.

(Achmadi,2009)

Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu

mewujudkan Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk

membantu pemerintah mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat,

Berperilaku bersih dan Sehat, dan Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat.

9. Etika Epidemiologi Penyakit DBD

a. Surveilans Individu

Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu

individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,

tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan

dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang

dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi

institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang

sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.

Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi

seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali

ketika timbul AIDS pada tahun 1980-an dan SARS.

Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina

total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular

selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.

Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan

perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak

sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa

diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu

dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.

Page 16: Epidemiologi DBD

Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah

legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan

efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut mencapai tujuan kesehatan

masyarakat.

b. Surveilans Penyakit

Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus

terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan

sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian,

serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit,

bukan individu.

Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui

program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program

surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif,

tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena

pemerintah kekurangan biaya. Banyak programsurveilans penyakit vertikal yang

berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan

fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumber daya masing-

masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.

c. Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan

terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing

penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan

individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.

Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola

perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari

aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun

nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-

penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik

dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan

Page 17: Epidemiologi DBD

skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit

tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan

menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati.

Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai

influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan

dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah

berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).

Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari

fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,

disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel

merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan

sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).

d. Surveilans Berbasis Labolatorium

Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor

penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan

seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi

strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera

dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-

klinik

e. Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua

kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)

sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur,

proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsimengumpulkan informasi yang

diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans

terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit

tertentu.

f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan

binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.

Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan

Page 18: Epidemiologi DBD

negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global

(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh

dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi

internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi

batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global,

baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun

penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases).

10. Pemeriksaan Diagnostik

a. Darah lengkap : hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% atau lebih)

trombositopeni (100.00/mm3 atau kurang).

b. Serotogi : uji HI (Hemaaglutination Inhibition test).

c. Rongten thorax : effusi pleura.

11. Pelaksanaan Terapeutik

a. Minum banyak 1,5-2 liter/24 jam dengan air teh, gula atau susu.

b. Antipiretik jika terdapat demam.

c. Antikonvulsan jika terdapat kejang.

d. Pemberian cairan melalui infus, dilakukan jika pasien mengalami kesulitan minum

dan nilai hematokrit cenderung meningkat.

12. Konsep Dasar Epidemilogi Demam Berdarah

a. Segitiga Epidemiologi

Segitiga epidemiologi adalah modal utama yang harus dimiliki oleh seorang

epideniolog. Ini merupakan teori dasar yang terkenal sejak disiplin ilmu epidemiologi

mulai digunakan di dunia. Dalam bidang epidemiologi terdapat sedikitnya 3 segitiga

epidemiologi yang saling terkait satu sama lain yaitu, 1. Agent-Host-Environment

(AHE), 2. Person-Place-Time (PPT), 3. Frekuensi- Distribusi- Determinan (FDD).

b. Host, Agent, Environment

Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam

menjelasakan kosep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah satunya adalah

terjainya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam memprediksi suatu penyakit.

Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari keseimbangan dan interaksi ke

tiganya.

Page 19: Epidemiologi DBD

1) Host

Host atau penajmau ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga

menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan

oleh faktor intrinsik. Factor penjamuyang biasanya menjkadi factor untuk

timbulnya suatu penyakit sebagai berikut:

a) Umur. Misalnya, usia lanjut lebih rentang unutk terkena penyakit

karsinoma, jantung dan lain-lain daripada yang usia muda.

b) Jenis kelamin (seks). Misalnya , penyakit kelenjar gondok, kolesistitis,

diabetes melitus cenderung terjadi pada wanita serta kanker serviks yang

hanya terjadi pada wanita atau penyakit kanker prostat yang hanya terjadi

pada laki-laki atau yang cenderung terjadi pada laki-laki seperti hipertensi,

jantung.

c) Ras, suku (etnik). Misalnya pada ras kulit putih dengan ras kulit hitam

yang beda

d) Genetik (hubungan keluarga). Misalnya penyakit yang menurun seperti

hemofilia, buta warna, sickle cell anemia.

2) Agent

Yang disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur biologis yang

dikarenakan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protzoa,

metazoa), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar

gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar

tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksid, obat-obatan, arsen,

pestisida), unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, serta unsur

psikis atau genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Demikian juga

dengan unsur kebiasaan hidup (rokok, alcohol), perubahan hormonal dan

unsur fisioloigis seperti kehamilan, persalinan.

3) Environment

Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya

penyakit, hali ini Karen faktor ini datangnya dair luar atau bisas disebut

dengan faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan ini dapat dibagi menjadi:

a) Faktor lingkungan yang mempengaruhi Host dan Agent

Page 20: Epidemiologi DBD

b) Fisik: iklim (kemarau dan hujan), geografis (pantai dan pegunungan),

demografis (kota dan desa)

c) Biologis: flora dan fauna

d) Sosial: migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, perumahan, bencana alam,

perang, banjir

c. Portal Of Entry and Exit

Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia

yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur

berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat

ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh

nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), tetapi

perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan

berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan

virus selama hidupnya (infektif).

d. Aplikasi Penyakit Demam Berdarah

Tim terlebih dahulu merumuskan masalah tentang aplikasi penyakit demam

berdarah. Rumusan ini akan membahas tentang apa fungsi dari aplikasi ini, tujuan

dari pembuatan aplikasi sehingga nantinya akan menunjang pembuatan aplikasi

nantinya dapat berfungsi dengan baik.Aplikasi  data dilakukan dengan melakukan

analisis dan identifikasi terhadap pemasalahan dan data – data penunjang yang telah

di dapatkan melalui metode sebelumnya. Sehingga tim akan mendapatkan informasi

sistem seperti apa yang diharapkan, dan apa saja yang dibutuhkan dalam proses

pembuatan aplikasi ini.

Dokter mandiri merupakan sebuah aplikasi yang akan dibuat dan nantinya akan

meminta inputan dari user seperti nama use, Tekanan darah, Umur,dan Jenis

Kelamin. Setelah itu user dapat menggunakan segala hal yang disediakan di dalam

aplikasi Dokter mandiri. Yang mana nantinya akan terdiri menu-menu seperti menu

penanganan dan pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue

Page 21: Epidemiologi DBD

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan masalah yang telah dibuat, dapat diambil

kesimpulan bahwa fogging merupakan salah satu upaya untuk memberantas nyamuk

yang merupakan vektor penyakit demam berdarah sehingga rantai penularan penyakit

dapat diputuskan. Selain fogging juga dapat dilakukan abatisasi, yaitu penaburan abate

dengan dosis 10 gram untuk 100 liter air pada tampungan air yang ditemukan jentik

nyamuk. Penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam PSN ( Pemberantasan Sarang

Nyamuk ) dengan 3M, yaitu :

a. Menguras

b. Menutup tampungan air, dan

c. Mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk juga dapat

menjadi cara untuk memberantas DBD.

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengobati penyakit DBD diantaranya yaitu:

·         Mengatasi perdarahan.

·         Mencegah keadaan syok.

·         Menambah cairan tubuh dengan infus.

Untuk mencegah DBD, dapat dilakukan dengan cara menghindari gigitan nyamuk

pada waktu pagi hingga sore hari dengan cara mengoleskan lotion anti nyamuk.

2. Saran

a. Setiap individu sebaiknya mengerti dan memahami bahaya dari penyakit DBD

tersebut, sehingga setiap individu tersebut bisa lebih merasa khawatir dan mampu

menjaga diri dan lingkungannya dari kemungkinan terserangnya demam berdarah.

b. Per lunya d iga lakkan Gerakan 3 M p lus , tidak hanya bila terjadi wabah

tetapi harus dijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.

c. Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan

secara berdaya guna dan berhasil guna.

d. Segenap pihak yang terkait dapat bekerja sama untuk mencegah DBD.