dua karang

27
Jokowi di Antara Dua Karang Editor: Arif Rahman Rabu, 8 April 2015 | 21:55 551 Views Oleh: Hendrajit *) Mendapatkan seratus kemenangan dari seratus pertempuran bukanlah puncak kecakapan. Menaklukkan musuh tanpa bertempur adalah sebenarnya puncak kecakapan. Ahli Strategi militer Tiongkok Sun Tzu. Sebenarnya kalau pemerintahan Jokowi-JK punya visi yang strategis dan punya kebijakan politik luar negeri yang terintegrasi dengan kebijakan strategis bidang ekonomi, berpaling ke Tiongkok sesungguhnya merupakan pertimbangan yang cukup strategis. Jurnalis Australia Geoff Hiscock dalam bukunya yang cukup menarik dan menggugah bertajuk Earth Wars: Pertempuran Memperebutkan Sumber Daya Global , mengabarkan, Tiongkok saat ini punya cadangan devisa 3 triliun dolar AS. Dan 1 triliun dolar AS di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk aset di luar negeri. Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti Indonesia termasuk salah satu negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Masalahnya adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK cukup memahami konstalasi global sehingga memahami betul nilai strategis Tiongkok di abad 21 ini, dan bagaimana membangun kerjasama strategis yang setara dan saling menguntungkan. Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Tiongkok amat mencemaskan keamanan jalur

Upload: riksawan-ardhianto

Post on 02-Feb-2016

262 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

menjelaskan masalah sosial

TRANSCRIPT

Page 1: Dua Karang

Jokowi di Antara Dua Karang

Editor: Arif Rahman

Rabu, 8 April 2015 | 21:55

551 Views

Oleh: Hendrajit *)

Mendapatkan seratus kemenangan dari seratus pertempuran bukanlah puncak

kecakapan. Menaklukkan musuh tanpa bertempur adalah sebenarnya puncak

kecakapan. Ahli Strategi militer Tiongkok Sun Tzu.

Sebenarnya kalau pemerintahan Jokowi-JK punya visi yang strategis dan punya

kebijakan politik luar negeri yang terintegrasi dengan kebijakan strategis bidang

ekonomi, berpaling ke Tiongkok sesungguhnya merupakan pertimbangan yang

cukup strategis. Jurnalis Australia Geoff Hiscock dalam bukunya yang cukup

menarik dan menggugah bertajuk Earth Wars: Pertempuran Memperebutkan

Sumber Daya Global, mengabarkan, Tiongkok saat ini punya cadangan devisa 3

triliun dolar AS. Dan 1 triliun dolar AS di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk

aset di luar negeri.

Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti Indonesia termasuk salah satu

negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam 5 sampai 10 tahun

mendatang. Masalahnya adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK cukup memahami

konstalasi global sehingga memahami betul nilai strategis Tiongkok di abad 21 ini,

dan bagaimana membangun kerjasama strategis yang setara dan saling

menguntungkan.

Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia,

Tiongkok amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka,

yang membentang 800 km (500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan

Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat

Singapura, yang mengarah ke Laut Tiongkok Selatan.

Page 2: Dua Karang

Tiongkok seperti halnya juga dengan Amerika Serikat (AS), Rusia, Jepang dan India,

menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak

melintasi Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat

perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.

Melalui gambaran ini saja, pemerintahan Jokowi-JK seharusnya sudah bisa

membuat semacam roadmap dan skenario yang cukup strategis sebagai panduan

untuk membangun kerjasama strategis dengan Tiongkok. Betapa Tiongkok

menyadari betul nilai strategis beberapa wilayah territorial Indonesia yang melewati

jalur Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan.

Apalagi tren global saat ini mengindikasikan betapa ambisi teritorial dan sengketa

perbatasan antar negara seperti yang sudah terbukti melalui serangkaian sengketa

perbatasan antara Tiongkok versus beberapa negara ASEAN, nampaknya dalam

beberapa tahun ke depan bakal semakin intensif, menyusul semakin intensifnya

kekuatan-kekuatan besar memperebutkan cadangan migas potensial di zona lepas

pantai.

Menurut riset yang diolah oleh tim Aktual, pertumbuhan rata-rata Pendapatan

Domestik Bruto (PDB) Tiongkok selama 7 tahun dari 2004 hingga 2010 adalah 11,0

persen. Yang berarti, ukuran ekonominya berlipat dua selama kurun waktu itu.

Nah, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan yang cepat selama dua dekade

terakhir itulah, maka Tiongkok sekarang mengomsumsi lebih banyak energi, menjual

lebih banyak mobil, dan menghasilkan lebih banyak baja daripada AS. Tiongkok

menggunakan lebih banyak bijih besi, tembaga, timah, seng, alumunium, kromium,

tungsten, titanium, dan unsur tanah langka dibandingkan bangsa lain manapun.

Dalam proyeksi tim riset Aktual, pada 2020 diprediksi jaringan rel kereta api

berkecepatan tinggi, bahkan setelah kemunduran pada pertengahan 2011, mungkin

akan mencapai 16.000 km (10.000 mil), melesatkan orang dan barang yang bernilai

tinggi pada kecepatan 320 km/jam di antara setiap kota besar Tiongkok.

Pembangunan jaringan raksasa itu dan kereta yang berjalan di atasnya

membutuhkan sejumlah besar bahan baku, termasuk baja.

Bisa dimengerti jika kemajuan pesat Tiongkok yang dimulai sejak era Deng Xioping

pada 1979, mulai mengundang ketakutan dari negara-negara Barat. Pada 2011,

Page 3: Dua Karang

bank berskala global HSBC yang kita tahu berada dalam kendali Inggris dari

belakang layar, dan merupakan merger dua cabang bank yang berbasis di

Hongkong dan Shanghai, mengeluarkan laporan berjudul The World in 2050. Melalui

laporan tersebut disimpulkan bahwa pada 2050 negara-negara berkembang-

termasuk Tiongkok dan India, akan melipatgandakan outputnya lima kali dan akan

lebih besar daripada output negara-negara maju.

19 dari 30 negara dengan produk domestik bruto terbesar adalah negara yang saat

ini disebut sebagai negara berkembang. Tiongkok dan India akan menjadi negara

terbesar di bidang ekonomi, bahkan ketiga terbesar, disusul oleh Amerika di nomor

2, Jepang, yang kemudian diikuti oleh Inggris, Brazil, Meksiko, Perancis, dan

Kanada di 10 besar.

Prediksi ini, meski dalam lingkup geopolitik, sempat dikumandangkan oleh pakar

politik Amerika Dr Samuel Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilization.

Meski secara rinci tidak tergambar secara ekonomi, namun pada intinya

memandang Tiongkok bakal muncul sebagai kekuatan adidaya baru mengimbangi

AS dan beberapa negara maju di Eropa Barat.

Senada dengan prediksi Huntington yang bukunya pertama kali dirilis pada 1994,

laporan HSBC juga memperkirakan bahwa “kemajuan substansial” negara-negara

berkembang tersebut akan disusul oleh sejumlah negara berkembang lainnya

seperti Indonesia, Turki, Mesir, Malaysia, Thailand, Kolombia, dan Venezuela.

Kembali ke soal Tiongkok. Dengan cadangan devisa yang diduga mencapai 3 triliun

dollar AS berdasarkan data 2011, maka Tiongkok saat ini punya uang untuk

membeli hampir apapun yang mereka mau.

Pertaruhan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan

Tak pelak lagi, di tengah perekonomian Tiongkok yang semakin digdaya saat ini,

Laut Tiongkok Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara

strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang

membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Tiongkok. Apalagi

Tiongkok menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di

dunia melewati perairan Laut Tiongkok Selatan. Maka itu tak heran jika Tiongkok

saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan

Page 4: Dua Karang

Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di

kawasan utara, di Laut Tiongkok Timur, Tiongkok bersengketa dengan Jepang atas

Kepulauan Senkaku (yang di Tiongkok dikenal sebagai Diaoyutai).

Sengketa perbatasan Tiongkok dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu

faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Tiongkok dan

AS dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat fakta bahwa saat ini Vietnam

secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN

yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.

Sebuah editorial koran Tiongkok Global Times edisi 21 Juni 2011 kiranya perlu

disimak secara seksama:

“Vietnam telah melakukan tindakan beresiko di Laut Tiongkok Selatan untuk sekian

lama. Mereka telah menduduki 29 pulau Tiongkok. Mereka telah mendapatkan

manfaat terbanyak dari eksploitasi gas alam dan minyak bawah laut. Mereka juga

yang paling agresif menghadapi Tiongkok. Tiongkok telah mengirimkan pesan yang

jelas bahwa kami akan mengambil tindakan apapun yang diperlukan untuk

melindungi kepentingan-kepentingan kami di Laut Tiongkok Selatan. Jika Vietnam

terus memprovokasi Tiongkok di wilayah ini, Tiongkok pertama akan

menghadapinya dengan kekuatan polisi laut, dan jika perlu, menyerang balik

dengan kekuatan angkatan laut. “

Jika prediksi harian Tiongkok Global Times ini kelak terbukti benar, nampaknya

estimasi yang pernah dilontarkan Samuel Huntington, bahwa konflik bersenjata

antara Tiongkok dan Vietnam, bakal mengobarkan perang berskala global antara

negara-negara yang yang bersekutu dengan AS versus negara-negara yang

bersekutu dengan Tiongkok, kiranya cukup beralasan.

Sebab pada 1979, Tiongkok pernah menginvasi Vietnam menyusul tergusurnya

rezim Khemer Merah pimpinan Pol Pot yang didukung Tiongkok. Meski invasi

Tiongkok ke Vietnam hanya sebulan, namun telah menghancurkan secara signifikan

sendi infrastruktur di Vietnam bagian utara. Namun sejatinya, sasaran

sesungguhnya Tiongkok waktu itu adalah penguasaan Pulau Paracel yang terletak

di sebelah timur Vietnam dan selatan Pulau Hainan. Singkat cerita, sengketa

perbatasan Tiongkok dengan Vietnam atas Spratly dan Paracel tetap berlanjut.

Page 5: Dua Karang

Pertaruhan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan nampaknya memang cukup besar.

Terbukti pada 2011, Tiongkok telah mengumumkan akan meningkatkan secara

substansial pasukan paramiliter pemantau lautnya yang berpatroli di perairan Laut

Tiongkok Selatan. Bahkan dalam proyeksi di 2020, Tiongkok berencana akan

memiliki lebih dari 500 kapal dan 15.000 personel petugas-jauh lebih banyak

daripada AS, yang saat ini juga semakin memperkuat kehadiran militernya di

Darwin, Australia, untuk mengontrol perairan Laut Tiongkok Selatan dan Selat

Malaka.

Pentingnya Tiongkok Kuasai Pelabuhan-pelabuhan di Asia-Pasifik

Mengapa menguasai pelabuhan begitu penting bagi Tiongkok, sehingga negeri Tirai

Bambu itu begitu terobsesi untuk menguasai wilayah-wilayah yang punya akses ke

pelabuhan di beberapa negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia?

Hal ini bisa ditelusuri kembali melalui cerita seputar meletusnya Perang Candu

pertama antara Inggris dan Tiongkok pada 1839-1842. Semua itu bermula ketika

komisioner perdagangan luar negeri kekaisaran Tiongkok Lin Zexu memutuskan

untuk mengakhiri perdagangan dengan diplomasi dan kemudian secara paksa,

menyita dan menghancurkan 20 ribu peti opium yang ditemukan di gudang-gudang

pedagang asing di Guangzhou pada Juni 1839.

Rupanya, tindakan otoritas politik kekaisaran Tiongkok itu mengundang kemarahan

Inggris, sehingga meletuslah Perang Candu pertama. Akibatnya, pasukan Inggris

kemudian menduduki Shanghai dan mengepung Guangzhou dan pelabuhan

Tiongkok lainnya.

Berdasarkan ketentuan penyerahan Tiongkok, lima pelabuhan dibuka untuk

perdagangan internasional dan pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris. Perang

Candu kedua (1856-1860), Tiongkok kembali menderita kekalahan, sehingga Inggris

mendapat tanah tambahan di Semenanjung Kowloon ke koloni Inggris di Hongkong.

Saat ini, kapal-kapal kontainer raksasa yang menyusuri Sungai Mutiara menuju

Guangzhou, Terminal Nansha-nya yang baru, dan pelabuhan kontainer terkait

Shenzhen mungkin masih membawa narkoba, namun ada jauh lebih banyak uang di

dalam lalu-lintas perdagangan internasional harian. Berbagai macam bahan mentah

dan setengah jadi mengalir ke Tiongkok Selatan dari seluruh dunia, untuk dijadikan

Page 6: Dua Karang

barang jadi, dikemas, dan dikirim kembali ke palanggan luar negeri dan dalam

negeri.

Sedemikian pentingnya pelabuhan bagi Tiongkok, tergambar melalui fakta bahwa

enam dari sepuluh pelabuhan kontainer tersibuk di dunia ada di Tiongkok, yang

dipimpin oleh Shanghai dengan 29,1 juta TEU (satuan unit setara 20 kaki) pada

2010; Shenzhen dan Guangzhou bersama-sama menangani 45 juta setahun.

Hongkong yang berdekatan menangani 23 juta TEU. Bahkan Singapore yang

pernah memimpin perekonomian dunia (28 juta pada 2010) sekarang berada di

peringkat kedua dalam alur distribusi dan keluaran kontainer tetapi tetap merupakan

pelabuhan tersibuk di dunia dalam total tonase pengiriman.

Bahkan Jepang pun sudah tergeser oleh Tiongkok. Pada 1989, pelabuhan Kobe

Jepang berada di peringkat kelima pelabuhan container top dunia dan Yokohama

dan Tokyo berada di top 20. Pada 2010, tidak ada satupun pelabuhan Jepang di

antara top 20.

Maka tak heran jika Tiongkok memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke

Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Tiongkok lainnya agar tetap

terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin String of

Pearly Tiongkok yang gagasan dasarnya adalah sebagai doktrin penguasaan

maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah yang melewati Laut

Tiongkok Selatan.

Maka Laut Tiongkok Selatan menjadi penting dan vital bagi Tiongkok, utamanya

sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, khususnya untuk tanker

minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku

lainnya ke Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia,

Tiongkok amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka,

yang membentang 800 km (500 mil) di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung

Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang

mengarah ke Laut Tiongkok Selatan.

Tiongkok seperti halnya juga dengan AS, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul

bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi

Page 7: Dua Karang

Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat

perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.

Dengan demikian, di tengah perekonomian Tiongkok yang semakin digdaya saat ini,

Laut Tiongkok Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara

strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang

membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Tiongkok. Apalagi

Tiongkok menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di

dunia melewati perairan Laut Tiongkok Selatan.

Maka itu tak heran jika Tiongkok saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan

terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia,

Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Tiongkok Timur, Tiongkok

bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di Tiongkok dikenal

sebagai Diaoyutai).

Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam

pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi sempat menyinggung

tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point

(MSRP).

Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan

infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Tiongkok

akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia.

Sehingga sebagai imbalannya, Tiongkok sebagai investor pada perkembangannya

ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di

Indonesia.

Berdasarkan pada tawaran kerjasama Tiongkok berdasarkan skema SERB dan

MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia

dan Tiongkok?

Ini penting mengingat kenyataan bahwa Tiongkok memang mempunyai sasaran

strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Tiongkok Selatan,

yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim,

Tiongkok punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.

Page 8: Dua Karang

Jika tawaran Tiongkok berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui

mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan

infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk

meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.

Sengketa perbatasan Tiongkok dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu

faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Tiongkok dan

AS dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat kenyataan bahwa saat ini Vietnam

secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN

yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka rencana Tiongkok untuk membangun

kerjasama ekonomi dengan Indonesia dengan menanam investasi di Bitung,

Sulawesi Utara, kiranya patut diwaspadai. Seusai pertemuan antara Menko

Perekonomian Chairul Tanjung dan Duta Besar Tiongkok H.E. liu Jianchao,

Tiongkok akan menetapkan Indonesia sebagai wilayah target investasinya. Bahkan

bukan itu saja. Tiongkok ingin masuk dalam satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

di Indonesia.

Dan sasaran Tiongkok untuk diintegrasikan melalui skema KEK adalah Bitung. Di

Bitung, Tiongkok akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh,

berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika

kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Tiongkok, maka bisa

dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.

Prakiraan akan bercokolnya kepentingan strategis militer Tiongkok di balik skema

KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:

Pertama, ambisi Tiongkok membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara

udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Tiongkok membangun

pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur

Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk

mengamankan energy security (ketahanan energi)-nya.

Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Tiongkok membangun KEK di

Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat

Page 9: Dua Karang

sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru

bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur.

Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI

III, di mana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara

dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat

mengendalikan dua ALKI sekaligus;

Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan welcome-nya

Timor Leste terhadap militer Tiongkok, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao.

Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui

ALKI III-A.

Kelima, inilah kontra-strategi Tiongkok dalam rangka membendung gerak laju

Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu

menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Filipina, dan lain-lain,

maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Itulah jawaban

(sementara), “Kenapa Tiongkok memilih Bitung?”

Dari kajian geopolitik, sepertinya Sulawesi cq Bitung hendak dijadikan semacam

proxy war antara Tiongkok versus AS. Keduanya hendak saling berebut pengaruh

sebagaimana terjadi di banyak negara Afrika, Tiongkok via “Pendekatan Panda”,

sedang Paman Sam —seperti biasa—melalui penyebaran (pangkalan) militernya.

Pertanyaannya kini, “Bagaimana takdir geopolitik Indonesia nantinya?”

Manado-Bitung Sasaran ‘Proxy War’ AS-Tiongkok Sejak 1998

Berdasarkan berbagai informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future

Institute, Bitung memang sudah menjadi sasaran Proxy War antara AS versus

Tiongkok sejak 1998.

Perlunya mewaspadai kemungkinan Bitung sebagai wilayah yang dijadikan target

investasi Tiongkok di Indonesia, dengan meminta diikutsertakan dalam skema Zona

Ekonomi Khusus. Jika Indonesia setuju dengan permintaan Tiongkok itu, berarti

Indonesia telah membuka pintu lebar-lebar bagi para Taipan Pesisir Tiongkok

Selatan untuk melakukan invasi ekonomi ke beberapa wilayah yang punya nilai

strategis secara geopolitik di Indonesia.

Page 10: Dua Karang

Betapa tidak. Di Bitung, Tiongkok akan membangun kawasan perindustrian secara

menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu

kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi

Tiongkok, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.

Sebab bisa-bisa lapangan udara maupun pelabuhan-pelabuhan vital kita, secara

hankam akan sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara asing. Apalagi Sulawesi

Utara secara geostrategi dipandang sebagai pintu masuk Indonesia ke kawasan

Asia Pasifik. Terutama ke Filipina yang merupakan sekutu tradisional AS di kawasan

Asia Tenggara.

Namun masuknya investasi Tiongkok ke Indonesia yang dipandu oleh Skema

Kawasan Ekonomi Khusus, nampaknya jauh lebih berbahaya di balik rencana

investasi besar-besaran Tiongkok ke Indonesia.

Namun, Tiongkok nampaknya bukan satu-satunya yang diuntungkan dengan

adanya skema Zona Ekonomi Khusus ini.

Kapet Manado-Bitung Sebagai Pintu Masuk AS ke Indonesia Timur

Untuk memahami betapa rawannya Bitung-Manado sebagai sasaran Proxy War

antara AS versus Tiongkok di Indonesia, sudah terlihat sejak 1998, tak lama setelah

pemerintahan Soeharto tumbang, dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie.

Dengan dalih untuk mendorong kesejahteraan wilayah Sulawesi Utara, pemerintah

pusat di bawah pimpinan BJ Habibie kemudian menetapkan kawasan tersebut

sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang tercantum dalam

Keppres No 14 Th 1998. Kapet Manado-Bitung kemudian menjalin kerjasama

regional antara negara ASEAN yang tergabung dalam BIMP-EAGA (Brunei

Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, East ASEAN Growth Area).

Lembaga ini merupakan bentuk kerjasama bilateral negara-negara ASEAN untuk

wilayah bagian timur. Kapet Manado-Bitung meliputi kawasan Manado, Bitung serta

sebagian wilayah Kabupaten Minahasa dengan cakupan wilayah seluas 251.138

hektar.

Bahkan pada 2004, untuk merealisasikan Keppres tersebut, pada 2004 Kapet

Manado-Bitung membangun kawasan industri seluas 60 hektar yang berlokasi di

Page 11: Dua Karang

Kabupaten Minahasa Utara. Dan menariknya lagi, pengembangan kawasan industri

tersebut dilakukan oleh pihak swasta.

Secara normatif penanggung jawab dan pemegang otoritas tertinggi Kapet adalah

Presiden. Kemudian Presiden membentuk tim pengarah yang diketuai oleh Menteri

Riset dan Teknologi di mana salah satu anggota dari tim ini adalah gubernur yang

wilayahnya menjadi Kapet.

Pada 2000 berdasarkan Keppres No 150 tahun 2000, struktur penanganan Kapet

berubah. Pada level nasional dibentuk apa yang disebut Badan Pengembangan

Kapet yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Di bawahnya terdapat tim teknis

Badan Pengembangan Kapet diketuai oleh Menteri Pemukiman dan Prasarana

Wilayah. Pengelolaan di bawahnya, sebagai badan pengelola Kapet diketuai oleh

gubernur.

Di sinilah skema sesungguhnya di balik kebijakan ini mulai terungkap. Melalui

Keppres ini, jabatan wakil ataupun pelaksana harian yang semula ditetapkan dengan

Kepres, dapat diangkat cukup dengan SK Gubernur.

Begitu pula halnya dengan para direktur dan para anggota Badan Pelaksana Kapet

dalam lingkungan manajemen Kapet diangkat lewat SK Gubernur.

Dengan demikian, berdasarkan Keppres 150/2000, Menteri Pemukiman dan

Pengembangan Wilayah ditunjuk sebagai tim teknis badan pengembangan Kapet.

Sehingga berpotensi untuk membawa Kapet lebih cenderung ke arah

pengembangan fisik daripada pengembangan wilayah.

Padahal untuk mempercepat pembangunan perlu pendekatan khusus yang mampu

mendorong semua sumberdaya dan potensi wilayah menjadi “kekuatan tawar”

terhadap swasta baik dalam negeri maupun asing. Jadi, perlu wawasan geopolitik

para elit pimpinan daerah untuk pengembangan visi pembangunan secara lebih

strategis.

Selain itu, skema Kapet Manado-Bitung menerapkan perdagangan bebas sehingga

sistem ini merugikan rakyat kecil. Bila dicermati secara lebih teliti, terlihat bahwa

sasaran utama perdagangan bebas pada dasarnya adalah berupa pembukaan

batas-batas kedaulatan negara bagi berlangsungnya suatu pergerakan modal,

Page 12: Dua Karang

barang, jasa, serta penyeragaman ketentuan dan prosedur dalam melaksanakan

perdagangan antar negara.

Konsep perdagangan bebas mengabaikan sama sekali perbedaan kepentingan

ekonomi antara berbagai lapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Konsep ini

cenderung melihat persoalan hanya dari segi kepentingan kaum kapitalis asing.

Seraya mengabaikan kepentingan kaum buruh, kaum tani, dan kelompok

masyarakat bawah lainnya.

Bukan itu saja. Dari segi hankam dan intelijen, juga tak kalah rawan. Dalam kasus

Kapet Manado-Bitung, dipandang sebagai kawasan strategis pihak asing untuk

melakukan infiltrasi ke wilayah Indonesia bagian Timur.

Sekadar informasi, kawasan tersebut sangat dekat dengan Filipina yang telah

menjalin persekutuan strategis dengan AS. Indikasi adanya pengiriman barang

secara langsung ke Singapura membuktikan adanya upaya negeri Paman Lee

tersebut untuk bermain menguasai kawasan timur Indonesia.

Apalagi, sejak awal Mei 2004, Singapura secara resmi mendesak AS untuk

memainkan peran militernya di Selat Malaka. Bahkan sebelumnya, Singapura juga

pernah menekan Indonesia agar mengizinkan kehadiran militer AS membantu

meningkatkan patroli keamanan di Selat Malaka. Dalih yang digunakan Singapura,

karena meningkatnya aktivitas terorisme.

Menguasai Selat Malaka, yang tentunya termasuk kawasan Indonesia bagian timur

yang berdekatan dengan wilayah laut Filipina, memang sudah dirancang sejak 2001.

September 2001, misalnya, Kongres AS membentuk US Commision on Ocean

Policy. Yang mana komisi ini telah merekomendasikan bahwa AS harus menjadi

pimpinan dalam berbagai kegiatan ang menyangkut kelautan dan pesisir pantai.

Bayangkan, Presiden Jokowi yang sejak kampanye Pilpres sudah mencanangkan

konsepsi Poros Maritim, hingga kini belum mengeluarkan Ocean Policy yang

mengisyaratkan adanya sebuah kebijakan terintegrasi di matra laut.

Bahkan lebih jauh dari itu, AS juga membentuk Regional Maritime Security Iniative

(RMSI), kerangka kerjasama multilateral yang bertujuan meningkatkan keamanan di

Selat Malaka.

Page 13: Dua Karang

Aspek geopolitik inilah yang kiranya harus diwaspadai oleh seluruh pemangku

kepentingan kebijakan luar negeri dan pertahananan nasional kita terkait skema

pembangunan KEK di Manado-Bitung, baik dengan mengikutsertakan Tiongkok

maupun AS. Karena keduanya sama-sama berpotensi untuk membahayakan

kedaulatan nasional Indonesia.

Kepentingan Nasional Harus Jadi Panduan Politik Luar Negeri RI

Pada tataran ini, meski “perang dingin” tak terkait langsung soal kerjasama ekonomi

Indonesia-Tiongkok, namun aspek ini baiknya dicermati betul oleh pemerintahan

Jokowi-JK. Sebab kalau tidak, Indonesia bisa masuk perangkap Tiongkok lewat

skenario kerjasama ekonomi. Dalam doktrin Alfred Mahan, ditegaskan barang siapa

menguasai Lautan Hindia, maka maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia.

Agaknya, doktrin sea power ini dihayati betul maknanya oleh para perancang

kebijakan strategis pertahanan nasional Tiongkok. Terbukti melalui paparan

sebelumnya maupun perkembangan terkini, Tiongkok semakin meningkatkan

kapasitas angkatan lautnya, dibandingkan matra-matra laut lainnya.

Saat ini saja, The People’s Liberation Army Navy (PLAN) —-sebutan AL Tiongkok—

relatif dapat diandalkan. Berdasarkan penelusuran pustaka oleh penulis, terungkap

PLAN punya 250.000 tentara terdiri atas 35.000 orang pada Coastal Defense Force

(Pasukan Pertahanan Lepas Pantai), sedangkan infantri marinir berjumlah 56.000

personel. Belum lagi 56.000 personel Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara

Angkatan Laut), dan lain-lain. Bukan itu saja. Kepemilikan kapal selam oleh PLAN

pun cukup fantastis. Ia telah memiliki 100 unit kapal selam dimana sebelumnya

hanya 35 unit. Sedang kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100

buah. Luar biasa. Pengembangkan postur angkatan laut Tiongkok memang tidak

main-main.

Sekitar dekade 2008-an lalu, anggaran pertahanan sebesar 60 miliar USD dan

diprakirakan banyak pihak, bahwa enam – tujuh tahun ke depan akan meningkat

dua kali lipat. Sehingga era 2015-an mendatang, Tiongkok diyakini memiliki

anggaran militer sekitar 120 miliar USD atau bahkan lebih. Sudah barang tentu,

fakta-fakta ini mencemaskan Barat terutama AS dan sekutu, apalagi kelompok

negara dan beberapa anasir pemain global yang mempercayai ramalan The Clash

Page 14: Dua Karang

of Civilizations and the Remaking of World Order-nya Samuel P Huntington, bahwa

akan meletus perang terbuka AS versus Tiongkok dan melibatkan polarisasi baru

antara AS + Uni Eropa melawan Tiongkok + Kelompok Negara Islam.

Ketika perayaan ulang tahun PLAN ke-60 yang lalu, ia sengaja pamer kekuatan

(show fo force) kepada publik global atas kekuatan AL-nya. Tiongkok mengeluarkan

berbagai jenis kapal, seperti kapal selam misalnya, atau kapal penghancur, frigate,

dan lain-lain, termasuk kapal yang memiliki fasilitas rumah sakit. Hal ini merupakan

bukti bahwa transformasi sea power di Tiongkok berjalan gemilang. Bahkan Negeri

Tirai Bambu sudah mulai menitikberatkan modernisasi angkatan lautnya di bidang

teknologi dan informasi.

Pengembangan dan pembesaran PLAN kemungkinan besar dilatarbelakangi selain

kian memanasnya suhu politik di Laut Tiongkok antara Paman Mao sendiri melawan

beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ — akan

tetapi yang utama ialah penguatan String of Pearls. Inilah strategi handal Tiongkok

di perairan Laut Tiongkok Selatan dalam rangka mengamankan energy security

(ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-

impornya di berbagai negara melalui perairan.

Sudahkah geostrategi Indonesia mengantisipasi tren politik global di perairan

tersebut? Menurut penulis, sebelum berurusan soal Poros Maritim dan Tol Laut,

kenali dulu agenda strategis Tiongkok abad 21.

Poros Maritim Dunia (Tol Laut) sejatinya merupakan implementasi sea power dalam

lingkup terbatas, ia akan menjadi program super dahsyat di kawasan Asia Pasifik

bila bangsa ini telah meraih dan menggenggam dulu TRISAKTI-nya Bung Karno

(berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat dalam

berkebudayaan), atau paling minimal —bila ‘mendesak’ di bangun Tol Laut—

terlebih dulu Indonesia harus memiliki pola pengamanan (dan pengawasan) yang

handal, profesional, sinergis, dan canggih terhadap titik-titik strategis di wilayah

perairan.

Jika kita gali lebih dalam, Tol Laut cenderung bahkan mungkin berpotensi

menimbulkan ‘bencana geopolitik’ bagi negara ini jika pembangunan infrastruktur,

sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing sebagaimana usul Menteri

Page 15: Dua Karang

Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti. Bila semua dilimpahkan ke asing, niscaya

sistem dan mekanisme di pelabuhan-pelabuhan dalam kendali mereka. Kapal-kapal

kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak,

tergantung si pemegang sistem. Ketika Bu Susi hendak memberi kewenangan

pemberantasan illegal fishing kepada Paman Sam, bukankah itu bermakna bahwa

prosedur dan mekanisme pengamanan laut pun di bawah kontrol asing?

Lengkaplah sudah, jika pembangunan infrastruktur (dan otomatis sistemnya)

diserahkan kepada asing termasuk proses penegakan hukumnya, maka tinggal

menunggu waktu kapan perairan NKRI yang kaya sumberdaya ini diakuisisi.

Sebagaimana isyarat di prolog tulisan ini, bahwa program dan kebijakan yang

berdimensi strategis, namun tidak dibarengi pengetahuan tentang anatomi

permasalahan, tanpa basis mendalam soal geopolitik, motif-motif terselubung suatu

negara seperti Tiongkok yang kebetulan saat ini jadi target utama pemerintahan

Jokowi-JK untuk menjalin kerjasama ekonomi, dan tidak ada kajian tentang mana

kebutuhan (agenda) prioritas bangsa, pada perkembangannya kebijakan tadi malah

menimbulkan masalah baru yang lebih besar dan kompleks. Pada akhirnya

pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi bangsanya.

Jokowi di Antara Dua Karang

13 November 2014 5:44 AM

BAGIKAN

Facebook

Twitter

Page 16: Dua Karang

Pasangan Jokowi - JK (Foto: Aktual.co/Tino Oktaviano)

Jakarta, Aktual.co — Sepanjang November ini, Presiden Jokowi untuk pertama

kalinya akan memulai debut internasionalnya di tiga forum internasional yang cukup

penting dan strategis. Pada 10-11 November, Jokowi akan berada di Beijing, Cina,

menghadiri KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). 12-13 November, ke

Nay Pyi Daw, Myanmar, untuk menghadiri KTT Association of Southeast Asian

Nations (ASEAN) ke-25, dan terakhir pada 15-16 November ke Brisbane, Australia,

untuk mengikuti KTT G-20.

Ketiga KTT tersebut tak pelak lagi merupakan forum diplomasi berskala

internasional yang mana pertaruhan kepentingan nasional ekonomi Indonesia

sangatlah besar, mengingat APEC dan G-20 praktis dikuasai oleh persekutuan

strategis Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam blok

ekonomi G-7. Begitupula halnya dengan G-20, meskipun ada Rusia sebagai

kekuatan penyeimbang, namun tetap saja didominasi oleh pengaruh kuat Amerika

dan Uni Eropa.

 

Sayang sekali, terkesan Presiden Jokowi beserta tim kabinetnya, seperti Menteri

Luar Negeri dan Menteri perekonomian, tidak terlalu siap untuk menampilkan debut

pertamanya di forum internasional dengan mengajukan isu-isu strategis untuk

dilemparkan forum APEC, G20 maupun KTT ASEAN. Visi Ekonomi Jokowi 5 tahun

ke depan hanya menyoroti pentingnya integrasi dan konektivitas ekonomi.

Sedangkan di KTT ASEAN, Indonesia akan mengangkat 6 isu seperti kesehatan

terkait Ebola, konflik Laut Cina Selatan, dan ASEAN Community Building 2015.

 

Konflik Laut Cina Selatan, sepertinya dipandang secara spesifik sebagai sengketa

kelautan antar bebeberapa negara yang melibatkan Cina, tapi sayangnya tidak

dilihat dalam lingkup yang lebih strategi, yaitu trend untuk menjadikan Laut Cina

Page 17: Dua Karang

Selatan sebagai Medan Peperangan antara dua negara adidaya : Amerika versus

Cina di kawasan Asia Tenggara. Akan menjadi blunder ketika masalah konflik Laut

Cina Selatan semata dipandang sebagai persengketaan di wilayah laut antar

beberapa negara.

 

Masalah Kesehatan terkait penyebaran virus Ebola, jelas tidak bisa dipandang

semata-mata sebagai isu kesehatan, melainkan harus dilihat dalam perspektif

Amerika dan sekutu-sekutu baratnya untuk memanfaatkan momentum mewabahnya

virus Ebola untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan strategisnya di bidang

ekonomi, politik dan bahkan kemiliteran, di negara-negara yang sedang dilanda

wabah Ebola.

 

Dan yang paling krusial terkait KTT ASEAN, yaitu kesiapan Indonesia menyongong

ASEAN Economic Community 2015, yang agenda tersembunyinya adalah, adanya

rencana strategis dari negara-negara asing untuk menguasai sektor-sektor strategis

bidang ekonomi di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, melalui

diterapkannya Free Trade Agreement di kawasan ASEAN. Di sinilah aspek paling

krusial dari ASEAN Economic Community berdasarkan skema AFTA (ASEAN Free

Trade Agreement).

 

Berdasarkan amatan terhadap beberapa isu yang akan diangkat pemerintahan

Jokowi-JK di tiga KTT berskala internasional tersebut, ada satu  benang merah yang

bisa ditarik, yaitu betapa paham ekonomi neoliberalisme sedang mengepung secara

besar-besaran kawasan Asia Tenggara, yang  berarti juga Indonesa termasuk

negara yang telah ditetapkan sebagai sasaran penguasaan ekonomi.

 

Karena itu, Indonesia harus mengajukan prakarsa ekonomi yang jauh lebih strategis

daripada sekadar mengangkat tema integrasi dan konektivitas ekonomi yang tidak

terlalu jelas tujuan dan sasaran strategisnya. Apalagi ketika pemerintahan Jokowi-JK

sedang dalam kepungan dan telikungan kekuatan-kekuatan kapitalis global yang

dimainkan melalui Skema Ekonomi Neoliberalisme.

 

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintahan Jokowi-JK harus mempunyai

pemetaan yang jelas mengenai akar masalah perekonomian Indonesia saat ini,

Page 18: Dua Karang

sehingga mempunyai referensi dan landasan yang kuat untuk melakukan perang

diplomasi di tiga forum internasional tersebut: KTT ASEAN, KTT APEC dan KTT

G20.

Maka itu, dalam keikutsertaan Indonesia dalam ketiga forum internasional tersebut,

harus dipandu oleh penjabaran kembali secara imajinatif Politik Luar Negeri

Indonesia yang bebas dan aktif sesuai dengan konstalasi global saat ini, sehingga

tidak terjebak untuk beralih dari satelit Amerika Serikat dan Uni Eropa, lantas

kemudian berpindah masuk orbit pengaruh Cina.

Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif, berarti harus mengondisikan Indonesia dan

negara-negara berkembang yang satu visi dan misi, untuk menjadi suatu kekuatan

ketiga. Sebagaimana dipertunjukkan oleh pemerintahan Bung Karno melalui

prakarsa terbentuknya Konferensi Asia-Afrika pada 1955, maupun solidaritas lintas

kawasan yang menjadi dasar terbentuknya Gerakan Negara-Negara non blok.

Harus Kritis Tanggapi Tawaran Bantuan Cina Untuk Pembangunan Infrastruktur

Maritim

Menyusul pertemuan Presiden Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi

Senin 3 November, Jokowi terkesan akan mendorong Cina membantu

pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan bidang kemaritiman. Pada

tataran ini, pemerintah Indonesia harus hati-hati dan pandai-pandai untuk bermain.

Apalagi ketika persaingan global antara Amerika Serikat dan Cina di sepanjang jalur

sutra, yang mana termasuk di dalamnya Laut Cina Selatan dan Selat Malaka,

semakin meningkat skala dan intensitasnya dalam beberapa waktu belakangan ini.

 

Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam

pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung

tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point

(MSRP).

Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan

infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan

membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sebagai

Page 19: Dua Karang

investor, Cina pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-

pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.

Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP,

apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan

Cina? Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran

strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang

merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya

doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.  

Jika tawaran Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui mentah-

mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur

maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk meningkatkan

pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.

Tentu saja perlu analisis dan penilaian yang kritis terkait permintaan Cina untuk

mengaitkan rencana Poros Maritim pemerintahan Jokowi-JK dan Jalur Sutra Maritim

Cina.

Ketika sasaran strategis Jalur Maritim Cina bertumpu pada strategi String of Pearl

yang tujuan strategisnya adalah penguasaan wilayah-wilayah yang punya nilai

strategis secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara, Poros Maritim dan

Pembangunan Tol Laut semata-mata didasarkan pada gagasan pembangunan

ekonomi dan proyek pembangunan infrastruktur bidang kemaritiman.

Dalam hal pembangunan tol laut misalnya, tujuan sesungguhnya hanya sebatas

untuk meningkatkan jalur armada angkut kargo laut antar pelabuhan. Jika skema

kerjasama Indonesia-Cina seperti ini, maka Indonesia di masa depan akan berada

pada pihak yang dirugikan. Karena melalui skema SERB dan MSRP, secara

geopolitik Cina akan menguasai Indonesia secara bertahap melalui matra ekonomi.

 

Akibatnya, di tengah persaingan global yang semakin menajam antara Amerika dan

Cina di matra politik, militer dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, posisi tawar

Indonesia justru malah semakin melemah. Dan akan menjadi sasaran perebutan

pengaruh antara kedua negara adidaya tersebut.

Page 20: Dua Karang

Bagi negara-negara asing, kerjasama strategis dengan Indonesia di sektor maritim

memang  punya nilai strategis.  Sekadar ilustrasi, potensi industri berbasis maritim

bernilai 1,2 Triliun dollar Amerika Serikat per tahun.

Wajar jika beberapa negara adidaya, berebut pengaruh untuk menguasai sektor

maritim Indonesa dengan memanfaatkan program penguatan sektor maritim

sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Jokowi.

Adapun penguatan sektor maritim memang sudah dicanangkan oleh Menteri

Koordinasi Kemaritiman Indroyono Susilo kepada pers beberapa waktu lalu. Konsep

penguatan sektor maritim bertumpu pada ketersediaan kapal-kapal besar yang rutin

hilir mudik dengan frekuensi tinggi dari ujung barat di Aceh sampai ujung timur di

Papua, atau dari ujung utara sampai ujung selatan Indonesia. Melalui penerapan

konsep ini, diharapkan ada peningkatan frekuensi perdagangan antarpulau dan

antardaerah.

Selain itu, Menko Kemaritiman Indroyono juga mencanangkan perlunya

pembangunan infrastruktur yang mendahului pembangunan Tol Laut sebagaimana

yang menjadi program unggulan Jokowi. Seperti misalnya dengan memperkuat jalur

utama pelayaran. Untuk itu, Menko Indroyono menekankan ada empat pelabuhan

yang perlu segera dibangun di empat titik jalur utama pelayaran dari barat hingga

timur Indonesia, yaitu Belawan, Jakarta, Makasar, dan Sorong.

Yang tak kalah penting terkait program pembangunan sektor maritim adalah

kesiapan industri nasional kita. Maka dari itu, pembangunan memperkuat sektor

maritim harus bersinergi dengan kementerian-kementerian lain khususnya ekonomi.

Karena pada perkembangannya kemudian, hal ini menjadi tantangan untuk

mengembangkan ekonomi kelautan.

Berarti, seluruh kegiatan ekonomi akan dipusatkan di beberapa wilayah pesisir dan

di lautan. Sehingga mau tidak mau, para pemangku kepentingan ekonomi kelautan

akan memusatkan perhatiannnya pada beberapa sektor seperti perikanan, industri

pengolahan, bahari, dan sebagainya.  

Mengingat luasnya lingkup pembangunan sektor maritim dan kelauatan, nampaknya

terlalu riskan jika pemerintah Indonesia hanya mengandalkan pada ajakan bantuan

kerjasama dari Pemerintah Cina. Bisa-bisa, maksud awalnya adalah untuk

Page 21: Dua Karang

menciptakan keseimbangan baru menghadapi dominasi AS dan Uni Eropa, pada

perkembangannya malah berpindah dari Mulut  Macan, ke mulut Buaya.

Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.co

Dengan perkembangannya yang demikian pesat, kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC).

 UNTOC menyebutkan bahwa transnational organized crime (TOC) atau kejahatan lintas negara terorganisir adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas tiga orang atau lebih, dalam kurun waktu tertentu dan dilakukan secara terorganisir dengan tujuan untuk melakukan satu atau lebih kejahatan serius sebagaimana yang dimaksud di dalam Konvensi dalam rangka memperoleh,

secara langsung maupun tak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya. 

 Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik global

yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut.

Pada Pertemuan Tingkat Tinggi yang diselenggarakan di Majelis Umum PBB tanggal 17 Juni 2010, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon menyebutkan bahwa di satu sisi ancaman kejahatan lintas negara semakin meningkat namun di sisi lain kemampuan negara untuk mengatasinya masih terbatas. Untuk itu, sangat penting bagi negara-negara untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman kejahatan lintas negara tersebut.

 

UNTOC yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 5/2009 menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi,

kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan

Page 22: Dua Karang

kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait narkoba sebelum disepakatinya UNTOC yaitu Single Convention on Narcotic Drugsi, Convention on Psychotropic Substances 1971 melalui UU No.8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971, Convention

against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988.

Seiring perkembangan jaman, terdapat berbagai kejahatan lintas negara  lainnya yang perlu ditangani secara bersama dalam kerangka multilateral, seperti kejahatan pencurian dan penyelundupan obyek-obyek budaya, perdagangan organ tubuh manusia, environmental crime (seperti illegal logging dan illegal fishing), cyber crime dan identity’s-related crime.

Meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai konsep dan definisi atas beberapa kejahatan tersebut, secara umum kejahatan ini merujuk secara luas kepada non-violent crime yang pada umumnya mengakibatkan

kerugian finansial .