BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Amonium perklorat merupakan senyawa yang banyak diaplikasikan dalam
berbagai bidang. Kandungan oksigen dan stabilitas yang tinggi menjadikannya
sebagai bahan oksidator yang baik. Namun seperti material lainnya, amonium
perklorat dapat juga mengalami suatu degradasi atau penurunan mutu karena sifatnya
yang higroskopis. Permasalahan yang paling sering ditemui adalah proses
pertumbuhan kembali dan aglomerasi selama proses pembuatan propelan. Hal ini
dapat mengakibatkan menurunnya kecepatan pembakaran karena partikel AP tidak
dapat terdistribusi dengan baik (Lista, et al., 1978). Oleh karena itu diperlukan suatu
metode untuk melindungi kristal amonium perklorat dari pengaruh lingkungan
sehingga degradasi dapat diminimalisasi.
Pelapisan atau coating merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
melindungi bahan dan tujuan tertentu lainnya. Suatu zat atau senyawa ditambahkan
untuk menutupi kekurangan dan kelemahan bahan serta menambah nilai mutu dari
bahan itu sendiri. Salah satu zat aditif yang dapat digunakan adalah Sodium Dodecyl
Sulfate (Wu,et al., 2000 dan Elansezhian,et al., 2009). Senyawa tersebut diaplikasikan
pada permukaan material sehingga terbentuk suatu lapisan yang akan menghalangi
partikel dari pengaruh lingkungan dan sebagai jembatan antara bahan yang dilapisi
dengan bahan yang akan direaksikan.
Ukuran partikel berpengaruh pada kecepatan pembakaran. Umumnya,
kecepatan pembakaran akan meningkat dengan mengubah ukuran partikel dari
amonium perklorat. Makin kecil ukuran partikel maka makin mudah terbakar,
sehingga diperlukan waktu yang lebih singkat (Lista, et al., 1978). Propelan yang
diproduksi oleh laboratorium LAPAN merupakan campuran kristal amonium
perklorat kasar dan halus. Ukuran partikel kasar yang digunakan adalah >200 µm,
sedangkan partikel halus yang digunakan memiliki distribusi ukuran 106-63 µm.
1
2
Metode yang digunakan untuk memperoleh partikel halus adalah penggerusan.
Terdapat dua metode yang digunakan, yaitu metode kering dan basah (Somoza et al.,
1994). Somoza melakukan berbagai pengembangan metode penggerusan untuk
memperoleh ukuran partikel yang baik. Kendala yang ditemui pada proses
penggerusan adalah rusaknya lapisan partikel AP. Hal ini dikhawatirkan dapat
mempengaruhi sifat propelan, sehingga dapat menurunkan kecepatan
pembakarannya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong diciptakannya
inovasi baru dalam proses produksi amonium perklorat yang baik. Penelitian untuk
menemukan proses yang efisien dengan hasil yang maksimal terus dikembangkan.
Rekristalisasi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh kristal AP yang
baik. Radiasi ultrasonik diberikan selama proses rekristalisasi untuk menjaga ukuran
kristal yang tumbuh kembali untuk tetap pada rentang 106-63 µm. Kristal amonium
perklorat yang tumbuh langsung dilapisi dengan SDS. Kelebihan dari metode ini
adalah permukan kristal amonium perklorat yang baru terbentuk akan terlapisi dan
mencegah terjadinya pertumbuhan kembali. Lapisan inert yang terbentuk akan
mencegah interaksi antara kelembapan atmosfer dengan permukaan, sehingga tidak
terjadi aglomerasi dan menambah kecepatan pembakaran (Lista, et al., 1978).
Medium yang diradiasi dengan ultrasonik akan mengalami peristiwa kavitasi
akustik. Efek kavitasi yaitu terjadinya gelembung gas di dalam medium akibat
penggunaan gelombang ultrasonik untuk pemanasan lokal dengan tekanan yang
bervariasi, sehingga di dalam cairan terbentuk gelembung gas. Gas di dalam
gelembung ini dapat memuai jika dilalui gelombang ultrasonik tinggi, sehingga
mengakibatkan difusi gas yang tidak seimbang. Efek kavitasi memberikan efek
mekanik terhadap medium. Gelombang ultrasonik mengakibatkan adanya getaran
partikel di dalam medium. Getaran terjadi pada semua intensitas, sehingga
menyebabkan efek mekanik terhadap partikel di dalam medium. Efek mekanik ini
dapat menimbulkan percepatan partikel, getaran, tekanan pancaran dan gaya gesek.
Efek-efek tersebut dimanfaatkan untuk mengecilkan ukuran suatu partikel dan
3
menjaga partikel kecil terhadap pengaruh pertumbuhan partikel dan aglomerasinya.
(Suslick, et al.,1997,1999)
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dievaluasi pemanfaatan gelombang
ultrasonik pada proses pelapisan kristal amonium perklorat. Menggabungkan dan
mengembangkan metode pengecilan partikel serta coating diharapkan akan diperoleh
produk yang bernilai tinggi. Produk yang dihasilakan diuji dengan menggunakan
instrumen scanning electrone microscope – electron disperse spectroscopy (SEM-
EDS) untuk menentukan keberhasilan dari penelitian.
1.2 Identifikasi Masalah
Kristal amonium perklorat yang digunakan dalam proses propelan LAPAN
memiliki distribusi partikel rata-rata >200 µm dan terlapisi. Peningkatan kecepatan
pembakaran akan diperoleh dengan memvariasikan ukuran partikel. Campuran
partikel kasar dan halus dipilih sebagai metode pembuatan propelan padat yang baik.
Partikel halus yang digunakan memiliki ukuran 106-63µm. Metode pengecilan
partikel yang dipakai adalah penggerusan, yang menyebabkan kerusakan lapisan
pelapis saat penggilingan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menentukan kondisi optimum dari alat ultrasonik untuk pengecilan ukuran
partikel AP hingga 106-63µm.
b. Menentukan kondisi pelapisan kristal AP dengan SDS.
c. Menkombinasikan proses pengecilan dan pelapisan partikel AP.
1.4 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan diperoleh kondisi alat ultrasonik yang
optimum untuk mengecilkan dan melapisi kristal amonium perklorat. Perolehan
kondisi optimum bermanfaat untuk mempelajari lebih lanjut metode pembuatan
4
kristal amonium perklorat terlapisi dalam skala yang lebih besar dalam upaya
pengembangan bidang peroketan dan pertahanan nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Amonium Perklorat
Amonium perklorat merupakan garam perklorat yang berupa padatan tak
berbau berbentuk butiran yang memiliki struktur molekul NH4ClO4 dengan berat
molekul 117,49 g/mol. Senyawa ini dapat larut dalam air dan metanol. Kelarutan
dalam air pada suhu 20oC sebesar 20,85g/100mL. Garam perklorat akan mengalami
dekomposisi pada suhu tinggi sebelum akhirnya meleleh.
Amonium perklorat digunakan pada propelan padat untuk program
persenjataan dan pesawat ruang angkasa. Propelan adalah material energetika yang
memberikan kendali propulsi dari sebuah rudal atau roket ketika terbang. Propelan
meliputi propelan untuk roket dan senjata. Komponen utama dari propelan padat
adalah fuel binder, oksidator dan zat aditif. HTPB (Hidroxy Terminated Poly
Butadiene) dan TDI (Toluene Diicocyanate) berperan sebagai fuel binder. Zat aditif
yang ditambahkan berfungsi sebagai katalis, dan senyawa yang biasa ditambahkan
adalah bubuk alumunium (Al).
Sintesis amonium perklorat diperoleh melalui proses elektrolisis. Bahan baku
yang digunakan adalah garam klorida. Ion klorida akan dioksidasi menjadi hipoklorit,
klorit, klorat dan perklorat. Amonium perklorat didapat dengan mereaksikan natrium
perklorat dengan basa dan garam lain. Garam yang digunakan adalah amonium
klorida. Kristal AP yang dihasilkan dari proses tersebut belum memiliki tingkat
kemurnian yang tinggi, sehingga perlu dilakukan proses pemurnian. Rekristalisasi
dan pengeringan merupakan metode yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
kristal amonium perklorat, baik dari segi kemurnian maupun bentuk kristal yang
dihasilkan. Proses rekristalisasi bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan garam
lain yang tidak diharapkan.
5
6
2.2 Sodium Dodecyl Sulfate
Sodium dodecyl sulfate (SDS atau NaDS) merupakan anion organosulfur yang
memiliki 12 ekor karbon yang terikat pada gugus sulfatnya. Senyawa ini memiliki
rumus molekul C12H25SO4Na dan mempunyai sifat ambifilik. SDS memiliki ekor
polar dan non-polar yang dapat dimanfaatkan untuk pencampuran bahan yang
berlainan sifatnya (Gambar 1). Salah satu pemanfaatan yang masih terus
dikembangkan saat ini adalah aplikasi pada bidang pelapisan bahan. SDS telah
digunakan sebagai pelapis pada permukaan logam, seperti tembaga, emas dan besi.
Bahan yang telah dilapisi dengan SDS memiliki daya tahan terhadap pengaruh air
yang lebih besar daripada sebelum pelapisan.
Gambar 1. Ujung Polar dan Non-polar dari Garam Dodesil Sulfat
Garam organosulfur ini berbentuk bubuk yang berwarna putih kekuningan dan sedikit
berbau. Senyawa ini mudah larut dalam air dan sedikit larut dalam metanol.
Karakteristik lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Table 1. Identifikasi Umum dari Senyawa Sodium Dodecyl Sulfate
Identifikasi umum
Nama Sodium Dodesyl Sulfat, Sodium lauril sulfat
Rumus molekul CH3(CH2)11OSO3Na
Berat molekul 288,38 g/mol
Bentuk Bubuk
pH 8,5
Titik beku 206oC
Kelarutan 150 g/L (20oC)
7
Sumber : Merck
2.3 Teknologi Rekayasa Permukaan
2.3.2. Pengertian Rekayasa Permukaan
Cabang ilmu kimia yang mempelajari tentang rekayasa permukaan adalah
kimia permukaan. Secara umum, ilmu ini mengkaji tentang reaksi kimia yang terjadi
di permukaan. Hal ini berkaitan erat dengan fungsionalisasi permukaan yang
bertujuan untuk mengubah susunan kimia permukaan dengan menambahkan unsur
tertentu atau gugus fungsi yang menghasilkan berbagai dampak yang diinginkan atau
peningkatan sifat permukaan dan antarmuka. Adhesi molekul gas atau cairan ke
permukaan dikenal dengan adsorpsi.
Menurut Weber (1982) dan Benefiel (1982) mekanisme yang terjadi pada
proses adsorpsi yaitu:
1. Molekul-molekul adsorben berpindah dari fase bagian terbesar larutan ke
permukaan antar muka, yaitu lapisan film yang melapisi permukaan adsorben
atau eksternal.
2. Molekul adsorben dipindahkan dari permukaan ke permukaan luar dari
adsorben (exterior surface)
3. Molekul-molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan luar adsorben
menyebar menuju pori-pori adsorben. Fase ini disebut dengan difusi pori.
4. Molekul adsorbat menempel pada permukaan pori adsorben.
Salah satu sifat penting dari permukaan zat adalah proses adsorpsi. Adsorpsi
secara umum adalah proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada
dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap, yang terjadi suatu ikatan
kimia-fisika antara substansi dengan penyerapnya. Definisi lain menyatakan adsorpsi
sebagai suatu peristiwa penyerapan pada lapisan permukaan atau antar fasa, dan
molekul dari suatu materi terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben. Materi
atau partikel yang diadsorpsi disebut adsorbat, sedang bahan yang berfungsi sebagai
pengadsorpsi disebut adsorben.
Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi fisika (penyebab
terjadinya kondensasi gas untuk membentuk cairan) yang ada pada permukaan
8
adsorben). Adsorpsi kimia adalah terjadinya reaksi antara zat yang diserap dengan
adsorben dan banyaknya zat yang teradsorpsi tergantung pada sifat khas zat padatnya
yang merupakan fungsi tekanan dan suhu.
2.3.2. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika berhubungan dengan gaya van der Waals. Apabila daya tarik
menarik antara zat terlarut dengan adsorben lebih besar dari daya tarik menarik antara
zat terlarut dengan pelarutnya, maka zat yang terlarut akan diadsorpsi pada
permukaan adsorben. Adsorpsi ini mirip dengan proses kondensasi dan biasanya
terjadi pada temperatur rendah, dan proses ini gaya yang menahan molekul fluida
pada permukaan solid relatif lemah, besarnya sama dengan gaya kohesi molekul pada
fase cair. Adsorpsi ini mempunyai derajat yang sama dengan panas kondensasi dari
gas menjadi cair, yaitu sekitar 2,19-21,9 kg/mol. Keseimbangan antara permukaan
solid dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan bersifat reversibel.
2.3.3. Adsorpsi Kimia
Reaksi pada adsorpsi kimia terjadi antara zat padat dengan zat terlarut yang
teradsorpsi. Adsorpsi ini bersifat spesifik dan melibatkan gaya yang jauh lebih besar
daripada adsorpsi fisika. Panas yang dilibatkan adalah sama dengan panas reaksi
kimia. Menurut Langmuir, molekul teradsorpsi ditahan pada permukaan oleh gaya
valensi yang tipenya sama dengan yang terjadi antara atom-atom dalam molekul.
Ikatan kimia pada permukaan adsorben akan membentuk suatu lapisan atau layer, dan
terbentuknya lapisan tersebut akan menghambat proses penyerapan selanjutnya oleh
batuan adsorben sehingga efektifitasnya berkurang.
2.4 Gelombang Bunyi
Gelombang bunyi adalah gelombang yang dirambatkan sebagai gelombang
mekanik longitudinal yang dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas.
Medium gelombang bunyi adalah molekul yang membentuk bahan medium mekanik
9
(Sutrisno, 1988). Gelombang bunyi merupakan vibrasi atau getaran molekul-molekul
zat yang saling beradu satu sama lain secara terkoordinasi menghasilkan gelombang
serta mentransmisikan energi tanpa perpindahan partikel (Resnick dan Halliday,
1992). Penelitian mengenai terjadinya penjalaran, deteksi dan penggunaan bunyi
sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut dari pengalihan energi mekanik
(Giancoli, 1998).
2.4.1. Gelombang Ultasonik
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan
frekuensi di atas 20 kHz. Ultrasonik merupakan rambatan energi dan momentum
mekanik sehingga merambat sebagai interaksi dengan molekul dan sifat inersia
medium yang dilaluinya (Bueche, 1986). Karakteristik gelombang ultrasonik yang
melalui medium mengakibatkan getaran partikel dengan medium amplitudo sejajar
dengan arah rambat secara longitudinal. Sehingga menyebabkan partikel medium
membentuk rapatan (strain) dan tegangan (stress). Proses kontinu selama gelombang
ultrasonik melaluinya menyebabkan terjadinya rapatan dan tegangan di dalam
medium disebabkan oleh getaran partikel secara periodik (Resnick dan Halliday,
1992).
Gelombang ultrasonik mempunyai sifat memantul, diteruskan dan diserap
oleh suatu medium atau jaringan. Apabila gelombang ultrasonik ini mengenai
permukaan medium, maka sebagian dari gelombang ultrasonik ini akan dipantulkan
dan sebagian lagi akan ditransmisikan. Getaran ultrasonik yang merambat ke dalam
jaringan atau zat cair akan mengalami efek kavitasi. Efek kavitasi terjadi karena
tekanan lokal pada gelombang ultrasonik menurun sampai harga yang cukup rendah.
Besar tekanan gelombang ultrasonik dinyatakan sebagai :
p = P – Po 2.4.1
dengan : p = tekanan gelombang ultrasonik (N/m2)
P = tekanan lokal/total sesaat (N/m2)
Po = tekanan lokal rata-rata/ keseimbangan (N/m2)
10
Intensitas gelombang ultrasonik yang merambat akan membawa energi pada
suatu luas permukaan per satuan waktu (Giancoli, 1998). Energi gelombang
ultrasonik tersebut melalui jaringan akan melepaskan energi kalor sehingga terjadi
pemanasan yang mengakibatkan suhu jaringan meningkat yang kemudian
menimbulkan efek kavitasi. Besarnya pemanasan tergantung pada variasi tekanan
gelombang ultrasonik dan kecepatan partikel terhadap energi yang diberikan
(Ackerman, et al., 1988).
Perambatan gelombang ultrasonik dalam suatu medium, maka partikel akan
mengalami perpindahan energi. Besarnya energi gelombang ultrasonik yang dimiliki
partikel medium adalah :
E = Ep+Ek 2.4.2
E = h.f.NA 2.4.3
Dengan : Ep = energi potensial
Ek = energi kinetik
NA = Bilangan Avogadro
h = konstanta Planck
f = frekuensi
Perhitungan intensitas gelombang ultrasonik perlu mengetahui energi yang
dibawa oleh gelombang ultrasonik. Intensitas gelombang ultrasonik (I) adalah energi
yang melewati luas permukaan medium 1m2/s atau watt/m2.
2.4.2. Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik
Peningkatan reaksi kimia dengan ultrasonik telah dikembangkan dan memiliki
aplikasi bermanfaat dalam sintesis fasa campuran, kimia material, dan biomedis.
Studi tentang sonokimia berkaitan dengan pemahaman pengaruh gelombang suara
dan sifat gelombang pada sistem kimia. Bahaya pemaparan gelombang ultrasonik
terhadap suatu medium tergantung pada intensitas, frekuensi dan total pemaparannya.
Efek penggunaan gelombang ultrasonik terhadap substrat dapat disebabkan karena
adanya efek termal, kavitasi dan mekanik. Efek termal merupakan absorpsi energi
11
gelombang ultrasonik yang menyebabkan suhu atom atau molekul meningkat. Besar
absorpsi energi gelombang tergantung pada viskositas, massa jenis dan impedansi.
Gelombang ultrasonik yang merambat melalui medium mengalami
pengurangan energi, karena sebagian energinya diabsorpsi medium. Hal ini
mengakibatkan kenaikan suhu medium. Kenaikan suhu medium tergantung pada
besar koefisien absorpsi dan intensitas yang melaluinya. Efek kavitasi merupakan
terjadinya gelembung gas di dalam medium karena pemanasan lokal dengan tekanan
yang bervariasi, sehingga di dalam medium terbentuk gelembung gas mikro. Gas di
dalam medium dapat memuai jika diradiasi ultrasonik tinggi, sehingga terjadi difusi
gas yang tidak seimbang.
Efek mekanik yang ditimbulkan gelombang ultrasonik adalah getaran partikel
di dalam medium. Getaran terjadi pada semua intensitas, sehingga dapat
menyebabkan efek mekanik. Efek mekanik akan menimbulkan percepatan partikel,
getaran, tekanan pancaran dan gaya gesek (Sabbagha, 1980). Aplikasi gelombang
ultrasonik pada padat-cair atau suspensi cairan-kristal akan menghasilkan kecepatan
tabrakan antarpartikel yang tinggi. Pengaruh yang ditimbulkan dapat mengubah
morfologi permukaan, komposisi, dan reaktivitas, sehingga ultrasonikasi dapat
digunakan sebagai deaglomerasi dan pengecilan material berukuran micrometer atau
nanometer serta untuk disintegrasi sel atau pencampuran pereaksi.
Proses ultrasonik dapat meningkatkan reaktivitas kimia dalam sistem
sebanyak jutaan kali, secara efektif bertindak sebagai katalis dengan menarik model
atom dan molekul dari sistem (seperti model vibrasi, rotasi, dan translasi). Selain itu,
dalam reaksi yang menggunakan padatan, ultrasonik memisahkan kepingan-kepingan
padat dan energi yang dilepaskan dari gelembung yang dibuat oleh kavitasi melalui
kepingan padat tersebut. Hal ini memberikan pereaksi padat dengan area permukaan
untuk reaksi yang lebih besar untuk melanjutkan proses (meningkatkan laju reaksi).
12
2.5 Instrumen SEM-EDS
2.5.1. Pengertian SEM
Scanning electron microscope (SEM) adalah mikroskop yang menggunakan
pancaran sinar yang timbul akibat eksitasi elektron untuk melihat partikel berukuran
mikron. Sejak tahun 1950 SEM dikembangkan dan banyak digunakan dalam bidang
medis maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan. SEM telah banyak
digunakan oleh para peneliti untuk menguji dan menemukan berbagai spesimen.
Dibandingkan dengan mikroskop konvensional, SEM dapat menunjukkan gambar
spesimen lebih jelas dan memiliki tingkat resolusi yang lebih tinggi. SEM mampu
memfoto suatu permukaan dengan perbesaran dari 20 sampai 100.000 kali. Prinsip
kerja SEM adalah permukaan sampel dibombardir oleh elektron berenergi tinggi
dengan energi kinetik antara 1-25 kV. Elektron yang langsung menumbuk sampel ini
dinamakan elektron primer, sedangkan elektron yang terpantul dari sampel
dinamakan elektron sekunder. Elektron sekunder yang berenergi rendah dilepaskan
dari atom-atom yang ada pada pemukaan sampel dan akan menentukan bentuk rupa
sampel.
Pengukuran menggunakan SEM, sampel haruslah merupakan zat yang dapat
menghantarkan arus listrik seperti halnya logam. Sampel yang tidak dapat
menghantarkan arus listrik harus dilapisi dengan logam yang dapat menghantarkan
arus listrik. Dua alasan utama untuk melapisi sampel yang tidak dapat menghantarkan
arus listrik ialah untuk mengurangi artifak yang disebabkan oleh beban elektrik dan
muatan termal (Mulder, 1996).
Pembentukan gambar pada SEM dibuat berdasarkan deteksi elektron sekunder
atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel
tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang
terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan
dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Layar CRT
akan menunjukkan gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Proses
operasi SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan
untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi.
13
2.5.2. Pengertian EDS
EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) digunakan untuk mengenali jenis
atom pada permukaan yang mengandung multi atom. Informasi yang dihasilkan EDS
didapatkan dari karakteristik sinar X yang dihasilkan ketika elektron dari kulit luar
berpindah ke kulit yang lebih dalam. Setiap kulit elektron memiliki energi tertentu,
untuk memenuhi aturan tersebut maka elektron dari kulit luar harus melepaskan
sebagian energi untuk dapat berpindah. Energi yang dilepas dipancarkan dalam
bentuk sinar X. Energi pancaran elektron dalam bentuk sinar X akan dideteksi dan
dihitung oleh EDS dan akan dihasilkan berupa grafik puncak-puncak tertentu
mewakili unsur yang terkandung. EDS juga memiliki kemampuan untuk melakukan
pemetaan unsur dengan memberikan warna berbeda-beda dari masing-masing unsur
di permukaan bahan dan menganalisis secara kuantitatif dari persentase masing-
masing unsur.
Gambar 2. Instrumentasi SEM-EDS
Difraksi sinar-X terjadi jika sinar melewati celah yang besarnya sama atau
hampir sama dengan panjang gelombang tersebut. Pada tahun 1912, Van Laue
berpendapat jika kristal tersusun oleh celah yang diakibatkan kisi atom, sedangkan
sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang
dengan orde yang sama dengan celah tersebut, maka memungkinkan sebuah kristal
14
dapat mendefraksikan sinar-X (Cullity, 1978). Jika material dikenai sinar-X, maka
intensitas sinar yang ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini
disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom
dalam material tersebut.
Gambar 3. Skema Difraksi Sinar-X Oleh Atom-atom Dalam Kristal
(a). Berkas sinar-X yang dihamburkan dan (b). Sinar datang yang menumbuk atom.
Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan
karena fasenya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasenya sama.
Berkas sinar-X yang saling menguatkan disebut sebagai berkas difraksi. Hukum
Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan yang harus dipenuhi
agar berkas sinar-x yang dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Tinjauan
sinar datang yang menumbuk pada titik bidang pertama dan dihamburkan oleh atom
Z. Sinar datang yang kedua menumbuk bidang berikutnya dan dihamburkan oleh
atom B. Sinar ini harus menempuh jarak AB+BC dan dua sinar tersebut paralel serta
saling menguatkan. Jarak tempuh ini merupakan kelipatan (n) panjang gelombang (λ),
sehingga persamaan menjadi n λ = AB + BC. Dari gambar terlihat bahwa AB = sinθ,
karena AB = BC, persamaan menjadi n λ = 2AB. Substitusi persamaan menjadi :
θλ=sin2dn 2.1
Keterangan : d = jarak antar bidang atom (nm),
λ = panjang gelombang sinar-x (Ǻ),
n = orde,
θ = sudut difraksi sinar-X (derajat).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Laboratorium LAPAN, Jl Raya LAPAN
Sukamulya, Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Penelitian berlangsung dari bulan Januari
2012 hingga bulan Mei 2012.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Peralatan yang digunakan meliputi reaktor homogenasi, cell untrasonik, dan
filter kristal yang dilengkapi dengan vakum, neraca analitik, gelas ukur 250 mL, 500
mL, 1000 mL, magnetic stirrer dan hot plate stirrer Thermolyne.
3.2.2. Bahan
Amonium perklorat hasil produksi Laboratorium LAPAN dan bahan-bahan
kimia lainnya. Bahan AP yang digunakan belum terlapisi dan memiliki ukuran
partikel >200µm. Zat pelapis yang digunakan adalah SDS. Pelarut yang digunakan
adalah akuades, metanol, kloroform dan xylene.
3.3 Metode kerja
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari studi
pengaruh parameter proses terhadap ukuran partikel, pengaruh parameter proses
terhadap produk coating dan analisis data.
3.3.1. Pengujian Pengaruh Waktu Dan Frekuensi
Pengaruh parameter waktu terhadap ukuran kristal yang dapat dihasilkan
ditentukan variabel waktu antara 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 menit. Ukuran partikel yang
dihasilkan ditentukan dengan metode pengayakan. Proses pengecilan partikel ini
disertai dengan proses kristalisasi AP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga
15
16
dilihat seberapa besar pengaruh waktu kristalisasi terhadap ukuran kristal yang
dihasilkan. Cara yang digunakan untuk mempercepat waktu kristalisasi adalah
dengan pendinginan pada suhu 8oC.
Langkah kerja yang dilakukan sebagai berikut, sebanyak 194 gram kristal AP
dilarutkan dalam 500 mL akuadest. Kristal AP dilarutkan dengan cara pengadukan
dengan pemanasan pada suhu 60 – 70oC. Larutan AP yang sudah homogen
dimasukkan dalam bak ultrasonik, kemudian dilakukan ultrasonikasi dengan variabel
waktu yang telah ditentukan dengan pendingin. Kristal yang dihasilkan disaring
dengan menggunakan kertas saring Whattman 42 secara vakum. Kristal AP yang
didapat lalu dikeringkan selama 2 jam dengan suhu 120oC. Kristal AP yang telah
kering ditimbang dan dicatat bobot totalnya. Kristal AP diayak dengan pengayak dan
dipisahkan sesuai ukuran partikelnya, kemudian ditimbang dan dicatat bobot kristal
AP dari setiap ukuran yang diperoleh.
3.3.2. Pengujian Pengaruh Volume Proses
Variabel volume dijadikan salah satu parameter untuk mengetahui kapasitas
optimum dari alat. Variabel yang digunakan antara 500 mL – 1000 mL. Langkah
kerja yang dilakukan sama seperti langkah kerja dalam pengujian paruh waktu dan
frekuensi. Langkah kerja tersebut diulangi dengan memvariasikan berat kristal AP
dan volume larutan yang digunakan antara 500 mL – 2000 mL dengan selisih 250
mL.
3.3.3. Pengujian Pengaruh Konsentrasi SDS
Pengujian konsentrasi SDS dilakukan untuk mengetahui batas maksimal
senyawa SDS yang dapat teradsorpsi pada permukaan kristal AP. Variabel
konsentrasi SDS yang digunakan adalah 1 dan 5 gram. Langkah kerja yang dilakukan
sebagai berikut; 1 gram SDS dilarutkan dalam 170 mL akuades dan diaduk hingga
homogen. Sebanyak 100 gram AP ditambahkan ke dalam larutan SDS dan diaduk
hingga homogen. Larutan campuran ini diaduk dengan kecepatan tinggi (≥2000 rpm)
17
selama 9 menit. Kristal yang dihasilkan kemudian disaring dengan menggunakan
kertas saring Whattman 42 secara vakum dan dicuci dengan kloroform sebanyak ± 20
mL. Kristal AP yang didapat dikeringkan selama 2 jam dengan suhu 120oC. Kristal
AP yang telah kering ditimbang dan dicatat bobot totalnya. Kristal AP diayak dengan
pengayak dan dipisahkan sesuai ukuran partikelnya. Kemudian ditimbang dan dicatat
bobot kristal AP dari setiap ukuran yang diperoleh. Prosedur di atas diulangi dengan
mengganti pelarut akuadest dengan larutan AP jenuh. Kristal AP hasil proses tersebut
kemudian dianalisis menggunakan instrumen SEM-EDS.
3.3.4. Pengujian Pelarut SDS
Pengujian jenis pelarut dilakukan untuk mengetahui pelarut SDS yang baik.
Pelarut yang digunakan adalah pelarut akuades dan larutan AP jenuh. Zat pelapis
yang dipergunakan adalah Sodium Dodecyl Sulfate sebanyak 5 gram. Sebanyak 5
gram SDS dilarutkan dalam 170 mL akuades dan diaduk hingga homogen. Sebanyak
100 gram AP yang berukuran 106-63 µm ditambahkan ke dalam larutan SDS dan
diaduk hingga homogen. Langkah kerja yang dilakukan sama dengan langkah kerja
pada proses pengujian pengaruh konsentrasi SDS.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Pengaruh Waktu dan Frekuensi
Pengujian pengaruh waktu dan frekuensi dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui nilai optimum dari kedua variable untuk proses pengecilan partikel.
Variasi waktu yang digunakan adalah 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 menit, sedangkan
frekuensi yang digunakan adalah 20, 30 dan 40 kHz. Ukuran kristal yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah ukuran 106-63 µm. Metode pengayakan digunakan
untuk mengetahui ukuran partikel yang dihasilkan. Hasil percobaan dapat dilihat pada
Lampiran 8.
Tabel 2. Data Pengamatan Pengaruh Waktu dan Frekuensi
Waktu (menit)
Kristal Awal (gram)
FREKUENSI = 20 kHz>106 µm 106-63 µm <63 µm
9 194
gram % gram % gram %
9,49 4,89 74,89 38,60 0 0
FREKUENSI = 40 kHz>106 µm 106-63 µm <63 µm
gram % gram % gram %
10,7397 5,53 74,4336 38,36 8,2839 4,27
Pengujian frekuensi tidak dapat dilakukan sesuai dengan variasi yang
diharapkan. Frekuensi yang berhasil diujikan terdiri 2 variasi, yakni 20 kHz dan 40
kHz. Hal ini dikarenakan alat tidak dapat diatur pada frekuensi 30 kHz, sehingga
yang digunakan hanya dua variasi frekuensi. Dari pengujian yang dilakukan
didapatkan hasil yang optimal sebesar 74,89 gram, yang diperoleh pada waktu
ultrasonikasi 9 menit menggunakan frekuensi 20 kHz, dengan distribusi partikel
antara 106-63 µm (Tabel 2). Hasil pengujian pada frekuensi 40 kHz dapat dilihat
pada Gambar 5. Jumlah kristal amonium perklorat dengan ukuran <63µm semakin
19
bertambah dengan besar frekuensi dan waktu proses yang meningkat. Hal ini
menunjukkan frekuensi dan energi berbanding lurus dengan waktu.
>106 106-63 63-53 53-45 0
1020304050607080
6 menit9 menit12 menit15 menit18 menit21 menit
Ukuran partikel (µm)
Jum
lah
(gra
m)
Gambar 4. Perbandingan Ukuran Partikel dan Waktu Ultrasonikasi 40 kHz
Hasil pengujian meshing (pengayakan) menunjukkan hasil yang signifikan
seiring dengan lama waktu ultasonikasi dan besar frekuensi yang digunakan (Gambar
4). Distribusi partikel antara 106-63 µm pada kristal yang diultrasonikasi selama 6
menit dengan frekuensi 40 kHz menunjukkan tingkat terendah sebesar 47,9928
gram. Penggunaan frekuensi 40 kHz selama 9 menit menunjukkan distribusi partikel
antara 106-63 µm optimum sebesar 74,4336 gram. Distribusi partikel antara 63-53
µm menunjukkan peningkatan dengan semakin lama proses ultrasonikasi, sebaliknya
jumlah partikel antara 106-63 µm mengalami penurunan.
Hasil pengujian struktur mikro dengan SEM menunjukkan pengurangan
ukuran partikel yang signifikan (Gambar 5). Pengurangan luas rata-rata partikel
antara 30-50%. Hasil observasi dengan SEM pada sampel menggunakan perbesaran
200, 250 dan 1000 kali (Gambar 5). Ukuran partikel AP sebelum ultasonikasi
berukuran 200 µm dan setelah ultrasonikasi berkurang menjadi 63 µm. Data yang
diperoleh membuktikan terjadinya reduksi ukuran partikel dengan ultrasonikasi. Hal
ini dikarenakan medium yang diradiasi dengan ultrasonik akan mengalami peristiwa
kavitasi akustik.
20
Gambar 5. Hasil Foto SEM 250x, 1000x
(a) AP Awal (b) AP Hasil Ultrasonikasi
Efek kavitasi yaitu terjadinya gelembung gas di dalam medium akibat
penggunaan gelombang ultrasonik untuk pemanasan lokal dengan tekanan yang
bervariasi, sehingga di dalam cairan terbentuk gelembung gas. Gas di dalam
gelembung ini dapat memuai jika dilalui gelombang ultrasonik tinggi, sehingga
mengakibatkan difusi gas yang tidak seimbang. Efek kavitasi memberikan efek
mekanik terhadap medium, sehingga mengakibatkan adanya getaran partikel di dalam
medium. Getaran terjadi pada semua intensitas, sehingga menyebabkan efek mekanik
terhadap partikel di dalam medium. Efek mekanik ini dapat menimbulkan percepatan
partikel, getaran tekanan, tekanan pancaran dan gaya gesek. Efek-efek tersebut
dimanfaatkan untuk mengecilkan ukuran suatu partikel dan menjaga partikel kecil
terhadap pengaruh pertumbuhan partikel dan aglomerasinya (Suslick, et al., 1989,
1997, 1999)(Sabbagha, 1980). Jika dalam larutan terdapat bubuk/kristal, suspensi
cairan-kristal akan menghasilkan kecepatan tabrakan interpartikel yang tinggi.
Tabrakan ini dapat mengubah morfologi permukaan, komposisi, dan reaktivitas.
Proses pengecilan partikel sangat erat kaitannya dengan proses kristalisasi.
Pendinginan 8oC digunakan untuk mempercepat terbentuknya kristal. Pereduksian
ukuran akan memperluas permukaan partikel, sehingga akan meningkatkan
a.
b.
21
kereaktifan antarmuka antara partikel AP dengan senyawa lain. Berdasarkan teori,
ukuran partikel akan berkurang dengan bertambahnya energi karena deaglomearsi
(Mason, 2002). Energi yang digunakan dari ultrasonik dengan frekuensi 20 kHz
adalah sebesar 7,9805 x 10-6 j/mol. Nilai ini diperoleh dari persamaa E=hvNA.
E=(6,6261× 10−34 ) j . s× 20 kHz ×(6,6022× 1023)/mol
E=7,9805× 10−6 j /mol
4.2 Pengujian Pengaruh Volume
Pengujian volume proses dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui beban
maksimum alat ultrasonik. Variasi volume yang digunakan adalah 500, 750, 1000,
1250, 1500 dan 2000 mL. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.
Distribusi partikel 106-63 µm terendah diperoleh pada volume 2000 mL sebesar 0%.
Hasil yang optimal diperoleh sebesar 38,97% dengan volume 1000 mL. Gambar 6
menunjukkan bawha semakin besar volume proses akan menurunkan hasil kristal
dengan distribusi 106-63 µm.
Tabel 3. Distribusi Ukuran Partikel Variasi Volume
Volume kristal awal Distribusi Ukuran Partikel
>106 µm 106-63 µm 63-53 µm 53µm(ml) (gram) % gram % gram % gram % gram500 194 4.85 9,4 38.56 74,8 0 0 0 0750 291 7.25 21,1 37.97 110,5 0 0 0 0
1000 38810.1
3 39,3 38.97 151,2 0 0 0 0
1250 48519.4
6 94,4 28.31 137,32.91 14,1 0 0
1500 58225.4
6 148,2 17.7 103 0 0 0 0
1750 679 33.3 226,1 9.48 64,40,01 6,6 0 0
2000 77642.5
8 331,7 0 0 0 0 0 0
22
Volume proses yang semakin besar akan menurunkan efek gelombang
ultrasonik, karena jumlah padatan terlarut dan medium bertambah. Efek termal
merupakan absorpsi energi gelombang ultrasonik yang menyebabkan suhu medium
meningkat. Besar absorpsi energi gelombang ultrasonik ini tergantung pada
viskositas, massa jenis, dan impedansi medium, serta frekuensi gelombang yang
diberikan. Gelombang ultrasonik yang melalui medium juga mengalami pengurangan
energi, karena sebagian energinya diabsorpsi oleh medium akibatnya suhu medium
meningkat. Kenaikan suhu medium tergantung pada besar koefisien absorpsinya dan
intensitas gelombang yang melaluinya (Sabbagha, 1980).
4.3 Pengujian Pengaruh Konsentrasi SDS
Variasi yang digunakan pada pengujian konsentrasi SDS adalah 1 dan 5 gram.
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai maksimal konsentrasi SDS yang
dapat terikat pada permukaan kristal AP. Pengujian selanjutya adalah menggunakan
instrument SEM-EDS. Hasil SEM akan memunjukkan karakterisasi partikel AP,
sedangkan EDS akan menunjukkan indikasi adanya unsur penyusun SDS pada
spesimen AP. Pada hasil SEM diperoleh hasil gambar hitam putih / gelap terang yang
dipengaruhi oleh unsur penyusunnya. Unsur penyusun dengan nomor atom lebih
tinggi akan menghasilkan warna lebih terang / putih dari pada unsur dengan nomor
atom rendah.
Hasil karakterisasi SEM dengan perbesaran 250x dan 1000x Gambar 6
menunjukkan bahwa partikel AP yang telah dilapisi dengan SDS dapat berdiri sendiri
(tidak menempel satu sama lain). Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan SDS
memberikan pengaruh yang besar. Hasil karakterisasi SEM perbesaran 250x, 1000x
partikel AP yang tidak dilapisi dengan SDS cenderung menggumpal (Gambar 6).
23
Gambar 6. Hasil Foto SEM 250x, 1000x Partikel AP Uncoated
Gambar 7. Hasil Foto SEM Partikel 250x
(a) SDS 1 gram (b) SDS 5 gram
Hasil analisis EDS Gambar 7 partikel (a) SDS sebanyak 1 gram, (b) SDS
sebanyak 5 gram dianalisis menggunakan SEM-EDS. Analisis ini digunakan untuk
mengetahui komponen kimia yang menyusun permukaan partikel AP. Hasil analisis
EDS dipilih dua spot atau target untuk ditembak dengan energi sehingga timbul sinar-
X karakteristik dari masing-masing unsur penyusun. Hal ini ditujukan untuk
membandingkan komposisi pada tiap butir kristal, agar dapat dilakukan pembahasan.
Unsur yang ditampilkan dalam hasil analisis adalah atom N, O, Na, S dan atom Cl.
a.
b.
24
Unsur penyusun SDS yang tidak sama dengan unsur penyusun AP adalah atom Na, S
dan atom O, sehingga ketiga unsur tersebut yang akan digunakan sebagai indikator
keberadaan senyawa SDS.
Table 4. Hasil Analisis SEM-EDS Spot 1
Berat SDS (gram)Jumlah massa
(%) Jumlah Atom (%)
Na S Cl Na S Cl1 6.9 2.09 30.63 5.39 1.29 17.075 6.68 2.23 26.93 5.59 1.34 15.63
Berdasarkan hasil karakterisasi EDS % massa atom Na sebesar 3-7% dan
unsur S sebesar 1-2%, sedangkan berdasarkan % atom juga menunjukkan besar yang
sama. Presentase komposisi unsur Na dan S terbesar diperoleh pada penambahan
SDS sebanyak 5 gram dengan %massa unsur Na sebesar 3,66 % dan unsur S sebesar
2,24%, sedangkan %atom unsur Na sebesar 3,07 % dan unsur S sebesar 1,35%.
Table 5. Hasil Analisis SEM-EDS Spot 2
Pemilihan spot dapat disesuaikan dengan maksud dan tujuan analisis,
misalnya ukuran, bentuk, kerapatan, dll. Spot satu dipilh baik padapPenambahan SDS
sebanyak 1 gram maupun 5, karena memenuhi kriteria bentuk dan ukuran kristal AP
yang diinginkan. Spot satu memiliki ukuran dan bentuk kristal yang lebih beraturan
daripada spot dua yang cenderung menggumpal dan tidak rata.
Berat SDS (gram)Jumlah massa
(%) Jumlah Atom (%)
Na S Cl Na S Cl1 7.15 1.38 34.41 6.28 0.87 19.595 3.66 2.24 29.26 3.07 1.35 15.93
25
Gambar 8. Hasil Analisis EDS SDS 1 gram Spot 1
Hasil analisis yang diperoleh dari EDS berupa persentase. Pada spektrum
EDS diperoleh peak dari unsur-unsur yang terdapat pada permukaan kristal. Unsur S
dan Na terdeteksi pada 2,307 keV dan 1,041 keV (Gambar 8, 9). Unsur S memiliki
nomor atom yang lebih besar dari unsur Na sehingga diperlukan energi yang lebih
besar. Hasil yang diperolah berupa persentase massa dan atom dari unusr-unsur
penyusun senyawa yang dianalisis.
Gambar 9. Hasil Analisis EDS SDS 5 gram Spot 1
26
Gambar 12 menunjukkan bahwa makin besar tegangan tinggi yang digunakan
makin kecil harga λmin yang dihasilkan.
Gambar 10. Grafik Lebar Alamiah Sinar-X Karakteristik Sebagai Fungsi
Nomor Atom
Sinar-X karakteristik timbul akibat adanya proses transisi eksitasi elektron . Proses
terjadinya sinar-X adalah jika energi kinetik elektron itu sama dengan atau lebih besar
dari pada energi eksitasi atom-atom, maka pada saat elektron-elektron tersebut
menumbuk atom, atom-atom tersebut akan tereksitasi dan pada saat atom-atom
tersebut kembali ke keadaan ekuilibriumnya mereka akan melepaskan energinya
dalam bentuk foton gelombang elektromagnetik yang kita sebut sinar-X karakteristik.
Tingkat-tingkat energi di dalam atom-atom itu terkuantisasi sehingga sinar-X yang
dipancarkannya akan memiliki panjang gelombang atau energi yang tertentu, dimana
sinar-X ini disebut dengan sinar-X monokhromatik. Dari Gambar 12 tersebut dapat
dilihat bahwa makin besar tegangan tinggi yang digunakan makin kecil harga λmin
yang dihasilkan.
4.4 Pengujian Pengaruh Pelarut SDS
Pelarut yang digunakan pada pengujian adalah akuades dan filtrat AP.
Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi optimal yang telah diuji pada
pengujian sebelumnya. Kristal yang telah terlapisi dianalisis dengan instrumen SEM-
EDS untuk mengetahui morfologi kristal dan kandungan unsur-unsur yang terdapat
27
pada permukaan kristal. Kristal AP yang telah terlapisi SDS tidak menempel satu
sama lain (Gambar 11). Analisis dilakukan dengan perbesara 250x dan 1000x.
Gambar 11. Hasil Foto SEM (250x, 1000x) Partikel
(a) pelarut akuades (b) pelarut larutan AP jenuh
Tabel 6. Data Pengamatan Jenis Pelarut
No SDS AP awal Pelarut 106-63 µm
(gram) (gram) gram %1 5 100 170 mL akudest 29,0593 29,062 5 100 170 mL filtrat 89,6528 89,65
Data-data hasil analisis instrumen SEM-EDS menunjukkan bahwa hasil
pelapisan kristal amonium perklorat dengan 5 gram SDS menggunakan larutan AP
jenuh lebih baik daripada akuades. Kristal amonium perklorat yang dihasilkan dengan
pelarut akuades sebesar 29%, sedangkan larutan AP jenuh menunjukkan hasil yang
signifikan sebesar 89,6% (Tabel 6). Penggunaan pelarut akuades menakibatkan
jumlah kristal AP ukuran 63-106 µm yang terlarut kembali lebih besar dibandingkan
dengan larutan AP jenuh. Hal ini dikarenakan larutan AP jenuh telah memiliki
kejenuhan yang tinggi terhadap kelarutan AP itu sendiri. Kelarutan SDS dalam
akuades lebih tinggi dari kelarutan dalam larutan AP jenuh, sehingga sulit untuk
berikatan dengan kristal AP. Jumlah SDS yang terikat pada kristal AP jauh lebih
a.
b.
28
besar jika menggunakan pelarut larutan AP jenuh dibandingkan jika menggunakan
pelarut akuades. Jumlah SDS yang terikat dengan AP sangat bergantung pada jumlah
SDS dan jenis pelarut. Kelarutan SDS terhadap pelarut yang tinggi akan menurunkan
kemungkinan SDS untuk berikatan dengan AP, karena cenderung untuk larut dalam
pelarut.
Instrumen SEM juga dapat digunakan untuk pemetaan unsur pada permukaan
bahan, sehingga kita dapat melihat pola sebaran unsur-unsur yang terdapat pada
permukaan bahan. Hasil analisis pola sebaran unsur S dan C dapat dilihat pada
Gambar 12 dan gambar 13. Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur S dan C tersebar
merata dan tidak terkumpul pada satu titik. Hal ini menunjukkan bahwa SDS telah
melapisi kristal secara merata.
Gambar 12. Senyawa SDS Pelarut Akuades
(a) Pola Sebaran Unsur C (b) Pola Sebaran Unsur S
Gambar 13. Senyawa SDS Pelarut Larutan AP Jenuh
(a) Pola Sebaran Unsur C (b) Pola Sebaran Unsur S
a.
b.
a.
b.
30
Tabel 7. Perbandingan % Massa dan % Atom pada Permukaan Kristal
PelarutJumlah Massa (%) Jumlah Atom (%)
C N S Cl O C N S Cl Oakuades 2.51 10.1 0.21 23.51 55.6 3.71 22.88 0.12 11.77 61.53Filtrat 6.1 11.59 0.56 47.67 34.06 10.52 17.14 0.36 27.85 44.12
Hasil analisis EDS menunjukkan adanya unsur penyusun SDS dengan
terdeteksinya peak unsur S dan C. Unsur S terdeteksi pada 2,307 keV, sedangkan
unsur C pada 0,277 keV (Gambar 14-16). Jumlah persentase massa unsur C dan S
pelarut akuades menunjukkan hasil yang lebih kecil sebesar 2,51% dan 0,21%,
sedangkan larutan AP jenuh didapatkan hasil sebesar 6,1% dan 0,56%. Hasil yang
sama juga ditunjukkan pada besar persentase atom dari unsur C dan S. Data yang
diperoleh dengan analisis SEM-EDS hanya menunjukk persentase massa dan atom
dari unsur, sehingga jumlah SDS yang terikat belum diketahui. Perhitungan
berdasarkan fraksi mol digunakan untuk menghitung jumlah SDS yang terikat. Data
yang digunakan adalah data yang diperoleh dengan larutan AP jenuh. Nilai persentase
SDS yang terikat terhadap AP terlapisi yang dihasilkan adalah sebesar 0,45%. Nilai
persentase SDS yang terikat terhadap SDS awal yang digunakan adalah sebesar 8%.
Perhitungan jumlah SDS yang terikat dapat dilihat pada Lampiran 9.
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang sudah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Frekuensi gelombang ultrasonik yang digunakan untuk pengecilan partikel
adalah 20 kHz dengan waktu proses 9 menit. Distribusi ukuran partikel AP
106-63 µm yang diperoleh sebesar 38,60 %.
2. Energi yang dihasilkan dengan frekuensi 20 kHz sebesar 7,9805x10-6 j/mol.
3. Volume proses yang optimum pada frekuensi 20 kHz adalah 1000 mL.
Distribusi partikel 106-63 µm yang diperoleh sebesar 38,97%.
4. Konsentrasi SDS yang memberikan hasil optimal adalah 5 gram SDS. Hasil
ini diperoleh berdasarkan pengujian dengan SEM-EDS. Presentase komposisi
unsur Na dan S terbesar diperoleh pada penambahan SDS sebanyak 5 gram
dengan % massa unsur Na sebesar 3,66 % dan unsur S sebesar 2,24%,
sedangkan % atom unsur Na sebesar 3,07 % dan unsur S sebesar 1,35%.
5. Pelarut filtrat AP memberikan hasil yang lebih baik dari pada pelarut akuades.
Distribusi ukuran partikel AP 106-63 µm yang diperoleh dengan pelarut filtrat
AP sebesar 89,65 %, sedangkan pada pelarut akuades sebesar 29,06%.
5.2. Saran
Upaya pengujian kadar SDS yang terikat perlu diperkuat dengan analisis
kromatografi. Pengujian dengan SEM-EDS hanya menampilkan komposisi senyawa
di permukaan spesimen, sehingga perlu diperkuat lagi agar diperoleh kesimpulan
yang lebih baik.
32
DAFTAR PUSTAKA
Crum, LA., Mason TJ, Reisse JL, Suslick KS. Eds. 1999. In Sonochemistry and
Sonoluminescence. Proc. NATO Adv. Study inst. Ser. C. vol. 524. Dordretht.
Netherlands : Kluwer.
Culity B. D. 1978. Element of X-ray Diffraction. Second Edition. Addison Wesley
Publishing Company. Massachusetts.
Elansezhian, R., B. Ramamoorthy and P.K. Nair. 2009. The Influence of SDS and
CTAB Surfactants on The Surface Morphology anf Surface Topography of
Electroless Ni-P Deposits. Material Processing Technology. Vol. 209. pp 33-
240.
Halliday, Resnick. 1992. Fisika. Jilid 2. Edisi Ketiga. Pantur Silaban & Erwin
Sucipto. Jakarta : Erlangga.
Leighton, T.G. 1994. The Acoustic Bubble. London.
Lista, E.L., Richard B. Hartupee, Ralph K. Manfred, Paul L. O’Neil. 1978. Coated
Ammonium Perchlorate. Aerojet-General Corporation. El Monte. California.
Sabbagha, R.E. 1980. Diagnostic Ultrasound Applied to Obstetrics and Genecology.
Harper & Row. Philadelpia : 67-78.
Somoza, C., Minden, La. 1991. Ultrasonic Grinding of Explosives. Utah.
Somoza, C., James A. Blackwell. 1994. Process For Reducing Sensitivity In
Explosives. Utah.
Suslick, K.S., Crum LA. 1997. In Encyclopedoa of Acoustic, ed. MJ Crocker. New
York : Willey-Interscience. 1 : 271-82.
Suslick, KS. 1989. The Chemical Effects of Ultrasound. ScientificAmerican. pp 80-
86.
Weber, J.B., Peter CJ. 1982. Adsorption, Bioactivity and Evaluation of Soil Tests for
Alachlor, Acetochlor and Metochlor. Weed Science. 30 :14-20.
33
Wu, Y.C., B. Yan and G.H.Li.L. Zhang. Study on Constitution and Wear Resistance
of Nickel Phophorus Alloy-Silicon Carbide Composite Coating. Material
Research and Advance Techniques. Vol.91. pp 778-793.
35
LAMPIRAN 2
Diagram Alir Proses Pengujian Pengaruh Waktu dan Frekuensi194 gram AP + 500 mL akuadesPelarutan T = 60-70oCUltrasonikasif = 20 kHz,t = 9 menitPenyaringan+ PencucianPengeringanT = 120oCt = 3 jamPengayakanAnalisa SEM-EDS
36
LAMPIRAN 3
Diagram Alir Proses Pengujian Pengaruh Volume Prosesx gram AP + 500,750,1250,1500,1750,2000 mL aquadest
37
LAMPIRAN 4
Diagram Alir Proses Pengujian Prngaruh Konsentrasi SDS100 gram AP + (1, 5 gram SDS) 170 mL akuadesPelarutan T = 60-70oCUltrasonikasif = 20 kHz,t = 9 menitPenyaringan+ PencucianPengeringanT = 120oCt = 3 jamPengayakanAnalisa SEM-EDS
38
LAMPIRAN 5
Diagram Alir Proses Pengujian Pengaruh Pelarut SDS100 gram AP + (5 gram SDS) 170 mL akuadesPelarutan T = 60-70oCUltrasonikasif = 20 kHz,t = 9 menitPenyaringan+ PencucianPengeringanT = 120oCt = 3 jamPengayakanAnalisa SEM-EDS
41
LAMPIRAN 8
Hasil Pengujian Pengaruh Waktu dan Frekuensi
Hasil Pengujian Pengaruh Waktu Terhadap Frekuensi 20 kHz:
No.Waktu FREKUENSI 20 kHz(menit) >106µm 106-63µm <63µm
(gram) (gram) (gram)1 9 9,49 74,89
Hasil Pengujian Pengaruh Waktu Terhadap Frekuensi 40 kHz:
No.Waktu
FREKUENSI 40 kHz>106µm 106-63µm <63µm 63-53µm <53µm
(menit) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram)1 6 2,8413 47,9928 2,2204 2 9 10,7397 74,4336 8,28393 15 6,7359 60,2758 24,1748 11,13854 21 8,3376 58,9399 24,8427 10,3049
42
LAMPIRAN 9
Perhitungan Jumlah SDS yang Terikat
Perhitungan %SDS dipermukaan :
Diketahui %S dari SDS (C12H25SO4Na) = 0.56%
%Cl dari NH4ClO4 = 47.67%
%SDS dipermukaan = ,
dengan
%SDS dipermukaan = 1.16%
Perkiraan %SDS secara keseluruhan :
Alat SEM-EDS hanya dapat mengukur % unsur sampai pada ketebalan 2 mikron dari
permukaan. Asumsi bahwa partikel berbentuk bulat, dan memiliki diameter rata-rata
85 mikron, maka :
Rumus volume bola =
Perkiraan %SDS =
Perkiraan %SDS =
Perkiraan %SDS = = 0.16%
43
Jumlah mol AP yang digunakan = = 0.85 mol
Perkiraan jumlah mol SDS yang terikat :
= 1.36 x 10-3 mol
Perkiraan jumlah gram SDS yang terikat
= 0.4 gram
Jumlah gram SDS yang ditambahkan saat proses = 5 gram
Perkiraan %SDS terikat per SDS awal = = 8%
Perkiraan %SDS terikat per AP yang dihasilkan
= 0.45%