`
i
NYELABAR DALAM PERKAWINAN ADAT SASAK DI DESA SARIBAYE
KEC. LINGSAR
(Seni Bernegosiasi Masyarakat Suku Sasak)
Oleh :
AHDA SABILA NIM. 153.141.039
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
MATARAM
2017
`
ii
NYELABAR DALAM PERKAWINAN ADAT SASAK DI DESA SARIBAYE
KEC. LINGSAR
(Seni Bernegosiasi Masyarakat Suku Sasak)
Skripsi
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram
Untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh :
AHDA SABILA NIM. 153.141.039
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
MATARAM
2017
`
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi oleh: Ahda Sabila, NIM: 153.141.039 dengan judul, “Nyelabar Dalam
Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye Kec.Lingsar (Seni Bernegosiasi
Masyarakat Suku Sasak)” telah memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji.
Disetujui pada tanggal: ........ Desember 2017
Pembimbing I, Pembimbing II,
Muhammad Sa’i, M.A Dr. Abdul Malik, M.Ag, M.pd
NIP. 196812311999031007 NIP. 197909232011004
`
iv
Mataram,..........Desember 2017
Hal : Ujian Skripsi
Yang Terhormat Rektor UIN Mataram di Mataram
Assalamu’alaikum, Wr.Wb.
Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan, dan
koreksi maka kami berpendapat bahwa skripsi saudari
Nama Mahasiswa : Ahda Sabila
NIM : 153.141.039
Jurusan/Prodi : Komunikasi Penyiaran Islam
Judul : ”Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa
Saribaye Kec. Lingsar (Seni Bernegosiasi
Masyarakat Suku Sasak) “
Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang munaqasyah skripsi
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Mataram. Oleh karena itu,
kami berharap agar skripsi ini dapat segera dimunaqasyahkan.
Wassalammu’alaikum, Wr.Wb.
Pembimbing I, Pembimbing II,
Muhammad Sa’i, M.A Dr. Abdul Malik, M.Ag, M.pd
NIP. 196812311999031007 NIP. 197909232011004
`
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahda Aabila
NIM : 15.3.14.1.039
Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas : Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Institusi : UIN Mataram
menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Nyelabar Dalam Perkawinan Adat
Sasak Di Desa Saribaye Kec.Lingsar (Seni Bernegosiasi Masyarakat Suku Sasak
)” ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/ karya saya sendiri, kecuali pada
bagia-bagian yang dirujuk sumbernya. Jika saya terbukti melakukan plagiat
tulisan/karya orang lain, siap menerima sanksi yang telah ditentukan oleh
lembaga.
Mataram, ...... Desember 2017
Saya yang menyatakan
AHDA SABILA__ NIM: 15.3.14.1.039
`
vi
PENGESAHAN
Skripsi oleh: Ahda Sabila, NIM: 15.3.14.1.039 dengan judul “Nyelabar
Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye Kec. Lingsar (Seni Bernegosiasi
Masyarakat Suku Sasak)” telah dipertahankan di depan dewan penguji Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Mataram
pada tanggal ............. Juli 2017.
Dewan Penguji
1. Ketua Sidang/Pemb.I : Muhammad Sa’i, M.A
NIP. 196812311999031007
2. Sekertaris Sidang/Pemb.II : Dr. Abdul Malik, M.Ag, M.pd
NIP. 197909232011004
3. Penguji I : Dr. Abdul Wahid, M.Ag., M.Pd NIP. 197i05061996031001
4. Penguji II : H. M. Syarifuddin, M.Pd. NIP. 197609152011011006
`
vii
MOTTO
يال س ى د أ و ن م ب م ل ع أ م ك ر ف ھ ت ل ا ش ع ل م ع ل ل ق
Katakanlah: "T iap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-
masing". Maka T uhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya.1
1 QS. Bani Ira’il [17] : 84. Al- Jumanatul Ali, Al- Qur’an Dan Terjemahan, (Bandung:
Cv Penerbit Art 2004) hlm. 291.
`
viii
PERSEMBAHAN :
“Aku persembahkan skripsi ini untuk
ayah ku tercinta (M Tabiyyin), ibunda ku
tersayang (almh. Aminah), my lovely Aunty
(Amiri), adik ku (Qurratul Aena), sahabat
terkasihku (Nurmala Handayani, Eka
Lestari, Siti Haerizah & seluruh penghuni
KPI B), dan semuanya yang telah
mendukung saya dalam segala hal.
`
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah SWT. yang telah memberikan
nikmat sehat dan sempat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye
Kec.Lingsar (Seni Bernegosiasi Masyarakat Suku Sasak) ini dalam bentuk
selayaknya. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan alam Nabi
besar Muhammad SAW, yang telah berjuang dengan tetesan darah dan air mata
sehingga kita semua bisa menikmati nikmatnya Islam hingga saat ini.
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak akan sukses
tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu yaitu, mereka adalah :
1. Muhammad Sa’i, M.A Selaku Dosen Pembimbing I dan Dr. Abdul Malik,
M.Ag, M.pd, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,
motivasi, dan koreksi mendetail, terus-menerus, tanpa bosan ditengah
kesibukannya, menjadikan skripsi ini lebih matang dan cepat selesai;
2. Najamudin, M.Si. selaku ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang
selalu mendorong dan memberikan dukungan kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini;
3. Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA. Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Mataram;
4. Prof. Dr. H. Mutawalli, M.Ag. selaku Rektor UIN Mataram yang telah
memberikan tempat bagi penulis untuk menuntu ilmu serta kemudahan dalam
penyelesaian administrasi bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan
perkuliahan tepat waktu.
`
x
5. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
membekali dan membimbing penulis dengan berbagai ilmu selama
perkuliahan berlangsung.
6. Ibunda dan Ayahanda, almh Aminah dan M Tabiyyin atas jasa-jasanya,
kesabaran, do’a, dan tidak pernah lelah dalam mendidik dan memberikan cinta
yang tulus dan ikhlas kepada penulis sejak kecil.
7. Bapak Sarawan Sukadani, ST, selaku Kepala Desa Saribaye yang telah
menerima dan memberi izin serta membantu penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penelitian ini bisa terselesaikan.
8. Segenap masyarakat Desa Saribaye yang telah menerima dan membantu
penulis saat penelitian sedang dilaksanakan.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabatku, rekan-rekan mahasiswa jurusan KPI khususnya angkatan
2014, terima kasih atas segala dukungan, motivasi serta kenangannya selama
ini.
11. Untuk kampus tercinta, aku siap melangkah lebih tinggi lagi. Dan terakhir
untuk almamaterku tercinta.
Semoga dengan segala partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak tersebut
dicatat sebagai amal baik dan senantiasa diterima oleh Allah SWT. Kesempurnaan
hanyalah milik Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penulisan maupun penyusunannya.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan
selanjutnya.
`
xi
Semoga apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi
peneliti khususnya dan kepada pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum, wr. Wb.
Mataram,....... Desember 2017
Penulis,
Ahda Sabila NIM. 15.3.14.1.039
`
xii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL .................................................................. i HALAMAN JUDUL ..................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii NOTA DINAS PEMBIMBING ................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN SKRPSI ....................................... v PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ......................................... vi HALAMAN MOTTO ................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................... viii KATA PENANTAR ...................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................. xii DAFTAR TABEL .......................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. xiv ABSTRAK ...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................... 1 B. Fokus Penelitian ................................................. 5 C. Tujuan Dan Manfaat .......................................... 5 D. Ruang Lingkup dan Seting Penelitian ................ 6 E. Telaah Pustaka .................................................... 7 F. Kerangka Teori ................................................... 11 G. Metode Penelitian ............................................... 28 H. Sistematika Pembahasan ..................................... 38
BAB 11 PAPARAN DAN TEMUAN ................................... 39 A. Gambaran Umum Desa Saribaye Kecamatan
Lingsar ................................................................ 39 B. Nyelabar dalam Perkawinan Ada Sasak
di Desa Saribaye Kec. Lingsar......................... 46
BAB III PEMBAHASAN ...................................................... 63 A. Nyelabar dalam Perkawinan Adat Sasak
di Desa Saribaye Kec. Lingsar ....................... 63 B. Etika Komunikasi dalam Tradisi Nyelabar
di Desa Saribaye Kec. Lingsar ........................ 75
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
`
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.I : Jumlah Penduduk Desa Saribaye.........................................................42
Tabel 2.I : Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian..............................42
Tabel 3.I: Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Dan Kepercayaan .................44
Tabel 4.I : Jumlah Sarana Pribadatan...................................................................45
Tabel 5.1 :Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..........................45
`
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kartu Konsultasi Skripsi
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian BAPEDA
Lampiran 3 Surat Bebas Pinjam Perpustakaan Daerah
Lampiran 4 Surat Bebas Pinjam Perpustakaan Kampus
Lampiran 5 Instrumen dan Hasil Wawancara.
`
xv
“ NYELABAR DALAM PERKAWINAN ADAT SASAK DI DESA
SARIBAYE KEC. LINGSAR
( Seni Bernegosiasi Masyarakat Suku Sasak )
Oleh :
Ahda Sabila NIM:15.3.14.1.039
ABSTRAK
Pada dasarnya budaya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi individu, nilai-nilai ini diakui baik secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dan dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung didalam alam bawah sadar individu dan diwariskan pada generasi berikutnya. Budaya inilah yang menjadi acuan dasar bahkan bisa menjadi rel bagi proses komunikasi antar manusia yang ada di dalamnya. Karena ia muncul dalam wilayah tertentu dengan memiliki keragaman, perbedaan, hingga keunikan yang membedakan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Desa Saribaye merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang dimana masyarakatnya memiliki nilai-nilai dan norma yang tinggi dalam pelaksanaan proses adat, yakni dalam proses adat nyelabar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana nyelabar dalam perkawinan adat Sasak di Desa Saribaye Kec. Lingsar (Studi Pendekatan Etika Komunikasi). Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi naturalistik, yaitu menghasilkan deskripsi ucapan, tulisan, perilaku yang dapat diamati, dan menggambarkan fenomena lapangan dengan melakukan observasi langsung, wawancara, mencari data-data pendukung dan dokumentasi. Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa Nyelabar adalah bagian dari perkawinan adat Sasak dalam rangka untuk menyelesaikan persoalan hak wali dan penyelesain adat. Secara etika dalam proses pelaksanaannya, utusan Desa datang dengan cara dan etika yang baik. Tradisi adat Sasak ini, merupakan tradisi yang tidak jauh dari nilai dan norma, bagi masyarakat Sasak adat yang baik itu adalah adat yang besendi (berpondasi) beteken (bertiang) dan betatah (terukir) yang dimana adat itu dibangun, didirikan, dan diukir dengan nilai-nilai norma Kata Kunci : Budaya, Etika, Komunikasi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang beragam. Di lihat dari
segi bahasa, budaya, ras dan tata cara adat yang berbeda-beda di masing-masing
daerah. Hal ini disebabkan karena latar belakang sejarah masyarakat yang berbeda
sehingga akan mempengaruhi dalam cara bertingkah laku masyarakat dan system
tata nilai yang di anutnya. Pada dasarnya budaya merupakan nilai-nilai yang
muncul dari proses interaksi individu, nilai-nilai ini diakui baik secara langsung
maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dan dalam interaksi tersebut.
Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung didalam alam bawah sadar
individu dan diwariskan pada generasi berikutnya. Budaya inilah yang menjadi
acuan dasar bahkan bisa menjadi rel bagi proses komunikasi antar manusia yang
ada di dalamnya. Karena ia muncul dalam wilayah tertentu dengan memiliki
keragaman, perbedaan, hingga keunikan yang membedakan antar satu wilayah
dengan wilayah lainnya. 1
Pada masyarakat Nusa Tenggara Barat pada umumnya memiliki beragam
adat istiadat yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Dalam upacara
1 Nasrullah Rulli, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta : Kencana Prenamedia Group,2012)
hlm 15
2
adat pernikahan misalnya, atau adat merariq terdapat beberapa keunikan
dibandingkan dengan daerah lain dalam hal penyelenggaraan. 2
Perkawinan merupakan salah satu aktifitas yang selalu mendapatkan
perhatian khusus sepanjang peradaban manusia, baik peradaban dalam
masyarakat tradisional maupun pada masyarakat modern. Seperti dalam adat
pernikahan masyarakat suku Sasak yang di kenal dengan adat “Merariq”, yaitu
ikatan yang terjadi antara seorang laki- laki dan perempuan yang menurut adat
Sasak sudah memenuhi ketentuan-ketentuan peraturan yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat, karena perkawinan terjadi meurut adat Sasak bukan saja
akan mengakibatkan hubungan suami istri tetapi menyangkut keluarga,
kekerabatan dan status yang di akui oleh adat. Apabila seorang perempuan telah
menyetujui akan menikah dengan seorang laki-laki, maka sang perempuan akan
mecari berbagai alasan untuk keluar dari rumah dengan tujuan untuk dibawa
kawin lari oleh calon suaminya atau masyarakat suku Sasak menyebutnya
“Memaling” tanpa diketahui oleh keluarga pihak perempuan. Kemudian
mempelai perempuan dilarikan kerumah Kepala Dusun atau kerumah kerabat-
kerabat mempelai laki-laki supaya tempat persembunyian tak diketahui oleh
keluarga pihak perempuan.3
2 Fahrir rahman, Pernikahan Di Nusa Tenggara Barat Antara Islam dan Tradisi (Mataram :
LEPPIM, 2013) hlm 114 3 Murdan, Perkawinan Masyarakat Adat, (Tesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2015)
Hlm 2
3
Dalam rangka pelaksanaan tradisi “Merariq” ada serangkaian upacara-
upacara adat yang dilakukan setelah proses memaling tadi, pertama besejati
(pemberitahuan) merupakan kegiatan pertama yang dilakukan oleh pihak laki-laki
yang bertujuan untuk membicarakan segala hal yang terkait dengan proses
penyelesaian adat. Kedua pemuput selabar upacara adat ini dimaksud untuk
membahas ajikrama sebagai upaya agar dapat melangsungkan pernikahan mulai
dari bait wali hingga bait janji. Ketiga sorong serah yaitu kedatangan keluarga
besar mempelai laki-laki ke kediaman mempelai perempuan. Keempat
nyongkolan kegiatan akhir dari seluruh proses perkawinan yang dimana seluruh
anggota keluarga bahkan masyarakat sekalipun ikut serta berkunjung ke rumah
mempelai perempuan.4
Setelah seluruh rangkain adat dilakukan, ada beberapa adat istiadat yang
tidak luput dari perdebatan dan tawar menawar prihal pisuke, yaitu adat Nyelabar.
Nyelabar berasal dari kata selabar yaitu utusan dari pihak laki-laki dan
perempuan untuk membicarakan jumlah ajikrama sebagai upaya untuk dapat
melangsungkan akad nikah yang bertempat di rumah orang tua si gadis atau
keluarga terdekat si gadis yang dihadiri oleh Keliang, Kiyai, Tuaq Loqak, wakil-
wakil dari keluarga pihak gadis termasuk orang tua (Ayah) dan dua orang
pembayun sebagai utusan dari keluarga si pemuda. Apabila pembayun telah
mengambil tempat duduk di bawah sedangkan ahli waris dan para pejabat adat
4 Sainun, Tradisi Merarik, ( Mataram, Sanabil Perum Putri Bunga Amanah 2016) hlm 110
4
kampung telah siap duduk diatas dan secara resmi bertanya “oah napaq ope
pada ahli waris eleq hina” yg artinya apakah ahli waris yg bersangkutan sudah
siap ? jika sudah maka akan dijawab napak. Kemudian keliang mempersilahkan
pembayun menyampaikan maksud kedatangannya maka pembayun
menyampaikan kalimat-kalimat nyelabar. Setelah itu barulah keliang atas nama
pemimpin kampung dan atas nama keluarga/orang tua si gadis menyebutkan
kewajiban pihak keluarga pemuda yang mengambil si gadis untuk dijadikan
istrinya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah ajikrama.
Di setiap sendi kehidupan masyarakat Globalisasi, Modernisasi dan
Westernisasi sudah banyak mempengaruhi pola hidup mayarakat. Sehingga adat
dan budaya sering kali terlupakan dan tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan
adat yang sesungguhnya. Seperti prosesi adat Nyelabar. Prosesi Nyelabar ini
sering kali di jadikan sebagai ajang untuk berbisnis “Ada uang sekian maka ada
wali”. Fenomena terebut sudah tidak asing lagi terjadi di kalangan mayarakat, apa
lagi pada lapisan masyarakat yang bersal dari keluarga ternama, memiliki
pekerjaan atau jabatan tinggi, dan memiliki jenjang pendidikan yang tinggi,
merupakan lapisan masyarakat yang memiliki harga selabar yang tinggi, sehingga
seringkali memberatkan pihak laki-laki, tetapi di dalam realitasnya pembayaran
pisuke yang tinggi malah akan memberatkan pihak perempuan. Di karenakan bait
wali atau meminta wali sebenarnya diperuntukan untuk mempelai wanita untuk
dijadikan sebagai wali nikah, jika wali tidak ada maka pernikahan tidak bisa
5
dilangsungkan bahkan mempelai laki-laki dapat memulangkan calon mempelai
perempuan apa bila tidak menggunakan wali hakim.
Dengan demikian, peneliti memiliki ketertarikan untuk melakukan
penelitian mengenai Nyelabar yang sering sekali dijadikan sebagai ajang untuk
berbisnis di kalangan masyarakat, dengan judul “ Nyelabar Dalam Perkawinan
Adat Sasak Di Desa Saribaye Kec. Lingsar”.
B. Fokus Penelitian
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak di Desa Saribaye
kec. Lingsar ?
b. Bagaimana Etika Komunikasi Dalam Tradisi Nyelabar di Desa Saribaye
Kec. Lingsar ?
C. Tujuan Dan Manfaat
1. Tujuan Penenliatian
a. Ingin mengetahui Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa
Saribaye kec. Lingsar
b. Ingin mengetahui Etika Komunikasi Dalam Tradisi Nyelabar Di Desa
Saribaye Kec. Lingsar
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
6
- Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang
lebih khususnya tentang Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di
Desa Saribaye kec. Lingsar.
- Dan melalui penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi informasi
bagaimana Etika Komunikasi Dalam Tradisi Nyelabar Di Desa Saribaye
Kec. Lingsar.
b. Manfaat Praktis
- Agar dapat menjadi tambahan informasi bagi masyarakat luas tentang
Tradisi Nyelabar.
- Agar dapat menjadi tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang
ingin melakukan penelitian dalam bidang yang sama.
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian, maka cakupan dan ruang lingkup dalam
penelitian ini hanya akan membahas mengenai hal-hal yang terkait dengan judul
penelitian yaitu Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak di Desa Saribaye kec.
Lingsar, sehingga penelitian ini bisa efektif dan fokus pada rumusan masalah.
Sedangkan setting penelitian atau lokasi yang dijadikan objek dalam
penelitian ini adalah Desa Saribaye Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok
Barat. Peneliti memilih lokasi tersebut dengan beberapa alasan sebagai berikut:
7
a. Menurut peneliti, belum ada penelitian mengenai masalah yang sama baik,
secara khusus maupun dalam kajian yang sama.
b. Desa Saribaye memiliki awek-awek atau peraturan desa dan tingkat
kebudayaan yang cukup tinggi dalam upaya mencapai kesejahteraan
sosial.
Jadi penelitian ini akan difokuskan dalam lingkungan Desa Saribaye
Kecamatan Lingsar dengan batas ruang lingkup Nyelabar Dalam Perkawinan
Adat Sasak Di Desa Saribaye.
E. Telaah Pustaka
Adapun telaah pustaka dalam penelitian ini merupakan salah satu cara
yang dilakukan dalam mengkaji penelitian atau karya ilmiah terdahulu dengan
tujuan untuk menghindari duplikasi serta menjamin keaslian dan keabsahan
penelitian yang dilakukan. Adapun penelusuran yang dilakukan dari beberapa
hasil penelitian sebelumnya yaitu :
1. Sukrian dalam skripsinya yang berjudul Makna Balik Lapak Dalam
Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Desa Masbagek Selatan Kecamatan
Masbagek Kab. Lombok Timur. Berdasarkan temuan data dan pembahasan
dari skripsi tersebut dapat di simpulkan :
a) Makna Balik Lapak Dalam Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Desa
Masbagek Selatan, dimaknai sebagai simbol silaturrahmi dan perekat
8
kerukunan antar keluarga, adat Balik Lapak ini masih rutin dilakukan
oleh masyarakat masbagek setiap acara adat setelah pernikahan.
b) Balik Lapak dalam tinjauan aspek komunikasi sosial dan komunikasi
budaya dalam perkawinan masyarakat suku Sasak, meliputi dua tinjauan
aspek yaitu budaya dan sosial.5
2. Palahudin dalam skripsinya yang berjudul Tradisi Sorong Serah Aji Krama
Di Desa Kabul Praya Barat Daya. Dalam penelitiannya dapat disimpulkan
bahwa :
a) Bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi sorong serah di daerah kabul banyak
memberikan simbol islam diantaranya, memantulkan penginang kuning
atau membuka gerbang sebagai bagian dari sikap seorang muslim
memasuki rumah orang.
b) Makna dan nilai-nilai simbol berlandaskan pada dua puluh sifat tuhan
dan satu kepercayaan umat islam ( Allah SWT ) dan nabinya umat islam
( Muhammad SAW) yang terakhir dengan ketentuan keimanan serta
ketentuan rukun islam itu sendiri sebagai landasan utama tradisi sorong
serah aji krama.6
3. Ma’rifudin dalam skripsinya yang berjudul Pelaksanaan Adat Merarik
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th. 1974
5 Sukrian, Makna Balik Lapak Dalam Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Desa Masbagek
Selatan Kecamatan Masbagek Kab. Lombok Timur (Skripsi,FDK IAIN Mataram, Mataram, 2015) hlm. 70.
6 Palahudin, Tradisi Sorong Serah Aji Krama Di Desa Kabul Praya Barat Daya, (Skripsi, FDK IAIN Mataram, Mataram, 2013) hlm. 59.
9
di Desa Apitaik Kec. Pringgabaya Lombok Timur. Dalam penelitiannya
dapat disimpulkan bahwa:
a) Tradisi adat boleh saja dipergunakan untuk menentukan dan memutuskan
suatu perkara selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan
ajaran dari pada hukum syara (agama islam).
b) Sekalipun hukum adat itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran
syari’at islam, tetapi selama masih ada hukum syar’i, tidak boleh
mendahulukan hukum adat dari pada hukum syari’at, sebab hukum tuhan
lebih utama dari segala hukum lainnya.7
4. Saeful Ahyar dalam skripsinya Nilai-Nilai Spiritual Dalam Tradisi Beretes Di
Dusun Aik-Are Desa Sandik Kec. Batu Layar Lombok Barat. Dalam
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa :
a) Rasa al-ukhuwwah (peraudaraan), karena adat beretes banyak
menggambarkan tentang al-ukhuwwah
b) Silaturrahmi, silaturrahmi adalah menyambung tali persaudaraan atau
cinta kasih antara mereka.
c) Dakwah, dimana nilai dakwah yang terkandung dalam adat beretas ini
adalah membentuk jamaah atau masyarakat islam.8
7 Ma’rifuddin, “Pelaksanaan Adat Merarik Di Tinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Th. 1974” (Skripsi FDK, IAIN Mataram, Mataram, 1992) 8 Saeful Ahyar, Nilai-Nlai Spiritual Dalam Tradisi Bretes, (Skripsi, FDK IAIN Mataram,
Mataram, 2000)
10
5. Hairi Nirwani, dengan judul skripsi Adat Dalam Perpektif Dakwah Studi
Tentang Adat Maleman Di Dusun Batu Mulik Desa Gapuk Kec. Gerung
Lombok Barat. Temuan dan pembahasan dalam skripsi tersebut, dapat
dirumuskan beberapa kesimpulan yaitu nilai-nilai keagamaan yang
terkandung dalam adat maleman adalah ukhuwwah, silaturrahmi dan
dakwah9
Dari beberapa skripsi dan penelitian di atas, terdapat kesamaan maupun
perbedaan dengan penulis. Adapun kesamaannya dengan skripsi yang ditulis oleh
Sukrian dan juga Ma’rifudin adalah peneliti memiliki pembahasan yang sama
mengenai adat perkawinan Sasak, namun yang membedakannya adalah penelitian
Ma’rifudin yang fokus terhadap adat merarik dari tinjauan hukum islam dan
Sukrian hanya memfokuskan kepada adat balik lapak yaitu bagian dari adat
setelah nyongkolan sedangkan penelitian ini hanya memfokuskan kepada adat
Nyelabar yaitu bagian adat sebelum akad nikah dan nyongkolan.
Penelitian ini juga memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Saeful Ahyar, yaitu sama-sama meneliti tentang lingkup adat. Namun
perbedaannya dengan penelitian ini adalah peneliti memfokuskan pada ruang
lingkup adat pernikahan sedangkan Saeful Ahyar meneliti bukan dari lingkupan
9 Hairi Nirwan, “Adat Dalam Perpektif Dakwah Studi Tentang Adat Maleman” (Studi Di
Dusun Batu Mulik Desa Gapuk Kec. Gerung Lombok Barat) (Skripsi,FDK IAIN Mataram, Mataram 2000).
11
ada meneliti mengenai adat, tetapi penelitian Hairi Nirwan memfokuskan pada
adat maleman sedangkan penelitian ini fokus pada ruang lingup adat perkawinan.
F. Kerangka Teoretik
1. Pengertian Nyelabar
Nyelabar berasal dari kata selabar yaitu utusan dari pihak laki-laki dan
perempuan untuk membicarakan jumlah ajikrama sebagai upaya untuk dapat
melangsungkan akad nikah.
Tradisi nyelabar ini juga merupakan tradisi musyawarah yang diadakan di
rumah atau kediaman keluarga pengantin perempuan. Dalam praktiknya,
tradisi nyelabar dilakukan oleh sekurang-kurangnya 7 orang perwakilan dari
pengantin laki-laki dan semua keluarga pengantin perempuan, dengan
ketentuan bahwa perwakilan dari pengantin laki-laki diharuskan untuk
menggunakan pakaian lengkap adat suku Sasak. Dalam acara ini, rombongan
dari perwakilan keluarga pengantin laki-laki terlebih dahulu akan menemui
Kadus dari pengantin perempuan, kemudian kadus pengantin perempuan akan
mendampingi rombongan nyelabar keluarga pengantin laki-laki untuk
menemui rombongan keluarga perempuan untuk bermusyawarah mengenai
semua proses adat dan agama yang akan dilakukan. Ada beberapa hal yang
dimusyawarahkan dalam acara ini, diantaranya adalah mengenai pisuke,
maskawin pengantin perempuan, keridhaan wali dari pengantin perempuan
12
untuk mengawini pengantin perempuan, dan waktu perkawinan
dilangsungkan.10
Untuk mengambil kesepakatan, antara kedua belah pihak bisa terjadi
saling tawar menawar sesuai dengan kemampuan masing-masing, terutama
kemampuan dari pihak laki-laki. Dalam hal ini tidak dibenarkan oleh adat
untuk saling memaksakan kehendak sendiri untuk dipenuhi, karena pada
akhirnya kesepakatan itu bermuara pada kemampuan yang bisa dijangkau oleh
pihak laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, orang tua wali dari pihak pengantin
perempuan dituntut untuk lebih memahami keadaan keluarga calon suami
anaknya. Persoalan yang sering muncul dalam penyelesaian adat ini adalah
masalah-masalah “ajikrama” dan permasalahan yang terkait dengan biaya
penyelesaian upacara “begawe” (resepsi) Setelah semua kesepakatan ini
diperoleh maka dilanjutkan dengan acara akad nikah yang diselenggarakan di
rumah calon mempelai laki-laki. Wali dan rombongan dari pengantin
perempuan akan dijemput oleh perwakilan dari pengantin laki-laki di rumah
atau kediaman wali pengantin perempuan menuju lokasi atau tempat acara
perkawinan akan dilangsungkan.11
10 Murdan, Harmonisasi Hukum Adat, Agama, Dan Negara Dalam Budaya Perkawinan
Masyarakat Indonesia, Belakangan, (Tesis Yogyakarta, 2016) hlm 97 11 Fachrir Rahman, Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusa Tenggara Barat, ( Mataram : Alam Tara Institude, 2014). Hlm 217
13
2. Pernikahan Dalam Islam
a. Pengertian Nikah
Kata Nikah (nikahun) atau pernikahan sudah menjadi kosa kata
dalam bahasa indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (dzawajun).
Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya hingga
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya, dengan
menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir
dan batin yang dilaksanakan menurut syariat islam antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga
guna mendapatkan keturunan.
b. Hukum Pernikahan
Penikahan merupakan perkara yang diperintahkan syari’at islam,
demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman dalam surat
an-Nisa’ ayat 3 :
ث ال ث و ث م اء س ال ن م م ك ل اب ط ا م وا ح ك ان ف ى ام ت ي ال وا ط س ق ت ال أ م ت ف خ ن إ و
ل م ا م و أ ة د اح و ف وا ل د ع ال أ م ت ف خ ن إ ف اع ر واو ول ع ال أ ى د أ ك ل ذ م ك ان م ي أ ت ك
14
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,tiga atau
empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-
Nisa’ : 3)12
Jumhur Ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :
1) Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi
seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan
nikah atau mengharamkannya.
2) Sunnah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup
berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk menyongsong
kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus
dalam praktik perzinahan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis
dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan).
3) Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan
jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan
12 Qs. An-Nisa’ [4] : 3
15
khawatir dirinya akan terjerumus dalam perbuatan keji zina jika hasrat
kuatnya untuk menikah tak diwujudkan.
4) Makruh
Hukum ini belaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk
menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk
menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir
terjerumus dalam praktik perzinahan hingga datang waktu yang paling
tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makhruh
untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak
syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi
keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.
5) Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan
menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.
c. Meminang atau Khitbah
Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki
kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum
yang sudah berlaku di masyarakat. sebagaimana dinyatakan Allah Swt
dalam al- Qur’an yang artinya :
16
“Dan tak ada dosa bagi kaum meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan
mengawini mereka dalam hatimu... (QS. Al-Baqarah : 235)13
1) Cara mengajukan pinangan
a) Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya
dinyatakan secara terang-terangan.
b) Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah talaq
bain atau ditinggal mati oleh suami tidak boleh dinyatakan secara
terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan
secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan dalam surat al-
Baqarah ayat 235 diatas.
2) Perempuan yang boleh dipinang
Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
a) Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.
b) Perempuan yang tidak dalam masa ‘iddah.
c) Perempuan yang belum dipinang orang lain.
Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara
terang-terangan atau sindiran.
13 QS. Al-Baqarah [2] : 235. Al- Jumanatul Ali, Al- Qur’an Dan Terjemahan, (Bandung: Cv
Penerbit Art 2004) hlm. 39.
17
3) Melihat Calon Istri atau Suami
Melihat perempuan yang akan dinikahi disunahkan dalam
agama. Karna meminang calon istri merupakan pendahuluan
pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk
mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya
terwujud keluarga yang bahagia. Beberapa pendapat tentang batas
kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang, yaitu:
a) Jumhur ulama’ berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak
tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan
tubuh dan kecantikannya.
b) Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
c) Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka
dan telapak tangan.
d. Wali
Seluruh mazhab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah wali
perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki yang
menjadi pilihan wanita tersebut.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
18
ن ذ إ غ ت ح ك ن ة أ ر ام ا م ي أ : هللا ل و س ر ال ق : ت ال ق ة ش ا ع ن ع
ھ ل و ال ن م و ان ط ل الس ف ا و ر ج ت اش ن إ ف ل اط ب ل اط ب ل اط ب ا اح ن ف ا ل و
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya
maka pernikahannya adalah batil, batil, batil. Dan apabila mereka
bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak
memiliki wali”. (HR. Abu Daud no 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no.
1879 dan Ahmad 6: 66).14
e. Ijab Qabul
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya
sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul
yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda-tanda
penerimaan.
Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
1) Orang yang berakal sudah tamyiz
2) Ijab qabul diucapkan dalam satu majelis
3) Tidak ada pertentangan antara keduanya
14 HR. Abu Daud no 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. shahih Al-Albani dalam https://assamarindy.wordpress.com/2012/07/03/wali-nikah/ diakes pada tanggal 8 desember 2017 pukul 20.00
19
4) Yang berakad adalah mendengar atau memahami bahwa keduanya
melakukan akad
5) Lafaz ijab qabul diucapkan dengan kata nikah atau tazwij atau yang
seperti dengan kata-kata itu
6) Tidak dibatasi dengan waktu tertentu misalnya setahun, sebulan dan
sebagainya.
f. Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada
istri karena sebab pernikahan. Mahar bisa berupa uang, benda, perhiasan,
atau jasa seperti mengajar Al-Qur’an.15
Firman Allah SWT :
ا ئ ر م ا ئ ن وه ل ف ا س ف ن ھ ن م ء ن ع م ك ل ن ط ن إ ف ة ل ح ن ن ا ق د ص اء س ال وا آت و
“Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai
pemberian hibah/tanda cinta (QS. An Nisa 4)16
3. Pengertian Adat
Adat merupakan aturan tingkah laku yang dianut secara turun menrun
dan berlaku sejak lama. Adat istiadat termasuk sebuah aturan yang sfatnya
15 Kementrian Agama, Fiqih, (Jakarta : Diktorat Pendidikan Madrasah 2015) Hlm 77-94 16 QS. An Nisa [4] : 4
20
ketat dan mengikat. Adat istiadat yang diakui dan ditaati oleh masyarakat
sejak berabad-abad yang lalu dapat menjadi hukum yang tidak tertulis yang
disebut sebagai hukum adat. Hukum adat di Indonesia adalah hukum yang
tidak tertulis yang berlaku bagi sebagian penduduk Indonesia.
Adat istiadat memuat empat unsur yaitu nilai budaya, sistem norma,
sistem hukum dan aturan-aturan khusus. Nilai-nilai budaya merupakan
gagasan-gagasan mengenai hal-hal yang dipandang paling bernilai oleh suatu
masyarakat. Sistem norma adalah berbagai aturan atau ketentuan yang
mengikat warga, kelompok di masyarakat. Sistem hukum adalah berbagai
aturan atau ketentuan yang mengikat warga masyarakat. sedangkan aturan
khusus adalah aturan atau ketentuan yang mengkat warga kelompok di
masyarakat mengenai kegiatan tertentu yang berlaku terbatas atau khusus.
Keempat unsur tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
Adat istiadat bersifat kekal dan mempunyai kekuatan yang mengikat yang
lebih besar terhadap anggota masyarakat, sehingga yang melanggarnya akan
mendapat sanksi yang keras. 17
4. Sosio Kultur Dan Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Lombok
Sosio kultur masyarakat Lombok, bisa kita lihat dari zaman ke zaman.
Pada zaman kuno, sekitar abad pertama, masyarakat pulau Lombok
17 Rendy Priansyah, “Pengertian Adat Istiadat Lengkap Bserta Ulasan Dan Definisi Menurut
Para Ahli”, Dalam www.academia.edu/15462995 Diakses Tanggal 8 Desember 2017, Pukul 07.50
21
sebagaimana ciri khas kehidupan mereka selalu berpindah-pindah karena
sangat tergantung pada alam, seperti yang terdapat di Gunung Piring Desa
Teruwai Kecamatan Pujut Lombok Tengah. Berdasarkan penelitian arkeologis
bahwa pada masa 1.600 tahun yang lampau terdapat suatu kehidupan manusia
yang kemungkinan besar mata pencahariannya dipenuhi dengan mencari
kerang, menangkap ikan, dan berburu. Masyarakat seperti itu bahkan juga
sampai sekarang masih terdapat terutama di daerah-daerah pegunungan yang
tetap mengandalkan berburu sebagai alternatif mata pencaharian atau ada juga
yang hanya untuk menyalurkan hobi nenek moyangnya. Salah satu budaya
nenek moyang Sasak yang sampai sekarang paling berkesan adalah dalam
pengaturan masyarakatnya yang berbentuk gotong royong baik dalam
membuat rumah, mengerjakan sawah, kematian, dan lain-lain. Mereka selalu
tolong menolong, di kerjakan secara berama-sama. Itulah sebabnya tanah-
tanah di sekeliling desa dahulunya adalah tanah milik bersama pula.
Setelah terjadi pergeseran zaman sedikit demi sedikit, pola hidup
mereka pun lama kelamaan, dari pola berburu menuju kepola menetap dengan
mengambil pola bercocok tanam sebagai pilihan utamanya. Berbeda dengan
masa berburu, pada masa ini masyarakat sudah mulai menetap pada suatu
tempat sambil bercocok tanam. Tempat tinggalnya didirikan dengan tiang-
tiang yang tinggi dengan maksud agar terlindung dari banjir dan binatang
buas serta bahaya-bahaya lainnya yang mungkin terjadi.
22
Dalam pandangan lain, dari sisi pendidikannya, masyarakat Lombok
juga diawali dengan sistem pendidikan yang bersifat turun-tenurun dan sangat
tradisional. Misalnya seorang dukun mengajarkan putra-putrinya tentang ilmu
perdukunan yang dimilikinya, sehingga pada suatu saat putri-putrinya dapat
menggantikan orang tuanya menjadi dukun. Sedangkan dalam bidang
kebudayaan Sasak juga memiliki budaya khas seperti prisean, lawas, lelakak,
rebana, tawak-tawak, dan lain-lain.
Dalam pergaulan antar individu dalam suatu masyarakat baik itu
masyarakat yang masih sederhana sifatnya maupun yang sudah kompleks.
Bentuk pelapisan soial dalam masyarakat berbeda-beda. Di Lombok, secara
umum terdapat tiga macam lapisan sosial masyarakat yaitu golongan ningrat
(bangsawan) golongan pruangse (ningrat) golongan bulu ketujur (golongan
biasa).18
5. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi dalam bahasa inggris adalah communication
berasal dari kata latin comunicatio, dan bersumber dari kata comunis yang
berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Sedangkan
menurut istilah komunikasi adalah proses penyampain pesan dari komunikator
kepada komunikan dengan mengharapkan feed back. Hakikatnya komunikasi
adalah proses pernyataan tentang manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran
18 Ibid, hlm
23
atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa
sebagai alat penyalurnya.19
Menurut Carl I. Hove Land dalam buku Komunikasi Teori dan Praktik
komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar
asas-asas penyampaian komunikasi serta pembentukan pendapat dan sikap.
Devisi Hove Land diatas menunjukan bahwa yang disajikan objek study ilmu
komunikasi bukan saja penyampain komunikasi melainkan juga pendapat
umum dan sikap publik yang dalam kehidupan social dan kehidupan politik
memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisi yang khusus
mengenai komunikasinya sendiri, Hove Land mengatakan bahwa proses
mengubah perilaku orang lain. Akan tetapi seseorang akan dapat mengubah
sikap pendapat, atau perilaku orang lain apabila komunikasinya itu memang
komunikatif seperti diuraikan diatas untuk memahami pengertian komunikasi
sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi seringkali
mengutip paradigma yang dikemukakan Harol Lasswel. 20
6. Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari kata ethikus (latin) dan dalam bahasa Yunani
disebut ethicos yang berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah
dan ukuran-ukuran baik dan buruk tingkah laku manusia. Jadi, etika
19 Onong Uchjana Efendy Komunikasi Teori Dan Praktik (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya 1984) Hlm 8 20 Ibid. hlm 9
24
komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan
komunikasi di suatu masyarakat. etika digolongkan menjadi dua yaitu :
- Etika Deskriptif
Merupakan usaha menilai tindakan atau perilaku berdasarkan pada
ketentuan atau norma baik buruk yang tumbuh dalam kehidupan bersama
di dalam masyarakat. Kerangka etika ini pada hakikatnya menempatkan
kebiasaan yang sudah ada di dalam masyarakat sebagai acuan etis. Suatu
tindakan seseorang disebut etis atau tidak, tergantung pada kesesuaiannya
dengan yang dilakukan kebanyakan orang.
- Etika Normatif
Etika yang berusaha menelaah dan memberikan penilaian suatu
tindakan etis atau tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap
norma-norma yang sudah dibakukan dalam suatu masyarakat. Norma
rujukan yang digunakan untuk menilai tindakan wujudnya bisa berupa tata
tertib, dan juga kode etik profesi.
7. Aliran Etika
Menurut John C. Merill (1975:79-88) menguraikan adanya berbagai
aliran etika yang dapat digunakan sebagai standar menilai tindakan etis, antara
lain sebagai berikut:
25
- Aliran Deontologis
Deon berasal dari bahasa Yunani yaitu “yang harus atau wajib”
melakukan penilaian atas tindakan dengan melihat tindakan itu sendiri,
artinya suatu tindakan secara hakiki mengandung nilai sendiri apakah baik
atau buruk. Kriteria etis ditetapkan langsung pada jenis tindakan itu
sendiri ada tindakan atau perilaku yang langsung dikategorikan baik,
tetapi juga ada perilaku yang langsung dinilai buruk. Misalnya perbuatan
mencuri, memfitnah, mengingkari janji. Adapun alasannya perbuatan itu
tetap dinilai sebagai perbuatan yang tidak etis dengan demikian ukuran
dari tindakan ada didalam tindakan itu sendiri.
- Aliran Teologis
Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri, tetapi
dilihat dari tujuan atas tindakan itu. Jika tujuannya baik, dalam arti sesuai
dengan norma moral, maka tindakan itu digolongkan sebagai tindakan
etis.
- Aliran Etika Egoisme
Aliran ini menetapkan norma moral pada akibat yang diperoleh
oleh pelakunya sendiri. Artinya, tindakan dikategorikan etis atau baik,
apabila menghasilkan yang terbaik bagi diri sendiri.
- Aliran Etika Utilitarisme
Aliran yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya
baik bagi orang banyak. Dengan demikian, tindakan itu tidak diukur dari
26
kepentingan subyektif individu, melainkan secara obyektif pada
masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan itu, maka
dipandang semakin etis. 21
8. Teori Etik (Wisdom)
Teori ini membicarakan tentang kajian sosial yang lebih mengarah
pada pengetahuan yang beredar di masyarakat tentang cara hidup mereka.
Dalam kajian teori Etik (wisdom) tersebut Nyelabar dianggap good sense:
pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk membuat suatu
keputusan atau penilaian yang berdasarkan pada kehendak baik. Nyelabar di
Desa Saribaye misalnya, meskipun sering kali terjadi pembayar pisuke yang
sangat mahal atau keluar dari harga ketentuan Desa, keliang melakukan
beberapa pertimbangan atau tawar menawar sampai pihak keluarga laki-laki
sanggup untuk membayar meskipun tidak sesuai dengan peraturan Desa. Hal
tesebut disebabkan oleh accumulated learning: akumulasi pengetahuan
tentang kehidupan atau tetang suatu dimensi aktivitas yang didapat dari
pengalaman. Dan menjadi sebuah Opinion Widely Held: suatu opini yang
diterima oleh hampir semua orang yaitu tentang peraturan dan ketentuan
Nyelabar di Desa Saribaye kec. Lingsar.22
21 Ermawati Rahma Yudhianingsih, “Etika Dalam Komunikasi”, dalam
http://susianty.etikadalamkomunikasi.wordpress.com Di Akses Pada Tanggal 3 Januari 2017 Pukul 07:06:19
22 Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam. Cet. 1. ( Bandung : CV Pustaka Setia 2012) hlm 48
27
9. Teori Sistem Tindakan
Dalam The Structure of Social Action, Tallcot Parsons menunjukkan
teori aksi (action theory) dimana ini menuju titik sentral konsep perilaku
Voluntaristik. Konsep ini mengandung pengertian kemampuan individu
menentukan cara dan alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka
mencapai tujuan. Bahwa individu yang memiliki tujuan disebutnya sebagai
aktor. Tidak ada individu yang bertindak tanpa memiliki tujuan tertentu.
Tujuan merupakan keseluruhan keadaan konkret di masa depan yang
diharapkan, sejauh relevan dengan kerangka acuan tindakan. Bisa dikatakan
bahwa aktor terlibat dalam pengejaran, realisasi, atau pencapaian tujuan itu.
Oleh karena itu, demi memfasilitasi ini, ia memerlukan seperangkat alat. Alat
bisa dipilih secara acak, juga bisa bergantung pada kondisi tindakan. Alat
tersebut bisa muncul satu per satu, bisa muncul secara bebarengan.
Secara analitis, yang dimaksud sarana mengacu kepada semua unsur
dan aspek-aspek benda itu yang bisa sejauh mungkin dikendalikan oleh aktor
dalam mengejar tindakannya. Hanya saja yang perlu diingat bahwa aktor bukanlah
pelaku aktif murni. Sebab adanya norma, nilai, dan ide-ide serta kondisi-kondisi
situasional yang mampu mempengaruhi baik aktor, seperangkat alat, maupun
tujuan. Parsons memberikan gambaran teori struktur tindakan di atas tentang
mahasiswa yang berkeinginan menulis makalah. Walaupun pada awalnya ia
tidak bisa membayangkan isi makalah tersebut secara terperinci, tetapi ia
28
memiliki gambaran umum. Inilah yang disebut tujuan. Kemudian yang
dimaksudkan sebagai sarana adalah pensil, kertas, dan buku-buku. Sedangkan
kondisi-kondisi situasional yang tidak bisa di kendalikan adalah buku-buku yang
digunakan tidak ada.
Sepanjang hidupnya, Talcott Parsons banyak menghasilkan karya
teoritis. Ada beberapa perbedaan penting antara karya awal dengan karya
akhirnya. Dalam Fungsionalime Struktural Parsons terdapat empat imperatif
fungsional bagi sistem tindakan. Yang pertama adalah adaptasi (adaptation):
sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus
beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan
kebutuhan-kebutuhannya. Kedua, pencapaian tujuan (goal attainment): sistem
harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Ketiga, integrasi
(integration): sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian komponennya. Ia pun
harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif funsional tesebut (A, G, L).
Dan yang terakhir adalah latensi atau pemeliharaan pola (latency): sistem
harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-
pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.23
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh yang akan
digunakan oleh seorang penelitian untuk menemukan atau memperoleh data yang
23 Addin Kurnia Putri, “Analisan Konsep Talcott Parsons” dalam
www.scribd.com/mobile/doc/40129421/teor-talcott-parsons# Selasa 5 Desember 2017 Pukul 10.25
29
diperlukan. Oleh karena itu penlitian ini menggunakan beberapa metode
penelitian meliputi :
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang akan digunakan
adalah metode kualitatif dengan cara fenomenologi naturalistik, yaitu metode
penelitian yang menghasilkan deskripsi tentang ucapan, tulisan dan perilaku
yang dapat diamati. Metode kualitatif secara naturalistik juga bersifat alamiah.
Objek alamiah adalah objek yang apa adanya tidak dimanipulasi oleh peneliti,
sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek
dan setelah keluar dari objek penelitian tidak relatif berubah.24 Dengan
pendekatan ini diharapkan temuan-temuan empiris dapat dideskripsikan
secara lebih rinci, lebih jelas dan lebih akurat.
Pada dasarnya semua jenis penelitian dimulai dari perumusan masalah.
Penelitian kualitatif mencari dapatkan masalah dengan cara induktif. Peneliti
harus datang ke latar penelitian, berada di sana dalam waku yang memadai
dan menggali masalah menggunakan cara berinteraksi dengan para partisipan
yaitu subjek pemilik realitas yang akan diteliti.25 Sehingga peneliti ingin
menggunakan metode kualitatif dengan mempertimbangkan subjek penelitian
24 Sugiono, Memaahami Penelitian Kualitati, (Bandung : Alfebata, 2009), hlm 12 25 Putra Nusa, Metode Pendekatan Kualitatif Pendidikan, (Jakarta,: PT Raja Grafindo
Persada 2012) hlm 41
30
dan menggambarkan tentang “Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di
Desa Saribaye kec. Lingsar”.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian adalah sebagai instrumen kunci.
Pengertian instrumen disini, peneliti menjadi alat dari keseluruhan proses
penelitian, peneliti sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data,
sekaligus sebagai pelapor dari hasil penelitian. Kehadiran peneliti di lokasi
penelitian, berperan sebagai pengamat yang tidak berperan serta, maksudnya
peneliti tidak melakukan dua fungsi sekaligus yaitu sebagai pengamat dan
peneliti menyatu sebagai bagian dari kehidupan subjek tetapi hanya sebagai
pengamat. Di dalam melakukan penelitian melalui pengamatan, peneliti
mengamati objek penelitian pada situasi yang diinginkan untuk dipahami. Jadi
jelas peneliti akan mengamati peristiwa-peristiwa yang terkait dengan objek
penelitian.26
3. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian adalah wilayah Desa Saribaye Kecamatan
Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Penulis memilih lokasi tersebut dengan
alasan sebagai berikut:
26 Suharimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2002), hlm 102
31
a. Desa Saribaye merupakan Desa yang menjunjung sistem adat dan agama,
terlebih lagi dalam proses upacara adat nyelabar.
b. Desa Saribaye juga menggunakan dua cara dalam sistem adat Nyelabar,
yaitu menyerahkan pisuke terlebih dahulu kemudian akad nikah, atau
melaksanakan akad terlebih dahulu kemudian adat Nyelabar dan
pembayaran pisuke.
c. Kemudian pelaksanaan Nyelabar di Desa Saribaye lebih mendahulukan
akad terlebih dahulu dibandingkan membahas perihal pembayaran pisuke,
dan setiap pembayaran pisuke akan dilakukan sebuah musyawarah agar
Nyelabar tidak lagi menjadi sebuah bisnis keuangan, sebagaimana yang
sering kali terjadi disetiap pelaksanaan adat nyelabar, sehingga
memberatkan satu pihak bahkan mampu membatalkan pernikahan
tersebut.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis data yang akan
menjadi sumber data :
a. Data Primer
Data primer adalah suatu objek atau dokumen original material
mentah dari pelaku yang disebut “first hand information”. Data yang
32
dikumpulkan dari situasi aktual ketika peristiwa terjadi dinamakan data
primer.27
Sumber data primer dalam penelitian ini akan memperoleh data
dari hasil observasi dan wawancara dengan para tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat dan juga lapisan-lapisan masyarakat lainnya di
Desa Saribaye Kecamatan Lingsar.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari tangan ke dua
atau dari sumber-sumber lain yang sudah tersedia sebelum penelitian
dilakukan. Data sekunder meliputi, komentar, interpretasi, atau tentang
pembahasan materi original.28
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya cara
pengumpulan data dapat menggunakan beberapa metode penelitian meliputi :
- Metode Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data)
27 Budyatna, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009) hlm. 289. 28 Ibid.
33
kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam
dengan alat rekam. Teknik wawancara dapat digunakan dengn
respondennya yang buta huruf atau tidak terbiasa membaca dan menulis.
Peran wawancara untuk memperoleh kerjasama dengan responden sangat
penting. Responden perlu diberi penjelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian dan responden memiliki hak untuk tidak bersedia menjadi
responden sebelum wawancara dilakukan.
Dalam melakukan wawancara, perlu diingat bahwa pewawancara
ingin mengetahui sikap dan pendapat responden. Ini berarti bahwa
pewawancara harus bersikap netral dan tidak mengarahkan jawaban atau
tanggapan responden.29 Sehingga Peneliti menggunakan metode
wawancara, agar dengan metode ini peneliti akan mendapatkan informasi
yang valid dan langsung dari sumbernya. Sehingga informasi yang
didapatkan bukan hanya sekedar rekaan semata.
- Metode Observasi
Observasi adalah untuk mengamati tingkah laku manusia sebagai
peristiwa aktual, yang memungkinkan kita memandang tingkah laku
sebagai proses. Sebagaimana cara menanggapi suatu angket atau
wawancara. Tujuan pokok dari observasi adalah untuk menyajikan
29 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya 2004)
hlm. 67.
34
kembali gambaran-gambaran sosial, kemudian dapat diperoleh cara-cara
lain yang sering digunakan secara berdampingan untuk mendapatkan
realitas penemuan-penemuan penelitian secara keseluruhan dari seorang
peneliti.30
Peneliti tidak ikut terlibat dalam objek penelitian. Karena peneliti
hanya mengamati dalam proses Nyelabar.
- Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah pengumpulan data secara langsung dari
tempat penelitian dalam bentuk tulisan, laporan kegiatan dan data yang
relevan dengan penelitian.31 Sehingga dalam teknik dokumentasi ini
peneliti akan mencari data-data yang berkaitan dengan Nyelabar Dalam
Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan melakukan kajian untuk memahami struktur
suatu fenomena-fenomena yang berlaku dilapangan. Analisis data dapat
dilakukan melalui tiga langkah yaitu:
a. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pengumpulan data penelitian, seorang
peneliti dapat menemukan kapan saja waktu untuk mendapatkan data yang
30 James Black A, Metode Dan Masalah Penleitian Sosial (Bandung : PT Refika Aditama
1999) hlm. 287. 31 Ridwan, Belajar Mudah Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2005) hlm. 77.
35
banyak, apabila peneliti mampu menerapkan metode observasi,
wawancara, atau dari berbagai dokumen yang berhubungan dengan subjek
yang diteliti.32
b. Penyajian data
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya.
Dalam hal ini Miles and Huberman menyatakan bahwa yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif.
c. Verifikasi data
Verifikasi data merupakan analisis lanjutan dari reduksi data, dan
display data dapat disimpulkan. Dan peneliti masih berpeluang untuk
menerima masukan.33 Data yang peneliti maksud dalam penelitian ini
adalah data yang diperoleh dan didiskripsikan tentang “Nyelabar Dalam
Perkawinan Adat Sasak di Desa Saribaye kec. Lingsar Studi Pendekatan
Etika Komunikasi.
7. Validasi Data
32 Iskandar, Metodelogi Penelitian Dan Sosial, (Jakarta: Refrensi 2013) hlm. 225. 33 Ibid, 226
36
Untuk mendapatkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan
keabsahan data. Hal ini dimaksud agar data atau informasi yang dikumpulkan
mendukung nilai kebenaran. Dalam hal ini peneliti merujuk pada kriteria dan
teknik keabsahan data, yaitu :
a. Pemeiksaan dengan teman sejawat
Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan sementara atau hasil
akhir yang diperoleh dalam diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat
bertujuan untuk mencari kelemahan tafsiran yang kurang jelas serta
kemudian mendiskusikannya dengan pihak yang memiliki pengetahuan
dan keahlian yang relevan.
b. Kecukupan refrensi
Refrensi yang dipakai dalam pelaksanaan penelitian nanti terdiri dari
bahan dokumentasi, catatan yang tersimpan, buku-buku yang ada
kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian. Bahan refrensi ini
sebagai alat untuk menampung dan menyesuaikan dengan kritik tertulis
untuk keperluan evaluasi.34
c. Tringulasi
Tringulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan
atau sebagai perbandingan data itu. Jadi, tringulasi merupakan pengecekan
34 Moleong L. J, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010) hlm.
175.
37
ulang terhadap data-data kualitatif hasil penelitian. Sehingga betul-betul
sesuai dengan hasil yang diinginkan. Dengan menggunakan tringulasi,
sebenarnya peneliti telah mengumpulkan data sekaligus menguji
kreabilitas data, yaitu mengecek kreabilitas dengan berbagai teknik
pengumpulan data dan berbagai sumber data.35
35 Beni Ahmad Saeban, Metode Penelitian (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008) hlm. 189.
38
H. Sistematika Pembahasan
Guna mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka sistematika
pembahasan akan disusun sebagai berikut :
Bab pertama adalah latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat, ruang lingkup dan setting penelitian, telaah pustaka, kerangka teori,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.36 Uraian dalam bab ini
memberikan kemudahan dan sebagai gambaran ringkasan mempelajari skripsi ini.
Bab kedua membahas tentang gambaran umum Desa Saribaye yang
meliputi letak geografis, keadaan penduduk, dan fasilitas umum. Selanjutnya
membahas tentang latar Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa
Saribaye Kec. Lingsar.
Bab ketiga membahas mengenai Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak
Di Desa Saribaye dan Etika Komunikasi dalam Tradisi Nyelabar di Desa
Saribaye Kec. Lingsar.
Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran
dan yang diharapkan dapat menarik dari uraian pada bab sebelumnya sehingga
menjadi rumusan yang bermakna.
36 Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Dakwah Dan Komunkasi, IAIN Mataram, 2017)
hlm 15
39
BAB II
PAPARAN DATA DAN TEMUAN
A. Gambaran Umum tentang Desa Saribaye Kecamatan Lingsar
1. Sejarah Desa Saribaye dan Letak Geografis
Desa Saribaye merupakan salah satu Desa dari 10 (sepuluh) Desa
yang ada di Kecamatan Lingsar, merupakan Desa terkecil dengan luas 134.05
Ha. Yang terdiri dari 5 (Lima) Dusun. Menurut sejarahnya Desa Saribaye
telah ada sejak tahun 1999, dengan cikal bakal berdirinya adalah Bapak
Sarawan Sukadani, ST bersama tokoh-tokoh masyarakat pada masa itu.
Desa Saribaye sebelum menjadi sebuah Desa, merupakan kumpulan
dusun-dusun yang ada di wilayah utara Kecamatan Lingsar, pada tahun 2010
dimekarkan menjadi desa persiapan Saribaye. Nama “Saribaye “ diambil
gabungan nama 3 ( Tiga ) Dusun yang merupakan cikal bakal terbentuknya
Desa “SARIBAYE”yaitu :” SA” adalah Dusun Sandongan “RI” adalah
Dusun Repok Keri dan “ Baye” adalah Dusun Nirbaye.
Sejak terbentuknya, Desa Saribaye terdiri dari 5 (Lima) dusun yaitu:
1. Dusun Nirbaye
2. Dusun Repok Keri
3. Dusun Sandongan Timur
40
4. Dusun Sandongan
5. Dusun Sandongan Peresak37
Sebagaimana yang telah peneliti paparkan pada pendahuluan, bahwa
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Nyelabar Dalam Tradisi Perkawinan
Adat Sasak Di Desa Saribaye. Sebelum itu peneliti akan menguraikan data-
data yang dipandang perlu untuk mengemukakan gambaran umum Desa
Saribaye Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat sebagai lokasi
penelitian. Berdasarakan hasil pencatatan dokumentasi dan observasi sebagai
berikut :
Sebelah Barat : Desa Sigerongan
Sebelah Timur : Desa Batu Mekar
Sebelah Selatan : Desa Lingsar
Sebelah Utara : Desa Karang Bayan
2. Keadaan dan Jumlah Penduduk
Setiap tahun penduduk Desa Saribaye mengalami perubahan, baik dari
segi angka kematian, kelahiran, kedatangan maupun perpindahan. Berdasarkan
hasil pencatatan dokumentasi, bahwa pada tahun 2013 jumlah penduduk desa
Saribaye kecamatan Lingsar mencapai 2.282 jiwa dengan perincian laki-laki
berjumlah 1.044 dan perempuan 1.027.38
37 Profil kantor desa saribaye, h. 4. Dikutip pada tanggal 2 oktober 2017 38 Profil kantor desa saribaye, berdasarkakan jumlah penduduk, h 15 Dikutip pada tanggal
l 2 oktober 2017
41
Tabel 1.I
Jumlah Penduduk Desa Saribaye
NO DUSUN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 Sandongan Peresak 145 142
2 Sandongan 279 306
3 Sandongan Timur 385 379
4 Repok Keri 165 171
5 Nirbaye 146 164
3. Keadaan Ekonomi
Penduduk desa Saribaye Kecamatan Lingsar sebagian besar masyarakatnya
hidup dari pedagang, selain itu, masyarakatnya juga ada yang beprofesi
sebagai pegawai negeri sipil, petani dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada perincian data paraf hidup masyarakat Desa Saribaye
Kecamatan Lingsar pada tabel berikut ini :
Table 2.I
Jumlah Penduduk Saribaye Menurut Mata Pencaharian
NO JENIS
PEKERJAAN
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 Belum Bekerja 342 274
2 Buruh Harian Lepas 136 29
42
3 Ibu Rumah Tangga - 132
4 Karyawan Perusahaan
Suwasta
3 2
5 PNS 4 1
6 Pelajar 58 44
7 Petani 54 28
8 Wirasuwasta 128 29
9 Pedagang 60 120
10 Guru Honor 1 1
11 Tidak Bekerja 53 136
12 Pegawai Suwasta 11 7
13 Lainya 158 6
14 Kepala Desa 1 -
15 Pekerja Lepas 214 80
16 Mahasiswa 2 2
Sumber : kantor Desa Saribaye Kecamatan Lingsar 2 Oktober 2017
4. Keadaan Agama dan Kepercayaan
Secara umum dapat kita lihat bahwa masyarakat Saribaye mayoritas
islam seperti pada tabel beikut ini.
43
Table 3.I
Jumlah Penduduk Desa Saribaye Berdasarkan Agama Dan Kepercayaan
Yang Anut
NO URAIAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 Islam 1.416 655
2 Hindu - -
3 Kristen -
4 Katolik - -
Dari tabel diatas dapat disimpulakan bahwa masyarakat Saribaye
seluruhnya beragama islam. Berbicara masalah agama dan kepercayaan,
tentunya tidak terlepas dari sarana pribadatan masyarakat yang berdomisili di
Desa Saribaye Kecamatan Lingsar. Lebih jelasnya tentang sarana pribadatan
yang terdapat di Desa Saribaye Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat
pada tabel berikut ini :
Table 4.I
Jumlah Sarana Pribadatan Desa Saribaye Kecamatan Lingsar
NO URAIAN JUMLAH
1 Masjid 3
2 Mushalla 5
44
3 Pura 1
5. Keadaan Lembaga Pendidikan
Masyarakat Desa Saribaye mengetahui dan memahami arti pentingnya
pendidikan, sehingga masyarakat Desa Saribaye dapat menikmati pendidikan
baik berupa pendidikan formal atau pendidikan non formal. Lebih jelasnya
mengenai keadaan pendidikan masyarakat Desa Saribaye Kecamatan Lingsar
di lihat pada tabel beikut :
Table 5.I
Keadaan Pendidikan Penduduk Desa Saribaye
NO TINGKATAN PENDIDIKAN JUMLAH
1 Tamatan SD sederajat 428
2 Tamatan MTS 222
3 Tamatan SMA 182
4 Tamatan D-3 22
5 Tamatan S-1 9
JUMLAH 863
45
6. Tata Pemerintahan
Desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan langsung di bawah kecamatan dan berhak mengatur
seluruh dusun yang ada didalamnya. Sebagai salah satu desa yang berada di
Kecamatan Lingsar tata pemerintahan jelas pada tingkat desa yakni Desa
Saribaye yang dipimpin oleh kepala desa, untuk lebih jelasnya tentang tata
pemerintahan Desa Saribaye dapat dilihat pada struktu organisasi
pemerintahan sebagai berikut :
STRUKTUR ORGANISASI PEMEINTAHAN DESA SARIBAYE
Kepala Desa Saribaye
Sarawan Sukadani, ST
Sekdes
Mansur
Kasi Pemerintahan
Kasi Kesra
Sugimin
Kasi Pelayanan
Munawarah
Kaur Perencanaan
Kaur Keuangan
Rosdiana Rahma.
Kaur Tata Usaha
Muslim
Dusun Sandongan
Samsul Hadi
Dusun Sandongan Timur
Sapturi
Dusun Sandongan Peresak
Mahmur
Dusun Nirbaye
Suriadi
Dusun Repok Keri
H. Burhanudin
46
B. Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye
1. Proses Nyelabar Di Desa Saribaye Kec. Lingsar
Dalam proses pelaksanaannya nyelabar dilakukan 2 atau 3 hari setelah
besejati dilakukan. Nyelabar diadakan di rumah atau kediaman keluarga
pengantin perempuan oleh perwakilan dari pengantin laki-laki maupun
perempuan, dalam rangka untuk membahas hak perwalian dari mempelai
perempuan, pisuke dan penyelesaian adat lainnya. Seperti yang dijelaskan
oleh pak Sapturi selaku Kepala Dusun Desa Saribaye mengatakan :
“kita dari pihak laki-laki datang ke kadus setempat atau tokoh adat setempat guna membahas perwalian, pisuke, kemudian administrasi dusunnya, dan ajikrame.39
Ustad Abdurrahman selaku tokoh agama Desa Saribaye juga mengatakan :
“di dalam proses ini nanti kedua pihak mempelai laki-laki maupun perempuan akan menyepakati kapan tanggal pernikahannya ?, kapan tanggal adat ?, berapa biaya?, kemudian dimana tempatnya ?, lalu seperti apa prosesnya dan sebagainya.40
Dalam acara ini, rombongan dari perwakilan keluarga pengantin laki-
laki terlebih dahulu akan menemui Kadus dari pengantin perempuan,
kemudian kadus pengantin perempuan akan mendampingi rombongan
nyelabar keluarga pengantin laki-laki untuk menemui rombongan keluarga
perempuan. Sedangkan Di Desa Saribaye terdapat dua cara dalam
pelaksanaan proses nyelabar berdasarkan kesepakatan, seperti yang di
39 Sapturi, Wawancara, Saribaye, Tanggal 13 November 2017 40 Abdurrahman, Wawancara,Saribaye, Tanggal 24 November 2017
47
tuturkan oleh Bapak Mahsun tokoh adat Saribaye yaitu akad nikah setelah
nyelabar dan nyelabar setelah akad nikah.
“kalau kita di Saribaye sudah membuat kesepakatan bahwa kita mendahulukan nikah terlebih dahulu baru nyelabar. Sebenarnya salah persepsi dari segi aturan, kita sebagai utusan tugasnya hanya sampai besejati dan nyelabar kalau setelah nikah itu sudah terlepas dari tanggung jawab kita sebagai petugas adat. Karena pisuke itu adalah urusan dari orang tua kedua mempelai atas dasar suka sama suka mau berikan berapa harga dari pisuke, mau 10 juta atau berapa kalau sudah suka sama suka tidak ada masalah”.41
Hal tersebut disepakati karena ada beberapa hal yang dapat
mempersulit berlangsung sebuah pernikahan karena adat tersebut. Apa lagi
dalah hal kesepakatan nominal pisuke. Dalam hal ini tidak dibenarkan oleh
adat untuk saling memaksakan kehendak sendiri untuk dipenuhi, karena pada
akhirnya kesepakatan itu bermuara pada kemampuan yang bisa dijangkau oleh
pihak laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, orang tua wali dari pihak pengantin
perempuan dituntut untuk lebih memahami keadaan keluarga calon suami
anaknya. Oleh sebab itu banyak mayarakat yang salah dalam mengartika
nyelabar itu sendiri. hal itu dinyatakan kembali oleh bapak Mahsun
“banyak masyarakat yang salah mengartikan nyelabar itu sendiri, namanya kita baru mintak wali saja sudah meminta uang, kan gak nyambung. Anaknya (mempelai perempuan) mau mintak wali, kita lihat dari bahasanya mau mintak wali “salam anak side suka sama suka mau nikah ama si A” tapi kok sekarang rang tua dari mempelai perempuan bilang “ada uang ada wali” berarti kan pembicaraan kita
41 Mahsun, Wawancara,Saribaye, Tanggal 18 November 2017
48
gak nyambung (itu menurut saya) “saya sampaikan salam anak side mau nikah sama ini suka sama suka dengan si ini” berarti kan yang mintak wali adalah anaknya (mempelai perempuan) bukan laki-laki, laki-laki hanya menerima nikah, jadi orang itu banyak sekali salah mengartikan adat. Seolah-olah hal ini ada penekanan kepada calon menantunya.42
Sehingga Ustad Abdurrahman menyatakan bahwa adat nyelabar
sering kali menjadi titik krusial dan sensitif ketika proses tawar menawar
prihal pembayaran pisuke tersebut. Terlebih lagi jika si gadis berasal dari
keluarga kaya, pendidikan tinggi, atau sudah memiliki jabatan yang tinggi
dalam pekerjaan. Hal tersebut menjadi alasan yang mengharuskan harga piuke
itu harus dibayar mahal atau “aji amak pang” (harus) begitulah Ustad
Abdurrahman menyebutnya.
“ia memang jika ini dikatakan sebagai titik krusial dan sensitif memang benar, karena sebagaian masyarakat kita lebih menonjol kepada adat, sementara disatu sisi kita dituntut oleh agama untuk mempercepat pernikahan itu sendiri, tetapi banyak kasus dimana proses akad nikah sampai harus tertunda berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan hanya karena tidak ketemu angka. Mungkin tidak salah jika si perempuan memasang haga cukup tinggi jika calonnya orang yang berada, tetapi dia juga harus memahami bahwa penekanannya bukan disana, tugas orang tua adalah ketika anaknya harus menikah maka secepat munkin untuk menikahkan karena itu kewajiban. Tidak boleh terhalang oleh adat istiadat yang berbelit-belit dan terkesan memberatkan.
“kami di Saribaye tidak mematok harga, ketika warga kita menikah keluar aja kita tidak mempermasalaha biaya itu bukan hal yang dipermasalakan, tetapi kita tidak harus “ajian amaq pang” pang harus
42 Ibid wawancara 48
49
10 juta baru kit dikasih wali. Jadi yang paling penting adalah bagaiman keduan belah pihak yaitu kiai dan Kadus mampu berkomunikasi untuk menemukan titik temu.43
Bapak Sapturi selaku Kepala Dusun Saribaye yang sering ali menjadi
utusan dalam praktik nyelabar juga menyetujui kesepakatan dalam proses
nyelabar tersebut.
“kalau kita di Saribaye akad nikahnya terlebih dahulu, kita tidak mau ketika datang nyelabar terus kita bicarakan pisuke, karena piseke itu tidak bisa jadi sekali, sehari belum tentu jadi, kecuali kalau sudah disepakati dari awal, kan ada nanti istilah “berega’an” misalkan nanti mereka mintak 10 juta palinglah kita tawar 4 juta.
Nah kalau akad nikakhnya dulu pasti tawar menawarnya bisa lebih mudah, tapi kalau pisukenya duluan kasian pengantinnya “kan ngoneeq te laun selesei” kan namanya anak muda kalau gak kuat agamanya nanti terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Kan kalau di kampung mereka sudah menikah maka bebas dibawa kemana-mana karena sudah dianggap menikah oleh masyarakat. Jadi mereka mau pergi mandi, pergi nyuci bebas diantar oleh calon suaminya. Nah disanalah peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak kita ingnkan. Oleh sebab itu kami di Saribaye berkesepakatan untuk mengedepankan akad nikahnya dulu baru kita bicarkan pisukenya untuk menjauhi fitnah. Makanya bagus sekali kalau kita melamar terlebih dahulu, kemudian nanti pas acara akad nikahnya si perempuan datang dibawa oleh orangtuanya supaya tidak ada fitnah.
Oleh karena itu hingga saat ini proses Nyelabar Di Desa Saribaye Kec.
Lingsar dilakukan dengan dua cara tersebut. Pada umumnya, tradisi nyelabar
merupakan bagian kecil dari adat perkawinan suku Sasak atau biasa disebut
dengan merari’. Secara etimologi kata merari’ diambil dari kata “lari”.
43 Ibid Wawancara 47
50
Seperti yang dijelaskan oleh bapak Sarawan Sukadani selaku Kepala Desa
Saribaye bahwa :
“merari’ itu kan melarikan diri, kalau bahasa desa lain biasanya disebut melaik juga memiliki maksud yang sama yaitu melarikan. Sehingga kata merari’ itu berasal dari kata melarikan diri”.44
Melarikan yang dimaksud oleh bapak Sarawan Sukadani bukanlah
untuk mencuri si gadis dari orang tuanya, tetapi dalam rangka menikahi gadis
tersebut yaitu dengan cara melarikannya ke tempat persembunyian. Kawin lari
inilah yang menjadi sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di
Lombok. Hal itu dibenarkan oleh tokoh adat Desa Saribaye bapak Mahsun,
”istilah kawin lari bukanlah untuk di curi, tetapi sebuah cara dari si laki-laki untuk menikah dengan kekasihnya karena terjadinya atas dasar suka sama suka. Bagaimana bisa dikatakan mencuri anak orang jika itu dilakukan karna suka sama suka”.45
Adapun prosedur perkawinan dan tata cara prosesi adat perkawinan
suku Sasak dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan utama yaitu adat
sebelum pernikahan, adat proses pernikahan dan adat setelah pernikahan
sebagai berikut :
44 Sarawan Sukadani, Wawancara, Saribaye, Tanggal 15 November 2017 45 Mahsun, Wawancara,Saribaye, Tanggal 18 November 2017
51
a. Adat Sebelum Pernikahan
Bagi masyarakat Sasak, dalam pelaksanaan adat perkawinan
berlaku asas kebebasan, bahwa perkawinan berdasarkan atas kemauan
sendiri dan kebebasan memilih dari kedua belah pihak.
Dijelaskan oleh tokoh agama Desa Saribaye yaitu ustad
Abdurahman mengatakan sebelum melaksanakan perkawinan, ada
beberapa proses yang harus dilalui sebagai sarana saling kenal mengenal
antara laki-laki dan perempuan yaitu midang, dan subandar
a) Midang
Midang , yaitu kunjungan secara langsung oleh laki-laki
kerumah perempuan yang diidam-idamkan dalam rangka saling
mengenal lebih mendalam tentang keberadaan mereka masing-
masing untuk selanjutnya bersepakat untuk mengikat hubungan
pertalian yang lebih mendalam dalam bentuk perkawinan, midang
memiliki aturan-aturan tertentu seperti yang dijelakan Ustad
Abdurrahman.
“midang ini pun punya cara tersendiri dia jadi tidak sembarangan jadi tidak seperti midangnya anak muda sekarang ini, waktu berkujung ketempat pacarnya itu sudah ditentukan kemudian jamnya tidak boleh lebih dari batasan, kemudian si laki-laki tidak boleh mengajak pacarnya berbicara disembarang
52
tempat dan sebagainya. Kalo dia mau ketemu, dia harus datang dengan cara yang baik kerumah oran tuanya itu”.46
b) Subandar
Sedangkan Subandar Ustad Abdurrahman menyebutnya
sebagai (perantara), yaitu orang kepercayaan si laki-laki yang
bertugas menyampaikan apa yang diinginkan laki-laki kepada
perempuan yang menjadi pinangannya (beraye) melalui subandar ini
disampaikannya segala perasaan cinta yang dideritanya.
“subandar adalah orang yang di percaya atau prantara dalam hubungan sepasang kekasih mulai dari awal berpacaran hingga menikah. Selain itu subandar juga beperan untuk mengeluarkan si perempuan ini dari rumahnya ketika dalam proses dia sudah sepakat untuk menikah. Jadi si laki-laki calon suaminya ini tidak ikut masuk, yang akan masuk adalah subandar ini, yang mengantar proses komunikasinya, perantara lah subandar ini antara si calon perempuan denga calon si laki-laki, segala halnya akan disampaikan oleh subandar baik ketika pacaran atau memalingnya.”.47
b. Adat Dalam Proses Pernikahan
Dalam rangka pelaksanaan perkawinan ini ada beberapa proses
yang dilakukan masyarakat Sasak. Seperti yang sudah dijelaskan oleh
tokoh adat Saribaye bapak Mahsun mengenai memaling (melarikan),
46 Abdurrahman, Wawancara,Saribaye, Tanggal 24 November 2017 47 Ibid Wawancara
53
merupakan salah satu proses adat perkawinan Sasak. Selain memaling
terdapat juga beberapa proses adat perkawinan seperti :
1) Sejati (pemberitahuan)
Sejati atau mesejati adalah kegiatan pertama yang dilakukan
oleh pihak keluarga laki-laki setelah gadis berhasil dibawa lari untuk
dibawa kawin. Menurut bapak Sapturi Kepala Dusun Desa Saribaye
bahwa besejati di lakukan selambat-lambatnya dua hari setelah
memaling, pemberitahuan atau mesejati dikirim kepada orang tua si
gadis melalui kepala kampung tempat si gadis dan orang tuanya
berdomisili. Yang dimana Mesejati ini adalah media perundingan
guna membicarakan kelanjutan upacara-upacara adat perkawinan
serta segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara
tersebut. Setelah pemberitahuan ini dilaksanakan maka menyusul
tindakan–tindakan untuk mendapatkan izin kawin, besarnya biaya
adat dalam beberapa upacara.
“2 hari setelah memaling, maka utusan akan pergi besejati ke gubug terkait. besejati itu adalah, kita memberitahu tokoh adat asal si calon mempelai perempuan bahwa betul atau membenarkan warganya diambil oleh warga kita atas nama Ahda Sabila misalnya. Setelah 2 hari dicuri maka RT, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus datang besejati. Setelalah besejati barulah kemudian beselabar. 48
48 Sapturi, Wawancara, Saribaye, Tanggal 13 November 2017.
54
Tetapi berbeda halnya dengan bapak Mahsun tokoh adat
Saribaye, beliau mengatakan bahwa besejati dilakukan 3 hari 3
malam setelah adat memaling, beliau juga menjelaskan bahwa dalam
proses besejati juga bisa dilakukannya proses nyelabar secara
sekaligus.
“Setalah tiga hari tiga malam si perempuan itu di curi maka langung proses besejati, besejati adalah pemberitahuan tentang anaknya kawin lari dengan si A misalnya, dengan alamatnya yang jelas, nama yang jelas, desa dan dusunnya yang jelas. Setelah itu kita langsung nyelabar yaitu meminta wali untuk melanjutkan pernikahan. Nyelabar itu Sebenarnya bisa dilakukan ketika besejati, namanya sejati selabar yaitu pemeritahuan tentang bahwa anaknya kawin lari atas dasar suka sama suka nikah sama ini, untuk memberitahukan kepada wali.49
Sependapat dengan bapak Mahsun, Kepala Desa Saribaye
Sarawan Sukadani menjelaskan bahwa :
“setelah 3 hari dilarikan pihak lak-laki harus datang ke pihak permpuan untuk menyampakan bahwa anaknya sudah berada di rumah pihak laki-laki”.50
2) Pemuput selabar
Pemuput selabar dilakukan setelah adat sejati. Pada dasarnya
adat besejati dan nyelabar merupakan dua proses yang berbeda, baik
secara pengertian maupun dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
49 Mahsun, Wawancara,Saribaye, Tanggal 18 November 2017 50 Sarawan Sukadani, Wawancara,Saribaye, Tanggal 15 November 2017
55
dibenarkan oleh tokoh adat Saribaye bapak Mahsun, karena adat
nyelabar dan besejati bisa dilakukan secara bersamaan tergantung
dari kesepakatan kedua belah pihak.
“sebenarnya harinya beda, besejati dilakukan 3 hari 3 malam tidak boleh lewat, kalau lewat nanti mereka kena pidana, itu namanya penculikan dan itu tidak boleh sekali. Tetapi bisa juga dilakukan bersaamaan sesuai permintaan pihak keluarga perempuan, kami pihak laki-laki hanya mengikutinya”. 51
Bapak Sapturi menjelaskan bahwa Tujuan utama pemuput
selabar ini adalah untuk membicarakan hak perwalian. Selain itu
juga membicarakan segala sesuatu yang terkait dengan proses
penyelesaian adat (ajikrama), terutama dalam rangka pelaksanaan
akad nikah. Pada saat ini secara bersama tokoh adat, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan keluarga si gadis untuk membicarakan
sekitar adat yang berlaku dalam perkawinan tersebut.
“kita dari pihak laki-laki datang ke kadus setempat atau tokoh adat setempat guna membahas perwalian, pisuke, kemudian administrasi dusunnya, ajikrame, tergantung nanti dari pihak si perempuan, kita harus membicarakannya sekarang mengenai pisuke itu atau nanti setelah akad nikah”.52
Sehingga apa yang dihasilkan dalam perundingan itu berupa
biaya adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki, pada saat yang
51 Ibid Wawancara 55 52 Sapturi, Wawancara, Saribaye, Tanggal 13 November 2017
56
bersamaan juga persyaratan penyelesaian adat itu disampaikan
kepada pihak laki-laki melalui utusannya (tokoh adat, tokoh
masyarakat, tokoh agama) agar persyaratan itu dipenuhi. Apabila
persyaratan yang diajukan oleh pihak keluarga perempuan itu tidak
dapat dipenuhi, maka akad nikah belum bisa dilaksanakan.
3) Sorong doe (sorong serah)
Puncak acara dalam upacara adat perkawinan di Lombok
adalah acara sorong doe atau sorong serah, yaitu acara pesta
perkawinan pada waktu orang tua si gadis akan kedatangan keluarga
besar mempelai laki-laki. Dalam acara ini keluarga perempuan juga
mengadakan suatu acara selamatan (begawe) yang biasanya biaya
penyelesaiannya ditanggung pihak laki-laki atas dasar kesepakatan
yang telah dicapai saat pelaksanaan pemuput selabar.
Bapak Saridin sesepuh Saribaye mengatakan :
“sorong serah atau secara bahasa Sasak meserah dilakukan ketika nyongkolan, jadi sebelum pengantin sampai di rumah mempelai perempuan maka pembuka jebak akan datang sebelum pengantin untuk sorong serah, dengan juru bicara oleh pembayun”. 53
53 Saridin, Wawancara, Saribaye, Tanggal 15 November 2017.
57
Namun pernyataan bapak Saridin jauh berbeda dengan Ustad
Abdurahman dan juga bapak sapturi dalam hal pelaksanaan praktik
sorong serah ini. Ustad Abdurrahman menyatakan :
“sorong serah dilakukan satu hari sebelum nyongkol, misalkan tadi sore merek nyongkol maka besok paginya mereka sudah sorong serah”.54
Sangat jauh berbeda lagi dengan pernyataan bapak Sapturi
bahwa pelaksanaan sorong serah adalah 3 hari sebelum akad nikah.
“srong serah dilakukan seblum akad nikah, jadi 3 hari setelah si gadis di curi maka akan langung di adakan adat sorong serah itu”.55
4) Nyongkol
Nyongkol adalah kegiatan akhir dari seluruh proses
pekawinan. Kegiatan ini dilakukan secara bersama oleh seluruh
anggota keluarga mempelai laki-laki bersama masyarakat berkunjung
ke rumah mempelai perempuan. Maksud dan tujuan dari nyongkolan
adalah :
“Nyongkolan sebenarnya adalah ajang sebagai wujud rasa syukur, mungkin hanya memliki bahasa yang berbeda kalau nabi mengtakan “walimatul’arus” kemudian dalam adat Sasak dinamakan nyongkol, ini merupakan pelaksanaan dari sunnah nabi yang dimana pernikahan itu haru disiarkan, sehingga
54 Abdurrahman, Wawancara,Saribaye, Tanggal 24 November 2017 55 Sapturi, Wawancara, Saribaye, Tanggal 13 November 2017
58
dalam bentuk nyongkolan ini menjadi sebuah manifetasi dari pelaksanaan sunnah itu”56
Begitulah yang dijelaskan oleh Ustad Abdurrahman.
Sehingga mempelai laki-laki dapat menampakkan dirinya secara
resmi di hadapan orang tua dan keluarga-keluargan dari istrinya.
Bahkan juga kepada seluruh masyarakat.
c. Adat Setelah Perkawinan
Setelah acara sorong doe dan nyongkol dilakukan, maka akan ada
beberapa upacara adat lagi yang harus dilaksanakan yaitu “balas nae”.
Balas nae, yaitu suatu kegiatan kunjungan dari keluarga
mempelai laki-laki terhadap keluarga mempelai perempuan tanpa
mengikutsertakan masyarakat di luar keluarga sebagaimana pada upacara
nyongkol. Kegiatan ini dilakukan sehari setelah nyongkol. Hal ini
sependapat dengan bapak Sarawan Sukadani dan Ustad Abdurrahman.
Kepala Desa Saribaye Sarawan Sukadani mengatakan :
“Balas nae biasanya dalam Sasak juga sering disebut bejango, bejango ini ada dua cara, pertama jika pernikahan tersebut mempelainya berasal dari kampung yang sama maka 3/4 hari setelah pernikahan mereka sorong serah kemudian malamnya mereka bejango. Tetapi jika mempelanya berasal dari kampung yang berbeda maka meserah atau sorong serah itu akan
56 Ibid, Wawancara 58
59
dilaksanakan ketika nyongkolan lalu malamnya akan kembali lagi untuk bejango”.57
Ustad Abdurrahman juga menyatakan :
“disesi terahir adat pernikahan ada 2 pilihan yang dilakukan oleh warga kita, pertama nyongkol kedua bejango esensinya sama, yaitu sama-sama pihak laki-laki berkunjung dengan keluarganya ke rumah pihak perempuan tetapi prosesnya berbeda, kalau bejango biasa mereka datang tanpa diiringi alat musik atau gamelan, tanpa di hias dan sebagainya. Tetapi kalau dia nyongkol ya pengantin menggunakan hiasan dan juga alat musik tradisional.”58
Jika Ustad Abdurrahman dan bapak Sarawan Sukadani
mengatakan bahwa bejango adalah sebuah kunjungan dari keluarga
laki-laki ke rumah mertuanya, berbeda jauh dengan bapak Sapturi,
beliau mengatakan :
“sebenarnya si perempuan ini mengambil kembali barang-barang bawaannya yang masih kurang, entah itu pakaian atau perabotannya yang sudah disiapkan oleh keluarganya”59
2. Etika Nyelabar Dalam Adat Perkawinan Sasak di Desa Saribaye
Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antar sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan
dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain,
57 Sarawan Sukadani, Wawancara, Saribaye, Tanggal 15 November 2017. 58 Abdurrahman, Wawancara,Saribaye, Tanggal 24 November 2017 59 Sapturi, Wawancara, Saribaye, Tanggal 13 November 2017
60
untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang,
tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya, serta terjamin
agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya.
Pernikahan masyarakat suku Sasak juga memiliki sistim peraturan
pergaulan (Etika) dalam pelaksanaan adat pernikahan. Meskipun dalam
perencanaan pelaksanaan prosesi adat sering kali terjadi perbedaan pendapat
dalam penyelesaian adat, namun nilai etika yang dimilki oleh masyarakat suku
sasak, mampu untuk saling menghargai pendapat dan kepentingan masing-
masing hingga mendapatkan sebuah mufakat dalam penyelesaian adat.
Terutama sekali dalam prosesi nyelabar sering kali kesulitan dalam dalam
menemukan kesepakatan.
“meskipun sampek 2 minggu belum ketemu titik temunya, ya udah kita jalani saja sambil kita nunggu sampai kapan selese pisuke itu baru kita nikahkan.”60
Begitulah ungkapan bapak Sapturi.
Dalam pelaksanaan nyelabar ada beberapa etika dalam
pelaksanaannya seperti cara berpkaian. Ustad Abdurrahman menerangkan
bagaimana etika berpakaian yang sebenrnya dalam proses nyelabar :
60 Sapturi, Wawancara, Saribaye, Tanggal 13 November 2017
61
“cara berpakain mereka tidak sembarangan, mereka harus menggunakan dodot, saspuk, bila perlu mereka juga akan membawa kris yang diletakan di poisi kanan, sebagai simbol perdamaian.61
Kemudian dalam mengambil kesepakatan antara kedua belah pihak
terdapat beberapa seni bernegosiasi dan etika komunikasi ketika
berlangsungnya prosesi nyelabar tersebut, seperti yang di sampaikan oleh
tokoh adat Saribaye bapak Mahsun dan tokoh masyarakat bapak Sapturi
selaku utusan dalam setiap proses nyelabar :
Bapak Sapturi mengatakan :
“kita dari pihak laki-laki datang ke kadus setempat atau tokoh adat setempat guna membahas perwalian, pisuke, kemudian administrasi dusunnya, ajikrame, tergantung nanti dari pihak si perempuan, kita harus membicarakannya sekarang mengenai pisuke itu atau nanti setelah akad nikah. Pengalaman di desa Dasan Sari Pejeruk kami utusan datang untuk membicarakan pisukenya, pihak orang tua perempuan mengatakan “lamun ndeq arak kepeng 15 jute nendeq wah te nikahan, lemak piran jak arak kepeng ye terus te nikahan” dan disana kami utusan pihak laki-laki terus dengan sabar bolak-balik dengan terus berusaha menawar sampai permintaan pisuke tersebut bisa turun. Ahirnya karena kami terlalu lama membahas pisuke kami utusan pihak laki-laki meminta “tolong kita nikahkan dulu sesegera mungkin, tentang pisukenya nanti kita bahas belakangan” setelah sepakat dari pihak perempuan ahirnya kami nikahkan. Setelah di nikahkan kita membahas pisukenya sampai tawar menawar yang panjang dapatlah kita kesepakatan membayar pisuke itu 1 juta. Tetapi kalau kita mengambil contoh dari Lombok Tengah atau berapa dari Lombok Barat kebanyakan yang sebelum akad nikah itu yang harus diselesaikan tentang pisukenya itu. Sebelum pisuke itu selesai dibicarakan atau ada kata sepakat mengenai nominalnya kita belum akan mendapatkan wali. Itu yang sangat kita sesali, lain dengan ditempat kita (Saribaye) tentang pisukenya bisa belakangan, karena ada hal yang harus dipercepat yaitu akad nikah”.
61 Ibid Wawancara 60
62
Bapak mahsun mengatakan :
1. Tawar menawar sesuai dengan kemampuan dari pihak laki-laki,
“Sebenarnya 1000 saja sudah cukup jika sudah mau sama mau tidak ada masalah kan. Kalau pandangan saya sendiri kalau dilihat dari etika biar tidak adapun gak papa yang penting menikah, toh juga untuk apa kita juga tidak akan untung. bahkan dalam masyarakat sampai putus komunikasi hanya karena uang. Disanalah letak salahnya budaya Sasak”.
2. Tidak dibenarkan juga oleh adat untuk saling memaksakan kehendak
sendiri untuk dipenuhi.
“kan namanya orang gak ada mau dipaksakan kan gak boleh, yang terpenting anak bisa dinikahkan dan sah secaa hukum, terutama hukum agama.”
3. Kemudian Orang tua wali dari pihak pengantin perempuan dituntut untuk
lebih memahami keadaan keluarga calon suami anaknya.
“karena adat yang sebenarnya pada nyelabar adalah meminta wali, sebenarnaya dalam aturan adat, pelaksanaan nyelabar itu tidak ada pembahasan mengenai pisuke, nanti setelah menikah baru ada hukum antara mertua dengan anak yaitu anak dengan mertua baru boleh mintak berapa-berapa, kan namanya sudah anak kita mau mintak berapa-berapa. Kita lihat dari namanya saja pisuke yaitu suka sama suka, ikhlas sama ikhlas gak bener kalau kita saling paksa sama anak anak sendiri.
63
BAB III
PEMBAHASAN
A. Nyelabar Dalam Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye
Adat adalah sebuah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai,
kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang lazim
dilakukan disuatu daerah. Apabila adat ini tidak di laksanakan akan terjadi
kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat
terhadap pelaku yang dianggap menyimpang.62 Hal tersebut biasanya diakibatkan
oleh berubahnya budaya itu secara perlahan maupun tiba-tiba. Tergantung
seberapa lama dan kuatnya budaya tersebut.
Di era globalisasi ini, mampu mempengaruhi kehidupan manusia dalam
bermasyarakat. Globalisasi memberikan pengaruh tersendiri terhadap berbagai
aspek dan bidang yang dapat memberikan suatu perubahan tehadap bidang atau
aspek tersebut. Terutama dalam aspek sosial dan budaya yang berkembang dalam
mayarakat. Seperti yang dirumuskan Talcott Parsons dalam pola dalam
Fungsionalime Struktural, Parsons menggolongkan empat imperatif fungsional
bagi sistem tindakan yaitu AGIL. Yang pertama adalah adaptasi (adaptation):
sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus
beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-
kebutuhannya. Kedua, pencapaian tujuan (goal attainment): sistem harus
62 Id.mwikipedia.org/wiki/adat Diakses Pada Tanggal 28 November 2017 Pukul 07.05
64
mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Ketiga, integrasi
(integration): sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian komponennya. Ia pun harus
mengatur hubungan antar ketiga imperatif funsional tesebut (A, G, L). Dan yang
terakhir adalah latensi atau pemeliharaan pola (latency): sistem harus melengkapi,
memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang
menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.
Masyarakat Lombok misalnya, sebagai salah satu daerah yang juga
memiliki ragam adat dan budaya perlahan-lahan mulai berubah. Seperti dalam
prosesi pernikahan atau merari’. Adat merari’ memiliki beberapa ritual-ritual adat
yang dipercaya dari dahulu hingga saat ini, mulai dari adat midang hingga
nyongkolan. Perubahan tersebut terjadi di Desa Saribaye Kec. Lingsar Kabupaten
Lombok Barat. Ada beberapa adat pernikahan yang sudah berubah diantaranya :
1. Midang
Midang merupakan tahap paling awal dalam proses pernikahan. Yaitu
pengenalan antara sepasang kekasih. Pada zaman dahulu, sebelum masyarakat
mengenal teknologi untuk berkomunikasi, midang menjadi salah satu sarana
untuk berkomunikasi dalam proses pengenalan tersebut. Baik dengan si gadis
maupun dengan orang tuanya. Terdapat beberapa peraturan atau etika dalam
pelaksanaan adat midang seperti:
65
a. Midang memiliki batasan waktu untuk mengunjungi sang gadis. Biasanya
batas waktu berkunjung atau midang tidak boleh lebih dari jam 10 malam.
b. Midang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sepi/petang.
c. Midang hanya dilakukan di rumah sang gadis dan di tempat terbuka.
d. Etika dalam midang, yaitu dengan cara tidak bertatap langsung dari jarak
1 kilo meter, dan tidak boleh bersentuhan kulit.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan midang tersebut, maka
harus dipertanggungjawabkan oleh laki-laki. Akan tetapi apabila pelanggaran
itu tergolong berat, seperti tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran agama, moral, ataupun adat setempat, maka
keliang atau kadus akan mengambil tindakan hukuman adat.
Pada zaman sekarang ini, para remaja sering sekali mendapatkan
pelanggaran bahkan langsung di nikahkan sebagai hukuman adat dari
perbuatannya. Karena pelaksanaan midang pada zaman sekarang ini sangat
berbeda bahkan bertolak belakang dengan peraturan midang tersebut. Para
remaja saat ini bebas ingin bertemu dimana saja dan kapan saja dengan
pasangannya. Bahkan para remaja lebih sering bertemu di tempat yang sepi
dibandingkan dengan rumah si gadis.
Sehingga Pada saat ini adat midang di Desa Saribaye sudah jarang
dilakukan, dengan alasan praktik dari adat midang tersebut banyak yang tidak
66
sesuai dengan nilai, norma dan peraturan adat. Bakan terjadinya kecelakaan
dalam hubungan remaja juga menjadi faktor utama midang lebih diawasi
dalam praktiknya.
2. Memaling
Memaling merupakan proses dimana laki-laki membawa lari si gadis
lalu menyembunyikannya disalah satu rumah dengan maksud untuk
menikahinya. Sebelum dilarikan kedua sepasang kekasih sudah membuat
sebuat kesepakatan terlebih dahulu, kapan hari dan waktu untuk dilarikan.
Barulah calon pengantin laki-laki dibantu oleh subandar untuk melarikan si
gadis. Tetapi berbeda halnya ketika calon pengantin laki-laki melarikan si
gadis tanpa ada kesepakatan terlebih dengan di gadis untuk menikah. Karena
dari kasus yang sering terjadi, laki-laki melarikan atau memaling gadis yang ia
sukai meskipun si gadis sebelumnya tidak memiliki hubungan apapun atau
perasaan apapun terhadap laki-laki tersebut. Disinilah subandar (perantara)
berperan penting dalam proses memaling. Karena tidak adanya kesepakatan
untuk menikah antara si laki-laki dan perempuan maka subandar akan
membuat berbagai macam alasan supaya si gadis bisa keluar dari rumah dan
membawa si gadis ke tempat persembunyian, baik itu di rumah keluarga si
laki-laki atau subandar itu sendiri yang benar-benar jauh dan sulit bagi si
gadis untuk pulang kembali. Setelah membawa si gadis barulah subandar
memberitau tujuannya tersebut. Pihak gadis dapat menolak pernikahan itu
67
jika memang tidak ingin menikah dengan laki-laki yang memalingnya. Karena
didalam sebuah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai, sebagaimana ditegaskan dalam undang-undang pernikahan pasal 6
ayat (1) dikatakan bahwa “perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak
yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun
karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak
asasi manusia”.63 Jika penolakan sudah dilayangkan oleh si gadis tetapi
pernikahan tersebut tetap dilaksanakan, biasanya pada kasus yang terjadi si
gadis diancam dengan ancaman-ancaman tidak akan dipulangkan sebelum
gadis itu mengatakan bersedia untuk menikah, maka menurut undang-undang
perkawinan pada pasal 27 ayat (1) “suami atau istri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila dilangsungkan dibawah
ancaman yang melanggar hukum”.64
Namun dalam masyarakat Sasak, menolak sebuah pernikahan setelah
si gadis dicuri merupakan sebuah aib bagi sang gadis “ndeq laku”, begitulah
masyarakat suku Sasak menyebutnya. Sehingga di berbagai Desa biasanya
adat memaling berubah dengan cara belakoq atau meminang. Khususnya di
Desas Saribaye belakoq lebih sering dilakukan dibandingkan dengan
63 Letezia Tobing dalam m.hukumonline.com Diakses Pada Tanggal Kamis 9
Dember 2017 Pukul 22.54 64 Ibid.
68
memaling. Karena dengan proses belakoq penyelesaian adatnya akan lebih
cepat dan tidak berbelit-belit, apa lagi dalam penyelesaian pisuke dan ajikram.
3. Besejati, akad nikah dan Nyelabar
Seperti yang sudah peneliti jelaskan pada bab sebelumnya mengenai
pengertian Besejati dan Nyelabar bahwasanya pelaksanaan dari kedua proses
adat ini adalah terpisah. Namun pada pelaksanaan di Desa Saribaye terdapat
dua cara dalam prosesinya, yaitu besejati sekaligus nyelabar terlebih dahulu
kemudian akad nikah atau besejati terlebih dahulu kemudian akad nikah
barulah proses nyelabar. Ketiga adat tersebut dirubah atas dasar kesepakatan
pemerintah Desa Saribaye dengan pertimbangan-pertimbangan mengenai
proses adat yang sedikit sensitif dan rumit dalam penyelesainnya. Yaitu
proses adat nyelabar yang dimana proses ini tidak bisa dilakukan sekali atau
dua kali untuk menemukan sebuah kesepakatan ajikrame dan pisuke. Oleh
karena itu pihak pemerintah Desa Saribaye dalam mengantisipasi terjadinya
perzinahan karena penundaan pernikahan yang begitu lama dan mampu
membatalkan pernikahan itu, merubah tahapan pada adat tersebut.
4. Begawe
Begawe yang biasa di kenal dengan pesta pernikahan ini memiliki
perubahan dalam penyebutannya di Desa Saribaye yaitu Royong, royong ini
merupakan bentuk dari solidaritas masyarakat Saribaye yang saling tolong
69
menolong mulai dari mempersiapkan terop atau tetaring, bau kela’an atau
bahan-bahan masakan untuk acara begawe, hingga membuat dan
mempersiapkan makanan pada acara itu. Tidak hanya perubahan pada nama
namun juga pada proses acaranyapun jauh berbeda dari proses begawe pada
umumnya. Biasanya begawe akan mengundang sanak keluarga jauh maupun
dekat dan juga mengundang seluruh masyarakat di desa setempat. Tetapi di
Desa Saribaye begawe atau royong hanya dilakukan dengan zikiran syukuran
pada malam harinya dan keesokan hainya langsung kepada proses bejango
atau balas nae. Perubahan pada adat ini biasanya disebabkan oleh biaya dari
begawe tersebut yang terbilang sangat mahal.
“Pada zaman dahulu pembiayaan pada adat begawe bisa sampai menjual 2 ekor sapi bahkan menjual tanah sekalipun”65 “di Desa Saribaye mungkin dalam satu tahun, orang tidak akan menemukan begawe, karena sudah sangat jarang. Palingan cukup dengan royong dan bejango, nyongkolan pun sudah sangat jarang karena di Desa Saribaye sudah dilarang masuk kecimol.66
Perubahan-perubahan adat di atas merupakan sebuah tindakan manusia
yang bersifat voluntaristik menurut Talcott Parsons, artinya tindakan itu
didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan
norma yang disepakati. Khususnya pada prosesi adat nyelabar. Kemauan
masyarakat Saribaye untuk merubah budaya tersebut tidak serta merta untuk
65 Mahsun, Tokoh Adat Saribaye, Wawancara Tanggal 18 November 2017 66 Sarawan Sukadani, Kepala Desa Saribaye, Wawancara Tanggal 15 November 2017
70
meninggalkan budaya itu sendiri. Tetapi adanya sebuah dorongan dari
masyarakat untuk merubah budaya tersebut, yang dipengaruhi oleh nilai dan
norma. Nilai dan norma akan menjadi pengaturan sistem dalam msayarakat,
yang berperan dalam membentuk kondisi atau keadaan masyarakat itu sendiri.
Nilai dan norma dapat berupa gagasan dari pengalaman yang berarti atau
tidak, tergantung pada penafsiran setiap individu atau masyarakat yang
memberi atau menerimanya.67 Pengalaman baik akan menghasilkan nilai
positif sehingga nilai yang bersangkutan dijadikan sebagai pegangan. Seperti
proses Nyelabar Dalam Tradisi Perkawinan Adat Sasak Di Desa Saribaye.
Seringnya terjadi masalah penyelesaian adat yang begitu berbelit-belit,
terutama untuk mendapatkan kesepakatan jumlah pisuke si gadis yang begitu
tinggi. Bagi sebagian masyarakat suku Sasak, permintaan jumlah pisuke bisa
dilihat berdasarkan si gadis berasal dari keluarga ternama, si gadis memiliki
pekerjaan atau jabatan tinggi, dan memiliki jenjang pendidikan yang tinggi.
Dikarenakan orang tua si gadis beranggapan bahwa pisuke itu ibarat tebusan
dari biaya hidup yang telah orang tua si gadis tanggung selama hidupnya. Jika
pihak laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan tersebut maka orang tua si
gadis tidak akan memberikan hak wali untuk putrinya. Tidak ada pisuke maka
tidak ada wali, jika tidak ada wali maka tidak ada pernikahan. Seperti yang
dikatakan ‘Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
67 Nafiun “Pengertian Nilai Dan Norma Sosial Di Masyarakat“ dalam www.nafiudin.com diakses tanggal 9 desember 2017 pukul 13.59
71
ن ذ إ غ ت ح ك ن ة أ ر ام ا م ي أ : هللا ل و س ر ال ق : ت ال ق ة ش ا ع ن ع
ھ ل و ال ن م و ان ط ل الس ف ا و ر ج ت اش ن إ ف ل اط ب ل اط ب ل اط ب ا اح ن ف ا ل و
“Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka
pernikahannya adalah batil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa
maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu
Daud no 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66).68
Di sanalah kemudian peran penting keliang (tokoh adat), kiai,
penghulu (tokoh agama), dan kepala dusun (tokoh masyarakat), mereka akan
melakukan musyawarah antar sesama keliang, kiai, penghulu dan kepala
dusun yaitu tawar menawar dengan orang tua pihak perempuan. Jika hari itu
belum juga mendapatkan sebuah kesepakatan berapa nominal pisuke, maka
keliang, kiai, penghulu dan kepala dusun akan datang lagi keesokan harinya
hingga menemukan kesepakatan, dan hal tersebut bisa terjadi berhari-hari
bahkan berminggu-minggu.
68 HR. Abu Daud no 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. shahih Al-Albani dalam https://assamarindy.wordpress.com/2012/07/03/wali-nikah/ diakes pada tanggal 8 desember 2017 pukul 20.00
72
Hingga saat ini, proses nyelabar seperti itu masih sering terjadi di
kalangan masyarakat suku Sasak, bahkan proses nyelabar ini seolah-olah
menjadi ajang bisnis bagi para orang tua si gadis. Pernyataan “ada uang ada
wali” menjadi alasan pernikahan itu tertunda bahkan menjadi batal. Oleh
krena itu di Desa Saribaye proses nyelabar terbagi menjadi 2 cara :
1) Akad nikah setelah nyelabar
Proses akad nikah setelah nyelabar ini memang merupakan urutan
asli dari proses adat perkawinan suku Sasak. Proses nyelabar seperti ini
sudah tidak dilakukan lagi di Desa Saribaye apabila kedua mempelai
berasal dari Desa Saribaye. tetapi jika mempelai perempuan berasal dari
Desa lain, maka keliang, kiai, penghulu, dan kepala dusun akan berusaha
bernusyawarah dalam rangka menikahkan kedua mempelai terlebih dahulu
baru kemudian membahas perihal pisuke. Jika hal itu tidak bisa
dimusyawarahkan maka pihak utusan desa (kiai, keliang, penghulu,kadus)
akan melaksanakan sesuai aturan adat di Desa tersebut, untuk tetap saling
menghormati nilai dan norma masing-masing. Namun sebaliknya jika
pihak si gadis dari Saribaye menikah dengan laki-laki dari Desa lain maka
proses adatnya akad nikahlah yang akan di dahulukan oleh pihak Saribaye.
2) Nyelabar setelah akad nikah
Mendahulukan Nyelabar adalah bentuk dari proses adat yang
dirubah di Desa Saribaye. Bagi masyarakat disana yang paling terpenting
73
adalah akad nikahnya, karena yang paling di khawatirkan masyarakat
Saribaye adalah penundaan pernikahan yang berhari-hari bahkan
berminggu-minggu dapat mengakibatkan Perzinahan antara kedua
mempelai. Seperti yang sudah peneliti paparkan pada bab sebelumnya
bahwa menurut pemahaman masyarakat Sasak khususnya Saribaye, ketika
si gadis sudah dicuri atau di paling maka mereka sudah dikatakan
menikah. Sehingga apapun yang dilakukan dan kemanapun si gadis pergi
dengan calon suaminya, sudah tidak dikhawatikan lagi jika sewaktu-waktu
mereka melakukan hubungan terlarang itu, karena mereka sudah dianggap
menikah meskipun secara hukum dan agama belum terikat apapun.
Kedua cara proses adat diatas adalah sebuah gagasan yang dibentuk
oleh pengalaman-pengalaman yang didapat ketika melakukan proses adat
nyelabar. Gagasan-gagasan itu adalah perwujudan dari sebuah nilai dan
norma yang tentunya menjadi sebuah peraturan dalam sisitem budaya
masyarkat Saribaye dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang sudah
ada pada budaya itu tanpa harus mengubah budaya itu sendiri.
Proses nyelabar dalam tradisi perkawinan adat Sasak dapat berubah
tentu karena adanya sebuah tindakan (the stucture of social action). Tindakan
tersebut merupakan bentuk untuk menentukan cara, alat, dari sejumlah
alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai sebuah tujuan. Hal ini
merupakan teori aksi (Action Theory) dari Talcott Parsons. Bahwa individu
74
yang memiliki tujuan disebutnya sebagai aktor. Tidak ada individu yang
bertindak tanpa memiliki tujuan tertentu. Tujuan merupakan keseluruhan
keadaan konkret di masa depan yang diharapkan, sejauh relevan dengan
kerangka acuan tindakan. Bisa dikatakan bahwa aktor terlibat dalam
pengejaran, realisasi, atau pencapaian tujuan itu. Oleh karena itu, demi
memfasilitasi ini, ia memerlukan seperangkat alat. Alat bisa dipilih secara
acak, juga bisa bergantung pada kondisi tindakan. Alat tersebut bisa muncul
satu per satu, bisa muncul secara bebarengan.
Dengan demikian, tindakan tersebut dapat digambarkan dalam
penelitian ini bahwa actor meliputi : tokoh agama (keliang, kiai, penghulu dan
Kepala Dusun), actor bisa dikatakan sebagai pemburu dari tujun tersebut
mekipun begitu aktor bukanlah pelaku aktif murni. Sebab, ada norma, nilai, dan ide-
ide serta kondisi-kondisi situasional yang mampu mempengaruhi baik aktor,
seperangkat alat, maupun tujuan. Tujuan, merupakan suatu keadaan masa
depan yang akan dikejar tindakan itu yaitu (untuk merubah budaya dalam proses
perkawinan adat Sasak dengan cara mengindahkan nilai, ide dan norma).
Situasi, adalah Tindakan harus dimulai dalam situasi yang kecenderungan-
kecenderungannya berbeda dalam satu atau lebih keadaan yang akan dikejar
aktor. Sedangkan situasi itu ada yang bisa dikendalikan dan ada pula yang
tidak bisa di kendalikan atau dijaga supaya tidak berubah yaitu (perbedaan
pelaksanaan nyelabar di masing-masing Desa calon mempelai). Kemudian
75
yang terakhir adalah alat, alat merupakan sarana yang digunakan oleh actor
untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu menggunakan (proses adat nyelabar
dalam perkawinan adat Sasak)
B. Etika Komunikasi dalam Tradisi Nyelabar di Desa Saribaye Kec. Lingsar.
Dalam kajian teori Etik (wisdom) nyelabar dianggap Good Sense,
Accumulated Learning, Opinion Widely Held. Good sense: pengetahuan dan
pengalaman yang dibutuhkan untuk membuat suatu keputusan atau penilaian
berdasarkan pada kehendak baik. Nyelabar di Desa Saribaye misalnya, meskipun
sering kali terjadi pembayar pisuke yang sangat mahal atau keluar dari harga
ketentuan Desa, keliang melakukan beberapa pertimbangan atau tawar menawar
sampai pihak keluarga laki-laki sanggup untuk membayar meskipun tidak sesuai
dengan peraturan Desa. Jika dilihat dari esensial nyelabar itu sendiri, bahwasanya
nyelabar adalah proses dimana keliang bertugas untuk mengetahui hak perwalian
dari pengantin perempuan sekaligus penyelesaian adat (pisuke). Arti dari Pisuke
itu pun adalah suka sama suka, berapapun harga yang dapat sekiranya mampu
untuk dibayar oleh pihak laki-laki maka itulah pisuke, tidak memaksakan
keinginan sebelah pihak. Hal tersebut menjadikan adat nyelabar Seolah-olah
ajang bisnis didalam sebuah pernikahan. Ungkapan “ada uang ada wali” adalah
bentuk negosiasi yang selalu dibicarakan untuk menemukan sebuah kesepakantan
dari angka yang dimintai oleh pihak keluarga perempuan. Sehingga menyebabkan
proses adat yang berbelit-belit bahkan mampu membuat pernikahan tersebut
76
dibatalkan. Oleh karena itu pemerintah Di Desa Saribaye mengubah proses adat
tersebut dengan mendahulukan akad nikah terlebih dahulu kemudian adat
Nyelabar, hal ini diupayakan agar pernikahan tidak tertunda oleh proses adat yang
begitu lama. Karena dikhawatirkan pernikahan yang ditunda begitu lama dapat
menyebabkan perzinahan. Tindakan tersebut dinamakan accumulated learning:
akumulasi pengetahuan tentang kehidupan atau tentang suatu dimensi aktivitas
yang didapat dari pengalaman. Dan menjadi sebuah Opinion Widely Held: suatu
opini yang diterima oleh hampir semua orang yaitu tentang peraturan dan
ketentuan Nyelabar di Desa Saribaye kec. Lingsar.
Tubb menghubungkan Etika Komunikasi sebagai berikut: “Etika
merupakan studi tentang sifat umum moral dan pilihan-pilihan moral spesifik
yang harus dibuat orang. Kata “Pilihan” menyangkut pilihan komunikasi sehingga
dengan memeriksa dan lebih menyadari nilai-nilai kita sendiri, kita menjadi lebih
bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan kita.” Dalam hal ini prinsip dasar
yang menjadi masalahnya adalah penghormatan terhadap orang lain. Seperti
pengkajian Etika Komunikasi Barat dihubungkan dengan prinsip-prinsip etika
yang dikembangkan : Etical Egoism Epicurus yang mengatkan bahwa hidup yang
baik adalah mendapatkan kebahagian sebanyak mungkin. Meskipun
mendahulukan kebahagian pribadi, namun ada perhatian terhadap orang lain,
orang yang ada di sekitar sebagai penonton harus dipertimbangkan sebelum
seseorang bertindak. kejujura dan kebenaran dalam suatu pernyataan tidak dapat
77
diabaikan dalam formal duty dari seseorang kepada orang lain, bagaimanapun
juga kebaikan dapat berarti kejelekan bagi dirinya atau bagi orang lain.
Menurut Hartmann ungkapan popular Wisdom merupakan dasar berbagai
program TV, karena baginya tidak ada “yang baru” dari program TV selain
memperkuat atau diperkuat popular Wisdom.
78
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan yang peneliti dapatkan, dapat disumpulkan bahwa :
1. Nyelabar dalam perkawinan adat Sasak di Desa Saribaye memiliki 2 cara
untuk mepermudah sebuah pernikahan, yaitu Akad nikah setelah nyelabar
dan Nyelabar setelah akad nikah. Hal tersebut di upayakan Agar pernikahan
tidak terdunda-tunda bahkan menjadi batal karena proses adat yang berbelit-
belit.
2. Adapun Etika Komunikasi dalam Tradisi Nyelabar di Desa Saribaye Kec.
Lingsar adalah : a) Tawar menawar sesuai dengan kemampuan dari pihak
laki-laki, b)Tidak dibenarkan juga oleh adat untuk saling memaksakan
kehendak sendiri untuk dipenuhi, c) Kemudian Orang tua wali dari pihak
pengantin perempuan dituntut untuk saling memahami keadaan keluarga
pihak pengantin laki-laki.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut saran yang dapat diberikan:
Di harapkan kepada seluruh masyarakat Saribaye, untuk tetap menjaga,
melengkapi, dan memperbaharui motivasi-motivasi dalam pengindahan nilai
maupun ide yang ada pada budaya dan tradisi suku Sasak. Sehingga budaya tidak
harus ditinggalkan ataupun dilupakan agar dapat sejalan dengan nilai dan norma,
79
tetapi untuk tetap menjaga Budaya tersebut dapat dilakukan dengan
mengindahkan nilai ide maupun norma yang ada didalamnya.
80
DAFTAR PUSTAKA
Addin Kurnia Putri, “Analisan Konsep Talcott Parsons” dalam
www.scribd.com/mobile/doc/40129421/teor-talcott-parsons# Selasa 5
Desember 2017 Pukul 10.25.
Ahyar Saeful, Nilai-Nlai Spiritual Dalam Tradisi Bretes, Skripsi, FDK IAIN
Mataram, Mataram, 2000.
Black A James, Metode Dan Masalah Penleitian Sosial Bandung : PT Refika
Aditama 1999.
Budyatna, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Efendy Uchjana Onong, Komunikasi Teori Dan Praktik (Bandung : PT
Remaja Rosdakarya 1984.
Ermawati Rahma Yudhianingsih, “Etika Dalam Komunikasi”, dalam
http://susianty.etikadalamkomunikasi.wordpress.com Di Akses Pada
Tanggal 3 Januari 2017 Pukul 07:06:19.
HR. Abu Daud no 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan
Ahmad 6: 66. shahih Al-Albani dalam
https://assamarindy.wordpress.com/2012/07/03/wali-nikah/ diakes
pada tanggal 8 desember 2017 pukul 20.00.
Hairi Nirwan, “Adat Dalam Perpektif Dakwah Studi Tentang Adat Maleman”
Studi Di Dusun Batu Mulik Desa Gapuk Kec. Gerung Lombok Barat
Skripsi,FDK IAIN Mataram, Mataram 2000.
Iskandar, Metodelogi Penelitian Dan Sosial, Jakarta: Refrensi 2013.
81
Id.mwikipedia.org/wiki/adat Diakses Pada Tanggal 28 November 2017 Pukul
07.05.
Kementrian Agama, Fiqih, Jakarta : Diktorat Pendidikan Madrasah 2015.
Letezia Tobing dalam m.hukumonline.com Diakses Pada Tanggal Kamis 9
Dember 2017 Pukul 22.54.
Moleong L. J, Metode Penelitian Kualitatif Bandung: Remaja Rosda Karya,
2010.
Murdan, Perkawinan Masyarakat Adat, Tesis, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta 2015
Ma’rifuddin, “Pelaksanaan Adat Merarik Di Tinjau Dari Hukum Islam Dan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th. 1974” Skripsi FDK, IAIN
Mataram, Mataram, 1992.
Murdan, Harmonisasi Hukum Adat, Agama, Dan Negara Dalam Budaya
Perkawinan Masyarakat Indonesia, Belakangan, Tesis Yogyakarta,
2016.
Nafiun “Pengertian Nilai Dan Norma Sosial Di Masyarakat“ dalam
www.nafiudin.com diakses tanggal 9 desember 2017 pukul 13.59.
Nusa Putra, Metode Pendekatan Kualitatif Pendidikan, Jakarta,: PT Raja
Grafindo Persada 2012.
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Dakwah Dan Komunkasi, IAIN
Mataram, 2017.
Profil kantor desa saribaye, h. 4. Dikutip pada tanggal 2 oktober 2017.
82
Profil kantor desa saribaye, berdasarkakan jumlah penduduk, h 15 Dikutip
pada tanggal l 2 oktober 2017.
Palahudin, Tradisi Sorong Serah Aji Krama Di Desa Kabul Praya Barat Daya,
Skripsi, FDK IAIN Mataram, Mataram, 2013.
Priansyah Rendy, “Pengertian Adat Istiadat Lengkap Bserta Ulasan Dan
Definisi Menurut Para Ahli”, Dalam www.academia.edu/15462995
Diakses Tanggal 8 Desember 2017, Pukul 07.50.
QS. Al-Baqarah [2] : 235. Al- Jumanatul Ali, Al- Qur’an Dan Terjemahan,
Bandung: Cv Penerbit Art 2004.
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antar Budaya, Jakarta : Kencana Prenamedia
Group, 2012.
Rahman Fahrir, Pernikahan Di Nusa Tenggara Barat Antara Islam dan
Tradisi Mataram : LEPPIM, 2013.
Ridwan, Belajar Mudah Penelitian Bandung: Alfabeta, 2005.
Sainun, Tradisi Merarik, Mataram, Sanabil Perum Putri Bunga Amanah 2016.
Sukrian, Makna Balik Lapak Dalam Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di
Desa Masbagek Selatan Kecamatan Masbagek Kab. Lombok Timur
Skripsi ,FDK IAIN Mataram, Mataram, 2015.
Sugiono, Memaahami Penelitian Kualitati, Bandung : Alfebata, 2009.
Suharimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2002.
Soehartono Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung : PT Remaja
83
Rosdakarya 2004.
Saebani Beni Ahmad, Metode Penelitian Bandung, CV Pustaka Setia, 2008.
Taufik Tata, Etika Komunikasi Islam. Cet. 1.Bandung : CV Pustaka Setia
2012.
84
85
86