Pengarah:Dr. Ir. M Bakrun, MMDirektur Pembinaan SMK
Arie Wibowo Khurniawan, S.Si. M.Ak.Kasubdit Program dan Evaluasi, Direktorat Pembinaan SMK
Chrismi Widjajanti, S.E, MBAKepala Seksi Program, Direktorat Pembinaan SMK
Penanggung Jawab
Ketua Tim
Tim Penyusun
Editor
Desain dan Tata Letak
Penerbit
Peningkatan Proses Pembelajaran Dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK
Prof. Dr. rer.nat. Sajidan, M.SProf. Dr. Baedhowi, M.Si
Universitas Sebelas MaretUniversitas Sebelas MaretUniversitas Sebelas MaretUniversitas Sebelas Maret
Universitas Sebelas Maret
Dr. Triyanto, S.Si., M.SiSalman Alfarisy Totalia, M.SiDr. Mohammad Masykuri, M.Si
Mohamad HerdykaMuhammad Abdul MajidAri
Rayi Citha DwisendyKarin Faizah Tauristy
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah KejuruanDirektorat Jenderal Pendidikan Dasar dan MenengahKementerian Pendidikan dan Kebudayaan
ISBN :
Kata Pengantar
Kebijakan yang relevan dan baik selalu ditopang oleh suatu kajian yang baik pula. Artinya selalu ada korelasi positif antara suatu kajian yang berbasis penelitian akademik dengan kebijakan apa yang diambil. Tentu dalam konteks ini adalah yang ada kaitannya dengan pengembangan SMK ke depannya. Kajian NSPK ini bertujuan tidak lain untuk menjawab hal tersebut. Tuntutan pembaharuan kebijakvan ditengah arus dan gelombang modernisasi yang semakin dinamis sangat diperlukan terlebih perkembangan revolusi Industri sudah mencapai 4.0 yang berbasis cyber physical system ini. Revolusi industri sangat memiliki keterkaitan dengan Sekolah Menengah Kejuruan salah satunya pada aspek penggunaan peralatan praktik sebagai penunjang kompetensi siswa. Inti dari praktik siswa adalah memberikan kemam-puan practical dalam penguasaan penggunaan peralatan praktik, semakin alat yang dimiliki relevan dengan perkembangan zaman semakin membantu pula peserta didik dalam upgrading skill-nya. Tidak hanya pada aspek tersebut, hal lain yang sangat urgent untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dijadikan basis pengambi-lan kebijakan adalah salah satunya terepresentasi dari tema kajian NSPK 2018 ini. Bisa dibilang dari beberapa kajian yang disajikan sudah cukup komperhensif. Pada aspek pengembangan karakter peserta didik SMK sudah dikaji, desain pengembangan bengkel, kompetensi dan kurikulum berdasarkan kompetensi abad 21, ditambah lagi dengan kajian potensi kewirausahaan berbasis cyberzone. Penelitian yang mengkorelasikan pengembangan SMK dengan kawasan ekonomi khusus memberikan warna terhadap khazanah yang ke depannya akan memberikan kontribusi penting pengambilan kebijakan oleh Direktorat. Selain itu riset tentang employability skill dan pengembangan SMK Pertanian di Indonesia melalui LARETA membantu untuk memetakan dan berkontribusi terhadap dinamika yang ada di SMK.
Pada akhirnya peyusunan buku ini tidak lain adalah sebagai upaya untuk memberikan jalan keluar sekaligus penyelesaian terhadap permasalahan dan tuntutan pengembangan SMK di tengah arus deras perkembangan zaman yang selalu menuntut akan pembaharuan dari berbagai macam aspek. Kajian yang mewujud dalam buku ini memberi-kan angin segar untuk dijadikan basis penentuan kebijakan Direktorat ke depan. Kami dari direktorat memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para mitra dalam penelitian ini UNY, UGM, UNS, UPI, UMJ dan UMY. Semoga dengan diterbitkannya buku ini bisa membangkitkan semangat kepada berbagai macam elemen Direktorat, Sekolah, Peser-ta didik, Kampus untuk terus berkontribusi dalam memperbaiki kualitas pendidikan kita khususnya pada pendidikan kejuruan.
Jakarta, 26 November 2018
Dr. Ir. M. Bakrun, MM
iv
KATA PENGANTAR
Dalam rangka mensukseskan penerapan UU No. 23
Tahun 2014 dan Inpres No. 9 Tahun 2016, kecakapan abad 21
yang diperlukan lulusan SMK dalam menghadapai tantangan era
revolusi industri 4.0 sangat perlu untuk dirumuskan.
Buku ini ditulis dengan tujuan menambah literatur mengenai
pentingnya Pembelajaran abad 21 di SMK yang penuh dengan
persaingan dan kompleksitas. Sasaran utama dari penulisan
buku ini adalah para guru maupun calon guru, peneliti, maupun
akademisi yang berkecimpung dalam kajian pendidikan abad 21
dan pembelajaran berpikir tingkat tinggi.
Lahirnya buku ini berawal dari hasil kajian penulis tentang
sejumlah informasi hasil kajian inovasi pembelajaran dari
berbagai SMK rujukan sebagai implementasi dari pembelajaran
abad 21 dan analisis profil faktor pendukung yang spesifik untuk
penyelarasan kompetensi yang diperlukan dalam pembelajaran
abad 21 yang terkait dengan kurikulum, kompetensi guru,
sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan.
Hasil kajian inilah yang kemudian menjadi bahan renungan
bagi penulis untuk merumuskan kembali tentang bagaimana
mengaplikasikan temuan dari sejumlah dokumen tersebut ke
v
dalam satu rancangan pendidikan abad 21 di Indonesia dan
pengimplementasiannya dalam bentuk pengembangan strategi
optimalisasi pembelajaran abad 21 di SMK .
Bab I buku ini dibahas tentang Pendahuluan, Bab II dibahas
tentang Paradigma Pembelajaran Abad 21, kecakapan Abad 21,
dan karakteristik pembelajaran SMK. Bab III memuat Hasil kajian
Pembelajaran Abad 21 di SMK yang mencakup Kajian tentang
profil pembelajaran berdasarkan kelompok standard nasional
pendidikan: standari Isi dan standard kelulusan, standar proses
dan penilaian, standard pendidik dan tenaga kependidikan,
standard sarana prasarana, dan standard pengelolaan. Pada Bab
III juga dikupas strategi pembelajaran abd 21 di SMK dan model
pembelajaran abad 21 SMK. Bab IV memuat penutup.
Semoga dapat memberikan sumbangan nyata dalam
meningkatkan generasi bangsa yang terampil dan terdidik.
Surakarta, Oktober 2018
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................ i
IDENTITAS BUKU ................................................................ ii
KATA PENGANTAR DIREKTUR.......................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................. iv
DAFTAR ISI .......................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .............................................................. vii
DAFTAR TABEL ................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 1
A. Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia ..................... 6
B. Struktur Kebijakan Pendidikan Menengah Di Indonesia 10
BAB II KAJIAN TEORI PEMBELAJARAN ABAD 21 ........... 17
A. Paradigma Pembelajaran Abad 21 ................................. 17
B. Kecakapan Abad 21 ........................................................ 42
C. Karakteristik Pembelajaran SMK .................................... 66
D. Tuntutan Perkembangan Pendidikan Kejuruan .............. 70
BAB III PEMBELAJARAN ABAD 21 DI SMK ................ 83
A. Profil Pembelajaran abad 21 di SMK ............................ 86
B. Strategi Optimalisasi Pembelajaran Abad 21 di SMK ..... 104
C. Model Pembelajaran Sekolah Menengah Kejuruan-
dengan kecakapan abad 21 ............................................ 126
BAB IV PENUTUP ............................................................... 141
vii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 144
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Human Development Index Indonesia tahun
2017 ................................................................ 7
Gambar 3.1. Profil Inovasi Pembelajaran di SMK ............... 85
Gambar 3.2 Muatan Isi Kurikulum SMK ............................. 87
Gambar 3.3 Perencanaan Pembelajaran di SMK .............. 90
Gambar 3.4 Pelaksanaan Pembelajaran di SMK ............... 92
Gambar 3.5 Penilaian Pembelajaran di SMK ..................... 94
Gambar 3.6 Profil Pendidik SMK ........................................ 96
Gambar 3.7 Kondisi Sarana dan Prasarana di SMK ........ 98
Gambar 3.8 Pengelolaan sekolah di SMK ....................... 102
Gambar 3.9 Model pengembangan kecakapan Abad 21 –
siswa SMK melalui peningkatan pembelajaran
dan penilaian SMK .......................................... 130
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Pergeseran Paradigma Belajar Abad 21 ............ 30
Tabel 2.2. Belajar Abad Pengetahuan versus Abad Indus-
trial menurut Trilling & Hood ................................ 40
Tabel 3.1. Kategori Proses Kognitif dan Dimensi Penge-
tahuan .................................................................. 106
Tabel 3.2. Dimensi belajar Marzano .................................... 136
1
BAB I
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan
mencetak lulusan yang memiliki keterampilan untuk menangani
suatu pekerjaan tertentu. Berdasarkan program prioritas dari
2
Direktorat Pembinaan SMK yang mencanangkan tema
pembangunan pendidikan jangka panjang 2005-2024,
pembangunan SMK diarahkan pada peningkatan daya saing
internasional sebagai pondasi dalam membangun kemandirian
dan daya saing bangsa dalam menghadapai persaingan global.
Dalam upaya mewujudkan program ini, berbagai kebijakan telah
dicanangkan, antara lain ditetapkannya Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia dan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi
Sekolah Menengah Kejuruan dalam rangka Peningkatan Kualitas
dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia, makin
menegaskan bahwa SMK harus semakin lebih mendekatkan diri
dengan kebutuhan dunia kerja. Seiring dengan pertumbuhan
dunia usaha dan industri di Indonesia, tuntutan akan tenaga
terampil lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) semakin
meningkat. Oleh karena itu, SMK perlu membekali peserta
didiknya dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
dunia usaha dan industri.
Dalam konteks membekali lulusan SMK agar siap masuk
dalam bursa kerja, beberapa indikator kompetensi dalam
pembelajaran abad 21 yang perlu dimunculkan antara lain: 1)
literasi era digital (digital age literacy), 2) komunikasi efektif
(effective communication), 3) berpikir inventif (inventive thinking),
3
dan 4) produktifitas tinggi (high productivity) (Afandi dan Sajidan,
2017: 29-32). SMK sebagai lembaga pendidikan yang berpotensi
untuk mempersiapkan SDM yang dapat terserap oleh dunia kerja,
karena materi teori dan praktik yang bersifat aplikatif sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja (Jatmoko, 2013), diharapkan
mengelaborasi indikator pembelajaran abad 21 tersebut dalam
proses pembelajaran dan penilaian di kelas. Hal ini sejalan
dengan Finlay (2007) yang menyebutkan kepentingan global
terhadap SMK yang mampu memenuhi tuntutan dunia kerja yang
terampil, serta Agrawal (2013) yang menyatakan bahwa SMK
tidak hanya penting dalam memberikan kesempatan kerja kepada
individu tetapi juga membantu dalam meningkatkan produktivitas.
Bertitik tolak dari orientasi pendidikan nasional yang
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, maka marwah pendidikan
senantiasa ditujukan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional). Apabila mengacu pada
rumusan pendidikan sebagaimana undang-undang di atas
4
tercapai, maka peserta didik diharapkan mampu menghadapi dan
memecahkan masalah/problem yang dihadapinya dengan
menggunakan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, peran
dan tugas guru untuk menyediakan lingkungan belajar yang
memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik guna
memperoleh pengetahuan dan atribut berpikir tingkat tinggi
seyogyanya menjadi inti dalam pembelajaran di kelas (Afandi dan
Sajidan, 2017: 3). Kualitas proses dan penilaian pembelajaran
yang bermutu sejalan dengan tuntutan kompetensi guru abad 21,
yaitu karakter religius (character religius), karekter nasionalisme
(character nasionalism), kreatif dan inovatif, kemampuan berpikir
kritis dan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi dan
kolaborasi, dan keterampilan menggunakan media, teknologi dan
informasi (information, media & technology skills)(Afandi
&Sajidan, 2017: 58-59).
Ide-ide dasar penguatan pembelajaran abad 21 dalam
pelaksanaan di sekolah sebagaimana disebutkan di atas menemui
banyak tantangan. Beberapa hasil kajian dari berbagai lembaga
internasional seringkali bertolak belakang dengan tuntutan Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia, sehingga potensi peserta didik
tersebut ternyata belum berkembang dengan maksimal. Kajian
yang dilakukan oleh PISA-OECD (Programme for International
Student Assesment-Organization for Economic Cooperation and
5
Development) Tahun 2009 di mana anak Indonesia dalam bidang
sains memperoleh rata-rata skor 383 dengan skor tertinggi adalah
575 yang diperoleh di Shanghai-Cina dan menempati rangking 61
dari 66 negara yang mengikutinya. The Learning Curve (2014)
menjelaskan bahwa “Global index of cognitive skills and
educational attainment”, Indonesia berada pada posisi z = - 1.84.
Hasil ini menempatkan Indonesia pada rangking terbawah dari 40
negara yang berpartisipasi.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam upaya
meningkatkan kualitas proses dan penilaian pembelajaran di SMK
adalah faktor pendukung yang spesifik untuk penyelarasan
kompetensi yang diperlukan dalam pembelajaran abad 21, yaitu:
kurikulum, kompetensi guru, sarana prasarana, dan tata kelola
kelembagaan, termasuk kerjasama dengan dunia industri. Sinergi
kerjasama tersebut memiliki peran strategis untuk melahirkan
generasi millenial Indonesia yang produktif dan berdaya saing
global. Langkah penyesuaian kurikulum, proses dan penilaian
pembelajaran SMK dapat dilakukan melaluipenyempurnaan dan
pemantapan dengan model demand-driven, mengubah model
supply-driven yang berlangsung selama ini dengan standarisasi
mutu. Ciri utama pendidikan dan pelatihan vokasi ini
mengedepankan pendekatan job-based learning. Desain sekolah
dikembangkan berangkat dari kebutuhan dan pengakuan dunia
6
usaha dan industri. Analisis kebutuhan itu kemudian dirumuskan
ke dalam standar-standar kompetensi disertai dengan jenis
sertifikasi dan teknik pengujiannya. Dari standarisasi ini, sekolah
mengembangkan kurikulum dan sistem pembelajarannya.Proses
standarisasi dan sertifikasi serta penyusunan kurikulum
melibatkan pihak-pihak terkait, terutama sinergi sekolah dan
industri. Dengan demikian, siswa dididik sesuai dengan kebutuhan
dunia usaha dan industri. Menilik prospek dunia usaha dan industri
sektor formal di Indonesia yang relatif bersifat turbulen, dan
persaingan tenaga kerja luar negeri yang makin ketat, hal ini
diharapkan menjadi lorong yang bisa menyalurkan tenaga kerja ke
industri dan dunia usaha yang menjadi mitra sekolah dan mengisi
pasar tenaga kerja terampil di luar negeri yang relevan. Alternatif
lain adalah pengembangan SMK dengan model life-based
learning sebagai pendidikan alternatif. Pembelajaran di SMK
mengedepankan pendekatan berbasis potensi alam kehidupan
nyata. Model ini memungkinkan tumbuhnya sekolah-sekolah
kreatif sesuai dengan keunggulan potensi wilayah.
A. Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia masih belum
mencapai posisi yang baik dibandingkan negara-negara di
lingkup Asia, posisi Human Development Index Indonesia
7
tahun 2017 berada pada peringkat 116, sedangkan untuk
wilayah ASEAN, Indonesia berada pada posisi 6. Indonesia
menduduki ranking pada indeks 0,694 setara dengan
Vietnam dan Singapura masih menduduki rangking tertinggi
dengan indeks 0,932 disusul Brunei Darussalam dengan
indeks 0,853.
Gambar 1.1 Human Development Index Indonesia tahun
2017, Sumber: http://hdr.undp.org/en/composite/HDI 2017, diolah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Deutze
Gesselschaft Fur Internationale (2016) menjelaskan mutu
lulusan SMK di Indonesia secara ideal dijelaskan berdasar
lebih kepada penguasaan Standar Kompetensi Kerja
8
Nasional Indonesia (SKKNI), selaNjutnya berdasar standar
kompetensi tersebut dibentuk sebuah sistem pengujian dan
sertifikasi. Fakta yang diperoleh lapangan, bahwa tidak
semua program keahlian di SMK telah tersedia SKKNI-nya,
beberapa SKKNI yang telah ada saat inipun, belum
terefleksikan ke dalam kurikulum SMK sevcara proporsional.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meminimalisir
kesenjangan kompetensi kerja lulusan SMK dengan
kebutuhan dunia usaha/dunia industry (DUDI) antara lain
melalui penyusunan skema sertifikasi bagi lulusan SMK
dengan melibatkan asosiasi profesi dan DU/DI maupun
pelaksanaan uji kompetensi, namun masih menemukan
hasil optimal sebagaimana yang diharapakan.
Fakta tersebut di atas didukung dengan kurangnya
keterlibatan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) dalam
penyusunan kurikulum SMK, hal ini sebagaimana hasil
penelitian yang dilakukan Trisno Martono, dkk (2017) yang
menjelaskan bahwa rendahnya keterserapan tenaga kerja
lulusan SMK disebabkan berbagai komponen, diantaranya
yaitu kurikulum, tenaga pengajar, infrastruktur dari
pendidikan kejuruan yang diselenggarakan.
9
Kelompok Dunia Usaha dan Dunia Industri (DU/DI)
menjelaskan mayoritas kualifikasi lulusan SMK masih belum
sesuai dengan tuntutan kebutuhan Dunia Usaha dan Dunia
Industri (DU/DI), link and match belum tercapai. Selain itu,
Dunia Usaha dan Dunia Industri (DU/DI) juga menjelaskan
terjadinya overbalance dan scarcity pada lulusan bidang
keahlian tertentu. Sebagai contoh populasi SMK bidang
keahlian bisnis dan manajemen di Indonesia sebanyak 45,37
% tidak sebanding dengan populasi SMK bidang keahlian
kesehatan sebesar 11,63 % dan SMK bidang keahlian
perikanan dan kelautan yang hanya sebesar 4,01%. Untuk
itu perlu adanya penataan atau restrukturisasi pendidikan
kejuruan baik dari kurikulum, tenaga pengajar, populasi julah
dan juga infrastrukturnya agar dapat menghasilkan tenaga
kerja yang sesuai dengan permintaan DU/DI, dengan kata
lain penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang semula
menggunakan pendekatan supply-driven menjadi demand-
driven.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 menetapkan
empat poin yang menjadi fokus revitalisasi Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) sebagai upaya meningkatkan
10
mutu sumber daya manusia, khususnya untuk penyediaan
tenaga kerja trampil. Keempat poin tersebut melingkupi
revitalisasi kurikulum, pendidik & tenaga kependidikan, kerja
sama, dan lulusan. Kurikulum untuk jenjang SMK sering
dianggap kaku oleh berbagai kalangan. Akibatnya, sulit
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang siap pakai
oleh dunia usaha dan industri. Dengan revitalisasi ini, dari
tiga kurikulum di SMK ada satu kurikulum yang dirancang
lebih fleksibel. Artinya, kurikulum disesuaikan dengan
kebutuhan industri. Melalui kurikulum ini diharapkan konsep
link and match akan membumi di industri kita. (Imam Sujadi,
2017:2)
B. Struktur Kebijakan Pendidikan Menengah Di Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan
yang bertujuan mencetak lulusan yang memiliki
keterampilan untuk menangani suatu pekerjaan tertentu.
Berdasarkan program prioritas dari Direktorat Pembinaan
SMK yang mencanangkan tema pembangunan pendidikan
jangka panjang 2005-2024, pembangunan SMK diarahkan
11
pada peningkatan daya saing internasional sebagai pondasi
dalam membangun kemandirian dan daya saing bangsa
dalam menghadapai persaingan global. Dalam upaya
mewujudkan program ini, berbagai kebijakan telah
dicanangkan, antara lain ditetapkannya Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia dan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam rangka
Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya
Manusia Indonesia, makin menegaskan bahwa SMK harus
semakin lebih mendekatkan diri dengan kebutuhan dunia
kerja. Seiring dengan pertumbuhan dunia usaha dan industri
di Indonesia, tuntutan akan tenaga terampil lulusan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) semakin meningkat. Oleh
karena itu, SMK perlu membekali peserta didiknya dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dunia
usaha dan industri.
Dalam konteks membekali lulusan SMK agar siap
masuk dalam bursa kerja, beberapa indikator kompetensi
dalam pembelajaran abad 21 yang perlu dimunculkan antara
lain: 1) literasi era digital (digital age literacy), 2) komunikasi
12
efektif (effective communication), 3) berpikir inventif
(inventive thinking), dan 4) produktifitas tinggi (high
productivity) (Afandi dan Sajidan, 2017: 29-32). SMK
sebagai lembaga pendidikan yang berpotensi untuk
mempersiapkan SDM yang dapat terserap oleh dunia kerja,
karena materi teori dan praktik yang bersifat aplikatif sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja (Jatmoko, 2013), diharapkan
mengelaborasi indikator pembelajaran abad 21 tersebut
dalam proses pembelajaran dan penilaian di kelas. Hal ini
sejalan dengan Finlay (2007) yang menyebutkan
kepentingan global terhadap SMK yang mampu memenuhi
tuntutan dunia kerja yang terampil, serta Agrawal (2013)
yang menyatakan bahwa SMK tidak hanya penting dalam
memberikan kesempatan kerja kepada individu tetapi juga
membantu dalam meningkatkan produktivitas.
Bertitik tolak dari orientasi pendidikan nasional yang
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka marwah
pendidikan senantiasa ditujukan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
13
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional). Apabila mengacu pada rumusan
pendidikan sebagaimana undang-undang di atas tercapai,
maka peserta didik diharapkan mampu menghadapi dan
memecahkan masalah/problem yang dihadapinya dengan
menggunakan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian,
peran dan tugas guru untuk menyediakan lingkungan belajar
yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik
guna memperoleh pengetahuan dan atribut berpikir tingkat
tinggi seyogyanya menjadi inti dalam pembelajaran di kelas
(Afandi dan Sajidan, 2017: 3). Kualitas proses dan penilaian
pembelajaran yang bermutu sejalan dengan tuntutan
kompetensi guru abad 21, yaitu karakter religius (character
religius), karekter nasionalisme (character nasionalism),
kreatif dan inovatif, kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah, kemampuan komunikasi dan
kolaborasi, dan keterampilan menggunakan media,
teknologi dan informasi (information, media & technology
skills) (Afandi & Sajidan, 2017: 58-59).
14
Ide-ide dasar penguatan pembelajaran abad 21 dalam
pelaksanaan di sekolah sebagaimana disebutkan di atas
menemui banyak tantangan. Beberapa hasil kajian dari
berbagai lembaga internasional seringkali bertolak belakang
dengan tuntutan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,
sehingga potensi peserta didik tersebut ternyata belum
berkembang dengan maksimal. Kajian yang dilakukan oleh
PISA-OECD (Programme for International Student
Assesment-Organization for Economic Cooperation and
Development) Tahun 2009 di mana anak Indonesia dalam
bidang sains memperoleh rata-rata skor 383 dengan skor
tertinggi adalah 575 yang diperoleh di Shanghai-Cina dan
menempati rangking 61 dari 66 negara yang mengikutinya.
The Learning Curve (2014) menjelaskan bahwa “Global
index of cognitive skills and educational attainment”,
Indonesia berada pada posisi z = - 1.84. Hasil ini
menempatkan Indonesia pada rangking terbawah dari 40
negara yang berpartisipasi.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam upaya
meningkatkan kualitas proses dan penilaian pembelajaran di
SMK adalah faktor pendukung yang spesifik untuk
15
penyelarasan kompetensi yang diperlukan dalam
pembelajaran abad 21, yaitu: kurikulum, kompetensi guru,
sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan, termasuk
kerjasama dengan dunia industri. Sinergi kerjasama tersebut
memiliki peran strategis untuk melahirkan generasi millenial
Indonesia yang produktif dan berdaya saing global. Langkah
penyesuaian kurikulum, proses dan penilaian pembelajaran
SMK dapat dilakukan melalui penyempurnaan dan
pemantapan dengan model demand-driven, mengubah
model supply-driven yang berlangsung selama ini dengan
standarisasi mutu. Ciri utama pendidikan dan pelatihan
vokasi ini mengedepankan pendekatan job-based learning.
Desain sekolah dikembangkan berangkat dari kebutuhan
dan pengakuan dunia usaha dan industri. Analisis kebutuhan
itu kemudian dirumuskan ke dalam standar-standar
kompetensi disertai dengan jenis sertifikasi dan teknik
pengujiannya. Dari standarisasi ini, sekolah
mengembangkan kurikulum dan sistem pembelajarannya.
Proses standarisasi dan sertifikasi serta penyusunan
kurikulum melibatkan pihak-pihak terkait, terutama sinergi
sekolah dan industri. Dengan demikian, siswa dididik sesuai
dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Menilik prospek
16
dunia usaha dan industri sektor formal di Indonesia yang
relatif bersifat turbulen, dan persaingan tenaga kerja luar
negeri yang makin ketat, hal ini diharapkan menjadi lorong
yang bisa menyalurkan tenaga kerja ke industri dan dunia
usaha yang menjadi mitra sekolah dan mengisi pasar tenaga
kerja terampil di luar negeri yang relevan. Alternatif lain
adalah pengembangan SMK dengan model life-based
learning sebagai pendidikan alternatif. Pembelajaran di SMK
mengedepankan pendekatan berbasis potensi alam
kehidupan nyata. Model ini memungkinkan tumbuhnya
sekolah-sekolah kreatif sesuai dengan keunggulan potensi
wilayah.
17
BAB II
KAJIAN TEORI PEMBELAJARAN ABAD 21
A. Paradigma Pembelajaran Abad 21
Ciri abad 21 menurut Kemendikbud adalah tersedianya
informasi dimana saja dan kapan saja (informasi), adanya
implementasi penggunaan mesin (komputasi), mampu
menjangkau segala pekerjaan rutin (otomatisasi) dan bisa
18
dilakukan dari mana saja dan kemana saja (komunikasi).
Ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah
terjadi pergeseran pembangunan pendidikan ke arah ICT
sebagai salah satu strategi manajemen pendidikan abad 21
yang di dalamnya meliputi tata keloladan sumber daya manusia
(Soderstrom, From, Lovqvist, & Tornquist, 2011). Abad ini
memerlukan transformasi pendidikan secara menyeluruh
sehingga terbangun kualitas guru yang mampu memajukan
pengetahuan, pelatihan, ekuitas siswa dan prestasi siswa.
Ciri abad 21 menurut Hernawan (2006) adalah
meningkatnya interaksi antar warga dunia baik secara langsung
maupun tidak langsung, semakin banyaknya informasi yang
tersedia dan dapat diperoleh, meluasnya cakrawala intelektual,
munculnya arus keterbukaan dan demokkratisasi baik dalam
politik maupun ekonomi, memanjangnya jarak budaya antara
generasi tua dan generasi muda, meningkatnya kepedulian
akan perlunya dijaga keseimbangan dunia, meningkatnya
kesadaran akan saling ketergantungan ekonomis, dan
mengaburnya batas kedaulatan budaya tertentu karena tidak
terbendungnya informasi.
Dalam konteks pendidikan yang mengimplementasikan
visi pembelajaran abad 21, UNESCO telah membuat 4 (empat)
pilar pendidikan, yaitu: 1) Learning to how(belajar untuk
mengetahui), 2) Learning to do(belajar untuk melakukan), 3)
19
Learning to be(belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai
individu mandiri yang berkepribadian), 4) Learning to live
together(belajar untuk hidup bersama). Pendidikan yang
membangun kompetensi “partnership 21st Century Learning”
yaitu framework pembelajaran abad 21 yang menuntut peserta
didik memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan
dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan
pembelajaran, inovasi, dan keterampilan hidup.
Delors Report (1996) dari International Commission on
Education for the Twenty-first Century, mengajukan empat visi
pembelajaran yaitu pengetahuan, pemahaman, kompetensi
untuk hidup, dan kompetensi untuk bertindak. Selain visi
tersebut juga dirumuskan empat prinsip yang dikenal sebagai
empat pilar pendidikan yaitu learning to know, lerning to do,
learning to be dan learning to live together. Kerangka
pemikiran ini dirasa masih relevan dengan kepentingan
pendidikan saat ini dan dapat dikembangkan sesuai dengan
keperluan di abad ke-21 (Scott, 2015). Pada bagian berikut
dijelaskan sekilas tentang kompetensi dan keterampilan
sesuai empat pilar pendidikan yang terdapat pada Delors
Report.
Learning to Know
Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk
memperoleh, memperdalam dan memanfaatkan materi
20
pengetahuan. Penguasaan materi merupakan salah satu hal
penting bagi siswa di abad ke-21. Siswa juga harus memiliki
kemauan untuk belajar sepanjang hayat.
Hal ini berarti siswa harus secara berkesinambungan
menilai kemampuan diri tentang apa yang telah diketahui dan
terus merasa perlu memperkuat pemahaman untuk
kesuksesan kehidupannya kelak. Siswa harus siap untuk
selalu belajar ketika menghadapi situasi baru yang
memerlukan keterampilan baru. Pembelajaran di abad ke-21
hendaknya lebih menekankan pada tema pembelajaran
interdisipliner. Empat tema khusus yang relevan dengan
kehidupan modern adalah: 1) kesadaran global; 2) literasi
finansial, ekonomi, bisnis, dan kewirausahaan; 3) literasi
kewarganegaraan; dan 4) literasi kesehatan. Tema-tema ini
perlu dibelajarkan di sekolah untuk mempersiapkan siswa
menghadapi kehidupan dan dunia kerja di masa mendatang
dengan lebih baik.
Learning to Do
Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam
masyarakat yang berkembang sangat cepat, maka individu
perlu belajar berkarya. Siswa maupun orang dewasa sama-
sama memerlukan pengetahuan akademik dan terapan, dapat
menghubungkan pengetahuan dan keterampilan, kreatif dan
21
adaptif, serta mampu mentrasformasikan semua aspek
tersebut ke dalam keterampilan yang berharga.
Keterampilan berpikir kritis
Keterampilan ini merupakan keterampilan fndamental
pada pembelajaran di abad ke-21. Keterampilan berpikir kritis
mencakup kemampuan mengakses, menganalisis, mensintesis
informasi yang dapat dibelajarkan, dilatihkan dan dikuasai (P21,
2007a; Redecker et al 2011). Keterampilan berpikir kritis juga
menggambarkan keterampilan lainnya seperti keterampilan
komunikasi dan informasi, serta kemampuan untuk memeriksa,
menganalisis, menafsirkan, dan mengevaluasi bukti. Pada era
literasi digital dimana arus informasi sangat berlimpah, siswa
perlu memiliki kemampuan untuk memilih sumber dan
informasi yang relevan, menemukan sumber yang
berkualitas dan melakukan penilaian terhadap sumber dari
aspek objektivitas, reliabilitas, dan kemutahiran.
Kemampuan menyelesaikan masalah
Keterampilan memecahkan masalah mencakup
keterampilan lain seperti identifikasi dan kemampuan untuk
mencari, memilih, mengevaluasi, mengorganisir, dan
mempertimbangkan berbagai alternatif dan menafsirkan
informasi. Seseorang harus mampu mencari berbagai solusi
22
dari sudut pandang yang berbeda-beda, dalam memecahkan
masalah yang kompleks.
Pemecahan masalah memerlukan kerjasama tim,
kolaborasi efektif dan kreatif dari guru dan siswa untuk
dapat melibatkan teknologi, dan menangani berbagai
informasi yang sangat besar jumlahnya, dapat
mendefinisikan dan memahami elemen yang terdapat pada
pokok permasalahan, mengidentifikasi sumber informasi dan
strategi yang diperlukan dalam mengatasi masalah.
Pemecahan masalah tidak dapat dilepaskan dari keterampilan
berpikir kritis karena keterampilan berpikir kritis merupakan
keterampilan fundamental dalam memecahkan masalah. Siswa
juga harus mampu menerapkan alat dan teknik yang tepat
secara efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan.
Komunikasi dan kolaborasi
Kemampuan komunikasi yang baik merupakan
keterampilan yang sangat berharga di dunia kerja dan
kehidupan sehari-hari. Kemampuan komunikasi mencakup
keterampilan dalam menyampaikan pemikiran dengan jelas
dan persuasif secara oral maupun tertulis, kemampuan
menyampaikan opini dengan kalimat yang jelas,
menyampaikan perintah dengan jelas, dan dapat memotivasi
orang lain melalui kemampuan berbicara. Kolaborasi dan
23
kerjasama tim dapat dikembangkan melalui pengalaman yang
ada di dalam sekolah, antar sekolah, dan di luar sekolah (P21,
2007a).
Siswa dapat bekerja bersama-sama secara kolaboratif
pada tugas berbasis proyek yang autentik dan
mengembangkan keterampilannya melalui pembelajaran tutor
sebaya dalam kelompok. Pada dunia kerja di masa depan,
keterampilan berkolaborasi juga harus diterapkan ketika
menghadapi rekan kerja yang berada pada lokasi yang saling
berjauhan. Keterampilan komunikasi dan kolaborasi yang
efektif disertai dengan keterampilan menggunakan teknologi
dan sosial media akan memungkinkan terjadinya kolaborasi
dengan kelompok-kelompok internasional.
Kreativitas dan inovasi
Pencapaian kesuksesan profesional dan personal,
memerlukan keterampilan berinovasi dan semangat berkreasi.
Kreativitas dan inovasi akan semakin berkembang jika siswa
memiliki kesempatan untuk berpikir divergen. Siswa harus
dipicu untuk berpikir di luar kebiasaan yang ada, melibatkan
cara berpikir yang baru, memperoleh kesempatan untuk
menyampaikan ide-ide dan solusi-solusi baru, mengajukan
pertanyaan yang tidak lazim, dan mencoba mengajukan
dugaan jawaban. Kesuksesan individu akan didapatkan oleh
24
siswa yang memiliki keterampilan kreatif. Individu-individu
yang sukses akan membuat dunia ini menjadi tempat yang
lebih baik bagi semuanya.
Literasi informasi, media, dan teknologi
Literasi informasi yang mencakup kemampuan
mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi sangat
penting dikuasai pada saat ini. Literasi informasi memiliki
pengaruh yang besar dalam perolehan keterampilan lain yang
diperlukan pada kehidupan abad ke-21. Seseorang yang
berkemampuan literasi media adalah seseorang yang
mampu menggunakan keterampilan proses seperti
kesadaran, analisis, refleksi dan aksi untuk memahami pesan
alami yang terdapat pada media.
Kerangka literasi media terdiri atas kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan
pesan dalam berbagai bentuk media, menciptakan suatu
pemahaman dari peranan media pada masyarakat, dan
membangun keterampilan penting dari informasi hasil
penyelidikan dan ekspresi diri. Literasi media juga mencakup
kemampuan untuk menyampaikan pesan dari diri dan untuk
memberikan pengaruh dan informasi kepada orang lain.
25
Literasi informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT)
Kemampuan literasi ICT mencakup kemampuan
mengakses, mengatur, mengintegrasi, mengevaluasi, dan
menciptakan informasi melalui penggunaan teknologi
komunikasi digital. Literasi ICT berpusat pada keterampilan
berpikir tingkat tinggi dalam mempertimbangkan informasi,
media, dan teknologi di lingkungan sekitar. Setiap negara
hendaknya menumbuhkan secara luas keterampilan ICT
pada masyarakatnya karena jika tidak, negara tersebut
dapat tertinggal dari perkembangan dan kemajuan
pengetahuan ekonomi berbasis teknologi. Terdapat
beberapa keterkaitan antara tiga bentuk literasi yang meliputi
literasi komunikasi informasi, media dan teknologi.
Penguasaan terhadap keterampilan tersebut memungkinkan
penguasaan terhadap keterampilan dan kompetensi lain
yang diperlukan untuk keberhasilan kehidupan di abad ke-
21 (Trilling & Fadel, 2009).
Learning to Be
Keterampilan akademik dan kognitif memang
keterampilan yang penting bagi seorang siswa, namun bukan
merupakan satu-satunya keterampilan yang diperlukan siswa
untuk menjadi sukses. Siswa yang memiliki kompetensi kognitif
yang fundamental merupakan pribadi yang berkualitas dan
26
beridentitas. Siswa seperti ini mampu menanggapi kegagalan
serta konflik dan krisis, serta siap menghadapi dan mengatasi
masalah sulit di abad ke-21. Secara khusus, generasi muda
harus mampu bekerja dan belajar bersama dengan beragam
kelompok dalam berbagai jenis pekerjaan dan lingkungan
sosial, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Keterampilan sosial dan lintas budaya
Keterampilan sosial dan lintas budaya yang baik
sangat penting dalam mewujudkan kesuksesan di sekolah
maupun kehidupan. Keterampilan ini memungkinkan individu
untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (misalnya
mengetahui saat yang tepat untuk mendengarkan dan
berbicara, dan bagaimana memperlakukan diri secara hormat,
secara profesional), bekerja secara efektif dalam sebuah tim
yang memiliki anggota beragam (misalnya menghormati
perbedaan budaya dan berkolaborasi dengan orang-orang
yang berasal dari berbagai kondisi sosial dan latar belakang
budaya), berpikiran terbuka terhadap ide-ide dan nilai-nilai
yang berbeda, dan menggunakan perbedaan sosial dan
budaya untuk menghasilkan ide-ide, inovasi dan kualitas kerja
yang lebih baik.
Memiliki keterampilan sosial yang baik dapat
membantu siswa untuk membuat sebuah keputusan dengan
27
baik. Keterampilan sosial yang baik pada anak-anak dan
remaja dapat mempengaruhi kinerja akademis mereka,
sikap, hubungan sosial dan keluarga, dan keterlibatan dalam
kegiatan ekstrakurikuler. Kemampuan berempati juga
termasuk keterampilan sosial yang diharapkan tumbuh di
kehidupan abad ke-21 (National Research Council, 2012;
P21, 2007a).
Kesempatan untuk mengembangkan ketahanan
emosional dan empati harus dirancang secara eksplisit
(Leadbeater, 2008). Steedly et al. (2008) menyatakan adanya
keyakinan bahwa anak-anak pada umumnya memperoleh
keterampilan sosial yang positif melalui interaksi sehari-hari
dengan orang dewasa dan teman sebaya mereka. Namun,
guru dan orang tua harus memperkuat pembelajaran ini
dengan teladan secara langsung.
Tanggung jawab pribadi, pengaturan diri, dan inisiatif
Tingginya tingkat interaksi dan kerja sama tim dalam
lingkungan kerja di abad ke-21 diharapkan dapat diantisipasi
dengan meningkatkan kualitas pribadi siswa. Kemampuan
pengaturan diri adalah jantung dari pembelajaran abad ke-21.
Siswa yang mandiri bertanggung jawab terhadap proses
belajarnya sendiri dan bersedia meningkatkan kemampuan
sepanjang kariernya. Herring (2012) berpendapat bahwa
28
siswa yang mandiri mendapatkan motivasi dari dalam dirinya
sendiri. Siswa mandiri paham bahwa semangat belajar adalah
kemampuan dasar yang akan membuat mereka berhasil di
tempat kerja.
Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan untuk
menanggapi perubahan kondisi ekonomi dan pasar serta
menguasai keterampilan baru dengan cepat. Kemampuan ini
merupakan salah satu dari tiga kompetensi yang paling
dibutuhkan di dunia kerja abad ke-21. Hal penting lainnya
adalah fleksibilitas dalam berbagai pengaturan kerja dan
sosial dan menunjukkan inisiatif, ketangkasan mental dan
rasa ingin tahu, yang dapat diwujudkan dengan beragam
teknologi berbasis web yang tersedia.
Dengan menggunakan sumber daya teknologi sebagai
sumber belajar informal memungkinkan siswa untuk memiliki
kemampuan berkolaborasi tinggi, mudah berbagi dan bertukar
pengetahuan, dan mengarahkan diri sendiri untuk terus
belajar (Herring, 2012). Kemampuan lain yang bermanfaat
adalah kemampuan untuk merefleksikan kelebihan dan
kekuatan yang ada dalam diri siswa dan meningkatkan
manajemen waktu. Pelatihan untuk meningkatkan keterampilan
tersebut dapat diadakan oleh pihak sekolah untuk membantu
siswa mempersiapkan diri terjun di dunia kerja dan kehidupan
di abad ke-21 (P21, 2011).
29
Keterampilan berpikir logis
Generasi muda saat ini hidup di dunia yang lebih
menantang, sehingga mereka perlu mengembangkan
kemampuan berpikir logis terhadap isu-isu global yang
kompleks dan penting. Mereka harus siap untuk mengatasi
berbagai masalah, termasuk konflik manusia, perubahan iklim,
kemiskinan, penyebaran penyakit dan krisis energi. Sekolah
harus menyediakan berbagai peluang, bimbingan dan
dukungan agar siswa memahami peran dan tanggung
jawabnya di dunia nyata, serta mengembangkan kompetensi
yang memungkinkan mereka untuk memahami situasi dan
lingkungan baru.
Keterampilan metakognitif
P21 telah mengidentifikasi pembelajaran mandiri
sebagai salah satu keterampilan dasar dalam kehidupan dan
karir yang diperlukan untuk mempersiapkan pendidikan dan
pekerjaan di abad ke-21 (P21, 2007a). Metakognisi
didefinisikan sebagai 'thinking about thinking'. Seseorang
yang memiliki pengetahuan metakognitif berarti menyadari
berapa banyak mereka memahami topik pembelajaran dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman mereka.
Keterampilan metakognitif dapat meningkatkan pembelajaran
dan pemahaman siswa. Beberapa langkah penting untuk
30
mengajarkan keterampilan metakognitif sebagai berikut: (a)
ajarkan kepada siswa bahwa belajar itu tidak terbatas
jumlahnya dan kemampuan seseorang untuk belajar dapat
diubah, (b) ajarkan bagaimana menetapkan tujuan belajar
dan merencanakan pencapaiannya, dan (c) berikan siswa
banyak kesempatan untuk berlatih memantau kegiatan
belajarnya secara akurat. Tanamkan pada siswa bahwa hal-
hal tersebut penting dan merupakan kebutuhan bagi siswa itu
sendiri.
Kemampuan berpikir berwirausaha
Kreativitas dan berpikir kewirausahaan juga merupakan
keterampilan esensial di abad ke-21. Pertumbuhan lapangan
pekerjaan yang cepat dan industri yang sedang berkembang
membutuhkan kreativitas pekerja, termasuk kemampuan
untuk berpikir yang tidak biasa (out of the box), memikirkan
kebijakan konvensional, membayangkan skenario baru dan
menghasilkan karya yang menakjubkan. Memiliki pola pikir
kewirausahaan (kemampuan untuk mengenali dan
memanfaatkan peluang dan kesanggupan untuk bertanggung
jawab dan menanggung resiko), memungkinkan seseorang
untuk menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri dan
orang lain.
31
Oleh karena itu, siswa harus dilatih menjawab pertanyaan
dan membuat keputusan dengan cepat. Mereka juga harus
dilatih untuk berpikir inventif, mengamati dan mengevaluasi
peluang dan ide-ide baru. Namun demikian, penting untuk
diperhatikan bahwa ide-ide tersebut harus bermanfaat atau
berdampak positif bagi organisasi dan komunitas tempat tinggal
atau kerja. Kegiatan kewirausahaan di sekolah harus
dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa
untuk memimpin dan menumbuhkan otonomi yang lebih besar
(P21, 2008).
Belajar untuk belajar dan kebiasaan belajar sepanjang hayat
Sepanjang hidupnya, seseorang akan selalu
menemukan informasi baru yang mengubah pengetahuan
yang dimilikinya. Bolstad (2011) berpendapat bahwa sekolah
yang berorientasi masa depan harus memperluas kapasitas
intelektual siswa dan memperkuat kemauan dan kemampuan
mereka untuk terus belajar sepanjang hidup. Keterampilan
belajar untuk belajar, memiliki keterbukaan dan komitmen
untuk belajar seumur hidup dan mempelajari kehidupan secara
lebih luas sangat penting bagi siswa untuk beradaptasi.
Kemampuan siswa untuk belajar lebih diutamakan
dibandingkan akumulasi pengetahuan.
32
Learning to Live Together
Berbagai bukti menunjukkan bahwa siswa yang bekerja
secara kooperatif dapat mencapai level kemampuan yang
lebih tinggi jika ditinjau dari hasil pemikiran dan kemampuan
untuk menyimpan informasi dalam jangka waktu yang
panjang dari pada siswa yang bekerja secara individu.
Belajar bersama akan memberikan kesempatan bagi siswa
untuk terlibat aktif dalam diskusi, senantiasa memantau
strategi dan pencapaian belajar mereka dan menjadi pemikir
kritis.
Menghargai keanekaragaman
Pada abad ke-21, siswa harus turut berperan dalam
kegiatan pendidikan. Peran aktif siswa membantu mereka
mengembangkan kompetensi dalam kehidupan dan bekerja
bersama dalam masyarakat yang memiliki keanekaragaman
budaya dan organisasi. Mereka harus belajar bahwa mereka
tidak akan selalu dihargai, tetapi mereka harus mencari dan
menggunakan bakat dan ide-ide mereka di antara beragam
siswa lainnya. Ini merupakan keterampilan penting yang harus
dilatih dan sering digunakan oleh siswa. Keterampilan ini
melibatkan rasa hormat dan menghargai permasalahan
orang lain dan budaya yang berbeda dari budaya mereka,
33
sehingga mereka akan memperoleh keterampilan sosial dan
lintas budaya (Barrett et al., 2014).
Hal ini juga akan membangun kesadaran dan
pengetahuan tentang perbedaan yang ada di antara individu
dan masyarakat. Lingkungan sekolah harus menawarkan
kemungkinan untuk merancang kegiatan pembelajaran yang
dapat memberikan kesempatan bagi anak muda untuk
menghargai, bergaul dengan baik dan hidup berdampingan
secara damai di lingkungan dengan kebudayaan yang sangat
beragam (ini merupakan keterampilan hidup abad ke-21 yang
sangat dihargai). Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak
bagi guru untuk merancang kegiatan belajar kolaboratif dan
sesuai dengan kehidupan nyata yang dapat
mengembangkan pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai
siswa.
Teamwork dan interconnectedness
Keterampilan teamwork dan interconnectedness harus
menjadi perhatian utama dunia pendidikan. Keterampilan ini
sangat penting baik dalam kehidupan masyarakat ataupun di
tempat kerja. Hasil survei Conference Board (2006, dikutip
Scott, 2015b) menemukan bahwa profesionalisme, etika kerja
yang baik, komunikasi secara lisan dan tertulis, kerja tim,
kolaborasi, berpikir kritis dan kemampuan memecahkan
34
masalah merupakan keterampilan paling penting.
Keterampilan-keterampilan ini memungkinkan seseorang
mendapatkan nilai lebih di mata kolega sekaligus berkembang
di lingkungan kerja yang kolaboratif (Redecker et al., 2011).
Di antara kompetensi penting di abad ke-21 adalah
kemampuan untuk membantu perkembangan kerjasama
interdisipliner dan pertukaran ide-ide global untuk melawan
potensi diskriminasi karena suku, jenis kelamin atau usia (Leis,
2010).
Civic dan digital citizenship
Civic literacy (literasi bermasyarakat) merupakan
keterampilan penting, karena siswa perlu mengetahui hak dan
kewajiban warganegara di lingkup lokal, regional, dan
nasional; mengembangkan motivasi, watak dan keterampilan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat; dan memahami
dampak dari masalah kemasyarakatan secara lokal dan global
(P21, 2013). Selain hal tersebut, keterampilan abad ke-21
yang lain adalah digital citizenship (masyarakat yang melek
digital) – memahami bagaimana cara untuk berpartisipasi
secara produktif dan bertanggung jawab secara online (P21,
2013). Hal ini penting untuk membantu siswa dalam
memahami bagaimana untuk berpartisipasi dengan cerdas dan
35
etis sebagai warga negara yang bertanggung jawab dalam
komunitas virtual.
Hal ini melibatkan pembelajaran tentang bagaimana
mengakses reliabilitas dan kualitas dari informasi yang
ditemukan dari internet dan menggunakan informasi yang
diperoleh secara bertanggung jawab (Davies, Fidler dan
Gorbis, 2011). Sekolah perlu mengatur bagaimana siswa
belajar dan berlatih menggunakan teknologi secara
bertanggung jawab (misalnya cara mengaskes data,
perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat privasi, cara
mendeteksi penipuan, plagiarisme, kekayaan intelektual hak
dan anonimitas) dan bagaimana menjadi digital citizens yang
baik.
Kompetensi global
Siswa yang memiliki kompetensi global akan mampu
mengambil tindakan melalui banyak cara dan cenderung
menganggap diri mereka sebagai warga dunia, bukan dari
warga bangsa tertentu. Mereka mampu menggunakan
keterampilan berpikir kritis untuk mensurvei dan memikirkan
masalah yang perlu diprioritaskan, mengidentifikasi solusi yang
dapat dilakukan, menilai solusi yang dipilih dan rencana
tindakan yang akan dilakukan berdasarkan bukti, dan
mempertimbangkan dampak potensial dan konsekuensi yang
36
mungkin muncul dari tindakan yang akan dilakukan. Siswa yang
memiliki kompetensi global akan berhati-hati dalam
mempertimbangkan beberapa pendekatan sebelumnya dan
perspektif orang lain.
Mereka bertindak secara etis dan kolaboratif (dengan
cara yang kreatif) untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan lokal, regional ataupun global. Siswa yang
memiliki kompetensi global tidak beranggapan bahwa mereka
mampu menangani tantangan yang kompleks sendirian,
namun mampu merefleksi seberapa besar kapasitas mereka
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dan mencari
kesempatan berkolaborasi untuk bergabung dengan orang lain
yang akan melengkapi kekuatannya (Mansilla and Jaskson,
2011).
Kompetensi antar budaya
Kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi
dengan masyarakat lintas budaya atau yang memiliki
kebudayaan yang berbeda adalah prasyarat mendasar di
dunia kerja. Semua siswa perlu mendapatkan kompetensi
antarbudaya. Untuk alasan ini, pendidikan antarbudaya, yang
bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan ini, dapat memberikan kontribusi untuk menjaga
kedamaian dan pembelajaran inklusif (Barrett et al., 2014).
37
Kompetensi antarbudaya tidak diperoleh secara otomatis,
melainkan harus dipelajari, dipraktikkan dan dipelihara
sepanjang hidup. Guru memiliki peran yang sangat penting
dalam memfasilitasi pengembangan kompetensi antarbudaya
di antara siswa (Barrett et al., 2014).
Sikap saling menghormati dan toleransi sangat penting
untuk memastikan bahwa pandangan individu dari semua
latar belakang budaya diakui dan dihormati dalam
masyarakat yang multikultural. Hal yang sangat penting adalah
siswa dapat belajar untuk mendengarkan orang lain,
menunjukkan fleksibilitas, dan bekerja sama dengan
kontributor dalam tim yang berasal dari berbagai budaya dan
berbagai rumpun ilmu pengetahuan. Ini adalah kompetensi
yang sangat penting dan tidak boleh dilewatkan oleh
masyarakat abad ke-21 (Barrett et al, 2014).
Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa pendidikan
memiliki peran yang signifikan bahkan fundamental dalam
menawarkan kesempatan kepada pelajar abad ke-21 untuk
mengembangkan kompetensi yang memungkinkan mereka
dapat hidup damai dengan kondisi budaya yang beragam
(Carneiro dan Draxler, 2008).
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat
pada abad ini membawa dampak yang sangat signifikan
terhadap dunia pendidikan.
38
Tabel 2.1. Pergeseran Paradigma Belajar Abad 21
Ciri Abad 21 Model Pembelajaran
INFORMASI
Tersedia di mana
saja, kapan saja
Pembelajaran diarahkan untuk
mendorong peserta didik mencari
tahu dan berbagi dan berbagi
sumber observasi bukan diberi tahu
KOMPUTASI
Lebih cepat
memakai mesin
Pembelajaran diarahkan untuk
mampu merumuskan masalah
(bertanya), bukan
hanya menyelesaikan masalah
(menjawab)
OTOMASI
Menjangkau semua
pekerjaan rutin
Pembelajaran diarahkan untuk
melatih berfikir analitis
(pengambilan
keputusan) bukan berfikir
mekanistis (rutin)
KOMUNIKASI
Dari mana saja,
kemana saja
Pembelajaran menekankan
pentingnya kerjasama /kolaborasi
dalam
menyelesaikan masalah.
(Litbang Kemdikbud: 2013)
Proses peralihan dari abad industrialisasi ke abad
pengetahuan menuntut setiap bidang dalam kehidupan
39
berubah sangat cepat dan harus dapat beradaptasi dengan
cepat,begitu pula dengan pendidikan,karakteristik umum model
pembelajaran abad pengetahuan berbeda dengan karakteristik
pembelajaran abad industrialisasi. Banyak praktik pendidikan
yang dianggap menguntungkan pada abad industrial, seperti
belajar fakta, drill dan praktik, kaidah dan prosedur digantikan
belajar dalam konteks dunia nyata, otentik melalui problem dan
proyek, inkuiri, discovery, dan invensi dalam praktik abad
pengetahuan.
Pola belajar yang diterapkan pada masa industrialisasi
sudah dianggap tidak cocok lagi di abad pengetahuan, dimana
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
berkembang begitu pesat,dan teknologi tersebut merupakan
katalis penting untuk gerakan menuju metode belajar di abad
pengetahuan.
Diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu
pengetahuan abad 21, kini memang telah terjadi pergeseran
baik ciri maupun model pembelajaran.Inilah yang diantisipasi
pada kurikulum 2013. Tabel 2.2 menunjukkan pergeseran
paradigma belajar abad21 yang berdasarkan ciri abad 21 dan
model pembelajaran yang harus dilakukan. Pergeseran
paradigma pendidikan abad 21. Informasi, komputasi, otomasi,
dan komunikasi merupakan empat komponen yang
40
disampaikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai
ciri dari pendidikan abad 21 yang menyebabkan terjadinya
pergeseran paradigma dalam pembelajaran. Alih literasi
informasi, keterampilan komputer, pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi dalam proses komunikasi serta
keterampilan komunikasi menjadi sejumlah keterampilan yang
harus dikuasaioleh seorang guru saat ini. Tema pengembangan
kurikulum 2013 dapat menghasilkan insan Indonesia yang
produktif, kreatif, inovatif, dan efektif melalui penguatan sikap
(tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan
pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi.
Tabel 2.2. Belajar Abad Pengetahuan versus Abad Industrial
menurut Trilling & Hood
Industrial Age Knowledge Age
Teacher-as-Director Teacher-as-Facilitator,
Guide, Consultant
Teacher-as-Knowledge
Source
Teacher-as-Co-learner
Curriculum-directed
Learning
Student-directed Learning
Time-slotted, Rigidly
Scheduled Learning
Open, Flexible, On-demand
Learning
41
Primarily Fact-based Primarily Project-& Problem-
based
Theoretical, Abstract Real-world, concrete
Principles & Survey Actions & Reflections
Drill & Practice Inquiry & Design
Rules & Procedures Discovery & Invention
Competitive Collaborative
Classroom-focused Community-focused
Prescribed Results Open-ended Results
Conform to Norm Creative Diversity
Computers-as-Subject of
Study
Computers-as-Tool for all
Learning
Static Media Presentations Dynamic Multimedia
Interactions Classroom-
bounded
Communication Worldwide-
unbounded
Communication
Test-assessed by Norms Performance-assessed by
Expert, Mentors, Peers &
Self
(Trilling & Hood, 1999).
Perubahan paradigma dari Teacher-as-Director menjadi
Teacher-as-Facilitator, Guide, dan Consultant, merupakan hal
yang wajar, karena sumber belajar dan bahan ajar tidak hanya
42
mengadalkan dari satu sumber saja. Perkembangan teknologi
informasi, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat,
dimana prinsip kolaborasi, antar komponen; manusia, proses
dan teknologi menjadi lebih fleksibel, dengan teknologi ini
batasan untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan
kebutuhan hampir tidak ada batasan. Perubahan paling
mendasar dari teknologi ini ada pada interface yang ramah
terhadap pengguna (userfriendly) tidak jauh dari tampilan
komputer yang dipakai sehari-hari. Dampak positif dari
teknologi ini dapat juga diterapkan dalam proses pembelajaran,
namun harus menggunakan desain formula atau model
pembelajaran yang tepat, agar hasil yang ingin dicapai dapat
sesuai dengan tujuan dari proses pembelajaran di abad
pengetahuan ini.
B. Kecakapan Abad 21
1. Ketrampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skills)
a. Definisi Ketrampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking
Skills)
Berpikir kritis merupakan salah satu
keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order
thinking Skills/HOTS selain berpikir kreatif (creative
thinking), pemecahan masalah (creative thinking),
pemecahan masalah (problem solving), dan berpikir
43
reflektif (reflective thinking). John Dewey dalam Fisher
(2009) menyebutkan “berpikir kritis” ini sebagai
“berpikir reflektif” dan mendefinisikannya sebagai
pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti
mengenai sebuah keyakinan atau bentuk
pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari
sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi
kecenderungannya. Glaser (dalam Fisher, 2009:3),
mendefinisikan critical thinking skill sebagai suatu
sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-
masalah dan hal- hal yang berada dalam jangkauan
pengalaman seseorang, pengetahuan tentang
metodemetode pemeriksaan dan penalaran yang
logis, dan semacam suatu keterampilan untuk
menerapkan metode- metode tersebut.
Critical thinking skill dapat dikatakan
kemampuan sesorang dalam menganalisis suatu
gagasan dengan menggunakan penalaran yang logis.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Yasushi
Gotoh (2016), bahwa ketrampilan berpikir kritis
merupakan seperangkat keterampilan dan
kecenderungan yang memungkinkan seseorang untuk
memecahkan masalah secara logis. ketrampilan
44
berpikir kritisjuga dapat diartikan kemampuan berpikir
seseorang dalam mengambil keputusan. Seperti yang
diungkapkan Patricia C. Seifert (2010: 197), “Less
formal and more skepticaldefinition of critical thinking:
deciding what to do and when, where, why, and how to
do it.” Hal senada juga diungkapkan Facione, Facione,
and Sanchez (2010), “Critical thinking is a process of
making reasoned judgments based on the
consideration of available evidence, contextual
aspects of a situation, and pertinent concepts”.
Berdasarkan pemaparan ahli tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa critical thinking skill adalah
kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif,
sistematis, dan produktif yang diaplikasikan dalam
membuat pertimbangan dan mengambil keputusan
yang baik.
b. Pentingnya Ketrampilan Berpikir Kritis (Critical
Thinking Skills)
Keterampilan berpikir merupakan salah satu
kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan
melalui proses pendidikan. Kemampuan seseorang
dalam berfikir akan berpengaruh terhdap keberhasilan
hidup seseorang karena kemampuan berpikir
45
berkaitan dengan apa yang akan dikerjakan. Sanjaya
(2008: 219) menyatakan bahwa belajar berpikir
menekankan kepada proses mencari dan menemukan
pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan
lingkungan. Hal tersebut mengandung pengertian
bahwa pembelajaran berpikirdalam proses pendidikan
di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi
pengetahuan materi pelajaran, akan tetapi yang
diutamakan adalah kemampuan siswa untuk
memperoleh pengetahuannya sendiri (self-regulated).
Seseorang yang memiliki critical thinking skill
cenderung lebih cepat mengidentifikasi informasi yang
relevan, memisahkan informasi yang tidak relevan
serta memanfaatkan informasi tersebut untuk mencari
solusi masalah atau mengambil keputusan, dan jika
perlu mencari informasi pendukung yang relevan.
Sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Johnson
(2006), siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis
yang memadai memiliki kemungkinan besar untuk
dapat mempelajari masalah secara sistematis,
menghadapi berjuta tantangan dengan cara
terorganisasi, merumuskan pertanyaaninovatif, dan
merancang penyelesaian yang dipandang relatif baru.
Seseorang perlu memiliki critical thinking skill dan
46
perlu mempelajarinya, karena keterampilan tersebut
sangat berguna dan sebagai bekal dalam menghadapi
kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang.
Dengan critical thinking skill, seseorang mampu
berpikir secara rasional dan logis dalam menerima
informasi dan sistematis dalam memecahkan
permasalahan. Artinya berpikir kritis mampu
meningkatkan keterampilan analistik. Selain itu critical
thinking skill juga meningkatkan kemampuan
seseorang cenderung kreatif. Seseorang yang
memiliki critical thinking skill dapat memanfaatkan ide
ataupun informasi, dan mencari informasi tambahan
yang relevan sehingga dapat mengevaluasi lalu
memodifikasi untuk menghasilkan ide yang terbaik.
Critical thinking skill juga berfungsi untuk merefleksi
atau evaluasi diri terhadap keputusan yang sudah
diambil.
c. Tantangan Mengembangkan Ketrampilan Berpikir
Kritis
Critical thinking skills merupakan salah satu hal
yang penting untuk dikembangkan. Berikut beberapa
pertimbangan dalam mengembangkan critical thinking
skill menurut Tilaar (2011: 19) yaitu (1)
47
Mengembangkan berpikir kritis di dalam pendidikan
berarti kita memberikan penghargaan kepada peserta
didik sebagai pribadi (respect a person). Hal ini akan
memberikan kesempatan kepada perkembangan
pribadi peserta didik sepenuhnya karena mereka
merasa diberikan kesempatan dan dihormati akan
hak- haknya dalam perkembangan pribadinya. (2)
Berpikir kritis merupakan tujuan yang ideal di dalam
pendidikan karena mempersiapkan peserta didik untuk
kehidupan kedewasaannya. (3) Perkembangan
berpikir kritis dalam proses pendidikan merupakan
suatu cita- cita tradisional seperti apa yang ingin
dicapai melalui pelajaran ilmu -ilmu eksata dan
kealaman serta mata pelajaran lainnya yang secara
tradisional dianggap dapat mengembangkan berpikir
kritis. (4) Berpikir kritis merupakan suatu hal yang
sangat dibutuhkan di dalam kehidupan demokratis.
Demokrasi hanya dapat berkembang apabila warga
negaranya dapat berpikir kritis di dalam masalah-
masalah politik, sosial, dan ekonomi. Adapun Ryan
(2015), mengajarkan critical thinking skill dengan
memberikan kesempatan siswa untuk berperan aktif
dengan memberikan pertanyaan dan tantang sehingga
siswa termotivasi untuk aktif mengejar rasa ingin
48
tahunya. Senada dengan hal di atas, Bonnie dan Potts
(2003),mengemukakan ada tiga buah strategi untuk
mengajarkan kemampuan-kemampuan critical
thinking skill, yaitu: (1) Building categories (membuat
klasifikasi), (2) finding problem (menemukan masalah),
dan (3) enhancing the environment (mengkondusifkan
lingkungan). Ciri dari mengajar untuk berpikir kritis
meliputi: (1) Meningkatkan interaksi di antara para
siswa sebagai pembelajar, (2) dengan mengajukan
pertanyaan open-ended, (3) memberikan waktu yang
memadai kepada para siswa untuk memberikan
refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau
masalahmasalah yang diberikan, dan (4) teaching for
transfer (mengajar untuk dapat menggunakan
kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap
situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri
yang para siswa miliki). Dari pemaparan tersebut
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang dapat
mengembangkan critical thinking skill adalah
pembelajaran yang menggunakan pendekatan student
center dan menerapkan model pembelajaran dimana
sintaksnya memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk aktif dan enam kamampuan dalam critical
thinking skill dapat muncul dalam diri peserta didik. 4.
49
Indikator Penilaian Critical Thinking Skill Beberapa ahli
mengungkapkan terkait indicator dalam critical thinking
skill. Menurut Ennis (1995: 4-8), terdapat enam unsur
dasar dalam critical thinking skill meliputi (1) Fokus
(focus), merupakan hal pertama yang harus dilakukan
untuk mengetahui informasi. Untuk fokus terhadap
permasalahan,diperlukan pengetahuan. Semakin
banyak pengetahuan dimiliki oleh seseorang akan
semakin mudah mengenali informasi. (2) Alasan
(reason), yaitu mencari kebenaran dari pernyataan
yang akan dikemukakan. Dalam mengemukakan
suatu pernyataan harus disertai dengan alasan-alasan
yang mendukung pernyataan tersebut. (3) Kesimpulan
(Inference), yaitu membuat pernyataan yang disertai
dengan alasan yang tepat. Garnison, Anderson, dan
Archer (2001) membagi empat keterampilan berpikir
kritis, yaitu: (1) trigger event /cepat tanggap terhadap
peristiwa, yaitu mengidentifikasi atau mengenali
masalah, dilema dari pengalaman seseorang dengan
cepat, (2) exploration/eksplorasi, memikirkan ide
personal dan sosial dalam rangka membuat persiapan
keputusan, (3) integration/ integrasi, yaitu
mengkonstruksi maksud dari gagasan, dan
mengintegrasikan informasi relevan yang telah
50
ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) resolution/
mengusulkan, yaitu mengusulkan solusi secara
hipotetis, atau menerapkan solusi secara langsung
kepada isu, dilema, atau masalah serta menguji
gagasan dan hipotesis. Facione (2013:8) membagi
critical thinking skill terdiri enam kemampuan yaitu
interpretation, analysis, inference, evaluation,
explanation, dan self-regulation. Interpretasi
merupakan kemampuan seseorang dalam memahami
dan menggambarkan kembali makna kondisi,
informasi atau pesan yang diterimanya. (2) Analisis
merupakan mengamati dan menguraikan suatu
informasi yang diterima secara detail untuk dikaji lebih
lanjut. (3) Inferensi merupakan kemampuan membuat
kesimpulan berdasarkan unsurunsur. (4) Evaluasi
merupakan melakukan penilaian dengan cara
mengukur atau membandingkan. (5)
Eksplanasi/penjelasan, merupakan kemampuan
menerangkan/menjelasakan suatu proses/
informasi/fenomena. (6) Regulasi diri artinya memiliki
kemampuan mengelola diri misal mengamati apa yang
ada disekitar kognitif seseorang, komponen yang
digunakan dalam memperoleh hasil, terutama dengan
51
menerapkan kecakapan di dalam analisis dan evaluasi
untuk penilaiannya sendiri.
Tidak hanya dalam menghadapi permasalahan
umum di kehidupan, dalam membaca dan menulis pun
critical thinking skill juga dibutuhkan. Indikator critical
thinking skill dalam membaca menurut Richard dan
Linda (2012:30) meliputi (1) Merefleksikan apa yang
dibaca. (2) Membedakan antara apa yang mereka
lakukan dan tidak mengerti dalam teks. (3) Meringkas
secara akurat dan menguraiakan teks yang dibaca
dengan katakata sendiri. (4) Memberikan contoh, dari
pengalaman mereka dan ide-ide yang ada di dalam
teks. (5) Menghubungkan ide-ide inti dalam teks
dengan ide-ide lain yang mereka mengerti. (6)
Mengambil menginternalisasi ide tekas yang dibaca
dan menerapkan di kehidupan. (7) Memparafrase apa
yang mereka baca (misalnya, kalimat demi kalimat).
(8) Menjelaskan kalimat secara jelas, akurat dan logis.
Siswa yang memiliki kemampuan critical thinking
skill dalam menulis digunakan sebagai alat penting
baik untuk mengkomunikasikan ide-ide penting.
Mereka menggunakan keterampilan menulis untuk
memperdalam pemahaman mereka tentang konsep-
konsep penting dan untuk memperjelas antar
52
hubungan antara konsepkonsep. Dalam menulis,
mereka mampu harus jelas dan akurat menganalisis
dan mengevaluasi ide-ide dalam teks dan pemikiran
mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka
menggunakan menulis sebagai alat penting untuk
belajar ide-ide mendalam dan permanen Richard dan
Linda (2012:30). Indikatornya meliputi: (1)
Merefleksikan apa yang mereka tulis. (2) Memantau
apa yang mereka tulis menulis dan membedakan
antara apa yang mereka lakukan dan tidak mengerti
dalam teks. (3) Meringkas secara akurat apa yang
mereka membaca teks atau yang didengar. (4)
Memberikan contoh daripengalaman mereka ketika
mereka menulis contoh ide-ide penting. (5)
Menghubungkan ide-ide inti ide-ide inti lain secara
eksplisit saat mereka menulis. (6) Menuliskan tentang
ide-ide yang berlaku untuk kehidupan mereka. (7)
Menunjukkan kemampuan untuk eksplikasi menulis
suatu pengembangan atau membenarkan teori.
Menunjukkan kemampuan untuk jelas dan akurat
menganalisis secara jelas dan akurat, dalammenulis,
logika dari konsep-konsep dalam teks, bab atau studi
akademis.Menggunakan standar intelektual yang
universal dalam tulisan mereka,secara rutin
53
memeriksa tulisan mereka untuk kejelasan, akurasi,
presisi, relevansi,kedalaman, luasnya, logika, makna,
dan keadilan.
2. Ketrampilan Komunikasi
Memasuki era digital, komunikasi yang kerap
dilakukan melalui media sosial dengan memanfaatkan gawai
dan internet. Kemajuan teknologi berdampak cukup besar
bagi pola komunikasi saat ini. Kemajuan teknologi di bidang
komunikasi memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi
positifnya,masyarakat lebih efisien untuk mengirim pesan,
lebih mudah menemukan sumber informasi terkini, dan lebih
praktis untuk membentuk suatu komunitas (Ferguson, 2015
hlm. 1). Namun, sisi negatif dari kemajuan teknologi juga
tidak dapat dihindari oleh masyarakat. Teknologi
memudahkan masyarakat berkomunikasi dengan orang
terjauh akan tetapi menjauhkan komunikasi dengan orang
terdekat. Sisi negatif tersebut marak dijumpai dalam situasi
saat ini. Orang tua yang tidak menyadari kehadiran anak
ketika di rumah, anak yang lebih senang memainkan gawai
daripada bermain dengan teman sebaya, atau perkumpulan
individu yang sibuk dengan urusan masing-masing (Wu,
Fowler, Lam, Wong, Wong, & Loke, 2014). Makna
komunikasi sudah berganti sejalan dengan perubahan
teknologi yang semakin pesat. Melihat perubahan pola
54
komunikasi yang demikian maka penulis dapat
mengindikasikan jika teknologi memegang kendali penuh
dalam kehidupan individu. Padahal seyogyanya individu
yang mengendalikan teknologi.
Keterampilan komunikasi yang rendah akan memicu
permasalahan baru yang cukup kompleks atau
memunculkan banyak miskomunikasi (Ahmetoglu & Acar,
2016 hlm. 190). Weaver & Pier (2011) menerangkan bahwa
memasuki abad 21yang sarat teknologi tidak menjadikan
siswa lebih kreatif dan berdayasaing akan tetapi
melemahkan keterampilan komunikasi siswa. Penelitian
Weaver & Pier diperkuat oleh survey yang dilakukan NACE
(National Association of Colleges and Employeers) pada
tahun 2017 mengindikasikan bahwa sebanyak 67,5% siswa
memiliki keterampilan komunikasi yang rendah. Rendahnya
keterampilan komunikasi dapat berpengaruhpada
kemampuan memproses informasi, kesulitan
mengintegrasikan pikiran dan ucapan, dan kesulitan
beradaptasi dengan lingkungan (Wood & Hartshorne, 2017
hlm. 1). Keterampilan komunikasi menjadi salah satu
keterampilan yang perlu dikuasai oleh siswa. Keterampilan
komunikasi berperan sebagai kunci untuk menghadapi
perubahan paradigma kehidupan di abad 21 selain
keterampilan berkolaborasi, berpikir kritis, dan kreativitas.
55
Keterampilan komunikasi bermanfaat bagi siswa untuk
mengidentifikasi sumber informasi yang akurat, menyaring
informasi sebagai pengetahuan baru, dan menjadikan
informasi sebagai tambahan pengetahuan dalam
pengembangan dirinya. Oleh sebab itu, keterampilan
komunikasi sangat perlu dikuasai oleh siswa. Optimalisasi
literasi dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan
keterampilan komunikasi siswa
Keterampilan komunikasi adalah keterampilan individu
untuk menyampaikan dan menerima pesan sesuai dengan
konteks. Komunikasi membantu siswa untuk mengartikulasi
gagasan dan pikiran baik secara lisan, tertulis, atau
nonverbal dalam berbagai konteks dengan tujuan
pendengar dapat menerima pesan dengan tepat dan efektif
(East, 2015). Komunikasi dikatakan tepat apabila siswa
mampu menyampaikan pesan sesuai dengan situasi dan
konteks yang tengah dihadapi. Sementara itu, komunikasi
dikategorikan efektif jika pendengar dengan mudah
memahami isi pesan yang disampaikan
pembicara(Morreale, Staley, Stavrositu, & Krakowiak, 2014
hlm. 108). Terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan
oleh siswa untuk mencapai komunikasi yang tepat dan
efektif. Ketiga komponen ini terdiri dari motivasi,
pengetahuan, dan kompetensi (Lederman, 2012).
56
Komponen terkait yang diperlukan agar komunikasi
berjalan dengan tepat dan efektif yaitu kompetensi.
Kompetensi diperlukan untuk membantu siswa dalam
pengendalian emosi dan tingkah laku ketika berkomunikasi.
Siswa yang belum terlatih kompetensinya, ia akan
menemukan kesulitan berkomunikasi (Wodd & Hartshorne,
2017). Kesulitan yang kerap ditemukan dalam komunikasi
yaitu rendahnya rasa percaya diri sehingga cukup
mengganggu kelancaran komunikasi. Siswa akan berbicara
tersendat dan berdampak pada kurang jelasnya pesan yang
disampaikan. Selain itu, kompetensi yang diperlukan dalam
keterampilan komunikasi pada abad 21 yaitu kompetensi
penggunaan teknologi dan informasi. Abad 21 merupakan
abad yang sarat dengan teknologi atau masyarakat melabeli
abad ini dengan era digital. Hampir sebagian besar aktivitas
pembelajaran memanfaatkan peran teknologi dan informasi.
Melalui teknologi, siswa lebih mudah mencari informasi
untuk menambah literatur dalam pembelajaran dan
mendukung kelancaran keterampilan komunikasi (Jackson,
2014 hlm. 223). Pada abad 21 siswa sudah mahir
memanfaatkan teknologi akan tetapi pemanfaatannyamasih
kurang optimal. Hal ini disebabkan siswa lebih banyak
menggunakan teknologi untuk aktivitas sosial yang kurang
bermakna. Selain penguasaan keterampilan berbahasa,
57
pada saat ini siswa perlu mahir mendayagukanan teknologi
untuk menunjang keterampilan komunikasinya (Kuznekoff &
Titsworth, 2013). Teknologi dijadikan wadah untuk
menyalurkan kreativitas atau mengomunikasikan pesan
postif bagi siswa pribadi, bagi peserta didik, maupun bagi
masyarakat.
Siswa dikategorikan memiliki keterampilan komunikasi
yang baik apabila ia mampu memahami informasi yang
diterima dari berbagai sumber dan dapat menginferensi
tersebut untuk dipahami oleh penerima pesan. Tingginya
keterampilan komunikasi siswa tidak terlepas dari peran
literasi. Jenis literasi yang berkontribusi cukup besar
terhadap keterampilan komunikasi terdiri dari literasi bahasa
dan literasi informasi. Keterampilan komunikasi tidak lepas
dari keterampilan berbicara dan keterampilan menyimak
yang merupakan bagian dari literasi bahasa. Sementara itu,
literasi informasi bermanfaat bagi individu untuk menyeleksi
informasi yang tepat untuk dijadikan topik berkomunikasi.
Literasi bahasa dan literasi informasi sangat penting
dikuasai siswa karena pada abad 21 mereka dituntut untuk
mahir berkomunikasi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
pendapat Purvis, Mc Neill, & Sutherland (2014) yang
menerangkan bahwa salah satu upaya untuk mengurangi
kesulitan siswa berkomunikasi yaitu dengan
58
mengembangkan literasi pada siswa. Minat siswa terhadap
kegiatan berbicara akademik dan membaca siswa
dikategorikan rendah. Minat siswa yang rendah disebabkan
siswa lebih mudah terbawa arus informasi global. Siswa saat
ini mudah memercayai informasi yang ada di dunia maya
tanpa mengecek sumber atau kebenaran dari informasi
tersebut. Siswa malas menemukan informasi yang berasal
dari sumber terpercaya dan menyukaipencarian situs
informasi yang ditemukan lebih praktis. Meskipun perolehan
informasi saat ini lebih praktis akan tetapi sangat
disayangkan siswa kurang peka terhadap kredibilitas
sumber informasi. Oleh sebab itu, literasi teknologi informasi
juga diperlukan untuk meningkatkan keterampilan
komunikasi siswa.
Literasi bahasa berfokus pada pengembangan
keterampilan dasar individu untuk memahami dan
menggunakan keterampilan berbahasa seperti keterampilan
berbicara dan membaca sebagai bagian yang integral.
Literasi bahasa penting untuk dikuasai siswa karena bahasa
merupakan alat untuk berkomunikasi, mengekspresikan
perasaan, dan memahami suatu gagasan. Keterampilan
bahasa memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain
seperti keterampilan berbicara berkaitan dengan
keterampilan menyimak sedangkan keterampilan membaca
59
berkaitan dengan keterampilan menulis. Keterampilan
berbicara dan menyimak menjadi komponen penting untuk
mencapai keterampilan komunikasi yang tepat dan efektif
(Natalle & Crowe, 2013 hlm. 97).
Pembicara dan pendengar memiliki peran yang saling
bergantian dalam suatu proses komunikasi. Pembicara tidak
mutlak sebagai pengirim pesan tetapi ada kalanya ia
berposisi sebagai penyimak karena komunikasi akan efektif
bila pembicara memberi kesempatan pada pendengar untuk
menanggapi. Sebaliknya, pendengar dapat menjadi seorang
pembicara sebagai bentuk respons atas materi yang
disampaikan oleh pembicara. Adanya hubungan timbal balik
antara pembicara dan pendengar yang menjadikan
komunikasi berjalan dengan efektif. Keterampilan menyimak
berperan sebagai pengantar pesan dari otak untuk
menentukan respons atau tanggapan terhadap pesan yang
diterima (Harris & Hua, 2015 hlm. 183). Menyimak berfungsi
untuk menyeleksi dan menentukan informasi sehingga
individu dapat memutuskan langkah yang ditentukan
terhadap informasi yang diserap. Melalui menyimak, individu
dapat membedakan kategori pesan apakah pesan tersebut
dikategorikan sebagai pengetahuan baru, nilai moral,
perintah, atau suatu larangan.
60
Komunikasi meliputi komunikasi formal dan informal.
Sebagian besar siswa memiliki hambatan ketika harus
menghadapi komunikasi formal. Komunikasi formal
biasanya dilakukan dalam konteks ilmiah seperti ketika
melaksanakan diskusi panel, seminar, atau presentasi
materi kuliah. Sementara itu, komunikasi informal lebih
dikenal dengan sebutan mutual conversation artinya
komunikasi ini dilakukan dalam percakapan sehari-hari
dengan suasana lebih santai. Hambatan yang kerap menjadi
masalah komunikasi formal yaitu terkait dengan rendahnya
kepercayaan diri siswa dan minimnya informasi yang dimiliki
untuk menyampaikan topik diskusi (Purvis, Mc Neill, &
Sutherland, 2014). Keterampilan berbicara perlu dilatih
secara terus menerus dan sebagai salah satu cara untuk
mengembangkan keterampilan berbicara adalah mengajak
siswa untuk terlibat dalam diskusi dengan memberi
pendapat berdasarkan ahli atau informasi dari sumber yang
kredibel. Dosen selaku pembimbing perlu mengoptimalisasi
keterampilan berbicara dan membaca pemahaman siswa
untuk menguasai literasi bahasa. Siswa sudah sewajarnya
menguasai literasi bahasa karena telah melaksanakan
proses pembelajaran cukup lama (Morreale, Staley,
Stavrositu, & Krakowiak, 2014). Namun, hal yang
disayangkan tidak semua jenjang pendidikan memberi
61
banyak kesempatan kepada siswa untuk menguasai literasi
bahasa padahal bahasa adalah objek yang pertama
kalidikenalkan pada manusia sejak awal kelahiran.
Keterampilan berbicara yang akuntabel merupakan kunci
dari efektifnya suatu komunikasi. Siswa sangat perlu
dibiasakan untuk berkomunikasi formal karena mereka akan
menghadapi dunia sosial yang sarat akan keahlian
komunikasi. Minimnya pengetahuan siswa menjadi pemicu
rendahnya kepercayaan diri siswa ketika berkomunikasi.
Oleh sebab itu, siswa perlu membiasakan diri untuk banyak
membaca. Dosen perlu menugaskan siswa untuk meringkas
isi bacaan dan melaporkan hasil ringkasan secara oral.
Siswa yang menguasai materi berdasarkan hasil pemikiran
dan ringkasan secara pribadi akan lebih percaya diri untuk
berbicara dalam konteks formal daripada siswa yang tidak
menguasai materi (Verma, 2013 hlm. 4).
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk
meningkatkan keterampilan komunikasi dalam aspek literasi
berbahasa siswa di antaranya melalui presentasi di kelas,
melakukan simulasi pembaca berita atau wawancara,
melakukan diskusi kecil maupun diskusi panel, atau
mengimplementasikan model problem based learning.
Namun, faktor yang paling memengaruhi penguasaan
keterampilan komunikasi siswa yaitu dosen dan rekan
62
sejawat. Dosen perlu mengajarkan siswa cara
mengapresiasi teman yang telah menunjukkan
kemampuannya di khalayak umum. Bentuk apresiasi siswa
dapat berupa tepuk tangan, pujian sederhana, atau
komentar positif yang dapat membangun motivasi siswa
untuk terus meningkatkan keterampilan komunikasinya
(Kaburise, 2016 hlm. 96). Hal ini sejalan dengan temuan
penelitian Harris & Hua (2015) yang menerangkan bahwa
apresiasi dari penerima pesan berpengaruh positif terhadap
keterampilan komunikasi siswa. Adanya penghargaan yang
bersifat membangun sangat diperlukan siswa karena
mereka merasa hal yang disampaikan diapresiasi oleh
penerima pesan.
Literasi Digital. Literasi digital adalah kemampuan
individu untuk memanfaatkan media digital secara bijak dan
optimal. Dewasa ini, media digital sudah memengaruhi
kehidupan kaum muda. Hadirnya media digital memberi
dampak positif dandampak negatif. Dalam dunia pendidikan
tinggi, adanya media digital memfasilitasi siswa untuk
mencari literatur sebagai pendukung pencapaian
akademiknya atau penunjang tugas akhir. Media digital juga
menjadi wadah bagi mahasiwa untuk saling berbagi
kreativitas yang terkait dengan dunia pendidikan (Guo, 2014
hlm. 5). Terkait dengan keterampilan komunikasi, media
63
digital sangat menunjang keterampilan komunikasi siswa.
Siswa dapat menggunakan media digital sebagai alat bantu
ketika presentasi, menambah kajian topik diskusi,
ataumencari informasi pendukung untuk menyelesaikan
permasalahan pendidikan (Greter & Yadav, 2016 hlm. 511).
Media digital sudah sewajarnya memudahkan siswa untuk
meningkatkan keterampilan komunikasinya. Namun, hal
yang terjadi adalah media digital saat ini menjadikan siswa
lebih pasif berkomunikasi. Siswa lebih fokus untuk
memainkan ponsel dan membaca isu-isu negatif yang marak
disebarkan di media sosial. Adanya isu negatif lebih banyak
memengaruhi pola pikir siswa sehingga pada saat ini lebih
banyak dijumpai siswa yang apatis. Mereka mampu
berkomentar di media sosial akan tetapi tidak mampu
melakukan komunikasi secara oral (Morreale, Staley,
Stavrositu, & Krakowiak, 2014 hlm. 125). Hal ini
mengindikasikan bahwa seiring majunya media digital
menjadikan siswa semakin rendah keterampilan
komunikasinya. Oleh sebab itu, siswa perlu memiliki
kemampuan untuk menggunakan media digital secara bijak
(Rasmusson, Maria, & Eklund, 2013). Siswa dapat
memanfaatkan media digital untuk latihan berkomunikasi
dalam forum diskusi kecil. Melalui media digital, siswa dapat
64
mendiskusikan topik terkini yang dikemas dengan gaya
menarik serta sesuai dengan karakter masyarakat saat ini.
Melalui literasi digital siswa dapat membedakan cara
berkomunikasi yang tepat dan ideal dengan menggunakan
teknologi. Siswa perlu membedakan cara berkomunikasi
dengan pembimbing melalui teknologi atau ketika sedang
bertatap muka. Siswa juga perlu memperkirakan ketepatan
penggunaan teknologi untuk komunikasi. Hal ini sudah
sepantasnya menjadi kendali dalam diri siswa agar mereka
memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Literasi digital
dibutuhkan untuk menghindari resiko akibat adanya
penyalahgunaan teknologi di kalangan siswa (Pew Research
Internet Project, 2012). Literasi digital perlu menjadi bagian
dalam diri siswa karena mereka merupakan calon penerus
bangsa. Literasi digital membantu siswa untuk
mengendalikan diri dan lebih bijak ketika berkomunikasi
melalui teknologi atau secara langsung.
3. Collaboration/kolaboratif merupakan keterampilan
bekerjasama dalam kelompok. Bertanggung jawab atas
tugas yang diperoleh dari kelompok, Menghargai
ide/gagasan yang disampaikan oleh orang lain baik secara
lisan, tertulis, maupun menggunakan media digital.
Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2006) mengidentifikasi
65
kondisi-kondisi terjadinya kolaboratif, setiap individu
anggota kelompok memiliki tanggung jawab terhadap
kelompoknya, setiap anggota harus setia pada tugas
kelompok, setiap anggota tergantung satu sama lainnya.
Biemiller (1993) menyatakan bahwa pengaturan
pembelajaran yang mendorong para pebelajar
memberikan bantuan kepada yang lain dan pihak lain
menerimanya memungkinkan untuk meningkatkan adanya
saling ketergantungan.
4. Creative thinking skill (kreativitas) merupakan proses
dalam memahami sebuah masalah, mencari solusi-solusi
yang mungkin, menarik hipotesis, menguji dan
mengevaluasi, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada
orang lain Torrance (1969). Kreativitas merupakan aktivitas
menemukan ide/gagasan kreatif untuk menghasilkan
suatu produk, mengembangkan ide/gagasan kreatif untuk
menghasilkan suatu produk, merancang ide/gagasan
secara kreatif untuk menghasilkan suatu produk,
memproduksi dan mengimplementasikan produk yang
telah diproduksi secara luas dan mengevaluasi hasil
kegiatan implementasi yang telah dilaksanakan untuk
disempurnakan (Afandi dan Sajidan, 2017). Proses hasil
kreativitas meliputi ide orisinil, cara pandang berbeda,
66
memecahkan masalah, mengkombinasikan kembali
gagasan-gagasan atau melihat hubungan baru di antara
gagasan-gagasan tersebut. Kreativitas merupakan bagian
dari proses berpikir secara divergen yang mencakup aspek
fluency, flexibility, elaboration, dan originality (Torrance &
Safter,1990). Kreativitas menghasilkan daya cipta tinggi
dan tepat jika diterapkan untuk memperoleh solusi (Ulger,
2016; Lemon, 2011).
Kreativitas merupakan proses berpikir secara
metakognitif melalui empat tahapan yaitu: (1) persiapan
(mendefinisikan permasalahan), (2) inkubasi atau perenungan
(menganalisis permasalahan dalam beberapa waktu), (3)
illuminasi (tahap mendapatkan ide atau pemikiran baru), (4)
verifikasi (tahap mengaplikasikan ide yang ditemukan).
(Bourgeois-Bougrine dkk, 2017).
C. Karakteristik Pembelajaran SMK
Perkembangan zaman menuntut pembinaan sumber
daya manusia yang berkualitas. Daya saing Indonesia dalam
menghadapi persaingan antar negara maupun perdagangan
bebas sangat ditentukan oleh outcome dari pembinaan SDM-
nya. Salah satu upaya negara dalam pemenuhan SDM level
menengah yang berkualitas adalah pembinaan pendidikan
67
kejuruan. Rumusan arti pendidikan kejuruan sangat bervariasi.
Menurut Rupert Evans (1978), pendidikan kejuruan adalah
bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang
agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau
satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan
lainnya. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 Pasal 15, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk
bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan terdiri dari
Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan.
Karakteristik Pendidikan Kejuruan (Djojonegoro, 1998) adalah
sebagai berikut: 1) pendidikan kejuruan diarahkan untuk
mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja, 2)
pendidikan kejuruan didasarkan atas “demand-driven”
(kebutuhan dunia kerja), 3) fokus isi pendidikan kejuruan
ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, 4)
penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa
harus pada “hands-on” atau performa dalam dunia kerja, 5)
hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci
sukses pendidikan kejuruan, 6) pendidikan kejuruan yang baik
adalah responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi,
7) pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning by
doing” dan “hands-on experience”, 8) pendidikan kejuruan
68
memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik , 9)
pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan
operasional yang lebih besar daripada pendidikan umum.
Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan menurut Charles
Prosser (1925) adalah sebagai berikut: 1) pendidikan kejuruan
akan efisien jika lingkungan di mana siswa dilatih merupakan
replika lingkungan di mana nanti siswa bekerja, 2) pendidikan
kejuruan akan efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-
tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang
sama seperti yang diterapkan di tempat kerja, 3) Pendidikan
kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam
kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam
pekerjaan itu sendiri, 4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika
dia dapat memampukan setiap individu memodali minatnya,
pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat yang
paling tinggi, 5) pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap
profesi, jabatan, atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada
seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya, dan
yang dapat untung darinya, 6) pendidikan kejuruan akan efektif
jika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan
kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas seperti
yang diperlukan dalam pekerjaan nantiny, 7) pendidikan
kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai
pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan
69
pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan
dilakukan, 8) pada setiap jabatan ada kemampuan minimum
yang harus dipunyai oleh seseorang agar tetap dapat bekerja
pada jabatan tersebut, 9) pendidikan kejuruan harus
memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan tanda-tanda
pasar kerja), 10) proses pembinaan kebiasaan yang efektif
pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada
pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai), 11) sumber
yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada
suatu okupasi tertentu adalah dari pengalaman para ahli pada
okupasi tersebut, 12) setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi yang
berbeda-beda satu dengan yang lainnya, 13) pendidikan
kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika
sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang
mememrlukan dan memang paling efektif jika dilakukan lewat
pengajaran kejuruan, 14) pendidikan kejuruan akan efisien jika
metode pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi
dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta
didik tersebut, 15) administrasi pendidikan kejuruan akan
efisien jika dia luwes dan mengalir daripada kaku dan
terstandar, 16) pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu
dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak boleh
dipaksakan beroperasi.
70
D. Tuntutan Perkembangan Pendidikan Kejuruan
Perkembangan teknologi menuntut adanya
perkembangan pula pada pendidikan kejuruan, karena saat ini
tatanan kehidupan pada umumnya dan tatanan perekonomian
pada khususnya sedang mengalami pergeseran paradigma ke
arah global. Pergeseran ini akan membuka peluang kerja sama
antar Negara semakin terbuka dan di sisi lain, persaingan antar
Negara semakin ketat. Untuk meningkatkan kemampuan
persaingan dalam perdagangan bebas, diperlukan serangkaian
kekuatan daya saing yang tangguh, antara lain kemampuan
manajemen, teknologi dan sumber daya manusia. Sumber
daya manusia merupakan sumber daya aktif yang dapat
menentukan kelangsungan hidup dan kemenangan dalam
persaingan suatu bangsa.
Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh untuk
menghadapi persaingan bebas. Termasuk pendidikan kejuruan
yang menyiapkan peserta didik atau sumber daya manusia
yang memiliki kemampuan kerja sebagai tenaga kerja
menengah sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan dunia
industri. Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan perkembangan
pendidikan kejuruan, maka perlu adanya pembaharuan
pendidikan dan pelatihan kejuruan di SMK untuk masa depan.
1. Tuntutan peserta didik
71
Pendidikan kejuruan memiliki peran untuk menyiapkan
peserta didik agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri
(wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang
ada. SMK sebagai salah satu institusi yang menyiapkan
tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan
sebagaimana yang diharapkan dunia kerja. Tenaga kerja
yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya,
memiliki daya adaptasi dan daya saing yang tinggi. Atas
dasar itu, pengembangan kurikulum dalam rangka
penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
Tuntutan peserta didik dan lulusan yang sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja perlu dijadikan sumber
pijakan di dalam merumuskan tujuan pendidikan kejuruan.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai bentuk satuan
pendidikan kejuruan sebagaimana ditegaskan dalam
penjelasan Pasal 15 UU SISDIKNAS, merupakan
pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik
terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu, yang
dirumuskan dalam tujuan umum dan tujuan khusus sebagai
berikut.
Tujuan Umum :
72
a. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
b. Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
warga Negara yang berahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung
jawab,
c. Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki
wawasan kebangsaan, memahami dan menghargai
keanekaragaman budaya bangsa Indonesia,
d. Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki
kepedulian terhadap lingkungan hidup, dengan
secara aktif turut memelihara dan melestarikan
lingkungan hidup, serta memanfaatkan sumber daya
alam dengan efektif dan efisien.
Tujuan Khusus :
a. Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia
produktif, maupun bekerja mandiri, mengisi lowongan
pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri
sebagai tenaga tingkat kerja menengah, sesuai
dengan kompetensi dalam program keahlian yang
dipilihnya.
b. Menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir,
ulet dan gigih dalam berkompetisi, beradaptasi di
73
lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap
profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya.
c. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, agar mampu mengembangkan diri
di kemudian hari baik secara mandiri maupun melalui
jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
d. Membekali peserta didik dengan kompetensi-
kompetensi sesuai dengan program keahlian yang
dipilih.
(Kurikulum SMK, 2004)
2. Tuntutan menjawab kebutuhan masyarakat
Ditinjau dari perspektif perkembangan kebutuhan
pembelajaran dan aksesibilitas duia usaha/industri,
sekurang-kurangnya tiga dimensi pokok yang menjadi
tantangan bagi SMK, baik dalam konteks regional maupun
nasional, diantaranya :
a. Implementasi program pendidikan dan pelatihan harus
berfokus pada pendayagunaan potensi sumber daya
lokal, sambil mengoptimalkan kerjasama secara intensif
dengan institusi pasangan,
b. Pelaksanaan kurikulum harus berdasarkan pendekatan
yang lebih fleksibel sesuai dengan trend perkembangan
dan kemajuan teknologi agar kompetensi yang diperoleh
74
peserta didik selama dan sesudah mengikuti program
diklat, memiliki daya adaptasi yang tinggi,
c. Program pendidikan dan pelatihan sepenuhnya harus
berorientasi mastery learning (belajar tuntas) dengan
melibatkan peran aktif – partisipatif para stakeholders
pendidikan, termasuk optimalisasi peran Pemerintah
Daerah untuk merumuskan pemetaan kompetensi
ketenagakerjaan di daerahnya sebagai input bagi SMK
dalam penyelenggaraan diklat berkelanjutan.
Untuk mencari solusi dari tantangan tersebut di atas,
SMK sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan
dan pelatihan kejuruan harus mampu memberikan layanan
pendidikan terbaik kepada peserta didik walaupun kondisi
fasilitasnya sangat beragam. Seperti diketahui, bahwa
investasi dan pembiayaan operasional terbesar yang
dilakukan oleh pemerintah dalam pendidikan kejuruan
adalah pada sistem SMK.
3. Tuntutan pengelolaan pendidikan kejuruan
Tuntutan pengelolaan pada pendidikan kejuruan harus
sesuai dengan kebijakan link and match, yaitu perubahan
dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan demi
pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit
menjadi pendidikan kejuruan sebagai program
pengembangan sumber daya manusia. Dimensi
75
pembaharuan yang diturunkan dari kebijakan link and match,
yaitu :
a. Perubahan dari pendekatan Supply Driven ke Demand
Driven
Dengan deman driven ini mengharapkan dunia
usaha dan dunia industri atau dunia kerja lebih berperan
di dalam menentukan, mendorong dan menggerakkan
pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang
lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja.
Dalam pelaksanaannya, dunia kerja ikut berperan serta
karena proses pendidikan itu sendiri lebih dominan dalam
menentukan kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi
hasil pendidikan itupun dunia kerja ikut menentukan
supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin dan terukur
dengan ukuran dunia kerja.
Sebagai salah satu bentuk penerapan prinsip
demand driven, maka dalam pengembangan kurikulum
SMK harus melakukan sinkronisasi kurikulum yng
direalisasikan dalam program Pendidikan Sistem Ganda
(PSG). Dengan melakukan sinkronisasi kurikulum,
penyelengaraan pembelajaran di SMK diupayakan
sedekat mungkin dengan kebutuhan dan kondisi dunia
kerja/industri, serta memiliki relevansi dan fleksibilitas
tinggi dengan tuntutan lapangan. Melalui sinkronisasi
76
kurikulum ini, diharapkan sekolah dapat membaca
keahlian dan performansi apa yang dibutuhkan dunia
usaha atau industri untuk dapat dimasuki oleh lulusan
SMK.
b. Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah (School
Based Program) ke sistem berbasis ganda (Dual Based
Program)
Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah, ke
pendidikan berbasis ganda sesuai dengan kebijakan link
and match, mengharapkan supaya program pendidikan
kejuruan itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian
program pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori
dan praktek dasar kejuruan, dan sebagian lainnya
dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif
yang diperoleh melalui prinsip learning by doing.
Pendidikan yang dilakukan melalui proses bekerja di
dunia kerja akan memberikan pengetahuan keterampilan
dan nilai-nilai dunia kerja yang tidak mungkin atau sulit
didapat di sekolah, antara lain pembentukan wawasan
mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan
nilai tambah, dan pembentukan etos kerja.
77
c. Perubahan dari model pengajaran yang mengajarkan
mata-mata pelajaran ke model pengajaran berbasis
kompetensi.
Perubahan ke model pengajaran ke berbasis
kompetensi, bermaksud menuntun proses pengajaran
secara langsung berorientasi pada kompetensi atau
satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis
kompetensi ini sekaligus memerlukan perubahan
kemasan kurikulum kejuruan ke dalam kemasan
berbentuk paket-paket kompetensi.
d. Perubahan dari program dasar yang sempit (Narrow
Based) ke program dasar yang mendasar, kuat dan luas
(Broad Based).
Kebijakan link and match menuntut adanya
pembaharuan, mengarah kepada pembentukan dasar
yang mendasar, kuat dan lebih luas. Sistem baru yang
berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu
dan keunggulan menganut prinsip, bahwa : tidak mungkin
membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas dan
yang memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan
pembentukan dasar yang kuat. Dalam rangka penguatan
dasar ini, maka peserta didik perlu diberi bekal dasar yang
berfungsi untuk membentuk keunggulan, sekaligus
78
beradaptasi terhadap perkembangan IPTEK, dengan
memperkuat penguasaan matematika, IPA, Bahasa
Inggris dan Komputer. Sistem baru ini harus memberi
dasar yang lebih luas tetapi kuat dan mendasar, yang
memungkinkan seseorang tamatan SMK memiliki
kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan
perubahan pekerjaan.
e. Perubahan dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke
sistem yang luwes dan menganut prinsip multy entry,
multy exit.
Dengan adanya perubahan dari supply driven ke
demand driven, dari schools based program ke dual
based program, dari model pengajaran mata pelajaran ke
program berbasis kompetensi; diperlukan adanya
keluwesan yang memungkinkan pelaksanaan praktek
kerja industri dan pelaksanaan prinsip multy entry multy
exit. Prinsip ini memungkinkan peserta didik SMK yang
telah memiliki sejumlah satuan kemampuan tertentu
(karena program pengajarannya berbasis kompetensi),
mendapatkan kesempatan kerja di dunia kerja, maka
peserta didik tersebut dimungkinkan meninggalkan
sekolah. Dan kalau peserta didik tersebut ingin masuk
sekolah kembali menyelesaikan program SMK nya, maka
79
sekolah harus membuka diri menerimanya, dan bahkan
menghargai dan mengakui keahlian yang diperoleh
peserta didik yang bersangkutan dari pengalaman
kerjanya. Di samping itu, sistem program berbasis ganda
juga memerlukan pengaturan praktek kerja di industri
sesuai dengan aturan kerja yang berlaku di industri yang
tidak sama dengan aturan kalender belajar di sekolah.
f. Perubahan dari sistem yang tidak mengakui keahlian
yang telah diperoleh sebelumnya, ke sistem yang
mengakui keahlian yang diperoleh dari mana dan dengan
cara apapun kompetensi itu diperoleh (Recognition of
prior learning).
Sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu
memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap
kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Sistem ini akan
memotivasi banyak orang yang sudah memiliki
kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja,
berusaha mendapatkan pengakuan sebagai bekal untuk
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Untuk ini SMK
perlu menyiapkan diri sehingga memiliki instrument dan
kemampuan menguji kompetensi seseorang darimana
dan dengan cara apapun kompetensi itu didapatkan.
80
g. Perubahan dari pemisahan antara pendidikan dengan
pelatihan kejuruan, ke sistem baru yang
mengintegrasikan pendidikan dan pelatihan kejuruan
secara terpadu.
Program baru pendidikan yang mengemas
pendidikannya dalam bentuk paket-paket kompetensi
kejuruan, akan memudahkan pengakuan dan
penghargaan terhadap program pelatihan kejuruan dan
program pendidikan kejuruan. Sistem baru ini
memerlukan standarisasi kompetensi, dan kompetensi
yang terstandar itu bisa dicapai melalui program
pendidikan, program pelatihan atau bahkan dengan
pengalaman kerja yang ditunjang dengan inisiatif belajar
sendiri.
h. Perubahan dari sistem terminal ke sistem berkelanjutan.
Sistem baru tetap mengharapkan dan
mengutamakan tamatan SMK langsung bekerja, agar
segera menjadi tenaga produktif, dapat memberi return
atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui banyak
tamatan SMK yang potensial, dan potensi keahlian
kejuruannya akan lebih berkembang lagi setelah bekerja.
Terhadap mereka ini diberi peluang untuk melanjutkan
pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
81
(misalnya program Diploma), melalui suatu proses
artikulasi yang mengakui dan menghargai kompetensi
yang diperoleh dari SMK dan dari pengalaman kerja
sebelumnya.
Untuk mendapatkan sistem artikulasi yang efisien
diperlukan “program antara” (bridging program) guna
memantapkan kemampuan dasar tamatan SMK yang
sudah berpengalaman kerja, supaya siap melanjutkan ke
program pendidikan yang lebih tinggi.
i. Perubahan dari manajemen terpusat ke pola manajemen
mandiri (prinsip desentralisasi).
Pola baru manajemen mandiri dimaksudkan
memberi peluang kepada propinsi dan bahkan sekolah
untuk menentukan kebijakan operasional, asal tetap
mengacu kepada kebijakan nasional. Kebijakan nasioanl
dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis, supaya
memberi peluang bagi para pelaksana di lapangan
berimprovisasi dan melakukan inovasi. Proses
pendewasaan SMK perlu ditekankan, untuk
menumbuhkan rasa percaya diri sekolah melakukan apa
yang baik menurut sekolah, dengan prinsip akuntabilitas
(accountability) yang secara taat azas memberikan
82
penghargaan kepada mereka yang pantas dihargai, dan
menindak mereka yang pantas ditindak.
j. Perubahan dari ketergantungan sepenuhnya dari
pembiayaan pemerintah pusat, ke swadana dengan
subsidi pemerintah pusat.
Sejalan dengan prinsip demand driven, dual based
program, pendewasaan manajemen sekolah, dan
pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan
dapat mendorong pertumbuhan swadana pada SMK, dan posisi
lokasi dana dari pemerintah pusat bersifat membantu atau
subsidi. Sistem ini juga diharapkan mampu mendorong SMK
berpikir dan berperilaku ekonomis.
83
BAB III
PEMBELAJARAN ABAD 21 DI SMK
Kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan
konsep utama menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal
dan kesatuan basis produksi, merupakan salah satu tantangan
sekaligus menjadi peluang bagi Indonesia. Kunci utama untuk
84
menjadikan peluang menjadi suatu keuntungan adalah
mempersiapkan sumber daya manusia yang mempunyai daya
saing secara global. Kesiapan tersebut diukur dari kompetensi
yang dimiliki masyarakat Indonesia untuk mampu bersaing di era
revolusi industri 4.0 dengan segala teknologi desruptif yang
menyertainya, baik kompetensi yang bersifat hard skill dan soft
skill.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai lembaga
pendidikan menengah yang mencetak lulusan siap kerja, tentunya
mempunyai tanggung jawab yang besar untuk membekali siswa
sehingga mempunyai daya saing dalam menghadapi era MEA dan
mengantisipasi datangnya gelombang revolusi industri 4.0. Upaya
pemerintah menempatkan SMK pada tempat yang penting untuk
bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik/terampil yang
kompeten pada bidangnya telah dilakukan melalui program
Revitalisasi SMK yang diharapkan mampu memberikan dampak
positif terhadap peningkatan mutu SMK.
Inovasi dalam pembelajaran merupakan salah satu dari
enam isu strategis yang menjadi prioritas revitalisasi SMK,
disamping revitalisasi kurikulum, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, kerjasama, tata kelola
kelembagaan. Inovasi dalam pembelajaran diharapkan mampu
mengoptimalkan proses pembelajaran termasuk sistem
penilainnya, yang ditandai dengan peningkatan kualitas lulusan
85
SMK yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kebutuhan
pasar kerja di era revolusi industri 4.0.
Untuk menjawab tuntutan kompetensi di era revolusi industri
4.0, pembelajaran abad 21 dapat menjadi pilihan untuk
diimplentasikan dalam inovasi pembelajaran di SMK.
Pembelajaran abad 21 merupakan pembelajaran yang
mempersiapkan generasi abad 21 dimana kemajuan teknologi
yang berkembangbegitu cepat memiliki pengaruh terhadap
berbagai aspek kehidupan termasuk pada proses belajar
mengajar. Pembelajaran abad 21 memiliki karakteristik 4C, yaitu:
Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem
solving, Creativity and Innovation. Dukungan kurikulum terupdate,
tenaga pendidik yang hebat, sarana dan prasarana yang
memadai, serta tata kelola sekolah yang baik menjadi kunci
keberhasilan implementasi pembelajaran abad 21.
Gambar 3.1. Profil Inovasi Pembelajaran di SMK
86
Berkaitan dengan inovasi pembelajaran abad 21 di SMK
untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK yang mempunyai
kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di era revolusi
industri 4.0, aspek penting yang menjadi fokus tulisan ini adalah:
1. Alisis profil kecakapan abad 21 yang diperlukan lulusan
SMK dalam menghadapai tantangan era revolusi industri
4.0;
2. Alisis inovasi pembelajaran dari berbagai SMK rujukan
sebagai implementasi dari pembelajaran abad 21;
3. Analisis profil faktor pendukung yang spesifik untuk
penyelarasan kompetensi yang diperlukan dalam
pembelajaran abad 21, yaitu: kurikulum, kompetensi guru,
sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan;
4. strategi untuk optimalisasi proses pembelajaran dan
penilian di SMK yang mengacu pada pembelajaran abad
21.
A. Profil Pembelajaran abad 21 di SMK
Hasil kajian Sajidan dkk (2018) tentang implementasi dan
analisis kebutuhan untuk optimalnya pembelajaran abad 21 di 29
SMK yang tersebar di 8 provinsi, yaitu : Batam, DIY, DKI, Jateng,
Jatim, Kaltim, Sulsel, dan Sumsel. Hasil agregasi tentang profil
87
SMK terkait pembelajaran abad 21 disajikan berdasarkan
Standar Nasional Pendidikan.
1. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat
kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang
kompetensi lulusan, bahan kajian, mata pelajaran, dan
silabus pembelajaran. Untuk dapat menjawab tantangan
global di era revolusi industri 4.0, lulusan SMK harus
mempunyai nilai PLUS. Korelasinya muatan kurikulum juga
harusnya mempunyai nilai PLUS, khususnya
mengakomodasi kecakapan abad 21. Berdasarkan data dari
sekolah, muatan isi kurikulum dengan memperhatikan nilai
plus untuk masing-masing SMK disajikan pada gambar 3.2.
Gambar 3.2 Muatan Isi Kurikulum SMK
88
Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa muatan isi
kurikulum sebagian besar SMK untuk mengakomodasi
kecakapan abad 21 masih dalam kategori standar dengan
asumsi bahwa:
a. Keterampilan yang dikembangkan oleh sebagian besar
SMK masih sesuai standar nasional, akan tetapi
beberapa SMK telah mempunyai nilai plus dalam
mengakomodasi kecakapan abad 21, misalnya Creativity
and Innovation dengan mengakomodasi kearifan lokal
dan kebutuhan pasar kerja.
b. Kepemimpinan lebih banyak terakomodasi pada
organisasi siswa maupun kegiatan ekskul (Pramuka,
pecinta alam, paskibraka, dll), beberapa SMK sudah
mengintegrasikan jiwa kepemimpinan dalam setiap mata
pelajaran dengan memberikan tanggung jawab yang
terstruktur.
c. Jiwa kewirausahaan diakomodasi sebagian besar SMK
dengan membentuk kelas industri untuk masing-masing
bidang keahlian. Beberapa SMK sudah merumuskan
muatan kurikulum untuk memotivasi jiwa kewirausahaan
siswa yang terintegrasi pada setiap mapel.
d. Bahasa asing (khususnya bahasa inggris), belum
menjadi prioritas sebagian besar SMK sehingga hanya
merumuskan muatan standar mapel bahasa inggris.
89
Beberapa SMK sudah membuat modifikasi muatan
mapel bahasa inggris dengan merumuskan english for
vacation. Selain itu kebijakan bilingual untuk beberapa
mapel juga sangat membantu meningkatkan penguasaan
bahasa inggris siswa.
e. Semua SMK sudah bermitra dengan DUDI, akan tetapi
Keterlibatan DUDI sebagian besar dalam kaitan dengan
prakerin maupun penenpatan tenaga kerja. Sementara
hanya beberapa SMK yang benar-benar melibatkan
DUDI dalam perumusan muatan kurikulum.
2. Standar Proses dan Standar Penilaian
Standar proses adalah standar nasional pendidikan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu
satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan. Pada standar ini, bagaimana guru mempersiapkan,
melaksanakan, dan melakukan evaluasi pembelajaran,
sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan
optimal. Berdasarkan data dari sekolah sampel, proses
pembelajaran dengan mempunyai nilai plus SMK secara
umum disajikan dalam Gambar 3.3.
90
Gambar 3.3 Perencanaan Pembelajaran di SMK
Gambar 3.3, terlihat bahwa penyusunan RPP di SMK
tempat kajian masih dalam kategori standar. Beberapa
sekolah mempunyai nilai lebih dalam penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran. Hasil analisis pada RPP sebagai
berikut:
a. Hampir Semua guru di sekolah sampel telah membuat
RPP untuk optimalnya pembelajaran, ironisnya teknik
pembuatan masih bersifat individu. Hanya sebagian kecil
yang mendisain RPP secara kolaboratif (mapel atau
bidang keahlian) dan berkolaborasi dengan DUDI.
b. Belum optimalnya keberadaan MGMP sebagai wadah
“kelompok guru mapel atau bidang keahlian”, sehingga
91
update RPP yang semestinya secara periodik belum
terlaksanana dengan baik.
c. Kepala Sekolah sebagian besar SMK sudah melakukan
supervisi tentang keberadaan RPP masing-masing guru.
Akan tetapi masih sebatas tersedianya dokumen, belum
sampai pada supervise yang terkait dengan substansi
maupun teknik perumusannya RPP.
d. Sebagian besar RPP yang dibuat sudah menerapkan
pembelajaran abad 21 dengan menerapkan 4C, akan
tetapi masih normatif belum tergambar spesifik nilai plus
dari penerapan 4C, misalnya tentang: Critical Thinking
and Problem Solving , Creativity and Innovation.
Hasil Kajian tentang implementasi RPP dalam pembelajaran
disajikan pada gambar 3.4.
Gambar 3.4 Pelaksanaan Pembelajaran di SMK
92
Gambar 3.4 diperlihatkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran di sebagian sekolah sampel telah menerapkan
pembelajaran abad 21. Berikut merupakan hasil analisis pada
pelaksanaan pembelajaran untuk sekolah sampel yang
dinarasikan secara garis besar.
a. Pelaksananaan pembelajaran sudah
mengimplementasikan pembelajaran inovatif dan
interaktif dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
melalui berbagai media dan sumber belajar. Sayangnya,
media dan sumber belajar kurang ter-update sesuai
kebutuhan pasar kerja di era revolusi industri 4.0.
b. Belum optimalnya pemanfaatan lingkungan dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran masih dominan di sekolah
dengan media atau sarpras yang sebagian kurang sesuai
dengan kondisi di DUDI.
c. Belum optimalnya team teaching dalam pelaksanaan
pembelajaran, khususnya dalam mengoptimalkan
keterlibatan DUDI dalam proses pembelajaran.
d. Pelaksanaan pembelajaran sudah mengimplementasi-
kan pembelajaran abad 21, akan tetapi masih normatif
belum tergambar spesifik nilai plus dari penerapan 4C,
misalnya :
1) Communication
93
Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya dalam proses belajar
mengajar, sehingga siswa dapat mengkonstruk
pengetahuannya sendiri melalui komunikasi dan
pengalaman yang dia alami.
2) Collaboration
Pada proses pembelajaran guru hendaknya
merancang situasi dimana siswa dapat belajar secara
team work, sehingga akan tercipta suasana
demokratis, dan siswa akan belajar tentang kerjasama
tim, kepemimpinan, ketaatan pada otoritas, dan
fleksibelitas dalam lingkungan kerja.
3) Critical Thinking and Problem Solving
Proses pembelajaran hendaknya membuat
siswa dapat berpikir kritis dengan permasalahan pada
level HOTS dan menghubungkan pembelajaran
dengan masalah-masalah konstektual yang ada
dalam kehidupan sehari-hari. Kedekatan dengan
situasi yang real yang dialami oleh siswa ini akan
membuat siswa menyadari pentingnya pembelajaran
tersebut sehingga siswa akan menggunakan
kemampuan yang diperolehnya untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.
94
4) Creativity and Innovation
Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya
menjadi fasilitator dan membuka ruang bagi
siswa untuk mengembangkan kreativitas dan
inovasinya. Peran guru hanya sebagai fasilitator dapat
diawali dengan membuka ide untuk krestifitas inovasi
berbasis kearifan lokal dan kebutuhan pasar kerja.
Hasil Kajian tentang implementasi RPP dalam
penilaian pembelajaran disajikan pada gambar 3.5.
Gambar 3.5 Penilaian Pembelajaran di SMK
Sekolah sampel telah mengimplementasikan
pembelajaran abad 21. Hasil analisis Gambar 3.5, terlihat
95
bahwa penilaian pembelajaran secara garis besar sebagai
berikut:
a. Sebagian guru sudah mengembangkan instrumen
penilaian yang sesuai dengan pembelajaran abad 21,
yaitu : AFL dan HOTS.
b. Pembuatan instrumen penilain dilakukan oleh individu
atau kelompok mapel, tetapi kurang mengoptimalkan
keterlibatan DUDI.
c. Kepala Sekolah sebagian besar SMK sudah melakukan
supervisi tentang penilaian setiap mapel. Akan tetapi
masih sebatas tersedianya instrumen, belum sampai
monitoring mengenai substansi maupun stratetegi
pengembangan instrument.
d. Hasil penilaian lebih banyak didominasi untuk
kepentingan melihat ketercapaian kompetensi.
Sementara beberapa sekolah sudah membuat kebijakan
dalam memanfaatkan hasil penilaian untuk pemetaan
dan tindak lanjut pembelajaran.
3. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah
kriteria ketercukupan maupun kelayakan kualifikasi akademik
dan kompetensi sebagai agen pembelajaran untuk
96
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Secara kuantitas
sebenarnya jumlah guru SMK cukup memadai untuk
melaksanakan proses pembelajaran dengan optimal, kecuali
beberapa daerah memang masih kekurangan guru produktif.
Pemasalahan yang muncul justru mengenai faktor
kualitas/profesionalisme guru SMK. Berdasarkan data dari
sekolah sampel, profil pendidik dengan memperhatikan
kualitas kecakapan abad 21, disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 3.6 Profil Pendidik SMK
Optimalisasi pelaksanaan pembelajaran abad 21 di
SMK, diperlukan guru profesional PLUS. Nilai plus untuk guru
profesional dicapai ketika guru mempunyai kompetensi umum
seorang guru yang mencakup kompetensi : pedagogik,
kepribadian, profesional,dan sosial, ditambah beberapa
97
kompetensi plus yang perlu dimiliki oleh guru SMK dalam
menunjang optimalnya pembelajaran abad 21, yaitu :life-long
learner, kreatif dan inovatif, mengoptimalkan teknologi,
reflektif, kolaboratif, menerapkan student centered, dan
menerapkan pendekatan diferensiasi.
Kompetensi plus lainnya untuk menunjang optimalnya
pembelajaran abad 21, sebagaimana diungkapan oleh
Gottfried Leibbrandt (1999) antara lain:
a. Menguasai bahasa asing (misalnya, bahasa inggris).
b. Memiliki kemampuan menajemen berdasar
enterpreuneurship (wirausaha).
c. Memiliki kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide
secara jelas dan ringkas, baik dalam bentuk lisan maupun
tulisan.
d. Memilki kemampuan dalam menggunakan atau
mengakses “Information Technology System”.
e. Mempunyai pengalaman sukses (khususnya guru
produktif) dalam penerapan pengetahuan dan
keterampilan.
Memperhatikan Gambar 4.5, terlihat bahwa sebagian
besar guru SMK masih dalam kategori standar untuk
kecakapan dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran
abad 21. Karakter kecakapan abad 21 untuk sebagian besar
98
guru SMK masih perlu ditingkatkan, khususnya dalam meng-
upgradeterus pengetahuan dan keterampilannya.
Sementara itu penguasaan bahasa asing, khususnya
bahasa inggris guru SMK belum sesuai yang diharapkan.
Guru masih belum terbiasa melaksanaan pembelajaran
dengan bilingual, apalagi sampai membuat bahan ajar
maupun media pmbelajaran dengan bilingual. Sedangkan
keterampilan pedadogik sebagai keterampilan mendasar
yang harus dipahami guru SMK dalam proses pembelajaran
juga masih dalam kategori standar.
Penguasaan IT guru SMK dalam menunjang
pembelajaran abad 21 sebagian sudah mempunyai nilai plus,
dimana mereka meng-upgrade terus pengetahuan dan
keterampilannya dalam bidang IT sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Selain itu, belum
optimalnya pengalaman sukses guru (khususnya guru
produktif) dalam penerapan pengetahuan dan keterampilan.
4. Standar Sarana dan Prasarana
Standar sarana dan prasarana (sarpras) berkaitan
dengan kriteria minimal ketercukupan dan kelayakan tempat
dan fasilitas penunjang proses pembelajaran. Berdasarkan
data dari sekolah sampel, sarpras yang mendukung
optimalisasi pembelajaran abad 21 untuk masing-masing
SMK, disajikan dalam gambar berikut:
99
Gambar 3.7 Kondisi Sarana dan Prasarana di SMK
Memperhatikan Gambar 3.7, terlihat bahwa kondisi
sarpras penunjang proses pembelajaran abad 21 di sekolah
sampel yang cukup heterogen. Beberapa sekolah memang
cukup baik kondisi, akan tetapi sebagian sekolah lain masih
kurang memadai baik dari segi kecukupan maupun
kelayakan.
Untuk optimalisasi pembelajaran abad 21 di SMK,
diperlukan daya dukung sarpras yang memadai. Upaya
mewujudkan sarpras yang memadai dari segi kecukupan dan
kelayakan diperlukan sinergi antara sekolah, pemerintah,
masyarakat dan DUDI. Standar sarpras pendidikan telah
diatur dalam PP No.32 tahun 2013 yang menjelaskan kriteria
mengenai sarana dan prasarana sebagai penunjang proses
pembelajaran.
Untuk menciptakan proses pembelajaran yang optimal
sebagaimana dijelaskan pada standar proses, tentunya
100
diperlukan dukungan sarpras yang standar plus, sebagai
berikut:
a. Ruang Kelas merupakan sarpras pertama yang perlu
dilihat, karena sebagian besar proses pembelajaran
dilakukan disini. Kecukupan dan kenyamana standar
menjadi prioritas dari ruang ini. Nilai plus dari sarpras ini
ketika setiap kelas terpasang LCD permanen, adanya
hotspot dengan kecepatan memadai, tempat media
pembelajaran, dan perpustakaan mini.
b. Laboratorium/bengkel kerja merupakan tempat riset
ilmiah, eksperimen, penyelidikan maupun pembuktian
kajian ilmiah, sehingga pengawal terdepan dari proses
pembelajaran. Kecukupan, kenyamana dan keamanan
standar menjadi prioritas dari ruang ini. Nilai plus tempat
ini ketika setiap laboratorium/bengkel kerja mempunyai
peralatan dan fasilitas yang terupdate sesuai tuntutan
perkembangan ilmu dan teknologi, misalnya :
laboratorium komputer dengan hardware dengan
software terkini, bengkel kerja dengan peralatan/fasilitas
yang sama dengan DUDI. Jika memungkinkan sekolah
menciptakan laboratorium super plus, sehingga sekolah
dapat menjadi laboratorium dari DUDI, bukan sebaliknya.
c. Perpustakaan menjadi tempat yang sangat strategis bagi
siswa untuk mencari sumber belajar. Sama seperti pada
101
ruang kelas, kecukupan dan kenyamanan standar
menjadi prioritas dari ruang ini. Nilai plus dari keberadaan
perpustakaan ketika koleksi referensi selalu terupdate
secara periodik berdasarkan perkembangan ilmu dan
teknologi. Selain itu, semestinya perpustakaan
mempunyai sumber belajar (misalnya: buku, jurnal,
modul dll) yang dapat diakses secara online oleh semua
ekosistem sekolah.
d. Teknologi informasi dan Komunikasi merupakan
jembatan antar semua lini dalam upaya mengoptimalkan
proses pembelajaran. Oleh karena itu dibutuhkan
jaringan internet dengan kecepatan yang cukup memadai
dan menempatkan hotspot pada tempat-tempat strategis
di sekolah.
5. Standar Pengelolaan
Standar pengelolaan berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau
nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan. Perincinaan umum tentang
standar pengelolaan pendidikan tertuang dalan PP Nomor 19
Tahun 2005 Bab VIII. Berdasarkan data dari sekolah sampel,
pengelolaan yang mendukung optimalisasi pembelajaran
102
abad 21 untuk masing-masing SMK, disajikan dalam gambar
berikut :
Gambar 3.8 Pengelolaan sekolah di SMK
Secara umum nilai plus dari standar pengelolaan pada
satuan pendidikan sedemikan sehingga SMK mampu
menerapkan pembelajaran abad 21 yang optimal, antara lain:
a. Hampir semua SMK mempunyai standar mutu sekolah
yang baik dalam proses pembelajaran, kualifikasi tenaga
PTK, kompetensi lulusan, sarana prasarana dll.
Sayangnya sebagian besar belum mengupdate standar
mutu tersebut yang disesuaikan dengan perkembangan
ilmu, teknologi, dan pasar kerja di era revolusi industri
4.0.
103
b. Manajemen sekolah sebagian besar SMK sudah
melakukan pengawasan tentang proses pembelajaran
setiap mapel. Akan tetapi masih sebatas tersedianya
dokumen, belum sampai monitoring mengenai teknik
perumusannya, substansi maupun pelaksanaannya.
c. Semua SMK sudah bermitra dengan DUDI, akan tetapi
Keterlibatan DUDI sebagian besar dalam kaitan dengan
prakerin maupun penenpatan tenaga kerja. Sementara
hanya beberapa SMK yang benar-benar melibatkan
DUDI dalam perumusan muatan kurikulum, maupun
dalam proses pembelajaran.
d. Management sekolah perlu mendorong dan memfasilitasi
guru dan tenaga kependidikan dalam meningkatkan
kompetensi, keterampilan dan profesionalismenya,
sesuai dengan tutuntan global, misalnya pelatihan
bahasa inggris, pelatihan pemanfaatan teknologi
informasi, dan pelatihan guru produktif di perusahaan.
6. Standar Pembiayaan
Standar pembiayaan mengatur komponen dan
besarnya biaya operasional satuan pendidikan yang berlaku
selama satu tahun. Biaya operasional diperlukan untuk
membiayai kegiatan operasional satuan pendidikan agar
dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai
104
standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
Salah satu indikator penting dalam pengelolaan keuangan
sekolah adalah penyusunan anggaran dilakukan dengan
transparan, efisien dan akuntabel.
Untuk mewujudkan sekolah dengan nilai plus dalam
menunjang pelaksanaan pembelajaran abad 21
sebagaimana diuraikan standar sebelumnya, khususnya
dalam standar proses, peningkatan kualitas pendidik dan
tenaga kependidikan, penyediaan sarana prasarana yang
memadai untuk optimalisasi pembelajaran abad 21.
B. Strategi Optimalisasi Pembelajaran Abad 21 di SMK
Pembelajaran abad 21 secara sederhana diartikan
sebagai pembelajaran yang memberikan kecakapan abad 21
kepada peserta didik, yaitu 4C yang meliputi: (1) Communication
(2) Collaboration, (3) Critical Thinking and problem solving, dan
(4) Creative and Innovative. Berdasarkan Taksonomi Bloom
yang telah direvisi oleh Krathwoll dan Anderson, kemampuan
yang perlu dicapai siswa bukan hanya LOTS (Lower Order
Thinking Skills) yaitu C1 (mengetahui) dan C-2 (memahami),
MOTS (Middle Order Thinking Skills) yaitu C3 (mengaplikasikan)
dan C-4 (mengalisis), tetapi juga harus ada peningkatan sampai
HOTS (Higher Order Thinking Skills), yaitu C-5 (mengevaluasi),
dan C-6 (mengkreasi). Dalam konteks tersebut, dari temuan-
105
temuan penelitian dapat dikembangkan strategi optimalisasi
pembelajaran abad 21 di SMK sebagai berikut :
1. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
Pada aspek standar isi dan standar kompetensi
lulusan, temuan lapangan menunjukkan bahwa
ketercapaian 6 indikator, yaitu ketrampilan, kepemimpinan,
kewirausahaan, bahasa asing, mitra DU-DI, demikian juga
kearifan lokal pada sebagian besar sekolah masih dalam
kategori standar. Selaras dengan Permendikbud nomor 21
tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah, tingkat kompetensi pada ranah keterampilan
untuk siswa SMK perlu diarahkan sampai tataran kinerja
siswa yang menunjukkan keterampilan menalar, mengolah,
dan menyaji secara: a) efektif; b) kreatif; c) produktif; d) kritis;
e) mandiri; f) kolaboratif; g) komunikatif; dan h) solutif.
Taksonomi yang dikembangkan oleh Bloom sekitar 50
tahun yang lalu (unrevisied vesion) hanya memuat satu
dimensi pengetahuan saja, yaitu proses kognitif, yang terdiri
dari Pengetahuan, Pemahaman, Aplikasi, Analisis, Sintesis,
dan Evaluasi. Sedangkan pada taksonomi Bloom revisi yang
dikembangkan oleh Anderson (2001) memuat dua dimensi
pengetahuan, yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi
pengetahuan. Dimensi proses kognitif terdiri dari Mengingat,
Memahami, Mengaplikasi, Menganalisis, Mengevaluasi, dan
106
Mencipta. Sementara dimensi pengetahuan terdiri dari
Pengetahuan Faktual, Pengetahuan Konseptual,
Pengetahuan Prosedural, dan Pengetahuan Metakognitif.
Interelasi kedua dimensi ini kemudian disebut dengan
taksonomi Anderson.
Tabel 3.1. Kategori Proses Kognitif dan Dimensi
Pengetahuan
Enam proses kognitif yang terdapat dalam taksonomi
Anderson dapat dikembangkan oleh guru SMK untuk
merumuskan tujuan pembelajaran berbasis Higher order
thinking skills (HOTs). Deskripsi kategori-kategori dalam
dimensi proses kognitif yang dapat dikembangkan oleh
guru-guru SMK yakni:
107
a. Mengingat
Mengingat merupakan menarik kembali informasi
yang tersimpan dalam memori jangka panjang.
Mengingat merupakan proses kognitif yang paling
rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar
“mengingat” bisa menjadi bagian belajar bermakna,
tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan
aspek yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang
lepas dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam
proses kognitif: mengenali (recognizing) dan mengingat
(recalling).
1.1 Mengenali (Recognizing): mencakup proses kognitif
untuk menarik kembali informasi yang tersimpan dalam
memori jangka panjang agar dapat membandingkan
dengan informasi yang baru.
1.2 Mengingat (Recalling): menarik kembali informasi
yang tersimpan dalam memori jangka panjang dengan
menggunakan petunjuk yang ada.
b. Memahami
Mengkonstruk makna atau pengertian
berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau
mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam
skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Kategori
108
memahami mencakup tujuh proses kognitif:
menafsirkan (interpreting), memberikan contoh
(exemplifying), mengkelasifikasikan (classifying),
meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring),
membandingkan (comparing), dan menjelaskan
(explaining).
2.1 Menafsirkan (Interpreting): Menafsirkan dapat
dengan mengubah dari satu bentuk informasi ke bentuk
informasi yang lainnya, misalnya dari dari kata-kata ke
grafik atau gambar, atau sebaliknya, dari kata-kata ke
angka, atau sebaliknya, maupun dari kata-kata ke kata-
kata, misalnya meringkas atau membuat parafrase.
Contoh: Membuat grafik berdasarkan data percobaan.
2.2 Memberikan contoh (Exemplifying): Memberikan
contoh menuntut kemampuan mengidentifikasi ciri khas
suatu konsep dan selanjutnya menggunakan
ciri tersebut untuk membuat contoh. Contoh: Siswa
dapat memberikan contoh benda-benda yang
mengalami perlambatan.
2.3 Mengklasifikasikan (Classifying): Mengenali bahwa
sesuatu (benda atau fenomena) masuk dalam kategori
tertentu. Termasuk dalam kemampuan
mengkelasifikasikan adalah mengenali ciri-ciri yang
dimiliki suatu benda atau fenomena. Contoh: pada saat
109
disajikan beberapa grafik kinematika, siswa diminta
menentukan jenis gerak yang sesuai.
2.4 Meringkas (Summarizing): membuat suatu
pernyataan yang mewakili seluruh informasi atau
membuat suatu abstrak dari sebuat tulisan. Meringkas
menuntut siswa untuk memilih inti dari suatu informasi
dan meringkasnya. Contoh: Meringkas sebuah laporan
penelitian terbaru mengenai hukum kekekalan energi
mekanik.
2.5 Menarik inferensi (Inferring): menemukan suatu
pola dari sederetan contoh atau fakta. Contoh:
memprediksikan perkembangan suatu populasi dalam
sebuah komunitas berdasarkan data perkembangan
populasi selama 10 tahun terakhir.
2.6 Membandingkan (Comparing) : mendeteksi
persamaan dan perbedaan yang dimiliki dua obyek atau
lebih. Contoh: membandingkan Gerak Lurus Beraturan
(GLB) dan Gerak Melingkar Beraturan (GMB).
2.7 Menjelaskan (Explaining): mengkonstruk dan
menggunakan model sebab-akibat dalam suatu system.
Contoh: menjelaskan penggunaan lampu pijar pada
siang hari akan mengurasi efisiensi energi.
110
c. Mengaplikasikan
Mengaplikasikan mencakup penggunaan suatu
prosedur guna menyelesaikan masalah atau
mengerjakan tugas. Oleh karena itu mengaplikasikan
berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Namun
tidak berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk
pengetahuan prosedural saja. Kategori ini mencakup
dua macam proses kognitif: menjalankan (executing)
dan mengimplementasikan (implementing).
3.1 Menjalankan (Executing): menjalankan suatu
prosedur rutin yang telah dipelajari sebelumnya.
Langkah-langkah yang diperlukan sudah tertentu dan
juga dalam urutan tertentu. Apabila langkah-langkah
tersebut benar, maka hasilnya sudah tertentu pula.
3.2 Mengimplementasikan (Implementing): memilih dan
menggunakan prosedur yang sesuai untuk
menyelesaikan tugas yang baru.
d. Menganalisis
Mengalisis dapat berupa menguraikan suatu
permasalahan atau obyek ke unsur-unsurnya dan
menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-
unsur tersebut. Ada tiga macam proses kognitif yang
tercakup dalam menganalisis: menguraikan
111
(differentiating), mengorganisir (organizing), dan
menemukan pesan tersirat (attributting).
4.1 Menguraikan (differentiating): menguraikan suatu
struktur dalam bagian-bagian berdasarkan relevansi,
fungsi dan penting tidaknya. Contoh: Siswa dapat
menguraikan komponen-komponen gaya yang bekerja
pada sebuah balok yang berada pada bidang miring.
4.2 Mengorganisir (organizing): mengidentifikasi unsur-
unsur suatu keadaan dan mengenali bagaimana unsur-
unsur tersebut terkait satu sama lain untuk membentuk
suatu struktur yang padu.
4.3 Menemukan pesan tersirat (attributting): -
menemukan sudut pandang, bias, dan tujuan dari suatu
bentuk komunikasi.
e. Mengevaluasi
Membuat suatu pertimbangan berdasarkan
kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses
kognitif yang tercakup dalam kategori ini: memeriksa
(checking) dan mengritik (critiquing).
5.1 Memeriksa (Checking): Menguji konsistensi atau
kekurangan suatu karya berdasarkan kriteria internal
(kriteria yang melekat dengan sifat produk tersebut).
112
Contoh: Memeriksa apakah kesimpulan yang ditarik
telah sesuai dengan data yang ada.
5.2 Mengritik (Critiquing): menilai suatu karya baik
kelebihan maupun kekurangannya, berdasarkan kriteria
eksternal. Contoh: menilai apakah rumusan hipotesis
sesuai atau tidak (sesuai atau tidaknya rumusan
hipotesis dipengaruhi oleh pengetahuan dan cara
pandang penilai).
f. Mencipta
Menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu
bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang
tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat
(generating), merencanakan (planning), dan
memproduksi (producing).
6.1 Membuat (Generating): menguraikan suatu
masalah sehingga dapat dirumuskan berbagai
kemungkinan hipotesis yang mengarah pada
pemecahan masalah tersebut. Contoh: merumuskan
hipotesis untuk memecahkan permasalahan yang
terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan.
6.2 Merencanakan (Planning): merancang suatu
metode atau strategi untuk memecahkan masalah.
113
Contoh: merancang serangkaian percobaan untuk
menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
6.3 Memproduksi (Producing): membuat suatu
rancangan atau menjalankan suatu rencana untuk
memecahkan masalah. Contoh: mendesain (atau juga
membuat) suatu alat yang akan digunakan untuk
melakukan percobaan.
2. Standar Proses dan Standar Penilaian
Strategi optimalisasi pada standar proses dikategorikan
pada 3 bagian: a) rencana pembelajaran, b) pelaksanaan
pembelajaran, dan c) evaluasi pembelajaran.
a. Rencana Pembelajaran
Implementasi yang kurang bapa bagian rencana
pembelajaran terletak pada indikator pengawasan dan
muatan abad 21. Dari aspek pengawasan, walaupun
Kepala Sekolah SMK sudah melakukan pengawasan
tentang keberadaan RPP masing-masing guru. Akan
tetapi masih sebatas tersedianya dokumen, belum
sampai monitoring mengenai substansi maupun teknik
perumusannya. Strategi optimalisasi bisa dilakukan
dengan mengefektifkan pelaksanaan supervisi akademik.
Supervisi akademik harus dilakukan secara
berkesinambungan. Supervisi akademik tidak hanya
114
bersifat tugas sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-
waktu jika ada kesempatan, namun melekat salah
satu essential function dalam keseluruhan program
sekolah. Apabila guru telah berhasil mengembangkan
dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor,
melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan.
Hal ini logis, mengingat problema proses pembelajaran
selalu muncul dan berkembang. Guru dan Kepala
sekolah juga harus memahami bahwa supervisi
akademik yang dilaksanakan di sekolah bersifat
konstruktif. Supervisi akademik bukanlah sekali-kali
untuk mencari kesalahan-kesalahan guru. Memang
dalam proses pelaksanaan supervisi akademik terdapat
kegiatan penilaian unjuk kerjan guru, tetapi tujuannya
bukan untuk mencari kesalahan-kesalahannya. Supervisi
akademik akan mengembangkan pertumbuhan dan
kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan
problem-problem akademik yang dihadapi.
Supervisi akademik harus mampu membuat guru
semakin kompeten, yaitu guru semakin menguasai
kompetensi, baik kompetensi kepribadian, kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial. Oleh karena itu, supervisi akademik harus
menyentuh pada pengembangan seluruh kompetensi
115
guru. Terdapat aspek-aspek yang harus menjadi
perhatian supervisi akademik baik dalam
perencanaannya, pelaksanaannya, maupun
penilaiannya: 1) Substantive aspects of professional
development (aspek substantif), yaitu menunjuk pada
kompetensi yang harus dikuasai guru, kompetensi-
kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan
sosial. 2) Aspek substansi kedua merepresentasikan
nilai, keyakinan, dan teori yang dipegang oleh guru
tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid
belajar, penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor
lainnya; 3) Aspek ketiga berkaitan dengan seberapa luas
pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran
pada bidang studi yang diajarkannya.
Dari sisi muatan pembelajaran abad 21, guru sudah
mengenal mengenai kecakapan pembelajaran abad 21
tetapi belum mengimplementasikan secara spesifik dan
tersurat dalam RPP yang dikembangkan, sehingga
pelaksanaanya masih bersifat tentatif. sudah
menerapkan pembelajaran abad 21 dengan menerapkan
4C, akan tetapi masih normatif belum tergambar spesifik.
Pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kecakapan
Abad 21 direncanakan dari awal dimulai dengan
menganalisis Kompetensi sampai menyusun rencana
116
pelaksanaan pembelajaran atau RPP. Karakter
kecakapan Abad 21 dapat dikembangkan sesuai dengan
karakteristik KD dan materi yang akan dibahas:
1) Menentukan jenis kecakapan yang akan
dikembangkan sesuai dengan kompetensi dasar
(mungkin fokus, tidak pada keempat-empatnya,
misalnya berpikir kritis dan problem solving, atau
kolaborasi). Misalnya KD yang menggunakan kata
kerja operasional menginterpretasi dan
menyelesaikan masalah merupakan salah satu
kemampuan dalam kecakapan berpikir kritis dan
pemecahan masalah. Dengan demikian, maka terkait
dengan kompetensi dasar tersebut dalam
pembelajaran, guru harus mengembangkan karakter
kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Kecakapan ini juga merupakan salah satu
keterampilan dalam berpikir lebih tinggi (Higher Order
Thinking Skills atau HOTS).
2) Merumuskan tujuan pembelajaran agar cukup jelas
dalam menunjukkan kecakapan yang harus dimiliki
peserta didik.
3) Mengembangkan IPK agar dapat mencapai KD dan
dapat mengembangkan karakter kecakapan berpikir
kritis dan pemecahan masalah.
117
4) Mengembangkan materi pembelajaran yang relevan.
Materi dikembangkan sesuai dengan karakteristik KD
yang mencakup materi yang bersifat faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif. Materi-
materi tersebut dipilih dan dipilah agar dapat
memenuhi mengembangkan karakter kecakapan
yang telah dirumuskan sesuai tuntutan KD.
5) Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang akan
dilaksanakan sesuai dengan hasil analisis, misalnya
kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan
pengembangan berpikir kritis dan pemecahan
masalah (critical thinking and problem solving skills).
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan
implementasi dari RPP, meliputi kegiatan pendahuluan,
inti dan penutup. Hasil analisis menunjukkan dari 5
indikator: 1) pemanfaatan teknologi informasi, 2)
pemanfaatan sumber dan media pembelajaran, 3)
pemanfaatan lingkungan belajar, 4) team teaching, dan
5) implementasi pembelajaran abad 21, maka indikator
pemanfaatan lingkungan belajar menunjukkan
ketercapaian yang paling rendah. Guru belum banyak
menggunakan prinsip pembelajaran berbasis aneka
118
sumber. Optimalisasi media dan sumber belajar menjadi
alternatif strategi yang disarankan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran. Pembelajaran berbasis aktivitas
dapat dikembangkan untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi,
minat, dan bakatnya. Untuk meningkatkan kualitas
pelaksanaan pembelajaran, arah pembelajaran
diharapkan lebih berpusat pada peserta didik; guru lebih
banyak mendengarkan siswanya saling berinteraksi,
berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru
dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi
fasilitator bagi peserta didik. Mekanisme pembelajaran
harus terdapat interaksi multi-arah yang cukup dalam
berbagai bentuk komunikasi serta menggunakan
berbagai sumber belajar yang kontekstual sesuai dengan
materi pembelajaran. Guru harus berusaha menciptakan
pembelajaran melalui berbagai pendekatan atau metode
atau model pembelajaran, termasuk penggunaan TIK.
Peserta didik disarankan untuk lebih lebih aktif dengan
cara memberikan berbagai pertanyaan dan melakukan
penyelidikan, serta menuangkan ide-ide, baik lisan,
tulisan, dan perbuatan. Kegiatan pembelajaran yang
dikembangkan juga harus dapat memfasilitasi peserta
didik untuk dapat bekerjasama antar sesamanya
119
(kolaboratif dan kooperatif). Semua kompetensi (KI-1, KI-
2, KI-3, dan KI-4) harus dibelajarkan secara terintegrasi
dalam suatu mata pelajaran, sehingga peserta didik
memiliki kompetensi yang utuh. Pembelajaran harus
memperhatikan karakteristik tiap individu dengan
kuinikannya masing-masing, sehingga dalam perencana
pembelajaran harus sudah diprogramkan pelayanan
untuk peserta didik dengan karakteristik masing-masing
(normal, remedial, dan pengayaan). Guru harus dapat
memotivasi peserta didik untuk memahami interkoneksi
antar konsep, baik dalam mata pelajarannya dan antar
mata pelajaran, serta aplikasinya dalam dunia nyata.
Sesuai dengan karakter pendidikan Abad 21 (4C), maka
pembelajaran yang dikembangkan harus dapat
mendorong peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan berpikir lebih tinggi (Higher Order Thinking
Skills = HOTS) mengacu kepada RPP yang telah
dikembangkan sebelumnya.
c. Evaluasi Pembelajaran
Titik lemah dalam evaluasi pembelajaran adalah
pada pemanfaatan hasil penilaian. Dari sisi penilaian
proses pembelajaran menggunakan prinsip-prinsip
pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang
120
menilai kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar
secara utuh sudah dilakukan tetapi belum optimal.
Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut telah
berhasil memetakan dan menggambarkan kapasitas,
gaya, dan perolehan belajar peserta didik yang mampu
menghasilkan dampak instruksional (instructional effect)
pada aspek pengetahuan dan dampak pengiring
(nurturant effect) pada aspek sikap.
Fokus strategi perbaikan dalam aspek penilaian ini
adalah dari sisi tindak lanjut hasil penilaian. Hasil
penilaian otentik perlu dioptimalkan pemanfaatannya
oleh guru untuk merencanakan program perbaikan
(remedial) pembelajaran, pengayaan (enrichment), atau
pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian otentik
digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses
pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian
Pendidikan.
Pada sisi lain, kemampuan guru untuk
mengembangkan variasi jenis instrumen perlu
ditingkatkan. Evaluasi proses pembelajaran yangn
dilakukan saat proses pembelajaran dapat divariasikan
dengan menggunakan instrumen: lembar pengamatan,
angket sebaya, rekaman, catatan anekdot, dan refleksi.
Evaluasi hasil pembelajaran dilakukan saat proses
121
pembelajaran dan di akhir satuan pelajaran dengan
menggunakan metode dan alat: tes lisan/perbuatan, dan
tes tulis. Hasil evaluasi akhir diperoleh dari gabungan
evaluasi proses dan evaluasi hasil pembelajaran.
3. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Dalam aspek standar pendidik dan tenaga
kependidikan, sebagian besar guru SMK masih dalam
kategori standar untuk kecakapan dalam menunjang
pelaksanaan pembelajaran abad 21. Dari sisi tantangan
eksternal, Guru SMK saat ini menghadapi tantangan yang
jauh lebih besar dari era sebelumnya. Guru menghadapi
siswa yang jauh lebih beragam, materi pelajaran yang lebih
kompleks dan sulit, standard proses pembelajaran dan juga
tuntutan capaian kemampuan berpikir siswa yang lebih tinggi.
Hal ini disebabkan transformasi besar pada aspek sosial,
ekonomi, politik, dan budaya yang didorong oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat,
perubahan demografi, globalisasi dan lingkungan yang
berdampak besar pada persekolahan dan profesionalisme
guru.
Guru abad 21 dituntut tidak hanya mampu mengajar
dan mengelola kegiatan kelas dengan efektif, namun juga
dituntut untuk mampu membangun hubungan yang efektif
122
dengan siswa dan komunitas sekolah, menggunakan
teknologi untuk mendukung peningkatan mutu pengajaran,
serta melakukan refleksi dan perbaikan praktek
pembelajarannya secara terus menerus. Guru profesional
abad 21 adalah guru yang terampil dalam pengajaran,
mampu membangun dan mengembangkan hubungan antara
guru dan sekolah dengan komunitas yang luas, dan seorang
pembelajar sekaligus agen perubahan di sekolah.
Untuk itu, guru membutuhkan kondisi pembelajaran
yang kondusif di sekolah sebagai wahana pembelajaran
profesional yang kontinyu dan berkesinambungan.
Pembimbingan yaitu hubungan yang dibangun dengan sadar
dan sengaja antara pembimbing dan individu yang dibimbing
untuk menghasilkan perubahan yang signifikan pada
pengetahuan, kemampuan kerja, dan pola pikir individu yang
dibimbing dinilai efektif untuk pengembangan profesionalitas
guru abad 21. Pembimbingan memiliki karakteristik yang
sesuai dengan tuntutan model dan strategi pengembangan
guru yang efektif di era sekarang.
Di abad 21, pekerjaan guru merupakan pekerjaan yang
kompleks dan tidak mudah seiring dengan perubahan
besardan cepat pada lingkungan sekolah yang didorong oleh
kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan demograsi,
globalisasi dan lingkungan. Guru profesional tidak lagi
123
sekedar guru yang mampu mengajar dengan baik melainkan
guru yang mampu menjadi pembelajar dan agen perubahan
sekolah, dan juga mampu menjalin dan mengembangkan
hubungan untuk peningkatan mutu pembelajaran di
sekolahnya. Untuk itu, guru membutuhkan pengembangan
profesional yang efektif yaitu pembimbingan.
Pembimbingan merupakan salah satu strategi efektif
untuk peningkatan profesionalitas guru abad 21. Melalui
pembimbingan, mungkin terbangun hubungan profesional
dan juga komunitas pembelajar profesional di sekolah yang
efektif untuk meningkatkan mutu pengajaran dan
pembelajaran di sekolah. Pelaksanaan pembimbingan yang
efektif perlu mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhi
mutu hubungan pembimbingan seperti: strukturorganisasi
pembimbingan, kontrak kerja, mutu pembimbing, aktivitas
dalam sesi-sesi awal hingga akhir pembimbingan. Untuk
menguatkan fungsi dan manfaatnya, pembimbingan perlu
diprogramkan. Hal ini membutuhkan perubahan struktur,
budaya dan juga dukungan kepemimpinan dari sekolah dan
juga insititusi terkait.
4. Standar Sarana dan Prasarana
Temuan penelitian menunjukkan keterpenuhan standar
sarana dan prasarana (sarpras) penunjang proses
124
pembelajaran abad 21 di SMK yang cukup heterogen.
Beberapa sekolah memang cukup baik kondisi, akan tetapi
sebagian sekolah lain masih kurang memadai baik dari segi
kecukupan maupun kelayakan. Optimalisasi dukungan
sarana prasarana mutlak dalam mengembangkan
pembelajaran yang bermutu. Di antara 6 indikator sarana
prasarana yang diukur, yaitu 1) ruang kelas, 2)
laboratorium/bengkel, 3) perpustakaan, 4) Laboratorium TIK,
5) Bussines Center dan 6) Busra Kerja Khusus (BKK),
ternyata indikator yang paling rendah ada pada
laboratorium/bengkel.
SMK dirancang sebagai sekolah yang bisa
menjembatani lulusannya dengan kebutuhan pekerjaan di
dunia industri. SMK mempunyai tujuan yang terfokus pada:
persiapan untuk masuk kerja, pemilihan karir, dan
mengembangkan kompetensi tertentu sesuai bidang
keahliannya. Mengingat tujuan dan pentingnya peran
pendidikan kejuruan sebagaimana disebutkan oleh para
pakar tersebut, maka peran laboratorium/bengkel pada
sekolah menengah kejuruan (SMK) menjadi kebutuhan dan
sarana yang harus ada untuk fasilitas praktik dalam
penyiapan tenaga terampil di SMK. Bengkel/laboratorium di
SMK merupakan sarana belajar untuk mensimulasikan
pekerjaan sebagaimana kegiatan yang dilakukan oleh
125
karyawan di industri. Strategi pemenuhan sarana
laboratorium/bengkel termasuk juga optimalisasi
pemanfaatannya oleh guru dalam pembelajaran menjadi
solusi alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
5. Standar Pengelolaan dan Standar pembiayaan
Standar pengelolaan berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan. Hasil analisis pada standar
pengelolaan menunjukkan hampir semua SMK mempunyai
standar mutu sekolah yang baik dalam proses pembelajaran,
kualifikasi tenaga PTK, kompetensi lulusan, serta sarana
prasarana. Kelemahan dalam pelaksanaan manajemen mutu
yakni sebagian besar belum mengupdate standar mutu
tersebut yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu,
teknologi, dan pasar kerja di era revolusi industri 4.0.
Penetapan standar mutu SMK merupakan langkah
untuk merumuskan standar mutu sekolah. Penetapan standar
mutu dapat dilihat dari dasar yang digunakan sekolah dalam
penetapan standar mutu dan pihak-pihak yang terlibat dalam
penetapan standar mutu. Acuan yang digunakan sekolah
sebagai dasar dalam menetapkan standar mutu adalah visi
dan misi sekolah, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Permendikbud, dan Standar BSNP (Badan Standar Nasional
126
Pendidikan).Pemetaan mutu pada satuan pendidikan
dilaksanakan melalui kegiatan EDS untuk memetakan mutu 8
SNP dengan didukung bukti fisik, sehingga dapat
menggambarkan pencapaian mutu sekolah secara akurat.
Strategi yang dapat dilakukan SMK dalam standar
pengelolaan dan standar pembiayaan ini yaitu optimalisasi
manajemen berbasis sekolah dengan penguatan jaminan
mutu melalui updating EDS untuk mendukung program-
program sekolah dengan dukungan fasilitasi pembiayaan
yang cukup.
C. Model Pembelajaran Sekolah Menengah Kejuruan dengan
kecakapan abad 21
Sekolah berperan menjadi fasilitator dan initiator generasi
milenial untuk memperoleh dan menguasai keterampilan
esensial yang dibutuhkan kecakapan abad 21 (Pearlman, 2010).
Sekolah sebagai “agent of change” harus mampu menyesuaikan
antara tuntutan abad 21 dengan kompetensi lulusan yang
dihasilkan. Membangun kecakapan abad 21 peserta didik
merupakan kunci dari reformasi dibidang pendidikan (Heinrichs,
2016). Indonesia memperoleh bonus demografi tahun 2020-
2035 merupakan modal dasar bagi peningkatan produktifitas
ekonomi dan pengembangan pasar domestik. Bonus demografi
127
pada umur produktif kerja yaitu 15 – 64 tahun (Gribble dan
Bremner, 2012 dalam Hayes, 2015) dengan percepatan
pertumbuhan ekonomi yang diawali dengan perubahan struktur
demografi penduduk, dicirikan dengan menurunnya angka
kelahiran dan angka kematian penduduk.Keterampilan
menelaah/menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi dari
berbagai informasi yang dibutuhkan peserta didik guna
beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
di era revolusi industri 4.0 yang yang ditandai dengan cyber
physical systems. Kay& Greenhill (2011) menyatakan bahwa
keterampilan peserta didik mencakup keterampilan berpikir
tingkat tinggi, literasi digital, dan keterampilan hidup dan karir.
Problematika yang muncul dan seringkali dihadapi di
sekolah adalah bagaimana membelajarkan keterampilan abad
21 di ruang kelas SMK?. Problematika lainnya adalah cara
mengetahui informasi sekarang jauh lebih penting daripada
informasi itu sendiri (Darling-Hammond, 2006). Gagasan
semacam itu bertentangan dengan pembelajaran abad 21 dan
menimbulkan kekhawatiran bahwa gerakan
menumbuhkembangkan keterampilan abad ke-21 akan berakhir
dalam dialektika konseptual (Lee & Hung, 2012). Dengan tidak
adanya pendekatan berbasis bukti yang mapan dan dapat
menunjukkan cara pembelajaran dengan keterampilan abad 21
128
secara komprehensif dan menunjukkan bagaimana siswa
mendapat manfaat dari proses pembelajaran, maka sejumlah
negara kemudian memilih berbagai jalur untuk mengeksplorasi
model-model pengajaran abad 21 mereka sendiri secara optimal
(OECD, 2008). Singapura memulai dengan pendekatan yang
diterapkan di seluruh kurikulum inti mengadopsi kerangka nilai
sentris yang menggabungkan kompetensi abad 21, literasi
kewarganegaraan, kesadaran global, dan keterampilan
multikultural; pemikiran kritis dan inventif; komunikasi,
kolaborasi, keterampilan informasi; serta kompetensi sosial dan
emosional (Tan, Liu, & Low, 2017). Kerangka pendidikan abad
21 Jepang telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1998 dalam
konsep yang disebut “Zest for Life” dan didasarkan pada prinsip
tradisional Chi-Toku-Tai (kecakapan akademis, moral, fisik, dan
kesehatan mental) (Kimura & Tatsuno, 2017). Di Indonesia,
gagasan mengenai pentingnya pembelajaran dengan
keterampilan abad 21 yang berorientasi Higher Order Thinking
Skills (HOTS) pada prinsipnya mengacu pada kerangka
konseptual yang dikemukakan oleh Partnership of 21st century
skills. Gagasan tersebut secara konseptual dituangkan kedalam
Kurikulum 2013. Dari gagasan inilah kemudian pada tahun
2017, salah satu domain P21 yakni 4Cs diadopsi dan melahirkan
tuntutan untuk memasukan domain tersebut ke dalam rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada implementasi Kurikulum
129
2013. Meskipun demikian, sejumlah autokritik muncul terkait
tuntutan ini, yakni benarkah kurikulum yang ada saat ini hanya
perlu mengadopsi salah satu domain P21, Bagaimana dengan
domain P21lainnya?. Apakah seluruh domain P21 dari sejumlah
lembaga pendidikan dunia sejalan dengan karakteristik
Indonesia?. Sehingga perludigagas sebuahmodel konseptual
baru yang memungkinkan untuk dihasilkannyadesain kurikulum
P21 secara menyeluruh dengan dilandasi dari hasil riset yang
relevan.
130
Gambar 3.9 Model pengembangan kecakapan Abad 21 siswa
SMK melalui peningkatan pembelajaran dan penilaian SMK
Pembelajaran SMK diharapkan mengintegrasikan 4Cc
(Communication. Collaboration, Critical thinking skill, dan
creative thinking skill) dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), proses dan penilaian/evaluasi. Penjelasan 4Cs adalah
sebagai berikut:
1. Communication (Com).menyajikan/ mempresentasikan/
mengomunikasikansuatu ide gagasan atau hasil
131
pengamatan/ observasi/ekperiment/ eksplorasi secara
lancar dan benar, baik secara lisan dan tertulis.
Menyampaikan ide/gagasan/informasi secara jelas dan
lancar baik secara lisan, tertulis, maupun menggunakan
media digital Mendengarkan ide/gagasan/informasi yang
disampaikan oleh orang lain baik secara lisan, tertulis,
maupun menggunakan media digital.
2. Collaboration (Col): Teaming /bekerjasama secara efektif
dan efisien dalam kelompok. Menghargai
ide/gagasan/informasi yang disampaikan oleh orang lain
baik secara lisan, tertulis, maupun menggunakan media
digital. Bertanggung jawab atas tugas yang diperoleh dari
kelompok.
3. Critical thinking skill: Mengidentifikasi bukti, argumentasi,
klaim dan data-data dari informasi yang diperoleh. Mencari
informasi mengenaibukti, argumentasi, klaim dan data-
data relevan yang mendukung dari kebenaran informasi.
Menganalisis bukti, argumentasi, klaim dan data-data
pembanding. Membandingkan bukti, argumentasi, klaim
dan data-data pembanding dengan, argumentasi, klaim
dan data-data dari informasi yang diperoleh.
Mempertimbangkan bukti, argumentasi, klaim dan data-
data yang dapat dipercaya. Menyimpulkan informasi
132
berdasarkan hasil pertimbangan. Menyusunargumentasi
lanjutan berdasarkan hasil kesimpulan.
4. Creative thinking skill: Menemukan ide/gagasan kreatif
untuk menghasilkan suatu produk. Mengembangkan
ide/gagasan kreatif untuk menghasilkan suatu produk.
Merancang ide/gagasan secara kreatif untuk
menghasilkan suatu produk. Memproduksi hasil desain
rancangan produk.Mengimplementasikan produk yang
telah diproduksi secara luas. Mengevaluasi hasil kegiatan
implementasi yang telah dilaksanakan untuk
disempurnakan. Mengkonstruksi langkah-langkah
pemecahan masalah. Menelaah informasi yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Menyajikan
solusi pemecahan masalah. Mengevaluasi solusi dari
masalah yang disajikan.
Pembelajaran SMK diharapkan mengintegrasikan 4Cc
dengan literacy dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), proses dan penilaian/evaluasi. Di abad 21, kemampuan
literasi tidak hanya terbatas paka kemampuan membaca,
mendengar, menulis dan berbicara secara lisan, namun lebih
daripada itu kemampuan literasi diera digital ditekankan pada
kemampuan literasi yang terkoneksi satu dengan lainnya.
133
Menurut NcRel & Metiri Group (2003), literasi era digital
mencakup:
1. Literasi dasar – kemampuan dalam berbahasa (khususnya
bahasa inggris) dan kemampuan matematis.
2. Literasi sains – pengetahuan dan pemahaman tentang
konsep dan proses sains.
3. Literasi teknologi – pengetahuan tentang apa itu teknologi,
bagaimana cara kerjanya dan bagaimana cara mengguna-
kannya secara efektif dan efisien.
4. Literasi ekonomi – pengetahuan tentang masalah, situasi
dan perkembangan ekonomi.
5. Literasi visual – pengetahuan tentang cara menggunakan,
menginterpretasikan dan menghasilkan gambar dan video
menggunakan media konvensional dan modern.
6. Literasi informasi – kemampuan untuk memperoleh, meng-
gunakan dan mengevaluasi informasi secara efektif dan
efisien dari berbagai sumber.
7. Literasi multicultural – kemampuan untuk mengapresiasi
perbedaan nilai, keyakinan dan budaya orang lain.
8. Kesadaran global – kemampuan untuk memahami dan
permasalahan di tingkat global
Peningkatan keterampilan digital di abad 21 dimana era
keterbukaan informasi semakin luas, guru harus mampu
134
beradaptasi dengan dunia digital. Kemampuan guru dalam
mencari, menemukan, dan menggunakan digital device menjadi
sangat penting guna mengintegrasikan teknologi dalam
pembelajaran.
Pembelajaran yang dapat memadukan 4Cs dengan
Literasi mampu menumbuhkembangkan keterampilan berpikir
penemuan (inventive thinking). Berpikir inventif merupakan
elemen krusial dan titik tolak utama pendidikan abad 21 (NcRel
& Metiri Group, 2003). Keterampilan berpikir inventif sendiri
meliputi lima elemen:
1. Kemampuan untuk beradaptasi dan mengelola
kompleksitas;
2. Kemampuan mengarahkan diri - mengacu pada
kemampuan untuk menetapkan tujuan yang berkaitan
dengan pembelajaran, merencanakan pencapaian tujuan-
tujuan tersebut, mengatur waktu dan kegiatan belajar secara
mandiri, dan menilai kualitas pembelajaran dan setiap
produk yang dihasilkan dari pengalaman belajar;
3. Rasa ingin tahu - mengacu pada keinginan untuk belajar
lebih banyak tentang sesuatu dan merupakan komponen
penting dari belajar sepanjang hayat;
4. Kreativitas - mampu menghasilkan sesuatu yang baru yang
signifikan;
135
5. Keberanian mengambil resiko - kesediaan untuk melewati
zona aman yang dapat saja berakhir dengan membuat
kesalahan.
Pembelajaran SMK diharapkan mengintegrasikan 4Cc,
literacy dan Penguatan pendidikan karakter (PPK) dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), proses dan
penilaian/evaluasi. Sebagai pilar utama sistem sosial,
pendidikan memainkan peran penting. Peran pendidikan yang
paling utama adalah membentuk watak dan karakter peserta
didik. Bila dikaitkan dengan konstelasi global saat ini, maka
pendidikan senantiasa harus berevolusi sesuai dengan
kemajuan jaman. Di abad 21, pendidikan harus mampu melatih
peserta didik untuk dapat berpikir secara kritis, kreatif dan
inovatif dalam segala bidang, termasuk dalam mengolah
informasi yang tersebar secara cepat. Untuk itu, pergeseran
paradigma pendidikan menuju pendidikan abad 21 menjadi
sangat penting. Treadwell (2011) menyatakan bahwa
pergeseran pada skala makro ini memunculkan turbulensi dan
pergolakan saat sistem lama memberi jalan kepada strategi baru
dari setiap struktur sosial kehidupan dalam mereorganisasi dan
mereformasi dirinya menjadi struktur baru yang dibutuhkan”. Di
titik inilah pendidikan memainkan perannya yang besar sebagai
agen perubahan, dan pergeseran paradigma pendidikan menuju
pendidikan abad 21 menjadi “pivot point” dalam menyikapi
136
perkembangan era digital ini. Senada dengan hal tersebut, Ken
Kay (Presiden Partnership of 21st century skills) menyatakan
bahwa sesungguhnya visi pendidikan abad 21 menawarkan
pandangan holistik dan sistemik tentang cara
merekonseptualisasikan dan menghidupkan kembali pendidikan
publik dengan membawa seluruh elemen yang terlibat secara
bersama-sama ke dalam suatu kerangka terpadu baik itu dari sisi
luaran siswa maupun sistem pendidikan yang mendukung (Kay,
2010).
Goodson dan Rohani (2006) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran dapat ditanamkan karakter/ Sikap dan prilaku
sikap, kemampuan beradaptasi, toleransi terhadap, risiko,
fleksibilitas, keterbukaan, gaya kognitif , habit of mind dan
multiple intelligences. Dimensi-Dimensi Belajar Marzano untuk
menumbuhkembangkan karakter peserta didik adalah sebagai
berikut:
Tabel. 3.2 Dimensi belajar Marzano
Dimensi
belajar Peran Guru dalam Dimensi Belajar Parameter
Sikap dan
persepsi
1. Membantu siswa mengembangkan
sikap dan persepsi positip tentang iklim
belajar di kelas
2. Membantu siswa mengembangkan
Membentuk
karakter peserta
didik
137
sikap dan persepsi positip tentang
tugas-tugas belajar di kelas
Habits of
minds
(Prilaku
berpikir)
1. Membantu siswa mengembangkan
prilaku berpikir produktif
2. Mendorong dimensi-dimensi prilaku
berpikir
Membentuk
karakter prilaku
berpikir
Pengintegrasian 4Cs, Litarasi dan PPK dalam peserta didik
diimplementasikan dalam proses pembelajaran dengan
mengacu kepada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Nomor 330/D.D5/KEP/KR/2017 tentang
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Muatan
Nasional (A), Muatan Kewilayahan (B), Dasar Bidang Keahlian
(C1), Dasar Program Keahlian (C2), dan Kompetensi Keahlian
(C3), sebagai contoh untuk program keahlian teknik permesinan
sebagai berikut:
KI 3 tentang pengetahuan dan K4 tentang keterampilan
berpikir dan kinestetik harus dapat dicapai oleh siswa SMK
melalui pencapaian KD sebagai berikut:
138
139
Setelah KI dan KD dapat dicapai dengan baik, maka diperlukan
kompetensi baru bagi siswa SMK yang perlu dimasukkan dalam
kebijakan kemdikbud yaitu Kompetensi Dasar 5 atau disebut
Kompetensi Berkarya. Pencapaian kompetensi Berkarya
diharapakan dapat memberdayakan keberadaanTeaching
Factory (TEFA) SMK yang berkolaborasi dengan Dunia Usaha
140
Dunia Industri (DUDI). Kompetensi Berkarya merupakan
kompetensi komersialisasi teknologi (Competence of
Technological Commercialization) dan ditopang dengan
kompetensi kewirausahaan yang diharapakan dapat dicapai saat
siswa akan menyelesaikan pendidikan di SMK yang merupakan
pameran hasil karya selama studi di SMK di Era Revolusi Industri
4.0. Beberapa contoh Produk produk SMK yang “sebenarnya”
merupakan hasil kompetensi berkarya siswa SMK seperti: mobil
Esemka. Contoh lain seperti pameran hasil karya siswa SMK
berupa mesin penyortir barang hasil karya siswa SMK Tunas
Harapan Pati.
141
BAB IV
PENUTUP
Dalam Bab IV tentang penutup penulis dapat menyampaikan
intisari sebagai berikut:
Profil kecakapan abad 21 yang diperlukan lulusan SMK dalam
menghadapai tantangan era revolusi industri 4.0 adalah integrasi 4C
(Communication. Collaboration, Critical thinking skill, dan creative
thinking skill) dengan literacy dan Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK) dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), proses dan
penilaian/evaluasi.
Inovasi pembelajaran dari berbagai SMK rujukan sebagai
implementasi dari pembelajaran abad 21 mencakup padu-padan
pengembangan dan implementasi model pembelajaran berbasis
pemrosesan informasi/information processing models (pembelajaran
berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran
inkuiri/discovery), pengembangan dan pemanfaatan media ajar
inovatif, strategi dan metode belajar berpusat pada aktivitas siswa,
serta pengembangan evaluasi/asesmen pembelajaran autentik.
Faktor pendukung spesifik untuk penyelarasan dan
penguatan kompetensi yang diperlukan dalam pembelajaran abad
21, mencakup: pengembangan kurikulum dan perangkat
pembelajaran (subject specific pedagogy/SSP: silabus, RPP, materi
142
ajar, media ajar, dan pengembangan instrumen penilaian),
penguatan kompetensi guru melalui Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB), fasilitasi sarana prasarana, dan tata kelola
kelembagaan melalui manajemen berbasis sekolah.
Strategi untuk optimalisasi proses pembelajaran dan penilain
di SMK yang mengacu pada pembelajaran abad 21 dapat dilakukan
secara sistemik melalui pendekatan Sistem Pembelajaran, meliputi
analisis Input (siswa, guru, kurikulum, sarana, prasarana) – Proses
(pendekatan, model, strategi belajar) – Output (kompetensi lulusan)
– Feed back (umpan balik).
SMK perlu melakukan peninjauan ulang terhadap perangkat
pembelajaran dalam buku kurikulum, terutama perangkat
pembelajaran yang belum mengintegrasikan 4Cc (Communication.
Collaboration, Critical thinking skill, dan creative thinking skill) dengan
literacy dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)dalam rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), proses dan penilaian/evaluasi.
Pelaksanaan supervisi akademik oleh Kepala Sekolah dan
Pengawas SMK terhadap guru perlu diintensifkan untuk mengawal
proses pembelajaran dan penilaian berbasis kecakapan hidup abad
21, dengan tetap menggunakan prinsip – prinsip supervisi:
berkesinambungan, komprehensif, konstruktif, obyektif, dan integral
dengan program pendidikan.
Untuk meningkatkan profesionalitas guru melalui
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), perlu dilakukan
143
program peningkatan kompetensi bagi semua guru, baik yang sudah
bersertifikat maupun belum bersertifikat. Untuk melaksanakan
program tersebut, pemetaan kompetensi melalui Uji Kompetensi
Guru (UKG) di seluruh Indonesia perlu dilanjutkan secara sinambung
sehingga dapat diketahui kondisi objektif guru dan kebutuhan
peningkatan kompetensinya. Program Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan tersebuthendaknya dilaksanakan berbasis komunitas
guru dan tenaga kependidikan (komunitas GTK) melalui Pusat
Kegiatan Gugus/Kelompok Kerja Guru (KKG)/Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP)/Musyawarah Guru Bimbingan Konseling
(MGBK)/Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS)/Kelompok Kerja
Pengawas Sekolah (KKPS).
Perlu pengembangan roadmap yang berisi pemetaan faktor
pendukung spesifik untuk penyelarasan dan penguatan kompetensi
yang diperlukan dalam pembelajaran abad 21, mencakup: kurikulum
dan perangkat pembelajaran, penguatan kompetensi guru, fasilitasi
sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan melalui manajemen
berbasis sekolah.
144
DAFTAR PUSTAKA
__________ . 2003. Managemen Belajar di Perguruan Tinggi
Pendekatan Sistem Kredit Semester SKS. Jakarta: Sinar Baru.
Afandi dan Sajidan. 2017, Stimulasi Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi. Surakarta: UNS Press.
Agraval, T. 2013. Vocational education and training programs (VET):
An Asian perspective, Asia-Pacific Journal of Cooperative
Education, Vol 14(1), Hal 15-26.
Ali, Muhammad. 1985. Penelitian Kependidikan dan
Strategi.Bandung: Angkasa.
Ananto Kusuma Seta. 2016. Revitalisasi Pendidikan Vokasi. Makalah
dalam Rapat Koordinasi Program Sertifikasi Pendidik dan
Sertifikasi Keahlian bagi Guru SMA/SMK (Alih Fungsi).
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Barrett, M., Byram, M., Lázár, I., Mompoint-Gaillard, P. and
Philippou, S. 2014. Developing Intercultural Competence
through Education. Pestalozzi Series No. 3. Strasbourg,
Council of Europe Publishing.
Bolstad, R. 2011. Taking a ‘Future Focus’ in Education – What Does
It Mean? NZCER Working Paper. Wellington, New Zealand
Council for Educational Research.
145
Carneiro, R. and Draxler, A. 2008. Education for the 21st century:
lessons and challenges. European Journal of Education, Vol.
43, No. 2, pp. 149-160.
Delors, J., Al Mufti, I., Amagi, I., Carneiro, R., Chiung, F., Geremek,
B., Gorham, W., Kornhauser, A., Manley, M., Padrón Quero, M.,
Savané, M-A., Singh, K., Stavenhagen, R., Won Suhr, M. and
Nanzhao, Z. 1996. Learning: The Treasure Within: Report
to UNESCO of the International Commission on Education for
the Twenty-First Century. Paris, UNESCO.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Manajemen Peningkatan
Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta :
Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Jakarta.
Hadi, Sutrisno. 1996. Metode Teknik Penelitian Kualitatif Dan
Kuantitatif.Surakarta: UNS Press.
Hamalik, Oemar. 2001. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Herring, S. 2012. Transforming the workplace: critical skills and
learning methods for the successful 21st century worker. Big
Think (online). http://bigthink.com/expertscorner/transforming-
the-workplace-critical-skills-andlearning-methods-for-the-
successful-21st-century-worker.
146
Jatmoko, D. 2013. Relevansi Kurikulum SMK Kompetensi Keahlian
Teknik Kendaraan Ringan Terhadap Kebutuhan Dunia Industri
Di Kabupaten Sleman, Jurnal Pendidikan Vokasi Vol 3 No 1.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Malo, Manase. 1986. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kurnia.
Mansilla, V.B. and Jackson, A. 2011. Global Competence:
Preparing Our Youth to Engage the World. New York, Asia
Society
National Research Council. 2012. Education for Life and Work:
Developing Transferable Knowledge and Skills in the 21st
Century. Washington DC, National Academies Press.
Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
P21. 2007a. The Intellectual and Policy Foundations of the 21st
Century Skills Framework. Washington DC, Partnership for
21st Century Skills.
P21. 2008. 21st Century Skills, Education & Competitiveness.
Washington DC, Partnership for 21st Century Skills.
P21. 2011. Framework for 21st Century Learning. Washington DC,
Partnership for 21st Century Skills.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 053/U/1996
tentang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Terbuka.
147
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP).
PISA. 2009. What Student know and can do: Student performance in
reading, maethematics and science (Volume 1). OECD
Scott, C.L. 2015b. The Futures of Learning 2: What kind of learning
for the 21st century? UNESCO Education Research and
Foresight, Paris. [ERF Working Papers Series, No. 14].
Soenarya, Endang. 2000. Teori Perencanaan Pendidikan
Berdasarkan Pendidikan Sistem. Yogyakarta : Adi Cita Karya
Nusa.
Sudjana. 1986. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
The Learning Curve. 2014. Index-Which countries have the best
schools? http://thelearningcurve.pearson.com/index/index-
ranking. Diakses 5 Januari 2016.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta : Kencana.
Trilling, B. and Fadel, C. 2009. 21st Century Skills: Learning for Life
in Our Times. San Francisco, Calif., Jossey-Bass/John Wiley &
Sons, Inc.
Umaedi. 1999. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta : Depdiknas
148
Undang - undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003.
Jakarta: Media Abadi.
Usman, Husaini & Purnomo Setiadi Akbar. 2004. Manajemen
Penelitian Sosial. Jakarta: Angkasa.