Transcript

Lamellongwijatobone Lamellong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo BoteE (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan.Tentang Lamellong di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat tentang buah pikirannya yang menyangkut Konsep Hukum dan Ketatanegaraan dalam bahasa Bugis Bone disebut Pangngadereng.Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama Lamumpatua ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE.Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :1. Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;2. Tidak memejamkan mata siang dan malam;3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan4.Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.Gelar KajaoKarena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka Lamellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut Kajao Lalliddong. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516).Sejak kecil dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang. Bakat-bakat istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu Gowa telah berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan. Hanya Kerajaan Bone yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua kerajaan yang berseteru berdamai.Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao lalliddong diangkat menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo yang disebut Perjajnjian LamumpatuE ri Timurung tahun 1582.Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini:Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone: Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae.Artinya : dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut Inanna WarangparangngE yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada Pangngadereng (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :1.ADEAde merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :a. Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap tidak mudah untuk diubah.b. Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.c. Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi2.BICARA.Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.3.RAPANG.Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.4.WARI.Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak dan kewajiban setiap orang.Setelah agama Islam resmi menjadi agama kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponen pangngadereng (Ade, Bicara, rapang dan wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep Pangngadereng ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik akan melahirkan kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Diingatkan pula bahwa di samping kejujuran, kecerdasan dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan Dewata SeuwwaE (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis.Saat-saat Terakhir dalam HidupnyaMengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun, maka banyak yang berpendapat bahwa pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada dalam wilayah wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.Tentang pemberian gelar Kajao yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai Rohaniawan (Bissu) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak sebagai layaknya seorang perempuan.Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai dengan peristiwa Mallajang (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong menyatakan Mallajang (menghilang).Versi kedua menyatakan di saat usia Kajao lalliddong bertambah uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini, menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa yang ditandai sebuah batu sebagai nisan. Baru pada suatu saat beberapa turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehinnga sekarang nampak lebih unik dari kuburan lainnya.Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua. Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di masa hidupnya. Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar kuburan Kajao Lalliddong samapai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang istimewa tentang ilmu kebatinan. Bahkan masyarakat banyak menganggap Kajao Lalliddong memilki berkah, sehinnga setiap saat dikunjungi oleh banyak orang.Tongkat LamellongDi dusun Lamellong sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekarang masih nampak berdiri dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah tongkat Lamellong.Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon Nyelle yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah. Ternyata tongkat kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu masih ada. Bahkan pohon besar itu dijadikan penanda oleh penduduk setempat kapan mulainya musim tanam jagung. Menurut para petani di kampung Lalliddong apabila pohon nyelle itu sudah betul-betul rimbun maka tibalah saatnya menanam jagung. Selain itu pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari daratan sudah kelihatan, puncak pohon ini sayup-sayup melambai.Benar atau tidak, yang jelas bahwa pohon nyelle tersebut yang diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat Lamellong, masih dapat disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat setempat menganggap pohon besar itu angkerDalam kedudukannya sebagai duta keliling, Kajao Laliddong melakukan banyak kegiatan diplomatik yang berhasil dengan gemilang. 1. Diantaranya yang terpenting dapat disebutkan adalah penyerahan dengan jalan pembelian PITUNGPANUA dari Kerajaan Luwu kepada Kerajaan Bone.2. Saat terjadi perang antara Bone melawan Gowa yang meletus dari tahun 1550-1557, ketika itu Lamellong berusia 57 tahun. Oleh Raja Bone, Lamellong diserahi tugas sebagai pemimpin laskar. Perang dengan Gowa ini merupakan peluang emas bagi Lamellong untuk membultikan keberanian, kecerdikan, dan rasa cintanya terhadap perdamaian seperti yang selalu dianjurkan. Ketika raja Gowa I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data tewas dalam pertempuran melawan Bone, Lamellong mengusulkan kepada Raja Bone La Tenri Rawe BongkangngE, agar jenazah raja Gowa tersebut diantar ke Gowa untuk disemayankan di sana. Usul ini diterima oleh raja Bone, maka diperintahkanlah empat orang pembesar kerajaan untuk mengantar jenazah raja Gowa.Pengembalian jenazah raja Gowa I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data, merupakan inisiatif Lamellong yang sangat gemilang, sebab dengan tindakan itu dapat menyadarkan para penguasa di Gowa, bahwa sesungguhnya Bone sangat mencintai perdamaian. Dengan langkah ini pula, membuat kerajaan Bone semakin disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya.Peristiwa itu mengabadikan salah satu ungkapan Bugis ADAEMMI MAPPANNESSA TAU (kata-katalah yang membuat seseorang dapat disebut sebagai manusia). Rupanya kalimat tersebut menjadi pegangan bagi Lamellong dalam berdiplomasi dengan siapa saja.

Tanjung Palette, Tempat Ditenggelamkannya Orang SelingkuhMasih tentang wisata. Salah satu tempat wisata pantai lain selain pantai Batu Hiu adalah Tanjung Palette. Tanjung Palette merupakan salah satu kawasan wisata di kabupaten Bone, sekitar 12 km sebelah timur dari kota Watampone. Watampone ditempuh sekitar 3 jam dari kota Makassar. Tempat wisata ini sekarang sangat populer bagi wisatawan domestik, tak pernah sepi dari pengunjung terutama di hari raya. Itu karena keindahan alamnya, suara deburan ombak yang keras dan harga tiket yang murah.

Tanjung Palette terletak di pesisir Teluk Bone, bukan berupa hamparan pasir namun pantai dengan karang yang lumayan terjal. Salah satu sensasi berkunjung ke tempat ini adalah pemandangan bukit karang yang cantik disertai dengan deburan ombak yang keras. sejak dulu, keindahan kawasan Palette telah menarik perhatian wisatawan lokal, namun karena kurangnya fasilitas maka sepi pengunjung. Sekarang , tempat wisata ini di lengkapi berbagai fasilitas tambahan setelah mendapat perhatian dari pemerintah kab. Bone seperti kolam renang, kafe, gazebo dan Hotel. Jadi ada banyak aktivitas yang dilakukan ditempat ini selain memnadangi pesona alamnya, anda bisa berenang, memancing atau menginap dengan menikmati adat masyarakat setempat yang sudah dicanangkan sebagai desa wisata. Atau menikmati seafood seperti kepiting bakau yang menjadi ikon kab. BoneDi balik keindahan pemandangan di Tanjung Palette, menurut cerita rakyat yang turun temurun sejatinya adalah tempat mallabu tau, Menenggelamkan orang karena pelanggaran yang berat pada zaman kerajaan Bone. Orang yang dilabu(ditenggelamkan) di Pallete adalah pasangan selingkuh.Mereka yang telah berkeluarga namun berselingkuh akan diikat bersama lalu di buang disana. Saya sendiri sebagai orang Bone hanya bisa mendapati cerita tentang orang di tenggelamkan, mungkin karena zaman kerajaan telah berakhir sehingga tak ada lagi orang yang di tenggelamkan disana. Tetapi memang di masyarakat Bone dan masyarakat Bugis pada umumnya selingkuh adalah perbuatan yang sangat tercela dan akan mendapat hukuman yang sangat ketat di masa lalu sehingga sampai sekarang hampir tak pernah ada kasus selingkuh dengan perempuan yang sudah berkeluarga disana. (forum.vivanews.com)

HOME Legenda Hikayat Lagaligo Hikayat Lagaligo

Tulis - Legenda

Ditulis Oleh gita

Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi Buri (Tasik Buri).

La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Epik ini tercipta sebelum epik Mahabharata. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.

Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkelijk Instituut Taal Land en Volkenskundig Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge langi menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge langi kemudian menikah dengan sepupunya We Nyilitimo, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu, sebuah daerah di Luwu, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Madukelleng atau Sawerigading (Putera Ware) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

La Galigo di Sulawesi Tengah

Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu.Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu. Sesampainya tentara Luwu, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.

Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.

Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.

La Galigo di Sulawesi Tenggara

Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.

Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi, artinya, Yang tinggal di surga. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.

Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).

La Galigo di Gorontalo

Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.

La Galigo di Malaysia dan Riau

Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.

Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh Keraing Semerluki dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo, dimana nama sebenarnya ialah Sumangerukka dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.

Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko dari Peneki, sebuah daerah di Wajo, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Madukelleng, juga ke Johor. La Madukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.

Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).

Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

La Galigo dalam Seni Pentas

La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Penata suara adalah Rahayu Supanggah. Bissu Puang Matoa Saidi turut berpartisipasi dalam produksi ini

RAJA BONE5La Tenri Sukki (1516 1543)Juni 30, 2008 tomanurung Inilah Mangkau di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.Adapun taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan,Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung.Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar Mappajung-E (memakai payung). Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama, Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi). Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu,Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu.Dijawab oleh Datu Luwu,Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone.Merasa ajakannya disambut baik,Arumpone berkata,Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan; kalau ada yang rebah mari kita saling menopang, dua hamba satu Arung; tindakan Luwu adalah tindakan Bone, tindakan Bone adalah tindakan Luwu; baik dan buruk kita bersama, tidak saling membunuh, saling mencari kebaikan, tidak saling mencurigai, tidak saling mencari kesalahan; walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone; walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu; bicaranya Luwu, bicaranya Bone bicaranya Bone, bicaranya Luwu; adatnya Luwu, adatnya juga Bone, begitu pula sebaliknya; kita tidak saling menginginkan emas murni dan harta benda; barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya, dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu.Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama Polo MalelaE ri Unynyi karena terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian keduanya kembali ke negerinya.Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada Arumpone. Arung Mampu berkata,Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku.Arumpone menjawab,Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda.Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.La Tenri Sukki menjadi Mangkau di Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan,Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama La Uliyo.Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.Anak La Tenri Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah La Uliyo BoteE kawin dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro Maggading-E. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe Bongkang-E, La Inca, We Lempe, We Tenri Pakkuwa.Selain La Uliyo, ialah We Denra Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara yang digulung).We Sida Manasa kawin dengan La Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.

Gua Mampu Sebuah Legenda Terkutuk

Ditulis Oleh gita

Goa Mampu adalah gua terluas di Sulawesi Selatan, legenda gua Mampu ini jauhnya kira-kira 140 km dari kota Makassar dalam penambahan untuk stalagmites dan stalagtites terdapat susunan batu yang mirip dengan sosok manusia dan binatang, semuanya memiliki legenda yang nyata. Gua yang terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini, tidak hanya sekedar gua. Terlebih buat masyarakat di sekitar Gua Mampu, demikian nama gua ini. Gua Mampu, sarat dengan cerita legenda yang begitu dipercaya.

Gua Mampu yang luasnya sekitar 2000 meter persegi, terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe, yang berjarak 34 kilometer dari Watampone, ibukota Kabupaten Bone.

Legenda Alleborenge Ri Mampu, yang berkembang seputar gua, diyakini secara turun-temurun, sebagai suatu kebenaran. Konon, di Gua Mampu ini pernah berdiri Kerajaan Mampu. Namun karena kutukan dewa, penghuni kerajaan ini, termasuk binatang dan benda-benda lainnya berubah menjadi batu.

Bongkahan batu yang mirip manusia, binatang, dan lainnya, memang banyak ditemui di dalam gua ini. Gambaran ini bak diorama kehidupan manusia di jaman dulu, di masa-masa Kerajaan Mampu.

Legenda yang berkembang tentang Gua Mampu ini, juga ditemui dalam lontar Bugis kuno, yang berkisah tentang perkampungan yang terkena kutukan sang dewata. Di dalam Gua Mampu, juga ditemui stalagtit dan stalagmit,yang menambah keindahan interiornya.

Gua yang terbentuk dari proses alam, selama ratusan tahun ini, belum seluruhnya berhasil ditelusuri. Bahkan belum separuhnya. Baru 700 dari 2000-an meter persegi yang berhasil dilihat.

Namun demikian, cerita legenda yang berkembang pada masyarakat tentang Gua Mampu, telah membuat gua ini dikunjungi banyak orang. Motivasinya macam-macam.ada yang sekedar melihat-lihat, ada pula yang mencari berkah,yang rela bermalam di dalam gua.

Para pengunjung,tidak bisa langsung begitu saja memasuki gua. Mereka harus melengkapi dirinya dengan alat penerangan. Sejumlah bocah kecil dengan obor bambu di tangan, telah siap mengantar pengunjung menelusuri gua.

Bocah-bocah ini selain menyewakan obor bambunya, juga mampu menjadi pemandu gua yang baik. Mereka paham cerita seputar gua,lengkap dengan bumbu-bumbunya.

Hari Minggu, dan hari besar keagamaan, menjadi hari-hari yang ditunggu anak-anak ini. Pada saat-saat itu pengunjungnya membludak, yang artinya mendatangkan rezeki lebih banyak buat mereka. Selama 2 jam mendampingi pengunjung gua, biasanya anak-anak kecil seperti Budi ini, mendapat tips lima ribu rupiah.

Sayangnya, obor bambu yang banyak dipakai ini, asapnya menyisakan arang hitam yang menempel di atap dan dinding gua. Sehingga kesan kotor, sulit dihindari.

Namun meski demikian, kawanan kalelawar yang bersarang di gua ini, masih setia mendiami Gua Mampu. Bahkan kehadirannya yang telah puluhan tahun ini, mewarnai Gua Mampu.

Kesakralan Gua Mampu, masih terjaga hingga kini. Tinggal bagaimana masyarakat sekitar gua, menjaga cerita legenda yang menghiasi gua ini

HOME Legenda Misteri Tapak Kaki Arung Palakka Misteri Tapak Kaki Arung Palakka

Ditulis Oleh gita

Konon, bahwa arung Palakka sebelum meninggalkan tanah kelahirannya menuju ke kerajaan Buton ia melakukan ikrar atau janci , beliau menghentakkan kakinya setelah mengikatnya pada akar pohon beringin sebagai suatu tanda ikrar dan nampaklah pada hentakan kaki itu di atas sebuah batu dilereng gunung Cempalagi yang masih berada di pinggir laut. Bekas tapak kaki Arung Palakka tersebut yang panjangnya kurang lebih 75 cm. Di bekas tapak inilah bila mana air laut surut maka bekas pijakan kaki tersebut akan nampak dengan jelas. Dan ditapak itu menyerupai sebuah wadah mengandung air tawar yang sesungguhnya harus asin karena berada di bawah permukaan laut. Banyak orang yang berkunjung untuk mendapatkan air suci itu yang dianggapnya sebagai air yang memiliki tuah. Kegiatan seperti itu terjadi dari dulu dan masih berlangsung hingga kini. Dan memang mujurlah seseorang bila mana bisa melihat dan mendapatkan air pada tapak tersebut. Bila mana Anda ingin berkunjung ke daerah tersebut anda harus mempersiapkan diri siap menunggu waktu agak lama untuk dapat melihat situasi tersebut di atas, bahkan terkadang seharian kita menunggu tak kunjung datang a ir surut. Sehingga apabila Anda mampu melihatnya berarti Anda termasuk orang yang mujur. Di sekitar gunung itu ada beberapa mulut gua yang di dalamnya penuh stalagtit dan stalagmit yang tergolong indah dan bahkan menurut pengakuan masyarakat setempat bahwa di adalam gua itu terdapat lorong panjang yang tembus dengan tanjung Pallette yang berjarak 2 km. Gua inilah yang disebut Gua janci. Selain itu di dalam gua itu terdapat sungai yang mengalir air tawar yang airnya cukup dalam namun susah untuk ditempuh. Untuk mencapai sungai itu kita harus berjalan merangkak. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagi petualang. Juga disinyalir bahwa di dalam sungai itu hidup komunitas ikan Arwana.Sumber : Drs. Salim said

Doko-Dokona Passompe'E

Tulis - Legenda

Ditulis Oleh gita

Karya : DR B.F.Matthes, Boeginische Chrestomathic, I.P.L-27 dalam Rahim (1985:207-227).Disadur Oleh : Ir.H.Abdu Samad H.A.Umar, M.Si.Ceritera ini merupakan ceritera rakyat (Legenda) yang mempunyai banyak peristiwa yang luar biasa. Substansinya ada pada Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, dan sangat berguna pada saat ini dimana budaya sipakatau atau sipakalebbi sudah mengalami pergeseran dalam alam demokrasi lokal. Baik itu masyarakat lokal maupun bagi pasompe (Pengembaraan Orang Bugis) yang senantiasa rindu kampung halamannya, maupun pernah mendengar ceritera masa lampau oleh orang tua kita dahulu hingga dibawa ke perantauan. Hal ini merupakan ceritera tersendiri di kalangan pasompe, membuat rindu kampung halaman, sanak saudara dan Wari (asal usul), memperpanjang usia (lamperi sunge) karena mengembang biakkan manusia (Pabbija Tau) dan Merindangkan Pepohonan (Palorong Welareng) di tanah seberang di mulai dari Cina, Malaysia, Singapura, Kamboja, Philipina, dan Australia (Hamid;2004). Bahkan sampai ke Johor, Selangor, Trenggano, dan Pahang. Begitu pula La Maddukelleng dalam pengembaraannya menaklukkan Kesultanan Pasir tahun 1726, kemudian merebut Kutai, Pangatan, Banjarmasin dan daerah sekitarnya. Disebutkan bahwa La Maddukelleng kawin dengan anak Sultan Pasir yang bernama Andeng Ajeng. Setelah Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir 14, Ayahanda Andeng Ajeng) wafat, istri La Maddukelleng dicalonkan menjadi Ratu Pasir, Namun sebagian orang-orang pasir menolak pencalonan tersebut. Akibat dari penolakan itu, pasukan La Maddukelleng menyerang dan menaklukkan Pasir. Hasil penaklukan tersebut La Maddukelleng naik tahta menjadi Sultan Pasir ke 15, selain itu beliau juga bergelar Arung Peneki, Arung Singkang, Arung Matoa Wajo ke XXXI (Maulana;2003).

La Maddukelleng Daeng Simpuang adalah keturunan ke-6 dari La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo ke IV dengan We Pageri Arung Cabalu, Latadampare adalah anak dari La Tompi Wanua Arung Sailong dengan We Tenri Lewi (Saudara La Tenri Ampa Arung Palakka) dan Lamaddukelleng adalah cucu dari Arung Menge Ranreng Talottenreng. Sesuai dengan hukum adat ketatanegaraan Kerajaan Wajo, Arung Matowa Wajo harus dilantik oleh Arung Betteng Pola yang mempunyai kedudukan sebagai Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo) (Maulana;2003:38).Adapun asal usul Arung Betteng Pola, Arung Talottenreng dan Arung Sao Tanre (Ranrenge ri Tua) merupakan anak-anak yang lahir dari perkawinan putri Mappajunge (Raja Luwu) dengan putra Arumpone (Raja Bone). Asal usul nya dikemas dalamPAUPAU RIKADONGKonon kabarnya di Kerajaan Luwu pada masa lampau mempunyai seorang Puteri (Arung Welampelang) yang ditimpa bencana yaitu mengalami penyakit kulit yang baunya sangat amis dan busuk ( masala uli ). Dia anak tunggal sekaligus sebagai anappattola (Pewaris Tahta).Pada suatu waktu berkumpullah rakyat Luwu bersama para Tokoh Adat (Pampawa Ade) disebabkan orang di Luwu takut ditulari penyakit yang seperti itu.Ayah-bundanya menjadi susah karena musibah yang menimpa putrinya. Berdatanganlah para dukun (Sanro) dan tabib, tetapi penyakitnya malah membuat orang tak tahan mencium baunya yang sangat menusuk hidung. Dia hendak dibunuh, tapi tidak boleh sebab dia adalah keluarga yang tak boleh didurhakai lagi pula ia berdarah mulia (Maddara-takku), karena Raja (Mappajung) mereka di sana dianggap berasal dari dewa (Batara Guru Sangkuru Wira Mula Tau Tellang Pulawennge) yang berdarah putih bagaikan getah dari pohon takku bagaikan susu, Takku (Caktus) (Mappasanda,2007).Oleh karena itu amat susahlah orang di Luwu. Terjadilah pada suatu waktu, orang Luwu berhimpun sampai di Wara yang berbatas dengan Baebunta, demikian pula mereka yang berada di Bulu Polo. Adapun sebagai hasil dari persetujuan mereka adalah sepakat menghadap ke Mappajunge (Raja Luwu) untuk memperoleh persetujuan yang telah disepakati oleh mereka yaitu yang mana kiranya dihargai oleh beliau, telur sebutir atau telur yang banyak. Setelah mereka duduk berhadapan dengan Mappajunge mereka tunduk, bisu seribu bahasa.Maka bertitahlah Mappajunge, Apakah hajat kalian Adat Luwu bersama dengan orang banyak? Adat Luwu sama berucap : Tiada lain hajat penting yang kami bawa menghadap Raja kami selain hendak menyampaikan rasa takut kami, demikian juga takut ditulari penyakit yang menimpa Puteri Raja kami. Adapun kesepakatan dan persetujuan (Siamaturuseng) kami adalah yang mana Tuan inginkan, telur yang sebutir ataukah telur yang banyak. Sekiranya Tuan menginginkan telur yang sebutir, maka berkehendaklah rakyat (atanna) Mappajunge malleke dapureng, berpindah orang di Luwu sampai di Wara sini, batasnya di Baebunta sana, tempat diterima beritanya di Bulu Polo sana. Akan tetapi sekiranya Tuan masih tetap mencintai telur yang banyak, baiklah kiranya jikalau puteri Raja kami yang malasa kumpinge (berpenyakit infeksi pada kulit) itu dijauhkan.Kubenarkan kata kalian orang di Luwu, Jawab Raja. Lebih kuhargai orang yang banyak dari pada orang yang satu. Bukankah janjiku dahulu, janji yang kita sepakati bersama (Risiamaturuseng), yang disaksikan oleh Topabbare bareede (yang maha memelihara) bahwa meskipun anakku, isteriku, sekiranya kalian mencelanya, akupun tak menyukainya. Ini merupakan pertanda seorang Raja yang memiliki nilai Lempu (kejujuran), Asitinajang (Kepatutan) dan Getteng ( Keteguhan) kemudian Raja Luwu berkata betapakah pendapat kalian? Serentak berucap Adat Luwu, syukur alhamdulillah sebab Mappajunge ternyata mengikuti kesepakatan orang banyak. Kalau demikian titah Baginda maka kami pikir, Tuan Puteri sebaiknya di buang (ri pali), sebab hendak dialirkan darahnya, hal tersebut tak dapat diadatkan di tanae di Luwu ( Yanaro ana appona Mappajunge de siseng-siseng nawedding dibukkakan darana ). Baginda pun menjawab Kuteguhkan (Magetteng) apa yang kalian setujui. Kemudian Adat Luwu bersama orang banyak berkumpul untuk membuatkan rakit besar (pincara) bagi puteri Rajanya. Setelah rampung, merekapun bersama-sama naik memberitahukan Baginda. Ketika mereka berada di hadapan Baginda, bertitahlah beliau kepada puterinya. Kumpulkan semuanya hai anakku, barangmu yang telah kuserahkan menjadi milikmu. Ambil juga semua sahayamu yang engkau senangi untuk menyertaimu. Pergilah kerakit membawa nasibmu (Totomu).Betapa besar cintaku inginkan kita hidup bersama-sama tetapi negeri dan rakyat Luwu tak mengizinkannya disebabkan penyakitmu ketika itu.Sang puteripun mengumpulkan inannyumparenna (ibu penyusunya), pattaranana (yang memelihara dan menjaganya) semua sahanya; dikumpulkannya pula semua barang yang telah dimilikinya kepadanya. Segala-galanya telah siap, lalu diapun serombongan berangkat turun ke rakit. Diantar oleh ayah-bunda Rajanya (Mappajunge-Petta Makkunrai), Adat (Pangaderreng) , anak-anak raja (Anakarung), putera-putera mahkota (Anappattola), dan orang banyak (Pabbanuwa).Tali tambat rakitpun ditetas dan semuanya sudah berada diatas rakit. Sama merangkun rakit ke tempat yang dalam, dihanyutkan oleh arus sungai. Empat puluh hari, empat puluh malam, mereka hanyut tak tentu tempat tujuannya. Hanyalah nasib (Toto) dan nilai luhur yang dimiliki oleh sang puteri yaitu Asitinajang (Kepatutan), Getteng (Keteguhan) atau kesabaran, meskipun mata tak bisa terpejam karena memikirkan suratan takdir (Pammase) dari yang maha memelihara yang mesti diterima di dunia ini. Mataharipun bersinar dari atas gunung. Sinarnya berpendar-pendar lembut terang-temerang. Dan Allah memperlihatkan kekuasaanNya; saatnya telah tiba. Rakit sudah berada di sungai yang agak sempit. Sahayanya lalu sama-sama turun, menarik rakit mencapai tepian. Merekapun naik ke darat, perempuan naik membenah, sedangkan laki-laki sama pergi mencari tanah tempat berumah. Tampaknya negeri ini bukanlah wilayah Luwu, mereka lalu menemukan pohon besar yang didekatnya ada sungai-sungai yang tak pernah kering, mereka lalu berembuk dan semua laki-laki memikir-mikirkan. Akhirnya sepakat untuk membangun rumah yang patut (Sitinaja) buat Puteri Rajanya. Setelah rumah rampung dibangun, maka turunlah mereka ke rakit untuk memberitahukan puteri Rajanya tentang kesepakatan yang telah mereka buat. Tuan puteri mendengarkan kata para sahayanya, termasuk mereka yang diambilnya sebagai orang tua (Tomatuwa), sambil berkata Apa yang telah menjadi kesepakatan kalian, itu pulalah yang kudengarkan dan kuteguhkan (Magetteng). Lalu merekapun sama kembali lagi lalu membangun pula rumah buat mereka masing-masing.Semua laki-laki tadi sama pergi mpukke tana (membuka atau mengolah lahan) ada yang berladang jagung, ada pula yang bersawah, juga ada yang menanam keladi, pisang dan sayur-mayur. Itulah yang dikerjakan oleh kaum laki-laki. Adapun yang dikerjakan oleh kaum perempuan, di waktu tanaman suami mereka telah berhasil seperti padi (Sangiangseri) merekalah yang menuainya lalu dibawakan kepada Rajanya, Demikianlah kelakuan sahayanya, laki-laki dan perempuan.Pada suatu waktu, mereka membawa padi dan jagung, menjemurnya di depan rumah Rajanya. Bila pagi datang, laki-laki dan perempuan berangkat, juga orang-orang tua dan anak-anak semuanya. Mereka berangkat pergi mencari rezki (dalle) di dalam hutan dan di lahan. Jikalau mereka semuanya telah lepas berangkat, maka Tuan puteripun yang berpenyakit kulit itu pergi pula menjemur padi. Begitulah kelakuan sahaya dan sang Raja setiap harinya.Terjadilah pada suatu waktu, ketika sang Puteri turun ke tanah hendak membenahi padi yang ada di depan rumahnya, tiba-tiba dia melihat seekor kerbau balar (Tedong Mpuleng) sedang berada di dekat onggokan padi, Diapun pergi menghalaunya tetapi dia sendiri hendak diseruduk oleh kerbau balar, bahkan dikejar kian-kemari sampai Tuan Puteri terjatuh. Maka datanglah sang kerbau tadi menjilat seluruh dahinya sampai sekujur tubuhnya. Kemudian sang kerbau balik kembali masuk hutan. Anak Rajapun bangkit berdiri dengan penuh lumuran air liur sang kerbau. Lalu Tuan Puteri pergi mandi di sungai yang ada di dekat rumahnya. Selesai mandi, diapun naik kerumahnya (Salassana) sambil memikirkan nasibnya takdir dari Allah Subhanahu Wataala.Tuan puteri lalu mengambil cermin dan berkaca memperhatikan dahinya bekas jilatan kerbau. Diperhatikannya wajahnya, dan dilihatnya sudah ada perubahan; demikian pula perubahan pada tubuhnya. Dia pergi ke tempat tidurnya membaringkan dirinya, lalu terlena sampai tertidur.Ketika dia terjaga dari tidurnya, diapun menyaksikan dirinya, penyakitnya telah berubah, semua sahanya yang sedang gembira kembali dari pekerjaannya, bertambaha bersuka cita menyaksikan Puteri Rajanya. Demikian itu kerjanya setiap hari, Jikalau pagi telah datang, diapun turun ketanah menjemur padinya, dan sang kerbau datang pula menjilat sekujur tubuhnya sampai kulit Tuan puteri pulih kembali keadaannya seperti semula dia dijadikan oleh Allah taalah (Suatu pertanda bahwa jika Allah menghendaki tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu menghalanginya).Tepat pada saat itu konon kabarnya, pada suatu waktu putera Arumpone (Anappattola) hendak pergi berburu, maka dikumpulkanlah semua anreguru pakkennyarange (Guru penunggang kuda) bersama mereka yang gagah perkasa. Keberangkatannya telah disiapkan dengan pengiringnya (Joa), para penunggang kudanya. Lantas guru penuggang kuda naik menghaturkan kepada Arumpone (Raja Bone), kemudian Baginda bertitah kepada pembawa puan (pakalawingepue) supaya pergi menyampaikan Putera Mahkota (Anappattola) agar berangkat besok pagi menuju Awangpone berburu rusa. Pada keesokan harinya, Putera Mahkotapun berangkat diiringi oleh para penunggang kudanya dan mereka yang gagah perkasa, Tujuh hari tujuh malam dalam perjalanan, mereka kehabisan bekal dan laparpun mulai terasa sehingga Beliau merasa ibah melihat semua orangnya sedang menanggung lapar. Dia lalu menyuruh supaya pergi mencari makanan sebab terasa sangat lapar. Orang banyak membagi diri terpencar-pencar ke segala penjuru untuk mencari makanan.Ada yang menyusuri sungai Walanae (Sungai Cenrana), ke bawah; ada yang tetap mengikuti sungai itu, dan ada pula yang menyeberanginya di bagian sebelah bawah. Yang terakhir inilah yang menampak asap kejauhan. Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Mereka ini terperanjat menyaksikan sejumlah rumah, dan sebuah rumah besar menandakan rumah Raja. Ketika yang disuruh tadi (Suro) tiba, maka sekonyong-konyong tertangkap matanya pada tuan Raja Puteri. Hati berdebar menyaksikan kecantikannya. Apa gerangan hajatmu, kata Tuan Puteri yang empunya rumah; Orang dari mana kamu, mengapa kalian kelihatan gugup memandang saya. Sembah Tuan, jawab yang disuruh, kami dari Bone, disuruh oleh Putera Arumpone (Anappattola) pergi mencari makanan sebab dalam perjalanan berburu, bekal kami telah habis, sehingga kamilah yang disuruh mencari makanan.Berkatalah yang empunya rumah kepada pattudang (protokol) supaya pergi memasakkan putera Arumpone. Pattudang bangkit; beras diambilnya juga ayam disuruh potong. Gadis-gadis bangsawan datang semuanya. Bersama pattudang mereka lalu memasak makanan yang akan diantar, dibekalkan pada pesuruh putera Arumpone. Terimalah makanan ini, kata Raja Puteri kepada Suro (pesuruh). Bawakan putera Rajamu dan sampaikan kepada beliau bahwa tidak ada yang lain dapat kubekalkan kecuali hanya sekedar ini saja, nasi dan lauk-pauknya serta beberapa buah telur, sebab kamipun di sini adalah orang terdampar dari Luwu. Hanyalah teman-teman saya yang bercocok tanam sehingga adalah yang dimakan.Adapun suro amat tertarik pada sikap yang manis lagi menyenangkan itu, ditingkah pula keindahan tutur kata yang tak terlukiskan.Tiga orang suro tadi mengatur sembah, mohon pamit sambil berangkat pulang memikul bawaan. Setelah mereka tiba, maka orang banyakpun sama terkejut termasuk Rajanya yang menyaksikan, disamping banyaknya juga dalam keadaan yang sangat berpatut (Sitinaja).Dari Awassalo Tuanku, kata suro, kami mencari makanan. Seorang gadis Puteri Raja yang membekalkan. Konon beliau datang dari Luwu. Sembahku Tuanku, tiada pernah kulihat ada perempuan secantik dia. Ramah-tamah pada joana (rakyat pengikutnya), pandai mengumpul-menghimpun orang yang baik budi pekertinya (madeceng kininnawai), lagi bijak bertutur kata. Banyak temannya dan juga lengkap peralatan semua laki-lakinya. Beliau yang membuka tanah, berumah di bawah pohon Wajoe. Putera Raja mendengarkan semua kesan yang disampaikan, kemudian mereka makan bersama-sama.Selesai makan, berkatalah Putera Arumpone; pakailah masing-masing senjatamu dan siapkan semua kuda, Aku ingin mengunjungi Raja perempuan tersebut, yang datang dari Luwu itu. Dia begitu besar ibah hatinya mengirimkan makanan kepada kita. Semuanya sudah di atas kuda, satu rombongan berangkat menuju Awassalo. Suro tadi yang dijadikan mata laleng (penunjuk jalan). Tiba-tiba mereka terkejut nampak sebuah rumah Raja, dikelilingi rumah-rumah sahayanya, dialiri sungai-sungai yang tak kering. Ketika mereka tiba di ambang perkampungan Raja perempuan, lalu rombongan turun dari kuda mereka, Putera Arumpone menyuruh naik memberi tahukan tentang kehadiran dirinya.Setelah suro tiba diatas, berkatalah pattudange; Suro dari mana engkau, apa gerangan hajat anda, siapa yang menyuruh?. Putera Arumpone yang menyuruh saya. Beliau sekarang berada di ambang rumah berhajat menemui Tuan Raja Puteri dari Luwu, Jawab suro. Maka berkatalah inannyumparenna Raja yang empunya rumah, bagaimana pendapat senngata (panggilan sederajat antara mereka yang berbakti kepada raja), sebab Raja seorang gadis (Welampelang).Tiada lain yang dihajatkan Puwakku (Rajaku) kecuali ingin naik makkasuwiyang (bertemu dan berbakti) sebab beliau telah dikirimi makanan yang memberatkan perasaannya, yang juga dirasakan oleh rombongan dan sesama kami, jikalau tidak datang membawa diri kehadapan Tuan Puteri Raja dari Luwu. Maka Inannyumpareng (indo pasusunya) pun lalu masuk ke bilik (kamar) memperkatakan kepada anaknya.Berkatalah puteri Rajanya; Jikalau demikian kesepakatan kalian, undanglah beliau naik dan ajak pula semua lelaki yang telah kujadikan orang tua. Tidak lama kemudian, hadirlah seluruh joana (Kesatria) yang laki-laki dan mereka yang dijadikan orang tua. Lalu dijemput pulalah rombongan orang yang dari Bone naik di watampolae (rumah induk; tetamu yang diterima di rumah induk, adalah tamu yang amat dihormati). Sesudah itu, lalu disambut pula Putera Armpone oleh Pattudange, dibasuh kakinya dari cerek emas, diantar oleh Inannyumpareng, didudukkan di atas tikar permadani. Sambil duduk, mereka semua terheran-heran menyaksikan saniasa (keteraturan yang berpatutan), kelengkapan bagi kaum perempuan, kelengkapan bagi kaum laki-laki.Kemudian masuk inannyumpareng menjemput anak Rajanya. Beliau di antar keluar, dibimbing oleh Pattudanna, makkasuwiyang di hadapan putera Arumpone. Takjub mereka semuanya menyaksikan gerak langkah gemulai dan raut wajah yang mempesona. Setelah Tuan Puteri Raja duduk di atas tikar permadani, maka tersimbah perasaan, guncang hatinya putera Arumpone. Entah duduk, entah berdiri, duduk salah tegakpun salah. Terlenakah dia tak sadarkan diri lagi, gelap penglihatannya dan rebah jatuh (pingsan) di atas tikar permadani, bersamaan dengan itu pula Inannyumpareng melompat menerima kepala putera Arumpone. Secepat itu pula Tuan Puteri Raja minta air di mangkuk putih, Cepat juga Pattudang membawakannya. Tuan Puteri membuka sanggulnya dan rambut lepas terurai sudah, dia lalu mencelupkan ujung rambutnya ke dalam air di mangkuk putih, lantas dipercikkan ke wajah putera Arumpone sampai dia sadarkan diri. Semua yang hadir takjub melihat kecantikan yang empunya rumah dalam keadaan rambut tebal terurai itu.Setelah sadarkan dirinya, bermohon dirilah dia bersama semua pengiringnya (joana), siap berangkat kembali ke Bone. Begitu dia berada di tanah, diapun menengadah kelangit sambil membisikkan hatinya. Ya Allah, telah tertambat hatiku, jika benar aku seorang anak yang tak boleh didurhakai (toriabusungeng) dan jika membawa kebaikan bagi diriku serta kebaikan bagi orang banyak, tolong bentengi aku ya Allah, supaya dapat aku mempersunting Puteri dari Luwu ini. Tetapi jika sekiranya akan menjadi kebinasaan bagi diriku dan bagi orang banyak, tolong aku ya Allah, hindarkan hati yang terpukau ini, tiada kemauan yang akan jadi, iradatMu jualah yang berlaku.Begitu selesai membisikkan hatinya (berdoa), begitu dia melompat menunggang kudanya, diantar, dikawal oleh para pengiringnya, keluar meninggalkan gerbang, melintasi sungai Walanae, menuju Attassalo. Tujuh hari, tujuh malam perjalanan di tempuh baru mereka tiba di rumahnya di Bone. Begitu beliau turun dari kudanya, langsung saja naik ke sallassae (istana) dan segera masuk ke biliknya (kamarnya), membuka kelambu sambil merebahkan badannya, terus menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya menangis merindukan Tuan Puteri yang telah memikat hatinya dalam perjalanannya.Ketika waktu malam tiba, Arumpone lalu mencari puteranya sambil bertanya kepada Inannyumparenna. O Kino (nama yang biasa dipergunakan oleh raja untuk memanggil Inannyumpareng), mana anakmu. Sembahku, dia sedang tidur Puang !, Jawabnya.Bangunkan dia, lalu ajak dia keluar makan, perintah Raja (Arumpone).Dia dibangunkan namun tiada juga mau bangun melainkan hanya menangis. Kepada Raja disampaikan; Sembahku, kata Inannyumpareng, Dia tidak mau bangun kecuali terus saja menangis, sejak dia kembali dari berburu, tak pernah dia bangun. Sakit apa gerangan dia anakmu, Kino? tanya Raja lagi. Dia tidak demam, tidak pula sakit kepala, ya Puang,Jawab Inannyumpareng.Maka bangkitlah Arumpone (Petta Mangkau) bersama permaisuri (Petta Makkunrai), masuk menjenguk puteranya. Sampai di dalam, beliau meraba kepalanya sambil berkata ayah bundanya. O Baso, (nama panggilan orang tua kepada anak laki-lakinya) kenapa engkau demikian, apa sakitmu, Namun si anak tetap saja menyelimuti kepala dan kakinya sambil air mata tertumpah dari rintihan bayangan rindu.Berkatalah Ayahnya, Kalau-kalau ada orang yang mengganggu hatimu, maka akan kuperangi negerinya. Bangunlah Baso, mari kita keluar makan. Keadaan-nya tak berubah, isak tangis terus juga, dan tetap menyelimuti seluruh badannya, maka bersusah hatilah ayah-bundanya melihat keadaan puteranya. Mereka inipun keluar makan, dan Arumpone menyuruh panggil Anreguru Pakkennyarange yang menyertai perjalanan Arung Malaloe (Tuan Raja Muda).Anreguru pakkennyarange pun telah hadir di hadapan Arumpone, dan diapun ditanya.Hai Anreguru, apa yang menyebabkan Arung Malolo terus saja menangis membungkus kepala dan kakinya dan tidak hendak bangun makan?. Sembahku,kata Anreguru, tiada pengetahuan saya sebab setiba tadi dari berburu, dia tidak demam, tidak sakit juga kepalanya, tidak pula pernah terjatuh dari kuda. Kalau-kalau ada orang yang mengganggu perasaannya, desak Petta Makkunrai (Permaisuri ).Dua kepala orang tak akan berani berbuat demikian atas diri Arung Maloloe, sambung Anreguru, Mungkin dia jatuh cinta pada anaknya orang, ataukah dia pernah melihat sesuatu yang tak biasa baginya lalu menawan hatinya tetapi malu mengatakannya? Desak lagi permaisuri.Maka mulailah Anreguru hendak menjelaskannya. Biarlah hamba dibunuh, hamba disembelih. Daunlah saya sedangkan Tuan angin. Paranglah saya, Tuanlah yang menetakkan. Hamba hendak menjelaskannya. Adapun Arung Malolo tidaklah demam, tidak sakit kepala tetapi memang dia sedang menanggung sesuatu di dalam hatinya. Demikian Anreguru berceritera panjang lebar kepada Puangnya.Sesudah Arung Malolo kembali sadarkan diri, sama takjublah kami semua menyaksikan lagi sebuah kecantikan yang mempesona dalam keadaan rambutnya Tuan Puteri lepas dari sanggulnya terurai panjang. Kamipun dijamu kue-kue, takjub kami menyaksikan cara dan sedianya. Demikian juga guru Pattudanna, tentang caranya menghidangkan makanan, Aneka rupa macamnya kue sedang tak kelihatan asap, sampai semuanya masak, demikian juga orang yang membuat kue. Arung Malolo diaturkan jamuan diatas baki dari perak (Salaka), cangkir tempat minum kopinya dari emas (Ulaweng), sedangkan tempat kuenya dari bessikelling (nikel), semuanya ditata emas. Adapun tangkup bakinya adalah sutera berwarna kuning. Ketika Arung Maloloe menginjakkan kakinya di tanah, pandangan Tuan Puteri tak pernah lepas dari balik tellongeng salae (jendela bukan jendela utama) sampai keluar meninggalkan gerbang. Disepanjang jalan hanya seperti jalan kenangan tidak satupun butir kata yang keluar dari mulutnya sampai kami semuanya tiba dan masing-masing kami turun dari kuda. Hanya butir-butir air mata tampak jatuh berderai yang dibawanya naik ke salassae. Dia langsung masuk ke biliknya, terus membuka kelambu, lalu merebahkan badannya sambil menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya inilah sembahku,kata Anreguru menutup keterangannya.Rupanya waktunya telah tiba, Nama harum Tuan Puteri Raja mulai hendak semerbak. Kemudian berkatalah Arumpone (Raja Bone) kepada isterinya, Tahu aku akan caranya. O, Tuan Permaisuri, beritahu putramu supaya tidak usah bersusah begitu. Jikalau benar hatinya telah terpaut pada puteri Raja dari Luwu, kalau memang kasihnya timbul dari lubuk kalbunya yang bening (Ati Macinnong) mencintai puteri itu, maka akan ku kirim duta (Suro). Kalau sampai dia menolak lamaran kita, biar kuperangi negerinya. Masuk lah indo Puwanna/Petta Makkunrai (ibunda rajanya) menuturkan kepada anaknya. E, Baso, bangun kemari nak, apa yang engkau rintihkan dan kesulitanmu. Sekiranya ada samamu anappattola (anak pewaris tahta kerajaan) yang menggoda hatimu, biarlah kita meminangnya, membuat sama tinggi tiang rumahnya. Sekiranya dia adalah tosamamua (orang kebanyakan) yang mappolo ada (melanggar aturan), biarlah kusuruh bunuh. Tetapi jika memang kamu telah jatuh cinta, biarlah kami mengatur duta. Demikian bujuk bundanya meyakinkan puteranya.Betapapun senang hatinya mendengarkan kata ibunda rajanya ibarat terasa madu yang dituangkan ke dalam lubuk hatinya. Lantas dia bangun membenahi pakaiannya sambil berkata Bundaku, biar saya dibunuh dan disembelih, biar dibuang di kejauhan, Memang saya telah jatuh cinta pada Puteri Raja dari Luwu. Jikalau bunda tak sedia memahami hati yang diamuk cinta ini, biar kubunuh diri ini. Sebab tiada lagi artinya dunia bagi diriku. Kalau tak dapat kupetik dan kupersunting dia di dunia ini, biarlah jumpa kekasih di akhirat kelak. Lalu dia kembali lagi membaringkan dirinya, menyelimuti kepala dan kakinya, merintih lagi dia. Biarlah aku menyampaikannya kepada ambo puangmu (Tuan Raja,ayahmu), bujuk lagi Indo Puwanna.Sesudah disampaikan keadaan anaknya, Arumpone lalu menyuruh Pakalawingepu (Pemangku Puan) menjemput Qadi (Petta Kalie) dan Ade Pitue (Tujuh orang Raja sebagai Kepala Adat) Bone. Semuanyapun telah hadir di hadapan Arumpone. Bagindapun berkata : Kuminta kalian bertindak sebagai duta, berangkat meminang Raja Puteri yang dari Luwu. Tetapi persenjatai diri kalian. Sekiranya lamaran diterima, maka tetapkan saja hari jadinya dan segera balik ke Bone menyampaikannya. Tetapi jikalau natongkangi (mereka menolak) maka langsung saja angkat senjata lalu suruh beritakan kemari.Segalanya telah lengkap, merekapun berangkat. Tujuh hutan ditembus, tujuh padang nan panjang dilintasi, baru mereka tiba di sungai Walanae. Mereka menyeberangi Awassalo. Tiba-tiba sahaya Tuan Puteri Raja menampak mereka. Segera dia berlari memberitahukan Rajanya. Gegerlah semua perempuan dan sekalian sahaya datang berkumpul, juga lelaki yang dijadikan orang tua. Disiapkan senjata dan tombak, Pintu gerbang disuruh dijaga. Empat puluh pucuk senjata, empa puluh laras meriam. Masing-masing dikawal, kemudian tiba pulalah Ade Pitue bersama Qadi Bone serta orang banyak, maka bertanyalah pengawal gerbang. Orang dari mana kalian? yang dijawab, Kami mengiringi Ade Pitue dan Qadi Bone.Mereka diminta supaya menunggu sebentar. Senngata (sebutan bagi sesama sahaya) akan menyampaikan dahulu kepada Tuan Puteri Raja. Ada sejumlah orang yang datang, mereka berkata, orang dari Bone. Dikatakan mereka bersama Ade Pitue dan Qadi Bone, disuruh oleh Arumpone. Inilah yang menyebabkan saya naik ke mari, kata pengawal pintu gerbang. Tuan Raja Puteripun menyuruh supaya mereka di undang masuk. Jikalau sudah takdirku tentu tidak bisa tak kulihat apa yang telah kuiyakan lahir kedunia ini.Pintu gerbang dibuka, mereka yang datang sama masuk pula. Pattudang sama menanti, juga tau rialena (Keluaga dekatnya) Tuan Puteri Raja. Mereka menanti di tangga dengan cerek ditangan. Ketika tamu tiba di tangga, dibasuhlah kaki mereka oleh Pattudange dari cerek perak (Salaka), langsung naik mengantarkan ammerakeng (tempat sirih) Sesudah Ade Pitue dan Qadi makan sirih, bertanyalah mereka.O, Kino, dimanakah Tuan kita (Puatta), Puteri Raja yang empunya rumah. Beliau ada di dalam bilik, jawab Inannyumpareng bersama para orang tua. Kepada siapa sekiranya kami menyampaikan amanat yang disuruhkan Arumpone dan permaisuri? tanya duta dari Bone. Kepada kamilah semuanya disampaikan amanat itu, pesan yang disuruhkan oleh Tuan Raja!Jawab Inannyumpareng bersama para orang tua. Maka berkatalah Ade Pitue bersama Qadi. Kami membawa hajat dari jauh. Berhajat Arumpone mempersuami-isterikan Adatnya dan rakyatnya, mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu, yang ada berumah, membuka negeri, di bawah pohon Wajoe. Sekiranya orang Luwu tidak berkenan mempertukarkan kerbaunya dengan kerbaunya Bone, Arumpone inginkan orang Luwu suka membuat sama tinggi bentengnya dengan bubungan rumahnya!Lalu berkatalah Inannyumpareng dan orang-orang yang dipandang sebagai orang-tua kerajaan Luwu,Biarlah kami merembuk-rembukkannya lebih dahulu. Adapun yang telah kami sepakati bersama, itulah yang akan kami bawa kepada Tuan Puteri Raja kami.Apalah nanti yang diinginkan beliau, itu pulalah yang akan kami sampaikan kepada Ade Pitue bersama Qadi Bone. Setelah tiba pada saatnya, maka berkumpullah semua orang yang datang dari Luwu, semua perempuan, para gadis, para pemuda nappae mattappi (yang baru mulai memakai keris), bersama laki-laki yang tua-tua, sama-sama bertukar pikiran. Maka adapun yang disepakati bersama yaitu menyetujui untuk mempertukarkan kebau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu, lalu mereka semuanya pun naik menyampaikan kepada Puteri Rajanya tentang kesepakatan yang telah mereka ambil. Maka berucaplah Puteri Rajanya : Apa pun yang kalian telah sepakati, itu pulalah yang kudengarkan. Akan tetapi yang menjadi keberatan bagiku jika hendak riarekare (disiasiakan) dan riappanngaddiyang (dimadu). Para orang tuapun yang dari Luwu sama menyambut bahwa itulah juga yang akan menjadi keberatan yang akan disampaikan kepada mereka yang disuruh oleh Bone. Jikalau hal itu telah disyaratkan, lalu disetujuinya pula, kemudian dilanggarnya juga, maka itulah yang menyebabkan na-ala puebulo (terbelahnya bambu; maksudnya, menjadi gara-gara yang menimbulkan sengketa atau perang). Selesai itu, keluarlah Inannyumpareng dan para orang tua yang dari Luwu menghaturkan hasil permufakatan mereka termasuk syarat yang diajukan oleh Tuan Puteri Rajanya. Berkatalah kepada Ade Pitue dan Qadi Bone. Adapun yang telah menjadi kesepakatan kami sengata (para abdi) dari Luwu, menyetujui mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu. Hanya ada suatu ada-kipapolo (kata titipan atau pesanan). Silahkan sampaikan kepada kami agar kami mendengarkannya supaya kami juga menyampaikan kepada Arumpone, sambut duta, Maka berkatalah Inannyumpareng :Hanya yang menjadi keberatan kami riarekare-e dan rippadduwange (dimadu) Jikalau itu yang telah kami syaratkan, lalu sampai terjadi atas diri kami, maka itulah yang kami jadikan alasan puebulo. Lalu dijawablah. Kami telah mendengar semua kata anda. Itu jugalah yang akan dihadapkan kepada Arumpone. Lalu merekapun memohon diri, sedangkan sebelumnya, waktu pelaksanaan sudah ditetapkan juga.Merekapun tiba kembali di Bone, sama menghadap Arumpone. Duta, bagaiman hasil perjalananmu, sambut Arumpone bersama permaisuri. Kami sudah kembali Puang, Apa yang diinginkan sama-sama disukai. Suka sama suka dan sama ingin mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu. Hanya ada sesuatu ada maelo napapolo. Apa gerangan kata itu? Tanya Arumpone. Hanya yang menjadi syaratnya orang Luwu yaitu tidak mau disia-siakan (diarekare) demikian juga dimadu (dipadduwa). Sebab mereka memandang diri, sebagai anappada (anak sederajat) dan anappattola di Luwu.Maka berkatalah Arumpone suami-isteri.Memang tidak boleh, hai Ade Pitu, saling menyia-nyiakan jikalau mereka sama-sama anappattola.Sesudah itu, Arumpone menyuruh memberitakannya di Tana Bone, sampai kepada seluruh palilina (kerajaan bawahannya) kepada keluarganya. Kemudian daripada itu, maka berdatanganlah semua raja bawahannya (Arung Palili) Bone bersama keluarganya, dengan segala bawaan mereka, datang massolo (mempersembahkan tanda ikut gembira). Arumpone pun menetapkan hari keberangkatan mengarak puteranya bersama permaisuri pun bertolak, diiringi Ade Pitue, dan juga oleh orang banyak. Sesampainya di rumah raja Puteri datang pulalah seluruh orang Luwu menjemput Arumpone bersama bakal Rajanya.Dalam perkawinan antara Anappattola Luwu dan Anappattola Bone sompanya adalah Sompa Tosellitoni (mahar yang tertinggi yang hanya berlaku bagi anappattola Luwu). Lepas malam pantangannya maka siyadecengini (berbaiklah keduanya) pengantin baru. Arumpone bersama permaisuri pun disertai orang banyak, sama kembali pulalah ke Bone. Hanya yang tinggal ialah masing-masing sahaya Tuan Raja Muda (Arung Maloloe), juga seyajinna (keluarga) mereka.Beberapa tahun kemudian, bersalinlah pengantin baru ini, Para sahayanya juga sama beranak-pinak. Anak-pinak ini sama meninggalkan negerinya, pergi berkelompok-kelompok. Ada kelompok yang pergi mencari kehidupan dengan jalan menyadap tuak, melakukannya dengan cara taro tenreng yaitu memasang tangga. Kelompok inilah yang disebut Limpoe ri Talottenreng (Kelompok yang berdiam di Talottenreng).Adapula kelompok yang pergi mencari penghidupan dengan menangkap ikan dengan cara mattuwatuwa bale yaitu dengan menggunakan tuba guna memabukkan ikan. Kelompok inilah yang disebut Limpoe ri Tua (kelompok yang berdiam di Tua).Adapun kelompok lainnya yang pergi mencari penghidupannya dengan cara mabbang alliribola yaitu menebang kayu untuk dibuat tiang rumah, selanjutnya membangun rumah besar. Kelompok inilah yang disebut Bettempola.Adapun anak-anak yang lahir dari perkawinan Puteri Mappajunge dengan Putera Arumpone, masing-masing menjadi Raja pada setiap kelompok tadi. Dia yang ke Talottenreng digelarlah Arunge ri Talottenreng; yang ke Tua digelar Ranrenge ri Tua; sedangkan yang mendiami Bettempola, dialah yang digelar Petta Betteng.Tiga Raja tersebut masing-masing mengangkat passulle (wakil, misalnya juga sulewatang, artinya wakil pribadi), dengan gelar masing-masing sesuai dengan warna panji-panji mereka, yaitu : pilla warna merah; patola warna coklat kehijau-hijauan; dan cakkuridi warna kuning.Dengan tambahan tiga orang pejabat tersebut, maka mereka lalu menjadi enam semuanya. Merekapun sama berkata satu dengan lainnya. Kita berenam sudah sama dewasa dan besar, dan apabila terjadi perselisihan di antara kita, siapa lagi yang akan menasihati kita? Mereka lalu bersepakat untuk menunjuk seorang yang digelar Arung Matowa (Raja yang dituakan, suatu jabatan Ketua Pemerintahan Wajo), sehingga mereka sudah merupakan Tujuh Besar Raja.Adapun tempat dimana terdapat rumah besar tadi, di bawah pohon Wajoe, itulah yang disebut Tana Wajo, atau Tosora.(8 Rabiul Awwal 2008).DAFTAR PUSTAKAHamid Abu. 2004. Pengembaraan Orang Bugis (PASOMPE), Pustaka Refleksi, Makassar.Mappasanda. A. 2007. Kerajaan Luwu, to ACCAe Publishing, MakassarMaulana,M. 2003. Lamaddakelleng, Lamacca Press, Makassar.Rahim.A.R.1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, LEPHAS, Makassar.(Teluk Bone)


Top Related