Transcript
Page 1: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI

(Studi Komparatif Penafsiran al-Râzi dan Thanthawi

Terhadap QS. Al-Isra’: 1 dan QS. Al-Najm: 13-15)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

Abdul Ghaffar

NIM: 105034001196

Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah

Jakarta 1431 H./2010 M.

Page 2: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul
Page 3: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI

(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI

TERHADAP QS. AL-ISRA’:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-15)” telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filasafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada

Program Studi Tafsir Hadis.

Jakarta, 15 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. M. Suryadinata, M.A Muslim, S.Th.I

NIP: 19600908 198903 1 005

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A

NIP: 19620624 200003 1 001 NIP: 19711003 199903 2 001

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A

NIP: 19670213 199203 1 002

Page 4: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI

(Studi komparatif penafsiran al-Razi dn Thantawi

Terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

ABDUL GHAFFAR

105034001196

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, MA.

NIP. 19670213 199203 1 002

Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1431 H. / 2010 M.

Page 5: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Juli 2010

Abdul Ghaffar

Page 6: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

i

KATA PENGANTAR

Berjuta puja, puji serta syukur aku haturkan kehadirat Allah SWT, Dia-lah

yang melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan serta kesabaran kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ISRA‟ MI‟RAJ

DALAM TAFSIR BIL ILMI (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI

DAN THANTHAWI TERHADAP QS. AL-ISRA‟:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-

15)” ini.

Berjuta kangen yang meliputi cintaku kepadamu duhai Muhammad

Kekasih Allah, selayaknya shalawat dan salam untukmu. Saksikanlah ummat-mu

ini bershalawat kepadamu allahumma shalli ’ala sayyidina wa habibina

Muhammad, kiranya engkau lihatlah lambaian tanganku yang sangat bangga

menjadi bagian umat-mu yang mengemis syafaat darimu duhai Kekasih Allah.

Terwujudnya tulisan dalam bentuk skripsi ini, tentunya tidak lepas dari

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih sebesar-besarnya

penulis haturkan pada segenap orang-orang terkasih yang berada di sekeliling

penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini :

1. Bapak Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta), serta para pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku ketua jurusan dan Bapak Rifqi Muhammad

Fatkhi, MA. Selaku sekretaris jurusan.

3. Bapak Yusuf Rahman, MA selaku pembimbing yang tiada henti dan bosannya

memberikan arahan, kritik membangun dan bimbingan kepada penulis hingga

Page 7: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

ii

mampu menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula kepada Bapak Eva Nugraha

M.A. sebagai dosen akademik juga teman diskusi penulis dan tak ketinggalan

Bapak Muslim yang telah banyak memudahkan urusan penulis.

4. Umi Wa Ode Zamani dan Abah A.Chodri Romli tercinta, serta kakak-kakakku

yang layak untuk aku jadikan cerminan hidup: Mbak Anisatul Maliha, Mas

Harisul Anas, dan Mas Khathibul Umam. Juga malaikat-malaikat kecilku

yang selalu membuat tersenyum dengan tingkah polahnya: Amira, Rian,

Nayla, dan Efal. Seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa,

dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan

skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah berkenan memberikan

ilmunya, yang telah berkenan menemani dalam setiap langkah pencarian ilmu

dan bersedia mengajar penulis dalam setiap jengkal kebodohan.

6. Juga kepada sejumlah karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan

Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an Lentera Hati, serta

Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah bersedia membantu penulis.

7. Terima kasih kepada Murizky Gayo atas kesabaran dan pengertiannya.

Teman-temanku; Mas Hafidin, Cak Beni, Kang Awang, Saomi, Chabibi,

Muis, Rony dll. Juga Teman-teman seperjuangan di tafsir hadis angkatan

2005, Mas Labib, Kang Asep, Kiyai Rosyidi, Cak Salman, Syarif, Zee, Laily,

Lili, Bedah, Itoh, Neneng, Syahid dsb, terima kasih untuk semua canda, tawa,

kekonyolan, diskusi, pinjam printer, minta kertas, bantu terjemah, minta

tolong foto copy dan yang terpenting adalah motivasinya dan telah bersedia

menemani perjalanan penulis selama ini.

Page 8: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

iii

Dari sangat kecilnya yang dapat penulis lakukan dengan karya ini,

merupakan satu usaha kecil untuk berusaha ikut mengais sepercik air di hamparan

samudra ilmu Allah yang teramat luas. Dengan keterbatasan yang dimiliki

penulis, kekurangan pasti ditemui dalam banyak sisinya, karna kesempurnaan

hanya milik Allah semata.

Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang

diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT., amin. Selain itu

semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi

nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 2 Juni 2010

Abdul Ghaffar

Page 9: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

iv

MOTTO PENULIS

”Yang terbaik dari kalian adalah

yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya”

”manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang lain”

”jangan mengejar bayangan karena kamu tidak akan

mendapatinya. Tapi kejarlah cahaya

maka bayangan akan mengejarmu”

Page 10: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………. i

MOTTO PENULIS……………………………………………….. iii

DAFTAR ISI……………………………………………………… . iv

TRANSLITERASI………………………………………………… vi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………….. 7

C. Tujuan Penelitian ………………………………. 9

D. Manfaat Penelitian ……………………………... 9

E. Tinjauan Pustaka ……………………………….. 9

F. Metode Penelitian ………………………………. 11

G. Sistematika Penulisan …………………………… 12

BAB II. TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RAJ

A. Definisi Isra‟ Mi‟raj …….………………………. 13

1. Etimologi ……………………………….. 13

2. Terminologi …………………………….. 14

B. Isra‟ Mi‟raj perspektif ahli tafsir ……………….. 15

C. Isra‟ Mi‟raj perspektif Rasionalis ………………. 17

D. Pro-kontra atas Isra‟ Mi‟raj ..…..……………….. 25

BAB III. MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA

TAFSIRNYA

A. Fakhr al-Dîn al-Râzî .…………….………………. 29

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya .......... 29

2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh

al-Ghaib .......................................................... 36

3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh

Page 11: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

vi

al-Ghaib .......................................................... 39

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr

Mafâtîh al-Ghaib ............................................. 39

B. Thanthawi Jauhari ……………………………….. 41

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ........... 41

2. Selayang pandang tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 42

3. Latar belakang penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 43

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî

Tafsîr al-Qur’an ............................................. 44

BAB IV. PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP

ISRA’ MI’RAJ

A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Isra‟: 1 ……… 47

B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15 .... 54

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................... 57

B. Saran-saran ............................................................ 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ........................................................................................

Page 12: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

vii

TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau

sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi

arab-latin dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis,

disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-

2007.

I. Konsonan

Arab Latin Arab Latin Arab Latin

q ق z ز tidak dilambangkan ا

k ك s س b ب

l ل sy ش t ت

m م s ص ts ث

n ن d ض j ج

w و t ط h ح

h هـ z ظ kh خ

, ء „ ع d د

y ي gh غ dz ذ

f ف r ر

II. Vokal Pendek III. Vokal Panjang

_ _ : a أا : â

-- - : i إي : î

_ _ : u أو : û

Page 13: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

viii

IV. Vokal Rangkap

ai : أي

au : أو

V. Singkatan

Swt : Subhanau wa ta‟ala

Saw : Shalla Allah „alaihi wa Sallam

Ra : Radhiya Allah „anhu

H : Tahun Hijriyah

M : Tahun Masehi

W : Wafat

Tt : Tanpa Tempat

Tth : Tanpa Tahun

Tp : Tanpa Penerbit

Ed : Editor

Page 14: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak dapat ditangkap oleh akal manusia yang

penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai

kemampuan penalarannya, Isra‟ dan Mi„râj itu sangat tidak rasional dan tidak

sesuai dengan pengalaman hidup selama ini. Sangat mustahil seseorang dapat

menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu,

hanya dalam waktu kurang dari semalam : pergi dari Makkah ke Madinah dengan

mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan

menerobos perbatasan langit yang tujuh cacah.1

Namun para mufassir tidak mempersoalkan apakah Nabi Muhammad

SAW memang ber- Isra‟ Mi„râj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah

Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini

ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan. Satu golongan mengatakan bahwa

Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ hanya dengan ruhnya saja dan golongan lain

mengatakan Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ berikut jasadnya.2

1 Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti

Prima Yasa, 1997), h. 252. 2 Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-

Risalah, 2000M/1420H) menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isrâ‟ mirâj

berikut riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat, pendapat pertama

mengatakan bahwa Nabi SAW ber-Isrâ‟ dengan jasadnya (jilid17 h. 335), pendapat kedua dengan

jasad dan ruhnya (h. 348), pendapat ketiga dengan ruhnya saja dan tanpa jasad (h. 349). Lihat juga:

KH. Moenawar Chalil, dalam bukunya berjudul Peristiwa Isrâ‟ dan Mi‟râj (Jakarta: Bulan

bintang, 1975), yang telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini, ia menulis:

“Tentang bagaimana terjadinya Isrâ‟ dan Mi‟râj yang dilakukan Nabi SAW. yakni apakah dengan

tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya tubuh halus (ruhani) nya saja.

Tentang ini antara para ulama, para cerdik pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga

sekarang masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni:

- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh serta jasad

Page 15: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

2

Berlainan dengan permasalahan di atas, para mufassir berpendapat sama

mengenai pengertian Isra‟ dan Mi„râj, yakni Isra‟ adalah perjalanan seorang

hamba (Muhammad SAW) di malam hari3 dari Masjid al-Haram ke Masjid al-

Aqsha. Dan Mi„râj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-

Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban besar4 dan bertemu dengan para

nabi5 dan kemudian berhenti di Sidratul Muntaha.

6

Hal yang penting untuk dikritisi adalah, bahwa ternyata tidak ada

perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma‟tsur7

dan bi al-Ra‟yi8 berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra‟ dan Mi„râj.

Misalnya saja dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-„Ulûm, yang

hanya menjelasakan Isra‟ dan Mi„râj secara tekstual dan kemudian mengutip

- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh saja

- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan jalan mimpi

- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak

dengan ruhani

- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan wahdatul wujud

- Isra dilakukan dengan tubuh kasar serta ruhani, dan Mi‟rajnya dilakukan hanya

dengan ruhani saja” 3 Lihat: Abu Laits al-Samarkandi, Bahr al-Ulûm, Juz 2, h. 43. Lihat juga: Ismail bin

Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm (Dâr Thoyyibah li al-Nasyr, 1999), juz 5, h. 5. 4 Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405

H), juz 15, h. 12. 5 Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr

wa al-Tauzi‟, 1997), juz 5, h.58 6 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-

risalah, 2000), juz 17, h. 333. 7 Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih

menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat tafsir. Yaitu menafsirkan al-

Qur‟an dengan al-Qur‟an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan

perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang

dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para

sahabat. Lihat: Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur‟an (Jakarata, Halim Jaya, 2007),

h.482. Tafsir dengan sumber ini harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan

yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan

kesesatan dalam memahami kitabullah (Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h.486). 8 Adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada

pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang di dasarkan pada ra‟yu (pemikiran) semata.

(Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h. 488). Golongan salaf enggan dan berkeberatan untuk menafsirkan al-

Qur‟an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui (h. 489).

Page 16: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

3

riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini9. Demikian juga dengan penafsiran

al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an yang setelah menjelaskan

kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para

tabi‟in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat-riwayat tersebut.10

Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi

sebagai tafsir bi al-Ma‟tsur ini tidak bisa men-jenalisir bahwa tafsir bi al-Ma‟tsur

demikian seluruhnya.

Tidak berbeda jauh dengan kitab-kitab tafsir bi al-Ma‟tsur di atas, dalam

tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi pun, misalnya penafsiran Abu Sa‟ûd al-„Imadi pada kitab

Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm yang hanya menjelaskan

ayat secara tekstual dan mengutip riwayat-riwayat terdahulu.11

Demikian juga

dengan tafsir al-Nasafi dalam kitabnya Madârik al-Tanzîl wa Haqâ‟iq al-Ta‟wîl.

Kedua tafsir ini pun tentu tidak dapat dijenalisir bahwa tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi

demikian seluruhnya. Berbeda misalnya dengan penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzî

dalam Mafâtîh al-Ghaib. Di samping menjelaskan ayat secara tekstual, mengutip

riwayat-riwayat terdahulu, menjelaskan perbedaan-perbedaan pemahaman

sahabat, tabi‟in dan para ulama terdahulu, al-Râzî juga berusaha memberikan

penjelasannya dengan berbagai argumentasi rasional dengan dalil-dalil ilmiah

(dengan memakai ukuran waktu itu) seperti fisika kuantum (prinsip ketidakpastian

9 Lihat: al-Samarkandi, Bahr al-„Ulûm, juz 2, h. 493-492.

10 Lihat: Muhammad Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-

Risalah, 2000M/1420H), juz 17, h. 331-351 11

Lihat: Abu Sa‟ud al-„Imadi, Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm, juz

4, h.169-170.

Page 17: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

4

dan indeterminisme),12

metafisika, kosmologi.13

Ia juga menggunakan

matematika, kimia dan biologi dalam penafsiran ayat-ayat lainnya.14

Tak berbeda jauh dengan metodologi tafsir-tafsir di atas, ketika berbicara

mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, M.Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-

nya yang notabene tafsir Indonesia dan bisa dikatakan sebagai tafsir „baru‟,

ternyata juga lebih menitikberatkan penjelasan tekstual dan mengutip riwayat-

riwayat mengenainya.15

Terlepas dari itu semua, jika melihat kembali fungsi diturunkannya al-

Qur‟an, maka para ulama sepakat bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk untuk

manusia16

yang selalu relevan pada setiap zaman dan tempat. Di sisi lain, jika

turut menekankan prinsip fungsi ke-hidayah-an al-Qur‟an untuk manusia, maka

mau tidak mau harus menerima perkembangan tafsir al-Qur‟an sebagai

monitoring pemahaman masyarakat yang juga berkembang. Hal ini tidak lain

sebagai bentuk perwujudan relevansi al-Qur‟an tadi pada setiap zaman dan

kondisi.

Salah satu pemikir Muslim besar yang juga seorang mufassir, yakni

Muhammad Abduh, banyak memberi warna dan inspirasi karena menitik-

tekankan perkembangan dalam dunia tafsir serta mengkritisi tafsir-tafsir yang

telah ada sebelumnya, karena unsur hidayah pada tafsir-tafsir tersebut kurang

12

Setelah al-Râzî menjelaskan perbedaan ulama‟ mengenai Isra‟ Mi‟râj dan

mengklasifikasikannya menjadi dua hal, yakni : 1) konfirmasi kebolehan akal (itsbât al-Jawâz al-

„Aql), dan 2) kenyataan (al-Wuqû‟) dari peristiwa tersebut, ia menjelaskan bahwa gerakan yang terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin, dan Allah Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya gerakan dengan kecepatan tersebut tidak

ada halangan. Kemudian al-Razi menjelaskan secara rinci mengenai konfirmasi kebolehan akal

ini. (Lihat: al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 494) 13

Lihat : al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 495) 14

Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti

Prima Yasa, 1997), h. 81. 15

Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol.7, h. 9-19 16

Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah/2:185

Page 18: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

5

dapat ditangkap oleh manusia. Hal ini tidak berlebihan karena pada kenyataannya

banyak ahli tafsir yang jiwanya dikuasai oleh ilmu balaghah misalnya, maka

dalam menafsirkan al-Qur‟an yang bersangkutan lebih menitik beratkan uraian-

uraiannya pada kaidah ilmu tersebut. Ada yang semangat dalam ilmu nahwu dan

sharaf, maka ia memusatkan perhatiannya pada masalah kedudukan kata di dalam

kalimat (I‟rab al-Kalimât) dan perubahan-perubahannya. Ada pula yang

menguasai ilmu sejarah, sehingga ia mengutamakan kisah dan riwayat, bahkan

ada yang berlebihan sehingga memasukkan dongeng-dongeng Yahudi

(Isrâ‟iliyyât) tanpa diteliti terlebih dahulu. Demikianlah seterusnya.17

Oleh karena itu berbagai cara tafsir yang dipengaruhi bermacam sikap dan

pandangan seperti di atas, menyulitkan pembacanya untuk memperoleh petunjuk

a-Qur‟an secara memuaskan hati. Dengan demikian fungsi al-Qur‟an sebagai

petunjuk kurang dapat ditangkap.

Di antara sekian sikap dan pandangan mufassir, al-Râzî misalnya

menafsirkan al-Qur‟an dari kaca mata ilmu pengetahuan yang lebih condong ke

arah sains. Terlebih ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang mengarah kepada

alam, penciptaan, dan lain sebagainya seperti ayat yang menceritakan tentang

peristiwa Isra‟ dan Mi„râj ini. Hal ini sebenarnya bukan hal yang berlebihan

karena tafsir dengan corak seperti ini bertujuan untuk memudahkan manusia

menangkap petunjuk al-Qur‟an. Namun tafsir corak ini tentu saja tidak terlepas

dari kritik para ulama. Misalnya saja definisi yang diajukan oleh Amin al-Khûli

mengenai tafsir bil „ilmi adalah: "Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan

kontemporer atas redaksi Al-Qur'an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu

17

Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta: Paramadina,

2002), h. 100.

Page 19: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

6

dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."18

Demikian juga

dengan definisi yang diajukan oleh Abdul Majid Abdul Muhtasib, yaitu : "Tafsir

yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur'an ke bawah teori dan istilah-istilah

sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai

masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."19

Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita berikan catatan dalam

dua hal yaitu: yang pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir

saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu

bahwa corak tafsir itu agar dihindari karena dinilai telah "menundukkan redaksi

Al-Qur'an" ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok

Amin al-Khûli dan Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang

kontra dan tak merestui corak tafsir ini.20

Kedua definisi tersebut tak mampu menggambarkan konsep yang

sebenarnya diinginkan para pendukung tafsir bil „ilmi. Para pendukungnya tak

pernah berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern kepada

redaksi Al-Qur'an, atau menundukkan redaksi Al-Qur'an itu kepada teori-teori

sains yang selalu berubah. Apa yang dimaksudkan para ulama pendukung corak

tafsir ini adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur'an

18

Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr,

1973), h. 309. 19

al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, h. 247. 20

Mengenai tafsir bil „ilmi, Amin Al-khûli mengkritik keras dalam bukunya, ia menulis :

“Bagaimana mungkin prinsip-prinsip dasar kedokteran, astronomi, ilmu hitung, dan kimia

disimpulkan dari al-Qur‟an dengan cara sebagaimana yang dikatakan tadi, sementara prinsip-

prinsip tersebut pada saat ini tidak ada seorangpun yang memberikan kaidah pasti. Setiap sarjana

muncul merevisi prinsip tersebut dalam suatu waktu atau lebih. Apapun yang telah diformulasikan

oleh sarjana terdahulu pastilah mengalami perubahan, kemudian mengalami perubahan yang

lebih dahsyat untuk waktu berikutnya”. (Lihat: Amin al-Khûli, Metode Tafsir Sastra (Yogyakarta:

Adab Press, 2004), h.41.

Page 20: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

7

agar mudah difahami oleh manusia modern, terlebih di saat rasa dan cita

kebahasaan Arab sudah sangat melemah, di kalangan orang Arab sekalipun.21

Apalagi kini, ilmu dan sains telah menyerbu seluruh sendi kehidupan umat

manusia. Oleh sebab itu kiranya, definisi yang lebih tepat untuk corak tafsir bil

„ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: "Tafsir yang berbicara tentang

istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur'an dan berusaha sungguh-sungguh

untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-

Qur'an itu."22

Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi

masalah ini. Untuk itu penulis mengajukan skripsi ini dengan judul: ISRA’

MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi komparatif penafsiran al-Razi

dn Thantawi terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan lebih jelas dan terarah serta tidak menyimpang jauh dari

pembahasan, penulis memberi batasan hanya pada pembagian Sayyid Muhammad

21

Dalam pandangan Muhammad Abduh, masyarakat amat membutuhkan petunjuk-

petunjuk guna mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Masyarakat tidak

akan menanyakan hal-hal terkait kaidah bahasa, i‟rab, dan sebagainya, begitupula dengan Allah

Swt. Masih menurut Abduh, hal-hal tersebut yang terdapat dalam beberapa kitab tafsir di masanya,

dan masa-masa sebelumnya, justeru menjadikan kitab tersebut bagaikan pelajaran bahasa, dan

kitab-kitab yang seolah hanya merupakan penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut makin

menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Lihat: Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-

Qur‟an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20. 22

Syaikh Bakri Amin, al-Ta'bir al-Fanni fi al-Qur'an, (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1980),

h.125

Page 21: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

8

Ali Iyâzî dalam kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum23

atas tafsir-tafsir

dengan corak bil „ilmi dalam pembahasan Isra‟ Mi„râj.

Dalam kitabnya, Ali Iyâzî membagi tafsir bil „ilmi menjadi dua bagian,

Yakni, 1) Tafsir-tafsir bil „ilmi periode salaf terdiri dari Jawâhir al-Qur‟an karya

al-Ghazâli, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, al-

Burhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya al-Zarkasyi, al-Itqân karya al-Suyûti. 2) Tafsir-

tafsir bil „ilmi periode khalaf terdiri dari Kasyf al-Asrâr al-Nûrâniyyah karya al-

Iskandârâni dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an karya Thanthawi.24

Dari dua pembagian Ali Iyâzî atas tafsir bil „ilmi di atas, penulis hanya

akan mengambil satu tafsir dari masing-masing periode untuk dibahas. Dari tafsir

periode salaf yakni al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-

Râzî. Adapun dari periode khalaf yakni al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim

karya Thanthawi. Sedangkan ayat yang akan dibahas hanyalah Q.S. al-Isrâ‟ :1 dan

Qs. Al-Najm: 13-15.

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya rumusan

permasalahan yang menjadi tema pokok yang dibahas dalam skripsi ini.

Permasalahan tersebut adalah :

1. Bagaimana tafsir-tafsir dengan corak bil „ilmi memandang peristiwa

Isra‟ dan Mi„râj ?

2. Apa perbedaan mendasar dari tiap tafsir dengan corak bil „ilmi

terhadap pembahasan Isra‟ Mi„râj ?

23

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum, (Muassasah

al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212) 24

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah

al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212), h. 94

Page 22: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

9

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, di samping ditujukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada program studi

tafsir-hadis, fakultas ushuluddin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,

juga ditujukan untuk menganalisis bagaimana bentuk saintifikasi al-Qur‟an pada

tasir-tafsir dengan corak bil „ilmi yang selama ini ada, khususnya pada ayat-ayat

mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

pada kajian tafsir umumnya, khususnya pada kajian tentang saintifikasi al-Qur‟an.

Pada level akademik, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan

kajian akademik, khususnya tafsir, dan secara umum, penelitian ini

dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi dunia pengetahuan di tengah-tengah

masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian saintifikasi al-Qur‟an mulai menyentil rasa ingin tahu (sense of

curiosity) penulis, saat membaca buku yang berjudul Terpesona di Sidratul

Muntaha,25

sebuah buku karya Agus Mustofa. Dalam buku tersebut, dijelaskan

bagaimana proses terjadinya peristiwa Isra‟ dan Mi„râj yang dialami Nabi SAW

melalui perubahan materi ke anti-materi, relativitas waktu dan reduksiasi dimensi

25

Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, (Sidoarjo: PADMA Press, 2004)

Page 23: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

10

ruang dan waktu. Kesimpulan pribadi penulis bahwa apa yang dijelaskan oleh

Agus Mustofa dalam buku tersebut adalah sebuah penafsiran terhadap al-Qur‟an

yang bercorak bil „ilmi, walaupun ia tidak memberi judul yang menandakan

bahwa buku itu adalah tafsir al-Qur‟an. Rasa ingin tahu penulis ini tidak

terpuaskan karena dalam bukunya, Agus Mustofa tidak menjelaskan hadis-hadis

atau riwayat-riwayat yang ia gunakan dalam penafsirannya untuk mengungkap

Isra‟ dan Mi„râj dari sisi sains. Rasa penasaran pun berlanjut dengan menelusuri

bagaimana kitab-kitab tafsir bil „ilmi menjelaskan peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.

Rasa ingin tahu tersebut tetap terpupuk hingga saatnya penulis menyusun

skripsi. Dengan berpedoman antara lain pada kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa

minhajuhum karya Ali Iyâzî yang dalam kitab ini Ali Iyâzî mengklasifikasi kitab-

kitab tafsir dan menjelaskan biografi singkat tentang penulisnya. Penulis mencoba

menelusuri bentuk saintifikasi al-Qur‟an yang dijelaskan oleh para mufassir pada

kitab-kitab tafsir bil „ilmi.

Untuk karya berupa skripsi yang berkaitan dengan topik yang penulis

ketengahkan dalam penelitian ini, penulis menemukan skripsi dengan judul

Kajian Isra‟ dan Mi„râj Menurut Pandangan Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam Tafsîr

Mafâtîh al-Ghaib.26

Adapun skripsi kedua yang penulis temukan berjudul

Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟râj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1

dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar.27

26

Adi Amir Zainun, “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi Dalam

Tafsir Mafatih al-Ghayb”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2003) 27

Ahmad Firmansyah, “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah Penafsiran

Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar,” (Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002)

Page 24: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

11

Penulis menyadari, banyak karya yang telah membahas tafsir bil „ilmi,

terlepas dari pro dan kontranya. Namun, penulis melihat peluang melakukan

analisa untuk menjajaki kemungkinan pergeseran makna dalam tafsir-tafsir

dengan corak bil „Ilmi. Penulis berharap kajian awal ini memotivasi rekan-rekan

untuk lebih menggeluti kajian tafsir pada umumnya, khususnya tafsir

kontemporer, dan lebih khusus lagi pada bidang kajian saintifikasi al-Qur‟an.

F. Metode Penelitian

Setiap penulisan sebuah karya ilmiah haruslah menggunakan metode

penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis gunakan untuk

membahas masalah kisah Isra‟ dan Mi„râj adalah kepustakaan (Library

Research), yakni dengan cara membaca, meneliti serta menganalisa dari buku-

buku, majalah-majalah dan apa saja yang berkenaan dengan masalah yang penulis

bahas, yakni mengklasifikasi tafsir-tafsir bil „ilmi dengan cara melihat bagaimana

bentuk penafsiran pada ayat-ayat Isra‟ dan Mi„râj. Sedangkan data-data yang

diperlukan itu berasal dari sumber utama, dalam hal ini yang menjadi sumber

utama adalah kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-

Râzî dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim karya Thanthawi.

Sedangkan mengenai teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press (CeQDA) cetakan

ke-11, 2007.28

28

Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) (Jakarta:

CeQDA, 2007)

Page 25: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

12

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi ke

dalam beberapa bab, dan pada setiap bab terdapat beberapa sub-bab. Dengan

sistematika sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan berisi pokok permasalahan, pembatasan dan

perumusan masalah, metode pembahasan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan umum mengenai Isra‟ Mi„râj, meliputi definisi,

pandangan menurut para ahli tafsir dan ilmuan, serta pro-kontra yang meliputinya,

Bab III : Mengenal al-Razi dan Thanthawi beserta tafsirnya, yang terdiri

dari biografi singkat dan beberapa karya-karya mereka, selayang pandang tentang

tafisr keduanya, latar belakang penulisan tafsir, metode, corak dan sistematika

penulisan masing-masing tafsir.

Bab IV : Penafsiran al-Razi dan Thanthawi mengenai Peristiwa Isra‟ dan

Mi„râj, serta perbandingan antara kedua tafsir tersebut.

Bab V : Penutup meliputi kesimpulan dan saran-saran.

Page 26: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

13

BAB II

TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RÂJ

A. Definisi Isra’ Mi’râj

1. Etimologi

Kata-kata Isra‟ dan Mi‟râj yakni dua kata dalam bahasa Arab yang

masing-masing mempunyai arti sebagai berikut: Isra‟ (اسزاء = berjalan malam)

adalah bentuk masdar dari kata asrâ yusrî ( يسزى -اسزى ) yang secara etimologis

berarti „berjalan pada malam hari‟, atau „membawa berjalan pada waktu malam‟.

Kata asrâ sendiri adalah mazîd bi harf (مزيد بحزف) kata kerja yang sudah

mengalami penambahan satu huruf, yaitu alif. Dengan demikian, asrâ berasal dari

sarâ yasrî saryan wa sirâyatan ( ايةسزى يسزي سزيا و سز ).1 Menurut Ibnu Manzur, di

dalam bukunya Lisân al-„Arab, kedua kata tersebut (asrâ dan sarâ) mempunyai

arti yang sama, yaitu: „perjalanan pada malam hari‟. Menurutnya, penambahan

alif pada kata asrâ itu adalah menurut bahasa penduduk hijaz, dan sebagai

buktinya al-Qur‟an menggunakan kedua kata tersebut dengan arti yang sama.

Misalnya, di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 digunakan kata asrâ dan QS. Al-Fajr

(89): 4 yang menggunakan kata sarâ yasrî.2 Menurut Abu Ishaq, makna kedua

makna tersebut adalah „perjalanan yang dilakukan pada malam hari‟. Hanya saja,

pada QS. Al-Isrâ‟ (17): 1, Allah SWT memperkuat atau ta‟kîd kata asrâ dengan

al-Lail (malam). Pendapat lain, seperti yang dikutip oleh al-Raghib al-Asfahani di

1 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan

Bimantara, 2002), jilid 1, h. 1. 2 Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dâr Shadir, tth), Juz

14, h. 377.

Page 27: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

14

dalam Mu‟jam Mufradât li Alfâzi al-Qur‟an dan Mufradât fî Gharîb al-Qur‟an,

menyebutkan bahwa kata asrâ tidak berasal dari kata sarâ yasrî, tetapi dari kata

al-Sarâh (السزاة), yaitu al-Irtifa‟ wa al-„Uluw, kenaikan dan ketinggian, yang kata

dasarnya berasal dari saruwa sarwan wa sarâwatan (سزو سزوا و سزاوة). Di samping

itu, kata al-Sarâh juga berarti „ard wâsi‟ah (ارض واسعة = bumi yang luas),

sehingga makna firman Allah di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 adalah “Maha suci

Allah yang memperjalankan hamba-Nya di tanah yang luas pada malam hari”.3

Adapun pengertian Mi‟râj adalah kata benda tunggal yang berarti al-

Sullam wa al-Mas‟ad ( عدصالسلم و الم = tangga dan atau alat untuk naik). Secara

bahasa, menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf „ain (ع), ra‟ (ر), dan jim

seperti kata ,(condong dan miring = ميل) menunjukkan tiga arti: pertama, mail (ج)

al-A‟raj (األعزج) yang terdapat di dalam QS. Al-Nur (24): 61. Kedua, ia juga bisa

menunjukkan kepada al-„Adad (العدد = bilangan). Dan ketiga, ia berarti al-Irtiqâ‟

wa al-Irtifâ‟ ilâ al-Sama‟ yang berarti meningkat dan naik ke atas langit.4

2. Terminologi

Isra‟ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan arah horizontal,

yakni dari Masjid al-Haram di Mekkah sampai ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem

yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan

dalam satu malam.5

3 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan

Bimantara, 2002), jilid 2, h. 1. 4 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan

Bimantara, 2002), jilid 2, h. 2. 5 Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4,

h. 66.

Page 28: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

15

Sedangkan Mi‟râj secara terminologi, menurut Ibnu Manzur berarti al-

Tarîq al-Lazî tas‟udu fîhi al-Syai‟ (الطزيق الذي تصعد فيه الشيئ = jalan yang digunakan

padanya oleh sesuatu untuk naik).6 Lebih jelasnya adalah dinaikkannya Nabi

Muhammad SAW dari Masjid al-Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban

besar7 dan bertemu dengan para nabi

8 dan kemudian berhenti di Sidratul

Muntaha.9 Di sini Nabi menerima wahyu yang mengandung perintah mendirikan

shalat lima waktu sehari semalam. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa peristiwa

ini terjadi pada tanggal 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke

Madinah.10

Berdasarkan keterangan hadis Nabi, dapat difahami bahwa perjalanan

malam itu berlangsung secepat kilat, dengan ditemani oleh malaikat Jibril dan

memakai kendaraan Buraq (akar katanya: barq, yang berarti kilat).11

B. Isra’ Mi’raj perspektif ahli tafsir

Peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj Rasulullah SAW telah banyak menimbulkan

perbedaan pendapat. Pengertian menurut para ahli tafsir sangat penting, karena

peristiwa ini juga terdapat dalam al-Qur‟an. Di bawah ini penulis mengambil

beberapa pendapat dari beberapa ahli tafsir.

6 Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 320.

7 Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405

H), juz 15, h.12. 8 Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr

wa al-Tauzî‟, 1997), juz 5, h. 58. 9 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-

risalah, 2000), juz 17, h. 333. 10

Ahsin W. al-Hafidz, M.A, Kamus Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2,

h.125. 11

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1992), h. 456.

Page 29: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

16

1. Muhammad Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan :

“Sesungguhnya Allah meng-isra‟-kan hambanya yakni Muhammad SAW.

dari Masjid al-Haram hingga Masjid al-Aqsha, ini sebagaimana yang

dikabarkan Allah kepada hamba-hambanya, dan sebagaimana kabar-kabar

dari nabi yang sangat jelas, bahwa sesungguhnya Allah membawanya ke

atas Buraq sehingga Dia mendatangaka nabi kepada-Nya.”12

2. Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan :

“Isra‟ dan Mi‟râj terjadi setahun sebelum hijrah pada 17 Rabiul Awwal..

Cara keberangkatannya adalah dalam keadaan terjaga bukan tidur, dengan

mengendarai buraq. Hal ini berdasarkan pada pendapat sebagian ulama

yang mengatakan bahwa ayat tentang Isra‟ menegaskan bahwa Allah Swt

telah memperjalankan hamba-Nya, sedangkan hamba itu adalah kumpulan

dari ruh dan jasad. Oleh karena itu Isra‟ dan Mi‟râj pastilah terjadi dengan

jasad dan ruh.”13

3. Muhammad Ali al-Shabuny dalam tafsirnya Shafwat al-Tafâsir

menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj

pada pertengahan malam dan perjalanan tersebut dilakukan dalam keadaan

sadar (tidak tidur) dengan ruh dan jasad.14

4. M. Husain Haikal berpendapat :

“Rasulullah SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj hanya dengan ruhnya saja,

karena pada saat itu seluruh alam semesta sudah bersatu ke dalam jiwanya.

Haikal menyandarkan pendapatnya pada dua hal, pertama adalah hadits

dari Muawiyah bin Abi Sofyan yang menyatakan bahwa Isra‟ dan Mi‟râj

hanya dengan ruh saja. Kedua adalah dengan ilmu pengetahuan modern

yang telah mengakui Isra‟ dan Mi‟râj itu dengan ruh, karena apabila

tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benar itu akan

memancar.15

12

al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an, juz.17, h. 350. 13

Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, h.5. 14

Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Qur‟an al-Karim, 1980),

jilid II, h. 151. 15

Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978),

h.170.

Page 30: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

17

C. Isra’ Mi’râj perspektif Rasionalis

Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj menjadi tanda

tanya besar bagi akal manusia pada masa itu. Sebagai sebuah peristiwa

supranatural Isra‟dan Mi‟râj menjadi isu sentral di kalangan terpelajar Quraisy,

dan mungkin akan terus menjadi objek perdebatan pengetahuan yang aktual. Ada

baiknya kita mencoba menguji teori-teori pengetahuan yang ada untuk melakukan

tasdiq (assent; pembenaran) terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj.

1. Teori Rasional

Teori rasional mempercayai adanya dua sumber konsepsi: pertama,

penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena

penginderaan kita terhadap semuanya. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal

manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak

muncul dari indera, tetapi sudah ada dalam lubuk fitrah. Indera adalah sumber

pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana,

sementara fitrah adalah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam

akal. Konsepsi Fitri itu adalah “ide Tuhan”.16

Menurut Descartes,17

agaknya

keputusannya tentang ide fitri ini karena ia menemukan hanya matematikalah

(ilmu pasti) yang merupakan kepastian, untuk satu hal yang irasional atau di luar

jangkauan ilmu pasti ia hanya mengatakan: “Bagaimana saya tahu dan meyakini

16

Lihat: Sayyid al-Islam Ayatullah al-‟Udzma Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatunâ:

Dirâsah maudlû‟iyah fî al-mu‟tarak al-Sira‟ al-Fikr al-Qa‟im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat al-

Falsafiyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-Markasiyyah), (Qum,

Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), h. 29. 17

Rene Descartes (1596-1650) adalah filosof, matematikawan dan ilmuwan Prancis.

Lahir di La Hume Tourine. Ia memulai filsafatnya dengan badai skeptisisme melalui dalilnya yang

terkenal: cogito ergo sum (I think, therefore I am; Aku berfikir, maka Aku eksis) yang juga dikenal

dengan imanensi Descartes. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, cet. I 1995). h.76. Lihat juga: Siswanto, M. Hum, Dari Aristoteles sampai Derrida:

Sistem-sistem Metafisika Barat, (Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M), hal. 24-26.

Page 31: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

18

tentang semua benda yang saya nyatakan saya ketahui?” doktrin rasionalitas

guncang karena ia tidak bisa menembus alam metafisik.18

Adapun bagi Kant,19

semua bidang pengetahuan manusia adalah fitri,

tetapi ia mengingkari adanya ide fitri –yaitu ide yang diketahui sebelum

pengalaman indrawi apapun. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas

dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mempola

pengalaman kita. Ini berarti bahwa kausalitas-kausalitas tertentu yang kita

persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami

sensibilitas dan pemahaman kita.20

Dalam peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, kedua teori di atas menjadi mentah.

Sebab, pertama, peristiwa Isra‟ dan Mi„râj adalah sensasi Nabi seorang diri dan

tidak bisa dicarikan pembuktiannya secara umum. Penginderaan Nabi berfungsi

sebagaimana mestinya. Kedua, tidak ada ide fitrah atau penghayatan fitriah pra-

konsepsi Isra‟ dan Mi„râj. Ia menjadi pengalaman indrawi Nabi yang pure

sensasional.

Jika kita mengikuti hukum rasio, maka harus ada pengalaman intuitif yang

diakui secara umum kebenarannya. Ia adalah informasi primer, sementara pikiran

manusia adalah informasi skunder. Jika kita melakukan penjajakan teoritis

(melalui proses berfikir) tentang Isra‟ dan Mi„râj, maka kita akan menemukan dua

18

Lihat : Siswanto, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat, h.

27-28. 19

Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof Jerman, lahir di Konigsberg. Pada usia 10

tahun ia masuk Collegium Fredicianum dengan niat mempelajari teologi –ia tumbuh menjadi

orang yang shaleh. Ketika ia masuk Universitas Konigsberg pada tahun 1740, ia mengembangkan

minat pada matematika, geografi fisik, fisika, logika dan metafisika. Kemudian ia mengajar pada

universitas tersebut. pada tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika. Lihat:

Kamus Filsafat hal. 170. 20

Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 29.

Page 32: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

19

hal: pertama, pelaku peristiwa, kedua, peristiwa itu sendiri. Karena Isra‟ dan

Mi„râj bukan salah satu proporsi primer rasional, maka yang terjadi adalah aporia

(kebingungan), maka, kita harus kembali kepada sumber-sumber pengetahuan

yang ada yaitu nabi sendiri sebagai data primer (sedangkan rasio kita mau tak mau

hanya berfungsi sebagai data sekunder). Allah SWT menjadi fungsionaris tunggal

dalam rekayasa yang bernama Isra‟ dan Mi„râj ini.21

Kant juga menolak konsep a priori (pengalaman yang mendahului sebuah

kausa dan independen)22

dan menciptakan teori a posteriori (kausa (sesuatu)

datang sesudah pengalaman).23

Padahal keduanya sama-sama lemah. Semua

proporsi menuntut pengetahuan pendahuluan yang primer, yang jika ia

disingkirkan maka tidak akan pernah ada pengetahuan teoritis. Menyingkirkan

peran Allah dalam peristiwa isra‟ dan Mi„râj berarti menutup kemungkinan untuk

mengetahui Isra‟ dan Mi„râj sendiri. Isra‟ dan Mi„râj bukan peristiwa a priori nabi

karena ia tidak punya konsepsi fitri tentang itu.

Ayatullah Baqir al-Shadr menyatakan bahwa tidak ada gagasan apapun

dalam diri manusia pada saat lahir di muka bumi. Allah berfirman: “Dan Allah

yang mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian. Kalian tidak mengetahui

sesuatu pun. Dan ia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati

agar kamu bersyukur. (QS. al-Nahl (16): 78).

Isra‟ dan Mi„râj juga bukan peristiwa a posteriori, tidak mengakibatkan

apapun. Pesan religius yang ada pada Isra‟ dan Mi„râj bukan pengangkatan status

21

Ini adalah metode Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr dalam membantah mutlaknya

teori penginderaan. Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.37-38 22

Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 21. 23

Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 19.

Page 33: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

20

nabi dari seorang hamba, tetapi adalah pengukuhan kehambaan melalui dialog

transendental setelah ketakwaan dan kesadaran nabi membuahkan keterikatan

yang immanent (tetap ada) sebelumnya.

2. Teori Empirikal

Teori empirikal mendasarkan diri pada eksperimentasi dan observasi

sehingga sangat mengagungkan penginderaan karena ialah yang membekali akal

manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Eksperimen-eksperimen

ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah sumber pokok konsepsi, dengan

tidak menafikan kemampuan akal budi menghasilkan pengertian-pengertian

baru.24

Kegagalan teori empirikal, bahwa ia tidak menjelaskan apa-apa dengan

indera selain gejala yang beriringan dalam hukum kausalitas. Ilmu-ilmu

eksperimental yang menjelaskan kausalitas menyatakan bahwa air akan semakin

panas ketika diletakkan di atas api, dan kemudian mendidih, tetapi tidak

menjelaskan keharusan mendidih pada suhu tertentu. Kalau eksperimen empirikal

tidak mampu mengungkapkan konsep kausalitas, bagaimana pula konsep itu

muncul dalam akal manusia.

David Hume25

lebih akurat dalam menerapkan teori empirikal. Ia

mendefinisikan bahwa kausalitas tak mungkin diketahui oleh indera. Semua

adalah kebiasaan “pengasosiasian ide-ide”. Ia berkata: “Aku melihat bola bilyar

bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tetapi dalam gerak bola

yang pertama, tak ada yang menunjukkan kepadaku keharusan gerak bola yang

24

Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 31-34. 25

David Hume (1711-1776) adalah filosof Scottish yang lahir di Edinburgh dan belajar di

Edinburgh University. Ia adalah tokoh empirisisme yang konsisten, ditokohkan bersama Locke

dan Barkeley. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 140.141.

Page 34: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

21

kedua. Indera batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh mengikuti

perintah kehendak. Tetapi itu tidak memberikanku pengetahuan langsung

mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah.26

Ia juga menjelaskan

bahwa tidak ada keharusan yang mengikuti sebuah kausa dengan efeknya. Kausa

dan efek dihubungkan dalam sebuah urutan temporal, keteraturan urutan,

kesinambungan dan keterkaitan yang konstan. Semua itu hanya masalah asosiasi

gagasan-gagasan kita, bukan masalah kekuatan produktif yang menghadirkan

sebuah efek dari sebuah kausa, atau menyebabkan sebuah kausa menuntut efek

tertentu.27

Ia mencontohkan bahwa cahaya yang keluar sebelum dentuman meriam

bukan penyebab suara atau terlontarnya peluru. Jauh sebelum Hume, al-Ghazali

telah menyatakan: “Ayam yang berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab

terbitnya fajar”. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C dan dari

C ke D tidak membuktikan bahwa pergerakan dari B ke C disebabkan oleh

pergerakan dari A ke B”, kata Newton, penemu gaya gravitasi.

Jika demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam adalah “a

summary of statistical averages” (ikhtisar statistik pukul rata). Sehingga apa yang

dinamakan “kebetulan” bukan tidak mungkin juga suatu kebiasaan atau hukum

alam, kata Pierce, seorang ahli ilmu alam. Einstein menyatakan bahwa semua

kejadian diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar alam yang

superior). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firmanNya sebagai pengantar

peristiwa Isra‟ dan Mi„râj: “Kepada Allah saja tunduk apa yang di langit dan apa

yang di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, mereka tidak

26

Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.34-35. 27

Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 141.

Page 35: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

22

menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan yang berkuasa atas mereka dan

melaksanakan perintahnya” (QS. al-Nahl (16): 49-50).28

Jika pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman

secara ilmiah terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi„râj maka pemaksaan pembuktiannya

menyebabkan ia menjadi tidak ilmiah lagi. Apalagi jika diingat bahwa asas

filosofis ilmu pengetahuan adalah trial and error (yakni observasi dan

eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat

dan waktu, oleh siapa saja), sedangkan peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj hanya terjadi

sekali, tidak dapat diuji, diamati dan dilakukan eksperimentasi.

Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard,29

tokoh salah satu eksistensialisme

menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia

tidak tahu”. Immanuel Kant juga berkata: “Saya terpaksa menghentikan

penyelidikan ilmiah dan menyediakan waktu bagiku untuk percaya”.30

Kaum modernis, seperti M. Iqbal berpendapat, ketika membahas

perjalanan ke langit itu, telah menunjukkan bahwa Nabi dapat berbicara dengan

Allah dalam suatu hubungan “aku dan kau”. Bagi Iqbal hal ini merupakan suatu

koreksi amat penting atau doktrin “wahdat al-wujûd” bagi kalangan sufi.31

Peristiwa pengalaman naik ke langit itu menegaskan bahwa Allah

bukanlah suatu „prima causa‟ yang pasif lagi terpencil, namun benar-benar suatu

28

Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Mizan, cet. X, Muharram 1416 H./1995 M), h. 340-341. 29

Soren Aaby Kierkegard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah filosof dan penulis

religous Denmark yang lahir di Copenhagen dan menempuh pendidikan di Unversitas

Copenhagen. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 171. 30

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 342. 31

Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, (Bandung: Mizan, cet.

IV, 1994), h. 225.

Page 36: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

23

kekuatan personal yang dapat disapa dan dengan demikian membuktikan bahwa

ada kemungkinan dialog person dengan person yakni antara pencipta dan

makhluk.

Adapun mengenai buraq, Bahauddin Mudhary berkata bahwa buraq itu

mempunyai dua arti yaitu : Pertama, bagi ilmu pengetahuan eksakta buraq berarti

aliran elektris yang keluar dari benda mati. Kedua, bagi ilmu pengetahuan abstrak

buraq berarti aliran listrik yang keluar dari benda hidup, rohani. Buraq ialah

merupakan kendaraan yang digerakkan oleh tenaga atau kekuatan rohani

Rasulullahh SAW.32

Suatu peristiwa akan dikatakan masuk akal atau rasional oleh seseorang,

apabila pada dasarnya ia sesuai dengan pengalaman orang itu.33

Misalnya

jatuhnya sebuah benda yang terlepas dari tangan pemegangnya. Andaikan saya

mengatakan dalam sebuah cerita kepada orang-orang yang digolongkan sebagai

anggota suku terasing, bahwa ketika benda yang dipegang si Fulan terlepas dari

tangannya ia tak jatuh melainkan membumbumg di udara, maka mereka tentu

akan mengatakan bahwa saya berbohong, sebab mereka belum pernah melihat

benda yang “jatuh ke atas”. Tentu saja sikap mereka itu gigih dan kita tak perlu

heran sebab tak seorang pun diantara mereka pernah melihat membelikan anaknya

sebuah balon berisi gas seperti yang banyak dijual di kota. Bagi mereka benda

yang jatuh ke atas itu tidak ada, tidak masuk akal. Gejala semacam itu tidak

32

Bahauddin al-Mudhari, Menjelajah Angkasa Luar, (Surabaya: Pustaka Progresif,

1989), jilid 1, h. 41. 33

Achmad Baiquni, al-Qur‟an dan Imu Pengetahuan Kealaman, (Jogyakarta: PT.

Danabakti Prima Yasa, 1997), cet, 1, h. 247.

Page 37: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

24

rasional menurut mereka karena berlawanan dengan pengalaman mereka sehari-

hari, meskipun di kota kejadian semacam itu sudah biasa.

Dari contoh di atas tampak bahwa kebenaran penilaian rasio seseorang itu

terbatas hanya seluas pengalaman observasi atau ilmiahnya. Dan oleh karena itu,

apabila seseorang hanya mengandalkan pada rasionya saja dan tidak mau

mempercayai apapun kecuali yang dapat disesuaikan dengan pengalamannya,

maka ia akan terbentur pada kesulitan yang tak akan dapat diatasinya.

Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj memang merupakan suatu mukjizat yang sangat

luar biasa yang dianugerahkan kepada Nabi SAW, sebagai tantangan bagi

manusia yang disodorkan oleh Allah Swt setelah al-Qur‟an. Peristiwa mu‟jizat itu

tidak sama dengan ilmu pengetahuan hasil olahan manusia, karena antara ilmu

pengetahuan dan mu‟jizat itu bukan tandingannya.

Hal tersebut karena ilmu pengetahuan apapun jenisnya masih tetap

berpijak kepada hukum akal dan hukum alam, sementara mu‟jizat berada di luar

itu. Namun kajian ilmu tersebut dan hasilnya dapat dipergunakan untuk

memperkuat keyakinan terhadap sesuatu yang datangnya dari ke-Maha Kuasa-an

Allah.

Jadi peristiwa Isra‟ Mi„râj benar-benar terjadi dan kejadiannya adalah

Mu‟jizat dari Allah sedangkan Rasul hanya pelakunya saja.

Dari berbagai perbedaan pendapat yang ada, mengenai kisah ini, yang

begitu sengit, penulis setuju dengan apa yang dikemukakan oleh M. Quraish

Page 38: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

25

Shihab, jika peristiwa ini kita terima dengan dasar iman dan keyakinan penuh,

maka tidak ada masalah apapun yang perlu diragukan.34

D. Pro-kontra atas Isra’ Mi’râj

Ada tiga hal yang menjadi perdebatan ulama seputar peristiwa Isra‟ dan

Mi„râj, yaitu:

1. Tempat pemberangkatan Rasulullah pada malam Isra‟ dan Mi„râj.

Ada dua pendapat tentang tempat pemberangkatan Rasulullah pada saat

Isra‟ dan Mi„râj, pertama, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa

Rasulullah pada saat Isra‟ dan Mi„râj berangkat dari rumah Ummu Hani‟ binti Abi

Thalib. Pendapat kedua, bahwa rasulullah berangkat dari Masjid al-Haram, yaitu

kawasan seputar Ka‟bah. Pendapat ini mendapat dukungan lebih kuat di kalangan

ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa rasulullah keluar pada malam tersebut

dari rumah Ummu Hani‟ menuju Masjid al-Haram dan memulai perjalanan Isra‟

dan Mi„râj dari Masjid.35

2. Kapan peristiwa tersebut terjadi?

Karena peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak diinformasikan al-Qur‟an dalam

satu kesatuan informasi ayat, dan juga karena sebagian hadis Nabi hanya

menyebut kenaikan Nabi ke langit, tanpa menyebut perjalanan ke masjid al-

34

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XVII,

h.338. Lihat juga buku Drs. H. Basri Iba Asghary, Solusi al-Quran tentang Problema Sosial,

Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 76 35

Tanpa penulis, Hadza al-Habib Muhammad Rasul Allah Shallallahu „alaihi wa sallam

ya Muhibb, (Jeddah: Maktabah al-Sawadi li al-Tauzi‟, cet. III 1409 H./1989 M. h. 135-136.

Page 39: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

26

Aqsha, maka sebagian ulama‟ berkesimpulan bahwa Isra‟ dan Mi‟raj adalah dua

perjalanan Nabi Muhammad SAW pada dua malam yang berbeda. Mereka

cenderung menyimpulkan bahwa Mi„râj terjadi pada tahun ke-5 kerasulan (615/7

sebelum Hijrah), sedang Isra‟ pada tahun ke-11 atau 12 kerasulan (620 atau

621/622 sebelum Hijrah). Pada pihak lain, mayoritas ulama‟ berpendapat,

berdasarkan sejumlah hadis lainnya, bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu terjadi dalam satu

malam saja.36

3. Apakah Isra‟ dan Mi‟raj merupakan perjalanan jasmaniah dan ruhaniah

Rasulullah?

Informasi-informasi yang bervariasi dari hadis-hadis Nabi, juga

menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat tentang berbagai aspek lainnya di

sekitar Isra‟ dan Mi„râj. Sebagian ulama berpendapat bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu

berlangsung dalam keadaan mimpi, jadi pada saat tidur. Kesadaran Nabi

dibukakan sedemikian rupa, sehingga beliau mengalami perjalanan yang luar

biasa itu dan menyaksikan ayat-ayat keagungan Tuhan. Kebanyakan ulama

cenderung memahaminya secara harfi: Nabi dibangunkan dari tidurnya, kemudian

beliau dengan jiwa raganya dibawa oleh Jibril untuk menempuh perjalanan malam

yang amat jauh itu. Kendati berbeda pemahaman, kedua pihak tetap sama-sama

memandang bahwa pengalaman Isra‟ dan Mi„râj itu sebagai pengalaman luar

biasa, yang merupakan anugerah dari Tuhan dan sekaligus untuk menunjukkan

keluarbiasaan kualitas rohaniah yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.37

36

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1992), h. 457. 37

Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 457.

Page 40: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

27

Sebagian ulama salaf sepakat bahwa Isra‟ dan Mi‟raj Nabi Muhammad

SAW. itu dengan ruh dan jasad serta dalam keadaan terjaga (tidak tidur) dengan

alasan sebagai berikut: (a) kata „abd (hamba) menunjukkan manusia yang terdiri

atas jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah mayat, sedangkan ruh tanpa jasad tidak

dapat disebut sebagai hamba atau manusia. Dan jika Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan

dengan ruh saja, niscaya dalam QS. al-Isra‟ (17): 1 tersebut akan diungkapkan

dengan bi rûhi „abdihi (dengan ruh hambanya); (b) dalam QS. al-Najm (53) : 11

disebutkan: Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan

tidak (pula) melampauinya, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW

benar-benar melihat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah Swt dengan

segenap kesadarannya, sehingga tidak mungkin penglihatnnya keliru; (c) Jika

Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan dengan ruh saja atau hanya sebuah mimpi, niscaya

tidak akan muncul reaksi yang hebat dari orang-orang kafir Quraisy serta

kemurtadan beberapa orang Islam yang lemah imannya setelah Nabi

menyampaikan peristiwa tersebut, karena semua orang juga pernah bahkan sering

mendapat mimpi yang luar biasa (yang tidak pernah dipercayai oleh akal manusia)

dan mimpi yang bagaimanapun tidak pernah dibohongkan orang.38

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah hanya

memperjalankan ruh Rasulullah saja dengan dasar: pertama, Mu‟awiyah bin Abi

Sufyan jika ditanya tentang Isra‟ dan Mi‟raj Rasulullah selalu mengatakan itu

adalah mimpi dari Allah, dan mimpi dari Allah adalah benar adanya. Kedua,

sebagian keluarga Abu Bakar menyatakan bahwa Aisyah tidak melihat Rasulullah

pergi atau menghilang pada malam itu. Ia diperjalankan ruhnya saja. Ketiga, al-

38

Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4,

h. 67.

Page 41: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

28

Hasan berpendapat bahwa maksud dari firman Allah: “Dan tidaklah Kami

menjadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada Kamu sekalian kecuali

fitnah bagi manusia” adalah penglihatan pada saat tidur (kalimat al-ru‟ya

ditafsirkan mimpi, dan mimpi pasti hanya dialami oleh orang yang tidur).

Namun ketiga pendapat ini mendapat kritik dan dianggap lemah, karena

ketika terjadi peristiwa Isra‟ Mi‟raj Mu‟awiyah bin Abi Sufyan masih belum

memeluk aga Islam, sehingga pendapanya ditolak. Adapun Aisyah masih kecil

dan belum menjadi isteri Rasulullah SAW.

Page 42: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

29

BAB III

MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA TAFSIRNYA

A. Fakhr al-Dîn al-Râzî

1. Biografi Singkat dan Beberapa Karyanya

Fakhr al-Dîn al-Râzi adalah seorang argumentator Islam yang mempunyai

talenta besar. Gelar tersebut bukan hanya didapatkan begitu saja, melainkan

dengan upaya yang keras karena penguasaannya dalam bidang-bidang ilmu

pengetahuan seperti: Ilmu filsafat, Kalam, Argumentasi (Jalal), Ilmu Fiqh dan

Tasawuf.1 Bahkan ia juga disebut-sebut sebagai Hujjah Islam pada abad ke-7.

2

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Husain3 bin al-

Hasan bin Ali al-Quraisi4 al-Bikri al-Taymi.

5 Laqabnya adalah al-Imâm, Fakhr al-

Dîn,6 al- Râzî, dan Syaikh al-Islâm

7. Kunyah-nya adalah Abu „Abdullah, Abu al-

Ma‟âny, Abu al-Fadhl, Ibnu Khatîb al-Râzî atau ibn al-Khatîb.8

1 Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta, Rajagrafindo Persala), cet-1,

h.30-34 2 Mahmud Ayyub, al-Qur’an dan para Mufassirnya, (Jakarta, Pustaka Firdaus), Cet-1,

h.10 3Al-Umari menyebutkan perbedaan pendapat tentang nama kakek al- Râzî. Ada yang

mengatakan bahwa kakeknya adalah al-Husain bin al-Hasan dan adapula yang membaliknya

menjadi al-Hasan bin al-Husain. Lihat: Ali Muhammad al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî;

hayâtuhu wa ‘Asaruhu, (Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah, 1969), cet.

ke-3, h.28-29 4 Al-Râzî termasuk keturunan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Lihat: Imam al-Suyuthi, Tabaqât

al-Mufassirîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h.99; Syamsu al-Dîn al-Dawuri, Tabaqât al-Mufassirîn,

(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), jilid 2, h.216 5 Al-Râzî berasal dari kabilah Tayyim Quraisi bukan kabilah Tayyim Tamimi. Tetapi ada

juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari bani Tamimi. Lihat: Syaikh al-Islam ibnu Taimiyah,

Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma’a ‘Ardh Mujâz li Ittijâhat asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah

Ibrahim bin Muhammad, (Tonto: Dâr al-Shahabah li al-Turats, 1988), cet. Ke-1, h.30 6 Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, (Haidar abad: Dâirah al-Ma‟arif

al-Usmaniyah, 1979), jilid II, cet. Ke-1, h.81; Abi al-Fida‟ ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâl,

(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jilid 5, juz 13, cet. Ke-3, h.60.

Page 43: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

30

Ia Lahir di sebuah desa yakni Dhailam dekat kota Khurasan tepatnya di

kota Rayy, dalam kobilah Arab Hijaz yang bermadzhab Syafi‟i dalam fiqihnya,

serta dalam teologi mengambil aliran Asy„ariyah. Pada tanggal 25 Ramadhan, 534

H atau 544 H disini terdapat dua pendapat, pendapat pertama yakni 534 H ialah

pendapat Ibn Subki, sedangkan pendapat kedua 544 H ialah pendapat Ibn

Khulkan, seperti yang dikutip oleh al-„Umadi dalam kitabnya mendasarkan pada

pendapat kedua karena banyaknya riwayat terpercaya di dalamnya.9

Orangtuanya bernama Diyâ‟ al-Dîn Umar (w.559 H)10

, ia adalah salah

seorang ulama besar di kota Rayy, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul.

Sebagai ulama besar, ia terkenal ahli pula dalam bidang teologi. Kitabnya dalam

bidang ini berjudul Ghayât al-Marâm yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini dalam

jajaran kitab-kitab yang ditulis oleh kaum ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah

merupakan kitab yang menduduki peringkat tertinggi. Di antara isinya yang

penting di bagian akhir kitab ini adalah penjelasan mengenai kelebihan tokoh Abu

Hasan al-Asy‟ary.11

Dia pernah belajar pada salah satu ulama hadis bergelar Muhy al-Sunnah

Muhammad al-Baghawi, belajar filsafat dan ilmu kalam (teologi) pada salah

seorang pemikir yang bernama al-„Alim al-Hakim al-Majd al-Jilli,12

ia adalah

seorang pemikir yang terkenal pada zamannya dan telah menulis beberapa karya.

7 „Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr al-Hadhr,

(t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986), jilid 2, cet. Ke-2, h.596. 8 „Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirîn, h.596.

9 Ali Muhammal Hasan al-„Umadi, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, Majlis al-Syu‟un al-

Islamiyah, cet-3, h.17. 10

Ia adalah Umar bin al-Husein bin al-Hasan al-Imam Diya‟ al-Dîn Abu al-Qasim al-

Râzî. Lihat: Ibn Qhadi Syaihbah al-Dimasyqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, h. 82. 11

Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, h.23 . 12

al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, h.19

Page 44: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

31

Di samping itu, al-Râzî juga mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqh dengan sanad

yang tersambung sampai Imam Syafi‟i dan ilmu kalam dengan sanad yang

bersambung sampai Imam al-Asy‟ary.13

Al-Râzî mengembara dan berkelana ke daerah-daerah bertetangga dengan

kawasan Rayy. Khawarizmi sebagai daerah yang mayoritas penduduknya

beraliran Mu‟tazilah merupakan daerah tujuannya untuk berdialog dan bertukar

fikiran. Daerah Transoksania (mâ wara al-Nahr) juga merupakan daerah tujuan

al-Râzî untuk berdialog dengan lawan-lawannya.14

Dialog yang dilakukannya

tidak hanya terbatas dengan golongan-golongan yang ada dalam Islam, akan

tetapi, diskusi-diskusi itu berkembang sampai dengan pemuka-pemuka agama

lain. Adapun dialog yang terpenting antara al-Râzî dengan tokoh-tokoh agama

lain adalah yang terjadi dengan salah seorang pendeta agama Nasrani di

Khawarizmi.15

Sayangnya dialog-dialog yang pernah berlangsung antara al-Râzî dengan

pemuka-pemuka golongan yang dinilainya sesat tidak memberikan keberuntungan

bagi dirinya. Karena itu ia terpaksa harus meninggalkan daerah Khawarizmi.

Peristiwa ini terjadi atas al-Râzî karena persekongkolan dan kerja sama antara

pihak lawan dan penguasa setempat untuk mengusirnya dari daerah tersebut.16

Karena ketajaman penalaran dan kuat argumen yang dibawa al-Râzî dalam

mempertahankan pendapatnya, maka perbedaan pendapat antara al-Râzî dan

13

Abd Aziz al-Majdub, al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl Tafsîrih,

(Libya, Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M), cet. ke-2, h.76 14

al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, h.32 15

Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,

1414 H/1993 M), jilid 1, h. 5 16

al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.32

Page 45: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

32

lawannya menjadi bertambah jelas dan serius. Pada tahun 599 H, saat ia berada di

kota Farrukh terjadi perdebatan yang sangat seru dan tajam. Di antara mereka ada

yang menuduhnya sebagai seorang yang telah merusak ajaran dasar agama Islam.

Di samping menuduh, intimidasi dan penekanan terhadap dirinya, baik dengan

cara menuduhnya sebagai seorang kafir ataupun dengan membawa fitnah terus

berlangsung.17

Tujuh tahun setelah peristiwa berdarah tersebut, tepatnya pada tahun 606

H, al-Râzî menderita sakit keras dan merasa umurnya tidak panjang lagi, ia

memutuskan untuk memberi pesan kepada salah seorang muridnya yang setia,

Ibrahim bin Abu Bakar al-Istifhani. Pesan tersebut diberikan pada tanggal 21

Muharram 606 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1209 M.18

Delapan bulan

setelah wasiat itu disampaikan al-Râzî wafat di Herat pada hari Senin 1 Syawal

(Hari Raya Idul Fitri) tahun 606 H pada usia 62 tahun 6 hari.19

Perihal meninggalnya terjadi perbedaan pendapat, sebagian pengamat

menyatakan bahwa meninggalnya disebabkan ia mencela Aliran Karramiyah dan

telah membeberkan kesalahan-kesalahan mereka sehingga kemudian mereka

menculik dan meminumkan racun kepadanya.20

Ada juga yang mengatakan perihal terbunuhnya al-Râzî ini disebabkan

oleh pengikut aliran Mu‟tazilah yang melakukan tipu daya serta pada akhirnya

17

al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.109 18

al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.111 19

al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.6 20

Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir , h.31

Page 46: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

33

meminumkan racun padanya. Akan tetapi ada juga yang mengatakan ia wafat

karena sakit keras yang dideritanya.21

Sebagai salah seorang ulama besar pada abad ke 7 H tentunya menguasai

ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat luas terutama pada ilmu Naqli (akal).

Sebagaimana yang terdapat dalam karangan al-„Umadi ada beberapa karya yang

dihasilkannya, akan tetapi ini semua tidak dicetak keseluruhan kurang lebih ada

dua ratus karangan, di antaranya :22

(1). Bidang Tafsir diantaranya :

a. Tafsîr Mafâtih al-Ghayb (Kitab tafsir yang terkenal dengan sebutan

tafsir al-Râzî atau tafsir al-Kâbîr).

b. Tafsîr Sûrat al-Fâtihah23

c. Tafsîr Sûrat al-Baqarah ‘ala al-Wajh al-’Aql wa al-Naqli

d. Tafsîr Asmâ’ al-Husna (menjelaskan sifat-sifat Allah yang 99 dengan

penjelasan yang berdasarkan teologi Asy‟ariyah).

e. Asrâr Tanzîl wa anwâr al-Ta’wîl

f. Tafsîr sûrat al-Ikhlâs

(2). Bidang Ilmu Fiqh

a. Ahkâm al-Ahkâm

b. Kitab al-Mahsûl fî al-Fiqh

c. Kitab Syarh al-Wajiz fî al-Fiqh li al-Ghazâli

21

Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, h.31 22

Untuk lebih lengkapnya, lihat: al-„Umadi, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, h.209 23

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-

Hadits,2005), Jilid I, h. 249.

Page 47: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

34

(3). Bidang Ushul Fiqh

a. Kitab al-Ma’âlim fî Ushûl al-Fiqh

b. al-Muhâsabah fî Ushûl al-Fiqh

c. Kitab al-Mahsûl fî Ushûl al-Fiqh

d. Kitab al-‘Arba’în fî Ushûl al-Fiqh

Pada karyanya mengenai hal yang berkaitan dengan fiqih dan ushul, ia

banyak mengutip pada pendapat Imam Syafi‟i.

(4). Bidang Biografi dan Zuhud

a. Fadhl al-Shahâbah al-Râsyidah

b. Manâqib al-Imâm al-Syâfi’i

c. Kitab Fî Damm al-Dunya (karya yang membahas masalah Tasawuf)

(5). Bidang Ilmu Kalam

a. Mahassal Afkâr al-Mutakallimîn wa al-Mutaakhirîin min Hukamâ’ wa al-

Mutakallimîn fî Ilm Kalâm

b. Kitab al-Mahsûl fî Nihâyah al-Uqûl fî Ilm al-Ushûl

c. Kitab al-Bayân wa al-Burhân fî al-Radd ‘ala Ahl Zhaigh wa al-Tughyân

d. Kitab al-Muhassal fî ‘Ilm al-Kalâm

e. Kitab al-Qadha wa al-Qhadir

f. al-‘Arba’în fî Ushûl al-Dîn

Page 48: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

35

(6). Bidang filasafat

a. Ta’jiz al-Falâsifah

b. Mabâhits al-Masyriqiyah

c. al-Mathâlib al-‘Aliyah fî al-Hikmah

d. al-Mulakhkhas fî al-Falâsifah

(7). Bidang kedokteran

a. al-Tasyrîh fî al-Ra’s ila al-Haq

b. al-Jâmi’ al-Kabîr fî al-Thib / Athib al-Kabîr

c. Masâ’il fî al-Thibb

(8). Bidang ilmu Mantiq: Kitab Mabâhits al-Jadl

(9). Bidang ilmu bahasa dan balaghah:

a. Syarh al-Mufashshal fî al-Zamakhsari fî al-Nahw (menjelaskan tentang

kaidah nahwu yang terdapat dalam tafsir al-Kasyâf)

b. Nihâyah al-‘Ijaz fi Dirâyah al-I’jaz

c. Syarh Nahj al-Balâghah (Menjelaskan keindahan dalam bahasa Arab

terutama al-Qur‟an.

(10). Bidang Ilmu Kealaman

a. Mashâdir al-Iqlidas

b. Kitab fî al-Handatsah

(11). Bidang ilmu musik: Mausû’ah al-‘Ulûm

Page 49: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

36

(12). Kitab-kitab lainnya:

a. Syarh al-Isyârah wa al-Tanbîhât li Ibn Sina

b. Ibthal al-Qiyâs (menolak qiyas yang diutarakan oleh pihak Mu‟tazilah)

c. Risâlah al-Jauhâr

d. Risâlah al-Hudûts

2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib

Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada

riwayat yang menjelaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî tidak menyelesaikan tafsir

ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ‟ saja).24

Seperti yang dituturkan al-

Dzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu

Khalkân, bahwa yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w.

639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang

melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar al-

„Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.25

Sayyid Muhammad Alî Iyâzî, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul

Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas

menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhr al-Dîn al-Râzî secara

24

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-

Hadits,2005), Jilid I, h. 250. 25

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-250.

Page 50: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

37

utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak

bisa dijadikan pegangan.26

Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi al-Ra’yi

yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an. Sang

pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung

dalam teks al-Qur‟an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (al-Râzî)

menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu

menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur‟an, membersihkan

dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat

(teks) dengan kedalaman fikiran”.27

Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama,

menjaga dan membersihkan al-Qur‟an beserta segala isinya dari kecenderungan-

kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa

memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur‟an); Kedua, pada sisi lain, al-Râzî

meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat”

dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam

bentuk al-Qur‟an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara

mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih

lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran

ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, al-Râzî ingin menegaskan bahwa sesungguhnya

studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan

26

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah

al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1212 H), h. 652. 27

Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, h. 253.

Page 51: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

38

untuk menakwil ayat-ayat al-Qur‟an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab

yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.28

Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran

logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq,

ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir

dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya

(Tafsir al-Râzî) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu

Hayyan menegaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî menghimpun dan menjelaskan

banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi

membutuhkan ilmu tafsir.29

Dalam hal ini, wajar kiranya bila al-Dzahabi

menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam

(teologi) dan ilmu pengetahuan alam.30

Fakhr al-Dîn al-Râzî sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat al-

Qur‟an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang

tata bahasa (gramatika).31

Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai

permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting

adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-

persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam

semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi,

perbintangan, langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian

tubuh manusia.

28

http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html 29

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-253. 30

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 31

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 251.

Page 52: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

39

Tafsir ini merujuk pada kitab al-Zujâj fi Ma’âni al-Qur’an, Al-Farrâ’ wa

al-Barrâd, dan Gharîb al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.

Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu

„Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa‟id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir at-

Thabari (Jâmi’ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa‟labi (al-Kasyf wa al-Bayân), juga

berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi‟in.

Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba‟i,

Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa

ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu al-Futuh al-

Razi.

3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb

Menurut Cyril Classe, penamaan tafsir ini dengan Mafâtîh al-Ghaib

diilhami oleh sebuah ayat dalam al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 59 yang berbunyi:

“Pada sisi Allah terdapat kunci-kunci semua yang gaib (Mafâtîh al-Ghaib) dan

tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (Allah) sendiri.”32

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-

Ghaib

Komponen internal tafsir ini berbentuk bi al-Ra’yi sekaligus bi al-Ma’tsur,

dengan metode ijmali dan bercorak bil ‘ilmi. Sebagai seorang penafsir yang

32

Cyril Classe, “ar-Razi Fakhr ad-Din”, Ensiklopedi Islam (Ringkas), terj. Ghufran A.

Mas‟adi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), cet. ke-1, h. 337

Page 53: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

40

jenius, Fakhr al-Dîn al-Râzî menggunakan metode-metode yang berbeda dengan

tafsir-tafsir lainnya. Beberapa metode yang digunakan antaranya adalah :

a. Menjelaskan masalah-masalah fiqh

Dalam menjelaskan ayat ahkam (ayat-ayat hukum), al-Râzî cenderung

kepada madzhab Syafi‟i. Ia mengemukakan pendapat-pendapat dari berbagai

madzhab mengenai istinbath hukum fiqh, kemudian melakukan pentarjihan.

Namun ia sering mengemukakan bahwa pendapat Imam Syafi‟I lebih rajih

(unggul) daripada madzhab lain.33

b. Menjelaskan masalah qira‟at

Qira’at adalah cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an sebagaimana yang

diucapakan Nabi Saw, lalu beliau mentaqrirkannya.34

al-Râzî banyak

memaparkan tentang perbedaan qira’at yang terjadi di kalangan ahli qira’at.

Terkadang ia mengungkapkan arti dari setiap qira‟at tersebut atau meng-i’rab

ayat-ayat ditinjau dari segi qira’at tersebut kepada ucapan para ahli ilmu nahwu.35

c. Menjelaskan tentang ilmu kalam

Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu kalam, al-Râzî

lebih menonjolkan dirinya sebagai penganut al-Asy’ariyah yang kontra terhadap

golongan lain, terutama Mu’tazilah. Ia sering memaparkan pendapat-pendapat

Mu’tazilah kemudian pendapat-pendapat tersebut disanggah dan dipaparkan

33

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 34

Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya Terhadap

Istinbat Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ke-1, h.113 35

al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 11, h. 110.

Page 54: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

41

kelemahan-kelemahannya, walaupun terkadang argumennya tidak cukup

memadai dan memuaskan. 36

B. Thanthawi Jauhari

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya

Thanthawi Jauhari lahir di Mesir pada tahun 1280 H / 1870 M. dan wafat

pada tahun 1358 H/1940 M.37

Thanthawi Jauhari adalah seorang yang menyukai

sastra, sehingga mendapat julukan Pujangga Mesir. Beliau juga tertarik akan

keajaiban serta fenomena alam dan ilmu pengetahuan. Mengenai karya-karya

Thanthawi Jauhari antara lain: Jawâhir al-Ulûm (mutiara-mutiara ilmu); Nizhâm

al-Âlam wa al-Umam (tata dunia dan umat manusia); al-Tâz al-Arsy (mahkota

yang bertahta); Jamâl al-Âlam (keindahan alam); al-Islâm wa al-Nizhâm (Islam

dan sistem); al-Hikmah wa al-Hukamâ’ (kebijaksanaan dan orang-orang yang

bijaksana) dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm (Mutiara-mutiara dalam

tafsir al-Qur‟an yang mulia). Kitab ini merupkan karyanya yang terbesar dalam

bidang tafsir al-Qur‟an.38

Di Universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seorang pembaharu

terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga

mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar

pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir. Sebagai

akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan.

36

al-Razi, Mafatih al-Ghayb, jilid 11, h. 110. 37

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 441. 38

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 442.

Page 55: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

42

Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media

massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang

dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir. Di samping itu, Thanthawi juga fasih

berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam.

Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang

menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.39

al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm adalah bentuk dari kepedulian dan

kecintaannya terhadap al-Qur‟an. Dengan kemampuannya ia berusaha

menafsirkan al-Qur‟an yang bercorak ilmu pengetahuan yang memang sangat

dibutuhkan oleh umat Islam saat ini.

Thanthawi Jauhari memulai penulisan kitab tafsir ketika menjadi pengajar

pada perguruan tinggi Dâr al-Ulûm, Mesir. Dari hasil mengajar, kemudian ia

membuat sebuah kitab tafsir yang terdiri atas dua puluh lima juz. Thanthawi

Jauhari sebagai muallif (pengarang dan penyusun) menamakan kitab tafsirnya

dengan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm.40

2. Selayang Pandang Tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim

Kitab al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an yang terdiri dari dua puluh lima juz

tersebut lebih banyak menyoroti tentang ayat-ayat Kauniyah yang identik dengan

kajian keilmuan dan sains. Maka oleh para mufassir kitab ini digolongkan sebagai

kitab tafsir bil ‘ilmi, yaitu kitab tafsir yang lebih cenderung membahas ayat-ayat

39

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html 40

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 442.

Page 56: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

43

al-Qur‟an dari segi ilmu pengetahuan. Dalam penafsirannya ia menggunakan

teori-teori ilmiah.41

3. Latar Belakang Penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim

Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan

membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan.

Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufassir ilmu"

lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.

Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau

sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya

baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, evolusi matahari, perjalanan

bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan

listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.

Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat

islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para

pemikir (al-'Uqalâ') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulamâ') tentang

makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang

masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang

mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang

melingkupinya".

41

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 443.

Page 57: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

44

Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan

yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu

Alam.42

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an

Thanthawi Jauhari dalam menyusun kitab tafsir al-Jawâhir menggunakan

metode Tahlily, yakni menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an

dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan

urutannya di dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab al-

Nuzul, Munâsabah, dan kandugan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan

kecenderungan mufassir tersebut.43

Hal ini dapat dilihat dari bentuk

penyusunannya yang dimulai dengan penafsiran Basmalah sebagai ayat pertama

dalam surat al-Fatihah kemudian surat al-Baqarah dan surat-surat selanjutnya.

Dalam lembaran mukaddimah kitab tafsirnya ia menyebutkan “Kami memulainya

dengan surat al-Fatihah dan pertama-tama adalah Basmalah, demikianlah hingga

surat demi surat”.44

Ia memulai menafsirkan lafadz ayat-ayat yang ia kemukakan,

lalu dibacanya dengan syarah (penjelasan) dan penelitian. Cara yang digunakan

dalam penyusunan dan penafsiran dalam kitab al-Jawâhir antara lain, ia menulis

beberapa atau keseluruhan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan urutan surat dan

ayat. Setelah itu dijelaskan tafsir al-Lafadzh berupa kata-kata dan kalimat dari

seluruh ayat yang ditulisnya. Dilanjutkan dengan Syarh Idhah (penjelasan

42

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html 43

Definisi tersebut sesuai yang ada pada buku yang membahas ilmu al-Qur‟an. Lihat:

antara lain Azumardi Azra, Sejarah Ilmu Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 172 44

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi,

Tth), juz 1, h. 2.

Page 58: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

45

ringkas) yang terkandung disertai pernyataan al-Qur‟an yang lain dan Hadis Nabi

Saw. Analisa penafsiran ilmiahnya dimasukkan pada sebuah penjelasan tersendiri.

Pada tahap berikutnya Thantawi Jauhari berupaya menafsirkan ayat-ayat

dari tiap surat yang ditulisnya dengan beberapa penjelasan dalam bentuk al-

Maqâm al-Fashl (dari tiap-tiap al-Fashl terdapat beberapa Maqâshid yang

menafsirkan kalimat dari tiap-tiap ayat yang tersebar di dalam al-Qur‟an secara

ringkas).

Untuk mendukung metodologinya Thantawi Jauhari memasukkan dalam

tafsir al-Jawâhir penjelasan-penjelasan berupa gambar tumbuh-tumbuhan, hewan,

pemandangan alam, manusia, eksperimen ilmiah, dan tabel-tabel ilmiah spesialis

dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparan yang menjadikan

fakta-fakta tersebut benar-benar riil, layaknya fakta empiris.45

Dengan maksud menghindarkan dari kealfaan dalam penyusunan maupun

penjelasan, ia menggunakan lampiran pada akhiran juz, dengan kata lain ia

merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam. Dalam lembaran

mukaddimah kitab tafsir al-Jawahir ia menyatakan:

“Amma ba’d. Sesungguhnya kami telah berketetapan dalam beberapa

penjelasan kita al-Jawâhir fî tafsîr a-Qur’an al-Karim, bahwa kami

menyertainya dengan lampiran yang akan menjelaskan beberapa hal yang

lupa kami bahas dalam tafsir tersebut…. dan, insya Allah kami akan

mengemukakan hal-hal yang kami anggap urgen untuk memperluas

wawasan umat Islam”.46

Pemikiran metodologi yang dilakukan oleh Thantawi Jauhari tidak lepas

dari pengaruh dan tendensi Muhammad Abduh, yang sama-sama mufassir dan

45

Lihat: Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 1, h.209 46

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 1, h.2

Page 59: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

46

juga satu almamater di Dâr al-Ulûm sebagai guru, cendikiawan muslim serta

memiliki i‟tikad baik untuk memajukan dan membangkitkan pemikiran kaum

muslimin dari kemundurannya. Sebagaimana yang ia katakan dalam mukaddimah

tafsirnya :

“Banyak orang yang terpaku dengan lafadz-lafadz ayat, banyak menghafal

namun miskin berpikir. Akhirnya kreatifitas menjadi stagnan dan ilmu-

ilmu pun menjadi mati, sehingga ilmu lari ke barat, dan pihak timur

(Islam) kehilangan dasar dari atasnya secara cepat. Para ulama pasca kami

harus memikirkan pada apa yang telah kami ketengahkan dengan cerdas.

Mereka juga seharusnya mengkaji al-Qur‟an dengan metode seperti yang

telah kami jelaskan, hendaknya pandangan mereka menjadi terbuka”.47

Orientasi serta motivasi yang diambil oleh Thantawi Jauhari dalam

menyusun metodologi tafsir al-Jawâhir dilandasi pada suatu sikap bahwa tafsir

adalah sebagian anjuran dalam melakukan reformasi sosial, membersihkan agama

dari bid’ah, wahm (asumsi-asumsi keberagamaan tanpa pijakan metodologis),

khurafât, dan taklid. Ia pun berkeyakinan bahwa menafsirkan al-Qur‟an

merupakan tiupan rabbani dan isyarat-isyarat suci.

Menurut Thantawi jauhari ayat-ayat yang membahas masalah fiqh tidak

lebih dari seratus lima puluh ayat, sedangkan dalam ilmu alam terdapat tujuh ratus

lima puluh ayat. 48

Tanpa menghilangkan rasa hormatnya kepada seorang imam

dan mufassir klasik sebelumnya, ia mengeluhkan begitu banyak para mufassir

belomba-lomba menyusun kitab tafsir fiqh dibanding menyusun tafsir ‘ilmi.

47

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 2, h.203 48

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 25, h.53

Page 60: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

47

BAB IV

PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP ISRA’ MI’RÂJ

Bab ini berisi penjelasan QS. al-Isra‟: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15 mengenai

Isra‟ Mi„râj dalam karya al-Râzî dan Thanthawi serta perbandingan atas

keduanya. Alasan kami memasukkan terjemah tesebut agar memudahkan

pembaca untuk mengikuti alur dari diskusi ini dan supaya lebih mengkerucutkan

persoalan yang akan dibahas di sini. Terjemah ini kami terjemahkan langsung dari

kitab aslinya dan telah kami edit. Namun berbeda dengan terjemah Tafsir Mafâtîh

al-Ghaib, mengingat al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’an ketika menjelaskan surat al-

Isrâ‟ membagi menjadi beberapa lathîfah, maka kami hanya menerjemahkan

lathîfah pertama yang memang menjelaskan ayat pertama dari surat al-Isrâ‟ ini.

A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. al-Isra’: 1

Bila dilihat dari sisi sistematika penafsirannya, Thanthawi lebih teratur

dalam penulisannya, ini dapat dilihat dari bagaimana Thanthawi memberikan sub

bab pada penjelasannya, baik itu terdiri dari tafsir lafdzi, riwayat-riwayat,

penjelasan global, pembahasan masalah, dilanjutkan dengan hikmah yang dapat

diambil. Berbeda dengan al-Râzi yang tidak memberikan batas dan atau sub bab

pada penjelasannya, sehingga hal ini membuat pembacanya memetakan atau

mengklasifikasikannya sendiri mana bagian-bagian tafsirnya.

Page 61: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

48

Walaupun sumber yang digunakan adalah bi al-Ra’yi, sebuah tafsir tetap

harus menggunakan syarat-syarat tertentu. Untuk menjaga ke-Ma’tsur-annya,

tentu saja dalam sebuah tafsir harus terdapat tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an dan

riwayat-riwayat hadis, perkataan sahabat dan para tabi‟in.1 Mengenai ini

nampaknya baik Mafâtîh al-Ghaib ataupun al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’an

keduanya sama-sama menggunakan tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an dalam

penafsirannya. Ini dapat dilihat misalnya ketika al-Râzî mengutip firman Allah:

“yang perjalananya itu di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan

perjalananya di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)” untuk

membandingkan serta menjelaskan betapa maklumnya apa yang terkandung

dalam QS. Al-Isra‟ ayat 1 ini.2 Contoh lain bagaimana al-Râzi menafsirkan

potongan ayat Li nuriyahu Min Âyâtinâ merujuk kepada ayat lain dalam al-

Qur‟an, yakni QS. al-An‟âm ayat 75 yang berbunyi wa kadzâlika Nurî Ibrâhîm

Malakûta al-Samâwât wa al-Ardh.3 Sedang Thanthawi merujuk pada QS. Fushilat

ayat yakni Sanurîhim âyâtinâ fî al-Afâqi wa fî Anfusihim.4

Sebagaimana kitab tafsir pada umumnya, pada permulaan tafsirnya al-Râzi

dan Thanthawi juga menggunankan Tafsir lafdzi (Mufradât) untuk menjelaskan

secara bahasa makna dari kata per kata pada ayat secara keseluruhan. Dalam hal

1 Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an (Jakarata, Halim Jaya, 2007), h.482.

2 Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,

1414 H/1993 M), jilid 9, h. 496. 3 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 494.

4 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi,

Tth), juz 9, h. 14.

Page 62: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

49

ini keduanya tidak berbeda jauh dalam memberi makna tiap-tiap kata pada ayat

ini. Namun keduanya sedikit berbeda ketika menjelaskan makna Min al-Masjid

al-Harâm.

Thanthawi menjelaskan bahwa kata ini menunjukkan pengertian masjid

dengan makna masjid yang sebenarnya, bukan dalam artian Tanah Haram secara

keseluruhan.5 Ini berdasarkan hadis Nabi SAW: “Ketika saya tidur di Masjid al-

Haram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka’bah) antara tidur dan terjaga, datang kepada

saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah buraq denganku menuju langit pada

malam itu”. Sedangkan al-Râzi setelah menjelaskan bahwa memang ada

perbedaan pendapat ulama‟ mengenai hal ini, pendapat pertama yang mengatakan

bahwa yang dimaksud di sini adalah Masjid al-Haram sesungguhnya, dan

pendapat lain berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW Isra‟ dari rumah Hani bint

Abi Thalib mengatakan bahwa yang dimaksud Masjid al-Harâm pada ayat ini

adalah Tanah Haram keseluruhannya, ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas

bahwa Tanah Haram keseluruhannya adalah masjid. Di sini nampaknya al-Razi

lebih menjatuhkan pilihannya kepada pendapat yang terakhir, yakni maksud dari

ayat Min al-Masjid al-Harâm di sini adalah Tanah Haram keseluruhannya (tidak

sebatas Masjid al-Haram saja).6

5 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 5.

6 al-Razi, Mafâtih, jilid 9, h. 493-494.

Page 63: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

50

Keduanya sama-sama tidak menjelaskan asbâb al-Nuzûl seperti ketika

mereka membahas ayat lain. Ini dapat dimaklumi karena memang tidak semua

ayat dalam al-Qur‟an terdapat asbâb al-Nuzûlnya, termasuk surat al-Isrâ‟ ayat

pertama ini.

Mengenai munâsabah (korelasi), Thanthawi lebih unggul karena pada

Lathifah pertama ia menjelaskan munâsabah antar surat, yakni dua surat sebelum

surat al-Isra‟; surat al-Hijr dan al-Nahl.

Dalam munâsabah dengan surat al-Hijr, ia menyimpulkan bahwa dalam

surat ini berisi penjelasan mengenai awal hingga akhir proses penciptaan,

kemudian proses ini diulang lagi. Dan dari kedua proses ini ada metode penengah

yang dapat menjelaskan tentang keajaiban-keajaiban.7

Disusul kemudian dengan munâsabah dengan surat al-Nahl yang

menjelaskan tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW beserta sifat-sifat

mereka berdua yang terpuji. Kemudian surat ini ditutup dengan ayat yang

menegaskan bahawa Dia menyertai orang-orang bertakwa dan orang-orang baik.

Sehingga layaklah bila awal surat al-Isra‟ mengatakan Maha Suci Allah SWT.

Yang membawa berjalan hambanya-Nya. Karena hal yang akan disampaikan

berikutnya adalah peristiwa luar biasa yang menimbulkan ketidakpercayaan

banyak orang, maka pada surat sebelumnya Allah menegaskan bahwa Dia

7 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 12.

Page 64: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

51

bersama dengan Nabi SAW, karena beliau adalah termasuk orang yang bertakwa

dan terpuji.8

Adapun mengenai substansi pokok isi penafsirannya, nampak jelas sekali

al-Râzi memberikan porsi besar penafsirannya dengan pendekatan fisika dan

kosmologi untuk menjelaskan betapa logisnya perjalanan Isra‟ dan Mi‟raj ini. Ini

dapat dilihat ketika al-Râzi menjelaskan perbedaan pendapat mengenai bentuk

perjanan Nabi SAW, ia membaginya menjadi dua hal, yakni 1) Konfirmasi

kebolehan akal, dan 2) Kenyataan dari peristiwa. Pada poin pertama, yakni

konfirmasi kebolehan akal al-Râzi mengatakan :

“Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai akhir

malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus geometri (ilmu

ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara satu diameter (garis tengah

suatu lingkaran) dengan satu lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu

berbanding tiga satu pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah

diameter) dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran

ketikan Rasulullah SAW Isra‟ dari Makkah hingga Mi„râj ke „Arsy di atas

planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak hanya setengah diameter

(satu jari-jari). Ketika gerakan setengah lingkaran dapat di tempuh dalam

ukuran waktu tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter

(satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh dalam ukuran

waktu yang sama.”9

Berbeda dengan Thanthawi yang sama sekali tidak menggunakan

hitungan-hitungan sebagaimana dalam ilmu exact, Thanthawi memberikan porsi

besar dalam penafsirannya dengan menggunakan ilmu jiwa (dalam arti ilmu yang

8 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 13.

9 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.

Page 65: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

52

berbicara mengenai hakekat jiwa dan ruh). Misalnya ketika thanthwai

mengatakan:

“Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yang seharusnya

memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka

bagaimana dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang

yang mengalaminya. Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah

SAW Nabi Adam, Isa, Idris, Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah

orang paling mirip dengan Rasulullah”.

Dengan dua kacamata ilmu pengetahuan yang berbeda inilah sehingga

ketika mereka ikut masuk dalam perdebatan mengenai apakah Isra‟ dan Mi‟râj

dilakukan dengan ruh (rohani) saja atau dengan jasad (jasmani) juga, mereka

menjatuhkan pilihan sebagaimana pendapat mayoritas, yakni Isra‟ Mi‟râj Nabi

SAW terjadi dengan jasad dan ruh, tidak dalam keadaan tidur atau sebagaimana

mimpi.

Namun alasan al-Râzi dan Thanthawi berpendapat demikian tidaklah

sama. Al-Râzi beralasan bahwa jasad Nabi sangat mungkin sekali mengalami

peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj dengan kecepatan yang tinggi. Ini sebagaimana yang ia

katakan:

“Berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran matahari sama dengan 160

kali bola bumi. Kemudian kita menyaksikan bahwa tebit matahari berjalan

secara cepat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai

batas seperti disebutkan adalah sesatu yang mungkin pada dirinya”.10

10 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.

Page 66: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

53

Sedangkan Thanthawi tidak membedakan antara Jasmani dan Ruhani

mengenai hal ini. Ia menggunakan dua istilah antara jasad lahiriyyah dan jasad

barzakhi (ruh) sebagaimana yang ia katakan:

Kalau kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy maka

pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut

menjadi satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan

dengan ruhnya saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah

jasadiyah (lahiriyah) secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa

nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda

benar, karena menurut ahli ruh tidak ada perbedaan antara jasad

barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad barzakhyah adalah

jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka barangsiapa

berkata bahwa nabi Isra‟' dengan ruhnya saja berarti dia mendekati

hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan

jasadnya maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh)

adalah kondisi pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan

mimpi, dan gambarannya menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan

terbang lebih cepat dari pada kilat bahkan kecepatanya seperti kecepatan

lintasan pikiran, bukankah anda melihat bahwa seseorang dalam kamarnya

berada di timur dengan lintasan pikirannya kemudian berpindah ke barat

lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti keadaan yang biasa

terjadi di alam ruh sana.

Perbandingan antara kedua penafsiran ini berikutnya adalah bagaimana

penafsiran mereka berupaya semudah mungkin bila dibaca oleh orang awam maka

unsur hidayahnya dapat mudah ditangkap. Ini sebagaimana yang dijelaskan pada

BAB I mengenai kritik Muhammad Abduh mengenai tafsir-tafsir yang telah ada

sebelumnya, yang menjelaskan terlalu panjang lebar berdasarkan ilmu yang paling

menonjol pada masing-masing mufassir sehingga terkadang susah menangkap

hikmah atau hidayah ayat yang dijelaskan.

Page 67: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

54

Mengenai ini, al-Razi memang tidak mencantumkan hikmah dari

penafsirannya mengenai Isra‟ dan Mi‟raj secara khusus, sehingga pembaca harus

berupaya sendiri untuk menangkap hikmah apa yang tersirat dari penafsiran al-

Razi.

Berbeda dengan Thanthawi yang justru membuat sub bab tersendiri untuk

menjelaskan hikmah dan tujuan dari apa yang ditafsirkannya. Ia mengatakan

bahwa tujuan dari diturunkannya ayat yang berbicara mengenai Isra‟ dan Mi‟raj

ini bukanlah hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui mengenai

keadaan Rasulullah SAW semata, tetapi agar kita mengikuti syari‟at yang dibawa

Nabi dan ikhlas untik berdakwah kepada manusia sebagaimana dakwah Nabi

SAW.11

Thanthawi juga mengatakan dari peristiwa ini seyogyanya kita harus

membersihkan jiwa (ruh) kita dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Nya yang

sebenarnya diperlihatkan kepada kita.

B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15

Sebagaimana pada perbandingan penafsiran al-Razi dan Thanthawi pada

Qs. al-Isra‟ : 1, penafsiran keduanya pada Qs. Al-Najm: 13-15 pun bila dilihat dari

sistematika penulisannya penafsiran Thanthawi lebih unggul. Ini dikarenakan

pada penafsirannya, Thanthawi memberikan sub-bab pada penjelasan-

11 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 13.

Page 68: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

55

penjelasannya mulai dari menulis ayat-ayat yang akan dibahas, penjelasan surat,

membagi tiap ayat pada beberapa penjelasan dan lain sebagainya. Dan dalam hal

ini Thanthawi memasukkan ayat 13 – 15 pada penjelasan mengenai diberikannya

wahyu kepada Nabi Saw dan proses taqarrub Nabi Saw kepada Allah.12

Pada sub-bab tafsir lafdzi, baik penafsiran al-Razi maupun penafsiran

Thanthawi keduanya langsung menjelaskan ayat yang dimaksud dengan panjang

lebar.13

Hal ini berbeda ketika keduanya pada ayat lain seringkali membedakan

sub-bab tersendiri antara tafsir lafdzi dan penjelasan ayat yang dimaksud.

Mengenai munasabah, penafsiran al-Razi nampaknya lebih jelas

menerangkan korelasi surat atau munasabah bayna al-surah. Al-Razi menjelaskan

bahwa munasabah surat al-Najm dengan surat sebelumnya yakni surat al-Thur

sangat kuat sekali. Menurutnya ini dapat dilihat pada bagaimana al-Razi

menjelaskan huruf wawu qasam yang ada pada awal surat al-Najm. Sedangkan

munasabah surat pada penafsiran Thanthawi walaupun menuliskan sub-bab

munasabah tersendiri, namun penjelasannya Nampak tidak sejelas penjelasan

munasabah al-Razi.

Mengenai substansi pokok penafsirannya, al-Razi pada ayat 13 dan 14

nampak lebih menekankan pengertian roâ hu (melihat-Nya) dan lafadz nazlatan

12 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 23, h. 227.

13

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 23, h. 227.

Page 69: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

56

(turun). Sedangkan Thanthawi lebih menekankan pada pengertian lafadz roâ hu

(melihat-Nya).

Pada penjelasan ayat 15, al-Razi lebih menekankan penjelasan pengertian

lafadz jannah (surga). Menurutnya ada dua pendapat pengertian jannatu al-

Ma’wa, sebagian mengatakan itu adalah surge untuk orang-orang yang bertakwa,

sebagian berpendapat itu adalah surge bagi para syuhada‟. Al-Razi juga

menjelaskan bahwa ada sebagian yang membaca lafadz jannah dengan Jinnah

(tersembunyi).

Kedua penafsiran terhadap Qs. al-Najm : 13-15 nampak tidak menjelaskan

mengenai Mi‟raj Nabi Muhammad Saw dengan detail. Berbeda ketika keduanya

menjelaskan Qs. al-Isra‟: 1 yang selain menjelaskan Isra‟ Nabi Saw, juga

menjelaskan Mi‟raj Nabi Saw dengan detail dan jelas.

Page 70: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

57

BAB V

PENUTUP

Penutup mengandung kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan poin-

poin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap

masalah. Sedangkan saran adalah usul atau saran dari penulis seputar penelitian

dan faktor-faktor pendukungnya, baik faktor akademis maupun non-akademis.

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, penulis dapat berkesimpulan bahwa tafsir bil ‘ilmi tdak

sepenuhnya selalu memandang Isra’ Mi’râj dengan teori-teori ilmu pengetahuan

modern yang bersifat exact dan kerap ditakutkan oleh para penolak tafsir bil ‘ilmi

karena teori-teori itu akan berubah-ubah di lain masa. Ini terbukti bagaimana

Thanthawi menjelaskan Isra’ Mi’râj jauh dari hitungan-hitungan saintis

sebagaimana al-Râzi.

Tafsir dengan corak bil ‘ilmi tidak berbeda dalam memandang pengertian

Isra’ dan Mi’raj, yakni adalah perjalanan Nabi SAW pada malam hari dari Masjid

al-Harâm ke Masjid al-Aqsha dan kemudian dilanjutkan menuju Sidrat al-

Muntaha di langit ke tujuh.

Adapun perbedaan mendasar antar tafsir bil ‘ilmi, dalam hal ini yakni

tafsir al-Râzî dan Thanthawi dalam penafsirannya mengenai Isra’ Mi’raj adalah

cara pandang dengan ilmu apa mereka melihatnya. Al-Râzi lebih banyak

menjelaskan hal ini dari sisi ilmu pengetahuan yang bersifat saintis seperti fisika

Page 71: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

58

dan kosmologi. Sedangkan Thanthawi dalam penafsirannya mengenai ini lebih

tertarik melihatnya dari kaca mata ilmu jiwa yang menerangkan tentang hakekat

ruh.

B. Saran-saran

Berdasarkan apa yang telah penulis alami dan rasakan dalam penelitian

ini, dengan harapan perbaikan kualitas penelitian ini selanjutnya, penulis

menyampaikan beberapa usul dan saran sebagai berikut:

1. Penelitian mengenai saintifikasi al-Qur’an yang terjadi pada tafsir-

tafsir bil ‘ilmi perlu terus dilakukan dan dikembangkan untuk

memonitor apa yang ditakutkan oleh ulama’-ulama’ yang tidak setuju

dengan tafsir dengan corak bil ‘ilmi; yang beralasan bahwa teori-teori

sains selalu berubah mengikuti perkembangan.

2. Penelitian penulis masih terbatas pada perbandingan antara dua tafsir

bil ‘ilmi yang berlainan periode. Untuk penelitian selanjutnya,

mungkin bisa dikembangkan dalam tafsir-tafsir yang lain.

3. Penelitian dibatasi oleh beberapa hal, seperti waktu, dana, dan sumber

rujukan. Oleh karena itu, dibutuhkan persiapan yang lebih dini,

terutama dalam pencarian dan pengolahan data.

4. Dalam penelitian yang rujukan utamanya berupa buku-buku berbahasa

asing, penguasaan atas bahasa mutlak diperlukan demi kelancaran

penelitian.

Page 72: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

DAFTAR PUSTAKA

al-„Aridhl, Ali Hasan. Sejarah Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajagrafindo Persala.

Ayyub, Mahmud. al-Qur’an dan para Mufassirnya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Azra, Azzyumardi. Sejarah Ilmu Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain. Ma‘âlim al-Tanzîl. T. tp: Dar Thayyibah

li al-Nashr wa al-Tauzi‟, 1997.

al-Baghdadi, Al-Alusi. Tafsir Rûh al-Ma‘âni. Beirut: Dar ihyaa‟ al-Turats al-

„Arabi, 1405.

Baiquni, Achmad. Al-Qur’an dan Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: Prima

Bakti Yasa, 1997.

Chalil, Moenawar. Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Classe, Cyril. Ensiklopedi Islam (Ringkas). terj. Ghufran A. Mas‟adi. Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada, 1996. cet. 1.

al-Dawuri, Syamsu al-Dîn. Tabaqât al-Mufassirîn. Beirut: Dâr al-Kutub al-

Ilmiyah. t.th. Jilid 2.

al-Dimasqi, Ibn Qadhi Syaihbah, Tabaqât al-Syafi’iyah. Haidar abad: Dâirah al-

Ma‟arif al-Usmaniyah. 1979. Jilid II, cet. 1.

al-Dzahabi, Muhammad Hussain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo, Dar al-

Syuruq al-Mishriyyah, 1998.

Firmansyah, Ahmad. “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah

Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-

Azhar”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2002.

al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Amzah. 2006. cet ke-2.

Haikal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya.

1978.

Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya

Terhadap Istinbat Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

cet. 1.

Hidayat, Rachmat Taufiq. Khazanah Istilah al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1996.

cet.4.

Page 73: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

al-„Imadi, Abu Sa‟ud. Irsyâdu al-‘Aqlu al-Salîm li mizâyan. T. tp: al-Kitâb al-

Karîm, t. th juz 4.

Ibn Katsir, Abi al-Fida‟, al-Bidâyah wa al-Nihâl. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,

1987.

Ibn Manzur, Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir. T.th.

Iyâzî, Sayyid Muhammad Ali. al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum. T. tp:

Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr. 1212.

Jauhari, Thanthawi. al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an. Kairo: Mathba‟ah al-Bab al-

Halabi, Tth.

al-Khûli, Amin. Metode Tafsir Sastra. Yogyakarta: Adab Press, 2004.

al-Majdub, Abdul Aziz. al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl

Tafsîrih. Libya: Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M. cet. 2.

al-Maraghi, Mustafa. Tafsir al-Maragi. Beirut: Dar al-Fikr. Tth. julid 5.

Moh. Rathomi, Abdai. Muhammad beraudiensi dengan Tuhan. Surabaya: PT.

Bina Ilmu, 1987.

Mudhari, Bahauddin, Menjelajah Angkasa Luar. Surabaya: Pustaka Progresif.

1989.

Mudhary, Bahauddin. Setetes Rahasia Alam Tuhan. Surabaya: Pustaka Progresif,

1996.

al-Muhtasib, Abdul Majid. Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts. Beirut: Dâr al-

Fikr, 1973.

Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2008.

Mustofa, Agus. Terpesona di Sidratul Muntaha. Sidoarjo: PADMA Press. 2004.

Nawawi, Rif‟at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta:

Paramadina. 2002.

Nuwaihid, „Adil. Mu’jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr al-

Hadhr. t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986. Jilid 2, cet. 2.

al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarata: Halim Jaya, 2007.

al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad, Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr. 1414

H/1993 M.

al-Sabuni, Muhammad Ali. Safwat al-Tafâsir. Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim.

1980. Jilid II.

Page 74: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

Sa‟id Mubayyadh, Muhammad. Kisah Di Balik Isra’ Mi’raj. T. tp: PSIA, t. th.

al-Samarkandi, Abu Laits. T. tp Bahru al-‘Ulûm. T. th juz 2.

Schimmel, Annemarie. Dan Muhammad Adalah Utusan Allah. Bandung: Mizan,

cet. IV, 1994.

al-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna: Dirasah maudlu’iyah fi al-mu’tarak al-

Sira’ al-Fikr al-Qa’im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyah

wa al-Falsafah al-Islamuyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-

Marksiyyah). Qum: Daar al-Kutub al-Islamiyyah. 1981.

Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2007.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1995.

------------------------. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009 vol.7.

-------------------------. Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar.

Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Siswanto, M. Hum. Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika

Barat. Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M.

al-Suyuthi, Imam. Tabaqât al-Mufassirîn. Beirut: Dâr al-Fikr. 1980.

Taimiyah, Ibnu, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma’a ‘Ardh Mujâz li Ittijâhat

asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah Ibrahim bin Muhammad. Tonto: Dâr al-

Shahabah li al-Turats. 1988. cet. 1.

Al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’an. T, tp:

Muassasah al-risalah, 2000 juz 17.

Tanpa Penulis, Hadza al-Habib Muhammad Rasul Allah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam ya Muhibb. Jeddah: Daar al-Syuruq. 1989.

Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).

Jakarta: CeQDA, 2007.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:

Djambatan. 1992.

Tim penulis Rosda. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. I. 1995.

Al-Umari, Ali Muhammad. al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa

‘Asaruhu. Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah.

1969.

Page 75: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

Zainun, Adi Amir. “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.

http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html

Page 76: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

Lampiran 1: Terjemahan Tafsir Mafatih al-Ghayb atas Qs. al-Isra :1

Surat al-Isra’atau Banî Israil (Makkiyah, 111 ayat)

(kecuali ayat 26,32,33,57 dan 73-80 adalah madaniyah)

Bismillahirrahmanirram

“Maha suci allah SWT. Yang membawa berjalan hambanya-Nya pada suatu

malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi

sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda

(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha

Melihat”. (QS. al-Isra‟/17:1)

Menurut ibn „Abbas, surat ini adalah Makkiyah, kecuali mulai ayat “wa in

kâdû layastafizzûnaka min al-ardh ”(ayat 76) sampai “wa ij‟al lî min ladunka

sulthânan nashîran” (ayat 80) adalah madaniyyah, yang diturunkan pada saat

datangnya perutusan dari Tsaqif.

Dalam ayat ini terkandung beberapa persoalan:

1. Menurut kalangan ahli bahasa (nahwiyyûn), kata subhâna adalah ism „âlam,

sedangkan kata al-tasbîh adalah mashdar (kata benda). Maksud kata tersebut

adalah mensucikan Allah dari segala keburukan. Menurut shâhib al-nazhâm,

kata al-sabh secara etimologi adalah “al-taba‟ud” (menjauhkan) yang

ditunjukkan oleh firman Allah: Inna laka fi al-nahâr sabhan (sesungguhnya

kamu pada siang hari mempunyai urusan). Sedangkan pengertian: sabbaha

Allahu Ta‟âla adalah menjauhkan-Nya dan membersihkan-Nya dari segala

sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Kata al-tasbîh mengandung beberapa

pengertian: (1) Shalat, diantaranya adalah firman Allah: “Fa lawla annahu

kâna min al-musabbihîn.” Al-musabbih dalam ayat ini berarti orang yang

shalat disebut sebagai musabbih adalah karena ia mengagungkan Allah

melalui shalatnya dan mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak

bagi-Nya. (2) pengecualian, sebagaimana pada ayat “Qâla awsathuhum alam

aqul lakum lawlâ tusabbihûn.” Atau mengecualikan, tapi takwilnya juga

kembali pada pengagungan Allah dalam pengecualian dengan kehendak-Nya.

(3) Cahaya, seperti disebutkan dalam hadits “la ahraqat sabhâtu wajhihi mâ

adrakat min syay‟.” Sabhâtu wajhihi berarti cahaya wajahnya, yaitu cahaya

wajah yang menyebabkan orang yang melihatnya mengucapkan: Subhânallah

(Maha Suci Allah).

Kata asrâ menurut ahli bahasa sama dengan kata sarâ yang berarti

“berjalan di malam hari”. Sedangkan kata bi‟abdihi, para ahli tafsir sepakat

bahwa maksudnya adalah Muhammad SAW. Saya mendengar Syaikh Imam

al-Walid „Umar ibn al-Husayn mengatakan: “Saya mendengar Syaikh Imam

Abu Qasim Sulayman al-Anshari berkata: Ketika Muhammad SAW sampai

pada langit yang tertinggi, Allah berfirman kepadanya: Wahai Muhammad,

Page 77: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

dengan apa aku memuliakanmu?” beliau menjawab: “Wahai tuhanku, agar

Engkau menisbatkan aku kepada diri-Mu dengan ibadah (menyembah kepada-

Mu)”. Maka Allah menurunkan ayat ini (Subhâlladzî asrâ bi‟abdihi laylan).

Kata laylan adalah keterangan waktu.

Jika dikatakan bahwa Isra‟ adalah berjalan di waktu malam, jadi

perjalanan itu hanya dilakukan pada malam hari, lalu apa urgensi

disebutkanya kata laylan (malam) dalam ayat ini?.

Maksud dari ungkapan kata laylan (malam) dengan lafadz nakirah

(abstrak) adalah sebagian kecil dari perjalanan di waktu malam, yaitu bahwa

Allah memperjalankan hamba-Nya dari Makkah ke Syam, suatu perjalanan

yang memakan waktu empat puluh malam, hanya sebagian dari waktu malam.

Dipergunakanya bentuk nakirah (abstrak) pada kata laylan menunjukkan

makna “sebahagian”. Para ulama berbeda pendapat mengenai malam tersebut.

Muqatil berpendapat bahwa malam itu adalah satu malam sebelum hijrah.

Penulis al-Kasysyâf mengutip dari Anas dan al-Hasan menyebutkan bahwa

malam itu adalah sebelum bi‟tsah (kenabian).

Firman Allah: “Min al-Masjid al-Harâm”, para ulama berbeda pendapat

mengenai tempat bertolaknya perjalanan Isra‟. Sebagian berpendapat bahwa

tempat itu adalah Masjid al-Haram itu sendiri, yaitu sebagaimana yang

ditunjukkan oleh zhahir ayat tersebut. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa

beliau bersabda: “Ketika aku berada di Masjid al-Haram pada Hijr dekat

Ka‟bah antara bangun dan tidur, tiba-tiba Jibril datang kepadaku dengan

buraq”. Pendapat lain menyebutkan bahwa perjalanan Isra‟ dimulai dari

rumah Umm Hani binti Abi Thalib. Adapun maksud dari ungkapan al-Masjid

al-Haram adalah tanah suci, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn‟Abbas bahwa

tanah suci seluruhnya adalah Masjid (tempat sujud). Ini adalah pendapat

mayoritas. Mengenai al-Masjid al-Aqshâ para ulama sepakat bahwa itu adalah

Bait al-Maqdis (Yerussalem). Disebut al-Aqsha adalah karena jaraknya yang

jauh antara Bait al-Maqdis ini dengan Masjid al-Haram. Maksud ungkapan

“al-ladzî bâraknâ hawlahu” adalah berkah dari buah-buahan dan bunga-

bunga. Pendapat lain menyebutkan bahwa hal itu disebabkan karena tempat

tersebut merupakan tempat tinggal para Nabi dan tempat turunya para

malaikat.

Perlu diingat bahwa kata ilâ (ke) dimaksudkan pada tujuan akhir. Maka

makna tersebut tersurat dari ilâ al-Masjid al-Aqshâ berarti benar-benar sampai

batas masjid tersebut. Tidak ada petunjuk yang jelas dalam ayat ini adapun

ungkapan “linuriyahu min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya

sebagian tanda-tanda kebesaran Kami) berarti adalah keajaiban-keajaiban dan

tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT yang diperlihatkan-Nya

kepada Nabi SAW pada malam itu.

Sebagian orang berpendapat bahwa ungkapan “Agar Kami perlihatkan

kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami” menunjukkan bahwa

Allah hanya memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya

kepada Nabi Muhammad SAW, karena kata “min” berarti “sebahagian”,

sedangkan tentang Ibrahim Allah berfirman: “Demikianlah Kami

memperlihatkan kepada Ibrahim para malaikat, langit dan bumi”, maka

Mi„râj Ibrahim lebih utama dari pada Mi„râj Muhammad SAW”.

Page 78: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

Menurut kami, yang dilihat Ibrahim alaihissalam adalah para malaikat

langit dan bumi, sedangkan yang dilihat Muhammad SAW adalah sebagian

dari tanda-tanda kekuasaan Allah (tidak terbatas pada malaikat). Maka tidak

diragukan lagi bahwa tanda-tanda tersebut adalah lebih utama.

Kemudian Allah berfirman: “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi

Maha Melihat”. Maksudnya adalah bahwa Allah yang telah memperjalankan

hamba-Nya pada malam hari adalah Maha medengar pada perkataan

Muhammad dan Maha melihat pada perbuatan-perbuatan beliau. Dia Maha

mengetahui bahwa seluruh perbuatan beliau adalah terpuji dan terhindar dari

segala keriyaan, disertai kejujuran dan kesucian. Oleh karena itu pulalah,

Allah mengistimewakan beliau dengan kemulian-kemulian tersebut. Sebagian

pendapat menyebutkan bahwa maksudnya adalah Allah Maha Mendengar apa-

apa yang diucapkan mereka kepada Rasulullah SAW berkenaan dengan

perkara ini dan Maha Melihat apa-apa yang mereka lakukan terhadap

peristiwa ini.

2. Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk perjalanan (Isra‟) tersebut.

Mayoritas kelompok kaum muslimin berpendapat bahwa perjalanan itu adalah

dengan jasad Nabi SAW. Sebagian kecil yang lain berpendapat bahwa

perjalanan itu dengan ruh beliau. Diriwayatkan dari Muhammad ibn Jarir al-

Thabari dalam tafsirnya dari Hudzayfah, menurutnya hal itu seperti mimpi dan

jasad Rasulullah SAW tidak hilang, akan tetapi beliau melakukan perjalanan

dengan ruhnya. Riwayat ini juga diceritakan dari „Aisyah RA dan Mu‟awiyah

RA: ketahuilah bahwa perkara ini menyangkut 2 hal, yaitu: (1) konfirmasi

kebolehan menurut akal, dan (2) kenyataan dari peristiwa tersbut.

3.1. Yaitu konfirmasi kebolehan menurut akal, menurut kami bahwa gerakan yang

terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin pada dirinya, dan Allah

Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal itu menunjukkan bahwa

tercapainya gerakan dengan kcepatan tersebut tidak ada halangan. Untuk

menjelaskan hal ini, kami perlu mengemukakan dua perspektif, yaitu:

3.1.1. Bahwa gerakan yang terjadi secara cepat pada peristiwa Isra‟ Mi‟râj

dapat di tunjukkan dari beberapa aspek berikut:

3.1.1.1. Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai

akhir malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus

geometri (ilmu ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara

satu diameter (garis tengah suatu lingkaran) dengan satu

lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu berbanding tiga satu

pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah diameter)

dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran

ketikan Rasulullah SAW Isra‟ dari Makkah hingga Mi„râj ke

„Arsy di atas planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak

hanya setengah diameter (satu jari-jari). Ketika gerakan

setengah lingkaran dapat di tempuh dalam ukuran waktu

tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter

Page 79: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

(satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh

dalam ukuran waktu yang sama. Ini adalah petunjuk yang nyata

bahwa perjalanan dari Makkah ke atas „Arsy dalam ukuran

sepertiga malam adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Jika

demikian, perjalanan tersebut dapat terjadi setiap malam dan

itu lebih memungkinkan. Hanya Allah-lah yang lebih

mengetahui.

3.1.1.2. Aspek kedua, berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran

matahari sama dengan 160 kali bola bumi. Kemudian kita

menyaksikan bahwa tebit matahari berjalan secara cepat. Hal

ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai batas

seperti disebutkan adalah sesatu yang mungkin pada dirinya.

3.1.1.3. Jika kenaikan jasad kasar dari pusat bumi ke atas „Arsy tidak

dapat diterima oleh akal, maka turun ruh halus dari atas „Arsy

ke pusat bumi tidak dapat diterima pula oleh akal. Maka, jika

pendapat yang menyatakan bahwa Mi‟raj Nabi Muhammad

SAW dalam satu malam tidak mungkin menurut akal, maka

pendapat yang menyatakan bahwa malaikat jibril turun dari

„Arsy ke Makkah dalam sekejap adalah tidak mungkin pula.

Jika kita memegang ketidak mungkinan ini, maka hal ini

merupakan penolakan atas kenabian seluruh nabi-nabi AS.

Sementara itu, pendapat menetapkan Mi‟raj ini merupakan

cabang dalam penerimaan kemungkinan dari asal kenabian.

Dengan demikian, dapat di pastikan bahwa orang-orang yang

berpendapat tidak mungkin terjadi gerakan yang cepat sampai

batas tersebut, mengharuskan mereka berpendapat pula

ketidakmungkinan turun malaikat Jibril dalam sekejap dari

„Arsy ke Makkah. Jika hal itu tidak benar, maka pendapat

inipun tidak benar.

Jika mereka berkata: kami tidak berpendapat bahwa Jibril

adalah jasad yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Kami berpendapat bahwa maksud dari turun jibril adalah hilang

tirai jasmani dari ruh Muhammad SAW sehingga tampak jelas

bagi beliau sebagian dari hal-hal yang ghaib dan yang nyata,

yang sebagianya hadir secara nyata pada zat Jibril.

Menurut kami, tafsir al-Qur‟an dengan cara demikian

adalah pendapat para ahli hikmah (failasuf). Sedangkan

mayoritass kaum muslimin berketetapan bahwa Jibril adalah

jenis makhluk dan turunnya ke bumi adalah gambaran dari

perpindahannya dari alam bintang ke Makkah. Jika demikian

maka pendapat yang disebutkan adalah kuat. Diriwatkan bahwa

ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan kisahnya tentang

Mi‟râj tersebut, semua mendustakanya. Kemudian mereka

datang kepada Abu Bakar dan mereka berkata: “Sahabatmu

Page 80: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

berkata begini dan begitu.” Abu Bakr menjawab: “Jika beliau

telah mengatakan demikian, maka itu adalah benar.”

Kemudian Abu Bakr datang kepada Rasulullah, lalu Rasulullah

menyebutkan perincian itu kepada Abu Bakr. Setiap beliau

menyebutkan sesuatu, Abu Bakr berkata: “Engkau benar”.

Ketika beliau selesai bercerita, Abu Bakr berkata: “Aku

bersaksi sesungguhnya engkau adalah benar-benar Rasulullah”.

Rasulullah berkata kepadanya: “Aku pun bersaksi bahwa

engkau adalah benar-benar orang yang membenarkan (al-

Shiddîq)”. Hasil perbincangan itu adalah bahwa Abu Bakr

seakan-akan mengatakan, Ketika aku menerima risalahnya,

Aku pun telah membenarkannya dalam perkara yang lebih

besar dari ini, jadi bagaimana mugkin aku mendustakan

perkara ini?.

3.1.1.4. Orang-orang yang beragama dan sistem kepercayaan menerima

keberadaan iblis dan mereka juga menerima bahwa iblis adalah

yang menghembuskan godaan kedalam hati manusia. Mereka

juga percaya bahwa iblis dapat berpindah-pindah dari Timur ke

Barat untuk menyebarkan godaan ke dalam hati manusia.

Ketika mereka menerima kemungkinan gerakan cepat iblis

seperti ini, maka penerimaan mereka atas kemungkinan

tersebut pada nabi-nabi besar adalah lebih utama. Kesan ini

kuat bagi orang yang menerima kenyataan bahwa iblis adalah

makhluk yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat

yang lain. Adapun orang-orang yang berpendapat bahwa iblis

adalah bagian dari ruh-ruh kotor yang jahat meyakini iblis

bukanlah jasad dan tidak pula bersifat jasmani. Penetapan ini

bukan berasal dari mereka, hanya saja mayoritas pemeluk

agama dan orang yang berkepercayaan sepakat bahwa iblis

adalah makhluk halus yang berpindah.

Jika dikatakan: Malaikat dan iblis dapat melakukan

gerakan cepat seperti itu karena mereka makhluk-makhluk

halus dan mereka tidak memiliki halangan apapun untuk

mencapai hal itu, sedangkan manusia, ia adalah makhluk kasar,

jadi bagaimana rasionalisasi terjadi gerakan yang cepat seperti

itu bagi manusia?

Kami menanggapi pernyataan demikian melalui

keadaan malaikat dan setan hanya untuk menunjukkan bahwa

gerakan yang ekstra cepat seperti demikian adalah sesuatu yang

mungkin terjadi. Adapun penjelasan mengenai kemungkinan

terjadi gerakan cepat itu berlaku juga bagi jasad manusia, maka

hal itu adalah persoalan lain dan kami akan menjelaskanya

nanti insya Allah.

Page 81: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

3.1.1.5. Disebutkan di dalam al-Qur‟an bahwa angin membawa terbang

Nabi Sulaiman AS ke tempat-tempat yang jauh dalam waktu

yang singkat. Dalam menjelaskan perjalanan Sulaiman bersama

angin, Allah Ta‟âlâ berfirman: “yang perjalananya itu di

waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalananya

di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)”. Bahkan

menurut kami, indera menunjukkan bahwa ketika angin

berhembus sangat kencang sampai puncak kecepatanya, ia

dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat yang jauh sekali

dalam sesaat. Hal demikian juga menunjukkan bahwa gerakan

cepat seperti itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada

dirinya.

3.1.1.6. Al-Qur‟an menunjukkan bahwa seorang yang memiliki ilmu

dari al-Kitab dapat menghadirkan istana ratu Balqis dari ujung

Yaman ke ujung Syam (Syiria) dalam hitungan kedipan mata

(sebelum mata berkedip). Hal ini berdasarkan firman Allah:

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab:

“Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum

matamu berkedip”. Jika hal demikian dapat terjadi pada

sebagian orang, maka kami mengetahui bahwa hal itu dapat

terjadi pada dirinya.

3.1.1.7. Sebagian orang berpedapat bahwa hewan hanya dapat melihat

benda-benda karena adanya cahaya keluar dari kedua matanya

dan berhubungan dengan benda yang dilihatnya. Kemudian,

jika kita membuka mata kita dan kita melihat kepada seseorang

yang kita lihat, maka berdasarkan teori di atas, cahaya mata

pindah dari mata kita kepada orang itu dalam waktu yang

singkat. Itu menunjukan bahwa gerakan nyata yang terjadi

dalam batas kecepatan ini merupakan sesuatu yang mungkin

terjadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Berdasarkan

hal itu, maka gerakan yang mencapai puncak kecepatan adalah

perkara yang mungkin terjadi pada dirinya.

3.1.2. Dalam menjelaskan perkara gerakan yang mungkin terjadi pada dirinya,

maka adalah sesuatu yang wajib pula bahwa gerakan tersebut dapat

terjadi pada jasad Muhammad SAW (pencapaian gerakan yang sangat

cepat oleh Muhammad SAW bukan sesuatu yang tidak mungkin). Yang

menunjukkan hal itu adalah bahwa kami telah mengemukakan dali-dalil

yang pasti (qath‟i) bahwa setiap jenis saling menyerupai dalam

kesempurnaan esensinya. Maka, jika gerakan cepat seperti itu terjadi

pada sebagian jenis, hal itu wajib pula kemungkinan terjadi bagi seluruh

jenis. Hal itu meniscayakan kemutlakan bahwa terjadi gerakan cepat

Page 82: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

tersebut bagi jasad Muhammad SAW adalah sesuatu yang mungkin

terjadi padanya.

Jika hal itu dapat di tetapkan, kami berpendapat: hal itu

ditetapkan berdasarkan bahwa pecipta alam semesta Maha Kuasa atas

segala kemungkinan-kemungkinan, dan ditetapkan pula bahwa terjadi

gerakan yang mencapai batas kecepatan tersebut bagi Muhammad

SAW adalah sesuatu yang mungkin. Maka merupakan sesuatu yang

wajib (niscaya) bahwa Allah Maha Kuasa atas hal itu dan saat itu, dan

berdasarkan penjelasan-penjelasan terdahulu, selayaknya kita

berpendapat bahwa ketetapan mengenai terjadi Mi‟râj adalah sesuatu

yang mungkin terjadi pada dirinya. Lebih jauh lagi dari persoalan ini

adalah hal itu menyisakan keajaiban, hanya saja keajaiban tersebut

tidak dikhususkan bagi perkara ini, tetapi hal itu terjadi pada seluruh

mukjizat. Berubah tongkat menjadi ular yang panjangnya mencapai

70.000 tali dan tongkat itu kemudian kembali lagi menjadi tongkat yang

kecil seperti semula adalah sesuatu keajaiban. Keluar unta besar yang

dari gunung al-„Asham dan bayang-bayang gunung yang besar di

angkasa adalah suatu keajaiban. Demikian pula dengan semua mukjizat,

jika hal itu semata-mata keanehan, maka hal itu harus di ingkari dan di

bantah, pandangan yang salah dalam menetapkan mukjizat perlu

dipatahkan. Sementara itu penetapan mukjizat adalah satu bagian dalam

penerimaan dasar kenabian, meskipun hal itu semata-mata sebagai

keajaiban, hal itu tidak harus diingkari dan dibatalkan. Demikian pula

dengan peristiwa Mi‟râj adalah sesuatu yang mungkin terjadi bukan

sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Allahu A‟lam.

3.2. Dalam pembahasan mengenai Mi‟raj, para peneliti berpendapat

bahwa,petunjuk ynag mengisyaratkan bahwa Allah yang memperjalankan

ruh Muhammad SAW beserta jasadnya dari Makkah ke Masjid al-Aqsha

adalah al-Qur‟an dan khabar. Dalil dari al-Qur‟an adalah ayat al-Isra‟ yang

menggunakan kata al-„Abd (hamba), yaitu bahwa kata tersebut merupakan

sebuah sebutan bagi jasad dan ruh.

Ketahuilah bahwa indikasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa

manusia adalah ruh saja atau jasad saja atau juga jasad dan ruh. Sedangkan

orang-oarang yang berpendapat bahwa manusia adalah semata-mata ruh,

mereka berargumentasi dengan beberapa aspek berikut. Pertama, bahwa

manusia adalah suatu kesatuan yang tetap sejak awal sampai akhir,

sedangkan pertikel-partikel dari jasad dalam keadaan berubah dan

berpindah-pindah, adapun yang lainya tidak berubah. Maka manusia

berubah karena badan tersebut. Kedua, bahwa manusia kadang-kadang

mengetahui dzatnya yang khusus ketika ia tidak mengetahui sebagian dari

partikel-partikel jasadnya. Jadi sesuatu yang diketahui mengubah sesuatu

yang terlupakan. Karena itu, manusia berubah karena badan tersebut.

Ketiga, sesuai dengan fitrahnya yang sehat, manusia mengatakan:

“tanganku”, ”kakiku”, ”jantungku”, atau “hatiku”. Demikian juga

Page 83: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

ungkapan mengetahui bagian-bagian tubuh yang lain. Ia menisbatkanya

kepada dzatnya yang khusus. Sedangkan yang mendapat penisbatan

berbeda dari yang dinisbatkan kepadanya. Maka, dzat manusia yang khusus

harus mengikuti perubahan setiap anggota tubuhnya.

Jika ditanyakan: Bukankah ia menisbatkan dzatnya kepada dirinya

sendiri, sehingga ia mengatakan, “dzatku” dan “diriku”, sehingga hal itu

mengharuskan “dirinya” berubah karena “dzatnya”, dan ini tidak mungkin.

Kami menjawab bahwa kami tidak hanya berpedoman pada

lafadzh saja sehingga apa yang anda katakan demikian adanya. Tetapi kami

berpedoman pada akal saja, karena petunjuk akal menunjukan bahwa

manusia adalah wujud yang satu. Seuatu yang satu ini mengambil dengan

alat tangan, melihat dengan alat mata, dan mendengar dengan alat telinga.

Maka manusia adalah sesuatu yang satu. Anggota-anggota tersebut adalah

alat-alat dalam melakukan berbagai aktifitas. Hal tersebut menunjukkan

bahwa manusia adalah sesuatu yang berubah karena anggota-anggota tubuh

dan alat-alat tubuh tersebut. Berdasarkan perspektif ini, dapat ditetapkan

bahwa manusia adalah sesuatu yang berubah karena struktur tersebut dan

karena jasadnya.

Jika ditetapkan demikian, maka kami berpendapat bahwa firman

Allah: “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, maksud

dari “hamba” disini adalah esensi ruh. Berdasarkan pandangan ini, maka

dalam ayat tersebut tidak terdapat petunjuk yang mengarah pada terjadi

Isra‟ tersebut dengan jasadnya.

Jika ditanyakan: Isra‟ dengan ruh bukanlah sesuatu yang diluar

kebiasaan, karena itu tidak selayaknya dikatakan: “ Maha suci Allah yang

telah memperjalankan hamba-Nya”.

Menurut kami, hal ini juga tidak mungkin, karena tidak ada

halangan untuk dikatakan bahwa ruh dapat mencapai (mengetahui) hal-hal

ghaib dan nyata yang tidak sama sekali dapat diketahui oleh yang lainya.

Jadi tidak ada halangan jika ada ungkapan ayat tersebut sesuai bagi-Nya.

Ini merupakan penentuan dari aspek pertanyaan berdasarkan penggunakan

ayat ini. Sebagai dalil untuk menetapkan bahwa Mi‟râj itu terjadi dengan

ruh dan jasad secara bersamaan. Jawabanya adalah bahwa lafadz “hamba”

disini mencakup ruh dan jasad. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

“bagaiman pendapatmu tentang orang yang melarang seseorang hamba

ketika ia mengerjakan shalat”. Tidak diragukan lagi bahwa kata “hamba”

disini mencakup ruh dan jasad. Allah SWT juga berfirman dalam QS. al-

Jinn ayat 19: “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri

menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak-

mendesak mengerumuninya”. Yang dimaksud dengan kata “hamba” pada

ayat ini juga ruh dan jasad.

Sedangkan petunjuk dari khabar adalah hadis yang diriwayatkan

dalam kitab-kitab shahih dan derajatnya masyhur, yaitu yang menunjukkan

kepergian dari Makkah ke Bait al-Maqdis ke langit. Orang-orang yang

Page 84: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

mengingkari hadis ini berargumen dengan mengemukakan beberapa

perspektif berikut:

3.2.1. Dari perspektif akal, mereka mengemukakan tiga perkara: (1)

gerakan yang sangat cepat tesebut adalah sesuatu yang tidak masuk

akal; (2) kenaikan benda yang berat ke langit juga merupakan

sesuatu yang tidak masuk akal; (3) naik benda tersebut ke langit

harus menembus atmosfir (orbit planet-planet lain), dan itu sesuatu

yang tidak mungkin.

3.2.2. Jika pengerian ini benar, maka hal itu merupakan mu‟jizat yang

paling besar dan itu mengharuskan diperlihatkanya kepada seluruh

manusia sehingga mereka dapat menjadikanya sebagai petunjuk

untuk membenarkanya dalam pengakuan Nabi Muhammad SAW

sebagai seorang nabi. Adapun tejadi peristiwa tersebut tanpa dilihat

dan tidak pula disaksikan oleh siapa pun, maka hal itu adalah sia-

sia, dan tidak layak bagi Allah yang Maha Bijaksana.

3.2.3. Mereka perpegang pada firman AllahSWT: “Dan Kami tidak

menjadikan mimpi yang telah Kami perliahatkan kepadamu,

melainkan sebagai ujian bagi manusia”. Kata “mimpi” yang

dimaksud dalam ayat ini tidak lain adalah peristiwa Isra‟ Mi‟râj

Nabi SAW, ketika mendengar peristiwa ini, mereka

mendustakannya dam mengingkarinya, sehingga peristiwa Mi‟râj

itu menjadi sebab terjadi bencana bagi manusia. Karena itu,

ditetapkan bahwa “penglihatan” itu dilihatnya pada saat tidur

(mimpi).

3.2.4. Bahwa peristiwa Mi‟râj ini mencakup perkara-perkara yang tidak

mungkin. Di antaranya riwayat yang menceritakan bahwa perut

Nabi SAW dibedah dan disuciakan oleh air Zamzam, dan itu jauh,

karena yang mungkin dicuci oleh air adalah najis-najis yang

tampak, dan dalam hal itu tidak ada pengaruhnya pada pembersihan

hati dari keyakinan-keyakinan yang bathil (salah) dan perilaku-

perilaku yang tercela. Riwayat lain adalah Buraq yang

dikendarainya dan itu juga jauh, sebab ketika Allah

memperjalankan Nabi SAW ke ruang angkasa, apakah itu

memerlukan Buraq. Kemudian riwayat yang menyebutkan bahwa

Allah SWT mewajibkan 50 waktu shalat, lalu disebutkan bahwa

Muhammad SAW masih terus mondar-mandir antara Allah dan

Musa AS, kewajiban shalat itu menjadi lima waktu shalat karena

belas kasihan Musa. Al-Qadli mengatakan: Hal ini menuntut

penghapusan hukum sebelum pemberlakuannya dan itu juga

mengharuskan adanya permulaannya. Hal demikian adalah tidak

Page 85: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

mungkin bagi Allah. Karena itu, peristiwa tersebut mencakup suatu

perkara yang tidak dapat diterima dan karenanya hal itu ditolak.

Jawaban atas argumentasi yang berdasarkan perspektif

akal telah kami kemukakan sebelumnya dan kami tidak perlu

mengulangnya.

3.2.1.1. Jawaban atas keraguan yang kedua adalah: Firman Allah

SWT yang menyebutkan: “Supaya Kami memperlihatkan

kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami”

adalah ungkapan global. Perincianya dan penjelasanya

mengandung beberapa aspek :

3.2.1.1.1. Bahwa kebaikan-kebaikan surga adalah besar

dan keburukan-keburukan neraka adalah keras.

Seandainya Nabi SAW tidak menyaksikan

keduanya di dunia, kemudian menyaksikannya

pada permulaan hari kiamat, mungkin beliau

akan menyukai kebaikan-kebaikan surga dan

takut akan keburukan-keburukan neraka. Tetapi

ketika beliau menyaksikan keduanya didunia

pada malam Mi‟râj, maka kenyataan kedanya

tidak akan menggelisahkan hati beliau pada

hari kiamat, dan ketika itu beliau akan

mencurahkan seluruh perhatianya untuk

memberikan syafa‟at.

3.2.1.1.2. Tidak ada halangan bagi para nabi dan malaikat

untuk menyaksikan pada malam Mi‟râj, yang

mana hal itu menjadi sebab kesempurnaan

kemaslahatan beliau atau kemaslahatan

mereka.

3.2.1.1.3. Adalah suatu kemungkinan beliau naik ke

angkasa dan menyaksikan keadaan langit, kursi

Allah dan „Arsy-Nya, sehingga menyaksikan

keadaan dunia dan keburukan-keburukanya

menjadi sesuatu yang kecil dimatanya. Hal itu

akan menambah kekuatan dalam hatinya yang

mana dalam kekuatan tersebut, perjalanan

beliau dalam melaksanakan dakwah menjadi

lebih sempurna serta tidak gentar menghadapi

musuh-musuh Allah. Hal itu menjelaskan

bahwa orang yang menyaksikan kekuasaan

Allah SWT dalam konteks ini, keadaanya akan

berlipat ganda, begitupun kekuatan jiwanya dan

Page 86: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

keteguhan hatinya dalam menghadapi setiap

tantangan dan dalam berjihat dan lain-lain

ketimbang orang yang tidak menyaksikanya.

Ketahuilah bahwa firman Allah:

“Supaya Kami memperlihatkan kepadanya

sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami”

adalah sebagai dalil yang menunjukkan bahwa

manfaat Isra‟ tersebut adalah dikhususkan bagi

beliau dan kembali kepada beliau secara

khusus.

3.2.1.2. Jawaban atas keraguan ketiga adalah bahwa ketika kami

sampai pada akhir penafsiran dari ayat ini, kami

menjelaskan bahwa “penglihatan” itu adalah “penglihatan

yang nyata” dan bukan mimpi.

3.2.1.3. Jawaban atas keraguan keempat adalah bahwasanya tidak

ada kesulitan apapun bagi Allah SWT dalam melakukan

perbuatan-perbuatan-Nya, sesungguhnya Dia memperbuat

apa yang dikehendaki-Nya dan menentukan apa yang

dikehendaki-Nya pula. Wallahu A‟lam.

Page 87: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

Lampiran 2: Terjemahan Tafsir Jawahir al-Qur‟an atas Qs. al-Isra :1

(Tafsir Lafdzhi)

Mensucikan (Subhâna –Maha Suci-) Allah, atau menjauhkan-Nya (dari

sifat-sifat buruk). Maka Subhâna adalah Ism yang bermakna al-Tanzih (yang

suci/jauh dari sifat-sifat buruk), maksudnya Allah membersihkan mukjizat yang

akan disebutkan setelah ini. (al-ladzî asrâ bi „abdihi –yang meng-Isra‟-kan

hambaNya-) yakni Muhammad SAW, adapun sarâ dan asrâ adalah dua bahasa

yang sama.

(Laylan –malam hari-) pada masa yang sedikit, dan ini menunjukkan

malam yang tidak diketahui/nakirah.

(Min al-Masjid al-Harâm –dari Masjid al-Haram-) itu adalah Masjid

yang sesungguhnya, bukan tanah Haram seluruhnya, ini berdasarkan sabda Nabi

Saw: Ketika saya tidur di Masjid al-Haram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka‟bah)

antara tidur dan terjaga, datang kepada saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah

buraq denganku menuju langit pada malam itu. Dan adapun Mi‟rajnya dari Bait

al-Muqaddas. Dan Nabi mengabarkan kepada kaum Qurays tentang kafilah

mereka, jumlah unta mereka beserta keadaan mereka. Nabi juga menceritakan

tentang keajaiban-keajaiban yang dilihatnya di langit. Nabi juga bertemu dengan

para Nabi dan ia sampai di Bait al-Ma‟mur dan Sidrat al-Muntaha. Dan adapun

Isra‟ ini terjadi sebelum Hijrah. Dan perbedaan pemahaman yang banyak terjadi

adalah apakah ini terjadi dalam keadaan terjaga atau tidur (mimpi). Adapun

Sayyidah „Aisyah berpendapat bahwa ini terjadi dengan ruh saja. Sedangkan

mayoritas pendapat berpendapat dengan jasadnya.

Dan firman Allah (Ilâ al-Masjid al-Aqshâ –ke Masjid al-Aqsha-)

maksudnya adalah Bait al-Muqaddas. (al-ladzî bârakna haulahu –yang telah

Kami berkahi sekelilingnya) dengan keberkatan-keberkatan agama dan dunia

karena ia adalah tempat turunnya wahyu dan tempat ibadah para nabi sejak masa

Nabi Musa as. Di sekitarnya terdapat pepohonan berbuah dan sungai-sungai yang

mengalir.

(Li Nuriyahu –agar Kami perlihatkan kepadanya-) yakni kepada Nabi

Muhammad SAW. (Min Âyâtinâ –sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami-)

dari keajaiban-keajaiban dalam ukuran kita, seperti kepergiannya dalam sekejap

malam pada jarak perjalanan satu bulan, dan ditampakkan Bait al-Muqaddas

kepadanya, dan para nabi mempercontohkan (shalat) kepadanya, dan berhentinya

beliau pada tempat-tempat mereka, serta penglihatannya kepada keajaiban-

keajaiban langit serta keanehan-keanehan para makhluk di dalamnya.

(Innahu Huwa al-Samî‟ –sesungguhnya Dia Maha Pendengar-) pada

perkataan-perkataan Nabi Muhammad SAW. (al-Bashîr –Maha Melihat-) dengan

perbuatan-perbuatannya dan Dia memuliakan dan mendekatkannya atas bilangan

yang tidak ia perkirakan.

Page 88: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

(Lathifah pertama mengenai firman Allah SWT:

Subhâna al-ladzî asrâ- hingga akhir ayat)

Ketahuilah bahwa surat ini berhubungan dengan (surat) sebelumnya yang

susunannya mempunyai arti sesuai. Sesungguhnya (ayat ini) menerangkan apa

yang terdapat dalam surat al-Hijr dan al-Nahl yang susunannya memberikan

pengertian tentang awal mula penciptaan makhluk hingga akhir sebuah penciptaan

dan dari penjelasan ciptaan hingga proses perwujudannya, dan itu semua adalah

yang terdapat dalam surat al-Hijr. Kemudian diulang kembali menurut urutannya

yaitu dimulai dari yang lebih tinggi hingga ke yang lebih rendah. Dan kemudian

menyebutnya melalui metode penengah dari kedua pembahasan di atas, yang

apabila dilihat dari susunannya agar menjadi penentu terhadap beberapa kejaiban-

keajaiban untuk diketahui melalui metode penengah ini.

Dan al-Jahir mengatakan bahwa sesungguhnya keadilan, kebaikan,

bersedekah dan sebagainya, merupakan hal yang menyebabkan hidup yang

berbahagia. Kemudian surat sebelumnya menyempurnakan dengan menyebut

Ibrahim dan hartanya dari kemuliaan dan sifatnya yang terpuji. Dan kami

berpendapat sesungguhnya ia disifati dengan empat puluh sifat yang telah berlalu

keterangannya dalam surat al-Baqarah yang menukil dari beberapa mufassir

tentang konsep yang menjadi sebuah pandangan, karakter untuk dipelajari, dan

keutamaan untuk menjadi pegangan, dan pengetahuan untuk dijaga, dan Allah

untuk disembah, manusia untuk menjadi penunjuk dan pengarah menuju jalan

yang lurus dan persatuan umat. Lalu menyebutkan Nabi Muhammad dengan

semua sifat-sifat terpujinya. Kemudian surat (al-Nahl) ini ditutup dengan

menjelaskan keadaan dakwah yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan

merendahkan selain Nabi Ibrahim, lalu Allah memerintahkan untuk patuh kepada

orang-orang pilihan Allah dan memberikan nasehat kepada orang awam dan

berdebat dengan orang yang ingkar. Semua itu terdapat dalam surat al-Nahl yang

akhir surat tersebut berbunyi: Inna Allah ma‟a al-ladzi al-Taqaw wa al-ladzina

hum muhsinun. Dan apabila para nabi itu orang-orang yang baik, lalu siapa lagi?.

Dan Allah mempredikatkan Nabi Saw. sebagai seutama-utamanya orang yang

baik, dan beliau bersama Allah, dan Allah bersamanya. Maka surat setelahnya

(yakni surat al-Isra‟) itu diawali dengan hal yang memberikan pengertian yang

sama, dan apakah itu bersifat jismiyyah atau ma‟nawiyah, yaitu ayat yang

berbunyi: Subhana alladzi asra bi‟abdihi.

Allah berfirman sesugguhnya Ibrahim dan Muhammad Alaihumâ al-Salâm

naik ke langit dan ke tempat yang sempurna dan mereka sampai ke tempat yang

belum pernah sama sekali dicapai oleh semua orang. Dan hal itu tidak

memberikan pernyataan bahwa mereka berdua dan beberapa nabi bertemu Allah

secara hakekat, karena sesungguhnya Allah menyanjung dan memprioritaskan

(mereka berdua) dari makhluk (yang lain). Bahwa sesungguhnya Allah

menjalankan hambanya di malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha

bukanlah sebagaimana arti kebersamaan (antara Allah dan Muhammad –Penj)

yang kalian ketahui. Kedekatan para nabi dan para auliya‟ merupakan kedekatan

Page 89: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

mengenai hidayah, irsyad dan tingginya pengetahuan –untuk menjelaskan ayat-

ayat Allah- dan memperlihatkan keajaiban-keajaiban Allah. Kemudian lihatlah

pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai hal itu bahwa

Rasulullah Saw. suatu malam berjalan dari Masjid al-Ka‟bah, ada tiga orang yang

mendatangi beliau sebelum diwahyukan kepadanya tentang Isra‟, sementara itu

beliau dalam keadaan tidur di Masjid al-Haram. Kemudian pada suatu malam

yang lain mereka mendatangi beliau (lagi), dalam keadaan beliau melihat dengan

hatinya dan matanya tertidur sedangkan hatinya tidak tidur. Begitulah para Nabi,

mata mereka tidur dan hati mereka tidak tidur. Lalu mereka (tiga orang tadi -penj)

tidak berbicara apapun kepada beliau sehingga beliau bermimpi dan mereka

membawa beliau dan meletakkan beliau di sisi sumur Zamzam, dan beliau

mengetahui salah satu dari mereka adalah Jibril. Dan di sini diceritakan

bagaimana Jibril membelah antara sebelah atas dada hingga perut bagian bawah

sehingga dada dan perutnya kosong. Kemudian dengan tangan Jibril dibasuh

menggunakan air zamzam hingga bersih perutnya. Dan diceritakan juga tentang

bejana dari emas yang di dalamnya ada tempat dari emas yang berisi iman dan

hikmh, maka diisilah dada beliau dengannya. Kemudian beliau naik ke langitnya

dunia, dan disini diceritakan pertanyaan para penghuni langit kepada beliau, Jibril

mengatakan : Muhammad bersamaku, lalu mereka bertanya: Sudah diutuskah dia

(menjadi rasul)?, Jibril menjawab: Ya. Lalu mereka berkata: Selamat datang. Dan

diceritakan tentang pertemuannya di langit dunia dengan Nabi Adam, dan

sesungguhnya di sana terdapat dua sengai, dan Jibril berkata bahwa dua sungai itu

adalah sungai Nil dan Furat, Lalu Nabi melihat sebuah sungai lain yang di atasnya

terdapat istana dari mutiara dan zabarjad (batu permata), lalu beliau

menyentuhnya maka jadi harum, maka nabi bertanya kepada Jibril (tentang hal

ini), ia menjawab: ini adalah al-Kautsar yang mana tuhanmu menyembunyikannya

darimu. Dan sesungguhnya di langit dunia, di sebelah kanan Adam ada hitam-

hitam dan di sebelah kirinnya ada hitam-hitam, dan bila ia melihat sebelah

kanannya maka ia tertawa, dan bila ia meliahat sebelah kirinya maka ia menangis.

Lalu Jibril menjelaskan kepada Nabi bahwa hitam-hitam yang ada di sebelah

kanan dan kirinya adalah anak cucunya, dan di sebelah kanan adalah penghuni

surge, di sebelah kiri adalah penghuni neraka. Kemudian di langit kedua bertemu

dengan Yahya dan Isa, mereka berdua adalah anak-paman, maka nabi

mengucpkan salam kepda mereka berdua dan mereka membalas dan

mengucapkan selamat datang. Dan di langit ketiga beliau bertemu dengan Yusuf.

Dan di langit ke empat bertemu dengan Idris. Dan di langit ke lima bertemu

dengan Harun. Dan di langit ke enam bertemu dengan Musa, dan ia sedang

menangis. Maka nabi bertanya, dan Musa menjawab : Saya menangis karena

seseorang diutus setelahku dan ia bersama umatnya masuk surga lebih banyak

daripada umatku yang masuk surga. Dan di langit ke tujuh beliau bertemu dengan

Ibrahim. Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha maka nampaklah tiang-tiang

indah dan dedaunan yang lebar seperti telinga gajah. Kemudian Jibril berkata:

inilah Sidratul Muntaha. Maka ketika nabi melihat empat sungai, dua sungai

terlihat samar dan dua sungai terlihat jelas, lalu Jibril menjelaskan kepada beliau

bahwa dua sungai yang jelas adalah sungai Nil dan Furat, dan dua nilai yang

samar adalah dua sungai di surga. Kemudian beliau naik ke Bait al-Ma‟mur, dan

didatangkan kepadanya sebuah tempat berisi khamr, susu dan madu, maka aku

mengambil susu. Lalu Jibril berkata: itu adalah fitrah, kamu dan umatmu berada

Page 90: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

di atas fitrah. Dan di sini diceritakan mengenai permasalahan shalat, dan telah ada

pada riwayat Muslim tentang sifat Bait al-Ma‟mur sesungguhnya setiap hari ada

tujuh puluh ribu malaikat yang memasukinya. Dan mengenai sifat Sidratul

Muntaha adalah perkara yang mana Allah menutupinya dan tidak seorang pun

dari makhluk-Nya yang dapat menceritakan sifatnya dengan baik. Dan Sidratul

Muntaha ini disebut sebagai isim karena pengetahuan para malaikat berhenti

mengenainya.

Dan telah ada beberapa riwayat lain, sesungguhnya Rasulullah Saw.

bersabda : Para Nabi-Semoga rahmat dan salam atas mereka- mempercontohkan

(solat) kepadaku, lalu aku shalat bersama mereka, kemudian nabi keluar ke

Masjidil Haram dan mengabarkannya kepada kaum Quraisy, maka terkejutlah

mereka dan orang-orang yang beriman murtad, kemudian beberapa orang

mendatangi Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata: Kalau nabi mengatakan demikian

maka itu benar, orang-orang tersebut bertanya: apakah kamu membenarkan nabi

akan hal itu?, Abu Bakar menjawab: Ya, aku membenarkannya. Maka dari itulah

Abu Bakar mendapat gelar al-Shiddiq (orang yang percaya). Dan ada seseorang

pada suatu kaum yang pernah datang ke Masjid al-Aqsha, kemudian mereka

bertanya kepada Nabi Saw.: Apakah kamu dapat menceritakan sifat-sifat Masjid

al-Aqsha kepada kami. Maka aku menceritakan sifat-sifat masjid itu. Dan Nabi

melihat Masjid al-Aqsha seakan-akan masjid itu diletakkan di seberang rumah

Aqil. Kemudian kaum tersebut berkata: Sungguh ceritamu kamu benar. Kemudian

kaum tersebut bertanya kepada Nabi Saw. tentang kafilah-kafilah mereka. Nabi

menjawab: Saya telah melewati kafilah bani Fulan, dan mereka kehilangan seekor

unta yang sedng mereka cari. Dan pada pelana mereka ada segelas air. Saya

kehausan. Maka saya ambil air itu dan saya minum kemudian saya letakkan lagi

di tempat semula. Tanyakanlah kepada mereka apakah mereka menemukan air itu

nanti bila mereka pulang. Kemudian nabi juga berkata: Saya juga melewati

kafilah bani fuln dan fulan dan fulan yang sedang duduk di atas kendaraannya.

Ketika seekor unta lari menghindariku, maka patahlah unta itu. Tanyakanlah hal

itu kepada kafilah tersebut. Nabi Saw juga berkata: mereka akan datang di awali

dengan seekor unta coklat tua, di atasnya ada permadani hitam dan dua karung

hitam, mereka akan tiba pada saat terbit matahari. Maka keluarlah mereka untuk

menyaksikan berita dari Nabi. Akhirnya datanglah kafilah itu didahului oleh unta

yang dikatakan oleh nabi tadi. Kemudian mereka berkata: Ini adalah sihir.

Kemudian diceritakan pula tentang para Nabi dalm keadaan shalat,

diceritakan bahwa Nabi Musa seperti laki-laki suku Sanu‟ah, dan Nabi Isa seperti

Urwah bin Mas‟ud al-Tsaqafi, dan Nabi Ibrahim yang mirip dengan Nabi Saw.

sendiri. Kemudian a berkata bahwa ia melihat Malaikat penjaga neraka.. Dan

adapun shalat nabi Saw bersama para nabi itu terjadi di Bait al-Muqaddas.

Kemudian diceritakan juga tentang bahwa sesungguhnya Buraqlebih rendah

daripada bughal dan lebih tinggi daripada keledai, ia meletakkan langkahnya pada

pandangannya yang paling jauh. Aku ditunggangkan di atasnya. Lalu kami

berangkat hingga ke langit.

Dan apakah itu semua terjadi sebelum tahun Hijrah?. Dan apakah itu

terjadi dalam keadaan tidur atau terjaga?. Dengan ruhnya atau jasadnya?. Dan

mayoritas berpendapat bahwa beliau isra‟ dengan jasadnya hingga sampai ke Bait

Page 91: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

al-Muqaddas, lalu naik ke langit hingga berhenti di Sidrat al-Muntaha. Dalam

surat ini tidak disebutkan mengenai naiknya ke langit, namun hanya menyebutkan

mengenai isra saja hingga ke Masjid al-Aqsha. Adapun mengenai Mi‟râj tidak

disebutkan kecuali dalam hadis.

(Mendudukkan Permasalahan)

Sesungguhnya perkara-perkara ghoib ini tidak boleh kita pahami hanya

sebatas mengandalkan akal pikiran kita, karena akal manusia terlalu sempit untuk

mengetahuinya. Lalu bagaimana cara kita memahami Mu'jizat kenabian tersebut

(Isra‟ dan Mi„râj), Allah Swt berfirman: اق ف ف آ ا همآ وف أوآفس ىرهمآ ا س آاتى (akan

Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di segenap

penjuru dan pada diri mereka sendiri).

Maka ada baiknya kita simak penjelasan para ulama' ahli ruh berikut ini:

“Sesungguhnya jasad manusia itu tersusun dengan ruhnya, dan setiap jasad

terdapat didalamnya jasad lain semisalnya yaitu nurani atsiry (other material),

jasad ini sangat selaras dengan jasad lahiriyah kita. Maka jika manusia terlepas

dari jasad ini, baik melalui kematian, riyadloh atau melalui cara buatan lainnya,

dia akan melihat dalam dirinya sesuatu seperti dirinya, tidak ada perbedaan antara

dua jasad tersebut. Para ulama banyak menulis kitab-kitab untuk menjelaskan

masalah ini, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: Manusia sesudah

kematian, dia mengira dirinya masih hidup dan dia tidak tahu bahwa dirinya

sudah mati, kemudian dia akan sadar setelah dijelaskan kesalahanya ".

Berikut ini kisah Oliver Loudg, dan anaknya Raymond yang meninggal

dalam perang Jerman, dia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku!

Sesungguhnya jasad kami disini (barzah) seperti jasad kalian, anggota tubuh kita

juga sempurna (seperti kalian) tetapi ini adalah jasad di alam lembut (barzah),

kami melihat jasad disini seperti jasad di alam kalian.

Jika anda memahami hal ini, maka tidak ada bedanya apakah Isra‟ dan

Mi„râj itu dengan jasad lahiriyah atau dengan jasad atsiry yang lembut (ruh), hal

itu bukanlah mustahil, karena keduanya berada dalam kekuasaan Allah.

Adapun jasad lahiriyah, maka pergerakan bintang-bintang menampakkan

keajaibannya dalam kecepatan perjalanannya, sebagaimana yang anda ketahui

dalam tafsir yg lalu. Begitupun jika kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu

dengan jasad barzakhy (ruh), maka itu bukan sesuatu yang aneh. Jasad ini akan

berjalan lebih cepat dari kedipan mata bahkan seperti kilauan kilat menuju ke

penghujung alam. Dan alam barzakh ini disebut ulama kita sebagai 'âlam al-

mitsâl, sebagaimana yg dikatakan oleh Plato, ini adalah alam yang ditampakkan

didalamnya bahwa para nabi shalat bersama Rasulullah SAW dan beliau melihat

mereka di atas langit sesuai dengan tingkatan kedudukan mereka.

Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yg seharusnya

memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka bagaimana

Page 92: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang yang mengalaminya.

Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah SAW Nabi Adam, Isa, Idris,

Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah orang paling mirip dengan rasulullah.

Bukankah anda melihat bahwa penyebutan kemiripan Nabi Ibrahim dengan

rasulullah itu sangat sesuai dengan penyebutan yang terdapat di akhir surat al-

Nahl, bahwa rasulullah SAW diperintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim,

maka dari itu beliau melihat Nabi Ibrahim di langit yang ketujuh bahwa beliau

mirip dengannya.

Kalau kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy maka

pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut menjadi

satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan ruhnya

saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah jasadiyah (lahiriyah)

secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan

dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda benar, karena menurut ahli ruh tidak

ada perbedaan antara jasad barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad

barzakhyah adalah jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka

barangsiapa berkata bahwa nabi Isra‟' dengan ruhnya saja berarti dia mendekati

hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan jasadnya

maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh) adalah kondisi

pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan mimpi, dan gambarannya

menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan terbang lebih cepat dari pada kilat

bahkan kecepatanya seperti kecepatan lintasan pikiran, bukankah anda melihat

bahwa seseorang dalam kamarnya berada di timur dengan lintasan pikirannya

kemudian berpindah ke barat lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti

keadaan yang biasa terjadi di alam ruh sana.

Para ahli ruh berkata: sesungguhnya ruh itu berada di belakang jasad

barzakhy, bahkan mereka membagi tingkatan jasad itu menjadi tujuh dan ruh

berada di belakang semua itu.

Sesungguhnya saya sebutkan semua ini untuk membuka pintu analisa bagi

orang-orng yang mempunyai jiwa yang mulia sesudah kita supaya mereka mau

berfikir dan mengetahui hakekat diri mereka.

(Apa Tujuan dari Peristiwa Isrâ’ Bagi Kita)

Hendaklah manusia mengetahui bahwa Allah tidaklah menurunkan kisah

Isra‟ dalam al-Qur'an hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui

kondisi rasulullah semata. Akan tetapi Allah menginginkan dari kita agar kita

mengikuti agama dan syariatnya, supaya kita ikhlas dan berdakwah kepada

manusia sebagaimana dakwah Rasulullah SAW –yang mana Allah Swt berfirman

kepadanya: ىدا م ا محآ ك مقام Semoga tuhanmu memberikan kedudukan- عسى أنآ بآعثك رب

yang mulia kepadamu,- Allah berfirman dipertengahan surat al-Isra‟ dan

memerintahkan kepada beliau untuk bertahajjud agar meraih kedudukan tersebut,

dan di awal dikisahkan bahwa beliau di-Isra‟-kan, kemudian di akhir disebutkan

bahwa beliau mendapatkan kedudukan yang mulia tersebut dengan tahajjud.

Page 93: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

Dan disebutkan pula bahwa ruh adalah urusan tuhan dan kita tidak diberi

pengetahuan dalam hal ini kecuali sedikit, hal ini menunjukkan bahwa masalah

ruh berada diluar pengetahuan kita, tetapi telah datang firnan Allah Swt yang lain

di surat Thoha: ا علآم و لآ رب زدآ Dan katakanlah: (wahai) tuhan tambahkanlah- وق

kepadaku ilmu pengetahuan- maka ini adalah tambahan (pengetahuan) yang

dimohonkan. Maka kita tidak akan diam dalam satu batasan saja agar kita tidak

menjadi orang yang taklid, bahkan kita harus semkin giat dalam mengkaji dan

menganalisa, karena Allah berfirman: ال ال قل آم إ ه الآعل تمآ م ا أوت Dan kalian tidak- وم

diberi pengetahuan dalam hal ini kecuali sedikit.

Maka wajib bagi kita untuk membersihkan jiwa kita dan memberikan

petunjuk kepada manusia dari kegelapan agar jiwa kita menjadi tinggi. Jika

rasulullah di-Isra‟-kan, bukan berarti supaya kita juga di-Isra‟-kan, akan tetapi

maksud dari semua itu agar jiwa kita tinggi, agar Allah juga merperlihatkan

kepada kita tanda-tanda kebesarannya.

Maksud dari pembahasan ini di dalam al-Qur'an adalah untuk membuka

pintu pemikiran kita tentang alam arwah supaya kita memahami bagaimana cara

kita membersihkan jiwa kita dan menjadikan jiwa kita di ufuk yang paling

tinggi. Dan hal itu tidak akan terwujud, kalau kita tidak mengerti hakikatnya dan

tidak mncari ilmunya yang mana dengan ilmu itu kita akan mencium aroma

arwah.

Ilmu tentang arwah ini telah tersebar di seluruh penjuru Eropa, ilmu ini

tidak ada bedanya dengan ilmu yang kita warisi dari para pendahulu kita.

Sesungguhnya seluruh arwah manusia berada di tempat yang tinggi, dan dengan

cara-cara tertentu manusia nantinya kan melihat hakekat semua ini – هآ هدي م وهللا

ستقم صراط م لى شاء إ -Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia

kehendaki ke jalan yang lurus.–

Selaras dengan pembahasan kita ini, riwayat dari Imam Bukhari dalam bab

ta'bir mimpi, meskipun tidak menyebutkan tentang malam Isra‟ tetapi didalamnya

terdapat ilmu yang berharga yang tidak diketahui kecuali oleh para peneliti yang

cermat. Rasulullah diperlihatkan alam barzakh dalam mimpinya dengan gambaran

yang nyata, sampai-sampai para ahli filsafat terdahulu menghabiskan umurnya

dalam memikirkannya, seperti Qabs seorang filosof Yunani yang telah kita

sebutkan perkataannya dalam surat al-Baqarah.

Adapun Rasulullah SAW, beliau yang tidak bisa membaca dan menulis

telah melihat gambaran-gambaran yang menakjubkan, beliau ditampakkan

permisalan kejelekan dan kemuliaan yang mana itu menunjukkan bukti-bukti

kenabiannya, pada malan Mi„râj beliau juga melihat Adam tertawa kemudian

menangis.

Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan al-Bukhari dari Samuroh bin

Jundab Ra. dia berkata: “Rasulullah SAW sering berkata kepada para sahabatnya:

Apakah salah satu diantara kalian ada yg bermimpi?. Kemudian diceritakan

kepada beliau sebuah mimpi. Setelah itu Rasulullah SAW berkata kepada kami:

Tadi malam aku didatangi dua orang laki-laki kemudian mereka membangkitkan

diriku, dan berkata kepadaku: Berangkatlah (pergilah), maka aku pergi bersama

Page 94: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

mereka, kemudian kami menjumpai seorang laki-laki berbaring dan diatasnya ada

seseorang dengan membawa batu besar kemudian batu besar itu ditimpakan diatas

kepala orang berbaring tadi sampai kepalanya terbelah…… kemudian kepala

orang itu kembali seperti semula, lalu orang yang berdiri tadi melakukan hal yang

sama kepadanya, kemudian nabi berkata kepada dua orang yang membawanya:

Subhanallah ada apa dengan dua orang ini, lalu mereka berkata: Pergilah

pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai seseorang yang terlentang

diatas tengkuknya, dan berdiri di atasnya seorang laki-laki dengan membawa besi

bengkok, kemudian dia mendatangi salah satu bagian wajahnya lalu memotong

sudut mulutnya hingga ke tengkuknya, dan memotong sudut hidungnya hingga ke

tengkuknya, dalam riwayat lain disebutkan kemudian dia membelahnya,

kemudian dia pindah ke sisi wajahnya yan lain dan melakukan hal yang serupa,

kemudian wajahnya kembali seperti semula dan orang tadi melakukan hal yang

serupa pula, lalu aku (nabi) berkata: Subhanallah ada apa dengan dua orang ini?.

Dua orang yang membawaku berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi,

lalu kami menjumpai perapian dan di dalamnya ada suara gaduh setelah kita amati

ternyata di dalamnya ada laki-laki dan wanita-wanita yang telanjang, kemudian

datanglah kobaran api dari arah bawah menghampiri mereka, sehingga mereka

berteriak keras, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan mereka ini? Dua orang

yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu

kami menjumpai sungai merah seperti darah dan didalamnya ada orang yang

berenang kemudian di tepi sungai ada laki-laki yang membawa batu yang banyak.

Dan tatkala orang itu berenang menghampirinya, maka dibukalah mulutnya dan

dimasukkan batu-batu itu kedalamnya, kemudian orang itu berenang lagi, dan

setiap orang itu berenang menghampirinya, maka dibukalah mulutnya dan

dimasukkan batu-batu itu ke dalamnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan

dua orang ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!,

kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai seorang laki-laki yang jelek dan ia

menyalakan api yang ada disampingnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan

orang ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!,

kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sebuah taman yang didalamnya ada

cahaya yang bersemi di sekitarnya, dan di tengah taman itu ada seorang laki-laki

yang tinggi, aku hampir tidak bisa melihat kepalanya yang ada di langit, dan di

sekitar laki-laki itu ada banyak anak-anak kecil yang belum pernah aku

menyaksikan semisalnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan orang ini? dan

ada apa dengan anak-anak kecil ini? Dua orang yang membawa beliau berkata:

Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sebuah taman

yang luas, belum pernah aku melihat taman seluas dan seindah itu, kemudian dua

orang yang membawaku berkata: Naiklah! Maka kami naik di dalamnya,

kemudian kita menjumpai kota yng dibangun dengan batu bata emas dan perak,

kemudian kami mendatangi gerbang kota, kami meminta dibukakan pintu,

kemudian pintu dibuka dan kami menjumpai orang-orang yang mukanya bagus

setengah dan jelek setengah, kemudian dua orang yang membawaku berkata

kepada mereka: Pergilah dan terjunlah ke sungai itu!, ternyata sungai itu panjang

mengalir dan airnya sangat putih, kemdian mereka terjun ke sungai itu, setelah itu

mereka kembali kepada kmi dalam keadaan sebagus-bagusnya rupa dan telah

hilang kejelekan dari mereka, kemudian dua orang yang membawaku berkata

kepadaku ini adalah surga Aden, dan itu adalah rumahmu, kemudian aku lihat ke

Page 95: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4118/1/ABDUL... · PENGESAHAN PANITIA UJIAN . Skripsi yang berjudul

atas, dan aku dapati istana seperti awan putih, kemudian dua orang yang

membawaku berkata kepadaku ini adalah rumahmu, lalu aku berkata kepada

mereka: Semoga Allah memberkahi anda berdua, tolong biarkan aku

memasukinya! Mereka berkata: Bukan sekarang waktunya, lalu aku berkata

kepada mereka: Sungguh aku melihat dari tadi malam hal-hal yang menakjubkan,

apa maksud dari semua yang aku lihat ini?. Mereka berkata: Sekarang sudah

saatnya kami beritahukan kepadamu. Adapun orang pertama yang dipecahkan

kepalanya ia adalah orang yang mengerti al-Qur'an tapi menolaknya dan dia tidur

(lalai) dari sholat wajib. Adapun orang yang dipotong sudut mulutnya hingga ke

tengkuknya, dan dipotong sudut hidungnya hingga ke tengkuknya dan matanya, ia

adalah orang yang keluar dari rumahnya dan suka menyebarkan kebohongan.

Adapun laki-laki dan wanita-wanita yang telanjang mereka adalah para pezina.

Adapun orang yang berenang di sungai yang dibuka mulutnya dan dimasukkan

batu-batu kedalamnya, dia adalah pemakan harta riba. Adapun seorang laki-laki

yang jelek dan ia menyalakan api yang ada disampingnya, dia adalah Malik

penjaga neraka. Adapun seorang laki-laki yang tinggi di tengah taman itu adalah

Ibrahim alaihissalam. Adapun anak-anak kecil yang ada di sekitarnya, mereka

adalah anak kecil yang mati dalam fitrah, kemudian sebagian sahabat bertanya:

Ya Rasulullah apakah anak-anak kaum musyrikin juga termasuk? Beliau

menjawab: Ya. Adapun orang-orang yang mukanya bagus setengah dan jelek

setengah, mereka adalah orang-orang yang mencampur amal kebajikan dengan

amal kejelekan dan Allah mengampuni mereka”.


Top Related