Download - Laporan Teknologi Farmasi
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI FARMASI
“SUSPENSI KERING”
Disusun Oleh :
Nama NIM
Dosen Pembimbing :
Sapri, S.Si
LABORATORIUM TERPADU I
AKADEMI FARMASI SAMARINDA
2012
Elsa Yuliana 723901S.10.024
Erly Novianti 723901S.10.025
Eva Apriliyana Rizki 723901S.10.026
Fathia Mahmudah 723901S.10.027
Hendri Misak 723901S.10.028
I Gusti Bagus Rai A.P 723901S.10.029
Ika Hayati 723901S.10.030
Indah Pratiwi 723901S.10.031
Irfandi 723901S.10.032
Irma Wati 723901S.10.033
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bidang industri farmasi, perkembangan teknologi farmasi
sangat berperan aktif dalam peningkatan kualitas produksi obat-obatan. Hal
ini banyak ditunjukkan dengan banyaknya sediaan obat-obatan yang
disesuaikan dengan karakteristik zat aktif obat, kondisi pasien dan
peningkatan kualitas obat dengan meminimalkan efek samping obat tanpa
harus mengurangi atau menganggu dari efek farmakologis zat aktif obat.
Sekarang ini banyak bentuk sediaan sediaan obat yang kita jumpai di
pasaran antara lain : dalam bentuk sediaan padat seperti pil, tablet, kapsul
dan suppositoria. Dalam bentuk sediaan setengah padat seperti krim dan
salep. Dalam bentuk cair seperti sirup, eliksir, suspensi dan emulsi. Suspensi
merupakan salah satu contoh dari bentuk sediaan cair yang secara umum
dapat diartikan sebagai suatu sistem dispersi kasar yang terdiri atas bahan
padat yang tidak larut tetapi terdispersi merata dalam pembawanya. Bentuk
suspensi yang dipasarkan ada dua macam, yaitu suspensi siap pakai atau
suspensi cair yang bisa langsung diminum, dan suspensi yang dilarutkan
terlebih dahulu ke dalam cairan pembawanya suspensi bentuk ini digunakan
untuk zat aktif yang kestabilannya dalam air kurang baik.
Dalam hal ini, percobaan diutamakan pada pembuatan suspensi
kering. Suspensi kering merupakan suatu sediaan kering yang
direkonstitusikan dengan sejumlah air atau pelarut lain yang sesuai sebelum
digunakan. Evaluasi yang akan dilakukan meliputi uji organoleptis (bau,
rasa, dan warna), kadar lembab, sifat alir, waktu rekonstitusi, pH, dan uji
higroskopisitas.
Untuk itulah, berdasarkan latar belakang di atas sekaligus tuntutan
akan peningkatan kebutuhan pasien, sediaan farmasi terus menerus
dikembangkan secara inovatif seiring perkembangan teknologi guna
mendapatkan sediaan yang cocok, aman, dan nyaman bagi konsumen yang
memakainya. Maka, berkembanglah metode-metode pembuatan suspensi
kering untuk menjaga kestabilan obat agar tetap terjamin mutunya saat
digunakan pasien. Oleh karena itu, pada praktikum kali ini akan dipelajari
metode pembuatan suspensi kering serta pengaruh variasi bahan-bahan
tambahan pada sediaan akhir.
B. Tujuan Praktikum
1. Agar mahasiswa dapat membuat sediaan suspensi kering
(reconstituable suspention) dengan metode granulasi dan
mengevaluasinya.
2. Agar mahasiswa mengetahui pengaruh penambahan bahan eksipien
(perbedaan konsentrasi) terhadap karakteristik sediaan yang
dihasilkan.
BAB II
TEORI SINGKAT
A. Definisi Suspensi dan Suspensi Kering
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak
larut yang terdispersi dalam fase cair. Suspensi dapat dibagi dalam dua
jenis, yaitu suspensi yang siap digunakan atau suspensi yang
direkonstitusikan dengan sejumlah air atau pelarut lain yang sesuai sebelum
digunakan. Jenis produk ini umumnya campuran serbuk yang mengandung
obat dan bahan pensuspensi yang dengan melarutkan dan pengocokan dalam
sejumlah cairan pembawa (biasanya air murni) menghasilkan bentuk
suspensi yang cocok untuk diberikan.
Suspensi kering adalah suatu campuran padat yang ditambahkan air
pada saat akan digunakan. Agar campuran setelah ditambah air membentuk
dispersi yang homogen maka dalam formulanya digunakan bahan
pensuspensi. Komposisi suspensi kering biasanya terdiri dari bahan
pensuspensi, pembasah, pemanis, pengawet, penambah rasa atau aroma,
buffer, dan zat warna. Obat yang biasa dibuat dalam sediaan suspensi kering
adalah obat yang tidak stabil untuk disimpan dalam periode waktu tertentu
dengan adanya pembawa air (contohnya obat antibiotik) sehingga lebih
sering diberikan sebagai campuran kering untuk dibuat suspensi pada waktu
akan digunakan. Biasanya suspensi kering hanya digunakan untuk
pemakaian selama satu minggu dan dengan demikian maka penyimpanan
dalam bentuk cairan tidak terlalu lama.
B. Macam-Macam Bentuk Suspensi
Suspensi dalam dunia farmasi terdapat dalam berbagai macam bentuk,
hal ini terkait dengan cara dan tujuan penggunaan sediaan suspensi tersebut.
Beberapa bentuk sediaan suspensi antara lain :
1. Suspensi injeksi intramuskular (misal suspensi penisilin)
2. Suspensi subkutan
3. Suspensi optalmik (tetes mata) (misal suspensi hidrokortison asetat)
4. Suspensi tetes telinga
5. Suspensi oral (misal suspensi amoksisilin)
6. Suspensi topikal
7. Suspensi rektal (misal suspensi para nitro sulfatiazol)
8. Sebagai reservoir obat
9. Patch transdermal
10. Formulasi topikal konvensional
C. Kriteria Suspensi dan Suspensi Kering
Suatu sediaan suspensi yang baik harus memenuhi criteria tertentu.
Kriteria tersebut adalah :
1. Pengendapan partikel lambat sehingga takaran pemakaian yang serba
sama dapat dipertahankan dengan pengocokan sediaan.
2. Seandainya terjadi pengendapan selama penyimpanan harus dapat
segera terdispersi kembali apabila suspensi dikocok.
3. Endapan yang terbentuk tidak boleh mengeras pada dasar wadah.
4. Viskositas suspensi tidak boleh terlalu tinggi sehingga sediaan dengan
mudah dapat dituang dari wadahnya.
5. Memberikan warna, rasa, bau serta warna yang menarik.
Sedangkan kriteria suatu sediaan suspensi kering yang baik adalah :
1. Kadar air serbuk tidak boleh melebihi batas maksimum. Selama
penyimpanan serbuk harus stabil secara fisik seperti tidak terjadi
perubahan warna, bau, bentuk partikel dan stabil secara kimia seperti
tidak terjadi perubahan kadar zat aktif dan tidak terjadi perubahan pH
yang drastis.
2. Pada saat akan disuspensikan serbuk harus cepat terdispersi secara
merata di seluruh cairan pembawa dengan hanya memerlukan sedikit
pengocokan atau pengadukan.
3. Bila suspensi kering telah dibuat suspensi maka suspensi kering dapat
diterima bila memiliki kriteria dari suspensi.
4. Campuran serbuk harus homogen dari bahan obat dan bahan
tambahan lainnya terutama pada konsentrasi dari masing-masing
bahan.
5. Campuran serbuk terdispersi cepat dan sempurna dalam pembawa
selama rekonstitusi.
6. Mudah terdipersi kembali saat telah menjadi suspensi cair.
D. Metode Pembuatan Suspensi Kering
Ada 3 metode pembuatan suspensi kering yaitu :
1. Powder Blend
Pada metode ini komponen formula dicampurkan dalam bentuk
serbuk. Bahan dengan jumlah sedikit dilakukan pencampuran dua
tahap, pertama dicampur dengan sebagian sukrosa selanjutnya
dicampur dengan bahan lain supaya didapat hasil yang homogen.
2. Granulated product
Pada metode ini terdapat beberapa proses yaitu :
a. Reduksi ukuran partikel
b. Pencampuran suspending agent, weating agent dan anti foaming
agent
c. Pencampuran bahan aktif
d. Granulasi
e. Pengeringan
f. Milling
g. Final blend
3. Combination product
Bahan yang tidak tahan panas ditambahkan setelah pengeringan
granul.
E. Stabilitas Suspensi
Suspensi yang mengendap harus dapat menghasilkan endapan yang
dapat terbagi rata kembali bila dikocok, karena hal ini merupakan
persyaratan dari suatu suspensi. Pengendapan itu sendiri disebabkan adanya
tegangan antar permukaan zat padat dengan zat cairnya, bila tegangan antar
permukaan zat padat ini lebih besar dari tegangan permukaan zat cairnya,
maka zat padat tersebut akan mengendap dan sebaliknya bila tegangan antar
permukaan zat padat lebih kecil maka zat padat tersebut akan ditekan ke atas
sehingga pengendapan tidak akan terjadi. Untuk memperkecil tegangan
antar permukaan maka diperlukan zat pensuspensi yang bekerja
menurunkan tegangan permukaan. Selain tegangan permukaan zat yang
memiliki energi bebas yang besar tidak stabil dalam bentuk suspensi. Untuk
mendapatkan suspensi yang stabil maka energi bebas tersebut harus
diturunkan. Hubungan energi bebas, tegangan permukaan dan luas
permukaan dalam suatu suspensi dijelaskan dalam rumus sebagai berikut :
W =γ . ∆ A
Di mana harga : W = kenaikan energi bebas permukaan (erg), γ =
tegangan antar muka (dyne/cm), ∆ A = penambahan luas permukaan (cm2).
Persamaan di atas menunjukkan bahwa untuk menstabilkan suatu suspensi
maka ukuran partikel harus diperkecil sehingga energi bebasnya juga
menjadi kecil. Selain dari persamaan di atas Hukum Stokes juga perlu
dipertimbangkan yaitu :
V=d2 ( ρ1−ρ2) g
18 η
Di mana V = kecepatan sedimentasi, d = jari-jari partikel terdispersi,
ρ1 = massa jenis fase dalam, ρ2 = massa jenis fase luar, g = percepatan
gravitasi, η = viskositas fase luar. Dari rumus di atas terlihat bahwa :
a. Semakin kecil ukuran partikel, laju pengendapan suspensi akan
semakin lambat.
b. Semakin tinggi viskositas maka kecepatan pengendapan akan semakin
berkurang.
c. Selisih massa jenis yang semakin kecil menyebabkan kecepatan
pengendapan juga semakin lambat.
F. Pengertian Granul
Granul adalah gumpalan-gumpalan dari partikel yang lebih kecil.
Umumnya berbentuk tidak merata dan menjadi seperti partikel tunggal yang
lebih besar. Ukuran biasanya berkisar antara ayakan 4-12, walaupun
demikian bermacam-macam ukuran lubang ayakan mungkin dapat dibuat
tergantung dari tujuan pemakaiannya.
G. Granulasi
Granulasi adalah proses di mana partikel serbuk diubah menjadi
granul. Secara umum granulasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
granulasi lembab (basah) dan granulasi kering.
a. Granulasi basah
Pada granulasi basah bahan dilembabkan dengan larutan pengikat
yang cocok, sehingga serbuk terikat bersama dan terbentuk massa
yang lembab. Pelarut yang digunakan umumnya bersifat volatil
sehingga mudah dihilangkan pada saat dikeringkan. Massa lembab
kemudian dibagi-bagi sehingga terbentuk butiran granul.
b. Granulasi kering
Pada granulasi kering obat dan bahan pembantu mula-mula dicetak
menjadi tablet yang cukup besar, yang massanya tidak tentu.
Selanjutnya tablet yang terbentuk dihancurkan dengan mesin
penggranul kering gesekan atau dengan cara sederhana menggunakan
alu di atas sebuah ayakan sehingga terbentuk butiran granul.
BAB III
STUDY PRAFORMULASI
A. Paracetamol
Nama lain : Acetaminophenum
Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih, tidak berbau rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, 7 bagian etanol 95%,
dalam 13 bagian etanol p, dalam 40 bagian gliserol
dan dalam 9 bagian propilenglikol
Rumus molekul : C8H9NO2
Berat molekul : 151,16
Kemurnian : Mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak
lebih dari 101,0% dihitung terhadap zat anhidrat
Suhu lebur : 169-172 0C
B. Laktosa
Nama lain : Lactosum, saccharum lactis
Pemerian : Serbuk hablur, putih tidak berbau, rasa agak pahit
Kelarutan : Larut dalam 5 bagian air, larut dalam 1 bagian air
mendidih, sukar larut dalam etanol 95%, praktis
tidak larut dalam kloroforrm dan eter
Rumus molekul : C12H72O11.H2O
Berat molekul : 36,30
pH : 4,0-6,5
Partikel/ serbuk : 1,52 mg/cm3
Ukuran partikel : 20% pada mesh 60; 50% pada 100 mesh ; 25-65%
pada 140 mesh
Kompatibilitas : Sedang
Kemampuan alir : Sedang
Disintegrasi : Baik
Higroskopisitas : Baik
Lubrisitas : Kurang baik
Stabilitas : Baik
Daya alir : Anhydrous DT = 8,3 g/ det
Anhydrat lactose DMF = 8,7 g/ det
C. PVP
Nama lain : Povidanum, povidon
Pemerian : Serbuk putih atau putih kekuningan, berbau lemah
atau tidak berbau, higroskopik
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol 95% dan
dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter.
Rumus molekul : ( C6H9NO)n
Titik lebur : 160-186 °C (titik didih : 150 °C)
Ukuran partikel : 90 : 90% > 200 µm, 95% > 250 µm, 25/30 : 90% >
50 µm, 50% > 100 µm, 5% > 200µm
Berat molekul : 10.000-700.000
pH : 3-7 (5 % b/v)
Konsentrasi
penggunaan
: 3-15% dalam alkohol
Berat jenis : 1,17-1,18 g/ml
Stabilitas : Stabil pada suhu 110-130 oC
Kadar air : Tidak lebih dari 5%
Fungsi : Pengikat, suspending agent, atau peningkat
viskositas dan beberapa sebagai pensuspensi
Inkompatibilitas : Jika ditambahkan thimerosol akan membentuk senyawa kompleks, kompatibel terhadap gerak organik alami, resin sintetik dan senyawa lainnya. Akan terbentuk senyawa sulfathiazole, sodium salisilat, asam salisilat, fenol barbital dan komponen lainnya.
D Etanol
Pemerian : Cairan tidak berwarna, mudah menguap dan mudah
bergerak, bau khas rasa panas
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, kloroform dan eter
Berat jenis : 0,811g-0,813 g/ml
Higroskopisitas : Mudah menyerap air dari udara
Titik didih : -117,3 – 114,41 0C
Tegangan
permukaan
: 0,7904- 0,7935
Viskositas : 1,20 mns/m2
E Amilum
Sinonim : Starch, Amidon, Amilo, Puregel
Rumus molekul : (C6H10O5)n
BM : 50.000-160.000
pH : 5,5-6,5 untuk 2 % b/v
Fungsi : Pengikat (binder), disintegran (penghancur), glidan,
diluen
Pemerian : Tidak berbau, tidak berasa, serbuk warna putih
dengan ukuran bervariasi
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam etanol dingin (95 %) dan
dalam air dingin
Konsentrasi : Sebagai penghancur 3-15%
Distribusi partikel : 10 – 100 µm
Rentang : 2 – 32 µm
Flowability : 10,8-11,7 g/s pati jagung
Stabilitas dan
penyimpanan
: Amilum yang kering dan tidak dipanasi stabil jika
terlindung dari (high humidity) saat digunakan
sebagai pelincir atau disintegran pada sediaan
padat, amilum dipertimbangkan sebagai bahan inert
di bawah kondisi penyimpanan normal. Namun
larutan amilum yang dipanaskan atau pasta amilum
secara fisik tidak stabil dan rentan serangan
mikroorganisme dan menyebabkan a wide voriety
of starch derivatives and modified storches that
have unique phisical properties. Amilum harus
disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat
sejuk dan kering.
BAB IV
PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN BAHAN
A. Perhitungan Bahan
Berat / sachet = 3 gram
Total berat = 10 bungkus x 3 gram = 30 gram
PCT = 16,67 % x 30 gram = 5,001 gram
Lactose = 48,33% x 30 gram = 14,49 gram
PVP = 30% x 30 gram = 9 gram
Larutan pengikat =
I. 4% x 30 gram = 1,2 gram dalam 25 ml etanol
II. 4% =4 gram100 ml
x 25ml = 1 gram dalam 25 ml etanol
B. Penimbangan Bahan
PCT = 5 gram
Lactosa = 14,49 gram
PVP = 9 gram (diganti Amilum 9 gram)
Untuk larutan pengikat : PVP = 1 gram
Etanol 95% = 25 ml
BAB V
PROSEDUR PEMBUATAN
A. Cara Kerja
1. Disiapkan semua alat dan bahan yang diperlukan
2. Ditimbang semua bahan sesuai dengan penimbangan bahan
3. Dibuat larutan pengikat dengan mencampurkan 1 gram PVP dengan
25 ml etanol
4. Bahan-bahan yang sudah dihaluskan (PCT dan laktosa)
dihomogenkan selama 15 menit, kemudian ditambahkan PVP dan
kemudian dihomogenkan kembali selam 15 menit. Lalu campuran
granulasi dengan penambahan larutan pengikat sedikit demi sedikit
sampai diperoleh masa yang bisa dikepal.
5. Masa yang terbentuk dibuat granul dengan cara melewatkan masa
melalui ayakan dengan mesh no. 14
6. Kemudian granul dikeringkan dalam oven suhu 60 0C selama 30 menit
7. Granul yang telah dikeringkan diayak dengan ayakan mesh no.16
8. Granul (suspensi) kering yang terbentuk dievaluasi
9. Dikemas dalam bentuk sachet, tiap sachet berisi 3 gram suspensi
kering yang tertera dengan 500 mg paracetamol.
B. Evaluasi Suspensi Kering
1. Uji warna, bau, dan rasa
Cara : Dilakukan dengan cara melihat warna, mencium bau merasakan
rasa dari suspensi kering. Hasil pengamatan berupa granul kering
berwarna putih gading, tidak berbau dan rasa pahit.
2. Uji Kadar Lembab
Cara : Ditimbang seksama 5,0 gram granul, panaskan dalam lemari
pengeringan sampai bobot konstan (105°C) selama ± 30 menit.
Perhitungan : % MC = W 0−W 1
W 0 x 100%
MC = Moisture content, kandungan lembab
W0 = Bobot granul awal
W1 = Bobot granul setelah pengeringan
3. Uji sifat alir
Cara : Sebanyak 10 gram suspensi kering dimasukkan dalam corong
pada alat uji dan ratakan. Waktu yang diperlukan granul untuk melalui
corong tersebut dicatat.
4. Uji waktu rekonstitusi
Cara : Sebanyak 1,5 atau 3 g suspensi kering dimasukkan dalam 200
ml air. Air yang digunakan adalah air dingin dan air panas 80 °C.
Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan suspensi kering tersuspensi
atau terlarut.
5. Uji pH
Cara : pH larutan dicek dengan kertas indikator pH.
6. Uji Higroskopisitas
Cara : Masukkan 2 gram granul ke dalam pot plastik, pada tiap
formula diberi 4 perlakuan berbeda yaitu :
Pot I : Pot plastik terbuka tanpa silika gel
Pot II : Pot plastik terbuka dengan diberi silika gel
Pot III : Pot plastik tertutup tanpa diberi silika gel
Pot IV : Pot plastik tertutup dengan diberi silika gel
Uji dilakukan selama 6 hari pada suhu ruangan, setiap hari pot
ditimbang kemudian pertambahan bobot yang terjadi di catat.
BAB VI
HASIL DAN KEMASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Uji Organoleptis
Kelompo
kWarna Bau Rasa
I Putih kekuningan Tidak berbau Pahit
II Putih Tidak berbau Pahit
III Putih gading Tidak berbau Pahit
IV Putih pucat Sedikit tengik Pahit
2. Uji Kadar Lembab
Kelompok Wo (gram) W1 (gram) % MC
I (PVP) 5 4,98 4
II (PVP) 5 4,869 2,62
II (amilum) 5 2 60
III (amilum) 5 4,88 2,4
IV (amilum) 5 4,90 2
3. Uji Sifat Alir
4.
4.
4.
4.
4.
4.
4.
4.
4.
Uji Waktu Rekonstitusi
KelompokDalam 200 ml air
dingin
Dalam 200 ml air panas
(80 oC)
I (PVP) 46 detik 1 menit 57 detik
II (PVP) 2 menit 20 detik 50,52 detik
II (amilum) 1 menit 14 detik 38,8 detik
III (amilum) 1 menit 50 detik 45 detik
IV
(amilum)1 menit10 detik 21 detik
5. Uji pH
KelompokPercobaan
ke-
Bobot
granul
(gram)
Waktu
(detik)
Waktu
rata-rata
(detik)
I
(PVP)
1 20,27 3
2,952 20,27 2,94
3 20,27 2,93
II
(PVP)
1 10 1,61
1,632 10 1,71
3 10 1,59
II
(amilum)
1 10 1,3
1,312 10 1,33
3 10 1,32
III
(amilum)
1 10 1,6
1,432 10 1,4
3 10 1,3
IV
(PVP)
1 10 1,46
1,652 10 1,63
3 10 1,86
KelompokDalam 200 ml air
dingin
Dalam 200 ml air panas
(80 oC)
I(PVP) 5 5
II (PVP) 5,5 5,5
II (Amilum) 5,5 5,5
III
(Amilum)4,5 5
IV (PVP) 6 6
6. Uji Higroskopisitas
Kel. Pot
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
mo
(g)
m1
(g)
Selisi
h (g)
mo
(g)
m1
(g)
Selisi
h (g)
mo
(g)
m1
(g)
Selisih
(g)
I
(PVP)
1 2 2 0 2 2 0 2 2,01 0,01
2 2 2 0 2 2 0 2 2 0
3 2 2 0 2 2 0 2 2,02 0,02
4 2 1,99 -0,01 2 1,99 -0,01 2 1,85 -0,15
II
(PVP)
1 1 1 0 1 1,1 0,1 1 3,52 2,52
2 1 1 0 1 1 0 1 5,19 4,19
3 1 1 0 1 1 0 1 4,84 3,84
4 1 1 0 1 0,99 -0,01 1 6,22 5,22
II
(amilu
m)
1 2 2 0 2 2,01 0,01 2 4,65 2,65
2 2 2 0 2 1,98 -0,02 2 5,95 3,95
3 2 2 0 2 2 0 2 5,89 3,89
4 2 2 0 2 2,02 0,02 2 7,29 5,29
III
(amilu
m)
1 2 2 0 2 2,01 0,01 2 2,02 0,01
2 2 2 0 2 2,01 0,01 2 2,02 0,01
3 2 2 0 2 2,01 0,01 2 2,02 0,01
4 2 2 0 2 2 0 2 2 0
IV
(amilu
1 2 2 0 2 2,03 0,03 2 2,04 0,04
2 2 2 0 2 2,03 0,03 2 2,03 0,03
m)
3 2 2 0 2 2,01 0,01 2 2,03 0,03
4 2 2 0 2 2,01 0,01 2 2,05 0,05
PARACETAMOL
SUSPENSI KERING
PT Cakrawala FarmaSAMARINDA-INDONESIA
KomposisiParacetamol……………….500 g
IndikasiAnalgetik dan antipiretik, dapat menurunkan demam, meredakan nyeri (sakit gigi, sakit kepala)
Kontra IndikasiDikontraindikasikan pada penderita gangguan hati berat, ginjal
PerhatianHindari penggunaan pada penyakit ginjal, konsumsi alkohol
Efek SampingReaksi hipersensitif, kerusakan hati, ginjal, mual dan muntah
Pemakaian1 sachet dicampur dengan air, aduk hingga merata
PenyimpananSimpan di tempat yang kering dan sejuk, hindari sinar matahari secara langsung, simpan pada suhu kamar di bawah suhu 25° C
No Reg GBL2753714526A1
No Batch : 2140321
ED : 14 Maret 2013
Diproduksi oleh :
PT. Cakrawala Farma Tbk, Samarinda-
Indonesia
BAB VII
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan sediaan berupa suspensi
kering dengan metode pembuatan granulasi basah. Hal ini dapat dilihat secara
nyata, di mana pada saat pembentukan granul perlu ditambahkan pelarut dan
kemudian granul yang dihasilkan dipanaskan dalam oven untuk menguapkan
pelarut yang digunakan. Granul suspensi kering yang telah jadi kemudian
dievaluasi. Suspensi kering adalah merupakan suatu campuran padat yang
ditambahkan air pada saat akan digunakan. Tujuan pelarutannya ada yang
dimaksudkan untuk membuat larutan atau dibuat sebagai suspensi. Bila dibuat
sebagai larutan, maka granul suspensi kering akan tercampur sempurna dan tidak
ada lagi partikel yang tidak larut. Sedangkan bila dikehendaki sebagai suspensi,
maka granul yang dicampur dengan pelarut akan menghasilkan sediaan
mengandung partikel padat yang tidak larut.
Bahan-bahan yang terdapat suspensi secara garis besar terdiri dari zat aktif
dan zat tambahan. Bahan aktif yang digunakan adalah paracetamol. Paracetamol
berguna sebagai analgetik dan antipiretik yang termasuk ke dalam golongan obat
bebas. Bahan tambahan yang digunakan berupa laktosa, PVP dan larutan
pengikat. Laktosa digunakan sebagai pemanis, dan juga sebagai bahan pengisi
karena larut dalam air sehingga ketika direkonstitusi dengan air keberadaan
laktosa tidak akan menganggu. Laktosa kompatibel dengan eksipien lain yang
digunakan dalam formula, umum digunakan, serta harga relatif murah. PVP
PARACETAMOL
SUSPENSI KERING
PT Cakrawala FarmaSAMARINDA-INDONESIA
KomposisiParacetamol……………….500 g
IndikasiAnalgetik dan antipiretik, dapat menurunkan demam, meredakan nyeri (sakit gigi, sakit kepala)
Kontra IndikasiDikontraindikasikan pada penderita gangguan hati berat, ginjal
PerhatianHindari penggunaan pada penyakit ginjal, konsumsi alkohol
Efek SampingReaksi hipersensitif, kerusakan hati, ginjal, mual dan muntah
Pemakaian1 sachet dicampur dengan air, aduk hingga merata
PenyimpananSimpan di tempat yang kering dan sejuk, hindari sinar matahari secara langsung, simpan pada suhu kamar di bawah suhu 25° C
No Reg GBL2753714526A1
No Batch : 2140321
ED : 14 Maret 2013
Diproduksi oleh :
PT. Cakrawala Farma Tbk, Samarinda-
Indonesia
digunakan sebagai pengsuspensi dan juga penghancur. Sedangkan larutan
pengikat yang digunakan adalah campuran dari PVP dengan etanol (1 gram PVP
dengan 25 ml etanol), larutan ini digunakan untuk menyatukan semua serbuk yang
dicampurkan untuk menjadi suatu gumpalan dengan kekerasan tertentu sehingga
dapat dibuat menjadi granul.
Pada formulasi, konsentrasi PCT adalah 16,67% (5 g); laktosa 48,33%
(14,49 g); PVP 30% (9 g) dan 25 larutan pengikat. Semua bahan kecuali larutan
pengikat dicampurkan ke dalam plastik untuk selanjutnya dihomogenkan dengan
cara dikocok ± 5 menit. Setelah semua bahan tercampur, kemudian dipindahkan
ke dalam mangkok untuk selanjutnya ditambahkan dengan larutan pengikat
sedikit demi sedikit sampai diperoleh massa yang homogen dengan kekerasan
yang cukup untuk digranul. Larutan pengikat yang digunakan lebih kurang 4 ml.
Namun pada percobaan pertama, massa adonan yang diperoleh terlalu keras
sehingga tidak dapat dilewatkan pada ayakan no.14 untuk dibuat granul. Hal ini
disebabkan karena penambahan larutan pengikat yang terlalu banyak.
Lalu pada percobaan kedua, ditimbang kembali semua bahan dengan
jumlah yang sama, lalu digunakan kembali larutan pengikat dengan hati-hati
menggunakan pipet sedikit demi sedikit, sampai lebih kurang 1 ml, namun hasil
yang didapat ternyata masih sama. Massa campuran terlalu keras. Hingga
akhirnya, PVP yang digunakan sebanyak 9 gram diganti dengan amilum dengan
jumlah yang sama, sedangkan PCT dan laktosa tetap ditimbang dengan jumlah
yang sama, kemudian semua bahan serbuk dicampur menjadi satu. Penambahan
larutan pengikat dilakukan dengan pipet sedikit demi sedikit, namun sangat lama
untuk mencapai massa yang diinginkan sedangkan larutan pengikat yang
digunakan sudah banyak (± 10 ml), akhirnya ditambahkan PVP serbuk ke dalam
adonan sebanyak ± 1 gram disertai dengan penambahan sedikit larutan pengikat.
Namun hasil yang diperoleh juga masih belum menyatu menjadi massa yang baik.
Lalu ditambahkan lagi PVP serbuk ±1 gram disertai penambahan larutan pengikat
kembali. Akhirnya didapatkan massa granul yang diinginkan, yaitu massa granul
yang dapat melewati ayakan no.14 dan menghasilkan granul yang baik. Jadi,
selain penggantian 9 gram PVP dengan 9 gram amilum, ditambahkan pula ± 2
gram PVP serbuk dan larutan pengikat ± 25 ml untuk mendapatkan massa yang
diinginkan.
Dari keempat kelompok yang melakukan praktikum, hanya kelompok 1
yang langsung dapat memberikan hasil massa adonan yang baik dengan prosedur
serta komposisi bahan yang telah ditentukan pada preformulasi. Semua kelompok
memiliki komposisi yang sama pada PCT, laktosa dan larutan pengikat dan hanya
berbeda pada komposisi PVP. Pada kelompok 1 jumlah PVP yang digunakan
hanya 10% sedangkan pada kelompok lain 20%, 30% dan 40%. Sehingga, dapat
diketahui bahwa pada praktikum diketahui bahwa komposisi yang baik untuk
dibuat granul adalah formulasi dengan PVP sebanyak 10% dan bila lebih dari itu,
maka massa yang terbentuk akan terlalu keras.
Setelah didapatkan granul yang diinginkan lalu granul dikeringkan selama
30 menit dalam oven suhu 60 oC. Granul yang telah kering kemudian diayak
kembali dengan ayakan no. 16 sehingga didapatkan granul dengan ukuran yang
lebih kecil. Pada ayakan sebelumnya (No.14) ukuran diameter granul adalah 1,4
mm sedangkan pada ayakan No. 16 diameternya adalah 1,18 mm. Setelah melalui
pengayakan yang kedua, maka granul yang telah menjadi suspensi kering
selanjutnya dilakukan evaluasi suspensi kering yang meliputi uji organoleptis, uji
kadar lembab, uji sifat alir, uji waktu rekonstitusi, uji pH dan uji higroskopisitas.
Setiap kelompok membuat granul dengan komposisi yang berbeda-beda,
namun perbedaan ini hanya terletak pada komposisi penggunaan PVP sebagai
penghancur dan pengsuspensi. Hanya kelompok 1 yang menggunakan formulasi
yang telah ditentukan sebelumnya dengan jumlah PVP sebesar 10%. Kelompok 2
membuat dua macam granul, yaitu dengan dengan PVP 20% dan amilum 20%
sebagai pengganti PVP. Kelompok 3 mengganti PVP sebesar 30% dengan amilum
sebesar 30%. Kelompok 4 mengganti PVP sebesar 40% dengan amilum sebesar
40%.
Dari uji organoleptis, semua granul hampir mempunyai sifat organoleptis
yang sama yaitu rasa pahit, tidak berbau dan warna yang hampir sama yaitu warna
putih pucat sampai putih agak kekuningan. Untuk uji kadar lembab, sesuai dengan
ketentuan, kadar kelembaban yang disyaratkan adalah 2-4%, pada hasil granul
milik semua kelompok menunjukkan kadar kelembaban yang baik, karena semua
memasuki rentang 2-4% sesuai ketentuan. Namun, pada granul kelompok 2 yang
menggunakan amilum sebesar 20%, %MC sebesar 60%. Hal ini sangat jauh dari
ketentuan seharusnya. Hasil ini diperkirakan karena adanya salah perhitungan atau
penimbangan. Karena dibandingkan dengan yang lain, %MC yang dihasilkan
terlalu menyimpang. Bila dibandingkan dengan kelompok 3 dan 4 yang sama-
sama menggunakan amilum, kadar ini pun terlalu berbeda. Kadar lembab ini
nantinya akan mempengaruhi kekeringan dari granul yang dihasilkan. Bila kadar
airnya terlalu rendah, maka granul akan menjadi terlalu rapuh dan mudah hancur,
sedangkan bila kadar air terlalu tinggi, maka granul akan menjadi terlalu basah
dan mudah menempel pada kemasan.
Selanjutnya adalah uji sifat alir. Laju alir atau sifat alir akan
mempengaruhi kemudahan suspensi kering untuk dituang ke gelas atau wadah
tempat suspensi kering tersebut akan direkonstitusikan dengan air atau pelarut
yang sesuai lainnya. Semakin kecil nilai laju alir (sifat alir) dari suspensi kering
maka laju alirnya akan semakin baik dan suspensi kering tersebut semakin mudah
untuk dituang. Sesuai ketentuan, untuk 100 gram granul waktu alirnya adalah 10
detik. Kelompok 1 menggunakan 20,27 gram granul, sehingga seharusnya waktu
alir yang baik adalah 2,027 detik. Kelompok 2, 3 dan 4 menggunakan 10 gram
granul sehingga waktu alir yang baik seharusnya 1 detik. Secara keseluruhan,
tidak ada hasil granul yang memenuhi syarat waktu alir. Namun di antara kelima
hasil granul, yang paling baik adalah granul milik kelompok 2 dengan amilum
sebesar 20% dan yang terburuk adalah waktu alir yang dimililki kelompok 1
dengan PVP sebesar 10%. Selain itu, adanya kandungan amilum dalam formula
juga memiliki kemampuan sebagai glidan sehingga dapat mempengaruhi sifat alir
dengan membantu memperbaiki sifat alir.
Suatu sediaan suspensi kering yang baik memiliki kriteria tertentu, salah
satunya adalah cepat terdispersi dengan homogen pada saat disuspensikan.
Semakin cepat waktu rekonstitusi dari suatu suspensi kering maka semakin baik
pula sediaan suspensi kering tersebut, hal ini disebabkan karena semakin mudah
suatu suspensi kering untuk direkonstitusikan maka akan mempermudah pasien
dalam menggunakan sediaan tersebut karena tidak butuh waktu dan tenaga yang
besar untuk mendapatkan sediaan suspensi yang terdispersi homogeny yang akan
diminum. Untuk uji waktu rekonstitusi, dilakukan dengan melarutkannya dalam
air dingin biasa dan dalam air panas 80 oC. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
seberapa cepat sediaan suspensi kering akan tercampur dengan pelarut air sebelum
digunakan. Semakin cepat suspensi kering melarut dalam air maka makin baik
sediaan tersebut. Secara umum, suspensi kering akan lebih cepat melarut dalam
air panas dibandingkan dengan air dingin, hal ini karena kenaikan suhu akan
sebanding dengan naiknya kelarutan suatu zat. Kecepatannya melarut ini
dipengaruhi oleh penggunaan penghancur yang digunakan. Pada formulasi,
penghancur yang digunakan adalah PVP namun saat pembuatan ada yang
mengganti PVP dengan amilum. Amilum juga dapat berfungsi sebagai
penghancur. Secara teoritis, PVP yang lebih higroskopis dibanding dengan
amilum akan lebih mudah menyerap air sehingga lebih cepat menghancurkan
granul. Pada kelompok 1 dengan hanya 10% PVP dapat melarutkan granul dalam
waktu 46 detik (dalam air dingin). Sedangkan pada pelarutan dengan air panas,
waktu tercepat dimiliki oleh granul dengan komposisi amilum 40%. Bila ditelaah,
sebenarnya lebih baik bila suspensi kering ini larut cepat pada air dingin karena
pada kenyataannya penggunaan oleh pasien akan lebih mudah bila dilarutkan
dengan air dingin. Pada hasil granul milik kelompok 2, 3 dan 4, memiliki waktu
rekonstitusi yang hampir sama, karena penambahan amilum yang tidak berbeda
jauh yaitu 20%, 30% dan 40%. Dari hasil tersebut, dapat diketahui, bahwa hanya
dengan konsentrasi PVP sebesar 10% sebagai penghancur dan pengsuspensi,
dapat memberikan hasil waktu rekonstitusi yang baik. Selanjutnya, pengaruh suhu
air yang semakin tinggi, juga dapat mempercepat waktu rekonstitusi.
Pengukuran pH juga dilakukan terhadap suspensi kering yang telah
dilarutkan dalam air panas maupun air dingin. Pengukuran pH diperlukan untuk
menentukan apakah sediaan yang dibuat menyediakan keadaan yang stabil untuk
zat aktif yang dikandungnya. Uji pH juga berkaitan erat dengan kenyamanan
pasien saat mengkonsumsi larutan suspensi. Untuk paracetamol yang berada
dalam bentuk larutan oral saat digunakan, maka pH yang sesuai adalah 4,5-6,9.
Dari semua suspensi kering yang dilarutkan dalam air, semuanya memenuhi
rentang pH tersebut sehingga dapat dinyatakan zat aktif stabil dalam bentuk
sediaan yang dibuat.
Pengujian yang terakhir adalah uji higroskopisitas. Hal ini disebabkan
kebanyakan bahan bersifat higroskopis di mana berarti dapat terjadi penyerapan
air oleh sediaan suspensi kering. Penyerapan air dapat menyebabkan sediaan
suspensi kering menjadi rusak sehingga dapat menurunkan kualitas sediaan baik
secara fisika berupa sediaan menjadi lembab sehingga penampilannya buruk
ataupun secara kimia karena rusaknya kandungan zat aktif. Uji higroskopisitas
akan berkaitan sekali dengan kondisi penyimpanan. Pengujian ini dilakukan
dalam 4 kondisi, yaitu dalam keadaan terbuka tanpa silica (1), terbuka dengan
silica (2), tertutup tanpa silica (3) dan tertutup dengan silica (4). Secara teori,
perlakuan dengan penambahan silica gel dalam pot plastik tertutup akan
mengurangi keberadaan uap air di sekeliling sediaan karena ruangan tertutup
membatasi kemungkinan masuknya uap air, sedangkan adanya silica gel juga
dapat menyerap uap air yang masuk sehingga suspensi kering lebih terlindung.
Dari pengamatan selama 3 hari, dapat dilihat bahwa tidak terlalu terjadi perbedaan
yang berarti pada keadaan yang terbuka ataupun pada keadaan tertutup. Pada
keadaan terbuka tanpa silica, pertambahan bobot terkecil dan stabil ditunjukkan
oleh kelompok granul dengan kandungan PVP 10% lalu disusul dengan granul
yang menggunakan amilum 30%. Pada keduanya hanya terjadi penambahan 0,01
g dari bobot awal. Pada keadaan terbuka namun diberi silica, keadaan paling stabil
ditunjukkan oleh kelompok dengan PVP 10%, hal ini karena tidak adanya
penambahan bobot setelah 3 hari. Untuk granul yang ditutup tanpa silica, granul
yang higroskopisitasnya rendah adalah granul dengan amilum 30%, karena
penambahan bobot hanya sebesar 0,01 gram. Sedangkan untuk sediaan yang
disimpan dalam wadah tertutup serta dengan silica, yang paling stabil ditunjukkan
oleh granul kelompok 3 dengan amilum 30%. Namun hal yang aneh terjadi pada
pot kelompok 1 yang ditutup dan diberi silica, karena terjadi pengurangan bobot
sebanyak 0,15 gram setelah 3 hari. Hal ini dapat diakibatkan kesalahan penimbang
yang mungkin menjatuhkan sebagian granul saat penimbangan. Secara teoritis,
granul yang mengandung PVP cenderung menarik air sehingga bobotnya
bertambah, namun hal sebaliknya terjadi pada hal di atas. Ketidaksesuaian juga
terlihat pada hasil penimbangan kelompok 2 pada hari ketiga, di mana terjadi
peningkatan bobot yang terlalu besar. Hal ini mungkin terjadi karena kesalahan
penimbangan, di mana berat yang tercantum pada data pengamatan adalah berat
pot dan berat granul bukan berat granul bersih. Hal ini menyebabkan sulit untuk
membandingkan data dengan akurat. Secara keseluruhan, kemampuan menarik air
dari sediaan yang paling kecil ditunjukkan oleh granul dengan kandungan PVP
10% dan amilum 30%. Higroskopisitas yang diinginkan adalah tentunya yang
paling kecil, karena dengan semakin kecil higroskopisitas, maka sediaan akan
lebih stabil dalam penyimpanan. Kenaikan bobot yang paling kecil juga
dimaksudkan berarti paling sedikit menyerap air di sekitarnya sehingga paling
baik dalam mempertahankan kestabilan kimia maupun fisika dari sediaan yang
dapat terganggu oleh keberadaan air.
BAB VIII
KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah :
1. Suspensi kering dengan bahan aktif paracetamol yang dibuat dengan
metode granulasi basah, dengan 4 formulasi berbeda yaitu berbeda
pada konsentrasi bahan penghancur dan pengsuspensi berupa PVP.
2. Konsentrasi PVP yang menunjukkan hasil maksimal dalam
pembuatan massa adonan granul adalah konsentrasi 10%, sedangkan
konsentrasi 20%, 30% dan 40% menghasilkan massa adonan yang
terlalu keras.
3. Pada konsentrasi PVP 20%, 30% dan 40% dilakukan penggantian
dengan bahan penghancur lain yaitu amilum dengan konsentrasi yang
sama.
4. Untuk hasil uji organoleptis, semua hasil suspensi kering
menunjukkan hasil yang hampir sama.
5. Untuk uji kadar lembab dan pengukuran pH, semua suspensi kering
menunjukkan hasil yang memenuhi syarat, yaitu kadar lembab sebesar
2-4% dan pH sebesar 4,5 – 6,9.
6. Untuk uji sifat alir, tidak ada yang memenuhi persyaratan, tetapi
waktu terbaik dimiliki oleh granul yang dibuat dengan penghancur
amilum sebesar 20%.
7. Untuk uji waktu rekonstitusi, yang paling cepat melarut pada air
dingin adalah granul yang dibuat dengan konsentrasi PVP 10% (46
detik), sedangkan yang paling cepat melarut dalam air panas adalah
granul yang dibuat dengan konsentrasi amilum 40%.
8. Untuk uji higroskopisitas, suspensi kering yang higroskopisitasnya
paling kecil adalah sediaan dengan konsentrasi PVP 10% dan amilum
30%.
9. Secara keseluruhan, dari ketepatan formulasi, proses pembuatan
sampai pada hasil uji yang dilakukan, maka suspensi kering yang
paling baik ditunjukkan oleh formulasi yang menggunakan PVP
sebesar 10%.
B. Saran
Mahasiswa sebaiknya memahami terlebih dahulu cara pembuatan
serta prinsip kerja dari praktikum yang akan dilakukan sehingga tidak
bingung saat praktikum. Mahasiswa juga sebaiknya lebih berhati-hati dalam
melaksanakan praktikum sehingga diperoleh hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta.
Ansel, H.C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi IV. UI Press : Jakarta.
Lachman et al. 1986. Teori dan Praktek Teknologi Farmasi Industri Edisi III. UI
Press : Jakarta.
Siregar, C.J.P. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet: Dasar-Dasar Praktis,
EGC : Jakarta.
Rowe et all. 2006. Handbook of Pharmaceutival Exipiens 5th . The Pharmaceutical
Press : London.
Voigt. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi edisi V. Gadjah Mada Press :
Yogyakarta.