Download - Konten C7119.pdf
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan i
Kata Pengantar
Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing Kementerian/Lembaga.
Pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 merupakan tahap awal dari dimulainya Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Selain itu, tahun 2010 juga merupakan tahap awal pelaksanaan restrukturisasi program dan kegiatan pada masing-masing kementerian/lembaga. Perlu dicatat pula bahwa RKP 2010 diterbitkan melalui Perpres 21/2009 pada tanggal 31 Mei 2009, sebelum pengesahan RPJMN 2010-2014 melalui Perpres 5/2010 pada tanggal 20 Januari 2010. Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan dan program serta faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Sebagai mitra kerja dari Direktorat Jenderal Penataan Ruang-Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah-Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan melakukan pemantauan pelaksanaan program penyelenggaraan penataan ruang dan program pengelolaan pertanahan. Hasil dari pemantauan tersebut akan menjadi masukan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada periode berikutnya.
Kami menghaturkan terima kasih kepada berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung pelaksanaan kegiatan pemantauan rencana pembangunan ini, diantaranya Bappeda Provinsi, Bappeda Kabupaten/Kota, BPN baik di tingkat pusat, khususnya Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri maupun di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat kami tuliskan satu persatu. Apabila ada yang memerlukan penyepurnaan dari laporan ini, dengan terbuka kami menyambut baik masukan dan saran untuk peningkatan kinerja kegiatan pemantauan pada tahun mendatang.
Jakarta, Januari 2011
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Ir. Deddy Koespramoedyo, MSc
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan ii
Tim Penyusun
1. Deddy Koespramoedyo
2. Rinella Tambunan
3. Nana Apriyana
4. Dwi Haryawan S
5. Ester Fitrinika HW
6. Herny Dawaty
7. Aswicaksana
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan iii
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Tim Penyusun ......................................................................................................................ii
Daftar Isi ............................................................................................................................. iii
Daftar Gambar.................................................................................................................... iv
Daftar Lampiran ..................................................................................................................v
Bab 1 Pendahuluan ........................................................................................................ 1-1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1-1 1.2 Tujuan ........................................................................................................... 1-3 1.3 Sasaran ........................................................................................................ 1-3 1.4 Ruang Lingkup Kegiatan .............................................................................. 1-4 1.5 Metodologi .................................................................................................... 1-4 1.6 Keluaran yang Diharapkan ........................................................................... 1-4 1.7 Sistematika Penulisan .................................................................................. 1-5
Bab 2 Pelaksanaan Pemantauan Program Penataan Ruang ......................................... 2-1
2.1 Permasalahan Yang Dihadapi ...................................................................... 2-1 2.2 Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai ........................... 2-2 2.3 Laporan Pemantauan Penataan Ruang Ke Daerah ..................................... 2-3
2.3.1 Provinsi Sumatera Barat ..................................................................... 2-4 2.3.2 Kabupaten Pesisir Selatan .................................................................. 2-6 2.3.3 Kota Padang ........................................................................................ 2-7 2.3.4 Provinsi Jawa Timur ............................................................................. 2-9 2.3.5 Kabupaten Mojokerto ....................................................................... 2-10 2.3.6 Kota Mojokerto .................................................................................. 2-10 2.3.7 Provinsi Gorontalo ............................................................................. 2-11 2.3.8 Kota Gorontalo .................................................................................. 2-13 2.3.9 Kabupaten Gorontalo ........................................................................ 2-13
Bab 3 Pelaksanaan Pemantauan Program Pengelolaan Pertanahan ............................ 3-1
3.1 Permasalahan yang Dihadapi....................................................................... 3-2 3.2 Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai ........................... 3-4 3.3 Laporan Kunjungan ke Kantor Pertanahan.................................................. 3-7
3.3.1 Ke Provinsi Sumatera Barat ................................................................ 3-7 3.3.2 Ke Provinsi DI Yogyakarta ................................................................. 3-10 3.3.3 Ke Provinsi Kepulauan Riau.............................................................. 3-11
Bab 4 Penutup ................................................................................................................ 4-1
Bab 5 Lampiran-Lampiran ................................................................................................. 1
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan iv
Daftar Gambar
Gambar 3.1 Tingkat Pencapaian Peta Pertanahan .............................................................. 3-3
Gambar 3.2 Target Pencapaian Sertifikasi Tanah 2014 ..................................................... 3-4
Gambar 3.3 Proses Sertifikasi Lintas K/L ........................................................................... 3-6
Gambar 3.4 Mobil Larasita ................................................................................................... 3-7
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan v
Daftar Lampiran
Lampiran Dokumentasi Kegiatan Pemantauan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan tahun 2010 ...................................................... L-1
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 1-1
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan, yang diamanatkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan
sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana pembangunan nasional. Pengendalian
tersebut dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama
pelaksanaan rencana pembangunan, serta menghimpun dan menganalisis hasil
pemantauan dari masing-masing Kementerian/Lembaga yang menjadi mitra kerja.
Pemantauan pelaksanaan program pembangunan merupakan upaya untuk melihat
kesesuaian pelaksanaan perencanaan dengan arah, tujuan, dan ruang lingkup yang
menjadi pedoman dalam rangka menyusun perencanaan berikutnya. Tahun 2010
merupakan awal pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010-2014 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun
2010. Namun perlu dicatat bahwa RKP 2010 telah disahkan sebelumya melalui Perpres
Peraturan Presiden nomor 21 tahun 2009.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan merupakan mitra kerja dari Direktorat Jenderal
Penataan Ruang-Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan
Daerah-Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pertanahan Nasional, sehingga kegiatan
pemantauan difokuskan pada pencapaian target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun
2010 bidang tata ruang dan pertanahan. Kegiatan pemantauan ini juga menggali
informasi dan masukan dari stakeholders terkait untuk perencanaan bidang tata ruang
dan pertanahan tahap berikutnya.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010, bidang tata ruang terkait dengan
prioritas nasional 5; Peningkatan Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Kapasitas Penanganan Perubahan Iklim adalah: i) Pembinaan Manajemen
Penyelenggaraan Penataan Ruang Operasionalisasi RTR Pulau, RTRWN, RTRWP, RTR
Kab/Kota, ii) Penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang di
tingkat nasional dan daerah untuk mendukung pengendalian pemanfaatan ruang, iii)
Penguatan dukungan sistem informasi, iv) dan monitoring penataan ruang dalam rangka
mendukung upaya pengendalian pemanfaatan ruang.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 1-2
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam bidang tata ruang adalah a) Rencana Tata
Ruang belum secara efektif dapat dijadikan pedoman di dalam pelaksanaan
pembangunan maupun dalam pemberian perizinan pemanfaatan ruang; b) belum
memadainya kapasitas kelembagaan dikarenakan kurangnya kualitas SDM; dan c)
masih lemahnya kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
dikarenakan masih terbatasnya kualitas rencana tata ruang ruang yang dilatarbelakangi
oleh keterbatasan informasi (peta, data geologi dan data daya dukung), sehingga sering
terjadi konflik pemanfaatan ruang antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku.
Dalam upaya menangani permasalahan tata ruang, maka sasaran pembangunan tahun
2010 bidang tata ruang adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya Rencana Tata Ruang yang mengakomodasi mitigasi dan
penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah dan pengembangan
kawasan melalui percepatan penyelesaian peta dasar dan koordinasi antar institusi
penyedia peta, pemantapan sistem informasi yang terpadu, dan pemantapan proses
konsultasi substansi teknis dan evaluasi penyusunan RTRW.
2. Meningkatnya pemahaman seluruh stakeholders akan penataan ruang melalui
sosialisasi, peningkatan peran serta masyarakat dan terbentuknya mekanisme
integrasi antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan.
3. Meningkatnya koordinasi Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang
melalui pembentukan kelembagaan terutama dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.
Sementara itu, bidang pertanahan terkait dengan prioritas nasional 4: Pemulihan
Ekonomi yang Didukung oleh Pembangunan Pertanian, Infrastruktur, dan Energi; dan
Prioritas nasional 5: Peningkatan Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Kapasitas Penanganan Perubahan Iklim. Kegiatan yang terkait dengan kedua prioritas
nasional tersebut antara lain: i) Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan; ii) Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, iii) Pengaturan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaaan Tanah, iv) Pengendalian dan
pemberdayaan kepemilikan tana; v) Survei, pengukuran dan pemetaan; dan vi)
Penyusunan Penyempurnaan Pengkajian Peraturan Perundangan.
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam bidang pertanahan adalah ketimpangan
pemilikan dan penguasaan tanah yang relatif terkonsentrasi pada sekelompok kecil
masyarakat; masih rendahnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 1-3
menyebabkan kurang terlindunginya hak-hak masyarakat atas tanah; masih
maraknya konflik dan sengketa tanah.
Dalam upaya menangani permasalahan pertanahan, maka sasaran pembangunan
tahun 2010 bidang pertanahan adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya percepatan pendaftaran tanah, termasuk akses masyarakat miskin
terhadap pemilikan sertifikat dan sumber permodalan.
2. Meningkatnya ketersediaan infrastruktur pertanahan serta kapasitas SDM yang
memadai.
3. Berkurangnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah serta pemanfaatan tanah yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).
Kegiatan pemantauan yang cermat dan berkala dibutuhkan untuk melihat pencapaian
target dan mengukur kinerja pembangunan tata ruang dan pengelolaan pertanahan.
1.2 Tujuan
Kegiatan pemantauan bertujuan untuk:
1. Menghimpun dan menganalisis masukan informasi mengenai kemajuan
(progres) pelaksanaan program penataan ruang dan pengelolaan
pertanahan yang sedang berlangsung, baik implementasi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014
maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010.
2. Mengidentifikasi hambatan, kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan program pembangunan di bidang tata ruang dan pertanahan
serta merumuskan langkah-langkah korektif yang perlu diambil.
1.3 Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah memantau kinerja mitra
kerja Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan di pusat dan daerah dalam
melaksanakan RKP dan RKPD. Mitra kerja tersebut adalah Direktorat Jenderal
Penataan Ruang-Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina
Pembangunan Daerah-Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pertanahan
Nasional.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 1-4
1.4 Ruang Lingkup Kegiatan
Lingkup pemantauan meliputi kegiatan dari program penataan ruang dan
program pengelolaan pertanahan nasional di kementerian/lembaga yang
merupakan mitra Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, terutama kegiatan yang
termasuk dalam prioritas nasional.
1.5 Metodologi
Kegiatan pemantauan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan dilaksanakan
melalui:
1. Penyiapan dokumen pemantauan, antara lain formulir isian dan rencana
kerja.
2. Rapat pemantauan dengan mitra kerja.
3. Tinjauan ke lapangan/daerah untuk memantau perkembangan pelaksanaan
program pembangunan, antara lain ke Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur,
Gorontalo, Kepulauan Riau, dan DI Yogyakarta.
4. Kompilasi data mengenai pelaksanaan program penataan ruang dan
pengelolaan pertanahan, baik yang bersumber dari mitra kerja maupun dari
sumber lainnya (pemerintah daerah, LSM, maupun akademisi).
5. Penyusunan laporan pemantauan.
1.6 Keluaran yang Diharapkan
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan pemantauan ini adalah:
1. Terselenggaranya rapat-rapat pemantauan dan kompilasi materi bahan
rapat pemantauan terhadap kegiatan di bidang tata ruang dan pertanahan.
2. Terselenggaranya pemantauan kegiatan ke daerah sebagai bahan
rekomendasi penyusunan kebijakan pelaksanaan kegiatan tahun 2011.
Di bidang penataan ruang, kegiatan pemantauan dilakukan terhadap
Program Sosialisasi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP
No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN serta Program Penyusunan Zoning
Regulation . Untuk program sosialisasi UU No. 26 Tahun 2007 akan diambil
sample lokasi antara lain ke Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur,
Gorontalo, Kepulauan Riau, dan DI Yogyakarta. Dengan demikian, melalui
hasil pemantauan di lapangan diharapkan dapat diprediksi target
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 1-5
pencapaian kegiatan dan kinerja kegiatan untuk penentuan prioritas
kegiatan di tahun berikutnya.
Dalam bidang pertanahan, pemantauan dilakukan terhadap kegiatan yang
terkait dengan prioritas nasional 4 dan 5 antara lain: i) Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan; ii) Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah, iii) Pengaturan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan
dan Pemanfaaan Tanah, iv) Pengendalian dan pemberdayaan kepemilikan
tana; v) Survei, pengukuran dan pemetaan; dan vi) Penyusunan
Penyempurnaan Pengkajian Peraturan Perundangan, yang dilaksanakan
baik ditingkat pusat maupun daerah.
3. Tersusunnya laporan pemantauan yang memuat kompilasi data
perkembangan pelaksanaan program penataan ruang dan pengelolaan
pertanahan nasional yang akan menjadi masukan bagi kegiatan evaluasi
pelaksanaan program tersebut.
1.7 Sistematika Penulisan
Laporan kegiatan pemantauan ini disusun dalam lima bab. Bab 1 adalah pendahuluan
yang menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup kegiatan,
metodologi, keluaran dan sistematika penulisan. Bab 2 menjelaskan tentang
pelaksanaan pemantauan program penataan ruang yang meliputi: permasalahan yang
dihadapi, langkah-langkah kebijakan dan hasil-hasil yang dicapai, serta hasil
pemantauan program penataan ruang di daerah. Bab 3 memuat tentang pelaksanaan
pemantauan program pengelolaan pertanahan yang juga meliputi: permasalahan yang
dihadapi, langkah-langkah kebijakan dan hasil-hasil yang dicapai, serta hasil
pemantauan program pengelolaan pertanahan di daerah. Bab 4 Berisi penutup yang
memuat kesimpulan pelaksanaan pemantauan. Selanjutnya bagian lampiran memuat
dokumentasi pendukung pelaksanaan kegiatan pemantauan ini.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-1
Bab 2 Pelaksanaan Pemantauan Program Penataan Ruang
Bab ini akan memaparkan mengenai hasil-hasil yang dicapai pada program
pembangunan bidang tata ruang yang merupakan objek pemantauan, serta kendala dan
tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program pembangunan di lapangan.
2.1 Permasalahan Yang Dihadapi
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, permasalahan utama
yang dihadapi dalam bidang penyelenggaraan penataan ruang adalah:
Masih diperlukan percepatan pengesahan Perda RTRW sesuai dengan amanat
UU No. 26 Tahun 2007 sebagai acuan pelaksanaan pembangunan;
Penyusunan RTR belum didasarkan pada kualitas dan kuantitas data yang
memadai, peta dasar dan peta tematik yang up-to-date, serta NSPK yang telah
dilegalisasi;
Masih perlu ditingkatkannya alokasi anggaran daerah untuk penyusunan RTRW
Provinsi, Kabupaten/Kota yang selain mengakomodasi proses teknokratik, juga
perlu mengakomodasi proses politis dan pelibatan masyarakat;
Belum adanya sinkronisasi program pembangunan antar sektor dan antar
wilayah yang mengacu kepada RTR sehingga masih ditemukan adanya konflik
antar sektor dan antar wilayah;
Masih adanya penyimpangan penggunaan lahan terhadap RTRW yang
dicerminkan dari tingkat kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRWP telah
mencapai 68,31 persen dari luas wilayah Indonesia atau 130,66 juta hektar;
Belum tersedianya instrumen pengendalian yang optimal, mekanisme perizinan
yang mengacu kepada RTRW, dan petunjuk pelaksanaan pemberian sanksi
terhadap pelanggaran RTRW; dan
Belum terbentuknya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Penataan Ruang yang
mencukupi untuk meningkatkan fungsi pengawasan dalam penataan ruang
yang didukung oleh SDM dan ketersedian NSPK.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-2
2.2 Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai
Pada tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2010-2014, sebagaimana tertuang dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2010, langkah-langkah kebijakan dalam bidang
penataan ruang yang telah dilaksanakan pada tahun 2010 meliputi: (1)
Peningkatan kualitas implementasi rencana tata ruang, (2) Pemantapan struktur
dan koordinasi kelembagaan penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pusat dan
daerah, (3) Penyelesaian peta dasar dan sistem informasi data spasial dalam upaya
mendukung pengendalian pemanfaatan ruang, dan (4) Peningkatan sosialisasi dan
informasi peraturan perundangan mengenai penataan ruang.
Hingga akhir tahun 2010, pencapaian di bidang penataan ruang antara lain adalah:
(a) Ditetapkannya Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang sebagai pengganti dari UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
dan sosialisasi UU tersebut kepada seluruh pemangku kepentingan;
(b) Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai pelaksana dari UU No. 26 Tahun
2007 dan sosialisasi PP tersebut ke beberapa daerah;
(c) Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai pelaksana dari UU No. 26 Tahun
2007 dan sosialisasi PP tersebut ke beberapa daerah;
(d) Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk
dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang sebagai pelaksana
dari UU No. 26 Tahun 2007 dan sosialisasi PP tersebut ke beberapa daerah;
(c) Ditetapkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak
dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) sebagai salah satu Kawasan Strategis
Nasional (KSN) amanat PP No. 26 Tahun 2008;
(d) Ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 4 Tahun 2009 tentang Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) sebagai revisi dari Keppres No.
62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional, sebagai
landasan dalam koordinasi penyelenggaraan penataan ruang di tingkat
nasional;
(e) Ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 50 Tahun
2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, sebagai landasan
dalam koordinasi penyelenggaraan penataan ruang di tingkat daerah;
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-3
(f) Ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 28 Tahun
2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Daerah;
(g) Revisi 7 (tujuh) Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) RTR Pulau yaitu RTR
Pulau Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan RTR Kepulauan
Nusa Tenggara, dan Maluku;
(h) Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tingkat Ketelitian
Peta Rencana Tata Ruang;
(i) Terselenggaranya forum koordinasi penataan ruang di tingkat nasional dan
regional melalui Rapat Kerja Nasional BKPRN dan Rapat Kerja BKPRD;
(j) Tersusunnya Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) diantaranya
adalah Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota;
(k) Tersusunnya data dan peta dasar rupa bumi untuk mendukung penyusunan
rencana tata ruang;
(l) Terselenggaranya Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
(Musrenbangnas) RPJMN 2010-2014 sebagai salah satu mekanisme untuk
mengintegrasikan antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan;
dan
(m) Dilakukannya penyusunan dan revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hingga akhir tahun 2010 terdapat 7
(tujuh) provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Bali, Lampung, DI Yogyakarta,
Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang menetapkan Perda
RTRW Provinsinya; 14 (empat belas) kabupaten yaitu Kabupaten Bandung,
Flores Timur, Bogor, Timor Tengah Utara, Sidoarjo, Bangkalan, Nabire, Jayapura,
Pasuruan, Pacitan, Malang, Jombang, Sumba Timur, dan Sumba Barat Daya;
dan 4 (empat) kota yaitu Kota Banda Aceh, Yogyakarta, Probolinggo, dan
Bukittinggi yang menetapkan Perda RTRW Kab/Kota.
2.3 Laporan Pemantauan Penataan Ruang Ke Daerah
Pelaksanaan pemantauan program penyelenggaraan penataan ruang dilakukan
baik di tingkat pusat maupun kunjungan di beberapa daerah. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan informasi mengenai pencapaian target kegiatan prioritas,
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-4
permasalahan yang dihadapi dan faktor-faktor yang mendukung pencapaian target
tersebut. Pemantauan difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam
prioritas nasional, dan juga memantau status rencana tata ruang dan rencana
pembangunan di daerah yang dijadikan objek pemantauan.
2.3.1 Provinsi Sumatera Barat
Pemantauan di Provinsi Sumatera Barat selain ke provinsi juga dilakukan ke Kota
Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan. Di Provinsi Sumatera Barat, status rencana tata
ruang dan rencana pembangunan yang ada adalah sebagai berikut:
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029 sudah berada pada tahap
dipresentasikan di Kementerian Kehutanan. Hal ini dilakukan karena di dalam
RTRW Sumatera Barat terdapat perubahan luas hutan dan alih status hutan. Luas
kawasan hutan lindung Provinsi Sumatera Barat dalam RTRW 2009 berkurang
dibandingkan dengan peraturan yang berlaku dari Kementerian Kehutanan untuk
Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera Barat sebenarnya termasuk pemerintah
daerah pertama yang melakukan penyusunan RTRW sesuai amanat UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun proses penyusunan ini memakan
waktu yang cukup lama akibat adanya permohonan perubahan status dan luas
hutan tersebut.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 7
Tahun 2008 tentang RPJPD Provinsi Sumatera Barat. Arah kebijakan pembangunan
daerah telah dibagi dalam tahap lima tahunan untuk setiap bidang.
Status RPJMD saat ini adalah legal dengan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 4
Tahun 2007 tentang RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006-2010. RPJM
disusun dengan menurunkan kebijakan dan strategi dalam RPJP untuk lima tahun
pertama. RPJM yang baru akan disusun setelah diperoleh Gubernur terpilih.
Rencananya pada dokumen tersebut akan ditambahkan bab khusus untuk aspek
spasial.
Beberapa isu dalam bidang penataan ruang yang diperoleh selama kunjungan lapangan
di Provinsi Sumatera Barat adalah:
Keterbatasan Pemanfaatan Lahan
Lahan untuk pengembangan budidaya di Provinsi Sumatera Barat relatif terbatas.
Lahan dengan kelerengan lebih dari 40 % mencapai luas 1.650.918 Ha (39,03%).
Luas kawasan hutan mencapai 2.599.386 Ha (61,46%) yang terbagi atas kawasan
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-5
hutan berfungsi lindung seluas 1.756.608 Ha dan hutan produksi seluas 842.778
Ha. Luas keseluruhan kawasan lindung di Provinsi Sumatera Barat mencapai luas
1.910.679 Ha (45,17%). Hanya 54,83 % lahan di Provinsi Sumatera Barat yang
dapat dibudidayakan termasuk didalamnya kawasan hutan produksi. Dengan
karakteristik alam yang berbukit dan bergunung dengan luas kawasan lindung yang
mencapai 45,17 %, maka lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya
terbatas. Beberapa daerah kabupaten seperti Kabupaten Solok, Kabupaten
Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan memiliki proporsi kawasan budidaya sangat
kecil yaitu kurang dari setengah luas wilayah administratif yaitu masing-masingnya
17,91 % dan 16,12%, dan 41,34%.
Konflik Pemanfaatan Lahan
Potensi pertambangan yang banyak terkandung di dalam kawasan hutan lindung
seperti biji besi, logam dasar dan emas. Kabupaten yang mempunyai tingkat
ekonomi yang relatif tertinggal dibanding kabupaten lain, seperti Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Solok Selatan memiliki lahan budidaya terbatas, tetapi
merupakan daerah potensial pertambangan. Permasalahannya, lahan tambang
umumnya terdapat pada kawasan berstatus lindung dan bersifat tambang terbuka
sedangkan eksploitasi tambang terbuka tidak dibolehkan dilakukan di kawasan
lindung.
Kerawanan terhadap Bencana Alam
Lebih dari 52% luas lahan di Provinsi Sumatera Barat adalah dataran tinggi
pegunungan dan sekitar 92% memiliki landform atau posisi geomorfik volkan.
Sebagian besar menurut umur geologi tergolong batuan muda yang berasal dari
jaman kuarter (Fiantis, 2007). Faktor kelerengan yang besar, curah hujan yang tinggi
dan kondisi geologi menyebabkan Sumatera Barat merupakan daerah yang rawan
terhadap bencana gerakan tanah. Di Sumatera, terdapat Patahan Besar Sumatera
(Great Sumatra Fault) di sepanjang pesisir barat Sumatera yang membentuk Bukit
Barisan dan Patahan Mentawai (Mentawai Fault) di kepulauan Mentawai. Provinsi
Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Kepulauan Indonesia yang
memiliki tatanan geologi sangat kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang
berada pada daerah tumbukan 2 lempeng tektonik besar. Gejala tektonik
menyebabkan munculnya rangkaian pegunungan Bukit Barisan beserta gunung
apinya dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan zona
tumbukan kedua lempeng. Luas lahan kritis hasil identifikasi citra landsat Badan
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-6
Planologi Kehutanan pada tahun 2001 yaitu 551.387 Ha yang terdiri dari 339.748
Ha didalam kawasan hutan dan 211.639 Ha diluar kawasan hutan. Sekitar kurang
lebih 30% yang telah direboisasi dan direhabilitasi. Lahan kritis ini menjadi
penyebab meningkatnya kerawanan terhadap bencana banjir. Provinsi Sumatera
Barat dengan demikian merupakan daerah yang rawan terhadap berbagai bahaya
bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, bahaya letusan gunung api, banjir
dan tsunami.
Pencemaran Sungai
Provinsi Sumatera terbagi atas 6 Satuan Wilayah Sungai (SWS), 30 DAS dan 13 Sub
DAS. SWS tersebut yaitu Anai Sualang, Rokan, Kampar, Indragiri, Silaut, dan Batang
Hari. SWS yang bermuara di Pantai Barat yaitu Anai Sualang dan Silaut dan SWS
lainnya bermuara di pantai timur Pulau Sumatera. Sungai-sungai yang bermuara di
pantai timur merupakan satu sistem jaringan sungai dimana SWS Rokan, SWS
Kampar dan SWS Inderagiri mengalir melalui Provinsi Riau dan SWS Batang Hari
mengalir melalui Provinsi Jambi. Beberapa sungai di Provinsi Sumatera Barat
terindikasi telah tercemar. Zat pencemar kimia anorganik yang ditemukan seperti
cuprum, nitrit, zinc, O2 terlarut, dan Hg (air raksa). Zat pencemar mikrobiologi fecal
coliform dan total coliform. Zat pencemar tersebut dihasilkan oleh kegiatan
pertambangan, industri dan permukiman penduduk sepanjang alur sungai. Air
sungai Batang Hari di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya dan
air Sungai Batang Bubus/Malandu di Kabupaten Pasaman terindikasi telah
tercemar air raksa (Hg) akibat pertambangan emas yang dilakukan (Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat dan Dinas PSDA Provinsi Sumatera Barat).
2.3.2 Kabupaten Pesisir Selatan
Di Provinsi Sumatera Barat ini, pemantauan juga dilakukan ke Kabupaten Pesisir
Selatan. Status rencana tata ruang dan rencana pembangunan Kabupaten Pesisir
Selatan adalah sebagai berikut:
RTRW Kabupaten Pesisir Selatan sedang disusun pada tahun 2010 ini dengan cara
swakelola oleh tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten, dan sekarang sampai
pada tahap pembahasan di BKPRD Provinsi Sumatera Barat.
RPJPD Kabupaten Pesisir Selatan juga sedang disusun pada tahun 2010 ini dan
sedang dalam tahap penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. Tim penyusun
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-7
RPJPD ini merupakan tim yang sama dengan yang melakukan penyusunan RTRW
sehingga pada dasarnya dapat dengan mudah melakukan integrasi di antara kedua
dokumen tersebut.
RPJMD tahun 2005-2010 telah berakhir tahun 2010 ini dan penyusunan dokumen
RPJMD baru menunggu Bupati terpilih hasil Pilkada tahun 2010 ini. Status RPJM
saat ini adalah legal yang berlaku untuk tahun 2006-2010.
Beberapa isu dalam bidang penataan ruang yang diperoleh selama kunjungan lapangan
di Kabupaten Pesisir Selatan adalah:
Keterbatasan lahan budidaya (proporsi kawasan budidaya sangat kecil yaitu 26%).
Dalam RTRW Kabupaten telah diusulkan perubahan fungsi dan status hutan.
Pemanfaatan kawasan lindung sebagai sumber air bersih dan energi. Sumber daya
air yang mengalir dari wilayah hutan lindung dan dapat dimanfaatkan untuk
membagunan jaringan irigasi dan pembangkit tenaga listrik, tetapi terbentur dengan
status kawasan sebagai kawasan lindung (Taman Nasional).
Kerawanan terhadap bahaya bencana gempa, tsunami, dan banjir.
Kawasan DAS mempunyai lahan kritis yang cukup luas.
Karakteristik alam yang berbukit dan bergunung dengan luas kawasan lindung yang
mencapai 73,68% menyebabkan akses transportasi menjadi kendala pada
beberapa bagian wilayah kabupaten.
Penataan sistem kota untuk mengatasi masalah pelayanan akibat bentuk wilayah
yang memanjang. Perlu pengembangan kota di wilayah bagian selatan sebagai
pusat kegiatan sosial dan ekonomi.
Pengembangan kawasan-kawasan strategis komoditi unggulan pertanian dan
pariwisata.
2.3.3 Kota Padang
Selain ke Kabupaten Pesisir Selatan, di Provinsi Sumatera Barat pemantauan juga
dilakukan ke Kota Padang. Status rencana tata ruang dan rencana pembangunan Kota
Padang adalah sebagai berikut
RTRW sudah disusun sejak tahun 2008 sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007, yaitu
RTRW Kota Padang 2008-2028. Pada saat dokumen tersebut sedang dalam tahap
penilaian terjadi gempa Padang pada bulan September 2009 sehingga perlu direvisi
kembali. Gempa ini memakan banyak korban jiwa dan benda dan mengakibatkan
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-8
kerusakan yang parah pada beberapa bangunan terutama bangunan pemerintah.
Menyadari kondisi Kota Padang yang sangat rawan terhadap bencana gempa
tektonik ini, maka RTRW yang telah disusun pada tahun 2008 tersebut direvisi
kembali pada tahun 2010 ini untuk mewujudkan “Padang New City” melalui
Bantuan Teknis Kementerian Pekerjaan Umum. Penyusunan pada tahun ini masih
dalam tahap percepatan untuk dapat segera dilegalkan.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Kota Padang No.18 Tahun 2004
tentang RPJPD Kota Padang Tahun 2004-2020. RPJPD Kota Padang disusun sejak
diterbitkannya UU No. 25 Tahun 2004 sehingga secara muatan merupakan
interpretasi daerah dan arah kebijakannya tidak dilakukan melalui pentahapan 5
tahunan.
RPJM yang berlaku saat ini adalah RPJMD yang sudah ditetapkan melalui Perda
Kota Padang No. 9 Tahun 2009 tentang RPJMD Kota Padang Tahun 2009-2014.
Perda ini menggantikan RPJMD sebelumnya yang telah habis masa berlaku, yaitu
Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kota Padang Tahun 2004-2008 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008. Setelah Perda Kota Padang No. 9 Tahun
2009 disahkan pada bulan Juli 2009 terjadi gempa Padang pada bulan September
2009, sehingga rencananya RPJMD tersebut kembali akan direvisi menyesuaikan
kondisi terakhir di Kota Padang pasca gempa.
Beberapa isu dalam bidang penataan ruang yang diperoleh selama kunjungan lapangan
di Kota Padang adalah:
Isu mewujudkan pola ruang berpusat banyak (multiple nuclei). Pola ini telah menjadi
konsep pengembangan kota dalam RUTR Kota Padang tahun 1983-2003 dan RTRW
Kota Padang tahun 2004-2013. Dalam konsep ini dikembangkan beberapa sub
pusat pelayanan kota. Dalam mewujudkan konsep ini, misalnya, terminal regional
telah dipindahkan dari pusat kota ke kawasan Air Pacah pada akhir tahun 1990-an.
Kawasan Air Pacah khususnya direncanakan sebagai sub pusat dengan fungsi
terminal regional, perdagangan dan jasa, dan olah raga dan rekreasi. Dalam
kenyataannya, sampai gempa yang terjadi pada bulan September tahun 2009,
pengembangan fungsi seperti direncanakan tidak terjadi meskipun beberapa usaha
telah dilakukan oleh walikota untuk memfungsikan terminal regional. Pola
pergerakan aktifitas masih bersifat konsentris ke pusat kota.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-9
Setelah gempa September 2009, direncanakan pemindahan kawasan pusat
pemerintahan Kota Padang ke kawasan Air Pacah. Restrukturisasi tata ruang kota
direncanakan dalam kerangka rencana pengembangan ”Padang New City”.
2.3.4 Provinsi Jawa Timur
Pemantauan ke Provinsi Jawa Timur selain ke provinsi juga dilakukan ke Kota Mojokerto
dan Kabupaten Mojokerto. Di Provinsi Jawa Timur, status rencana tata ruang dan
rencana pembangunan yang ada adalah sebagai berikut:
Status RTRW masih belum legal, namun sudah selesai pembahasan di tingkat
BKPRN.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Prov Jawa Timur No 1 Tahun 2009
tentang RPJPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2025 Jangka waktu penyusunan
selama 20 tahun (2005-2025) dimana mengikuti jangka waktu perencanaan RPJP
Nasional (2005-2025). RPJP yang disusun telah dilengkapi dengan pentahapan per
lima tahunan.
Status RPJM saat ini adalah baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur No. 38
Tahun 2009 tentang RPJMD Provinsi Jawa Timur 2009-2014.
Isu dalam bidang penataan ruang yang diperoleh selama kunjungan lapangan di Provinsi
Jawa Timur adalah Jawa Timur dikenal sebagai daerah lumbung pangan, namun
sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian di Jawa Timur dari tahun ke tahun
semakin turun. Pada tahun 2005, kontribusi sektor pertanian sebesar 17,44%, turun
menjadi sebesar 17,14% pada tahun 2006 dan turun kembali menjadi sebesar 16,66%
pada tahun 2007. Sedangkan angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian sebesar
45%. Ini menunjukkan bahwa tingkat produktivitas sektor pertanian relatif masih rendah
tetapi memiliki tingkat pemerataan yang cukup tinggi. Terkait dengan hal ini maka
Provinsi Jawa Timur akan berusaha untuk mengembangkan pola agrobisnis yang
memiliki keterkaitan subsistem antara hulu dan hilir guna meningkatkan nilai tambah
produksi agrobisnis yang berdaya saing sesuai dengan permintaan pasar lokal, nasional
dan internasional.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-10
2.3.5 Kabupaten Mojokerto
Di Provinsi Jawa Timur, pemantauan dilakukan juga ke Kabupaten Mojokerto. Status
rencana tata ruang dan rencana pembangunan di Kabupaten Mojokerto adalah sebagai
berikut:
Status RTRW Kabupaten masih belum legal, namun sudah selesai pembahasan di
tingkat BKPRN.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Kab. Mojokerto No 15 Tahun 2008
tentang RPJPD Kab. Mojokerto Tahun 2008-2025 Jangka waktu penyusunan selama
20 tahun (2005-2025) dimana mengikuti jangka waktu perencanaan RPJP Nasional
(2005-2025) dan RPJPD Provinsi Jawa Timur (2005-2025). RPJP yang disusun telah
dilengkapi dengan pentahapan per lima tahunan, hanya saja indikasi
pencapaiannya masih bersifat makro.
Status RPJM saat ini adalah sudah selesai masa berlakunya pada tahun 2010 ini,
sementara penyusunan RPJM yang baru belum dilakukan terkait dengan belum
selesainya proses pemilihan kepala daerah pada saat laporan ini dibuat. Tahun
perencanaan RPJM sudah sesuai dengan tahapan tahun perencanaan RPJP. Visi
RPJM yang lama pada dasarnya berbeda dengan visi RPJP oleh karena itu
diharapkan hal ini menjadi pembelajaran bagi daerah.
2.3.6 Kota Mojokerto
Pemantauan di Provinsi Jawa Timur selain dilakukan ke Kabupaten Mojokerto, juga ke
Kota Mojokerto. Status rencana tata ruang dan rencana pembangunan di Kota
Mojokerto adalah sebagai berikut:
Status RTRW Kota masih belum legal, namun telah mendapatkan rekomendasi dari
Provinsi Jawa Timur untuk dibahas ditingkat pusat.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Kab. Mojokerto No 2 Tahun 2009
tentang RPJPD Kota Mojokerto Tahun 2008-2025. Jangka waktu penyusunan
selama 20 tahun (2005-2025) dimana telah mengikuti jangka waktu perencanaan
RPJP Nasional (2005-2025) dan RPJPD Provinsi Jawa Timur (2005-2025). RPJP
yang disusun telah dilengkapi dengan pentahapan per lima tahunan, hanya saja
indikasi pencapaiannya masih bersifat makro.
Status RPJMD saat ini adalah legal dengan Perda Kota Mojokerto No 3 Tahun 2009
tentang RPJMD Kota Mojokerto Tahun 2009-2014. RPJM disusun dengan
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-11
menurunkan kebijakan dan strategi dalam RPJP untuk lima tahun kedua. Tahun
perencanaan RPJM sudah sesuai dengan tahapan tahun perencanaan RPJP. Visi
RPJMD telah berusaha untuk menurunkan visi dari RPJPD Kota.
2.3.7 Provinsi Gorontalo
Pemantauan ke Provinsi Gorontalo selain ke provinsi juga dilakukan ke Kota Gorontalo
dan Kabupaten Gorontalo. Status rencana tata ruang dan rencana pembangunan di
Provinsi Gorontalo adalah sebagai berikut:
Status RTRW masih belum legal, namun sudah mendapatkan persetujuan substansi
untuk kawasan hutan dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 325 Tgl 25 Mei 2010
dan persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum. Saat ini, dokumen
RTRW sedang dilengkapi dengan dokumen KLHS dan PP 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, serta sedang proses untuk status legal dalam
bentuk Perda. Periode perencanaan 21 tahun dengan tahun perencanaan 2010-
2030. Pada awal disusun, RTRW ini diperuntukan untuk periode perencanaan 2009-
2029, hanya saja dengan adanya proses revisi, maka periode perencanaan diubah
menjadi 2010-2030. Revisi dilakukan dengan dasar pertimbangan:
- Dinamika perkembangan wilayah administrasi pemerintahan;
- Dinamika pertumbuhan ekonomi, sektor jasa dan bisnis
- Dinamika perkembangan jumlah penduduk dan pemukiman berimplikasi pada
optmalisasi pengelolaan potensi sda dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat
- Dinamika perkembangan kawasan budidaya dan konversi lahan
- Terbitnya UUNo 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Perpres No 26
tahun 2008 tentang RTRW Nasional
RTRW ini disusun secara simultan bersamaan dengan RTRW kota/kabupaten di
dalam Provinsi Gorontalo. RTRW disusun dengan konsep meruangkan visi dan misi
Provinsi Gorontalo.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Prov Gorontalo No. 3 Tahun 2009
tentang RPJPD Provinsi Gorontalo. RPJP disusun dengan mempertimbangkan dua
dokumen RPJP provinsi lainnya yang telah ada, yaitu: Provinsi Sulawesi Selatan
2007-2027 dan Bali 2005-2025. Kedua dokumen ini dijadikan rujukan karena
rujukan penyusunan yang tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2004 tentang Sistem
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-12
Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP
No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN Tahun 2004-2009 belum cukup jelas untuk
memberikan arahan. Jangka waktu penyusunan selama 18 tahun (2007-2025)
merupakan hasil modfikasi dimana awal tahun perencanaan diambil dengan
mengikuti waktu penyusunan (2007), sedangkan akhir tahun perencanaan diambil
dengan mengikuti akhir tahun perencanaan RPJP Nasional (2025). Kebijakan dan
strategi pembangunan yang ada adalah kebijakan makro yang tidak dibagi dalam
target capaian llina tahunan. Hal ini dibuat dengan mengacu pada contoh berbagai
dokumen RPJP Provinsi lainnya yang ada (Sulawesi Selatan dan Bali) dan dengan
pertimbangan untuk menghindari ketidaksinkronan dengan visi dan misi kepada
daerah terpilih di dalam RPJM.
Status RPJM saat ini adalah legal dengan Perda Prov. Gorontalo No.4 Tahun 2007
tentang RPJMD Provinsi Gorontalo Tahun 2007-2012. RPJM disusun dengan
menurunkan kebijakan dan strategi dalam RPJP untuk lima tahun pertama. Jangka
waktu penyusunan untuk tahun pertama selama 6 tahun dengan awal tahun
perencanaan mengikuti awal tahun perencanaan dalam RPJP. Adapun historis
dalam penyusunan RPJM adalah sebagai berikut:
- Renstrada 2002-2004
- RPJMD 2005-2007
- RPJMD 2007-2012
RPJM disusun dengan diskusi yang mendalam dengan kepala daerah terpilih melalui
acara “six hours with governor”. Dalam RPJM disusun visi baru yang berbeda dengan
visi dalam RPJP.
Keberadaan kawasan hutan dengan fungsi konservasinya ini merupakan salah satu isu
fisik lingkungan yang utama di Provinsi Gorontalo. Terkait dengan hal ini, saat ini terjadi
konflik kepentingan mengenai alih fungsi atau konversi hutan. Keberadaan deposit
emas di kawasan hutan Taman Nasional dan hutan lindung, serta upaya untuk
mengembangkan kawasan pemerintahan di kawasan hutan menyebabkan konflik
tersendiri antar sektor. Dalam kondisi lebih lanjut, konversi ini menyebabkan kerusakan
lingkungan yang lebih luas. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah sedimentasi di
Danau Limboto selama beberapa tahun terakhir sehingga ancaman banjir pada wilayah
kota/kabupatensekitar dan ancaman kualitas air Sungai Bone Bolango semakin besar.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-13
Terkait dengan kondisi ini, maka pemerintah daerah Provinsi Gorontalo merasa perlu
dilakukan upaya-upaya yang intensif untuk mengembalikan, memelihara dan
melestarikan fungsi kawasan sehingga bisa dikelola dalam jangka panjang. Adapun
mengenai hal ini, selama lima tahun terakhir telah dilakukan upaya perbaikan kualitas
lingkungan baik melalui pembinaan dan pelatihan SDM sekitar hutan, studi eksplorasi
potensi dan masalah lingkungan, serta implementasi studi amdal.
2.3.8 Kota Gorontalo
Di Provinsi Gorontalo, pemantauan dilakukan juga ke Kota Gorontalo. Persoalan utama
Kota Gorontalo ini terjadi salah satunya karena kawasan pegunungan yang ada sebagian
besar kondisinya sangat tandus dan kurang produktif dengan struktur geologis yang
terdiri dari tanah kapur dan bebatuan. Selain itu pemanfaatan lahan untuk
penambangan galian C secara tradisional semakin memperparah kondisi. Adapun
dampak lain yang ditimbulkan dari kondisi ini adalah Danau Limboto yang kritis. Saat ini
Danau Limboto mengalami sedimentasi dan pendangkalan yang parah. Danau Limboto
ini adalah salah satu danau yang terdapat di Provinsi Gorontalo yang berfungsi sebagai
daerah retensi air. Danau ini pada dasarnya berada pada dua daerah administrasi,
dimana untuk daerah yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Gorontalo adalah
daerah sebelah hilir. Keberadaan karakteristik ini menyebabkan upaya pengamanan
lingkungan dengan menjaga fungsi konservasi kawasan lindung menjadi salah satu
agenda utama pemerintah kota. Adapun bentuk-bentuk upaya yang dilakukan adalah
mengembangkan kawasan konservasi hutan seluas 120 Ha, pemberdayaan masyarakat
sekitar kawasan pegunungan, serta penerapan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan
dan pembangunan berwawasan lingkungan.
2.3.9 Kabupaten Gorontalo
Selain ke Kota Gorontalo, pemantauan di Provinsi Gorontalo dilakukan juga ke
Kabupaten Gorontalo. Status rencana pembangunan dan rencana tata ruang di
Kabupaten Gorontalo adalah sebagai berikut:
Status RTRW saat ini sedang dalam proses persetujuan substansi di BKPRN setelah
mendapat persetujuan Gubernur pada tahun 2009. RTRW ini proses penyusunannya
telah diawali pada tahun 2008 dan telah dilakukan revisi seiiring dengan
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-14
dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jangka waktu
penyusunannya adalah 21 tahun dengan awal tahun perencanaan 2010 sesuai
dengan revisi yang telah dilakukan. Dalam proses penyusunannya banyak
mengalami hambatan terutama yang terkait dengan sinergitas satu daerah dengan
daerah lainnya. Hal ini perlu didukung dengan penguatan peran provinsi dalam
memberikan rekomendasi untuk sinergitas tersebut.
Status RPJP saat ini adalah legal dengan Perda Kota Gorontalo No. 9 Tahun 2008.
Jangka waktu penyusunan adalah 20 tahun dengan acuan awal tahun dan akhir
tahun perencanaan kurang jelas. Kebijakan dan strategi yang tertuang dalam RPJP
ini telah dibagi kedalam target capaian untuk lima tahunan sebagaimana yang
terdapat dalam RPJPN.
Status RPJM saat ini adalah legal dengan Perda Kota Gorontalo No. 15 Tahun 2008.
Jangka waktu penyusunan adalah 6 tahun dengan acuan awal tahun perencanaan
mengikuti RPJP. Kebijakan dan strategi yang tertuang dalam RPJM lima tahun
pertama ini diturunkan dari target capaian untuk lima tahun pertama sebagaimana
yang terdapat dalam RPJP. Sebagai acuan untuk pembangunan Kota Gorontalo
selama lima tahun pertama, RPJM ini disusun dengan keunikan memasukan
kebijakan mempertahankan lahan pertanian yang ada sebagai salah satu kebijakan
ekonomi. Dalam proses penyusunannya, pemerintah daerah mengalami kesulitan
dalam memahami peristilahan kota, RTH, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan
definisi kota yang dipahami oleh pemerintah daerah sebagai kawasan dengan salah
satu karakteristik berupa tidak adanya peruntukan untuk pertanian (sawah),
padahal dalam kebijakannya pertanian tetap dipertahankan walaupun peran Kota
Gorontalo dalam konstelasi sistem perwilayah Provinsi Gorontalo adalah sebagai
kota jasa.
Salah satu isu yang menarik mengenai keberadaan karakteristik fisik lingkungan di
Kabupaten Gorontalo ini adalah keberadaan Danau Limboto yang merupakan kawasan
konservasi air bagi sebagian besar wilayah Provinsi Gorontalo. Danau Limboto ini dialiri
oleh 4 sungai besar dan 26 sanak sungai dan saat ini terjadi kerusakan di daerah hulu.
Kerusakan di hulu sungai-sungai tersebut telah mengakibatkan terjadinya degradasi dan
sedimentasi besar-besaran di Danau Limboto. Selain sebagai retensi air, Danau Limboto
sebenarnya juga berfungsi sebagai sumber air bagi beberapa desa dan kecamatan,
namun saat ini kedalaman air di Danau Limboto sudah mengalami pendangkalan yang
parah sehingga tinggal 1,5 m. Selain itu air danau juga mengalami pencemaran dari
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 2-15
sungai-sungai besar seperti Sungai Bolange. Akibat kerusakan lingkungan ini, hampir
setiap tahun ibu kota Kabupaten Gorontalo mengalami banjir. Saluran drainase yang
dibangun untuk mengalirkan air ke danau tidak efektif karena air kembali lagi sebagai
akibat dari sedimentasi yang berat di danau. Terkait dengan kondisi ini, setiap tahun
telah dianggarkan dana untuk penanganan danau. Salah satunya adalah anggaran yang
besar dari Kehutanan untuk penghijauan hutan,namun karena kesadaran masyarakat
masih kurang, kegiatan tersebut menjadi kurang efektif. Permasalahan Danau Limboto
ini juga mencakup masalah pertanahan. Saat ini masyarakat telah memiliki sertifikat
tanah (hak milik) di atas danau, sehingga sulit untuk menarik batas kawasan danau ini
(sempadan). Kondisi ini membutuhkan tindakan nyata dan fasilitasi dari pemerintah
provinsi serta koordinasi dengan pemerintah kabupaten untuk menentukan batas-batas
danau (delineasi). Terkait dengan hal ini sebenarnya sudah ada perda tentang batas
kawasan danau, namun ketika dilakukan peninjauan lapangan ternyata sudah banyak
kawasan yang menjadi permukiman dengan tanah bersertifikat hak milik masyarakat.
Adapun wilayah Danau Limboto ini sebagian berada di daerah Kota Gorontalo, yaitu di 5
kecamatan di Kabupaten dan 1 kecamatan di Kota Gorontalo. Terkait dengan
penanganan persoalan Danau Limboto ini telah dilakukan penanganan oleh sektor-
sektor terkait maupun kerjasama antar lembaga juga sudah dilakukan namun hasilnya
masih kurang signifikan dalam mengatasi permasalahan sedimentasi danau. Hal ini
terlihat misalnya dalam rasionalisasi sungai yang dilakukan sebagai kerjasama BWS
dengan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Dinas Kehutanan melakukan reboisasi,
sedangkan Dinas Pertanian melakukan penanaman tanaman pangan. Semua hal
tersebut tidak mampu menahan laju degradasi kondisi danau. Walaupun merupakan isu
yang sangat strategis, namun penanganan Danau Limboto ini belum secara spesifik
disebut dalam RPJMD 2005-2010. Isu ini hanya dibahas sebagai bagian dari mitigasi
bencana, yaitu banjir yang disebabkan oleh Danau Limboto. Namun dalam RTRW, Danau
Limboto telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan strategis kabupaten.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-1
Bab 3 Pelaksanaan Pemantauan Program Pengelolaan Pertanahan
Bagian ini akan menjelaskan permasalahan bidang pertanahan, langkah-langkah
kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai. Pelaksanaan pemantauan program
pengelolaan pertanahan dilakukan baik di tingkat pusat maupun kunjungan di beberapa
daerah.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2010, kegiatan pada program pengelolaan
pertanahan terkait dengan dua prioritas nasional sebagai berikut:
- Prioritas 4: Pemulihan Ekonomi yang Didukung oleh Pembangunan Pertanian,
Infrastruktur, dan Energi
- Prioritas 5: Peningkatan Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kapasitas
Penanganan Perubahan Iklim.
Sementara itu dalam RPJMN 2010-2014, program pengelolaan pertanahan terkait
dengan enam prioritas nasional, sebagai berikut:
- Prioritas nasional 4: Penanggulangan kemiskinan.
- Prioritas nasional 5: Ketahanan Pangan
- Prioritas nasional 6: Infrastruktur
- Prioritas nasional 7: Iklim Investasi dan Iklim Usaha
- Prioritas nasional 8: Energi
- Prioritas nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik.
Anggaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp.
2.944.618.046.000,- yang bersumber dari Rupiah Murni (RM), Rupiah Murni
Pendamping (RMP), Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) dan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP).
Selanjutnya nomenklatur program di BPN pada tahun 2010 masih menggunakan
nomenklatur sebelum restrukturisasi, sehingga berbeda dengan nomenklatur program
dalam RPJMN 2010-2014 yang terdiri atas:
- Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik;
- Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara;
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-2
- Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur;
- Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara;
- Program Pengelolaan Pertanahan;
- Program Pendidikan Kedinasan; dan
- Program Pendidikan Tinggi
3.1 Permasalahan yang Dihadapi
Permasalahan utama dalam pengelolaan pertanahan pada tahun 2010 adalah masih
terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat.
Berdasarkan data BPN, sekitar 62-87 persen aset ekonomi nasional yang meliputi
tanah, tambak, kebun dan properti, hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk
Indonesia. Di sisi lain, rata-rata penguasaan tanah di Jawa pada tahun 2003
diperkirakan hanya mencapai 0,2 ha per rumah tangga pertanian. Pada tahun 2006,
56,5 persen rumah tangga petani rata-rata hanya menguasai kurang dari 0,5 ha tanah.
Sedangkan sebanyak ± 40 persen rumah tangga petani tidak memiliki tanah (landless)
dan hanya berperan sebagai buruh tani, akibatnya produktivitas dan kesejahteraan
petani kian menurun. Ironisnya, saat ini tercatat tanah terindikasi terlantar seluas 13,8
juta ha.
Permasalahan lain yang harus diatasi adalah belum kuatnya jaminan kepastian hukum
hak atas tanah yang menyebabkan kurang terlindunginya hak-hak masyarakat atas
tanahnya. Salah satu indikator adalah masih rendahnya tingkat sertifikasi tanah di
Indonesia, pada akhir 2009 baru mencapai ± 41 persen dari perkiraan total 86,8 juta
bidang tanah.
Rendahnya jaminan kepastian hukum juga berdampak pada terbatasnya akses
kelompok miskin terhadap permodalan (collateral) dan sumber daya produktif lainnya.
Rendahnya jaminan kepastian hukum ini terutama disebabkan oleh belum memadainya
kapasitas kelembagaan pertanahan. Peraturan-perundangan/regulasi yang terkait
pertanahan masih belum sinkron satu sama lain. Disamping itu, masih banyak kantor-
kantor pertanahan di daerah yang kondisinya jauh dari layak, dengan kapasitas dan
kualitas penyimpanan data/arsip pertanahan yang terbatas dan kurang terjamin
keamanannya. Ketersediaan peta pertanahan yang saat ini baru mencapai ± 5 persen
dari total 191,9 juta ha wilayah Indonesia, selain menghambat percepatan pendaftaran
tanah juga turut menyebabkan kurang kuatnya jaminan kepastian hukum hak atas
tanah, dan ketidakjelasan kepastian lokasi.
Gambar 3.1. Tingkat Pencapaian Cakupan Peta Pertanahan
Rendahnya kepastian hukum hak atas tanah serta ketimpangan dalam penguasaan,
pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah (P4T) sering memicu terjadinya konflik
dan sengketa tanah. Konflik tersebut dapat terjadi antara instansi pemerintah tertentu
dengan masyarakat; masyarakat dengan investor; antar instansi pemerintah; maupun
diantara masyarakat itu sendiri.
Tantangan yang dihadapi pada tahun 2010 adalah melanjutkan akselerasi pendaftaran
tanah dengan target pada akhir 2014 sekitar 55,25 juta bidang atau 65 persen dari
total bidang tanah di Indonesia telah disertifikasi. Akselerasi pendaftaran tanah sangat
ditentukan oleh: ketersediaan peta dasar, kapasitas SDM serta kelayakan kantor
pelayanan dan informasi pertanahan. Oleh karenanya diperlukan akselerasi penyediaan
peta pertanahan dengan sasaran cakupan 60 persen dari total seluruh daratan
Indonesia atau sekitar 113,39 ha, pada akhir 2014. Tantangan utama lainnya adalah
mengurangi ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Untuk mengurangi
ketimpangan tersebut, direncanakan pada tahun 2010 dapat diredistribusi tanah
sejumlah 210.000 bidang.
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
(juta hektar)
191,9
13,00 4,81 9,54
Luas seluruh daratan Indonesia Peta Tematik TanahPeta Potensi Nilai Tanah Peta Dasar Pendaftaran Tanah
Gambar 3.2. Target Pencapaian Sertifikasi Tanah s.d 2014
3.2 Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai
Dalam bidang pertanahan, untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, telah
ditetapkan arah kebijakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja
Pemerintah tahun 2010 adalah:
(1) Meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah, termasuk mengembangkan strategi
percepatan pendaftaran tanah;
(2) Meningkatkan kapasitas kelembagaan pertanahan melalui:
a) Penyediaan infrastruktur pertanahan yang memadai (sistem informasi, peta,
kantor pertanahan),
b) Sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait pertanahan (sektoral, pusat,
dan daerah),
c) Peningkatan kapasitas SDM;
(3) Menata struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
melalui:
a) Penyediaan informasi spasial untuk pengendalian, penggunaan dan pemanfaatan
tanah (land use monitoring system);
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-5
b) Redistribusi tanah, khususnya bagi petani dan masyarakat perdesaan (asset
reform);
c) Fasilitasi penyediaan instrumen, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
mendukung pelaksanaan redistribusi tanah dan sertifikasi lintas kementerian/
lembaga (access reform).
Berbagai upaya untuk mendukung percepatan sertifikasi tanah telah dilakukan
pemerintah baik secara swadaya masyarakat maupun dibiayai oleh subsidi Prona
(Proyek Operasi Nasional Pertanahan), sertifikasi tanah lintas K/L, Land Management
and Policy Development Project (LMPDP), Reconstruction of Aceh Land Administration
System (RALAS). Namun LMPDP dan RALAS tidak disetujui perpanjangannya oleh Bank
Dunia dan Multi Donor Trust Fund (MTDF), sehingga proyek tersebut berakhir pada
Desember 2009.
Pada tahun 2010, sertifikasi tanah yang dibiayai pemerintah ditargetkan sebesar
309.723 bidang, sampai dengan pertengahan Desember 2010 telah terealisasi
286.316 bidang atau sekitar 92 persen lebih. Sertifikasi tanah tersebut ditujukan bagi
petani, nelayan, pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM), transmigran dan masyarakat
kurang mampu (melalui Prona).
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian kegiatan sertifikasi tanah
lintas K/L, antara lain:
a) Pokja di daerah, yang merupakan wadah koordinasi antara Dinas terkait dengan
Kantor Pertanahan, belum berjalan efektif.
b) Belum memadainya keikutsertaan atau kontribusi pemda dalam mendukung
kegiatan sertifikasi lintas K/L, baik di tahap pra maupun paska sertifikasi.
c) Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sering tidak
dipahami merupakan tanggung jawab penerima sertifikat; dan kerap dipandang
membebani penerima sertifikat.
d) Tahap pemrosesan dengan aparat kelurahan atau kepala desa juga tidak jarang
membutuhkan biaya.
e) Adanya lokasi tanah yang akan disertifikasikan merupakan tanah ulayat dengan sifat
kepemilikan komunal.
f) Belum terbitnya Hak Pengelolaan (HPL) yang berdasarkan UU No 15/1997 tentang
Ketransmigrasian merupakan prasyarat sertifikasi tanah transmigran.
g) Keterlambatan penerbitan petunjuk teknis penyaluran dana kredit dari Bank.
Selain kepastian hukum hak atas tanah yang dimiliki, sertifikat tanah juga dapat
dimanfaatkan untuk mengakses sumberdaya produktif, terutama permodalan. Kesiapan
penerima sertifikat tanah sangat penting agar tidak lantas justru mendorong penjualan
tanah, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Peran
Kementerian/Lembaga terkait, pemerintah daerah dan lembaga perbankan dalam
memberdayakan penerima sertifikat menjadi faktor penentu untuk pemanfaatan
sertifikat tanah secara berkelanjutan. Kelompok Kerja (Pokja) yang merupakan wadah
koordinasi lintas K/L di pusat sudah berjalan secara efektif dengan melakukan
pertemuan secara periodik. Namun demikian, efektifitas Pokja di tingkat daerah masih
belum sebagaimana yang diharapkan.
Gambar 3.3. Proses Sertifikasi Lintas K/L
Dalam rangka meningkatkan akses layanan pertanahan, terutama pada wilayah yang
rendah aksesibilitasnya karena kondisi geografis, keterbatasan sarana transportasi, dan
minimnya informasi tentang pelayanan pertanahan, disediakan Layanan Rakyat untuk
Sertifikasi Tanah (Larasita). Larasita telah diinisiasi sejak tahun 2008 di 124 Kab/Kota,
pada tahun 2009 di 150 Kab/Kota dan pada tahun 2010 di 156 Kab/Kota. Dengan
demikian total ketersediaan Larasita sampai dengan tahun 2010 mencapai 430
Kabu/Kota. Layanan ini diharapkan memperluas jangkauan pelayanan pertanahan
sebagai upaya untuk percepatan pendaftaran tanah.
Gambar 3.4. Mobil Larasita
Sebagaimana tertuang dalam RKP 2010 serta Inpres 1/2010 tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, salah satu target
pencapaian tahun 2010 adalah penyusunan RUU Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan yang ditargetkan selesai Desember 2010. RUU tersebut diharapkan
dapat mengatasi tersumbatnya proses pengadaan tanah (debottlenecking), terutama
pembangunan infrastruktur. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini yakni
Peraturan Presiden no 65 tahun 2006 dipandang belum cukup menjamin kelancaran
proses pengadaan tanah. Selain sulitnya mencapai kesepakatan nilai ganti rugi tanah,
kendala utama lainnya adalah belum adanya institusi tunggal yang berwenang
memegang komando dan bertanggung jawab dalam proses pengadaan tanah.
Pada tanggal 15 Desember 2010, RUU tersebut telah disampaikan oleh Presiden RI
kepada DPR-RI dan dalam Amanat Presiden ditugaskan empat menteri untuk mebahas
RUU tersebut bersama DPR-RI, yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dan Menteri Keuangan.
3.3 Laporan Kunjungan ke Kantor Pertanahan
3.3.1 Ke Provinsi Sumatera Barat
Pemantauan ke Provinsi Sumatera Barat untuk kegiatan pengelolaan pertanahan di
lakukan di Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Barat, Kantor
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-8
Pertanahan Kota Padang dan Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Pariaman.
Kegiatan pengelolaan pertanahan di Provinsi Sumatera Barat secara umum kurang
dapat mencerminkan kegiatan pertanahan secara nasional terutama karena adanya
pemberlakuan sistem adat (ulayat) dalam tanah komunal, sehingga kerap
memunculkan dilema: antara mereduksi sistem kekerabatan dengan meningkatkan
kepastian hukum hak atas tanah individual.
Kepemilikan tanah adat tersebut mempengaruhi pelaksanaan beberapa kegiatan
contohnya seperti: Proyek Operasi Nasional Pertanahan (PRONA), Redistribusi Tanah
dan Konsolidasi Tanah, yang sering terhadang oleh munculnya berbagai sengketa
tanah adat, baik dalam tahap pelaksanaan maupun menjelang atau tidak lama setelah
terbitnya sertipikat tanah. Sampai tahun 2010 tercatat sekitar 6.000 sengketa tanah
yang terjadi di Sumbar. Bahkan ada kantor pertanahan yang lebih banyak menerima
pengajuan sengketa tanah daripada permohonan sertifikasi tanah, umumnya yang
berlokasi di bagian tengah wilayah Sumbar. Sengketa tanah adat relatif lebih rendah
jumlahnya di wilayah perbatasan Sumbar yang masyarakatnya relatif lebih heterogen,
salah satunya seperti di Kabupaten Damas Raya.
Walaupun telah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat No. 16
tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, gugatan-gugatan tanah adat
masih tetap berlangsung sehingga turut menyebabkan kurang kondusifnya iklim
investasi. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat, Ir. Tri Suprijanto, SH,
MSi, mengangkat usulan pendekatan mengakomodasi atau mencari titik temu sistem
kepemilikan tanah adat/ulayat dengan sistem hukum tanah nasional (tidak dengan
mempertentangkan kedua sistem hukum tersebut), yakni dengan cara pemberian Hak
Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) di atas tanah adat/ulayat.
Kerjasama dengan pemda setempat juga sangat penting bagi kelancaran pengelolaan
pertanahan. Dalam kegiatan konsolidasi tanah, contohnya, diperlukan sinergi pemda
setempat terutama dalam penyediaan prasarana permukiman. Apabila tidak didukung
prasarana yang memadai, kawasan yang telah dikonsolidasikan menjadi terbengkalai
karena kurang layak huni.
Kegiatan yang berjalan relatif cukup lancar di Sumbar salah satunya adalah
pembuatan peta pertanahan. Peta pertanahan merupakan data spasial yang sangat
penting untuk akurasi/kepastian lokasi tanah, sehingga turut mereduksi resiko
sengketa tanah. Kesadaran pentingnya penataan sistem informasi pertanahan sangat
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-9
perlu ditanamkan, baik untuk kemudahan pemantauan, penentuan baseline dan
indikator kinerja.
Kualitas pelayanan pertanahan amat dipengaruhi oleh kapasitas sumberdaya manusia
serta ketersediaan dan kelayakan sarana-prasarana, salah satunya kondisi kantor
pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang
mengalami kerusakan akibat musibah gempa bumi tahun 2009 lalu. Kerusakan
bangunan dan ruang arsip pertanahan mempengaruhi kualitas layanan pertanahan,
padahal permintaan layanan dari masyarakat terus berdatangan. Mengingat
ketersediaan anggaran pada tahun 2010 ini belum memadai, perbaikan kedua kantor
pertanahan tersebut direncanakan dapat dilakukan pada tahun 2011.
Beberapa permasalahan pengelolaan pertanahan yang ditemui di Provinsi Sumatera
Barat, antara lain:
1. Sampai dengan tahun 2010 jumlah kasus pertanahan (berupa: konflik, sengketa
dan perkara) mencapai 6000 kasus.
2. Kegiatan konsolidasi tanah di beberapa lokasi di Provinsi Sumatera Barat tidak
dapat dilanjutkan karena tidak dilaksanakannya kegiatan paska pelaksanaan
konsolidasi tanah, yang bukan merupakan kewenangan BPN seperti penyiapan
infrastruktur jalan dan fasilitas permukiman lainnya.
3. Musibah gempa bumi yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat telah menyebabkan
kerusakan gedung kantor pertanahan di Kabupaten Padang Pariaman dan kantor
pertanahan Kota Padang, termasuk ruang arsip pertanahan di kantor pertanahan
tersebut. Kerusakan tersebut menyebabkan kurang optimalnya pelayanan
pertanahan kepada masyarakat.
Mencermati temuan pemantauan tersebut di atas, direkomendasikan tindak lanjut
sebagai berikut:
1. Untuk mengatur kepemilikan tanah ulayat/adat, perlu mengakomodasi sistem
hukum adat yang berlaku di daerah kedalam sistem hukum nasional. Hal ini penting
untuk mengurangi terjadinya kasus konflik, sengketa dan perkara pertanahan.
2. Terkait kerusakan kantor pertanahan paska terjadinya gempa bumi, diperlukan
pengalokasian dana perbaikan pembangunan gedung kantor dan ruang arsip pada
anggaran BPN tahun 2011.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-10
3.3.2 Ke Provinsi DI Yogyakarta
Pelaksanaan pemantauan bidang pertanahan di Provinsi DI Yogyakarta dilakukan untuk
mengetahui kegiatan pertanahan di daerah tersebut. Secara umum, beberapa
permasalahan yang dihadapi antara lain:
Beberapa K/L (BPS, Kemenhut, Bakosurtanal, Kemenkeu) dan Bappeda
melaksanakan penyusunan peta untuk tujuan yang berbeda-beda. Salah satu
akibatnya adalah overlapping pelaksanaan kegiatan pemetaan antara BPN dan
Bakosurtanal. Bakosurtanal juga menyusun peta skala besar (1:10.000 kebawah).
Overlapping ini menyebabkan kurang efisiennya dalam penggunaan keuangan
negara. Dengan demikian perlu adanya ketegasan dan sinergi dalam pembagian
kewenangan masing-masing K/L tersebut yang melakukan pemetaan.
Data citra satelit yang dipergunakan oleh BPN dalam penyusunan peta adalah citra
satelit spot 5, seharusnya quick bird sehingga lebih detail.
Konflik batas antara kawasan budidaya dan non budidaya, di lapangan sering
menjadi hambatan dalam sertifikasi tanah.
DI Yogyakarta memiliki tanah Sultan atau yang dikenal dengan Sultan Ground.
Sistem kepemilikan tanah Sultan Ground tersebut berbeda dengan sistem
kepemilikan tanah nasional.
Masih banyak aset dan infrastruktur yang belum dilegalisasi. Legalisasi tanah aset
pemerintah pusat dan daerah, seharusnya tidak termasuk dalam skema PNBP (non
PNBP).
Kendala utama dalam penyelesaian kasus pertanahan adalah kurangnya itikad baik
dari para pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Hal ini terlihat dari sering tidak
hadirnya pihak-pihak terkait pada saat diundang untuk mencari upaya penyelesaian
kasusnya.
Garis sempadan bangunan/pagar masih kurang tegas untuk bukan tanah negara.
Masih tingginya alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian.
Untuk sertifikasi tanah nelayan menghadapi kendala karena umumnya tanah
masayarakat nelayan yang miskin terdapat di garis sempadan pantai, sehingga
kegiatan sertifikasi tidak dapat dilakukan.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-11
Berikut beberapa hal yang dipandang perlu untuk ditindaklanjuti:
Perlu sinkronisasi antara K/L terkait antara lain: Ditjen Pajak-Kementerian
Keuangan, BPN, Kementerian PU, Bakosurtanal, Kementerian Kehutanan, BPS) dan
pemerintah daerah dalam kegiatan pemetaan. Dengan demikian dapat dilakukan
overlay antar produk masing-masing K/L tersebut, misalnya Kementerian Keuangan
terkait dengan pajak, sedangkan BPN terkait dengan hak atas tanah (tax/fiscal
cadastre dan legal cadastre).
Perlu kebijakan pembebasan BPHTB untuk pendaftaran pertama kali untuk
masyarakat kurang mampu.
Perlu dilaksanakan sertifikasi aset tanah-tanah milik pemerintah dan pemerintah
daerah, karena umumnya infrastruktur dan gedung pemerintah belum memiliki
sertifikat.
Sebaiknya pemetaan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (IP4T) dapat dijadikan peta dasar (geodata base spatial).
Selain itu pelaksanaan kegiatan sertifikasi tanah dan publikasi peta inventarisasi
tidak dapat dilaksanakan. Sehingga disaran perlu pendaftaran kawasan hutan dalam
bentuk hak pengelolaan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan dengan sistem
koordinat yang sama antara BPN dan Kementerian Kehutanan.
Dengan demikian, penerbitan ijin lokasi terutama untuk perumahan harus
disesuaikan dengan kondisi dan peruntukannya, sehingga tidak mengurangi lahan
pertanian pangan.
3.3.3 Ke Provinsi Kepulauan Riau
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan di bidang pertanahan di Provinsi
Kepulauan Riau antara lain:
1) Adanya ketidaksesuaian MAK untuk beberapa kegiatan tertentu di dalam DIPA Tahun
Anggaran 2010 yang tidak dapat digunakan, sehingga menghambat pelaksanaan
kegiatan.
2) Khusus untuk kegiatan Legalisasi Asset terkendala dengan BPHTB, dimana NPOPTKP
yang ditetapkan Pemerintah Kab./Kota terlalu rendah, sehingga masyarakat yang
kurang mampu kesulitan membayar BPHTB.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 3-12
Tindak lanjut yang diperlukan:
1) Perlunya ketentuan dan mekanisme baku dalam hal mengatasi terjadinya
ketidaksesuaian MAK, sehingga masih mungkin dilakukan revisi dan dalam waktu
yang sudah diberi batasan jelas.
2) Perlunya sosialisasi kepada pemerintah daerah tentang cara pandang dan manfaat
jangka panjang sertifikasi tanah yaitu: dengan meningkatkan jumlah sertifikat tanah
di suatu wilayah, kepastian hukum hak atas tanah menjadi lebih terjamin, potensi
sengketa tanah tereduksi dan kesempatan mengakses sumberdaya produktif
bertambah, sehingga akan menjadikan wilayah yang bersangutan lebih kondusif iklim
usahanya.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 4-1
Bab 4 Penutup
Berdasarkan uraian di atas, diperoleh gambaran kondisi pelaksanaan
pembangunan bidang tata ruang dan pertanahan, baik pelaksanaan di tingkat
pusat maupun di daerah. Secara umum, pelaksanaan rencana pembangunan tahun
2010 sudah mencapai target yang cukup baik, namun terdapat beberapa kendala
yang terjadi, diantaranya:
Bidang penataan ruang:
Hingga akhir tahun 2010 ini, masih banyak provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia
yang belum menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan
Kabupaten/Kotanya, padahal sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa dalam 3 tahun seluruh Indonesia
sudah harus menyelesaikan perdanya. Hal ini terjadi karena masih adanya berbagai isu
di daerah, yang menyebabkan proses penetapan Perda RTRW provinsi dan
kabupaten/kota terhambat. Akibat belum disahkannya perda RTRW provinsi dan
kabupaten/kota membawa dampak yang cukup signifikan, dimana daerah tidak dapat
mengeluarkan ijin-ijin pembangunan. Sehingga terjadi kemandegan kegiatan dan
terhambatnya investor-investor yang akan masuk, terutama yang terkait atau
memerlukan pembangunan bidang properti.
Bidang pertanahan:
Secara umum kegiatan bidang pertanahan telah berjalan cukup baik. Namun demikian
masih terdapat permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian kegiatan tersebut.
Permasalahan tersebut antara lain: (a) Belum terintegrasinya peta terkait tanah,
misalnya peta kehutanan, peta pertanian dan sebagainya; (b) Masih tingginya konflik
pertanahan terutama di Provinsi Sumatera Barat; (c) Belum efektifnya koordinasi lintas
pelaku pada tingkat daerah terutama paska sertifikasi hak atas tanah; (d) Masih
tingginya alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian; (e) Khusus untuk kegiatan
Legalisasi Asset terkendala dengan pengenaan kewajiban pembayaran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dimana Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) yang ditetapkan Pemerintah Kab/Kota terlalu rendah, sehingga
masyarakat yang kurang mampu kesulitan membayar BPHTB; (f) Adanya kondisi-kondisi
yang tidak terprediksi sebelumnya, seperti gempa bumi di Provinsi Sumatera Barat.
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 4-2
Tindak lanjut yang diperlukan
Bidang tata ruang
Mencermati langkah kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai, tindak lanjut yang
diperlukan di bidang penataan ruang adalah:
a) Penyelesaian revisi Perda RTRW di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai
dengan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
b) Penyelesaian dan penetapan 7 (tujuh) Rancangan Peraturan Presiden
(Raperpres) RTR Pulau yaitu RTR Pulau Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan,
Sulawesi, Papua, dan RTR Kepulauan Nusa Tenggara, dan Maluku;
c) Penyelesaian dan penetapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) amanat
UU No. 26 Tahun 2007 yang belum ditetapkan yaitu RPP tentang Tingkat
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang;
d) Pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKPRN dan Rapat Kerja (Raker)
BKPRD sebagai upaya lebih lanjut memperkuat koordinasi penyelenggaraan
penataan ruang baik di pusat maupun di daerah;
e) Penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang di tingkat
nasional dan daerah untuk mendukung pengendalian pemanfaatan ruang; dan
f) Pengintegrasian rencana tata ruang dengan rencana pembangunan terutama di
daerah (provinsi/kabupaten/kota), sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN
2010-2014, yang sudah mulai dlaksanakan melalui penyusunan Buku III RPJMN
2010-2014. Sehubungan dengan ini, maka perlu adanya pemantauan
pelaksanaan di lapangan secara regular.
Bidang pertanahan
Sedangkan tindak lanjut yang diperlukan di bidang pertanahan adalah:
1) Perlu koordinasi antar instansi yang membuat peta baik untuk mendukung
integrasi sistem data spasial nasional maupun mendukung percepatan
penyelesaian peta pertanahan, sehingga ada kepastian hukum dan lokasi tanah.
2) Untuk mengatur pertanahan adat/ulayat, perlu mengakomodasi sistem hukum adat
yang berlaku di daerah kedalam sistem hukum nasional, dalam hal ini yang tengah
dipersiapkan untuk juga diatur dalam RUU Pertanahan yang masih akan dilanjutkan
penyusunannya pada tahun 2011.
3) Dukungan pemerintah daerah dan instansi terkait dalam tahap pra dan paska
sertifikasi tanah untuk menyiapkan dan memberdayakan masyarakat dalam
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan 4-3
mengakses sumberdaya ekonomi, keuangan, permodalan, pelatihan dan
pemberdayaan lainnya.
4) Perlunya mekanisme kontingensi dalam pendanaan kegiatan-kegiatan yang
terkena dampak bencana alam/musibah mendadak lainnya dan mempengaruhi
kinerja pelayanan publik, dalam hal ini kantor layanan pertanahan.
5) Dengan diberlakukannya UU no 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, sebelum nenetapkan peraturan daerah pemerintah daerah perlu lebih
dahulu memiliki kerangka pikir kepentingan jangka panjang sertifikasi tanah
terhadap kesejahteraan penduduk dan kelangsungan wilayahnya. Dengan
demikian penetapan besarnya BPHTB sungguh-sunguh mempertimbangkan
tingkat kemampuan ekonomi masyarakat di wilayahnya.
Beberapa rekomendasi untuk pelaksanaan pemantauan yang lebih efektif:
1. Untuk pemantauan pelaksanaan kegiatan tata ruang perlu dibangun sistem
informasi dan data antar institusi yang terkait dengan penataan ruang. Hal ini
diperlukan karena yang menangani tata ruang terdiri dari beberapa institusi di
pusat (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pekerjaan
Umum, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Bakosurtanal,
Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan
lain sebagainya).
2. Kegiatan program pegelolaan pertanahan hanya dilakukan oleh satu instansi,
yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang merupakan instansi vertikal.
Namun demikian diperlukan sistem data pertanahan yang terintegrasi lintas
kantor-kantor pertanahan, sehingga mempermudah data pemantauan,
mendeteksi permasalahan secara lebih dini dan juga menjadi back-up data data
apabila terjadi bencana alam atau musibah lain seperti kebakaran. Disamping
itu, beragam dan spesifiknya isu pertanahan di setiap lokasi, menyebabkan
perlunya memilah dan memilih lokasi pemantauan secara cermat.
3. Untuk mempermudah penyusunan laporan pemantauan yang harus dilakukan
setiap tahun, maka sebaiknya dari Bappenas (Renortala) dibuat format standard
laporan pemantauan yang dapat dijadikan acuan bagi setiap direktorat.
Lampiran-Lampiran
DOKUMENTASI KEGIATAN PEMANTAUAN PEMBANGUNAN BIDANG TATA RUANG DAN PERTANAHAN TAHUN 2010