Transcript
Page 1: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan rezim dari Orde Baru (ORBA) ke Orde Reformasi ditandai

dengan lahirnya berbagai Undang Undang (UU) seperti Undang-undang

Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lahirnya UU tentang

Otonomi Daerah berimplikasi pada manajemen pendidikan nasional. Sejak

Januari 2001 pemerintahan daerah mulai memberlakukan secara resmi otonomi

pendidikannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah berwewenang, antara lain,

menetapkan kurikulum muatan lokal, merancang dan memfasilitasi buku teks

dasar, dan bahkan membangun kemungkinan kerjasama dengan negara lain di

bidang pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas merupakan

dasar hukum reformasi sistem pendidikan nasional dalam era reformasi.

Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan

nasional, serta strategi pengembangan pendidikan nasional untuk mewujudkan

pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya

saing global. Pasal 50 Ayat (3) dalam UU tersebut mengamanatkan setiap

daerah untuk membuka satuan pendidikan bertaraf internasional (selanjutnya

PBI). Implikasinya, sejak tahun 2006 pemerintah mulai membuka Rintisan

Sekolah Berstandar Internasional (selanjutnya RSBI) di tengah menguatnya

wacana globalisasi dalam pendidikan dan berkembangnya politik identitas

Page 2: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

2

dalam pendidikan melalui pengajaran muatan lokal bahasa etnik di seluruh SD

dan SMP (Hefner, 2007: 494; Rifai, 2011: 170-171).

Berbagai peraturan dan kebijakan pendidikan masional khususnya

dalam rezim ”reformasi” sering kali menimbulkan kontroversi bagi masyarakat

dan para pelaku pendidikan, misalnya kebijakan sertifikasi guru/dosen, Ujian

Nasionl (UN), Badan Hukum Pendidikan (BHP), sertifikasi guru, dan

kehadiran RSBI sebagai implementasi dari kebijakan PBI dalam sistem

pendidikan nasional. Secara konseptual dan implementasi kebijakan-kebijakan

itu seperti kehilangan landasan filosofis, lebih terkesan upaya ”coba-coba”

menghadapi berbagai kecenderungan kehidupan global. Berbagai kebijakan

tersebut bersifat ideologis, paling tidak dalam pengertian berbentuk represi

administratif nonfisis (Djokopranoto, 2011: 30-32; Althuser, 2004; 19; Eatwell

dkk, 2001: 9; Sinaga, 2008).

Di tengah hadirnya sekolah-sekolah RSBI, fenomena yang muncul

justru paradoks dalam berbagai aspek seperti tenaga kependidikan, sarana

pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan. Pemerintah, misalnya,

mengembangkan mutu sekolah menengah dengan mendorong minimal satu

sekolah yang dianggap bermutu di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia

menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI) pada tahun 2009 sesuai dengan

Renstra Depdiknas 2005-2009 di tengah kompleksitas permasalahan

pendidikan nasional. Menurut HAR Tilaar dalam pendidikan nasional mulai

terlihat gejala-gejala pelaksanaan dari prinsip neoliberalisme yang tidak selaras

dengan idealisme UUD, misalnya, pendidikan tinggi (PT) dengan bentuk badan

Page 3: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

3

hukum milik negara (BHMN) (Rifai, 20011: 141-143; Tilaar, 2007: 242;

Darmaningtyas, 2012: 58-61).

Neoliberalisme sebagai ideologi ditandai dengan semangat

individualisme dan pasar bebas dengan berkurangnya intervensi negara sebagai

wujud dari ideologi liberalisme yang mengandung unsur-unsur ‖individualism,

freedom, reason, equality, toleration, consent, dan constitutionalism‖. Sebagai

pengembangan dari liberalisme, neoliberalisme sebagai ideologi pasar

beroperasi melalui Ideological State Apparatus (ISA) seperti sekolah, ilmu

pengetahuan, wacana sosial, guru dan melalui Represive State Apparatus

(RSA) seperti administrasi pemerintahan dalam bentuk Ujian Nasional (UN)

dan Standard Akreditasi yang bersifat administratif dan nonfisis (Heywood,

1997: 41-43; Althuser, 2004: 18-23).

Dalam konteks politik pendidikan, Sirozi (2007: 19) menyatakan bahwa

pendidikan adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan dalam

batas-batas tertentu tidak lepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan

yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan.” Karena dimensi politis

yang disebutkan di atas, sekolah-sekolah akan selalu berada pada posisi

perjuangan politis dalam hal nilai-nilai, tentang siapa yang diuntungkan dari

sebuah kebijakan pemerintah. Posisi sekolah menjadi arena pertarungan

kepentingan di antara kelompok-kelompok status masyarakat, sekolah menjadi

sarana seleksi menjadi kelompok dominan berkuasa di masyarakat (Widja,

2009:107-108). Itulah sebabnya, menurut Apple, perlu ada kajian tentang

kurikulum dalam hubungannya dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan

Page 4: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

4

budaya; bagaimana pengetahuan yang diberikan di sekolah merefleksikan

kekuasaan dan mendapat legitimasi dalam kehidupan ekonomi sehari-hari di

tengah masyarakat kapitalis, dan apa peran yang dimainkan oleh pengetahuan

tersebut dalam melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan

kebudayaan yang ada (http://www.freireproject.org/content/michael-apple, 21

Agustus 2011). Dengan demikian kebijakan Sisdiknas tidak terlepas dari sistem

politik dan ideologi sepanjang sejarah Indonesia yang mewarnai kebijakan atau

arah politik pendidikan nasional (lihat Tabel 1.1).

Tabel. 1.1 Landasan Historis Sistem Pendidikan Nasional

Sumber::http://pendidikankritis.wordpress.com

Rifai (2011: 179-180) dalam bukunya Politik Pendidikan Nasional

menyatakan bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di

masa lalu adalah penyeragaman kurikulum di Indonesia di tengah realitas

keberagaman potensi daerah dan masyarakatnya, misalnya, kurikulum sekolah

di daerah pertanian sama dengan kurikulum sekolah di daerah pesisir pantai.

Masa Pra-kolonial Kolonial Soekarno Orde Baru “Reformasi” Formal (resmi oleh

“negara”)

Pemdidikan

militer,

pembibitan penerus takhta

kerajaan

HIS, MULO,

HBS, dll

(Hindia Belanda)

SD, SMP, SMA,

PT (Pemerintah

Indonesia)

TK, SD, SMP,

SMA, PT

(pemerintah Indonesia)

Playgroup, TK, SD,

SMP, SMA, PT

(pemerintah Indonesia)

Non-formal yang diatur “negara”

SKB, Kejar pake A, B, dan C

SKB, Kejar pake A, B, dan C

Formal non-negara Taman Siswa,

Sekolah Rakyat Tan Malaka, dll

Taman Siswa,

pendidikan PKI, INS Kayutanam

Sekolah swasta

dibawah yayasan

Sekolah swasta dibawah

yayasan

Non-formal (non-

negara)

Padepokan,

pesantren, perguruan, dll

Pesantren,

gerakan bawah tanah PKI, dll

Pesantren, klub

studi (PKI), dll

Pesantren,

kursus, klub studi mahasiswa, LSM

Sekolah alternatif,

homescholing, pesnatren, LSM

Arah politik

pendidikan negara (pendidikan formal)

Status quo

kekuasaan kerajaan-

kerajaan

Kolonialisasi

Hindia Belanda

Nasionalisme

dan sosialisme Indonesia

Pembangunan

ekonomi dan insfrastruktur

Demokratisasi dan daya

saing bangsa

Posisi dan tujuan pendidikan non-negara

(rakyat)

Kekuatan oposisi dan

alternatif dari

penguasa (raja)

Melawan kolonialisme

menuju

kemerdekaan

Kedaulatan rakyat,

sosialisme,

nasionalisme

Melawan represi rezim dan

pembangun-isme

Melawan pendidikan modern, anti-neoliberal

Page 5: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

5

Gejala yang sama tampak dalam desain RSBI/SBI dengan ”format” yang sama

di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu semangat menghasilkan lulusan

berstandar internasional dengan penguatan kemampuan bahasa Inggris dan

menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).

Dalam wacana sosial terdapat gagasan pro-kontra tentang PBI, yang

bermasalah baik dari segi konsep maupun implementasi dari Undang-undang

Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat 3. Sebagian pakar menyatakan bahwa RSBI

hanya sekedar label bagi sekolah-sekolah nasional yang pada dasarnya hanya

bermakna ”sekolah unggulan” atau ”sekolah bermutu” sehingga tidak akan

mengubah kualitas pendidikan secara signifikan, sementara pendapat lainnya

(terutama pihak pemerintah) menyatakan bahwa sekolah ini dirancang secara

khusus untuk menghasilkan lulusan yang siap bersaing dalam menghadapi era

globalisasi dengan berbagai tantangannya.

Salah satu persoalan konseptual dan implementasi satuan PBI tersebut

adalah keberadaan sekolah-sekolah RSBI dalam hal strategi seleksi terhadap

sekolah-sekolah menengah umum yang ada, khususnya sekolah-sekolah negeri

sehingga menimbulkan prokontra dan kecemburuan di tengah masyarakat

karena belum ada secara jelas kajian tentang validitas kriteria SNP dalam

sistem pendidikan nasional. Hal ini sekaligus dapat menjelaskan fenomena di

lapangan mengapa dua sekolah RSBI di lokasi yang berbeda, seperti SMA di

Jakarta dan di Bandarlampung, belum tentu memiliki standar kualitas dan

kondisi yang sama untuk menjadi sekolah RSBI.

Page 6: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

6

Dalam perkembangannya, permasalahan PBI beberapa tahun kemudian

menjadi perdebatan publik baik di media massa maupun di ruang sidang

Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan tokoh-tokoh pendidikan,

penegak hukum, birokrat dan pejabat lembaga pendidikan, masyarakat sipil,

dan para intelektual yang umumnya berstatus dosen dan guru. Esensi

perdebatan adalah bahwa pihak yang setuju dengan RSBI beragumentasi

bahwa PBI relevan dengan konstitusi untuk mencerdaskan bangsa dalam

konteks globalisasi yang sarat dengan persaingan SDM. Pihak yang menentang

berpendapat bahwa keberadaan RSBI/SBI tidak hanya bertentangan dengan

konstitusi tetapi juga mengancam cita-cita pendidikan nasional dalam

mencerdaskan bangsa sebagaimana tampak melalui berbagai fenomena dalam

bentuk diskriminasi layanan pendidikan dan biaya pendidikan mahal yang

dilegalkan melalui berbagai peraturan yang tidak adil.

Pemerintah dalam upaya memajukan pendidikan melalui kebijakan PBI

bersifat diskriminatif dalam alokasi aggaran terhadap sekolah-sekolah yang

ada. Sekedar ilustrasi, anggaran pendidikan Tahun Anggaran 2012 yang

dialokasikan kepada sekolah-sekolah RSBI berjumlah Rp. 242 miliar

sedangkan alokasi anggaran untuk sekolah standar nasional (non RSBI) hanya

sebesar Rp.108 milyar. Padahal, jumlah sekolah RSBI di seluruh Indonesia

hanya sekitar 1300-an dari 181.083 sekolah secara nasional. Dalam hal ini,

70% alokasi anggaran justru diarahkan pada sekolah-sekolah RSBI yang

jumlahnya hanya 0,7 % dari keseluruhan sekolah yang ada di seluruh

Indonesia, sedangkan porsi 30% anggaran lainnya diperuntukkan secara tidak

Page 7: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

7

adil bagi 99,3% sekolah yang tidak berlabel RSBI

(http://sabarnurohman.com/tag/rsbi/ 12 Maret 2014). Hal yang sama dapat juga

tergambar dari jumlah SMA yang ada di dua provinsi DKI Jakarta dan

Lampung (Tabel 1.2), hanya sejumlah kecil sekolah menengah umum yang

berstatus RSBI dan mendapat perlakuan istimewa diantara seluruh sekolah-

sekolah yang ada.

Tabel. 1.2 Jumlah SMA di Provinsi DKI Jakarta dan Lampung.

TAHUN DKI JAKARTA LAMPUNG

NEGERI SWASTA JUMLAH NEGERI SWASTA JUMLAH

2005/2006 116 385 501 121 192 313

2006/2007 116 383 499 125 193 318

2007/2008 116 378 494 132 194 326

Sumber : Diolah dari Dokumen Departemen Pendidikan Nasional 2008 pada

http://data.menkokesra.go.id/content/jumlah-sekolah-di-indonesia

Dalam konteks pendidikan kritis, yang dipelopori oleh Paulo Freire

(1970), permasalahan pendidikan terkait dengan situasi sosial-budaya

masyarakat yang mengalami perubahan, mengungkung, tidak mencerdaskan,

dan menimbulkan ketidakadilan. Prinsip utama dari pedagogi kritis ini ialah

melihat proses pendidikan tidak terisolasi dari kehidupan sosial. Visi

pendidikan kritis didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa

dipisahkan dari konteks sosial, kultural, dan politik dan dalam kerangka relasi-

relasi antara pengetahuan, kekuasaan dan ideologi yang berpengaruh pada

institusi pendidikan dan subjektifitas peserta didik. Pada era globalisasi dan

abad ke-21, pedagogi kritis melihat perubahan global telah melahirkan

Page 8: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

8

berbagai masalah krusial di dalam pendidikan, sedangkan peran pendidikan itu

sangat strategis dalam pengenalan nilai-nilai budaya sesuai dengan tuntutan

zaman (Widja, 2009; Tilaar, 2011: 38-39; Nuryatno, 2008:2).

Menurut Widja (2009) terdapat dua dimensi praktis pedagogik, yaitu

dimensi teknis (strategi, proses serta tindakan) dan dimensi normatif (kebijakan

dan rumusan nilai-nilai). Ia menekankan pentingnya permasalahan pendidikan

dilihat dari perspektif ideologis karena secara teoretis upaya pemecahan

masalah pendidikan harus dimulai dengan mengoreksi asumsi-asumsi yang

tidak realistik sebagai dasar pengambilan kebijakan politik pendidikan (Widja

2009: 1 dan 5). Ideologi dalam hal ini secara kultural menentukan gagasan-

gagasan yang mengunggulkan kepentingan kelompok sosial tertentu, tempat

berlangsungnya pertarungan makna dan kepentingan kelompok-kelompok

dominan yang membuat budaya bersifat ideologis (Widja 2009: 1 dan 5;

Cavallaro, 2004: 135; Storey, 2007: 4-5).

Kebijakan tentang PBI tidak terlepas dari berbagai isu yang diuraikan di

atas, yaitu berkaitan dengan ideologi dan pertarungan wacana dalam konteks

politik, ekonomi, sosial, budaya dan wacana ilmu pengetahuan. PBI relevan

dipermasalahkan baik pada level kebijakan maupun implementasinya di tengah

upaya memajukan pendidikan nasional memasuki “persaingan global”

bersamaan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat atas perlunya

“budaya lokal” dan pendidikan karakter bangsa. Dalam perspektif kritis, visi

pendidikan nasional harus difungsikan untuk mengkritisi hegemoni kekuasaan

Page 9: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

9

yang tidak berpihak pada masyarakat tertindas akibat sistem dan struktur yang

tidak adil.

Permasalahan pendidikan dapat dikatakan berbeda dari suatu daerah

dengan daerah lainnya. Dalam konteks sosial-ekonomi, implementasi

kebijakan pendidikan di sekolah menengah umum di berbagai daerah

seharusnya mempertimbangkan karakteristik dan situasi sosial, ekonomi, dan

budaya suatu daerah. Pada kenyataannya secara normatif kebijakan dan

pedoman pelaksanaan RSBI, misalnya dalam hal bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar dan berbagai standar komponen pendidikan berbasis

teknologi informasi dan komunikasi (selanjutnya TIK) diarahkan sama di

seluruh daerah. Hal ini merupakan bentuk hegemoni pemerintah melalui

kebijakan pendidikannya. Selain itu, kebijakan RSBI dengan berbagai akibat

sosial yang ditimbulkannya dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya

dan cita-cita pendidikan Indonesia, bahkan melanggar UUD 1945 (Kompas. 16

Februari 2012, hlm.12).

Dalam konteks uraian di atas, penelitian ini akan mempelajari wacana

PBI dalam konteks sistem pendidikan nasional dengan menggunakan

perspektif wacana kritis. Kajian wacana kritis melihat bahasa tidak sekedar

alat, tetapi bahasa sebagai praktik sosial yang membentuk diskursus dan

sebuah perspektif kritis yang dapat mengungkap permasalahan PBI sebagai

salah satu jenis wacana, “…critical discourse views language as a form of

social practice and focuses on the ways social and political domination

reproduced by text and talk… (Barker, 2006: 81-83; Nunan, 1993: 12).

Page 10: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

10

Dalam pandangan Cultural Studies, bahasa adalah budaya dan budaya

merupakan praktik hidup sehari-hari termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni,

dan kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat” (Lubis, 2006: 147; Storey, 2007: 2; Sardar dan Van Loon, 2001: 4

dalam Parimatha, 2010). Dalam hal ini, berbagai teks yang menyangkut

pengalaman siswa, guru, pemangku kepentingan pendidikan serta teks Undang-

undang dan kebijakan yang mengkonstruksi wacana PBI penting untuk

dianalisis secara kritis. Tilaar (2011: 37) menyatakan bahwa bahasa

mempunyai arti konstruksi di balik terwujudnya kata-kata di dalam bahasa itu.

Dari bahasa dapat dibaca mengenai bentuk-bentuk regulasi dan dominasi di

dalam kehidupan suatu masyarakat (Ascroft, dkk, 1989: 15-17; Tilaar, 2011:

37).

PBI dalam implementasinya merujuk teori-teori pendidikan yang

banyak bersumber dari “Barat”, misalnya, dalam penyusunan kurikulum,

seleksi metode, dan penetapan materi ajar. Homi Bhabha (dalam Supriyono,

2004: 141) menyatakan bahwa teori itu sendiri merupakan wahana ideologi

yang dapat menciptakan situasi politis. Dalam konteks inilah, berbagai

kebijakan dan wacana pengetahuan berdampak pada landasan kependidikan,

kurikulum, dan manajemen pendidikan, yang sekaligus merefleksikan ideologi

politik kekuasaan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Ideologi dalam

hal ini merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu dibentuk,

dan pembentukan ini sekaligus menentukan orientasi-orientasi sosial mereka

untuk bertindak dalam suatu struktur yang selaras dengan ideologi tersebut.

Page 11: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

11

Ideologi diproduksi oleh lembaga-lembaga, yang disebut oleh Althuser sebagai

perangkat ideologi negara (State Idiological Apparatus) (Piliang, 2004: 456).

Ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius,

sentimen, kaidah etis, pengetahuan tentang dunia etos, dan semacamnya.

Dalam pengertian sempit, ideologi mengacu pada sistem gagasan yang dapat

digunakan untuk merasionalisasikan, menyerang, atau menjelaskan keyakinan,

tindakan, atau pengaturan kultural tertentu. Suatu sistem gagasan yang bersifat

”ideologis” biasanya dipahami sebagai gagasan-gagasan yang bersifat partisan.

Karena sifatnya yang subjektif, ideologi tidak dapat diketahui melalui

pengamatan langsung tetapi dapat disimpulkan dari suatu bentuk perilaku,

yakni melalui pengamatan terhadap orang-orang yang berinteraksi dalam

berbagai sistem sosial (Kaplan, 2002: 154-157).

Secara teoretis ideologi pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan

dan implementasinya beroperasi secara linear melalui lembaga-lembaga

pendidikan dan programnya. Namun akibat dinamika kekuasaan dan wacana

sosial-budaya serta ”power relations” di era globalisasi, sistem pendidikan

menjadi alat kekuasaan pemerintah untuk membangun dan melestarikan

ideologinya baik secara sadar maupun tidak. Pendidikan dapat menjadi sekedar

alat untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, bukan dalam prinsip humanistik

untuk mampu berpartisipasi dalam budaya dan masyarakat pendukungnya.

Di satu pihak, wacana PBI dalam bentuk RSBI/SBI menunjukkan

gejala-gejala kapitalisme yang tidak mengarah pada cita-cita pendidikan

nasional. Di pihak lain, sesuai UUD 1945, tujuan pendidikan nasional adalah

Page 12: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

12

untuk mencerdaskan, menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas (Tilaar,

2007: 242; Tilaar, 2006;76). Pendidikan dalam konteks pembangunan

nasional diharapkan memperkuat keutuhan bangsa, memberi kesempatan

yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam

pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk dapat

mengembangkan potensinya secara optimal.

Sementara Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam

relasi sosial melalui proses diskursif (formasi diskursif) dan bagaimana

ideologi beroperasi, direproduksi, dan dipertahankan melalui bahasa. Bagi

Foucault, diskursus bersifat ideologis dan politis serta berperan „menyatukan‟

bahasa dan praktik produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan

makna kepada objek material dan praktik sosial. Dalam teori orientalisme,

diskursus memiliki kekuatan untuk mengubah atau memengaruhi realitas.

Dalam hal ini, ada hubungan antara kuasa dan pengetahuan yang dapat

mengubah realitas sosial melalui kekuasaan yang direproduksi dalam suatu

jaringan diskursif (Barker, 2006: 81-83; Said: 1978: 3; Gandi: 100-101).

Dalam konteks wacana kritis, Mbete (2010) menyatakan bahwa bahasa

merupakan fenomena sosial yang sarat makna kultural, bahasa tidak hanya

sekedar alat (means), namun bahasa lebih dipandang sebagai energi, termasuk

energi kekuasaan yang di dalamnya ada dominasi dan hegemoni. Karena itu,

penelitian ini penting dilakukan untuk memahami hegemoni PBI melalui,

misalnya, wacana historis tentang “standard internasional”, UU Sisdiknas,

neoliberalisme, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan berbagai isu

Page 13: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

13

penting lainnya yang terkait dengan pendidikan dan globalisasi (Beoang, 1997:

xviii).

Menurut Althusser ideologi tidak mencerminkan dunia nyata,

melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imajiner” individu-

individu terhadap dunia nyata, sedangkan posisi ideologi itu dibutuhkan

masyarakat untuk mampu memaknai dan mengubah kondisi eksistensialnya

(Storey, 2003: 160-172). Ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatus-

aparatus dan praktek-prakteknya yang diyakini dan dihayati oleh semua

kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan

masyarakat yang sudah ada. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok

kecil, dalam citraan, dalam obyek yang digunakan masyarakat, dan dalam

organisasi-organisasi seperti sekolah, rumah dan media massa. Ideologi

mencakup asumsi-asumsi, keyakinan, dan sistem nilai yang beroperasi dalam

konteks sosial dan budaya, misalnya pilihan konteks lokal, nasional atau global

(Hatim B dan Munday J, 2004: 102; Hatim dan Mason, 1997: 147).

Kehadiran RSBI/SBI sebagai sebuah “terobosan” dalam sistem dan

penyelengaraan pendidikan nasional sangat kontroversial. Kendati program ini

dibangun atas argumentasi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan daya

saing nasional menghadapi era globalisasi, sejak awal kehadirannya program

ini telah menuai banyak kritik dari masyarakat dan para pakar pendidikan.

Kritik yang muncul, misalnya, bahwa sekolah RSBI merupakan pengembangan

dari ideologi kapitalisme dan neoliberalisme karena dalam implementasinya

“hanya” memberi kesempatan kepada kelompok ekonomi atas dengan modal

Page 14: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

14

kuat dan semangat persaingan tinggi karenanya sulit diakses oleh masyarakat

miskin untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Para pendudukung bentuk

sekolah seperti ini umumnya adalah dari kalangan birokrasi pendidikan dan

masyarakat kelas menengah.

Berbagai permasalahan muncul baik yang terkait dengan konsep dan

relevansi PBI dalam sistem pendidikan nasional maupun persoalan-persoalan

politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang melihat kebijakan PBI sebagai

bentuk anomali dan pengingkaran terhadap cita-cita pendidikan nasional.

Pendidikan nasional dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial

(ketidakadilan) dan budaya (nilai-nilai), ekonomi (kesenjangan sosial) dan

politik (demokrasi) yang jika tidak ditangani secara tepat dapat meruntuhkan

kehidupan bangsa.

Salah satu realitas wacana PBI ini adalah beragamnya persepsi berbagai

kalangan baik di ranah pendidikan maupun masyarakat terhadap eksistensi

RSBI dan munculnya berbagai permasalahan yang tidak kondusif bagi

pengembangan pendidikan nasional. Pakar pendidikan Winarno Surakhmad

pernah menyatakan bahwa RSBI atau sekolah internasional itu adalah konsep

yang tidak ada di dunia, kecuali di Indonesia. Hal ini menggambarkan konsep

PBI ini tidak saja lemah dan membingungkan tetapi juga tidak memiliki

pijakan filosofis dalam pendidikan Indonesia. Model pendidikan RSBI ini

dipandang tidak menggambarkan semangat mencerdaskan bangsa sesuai

dengan cita-cita para pendiri bangsa, khususnya dengan ketentuan patokan

mutu pendidikan ke salah satu negara yang tergabung dalam Organisation for

Page 15: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

15

Economic Cooperation and Development (OECD) dalam memajukan

pendidikan nasional (Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 9).

Paulo Freire dan Ivan Illich pada tahun 70-an telah mengkritik dan

menyadarkan banyak orang bahwa dunia pendidikan yang selalu diasumsikan

penuh kebajikan ternyata mengandung penindasan. Samuel Bowels dalam

konteks pendidikan di Amerika Serikat juga mengkritik kapitalisme dengan

melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan. Dalam hal ini

pendidikan dipandang sebagai reproduksi terhadap sistem kapitalisme (Fakih,

2001: x-xi). Permasalahan ideologis dalam PBI perlu dibongkar dengan

menyelidikinya dari berbagai wacana pendidikan dan wacana globalisasi dalam

sistem pendidikan (persekolahan), dan politik budaya dari dimensi konstruksi

dan reproduksi ideologis-kultural. Penelitian ini menganalisis bagaimana

unsur-unsur „kuasa‟ beroperasi melalui institusi sekolah, wacana sosial-budaya,

dan ilmu pengetahuan dalam pendidikan menengah umum.

Penelitian ini dilakukan dengan perspektif teori-teori kritis dalam

paradigma kajian budaya, yang melihat wacana PBI sebagai sebuah konstruksi

dalam konteks relasi-kuasa hegemonik negara dan ditopang oleh wacana

globalisasi dalam sektor pendidikan. Wacana PBI dipandang sebagai arena

kontestasi ideologis kultural yang mengandung hegemoni, dominasi dan

ketidakadilan yang melibatkan struktur kekuasaan negara, masyarakat sipil dan

agen-agen pendidikan.

Kontestasi wacana tentang PBI terjadi paling tidak selama lima tahun

pelaksanaan RSBI sejak 2006 dalam berbagai wacana seperti Uji Materi pasal

Page 16: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

16

50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas 2003 melalui sidang-sidang yang

akhirnya pasal tersebut dibatalkan oleh MK karena dinilai bertentangan dengan

semangat konstitusi. Dalam hal ini, sidang-sidang MK tentang wacana PBI

tersebut dipandang bagian dari kontestasi kekuasaan tentang hegemoni dan

kontra hegemoni PBI yang melibatkan pemerintah, intelektual, dan masyarakat

sipil.

As with the third dimension of power, hegemonic rule involves the

capacity of a ruling class (or an elite or, more generally still, the status

quo) to contain the subordinate masses through the enculturation of

„common sense‟ ways of thinking and acting. To take this a step further,

hegemony involves a process through which both rulers and ruled get

something tangible, both material and psychological, out of their capacity

to participate. Hegemonic (consensual) rule thus can only take place when

the dominated take part; when they, in effect, become co-authors of their

own oppression. But, as in the first dimension of power, this does not

necessarily mean that the ruled want to be ruled (Comor, 2008: 33).

Dengan penggambaran di atas tentang proses hegemoni, penelitan ini

mengeksplorasi bagaimana hegemoni kelompok dominan (negara) berhadapan

dengan kelas subordinat (masyarakat sipil dan pendidikan) tentang pentingnya

PBI dalam pendidikan menengah umum. Eksplorasi dan analisis dilakukan

melalui berbagai sumber data seperti, dokumen, sekolah-sekolah dan wacana

sidang MK terkait pasal 50 ayat (3) Undang-undang No 20 Tahun 2003 dan

implementasinya. Penelitian ini juga penting dari perspektif cultural studies

karena misi keberpihakannya pada kelompok subordinat dan posisi intelektual

organik yang resisten terhadap dominasi dan kepemimpinan politik (Lubis,

2006: 153-154; Gramsci, 1971: 57).

Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi (dalam masyarakat)

bersifat struktural, dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar, seperti

Page 17: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

17

politik, ekonomi, budaya, ideologi, dan diskursus. Teori sosial kritis berupaya

membongkar struktur yang mendominasi masyarakat dan memahami akar

penindasan yang terjadi. Teori kritis juga berkeyakinan bahwa struktur

dominasi diproduksi melalui kesadaran palsu manusia yang dilanggengkan

melalui ideologi (Marx), hegemoni (Gramsci), dan wacana kuasa (Foucault).

Dalam hal ini, teori kritis mencoba menyingkap kesadaran palsu tersebut

(Lubis, 2006: 62-63).

Penelitian ini juga bersifat aktual dan kontekstual dengan adanya

Putusan MK dan permohonan pihak pemerintah pasca putusan MK yang

diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar penyelenggaraan RSBI di

lapangan diberikan masa transisi hingga Juli 2013 untuk selanjutnya dilakukan

penyesuaian-penyesuaian dengan amanat konstitusi yang menghendaki

penyelenggaraan pendidikan model RSBI dihentikan demi keadilan karena

menimbulkan banyak permasalahan sosial dan politik (Kompas, Jumat 1

Februari 2012, hlm. 12; Kompas, Kamis Januari 2013, hlm. 1 dan 18).

Dari perspektif teori kritis, ada beberapa asumsi yang dibangun dalam

penelitian ini. Pertama, sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari

dinamika sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme

dan liberalisme global yang kemudian melahirkan kebijakan PBI. Kedua,

negara dengan berbagai institusi yang menopangnya berperan menghegemoni

masyarakat melalui berbagai wacana UU, kebijakan dan implementasi PBI

yang kemudian menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, dan

budaya. Ketiga, pengetahuan bersifat ideologis, merefleksikan nilai-nilai,

Page 18: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

18

gagasan, dan kepentingan kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, ideologi

bekerja untuk mendukung atau menentang (praksis sosial) tatanan ekonomi dan

sosial yang berlaku melalui peran para agen untuk melanggengkan atau

melawan (resisten terhadap) keberadaan PBI dalam pendidikan menengah

umum sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan uraian di atas, wacana atau tema PBI yang menjadi fokus

penelitian ini menarik dan penting untuk diteliti secara kritis dengan rumusan

permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk hegemoni pendidikan bertaraf internasional

dalam pendidikan menengah umum?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi hegemoni pendidikan

bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum?

3. Apakah makna hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam

pendidikan menengah umum?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, dengan

uraian sebagai berikut.

Page 19: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

19

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami bentuk-bentuk

hegemoni PBI dan faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI serta makna

hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.

1. 3. 2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Untuk memahami bentuk-bentuk hegemoni pendidikan bertaraf

internasional dalam pendidikan menengah umum.

2. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni pendidikan

bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum.

3. Untuk memahami makna hegemoni pendidikan bertaraf internasional

dalam pendidikan menengah umum.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara teoretis dan praktis dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1.5. 1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan hegemoni PBI

dalam pendidikan menengah umum dari perspektif kajian budaya. Penelitian

ini diharapkan sebagai “pintu masuk” untuk meneliti permasalahan-

permasalahan pendidikan dari perspektif teori-teori kritis kontemporer yang

Page 20: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

20

mengarah pada perubahan sosial dan paradigma pendidikan yang

memerdekakan.

1.5. 1. Manfaat Praktis

Pada tingkat praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk (1)

memberikan pemahaman kepada pihak pemangku kepentingan dalam

pendidikan untuk bersikap kritis terhadap wacana globalisasi dan kebijakan

pendidikan menengah umum dan (2) masukan bagi pemangku kepentingan

dalam pendidikan nasional untuk memahami dan melaksanakan kebijakan

pendidikan secara kritis dan inovatif dengan mempertimbangkan realitas

sosial-kultural bangsa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang

dapat “mendamaikan” kehidupan lokal, nasional, dan global.

Page 21: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Fokus penelitian ini adalah mengungkap bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam

pendidikan menengah umum, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI, dan

makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Menganalisis

permasalahan PBI dalam konteks pendidikan nasional melibatkan banyak unsur dan

sifatnya kompleks karena terkait dengan wacana pendidikan dan globalisasi dalam

relasi kekuasaan, Undang-undang, kebijakan kurikulum, metode pembelajaran, buku

teks, dan dinamika wacana PBI sejak kemunculannya hingga akhirnya dasar

hukumnya dianulir oleh lembaga MK. Penelitian ini sendiri dilakukan di lapangan

sejak Januari 2012. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah wacana PBI dan

eksistensi RSBI/SBI sebagai bagian dari wacana PBI sebelum pembatalan dasar

hukumnya oleh lembaga MK 8 Januari 2013.

Untuk menempatkan permasalahan penelitian ini dalam ranah pendidikan dan

budaya, pada bagian ini dibahas beberapa buku, artikel dan laporan penelitian yang

relevan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Masing-

masing rujukan dibahas secara ringkas namun mendasar untuk melihat persamaan

dan perbedaannya dengan penelitian yang diajukan di sini. Dengan cara demikian,

Page 22: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

22

penelitian ini tampak dalam hal kebaruannya (novelty) dan urgensinya baik dalam

ranah kajian budaya maupun dalam bidang pendidikan.

Dalam konteks pendidikan nasional, praktek hegemoni (budaya) dapat terjadi

melalui berbagai piranti dalam pendidikan nasional. Negara merekayasa kesadaran

masyarakat untuk mendukung kekuasaan negara melalui para intelektual dalam

birokrasi dan intervensi berbagai lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni di

tengah masyarakat Indonesia kontemporer (Takwin, 2009: 74). Perangkat komputer

dan internet, misalnya, dalam konteks proses pembelajaran berbasis TIK, telah

menjadi “tuntutan wajib” dalam metode pembelajaran di kelas dewasa ini. Kehadiran

teknologi ini bermasalah tidak saja terkait dengan pemerataan pengadaan perangkat

ini di sekolah tetapi juga karena guru-guru seringkali tertinggal pengetahuan dan

keterampilannya dari siswanya sendiri.

Sejauh ini berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian tentang hegemoni

PBI dan implikasinya secara sosial, ekonomi dan budaya belum mendapat perhatian

yang memadai di kalangan akademik dan peneliti pendidikan. Pada hal, dari segi

wacana dan isu yang yang berkembang paling tidak selama lima tahun terakhir,

kehadiran program PBI ini dalam sistem pendidikan nasional mendapat sorotan tajam

dan kritik dari berbagai pihak yang peduli dengan permasalahan pendidikan nasional,

khususnya pendidikan menengah umum. Penelitian tentang wacana PBI dari

perspektif ideologis-kultural belum mendapat perhatian signifikan dari para peneliti

pendidikan yang sepadan dengan wacana, respons masyarakat, serta efek yang

ditimbulkannya terhadap pendidikan dan masyarakat pada umumnya.

Page 23: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

23

Banyak penelitian yang ada masih berfokus pada masalah-masalah yang

berdimensi teknis seperti metodologi dan efektifitas pengajaran/pembelajaran,

relevansi kurikulum dengan buku teks, dan berbagai bentuk penelitian yang sifatnya

evaluatif terhadap penyelengaraan pembelajaran dan kebijakan pendidikan. Secara

keseluruhan penelitian tersebut belum banyak menyentuh permasalahan ideologis-

kultural dengan menggunakan teori-teori kritis untuk memahami PBI dalam konteks

hegemoni dan sebagai arena kontestasi wacana sebagaimana diajukan dalam

penelitian ini.

Dalam konteks kajian budaya dan pedagogi kritis, pendidikan harus digugat

dari perspektif ideologi terhadap kekuasan hegemonik yang membelenggu

pendidikan dan wacana kuasa/pengetahuan sehingga pendidikan itu tidak sekedar

bersifat instrumental tetapi juga sebagai proses penanaman nilai-nilai dan penguatan

karakter anak didik yang bersifat fundamental dalam konteks keindonesiaan. Dalam

semangat yang sama, Henry Giroux menggabungkan teori hegemoni Gramsci dan

kajian budaya untuk menganalisis pendidikan kapitalis sebagai kekuatan korporasi

dan dominasi. Giroux dalam kajiannya mengaitkan cultural studies, teori pendidikan

dan teori sosial-politik dalam upaya meningkatkan kesadararan dan memberdayakan

generasi mendatang dan menghidupkan demokrasi (Lubis, 2006: 158-159).

Michael Apple (1978: 495-503) dalam sebuah tulisannya ”The New Sociology

of Education: Analyzing Cultural and Economic Reproduction” menyatakan bahwa

sekolah merupakan lembaga reproduksi ekonomi dan budaya, namun cara

beroperasinya dalam lembaga pendidikan sangat kompleks. Menurut Apple eksistensi

Page 24: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

24

sekolah tidak terlepas dari hubungannya dengan institusi yang lebih berkuasa, yaitu

berbagai institusi yang dapat menghasilkan ketidakadilan struktural dan ketidakadilan

dalam akses terhadap berbagai sumber daya. Melalui kurkulum, kegiatan pedagogis

dan berbagai kegiatan evaluatif di kelas, sekolah-sekolah berperan besar dalam

mempertahankan jika tidak dapat dikatakan menghasilkan ketidakadilan tersebut

(http://newlearningonline.com/) dan (curriculum/michael-apple-on-ideology-in-

curriculum).

Ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yang masing-

masing memiliki kontribusi yang khas terhadap kerangka pemikiran dalam penelitian

ini. Karti Soeharto (2009) mengkaji ideologi pendidikan nasional dengan judul

penelitian disertasi “Politik Pendidikan Nasional: Analisis Ideologi Pendidikan

Melalui Interpretasi Elit Pendidikan Indonesia Terhadap UU No 20 Tahun 2003

tentang Sisdiknas”. Penelitian ini menganalisis ideologi pendidikan nasional dari

perspekftif elit pendidikan Indonesia. Analisisnya memberikan wawasan umum

tentang peta ideologi pendidikan ”universal” dan posisi ideologi Undang-undang

Sisdiknas dalam rumpun ideologi pendidikan yang ada, konservatif dan liberal.

Secara khusus penelitian Karti ini mempermudah peneliti memahami konsep-konsep

tentang kekuasaan, kewenangan dan legitimasi dalam kaitannya dengan teori-teori

Foucault dan Gramsci yang digunakan dalam memahami permasalahan penelitian ini.

Secara umum kesimpulan penelitian Karti yang disebutkan di atas adalah

bahwa ideologi pendidikan nasional merupakan konvergensi ideologi konservatif dan

progresif. Ideologi Pendidikan Nasional sebagaimana direpresentasikan dalam UU

Page 25: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

25

Nomor 20 Tahun 2003 adalah ideologi pendidikan konservatisme sosial revisionis

dan ideologi liberalisme kompromistik, lebih bersifat teoretis dan abstrak, tidak

didasarkan pada kasus-kasus praksis pendidikan nasional. Berbeda dari penelitian

yang dilakukan di sini, penelitian Karti tidak melihat permasalahan pendidikan

nasional dari perspektif teori-teori kritis khususnya Teori Hegemoni dan Teori

Kuasa/Pengetahuan dalam implementasi kebijakan pendidikan.

Mbula Darmin (2011) dengan judul karya disertasinya “Penelitian Kebijakan

tentang Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia” menyoroti isu internasionalisasi

pendidikan dalam kebijakan pendidikan nasional. Fokus penelitian ini adalah

penelitian kebijakan internasionalisasi pendidikan dalam rangka memahami konsep

SBI dalam konteks globalisasi dan negara kebangsaan Indonesia. Salah satu

kesimpulan penelitian ini adalah bahwa konseptualisasi SBI sebagaimana

konseptualisasi OECD menyisakan masalah abadi bagi Indonesia karena definisi dan

konseptualisasinya tidak sesuai dengan konsep pendidikan menurut Pancasila dan

UUD 1945. Penelitian ini memberikan pemahaman tentang konsep-konsep terkait

dengan ideologi liberalisme kapitalis dan aspek-aspek sosial dari pendidikan yang

tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Sebagaimana penelitian Karti, penelitian ini

lebih ditekankan pada pemahaman pendidikan nasional dan internasionalisasi

pendidikan secara etik.

Penelitian disertasi oleh Ketut Suda (2009) dengan judul “Merkantilisme

Pengetahuan dalam Pendidikan: Studi Kasus di Sekolah Dasar Melati Sukma

Denpasar” mengkaji tentang praktik merkantilisme pengetahuan sebagai akibat dari

Page 26: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

26

masuknya ideologi dan sistem ekonomi pasar kedalam perekonomian nasional dan

pendidikan. Dengan menggunakan teori-teori hegemoni, komodifikasi, dan

dokonstruksi penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

merkantilisme pengetahuan dalam sektor pendidikan seperti sistem penggajian guru

dan marginalisasi guru dalam proses pembangunan. Bentuk merkantilisme yang

ditemukan dalam penelitian ini antara lain pemberian pembelajaran tambahan dan

penjualan produk industri yang terkait dengan pendidikan. Penelitian ini memberi

wawasan kepada peneliti tentang proses terjadinya kapitalisasi pendidikan pada

jenjang pendidikan dasar sebagai akibat “ekonomi pasar”. Berbeda dari penelitian

tersebut, penelitian yang diajukan penulis di sini memiliki objek formal yang berbeda

yaitu hegemoni Pendidikan Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan menengah

umum dan menggunakan teori-teori kritis seperti teori wacana kuasa/pengetahuan

(postruktural) untuk lebih memahami terjadinya proses hegemoni kapitalisme dan

neoliberalisme dalam pendidikan.

Disertasi penelitian dengan judul “Pengaruh Harapan Pelanggan, Kualitas

yang Dipersepsi Pelanggan, Nilai yang Dipersepsi Pelanggan, Kepuasan Pelanggan,

dan Keluhan Pelanggan terhadap Loyalitas Pelanggan di Sekolah Bertaraf

Internasional” oleh Martinus Tukiran (2007) memberikan wawasan tentang hubungan

masyarakat dengan berbagai aspirasinya tentang layanan pendidikan yang lebih

dipandang sebagai komoditas. Penelitian ini berangkat dari paradigma berpikir bahwa

pendidikan merupakan komoditas yang melibatkan lembaga penyedia jasa dan

pelanggan dengan prinsip-prinsip transaksional seperti kepuasan pelanggan.

Page 27: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

27

Paradigma penelitian ini menguatkan paradigma ekonomi liberal bahwa pendidikan

sebagai industri jasa dan komoditas berbeda dengan industri jasa lainnya dalam hal

hubungan pelanggan-penyedia atau pelayanan dengan standar “kepuasan pelanggan”

dalam industri pendidikan.

Penelitian lainnya yang penting dan relevan disajikan di sini adalah penelitian

yang dilakukan oleh Mochtar Marhum (t.th:7-8) melalui judul tulisannya English

Language in Indonesian Schools in the Era of Globalization tentang posisi bahasa

Inggris dalam hubungannya dengan RSBI dan implementasi pendidikan. Penelitian

ini melihat positif kehadiran atau kebijakan RSBI/SBI dalam sistem pendidikan

nasional dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam rangka

meningkatkan kompetensi komunikasi anak didik dan upaya membangun daya saing

Indonesia dalam konteks global. Salah satu hasil penelitian ini menegaskan

pentingnya RSBI/SBI sebagai “terobosan” dalam memacu daya saing nasional dalam

era globalisasi. Penelitian ini lebih berfokus pada perspektif pendidikan dan

pembelajaran dengan paradigma positivistik, tidak dianalisis berdasarkan teori-teori

kritis dan pandangan ideologis-kultural dalam melihat hubungan antara bahasa

Inggris dan ideologi globalisasi yang dapat bersifat hegemonik.

Berbeda dari semua penelitian yang disajikan di atas, penelitian tentang

Hegemoni PBI ini mencoba memahami wacana PBI dalam konteks pendidikan

menengah umum sebagai sebuah konstruksi yang tidak bebas dari ideologi

hegemonik dan wacana globalisasi. Hegemoni kekuasaan negara dan wacana

globalisasi berperan mengonstruksi dan merasionalisasi PBI dalam sistem pendidikan

Page 28: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

28

nasional. Selain itu, penelitian ini didasarkan pada kajian fenomena di lapangan

(emik) dan dibangun atas hipotesis bahwa ideologi globalisme (kapitalisme dan

neoliberlisme) dengan berbagai derivatnya seperti standarisasi dan komodifikasi

pendidikan merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang ditopang oleh wacana

kuasa/pengetahuan dan beroperasi melalui berbagai wacana UU dan kebijakan

pemerintah, lembaga politik, praktik pendidikan dan intelektual yang kemudian

membentuk kebijakan PBI. Hal ini dianalisis dengan menggunakan teori-teori

hegemoni, wacana kuasa/pengetahuan dan praktik sosial dalam konteks kajian

budaya. Dalam hal ini, berbagai wacana sosial, ekonomi, budaya dan politik

dipandang sebagai “peristiwa” yang saling terkait dalam menghasilkan wacana PBI.

Kerangka pikir kritis kajian budaya berbeda dari penelitian berparadigma

positivistik. Kajian budaya bersifat politis dan menekankan perspektif ideologis

dalam memahami suatu “objek”, ada posisi keberpihakan pada “subjek” yang

tertindas (subordinat) dalam suatu struktur kekuasaan. Hal ini berbeda dari paradigma

positivistik dalam ilmu pengetahuan yang dinilai bersifat “objektif” dan “bebas nilai”.

Sejalan dengan perspektif kritis tersebut, teori-teori yang digunakan untuk memahami

objek formal penelitian ini adalah teori-teori kritis dalam paradigma kajian budaya.

Dengan berbagai uraian di atas tentang penelitian terkait dan sepanjang peneliti

ketahui, penelitian tentang “Hegemoni Pendidikan Bertaraf Internasional dalam

Pendidikan Menengah Umum” merupakan “objek” penelitian baru dan berbeda dari

berbagai penelitian yang telah disajikan di atas. Dengan demikian “novelty” dari

Page 29: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

29

penelitian ini sangat jelas dan penting diteliti dalam hubungan ilmu pendidikan dan

kajian budaya.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini sesuai dengan

berbagai teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian, yaitu

tentang hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.

2.2.1 Hegemoni

Menurut Raymond William (1998: 144-145) hegemoni berarti bahwa negara

mengontrol pihak subordinat secara langsung dan mengarahkan bagaimana cara

memandang dunia. Dalam hal ini hegemoni juga menyangkut upaya dominasi tentang

bagaimana cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan

melalui berbagai institusi. Pengertian hegemoni terkait erat dengan ideologi. Dalam

hal ini, ideologi dimaknai sebagai pengalaman hidup dan ide sistematis yang berperan

mengorganisasi dan secara bersama-sama mengikat satu blok yang terdiri dari

berbagai perekat sosial, dalam pembentukan blok hegemonis dan blok kontra-

hegemonis. Ideologi merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu

dibentuk dan diorientasikan untuk bertindak dalam struktur ini dengan berbagai cara

yang selaras dengan ideologi (Barker, 2006: 62-63; Piliang, 2004: 456).

Menurut Magnis-Suseno (1992: 229) istilah ”ideologi” dipergunakan dalam

pengertian yang berbeda-beda. Magnis menguraikan makna ideologi pada salah satu

Page 30: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

30

(atau kombinasi) dari tiga arti: (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi

dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Ideologi

dalam arti yang pertama biasanya dipergunakan oleh kalangan filsuf dan ilmuwan

sosial sebagai teori-teori yang berorientasi pada kepentingan pihak yang

mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas sosial tertentu

yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Kedua, ideologi dalam arti

netral adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok

sosial tertentu, seperti “ideologi negara”. Dalam pengertian yang kedua ini, baik

buruknya suatu ideologi tergantung kepada isi ideologi tersebut. Pengertian yang

ketiga menyangkut keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat

dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Menurut Bagus (2002: 306) ideologi memiliki

arti pejoratif (negatif) sebagai teorisasi dan khayalan kosong yang tidak realistis; atau

bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya.

Dalam konteks pemikiran Gramsci, ideologi dipahami sebagai ide, makna dan

praktik yang merupakan peta makna yang mendukung kekuasaan kelompok sosial

tertentu. Ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktifitas praktis kehidupan. Ideologi

memandu atau menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntutan moral yang sepadan

dengan kesatuan keyakinan antara konsepsi tentang dunia dan norma tindakan terkait.

Gagasan Gramsci dalam konteks Cultural Studies tidak hanya memperhatikan budaya

populer sebagai ranah perjuangan ideologis, tetapi juga perjuangan ideologis dan

konflik di dalam masyarakat sipil sebagai arena sentral dalam politik budaya

(Gramsci, 1971: 349; Lubis, 2006: 141-142).

Page 31: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

31

Wacana digunakan dalam berbagai disiplin ilmu: linguistik (kritis), psikologi,

sosiologi, sastra dan budaya dengan cakupan makna yang beragam. Salah satu

definisi yang paling luas dan relevan dengan penelitian ini adalah:‘the general

domain of all statements‘; that is, all utterances or texts which have meaning and

which have some effects in the real world count as discourse” (arena seluruh

pernyataan yang bersifat umum; yaitu berbagai bentuk ujaran atau teks yang memiliki

makna dan pengaruh dalam dunia realitas dipandang sebagai wacana). Definisi

lainnya adalah ‗an individualizable groups of statements‘ (sekelompok pernyataan

yang berdiri sendiri) yang memiliki keteraturan, koherensi dan kekuataan dalam suatu

struktur. Diskursus juga mencakup unsur-unsur, seperti pernyataan, aturan, subjek,

proses, praktik, dan gagasan (Mills, 1997: 7).

Pada level sistem ekonomi sosial, wacana dapat mengacu pada dominasi yang

mengatur praktek gagasan, konsep, kategori and representasi makna sosial di dalam

masyarakat, seperti wacana neoliberalisme, kapitalisme, sosialisme dalam sistem

ekonomi. Efek ideologis suatu wacana dapat secara kognitif memengaruhi peserta

wacana (Fairclough, 1992: 92). Menurut Foucault (2002:9), diskursus atau wacana

merupakan cara untuk menghasilkan, praktik sosial, bentuk subjektivitas yang

terbentuk darinya, relasi kekuasaan dibalik pengetahuan dan praktik sosial tersebut

yang saling terkait satu dengan yang lainnya.

Diskursus atau wacana adalah apa yang menyatukan bahasa dan praktik,

gagasan yang mengacu pada produksi pengetahuan lewat bahasa kemudian

memberikan makna pada praktik-praktik sosial dan objek-objek material.

Page 32: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

32

Pengetahuan dan bahasa secara diskursif mengonstruksi, mendefinisikan dan

memproduksi objek-objek pengetahuan secara rasional. Wacana merujuk pada

komunikasi pikiran, ekspresi gagasan-gagasan, percakapan, kata, terutama sebagai

suatu subjek studi dan pokok kajian dalam risalah tulisan, disertasi, kuliah, ceramah,

lisan atau tulisan yang pembahasannya merupakan hubungan antara konteks-konteks

yang terdapat dalam teks (Soetrisno, 2007:286; Sobur, 2009: 9-10).

2.2.2 Pendidikan Bertaraf Internasional

Dalam penelitian ini pendidikan bertaraf internasional (PBI) mengacu pada

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 50 ayat (3) yang

menyatakan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-

kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk

dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” Frase ”satuan

pendidikan yang bertaraf internasional” dalam Pasal 50 ayat (3) dipertegas lagi

dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan Pasal 61 ayat (1): Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah

menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar

dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk

dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (selanjutnya SBI). Dalam

implementasinya, RSBI merupakan satu bentuk layanan pendidikan fomal pada suatu

satuan pendidikan dalam ”sejarah ” sistem pendidikan nasional. RSBI dalam hal ini

merupakan tahapan dan strategi menuju SBI sesuai amanat Undang-Undang tersebut

Page 33: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

33

di atas. Secara konsep dan implementasi PBI mengacu pada berbagai peraturan dan

ketentuan pelaksanaan di lapangan, antara lain, SNP, orientasi kurikulum OECD dan

kerjasama dengan mitra sekolah di luar negeri, penggunaan bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar, sertifikasi ISO, pembelajaran berbasis teknologi dan informasi

(TIK) dan partisipasi dalam Olimpiade.

2.2.3 Pendidikan Menengah Umum

Pendidikan menengah umum dalam penelitian ini merujuk pada Pasal 18 ayat

(1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan

rumusan yakni, jenjang pendidikan sebagai lanjutan pendidikan dasar dan pendidikan

menengah umum yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA). Berbeda dari

pendidikan menengah kejuruan, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),

pendidikan menengah umum lebih diarahkan pendidikannnya pada bidang akademik

dan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi.

Dengan uraian di atas tentang konsep-konsep dalam penelitian ini, hegemoni

PBI dalam pendidikan menengah umum secara ringkas menyangkut dominasi atau

kontrol dari pihak dominan (pemerintah sebagai representasi negara) atas subordinat

(pelaku dan pemangku kepentingan pendidikan) melalui berbagai wacana dan praktik

diskursif, sistem berpikir, gagasan, nilai-nilai, institusi dan praktik-praktik Pendidikan

Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan menengah umum sehingga pihak-

pihak yang terkait dengan pelaku pendidikan pada Pendidikan Menengah Umum

Page 34: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

34

berpikir dan bertindak sesuai dengan konstruksi berpikir dan kepentingan pihak

hegemonik.

2.3 Landasan Teori

Permasalahan wacana PBI dalam penelitian ini dijelaskan dengan

menggunakan Teori Hegemoni (Gramsci) yang didukung oleh Teori Wacana

Kuasa/Pengetahuan (Foucault), dan Teori Praksis Sosial (Bourdieu). Dalam proses

kerja ilmiah, teori diperlukan dalam bentuk kerangka teori untuk memahami dan

merajut keseluruhan objek, konsep dasar, dan memecahkan masalah objek yang

diteliti melalui metode yang diturunkan dari pemahaman atas teori untuk

kemungkinan temuan baru (Ratna, 2010: 46-49).

Objek formal dari penelitian ini adalah tentang hegemoni (ideologi),

sedangkan objek materilnya adalah wacana PBI. Dari perspektif teori-teori kritis, PBI

dipandang sebagai produk wacana yang dikonstruksi atau terkonstruksi secara sosial

dan termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti Undang-undang, peraturan dan

institusi formal seperti sekolah RSBI dengan segala program dan kegiatannya.

Implementasi dalam bentuk RSBI dalam penelitian ini dipandang sebagai bagian

rangkaian konstruksi wacana tentang PBI khususnya pada jenjang pendidikan

menengah umum.

Semua teori yang disebutkan di atas akan dijadikan landasan teoretis untuk

memahami dan mengidentifikasi permasalahan wacana PBI. Penggunaan berbagai

Page 35: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

35

teori ini secara eklektik diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan bentuk-

bentuk hegemoni PBI, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dan makna

hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Sanderson (2003: 619)

berpendapat bahwa eklektisme merupakan satu perspektif yang menekankan perlunya

kombinasi berbagai teori digunakan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih

komprehensif tentang suatu “objek” penelitian. Penggunaan teori secara eklektik

dalam penelitian ini penting dan relevan dari perspektif kajian budaya untuk

menjelaskan hegemoni wacana PBI dalam pendidikan menengah umum secara lintas

disiplin dan komprehensif.

Teori-teori yang digunakan di sini juga dijelaskan dalam hubungannya dengan

objek yang diteliti sehingga semakin jelas bagaimana berbagai teori tersebut

berfungsi atau digunakan sebagai “pisau analisis “untuk membedah permasalahan-

permasalahan penelitian. Tradisi pemikiran dalam ranah kajian budaya sebagai lintas

bidang ilmu dan ilmu-ilmu sosial humaniora pada umumnya melihat “objek atau

realitas” yang sama dengan titik penekanan, konsep dan perspektif yang berbeda.

Uraian didukung oleh gagasan-gagasan yang relevan dengan, misalnya pemikiran

Eagleton tentang ideologi (Takwin, 2009: 3-4) dan pemikiran Bourdieu tentang

pendidikan sebagai ranah beroperasinya hegemoni (Gramsci) dan diskursus

(Foucault).

Pemikiran strukturalisme tentang kekuasaan menurut Antonio Gramsci (1891-

1937) berkaitan dengan konsep hegemoni, sedangkan pemikiran postsrukturalis

berhubungan dengan pemikiran Michel Foucault (1926-1984) tentang wacana sebagai

Page 36: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

36

sumber daya kekuasaan atau kekuasaan itu sendiri. Pemikiran sosiolog Perancis,

Pierre Bourdieu (1930-2002) tentang praktik sosial yang bersifat relasional memiliki

persamaan dengan pemikiran Foucault tentang “power relations”, sebuah analisis

tentang mekanisme dominasi untuk membebaskan kelompok yang terdominasi.

Konsep hegemoni juga banyak diserap oleh Bourdieu dalam pandangan-

pandangannya tentang fenomena pendidikan, melalui konsep-konsep cultural capital,

cultural reproduction, symbolic power, dan lain-lain dari komponen teori praksis

Bourdieu yang dianggap mampu menjelaskan banyak karakteristik sistem pendidikan

kontemporer (Widja, 2007: 81; Bourdieu dalam Harker et. al. (eds), 1990).

Baik Marxisme menurut pemikiran Antonio Gramsci melalui karyanya

Selections from the Prison Notebooks (1971) maupun Michel Foucault dalam

Power/Knowledge (1980) memandang kekuasaan sistem kapitalisme secara berbeda.

Gramsci menekankan hubungan basis (ekonomi) dan superstruktur (ideologi) secara

resiprokal yang membentuk kekuasaan, sedangkan Foucault melihat kekuasaan

terletak pada diskursus dan “power relations”. Menurut Foucault kekuasaaan

bukanlah pengaruh beroperasinya ideologi, melainkan hal-hal yang besifat materillah

(material practices) yang beroperasi secara relasional dan saling terjalin

(menstruktur) dan berkelindan dengan berbagai jenis relasi lainnya sehingga

menghasilkan kondisi (formasi diskursif) untuk mengontrol apa yang dapat ditulis,

dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang tertentu (Foucault. 1980: 142; Storey,

2003: 132-133).

Page 37: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

37

Perbedaan pemikiran Gramsci (Marxisian Barat) dan Foucault (Nietzsean)

dalam melihat kekuasaan terletak pada perbedaan antara “relasi produksi” dan “relasi

kekuasaan” atau antara penguasaan sarana produksi dan penguasaan praktik

wacana/diskursus. Gagasan Gramsci merujuk pada integrasi “structure and

superstructure”, lebih bersifat struktural (Gramsci, 1971: 137), sedangkan bagi

Foucault yang menganut prinsip membangun kekuasaan (will to power), memandang

kekuasan sebagai pertarungan atau kontestasi wacana. Orientasi pemikiran Gramsci

bersifat mendominasi (power over), sedangkan pemikiran Foucault berorientasi pada

perimbangan kekuasaan (balances of powers), dalam arti upaya “partisipasi” dalam

arena kontestasi kekuasaan melalui wacana.

Mark Olssen, dkk, (2004) dalam bukunya yang berjudul Education Policy:

Globalization, Citizenship and Democracy menunjukkan pengertian kekuasaan

menurut Foucault dengan yang lainnya dengan penjelasan berikut.

Foucault replaces the concept of ideology with that of discourse. He

represents discourse as one of a variety of practices whose most significant

units are ―serious speech acts‖, both written and spoken. A discourse is

defined in terms of statements (enonces), of ―things said‖. Statements are

events of certain kinds, which are both tied to historical context and capable

of repetition. Further, as Foucault (1972: 49) describe them, ―Discourses are

composed of signs but what they do is more than use these signs to designate

things. It is this ―move‖ that we must reveal and describe (Olssen, dkk, 2004:

22-23).

Bourdieu memiliki persamaan pemikiran dengan Foucault dalam hal

„kekuasaan‟ yang bersifat relasional. Bagi Bourdieu kekuasaan diuji dan diraih pada

ranah (field) melalui relasi modal (kapital) dan habitus. Modal dapat berupa ekonomi,

sosial, budaya, linguistik dengan nilai simboliknya yang semuanya atau masing-

Page 38: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

38

masing berkontribusi untuk meraih kekuasaan (praktik sosial). Selain itu, individu

menurut Bourdieu dapat bertindak sebagai agensi yang „merekayasa‟ modal, habitus,

dan „doxa‟ dalam meraih atau menolak kekuasaan (counterhegemony) dalam praktik

sosial. 'Social capital is the 'the aggregate of the actual or potential resources which

are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized

relationships of mutual acquaintance and recognition' (Bourdieu 1983: 249).

Dalam hal mengungkap hegemoni dan resistensi tentang PBI, pemikiran

Foucault dan Bourdieu ini digunakan untuk menjelaskan kontestasi wacana dalam

masyarakat dan arena pendidikan yang melibatkan ilmu pengetahuan (sebagai

legitimasi kekuasaan yang bersifat diskursif) dan dinamika peran pendidikan sebagai

alat reproduksi dan transformasi modal dalam konteks globalisasi dan praksis sosial.

Dalam hal ini, analisis dilakukan dalam konteks pemikiran geneologis atau konstruksi

tentang bagaimana tiga komponen diskursif yaitu ilmu pengetahuan, institusi, dan

tokoh dalam membangun kuasa dalam arena pendidikan (Adian, 2002:22-23).

Dari segi makna, pemikiran Gramsci tentang ideologi dan Foucault tentang

wacana serta Bourdieu tentang peran agensi dan struktur digunakan untuk membedah

secara kritis relasi kuasa dalam wacana PBI dalam pendidikan menengah umum.

Secara teoretis, misalnya, peran agensi dalam wacana PBI dan relasi kekuasaan dapat

menjadi kekuatan mediasi (mediating force) antara kekuatan hegemonik dan

resistensi masyarakat dalam sistem pendidikan. Dalam hal terakhir ini, teori

Bourdieu tentang habitus dan modal dapat menjelaskan “resistensi” dari pihak guru,

siswa, dan masyarakat, dan para intelektual terhadap kekuasaan hegemonik.

Page 39: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

39

Pemerintah sebagai representasi negara merupakan pihak yang menghegemoni

kesadaran masyarakat dan pelaku pendidikan mengenai wacana PBI dan satuan PBI

sebagai strategi peningkatan mutu dan daya saing pendidikan nasional menghadapi

dinamika dan tantangan globalisasi.

2.3.1 Teori Hegemoni (Gramsci)

Dalam tradisi pemikiran ortodoks Marxisme, kekuasaan terkait dengan

dominasi dan penindasaan kelas pekerja atau buruh oleh kelas kapitalis. Kekuasaan

kapitalis atas kelas pekerja terutama bersumber dari penguasaannya atas sarana

produksi (means of production). Pemikiran ini terkait dengan pembedaan Marxisme

antara basis (base) dan bangunan atas (superstructure) di mana yang kedua

dipandang berfungsi untuk yang pertama sehingga perubahan yang terjadi pada level

superstruktur memengaruhi pada level yang pertama (Eatwell. et al, 2001: 6-7).

Dalam perkembangannya, teori hegemoni Antonio Gramsci (1891-1937)

terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi, negara, dan masyarakat. Istilah hegemoni

dalam hal ini mengacu pada gagasan tentang penguasaan kelompok dominan dalam

suatu masyarakat atas kelompok-kelompok subordinat melalui proses kepemimpinan

intelektual dan moral, melalui konsensus dengan menggunakan kepemimpinan

politik dan ideologis yang dalam operasinya didukung oleh kaum intelektual yang

disebut intelektual organik. Dengan demikian, hegemoni terjadi apabila kelompok

Page 40: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

40

subordinat telah menerima cara berpikir kelompok dominan (Bocock, 1986: 33;

Simon, 1999: 9; Gramsci, 1971: 57)

Pemikiran Gramsci tentang kekuasaan berbeda dari pemikiran Marxisme

Ortodoks. Kekuasaan bagi Gramsci tidak hanya bersumber dari basis (ekonomi)

tetapi juga dari superstruktur (ideologi) dengan keyakinan bahwa kelompok dominan

menjadi dominan adalah karena kekuasaan bersumber tidak hanya dari penguasaan

ekonomi tetapi juga dari ideologi, keduanya bersifat resiprokal (Gramsci, 1971: 366).

Superstruktur sebagai bentuk mengandung kekuasaan yang membentuk kekuatan

materil dari basis. Masyarakat bertindak tidak hanya didasarkan pada alasan ekonomi

tetapi juga berdasarkan persepsinya terhadap sesuatu. Dengan demikian, pada level

ideologilah manusia menjadi sadar tentang konflik-konflik yang terjadi di dunia

ekonomi (Gramsci, 1971: 162 dan 376).

Menurut Gramsci, ideologi berperan penting dalam membangun dan

melanggengkan kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan mendapatkan dukungan

dari kelompok subordinat karena kelompok dominan mampu mengintegrasikan

kepentingan ekonomi kelompok subordinat dalam operasi kekuasaannya dan

membuat kelompok sebordinat memahami kepentingannya sebagai kepentingan

bersama. Pandangan Gramsci ini beroperasi melalui alat hegemoni (seperti lembaga

pendidikan) yang di dalamnya terjadi pertarungan ideologi (Piliang, 2004: 357).

Kelompok dominan “memanfaatkan” kesadaran kelompok subordinat kedalam

perspektifnya - inilah yang dinamakan Gramsci sebagai hegemoni, yang juga bisa

Page 41: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

41

berarti dominasi dalam pandangan hidup, kebudayaan, dan ideologi (Santoso, 2007:

23).

Kemenangan ideologi menghasilkan tidak saja penguasaan ekonomi dan

politik tetapi juga kemenangan intelektual dan moral sehingga menciptakan hubungan

hegemonik. Hegemoni berarti suatu situasi, di mana sebuah blok historis, faksi-faksi

kelas dominan (yang berkuasa) menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinannya

pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan persetujuan (Barker,

2005:513). Pentingnya pengaruh ideologi ini membuat Gramsci menekankan

analisisnya tentang peran ideologi dalam membangun dan melestarikan hegemoni dan

pentingnya peran intelektual dalam pengembangan dan praktek ideologi pada level

hegemonik. Hegemoni ide-ide menjadi efektif dengan menggunakan bahasa sebagai

alat dominasi dan ketika kelompok subordinat telah menerima cara berpikir

kelompok dominan (Santoso, 2007: 24; Gramsci: 1971: 57).

Kerangka pikir teori hegemoni yang diuraikan di atas digunakan terutama

untuk memahami permasalahan pertama dalam penelitian ini yakni bentuk-bentuk

hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum sebagai akibat dari hubungan

antara politik pendidikan nasional melalui wacana UU, kebijakan, peraturan-

peraturan dan praktik-praktik pendidikan (sekolah) dan wacana globalisasi dengan

ideologi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu asumsi dasar

penelitian ini adalah bahwa wacana PBI tidak terlepas dari hegemoni globalisasi dan

diskursus kuasa/pengetahuan (Foucault) yang beroperasi dalam sistem pendidikan

nasional, khususnya dalam pendidikan menengah umum. Pemerintah sebagai

Page 42: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

42

representasi negara menghegemoni masyarakat pendidikan tentang PBI sebagai solusi

bagi berbagai permasalahan pendidikan menghadapi dinamika dan tantangan

globalisasi.

2.3.2 Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan

Michel Foucault (1926-1984) dalam beberapa bukunya yang sangat terkenal

dan berpengaruh dalam kajian budaya, seperti The Archaelogy of Knowledge (1972),

Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), dan Power/Knowledge (1980)

memandang bahwa pengertian kekuasaan menyangkut ide-ide tentang wacana atau

diskursus. Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari diskursus, khususnya diskursus

ilmu pengetahuan sebagai sumber daya sekaligus bentuk kekuasaan itu sendiri.

Pemikiran Foucault tentang diskursus menyingkap bagaimana diskursus orientalisme

sebagai suatu konstruk pengetahuan tentang Timur dan bentuk hubungan antara

kekuasaan-pengetahuan yang mengartikulasikan kepentingan Barat. Diskursus tidak

bersifat netral tetapi politis dan ideologis. Dalam hal ini, kebenaran suatu diskursus

tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan dan di

mana ia menyatakannya (Said, 1978; 705; Storey 2003: 135; Foucault: 2002: 13).

Menurut Foucault, kekuasaan harus dipahami dalam operasinya atau praktiknya yang

tidak dimiliki oleh negara tetapi dapat bersifat individual dan dalam bentuk jaringan

organisasi, sebagaimana tergambar melalui kutipan berikut.

Page 43: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

43

Power must be analyzed as something which circulates, or rather as

something which only functions in the form of a chain. It is never localized

here or there, never in nybody's hands, never appropriated as a commodity or

piece of wealth. Power is employed and exercised through a net-like

organization (Foucault, 1980:98).

Foucault memandang kekuasaan dan pengetahuan sangat terkait dalam hal

yang disebut sebagai formasi diskursif (mengkondisikan). Diskursus merupakan

sarana bagi suatu institusi untuk meraih kekuasaan melalui proses definisi dan

eksklusi dan formasi diskursif tertentu. Institusi memiliki otoritas untuk

mendefinisikan ”kebenaran” tentang suatu topik. Suatu formasi diskursif merupakan

seperangkat aturan tak tertulis yang berusaha mengontrol apa yang dapat ditulis,

dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey, 2003: 132-

133). Menurut Barker (2005: 106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan

suatu topik secara konsisten, dengan motif, praktik, dan bentuk pengetahuan yang

diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas.

Menurut Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1977), kekuasaan

menciptakan pengetahuan dan pengetahuan dapat menghasilkan kekuasaan secara

produktif. Pengetahuan merupakan dampak dari hubungan kekuasaan-pengetahuan

(relasional) dan perubahan-perubahannya dalam sejarah (Foucault, 1977: 27-28).

Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but

has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real

world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once

used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the

disciplining of practice. Thus, 'there is no power relation without the

correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does

not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault

1977: 27).

Page 44: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

44

Dalam hal ini, menurut Storey (2003: 132), analisis genealogi adalah

menyangkut hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) yang

beroperasi melalui formasi-formasi diskursif, yaitu kerangka-kerangka konseptual

yang mengajukan sejumlah cara berpikir dan menolak cara-cara berpikir lainnya. Hal

inilah kemudian dapat melahirkan apa yang disebut dengan “rezim kebenaran”

melalui diskursus yang dibentuk oleh kekuasaan melalui hubungan-hubungan

kekuasaan yang mendasarinya dan demi kepentingan kekuasaan tersebut (Fakih,

1997: 169; Mills, 1997: 18; Eriyanto, 2001: 67).

Praktik diskursus pengetahuan dan kekuasaan perlu dikaji modus

pembentukannya melalui analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus.

”It is from the point of view of property that there are thieves and stealing” (Foucault,

1980:36). Kekuasaan dan pengetahuan bersifat resiprokal dan produktif. Dalam hal

ini, Foucault memusatkan perhatiannya pada bagaimana manusia meregulasi dirinya

sendiri dan yang lain melalui produksi dan kontrol pengetahuan. Foucault

menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui pembentukan

manusia sebagai subjek dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatur subjek.

”..since power is everywhere it was probably better to concentrate on the local micro-

physics of power that surround the individual‖ (Said, 1993: 26).

Wacana merupakan ”lokasi epistemologis” bagi bertemunya kekuasaan dan

pengetahuan dalam mengonstruksi ”siapa” (agen) yang harus dikendalikan dan ”apa”

(objek permasalahan) yang harus dijadikan target intervensi politik (Ritzer, 2008:80-

81). Dalam konteks ini pengetahuan dapat dipahami sebagai bersifat ideologis dan

Page 45: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

45

tidak bebas dari kepentingan. Konstruksi pemikiran Foucault ini terutama digunakan

untuk menjelaskan permasalahan kedua dalam penelitian disertasi ini, faktor-faktor

yang memengaruhi hegemoni PBI dalam pendidikan memengah umum.

2.3.3 Teori Praksis Sosial (Bourdieu)

Pierre Bourdieu dalam teori praksis sosialnya mengajukan konsep habitus dan

field. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dalam

menghadapi realitas sosial. Manusia dibekali dengan sederetan skema yang

terinternalisasi untuk mempersepsi, mamahami, menghargai serta mengevaluasi

realitas sosial. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni

pengaruh sejarah yang dianggap alamiah. Habitus mendasari field diartikan sebagai

jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir

terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Field adalah semacam hubungan

yang terstruktur serta tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok

dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Takwin, 2009: 114).

Berdasarkan pengertian habitus dan field serta mekanisme kerjanya pada diri

manusia, Bourdieu mengajukan konsep doxa yang pengertiannya menyerupai

ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat

pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi tanpa

dipertanyakan. Dalam prakteknya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengetahuan yang

begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan field individu. Kehidupan sosial tidak

dapat dipahami semata-mata sebagai agregat perilaku individu. Praksis tidak dapat

Page 46: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

46

dipahami secara terpisah dalam pengambilan keputusan individu atau sebagai suatu

yang ditentukan oleh ‟struktur supra individual (Takwin, 2009: 115; Jenkins, 2004:

106-107)

Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap field yang bekerja

sebagai modus kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan dalam bentuknya

yang sangat halus dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi

karena sudah mendapat legitimasi sosial. Bahasa, makna dan sistem simbolik para

pemilik kekuasaan ditanamkan lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari

kesadaran. Kekerasan simbolik dalam bentuk konkretnya dalam pendidikan adalah

ketika seorang guru atau dosen secara halus memaksakan pengetahuannya untuk

diterima oleh murid-muridnya. Pengetahuan-pengetahuan yang diterima begitu saja

merupakan bentuk konkret dari doxa (Takwin, 2009: 116-117).

Uraian di atas tentang teori-teori yang digunakan memiliki kekhasan masing-

masing dalam menggambarkan cara kerja kekuasaan. Meski berbeda sudut pandang

dan istilah, semuanya memiliki persamaan dalam hal kekuasaan sebagai kemampuan

seseorang atau suatu kelompok sosial untuk memengaruhi orang atau kelompok lain

melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Pemikiran-pemikiran Foucault

menekankan tentang diskursus sebagai sumber dan praktik kekuasaan, Gramsci

tentang ideologi sebagai sarana hegemoni, dan Bourdieu tentang praktik sosial

sebagai perjuangan untuk “hidup”. Teori-teori tersebut dipandang relevan untuk

menjelaskan permasalahan-permasalahan penelitian ini, yaitu tentang hegemoni PBI

dalam pendidikan menengah umum.

Page 47: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

47

Model Penelitian

Keterangan: : hubungan saling memengaruhi

: pengaruh searah (dominasi)

Wacana

Lokal/Nasional

Wacana

Globalisasi

Politik Pendidikan

Nasional

Hegemoni PBI

dalam Pendidikan

Menengah Umum

Bentuk-bentuk

Hegemoni PBI

dalam PMU

Faktor-faktor yang

memengaruhi

Hegemoni PBI dalam

PMU

Makna Hegemoni

PBI dalam PMU

Temuan Penelitian

1. Ideologi

Pendidikan

Nasional

2. Sosial,

Ekonomi, dan

Budaya

1. Neoliberalime

2. Kapitalisme.

3. Budaya/Nilai-

nilai

Page 48: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

48

Politik pendidikan sebagai praktik dan kontestasi budaya dipengaruhi oleh

faktor internal yaitu wacana ideologi negara dengan aspek sosial ekonomi dan budaya

dan faktor eksternal yaitu wacana globalisasi dengan berbagai orientasi ideologinya.

Politik pendidikan nasional menghasilkan kebijakan tentang satuan PBI dalam bentuk

implementasi RSBI berdasarkan UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) dan berbagai

peraturan derivatnya yang dipengaruhi oleh wacana globalisasi.

Hegemoni negara yang direpresentasikan oleh pemerintah beroperasi melalui

berbagai Undang-undang dan kebijakan serta implementasinya yang didukung

dengan wacana kuasa/pengetahuan tentang PBI. Pemerintah menghegemoni

masyarakat dan pelaku pendidikan tentang wacana PBI sebagai sebuah terobosan

dalam reformasi pendidikan nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan

daya saing nasional menghadapi tantangan globalisasi. Wacana globalisasi

memproduksi pengetahuan seperti “standarisasi pendidikan“ lewat bahasa yang

memberikan makna pada praktik-praktik sosial dan objek-objek material.

Pengetahuan tentang standarisasi secara diskursif mengonstruksi, mendefinisikan dan

memproduksi objek-objek pengetahuan melalui wacana yang melihat hubungan

globalisasi dan pendidikan.

Hubungan antara ideologi pendidikan nasional dan wacana globalisasi

menghasilkan hegemoni wacana PBI dalam pendidikan menengah umum. Dalam hal

ini penelitian diarahkan untuk memahami bentuk-bentuk hegemoni PBI, faktor-faktor

yang memengaruhi hegemoni PBI, dan makna hegemoni PBI dalam pendidikan

menengah umum.

Page 49: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

49

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk membongkar wacana PBI (objek materil

penelitian) dengan menganalisis berbagai pandangan dan pengalaman guru, siswa,

pakar pendidikan dan bahasa, dan orangtua siswa serta berbagai wacana sosial

budaya lainnya tentang pendidikan yang dapat menjawab permasalahan penelitian

yang telah dirumuskan. Analisis juga dilakukan terhadap berbagai wacana

(dokumen) pendidikan seperti Undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan berbagai

peraturan pemerintah (PP), Peraturan Menteri dan berbagai ketentuan lainnya yang

terkait dengan tema dan implementasi PBI. Wacana PBI dianalisis secara kritis

untuk mengungkap bentuk-bentuk hegemoni (objek formal), dominasi, kuasa,

pengetahuan, dan kepentingan yang meliputinya (Lubis, 2006: 136).

Perkembangan PBI dalam bentuk RSBI/SBI tidak terlepas dari wacana

perkembangan ilmu pengetahuan dan wacana sosial melalui berbagai tulisan,

bacaan, buku, disertasi, ceramah dan berbagai komunikasi gagasan lainnya yang

memberi makna pada praktek sosial dan objek-objek material, yang di dalamnya

terdapat relasi-relasi antara kuasa dan pengetahuan yang melandasinya, serta

kemungkinan bentuk-bentuk kekuasaan yang masing-masing atau semuanya

beroperasi membentuk dan mengarahkan perkembangan pendidikan itu sendiri,

khususnya dalam hal PBI. Hal ini terkait dengan genealogi atau asal-asul, dalam

Page 50: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

50

bentuk kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana dan

aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512).

Untuk membongkar wacana PBI dan permasalahannya, metode kualitatif

dengan perspektif wacana kritis sesuai dengan karakteristik penelitian ini.

”Critical Discourse Analysis (CDA) is obviously not a homogenous model, nor a

school or a paradigm, but at most a shared perspective on doing linguistics,

semiotic or discourse analysis (van Dijk 1993: 131). Kajian wacana kritis

difokuskan pada bagaimana kekuasaan sosial disalah-gunakan, didominasi,

direproduksi dan ditolak (resistensi) melalui teks dalam konteks sosial dan politik.

Selain menggunakan analisis objektif-kritis, analisis juga dilakukan berdasarkan

pengalaman pribadi sebagai dosen atau pendidik selama paling tidak 25 tahun.

Selain itu, peneliti ”diuntungkan” karena memiliki pengalaman dan terlibat dalam

proses awal terbentuknya satuan RSBI, 2004-2006. Dalam hal ini, peneliti

memiliki pemahaman tentang objek dan ranah yang diteliti selain pemikiran kritis

dan sikap intuitif terhadap permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, metode

yang digunakan dalam penelitian ini bersifat “eklektif”: dekonstruktif, analitis-

interpretatif, dan intuitif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perpustakaan-perpustakaan dan di sekolah-

sekolah, yang sengaja dipilih untuk kepentingan penelitian ini, yaitu di dua

sekolah (SMA) berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung yang dipandang

Page 51: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

51

mewakili implementasi kebijakan PBI pada jenjang pendidikan menengah umum

dalam konteks wacana PBI. Selain itu, kedua sekolah tersebut termasuk sekolah

terbaik di daerah masing-masing baik dari segi prestasi akademik maupun non

akademik. Pelaksanaan penelitian di lapangan berlangsung selama delapan bulan,

sejak Februari – Agustus 2012. Verifikasi data lapangan kembali dilakukan pada

bulan Februari-April 2013 setelah adanya putusan lembaga MK tentang

pembatalan pasal 50 ayat (3) tentang dasar hukum satuan PBI. Dalam hal ini,

pembahasan data dan permasalahan penelitian tentu saja merefleksikan dinamika

wacana PBI pasca putusan MK tersebut untuk lebih memastikan aktualitas dan

konteks (relevansi) penelitian.

Ada beberapa pertimbangan lainnya dalam pemilihan lokasi penelitian.

Secara politik, Jakarta merupakan pusat berbagai pengambilan keputusan dalam

berbagai aspek kehidupan bangsa dan Negara, sekaligus dipandang sebagai

barometer dari efektifitas suatu kebijakan termasuk kebijakan pendidikan. Dengan

asumsi tentang Jakarta sebagai pusat pemerintahan, kegiatan politik dan bisnis

serta barometer kemajuan pendidikan nasional, maka lokasi utama penelitian ini

dipilih di salah satu sekolah yang berstatus RSBI di Jakarta yaitu SMA Negeri 78

Jakarta dengan kondisi sekolah yang relatif mendekati SNP dan ketentuan Ditjen

Dikdasmen (2010) tentang RSBI, seperti standar atau kriteria SDM, sarana

prasarana TIK, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Jakarta sebagai ibukota

juga memiliki akses, heterogenitas kultur, dan penggunaan yang relatif tinggi

terhadap berbagai fasilitas TIK sekaligus dipandang sebagai barometer

Page 52: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

52

(keberhasilan atau kegagalan) suatu kebijakan dan implikasinya terhadap

pendidikan nasional. Untuk mendapatkan ”data pembanding” tentang

implementasi kebijakan PBI, lokasi pendukung penelitian dipilih SMA Negeri 2

Bandarlampung, yang juga berstatus RSBI dan salah satu sekolah favorit di kota

Bandarlampung,, sekolah yang sengaja dipilih di daerah dalam konteks otonomi

daerah dan manajemen pendidikan pasca otonomi daerah.

3.3 Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data penelitian terdiri atas data kualitatif dan data kuantitatif sebagai

data sekunder. Data kualitatif meliputi dua jenis, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung dan

mendalam dengan para narasumber dari dua sekolah di Jakarta dan di

Bandarlampung (guru, Pimpinan Sekolah, Siswa), orangtua siswa dan tokoh

masyarakat, pakar pendidikan, dan rekaman dan risalah Sidang MK. Data

sekunder diperoleh dalam bentuk dokumen tertulis berupa undang-undang,

peraturan, buku, artikel dan berita media massa serta berbagai objek (gambar).

Wawancara dilakukan terutama di Jakarta, Bandarlampung, Yogjakarta, dan

Denpasar baik secara langsung berhadapan muka maupun melalui percakapan

jarak jauh dengan telepon.

Sebagai kajian wacana, semua teks (bentuk tulis dan hasil wawancara) dalam

penelitian ini diperlakukan sebagai data primer yang dianalisis dan data sekunder

sifatnya hanya pendukung untuk hasil analisis. Seluruh data diolah dan dianalisis

Page 53: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

53

secara kritis dan konseptual untuk memahami permasalahan penelitian. Secara

khusus data dari media massa dalam penelitian ini sangat penting dan mendukung

penelitian ini karena posisinya tidak saja sebagai salah satu pilar demokrasi tetapi

juga wacana yang dapat menggambarkan kontestasi ideologi dan aspirasi publik

yang berkontribusi terhadap dinamika perubahan nilai-nilai sosial tentang PBI.

“Media texts do indeed function ideologically in social control and social

reproduction, but they also operate as cultural commodities in a competitive

market [ . . . ], are part of the business of entertaining people, are designed to

keep people politically and socially informed, are cultural artefacts in their

own right, informed by particular aesthetics; and they are at the same time

caught up in – reflecting and contributing to – shifting cultural values and

identities.” (Teks-teks media sungguh dapat berfungsi secara ideologis,

namun teks-teks media juga berperan sebagai komoditas kultural dalam

pasar kompetitif, bagian dari usaha untuk menghibur orang, dirancang untuk

memberikan informasi secara politik dan sosial, artefak kultural dalam

dirinya, disajikan dengan estetika khusus, dan pada saat yang sama

terperangkap dalam – merefleksikan dan mendukung – mengubah nilai-nilai

budaya dan identitas) (Fairclough 1995: 47).

Dengan demikian, penelitian ini dilakukan dengan beberapa sumber data,

yaitu dua sekolah berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung (guru,

Kepsek/Wakasek, siswa, Staf Administrasi), orangtua siswa dan tokoh masyarakat,

beberapa pakar pendidikan (narasumber), dan wacana Sidang MK tentang gugatan

masyarakat terhadap pasal 50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun

2003 tentang satuan PBI.

3.4 Teknik Penentuan Informan

Pada tahap awal ditetapkan tujuh informan kunci secara purposive atau

sesuai dengan tujuan yang ingin diperoleh dari informan. Informasi yang diperoleh

Page 54: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

54

dari informan tersebut selanjutnya dikembangkan secara terus-menerus dengan

prinsip bola-salju (snowball) sesuai kebutuhan dan kecukupan data untuk

mengungkap permasalahan penelitian. Kriteria penentuan informan kunci ini pada

dasarnya dipilih dengan pertimbangan: (1) memiliki pengalaman atau terlibat

secara langsung/tidak langsung dalam permasalahan yang diteliti; (2) guru bahasa

Inggris dan MIPA dan siswa sekolah SMA; (3) tidak memiliki kepentingan pribadi

(bersifat objektif); (4) memiliki pemahaman yang memadai tentang permasalahan

yang diteliti (Endraswara, 2006: 115-119; Mulyana, 2002; 173-176).

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen utama penelitian ini adalah pedoman wawancara, alat perekam

suara, kamera, dan alat pencatat data lisan dan tulisan. Pedoman wawancara

dengan daftar pertanyaan terbuka dirancang dan digunakan untuk menjaring

berbagai pandangan, pendapat, sikap dan pengalaman narasumber, pimpinan

sekolah, guru dan siswa tentang RSBI, masyarakat dan orangtua siswa, dan

berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan pendidikan dan wacana PBI dalam

lingkup Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Untuk validitas data, kriteria yang digunakan mencakup kredibilitas

(kepercayaan), keteralihan (transfarability), ketergantungan (dependabilitiy), dan

kepastian (confirmability) (Sugiyono, 2007: 276). Selain itu, validitas (validasi)

data juga didukung dengan triangulasi dengan menghimpun data dari berbagai

sumber baik melalui wawancara maupun pengecekan dokumen.

Page 55: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

55

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan

dokumen, dan seleksi teks atau wacana sosial. Teknik ini didasarkan pada

perspektif wacana kritis bahwa data yang dikumpulkan memiliki pola-pola yang

dapat membangun korespondensi atau hubungan antara wacana yang beroperasi

dalam ranah penelitian yang dapat dikonfirmasi dengan teks-teks lainnya dalam

hal sejauh mana data sesuai dengan permasalahan dan analisis data penelitian.

Penggunaan beberapa teknik pengumpulan data ini juga didasarkan pada

kelaziman dalam Kajian Budaya untuk menggali data sebanyak mungkin yang

dapat menggambarkan secara utuh fenomena atau permasalahan hegemoni PBI

dalam pendidikan menengah umum.

3.7 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif dan interpretatif. Data

yang diperoleh dikritisi dan diklasifikasikan berdasarkan asumsi kultural serta

dengan sikap fleksibel, reflektif, dan objektif (Endraswara, 2003: 15). Untuk itu,

pertama-tama, data hasil wawancara disusun dalam bentuk transkrip hasil

wawancara. Selanjutnya, proses reduksi dilakukan untuk memilah data yang

relevan dan tidak relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Data yang

relevan disusun secara kategoris dan tematis dalam tabel-tabel hasil reduksi agar

lebih mudah dipahami. Sebagai penelitian kualitatif, jika pada tahap reduksi

Page 56: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

56

ternyata masih terdapat data yang kurang, maka pengumpulan data dilanjutkan

hingga semua data yang dibutuhkan semaksimal mungkin tersedia.

Data juga dianalisis dengan cara mengembangkan taksonomi dan

geneologi (rangkaian pemikiran) berdasarkan teori-teori tentang diskursus, sistem

klasifikasi deskriptif yang mencakup sejumlah informasi secara sistematis.

Analisis kualitatif sebagai model alir (flow model) dilakukan dengan cara: (1)

Reduksi data, yaitu proses pemilahan, penyederhanaan, pengabsahan, dan

transformasi data. (2) Penyajian data, yaitu menyusun berbagai informasi untuk

penarikan simpulan (3) Penarikan simpulan dilakukan dengan menguji catatan

lapangan: kebenaran, kecocokan, dan validitas makna yang muncul di lokasi

penelitian. Selanjutnya uraian di atas disederhanakan menjadi tiga tahapan, yakni

(1) indentifikasi data dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi; (2)

klasifikasi data sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian; dan (3) interpretasi

hasil analisis wacana dan berbagai faktor yang memengaruhinya (Miles dan

Haberman dalam Nawawi, 1992: 15-18; Salim, 2006: 22).

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Sebagai penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan secara informal

(deskriptif) dan secara formal berupa tabel, gambar, bagan, dan foto. Penyajian

hasil analisis dituangkan ke dalam delapan bab dalam bentuk (format) disertasi.

Page 57: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

57

BAB IV

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Dalam bab ini, pertama, dibahas wacana PBI sebagai objek materil dari

penelitian sekaligus memberikan gambaran latar belakang dan landasan kebijakan

satuan PBI dan eksistensi RSBI dalam konteks pendidikan menengah umum. Data

bersumber dari berbagai dokumen seperti, UU, peraturan dan berbagai panduan

penyelengaraan RSBI/SBI dan hasil wawancara dengan narasumber. Selanjutnya,

disajikan gambaran mengenai lokasi penelitian yang merupakan bagian penting

dari sumber data penelitian, yaitu, SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2

Bandarlampung, saat penelitian ini dilakukan keduanya berstatus RSBI.

4.1. Pendidikan Bertaraf Internasional

Untuk mengemban fungsi pendidikan nasional, pemerintah

menyelenggarakan sistem pendidikan nasional berdasarkan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional

diarahkan untuk mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,

peningkatan mutu dan relevansi serta efsiensi manajemen pendidikan. Pemerataan

kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun,

sedangkan peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas

manusia Indonesia yang berdaya saing menghadapi tantangan global. Peningkatan

relevansi pendidikan adalah untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan

Page 58: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

58

kebutuhan berbasis sumber daya alam Indonesia, sedangkan peningkatan efisiensi

manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah

(MBS) dan pembaruan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan

berkesinambungan (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006).

Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan seperti PP No 19 Tahun 2005 tentang

SNP, yaitu perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional

pendidikan, yaitu, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar

sarana dan prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar

manajemen/pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian (Tabel 4.1).

Secara konsepsional, PBI diarahkan untuk menambah delapan standar pendidikan

tersebut dengan standar pendidikan negara OECD dengan harapan agar pendidikan

nasional mampu bersaing pada aras global.

Tabel 4.1 Delapan Standar Pendidikan Nasional

No Standar Nasional Pendidikan Rujukan ”bertaraf internasional” 1 Standar Isi: ruang lingkup materi dan

tingkat kompetensi yang dituangkan

dalam kriteria tentang kompetensi

lulusan, kompetensi bahan kajian,

kompetensi mata pelajaran, dan silabus

pembelajaran yang harus dipenuhi oleh

peserta didik pada jenjang dan jenis

pendidikan tertentu.

Kurikulum bertaraf internasional dengan

mengadaptasi kurikulum sekolah mitra yang

diakui baik kualitasnya di negara OECD

atau negara maju lainnya.

2 Standar Proses: berkaitan dengan

pelaksanaan pembelajaran pada satu

satuan pendidikan untuk mencapai

standar kompetensi lulusan.

- PP No. 19/2005 Pasal 19: Proses

pembelajaran diselenggarakan secara

interaktif, inspiratif, menyenangkan,

menantang, dst

- berbasis TIK dan menggunakan bahasa

Inggris

Page 59: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

59

Tabel 4.1 Delapan Standar Pendidikan Nasional

3 Standar Kompetensi Lulusan:

kualifikasi kemampuan lulusan yang

mencakup sikap, pengetahuan, dan

keterampilan.

- mampu berbahasa Inggris dan

memanfaatkan TIK

- pada satuan pendidikan menengah

umum bertujuan untuk meningkatkan

kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,

ahklak mulia, serta keterampilan untuk

hidup mandiri dan mengikuti pendidikan

lebih lanjut. 4 Standar Pendidikan dan

Kependidikan: kriteria pendidikan

prajabatan dan kelayakan fisik maupun

mental, serta pendidikan dalam jabatan

Kepsek minimal S2, 20% guru S2 dari PT

dengan program studi berakreditasi A, dan

mampu berbahasa Inggris sesuai bidang

studinya dan Guru MIPA berpendidikan S2,

sesuai bidang ilmu dan mampu berbahasa

Inggris dan menggunakan TIK dalam

mengajar 5 Standar Pengelolaan: berkaitan dengan

perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan kegiatan pendidikan pada

tingkat satuan pendidikan,

kabupaten/kota, provinsi, atau nasional

agar tercapai efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pendidikan.

berbasis TIK (cyber school), orientasi

meraih ISO 9001 dan 14000, memiliki

sister school, melaksanakan MBS, mampu

kerjasama dengan stakeholder lain

6 Standar Sarana dan Prasarana:

kriteria minimal tentang ruang belajar,

tempat berolahraga, tempat beribadah,

perpustakaan, laboratorium, bengkel

kerja, tempat bermain, tempat berekreasi,

serta sumber belajar yang menunjang

proses pembelajaran, termasuk TIK

standar negara maju: perpustakaan,

laboratorium (IPA, IPS, Matematika,

TIK/Komputer, Bahasa, Pendidikan

Teknologi Dasar), ruang kelas, dll

7 Standar Pembiayaan: mengatur

komponen dan besarnya biaya operasi

satuan pendidikan yang berlaku selama

satu tahun.

- PP No.19 Tahun 2005 pasal 62 ayat (1):

pembiayaan pendidikan terdiri atas

biaya investasi, operasi, dan personal

- Permendiknas No 69 tahun 2009 tentang

Standard Pembiayaan yang diperluas

sesuai dengan tuntutan kurikulum SBI 8 Standar Penilaian Pendidikan:

berkaitan dengan mekanisme, prosedur,

dan instrumen penilaian hasil belajar

peserta didik. PP No.19 Thun 2005

Pasal 63: (1) Penilaian terdiri atas: a.

penilaian hasil belajar oleh pendidik;

oleh satuan pendidikan; dan c. oleh

Pemerintah (untuk menilai pencapaian

kompetensi lulusan pada mata pelajaran

tertentu dalam bentuk Ujian Nasional).

- memperoleh prestasi kejuaraan

internasional/nasional, baik akademik

maupun non akademik

- menggunakan model-model penilaian

sesuai tuntutan kurikulum SBI dan

sertifikasi internasional bagi lulusan

Sumber: Data Diolah

Page 60: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

60

Visi pendidikan nasional, menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003,

menekankan terbentuknya masyarakat yang damai, demokratik, berkarakter baik,

berkeahlian, kompetitif, progresif dan makmur. Dengan visi ini, Departemen

Pendidikan (2005-2011) memberikan landasan penyelenggaraan SBI dan alokasi

anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam hal ini,

Pemerintah memandang bahwa sekolah menengah merupakan satuan pendidikan

yang strategis untuk menghadapi persaingan global. Peningkatan kualitas sekolah

menengah diharapkan menghasilkan lulusan yang berdaya saing internasional dan

meningkatkan kesadaran tentang pentingnya standar pendidikan yang lebih tinggi

secara nasional (Renstra Depdiknas, 2005; Strategi Teknologi dan Informasi 2004-

2009, Departemen Pendidikan Nasional, 2004).

Berdasarkan buku “Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf

Internasional” (2010:2), visi pendidikan nasional yang menjadi fokus internal

Kemdiknas adalah “Terselenggaranya Layanan Pendidikan Nasional untuk

Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif” yang kemudian diwujudkan

dengan misi 2010-2014 sebagai berikut.

a. Meningkatkan Ketersediaan Layanan pendidikan

b. Memperluas Keterjangkauan Layanan pendidikan

c. Meningkatkan Kualitas dan relevansi Layanan pendidikan

d. Mewujudkan Kesetaraan dalam Memperoleh Layanan Pendidikan

e. Menjamin Kepastian Memperoleh Layanan Pendidikan

Penyelenggaraan RSBI/SBI dalam sistem pendidikan nasional secara

normatif mengacu pada Amanat Konstitusi tentang hakikat dan tujuan pendidikan

nasional sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan penyelenggaraan

Page 61: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

61

pemerintahan negara Indonesia: “...melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia, kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial.”

Salah satu asumsi penelitian ini adalah bahwa UU Sisdiknas 2003 pasal 50

tentang PBI dengan berbagai orientasi ideologinya tidak muncul dalam

”kevakuman” budaya tetapi dalam konteks hegemoni wacana global tentang

pendidikan dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam kerangka

pemikiran Foucault, di satu pihak, wacana PBI dapat dijelaskan dalam konteks

praktik diskursus melalui produksi dan kontrol pengetahuan dan disiplin

masyarakat. Di pihak lain, negara berperan menghegemoni masyarakat pendidikan

dan sekolah melalui UU, kebijakan dan implementasinya dalam bentuk program

RSBI/SBI dengan berbagai program dan kegiatannya.

Gagasan pemerintah tentang pendirian sekolah RSBI didasarkan pada

realitas dan tantangan era globalisasi yang sarat dengan budaya kompetitif dalam

pengembangan IPTEK, manajemen dan sumber daya manusia pada aras

internasional. Selain itu, realitas pendidikan nasional yang kualitasnya rendah

membutuhkan sebuah terobosan. Logikanya adalah bahwa pendidikan berkualitas

akan menghasilkan keunggulan IPTEK dan selanjutnya meningkatkan efektifitas

dan efisiensi suatu produk, menurunkan biaya produksi, meningkatkan nilai

tambah, dan akhirnya meningkatkan kualitas produk-produk unggulan nasional.

Keunggulan manajemen pengembangan SDM dapat meningkatkan kinerja

Page 62: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

62

pendidikan. Dengan SDM yang unggul dan daya saing yang tinggi pada tingkat

internasional, maka daya tawar nasional akan dengan sendirinya meningkat pada

aras internasional di era globalisasi.

Wacana yang berkembang tentang kondisi kualitas pendidikan nasional yang

sangat memprihatinkan dan berdaya saing rendah dan wacana globalisasi yang

sarat dengan tantangan dan isu persaingan merupakan “kondisi objektif” terhadap

perlunya eksistensi PBI sebagai bagian dari strategi pendidikan dan reformasi

pendidikan nasional. Untuk dapat bersaing di era globalisasi, pendidikan nasional

membutuhkan standarisasi mutu, efisiensi manajemen, dan kompetensi lulusan

yang unggul dan berdaya saing sesuai dengan tantangan dan dinamika

perkembangan ilmu pengetahuan dan globalisasi. Hal ini kemudian melahirkan

berbagai Undang-undang dan peraturan sebagai landasan yuridis untuk

penyelenggaraan satuan PBI, antara lain, sebagai berikut.

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 50 ayat

(3): “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan

sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang

pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf

internasional”.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

3. Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan (SNP), pasal 61 ayat (1)

Page 63: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

63

4. PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota

5. PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan

6. PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

7. PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

8. Permendiknas No 63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

9. Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang

Pendidikan Dasar dan Menengah

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 telah ditetapkan tahapan skala

prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ke-1

tahun 2005-2009, yaitu untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat

terhadap layanan pendidikan. Selanjutnya, dalam Renstra 2010-2014, pemerintah

menargetkan bahwa pada tahun 2014 minimal 50% kabupaten/kota di seluruh

Indonesia telah memiliki satuan pendidikan yang berstatus SBI (Dok. Kemdiknas,

Pengantar RSBI, 2008).

Pengaruh wacana globalisasi dengan orientasi ideologinya terhadap Sistem

Pendidikan Nasional semakin nyata dalam berbagai rumusan peraturan dan

pedoman penyelenggaraan RSBI/SBI sebagai turunan dari UU Sisdiknas pasal 50

ayat (3) tentang PBI. Hal ini juga tampak melalui Peraturan Pemerintah No

19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), pasal pasal 61 ayat (1) dan

Page 64: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

64

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

RSBI merupakan satuan pendidikan yang secara normatif dianggap telah

memenuhi atau mendekati SNP dan selanjutnya diperkaya dengan standar kualitas

pendidikan dari salah satu negara anggota Organization for Economic Co-

operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya. SNP disebut

juga dengan Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) atau Indikator Kinerja

Utama (IKU). Sementara standar pendidikan dari negara anggota OECD disebut

dengan unsur X atau Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), yang isinya

merupakan pengayaan atau penambahan dari standar pendidikan nasional (SNP)

dengan berbagai komponennya.

Secara normatif, Standar Nasional Pendidikan (SNP) harus dipenuhi oleh

satuan pendidikan yang “ditunjuk” sebagai RSBI, yang meliputi kompetensi

lulusan, isi, proses, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan

prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Sedangkan pengayaan dengan standar

(pendidikan) negara maju dapat berupa penyesuaian, penguatan, pengayaan,

pengembangan, perluasan, dan pendalaman pada peningkatan mutu pendidikan

menuju mutu bertaraf internasional. Dalam operasionalnya, RSBI juga dituntut

untuk menjalin kerjasama dengan sekolah lain, baik di dalam maupun luar negeri,

sebagai bentuk perujukan (benchmarking) dan lembaga pendidikan tinggi sebagai

pengguna lulusan, mengembangkan program sertifikasi, meningkatkan daya saing

Page 65: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

65

dalam lomba tingkat internasional (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rintisan

SMA Bertaraf Internasional, 2009).

RSBI mengacu kepada salah satu negara yang memiliki pendidikan yang baik

di negara-negara OECD: cara belajar, prosesnya, kurikulumnya. Kita

menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum-

kurikulum dari negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik

(Suyanto, Dirjen Didaksemen Kemdikbud).

Sesuai dengan Renstra Depdiknas 2005-2009, Pemerintah telah

mengembangkan banyak sekolah di banyak kabupaten/kota di seluruh Indonesia

menjadi sekolah berkeunggulan lokal dan internasional pada tahun 2009. SBI

sebagai satuan pendidikan diselenggarakan dengan menggunakan konsep SNP

yang diperkaya dengan standar kualitas pendidikan dari salah satu negara anggota

OECD atau negara maju lainnya. Sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang

Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, komponen-komponen SNP merupakan standar

minimal yang harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan. Dengan ketentuan

bahwa SNP sebagai standar minimal pendidikan nasional, maka pelaksanaan PBI

sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional diarahkan untuk menaikkan

standar minimal tersebut.

Kualitas pendidikan nasional dikategorikan secara formal menjadi tiga,

yaitu: Sekolah Kategori Standar, Sekolah Kategori Mandiri, dan Sekolah Bertaraf

Internasional. Sekolah kategori mandiri (SKM) adalah sekolah yang telah

memenuhi delapan komponen SNP. Secara normatif, menurut UU Sisdiknas 2003

SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh Indonesia.

Page 66: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

66

Dalam hal ini, pencapaian SNP merupakan syarat utama bagi suatu sekolah untuk

melaksanakan program RSBI. Dalam operasionalnya, RSBI dituntut menjalin

kerjasama dengan sekolah yang memiliki reputasi internasional sebagai perujukan

dalam berbagai komponen standar pendidikan. Bentuk kerjasama lainnya dapat

dilakukan dengan lembaga pendidikan tinggi sebagai pihak pengguna lulusan.

Selain itu, SMA bertaraf internasional juga harus mengembangkan program

sertifikasi dan akreditasi serta meningkatkan daya saing dalam lomba tingkat

internasional (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009:19).

Dengan mengacu pada SNP dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun

2005 pasal 11 dan Pedoman Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf

Internasional, sekolah SMA atau sederajad dikelompokkan menjadi tiga kategori,

yaitu Sekolah Kategori Standard (SKS); Sekolah Kategori Mandiri (SKM); dan

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah Kategori Standard adalah

sekolah-sekolah yang dinilai belum memenuhi SNP. Sekolah Kategori Mandiri

(SKM) adalah sekolah-sekolah yang hampir atau telah memenuhi SNP. Status

RSBI adalah sekolah yang dikategorikan memenuhi delapan (8) komponen SNP

yang kemudian dikembangkan dengan mengacu pada standar mutu pendidikan di

negara-negara OECD (Sumber: Pedoman Penyelenggaraan Program Rintisan

SMA Bertaraf Internasional, 2008:8-10).

Berdasarkan UU Sisdiknas 2003 pasal 35 dan PP Nomor 19 Tahun 2005

pengkategorian sekolah nasional didasarkan pada berbagai kriteria yang terdapat

pada delapan SNP. PP Nomor 19/2005 pasal 11 dan 16 memberikan kategori

Page 67: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

67

pendidikan dasar dan menengah sebagai berikut: a. Sekolah formal standar

(sekolah potensial/rintisan), yaitu kategori sekolah yang belum memenuhi SNP,

b. Sekolah Standar Nasional (SSN), sekolah yang sudah atau mendekati SNP,

dan c. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang sudah memenuhi

SNP yang diperkaya dengan standard pendidikan dari negara anggota OECD atau

negara maju lainnya (Sumber: Dit. Jend. Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah; 2007).

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, sebagaimana telah disajikan

di atas menetapkan SNP. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas menyatakan

bahwa peningkatan delapan standar pendidikan nasional harus dilakukan secara

berencana dan berkala. Dalam penjelasan resmi Pasal 35 ayat (1) dikemukakan,

bahwa SNP merupakan syarat untuk menjadi SBI. Dalam Permendiknas Nomor

78/2010 pasal (2) secara rinci disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan SBI

untuk SMA adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki:

a. kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standard

kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota

OECD atau negara maju lainnya;

b. daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan

menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional;

c. kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan

dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan

internasional lainnya;

d. kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah

menengah kejuruan;

e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5

dalam skala internet based test (IBT), skor TOEIC 450 dan/atau bahasa asing

lainnya;

Page 68: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

68

f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan

hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan

lingkungan hidup;

g. kemampuan menggunakan dan mengembangkan TIK secara profesional.

(Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010:7-8)

Dalam konteks standar pendidikan nasional, kurikulum merupakan bagian

dari komponen standar isi dan standar proses pendidikan yang menjamin

pencapaian standar kompetensi lulusan dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 36

Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 mengatur mengenai kurikulum dalam ayat (1),

(2), dan (3). Dalam ayat (3) dikemukakan bahwa “Kurikulum disusun sesuai

dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Ketentuan ini berlaku tidak saja bagi sekolah bertaraf nasional (SSN), tapi juga

bagi satuan PBI (RSBI/SBI). Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan

dalam kerangka keragaman potensi daerah dan lingkungan sesuai Pasal 36

Undang-Undang Sisdiknas ayat (3) huruf d.

Selanjutnya, Pasal 4 (1) Kurikulum SBI disusun berdasarkan standar isi dan

standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar dari negara anggota

OECD atau negara maju lainnya. Ayat (2) SBI menerapkan satuan kredit semester

(SKS). Ketentuan tentang kurikulum ini menunjukkan bahwa RSBI/SBI dengan

mengacu OECD menimbulkan dualisme penyelengaraan pendidikan dengan

diterapkannya sistem kredit semester (SKS). Menurut Prof Slamet selaku

Saksi/Ahli dari Pemerintah” pada sidang MK di Jakarta Rabu 11 April 2012

menyatakan:

Page 69: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

69

…sekolah bertaraf internasional itu sama dengan standar nasional pendidikan

plus pengayaan. Nah standar nasional pendidikan itu adalah itu jati diri

Indonesia, itu adalah karakter … karakteristik Indonesia, makanya sebenarnya

SBI itu pada dasarnya yang pokok adalah standar nasional pendidikan plus

tambahan. …Karena pada dasarnya pendidikan di Indonesia tidak steril

dengan perkembangan global. Oleh karena itu kita tidak boleh “Katak di

bawah tempurung” mengaku sudah hebat, tetapi sesungguhnya ketika kita

benchmarking kita bandingkan dengan sekolah-sekolah dari negara maju kita

kalah jauh. … dan tambahan-tambahan itu kita cari melalui benchmarking

terutama adalah sekolah-sekolah yang lebih hebat dari Indonesia ini (Prof

Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 7-8).

Standar proses pembelajaran mengacu pada Pasal 5 ayat (1) SBI

melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model proses pembelajaran

di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. (2) Proses pembelajaran

dalam ayat (1) menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis TIK, aktif, kreatif,

efektif, menyenangkan, dan kontekstual. (3) SBI dapat menggunakan bahasa

pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam

forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. (4) Pembelajaran mata pelajaran

Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan,

Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa

Indonesia (5) Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing

lainnya pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD.

Sebagai salah satu komponen standar nasional pendidikan, berdasarkan

PP.19 Tahun 2005 tentang SNP, Pasal 29 ayat (5) Tenaga pendidik dan

Kependidikan untuk SMA dan sederajad disyaratkan untuk memiliki kompetensi

dan kualifikasi sebagai berikut.

Page 70: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

70

a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau

sarjana (S1)

b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang

sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan

c. sertifikat profesi guru

Dalam konteks PBI, standar pendidik adalah mampu memfasilitasi

pembelajaran berbasis teknologi informasi dan mengajar dalam bahasa Inggris,

memiliki paling sedikit 10% pendidik yang berpendidikan S2, memiliki sertifikat

kompetensi dan skor TOEFL, mempekerjakan pendidik warga negara asing

apabila tidak ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 30% negara

asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepala sekolah, tenaga

pendidikan. SBI memenuhi standar tenaga kependidikan yang diperkaya sekolah

sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) wajib S2 dari perguruan tinggi yang

program studinya berakreditasi A (Permendiknas No. 78/2009).

Tentang OECD

Salah satu ciri “internasional” dari RSBI adalah terkait dengan forum OECD.

OECD merupakan sebuah forum kerjasama bagi 30 negara maju untuk

menghadapi permasalahan-permasalahan atau tantangan globalisasi di bidang

ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Negara anggota OECD adalah Australia,

Austria, Belgia, Kanada, Republik Chehnya, Denmark, Finlandia, Perancis,

Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxembourg,

Page 71: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

71

Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik

Slowakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu

peran OECD adalah membantu pemerintahan negara aggotanya untuk menghadapi

berbagai perkembangan dan masalah baru, seperti ekonomi, pendidikan dan su-isu

atau kebijakan domestik dan internasional.

Secara yuridis dan konseptual “Pendidikan Bertaraf Internasional adalah

pendidikan yang diselenggarakan dalam sistem pendidikan nasional setelah suatu

satuan pendidikan (sekolah) memenuhi delapan standar pendidikan nasional

(SNP): standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana

prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan sesuai dengan PP

NO. 19 tahun 2005. Satuan PBI merupakan satuan pendidikan yang telah

memenuhi SNP dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju atau salah

satu negara anggota OECD yang dijadikan rujukan standar mutu.

Karakteristik Proses Belajar Mengajar

a. Proses belajar mengajar pada SBI menjadi teladan bagi sekolah lainnya

dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian

unggul, kepemimpinan, jiwa enterpreneur, jiwa patriot, dan jiwa inovator;

b. Diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah

satu negara OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai

keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan;

c. Menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;

Page 72: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

72

d. Pembelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan

menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran

lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus menggunakan bahasa

Indonesia. (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf

Internasional, 2010)

Karakteristik Keluaran/Lulusan

a. SBI memiliki keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan

internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang

berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek;

e. Mempunyai pengakuan internasional yang dibuktikan dengan hasil

sertifikasi dan akreditasi berpredikat baik dari salah satu negara anggota

OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan

tertentu dalam bidang pendidikan. (Sumber: Panduan Penyelenggaraan

Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010)

Karakteristik Kepala Sekolah

a. berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya

berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari

lembaga yang diakui oleh Pemerintah;

b. mampu berbahasa Inggris secara aktif;

f. bervisi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki

kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneur yang

Page 73: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

73

kuat. (Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional,

2010)

Salah satu karakteristik RSBI/SBI dari segi manajemen adalah orientasi

sekolah untuk meraih sertifikat ISO sebagai indikator kualitas manajemen dengan

menggunakan prinsip-prinsip manajemen industri sekaligus untuk mendapatkan

pengakuan (kualitas) internasional dalam rangka persaingan global. Pengelolaan

RSBI/SBI mensyaratkan adanya program pengayaan standar pengelolaan

(manajemen) dari sekolah yang dijadikan mitra di suatu negara anggota OECD

atau negara maju lainnya dengan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO

14000 versi terakhir. Selain itu, dalam operasionalnya RSBI/SBI disyaratkan

untuk menjalin kerja kemitraan dengan sekolah-sekolah unggul di dalam negeri

dan/atau di negara maju; serta mempersiapkan peserta didik untuk meraih prestasi

pada tingkat nasional dan internasional dalam aspek ilmu pengetahuan, teknologi

dan/atau seni dengan rincian sebagai berikut.

1. Output/outcomes bercirikan: (a) lulusan dapat melanjutkan pendidikan

pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun

di luar negeri, (b) lulusan dapat bekerja pada lembaga-lembaga dan/atau

dunia bisnis bertaraf internasional, dan/atau berusaha secara mandiri

dalam kancah persaingan global.

2. Proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan harus bercirikan

internasional, yaitu: (a) menumbuhkan kreativitas, dan kewirausahawanan,

(b) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan

menyenangkan, (c) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK.

3. proses pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

(bilingual), (e) proses penilaian menggunakan model-model penilaian

sekolah unggul dari negara anggota OECD, (f) manajemen

penyelenggaraan memenuhi standard internasional yaitu ISO 9001 versi

2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, serta menjalin kerjasama dalam

Page 74: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

74

bentuk sister school dengan SBI di luar negeri. (Sumber: Buku Panduan

RSBI, 2009, 2010)

Dengan uraian di atas, berikut ini beberapa jenis SMA dalam sistem

pendidikan nasional berdasarkan Panduan Penyelenggaraan Sekolah Berstandar

Internasional.

1. SMA Kategori Mandiri, sekolah yang telah memenuhi SNP dan mampu

menerapkan dan mengelola pembelajaran dengan sistem SKS.

2. Rintisan SMA Bertaraf Internasional, sekolah yang telah memenuhi

seluruh SNP, menerapkan SKS dan dalam proses menuju SMA bertaraf

internasional.

3. SMA Bertaraf Internasional, yaitu sekolah yang telah memenuhi seluruh

SNP, menerapkan SKS, dan mengembangkan keunggulan yang mengacu

pada peningkatan daya saing yang setara dengan mutu sekolah-sekolah

unggul dari negara maju.

4. SMA Franchise, yaitu sekolah yang diselenggarakan warga negara

Indonesia, memberlakukan kurikulum asing dan wajib mengajarkan

pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan kepada peserta didik

warga negara Indonesia.

5. SMA Asing, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga/negara

asing, memberlakukan kurikulum asing, dan diperuntukkan bagi warga

negara asing yang berada di Indonesia. SMA Asing ini wajib mengajarkan

pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan kepada peserta didik

warga negara Indonesia (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009:19).

Tabel 4.2. Data Sekolah Berdasarkan Kategori Sekolah

SPM SPM SSN RSBI Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

SD 65.869 44.84 75.965 51.71 4.831 3.29 239 0.16 146.904

SMP 8.892 26.01 15.226 44.54 9.711 28.41 356 1.04 34.185

SMA 3.990 35.30 4.210 37.24 2.745 24.28 359 3.18 11.304

SMK 2.493 27.20 3.143 34.30 3.177 34.67 351 3.83 9.164

Total 81244 40.31 98.544 48.89 20.464 10.15 1.305 0.65 201.557

Sumber: Dokumen Kemdiknas, 2011

Page 75: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

75

Visi dan misi SMA bertaraf internasional merupakan bagian dari tujuan

pendidikan nasional dalam hal peningkatan mutu. Dengan merujuk Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pemerintah merumuskan visi

pendidikan nasional: Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang

kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar

berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan

Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat tahun 2025 untuk menghasilkan: INSAN

INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF. Selanjutnya, Direktorat Pembinaan

SMA menetapkan visi pengembangan SMA sebagai berikut: “Terwujudnya

instansi profesional, akuntabel, kuat dan berwibawa sebagai pendorong menuju

Sekolah Menengah Atas mandiri berskala nasional dan internasional.”

(Kemdiknas, 2010: 9-10)

Berdasarkan visi Kemdikbud dan Direktorat Pembinaan SMA, SMA

bertaraf internasional kemudian merumuskan visi tersebut kedalam misinya,

misalnya (1) menjaga keutuhan NKRI, (2) membekali siswa dalam hal budi

pekerti luhur sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, (3) memberdayakan

potensi kecerdasan siswa baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam

meningkatkan daya saing secara internasional. Misi tersebut kemudian dijadikan

dasar untuk menyusun program, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berstandar

nasional dan internasional. Lulusan berstandar nasional mengacu pada rumusan

Page 76: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

76

UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dalam PP Nomor 19/2005, dan Permendiknas no.

23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Pada level implementasi di sekolah, visi dan misi diterjemahkan oleh

satuan pendidikan ke dalam beberapa target dan program yang mengarah pada

pemberdayaan sekolah menuju satuan SBI, seperti berikut.

a. Mendidik siswa menjadi sumber daya yang dapat bersaing secara

nasional dan internasional

b. Meningkatkan sarana-prasarana olah raga, laboratorium, ruang multi

media untuk menunjang prestasi siswa dibidang IPA, ketrampilan

bahasa Inggris, TIK, dan memiliki kesegaran jasmani .

c. Meningkatkan kompetensi guru dalam proses pembelajaran dengan

menambah variasi metode dan model pembelajaran yang lebih

menarik dan menyenangkan dengan menggunakan perangkat TIK

d. Mendidik siswa untuk mampu berpartisipasi dalam berbagai

Olimpiade MIPA baik pada tingkat nasional maupun internasional

((Kemdiknas, 2010: 9-10)

Berbagai uraian di atas tentang dasar hukum dan eksistensi RSBI/SBI

menjelaskan hubungan antara wacana global dan pendidikan dengan berbagai

permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang muncul akibat kebijakan tersebut.

Wacana PBI tidak semata-mata bersumber dari dasar hukum yang terdapat dalam

UU Sisdiknas 2003 yang diperdebatkan oleh banyak pihak tetapi juga terkait

dengan hegemoni wacana global tentang pendidikan dan peran negara (politik

pendidikan) dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Dengan kata lain,

wacana PBI hadir dalam konteks dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik

dan dalam konteks kepentingan di arena internasional, regional dan lokal

(nasional). Ada koherensi isu-isu antara globalisasi yang bermuatan daya saing

Page 77: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

77

bangsa, standar kualitas, produktifitas, TIK, dan wacana PBI hingga melahirkan

satuan pendidikan dalam bentuk RSBI.

4.2. Lokasi Penelitian

Dalam bagian ini disajikan secara ringkas gambaran sekolah-sekolah yang

dijadikan lokasi penelitian, yang berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung,

yaitu “sekolah unggulan” dan favorit di daerah masing-masing. Sebagaimana

dikemukakan dalam bab terdahulu bahwa pemilihan lokasi RSBI di Jakarta

didasarkan pada pertimbangan bahwa Jakarta sebagai ibukota memiliki akses,

heterogenitas kultur, dan penggunaan yang relatif tinggi terhadap konteks

”internasional” dan bahasa Inggris. Selain itu, dan ini lebih penting, Jakarta juga

dipandang sebagai barometer efektifitas suatu kebijakan dan implikasinya terhadap

pendidikan nasional, sedangkan Bandarlampung dipilih sebagai pembanding

dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan berlabel ”internasional” dalam

konteks otonomi daerah dan manajemen pendidikan nasional.

4.2.1 SMA Negeri 78 Jakarta

Penelitian ini dilakukan di sekolah-sekolah yang berstatus RSBI atau

“unggulan nasional” yang dipandang lebih menonjol dalam hal wacana PBI

dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam rangka meningkatkan daya

saing siswa dan lulusan SMA pada era globalisasi. SMA Negeri 78 Jakarta

merupakan salah satu SMA berstatus RSBI dari banyak SMA di Jakarta.

Page 78: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

78

Tidak semua sekolah negeri atau swasta dapat menggunakan label RSBI

atau SBI. Berdasarkan wawancara mendalam dengan pimpinan dan guru, sekolah

ini telah mencapai atau mendekati SNP yang merupakan persyaratan untuk

ditetapkan oleh pemerintah sebagai sekolah RSBI sejak tahun 2006. Sebelum

ditetapkan berstatus RSBI, sekolah ini pada dasarnya merupakan salah satu

sekolah favorit dan unggulan di Jakarta. SMA Negeri 78 Jakarta sebelum dan

setelah ditetapkan sebagai sekolah RSBI tetap diminati oleh calon siswa

khususnya yang berdomisili di Jakarta. Penetapan RSBI bagi SMA Negeri 78

Jakarta didukung oleh profil SDM, program dan berbagai aktivitas ”unggulan”

sampai capaian akademik dan non akademik selama lima tahun terakhir. Dalam

hal ini, profil dan ”track records” SMA Negeri 78 dinilai mendekati ”kondisi”

delapan SNP: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana

prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.

Dalam proses menuju sekolah RSBI, menurut wawancara dengan Wakil

Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ridnan Wargiyanto (Lampiran 3, Gambar 3),

SMA Negeri 78 selain berstatus sekolah unggulan juga memiliki fasilitas dan

sarana prasarana, catatan prestasi yang baik dan dipercaya oleh masyarakat sebagai

sekolah berkualitas di Jakarta. Berbeda dari sekolah-sekolah RSBI pada umumnya,

sekolah ini sejak berstatus RSBI langsung membuka satu “kelas internasional”.

Menurut Ridnan, program kelas internasional tersebut diadakan sejak 2006 untuk

memenuhi permintaan dan kepercayaan orangtua terhadap sekolah tersebut.

Selanjutnya Ridnan menyatakan:

Page 79: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

79

Jadi RSBI itu di SMA 78 dimulai tahun 2006. Kita harus mencapai target-

target pagu RSBI setelah sekolah ini dinilai mencapai standard pendidikan

kemudian ditingkatkan statusnya menjadi RSBI. Namun sejak awal kita juga

membuka kelas khusus, yaitu kelas internasional dengan ketentuan yang

berbeda dengan sisw-siswa lainya dan dengan biaya yang berbeda dengan

siswa-siswa lainnuya. Nah...jadi dengan dengan ditunjuknya sebagai RSBI

kita menerima dana ”block grant” dari departemen (Diknas) sebesar Rp.300

juta pertahun sampai tahun kelima. ..Itu untuk seluruh kelas pembelajarannya

bilingual yang berafiliasi dengan Cambridge...dengan kompetensi nasional

plus adopsi kurikulum. Tujuannya supaya anak-anak RSBI ini dapat lulus

pada sertifikat yang diadakan Cambridge...tetapi untuk mencapai A-level yang

lulus tidak semua dari 24 siswa hanya dicapai oleh 10% siswa (Wawancara

23 April 2012).

Dari segi sarana prasarana, berdasarkan observasi di lapangan ditemukan

bahwa setiap ruang kelas dilengkapi dengan berbagai sarana pembelajaran TIK

dan multimedia. Sekolah ini juga memiliki sarana dan prasarana pembelajaran

seperti laboratorium atau perpustakaan yang relatif memadai untuk proses

pembelajaran yang berkualitas, terlepas dari kualifikasi dan kompetensi guru-guru

dan SDM yang ada, yang akan dibahas lebih detil pada bagian berikutnya

(Lampiran 3, Gambar 1 dan Gambar 4)

Dari segi proses pembelajaran, dalam derajat tertentu kedua sekolah

mengklaim telah melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model

proses pembelajaran Cambridge dengan menerapkan pendekatan pembelajaran

berbasis TIK, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual. Sekolah ini,

dari segi standar isi telah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh sekolah

dan diperkaya dengan kurikulum negara maju (OECD) dengan cara mengadaptasi

kurikulum Cambridge khususnya untuk mata pelajaran MIPA serta telah

Page 80: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

80

menerapkan sistem kredit semester (SKS) sesuai Pedoman Penyelenggaraan

Sekolah Bertaraf Internasional.

Dari segi bahasa pengantar, sekolah SMAN 78 telah menggunakan bahasa

Inggris hanya untuk mata pelajaran MIPA dan mata pelajaran bahasa Inggris saja.

Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris sepenuhnya digunakan pada kelas

internasional dan metode pembelajaran bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris) untuk kelas RSBI. Kendala umum yang dihadapi oleh dua sekolah yang

diteliti adalah terkait dengan tuntutan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar. Bahasa Inggris dipandang penting untuk memajukan kualitas

pendidikan, kendati dalam implementasinya tidak didukung oleh ketersediaan guru

dan tenaga kependidikan yang mumpuni sebagaimana diakui oleh Wakasek dalam

kutipan berikut:

kendala yang utama pelaksanaan program RSBI sekolah kami adalah bahasa

Inggris, sehingga penilaiannya bilingual untuk seluruh siswa dibawah sekolah

RSBI, kecuali untuk kelas internasional untuk lima mata pelajaran ”pure”

bahasa Inggris...Terkait dengan eksistensi kelas internasional di SMA Negeri

78 Jakarta ...kalau kelas internasional ini memang tuntutan orangtua untuk

kami buka supaya anak-anaknya semakin baik dalam bahasa Inggris

(Wawancara 23 April 2012).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran dalam bahasa

Inggris yang merupakan ciri khusus RSBI menghadapi kendala karena penyiapan

guru-gurunya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Namun, keinginan

masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di RSBI menunjukkan bagaimana

masyarakat dan orangtua terhegemoni dengan citra dan label ”internasional”.

Page 81: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

81

Dari segi anggaran sekolah, menurut Ridnan, sejak ditetapkan sebagai

sekolah RSBI, SMA Negeri 78 mendapat program bantuan dana pemerintah sejak

tahun 2006. Dana tersebut diberikan selama lima tahun yang dialokasikan secara

khusus untuk pembiayaan kegiatan peningkatan berbagai sumber belajar, seperti

ruang guru dalam rangka pengembangan profesionalismenya dan fasilitas

pembelajaran lainnya seperti laboratorium MIPA, laboratorium bahasa, dan

laboratorium komputer. Namun demikian, porsi terbesar dari anggaran sekolah

bersumber dari orangtua atau masyarakat. Sekolah ini, menurut Ridnan, pada

dasarnya tidak mengandalkan subsidi pemerintah (APBN atau APBD) untuk

pembiayaan program-program unggulan sekolah karena nilainya tidak signifikan

untuk memajukan sekolah dengan program RSBI.

Secara umum profil SDM dan tenaga kependidikan yang terdapat di SMA

Negeri 78 Jakarta dinilai memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas

sebagai prakondisi untuk ditetapkan sebagai SMA RSBI pada tahun 2006. Dari 78

guru yang ada 34 orang mengajar bidang MIPA dan bahasa Inggris dengan tingkat

pendidikannya secara berurutan adalah 19 orang berkualifikasi S2, 58 orang S1,

dan hanya satu orang yang berpendidikan Diploma Tiga. Dengan profil SDM dan

”track record” (rekaman jejak) yang dimilikinya, sekolah ini telah dikategorikan

sebagai sekolah unggulan dan favorit di Jakarta sebelum ditetapkan sebagai

sekolah RSBI.

Selama lima tahun terakhir berstatus RSBI, SMA Negeri 78 Jakarta memiliki

catatan prestasi yang baik pada tingkat nasional dan internasional yang dapat

Page 82: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

82

dibanggakan oleh sekolah dan masyarakat pendukungnya (Tabel. 4.3). Menurut

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ridnan Wargianto, sekolah ini telah

dinilai sebagai sekolah yang mendekati atau dianggap mendekati delapan

komponen SNP oleh pemerintah (Depdiknasi) dan karenanya dianggap sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai sekolah yang layak

untuk mendapatkan status RSBI menuju SBI. Dengan statusnya sebagai sekolah

RSBI, sekolah mendapat dukungan baik dari pemerintah maupun masyarakat

dalam bentuk anggaran peendidikan yang berbeda dai sekolah sejenis.

Tabel 4.3 Daftar Prestasi Guru 2006- 2012

Nama Prestasi Akademik/

Non Akademik

Tahun Penyelenggara Tingkat

Guru Berprestasi Non Akademik 2006 Dinas Pend. Nasional

Fasilitator dan Narasumber

Sekolah

Non Akademik 2006 Dit PSMA Internasional

Penulis Konten Multimedia Non Akademik 2007 Dit PSMA Nasional

Tim Penulis PKN Mahasiswa Akademik 2007 Dinas Pend. Nasional

Penulis UN Bahasa Indonesia Akademik 2008 Dit PSMA Nasional

Pembicara Seminar

Simposium

Non Akademik 2008 Dinas Pend. Nasional

Instruktur Balitbang Puskur Non Akademik 2009 Dit PSMA Nasional

Guru Berprestasi Non Akademik 2009 Sudin Kab/Kota

Pembicara Seminar Nasional Non Akademik 2010 Dit PSMA Nasional

Penulis Buku Bahasa

Indonesia

Akademik 2010 Dit PSMA Nasional

Assesor Ujian Speaking ESL Akademik 2010 Cambrige Internasional

Tim Pembahas Juknis

Penyelenggaraan SKS

Non Akademik 2011 Dit PSMA Nasional

Peserta TOT Fasilitator Non Akademik 2011 Dit PSMA Nasional

Peserta WS Bahan Ajar

Berbasis TIK

Non Akademik 2011 Dit PSMA Nasional

Tim Pengembang Dit PSMA Non Akademik 2012 Dit PSMA Nasional

Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 78 Jakarta

Page 83: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

83

Dalam kaitannya dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan

realitas kemampuan bahasa Inggris guru-guru SMA Negeri 78, Ridnan

Wargiyanto, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum menyatakan bahwa:

secara objektif guru-guru di sekolah kita belum mampu untuk mengajar dalam

bahasa Inggris…kecuali untuk kelas internasional ”pure” menggunakan

bahasa Inggris dengan menggunakan kombinasi guru-guru dari luar dan kita

sebagian. Dulu kita pernah menggunakan tenaga pengajar dari luar, native

speaker khusus untuk mata pelajaran MIPA. Kemudian tantangannya adalah

guru-guru kami di sekolah ini sudah banyak yang tua-tua, kebanyakan di atas

45 tahun ..sudah susah belajar bahasa Inggris (Wawancara 23 April 2012).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa sekolah belum “mandiri” dalam hal

ketersediaan guru untuk melaksanakan program “internasionalnya”. Selain itu,

secara objektif SMA Negeri 78 sebagai sekolah RSBI pada dasarnya belum

memiliki, misalnya, persyaratan 10% tenaga pendidik dengan kualifikasi

pendidikan S2 lulusan dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi

A sebagaimana diamanatkan dalam Permendiknas No. 78 tanggal 16 Oktober

2009 (lihat Tabel 4.4). Dengan realitas SDM tersebut, sekolah melakukan program

pengembangan guru dan mempekerjakan tenga honorer untuk mencapai tujuannya

sesuai dengan misi RSBI/SBI.

Pada kenyataannya, kondisi SDM yang ada belum layak untuk

melaksanakan berbagai program pengembangan sekolah untuk mencapai visinya,

khususnya guru untuk “kelas internasional”. Kelas internasional diadakan secara

eksklusif untuk para siswa yang diseleksi secara berbeda dari siswa lainnya di

sekolah yang sama. Dalam hal ini, menurut salah seorang guru yang

diwawancarai, beberpa tenaga guru honorer direkrut dari luar sekolah yang sesuai

Page 84: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

84

dengan “standard internasional”. Hal ini dilakukan karena sekolah secara objektif

belum memiliki tenaga pendidik berkompeten untuk mengajar dalam bahasa

Inggris di kelas internasional. Kendati sekolah memiliki program pelatihan guru

untuk kualifikasi pengajar “sekolah internasional”, namun hasilnya belum

sebagaimana diharapkan.

Tabel 4.4: Data Informasi Guru Terkait Mata Pelajaran

“Bertaraf Internasional”

No Jumlah

Guru

Jenjang

Pendidikan

Mengajar Sertifikasi

D3, S1, S2, dst Mapel Tahun

1 6 4 S1 dan 2 S2 B. Inggris 2007

2 6 5 S1 san 1 S2 Biologi 2007

3 7 6 s1 dan 1 S2 Fisika 2008

4 7 S1 Kimia 2007

5 7 2 orang S2 Matematika 2007

6 1 D3 Matematika 2008

Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 78 Jakarta

Sebagaimana diamanatkan Undang-undang, peraturan dan petunjuk

penyelenggaraan RSBI, SMA Negeri 78 juga telah mengembangkan KTSP yang

disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan. Salah satu prinsip

pelaksanaan kurikulum tersebut adalah terciptanya suasana hubungan peserta didik

dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat,

dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung

tulada (PP Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi).

Kurikulum yang digunakan SMA Negeri 78 Jakarta juga telah diperkaya

dengan kurikulum Cambridge dalam bentuk buku teks siswa, buku pegangan guru,

Page 85: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

85

dan bahan ajar elektronik hasil bekerjasama dengan lembaga Cambridge. Sekolah

ini juga menerapkan sistem administrasi berbasis TIK dan proses pembelajaran

dengan Sistem Kredit Semester (SKS) (Panduan RSBI, 2009:19). Secara

akademik dan non akademik, sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah berprestasi

di Jakarta dengan berbagai program dan kegiatan yang mendukung untuk menjadi

sekolah unggul. Ada pun prestasi atau perkembangan sekolah ini selama lima

tahun terakhir sejak berstatus RSBI dapat disajikan pada Table 4.5 berikut.

Tabel 4.5: Data Prestasi Siswa 5 (Lima) Tahun Terakhir

No Nama Prestasi Individual/

Kelompok

Akademik/Non

Akademik

Tingkat

1 Festival Coral Int'r Kelompok Non Akademik Internasional

2 Olimpiade Fisika Individual Akademik Internasional

3 Story Telling 2012 Individual Akademik Internasional

4 Language for the

Games

Individual Akademik Internasional

5 Komp. Desain Poster

Anti Korupsi

Individual Non Akademik Nasional

6 OSN Individual Akademik Nasional

7 International Biology

Olympiad

Individual Akademik Internasional

8 OSN Individual Akademik Nasional

9 Fest. Paduan Suara Kelompok Non Akademik Internasional

10 Juara Catur Individual Non Akademik Nasional

11 Penulis Novel Individual Non Akademik Nasional

12 Penulis Muda

Berbakat

Individual Non Akademik Internasional

13 FLSSN Kelompok Non Akademik Nasional

14 APhO & Ipho Individual Akademik Internasional

15 APhO & Ipho Individual Akademik Internasional

16 Fest .Paduan Suara Kelompok Non Akademik Nasional

17 Penghargaan Khusus Individual Akademik Internasional

Sumber: Dokumen Sekolah SMA Negeri 78 Jakarta

Page 86: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

86

Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta

(wawancara Rabu 21 Maret 2012), Ridnan Wargiyanto, SMA Negeri 78 Jakarta

melaksanakan program RSBI sejak 2006 dengan desain sejak awal telah membuka

kelas internasional (KI) dan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar untuk mata pelajaran MIPA dan Bahasa Inggris. Kelas internasional ini

dilaksanakan atas permintaan orangtua siswa. Kelas internasional (KI) diatur

dengan kapasitas 24 siswa per kelas (moving class). Biaya sekolah ditetapkan

secara paket dengan 24 juta rupiah per siswa/tahun, tanpa ada pungutan tambahan.

Menurut salah seorang orangtua siswa (Kholil), secara keseluruhan dia

mengeluarkan biaya sekitar 42.000.000,- (empat puluh dua juta rupiah) per tahun.

Dia merasa bahwa biaya tersebut masih relatif murah jika dibandingkan dengan

sekolah sejenis yang cukup berkualitas, walaupun dia sendiri mengaku tidak

termasuk keluarga yang mampu secara ekonomi.

Dari segi proses, sekolah ini menggunakan ”double curriculum”, yaitu

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan kurikulum Cambridge yang

diadopsi dan diadaptasi secara khusus untuk mata pelajaran MIPA dan bahasa

Inggris, sehingga setiap tahun, menurut pimpinan sekolah, para siswa mengikuti

ujian Cambridge sebagai bagian dari upaya standarisasi dalam komponen standar

kelulusan siswa dalam SNP. Selain itu di sekolah ini juga ada kegiatan

ekstrakurikuler (secara mandiri dan di bawah bimbingan tutor) sebagai upaya

untuk penguatan pengajaran bahasa Inggris (English Club). Menurut Wakil Kepala

Page 87: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

87

Sekolah, hal ini merupakan salah satu perbedaan kegiatan RSBI terkait bahasa

Inggris dari SMA non RSBI atau sekolah reguler pada umumnya.

Buku teks MIPA dan bahasa Inggris yang digunakan sekolah tertulis dalam

bahasa Inggris, misalnya, Advance level Mathematics Statistics 1 oleh Steve

Dobbs and Jane Miller, dan sebagian buku lainnya menggunakan dwi bahasa.

Pengadaan buku-buku ini secara langsung dipesan melalui mitra sekolah atau

lembaga luar negeri dalam hal ini lembaga Cambridge di Inggris. Di sekolah ini

terdapat seorang guru ”bule” yang khusus mengajar di kelas internasional dengan

sistem kerja dan penggajian tersendiri (honorer). Selain itu, tidak semua guru

tetap MIPA dan Bahasa Inggris yang ada di sekolah mengajar di kelas

internasional, guru-guru diseleksi sesuai standar kelas internasional terutama

prestasi akademik dan kemampuan bahasa Inggrisnya. Profesionalisme guru

dilihat dari ”standar internasional”.

Menurut informan yang diwawancarai untuk penelitian ini, salah satu ciri

RSBI/SBI adalah memiliki murid atau peminat dari berbagai kebangsaan/negara

(khususnya ekspatriat), namun kenyataan di lapangan tidak menunjukkan realitas

demikian, dalam arti sampai waktu penelitian ini dilakukan hampir tidak ada orang

asing atau ”ekspatriat” yang terdaftar menyekolahkan anaknya di SMA Negeri 78

Jakarta walaupun sekolah ini berlabel RSBI dan bahkan melaksanakan ”kelas

internasional”. Selain itu, menurut informan masih ada kesalah-pahaman di tengah

masyarakat tentang keberadaan RSBI, misalnya tentang biaya mahal dan

eksklusifitas perlakuan, tentang bahasa pengantar bahasa Inggris, dan peluang

Page 88: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

88

siswa kurang mampu secara ekonomi untuk diterima di sekolah berlabel RSBI.

Sekolah ini, sejak ditetapkan sebagai RSBI tahun 2006, mendapat subsidi atau

bantuan anggaran pemerintah yang berasal dari APBN/APBD sebesar Rp.

300.000.000,- setiap tahun dan digunakan untuk pembangunan sarana dan

prasarana fisik sekolah dan program peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Sumber dana lainnya, yang menjadi salah satu permasalahan kontroversial di

masyarakat, diperoleh secara langsung dari orangtua siswa sebesar Rp.

24.000.000,-/tahun.

Dari segi sarana dan prasarana pendidikan, secara umum SMA Negeri 78

Jakarta berupaya untuk memenuhi standar sarana dan prasarana yang mendukung

efektivitas proses pembelajaran sebagai sekolah berlabel RSBI, antara lain: 1)

Perpustakaan dilengkapi dengan buku-buku pelajaran berbahasa Inggris, buku

referensi, jurnal nasional dan internasional, buletin, koran, majalah, serta

perangkat audio visual; 2) Laboratorium Fisika, Biologi, Kimia yang dilengkapi

dengan peralatan dan bahan praktikum untuk menunjang proses pembelajaran

dengan dukungan TIK: 3) Laboratorium Bahasa dengan koleksi dalam bentuk

rekaman suara, video atau media rekam lainnya; dan 4) Laboratorium Multimedia

dengan menggunakan teknologi multimedia dan komputer. Laboratorium

komputer digunakan untuk praktikum pembelajaran TIK. Dari segi sarana

prasarana, setiap ruang kelas, khususnya “kelas internasional” dilengkapi dengan

berbagai sarana pembelajaran yang berbasis TIK dan sarana pembelajaran

multimedia yang memadai (Gambar 1).

Page 89: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

89

Dari segi output setelah melaksanakan program RSBI/SBI, setiap tahun

sekolah ini berhasil meluluskan siswanya dengan tingkat kelulusan 100% dalam

Ujian Nasional. Dari segi outcome, seorang lulusan sekolah ini dilaporkan

melanjutkan studi ke Malaysia secara korespondensi, namun sejak sekolah tersebut

berstatus RSBI dan menyelenggarakan ”kelas internasional”, belum ada data yang

menunjukkan bahwa ada lulusan sekolah ini yang melanjutkan studi dengan

program reguler ke suatu universitas di luar negeri, sebagaimana diharapkan dalam

desain awal pembukaan program RSBI/SBI.

Dari uraian singkat di atas tentang SMA Negeri 78 Jakarta, sekolah ini dapat

dikatakan memiliki visi dan misi yang menonjol dibanding sekolah-sekolah SMA

pada umumnya. Visi: Menjadi Sekolah Berprestasi, Berkarakter, Religius, dan

Berwawasan Lingkungan dan Misi:

1. Melaksanakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan

standard internasional (University of Cambridge International Examination)

2. Melaksanakan program peningkatan kompetensi siswa di bidang akademik

dan non akademik yang dapat bersaing di tingkat nasional dan internasional.

3. Melaksanakan program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga

kependidikan.

4. Melaksanakan program kerjasama dan kemitraan dengan institusi

pendidikan, pemerintah, usaha dan industri.

5. Melaksanakan pengelolaan layanan pendidikan sesuai standar mutu ISO

9001 dan 14001.

6. Melaksanakan pendidikan karakter agar terwujud lulusan yang beriman,

bertakwa dan berakhlak mulia.

7. Melaksanakan program pengembangan sekolah ramah sosial dan ramah

lingkungan (Sumber: Dokumen SMA Negeri 78 Jakarta).

Page 90: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

90

4.2.2 SMA Negeri 2 Bandarlampung

Posisi SMA Negeri 2 Bandarlampung dalam penelitian ini pada dasarnya

adalah untuk mendapatkan data pembanding terhadap SMA Negeri 78 Jakarta

yang dijadikan lokasi utama penelitian. SMA Negeri 2 Bandarlampung merupakan

salah satu SMA dari tujuh SMA berlabel RSBI yang ada di Provinsi Lampung dan

salah satu dari dua SMA RSBI yang ada di kota Bandarlampung. Sekolah ini

sengaja dipilih untuk melihat konteks PBI dan SNP dengan lingkungan sosial-

budaya daerah dan otonomi daerah dalam bidang pendidikan. Sebelum ditunjuk

sebagai SMA berlabel RSBI pada tahun 2007, SMA Negeri 2 Bandarlampung

merupakan salah satu sekolah favorit di kota Bandarlampung. Setiap tahun ajaran

baru sekolah ini termasuk dalam daftar atas yang menjadi pilihan calon siswa baru

di antara sekolah-sekolah negeri yang ada di kota tersebut. Wakil Kepala Sekolah

SMA Negeri 2 Bandarlampung, Supanto, menyatakan:

Berbeda dari tiga sekolah RSBI yang ada di Lampung, sekolah kami

ditetapkan oleh pemerintah sebagai RSBI sejak 2007. Sejak ditetapkan

sebagai RSBI kami melakukan banyak pembenahan dan berbagai program

penguatan SDM khususnya guru dan sarana prasarana pembelajaran yang

menurut kami sangat penting untuk peningkatan kualitas pendidikan sesuai

dengan harapan pemerintah dan masyarakat (Wawancara dengan Supanto,

Senin 11 Juni 2012

Sebelum mendapat status sekolah RSBI pada tahun 2007, SMA Negeri 2

Bandarlampung telah menjadi sekolah favorit atau unggulan di daerah itu.

Menurut Supanto, penanggungjawab RSBI SMA Negeri 2 Bandarlampung

(Wawancara Sabtu 6 April 2013) perbedaan sekolah ini sebelum dan sesudah

menjadi RSBI terletak pada anggaran dan fasilitas sarana dan prasarana

Page 91: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

91

pembelajaran. Anggaran sekolah setelah berlabel RSBI bersumber dari

pemerintahan pusat dan daerah serta pungutan dari masyarakat dan orangtua siswa

yang secara keseluruhan sangat signifikan pengaruhnya untuk meningkatkan

program peningkatan mutu sekolah melalui, misalnya, pengadaan sarana prasarana

sekolah dan pelatihan dan pengembangan SDM yang mendukung program

sekolah.

Berbeda dari SMA Negeri 78 Jakarta, SMA Negeri 2 Bandarlampung tidak

memiliki kelas internasional. Pada dua tahun pertama, sekolah ini membuka dua

“kelas RSBI” dengan jumlah peserta masing-masing kelas 32 siswa. Dalam

perkembangan berikutnya, seluruh kelas dan jurusan di SMA 2 diperlakukan sama

dalam konteks RSBI, dalam arti pengembangan mutu antara Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam (MIPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak dibedakan

dalam perlakuannya. Dari segi biaya pendidikan (SPP), siswa jurusan IPA dan IPS

sama besarnya dikenakan kepada seluruh orangtua siswa. Sekolah ini juga

menyediakan beasiswa bagi pendaftar dengan kemampuan ekonomi lemah tetapi

dinilai memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Menurut pimpinan sekolah,

tanpa merinci persentase penerima beasiswa, banyak siswa warga miskin yang

mereka terima dengan pemberian fasilitas beasiswa, bahkan ada siswa yang bebas

dari biaya pendidikan (SPP). Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya sekolah

untuk menepis tuduhan dan anggapan masyarakat bahwa sekolah RSBI ditujukan

hanya untuk anggota masyarakat yang mampu secara ekonomi.

Page 92: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

92

Dari segi kerjasama luar negeri sebagai salah satu ciri RSBI, SMA Negeri

2 Bandaralampung pada dasarnya belum memiliki bentuk kerjasama yang sifatnya

mengikat dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri. Pada saat penelitian

ini dilakukan hubungan kerjasama dengan lembaga (sekolah) luar negeri baru pada

tahap penjajakan kerjasama untuk menggunakan kurikulum Cambridge. Namun

selama dua tahun pertama berstatus RSBI, sekolah ini telah menjajaki beberapa

bentuk kerjasama dengan lembaga di luar negeri seperti Filipina dan Malaysia

namun belum sampai ke tahap nota kerjasama/kesepahaman yang sifatnya

mengikat.

Dalam hal kerja sama internasional, SMA Negeri 2 Bandarlampung masih

berada pada tahap membangun komunikasi dengan beberapa lembaga di luar

negeri termasuk lembaga Cambridge Inggris dan telah mensosialisasikannya di

sekolah sebagai salah satu program unggulan sekolah. Dalam dua tahun pertama

setelah berstatus RSBI, sekolah ini juga telah menggunakan buku-buku teks dari

Cambridge (Lampiran 3, Gambar. 10) dengan menggunakan tenaga pengajar

MIPA dari perguruan tinggi setempat, Universitas Lampung, untuk mengajar

dalam bahasa Inggris karena kompetensi guru-guru yang ada di sekolah secara

objektif dinilai belum memadai untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan

bahasa Inggris. Guru-guru MIPA dan bahasa Inggris yang menjadi unggulan

RSBI tercatat hanya dua orang yang memiliki kualifikasi akademik S2, situasinya

sangat jauh dari kondisi yang diharapkan sebagai sekolah menuju SBI (lihat Tabel.

4.6)

Page 93: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

93

Tabel 4.6: Data Guru SMA Negeri 2 Bandarlampung

Terkait Mata Pelajaran “Internasional”

No Jumlah

Guru

Jenjang

Pendidikan

Mengajar

D3, S1, S2, dst Mapel

1 5 4 S1 dan 1 S2 B. Inggris

2 6 6 S1 san 0 S2 Biologi

3 6 6 s1 dan 0 S2 Fisika

4 5 S1 Kimia

5 10 1 D3 dan 1 orang S2 Matematika

Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 2 Bandarlampung

Buku-buku impor produk Cambridge yang digunakan untuk pembelajaran

MIPA dan bahasa Inggris menurut penanggung jawab RSBI cukup mahal, Rp.

300.000,- 400.000,- per mata pelajaran dan digunakan hanya selama dua tahun,

2007-2008. Dalam perkembangan selanjutnya, implementasi program RSBI bagi

SMA Negeri 2 Bandarlampung mengalami perubahan kebijakan dari Kemdiknas

pusat, yang menghimbau agar sekolah ini menghentikan penggunaan buku-buku

Cambridge tersebut dan kembali menggunakan buku-buku terbitan nasional.

Padahal, sejak ditetapkan sebagai RSBI sekolah tersebut beberapa kali telah

melakukan pelatihan guru dalam bahasa Inggris secara reguler untuk memacu

kompetensi seluruh guru sesuai tuntutan sekolah berlabel RSBI. Dalam desain dan

praktiknya, pelatihan ini terbuka bagi seluruh guru mata pelajaran yang berminat

meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya (Wawancara dengan Supanto, 6

April 2013).

Page 94: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

94

BAB V

BENTUK-BENTUK HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF

INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM

Bab ini akan menjawab pertanyaan pertama dari penelitian ini yaitu tentang

bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Secara teoretis

permasalahan PBI dilihat dari perspektif ideologis kultural dan dalam konteks

arena pertarungan ideologis dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar pengambilan

kebijakan politik pendidikan. Bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pembahasan di

sini merefleksikan hubungan antara SNP sebagai standar minimal pendidikan

nasional dan standar pendidikan “bertaraf internasional” dalam berbagai bentuk

dan komponen standarisasi pendidikan.

Analisis dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari observasi

lapangan dan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu para elit dan

pakar pendidikan, kepala sekolah, guru, siswa dan orangtua siswa, dan teks-teks

berupa koran, risalah sidang MK dan catatan langsung peneliti ketika menghadiri

Sidang MK, buku, serta dokumen-dokumen yang mendukung tujuan penelitian.

Dengan menggunakan kerangka pemikiran kritis, bentuk-bentuk hegemoni

dibahas melalui tema-tema yang melihat hubungan globalisasi dan kebijakan PBI

dalam konteks sistem pendidikan nasional: Wacana Standarisasi, Kapitalisasi

Pendidikan, Pencitraan Kualitas Internasional, Stratifikasi Pendidikan, dan

Page 95: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

95

Identitas/Jati diri Bangsa, yang semuanya merupakan wacana publik saat

penelitian ini dilakukan, yaitu setelah RSBI berkembang selama hampir enam

tahun hingga kemudian dasar kebijakannya, yaitu UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3),

dianulir oleh lembaga MK Selasa 8 Januari 2013 karena dinilai menciderai nilai-

nilai pendidikan nasional.

5.1 Standarisasi Pendidikan

Mark Olssen dkk (2004: 4) dalam bukunya yang berjudul Education

Policy: Globalization, Citizenship and Democracy menyatakan bahwa teori

globalisasi menekankan cara “baru” dimana suatu negara-bangsa dipengaruhi oleh

tatanan dunia internasional. Secara umum hal ini dapat dikatakan terkait dengan

kategori ekonomi, budaya dan politik, yang masing-masing saling terkait. Selain

itu, berbagai bentuk globalisasi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.

Pesatnya perkembangan TIK beberapa dekade terakhir telah mengurangi peluang

sebuah negara-bangsa untuk mempertahankan kebijakan ekonominya tanpa

pengaruh negara lain. Akibat dari perkembangan teknologi dan liberalisasi pasar,

pemerintahan suatu negara menjadi rentan terhadap pengaruh negara lain dan pola-

pola interaksi membuat identitas budaya secara tradisional semakin berkurang.

Wacana penting dalam usaha pengembangan pendidikan nasional beberapa

dekade terakhir adalah terkait dengan standarisasi mutu, produktifitas, dan

relevansi pendidikan yang berdampak pada daya saing bangsa dalam era

Page 96: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

96

globalisasi. Dalam konteks ini, pendidikan nasional ditandai dengan lahirnya

Undang-undang Sisdiknas 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan

pendidikan nasional dan kebijakan PBI melalui pasal 50 ayat (3) yang menyatakan

“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya

satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan

menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” PBI menjadi pilihan

strategis menghadapi permasalahan pendidikan nasional dan globalisasi.

Wacana globalisasi dengan karakteristiknya seperti persaingan, standarisasi

dan produktifitas kemudian menjadi “bagian” dari sistem pendidikan nasional.

Globalisasi menuntut adanya standarisasi mutu pendidikan untuk dapat berdaya

saing tinggi sebagaimana diamanatkan secara implisit dan ekplisit melalui

Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang

Pendidikan Dasar dan Menengah. Seorang mantan birokrat Kemdikbud

menggambarkan semangat globalisme dalam wacana PBI sebagai berikut.

dengan melihat spektrum masalah pada saat itu tantangan bangsa, dana yang

ada, situasi pendidikan kita, dan dunia global yang tidak bisa dielakkan maka

berbagai kebijakan kemudian ditempuh untuk mulai membangun sekolah-

sekolah berkualitas yang dapat memberikan kemampuan bagi anak-anak

Indonesia bersaing dalam dunia global. Membangun sekolah nasional plus,

yaitu sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional yang diberi muatan plus,

seperti teknologi informasi dan komunikasi, desain, komunikasi visual,

Inggris, dan lain sebagainya (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April

2012, hlm. 17).

Kutipan di atas menjelaskan pentingnya reformasi pendidikan dalam

menjawab tantangan globalisasi untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Page 97: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

97

Rendahnya mutu pendidikan nasional mengakibatkan kurangnya daya saing

bangsa di tingkat regional maupun global. Dari perspektif ekonomi, semakin tinggi

daya saing suatu negara, semakin mudah negara tersebut meningkatkan devisa

nasionalnya melalui berbagai produk yang bernilai ekonomis. Daya saing menjadi

sebuah bentuk rasionalisasi tujuan pendidikan nasional pada era globalisasi yang

berorientasi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Dalam konteks yang lebih luas,

tantangan pendidikan nasional dihadapkan sekaligus untuk menghadapi tuntutan

lokal, regional dan global, sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.

SBI itu juga harus tidak boleh steril dengan pengembangan regional. Kita

punya ASEAN, kita punya APEC, kita punya SEAMEO, kita punya

bermacam-macam lembaga supranasional yang kita tiap tahun itu adalah urun

terus, andil uang tetapi kalau kita tidak bisa berkolaborasi dan bersaing sama

mereka, akhirnya tiap tahun kita hanya urunan tapi tidak pernah memanfatkan

organisasi-organisasi supranasional yang saat ini mau tidak mau kita sudah

kena dampaknya. Nah, oleh karena itu, SBI harus bisa bekerja sama,

berkolaborasi dengan sekolah-sekolah di wilayah ASEAN, di wilayah APEC.

Yang terakhir, RSBI memang namanya sekolah bertaraf internasional, harus

tidak boleh steril dengan perkembangan global (Slamet, Risalah Sidang MK,

Rabu 11 April 2012, hlm. 9).

Tingkat daya saing pendidikan Indonesia memang tidak menggembirakan.

Beberapa hasil survei sejak tahun 1997 hingga 2007 dalam World Competitiveness

Year Book 1997-2007 menunjukkan bahwa daya saing pendidikan Indonesia pada

tahun 1997 menempati urutan ke-39 dari 49 negara. Untuk tahun 1999, dari 47

negara yang disurvei, Indonesia berada pada urutan 46. Pada tahun 2002,

Indonesia berada pada urutan 47 dari 49 negara, dan tahun 2007 pada urutan ke 53

dari 55 negara (http://t4belajar.wordpress.com). Tingkat pendidikan masyarakat

berkontribusi terhadap daya saing di tingkat internasional. Pada tahun 2005 daya

Page 98: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

98

saing Indonesia di urutan ke-69 dan meningkat menjadi urutan ke-54 pada tahun

2009 (The Global Competitiveness Report 2009-2010). Pada level regional,

kualitas manusia Indonesia berdasarkan indikator IPM, berada di posisi ke-6 dari 9

negara anggota ASEAN (Human Development Report, 2009).

Tabel 5.1: Peringkat CGI 2010-2011 dan 2009-2010

Sumber: The Global Competitiveness Report 2010-2011,

World Economic Forum

Pada kurun waktu yang sama dengan hasil survei di atas, menurut statistik

dan data angkatan kerja dan jenjang pendidikan sekolah menengah atas (lihat

Analisis Sub Sektor, Appendiks 3 dan TA Report Sub Sector Analysis, Mei 2005),

tenaga kerja Indonesia pada tingkat internasional tidak kompetitif. Rata-rata masa

sekolah hanya 6, 21 tahun. Sementara itu 26% dari perusahaan besar Indonesia

melaporkan bahwa tingkat pendidikan dan kinerjanya kurang produktif

dibandingkan perusahaan-perusahaan di Filipina dan India. Indonesia juga berada

Negara 2010-2011 2009-2010

Peringkat Skor Peringkat

Swiss 1 5.63 1

Swedia 2 5.56 4

Singapura 3 5.48 3

Amerika Serikat 4 5.43 2

Jepang 6 5.37 8

Malaysia 26 4.88 29

China 27 4.48 29

Brunei D 28 4.75 32

Thailand 38 4.51 36

Indonesia 44 4.43 54

India 51 4.33 49

Brazil 58 4.28 56

Vietnam 59 4.27 75

Page 99: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

99

pada posisi terendah dari sepertiga negara-negara (66 persen) pada Indeks

Pertumbuhan Kompetitif Forum Ekonomi Dunia 2003, di bawah posisi Malaysia

dan Thailand yang berada pada sepertiga ranking atas. Laju pengangguran di

Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi (9,5% tahun 2003) dibandingkan

dengan negara-negara tetangga seperti Korea (3,7%), Thailand (1,5%) dan

Malaysia (3,4%).

Dalam konteks permasalahan pendidikan nasional pada masa reformasi,

kebijakan PBI merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan dan daya saing

nasional yang rendah pada skala global. Menurut Indra Djati Sidhi hasil survei

lembaga internasional 2005, pada masa tingginya intensitas praktik wacana PBI,

menunjukkan peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index), Human

Development Index (HDI) dan income per capita Indonesia secara berurutan

berada pada peringkat 69 dari 125 negara, ranking 110 dari 177 negara dan US.$

1267. Dari segi IPM bidang pendidikan pada tahun 2011, Indonesia tergolong

rendah, berada di urutan ke-119 dari 187 negara dan di urutan ke-12 dari 21

negara. IPM Indonesia pada tahun yang sama berperingkat ke -124 dari 189 negara

dengan kenaikan yang tidak signifikan selama 31 tahun dan posisinya di bawah

Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Kompas Rabu 14 Desember

2011, hlm.1 dan 15).

Wacana publik tentang globalisasi dan daya saing tenaga kerja Indonesia

merupakan kondisi yang menuntut standarisasi berbagai komponen pendidikan.

Berbagai upaya kemudian dikerahkan untuk melakukan inovasi dan diversifikasi

Page 100: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

100

pendidikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu: meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan

di tingkat regional dan internasional; mengantisipasi peningkatan migrasi tenaga

kerja internasional; meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja

internasional; dan mempertahankan peluang kerja tenaga kerja Indonesia (TKI) di

pasar kerja nasional yang dibentuk oleh Perusahaan Asing di Indonesia. Hal ini

tergambar dari penjelasan berikut.

Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang jumlahnya 230 sekian juta,

itu kalau tidak dikelola dengan baik, beban. Tapi, kita juga punya sumber

daya alam yang melimpah. Kita punya tanah yang subur, tetapi kok kita apel

saja impor, kedelai impor, lalu beras impor. Kita itu mau bertani, mau

beternak apa saja bisa, kok lembu sampai impor, kita juga lautan kita luar

biasa, mutiara saja kok enggak bisa mengelola yang bisa mengelola malah

orang Jepang. Mutiara terbaik di dunia itu adalah terkenal Jepang, tapi asalnya

dari NTB, utara Lombok itu. Tidak hanya itu saja, tambang-tambang kita ini

mestinya dikelola oleh anak-anak kita sendiri yang kita siapkan dengan

matang. Tapi, dalam kenyataannya kita tahu semua bahwa sumber daya alam

yang … yang melimpah itu dikelola oleh orang luar negeri karena kita tidak

menyiapkan dengan baik (Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 11).

Dalam sebuah wawancara dengan Prof Slamet tentang isu daya saing

pendidikan Indonesia dalam konteks globalisasi, ia menyatakan bahwa pendidikan

nasional mesti dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan keuntungan

kompetitif. Keuntungan komparatif menyangkut keunggulan yang dimiliki oleh

Indonesia tetapi tidak dimiliki oleh negara lain seperti kekayaan budaya atau seni

tradisi yang dapat dikembangkan dan sumber daya alam yang melimpah tetapi

tidak didukung oleh SDM (keuntungan kompetitif) yang menguasai ilmu dan

teknologi modern.

Page 101: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

101

Dalam konteks RSBI kita berbicara tentang konteks kompetisi yang

universal…Kita punya keuntungan komparatif yang tidak dimiliki oleh

bangsa lain seperti sumber daya alam yang melimpah dan kaya dengan seni

budaya, Nah kita kurang kompetitif dari segi ilmu dan teknologi (Wawancara

Sabtu 25 Agustus 2012 di Kampus Pascasarjana UNY, Yogjakarta).

Implementasi UU Sisdiknas 20/2003 dan berbagai peraturan terkait dalam

bentuk satuan pendidikan RSBI merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan

kualitas pendidikan nasional dan merespons tantangan global melalui standarisasi

pendidikan, daya saing dan produktifitas SDM. Dalam hal ini relevan apa yang

dikatakan Ritzer dan Godman (2007: 587), bahwa globalisasi adalah satu kata

yang secara akademik menjadi pusat ketertarikan tetapi juga kecemasan publik.

Kecemasan itu berkaitan dengan sifat karakteristik globalisasi yang mendramatisir

seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Dalam hal ini, pendidikan

nasional dihadapkan pada tantangan untuk melakukan reformasi dan inovasi jika

tidak mau menjadi pecundang dalam konteks globalisasi dan hubungan

internasional.

…pada dasarnya penyelenggaraan SBI memang sudah sejak awal

direncanakan untuk bisa menghadapi era globalisasi, yaitu menyiapkan

sumber daya manusia yang benar-benar tidak hanya mampu tapi juga sanggup

untuk berkolaborasi, bekerja sama dan juga bersaing dengan negara-negara

lain …kalau tidak menyiapkan diri, seperti Malaysia, seperti Singapore kita

akan dilanda oleh sejumlah ribuan mahasiswa asing yang akan ke Indonesia

(Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 10).

Dengan kekuasaan hegemonik yang dimilikinya dan realitas kompleksitas

permasalahan pendidikan nasional, Negara melegitimasi perlunya inovasi dan

diversifikasi layanan pendidikan berupa satuan PBI, tidak saja demi menghadapi

globalisasi tetapi juga untuk melayani tuntutan masyarakat kelas menengah,

Page 102: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

102

mengatasi masalah kualitas pendidikan yang rendah dan kesenjangan kualitas

antar-sekolah dan antar daerah. Seorang narasumber menyatakan bahwa

“masyarakat membutuhkan SBI bagi anak-anak mereka supaya nantinya bisa

kuliah di luar negeri dan mampu bersaing dalam arena yang lebih luas”.

Satuan pendidikan bertaraf internasional itu, pada saat ini sedang dalam

pengembangan melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau

RSBI.Tujuan RSBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang melampaui

standar nasional pendidikan sehingga memiliki daya saing komparatif

tinggi termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing (Risalah

Sidang MK, 6 Maret 2012, hlm. 4).

Secara eksplisit Permendiknas Nomor 78/2009 tentang Penyelenggaraan

SBI pada jenjang Pendidikan Menengah pasal 2 mendukung kondisi di atas.

Tujuan penyelenggaraan SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki

daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan

keunggulan lokal pada tingkat internasional, kemampuan bersaing dalam berbagai

lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak,

perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; kemampuan bersaing

kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; e.

kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5 dalam

skala internet based test (IBT) bagi SMA; f. kemampuan berperan aktif secara

internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari

perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup; g. kemampuan

menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara

profesional (Permendiknas Nomor 78/2009 pasal. 2).

Page 103: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

103

Dengan uraian di atas, tampak ada koherensi gagasan mengenai pendidikan

dan globalisasi, kondisi pendidikan nasional dan kualitas SDM, lembaga

internasional dan wacana ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta semangat

memajukan pendidikan nasional melalui standarisasi pendidikan. Berbagai wacana

tersebut memiliki apa yang dikatakan oleh Foucault sebagai “power” (kuasa) yang

beroperasi melalui wacana PBI. Untuk dapat bersaing di era global, pendidikan

harus memenuhi standar-standar kualitas yang berlaku secara global.

5.2 Kapitalisasi Pendidikan

Secara historis, perubahan orientasi sistem pendidikan nasional menuju

liberalisme sejak ORBA ditandai dengan ratifikasi pendidikan sebagai bagian dari

WTO, pendidikan menjadi salah satu komoditas industri. Hal ini kemudian

mendapat titik kulminasinya melalui UU Sisdiknas 2003 sebagai “legal policy”

dari pelaksanaan pendidikan nasional seperti kebijakan PBI. Dalam

perkembangannya, PBI kemudian menjadi perdebatan publik khususnya dalam

kaitannya dengan amanat konstitusi dan implementasinya yang menimbulkan

masalah-masalah sosial dan budaya. Kehadiran RSBI digugat oleh masyarakat

karena dipandang bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 Pasal 50 ayat (3) dinilai bertentangan dengan UUD 1945 kendati

suasana kebatinannya ketika undang-undang itu dibuat adalah untuk meningkatkan

daya saing pendidikan nasional pada aras internasional.

Page 104: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

104

Dewasa ini rasionalisme ekonomi telah menjadi ideologi dominan, dimana

pendidikan dipandang sebagai produser barang dan jasa yang dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi. Proses globalisasi yang berciri ekonomi ditandai dengan

berbagai aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme yang bermakna

kultural dan proses-proses kultural global. Keadilan sosial dan nilai-nilai

kebersamaan telah dipertukarkan dengan konsep-konsep penting dalam wacana

ekonomi global seperti produktifitas, daya saing, efisiensi, dan keuntungan

sebesar-besarnya (Zajda, 2005; xiii-xiv; Barker, 2005: 133).

Economic globalization is about processes that enable the free flow of goods,

services, investments, labour and information across national borders in

order to maximize capital accumulation. Thus global capitalism involves the

commodification of all kinds of human endeavour in or der to produce surplus

value and profit... (Olsson, dkk, 2004: 5).

Wacana pendidikan tidak terlepas dari isu ekonomi, sosial, budaya, dan

politik. Wacana PBI dalam sistem pendidikan nasional selain terkait langsung

dengan eksistensi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 juga tidak terlepas dari isu-isu

sosial-ekonomi Indonesia dalam konteks internasional. Wacana PBI juga terkait

dengan keinginan sebagian orangtua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di

luar negeri dan harapan pemerintah agar warga negara asing yang berada di

Indonesia dan luar negeri mau bersekolah di sekolah-sekolah Indonesia, yang

secara ekonomi dapat menguntungkan bagi pengembangan pendidikan nasional

khususnya dan kehidupan bangsa secara umum.

Page 105: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

105

“ Ya saya menyekolahkan anak saya di RSBI dengan biaya yang mahal yah

wajar dan tentu aja untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik.

Soal supaya bisa melanjutkan ke luar negeri ya tentu saja, orangtua

mengharap itu kalau memang mampu, tetapi diterima kualiah di dalam

negeri pada universitas terbaik seperti UI juga senang” (Wawancara

dengan Khalil, 8 Agustus, 2012).

Dalam kurun waktu tingginya indeks investasi asing di Indonesia sebelum

krisis ekonomi 1997, banyak manajer ekspatriat yang bekerja dan bertempat

tinggal dalam waktu yang lama di Indonesia. Situasi ini dipandang sebagai

peluang (sekaligus ancaman) untuk membuka sekolah internasional yang dapat

menyediakan program pendidikan bersertifikat internasional bagi anak-anak

ekspatriat untuk mendapat pengakuan secara internasional atau di negaranya

ketika mereka kemudian pindah tugas ke negara lain atau kembali ke negerinya.

Banyak lembaga pendidikan menawarkan program pendidikan internasional

dengan mengadaptasi kurikulum “internasional”, khususnya di wilayah perkotaan

seperti Jakarta.

...globalisation, political and economic system and the competitive market

forces have generated a massive growth in the knowledge industries that

are having profound differential effects on educational institutions and

nations in general (Zajda and Geo-Jala, 2009). One of the effects of forces

of globalisation is that educational organisations, having modelled its

goals and strategies on the enterpreneurial business, are complelled to

embrace the corporate ethos of the efficiency, accountability and profit-

driven managerialism. Hence, the politics of education reforms reflect this

new emerging paradigm of standars-driven policy (Zajda, 2010: xiii).

Dengan adanya UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sekolah-sekolah

dapat menerima siswa non ekspatriat dengan kurikulum yang disesuaikan dengan

tuntutan masyarakat lokal maupun internasional. Hal ini mendorong pemerintah

Page 106: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

106

untuk membangun SBI sesuai dengan tantangan globalisasi dan realitas mutu

pendidikan nasional yang tidak menggembirakan. Selain itu, pada penghujung

tahun 90-an, beberapa sekolah menengah juga memiliki hubungan internasional

termasuk sekolah-sekolah swasta dengan target standar kelulusan yang lebih

tinggi. Sejumlah siswa menunjukkan peningkatan jumlah pendaftar di sekolah-

sekolah swasta yang dikenal di masyarakat dengan biaya mahal, yang biasanya

juga disebut sebagai sekolah “nasional plus” karena memiliki sertifikasi dan

akreditasi internasional dan sistem pengajaran bilingual berbasis bahasa Inggris.

Sekolah-sekolah semacam ini selain berbiaya mahal kualifikasi lulusannya juga

dapat bersaing dengan sekolah-sekolah di luar negeri dan di bursa dunia kerja. Hal

inilah salah satu faktor utama yang mendorong pemerintah membangun SMA

berkualitas tinggi secara nasional (Asian Development Bank: Project Technical

Proposal, 2006:4).

Kapitalisasi pendidikan juga tampak dari penggunaan buku teks MIPA dan

bahasa Inggris di dua sekolah yang diteliti di Jakarta dan Bandarlampung.

Pengadaan buku-buku impor di dua sekolah tersebut yang secara langsung dipesan

dari luar negeri dalam hal ini lembaga Cambridge di Inggris di mata masyarakat

cukup mahal. Dari segi tenaga kependidikan, guru ”bule” yang mengajar di kelas

internasional pada SMA 78 Jakarta mendapat sistem kerja dan penggajian

tersendiri (honorer). Guru-guru yang mengajar bidang MIPA di ”kelas

internasional” diseleksi sesuai prestasi akademik dan kemampuan bahasa

Inggrisnya. Dalam hal ini, pendidikan dalam konteks globalisasi sudah menjadi

Page 107: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

107

urusan ”lintas-batas” negara dan diarahkan tidak lagi hanya untuk konsumsi

”dalam negeri” tapi juga untuk melayani masyarakat internasional.

Ibrahim Musa, pakar pendidikan yang bersetuju dengan SBI berdasarkan

hasil penelitiannya tentang profil pembiayaan pendidikan pada Sekolah Dasar dan

Sekolah Menengah Pertama RSBI di Surakarta dan Jakarta menyatakan:

...dalam literature, paling tidak ada dua konsep tentang pendidikan, yaitu

pendidikan sebagai investasi dan pendidikan sebagai konsumsi. Pendidikan

dikatakan sebagai investasi karena melalui pendidikan, seorang memperoleh

kompetensi yang digunakan sebagai modal untuk meningkatkan penghasilan

di masa yang akan datang. Biaya pendidikan merupakan investasi yang akan

menghasilkan keuntungan secara ekonomi dan nonekonomi dengan tingkat

yang lebih tinggi dibandingkan perolehan dari bunga bank. Ini konsep dasar

perhitungan ekonominya...Pendidikan dikatakan juga sebagai konsumsi.

Karena melalui pendidikan, seseorang bukan sekadar memperoleh kompetensi

untuk modal kerja, tapi juga untuk mendapatkan kepuasan waktu memenuhi

mata pendidikan, kemudian kebanggaan selama mengikuti pendidikan

(Ibrahim Musa, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 19).

Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan oleh Foucault menekankan bahwa pengetahuan

menghasilkan kekuasaan. Kutipan di atas tentang pembiayaan pendidikan

menjelaskan dan menegaskan bagaimana peran ilmuan/intelektual mendefinisikan

“kebenaran” tentang pendidikan sebagai investasi berdasarkan pengetahuan dan

rasionalisasi “objek” pengetahuan. Bagaimanapun, kegiatan investasi tidak

terpisahkan dari kapitalisme yang berorientasi keuntungan ekonomis. Dengan

pengetahuan yang dimilikinya, ilmuan berkuasa untuk menyatakan sesuatu itu

benar atau tidak. Intelektual sebagai bagian dari struktur kekuasaan negara

berperan merasionalisasi dan melegitimasi eksistensi satuan PBI dalam sistem

pendidikan nasional. Secara politik, pendidikan sebagai investasi juga didukung

Page 108: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

108

oleh PP No. 19 Tahun 2005 pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa pembiayaan

pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.

Dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan, pengertian

pendidikan sebagai investasi memberikan rasionalisasi tentang mahalnya

pendidikan berkualitas standar, bahwa pendidikan membutuhkan modal ekonomi

dalam membangun masa depan siswa (masyarakat) yang lebih baik dan sejahtera

pada era globalisasi. Dalam hal ini, pendidikan menjadi “hak eksklusif” kelompok

atau anggota masyarakat kelas ekonomi menengah. Pendidikan (sekolah) mahal

dalam bentuk atau desain RSBI dapat memarginalisasi anggota masyarakat dari

kalangan ekonomi bawah, menutup peluang mereka untuk mengubah

kehidupannya menjadi lebih baik melalui pendidikan.

Dalam konteks pendidikan sebagai tanggung jawab negara untuk

mencerdaskan bangsa, negara seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin

tersedianya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa “pandang bulu”.

Pendidikan yang merupakan hak dasar warga negara berdasarkan UU berperan

strategis dalam membangun karakter bangsa dan setiap warga negara. Hal ini

secara tegas termaktub dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 41 ayat (3): “Pemerintah

dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik

dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya

pendidikan yang bermutu.“

Dengan rasionalisasi bahwa pendidikan merupakan investasi untuk

pendidikan berkualitas dan negara memfasilitasi RSBI untuk menggali dana dari

Page 109: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

109

masyarakat membuat dunia pendidikan terjerumus kedalam liberalisasi dan

komersialisasi pendidikan. Proses komersialisasi pendidikan terjadi dalam

pengertian biaya pendidikan disesuaikan dengan strata pendidikan (reguler, RSBI,

atau “ standar internasional”) dan daya beli masyarakat. Status ekonomi menjadi

sebuah “mekanisme seleksi” untuk mengakses pendidikan berkualitas. Ironisnya,

biaya pendidikan justru semakin mahal setelah anggaran pendidikan ditanggung

oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks UU Otonomi Daerah, dan

di tengah Negara melalui konstitusi telah memprioritaskan anggaran pendidikan

sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Menurut laporan “Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan”

(Education Public Expenditure Review) oleh Bank Dunia bersama Pemerintah

Belanda dan Uni Eropa di Jakarta, Kamis 14 Maret 2013, terungkap bahwa

anggaran pendidikan 20 % dari APBN tidak efektif meningkatkan kualitas

pendidikan nasional karena anggaran tersebut lebih banyak dialokasikan untuk

membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru yang

diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru, menurut speasialis Pendidikan Bank

Dunia untuk Indonesia, Mae Chu Chang, ternyata tidak juga mampu meningkatkan

kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa (Kompas, Jumat 15 Maret 2013,

hlm. 12).

Kompleksitas permasalahan pendidikan dan kecenderungan terjadinya

komersialisasi dan komodifikasi pendidikan telah menuai banyak kritik dan

keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan ada yang

Page 110: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

110

mengindikasikan bahwa kebijakan pendidikan yang “salah” sekarang ini tidak

terlepas dari kebijakan Kemdikbud. Perwakilan Front Perjuangan Pemuda

Indonesia (Lampiran 3, Gambar 7), misalnya, yang bergiat dalam advokasi

masyarakat dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritisi kebijakan

pendidikan nasional yang tidak berpihak pada masyarakat dan meminta

pemerintah untuk menghentikan komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan

(http://www.rmol.co/read/2013/04/29/108294/1/KOMERSIALISASI-

PENDIDIKAN-NASIONAL).

Dalam konteks pendidikan kritis, hubungan status sosial ekonomi

masyarakat dan akses pendidikan seperti RSBI menegaskan bahwa “orang miskin”

sulit mendapatkan pendidikan bermutu. Padahal, sesuai konstitusi, Pasal 31 ayat

(1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas 2003: “Setiap warga negara mempunyai hak

yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu...” Namun, faktor

pendidikan yang diharapkan dapat mengubah status sosial ekonomi mereka

menjadi warga negara sejahtera menjadi sirna. Dengan demikian, terjadi paradoks

dalam satuan PBI bahwa orang “miskin” (ekonomi) dan kurang “pintar”

(akademik) menjadi tetap marginal karena untuk mengubah nasibnya justru

dihadapkan pada kenyataan apakah dia memiliki modal atau tidak, yang miskin

tetap miskin dan yang kaya semakin kaya. Hal ini sesuai dengan apa yang

dikatakan Michael (1978) bahwa sekolah menjadi sarana reproduksi ketidakadilan

sosial dalam pendidikan modern yang bersifat kapitalistik.

Page 111: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

111

Di satu sisi, kesempatan untuk mengakses pendidikan bermutu yang

dijamin oleh undang-undang merupakan peluang untuk mendapatkan modal bagi

masyarakat miskin sebagai warga negara. Di sisi lain, warga negara miskin dan

masyarakat pada umumnya sulit masuk ke sekolah RSBI karena realitasnya

sebagai sekolah mahal. Dengan mengacu pada pemikiran Bourdieu (Jenkins, 2004:

156-157), tentang kekerasan simbolik, dalam ranah pendidikan terjadi kekerasan

ekonomi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi warganya.

Masyarakat dengan ekonomi lemah semakin terpinggirkan dari arus pendidikan

bermutu. Padahal, pendidikan sejatinya difungsikan oleh negara untuk mengurangi

kesenjangan sosial ekonomi masyarakat dengan desain sekolah yang menjamin

akses pendidikan bermutu bagi setiap warga negara.

Pendidikan itu sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Dari perspektif ekonomi, pendidikan dapat meningkatkan modal dan

produktivitas tenaga kerja melalui pengetahuan dan keterampilan yang

diperolehnya. Secara teoretis dan praktis pelaksanaan PBI atas nama Undang-

undang dan didukung oleh para intelektual dengan legitimasi ilmu pengetahuan

justru semakin memarginalkan masyarakat ekonomi lemah dalam mengakses

pendidikan. Pendidikan bermutu menjadi pendidikan kapitalistik. Dalam hal

inilah, secara ideologis, negara merekayasa kesadaran masyarakat dan pelaku

pendidikan untuk mendukung kekuasaan negara melalui peran para intelektual

dalam birokrasi dan lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni di tengah

masyarakat Indonesia kontemporer (Takwin, 2009: 74).

Page 112: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

112

Dari perspektif ideologi liberal, pendidikan dilihat hanya masalah

ekonomi dan kompetensi bukan dalam konteks humanistik dan integratif. Dengan

argumentasi ilmiah Ibrahim Musa, misalnya, sebagai representasi pemerintah,

menyimpulkan bahwa biaya penyelenggaraan RSBI masih dalam kerangka

struktur biaya pendidikan berdasarkan SNP. Ia bahkan menyatakan bahwa tidak

ada liberalisasi pendidikan pada SBI dengan alasan normatif dalam UU bahwa

“pemerintah dan pemerintah daerah, membiayai pendidikan sesuai dana yang

tersedia dan masyarakat membantu dalam pendanaan sesuai keinginan mereka

akan mutu layanan pendidikan yang bertaraf internasional”. Padahal, fakta di

lapangan, menurut seorang narasumber bahwa pembiayaan pendidikan RSBI lebih

banyak menyedot dana dari masyarakat dan peran pemerintah daerah belum

maksimal sebagaimana diharapkan (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni

2012).

Pembiayaan pendidikan RSBI menjadi kapitalistik, diskriminatif dan

kurang demokratis. Akibatnya, misalnya, yang kaya dan memiliki talenta

“istimewa” mendapat “perlakuan istimewa” atas pendidikan bermutu sebagaimana

dapat dipahami melalui konsep dan kenyataan empiris tentang RSBI. Dalam hal

ini, globalisasi dengan ideologi liberalisme dan kapitalismenya harus dilihat secara

kritis dalam memajukan pendidikan nasional. Selain itu, OECD sebagai organisasi

ekonomi, berfokus pada “pendidikan demi pekerjaan” sesuai dengan wacana

globalisasi. Perspektif efisiensi ekonomi lebih dominan dan pendidikan dipandang

lebih bersifat teknis (Darmin, 2011:262).

Page 113: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

113

Konsep dan penyelenggaraan RSBI mengandung banyak permasalahan

dalam sistem pendidikan nasional. Dengan menjadikan negara-negara maju OECD

sebagai “benchmarking” kualitas pendidikan nasional maka logikanya proses

pendidikan dibangun dengan prinsip-prinsip kapitalistik dan persaingan yang

secara sosio-kultural tidak realistik bagi Indonesia dan tidak sesuai dengan

konstitusi. Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam suatu acara

simposium di Jakarta tahun 2011 menyatakan bahwa berdasarkan hasil kajian yang

dilakukan pemerintah, pendanaan RSBI sebagian besar memang ditanggung

orangtua dan pemerintah pusat. Pendanaan dari pemerintah daerah justru tidak

terjadi sebagaimana diharapkan. Sebagian besar siswa RSBI berasal dari kalangan

kaya karena biaya masuk RSBI relatif mahal yaitu berkisar Rp 15 juta dan uang

sekolah sekitar 450. 000,- per bulan, sedangkan alokasi 20 persen untuk siswa

miskin melalui beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI (Kompas, Kamis 10 Maret

2011, hlm. 12).

Secara ekonomis, sebagaimana diakui oleh beberapa narasumber dari dua

sekolah yang diteliti, strategi pengembangan SBI sangat mahal dan menambah

beban pengelolaan sekolah. Pembiayaan yang mahal tersebut terkait dengan

berbagai program “ambisius”, antara lain, program kerjasama internasional,

pelaksanaan sertifikasi sistem manajemen mutu (ISO), program bench marking

internasional dengan sekolah mitra (OECD), pengadaan sarana dan prasarana

modern (TIK), dan penguatan kualitas SDM (Guru, Kepala Sekolah) dengan

program kualifikasi S2 dari universitas berakreditasi A.

Page 114: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

114

Salah satu ciri inovatif pendidikan modern di berbagai belahan dunia

adalah penggunaan berbagai produk teknologi canggih yang dianggap dapat

membuat proses pembelajaran lebih efektif dan kreatif. Pemanfaatan TIK di

bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya telah mulai disosialisasikan sejak

tahun 1980-an dalam rangka meningkatkan “computer literacy” dan hal ini

dipertegas lagi dalam kurikulum 2004 melalui mata pelajaran TIK. Dalam

pandangan pendidikan modern, faktor-faktor yang menjamin keberhasilan

pendidikan dalam arti proses belajar untuk menghasilkan keluaran yang baik

adalah SDM dan sarana dan prasarana yang memadai (Sumber: Panduan Penetrasi

dan Integrasi ICT/Telematika untuk Sekolah Menengah Atas, 2005:1). Hal ini

didukung lagi melalui UU sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.

Untuk menyediakan layanan pendidikan yang bermutu sebagai prestasi

ataupun konsumsi, diperlukan dukungan sumber daya pendidikan yang

memenuhi persyaratan standar nasional pendidikan seperti dinyatakan …

dalam Undang-Undang Tahun 2003 Pasal 35. Yang merupakan jaminan agar

dapat terjadi proses pembelajaran yang efektif, produktif, menyenangkan, dan

memberdayakan peserta didik (Putusan MK tentang RSBI, hlm.137).

Dalam konteks PBI, Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah, Kemdikbud, menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi (IPTEK) yang pesat dewasa ini telah memunculkan tuntutan baru dalam

segala aspek kehidupan termasuk desain pendidikan Indonesia dalam skala global.

Menurut Suyanto dalam era informasi dan komunikasi, manajemen produksi dan

sumber daya manusia bertumpu pada teknologi digital dan networking dengan

orientasi global. Hal ini menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran

Page 115: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

115

program pendidikan dengan pendekatan inovatif dan kreatif yang memungkinkan

Indonesia dapat berperan aktif dalam percaturan global (Suyanto, Risalah Sidang

MK, Selasa, 6 Maret 2012, hlm.3-4).

Menurut Indra Djati Sidhi, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan

Tinggi dan salah seorang pendukung keberadaan RSBI, salah satu makna dari

RSBI adalah membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan

kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti TIK, desain, komunikasi

visual, dan bahasa Inggris. Proses pembelajaran berbasis TIK dipandang sebagai

“jaminan” untuk mencapai sukses dalam pembelajaran. Paradigma ilmu

pengajaran yang berpusat pada guru berubah ke pembelajar dengan dukungan

sarana dan prasarana seperti komputer, fasilitas internet, dan berbagai perangkat

multimedia lainnya. Kesuksesan pembelajaran dilihat dari bagaimana guru

memfasilitasi proses pembelajaran dengan berbagai perangkat multimedia untuk

menghasilkan standar lulusan yang diharapkan.

TIK merupakan pemicu dari terjadinya transformasi kehidupan bermasyarakat

yang lebih efektif dan efisien. Dipergunakannya TIK dalam proses

pembelajaran (e-education), pemerintahan (e-government), bisnis (e-

business), dan lain-lain adalah bukti bagaimana teknologi mampu mengubah

pola tindak individu dan komunitas dalam berbagai aktivitas kegiatan sehari-

hari. TIK merupakan pendorong terciptanya daya saing yang signifikan bagi

sebuah negara dalam konteks globalisasi…Semakin tinggi daya saing sebuah

negara, semakin mudah yang bersangkutan meningkatkan devisa dan

pendapatan nasionalnya (Sumber: Profil dan Panduan Pelaksanaan Program

ICT Pura, 2011: 14-15).

Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan hubungan antara globalisasi dan

reformasi pendidikan yang diorientasikan pada daya saing ekonomi dan devisa

Page 116: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

116

negara dan pemanfaatan TIK untuk efektifitas dan efisiensi. Dalam memajukan

pendidikan, pemanfaatan TIK selaras dengan paradigma proses pembelajaran yang

lebih menekankan “barang” (peralatan teknis) dibanding “manusia” dalam arti

berkurangnya “peran” guru dalam interaksi belajar. Penggunaan proses

pembelajaran berbasis TIK di sekolah RSBI merupakan sebuah penegasan dan

proses pendisplinan para agen pendidikan sebagai “driver” dalam era globalisasi

yang penuh dengan persaingan dan lalu lintas sumber daya ekonomi.

Perkembangan TIK juga meningkatkan mobilitas manusia dan informasi yang

membuat batas-batas sistem (pendidikan) suatu negara menjadi “cair” sebagai

akibat dari intensitas hubungan internasional.

Menurut Slamet, penyelenggaraan RSBI/SBI sejak awal direncanakan

untuk menyiapkan SDM menghadapi era globalisasi dan mampu bekerjasama dan

bersaing dengan negara-negara lain. Selanjutnya Slamet menyatakan bahwa SBI

itu diadakan selain untuk menghemat devisa juga untuk mencegah ―capital flight‖

ke luar negeri. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia terkait dengan

mutu dan produk pendidikan. SBI dikembangkan berangkat dari kondisi dan

kepentingan nasional, mengembangkan keunggulan lokal, dan berdasarkan pilar-

pilar Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD), NKRI, dan

Bhinneka Tunggal Ika.

Selanjutnya, dalam sebuah wawancara (25 Agustus 2012) menurut Slamet,

harus diakui bahwa dalam implementasi PBI masih ada banyak masalah baik dari

segi SDM birokrasi maupun aspek lainnya yang terkait dengan pengelolaan dan

Page 117: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

117

penyelenggaraannya. Bahkan, berdasarkan studi kasus yang dilakukannya sendiri

ada sekolah yang mengutip biaya pendidikan yang cukup besar dari orangtua

siswa tetapi peruntukannya bukan untuk kegiatan belajar mengajar. Menurut

Slamet, diperlukan pengendalian dari pihak yang berwewenang agar dana yang

dihimpun dari masyarakat dan bentuk pengeluaran sekolah lainnya lebih diarahkan

untuk meningkatkan proses pembelajaran yang benar-benar meningkatkan kualitas

pendidikan sebagaimana diharapkan.

Paradoksnya lagi dalam pendidikan Indonesia, khususnya satuan pendidikan

bertaraf internasional, ini bisa membuat orang jadi tidak berdaya. Untuk bisa

pintar sekolah ... di sekolah yang baik, saya harus punya modal, padahal

modal itu yang saya enggak punya. Kami sekolah untuk mendapat modal,

dapat penghasilan lebih bagus, kok harus punya modal dulu, lingkaran setan.

(Bagus Takwin, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei 2012, hlm.17).

Secara ekstrim, pandangan masyarakat tentang RSBI adalah bahwa model

sekolah ini telah terjebak ke dalam komodifikasi pendidikan yang berdampak pada

masalah terpinggirnya akses pendidikan bagi sebagian masyarakat ekonomi lemah.

Pendidikan bermutu kemudian hanya dinikmati secara eksklusif oleh mereka yang

mampu membayar biaya pendidikan yang lebih mahal sehingga layanan

pendidikan menjadi diskriminatif. Hal ini diperkuat oleh penjelasan seorang guru

sebagai berikut.

Ini masih di kelas internasional, ini fasilitas lain. Locker, mereka punya lemari

kayu dan mereka masih punya apa itu ... lemari besi, ya. Seperti itu dan

mereka pun disediakan printer, ini tidak ada di kelas RSBI, ini hanya ada di

kelas internasional. Karena di kelas internasional … itu satu tahun anak

membayar Rp. 31.000.000,00, tapi itu sudah yang termurah karena kalau yang

termahal di Jakarta itu ada Rp. 45.000.000,00, ... pokoknya betul-betul

memang ada barang, ada harga, ya... (Retno L, Risalah. Sidang MK, Selasa,

20 Maret 2012, hlm.24).

Page 118: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

118

Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bagaimana pendidikan telah terperosok

ke dalam kapitalisme dan materialisme. Mereka yang membayar lebih tinggi

nilainya mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik. Biaya tinggi

pendidikan akibat kapitalisasi pendidikan menghasilkan “kebutuhan palsu” seperti

locker dan lemari besi yang tidak signifikan berkontribusi pada peningkatan

kualitas pembelajaran. Akses masyarakat terhadap pendidikan menjadi

terstratifikasi sehingga kelompok masyarakat tertentu terpinggirkan. Situasi ini

menguatkan prinsip dagang yang sudah populer di masyarakat: “ada uang, ada

barang” atau “jenis sekolah yang anda pilih menunjukkan isi kantung anda”.

Situasi ini mempersempit peluang masyarakat miskin untuk mengubah “nasibnya”

melalui pendidikan akibat dari orientasi kebijakan pendidikan yang “pro-pasar”

dan konsumtif.

The rise of market-oriented policy is a major obstacle to democratic economic

development. By reducing explicit social regulation of private economic

activity and ‗leaving things to the market‘, neo-liberalism prevents the

implementaion of programmes that would allow people to exercise political

control over their economic affairs, involve people in solving their own

economic problems, and serve the material needs of the great majority

(MacEwan, 1999:5)

Bentuk ketidakadilan lainnya akibat kebijakan PBI bagi guru-guru adalah

terbukanya peluang bagi guru asing untuk mengajar di Indonesia sebagai implikasi

dari Undang-undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang memberi legitimasi bagi

masuknya investasi asing dalam sektor pendidikan melalui rumusan pasal 64 dan

65 berikut.

Page 119: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

119

Pasal 64

Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga

negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang

bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

pasal 65

(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di

negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah

wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik

warga negara Indonesia.

(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga

pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.

(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain

yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah.

Dengan semangat yang sama, pengelola RSBI berdasarkan Undang-undang

juga diberikan hak untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik dengan

ketentuan paling banyak 30% dari jumlah pendidik yang ada. Fakta empiris

menunjukkan bahwa beberapa sekolah, termasuk SMA Negeri 78 Jakarta, juga

mempekerjakan tenaga asing dengan label “native speaker” khususnya untuk guru

bahasa Inggris. Dalam hal ini kebijakan PBI dalam pendidikan menengah dengan

rasionalisasi untuk menghasilkan manusia yang siap bersaing di arena

internasional telah memproduksi ketidakadilan struktural dalam hal kesempatan

Page 120: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

120

kerja bagi sebagian warganya. Secara khusus, ketidakadilan bagi guru tergambar

dari penjelasan seorang pengamat pendidikan berikut ini.

undangan untuk guru asing itu sendiri merampas hak untuk bekerja yang

seharusnya dimiliki oleh warga Indonesia. Kedua, tidak mungkin tercipta

keadilan di dalam SBI karena guru dari warga asing jelas akan dibayar 10 kali

lipat dari guru warga negara Indonesia (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK,

Selasa, 24 April 2012, hlm.25).

Kutipan di atas menjelaskan implikasi dari liberalisasi pendidikan nasional melalui

Undang-undang dan implementasi PBI melalui RSBI. Perkembangan globalisasi

yang cenderung memaksakan “ideologi standarisasi” dalam pendidikan menengah

umum telah menyingkirkan sebagian guru dan hal ini berpotensi meminggirkan

sumber daya pendidikan yang lebih besar karena mereka kalah bersaing dengan

tenaga asing.

“Ya kita di sekolah ini memang menggunakan ada tenaga asing ya yang kita

harapkan bahasa Inggrisnya sebagai native speaker karena guru-guru kita

terus terang masih perlu ditingkatkan kemampuannya…” (Wawancara dengan

Ridnan, Rabu 21 Maret 2012).

Dalam hal ini, pandangan ideologi liberal cenderung mengabaikan ketidaksetaraan

atau ketidakadilan dalam masyarakat karena ideologi liberal berangkat dari

keyakinan bahwa antara pendidikan dan politik atau ekonomi tidak berhubungan

(Haralambos & Hoborn, 2000:781; O‟Neil, 1961:68 dalam Soeharto, 2009:145).

Page 121: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

121

5.3 Pencitraan Kualitas Internasional

Perkembangan pendidikan nasional yang kapitalistik tidak terlepas dari

wacana pendidikan modern yang ditopang oleh Undang-undang yang berorientasi

pada globalisme dan neoliberalisme. Dalam hal ini, liberalisasi ekonomi telah

merambat ke dalam liberalisasi pendidikan. Filosofi pendidikan nasional yang

seharusnya berorientasi pada “subjek” manusia sebagai agen perubahan justru

pada kenyataannya bergeser pada “objek” barang. Proses pembelajaran yang baik

dilihat dari indikator-indikator materil seperti penggunaan sarana prasarana yang

cenderung berbiaya tinggi. Hal ini sesuai dengan semangat “materialistik” yang

terkandung dalam UU Sisdiknas No. 20 /2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat (1):

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara

Rumusan pasal di atas lebih menonjolkan suasana belajar atau “kondisi belajar”

daripada “tujuan belajar” (tujuan pendidikan), lebih mengutamakan bentuk

daripada substansi yang kemudian membentuk pencitraan pendidikan yang baik.

Hal ini diperkuat oleh pandangan guru-guru dan siswa tentang keunggulan RSBI

dibanding sekolah-sekolah reguler. Mereka menyatakan bahwa “sekolahnya

nyaman untuk belajar, ruang AC, dan memiliki fasilitas multimedia dan

pembelajaran berbasis TIK”. Dengan kata lain, ada kesejajaran antara penekanan

rumusan tujuan dalam pasal di atas dan persepsi dan “pengalaman” siswa dan

guru tentang pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini, pada level sistem nilai ada

Page 122: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

122

koherensi antara amanat UU Sisdiknas yang dikemukakan di atas dan orientasi

anak didik tentang pembelajaran yang baik. Keadaan demikian juga dapat

tergambar dari kutipan berikut.

…Pendidikan kemudian dikemas sebagai sebuah komoditi untuk

dikonsumsi Pendidikan kemudian berkembang menjadi sebuah institusi

yang mencari nilai tukar (exchnge value), lewat penciptaan berbagai citra

(image) dalam rangka memperoleh nilai keuntungan (profit). Pendidikan

kemudian dimuati dengan tanda-tanda (sign) sebagai upaya menciptakan

nilai tukar tersebut. Citra-citra seperti gedung-gedung yang nyaman, lokasi

yang strategis, peralatan dan laboratorium yang modern, jaringan yang

bersifat global digunakan sebagai nilai jual (nilai tukar) dari institusi yang

bersangkutan (Piliang, 2004:364).

Kutipan diatas menegaskan bahwa pencitraan adalah terkait dengan sesuatu

yang dapat dipahami melalui persepsi namun tidak memiliki eksistensi secara

substansial. Dalam konteks budaya posmodern, masyarakat pendidikan tidak

dihadapkan sepenuhnya pada realitas yang sebenarnya tetapi pada simulasi. Dalam

konteks ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam suatu acara

simposium di Jakarta tahun 2011 tentang RSBI menyadarinya dengan

menyatakan:

ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang

yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu kami belum berani

menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI

Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI (Kompas,

Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12).

Menurut Djokopranoto, dengan mengacu pada rumusan pasal pasal 1 ayat

(1) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pengertian pendidikan yang dianut oleh

pengambil keputusan puncak, baik eksekutif maupun legislatif, adalah berdasarkan

pengertian pendidikan yang rancu dan keliru. Selanjutnya, Djokopranoto

Page 123: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

123

berargumentasi bahwa berdasarkan pengertian rumusan pasal di atas, pendidikan

dapat dicapai dengan sekedar mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran. Proses pendidikan direduksi menjadi sekedar pembelajaran. Hal ini

dipandang bermasalah dari segi etika pendidikan (Djokopranoto, 2011:16-17).

Orientasi sistem pendidikan nasional untuk mengadopsi atau mengadaptasi

kurikulum internasional kurang realistik dan menjadi anomali pendidikan nasional

karena standar pendidikan nasional masih memerlukan kajian lebih dalam. Ketika

seorang narasumber ditanya apakah sekolah RSBI dengan delapan komponen SNP

plus pengayaannya itu berarti bahwa lulusan sekolah-sekolah nasional dengan

SNP itu tidak mampu bersaing secara internasional, Prof Slamet yang

diwawancarai Sabtu 25 Agustus 2012 di Yogjakarta dengan tegas justru

menyatakan:

...nah, ini masalahnya karena ketika SNP itu dirumuskan mungkin belum ada

kajian atau benchmarkingnya. Memang ada banyak hal yang masih harus

dikritisi tentang RSBI ini (Wawancara Sabtu 25 Agustus 2012).

Kebijakan dan berbagai konsep terkait dengan RSBI/SBI banyak didasarkan

pada asumsi-asumsi tanpa didahului kajian fakta di lapangan, misalnya kesiapan

pendidik dan tenaga kependidikan dalam proses pembelajaran dengan bahasa

Inggris dan penggunaan sarana dan prasarana pendidikan. Ketentuan lainnya,

misalnya, persentasi guru dengan 20 % berkualifikasi S2 dari perguruan tinggi

dengan program studi yang berkreditasi A serta berbagai ketentuan lainnya yang

tidak realistik untuk dipenuhi oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Dalam hal

inilah muncul kritik masyarakat tentang keberadaan satuan PBI sebagai

Page 124: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

124

pengingkaran terhadap kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa

karena sebagian besar sekolah yang ada masih jauh dari keadaan SNP, sementara

ada sebagian kecil sekolah (RSBI) didesain menuju SBI dengan perlakuan khusus

dari negara. Negara semestinya menjamin keadilan bagi setiap warganya,

khususnya melalui akses pendidikan yang memang sangat strategis bagi

pembangunan bangsa. Prof Slamet lebih lanjut menyatakan:

Sekolah-sekolah yang telah dinyatakan sebagai RSBI harus melakukan upaya-

upaya yang … untuk melampaui SNP dan mencari pengayaan yang dilakukan

melalui strategi patok duga atau benchmarking dengan sekolah-sekolah

unggul atau sekolah-sekolah favorit baik dari dalam maupun luar negeri...

(Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm.7).

Berbeda dari pemikiran di atas, Darmaningtyas, pengamat pendidikan,

menyatakan bahwa kebijakan RSBI dalam berbagai program dan kegiatannya

justru tidak mencerdaskan karena dalam konsep dan implementasinya mengurangi

substansi pendidikan sebagai upaya pencerdasan bangsa. Dengan merujuk pada

beberapa ketentuan dan penyelenggaraan RSBI, Darmaningtyas mengemukakan:

...Tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk meningkatkan daya

saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak,

perunggu, dan bentuk penghargaan … internasional lainnya. Ini sungguh

mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan

bangsa karena tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar

mengumpulkan piala atau medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali,

tidak perlu membentuk RSBI atau SBI, tapi cukup membuat program yang

seperti yang dilakukan oleh Prof. Yohanes Surya yang sudah terbukti

mampu mengantarkan putera-puteri Indonesia memperoleh medali perunggu

hingga emas di tingkat internasional...(Darmaningtyas, Risalah Sidang MK,

Selasa 24 April 2012, hlm. 23).

Menurut Henk Oonk (2011: 3-5) istilah pendidikan internasional dan

sekolah international dalam bidang pendidikan secara umum belum digunakan

Page 125: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

125

secara meluas dan terdefinisikan secara ketat, dalam arti bahwa belum ada definisi

atau konsep tunggal tentang pendidikan internasional atau sekolah internasional.

Sejarah pendidikan internasional sebagai bidang kajian formal dalam pendidikan

juga dapat dikatakan masih relatif baru, sedangkan istilah ”sekolah internasional”

telah mengalami perkembangan cepat selama empat dekade terakhir dan relatif

masih menarik bagi para peneliti di bidang pendidikan (Oonk, 2011: 3-5).

Konsep pendidikan internasional telah banyak digunakan dalam wacana

pendidikan, namun istilah ini memiliki interpretasi yang beragam di kalangan para

ilmuan dan praktisi pendidikan. Pendidikan internasional menyangkut suatu

proses sedangkan sekolah internasional adalah tentang lembaga. Kedua istilah ini

dalam perkembangannya mengandung konsep yang belum matang, dalam arti

keduanya belum terdefinisikan secara matang baik pada lingkup wacana

pendidikan maupun sosial. Barangkali, itulah salah satu sebabnya penggunaan kata

”internasional” dalam RSBI tidak hanya menimbulkan permasalahan konseptual

tetapi dalam praktiknya mendapat banyak kritik dari masyarakat pemerhati

pendidikan. Indra Djati Sidhi, seorang intelektual pendukung sekolah RSBI/SBI

dalam sistem pendidikan nasional menyatakan:

Penggunaan kata “internasional” bukan dimaksudkan untuk menghilangkan

budaya bangsa atau karena kita tidak percaya diri atau ikut-ikutan kurikulum

negara lain, melainkan untuk mengingatkan kita bahwa mutu pendidikan yang

diberikan haruslah mampu memberikan kompetensi yang mencerdaskan

peserta didik sekaligus dapat bersaing dengan mutu pendidikan negara mana

pun tanpa menghilangkan jati diri bangsa (Indra DS, Risalah Sidang MK,

Rabu 11 April 2012, hlm. 16).

Page 126: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

126

Permasalahan RSBI di lapangan tidak sesederhana yang digambarkan di

atas. Pandangan di atas hanya mewakili banyak pendapat baik di kalangan

pengambil kebijakan maupun pakar pendidikan. Secara konseptual, makna

“internasional” dalam konteks RSBI diterjemahkan ke dalam beberapa aspek atau

komponen standar pendidikan seperti kualifikasi akademik guru dan staf

administrasi, standar kompetensi lulusan, kurikulum, proses pembelajaran yang

berbasis TIK yang mengacu pada negara maju serta berbagai kegiatan non

akademik yang bersifat internasional. Pada level implementasi, makna “bertaraf

internasional” jauh lebih kompleks karena sudah melibatkan aspek budaya,

ekonomi dan politik. Pada level budaya, berbagai hal yang bersifat internasional

memiliki daya tarik dan gengsi tersendiri, sebagaimana dapat dipahami melalui

penjelasan berikut.

Saya dua minggu yang lalu jalan-jalan di Sidoarjo ada plakat besar sekali.

Telah dibuka sekolah la, la, la, dengan menggunakan kurikulum

Cambridge, saya pikir ini apa ya. Perlu kita ingat bahwa internasional

adalah kualitas bukan status. Internasional adalah kualitas. Dulu walaupun

tidak bersekolah dengan sekolah berstatus internasional banyak kita yang

bisa berperan secara internasional (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei

2012. hlm.27).

Ironisnya, secara konsep dan implementasi, target non akademik berupa

capaian kemenangan dalam lomba-lomba internasional dipandang sebagai salah

satu indikator keberhasilan PBI. Dalam hal ini, pendidikan menjadi terperosok

pada pencitraan “gengsi internasional” dan gengsi sosial bukan pada substansi dan

karakter yang hendak dibangun melalui pendidikan. Salah satu tujuan RSBI/SBI

adalah meningkatkan daya saing melalui kriteria perolehan medali emas, perak,

Page 127: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

127

perunggu, dan bentuk-bentuk penghargaan internasional lainnya (lihat

Permendiknas No. 78/2009 pasal.2). Perolehan berbagai medali melalui

perlombaan internasional dan nasional menjadi indikator sekaligus memberikan

citra sekolah bermutu. Sekolah menjadi ruang sosial untuk meningkatkan gengsi

melalui berbagai “produk pendidikan” (lihat Gambar 2).

Musni Umar, selaku saksi pemohon Pengujian pasal 50 ayat (3) Undang-

Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pada sidang MK menyatakan sebagai

berikut.

Menggunakan nama RSBI dan SBI pada sekolah-sekolah pemerintah telah

menyesatkan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa RSBI tidak

berkorelasi dengan peningkatan kualitas di sekolah. Kalau barometer untuk

mengukur berkualitas tidaknya sekolah, dari Ujian Nasional dan ujian seleksi

nasional masuk perguruan tinggi negeri, maka SMA Negeri berlabel RSBI

belum terbukti lebih berkualitas dibanding sekolah non-RSBI (Risalah Sidang

MK, Selasa, 15 Mei 2012, hlm.18).

Kutipan di atas sesuai dengan realitas lapangan yang ditemukan di SMA

Negeri 2 Bandarlampung bahwa sekalipun sekolah ini berstatus RSBI namun

secara administratif sekolah ini memilih untuk tidak menggunakan label tersebut.

Sekolah ini, menurut Wakil Kepala Sekolah, lebih fokus pada usaha penguatan

kualitas pembelajaran karena sekolah ini pada dasarnya telah dikenal masyarakat

sebagai sekolah “bermutu” dan favorit di Bandarlampung sehingga tidak dirasakan

perlu menonjolkan label RSBI. Pihak manajemen sekolah menyadari bahwa

“standar internasional” yang dipersyaratkan atau diharapkan oleh Kemdikbud

masih jauh dari realitas objektif sekolah tersebut, khususnya dalam hal standar

Page 128: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

128

proses pembelajaran dan kualitas atau kualifikasi tenaga kependidikan dan SDM-

nya secara umum, namun diakui bahwa citra “internasional” yang melekat pada

sekolah ini tetap membawa kebanggaan tersendiri bagi warga sekolah (Wawancara

dengan Wakasek, guru, dan siswa, Agustus 2012).

Selain itu guru dan anak didik juga telah terhegemoni dengan label-label

yang berasosiasi dengan “internasional” dan simbol-simbol modern seperti

sertifikat manajemen ISO yang mengukur kualitas pelayanan sekolah seperti

pelayanan sebuah perusahaan, yang secara signifikan juga berkontribusi terhadap

tingginya biaya pendidikan. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan seorang

narasumber, Supanto, dalam kutipan berikut.

Semua ruangan AC…sebelum RSBI tidak ada AC. Biaya listrik saja minimal

15 juta perbulan. Dengan RSBI itu anak-anak juga betah belajar, senang dan

bangga. Guru-guru setiap tahun kita kirim ke SEAMOLEC (Southeast Asian

Ministers of Education Regional Open Learning Centre, pen) Singapura,

Malaysia…kita tidak mudah untuk menembus ke sana kita juga sudah

mendapatkan ISO 9001 versi 2008. Untuk kota Bandarlampung kami adalah

salah satu dari dua SMA yang sudah meraih sertifikat ISO, dan kami kerja

keras untuk mendapatkan standard ISO tersebut, guru memang kerja keras

untuk peningkatan mutu…(Wawancara Senin 11 Juni 2012).

Dalam kaitannya dengan kutipan di atas, Retno, guru SMA Negeri 13 Jakarta yang

berstatus RSBI, menyatakan bahwa sekolah RSBI semakin mahal karena lebih

mengutamakan kenyamanan belajar siswa dan biaya tersebut dipungut dari siswa

(Kompas, Rabu 21 Maret 2012).

Kholid, guru Fisika SMA Negeri 2 Bandarlampung, yang mulai mengajar di

sekolah tersebut sejak 2010, menyatakan bawa pada dasarnya ia tidak memandang

penting apakah suatu sekolah berlabel internasional atau tidak. Menurut Kholid

Page 129: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

129

yang penting adalah kualitas proses pembelajaran dan lulusannya bisa mencapai

standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan mampu bersaing

dengan sekolah-sekolah berkualitas. Ia memandang bahwa label sekolah “bertaraf

internasional” tidak penting apalagi secara objektif SDM dan fasilitas pendidikan

di sekolah belum sepenuhnya mendukung sebagaimana diharapkan.

Kalau saya lebih setuju ke mutu yang dibawahnya gitu…mutunya itu yang

dikedepankan setara dengan sekolah internasional lainnya. Kalau masalah

bahasanya boleh-boleh saja sih…bahasa Indonesia, yang penting

kurikulumnya. Kalau saya…saya arahkan ke soal-sosal Olimpiade gitu…

(Wawancara dengan Kholid, April 2013).

Ketika ditanyakan pandangannya tentang relevansi penggunaan bahasa Inggris

dalam mata pelajaran MIPA dan hubungannya dengan usaha memajukan kualitas

pendidikan yang bertaraf internasional, Kholid, lebih jauh menjelaskan:

Bahasa Inggris memang penting ya... Namun komunikasi pembelajaran itu

tidak lancar. Kemampuan guru-guru secara umum tidak mendukung

ya...Tidak penting kalau itu menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak itu jadi

susah menerimanya. Jadi untuk bahasa saya rasakan belum siap…bahasa

Inggris itu penting…Kalau yang paling relevan dengan bahasa Inggris itu ya

ketika mereka itu nanti ingin melanjut ke luar negeri termasuk untuk ikut

Olimpiade karena soal-soal Olimpiade itu ya bahasa Inggris.

Natalia, guru Matematika SMA Negeri 2 Bandarlampung yang telah mengajar

sejak 2007 ketika sekolah ini mulai ditetapkan statusnya sebagai RSBI mengaku

bahwa awalnya ia menggunakan bahasa Inggris dalam mengajar, khususnya pada

awal pembukaan kelas. Namun dalam perkembangannya, ia menyadari bahwa

penggunaan bahasa Inggris dapat mengganggu interaksi belajar yang kemudian

berpengaruh pada pemahaman siswa terhadap pelajaran. Selengkapnya ia

menjelaskan:

Page 130: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

130

Ketika pertama kali saya mengajar di SBI pengantar saya ya dalam bahasa

Inggris..kemudian saya campur-campur dengan bahasa Indonesia…karena

anak-anak belum tentu sama (penguasaan bahasa Inggrisnya, pen.) kalau

materi saya tetap tidak akan menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris

Matematik itu beda dengan bahasa sehari-hari. Kata “akar” misalnya dalam

Matematik bukan “root” dalam bahasa Inggris…ya kita harus hati-hati kalau

mengajarkan Matematika dengan bahasa Inggris…(Wawancara dengan

Natalia, April 2013).

Dalam konteks modal simbolik, bahasa Inggris juga menjadi bagian

pertimbangan orangtua siswa ketika memilih sekolah bagi anaknya karena bahasa

Inggris diasosiasikan dengan kualitas sekolah yang baik. Kemampuan bahasa

Inggris juga berguna untuk membaca buku-buku pengetahuan dalam bahasa

Inggris. Faktor gengsi berbahasa Inggris merupakan simbol kemajuan dalam

wacana globalisasi (Wawancara orangtua siswa, Kh). Salah seorang narasumber

yang diwawancarai menyatakan:

ya memang sebagai orangtua, saya memilih sekolah yang berkualitas dan

yang bisa mempersiapkan anak saya bisa bersaing jika ingin masuk ke

perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri, …ya tapi dalam negeri pun

misalnya kemampuan bahasa Inggris juga sangat penting….baik di sekolah

dan juga ketika kerja nantinya…tetapi terus terang saya juga masih kecewa

dengan sekolah RSBI tempat anak saya sekolah…(Wawancara dengan AD

Maret 2012).

Dari dua sekolah yang diteliti, SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2

Bandarlampung, ditemukan adanya persamaan bahwa status RSBI selain

membawa prestise bagi warga sekolah khususnya dalam kaitannya dengan

persaingan antar-sekolah juga terdapat peningkatan atau perbaikan fasilitas

sekolah berupa sarana-prasarana pembelajaran, meningkatnya motivasi para guru

untuk memajukan kualitas pendidikan, meningkatnya prestasi siswa secara

Page 131: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

131

akademik, partisipasi dan pemenangan olimpiade pada tingkat nasional, dan

meningkatnya kesejahteraan guru dan pimpinan sekolah secara umum. Secara

khusus, orientasi olimpiade dan perlombaan-perlombaan tingkat nasional dan

internasional meningkatkan citra dan gengsi (distinction) sekolah sebagai sekolah

bermutu.

Implementasi RSBI adalah “kebohongan publik” atau pencitraan sebagai

pendidikan bermutu internasional. Ada penilaian di masyarakat bahwa dengan

berlabel internasional, maka sekolah RSBI dipandang sudah dapat bersaing secara

internasional dan proses pembelajaran berlangsung sepenuhnya dalam bahasa

Inggris sebagaimana diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah (Wawancara

dengan AD dan Khl, 8 Agustus 2012). Hal yang sama secara implisit juga diakui

oleh seorang narasumber lain dengan menyatakan:

Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan perbaikannya …

perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak holistik, dan cenderung

membuat sekolah menerjemahkan kata internasional dengan bahasa Inggris …

(Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm.28).

Padahal, apa yang dipromosikan sebagai ”bertaraf internasional” tidak sesuai

dengan kenyataan dan harapan masyarakat. Idealisasi penggunaan bahasa Inggris

di kelas sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak

didukung oleh persiapan yang matang dan komponen tenaga pendidik yang

memadai kualitasnya. Hal ini tergambar dari pernyataan seorang pelatih guru-

guru pada tingkat nasional, Itje Khodijah, seperti berikut.

Karena bahasa Inggris menjadi icon di sekolah-sekolah SBI/RSBI, maka

kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Inggris untuk mengajar

Page 132: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

132

terutama Matematika dan IPA menjadi penting. …Namun kenyataannya

sampai saat ini kompetensi guru Bahasa Inggris sebagai tolok ukur

kemampuan menggunakan bahasa Inggris bagi guru mata pelajaran lain masih

pada kategori yang secara umum rendah (Risalah Sidang MK, Rabu, 2 Mei

2012, hlm. 24).

Ada kesenjangan antara idealisasi RSBI sebagai sekolah bermutu dengan berbagai

pencitraannya di masyarakat dan realitas objektifnya tentang kualitas dan

kompetensi guru-guru bahasa Inggris. Realitas proses pembelajaran yang

sebenarnya terjadi di sekolah menunjukkan bahwa bahasa Inggris tidak digunakan

dalam arti yang sebenarnya, seperti di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Pandangan

Itje Khodijah yang dikemukakan di atas juga diperkuat oleh seorang narasumber

penelitian ini, yaitu Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78

Jakarta dengan penjelasan sebagai berikut.

secara objektif guru-guru di sekolah kita belum mampu untuk mengajar dalam

bahasa Inggris…dulu kita pernah menggunakan tenaga pengajar dari luar,

native speaker khusus untuk mata pelajaran MIPA. Kemudian tantangan

lainnya adalah guru-guru kami yang ada di sekolah ini sudah banyak yang

tua-tua yah 50-an tahun di atas 40 tahun usianya jadi...sudah susah belajar

bahasa Inggris (Wawancara 8 Agustus 2012 dengan RW).

Menurut persepsi informan, seorang guru SMA Negeri 78 Jakarta, salah

satu ciri RSBI mestinya memiliki murid atau peminat dari berbagai

kebangsaan/negara dan bersekolah di RSBI, namun kenyataan di lapangan tidak

menunjukkan situasi demikian. Padahal, wacana yang berkembang dalam

masyarakat dan semangat awal pendirian RSBI untuk menggunakan ”bahasa

Inggris sebagai bahasa pengantar” adalah untuk membuka peluang bagi warga

negara asing dari dalam dan luar negeri untuk bersekolah di ”sekolah-sekolah

Page 133: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

133

internasional” Indonesia, yang secara teoretis akan menguntungkan perekonomian

nasional. Namun, implementasi RSBI dihadapkan pada situasi yang kompleks

seperti realitas guru-guru yang belum berkualifikasi (S2) dan lemah dalam

kompetensi bahasa Inggris.

Hywel Coleman, konsultan di British Council dan staf pengajar di

Universitas Leeds Inggris terkait bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di

RSBI pernah menyatakan bahwa menyiapkan siswa berwawasan global

seharusnya tidak diartikan secara sempit dengan menggunakan bahasa Inggris di

sekolah. Menurut Coleman globalisasi tidak berarti bahwa siswa harus bisa

bersaing dengan siswa lain dari negara lain. Selanjutnya ia menyatakan bahwa ”di

dunia global, sekolah internasional justru harus menyiapkan diri sebagai mitra atau

sahabat negara lain. Sekolah internasional harus diartikan sebagai upaya sekolah

menyiapkan siswa untuk bisa hidup bersama dalam perbedaan dan

keanekaragaman” (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm.12). Pandangan Colemen

ini lebih menekankan pentingnya “kerjasama” daripada “daya saing”. Dalam

konteks nilai dan sosio-kultural Indonesia, kerjasama lebih memiliki pijakan

filosofis dalam konsep “gotong royong”.

Realitas lain tentang PBI adalah orientasi untuk mendapatkan standar

pengelolaan bertaraf internasional seperti ISO 9100 dan ISO 14001 sebagai

bagian dari pengayaan bagi komponen standar pengelolaan pendidikan. Yang

menjadi permasalahan dengan standar ini, selain biaya tinggi yang harus

dikeluarkan oleh sekolah untuk mendapatkannya juga tentang sejauh mana ia

Page 134: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

134

berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui proses

pembelajaran di kelas dan di tengah realitas kualitas pendidik yang masih di

bawah kualifikasi yang diharapkan. Logikanya, pengelolaan berdasarkan ISO tidak

akan efektif jika tidak didukung oleh komponen sumber daya pendidikan dan

komponen lainnya. Jaminan keberhasilan pendidikan tentu saja ditentukan secara

integratif/holistik oleh berbagai komponen standar, terutama profesionalisme guru.

berbicara proses mendidik anak, …tidak cukup dengan sekadar

menunjukkan dokumen-dokumen saja bahwa ini sekolah sudah ter-ISO

(Badan Standarisasi Internasional, pen), dan sebagainya, tetapi menyangkut

bagaimana proses di dalam kelas ketika guru mengajar, itu yang menjadi

utama yang meningkatkan kualitas (Itje K, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei

2012, hlm. 20-21).

Pengamatan langsung yang dilakukan peneliti pada ”kelas internasional”

dalam mata pelajaran Biologi di Kelas Internasional SMA 78 Jakarta menunjukkan

suasana pembelajaran yang kurang interaktif, guru tampak mendominasi proses

pembelajaran (Lampiran 3, Gambar 9). Seorang guru senior bahasa Inggris pada

SMA Negeri 2 Bandarlampung sekaligus selaku koordinator guru-guru pengajar

bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar berpendapat bahwa pembelajaran bahasa

Inggris perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan tuntutan sosial dan dinamika

pendidikan menghadapi era globalisasi, termasuk penguasaan bahasa Inggris

sebagai respons terhadap tuntutan ekonomi dan budaya dan pekerjaan anak didik

kelak setelah lulus. Namun, ketika ditanyakan tentang realitas implementasi

bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolahnya, ia menyatakan:

Page 135: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

135

bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar saja….greetings, opening,

dan closing kelas saja…kalau inti atau konsep ilmunya MIPA, Biologi

disampaikan dalam bahasa Indonesia…supaya tidak salah... Jadi dalam

mengajar kita tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris...apa lagi

menyangkut konsep-konsep...kita guru-guru menggunakan bahasa

Indonesia...tetapi kita tetap memotivasi anak-anak bahwa bahasa Inggris

itu penting untuk pendidikan dan karir mereka kelak (Wawancara dengan

SS, Selasa 29 Mei 2012).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar

tidak hanya bermasalah secara konseptual tetapi juga pada level implementasi

karena lemahnya kemampuan guru-guru dalam komunikasi akademik bahasa

Inggris. Realitas tersebut menguatkan pandangan sebagian masyarakat tentang

pencitraan RSBI sebagai sekolah ”bertaraf internasional” dengan menggunakan

ikon bahasa Inggris. Hal ini didukung oleh realitas lapangan melalui penjelasan

seorang siswa (Lampiran 3, Gambar 6) yang menyatakan bahwa yang berbahasa

Inggris di kelas ketika mengajar hanya guru-guru bahasa Inggris. Selengkapnya Ia

menyatakan:

Yah yang kita alami selama ini guru-guru jarang menggunakan bahasa Inggris

ketika mengajar. Tapi guru-guru bahasa Inggris memang lebih sering

menggunakan bahasa Inggris di kelas tetapi tidak dengan guru-guru MIPA.

...Tetapi yang jelas bahasa Inggris sangat penting...Buku-buku dan internet

dan pengetahuan lainnya banyak dalam bahasa Inggris (Wawancara dengan

Amelia, 2012).

Dengan kata lain, ada kesenjangan antara harapan dan realitas, ada kesenjangan

antara konsep dan implementasi termasuk perbedaan persepsi tentang bahasa

Inggris sebagai bahasa pengantar di antara para pelaku pendidikan, seperti pada

level birokrasi pendidikan, Kepala Sekolah. dan guru-guru. Kebijakan bahasa

Page 136: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

136

Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA dipandang tidak

realistik. Bahkan seorang guru Fisika yang diwawancarai menyatakan:

Di Smanda ini banyak anak-anak kita yang bahasa Inggrisnya bagus, malah

banyak siswa yang lebih baik bahasa Inggrisnya daripada banyak guru...ya

kalau gurunya berbahasa Inggris justru mereka bilang lucu...bahasa Inggrisnya

lucu, karena mungkin tidak terbiasa ya berbahasa Inggris, karena sekolah

RSBI, mereka belajar bahasa Inggris dan anak-anak di luar sekolah juga

banyak yang ikut kursus bahasa Inggris dan bagus-bagus (Wawancara dengan

Kh).

Persepsi dan pemahaman di masyarakat adalah bahwa sekolah RSBI telah

menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas dalam arti yang

sebenarnya. Padahal, realitas pendidik di sekolah belum sepenuhnya mendukung

untuk itu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang

Kurikulum SMA Negeri 2 Bandarlampung, Payudi, yang intinya menyatakan

bahwa kompetensi bahasa Inggris para guru khususnya guru-guru MIPA di

sekolah tersebut memang belum memadai untuk sekolah dengan kriteria RSBI,

sehingga sekolah tidak menetapkan kriteria kemampuan guru secara ketat dalam

berbahasa Inggris. Karena kompetensi guru-guru secara umum masih lemah dalam

bahasa Inggris, sekolah ini setiap tahun melakukan program pelatihan bahasa

Inggris bagi guru yang berminat, tidak terbatas pada guru-guru MIPA dan bahasa

Inggris. Dalam hal ini, Payudi, secara rinci mengungkapkan:

Sekolah ini mulai menjadi RSBI tahun 2007 dan untuk mengajarkan mata

pelajaram bidang MIPA, kami meminta dosen-dosen Unila (Universitas

Lampung) lulusan luar negeri dan harus doktor untuk mengajar. Ini

berlangsung selama satu...dua tahun pertama, kemudian setelah satu tahun

kemudian kembali diserahkan kepada guru-guru kami di sekolah ini dengan

kemampuan bahasa Inggris yang masih perlu ditingkatkan terus (Wawancara

Selasa 29 Mei 2012).

Page 137: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

137

Kutipan di atas menjelaskan tidak hanya permasalahan SDM yang tidak

siap dan menimbulkan permasalahan pendidikan secara ”internal” bagi sekolah

tetapi lebih jauh juga memengaruhi lembaga lain seperti dosen-dosen perguruan

tinggi yang harus ”dibajak” karena ketidaksiapan tenaga pendidik sekolah yang

bersangkutan untuk melaksanakan proyek pendidikannya. Selain itu, staf pengajar

dengan kualifikasi doktor dari luar negeri dengan kemampuan bahasa Inggris yang

baik tentu tidak menjamin keberhasilan proses pembelajaran karena hal ini juga

menyangkut aspek pedagogis. Asumsi bahwa orang yang mampu berbahasa

Inggris dengan sendirinya mampu mengajarkan bidang ilmunya dalam bahasa

Inggris masih perlu diuji karena belum memiliki validitas empiris.

Dalam konteks pembiayaan pendidikan dan pungutan biaya pendidikan

kepada orangtua, pemerintah gagal mengontrol sekolah, baik jumlah pungutan

maupun pengalokasiannya, misalnya, pungutan biaya tinggi untuk studi banding

dan lain-lain yang sebenarnya bukan program pokok dalam peningkatan kualitas

pendidikan. Hal ini sering menjadi sorotan kritik dari masyarakat terhadap

program RSBI (Wawancara dengan Prof. Slamet Sabtu 25 Agustus 2012).

Dengan kata lain, teori wacana kuasa/pengetahuan tidak selalu efektif beroperasi

dalam kebijakan dan implementasinya dalam bidang pendidikan. Hal ini

menjelaskan bahwa teori kuasa/pengetahuan Foucault tidak sepenuhnya dapat

menjelaskan efektifitas kebijakan PBI karena banyak faktor yang terkait dengan

Page 138: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

138

subjek/agen seperti sumber daya pendidikan, modal (kompetensi) guru yang tidak

mendukung untuk, misalnya, mengajar dalam bahasa Inggris (Bourdieu 1983: 249)

Pencitraan RSBI sebagai sekolah berkualitas juga dapat dijelaskan secara

analitis-kritis dengan menggunakan pemikiran Roland Barthes dengan konsep

ideologi dan mitosnya. Menurut Barthes terdapat dua sistem pemaknaan: denotasi

dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal, sedangkan

konotasi adalah makna dibangun oleh penanda yang terkait dengan aspek budaya

yang lebih luas seperti keyakinan, sikap, dan ideologi. Dalam kontesks RSBI, kata

‟internasional‟ dapat bermakna bahwa ”mutu” pendidikannya diakui di berbagai

negara. Secara konotatif kata ‟internasional‟ dapat bermakna hebat, luar biasa,

berbahasa Inggris, kompetitif, dan kehidupan yang lebih baik (Hoed, 2008: 12-13;

Barker, 2006: 72). Hal ini dapat dipahami secara lebih baik dari hasil wawancara

dengan salah seorang siswa SMA Negeri 78 Jakarta yang merasa bangga menjadi

bagian dari sekolah tersebut dalam kutipan berikut.

Buku-buku yang kita gunakan sebagian besar berbahasa Inggris. Dibanding

waktu SMP yang menggunakan metode bilingual, guru-guru di sini lebih

banyak berbahasa Inggris. Kalau di sini di kelas KI (kelas internasional) ini

belajarnya lebih cepat daripada di kelas RSBI (Pandu, siswa Kelas

Internasional SMA Negeri 78 Jakarta).

5.4 Stratifikasi Pendidikan

Henry Giroux (dalam Tilaar, 2009: 77) menyatakan bahwa pendidikan

bukanlah arena netral yang bebas dari kekuasaan dan politik. Ia tidak sekedar

Page 139: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

139

transmisi informasi yang sudah jadi, melainkan sebuah arena terjadinya hubungan

yang kompleks antara pengetahuan dan kekuasaan.

Pedagogy does not represent a neutral site, free from the operations of power

and politics. Far from being the simple transmission of ready-made

information, pedagogy is for Giroux a site of a terrain where the complex

relations between knowledge and power are worked over (Giroux dalam

Tilaar, 2009:77).

Secara spesifik, sekolah menjadi lokasi bertemunya berbagai kepentingan politik

dan arena praktik wacana. Dalam hal inilah terjadi kontestasi diskursus tentang

ilmu pengetahuan dan politik sebagai legitimasi kekuasaan yang bersifat diskursif

dan dinamika peran pendidikan sebagai alat reproduksi dan transformasi sosial

dalam berbagai bentuknya di tengah masyarakat (praksis sosial).

Menurut teori reproduksi sosial, sekolah dapat mereproduksi ketidakadilan

sosial melalui analisis kompleksitas hubungan antara sekolah dan ekonomi,

budaya, dan linguistik. (http://wiki.answers.com). Dalam konteks masyarakat

industri kapitalis hal ini dapat dipahami melalui peran sekolah melanggengkan

kelas sosial ekonomi. Dari segi budaya, teori ini menekankan bagaimana budaya

sekolah terbentuk dan budaya sekolah tersebut kemudian berperan sebagai mediasi

untuk menghasilkan kelas sosial, sebagaimana dalam kutipan berikut.

The social reproduction theory views school as a functional station which

trains individuals who later will be capable of maintaining the economic and

social classes in industrialized capitalist societies. The cultural reproduction

theory emphasizes the way in which school culture is reproduced and

legitimated and how the reproduction of school culture plays a ‗mediating

role in reproducing class societies (Giroux H A dalam Suwignyo, 2012:36).

Page 140: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

140

Dalam kaitannya dengan kebijakan dan implementasi PBI, pelanggengan

status sosial ekonomi dapat dilihat dari orientasi RSBI pada aspek ekonomi dan

budaya global dalam berbagai aspek pembiayaan pendidikan yang mahal

(ekonomi), budaya sekolah berbasis TIK, orientasi untuk mendapatkan ISO 9100

dan ISO 14001, orientasi olimpiade, dan penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar yang membuat sekolah menjadi eksklusif dan sulit diakses oleh

masyarakat dari status sosial-ekonomi tertentu. Seluruh aspek tersebut menjadi

efektif beroperasi melalui sekolah sebagai instrumen ideologi pemerintah yang

bersifat hegemonik.

Schools as a part of the ideological state apparatus have now become the

primary source in creating a consenting work force within the capitalist

system. Schools accomplish this task by transmitting the skills and knowledge

necessary for workers to adjust to their their role in a capitalist mode of

production”. (Sekolah sebagai bagian dari apparatus ideologis negara telah

menjadi sumber utama terciptanya tenaga kerja yang patuh pada sistem

kapitalisme. Sekolah menjalankan tugas ini dengan memberikan ketrampilan

dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh para perkerja untuk beradaptasi

dengan peran mereka dalam sarana produksi kapitalis) (Francis, 1995:4).

Kutipan di atas menegaskan bahwa sekolah dapat menjadi pencetak utama agen-

agen kapitalis dalam sistem produksi melalui pengetahuan dan ketrampilan yang

diberikan sekolah. Sekolah yang dikelola dengan prinsip kapitalis kemudian

membuat sebagian kelompok masyarakat “tidak berdaya” untuk memasukinya.

Dengan kata lain, orangtua yang kurang mampu secara ekonomi akan sulit

mendapatkan pendidikan bermutu dan berbagai fasilitas yang cenderung berbiaya

tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh pada peluang mereka untuk diterima

Page 141: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

141

bersekolah di RSBI. Dalam hal ini, sekolah tidak lagi berperan mengubah “nasib”

masyarakat tetapi sekolah justru menjadi arena untuk melestarikan ketidakadilan.

Hal ini didukung oleh penjelasan seorang pengamat dan pelaku pendidikan dengan

menyatakan:

RSBI/SBI bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan hanya

menimbulkan stratifikasi sosial baru karena hanya mendidik dan mengajar

anak-anak yang berkualitas dan memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi…

(Darmin, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.17-18).

Pada level proses pembelajaran di kelas, ketidakadilan yang berkaitan

dengan perbedaan biaya pendidikan juga terjadi dalam hal sarana prasarana

pembelajaran baik di satu sekolah maupun antarsekolah. Dalam satu sekolah

seperti SMA Negeri 78 Jakarta selain berstatus RSBI juga memiliki kelas khusus

yang dinamakan “kelas internasional”. Fasilitas yang dapat digunakan oleh “kelas

internasional” berbeda dengan kelas-kelas lainnya di sekolah yang sama.

Penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran di SMA negeri 78 Jakarta

hanya dilakukan secara eksklusif di “kelas internasional” sejak sekolah tersebut

berstatus RSBI pada tahun 2006. Buku-buku yang digunakan sebagian berbahasa

Inggris terbitan luar negeri, khususnya Cambridge. Dalam konteks ini, Pemerintah

sebagai representasi negara menghegemoni masyarakat pendidikan melalui

kebijakanmya yang memperkenalkan kategori-kategori sekolah secara nasional di

tengah keinginan masyarakat kelas menengah untuk mendapatkan pendidikan

berkualitas. Situasi ini juga terekam melalui kesaksian seorang guru di sekolah

negeri yang berlabel RSBI dan memiliki “kelas internasional” seperti berikut.

Page 142: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

142

…ketika harus menggunakan media-media lain seperti internet atau bermain

peran dan lain-lain, semua persis sama saya lakukan. Baik itu kelas

internasional maupun RSBI. Kebetulan jamnya juga sama, saya dua jam. Tapi

kalau mata pelajaran IPA tadi, kan untuk kelas internasional semua berbeda

jumlah jam. Karena kan mereka tidak belajar IPS, tapi hanya belajar IPA.

Sehingga seluruh mata pelajaran IPA itu lebih banyak, gitu…Hanya saja

tampaknya perlakuan istimewa dan permakluman sering dilakukan di kelas

internasional, gitu (Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.30-31).

Kutipan di atas tidak hanya menjelaskan perbedaan proses belajar yang tidak adil

di satu sekolah tetapi juga perlakuan istimewa yang diberikan ke sekolah berlabel

RSBI dan “kelas internasional” dibanding sekolah-sekolah reguler. Sekolah-

sekolah umum lainnya tidak mendapat anggaran khusus dari pemerintah dan tidak

dibolehkan untuk menggali dana dari masyarakat sebagaimana dinikmati oleh

sekolah-sekolah RSBI. Hal ini bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) Undang-

undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang layanan pendidikan bagi warga

negara tanpa diskriminasi.

Secara sosial budaya eksistensi RSBI mendorong berkembangnya

stratifikasi dan dikotomi sosial. Dari segi ekonomi (biaya tinggi) dan sosial

(unggul-marginal), misalnya, sekolah-sekolah berlabel RSBI didesain menjalin

kerjasama dengan sekolah-sekolah bermutu baik di dalam maupun di luar negeri,

sedangkan sekolah-sekolah sejenis yang tidak berlabel RSBI tidak didorong untuk

melakukan hal yang sama, sebagaimana tampak dari kutipan berikut.

Legal policy yang mengamanatkan agar SBI menjalin kemitraan dengan

sekolah unggul di dalam dan/atau negara lain, sesungguhnya SBI telah

melakukan stratifikasi... Bahwa sekolah-sekolah unggul menjalin kerja sama

dengan sekolah-sekolah unggul dan sekolah-sekolah pinggiran melakukan

kerja sama dengan sekolah-sekolah pinggiran pula (Darmaningtyas, Risalah

Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm.26).

Page 143: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

143

Kutipan di atas menegaskan realitas di lapangan bahwa dua sekolah yang diteliti

cenderung hanya melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah yang dianggap

bermutu baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam hal ini, sekolah tidak lagi

menjalankan fungsinya sebagai sarana atau upaya mencerdaskan bangsa sesuai

dengan cita-cita pendidikan nasional dalam konstitusi dimana setiap sekolah

seharusnya mendapat perlakuan yang sama untuk meningkatkan kualitas proses

pembelajarannya. Sekolah justru berperan menciptakan segregasi sosial

berdasarkan status sosial-ekonomi yang di banyak negara liberal sekalipun tidak

lagi diterima, tetapi ironisnya di negara berideologi Pancasila justru dikembangkan

melalui kebijakan pendidikan dalam bentuk satuan PBI. Dalam hal ini, pendidikan

menjadi arena “konflik” sosial sebagaimana digambarkan oleh Michael Apple

dalam kutipan berikut.

Education plays a significant role in this reproduction and sruggle, by being

not simply an instrument through wich the bourgeoisie effects its domination

over other groups, but also by being the result of struggle between dominant

and dominated groups. Education is a state apparatus that both the result of

social and economic contradictions and the source of new contradictions at

one and the same time (Apple, 1982: 19-20).

Secara normatif sekolah yang berlabel RSBI itu harus memenuhi

persyaratan standar nasional pendidikan. Padahal, pada kenyataannya sekolah-

sekolah yang ada bervariasi mutunya baik antarprovinsi, antarkabupaten/kota, dan

bahkan antarsekolah di suatu kota. Situasi pendidikan nasional dengan berbagai

Page 144: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

144

kategori mutu dan akses pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi masyarakat

mengingatkan situasi pendidikan Indonesia pada masa kolonial 1907:

…Dutch was introduced and used as the language of instruction at what was

called the First-Class school—a school for Indonesian children from the royal

and the better-off families. In that year, too, the so-called desa or village

school was established, first in Java then in Sumatra, for children in the rural

areas. The upward and downward educational policy created different layers

of schooling. Not long after the dawn of the twentieth century, three types of

public primary schools were available to Indonesians from three categories of

social classes: the First-Class school for the indigenous elite; the village

school for the rural masses; and the Second-Class school for children of the

ordinary urban dwellers which hovered in between the two afore-mentioned

schools in terms of social standing (I.J. Brugmans, 1938 dalam Suwignyo,

2012:49).

Kebijakan RSBI dengan permasalahan stratifikasi pendidikannya dapat

menghasilkan kesenjangan mutu anak didik dan antarsekolah karena adanya

pembedaan-pembedaan perlakuan oleh pemerintah seperti dalam hal anggaran

pendidikan, sarana prasarana dan kualifikasi guru. Anggaran dan kualifikasi guru

lebih tinggi kepada satuan PBI dibanding kepada satuan pendidikan sejenis yang

tidak berlabel “internasional”. Kebijakan ini menimbulkan dikotomi sekolah:

seperti sekolah bermutu-tidak bermutu, mahal-murah, kaya-miskin, internasional-

nasional. Padahal, salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional

menurut UU Sisdiknas No. 20/2003 adalah bahwa pendidikan diselenggarakan

secara demokratis dan berkeadilan. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya,

sebagaimana tergambar dari kesaksian seorang guru berikut ini.

…kalau pengalaman saya mengawas di sekolah-sekolah lain ketika ujian

nasional…dibanding sekolah di sekitar di Jakarta Utara, maka sekolah saya ini

sungguh sangat mewah dan megah… sekolah lain itu sangat sederhana.

Sekolah negeri juga tapi sangat sederhana, jauh sekali dari fasilitas yang

Page 145: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

145

dimiliki oleh sekolah saya…(Retno L, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret

2012, hlm. 22).

Perbedaan layanan pendidikan tidak hanya terjadi antarsekolah tetapi juga dalam

satu sekolah RSBI yang melaksanakan program khusus “kelas internasional”. Hal

itu ditemukan di SMA Negeri 78 Jakarta, yang berlabel RSBI sekaligus memiliki

“kelas internasional” dengan spesifikasi guru tersendiri, biaya pendidikan mahal,

proses pembelajaran dan sarana prasarana yang berbeda dengan siswa lainnya di

sekolah yang sama.

Dalam sebuah wawancara dengan seorang narasumber, Darmin, (Rabu 2

Mei 2012), ditegaskan bahwa RSBI justru menimbulkan stratifikasi sosial baru

melalui stratifikasi pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah. Menurut

Darmin RSBI/SBI justru menyiapkan tenaga kerja memasuki perusahaan

multinasional dan merupakan kampanye internasionalisasi ekonomi pasar kapitalis

neoliberal. Hal ini juga tergambar dari penjelasan seorang guru intelektual, Retno,

yang dengan tegas menyatakan:

…Jelas berbeda, kelas internasional itu Rp.31.000.000,00, itu saja SMA

sekolah saya itu berdasarkan ketentuan minimum yang ada di DKI memang

Rp. 31.000.000,00 dan satu-satunya RSBI yang bayarannya Rp.

31.000.000,00 … eh, satu-satunya kelas internasional yang bayarannya Rp.

31.000.000,00, tetapi kalau dikaitkan dengan RSBI soal bayaran, kan itu jelas

berbeda, kalau antara RSBI dengan kelas internasional… kalau di RSBI-nya

ya ada perbedaan jelas, wong naik terus kok, sejak dijadikan RSBI, itu kan

yang saya tahu. Dan kalau dibilang mahal ya versi saya dong, Pak, mahal.

Saya kan guru, yang buat saya Rp.600.000,00 saya enggak… enggak bisa

bayar sekolah anak Rp.600.000,00. Saya punya 3 anak dan kalau semuanya

Rp.600.000,00 rasanya saya tidak tidak sanggup,sementara gaji saya hanya

Rp. 2.500.000,00 (Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.47).

Page 146: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

146

Dari segi mutu, posisi satuan RSBI dalam sistem pendidikan nasional

dikategorikan sebagai sekolah yang melampaui standar nasional (SNP) atau “siap”

menuju SBI. SNP dalam hal ini merupakan standar minimal pendidikan yang

harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan yang meliputi delapan standar: (1)

kompetensi lulusan, (2). isi, (3). proses, (4). penilaian, (5). pendidik dan tenaga

kependidikan, (6). sarana dan prasarana, (7). pengelolaan, dan (8). pembiayaan.

Dari aspek mutu, sekolah di Indonesia dikelompokkan ke dalam sekolah

yang mutunya di bawah standar nasional pendidikan (Sekolah Standar

Pelayanan Minimal), sekolah yang mutunya memenuhi standard nasional

pendidikan yang disebut dengan Sekolah Standar Nasional (SSN), dan

sekolah yang mutunya melebihi standar nasional pendidikan yang disebut

dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

Gagasan tentang kategorisasi sekolah di atas menggambarkan bagaimana sekolah

menjadi sarana reproduksi struktur sosial yang ada. Hal ini secara tidak langsung

didukung oleh Suyanto, seorang pejabat Kemdikbud, dengan menyatakan bahwa

sebuah institusi pendidikan bisa dibedakan menurut fasilitas pelayanan

pendidikan, yaitu ada yang standar pelayanan minimal, standar nasional, RSBI dan

SBI (http://www.tempo.co/read/news/2012/02/14/079383936/Pemerintah-

Bersikeras-Pertahankan-RSBI). Dalam hal ini, sekolah berperan melanggengkan

ketidakadilan di masyarakat. Sekolah tidak lagi mengemban fungsi produktifnya

tetapi justru terjebak pada fungsi reproduksinya di masyarakat sebagaimana di

perusahaan-perusahaan dan industri barang dengan prinsip kapitalis. Sekolah

membedakan siswa tidak hanya berdasarkan kemampuan ekonomi tetapi juga

Page 147: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

147

tingkat kecerdasan dan bakat. Hal ini dipertegas lagi oleh seorang intelektual,

Indra Djati Sidhi, dengan penjelasan sebagai berikut.

Secara psikologis peserta didik dapat dibedakan kemampuannya ke dalam: a.

berkemampuan kurang, berkemampuan sedang, dan berkemampuan tinggi. Ini

dipandang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 32,

antara lain dengan adanya pendidikan khusus bagi peserta didik yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosional, mental, sosial, serta peserta didik yang memiliki

potensi kecerdasan, dan bakat istimewa. Peserta didik pada satuan pendidikan

RSBI/SBI termasuk dalam kelompok yang memiliki potensi kecerdasan atau

bakat yang tinggi (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm.

6).

Wacana kuasa/pengetahuan tentang kategori kemampuan anak didik

sebagaimana dikutip di atas berperan melegitimasi status dan kapasitas akademik

anak didik dalam implementasi kebijakan RSBI. Padahal, kategori anak didik

”berkemampuan kurang, ”berkemampuan sedang”, dan ”berkemampuan tinggi”

dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan bisa jadi hanya

”permainan angka” atau ”definisi” yang dapat diperdebatkan secara epistemologis.

Dalam hal inilah pengetahuan bersifat ideologis dan politis yang dapat

melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Dari perspektif

teori kritis, pengetahuan tentang pembedaan atau kategori kemampuan (calon)

anak didik yang disebutkan di atas lebih merefleksikan kepentingan tatanan

ekonomi kapitalis dan neoliberalisme. Hal itu dijadikan sebagai mekanisme seleksi

(kontrol) tentang siapa yang “layak” dan “tidak layak” bersekolah di RSBI. Dalam

konteks inilah pendidikan seharusnya tidak boleh diserahkan kepada mekanisme

Page 148: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

148

pasar sehingga tidak menjadi arena bisnis bagi pihak-pihak yang berkepentingan

(Sirozi, 2007: 19; Widja, 2009:107-108).

Dari segi standar proses dan tenaga kependidikan, bahasa Inggris di RSBI

juga menjadi alat kontrol dan sarana hegemonik dalam proses pembelajaran. Nilai

TOEFL dijadikan alat kontrol untuk menentukan siapa guru yang layak mengajar

dan siapa siswa yang layak diterima. Padahal, seorang guru dengan kemampuan

akademik tinggi belum tentu memiliki kemampuan bahasa Inggris dan ideologi

TOEFL “mengganjalnya” untuk mengajar di sekolah RSBI. Selain itu, nilai TOEFl

seorang guru yang tinggi pun tidak menjamin bahwa dia efektif dalam mengajar

sebagaimana dijelaskan seorang pelatih guru bahasa Inggris berpengalaman

berikut ini.

Bahwa TOEFL bukanlah ukuran untuk melihat bahwa seseorang mampu …

mengajar atau melaksanakan proses pengajaran di dalam kelas dengan

menggunakan bahasa Inggris karena TOEFL adalah to access ability to

communicate successfully in an academic setting in English speaking

countries. …TOEFL adalah tujuannya untuk membuat orang mampu belajar

di negara-negara berbahasa Inggris (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012,

hlm. 23).

Secara sosiologis implementasi kebijakan RSBI mendukung teori

reproduksi sosial yang tidak adil dan menimbulkan stratifikasi sebagaimana

dikemukakan oleh pakar psikologi sosial dan pendidikan dari Universitas

Indonesia berikut ini.

Saya mengidentifikasi bahwa Satuan Pendidikan Bertaraf Internasional pada

konsepnya, … bertujuan membedakan satu kelompok orang dari kelompok

orang lainnya. Bahwa satu kelompok orang ingin dibuat lebih bagus. Entah

karena dasarnya mereka lebih cerdas, entah karena mereka lebih kelihatan

prestasinya lebih baik, dan sebagainya. Usaha itu disahkan atau bahkan

Page 149: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

149

dilegalkan dalam undang-undang… (Bagus Takwin, Risalah Sidang MK,

Rabu, 2 Mei 2012, hlm. 15).

Selanjutnya, dengan merujuk diversifikasi layanan pendidikan dalam

sistem pendidikan nasional, Bagus Takwin menyatakan bahwa praktik RSBI

mengotakkan masyarakat melalui layanan pendidikan. Hal ini semakin

menguatkan anggapan generasi muda bahwa uanglah cara memenuhi keinginan di

tengah akses pendidikan dan kesetaraan yang bermasalah terhadap pendidikan

publik. Pendidikan menjadi membebani masyarakat (Kompas, Kamis 22 Maret

2012). Padahal, Undang-Undang secara imperatif mengamanatkan jaminan

peluang yang sama bagi semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan

bermutu. Dalam konteks ini, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, dengan nada keras menyatakan bahwa RSBI/SBI tidak sesuai dengan

cita-cita pendidikan nasional, menciderai nilai-nilai luhur bangsa.

…pemerintah mengistimewakan RSBI/SBI sehingga menimbulkan

diskriminasi. Pemerintah sengaja menciptakan dua kelompok, yakni

kelompok anak yang cerdas sedemikian rupa dan kelompok anak yang

sekadarnya (Daoed Joesoef, Kompas, Rabu 16 Mei 2012, hlm. 12).

Ia juga mempertanyakan acuan standar pendidikan RSBI/SBI pada negara-negara

yang tergabung dalam OECD. Indonesia, menurut Daoed, semestinya mengacu

pada lembaga UNESCO (Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan

Kebudayaan) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Indonesia

merupakan anggota UNESCO, bukan anggota OECD. Tujuan OECD sendiri

adalah melayani kepentingan 30 negara anggotanya untuk menghadapi masalah-

masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam konteks globalisasi dan

Page 150: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

150

permasalahan-permasalahan khas negara-negara anggotanya sebagaimana dalam

penjelasan berikut.

The OECD is a unique forum where the governments of 30 democracies work

together to address the economic, social and environmental challenges of

globalisation. The OECD is also at the forefront of efforts to understand and

to help governments respond to new developments and concerns, such as

corporate governance, the information economy and the challenges of an

ageing population. The Organisation provides a setting where governments

can compare policy experiences, seek answers to common problems, identify

good practice and work to co-ordinate domestic and international policies

(OECD, 2010: 2).

Negara-negara OECD memiliki tantangan yang berbeda dengan Indonesia.

Karena itu acuan pendidikan nasional terhadap sistem pendidikan OECD tidak

rasional. Hal ini tidak selaras dengan visi pendidikan nasional, yaitu:

Terselenggaranya Layanan Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan

Indonesia Cerdas Komprehensif” untuk diwujudkan dengan misi 2010-2014, yaitu

meningkatkan layanan pendidikan, keterjangkauan layanan pendidikan, kualitas

dan relevansi layanan pendidikan, kesetaraan memperoleh layanan pendidikan,

dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Dalam konsep dan praktiknya,

RSBI menawarkan kesempatan hanya kepada sekelompok orang secara

diskriminatif, sebuah kebijakan yang berperan mengorganisasi dan membangun

blok hegemonik (Barker, 2006: 62-63). Dalam konteks pedagogi kritis, hal ini

dapat melanggengkan ketidakadilan sosial melalui pendidikan (sekolah) yang tidak

berpihak pada anak didik.

Analisis kritis tentang kondisi pendidikan dengan kebijakan RSBI

dikaitkan dengan dimensi sosio-ekonomi politik menunjukkan kondisi pendidikan

Page 151: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

151

yang tidak berpihak pada masyarakat. Kemampuan ekonomi dan ”akademik”

(NEM dan UN) dijadikan sebagai salah satu persyaratan untuk masuk di RSBI.

Dengan kata lain, jika anak didik lemah secara ekonomi dan akademik, maka

kondisi itu dianggap ”salah masyarakat sendiri” mengapa ”miskin dan bodoh”.

Dari perspektif teori kuasa/pengetahuan, hal inilah yang dimaknai sebagai

ketidakadilan sosial akibat hegemoni kekuasaan tentang subjek yang layak

mengakses pendidikan bermutu. Sekolah yang secara struktur berada dibawah

Kemdikbud menjadi instrumen negara untuk menciptakan ketidakadilan sosial

dalam sistem pendidikan yang berorientasi globalisme. Bahkan negara justru

melepaskan diri dari tanggungjawabnya untuk mencerdaskan warganya melalui

liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan.

Manifestasi neoliberalisme dalam pendidikan telah banyak disoroti oleh

para pakar pendidikan melalui berbagai wacana yang melihat secara teoretis

hubungan antara neoliberlisme dan pendidikan. Secara ekonomi, ketimpangan

pendapatan masyarakat selama 10 tahun terakhir di Indonesia, misalnya,

mengalami peningkatan signifikan diantara penduduk yang secara statistik

menunjukkan terjadinya peningkatan tingkat kemiskinan dan pola pembangunan

yang tidak berpihak ke kelompok miskin (Kompas Selasa 29 Januari 2013, hlm.

6). Dengan gambaran ini, peran lembaga pendidikan sebagai institusi demokratis

untuk mengubah tingkat kehidupan masyarakat menjadi hilang. Sekolah

dikendalikan oleh kekuatan kapital dan kebijakan negara yang melegitimasi

ketidakadilan melalui sistem persekolahan semacam RSBI. Dalam prakteknya,

Page 152: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

152

seperti SMA Negeri 78 Jakarta, membuka “kelas internasional” dengan orientasi

standar pendidikan Cambridge yang bersifat eksklusif, menggunakan bahasa

pengantar bahasa Inggris, dan dengan biaya pendidikan yang relatif mahal

(berbeda diantara siswa) dalam satu sekolah.

Filosofi pendidikan Indonesia pada dasarnya tidak memberi ruang pada

perlakukan istimewa kepada individu dengan alasan seseorang itu “unggul”.

Keunggulan itu sebenarnya justru bentuk capaian atau tujuan dari pendidikan,

bukan mekanisme untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagaimana dirasakan

oleh masyarakat melalui RSBI yang mensyaratkan siswa “unggul” (akademik dan

ekonomi). Desain RSBI adalah menyeleksi “manusia unggul” melalui sekolah

publik untuk dapat bersaing dalam dunia global. Hal ini sesuai dengan pandangan

pendidikan liberal bahwa pendidikan individu dapat memengaruhi pertumbuhan

ekonomi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sebagaimana

dapat dipahami melalui pandangan seorang birokrat pendidikan berikut.

RSBI itu adalah salah satu strategi untuk menuju dan mencerdaskan secara

keseluruhan. Ketika ada anak bangsa yang dalam kehidupannya itu lebih

unggul, ini akan menarik dampaknya. Ada multiplayer effect terhadap bangsa-

bangsa anggota bangsa lain (Suyanto, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012,

hlm. 43).

Kendati RSBI itu didukung dengan argumentasi sebagai strategi untuk

mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, dalam prosesnya kebijakan ini tidak

seharusnya mengorbankan hak warga negara lainnya dalam mengakses pendidikan

secara diskriminatif, apalagi dengan argumentasi bahwa sekelompok orang atau

individu dianggap unggul dan karenanya lebih berhak untuk mendapatkan

Page 153: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

153

perlakuan istimewa dari negara. Inilah salah satu kenyataan empiris tentang

wacana PBI dalam bentuk RSBI. Hal ini sesuai dengan ideologi pendidikan liberal

yang lebih fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan individu daripada

masyarakat (Haralambos dan Hoborn, 2000:780 dalam Soeharto, 2009: 143).

Keunggulan seseorang itu, dalam konteks politik pendidikan nasional

seharusnya diakui sebagai “output” dari akses yang adil terhadap (proses)

pendidikan. Namun dalam hal RSBI, ideologi kekuasaan justru berpihak pada

kelompok dominan (kelas menengah) di masyarakat yang pada gilirannya

melanggengkan ketidakadilan sosial. Dengan kekuasaan dan wewenang yang

dimilikinya, negara mendefinisikan “kebenaran” bagi pihak lain (subordinat).

Dalam hal ini, neoliberalisme sebagai ideologi ditandai dengan semangat

individualisme dan peran negara berkurang melalui sekolah untuk menjamin

keadilan dalam pendidikan.

Pemerintah memiliki kekuasaan hegemonik untuk “mendikte” sekolah dan

masyarakat tentang pendidikan yang baik dan benar dengan mengintroduksi

RSBI/SBI melalui kekuasaan politik dan ekonominya, yaitu dengan memberikan

anggaran tambahan dari APBN/APBD dalam bentuk subsidi khusus dan fasilitas

lainnya berupa izin bagi sekolah untuk memungut dana tambahan dari masyarakat.

Sekolah yang berstatus RSBI mendapat “izin istimewa” dari pemerintah untuk

memungut pembiayaan pendidikan tambahan sedangkan sekolah sejenis yang

tidak berstatus RSBI justru dilarang oleh pemerintah. Dengan kata lain, terjadi

paradoks karena jika konsep utama status RSBI itu adalah dalam rangka

Page 154: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

154

peningkatan kualitas, logikanya semua sekolah seharusnya boleh memungut biaya

pendidikan tambahan dari masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas

atau Permendiknas No 69 tahun 2009, yang semestinya tidak hanya belaku secara

diskriminatif untuk sekolah yang berlabel RSBI/SBI. Ketika hal ini ditanyakan

kepada Koordinator RSBI SMA 2 Bandarlampung, Supanto, ia menyatakan:

jika berbicara tentang peningkatan kualitas, anggaran pemerintah itu

sebenarnya tidak cukup untuk pembiayaan sekolah…pemerintah seharusnya

sadar jugalah…memberi peluang kepada sekolah yang non RSBI untuk

menggali dana tambahan dari orangtua. Secara objektif anggaran pemerintah

untuk sekolah tidak memadai untuk meningkatkan mutu sekolah sesuai yang

diharapkan pemerintah dan masyarakat (Wawancara Senin 11 Juni 2012).

Bentuk diskriminasi lainnya yang menimbulkan kecemburuan di kalangan

sekolah negeri adalah dukungan pemerintah terhadap sekolah-sekolah RSBI untuk

membangun kerjasama dengan sekolah-sekolah berkualitas di negara maju,

khususnya di salah satu negara yang tergabung dalam organisasi OECD. Padahal,

jika bentuk kerjasama tersebut dipandang positif terhadap kemajuan pendidikan

nasional maka sangat mungkin bahwa banyak sekolah yang lebih berkualitas

daripada sekolah RSBI namun tidak mendapat perlakuan yang sama dengan RSBI,

situasi paradoks dan ketidakadilan dalam pendidikan nasional.

Pendidikan bermutu dan kesempatan yang sama untuk mendapatkannya

adalah hak setiap warga negara. Hal ini seharusnya tidak dapat dibatasi oleh status

atau label sekolah apalagi didukung dengan ketentuan atau peraturan pemerintah.

Status sekolah sebagai RSBI pada kenyataannya berimplikasi sosial dan ekonomis.

Secara sosial ekonomi, kehadiran satuan sekolah tersebut telah menghasilkan

Page 155: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

155

dikotomi sosial dan biaya pendidikan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat

sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.

… ketika belum dilabeli RSBI atau SBI, sekolah-sekolah tersebut dapat

diakses oleh warga … seluruh warga tanpa hambatan ekonomi, sekarang

setelah dilabeli dengan RSBI, itu menjadi sulit bagi semua warga. “Tidak

ada hal yang siginifikan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah-

sekolah yang sudah unggul sejak dulu itu ketika dilabeli RSBI, kecuali dua

hal. Pertama, menggelontorkan uang ratusan juta rupiah dengan dana

pinjaman dari luar negeri. Kedua, memberikan kebebasan kepada sekolah-

sekolah tersebut untuk melakukan pungutan kepada murid. Ini bahaya dari

SBI (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 26-

27).

Gagasan pada kutipan di atas sekaligus menggambarkan perlakuan

diskriminatif pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang ada. Kehadiran RSBI

menciderai nilai-nilai dan rasa keadilan sosial karena menciptakan ”tembok”

segregasi sosial melalui pendidikan. Hal ini secara tidak langsung juga diakui oleh

seorang pakar pendidikan, Prof Slamet, yang setuju namun sekaligus bersikap

kritis terhadap eksistensi RSBI/SBI dengan menyatakan:

Menurut saya, seharusnya dituntaskan terlebih dahulu pemenuhan kewajiban

pendidikan dasar karena sekolah-sekolah yang saat ini mendapat dukungan

sumber dana dan sumber daya dari pemerintah melalui sekolah RSBI,

sebelumnya adalah sekolah-sekolah yang memang sudah unggul mutunya,

sehingga pemberian status SBI/RSBI hanya sedikit saja menambah polesan

terhadap sekolah-sekolah tersebut. Yang nampak menonjol saat ini hanya segi

fasilitas fisik, walaupun ada penambahan-penambahan sedikit dari segi

kualitas, tetapi yang diterima memang anak-anak yang sudah berkualitas

(Prof. Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 23).

Pinjaman dana dari luar negeri dan kebebasan sekolah melakukan

pungutan biaya pendidikan dari orangtua siswa merupakan implikasi dari

semangat liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan berkurangnya kontrol

Page 156: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

156

negara atas penyelenggaraan pendidikan. Bahkan negara, misalnya dalam konteks

wajib belajar Sekolah Dasar (SD), melegitimasi sekolah Rintisan Sekolah Dasar

Bertaraf Internasional (RSDBI) untuk melakukan pungutan biaya pendidikan dari

orangtua murid dan masyrakat sebagaimana tampak dari penjelasan seorang

pimpinan sekolah dalam kutipan berikut ini.

… sesuai dengan surat edaran Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta bahwa

untuk memenuhi biaya operasional dan pemenuhan sarana prasarana sekolah

demi memenuhi standar RSBI, maka SD RSBI Menteng 01 dapat

menghimpun atau meminta sumbangan pendidikan dari masyarakat peduli

pendidikan… (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 4).

Padahal, akses terhadap pendidikan dasar sebenarnya sudah dijamin oleh negara

berdasarkan Pasal 6 UU Sisdiknas 20/2003 bahwa setiap warga negara yang

berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Hal ini

kemudian berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam penggunaan anggaran.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya bahwa wacana PBI tidak

terlepas dari wacana perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi dan politik

melalui berbagai tulisan dan bentuk-bentuk komunikasi gagasan lainnya yang

memberi makna pada praktek sosial, termasuk hegemoni ideologi dalam

mengarahkan perkembangan pendidikan nasional. Hal ini mendapat penegasan

dari pemikiran Foucault tentang genealogi historis sebuah wacana dan aplikasinya

dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512).

Pemikiran Gramsci (1976:213-214) tentang hegemoni menekankan suatu

situasi dimana sebuah blok historis dari fraksi-fraksi kelas yang berkuasa

menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinatnya

Page 157: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

157

melalui konsensus atau “paksaan halus”. Situasi hegemonik dalam konteks RSBI

terjadi dalam hubungan antara wacana globalisasi tentang pendidikan dan peran

pemerintah melalui kebijakan pendidikan berhadapan dengan struktur sekolah dan

masyarakat pendidikan sebagai pihak terhegemoni. Kehadiran RSBI menjadi

legitimate melalui sosialisasi dan internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-

norma baik oleh pemerintah maupun oleh media massa.

Guru dan pihak sekolah dengan kultur (habitus) birokrasi yang sudah

terbangun berperan ”hanya” perpanjangan tangan untuk melaksanakan kebijakan

pemerintah, yang juga terhegemoni dengan pemikiran-pemikiran globalisme

dalam pendidikan. Sekolah atau guru-guru, khususnya di lembaga pendidikan

negeri, telah terbiasa menerima begitu saja suatu kebijakan.

SBI itu bagus sih pak sebagai pendekatan untuk peningkatan mutu

sekolah…hanya di masyarakat terjadi kesalahan persepsi melihatnya. Kita

juga melihat bahwa ada juga orangtua siswa yang merasa kesal anaknya

tidak dapat masuk ke sekolah ini karena seleksi akademik yang ketat dan

biaya yang memang relatif mahal. Lalu masyarakat mengatakan sekolah ini

eksklusif dan hanya untuk orang kaya (Wawancara dengan Ridnan W,

Rabu 8 Agustus 2012).

Salah satu wacana “tubuh” atau wacana permukaan yang sering muncul

dari pemerintah tentang RSBI/SBI adalah bahwa program ini merupakan bentuk

pendekatan atau strategi untuk peningkatan mutu sekolah menghadapi persaingan

global. Peningkatan mutu sekolah dan diversifikasi layanan pendidikan

dilaksanakan dengan cara menampung anak didik dengan kemampuan istimewa.

Dalam kenyataanya adalah anak didik istimewa diseleksi dari segi kemampuan

keuangan dan kemampuan akademik, lebih tampak sebagai “topeng” untuk

Page 158: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

158

menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan nasional. Upaya

pemerintah memajukan pendidikan tidak berpijak pada realitas sosial, ekonomi,

dan budaya bangsa.

“Semua warga negara harus mempunyai akses yang sama. Tidak boleh

dibedakan kaya-miskin atau Jawa dan luar jawa, semua harus punya akses

yang sama. Prinsipnya jangan sampai gara-gara tidak punya uang

kemudian tidak bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas” (Kompas,

Kamis 15 Juli 2010, hlm. 12).

Pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa

setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu. Realitas RSBI justru membungkus kepentingan ideologis (kapitalis)

yang bersifat diskriminatif dan mengandung pelanggengan struktur sosial yang

tidak adil dalam masyarakat. Sekolah RSBI mendapat perlakuan khusus untuk

menerima anak didik dengan bakat istimewa dengan mengorbankan semangat

“pendidikan untuk semua” berdasarkan konstitusi. Padahal, pssal 11 Undang-

undang Sisdiknas 2003 juga menetapkan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah

daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa

diskriminasi. Dalam hal ini, Ketua Dewan Pembina Sarjana Pendidikan Indonesia

menyatakan bahwa pemerintah seharusnya meningkatkan mutu pendidikan dengan

standar pendidikan yang terbaik untuk semua orang (Kompas, Jumat 2 Desember,

2011, hlm. 12).

Page 159: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

159

5.5 Jati Diri Bangsa

Globalisasi tidak semata-mata menyangkut bidang ekonomi, baik ditinjau

dari sifat, sebab maupun konsekuensi-konsekuensinya. Globalisasi juga bersifat

sosial, politis dan kultural. Secara politis, globalisasi telah “memaksa” banyak

negara untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan pendidikan yang

menimbulkan permasalahan budaya, khususnya persoalan hegemoni globalisme

atas jati diri bangsa. Dalam hal ini, globalisasi merupakan sejumlah proses yang

tidak teratur, berlangsung dalam bentuk fragmentaris dan oposisional. Sekalipun

tidak sama dengan westernisasi – seluruh negara di dunia saat ini dipengaruhi oleh

terjadinya proses globalisasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Barker

bahwa globalisasi bukan semata-mata permasalahan ekonomi, tetapi juga

menyangkut makna budaya (Giddens, 2003:73; Barker, 2006: 115-116).

Permasalahan RSBI tidak saja terkait dengan ”manajemen pendidikan”

tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat ideologis yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai yang ingin dikembangkan melalui sistem pendidikan nasional. PBI

sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional dan daya saing pada era

globalisasi secara konsepsional merupakan satu bentuk internasionalisasi

pendidikan nasional yang tidak steril dari permasalahan jati diri bangsa.

Internasionalisasi pendidikan untuk memperkuat daya saing bangsa dinilai salah

kaprah karena pendidikan seharusnya diarahkan untuk memperkuat jati diri dan

kemandirian bangsa. Dalam konteks ini, globalisasi membawa pengaruh positif

Page 160: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

160

dan negatif terhadap berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya

nasional (Kompas, Kamis 8 Maret 2012).

Wacana jati diri bangsa dalam konteks hubungan pendidikan nasional dan

globalisasi dipandang relevan di tengah kompleksitas permasalahan sosial budaya

yang sedang menghimpit bangsa Indonesia. Pendidikan dalam konteks globalisasi

tidak hanya melayani kepentingan yang bersifat ekonomis tetapi juga dapat

mengangkat nilai-nilai lokal yang menguatkan jati diri bangsa. Proses globalisasi

dengan sifatnya yang membawa homogenisasi budaya global dapat

menghilangkan jati diri bangsa. Permasalahan jati diri dalam hubungannya dengan

pendidikan merupakan salah satu isu perdebatan tentang satuan PBI, sebagaimana

dapat dipahami melalui kutipan berikut.

Saya menuntut pembubaran RSBI dan SBI berdasarkan alasan nalariah

…setelah mengetahui bahwa standar pendidikan negara maju yang dipakai

sebagai pedoman pembelajaran di RSBI dan SBI adalah standar kompetensi

salah satu sekolah terakreditasi di negara-negara anggota OECD… sebuah

organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan dari negara-negara industrial

maju. Keanggotaanya tertutup bagi negara-negara belum maju, termasuk

Indonesia. Jadi dengan memandang standar ke sana, apakah kita menganggap

perlu menyiapkan anak-anak Indonesia untuk bisa diterima sebagai pegawai

di lembaga itu? (Daoed Djoesoef, Risalah Sidang MK, 2012, hlm. 30-31).

Kutipan di atas tidak hanya mengindikasikan terjadinya disorientasi pendidikan

nasional. Pendidikan nasional seharusnya lebih diorientasikan pada “nation-

character building” yang sejak era reformasi mengalami permasalahan sosial-

budaya yang akut seperti maraknya budaya korupsi dan konflik sosial-budaya di

berbagai daerah. Bangsa Indonesia dengan keberagamannya masih mengalami

persoalan serius dalam hal menerima perbedaan suatu budaya dengan yang lainnya

Page 161: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

161

dalam payung “Indonesia Merdeka”. Hal inilah salah satu konteks pendidikan

yang seharusnya menjadi bagian integral dari upaya membangun pendidikan

nasional berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan orientasi pembangunan

karakter bangsa, bukan berorientasi ”budaya global” atau globalisme. Dalam

konteks yang sama, seorang pemerhati pendidikan menyatakan:

… OECD bagaimana pun bagusnya adalah bagus untuk OECD, tapi belum

tentu bagus untuk Indonesia...Sekarang ini, negara republik Indonesia yang

tadinya satu, menjadi 500 lebih. Nah, 500 lebih ini, itu dikaitkan dengan 500

lebih daerah otonom … pendidikan di sana bersifat … bersifat kontekstual

(Winarno, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 10).

Kebijakan dan konsep SBI yang dikembangkan dalam sistem pendidikan

nasional menurut Winarno tidak berakar dari kebudayaan nasional. Orientasi

pendidikan pada negara-negara OECD merupakan sebuah anomali yang

mengabaikan permasalahan-permasalahan kebangsaan aktual yang sedang

“keropos” di tengah arus globalisasi. Hal ini justru dapat menghanyutkan

Indonesia dalam pusaran kepentingan global karena tidak mengakar pada kekuatan

sendiri. Dalam hal ini, Tilaar (2012) menyatakan bahwa dalam menghadapi era

globalisasi, posisi Indonesia sebenarnya bisa memilih untuk menguatkan identitas

Indonesia dengan menyediakan pendidikan bermutu dengan tiga modal besar,

yakni kekayaan alam, budaya, dan sumber daya manusia (Kompas, Rabu 16 Mei

2012, hal 12).

Dalam konteks pendidikan sebagai arena kontestasi, pandangan bahwa

kebijakan PBI berpotensi menggerus budaya bangsa mendapat respons yang

Page 162: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

162

berbeda dari Prof Slamet selaku pendukung eksistensi RSBI dalam sistem

pendidikan nasional. Ia menjelaskan:

Pada dasarnya SBI itu kan sederhana, cuma standar nasional plus tambahan,

gitu lho. Nah, kalau standar nasional itu kan yang pokok itu, tambahan-

tambahan itu memang tambahannya, tapi kan lalu kayaknya yang menjadi

gara gara ini tambahannya yang dibesar-besarkan seolah-olah SBI itu tidak

berjati diri Indonesia… Yang tambahan itu saja yang kita cari karena memang

kita harus mengikuti arus globalisasi, jangan-jangan sampai Matematika kita

dengan Jepang sama-sama SMP kita kalah... (Slamet, Risalah Sidang, Rabu 2

Mei 2012, hlm. 45).

Kutipan di atas menyederhanakan identitas budaya hanya dari segi penambahan

komponen standar pendidikan OECD khususnya untuk ilmu “hard science”.

Padahal, konsep “tambahan” itu menjadi persoalan karena pendidikan tidak dapat

dilepaskan dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya dalam konteks relasi kuasa.

Secara konseptual dan implementasi, misalnya, orientasi dan “benchmarking”

kualitas pendidikan nasional melalui PBI pada negara-negara OECD telah

menghasilkan implikasi turunan seperti importasi buku ajar, sertifikasi ISO, dan

standarisasi berbagai komponen pendidikan yang membuat praktik pendidikan

nasional menjadi mahal dan diskriminatif serta tidak menggambarkan realitas

sosiokultural bangsa Indonesia.

Dari perspektif budaya, pendidikan sebagai institusi strategis untuk

penanaman nilai-nilai budaya dan identitas nasional, pihak yang resisten terhadap

PBI berpendapat bahwa permasalahannya menyangkut sistem pendidikan nasional

dan pengembangan budaya bangsa. Sistem pendidikan nasional itu harus

diarahkan terutama untuk melayani kepentingan nasional. RSBI yang berorientasi

Page 163: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

163

negara-negara OECD menjadi ancaman tersendiri sebagaimana diungkapkan oleh

Winarno Surakhmad berikut.

Begini, akan bangga kita sebagai orang Indonesia apabila suatu saat sistem

pendidikan nasional berkembang sedemikian rupa, sehingga orang-orang

datang ke Indonesia belajar di Indonesia karena sistem pendidikan nasional itu

menjadi sistem yang baik sekali. Bukan oleh karena sistem ini sudah

menyerupai OECD (Winarno S, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012,

hlm. 9).

Dari segi penalaran deduksi, pilihan sistem pendidikan nasional seharusnya

didasarkan pada nilai-nilai kultural bangsa, berdasarkan realitas sosiokultural

bangsa sebagai komponennya untuk menghasilkan sistem dan bentuk masyarakat

yang khas sesuai cita-cita pendidikan Indonesia. Pandangan Winarno di atas

tentang keberadaan RSBI lebih didasarkan pada sentimen nasionalisme. Hal ini

dapat dipahami dalam konteks permasalahan nasional yang menunjukkan

terjadinya degradasi nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan konflik-konflik sosial

sektarian. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan dinilai kurang peka terhadap

permasalahan mendasar bangsa.

Orientasi pendidikan nasional melalui satuan pendidikan RSBI diwujudkan

melalui berbagai komponen pendidikan yang dapat dipahami dari pendapat

seorang birokrat pendidikan nasional berikut.

RSBI mengacu kepada salah satu negara yang memiliki pendidikan yang baik

di negara-negara OECD: cara belajar, prosesnya, kurikulumnya. Kita

menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum-

kurikulum dari negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik…

(Suyanto, Dirjen Didaksemen, Kemdikbud).

Page 164: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

164

Menurut Winarno sistem pendidikan yang paling relevan saat ini adalah

sistem pendidikan yang mendukung nasionalisme yang dewasa ini sangat serius

masalahnya, tidak seperti RSBI yang kontroversial tersebut. Penggunaan bahasa

Inggris, misalnya, dalam pendidikan perlu dikaitkan dengan masalah-masalah

nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa. Pendidikan sebagai sarana

penguatan nilai-nilai identitas dan kebangsaan seharusnya tidak terjebak pada

penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah. Hal ini didukung

oleh Abdul Chaer yang berbicara tentang bahasa Inggris dalam hubungannya

dengan pendidikan dan bahasa nasional. Dalam hal ini, bahasa Inggris

diasosiasikan dengan bahasa elit dan “bergengsi” dan dengan demikian bahasa

Indonesia dapat terpinggirkan menjadi bahasa kaum bawah.

...penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah, kebijakan

ini tidak hanya memberi dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk

membina Bahasa Indonesia, pembinaan akan terhambat karena bahasa Inggris

ini, ya anak-anak pasti akan lebih bangga berbahasa Inggris daripada

berbahasa Indonesia. Saya pernah mendengar sendiri di salah satu TK di

Kelapa Gading kata gurunya, “Kalau kamu bisa berbahasa Indonesia cuma

bisa ngomong sama orang Indonesia, tapi kalau kamu bisa berbahasa Inggris

bisa ngomong dengan orang asing, orang siapa saja.” …(Abdul Chaer, Risalah

Sidang MK, 24 April 2012, hlm. 22).

Kutipan di atas juga menegaskan tentang bahasa sebagai modal budaya

yang dapat memengaruhi motivasi sesorang dalam belajar di era globalisasi.

Kuatnya pengaruh globalisme berpotensi meminggirkan identitas nasional. Salah

satu fenomena terkait dengan realitas pengajaran bahasa di SMA, misalnya, adalah

rendahnya apresiasi dan nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,

berbeda dengan perolehan nilai bahasa Inggris. Pada pelaksanaan UN 2011,

Page 165: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

165

misalnya, 80% siswa SMA yang gagal UN tersandung dengan perolehan nilai

bahasa Indonesia yang tidak mencapai standar nilai 4.0 dan 60% dan siswa SMK

yang gagal UN terkait dengan nilai bahasa Indonesia yang juga tidak mencapai

standar kelulusan UN (Bali Post, Minggu 15 Mei 2011, hlm. 1).

Fakta lainnya yang dapat ditemukan di masyarakat dan sekolah adalah

bahwa seorang siswa dapat memiliki beberapa kamus bahasa Inggris, tetapi belum

tentu memiliki kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa daerah. Dalam hal ini,

paradigma pedagogi kritis melihat posisi guru, siswa, dan masyarakat harus

terbebas dari hegemoni budaya, sehingga anak didik tidak mengalami

ketercerabutan budaya dalam arti menjadi orang-orang yang tercerabut dari

“kebudayaan saya” (Spradley, 1997: 14; Tilaar, 2011: 44-45). Dalam konteks

identitas bangsa, berkurangnya peluang bahasa Indonesia sebagai bahasa IPTEK

akibat ekstensifikasi ruang penggunaan bahasa Inggris di lembaga pendidikan.

Bagi kebanyakan anak Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua

setelah bahasa ibu. Dalam jangka waktu tertentu, posisi bahasa Indonesia

sebagai bahasa persatuan dikhawatirkan akan menjadi bahasa kaum bawah

yang membedakan mereka dari anak-anak dari kelompok elit terpelajar

(Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28).

Penjelasan di atas mengingatkan pemikiran Bourdieu (1991) bahwa bahasa

Inggris merupakan “kapital budaya” dan “modal simbolik” dalam konteks

kehidupan modern, sedangkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah menjadi

bahasa “kelas dua”. Dalam perspektif psikolinguistik, seseorang tetap lebih efektif

menyerap suatu pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu dibanding bahasa

kedua dan/atau bahasa asing. Dengan demikian, penggunaan bahasa Inggris

Page 166: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

166

sebagai bahasa pengantar bermasalah secara metodologis. Secara konstitusional,

sesuai UU Kebahasaan 2005, kebijakan ini dapat diterima jika dasarnya hanya

menguatkan pencapaian tujuan dan proses pembelajaran bahasa Inggris. Selain itu,

tantangan guru yang meliputi bahasa, pedagogi, dan content (akademik) menjadi

sangat berat ditengah kualitas guru yang rendah dan manajemen pendidikan yang

kompleks.

Pengajaran Bahasa Inggris sendiri di Indonesia, sesuai Surat Keputusan

No. 096/1967 oleh Menteri Pendidikan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, 1984: 126), pengajarannya didasarkan pada alasan instrumental atau peran

bahasa ini sebagai bahasa internasional dan bahasa IPTEK sebagaimana juga

tersirat dalam UU Sisdiknas UUNo.20/ 2003 (ayat, 3) “Kurikulum disusun sesuai

dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan, antara

lain, keberagaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan dunia kerja;

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; dinamika perkembangan

global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”.

Berdasarkan rumusan UU di atas dan dari perspektif pendidikan kritis,

penggunaan bahasa Inggris seharusnya merefleksikan tidak hanya nilai-nilai

“globalisasi” tetapi juga identitas dan nilai-nilai budaya nasional. Selain itu,

bahasa Inggris relevan dipersoalkan dalam hal impor buku-buku berbahasa Inggris

baik untuk mata pelajaran MIPA dan “benchmarking” kualitas sebagaimana dalam

konsep dan implementasi RSBI.

Page 167: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

167

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI HEGEMONI

PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN

MENENGAH UMUM

Menurut Raymond William (1998: 144-145) hegemoni tidak hanya

terbatas pada pengertian bahwa negara mengontrol pihak subordinat secara

langsung tetapi juga termasuk mengarahkan bagaimana cara memandang

dunia. Dalam hal ini hegemoni juga menyangkut upaya dominasi bagaimana

cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui

berbagai institusi. Pengertian ini sesuai dengan teori-teori kritis yang

digunakan untuk coba menyingkap kesadaran palsu yang hendak

dilanggengkan oleh kelompok dominan melalui hegemoni (ideologi) dan

wacana kekuasaan (Lubis, 2006: 62-63; Mills, 1997: 7; Cavallaro, 2004: 137).

Faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dalam pendidikan

menengah umum dalam pembahasan di sini mencakup faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal terkait dengan politik pendidikan nasional dan

kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan. Faktor eksternal menyangkut

hegemoni wacana globalisme misalnya tentang standarisasi pendidikan dan

daya saing bangsa, dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan

IPTEK. Kedua faktor internal dan eksternal tersebut saling terkait dalam

mendorong terjadinya hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dan

Page 168: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

168

pendidikan nasional. Cakupan pembahasan dan relasi berbagai “wacana: terkait

dengan kedua faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Bagan 2).

Bagan 2. Faktor-faktor Politik Pendidikan, Globalisme dan Kebijakan PBI

6.1. Politik Pendidikan Nasional

Dalam pembahasan ini, politik pendidikan dimaknai sebagai kajian

tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan

cara-cara pencapaian tujuan tersebut. Kajian pendidikan dalam hal ini

terkonsentrasi pada peran negara dengan berbagai perangkatnya dalam bidang

pendidikan yang dapat menjelaskan pola kebijakan dan proses pendidikan serta

berbagai asumsi, maksud dan outcome dari berbagai strategi pendidikan dalam

suatu masyarakat secara lebih baik (Sirozi, 2005:9). Dengan demikian,

P.Pendidikan & Globalisasi

UU No.20 Tahun 2003

tentang Sisdiknas

PP No 19/2005 tentang

SNP

Bank Dunia, WTO,

OECD

PP NO.48 Tahun 2008

ttg Pendanaan

Pendidikan

UU No 14/2005 tentang

Guru dan Dosen

Permendiknas No 78/2009

tentang Penyelenggaraan

SBI

Pendidikan Bertaraf

Internasional

UU OTODA Nomor 22

tahun 1999

LPMP dan BSNP

Page 169: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

169

membahas politik pendidikan nasional berarti mengkaji hubungan geneologi

tujuan pendidikan nasional dan pilihan cara-cara atau strategi oleh negara

dengan berbagai kebijakan dan asumsi yang mendasarinya untuk mencapai

tujuan pendidikan tersebut secara lebih baik.

Politik dalam arti kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan.

Menurut Sirozi (2007:17-18) dalam masyarakat modern pendidikan merupakan

komoditas politik dan wilayah tanggungjawab pemerintah yang bersifat politis.

Karena bersifat politis, kebijakan-kebijakan pendidikan dapat dipengaruhi oleh

faktor-faktor non politis dalam proses pembuatannya. Karena kuatnya kaitan

antara masalah pendidikan dan politik, maka kebijakan pemerintah dalam

pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannnya tentang masyarakat

dan keyakinan politiknya serta kepentingan-kepentingannya.

Dalam konteks sistem pendidikan nasional, pendidikan dipahami

sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan agar manusia dapat

mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Secara normatif,

penyelenggaraan pendidikan nasional tertuang dalam UUD 45 Amandemen,

antara lain, Pasal 28 C ayat (1), Setiap orang berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,

demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,

Pasal 31 ayat (1), Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan dan (2),

Pemerintah mengusahakan dan menjelenggarakan satu sistim pendidikan

nasional, yang diatur dengan undang-undang, Pasal 32 UUD 1945: Pemerintah

Page 170: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

170

memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Selanjutnya penyelenggaraan

pendidikan nasional diatur dalam UU No 20/2003, UU No 14/2005 tentang

Guru dan Dosen, PP No 19/2005 tentang SNP, serta berbagai Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Menteri tentang hakekat, fungsi, standar lulusan

untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Secara historis, paradigma Pendidikan Nasional menunjukkan

dinamika perkembangan isu dan tantangan sesuai konteks zamannya. Sejarah

pendidikan nasional sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan masa

”reformasi” telah melahirkan banyak perubahan dalam sistem pendidikan

nasional. Berbagai perubahan tersebut tidak terlepas dari paradigma berpikir

(filsafat pendidikan), konsep dan fungsi pendidikan dalam konteks berbangsa

dan bernegara. Wacana kualitas pendidikan dan daya saing bangsa pada era

globalisasi telah menggiring munculnya wacana PBI. Francis Wahono (2001)

dalam bukunya Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan

menyatakan bahwa paradigma pendidikan Indonesia telah mengalami beberapa

kali perubahan, mulai dari warisan kolonial ke masa Orde Baru dengan

kapitalisme liberal. Pada masa kolonial Jepang, sistem pendidikan nasional

berhaluan liberalis-feodalis. Paradigma liberalis-feodalis ini kemudian

diperkukuh oleh paradigma kompetisi yang merupakan turunan dari nilai-nilai

globalisasi.

Pendidikan dalam konteks dunia modern dan globalisasi adalah arena

kontestasi. Perubahan orientasi sistem pendidikan nasional menuju liberalisme

ditandai dengan ratifikasi pendidikan sebagai bagian dari WTO. Hal ini

Page 171: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

171

mendapat titik kulminasinya melalui UU Sisdiknas 2003 sebagai “legal policy”

dari berbagai penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang salah satu

wujudnya dalam bentuk RSBI. Ideologi “internasional” (liberalisasi dan

kapitalisasi) dalam pendidikan nasional semakin menguat dengan adanya pasal

50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang baru-baru ini (8

Januari 2013) telah dibatalkan oleh MK.

Satuan PBI yang dalam pengelolaannya berbentuk RSBI merupakan

strategi untuk menghasilkan kompetensi lulusan yang melampaui SNP yang

didukung dengan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebagai

bahasa Internasional. Dalam hal ini, PBI menjadi bagian dari sistem pendidikan

nasional dalam memajukan kualitas pendidikan. Menurut UU Sisdiknas 2003

Pasal 1 ayat (3), sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen

pendidikan yang saling terkait untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Sedangkan satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada

setiap jenjang dan jenis pendidikan. RSBI sendiri merupakan satuan

pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal.

Dengan demikian, sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, eksistensi

RSBI sebagai bentuk satuan PBI merupakan bagian integral dari sistem

pendidikan nasional.

Sebagai realisasi dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan berbagai

peraturan yang mengikutinya, pemerintah sejak tahun 2006 telah membuka

satuan PBI dalam bentuk RSBI di berbagai daerah. Pada tahun ajaran

Page 172: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

172

2009/2010, misalnya, di seluruh Indonesia jumlah sekolah pada jenjang

pendidikan dasar terdapat 173.118 dan menengah 19.435 sehingga secara

keseluruhan berjumlah 192.553 sekolah, sedangkan sekolah berstatus RSBI

hingga saat ini (tahun 2012) mencapai 1.343 sekolah, dengan rincian SD

sebanyak 239, SMP sebanyak 351, SMA sebanyak 363, dan SMK sebanyak

390 (Sumber: Dokumen MK, 2013).

Kebijakan pemerintah tentang satuan PBI pada jenjang pendidikan

menengah diarahkan untuk mendukung layanan pendidikan yang bermutu,

relevan, dan berkesetaraan di semua kabupaten/kota. Pelaksanaan program ini

menggunakan strategi: (1) Fasilitasi sarana dan prasarana untuk penerapan

sistem pembelajaran bermutu; (2) Penyediaan dan peningkatan sarana dan

prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran bermutu yang berbasis

kearifan dan keunggulan lokal; (3) Pemberian subsidi dalam upaya

meningkatkan akses layanan pendidikan bermutu; (4) Penyediaan tenaga

pendidik atau guru yang berkompeten dan (5) Penyediaan dan penguatan

manajemen satuan pendidikan yang berkompeten.

Pada level implementasi dan evaluasi, target Program Pendidikan

Menengah tersebut di atas dicapai melalui berbagai kegiatan yang mendukung

manajemen dan pelaksanaan tugas-tugas teknis lainnya, penyediaan dan

peningkatan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik atau

guru yang berkompeten untuk jenjang pendidikan menengah. Keberhasilan

pelaksanaan program ini diukur dari ketercapaian indikator kinerja (KIK)

sebagaimana tergambar pada Tabel berikut.

Page 173: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

173

Tabel 6.1. Indikator Kinerja Utama

Program Pendidikan Menengah Kemdikbud

No Target Kondisi

Awal

2010 2011 2012 2013 2014

1 Persentase Kab/Kota

dgn

Minimal 1 SMA RSBI

18.0% 28.4% 38.8% 49.2% 59.6% 70.0%

2 Persentase SMA dgn

LAB.Komputer

3,5% 24,5% 45,4% 66,3% 86,6% 100,0%

3 Persentase

SMA/SMLB dgn

LAB.Multimedia

63% 70% 78% 85% 93% 100%

4 Jumlah Bersertifikat

ISO 9001:2008

20

316

612

908

1.204

1.500

5 Nilai Total Medali

Kompetisi

Internasional

20

22

24

27

30

33

6 Persentase Guru

Kualifikasi S-1/D-4

74,0% 77,1% 82,8% 87,2% 92,3% 98,0%

7 Rasio Guru – Siswa

SM

1:27 1:28 1:29 1:30 1:31 1:32

8 Persentase dgn Rasio

Guru – Siswa 1:20 -

:32

43% 46% 48% 51% 53%

53%

Sumber: Dok. Depdiknas, 2011

Untuk mewujudkan fungsi pendidikan nasional itu, pendidikan nasional

diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam hal ini, UUD 45 Pasal

31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa pemerintah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk

meningkatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan

Undang-undang.

Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa wacana PBI

merupakan arena kontestasi yang bersifat politis dan ideologis. Negara

Page 174: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

174

(pemerintah) dengan dukungan para intelektual berupaya mengukuhkan

kebijakan tersebut melalui wacana pengetahuan diskursif dan praktik kekuasan

hegemonik sebagaimana dapat dipahami melalui penjelasan seorang ahli

pendidikan berikut.

…Pendidikan nasional sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan

sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana

termaktub dalam Pasal 4 seyogianya dimaknai secara philosophic dan

continuum eclectic. Perenialisme, yakni filosofi yang menekankan pada

pewarisan nilai luhur (truth, goodness, beauty). Esensialisme yang

menekankan pada conservation of culture, progresivisme yang

menekankan pada pemberdayaan individu, dan rekonstruksionisme yang

menekankan pada pembangunan masyarakat secara interaktif. Karena itu,

konsepsi sekolah bertaraf internasional seyogianya dipahami secara …

secara filsafat pendidikan eklektik dalam rangka diversifikasi layanan

pendidikan untuk mewadahi perwujudan individual differences dan

educational differentiation, yang telah menjadi jiwa dari Sistem

Pendidikan Nasional Indonesia (Prof Udin, Risalah Sidang MK, Selasa 24

April 2012, hlm. 7).

Dengan otoritas yang dimilikinya, pendapat ilmuan yang dikutip di atas

menguatkan dan melegitimasi relevansi RSBI dalam pendidikan nasional

dengan argumentasi bahwa diversifikasi layanan pendidikan adalah untuk

mengakomodasi “individual differences” dan “educational differentiation”

dalam kerangka pikir Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

“dibumbui” dengan jargon-jargon ilmiah dan filosofis. Padahal, dalam

perspektif Pancasila, yang menjadi tolok ukur keadilan sosial seharusnya

adalah apakah suatu kebijakan sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional.

Dalam konteks cultural studies wacana ilmiah merupakan bagian dari produksi

pengetahuan dan praktik politik yang tidak pernah bersifat netral atau objektif,

melainkan menyangkut soal posisionalitas, soal siapa yang berbicara, kepada

siapa dan untuk tujuan apa (Barker, 2006: 6).

Page 175: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

175

Dalam konteks yang sama, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas No. 20

Tahun 2003 yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1945, Prof Slamet, pendukung satuan PBI menyatakan bahwa:

Secara filosofis, SBI menganut pandangan eksistensialisme dan

esensialisme sekaligus. Pandangan eksistensialisme menyatakan bahwa

pendidikan harus mengembangkan eksistensi peserta didik yang berbeda-

beda dalam dimensi jiwa dan raganya sesuai dengan kodratnya sebagai

manusia yang memiliki perbedaan. Sehingga meskipun peserta didik

diberi peluang yang sama, akan selalu ada perbedaan pencapaian prestasi

belajar. Nah, pendidikan harus mampu menjamin keadilan atau

kewajaran” (Prof Slamet, Risalah MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 6).

Pandangan dalam kutipan di atas khususnya “…meskipun peserta didik diberi

peluang yang sama, akan selalu ada perbedaan pencapaian prestasi belajar”

tidak dapat dijadikan alasan untuk diskriminasi layanan pendidikan. Hal itu

tidak relevan karena desain RSBI pada kenyataannya bersifat eksklusif, tidak

memberi peluang yang sama bagi warga Negara sesuai semangat konstitusi.

Penyelenggaraan RSBI didasarkan pada filosofi eksistensialisme dan

esensialisme. Filosofi eksistensialisme menekankan pengembangan eksistensi

peserta didik seoptimal mungkin melalui proses pendidikan yang pro-

perubahan, mengembangkan bakat, minat, dan kemampuanya. Filosofi

esensialisme memandang fungsi dan relevansi pendidikan sebagai kebutuhan,

individu, keluarga, dan kebutuhan berbagai sektor pada level lokal, nasional,

maupun internasional. Dalam konteks globalisasi, pendidikan nasional

dirancang untuk menyiapkan SDM yang mampu bersaing secara internasional

(http://dikdas.kemdikbud.go.id/content/rsbi/pengantar/pengantar-ri.html

diakses 23 Mei 2012 ). Dalam hal inilah perspektif kajian budaya menawarkan

filosofi kritis, yang memandang teori-teori pendidikan tidak steril dari ideologi.

Page 176: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

176

Perkembangan pesat dalam IPTEK memunculkan tuntutan baru dalam

pendidikan. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi

program pendidikan dengan pendekatan inovatif dan kreatif sehingga produk

atau SDM Indonesia diharapkan dapat lebih berperan dalam ranah global.

Namun, dalam implementasinya, terjadi diskriminasi berdasarkan status sosial-

ekonomi. Tidak semua warga negara berpeluang yang sama untuk sekolah di

RSBI. Pendidikan menjadi jauh dari semangat demokratis. Padahal, pasal 5

Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap

warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu.

Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, selain mengatur

tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, juga mengatur SNP, kurikulum,

pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pendanaan,

pengelolaan, peran masyarakat, dan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi untuk

menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara.

Pasal 10 juga mengamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah

berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi

penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Selanjutnya, pasal 11 ayat (1) mengamanatkan bahwa

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,

serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi. Ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap

warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.

Page 177: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

177

Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI

menegaskan bahwa PBI adalah pendidikan yang telah memenuhi SNP yang

diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. SBI dirancang untuk

menghasilkan kompetensi lulusan plus standar kompetensi pada sekolah

terakreditasi (sekolah mitra) di suatu negara anggota OECD. Dalam

implementasinya, pemerintah mengembangkan sekolah-sekolah unggulan yang

ada menjadi SBI melalui strategi RSBI.

Membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan

kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti teknologi informasi

dan komunikasi, desain, komunikasi visual, bahasa Inggris, dan lain

sebagainya. Konsep ini pada umumnya diikuti oleh sekolah-sekolah

swasta yang ada.Kenapa konsep ini kita laksanakan? Karena kalau kita

memulai dari awal membangun sekolah baru, recruit new teacher dan

semuanya, kita enggak ada uang, uangnya akan habis diserap untuk itu

semua, tapi kita memanfaatkan yang ada, kita revitalisasi, kita tingkatkan

untuk melihat bagaimana perilaku anak-anak kita yang kemudian

dilakukan continuous improvement (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu,

11 April 2012, hlm. 16).

Secara historis dan filosofis PBI dalam bentuk program SBI berdasarkan

penjelasan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI

21 Maret 2011 dan Ditjen Dikdasmen (2010) bahwa pada tahun 1990-an

banyak sekolah yang berlabel internasional tetapi tidak jelas standardnya dan

penyelenggaraannya belum memiliki payung hukum sedangkan sekolah-

sekolah berkualitas sangat diperlukan agar Indonesia berdaya saing

internasional. Selain itu, banyak orangtua yang mampu secara ekonomi

memilih menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan pemerintah merasa perlu

membangun sekolah berkualitas, baik kualitas proses maupun produknya

Page 178: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

178

diakui secara internasional. Hal inilah yang “menginspirasi” dan mendorong

pemerintah untuk merancang dan merintis sekolah bertaraf internasional.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 2003 sistem pendidikan

nasional telah memiliki dasar hukum untuk mengembangkan SBI berdasarkan

UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3): “pemerintah dan/atau

pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan

pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi

satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Undang-Undang ini kemudian

disusul dengan berbagai peraturan dan petunjuk teknis untuk implementasinya

mengacu pada berbagai perundangan-undangan yang relevan. Keputusan

Menteri Pendidikan Nasional No. 043/P/2004 tentang Pembentukan Tim

Pengendali SBI dan Sekolah Asing di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

wacana PBI dalam pendidikan nasional. Salah satu tugas tim ini adalah

membantu pimpinan Depdiknas mengendalikan sekolah yang bertaraf

internasional dan sekolah asing di Indonesia (Depdiknas, Himpunan

Kepmennas RI, 2004: 195-199).

Dengan beberapa fenomena dan pertimbangan di atas, Pemerintah mulai

merintis SBI untuk meningkatkan relevansi dan kualitas proses serta hasil

pendidikannya untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal,

nasional, dan global. Sejak tahun 2006 pemerintah mendirikan satuan PBI

tanpa terlebih dulu melakukan pengkajian yang mendalam dan komprehensif

terhadap sekolah-sekolah berlabel internasional yang telah berkembang di

masyarakat. Pemerintah justru tergiring untuk mengikuti kecenderungan yang

Page 179: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

179

terjadi di tengah masyarakat dengan membangun RSBI dengan strategi

menyeleksi sekolah-sekolah unggulan dan favorit yang telah ada di berbagai

kabupaten/kota di Indonesia untuk diarahkan menjadi SBI. Konsep dan

implementasinya kemudian menjadi permasalahan kontroversial (politik,

ekonomi, sosial, dan budaya) dan digugat oleh masyarakat, para intelektual,

aktivis sosial dan organisasi aliansi guru melalui lembaga MK dan melalui

berbagai wacana media massa paling tidak sejak Februari 2012.

6.2 Otonomi Manajemen Pendidikan

Runtuhnya rezim Orde Baru melahirkan era reformasi yang ditandai

dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia: sosial,

ekonomi, budaya, dan politik. Kekuasaan yang sebelumnya bersifat

sentralistik dan otoriter kemudian terpolarisasi dan mengarah pada

desentralisasi dan demokratisasi. Dalam pemerintahan, semangat reformasi

ditandai dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun

1999 yang pada intinya memberikan kekuasaan politik dan ekonomi bagi

daerah-daerah dan kemudian berimplikasi pada otonomi manajemen

pendidikan. Sejak 2001 pemerintahan daerah mulai memberlakukan secara

resmi otonomi pendidikannya. Dalam hal ini, perubahan rezim dari Orde Baru

ke rezim orde reformasi ditandai dengan perubahan orientasi politik dalam

kebijakan pendidikan dan implementasinya.

Wacana otonomi pemerintahan daerah dalam perkembangannya

berpengaruh pada sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal manajemen

Page 180: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

180

pendidikan. Salah satu permasalahan serius dari sistem pendidikan nasional

pada masa awal reformasi adalah manajemen pendidikan yang tersentralisasi.

Berbagai kebijakan tentang pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan

hingga pengawasan bersifat sentralistik sehingga dirasakan kurang kondusif

untuk memberdayakan peran pemerintah daerah dan sumber daya daerah

dalam memajukan pendidikan nasional. Hal ini dirasakan sebagai kendala bagi

reformasi pendidikan dan semangat demokratisasi yang berkembang pasca

rezim otoriter Orde Baru. Padahal UU otonomi daerah 1999 yang telah mulai

diimplementasikan pada tahun 2001 memberikan tanggung jawab besar kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengelolaan pendidikan dan sektor lainnya

seperti kewenangan atas anggaran sendiri. Selain itu, UU tersebut juga

memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Pemerintah Propinsi

untuk melakukan koordinasi dan supervisi.

Lahirnya UU tentang Otonomi Daerah berimplikasi pada manajemen

pendidikan nasional termasuk pada kebijakan sekolah RSBI/SBI sebagai salah

satu strategi peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan antardaerah.

Otonomi daerah dalam bidang pendidikan ini kemudian disusul oleh UU dan

berbagai peraturan pemerintah, seperti UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dan

PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Otonomi

daerah pada Kabupaten/kota memiliki semangat yang sama dengan kebijakan

satuan PBI yang juga diarahkan untuk dibangun di setiap kabupaten/kota. Pada

level satuan pendidikan, UU Sisdiknas dan PP tersebut, misalnya,

mengamanatkan tersusunnya KTSP sebagai wujud dari otonomi sekolah

Page 181: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

181

dengan mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat

atau ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP ini

secara normatif bertugas secara independen untuk mengembangkan,

memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan SNP. Dalam konteks standarisasi

dan kompetensi, BSNP kini berperan sebagai organisasi industri pendidikan

yang menentukan seperti standar isi, standar kelulusan, standar kurikulum dari

berbagai jenis dan jenjang pendidikan (Tilaar, 2006: 21)

Menurut Tilaar (2006: 78) profil pendidikan di Indonesia sangat

kompleks. Berbeda dari pendidikan di negara maju yang relatif homogen,

profil pendidikan Indonesia sangat beragam karena adanya perbedaan yang

mencolok antar daerah, antara kota dan desa, dan antar pulau seperti Sumatra-

Jawa, Sumatra-Sulawesi. Gambaran pendidikan menengah umum pada tataran

nasional dan internasional menunjukkan rendahnya mutu pendidikan nasional.

Hal ini merupakan salah satu faktor penting yang mendorong pemerintah untuk

menyelenggarakan program PBI dalam memajukan kualitas pendidikan

nasional. Dalam konteks standarisasi pendidikan nasional, eksistensi RSBI

dipandang relevan dalam konteks reformasi sistem pendidikan nasional,

khususnya dalam kerangka penguatan pendidikan menengah umum.

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan sistem

yang bersifat integratif. Sistem pendidikan nasional terdiri atas lima jenjang:

Pendidikan Usia Dini (2 tahun untuk usia 4-5 tahun), pendidikan dasar (6 tahun

untuk usia 6-12 tahun), pendidikan menengah pertama (3 tahun dengan usia

13-15 tahun), pendidikan menengah atas (3 tahun untuk usia 16-18 tahun),

Page 182: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

182

pendidikan tinggi (3-4 tahun pada tingkat sarjana; dan pascasarjana tingkat

Magister dan Doktor). Namun, program-program tersebut diselenggarakan

oleh sekolah negeri maupun swasta di bawah Departemen Pendidikan dan

Departemen Agama sehingga menghasilkan empat jenis sekolah. Jenis sekolah

lainnya adalah pesantren, 68% pesantren yaang memberikan beberapa jenis

pendidikan sekolah formal di luar kajian keagamaan. Sejumlah pesantren

memiliki sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Departemen Agama.

Dalam hal ini, 43% pendaftar SMA berasal dari sekolah swasta (Appendiks 4.

Dokumen ADB, 2006).

Pada saat siswa melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan

tinggi, sekolah swasta di bawah Departemen Agama (Depag) memiliki jumlah

pendaftar yang secara proporsional lebih rendah dibandingkan dengan sekolah

di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Pada tingkat sekolah dasar,

sekolah di bawah Departemen Pendidikan menyumbang 90% dari semua

sekolah yang ada dengan 93% dari sekolah negeri. Di tingkat SMP, sekolah di

bawah Departemen Pendidikan Nasional memberikan konstribusi 94% dengan

53%nya dari sekolah negeri. Di tingkat SMA, memberikan konstribusi 98%

dari semua sekolah yang ada dengan 46%nya dari sekolah negeri. Sekolah-

sekolah di bawah Depag hampir semuanya swasta pada semua jenjang: 87% di

SD, 75% di SMP dan 66% di SMA (Appendiks 4. Dokumen ADB, 2006).

Selain itu, sistem pendidikan nasional dikaitkan dengan kebijakan

otonomi daerah semakin menunjukkan dualisme sistem pendidikan nasional.

Sekolah-sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan dan

Page 183: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

183

Kebudayaan terdesentralisasi, sedangkan satuan pendidikan dibawah

Departemen Agama tersentralisasi dalam pengelolaannya. Hal ini, dalam

konteks manajemen pendidikan, menimbulkan persoalan tersendiri, khususnya

dalam hal pendanaan dan pembinaan pendidikan yang juga berpengaruh pada

kualitas pendidikan.

Dalam konteks otonomi daerah (Rahmat, 2011: 1-2), PBI merupakan

kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan daya saing lulusan dan kualitas

pendidikan yang setara secara nasional. Penyelenggaraan PBI diharapkan

menjadi medan persaingan antar-daerah untuk menghasilkan SDM yang

unggul sebagai modal dasar untuk lebih kompetitif baik pada tingkat nasional

maupun global. Hal ini memiliki persamaan dengan salah satu fungsi

penyelenggaraan UN, yaitu dalam rangka standarisasi kualitas pendidikan di

seluruh daerah di Indonesia.

Pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks UU Otonomi Daerah,

melalui konstitusi telah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-

kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Secara konseptual, otonomi

pendidikan menuntut partisipasi dan kemandirian daerah otonom dalam

manajemen atau pengelolaan pendidikan di daerahnya, khususnya pendidikan

dasar dan menengah. Sebagai implikasinya kekuasaan otonomi ini menuntut

kesiapan berbagai instrumen pemerintahan dan kultur untuk melaksanakan

otonomi pendidikannya, misalnya dari segi SDM dan pembiayaan pendidikan.

Dalam hal ini, semangat otonomi pendidikan justru dihadapkan pada realitas

tentang lemahnya partisipasi pemerintah daerah dalam mendorong kebijakan

Page 184: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

184

PBI baik dari segi dana maupun dalam upaya mempersiapkan SDM yang

berkualitas sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam implementasi PBI, keterpinggiran sebagian masyarakat dari

akses pendidikan bermutu seperti RSBI tentu saja bertentangan dengan

Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. UU Sisdiknas tersebut

mengamanatkan bahwa negara memikul tanggung jawab pendanaan

pendidikan (pasal 46 ayat 2), “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah

bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur

dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan

bahwa negara harus memrioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN

untuk pendidikan. Hal ini dipertegas lagi pada Bagian Keempat tentang

Pengalokasian Dana Pendidikan pasal 49 ayat (1), “Dana pendidikan selain gaji

pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari

APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Dalam hal ini,

peningkatan anggaran pendidikan seharusnya dapat memperbaiki akses dan

kualitas pendidikan sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.

Dalam bidang pendidikan, peningkatan anggaran secara dramatis telah

dilakukan. Jika pada tahun 2005 anggaran pendidikan hanya Rp 78,5

trilyun, maka sesuai dengan amanat konstitusi anggaran pendidikan telah

berhasil ditingkatkan dua kali lipat, menjadi Rp 154,2 trilyun pada 2008.

Pada tahun 2009, amanat konstitusi telah berhasil dipenuhi dengan

meningkatkan anggaran pendidikan menjadi Rp 207,4 trilyun atau 20 %

dari APBN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) Tahun 2010-2014).

Namun, sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa peran

pemerintah daerah belum maksimal dalam menjamin penyelenggaraan

pendidikan sesuai Undang-undang dan harapan masyarakat. Selain itu,

Page 185: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

185

anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak efektif meningkatkan kualitas

pendidikan nasional karena anggaran tersebut lebih banyak dialokasikan untuk

membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru yang

diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru ternyata tidak mampu

meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa (Kompas, Jumat

15 Maret 2013, hlm. 12).

Dalam aspek lainnya, secara normatif sebagai implementasi UU

otonomi daerah dalam pendidikan, sejak tahun 2001 pemerintah daerah telah

diberikan wewenang untuk menetapkan kurikulum muatan lokal, merancang

dan memfasilitasi buku teks dasar, dan bahkan membangun kemungkinan

kerjasama dengan negara lain di bidang pendidikan. Namun, kesiapan SDM

dan kondisi keuangan sebagian daerah tidak mendukung untuk melaksanakan

otonomi pendidikannya sesuai amanat UU dan harapan masyarakat. Perpaduan

tantangan globalisasi dan semangat memajukan pendidikan berdasarkan

sumber daya lokal/daerah semakin memperjelas dan menegaskan kelemahan

manajemen pendidikan nasional.

Tidak semua sekolah-sekolah kita mempunyai sarana, prasarana seperti

laboratorium ataupun perpustakaan yang memadai. Belum lagi

pengelolaan pendidikan dalam moda desentralisasi memberikan banyak

tantangan yang harus diselesaikan dengan cepat, antara lain capacity

building pengelola pendidikan di daerah, di lain pihak kita sudah

berhadapan dengan tantangan global yang tidak bisa dielakkan lagi artinya

selain menyelesaikan berbagai masalah pendidikan yang ada kita juga

harus menyiapkan peserta didik kita untuk dapat bersaing dalam dunia

global meneruskan estafet pembangunan bangsa (Indra DS, Risalah

Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 15).

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, eksistensi PBI dalam wujud

RSBI/SBI merupakan desakan kekuatan pasar dan sosio-ekonomi global yang

Page 186: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

186

beroperasi melalui sektor pendidikan, yang lebih “popular” dengan ideologi

neoliberalisme, yang kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh sistem

pendidikan nasional melalui Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003

beserta berbagai peraturan derivatnya dalam konteks hegemoni kekuasaan dan

relasi-kuasa pengetahuan. Akibatnya, pemerintah tidak dapat menjamin akses

pendidikan bagi setiap warga negara sesuai amanat UU. Pendidikan justru

beroperasi dengan prinsip-prinsip dan mekanisme “pasar”, yang didukung oleh

Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang memberikan kebebasan kepada

sekolah untuk memungut biaya pendidikan dari masyarakat. Dalam konteks

pendidikan dasar, hal ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 31 ayat (2) yang

menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.”

Hegemoni pemerintah sebagai pihak pemegang “kebenaran” atas

wacana PBI sangat menonjol dalam sistem pendidikan nasional, khususnya

dalam pendidikan menengah umum. Kehadiran RSBI sebagai realisasi

semangat untuk mencapai standar pendidikan internasional tidak dapat

dilepaskan dari sikap dan pandangan para elit bangsa dan elit pendidikan pada

tingkat pemerintahan pusat yang “gamang” menghadapi perkembangan global

yang bersifat hegemonik. Hal ini juga disebabkan kurangnya kajian mendalam

oleh pemerintah tentang kelayakan dari segi aspek sosial budaya dan standar

pendidik sebagai salah satu standar pendidikan nasional dan konsistensi

pemberdayaan sekolah dalam implementasi PBI.

Page 187: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

187

Dalam perkembangannya, wacana PBI melahirkan berbagai konsep dan

makna yang kabur, misalnya, SNP Plus, Kategori/klasifikasi Mutu, muatan

lokal, RSDBI, organisasi OECD, Perlombaan Olimpiade, metode pembelajaran

berciri internasional (TIK), sekolah mandiri, reguler yang secara konseptual

dan kultural kurang dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Hal ini

menunjukkan selain terjadinya disorientasi ideologi pendidikan nasional juga

terkait dengan realitas lemahnya SDM (birokrasi) yang mengurusi sektor

pendidikan, khususnya dalam hal sosialisasi gagasan-gagasan baru dalam

inovasi pendidikan. Kualitas sekolah RSBI dari suatu daerah ke daerah lainnya

pada kenyataannya tidak sama tetapi diklaim mencapai SNP dan kemudian

ditunjuk menjadi RSBI. Hal ini tentu saja menyesatkan masyarakat,

sebagaimana diakui oleh seorang narasumber sebagai berikut.

Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan

perbaikannya … perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak

holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata

internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan

ekstrakurikuler lainnya…Jika dilihat dari praktek pelaksanaan proses

penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program

ini merupakan kebohongan publik. Karena masyarakat yang

mempercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah RSBI, sebagian

besar hanya mengerti bahwa RSBI membedakan anak-anak mereka dari

kelompok anak-anak yang lain yang tergolong kurang cerdas tanpa

kritis terhadap proses pembinaan berbagai aspek kecerdasannya

(Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28).

Kutipan di atas menegaskan bahwa semangat awal melakukan pemerataan

kualitas dalam konteks otonomi daerah justru kontraproduktif dengan realitas

objektif daerah yang belum siap dari segi sumber daya. Persiapan pembukaan

RSBI yang tidak didasarkan pada kajian cermat dan komprehensif telah

menimbulkan persepsi yang berbeda diantara pelaku pendidikan. Pemerintah

Page 188: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

188

(pusat) menghegemoni otoritas pendidikan daerah tentang PBI dengan wacana

“pemerataan kualitas” dan daya saing pada aras nasional dan global.

Uraian di atas menunjukkan secara jelas bagaimana hubungan antara

eksistensi RSBI dan realitas rendahnya kualitas pendidikan nasional,

kesenjangan mutu pendidikan antardaerah dan hubungan antara otonnomi

daerah dan wacana globalisasi. Permendiknas Nomor 78/2009 tentang

penyelenggaraan SBI pada jenjang Pendidikan Menengah pasal 2 mendukung

kondisi di atas. Pendidikan nasional diarahkan pada internasionalisasi mutu

dan aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan teknologi dalam konteks daya

saing pada era globalisasi.

6.3. Wacana Globalisme

Istilah globalisasi merupakan sebuah konstruk yang kompleks dan

sebuah eufemisme yang menyembunyikan pertarungan makna dan dominasi

ideologi. Globalisasi dipandang sebagai hegemoni neoliberal dan borjuis yang

melegitimasi ”sistem exploitatif” (Zajda, 2005; xiii). Dalam operasinya,

globalisasi ditandai dengan terjadinya mobilitas yaitu (1) manusia

(ethnoscape), (2) uang (finanscape), (3) teknologi (technoscape), (4) media

(mediascape, (5) dan ideologi (ideoscape) dengan nilai-nilainya yang

berkonfrontasi dengan nilai-nilai kebangsaan suatu negara (Appadurai, 1997).

Pemahaman tentang globalisasi di atas dapat menggambarkan bagaimana

globalisme berpengaruh pada eksistensi PBI. Hal ini juga sesuai dengan

pengertian globalisasi sebagai sebuah proses dalam kutipan berikut.

Page 189: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

189

Globalisasi adalah suatu proses, bukan suatu pengertian yang statis.

Globalisasi juga bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Ia lahir dari perilaku

manusia dan gagasan-gagasan yang lahir dari berbagi interaksi

antarmanusia, antarmasyarakat, dan antar negara, yang pada abad kedua

puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101).

Globalisasi sebagai proses meningkatnya mobilitas orang, budaya, ide,

nilai-nilai, pengetahuan dan teknologi dan ekonomi lintas batas mengakibatkan

dunia saling terhubung dan ketergantungan. Dalam pendidikan, globalisasi

melibatkan beberapa faktor penting yaitu, masyarakat berbasis pengetahuan,

ICT, ekonomi pasar, liberalisasi perdagangan dan struktur pemerintahan.

Masyarakat berbasis pengetahuan mementingkan produksi dan pemanfaatan

pengetahuan secara profesional. Kemajuan TIK berimplikasi pada upaya

sekolah mengembangkan metode pembelajaran berbasis internet dan

komunikasi internasional. Ekonomi pasar berdampak pada komersialisasi dan

komodifikasi pendidikan seperti melalui akreditasi, standarisasi mutu dan

pengakuan internasional, dan liberalisasi perdagangan terwujud dalam

berbagai peraturan “ekspor-impor” jasa pendidikan dalam bentuk materi ajar.

Dalam hal RSBI, kurikulum Cambridge dan buku-buku yang digunakan dalam

proses pembelajaran. Globalisasi berdampak pada kebijakan dan peraturan

tentang perlunya implementasi standarisasi internasional seperti akreditasi

manajemen ISO untuk mendapatkan pengakuan internasional (Darmin, 2012:

242-244).

Menurut Joel (2004:37) dalam bukunya yang berjudul How

Educational Ideologies Are Shaping Global Society, Bank Dunia dan

organisasi-organisasi PBB merupakan bagian dari banyak organisasi yang

Page 190: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

190

peduli terhadap pendidikan komunitas global dan Bank Dunia memiliki saling

keterkaitan dengan lembaga OECD. Secara historis, lembaga-lembaga

pendidikan berperan besar dalam membangun komunitas global. Sebagian

organisasi pendidikan dunia terlibat dalam, misalnya, pembentukan klub-klub

Esperanto tahun 1890 yang mengajarkan dan mendukung bahasa Esperanto

sebagai bahasa global dalam upaya membangun perdamaian dunia melalui

sebuah “bahasa persatuan”. Selanjutnya organisasi-organisasi tersebut

menggarap isu-isu pembangunan dan pemberantasan kemiskinan sebagaimana

tergambar dari kutipan berikut.

When World War II, global educational organizations blossomed as

part of postwar construction, the Cold War, and the dismantling of

colonial empires. ... OECD, the World Bank, and the U.N. eductional

organizations were born from the wars‘s ashes. By the 1970s, these

organizations‘ activities expanded beyond postwar reconstruction to

issues of development and eradication of poverty. In the process, they

created a framework for the globalization of educational policies. (Joel,

2004:37)

Dalam bidang ekonomi, lembaga-lembaga regional dan internasional

seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank (Bank Dunia) dan

International Monetary Fund (IMF) berperan besar dalam memengaruhi

kebijakan perekenomian Indonesia ke arah ideologi neoliberal melalui

beberapa tokoh ekonomi Indonesia yang sudah dikenal publik seperti Widjojo

Nitisastro dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak era Orde Baru hingga kini, era

reformasi, hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional ini

diyakini memiliki pengaruhi besar terhadap berbagai aspek sosial ekonomi

Indonesia (Mantra. D, 2011:17-18). Dalam konteks neoliberalisme, hal ini juga

didukung oleh MacEwan (1999:4) dengan menyatakan:

Page 191: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

191

While the basic tenets of neo-liberalism operate in the rich countries, the

policy plays its most role in many of the low-income countries of Latin

America, Africa, Asia and Central and Eastern Europe. Within these

countries, influential groups see their fortunes tied to neo-liberalism, but

the conflict over economic policy is seldom confined within a nation‘s

borders. Officials from the international lending agencies, particularly the

IMF and the World Bank, from the governments of the economically

advanced countries, particalarly the United States, and from private

internationally operating firms use their economic and political power to

foist ‗market-oriented‘ policy on the peoples of the low-income countries

(MacEwan, 1999:4).

Proses globalisasi terutama didorong oleh kekuatan pasar, yang

menyebar ke sebagian besar wilayah kehidupan, diantaranya pendidikan.

Inovasi teknologi telah menjadi prakondisi bagi percepatan proses globalisasi

sejak tahun 1970-an. Kekuatan globalisasi mencakup penyebaran gagasan,

diantaranya persepsi bahwa berbagai bagian dari dunia ini adalah saling

terhubung) (Zhang Xiaoqing and Holger Daun, t.th: 165-166). Dalam hal ini,

pemerintah (negara) dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya

berperan menggerakkan para intelektual dan elit pendidikan sebagai agen

perubahan masyarakat dalam konteks dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan

politik dan globalisasi yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan nasional

melalui berbagai wacana, seperti undang-undang dan berbagai kebijakan yang

mendorong kehadiran PBI dalam bentuk RSBI/SBI.

Dengan wacana globalisasi, para intelektual cenderung menoleh ke hal-

hal yang ”berbau” globalisme. Isu standarisasi pendidikan dan daya saing

menjadi pilihan untuk dapat berkiprah pada level internasional. Keberhasilan

pendidikan nasional dilihat dari tingkat daya saing dan sejauh mana anak didik

dapat berpartisipasi dalam ”event” internasional. Hal ini dapat tergambar dari

Page 192: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

192

kutipan berikut oleh seorang intelektual yang mendukung eksistensi PBI dalam

sistem pendidikan nasional.

… apabila bangsa Indonesia bercita-cita menghasilkan peraih Nobel, maka

mau tidak mau satuan pendidikan nasional harus menerapkan standar

pendidikan yang bertaraf internasional…“Upaya untuk mencerdaskan

bangsa sehingga mampu berkompetisi secara global (Prof. Yohanes,

Risalah Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm. 13).

Kutipan diatas secara jelas menggambarkan globalisme dengan orientasi bahwa

“target” pendidikan berupa hadiah Nobel dan kompetisi bertaraf internasional

dipandang sebagai bentuk upaya mencerdaskan bangsa. Hegemoni globalisme

dalam hal ini beroperasi melalui Undang-undang dan berbagai ketentuan

pemerintah yang dapat diberlakukan dalam sektor pendidikan dan berbagai

wacana pengetahuan yang merasionalisasi pentingnya satuan PBI dalam sistem

pendidikan nasional.

Raymond William dalam bukunya Key Words: A Vocabulary of

Culture and Society (1988) menjelaskan istilah hegemoni tidak terbatas pada

pengertian bahwa negara melakukan kontrol politik secara langsung terhadap

pihak subordinat tetapi juga dominasi bagaimana cara memandang dunia

secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui berbagai institusi

(William, 1998:144-145). Dalam hal ini hegemoni wacana globalisme tentang

pendidikan “yang benar” beroperasi melalui berbagai lembaga dunia atas

sistem pendidikan nasional. Negara dalam proses hegemoninya ditopang oleh

para intelektual melalui berbagai diskursus tentang relevansi PBI dalam

pendidikan Indonesia modern dan era globalisasi yang sarat dengan persaingan.

Dalam konteks ini, hegemoni pada level pemikiran, kesadaran dan perilaku

Page 193: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

193

terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan

masyarakat (civil society) (Bocock: 1986: 33). Dalam hal ini, pihak yang

terhegemoni melihat globalisme sebagai hal yang wajar dan karenanya

mendukung pihak dominan dalam berbagai implementasinya dalam

pendidikan.

Globalism," therefore, is the belief or a form of knowledge that

"globalization" should happen. Globalism accepts "globalization" as

natural. …globalization, in fact, causes the Americanization of the world

culture and McDonaldization of the society: it is not a process carefully

planned, but it is a mere affirmation of the structure of the unequal global

relations in which a few Center nations dominate over the Periphery

nations…Thus, "globalism" justifies "globalization" as it is happening

today. "Globalism" prevents us from recognizing the three consequences

of globalization including: (1)Anglo-Americanization,

(2)Transnationalization and (3) Commercialization of our contemporary

life

(Sumber:http://www.miresperanto.narod.ru/en/english_as_intern/hegemon

y_of_english.htm).

Secara geneologis, sejak tahun 1995, Indonesia telah menjadi anggota

WTO dan menyepakati Agreement on Agriculture dengan meliberalisasi sektor

pertanian domestik melalui beragam implementasi kebijakan neoliberal di

sektor pertanian. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia ikut meratifikasi

semua perjanjian perdagangan multilateral. Tahun 2005 negara-negara anggota

WTO telah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS)

yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain teknologi

informasi dan komunikasi (TIK), pendidikan tinggi, dan pendidikan sepanjang

hayat. Dengan demikian globalisasi dan internasionalisasi menjadi tak

terelakkan dalam sektor pendidikan (Mantra, 2011; 7; Effendi, 2005: 1-2).

Page 194: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

194

Konsep pendidikan sepanjang hayat (lifelong learning) sendiri yang

muncul di Eropa pada tahun 1960 dan 1970 merupakan adaptasi dari pemikiran

neoliberal yang kemudian dipromosikan oleh organisasi UNESCO dan OECD.

Konsep ini merupakan sebuah bentuk privatisasi tanggungjawab pendidikan

untuk melayani dan mempromosikan kepentingan pasar dalam konteks

masyarakat pasca kesejahteraan (a post-welfare society). Dalam konteks

Eropa, hal ini merupakan strategi pendidikan untuk mengalihkan

tanggungjawab biaya pendidikan dan pengetahuan pada individu (Apple dalam

Darmin, 2011:84-85).

Kehadiran Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tidak

terpisahkan dari wacana globalisasi dengan orientasinya pada sektor ekonomi.

Hal ini terkait dengan ratifikasi Indonesia atas perjanjian-perjanjian

perdagangan dalam WTO yang mengikat seluruh anggotanya. Secara khusus

Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Sisdiknas itu mengamanatkan di setiap

daerah kabupaten/kota untuk membuka sekurang-kurangnya satu satuan PBI.

Sebagai implikasi dari UU tersebut, sejauh ini Pemerintah telah mendirikan

sekitar 1.300 sekolah RSBI di berbagai kabupaten dan kota di seluruh

Indonesia.

Internalisasi ideologi PBI yang lebih berorientasi globalisme beroperasi

melalui berbagai Undang-undang, kebijakan pendidikan dan peraturan

pemerintah. serta berbagai sosialisasi pendidikan dan wacana-wacana diskursif

melalui jargon-jargon modernisme, seperti “SDM”, “kualitas standard”, “daya

saing bangsa di arena internasional”, ”globalisasi”, sertifikat ISO, ”efisiensi,

Page 195: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

195

dan ”produktifitas”. Isu-isu pendidikan dalam kaitannya dengan ekonomi dan

globalisasi sangat intensif beberapa tahun terakhir menjelang dan setelah era

reformasi di Indonesia baik melalui media massa maupun dalam berbagai

forum ilmiah.

Menurut Djokoparanoto (2011: 89) globalisasi tidak hanya menyangkut

dan berdampak pada bidang ekonomi, tetapi juga menyangkut dan berdampak

pada hampir seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan.

Pendidikan nasional dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial

(ketidakadilan), budaya (nilai-nilai), ekonomi dan politik (demokrasi).

Selanjutnya Djokopranoto menyatakan:

Globalisasi di satu pihak dapat dan sudah menciptakan kesenjangan dan

ketidakadilan yang makin lebar, tetapi di lain pihak menyediakan

kesempatan lebih lebar untuk berkembang. Dampak ini dapat

berpengaruh buruk tetapi dapat juga berpengaruh baik pada bidang

pendidikan. Berpengaruh buruk jika kita hanya melihat sisi persaingan

yang tidak adil dan jika kita ikut terhanyut di dalamnya. Berpengaruh

baik apabila kita mampu memanfaatkan globalisasi (Djokopranoto,

2011: 89-90).

Kutipan di atas menggambarkan bahwa pilihan untuk berpartisipasi

dalam arena kontestasi global sangat tergantung pada bagaimana bangsa

Indonesia menyikapi globalisasi secara kritis melalui program-program

pendidikan yang tidak kontraproduktif dengan visi pendidikan nasional. Dalam

hal ini, bagaimana pendidikan nasional dapat memanfaatkan globalisasi tanpa

mengorbankan visi dan misi negara-bangsa. Dalam pandangan teori kritis,

kaum intelektual dapat memilih untuk terlibat dalam kegiatan produksi

pengetahuan dan/atau “kebenaran”, baik untuk mendukung hegemoni global

atau menantangnya (kontra-hegemoni) melalui institusi sosial dan praktik-

Page 196: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

196

praktik (wacana) pengetahuan. Dalam konteks ini, pengetahuan secara inheren

bersifat ideologis, sosial dan politis dalam arti tidak bebas nilai dan

kepentingan dan kuasa kelompok sosial tertentu (Foucault, 1977: 27-28;

Mantra. D, 2011:17-18; Lubis, 2006: 155).

Dalam bukunya, Globalisation and The Politics of Education Reform,

Joseph Zajda dan Maclean A Geo-Jaja (2011:xiii) menyatakan bahwa istilah

globalisasi merupakan sebuah konstruk yang kompleks dan sebuah eufemisme

yang menyembunyikan pertarungan makna dan dominasi ideologi, mulai dari

model Wallerstein (1979) tentang ”sistem-dunia” dan pendekatan Castell

(1989) tentang identitas tunggal dan integrasi masyarakat jaringan yang

bersifat lokal dan global secara simultan hingga globalisasi dalam bentuk

jaringan kerja. Kekuasaan aliran modal, teknologi dan informasi menentukan

munculnya ”masyarakat jaringan”. Dalam hal ini globalisasi dipandang

sebagai hegemoni neoliberal dan borjuis yang melegitimasi ”sistem

exploitatif”. Istilah globalisasi, seperti halnya posmodernisme, saat ini

digunakan secara meluas dalam teori-teori sosial, riset kebijakan dan

pendidikan (Zajda, 2005:xiii; Lubis, 2006:201).

The World system (WS) is the structure and relationship between different

interdependent components (states, transnational companies,

organizations, etc), while globalization implies the processes and flows

that take place in the WS. When the links between the components become

more extensive and form chains, networks, exchanges and transactions,

these processes may be seen as globalization (Henderson, 1996) (Sistem

Dunia adalah struktur dan hubungan antara komponen-komponen yang

berbeda dan saling ketergantungan (negara, perusahaan lintasnegara,

organisasi, dsb), sementara globalisasi menyiratkan makna proses dan

aliran yang terjadi dalam Sistem Dunia. Bila keterkaitan antara

komponen-komponen tersebut menjadi semakin intensif dan membentuk

Page 197: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

197

jaringan, proses-proses ini dapat dipandang sebagai globalisasi.) (Zhang

Xiaoqing and Holger Daun, t.th, hlm. 165-166).

Selanjutnya, Joseph Zajda dan Maclean A Geo-Jaja (2005:xiii-xiv)

menyatakan bahwa globalisasi, marketisasi dan reformasi berbasis

kualitas/efisiensi di seluruh dunia telah mengakibatkan perubahan-perubahan

struktural dan kualitatif dalam pendidikan, termasuk meningkatnya orientasi

pendidikan pada ”belajar sepanjang hayat bagi semua” dan ”ekonomi

pengetahuan” dalam budaya global. Dalam sebuah artikel tentang globalisasi

yang berjudul Dialectics of Globalization (t.th), Kelner menyatakan:

Globalization continues to be one of the most hotly debated and contested

phenomena of the past two decades. A wide and diverse range of social

theorists have argued that today's world is organized by accelerating

globalization, which is strengthening the dominance of a world capitalist

economic system, supplanting the primacy of the nation-state by

transnational corporations and organizations, and eroding local cultures

and traditions through a global culture. (Globalisasi terus menjadi salah

satu fenomena perdebatan dan kontestasi yang paling hangat dalam dua

dekade terakhir. Para ahli teori sosial dari lingkup yang luas dan

beragam berpendapat bahwa dunia saat ini diatur oleh percepatan

globalisasi, yang memperkukuh dominasi sistem ekonomi kapitalis,

menanamkan keunggulan negara-bangsa oleh korporasi dan organisasi

lintasbangsa, dan menggerus budaya dan tradisi lokal melalui budaya

global) (Kellner, t.th. hlm. 1).

Kutipan di atas menegaskan kompleksitas permasalahan tentang

globalisasi baik dari segi ekonomi maupun budaya. Dalam konteks pendidikan

modern, pemerintah dalam upaya mencapai pendidikan berkualitas cenderung

menoleh pada isu-isu pendidikan internasional. Tujuan utama pendidikan

dipandang sebagai upaya meningkatkan prospek sosial ekonomi individu dan

hal ini diyakini dapat dicapai hanya melalui standarisasi pendidikan.

Pendidikan berkualitas menuntut standarisasi manajemen maupun proses

Page 198: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

198

pembelajaran yang didukung oleh TIK yang canggih. Dalam konteks ini,

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global tidak terlepas dari dinamika

yang terjadi pada aras internasional, khususnya memasuki tahun 2020 sebagai

era perdagangan bebas baik di tingkat regional maupun global. Berbeda dari

gambaran di atas, perdebatan tentang globalisasi (ideologi) di Indonesia nyaris

“sepi” di kalangan para pakar pendidikan, mereka lebih cenderung terhegemoni

oleh wacana globalisasi.

Wacana globalisasi yang muncul sejak tahun l980-an telah membawa

perubahan pola pikir dan paradigma di Indonesia, termasuk dalam dunia

pendidikan sebagai bidang strategis untuk mengatasi permasalahan daya saing

SDM pada tingkat internasional. Beberapa fenomena permasalahan pendidikan

di Indonesia, antara lain: (l) kualitas pendidikan tidak memuaskan, bahkan

tercatat berperingkat rendah pada tingkat Asia sekalipun (2) biaya pendidikan

dari waktu ke waktu dirasakan semakin mahal akibat daya beli dan daya saing

masyarakat yang rendah (3) lahirnya pemikiran-pemikiran baru untuk

membuka sekolah-sekolah bertaraf internasional, (4) munculnya gagasan-

gagasan baru berupa kurikulum berbasis kompetensi, ”life skills” dan

pembelajaaran berbasis TIK menjadi sangat penting (Sinaga, 2005: 2-3)

Pendidikan dalam konteks globalisasi melibatkan berbagai lembaga

internasional yang menyokong internasionalisasi pendidikan, seperti World

Bank (Bank Dunia), OECD, International Monetary Fund (IMF), Asian

Development Bank (ADB), dan UNESCO. Bahkan, organisasi-organisasi Bank

Dunia, WTO, dan IMF merupakan instrumen pendorong bagi meningkatnya

Page 199: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

199

pasar regional dan global yang sekaligus berfungsi sebagai lembaga-lembaga

pengendali bagi pertukaran ekonomi global. Hal ini sejalan dengan pemahaman

umum bahwa isu negara-bangsa dan nasionalisme sudah agak usang

(Calderone and Rhoads, 2011:4).

Bank Dunia sebagai investor global terbesar dalam sektor pendidikan

merupakan lembaga yang bekerja dengan organisasi internasional lainnya.

Lembaga ini didirikan pada tahun 1947 sebagai organisasi keuangan

antarpemerintah untuk membangun kembali Eropa. Saat ini Bank Dunia

dimiliki oleh lebih daripada 184 negara anggota pemegang saham. Dalam

operasionalnya lembaga ini meminjamkan dana untuk proyek-proyek

pendidikan kepada LSM global seperti dalam proyek ”Early Child

Development: The First Step to Education for All‖,Aga Khan Foundation, Save

the Children, Open Society Institute. Selain itu World Bank juga menggunakan

standar pendidikan seperti OECD. Menurut laporan Bank Dunia yang bertajuk

”Education Sector Strategy”,:

Specific international targets have been agreed on for universal primary

education, adult liracy and gender parity in basic education within the

Education for All Initiative and the OECD‘s Development Assistance

Committe (DAC) goals (Spring, 2004:29-30).

Penegasan bahwa lembaga OECD merupakan salah satu instrumen

globalisasi juga tampak dari kutipan berikut.

OECD telah berkembang pesat dalam mengglobalisasikan ekonomi dunia.

OECD sendiri diglobalisasi oleh anggotanya yang baru ...Selanjutnya

OECD menganalisis segi-segi dari globalisasi, dan implikasi kebijakannya

telah menjadi tema pusat dari karya OECD, sebab tantangan-tantangan dan

kesempatan-kesempatan globalisasi telah menjadi prioritas tinggi dari

pengambil kebijakan dalam negara-negara OECD (OECD, 1996:15).

Page 200: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

200

Secara formal, globalisasi diperkokoh oleh WTO untuk mengatur

sistem perdagangan multilateral. Indonesia sebagai negara yang turut

menandatangani pembentukan WTO harus tunduk pada prinsip lembaga

tersebut dalam menjamin terciptanya perdagangan bebas dan praktik

persaingan bebas. Liberalisasi perdagangan dunia pada dasarnya mencakup dua

kategori barang dan jasa, yakni berdasarkan kesepakatan dalam General

Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan General Agreement on Trade and

Services (GATS). Pendidikan termasuk dalam kategori jasa dan Indonesia

terikat untuk mematuhinya dalam konteks kesepakatan GATS (Djokopranoto,

2011: 43-44).

Ideologi “internasional” (liberalisasi dan kapitalisasi) dalam pendidikan

nasional tidak dapat dilepaskan dari peran WTO yang memasukkan pendidikan

sebagai komoditas internasional yang kemudian beroperasi di Indonesia

melalui kebijakan-kebijakan pendidikan seperti RSBI. Eksistensi RSBI

merupakan hegemoni kekuatan pasar global dalam sektor pendidikan, yang

kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh sistem pendidikan nasional

melalui Undang-undang Sisdiknas 20/2003 beserta berbagai peraturan

derivatnya.

Dalam konteks ekonomi, tiga lembaga internasional seperti ADB, Bank

Dunia dan IMF berperan besar dalam memengaruhi kebijakan perekenomian

Indonesia ke arah ideologi neoliberal melalui beberapa tokoh ekonomi

Indonesia seperti Widjojo Nitisastro dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak era

Orde Baru, hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional

Page 201: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

201

tersebut diyakini sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek sosial ekonomi

Indonesia. Pada era reformasi hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga

internasional tersebut masih dirasakan pengaruhnya melalui, misalnya, peran

tokoh ekonomi Sri Mulyani, sebagaimana terungkap melalui kutipan berikut.

Sri Mulyani juga memiliki kedekatan dengan IMF, di mana pada tahun

2002-2004 ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana IMF mewakili 12

negara di Asia Tenggara...Bahkan Sri Mulyani per 30 Juni 2010

menduduki jabatan penting sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.Suatu

posisi yang mustahil dapat diduduki oleh seseorang yang tidak memiliki

keyakinan fundamental terhadap neoliberalisme dapat menduduki posisi

penting dalam lembaga memperjuangkan paradigma tersebut (Mantra,

2011: 191-192).

Kutipan di atas sekaligus menegaskan bahwa sulit mengabaikan bagaimana

ekonomi neoliberal tidak memengaruhi sektor pendidikan nasional melalui

pemikiran-pemikirannya. Selain itu, tokoh-tokoh ekonomi tersebut di atas

selain pernah menjadi tokoh penyelengara negara mereka juga berlatarbelakang

dari lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi).

Sektor pendidikan merupakan salah satu inti dari misi Bank Dunia

untuk mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat dunia. Dalam sebuah

laporan Bank Dunia tentang Pendidikan dan Pembangunan, lembaga ini

bahkan mengklaim sebagai satu-satunya lembaga keuangan eksternal terbesar

yang turut membiayai pendidikan. Dengan perannya sebagai pemberi dana

terbesar, Bank Dunia bahkan mampu memengaruhi suatu kebijakan pendidikan

melalui berbagai persyaratan pinjaman ke berbagai negara dan organisasi

swasta, dan bahkan kebijakan pengembalian pinjaman oleh suatu negara yang

dapat memengaruhi anggaran pendidikan negara tersebut. Dengan demikian

negara yang terkait dengan kebijakan Bank Dunia menjadi berperan

Page 202: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

202

merepresentasikan kepentingan global dan berpotensi mengabaikan situasi

lokal (Spring, 2004:28).

Dalam sejarahnya, mulai rezim Orde Baru hingga era reformasi,

wacana pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari wacana globalisasi dan

peran Bank Dunia. Dalam hal ini, Bank Dunia sebagai lembaga keuangan

internasional berperan aktif dalam memberikan bantuan pendidikan untuk

mengembangkan RSBI/SBI (Darmin, 2011, 294). Selain itu, dalam sebuah

laporan Bank Dunia (1998) yang bertajuk Education in Indonesia: From Crisis

to Recovery, terungkap juga bahwa pendidikan nasional dihadapkan pada

permasalahan manajemen pendidikan yang sentralistik (Supriyadi dan Jalal,

2001). Berdasarkan laporan tersebut, Bappenas kemudian mengkaji program

pendidikan seperti MBS. Kajian tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi

untuk kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Proses terjadinya

“intervensi” Bank Dunia dalam implementasi suatu kebijakan dapat

digambarkan sebagai berikut (Bagan 3).

Bagan 3: Model Aliran Pemikiran Global-Lokal

Page 203: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

203

Ketika wacana yang diuraikan di atas berkembang munculah Undang-

Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang peran pemerintah daerah dalam

mengelola pendidikan, yang kemudian diberlakukan mulai 1 Januari 2001

(Syaukani, 2001). UU otonomi daerah ini memberikan wewenang dan

tanggungjawab kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola

pendidikan (dan berbagai sektor lainnya) dan Pemerintah Provinsi berperan

untuk melakukan koordinasi dan supervisi. Demokratisasi pengelolaan

pendidikan diharapkan dapat memajukan pendidikan nasional dengan

melibatkan pemerintah daerah melalui instrumen UU otonomi daerah dan

partisipasi masyarakat.

Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tersebut di atas tidak

terlepas dari pengaruh wacana global khususnya lembaga keuangan World

Bank sebagai lembaga donor dan salah satu agen globalisasi. Hal yang sama,

tentang bagaimana dinamika pendidikan nasional tidak steril dari wacana

globalisasi, juga dapat dikaji dan dipahami melalui UU Sisdiknas 2003,

khususnya terkait dengan wacana PBI dan negara-negara maju yang tergabung

dalam OECD yang juga “agen” globalisasi. OECD sebagai forum negara-

negara maju, dalam hal ini, menjadi acuan standar kualitas pendidikan bagi

sistem pendidikan nasional.

Dalam bidang ekonomi-keuangan, OECD bersama-sama dengan

Kementerian Keuangan Indonesia juga telah mengembangkan program

kerjasama yang menyangkut topik-topik misalnya lembaga keuangan, investor

dan pendidikan keuangan. Selain itu, OECD juga berperan dalam pendidikan

Page 204: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

204

pada tingkat regional, Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sebagaimana

tampak pada penjelasan berikut.

Pendidikan, bukan hanya sebagai pilar pertumbuhan ekonomi tetapi juga

prasyarat pembangunan jangka panjang, yang dapat memberdayakan

individu untuk menjadi warga negara aktif. OECD berusaha memahami

dampak pendidikan terhadap pertumbuhan nasional dan kesejahteraan

individu, serta perannya dalam memberantas kemiskinan dan hambatan

sosial. Organisasi ini juga menyediakan data dan analisis lintas negara

serta memberikan saran yang spesifik untuk suatu negara dalam menyusun

kebijakan pendidikan mulai dari anak usia dini hingga usia sekolah dasar

dan menengah, pendidikan tinggi, dan pembelajaran orang

dewasa…Kajian mengenai Kebijakan Pendidikan di Indonesia, rencananya

akan dilaksanakan pada tahun 2013 untuk memeriksa keseluruhan sistem

pendidikan Indonesia (OECD, 2012: 48).

Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bagaimana pengaruh OECD

terhadap pendidikan nasional mulai dari anak usia dini hingga pendidikan

tinggi, tidak hanya “karakter liberal” OECD tetapi juga bagaimana pengaruh

“eksternal” dalam sistem pendidikan nasional dan bahkan tercatat berlanjut

hingga tahun 2013. Dalam konteks pemikiran Foucault tentang geneologi

wacana, sebuah kajian pada tahun 2003 dilakukan oleh OECD dengan

mensurvei kemampuan membaca, matematika dan sains siswa berusia 15 tahun

(setara kelas 1 SMA di Indonesia). Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa

siswa Indonesia menempati posisi ke-39 dari 41 negara yang disurvei dalam

hal kemampuan membaca dengan rata-rata skor sama dengan 74% dari rata-

rata OECD. Negara yang mencapai skor tertinggi adalah Finlandia. Dalam

bidang matematika, siswa Indonesia bahkan berada di urutan ke-39 dari 41

negara yang ikut dalam tes dengan rata-rata skor sama dengan 73% dari rata-

rata OECD dan hanya 66% dari negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu

Hongkong. Dalam bidang sains, siswa Indonesia berada di ranking 38 dari 41

Page 205: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

205

negara yang ikut dalam tes dengan rata-rata skor sama dengan 79% dari rata-

rata OECD dan hanya 71% dari negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu

Korea (Sumber: Proposal untuk ADB 2005, hlm. 8).

Produksi dan sirkulasi wacana merupakan satu komponen dari praktik

wacana dan pembangunan merupakan satu bentuk wacana. Dalam konteks

pendidikan sebagai target pembangunan yang strategis bagi negara, menurut

Escobar (Mulyani, 2009: 90-92; Escobar, 1995: 430-431), paling tidak ada tiga

strategi atau tahapan penetrasi teori pembangunan sebagai mekanisme kontrol

dan disiplin dalam hubungan “kerjasama” antara negara-negara maju dan

negara-negara berkembang.

1. Strategi atau tahap “identifikasi permasalahan secara progresif”, yaitu

teori-teori pembangunan dengan “penciptaan” masalah untuk

menjustifikasi intervensi kekuasaan (kebijakan). Dalam hal ini, identifikasi

mutu pendidikan nasional yang rendah menyebabkan daya saing lulusan

dan pekerja Indonesia rendah pada level global (field of intervention). Hal

ini merasionalisasi perlunya reformasi pendidikan nasional (intervensi)

untuk meningkatkan daya saing pendidikan Indonesia pada aras global.

2. Strategi “profesionalisasi pembangunan”, yaitu tahap pembangunan

dijabarkan menjadi masalah-masalah ilmiah dan teknis. Misalnya, standar

kompetensi lulusan atau “bertaraf internasional” yang mengarah pada rezim

kebenaran (regime of truth). Pada level ini permasalahan pendidikan mulai

dikontrol melalui pengetahuan berbasis rasionalitas (field of the control of

knowledge).

Page 206: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

206

3. Strategi “institusionalisasi pembangunan”, yaitu penerapan teori-teori

pembangunan pada level institusi, baik nasional maupun internasional

untuk membangun dan memperkuat jaringan kuasa/pengetahuan yang

“mengikat” orang dalam perilaku dan rasionalitas. Dalam konteks

pendidikan nasional, eksistensi intitusi BSNP, OECD, Cambridge, World

Bank, dan institusi lainnya merupakan bagian dari jaringan yang

memproduksi wacana PBI (standarisasi) sebagai hal yang rasional dalam

konteks globalisasi. Dalam perspektif teori orientalisme, diskursus atau

wacana pembangunan memiliki kekuatan/kuasa untuk memengaruhi

realitas. (Escobar, 1995: 157; Said: 1978: 3)

Ketiga strategi tersebut di atas secara koheren dapat menunjukkan

rasionalisasi reformasi pendidikan nasional yang menghasilkan wacana PBI

melalui wacana pengetahuan sebagai sebuah proses konstruksi yang tidak

bebas nilai-nilai globalisme. Dalam hal ini pengetahuan dipandang tidak

bersifat netral, tetapi terikat dalam rezim-rezim kekuasaan. Pada level ideologi,

reformasi pendidikan mewakili kepentingan kelompok dominan dalam

hubungan internasional (kapitalis), baik secara politis maupun secara struktural

sosial dan menjustifikasi status dan keinginan kelompok dominan tersebut

dengan merasionalisasikan keunggulannya. (Mulyani, 2009, hlm. 90-92;

Foucault dalam Ristiyantoro, 2006: 75; Widja 2009: 24)

Pada level regional, pembangunan pendidikan nasional juga tidak dapat

dilepaskan dari peran Indonesia dalam organisasi regional Association of South

East Asian Nation (ASEAN). Menurut Mantra (2011:17-18) dalam konteks

Page 207: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

207

“Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”, gagasan mengenai

integrasi ekonomi regional ASEAN juga berlandaskan pada liberalisme yang

tidak bebas dari kepentingan kelompok-kelompok sosial dan ekonomi

kawasan. Bahkan Indonesia turut berperan dalam mendukung keberadaan

sistem kapitalis di tingkat kawasan ASEAN, sebagaimana secara jelas

terungkap dalam kutipan berikut.

Beragam upaya liberalisasi ekonomi yang digalang pemerintah Indonesia

di tingkat ASEAN dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk melestarikan

eksistensi kapitalisme regional. Dan minimnya persiapan yang dilakukan

pemerintah dalam menghadapi integrasi ekonomi regional dipengaruhi

oleh gagasan liberalisme yang diyakini merupakan gambaran dari realitas

atau kebenaran akan keadaan sosial dan ekonomi, sehingga muncul

optimisme di kalangan pemerintah akan kesiapan ekonomi Indonesia

dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun

2015 nanti (Mantra, 2011:17-18).

Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 sejak awal

berlandaskan pada liberalisasi tenaga kerja berbasis keterampilan. Di dalam

Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), dinyatakan bahwa ―The

AEC will establish ASEAN as a single market and production base making

ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to

strengthen the implementation of its existing economic initiatives; accelerating

regional integration in the priority sectors; facilitating movement of business

persons, skilled labour and talents; and strengthening the institutional

mechanisms of ASEAN…‖ Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah

mendorong mobilitas tenaga kerja terampil berdasarkan kualitas pendidikan di

masing-masing negara. Dengan kata lain, penekanan dari liberalisasi sektor

tenaga kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah tenaga kerja yang terampil

Page 208: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

208

yang bebas pergerakannya di negara-negara kawasan ASEAN. Dengan

demikian, kualitas SDM menjadi kunci bagi daya saing tenaga kerja (Mantra,

2011:141). Dalam hal ini, kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat

bawah diantara negara-negara ASEAN dan dengan program PBI, kualitas

SDM Indonesia diharapkan memiliki posisi tawar yang tinggi.

Dalam konteks kerjasama regional Asia termasuk ASEAN, sebelum

ASEAN Community terbentuk pada 2015, pemerintah Indonesia bahkan akan

mendorong adanya standar pendidikan regional sebagai upaya mengangkat

posisi tawar kualitas SDM negara-negara kawasan untuk memiliki penjaminan

mutu, daya saing dan kualitas pendidikan dan selanjutnya lulusannya diakui di

Eropa dalam menghadapi era globalisasi (Kompas, Rabu 15 Mei 2013, hlm.

12).

Strategi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan Indonesia untuk

tahun 2010-2014 dirumuskan berdasarkan pada visi, misi, tujuan strategis

Kemdiknas dan mengacu pada Rencana Pendidikan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2010-2014 serta hasil evaluasi pembangunan pendidikan

hingga tahun 2009. Kebijakan pendidikan Indonesia juga terkait dengan

konvensi internasional yang mengharuskan pemerintah untuk memberikan

layanan pendidikan kepada setiap warga negara, khususnya Konvensi Dakar

tentang Pendidikan untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak

(Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs),

dan World Summit on Sustainable Development (Sumber: Strategi dan Arah

Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014).

Page 209: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

209

Wacana global dalam kaitannya dengan berbagai aspek pembangunan

pendidikan nasional secara jelas tergambar dalam rumusan tujuan SBI, yaitu

untuk menghasilkan lulusan yang memiliki: a. standar kompetensi lulusan plus

standar kompetensi sekolah terakreditasi di negara anggota OECD; b. daya

saing komparatif tinggi dengan keunggulan lokal ditingkat internasional; c.

kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional; d. kemampuan

bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan;

e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing

lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga

kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-

kultural, dan lingkungan hidup; dan g. kemampuan menggunakan dan

mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara professional.

(Sumber: Permendiknas No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI).

Eksistensi RSBI dipandang selain sebagai pengembangan produk

kebijakan yang bersifat hegemonik juga akibat dari hubungan kekuasaan-

pengetahuan yang beroperasi melalui formasi-formasi diskursif, yang

kemudian melahirkan “rezim kebenaran” atau sistem berpikir. (Foucault, 1977:

27-28; Mills, 1997: 18; Eriyanto, 2001: 67). Dasar hukum keberadaan satuan

PBI yaitu UU Sisdiknas 2003 pasal 50 ayat (3) merupakan bentuk hegemoni

negara yang didukung oleh kuasa/pengetahuan tentang wacana globalisasi yang

kemudian diwujudkan dalam bentuk sekolah RSBI di setiap kabupaten/kota di

seluruh Indonesia. Dengan mengacu pada pemikiran Althuser (1971), sekolah

sebagai aparatus ideologi negara berperan menghasilkan tenaga kerja dalam

Page 210: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

210

sistem kapitalis dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang

dibutuhkan sistem produksi kapitalis. Dalam hal ini, Pemerintah

mengembangkan kebijakan tentang RSBI sebagai sekolah bermutu dalam

menghadapi berbagai tantangan pada skala nasional, regional, dan global.

Kebijakan pemerintah dengan berbagai peraturan yang mendukung

implementasi RSBI/SBI merupakan wujud dari terciptanya „blok historis‟

(historical blocs) neoliberalisme di Indonesia. Menurut Gramsci (1971), blok

historis ini tercipta ketika kekuatan sosial dominan menggunakan otoritas

sosial dan kepemimpinan politiknya. Dalam konteks PBI, hegemoni

pemerintah secara formal bertahan hingga pasal UU yang menjadi dasar hukum

kebijakan RSBI dibatalkan oleh MK Januari 2013. Pemerintah telah berhasil

menghegemoni masyarakat pendidikan dalam kurun waktu 2006-2013 melalui

konstruksi PBI dan implementasinya, yang kemudian secara khusus sejak 2012

mendapat ―counter-hegemony “melalui wacana media dan mekanisme Uji

Materi oleh lembaga MK yang akhirnya menganulir pasal 50 ayat (3) UU

Sisdiknas 2003 yang merupakan landasan hukum eksistensi satuan PBI karena

dinilai dapat menimbulkan dualisme sistem pendidikan, diskriminasi

pendidikan, dan bentuk baru liberalisasi pendidikan (Putusan MK, 2013).

Dalam konteks daya saing, menurut Bagus Takwin, pakar psikologi

pendidikan dari Universitas Indonesia, salah satu kemungkinan motif

pembuatan Undang-Undang UU Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat (3) tentang

PBI adalah adanya ketakutan di kalangan elit Indonesia bahwa orang Indonesia

akan kalah bersaing dengan asing. Makna “asing” itu dalam hal ini dianggap

Page 211: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

211

sebagai lawan. Padahal, menurut Bagus, dalam kehidupan modern yang

penting adalah bagaimana bisa berpartisipasi. Dalam hal ini, pemerintah justru

terhegemoni oleh standar kualitas pendidikan internasional sebagaimana dapat

dipahami melalui kutipan berikut.

…benchmark yang bersifat internasional ini perlu kita ikuti, karena kalau

tidak kita sebagai bangsa bayangkan kalau kita tidak memiliki kualitas

yang baik saya khawatir bahwa suatu ketika kalau RSBI ini tidak

terlindungi, kemudian akan hadir sekolah-sekolah bertaraf internasional

yang lain di samping internasional yang sudah ada, seperti Gandhi,

Jakarta International School, Australian International School, kita akan

kalah dan akan menjadi penonton. Lalu dia akan lari ke luar negeri ke

Australia, ke Singapura, ke Amerika, para orang tua rata-rata puas kalau

ditanya walaupun agak mahal lebih suka menyekolahkan di RSBI daripada

menyekolahkan ke luar negeri (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6

Maret 2012, hlm. 19).

Dalam konteks globalisasi dan realitas kualitas pendidikan nasional

yang memprihatinkan, situasi pendidikan nasional juga tergambar dari opini

Amril Aman pada salah salah satu media terkemuka nasional (Kompas, Jumat

19 April 2013, hlm. 6) dengan tajuk “Darurat Pendidikan Nasional.” Dalam

konteks karut marutnya pelaksanaan Ujian Nasional 2013 dan kontroversi

tentang konsep dan implementasi “Kurikulum 2013”, Amril Aman menyakatan

bahwa:

…Tanpa kualitas pendidikan yang baik, generasi masa depan tidak akan

mampu bersaing pada era globalisasi. Globalisasi membuka peluang

bagi setiap anak bangsa berkompetisi tak hanya di tataran domestik,

tetapi juga internasional. Globalisasi akan bermanfaat hanya jika kita

mampu bersaing dengan bangsa lain. Ketakmampuan bersaing akan

membuat bangsa kita kalah bersaing, baik di luar maupun di negara

sendiri…Kalau itu yang terjadi, jika saat ini sebagian bangsa kita

menjadi pekerja kelas bawah di negara orang sebagai TKI, bisa-bisa

nanti banyak diantara bangsa kita jadi pekerja kelas bawah di negeri

sendiri…(Kompas, Jumat 19 April 2013, hlm. 6).

Page 212: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

212

Dalam konteks pemikiran Gramsci, ideologi kapitalisme dan

neoliberlisme sebagai bagian dari globalisasi menghegemoni kesadaran para

intelektual dan pengambil kebijakan pendidikan. Melalui kepemimpinan

intelektual dan politiknnya, negara menghegemoni masyarakat tentang

pentingnya inovasi dalam pendidikan nasional untuk menjawab tantangan

globalisasi dengan cara membangun semangat persaingan berdasarkan struktur

sosial masyarakat, misalnya, yang kaya dan memiliki talenta “istimewa”

mendapat “perlakuan istimewa” untuk pendidikan bermutu sebagaimana dapat

dipahami melalui konsep dan kenyataan empiris tentang RSBI. Dalam konteks

ini, Gramsci menekankan peran ideologi dalam membangun dan

melanggengkan hegemoni dan peran intelektual (kuasa/pengetahuan) dalam

pengembangan dan praktek ideologi (Santoso, 2007: 24).

Indra Djati Sidhi (2012) dalam sidang MK tentang uji materi UU

Sisdiknas pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa hasil survei lembaga

internasional pada tahun 2005 tentang peringkat daya saing Indonesia

menempati posisi 69 dari 125 negara dalam Global Competitiveness Index

(GCI), ranking 110 dari 177 negara dalam hal Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) yang merupakan komposit indeks pembangunan, ekonomi, kesehatan,

dan pendidikan suatu bangsa dengan income per capita US$. 1267. Dalam hal

ini, posisi daya saing dan IPM Indonesia di arena internasional termasuk

dalam kategori lemah. Hal ini menjadi kondisi rasional bagi perlunya terobosan

pendidikan dalam membangun kerjasama internasional.

Page 213: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

213

Rendahnya daya saing bangsa akibat kualitas pendidikan juga

berdampak pada tingginya angka pengangguran. Indikator sosial-ekonomi yang

mengkhawatirkan adalah bahwa 30 juta orang khususnya masyarakat pedesaan

diperkirakan akan kekurangan peluang pekerjaan. Hal ini merupakan bagian

dari tantangan pendidikan nasional dan tantangan sosial ekonomi seperti

tergambar pada kutipan berikut.

Ekonomi Indonesia harus mengalami perubahan yang dramatis agar dapat

berpacu dengan eknonomi regional lainnya. Pertumbuhan ekonomi

Indonesia tidak menciptakan lapangan kerja baru – di tahun 2003

kehilangan hampir 900.000 lapangan kerja dengan lebih dari separuhnya

berasal dari sektor industri. Satu-satunya sektor yang menciptakan

sejumlah besar lapangan kerja baru adalah tenaga kerja takdibayar di

sektor pertanian (Sumber: Asian Development Bank: Project Technical

Proposal, 2006: 3).

Dalam konteks pemikiran Foucault tentang wacana kuasa/pengetahuan,

kondisi sosial-ekonomi dan daya saing merupakan “pengetahuan objektif” bagi

eksistensi UU Sisdiknas 2003. Pendidikan nasional perlu merespons situasi

nasional dan global. Dalam hal ini, pemerintah kemudian merasionalisasi isu

globalisasi dan menghegemoni masyarakat kedalam perspektifnya tentang

perlunya program PBI. Hal ini juga terefleksi dari pandangan lembaga DPR

tentang Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas melalui keterangan berikut.

….dalam rangka menghadapi era globalisasi yang tidak mungkin lagi

dihindari, pembentuk Undang-undang mengantisipasi dengan membuat

sejumlah kebijakan yang diharapkan mampu menyiapkan bangsa

Indonesia dalam menghadapi kompetisi global. Kebijakan yang paling

strategis adalah dengan merintis penerapan program pendidikan di sekolah

dasar dan sekolah menengah yang memungkinkan lulusannya siap

berkiprah dalam kancah percaturan dan kompetisi global. Sekolah tersebut

kemudian disebut sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau

yang lebih dikenal SBI dan RSBI (Sumber: Dokumen Putusan MK tentang

Permohonan Pengujian Materi Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas).

Page 214: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

214

Sebagai implementasi UU Sisdiknas 20/2003, pemerintah telah

melahirkan berbagai peraturan teknis yang kemudian mendukung wacana

perlunya satuan PBI untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui program

standarisasi berbagai komponen pendidikan demi daya saing dan produktifitas

di arena internasional. Dengan kata lain, secara geneologis, terbangun rentetan

wacana yang menghasilkan kuasa pengetahuan dan pengetahuan menghasilkan

kekuasaan, bahwa RSBI/SBI merupakan akibat formasi diskursif yang bersifat

produktif dari hubungan kekuasaan/pengetahuan dan dinamikanya tentang

“standarisasi pendidikan” dan sekolah bertaraf internasional (Foucault, 1977:

27-28).

Dengan kekuasaan yang dimilikinya, negara memiliki “power”

intelektual dan politik untuk mendefinisikan apa yang relevan dan baik bagi

masyarakat dalam hal pendidikan. Dalam hal ini, wacana globalisasi dan

ideologi kekuasaan berpengaruh terhadap proses kehadiran SBI. Sesuai

pemikiran Gramsci (1971: 57), sekolah sebagai aparatus ideologis dioperasikan

oleh kekuasaan (negara) untuk menghegemoni dan mendisplinkan masyarakat

sesuai tantangan global.

Tujuan RSBI adalah untuk menghasilkan lulusan SNP plus sehingga

memiliki daya saing komparatif tinggi dan kemampuan berkomunikasi

dalam bahasa asing. Oleh karena itu, RSBI dirancang menjadi SBI dengan

menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya menjadi kurikulum

bertaraf internasional…(Permendiknas No. 78/2009 tentang

Penyelenggaraan SBI).

Daya saing pendidikan Indonesia masih jauh dari negara-negara maju.

Untuk dapat bersaing pada aras internasional, pendidikan nasional harus

tunduk pada standar internasional. Kenyataan ini menjadi sebuah rasionalisasi

Page 215: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

215

untuk memaksakan gagasan internasionalisasi kualitas pendidikan nasional.

Berbagai pengaruh internal seperti mutu pendidikan yang rendah, produktifitas

tenaga kerja yang tidak memadai, dan pengaruh eksternal seperti hegemoni

politik dan ekonomi negara-negara maju kian memantapkan wacana PBI

sebagai bentuk hegemoni politik berbasis pengetahuan dalam sistem

pendidikan nasional.

PBI dipandang sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan dan

tantangan dunia dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Negara

melegitimasi perlunya inovasi dan diversifikasi layanan pendidikan dalam

bentuk RSBI melalui kebijakan dan UU, tidak saja demi kepentingan peran

Indonesia dalam konteks internasional tetapi juga berdasarkan tuntutan objektif

masyarakat kelas menengah dan realitas perbedaan kualitas antar-sekolah

dalam pendidikan nasional. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang

narasumber penelitian ini bahwa “masyarakat (orangtua siswa) kita

membutuhkan sekolah bertaraf internasional bagi anak-anak mereka supaya

nantinya bisa kuliah di luar negeri atau bersaing dalam arena yang lebih luas”.

Seorang intelektual, dengan modal simbolik yang melekat pada dirinya,

mendukung keberadaan RSBI dalam sistem pendidikan nasional dengan

pernyataan berikut.

Pada beberapa kesempatan saya melihat semangat dan antusiasme yang

besar untuk mencapai mutu yang tinggi yang kita lihat dari capaian ujian

nasional, olimpiade, lomba-lomba, atau melanjutkan ke perguruan tinggi

terkemuka di dalam dan di luar negeri, kepercayaan yang besar dari

masyarakat, ingin anaknya masuk di RSBI, dan dari tahun ke tahun

jumlahnya meningkat (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April

2012, hlm. 17).

Page 216: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

216

Pembahasan di atas sejauh ini telah menunjukkan hubungan antara

pendidikan dan konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menunjukkan

koherensi antara satu wacana dan wacana lainnya dalam membangun

hegemoni wacana globalisme dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sesuai

dengan pemikiran Foucault bahwa berbagai wacana yang melibatkan institusi,

organisasi, individu, dan jaringannya beroperasi dalam berbagai bentuk dan

teknik untuk menghasilkan kekuasaan, dalam hal ini, kekuasaan globalisme

atas pendidikan nasional melalui isu PBI dan implementasinya melalui RSBI.

6.4 Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional dan IPTEK

Seiring dengan perkembangan globalisasi dan usaha memajukan

pendidikan nasional, pemerintah telah mempertimbangkan dinamika global dan

lokal melalui program PBI yang mencakup penguatan kompetensi bahasa

Inggris bagi anak didik. Peran Bahasa Inggris dalam ilmu pengetahuan dan

komunikasi internasional dirasakan sangat penting untuk dapat berdaya saing

pada arena internasional. Dalam konteks tersebut, pembahasan pada bagian ini

menyangkut faktor bahasa Inggris dalam konteks globalisasi dan pendidikan

yang kemudian berpengaruh terhadap kebijakan PBI dalam sistem pendidikan

nasional. Makna dan implikasinya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, dan

politik pendidikan juga dibahas. Pembahasan didasarkan pada kerangka pikir

wacana globalisme yang melihat hubungan antara bahasa Inggris dan politik

pendidikan nasional, bahasa Inggris dan jati diri bangsa, bahasa Inggris dan

Page 217: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

217

pedagogi, dan bahasa Inggris sebagai kapital (modal) dari perspektif teori

Bourdieu.

Pengaruh bahasa Inggris tidak terlepas dari sejarah kekuasaan Barat,

pengaruh perkembangan sains dan teknologi yang kemudian berkembang ke

negara-negara non penutur bahasa Inggris, termasuk Indonesia. Kekuasaan

IPTEK dan kebudayaan tidak terpisahkan dari penyebaran bahasa Inggris di

seluruh dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari berbagai produk teknologi dan

komunikasi modern yang dominan menggunakan bahasa Inggris dan dalam

penggunaan jaringan komunikasi internet yang semakin masif dewasa ini.

The internet is a powerful technological tool utilized by the World Bank,

NGOs, and intergovernmental organizations to link members and spread

information around the world. Human rights, environmental, and other

organizations use the Internet to sound global alarm about what they

consider to be impending crises. Besides global linkages, the Internet is

now a major player in global educational projects. (Spring, 2004: 28-29)

Secara historis, akhir Perang Dunia II pada tahun 1945 ditandai dengan

pesatnya perkembangan IPTEK yang kemudian menghasilkan era baru dalam

bidang sains, teknologi, ekonomi pada aras internasional. Dunia yang

didominasi oleh kekuasaan teknologi dan perdagangan menuntut perlunya

bahasa internasional dalam hal ini pilihannya adalah bahasa Inggris

(Hutchinson dan Waters, 1987:6-7). Perkembangan tersebut hingga saat ini

sangat nyata pengaruhnya dalam berbagai bidang khususnya bidang pendidikan

yang sarat dengan pemanfaatan TIK dan bahasa Inggris. Dalam konteks RSBI,

hal tersebut tergambar dari pendapat seorang birokrat pendidikan melalui

kutipan berikut.

Page 218: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

218

…RSBI itu adalah bicara kualitas, yang eksklusif adalah kualitasnya tetapi

tetap saja Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang harus dikuasai, namun

pengayaan bahasa asing ini akan memberikan unggulan-unggulan

komparatif dan unggulan kompetitif bagi siswa-siswa kita karena ketika

kita berbicara layanan, ketika standardnya tidak internasional saya kira

kita akan ditinggalkan…(Suyanto, Dirjen Didaksemen, Kemdikbud).

Dalam bidang teknologi, perkembangan media TIK telah memunculkan

tuntutan-tuntutan baru yang berbau kapitalisme, misalnya, pengadaan berbagai

perangkat belajar (keras maupun lunak) bahasa Inggris. Bagaimanapun,

eksistensi produk teknologi dan kebudayaan seperti buku teks dan berbagai

media pembelajaran lainnya tidak terpisahkan dari aspek ekonomi. Sebagai

produk budaya modern, penyusunan atau pengadaan buku teks juga

menyangkut kekuatan kapital, komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya

kapitalis yang seolah menawarkan keberagaman tetapi sebetulnya

menghegemoni (Sugihartati, 2010: 36-37).

Secara genealogis, bahasa Inggris dan kebijakan pendidikan di berbagai

negara kolonial di dunia, termasuk Indonesia, dapat ditelusuri dari sejarah

perkembangannya. Status bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang diajarkan

di lembaga pendidikan di Indonesia ditandai juga dengan hadirnya berbagai

lembaga pendidikan nonformal seperti Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) dan

British Council yang telah lama berperan sebagai “donatur” atau pemasok

buku-buku teks dan bahkan guru-guru bahasa Inggris di berbagai lembaga

pendidikan di Indonesia.

Dari perspektif pendidikan dan teori Bourdieu, bahasa dipandang

sebagai modal yang termanifestasi dalam realitas sosial sebagai modal kultural,

simbolik dan materil bagi penggunanya. Bahasa Inggris sebagai bahasa

Page 219: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

219

pergaulan internasional memberi nilai tambah ekonomis dan sosial bagi

penggunannya dalam bentuk modal jaringan yang bersifat bisnis. Nilai

simbolik dan kultural dari kemampun bahasa Inggris dapat memberikan rasa

bangga dan status sosial terpelajar bagi yang menggunakannya, dan dapat

memperluas akses penggunanya terhadap sumber daya pendidikan.

Wacana bahasa Inggris tidak dapat dilepaskan dari tantangan

pendidikan nasional dalam menghadapi globalisasi. Bahasa Inggris dalam

konteks globalisasi dipandang sebagai sumber daya (capital) yang didukung

oleh berbagai lembaga pendidikan luar maupun dalam negeri, seperti British

Council, Cambridge, USAID, media massa cetak dan elektronik, radio,

perusahaan media internasional seperti CNN, BBC, VOA yang turut dalam

produksi dan reproduksi hegemoni Bahasa Inggris di Indonesia. Secara politis

sekolah-sekolah dan masyarakat dihadapkan pada nilai-nilai tentang siapa yang

diuntungkan dari suatu kebijakan dalam hubungannya dengan dinamika politik,

ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Inggris di

sekolah RSBI dapat menimbulkan efek sosiokultural, ideologis dan politis.

Kebijakan tersebut dapat membangun dan melanggengkan struktur sosial,

ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat.

Peran Bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi sangat penting untuk

dapat berdaya saing dalam dunia internasional. Dari analisis berbagai

dokumen, pandangan para praktisi pendidikan dan berbagai teks mereflesikan

nilai-nilai globalisasi dalam fakta sosial Indonesia. Kurikulum Bahasa Inggris

Page 220: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

220

juga merefleksikan perkembangan pendidikan nasional dalam kaitannya

dengan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan IPTEK.

Penetapan standar kompetensi bidang TIK dan berbahasa Inggris telah

membangkitkan kesadaran tentang pentingnya hal itu sebagai bekal siswa

pada kehidupannya di masa depan. Dampak dari itu, penggunaan internet

berkembang masif di seluruh sekolah penyelenggara. English Day

diimplementasikan di hampir seluruh sekolah sekali pun belum dapat

mendongkrak penguatan siswa berbahasa Inggris (Rahmat, 2011: 3).

Dalam konteks wacana PBI, kebijakan bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar terkait dengan posisi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan

sebagai salah satu mata pelajaran yang mendukung pencapaian tujuan

pendidikan nasional. Dalam hal ini, keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967 menegaskan bahwa fungsi

Pengajaran Bahasa Inggris adalah sebagai alat untuk mempercepat proses

pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan dengan bangsa-

bangsa lain; dan menjalankan kebijakan luar negeri, sedangkan tujuan

pembelajarannya adalah untuk mencapai kompetensi: 1) membaca secara

efektif; 2) mengerti bahasa lisan; dan 3) kemampuan berbicara (Depdikbud,

1981:139).

Dari segi politik pendidikan, posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing

ditegaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003 pasal 33 ayat (3) “Bahasa

asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan

tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik” dan

pasal 37 tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat

bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan:

“Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; Bahasa daerah merupakan

Page 221: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

221

bahasa ibu peserta didik; dan bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan

bahasa internasional yang sangat penting dalam pergaulan global”. Selanjutnya

dalam UU Sisdiknas Pasal 42 ayat (2) dinyatakan bahwa “Bahasa asing dapat

digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian

pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu”.

Dalam konteks penyelenggaraan RSBI, peran bahasa Inggris dipertegas

dalam Permendiknas No. 78 Tahun 2009, antara lain, dalam pasal 2: e.

kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing

lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga

kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-

kultural, dan lingkungan hidup; dan pasal 5 poin (3) SBI dapat menggunakan

bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan

dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Hal ini sesuai dengan

fungsi dan tujuan pengajaran bahasa Inggris di SMA, yaitu sebagai alat

pengembangan diri siswa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

budaya sehingga mereka dapat berkembang menjadi warga negara yang

cerdas, terampil dan berkepribadian Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa

Inggris adalah:

1. mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bentuk lisan dan

tulis: mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca

(reading), dan menulis (writing).

2. menumbuhkan kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris

sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar.

3. mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan

budaya serta memperluas cakrawala budaya sehingga siswa memiliki

wawasan lintas-budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.

(Depdiknas, 2004:6).

Page 222: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

222

Kebijakan tentang bahasa Inggris dalam konteks PBI tidak hanya

sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA, tetapi juga untuk

penguatan kemampuan bahasa Inggris anak didik. Posisi bahasa Inggris dalam

sistem pendidikan nasional menunjang penguasaan IPTEK dan pergaulan

antarbangsa. Dengan demikian, wacana bahasa Inggris telah lama di Indonesia

sebagai bahasa yang diasosiasikan dengan modernitas, sains dan teknologi.

Kemampuan bahasa Inggris diharapkan berkontribusi terhadap pembangunan

di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa.

Sebagai bagian dari reformasi pendidikan menghadapi globalisasi,

RSBI merupakan implementasi dari Undang-undang Sisdiknas tentang satuan

PBI sedangkan bahasa Inggris berperan untuk mendukung misi

penyelenggaraan PBI untuk memajukan pendidikan nasional sebagaimana

tergambar dalam kutipan berikut.

Dalam proses pembelajaran di RSBI, penguasaan bahasa Inggris bagi

seorang guru sangat perlu sekali, terutama untuk guru-guru MIPA

(Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi). Bahkan nilai TOEFL>500 bagi

guru MIPA merupakan hal yang sangat mendesak dan substansial sekali,

karena dengan penguasaan empat keterampilan berbahasa Inggris, yaitu

listening (mendengarkan), writing (menulis), reading (membaca), dan

speaking (berbicara) yang relatif baik, maka guru tidak “grogi” dalam

menghadapi peserta didiknya… (Syaiful Rohman, “Guru dan Masa Depan

RSBI”, 07 August 2011).

Menurut Oonk, dkk (2011; 68-74) dalam bukunya yang berjudul

Internationalisation in Secondary Education in Europe, proses integrasi Eropa,

internasionalisasi ekonomi dan masyarakat global, dan berkembangnya

keberagaman siswa (bangsa dan ras) akibat migrasi merupakan isu sentral

yang harus dihadapi oleh masyarakat Eropa dalam pendidikan. Pengajaran

Page 223: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

223

bahasa asing menjadi penting untuk mengembangkan kompetensi interkultural

yang dibutuhkan dalam pendidikan yang berorientasi global. Hal ini

berimplikasi pada pendidikan nasional, antara lain, bahwa internasionalisasi

pendidikan bermakna diversifikasi dan intensifikasi pengajaran bahasa asing,

penggunaan bahasa asing dalam situasi otentik, penggunaan bahasa asing

dalam situasi komunikasi interkultural, pengembangan profil sekolah

kompetitif, dan orientasi bi-nasional dan standard internasional (Oonk dkk,

2011; 68-74).

Berbeda dengan konteks pendidikan di Eropa, dalam wacana PBI

muncul isu yang menghubungkan bahasa Inggris dan jati diri bangsa. Sebagian

pakar bahasa dan budaya mengkhawatirkan tergerusnya identitas atau jati diri

bangsa akibat penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam

proses pendidikan. Namun, sebagian tidak mempersoalkannya dengan alasan

normatif bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang dapat

“menyelamatkan” bahasa Indonesia dengan ketentuan, misalnya, bahwa dalam

forum resmi pejabat negara harus menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal

ini, penggunaan bahasa Inggris dipandang sesuai dengan tantangan globalisasi

dengan logika penjelasan berikut.

Di era global, kita tidak bisa mengisolasi diri kita sendiri, kita tidak bisa

mengatakan jati diri kita itu akan rusak dan terobek-robek ketika kita bisa

berbahasa asing, justru kalau kita berbahasa asing, kita bisa menjelaskan

ini pribadi kita, ini karakter kita, ini jati diri kita kepada bangsa-bangsa

lain di dunia ini…(Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret 2012,

hlm. 20).

Pandangan di atas menegaskan pijakan dan tujuan rasional penguatan

bahasa Inggris dalam konteks pendidikan nasional dan globalisasi. Hal ini juga

Page 224: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

224

sesuai dengan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia yang lebih didasarkan

pada motivasi instrumental dalam pengertian bahwa kompetensi bahasa Inggris

bukan dimaksudkan untuk “menjadi” orang Inggris tetapi sekedar “alat” untuk

berkomunikasi dalam konteks IPTEK dan kehidupan global sebagaimana

tersirat dalam UU Sisdiknas. UUNo. 20/2003, (ayat 3) “Kurikulum disusun

sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan

memperhatikan, antara lain, keragaman potensi daerah dan lingkungan;

tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai

kebangsaan”. Namun, berdasarkan rumusan UU ini, peran bahasa Inggris

seharusnya merefleksikan tidak hanya nilai-nilai globalisasi tetapi juga

identitas keindonesiaan yang beragam. Dalam hal ini, penggunaan bahasa

Inggris di sekolah-sekolah di daerah tertentu seharusnya dipertimbangkan

secara kritis tentang dampak sosial budaya dan ekonominya.

Di pihak lain, sebagian masyarakat menentang penggunaan bahasa

Inggris melalui kebijakan RSBI. Mereka resisten dengan argumentasi bahwa

UUD 1945 telah menegaskan bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi

negara yang juga berlaku dalam konteks pendidikan. Hal ini juga dinilai

bertentangan dengan pasal 33 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan pasal 29

ayat (1) UU No.24/2009 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam

pendidikan nasional dan Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah

wajib mengembangkan, membina, dan melindungi Bahasa Indonesia. Dalam

hal ini, bahasa Inggris dapat mengancam jati diri bangsa dengan

Page 225: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

225

memarginalisasi posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai kekayaan

budaya bangsa.

Dengan digunakannya bahasa Inggris … sebagai salah satu bahasa

pengantar di RSBI, saya kira hal ini bisa menghambat, menghambat rasa

cinta. Anak-anak memang bisa diajar untuk berbahasa Indonesia dengan

baik karena mereka menginginkan nilai yang baik. Tapi mendidik mereka

untuk menjadi cinta kepada Bahasa Indonesia, itu rasanya sukar. Apalagi

saat ini masyarakat di Indonesia sudah sangat gandrung terhadap bahasa

Inggris (Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 20).

Kutipan di atas menegaskan pengaruh bahasa Inggris secara sosial budaya

sekaligus menguatkan gagasan yang pernah diungkapkan oleh seorang

budayawan Ajip Rosidi tentang "Soempah Pemoeda" dan identitas kebangsaan

dengan menyatakan:

… Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa

tidak mungkin dapat menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara

utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain…Jadi, bahasa

menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat

menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan

menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai

suatu bangsa. Ikrar berupa "Soempah Pemoeda" inilah yang menjadi dasar

yang kokoh bagi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa

Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia tidak

lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa

negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi

(Pikiran Rakyat,Sabtu 3 April 2010).

Kutipan di atas juga mengindikasikan visi budaya bahwa bahasa Indonesia

tidak hanya diharapkan sebagai bahasa negara dan bahasa resmi, tetapi juga

bahasa IPTEK di masa depan. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa

pengantar dalam pendidikan berpotensi mendegradasi peran dan peluang

bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan dan identitas bangsa.

Dalam konteks kebijakan RSBI, keberadaan OCED dengan visi-

misinya (globalisasi) akan semakin efektif jika didukung oleh bahasa Inggris

Page 226: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

226

sebagai ”pemersatu” untuk sosialisasi agendanya. Bahasa menjadi sarana

pemersatu budaya sekaligus sarana penetrasi nilai-nilai ekonomi, sosial dan

politik. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah dipandang dapat memperlancar

agenda globalisasi (Mbula, 2011: 42). Dalam hal ini bahasa Inggris dapat

mendegradasi eksistensi bahasa nasional sebagaimana dikemukakan oleh

seorang pakar bahasa sebagai berikut.

…fungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan tampaknya di

Indonesia tidak ada masalah. Yang menjadi masalah ialah fungsinya

sebagai bahasa negara, banyak rongrongan yang dihadapi bangsa

Indonesia berkenaan dengan bahasa Negara, apalagi zaman sekarang

zaman … katanya zaman era globalisasi. Ya, termasuk juga saya kira

rongrongan yang di … dengan digunakannya bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar di RSBI, meskipun tidak semua mata pelajaran (Abdul

Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 19).

Menurut Daoed Joesoef legalisasi bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar untuk mata pelajaran MIPA di RSBI/SBI, selain menyalahi amanat

konstitusi juga bahwa pendidikan semestinya bukan berfokus pada penguasaan

bahasa asing, melainkan membiasakan peserta didik untuk menggali,

mengenali, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan moral

yang berguna bagi diri, masyarakat, dan bangsanya (Kompas, Kamis 16

Februari 2012, hlm. 12). Secara tegas Daoed Joesoef menyatakan:

Penggunaan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar pembelajaran, terang-terangan tanpa tedeng aling-aling telah

mengkhianati Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah yang secara resmi

kita nobatkan dan akui merupakan tonggak sejarah kedua dari perjuangan

kemerdekaan bangsa Indonesia (Daoed Joesoef, Risalah Sidang MK,

Selasa 15 Mei 2012, hlm. 26-27).

Secara psikososial, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar pada RSBI menguatkan hegemoni budaya atas masyarakat bahwa

Page 227: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

227

bahasa Inggris identik dengan kemajuan atau modernitas. Penggunaan bahasa

Inggris dapat menanamkan dan menguatkan persepsi bahwa hanya dengan

penguasaan bahasa Inggrislah seseorang bisa meraih kemajuan. Padahal,

menurut Darmaningtyas, hal itu tidak didukung oleh kenyataan empiris karena,

misalnya, dalam perlombaan Olimpiade, banyak pemenang olimpiade yang

tidak mampu berbahasa Inggris.

RSBI/SBI membuat warga minder sejak dini karena menganggap bahwa

yang modern, yang maju, dan yang hebat hanyalah mereka yang

menguasai bahasa Inggris saja. Sehingga mereka cenderung akan

mengutamakan penguasaan bahasa Inggris dengan mengabaikan

keberadaan Bahasa Indonesia terlebih bahasa daerah (Darmaningtyas,

Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 28).

Untuk memperkuat agumentasinya, Darmaningtyas merujuk pada seorang

fisikawan handal berkebangsaan Jepang yang pernah meraih hadiah Nobel dan

yang tidak mampu berbahasa Inggris. Ia menekankan bahwa eksistensi bahasa

Inggris dapat mendegradasi posisi bahasa Indonesia sebagai simbol

nasionalisme.

Bahasa Inggris baik di mata guru maupun siswa diasosiasikan dengan

pendidikan berkualitas. Bahasa Inggris, dalam hal ini, telah menghegemoni

masyarakat sebagaimana tampak dari kesaksian seorang Hakim MK, Maria

Farida, sebagai berikut.

…banyak orang-orang yang berlomba-lomba untuk menyekolahkan

anaknya ke sekolahan yang bertaraf internasional, menganggap sekolah

yang bertaraf internasional itu lebih tinggi dari pada yang lain...kalau kita

sekarang pergi ke beberapa tempat ke mal dan sebagainya, kita melihat

anak-anak kecil kita tidak berbahasa Indonesia tapi mereka berbahasa

Inggris, dan…mereka pasti sekolah di PAUD atau TK-TK yang berbahasa

Inggris, apakah itu tujuan kita? ini negara yang pluralis dari segi agama,

bahasa, adat istiadat, dan segala macam...kalangan yang tidak mampu itu

merasa direndahkan, tetapi juga mereka berusaha bagaimana bisa masuk

Page 228: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

228

sekolah yang bertaraf internasional, kemungkinan dari segi finansial atau

dari segi kemampuan dia tidak bisa masuk ke situ (Risalah Sidang MK,

Selasa 6 Maret 2012, hlm. 12).

Kutipan di atas tidak hanya menjelaskan bagaimana bahasa Inggris telah

meminggirkan bahasa Indonesia pada ranah sosial, tetapi juga menunjukkan

bahwa bahasa Inggris berperan sebagai kapital sosial-budaya. Pemberlakuan

bahasa Inggris dalam pendidikan nasional dapat menimbulkan tidak saja

ketidakadilan karena hanya sebagian kecil masyarakat (anak didik) yang

“menguasai” bahasa tersebut. Dalam hal ini, Pierre Bourdieu (1989)

menyatakan bahwa dalam ruang sosial, bahasa menyangkut arena pertarungan

kekuasaan. Penggunaan simbol-simbol bahasa, seperti fenomena maraknya

penggunaan ungkapan (kata-kata) bahasa Inggris oleh elit Indonesia dalam

forum-forum resmi merefleksikan bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi

tetapi juga sebagai sarana untuk menguasai orang lain baik secara kasar

maupun secara halus (Fashri, 2007; Harker dan Wilkes ed., 2005, Widjoyo dan

Noorsalim. Ed. 2004: 201).

Kebijakan tentang bahasa Inggris pada RSBI melahirkan kekerasan

simbolik dan psikologis melalui perlakuan diskriminasi berbasis bahasa,

misalnya dalam bentuk pembagian/pemisahan kelas. Fakta di lapangan

menunjukkan bahwa siswa-siswa “kelas internasional” dengan kemampuan

bahasa Inggris menjadi siswa “kelas satu”, sedangkan siswa-siswa “reguler”

yang tidak berbahasa Inggris menjadi siswa “kelas dua” sebagaimana

ditemukan di SMA Negeri 78 Jakarta yang menyelenggarakan “kelas

internasional”. Sekolah ini mengelola kelas khusus yang dinamakan kelas

Page 229: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

229

internasional dengan biaya pendidikan, proses dan fasilitas pembelajaran yang

berbeda dari siswa lainnya di sekolah yang sama. Dalam hal ini, “kapital

linguistik” (bahasa Inggris) dan kapital ekonomi menjadi “alat kontrol” untuk

mendapatkan pendidikan “bermutu”.

Sebagaimana dikemukakan dalam bab pertama bahwa perkembangan

media TIK dan bahasa Inggris dalam pembelajaran telah memunculkan

tuntutan-tuntutan baru yang berbau kapitalisme. Penggunaan bahasa Inggris

dan TIK di RSBI merupakan ciri yang menonjol dibanding sekolah-sekolah

reguler. Bagaimanapun, produk teknologi seperti buku teks impor dan berbagai

perangkat TIK relatif mahal. Pengadaannya menyangkut kekuatan kapital,

komoditas industri budaya kapitalis yang menghegemoni dalam ranah

pendidikan akibat liberalisasi pendidikan dalam bentuk kurikulum dari negara

lain. Dalam hal ini, kurikulum Cambridge dan buku-buku teks yang digunakan

sekolah RSBI, misalnya, sudah menjadi salah satu sumber ketidakadilan dalam

proses pendidikan,―The world of textbooks is an unequal world” (Sugihartati,

2010: 36-37; Altbach, 1991: 242).

Abdul Chaer yang tidak bersetuju dengan bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar pada satuan pendidikan RSBI, dalam sidang Sidang MK di

Jakarta Selasa, 24 April 2012 menyatakan:

….penggunaan bahasa Inggris pada RSBI itu mempunyai dampak yang

kurang baik bagi pembinaan bahasa (Indonesia, pen). Mengenai bahasa

Inggris sebagai mata pelajaran …saya mengatakan bahwa bahasa Inggris

memang harus dikuasai oleh anak-anak kita dengan lebih baik. Kenapa?

Bukan alasan supaya gengsi, tapi ilmu-ilmu sekarang masih datang dalam

bahasa Inggris, dalam bahasa asing, termasuk bahasa Inggris (Abdul

Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 21).

Page 230: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

230

Penggunaan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan bersifat politis dan

ideologis. Bahasa Inggris menyangkut sumber daya ekonomi, IPTEK, dan

bahasa pergaulan antarbangsa. Dalam hal ini, bahasa Inggris dapat

memengaruhi aspek sosial budaya secara tidak adil, seperti potensi terjadinya

marginalisasi bahasa nasional dan bahasa-bahasa lokal akibat intensitas dan

keyakinan yang tinggi terhadap fungsi dan peran bahasa Inggris dalam

pendidikan pada era globalisasi. Dari segi kapital, kemampuan bahasa Inggris

dapat memberdayakan penggunanya untuk “bertarung” dalam ranah sosial,

budaya, ekonomi, dan politik.

Peran bahasa Inggris, di satu pihak, terkait dengan akses terhadap

kemajuan sosial ekonomi, pengetahuan dan berbagai bentuk hubungan

internasional yang dapat menguntungkan bagi penggunanya. Di pihak lain,

penggunaan bahasa Inggris secara meluas juga dapat mengancam bahasa-

bahasa lain, menjadi sarana untuk mengembangkan kapitalisme dan

dominasinya dalam ruang sosial. Dalam konteks sistem pendidikan nasional,

menurut Indra Jati Sidhi, penggunaan bahasa Inggris turut mendukung upaya

peningkatan mutu pendidikan dengan penjelasan berikut.

Tidak ada masalah dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa

kedua atau English as a Second Language. Gontor (lembaga pesantren,

pen) dan berbagai pesantren telah menggunakan sejak lama bahasa Inggris

dan bahasa Arab dalam proses belajar mengajar dan sama sekali tidak

melunturkan nasionalisme atau jati diri bangsanya…(Indra DS, Risalah

Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 17).

Pandangan di atas sekilas rasional, namun data empiris di lapangan

menunjukkan bahwa masyarakat juga “tertipu” tidak saja karena kebijakan dan

implementasi bahasa Inggris menimbulkan ketidakadilan sosial tetapi juga

Page 231: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

231

bahwa ketersediaan tenaga pendidik dan kompetensi guru tidak “seindah” yang

digambarkan pemerintah. Dalam implementasinya, banyak permasalahan yang

tidak sesuai dengan tuntutan standar pendidikan nasional.

Bahasa Inggris di satu sisi dapat berperan sebagai “capital” bagi

masyarakat, tetapi di sisi lain, secara budaya berpotensi meminggirkan posisi

bahasa Indonesia. Bahasa Inggris seringkali menjadi sarana mekanisme kontrol

baik bagi perusahaan asing maupun lokal. Dalam hal ini, misalnya, banyak

iklan lowongan kerja di media massa yang mensyaratkan bahasa Inggris, pada

hal lingkungan kerjanya di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, bahasa Inggris

digunakan, khususnya di sekolah-sekolah internasional yang dikelola swasta di

kota-kota besar seperti Jakarta, namun menjadi permasalahan ketika

diberlakukan pada sekolah-sekolah umum.

Bahasa asing boleh digunakan dalam satuan pendidikan asing, yang

mendidik warga negara asing. Ya, contoh di sini mungkin di Jakarta ada

International School atau juga ada Gandhi‘s School …Ada satu prinsip

dalam proses belajar yang mengatakan bahwa sampaikanlah materi

pelajaran dalam bahasa yang sederhana dan mudah diterima oleh siswa

sesuai dengan tingkat pendidikannya. Jadi, pertanyaan kita … mana sih

yang lebih mudah dipahami anak-anak, anak-anak Indonesia, pelajaran

yang diberikan dalam bahasa Inggris atau dalam Bahasa Indonesia? Ya,

jawab saya dalam Bahasa Indonesia (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK,

Selasa 24 April 2012, hlm. 19-20).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa resistensi terhadap penggunaan bahasa

Inggris di RSBI tidak hanya didasarkan pada argumentasi “nasionalisme”

tetapi juga pedagogi. Menurut Abdul Chaer penggunaan bahasa Inggris tidak

hanya meminggirkan posisi bahasa Indonesia di “tanahnya” sendiri, tetapi juga

secara metodologis (pedagogis) menghambat daya serap anak didik terhadap

materi pembelajaran.

Page 232: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

232

Secara historis dan politis, kurikulum pendidikan nasional pernah

mengalami proses yang tidak selaras dengan tujuan pendidikan. Kurikulum

pendidikan tidak lagi sebagai persoalan kebudayaan, melainkan lebih

dipandang sebagai kepentingan politik dan ekonomi. Pada masa Orde Baru

kurikulum pernah dijadikan sarana indoktrinasi bagi penguasa melalui,

misalnya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan

Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian kurikulum 1994 menonjolkan

pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris dan kurang pada pelajaran seni,

kurang pada citarasa seni dan manusia direduksi hanya untuk menguasai

teknologi saja (Rifai, 2011: 169-170).

Tilaar (2011: 37) menyatakan bahwa bahasa bukan sekedar bunyi yang

mempunyai arti, namun bahasa mempunyai arti konstruksi di balik

terwujudnya kata-kata yang digunakan di dalam bahasa itu. Dari bahasa dapat

dibaca mengenai bentuk-bentuk regulasi dan dominasi di dalam kehidupan

suatu masyarakat. Itulah sebabnya penting ada politik bahasa di dalam suatu

masyarakat (Ascroft, et al, 1989: 15-17; Tilaar. 2011: 37). Studi poskolonial

sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonialisme berkembang menjelang

abad ke-21 dan mengkaji masalah-masalah ketidakadilan sosial-budaya dan

ilmu pengetahuan yang diakibatkan hegemoni, kolonialisme, dan kekerasaan

epistemologi Barat (Lubis, 2006: 202).

Bila sejarah kolonial dan imperialisme dikaitkan dengan ekspansi

bahasa Inggris, hegemoni dapat terjadi tidak saja melalui kebijakan bahasa,

tetapi juga melalui berbagai introduksi dan distribusi pengetahuan melalui

Page 233: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

233

bahasa Inggris di sekolah maupun di masyarakat. Dalam dunia akademik,

misalnya, muncul istilah yang dikenal dengan “imperialisme linguistik” yang

menjelaskan bahwa suatu bahasa dapat lebih berperan daripada bahasa lainnya

akibat terjadinya hegemoni sosial dan politik. Buku Ashcroft (1989), The

Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures secara

jelas memaparkan informasi tentang hegemoni budaya dan peran bahasa

Inggris sebagai aparatus ideologis pada masa kolonial dan pascakolonial.

Posisi suatu bahasa dapat menjadi dominan berhadapan dengan bahasa

lainnya karena dominasi ideologi serta peran ahli bahasa yang kemudian dapat

menjadi sumber ketidakadilan sosial. Salah satu fenomena pengajaran bahasa

di SMA, misalnya, adalah rendahnya apresiasi dan nilai siswa dalam mata

pelajaran bahasa Indonesia, berbeda dengan perolehan nilai bahasa Inggris.

Nilai perolehan UN 2010 SMA/SMK, terlepas dari kontroversi UN, secara

nasional lebih rendah dibanding beberapa mata ujian lainnya termasuk bahasa

Inggris. Pada pelaksanaan UN 2011, situasi yang lebih mengejutkan terjadi

pada nilai perolehan bahasa Indonesia secara nasional. 80% siswa SMA yang

gagal UN tersandung dengan perolehan nilai bahasa Indonesia yang tidak

mencapai standar nilai 4.0 dan 60% dan siswa SMK yang gagal UN terkait

dengan nilai bahasa Indonesia yang juga tidak mencapai standard kelulusan

UN (Bali Pos, Minggu 15 Mei 2011, hlm. 1).

Fenomena lain yang dengan mudah ditemukan di masyarakat adalah

bahwa seorang siswa dapat memiliki beberapa kamus bahasa Inggris, tetapi

belum tentu memiliki kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa daerah.

Page 234: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

234

Dalam hal ini, paradigma pedagogik kritis melihat posisi guru, siswa, dan

masyarakat harus terbebas dari hegemoni budaya, tidak berorientasi pada

standardisasi dan liberalisasi sebagai ciri-ciri neoliberalisme dan komodifikasi

pendidikan, sehingga anak didik tidak mengalami ketercerabutan budaya dalam

arti menjadi orang-orang yang tercerabut dari “kebudayaan saya” (Spradley,

1997: 14; Tilaar, 2011: 44-45).

Menurut para pendukung kebijakan RSBI, penggunaan bahasa Ingrris

dalam pendidikan sangat penting karena bahasa Inggris merupakan salah satu

bahasa internasional yang dapat meningkatkan daya saing lulusannya.

…pengayaan bahasa asing ini akan memberikan unggulan-unggulan

komparatif dan unggulan kompetitif bagi siswa-siswa kita karena ketika

kita berbicara layanan, ketika standarnya tidak internasional saya kira kita

akan ditinggalkan. Menjadi TKI pun kalau tidak bisa bahasa asing saya

kira akan jauh lebih tidak berdaya dibandingkan dengan mereka yang

menguasai bahasa asing (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret

2012, hlm. 17).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 33 ayat (1) secara tegas

menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahasa negara dan menjadi bahasa

pengantar dalam pendidikan nasional. Namun ayat (3) menegaskan, “Bahasa

asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan

tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik”. Hal ini

kemudian digunakan sebagai legitimasi penggunaan bahasa Inggris.

….dewasa ini meskipun SBI belum ada, tetapi di beberapa RSBI sudah

dibuat kelas-kelas khusus yang disebut kelas internasional dengan

mengadopsi kurikulum yang dari luar negeri. Jadi, sudah berbeda dengan

yang di kelas-kelas RSBI lainnya. dua bahasa pengantar, yaitu Bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia untuk mata pelajaran

ilmui-ilmu sosial dan bahasa Inggris untuk mata pelajaran matematika,

fisika, dan biologi (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April

2012, hlm. 17-18).

Page 235: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

235

Dalam bab-bab sebelumnya telah diuraikan bagaimana bahasa yang

digunakan di sekolah dapat mereproduksi sekaligus merepresentasikan struktur

dan status sosial. Dalam hal ini, para siswa yang mengikuti kelas internasional

secara umum telah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris sebelum masuk

SMA, yang menunjukkan sekaligus status sosial ekonominya. Melalui

observasi proses pembelajaran di kelas internasional pada SMA Negeri 78

Jakarta dan wawancara dengan dua orang siswanya (8 Agustus 2012)

ditemukan penjelasan berikut.

secara umum kami tidak kesulitan memahami bahasa Inggris guru yang

mengajar kami, tetapi agak sulit dalam mengungkapkannya”. Dulu waktu

SMP memang kami sudah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris dan

terbiasa mempraktekkannya (Wawancara dengan Pandu, Rabu 8 Agustus

2012).

Ketika ditanyakan pendapat mereka tentang berapa siswa dari 24 orang dalam

kelasnya yang mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris,

mereka mengatakan bahwa secara umum baik dan tidak ada masalah dengan

proses pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun berdasarkan

pengamatan peneliti di kelas, interaksi guru-siswa kurang berlangsung dengan

baik dalam bahasa Inggris. Proses interaksi belajar lebih menonjol satu arah

dari guru ke siswa.

Observasi juga dilakukan terhadap berbagai fasilitas pembelajaran

yang digunakan. Buku-buku yang digunakan di kelas internasional adalah

buku-buku impor berbahasa Inggris dan sebagian bilingual. Hal ini

menunjukkan bahwa kelas internasional dengan berbagai program dan fasilitas

yang dimilikinya menempati struktur sosial tersendiri di masyarakat, dalam arti

Page 236: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

236

mereka lebih merepresentasikan suatu kelas sosial dalam sekolah publik. Hal

inilah yang dikatakan dalam teori reproduksi sosial bahwa “yang kuat yang

berkuasa” melalui legitimasi lembaga pendidikan. Dalam hal ini, lembaga

pendidikan berperan sebagai sarana hegemoni kekuasaan dan melakukan

kekerasan simbolik baik melalui kebijakan maupun praktik-praktik pendidikan

(Piliang, 2006;359).

Dalam konteks pemikiran Bourdieu, jika bahasa Inggris sebagai sumber

daya kultural atau kapital linguistik maka diskriminasi akses pendidikan

berbasis bahasa Inggris pada RSBI merupakan bentuk ketidakadilan yang

dihasilkan oleh negara melalui lembaga pendidikan. Bentuk ketidakadilan

lainnya adalah pemberian angggaran ”block grant”, fasilitasi sarana dan

prasarana, pengadaan guru berkualitas. Dalam batas tertentu, pemberian ”block

grant” ke sekolah-sekolah RSBI merupakan bentuk ”kuasa hegemonik”.

Dengan statusnya sebagai sekolah RSBI, sekolah mendapat izin istimewa dari

pemerintah untuk memungut biaya ”rasional” dari orangtua siswa dengan

argumentasi sekolah ”bertaraf internasional”.

Secara ekonomi, siswa yang berasal dari ekonomi lemah sulit

mengakses layanan pendidikan bermutu. Para siswa yang masuk kategori

”lemah” dari segi ekonomi dan intelektual (miskin dan bodoh) juga terbatas

aksesnya terhadap pendidikan bermutu. Dalam konteks wacana

kuasa/pengetahuan oleh Foucault (1977), siswa berbakat harus mendapat

diversifikasi layanan pendidikan khusus (normalisasi) dalam bentuk ”bertaraf

internasional” atas nama Undang-undang dan rasionalitas pengetahuan (expert

Page 237: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

237

knowledge). Perpaduan kemampuan ekonomi dan ”kapasitas intelektual”

subjek (warga negara) menjadi masukan (kategori dan identitas) untuk

mengeksklusi subjek lainnya setelah ”agen kekuasaan” mendefinisikan

pendidikan ”bertaraf internasional”.

Dominasi bahasa Inggris dalam ranah sosial, ekonomi dan politik dan

bahkan dalam pendidikan, pada dasarnya, telah lama berlangsung di berbagai

belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dalam era globalisasi, bahasa Inggris

mendominasi bahasa internet dan berbagai produk IPTEK lainnya. Bahkan

para pakar pendidikan dan hubungan internasional berpendapat bahwa

globalisasi didukung oleh pemanfaatan kemajuan TIK serta penggunaan bahasa

Inggris dalam berbagai konteks kehidupan modern. Hal ini juga tergambar dari

pendapat Crystal (2003) pada kutipan berikut:

globalization has also initiated the age of information technology

requiring the deployment of the Internet whose main language is

English…the spread of information technology worldwide is strongly

linked with the diffusion of the English language. To put it differently, it

can be stated that while English has contributed to the proliferation of this

technology, the information technology has also boosted the diffusion of

English through Internet communication (Hismanoglu, 2011:1).

Dalam konteks hegemoni bahasa Inggris, para pakar bahasa di

Indonesia telah mengantisipasinya dengan wacana penguatan bahasa Indonesia

sebagai identitas dan fungsi bahasa Indonesia sebagaimana tergambar dari

kutipan berikut.

Jauh sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 terbit, para pakar

bahasa di Indonesia sudah sepakat ya, sudah mengadakan suatu

kesepakatan dalam seminar bahasa nasional bahwa di Indonesia ini ada

tiga bahasa, Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa

Indonesia adalah alat komunikasi antarsuku bangsa. Bahasa daerah adalah

alat komunikasi intrasuku. Dan bahasa asing adalah alat komunikasi

Page 238: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

238

antarbangsa atau alat untuk menimba ilmu, atau menggali ilmu.Jadi

menimba ilmu (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012,

hlm. 19-20).

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 secara jelas termaktub pada

pasal 41: Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa

Indonesia. Dalam pasal 42, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa

pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam

penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Pasal 2: Bahasa

asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam

penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009

tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

ditentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pendidikan

nasional. Undang-undang ini memberikan jaminan bahwa bahasa pengantar

pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Di pihak lain, bahasa asing dapat

digunakan untuk mendukung kemampuan berbahasa asing bagi peserta didik.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa

pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi Bahasa

Indonesia. Pada kenyataannya, penggunaan bahasa Inggris (lihat Gambar. 8),

warga sekolah lebih bangga menggunakan bahasa Inggris sebagaimana tampak

dari kutipan berikut.

…Tapi jangan salah kalau kita ke sekolah, kepala sekolah senang sekali

karena di sekolahnya sudah banyak pengumuman pakai bahasa Inggris.

Nah, ini yang menurut saya perlu menjadi keprihatinan secara nasional

(Itje K, Risalah Sidang Rabu 2 Mei 2012, hlm. 27).

Page 239: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

239

Hegemoni bahasa Inggris di sekolah tampak dalam berbagai bentuk dan

program seperti kurikulum Cambridge, penggunaan bahasa Inggris dalam

papan pengumuman, pelatihan-pelatihan, dan English Club. Dalam proses

pembelajaran pada kelas internasional SMA Negeri 78 Jakarta, dua orang

siswanya yang diwawancarai untuk penelitian ini mengklaim bahwa mereka

tidak lagi mengalami permasalahan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris di

kelas. Mereka menyatakan bahwa sebelum masuk SMA Negeri 78, mereka

telah mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahkan ketika di SMP pun mereka

sudah terbiasa mendengarkan guru berbahasa Inggris di kelas walaupun,

menurut pengakuan salah seorang siswa, Pandu, tidak sama intensifnya dengan

di SMA tempat dia sekolah saat ini. Di kelas-kelas lainnya yang bukan kategori

kelas internasional, proses pembelajaran menggunakan bilingual dan sarana

dan prasarana seperti laboratorium MIPA, lab bahasa, dan fasilitas TIK.

Karena bahasa Inggris menjadi icon di sekolah-sekolah SBI/RSBI, maka

kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Inggris untuk mengajar

terutama Matematika dan IPA menjadi penting…Namun kenyataannya

sampai saat ini kompetensi guru Bahasa Inggris sebagai tolok ukur

kemampuan menggunakan bahasa Inggris bagi guru mata pelajaran lain

masih pada kategori yang secara umum rendah (Itje K, Risalah Sidang,

Rabu 2 Mei 2012, hlm. 24).

Kebijakan menggunakan bahasa Inggris dalam pendidikan dapat

menguatkan proses sosial yang menciptakan kesenjangan bahasa di masyarakat

dan dapat mereproduksi dan menguatkan “social class and power distinctions”.

Dalam hal ini bahasa Inggris diasosiasikan dengan bahasa “elit” sedangkan

bahasa lainnya sebagai bahasa “subordinat”. Posisi bahasa asing sebagai alat

komunikasi antarbangsa dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan ditopang

Page 240: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

240

oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Pasal 29 ayat (2) Bahasa asing,

termasuk Inggris boleh digunakan sebagai bahasa pengantar pada mata

pelajaran tertentu untuk mendapatkan kompetensi berbahasa asing itu”.

Misalnya, guru bahasa Inggris boleh mengajarkan bahasa Inggris dalam bahasa

Inggris, supaya siswanya mempunyai kompetensi berbahasa Inggris”.

Hegemoni bahasa Inggris dalam dunia pendidikan nasional semakin

terbuka dengan kebijakan PBI yang berkiblat pada OECD. Sebagai bahasa

internasional dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Inggris tidak hanya

membuka peluang lebih besar bagi masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi

pada arena global, tetapi juga, dalam konsep Bourdieu, berperan sebagai alat

reproduksi ketidakadilan secara sosial–ekonomi, sumber daya pembelajaran,

dan peluang kerja yang lebih besar setelah menyelesaikan studi. Hal ini terjadi

karena desain dan implementasi PBI menimbulkan diskriminasi karena hanya

dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu.

Ketika seorang guru bahasa Inggris (wawancara dengan Suranto Mei

2013) ditanya pendapatnya tentang permasalahan utama RSBI, dia menyatakan

bahwa pada dasarnya tidak ada masalah dengan RSBI sebagai program

unggulan pemerintah. Menurut Suranto program RSBI ini justru sangat baik

untuk melayani tuntutan masyarakat dan anak didik yang memiliki potensi

(akademik dan ekonomi) yang berbeda. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa

yang menjadi permasalahan adalah kadang-kadang sekolah mendapat protes

dari masyarakat hanya karena kebijakan tersebut menimbulkan diskriminasi

dan kecemburuan sosial.

Page 241: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

241

Di satu pihak, Undang-Undang Nomor 24/2009 pasal 43

mengamanatkan untuk meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa

internasional. Di pihak lain, penggunaan bahasa bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar di sekolah bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda tahun

1928. Dalam hal ini keputusan tentang bahasa pengantar sebenarnya tidak

terlepas dari masalah politis dan merupakan bagian wewenang Negara dalam

masyarakat.

Bahasa Indonesia yang kita tahu berasal dari bahasa Melayu dan yang

sudah sejak berabad-abad yang lalu menjadi lingua franca di nusantara.

Jadi menjadi bahasa perhubungan, itu di dalam bingkai NKRI (Negara

Kesatuan Republik Indonesia) memiliki tiga status sekaligus, yaitu sebagai

bahasa nasional, sebagai bahasa persatuan, dan sebagai bahasa negara.

Sebagai bahasa nasional disandang sejak pemunculnya kebangkitan

nasional pada awal abad ke-20. Dan sebagai bahasa persatuan, disandang

sejak adanya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 ... Dan sebagai bahasa

negara, disandang sejak ditetapkannya dalam Undang-Undang Dasar 1945

(Abdul Chaer, Risalah Sidang, Selasa 24 April, 2012, hlm. 18).

Winarno Surakhmad, pakar pendidikan dan profesor emeritus pada

Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan bahwa pendidikan Indonesia

saat ini seharusnya lebih diorientasikan untuk menjawab permasalahan dan

tantangan nasionalisme, bukan pada internasionalisasi pendidikan,

sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut.

Sumpah Pemuda yang diucapkan oleh semua pemuda Indonesia yang

mengatakan, “Satu bahasa dan satu tanah air, satu … dan satu bahasa,” itu

justru mulai retak sesudah Sumpah Pemuda diucapkan…kita sudah

melihat bendera-bendera yang memisahkan diri dari induknya. Dan kalau

ini berlangsung terus, maka akan ada 500 lebih bendera kemerdekaan yang

berarti Indonesia tidak akan tahan lagi menjadi satu bangsa (Winarno S,

Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm. 11).

Dalam sebuah diskusi tentang konstitusi dan negara kesejahteraan

bertema “Pendidikan yang Memerdekakan” yang diselenggarankan oleh harian

Page 242: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

242

Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia di Jakarta mengemuka isu tentang

sejumlah konflik horisontal yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia.

Berbagai konflik tersebut ditengarai terkait dengan nilai-nilai toleransi yang

mulai memudar. Sejumlah konflik sekolah mengarah pada eksklusivisme

berdasarkan kelompok, mulai dari identitas agama hingga SBI untuk kelompok

tertentu. Pemerintah juga berkontribusi terhadap situasi tersebut melalui

pendidikan dengan menerapkan ujian nasional yang menganggap siswa

memiliki potensi yang sama, padahal potensi siswa sangat beragam (Kompas,

Kamis 6 September 2012, hlm. 12).

Bahasa Inggris dalam konteks RSBI/SBI mendapat perhatian khusus

dalam bentuk kegiatan pembelajaran dan penggunaan bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA. Hal ini didukung oleh politik

kekuasaan (pendidikan) yang menghegemoni masyarakat dalam melihat bahasa

Inggris sebagai akses yang lebih luas terhadap ilmu pengetahuan dan

bermanfaat secara sosio-ekonomis.

Currently people who have English as their first language, second

language or those who have a good common grounding of English are

assumed to have power and access to develop their career in the

international arena (Pennycook, 1997; Bruthiaux, 2002 dalam Marhum,

t.th:7-8).

Kutipan di atas menegaskan bahwa kemampuan bahasa Inggris dapat

mengembangkan karir seseorang pada arena internasional. Dalam konteks

pemikiran Foucault, bahasa menjadi “power” dalam relasi sosial. Para ilmuan

yang tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris tidak berpeluang untuk

mempublikasikan karya-karyanya dalam jurnal internasional, termasuk para

Page 243: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

243

pelaku bisnis pun sulit mengembangkan usahanya pada arena internasional jika

mereka tidak mampu berbahasa Inggris. Berbagai wacana globalisasi yang

dikembangkan oleh para intelektual Indonesia menguatkan “kebenaran”

bahwa bahasa Inggris sangat vital dalam pendidikan modern. Wacana ini telah

mendominasi kesadaran masyarakat dan banyak intelektual, sehingga bahasa

Inggris dipandang rasional bagi upaya peningkatan mutu pendidikan, daya

saing dan produktifitas SDM Indonesia di kancah internasional.

…Berpartisipasi dalam dunia global, mustahil kita bisa melakukan tanpa

ada penguasaan teknologi, bahkan bahasa sekalipun. Saya kemarin ke

Malaysia mengurusi warga TKI yang harus dididik di sana. Kita membuat

perjanjian, perjanjian itu dibuat dalam Bahasa Indonesia, bahasa Melayu,

dan bahasa Inggris. Dalam satu klausulnya dikatakan bahwa perjanjian ini

dibuat dalam tiga bahasa: Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa

Inggris. Kalau terjadi penafsiran yang berbeda, kembali kepada bahasa

Inggris…(Suyanto, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 43-44).

Perdebatan tentang relevansi bahasa Inggris dalam sistem pendidikan

nasional khususnya dalam konteks PBI lima tahun terakhir tidak terlepas dari

wacana tarik-menarik antara semangat melawan globalisasi dan semangat

menguatkan jati diri bangsa. Pelajaran Malaysia sebagai negara tetangga

mungkin menarik sebagai refleksi dalam konteks Indonesia. Angel M.Y. Lin,

Peter W. Martin dalam bukunya Decolonisation, Globalisation Language-in-

Education Policy and Practice (2005:92-93) mengutip pandangan Mahathir

Mohamad dari sebuah media massa terkemuka di negara jiran tersebut sebagai

berikut.

Learning the English language will reinforce the spirit of nationalism

when it is used to bring about development and progress for the

country…True nationalism means doing everything possible for the

country, even if it means learning the English language (Mempelajari

bahasa Inggris akan memperkuat semangat nsionalisme ketika ia

Page 244: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

244

digunakan untuk menghasilkan pembangunan dan kemajuan bagi

negara…nasionalisme yang sesungguhnyanya adalah melakukan segala

kemungkinan bagi negara, bahkan belajar bahasa Inggris) (Mahathir

Mohamad, The Sun, September 11, 1999).

Bourdieu dan Eagleton (1997) menjelaskan hubungan antara bahasa

dan pendidikan yang saling menguatkan. Mereka berpendapat bahwa sistem

akademik dan pendidikan merupakan semacam mekanisme ideologis yang

dapat memproduksi distribusi kapital personal secara tidak adil. Dalam hal ini,

hubungan bahasa dan pendidikan dapat memberikan pemahaman tidak saja

tentang implikasi hubungan yang tidak adil antara bahasa Inggris dan bahasa

Indonesia tetapi juga menjelaskan fungsi dan makna bahasa Inggris dalam

pendidikan nasional. Wacana bahasa Inggris sebagai bahasa IPTEK dapat

menjelaskan tentang hegemoni bahasa Inggris dalam pendidikan dan budaya

Indonesia modern.

Sistem pendidikan turut mereproduksi relasi kekekuasaan secara tidak

adil. Dengan memosisikan bahasa Inggris sebagai bahasa “elit”, hal ini tidak

saja menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang tidak mampu secara

ekonomi tetapi juga dapat menimbulkan pencitraan bahwa bahasa Inggris

menjadi kunci menuju sukses dalam pendidikan. Logikanya, jika bahasa

Inggris dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan maka bahasa

Inggris menjadi “mekanisme kontrol” yang tidak adil untuk mendapatkan

“pendidikan bermutu”. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 36 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan di sekolah.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa SDM sekolah baik di sekolah

SMA Negeri 78 Jakarta maupun di SMA Negeri 2 Bandarlampung masih jauh

Page 245: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

245

dari kapasitas dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk mampu melaksanakan

proses pembelajaran dalam bahasa Inggris. Khusus “Kelas Internasional” pada

SMA Negeri 78 Jakarta, hingga saat penelitian ini dilakukan, memang

menggunakan bahasa Inggris dalam proses belajar di kelas namun melalui

pengamatan langsung di kelas, interaksi kelas tidak sepenuhnya dalam bahasa

Inggris dan lebih bersifat satu-arah. Dalam hal ini, semangat untuk memajukan

pendidikan melalui penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tidak

didukung oleh realitas SDM yang berkompeten dan ekosistem pendidikan yang

kondusif.

Pada level wacana permukaan, pemerintah terkesan memikirkan dan

memajukan secara serius tentang kualitas pendidikan nasional, namun realitas

di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan penggunaan

bahasa Inggris tidak hanya menyangkut bahasa tetapi juga tentang ekonomi

dan budaya.

English is supported by a powerful and strong socio-cultural and

economic system. It is the vernacular of the modern global Euro-

American free market economy. It is possible that in acquiring it one

has to reckon also with the socio-cultural superstructure on which it

thrives (Stephen M Neke, 2002).

Dari aspek politik ekonomi, pengadaan buku impor berbahasa Inggris

tidak terlepas dari siapa mendapat apa, dan dari segi budaya siapa yang

menentukan “isi” buku ketika buku harus diimpor dari, misalnya, negara

tertentu dalam OECD. Secara ekonomis, buku yang harus dimpor dari negara

(-negara) maju sebagai akibat dari kebijakan “benchmarking” telah membebani

Page 246: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

246

masyarakat atau orangtua siswa. Hal ini terungkap dari penjelasan Wakil

Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta sebagai berikut.

Buku teks MIPA dan Bahasa Inggris ditulis dalam bahasa Inggris, misal,

Advance level Mathematics Statistics 1 (oleh) Steve Dobbs and Jane

Miller, dan sebagian menggunakan dwi bahasa (bilingual). Dan

pengadaannya langsung dipesan dari Inggris (Cambridge) dan biaya buku

sudah termasuk dari SPP anak-anak (Wawancara Rabu 21 Maret 2012).

Secara ekonomis, dampak selanjutnya dari bentuk kerjasama seperti ini adalah

bahwa perusahaan atau penerbit buku-buku di luar negeri yang dibutuhkan oleh

sekolah RSBI turut “mengontrol” buku ajar yang baik” bagi pendidikan

Indonesia melalui bentuk kerjasama dengan lembaga Cambridge Inggris, yang

selanjutnya mendorong munculnya kurikulum berbasis bisnis atau/dan industri

intelektual.

Menurut Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan, penggunaan

bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk meningkatkan daya saing dan

kualitas pendidikan nasional tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat. Ia

berargumentasi bahwa ada banyak negara di dunia yang tidak menggunakan

bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikannya tetapi

negara-negara tersebut mencapai kualitas pendidikan yang baik. Yang

dibutuhkan justru, menurut Darmaningtyas, adalah bagaimana memfungsikan

bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan.

Kemampuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa modern telah diakui oleh

UNESCO karena menurut UNESCO Bahasa Indonesia telah mampu untuk

membahas hal-hal yang sifatnya abstrak. Pasal 36 Undang-Undang Dasar

1945 juga secara tegas menyatakan, “Bahasa negara ialah Bahasa

Indonesia (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012,

hlm. 24).

Page 247: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

247

Pandangan di atas sangat relevan dipersoalkan dalam konteks

pendidikan dan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang menjadi bagian

penting dari kebijakan PBI untuk satuan pendidikan mulai dari tingkat SD

hingga sekolah menengah. Para pengamat dan praktisi pendidikan

berpandangan bahwa kualitas pendidikan justru bisa merosot bila proses

pembelajaran di kelas menggunakan bahasa yang tidak mengakar dalam diri

anak didik secara sosio-kultural. Dalam proses pembelajaran, guru-guru

dihadapkan pada beban ganda yaitu menguasai bahan ajar sekaligus bahasa

asing untuk mengajar.

Penggunaan bahasa asing dalam proses pembelajaran tidak efektif.

Dalam sebuah diskusi pada konfrensi internasional tentang Language,

Education, and Millenium Deveopment Goals (MDGs) di Bangkok Thailand,

Abhisit Vejjajiva menyatakan bahwa ilmu pengetahuan apa pun akan lebih

cepat dipahami oleh siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri.

Menurut Direktur International Lead Asia Catherine Young bahwa jika siswa

tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun

minat dan semangat anak bisa menurun (Sukamerta, 2011:217 mengutip

Kompas, Senin 1 November 2010).

Abdul Chaer, seorang pakar bahasa dan dosen kependidikan

menyatakan bahwa guru akan lebih mudah menyampaikan bahan pembelajaran

dalam bahasa yang dikuasainya dan daya serap anak didik terhadap

pengetahuan juga akan lebih efektif jika disampaikan dalam bahasa yang tidak

asing baginya. Ia menggambarkan gagasannya dengan menyatakan:

Page 248: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

248

Saya coba-coba ingin bermimpi dalam bahasa Inggris, tapi tidak pernah

jadi, tidak pernah bisa kayaknya. Kedua, jika orang mengigau pasti dalam

bahasa ibu atau jika dikagetkan … itu pun akan marah dalam bahasa ibu,

bukan dalam bahasa lain… Jadi, saya kira lebih mudah memberikan ilmu

dalam Bahasa Indonesia daripada dalam bahasa Inggris (Abdul Chaer,

Risalah Sidang, Selasa 24 April 2012, hlm. 20).

Kutipan di atas sekaligus menggambarkan bahwa proses pembelajaran tidak

akan efektif dengan menggunakan bahasa asing dari segi psikologi dan

pendidikan. Interaksi dalam pembelajaran menyangkut habitus yang dimiliki

oleh guru dan siswa. Sesuai dengan realitas empiris di sekolah, dua sekolah

yang berstatus RSBI baik di SMA Negeri 78 Jakarta maupun SMA Negeri 2

Bandarlampung adalah bahwa permasalahan kemampuan guru dalam bahasa

Inggris menjadi kendala bagi proses pembelajaran. Dalam perkembangannya,

manajemen sekolah dan guru-guru di SMA Negeri 2 Bandarlampung bahkan

tidak lagi menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar setelah

berjalan satu tahun karena disadari bahwa kompetensi guru-guru yang ada

belum memadai untuk itu.

Yah..memang jika dilihat dari kesiapan guru-guru, tentu sulitlah mereka

mengajar dalam bahasa Inggris. Sekolah sudah berusaha untuk

meningkatkan kemampuan guru-guru tetapi mungkin tidak bisa dalam

waktu singkat seperti yang diharapkan untuk RSBI. Terus terang

ya..bahasa Inggris lebih banyak membebani sekolah…karena guru-guru

juga ketika kuliah dulunya tidak dipersiapkan untuk mengajar dalam

bahasa Inggris (Wawancara dengan Suranto, Mei 2013).

Sebagaimana tujuan penyelenggaraan PBI, salah satu tujuan pengajaran

bahasa Inggris adalah untuk memenuhi tuntutan era globalisasi yang

memosisikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional dalam

berbagai aktivitas internasional. Penguasaan bahasa Inggris dipandang sebagai

salah satu kunci sukses untuk menguasai ilmu dan teknologi termasuk

Page 249: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

249

kemudahan untuk mendapatkan peluang kerja di dunia modern sebagaimana

tampak dari berbagai iklan di media massa yang mensyaratkan bahasa Inggris

sebagai salah satu kualifikasi penting. Pentingnya kemampuan bahasa Inggris

dalam konteks hubungan internasional juga dapat dipahami melalui Undang-

undang yang mengamanatkan tentang partisispasi negara Indonesia dalam

melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana dapat dipahami melalui kutipan

berikut.

…dalam pembukaan Undang-Undang Dasar itu dikatakan kita harus ikut

melaksanakan ketertiban dunia. Bagaimana kita bisa ikut melaksanakan

ketertiban dunia kalau kita tidak bisa berkomunikasi dengan bangsa-

bangsa yang lain?… (Prof. Slamet, Risalah Sidang MK, Selasa 2 Mei

2012, hlm. 44).

Bahasa pengantar bahasa Inggris diatur melalui Permendiknas No

79/2009 pasal 5 ayat (3), (4) dan (5): Pasal 3: SBI dapat menggunakan bahasa

pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam

forum internasional bagi mata pelajaran tertentu; Pasal 4. Pembelajaran mata

pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan

Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa

pengantar bahasa Indonesia; dan Pasal 5. Penggunaan bahasa pengantar bahasa

Inggris atau bahasa asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai

dari kelas IV untuk SD (Permendiknas No. 78 Tanggal 16 Oktober 2009).

Nah, kalau ditanya apa sebabnya sih kita gandrung kepada bahasa Inggris?

Saya kira banyak sebabnya. Kalau masyarakat kecil itu melihat bahasa

Inggris mempunyai nilai lebih …Tetangga saya dulu menulis

perusahaannya Penjahit Iing, terus setelah dia ganti Iing Tailor, wah itu

katanya pelanggannya tambah…(Abdul Chair, Risalah Sidang Selasa 24

April 2012, hlm. 21).

Page 250: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

250

Kutipan di atas bermakna bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa internasional

tidak hanya bernilai ekonomis dan sosial bagi penggunannya, tetapi juga

bernilai simbolik dan kultural. Memiliki kemampuan bahasa Inggris dapat

memberikan rasa bangga dan status sosial terpelajar bagi penggunanya.

Pengaruh hegemonik bahasa Inggris meluas tidak hanya dalam ranah

pendidikan tetapi juga ruang-ruang publik yang terkait dengan kehidupan

modernitas.

Fenomena menguatnya pengaruh bahasa Inggris dalam kehidupan

masyarakat Indonesia sudah mengkhawatirkan. Dalam situasi menguatnya

pengaruh bahasa Inggris tersebut, keberadaan RSBI yang secara formal

mengklaim menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam

pendidikan justru semakin menguatkan status sosial dan politik bahasa Inggris.

Sebagian intelektual berpandangan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar dapat mendegradasi nasionalisme dan mutu pendidikan.

RSBI berbahaya karena menghancurkan geo-nasionalisme…mendorong

ke arah tekno-nasionalisme,…, RSBI secara perlahan akan memerosotkan

mutu pendidikan nasional, bagaimana logikanya? Sederhana saja. Diajar

dengan Bahasa Indonesia kadang-kadang diselingi bahasa daerah supaya

lebih mudah ditangkap, daya serap murid tidak pernah mencapai 80%,

apalagi diajar dengan bahasa Inggris, yang mengajar bingung, yang diajar

juga tambah bingung…(Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24

April 2012, hlm. 27-28).

Kutipan di atas sekaligus merepresentasikan realitas di lapangan

khususnya di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Implementasi bahasa Inggris

sebagai bahasa pengantar di sekolah tersebut jauh dari idealisasi pemerintah.

Dari hampir selama lima tahun berstatus RSBI, sekolah ini tidak memiliki guru

bahasa Inggris yang memadai kompetensinya untuk mengajar mata pelajaran

Page 251: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

251

MIPA. Pada tahun-tahun awal berstatus RSBI, 2007-2008, sekolah ini bahkan

menyiasatinya dengan menggunakan tenaga dosen MIPA dari universitas

setempat untuk mengajar di kelas-kelas berbahasa Inggris.

Dalam perkembangan berikutnya dengan alasan pembiayaan, SMA

Negeri 2 Bandarlampung tidak lagi mempekerjakan tenaga pengajar berbahasa

Inggris dari luar sekolah. Selanjutnya, tugas tersebut dilakukan oleh guru-guru

sekolah tersebut dengan kemampuan yang, menurut guru dan wakil kepala

sekolahnya, belum seperti diharapkan (Wawancara dengan Payudi, Selasa 29

Mei 2012). Secara umum, hal yang sama juga dialami oleh sekolah-sekolah

lainnya yang berstatus RSBI. Bahkan, izin untuk membuka RSBI di berbagai

daerah lain di Indonesia pernah diwacanakan untuk dihentikan karena realitas

kemampuan guru-guru yang tidak memadai untuk melaksanakan pembelajaran

dalam bahasa Inggris (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12).

Kenyataan lain menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam bahasa

Inggris tidak menjamin bahwa dia mampu mengajar dalam bahasa Inggris.

Kemampuan berbahasa Inggris harus didukung oleh kemampuan pedagogis

untuk efektifitas proses pembelajaran.

RSBI melihat kemajuan berdasarkan pandangan yang keliru, yaitu

pembelajaran sesuatu dalam bahasa Inggris dianggap sebagai yang paling

hebat. Padahal Inggris dan Amerika Serikat maju bukan karena bahasa

Inggris, tapi karena menghayati kemajuan dan bernalar secara ilmu

pengetahuan (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012,

hlm. 27).

Dari uraian di atas tentang bahasa Inggris dan wacana PBI dapat

disimpulkan: pertama, secara sosial budaya, bahasa Inggris dipandang sebagai

bentuk kemajuan dan prestise yang dapat meningkatkan status sosial seseorang.

Page 252: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

252

Secara ekonomi bahasa Inggris berperan sebagai modal untuk mengakses

informasi dan dunia kerja. Namun, penggunaan bahasa Inggris di RSBI juga

bermasalah, antara lain, karena kurangnya kompetensi tenaga kependidikan,

kurangnya efektifitas (pedagogi) penggunaan bahasa Inggris dalam mencapai

tujuan pembelajaran; kedua, secara budaya, penggunaan bahasa Inggris

berpotensi memarginalisasi bahasa nasional dan bahasa-bahasa local sebagai

identitas bangsa, dan secara politik dapat menghambat peluang bahasa

Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa internasional.

Page 253: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

253

BAB VII

MAKNA HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL

DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM

Bab ini membahas makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah

umum. Pemaknaan dalam bab ini didasarkan pada pembahasan bentuk-bentuk

hegemoni dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni PBI dalam

pendidikan menengah umum. Makna hegemoni di sini juga menyangkut

pergulatan makna yang terkait dengan kesenjangan dan/atau keterhubungan

antara kebijakan PBI sebagai sebuah strategi yang bersifat hegemonik untuk

meningkatan kualitas pendidikan nasional dalam konteks sosio-ekonomi,

budaya dan wacana globalisasi dengan orientasi ideologisnya, kapitalisme dan

neoliberalisme beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Bab ini terdiri atas dua sub bab; sub bab pertama menyangkut makna

hegemoni PBI dalam konteks globalisme dan sub bab kedua tentang makna

politik pendidikan nasional. Makna hegemoni PBI dalam konteks globalisme

adalah terjadinya disorientasi pendidikan nasional yang menimbulkan bentuk-

bentuk hegemoni seperti stratifikasi dan komersialisasi pendidikan sedangkan

pada sub bab kedua terkait dengan politik pendidikan nasional dalam hal

munculnya kontra-hegemoni dan resistensi masyarakat terhadap wacana PBI

melalui mekanisme demokratis lembaga MK dan melalui berbagai wacana

yang bersifat kritis terhadap hegemoni negara atas pendidikan nasional

khususnya pendidikan menengah umum.

Page 254: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

254

7.1 Makna Ideologis/Globalisme

Wacana PBI dalam hubungannya dengan globalisasi dan pendidikan

nasional berkembang melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral,

melalui kepemimpinan politik dan ideologis yang didukung oleh kaum

intelektual. Wacana pengetahuan oleh intelektual merasionalisasi PBI sebagai

solusi terhadap permasalahan pendidikan nasional menghadapi tantangan

globalisasi. Hal ini kemudian menghasilkan permasalahan politik, sosial,

ekonomi, dan budaya dalam bentuk-bentuk standarisasi pendidikan,

kapitalisasi dan komodifikasi pendidikan, stratifikasi pendidikan, pencitraan

kualitas internasional, dan marginalisasi identitas budaya sebagai akibat dari

berbagai faktor kuasa: politik pendidikan, otonomi manajemen pendidikan,

globalisasi dengan berbagai ideologi turunannya dan bahasa Inggris sebagai

bahasa internasional dan IPTEK.

Secara ideologis, negara merekayasa kesadaran masyarakat dan pelaku

pendidikan untuk mendukung kekuasaan negara melalui birokrasi dan

lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni yang beroperasi membentuk dan

mengarahkan perkembangan pendidikan nasional (Takwin, 2009: 74). Hal ini

sesuai dengan pemikiran Foucault tentang genealogi sebuah wacana dan

aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512).

―…that the notion of hegemony is not free floating. It is in fact tied to

the state in the first place. That is, hegemony isn‘t an already

accomplished sosial fact, but a process in which dominant groups and

classes – manage to win the active concensus over whom they rule.‖

(Michael W.Apple, 1982: 26)

Page 255: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

255

Secara teoretis, dalam konteks kajian budaya, “power” dan ideologi

mengonstruksi makna melalui produksi dan sirkulasi wacana, ideologi

merasionalisasi dan melegitimasi makna melalui instrumen ideologi yang

merepresentasikan “power”. Dominasi pasar, negara, elit, dan kelas menengah

yang dalam operasionalnya mendistorsi kesadaran masyarakat dalam melihat

sesuatu menyebar dalam bentuk praktik wacana. Dalam hal ini pemerintah

merancang satuan PBI dalam bentuk RSBI untuk mengembangkan sekolah

bermutu dalam konteks wacana standarisasi pendidikan untuk menghadapi

berbagai tantangan pada skala nasional, regional dan global.

Pengetahuan secara inheren bersifat ideologis, sosial dan politis dalam

arti tidak bebas nilai, merefleksikan nilai-nilai, gagasan, dan kepentingan

kelompok sosial tertentu (Foucault, 1977: 27-28; Mantra. D, 2011:17-18).

Dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan, kondisi sosial-

ekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan daya saing nasional merupakan

“pengetahuan objektif” bagi munculnya wacana UU Sisdiknas pada tahun

2000-an tentang pentingnya pendidikan nasional merespons situasi global. Hal

ini merupakan sebuah formasi diskursif antara pemerintah dan “kekuatan”

global. Dalam hal ini, posisi pemerintah dan elit politik pendidikan

“memanfaatkan” kesadaran kelompok masyarakat kedalam perspektifnya

tentang globalisasi. Globalisasi yang mengandung semangat persaingan dan

standar mutu dalam meningkatkan perekonomian nasional dipandang relevan

sebagai tantangan pendidikan nasional.

Page 256: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

256

Wacana PBI dalam sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari

dinamika sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh kapitalisme dan

liberalisme dalam lingkup global yang kemudian melahirkan hegemoni

globalisme. Negara dengan berbagai institusi yang menopangnya berperan

menghegemoni masyarakat melalui berbagai wacana UU, kebijakan, dan

berbagai peraturan untuk mendukung reformasi pendidikan nasional dalam

sistem kapitalisme global. Hegemoni PBI didukung oleh intelektual yang

merasionalisasi relevansi PBI dalam sistem pendidikan nasional yang

kemudian merefleksikan nilai-nilai, gagasan, dan kepentingan kelompok sosial

tertentu. Dengan demikian, hegemoni negara tentang PBI ditopang oleh

pengetahuan melalui kepemimpinan intelektual. Secara sosio-kultural, kuasa

pengetahuan dan hegemoni negara tersebut ditopang oleh budaya paternalistik

yang masih hidup di tengah masyarakat.

Konsep dan implementasi PBI telah berdampak politik, sosial, ekonomi

dan budaya bagi pendidikan nasional sehingga menimbulkan proses

pendidikan yang kontraproduktif dengan cita-cita pendidikan nasional. Dengan

konsep dan praktik pendidikan yang didasarkan pada UU Sisdiknas 2003,

secara politik terjadi hegemoni globalisme, secara sosial menimbulkan

diskriminasi dan stratifikasi pendidikan, secara ekonomi menimbulkan

komodifikasi pendidikan, secara budaya menghasilkan pencitraan dan

marginalisasi identitas bangsa khususnya melalui penggunaan bahasa Inggris

sebagai bahasa pengantar di RSBI.

Page 257: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

257

Dalam konsep dan implementasinya, RSBI/SBI mengandung ideologi

kekuasaan yang saat ini sedang menghegemoni dunia yang pada dasarnya

terjadi dalam tiga dimensi; yaitu intelektual, moral, dan politik. Dimensi

intelektual dan moral mengacu pada proses hegemoni yang melibatkan

kepemimpinan (penguasaan wacana pengetahuan) dan konsensus (pihak

subordinat menerimanya) sedangkan dimensi politik terkait dengan dominasi

wacana dan wewenang yang dimiliki negara untuk memaksakan PBI melalui

UU dan berbagai peraturan terkait yang bersifat represif untuk

diimplementasikan dalam bentuk program RSBI/SBI.

Hegemoni wacana globalisme melalui introduksi PBI dalam sistem

pendidikan nasional sarat dengan terminologi-terminologi dan jargon-jargon

yang terkonstruksi secara sistemik melalui isu-isu „pendidikan dan globalisasi‟,

“standard pendidikan internasional”, „pendidikan dan daya saing bangsa‟,

„bahasa Inggris dan pendidikan internasional‟, „pendidikan berbasis TIK‟, dan

sebagainya. Penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan pembelajaran sains dan

matematika secara jelas menunjukkan sebuah bentuk wacana imperialisme

berbasis rasionalisme pengetahuan dan pragmatisme ekonomi dalam

pendidikan.

Hegemoni standarisasi pendidikan dari perspektif guru sebagai kunci

proses pembelajaran menujukkan bahwa terjadi kesenjangan antara realitas

standar nasional pendidikan dan “taraf internasional” yang ingin dicapai

melalui kebijakan PBI dalam pendidikan menengah umum. Wacana PBI

menyembunyikan realitas objektif pendidikan nasional baik secara filosofis

Page 258: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

258

maupun sosial, ekonomi dan budaya dan mengunggulkan serta merasionalisasi

pentingnya standarisasi menghadapi era globalisasi yang sarat dengan

kontestasi ideologis.

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) tentang

satuan PBI secara jelas mengandung semangat globalisme. Wacana globalisasi

menjadi salah satu “unsur pembentuk” visi pendidikan nasional yang

berorientasi pada kualitas pendidikan di negara-negara OECD yang merupakan

agen agenda globalisasi. Globalisasi menurut Appadurai (2007) beroperasi

melalui ideologi, teknologi dan media dalam dunia pendidikan. Susan L.

Robertson (University of Bristol, 2006: 303-318) dalam karyanya „Absences

and Imaginings: The Production of Knowledge on Globalisation and

Education‟ menjelaskan bahwa globalisasi menciptakan sebuah “apartheid”

bagi masyarakat akademik. Wacana globalisasi menciptakan peluang

komersialisasi pendidikan dalam bentuk distribusi pengetahuan melalui TIK.

Menurut Susan, WTO sebagai lembaga perdagangan internasional berperan

penting dalam negosiasi perdagangan yang melibatkan negara-negara barat

untuk mempromosikan liberalisasi sektor jasa pada skala global

(http://www.bris.ac.uk/education/research/centres/ges/publications/02slr.pdf:

akses 13 Agustus 2013).

Dalam konteks pendidikan nasional, menurut tokoh pendidikan Ki

Hajar Dewantoro pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang diarahkan

untuk mengolah dan mengubah kondisi sosio-kultural masyarakat. Namun,

dalam perkembangan pendidikan nasional, melalui “instrumen” pendidikan,

Page 259: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

259

pemerintah justru menghegemoni masyarakat melalui kebenaran-kebenaran

yang dibangun berdasarkan rasionalitas ilmu pengetahuan dan kekuasaan.

Dalam bukunya yang berjudul „Prison Notebooks‟ (1971) Antonio Gramsci

menyatakan bahwa hegemoni kekuasaan dapat dioperasikan menjadi hegemoni

makna melalui instrumen pendidikan untuk kepentingan kelas sosial tertentu.

Pemikiran Gramsci tentang dominasi suatu kelompok atas kelompok

lainnya tidak terelakan dalam suatu negara karena dalam operasinya ide-ide

yang “disosialisasikan” oleh pihak dominan diterima begitu saja sebagai hal

yang wajar dan rasional oleh pihak subordinat. Gagasan-gagasan tentang

pendidikan seperti PBI secara sadar diarahkan oleh negara dan diterima begitu

saja oleh masyarakat. Dalam konteks hegemoni internasional, kewajiban

bersekolah, misalnya, menentukan peringkat kemajuan bangsa-bangsa di dunia

menurut “rezim internasional”. Keberhasilan suatu negara di bidang

pendidikan ditentukan berdasarkan, misalnya, jumlah tahun rata-rata warganya

bersekolah. Inilah sebuah bentuk dominasi pemikiran dalam pendidikan yang

berorientasi globalisasi.

Sebagaimana ditekankan dalam uraian terdahulu bahwa ilmu

pengetahuan dan pendidikan tidak pernah bersifat netral (Sirozi, 2007 dan

Tillar, 2009), selalu menjadi alat politis untuk mempertahankan status quo.

Kekuasaan (negara) beroperasi melalui sistem pendidikan sebagai sarana

pendisiplinan masyarakat dan warganya. Dalam sejarah Indonesia, pendidikan

sebagai apparatus ideologis telah digunakan oleh pemerintah untuk

menghegemoni masyarakat tentang nilai-nilai sosial, ekonomi dan kultural.

Page 260: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

260

Pada era prakolonial pendidikan bersifat elitis, pendidikan dianggap sebagai

hak istimewa kelompok elit. Selanjutnya, pada masa kolonial, pemerintah

Belanda secara diskriminatif memberi akses pendidikan kepada pemuda

pribumi untuk mengisi birokrasi pemerintahan kolonial sekaligus sebagai alat

untuk melestarikan kekuasaannya. Pada masa Orde Lama, pendidikan

diarahkan untuk membangun nasionalisme di kalangan generasi muda.

Selanjutnya, pemerintahan Orde Baru mendukung liberalisme dengan,

misalnya, meratifikasi pendidikan sebagaimana dikehendaki WTO dengan titik

kulminasinya pada lahirnya UU Sisiknas No.20/2003 pada era reformasi.

Dinamika orientasi politik pendidikan sebagai perjuangan politik dapat

digambarkan dengan bagan berikut.

Bagan 4. Dinamika Arah Politik Pendidikan Kolonial-Reformasi

Cambridge dan Thompson (2004), menyatakan bahwa sekarang istilah

“internasional” merujuk pada ideologi pendidikan yang disebut sebagai

“internasionalisme” (internationalism), yakni pemikiran yang cenderung go

KOLONIAL Kolonialisasi Hindia Belanda

ORDE LAMA Nasionalisme dan Sosialisme

Indonesia

ORDE BARU Pembangunan Ekonomi

REFORMASI Demokratisasi dan Daya Saing

bangsa

Page 261: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

261

international dalam pendidikan melalui sekolah-sekolah berlabel internasional.

Dari perspektif posmodernisme, praktik pendidikan “internasionalisme”

tersebut membuat gambaran dunia internasional serba baik dan natural bagi

sekolah dan sistem pendidikan secara umum. Pandangan internasionalisme

pendidikan adalah bahwa sistem dan praktik pendidikan harus diarahkan pada

dunia internasional. Padahal, label “rintisan sekolah bertaraf internasional”

tidak perlu dicantumkan agar kualitas pendidikan nasional diperhitungkan

negara-negara lain. Pendidikan yang berakar pada budaya bangsa, asal

ditangani serius, bisa bersaing dengan negara lain (Kompas, Rabu 21 Maret

2012).

7.2 Makna Sosial-Ekonomi

Piliang (2004: 361) dalam bukunya Dunia Yang Dilipat: Tamasya

Melampaui Batas-batas Kebudayaan menyatakan bahwa pendidikan

merupakan sebuah wacana, yang di dalamnya sikap ilmiah, objektivitas, sikap

kritis, kebebasan, dan pikiran bebas dibentuk secara sadar yang menjadi

fondasi dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Namun, ketika

pendidikan menjadi sebuah alat kekuasaan, seperti kekuasaan kapitalisme,

maka pendidikan menjadi wacana bagi penciptaan kepatuhan total (total

discipline) terhadap kekuasaan yang memperalatnya. Pendidikan menjadi

sebuah alat kontrol pikiran (mind) yang sistematis untuk memenjarakan

pikiran setiap orang ke dalam satu dimensi yaitu dimensi komersial.

Page 262: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

262

Pengetahuan di era kebudayaan posmodern dikemas dalam bentuk

komoditas informasi dalam memperebutkan kekuasaan pada skala global.

Pengetahuan dan informasi dijadikan komoditas untuk mendapatkan

keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta

pengetahuan sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Ketika negara

lepas tangan dari praktik kapitalisme dalam pendidikan maka merkantilisme

pengetahuan, yaitu komodifikasi pengetahuan dalam berbagai bentuk wacana

komersial dan komodifikasi muncul di dalam sistem pendidikan, sehingga

fungsi sosial dan peran produktif dan nilai humanisme pendidikan menjadi

terabaikan (Piliang, 2004: 361-362). Hal ini dapat dipahami melalui kenyataan

empiris dan implementasi satuan PBI melalui kutipan berikut.

Ya biaya pendidikan di RSBI memang relatif mahal, tetapi itu juga karena

adanya pungutan-pungutan oleh sekolah yang tidak terkontrol...Saya tahu

ada sekolah yang melakukan pungutan biaya besar dari orangtua siswa

tetapi pengalokasiannya sebenarnya bukan untuk program dan kegiatan

penguatan kualitas pendidikan..Jadi ke depan ini yang perlu diikontrol

oleh pemerintah (Wawancara dengan Slamet, 25 Agustus, 2012).

Internasionalisasi pendidikan tidak muncul dalam kevakuman budaya.

Dalam proses globalisasi, ada motif sosial-budaya untuk mempersiapkan siswa

menjadi warga global. Secara politis dan ekonomi, internasionalisasi

pendidikan penting untuk diplomasi budaya dan peningkatan kesejahteraan

warga negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia telah lama

menjadikan pendidikan sebagai salah satu sumber devisanya. Inggris dan

Amerika Serikat juga termasuk dua negara pengekspor jasa pendidikan terbesar

di dunia. Dengan demikian, tidak mengherankan bila sektor pendidikan

termasuk salah satu “komoditas” dalam General Agreement on Trade in

Page 263: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

263

Services (GATS) yang dimotori dan dipromotori oleh negara-negara maju

seperti Amerika Serikat dan Australia.

WTO dengan ideologi neoliberalismenya tidak hanya mengatur

produk-produk industri tetapi juga produk jasa pendidikan untuk tunduk pada

mekanisme pasar. Akibatnya, hukum-hukum ekonomi berpengaruh terhadap

berbagai keputusan tentang pendidikan. Di kalangan masyarakat kemudian

muncul semacam propaganda bahwa “pendidikan bermutu itu mahal”.

Ungkapan seperti ini merupakan rasionalisasi dan justifikasi mahalnya

pendidikan (bertaraf internasional). Dengan tingginya biaya pendidikan, akses

masyarakat ekonomi lemah terhadap pendidikan menjadi terbatasi. Dalam hal

inilah, keadilan sosial dan nilai-nilai ”gotong royong” dalam konteks

keindonesiaan terasa dipertukarkan dengan konsep-konsep penting dalam

wacana ekonomi liberal seperti produktifitas, daya saing, efisiensi, dan

keuntungan sebesar-besarnya (Zajda, 2005; xiii-xiv; Barker, 2005: 133).

Praktek komersialisasi pada sekolah-sekolah RSBI tidak terlepas dari

kebijakan pendidikan yang berorientasi globalisme seperti standarisasi

pendidikan dalam bentuk Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang

merupakan turunan dari tuntutan sertifikasi manajemen ISO. Munculnya

wacana MBS sejak tahun 1980-an dimaksudkan untuk pemberdayaan

pendidikan di daerah yang di dalamnya terkandung semangat pengalihan

kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pengelolaan pendidikan dari

birokrasi pusat ke sekolah dan komunitasnya. Selain itu, dasar pemikiran

penerapan MBS ini juga terkait dengan rendahnya mutu pendidikan menengah

Page 264: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

264

yang disebabkan oleh faktor penyelenggaraan sekolah yang birokratis-sentris

(Suparno, 2002: 58-59).

Kewenangan sekolah secara otonom dalam mengambil suatu keputusan

sangat penting untuk memajukan sekolah. Partisipasi masyarakat dalam

memajukan sekolah merupakan salah satu semangat dari pentingnya MBS

diterapkan. Implementasi otonomi sekolah yang diberdayakan melalui MBS

telah membuat kekuasaan Kepala Sekolah bertambah besar dibanding

sebelumnya yang hanya berperan sebagai “operator” Dinas Pendidikan.

Namun, MBS sebagai wujud otonomi sekolah justru memberi “ruang bebas”

bagi pihak sekolah untuk menghimpun dana pendidikan dari masyarakat.

Kepala Sekolah secara leluasa dapat membuat dan mengimplementasikan

kebijakan yang terkait dengan anggaran sekolah (Paat, 2011: 257-258).

Dalam pratiknya, MBS lebih berperan sebagai “stimulus” bagi sekolah

untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pembiayaan berbagai program

pendidikan yang ternyata sulit dikontrol oleh pemerintah. Komite Sekolah

menjadi alat legitimasi bagi kebijakan sekolah, dan justifikasi untuk lepasnya

tanggungjawab negara dari permasalahan fundamental pendidikan. Pendidikan

(sekolah) menjadi urusan “individu atau privat” yang dapat dikelola secara

efisien dan efektif sesuai kebutuhan “klien” pendidikan (Suparno, 2002: 58-59;

Robertson, 2000:174 dalam Darmin: 108-109).

Karena di kelas internasional…itu satu tahun anak membayar Rp.

31.000.000,00, tapi itu sudah yang termurah karena kalau yang termahal di

Jakarta itu ada Rp. 45.000.000,00, untuk kelas internasional...pokoknya

betul-betul memang ada barang, ada harga, ya. (Retno L, Risalah Sidang

MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm.24).

Page 265: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

265

Dalam Kepmendiknas No. 044 Tahun 2002, Komite Sekolah diizinkan

untuk mengembangkan sekolah melalui partisipasi pendanaan dari masyarakat.

Sekolah bisa menghimpun dana dari orangtua siswa atas persetujuan komite

sekolah. Dengan legitimasi komite sekolah dan rasionalisasi penguatan proses

peningkatan kualitas pendidikan, sekolah menjadi tempat “transaksi produk”

pendidikan seperti kegiatan berkedok study tour, pertukaran pelajar, dan studi

banding. Sekolah menjadi institusi yang konsumtif dan membebani

masyarakat. Layanan pendidikan cenderung berorientasi pada pemenuhan

selera konsumen. Hal ini mengakibatkan terjadinya proses reifikasi pendidikan

dalam arti membendakan segala sesuatu yang dapat dijadikan objek (anak

didik) yang dapat diukur untuk memenuhi tuntutan pasar dengan kompetensi

yang terukur yang kemudian melahirkan berbagai kegiatan pendidikan dan

pelatihan untuk memeroleh kompetensi dan sertifikasi sebagaimana tergambar

dari kutipan berikut.

Reifikasi proses pendidikan secara logis melahirkan berbagai ukuran

standarisasi serta kompetensi-kompetensi untuk memenuhi standar

tersebut. Dalam dunia ekonomi hal ini memang suatu yang diharuskan

untuk memperoleh produk-produk yang semakin lama semakin berkualitas

dalam arti sesuai dengan selera konsumen (Tilaar, 2006: 20-21).

Menurut Tilaar (2006: 20) reifikasi proses pendidikan merupakan

bagian dari proses produksi yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip

manajemen seperti prinsip-prinsip efisiensi dan produktifitas. Dalam hal ini

pendidikan dipandang sebagai kegiatan investasi yang dapat memberikan

keuntungan sebasar-besarnya. Proses pendidikan yang dilaksanakan dengan

Page 266: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

266

prinsip-prinsip efisiensi dan orientasi kualitas tinggi sesuai selera konsumen

dapat mematikan kreatifitas dalam proses pembelajaran.

Hadirnya sekolah-sekolah publik “bergengsi” internasional menuntut

pembiayaan yang lebih mahal dibanding sekolah-sekolah pada umumnya. Hal

yang sama terjadi pada RSBI dengan, misalnya, memungut “uang

pembangunan” dari masyarakat dan orangtua siswa untuk memenuhi

pembiayaan berbagai standar pendidikan yang seharusnya bagian dari

tanggungjawab pemerintah. Dengan orientasi “standar internasional”, sekolah-

sekolah semakin menuntut standarisasi berbagai komponen pendidikan seperti

proses pembelajaran dan sarana prasarana yang berkontribusi terhadap

tingginya biaya pendidikan dan kemudian menyingkirkan (calon) siswa-siswa

yang berlatar belakang ekonomi lemah.

Dari segi biaya pendidikan di sekolah RSBI dengan segala implikasi

sosialnya, terdapat “plesetan” di masyarakat seperti “Rintihan Sekolah Bertarif

Internasional” (RSBI) dan Rintisan Sekolah Bencana bagi Indonesia” (RSBI).

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan RSBI tidak hanya bermasalah dari

segi akademik tetapi juga dari segi sosial, ekonomi dan budaya. Dalam konsep

Bourdieu, keberadaan sekolah RSBI ini menimbulkan “kekerasan simbolik”

secara ekonomis dan psikologis. Heru, salah seorang orangtua murid yang

mengeluhkan keberadaaan RSBI pernah menyaksikan pernyataan pihak

manajemen sekolah di tempat anaknya bersekolah seperti kutipan berikut.

Sekolah ini bagus, pakai AC, terkenal, RSBI, jadi boleh dong kalau

dimintai bayaran. Kalau mau gratis, ya sekolah di tempat lain saja, di

sekolah yang biasa-biasa saja, jangan di sini!” …di Jakarta kencing saja

bayar, apalagi sekolah RSBI.… kalian sekolah diantar pakai mobil, punya

Page 267: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

267

rumah, dan pakai HP… (Heru, Risalah Sidang, Selasa 15 Mei 2012, hlm.

22).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada semacam modus yang disebut

Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dalam bentuknya yang sangat halus

dengan rasionalisasi bahwa RSBI itu berkualitas, memiliki sarana prasarana

multimedia yang canggih dan karenanya biaya pendidikannya wajar mahal.

Bahasa dan makna simbolik dari pihak “penguasa” dilontarkan lewat sebuah

mekanisme tersembunyi dari kesadaran dan diterima begitu saja sebagai doxa

oleh pihak ”korban” (Takwin, 2009: 116-117).

Dari segi konsep dan implementasi, RSBI merupakan wujud liberalisasi

pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas

sehingga pendidikan menjadi kehilangan “ruh” dan fungsinya sebagai sarana

transformasi sosial. Menurut Chorney (2010:13-14) komersialisasi pendidikan

dalam konteks globalisasi ditandai dengan terjadinya praktek komersial yang

mendukung perekonomian. Sektor pendidikan memasuki sistem pasar bebas

sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.

…the free-trade educational services context would facilitate academic

mobility in terms of cross-border supply,which would include IT-

facilitated education and the franchising of courses and degrees, and

commercial presence, whereby the service provider establishes facilities in

another country, including branch campuses and joint ventures (Chorney,

2010:13-14).

Dalam konteks kehidupan modern, sebagai implikasi dari tuntutan

masyarakat kapitalis dan liberal, standarisasi dan kompetensi merupakan

tuntutan mutlak. Masyarakat konsumen menuntut produksi dan kualitas

layanan dalam semangat persaingan bebas. Perusahaan yang tidak dapat

Page 268: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

268

bersaing melalui kualitas produk dan layanannya akan ditinggalkan oleh

konsumen. Dalam hal inilah prinsip efisiensi dalam berbagai jaringan produksi

dituntut untuk menjamin kualitas standar produksi. Hal inilah yang melahirkan

kesepakatan-kesapakatan internasional yang diatur dalam ISO dan peran WTO

yang memasukkan layanan pendidikan di dalam komoditas perdagangan bebas

(Tilaar, 2006: 34-35)

Komersialisasi pendidikan yang mendukung perkembangan ekonomi

dimaknai sebagai peluang untuk sukses dalam arena persaingan global.

Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan warga

negara yang humanis. Dalam hal ini, komodifikasi pendidikan tidak terlepas

dari ideologi globalisme dan neoliberalisme dengan berbagai realitas

“kebijakan” lainnya seperti, orientasi standar pendidikan OECD dan

manajemen ISO, penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, adaptasi

kurikulum Cambridge, penerapan pembelajaran berbasis TIK, yang masing-

masing dan semuanya berkontribusi terhadap mahalnya biaya pendidikan, yang

kemudian dapat menyingkirkan peluang kelompok sosial tertentu mengakses

pendidikan bermutu.

Secara ekonomis, bentuk kerjasama sekolah RSBI dengan lembaga atau

sekolah di luar negeri seperti Cambridge berimplikasi pada adaptasi kurikulum

dan penggunaan buku-buku impor. Dari segi bisnis, penggunaan buku teks

impor tidak hanya menyangkut aspek ekonomi tetapi juga nilai-nilai budaya

dan pengetahuan. Penggunaan buku-buku impor dapat menguatkan hubungan

hegemonik antara negara-negara maju dan Indonesia.

Page 269: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

269

“Ya terus terang ya pengelolaan RSBI memang cukup mahal ya…biaya

operasional listrik sangat tinggi karena penggunaan fasilitas sarana

prasarana, AC..termasuk buku-buku impor yang memang cukup mahal

harganya.. (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni 2012)

Menurut teori reproduksi sosial, sekolah sebagai lembaga pendidikan

dapat mereproduksi ketidakadilan sosial melalui analisis reproduksi dari tiga

perspektif: ekonomi, budaya, dan linguistik” (http://wiki.answers.com). Dalam

hal ini, terdapat hubungan antara sekolah dan ekonomi, budaya, dan linguistik.

Produksi dan distribusi buku teks, misalnya, merupakan proses yang

melibatkan berbagai pihak. ”The creation, production and distribution of

textbooks is a complex process involving many parts of a society's

infrastructure. The publishing industry is involved, as are the educational

establishment, writers and, inevitably, government departments…” (Limage,

2005).

Dengan adanya kerjasama dengan sekolah-sekolah di luar negeri yang

kemudian berimplikasi pada penggunaan bukup-buku impor, maka biaya

pendidikan semakin tinggi dan bahkan sebagian biaya pendidikan tersebut

”mengalir” ke luar negeri. Padahal, salah satu argumentasi pemerintah dan

pendukung keberadaan RSBI adalah bahwa sekolah ini dapat mencegah

”capital flight” dengan menampung hasrat warga negara Indonesia yang

berkemampuan ekonomi tinggi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-

sekolah berkualitas di luar negeri. Secara ekonomis, pengadaan dengan

importasi buku teks yang disebutkan di atas juga menyangkut kekuatan kapital

yang dapat mengakibatkan ”capital flight”, sebagaimana tergambar dari

kutipan berikut.

Page 270: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

270

… mereka harus beli buku-buku sendiri. Buku-bukunya itu ya buku

Cambridge, keluaran … dan berbahasa Inggris. Buku-buku itu kalau untuk

dua puluh paket saja, misalnya semester lalu yang saya tahu, itu

pembeliannya Rp123.000.000,00 itu ditransfer karena memang itu

pembeliannya melalui Cambridge ya… (Retno, Risalah Sidang MK,

Selasa 20 Maret 2012, hlm. 27).

Menurut Supanto, penanggungjawab RSBI di SMA Negeri 2 Bandarlampung,

biaya pengeluaran untuk kerjasama dengan lembaga di luar negeri seperti

Cambridge untuk satu mata pelajaran saja dengan buku teks impor dibutuhkan

kira-kira Rp. 400.000-500,000,- per siswa untuk satu semester. Secara umum,

komponen biaya untuk kerjasama dengan salah satu negara OECD cukup

tinggi dan biaya ini dibebankan kepada orangtua siswa ...(Wawancara 6 April

2013).

Dalam konteks globalisasi yang sarat dengan politik ekonomi dan

persaingan, kebijakan ”benchmarking” seperti pengadaan buku impor dan

kerjasama internasional berkontribusi terhadap tingginya biaya pendidikan.

Bagaimanapun, hal ini melibatkan pelaku-pelaku bisnis dengan prinsip-prinsip

ekonomi-kapitalisme. Dalam konteks ini, menurut Darmin, seorang praktisi

pendidikan, menyatakan:

RSB/SBI menciptakan ketidakadilan sosial, menghalangi setiap warga

negara untuk menikmati pendidikan yang berkualitas... Dampak dari

komodifikasi pendidikan internasional dan global adalah meningkatnya

ketidakadilan internasional. RSBI…SBI lebih mementingkan persaingan,

“Siapa yang kuat, dia yang menang.” (Darmin, Risalah Sidang MK,

Selasa 20 Maret 2012, hlm. 18).

Kutipan di atas menegaskan bahwa pendidikan dengan desain RSBI lebih

berfokus pada aspek ekonomi. Globalisasi dengan ideologi kapitalismenya

telah melahirkan permasalahan sosial budaya seperti komodifikasi pendidikan

Page 271: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

271

yang menimbulkan ”korban” sebagian masyarakat yang tidak mampu bersaing

untuk keadilan.

7.3 Makna Pemberdayaan/Profesionalisme

Makna pemberdayaan dalam pembahasan ini menyangkut realitas

lemahnya posisi guru dalam pendidikan nasional dan dalam hubungannya

dengan wacana PBI. Dari delapan standar nasional pendidikan yang menjadi

acuan pengembangan pendidikan nasional, tenaga kependidikan khususnya

guru merupakan kunci dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pada

kenyataannya, kondisi komponen (kualifikasi) tenaga kependidikan khususnya

guru masih mendekati SNP (S1, DIV, tersertifikasi). Hal ini tidak sesuai

dengan misi pendidikan nasional yang berorientasi pada standar internasional

di tengah permasalahan kondisi kebanyakan SMA masih di bawah SNP.

Menurut UU seluruh SMA atau sekolah sejenis memiliki hak yang

sama untuk misalnya pengembangan guru profesional dan izin menggalang

dana dari masyarakat dalam upaya memajukan pendidikan. Sesuai UU

Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 41 ayat (3): “Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga

kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan

yang bermutu.“ Pada kenyataannya, sekolah yang berlabel RSBI mendapat

fasilitas lebih banyak dan perlakuan khusus dalam pengembangan guru dan

berbagai kompenen pendidikan lainnya sehingga menimbulkan kesenjangan

Page 272: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

272

mutu antarsekolah. Hal ini adalah akibat perlakuan atau kebijakan politik

pendidikan yang tidak sensitif secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Menurut Tilaar (2006: 66), kualitas pendidikan dapat diukur dari segi

ekonomi, sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri,

dan dari perspektif globalisasi. Dalam konteks ini, profesionalisme guru

merupakan kunci bagi keberhasilan implementasi sebuah kurikulum dan

berbagai komponen standar pendidikan lainnya. Penegasan guru sebagai

pekerjaan khusus telah termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005

pasal 5 ayat (1) bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan

khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Undang-Undang tersebut

juga mengamanatkan peningkatan mutu guru untuk mendongkrak mutu

pendidikan nasional.

Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 78 Jakarta, Ridnan (wawancara

Rabu 21 Maret 2012) juga menyatakan bahwa tidak semua guru tetap MIPA

dan Bahasa Inggris yang ada di sekolah tersebut mengajar di kelas

internasional. Guru-guru diseleksi sesuai standar kelas internasional.

Permasalahannya kemudian adalah selain tentang kriteria ”internasional” yang

dapat diperdebatkan juga tentang terjadinya kecemburuan bagi guru-guru

lainnya, khususnya guru yang tidak terlibat dalam kelas internasional. Dalam

bentuk yang berbeda, kehadiran RSBI pada SMA Negeri 2 Bandarlampung

bahkan menimbulkan resistensi dari sebagian guru karena mereka memandang

bahwa standar tinggi (komponen pendidik atau guru) yang ditetapkan tidak

realistik. Resistensi muncul dalam berbagai bentuk, misalnya, keengganan

Page 273: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

273

sebagian guru untuk mengikuti pelatihan bahasa Inggris untuk peningkatan

profesionalisme mereka.

Ya ada memang… ada beberapa guru juga yang apatis itu dengan RSBI

ini, mengapa repot-repot dengan RSBI ini… kita hendak kemana…gitu.

(Wawancara dengan Sp 6 April 2013).

Globalisasi dalam dirinya memang menuntut penyesuaian-penyesuaian

budaya khususnya di negara-negara yang tidak memiliki kultur persaingan

seperti dalam budaya Indonesia pada umumnya. Dalam hal kenyataan yang

diungkapkan di atas, permasalahan guru sebagai pekerjaan profesional perlu

dikaji dalam kaitannya dengan realitas di sekolah dan lembaga penghasil guru.

…lembaga yang terkait dengan pengembangan profesi guru perlu lebih

berani dan lebih banyak memberikan kemungkinan di mana para guru

dapat mengembangkan dirinya… Dengan cara ini, pembentukan guru yang

otonom dan profesional dapat terjadi sepanjang pekerjaannya menjadi guru

(Suparno, dkk, 2002: 106).

Guru tidak cukup hanya memiliki kompetensi akademik, tetapi juga

sikap kritis terhadap aspek sosial budaya untuk dapat menjadi guru intelektual

atau guru organik. Guru harus mencapai tingkat kesadaran kritis untuk mampu

menyeleksi berbagai informasi dan melakukan distribusi ilmu pengetahuan.

Dalam konteks inilah guru harus diberdayakan sebagai bagian profesionalisme

sehingga dapat menjadi guru intelektual dan otonomi. Franz Magnis-Suseno

dalam kata pengatarnya pada Peran Intelektual oleh Edward Said, menyatakan:

Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai

atau tidak dengan kuasa-kuasa yang ada! Maka ia lebih cenderung ke

oposisi daripada ke akomodasi. Dosa paling besar orang intelektual adalah

apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia

tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa (Magnis,

1998: xi).

Page 274: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

274

Dalam konteks manajemen pendidikan, pemerintah dan para birokrat

pendidikan juga harus bersikap kritis terhadap dinamika global dari segi sosial,

ekonomi, budaya, dan politik sehingga misi dan substansi pendidikan benar-

benar melayani kepentingan masyarakat dan pemangku kepentingan

pendidikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chetty, Friedman, dan Rockof

(2011): The Long-term Impacts of Teachers: Teacher Value Added and Student

Outcomes in Adulthood, beberapa kesimpulan tentang peran profesionalisme

guru dalam hubungannya dengan kurikulum dan keberhasilan siswa setelah

lulus dari sekolah: (1) sukses masuk ke perguruan tinggi; (2) memasuki

perguruan tinggi kelas papan atas; (3) mendapatkan gaji yang lebih tinggi

setelah bekerja; (4) hidup di lingkungan sosial ekonomi yang lebih tinggi; dan

(5) menabung lebih banyak untuk masa pensiun (Suyanto, Kompas, Senin 1

April 2013, hlm. 7).

7.4 Makna Emansipatoris

Dari perspektif teori-teori kritis, eksistensi RSBI dalam sistem

pendidikan nasional merupakan arena pertarungan wacana antara kelompok

dominan dan kelompok subordinat. Kelompok dominan dalam hal ini adalah

negara dan kelas menengah masyarakat yang mendukung eksistensi RSBI/SBI

dan kelompok yang menentangnya yang diwakili oleh kelompok aktivis

pendidikan dan intelektual, masyarakat sipil, dan media massa yang bersikap

kritis terhadap keberadaan RSBI/SBI. Kelompok-kelompok tersebut

Page 275: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

275

memproduksi berbagai wacana dengan kekuasaan hegemonik dan simbolik

yang dimilikinya untuk melegitimasi posisi masing-masing. Mereka yang pada

posisi dominan memproduksi orthodoxa, yakni wacana yang dianggap absah

(doxa) dan memperkuat posisi dominan sedangkan agen pada posisi

subordinat berupaya memproduksi heterodoxa yaitu wacana yang menentang

doxa. Dalam hal ini wacana sebagai praksis merupakan dialektika antara

habitus dan ranah (Bourdieu 1991: 239; Bourdieu 1977: 168-169).

Penolakan masyarakat terhadap RSBI/SBI hingga akhirnya dibatalkan

oleh lembaga MK merupakan praksis sosial yang resisten terhadap eksistensi

PBI dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dapat dijelaskan melalui

pemikiran Gramsci tentang counter-hegemony dan pemikiran Foucault tentang

prinsip wacana kuasa/pengetahuan seperti pada sidang-sidang MK yang

menggugat dasar hukum eksistensi RSBI yang dinilai tidak sesuai dengan

konstitusi. Dengan kata lain, eksistensi PBI tidak hanya merupakan bentuk

hegemoni negara tetapi juga pengaruh wacana kuasa/pengetahuan (Foucault)

tentang pendidikan yang “benar” yang berhubungan dengan globalisasi dan

pendidikan nasional.

Pertarungan simbolik dalam arena pendidikan tampak dari pemikiran

penguasa (negara) tentang relevansi PBI dalam konteks globalisasi berhadapan

dengan pemikiran (kontra-wacana) yang dilandasi semangat konstitusi dan

cita-cita pendidikan nasional. Di satu pihak, Negara dalam hal ini pemerintah

memandang bahwa PBI merupakan jawaban terhadap permasalahan kualitas

dan dayang saing Indonesia yang rendah baik pada arena internasional maupun

Page 276: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

276

nasional. Di pihak lain, semangat konstitusi menekankan bahwa pendidikan

adalah hak setiap warga negara dan setiap warga negara berhak atas akses

pendidikan bermutu secara adil. Hak masyarakat seharusnya tidak boleh

dibatasi sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.

untuk masuk RSBI, berdasarkan keluhan masyarakat, pintar saja tidak

cukup karena membutuhkan biaya masuk sekolah yang sangat mahal.

Di sisi lain, pemerintah sudah mengucurkan dana cukup besar bagi

setiap sekolah berstatus RSBI. Kalaupun ada alokasi kursi 20 persen

untuk siswa miskin, tetap saja bukan solusi karena terjadi diskriminasi

yang sangat mencolok dalam fasilitas sekolah, terutama di sekolah

negeri (Kompas, Jumat 2 Desember 2011, hlm. 12).

Pendidikan sebagai institusi merupakan aparatus ideologis yang

strategis bagi kekuasaan dominan untuk menghegemoni masyarakat tentang

nilai-nilai sosial, ekonomi dan kultural melalui PBI. Hal ini kemudian

mendapat perlawanan politik dari kelompok intelektual dan masyarakat sipil

baik melalui lembaga MK maupun lembaga media massa. Perlawanan ini

muncul dalam bentuk wacana yang menyadarkan masyarakat tentang hakikat

dan fungsi pendidikan nasional. Tokoh intelektual dan Mantan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, pada Sidang MK di Jakarta,

sebagaimana dikutip oleh sebuah media cetak nasional menyatakan:

Saya sangat menentang pembelajaran di RSBI/SBI dengan alasan bernalar.

Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI dari Bumi

Indonesia yang merdeka dan berdaulat (Kompas Rabu 16 Mei 2012, hlm.

12).

Menurut Daoed Joesoef program RSBI/SBI merupakan bentuk

pengingkaran terhadap tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Hakekat dan

fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan

membentuk peradaban bangsa yang bermartabat yang tidak dapat dicapai

Page 277: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

277

melalui RSBI/SBI yang berorientasi pada negara-negara OECD kendati

dikaitkan dengan tantangan globalisasi. Globalisasi sendiri merupakan arena

kontestasi yang melibatkan berbagai kepentingan. Hal ini diperkuat oleh

penjelasan seorang narasumber dengan menyatakan:

…Ya menurut saya model sekolah RSBI/SBI ini memang lebih

mementingkan persaingan dan prinsip “Siapa yang kuat, dia yang

menang.”, yang jelas tidak cocok dengan nilai-nilai budaya kita. Kualitas

pendidikan OECD yang menjadi acuan penyelengaraan RSBI/SBI

merupakan terusan dari paham neoliberalisme-kapitalis (Wawancara

dengan Darmin, 2 Mei 2012).

Dalam hal ini, wacana globalisasi dan ideologi kekuasaan berpengaruh

terhadap proses hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Sekolah

sebagai aparatus ideologis difungsikan oleh negara untuk menghegemoni dan

mendisplinkan masyarakat tentang pendidikan dan orientasi nilai yang baik

sesuai tantangan nasional dan global (Foucault, 2002: 9; Gramsci, 1971: 57).

Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan satuan PBI, Pasal 50

ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang “satuan

pendidikan yang bertaraf internasional” dinilai bertentangan dengan esensi

Pasal 31 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam wacana publik,

khususnya melalui Uji materi UU Sisdiknas oleh MK terungkap bahwa Pasal

50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas tersebut dinilai bertentangan dengan

Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 281 ayat (2), Pasal 31 ayat (1),

ayat (2), ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan mengacu

pada pasal-pasal yang disebutkan di atas pihak pemohon uji materi UU

Sisdiknas 2003 mengajukan beberapa argumentasi yang pada initinya sebagai

berikut.

Page 278: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

278

1. dana untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI berasal dari APBN tidak

sebanding dengan manfaat yang didapatkan. Terdapat sekolah yang tidak

menggunakan dana ini untuk meningkatkan mutu sekolah melainkan

digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu,

orang tua murid seharusnya tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah

seperti biaya pendaftaran, biaya gedung dan biaya pendidikan;

2. bahwa satuan PBI tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, karena standar

kompetensi lulusan di negara maju belum tentu sesuai dengan kondisi

bangsa Indonesia;

3. satuan PBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena

dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan

nasional” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam

dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka

dengan adanya satuan PBI menurut Pasal 50 undang-undang a quo

menimbulkan dualisme pendidikan;

4. satuan PBI adalah bentuk liberalisasi pendidikan karena negara

mengabaikan kewajibannya membiayai sepenuhnya pendidikan dasar dan

membiarkan sekolah yang menyelenggarakan program RSBI dan SBI

untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat;

5. satuan PBI menimbulkan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hal ini

melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari

keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, Kuota bagi siswa miskin

yang berprestasi mengabaikan hak seluruh warga negara untuk

mendapatkan pendidikan yang layak;

6. satuan PBI berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang

berbahasa Indonesia karena proses pendidikan RSBI dan SBI

menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Hal ini dinilai

tidak melahirkan manusia berkepribadian Indonesia (Sumber: Ringkasan

Permohonan Perkara Tentang “Pelaksanaan Program RSBI dan SBI).

Dari perspektif pemerintah, PBI dipahami sebagai bagian dari sistem

pendidikan nasional dengan mengacu pada pasal-pasal lain dalam UU

Sisdiknas dan berbagai peraturan pelaksanaan RSBI/SBI, seperti

PBI=SNP+Pengayaan Kurikulum dari suatu negara maju di OECD. Dari

perspektif yang resisten, PBI dinilai di luar sistem pendidikan nasional karena

bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Penilaian MK ini sesuai

dengan argumen mereka yang mengajukan Uji Materi Undang-undang MK

yang tidak setuju dengan satuan PBI.

Page 279: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

279

Sebagai implikasi dari Putusan MK tentang pasal 50 ayat (3) UU

Sisdiknas tahun 2003 yang menjadi dasar hukum penyelengaraan satuan PBI,

semua sekolah eks RSBI akan berubah menjadi sekolah reguler dan selanjutnya

dibina oleh pemerintah daerah. Keputusan pemerintah itu secara jelas tertuang

dalam Surat Edaran tentang Kebijakan Transisi RSBI yang ditandatangani oleh

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Rabu (30/1, 2013).

Surat Edaran tersebut ditujukan kepada gubernur, bupati/walikota, dan Kepala

Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia dengan pesan bahwa semua papan

nama, kop surat dan stempel sekolah yang menggunakan nama RSBI tidak

boleh digunakan lagi, termasuk seluruh proses administrasi dan manajemen

sekolah tidak lagi diperbolehkan menggunakan label RSBI. Hal ini sesuai

dengan putusan MK Nomor 5/PUU-X/2012 yang membatalkan dasar hukum

penyelengaraan RSBI, pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas 20/2003. Mengutip

pernyataan M Nuh dalam salah satu media terkemuka nasional tentang

eksistensi RSBI/SBI pasca keputusan MK adalah sebagai berikut.

sekolah reguler itu artinya sekolah biasa. Menjelang tahun ajaran baru

akan ditetapkan bagaimana mengelola eks RSBI itu. Untuk sementara

biarkan berjalan dulu. Hal ini akan berlangsung sampai tahun ajaran baru

2012/2013. Untuk pembiayaan, pemda berkewajiban menyediakan

anggaran agar pendidikan yang bermutu di sekolah eks RSBI tetap terjaga,

selain itu menurut Nuh sekolah tidak diperbolehkan menarik pungutan dari

masyarakat tetapi dapat berpartisipasi atau boleh ikut menyumbang ke

sekolah (Kompas, Jumat 1 Februari 2012, hlm. 12).

Terkait dengan putusan MK dan implikasinya terhadap sekolah, peneliti

menanyakan tentang visi-misi sekolah yang selama ini berorientasi

internasional atau kualitas pendidikan negara-negara OECD dan kemungkinan

Page 280: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

280

perubahan-perubahan target sekolah pasca putusan MK tersebut, seorang

narasumber menjelaskan:

Secara objektif kita akui bahwa standar nasional pendidikan memang

cukup tinggi…kita akan berubah visi. Mungkin dalam beberapa bulan ke

depan akan kita ubah. Kita tetap berusaha berbuat yang terbaik untuk

mempertahankan mutu sekolah walaupun harus ada penyesuaian-

penyesuaian…karena perubahan kebijakan pemerintah (Wawancara April

2013).

Selanjutnya dari segi pembiayaan pendidikan, Supanto, selaku

penanggungjawab pengelolaan program RSBI di SMA Negeri 2

Bandarlampung, menyatakan:

Kalau sekarang belum terasa pak…semuanya akan mulai terasa pada tahun

ajaran baru… jadi kita sekarang sifatnya masih menunggu..jadi gedung

kita ini agak macet jadinya.. yang jelas mungkin kita tidak bisa melakukan

pungutan awal tahun ajaran baru..yang selama ini kita gunakan untuk

sarana prasarana. Yang langsung terasa adalah tentang pembiayaan, sejauh

mana kita diizinkan untuk melakukan pungutan dari orangtua siswa

(Wawancara 6 April 2013).

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sekolah telah terikat dengan kultur

pembiayaan atau pungutan dari orangtua siswa yang langsung berpengaruh

terhadap proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, terjadi hegemoni

pemikiran dan “habitus” di sekolah bahwa sekolah berkualitas di mata guru

(dan pengelola) identik dengan biaya tinggi dan berbagai fasilitas canggih. Hal

ini kemudian membebani sekolah untuk tetap berusaha menggali dana dari

orangtua siswa untuk mempertahankan kualitas pendidikan melalui berbagai

sarana prasarana yang telah dimilikinya. Padahal, sesuai ketentuan SNP, sarana

prasarana seperti TIK dan fasilitas pembelajaran lainnya yang berbiaya tinggi

sifatnya hanya penunjang bagi standar proses pembelajaran.

Page 281: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

281

Ketika narasumber ditanyakan tentang dampak keputusan MK terkait

RSBI dan kemungkinan permasalahan selanjutnya bagi SMA Negeri 2

Bandarlampung, Supanto, menyatakan bahwa sekolah-sekolah negeri akan

kalah bersaing dengan swasta. Sekolah tidak hanya dihadapkan pada masalah

membangun sarana dan prasarana sekolah tetapi juga pemeliharaannya yang

membutuhkan dana besar. Menurut Supanto, sekolah-sekolah swasta dalam

prakteknya relatif bebas melakukan pungutan biaya pendidikan dari orangtua

dan masyarakat untuk memajukan sekolah mereka. Secara lebih rinci ia

menjelaskan:

hanya persoalan waktu ...sekolah-sekolah negeri yang ada di kita ini akan

tergusur oleh sekolah-sekolah swasta yang ada...kalau sekarang okelah

kalau kami masih diberi izin untuk memungut dana orangtua...artinya

kami masih bisa menjaga mutu dari hal sarana prasaranalah..semua

operasional sekolah begitu. tapi kalau ke depan ini..kita belum tahu

kebijakan pak menteri di tahun ajaran ini, kalau kami mungkin tidak boleh

memungut dana sama sekali atas desakan masyarakat, tentu nanti semua

fasilitas itu akan rusak dengan sendirinya...sekolah negeri ini akan tidak

diminati oleh orang-orang (Wawancara Maret 2013).

Selanjutnya Supanto mengkhawatirkan bahwa jika sekolah-sekolah negeri

tidak diperbolehkan lagi melakukan pungutan tambahan biaya pendidikan dari

orangtua siswa maka sekolah tersebut akan tertinggal dari sekolah-sekolah

swasta yang relatif bebas memungut biaya pendidikan dari masyarakat dengan

alasan biaya pendidikan saat ini mahal dan karenanya perlu partisipasi

masyarakat (orangtua).

Berbeda dari pandangan di atas, Febri Hendri, seorang aktivis

Indonesian Coruption Watch (ICW), memiliki interpretasi yang menarik

Page 282: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

282

tentang konsekuensi dari putusan MK terhadap sekolah-sekolah RSBI dengan

menyatakan:

Penghentian seluruh program RSBI tidak akan mengganggu mutu sekolah.

Mengapa? RSBI hanyalah program tambahan di sekolah. Seperti yang

disampaikan sebelumnya, RSBI dirumuskan sebagai RSBI/SBI = SSN +

Kurikulum internasional. Dengan demikian, jika kurikulum internasional

dihapuskan, maka RSBI/SBI= SSN (Kompas, Selasa 5 Februari 2012, hlm.

7).

Pandangan di atas tidak merepresentasikan permasalahan eksistensi RSBI

secara utuh, baik konsep maupun implementasinya di lapangan. Implementasi

RSBI selama paling tidak empat tahun terakhir tidak hanya menyangkut

pencitraan sekolah bermutu dan pendidikan mahal tetapi juga membentuk

persepsi dan pengalaman baru bagi sekolah dan masyarakat. Model pendidikan

RSBI telah mengubah persepsi masyarakat tentang PBI dan upaya peningkatan

mutu pendikan. Selain itu, pandangan di atas juga mengabaikan konteks

globalisasi yang merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi

eksistensi RSBI dan menghegemoni sebagian elit pendidikan dan para guru,

siswa, dan orangtua. Mereka memandang bahwa RSBI merupakan solusi

terhadap tantangan globalisasi, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.

…RSBI memang namanya sekolah bertaraf internasional, harus tidak

boleh steril dengan perkembangan global. Oleh karena itu, semua SBI itu

harus memahami, menghayati, dan juga melaksanakan perkembangan-

perkembangan global yang diinternalisasikan ke SBI. Nah,…kalau kita

tidak melakukan langkah-langkah proaksi, kita akan tertinggal dengan

sendirinya (Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 9).

Dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI dan

orientasi kurikulum negara-negara maju, menurut Mbula Darmin, keberadaan

lembaga OCED dengan visi-misinya (globalisasi) semakin mudah masuk

Page 283: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

283

dalam sistem pendidikan nasional jika didukung oleh penggunaan bahasa

Inggris sebagai ”pemersatu” untuk sosialisasi agendanya. Bahasa selain

menjadi sarana pemersatu budaya komunikasi juga sebagai sarana penetrasi

nilai-nilai ekonomi, sosial dan politik. Penggunaan bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar di sekolah dapat memperlancar agenda globalisasi melalui

pendidikan (Mbula, 2011: 42).

Dengan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik.

Pertama, kebijakan PBI mengandung asumsi-asumsi yang tidak saja

bermasalah secara ideologis kultural tetapi juga dari segi struktural-formal.

Secara ideologis konsep dan implementasi satuan PBI tidak sesuai dengan

semangat dan falsafah tentang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan

bangsa. Hal ini dikuatkan oleh keputusan MK tentang pembatalan pasal 50 ayat

(3) tentang satuan PBI dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Selain itu,

kebijakan ini dibangun di atas asumsi-asumsi yang lemah dalam beberapa hal:

(1) kualifikasi SDM di sekolah yang belum siap, misalnya, kompetensi bahasa

Inggris; (2) secara filosofis terjadi liberalisasi dan stratifikasi pendidikan,

menimbulkan resistensi dari sebagian masyarakat; (3) profesionalisme guru

tidak mendukung, misalnya kualifikasi S2 untuk guru bidang ilmu MIPA dan;

(4) ekosistem pendidikan, berupa dukungan sosial dan ketersediaan

infrastruktur pendidikan (Surakhmad, 2009: 67-68).

Kedua, dari segi sosial ekonomi, satuan PBI dengan konsep dan

implementasinya dalam bentuk RSBI telah menimbulkan kecemburuan sosial

dan perlakukan diskriminatif bagi siswa. Di sekolah terbentuk stratikasi dalam

Page 284: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

284

proses pembelajaran, seperti rombongan belajar (kelas RSBI dan Kelas

Internasional) dan fasilitas pembelajaran yang berbeda dari satu sekolah

dengan sekolah lainnya. Dalam hal ini, sekolah turut berperan sebagai alat

reproduksi ketidakadilan sosial ekonomi dan budaya. Esensi pendidikan yang

seharusnya memerdekakan masyarakat dari keterpinggiran pembangunan

manusia justru dihadang oleh kebijakan pendidikan model RSBI.

Ketiga, dari segi budaya, kebijakan dan implementasi PBI

menimbulkan dampak kultural. Label ”internasional” dan penggunaan bahasa

Inggris sebagai bahasa pengantar pada RSBI telah menghasilkan makna

simbolik (prestise) bagi sekolah dan masyarakat. Label tersebut

menyembunyikan esensi pendidikan sebagai upaya ”memanusiakan” dan

membangun identitas nasional. Pendidikan berlabel ”internasional” menutupi

kompleksitas permasalahan RSBI di lapangan. Hal ini ”mengelabui”

masyarakat tentang esensi pendidikan berkualitas. Sebagaimana dikatakan

Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Sarjana Pendidikan Indonesia, bahwa

pendidikan di Indonesia memang harus berkualitas internasional, namun tidak

perlu dilabeli dengan”internasional”. Pemerintah seharusnya justru harus

meningkatkan mutu pendidikan dengan standar pendidikan yang terbaik untuk

semua orang (Kompas, Jumat 2 Desember 2011, hlm. 12).

Secara politik, kebijakan PBI merupakan bentuk hegemoni kekuasaan

pemerintah dan pengaruh wacana globalisasi dalam pendidikan nasional.

Hegemoni dalam prosesnya ditopang oleh berbagai institusi dan wacana

kuasa/pengetahuan oleh para intelektual dan aparatur pemerintah yang melihat

Page 285: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

285

ilmu pengetahuan sebagai ”netral” dalam konteks paradigma positivistik.

Hegemoni kekuasaan dalam ranah pendidikan khususnya selama sekitar enam

tahun terakhir terjadi karena para agen pendidikan (sekolah) dan masyarakat

(orangtua siswa) serta para intelektual (dan birokrat) meyakini bahwa satuan

PBI merupakan pendidikan berkualitas yang dapat mengangkat daya saing

bangsa pada tingkat global. Dalam implementasinya, ”proyek” tersebut justru

menghasilkan ketidakadilan sosial, kapitalisasi pendidikan dan pencitraan

publik sebagai sekolah bermutu karena menggunakan, misalnya, bahasa Inggris

dan kurikulum Cambridge. Padahal, realitas berbagai komponen standar

pendidikan nasional belum/tidak sepenihnya mendukung untuk itu.

Eksistensi satuan PBI dalam pendidikan nasional merupakan hegemoni

wacana globalisasi yang ditandai dengan kegiatan pasar global yang lebih

“popular” dengan ideologi neoliberalisme. Ideologi ini direproduksi melalui

Undang-undang Sisdiknas 2003 beserta berbagai peraturan derivatnya dan

sekolah. Pendidikan beroperasi dengan prinsip-prinsip liberal, seperti dalam

Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang memberikan kebebasan kepada

RSBI untuk memungut biaya pendidikan “secara bebas” dari masyarakat. Hal

ini kemudian menjadikan pendidikan berbiaya tinggi dan kapitalistik, dan

menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok masyarakat tertentu.

Kehadiran RSBI sebagai realisasi UU Sisdiknas tentang satuan PBI

tidak dapat dilepaskan dari sikap dan pandangan para elit bangsa dan elit

pendidikan yang “gamang” menghadapi perkembangan global. Kebijakan

mengadopsi kurikulum dari negara OECD tidak didasarkan pada kajian

Page 286: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

286

mendalam tentang kelayakan dan persiapan sumber daya pendidikan dalam

implementasi PBI. Berbagai wacana dan konsep, misalnya, SNP Plus, Kategori

Mutu, muatan lokal, OECD, Perlombaan Olimpiade, metode pembelajaran

berbasis TIK, sekolah mandiri, reguler secara konseptual dan konstitusional

bermasalah dan kurang dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Hal ini

menunjukkan selain terjadinya disorientasi ideologi pendidikan juga lemahnya

SDM dan birokrasi Kemdikbud yang mengurusi sektor pendidikan.

SBI masih banyak disalah-artikan dan kemungkinan karena

kurangnya..apa...komunikasi kebijakan secara merata kepada semua

stakeholders dalam pendidikan, dan bisa juga karena kurang akurat dalam

melakukan komunikasi kebijakan, bisa juga karena kurang konsisten

dalam melakukan komunikasi kebijakan (Risalah Sidang MK, Rabu 11

April 2012, hlm.7).

Sosialisasi konsep-konsep PBI dalam hal komunikasi kebijakan belum

efektif sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda pada level implementasi.

Dengan mempelajari berbagai jargon dan implementasinya di lapangan, PBI

merupakan satu bentuk konstruksi pencitraan bahwa pendidikan nasional

diurus dengan “serius” menghadapi persaingan global. Dengan kata lain, secara

ideologis, situasi pendidikan nasional menyembunyikan sesuatu yang

sebenarnya “menggelisahkan” masyarakat, pengambil kebijakan dan pelaku

pendidikan (sekolah) yang cenderung membangun “kebohongan publik”.

Kebohongan publik karena RSBI tidak sepenuhnya merepresentasikan

substansi kualitas SNP plus “internasional”. Kualitas sekolah RSBI dari suatu

daerah dengan daerah lainnya, seperti SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri

2 Bandarlampung yang berada di dua provinsi yang berbeda, kenyataannya

tidak sama tetapi diklaim sebagai sekolah-sekolah yang telah mendekati SNP

Page 287: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

287

untuk menuju SBI. Hal ini menyesatkan masyarakat, sebagaimana diakui oleh

seorang narasumber penelitian sebagai berikut:

…Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan

perbaikannya …perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak

holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata

internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan

ekstrakurikuler lainnya…Jika dilihat dari praktek pelaksanaan proses

penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program

ini merupakan kebohongan publik… (Prof Slamet, Sidang MK, Rabu 2

Mei 2012, hlm. 28).

Wacana bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah

RSBI sejak awal sudah kontroversial terkait dengan kesiapan SDM khususnya

guru, relevansi, dan perbedaan persepsi ditengah masyarakat dari perspektif

ideologis, kompetensi dan pedagogis. Para guru, orangtua siswa, dan anak

didik merasa bangga dengan label “internasional” dan penggunaan bahasa

Inggris sebagai “icon” kemajuan sekolahnya. Padahal, kompetensi guru dalam

bahasa Inggris dan pedagogi lemah sebagaimana dapat dipahami dari

penjelasan berikut.

….Para guru dengan kemampuan novice untuk menjadi mampu

menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat pengajaran bidang lain yang

disebut cognitive academic language proficiency memerlukan waktu

sekitar 5 hingga 10 tahun untuk dapat mampu mengajar dalam bahasa

asing secara baik… (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm.

25).

Sumber daya manusia sekolah, terutama guru-guru belum memiliki

kompetensi bahasa Inggris yang memadai untuk melaksanakan proses

pembelajaran dalam bahasa Inggris sebagaimana disyaratkan oleh Kemdikbud.

Dengan kompetensi guru-guru yang ada, berdasarkan pengakuan guru, siswa

Page 288: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

288

dan observasi realitas interaksi di kelas, penggunaan bahasa Inggris justru

dapat menghambat proses pembelajaran.

Penggunaan label “internasional” dan “bahasa Inggris” lebih bermakna

simbolik dan prestise. Hal ini didukung oleh salah satu orientasi RSBI/SBI

yaitu pencapaian non akademik seperti penghargaan olimpiade, yang pada

dasarnya bukan substansi penyelengaraan pendidikan bermutu. Habitus dan

ideologi masyarakat pendidikan lebih menonjolkan pencitraan dan gengsi

sosial terkait dengan label-label “internasional”. Hal ini juga tampak dari

sebuah tajuk berita koran lokal “Siswa Smansa Gaet 505 Prestasi Selama

Februari”, Kadisdikpora Kota Denpasar IGN Eddy Mulya dihadapan para

siswa sekolah negeri yang pernah berlabel RSBI menyatakan:

walau kini sudah tak berstatus RSBI prestasi tak boleh mundur…jangan

takut dicabut status RSBI, tapi tunjukkan Smansa adalah sekolah unggulan

sepanjang masa (Bali Post, Sabtu Pon 23 Februari 2013, hlm. 4).

Kutipan di atas sekaligus menunjukkan bahwa birokrat atau pejabat yang

mengurusi pendidikan telah terhegemoni dengan label-label “internasional”.

Dalam konsep Barthes, kata “internasional” bahkan sudah menjadi mitos

sosial tidak hanya dalam ranah pendidikan tetapi juga dalam berbagai sektor

kehidupam lainnya yang menggunakan label “internasional”;

Pada sisi lain ditemukan di lapangan adanya paradoks dalam realitas

pendidikan di sekolah-sekolah yang diteliti seperti, lebarnya kesenjangan

antara idealisasi cita-cita pendidikan nasional dan realitas objektif sekolah.

Dari segi guru, misalnya, secara kuantitatif belum memenuhi standar

kualifikasi pendidikan (S2) dan kultur birokrasi yang belum mendukung. Dari

Page 289: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

289

segi kurikulum, idealisasi KTSP yang seharusnya merefleksikan “kurikulum

plus” (adaptasi kurikulum OECD) juga belum sepenuhnya dapat diterapkan

karena terkendala oleh kompetensi guru dalam bahasa Inggris baik dalam

proses pembelajaran maupun dalam komunikasi dengan pihak sekolah mitra di

luar negeri. Selain itu, dari segi proses pembelajaran berbasis TIK, belum

tersedia pendidik dan tenaga kependidikan serta staf teknis terkait yang

memadai kompetensinya.

Politik global didukung oleh diskursus atau wacana ilmu pengetahuan

dan TIK untuk mendisplinkan masyarakat. Pemerintah berperan dalam

membangun sebuah “rezim kebenaran” tentang pendidikan “bertaraf

internasional”. Secara ekonomi negara berperan sebagai mediator masuknya

sektor pendidikan kedalam sistem pasar bebas. Rezim kebenaran ini

“terbungkus” dalam hubungan pendidikan dengan globalisme seperti efisiensi,

daya saing global, produktifitas, standar manajemen ISO, bahasa Inggris, dan

“pendidikan untuk semua”, pendidikan sepanjang hayat, diversifikasi layanan

pendidikan dan semuanya menjadi rasionalisasi pentingnya PBI dalam

menghadapi era globalisasi.

Para elit intelektual pendidikan dan aparatus birokrasi menjadi agen

yang mengorganisasi (mendisiplinkan) masyarakat untuk menerima “rezim

kebenaran” tentang PBI melalui berbagai instrumen seperti ilmu pengetahuan,

Undang-undang, institusi pendidikan, dan wacana seperti diungkapkan oleh

Prof Yohanes, tentang relevansi pendidikan “bertaraf internasional” dalam

konteks pendidikan nasional dan era globalisasi.

Page 290: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

290

Adalah masuk akal apabila satuan pendidikan yang ditingkatkan taraf …

ditingkatkan pada taraf internasional, maka digunakan standar pendidikan

dari taraf internasional demi kepentingan kompetisi antarbangsa. Sebagai

contoh dapat dikemukakan bahwa satuan pendidikan bertaraf nasional

yang hendak menghasilkan pelaut…Maka satuan pendidikan tersebut

diwajibkan memenuhi standar yang ditetapkan atau oleh International

Maritime Organization atau IMO. Jika tidak dipenuhi standar IMO

tersebut, maka para pelaut tersebut akan ditolak bekerja sebagai pelaut

baik di perusahaan nasional maupun di perusahaan, apalagi di perusahaan

yang sifatnya internasional (Prof Yohanes, Risalah Sidang MK, Selasa, 24

April 2012, hlm. 13).

Kutipan di atas menegaskan betapa ”standar internasional” telah

menghegemoni pendidikan nasional. Untuk bekerja di perusahaan nasional pun

satuan pendidikan nasional diwajibkan memenuhi standar yang ditetapkan oleh

IMO. Dalam hal ini tampak bagaimana ”rezim kebenaran” modernitas

melibatkan relasi kuasa/pengetahuan oleh Foucault yang berkonsentrasi pada

tiga diskursus disipliner; pertama, ‟ilmu pengetahuan‟ yang menjadikan subjek

sebagai objek penyelidikan; kedua, ‟praktik pemisahan‟, yang memisahkan

orang gila dari orang waras, penjahat dari warga taat hukum dan kawan dari

musuh; dan ketiga, teknologi diri, di mana individu mengubah dirinya menjadi

subjek (Barker, 2006: 82).

Teknologi disipliner muncul di berbagai bidang, termasuk sekolah yang

memproduksi ‟tubuh patuh‟ (subjek) yang dapat ‟diikat‟, digunakan, dan

ditransformasikan sesuai tuntutan jaman. Dalam hal pendidikan (nasional),

tuntutan zaman adalah globalisasi dengan semangat persaingan SDM,

produktifitas, efisiensi, dan standar mutu. Disiplin menyangkut

pengorganisasian subjek pada ruang tertentu melalui praktek pemisahan,

pelatihan dan standarisasi untuk menghasilkan subjek dengan kategori dan

Page 291: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

291

urutan hierarkis melalui rasionalitas efisiensi, produktivitas, dan ‟normalisasi‟

(Barker, 2006: 82). Dengan kata lain, kuasa/pengetahuan beroperasi melalui

kontestasi diskursus tentang hubungan pendidikan dan globalisasi. Hegemoni

terjadi melalui UU dan kebijakan standardisasi melalui suatu mekanisme

seperti ISO, Untuk menghasilkan subjek yang patuh (aparatus sekolah)

hegemoni ditopang dengan rasionalisasi objek pengetahuan (PBI) tentang

standarisasi, daya saing, efisiensi, dan produktifitas di era global.

7.5 Temuan Penelitan

Temuan peneltian ini adalah, pertama, secara politik, hegemoni PBI

dalam pendidikan menengah umum beroperasi melalui UU Sisdiknas

khususnya pasal 50 ayat (3) tentang PBI dan implementasinya serta berbagai

pasal lainnya yang bersifat “internasional”. Kandungan dan implikasi dari UU

tersebut kemudian memproduksi wacana PBI dalam pendidikan nasional. Hal

ini secara sistemik menghasilkan hegemoni dalam bentuk standarisasi,

kapitalisasi, stratifikasi, pencitraan, dan tergerusnya jati diri bangsa melalui

konsep-konsep dan praksis pendidikan. Hegemoni beroperasi secara spesifik

melalui program dan jargon-jargon seperti “standardisasi komponen

pendidikan”, “daya saing internasional”, “produktifitas”, “partisipasi

Olimpiade”, “bahasa Inggris sebagai bahasa internasional” .

Kedua, secara normatif ideologi pendidikan nasional berlandaskan

Pancasila, namun dalam implementasinya terhegemoni oleh wacana globalisme

dengan orientasi ideologinya. Standarisasi pendidikan telah melahirkan

Page 292: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

292

berbagai permasalahan pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya. Pemerintah

yang seharusnya menjadi faktor dan aktor utama dalam penyelenggaraan

pendidikan yang adil bagi seluruh warga negara, dalam praktiknya, justru

berperan selaku fasilitator ketidakadilan, khususnya melalui program

RSBI/SBI dalam konteks pendidikan menengah umum. Dalam hal ini, negara

kemudian kurang berperan dalam menjamin terselenggaranya “pendidikan bagi

semua”, yaitu seluruh warga negara tanpa terkecuali berhak atas akses terhadap

pendidikan (bermutu).

Ketiga, akibat dari hegemoni globalisme dan rasionalisasi pendidikan

sebagai investasi yang berorientasi daya saing, efisiensi, dan standard

kompetensi (homogenisasi standar), pendidikan menjadi bersifat komersial

(komodifikasi) dan hegemonik-kultural yang tidak selaras dengan tujuan

pendidikan nasional. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar

pada jenjang pendidikan menengah umum, misalnya, tidak hanya berdampak

negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina bahasa Indonesia, tetapi

juga semakin menguatkan hegemoni “globalisme” dalam kebudayaan (jati diri

bangsa) dan sistem pendidikan nasional.

Terakhir, penelitian ini menegaskan bahwa perlawanan terhadap

hegemoni PBI oleh intelektual organik dan masyarakat sipil menegaskan

pemikiran Gramsci dan Bourdieu bahwa untuk melawan hegemoni diperlukan

perjuangan politik dan intelektual serta kesadaran masyarakat sipil

sebagaimana ditunjukkan oleh para intelektual dan koalisi aktivis sosial dan

pendidikan dalam permohonan Uji Materi pasal 50 ayat (3) Undang-undang

Page 293: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

293

Sisdiknas 20 Tahun 2003 tentang satuan PBI kepada lembaga MK. Dasar

hukum pelaksanaan PBI akhirnya berhasil dianulir oleh lembaga MK 8 Januari

2013. Hal ini menjelaskan bahwa hegemoni negara dapat dilawan dengan

kontra-hegemoni dan wacana tandingan yang melibatkan sinergi masyarakat

sipil, intelektual, organisasi guru, LSM, dan berbagai kekuatan sipil lainnya

yang bersikap kritis terhadap kebijakan pendidikan yang seolah memerdekakan

tetapi substansinya dapat menyesatkan.

Refleksi

Implikasi teoritis dan praktis dari temuan penelitian ini menunjukkan

bahwa kebijakan PBI dan implementasinya ternyata kontraproduktif dengan

visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional menempatkan manusia

Indonesia sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pendidikan bermutu

untuk dapat menjadi warga negara yang cerdas dan humanis integratif.

Pengaruh ideologi globalisasi dalam konsep dan implementasi PBI telah

memosisikan warga negara sebagai ”objek” yang dapat distandarisasi agar

sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan pendidikan yang berorientasi ekonomi.

Secara filosofis, pendidikan sejatinya diarahkan untuk pencerdasan

bangsa yang bebas dari komodifikasi dan marketisasi pendidikan. Secara

konseptual PBI yang berorientasi OECD tidak sesuai dengan realitas Indonesia

karena lembaga OECD lebih berorientasi pada ekonomi pasar (liberal) sesuai

dengan misi WTO. Berbeda dari orientasi ekonomi pasar, penyelenggaraan

perekonomian Indonesia seharusnya didasarkan pada pasal 33 UUD 1945 ayat

Page 294: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

294

(1) yang menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar

asas kekeluargaan”. Hal inilah seharusnya menjiwai penyelenggaraan

pendidikan nasional termasuk pendidikan menengah umum. Dalam konteks

pemikiran Gramsci, ideologi kapitalisme dan neoliberalisme yang menjiwai

konsep dan implementasi PBI telah menghegemoni para intelektual dan

pemerintah, serta masyarakat tentang pentingnya standarisasi pendidikan dan

daya saing bangsa untuk menjawab tantangan globalisasi yang sarat dengan

nilai-nilai persaingan ekonomi.

Semangat untuk memajukan pendidikan nasional berinteraksi dengan

ideologi pasar dan berbagai kelompok kepentingan mengakibatkan pendidikan

menjadi mahal dan diskriminatif, akses masyarakat terhadap pendidikan

menjadi tidak adil, proses pembelajaran menonjolkan bentuk daripada

substansi (pencitraan), nilai-nilai kebangsaan terancam tergerus karena

kebijakan yang tidak realistik. “Standard internasional” bersifat kapitalistik

dan borjuis karena mengacu pada berbagai komponen standar pendidikan

kapitalis seperti sertifikasi ISO, TIK dan multimedia, buku ajar impor, dan

berbagai program dan kegiatan yang kurang menekankan pada potensi

kreativitas budaya dan keunggulan lokal.

Dengan orientasi standar “internasional”, sekolah distratifikasi menjadi

kategori standar minimal (SBM), kategori mandiri (SKM atau SSN), dan

RSBI, dan bahkan ada kategori “kelas internasional” yang dikelola secara

khusus oleh satuan sekolah RSBI seperti SMA Negeri 78 Jakarta. Hal ini

kemudian menimbulkan ketidakadilan sosial karena RSBI atau “kelas

Page 295: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

295

internasional” yang dipandang sebagai sekolah/pendidikan bermutu hanya

dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu dan anak-anak yang secara

ekonomi tidak mampu menjadi tersingkir. Dengan demikian, kewajiban

negara dalam menjamin pendidikan bermutu secara adil bagi warganya sesuai

dengan amanat UU menjadi terabaikan.

Beberapa tahun terakhir keberadaan RSBI mendapat sorotan dan kritik

tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Koalisi Anti Komersialisasi

Pendidikan, misalnya, mengajukan gugatan ke lembaga MK untuk

membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas 2003 tentang satuan PBI, yang

menjadi dasar hukum kebijakan dan implementasinya dalam bentuk RSBI.

Proyek RSBI tersebut telah beroperasi sejak tahun 2006 dan dalam

perjalanannya mendapat resistensi dari masyarakat sipil, koalisi LSM,

intelektual dan aktivis pendidikan karena program ini dipandang menciderai

cita-cita pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam konstitusi.

Pada Januari 2013 dasar hukum keberadaan RSBI/SBI, yaitu pasal 50

ayat (3) UU Sisdiknas telah dibatalkan oleh MK sebagai klimaks dari

perlawanan masyarakat sipil dalam bentuk Uji Materi Undang-undang yang

mendasari kebijakan tersebut. Hal ini membuktikan tesis Gramsci (1971)

tentang “counter-hegemony” dan pemikiran Foucault tentang “will-to-power”

dengan wacana kuasa/pengetahuan efektif untuk melawan dominasi negara

yang tidak adil dalam pendidikan. Putusan MK tersebut dapat dimaknai

sebagai “fenomena awal” dari keberhasilan masyarakat sipil dan intelektual

dalam melawan hegemoni negara dengan senjata ideologis Pancasila,

Page 296: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

296

khususnya wacana nilai-nilai keadilan sosial dan nilai-nilai pengetahuan

ilmiah.

Pendidikan nasional dalam menghadapi era globalisasi seharusnya

dibangun di atas realitas sosio-kultural, psikososial, ekonomi, dan politik

kebangsaan. Konsep dan implementasi RSBI dapat merusak sendi-sendi

kebudayaan dan ketahanan bangsa Indonesia karena program ini tidak

didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Pendidikan seharusnya tidak

dilepaskan atau diserahkan kepada mekanisme pasar (liberalisme) untuk

menjamin hak seluruh lapisan masyarakat mendapatkan pendidikan bermutu.

Negara justru harus berperan jika menyangkut esensi kehidupan berbangsa

seperti hak untuk mendapatkan pendidikan (bermutu) secara adil.

Terkait dengan pembatalan dasar hukum pelaksanaan RSBI/SBI oleh

MK 8 Januari 2013 dan implikasinya terhadap program pembelajaran di

sekolah, seorang narasumber yang diwawancarai Sabtu 2 Februari 2013,

Supanto menyatakan:

sekolah kami sifatnya menunggu saja surat edaran dari Jakarta tentang

kelanjutan RSBI…kami tetap berharap diberi izin oleh pemerintah untuk

melanjutkan penguatan kualitas sekolah dengan mengutip biaya

operasional sekolah dari orangtua murid. Jika tidak, kami akan kesulitan

misalnya aggaran sekolah karena misalnya dari pembiayaan listrik di

sekolah kami selama ini yang mencapai Rp. 25 juta per bulan akan sulit

diatasi. …ikut dalam program kompetisi hibah unggulan yang akan

diadakan oleh Diknas, untuk mendapat bantuan pusat…sebagai siasat

untuk mengatasi permasalahan sekolah eks RSBI dalam program-

programnya (Wawancara Sabtu 2 Februari 2013).

Kutipan di atas sekaligus menjelaskan bahwa agen pendidikan terhegemoni

dengan hal-hal yang bersifat materialistik berupa anggaran, baik berupa “block

grant” dari pemerintah maupun “kebebasan” untuk melakukan pungutan dari

Page 297: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

297

orangtua untuk memajukan kualitas pendidikan. Dalam hal ini, guru atau

manajemen sekolah lebih berfungsi sebagai “operator” birokrasi pendidikan

dan kurang berperan sebagai “transformative intellectuals” dalam

mengembangkan program sekolah secara kreatif (Giroux, 1988: 122-123).

Dengan perkembangan RSBI, khususnya pasca Putusan MK Januari

2013, sekolah harus bersiap dengan “habitus” baru. Di satu pihak, pada saat

penelitian ini dilakukan, belum ada keputusan apakah sekolah dapat memungut

pembiayaan “ekstra” dari orangtua sebagaimana dilakukan sebelum ada

putusan MK tentang pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas 20/2003. Pada pihak lain,

sekolah tetap dituntut untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas

proses pembelajaran dengan situasi baru pasca-putusan MK dan implikasinya

terhadap anggaran sekolah. Sekolah dihadapkan pada permasalahan baru

tentang manajemen, pembiayaan dan kultur yang telah terbangun paling tidak

selama berstatus “internasional” menuju status “sekolah reguler” dengan kultur

baru.

Terdapat keraguan apakah fenomena pasca-putusan MK terhadap Pasal

50 Ayat (3) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dengan sendirinya permasalahan

ideologis PBI telah selesai dari permasalahan pendidikan nasional. Keraguan

ini didukung oleh berbagai wacana yang mengemuka pasca-putusan MK

seperti yang tergambar dari kutipan berikut.

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang ada di sejumlah daerah akan

berubah menjadi sekolah unggulan. Sekolah ini akan menjadi contoh bagi

sekolah-sekolah lain dari sisi kualitas dan penyediaan sarana, tetapi bisa

diakses siapa pun dan tidak dipungut biaya (Kompas, Jumat 11 Januari

2013, hlm. 1 dan 15).

Page 298: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

298

Kutipan di atas mengindikasikan bahwa RSBI bisa sekedar ”ganti

kulit”. Dengan demikian, wacana PBI tetap relevan dipersoalkan kendati secara

formal dasar hukum penyelenggaraan PBI telah dianulir oleh MK. Dari

perspektif pedagogi kritis, pendidikan harus dijamin bebas dari kekuasan

hegemonik sehingga pendidikan itu tidak sekedar bersifat instrumental tetapi

juga sebagai proses penanaman nilai-nilai dan penguatan karakter anak didik

yang bersifat fundamental dalam konteks keindonesiaan (Widja, 2009; Tilaar,

2011: 38-39; Nuryatno, 2008:2; Nunan, 1993: 12).

Permasalahan pendidikan dan globalisasi tidak harus dihadapi dengan

sikap antiglobalisasi atau sepenuhnya proglobalisasi. Globalisasi sebagai

agenda “homogenisasi budaya” tidak sesuai dengan cita-cita dan realitas

budaya Indonesia. Globalisasi bukanlah sekedar soal ekonomi tetapi juga

gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di

berbagai negara (Hoed, 2008: 102). Permasalahannya, pemerintah seringkali

terpukau oleh perkembangan global dan kurang peka terhadap realitas sosial-

budaya dan ekonomi masyarakat. Bahkan, dalam mengambil keputusan tentang

suatu kebijakan, pemerintah tidak jarang tergesa-gesa sehingga tidak sedikit

kebijakannya menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian, termasuk

kebijakan tentang PBI. Berikut beberapa catatan tentang permasalahan PBI

dalam kaitannya dengan pendidikan nasional.

Pertama, wacana PBI secara konsepsional tidak memiliki legitimasi

konstitusional, kultural dan konteks sosial ekonomi politik sehingga hal ini

mengorbankan prinsip-prinsip dasar dan fungsi pendidikan: membangun warga

Page 299: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

299

dan masyarakat yang demokratis, adil dan tidak diskriminatif. Pada tataran

Undang-undang, penggunaan label “internasional” menjadi bermasalah ketika

diimplementasikan dalam “relasi kuasa” ekonomi, budaya, dan politik. Makna

“internasional” menjadi lebih menonjol sebagai marketisasi dan komodifikasi

pendidikan, menonjolkan nilai simbolik dan pencitraan tentang kualitas

pendidikan yang baik. Mitos yang ada di masyarakat tentang “internasional”

itu memiliki nilai yang “tinggi”. Dengan menggunakan pemikiran Roland

Barthes tentang dua sistem pemaknaan denotatif dan konotatif, ‟internasional‟

dalam PBI dapat bermakna ”mutu” pendidikannya diakui di berbagai negara

dan secara konotatif kata ‟internasional‟ dapat bermakna hebat, luar biasa,

berbahasa Inggris, kompetitif, dan kehidupan yang lebih baik. (Barker, 2006:

72; Hoed, 2008: 12-13)

Legitimasi eksistensi PBI dalam pendidikan menengah umum tidak

sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Tanpa menolak realitas

globalisasi, Indonesia tetap dapat menjadi bagian dan pendorong proses

globalisasi dengan bersikap kritis dan realistik sebagai sebuah bangsa yang

memiliki sejarah, budaya, dan cita-cita pendidikan nasional. Keputusan MK

tentang dasar eksistensi PBI dalam UU Sisdiknas dapat menjadi titik awal yang

strategis untuk selanjutnya selalu mengkritisi sistem pendidikan nasional dari

perspektif ideologis dan kultural untuk mencegah terjadinya disorientasi nilai-

nilai pendidikan nasional.

Kedua, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam

pendidikan menengah umum secara konseptual dan empiris menunjukkan

Page 300: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

300

ambivalensi. Di satu pihak, bahasa Inggris diterima sebagai salah satu faktor

dalam memajukan pendidikan nasional, dalam hal ini bahasa Inggris bagian

dari kurikulum nasional. Di pihak lain, bahasa Inggris sebagai ”bahasa

pengantar” untuk memajukan pendidikan dapat mengancam jati diri bangsa.

Dalam hal ini, permasalahannya kembali pada cita-cita awal tentang statusnya

dalam sistem pendidikan nasional, bahasa Inggris harus diletakkan dalam

konteks ”instrumen” bukan dalam konteks ”menjadi” Inggris. Hal ini sesuai

dengan perkembangan global bahwa bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi

bukan lagi milik suatu bangsa, tetapi dalam konteks ”lingua franca” yang

bersifat dinamis.

Dari perspektif kajian budaya, penggunaan bahasa Inggris sebagai

bahasa pengantar dapat menyingkirkan siswa yang secara akademik bernilai

baik tetapi menjadi terganjal oleh ”kuasa” bahasa Inggris, seperti kualifikasi

kemampuan bahasa Inggris untuk masuk ”kelas internasional” di SMA Negeri

78 Jakarta dan syarat pendukung untuk diterima bersekolah di SMA Negeri 2

Bandarlampung. Dalam hal ini, satuan PBI dalam pendidikan menengah

umum tidak adil dalam konteks sosial-budaya Indonesia karena bersifat

hegemonik.

Terakhir, teori wacana kuasa/pengetahuan Foucault, khususnya

teknologi disiplin, yang digunakan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dapat

menjelaskan efektifitas kebijakan PBI karena banyak faktor yang terkait

dengan subjek atau agen yang menyangkut modal sosial dan sumber daya

pendidikan. Guru-guru terhegemoni dengan pentingnya “standarisasi“ dan

Page 301: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

301

“daya saing” dalam menghadapi tantangan globalisasi, namun, secara spesifik

modal (kompetensi) dan habitus guru dan sumber daya lainnya dalam ranah

pendidikan tidak mendukung proses pembelajaran dengan, misalnya,

menggunakan bahasa Inggris (Bourdieu 1983: 249).

Page 302: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

302

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari lapangan yaitu SMA

Negeri 78 Jakarta, SMA Negeri 2 Bandarlampung, Sidang-sidang MK, dan

berbagai dokumen terkait, teori-teori yang digunakan, serta pembahasan dalam

bab-bab sebelumnya, wacana dan praksis PBI telah menimbulkan berbagai

permasalahan politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam berbagai bentuk.

Realitas pendidikan nasional yang rendah mutu dan daya saingnya dihadapkan

pada hegemoni wacana globalisme. Dengan demikian, beberapa kesimpulan

yang terkait dengan bentuk-bentuk, faktor-faktor yang memengaruhi dan

makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dapat dikemukakan

sebagai berikut.

Pertama, wacana PBI tidak dapat dilepaskan dari dinamika globalisasi

dengan berbagai orientasi ideologinya dan realitas politik pendidikan nasional

dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Globalisme dan politik pendidikan

nasional telah menggiring pengembangan sistem pendidikan nasional melalui

wacana PBI untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan

kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing global. Penelitian menunjukkan

bahwa bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum

adalah standarisasi pendidikan, kapitalisasi pendidikan, stratifikasi pendidikan,

pencitraan kualitas internasional, dan jati diri atau identitas bangsa.

Page 303: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

303

Kedua, hegemoni PBI dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan

eksternal, yaitu politik pendidikan nasional dan globalisme. Politik pendidikan

nasional dan globalisme ditopang oleh wacana kuasa/pengetahuan oleh para

intelektual. Wacana globalisasi dan politk pendidikan nasional beroperasi

melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 khususnya pasal 50 ayat (3) tentang

satuan PBI dan berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan pendidikan

dan standar internasional. Wacana globalisasi ditopang oleh institusi

internasional seperti Bank Dunia, WTO, OECD yang tidak steril dari

kepentingan. Secara keseluruhan wacana tersebut memengaruhi praktik

hegemoni PBI melalui konsep dan implementasinya dalam pendidikan

menengah umum. Politik pendidikan yang berhaluan neoliberal dan kapitalistik

beroperasi melalui UU dan kebijakan serta implementasinya..

Ketiga, tentang makna hegemoni PBI, dari perpektif politik budaya

terjadi disorientasi ideologis dalam PMU melalui berbagai program

standarisasi yang tidak bebas dari dominasi, nilai-nilai dan hegemoni budaya.

Peserta didik seharusnya diarahkan untuk berkembang menjadi manusia kritis,

kreatif, mandiri, dan demokratis sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial-

kulturalnya sebagai manusia Indonesia sekaligus warga global. Kebijakan PBI

bermasalah secara filosofis dan praktik. Satuan PBI dalam pasal 50 ayat (3)

UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan hegemoni globalisme.

Pendidikan berkualitas lebih dimaknai sebagai standarisasi mutu yang

berorientasi kapitalis, efisiensi, produktifitas. Dari segi konsep, SNP plus

standar pendidikan negara maju tidak realistik karena, misalnya, standar tenaga

Page 304: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

304

kependidikan dan proses pembelajaran, tidak mendukung dan belum

memenuhi delapan SNP sebagaimana diamanatkan PP. NO. 19 tahun 2005

untuk menjadi RSBI. Hal ini menghasilkan pergulatan makna ideologis

tentang globalisme, sosial-ekonomi, pemberdayaan/profesionalisme, dan

emansipasitoris pendidikan.

Keempat, kebijakan pemerintah telah menghegemoni para agen

pendidikan dan masyarakat tentang pentingnya PBI sebagai jawaban terhadap

permasalahan kualitas pendidikan nasional dan tuntutan era globalisasi.

Hegemoni pemerintah beroperasi melalui berbagai Undang-undang dan

peraturan yang didukung oleh wacana kuasa/pengetahuan yang berperan

merasionalisasi pendidikan melalui jargon-jargon globalisasi seperti

produktifitas, daya saing, efisiensi, standard mutu, dan sertifikasi manajemen

ISO. Dari perpektif politik budaya, terjadi disorientasi ideologis dalam

pendidikan nasional. Dalam hal ini, RSBI dengan berbagai programnya tidak

membangun karakter dan nilai-nilai yang bebas dari dominasi, diskriminasi dan

hegemoni budaya.

8.2 Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan dan tujuan penelitian, berikut disajikan

beberapa saran dan masukan bagi pemangku kepentingan dalam pendidikan,

yaitu pemerintah, peneliti, dan masyarakat.

Pertama, pemerintah disarankan untuk lebih bersikap demokratis dalam

menjamin kesempatan dan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara

Page 305: hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan

305

untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Hal ini dapat dilakukan hanya jika

para pengambil keputusan bersikap kritis terhadap wacana global dan politik

pendidikan nasional yang bersifat ideologis-kultural. Pendidikan tidak boleh

terjebak dalam kepentingan kuasa kapital dan wacana hegemonik yang dapat

menyingkirkan kelompok yang lemah dalam masyarakat.

Kedua, ideologi globalisme telah merambat ke dalam sistem pendidikan

nasional melalui pasal-pasal dalam UU Sisdiknas dan berbagai kebijakan yang

terkait wacana PBI. Pendidikan nasional dibebani dengan kuasa kapital yang

membuat pendidikan menjadi mahal, diskriminatif, pencitraan, eksklusif dan

menghasilkan ketidakadilan. Dengan demikian, selanjutnya disarankan untuk

meneliti secara komprehensif tentang UU Sisdiknas 2003 dengan berbagai

kebijakan pendidikan yang dihasilkannya.

Terakhir, resistensi masyarakat terhadap eksistensi pasal 50 ayat (3)

UU Sisdiknas tentang satuan PBI baik melalui wacana publik maupun Uji

Materi yang akhirnya dianulir oleh MK merupakan “klimaks” dari perlawanan

masyarakat sipil. Putusan MK tersebut sepatutnya dimaknai sebagai “fenomena

awal” dari keberhasilan masyarakat sipil dan intelektual organik dalam

melawan hegemoni negara. Selanjutnya, kontra-wacana atau kontra-hegemoni

melalui para intelektual organik dan masyarakat sipil perlu didorong terus

untuk mengkritisi berbagai kebijakan pendidikan sebagai arena perjuangan

demokratis dan emansipatoris.


Top Related