Transcript
Page 1: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH

NABI MUSA DAN NABI KHIDIR

(Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Muchsin Abdurrahman

(11140110000046)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 3: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 4: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

N a m a : Muchsin Abdurrahman

Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 16 Mei 1996

NIM : 11140110000046

Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa AS

dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-

82)

Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Ghofur, M.A

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan

saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, 11 Maret 2019

Mahasiswa Ybs.

Muchsin Abdurrahman

NIM.11140110000046

KEMENTERIAN AGAMA

FORM (FR)

No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

FITK No. Revisi: : 01

Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Page 5: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

i

ABSTRAK

Muchsin Abdurrahman (1114011000046) Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

dalam Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi

ayat 60-82) “Skripsi” untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta 2019.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam

kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir pada kajian tafsur surat Al-Kahfi ayat 60-82,

serta untuk mengetahui konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang

tersirat dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS dalam surat ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian

melalui studi kepustakaan (library research).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS

yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 dan ayat lain yang berkaitan,

mengandung berbagai macam nilai-nilai pendidikan akhlak. Adapun nilai-nilai

pendidikan akhlak yang tergambarkan dalam kisah tersebut ada 5 point, yaitu

sabar, tawakal, tawadhu, disiplin, dan bersungguh-sungguh.

Kata Kunci : Nilai-nilai Pendidikan Akhlak, dalam Kisah Nabi Musa AS dan

Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82)

Page 6: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

ii

ABSTRACT

Muchsin Abdurrahman (1114011000046) values education of Morals in the story

of Prophet Moses and Khidir Nabi (the study of the interpretation of Surat Al-

verse 60-82 Cave) "Thesis" to the Department of Islamic studies, Faculty of

Tarbiyah and teacher training, the Islamic University Country (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta 2019.

The purpose of this research is to find the remembrance of the home values

education in the story of him in a letter on the study khidir tafsur pavilion 60-82

verse , and to know the concept of the application of the remembrance of the home

values education that is implied and in musa moses the united states and prophet

khidir whatever is in the us .

In this research , the use writers approach qualitative research was conducted by

using the method descriptive analysis who used a technique of the analysis of the

study through study literature available ( library research )

The results of this study concluded that the story of Prophet Moses and Khidir Nabi

described in surat Al-verse 60-82 Cave and other texts related, contain a wide

variety of moral education values. As for the moral education values that the

breakfast buffet in the story there are 5 point, wait, tawwakul, tawadhu, disciplined,

and conscientious.

Key words: Moral Education values, in the story of Prophet Moses and Khidir(the

study of the interpretation of Surat Al-verse 60-82 Cave)

Page 7: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang

tiada henti memberikan segala nikmat, karunia, dan pertolongan-Nya kepada

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini (skripsi).

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW

yang telah membawa ajaran agama yang benar, dan penuh kemulian dengan budi

pekertinya, sehingga kita terhindar dari kejahilan-kejahilan yang dapat

menyesatkan kita.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua terkasih yang

tidak pilih kasih, yaitu ayahanda Adih dan ibunda Norma Sumarnis Wijaya, yang

mana berkat kekuatan do’a serta motivasi dari ayah dan ibu, penulis dapat

menyelesaikan studi ini.

Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari hambatan dan

kesulitan, namun berkat adanya bimbingan, bantuan, nasihat dan saran serta

kerjasama dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Menyadari bahwa keberhasilan penulis menyelesaikan

skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas

dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan ucapan dan

penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi

ini, antara lain:

1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku

Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.

3. Dr. Abdul Ghofur, MA, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah

memberikan bimbingan, masukan, dan arahan serta telah meluangkan waktunya

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Akhmad Shodiq, MA, selaku dosen pembimbing akademik Pendidikan

Agama Islam kelas B angkatan 2014

Page 8: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

iv

5. Seluruh dosen beserta staf Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan

ilmu serta membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.

6. Teruntuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Adih dan Ibunda Norma Sumarnis

Wijaya yang telah merawat dengan kasih sayang, yang berjuang untuk

memberikan pendidikan yang tinggi kepada putranya, mendidik dengan sabar,

tulus dan ikhlas, selalu mendoakan anaknya dan memberikan yang terbaik

untuk anaknya.

7. Ustadz Sanwani Soehali, SS, selaku guru di majelis taklim yang setiap hari

memberikan ilmu dan motivasi agar penulis dapat menerapkan ilmu yang telah

beliau berikan kepada penulis.

8. Teruntuk kawan-kawan majelis taklim tercinta Fitrah Khairunnas, Miftahul

Ilmy Zururi, Taufiqur Rahman, Muhammad Rizky dan Muhammad Ikhsan

Fadhilah yang tidak pernah lelah memberikan motivasi dan jadi inspirasi dalam

meraih mimpi.

9. Seluruh sahabat-sahabat UKM HIQMA UIN Jakarta, yang selalu memberikan

semangat dan motivasi kepada penulis agar semangat dalam mengerjakan

penulisan ini.

10. Teman-teman mahasiswa seperjuangan angkatan 2014, terkhusus untuk

sahabatku, Ahmad Syaifulloh yang telah menemani perjalanan penulis selama

menulis skripsi ini dan dalam mencari ilmu selama di perkuliahan.

Terakhir semoga segala bantuan yang telah diberikan, sebagai amal saleh yang

senantiasa mendapat rida Allah SWT sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kemajuan Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 8 Maret 2019

Penulis

(Muchsin Abdurrahman)

Page 9: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i

ABSTRACT .............................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ v

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 6

C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 7

D. Perumusan Masalah ............................................................................... 7

E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8

F. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8

BAB II KAJIAN TEORETIK ................................................................................. 9

A. Nilai Pendidikan Akhlak ....................................................................... 9

1. Pengertian Nilai Pendidikan Akhlak ............................................... 9

2. Ruang Lingkup Nilai Pendidikan Akhlak ..................................... 12

B. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an ............................................................. 20

1. Pengertian Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an .................................... 20

2. Macam-Macam Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an ............................ 21

3. Tujuan Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an .......................................... 22

4. Unsur-Unsur dalam Kisah ............................................................ 24

5. Kisah Al-Qur’an dalam Pendidikan .............................................. 27

C. Penelitian yang Relevan ...................................................................... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 30

A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................ 30

B. Metode Penelitian ................................................................................ 30

1. Pendekatan Penelitian ................................................................... 30

2. Sumber Peneletian ......................................................................... 31

C. Fokus Penelitian .................................................................................. 31

D. Prosedur Penelitian .............................................................................. 31

Page 10: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

vi

1. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 31

2. Teknik Analisis Data ..................................................................... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 34

A. Teks Ayat dan Terjemah ............................................................................ 34

B. Tafsir Mufradat .......................................................................................... 36

C. Tafsir Ayat ................................................................................................. 37

D. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82 serta

Implementasinya dalam Pendidikan .......................................................... 61

1. Tawakal ................................................................................................ 61

2. Tawadhu ............................................................................................... 63

3. Sabar ..................................................................................................... 64

4. Disiplin ................................................................................................. 66

5. Bersungguh-Sungguh dalam Menuntut Ilmu ....................................... 68

BAB V PENUTUP ................................................................................................. 70

A. Kesimpulan ................................................................................................ 70

B. Saran ........................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 74

BIOADATA PENULIS ......................................................................................... 77

LAMPIRAN

Page 11: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 12: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memperhatikan pendidikan di Indonesia pemikiran kita akan tertuju pada

pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan itu tersendiri. Bagaimana

pendidikan dan mau dibawa ke mana arah pendidikan di Indonesia itu tergantung

pada perumusan yang dibuat. Dengan mengetahui apa itu pendidikan dan tujuan

pendidikan tersebut maka suatu bangsa tertentu akan dapat menentukan

pendidikan seperti apa yang diinginkan.

Di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 adalah bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Ada penggalan kalimat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab

II Pasal 3 yang dapat ditarik benang merah yaitu “berkembangnya potensi

peserta didik” adalah tujuan inti dari proses pembelajaran. Setelah mengetahui

hal tersebut barulah mencari formulasi yang tepat untuk mencapai tujuan itu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat

penting dalam kehidupan. Karena pendidikanlah yang akan mengembangkan

potensi manusia. Berkaitan dengan hal ini, pendapat Muhammad Amin yang

dikutip oleh Abudin Nata menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha

untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan individual sehingga

potensi-potensi tersebut dapat diaktualisasikan secara sempurna. Potensi-potensi

itu sesungguhnya merupakan kekayaan manusia yang amat berharga. Oleh

karena pentingnya peranan pendidikan, maka sebagai umat Islam dalam

menjalankan sebuah pendidikan hendaknya pendidikan tersebut dilandasi

dengan nilai-nilai keislaman.

1 UU Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003), (Jakarta: Sinar Grafika,

2009), Cet 2, h. 7

Page 13: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

2

Jika definisi pendidikan menurut Abudin Nata yang telah disebutkan di atas

dikaitkan dengan pengertian pendidikan Islam, maka akan diketahui bahwa

pendidikan Islam lebih menekankan pada keseimbangan dan keserasian

perkembangan hidup manusia. Pendidikan akhlak Islam dalam gambaran yang

sangat praktis tetapi terarah, berpengaruh dan relevan dengan kehidupan

seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam bermasyarakat.

Menurut Muzayyin Arifin dalam bukunya yang berjudul Filsafat

Pendidikan Islam menjelaskan bahwa Pendidikan Islam menurut Omar

Muhammad Al-Touny Al-Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah

tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan

kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses

pendidikan dan perubahan tersebut dilandasi dengan nilai-nilai Islami. Oleh

karena itu, pendidikan Islam seharusnya diterapkan dalam semua lini kehidupan

manusia, baik dalam bersosialisasi di masyarakat, beragama sesuai tuntunan

Islam, dan lain sebagainya.2

Dengan demikian, perbedaan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya

ditentukan oleh adanya dasar ajaran Islam tersebut. Jika pendidikan lainnya

didasarkan pada pemikiran rasional yang mampu ditelaah dan dikaji oleh akal

saja, maka pendidikan Islam selain menggunakan pertimbangan tersebut dan

data pengalaman seseorang juga berdasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah,

pendapat para ulama dan sejarah tersebut.

Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman

hidup bagi setiap muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang

hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia

dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-nas), bahkan

hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam

secara sempurna (kaffah), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah

memahami kandungan isi Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan

sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.

2 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 15

Page 14: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

3

Proses pendidikan dalam Islam bertumpu pada Al-Qur‟an dan sunnah nabi.

Menurut perspektif Islam, pendidikan merupakan transfer nilai-nilai Islam yang

bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ke dalam hidup manusia, sehingga

terbentuk khalifah yang paripurna, yaitu makhluk Allah yang bertauhid,

berakhlakul karimah, beramal saleh dan berilmu. Al-Qur’an adalah sumber

utama dan pertama ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

sebagai rahmat bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu Illahi yang

menjadi petunjuk, pedoman dan pegangan hidup bagi manusia dalam berbagai

aspek hidup. 3

Al-Qur’an memiliki perhatian yang besar dan sungguh-sungguh terhadap

pembinan akhlak manusia. Dalam hubungan ini Abudin Nata dalam bukunya

Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an mengutip perkataan Fazlur Rahman

bahwa secara ekplisit kami telah menyatakan bahwa dasar ajaran Al-Qur’an

ialah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan

sosial. Hukum moral tidak dapat diubah; ia merupakan perintah Tuhan. Manusia

tidak dapat membuat hukum tersebut, manusia itu sendiri harus tunduk dalam

kepadanya. Ketundukan itu disebut Islam dan perwujudannya dalam kehidupan

disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah.4

Perhatian Al-Qur’an terhadap pembinaan akhlak itu juga dibuktikan dengan

adanya beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama, secara eksplisit Al-

Qur’an menyebutkan tentang berbagai macam perbuatan yang baik dan

perbuatan yang buruk. Kedua, untuk membimbing manusia agar berakhlak yang

baik dan menjauhi akhlak yang buruk. Al-Qur’an telah memberikan cara-cara

melaksanakannya melalui sosok para Nabi dan Rasul serta orang-orang teladan

yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Mulai dari cerita Nabi Adam hingga Nabi

Muhammad, serta kisah Lukman Al-Hakim dan Ashabul Kahfi adalah contoh

konkret tentang pembinaan akhlak. Ketiga, Al-Qur’an memberikan dorongan

3 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:

Ciputat Pers, 2002), h. 3. 4 Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),

cet.1 h. 83

Page 15: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

4

berupa pahala bagi orang yang berakhlak mulia dan siksa bagi orang yang

berakhlak buruk.5

Namun ketika mengetahui bahwa Al-Qur’an merupakan unsur primer

dalam pembetukan akhlak, rasanya sangat miris sekali jikalau dihubungkan

dengan akhlak yang sekarang dimiliki oleh pelajar Islam di Indonesia. Pelajar

Islam di Indoensia yang memiliki akhlak yang baik bisa dikatakan sedikit yaitu

mereka yang mendapatkan pendidikan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pendidikan

agama yang baik, dan pendidikan budi pekerti di sekolah atau madrasahnya.

Selain itu, tidak bisa dikatakan bahwa menurunnya akhlak pelajar Islam di

Indonesia disebabkan oleh dirinya sendiri. Namun banyak faktor yang

menyebabkan menurunnya akhlak pelajar tersebut, salah satunya yakni

seseorang yang bisa dijadikan model atau contoh dalam membimbing atau

membina akhlak pelajar Islam. Model atau contoh ini yang nantinya akan

mampu menaikkan presentasi baiknya akhlak pelajar Islam di Indonesia yang

sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam hal ini banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang

lingkup pendidikan. Pada tanggal 20 September 2018 terjadi pelecehan seksual

yang dialami oleh seorang siswi kelas 9 SMP Negeri di Kecamatan Nglegok,

Kabupaten Blitar. Pelecehan seksual terjadi ketika siswi ini mengantarkan

temannya berganti baju olahraga di kamar mandi sekolah. Ketika sedang

berjalan menuju kamar mandi, dua orang siswi ini bertemu dengan guru olahraga

dan guru bahasa Inggris. Namun ketika sampai di kamar mandi, guru ini

meminta satu orang siswi dilarang masuk ke dalam kamar mandi yang sama dan

guru tersebut masuk ke dalam kamar mandi yang lainnya bersama dengan satu

orang siswi yang hendak berganti baju. Di dalam kamar mandi itulah terjadi

pelecehan seksual yang dilakukan oleh dua orang guru tersebut. Bahkan setelah

teman korban keluar dari kamar mandi yang lain, dua guru ini menciumi dan

memeluknya tanpa ada rasa malu. 6

5 Abudin Nata , Ibid, h. 83-84 6 Rahma Lillahi Sativa, Pilu Siswi SMP di Blitar yang Jadi Korban Kebiadaban Oknum Guru

(https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4304233/pilu-siswi-smp-di-blitar-yang-jadi-korban-

Page 16: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

5

Kasus lain yang terjadi pada 20 Agustus 2018 di SMK Tujuh Lima 2

Purwokerto. Seorang guru memukul siswa di kelas karena tidak menuruti ajakan

baik sang guru untuk mengikuti shalat. Ketika murid ini diajak shalat oleh guru,

murid ini membangkan untuk mengikutinya. Disebabkan penolakan tersebut,

akhirnya sang guru memukul siswa yang menolak ajakannya dengan tertawa

mengejek guru tersebut. Pada akhirnya murid itu tetap tidak mengikuti shalat

dan guru pun mendapat peringatan dari sekolah.7

Tidak jarang pula peristiwa-peristiwa sebaliknya terjadi perlakuan murid

kepada guru yang diakibatkan dekadensi akhlak pelajar. Pada tanggal 08

November 2018 di SMK NU 03 Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah terjadi

peristiwa yang sangat menyayat hati. Seorang guru gambar teknik otomatif yang

bernama Joko Susilo, mendapat sikap kurang ajar dari para siswanya di dalam

kelas. Segerombolan siswa mendorong dorong dan mengeroyok sang guru di

depan kelas. Ketika diselidiki dan akhirnya Bapak Joko angkat bicara mengenai

persoalan ini. Guru gambar teknik otomatif itu mengatakan bahwa aksi tak

terpuji para siswanya merupakan candaan yang kelewat batas.8

Kelakuan murid yang sempat menggemparkan dunia pendidikan juga

terjadi pada tanggal 12 Oktober 2016. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia

SMA Yayasan Ilham yang bertempat di Makassar mendapat perlakuan kurang

ajar dari salah satu muridnya. Pasalnya murid ini hanya berniat untuk bercanda

dengan gurunya. Murid ini awalnya meminta foto bersama dengan guru dan

dengan sengaja murid ini menaikkan kakinya ke atas meja. Setelah guru ini

melihat tindakan tersebut, ia langsung memberitahu murid untuk menurunkan

kakinya. Akan tetapi setelah diturunkan kakinya, murid ini menaikkan kakinya

kebiadaban-oknum-guru?_ga=2.217327441.650310434.1543433450-886771536.1543433448: 29

November 2018) 7 Muhammad Ridlo, Fakta di Balik Video Viral Guru Pukuli Siswa SMK di Purwokerto

(https://www.liputan6.com/regional/read/3624548/fakta-di-balik-video-viral-guru-pukuli-siswa-

smk-di-purwokerto : 8 Desember 2018) 8 Reza Gustav, Muridnya: Itu Hanya Candaan, Namun Kelewat Batas

(http://wow.tribunnews.com/2018/11/12/pengakuan-guru-joko-susilo-yang-dikeroyok-muridnya-

itu-hanya-candaan-namun-kelewat-batas: 05 Desember 2018)

Page 17: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

6

lagi. Setelah itu guru tersebut mencium bau asap rokok dan meminta muridnya

untuk mematikan rokoknya.9

Peristiwa lain yang sama juga terjadi di Kabupaten Sampang, Jawa Timur.

Guru SMA Negeri 1 Torjun, Ahmad Budi Cahyono menegur siswanya yang

tertidur saat pelajaran sedang berlangsung. Budi mendatangi meja murid

tersebut dan mencoret pipinya dengan tinta agar ia bangun. Bukannya merasa

bersalah, murid tersebut malah memukul Budi di bagian pelipis. Tak hanya

sampai situ, murid laki-laki ini bahkan mencegat Budi pada saat perjalanan

pulang dan kembali menganiayanya hingga meninggal.10

Berdasarkan dari berbagai persoalan di atas, maka peneliti meneliti dengan

mengkaji surat al-Kahfi ayat 60-82. Pertimbangan penulis mengkaji surat al-

Kahfi ayat 60-82 Banyak kisah teladan dan kisah-kisah yang berhubungan

dengan pendidikan salah satunya adalah kisah Nabi Musa yang diperintahkan

oleh Allah secara langsung untuk belajar kepada sang guru pilihan Allah, yaitu

Nabi Khidhir. Dalam kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir tersebut tidak

hanya ilmu pengetahuan karena lebih dari pada itu kisah tersebut lebih

menyinggung masalah sikap dan nilai pendidik akhlak seorang murid kepada

guru.

Dari pemaparan di atas, penulis sangat tertarik untuk menggali makna-

makna tersirat yang terkandung di dalam ayat Al-Qur’an dengan sebuah

penulisan berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa

AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82).”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diteliti pada penelitian “Nilai-

nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS

9 Fauzan, Siswa Urakan Merokok Dekat Guru Jadi Viral di Medsos

(https://www.liputan6.com/regional/read/2624788/siswa-urakan-merokok-dekat-guru-jadi-viral-di-

medsos : 10 Desember 2018) 10 Muhammad Agil Aliansyah, Muka dicoret karena tidur saat belajar, siswa SMA di

Sampang aniaya guru hingga tewas (https://www.merdeka.com/peristiwa/muka-dicoret-karena-

tidur-saat-belajar-siswa-sma-di-sampang-aniaya-guru-hingga-tewas.html : 13 Desember 2018)

Page 18: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

7

(Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)”, maka teridentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Kurang etika komunikasi yang baik antara pendidik dan peserta didik

yang mengakibatkan peserta didik tidak mempunyai etika kepada

pendidik.

2. Minim model atau contoh yang menjadi panutan siswa di sekolah

dalam berakhlak dan bertingkah laku.

3. Pergaulan siswa yang sangat bebas dalam ruang lingkup sosial di

masyarakatnya yang berimbas menjadikan siswa kurang berakhlak di

sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Pada dasarnya, isi kandungan surat al-Kahfi ayat 60-82 mencakup berbagai

macam nilai-nilai pendidikan, di antaranya pendidikan akhlak, pendidikan

spiritual dan pendidikan emosional. Untuk itu, agar pembahasan penelitian

terfokuskan, maka penulis mengambil pembahasan yang berkaitan dengan

berbagai macam permasalahan di atas yaitu:

1. Nilai-nilai pendidikan akhlak sebagaimana terkandung dalam kisah

Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-

82).

2. Konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak sebagaimana

terkandung dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian

tafsir surat Al-Kahfi ayat 60-82).

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identitas dan pembatasan masalah di atas maka masalah dalam

penelitian dapat dirumuskan:

1. Apa saja nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Nabi Musa AS dan

Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82)?

2. Bagaimana konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak

sebagaimana terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS

(kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82)?

Page 19: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

8

F. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitan ini adalah:

1. Untuk meneliti nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam

Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-

82).

2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang

terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir

surat al-Kahfi ayat 60-82).

G. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini di antaranya sebagai berikut:

1. Bagi penulis adalah menjadi modal awal dalam mempelajari dan mengkaji

segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan akhlak dalam perspektif

Al-Qur’an dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang

ideal.

2. Bagi jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah untuk

dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam mengetahui

perspektif Al-Qur’an tentang pendidikan akhlak dan diharapkan dapat

memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam.

3. Bagi sekolah, sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan pendidikan

akhlak yang tepat.

4. Bagi guru dan orang tua, sebagai pedoman dalam menerapkan nilai-nilai

pendidikan akhlak dan sebagai contoh pedoman untuk membina akhlak

siswa/anak.

5. Bagi pembaca, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan dalam

pembenahan pendidikan akhlak yang semestinya.

Page 20: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 21: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

9

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Nilai Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Nilai Pendidikan Akhlak

Nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “harga (dalam

arti taksiran harga), harga uang (dibandingkan dengan harga uang yang

lain), angka kepandaian; biji; ponten; banyak sedikitnya isi; kadar; mutu;

sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu

yang menyempurnakan manusia sesuai hakikatnya”.1

Istilah nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti hal-

hal atau sifat-sifat yang bermanfaat atau penting untuk kemanusiaan.2

Nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan sifat-sifat

yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang penting atau

berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai

dengan hakikatnya.3

Dari penjelasan di atas maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa

nilai merupakan sesuatu yang baik dan berharga yang melekat di dalam diri

seseorang yang harus dijunjung tinggi dan diaplikasikan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pendidikan” berasal dari

kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan “pen” dan akhiran “an”, maka kata ini

mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara etimologi

definisi “pendidikan” diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan

tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan

manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2002), Ed. 3, Cet. II, h. 783. 2 Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern

English Press, 2005), h. 103 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2002), Cet. II, h. 783 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., h. 263

Page 22: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

10

Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.5

Hasbullah mengutip perkataan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Dasar-Dasar

Ilmu Pendidikian tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai tuntunan di dalam hidup

tumbuhnya anak-anak, maksudnya adalah pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat

yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota

masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.6

Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses

pengembangan kepada peserta didik kepada perubahan akhlak, fisik dan kepribadian

sehingga mereka dapat mengembangkan potensi dan dapat memberikan kontribusi

yang baik bagi masyarakat dan bangsa serta negara.

Istilah akhlak memang dikenal sejak awal kelahiran Islam, seperti yang disabdakan

Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits shahih, riwayat Bukhori, Hakim dan

Baihaqi, diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut,

إنما بعثت ألتم م مكارم األخالق “Bahwasanya saya diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan kebaikan

akhlak.”7

Pengertian akhlak secara bahasa adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk

jamak dari kata khuluqun yang berarti tabiat, budi pekerti, al-‘adat (kebiasaan), al-

muru’ah (peradaban yang baik), al-din (agama).8 Dalam hal ini Ibn al-Jauzi (w. 597

H) sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar, menjelaskan bahwa al-Khuluq adalah

etika yang dipilih seseorang. Dinamakan khuluq karena etika bagaikan khalqah

(karakter) pada dirinya. Dengan demikian, khuluq adalah etika yang menjadi pilihan

5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra

Umbara, 2010), Cet. 1, h. 2-3 6 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), cet. 5, h. 4 7 M. Hasyim Syamhudi, Akhlak-Tasawuf dalam Konstruksi Piramida Ilmu Islam, (Malang: Madani Media,

2015), h. 1. 8 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),

h. 364.

Page 23: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

11

dan diusahakan seseorang. Adapun etika yang sudah menjadi tabiat bawaannya

dinamakan al-Khaym.9

Pengertian di atas merupakan pengertian secara etimologi. Abudin Nata

menambahkan pengertian secara terminologi dalam bukunya Akhlak Tasawuf akhlak

adalah sifat yang tertanam kuat dalam jiwa dengannya lahirlah macam-macam

perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, sehingga

hal ini sudah menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang

dilakukan dengan sesungguhnya, bukan karena sandiwara.10

Menurut al-Ghazali yang dikutip oleh Sayyid Kamal al-Haidari akhlak adalah sifat

yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang

dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Jika suatu bentuk

memunculkan perbuatan-perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat,

maka bentuk itu dinamakan akhlak yang baik. Namun jika darinya muncul perbuatan

buruk, maka bentuk itu dinamakan akhlak buruk.11

Ahmad Amin dalam buku Etika sebagaimana dikutip oleh Hamzah Ya’kub

merumuskan pengertian akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,

menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya

menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan

menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.12

Jika diperhatikan dengan saksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak

sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi

pengertian akhlak tersebut dan dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu sikap

yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan

dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Jadi nilai pendidikan akhlak adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi

kemanusiaan yang melekat pada pendidikan Islam, diperoleh melalui proses usaha

mendidik, membimbing, membina, dan membentuk pribadi manusia menjadi

berintelektual dan berbudi pekerti yang luhur sehingga perbuatan-perbuatan tertanam

kuat dalam jiwanya yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan

9 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 11. 10 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 4 11 Sayyid Kamal al-Haidari, Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyyah ar-

Ruhaniyyah: Buhuts Fi Jihad an-Nafs oleh Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustakan Hidayah, 2003), h. 59 12 Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, (Bandung: CV Diponegoro, 1983), h. 12

Page 24: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

12

hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah SWT.

2. Ruang Lingkup Nilai Pendidikan Akhlak

Akhlak dalam agama tidak dapat disamakan dengan etika. Etika dibatasi oleh

sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan hal ini belum tentu terjadi pada

lingkungan masyarakat yang lain. Etika juga hanya menyangkut perilaku hubungan

lahiriah. Misalnya, etika berbicara antara orang pesisir, orang pegunungan dan orang

keraton akan berbeda, dan sebagainya. Akhlak mempunyai makna yang lebih luas

karena akhlak tidak hanya bersangkutan dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan

dengan sikap batin maupun pikiran.

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intiya adalah

perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik

atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut, bahwa

objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan

tersebut ditentukan baik atau buruk.13

Akhlak menyangkut berbagai aspek di antaranya adalah hubungan manusia

terhadap Allah dan hubungan manusia sesama mahluk (manusia, binatang, tumbuh-

tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa) serta hubungan manusia

terhadap lingkungan.

a. Akhlak terhadap Allah

Akhlak terhadap Allah pada prinsipnya dapat diartikan penghambaan diri

kepada-Nya atau dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya

dilakukan oleh manusia sebagai mahluk kepada Allah sebagai Khalik. Sebagai

mahluk yang dianugerahi akal sehat, kita wajib menempatkan diri kita pada posisi

yang tepat, yakni sebagai penghamba dan menempatkan-Nya sebagai satu-satunya

zat yang kita pertuhankan.

Ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah:

1) Allah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari

air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang

rusuk, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat ath-Thariq ayat 5-7

لب اء دافق يخرج من بين ٱلص فلينظر ٱلإنسن مم خلق خلق خلق من م

13 Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah), Cet. III, h. 2.

Page 25: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

13

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia

diciptakan?, Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari

antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”

Dalam ayat ini Allah berfirman manusia diciptakan dari tanah yang

kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang

kokoh (rahim), setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging,

dijadikan tulang dan dibalut dengan daging dan selanjutnya diberi ruh,

sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 12-13.

كين ن طين ثم جعلنه نطفة في قرار م ولقد خلقنا ٱلإنسن من سللة م “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu

saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air

mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”

2) Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa

pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap, dan peraba, di samping

anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia

sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78.

مع هتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم ٱلس م ن بطون أ خرجكم م

أ وٱلل

فأدة لعل كم تشكرون بصر وٱلأ

وٱلأ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

3) Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang

diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan

sebagainya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 12-13:

من مرهۦ ولتبتغواكم ٱلبحر لتجري ٱلفلك فيه بأ

ر ل ٱل ذي سخ ٱلل رض

ت وما في ٱلأ مو ا في ٱلس ر لكم م فضلهۦ ولعل كم تشكرون وسخ

لك أليت ل قوم يت نه إن في ذ رون جميعا م فك “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal

dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat

mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia

telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi

semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi

kaum yang berfikir.”

Page 26: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

14

4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya

kemampuan menguasai daratan dan lautan. Sebagaimana dalam al-

Qur’an surat al-Isra’ ayat 70:

ي بت ن ٱلط وٱلبحر ورزقنهم م منا بني ءادم وحملنهم في ٱلبر ولقد كر ن خلقنا تفضيلا م ي كثير م

لنهم عل وفض “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami

angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari

yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran

bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji

demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak

akan mampu menjangkau hakikat-Nya.14

b. Akhlak terhadap sesama manusia

Akhlak terhadap sesama manusia dapat dirinci lagi sebagai berikut:

1) Akhlak terhadap Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir dan kewajiban bagi

setiap manusia untuk beriman kepadanya. Iman tidak cukup dengan hanya

sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal

yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang bagaimana

bersikap terhadap Rasulullah SAW itulah yang dinamakan akhlak terhadap

Rasulullah SAW. Beberapa akhlak yang perlu kita tunjukkan kepada

Rasulullah SAW dalam buku Akhlak Hubungan Horisontal oleh M. Alaika

Salamulloh adalah sebagai berikut:

a) Mengimani dan Menjalankan Ajaran Rasulullah SAW

Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman kepada Rasulullah

SAW berserta risalah yang dibawanya. Makna mengimani ajaran

Rasulullah SAW adalah menjalankan ajarannya, mentaati perintahnya,

dan berhukum dengan ketepatannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. al-Hasyr 59:7

14 Moh. Ardani, Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001), cet, 1,

h. 43.

Page 27: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

15

هل ٱلقرى فلل ه وللر سول ولذي ٱلقرب علي رسولهۦ من أ فاء ٱلل

أ ا م

غنياء بيل كي لا يكون دولة بين ٱلأ وٱليتمي وٱلمسكين وٱبن ٱلس

كم ٱلر سول فخذوه منكم وما ءاتى وٱت قوا ٱلل كم عنه فٱنتهوا وما نهى شديد ٱلعقاب إن ٱلل

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-

Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka

adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-

orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu

jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa

yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang

dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada

Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah SAW wajib kita

taati dan semua larangannya wajib kita jauhi.

b) Mencintai Rasulullah SAW

Wajib dan harus diutamakan melebihi kecintaan kita kepada sesama

mahluk. Bukti cinta kepada Rasulullah SAW tidak cukup dengan hanya

membaca shalawat, tetapi juga harus diwujudkan dengan tindakan

konkret, di antaranya adalah menjalankan ajaran Rasulullah SAW, rindu

untuk bertemu dengan Rasulullah SAW serta memperbanyak shalawat

dan pujian kepada Rasulullah SAW.

c) Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

Karena sikap dan ketaatan beliau pada ajaran yang terkandung dalam

Al-Qur’an menjadi bagian yang tak terpisahkan pada setiap suasana

kehidupannya, sehingga patutlah jika seharusnya kita sebagai umatnya

meneladani akhlak beliau.

Akhlak kepada Rasulullah SAW merupakan wujud kecintaan dan

ketaatan kita sebagai umatnya kepada sang pemimpin yaitu Rasulullah

SAW dengan mentaati, menjalankan perintahnya serta mengikuti jejak

beliau, manusia akan dijamin kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.

2) Akhlak terhadap Orang Tua

Allah memerintahkan kepada kita supaya senantiasa berbuat baik kepada

orang tua. Mereka berdua telah banyak berjasa kepada kita. Mulai sebelum

Page 28: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

16

lahir hingga kita dewasa, tak pernah sedetik pun kasih sayang mereka

terlewatkan dari kita Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra’ 17 ayat 23:

ا يبلغن عندك ٱلكبر إم نا لدين إحس إي اه وبٱلو إل ا ل ا تعبدواوقضي رب ك أ

هما قولا كريما ولا تنهرهما وقل ل ف

و كلاهما فلا تقل ل هما أ

حدهما أ

أ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah

selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan

sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya

sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah

kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu

membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Dalam buku Akhlak Horisontal karya M. Alaika Salamulloh terdapat

beberapa tuntunan akhlak yang perlu dipahami oleh setiap anak dalam

berinteraksi dengan orang tuanya. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a) Mencukupi Kebutuhan Orang Tua

Dengan tegas Allah memerintahkan kepada kita bahwa setiap harta

yang kita peroleh wajib dinafkahkan kepada orang-orang yang berada di

bawah tanggungan kita, termasuk kepada orang tua. Bahkan orang tua

menduduki peringkat pertama dalam penerimaan nafkah ini. Allah SWT

berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 215:

لدين ن خير فللو نفقتم م لونك ماذا ينفقون قل ما أ

قربين و يسأ

ٱليتمي وٱلأ

بهۦ عليم بيل وما تفعلوا من خير فإن ٱلل وٱلمسكين وٱبن ٱلس Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa

saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada orang tua,

kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang

yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat,

maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.

Akhlak ini berlaku pada anak yang sudah mandiri dan memiliki

penghasilan sendiri. Bahkan kalau sang anak sudah menikah dan

memiliki anak cucu, kewajiban tersebut tidaklah putus. Hendaklah ia

tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan

sang orang tua.

b) Patuh Menjalankan Perintah Orang Tua

Sebagaimana firman Allah SWT QS Luqman ayat 15

Page 29: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

17

إون ن تشرك بي ما ليس لك بهۦ علم فلا تطعهماجهداك علي أ

إلي مرجعكم ثم ي ناب إل

وٱت بع سبيل من أ نيا معروفا وصاحبهما في ٱلد

نب ئكم ن بما كنتم تعملو فأ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku

sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah

kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan

baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya

kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah

kamu kerjakan.

Berdasarkan penjelasan di atas taat dan patuh terhadap perintah

orang tua sepanjang perintah orang tua mengandung unsur kebaikan,

wajib hukumnya bagi sang anak mematuhinya. Akan tetapi, bila perintah

tersebut menjurus kepada kemaksiataan, maka anak tidak wajib taat.

c) Mendoakan Orang Tua

Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 24:

ياني صغيرا ٱرحمهما كما رب من ٱلر حمة وقل ر ب ل وٱخفض لهما جناح ٱلذ

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka

keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Ayat di atas menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban anak untuk

mendoakan orang tuanya. Di antara doa yang dipanjatkan adalah semoga

Allah menyayangi kepada keduanya sebagaimana mereka

menyayanginya pada waktu kecil. Mendoakan orang tua adalah

kewajiban seorang anak, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal

dunia. Rasulullah SAW bersabda:

”Apabila anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal)

dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang

dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)

Sesungguhnya kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua tidak

akan pernah putus meski keduanya telah meninggal dunia, seorang anak

tetap wajib berbakti kepada mereka salah satunya dengan cara

mendoakan keduanya.

3) Akhlak terhadap Diri Sendiri

Page 30: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

18

Setiap muslim meyakini bahwa nasib hidupnya di akhirat ditentukan oleh

perilakunya selama di dunia. Dengan mengerjakan kebaikan, berarti ia telah

menanam benih yang baik. Jika ia lebih senang menceburkan dirinya ke

dalam kubangan maksiat maka ia telah menanam benih yang buruk dan akan

menanggung akibatnya. Akhlak terhadap diri sendiri di antaranya adalah

memelihara diri baik lahir (jasmani) maupun batin (rohani).15

a) Dari sisi batin

Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang dapat membersihkan

jiwanya adalah iman dan amal saleh, sedangkan yang dapat mengotori

dan merusaknya adalah kemaksiatan dan kekafiran. Karena itulah orang

muslim dianjurkan untuk terus-menerus menjaga dan membersihkan

dirinya, menghiasinya dengan akhlak yang baik dan menyapunya dari

segala kotoran dan dosa.16

b) Dari sisi lahir

Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga kesehatan. Sebab

kesehatan adalah karunia dari Allah SWT dengan menjaga kesehatan

ragawi, berarti kita telah berakhlak mulia kepada diri sendiri. Salah satu

bentuk berakhlak baik terhadap jasmani adalah tidak mengonsumsi

makanan dan minuman yang dilarang Allah SWT karena setiap yang

dilarang oleh Allah SWT pasti di dalamnya terkandung keburukan.

Sebagai contoh, khamar. Dengan tegas Allah SWT melarang setiap

muslim meminum khamar. Sebab, meminum khamar dapat memberikan

dampak yang sangat buruk kepada kesehatan manusia, baik terhadap

pikiran maupun fisiknya. Dengan meminum khamar jaringan dan

metabolisme tubuh menjadi terusik sehingga kekebalan tubuh akan

menurun. Karenanya orang yang minum khamar sangat mudah terserang

penyakit.

4) Akhlak terhadap Karib Kerabat

Kerabat adalah orang-orang yang mempunyai pertalian keluarga dengan

kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun perkawinan. Kita harus

15 M. Alaika Salamulloh, Akhlak Hubungan Horizontal, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, 2009),

h.121-122 16 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI), 2001),

cet. 4, h.54

Page 31: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

19

menjaga hubungan kekerabatan tersebut supaya tetap terjalin kuat dan tidak

terputus. Sebab, apabila tali kekerabatan kita terputus, maka tatanan keluarga

kita akan berantakan.

5) Akhlak terhadap Tetangga

Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita

adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan

bantuan jika kita membutuhkannya.

Beberapa akhlak yang perlu ditanamkan dalam bertetangga ialah:

1) Menjaga hubungan baik dengan tetangga. Minimal hubungan baik

dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau

menyusahkan mereka.

2) Saling mengunjungi

3) Saling menolong dalam keadaan senang maupun susah

4) Menghindari permusuhan.

6) Akhlak terhadap Guru

Kata guru biasa dipahami dengan arti digugu dan ditiru yang berarti

dipercaya dan dijadikan suri tauladan. Akan tetapi guru pada hakikatnya

adalah pendidik atau yang mendidik murid. Pendidik adalah tenaga

kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong

belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai

dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan

pendidikan.17

Ada sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih besar kecuali

haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas

bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu

dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu

huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam

agama.”18

Termasuk menghormati guru ialah hendaknya seorang murid tidak

berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan tidak memulai bicara

17 Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pemerintahan RI

Tahun 2010Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Serta Wajib Belajar, (Bandung : Citra Umbara, 2010),

Cet. I, h. 2 18 Syekh Az-Zarnuji, Terjemahan Ta’lim Muta’alim Sebuah Panduan Bagi Para Penuntut Ilmu, (Surabaya:

Mutiara Ilmu, 2009), h. 28

Page 32: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

20

padanya kecuali dengan ijinnya. Hendaknya tidak banyak bicara di hadapan

guru. Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang capek atau bosan. Harus

menjaga waktu. Jangan mengetuk pintunya tapi sebaliknya menunggu sampai

beliau keluar.19

c. Akhlak terhadap Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di

sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak

bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan

bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Dalam pandangan Islam,

seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga

sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada mahluk

untuk mencapai tujuan penciptanya.20

Dengan tidak menyakiti, merusak dan mengganggu lingkungan sekitar berarti

kita telah menjaga amanah dari Allah SWT dan juga merupakan wujud syukur kita

kepada pencipta alam semesta terhadap apa yang telah dimiliki seseorang harus

diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga terwujud pribadi

yang berkarakter dengan kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah

kehidupan masyarakat.

B. Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an

1. Pengertian Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an

Secara bahasa, kata qashash berasal dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar yang

dipetik dari kata qashasha yaqushu qishashan yang secara etimologi berarti mencari

jejak.21 Sementara ulama mendefinisikan qishash sebagai menelusuri peristiwa/

kejadian dengan jalan menyampaikan/menceritakannya tahap demi tahap sesuai

dengan kronologi kejadiannya. Dapat ditambahkan bahwa penyampaian itu dapat

terjadi dengan menguraikannya dari awal hingga akhir, bisa juga dalam bentuk

bagian/episode-episode tertentu.22

Namun secara terminologi, menurut Manna al-Khalil al-Qathan mendefinisikan

qishashul Qur’an sebagai pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat-umat dahulu

19 Syekh Az-Zarnuji, ibid, h. 29 20 Abudin Nata, Op.cit, hal. 15 21 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah, 2007),

h. 354 22 M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsiri, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 319

Page 33: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

21

dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Ayat yang

menjelaskan tentang kisah-kisah inilah yang paling banyak mendominasi ayat-ayat Al-

Qur’an dengan menunjukkan keadaan negeri-negeri yang ditempatinya dan

peninggalan jejak mereka.23 Hal ini diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan

menggunakan cara dan gaya bahasa yang menarik dan atau dengan cara shuratan

nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang

menyaksikan peristiwa itu).24

Dari pengertian yang dikemukakan di atas dipahami bahwa kisah-kisah yang

ditampilkan Al-Qur’an agar dapat dijadikan pelajaran dan sekaligus sebagai petunjuk

yang berguna bagi setiap orang beriman dan bertaqwa dalam rangka memenuhi tujuan

diciptakannya yaitu sebagai hamba dan khalifah bumi dan isinya. Serta memberikan

pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya agar dijadikan pelajaran

untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan

benar.

2. Macam-macam Kisah dalam Al-Qur’an

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi beberapa macam, di antaranya

sebagai berikut:

a. Dari Segi Waktu

Ditinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam Al-Qur’an ada tiga bagian, yaitu:

1) Kisah hal gaib yang terjadi pada masa lalu, seperti kisah tentang dialog

malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi (QS. Al-

Baqarah: 30-34), kisah tentang penciptaan alam semesta (QS. Al-Furqan:

59, QS. Qaf: 38), dan kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan

kehidupannya ketika di surga (QS. Al-A‘raf: 11-25).

2) Kisah hal gaib yang terjadi masa kini, seperti kisah tentang turunnya

malaikat pada malam Lailatul Qadr (QS. Al-Qadar: 1-5) dan kisah

tentang kehidupan mahluk-mahluk gaib seperti setan, jin, atau iblis (QS.

A’araf: 13-14).

3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti

kisah tentang akan datangnya hari kiamat (surat al-Qari’ah, surat az-

Zalzalah, dan lain sebagainya), kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat

23 Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 139 24 Ibid, h. 140

Page 34: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

22

(surat al-Lahab), dan kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan

orang-orang yang hidup di neraka (surat al-Ghasyiah, dan lain

sebagainya).

b. Dari Segi Materi

Ditinjau dari segi materi kisah-kisah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi 3

bagian yaitu:

1) Kisah-kisah para Nabi.

2) Kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi masa lampau yang

tidak dapat dipastikan kenabiannya.

3) Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa

Rasulullah.25

3. Tujuan-tujuan Kisah dalam Al-Qur’an

Salah satu elemen penting dari gaya Al-Qur’an adalah menerangkan berbagai

bahasan melalui contoh-contoh atau perbandingan-perbandingan. Semua ini kerap

diungkap dari kehidupan para Nabi atau Rasul terdahulu atau peristiwa-peristiwa yang

terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan. Karena itu, tipe-tipe kisah Al-Qur’an ini

mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda-tanda, dan pesan bagi umat

manusia.26 Orang-orang kafir menganggap kisah-kisah ini sebagai mitos dan legenda,

meskipun semua itu mengandung informasi pencerahan yang berharga dan berbagai

contoh bagi yang benar-benar beriman. Allah menerangkan setiap peristiwa yang

mungkin dan hukum-hukum yang berlaku di sepanjang masa dengan memberikan

contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi dari kehidupan para nabi dan bangsa-bangsa

terdahulu.27

Adapun tujuan-tujuan dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an, merenungkan dan memperhatikannya

akan menggiring kita untuk berpikir. Berpikir merupakan kerja akal di mana

manusia mengaktifkan daya pikirnya dan mendayagunakan akalnya, lalu

merenungkan episode-episode kisah yang memuat nasihat dan pelajaran. Al-

Qur’an menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil

pelajaran, dan ia mengajak kita dalam banyak ayat untuk berpikir dan

25 Ahmad Syadali dkk, Ulumul Qur’an II Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MkDK, (Bandung: Pustaka

Setia, 2000), hal. 27-30 26 Harun Yahya, Misinterpretasi terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-

Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h.71-72 27 Ibid, h.72-73

Page 35: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

23

mengambil pelajaran, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

ما بصاحبكم روا تتفك مثني وفردى ثم ن تقوموا لل حدة أ عظكم بو

ما أ قل إن

إن هو إل ا نذير ل كم بين يدي عذاب شديد م ن جن ة “Katakanlah, sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu

hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua

atau sendiri, kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad)...” (QS. Saba’:

46)

Berpikir, menalar, dan mengambil pelajaran merupakan buah dari

membaca kisah orang-orang terdahulu yang ada dalam Al-Qur’an, hasil dari

mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an dan merupakan salah satu tujuan mulia

yang harus dituju oleh setiap orang yang membaca Al-Qur’an, mendengarkan

atau mengisahkannya kepada para pendengar.

b. Dengan kisah-kisah dalam Al-Qur’an dapat meneguhkan hati, sebagaimana

Allah Ta’ala berfirman:

نباء ٱلر سل ما ن قص عليك من أ

نثب ت بهۦ فؤادك وجاءك في هذه ٱلحق ولك وموعظة وذكرى للمؤمنين

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu ialah kisah-

kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah

datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-

orang yang beriman.” (QS. Hud: 120)

Umat Islam pada masa kini lebih membutuhkan realisasi tujuan Al-

Qur’an ini dari kisah-kisahnya. Kita lebih membutuhkan peneguhan hati kita

melalui kisah-kisah Al-Qur’an, yaitu mewujudkan ketenteraman hati,

memantapkan posisi kita pada jalan kebenaran, dan meneguhkan pendirian

kita. Ayat ini memberikan kepada kita bahwa telah hadir kepada kita melalui

kisah-kisah Al-Qur’an: al-haq (kebenaran), pelajaran, dan peringatan bagi

orang-orang mukmin.28

c. Mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan

tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta

memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir

yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotivasi

28 Shalah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran Dari Orang-orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani,

1999), hal. 28-30

Page 36: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

24

mereka agar bersabar dalam berdakwah. Kisah-kisah itu menjelaskan bahwa

orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama

seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan lainnya.

Demikian juga para da’i yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya,

diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan

perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di

penghujung peristiwa mengalahkan pendusta.

d. Kisah adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk

membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh bersifat mendidik,

karena sejak dulu para pendidik menggunakannya sebagai sarana untuk

mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan

menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat,

pelajaran, serta keteladanan.29

4. Unsur-unsur dalam Kisah

Unsur-unsur pembangun sebuah kisah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering digunakan para

kritikus dalam mengkaji dan membicarakan sebuah kisah atau karya sastra pada

umumnya.30

a. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya

sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai oleh

pembaca saat karya sastra. Kepaduan antar unsur intrinsik inilah yang

membuat sebuah kisah menjadi nyata.31

Unsur intrisik di antaranya terdiri dari: tema, alur, penokohan, latar, dan sudut

pandang.

1) Tema

Ni Nyoman Karmini mengutip perkataan Hartoko dan Rahmanto

mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang

sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur

semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-

29 Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qur’ani: dari Motif hingga Ilmu Laduni, (Bandung: Penerbit

Marja, 2010), h. 155 30 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), Cet.

VIII, h. 9 31 Ibid, h. 43

Page 37: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

25

perbedaan. Dan Karmini menyatakan tema bahwa tema adalah gagasan

sentral yang menjadi dasar tolak penyusunan karangan dan yang sekaligus

menjadi sasaran/tujuan karangan itu.32

Untuk menentukan tema sebuah cerita haruslah dengan membaca

keseluruhan cerita secara langsung. Dalam pembacaan cerita harus

ditemukan kejelasan tentang tokoh dan penokohannya/perwatakannya,

situasi dan alur ceritanya. Dapat pula dilakukan dengan bertanya: Apakah

motivasi tokoh? Apakah problemnya? Bagaimana perwatakannya?

Bagaimana sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? Dengan

kata lain, tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya

bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan

situasi tertentu.33

2) Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.

Atau lebih jelasnya, alur merupakan peristiwa-peristiwa yang disusun satu

per satu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal

sampai akhir cerita.34

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa tiap peristiwa tidak berdiri sendiri.

Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain,

peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa

berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir.

3) Penokohan

Penokohan merupakan unsur penting dalam cerita. Dalam kajian kisah,

sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan

perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan

menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya

tidak menyarankan pada pengertian yang sama, atau paling tidak serupa.

Istilah penokohan lebih luas cakupannya daripada tokoh. Sebab ia

sekaligus mencakup masalah siapa tokoh dalam cerita, bagaimana

perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam

32 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 45 33 Ibid, h. 45 34 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al

Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26.

Page 38: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

26

sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada

pembaca. Masalah penokohan sekaligus menyarankan pada teknik

perwujudan dan pembangunan tokoh dalam sebuah cerita utuh.35

4) Latar

Robert Staton mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan yang

melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi

dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. 36

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk

memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu

yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demian,

pembaca merasa dipermudah mengoperasikan daya imajinasinya, di

samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan

dengan pengetahuannya tentang latar. 37

5) Sudut Pandang

Menurut M.H. Abrams, seperti dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, sudut

pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara

atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

membentuk karya kepada pembaca.38

Sudut pandang dapat dibedakan secara garis besarnya ke dalam dua

macam, yaitu persona pertama, first person, gaya “aku”, dan persona

ketiga, third person, gaya “dia”. Atau, menurut Brook dan Warren, sudut

pandang dibedakan dengan sebutan:

i. Narator bertindak sebagai tokoh dalam cerita yang meliputi: sebagai

tokoh utama yang menceritakan ceritanya; dan sebagai tokoh minor

yang menceritakan kisah tokoh utama.

ii. Narator bertndak bukan sebagai tokoh dalam cerita, yang meliputi:

pengarang sebagai orang ketiga yang mengisahkan cerita dan

menyusupi pikiran serta perasaan tokoh utama, dan pengarang dalam

menceritakan cerita itu hanya sebagai peninjau saja.39

35 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 166 36 Robert Staton, Op.cit, h. 35 37 Ni Nyoman Karmini, Op.cit, h. 68 38 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 248 39 Ni Nyoman Karmini, Op.cit, h. 70

Page 39: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

27

5. Kisah Al-Qur’an dalam Pendidikan

Al-Qur’an tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat cerita muhamakamat yang

selalu menepati janji. Cerita itu mampu mengetuk imajinasi pembaca maupun

pendengarnya sampai akhir cerita itu dan bersifat mudah dicerna oleh akal manusia.

Cerita itu mampu menguraikan kepada hubungan perasaan tanpa ada rasa bosan dan

jenuh. Cerita itu pun mampu memberikan jawaban yang masuk pada elemen-elemen

akal. Maka dari itu, cerita itu mengumpulkan dari berbagai bidang cerita, baik yang

bersifat bunga dan buah.

Pelajaran-pelajaran dengan menggunakan metode mendikte dan berceramah akan

memberikan pengajaran yang bosan. Peserta didik akan merasa bosan untuk mengikuti

pelajaran-pelajaran yang menggunakan metode-metode tersebut dan merasa sulit

mengambil pelajaran. Metode-metode di atas juga membutuhkan waktu yang cukup

lama. Oleh karena itu, pendidik dalam bercerita harus menggunakan metode-metode

yang menarik minat peseta didik dalam belajar, memberikan manfaat kepadanya dan

juga memberikan faidah-faidah yang banyak.

Pada umumnya, ketika peserta didik diceritakan beberapa hikayat atau kisah-kisah

dalam belajar, mereka akan menundukkan kepalanya untuk mendengarkan kisah

tersebut. Bahkan merasa malu ketika mendengar kisah orang terdahulu. Sehingga

peserta didik akan memahami sesuatu yang diceritakan kepadanya dan mereka akan

menceritakan kembali kisah-kisah tersebut kepada teman sepermainannya.

Inilah hal yang terlihat ketika peserta didik diceritakan menggunakan metode-

metode yang menarik, maka seorang pendidik seharusnya menceritakan hal-hal yang

memberikan faidah kepada peserta didik di dalam menyampaikan materi-materi

pelajaran. Hal yang paling diutamakan oleh seorang pendidik dalam bercerita adalah

pelajaran agama dan akhlak, yaitu materi inti dalam pendidikan dan pendidik mampu

membimbing agama dan akhlak mereka yang menjadi bekal untuk kehidupannya.

Di dalam kisah-kisah Al-Qur’an terdapat kandungan menumbuhkan potensi-

potensi yang memberikan kesenangan pendidik dalam menceritakan kisah-kisah

tersebut, sehingga pendidik merasa berhasil dalam mendidik peserta didiknya. Kisah-

kisah tersebut juga memberikan efek jangka panjang dalam ingatan peserta didik untuk

menumbuhkan akhlak dan agamanya. Kisah-kisah tersebut berupa perjalanan para nabi,

kabar-kabar orang terdahulu dan sunnatullah untuk seluruh kehidupan di muka bumi

ini, ada juga keadaan-keadaan para imam terdahulu. Maka dari itu, seorang pendidik

dalam mencertikan kisah-kisah Al-Qur’an harus jujur dan benar.

Page 40: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

28

Seorang pendidik dalam menceritakan kisah Al-Qur’an seyogyanya menggunakan

metode-metode yang sesuai dengan pelajaran yang sedang diajarkan kepada peserta

didik. Tidak hanya dalam bercerita, namun dalam semua pelajaran harus menggunakan

metode yang sesuai dengan materi yang diajarkannya. Inilah yang menjadi tolak ukur

keberhasilan seorang pendidik dalam menceritakan kisah-kisah Al-Qur’an yaitu

bertambahnya hal-hal yang bermanfaat dalam ingatan peserta didik baik ketika ia masih

muda ataupun sudah dewasa yang menjadi kebutuhannya nanti. Seperti kisah-kisah Al-

Qur’an yang diceritakan menggunakan metode-metode dalam memperbaiki adab

sehingga menjadi baik. Serta membutuhkan banyak analisa yang mendalam dan

mendukung proses pendidikan dalam membentuk kepribadian peserta didik.40

C. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan skripsi “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam

Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82”

adalah sebagai berikut:

1. Skripsi Siti Damayanti yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam

Perspektif Al-Qur’an Surat al-An’am Ayat 151-153” pada tahun 2017 di FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian ini, Siti Damayanti

menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode library research (kajian

studi kepustakaan). Dalam pembahasan tafsirnya, penulis menggunakan metode

tafsir tahlili dengan sumber Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-

Misbah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diperoleh bahwa dalam ayat

tersebut terdapat beberapa nilai pendidikan akhlak, di antaranya: nilai ketauhidan,

birrul walidain, perlindungan terhadap anak dan keturunan, menjaga kehormatan

diri, perlindungan terhadap jiwa, memelihara (menyayangi) anak yatim, jujur dan

adil dalam perniagaan dan dalam kesaksian, menepati janji, serta taat dan patuh

pada peraturan.

Perbedaan penelitian ini dengan skripsi di atas adalah terletak pada objek

kajian penelitian, yaitu dalam skripsi tersebut yang dikaji adalah QS. Al-An’am

ayat 151-153, sedangkan dalam penelitian yang akan penulis teliti membahas

tentang QS. Al-Kahfi ayat 60-82. Persamaan penelitian ini dengan skripsi di atas

adalah keduanya membahas ayat Al-Qur’an dengan fokus penelitian nilai-nilai

40

Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Quran, (Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1073), h. 310-311

Page 41: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

29

pendidikan akhlak dengan menggunakan metode tafsir tahlili.

2. Achmad Syarief, dalam skripsinya yang berjudul “Aspek-Aspek Pendidikan

Akhlak yang terdapat pada QS. Ali Imran ayat 133-136”, yang ditulis pada tahun

2012 di FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwa ciri orang yang bertakwa yang meliputi sikap dermawan,

sikap sabar (baik dalam menahan amarah dalam memaafkan kesalahan orang lain

yang dilakukan atas dirinya) serta ajakan kepada orang-orang beriman untuk

bersegera bertaubat serta bersegera meminta ampun dari Allah SWT yang mana

di dalamnya Allah menjanjikan kepada orang-orang yang bertakwa tersebut akan

diberi imbalan yang berupa surga.

Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada adalah

objek penelitiannya, dan dalam skripsi ini surat, ayat, serta pemahaman dalam

nilai-nilai pendidikan akhlak surat al-Hujarat ayat 9-13. Di sini dapat terlihat di

mana letak persamaan dan perbedaan dalam pengkajiannya sehingga penulisan

skripsi yang akan disusun ini dapat relevan dan menjadi sumber bacaan yang dapat

dijadikan dasar pengetahuan atau referensi.

3. Rizal Faiz Muhammad, dalam skripsinya yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan

Islam dalam Al-Qur’an (Studi Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa AS), yang ditulis

pada tahun 2007 di FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwa proses pembelajaran antara Nabi Khidir AS dan Nabi Musa

AS merupakan contoh pembelajaran bagi kehidupan manusia sekarang, di mana

pola keseimbangan dalam kehidupan agar selalu dijaga, antara materi dengan non-

materi, rasionalitas dengan spiritual dan teknologi dengan agama, karena dalam

kisah ini termuat kontribusi positif bagi dunia pendidikan yang dapat diambil

nilai-nilai pendidikan Islamnya.

Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada adalah

objek penelitiannya, dan dalam skripsi ini surat, ayat, serta pemahaman dalam

nilai-nilai pendidikan Islam. Di sini dapat terlihat di mana letak persamaan dan

perbedaan dalam pengkajiannya sehingga penulisan skripsi yang akan disusun ini

dapat relevan dan menjadi sumber bacaan yang dapat dijadikan dasar pengetahuan

atau referensi.

Page 42: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek penelitian yang penulis kaji yaitu tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah

Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat Al-Kahfi ayat 60-82). Adapun waktu

yang dilaksanakan pada penelitian ini dimulai pada bulan November 2018 dengan perkiraan

perencanaan penelitian sebagai berikut: pada bulan November dan Desember 2018 mencari dan

mengumpulkan data-data beserta referensi-referensi dari berbagai sumber, baik sumber primer

maupun sumber skunder. Selanjutnya, pada bulan Januari dan Februari 2019 proses

penganalisaan dari data-data yang telah dikumpulkan.

B. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian melalui

studi kepustakaan (library research).

Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian

ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman

dalam buku Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek bahwa sumber data penelitian

kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah.

Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,

jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1

Sedangkan metode tafsir yang penulis gunakan adalah metode tafsir tahlili, tafsir

tahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat

dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam Mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian

metode ini mengurangi kosa kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran

yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta

mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan

1 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada

Press, 2006), h. 80.

Page 43: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

31

sesudahnya. Untuk itu semua merujuk pada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah

dan riwayat para sahabat dan tabi’in.2

Menurut Said Agil Husin al-Munawar dalam buku yang berjudul Ulumul Qur’an

Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan karya Anshori, terdapat empat aspek-aspek yang

perlu diperhatikan dalam menafsirkan ayat dengan menggunakan metode tahlili ini, di

antaranya:

a. Menjelaskan arti kata-kata (mufradat) yang terkandung di dalam suatu ayat yang

ditafsirkan.

b. Menjelaskan asbab an-nuzul, baik secara asbabi atau ibtida’i.

c. Menyebutkan kaitan ayat yang satu dengan ayat yang lain (munasabah al-Ayat) dan

hubungan antara surat dengan surat yang lain baik sebelum atau sesudahnya

(munasabah al-Surat).

d. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat tersebut, baik yang berkaitan

dengan hukum, tauhid, akhlak, atau yang lainnya. 3

2. Sumber Penelitian

Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang berkaitan

dengan tema yang diambil dalam penelitian ini, dengan mengambil sumber-sumber yang

bersifat primer, yakni dari kitab al-Qur’an dan tafsirnya. Seperti tafsir al-Misbah, tafsir

al-Maraghi, tafsir Fi Zilail Quran, dan tafsir al-Azhar. Adapun data yang bersifat sekunder

yaitu dari buku-buku yang membahas berkaitan dengan pendidikan akhlak, kisah-kisah

nabi dan buku-buku yang masih berkaitan dengan tema yang diambil oleh penulis.

C. Fokus Penelitian

Pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian mengenai isi kandungan surat Al-

Kahfi ayat 60-82, bagaimana kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terkandung dalam ayat

tersebut, serta nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.

D. Prosedur Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

2Said Agil Husin Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),

cet.1, h. 69 3Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), cet.

I, h. 208

Page 44: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

32

Dalam analisis data, penulis menggunakan dengan teknik pengumpulan data berupa

dokumen-dokumen, artikel-artikel, buku-buku yang terkait, beserta kitab-kitab tafsir,

yang kemudian penulis analisis untuk memperoleh data informasi yang berhubungan

dengan tujuan penelitian, maka sumber datanya meliputi:

a. Data Primer

Yaitu data yang berasal dari sumbernya, dalam hal ini adalah buku-buku yang

berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas. Jadi pendekatan yang

digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan tafsir tahlili. Melalui pendekatan ini

diupayakan untuk memahami makna yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-

82.

b. Data Skunder

Yaitu data yang tidak langsung yang berupa catatan-catatan atau buku-buku yang

berisikan pengetahun tentang Al-Qur’an, buku-buku tentang pendidikan, serta

sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan pembahasan.

2. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah cara peneliti untuk mendapatkan data yang akurat dari data-

data yang sudah dikumpulkan selama proses penelitian dengan cara menganalisis,

mengamati dan menyimpulkan data-data yang diperoleh atau bisa disebut sebagai reduksi

data. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari

berbagai sumber, baik data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam

catatan lapangan dilokasi penelitian, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto dan

sebagainya. 4

Dalam menganalisis suatu data, penulis menggunakan metode tafsir tahlili dengan

beberapa langkah, di antaranya:

a. Penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dalam surat Al-Kahfi

ayat 60-82, yang mana dengan menjelaskan kosa kata terdapat dari masing-masing

ayat mengacu pada kitab-kitab tafsir.

4M. Djunaidi Ghony dan Fauzan al-Manshur. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2014), h. 245

Page 45: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

33

b. Setelah menjelaskan kosa kata ayat per-ayat, kemudian penulis menjelaskan

munasabah atau hubungan dengan ayat-ayat yang masih berkaitan dengan kisah Nabi

Musa dan Nabi Khidir dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82.

c. Menjelaskan makna yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 dengan

dibantu dari penjelasan ayat atau hadits atau ilmu yang berkaitan dengan ayat

tersebut. Pada tahap ini penulis menjelaskan makna yang terkandung dalam surat Al-

Kahfi ayat 60-82 dengan menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadits-

hadits Rasulullah yang berkaitan dengan makna tersebut, serta buku-buku penunjang

seperti buku pendidikan akhlak. Selain itu pada tahap ini juga penulis menganalisis

nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82

sesuai dengan runtutan ayat.

d. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya mencari

kesimpulan dari surat Al-Kahfi ayat 60-82. Kesimpulan dari penelitian ini berkaitan

tentang apa saja isi kandungan surat Al-Kahfi ayat 60-82, bagaimana kisah Nabi

Musa dan Nabi Khidir yang terkandung dalam ayat tersebut, serta nilai-nilai

pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.

Page 46: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Teks Ayat dan Terjemahnya

ا ا بلغ م با فل ى حق مض

أ و

أ بحرين بلغ مجمع ٱل

ى أ برح حت

ا أ ى لفتىه ل ما مجم إوذ قال موس ع بلهۥ ا فٱت خذ سبي م ا من نسيا حوت د لقي لق غداءنا ا ءات لفتىه قال زا ا جاو سربا فلم فى ٱلبحر

نسىيه إل

أ وت وما فإن ى نسيت ٱلح خرة ص إلى ٱل ا وي

رءيت إذ أ

أ با قال نا هذا نص يطن ا ٱسفر لش ۥ ذكره

ن أ

صصا أ لى ءاثارهما ق ا ع ا نبغ فٱرتد لك ما ك قال ذ عجبا ۥ فى ٱلبحر سبيله وٱت خذ

و ا قال لهۥ م دن ا علم منه من ل نا وعل ن عد ة م ءاتينه رحم بادنا ن ع دا م ل فوجدا عب سى هكيف تصبر ع برا و دا قال إن ك لن تستطيع معى ص مت رش ا عل من مم ن تعل

ت بعك على أ

لى ما أ

بع ال فإن ٱت ق مرا

أ لك عصى

أ برا ولا ا ص ستجدنى إن شاء ٱلل ل برا قا بهۦ خ فلا تىلم تحط س قال ت ا ة خرق في ى إذا ركبا فى ٱلس كرا فٱنطلقا حت ه ذ حدث لك م

ى أ لى عن شىء حت

ى ت ش د جئ لق ا هل

ق أ تغر ا ل خرقت

ع م أ قل إن ك لن تستطي

لم أ

ل أ ا قا ل لا ا إمر ا قا ى صبر عقا لقيا غلما فقتلهۥ ى إذا ٱنطلقا حت مري عسرا ف

أ بما نسيت ولا ترهقى من خذنى قتلت ل تؤا

أ

ى ت ش قد جئ س ل نف ير ة بغ ك نفسا زكي ل ل ق

لم أ

ى صبرا ا ن كرا ۞قال أ ع مع إن ك لن تستطي ى إذا ذرا فٱنطلقا حت دن ى ع بلغت من ل بعدها فلا تصحبى قد لتك عن شىء

قال إن سأ تيا

أ

دا فوهما فوج ي ن يض

أ بوا

ا فأ هل

أ هل قرية ٱستطعما

ال لو أ ۥ ق قامه

فأ ن يقض

ا جدارا يريد أ فيا لم تستطع ع ويل م

تأ ب ئك ب ن

ك سأ ى وب ب ذا فراق ا قال ه جر

أ خذت عليه ت لت ا ل شئ ه صبر ي

كين يعملون س فكانت لم ة في س ا ٱل م

خذ أ

ك يأ ل ا وكن وراءهم م عيب

ن أ

أ ردت

فى ٱلبحر فأا وكفرا ي ا طغ م ن يرهق

أ ا ن فخش ي ه مؤم بوا

ن أ م فكا ا ٱلغل م

ا وأ غصب ة سفي ر كل

أ ن ف

أ دنا

يرا م ما خ ما رب ة وكن يبدل مدي مين فى ٱل كان لغلمين يتي لجدار ف ا ٱ م

ما وأ قرب رح

ه زكوة وأ

ا تخرجا كزهم ا ويس هم شد

أ يبلغا ن

ك أ راد رب

ا فأ لح بوهما ص

ن أ ا وك م ل ز ۥ ك ن تحته مة م رحليه صبرا ر ا لم تسطع ع ل م وي

مري ذلك تأ

ۥ عن أ ك وما فعلته ب

Page 47: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

35

60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti

(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai

bertahun-tahun".

61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya,

lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah

kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".

63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi,

maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang

melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke

laut dengan cara yang aneh sekali".

64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak

mereka semula.

65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah

Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya

ilmu dari sisi Kami.

66. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan

kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.

68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan

aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".

70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku

tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".

71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir

melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu

menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan

yang besar.

72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali

tidak akan sabar bersama dengan aku".

73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah

kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".

74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,

maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih,

bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang

mungkar".

75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu

tidak akan dapat sabar bersamaku?"

76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka

janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup

memberikan uzur padaku".

77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,

mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau

menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang

Page 48: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

36

hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,

niscaya kamu mengambil upah untuk itu".

78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan

kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku

bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang

merampas tiap-tiap bahtera.

80. Dan adapun anak muda itu, maka orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami

khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain

yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu

bapaknya).

82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di

bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang

yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada

kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan

bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan

perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

B. Tafsir Mufradat

1. Al-Huqubu (الحقب) : dengan mendhomahkan huruf ha’ dan qaf, atau huruf ha’ memakai

dhammah, sedangkan qaf memakai sukun. Jadi, bisa dibaca al-huqub, bisa jadi al-huqb:

masa. Ada yang mengatakan, satu huqub sama dengan 80 tahun. Sedangkan menurut Al-

Hasan 70 tahun.

2. Qasasan (قصصا) : mengikuti. Yakni seperti orang mengatakan: Asarahu, artinya

mengikuti dia.

3. Al-Ihatatu bisy-syai’i (ء حاطةبالشيا ( الا : mengetahui sesuatu dengan sempurna

4. Balagta min ladunni (لدن ىعذارابلغات (منا : kamu telah mendapatkan uzur dariku.

5. Qaryatun( ية قرا ) : sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ialah Antakiyah, atau

Abbillah, atau Nasirah. Kebenaran semuanya tidak bisa dipercaya.1

6. Shobron ( صبارا ) : menahan dari kesusahan. Dikatakan: aku menahan dari kesusahan

dengan hewan peliharaan, aku menahan dari kesusahan tanpa makanan hewan, dan aku

menahan dari si fulan. Sabar adalah menahan diri atas sesuatu yang memerlukan akal dan

hukum.2

1 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi 16, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1974), Edisi ke-2, h.

1-2 2 Raghib Al-Ashfahani, Tafsir Mufradat Alfazhul Qur’an, (Damasyqi: Daarul Qolam, 2008), h. 474

Page 49: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

37

7. Ilman ( م اعلا ) : mengenali sesuatu dengan sebenar-benarnya. Ilmu terbagi dua:

Mengenali zat sesuatu

Hukum atas sesuatu pada wujudnya itu maka dia berwujud bagi hukum itu atau

hilangnya sesuatu maka dia hilang padanya.3

8. Safarina ( سفرنا ) : membuka penutup, dan mengkhususkan itu dengan dua hal, contoh:

membuka penutup sorban dari kepala, kerudung dari wajah.4

9. Adzkuruhaa ( اذاكرها ) : kadang-kadang dikatakan, dan menyelidiki pada suatu bentuk

dirinya sendiri dengan itu menguatkan untuk manusia menjaga sesuatu yang diperoleh dari

pengetahuan. Dzikir terbagi menjadi dua: dzikir hati dan dzikir lisan. Setiap dari keduanya

terbagi menjadi dua: dzikir dari rasa lupa dan dzikir bukan dari rasa lupa.5

C. Tafsir Ayat

1. Ayat 60

حقبا إوذ قال موس ى مض

أ و

أ بلغ مجمع ٱلبحرين

ى أ برح حت

ه لا أ ى لفتى “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti

(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan

sampai bertahun-tahun".

Ayat ini merupakan ayat pembuka perjalanan kisah Nabi Musa AS dalam

melaksanakan perintah Allah yakni menuntut ilmu kepada seorang guru. Menurut

Hamka, awal mula perjalanan Nabi Musa AS dalam melaksanakan perintah Allah dimulai

dia berjalan meninggalkan kampung diiringkan oleh seorang anak muda yang selalu

menjadi pengawal atau pengiringnya ke mana dia pergi. Menurut satu riwayat Bukhori

daripada Sufyan bin Uyaynah pemuda itu ialah pengiring Musa yang terkenal, muridnya

yang kelak kemudian akan meneruskan tugas beliau yaitu Yusya’ bin Nun.6

Maka setelah lama berjalan belum juga sampai kepada yang dituju, tempat

pertemuan dua lautan berkatalah Musa kepada orang mudanya itu bahwa perjalanan ini

akan beliau teruskan, terus berjalan, dan baru dia akan berhenti apabila dia telah sampai

di atas pertemuan dua laut itu.

3 Ibid, Raghib Al-Ashfahani, h. 580 4 Ibid, Raghib Al-Ashfahani, h. 412 5 Ibid, Raghib Al-Ashfahani, h. 428 6 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XV, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), h. 227.

Page 50: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

38

Sayyid Qutb menjelaskan bahwa kita dapat memahami dari arahan kisah ini bahwa

Musa memiliki target dari perjalanannya yang direncakan dengan kuat ini. Musa

bermaksud mencapai sesuatu dari perjalanan ini. Dia mempermaklumkan keinginannya

untuk mencapai pertemuan dua laut itu walaupun harus menghadapi kesulitan yang sangat

besar dan harus ditempuh dalam waktu yang sangat lama. Dia menyatakan cita-citanya

tersebut dengan apa yang diceritakan oleh Al-Qur’an sendiri dari firman Allah, “Atau aku

akan berjalan sampai waktu bertahun-tahun.”7

Firman Allah SWT, مضى حقبا

و أ

atau aku akan berjalan sampai berjalan“ أ

sampai bertahun-tahun.” Abdullah bin Umar mengatakan, “Al Huqb adalah delapan

puluh tahun.” Mujahid mengatakan, “Tujuh puluh musim.” Qatadah mengatakan, “(itu

artinya) zaman.” An-Nuhas mengatakan, “Hal yang dikenal oleh ahli bahasa, bahwa al

huqb dan al hiqbah adalah suatu masa dari waktu yang tidak diketahui dan tidak

ditetapkan.8 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Nabi Musa siap untuk menjalankan

perintah Allah dengan waktu yang cukup lama.

Dalam ayat ini, Allah menceritakan tentang keteguhan dan kekerasan hati Musa

untuk mencari hamba Allah yang shalih. Keinginan Nabi Musa itu disebabkan oleh

perintah Allah untuk menuntut ilmu kepada hamba Allah yang shalih yaitu seorang

hamba yang bisa ditemui di pertemuan dua laut.. Maka setelah mendapat petunjuk dari

Allah tentang keberadaan hamba Allah yang shalih itu walaupun harus menempuh waktu

yang cukup lama. Akhirnya berangkatlah Musa bersama muridnya.

2. Ayat 61

بحر سربا لهۥ فى ٱل ا فٱت خذ سبي م ما نسيا حوت ب ا بلغا مجمع فلم “Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan

ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.”

Menurut suatu riwayat bahwa Nabi Musa ‘Alaihis-Salam disuruh supaya membawa

serta seekor ikan asin , lalu dikatakanlah kepadanya, kapan saja kamu kehilangan ikan

itu, maka di sanalah tempat tinggal Habibullah. Maka diambillah oleh Musa seekor ikan

dan diletakkan dalam sebuah keranjang, kemudian ia pun berangkat, ditemani oleh

7 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar El-Shorouk, 2007), jil. 5, h. 329. 8 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jil. 11, h. 32-33

Page 51: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

39

muridnya. Sehingga di sana kedua orang itu sampai pada batu besar yang terletak di sisi

pertemuan antara kedua laut. Kedua orang itu tidur, sedang ikan itu bergerak-gerak dalam

keranjangnya, lalu keluar jatuh ke dalam laut.9

Pendapat yang paling kuat tentang dua laut itu adalah laut Rum dan laut Qalzum

atau laut Putih dan laut Merah. Tempat bertemu keduanya adalah di danau Murrah (pahit)

dan danau Timsah (buaya) atau di tempat bertemu dua telah Aqabah dan terusan Suez di

laut Merah. Daerah ini merupakan panggung sejarah Bani Israel setelah eksodus mereka

dari Mesir. 10

Tersebutlah dalam beberapa tafsir bahwa sesampai di dekat pertemuan dua laut itu

mereka pun menghentikan perjalanan, dan Musa pun tertidur karena sangat lelah. Ikan

ada dalam jinjingan yang dibawa oleh Yusya’. Dan dia pun merasa penat dan berlepas

lelah pula. Tiba-tiba dengan tidak disangka-sangka ikan yang dalam jinjingan itu; ikan

asin kata satu tafsir. Ikan panggang kata tafsir yang lain, meloncat dari dalam jinjingan.

Dia hidup kembali.11

Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan muridnya sampai

ke pertemuan dua laut, mereka berhenti. Tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus

dituju. Karena Allah tidak memberitahukan secara pasti, di mana tempat itu. Hanya saja,

Allah memberi petunjuk dengan menyuruh Nabi Musa membawa ikan dalam kampil atau

wadah. Dan, ketika ikan itu terlepas, maka di situlah tempatnya.

Ketika sebelum Nabi Musa berangkat mencari Nabi Khidir, beliau memerintahkan

muridnya agar menyediakan seekor ikan yang besar kemudian disimpan pada sebuah

kantong sebagai suatu tanda. Bila ikan itu hilang, maka di situlah Nabi Khidir berada.

Dari peristiwa tersebut tercermin bahwa mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, agar

kita bisa bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut.

3. Ayat 62

نصبا هذا سفرنا ن ا م داءنا لقد لقي ا غ لفتىه ءات اوزا قال ا ج فلم “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah

ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".”

9 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 272 10 Sayyid Qutb, loc.it 11 Hamka, loc.it

Page 52: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

40

Maka tatkala Musa dan muridnya melampaui tempat yang dituju di sekitar

pertemuan antara dua laut itu dan terus berjalan pada sisa hari itu sampai malam, dan

ketika datang hari esok, siang makin tinggi, maka Musa merasakan lapar. Pada saat itulah

ia berkata kepada muridnya itu, “Bawalah ke mari makanan itu, sesungguhnya kita benar-

benar merasakan letih dan payah akibat perjalanan ini.”12 Dalam penjelasan ini dapat

dipahami, bahwa Nabi Musa dan muridnya tanpa disadari sudah melewati tempat di mana

hamba Allah yang shalih itu berada. Ketika perjalanan yang cukup jauh ini sangat

menguras tenaga dan Nabi Musa merasa letih dan lapar, maka beliau memerintahkan

muridnya untuk mengeluarkan ikan yang mereka bawa sejak awal untuk dimakan

bersama.

Aatina ghada ana! Alangkah indah susun kata Bahasa Arab ini dan dalam pula

artinya. Bawalah kepada kita, bukan bawalah kepadaku. Karena kita akan makan berdua.

“Sesungguhnya kita telah bertemu dalam perjalanan ini suatu kelaparan”. Penat, payah,

dan lelah, apatah lagi telah lapar pula; makan kita dahulu!13

4. Ayat 63

ذ

ن أ

يطن أ ا ٱلش نسىيه إل

أ وت وما لح فإن ى نسيت ٱ خرة لص إلى ٱ ا وي

رءيت إذ أ

ۥ قال أ كرها سبيلهۥ فى ٱلبحر عجب وٱت خذ

“Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu

tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang

melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya

ke laut dengan cara yang aneh sekali".” Muridnya berkata kepadanya, “Tahukan tuan pengalaman yang aku alami ketika

berlindung pada batu besar itu yang berada pada pertemuan dua laut itu. Sesungguhnya aku

telah lupa memberitahukan kepada tuan, apa yang terjadi pada ikan itu. Sesungguhnya ikan

itu hidup lagi dan bergerak-gerak, lalu masuk ke laut dengan menempuh suatu jalan yang

aneh di laut itu. Yaitu bahwa tempat berjalannya seperti lengkungan dan aliran terusan air.

Dan tidak ada yang menjadikan aku lupa untuk menyebutkan hal itu kecuali setan.”14

12 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 273 13 Hamka, op.cit, h. 229 14 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.cit

Page 53: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

41

Aku telah khilaf, aku telah lupa, syaitan telah menyebabkan daku lupa! Kata-kata

begini menurut susunan bahasa adalah berarti mengakui pertanggung jawab.15 Pembantu

tersebut mempersalahkan setan, karena dia merasa sudah begitu memperhatikan pesan guru

yang sang Nabi itu. Apalagi jika memang ihwal ikan tersebut sangat ajaib, maka tentu dia

seharusnya ingat dan menyampaikan ihwalnya, atau kalau pun ihwal ikan tidak ajaib, maka

paling tidak ia adalah bekal yang sangat berharga, yang semestinya disampaikan bila

hilang. Namun demikian, itu dilupakannya sama sekali, padahal perhatiannya sudah

demikian besar. Ini berarti pasti setan bermaksud membatalkan tekad Nabi Musa AS untuk

pertemuan itu atau mengacaukannya.16 Sesuai dengan penjelasan ini, penulis

mengemukakan pendapat bahwa setiap hamba Allah yang beriman maupun yang tidak

beriman, pasti akan digoda oleh setan untuk menjauh dari perintah Allah dan menjalankan

larangan Allah. Begitupun murid Nabi Musa. Namun setelah itu, murid itu mengakui

kesalahannya. Ini adalah bentuk kejujuran seorang murid kepada gurunya yaitu mengakui

kesalahan yang telah dilakukannya.

“Lalu dia mengambil jalannya ke laut dengan ajaib”. Ikan asin yang telah mati, atau

ikan panggang meluncur dari dalam jinjingan, merayap ke atas tanah lalu dengan cepat

sekali dia meluncur ke dalam laut, suatu pemandangan yang sangat ajaib. Dijelaskan di

ujung ayat bahwa meluncurnya ikan asin itu ke dalam laut adalah ‘ajabaan; suatu yang

ajaib. Maha kuasa Allah.17 Pendapat penulis tentang hal ini adalah ikan yang Allah

perintahkan di awal perjalanan mereka merupakan salah satu media untuk memberitahu

kepada mereka di mana keberadaan hamba Allah yang shalih itu.

5. Ayat 64

صا ا قص ارهم ءاث ا على ا نبغ فٱرتد ك ما ك قال ذل“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak

mereka semula.” “Dia berkata: “Itulah dia yang kita kehendaki.” Itulah sambutan Musa dengan

gembira. Artinya di tempat meluncurnya ikan itulah rupanya kita mesti berhenti. Di sanalah

pertemuan dua lautan itu: “Maka keduanya pun kembali” ke tempat meluncur ikan itu.

15 Hamka, loc.it 16 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,

2011), volume 8, h. 93. 17 Hamka, loc.it

Page 54: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

42

“Dengan melalui jejak waktu datangnya.” Artinya mereka kembali ke tempat tadi dengan

melalui jejak-jejak kaki mereka sendiri yang telah terkesan di pasir, sehingga muda sampai

tidak sesat.18

Al-Baqa’i mengatakan, “Sesungguhnya hal itu menunjukkan bahwa jalan yang

ditempuh oleh Musa merupakan pasir yang tidak ada tanda-tanda di situ. Dan agaknya

Allah juga yang lebih mengetahui bahwa daerah itu adalah tempat pertemuan antara air

tawar dari Sungai Nil dengan air asin dari Dimyat atau Rasyid, Mesir. Hal ini dikuatkan

dengan adanya burung yang mematuk mencari makanan di laut, tempat Musa menaiki

kapalnya. Karena burung tidak akan mau minum dari air yang asin. Maka kedua orang itu

kembali menempuh jalan yang dilaluinya dengan mengikuti jejak meraka berdua. Sehingga

sampailah mereka ke batu besar itu.19

Dalam ayat ini, terlihat bahwa Nabi Musa tulus ikhlas dalam menjalankan perintah

Allah dan tidak merasa keberatan. Oleh sebab itu, Nabi Musa menyambut jawaban

muridnya itu dengan gembira. Nabi Musa memberitahukan bahwa tempat itu yang ia cari

yaitu di sanalah tempat keberadaan hamba Allah yang shalih itu. Seketika itu mereka

bergegas kembali ke tempat hilangnya ikan yang mereka bawa itu dengan mengikuti jejak

mereka berdua.

6. Ayat 65

دن ا علما منه من ل دنا وعل ن ع ادنا ءاتينه رحمة م ن عب دا م فوجدا عب“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah

Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya

ilmu dari sisi Kami.”

Hamka menegaskan ketika Nabi Musa bertemu seorang di antara banyak hamba-

hamba Allah yang dianugerahi rahmat. Dan rahmat paling tinggi yang diberikan Allah

kepada hambaNya ialah rahmat ma’rifat, yaitu kenal akan Allah, dekat dengan Tuhan,

sehingga hidup mereka berbeda dengan orang lain. Sedangkan iman dan takwa kepada

Allah saja sudahlah menjadi rahmat abadi bagi seorang hamba Allah, kononlah kalau

diberi pula dia ilmu yang langsung diterima dari Allah, yang dijelaskan di sini: “Dan telah

Kami ajarkan kepadanya ilmu yang langsung dari Kami.”20

18 Hamka, ibid, h. 229 19 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 274 20 Hamka, op.cit, h. 231

Page 55: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

43

Quraish Shihab menukil perkataan Thabathaba’i juga memahami bahwa yang

diajarkan Allah kepadanya adalah penganugerahan ilmu tanpa sebab-sebab yang lumrah

seperti yang diperoleh melalui panca indera atau pemikiran. Ini dibuktikan oleh kata

ladunna, sehingga ilmu yang dimaksud bukanlah ilmu kasbiy. Ia adalah anugerah khusus

bagi para aulia.21

Dalam ayat ini diceritakan bahwa, setelah Nabi Musa dan muridnya kembali ke

tempat menghilangnya ikan yang dibawa, mereka bertemu hamba Allah yang shalih itu.

Hamba yang Allah berikan anugerah berupa ilmu yang diperoleh tanpa membutuhkan

panca indera atau pemikiran. Ilmu yang hanya diperoleh oleh orang-orang khusus atau

hanya diberikan bagi para aulia saja. Ini merupakan alasan Allah untuk memerintahkan

Nabi Musa untuk menuntut ilmu kepada hamba Allah yang shalih, yang dianugerahi ilmu

khusus oleh Allah.

7. Ayat 66

مت رشدا ا عل م من م ن تعل

ك على أ ت بع

قال لهۥ موسى هل أ“Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan

kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

Di sisi batu besar itulah, ketika Musa dan muridnya kembali lagi kepadanya,

mereka bertemu dengan seorang hamba Kami, yaitu Khidir yang mengenakan baju putih.

Maka Musa menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata, benarkah ada kedamaian

di negeri Anda? Yang ditanya berkata, “Aku ini Musa.” “Musa dari Bani Israil?” tanya

orang itu. “Ya,” kata Musa. “Bolehkah aku mengikuti kamu supaya kamu mengajarkan

aku sesuatu dari apa yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk aku jadikan pedoman

dalam urusanku ini, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal saleh?”22

Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata kepadanya, yakni kepada hamba

Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bukankah aku mengikutimu secara

bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni

ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju

kebenaran?”23

21 Quraish Shihab, op.cit. h. 96 22 Ahmad Mustafa Al-Maragi, ibid, h. 275 23 Quraish Shihab, ibid. h. 97

Page 56: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

44

Ucapan Nabi Musa AS ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk

diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “bolehkah aku

mengikutimu?” selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapakannya itu sebagai

ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga

menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk

menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu hamba yang

saleh itu sehingga Nabi Musa AS hanya mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian

dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu, Nabi Musa AS tidak

menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah”, karena beliau sepenuhnya

sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber pengajaran, karena hal tersebut

telah merupakan aksioma bagi manusia beriman.24

Berdasarkan penjelasan para mufasir di atas, maka penulis berpendapat bahwa Nabi

Musa meminta kesediaan Nabi Khidir untuk mengajarkan sebagian ilmu yang

dianugerahkan Allah padanya, ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dalam ayat ini

Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa kepada Khidir yang sangat menjaga

kesopanan dan memohon agar diperkenankan untuk mengikutinya, supaya Khidir

memberikan sebagian ilmunya.

Ketika Nabi Musa memperkenalkan diri dan meminta agar Nabi Khidir menjadi

guru di sana terletak sopan santun terhadap calon gurunya dan berendah hati kepadanya

tercermin dari permohonan Nabi Musa kepada Nabi Khidir, “bolehkah aku mengikutimu

agar kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah

diajarkan Allah kepadamu?”. Dari uraian ini dapat diambil garis merah bahwa nilai

pendidikan yang terkandung dalam kisah Nabi Musa agar peserta didik memiliki akhlak

tawadhu kepada gurunya.

8. Ayat 67

ى صبرا ع مع قال إن ك لن تستطي“Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama

aku.”

Khidir menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar

bersamaku, hai Musa. Karena sesungguhnya aku ini mempunyai ilmu dari Allah, yang

24 Quraish Shihab, op.cit, h. 98

Page 57: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

45

telah diajarkan kepadaku, yang tidak kamu ketahui dan kamu pun mempunyai ilmu dari

Allah yang telah Dia ajarkan kepadamu, yang tidak aku ketahui.”25

Quraish Shihab mengutip perkataan Thahir Ibn ‘Asyur bahwa memahami jawaban

hamba Allah yang saleh itu bukan dalam arti memberi tahu Nabi Musa AS tentang ketidak

sanggupannya, tetapi menuntutnya untuk berhati-hati, karena seandainya jawaban itu

merupakan pemberitaan ketidak sanggupan kepada Nabi Musa AS. Tentu saja hamba

Allah itu tidak akan menerima diskusi dan Nabi Musa AS pun tidak akan menjawab

bahwa insya Allah dia akan sabar. Quraish shihab menambahkan, pendapat ini tidak

terlalu tepat. Apalagi dengan sekian penekanan-penekanan dalam redaksi hamba Allah

itu, yakni sesungguhnya, serta sekali-kali tidak akan. Di sisi lain, pemberitahuan itu

menunjukkan kepada Nabi Musa AS secara dini tentang pengetahuan hamba Allah itu

menyangkut peristiwa-peristiwa masa yang akan datang yang merupakan keistimewaan

yang diajarkan Allah kepadanya. Memang Nabi Musa AS ketika itu belum

mengetahuinya, karena itu setelah beliau mendesak untuk ikut, hamba Allah itu menerima

untuk membuktikan kebenaran ucapannya, dan karena itu pula sebagaimana terbaca di

bawah, ia mengulangi ucapannya itu setiap Nabi Musa AS menunjukkan ketidak

sabarannya. 26

Dengan perkataan seperti ini si guru pun nampaknya dalam mula pertemuan telah

mengenal akan jiwa muridnya itu. Teropong dari ilmul-ladunni, ilmu yang langsung

diterimanya dari Allah, firasat dari orang yang beriman telah menyebabkan guru

mengenal muridnya pada pertemuan yang pertama. Dan kita yang telah banyak membaca

kisah Nabi Musa AS di dalam Al-Qur’an pun telah mengetahui pula, bahwa Nabi Musa

itu mempunyai sikap jiwa yang lekas atau spontan. Sebab itu sang guru telah menyatakan

dari permulaan bahwa si murid tidak akan sabar menurutkan dia.27

Dalam penjelasan ini, penulis berpendapat bahwa Nabi Musa setelah memohon

dengan sopan kepada Nabi Khidir agar beliau menjadi muridnya, Nabi Khidir pun

menolaknya dengan sangat halus dan sopan. Dalam hal ini, Nabi Khidir tidak menolaknya

tanpa alasan. Beliau yang Allah berikan anugerah berupa ilmu laduni, mampu melihat

25 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.cit 26 Quraish Shihab, loc.it 27 Hamka, op.cit, h. 233

Page 58: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

46

masa depan ketika Nabi Musa menjadi muridnya. Nabi Musa juga memiliki sifat keras

kepala dan spontan dalam hal yang tidak sesuai dengan pemikiran atau pemahamannya,

pasti akan dibantah olehnya.

9. Ayat 68

ۦ خبرا وكيف تصبر على ما لم تحط به“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

Dan bagaimana kamu bisa bersabar, padahal engkau seorang nabi yang akan

menyaksikan hal-hal yang akan saya lakukan, yang pada lahirnya merupakan

kemungkaran, sedang hakikatnya belum diketahui. Sedang orang yang saleh tidak akan

mampu bersabar apabila menyaksikan hal seperti itu, bahkan ia akan segera

mengingkarinya.28

Bila tidak memiliki bekal itu, maka perilaku-perilaku tersebut akan tampak aneh

dan pasti diingkari. Sehingga, hamba saleh yang telah diberi ilmu laduni itu sangat

khawatir terhadap Musa, karena ia pasti tidak mampu bersabar atas keikutsertaannya dan

tingkah lakunya.29

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa ucapan Nabi Khidir

memberi isyarat dengan kata “bagaimana kamu dapat sabar” kepada Nabi Musa

bermakna bahwa dalam menuntut ilmu wajib menanamkan sifat sabar. Nabi khidir pun

mengetahui bahwa Nabi Musa tidak akan sabar dengan peristiwa-peristiwa yang nantinya

akan dialaminya. Di sini terdapat nilai pendidikan yaitu seorang guru harus mengetahui

bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.

10. Ayat 69

مرا

ى لك أ عص

أ صابرا ولا تجدنى إن شاء ٱلل قال س“Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan

aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".”

Dengan cara halus tabiat pengeras Musa selama ini telah mendapat teguran yang

pertama. Namun Nur Nubuwwat yang telah memancar dari dalam Rohani Musa pun

28 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it 29 Sayyid Qutb, loc.it

Page 59: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

47

tidaklah hendak mundur karena teguran yang demikian. Bahkan beliau berjanji bahwa

beliau akan sabar. Beliau akan dapat menahan diri menerima bimbingan dari guru.30

Mendengar komentar sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu dia, yakni Nabi

Musa AS berkata kepada hamba yang saleh itu, “Engkau insya Allah mendapati aku

sebagai seorang penyabar yang insya Allah mampu menghadapi ujian dan cobaan, dan

aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu perintah yang engkau perintahkan atau

urusan apa pun.” Perlu diingat bahwa Nabi Musa AS ketika mengucapkan janjinya, tentu

saja tidak dapat memisahkan diri dari tuntunan syari’at, dan agaknya dia pun yakin bahwa

hamba Allah yang saleh pasti mengikuti tuntunan Allah. Atas dasar itu, dapat diduga

keras adanya syarat yang terbesit dalam benak Nabi Musa AS yakni “selama perintah itu

tidak bertentangan dengan syariat agama.”31

Kata-kata ini adalah teladan yang baik bagi seorang murid di dalam mengkhidmati

gurunya. Ahli-ahli tasawuf pun mengambil sikap Nabi Musa terhadap kepada guru ini

untuk jadi teladan khidmat murid kepada guru. Sehingga apa pun sikap guru itu, walaupun

belum dapat difahamkan, bersabarlah menunggu. Karena kadang-kadang rahasianya akan

didapat kemudian.32

Dalam ayat ini, Nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan

menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan

perintah Nai Khidir selama perintah itu tidak bertentangan perintah Allah. Janji yang

beliau ucapkan dalam ayat ini didasari dengan kata-kata "Insya Allah" karena beliau sadar

bahwa sabar itu perkara yang sangat besar dan berat, apalagi ketika menyampaikan

kemungkaran, seakan-akan panas hati beliau tak tertahan lagi.

11. Ayat 70

بعتى فلا تس كرا ئ قال فإن ٱت ه ذ دث لك م ح

ى أ لى عن شىء حت “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku

tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".”

Khidir berkata kepadanya, “Bila kamu berjalan bersamaku, janganlah kamu

bertanya kepadaku tentang sesuatu yang tidak kamu setujui terhadapku. Sehingga aku

30 Hamka, loc.it 31 Quraish Shihab, ibid, h. 100 32 Hamka, loc.it

Page 60: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

48

menyebutkannya, lalu aku terangkan kepadamu segi kekurangannya, karena

sesungguhnya aku tidak akan melakukan sesuatu kecuali yang benar dan dibolehkan.

Sekalipun pada lahirnya tidak diperbolehkan. Syarat khidir itu diterima oleh Musa demi

memelihara kesopanan seorang murid terhadap gurunya.33

Hamba saleh itu pun masih menekankan dan memperjelaskan permasalahannya. Ia

menyebutkan persyaratan dalam menemaninya sebelum memulai perjalanan. Yaitu,

Musa harus bersabar untuk tidak bertanya dan meminta penjelasan tentang sesuatu dari

perilaku-perilakunya hingga rahasianya terbuka sendiri baginya.34

Dalam penjelasan ini, Nabi Khidir mengajukan persyaratan kepada Nabi Musa

jikalau ingin menjadi muridnya. Syarat yang diajukan hanya Nabi Musa harus bersabar

untuk tidak bertanya. Nabi Khidir telah mengetahui bahwa Nabi Musa mempunyai sifat

tidak sabar jika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangannya. Maka dari itu

Nabi Khidir mengajukan persayaratan itu.

Di sisi lain, perlu dicatat bahwa jawaban hamba Allah yang saleh dalam menerima

keikutsertaan Nabi Musa AS sama sekali tidak memaksanya ikut. Beliau memberi

kesempatan kepada Nabi Musa AS untuk berpikir ulang dengan menyatakan “jika engkau

mengikutiku.” Beliau tidak melarangnya secara tegas untuk mengajukan pertanyaan

tetapi mengaitkan larangan tersebut dengan kehendak Nabi Musa AS untuk

mengikutinya. Dengan demikian, larangan tersebut bukan datang dari diri hamba yang

saleh itu, tetapi ia adalah konsekuensi dari keikutsertaan bersamanya. Perhatikan

ucapannya: “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku

tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.” Dengan ucapan ini,

hamba yang saleh telah mengisyaratkan adanya hal-hal yang aneh atau bertentangan

dengan pengetahuan Nabi Musa AS yang akan terjadi dalam perjalanan itu, yang boleh

jadi memberatkan Nabi Musa AS.35

Dan syarat yang dikemukakan gurunya ini pun rupanya disanggupi oleh Musa.

Dengan demikian terdapatlah persetujuan kedua belah pihak, guru dan murid dan sejak

saat itu Musa telah menjadi murid guru itu, atau Khidir dan mereka berjalan bersama.36

33 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 275-276 34 Sayyid Qutb, op.cit. h. 330-331 35 Quraish Shihab, op.cit, h. 101 36 Hamka, loc.it

Page 61: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

49

Setelah Nabi Khidir mengajukan persyaratan kepada Nabi Musa dan Nabi Musa

menerima persyaratan itu. Sesuai tafsir di atas bahwa Nabi Musa sudah sah menjadi murid

dari Nabi Khidir. Perjalanan Nabi Musa bersama dengan gurunya dimulai. Namun Nabi

Musa tidak bisa berkomentar tentang alur perjalanannya karena sudah terikat dengan

peryaratan itu.

Penulis berpendapat bahwa dalam kesepakatan persyaratan yang diajukan oleh

Nabi Khidir kepada Nabi Musa ini terdapat sebuah perjanjian tata tertib dalam

pembelajaran. Jikalau tata tertib itu dilanggar maka akan berlaku sebuah hukuman. Nabi

Khidir menerapkan pembelajaran sikap disiplin dengan mengajukan persyaratan tersebut

kepada Nabi Musa.

Nabi Musa dan Nabi Khidir, pada pertemuan pertama antara Nabi Musa dan Nabi

Khidir dapat dipaparkan asal-usul Musa. Latar belakang Nabi Musa ini sekiranya menjadi

bahan masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan yakni pembinaan

akhlak. Nabi Musa yang awalnya bersikap sombong dengan ilmunya, ketika bertemu

dengan Nabi Khidir berbalik menjadi rendah hati dan tawadhu dalam situasi

bagaimanapun.

Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan berusaha untuk menerangkan apa yang

disepakatinya sebelum pemberangkatan. Dari hal ini terlihat bahwa Nabi Khidir

menggunakan metode uswatun hasanah atau memberi suri tauladan yang baik, yaitu

selalu disiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Ajaran tersebut merupakan bagian

dari akhlak yang baik dan dapat diambil sebagai pedoman bagi masyarakat muslim agar

selalu disiplin.

12. Ayat 71

ا خرقت

ل أ قا ا ة خرق في س ى ٱل ى إذا ركبا ف ى فٱنطلقا حت د جئت ش لق ا هل

ق أ تغر ا ل إمرا

“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr

melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu

menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan

yang besar.”

Setelah usai pembicaraan pendahaluan sebagaimana dilukiskan ayat-ayat di atas,

dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang

Page 62: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

50

dikehendaki. Musa pun menyetujui dengan penuh kerelaan. Maka, di hadapan kita

berputarlah episode awal dari kisah dua orang ini, maka berangkatlah keduanya yakni

Musa dan hamba Allah yang saleh itu menelusuri pantai untuk menaiki perahu.37

Mulailah Musa menyaksikan lautan dan akan pergi ke seberang sana, lalu

menumpang pada sebuah perahu, tetapi sebelum sampai ke tempat yang dituju dibuatnya

lobang pada perahu itu sehingga air bisa saja masuk, yang niscaya akan membawa perahu

karam. Lupalah Musa akan janjinya tidak akan bertanya kalau melihat suatu yang ganjil.

Bawaan dirinya yang asli keluar lagi dengan tidak disadarinya.38 Musa berkata kepada

Khidir, “Mengapa kamu melubangi kapal yang akibatnya kamu menenggelamkan

penumpangnya. Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”

Kemudian Musa pun menanggalkan bajunya, lalu dia tambalkan pada lubang tersebut.39

Inilah contoh nyatanya pada diri Musa, yang telah diperingatkan sebelumnya

bahwa dia tidak mungkin bersabar menghadapi apa yang belum diketahui dan

dikuasainya. Namun, dia tetap ngotot dengan berazam untuk bersabar, memohon

pertolongan taufik dengan kalimat insya Allah, diperkuat pula dengan janji dan menerima

persyaratan Khidir. Namun, ketika Musa berhadapan dengan kenyataan lapangan

berkenaan dengan perilaku Khidir, dia dengan semangat menyala mengingkarinya.40

Berdasarkan penafsiran di atas, penulis berpendapat bahwa materi pertama yang

harus diterima Nabi Musa adalah sesuatu yang bertentangan dengannya yaitu perbuatan

Nabi Khidir merusak kapal sederhana. Nabi Musa secara sadar menanyakan perbuatan

itu kepada Nabi Khidir dan melanggar kesepakatannya di awal. Oleh sebab ini, sifat keras

kepala dan spontan itu keluar dari Nabi Musa dan tergembarkan dengan jelas.

13. Ayat 72

ى صبرا قل إن ك لن تستطيع مع

لم أ

قال أ“Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali

tidak akan sabar bersama dengan aku".”

Khidir berkata, “Bukankah aku telah katakan padamu, hai Musa. Sesungguhnya,

kamu sekali-kali tidak akan mampu bersabar bersamaku terhadap perbuatan yang kamu

37 Quraish Shihab, op.cit, h. 102 38 Hamka, op.cit, h. 234 39 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 276 40 Sayyid Qutb, op.cit. h. 331

Page 63: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

51

lihat dan aku lakukan.”41 Dengan penuh kesabaran dan kelembutan, hamba saleh itu

mengingatkan Musa dengan komitmen yang telah dinyatakannya sejak awal.

Baru saja itu yang pertama kali engkau melihat yang ganjil pada pemandanganmu

engkau sudah tidak sabar. Bukankah aku telah katakan sejak semula bahwa engkau tidak

akan sabar menurutkan daku. Sekarang hal itu sudah terbukti.42

Kelembutan dan sopan santun Nabi Khidir dalam mengingatkan Nabi Musa ini

yang menjadi keutamaan dalam cerita ini. Nabi Musa yang telah melanggar perjanjiannya

di awal, tetap diingatkan dengan sabar dan santun oleh Nabi Khidir. Inilah yang bisa kita

terapkan dalam mendidik murid yaitu sifat lembah lembut Nabi Khidir dalam

mengingatkan muridnya.

Nabi Khidir sebagai seorang pendidik mengenali masalah yang dihadapi oleh

muridnya, memiliki sikap kasih sayang, lemah lembut dan sabar, pemaaf. Ini terlihat

ketika Nabi Musa melanggar janjinya yaitu tidak akan bertanya tentang apa yang

dilakukan oleh gurunya, namun Nabi Khidir tidak memarahinya. Bahkan lebih dari itu,

Nabi Khidir mengingatkan kembali dengan rasa lemah lembut dan kasih sayang dengan

pernyataan yang sopan.

14. Ayat 73

مري عسرا

ن أ ما نسيت ولا ترهقى م خذنى ب قال لا تؤا“Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah

kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".”

Musa cepat-cepat meminta agar dimaafkan atas kealpaannya. Dia memohon agar

Khidir menerima uzurnya dan tidak membebaninya kesulitan dengan merujuk dan

memperingatkannya.43 Musa berkata kepada Khidir, “Janganlah kamu menghukum aku

karena kelalaianku untuk berserah diri kepadamu dan tidak mengingkari kamu. Dan

janganlah kamu membebankan kepakau suatu kesulitan dan janganlah kamu

menyempitkan urusanku ini. Janganlah kamu mempersulit aku untuk menigkuti kamu,

tapi mudahkanlah dengan membiarkan sesuatu dan tak perlu berdebat.”44 Nabi Musa

sadar bahwa ia telah melakukan pelanggaran dalam tata tertib pembelajarannya, maka

41 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it 42 Hamka, loc.it 43 Sayyid Qutb, loc.it 44 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it

Page 64: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

52

dari itu secara sadar pula ia meminta maaf dan meminta keringanan untuk mengikuti Nabi

Khidir.

Di sini Musa mengakui terus-terang bahwa dia lupa. Dia lupa akan janjinya. Karena

baru sekali ini dia melihat hal sedahsyat itu. Disangkanya tidak akan sampai demikian.

Oleh karena itu, satu kelupaan dia pun memohon maaf. Dan berkata “Dan janganlah

engkau bebani aku karena kesalahanku ini dengan suatu kesukaran.” Artinya bahwa aku

mengakui kesalahanku ini. Sebabnya hanyalah karena lupa semata-mata. Aku meminta

maaf. Jangan engkau segera murka kepadaku, sehingga aku tidak boleh lagi mengikuti

engkau dalam perjalanan. Karena kalau demikian halnya, beratlah rasanya bebanku.

Syukurlah rasanya bagiku. Sebab aku tidak dapat lagi meneruskan menuntut ilmu.45

Dalam penjelasan ini, tergambarkan bahwa Nabi Musa mempunyai sifat tanggung jawab

atas perbuatannya. Nabi Musa meminta maaf kepada Nabi Khidir atas mempertanyakan

sesuatu hal yang tidak sesuai dengannya dan ini melanggar perjanjiannya.

15. Ayat 74

يا غلما ى إذا لق ى فٱنطلقا حت ت ش د جئ س ل ق ة بغير نف ي ت نفسا زك قتل

ل أ ۥ قا ا فقتله ن كرا

“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,

maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang

bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan

suatu yang mungkar".”

Hamba saleh itu menerima uzurnya, sehingga tibalah penayangan episode kedua di

hadapan kita. Maka tersebutlah dalam riwayat Ibnu Abbas bahwa perjalanan itu mereka

teruskan, sehingga berjumpa dengan anak muda-muda bermain-main. Di antara anak-

anak muda yang sedang banyak bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh guru itu seorang

di antara mereka: “Sehingga apabila keduanya bertemu seorang anak muda, maka

dibunuhnyalah itu.” 46

Rupanya setelah kelihatan olehnya anak itu, terus dengan tidak banyak tanya lagi

anak itu dibunuhnya mati! Tentu sekali lagi Musa tercengang, Musa yang lekas meluap.

Musa yang selamanya tidak dapat menahan hati melihat perbuatan yang di luar garis:

45 Hamka, op.cit, h. 235 46 Hamka, op.cit, h. 236

Page 65: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

53

“Dia pun bertanya: Adakah patut engkau membunuh satu jiwa yang masih bersih.” Satu

jiwa anak kecil yang masih suci bersih dan belum berdosa: “Dengan tidak ada sebab dia

membunuh orang.” Karena hukuman bunuh hanya dapat dilakukan kepada seseorang

yang membunuh orang lain, sebagai hutang nyawa bayar nyawa. Dan dengan terus-terang

Musa menyatakan tantangan atas perbuatan itu dengan katanya: “Sungguh engkau telah

berbuat suatu perbuatan yang munkar.”47

Penulis berpendapat terkait penafsiran di atas, bahwa Nabi Khidir melakukan

perbuatan yang sangat fatal yakni membunuh seorang anak kecil yang belum berdosa.

Setiap orang yang melihat perbuatan ini, pasti akan menanyakan kepada pembunuh anak

kecil itu, bahkan akan dihakimi di tempat tanpa ada prosedur hukum. Maka dari itu,

merupakan suatu hal yang wajar Nabi Musa menanyakan perbuatan Nabi Musa

membunuh anak kecil yang belum berdosa.

Pada kali ini, Musa tidaklah dalam kondisi lupa ataupun lalai, namun dia benar-

benar sengaja melakukannya. Dia benar-benar sengaja mengingkari perbuatan keji ini, di

mana dia tidak sabar atas kejadianya dan tidak pula mengetahui takwil penyebab-

penyebabnya. Sementara anak kecil itu yang menjadi korban pembunuhan, di mata Musa

tidak bersalah dan berdosa sedikit pun. Anak kecil itu tidak melakukan sesuatu yang

mengharuskan pembunuhan terhadapnya. Bahkan, dia sendiri belum baligh sehingga

harus bertanggung jawab dan dihukum atas segala perilaku yang berasal darinya.48

16. Ayat 75

ك إن ك لن تستطيع معى صبرا قل ل

لم أ

قال أ“Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu

tidak akan dapat sabar bersamaku?"

Sekali lagi hamba yang saleh itu mengingatkan Musa dengan persyaratan dan janji

yang telah disepakatinya. Dia mengingatkannya dengan pernyataan yang sama dengan

pernyataan pertama. Khidir berkata, “Bukankah aku telah katakan padamu, hai Musa.

Sesungguhnya, kamu sekali-kali tidak akan mampu bersabar bersamaku terhadap

perbuatan yang kamu lihat dan aku lakukan.”49

47 Hamka, ibid 48 Sayyid Qutb, op.cit, h. 332 49 Ahmad Mustafa Al-Maragi, loc.it

Page 66: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

54

Dalam kesempatan kali ini, hamba saleh itu menetapkan dengan pasti bahwa dia

telah berkata kepada Musa dan tertuju langsung dengan pasti dan tepat kepadanya.

Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa kamu tidak akan sabar bersamaku, tapi

kamu tidak puas dan tetap ngotot ikut serta menemaniku dan kamu telah menerima

persyaratanku?50

Penulis berpendapat terkait tafsir di atas, Bahwa Nabi Khidir sudah berkata kepada

Nabi Musa sebelum Nabi Musa ingin berguru kepadanya. Nabi musa tidak akan sabar

berguru kepada Nabi Khidir, Kemudian Nabi khidir mengulangi perkataannya dengan

maksud untuk memperkuat Nabi musa, Apakah Nabi Musa itu benar-benar sanggup

mengikutinya atau tidak.

Nabi Musa berkali-kali bertanya kepadanya tentang pelajaran yang belum berhak

dipelajarinya secara tergesa-gesa. Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang dan

sabar bahwa muridnya ini tidak akan bersabar. Dari peristiwa tersebut terlihat bahwa Nabi

Musa memiliki sifat atau watak kurang bersabar dalam menunggu penjelasan gurunya

yaitu Nabi Khidir. Nabi Khidir pun mengajarkan kesabaran kepada muridnya agar

membiasakan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu.

Nabi Khidir tidak akan marah oleh karena kesalahan muridnya tersebut, melainkan

menegurnya dengan lemah lembut. Teguran halus, tulus, dan ikhlas inilah yang

menyadarkan akan kesalahan Nabi Musa dan menggugah rasa kesusilaannya.

17. Ayat 76

ذرا دن ى ع بلغت من ل ا فلا تصحبى قد بعده لتك عن شىء

قال إن سأ“Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka

janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup

memberikan uzur padaku".”

Nabi Musa AS sadar bahwa dia telah melakukan dua kali kesalahan, tetapi tekadnya

yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan

terakhir. Untuk itu dia berkata: “Jika aku bertanya kepadamu wahai saudara dan temanku

tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah engkau menjadikan aku temanmu dalam

perjalanan ini lagi, yakni aku rela, tidak kecil hati dan dapat mengerti jika engkau tidak

menemaniku lagi. Sesungguhnya engkau telah mencapai batas yang sangat wajar dalam

50 Sayyid Qutb, loc.it

Page 67: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

55

memberikan uzur kepadaku karena rela dua kali aku melanggar dan engkau telah dua kali

pula memaafkanku.51

Artinya, tahu sendirilah Musa bahwa kalau dia berbuat kesalahan memungkiri

janjinya sekali lagi, sudahlah sepatutnya jika dia tidak dibawa serta lagi. Uzur yang

diberikan guru itu kepadanya sampai tiga kali sudahlah sampai pada cukup.52

Penulis berpendapat terkait penafsiran di atas, bahwa seorang guru memiliki rasa

kasih sayang kepada muridnya, meskipun murid itu sudah melakukan kesalahan

kepadanya dan mengingkari janjinya terhadap guru. Guru tetap memberikan beberapa

kesempatan lagi untuk si murid agar menguji tingkat istiqomah dan kesabaran murid.

Nabi Musa dan Nabi Khidir terletak ketika Nabi Khidir membunuh seorang anak

kecil. Ditinjau dari pandangan lahir, perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela dan

dosa besar. Padahal dibalik itu terkandung hikmah bagi orang tuanya. Kedua orang tua

anak tersebut bahagia ketika anak mereka lahir dan sebaliknya mereka bersedih ketika

anak itu dibunuh. Padahal kalau anak itu tetap hidup niscaya ia akan menyesatkan kedua

orang tuanya. Oleh karena itu seorang hendaknya rela akan takdir Allah, karena takdir

Allah bagi seorang mukmin lebih baik dari apa yang disenanginya. Dan ini merupakan

salah satu bagian dari akhlak seorang mukmin.

18. Ayat 77

ا ا فوجدا في فوهم ي ن يض

وا أ ب

ا فأ هل

أ تطعما هل قرية ٱس

تيا أ

ى إذا أ دارا يريد ج فٱنطلقا حت ۥ قامه

فأ قض ن ي

ا أ جر

أ خذت عليه ت قال لو شئت ل

“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu

negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu

tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding

rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata:

"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".”

Permintaan Nabi Musa AS kali ini masih dikabulkan juga oleh hamba yang saleh

itu. Maka setelah peristiwa pembunuhan itu keduanya berjalan lagi untuk kedua kalinya.

Mungkin sekali perjalanan itu sudah sangat jauh, sedang persediaan makanan tidak ada

lagi. Sebab itu mereka keduanya sudah sangat lapar: “Mereka keduanya meminta diberi

jamuan makan kepada penduduk negeri itu.” Berbuat baiklah kepada kami, hai isi

51 Quraish Shihab, op.cit, h. 105 52 Hamka, op.cit, h. 237

Page 68: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

56

kampung karena kami adalah musafir tengah dalam perjalanan jauh, bermurah hatilah

memberi kami makanan, moga-moga Allah memberikan gantinya berlipat ganda bagi

tuan di sini: “Tetapi mereka tidak mau menjamu keduanya.” Kasar benarlah rupanya budi

penduduk negeri itu, bakhil dan kedekut.53

Dalam penjelasan tafsir di atas, penulis berpendapat bahwa terdapat sebuah

pelajaran yakni ketika ada seorang musafir di tempat kita tinggal, hendaknya kita

memberikan mereka sesuatu yang dibutuhkannya. Janganlah kita abaikan mereka karena

sesungguhnya mereka sangat membutuhkan kita sebagai saudaranya. Mungkin

perjalanan musafir itu diniatkan untuk menuntut ilmu dan menolong seorang ahli ilmu

sangatlah mulia di sisi Allah.

Kemudian Khidir menemukan sebah dinding yang hampir runtuh. Pernyataan itu

menggambarkan seolah-olah dinding itu hidup dengan memiliki kemauan dan

kehidupan.54 Lalu khidir mengusapnya dengan tangannya, sehingga dinding itu kembali

tegak lurus, maka hal ini menjadi salah satu mukjiztnya.55 Heran lagi Musa melihat

perlakuan gurunya itu, kita sudah lapar, orang tidak ada yang sudi menjamu: “Berkata

dia: “Jika engkau mau bolehlah engkau mengambil upah dari perbuatanmu itu.” Jika

engkau minta upahnya, sekurangnya dengan makanan untuk kita berdua, hilanglah

kelapan kita!56 Perbuatan Nabi Khidir ini yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-

hari yaitu menolong tanpa rasa pamrih untuk diberi sekalipun kita dalam keadaan

membutuhkan.

Sebenarnya kali ini Nabi Musa AS tidak secara tegas bertanya, tetapi memberi

saran. Kendali demikian, karena dalam saran tersebut terdapat semacam unsur pertanyaan

apakah diterima atau tidak, maka ini pun telah dinilai sebagai pelanggaran oleh hamba

Allah itu. Saran Nabi Musa AS itu lahir setelah beliau melihat dua kenyataan yang

bertolak belakang. Penduduk negeri enggan menjamu, kendati demikian hamba Allah itu

memperbaiki salah satu dinding di negeri itu.57

53 Hamka, loc.it 54 Sayyid Qutb, op.cit, h. 335 55 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 4 56 Hamka, loc.it 57 Quraish Shihab, op.cit, h. 106

Page 69: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

57

19. Ayat 78

ا ه صبر لي ويل ما لم تستطع ع

تأ ب ئك ب ن

ك سأ ى وب ق ب فرا قال هذا “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan

kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”

Selesailah sampai di sini. Kita sudah mesti berpisah. Engkau diikat oleh janjimu

sendiri, jika bertanya lagi sekali, aku tidak akan membawamu serta lagi dalam perjalanan

ini. Tetapi sungguhpun demikian tidaklah akan aku biarkan saja pertanyaanmu itu tidak

terjawab: “akan aku beritakan kepada engkau arti perbuatan yang engkau terhadapnya itu

tak dapat sabar.” Akan aku terangkan semuanya kepada engkau.58

Telah tiga kali Nabi Musa AS melakukan pelanggaran. Kini cukup sudah alasan

bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan. Karena itu dia berkata: “Inilah masa

atau pelanggaran yang menjadikan perpisahan antara aku denganmu wahai Musa, apalagi

engkau sendiri telah menyatakan kesediaanmu kutinggal jika engkau melanggar sekali

lagi. Namun demikian, sebelum berpisah aku akan memberitahukanmu kepadamu

informasi yag pasti tentang makna dan tujuan dibalik apa, yakni peristiwa-peristiwa yang

engkau tidak dapat sabar terhadapnya.”59

Ayat ini menjelaskan tentang akhir perjalanan Nabi Musa menuntut ilmu kepada

Nabi Khidir, karena di kesepakatan awal Nabi Musa tidak akan menanyakan sesuatu

tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Meskipun begitu, Nabi Khidir memberikan

dispensasi kepada Nabi Musa. Namun, Nabi Musa selalu mengingkari janjinya itu dan

sampailah ia pada akhir perjalanannya. Nabi Khidir pun tidak lupa dengan janjinya untuk

menjelaskan perbuatan yang ia lakukan selama perjalanan kepada muridnya.

Terkait penjelasan tafsir di atas, penulis berpendapat bahwa sikap Nabi Khidir

dalam menepati janjinya merupakan janji seorang guru kepada muridnya. Di mana

seorang guru jikalau sudah melakukan perjanjian kepada muridnya, haruslah ditepati

karena itu merupakan contoh yang bisa diterapkan muridnya dalam kehidupan sehari-

harinya.

Permohonan Nabi Musa diterima gurunya, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Melihat

kejanggalan yang dilakukan oleh gurunya karena perbedaan pandangan, membuat Nabi

58 Hamka, op.cit, h. 237-238 59 Quraish Shihab, op.cit, h. 106-107

Page 70: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

58

Musa bertanya lagi. Pertanyaan itu berarti pelanggaran atas tata tertib yang disepakatinya

di awal dan tibalah pula saat perpisahan di antara keduanya. Hukuman itu dijatuhkan

bukan merupakan balasan dendam karena ulah muridnya tapi merupakan wujud disiplin

yang mesti ditegakkan.

20. Ayat 79

ك ل ا وكن وراءهم م ب عي

ن أ

أ ردت

بحر فأ كين يعملون فى ٱل س م كانت ل ة ف في س ا ٱل م

أغصبا ة سفي ذ كل خ

يأ

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan

aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang

merampas tiap-tiap bahtera.”

Mulailah dengan tenang guru itu menafsirkan rahasia dari ketiga perbuatanna itu:

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di laut.”

Artinya bahwa perahu yang aku rusakkan atau aku beri cacat itu ialah kepunyaan nelayan

atau penangkap-penangkap ikan. Mereka itu sebagaimana kebanykan nelayan adalah

orang-orang miskin. Mencari ikan sekadar dapat akan dimakan. “Maka aku hendak

memberi cacat padanya.” Aku bocorkan perahu itu, “karena di belakang mereka ada

seorang raja yang mengambil tiap-tiap perahu dengan jalan sewenang-wenangnya.”60

Ringkasan, bahtera adalah milik kaum miskin yang lemah. Mereka

menggunakannya untuk mencari nafkah, maka dengan apa yang telah aku perbuat, aku

bermaksud menolong mereka dari apa yang mereka takuti dan tidak dapat mereka tolak,

yaitu seorang raja di hadapan mereka yang kebiasaannya merampas bahtera-bahtera yang

layak pakai.61

Pendapat penulis terkait tafsir di atas adalah Nabi Khidir menjelaskan perbuatannya

tanpa ada amarah kepada Nabi Musa. Nabi Musa yang notabennya selalu melanggar

janjinya, namun Nabi Khidir tetap santun dalam menjelaskan penjelasannya. Nabi Khidir

juga menggunakan bahasa yang lugas dan dapat dipahami muridnya.

21. Ayat 80

ا ا وكفر ا طغي م ن يرهق

ا أ ين فخش ؤم ه م بوا

فكان أ لغلم ا ٱ م

وأ

60 Hamka, op.cit, h. 239 61 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 8

Page 71: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

59

“Dan adapun anak muda itu, maka orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami

khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan

kekafiran.”

Anak kecil itu tidak menampakkan sedikit pun dalam dirinya dan penampilannya

sesuatu yang mengharuskannya untuk dibunuh. Namun, tirai gaib tentang anak itu telah

menyingkapkan hakikat lain kepada hamba saleh itu. Ternyata watak dasar anak itu

adalah kafir dan zalim, tersimpan dalam dirinya benih-benih kekafiran dan kebiadaban.

Semakin hari hal itu semakin tampak dan terang. Sehingga, bila anak itu tetap hidup, pasti

mendurhakai kedua orang tuanya yang mukmin dengan kekafiran dan kebiadabannya.

Kemudian mengarahkan keduanya karena dorongan cinta keduanya kepadanya untuk

mengikuti jalannya. Maka, Allah pun berkehendak dan mengarahkan kehendak hamba-

Nya yang saleh untuk membunuh anak yang membawa watak-watak kafir dan biadab

tersebut.62

Ringkasan, sesungguhnya kami telah mengetahui bahwa jika anak muda itu telah

mencapai balig, niscaya dia akan mengajak kedua orang tuanya kepada kekafiran, lalu

mereka menyambut dan masuk bersamanya ke dalam agamanya, akibat mereka terlalu

cinta kepadanya.63

Perbuatan Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil yang belom berdosa

merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir dalam hukum syariat. Namun, Nabi Khidir

mempunyai penjelasan yang masuk akal tentang hal itu. Ia menyampaikan bahwa Allah

telah membukakan penglihatan tentang masa depan anak itu dan seandainya dia masih

tetap hidup akan mengakibatkan kebinasaan pada kedua orang tuanya.

22. Ayat 81

قرب رحما

وة وأ ه زك ما خيرا م ب ما ر بدل ن ي

ردنا أ

فأ“Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak

lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya

(kepada ibu bapaknya).”

62 Sayyid Qutb, op.cit, h. 336 63 Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit, h. 9

Page 72: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

60

Menurut suatu tafsiran dari Ibnu Juraij, seketika anak pertama itu dibunuh Khidir,

ibunya sedang mengandung. Dan setelah anak itu lahir, ternyata menjadi seorang anak

Muslim yang shalih.64

Sekiranya urusan itu hanya disandarkan kepada ilmu nyata dari seseorang, maka

yang tampak hanya penampilan luar dari anak kecil itu. Sehingga, hamba saleh itu tidak

punya hak dan legalitas untuk membunuhnya karena dia tidak melanggar apa pun yang

membuatnya berhak untuk dibunuh menurut syariat. Bukanlah hak selain Allah dan selain

hamba-Nya yang kepadanya dibukakan sedikit ilmu gaib-Nya untuk memutuskan hukum

atas seseorang berdasarkan faktor-faktor gaib yang terungkap kepadanya dari orang itu.

Dia juga tidak berhak menetapkan hukum berdasarkan ilmu gaib-Nya tanpa

mengindahkan ketentuan hukum syariat yang lahiriah. Kasus yang ada dalam kisah ini

merupakan urusan Allah berdasarkan ilmu-Nya yang gaib dan sangat dalam.65

23. Ayat 82

بوهما ص

أ ما وكن ز ل كن تحتهۥ ك ة و مدي ين يتيمين فى ٱل فكان لغلم ا ٱلجدار م

لحا وأم

فعلتهۥ عن أ ا ك وم ب ن ر ا رحمة م هما ويستخرجا كزهم د ش

أ ن يبلغا

ك أ راد رب

ي فأ ر

ليه صبرا ا لم تسطع ع ل م وي

ذلك تأ“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di

bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah

seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada

kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan

bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan

perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".”

Keterangan pertama ini memberikan isyarat pada kita bahwa dinding itu adalah

bangunan pusaka dari seorang ayah yang telah meninggal dunia dan meninggalkan dua

orang anak yatim. Dan sebagai kita maklum, anak-anak disebut yatim ialah sebelum

mereka dewasa. Maka ketika Musa dan gurunya itu melewat ke kampung tersebut,

mereka masih kecil-kecil. “Dan di bawahnya ada harta terpendam kepunyaan keduanya.”

Konzun kita artikan harta terpendam. Yaitu harta kekayaan yang terdiri dari emas dan

perak yang biasa dikuburkan oleh orang yang telah meninggal di dalam tanah, kalau digali

oleh orang yang datang kemudian akan bertemu dan menjadi kekayaan mereka. “Dan

64 Hamka, op.cit, h. 240 65 Sayyid Qutb, op.cit, h. 336-337

Page 73: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

61

kedua ayah-bunda mereka adalah orang yang shalih.” Merekalah yang menguburkan

harta terpendam itu. Maka kasihanlah saya kepada kedua anak yatim itu jika harta

terpendam pusaka orang tua mereka tidak sampai ke tangan mereka, karena jauh

tertimbun dalam tanah, karena tanah tempat dia terpendam dihimpit lagi oleh dinding.

“Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampatlah kiranya kedewasaan mereka

dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka.”66

Hamba saleh itu membebaskan diri dari segala campur tangan dalam perkara itu.

Itu semua merupakan rahmat Allah, yang mengatur perilaku itu. Semua itu adalah urusan

Allah, yang mengatur perilaku itu. Semua itu adalah urusan Allah, bukan urusannya.

Allah telah membukakan kepadanya pintu-pintu gaib dalam masalah ini dan masalah-

masalah sebelumnya. Dia mengarahkannya kepada tindakan itu sesuai dengan ilmu gaib

yang dibukakan kepadanya.67

Demikian Nabi Khidir itu mampu menyingkap tabir rahasia perbuatan-

perbuatannya yang merupakan gaib yang tidak disingkap Allah, kecuali hamba-hamba-

Nya yang Dia pilih. Dalam keterpakuan Nabi Musa mendengar rahasia itu, kisahnya

ditutup tanpa menjelaskan ke mana perginya Nabi Khidir itu.

D. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82 serta

Implementasinya dalam Pendidikan

Dalam kelompok ayat ini, ada beberapa nilai-nilai akhlak dapat dipetik dari tafsir di atas,

di antaranya adalah tawakal, tawadhu, disiplin, bersungguh-sungguh dalam menutut ilmu, dan

sabar.

1. Tawakal

Konsep tawakal tercermin dalam penjelasan Hamka dalam tafsirnya ayat 81,

“Maka inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Tuhan keduanya dengan (anak)

yang lebih baik dari dia.” Hamka menafsirkan bahwa sangatlah kita mengharapkan

moga-moga Allah akan segera mengganti anak yang telah mati itu dengan anak yang

shalih yang akan menenangkan hati kedua orang tuanya yang beriman dan shalih itu, yang

lebih baik dari dia. “Tentang kebaktian dan lebih dekat tentang hubungan keluarga.”

66 Hamka, loc.it 67 Sayyid Qutb, op.cit, h. 337

Page 74: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

62

(ujung ayat 81) ditunjukkan dalam ayat ini sikap tawakal nabi Khidir tentang anak

pengganti yang akan lahir itu. Yaitu yang mempunyai keistimewaan.68

Secara harfiah, tawakal berasal dari kata wakala yang artinya menyerahkan,

mempercayakan, atau mewaikili urusan kepada orang lain. Tawakal adalah menyerahkan

segala perkara dan usaha yang dilakukan kepada Allah swt, serta berserah diri sepenuhnya

kepada-Nya untuk mendapatkan kemaslahatan atau menolak kemudharatan.

Tawakal merupakan salah satu ciri orang yang beriman, bahkan Muhammad bin Abdul

Wahab, seorang ulama Arab Saudi menyatakan seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi

Hukum Islam bahwa tawakal merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak tertinggi

keimanan.69

Menurut Abu Bakar al-Jazairi, tawakal adalah perbuatan dan harapan dengan

disertai hati yang tenang, jiwa yang tenang, dan keyakinan yan kuat bahwa apa yang

dikehendaki Allah pasti terjadi, atau apa yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Allah

ta’ala tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.70

Implementasi sikap tawakal dalam dunia pendidikan bertujuan agar manusia

memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang lain

dan masyarakat. Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam sebagaimana

dikatakan oleh M.Arifin bahwa tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi

kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku

khalifah di muka bumi, yaitu sebagai berikut:

a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.

b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan

masyarakatnya.

c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan

kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup

sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah dengan dilandasi sikap

hubungan yang harmonis pula.71

68 Hamka, Op.cit, . 240 69Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al-Qalam, 2007), h. 52 70Ahmad Yani, Ibid. h. 53 71 Muzayyin Arifin, op.cit, hlm. 121.

Page 75: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

63

2. Tawadhu

Konsep tawadhu tercermin dalam penjelasan Hamka dalam tafsirnya ayat 66, yaitu

alangkah sopan adab yang ditunjukkan oleh seorang Nabi Allah ini. Musa memohon

penjelasan pemahaman tanpa memaksa, dan ia mencari ilmu yang dapat memberikan

petunjuk dari hamba saleh yang alim ini. Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa

sehingga menunjukkan sikap ketawadhuan Nabi Musa setelah menyediakan diri menjadi

murid dan mengakui di hadapan guru bahwa banyak hal yang dia belum mengerti.

Kelebihan ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai dia mengerti sebagai

seorang murid yang setia.72

Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah lembut. Dan ini

tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji melainkan bila dibarengi karena

mengharap wajah Allah Azza Wa Jalla. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah SWT mengangkat derajatnya di

mata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu karena maksud

utama perilakunya itu didasari agar mulia di mata orang dan sikap seperti itu menghapus

tawadhu yang sebenarnya.73

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mendefinisikan tawadhu yaitu merendahkan diri

terhadap kebenaran, tunduk kepadanya, dan menerimanya dari orang yang

mengatakannya. Tunduk terhadap kebenaran adalah kemuliaan yang sebenarnya karena

ia adalah taat kepada Allah SWT, kembali kepada kebeneranan dan membiasakan diri

agar tidak terus-menerus di atas kebatilan.74

Rasulullah merupakan contoh yang paling ideal dalam hal bertawadhu, lemah

lembut, bersahaja, berakhlak mulia dan berlapang dada. Pernah suatu ketika, Nabi

berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau berhenti kemudian

mengucapkan salam dan melontarkan sebuah candaan.75

Sikap tawadhu atau sikap rendah hati ini harus selalu ditanamkan dalam hati sebagai

sarana untuk mematahkan sikap sombong atau takabbur yang mungkin saja bersemayam

72 Hamka, op.cit, h. 232 73 Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Sifat Tawadhu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, (Islam

House: Riyadh), h. 4 74 Mahmud Muhammad al-Khazandar, Tawadhu’, (Riyadh: Maktab Dakwah, 2008), h. 5 75 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 1999), h. 216.

Page 76: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

64

di dalam hati murid yang menuntut ilmu di sekolah atau di manapun. Dalam hal ini untuk

membentuk sikap tawadhu siswa, guru harus mempunyai kepribadian yang bisa dijadikan

teladan oleh para siswa dan guru yang lain. Menjadi guru PAI sangat penting tidak hanya

menyampaikan pengetahuan kognitif saja melainkan membentuk moral dan nilai luhur

kepada pribadi siswa khususnya dalam hal ketawadhuan. Keteladanan guru dalam

membentuk sikap tawadhu siswa meliputi:

a. Kepribadian yang baik, berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan, maksudnya guru

PAI harus bertindak sesuai dengan norma religius, iman, taqwa, jujur, ikhlas, suka

menolong dan memiliki perilaku yang diteladani siswa.

b. Kepribadian disiplin, maksudnya guru PAI harus lebih memberikan contoh kepada

siswa agar bisa disiplin, karena banyak perilaku siswa yang kadang tidak sesuai

dengan sikap moral yang baik.

c. Kepribadian teladan bagi siswa, seorang guru PAI harus bisa menjadi teladan yang

baik, santun dalam berbicara dan sopan dalam bertingkah laku.76

3. Sabar

Akhlak ini tercerminkan dalam surat Al-Kahfi ayat 75:

ك إن ك لن تستطيع معى صبرا قل ل

لم أ

قال أ

“Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu

tidak akan dapat sabar bersamaku?"

Di dalam ekspedisi Nabi Musa dengan Nabi Khidir, Nabi Musa berkali-kali bertanya

kepadanya tentang pelajaran yang belum berhak dipelajarinya secara tergesa-gesa.

Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang dan sabar bahwa muridnya ini tidak akan

bersabar. Dari peristiwa tersebut terlihat bahwa Nabi Musa memiliki sifat atau watak

kurang bersabar dalam menunggu penjelasan gurunya yaitu Nabi Khidir. Nabi Khidir pun

mengajarkan kesabaran kepada muridnya agar membiasakan diri untuk tidak tergesa-gesa

dalam menghukumi sesuatu.

Secara harfiah, sabar berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran yang artinya

menahan atau mengekang. Sabar dalah menahan diri dari bersikap, berbicara, dan

76 E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009), hlm.

121.

Page 77: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

65

bertingkah laku yang tidak dibenarkan oleh Allah swt. dalam berbagai keadaan yang sulit,

berat, dan mencemaskan. Sabar juga bermakna ketabahan dalam menerima suatu

kesulitan dan kepahitan, baik secara jasmani seperti menanggung beban dengan badan

berupa beratnya suatu pekerjaan, sakit, dan sebagainya, juga sabar secara rohani seperti

menahan keinginan tidak benar.

Kata sabar mengandung makna yang luas dalam berbagai keadaan, sehingga

istilahnya berbeda-beda. Ketika seseorang mendapatkan musibah-musibah, dia harus

bersabar. Ketika seseorang hidup berkecukupan atau berlebihan, dia harus mengendalikan

hawa nafsu yang disebut dengan zuhud. Jika seseorang menghadapi peperangan,

kesabarannya disebut syaja’ah (berani). Jika seseorang marah kesabarannya adalah lemah

lembut (al-Hilmu). Jika seseorang menghadapi bencana, sabarnya adalah lapang dada,

jika menyimpan perkataan (rahasia), sabarnya adalah kitmaanus-sirri, jika memperoleh

sesuatu yang tidak banyak, sabarnya adalah qana’ah (menerima).77

Nurkhalis Madjid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Nur, menekankan

pengertian sabar pada kesanggupan untuk memikul penderitaan, karena berharap kepada

Allah untuk meraih kemenangan di masa depan. Karena harapan itu ibarat pelampung

yang mengambangkan kita dalam lautan dan gelombang kehidupan yang tidak menentu

ini. Kita berani hidup karena ada harapan. Sesuatu yang kita inginkan ternyata tidak

terjadi hari ini maka kita mash harapkan terjadi besok atau lusa atau minggu depan atau

bulan depan atau tahun depan dan seterusnya. Apabila yang kita inginkan tidak juga

terwujud maka janganlah bersikap pesimis atau berpikiran negatif dan menuduk bahwa

Tuhan tidak adil. Pikiran pesimis-negatif akan membuat kita mengalami kebangkrutan

rohani, dan oleh sebab itu kita harus mengganti pandangan pesimistis-negatif dengan

pandangan optimistis-positif karena apapun yang terjadi pasti ada hikmahnya. merupakan

kesombongan yang tidak masuk akal jika ingin mengetahui kehendak Tuhan. Tuhan

Maha Kuasa dan Maha Besar sedang kita mahluk yang lemah dan tidak mungkin

mengetahui segala sesuatu yang dikehendaki Allah.78 Apabila kita mendapat suatu cobaan

dari Tuhan, maka kita jangan berfikiran negatif, melainkan kita harus bersabar

menerimanya sebab sikap sabar dapat membuat kita tidak kehilangan akal sehat.

77 Ahmad Yani, loc.it, h.125 78 Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Cara Sufi, (Jakarta: Gugus Lintas Wacana, 2005), cet. 1, h.12-15

Page 78: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

66

Sikap sabar bisa dibangun atau diciptakan oleh seorang siswa di sekolah apabila

pendidik menggunakan strategi pembelajaran yakni strategi pembelajaran efektif.

Strategi ini bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, melainkan

juga sikap dan keterampilan berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena

menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Kemampuan afektif

berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama,

disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan

mengendalikan diri. Maka strategi ini sulit diukur karena menyangkut kesadaran

seseorang yang tumbuh dari diri.

Proses pembentukan sikap dalam strategi afektif adalah dengan pola pembiasaan dan

pemodelan. Berikut uraiannya:

a. Pola pembiasaan, dalam proses pembelajaran di sekolah baik disadari atau tidak, guru

akan menanamkan sikap tertentu kepada siswa yang setiap kali menerima proses

pembiasaan.

b. Pemodelan, dilakukan melalui proses pembentukan sikap yang dilakukan melalui

proses asimilasi atau proses percontohan yang dilakukan.79

4. Disiplin

Akhlak disiplin tercermin dalam penjelasan Sayyid Qutb dalam kitabnya, yaitu Nabi

Musa berintrospeksi diri dan menyadari bahwa dia telah melanggar janjinya dua kali, dan

dia tetap lupa akan janjinya walaupun telah diperingatkan dan disadarkan. Maka, dia pun

sadar untuk mendisiplinkan dirinya sesuai dengan janjinya di awal perjalanan dan

terdorong untuk memutuskan mutlak atas dirinya dan menjadikan kesempatan berikutnya

(kalau diizinkan) menemani hamba itu sebagai peluang terakhir.80

Disiplin pada hakikatnya adalah suatu unsur paling penting dalam keseluruhan

perilaku dan kehidupan baik secara individual maupun kelompok. Dengan disiplin,

perilaku seseorang individu atau kelompok akan lebih serasi, selaras dan seimbang

dengan tuntutan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menunjang terwujudnya kualitas

hidup yang lebih bermakna.

79 Nunuk Suryani, Strategi Belajar Mengajar, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h.106 80 Sayyid Qutb, ibid

Page 79: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

67

Disiplin berasal dari bahasa Latin dicscere yang berarti belajar. Dari kata tersebut

timbul kata disciplina yang berarti pengajaran atau pelatihan. Perkembangan bahasa terus

bergulir sehingga kata disiplin memiliki beberapa pengertian. Pertama, disiplin diartikan

sebagai kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan dan pengendalian.

Kedua, disiplin merupakan sikap kejiwaan atau sikap mental yang mencerminkan tingkah

laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap

peraturan, ketentuan, etika, norma dan kaidah yang berlaku. Ketiga, disiplin merupakan

latihan jiwa yang bertujuan agar diri dapat berperilaku tertib.81

Jikalau kita melihat dari peristiwa proses Nabi Musa menuntut ilmu kepada Nabi

Khidir, terlihat bahwa Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan berusaha untuk

menerangkan apa yang disepakatinya sebelum pemberangkatan. Dari hal ini terlihat

bahwa Nabi Khidir menggunakan metode uswatun hasanah atau memberi suri tauladan

yang baik, yaitu selalu disiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Ajaran tersebut

merupakan bagian dari akhlak yang baik dan dapat diambil sebagai pedoman bagi

masyarakat muslim agar selalu disiplin.

Di sisi lain, Nabi Khidir menerapkan tata tertib kepada Nabi Musa yang bertujuan

agar Nabi Musa bisa menjadikan kesepakatannya di awal sebagai sikap disiplin untuk

Nabi Musa sendiri. Ini terlihat dengan kesadaran Nabi Musa akan kesalahannya sendiri

yang tercermin dalam permohonannya yang terakhir sebagaimana tercantum dalam ayat

76: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah

kamu membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau telah memberikan uzur

kepadaku.”

Permohonan Nabi Musa diterima gurunya, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Melihat

kejanggalan yang dilakukan oleh gurunya karena perbedaan pandangan, membuat Nabi

Musa bertanya lagi. Pertanyaan itu berarti pelanggaran atas tata tertib yang disepakatinya

di awal dan tibalah pula saat perpisahan di antara keduanya. Hukuman itu dijatuhkan

bukan merupakan balasan dendam karena ulah muridnya tapi merupakan wujud disiplin

yang mesti ditegakkan.

81 Fahmi Irhamsyah dkk., Pendidikan 18 Karakter Bangsa, (Jakarta: Mustika Pustaka Negeri, 2016), jil. 2, h.

19

Page 80: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

68

Penerapan atau pembetukan sikap disiplin dalam pendidikan formal ini bisa

diterpakan melalui beberapa unsur, di antaranya:

a. Pengetahuan, maksudnya sejauh mana seseorang mengetahui dan memahami

perbuatan yang seharusnya dilakukan sehingga dikatakan berdisiplin dan mana yang

perbuatan yang tidak berdisiplin. Dengan demikian orang tersebut dapat mengetahui

akibat dari perbuatannya: akibat positif bagi yang berdisiplin dan negatif bagi yang

sebaliknya. Misalnya dengan menghormati guru maka akan disayangi guru,

melanggar perintah guru maka akan mendapat sanksi, menghargai hak orang lain

maka tidak akan dikucilkan, namun apabila tidak menghargai orang lain maka akan

dikucilkan.

b. Kesadaran moral (moral conciouness) driyarkara menjelaskan sebagai berikut:

“Moral adalah suatu keseluruhan asas dan nilai yang berkenaand dengan baik dan

buruk.” Misalnya tidak berbuat asusila, tidak meminum-minuman keras,

menghormati orang tua, menghormati guru, dan lain-lain.

c. Pengendalian diri (control). Hal ini berkaitan dengan sejauh mana sikap seseorang

terhadap berbagai alat kontrol seperti tata tertib, dan atau peraturan. Misalnya tidak

menyontek, menghargai teman, mengutamakan kepentingan bersama, dan lain-lain.

d. Kehendak dan kebebasan untuk memilih perbuatan. Terdapat dua macan kehendak

yaitu positif dan negatif. Kehendak positif adalah kehendak seseorang yang bersedia

berbuat dan mengerjakan sesuatu sesuai dengan aturan atau norma yang ada.

Sebaliknya kehendak negatif adalah seseorang yang tidak mau mengerjakan sesuatu

sesuai dengan peraturan norma yang ada. Misalnya norma agama, norma kesopanan,

dan norma kesusilaan.82

5. Bersungguh-sungguh dalam Menuntut Ilmu

Konsep bersungguh-sungguh ini tercermin dalam penjelasan Sayyid Qutb dalam

tafsirnya, yaitu kita dapat memahami dari arahan kisah ini bahwa Nabi Musa memiliki

target dari perjalanannya yang direncakan dengan kuat ini. Musa bermaksud mencapai

sesuatu dari perjalanan ini. Dia mempermaklumkan keinginannya dan bersungguh-

sungguh untuk mencapai pertemuan dua laut itu walaupun harus menghadapi kesulitan

yang sangat besar dan harus ditempuh dalam waktu yang sangat lama. Dia menyatakan

82 N. Driyakarya, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT. Pembangungan, 1962). h. 54

Page 81: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

69

cita-citanya tersebut dengan apa yang diceritakan oleh Al-Qur’an sendiri dari firman

Allah, “Atau aku akan berjalan sampai waktu bertahun-tahun.”83

Para penuntut ilmu haruslah bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti

yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang

sungguh-sungguh untuk mencari (keridhoanku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan

mereka kepada jalan-jalan menuju keridhoan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-

sungguh mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk

pintu, dan maju terus, tentu bisa masuk.

Dengan kadar sengsaramu dalam berusaha kamu akan mendapat apa yang akan kamu

dambakan. Dikatakan bahwa belajar dan memperdalam ilmu fiqih itu dibutuhkan adanya

kesungguhan dari tiga orang, kesungguhan murid, guru dan orang tua bila masih hidup.

Ustadz Sadiduddin mengalunkan syair gubahan Imam Syafi’i kepada muridnya:

“Kesungguhan itu dapat mendekatkan sesuatu yang jauh, dan bsa membuka pintu yang

terkunci. Sungguh sangat banyak orang yang bercita-cita luhur bersedih, karena diuji

dengan kemiskinan. Barangkali sudah menjadi suratan takdir dan keputusan Allah, bahwa

banyak orang cerdas tapi miskin dan banyak orang bodoh yang kaya raya. Dan kedua hal

tersebut tidak bisa dikumpulkan.”

Penyair lain berkata, “Kamu ingin menjadi orang ahli fiqih, tapi tak mau sengsara,

itu artinya kamu gila. Mencari harta pun tidak akan berhasil tanpa kerja keras, dan harus

tahan menghadapi penderitaan. Begitu juga mencari ilmu, tidak akan berhasil tanpa kerja

keras (bersungguh-sungguh).” Abu Thoyyib berkata, “Sungguh naif orang yang mampu

berusaha tapi tidak mau berusaha secara optimal.”84

83 Sayyid Qutb,Op.cit, h. 329. 84 Syekh Az-Zarnuji, Op.cit, h. 39-41

Page 82: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Nabi Musa

AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82) pada bab-bab sebelumnya,

maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa terdapat 5 point nilai-nilai pendidikan akhlak

yang terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir Surat Al-Kahfi ayat

60-82), di antaranya:

1. Tawakal

Sikap tawakal dalam cerita Nabi Musa dan Nabi Khidir terletak ketika Nabi Khidir

membunuh seorang anak kecil. Ditinjau dari pandangan lahir, perbuatan tersebut

merupakan perbuatan tercela dan dosa besar. Padahal dibalik itu terkandung hikmah bagi

orang tuanya. Kedua orang tua anak tersebut bahagia ketika anak mereka lahir dan

sebaliknya mereka bersedih ketika anak itu dibunuh. Padahal kalau anak itu tetap hidup

niscaya ia akan menyesatkan kedua orang tuanya. Oleh karena itu seorang hendaknya rela

akan takdir Allah, karena takdir Allah bagi seorang mukmin lebih baik dari apa yang

disenanginya. Dan ini merupakan salah satu bagian dari akhlak seorang mukmin.

Implementasi sikap tawakal dalam dunia pendidikan adalah:

a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.

b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan

masyarakatnya.

c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan

memanfaatkan kekayaan alam ciptaan AllahTawadhu

2. Tawadhu

Dari kasus Nabi Musa dan Nabi Khidir, pada pertemuan pertama antara Nabi Musa

dan Nabi Khidir dapat dipaparkan asal-usul Musa. Latar belakang Nabi Musa ini sekiranya

menjadi bahan masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan yakni

pembinaan akhlak. Nabi Musa yang awalnya bersikap sombong dengan ilmunya, ketika

bertemu dengan Nabi Khidir berbalik menjadi rendah hati dan tawadhu dalam situasi

bagaimanapun.

Page 83: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

71

Keteladanan guru dalam membentuk sikap tawadhu siswa meliputi:

a. Kepribadian yang baik, berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan, maksudnya

guru PAI harus bertindak sesuai dengan norma religius, iman, taqwa, jujur,

ikhlas, suka menolong dan memiliki perilaku yang diteladani siswa.

b. Kepribadian Disiplin, maksudnya guru PAI harus lebih memberikan contoh

kepada siswa agar bisa disiplin, karena banyak perilaku siswa yang kadang tidak

sesuai dengan sikap moral yang baik.

c. Kepribadian Teladan bagi Siswa, seorang guru PAI harus bisa menjadi teladan

yang baik, santun dalam berbicara dan sopan dalam bertingkah laku.

3. Sabar

Ketika perjalanan jauh menuju pertemuan dua lautan dan dilanjutkan dengan

perlawatan bersama gurunya yang ditempah dengan melampaui daratan dan lautan itu

memerlukan ketabahan, kesabaran dan bekal yang cukup. Kesadaran akan pentingnya

mencari ilmu karena Allah tidak menjadikan rendah diri atau menyerah yang disebabkan

jabatan atau titel kenabian yang dimiliki oleh Nabi Musa AS.

Proses pembentukan sikap dalam strategi afektif adalah dengan pola pembiasaan dan

pemodelan. Berikut uraiannya:

a. Pola pembiasaan, dalam proses pembelajaran di sekolah baik disadari atau tidak,

guru akan menanamkan sikap tertentu kepada siswa yang setiap kali menerima

proses pembiasaan.

b. Pemodelan, dilakukan melalui proses pembentukan sikap yang dilakukan melalui

proses asimilasi atau proses percontohan yang dilakukan.

4. Disiplin

Di sisi lain, Nabi Khidir menerapkan tata tertib kepada Nabi Musa yang bertujuan

agar Nabi Musa bisa menjadikan kesepakatannya di awal sebagai sikap disiplin untuk Nabi

Musa sendiri. Ini terlihat dengan kesadaran Nabi Musa akan kesalahannya sendiri yang

tercermin dalam permohonannya yang terakhir sebagaimana tercantum dalam ayat 76:

“Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu

membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau telah memberikan uzur kepadaku.”

Penerapan atau pembetukan sikap disiplin dalam pendidikan formal ini bisa

diterpakan melalui beberapa unsur, di antaranya:

Page 84: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

72

a. Pengetahuan, maksudnya sejauh mana seseorang mengetahui dan memahami

perbuatan yang seharusnya dilakukan sehingga dikatakan berdisiplin dan mana

yang perbuatan yang tidak berdisiplin

b. Kesadaran moral (moral conciouness)

c. Pengendalian diri (control).

d. Kehendak dan kebebasan untuk memilih perbuatan.

5. Bersungguh-sungguh dalam Menuntut Ilmu

Ketika sebelum Nabi Musa berangkat mencari Nabi Khidir, beliau memerintahkan

muridnya agar menyediakan seekor ikan yang besar kemudian disimpan pada sebuah

kantong sebagai suatu tanda. Bila ikan itu hilang, maka di situlah Nabi Khidir berada.

Dari peristiwa tersebut tercermin bahwa mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, agar

kita bisa bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut.

Implementasi sikap bersungguh-sungguh yaitu para penuntut ilmu haruslah

bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti yang diisyaratkan dalam Al-

Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang sungguh-sungguh untuk mencari

(keridhoanku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan mereka kepada jalan-jalan menuju

keridhoan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-sungguh mencari sesuatu tentu akan

mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk pintu, dan maju terus, tentu bisa

masuk.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah:

1. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat. Yang mana dalam al-Qur’an

berisi petunjuk, ilmu pengetahuan, hukum-hukum yang mengatur bagaimana berhubungan

baik dengan sesama makhluk-Nya, maupun bagaimana berhubungan baik dengan

Tuhannya, serta dalam al-Qur’an pula terdapat kisah-kisah orang-orang terdahulu, yang

dapat dijadikan pelajaran dikehidupan sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena

itu, kita sebagai seorang muslim hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an.

2. Kewajiban seorang yang menuntut ilmu hendaknya menyampaikan hasratnya dengan

penuh adab sopan santun, disertai tekat bulat serta kesabaran. Seorang tersebut harus selalu

hormat kepada gurunya dan cepat meminta maaf jikalau berbuat kesalahan.

Page 85: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

73

3. Dan seorang guru sebaiknya berusaha maksimal untuk menjelaskan materi yang

disampaikan sehingga peserta didiknya memahami maksud dan tujuan dari materinya serta

dibalut dengan rasa lemah lembut dan kasih sayang.

Page 86: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

74

DAFTAR PUSTAKA

Agil Husin Munawar, Said. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat

Pers, 2002

Alaika Salamulloh, Muhammad . Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: PT Pustaka Insan

Madani, 2009

Ali Al-Hasyimi, Muhammad. Jati Diri Muslim, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar. 1999

al-Khalidy, Shalah. Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu. Jakarta: Gema

Insani. 1999

Amin, Ahmad. Kitab al-Akhlak. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah. 2001

Asy-Syaqawi, Amin bin Abdullah. Sifat Tawadhu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Islam

House: Riyadh. 1995

Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo.

2013

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawwuf. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010

Ardani, Mohammad. Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat. Jakarta: CV. Karya Mulia,

2001

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2003

Az-Zarnuji. Terjemahan Ta’lim Muta’alim Sebuah Panduan Bagi Para Penuntut Ilmu Terj: Abdul

Kadir Al-Jufri .Surabaya: Mutiara Ilmu. 2009

Baidan, Nashrudin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Pustaka Pelajar. 1998

Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Umi Aksara. 2012

Djunaidi Ghony, Muhammad & Fauzan al-Manshur. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media. 2014

Driyakarya, Nicolaus. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangungan. 1962

Fauzan, Siswa Urakan Merokok Dekat Guru Jadi Viral di Medsos.

https://www.liputan6.com/regional/read/2624788/siswa-urakan-merokok-dekat-guru-jadi-viral-di-medsos

: 10 Desember 2018

Al-Haidari, Kamal. Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyyah ar-

Ruhaniyyah: Buhuts Fi Jihad an-Nafs oleh Irwan Kurniawan. Bandung: Pustakan Hidayah,

2003

Page 87: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

75

Hamka. Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983

-------. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XV. Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 1982

Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006

Hasyim Syamhudi, Muhammad. Akhlak-Tasawuf dalam Konstruksi Piramida Ilmu Islam. Malang:

Madani Media. 2015

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI).

2001

Irhamsyah, Fahmi dkk. Pendidikan 18 Karakter Bangsa. Jakarta: Mustika Pustaka Negeri. 2016

Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia.

2012

Mulyasa, Enco. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

2009

Muhammad Agil Aliansyah, Muka dicoret karena tidur saat belajar, siswa SMA di Sampang

aniaya guru hingga tewas. https://www.merdeka.com/peristiwa/muka-dicoret-karena-tidur-saat-

belajar-siswa-sma-di-sampang-aniaya-guru-hingga-tewas.html : 13 Desember 2018

Muhammad al-Khazandar, Mahmud. Tawadhu’. Riyadh: Maktab Dakwah. 2008

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi 15. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1974

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi 16. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1974

Nashih Ulwan, Abdullah. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Jakarta: Asy-Syifa

Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011

------- . Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005

-------. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2005

Quraish Shihab, Muhammad. Kaidah Tafsiri. Tanggerang: Lentera Hati. 2001

Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Beirut: Daar El-Shorouk. 2007

Quraish Shihab, Muhammad. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati. 2011

Rahma Lillahi Sativa, Pilu Siswi SMP di Blitar yang Jadi Korban Kebiadaban Oknum Guru.

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4304233/pilu-siswi-smp-di-blitar-yang-jadi-korban-

kebiadaban-oknum-guru?_ga=2.217327441.650310434.1543433450-886771536.1543433448: 29

November 2018

Page 88: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

76

Reza Gustav, Pengakuan Guru Joko Susilo yang 'Dikeroyok' Muridnya: Itu Hanya Candaan,

Namun Kelewat Batas. http://wow.tribunnews.com/2018/11/12/pengakuan-guru-joko-susilo-yang-

dikeroyok-muridnya-itu-hanya-candaan-namun-kelewat-batas: 05 Desember 2018

Ridlo, Muhammad. Fakta di Balik Video Viral Guru Pukuli Siswa SMK di Purwokerto.

https://www.liputan6.com/regional/read/3624548/fakta-di-balik-video-viral-guru-pukuli-siswa-smk-di-

purwokerto : 8 Desember 2018

Salim, Peter & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English

Press. 2005

Suryani, Nunuk. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012

Syadali, Ahmad dkk. Ulumul Qur’an II Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MkDK. Bandung:

Pustaka Setia. 2000

Syaikh Imam Al-Qurthubi. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

S. Friedman, Howard & Miriam W. Schustack. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, (terj)

Fransiska Dian Ikarini. Jakarta: Erlangga. 2008.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002

Tebba, Sudirman. Hidup Bahagia Cara Sufi. Jakarta: Gugus Lintas Wacana. 2005

Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2009

Utsman Najati, Muhammad. Psikologi Qur’ani: dari Motif hingga Ilmu Laduni. Bandung:

Penerbit Marja. 2010

UU Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003). Jakarta: Sinar Grafika. 2009

Warson Munawwir, Ahmad. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.

1997

Ya’kub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah. Bandung: CV Diponegoro. 1983

Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah.

2007

Yahya, Harun. Misinterpretasi terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam

Menafsirkan Al-Qur’an. Jakarta: Robbani Press. 2001

Yani, Ahmad. Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji. Jakarta: Al-Qalam. 2007

Page 89: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

77

BIODATA PENULIS

Nama lengkap penulis adalah Muchsin Abdurrahman. Penulis

lahir di DKI Jakarta pada 16 Mei 1996 merupakan anak kedua dari

tiga bersaudara, dari Bapak Adih dan Ibu Noorma Sumarnis Wijaya.

Alamat penulis di Jl. Joglo Raya RT/RW 007/03 Kelurahan Joglo,

Kecamatan Kembangan, Kabupaten Jakarta Barat, Provinsi DKI

Jakarta 11640.

Penulis menyelesaikan pendidikan pertama di SDI al-Falah 2

Pagi Jakarta, MTs al-Falah Jakarta, dan MA al-Falah di Jakarta.

Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jurusan

Pendidikan Agama Islam angkatan 2014.

Selama duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah, penulis aktif di kegiatan ekstrakulikuler

marawis. Kemudian selama duduk di bangku Madrasah Aliyah, aktif di kegiatan IPMA (Ikatan

Pelajar Madrasah al-Falah), sebagai koordinator seksi kesejahteraan pada tahun 2012. Dan

selama duduk di bangku perkuliahan penulis pernah aktif di HIQMA (Himpunan Qari Qariah

Mahasiswa) selama 3 tahun. Demikian biodata penulis ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Page 90: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 91: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 92: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 93: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 94: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 95: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 96: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN
Page 97: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45447/2/MUCHSIN...NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

Top Related